Anda di halaman 1dari 68

GEOLOGI DAN POTENSI NIKEL LATERIT

DAERAH MATANO-LALEMO, KABUPATEN MOROWALI,


SULAWESI TENGAH

TUGAS AKHIR A

Disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana teknik


Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian,
Institut Teknologi Bandung

Disusun oleh :

AWAN WIDHODHO
12003051

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2010
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb

Puji syukur kehadirat Allah S.W.T. karena atas rahmat dan karunia-Nya maka
penulis mampu menyusun skripsi yang berjudul Geologi dan Potensi Nikel Laterit
Daerah Matano-Lalemo, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Dimana tugas akhir
ini memuat resume geologi daerah penelitian secara umum dan kajian tentang nikel laterit
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
penulis dalam penyelesaian Tugas Akhir penelitian lapangan di daerah Matano-Lalemo.
Beberapa pihak tersebut diantaranya:
1. Keluargaku tercinta :Ayah, Ibu serta Kakak-kakak (Mbak Eka (alm), Mas
Oyo, Mas Bowo, Mbak Ayi, Mas Danto, Mbak Nela, Mas Bakti, Mbak
Rianti) serta Adik Ika purwanti, atas semua doa, kasih sayang, dorongan
semangat dan segala bantuan baik moril maupun materil.
2. Dr.Ir.Bambang Priadi selaku dosen pembimbing segala kesabaran dan
pengertiannya yang telah membimbing penulis dengan selama tugas akhir.
3. Ir.Theo Matasak yang memberikan kesempatan kepada penulis untuk
melakukan penelitian tugas akhir di daerah Matano-Lalemo
4. P.T.Asia Emas (Pak Khoiril) atas dukungan materi
5. Pimpinan, Seluruh dosen, Staf serta karyawan di lingkungan program studi
teknik geologi ITB.
6. Keluarga Tamansari 122A/56 : Bapak Suparno, Mamah Irma, Novita nur
wulan, de Ipan, teh Lilis dan teh Dedeh (ceukih), dll, atas semua doa, kasih
sayang, dorongan semangat dan segala bantuan baik moril maupun materil
7. Keluarga Cibadak 68 : Abah Gatot, Emak Rosita, adik-adiku (Hamda, Harla,
Dika, Archi, Embos), Mang Danang, Om Erwin, dll, atas doa, kasih sayang,
dorongan semangat, bantuan moril maupun materi
8. Mira, Teguh, Pak Asmoro atas kebersamaan di lapangan dan diskusi-
diskusinya..

iii
9. Teman-teman Geo03 : Idham (atas diskusi-diskusinya) bos Daniel (atas
dukungan materi maupun moril), Ayong, Rizal kumis, Wiwit, Kenri, Dicky
dan lainnya.
10. Ibu Indriani Dorothi, Niam, Jidat, makasih atas segala dorongan semangat dan
canda tawa mengisi waktu luang.
11. Temen-temen kos penghuni Kebon Bibit Selatan 11a : (Didiew, Alex, Nopal,
Yogi, Wiwin, Helmi, Acoy, Wira, Mas Deni, dll). Spesial buat Didiew ma
Acoy, atas pengajaran texas holdem poker.
12. Semua pihak yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu atas bantuannya
selama penulis melaksanakan tugas akhir.

Penulis menyadari bahwa dalam tugas akhir ini masih terdapat banyak
kekurangan dan belum sempurna. Oleh karena itu, dengan berbesar hati penulis
menerima segala kritik dan saran untuk perbaikan, dengan harapan tugas akhir ini dapat
memberikan sedikit sumbangan dan manfaat bagi kita semua.

Bandung, juni 2010

Penulis

iv
Geologi dan Potensi Nikel daerah Matano-Lalemo, Kabupaten Morowali, Sulawesi
Tengah

Sari

Secara geografis daerah penelitian menempati 3 9 45 - 3 12 50 LS dan 122


24 30 - 122 27 15 BT, yang berada di Desa Matano dan Desa Lalemo, Kecamatan
Menui Kepulauan, kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah. Luas daerah
penelitian mencapai 6x7 km
Geomorfologi daerah penelitian dapat dibagi menjadi 4 satuan geomorfologi,
yaitu :Satuan Perbukitan Kompleks Lalemo, satuan Perbukitan Homoklin Matano, Satuan
Punggungan homoklim Lalemo-Matano, dan Satuan Dataran Aluvial Teluk Tolo. Satuan
Stratigrafi daerah penelitian terbagi menjadi 4 satuan batuan tidak resmi yang terbentuk
sejak Kapur hingga Resen. Satuan batuan tersebut berurutan dari tua ke muda adalah :
Satuan Ofiolit, Satuan Batugamping, Satuan Konglomerat, dan Satuan Aluvial.Struktur
geologi yang berkembang di daerah penelitain adalah rekahan dan sesar,
Pola penyebaran nikel sangat di pengaruhi oleh morfologi, semakin ke arah timur
semakin tebal lapisan laterit nya hal ini di sebabkan semakin ke timur semakin landai
Kadar nikel sangat dipengaruhi oleh batuan asal, semakin ke arah barat kadar nikel akan
semakin tinggi, hal ini di sebabkan batuan asalnya adalah ofiolit yang kaya kandungan
Ni.
Sumberdaya nikel di daerah penelitian sebesar 661518,4 ton

Kata kunci : Geologi, Sulawesi Tengah, Nikel Laterit

Abstrak
The study area is located between 3 9 45 - 3 12 50 LS dan 122 24 30 -
122 27 15 BT, in Matano and Lalemo village, Menui Kepulauan district, Morowali
Regency, Central Sulawesi Achieve the research area 6x7 km
Geomorphological study area can be divided into 4 units of geomorphology,
namely: Complex Hills Lalemo, Matano Homoklin Hills, Matano Lalemo homoklim
ridge, and Alluvial Plains Tolo Bay . Stratigraphic unit of the study area was divided into
4 unofficial rock units formed from the Cretaceous to Recent. These rock units
sequentially from old to young is: ophiolite, Limestone, Conglomerate, and Alluvial.
Geological structures developed in the research area is fracture and fault.
The pattern of nickel distribution is influenced by morphology, more and more
eastward his thick layer of laterite this is caused more and more to the east increasing
gradient of concentration of nickel is strongly influenced by source rock, the more
westerly direction will be higher nickel content, this is caused ophiolite rock is rich Ni
content
Nickel resources in the study area amounted to 661,518.4 tons

Keywords: Geology, Central Sulawesi, Nickel Laterite

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL Hal


LEMBAR PENGESAHAN ...... i
SARI ..... ii
KATA PENGANTAR ...... iii
DAFTAR ISI .... v
DAFTAR GAMBAR .... viii
DAFTAR TABEL......................................................................................................ix
DAFTAR PHOTO ........ x
DAFTAR LAMPIRAN .... xi

BAB I PENDAHULUAN.. 1
1.1 Latar Belakang .... 1
1.2 Maksud dan Tujuan..1
1.3 Lokasi Daerah Penelitian .....................1
1.4 Batasan Masalah...... 2
1.5 Metode Dan Tahapan Penelitian.. 3
1.5.1 Persiapan........ 3
1.5.2 Studi Pendahuluan................................................................. 3
1.5.3 Pengambilan Data.................................................................. 3
1.5.4 Analisis dan Pengolahan Data............................................... 4
1.5.5 Penyusunan Laporan.............................................................. 4

BAB II GEOLOGI REGIONAL .............................................................................. 5


2.1 Fisiografi ................................................................................................. 5
2.2 Geologi Regional Sulawesi.............. 7
2.3 Geologi Regional Daerah Penelitian .......................................................13
2.4 Stratigrafi Regional..................................................................................14
2.5 Struktur Geologi dan Kerangka Tektonik.................................................16

v
BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN ....................................................... 19
3.1 Morfologi Daerah Penelitian................................................................... 19
3.1.1 Analisa Peta Topografi...........................19
3.1.2 Analisa Kelurusan Bukit, Lembah, Punggungan, dan Sungai...19
3.2 Satuan Geomorfologi ...............................................................................21
3.2.1 Satuan Perbukitan Kompleks Lalemo....21
3.2.2 Satuan Perbukitan Homoklin Matano-Lalemo...........................21
3.2.3 Satuan Punggungan Homoklin Matano-Lalemo.......................22
3.2.4 Satuan Dataran Pantai Teluk Tolo.......................................... 22
3.3 Stratigrafi Daerah Penelitian ................................................................. 23
3.3.1. Satuan Batuan Ofiolit...23
3.3.1.1 Penyebaran..................................................................23
3.3.1.2 Ciri Litologi .............................................................. 24
3.3.1.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan.........................25
3.3.2 Satuan Batugamping .. 26
3.3.2.1 Penyebaran..................................................................26
3.3.2.2 Ciri Litologi ............................................................. 26
3.3.2.3 Umur dan Lingkungan Pengendapan.........................27
3.3.3 Satuan Konglomerat .................................................................28
3.3.3.1 Penyebaran 28
3.3.3.2 Ciri Litologi ...............................................................28
3.3.3.3. Umur dan Lingkungan Pengendapan........................30
3.3.4 Satuan Aluvial ..........................................................................30
3.3.4.1 Penyebaran..................................................................30
3.3.4.2 Umur dan Lingkungan Pengendapan ........................31
3.4 Struktur Daerah Penelitian ......................................................................31
3.4.1 Rekahan.........................................................................31
3.4. 2 Sesar..32

BAB IV SEJARAH GEOLOGI ....34


BAB V PEMBENTUKAN NIKEL LATERIT..........................................................35
5.1 Genesa Lateritisasi....................................................................................35

vi
5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Endapan Nikel Laterit
..38
5.2.1 Topografi...................................................................................39
5.2.2 Tipe Batuan Asal.......................................................................40
5.2.3 Struktur......................................................................................41
5.2.4 Iklim...........................................................................................41
5.2.5 Reagen-reagen kimia dan Vegetasi...........................................42
5.2.6 Waktu........................................................................................42
BAB VI NIKEL LATERIT DI DAERAH PENELITIAN........................................44
6.1 Kondisi dan Penyebaran Singkapan.........................................................44
6.2 Profil Umum Laterit-Nikel di Daerah Penelitian.....................................46
6.2.1 Tanah Penutup (laterit).............................................................46
6.2.2 Tanah Limonit...47
6.2.3 Tanah Saprolit...........................................................................48
6.2.4. Batuan asal...............................................................................49
6.3 Analisis Kimia Laterit-Nikel50
6.4 Perhitungan Sumberdaya Laterit-Nikel...................................................53
KESIMPULAN.........................................................................................................56

PUSTAKA ................................................................................................................ 57

LAMPIRAN

vii
DAFTAR FOTO

Foto 3.1 . Satuan Perbukitan Kompleks Lalemo...................................................... 21


Foto 3.2 . Satuan Perbukitan dan Punggungan Homoklin Matano-Lalemo.............. 22
Foto 3.3 . Desa Matano yang merupakan bagian dari satuan Pantai Teluk Tolo.... 23
Foto 3.4 .Singkapan Peridotit di salah satu sungai di daerah matano................... 24
Foto 3.5 Peridotit yang diambil dari singkapan pada aliran sungai di daerah
matano 24
Foto 3.6 Satuan Batugamping berlapis di daerah Matano............................ 26
Foto 3.7 Singkapan konglomerat di aliran sungai pada daerah penelitian............... 29
Foto 3.8 Perbesaran singkapan konglomerat di aliran sungai 29
Foto 3.9 Singkapan perlapisan batupasir dengan batulempung pada aliran sungai
di daerah penelitian 30
Foto 3.10 Desa Matano yang merupakan bagian dari satuan Aluvial 31
Foto 6.1 Sumur galian (kode Aw-35 pada peta lintasan) kedalaman sumuran ber
kisar dari 0-4 m 44
Foto 6.2 Penggalian sumuran baru (kode A-12 pada peta lintasan) 45
Foto 6.3 Tanah penutup(laterit) pada daerah penelitian............................ 47
Foto 6.4 Lapisan Limonit pada sumur galian di daerah penelitian.............. 48
Foto 6.5 Lapisan Saprolit di daerah penelitian... 49
Foto 6.6 Singkapan batuan asal, konglomerat (bagian timur daerah penelitian) 49
Foto 6.7 Singkapan batuan asal, peridotit (bagian barat daerah penelitian) 49

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Lokasi daerah penelitian .............................. ............................ 2


Gambar 2.1 Mandala Tektonik Sulawesi (Hamilton, 1979; Sukamto & Simanjuntak,
1983; Metcalfe, 1990; Audley-Charles, 1991)..................................... 8
Gambar 2.2 Sesar-sesar memanjang dari Kalimantan menerus ke Sulawesi..............10
Gambar 2.3. Pemekaran Lantai Samudera di Selat Makassar....................... 12
Gambar 2.4 Tektonik Sulawesi (disederhanakan dari Silver et al, 1983, Sukamto &
Simandjuntak, 1983 dan Parkinson, 1996, 1997, 1998)................................. 13
Gambar 2.5. Peta Satuan Morfologi, Lembar Kendari 1:1.000.000 (Rusmana dkk.,
1993)....................... ...................................................................................................14
Gambar 2.6. Pembagian Lajur Geologi Lembar Kendari (Rusmana dkk., 1993) 15
Gambar 2.7 Stratigrafi regional daerah penelitian (Rusmana dkk., 1993) ............ 16
Gambar 3.1. Kelurusan bukit, lembah, sungai, punggungan.................................. 20
Gambar 3.2 Diagram roset kelurusan bukit, lembah, sungai, punggungan..............20
Gambar 3.3 Sayatan Tipis Peridotit hazburgit dengan tekstur fanerik yang terdiri
dari mineral olivin (F5, D6) yang telah terubah oleh serpentin, piroksen dengan jenis
ortopiroksen (B2-B3, D3, D6-E6).................................................................. 25
Gambar 3.4 Sayatan tipis batugamping wackestone-packstone ( Aw-5)...... 27
Gambar 3.5 Standar paparan Karbonat ( Wilson, 1975 dalam Koesoemadinata,
1985)............................................................................................................... 28
Gambar 3.6 Diagram roset kelurusan bukit, lembah, sungai, punggungan..............33
Gambar 3.7 Sesar-sesar interpretasi di daerah penelitian ............................. 33
Gambar 5.1 Skema Pembentukan Endapan Nikel Laterit (Totok Darijanto, 1999) 38
Gambar 5.2 Pola air tanah terhadap morfologi (Freeze & Cherry, 1979, op cit
Darijanto, 1999).............................................................................................. 39
Gambar 5.3 Variasi ketebalan laterit pada variasi morfologi................................... 40
Gambar 5.4 Tanah hasil pelapukan dari batuan asalnya............................... 40
Gambar 5.5 Mineral garnierit yang mengisi rekahan-rekahan....................... 41

viii
Gambar 5.6 Pembentukan laterit yang di pengaruhi oleh iklim dan reagen-reagen
kimia dan vegetasi............................................................................................ 42
Gambar 6.1 Peta Sumuran pada daerah penelitian....................................... 45
Gambar 6.2 Profile umum Laterit-nikel di daerah penelitian 46
Gambar 6.3 Grafik perbandingan kadar Ni (%) terhadap bertambahnya kedalaman
sumuran pada batuan asal konglomerat................................................................... 50
Gambar 6.4 Grafik perbandingan kadar Fe (%) terhadap bertambahnya kedalaman
sumuran pada batuan asal konglomerat.......................................................... 51
Gambar 6.5 Grafik perbandingan kadar Ni (%) terhadap bertambahnya kedalaman
sumuran pada batuan asal ofiolit (peridotit hazburgit)...................................... 51
Gambar 6.6 Grafik perbandingan kadar Fe (%) terhadap bertambahnya kedalaman
sumuran pada batuan asal ofiolit (peridotit hazburgit) .................................. 52
Gambar 6.7 Peta Kontur Nikel dengan Kedalaman sumuran 1 dan 2 meter......... 54
Gambar 6.8 Peta Kontur Nikel dengan Kedalaman sumuran 3 dan 4 meter.. 55

DAFTAR TABEL

Tabel 6.1 Nilai cut-off pembagian zona nikel laterit (Sumber : PT ANTAM Tbk,
Unit Geomin).............................................................................................................54

ix
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A : Analisis Petrografi


Lampiran B : Analisis Laboratorium Kandungan Kimia
Lampiran C : Analisis Mikropaleontologi
Lampiran D : PETA
Peta Lokasi Pengamatan
Peta Geomorfologi
Peta Geologi

xi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tugas akhir adalah mata kuliah wajib dalam kurikulum pendidikan tingkat
sarjana (S1) di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi
Kebumian, Institut Teknologi Bandung. Tugas akhir pelaksanaannya berupa
penelitian yang dilakukan mahasiswa pada akhir masa pendidikannya sebagai syarat
kelulusan.
Nikel diperlukan dalam industri berat, kendaraan bermotor, bahan konstruksi,
dan industri kimia yang akhir-akhir ini menunjukkan pemakaian yang semakin
meningkat. Untuk menjaga kesinambungan pasokan bahan ke industri-industri,
diperlukan pencarian sumberdaya nikel
Berdasarkan kondisi geologinya, salah satu kemungkinan besar keberadaannya
di Indonesia adalah di daerah Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah.
Dengan melakukan pemetaan di daerah Matano, Kabupaten Morowali maka di
harapkan dapat mengetahui kandungan nikelnya.

1.2. Maksud dan Tujuan

Maksud penelitian ini adalah untuk memenuhi syarat kelulusan strata satu (S1)
pada program studi teknik geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut
Teknologi Bandung.
Sedangkan tujuan penelitian secara umum adalah untuk mengetahui kondisi
geologi daerah penelitian berupa geomorfologi, stratigrafi serta struktur geologi
daerah penelitian. Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan menentukan batas
dan mengevaluasi daerah prospek beserta perkiraan keberadaan sumberdaya nikel.

1.3. Lokasi Penelitian

Secara administratif daerah penelitian berada di Desa Matano dan Desa Lalemo,
Kecamatan Menui Kepulauan, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah.
Posisi geografis daerah ini menempati 3 9 45 - 3 12 50 LS dan 122 24 30 -
122 27 15 BT, yang termasuk dalam peta geologi lembar Lasusua-Kendari, yang
diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G).

1
Luas daerah penelitian kurang lebih 37,5 km2 (5,5 x 5 Km). Lokasi penelitian
dapat dicapai dengan dua jalur yaitu:

Dari kota Kota Jakarta menuju Kota Palu. Kemudian di lanjutkan dengan
transportasi darat dengan menempuh rute perjalanan Palu-Poso-Bungku yang
di tempuh dalam waktu kurang lebih 18 jam dengan menggunakan mobil
pribadi (sudah termasuk istirahat, sholat dan makan). Kemudain di lanjutkan
dengan menggunakan alat transportasi laut yang di tempuh dalam waktu
kurang lebih 6 jam (menggunakan perahu bertenaga diesel).

Dari Kota Jakarta menuju Kota Kendari. Kemudian di lanjutkan dengan


menggunakan transportasi darat (tersedia jasa travel Kendari-Bungku) turun di
Bete-bete dengan waktu tempuh kurang lebih 6 jam kemudian di lanjutkan alat
transportasi laut menuju desa matano (bisa menyewa perahu diesel) di tempuh
kurang lebih 2 jam.

Gambar 1.1 Peta lokasi penelitian

1.4. Batasan Masalah


Permasalahan yang akan dipelajari dalam penelitian ini adalah kondisi geologi
daerah penelitian berupa geomorfologi, stratigrafi serta struktur geologi daerah
penelitian. Sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan menentukan batas dan
mengevaluasi daerah prospek beserta perkiraan keberadaan sumberdaya nikel.

2
1.5. Tahapan Penelitian

Tahapan - tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut:


1. Persiapan
2. Studi pendahuluan
3. Pengambilan data lapangan
4. Analisis dan pengolahan data
5. Penyusunan laporan dan penyajian data.

1.5.1. Persiapan

Tahap persiapan ini meliputi pembuatan proposal dan melengkapi persyaratan


- persyaratan yang diperlukan.

1.5.2. Studi Pendahuluan

Studi pendahuluan dimaksudkan untuk mendapatkan informasi daerah


penelitian secara regional yang meliputi kondisi geomorfologi, tatanan stratigrafi
regional dan struktur yang berkembang di daerah penelitian. Informasi ini didapat dari
peta geologi lembar Lasusua-Kendari yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi (P3G). Selain itu, dipelajari pula laporan-laporan dari paper,
prosiding, text book dan laporan tugas akhir mahasiswa yang berkaitan dengan topik
penelitian. Dengan demikian, diharapkan dapat memberikan suatu interpretasi awal
mengenai daerah penelitian secara regional.

Pada tahapan studi pendahuluan juga dilakukan analisis peta topografi Dari
interpretasi awal pada peta topografi daerah penelitian tersebut dihasilkan suatu
perencanaan lintasan yang akan dilalui pada tahap penelitian.

1.5.3. Pengambilan Data Lapangan

Pada tahapan ini dilakukan dengan mendatangi langsung daerah penelitian


sesuai dengan lintasan yang direncanakan sebelumnya. Data lapangan yang diambil
adalah pengambilan sampel batuan disertai dengan deskripsi singkapan dan plotting
lokasi pengambilan, sketsa dan foto lokasi singkapan. Pengambilan data - data geologi
berupa kedudukan lapisan batuan dan pengamatan geomorfologi.

3
Hasil pengambilan data lapangan adalah peta lokasi pengamatan, peta geologi
sementara, serta data-data singkapan yang tercatat dalam buku lapangan, foto
singkapan. Sampel batuan diambil untuk pengujian di laboratorium.

1.5.4. Analisis Dan Pengolahan Data

Pada tahapan ini dilakukan analisis pengolahan data sesuai dengan data - data
yang didapatkan pada tahap sebelumnya. Analisis yang dilakukan meliputi:
1. Analisis Petrografi; untuk mengetahui jenis peridotit, tekstur batugamping
yang akhirnya untuk mengidentifikasi batuan tersebut serta menganalisis
batuan pada skala mikroskopis.
2. Tes dan analisis terhadap sejumlah sampel terpilih dari daerah penelitian
meliputi kandungan (hasil analisa terlampir): Ni, NaO2, TiO2, Cr2O3, Co,
MgO, P2O5, Al2O3, Fe2O3, MnO, SiO2, CaO, K2O, dan LOI.

1.5.5. Penyusunan Laporan dan Penyajian Data

Tahap ini merupakan tahapan akhir untuk seluruh rangkaian kegiatan


penelitian. Hasil tahapan ini adalah skripsi yang memuat peta geologi detil daerah
penelitian, peta lokasi pengamatan dan peta geomorfologi, dan kolom stratigrafi
daerah penelitian. Hasil laporan ini diharapkan dapat menjadi informasi mengenai
keadaan geologi dan potensi nikel di daerah penelitian.

4
BAB II
GEOLOGI REGIONAL

2.1. Fisiografi
Sulawesi adalah salah satu dari 5 pulau besar di Indonesia yang terletak di
bagian timur, yaitu pada koordinat 2o1017 LU 7o2543 LS dan 121o 2913 BT
123o 925 BT. Secara geologi, sulawesi merupakan wilayah yang geologinya sangat
komplek, karena merupakan perpaduan antara dua rangkaian orogen ( Busur
Kepulauan Asia Timur dan Sistem Pegunungan Sunda ). Sehingga, hampir seluruhnya
terdiri dari pegunungan, sehingga merupakan daerah paling berpegunungan di antara
pulau- pulau besar di Indonesia (Sutardji, 2006 :100). Secara rinci fisiografi sulawesi
adalah sebagai berikut:
1. Lengan Utara Sulawesi
Pada lengan ini, fisiografinya terbagi menjadi tiga bagian berdasarkan aspek
geologinya. Ketiga bagian tersebut adalah :
Seksi Minahara, merupakan ujung timur dari lengan utara sulawesi
dengan arah timurlaut-baratdaya yang bersambung dengan penggungan
Sangihe yang dibentuk oleh aktifitas vulkanis pegunungan soputan
Seksi Gorontalo merupakan bagian tengah dari lengan utara sulawesi
dengan arah timur ke bawah, namun aktivitas vulkanis sudah padam,
yang lebar daratannya sekitar 35 110 km, tapi bagian baratnya
menyempit 30 km ( antara Teluk Dondo di pantai utara dan Teluk
Tihombo di pantai selatan ). Seksi ini dilintasi oleh sebuah depresi
menengah yang memanjang yaitu sebuah jalur antara rangkaian
pegunungan di pantai utara dan pegunungan di pantai selatan yang
disebut Zone Limboto
Jenjang sulawesi utara, merupakan Lengan Utara Sulawesi yang
arahnya dari utara ke selatan dan terdapat depresi ( lanjutan zone
Limboto di Gorontalo ) yang sebagian besar di tutup oleh vulkanik
vulkanik muda, sedangkan antara lengan utara dan lengan timur di
pisahkan oleh Teluk Tomini yang lebarnya 100 km di bagian timur dan
sampai 200 km di bagian barat sedangkan dasar teluknya semakin
dangkal kearah barat ( kurang dari 2000 meter ) dan di bagian tengah

5
Teluk Tomini tersebut terdapat pegunungan di bawah permukaan air
laut dengan bagian tinggi berupa kepulauan Togian ( Sutardji ; 2006 :
101 )
2. Lengan Timur
Lengan Timur Sulawesi arahnya timurlaut-baratdaya dan dapat di bedakan
menjadi tiga bagian. Tiga bagian tersebut adalah:
Bagian timur, berupa Semenanjung Bualeno yang dipisahkan dengan
bagian tengah oleh tanah genting antara Teluk Poh dan Teluk Besama
Bagian tengah, dibentuk oleh pegunungan Batui dengan pegunungan
Batulumpu yang arahnya timurlaut-baratdaya.
Bagian barat, merupakan pegunungan tinggi yang membujur antara
garis Ujung Api sampai Teluk Kolokolo bagian timur dan garis
Lemoro sampai Teluk Tomini di barat dan lebarnya sekitar 75-100 km
( Sutardji, 2006 : 101 )
3. Lengan Tenggara
Batas antara lengan tenggara dengan bagian tengah sulawesi adalah berupa tanah
genting antara Teluk Usu dengan Teluk Tomori yang lebarnya 100 km.
Sedangkan lengan tenggara Sulawesi dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu :
Bagian utara, berupa masif-masif Peridotit dari pegunungan Verbeek
yang di tengahnya terdapat dua graben yaitu danau Matana dan Danau
Tomini yang letaknya berada antara Teluk Palopo ( Ujung utara Teluk
Bone dengan Teluk Tolo
Bagian Tengah, berupa Pegunungan Mekongga di sebelah barat dan
sedimen peridorit di sebelah timur yang di batasi oleh Pegunuingan
Tangeasinua, sedangkan antara kedua pegunungan tersebut terdapat
basin yang dialiri sungai Konewha, sedangkan kearah tenggara jalur ini
tenggelam dan membentuk teluk-teluk dan pulau-pulau kecil serta
berkelanjutan sampai kepulauan Manui
Bagian Selatan, merupakan suatu depresi yang membujur dari arah
barat ke timur yang membentang antara Kendari dan Kolaka yang diisi
dataran Aluvial yang berawa sedangkan di bagian selatannya berupa
pegunungan dan bukit-bukit yang teratur dengan membujur dari arah
barat ke timur

6
4. Lengan Selatan
Bagian sulawesi selatan merupakan daerah yang dibatasi oleh garis tenggara-
baratlaut dari muara sungai Karama sampai Palopo. Batas lengan utara dari garis
timurlaut-baratdaya dari palopo sampai Teluk Mandar. Namun secara geologis
bagian barat Lengan Sulawesi Tengah termasuk Pegunungan Quarles yang lebih
dekat hubungnnya dengan bagian selatan dengan lengan selatan ( Sutardji, 2006 :
103 ).
Fisiografi lengan selatan berupa pegunungan seperti pegunungan yang ada di
antara Majene yang membujur utara-selatan, antara Pegunungan Quarles dengan
Pegunungan Latimojong dipisahkan oleh Lembah Sadang dan diantara Lembah
Sadang dan Teluk Bone terdapat Pegunungan Latimojong yang membujur dari
utara ke selatan dengan ketinggian sekitar 3000 mdpl. Pada bagian utara dan
selatan lengan ini dipisahkan oleh depresi dengan arah baratlaut-tenggara yang
terdapat danau-danau seperti danau Tempe, danau Sidenreng, dan danau Buaya.
Pada bagian selatannya lengan ini mempunyai ketinggian yang lebih rendah jika
dibandingkan dengan bagian utara. Di daerah ini ada dua jalur pegunungan yaitu
di bagian barat dengan ketinggian diatas 1000 mdpl dan bagian timur dengan
ketinggian 800 mdpl yang dipisahkan oleh lembah Sungai Walaneia. Kedua jalur
pegunungan tersebut di sebelah selatan Pegunungan Bontorilni, bersatu sebagai
hulu sungai Walaneia yang mengalir ke utara tertutup oleh vulkan besar
Lampobatang. Sedangkan di luar pantai Makasar terdapat dangkalan Spermonde
dengan rangkaian karang, dan di luar pantai Watampone terdapat dangkalan
dengan rangkaian karang laut dangkal dan sebelah baratnya menurun sampai
palung Bone

2.2. Geologi Regional Sulawesi


Pulau Sulawesi mempunyai bentuk yang khas menyerupai huruf K,
mempunyai 4 lengan yaitu Lengan Utara, Lengan Timur, Lengan Tenggara, dan
Lengan Selatan. Keempat lengan ini terbentuk dari proses-proses tektonik dan ciri
geologi yang berbeda satu sama lain. Surono, dkk.,(1997) menjelaskan bahwa Lengan
Selatan dan Lengan Utara merupakan Busur Volkanik Sulawesi (Sulawesi Volcanic
Arc) yang berkaitan dengan palung subduksi/penunjaman, berumur Miosen hingga
Pliosen Awal, berupa batuan volkanik yang terdiri dari piroklastika bersusunan

7
trakhitik, andesit dan dasitis berasal dari gunung-api Kuarter (G.Lompobatang,
G.Barupu) dan Resen (G.Soputan, G.Lokon dan di Teluk Gorontalo G.Una-Una),
batuan sedimen berumur Eosen hingga Miosen Awal yang terdiri dari batupasir,
serpih dan karbonat.
Bagian Timur Sulawesi sebagian besar terdiri dari komplek batuan basa dan
ultrabasa yang mengalami deformasi yang kuat sehingga sebagian besar ditempati
oleh jalur batuan ophiolit, batuan ini menerus ke Lengan Tenggara. Di Lengan Timur
ini pula (terutama Kep. Banggai Sula) komplek batuan tersebut membentuk struktur
kelopak menindih batuan sedimen berumur Mesozoik hingga resen dan menerus ke
Lengan Tenggara termasuk daerah diantaranya. Gejala deformasi yang kuat ini
disebabkan oleh bertumbuknya kepingan kerak-benua (Kepulauan Banggai-Sula)
yang berasal dari tepi Utara Irian yang berinteraksi dengan Lempeng Pasifik yang
bergerak ke Barat. Kepingan-kepingan kerak-benua tersebut bergeser ke Barat melalui
sesar-sesar mendatar yang berarah Barat-Timur melalui jarak-jarak yang jauh.

BUSUR VOLKANIK KUARTER


MINAHASA-SANGIHE

SABUK OFIOLIT KAPUR


SULAWESI TIMUR

SABUK METAMORF FRAGMEN PALEOZOIKUM


KAPUR-PALEOGEN MIKROKONTINEN BANDA
SULAWESI TENGAH

BUSUR VOLKANIK TERSIER


SULAWESI BARAT

Gambar 2.1 Mandala Tektonik Sulawesi (Hamilton, 1979; Sukamto & Simanjuntak, 1983; Metcalfe, 1990;
Audley-Charles, 1991)

8
Sulawesi Bagian Barat
Tatanan geologi dan perkembangan tektonik dari jaman Kapur sampai Neogen
untuk wilayah Sulawesi bagian Barat, mempunyai kesamaan dengan Kalimantan
Tenggara dan Jawa-Tengah. Pada Kapur Akhir - Awal Tersier (Paleosen), Sulawesi
Selatan dan Tengah, masih merupakan bagian dari daratan Kalimantan, sebagai
bagian dari kepingan kerak-benua yang berasal dari benua raksasa Gondwana di
Selatan yang bergerak ke Utara bersama India dan Mergui, yang kemudian
bertumbukan dengan Jalur Subduksi LUH-ULO - MERATUS.
Kepingan atau bongkah kerak-benua yang juga mendasari Selat Makassar ini
kemudian diberi nama Blok KANGEAN-PATERNOSTER. Kapan berlangsungnya
proses tumbukan ini, dapat ditentukan berdasarkan terhentinya kegiatan magmatis di
sebelah Barat Pegunungan Meratus, yaitu dengan tidak dijumpainya batuan beku
intrusip yang berumur antara 50-40 MA (Eosen). Terdapatnya bongkah kerak-benua
disebelah Timur jalur subduksi Meratus ini, juga dapat dilihat dari data bor Rubah-
1 yang dibuat oleh CONOCO pada tahun 1979, yang menembus batuan dasar
berupa granit. Demikian pula bor Taka-Talu menembus batuan dasar yang ternyata
diorit.
Namun ada juga yang berpendapat bahwa Sulawesi bagian Barat dan Timur
merupakan busur kembar (volkanik dan non-volkanik) yang merupakan bagian dari
satu sistim interaksi konvergen dengan arah subduksi ke Barat. Dalam hal seperti ini,
maka Sulawesi bagian Barat merupakan busur magmatiknya seperti yang
digambarkan oleh Katili, (1984).
Mekanisma proses pemisahannya dari daratan Kalimantan, hingga kini masih
merupakan masalah yang diperdebatkan diantara para pakar tektonik. Bukti-bukti
dalam upaya untuk mengungkap masalah ini telah dikumpulkan baik melalui
penelitian geofisik di Selat Makassar sendiri (geomagnit, gaya-berat dan seismik)
maupun dari data pemboran-dalam. Pengumpulan data juga dilakukan di darat baik di
bagian Kalimantan maupun Sulawesi.

9
Gambar 2.2. Sesar-sesar memanjang dari Kalimantan menerus ke Sulawesi

Secara hipotetis terdapatnya sesar-sesar utama yang memotong Kalimantan


dan menerus ke Sulawesi, dapat dianggap sebagai salah satu unsur tektonik penting
melalui mana pemisahan itu dapat berlangsung. Dari perkembangan tektonik
regional di Asia dan Asia Tenggara, pada awal Tersier . Hamilton (1979) umpamanya,
memperkirakan bahwa paling tidak hingga Paleosen-Tengah, Sulawesi masih
merupakan bagian dari daratan Kalimantan.
Pada 50-45 MA (Eosen awal), India mulai menyentuh benua ASIA
(Tapponnier, 1986). Sebagai akibat dari tumbukan itu bagian tepi Timur benua ASIA
bergeser keluar kearah Timur dan Tenggara melalui sesar-sesar utama mendatar
yang dimulai dari daratan ASIA hingga Kalimantan. Dorongan dari ASIA ini, dapat
juga merupakan titik awal dari terjadinya proses regangan di bagian tepi Timur
Kalimantan dan sekaligus mencoba memisahkan bagian Sulawesi Barat dari
P.Kalimantan. Perioda itu mungkin dapat dianggap sebagai awal dari pembentukan
Selat Makassar.
Wilayah bagian Barat dari P.Sulawesi, secara garis besar dapat dibagi lagi
menjadi 2 (dua) bagian, bagian sebelah Utara (Sulawesi Utara) dan Selatan (Sulawesi
Barat) . Sulawesi Utara mempunyai ciri-ciri busur volkanik dengan batuan dasar
kerak-samudra, sedangkan Sulawesi Barat justru memperlihatkan kesamaan dengan
unsur-unsur kerak-benua, yang terdiri dari batuan sedimen berumur Kapur-Tersier
yang terlipat kuat dan diterubos oleh batuan beku granodiorit dan diorit. (Sukamto,
1978). Kegiatan magmatisma yang disertai vulkanisma ini dimulai pada jaman
Miosen Tengah yang menghasilkan lava basalt dan andesit kalk-alkalin maupun

10
batuan alkalin yang mengandung felspatoid. Kegiatan vulkanisma ini berlangsung
terus hingga Kuarter. Kegiatan magmatik ini dikaitkan dengan berlangsungnya proses
interaksi konvergen yang disertai dengan penyusupan lempeng (Pasifik) kearah Barat
dibawah Sulawesi Barat.
Batuan tertua yang tersingkap yang diperkirakan merupakan batuan dasar dari
Sulawesi-Barat, terdiri dari batuan metamorfis sekis biru dan hijau, batuan beku basa
dan ultrabasa yang berasosiasi dengan batugamping merah dan rijang (endapan laut
dalam), yang mengalami deformasi kuat dan membentuk komplek melange, yang
mempunyai ciri-ciri dan umur yang sama dengan yang terdapat di Luh-Ulo Jawa
Tengah.

Selat Makassar
Wilayah ini mempunyai peranan penting dalam proses pemisahan Sulawesi
Barat dari daratan Kalimantan. Pola batimetri pada kedua tepi Timur Kalimantan dan
Barat Sulawesi, secara menakjubkan memperlihatkan kesamaan bentuk apabila
keduanya didekatkan. Fenomena ini memperkuat dukungan bahwa kedua wilayah
tersebut pernah menyatu ( Gb.2.3).
Data gaya berat di Selat Makassar menunjukkan angka yang relatip tinggi
yang berarti adanya bahan kerak-samudra atau kerak-transisi. Data aeromagnetik
memperlihatkan pola-pola yang dapat ditafsirkan paling tidak adanya 4 atau 3
kelompok yang masing-masing mencerminkan jenis kerak yang mendasari Selat
Makassar (Untung, dkk.). Kelompok paling Utara, sebagai dasar daripada laut
Sulawesi, adalah kerak samudra. Kelurusan pada pola kemagnitan memeperlihatkan
suatu cekungan yang membuka (pemekaran), yang menunjam dan menyusup melalui
palung Sulawesi Utara ke Selatan kebawah Sulawesi Utara. Kelompok kedua yang
berada disebelah selatannya, dan dipisahkan dari kelompok yang berada di Selatannya
( Ke 3 ), oleh Sesar Bontang, mencerminkan endapan sedimen yang sangat tebal.
Batuan dasar yang melandasi batuan sedimen, dari sifat-sifat anomali kemagnitannya
ditafsirkan sebagai kemungkinan berasal dari unsur kerak-benua. Secara umum
kelompok kedua ini dapat ditafsirkan sebagai bagian dari Selat Makassar yang
menurun dan diisi oleh endapan yang tebal. Disis lain kelompok yang ketiga yang
berada diantara 2 sesar utama Bontang di Utara dan sesar Paternosterdi
Selatannya, terdiri dari anomali yang besar dengan gelombang yang panjang,

11
mencerminkan adanya bahan asal kerak samudra. Disamping itu pola batimetrinya
juga menunjukkan bagian yang paling dalam dari Selat Makassar.

Gambar 2.3. Pemekaran Lantai Samudera di Selat Makassar

Sulawesi Timur
Tangan Timur dan Tenggara Sulawesi ini sebagian besar terdiri dari batuan
ultrabasa yang umumnya adalah masif peridotit dengan beberapa gabro dan basalt.
Batuan ultrabasa ini bersentuhan dibeberapa lokasi dengan batuan sedimen,
mengalami deformasi kuat dan membentuk komplek melange. Di lengan Timur
batuan ultrabasanya terdiri dari harzburgit, dunit , serpentinit dan pyroxinit (Atmadja,
1974). Batuan sedimen yang menyertainya terdiri dari batugamping batyal, rijang
radilaria dan serpih berumur Kapur hingga Paleosen. Batuannya mengalami deformasi
kataklastik dan termelonitisasikan. Batuan ultrabasanya didaerah mengandung
mineral nikkel dan ditambang. Hingga kini dianggap sebagai singkapan batuan
ultrabasa dan endapan cebakan nikkel terbesar didunia.
Di lengan Timur Laut, batuan ofiolit mengalami pensesaran melalui sesar-
sesar naik yang panjang-panjang dengan pergeseran yang cukup jauh sehingga
menyerupai kelopak. Gejala deformasi ini diakibatkan oleh tibanya fragmen kerak-
benua dari bagian Utara Australia-Irian yang berinteraksi melalui sesar mendatar
(strike-slip) dengan Lempeng Pasifik yang bergerak ke Barat. Tumbukan dengan
kepingan-kepingan tersebut (Banggai-Sula) menyebabkan gejala pelenturan yang kuat

12
disertai dengan rotasi dari Sulawesi Utara sehingga pulau ini mempunyai bentuk
seperti huruf K (gambar 2.4).

Gambar 2.4 . Tektonik Sulawesi (disederhanakan dari Silver et al, 1983, Sukamto & Simandjuntak, 1983 dan
Parkinson, 1996, 1997, 1998)

2.3. Geologi Regional Daerah Penelitian


Daerah penelitian termasuk Bagian Timur Sulawesi yang sebagian besar
terdiri dari komplek batuan basa dan ultrabasa yang mengalami deformasi yang kuat
sehingga sebagian besar ditempati oleh jalur batuan ophiolit.
Menurut Rusmana, dkk.,(1993) dalam peta geologi regional lembar Lasusua-
Kendari membagi dalam empat satuan morfologi yaitu, pegunungan, perbukitan, karst
dan dataran rendah (gambar 2.5)

13
Gambar 2.5 Peta Satuan Morfologi, Lembar Kendari 1:1.000.000 ((Rusmana dkk., 1993)

Daerah penelitian termasuk ke dalam satuan perbukitan dan satuan


dataran rendah. Satuan perbukitan dicirikan memiliki ketinggian 75m sampai 750m di
atas muka laut. Umumnya tersusun atas batu gamping dan konglomerat oleh Molassa
Sulawesi. Satuan ini umumnya membentuk perbukitan bergelombang yang di
tumbuhi semak dan alang-alang. Sungai di aliran ini berpola aliran meranting.
Satuan Dataran rendah terdapat di daerah pantai dan sepanjang aliran sungai
besar dan muaranya. Memiliki ketinggian berkisar dari beberapa meter sampai 75m di
atas muka laut.

2.4. Stratigrafi Regional


Berdasarkan himpunan batuan dan pencirinya, geologi pra-tersier di Lembar
Lasusua-Kendari dapat dibedakan dalam dua Lajur Geologi; yaitu Lajur Tinondo dan
Lajur Hialu. Lajur Tinondo dicirikan oleh batuan endapan paparan benua, dan lajur
Hialu oleh endapan kerak samudra/ofiolit, (Rusmana, dkk., 1993). Secara garis besar
kedua mandala ini dibatasi oleh Sesar Lasolo (Gambar 2.6)

14
Gambar 2.6 Pembagian Lajur Geologi Lembar Kendari (Rusmana dkk., 1993)

Batuan yang terdapat di Lajur Tinondo yang merupakan batuan alas adalah
Batuan Malihan Paleozoikum (Pzm) dan diduga berumur Karbon; terdiri dari sekis
mika, sekis kuarsa, sekis klorit, sekis mika grafit, batusabak dan geneis. Pualam
Paleozoikum (Pzmm) menjemari dengan Batuan Malihan Paleozoikum terutama
terdiri dari pualam dan batugamping terdaunkan.
Pada Permo-Trias di daerah ini diduga terjadi kegiatan magma yang
menghasilkan terobosan aplit kuarsa, latit kuarsa dan andesit (Tr Ga), yang
menerobos Batuan Malihan Paleozoikum. Formasi Meluhu (Tr Jm) yang berumur
Trias Tengah sampai Jura, secara takselaras menindih Batuan malihan Paleozoikum.
Formasi ini terdiri dari batupasir kuarsa yang termalihkan lemah dan kuarsit yang
setempat bersisipan dengan serpih hitam dan batu gamping yang mengandung
Holabia sp.,dan Daonella sp., serta batusabak pada bagian bawah.
Pada Zaman yang sama terendapkan Formasi Tokala (Trjt), terdiri dari
batugamping berlapis dan serpih bersisipan batupasir. Hubungan dengan Formasi
Meluku adalah menjemari.
Pada Kala Eosen hingga Miosen Tengah (?), pada lajur ini terjadi
pengendapan Formasi Salodik (Terms); yang terdiri dari Kalkarenit dan setempat
batugamping oolit.
Batuan yang terdapat d Lajur Hialu adalah batuan ofiolit (Ku) yang terdiri dari
peridotit, harsburgit, dunit dan serpentinit. Batuan ofiolit ini tertindik takselaras (?)

15
oleh Formasi Matano (Km) yang berumur Kapur Akhir, dan terdiri dari batugamping
berlapis bersisipan rijang pada bagian bawahnya.
Batuan sedimen tipe molasa berumur Miosen Akhir-Pliosen Awal membentuk
Formasi Pandua (Tmpp), terdiri dari konglomerat aneka bahan dan batupasir
bersisipan lanau. Formasi ini menindih takselaras semua formasi yang lebih tua, baik
di Lajur Tinondo maupun di Lajur Hialu.
Pada Kala Plistosen Akhir terbentuk batugamping terumbu koral (Ql) dan
formasi Alangga(Qpa) yang terdiri dari batupasir dan konglomerat.
Batuan termuda adalah Aluvium (Qa) yang terdiri dariendapan sungai, rawa,
dan pantai.

Gambar 2.7. Stratigrafi regional daerah penelitian (Rusmana, dkk., 1993)

2.5. Struktur Geologi dan Kerangka Tektonik


Secara regional Lengan Timur Sulawesi, dimana daerah penelitian berada,
adalah daerah dengan pola tektonik kompresi berarah relatif Barat-Baratlaut Timur-
Tenggara (WNW-ESE).
Sistem kompresi utama berkaitan dengan pergerakan lempeng mikro-kontinen
Banggai-Sula ke arah barat dan bertemu dengan bagian Sulawesi. Sistem kompresi
yang menerus sejak zaman Miosen Tengah-Akhir (Rangin dkk., 1990) menjepit
lempeng samudera yang berada di antara Banggai-Sula dengan Sulawesi, melipatnya,
mematahkannya, dan mendorongnya naik (obduksi) ke atas masa batuan di sisi
timurnya. Hal inilah yang menyebabkan mengapa batuan lempeng samudera

16
(berkomposisi ofiolitik) yang umumnya berada di bagian bawah tertutupi batuan lain,
bisa tersingkap di permukaann, di hampir semua bagian lengan Timur Sulawesi.
Sistem kompresi ini memberikan pola struktur anjakan, geser, dan lipatan
yang kompleks. Secara umum sesar anjakan mempunyai arah anjakan ke timur atau
ke barat dengan pola penyebaran utara-selatan. Sesar geser baik sesar utama maupun
sesar sekunder cenderung melampar pada arah timur-barat, umumnya berupa sesar
geser mendatar.
Sistem kompresi ini, melipat-menggeser-mematahkan pula batuan-batuan
yang terbentuk lebih muda dari Miosen Tengah, bahkan sampai pada batuan berumur
Pleistosen (Simanjuntak dkk., 1977).
Sesar dan kelurusan yang dijumpai di lembar Lasusua-Kendari umumnya
berarah baratlaut-tenggara searah dengan Sesar Lasolo (Rusmana, dkk., 1993). Sesar
Lasolo berupa sesar geser jurus mengiri yang diduga masih aktif hingga sampai saat
ini; hal ini dibuktikan dengan adanya mataair panas di batugamping terumbu yang
berumur Holosen pada jalur sesar tersebut di tenggara Tinobu. Sesar Lasolo ini
diduga ada kaitannya dengan Sesar Sorong yang giat kembalinya pada kala Oligosen
( Simandjuntak, dkk., 1983). Sesar Lasolo berarah baratlaut-tenggara dan membagi
Lembar Kendari menjadi dua bagian, sebelah timurlaut sesar di sebut Lajur Hialu dan
sebelah baratdaya d sebut lajur Tinondo (Rusmana dan Sukarna, 1993). Ditafsirkan
bahwa sebelum Oligosen Lajur Hialu dan lajur Tinondo bersentuhan secara pasif,
kemudian sesar ini berkembang menjadi suatu transform fault dan menjadi sesar
lasolo sejak Oligosen, yaitu pada saan mulai giatnya kembali Sesar Sorong.
Lipatan pada batuan tersier berupa lipatan dengan kemiringan lapisan berkisar
15-30. Kekar terdapat pada semua jenis batuan umumnya terdapat pada batugamping
dan batuan beku.
Gejala pengangkatan terdapat di pantai timur dan tenggara Lembar yang
ditunjukan oleh undak-undak pantai dan sungai, dan pertumbuhan koral.
Tektonostratigrafi yang terjadi pada daerah ini adalah sebagai berikut:
Pada zaman sebelum Permo-Karbon, yaitu terbentuknya batuan sedimen dan
batugamping yang terendapkan dalam lingkungan laut neritik bagian dalam.
Pada tahap berikutnya batuan tersebut mengalami pengangkatan dan
pemalihan pada Permo-Karbon(?), menjadi batuan Malihan Mekongan dan
Pualam Paleozoikum.

17
Pada Permo-Trias batuan Granitan menerobos Batuan Malihan ini
Pada Trias Tengah-Trias Akhir Formasi Meluhu dan Tokala terendapkan
secara takselaras di atas Batuan Malihan, di lingkungan laut dangkal sampai
neritik dalam.
Pada Trias Akhir-Jura (?) pada bagian baratlaut lembar Lasusua-Kendari
batugamping Formasi Tokala terendapkan di laut dangkal. Kelompok batuan
ini yang bercirikan benua ini, dalam perkembangan selanjutnya d sebut
sebagai Lajur Tinondo.
Pada kala Eosen-Miosen Tengah (?) terbentuk pengendapan batugamping
formasi Salodik.
Di bagian lain yaitu kelompok di lingkungan laut dalam, diatas batuan ofiolit
yang diduga berumur Kapur, terendapkan tak selaras Formasi matano yang
berumur kapur Akhir. Kelompok batuan ini selanjutnya di sebut Lajur Hialu
yang sebagian besar merupakan bagian dari ofiolit Sulawesi Timur.
Sejak awal jura, anjungan Banggai-sula beserta penggalan benua lainnya di
bagian timur Indonesia memisahkan diri dari pinggiran utara benua Australia
melalui sesar transform dan kemudian bergerak ke arah barat.
Pada kala Miosen Tengah lajur Hialu terdorong oleh benua kecil Banggai-
Sula, yang bergerak ke arah barat. Akibat dorongan tersebut, menyebabkan
tersesarkannya lajur Hialu ke atas lajur Tinondo,
Pada kala Miosen Akhir sampai pliosen pengangkatan kembali berlangsung,
kemudian disusul terjadinya cekungan pada kala Pliosen dan terbentuk
Formasi Arlangga, pada lingkungan laut dangkal sampai darat.
Batuan termuda yang terbentuk di daerah ini ialah aluvium dan terumbu koral,
yang hingga kini masih terus berlangsung.

18
BAB III
GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

3.1. Morfologi Daerah Penelitian


Morfologi daerah penelitian didominasi oleh perbukitan yang memanjang
berarah utara-selatan, punggungan, gawir, serta lembah yang membentuk sungai-
sungai, dan dataran yang lebih rendah, dengan interval ketinggian 4 mdpl 550 mdpl.
Proses-proses yang terjadi meliputi proses endogen dan proses eksogen. Proses
endogen yang terjadi berkaitan dengan pembentukan struktur yang mendeformasi
lapisan-lapisan sedimen sehingga membentuk perbukitan memanjang serta mengubah
kedudukan lapisan batuan. Proses eksogen yang terjadi berkaitan dengan pengikisan
pada perbukitan, erosi dan longsoran yang bersifat intensif. Selain pengamatan
bentang alam daerah penelitian, analisis geomorfologi juga dilakukan berdasarkan
analisa peta topografi, dan analisa kelurusan bukit, pungungan, dan aliran sungai
daerah penelitian.

3.1.1. Analisa Peta Topografi


Analisa peta topografi yang dilakukan berupa penyebaran kerapatan pola
kontur dan pola-pola kelurusan. Pola kerapatan kontur pada daerah penelitian dapat
dibagi menjadi dua pola kontur yang dapat mencerminkan sifat litologi penyusunnya.
Kelompok pertama, pola kontur rapat (kemiringan lereng sekitar 70-190%) terdapat
pada bagian barat, memanjang dari utara-selatan daerah penelitian. Pola kontur ini
diinterpretasikan memiliki litologi yang relatif keras dan kompak seperti batugamping
dan batuan ofiolit. Kelompok kedua, pola kontur dengan kerapatan jarang-sedang
(kemiringan lereng sekitar 0-70%) terdapat pada bagian timur laut daerah penelitian.
Pola kontur ini diinterprtasikan memiliki litologi yang kekerasan dan kekompakannya
relatif bervariasi, seperti konglomerat, batupasir, batulempung dan aluvial. Analisis
pola kelurusan pada peta topografi dilakukan untuk memberikan gambaran awal
mengenai kondisi struktur geologi yang terdapat pada daerah penelitian. Kelurusan
yang dianalisa berupa kelurusan bukit, punggungan dan kelurusan sungai.

3.1.2. Analisa Kelurusan Bukit, Lembah, Punggungan, dan Sungai


Daerah penelitian di dominasi oleh perbukitan yang memanjang dari utara ke
selatan yang terletak pada bagian barat daerah penelitian, dan dataran yang lebih

19
rendah di mana dataran yang lebih rendah ini memiliki punggungan - punggungan
kecil.
Di lakukan analisa pola kelurusan punggungan, bukit, dan sungai. Berdasarkan
analisa kelurusan bentang alam, punggungan, lembah, bukit dan sungai (Gambar 3.1),
kemudian diolah pada diagram bunga (Gambar 3.2), didapat tiga arah kelurusan
utama yaitu :NW-SE, NE-SW, N-S

Gambar 3.1 Kelurusan bukit, lembah, sungai, punggungan

Gambar 3.2. Diagram roset kelurusan bukit, lembah, sungai, punggungan

. Untuk arah kelurusan yang berarah NE-SW dan N-S di interpretasikan


sebagai sesar di daerah penelitian, arah kelurusan yang berarah NW-SE di
interpretasikan sebagai kedudukan lapisan dari batuan.

20
3.2. Satuan Geomorfologi
Dengan mengacu pada klasifikasi Brahmantyo dan Bandono (2006), maka di
daerah penelitian dapat di bagi menjadi 4 satuan geomorfologi, yaitu:
Satuan Perbukitan Kompleks Lalemo
Satuan Perbukitan Homoklin Matano-Lalemo
Satuan Punggungan Homoklin Matano-Lalemo
Satuan dataran Pantai Teluk Tolo

3.2.1. Satuan Perbukitan Kompleks Lalemo


Satuan ini menempati sekitar 22% daerah penelitian, menempati daerah
baratlaut daerah penelitian. Dalam peta geomorfologi di tandai dengan warna merah
(lampiran D). Satuan ini dicirikan pola kontur renggang-cukup rapat dengan relief
kasar, memiliki ketinggian topografi 25-340 mdpl. Proses-proses eksogen yang terjadi
di daerah ini berupa erosi vertikal, erosi lateral, pelapukan, dan longsoran. Satuan ini
di bentuk oleh litologi berupa batuan ofiolit.

Foto 3.1. Satuan Perbukitan Kompleks Lalemo

3.2.2. Satuan Perbukitan Homoklin Matano-Lalemo


Satuan ini menempati sekitar 25 % daerah penelitian, menempati daerah barat
daerah penelitian memanjang dari utara-selatan. Dalam peta geomorfologi di tandai
dengan warna biru (lampiran D). Satuan Perbukitan ini dikontrol oleh suatu struktur

21
perlapisan dengan kemiringan berarah tenggara, yang merupakan kemiringan dari
batugamping. Satuan ini dicirikan oleh pola kontur cukup rapat-rapat dengan relief
kasar, memiliki ketinggian topografi 50-550 mdpl, dengan proses-proses eksogen
yang terjadi di daerah ini berupa erosi lateral, erosi vertikal pelapukan, pengikisan
lereng dan longsoran. Satuan ini di bentuk oleh litologi berupa batugamping.

3.2.3 Satuan Punggungan Homoklin Matano-Lalemo


Satuan ini menempati sekitar 48 % daerah penelitian, menempati daerah
timurlaut daerah penelitian. Dalam peta geomorfologi di tandai dengan warna biru
muda (lampiran D). Satuan Perbukitan ini dikontrol oleh suatu struktur perlapisan
dengan kemiringan berarah baratdaya, yang merupakan kemiringan dari konglomerat.
Satuan ini dicirikan oleh pola kontur renggang dengan relief halus, memiliki
ketinggian topografi 5-92 mdpl, dengan proses-proses eksogen yang terjadi di daerah
ini berupa erosi lateral, pelapukan, dan longsoran. Satuan ini di bentuk oleh litologi
berupa konglomerat

Foto 3.2. Satuan Perbukitan Homoklin Matano-Lalemo dan satuan Punggungan Homoklin Matano-
Lalemo

3.2.4. Satuan Dataran Pantai Teluk Tolo


Satuan ini menempati sekitar 5% daerah penelitian, menempati daerah pantai,
rawa, muara sungai. Dalam peta geomorfologi di tandai dengan warna abu-abu

22
(lampiran D). Satuan ini memiliki beberapa meter-5mdpl. Satuan ini berupa material-
material lepas dari batugamping, rijang, gabro, basalt, peridotit dengan ukuran kerikil-
bongkah.

Foto 3.3. Desa Matano yang merupakan bagian dari satuan Pantai Teluk Tolo.

3.3. Stratigrafi Daerah Penelitian


Klasifikasi penamaan satuan stratigrafi daerah penelitian menggunakan sistem
penamaan stratigrafi tidak resmi berdasarkan ciri litologi dominan yang diamati di
lapangan serta hasil analisis laboratorium, stratigrafi daerah penelitian dikelompokkan
menjadi empat (4) satuan litostratigrafi tak resmi. Urutan satuan batuan dari tua ke
muda yang tersingkap di daerah penelitian adalah sebagai berikut:
Satuan batuan peridotit,
Satuan batugamping,
Satuan konglomerat,
Satuan aluvial.
3.3.1. Satuan Batuan Peridotit

3.3.1.1. Penyebaran
Satuan ini tersingkap pada bagian baratlaut daerah penelitian. Satuan Batuan
Peridotit menempati luas sekitar 22% daerah penelitian. Pada peta geologi satuan ini
di tandai dengan warna merah (lampiran D).

23
Foto 3.4. Singkapan peridotit di salah satu sungai di daerah matano

Foto 3.5. Peridotit yang diambil dari singkapan pada aliran sungai di daerah matano

3.3.1.2. Ciri Litologi


Peridotit hitam kehijauan, fanerik, tersepentisasi mineralogi terdiri piroksen,
plagoiklas, olivin, serpentin, mineral lempung
Berdasarkan dari analisa sayatan tipis (petrografi) dengan nomor sampel Aw-
43 (lampiran A) menunjukan bahwa peridotit daerah penelitian adalah peridotit
harsburgit, dengan mineral ortopiroksen lebih dominan terhadap klinopiroksen.
Peridotit Harsburgit, holokristalin, hipidiomorfik granular, fanerik dengan mineral
yang terdiri dari piroksen, olivin, plagioklas. Mineral sekunder yang hadir adalah
serpentin, mineral opak dan oksida besi.

24
Gambar 3.3. Sayatan Tipis Peridotit hazburgit dengan tekstur fanerik yang terdiri dari mineral olivin (F5, D6)
yang telah terubah oleh serpentin, piroksen dengan jenis ortopiroksen (B2-B3, D3, D6-E6)

3.3.1.3. Umur dan Lingkungan Pengendapan


Pada satuan batuan ini tidak diketemukan yang dapat menjadi acuan
penentuan umur, sehingga penetuan umur mengacu pada peneliti terdahulu. Satuan ini
dapat disetarakan dengan Satuan batuan Ofiolit pada Peta Geologi Lembar Lasusua-
Kendari yang berumur Kapur (Rusmana, dkk, 1993), maka umur satuan ini adalah
Kapur. Lingkungan Pembentukan satuan ini adalah laut dalam ( (Rusmana, dkk,
1993)

25
3.3.2. Satuan Batugamping

3.3.2.1 Penyebaran
Satuan ini tersingkap pada bagian selatan daerah penelitian. Satuan
Batugamping ini menempati luas sekitar 28% daerah penelitian. Pada peta geologi
satuan ini di tandai dengan warna biru (lampiran D).

3.3.2.2. Ciri Litologi


Secara umum Satuan batugamping di daerah penelitian berwarna putih
kecoklatan, putih keabu-abuan, hingga abu-abu gelap, keras dan kompak, berlapis
mengandung komponen klastik dan fosil foraminifera, koral, dan alga. Satuan batuan
ini memiliki karakteristik batugamping berlapis yang mewakili batugamping klastik (
foto 3.6).
Batugamping: abu-abu, klastik, berbutir halus, sangat kompak, berlapis,
Kedudukan lapisan N 15E/30 N 30E/29 terdapat struktur berupa kekar-kekar
Berdasarkan dari analisa sayatan tipis (petrografi) dengan nomor sampel Aw-5
(lampiran A) menunjukan bahwa batugamping di daerah penelitian memiliki fasies
wackestone-packstone.

Foto 3.6. Satuan Batugamping berlapis di daerah Matano

26
Gambar 3.4 Sayatan tipis batugamping wackestone-packstone ( Aw-5)

3.3.2.3. Umur dan Lingkungan Pengendapan


Berdasarkan kandungan foraminifera besar dalam analisa mikropaleontolgi
(lampiran C) yaitu Lepidocyclina sp., Miogypsina spp, dan foraminifera plankton
yaitu Globorotalia fohsi yang ditemukan pada contoh pengambilan sampel (Aw-5),
disimpulkan bahwa satuan ini berumur Miosen Tengah.
Dicirikan oleh litologi dan kandungan fosil dapat disimpulkan bahwa
lingkungan pengendapannya berupa laut dangkal dengan pengaruh cahaya matahari
yang cukup rendah dan air yang jernih. Berdasarkan model pengendapan paparan
karbonat( Wilson, 1975 dalam Koesoemadinata, 1987), maka satuan batugamping ini
diendapkan di shelf lagoon open circulation.

27
Gambar 3.5. Standar paparan Karbonat ( Wilson, 1975 dalam Koesoemadinata, 1985)

Satuan ini dapat disebandingkan dengan Formasi Salodik pada peta Geologi
lembar Lasusua-kendari.

3.3.3. Satuan Konglomerat

3.3.3.1. Penyebaran
Satuan ini tersingkap di bagian timurlaut daerah penelitian. Menempati sekitar
45% daerah penelitian. Terdiri dari konglomerat dengan sisipan batupasir-
batulempung. Pada peta geologi satuan ini di tandai dengan warna biru (lampiran D).

3.3.3.2. Ciri Litologi


Satuan ini secara umum berwarna abu-abu kecoklatan-kehitaman, lapuk,
merupakan konglomerat dengan sisipan batupasir batulempung.
Konglomerat, polimik, masif, ukuran butir kerakal-kerikil, bentuk butiran
membulat tanggung hingga membulat, sorting buruk, kemas terbuka, kompak, butiran
terdiri dari batuan karbonatan, kalsit, peridotit, basalt,lempung merah, rijang, matriks
berupa pasir kasar, massa dasarnya tersusun oleh kepingan yang sama dengan
komponennya.

28
Foto 3.7 Singkapan konglomerat di aliran sungai pada daerah penelitian

Foto 3.8 Perbesaran singkapan konglomerat di aliran sungai pada daerah penelitian

Batupasir kasar, berwarna abu-abu kecoklatan,graded bedding, berukuran


sedang hingga kasar , menyudut tanggung hingga membulat tanggung, kemas
tertutup, terpilah sedang hingga buruk, tersusun oleh mineral mafik, feldspar, kalsit,
dan kepingan batuan , matriks berupa lempung, karbonatan, keras dan kompak.
Batulempung, berwarna abu-abu muda hingga abu-abu tua kehijauan, lunak
hingga agak keras dan getas, karbonatan, mengandung piroksen dan mineral gelap.

29
Foto 3.9 Singkapan perlapisan batupasir dengan batulempung pada aliran sungai di daerah penelitian

3.3.3.3. Umur dan Lingkungan Pengendapan


Pada satuan batuan ini tidak diketemukan yang dapat menjadi acuan
penentuan umur, sehingga penetuan umur mengacu pada peneliti terdahulu Satuan ini
dapat disetarakan dengan Satuan Pandua pada Geologi Lembar Lasusua-Kendari
yang berumur Miosen Akhir-Pliosen Awal (Rusmana, dkk, 1984), maka umur satuan
ini adalah Miosen Akhir-Pliosen Awal
Menurut Rusmana, dkk, (1984) pada Geologi Lembar Lasusua-Kendari Satuan
Pandua lingkungan pengendapannya darat hingga laut dangkal maka lingkungan
pengendapan satuan konglomerat di daerah penelitian darat-laut dangkal.

3.3.4. Satuan Aluvial

3.3.4.1. Penyebaran
Satuan ini menempati sekitar 5% dari luas area penelitian Terdiri dari endapan
rawa, pantai, dan sungai Merupakan material hasil rombakan dari ofiolit, gamping,
dan konglomerat yang berukuran kerikil-bongkah

30
Foto 3.10. Desa Matano yang merupakan bagian dari satuan Aluvial

3.3.4.2. Umur dan Lingkungan Pengendapan


Satuan aluvial berumur resen dan diendapakan pada lingkungan darat.

3.4 . Struktur Daerah Penelitian

3.4.1. Rekahan
Rekahan pada batuan umumnya merupakan respons batuan terhadap proses
penyusutan seiring pembekuan batuan. Pada batuan beku rekahan terekspresikan
dalam bentuk kekar kolom atau kekar-lembar (sheeting joints), yang pada daerah
penelitian kurang banyak teramati.

Rekahan juga dapat terbentuk dalam bentuk gash-tension fractures/joints


sebagai repons terhadap proses sesar/pergeseran atau pelipatan yang berlaku. Di
daerah penelitian, rekahan dijumpai pada peridotit dan batugamping, menunjukkan
intensifnya proses deformasi/tektonik di daerah penelitian.

31
3.4.2. Sesar

Terdapat dua buah sesar di daerah penelitaian, yaitu sesar yang berarah NE-
SW dan Sesar yang berarah N-S. Sesar-sesar pada daerah penelitian merupakan sesar
intepretasi, hal ini disebabkan tidak terekam dengan baik akibat intensitas pelapukan
yang terjadi di daerah penelitian, intepretasi ini didasarkan pada:

Distribusi/penyebaran batuan di daerah penelitian.

Ofiolit yang terbentuk di dasar samudra pada saat ini letaknya berdampingan
dengan batugamping yang terbentuk di laut dangkal. Pada saat miosen tengah,
anjungan Banggai-Sula yang bergerak kearah barat melalui sesar sorong
menumbuk (kolisi) dengan sulawesi bagian timur. Akibat tumbukan ini di
suatu tempat ofiolit naik ke permukaan dan tersingkap dan di daerah penelitian
terbentuk sesar transform (sesar yang berarah NE-SW) yang kemudian
memindahkan/menggeser ofiolit ke daerah penelitian sehingga letaknya
berdampingan dengan batugamping.

Konglomerat yang berfragmen ofiolit dan batugamping kemungkinan bukan


insitu, tetapi telah terendapkan dan terbentuk di daerah lain, kemudian
tergeserkan oleh sesar yang berarah N-S, akibat pengaruh tektonik yang
gayanya berasal dari timurlaut, hal ini diperkuat dari kedudukan konglomerat
yang berarah NW-SE

Pola kelurusan punggungan, bukit, dan sungai. Berdasarkan analisa kelurusan


bentang alam, punggungan, lembah, bukit dan sungai, kemudian diolah pada
diagram bunga (Gambar 3.8), didapat tiga arah kelurusan utama yaitu :NW-
SE, NE-SW, N-S. Untuk arah kelurusan yang berarah NE-SW dan N-S di
interpretasikan sebagai sesar di daerah penelitian.

32
Gambar 3.6. Diagram roset kelurusan bukit, lembah, sungai, punggungan

Gambar 3.7. Sesar-sesar interpretasi di daerah penelitian

33
BAB IV SEJARAH GEOLOGI

Sejarah geologi dimulai pada jaman Kapur, terbentuk satuan Peridotit (bagian
dari ofiolit sulawesi timur) di dasar samudra (diluar daerah penelitian)
Pada kala Miosen Tengah terjadi pengendapan Satuan Batugamping Formasi
Salodik.
Pada kala Miosen Tengah terjadi Kolisi (tumbukan) Banggai-Sula terhadap
Sulawesi bagian Timur, akibat tumbukan ini di suatu tempat ofiolit naik ke
permukaan (tersingkap) dan di daerah penelitian terbentuk sesar transform (sesar yang
berarah NE-SW) yang kemudian memindahkan/menggeser ofiolit ke daerah
penelitian sehingga letaknya berdampingan dengan batugamping.
Setelah itu secara tak selaras di endapkan satuan Konglomerat Formasi Pandua
pada kala Miosen Akhir Pliosen Awal yang diendapkan di lingkungan darat - laut
dangkal (diluar daerah penelitian).
Pada kala Pliosen Awal Pliosen Akhir (?) terbentuk sesar yang berarah N-S,
akibat deformasi tektonik pada kala tersebut. Sesar ini yang memindahkan/menggeser
konglomerat ke daerah penelitian
Pada saat ini (Resen) sedang berlangsung proses pelapukan, transportasi, dan
sedimentasi yang dapat membentuk Satuan Aluvial

34
BAB V
PEMBENTUKAN NIKEL LATERIT

5.1. Genesa Lateritisasi


Proses lateritisasi mineral nikel disebabkan karena adanya proses pelapukan.
Pengertian pelapukan menurut Geological Society Engineering Group Working Party
(1955) adalah proses ubahan atau rusaknya material batuan dan mineral di/dekat
permukaan bumi oleh dekomposisi kimia (chemical decomposition) dan disintegrasi
fisik (physical disintegration). Batuan dan mineral yang terubah akan menyesuaikan
diri menjadi lebih stabil dengan kondisi lingkungan barunya (Birkeland, 1974).
Proses pelapukan dapat didefinisikan sebagai proses perubahan batuan yang
terjadi akibat pengaruh langsung atmosfer dan hidrosfer (Sounders and Fookes, 1970).
Proses pelapukan menyebabkan tiga perubahan pada batuan dan mineral yaitu :
1. Hilangnya atom atau senyawa tertentu dari permukaan yang lapuk.
2. Bertambahnya atom atau senyawa khas pada permukaan yang lapuk.
3. Terurainya satu massa menjadi dua massa atau lebih, tanpa perubahan dalam
mineral atau batuan secara kimia
Pelapukan kimia merupakan proses yang mengubah secara kimia mineral-
mineral asal (origin mineral) menjadi mineral-mineral hasil ubahan (secondary
mineral), dicirikan dengan adanya perubahan warna pada batuan. Proses yang bisa
menyertai pelapukan kimia antara lain :
1. Hidrolisis yaitu reaksi yang terjadi antar mineral dengan ion air (H- dan OH-).
Proses hidrolisis menghasilkan senyawa baru dan penambahan pH. Proses ini
sangat efektif terjadi dalam pelapukan mineral silikat dan alumina silikat.
2. Oksidasi yaitu reaksi antara mineral dengan oksigen. Proses ini umum
dijumpai pada mineral yang mengandung besi dan aluminium, akan memberi
warna merah atau kuning. Oksidasi efektif terjadi pada daerah tropik dengan
intensitas hujan dan suhu yang tinggi.
3. Hidrasi yaitu penyerapan molekul air ke dalam struktur kristal suatu mineral.
Proses ini berperan dalam mempercepat dekomposisi kimia dengan cara
memperbesar struktur suatu kristal.

35
4. Pelarutan (solution) adalah reaksi yang melibatkan banyak unsur air (H2O).
Reaksi ini membentuk senyawa asam dan basa yang sangat bervariasi.
Pelarutan cenderung bertambah efektif pada daerah beriklim panas dan basah.
Pelapukan kimia merupakan proses yang mengubah struktur dalam mineral
dengan pengurangan atau penambahan unsur pada mineral tersebut, jadi batuan yang
mengalami pelapukan kimia akan mengalami perubahan komposisi mineral. Dalam
proses pelapukan, air menjadi media yang sangat penting dalam mengubah komposisi
dalam mineral. Air murni merupakan bahan yang non reaktif, tetapi kandungan
material dalam air tersebut yang menjadi bahan reaktifnya. Kandungan oksigen dalam
air akan mengoksidasi mineral atau batuan yang dilaluinya. Bila batuan yang
mengandung mineral yang kaya Fe mengalami oksidasi akan menghasilkan mineral
yang berwarna kuning sampai coklat kemerahan dengan reaksi :
4Fe + 3O2 2Fe2O3
Selain oksidasi reaksi kimia yang terjadi dalam proses pelapukan adalah
subsitusi ion. Reaksi substitusi ion magnesium (Mg) oleh nikel (Ni) pada mineral
serpentin akibat aktivitas air tanah sebagai berikut :
2Mg2 SiO4 (s) + 4H+ + O2 Mg3Si2O5 (s) + Mg2+ (ag)
Olivin Serpentin
Mg3Si2O5 (s) + 3Ni2+ (ag) Ni3Si2O5 (OH)4 (s) + 3Mg2+ (ag)
Serpentin Ni-Serpentin
Sehingga kandungan nikel laterit diperoleh dari hasil pelapukan secara
langsung dari mineral olivin atau secara tidak langsung dari pelapukan serpentin yang
menggantikan olivin pada batuan yang terserpentinisasi.
Berdasarkan cara terjadinya endapan nikel digolongkan menjadi 2 macam,
yaitu endapan bijih primer (sulfida) dan endapan sekunder bijih nikel laterit. Endapan
sekunder bijih nikel laterit tersebut terdiri dari 2 tipe, yaitu nickelferous iron laterite
dan nickelferous silicate laterite.
Didaerah tropis yang beriklim panas dan basah terbentuk tanah laterit, proses
lateritisasi terjadi akibat proses pelapukan kimia pada kondisi iklim lembab dengan
perioda waktu yang lama dimana kondisi tektoniknya stabil (Butt dan Zeeger, 1992).
Pada Gambar.. terlihat skema pembentukan laterit nikel pada batuan beku
ultrabasa (Darijanto, Totok,1986), proses ini diawali dari air hujan yang mengandung
CO2 akan meresap secara vertikal dari permukaan tanah hingga ke batas muka air

36
tanah, setelah mencapai muka air tanah atau zona saturasi pergerakan air lebih bersifat
lateral.
Ketika air meresap kebawah permukaan tanah, air tersebut akan melindi
mineral-mineral primer yang tidak stabil seperti mineral olivin. Mineral-mineral
magnesium, silikon dan nikel pada bagian atas lapukan akan terlindi hingga hampir
seluruh unsur tersebut akan hilang terlindi. Zona ini dinamakan zona pelapukan lanjut
atau limonit. Pada zona ini akan terjadi penurunan konsentrasi MgO, SiO serta
Al2O3, tetapi terjadi peningkatan konsentrasi Fe-oksida (Fe2O3) dengan kadar antara
60-80%, sehingga zona ini dicirikan oleh tanah yang berwarna merah.
Setelah air hujan tersebut sampai ke muka air tanah, maka tidak ada lagi
pergerakan air secara vertikal melain bergerak secara lateral dan didominasi oleh
transportasi larutan secara horizontal (Valeton, 1967). Akibat desintegrasi pada batuan
dasar, air tanah akan masuk kedalam rekahan-rekahan yang terbentuk dan
menyebabkan penjenuhan dalam pengayaan unsur-unsur yang larut selama pelindihan
(Friedrich, et al 1984), sehingga zona ini disebut zona pengayaan atau saprolit. Pada
zona ini terjadi pengendapan kembali unsur-unsur nikel, magnesium dan silikon pada
rekahan sebagai mineral lain seperti garnierit (nikel-silikat). Secara teori, pengayaan
nikel dalam bentuk nikel silikat dapat mencapai 46,2% berat dan nikel talk dapat
mencapai 36,4% (Satsuma, 1975).

37
Gambar 5.1. Skema Pembentukan Endapan Nikel Laterit (Totok Darijanto, 1999)

5.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Endapan Nikel


Laterit
Proses dan kondisi yang mengendalikan proses lateritisasi sangat beragam
dengan ukuran yang berbeda sehingga membentuk sifat profil yang beragam antara
satu tempat ke tempat lain, dalam komposisi kimia dan mineral, dan dalam
perkembangan relatif tiap zona profil. Faktor yang mempengaruhi efisiensi dan
tingkat pelapukan kimia yang pada akhirnya mempengaruhi pembentukan endapan
adalah:

38
5.2.1. Topografi
Geometri relief dan lereng akan mempengaruhi proses pengaliran dan sirkulasi
air serta reagen-reagen lain. Secara teoritis, relief yang baik untuk pengendapan bijih
nikel adalah punggung-punggung bukit yang landai. Pada daerah yang curam, air
hujan yang jatuh ke permukaan lebih banyak yang mengalir (run-off) dari pada yang
meresap kedalam tanah, sehingga yang terjadi adalah pelapukan yang kurang intensif.
Pada daerah ini sedikit terjadi pelapukan kimia sehingga menghasilkan endapan nikel
yang tipis. Sedangkan pada daerah yang landai, air hujan bergerak perlahan-lahan
sehingga mempunyai kesempatan untuk mengadakan penetrasi lebih dalam melalui
rekahan-rekahan atau pori-pori batuan dan mengakibatkan terjadinya pelapukan
kimiawi secara intensif. Akumulasi endapan umumnya terdapat pada daerah-daerah
yang landai sampai kemiringan sedang, hal ini menerangkan bahwa ketebalan
pelapukan mengikuti bentuk topografi.
Di daerah punggungan lapisan limonit lebih tipis daripada daerah lembah atau
cekungan hal tersebut karena pola aliran air tanah di punggungan cenderung divergen,
dibandingkan di lembah yang relatif konvergen. Pola divergen cenderung punya
kecepatan penurunan air yang lamban dibanding yang bersifat konvergen. Kecepatan
penurunan muka air berpengaruh pada intensitas arah pergerakan-lateral air tanah,
makin intensif pergerakan-lateral air tanah, proses leaching makin intensif, makin
intensif proses leaching, memungkinkan proses pembentukan limonit yang makin
tebal

Gambar 5.2. Pola air tanah terhadap morfologi (Freeze & Cherry, 1979, op cit Darijanto, 1999)

39
Gambar 5.3. Variasi ketebalan laterit pada variasi morfologi

5.2.2. Tipe Batuan Asal


Adanya batuan asal merupakan syarat utama untuk terbentuknya endapan
nikel laterit. Batuan asalnya adalah jenis batuan ultrabasa dengan kadar Ni 0,2 - 0,3
%, merupakan batuan dengan elemen Ni yang paling banyak di antara batuan lainnya,
mempunyai mineral-mineral yang paling mudah lapuk atau tidak stabil (seperti Olivin
dan Piroksen), mempunyai komponen-komponen yang mudah larut, serta akan
memberikan lingkungan pengendapan yang baik untuk nikel. Mineralogi batuan asal
akan menentukan tingkat kerapuhan batuan terhadap pelapukan dan elemen yang
tersedia untuk penyusunan ulang mineral baru.

Gambar 5.4. Tanah hasil pelapukan dari batuan asalnya

40
5.2.3. Struktur
Struktur geologi yang penting dalam pembentukan endapan laterit adalah
rekahan (joint) dan patahan (fault). Adanya rekahan dan patahan ini akan
mempermudah rembesan air ke dalam tanah dan mempercepat proses pelapukan
terhadap batuan induk. Selain itu rekahan dan patahan akan dapat pula berfungsi
sebagai tempat pengendapan larutan-larutan yang mengandung Ni yang menyerupai
vein. Seperti diketahui bahwa jenis batuan beku mempunyai porositas dan
permeabilitas yang kecil sekali sehingga penetrasi air sangat sulit, maka dengan
adanya rekahan-rekahan tersebut lebih memudahkan masuknya air dan proses
pelapukan yang terjadi akan lebih intensif.

Gambar. 5.5 Mineral garnierit yang mengisi rekahan-rekahan

5.2.4. Iklim
Iklim yang sesuai untuk pembentukan endapan laterit adalah iklim tropis dan
sub tropis, di mana curah hujan dan sinar matahari memegang peranan penting dalam
proses pelapukan dan pelarutan unsur-unsur yang terdapat pada batuan asal. Sinar
matahari yang intensif dan curah hujan yang tinggi menimbulkan perubahan besar
yang menyebabkan batuan akan terpecah-pecah, disebut pelapukan mekanis, terutama
dialami oleh batuan yang dekat permukaan bumi. Secara spesifik, curah hujan akan
mempengaruhi jumlah air yang melewati tanah, yang mempengaruhi intensitas
pelarutan dan perpindahan komponen yang dapat dilarutkan. Sebagai tambahan,
keefektifan curah hujan juga penting. Suhu tanah (suhu permukaan udara) yang lebih
tinggi menambah energi kinetik proses pelapukan (Butt and Zeegers, 1992).

41
5.2.5. Reagen-reagen Kimia dan Vegetasi
Reagen-reagen kimia adalah unsur-unsur dan senyawa-senyawa yang
membantu mempercepat proses pelapukan. Air tanah yang mengandung CO2
memegang peranan paling penting di dalam proses pelapukan secara kimia. Asam-
asam humus (asam organik) yang berasal dari pembusukan sisa-sisa tumbuhan akan
menyebabkan dekomposisi batuan, merubah pH larutan, serta membantu proses
pelarutan beberapa unsur dari batuan induk. Asam-asam humus ini erat kaitannya
dengan kondisi vegetasi daerah. Dalam hal ini, vegetasi akan mengakibatkan penetrasi
air lebih dalam dan lebih mudah dengan mengikuti jalur akar pohon-pohonan,
meningkatkan akumulasi air hujan, serta menebalkan lapisan humus. Keadaan ini
merupakan suatu petunjuk, dimana kondisi hutan yang lebat pada lingkungan yang
baik akan membentuk endapan nikel yang lebih tebal dengan kadar yang lebih tinggi.
Selain itu, vegetasi juga dapat berfungsi untuk menjaga hasil pelapukan terhadap erosi
mekanis.

Gambar 5.6 Pembentukan laterit yang di pengaruhi oleh iklim dan reagen-reagen kimia dan vegetasi

5.2.6. Waktu
Waktu merupakan faktor yang sangat penting dalam proses pelapukan,
transportasi, dan konsentrasi endapan pada suatu tempat. Untuk terbentuknya endapan
nikel laterit membutuhkan waktu yang lama, mungkin ribuan atau jutaan tahun. Bila
waktu pelapukan terlalu muda maka terbentuk endapan yang tipis. Waktu yang cukup
lama akan mengakibatkan pelapukan yang cukup intensif karena akumulasi unsur

42
nikel cukup tinggi. Banyak dari faktor di atas yang saling berhubungan dan
karakteristik profil di satu tempat dapat digambarkan sebagai efek gabungan dari
semua faktor terpisah yang terjadi melewati waktu dibandingkan oleh dominasi
sebuah faktor saja. Ketebalan profil laterit ditentukan oleh keseimbangan kadar
pelapukan kimia di dasar profil dan pemindahan fisik ujung profil karena erosi.
Tingkat pelapukan kimia bervariasi antara 10 sampai 50 meter per juta tahun,
biasanya sesuai dengan jumlah air yang melalui profil, dan 2 - 3 kali lebih cepat
dalam batuan ultrabasa daripada batuan asam (Nahon, 1986). Disamping jenis batuan
asal, intensitas pelapukan, dan struktur batuan yang sangat mempengaruhi potensi
endapan nikel lateritik, maka informasi perilaku mobilitas unsur selama pelapukan
akan sangat membantu dalam menentukan zonasi bijih di lapangan (Totok Darijanto,
1986).

43
BAB VI
NIKEL LATERIT DI DAERAH PENELITIAN

6.1. Kondisi dan Penyebaran Singkapan.


Geomorfologi daerah penelitian berupa perbukitan dan dataran. Kondisi ini
sangat berpengaruh terhadap sebaran singkapan batuan segar dan perkembangan
pembentukan lapisan-lapisan tanah. Secara umum daerah penelitian tersusun atas
morfologi perbukitan berlereng terjal di bagian baratdaya, perbukitan berlereng landai
di bagian utara ke arah timur.
Pada bagian morfologi perbukitan berlereng terjal di bagian baratdaya yang
memanjang dari selatan ke utara tidak akan memungkinkan pembentukan tanah
laterit, hal ini dikarenakan morfologi ini tersusun atas batugamping. Pada daerah
perbukitan berlereng landai di bagian utara yang terdiri dari konglomerat dan ofiolit
dengan kemiringan lereng yang relatif landai, memungkinkan untuk terbentuk tanah
dengan ketebalan yang berarti. Selanjutnya penelitian difokuskan pada daerah
morfologi perbukitan landai yang berada pada utara daerah penelitian ke arah timur.
Upaya pencarian data singkapan dilakukan dengan menyelusuri daerah yang
diperkirakan dijumpai singkapan, memanfaatkan sumur galian yang telah ada di
daerah penelitian dan membuat sumuran baru.

Foto 6.1.Sumur galian (kode Aw-35 pada peta lintasan) kedalaman sumuran berkisar dari 0-4 m

44
Foto 6.2. Penggalian sumuran baru (kode A-12 pada peta lintasan)

Gambar 6.1 Peta Sumuran pada daerah penelitian

45
6.2. Profil Umum Laterit-Nikel di Daerah Penelitian
Tujuan pengamatan singkapan adalah untuk mendapatkan gambaran
keberadaan lapisan-lapisan soil/tanah yang mempunyai kandungan unsur target
berbeda-beda, yang menunjukkan hasil pelapukan yang semakin berkurang
intensitasnya terhadap kedalaman, yaitu: tanah penutup (laterit), limonit, saprolit,
saprock dan batuan-asal.

Lapisa n Penutup (laterit)


Tanah berwarna merah-coklat, Berada pada posisi paling atas,
bia sanya banyak mengandung komponen orga nik (ru mput, akar -
akaran, dsb) Ketebalan ber varia si 0 cm-1m

Lapisa n Limonit
Tanah berwarna coklat kemerahan sampai coklat kekuningan
lunak,
memiliki Ketebalan di daerah penelitian sangat bervariasi dari
0.3cm sampai mencapai 4m dan u mu mnya belum memca pai
batas ba wa hnya(la pisan sapr olit)

Lapisa n Sa pr olit
merupakan hasil pelapukan namu n masih memperlihatkan
tek stur batuan a salnya . Warna nya coklat mu da sampai coklat
kekuningan , memiliki k etebala n 0 -0,7 m.

Batuan asa l
Batuan asal biasanya diju mpai dalam k ondisi keras dan mulai
terla pukan

Gambar.6.2 Profile umum Laterit-nikel di daerah penelitian

6.2.1. Tanah Penutup (laterit)


Berada pada posisi paling atas, biasanya banyak mengandung komponen
organik (rumput, akar-akaran, dsb), berwarna coklat merah sampai coklat tua dengan
butiran agak kasar sampai kasar, umumnya berukuran pasir dengan beberapa fragmen
lebih kasar berupa komponen/mineral yang relatif stabil terhadap pelapukan. Lapisan
ini biasanya tidak diperhitungkan dalam eksplorasi nikel laterit karena selain

46
kandungan nikelnya rendah (karena nikel cenderung berada pada butiran halus), juga
banyak komponen organik yang memerlukan kegiatan ekstra untuk memisahkannya.
Ketebalan bervariasi 0 cm-1 m, dengan kecenderungan semakin menebal pada
daerah datar/lembah.

Foto 6.3 Tanah penutup(laterit) pada daerah penelitian

6.2.2. Tanah Limonit


Berada pada lapisan di bawah tanah penutup, berwarna coklat kemerahan
sampai coklat kekuningan lunak, lengket karena banyak kandungan mineral lempung.
Berkomposisi mineral lempung dan oksida besi seperti limonit dan goetit. Variasi
kandungan oksida besi dan mineral lempung memberikan perbedaan warna yang di
lapangan dikenali sebagi Limonit Merah dan Limonit Kuning. Kandungan nikelnya
(secara teoretis) bervariasi sekitar 0,5-2,0% (Robb, 2006).

47
Ketebalannya di daerah penelitian sangat bervariasi dari 30 cm sampai
mencapai kedalaman 4 m, dan di beberapa lokasi belum mencapai batas bawahnya
(kehadiran saprolit).

Foto 6.4 Lapisan Limonit pada sumur galian di daerah penelitian.

6.2.3. Tanah Saprolit


Tanah ini merupakan hasil pelapukan namun masih memperlihatkan tekstur
batuan asalnya. Warnanya coklat muda sampai coklat kekuningan, lunak dan lengket
karena dominan mineral lempung. Lapisan ini merupakan zona pengendapan dari
pencucian kandungan unsur di bagian atasnya, yang merupakan target eksplorasi
laterit-nikel. Kandungan nikel (teoretis) bervariasi sekitar 1-5% (Robb, 2004).
Saprolit di daerah penelitian memiliki ketebalan 0-0,7 m (ada beberapa sumuran yang
belom mencapai batas saprolit).

48
Foto 6.5 Lapisan Saprolit di daerah penelitian

6.2.4. Batuan asal


Batuan asal biasanya dijumpai dalam kondisi keras, rekah-rekah mulai
terlapukkan, tetapi litologinya masih dapat diamati, yaitu peridotit dan konglomerat.
Batuan asal ini dijumpai pada aliran sungai.

Foto.6.6. Singkapan batuan asal, konglomerat Foto 6.7. Singkapan batuan asal, peridotit
(bagian timur daerah penelitian) (bagian barat daerah penelitian)

49
6.3. Analisis Kimia Laterit-Nikel
Sejumlah data, terutama dari sumur-uji, dipilih untuk dianalisis kimia dalam
kandungan Ni, NaO2, TiO2, Cr2O3, Co, MgO, P2O5, Al2O3, Fe2O3, MnO, SiO2,
CaO, K2O, dan LOI. Analisis dilakukan di PT Intertek Utama Service (Jakarta)
dengan menggunakan Fusion Analysis dengan XRF (X-ray Fluorescence). Hasil yang
diperoleh dicantumkan dalam lampiran B
Kandungan nikel cenderung meningkat dari limonit ke saprolit (ke arah lebih
dalam). Dalam pengumpulan data sumuran masih berada pada kedalaman limonit,
belum mencapai kedalaman saprolit, sehingga ada sejumlah penyebaran secara
vertikal yang belum tergambarkan yang dengan sendirinya akan memperbesar jumlah
sumberdaya pada pengumpulan data sampai kedalaman saprolit.
Berdasarkan batuan asalnya, laterit-nikel di daerah penelitian dapat terbagi
menjadi dua yaitu laterit-nikel dengan batuan asal konglomerat yang berada pada
bagian timur daerah penelitian dan laterit-nikel dengan batuan asal ofiolit (peridotit
hazburgit) yang berada pada bagian barat daerah penelitian. Kurva hubungan Nikel
dan Besi (Fe2O3) terhadap kedalaman sumuran baik pada batuan asal konglomerat
maupun batuan asal ofiolit (peridotit hazburgit) (Gambar 6.3, 6.4, 6.5 dan 6.6)
memperlihatkan pola baku yaitu Nikel semakin tinggi kandungannya ketika
mendekati batuan asal (semakin dalam), sebaliknya besi (Fe2O3) cenderung tinggi
kandungannya di dekat permukaan dan menurun dengan semakin dalamnya soil.

Gambar 6.3 Grafik perbandingan kadar Ni (%) terhadap bertambahnya kedalaman sumuran pada batuan
asal konglomerat

50
Gambar 6.4. Grafik perbandingan kadar Fe (%) terhadap bertambahnya kedalaman sumuran pada batuan
asal konglomerat

Gambar 6.5. Grafik perbandingan kadar Ni (%) terhadap bertambahnya kedalaman sumuran pada
batuan asal ofiolit (peridotit harsburgit)

51
Gambar 6.6. Grafik perbandingan kadar Fe (%) terhadap bertambahnya kedalaman sumuran pada batuan
asal ofiolit (peridotit harsburgit)

Adanya variasi dalam persentase kandungan juga dipengaruhi oleh


kedalaman/ketebalan masing-masing lapisan laterit-limonit-saprolit yang ada di setiap
lokasi. Pola berbeda ditunjukkan oleh sampel Aw-35 (batuan asalnya konglomerat)
dan pada sampel Aw-44 (batuan asalnya ofiolit) Pada Aw-35 memiliki pola yang
berbeda, hal ini kemungkinan dikarenakan frgamen konglomerat pada lokasi tersebut
lebih dominan peridotit, sehingga pelapukannya memberikan kadar nikel yang relarif
lebih tinggi dibandingkan dengan sumuran yang lainnya (dengan batuan asal
konglomerat) . Pada Aw-44 kandungan Nikel dan besi (Fe2O3) cenderung tetap tidak
mengalami perubahan, kemungkinan hal ini disebabkan pengaruh morfologi, Aw-44
berada pada morfologi yang lebih terjal kemiringan lerengnya (punggungan) sehingga
lateritisasi kurang berkembang dengan baik atau kemungkinan juga diduga adanya
longsoran soil yang menutupi seri soil yang ada/in-situ.
Limonit pada batuan asal konglomerat mengandung nikel bervariasi dari yang
terendah 0,12 % (lokasi Aw-32, kedalaman 0 - 1 m) sampai yang tertinggi 0,97
% (lokasi Aw-35, kedalaman 3-4 m), yang memberikan kandungan rata-rata
nikel di limonit sebesar 0,23 %. (dari interval kedalaman 0-4m). Sedangkan pada
batuan asal ofiolit memiliki nilai terendah 0,03 % (lokasi Aw-44, kedalaman 1-2
m) sampai yang tertinggi 2% (lokasi Aw-45, kedalaman 1-2 m), yang

52
memberikan kandungan rata-rata nikel di limonit sebesar 1% (dari interval 0-2
m)

Kandungan besi (sebagai Fe2O3) dengan batuan asal konglomerat pada limonit
bervariasi dari yang terendah 19,2 % (lokasi Aw-34, kedalaman 0-1m) sampai
yang tertinggi 37,6 % (lokasi A-12, kedalaman 1-2m) yang memberikan
kandungan besi rata-rata di limonit sebesar 29,81 % (dari interval kedalaman 0-
4m). Sedangkan pada batuan asal ofiloit memiliki nilai terendah 9,49 % (lokasi
Aw-44, kedalaman 23m) sampai tertinggi 43,5% (Lokasi Aw-45, kedalaman 0 -
0,6m) yang memberikan kandungan besi rata-rata sebesar 21,42% (dari interval
kedalaman 0 3m)

Saprolit, pada daerah penelitian, baik pada batuan asal konbglomerat maupun batuan
asal ofiolit, sumuran umunya belum mencapai batas saprolit, dan hanya sumuran
pada lokasi Aw-44 yang telah mencapai saprolit. Pada lokasi Aw-44 (kedalaman
2,3-3m) memberikan kandungan nikel sebesar 0,02 % dan kandungan besi
sebesar 9,49% .

6.4. Perhitungan Sumberdaya Laterit-Nikel


Perhitungan sumberdaya merupakan suatu tahapan untuk menampilkan model
cadangan bahan galian yang dianggap bernilai potensial serta menghitung jumlah
sumber daya tersebut berdasarkan model yang telah dibuat dengan
mempertimbangkan aspek-aspek tertentu yang berlaku.
Sumberdaya mineral dapat diartikan sebagai bagian dari endapan mineral yang
terbentuk di alam yang bernilai ekonomis dan layak dilakukan penambangan
berdasarkan pertimbangan aspek teknis penambangan, ekonomi, pengolahan,
pemasaran, perijinan, lingkungan, sosial, dan kebijakan pemerintah. Dalam penelitian
tugas akhir ini, perhitungan Sumberdaya hanya mempertimbangkan aspek teknis dan
ekonomis, dimana aspek teknis berupa dimensi unit model blok terkecil/minimum
(small mining unit) dan aspek ekonomi berupa nilai cut-off grade untuk masing-
masing horizon nikel laterit.

53
Tabel 6.1 Nilai cut-off pembagian zona nikel laterit
(Sumber : PT ANTAM Tbk, Unit Geomin, 2008)

Langkah awal dalam menentukan perhitungan sumberdaya adalah dengan


membuat atau menentukan batas perhitungan cadangan. Hal ini dapat dilakukan
dengan membuat peta kontur nikel untuk masing-masing kedalaman sumuran (gambar
6.7 dan gambar 6.8). Dari peta kontur nikel yang telah dibuat, didapatkan daerah
anomali (kandungan tertinggi nikel) yang dapat kita hitung luasnya.

Gambar 6.7. Peta Kontur Nikel dengan Kedalaman sumuran 1 dan 2 meter .

54
Gambar 6.8 Peta Kontur Nikel dengan Kedalaman sumuran 3 dan 4 meter.

Perhitungan jumlah cadangan nikel laterit pada daerah penelitian


mempertimbangkan aspek ekonomis yaitu cut off grade dan nilai density untuk
masing-masing horizon yaitu densitas limonit sebesar 1,6 ton/m dan densitas saprolit
sebesar 1,5 ton/m ( PT. Antam Tbk, unit Geomin, 2008).
Dari pertimbangan tersebut, maka perhitungan sumberdaya nikel hanya
dilakukan pada anomali dengan batuan dasar ofiolit (daerah barat penelitian).

Sumberdaya Nikel (limonit) = Luas daerah X Densitas X Tebal X Kadar nikel


= 103.362,25 m X 1,6 ton/m X 2m X 2
= 661518,4 ton

55
KESIMPULAN

1. Daerah penelitian dapat dibagi menjadi empat (4) satuan Geomorfologi, yaitu :
a. Satuan Perbukitan Kompleks Lalemo
b. Satuan Punggungan Homoklin Matano-Lalemo
c. Satuan Perbukitan Homoklin Matano
d. Satuan Dataran Pantai Teluk Tolo
2. Stratigrafi daerah penelitian dibagi menjadi empat (4) satuan tidak resmi yang
berturut-turut dari tua ke muda yaitu:
a. Satuan peridotit (Kapur),
b. Satuan batugamping(Miosen Awal-Miosen Akhir),
c. Satuan konglomerat (Miosen Akhir-Pliosen Awal), dan
d. Satuan aluvial (Resen)
3. Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian adalah rekahan dan
sesar : Sesar yang berarah NE-SW yang merupakan sesar geser mengiri (
Miosen Tengah), dan Sesar yang berarah N-S yang merupakan sesar geser
mengiri ( Pliosen?).
4. Kadar nikel sangat dipengaruhi oleh batuan asal, hasil pelapukan peridotit
menghasilkan kadar Ni yang tinggi, sedangkan pada konglomerat, kadar Ni
akan tinggi apabila memiliki komposisi fragmen peridotit yang besar
5. Pembentukan nikel laterit di daerah penelitian sangat dipengaruhi oleh
morfologi daerah penelitian. Untuk daerah morfologi landai, masih
dimungkinkan terdapat laterit nikel seperti pada sumuran Aw-45, oleh karena
itu daerah yang mirip dengan kondisi tersebut masih bisa dilakukan
penyelidikan lanjut dengan pembuatan lubang bor maupun sumur uji.
6. Sumberdaya nikel (limonit pada batuan asal peridotit) di daerah penelitian
sebesar 661518,4 ton

56
Daftar Pustaka

Blow W.H., 1969, Late Middle Eocene to Recent planktonic foraminifera


biostratigraphy. Int. Conf. Plank. Microfossil 1st,1967, Geneve, vol. 1, p. 199-
422

Brahmantyo, B. dan Bandono, (2006), Klasifikasi Bentuk Muka Bumi (Landform)


untuk Pemetaan Geomorfologi pada Skala 1:25.000 dan Aplikasinya untuk
Penataan Ruang, Jurnal Geoaplika, Vol. 1, No. 2, KK Geologhi Terapan
FIKTM ITB, Bandung, hal. 71 78.

Dariyanto, T, 1999, Pengaruh Morfologi Terhadap Pembentukan dan Penyebaran


Endapan Nikel Lateritik, Studi Kasus Endapan Nikel Laterit Gebe, Maluku.,
Prosiding Temu Profesi Tahunan VIII, Perhapi Bandung, 96-103

Hamilton, W., 1979, Tectonics Of Indonesia Region, U.S Geological Survey


Profesional Paper, 190-192

Koesoemadinata, R.P., 1985, Prinsip Prinsip Sedimentasi, Edaran Kuliah, Institut


Teknologi Bandung.

Lahar, H., 2002, Laporan Akhir Kegiatan Pengawasan, Pemantauan, dan Evaluasi
Konservasi Sumber Daya Mineral di Daerah Pomala, Kabupaten Kolaka, Tim
Pomala PKSDM

Rusmana, E., Sukarna, D., Haryanto, E., Simandjuntak, T.O., 1993, Peta Geologi
lembar Lasusua-Kendari, Sulawesi, Direktorat Geologi, Bandung

Simangunsong, H, Sihombing, S.H.J., 1995, Inventarisasi dan Evaluasi Mineral


Logam di Daerah Kabupaten Konawe dan Kabupaten Kolaka Provinsi
Sulawesi Tenggara, Pusat Sumber Daya Geologi

Sutardji. 2006. Diktat Kuliah. Geologi Indonesia. Semarang. Tidak diterbitkan.

57

Anda mungkin juga menyukai