Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang
Berdasarkan kepada sifat sifat struktur batuan sedimennya, Soejono Martodjojo

( 1957 ) membagi Jawa Barat menjadi 4 mandala sedimentasi, yaitu :


1.
Blok Jakarta Cirebon
2.
Blok Bogor
3.
Blok Pegunungan Selatan Jawa Barat
4.
Blok Banten
Sedangkan secara fisiografi Van Bemmelen ( 1949 ) memasukannya kedalam
Zona Bogor, Zona Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan. Tatanan stratigrafi, tektonik,
serta evaluasi geologi Tersier dari Blok Jakarta Cirebon, Bogor, dan Pegunungan
Selatan Jawa Barat telah diketahui, sedangkan Blok Banten belum. Hal ini disebabkan
karena sebagian besar daerahnya ditutupi oleh endapan kuarter, evolusi geologinya masih
belum jelas. Mandala Banten dipisahkan dari ketiga mandala lainnya oleh suatu ketidak
selarasan struktur berupa sesar utama. Daerah ekskursi mencakup 2 blok yang ada, yaitu
Blok Bogor dan Blok Pegunungan Selatan Jawa Barat. Kedua blok tersebut oleh
Martodjojo dimasukan sebagai satu Mandala Cekungan Bogor.

1.2.

Maksud Dan Tujuan


Kegiatan Ekskursi Geologi Regional Jawa Barat ini dilaksankan dengan
maksud untuk mengunjungi daerah daerah yang menjadi lokasi tipe Formasi Formasi
yang berada di Jawa Barat serta melakukan pengamatan pada singkapan batuan pada
daerah tersebut. Selain mengamati singkapan batuan, bentuk bentuk bentang alam yang
merupakan ciri khas Cekungan Bogor juga diamati dan dibuat sketsanya. Pengamatan
singkapan batuan dan morfologi ini memiliki tujuan agar mahasiswa dapat memahami
mengenai stratigrafi daerah jawa barat, sistem pengendapan, serta proses tektonik di
kawasan regional Jawa Barat.

1.3.

Sasaran Ekskursi

Sasaran yang diharapkan dari kegiatan Ekskursi Geologi Regional Jawa


Barat ini dari peserta adalah :
1. Mampu menafsirkan penomena geologi dari beberapa singkapan, serta hubungan
antar singkapan ataupun bentang alam yang dijumpai.
2. Mampu membuat rangkuman hasil pengamatan singkapan dari suatu tempat ke
tempat lain serta menelaah makna dari masing masing singkapan.
3. Mampu menafsirkan pola endapan dan tektonik dari seluruh daerah yang dikunjungi.
4. Mampu melakukan korelasi dan membuat rekonstruksi mandala sedimentasi
Cekunagn Bogor, dengan didasarkan kepada semua aspek geologi yang diamati di
lapangan.
5. Memiliki wawasan dan pemahaman kondisi geologi serta perkembangan tektonik
suatu kawasan dari waktu ke waktu serta memahami makna ekonomi yang
diberdayakan.

1.4.

Lokasi Ekskursi
Lokasi kegiatan Ekskursi Geologi Regional Jawa Barat tahun 2012 mencakup

wilayah mandala sdimentasi Cekungan Bogor hingga ke batuan berumur Kuarter, dengan
rute perjalanan. Bogor Gunung Walat Curug Pareang Bojong Lopang Jampang
Kulon Ciletuh Sukabumi Saguling Lembang Bogor.

CURUG
PAREANG

CIBADA
K

RAJAMANDAL
A

CILETU
H

Gambar 1. Peta Lokasi Pengamatan Ekskursi

1.5.

Waktu Pelaksanaan Kegiatan


Kegiatan Ekskursi Geologi Regional Jawa Barat dilaksanakan selama 4 hari
dimulai dari tanggal 18 21 Agusutus 2016. Adapun rincian kegiatan sebagai berikut :

Tabel 1. Tabel Pelaksanaan Kegiatan Ekskursi Geologi Regional Jawa Barat

1.6.
No
1

Tanggal
18/08/2016

19/08/2016

Tempat
Gunung Walat-Curug Pareang

Pengamatan singkapan batuan


Pengamatan Melange Ciletuh
Jembatan BayahAmpitheater,Bendungan Taman
Jaya

Kegiatan
Pengamatan singkapan batuan

20/08/2016

21/03/2013

Lembang

e
r
a
l

dan Morfologi Amplitheater


Formasi Rajamandala
Formasi Citarum
Formasi Saguling

a
t
a
n

Rajamandala - Cipanas Saguling


4

Pengamatan Sesar Lembang

dan Perlengkapan
Peralatan dan perlengkapan yang dibutuhkan pada saat pengamatan di lokasi dan
pembuatan laporan adalah sebagai berikut :
1. Buku Panduan Ekskursi Regional Jawa Barat
2. Buku catatan lapangan
3. Clip Board
4. Alat tulis lengkap
5. Loop
6. Komparator
7. Kompas geologi
8. Palu geologi
9. Kamera
10. HCl
11. Pinsil warna
12. Kertas A4
13. Laptop

1.7.

Metode Penelitian dan Sistematika Pelaporan

1.7.1. Metode Penelitian


Metode yang penelitian yang digunakan dalam Ekskursi Geologi Regional Jawa Barat
ini adalah :
1. Tahapan Pendahuluan
Pengumpulan data pustaka dari peneliti-peneliti terdahulu.
2. Tahapan Penyelidikan Lapangan
3

Pengamatan data lapangan yang meliputi observasi morfologi dan singkapan.


3.
4.
1.7.2.
1.
2.
3.

Tahap Pengolahan Data


Tahap Pembahasan dan Penyusunan Laporan
Sistematika Pelaporan
Kata Pengantar
Daftar Isi
Bab I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
1.2.
Maksud dan Tujuan
1.3.
Sasaran Ekskursi
1.4.
Lokasi Ekskursi
1.5.
Waktu Pelaksanaan Kegiatan
1.6.
Peralatan dan Perlengkapan
1.7.
Metode Penelitian dan Sistematika Pelaporan

4. Bab II. GEOLOGI REGIONAL JAWA BARAT


2.1. Fisiografi Regional Jawa Barat
5. Bab III. MANDALA SEDIMENTASI JAWA BARAT
3.1 Stratigrafi Regional
3.1.1. Blok Banten
3.1.2. Blok Bogor
3.1.3. Blok Jakarta-Cirebon (Paparan Kontinen)
6. Bab IV. STRUKTUR GEOLOGI
4. 1. Struktur Geologi Regional
7. Bab V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
8. Bab VI. KESIMPULAN

BAB II
GEOLOGI REGIONAL JAWA BARAT
Pulau Jawa terletak di bagian selatan dari Paparan Sunda dan terbentuk dari batuan
yang berasosiasi dengan suatu zona subdaksi dari lempeng yang konvergen. Pulau tersebut
terdiri dari komplek busur pluton-vulkanik, accretionary prism, zona subduksi, dan batuan
sedimen.
Pada Zaman Kapur, paparan Sunda yang merupakan bagian tenggara dari
Lempeng Eurasia mengalami konvergensi dengan Lempeng Pasifik. Kedua lempeng ini
saling bertumbukan yang mengakibatkan Lempeng Samudra menunjam di bawah
Lempeng Benua. Zona tumbukan (subduction zone) membentuk suatu sistem palung
busur yang aktif (arc trench system). Di dalam palung ini terakumulasi berbagai jenis
batuan yang terdiri atas batuan sedimen laut dalam (pelagic sediment), batuan metamorfik
(batuan ubahan), dan batuan beku berkomposisi basa hingga ultra basa (ofiolit).
Percampuran berbagai jenis batuan di dalam palung ini dikenal sebagai batuan bancuh
(batuan campur-aduk) atau batuan melange. Singkapan batuan melange dari
paleosubduksi ini dapat dilihat di Ciletuh (Sukabumi, Jawa Barat). Batuan tersebut
berumur Kapur dan merupakan salah satu batuan tertua di Jawa yang dapat diamati secara
langsung karena tersingkap di permukaan.
Endapan melange ditutupi oleh endapan laut dalam berupa endapan lereng bawah,
terdiri dari batulempung dan batupasir kuarsa dengan sisipan breksi, kaya akan fragmen

batuan metamorf, beku ultra basa yang termasuk pada Formasi Ciletuh dengan tebal kira
kira 1400m. Endapan terbawah Cekungan Bogor dimulai oleh Formasi Bayah.
Pengisian Cekungan Bogor pada waktu pengendapan Formasi Bayah dan
kemungkinan pula Formasi Batuaasih, umumnya berasal dari utara, sedangkan pada
waktu pengendapan Formasi Jampang berasal dari selatan. Pengisian selanjutnya berupa
sistem kipas laut dalam yang tumbuh maju dari selatan ke utara sejak Awal Miosen
sampai Akhir Miosen.
Secara regional daerah jawa Barat merupakan daerah yang terletak pada jalur
volkanik-magmatik yang merupakan bagian dari Busur. Busur Sunda ini membentang
dari Pulau Sumatera ke arah timur hingga Nusa Tenggara yang merupakan manifestasi
dari interaksi antara lempeng Samudera Indo-Australia dengan lempeng Eurasia.
Interaksi ini terjadi dengan Lempeng Samudera Indo-Australia bergerak ke arah utara
dan

menunjam

ke

bawah

tepian

benua

Lempeng

Eurasia.

Akibat dari interaksi lempeng-lempeng tersebut di daerah Jawa terdapat tiga pola
struktur yang dominan (Martodjojo, 2003), yaitu:
1. Pola Meratus dibagian barat terekspresikan pada sesar Cimandiri, di bagian tengah
terekspresikan dari pola penyebaran singkapan batuan pra-Tersier di daerah
Karangsambung. Sedangkan di bagian timur ditunjukkan oleh sesar pembatas
cekungan Pati, Florence timur, Central Depp. Cekungan Tuban dan juga
tercermin dari pola konfigurasi Tinggian Karimun jawa, Tinggian Bawean dan
Tinggian Masalembo.
2. Pola Sunda terbentuk 53 sampai 32 juta tahun yang lalu (Eosen Awal Oligosen
Awal).
3. Pola Jawa terbentuk sejak 32 juta tahun yang lalu, merupakan pola struktur yang
paling muda, memotong dan merubah pola orientasi Pola Struktur Meratus dan Pola
Struktur Sunda.

Gambar 2.1. Penampang Stratigrafi Terpulihkan Utara Selatan,


Jawa Barat ( Martodjojo, 1984 )

Gambar 2.2. Pola Struktur Regional Jawa Barat


2.1 Fisiografi Regional Jawa Barat
Aktifitas geologi Jawa Barat menghasilkan beberapa zona fisiografi yang satu
sama lain dapat dibedakan berdasarkan morfologi, petrologi, dan struktur geologinya. Van
Bemmelen (1949), membagi daerah Jawa Barat ke dalam 4 besar zona fisiografi, masingmasing dari utara ke selatan adalah Zona Dataran Pantai Jakarta, Zona Bogor, Zona
Bandung, dan Zona Pegunungan Selatan
Zona Dataran Pantai Jakarta menempati bagian utara Jawa membentang barattimur mulai dari Serang, Jakarta, Subang, Indramayu, hingga Cirebon. Daerah ini

bermorfologi dataran dengan batuan penyusun terdiri atas aluvium sungai/pantai dan
endapan gunungapi muda.
Zona Bogor terletak di sebelah selatan Zona Dataran Pantai Jakarta, membentang
mulai dari Tangerang, Bogor, Purwakarta, Sumedang, Majalengka, dan Kuningan. Zona
Bogor umumnya bermorfologi perbukitan yang memanjang barat-timur dengan lebar
maksimum sekitar 40 km. Batuan penyusun terdiri atas batuan sedimen Tersier dan
batuan beku baik intrusif maupun ekstrusif. Morfologi perbukitan terjal disusun oleh
batuan beku intrusif, seperti yang ditemukan di Komplek Pegunungan Sanggabuana,
Purwakarta. Van Bemmelen (1949), menamakan morfologi perbukitannya sebagai
antiklinorium kuat yang disertai oleh pensesaran.
Zona Bandung yang letaknya di bagian selatan Zona Bogor, memiliki lebar antara
20 km hingga 40 km, membentang mulai dari Pelabuhanratu, menerus ke timur melalui
Cianjur, Bandung hingga Kuningan. Sebagian besar Zona Bandung bermorfologi
perbukitan curam yang dipisahkan oleh beberapa lembah yang cukup luas. Van
Bemmelen (1949) menamakan lembah tersebut sebagai depresi di antara gunung yang
prosesnya diakibatkan oleh tektonik (intermontane depression). Batuan penyusun di
dalam zona ini terdiri atas batuan sedimen berumur Neogen yang ditindih secara tidak
selaras oleh batuan vulkanik berumur Kuarter. Akibat tektonik yang kuat, batuan tersebut
membentuk struktur lipatan besar yang disertai oleh pensesaran. Zona Bandung
merupakan puncak dari Geantiklin Jawa Barat yang kemudian runtuh setelah proses
pengangkatan berakhir (van Bemmelen, 1949).
Zona Pegunungan Selatan terletak di bagian selatan Zona Bandung. Pannekoek
(1946) menyatakan bahwa batas antara kedua zona fisiografi tersebut dapat diamati di
Lembah Cimandiri, Sukabumi. Perbukitan bergelombang di Lembah Cimandiri yang
merupakan bagian dari Zona Bandung berbatasan langsung dengan dataran tinggi
(plateau) Zona Pegunungan Selatan. Morfologi dataran tinggi atau plateau ini, oleh
Pannekoek (1946) dinamakan sebagai Plateau Jampang.

Gambar 2.3. Fisiografi Jawa Barat ( Van Bemmelen, 1994 )

BAB III
MANDALA SEDIMENTASI JAWA BARAT
3.1. Stratigrafi Regional
Berdasarkan kepada sifat-sifat struktur batuan sedimennya, menurut Martodjojo
(1984) Jawa Barat dapat dibagi menjadi 4 unit atau blok (gambar 3.1), sebagai berikut :
1. Blok Banten
2. Blok Bogor
3. Blok Jakarta Cirebon (Paparan Kontinen)

Gambar 3. Peta Mandala Sedimentasi Jawa Barat Menurut Martodjodjo (1984)

3.1.1. Blok Banten


Blok Banten selama Tersier merupakan daerah trelatif stabil tersusun oleh
endapan laut dangkal/paparan dan endapan volkanik. Berturut-turut dari tua ke muda;
Formasi Bayah, Formasi Cicarucup, formasi Cijengkol, Formasi Citarate, Formasi
Cimapag, Formasi Cisareweh, Formasi Badui dan Formasi Cimanceuri. Menempati
bagian Jawa Barat, penyebarannya di batasi oleh pantai dari sisi Timur Kepulauan Seribu
mengikuti Sesar Cidurian sampai ke Pelabuhan Ratu. merupakan endapan laut dangkal
yang berumur Miosen kemudian menjadi daratan pada Kala Pliosen.

3.1.2. Blok Bogor


Martodjojo (1984) menjadikan Blok Pegunungan Selatan dan Blok Bogor dalam
satu cekungan yakni yang disebut sebagai Cekungan Bogor atau Blok Bogor.
Batuan tertua Pegunungan Selatan adalah kelompok melange (basalt, gabro,
serpentinit, dan batuan metamorfik) berumur Kapur Akhir-Eosen. Di atas melange
diendapkan Formasi Ciletuh (endapan turbidit berumur Eosen), batupasir Formasi Bayah
(endapan delta-fluviatil berumur Oligosen Akhir), secara tidak selaras diendapkan
batugamping Formasi Rajamandala (N.5) yang bagian bawahnya hubungannya
menjemari dengan Formasi Jampang diikuti Formasi Citarum dan Formasi Saguling di
bagian Utara, secara regresif kemudian diendapkan Formasi Bojonglopang, Formasi
Nyalindung, kemudian ditutupi oleh batuan volkanik Formasi Beser dan Formasi
Benteng.
Blok Bogor dicirikan oleh endapan turbidit, terbentuk pada Miosen Awal.
Stratigrafi Tersier dapat dibedakan menjadi menjadi 3 sistem, yaitu:
1. Formasi Ciletuh berupa perselingan batulempung dan batupasir dengan sisipan breksi
berada di alas kompleks melange.

10

2. Formasi Bayah tersusun oleh oleh batupasir kuarsa, batulempung dan sisipan
batubara, merupakan endapan laut dangkal.
3. Endapan turbidit dengan material penyusun produk gunung api. Endapan ini
menunjukkan pola progradasi dan semakin muda ke arah Utara. Tersusun oleh
Formasi Citarum (N.4-N.8), Formasi Saguling (N.9-N.13), Formasi Cinambo (N.14N.15), Formasi Cantayan (N.16-N.17) dan Formasi Bantarujeg (N.18). Endapan
volkanik turbidit diendapkan pada Cekungan Bogor, sebagai back arc basin.

3.1.3. Blok Jakarta-Cirebon (Paparan Kontinen)


Mandala paparan yaitu Blok Jakarta-Cirebon yang didominasi oleh endapan
laut dangkal yang diendapkan tidak selaras diatas batuan dasar berupa sekis/gneis (213125 My) dan granit (87-53 My). Tersusun atas Formasi Jatibarang (breksi, tuf, basalt dan
andesit) berumur Eosen-Oligosen (Arpandi, 1978). Diatasnya sedimen laut dangkal yaitu
Formasi Talangakar, Formasi Baturaja, Formasi Cibulakan, Formasi Parigi, Formasi
Cisubuh/Formasi Subang dan Formasi Kaliwangu. Paparan di sepanjang Pantai Utara
Jawa Barat.
Dengan melihat ciri litologi pada daerah penelitian yaitu litologi yang diendapkan
dengan mekanisme arus gravitasi, laut dangkal, transisi dan endapan darat, maka penulis
menyatakan bahwa daerah penelitian sebagian termasuk ke dalam Zona Jakarta-Cirebon
(Paparan Kontinen).

11

BAB IV
STRUKTUR GEOLOGI

4. 1. Struktur Geologi Regional


Menurut van Bemmelen (1949), bahwa Jawa bagian Barat telah mengalami tiga
kali periode tektonik, yaitu :
1. Periode Tektonik Oligo-Miosen
Pada periode ini terjadinya pembentukan cekungan Bogor, dimana sebelumnya
terletak pada cekungan depan busur menjadi cekungan belakang busur.
2. Periode Tektonik Intra Miosen
Pada periode ini terjadi pembentukan antiklin yang terletak di sebelah Selatan Pulau
Jawa yang melahirkan gaya ke arah Utara. Gaya gaya ini membentuk lipatan
lipatan yang berarah Barat Timur dan sesar sesar mendatar dengan arah Barat
Daya Timur Laut. Periode tektonik ini diperkirakan berlangsung dari kala Miosen
hingga Pliosen.
3. Periode Tektonik Plio-Plistosen

12

Pada periode ini gaya-gayanya mengarah ke Utara dan menyebabkan terjadinya


amblasan pada Zona Bandung bagian Utara. Proses amblasan Bandung ini
mengakibatkan tekanan-tekanan kuat terhadap Zona Bogor sehingga terbentuk lipatan
dan sesar naik yang berkembang di bagian Utara Zona Bogor dan memanjang dari
Subang hingga Gunung Ceremai.
Menurut Asikin dkk, (1986) pola umum struktur Jawa Barat berdasarkan data gaya
berat Oentoeng (1975), disertai data lapangan dan data seismik dapat dibagi menjadi tiga
pola arah umum, yaitu :
1. Barat Laut Tenggara
Didapat berdasarkan data gaya berat, secara umum membatasi suatu daerah Bogor,
Bandung, Purwakarta, Sumedang, Tasikmalaya, Banjar dan menerus hingga Jawa
Tengah. Sebagian besar termasuk ke dalam zona Bogor.

2. Barat Timur
Didapat berdasarkan data lapangan, memotong sepanjang jalur pegunungan Selatan,
merupakan sesar normal, dimana bagian Utara relatif turun terhadap bagian Selatan.

Gambar 4. Pola Struktur Umum Jawa Barat (Asikin, 1986)

13

BAB V
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1.

Analisa Lintasan 1 (Gunung Walat Curug Pareang)

5.1.1

Lokasi Pengamatan 1 ( Gunung Walat )


Pengamatan di Gunung Walat dimulai dari sungai Gn. Walat. Di sungai ini

ditemukan singkapan batuan sedimen berupa batulempung dan batugamping. Dari ciri
ciri litologi batulempung tersingkap merupakan batulempung Formasi Batuasih bagian
atas yang diendapakan pada lingkungan transisi, sedangkan batugamping yang berada di
atasnya membentuk dinding air terjun merupakan gamping Rajamandala yang diendapkan
pada laut dangkal. Batas litologi antara batulempung Batuasih dan batugamping
Rajamandala merupakan batas sesar.
Di bagian atas sungai Gunung Walat tersingkap batulempung hitam sisipan
batubara. Singkapan ini termasuk dalam Formasi Bayah bagian atas. Berdasarkan ciri
cirinya yaitu banyaknya sisipan batubara menandakan bahwa Formasi Bayah diendapkan
pada lingkungan pengendapan darat.
A. Kedudukan Stratigrafi dan Struktur

14

Pada lintasa ke 1 ini formasi yang pertama diendapakan adalah Formasi Bayah
yang diendapkan pada Eosen Tengah Oligosen Awal. Secara tidak selaras diatasnya pada
Oligosen Akhir ( N2 N4 ) diendapkan Formasi Batuasih yang memiliki kedudukan
N210E/23. Di atas Formasi Batuasih secara selaras diendapkan Formasi Rajamandala
pada Miosen Awal ( N3 N5 ).
Kontak antara Formasi Batuasih dan Formasi Rajamandala merupakan kontak
sesar. Sesar ini diidentifikasi sebagai sesar Naik Batuasih dengan arah barat laut
Tenggara. Bagian selatan relatif lebih turun dibandingkan arah utara. Sesar ini juga yang
menyebabkan Formasi Bayah yang lebih tua berada pada bukit bukit Gunung Walat.
Formasi Bayah membentuk Struktur Sinklin yang sumbunya melalui puncak Gunung
Walat. Sinklin ini memiliki panjang sekitar 2
Km yang dipotong oleh sesar normal
Batuasih.

Batugampi
ng
Batulempu
ng
Gambar
5.1. Foto singkapan

batugamping dan batulempung di Gunung Walat

PROFIL LINTASAN CIBADAK


Fm. Rajamandala
S
Fm. Bayah
Fm. Rajamandala
Fm. Rajamandala
Fm. Batu Asih

Gambar 5.3.. Profil Lintasan 1 (Batuasih Cibadak )

15

Gambar 5.4. Kolom Stratigrafi Lintasan 1 (Batuasih Cibadak


5.1.2

Lokasi Pengamatan 2 ( Curug Pareang )


Pada Lokasi Curug Pareang ini ditemukan singkapan breksi Formasi Jampang

yang merupakan dinding air terjun. Breksi ini juga menenpati bukit bukit sekitar Curug
Pareang. Air terjun ini terbentuk akibat adanya sesar Cimandiri. Selain breksi ditemukan
pula singkapan batugamping. Batugamping pada daerah Curug Pareang ini terdiri dari
gamping selang seling masif dan berlapis. Hal ini merupakan ciri dari Formasi
Bojonglopang bagian bawah. Ditemukan kontak antar breksi dan gamping dengan
kedudukan N 295o E / 35o.
A. Ciri Batas Litologi
Kontak atau batas antara breksi Formasi Jampang dan batugamping Formasi
Bojonglopang terlihat jelas dan merupakan kontak ketidak selarasan
B. Kedudukan Stratigrafi
Pada daerah Curug Pareang batuan yang paling tua adalah breksi Formasi jampang
yang diendapakan pada

Miosen Awal ( N3 N7 ), secara tidak selaras diatasnya

diendapkan batugamping Formasi Bojonglopang. Ketidak selarasan ini didasari


berdasarkan gap waktu yang terjadi antara Miosen tengah ( N12 N 14) dan bukti di
lapangan berupa kedudukan yang tidak sejajar antara breksi dan batugamping. Kemiringan
batuan Formasi Jampang ke arah Barat Daya sedangkan Formasi Bojonglopang ke arah
Timur Laut.
5.1.3

Sejarah Sedimentasi Lintasan 2

16

Pengendapan pada lintasan 2 ini dimulai pada waktu yang berbeda, di daerah
Bojongjengkol pengendapan dimulai pada Miosen Awala ( N3 N7) sampai Miosen
Tengah (N14) sedangkan daerah Gunung Walat dimulai pada Eosen Tengan sampai
Miosen Awal. Pada daerah Bojongjengkol tersingkap batuan Formasi Jampang dan
Formasi Bojonglopang, sedangkan di Gunung Walat tersingkap batuan Formasi Bayah,
Batuasih, dan Rajamandala.
Di daerah Bojongjengkol pada Miosen Awal ( N3 N7) diendapkan Formasi
Jampang pada lingkungan laut dalam. Pada N8 N11 adalah rumpang waktu ( Gap waktu)
di mana daerah ini mengalami orogenesa. Setelah orogenesa pada Miosen tengah ( N12
N14 ) diendapkan Formasi Bojonglopang pada lingkungan laut dangkal.
Sedangkan di daerah Gunung Walat pada Eosen Tengah oligosen Awal ( T12
T18 ) diendapkan Formasi Bayah pada lingkungan darat. Rumpang waktu terjadi antara
T19 N2 atau Oligosen, pada rumpang waktu ini diperkirakan adanya orogenesa pada
daerah Gunung Walat. Pada Miosen Awal ( N3 ) diendapkan Formasi Batuasih di
lingkungan transisi dan Pada N4 N5 diendapkan Formasi Rajamandal di lingkungan laut
dangkal. Hal ini menunjukan bahwa pada Miosen Awal derah Gunung Walat mengalami
Transgresi dari lingkungan transisi ke laut dangkal.

Batugam
ping

Breksi
Gambar 5.6. Singkapan Curug Pareang

17

Batugam
ping

Gambar 5.7. Foto Singkapan Curug Pareang, Batugamping dengan kedudukan N 295E/35

Gambar 5.8. Penampang (Curug Pareang)


Gambar 5.9. Kolom Stratigrafi Lintasan 2 (Curug Pareang)

18

5.2Analisa Lintasan 2 (Ciletuh Bendungan Tamanjaya)


5.2.1. Lokasi Pengamatan 1 ( Pengamatan Melange, dan Fm Ciletuh bagian bawah)
Didaerah Ciletuh, endapan Melange tersingkap di tiga Lokasi, yaitu di komplek Gn.
Badak, komplek citusuk/Cibalangsa dan yang paling selatan adalah komplek
Cigembong/Citerem. Martodjojo (1978), berpendapat bahwa ada perbedaan sifaat
batuan pada ketiga singkapan tersebut di atas, yakni:

Singkapan di Gn. Badak didominasi batuan ultrabasa, ofiolit dan lava bantal

dengan fillit dan sekis.


Singkapan di komplek Citusuk/Cianggabangsa dari dominan gabro dengan

sedikit ofiolit dan lava bantal.


Singkapan di Cigembong/Citerem didominasi oleh lava bantal yang bersifat

tholeithik.
Lokasi Pengamatan 2 ( Ciletuh Desa Ciwaru)
Pada lintasan 2 yaitu daerah Ciletuh Ciemas Jampang, ditemukan singkapan
singkapan batuan dan morfologi Ampliteater. Pada lokasi pengamatan pertama yaitu
19

Teluk Ciletuh ditemukan singkapan batuan metamorf berupa filit. Dari hasil pengamatan
dan menurut buku literatur Filit ini termasuk dalam endapan melange Formasi Bancuh
yang berumur Pra-Tersier. Formasi Bancuh ini terbentuk pada zona subdaksi yang
mengakibatkan terbentuknya palung aktif di laut dalam. Di dalam palung aktif ini
terakumulasi berbagai jenis batuan yang terdiri atas batuan sedimen laut dalam (pelagic
sediment), batuan metamorfik (batuan ubahan), dan batuan beku berkomposisi basa
hingga ultra basa (ofiolit).
Dari singkapan filit ke arah utara sekitar 10 m ditemukan singkapan breksi sisipan
batupasir selang seling batulempung. Menurut hasil analisa dan literatur singkapan ini
masuk ke dalam Formasi Ciletuh bagian bawah yang bercirikan endapan turbidit, yaitu
perselingan batupasir dan batulempung. Satuan ini terdiri dari lempung.Tebal lapisan ini
sekitar 10 m. Diatasnya didapatkan lapisan breksi, terpilah sangat jelek, dengan
komponen dari ukuran pasir sampai bongkah, terdiri dari fragmen peridotit dan filit.

5.2.2. Lokasi Pengamatan 3 ( Jembatan Bayah)


Nama Bayah diberikan oleh Koolhoven (1933) terhadap batuan tertua di daerah
Banten Selatan. Batuan didaerah ini terdiri dari pasir kasar, sering konglomeratan
berselang-seling dengan lempung yang mengandung batubara. Di Jembatan Bayah kami
menemukan Batupasir selang seling Batulempung yang placer, diendapkan di Delta dan
memiliki kedudukan N105E/40.
5.2.3. Lokasi Pengamatan Amphiteatre
Pada lokasi yang berada dipinggir jalan utama menuju jampang sangat terpampang
jelas keindahan amphiteatre yang menhadap langsung ke pantai jampang. Dan kami
melakukan analisa geomorfologi dengan membuat sketsa Amphiteatre.

Platea
u

20

Gambar 5.10.. Pengamatan Morfologi Amplitheater


5.2.4. Lokasi Pengamatan (Bendungan Tamanjaya)
Pada lokasi terakhir di hari kedua pengamatan kita melakukan pengamatan di
Bendungan Tamanjaya Ciletuh. Dengan Tersingkap batuan sedimen Batupasir yang memiliki
kedudukan N270E/7.
A. Ciri Batas Litologi Lintasan 2
Formasi Ciletuh bagian bawah di daerah Ciletuh ditemukan batas sesar dengan
kompleks mlange dibawahnya. Bagian atas dari formasi ini ditandai oleh perubahan
berangsur dari batuan yang dominan lempung ke batupasir kwarsa. Sedangkan antara
Formasi Ciletuh dan Formasi Jampang tidak ditemukan batas litologi yang jelas.

B. Kedudukan Stratigrafi
Kedudukan stratigrafi pada lokasi pengamatan pertama adalah Filit yang
merupakan bagian dari satuan melange terendapkan lebih dahulu dari pada Formasi
Ciletuh. Kedudukan Formasi Ciletuh terhadap formasi di bawahnya yaitu satuan melange
merupakan kedudukan yang tidak selaras. Hal ini dilandasi oleh perbedaan umur
pengendapan, endapan melange yang kompak
sebagai

endapan

Pra-Tersier

sedangkan

Formasi Ciletuh diendapkan pada Paleosen


Eosen Awal. Pada bagian bawah Formasi
Ciletuh juga terdapat fragmen fragmen
rombakan dari endapan melange. Formasi
paling muda pada lintasan ini adalah Formasi
Jampang yang diendapkan pada Miosen Awal
( N3 N7 ), kedudukan antara Formasi Ciletuh
dan Formasi Jampang merupakan kedudukan yang tidak selaras hal ini dilandasi oleh
umur pengendapan dan kedudukan singkapan batuan di lapangan.

21

Paralel Laminasi

Reverse Graded Badding

Gambar 5.11.. Pengamatan Morfologi Amplitheater

Kuar
sa
Batuan
Batulempu
ng
Gambar 5.12. Foto Singkapan batupasir konglomeratan di bawah jembatan Ciemas

22

Penampang Lintasan Ciletuh

Gambar 5.15. Penampang ( Ciletuh)

3.2.4. Tektonik Lintasan 2 Ciletuh


Gambar 5.16. Kolom Stratigrafi Lintasan 2 ( Ciletuh)
23

Di daerah ini tersingkap batuan campur aduk (mlange) yang berumur Kapur dan
batuan sediment berumur Paleogen. Kelompok batuan Pra-Tersier merupakan satuan
batuan tertua yang tersingkap di permukaan daratan Pulau Jawa. Di Pulau Jawa sendiri ada
tiga lokasi yang memiliki singkapan batuan tertua, yaitu di daerah Ciletuh ( SukabumiJawa Barat), daerah Karangsambung (Kebumen-Jawa Tengah) dan di daerah Bayat
(Klaten, Yogyakarta).
Yang unik dari singkapan batuan Pra-Tersier di daerah Ciletuh adalah seluruh
singkapan batuannya berada di dalam suatu lembah besar menyerupai amphiteather
dengan bentuk tapal kuda yang terbuka ke arah Samudra Hindia.
Morfologi lembah Ciletuh dibatasi oleh dataran tinggi Jampang (Plateau
Jampang) dengan kemiringan lereng yang sangat terjal hingga mendekati vertikal. Di atas
dataran tinggi ini, kita dapat menikmati pemandangan lembah Ciletuh yang indah dengan
latar belakang Samudra Hindia dengan pulau-pulau kecil di sekitar pantainya.
Di dalam lembah Ciletuh, kita dapat melihat rangkaian bukit-bukit kecil dan
bukit soliter (berdiri sendiri) yang batuannya disusun oleh batuan Pra-Tersier dan sedimen
Paleogen. Beberapa morfologi bukit yang dapat dengan jelas dilihat dari daerah tinggian
ini.
Batuan Pra-Tersier disusun oleh batuan beku basa dan ultra basa, terdiri atas
gabro dan peridotit, sedangkan batuan berumur sedimen Paleogen terdiri atas batupasir
greywacke, tuf, batupasir kuarsa dan konglomerat. Kelompok batuan Pra-Tersier dan
Paleogen juga sebagai penyusun utama di Pulau Mandra, Pulau Kunti, Pulau Manuk dan
pulau-pulau kecil lainnya yang berada di sekitar pantai Ciletuh.
Secara stratigrafi batuan Pra-Tersier dan Paleogen di dalam di lembah Ciletuh
ditindih secara tidak selaras oleh Formasi Jampang yang berumur Miosen. Batuan Formasi
Jampang terdiri atas breksi vulkanik, lava dan tuf, dengan kemiringan perlapisan batuan
kurang dari 15. Selanjutnya secara regional Formasi Jampang membentuk morfologi
dataran tinggi yang luas (plateau Jampang) dan merupakan pembatas lembah Ciletuh.
Struktur sesar daerah Ciletuh juga terbentuk akibat gaya-gaya kompresional
berarah utara-selatan. Struktur sesar ini memotong batuan mulai dari umur Pra-Tersier

24

hingga Neogen. Penyebaran satuan batuan di dalam lembah Ciletuh, umumnya dikontrol
oleh struktur sesar. Dari hasil intrepretasi citra landsat dan data lapangan, diketahui bahwa
struktur sesarnya berjenis sesar naik, sesar mendatar dan sesar miring (oblique). Umumnya
sesar tersebut berarah utara-selatan, baratlaut-tenggara dan timurlaut-baratdaya

5.3Analisa Lintasan 3 ( Bendungan Saguling Cipanas )


5.3.1

Lokasi pengamatan 1 ( Saguling )


Pada lokasi pengamatan 1 yaitu sekitar pintu masuk pemandian air panas

tersingkap batuan sedimen batugamping. Batugamping yang tersingkap di daerah


inimerupakan batugamping ciri dari Formasi Rajamandala. Berumur Oligosen Akhir
sampai Miosen Awal.lingkungan pengendapannya di Laut dangkal. Martodjojo (1984)
berkesimpulan bahwa pada saat formasi rajamandala diendapkan, daerah Poros CitarateSukabumi-Rajamandala merupakan pinggir dari suatu cekungan, berbatasan dengan
daratan di Selatan Ciletuh, proto cekungan Bogor sudah mulai jelas bentuknya pada umur
Oligosen Akhir.
5.3.2

Lokasi Pengamatan 2 ( Sungai Cipanas )


Di atas Sungai Cipanas tersingkap batulempung dan batugamping, sedangkan pada

Sungai Cipanas tersingkap batupasir selang seling batulempung dan breksi.


Batulempung

yang

tersingkap

merupakan

batulempung

Formasi

Batuasih

dan

batugamping di daerah ini memiliki ciri yang sama dengan batugamping yang tersingkap
di sungai Gn. Walat yaitu batugamping Formasi Rajamandala. Pada batugamping ini
terlihat adanya bidang sesar.
Di Sungai Cipanas tersingkap batupasir selang seling lempung. Terlihat
perubahan sekuen sebanyak 3 kali, sekuen ini terdiri dari batupasir masif dan batupasir
selang seling lempung. Struktur seddimen yang dapat teramati pada lokasi ini berupa
struktur pembebanan ( load cast ) pada batulempung, struktur ini terjadi karena adanya
pembebanan pada lempung ketika batupasir tersedimentasi di atas batulempung. Selain
struktur pembenan juga terlihat struktur laminasi pada batupasir, berupa laminasi warna.
Di sungai ini pada bagian utara kedudukan lapisan tidak teratur, hal ini disebakan oleh
adanya drag fold akibat sesar. Semakin kearah selatan pada dinding air terjun tersingkap
breksi yang ciri litologinya samd dengan breksi di daerah sekitar bendungan Saguling.
A. Kedudukan Stratigrafi
25

Batuan yang paling pertama diendapkan adalah batulempung Formasi Batuasih pada
Oligosen Akhir Miosen Awal ( N3 N5 ) di lingkungan transisi, secara selaras diatasnya
diendapkan batugamping Formasi Rajamandala pada N4 N5 di lingkungan laut dangkal.
Perbedaan

lingkungan

pengendapan

antara

Formasi

Batuasih

dan

Rajmandala

menggambarkan bahwa terjadi transgresi pada Miosen Awal ( N4 ). Secara selaras di atas
Formasi Rajamandala pada Miosen Awal ( N6 N8 ) diendapkan Formasi Citarum di
lingkungan laut dalam.

Gambar 5.13. Foto singkapan batupasir


selang seling batulempung dengan load
cast di sungai Cipanas

Gambar 5.14. Foto singkapan batupasir


dengan struktur Paralel laminasi

26

Gambar 5.15. Kolom stratigrafi lintasan 3 ( Saguling Cipanas )

a. Gunung Api Kuarter dan Sesar Lembang


Pada zaman kuarter kala Plestosen, lahirlah Gunung Sunda. Gunung api ini
tingginya lebih dari 3.000 meter di atas permukaan laut (dpl.). Pada kala ini pula Gunung
Sunda meletus dahsyat hingga membentuk kawah yang sangat luas (kaldera), disusul
terjadinya patahan Lembang yang memanjang timur barat sepanjang 22 km dari kaki
Gunung Manglayang hingga sebelah barat Cisarua. Sesar Lembang yang terbentuk ini
merupakan Sesar Lembang periode pertama. Hampir seluruh tubuh Gunung Sunda ini
runtuh dan yang tersisa adalah Gunung Burangrang, Gunung Putri, dan Bukit Tunggul.
Segera setelah terjadinya patahan Lembang maka pada Kuarter Muda mulailah
terbentuk Gunung Tangkuban Parahu yang pada periode berikutnya mengalami beberapa
kali erupsi yang cukup dahsyat.

27

Gunung Tangkuban Parahu meletus sekitar 125.000 tahun yang lalu dari sisi timur
kaldera Gunung Sunda. Material letusannya sebagian mengisi patahan Lembang, dan
sebagian lagi mengalir ke arah barat daya Bandung.
Letusan dahsyat berikutnya terjadi sekitar 55.000 tahun lalu. Material letusannya
membanjir dan menutupi wilayah yang sangat luas hingga ke daerah Kopo dan
Leuwigajah di selatan. Material gunung api yang luar biasa banyaknya itu telah
membendung Citarum purba di utara Padalarang hanya dalam hitungan puluhan menit.
Maka terbentuklah Danau Bandung purba.
Akibatnya, ada bagian Citarum yang hilang karena tertimbun material letusan, dan
induk Citarum dari daerah yang terbendung ke hilir menjadi anak Sungai Citarum yang
namanya berubah menjadi Sungai Cimeta. Sungai Cimeta bertemu kembali dengan Sungai
Citarum.
Inilah salah satu penyebab kuatnya erosi hilir yang mengikis hulu sungai hingga
dapat membobol hulu sungainya di antara Puncaklarang dan Pasir Kiara, yang merupakan
dinding barat Danau Bandung purba.

Akhirnya Danau Bandung purba mendapat penglepasan di celah-celah bukit tipis


antara Puncaklarang dan Pasir Kiara dengan bobolnya Danau Bandung purba barat.
Terowongan/sungai bawah tanah (Sangiangtikoro), ternyata bukan tempat
bobolnya Danau Bandung purba. Terdapat perbedaan ketinggian antara 300-400 meter
antara Sangiangtikoro dengan Puncaklarang dan Pasir Kiara sebagai bibir Danau Bandung
purba yang mencapai ketinggian 712,5 meter dpl. (Budi Brahmantyo, 2001).
Derasnya aliran air Danau Bandung purba Barat telah mengikis ke arah hulu, dan
menggerus dan menjebol celah Danau Bandung purba Timur di Curug Jompong. Setelah
bekas danau Bandung purba menjadi kawasan basah, aliran Citarum memotong Pematang
Tengah menuju arah Barat. Maka terjadi perubahan aliran sungai, yang asalnya anak
sungai berubah menjadi induk Citarum.
28

Letusan dahsyat terakhir Gunung Tangkuban Parahu ini lah yang membentuk sesar
Lembang periode ke 2, yaitu sebelah barat. Patah sebelah barat ini memiliki gawir yang
terlalu terjal seperti patahan yang di sebelah Timur atau periode pertama.

Gambar
5.16.
Danau
Bandung purba
Gambar
5.15.
Sesar
Lembang

Gambar 5.17. Citra satelit morfologi sesar Lembang

b. Stratigrafi Gabungan Cekungan Bogor

29

Cekungan Bogor merupakan penamaan bagi suatu mandala sedimentasi yang


melampar dari utara ke selatan di daerah Jawa Barat, posisi tektonik dari Cekungan
Bogor ini sendiri dari zaman Tersier hingga Kuarter terus mengalami perubahan. Batuan
tertua pada Mandala Cekungan Bogor berumur Eosen Awal yaitu Formasi Ciletuh. Di
bawah formasi ini diendapkan kompleks Mlange Ciletuh. Formasi ini terdiri dari
lempung, pasir dengan sisipan breksi, diendapkan dalam kondisi laut dalam, berupa
endapan lereng palung bawah.
Pada Kala Oligo-Miosen diendapkan Formasi Bayah yang dicirikan dengan
lingkungan berupa sungai teranyam dan kelok lemah. Formasi ini merupakan perselingan
pasir konglomeratan dan lempung dengan sisipan batubara. Lalu di atasnya diendapkan
secara tidak selaras Formasi Batu Asih dan Formasi Rajamandala yang merupakan
endapan laut dangkal. Formasi Batuasih terdiri dari lempung laut dengan sisipan pasir
gampingan sedangkan Formasi Rajamandala merupakan endapan khas tepi selatan
Cekungan Bogor yang terdiri dari batugamping. Kedudukan Cekungan Bogor pada kala
ini tidak dapat diidentifikasikan dengan jelas. Hadirnya komponen kuarsa yang dominan
pada Formasi Bayah memberikan indikasi bahwa sumber sedimentasi pada kala tersebut
berasal dari daerah yang bersifat granitis, kemungkinan besar berasal dari Daratan Sunda
yang berada di utara.
Pada Kala Miosen Awal berlangsung aktivitas gunung api dengan batuan bersifat
basalt sampai andesit yang berasal dari selatan dan terendapkan dalam Cekungan Bogor
yang pada kala ini merupakan cekungan belakang busur. Cepatnya penyebaran dan
pengendapan rombakan deratan gunung api ini telah mematikan pertumbuhan terumbu
Formasi Rajamandala sehingga endapan volkanik yang dikenal dengan nama Formasi
Jampang dan Formasi Citarum mulai diendapkan pada lingkungan marin. Formasi
Jampang yang berciri lebih kasar daripada Formasi Citarum diendapkan di bagin dalam
dari sistem kipas laut sedangkan Formasi Citarum diendapkan di bagian luar dari sistem
kipas laut.
Pada Kala Miosen Tengah status Cekungan Bogor masih merupakan cekungan
belakang busur dengan diendapkannya Formasi Saguling pada lingkungan laut dalam
dengan mekanisme arus gravitasi. Ciri umum dari formasi ini memiliki banyak sisipan
breksi atau breksi konglomeratan. Formasi Bojonglopang diendapkan pada Miosen
Tengah. Karakteristik utama dari formasi ini adalah litologi batugampingnya.
30

Pada Kala Miosen Akhir - Pliosen, Cekungan Bogor masih merupakan cekungan
belakang busur dengan diendapkannya Formasi Bantarujeg pada lingkungan laut dalam.
Formasi ini meliki struktur khas yaitu struktur runtuhan ( slump). Litologi dalam formasi
ini adalah batupasir selnag seling batulempung, batulempung semakin kearah selatan
semakin menebal sedangkan batupasir menipis. Terdapat pula breksi.
Pada Kala Plistosen sampai Resen, geologi Pulau Jawa sama dengan sekarang.
Aktivitas gunungapi yang besar terjadi pada permulaan Plistosen yang menghasilkan
Formasi Tambakan dan Endapan Gunungapi Muda.

BAB VI
KESIMPULAN

1. Daerah Ekskursi Regional Jawa Barat ini melingkupi Blok Bogor, Blok
Pegunungan Selatan Jawa Barat, dan Gunung Api kuarter Bandung. Tiga lokasi ini
masuk kedalam mandala sedimentasi Cekungan Bogor.
2. Pada Cekungan Bogor bagian barat diendapkan Formasi dari yang paling tua yaitu
Endapan Melange, Formasi Ciletuh, Formasi Bayah, Formasi Batuasih, Formasi
Rajamandala, Formasi Jampang, dan Formasi Bojonglopang. Ada beberapa
rumpang waktu dan terjadi orogenesa.
3. Orogenesa terjadi 3 kali yaitu Orogenesa Oligo-Miosen, Intra-Miosen dan
Plioplistosen
4. Di bagian barat pengendapan dimulai sejak zaman Pra-Tersier hingga Miosen
Tengah.
5. Pada Cekungan Bogor bagian tengah diendapkan Formasi Batuasih, Formasi
Jampang, Formasi Citarum, dan Formasi Saguling. Pengendapan pada bagian
tengah selaras semua.
6. Bagian tengah pengendapan dimulai sejak Miosen Awal Miosen Tengah.
7. Proses naik dan turun pada tepi cekungan dan tengah cekungan berbeda beda.
8. Daerah yang paling tidak stabil merupakan Cekungan Bogor bagian barat ini
dilandasi oleh terjadinya beberapa rumpang waktu ( orogenesa ).
9. Struktur yang terdapat pada Cekungan Bogor adalah:
Sesar Cimandiri
Sesar naik Gunung Walat
Sinklin Walat
31

Sesar turun Batuasih


10. Sesar Lembang terjadi sebanyak 2 periode, periode pertama sebelah Timur
terbentuk karena erupsi Gunung Sunda yang meruntuhkan hampir seluh tubuh
gunung api tersebut. Periode ke dua terbentuk akibat erupsi besar ke 3 gunung
Tangkuban Parahu.

DAFTAR PUSTAKA

Noor, Djauhari dkk. 2012. Panduan Ekskursi Regional Jawa Barat 2012, Universitas Pakuan.
Luthfi, Mustafa. 2010, Prinsip Prinsip Sedimentologi, Universitas Pakuan.
Iin Indriawan. 2012. Danau Bandung Purba.Blogspot. WWW Google ( terhubung berkala )
http://era90.blogspot.com/2010/03/sejarah-bandung-purba-dan-danau-bandung.html ( 10
Maret 2012 ).
Maisi. 2007. Formasi Ciletuh. Wordpress. WWW Google ( terhubung berkala )
bughibughi.wordpress.com/2007/06/28/1- formasi-ciletuh/ ( 12 Maret 2012 )

Weiminhan. 2010. Fisiografi Jawa Barat ( Tulisan Sederhana Saya ). Wordpress. WWW
Google ( terhubung berkala ) http://weiminhan.wordpress.com/tag/fisiografi-jawa-barat/ ( 12
Maret 2012 ).

Arie. 2009. Dunia Penelitian Geologi. Wordpress. WWW Google ( terhubung berkala )
http://earthfactory.wordpress.com/2009/06/18/fisiografi-regional-jawa-bagian-barat-van-bemmelen/ (
12 Maret 2012 )

32

33

Anda mungkin juga menyukai