Anda di halaman 1dari 73

ISSN 1829-5819

urnal
J ournal
Sumber Daya Geologi
of Geological Resources

Jurnal Sumber Daya Geologi / Journal of Geological Resources


Volume 19 / Nomor 3 / Juni 2009
5 81 9 1 9
1829-5819

Jurnal Terakreditasi sebagai Majalah Ilmiah


Hlm. Bandung
Sumber Daya Geologi berdasarkan Keputusan Kepala LIPI
Vol. 19 No. 3 Juni
Journal 153 - 221 No.29/AKRED-LIPI/P2MBI/9/2006
2009
of Geological Resources
7 7 1 8 2 9
ISSN

PUSAT SURVEI GEOLOGI


9
Diterbitkan berkala enam kali setahun oleh/Published periodically six times annually by:
Pusat Survei Geologi/Geological Survey Institutes

Gambar Sampul:
Lapisan batupasir gampingan mengandung fosil Retroceramus subhaasti di
dalam Formasi Lelinta
(Foto: F. Hasiuan)
Vol. 19, No. 3, Juni 2009 ISSN 1829-5819

urnal
J
Sumber Daya Geologi
ournal of Geological Resources

KATA PENGANTAR Penasihat


Kepala Badan Geologi
Pembaca yang budiman
Penanggung Jawab
Terbitan JSDG Juni 2009 terdiri dari lima makalah Geo-Sciences yang Kepala Pusat Survei Geologi
berbeda subyek.
Dewan Redaksi
Makalah pertama berjudul Pengaruh Tektonik pada Runtunan Ketua
Prof. (Ris.) Dr. Ir. Udi Hartono
Endapan Aluvial Depresi Padangsidempuan, Sumatera Utara yang membahas (Geologi Ekonomi-Petrologi Batuan Beku)
proses dan runtunan endapan pengisi depresi Padangsidempuan berkaitan
Anggota
dengan pengaruh kegiatan tektonik. Makalah kedua membahas dua tipe jalur
Dr. Hermes Panggabean, M.Sc. (Energi Fosil Konvensional)
Granit Orogen Kapur di Kalimantan yang bercirikan tipe Granit Kordilera dan tipe Dr. Ir. Rachmat Heryanto, M.Sc. (Sedimentologi-Stratigrafi)
Granit Kalidonia yang terjadi pada kurun waktu berbeda. Makalah ketiga Ir. Asdani Soehaimi, Dipl.Seis. (Seismotektonik)
Rimbaman, M.Sc. (Geologi Kuarter)
menyangkut analisis Gaya Berat di Daerah Beoga, Puncak Jaya, Papua Ir. Sidarto, M.Si. (Struktur Geologi)
kaitannya dengan batuan ofiolit yang telah mengalami fragmentasi oleh proses Ir. Subagio, M.Si. (Geofisika Terapan)
obduksi akibat tumbukan dua lempeng besar Granitik Australia dan Lempeng
Samudra Pasifik. Makalah keempat membahas Biostratigrafi dan Biota Jura di Penyunting Ilmiah Edisi Ini
Kepulauan Misool, Sula dan Papua serta korelasinya dengan interregional dan Prof. (Ris.) Dr. Ir. Udi Hartono
global berdasarkan kumpulan fosil fauna Amonit Fontannesia Killiani. Sedangkan (Geologi Ekonomi-Petrologi Batuan Beku)
Dr. Hermes Panggabean, M.Sc. (Energi Fosil Konvensional)
makalah ke lima membahas mengenai Litostratigrafi Pegunungan Selatan di Dr. Ir. Rachmat Heryanto, M.Sc. (Sedimentologi-Stratigrafi)
bagian timur, Daerah Istimewa Yogyakarta berdasarkan periode aktivitas gunung Ir. Subagio, M.Si. (Geofisika Terapan)
Mesker HJ Dirk (Petrologi)
api yang dikenal sebagai periode Pravulkanisme, periode Vulkanisme, dan
periode Pascavulkanisme. Mitra Bestari Edisi ini
Prof. (Ris.) Mimin Karmini (Paleontologi)
Sebagai penutup kata pengantar ini, kami dewan redaksi JSDG Dr. TO. Simandjuntak, M.Sc. (Geodinamika)
Dr. Hendra Grandis (Geofisika)
mengucapkan selamat membaca dan memaknai makalah-makalah tersebut. Dr. Ir. Edi Sunardi (Sedimentologi)

Penyunting Bahasa

Dewan Redaksi Dra. Nenen Adriyani, M.A.

Dewan Penerbit
Ketua
Ir. Ipranta, M.Sc.
Anggota
Ir. Kusdji Darwin Kusumah
Dra. Nenen Adriyani, M.A.
Drs. Donny Hermana
Isnu Hajar S., ST
Cipto Handoko
Hari Daya Satya, A.Md.

Alamat Redaksi
Pusat Survei Geologi
Jl. Diponegoro 57,
Bandung, 40122
Telp. (022) 7203205
Fax. (022) 7202669
E-mail : publication@grdc.esdm.go.id
redaksi@grdc.esdm.go.id
http://www.grdc.esdm.go.id
Vol. 19, No. 3, Juni 2009 ISSN 1829-5819

urnal
J ournal
Sumber Daya Geologi
of Geological Resources
Daftar isi / Contents

Geo-Sciences
153 - 165 Pengaruh Tektonik Pada Runtunan Endapan Aluvial Depresi Padangsidempuan, Sumatera Utara
U.M. Lumbanbatu, C. Basri dan D.A. Siregar

167 - 176 Cretaceous Orogenic Granite Belts, Kalimantan, Indonesia


Amiruddin

177 - 189 Medan Gaya Berat Pada Batuan Ofiolit (Ultramafik) di Beoga, Papua dan Implikasi Terhadap Genesa
Alih Tempatnya
B. Setyanta dan B.S. Widijono

191 - 207 Biostratigrafi dan Biota Jura Kepulauan Misool, Indonesia dan Korelasi Interregional dan Globalnya
Fauzie Hasibuan

209 - 221 Litostratigrafi Pegunungan Selatan Bagian Timur Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah
Surono
Geo-Sciences
PENGARUH TEKTONIK PADA RUNTUNAN ENDAPAN ALUVIAL DEPRESI
PADANGSIDEMPUAN, SUMATERA UTARA

U. M.Lumbanbatu, C. Basri, S. Hidayat dan D.A. Siregar


Pusat Survei Geologi,
Jl. Diponegoro No. 57 Bandung 40122

SARI

Daerah penelitian Depresi Padangsidempuan diisi oleh endapan Aluvial yang bersifat urai. Sedimen tersebut dapat
dipisahkan ke dalam lima lingkungan pengendapan seperti cekungan banjir, limpah banjir, endapan alur sungai purba,
endapan rawa dan endapan rombakan.
Upaya memahami pengaruh kegiatan tektonik terhadap runtunan endapan, beberapa penampang dibuat. Dari
penampang tersebut terlihat bahwa runtunan pengendapan telah mengalami gangguan oleh aktivitas tektonik seperti
penurunan dan pengangkatan. Indikasi penurunan di daerah ini diperlihatkan oleh perulangan fasies endapan rawa pada
posisi stratigrafi yang berbeda, serta oleh posisi Sungai Batang Toru yang berimpit dengan endapan alur sungai purba
tiga (Ch-3). Selanjutnya pengaruh pengangkatan menyebabkan terjadinya pergeseran endapan alur sungai purba secara
mendatar. Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa intensitas tektonik di daerah penelitian tidaklah terlalu
kuat.
Kata kunci: tektonik kuarter, alur sungai purba, cekungan regangan, runtunan sedimen

ABSTRACT

The investigated area, that is so called Padangsidempuan depression has been filled up by unconsolidated fluvial
sediments. The sediments can be distinguished into five different environments, these are flood basin deposit, flood
plain deposit, palaeo channel deposit, swamp deposit and colluvium deposit.
To understand the influence of tectonic activities on lithological succession of the studied area several profiles were
made. It reveals, that lithological successions have been disturbed by tectonic activities such as subsidence and
uplifted. Subsidence can be identified by alternating of swamp facies deposit within different stratigraphic position and
superimposed of the Batang Toru river on the palaeo channel deposit three (Ch-3). Further more the effect of uplifting
caused palaeo channel deposit shifting horizontally. The data show that the tectonic activities in the studied area are
not so very intensive.
Keywords: quarternary tectonics, palaeo channels, pull-apart basin, sedimentary sequences

PENDAHULUAN tersebut, daerah ini menjadi menarik untuk dikaji


karena intensitas tektoniknya sangat kuat.
Latarbelakang
Depresi Padangsidempuan terletak pada
Ciri geologi daerah telitian adalah tersingkapnya
punggungan perbukitan yang diapit oleh sesar
batuan tua (pra-Tersier), terbentuk lajur gunung api
mendatar dan diisi oleh sedimen bersifat urai dan
aktif seperti Gunung Merapi, Gunung Sibualbuali,
lunak (unconsolidated). Depresi ini dibatasi oleh
serta terbentuknya depresi Kuarter dan sesar aktif sesar geser di sisi timur dan sisi baratnya.
segmen Batang Toru, Ulu Aer, dan segmen Batang Diharapkan aktivitas tektonik yang terjadi selama
Angkola dari Sesar Sumatera. Secara keseluruhan ini proses pengendapan sedimen lunak tersebut (syn-
diyakini sebagai indikasi adanya pengaruh aktivitas sedimentar y tectonics) dapat dijelaskan
tektonik regional. Berdasarkan fenomena geologi berdasarkan susunan atau rangkaian stratigrafi
Kuarter daerah tersebut.
Naskah diterima : 9 April 2008 Secara geografis daerah tersebut diatas terletak pada
Revisi terakhir : 8 April 2009 jalur lintas Sumatera yang menghubungkan Bukit

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 153


Geo-Sciences
9915 BT 9930 BT
Tinggi (Sumatera Barat) dan Medan (Sumatera PADANGS IDEMPUAN

Utara). Letaknya yang sangat strategis dapat


mempengaruhi pertumbuhan perekonomian Padang Matinggi

masyarakat dan pengembangan wilayah.


Padang Balangka

Sihitang

Sebagai konsekuensi pertumbuhan perekonomian


yang baik maka biasanya diikuti oleh perkembangan
(pertumbuhan) penduduk, wilayah pemukiman,
industri dan perluasan perkotaan. Perluasan wilayah B17 B

ini perlu diantisipasi arah perkembangannya


Tarutungbaru

sehingga tidak menimbulkan dampak negatif


B18 B9
B19

G H
Muarasiagian

dikemudian hari. Beberapa kendala yang perlu


U S14
dipertimbangkan diantaranya adalah faktor
B5
B26
F
B14
kegempaan. B T
E
Pargumbangan
B15

B24
S
Sesar Segmen Batang Toru, Segmen Ulu Aer dan B10
B11
Sijungkit Jolok
D
Segmen Batang Angkola dapat berfungsi sebagai Labu Huta Tonga
B25

B13 B12

pemicu gempa di wilayah ini. Selain kejadian gempa 500 C B4 A


9930 BT
oleh aktivitas sesar aktif tersebut, wilayah ini juga 9915 BT
0 1 2 Km

Keerangan
berpotensi diguncang gempa yang terjadi oleh Sungai Kontur ketinggian C D Penampang pemboran Jalan Titik pemboran

aktivitas subduksi di perairan barat Sumatera.


Lumbanbatu drr., (2002) menyebutkan bahwa Gambar 1. Peta Lokasi penelitian dan arah penampang daerah
Padangsidempuan, Sumatera Utara.
kejadian gempa yang bersumber dari kegiatan
subduksi ditandai oleh kedalaman gempa menengah
- dalam, sedangkan kejadian gempa yang dipicu oleh lempung, kandungan mineral, besar butir, bentuk
sesar aktif segmen Sesar Sumatera dicirikan oleh butir, struktur, kekompakan dan sifat fisik lainnya).
gempa-gempa dangkal. Seyogyanyalah, pengaruh Berdasarkan hasil pemerian tersebut kemudian
kegiatan tektonik di wilayah tersebut perlu dipahami. dilakukan pengelompokan litologi sesuai dengan
lingkungan pengendapannya.
Lokasi telitian termasuk ke dalam wilayah
Kabupaten Tingkat II Tapanuli Selatan, Provinsi Sebanyak 5 (lima) perconto diambil untuk keperluan
Sumatera Utara, ibu kotanya terletak di pengukuran umur mutlak dengan menggunakan
Padangsidempuan. Secara geografis daerah telitian metode C14. Penarikhan radiokarbon dilakukan di
dibatasi oleh koordinat 9915' - 9930' BT dan 100' Laboratorium Pusat Survei Geologi Bandung. Contoh
LU -125' LU. (Gambar1). yang digunakan untuk penarikhan radiokarbon terdiri
Dilatarbelakangi permasalahan tersebut di atas atas kayu, gambut, dan lumpur organik. Pada
maka maksud penelitian ini adalah untuk prinsipnya metode C14 ini mengubah senyawa
mengetahui sejauh mana pengaruh aktifitas tektonik organik dan bukan organik melalui proses kimia dan
Kuarter terhadap proses pengendapan selama kurun fisika menjadi fase gas. Kemudian dengan
waktu Kurter - Holosen di daerah penelitian. Hal ini menggunakan masa paruh radiokarbon dan rumus
dapat diketahui dari fenomena geologi yang terekam peluruhan maka dapat dihitung umur batuannya
di dalam endapan maupun dari aspek tataan dengan membandingkan derajat keradioaktifan
stratigrafi Kuarternya. unsur karbon dalam organisme mati dengan yang
terdapat dalam organisme hidup (Libby, 1951).
Metode Penelitian
Selain itu, dilakukan telaahan geologi permukaan
Data geologi bawah permukaan (sub-surface (surface geology) dengan melakukan penelitian
geology) diperoleh dengan melakukan pemboran lapangan yang difokuskan terhadap gejala gejala
dangkal (hand auger) pada endapan Aluvial. Hasil geologi yang mencerminkan kegiatan tektonik seperti
dari pemboran tersebut, selanjutnya dianalisis jenis sesar aktif (garis sesar), morfotektonik (undak,
atau tipe endapan yang berhubungan dengan segitiga facet, kipas aluvium). Data-data yang
lingkungan pengendapan, yaitu dengan mendiskripsi terkumpul, kemudian dianalisis untuk mengetahui
litologi menyangkut sifat fisik (warna, kandungan faktor pengendali dinamika geologi selama
fosil, kandungan material organik, kandungan berlangsungnya proses pengendapan.

154 JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009


Geo-Sciences
GEOLOGI UMUM Kelompok Granit Sibolga (Mpisl) maupun Formasi
Kluet (Puku) tersebar di sebelah utara dan selatan
Secara fisiografi daerah telitian termasuk ke dalam
daerah penelitian.
Lajur Sumbu Bukit Barisan (Aspden drr., 1982).
Lajur ini di sebelah barat berbatasan dengan Lajur Sebaliknya di bagian selatan daerah telitian
Timur Barisan sedangkan di sebelah timur didominasi oleh sedimen klastik berbutir halus yang
berbatasan dengan Lajur Barat Barisan, dan di diwakili oleh Formasi Kuantan dan batuan
sebelah utara berbatasan dengan Plateu Toba Paleozoikum dan / atau Mesozoikum tak terbedakan
(Dataran Tinggi Toba). (Mpu). Formasi Kuantan umumnya terdiri atas
batusabak, meta arenit kuarsa, kuarsit, dan wake.
Penyebaran masing masing lajur tersebut
memperlihatkan pola yang berarah baratlaut -
tenggara searah dengan Lajur Sistem Sesar Tersier
Sumatera. Lajur Sumbu Barisan merupakan lajur Kelompok batuan Tersier diwakili oleh Formasi Barus
sempit yang memanjang dari utara ke selatan. Selain (Tmba) dan Formasi Gunung Api Angkola (Tmvak),
itu, di sebelah utara Padangsidempuan terdapat Formasi Sihapas (Tms), dan Anggota Kanan serta
Gunung Api Sibualbuali dan Gunung Lubuk Raya. Formasi Telisa. Formasi Barus umumnya terdiri atas
Ditinjau dari topografinya bentuk Gunung Lubuk batu pasir halus-kasar setempat arkosa dan / atau
Raya dapat dikenali dengan mudah dan jelas karena, mikaan serpih berkarbon dan batubara, sedangkan
bentuknya masih mensisakan jejak bentuk kerucut Formasi Gunung Api Angkola tersusun oleh andesit,
yang sangat ideal dengan dinding kawahnya. aglomerat, dan breksi. Formasi Sihapas terdiri
Sedangkan Gunung Api Sibualbuali tidak dapat lagi terutama atas batupasir kuarsa, serpih berkarbon,
dikenali karena bentuknya sudah mengalami batulanau, dan konglomerat, sedangkan Anggota
perubahan. Kondisi yang demikian ini barang kali Kanan umumnya terdiri atas batupasir kuarsa
diakibatkan oleh pengaruh aktifitas Sistem sesar sebagian glaukonitan.
Sumatera yang menghasilkan bentuk dome yang
lonjong sejajar dengan Lajur Sistim Sesar Sumatera Sebelah barat daerah penelitian mulai dari arah
tersebut. Kedua gunung api tersebut, terletak pada tenggara ke arah barat laut didominasi oleh Formasi
ketinggian lebih dari 1800 m di atas muka laut Barus (Tmba) dan Formasi Gunung Api Angkola
dengan pola aliran yang berbentuk radial. (Tmvak). Formasi Telisa yang menempati bagian
paling timur terdiri atas batulanau berkarbon dan
gampingan, batu pasir lanauan dan serpih sedikit
Stratigrafi
batu gamping. Di sebelah timur daerah penelitian
Daerah telitian ini telah dipetakan oleh Aspden drr., batuannya disusun oleh Formasi Sihapas (Tms) dan
1982 (Gambar 2). Untuk keperluan pembahasan Anggota Kanan serta Formasi Telisa. Sebaran batuan
geologinya kemudian peta tersebut disederhanakan Tersier ini mengikuti pola memanjang Sistim Struktur
dengan melakukan pengelompokan batuan menurut Sesar Sumatera yang berarah baratlaut - tenggara.
jenis dan umurnya. Batuan tertua yang tersingkap
adalah batuan Kelompok Tapanuli ( Tapanuli Grup). Kuarter
Walaupun kelompok ini tersingkap dengan baik,
namun baik struktur, ketebalan, dan sebarannya Aspden, drr., 1982, memisahkan endapan Kuarter
masih belum diketahui secara rinci. Berikut ini uraian menjadi Endapan Aluvial Muda (Qh), Aluvial Lebih
masing masing kelompok batuan adalah: Tua (Qp), Formasi Sialang (Qpg) dan Formasi Toru
(Qpto). Endapan Aluvial Muda (Qh) dapat dijumpai di
dataran pantai barat, sedangkan di sebelah timur
Pra-Tersier
terdapat di Laut Napanga. Di daerah penelitian
Kelompok batuan Pra Tersier diwakili oleh Kelompok Endapan Aluvial Muda (Qh) terbentuk di sepanjang
Granit Sibolga (Mpisl), Formasi Kluet (Puku), lembah depresi yang terletak di selatan
Formasi Kuantan dan batuan Paleozoikum dan/atau Padangsidempuan. Secara umum Endapan Aluvial
Mesozoikum tak terbedakan (Mpu). Kelompok Granit Muda ini terdiri atas pasir urai (unconsolidated
Sibolga (Mpisl) terdiri atas granodiorit, dan diorit, sand), kerakal (gravels), lumpur (mud), lanau (silt)
sedangkan Formasi Kluet terdiri atas meta arenit dan dan lempung karbonan (carbonaceous clay).
argilit serta hornfel di berbagai tempat.Baik

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 155


Geo-Sciences
9915 BT 9930 BT
Q vb

Tm vak Tm s
Q vb Tm ts
PADANGS IDEMPUAN

Q v lu Puku

907
S ia lang
Qh
Tm i P ijo rko ling

Qpsg
Do lo k S ihu ikhu ik
Hu taho ibung
1010
Qh

Puku l

P in tupadang
Tm vak
1201
Tm i Puku tu
Do lo k Tanggaba

1413
Do lo k G ongonan M useh

Tups

Tm iti Qp
1313
Puku l

Do lok S ibo ru Toba


Aekbadak
M pu

Tm ba
M uw

Qh
Tm ba l
U
M pu l
B T
Tm s
S

9915 BT 0 5 10 Km 9930 BT

Lapisan Paleozoikum dan


Qh Aluvium Mpu Tms Formasi Sihapas Tmvak Formasi Gunung Api Angkola
Mesozoikum takterbedakan
Qp Aluvium tua Batugamping Paleozoikum dan Puku Formasi Kuantan Tmiti Kelompok Dolok Tinjoan
Mpul
Mesozoikum takterbedakan Granodiorit takbernama, diorit dan
Tmba Formasi Barus Pukul Anggota batugampin Tmi
Qpsg Formasi Sialang sub intrusi funung api
Tufa dasitan dan andesitan,
Tmbal Anggota bawah Qvlu
Tups Anggota Sajumatinggi lava dan lahar Sesar
Muw Kelompok Woyla takterbedakan Qvb Ignimbrit rodasitan
Tmts Anggota Sipupus
Garis Kontur

Gambar 2. Peta geologi daerah Padangsidempuan dan sekitarnya, Sumatera Utara (Aspden, drr. 1982).

156 JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009


Geo-Sciences
Secara terisolasi Endapan Aluvium Muda terdapat indikasi bahwa daerah ini adalah merupakan lajur
pula di daerah depresi di sepanjang Lajur Sesar lemah sehingga magma dari bawah dapat muncul ke
Sumatera seperti depresi Angkola dan depresi Si Abu. permukaan melalui zona lemah tersebut. Selain itu,
Endapan tersebut terdiri atas lempung, lanau, pasir rangkaian gunungapi Lubuk Raya - Sibualbuali
dan kerikil termasuk endapan kipas longsoran tanah sepanjang 15 km membentuk kelurusan dengan arah
dan terban serta gambut. Sedangkan Endapan N 35 E.
Aluvium Tua terdiri atas pasir, lanau dan lempung
Segmen Sesar Batang Toru ke utara menerus ke
sedikit kerikilan. Endapan Aluvium Tua maupun
depresi Tarutung. Segmen sesar ini digambarkan
Aluvium Muda, umumnya tersebar di bagian barat sebagai lembah sempit yang dalam yang terbentuk
daerah penelitian berbatasan langsung dengan garis secara transtensional dan kemudian diisi oleh Tufa
pantai bagian barat Sumatera. Toba (ignimbrit). Segmen sesar Batang Toru ke arah
Di sebelah timur depresi Padangsidempuan Endapan tenggara menerus ke segmen sesar Ulu Aer yang
teranjak menganan terhadap segmen sesar Asik. Tjia
Aluvium Muda menutupi sebagian Formasi Kuantan
(1977), mengamati adanya ofset sungai menganan
berumur Karbon. Formasi ini terdiri atas batusabak, di segmen ini .Terusan kelurusan sesar barat Segmen
meta sedimen kuarsa, kuarsit dan wake (Puku). Angkola selatan membentuk anjakan menganan
Batuan alas ini tersingkap di lereng perbukitan, dengan Segmen Batang Gadis.
sedangkan di sebelah barat Endapan Aluvium Muda
ini,dialasi oleh batuan gunung api Tersier Formasi
LITOLOGI DAN LINGKUNGAN PENGENDAPAN
Angkola (Tmvak) yang terdiri atas andesit,
agglomerat dan basal. Formasi ini tersingkap di Untuk mengetahui jenis litologi dan lingkungan
lereng perbukitan sebelah barat. Ketebalan material pengendapan telah dilakukan pemerian dan
endapan aluvium yang mengisi depresi interpretasi data pemboran dangkal. Pemboran
Padangsidempuan diperkirakan mencapai hingga dilakukan secara acak sebanyak 15 titik bor dengan
12 m. kisaran kedalaman maksimum yang dapat dicapai
adalah sedalam 9.00 meter (Gambar 1).
Batuan volkanik terdiri atas Tufa Toba (Qvt) dan
Ignimbrit riodasitan (Qvb), serta sedikit andesit Berdasarkan hasil telaahan data tersebut, lingkungan
letusan celah (fissure eruption). Pola sebaran dari pengendapan di daerah penelitian dapat dibedakan
kelompok ini juga mengikuti pola Sistim Sesar 1) cekungan banjir (floodbasin), 2) limpah banjir
Sumatera yang berarah baratlaut - tenggara. (floodplain), 3) rombakan (collovium), 4) endapan
rawa (swamp deposit), dan 5) endapan alur sungai
purba (palaeo-channel).
Tektonik dan Struktur
Struktur geologi yang dijumpai diantaranya terdiri Endapan Cekungan Banjir
atas struktur sesar, antiklin, sinklin dan kelurusan
kelurusan. Secara umum struktur tersebut berarah Fasies ini dicirikan oleh perulangan ukuran butir yang
tenggara-baratlaut. Baik sumbu antiklin maupun bervariasi, umum terdiri atas lempung terkadang
sumbu sinklin telah mengalami pensesaran dengan pasir halus. Secara umumnya endapan ini berwarna
arah timur laut - barat daya. Aktifnya Sesar Sumatera hitam kecoklatan, coklat, kuning kecoklatan, coklat
dengan pergerakan mendatar menganan berkait erat kemerahan. Ciri lain dari fasies ini, tidak
dengan sistim pergerakan Lempeng Indo-Australia memperlihatkan perlapisan, bersifat lunak dan getas
yang menunjam miring (oblique) di bawah Lempeng dengan ketebalan antara 0,50 - 2,80 m. Di bagian
Eurasia. Tjia (1977) membagi Sesar Sumatera atas banyak mengandung humus dan sisa tanaman,
menjadi 18 segmen sesar. yang jumlahnya berkurang ke arah bawah. Hal ini
mengindikasikan bahwa semakin ke arah atas
Di daerah telitian terdapat tiga segmen sesar dari tumbuhan semakin berkembang, mungkin
sistim Sesar Sumatera yaitu Segmen Sesar Batang menandakan volume air relatif semakin besar atau
Toru, Segmen Sesar Ulu Aer dan Segmen Sesar dengan kata lain kelembabannya semakin tinggi.
Batang Angkola. Ketiga segmen tersebut masing Secara keseluruhan endapan ini banyak
masing terpisahkan oleh material volkanik dari mengandung sisa tumbuhan. Bercak-bercak hasil
Gunung Api Sibualbuali dan Gunung Api Lubuk Raya. oksidasi secara setempat dijumpai dalam jumlah
Kehadiran kedua gunung api inilah yang yang beragam, dan di beberapa tempat bercak ini
memisahkan ketiga segmen sesar itu, dan sebagai menjadi dominan dengan coklat kemerahan.

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 157


Geo-Sciences
Endapan Rawa ke arah atasnya; tak berlapis, mengandung unsur
Fasies ini dicirikan oleh kandungan organik yang organik / sisa-sisa potongan kayu dan daun-daunan.
banyak. Litologinya terdiri atas lanau dan lempung Umumnya terdiri atas fraksi butir pasir dengan
mengandung organik dan lempung organik dan ukuran butir yang menghalus ke atas. Perubahan
gambut. Endapan ini biasanya berwarna gelap butir yang menghalus dan mengasar tersebut adalah
(kelabu kehitaman). Lempung organik mengandung berkaitan dengan kondisi energi aliran. Endapan ini
banyak sisa tumbuhan berupa akar dan daun- mempunyai batas sangat jelas dengan lapisan
daunan, sisa-sisa potongan kayu busuk, humus, dibawahnya berupa bidang erosi. Bagian bawah
serta gambut. Pada titik bor 10, 11 dan 13, endapan umumnya terdiri atas pasir sebagian pasir kerikilan
rawa dialasi oleh batuan dasar, sedangkan pada titik sampai kerakalan, sedangkan di bagian atas berubah
bor B 4 dan B 12 berasosiasi dengan endapan limpah secara berangsur menjadi pasir lanauan atau pasir
banjir. Batuan dasar yang dimaksudkan dalam lempungan. Adanya perulangan atau perselingan
tulisan ini adalah batuan yang sudah padu, baik itu
antara pasir, lanau dan lempung diduga sebagai
sedimen, vulkanik, beku ataupun batuan malihan
produk dari lateral accretion yaitu proses
dari berbagai kelompok umur. Endapan rawa yang
berasosiasi dengan batuan dasar mengindikasikan pembetukan beting (point bar). Bagian atas endapan
bahwa cekungan semakin meluas yang disebabkan ini mengandung sedikit sisa tumbuhan, dan di bagian
oleh naiknya volume air dan kondisi lingkungan bawah dijumpai sisa-sisa potongan kayu (lag
pengendapan cukup tenang dan permukaan air tanah deposits). Pada lapisan pasir ini sering dijumpai
cukup dangkal sehingga memungkinkan tumbuhan material volkanik berupa pecahan batuan beku,
berkembang. Selanjutnya endapan rawa yang batuapung, dan mineral sekunder. Warna lapisan
berasosiasi dengan endapan limpah banjir dapat dipengaruhi oleh tingkat kandungan humusnya, serta
terbentuk oleh perubahan pola air sungai itu sendiri komposisi dari pasir dan kandungan lempung,
sebagai contoh terbentuknya rawa belakang (back sehingga warnanya beragam mulai coklat sampai
swamp) kelabu kehitaman.

Endapan Dataran Banjir Endapan Rombakan


Fasies ini umumnya terdiri atas endapan pasiran, Endapan Rombakan ini berasal dari material
berselang seling dengan endapan berbutir halus longsoran atau rayapan hasil dari pelapukan batuan
seperti lanau dan lempung. Secara keseluruhan dasar di sekitarnya. Satuan ini diinterpretasikan
ketebalan endapan dataran banjir berkisar dari 1.50 sebagai rombakan berbutir kasar (collovial),
m - 4.50 m. Endapan dataran banjir mempunyai terutama terdiri atas kerakal, kerikil dan pasir.
batas yang jelas (sharp) dengan lapisan yang Berwarna putih kelabu kecoklatan, masif dan tidak
menindihnya maupun yang mengalasinya. Pada berlapis. Setempat mengandung sisa-sisa
bagian bawah endapan dataran banjir disusun oleh tumbuhan, dan bagian atas lapisannya teroksidasi.
pasir berukuran halus sampai sedang. Warna fasies Endapan ini dialasi oleh batuan dasar dan,
ini beragam mulai coklat hingga kelabu kehitaman. memperlihatkan bidang permukaan erosional di
Variasi warna ini berhubungan dengan tingkat bagian bawahnya sedangkan di bagian atas
kandungan humusnya, komposisi pasir, dan ditempati oleh butiran halus.
kandungan lempungnya, kadang-kadang memper-
lihatkan perlapisan halus sejajar.
PEMBAHASAN

Endapan Alur Sungai Purba Untuk mengetahui perkembangan proses


pengendapan di daerah ini dibuat beberapa
Endapan alur sungai purba berwarna coklat, kuning penampang. Penampang yang berarah utara- selatan
hingga kelabu kecoklatan, berukuran mulai dari searah dengan sumbu panjang depresi adalah A-B
kerakal, kerikil hingga pasir lempungan, membundar (Gambar 3). Sedangkan penampang yang berarah
tanggung sampai menyudut tanggung, terdiri atas timur - barat memotong sumbu panjang depresi yaitu
kuarsa, felspar, dan pecahan batuapung dengan penampang C-D, E-F, dan penampang G-H (Gambar
butiran tak teratur kadang-kadang butiran menghalus 4 a,b,c). Gambaran urut-urutan pengendapan dan

158 JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009


Geo-Sciences
penyebaran endapan diperoleh dengan melakukan Tektonik 2), dimana alur sungai dua (Ch 2)
pengkajian hubungan antara lingkungan mengalami pergeseran kembali dan membentuk alur
pengendapan baik secara lateral maupun vertikal. sungai purba tiga (Ch 3). Indikasi tektonik
Dari kajian terebut, penyebaran masing masing berikutnya (Fase Tektonik 3) ditafsirkan dari
lingkungan pengendapan dapat diketahui, dengan kehadiran endapan limpah banjir yang menutupi
demikian runtunan pengendapan aluvial di daerah ini endapan alur sungai tiga (Ch 3) tersebut. Fakta ini
dapat diketahui. mengindikasikan bahwa alur sungai purba tiga (Ch 3)
juga sudah mengalami pergeseran. Tidak menutup
Penampang A-B kemungkinan alur - alur sungai purba tersebut adalah
merupakan Batang Angkola Purba.
Penampang A-B, terdiri atas 8 titik bor yaitu titik bor
B 11, B 12, B 15, B 17, B 18, B 19 dan B 26 Berdasarkan data kedalaman pemboran, lokasi titik
(Gambar 3). Penampang tersebut berarah hampir bor B 12, adalah merupakan bagian pusat akumulasi
tenggara - barat laut searah dengan arah sumbu endapan aluvial, sehingga merupakan bagin
depresi Padang Sidempuan. Ke arah tenggara terdalam dari depresi yang disebut sebagai
merupakan arah hilir Sungai Batang Angkola, deposenter (depocentre).
sebaliknya ke arah barat laut merupakan ke arah
hulu. Runtunan sedimen yang ke arah hilir Sungai Penampang C-D
Batang Angkola (B 15, B 10, B 11, dan B 12) terdiri Penampang C-D terdiri atas titik bor B-13, B-4, B-
atas perulangan endapan rawa, endapan alur sungai 12, dan B-25, dengan arah timur - barat. Kedalaman
purba dan endapan limpah banjir. Sedangkan maksimum pemboran ini lebih kurang 8.5 meter
runtunan sedimen ke arah hulu ( B 26, B 19, B 18 (Gambar 4a ).
dan B 17) tidak memperlihatkan adanya variasi
Pada titik bor B-13, batuan dasar ditutupi oleh
runtunan endapan sedimen seperti yang terdapat di
endapan rawa terdiri atas lanau mengandung organik
bagian hilir dan ragam sedimennya lebih sederhana.
dan lempung organik dan gambut. Umumnya
Fakta tersebut memberi arti bahwa daerah bagian
endapan rawa berwarna coklat kekuningan
hulu sungai Batang Angkola lebih stabil
mengandung sisa - sisa tumbuhan berupa akar
dibandingkan dengan daerah bagian hilir. Dengan
tanaman, dan daun daunan. Kemudian endapan
kata lain daerah hilir cenderung terpengaruh kegiatan
rawa tersebut ditindih oleh endapan cekungan banjir
tektonik, sehingga menghasilkan beragamnya
(Fb). Pada titik bor B-12 penetrasi pemboran tidak
lingkungan seperti diperlihatkan oleh runtunan
mencapai ke batuan dasar. Hal ini disebabkan oleh
endapannya.
endapan alur sungai purba (Ch-1) yang terdiri atas
Data lain yang mendukung adanya pengaruh tektonik pasir lepas jenuh air sulit ditembus oleh bor jenis
terhadap tataan stratigrafi tersebut, terlihat oleh hand auger. Hasil kegiatan dari alur sungai ini
pergeseran alur sungai purba secara mendatar sebagian menghasilkan endapan cekungan banjir.
(shifting) yaitu endapan alur sungai purba satu (Ch-
Pada penampang ini terlihat, alur sungai purba satu
1) yang terdapat pada titik bor B-11, bergeser ke (Ch -1) tidak berkembang, yang mengindikasikan
arah barat (B-12) menjadi alur sungai purba dua alur sungai purba tersebut mengalami perpindahan.
(Ch-2). Selain itu, baik ke arah barat maupun ke arah timur
Perulangan dan pengeseran alur sungai, rawa, tidak dijumpai alur sungai. Hal ini dapat disebabkan
cekungan banjir (B 10, B 11, B 12) disebabkan oleh ke dua wilayah tersebut merupakan kawasan yang
pergerakan (dislokasi) dasar cekungan. Pergerakan bergerak menurun. Dengan demikian perpindahan
dasar cekungan tersebut memungkinkan alur sungai akan selalu menuju ke hilir yaitu pusat
terbentuknya alur sungai purba dua (Ch 2) dan juga penurunan. Berpindahnya posisi elevasi lingkungan
terbentuknya endapan rombakan (Fase Tektonik 1). rawa mengindikasikan pergerakan tektonik telah
Kondisi selanjutnya, cekungan terisi dan meluas. terjadi beberapa kali. Secara keseluruhan dapat
Proses selanjutnya ditandai oleh terbentuknya alur dikatakan bahwa runtunan sedimen pada
sungai purba tiga (Ch 3), yang diperkirakan sebagai penampang C-D memperlihatkan adanya pengaruh
produk dari aktivitas tektonik berikutnya (Fase kegiatan tektonik berupa penurunan.

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 159


Geo-Sciences
Penampang E-F halus dan lanau. Pada penampang ini terlihat
semakin menipisnya endapan cekungan banjir. Tebal
Penampang E-F terdiri atas titik bor B 14, B 26 dan B
5, dengan arah penampang timur - barat (Gambar maksimum endapan cekungan banjir 2 m - 3 m.
4b). Ketebalan maksimum yang dapat dicapai Sebaliknya penyebaran material rombakan nampak
adalah 5 m. Pada penampang ini endapannya semakin luas. Penyebaran material rombakan yang
disusun oleh fasies cekungan banjir dan fasies alur semakin luas tersebut menunjukkan puncak
sungai purba. pengisian cekungan. Sementara itu semakin
menipisnya endapan cekungan banjir sangat terkait
Pada penampang E-F dicirikan oleh berkembang
dengan lingkungan pengendapan yang terjadi di
alur - alur sungai. Kondisi ini mengindikasikan bahwa
alur sungai telah mengalami perpindahan (shifting). daerah paparan cekungan. Secara umum, proses
Alur sungai tiga (Ch 3) (B 14) dan pada B 5 adalah pembentukan endapan aluvial tersebut cenderung
merupakan alur sungai yang berpindah di paparan dibawah pengaruh proses Fase Tektonik 1, yang
barat dan paparan timur cekungan diperkirakan menghasilkan material rombakan. Tidak
sebagai tributaries stream. Sebaliknya alur sungai terbentuknya alur sungai di tempat tersebut ke
purba tiga (Ch 3) pada B 26 diperkirakan sebagai mungkinan berhubungan dengan elevasi yang naik,
alur sungai purba Batang Angkola (trunk stream) sehingga berpotensi menghasilkan hanya endapan
yang berpindah ke posisi sekarang. Ilustrasi yang cekungan banjir yang berasal dari material longsoran
menggambarkan sistim sungai dapat dilihat dalam saja.
Gambar 5 .
PENARIKHAN UMUR MUTLAK
Penampang G-H
Lima buah pecontoh batuan diambil untuk keperluan
Penampang ini terletak lebih ke arah hulu dari Sungai pengukuran umur mulak. Pengukuran umur mutlak
Batang Toru yang terdiri atas titik bor B 18, B 19 dan dilakukan dengan metode penarikhan karbon (carbon
titik bor B 9 (Gambar 4 c). Sedimen Kuarter yang dating) C14. Percontoh diambil dari posisi stratigrafi
menyusun daerah ini terdiri atas endapan cekungan yang berbeda-beda dan dari lingkungan fasies yang
banjir dan endapan rombakan. Secara umum berbeda beda pula (Gambar 4a). Perian dari masing-
endapan cekungan banjir terdiri atas lempung masing percontoh batuan tersebut dapat dilihat
berwarna coklat muda, lunak berselingan dengan dalam Tabel 1, sedangkan lokasi percontoh dan umur
pasir lempungan, lempung pasiran, pasir sangat mutlak dapat dilihat dalam Gambar 4a.

Tabnel 1. Perian dari Masing-masing Percontoh Batuan.

160 JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009


Geo-Sciences
Hasil analisis pengukuran umur mutlak oleh endapan limpah banjir yang terjadi kemudian
menunjukkan proses pengisian cekungan telah secara berkesinambungan, sehingga vegetasi tadi
berlangsung sebelum 16270 460 BP, dan terawetkan sebagai material pembentukan endapan
lingkungan rawa belum terbentuk secara luas. rawa. Skematik kondisi lingkungan pengendapan
Kondisi ini mengindikasikan bahwa tingkat yang dibentuk oleh sistim fluviatil terlihat dalam
kelembaban saat itu rendah. Kemudian awal 14280 Gambar 6.
340 BP (Gambar 4a), lingkungan rawa
Fenomena lain, yang menunjukkan terjadinya proses
berkembang luas menandakan kondisi kelembaban
penurunan terlihat pada penampang E-F (Gambar 4
mulai bertambah tinggi dan kondisi cekungan relatif
b), diperlihatkan oleh posisi Sungai Batang Angkola,
stabil. Sebelum 9140 250 BP lingkungan rawa
yang terletak di atas endapan alur sungai purba Ch 3.
kemudian berubah menjadi cekungan banjir dan alur
Kondisi yang demikian ini dianggap sebagai salah
sungai purba satu (Ch-1) sudah mulai bergeser
satu indikasi bahwa daerah ini mengalami
mendekati posisinya. Gejala tersebut membuktikan
penurunan (subsidence). Proses penurunan ini
bahwa ketika itu energi aliran dan volume air mulai
diperkirakan masih berlangsung hingga sekarang.
berlimpah dan tentunya berhubungan dengan
semakin meningkatnya tingkat kelembaban. Selain itu indikasi kegiatan tektonik lainnya
Selanjutnya 3070 182 BP terbentuk lingkungan diperlihatkan oleh terjadinya pergeseran alur sungai
rawa di paparan cekungan yang ditutupi oleh purba secara mendatar (shifting). Fenomena ini
endapan limpah banjir ( Gambar 4 a, B-12). terlihat pada penampang A-B (Gambar 3). Pada
penampang tersebut terlihat endapan alur sungai
INDIKASI AKTIVITAS NEOTEKTONIK purba satu (Ch-1) yang terdapat pada titik bor B-12,
mengalami pergeseran ke arah barat (B-11) menjadi
Bawah Permukaan alur sungai purba dua (Ch-2).
Identifikasi indikasi neotektonik di dalam tataan Pergeseran alur sungai purba tersebut di atas pada
endapan sedimen Kuarter memberikan arti penting awalnya dimulai dengan adanya pengangkatan oleh
terhadap tataan tektonik di daerah penelitian. Tanda gaya gaya endogen sebagai akibat dari aktivitas sesar
tanda / indikasi tektonik diketahui dari tataan geser yang bergerak transtensional yang mengakibat-
endapan sedimen baik secara vertikal maupun kan batuan dasar mengalami pengangkatan (horst),
secara lateral (Frostick, drr. 1993). dan sebagai konsekuensinya alur sungai purba satu
Khusus di daerah penelitian yang disusun oleh (Ch-1) bergeser ke arah barat, ke daerah yang
endapan aluvial, perkembangan dan penyebaran mengalami penurunan (terban/graben) dan
endapan alur sungai purba sangat penting untuk membentuk endapan alur sungai purba dua (Ch-2).
diketahui karena perkembangan dan perubahan pola Secara berkesinambungan (9.140 250 BP)
sistim aluvial tersebut dapat digunakan sebagai daerah ini mengalami penurunan sehingga terbentuk
indikator bergeraknya batuan alas (dasar dua lapisan endapan rawa yang diendapkan pada
terban/cekungan) lingkungan belakang rawa (backswamp) pada posisi
stratigrafi yang berbeda. Berdasarkan tataan
Berdasarkan tataan endapan aluvial yang terdapat di endapanya dan pengukuran umur mutlak dapat
daerah penelitian, terlihat adanya faktor pengendali diketahui bahwa dalam kurun waktu 16.270 460
terbentuknya runtunan stratigrafi yang sangat Bp sampai dengan 3070 182 BP, terjadi tiga kali
dipengaruh oleh kegiatan tektonik sepanjang proses fase tektonik baik berupa penurunan ataupun
pengendapannya. pengangkatan yang mengakibatkan terjadinya
Indikasi pertama diperlihatkan oleh adanya perubahan runtunan sedimen.
perulangan fasies endapan rawa pada penampang Berdasarkan pola pergeseran alur sungai tersebut
CD titik bor B-12 (Gambar 4,a). Terbentuknya dapat ditafsirkan bahwa sesar yang aktif adalah sesar
perulangan fasies rawa tersebut ditafsirkan geser yang terletak di sebelah timur depresi yang
disebabkan oleh adanya pengaruh penurunan dasar mengakibatkan adanya gaya vertikal terhadap
cekungan. Pada saat batuan dasar mengalami batuan dasar. Diperkirakan aktivitas sesar geser
penurunan maka vegetasi yang tumbuh di sekitar inilah yang menyebabkan terbentuknya cekungan
pematang sungai (levee) atau di sekitar backswamp, Kuarter yang mekanisme pembentukannya sebagai
tanah basah (wetland) secara terus menerus ditutupi pull-apart basin. Goudi, 2004 menyatakan bahwa

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 161


Geo-Sciences
A
B
dp l (m )
0 .00 B17
B15 B11
B18
1 .00 Fb B19 Fb B10
V
Fb B 26 Ch -3
2 .00 Fb
Fb
Fb
Fb B12
Fb
3 .00
V V V V
V V VV S
4 .00
Rmb
V V V V
V V V
S
5 .00
Ch -3

6 .00 V V VVV S

Ch -2 C Fb
7 .00

V V V
0 1 2 Km V V Fp
8 .00 V V V S
V V V
V V
V V V
9 .00

Ch -1

KETARANGAN

Fb Endapan cekungan banjir C Endapan alur sungai purba Batuan dasar

S Endapan rawa Rmb Endapan rombakan B4 Nomor titik pemboran

Gambar 3. Korelasi runtunan sedimen Kuarter bawah permukaan daerah Padangsidempuan.

C a) D E F
B13
b)
B 25 B14
0.00
0.00
B4 B5
Fb B 26
Ch 3
1.00 1.00
Fb B12
Fb
Fb
2.00 2.00
S Rm b
Ch 3 C
3.00 X 9140 + 250BP
-
V 3.00
V
S
V VV
V SX 3070- + 182 BP

Fb
4.00 4.00 Ch 3
V V
V
S S Fb
V V V
V V VVV SX 14260- + 340 BP
5.00 5.00

Fb -
X 16270 + 460BP
6.00 6.00
Fb
Fp
0 1 Km
7.00 7.00

8.00 8.00
Ch 1
9.00 9.00

0 1 Km ? ?

G H
c)
B9
0.0 B18

Fb
1.0 B19
Fb

2.0
Fb
Rm b
3.0

4.0
Rm b

5.0

6.0

7.0
0 1 Km

8.0

9.0

KETARANGAN

Fb Endapan cekungan banjir Fp Endapan limpah banjir C Endapan alur sungai purba

S Endapan rawa Rmb Endapan rombakan Batuan dasar

B4 Nomor titik pemboran

Gambar 4a,b, dan c. Korelasi runtunan sedimen Kuarter bawah permukaan daerah Padangsidempuan dengan arah penampang barat - timur.

162 JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009


Geo-Sciences
Tributaries
Distributaries Trunk stream

Hulu
Laut

ile
prof
udinal
Longit

Muara

Gambar 5. Penampang ideal yang menunjukkan pembagian jenis sungai.

Tumbuhan pada tanggul


sungai

Rawaburi
(Backswamp)

Paya-paya (Wetland)

Tanggul sungai
(Levee)

Alur sungai
(Stream channels) Gosong pasir
(Point bar deposits)

Alur sungai purba

Gambar 6. Proses perkembangan lingkungan pengendapan Kuarter pada sistim fluviatil.

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 163


Geo-Sciences
mekanisme pembentukan pull-apart basin, lahan Gunung Api Sibualbuali berupa kerucut gunung
berasosiasi dengan gaya regangan (rifting) sepanjang api tidak dapat lagi dikenali karena bentuknya sudah
zona sesar mendatar di daerah transtensional. mengalami perubahan menjadi lonjong (elipsoidal).
Daerah ini dapat terpengaruh pergerakan Sesar Perubahan bentuk lahan ini sejajar dengan Lajur
Sumatera yang transpresional maupun trantensional. Sistim Sesar Sumatera oleh karena itu perubahan
Sebagai konsekuensinya terbentuk daerah rendahan bentuk lahan tersebut diyakini sebagai akibat dari
atau depresi (topograpic low). Depresi tersebut dapat aktivitas Sesar Sumatera yang bergerak
berupa telaga sesar (sag pond) untuk sekala kecil, transtensional. Sedangkan bentuk lahan yang
atau rhombograben untuk sekala lebih besar. dibentuk oleh Gunung Api Lubuk Raya dengan
mudah dapat dikenali dengan jelas karena bentuknya
Dari keterangan tersebut terlihat bahwa perpindahan
masih memperlihatkan bentuk kerucut yang sangat
alur sungai purba serta perubahan runtunan fasies
ideal dengan dinding kawahnya. Kedua gunung api
pengendapan relatif sederhana tidak terlalu rumit.
ini (Gunung Api Sibualbuali dan Gunung Api Lubuk
Oleh karena itu dapat ditafsirkan bahwa intensitas
Raya) merupakan gunung api kuarter yang terletak
tektonik yang terjadi relatif rendah, karena semakin
pada ketinggian 1800 m di atas muka laut .
tinggi intensitas tektoniknya maka pergeseran alur
sungai purba yang terjadi akan semakin kompleks. Indikasi lain yang menunjukkan adanya aktivitas
Perpindahan alur sungai purba serta perubahan tektonik adalah breksi sesar. Singkapan breksi sesar
runtunan fasies pengendapan dapat disebabkan oleh di jumpai di dua lokasi yaitu di Kp. Pintu Padang dan
pergerakan turun atau naiknya batuan dasar oleh di kawasan Dk.Sitompu. Breksi Sesar tersebut
gaya endogen hasil dari pergerakan sesar geser dijumpai pada batuan termuda dan batuan tertua. Di
(strike-slip fault). Di daerah penelitian pergeseran Kp. Pintu Padang breksi sesar terdapat pada batuan
alur sungai ke arah mendatar dapat disebabkan oleh vulkanik kuarter dasitis yang menyebabkan batuan
aktivitas sesar geser yang terdapat di sisi sebelah tersebut terbelah belah dan hancur, sehingga sangat
timur dan sebelah barat depresi Padangsidempuan. rentan terhadap goncangan gempa yang dapat
mengakibatkan bencana longsor ataupun batu
Permukaan jautuhan. Sedangkan di daerah Dk.Sitompu terdapat
pada batugamping berumur tua (Karbon), dan
Di permukaan indikasi tektonik dimanifestasikan memperlihatkan kharakteristik yang sama dengan
dalam bentuk gawir sesar, garis gores sesar, fenomena di atas. Fakta di atas menunjukkan bahwa
perubahan bentuk lahan , dan lineasi Telaga Sesar sesar tersebut telah bergiat kembali pada Resen
(sag pond) (Lumbanbatu drr, 2003) sehingga mensesarkan batuan vulkanik dasitis
Gawir sesar dapat amati di sepanjang sisi bagian Kuarter.
timur dan sisi bagian barat lereng perbukitan (horst)
dan Lembah Sungai Angkola sebagai terban KESIMPULAN
(cekungan). Gawir sesar di sisi bagian timur tersebut
Endapan aluvium muda yang menempati daerah
n
mewakili Segmen Sesar Batang Angkola yang
penelitian dapat dibedakan menjadi lima
memperlihatkan lereng terjal, diikuti oleh kehadiran
lingkungan pengendapan yaitu endapan
Triangular Facet. Selain itu. Gawir sesar dapat pula
cekungan banjir, endapan limpah banjir,
diamati di sepanjang sisi bagian barat lereng
endapan rawa, endapan alur sungai purba , dan
perbukitan di Lembah Sungai Aek Godang, sebagai
endapan rombakan.
refleksi dari Segmen Sesar Ulu Aer. Sedangkan garis
gores sesar dapat diamati di dua lokasi yaitu di Indikasi aktivitas tektonik berupa penurunan dan
n
Kampung Panompuan dan di Kampung Pintu pengangkatan dapat dikenali dari runtunan
Padang. Kedua garis gores sesar ini apabila endapan sedimen di daerah ini. Berdasarkan
dihubungkan akan membentuk satu garis dengan runtunan endapan sedimen dikenali adanya tiga
arah baratlaut - tenggara, yang merupakan bagian fase tektonik yang ditunjukkan oleh adanya
dari Segmen Sesar Ulu Aer. perulangan fasies endapan rawa pada posisi
stratigrafi yang berbeda, pergeseran endapan
Efek tektonik terhadap bentuk lahan (Deformasi
alur sungai purba dan posisi Sungai Batang
Landform) terekam dengan baik pada bentuk lahan
Angkola yang terletak di atas endapan alur
yang dibentuk oleh Gunung Api Sibualbuali. Bentuk
sungai purba Ch 3.

164 JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009


Geo-Sciences
Berdasarkan pola perpindahan alur sungai
n mekanisme pembentukan depresi ini adalah
purba, yaitu pergeseran (shiftting) bukan sesar geser yang terletak di sebelah timur.
perpotongan (stacking), maka mekanisme Selanjutnya depresi tersebut dapat kita
perpindahan alur sungai purba tersebut klasifikasikan sebagai pull-apart basin apabila
disebabkan oleh gerakan horinzontal dan bukan ditinjau dari tataan tektoniknya dimana
gerakan vertikal. cekungan tersebut diapit oleh dua buah sesar
geser.
Di permukaan
n indikasi kegiatan tektonik
dimanifestasikan dalam bentuk gawir sesar,
garis gores sesar, perubahan bentuk lahan , dan UCAPAN TERIMA KASIH
lineasi Telaga Sesar (sag pond) Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr.
Berdasarkan runtunan endapan sedimennya
n Herman Moechtar atas koreksi, kritik dan saran
dapat diketahui bahwa intensitas tektonik yang terutama masukannya sehingga tulisan ini dapat
terjadi relatif rendah, karena semakin tinggi diselesaikan. Ucapan terima kasih juga penulis
intensitas tektonik maka pergeseran atau sampaikan kepada rekan-rekan dan semua pihak
perpindahan alur sungai purba serta perulangan yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu
fasies endapannya akan semakin kompleks. dalam tulisan ini yang ikut membantu hingga
makalah ini menjadi lebih baik. Penulis
Geometri
n dari Depresi Padangsidempuan mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat
berbentuk asimetris yaitu ditunjukkan oleh letak Survei Geologi atas izinnya untuk penerbitan
deposentre yang lebih dekat ke sisi bagian barat makalah ini.
dari depresi Padangsidempuan.Hal ini
membuktikan bahwa sesar yang aktif dalam

ACUAN
Aspden J.A., Kartawa W., Aldiss D.T., Djunuddin A., Whandoyo R., Diatma.D., Clarke M.C.G., dan Harahap H.,
1982. Peta Geologi Lembar Padangsidempuan dan Sibolga, Sumatera, skala 1:250.000. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Frostick, L.E. & Steel, R.J. 1993. Tectonic Signatures in Sedimentary Basin Fills. In Frostick, L.E. & Steel, R.J.
eds. Tectonic Controls and Signatures in Sedimentary Successions, IAS Special Publication #20,
pp. 1-9. International Association of Sedimentologists, Glasgow.
Goudi.A.S., 2004. Encyclopedia of Geomorphology. Routledge Taylor & Francis Group.
Lumbanbatu, U.M., Moechtar, H., 2002. Kharakteristik Kegempaan sebagai acuan Pengembangan Wilayah
daerah Padangsidempuan, Kab. Tapanuli Selatan Provinsi Sumatera Utara. Majalah Geologi
Indonesia Vol. 17 No.1 dan 2. Ikatan Ahli Geologi Indonesia.
Lumbanbatu U.M.., Moechtar H., Hidayat S., 2003. Penjaluran Kerentanan Bencana Gempa bumi daerah
Padangsidempuan Tapanuli Selatan. Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral, Vol. XIII, No 140.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Libby W.F., 1951. Radiocarbon dating, University of Chicago, Press, 240.
Tjia H.D (1977). Tectonic Depression along the transcurrent Sumatera Fault Zone. J.4.No1 1977. Department
of Geology The National University of Malaysia Kuala Lumpur, Malaysia

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 165


Geo-Sciences
CRETACEOUS OROGENIC GRANITE BELTS, KALIMANTAN, INDONESIA
Amiruddin
Geological Survey Institute
Jl. Diponegoro No. 57 Bandung 40122

ABSTRACT

Two types of Cretaceous Orogenic Granite-Belts are able to be recognized in Kalimantan, which tend to show
characteristics of Cordilleran and Caledonian Granite-Types.
The Cordilleran Granite-Type consists of huge granitoid batholiths known as the Schwaner, Ketapang and Singkawang
batholiths. This granite type comprises tonalite and granodiorite, and minor granite sensu stricto, predominantly owning
calc-alkaline to slightly alkaline composition. The granitioids are also metaluminous and slightly peraluminous which
probably due to the assimilation of magma stopping. Genetically, the granite is an I-type which was formed during a
subduction of oceanic crust material beneath a continental margin. Those plutons were emplaced during a longer period,
ranging from 86 to 129 m.a or from Early to Late Cretaceous.
The Caledonian Granite-Type comprises isolated smaller plutons of Pueh Granite, Manyukung Granite, Era Granite, Topai
Granite, Nyaan Granite, Alan Granite, Kelai Granite and Sangkulirang Granite. This granite type consists of granite sensu
stricto and granodiorite, having calc-alkaline and alkaline and also metaluminous and peraluminous compositions. They
belong to I-type and S-type granites, suggesting that in the area, different magma sources had been generated. The I-
type granite was derived from partial melting of igneous rock whereas the S-type one was derived from anatexis of
sedimentary rocks of continental crust. These plutons were emplaced within a relatively short time, ranging from 74.9 to
80.6 m.a or Late Cretaceous.
Keywords: Cretaceous Orogenic Belts, Cordilleran and Caledonian Granite types.

SARI

Dua tipe Jalur Granit Orogen Kapur dapat diketahui di Kalimantan, yang cenderung memperlihatkan ciri-ciri tipe
Granite Kordilera dan tipe Granite Kaledonia.
Jalur Granit Kordilera terdiri dari batolit granit berukuran sangat besar yang dikenal sebagai batolit Schwaner, Ketapang
dan Singjkawang. Jenis granit ini terdiri dari tonalit, granodiorit dan sedikit granit (sensu stricto), kebanyakan
berkomposisi calc-alkalin sampai agak alkalin. Batuan granit tersebut umumnya juga berkomposisi metaluminus dan
sedikit peraluminus yang barangkali disebabkan oleh adanya proses asimilasi magma stopping. Secara genesa granit
ini bertipe I yang terbentuk pada saat penghunjaman suatu kerak samudera terhadap suatu tepi lempeng benua. Tubuh
pluton tersebut telah ditempatkan dalam waktu nisbi atau relatif panjang yang berkisar dari 86 sampai 129 juta atau
dari Kapur Awal sampai Kapur Akhir.
Jalur Granit Kaledonia terdiri dari tubuh-tubuh pluton terisolasi berukuran kecil yaitu : Granit Pueh, Granit Manyukung,
Granit Era, Granit Topai, Granit Nyaan, Granit Alan, Granit Kelai dan Granit Sangkulirang. Jenis granit ini terdiri dari
granit (sensu stricto) dan granodiorit, berkomposisi calk-alkalin dan alkalin dan juga metaluminus dan peraluminus.
Batuan granit tersebut merupakan granit tipe I dan tipe S yang memberikan dugaan bahwa di wilayah ini terdapat
sumber magma yang berbeda. Granit tipe I berasal dari peleburan batuan beku sedangkan tipe S berasal dari peleburan
batuan sediment di kerak bumi. Tubuh intrusi tersebut telah ditempatkan dalam waktu yang lebih pendek berkisar dari
74,9 sampai 80,9 juta tahun yang lalu atau Kapur Akhir.
Kata Kunci : Jalur Orogenik Kapur, Tipe Granit Kaledonian dan Kordilera.

INTRODUCTION undertaken in August 20-21, 2007 in Seoul National


nd University, South Korea. The aim of the programme is
This paper was presented in the 2 International
to gather paleoclimatic information and important
Symposium of the International Geoscience
clues to understand what caused changes in
Programme (IGCP) Project 507 : Paleoclimates of
paleoclimate in Asia during Cretaceous including
the Cretaceous In Asia and their global correlation
tectonic activity, relative sea-level change and
igneous activity.
Naskah diterima : 22 Januari 2009
Revisi terakhir : 14 Juni 2009

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 167


Geo-Sciences
The used geological and geophysical data in this marine silisiclastic and carbonate sediments and
paper are obtained from the Centre for Geological regressive fluvio-deltaic sediments.
Survey's Data Base as result of the Indonesia
Paleomagnetism measurements have been done to
Australia Geological Mapping Project (1983 - 1995)
reconstruct position of Kalimantan during Mesozoic
including paleomagnetism measurement in
and Tertiary and the result has been published
Kalimantan, mainly in the West and East Kalimantan.
(Sunata and Wahyono, 1987)
The project was a joint project between Geological
Research and Development Centre (GRDC) of The main objective of this paper is to understand
Indonesia (Geological Survey Institute) and Bureau paleoposition and tectonic activity of Kalimantan
Mineral Resources (BMR) of Australia (AGSO during Cretaceous, including magmatic and
nowadays). sedimentation -activities occurred in the island.
Alot of Cretaceous granitic plutons are exposed in
Kalimantan, Indonesia. Those granitoid plutons OROGENIC GRANITIC TYPE
could be separated into two groups. The first, in the Pitcher, 1982 (in Eric, 1986) classified orogenic
south forms granite batholiths whereas the other, in granitic rocks. Two of them consist of Cordilleran type
the north forms an isolated granite- belt. On the and Caledonian type. The I-Cordilleran type is the
basis of tectonic setting and characteristics of most common group of granitic rocks which are
orogenic granitic rock of Pitcher (1982) on both generally emplaced into seismically active
granite pluton groups belong to Cordilleran orogenic continental margins. They form huge, linear,
granite-type and Caledonian orogenic granite-type composite batholiths in which their initial 87Sr/86Sr
respectively (Table 1). ratios are usually less than 0.706 and tend to contain
The presence of both Cretaceous orogenic granite porphyry Cu,Mo mineralization. The dominant rock is
types and also volcanic rocks in the region confirms usually tonalite.
that magmatic and volcanic activities have been The I- (Caledonian) type of granitic rocks are
generated in the region, which were probably related considered to be emplaced at the time of uplifting and
to subduction and or collision between northern decompression which occurs after the closure of an
oceanic crust (Proto South China Sea) and southern ocean basin. The granite is characterized by and
continental crust during Early to Late Cretaceous. initial 87Sr/86Sr ratio between 0.705 and 0.709. The
Related to that Cretaceous tectonic activities, a dominant rock types are in the range of granodiorite-
forearc basin has been formed as Proto- Tertiary granite, but these rocks are often associated with
Basins consisting of Proto Melawi-Ketungau Basins minor intrusive bodies of hornblende diorite, gabbro
in the west, Proto Kutai Basin in the east and Proto and ultramafic rocks of the Appinite-type.
Barito Basins in the southeast. These basins were Furthermore, the other characteristics of these
filled by Cretaceous transgressive shallow to deep orogenic rocks are shown in Table 1.

Tabel 1. Orogenic Granitic Rocks (Pitcher, 1982)

Pacific type Cordilleran type Caledonian type Himalayan type


Subduction beneath and Subduction of oceanic materials Uplift and relaxation Continent - continent collision
oceanic island arc beneath a continental margin immediately after the closure of
an ocean

Small composite or zoned Huge composite batholiths Discrete multiple intrusions Large bodies of autochthonous
stocks granite, migmatites and local
stocks

Essentially evolved from a Calc-alkali parental magmas, Calc-alkali parental magmas Large scale anatexis of
mantle-derived magmas that plus assimilation of continental plus anatexis of continental continental crustal materials
usually belongs to either the crustal materials crustals materials
island arc tholeite or calc-alkali
series

Tonalites Tonalite, granodiorite and Granodiorite and granites Leucogranites and granites
granites

Plutonism is generally short- Plutonism is episodic and Plutonism is generally short- Plutonisms of moderate
lived extend over a long period lived duration

168 JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009


Geo-Sciences
GEOLOGY
The generalized Cretaceous geology and tectonic
setting of Kalimantan is presented in Figure 1.
The accretionary prism belt in the north is named as
Sambas-Mangkaliat Accretionary Prism toe
(Amiruddin,2000b). It comprises sedimentary rocks
overlying oceanic crust, ophiolite, deformed to
tectonic mlange and or broken formation. This belt
was intruded by those isolated small granite plutons,
distributed from the Sambas Quadrangle in the west
(West Kalimantan) to the Muara Wahau in the east.
More to the north of this prism is occupied by
sedimentary gravity flow including turbiditic deposits
of Embaluh Complex (Emmichoven (1939) or
Embaluh Group (Pieters et al, 1993a) which is
Cretaceous-Eocene in age.
Another accretionary prism toe is also present in the
south east, which in this paper is named Meratus
Accretionary Prism-Toe. The prism is composed of
mafic - ultramafics, granite, deep sea sediments and
Figure 1. Cretaceous Tectonic Setting of Kalimantan (After Amiruddin,
mlange, which are intruded by some isolated
2000b)
Cretaceous granitoid plutons, distributed from the
south to the north along the western part of the
The Proto Barito Basin was probably filled by
Meratus Ridge. The granitoid plutons mainly consist Cretaceous Carbonate deposit of the Batununggal
of Batang Alai Granite and Hajawa Granite. Formation, Sub marine volcano deposits of Haruyan
The isolated granite plutons intruding the Sambas - Formation and sub marine fan sediment of Pitap
Mangkaliat Accretionary Prism Toe, in the north Formation (Heryanto, 2000a,b).
comprise Pueh Granite, Manyukung Granite, Era
Granite, Topai Granite, Nyaan Granite, Alan Granite, PALEOMAGNETISM
Kelai Granite and Sangkulirang Granite.
Sunata and Wahyono (1987) and Wahyono and
The huge granite batholiths in south west consist of Sunata (1987) reconstructed hypothetically the
Schawaner Batholith, and Ketapang Batholith development of paleogeography of Kalimantan during
whereas in the northwest is Singkawang Batholith Mesozoic to Tertiary on the basis of paleomagnetic
(Amiruddin, 2000) These granite batholiths intruded measurement data, as shown in Figure 2 and from
basement of Permocarbon regional metamorphic the reconstruction we enhance an approximate
rocks, forming dynamo-thermal metamorphic rocks. position of the Cretaceous of Kalimantan as
presented in Figure 3.
The Cretaceous basins in this paper were initially
named by proto the name of Tertiary basins, due to The position of Kalimantan in Early Triassic was to the
their superimposed positions. north Equator on latitude of 18.77 N, however,
during Late Triassic it moved to the south of equator in
The proto- Ketungau and Melawi, Madi and West
10.7 S. In Jurassic time, it moved to the north closer
Kutai Basins were filled by Cretaceous shallow to
to the equator with the length of island was
deep marine sediments of Selangkai (Heryanto, northwest-southeastward; after that since Early
1993, Pieters et al., 1993) and Pedawan Formations Cretaceous to Eocene the position of Kalimantan was
in the lower part and fluvio-deltaic deposit of Kayan still in equator, but the length of island was east-west
Sandstone in the upper part (Supriatna et al.1993). direction. In Oligocene to Miocene, the island has
Orbitulina Limestone are also present in places. been anticlockwise rotated about 45 , resembling to
the present day position.

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 169


Geo-Sciences
Hall (1997) reconstructed Cenozoic Tectonics of SE
Asia and Australasia, in which at 50 Ma or end Early
Eocene, the Indian Plate moved northward and
subducted into South East Eurasia Plate forming a
subduction zone parallel to Sumatera, Java and
Kalimantan. The Kalimantan to the north is bordered
by Proto South China Sea which is underlain by a
oceanic crust (Figure 4).
Panggabean et al, 2007 modified Paleogeography of
Indonesia during Cretaceous - Early Tertiary. They
reconstructed the position of Kalimantan was in
equator region, whereas Sumatera is also near Figure 2. Hypothetical Paleolatitude of Kalimantan during Mesozoic to
equator with its position was almost parallel to the present day (From Sunata and Wahyono, 1987).
equator line shown in Figure 5.
Katili (1989) modified lineament of Cretaceous
subduction zones in Kalimantan. The subduction
zone was in Southeast Kalimantan through Meratus
and Pulau Laut ophiolites and they were blocked by
Paternoster Fault in the north. The Subduction belt
continue to Northwest ward through Kembayan and
Natuna ophiolite.

CALEDONIAN OROGENIC GRANITIC ROCKS OF


KALIMANTAN
Sambas - Mangkaliat Isolated Granite Belt
This orogenic granite type forms an isolated pluton -
chain, extending from Sambas (West Kalimantan)
in the west up to Mangkaliat region (East Kalimantan)
in the east. It comprises Pueh Granite, Manyukung
Granite, Era Granite, Topai Granite, Nyaan Granite,
Alan Granite, Kelai Granite, and Sangkulirang Granite
(Amiruddin, 2000b).
Figure 3. Approximate position and geology of Kalimantan during
The granite plutons commonly are felsic and Cretaceous.
comprise granite (sensu stricto), granodiorite and
minor adamelite. These plutons are mostly calc-
alkaline and minor alkaline and also metaluminous to
peraluminous in composition. This calc-alkalic and
metaluminous composition is consistent to the
presence of Ca-plagioclase, biotite and hornblende in
the rocks. The alkaline and peraluminous
composition is consistent to the presence of quartz,
albite, K- feldspar, biotite and garnet which are more
aluminous than biotite. The characteristics of those
granitoids are summarized in Table 2 and Figures
6 and 7.
Figure 4. Eocene (50 m.a.) tectonic setting of South Asia (from
Hall, 1997).

170 JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009


Geo-Sciences
Those geochemical and mineralogical properties
indicate that those granite plutons are mostly I-type
granite and minor S-type (Amiruddin, 2000b). They
form a belt consisting of multiple discrete intrusions
which are distributed from West to East Kalimantan.
These granites were relatively emplaced in short time
span live during Late Upper Cretaceous, at least from
74.9 m.a to 80.6 m.a. The presence of the I and S -
types reflect different parental magmas. The I-type
was derived from partial melting of calc-alkaline
igneous rock in the lower crust or upper mantle,
whereas the S-type resulted from partial melting of a Figure 5. Paleolatitude of Kalimantan and Sumatera during Cretaceous
sedimentary rocks source in a continental crust, to Early Tertiary (Panggabean et al, 2007).
probably generated during late Upper Cretaceous
collision activity.
and more mafic compositions. The felsics are alkaline
to calc-alkaline. The intermediate is metaluminous to
Meratus Isolated Granite Belt
more metaluminous and more calcic. The age of this
Another orogenic granite belt is generated along granite is 101,00 2.6 m.a. to 118,61 1.45
western part of Meratus Mountains in the south east m.a. or Albian (near border between Lower to Upper
Kalimantan. It consists of isolated graniteplutons of Cretaceous).
Batang Alai Granite and Hajawa Granite. These
The Hajawa Granite consists of diorite, diorite quartz,
granite plutons intruded Meratus accretionary prism
tonalite and granite sensu stricto. The rocks are calc-
belt composed of mafic - ultramafics, granite, deep
alkaline to alkaline, metaluminous except granite
sea sediments and mlange.
(sensu stricto) is peraluminous. The age of this
The Batang Alai Granite mostly comprises granite granite is 70.962 0.49 m.a. to 87.148 1.81
(sensu.stricto), tonalite, thronjemite and granodiorite m.a or Upper Cretaceous. These granite plutons
and minor more mafic rocks such as diorite and mostly show characteristics of I-type granite although
gabbro. These are consistent to felsic to intermediate S-type granite is also present (Dirk and Amiruddin,
2000).

Table 2. Characteristics of The Caledonian Orogenic Granite Types In Kalimantan (Amiruddin and Andi Mangga, 1999; Amiruddin,
2000b; Dirk dan Amiruddin, 2000)

Rock Type Acidity Alkalinity K-Ar Dating


Plutons Alumina saturated
m.a.
Singkawang Mangkaliat Belt
adamellite, granite,
Pueh Granite intermediate calcalkaline slightly peraluminous 80 + 0.6
monzogranite
Menyukung felsic-
granite, granodiorite alkaline-calcalkaline peraluminous-metaluminous
Granite intermediate
felsic- slightly peraluminous- 74.9 + 2 to
Era Granite granite, granodiorite alkaline-calcalkaline
intermediate metaluminous 78.6 + 0.8
felsic- 75.9 + 0.9 to
Topai Granite granite, granodiorite alkaline-calcalkaline peraluminous-metaluminous
intermediate 77.5 + 0.3
Nyaan Merah granite peraluminous
felsic alkaline
Granite

granite, granodiorite felsic- ?peraluminous-


Alan Granite ?alkaline-calcalkaline
intermediate metaluminous

Kelai Granite granite felsic ?calcalkaline metaluminous

Meratus Belt

Batang Alai granite (s.s), tonalite, felsic-


alkali-calcalkaline metaluminous to more 101.00 + 2.6 to
Granite and granodiorite intermediate to
and more calcic metaluminous 118.61 + 1.45
diorite and gabbro more mafic
diorite, diorite
Hajawa Granite intermediate- metaluminous to 70.962 + 0.49 to
kuarsa, tonalite and calcalkaline-alkaline
felsic peraluminous 87.148 + 1.81
granite sensu

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 171


Geo-Sciences

Figure 6. Analyses of rock samples of the isolated granite and granite


batholiths plotted on the Alkalinity ratio variation diagram Figure 7. ACF plot diagram for granite plutons and batholiths inWest to
(After Amiruddin, 2000b). East Kalimantan (After Amiruddin, 2000b).

Cordilleran Orogenic Granite-Type mostly intermediate to felsic, although some mafic


rocks are also present such as quartz bearing gabbro.
This orogenic granite-type is represented by
They are metaluminous and calc-alkaline. This
Schwaner, Ketapang and Singkawang batholiths
composition is consistent to their mineralogy
(Amiruddin 2000c).
contents.
The Schwaner batolith comprises Sepauk Tonalite
The Ketapang batholith is to southwest of the
and Laur Granite. The Sepauk Tonalite is dominantly
Schwaner batholith. It is composed of Sukadana
composed of tonalite, granodiorite and minor granite
(sensu stricto). The granitoids of the Sepauk Tonalite Granite, and Sangiyang Granite. The Sukadana
are mostly intermediate and minor felsic, and they Granite mainly comprise monzogranite, syenogranite
are mostly calc-alkaline and minor alkaline. The and alkali-feldspar granite; minor granodiorite,
rocks are also metaluminous to weakly tonalite, quartz diorite and diorite. Those rocks are
peraluminous. This compositions are supported by generally leucocratic with 90-100% felsic minerals,
mineralogy content comprising ca-plagioclase, composed of plagioclase (An10-50), K-feldspar
biotite and more mafic minerals e.g. hornblende and (orthoclase, minor microcline) and quartz. Minor
or pyroxene. No more aluminous minerals than mafics: hornblende, biotite and rare pyroxene, some
biotite. alkali-feldspar granites contain riebeckite and
The Laur Granite consists of monzogranite, arfvedsonite. Geochemically, the rocks are felsic to
granodiorite and syenogranite; rare tonalite, quartz intermediate, mostly metaluminous, less commonly
diorite and diorite. Those rocks contain perthitic peraluminous, tend to be alkali-calcic, minor
microcline and/or orthoclase, plagioclase (An10-30), peralkaline. The Sukadana Granite belongs to I-type
quartz, and biotite and/or hornblende; accessory granite, however, in places A-type granite are
minerals are iron oxide, sphene, apatite, zircon and probably also present with evidence of those alkalic
tourmaline. amphiboles content and the peralkaline rock
The Singkawang batholith is to northwest of the composition. Tectonically, the I-type granite suite is
Schwaner batholith, consisting of Mount Sebiawak commonly Volcanic Arc Granite which is related to
Granodiorite, Mount Raya Granite, Mount Selantar the subduction activity, whereas the A-type Granite is
Granodiorite and Tiang quartz-diorite. Those probably related to extensional tectonics or post
granitoid rocks mainly comprise tonalite, quartz subduction intrusives. The age of the Sukadana
diorite, granodiorite and granite containing quartz, Granite is Late Cretaceous on the basis of K-Ar, Rb-Sr,
plagioclase, hornblende and more mafic minerals in and U-Pb dating (Amiruddin, 2000c).
various proportion. Geochemically, those rocks are

172 JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009


Geo-Sciences
The field relationship between granite bodies to the aspera, Globotruncana linneiana, Rotalipora sp. cf.,
adjacent rocks indicates that these granite batholiths R.green hornensis, Heterohelix striata, Saracenaria
in West Kalimantan represent contact aureole sp., indicating the rocks are a Turonian age. Seven
granite. This relationship indicates these granites samples of limestones contain Orbitolina scutum
were emplaced distally from source rocks. It is indicating a Cenomanian age. Two samples contain
equivalent to mesozone granite expressing Cretaceous radiolarian.
approximate depth of emplacement about 7 - 16 km.
The Kayan Sandstone is composed of fluvio-deltaic
This is also consistent with the Oxidation Coefficient
deposits of quartz-feldspar and quartz-lithic
reflecting deep environment of emplacement. This sandstone, pebbly siltstone, shale and conglomerate
granite is characterized by a normally discordant intercalations; minor coal, silisified and pyritized
contact between country rocks and intrusive bodies. wood. Late Cretaceous to early Tertiary Pollen is also
present in Sarawak (Muller, 1968 in Supriatna et al,
PROTO TERTIARY BASINS 1993).

In this paper, the proto Tertiary basins are probably The Paniungan Formation consists of calcareous
divided into proto Melawi-Ketungau Basin, proto shally mudstone intercalated by thin sandstone,
Barito Basin and proto West Kutai Basin. The three deposited in outer shelf. It contains Molusca:
basins are probably related each other. Cylindrites sp. (Sikumbang, 1986 in Heryanto,
2000) recorded Lower Cretaceous spore
Proto Melawi-Ketungau Basin (Palynomorph) content in this formation comprising
Cicatricosisporites, Coronatispora, Klukisporites,
The proto Melawi Ketungau Basin was filled by
Leptolepidites, Verrucosisporites, Cyanthidites,
Cretaceous continental shelf and slope deposits of
Classopolli, and Eucommidites. These spores were
Pedawan Formation (Supriatna et al., 1993) which is
usually derived from tropical or equator region (DR.
the equivalent to shallow - deep marine Selangkai
Polhaupessy, pers. communication 2007).
Formation (William and Heryanto, 1986) and Kayan
Sandstone (Muller, 1968 in Supriatna et al., 1993). The Batununggal Limestone comprises upper-Early
Cretaceous Orbitolina limestone, bioclastic limestone
The Pedawan Formation in Sanggau sheet is
and calcarenite deposited in continental shelf. It is
composed of sandstone, siltstone, mudstone, shale,
probably similar to this of orbitolina limestone of the
locally slaty shale, some limestone and tuff,
Selangkai Formation deposited in proto Melawi-
commonly calcareous, locally carbonaceous and
Ketungau Basin.
tuffaceous. The limestone : beds up 3 m thick,
associated with calcareous sandstone and mudstone, The Pitap Group consists of Continental slope deposit
locally pyritic, fossiliferous. The fossil content of Pudak Formation and submarine fan sediment of
comprises ammonites, belemnites, pelecypods, Keramaian Formation. Those sediments contain
orbitolinids, worm tubes and plants. The thickness resedimented fragments from Paniungan Formation.
over 2000 m . Zeijlman van Emmichoven, 1939 (in and Batununggal Limestone, which were probably
Supriatna et al., 1993)also recorded fossils from product of sedimentary gravity flow including
oolitic limestone found in Pade River and comprise turbiditic mechanisms. The age of the Pudak
radiolaria, corals, Pholadomia sp. and Reineckia Formation may be Late Cretaceous. However.
anceps. From a marly sandy shale contains rich Robinson et al, 1996 (in Heryanto 2000) recorded
fauna of pelecypods: Pecten sp, Ostrea sp., cf. microflora and nanopanktons comprising
Cardium and Astarte borneensis Vogel and from a Fasciculitus aubertae, Sphenolithus anrrhapus,
marly clay-shale : Mytilus sp., Astarte borneensis Hornibrookina australis and Photosphaera plana
Vogel and Exelissa septemcostata Vogel. indicating Discoaster multira diatus Zone which is
Late Paleocene age.
The Selangkai Formation (William and Heryanto,
1986) in Sintang sheet is composed of calcareous,
Proto Kutai Basin
intercalated sandstone, minor limestone, pebbly
mudstone; commonly severely deformed. Fossil The proto Kutai Basin was filled by Cretaceous
content from 11 samples of sandstone and mudstone Selangkai Group which is continuation of this in proto
comprise Lenticulina sp, Nodosaria sp., Eponides Melawi basin in the west. This unit is composed of
diversus, Heterohelix globulosa, Globigerinelloides mudstone, sandstone, siltstone; minor conglomerate,

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 173


Geo-Sciences
limestone; rare coal; commonly calcareous and extrusive rocks. During Aptian to Upper Cretaceous
carbonaceous. Fossils found in this formation the Indian Plate move continuously northward
comprise large foramniferas: Orbitolina scutum causing a collision between Eurasia and India
which indicates a Cretaceous (possibly Cenomanian) continental Plates producing an accretionary prism
age. Other fossils consist of indeteterminate followed by partial melting of continental and oceanic
benthonic foraminifera, miliolids and fragments of rocks. This partial melting or anatexis generates more
coral, algae, pelecypods and echinoids. The fossils basic or more calcic granite rock, intruded as isolated
are shallow marine fauna (Pieters et al., 1993a). plutons in the west of Meratus Complex (Figure 9B).

Cretaceous Tectonic Development DISCUSSION AND CONCLUSION


Pieters et al. (1993a) and Amiruddin (2000b) On the basis of paleomagnetic data, during
considered that during Early Cretaceous, the Cretaceous, the hypothetical paleo latitude of
ophiolite and associated oceanic sedimentary rocks Kalimantan have been in equator region with tropical
(Kapuas and Danau Mafic Complexes) in West - East condition. This position is also confirmed by the
Kalimantan were deformed into an accretionary presence of Lower Cretaceous-tropical spora
wedge during southward subduction on the (Palynomorph) in the Paniungan Formation,
Northeastern Plate (proto South China Sea) beneath comprising Cicatricosisporites, Coronatispora,
a continent (Sunda Land) in the south , forming Klukisporites, Leptolepidites, Verrucosisporites,
highly deformed ophiolite and oceanic rocks as Cyanthidites, Classopolli, and Eucommidites.
tectonic mlange and broken formation which were The presence of Orbitolina Limestone and bioclastic
developed from Sambas in the west to Mangkaliat in limestone in those proto-Tertiary basins indicate that
the East . The subduction was followed by the the carbonate rock was deposited in warm and clean
formation of a large continental - margin magmatic environment which is usually occurred in tropical
arc which are exposed as Schwaner, Ketapang and regions.
Singkawang Batholiths and also volcanic rocks
(Figure 8 A). Two Cretaceous orogenic granite belts can be
recognized in Kalimantan, namely as Caledonian
During the Late Cretaceous, the Northeastern Plate Type-Orogenic Granite and Cordilleran Type-Orogenic
continuously moving southwards caused part of the Granite.
continental crust (proto South China Sea) of the
Northeastern Plate collided with continental crust of The Caledonian type occupy subduction and or
the Southern Continental Plate (Figure 8B). This collision complex, generated in Sambas-Mangkaliat
collision gave rise to an uplifting of the accretionary Complex in the north and also in Meratus Complex in
prism and also anatexis (partial melting of the southeast. This granite type occupying Sambas-
continental crust and mantle producing granitic Mangkaliat complex is commonly felsic and
magma. After the decrease of these compressive and comprises granite (sensu stricto) and granodiorite.
uplifting forces, they were followed by the release of These plutons are calc-alkali to alkaline and
stress, forming extensional ruptures which were the metaluminous to peraluminous in composition. They
ways for emplacement of granitic magma. form a belt consisting of multiple discrete intrusions.
Genetically it is a I-type granite. These granites were
This scenario above could explain how the formation generally emplaced in short time span live during Late
of the orogenic granite belt developing in Meratus Cretaceous time, at least from 74.9 m.a. to 80.6 m.a.
Complex. In this case, during Lower Cretaceous, the Whereas, this orogenic type occupying Meratus
oceanic crust of Indian Plate move to the north and Complex is felsic-intermediate to more mafic. It is
subducted into the Southeast marginal Eurasia Plate dominantly calc-alkaline to more calcic although
forming a subduction zone which is a highly alkalic-calcic are also present. It is consistent to
deformed terrain and mixing zone of oceanic and mataluminous and more metaluminous composition
continental rocks forming mlange and or broken although peraluminous composition is also present.
formation in the region (Figure 9A). This subduction This orogenic type was emplaced during Albian (near
was also followed by magmatic and volcanic arc border Lower and Upper Cretaceous) to Maastrichtian
activities increasing formation of various plutons of or Upper Cretaceous. The rocks belong to I-type
Schwaner and Ketapang batholiths, associated with granite.

174 JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009


Geo-Sciences

Figure 8. Compressive tectonic activities during Early (A) and Late (B) Figure 9. Compressive tectonic activities during Early (A) and Late (B)
Cretaceous related to formation of granite orogenic belts and Cretaceous related to formation of orogenic granite belt and
fore arc basin of the proto Melawi - Ketungau and proto Kutai fore arc basin of proto Barito Basin in the southeastern
Basins in the northern part Kalimantan ( Pieters et al, 1993a Kalimantan (this paper)
and Amiruddin, 2000b).

The Cordilleran type consists of huge batholiths The presence of double subduction belts and double
comprising Schwaner, Ketapang and Singkawang magmatic belts in Kalimantan suggest that the
batholiths and occupy the southwestern part of formation of those tectonic elements are related to
Kalimantan. The Schwaner and Singkawang compressive activities occurring in two directions.
batholiths are dominantly composed of intermediate The first, Northeast - South west plate movement and
rocks such as tonalite, quartz diorite and the second in the north-south directions. These
granodiorite and minor granite (sensu stricto) with tectonic activities produce the Caledonian Orogenic
mostly calc alkali composition. It is consistent to Granite Belt along Sambas-Mangkaliat belt and along
metaluminous composition. It is a I-type granite. Meratus Mountain (Subduction or Collision zones)
and more distal forming Cordilleran orogenic granite
The Ketapang batholith is slightly different in
occupying magmatic and volcanic arc of Schwaner,
composition. It is composed of monzogranite,
Ketapang and Singkawang batholiths.
syenogranite and alkali-feldspar granite; minor
granodiorite, tonalite, quartz diorite and diorite.
Those rocks are generally leucocratic, mostly alkali- ACKNOWLEDGEMENTS
calcic composition and minor peralkaline although I wish to express my appreciation to Head of The
calcalkali composition is also present. The alumina Centre for Geological Survey, management and
saturation of rocks indicate that the rocks are colleagues of this institution (Formerly GRDC) for
metaluminous and minor peraluminous. their assistance and support. I would like to thank to
Professor Young II Lee, Leader of UNESCO-IGCP
The granite plutons are mostly I-type, however, the Project 507 (2006-2010), School of Earth and
presence of some alkali-feldspar granites contain Environmental Sciences, The Seoul National
riebeckite and arfvedsonite indicate the A-type University , South Korea for inviting and helping to
granite is also present in this batholith. joint in the second International Symposium. Finally,
we also appreciate to Mr. Ridwan for drafting and
digitizing all figures.

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 175


Geo-Sciences
REFERENCES
Amiruddin and S. Andi Mangga. 1999. Geochemistry of Cretaceous Peraluminous Granite Plutons in Head
Water of Mahakam River, East Kalimantan. Journal ofGeology and Mineral Resources, Vol.IX., No
88 : 2-10.
Amiruddin, 2000a. Petrology and Geochemistry of the Sepauk Tonalite and Its Economic Aspect in the
Schwaner Batholit, West Kalimantan. Journal of Geology and Mineral Resources, Vol.IX., No 88.,
pp 2-10.
Amiruddin, 2000b. Cordilleran and Caledonian Types Cretaceous Orogenic Granitic Rock Belts: With the
Granitic Samples from West-East Kalimantan, Indonesia. Journal of Geology and Mineral
Resources, Vol.X., No 108 : 2-15..
Amiruddin, 2000c. Characteristics of Cretaceous Singkawang and Triassic Sanggau Batholiths West
Kalimantan, Journal of Geology and Mineral Resources, Vol.X., No 103 : 2-15..
Dirk M.H.J and Amiruddin. 2000. Batuan Granitoid. In : Hartono U., Sukamto R., Surono, Panggabean H. (eds),
Evolusi Magmatik Kalimantan. Special Publication, No.23, p.37-51.
Eric, A.K. Middlemost, 1986. Magmas and Magmatic Rock. An Introduction to igneous petrology. Long Man,
London and New York.
Hall R., 1997. Cenozoic Tectonics of SE Asia and Australasia. Proceeding of and International Conference on
Petroleum System of SE Asia & Australasi.pp. 47-62. Indonesian Petroleum Association.
Heryanto R., 2000a. Pengendapan Batuan Sedimen Kelompok Pitap di Bagian Selatan Pegunungan Meratus,
Kalimantan Selatan. Journal of Geology and Mineral Resources,. Vol. X, No. 109: 1-19.
Heryanto, R., 2000b. Tataan Stratigraphy. In: Hartono U., Sukamto R., Surono, Panggabean H. (eds), Evolusi
Magmatik Kalimantan Selatan. Special Publication, No. 23, p.7-24.
Katili J.A., 1989. Evolution of the Southeast Asian Arc Complex. Geologi Indonesia, Journal of the Indonesian
Association of Geologists.Vol.1w2. No. 1. Pp. 113-143.
Panggabean H., Sukarna D. and Rusmana E., 2007. The Introduction of Regional Cretaceous Geology in
Indonesia. In : Paleoclimates in Asia during the Cretaceous. IGCP Project 507 Contribution
No.1:79-97.
Pieters P.E, Abidin H.Z. and Sudana D., 1993a. Geology of the Long Pahangai Sheet area, Kalimantan. IAGMP.
Pieters P.E., Baharuddin, Andimangga, 1993b. Geology of the Long Nawan Sheet Area, Kalimantan.
1:250,000 scale. Geological Research and Development Centre, Bandung.
Pieters P.E., Surono and Y. Noya, 1993c. Geological Map of the Putussibau Sheet, Kalimantan. Geological
Research and Development Centre, Bandung.
Sunata W. and Wahyono H., 1987. Penerapan Metode Paleomagnet untuk Rekontruksi Pergerakan Jangka-
Panjang Kalimantan. PP.45-54. Penerapan Metode Geofisika Di Indonesia 1977-1997 Edisi
pertama. Himpunan Ahli Geofisika Indonesia.
Supriatna S., Margono U., Sutrisno, de Keyser F., Langford R.P. and Trail D.S., 1993. Geology of the Sanggau
Sheet area, Kalimantan. Geological Research and Development Centre, Bandung.
Wahyono H. and Sunata W., 1987. Posisi Lintang Purba Kalimantan Sejak Mesozoic Awal Berdasarkan Hasil
Penelitian Magnet Purba. Warta HAGI, No. 6/XIII/Desember: 15.
Williams P.R. and Heryanto R., 1986. Geological Data Record Sintang 1 : 250,000, Quadrangle West
Kalimantan. Indonesia (GRDC)- Australia (BMR) Geological Mapping Project.
Wright J.B., 1969. A Simple alkalinity ratio and its application to questions of nonorogenic granite genesis.
Geological Magazine, Vol.106: 370-384.

176 JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009


Geo-Sciences
MEDAN GAYA BERAT PADA BATUAN OFIOLIT (ULTRAMAFIK) DI BEOGA, PAPUA DAN
IMPLIKASI TERHADAP GENESIS ALIH TEMPATNYA

B. Setyanta dan B.S. Widijono


Pusat Survei Geologi
Jl. Diponegoro No. 57 Bandung, 40122

SARI

Di daerah Beoga, Puncak Jaya, Papua, tersingkap sekelompok batuan ofiolit yang terdiri atas piroksenit, dunit,
serpentenit, dan peridotit yang tersebar memanjang dengan arah barat - timur sepanjang kurang lebih 100 km dan lebar
sekitar 50 km.
Anomali gaya berat pada kelompok batuan ini menunjukkan pola elips dengan kisaran nilai antara -25 mGal hingga 160
mGal. Pemodelan gravitasi yang ditunjang dengan analisis geologi menggambarkan bahwa batuan ofiolit sudah
mengalami fragmentasi dan tersingkap karena proses obduksi akibat tumbukan dua lempeng besar yakni Lempeng
Granitik Australia dan Lempeng Samudra Pasifik. Tataan tektonik yang demikian memberikan dampak rawan bencana
gempa bumi dan tanah longsor di daerah Mulia dan sekitarnya.
Kata kunci : medan gaya berat, ofiolit, genesis, potensi geologi

ABSTRACT

In Beoga, Puncak Jaya, Papua, a group of ultramafic rocks consisting of piroxenite, dunite, serpentenite and peridotite
are exposed. The distribution of these rocks are very large, lying alongside east - west direction, reaching 50 km and 100
km long. The gravity fields in this region exhibit an elliptic gravity anomaly pattern ranging from -25 to 160 mGals. The
gravity modelling and geological analysis suggest that ophiolite has been fragmented and exposed due to obduction,
caused by an interaction between Pacific oceanic and Australian granitic plates. This tectonic setting may cause Mulia
and its surrounding area to be susceptible to geological hazards such as earthquake and landslides.
Keywords : gravity potentials, ophiolite, genesis, geology potential

PENDAHULUAN Wiryosujono and Tjokrosapoetro, 1978; Gray dan


Gregory, 2003). Pada tahun 2007, dibiayai oleh
Lembar Beoga terletak di sekitar Pegunungan
APBN, Pusat Survei Geologi melalui Program
Gauttier bagian utara, yakni sekitar 136o30' BT-
Pemetaan dan Penelitian Dasar telah selesai
138o00' BT dan 3o00' LS-4o15' LS.
memetakan gaya berat seluruh Papua, termasuk
Kompleks ofiolit di daerah Beoga dan sekitarnya lembar Beoga. Pemetaan gaya berat Lembar Beoga
tersingkap memanjang barat - timur pada jalur ofiolit menggunakan alat gravimeter geodetik LaCoste &
Irian Jaya. Kompleks batuan ini terdiri atas batuan- Romberg model G.813, 525, 826 dan G.240
batuan ultramafik seperti piroksenit, serpentenit, dengan helikopter sebagai sarana transportasi,
peridotit, dan dunit (Panggabean drr., 1995). Ofiolit sehingga penyebaran titik-titik ukurnya cukup baik
telah lama dipercaya oleh para ahli ilmu kebumian dan merata. Peta gaya berat merupakan gambaran
sebagai fragmen kerak samudra (oceanic perbedaan medan gaya berat yang disebabkan oleh
lithosphere) yang dialih-tempatkan ke permukaan tidak meratanya rapat massa batuan di daerah
benua (Cann, 1970; Dewey drr., 1970; Coleman, pemetaan. Massa batuan di bawah permukaan bumi
1971, Nicolas drr., 1988). Meskipun demikian, yang mempunyai perbedaan rapat massa dengan
mekanisme pengalih-tempatan masih menjadi batuan di sekitarnya akan memperlihatkan anomali
bahan perbincangan walaupun model obduksi gaya berat terukur, apakah itu berupa tinggian
secara logika menjadi pilihan yang banyak diterima ataupun rendahan, sehingga dapat ditarik garis yang
(Coleman, 1971; Moores dan Twiss,1995; memisahkan keduanya. Sementara model gaya berat
dapat menyingkap konfigurasi struktur bawah
permukaan dan menentukan bentuk, ukuran, dan
Naskah diterima : 4 Februari 2009
Revisi terakhir : 16 Juni 2009 kedalaman benda geologi yang dicari.

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 177


Geo-Sciences
Demikian pula dengan batuan ultramafik, batuan ini 1. Kawasan Samudra Utara yang dicirikan oleh
akan memberikan efek yang berbeda dengan batuan ofiolit dan busur vulkanik kepulauan (Oceanic
di sekitarnya yang mempunyai rapat massa relatif province).
lebih rendah. Maksud penulisan makalah ini adalah 2. Kawasan Benua yang terdiri atas batuan sedimen
menerjemahkan data sigi gaya berat secara seksama yang menutupi batuan dasar kontinen yang relatip
ke bentuk rancang bangun model gaya berat, stabil dan tebal.
sehingga akan menghasilkan model geologi bawah
3. Lajur peralihan yang terdiri atas batuan
permukaan yang lebih mendekati kenyataan.
termalihkan dan terdeformasi sangat kuat secara
Sementara tujuannya adalah mengetahui genesis regional. Lajur ini terletak di tengah (central
keberadaan batuan ofiolit di daerah Beoga dan range) dan memisahkan kelompok 1 dengan
sekitarnya dengan jalan mempertajam interpretasi- kelompok 2 dengan batas-batas sesar-sesar
nya, sehingga sedikit banyak dapat diketahui potensi sungkup dan sesar-sesar geser.
geologinya.
Dalam hal ini daerah penelitian termasuk kedalam
kawasan Lajur Peralihan atau Jalur Pegunungan
METODOLOGI Tengah. Lajur ini terutama tersusun oleh batuan
Sumber data didapat dari pengamatan gaya berat di malihan di samping batuan-batuan ofiolit dan
Lembar Beoga yang dilakukan dengan metode material-material mantel atas. Ada beberapa
perbedaan penamaan kelompok batuan malihan
putaran tertutup (closed loop) secara sel.
pada lajur ini, seperti Darewo Metamorphics (Pieters
Pembacaan awal dan akhir dilakukan di BS Kota
drr.,1983, Panggabean drr, 1995), Darewo
Mulia. BS Kota Mulia diturunkan dari BS Sentani
Metamorphics Belt (Nash drr., 1993 dalam Darman
(Mess Balai Latihan Kependudukan dan & Sidi, 2000) dan Ruffaer Metamorphics Belt (Dow
Pemukiman) yang terikat pada titik pangkal gaya drr., 1986). Batuan-batuan ini terbentuk oleh
berat nasional Bandara Sentani. metamorfosis temperatur rendah (sekitar 350oC)
Melalui tahapan-tahapan koreksi, seluruh nilai gaya dengan tekanan sekitar 5-8 kb dan bercampur
dengan batuan batuan ofiolit (Darman & Siddi,
berat yang diamati direduksi menjadi anomali
2000).
Bouguer dengan rapat massa 2,67 g/cc dan sebagai
bidang acuan digunakan bidang pemukaan laut rata-
rata. Harga gaya berat normal (Gn) dihitung dengan Geologi Batuan Ofiolit
acuan elipsoid GRS 1967. Hasilnya kemudian Batuan-batuan ofiolit pada umumnya tersingkap di
dituangkan dalam peta Anomali Bouguer Lembar sayap utara Pegunungan Tengah Irian dan Papua
Beoga, skala 1 : 250.000. Dari peta gaya berat New Guinea (northern flank of Central Range).
tersebut kemudian dibuat penampang atau lintasan Secara geografis kelompok batuan ofiolit di Papua
yang memotong tegak lurus arah pola umum struktur dapat dibagi menjadi beberapa bagian menurut
geologi daerah Beoga dan sekitarnya, yaitu arah lokasinya, yakni : Central Ophiolite Belt di
utara - selatan. Untuk menghindari ambiguitas Pegunungan Tengah, Ofiolit Pegunungan Cyclops,
April Ultramafics, Marum Ophiolite dan Papuan
dalam pemodelan, digunakan data sekunder dari
Ophiolite (Harris, 2003, Gambar 1). Tiga yang
para penulis terdahulu sebagai acuan tambahan,
disebut terakhir terletak di Papua New Guinea. Ofiolit
sehingga model yang dihasilkan diharapkan benar-
Beoga terdapat di Central Ophiolite Belt di
benar mencerminkan konsep geologi yang ada di Pegunungan Tengah (Central Irian Ophiolit Belt)
daerah ini. yang mempunyai panjang keseluruhan kurang lebih
500 km dan lebar sekitar 50 km (Dow drr., 1986).
Geologi Regional Papua Umur batuan ofiolit di daerah ini sampai saat ini
belum diketahui secara pasti, namun demikian
Menurut Dow drr., (1986), geologi Irian Jaya atau
diprediksi berumur Mesozoikum atau sekitar Kapur
Papua dapat dibedakan menjadi tiga lajur Akhir (Visser & Hermes, 1962, Dow drr., 1986,
berdasarkan stratigrafi, magmatik, dan tektoniknya, Harris, 2003). Tipe batuan ofiolit di Pegunungan
yakni : Tengah adalah hazburgit dan mempunyai sekuen

178 JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009


Geo-Sciences
yang lebih lengkap daripada tempat lain di Papua Pola Anomali Bouguer Kaitannya Dengan Geologi
yang terdiri atas material residual mantel hingga Daerah Penelitian
basal (Monnier drr, 2000). Dari peta geologi Lembar
Pengukuran gaya berat di lapangan menghasilkan
Beoga (Panggabean drr, 1995, Gambar 2) batuan
data sebanyak 178 titik dengan interval antar titik
ofiolit terdiri atas beberapa jenis batuan ultramafik,
sekitar 5 - 7 km yang dilakukan dengan metode
seperti serpentenit, dunit, dan peridotit yang
putaran tertutup (closed loop) menghasilkan peta
berumur sekitar Kapur Atas. Batuan ultramafik ini
anomali Bouguer Lembar Beoga, Papua berskala 1 :
terletak secara tidak selaras di atas batuan malihan
250.000 (Gambar 5). Secara umum, gaya berat
Darewo dan bersama-sama terimbrikasi oleh
Lembar Beoga dapat dibagi menjadi dua kelompok
perlipatan dan sesar-sesar naik yang sangat intensif
anomali. Kelompok pertama, yaitu tinggian anomali,
(Panggabean drr., 1995). Prediksi secara geologis
menempati bagian utara lembar, sedangkan
menyatakan bahwa ketebalan batuan ofiolit ini
kelompok kedua adalah rendahan anomali
sekitar 4-8 km (Davies & Jaques, 1984 dalam Haris,
menempati bagian selatan Lembar Beoga. Kelompok
2003).
tinggian anomali berbentuk bulatan elips besar
Dewey (1976) mengemukakan beberapa teori berpusat di sekitar kota Mulia dengan nilai
tektonik alih tempat batuan ofiolit. Menurut Dewey maksimum mencapai 160 mGal. Kelompok anomali
(1976) alih tempat ofiolit dapat terjadi karena yang pertama ini diperkirakan berkaitan dengan lajur
pemekaran, overthrusting di daerah pemekaran, batuan ofiolit Pegunungan Tengah Papua (Central
tumbukan di daerah batas lempeng, tumbukan di Range Ophiolite Belt). Lajur ofiolit Papua dicirikan
daerah busur kontinen, dan kombinasi beberapa oleh batuan ultramafik yang tersusun oleh
proses di atas (gambar 3). Sementara Moores dan serpentenit, piroksenit, peridotit, dan dunit
Twiss (1995) mengemukakan bahwa thrust stacking (Panggabean drr., 1995). Di bagian utara, lajur ofiolit
menyebabkan terjadinya alih tempat batuan ofiolit ini sebagian tertutup oleh batuan gunung api Tersier
(gambar 4). Tipe alih tempat yang cocok untuk dan endapan aluvium. Pada peta anomali Bouguer
daerah Papua akan digambarkan berdasarkan hasil lajur ofiolit ini ditunjukkan oleh kelompok anomali
pemodelan gaya berat. bernilai sekitar 0 hingga 160 mGal dengan landaian
sekitar 8 mGal/km.

130O 132O 134O 136O 138O 140O 142O 144O 146O 148O 150O 152O BT
0O

SAMUDRA PASIFIK
2O

SERAM BEOGA 2
1
4O

LAUT BANDA 3 4
O
6
PAPUA
U INDONESIA NEW
LAUT
8 O
ARAFURA GUINEA
B T
5
10O
S
0 300 Km
O
12
LS

Gambar 1. Penyebaran batuan ultramafik/ofiolit di Pulau Papua (warna biru),


1. Central Ophiolite Belt, 2. Ofiolit Pegunungan Cyclops. 3. April Ultramafics, 4. Marum Ophiolite, 5. Papuan Ophiolite
(sumber : Harris, 2003).

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 179


Geo-Sciences

136o30 BT 138o00 BT
3o00 LS

3o00 LS
Tema
Tpd
Qa
Tpd Masirei r
ffa e
Tmm
U
Tema S.Rou
D

Tema Qa
Tema
Tpd
S.Vandaleen

MULIA
Tema Mu U
D

Mu
D U

Td
Td

Ktew
Td
Ktmn Ktew
D
U
Jkk Jkk Jkk
4o00 LS

4o00 LS
Ktmn Ktmn

136o30 BT 138o00 BT

130O 132O 134O 136O 138O 140O


0O
KETERANGAN : SAMUDRA
U PASIFIK

Qa Aluvium 2O

B T SERAM

Tmm Batupasir grewak 4O Beoga


LAUT BANDA
S
Tema Lava, breksi 6O

Batuan malihan 0 10 20km LAUT


ARAFURA
Td Darewo
8O

0 300 Km
Mu Batuan ultramafik : serpentenit,
piroksenit,peridotit, dunit
Ktmn Batugamping (Pratersier)
Sesar naik
Ktew Batugamping Waripi
(Pratersier) D Sesar normal
Jkk Batupasir &batulumpur U : bagian yang naik
U
(Pratersier) D : bagian yang turun

Gambar 2. Peta geologi lembar Beoga, Papua (disederhanakan dari Panggabean, drr., 1995).

180 JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009


Geo-Sciences
1 2 3
A

1 2 3
B

1 2
C
Arc
1 Arc
2
D

1 2
E

Beoga, Papua

Arh Arh

Gambar 3. Beberapa diagram proses alih tempat batuan ofiolit (bidang warna hitam) menurut Dewey (1976, gambar atas) dan model ofiolit
Papua (gambar bawah).
A. Alih tempat di daerah pemekaran, B. Overthrusting di daerah pemekaran, C. Tumbukan di daerah batas lempeng, D. Tumbukan di
daerah busur kontinen dan E. Kombinasi dari beberapa tipe.

Kelompok anomali kedua berupa lajur-lajur anomali


yang bernilai sekitar 0 hingga -170 mGal dengan
landaian sekitar 20 mGal/km dan terletak di bagian A
selatan lembar peta. Kelompok anomali ini 1 2 4
ditafsirkan sebagai pencerminan batuan sedimen 3
Tersier dan Pratersier. Batuan sedimen ini sebagian Slope- Ophiolite
Platform Abyssal
rise
sudah termalihkan dan membentuk lajur dan dikenal plain
sebagai lajur batuan malihan Ruffaer dan lajur anjak
Pegunungan Tengah Papua. Kelompok batuan B
sedimen ini dilandasi oleh kerak granitik dan gradien Ophiolite
4
anomalinya terlihat menurun ke arah selatan. Lajur
anomali ini pada bagian timur sedikit melebar ke 3 Abyssal plain
utara karena pengaruh batuan dengan rapat massa 2 Slope rise
rendah, yakni kelompok Kambelangan yang makin 1 Platform
luas di bagian timur. Arah lajur (trend) kedua
kelompok anomali adalah barat - timur. Hal ini
Gambar 4. Thrust stacking pada batuan ofiolit, A. Sebelum thrusting, B.
diperkirakan berkaitan dengan arah perlapisan Posisi setelah thrusting (Moores & Twiss, 1995).
batuan secara umum di daerah ini yakni barat - timur.
Kedua kelompok anomali tersebut dipisahkan secara
tektonik oleh jalur sesar naik (lihat peta geologi
Gambar 2).

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 181


Geo-Sciences
Penampang Gaya Berat dan lazim dikenal sebagai Orogen Melanesia.
Orogenesis ini menghasilkan tiga mendala geologi
Model dua dimensi penampang gaya berat dibuat
yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya
memotong arah umum struktur geologi Papua atau
(Geologi Regional Papua). Pada bagian tersebut telah
tegak lurus arah umum jurus jalur anomali, yakni
dijelaskan bahwa pada peta anomali Bouguer batuan
arah utara - selatan (lihat Gambar 5 & 6). Model gaya
ofiolit tercermin dari kelompok tinggian anomali
berat berdasarkan pengelompokan batuan yang
berbentuk elips. Model gaya berat dua dimensi
mempunyai rapat massa relatif sama dalam satu
bawah permukaan arah utara selatan menggambar-
poligon tertentu. Kelompok batuan ofiolit
kan bahwa batuan ofiolit (2,8 gr/cc) ini naik ke
mempunyai rapat massa sekitar 2,8 gr/cc, lebih kecil
permukaan oleh sesar naik, sedangkan di bagian
dibandingkan dengan rapat massa rata-rata batuan
selatan, kerak granitik (2,67 gr/cc) terlihat sebagai
penyusunnya, yakni peridotit , piroksenit, dan dunit,
tonggak massa yang stabil (Gambar 6).
sehingga diperkirakan batuan ini sudah mengalami
fragmentasi, percampuran dengan material lain, atau
akibat deformasi. Peridotit , piroksenit, dan dunit Tabel 1. Rapat Massa Rata-rata Batuan (Telford, drr, 1976)
sebagai penyusun utama batuan ultramafik Batuan Sedimen Rapat Massa (gr/cc)
mempunyai rapat massa rata-rata sekitar 3,15 gr/cc aluvium 1,98
(lihat Tabel 1). Material selubung atas (upper lempung 2,21
mantle) dikelompokkan dalam satu poligon, yaitu glasial 1,80
kelompok batuan dengan rapat massa sekitar 3,05 kerikil 2
gr/cc. Kelompok material selubung dan ofiolit loess 1,64
direfleksikan oleh nilai anomali Bouguer sekitar 0 pasir 2,0
hingga 160 mGal mulai dari km ke 53 hingga km ke pasir-lempungan 2,1
78. Di bagian utara batuan ofiolit tertutup oleh lanau 1,93
soil 1,92
sedimen Tersier setebal kurang lebih 4 km dengan
batu pasir 2,35
rapat massa rata-rata 2 gr/cc. Batuan malihan yang
serpih 2,40
berumur Tersier dan Pratersier diperkirakan batu gamping 2,55
mempunyai rapat massa yang hampir sama, yaitu dolomit 2,70
sekitar 2,3 gr/cc, karena memang tidak terlihat
undulasi pada kurva yang mengindikasikan Batuan Beku Rapat Massa (gr/cc)
perbedaan rapat massa litologinya. Kelompok batuan riolit 2,52
yang terakhir ini dilandasi oleh kerak benua granitik obsidian 2,30
Australia (2,67 gr/cc) yang miring ke selatan. Kondisi dasit 2,58
batuan ofiolit kemungkinan sudah mengalami trasit 2,60
fragmentasi dan bercampur dengan material- andesit 2,61
granit 2,64
material selubung atas sehingga secara matematis
granodiorit 2,73
rapat massa yang cocok dalam pemodelan adalah
syenit 2,77
2,8 gr/cc.
diorite 2,83
lava 2,9
DISKUSI diabas 2,9
basal 2,99
Peristiwa-peristiwa geologi di Papua telah banyak gabro 3,03
diteliti oleh para ahli kebumian. Sejak Visser & peridotit 2,15
Hermes (1962) meneliti geologi Papua (Irian Jaya), piroksenit 3,17
pulau ini menjadi pusat perhatian bagi para ahli horenblenda-gabro 3,08
geologi, ahli geofisika dan ahli eksplorasi. Dow drr.,
(1986), Hartono drr., (1989), Pieters, drr., (1983), Batuan Malihan Rapat Massa (gr/cc)
Wiryosujono & Tjokrosapoetro, (1978), Pigram and sekis 2,64
pilit 2,74
Panggabean (1984), dan Sapiie drr., (1999) pada
batusabak 2,79
umumnya berpendapat bahwa orogenesis pada kala
kuarsit 2,60
Oligosen adalah mulainya proses tektonik di Papua
marmer 2,75
hingga terbentuknya fisiografi yang terlihat sekarang grewak 2,65

182 JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009


Geo-Sciences
136o30 137o00 137o30
3o00
U 138o00
-50 3o00
Korodesi mGal
50

25
-25 0 Masirei 140
25
75
0 120
100
100
150 125
80
60
S.V an da lee n
40
125 20
100 0
75 -20
50 G.NGOGOMBA
25
-40
0 -60
-25 -80
G.MULIA
-50 -100
-1

G. KAROBOGA -120
MULIA
00

-7 HITALIPA -75
5 U -140
BOGOBAIDA -100 MAPENDUMA
-160
B T -180

5
-12

-150
-12
5 -200
S
0 10 20 30 km
4o00o 4o00 LS
136 30 137o00 S 137o30 138o00 BT

Gambar 5. Peta anomali Bouguer Lembar Beoga, Papua, interval kontur 5 mGal. SU adalah arah pemodelan gaya berat.

mGal
160
= calc 120
= obs U 80
40
0
-40
S -80
-120

-10 10 30 50 70 90 110 130


Jarak k m
.0 KETERANGAN :
2,0 gr/cc
2,3 gr/cc -4.0
2,8 gr/cc Endapan Aluvium
-8.0
k m (Kedalaman)

Batuan sedimen
-12.0 Tersier (2,0 gr/cc)
2,67 gr/cc
3,05 gr/cc -16.0 Batuan malihan
-20.0
Tersier (2,3 gr/cc)
-24.0 Batu gamping
Pratersier (2,3 gr/cc)
4.0

.0 Batuan malihan
2 gr/cc Pratersier (2,3 gr/cc)
2,3 gr/cc -4.0
2,8 gr/cc
k m (Kedalaman)

-8.0 Batuan ofiolit


(2,8 gr/cc)
3,0 gr/cc -12.0
2,67 gr/cc Batuan mantel
-16.0
3,1 gr/cc atas (3,05 gr/cc)
-20.0
Batuan kerak
-24.0
granitik (2,67 gr/cc)
-28.0

Gambar 6. Model 2-D bawah permukaan gaya berat dan rekaan penampang geologi arah utara - selatan daerah Beoga, Papua (tanpa skala, arah
pemodelan lihat Gambar 5). Batuan sedimen Tersier sebagian tertutup oleh endapan aluvium konglomerat, batulumpur, dan batu pasir
(Panggabean, drr., 1995).

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 183


Geo-Sciences
Pada bagian model yang lain yakni di bagian lebih seperti sesar Sorong-Yapen. Namun demikian seiring
selatan lagi, batuan sedimen yang terdiri atas batuan dengan berlangsungnya subduksi dua lempeng
malihan, batu gamping, batu pasir, dan lainnya dapat tersebut, kerak granitik di bagian tepi kontinen (shelf
dikelompokkan kedalam satu poligon dengan rapat continental rise), sambil menahan dorongan kerak
massa sekitar 2,3 gr/cc. Sementara di bagian utara, samudra, sedikit demi sedikit ikut terangkat,
batuan sedimen vulkanik Tersier yang menutupi sehingga batu gamping di daerah paparannya
sebagian ofiolit dapat dikelompokkan kedalam satu tumbuh terus sejalan dengan proses pengangkatan.
poligon dengan rapat massa sekitar 2 gr/cc. Secara Demikian pula pada kerak samudranya, di samping
garis besar, proses alih tempat batuan kerak samudra menunjam ke bawah kerak granitik, compressional
(ofiolit) pada model penampang gaya berat ini dapat regime juga menyebabkan mengalami fragmentasi di
dijelaskan sebagai berikut : Pada mulanya dalam beberapa bagian dan terdorong ke atas dan bergerak
kondisi kesetimbangan isostatik, kerak samudra ke selatan, dan akhirnya bersatu di daerah
primitif (2,8 gr/cc) ada pada kedalaman 4-10 km di Pegunungan Tengah termasuk daerah Beoga ini.
bawah permukaan laut, dan lengkung anomali gaya Compressional regime yang berlangsung terus
beratnya sama dengan nol (Sardjono, 2003). Kondisi memunculkan jalur-jalur lipatan, sesar-sesar anjak
kesetimbangan tersebut kemudian mengalami dan mengakibatkan pula terbentuknya batuan
perubahan akibat gaya tekan. Memang secara logika malihan berumur Tersier (2,3 gr/cc). Pada kontak
model gaya berat yang demikian ini (Gambar 6) dengan batuan ofiolit, batuan malihan ini
dapat terbentuk akibat gaya tekan (compressional kemungkinan menjadi bidang gelincir pada obduksi
regime) yang diperkirakan berasal dari utara - timur ofiolit, sehingga naik ke permukaan. Berdasarkan
laut (Lempeng Pasifik) yang disertai oleh komponen model matematik Telford drr. (1976, Gambar 7)
geser (slip regime) akibat bagian selatannya bentuk kurva anomali Bouguer semacam ini
(Lempeng Australia) cukup stabil untuk menahan menggambarkan suatu obduksi (sesar naik).
gaya tekan tersebut. Secara regional slip regime ini di Wiryosujono & Tjokrosapoetro (1978) membuat
beberapa tempat menimbulkan sesar-sesar besar hipotesis secara skematiks mengenai obduksi batuan
ofiolit dan dinamika kerak yang berlangsung kira-kira
sejak Kapur Akhir (Gambar 8) dan ternyata sesuai
50 dengan hasil penelitian gaya berat di atas. Sebagai
40
MmGal

30 A
perbandingan, di bawah ini ditampilkan beberapa
20 Gradien paling curam model bawah permukaan hasil penelitian gaya berat
10
0 pada batuan ofiolit di beberapa tempat.

D
r
=0.1 g/cm3 10 km
Pegunungan Meratus, Kalimantan
50 Pada Gambar 9 dan 10 batuan ofiolit yang terlihat
40
MmGal

30
B pada model gaya berat daerah Meratus mempunyai
20 rapat massa sekitar 2,90 gr/cc hingga 2,95 gr/cc
10
0
Gradien paling curam (Gaol drr., 2005, Setyanta & Setiadi 2006). Batuan
ofiolit ditafsirkan menumpang di atas kerak granitik,
D
r
=0.1 g/cm3 10 km muncul ke permukaan melalui suatu retakan pada
50 kerak dan membentuk struktur bunga positif (Gaol
40
MmGal

30 C drr, 2005, Subagio drr., 2000). Proses alih tempat ini


Gradien paling curam
20 menghasilkan dua lajur ofiolit, yaitu Lajur Manjam
10
0
dan Lajur Bobaris (Setyanta & Setiadi, 2006). Dalam
kesimpulannya Setyanta & Setiadi (2006) dan Gaol
D
r
=0.1 g/cm3 10 km drr., (2005) mengatakan bahwa proses alih tempat
batuan ofiolit diakibatkan oleh tumbukan dua
lempeng sejenis, yakni lempeng granitik yang berasal
Gambar 7. Model sesar yang terlihat dari anomali gaya berat di atas dari Lempeng Eurasia dan Lempeng kontinen mikro
slab, A sesar geser, B sesar naik dan C sesar normal,
(Telford, drr., 1976). Australia.

184 JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009


Geo-Sciences
90
70

mGal
CONTINENTAL

ARC TRENCH
50

SHELF AND

VOLCANIC
MARGINAL
30

TRENCH
10

BASIN
RISE

ARC
-10

GAP
0

Kedalaman
2 2,30 gr/cc 2,30 gr/cc

(km)
4 2,95 gr/cc
2,78 gr/cc
6
8
Kontinen Australia-Papua 10

KAPUR AKHIR
Gambar 9. Model anomali gaya berat 2-D pada batuan ofiolit daerah
Meratus, Kalimantan. Batuan ofiolit ditunjukkan dengan
rapat massa 2,95 gr/cc, batuan sedimen 2,30 gr/cc dan
batuan dasar sekis mika 2,78 gr/cc (Gaol, drr., 2005).

EOSEN-OLIGOSEN

MIOSEN TENGAH-
MIOSEN AKHIR Beoga
Zona Sesar Sorong
Peg.Tengah
Samudra Gambar 10. Penampang Geologi Pegunungan Meratus
Laut Arafura Pasifik berdasarkan pemodelan gaya berat arah AB pada
peta gaya berat (Setyanta & Setiadi, 2006).
?
?

Batu gamping Batuan


terobosan KUARTER-RESEN
Lempeng samudra/ofiolit

Lempeng benua granitik

Gambar 8. Model obduksi batuan ofiolit Papua (Wiryosujono dan


Tjokrosapoetro, 1978).

Calc
Obs Ms-2
650
550
450
350
250
150
A 50
NW Jarak (km)
BSE -50
-150
0 10 30 50 70 90
PEGUNUGAN MERATUS Depth (Km)
2,0
Cek. Barito Bobaris Manjam Cek. Asem-asem
2,4 gr/cc 2,72
2,4 gr/cc -2,0
2,74 gr/cc
2,9 gr/cc
-6,0

2,6 gr/cc -10,0


2,68 gr/cc

-14,0

-18,0

-22,0

Sedimen Tersier 2,74


Batuan Ofiolit 2,68 Batuan Granitik Batuan Terobosan
2,9 2,72

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 185


Geo-Sciences
Pulau Seram bawah mantel yang berpotensi sebagai mineral
Tumbukan Lempeng Laut Banda dengan lempeng ekonomis, sehingga perlu uji petrografi dan geokimia.
granitan Pulau Seram menyebabkan bagian tepi ke Selain potensi ekonomi, ancaman gempa bumi di
dua lempeng tersebut mengalami fragmentasi daerah ini cukup tinggi. Daerah Papua merupakan
bersama-sama, sehingga rapat massa secara salah satu daerah aktif gempa bumi karena terletak
keseluruhan berkurang (Setyanta & Setiadi, 2007). pada zona tumbukan busur kontinen dan lempeng
Fragmentasi tersebut membentuk batuan campur samudra. Wilayah dengan sesar-sesar anjak
aduk antara batu-batuan ofiolit dan batu-batuan mempunyai potensi gempa bumi yang sering diikuti
granitan dengan rapat massa sekitar 2,45 gr/cc, yang dampak sekunder berupa tanah longsor, apalagi
selanjutnya terobduksi oleh sesar-sesar naik, kondisi batuannya yang sudah tidak kompak akibat
sehingga batuan ofiolit tersingkap (Gambar 11). fragmentasi. Dampak sekunder ini kadang-kadang
berakibat lebih dahsyat dibandingkan dengan akibat
Muarawahau, Kalimantan gempa itu sendiri (Pudja & Mudjiono, 1989). Di kota
Mulia dan sekitarnya, ancaman kebencanaan
Batuan ultramafik sebagai bagian dari ofiolit yang
semacam ini perlu diperhatikan.
terlihat pada model gaya berat daerah Muarawahau,
Kalimantan, mengalami proses alih tempat dalam
bentuk fragmen-fragmen kerak dengan rapat massa KESIMPULAN DAN SARAN
sekitar 2,70 gr/cc (Setyanta & Setiadi, 2008, 1. Batuan ofiolit di Daerah Beoga tercermin pada
Gambar 12). nilai anomali Bouguer sekitar 0 hingga 160 mGal
yang berbentuk bulatan elips positif dengan arah
Talaud-Mayu jurus barat - timur.
Ofiolit di Talaud-Mayu yang terlihat dari model gaya 2. Kelompok batuan ofiolit mempunyai rapat massa
berat mempunyai rapat massa sekitar 2,8 gr/cc, dan 2,8 gr/cc, sehingga batuan diperkirakan sudah
terangkat ke permukaan membentuk pematang mengalami fragmentasi dan bercampur dengan
samudra di perairan Laut Maluku akibat tumbukan unsur-unsur dari mantel atas.
dua lempeng sejenis (Gambar 13, Sardjono, 1999).
3. Proses alih tempat batuan ofiolit oleh sesar naik
Dari contoh-contoh model tersebut di atas, model diperkirakan sebagai akibat compressional
gaya berat daerah Pulau Seram (Gambar 11) adalah regime dari utara - timur laut yang berlangsung
model yang agak mirip. Perbedaanya terletak pada terus.
komposisi litologinya, di Pulau Seram walaupun
masih dominan, tetapi batuan ofiolitnya sudah 4. Karena terletak di daerah fragmentasi batuan
mengalami percampuran dengan material-material ofiolit, daerah ini rawan gempa dan mudah terjadi
lain membentuk satuan bancuh, sedangkan di Papua tanah longsor.
ofiolitnya masih relatif murni, lengkap dengan 5. Perlu dilakukan pengambilan percontoh-
sekuen-sekuennya. percontoh batuan untuk analisis laboratorium
secara cermat, sehingga diketahui potensi
Aspek Potensi Geologi ekonominya.
Seiring dengan meningkatnya intensitas tektonik
tekan yang disertai dengan komponen geser maka UCAPAN TERIMA KASIH
konsekuensinya adalah terjadi kinematika kompresi Dengan selesainya tulisan ini, penulis mengucapkan
oblik (oblique compressional kinematics) yang terima kasih kepada rekan-rekan ahli geofisika di
menyebabkan fragmentasi kerak ofiolit. Keadaan P2D, Kepala Tim Pemetaan Gaya Berat Papua dan
yang demikian tidak menutup kemungkinan Koordinator Program P2D atas saran-sarannya.
material-material mantel atas ikut terbawa ke atas. Demikian pula kami ucapkan terima kasih kepada
Material-material upper mantle yang terangkat Kepala Pusat Survei Geologi atas izin penerbitan
sering tercemari oleh material-material bagian tulisan ini.

186 JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009


Geo-Sciences
mGal
Anomali dihitung 350
S Anomali di lapangan 300
250
200
150
100
U 50
Jarak 0
km
-50
-20 20 60 100 140 180 220 260 -100

Bandaneira Laut Banda P. Seram


1,03 gr/cc 2,2 gr/cc .0
2,2 gr/cc
2,8 gr/cc 2,45 gr/cc -4.0

Kedalaman (km)
-8.0
-12.0
2,58 gr/cc
-16.0
3,1 gr/cc 2.67 gr/cc
-20.0

-28.0
Gambar 11. Model struktur kerak di sekitar perairan Laut Banda berdasarkan kurva anomali Bouguer. Batuan ofiolit dan material-
-32.0
material lain dari kerak granitik dan mantel atas membentuk batuan campur aduk (2,45 gr/cc) dan terangkat oleh sesar
anjak (Setyanta & Setiadi, 2008). -36.0

Anomali Bouguer (m G a l)
40.0
= hasil perhitungan B
= hasil pengukuran 20.0
.0
-20.0
A
-40.0
-60.0
-20 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180
J a r a k (km)
1.0
2,25 gr/cc
2,25 gr/cc + - -1.0
2,6gr/cc
-3.0
2,6gr/cc 2,7gr/cc

Kedalaman (km)
-5.0

-7.0

-9.0
2,68 gr/cc
-11.0

-13.0

KETERANGAN -15.0

Bat.sedimen Tersier/
Bancuh Andesit/diorit + - Sesar mendatar
Vulkanik Tersier
- Blok menjauh
Bat.sedimen Pra + Blok mendekat
Bat. Ultramafik Granit
Tersier

Gambar 12. Model geologi bawah permukaan daerah Muarawahau, Kalimantan, berdasarkan data gaya berat (tanpa skala). Batuan
ultramafik sebagai fragmen kerak samudra dengan rapat massa sekitar 2,7 gr/cc (Setyanta & Setiadi, 2008).

Anomali Free Air


(mGal)
100

-100
Gambar 13. Model gaya berat tumbukan lempeng
Pematang
sejenis di sekitar Talaud-Mayu. Batuan Laut Maluku Talaud-Mayu
ofiolit (2,97 gr/cc) naik ke permukaan 0 1,03gr/cc
50 100 150 200 km
Kedalaman (km)

membentuk pematang tengah laut 2,17gr/cc 2,17gr/cc


2,79 gr/cc 2,24gr/cc
Talaud-Mayu (Sardjono, 1999). 10 2,24gr/cc
2,97gr/cc
2,97gr/cc
20

30 3,07gr/cc

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 187


Geo-Sciences
ACUAN
Cann, J.R., 1970. New Model for The Structure of the Oceanic Crust, Nature, 226 : 928-930.
Coleman, R.G., 1971. Plate Tectonic Emplacement of Upper Mantle Peridotites Along Continental Edges,
Journal of Geophysical Research, 86 : 1212-1222.
Darman, D & Sidi, F.H. (eds.), 2000i An Outline of the Geology of Indonesia, Indonesian Association of Geologist
(IAGI), pp.180.
Dewey, J.F. Bird, J.M.and Moores, E., 1970. Ultramafics and Orogeny, with Models of the US Cordillera and the
Tethys, Nature, 228 : 837-842.
-----------. 1976. Ophiolite Obduction, Tectonophysics, 31 : 93-120.
Dow, D.B. and U. Hartono, 1986, The Mechanism of Pleistocene Plate Convergence Along Northeastern Irian
Jaya, Proceedings 13th Annual Convention, Indonesian Petroleum Association, May 1984, p.145-
150.
------------, Robinson, G.B., Hartono, U. dan Ratman, N., 1986. Peta Geologi Irian Jaya, Indonesia, Skala
1:1.000.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Gaol, K.L., Permana, H., Kadarusman, A., Hananto, N.D., Wardana, D.D. dan Sudrajat, Y., 2005. Model Gaya
Berat Pegunungan Bobaris-Meratus, Kalimantan Selatan dan Implikasi Tektoniknya, Jurnal
Geofisika, HAGI, 2 : 2-9.
Gray, D.R. and Gregory, T.T., 2003. Ophiolite obduction and the Samail ophiolite : the behaviour of the
underlying margin, In : Ophiolites in Earth History, Dilek. Y. & Robinson P.T. (eds), Geological
Society, London Special Publications. 218, 449-465.
Harris, R., 2003. Geodynamic patterns of ophiolites and marginal basins in the Indonesian and New Guinea
regions, In : Ophiolites in Earth History, Dilek. Y. & Robinson P.T. (Eds), Geological Society, London
Special Publications. 218 : 481-505.
Hartono, U., Sukanta, U. and Ratman, N., 1989. Pre and Post Tertiary collision magmatic activity in Irian Jaya,
Indonesia, Proceedings 16th Regional Cong. On Geol. Min. and Hydrocarb. Res. of Southeast
Asia, Jakarta, Indonesia; 61-71.
Moores, E.M. & Twiss, R.J., 1995. Tectonics, W.H. Freeman Inc., New York.
Monnier, C., Girardeau, J., Pubellier, M. & Permana. H., 2000. Oophiolte de la chaine centrale d'Irian Jaya
(Indonesie) evidences petrologiques et geochimiques pour une origine dans un basin arriere-arc.
Earth and Planetary Sciences, 331 : 691-699.
Nicolas, A., I. Reuber and K. Benn, 1988. A New Magma Chamber model based on Stuctural studies in the
Oman Ophiolith, Tectonophysics, 151 : 87-105.
Panggabean, H, Amiruddin, Kusnama, K. Sutisna, R.L. Situmorang, T.Turkandi dan B. Hermanto, 1995. Peta
Geologi Lembar Beoga, Irian Jaya, Skala 1:250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi, Bandung.
Pieters, P.E., Pigram, C.J., Trail, D.S. Dow, D.B., Ratman, N. and Sukamto, R., 1983. The Stratigraphy of
Western Irian Jaya, Indonesia, Geological Research and Development Centre Bull. 8 : 14-48.
Pigram, C.J., and Panggabean, H., (1984). Rifting of the Nortern margin of the Australian continent and the
origin of some microcontinents in estern Indonesia, Tectonophysics, 107 ; 331-353.
Pudja, I.P. dan Mudjiono, R., 1989. Mekanisme Pusat Gempa Bumi Sesar Tengah, Irian Jaya, Proceedings PIT
HAGI XIV, Jakarta; 392-399.
Rais, J., 1979. International Gravity Standardization Net 1971 (IGSN), Proc.PIT III HAGI, Yogyakarta.

188 JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009


Geo-Sciences
Sapiie, B., Natawidjaya, D.H. & Cloos, M., 1999. Strike-slip tectonic of New Guinea : transform motion between
the Caroline and Australian Plates. In Busono, I. & Alam, H. (eds) Development in Indonesian
tectonics and structural geology. Proc. of Indonesian Association of Geologists. I : 1-12.
Sardjono, 1999. Gravity field and structure of the crust of the Banggai Island region, Eastern Indonesia,
implications for tectonics and hydrocarbon prospecs, Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral, IX
(99) : 16-29.
------------, 2003. Anomali gaya berat dan dinamika kerak bumi, Majalah IAGI, Mei 2003.
Setyanta, B. dan Setiadi, I., 2006. Komplek Batuan Ultramafik Meratus sebagai Bagian dari Ofiolit Kerak
Samudra ditinjau dari Aspek Geomagnetik dan Gaya Berat, Jurnal Sumber Daya Geologi, XVI,
no.6, Pusat Survei Geologi : 335-348.
------------ , dan Setiadi, I., 2007. Anomali Gaya Berat dan Tataan Tektonik Sekitar Perairan Laut Banda dan
Pulau Seram. Jurnal Sumber Daya Geologi, XVII, no.6, Pusat Survey Geologi : 408-419.
------------, dan Setiadi, I., 2008. Model geologi bawah permukaan daerah Muarawahau Hasil Analisis Anomali
Gaya Berat Berdasarkan Estimasi Kedalaman dengan Metode Analisis Spectral, Jurnal Sumber
Daya Geologi, XVI, no.6, Pusat Survey Geologi : 335-348.
Subagio, Widijono, B.S. & Sardjono, 2000. Model kerak lajur Meratus berdasarkan analisis data gaya berat dan
magnet implikasi terhadap potensi mineral ekonomi, Seri Geofisika, no.1, Maret 2000, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi : 47-67.
Telford, W.M., Geldart, L.P., Sherrif, R.E. and Keys, D.A., 1976. Applied Geophysics, Cambridge University
Press, London, 860pp.
Visser W.A., and Hermes, J.J., 1962. Geological results of the exploration for oil in Netherlands New Guinea.
Verh.Kon.Ned.Geol.Mijnbuowk.Genoot.,Geol.Ser., 20 : 1- 265.
Wiryosujono, S. and Tjokrosapoetro, S., 1978. Ophiolite in eastern Indonesia. Procceding of the third regional
conference on the geology and mineral resources of S.E. Asia (ed. Prinya Nutalaya), 641-652.
Asian Institute of Technology, Bangkok.

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 189


Geo-Sciences
BIOSTRATIGRAFI DAN BIOTA JURA KEPULAUAN MISOOL, INDONESIA DAN KORELASI
INTERREGIONAL DAN GLOBALNYA

Fauzie Hasibuan
Pusat Survei Geologi
Jl. Diponegoro No. 57 Bandung 40122
fauzie@grdc.esdm.go.id

SARI

Kepulauan Misool mempunyai kesamaan dengan Kepulauan Sula berdasarkan kandungan fauna bivalvianya, tetapi
berbeda dengan Kepulauan Sula yang mengandung kumpulan fosil amonit yang lebih baik, namun di Kepulauan Misool
digantikan oleh kumpulan fosil belemnit. Fauna Kepulauan Misool ini dapat dikorelasikan dengan fauna Papua
berdasarkan pada fauna amonit seperti Fontannesia killiani. Fauna Kepulauan Misool ini juga dapat dikorelasikan dengan
fauna Alpin Eropa, Amerika Utara, Chili, Argentina, Selandia Baru, Australia Barat Laut, Tibet Utara dan Selatan,
Himalaya dan lain-lain. Walaupun demikian, korelasi dengan wilayah-wilayah lainnya berdasarkan beberapa jenis saja,
dan kadang-kadang berdasarkan marga-marga yang bersifat kosmopolitan.
Kata kunci: Jura, Kepulauan Misool, amonit, bivalvia, korelasi interregional dan global

ABSTRACT

The Jurassic fauna of Misool Archipelago is very similar to Sula Islands on the basis of bivalve content, but it differs from
Sula Islands in that good ammonite assemblages which replaced by assemblages of belemnites. The fauna of Misool
Archipelago can also be correlated with Papua is on the basis of ammonite fauna such as Fontannesia killiani. Misool
Archipelago fauna is also correlable with those of the European Alps, North America, Chile, Argentina, New Zealand,
Northwestern Australia, North and South Tibet, Himalaya, etc. However, some areas correlation is based only on a few
species and sometimes only on cosmopolitan genera.
Keywords: Jurassic, Misool Archipelago, ammonites, bivalve, interregional and global correlation

PENDAHULUAN Maksud dan Tujuan


Formasi-formasi batuan pada kurun Pratersier Penulis-penulis terdahulu telah banyak melakukan
terutama yang berada di bagian timur Kepulauan penelitian fosil-fosil zaman Jura dari daerah ini dan
Indonesia terdiri atas formasi-formasi batuan yang sebagian dari fosilnya tersimpan di Laboratorium
berasosiasi dengan batuan benua tua Gondwana. Paleontologi, Pusat Survei Geologi dan sebagian lagi
Pada umumnya penelitian biostratigrafi pada satuan- masih tersimpan di Eropa (Belanda dan Jerman).
satuan batuan pada kurun Pratersier ini masih sedikit Data yang sudah ada dan koleksi yang dilakukan oleh
penulis diharapkan dapat memberikan gambaran
dilakukan. Penelitian biostratigrafi zaman Jura ini
yang lebih akurat mengenai urutan biostratigrafi Jura
merupakan bagian dari penelitian Pratersier ini.
di Kepulauan Misool untuk dijadikan dasar penelitian
Konsep tektonik lempeng (plate tectonic concepts) lanjutan di daerah lain. Dari hasil penelitian
yang diterapkan di Indonesia telah banyak biostratigrafi dari Kepulauan Misool ini akan
memberikan pemahaman tentang geologi terutama dilakukan korelasi dengan kronostratigrafi standar
di Indonesia bagian timur. Penelitian biostratigrafi ini internasional (International Standard
diharapkan dapat memberikan pemahaman Chronostratigraphy), yaitu penentuan umur yang
lebih tepat dan asosiasi fauna pada zaman Jura.
tambahan tentang geologi daerah ini.
Hasil penelitian ini akan memberikan kontribusi pada
pemahaman asosiasi fauna dan sejarah geologi
Indonesia. Selain itu, Kepulauan Misool merupakan
Naskah diterima : 30 Februari 2009
Revisi terakhir : 22 Junil 2009 daerah yang mempunyai urutan stratigrafi paling

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 191


Geo-Sciences
lengkap dan dapat dipakai sebagai acuan penelitian Pembagian zaman Jura dan kronologi fauna
biostratigrafi untuk daerah-daerah lainnya. Dengan berdasarkan Harland drr. (1982), sedangkan
mempelajari biostratigrafi Jura daerah ini diharapkan pembagian umur mutlaknya didasarkan atas Walker
dapat dipecahkan kerangka geologi dan problemnya. dan Geisman (2009) yang dapat dilihat pada
Gambar 4.
METODE
BIOSTRATIGRAFI
Penelitian ini didasarkan pada data yang pernah
dikumpulkan oleh peneliti-peneliti terdahulu dan Formasi-formasi zaman Jura di Kepulauan Misool
koleksi fosil yang dilakukan dan telah dideterminasi mencapai tebal sekitar 260 m. Formasi-formasi
tersebut adalah Formasi Yefbie (80 m), (Potret 1),
oleh penulis (Hasibuan, 1991). Determinasi dan
berumur Toarcian sampai Callovian Awal, kemudian
dokumentasi fosil dilakukan guna mengenali Formasi Demu (80 m) (Potret 2) berumur Akhir
keanekaragaman marga (genus) terutama moluska Callovian sampai Oxfordian Akhir bagian awal.
yang ditemukan di daerah ini. Dari hasil determinasi Formasi Lelinta (100 m) (Potret 3 dan 4) yang paling
itu dibuat suatu urutan biostratigrafi berdasarkan atas berumur Oxfordian Akhir sampai Kapur Awal
data lapangan dan dibandingkan dengan yang (Berriasian Awal).
ditemukan di tempat lain. Dalam korelasi ini
pertimbangan-pertimbangan analisis lingkungan JURA AWAL
pengendapan, paleogeografi, tektonik lempeng dan Jura Awal dibagi menjadi empat jenjang yaitu
penelitian mintakat serta hubungannya dengan Hettangian, Sinemurian, Pliensbachian dan
faunanya telah dilakukan berdasarkan literatur- Toarcian. Di Kepulauan Misool hanya jenjang
literatur yang ada. Pengamatan perbedaan antara Toarcian yang dapat dikenali. Korelasi biostratigrafi
fauna dari Kepulauan Misool yang merupakan bagian antara Formasi Yefbie dan Formasi Demu dapat
dari benua tua Gondwana dengan daerah lain, dilihat pada Gambar 5.
terutama bagian barat Indonesia yang merupakan
bagian dari benua tua Laurasia, telah pula Jenjang Toarcian
dipertimbangkan. Nama Toarcian berasal dari Thouars, Perancis. Batas
Kepulauan Misool terletak di sebelah barat daya bawahnya ditandai oleh keterdapatan fosil
Kepala Burung, Papua (Gambar 1). Peta sebaran Dactylioceras tenuicostatum dan batas atasnya oleh
formasi-formasi Jura di Kepulauan Misool dapat pemunculan awal Dumortieria levesquei (Harland
dilihat pada Gambar 2 dan kolom stratigrafinya pada drr., 1989).
Gambar 3.
Khatulistiwa 00

MASA JURA
P. OBI PAPUA
KEP. SULA KEP. MISOOL
Buckman (1818) in Harland drr. (1989) membagi
Formasi Oolite yang tersingkap dengan baik di Inggris LAUT SERAM
menjadi Oolite Bawah, Oolite Tengah, dan Oolite P. SERAM
Atas. Formasi ini disamakan dengan Jura-Kalkstein
P. BURU
dari Alexander yang kemudian dikenal sebagai
Batugamping dari Jura. Batuan Jura di Inggris ini 50LS

banyak mengandung fosil amonit yang kemudian LAUT BANDA


P. ARU
mendasari pembuatan biozonasi pada umur-umur
batuan lainnya (di antaranya oleh Arkell 1933,
1946, 1956). P. WETAR
P. TANIMBAR
P. ALOR
Harland drr. (1989) membagi masa Jura ini menjadi U
Lias, Dogger, dan Malm. Dalam penelitian ini penulis P. TIMOR
LAUT ARAFURU
lebih menggunakan pembagian Jura Awal, Tengah, 0 KM 120 KM

100LS
1300BT
dan Akhir seperti yang umum dipakai di luar Inggris.
Gambar 1. Peta lokasi Kepulauan Misool

192 JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009


130o10E 130o15E

10
Jkf Jkf
Gamta
o
2 S
Jkf
Jkf
Jf
12
10 10 10
e f
t ak
Trub Truk 15 Ko 10
ga
Bi
S. Kotakef
Truk
Jud
Jud
Jud
20 Trub
Jlmy 20
15 15
26
12
Jlmy 12 7 Jud
o 18 P. Fialpopo
2 05'S 7 Tg. Foron P. Demu
Jlmy
P. Yefbie Jud

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009


23
Trub
Trub P. Bikaumut 10
10 P. Yelu
Jf Kelompok Facet (tidak diuraikan)
Trub
Truk Formasi Keskain(Trias) P. Misool
U
Jkf Formasi Gamta (Kelompok Facet)
Trub Formasi Bogal (Trias)
Jul Formasi Lelinta B T

Jud Formasi Demu > Kelompok Fageo 0 KM 5 KM


S Peta indeks lokasi sebaran formasi-formasi Jura
Jlmy Formasi Yefbie

Gambar 2. Peta sebaran formasi-formasi Jura di Kepulauan Misool.


Geo-Sciences

193
Geo-Sciences

Gambar 3. Kolom stratigrafi Kepulauan Misool (modifikasi dari Hasibuan, 1991).

194 JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009


Geo-Sciences

Potret 1. Singkapan Formasi Yefbie di Tanjung Foron, Kepulauan Misool.

Potret 2. Singkapan Formasi Demu di Tanjung Demu, Kepulauan Misool.

Gambar 4. Pembagian kolom zaman Jura dengan kronologi fauna


(Harland drr., 1989, sebagian), dan Umur Mutlak (Walker
dan Geisman 2009).

Potret 3. Singkapan Formasi Lelinta di Teluk Lelinta, Kepulauan Misool.

Potret 4. Lapisan batupasir gampingan mengandung


fosil Retroceramus subhaasti di dalam
Formasi Lelinta.

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 195


Geo-Sciences

Gambar 5. Korelasi kolom stratigrafi di bebera tempat di Kepulauan Misool.

Di Tanjung Foron, Kepulauan Misool, bagian atas Jenjang Bajocian


Toarcian ditandai oleh penemuan Grammoceras.
Jenjang Bajocian berasal dari Bayeux, Perancis yang
Jenjang Toarcian Akhir. Di kepulauan ini Jenjang atas
diusulkan oleh d'Orbigny (1849-1852). Jenjang ini
Toarcian ditandai juga oleh fosil amonit Haugia dan
dibagi dua, Bajocian Bawah dan Bajocian Atas.
Dumortieria. Helby dan Hasibuan (1988)
Bajocian Bawah ditandai oleh adanya Hyperlioceras
melaporkan jenis (species) spora Callialasporites
discites dan Stephanocera humphresianum,
turbatus sebagai penciri jenjang Toarcian-Aalenian
sedangkan Bajocian Atas dicirikan oleh keberadaan
(Helby drr., 1987).
Stephanoceras subfurcatum dan Parkinsonia
parkinsoni.
JURA TENGAH
Keterdapatan Fontannesia killiani, Witchellia dan
Jenjang Aalenian Pseudotoites membuktikan, bahwa jenjang Bajocian
Jenjang ini berasal dari daerah Aalen di Jerman di Awal ada di Kepulauan Misool di bagian bawah
bagian sudut utara Swabian Alps. Batas bawah Formasi Yefbie. Jenjang Bajocian Atas ditandai oleh
jenjang ini adalah alas Zona Opalinum. Jenjang adanya Sphaeroceras, sedikit di atas kumpulan
Aalenian ini mempunyai tiga zona amonit, yaitu Fontannesia-Witchellia. Keberadaan jenjang
Leioceras opalinum (alas), Ludwigia murchisonae, Bajocian ini pun didukung oleh keterdapatan fosil
dan Graphoceras concavum. dinoflagelata Caddasphaera halosa, Dissiliodinium,
Escharisphaeridia dan Nannoceratopsis (Helby and
Adanya jenjang Aalenian di Kepulauan Misool Hasibuan, 1988).
diketahui dengan ditemukannya amonit Bredya pada
bagian alas Formasi Yefbie. Walaupun demikian, Jenjang Bathonian
batas antara Jenjang Aalenian dan Toarcian belum
dapat ditentukan dengan pasti, karena tidak Nama Bathonian berasal dari daerah Bath, Inggris.
ditemukan singkapan batuan yang mengandung Batas jenjang ini diambil dari Zigzag Chronozone di
asosiasi fosilnya. Bas Auran, Barrmme, di bagian tenggara Perancis
(Harland drr., 1989).
Hasibuan dan Grant-Mackie (2007) menemukan
gastropoda Bathrotomaria foronica bersama Bredya Jenjang ini di Kepulauan Misool tidak dicirikan oleh
dari bagian bawah Formasi Yefbie. Bathrotomaria jenis fauna yang jelas. Namun demikian, jenjang ini
foronica ini mirip dengan Pleurotomaria barottei dari diperkirakan berada pada batuan serpih pasiran dan
Haute-Marne, Perancis berumur Callovian. Eucyclus gampingan setebal 2 m yang mengandung sepaian
orbignyanus juga dari lokasi yang sama bersama belemnit di bagian bawah Formasi Yefbie di antara
dengan Fontannesia berumur Aalenian. jenjang Bajocian dan Callovian.

196 JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009


Geo-Sciences
Batas antara jenjang Bajocian dan Bathonian sangat Belemnit Belemnopsis moluccana yang ditemukan
sulit ditentukan karena singkapannya yang menerus di Kepulauan Misool berumur Oxfordian sampai
(monotonous) yaitu perselingan lapisan tipis serpih Kimmeridgian Awal (Challinor, 1989a) dan
dan batupasir halus gampingan. Di India, di dekat pemunculan akhir Hibolithes cf. ingens menandai
Zanskar, jenjang ini dianggap suatu rumpang (hiatus) batas bawah jenjang Oxfordian. Batas bawah jenjang
(Jadoul drr., 1983), begitu juga di daerah Spiti-Niti ini juga ditandai oleh munculnya Hibolithes
(Krishna drr., 1982). Keadaan ini tidak begitu di quadratus, Hibolithes longiscissus, dan Demubelus
Kepulauan Misool karena endapannya terlihat weberi dengan bivalvia Praebuchia cf. orientalis.
menerus. Praebuchia cf. orientalis ini berumur Callovian Akhir
sampai Oxfordian Awal di Siberia bagian utara
Jenjang Callovian (Zakharov, 1981).
Nama jenjang Callovian ini berasal dari Kellaway's, Jenjang Oxfordian Atas dicirikan oleh ditemukannya
Inggris yang batas bawahnya ditandai oleh Praebuchia cf. kirghisensis yang berumur Oxfordian
munculnya Macrocephalites macrocephalus dan Akhir di Siberia bagian utara (Surlyk dan Zakharov,
batas atasnya ditandai oleh pemunculan akhir 1982). Batas atasnya ditandai oleh pemunculan
Quenstedtoceras lamber ti. Lapisan jenis
akhir Hobolithes boloides dan Hobolithes
(stratotype) jenjang ini sampai sekarang belum
longiscissus.
ditentukan (Harland drr., 1989).
Keberadaan fosil dinoflagelata seperti Broomea
Ditemukannya amonit Coffatia di bagian bawah
Formasi Jefbie mencirikan keberadaan jenjang ramosa, Pyxidiella pandora, Scriniodinium
Callovian Awal ini di Kepulauan Misool. Pemunculan ceratophorum, Scriniodinium crystallinum dan
belemnit Belemnopsis persulcata di lokasi yang Wannea spp. (termasuk Wanaea spectabilis)
sama mendukung pendapat ini (Challinor,1989b). Di dimasukkan ke dalam Zona Wanaea spectabilis
atas B. persulcata dijumpai Conodicoelites abadi (Helby drr., 1987) yang berarti berumur Oxfordian.
pertama kali berumur Callovian sampai Oxfordian
Awal yang kemudian diikuti oleh pemunculan Jenjang Kimmeridgian
Dicoelites rotundus (Callovian) dan Belemnopsis
Nama jenjang ini berasal dari daerah Kimmeridge,
wanneri (Callovian Akhir sampai Oxfordian Awal).
Dorset, Inggris. Batas bawah jenjang ini dicirikan oleh
Fosil-fosil belemnit ini di Kepulauan Misool muncul
pertama kali pada Callovian Awal sampai Kapur munculnya Pictonia baylei dan batas atasnya oleh
Awal. Kisaran umur individu marga belemnit ini pemunculan akhir Aulacostephanus
sangat penting dalam penelitian biozona apabila fosil autissiodorensis. Harland drr. (1982) merevisi jejang
lainnya tidak ditemukan. Pemunculan awal ini yang beranggapan, bahwa jenjang Kimmeridgian
Belemnopsis wanneri di dalam Formasi Yefbie hanya dibatasi pada Kimmeridgian Awal, sedangkan
menentukan batas atas jenjang Callovian ini di Kimmeridgian Tengah dan Atas dimasukkannya ke
Misool. Di bagian atas jenjang ini ditemukan dalam jenjang Tithonian yang lebih muda.
Hibolithes cf. ingens yang berumur Callovian Akhir
sampai Oxfordian Awal. Di Kepulauan Misool tidak ada fosil amonit
ditemukan yang menandai jenjang Kimmeridgian ini.
Fosil dinoflagelata yang ditemukan di bagian bawah
JURA AKHIR
Formasi Lelinta mengandung Scriniodinium
Oxfordian galeritum, Scriniodinium cr ystallinum,
Jenjang ini berasal dari Oxford, Inggris, yaitu dari Scriniodinium ceratophorum, Pyxidiella pandora,
tebing Teluk Cornelain, tenggara Scarborough, dan Wanaea clathrata yang menunjukkan umur
Yorkshire. Lokasi ini lebih baik daripada lapisan Kimmeridgian (Helby dan Hasibuan, 1988). Di
marga dari pantai Auberville, Normandy, Perancis Australia, Zona Wanaea clathrata berkisar dari
(Harland drr., 1989). Batas bawah jenjang ini Oxfordian Awal sampai Kimmeridgian (Helby drr.,
dicirikan oleh pemunculan awal Quenstedtoceras 1987).
marie dan batas atasnya oleh pemunculan akhir
Amoeboceras rosenkrantzi.

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 197


Geo-Sciences
Di Kepulauan Misool, Zona Wanaea clathrata ditunjukkan oleh asosiasi Omatia montgomeryi,
berasosiasi dengan elemen amonit yang berumur Herendeena pisciformis, Komewuia glabra yang
Tithonian Awal sampai Tengah. Dari kumpulan ini termasuk ke dalam Dingodinium jurassicum Zone
dapat disimpulkan, bahwa dinoflagelata (Helby dan Hasibuan, 1988).
mengandung elemen yang lebih muda dan berarti
pula sangat dekat dengan batas antara jenjang KORELASI BIOSTRATIGRAFI
Kimmeridgian dan Tithonian (Helby dan Hasibuan,
1988; Challinor, 1989b). Fauna dari Kepulauan Misool merupakan asosiasi
transisi antara Kepulauan Sula dan Kepulauan Buru-
Jenjang Tithonian Seram (Wanner, 1931). Di Kepulauan Misool ini
seperti juga di Kepulauan Sula dan Kepulauan Buru-
Nama Tithonian berasal dari Tithon, putra Laomedon Seram tidak ditemukan adanya ketidakselarasan
dari Troy, suami dari Dewi Eos (Aurora), Dewi Fajar. antara Jura dan Kapur (Umbgrove, 1938;
Jenjang ini diusulkan oleh Oppel (1865), walaupun Froidevaux, 1974; Arkell, 1956). Keberadaan
lapisan jenisnya belum ditentukan (Harland drr, Grammoceras, Haugia, Dumortieria dan sebagainya
1982). sangat mirip dengan marga-marga yang ditemukan
Batas bawah jenjang Tithonian di Kepulauan Misool di Eropa.
dicirikan oleh keterdapatan Aulacosphinctoides, Hikuroa dan Grant-Mackie (2008) melakukan revisi
Kossmatia, dan Paraboliceras, sedangkan jenjang dan pembedaan marga Buchia di belahan utara dan
batas atasnya dicirikan oleh adanya Uhligites, selatan bumi. Di bagian selatan marga Buchia
Kossmatia, dan Berriasella. disebut sebagai Australobuchia, sedangkan di utara
Aulacosphinctoides diketahui berumur Tithonian masih Buchia. Dalam penelitian ini penulis
Awal, Kossmatia ditemukan juga berumur selanjutnya menggunakan Australobuchia sebagai
Kimmeridgian di dalam lapisan di tempat lain, pengganti Buchia dimana diperlukan.
sedangkan Paraboliceras berumur Tithonian Akhir
(Uhlig, 1910; Arkell, 1956; Helby drr., 1988). a. Korelasi Interregional Jura
Jenjang Tithonian Awal di Kepulauan Misool ditandai Korelasi dengan Kepulauan Sula
juga oleh keterdapatan Cribroperidinium perforans
yang berasosiasi dengan bivalvia Retroceramus galoi Kepulauan Misool dan Kepulauan Sula menghasilkan
dan Retroceramus subhaasti. korelasi yang sangat baik (Sato drr., 1978;
Westermann drr., 1978; Westermann dan Calomon,
Fosil belemnit Belemnopsis galoi muncul pertama 1988). Korelasi sering dilakukan berdasarkan fosil
kali pada alas jenjang Tithonian (Challinor, 1989a). amonit, walaupun di beberapa bagian didasarkan
Bivalvia Retroceramus haasti dan Malayomaorica pada fosil bivalvia apabila fosil amonit tidak
malayomaorica di Kepulauan Misool berumur ditemukan. Fosil amonit di Kepulauan Sula lebih
Tithonian Awal. Challinor dan Skwarko (1982) beranekaragam dibandingkan dengan yang di
beranggapan juga bahwa batas bawah jenjang Kepulauan Misool, terutama di zaman Jura Tengah.
berada pada pemunculan awal Belemnopsis stolleyi. Biostratigrafi Kepulauan Sula berdasarkan amonit
Fosil yang berumur Tithonian akhir antara lain lebih pasti, kecuali pada umur Toarcian sampai
Australobuchia subspitiensis, Australobuchia Bajocian. Di samping itu juga, biostratigrafi bagian
subpallasi, Malayomaorica misolica dan Hibolithes paling atas Callovian dan bagian bawah Oxfordian
sp. A Challinor. tidak ditemukan di Kepulauan Sula.
Fosil dinoflagelata yang menunjukkan umur Malayomaorica malayomaorica dengan
Tithonian Awal ditunjukkan oleh adanya marga Retroceramus haasti di Kepulauan Sula berumur
Belodinium dysculum, Carnavonidinium morganii, Tithonian Awal sampai Tengah, sedangkan di
Egmontodinium torynum, Peridictyocysta mirabila, Kepulauan Misool ditemukan hanya pada horizon
Cribroperidinium plexus, dan Xenicodinium yang berumur Tithonian Tengah. Di Kepulauan Sula,
densispinum tanpa Omatia montgomeryi dan Retroceramus galoi dan Retroceramus subhaasti
Herendeenia pisciformis termasuk ke dalam Fromea berumur Oxfordian Akhir sampai Kimmeridgian
cylindrica Superzone atau Cribroperidinium Akhir, sedangkan di Kepulauan Misool Retroceramus
perforans Zone dari Helby drr. (1987) (Helby dan subhaasti hanya pada lapisan yang berumur
Hasibuan, 1988). Flora berumur Tithonian Akhir Tithonian Awal.

198 JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009


Geo-Sciences
Korelasi dengan Papua Korelasi dengan Alps dan Eropa
Fontannesia killiani dari Papua Tengah berumur Korelasi Jura Awal biostratigrafi Kepulauan Misool
Bajocian Awal begitu juga di Kepulauan Misool mirip dengan bagian akhir Jura Awal di Eropa
(Westermann dan Getty, 1970). (Soergel, 1913), terutama marga Harpoceras spp.
yang terbagi menjadi Haugia dan Dumortieria.
Korelasi dengan Pulau Babar
Jura Tengah
Wandel (1936) mengkorelasikan lapisan yang
mengandung Harpoceras dari Formasi Yefbie di Arkell (1956) beranggapan bahwa keberadaan
Kepulauan Misool dengan fauna zaman Jura Awal jenjang Aalenian di Kepulauan Misool berdasarkan
bagian akhir dari Pulau Babar dan Kepulauan Sula. amonit harpoceratid. Amonit ini juga dilaporkan ada
di Kalimantan oleh Krause (1896), Pulau Babar, dan
Korelasi dengan Pulau Timor dari Timor bagian timurlaut oleh Wanner (1931).
Arkell juga yakin bahwa stratigrafi Jura Akhir dari
Keterdapatan Grammoceras timorensis (Wanner, Selandia Baru dan Papua Nugini sangat berkaitan
1922) di Timor pada zaman Jura Awal dapat baik secara litologi dan paleontologi dengan Serpih
dikorelasikan dengan bagian bawah Formasi Yefbie Spiti (India), Indonesia, dan Himalaya.
di Kepulauan Misool. Malayomaorica
malayomaorica dan Retroceramus cf. haasti dari Korelasi dengan Argentina dan Chili
Timor oleh Wanner (1922) dianggap berumur
Di Manflas, Provinsi Acatama, Argentina keberadaan
Oxfordian Akhir, sedangkan di Kepulauan Misool Bredya aff. crassornata yang dilaporkan oleh
berumur Tithonian Tengah. Amonit Sphaeroceras Westermann dan Ricardi (1979) berumur Aalenian
dari Timor yang berumur Callovian Awal mirip sekali dengan Bredya dari bagian bawah
kemungkinan termasuk ke dalam marga Satoceras Formasi Yefbie, Kepulauan Misool. Fontannesia (?)
yang berasal dari Kepulauan Sula yang dideskripsi austroamericana dari Formasi Puchenque, Mendoza
oleh Westermann dan Calomon (1988). kemungkinan sekali korelatif dengan Fontannesia
killiani dari Kepulauan Misool. Marga dari
b. Korelasi Global Pegunungan Andes ini berumur Aalenian Akhir
sampai Bajocian Awal, sedangkan Fontannesia
Jura Awal killiani berasosiasi dengan Witchellia dan
Gambar 6 memperlihatkan korelasi global Pseudotoites dan berumur Bajocian Awal. Oleh
Kepulauan Misool dengan wilayah Asia dan Amerika. karenanya, dapat disimpulkan bahwa setidaknya
sebagian Formasi Puchenque dari Argentina-Chili
dapat dikorelasikan dengan bagian bawah Formasi
Yefbie dari Kepulauan Misool.

Gambar 6. Korelasi global Kepulauan Misool pada zaman akhir Jura Awal sampai Jura Tengah.

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 199


Geo-Sciences
Amonit Chondroceras defonti berumur mulai dari Korelasi dengan Tibet Utara
bagian akhir Emileia giebeli sampai Awal Zona Ditemukannya Fontannesia arabica di Tibet bagian
Humphriesianum, dan Chondroceras recticostatum utara menyimpulkan adanya korelasi yang positif
berkisar dari Pseudotoites singularis sampai ke dengan Arab bagian tengah dan berumur Bajocian
puncak Zona Emileia giebeli di Argentina-Chili Awal (Enay dan Mangold, 1984) dan dengan Kenya
(Westermann dan Riccardi, 1979). Di Kepulauan (Westermann dan Wang, 1988). Dengan demikian,
Misool. Chondroceras ditemukan di atas kumpulan fauna dari ketiga daerah ini dapat dikorelasikan
Witchellia-Fontannesia-Pseudotoites dan dengan fauna bagian bawah Formasi Yefbie dari
diperkirakan termasuk ke dalam Zona Kepulauan Misool.
Humphriesianum (Bajocian Awal, seperti di
Amerika, Kanada dan Alaska Selatan). Choffatia cf. funata dari Tibet Utara berumur
Callovian Awal atau Calloviense/Gracilis Zones
Korelasi dengan Australia Barat Laut (Westermann dan Wang, 1988). Anggapan umur
Callovian Awal ini didukung oleh ditemukannya
Amonit Harpoceras radians dan Harpoceras aalensis
kumpulan Choffatia funata-balinensis-madani dan
yang dilaporkan oleh Clark (1867) dan Moore
(1870) dari Australia Barat kemungkinan dapat Oxycerits sp. dari tempat yang sama. Di Kepulauan
dimasukkan ke dalam marga Fontannesia yang Misool, Choffatia juga berumur Callovian Awal. Ini
berumur Bajocian. Korelasi langsung antara Formasi berarti bahwa fauna Tibet Utara dan Indonesia
Yefbie dari Kepulauan Misool dan Batugamping bagian timur berhubungan erat dengan provinsi
Newmarracarra, Australia Barat Laut dilakukan fauna Ethiopia.
berdasarkan kumpulan Witchellia-Fontannesia-
Pseudotoites. Korelasi dengan Nepal Tengah
Bagian bawah Formasi Yefbie dari Kepulauan Misool
Korelasi dengan Tibet Selatan
dapat dikorelasikan dengan unit L dari Formasi
Keberadaan kumpulan Sonninia, Witchellia, Bagong, Nepal Tengah (Gradstein drr., 1989) dan
Dorsetensia, dan Fontannesia di Batugamping dengan bagian bawah Formasi Niehnieh-Hsiungla
Langma, Kampadzong, Tibet, dikorelasikan dengan dari daerah Nyalam (Westermann dan Wang, 1988)
Pamirs dan Australia Barat. Sekarang korelasi dapat yang mempunyai marga yang umum seperti
dilakukan dengan fauna dari Kepulauan Misool. Witchellia dan Fontannesia.
Kumpulan Witchellia-Fontanessia termasuk
Fontannesia killiani dari Niehnieh, Formasi Jura Akhir
Hsinghua, Tibet Selatan (Westermann dan Wang, Korelasi positif fauna Jura Akhir secara global sudah
1988) dapat dikorelasikan langsung dengan bagian dilakukan oleh Verma dan Westermann (1973)
bawah Formasi Yefbie dari Kepulauan Misool. Hal terutama pada umur Tithonian dan Kimmeridgian
yang menarik pada jenjang Bathonian baik dari termasuk dengan Indonesia. Gambar 7
Kepulauan Misool dan Tibet Selatan adalah tidak memperlihatkan korelasi yang baik antara Kepulauan
ditemukannya fosil amonit. Keadaan ini mungkin Misool dengan Antartika, Cekungan Megallanes,
karena tidak adanya fasies laut pada umur ini atau Spiti, dan Selandia Baru.
adanya rumpang pada kedua daerah ini.
Korelasi yang lebih terperinci antara Kepulauan
Dari data tersebut di atas, amonit zaman Jura Tengah Misool, Antartika dan Cekungan Magallanes, Serpih
dari daerah Tetis Himalaya (Tethyan Himalayan) di Spiti dan Selandia Baru dapat dilakukan terutama
Tibet endemis dan hubungannya yang paling dekat berdasarkan bivalvia Buchiidae dan Inoceramidae.
adalah dengan Kepulauan Sula dan Papua Begitu juga korelasi dapat dilakukan antara
(Westermann dan Wang, 1988). Penelitian di Kepulauan Misool, Spitzbergen, Amerika Utara, Tibet
Kepulauan Misool menunjukkan keadaan yang Selatan, Selandia Baru dan Antartika berdasarkan
sama. Jadi Indonesia bagian timur mempunyai Buchiidae.
provinsi fauna yang sama dengan Tibet bagian
selatan, terutama pada umur Bajocian.

200 JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009


Geo-Sciences
Namun demikian, fauna Oxfor dian dan Katroliceras, Subdichotomoceras,
Kimmeridgian dari Kepulauan Misool berbeda G y m n o d i s c o c e r a s , Au l a c o s p h i n c t e s , d a n
dengan fauna dari Himalaya terutama dengan Virgatosphinctes berumur Tithonian Awal.
Formasi Nupra, Thakkola. Tidak ada ditemukan fosil Kumpulan fauna ini oleh Krishna drr. (1982) disebut
penunjuk untuk umur ini, kecuali adanya Praebuchia sebagai Torquatisphinctes-Aulacosphinctoides
cf. orientalis yang berumur Oxfordian Awal di Assemblage. Fauna ini dapat dikorelasikan dengan
Siberia. Tetapi, Formasi Nupra dapat dibandingkan bagian bawah Formasi Lelinta, walaupun fauna dari
dengan satuan dari Kutch, Madagaskar, Kepulauan Serpih Spiti ini lebih beragam.
Sula dan Papua (Gradstein drr., 1989), terutama
Biostratigrafi Tithonian Tengah sampai Akhir di
pada umur Oxfordian Awal sampai Tengah.
Serpih Spiti tidak mempunyai marga yang umum
dengan Kepulauan Misool, kecuali Kossmatia yang
Korelasi dengan Australia Barat Laut
ditemukan pada umur Tithonian Tengah di Serpih
Bivalvia Australobuchia subspitiensis, Spiti. Namun demikian, hubungannya yang lebih
Australobuchia subpallasi, Belemnopsis cf. alfurica dekat ialah dengan Kepulauan Sula yang mempunyai
dan Belemnopsis cf. galoi yang ditemukan di marga umum seperti Blanfordiceras wallichi.
Australia Barat Laut oleh Teichert (1940) dan
Fleming (1958) hidup pada zaman Jura Tengah Korelasi dengan Nepal Tengah
sampai Akhir. Penelitian ini menunjukkan, bahwa
Westermann dan Wang (1988) beranggapan bahwa
fosil-fosil tersebut di Kepulauan Misool berumur
Tithonian Akhir. bagian atas Formasi Lelinta di Kepulauan Misool
berhubungan erat dengan bagian atas Formasi Nupra
Korelasi dengan Serpih Spiti, India di Nepal Tengah dan berumur Tithonian Awal sampai
Tengah yang dicirikan oleh Aulacosphinctoides dan
Kumpulan fauna amonit dari Serpih Spiti, India,
Kossmatia.
terdiri atas Torquatisphinctes, Aulacosphinctoides,

Gambar 7. Kolom korelasi Jura Akhir antara Kepulaun Misool dengan Antartika, Cekungan Megallanes, Spiti, dan Selandia Baru.

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 201


Geo-Sciences
Korelasi dengan Tibet Selatan Di dalam Captain King's Shellbed (Kimmeridgian)
Re t r o c e r a m u s g a l o i d i t e m u k a n b e r s a m a
Bagian atas Formasi Lelinta juga dapat dikorelasikan
Malayomaorica malayomaorica. Crame (1983)
dengan bagian atas Formasi Shuomo di Tibet berpendapat bahwa di tempat lain fauna ini berumur
Selatan. Kumpulan Buchia II termasuk Buchia Kimmeridgian sampai Tithonian Awal.
rugosa dan Buchia piochii adalah marga yang paling
dominan, dengan Australobuchia blanfordiana, Di Kepulauan Sula Retroceramus subhaasti dan
Buchia megabeaka, Australobuchia pallasi, Buchia Re t r o c e r a m u s g a l o i d i t e m u k a n b e r s a m a
mosquensis, Buchia lindtr oemi, Buchia Perisphinctes dan dianggap berumur mulai dari
cardivolgensis, Buchia parapiochii dan beberapa Oxfordian Tengah sampai Kimmeridgian (Sato drr.,
Australobuchia spitiensis (Li dan Grant-Mackie, 1978). Retroceramus haasti tidak pernah ditemukan
1988). Walaupun demikian, marga yang umum yang bersama dengan Perisphinctes (Crame,1982b).
ditemukan di kedua daerah tersebut ialah Kumpulan fauna Paraboliceras, Kossmatia, dan
Australobuchia blanfordiana dan amonit Uhligites Uhligites di dalam Batulanau Kinohaku, Selandia
yang menujukkan umur Tithonian Akhir. Baru menunjukkan umur Tithonian Akhir dan dapat
dikorelasikan dengan bagian atas Formasi Lelinta di
Korelasi dengan Selandia Baru Kepulauan Misool.

Keterdapatan Malayomaorica malayomaorica Pada mulanya jenjang Tithonian Bawah dipercayai


menunjukkan fasies yang khas untuk Indonesia, tidak ditemukan di Selandia Baru (Enay, 1972;
Sinklin Kawhia dan Kelompok Waipapa di Selandia Verma dan Westermann, 1973; Stevens dan Speden,
Baru, begitu juga untuk bagian tenggara Tetis 1978). Pada penelitian yang dilakukan oleh Helby
(Tehtys) pada masa Kimmeridgian dan Tithonian. drr. (1988) disebutkan bahwa suatu zona di bawah
Zona Omatia montgomeryi dan di atas Zona
Helby drr. (1988) mengenali adanya kesinambungan Dingodinium swanense dapat disamakan dengan
endapan Jura Akhir mulai dari Tanjung Antartika alas Tithonian, yaitu Zona Cribroperidinium
melalui Kaledonia Baru menuju Indonesia. Endapan perforans.
ini berhenti pada akhir Jura Akhir sampai Kapur Awal
oleh Orogen Rangitata di wilayah Selandia Baru- Secara umum, Formasi Lelinta dapat dikorelasikan
Kaledonia Baru. dengan sebagian dari Kelompok Kirikiri (Batupasir
Kiwi)-Kelompok Ahuahu-Kelompok Owhiro (Fleming
Keterdapatan Retroceramus galoi dengan dan Kear, 1960) dari daerah Kawhia, Selandia Baru,
Epimayaites di dalam Batupasir Oraka, Kawhia, di yang berumur Tithonian.
Selandia Baru (Helby drr., 1988) membuktikan
bahwa umur Oxfordian Tengah sampai Akhir seperti Korelasi dengan Antartika
di Kepulauan Sula (Westermann drr., 1978). Tetapi,
Korelasi biostratigrafi antara Indonesia dan Antartika
Hudson (1983) menyebutkan bahwa Retroceramus
dapat dilakukan dengan lebih mudah dibandingkan
galoi tersebar luas di Selandia Baru berumur
korelasi dengan Himalaya dan Patagonia. Fosil-fosil
Kimmeridgian. Adanya dinoflagelata Wanaea
penunjuknya antara lain adalah Malayomaorica
digitata dan Wanaea spectabilis di dalam Batupasir
malayomaorica, dan kelompok Retroceramus galoi-
Oraka dan Formasi Ohineruru di Selandia Baru
Retroceramus haasti. Kelompok ini tersebar sangat
(Helby drr., 1988) mengindikasikan bahwa satuan-
luas di sekeliling tepian benua Gondwana (Quilty,
satuan tersebut dapat dikorelasikan dengan Formasi
1982; Crame, 1982a,b; Hayami, 1984).
Demu di Kepulauan Misool.
Fosil-fosil amonit yang berumur Oxfordian dari
Di Selandia Baru Retroceramus galoi ditemukan 3 m
Antartika kemungkinan berbeda dengan fosil
di bawah lapisan Epimayaites (Helby drr., 1988). Ini
berarti ada jenjang Callovian di lokasi ini (Harrington, Oxfordian Macrophylloceras dari Kepulauan Misool.
1961). Umur Retroceramus galoi menurut Crame Epimayaites ditemukan di Antartika, Selandia Baru
(1982b) berkisar mulai dari Oxfordian Tengah dan Kepulauan Sula, tetapi tidak ada di Kepulauan
sampai Tithonian Awal. Di Kepulauan Misool umur Misool, dan ini menyebabkan korelasi untuk jenjang
marga ini Tithonian Awal. ini sulit dilakukan.

202 JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009


Geo-Sciences
Jenjang Kimmerdgian di Antartika ditandai oleh DISKUSI
keterdapatan Katroliceras dan Subplanites Dari data di atas, pengendapan pada zaman Jura
(Thomson, 1982) dan didukung oleh kumpulan baru terjadi setelah pemisahan Kepulauan Misool
Retroceramus haasti dan Retroceramus subhaasti dengan Papua dari Gondwana pada umur Toarcian.
(Thomson, 1979). Namun demikian Thomson Pengendapan ini menerus sampai pada zaman
(1982) meragukan sebagai terbatas pada Kapur. Westerman dan Wang (1988) menyimpulkan
Kimmeridgian saja karena selain itu ditemukan juga bahwa posisi Kepulauan Misool bersama Tibet pada
Taramelliceras, Lithacoceras, dan Torquatisphinctes zaman Jura Tengah sampai Akhir berada pada pantai
yang juga dapat disimpulkan berumur Tithonian. utara benua Gondwana (Indo-Australian Plate) di
Penelitian ini menyimpulkan bahwa Retroceramus bagian selatan Laut Tetis (Tethys).
haasti, Retroceramus galoi, dan Retroceramus
subhaasti, berumur Tithonian di Kepulauan Misool Berdasarkan kumpulan fauna, diketahui bahwa
dan ditemukan bersama Aulacosphinctoides, Formasi Yefbie yang menindih Formasi Bogal (Trias)
Kossmatia, dan Paraboliceras. Umur Katroliceras secara tidak selaras menunjukkan adanya transgresi
adalah Tithonian Awal dengan Torquatisphinctes, pada jenjang Toarcian. Ketidakselarasan ini adalah
Pachysphinctes, Subplanites dan pemberaian (breakup) yang juga dapat diamati di
Aulacosphinctoides (Krishna drr., 1982; Thomson, daerah lain seperti di Seram, Buton, dan Banggai
1983). Torquatisphinctes dan Lithacoceras yang Sula (Pigram dan Panggabean, 1984). Pengendapan
dilaporkan oleh Thomson (1982, 1983) dari terus berlangsung sampai jenjang Callovian.
Antartika kemungkinan masing-masing marga Pengayaan fosil di bagian bawah menunjukkan
Aulacosphinctoides dan Kossmatia, dan tidak ada pengendapan terjadi pada paparan benua
ditemukan amonit Kimmeridgian seperti di (continental shelf). Transgresi berlangsung terus
Kepulauan Misool dan di Himalaya. sampai jenjang Oxfordian Akhir seperti terlihat pada
Formasi Demu (batugamping laut dalam).
Fauna amonit yang berumur Tithonian seperti Pengendapan pada jenjang Oxfordian Akhir sampai
Virgatosphinctes, Beriasella subprivasensis,
Tithonian terjadi pada lingkungan laut yang lebih
Kossmatia dan Blanfordiceras ditemukan juga di
Amerika Selatan bagian tengah, Himalaya dan tenang (low energy) di sekitar paparan benua
Madagaskar (Thomson, 1982). Semua fauna ini (continental shelf). Keterdapatan perisphinctid
dapat dikorelasikan dengan bagian atas Formasi amonit menunjukkan lingkungan neritik
Lelinta di Kepulauan Misool. Fauna Tithonian lainnya (Westermann, 1989).
dari Tanjung Antartika dan Cekungan Magallanes di
Patagonia dapat dikorelasikan dengan fauna dari Munculnya fauna Jura pada jenjang Toarcian
Kepulauan Misool dengan fauna yang sama seperti merupakan hasil transgresi yang menyebabkan
Aulacosphinctoides dan Berriasella. marga-marga Grammoceras, Haugia, dan
Durmortieria dengan jumlah sembilan marga
Amonit Kossmatia dari Antartika mirip dengan moluska dan merupakan marga Eropa memasuki
spesimen dari Kepulauan Misool, dan kemungkinan Kepulauan Misool.
marga Kossmatia tenuistriata, yaitu marga penunjuk
Pada jenjang Aalenian sampai Bajocian keragaman
untuk umur Tithonian Akhir. Bagian atas Formasi
fauna sangat tinggi seperti amonit, bivalvia,
Lelinta dari Kepulauan Misool dapat dikorelasikan
gastropoda, dan sedikit brakhiopoda yang
dengan Formasi Latady dari Pantai Orville, ujung
merupakan lanjutan transgresi jenjang Toarcian
selatan Tanjung Antartika, paling tidak bagian paling
menghasilkan15 marga moluska. Fauna Aalenian
a t a s n y a . Ko s s m a t i a d i t e m u k a n b e r s a m a
sampai Bajocian ini mirip dengan fauna dari wilayah
Retroceramus subhaasti di Kepulauan Misool dan di
Argentina, Australia Barat Laut dan Tibet yang berarti
Antartika menunjukkan umur Tithonian Tengah
adanya hubungan laut dengan wilayah-wilayah
sampai Akhir, tetapi kumpulan belemnit dan bivalvia
tersebut.
menyimpulkan kemungkinan berkisar dari
Kimmeridgian sampai Tithonian Akhir (Thomson
1975; Crame, 1982).

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 203


Geo-Sciences
Pada jenjang Bathonian tidak ditemukan fosil amonit KESIMPULAN
di Kepulauan Misool. Keadaan ini mirip dengan Formasi Yefbie bagian bawah dan Formasi
n
wilayah Himalaya yang disebabkan karena Lelinta kaya akan makro fosil dibandingkan
kesamaan lingkungan pada kedua wilayah ini. Pada dengan formasi-formasi zaman Jura lainnya di
jenjang ini tidak terlihat trangresi sehingga tidak Kepulauan Misool.
memungkinkan adanya migrasi amonit pada kedua
Fosil-fosil
n yang berumur Aalenian sampai
daerah ini. Bajocian yang ditemukan di bagian bawah
Pada jenjang Callovian dikenali empat marga Formasi Yefbie mempunyai kesamaan yang
moluska dengan sedikit amonit yaitu Choffatia dan dekat dengan fauna dari Alaska Utara,
belemnit yang menunjukkan lingkungan laut Argentina/Chili, Australia Barat Laut, Tibet
terbuka. Pada jenjang ini sangat sedikit ditemukan Selatan dan Tibet Utara seperti juga dengan
Papua berdasarkan amonit Bredya, Fontannesia
bivalvia, hal ini mungkin disebabkan karena
kiliani dan Witchellia.
lingkungan pengendapan yang secara lokal tidak
cocok, yaitu terlalu dalam (berdasarkan marga Pada jenjang Bathonian fosil amonit tidak
n
endapan batuan). ditemukan di Kepulauan Misool seperti juga di
Himalaya. Keadaan ini kemungkinan karena
Transgresi terus berlanjut pada jenjang Oxfordian tidak terjadinya transgresi di kedua daerah ini
yang didominasi oleh fosil belemnit dan sedikit sehingga amonit tidak dapat bermigrasi.
bivalvia. Transgresi ini menyebabkan migrasi Fosil belemnit yang berumur Callovian dapat
n
Praebuchia dari Asia Utara yaitu Siberia walaupun dijadikan pembagian beberapa zonabio
hanya sedikit. (biohorizons).
Jenjang Kimmeridgian juga tidak diwakili oleh Keterdapatan
n Praebuchia pada jenjang
amonit. Keadaan ini karena lingkungan Oxfordian Akhir membuktikan adanya hubungan
pengendapan yang tidak memungkinkan seperti juga laut mulai dari Siberia Utara menuju Kepulauan
di Himalaya (wilayah Zanskar dan Spiti-Niti). Misool.

Pada jenjang Tithonian ada dua puncak transgresi Pada


n jenjang Tithonian, marga Buchiid
yang diamati yaitu Tithonian Awal dan Tengah. mendominasi kandungan fauna Formasi Lelinta
bagian atas. Buchiid ini diperkirakan dapat
Fauna yang ditemukan seperti amonit, inoceramid
hidup pada lingkungan laut dangkal atau pun
dengan jumlah sekitar sebelas marga. Pada
dalam.
Tithonian Akhir, transgresi ditandai oleh
keterdapatkan Buchia, amonit dan belemnit dengan Fauna Kepulauan Misool pada zaman Jura lebih
n

jumlah lima marga. Buchia merupakan marga Asia dipengaruhi oleh transgresi dan regresi yang
dapat dibuktikan dengan turun naiknya muka
Utara (misalnya Siberia) yang bermigrasi ke
laut di daerah ini.
Kepulauan Misool. Regresi di antara kedua transgresi
tersebut ditandai oleh keterdapatan lapisan kaya fosil
( Re t r o c e r a m u s h a a s t i , M a l a y o m a o r i c a UCAPAN TERIMA KASIH
malayomaorica, belemnit). Pada jenjang ini Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala
lingkungan pengendapan berupa laut berenergi Pusat Survei Geologi, yang telah mengizinkan
sedang (moderate energy regime), tetapi merupakan makalah ini dipublikasikan. Terima kasih juga
laut terbuka yang diindikasikan oleh keterdapatan disampaikan kepada para rekan di Laboratorium
belemnit. Paleontologi yang telah banyak membantu penyiapan
makalah, sehingga data yang terkumpul memadai
untuk ditulis.

204 JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009


Geo-Sciences
ACUAN
Arkell, W.L., 1933. The Jurassic System in Great Britain. Oxford, Clarendon Press.: 681 pp.
Arkell, W.L., 1946. Standard of the European Jurassic. Geol. Soc. Am. Bull. 57: 1-34..
Arkell, W.L., 1956 - Jurassic geology of the world. Oliver & Boyd, Edinburgh
Broili, F., 1924 - Zur Geologie des Vegelkop (N.W. Neu-Guinea). Wet. Meded. Dienst Minjb. Ned. Oost-Ind., 1,
1-15, 2 Taf.
Buckman, S.S., 1887-1907. Monograph of the ammonite of the Inferior Oolite Series. Palaeontogr. Soc.
London: 45 pp.
Challinor, A.B., 1989a. The succession of Belemnopsis in the Late Jurassic of Eastern Indonesia. Paleont.
32(3): 571-596.
Challinor, A.B., 1989b. Jurassic and Creataceous Belemnitida of Misool Archipelago, Irian Jaya, Indonesia.
Geol. Res. Dev. Centre Spec. Publ. 9.
Challinor, A.B. dan Skwarko, S.K., 1982. Jurassic belemnites from Sula Islands, Moluccas, Indonesia. Geol.
Res. Dev. Centre Pal. Ser. 3.
Clark, C., 1867. Marine fossilifer, secondary formations in South Australia. Quart. Journ. 5:53.
Crame, J.A., 1982a. Late Mesozoic bivalve biostratigraphy of the Antarctic Peninsula region. J. Geol. Soc.
London 139: 771-778.
Crame, J.A., 1982b. Late Jurasic inoceramid bivalves from the Antarctic Peninsula and their stratigraphic use.
Paleont. 25(3): 555-603.
Crame, J.A., 1983. The occurrence of the Upper Jurassic bivalve Malayomaorica malayomaorica (Krumbeck) on
the Orville Coast, Antarctica. J. Moll. Stud. 49: 61-76.
D'Orbigny, A., 1849-1852. Cours lmentaire de Palontologie et de Gologie Stratigraohique. Paris: 847 pp.
Enay, R., 1972. Palobiogographic des Ammonites du Jurassique terminal (Tithonique/Volgien/Portlanden,
s.l.) et mobilite continentalee. C. R. San Geol. Soc. France 46 : 165-167.
Enay, R. dan Mangold, C., 1984. The ammonite succession from Toarcian to Kimmeridgian in Saudi Arabia.
Correlation with the European fauna. Int. Symp. J. Strat. Erlangen 3: 642-651.
Fleming, C.A., 1958. Upper Jurrasic Fossils and Hydrocarbon Traces from the Cheviot Hills, North Canterbury.
N.Z. J. Geol. & Geophys. 1(2), 375-394, 16 Text-Figs.
Fleming, C.A. dan Kear, D., 1960. The Upper Jurassic sequence of Kawhia, New Zealand, (Kawhia Sheet, N73).
Bull. Geol. Surv. N. Z. 67: 50 pp.
Froidevaux, C.M., 1974. Geology of Misool Island (Irian Jaya) Indonesia. Petrol. Ass. Proc. 3rd Ann. Conv.: 189-
194.
Gradstein, F.M., Gibling, M.R., Jansa, L.F., Kaminski, M.A., Ogg, J.G./, Sarti, M., Thurow, J.W., Von Rad, U., dan
Westermann, G.E.G., 1989. Mesozoic Stratigraphy of Thakkhola, Central Nepal. Lost Ocean
Expedition. Spec. Rep. 1, Centre of Marine Geol. Dalhoise Univ. Halifax, Nova Scotia, B3H 3J5,
Canada.
Harrington, H.J., 1961. Geology of parts of Antofagusta and Atacama Provinces, northern Chile. Bull. Am. Ass.
Petrol. Assoc. 13rd.
Harland, W.B., Amstrong, R.L., Cox, A.V., Craig, L.E., Smith, A.G., dan Smith, A.G., 1989. A geologic time
scale. Cambridge Univ. Press. London, N.Y., New Rochelle, Melbpurne, Sydney.
Hasibuan, F., 1991. Mesozoic Stratigraphy and Paleontology of Misool Archipelago, Indonesia. Ph.D. Thesis,
University of Auckland, New Zealand.

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 205


Geo-Sciences
Hasibuan, F. dan Grant-Mackie, J.A., 2007. Triassic and Jurassic Gastropods from The Misool Archipelago,
Eastern Indonesia. Jurnal Sumber Daya Geologi XVII(4):257-272.
Hayami, I., 1984. Jurassic marine bivalve fauna and biogeography in southeast Asia. In: Geol. Pal. S.E. Asia 25:
229-237. (Kobayashi, T., Toriyama, R., and Hashimoto, W. eds.), Univ. Tokyo.
Helby, R., Morgan, R., dan Partidge, A.D., 1987. A palynological zonation of the Australian Mesozoic. Mem. Ass.
Australa. Paleontol. 4: 1-94.
Helby, R. dan Hasibuan, F., 1988. A Jurassic Dinoflagellate Sequence from Misool, Indonesia. 7th Intern.
Palynol. Congr. Brisbane.
Helby, R., Wilson, G.J., dan Grant-Mackie, J.A., 1988. A preliminary biostratigraphic study of Mid to Late
Jurassic dinoflagellate assemblages from Kawhia, New Zealand. Assoc. Austral. Paleont. Mem. 6.
Hikuroa, D. dan Grant-Mackie, J.A., 2008. New species of Late Jurassic Australobuchia (Bivalvia) from the
Murihiku Terrane, Port Waikato-Kawhia region, New Zealand. Alcheringa 32: 73-98.
Hudson, N., 1983. Stratigraphy of the Ururoan, Temaikan and Heterian Stages: Kawhia Harbour to Awakino
Gorge, south-west Auckland. Unpubl. M.Sc. Thesis, Univ. of Auckland: 168 pp.
Jadoul, F., Fois, E., Tintori, A., dan Garzanti, E., 1983. Preliminary result on Jurassic stratigraphy in Zanskar
(N.W. Himalaya). Comp. Rend. Soc. Geol. Ital 8: 9-13.
Krause, P.G., 1896. Ueber Lias von Borneo. Jb. Van het Mijn. In Ned. Oost.-Indie 25e jan. p28: und Saml. Geol.
Reichs. Mus. Leiden (I)V: 154 pp.
Krishna, J.K., Kumar, V.S., dan Singh, I.B., 1982. Ammonoid stratigraphy of the Spiti Shale (Upper Jurassic),
Tethys Himalaya, India. N. Jb. Geol. Paleont. 10: 580-592.
Li, X. dan Grant-Mackie, J.A., 1988. Upper Jurassic and Lower Creatceous Buchia (Bivalvia) from southern
Tibet and some wider consideration. Alcheringa 12: 249-268.
Moore, C.H., 1870. Australian Mesozoic Geology and Paleontology. Quart. Journ. 26.
Oppel, A., 1865. Die tithonische Etage. Zeitschr. Deutchen Geol. Gesellschaft Band XVII: 535-558.
Pigram, C. J. dan Panggabean, H., 1984. Rifting of the Northern Margin of the Australian Continent and the
origin of some microcontinents in eastern Indonesia. Tectonophys. 107: 331-353.
Quilty, P.G., 1982. Tectonic and other implications of Middle-Upper Jurassic rocks and marine faunas from
Ellsworth Land, Antarctica. In: Antarctic Geoscience, (Craddock, C. ed.): 669-678. Univ.
Wisconsin Press, Madison, Wisconsin.
Sato, T., Westermann, G.E.G., Skwarko, S.K., dan Hasibuan, F., 1978. Jurassic biostratigraphy of the Sula
Islands, Indonesia. Bull. Geol. Surv. Indon.
Soergel, W., 1913. Lias und Dogger von Jefbie und Fialpopo (Misol Archipel.). N. Jb. Miner. Geol. Plaont. 36:
586-650.
Stevens, G.R. dan Speden, I., 1978. New Zealand. In: The Phanerozoic geology of the world. The Mesozoic.
(Moullade, A.M. and Nairn, A.E.M. eds.). Elsevier, Amsterdam: 251-328.
Surlyk, F. dan Zakharov, V.A., 1982. Buchiid bivalves from the Upper Jurassic and Lower Cretaceous of East
Greenland. Paleont. 25(4): 727-753.
Teichert, C., 1940. Marine Jurassic of East Indian Affinities at Broome, North Western, Australia. J. Roy. Soc. W.
Aust. 26: 103-118.
Thomson, M.R.A., 1975. Upper Jurassic Mollusca from Carse Point, Palmer Land. Brit. Antarct. Surv. Bull.
41&42: 31-42.
Thomson, M.R.A., 1979. Upper Jurassic and Lower Cretaceous ammonites faunas of the Ablation Point area,
Alexander Island. Scie. Rep. Br. Antarc. Surv. 97: 37 pp.

206 JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009


Geo-Sciences
Thomson, M.R.A., 1982. A comparison of the ammonite faunas of the Antarctic Peninsula and Magallanes
Basin. J. Geol. Soc. London 139: 763-770.
Thomson, M.R.A., 1983. Late Jurassic ammonites from the Orville Coast, Antarctica. Antarc. Earth Sci. Austr.
Acad. Scie. Canberra and Cambridge Univ. Press. (Oliver, James, Jago ed.).
Uhlig, V., 1910. Die fauna der Spiti-Schiefer des Himalaya, ihr geologisches Alter und ihre Weltstellung. Acad.
Wiss. Wien, Math.-Natuurwiss. Kl. Denkschr. Band 85: 531-609.
Umbgrove, L.F.J., 1938. The Geology of the Dutch East Indies. Bull. Am. Assoc. Petrol. Geol. 22: 1-70.
Verma, H.M. dan Westermann, G.E.G., 1973. The Tithonian (Jurassic) Ammonite Fauna and Stratigraphy of
sierra Catorce, San Luis Potosi, Mexico. Bull. Am. Pal. 63(227): 103-320.
W a l k e r, J . D . d a n G e i s m a n , J . W. ( c o m p i l e r s ) , 2 0 0 9 . Geologic Time Scale.
http:www.geosociety.org/science/timescale/timescl.pdf. 2009
Wandel, G., 1936. Betrge zur Kenntnis der Jurassichen Molluskenfauna von Misol, Oost Celebes, Buton, Seram
und Jamdena. N. Jb. Miner. Geol. Palont. 7: 447-523.
Wanner, J., 1922. Mesozoikum (Feestbndel uitgegeven ter Eere van Prof. Dr. K. Martin 1851-1931). Leids.
Geol. Meded. 5, Leiden.
Wanner, J., 1931. Mesozoikum. Leid. Geol. Meded. 5: 567-609
Westermann, G.E.G., 1989. New developments in Ecology of Jurassic-Cretaceous ammonoids. Proc. II Pergola
Symp. 1987. (Tectnostampa, Ostra Vetere, An. Italy).
Westermann, G.E.G. dan Getty, T.A., 1970. New Middle Jurassic Ammonitina from New Guinea. Bul. Am. Pal.
57(256): 231-318.
Westermann, G.E.G., Sato, T., dan Skwarko, S.K., 1978. Brief report on the Jurassic biostratigraphy of the Sula
Islands, Indonesia. Newsl. Stratigr. 7(2): 96-101. Berlin, Stuttgart.
Westermann, G.E.G. dan Riccardi, A.C., 1979. Middle Jurassic ammonites fauna and biochronology of the
Argentine-Chilean Andes, Part I. Hildocerataceae. Paleontogr. A 140: 1-116; Part II. Bajocian
Stephanocerataceae. Ibid. 164: 85-188.
Westermann, G.E.G. dan Wang, Yi-Gang, 1988. Middle Jurassic ammonite of Tibet and the age of the Lower
Spiti Shale. Paleont. 31(2): 295-339.
Westermann, G.E.G. dan Callomon, J.H., 1988. The macrocephalitinae and associated Bathonian and Early
Callovian (Jurassis) Ammonoids of the Sula Islands and New Guinea. Palaeontogr. A 203(1-3): 1-
90.
Zakharov, V.A., 1981. Buchiidae and the biostratigraphy of the boreal Upper Jurassic and Neocomian. (In
Russian). Trudy Inst. Geol. I Geophys., Sibirskoe Otlenei, Akad. Nauk. SSSR. 458: 271 pp.

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 207


Geo-Sciences
LITOSTRATIGRAFI PEGUNUNGAN SELATAN BAGIAN TIMUR DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA DAN JAWA TENGAH

Surono
Pusat Survei Geologi
Jl. Diponegoro No. 57 Bandung 40122

SARI

Bagian tengah Pegunungan Selatan, yang tersebar timur - barat mulai Parangtritis (Yogyakarta) sampai Dataran Baturetno
(Wonogiri, Jawa Tengah), disusun oleh batuan sedimen klastika, dan batuan sedimen karbonat yang bercampur dengan
batuan gunung api. Kegiatan vulkanisme sangat intensif pada Oligosen Akhir sampai Miosen Awal. Berdasarkan
litologinya, Pegunungan Selatan dapat dibagi dalam tiga periode: periode pravulkanisme, periode vulkanisme, dan
periode pascavulkanisme atau periode karbonat. Batuan yang terbentuk pada periode pravulkanisme merupakan alas
batuan yang terbentuk pada periode vulkanisme.
Hasil pemetaan dan penelitian geologi di Pegunungan Selatan mulai 2003 dirangkum dalam tulisan ini. Hasil
pemetaan/penelitian tersebut di antaranya berupa formasi dapat dipisahkan lagi, sehingga formasi tersebut diusulkan
untuk ditingkatkan menjadi kelompok.
Kata kunci: Pegunungan Selatan, litostratigrafi, periode vulkanisme, batuan alas

ABSTRACT

the central part of the Southern Montains, which extends east-west from Parangtritis (Yogyakarta) to Baturetno Plain
(Wonogiri, Central Jawa), is typically formed by clastic and carbonate sediments with volcanic rocks. Volcanic activities
had been very intensive during Late Oligocene - Early Miocene. Based on their lithologies, the Southern Montains can be
divided into: pra-volcanic, volcanic and postvolcanic (carbonate) periods. The rocks formed during pre-volcanic period
are as the basement of the rocks which were formed during the volcanic period.
Results geological mapping/study in this Southern Montains are pesented in this paper, e.g. similar formations can be
divided into smaller lithologic unit, therefore the formations can be proposed into groups.
Key words: Southern Montains, lithostragraphy, volcanism period, basement rocks

PENDAHULUAN Perbukitan Seribu atau sering disebut Gunung Sewu


(Gambar 2). Untuk memudahkan dalam
Pegunungan Selatan terhampar barat - timur dan
pembahasan kawasan ini disebut Pegunungan
menempati bagian selatan Pulau Jawa. Pada
Selatan.
umumnya pegunungan ini dibentuk oleh batuan
sedimen klastika dan karbonat yang bercampur Maksud dan tujuan penelitian ini adalah mempelajari
dengan batuan hasil kegiatan gunung api yang susunan, hubungan, dan umur satuan batuan
berumur Tersier. Secara setempat seperti di penyusun Pegunungan Selatan bagian timur. Data
Karangsambung (Kebumen) dan Perbukitan Jiwo yang disajikan dalam tulisan ini diperoleh dari
(Klaten), muncul batuan Pratersier. berbagai sumber, baik yang sudah terbit maupun
belum terbit; ditambah perolehan data penulis mulai
Tulisan ini membahas litostratigrafi bagian tengah
tahun 2000. Program pemetaan terperinci (skala
Pegunungan Selatan bagian timur (Gambar 1), mulai
1:50.000) dan penelitian geologi oleh Pusat Survei
dari Parangtritis (Provinsi Daerah Istimewa
Geologi selama Tahun Anggaran 2008 banyak
Yogyakarta) di barat sampai dengan Dataran
menambah kekayaan data. Pengayaan data dan
Baturetno (Provinsi Jawa Tengah) di timur. Kawasan
analisis juga dilakukan dalam rangka kerjasama
ini ditempati oleh Pegunungan Baturagung,
Pusat Survei Geologi dengan beberapa perguruan
Pegunungan Gajahmungkur, Perbukitan Jiwo dan
tinggi di Yogyakarta (Universitas Gadjah Mada,
Universitas Pembangunan Nasional Veteran,
Naskah diterima : 21 April 2009
Revisi terakhir : 14 Juli 2009

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 209


Geo-Sciences
Institut Sain Teknologi Akprin dan Sekolah Tinggi lapangan yang berasal dari hasil kompilasi tersebut.
Teknologi Nasional) yang telah dimulai sejak tahun Kegiatan lapangan dimulai dengan pecatatan data
2006 sampai sekarang. Kegiatan tersebut
geologi dari singkapan batuan di daerah penelitian.
menambah pendalaman pengertian geologi daerah
Analisis laboratorium dilakukan di GeolLab Pusat
penelitian.
Survei Geologi.
METODOLOGI
Metode penelitian diawali dengan pengumpulan data
sekunder yang kemudian digabungkan dengan hasil
interpretasi citra satelit (Landsat, Aster dan Alos).
Citra Landsat dan Citra Aster meliput seluruh daerah
penelitian; sedangkan citra Alos hanya meliput
beberapa kawasan. Kedua citra satelit pertama
digabungkan dengan DEM kemudian diinterpretasi
menggunakan program ER Mapper 7.1. Interpretasi
meliputi semua gejala geologi termasuk: morfologi,
jenis dan batas satuan litologi, dan struktur geologi.
Kompilasi data sekunder dan hasil interpretasi citra
satelit telah terselesaikan pada tahun 2003.
Gambar 1. Peta lokasi daerah penelitian, yang terletak di bagian selatan
Tahapan selanjutnya merupakan kegiatan pemetaan PropinsiJawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Gambar 2. Kenampakan morfologi daerah penelitian dari satelit SRTM.

210 JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009


Geo-Sciences
PENELITIAN TERDAHULU Setelah kurun waktu 1990 - 2000, beberapa penulis
Peneliti pertama yang membahas stratigrafi mulai mempublikasikan secara terperinci beberapa
Pegunungan Selatan adalah Verbeek dan Fennema satuan litologi, di antaranya: Bronto drr. (2002,
(1896). Walaupun hanya selintas, kedua penulis ini 2004, 2008a,b,c); Ratman dan Samodra (2004),
membahas stratigrafi Perbukitan Jiwo. Bahasan Kurniawan drr. (2006); Surono drr. (2006);
stratigrafi yang lebih baik dilakukan oleh Bothe Umiyatun drr. 2006; Surono (2005, 2008a,b),
(1929), yang memperkenalkan hampir semua tata Smyth (2005), Smyth drr. (2003, 2005, 2007,
nama satuan litologi di Pegunungan Selatan, dan di 2008) dan Suyoto (1992b). Para penulis tersebut
sebut dengan Southern Range. Tata nama satuan umumnya membahas suatu satuan litologi pada
tersebut sampai sekarang masih dipakai (Gambar 3). daerah tertentu saja, kecuali penulis terakhir yang
Sayangnya tipe lokasi semua satuan litologi tersebut membahas secara regional.
tidak disebutkan dengan jelas dan tepat, sehingga Beberapa mahasiswa S2 (di antaranya Suyoto,
banyak satuan tidak diketahui lokasi tipenya secara 1992a; Sudarno, 1997; Nugrahini, 1999; dan
tepat. Kemudian van Bemmelen (1949) Hartono, 2000) dan S3 (di antaranya Kusumayudha,
memberikan susunan stratigrafi Pegunungan 2000; Lokier, 2000; Suyoto, 2005; Smyth, 2005;
Selatan, terutama di Pegungan Baturagung dan dan Mulyanto, 2006) menyelesaikan disertasinya di
Pegunungan Gajahmungkur. daerah Pegunungan Selatan.
Sartono (1964) mempublikasikan desertasinya di
daerah Kabupaten Pacitan, Jawa Timur. Berikutnya, TATAAN LITOSTRATIGRAFI
Sumarso dan Ismoyowati (1975) pada pertemuan Saat ini pembangunan jalan di daerah penelitian
ilmiah Indonesia Petr oleum Association sangat baik. Semua dusun di daerah ini dapat
memberikan stratigrafi Perbukitan Jiwo dan dijangkau dengan kendaraan roda empat. Sehingga
sekitarnya. Apa yang dipresentasikan Sumarso dan kesampaian daerah mudah, oleh karena itu
Ismoyowati sebenarnya tidak jauh berbeda dengan penelitian setiap satuan dapat dilakukan lebih
yang telah dipublikasikan Bothe (1929). Kedua terperinci, dan beberapa satuan litologi dapat
peneliti terakhir ini memfokuskan penelitiannya pada dipecah menjadi beberapa satuan tersendiri. Hal ini
Perbukitan Jiwo. berpengaruh pada penamaan suatu satuan litologi,
Setelah tahun 1990, Pusat Penelitian dan misalnya satuan induk yang dulu sebagai formasi,
Pengembangan Geologi (kini bernama Pusat Survei karena sebagian dapat dipisahkan dan memenuhi
Geologi) menerbitkan tiga peta geologi yang Sandi Stratigrafi IAGI, (1996), maka satuan induk
melingkupi kawasan Pegunungan Selatan, yakni: tersebut dapat ditingkatkan menjadi kelompok. Hasil
pemetaan geologi terperinci di daerah penelitian
1. Peta geologi Lembar Yogyakarta, skala
1:100.000 (Rahardjo drr., 1995), dapat dilihat pada Gambar 4 dan Gambar 5.

2. Peta geologi Lembar Surakarta dan Giritontro, Seperti telah diungkapkan sebelumnya, sebagian
skala 1:100.000 (Surono drr., 1992) dan besar batuan penyusun Pegunungan Selatan terdiri
atas batuan hasil kegiatan gunung api dan sedimen
3. Peta geologi Lembar Lembar Klaten (Bayat), skala karbonat. Sebelum aktifitas vulkanisme berlangsung,
1:50.000 (Samodra dan Sutisna, 1997). batuan malihan dan sedimen klastika serta karbonat
Di samping penyebaran satuan batuan, ketiga peta telah mengalasi batuan pembentuk Pegunungan
tersebut menyajikan stratigrafi Pegunungan Selatan Selatan. Batuan alas ini tersingkap baik di Perbukitan
lebih terperinci pada publikasi sebelumnya (Gambar Jiwo, selatan Klaten.
3). Dalam kurun waktu yang hampir bersamaan Setelah kegiatan vulkanisme mulai melemah, terjadi
terbit beberapa publikasi, di antaranya Toha drr. suatu periode pengendapan batuan sedimen klastika
(1994), dan Rahardjo drr. (1995). Stratigrafi yang diawali oleh batuan klastika asal gunung api
beberapa peneliti terpilih pada kurun waktu 1990- yang telah terbentuk sebelumnya. Dalam waktu yang
2000 ini dapat dilihat pada Gambar 3. bersamaan, di kawasan yang lebih jauh dari tempat

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 211


Geo-Sciences
pengendapan klastika asal gunung api itu, material 2. Periode kegiatan vulkanisme berlangsung secara
kabonat mulai tumbuh. Berkurangnya pasokan intensif, selanjutnya disebut periode vulkanisme,
batuan klastika asal gunung api, material karbonat yang membentuk Kelompok Kebo-Butak yang
tumbuh secara intensif pada cekungan ini. secara berurutan ditindih selaras oleh Formasi
Himpunan batuan karbonat itu kini membentuk Semilir dan Formasi Nglanggeran.
topografi kars Perbukitan Seribu. 3. Periode setelah kegiatan vulkanisme berakhir
ketika organisme karbonat tumbuh dengan subur;
Hasil pemetaan dan penelitian mengungkapkan
selanjutnya disebut periode pascavulkanisme
bahwa stratigrafi Pegunungan Selatan dapat dibagi
atau periode karbonat. Satuan batuan yang
menjadi tiga periode (dari bawah ke atas, Gambar 5):
terendapkan pada periode ini adalah Formasi
1. Periode sebelum aktivitas intensif vulkanisme Sambipitu, Formasi Oyo, Formasi Wonosari,
berlangsung, selanjutnya disebut periode Formasi Punung, dan Formasi Kepek.
pravulkanisme. Satuan batuan yang terbentuk Selanjutnya akan disajikan uraiannya mengikuti
pada periode pravulkanisme adalah batuan urutan tersebut di atas. Pada uraian ini dibahas
malihan yang ditindih tak selaras oleh Kelompok tataan stratigrafi pada setiap periode, dilanjutkan
Jiwo. uraian secara singkat setiap satuan litologi.

Gambar 3. Stratigrafi daerah penelitian dan sekitarnya dari peneliti terdahulu.

212 JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009


JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009
Geo-Sciences

Gambar 4. Peta geologi daerah Bantul - Wonosari (disederhanakan Margono drr., 2009, dalam persiapan; dan Fakhruddin drr., 2009, dalam persiapan). Lokasi perbukitan dan pegunungan lihat Gambar 2.

213
Geo-Sciences

Gambar 5. Stratigrafi daerah penelitian.

214 JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009


Geo-Sciences
Periode pravulkanisme Periode vulkanisme
Periode pra-Oligosen Akhir atau periode sebelum Pada periode Eosen Akhir-Miosen Awal kegiatan
kegiatan vulkanisme merupakan periode vulkanisme meningkat pesat dan menghasilkan
pembentukan batuan alas Cekungan Pegunungan batuan gunung api yang cukup tebal pada daerah
Selatan. Batuan tertua, Cekungan Pegunungan penelitian. Sebaran batuan gunung api ini
Selatan yang tersingkap di Perbukitan Jiwo (Gambar membentuk Pegunungan Baturagung, dan
2 dan 4) adalah satuan himpunan berbagai batuan Gajahmungkur (Gambar 2).
malihan yang ditindih tak selaras oleh batuan
Batuan tertua Pegunungan Baturagung dan
sedimen Eosen. Batuan sedimen Eosen ini dibagi
Gajahmungkur adalah lava bantal yang disebut Lava
dalam dua satuan: batuan klastika dan batuan
Bantal Nampurejo yang berkomposisi basal, dan
karbonat (Gambar 5). Satuan klastika dinamai
berselingan dengan batupasir vulkanis berwarna
Wungkal Beds (Formasi Wungkal), sedangkan
hitam pekat. Berdasarkan hasil penarikhan K/Ar,
satuan karbonat dinamai Gamping Beds (Formasi
satuan ini berumur Eosen Tengah Oligosen Awal
Gamping) oleh Bothe (1929). Marks (1957)
(Surono drr., 2006). Hal ini menunjukkan bahwa
menyebut Formasi Gamping dan Formasi Wungkal
kegiatan vulkanisme telah mulai pada Eosen Tengah,
sebagai Kelompok Jiwo (Jiwo Group).
yang umumnya berupa lava bantal. Lava Bantal
Satuan batuan malihan tersingkap baik di Perbukitan Nampurejo ditindih tak selaras oleh Kelompok Kebo-
Jiwo, terdiri atas filit, sekis, genis, serpentinit, Butak, yang terdiri atas Formasi Kebo dan Formasi
batusabak, sedimen malih, batuan gunung api Butak. Keduanya merupakan endapan hasil kegiatan
malih, dan marmer. Wardana drr. (2008) meneliti gunung api, yang pada umumnya diendapkan di laut.
fasies batuan malihan di daerah Perbukitan Jiwo Formasi Kebo, yang diendapkan pada sistem turbit,
bagian barat, dan membagi batuan malihan ini disusun oleh perselingan antara batupasir dan
menjadi tiga fasies: fasies sekis hijau, fasies sekis batupasir kerikilan, dengan sisipan batulanau,
biru, dan fasies amfibolit. Fasies sekis hijau batulempung, tuf dan serpih. Formasi Butak, yang
merupakan hasil suatu pemalihan regional menindih selaras Formasi Kebo, terdiri atas breksi
dinamotermal berderajat rendah. Fasies sekis biru polimik dengan selingan batupasir, batupasir
diduga merupakan pemalihan bertekanan tinggi, kerikilan, batulempung, batulanau, dan serpih
sangat mungkin berhubungan dengan proses (Surono, 2008b). Berdasarkan penarikhan KAr
penunjaman (subduksi). Sementara fasies amfibol batuan terobosan dan lava bantal dalam Formasi
diduga hasil pemalihan berikutnya sebagai akibat Kebo dan Formasi Butak, diketahui keduanya
pemalihan kontak dari tubuh intrusi yang ada di berumur antara Oligosen Akhir dan Miosen Awal
Perbukitan Jiwo. Hal ini sangat mungkin disebabkan (Surono, 2008b). Umur yang sama (P22-N4)
oleh Intrusi Pendul (Surono drr. 2006), yang ditunjukkan oleh kandungan foraminiferanya
didukung oleh penyebaran fasies amfibol yang (Rahardjo, 2007). Formasi Kebo mempunyai
terbatas di sekitar batuan intrusi. Pada Eosen, ketebalan >680 m, sedangkan Formasi Butak
Perbukitan Jiwo ini diduga merupakan tinggian sekitar 265 m (Surono, 2008b).
(Prasetyadi dan Maha, 2004).
Formasi Mandalika, yang tersebar luas di
Semula Bothe (1929) menduga bahwa Formasi Pegunungan Gajahmungkur dengan >300 m
Wungkal dan Formasi Gamping merupakan bagian (Surono drr., 1992) terdiri atas lava dasit-andesit, tuf
bawah endapan berumur Eosen, tetapi penelitian dasitan dan setempat retas diorit. Hasil penarikhan
Kurniawan drr., 2006; dan Umiyatun drr., 2006 KAr lava dasit di Nawangan menunjukkan umur
yang menganalisis kandungan fosil foram dan nanno Miosen Awal (Surono, 2008a).
plankton di kedua satuan menunjukkan bahwa
Kelompok Kebo-Butak, yang terdiri atas Formasi
keduanya mempunyai umur sama, yakni Eosen
Kebo dan Formasi Butak, melampar luas di lereng
Tengah Eosen Akhir. Umur tersebut sama dengan
utara Pegunungan Baturagung. Formasi Kebo terdiri
hasil analisis kandungan foraminifera yang dilakukan
atas perselingan antara batupasir dan batupasir
Rahardjo (2007). Kesamaan umur ini didukung oleh
kerikilan, dengan sisipan batulanau, batulempung,
kenampakan singkapan di beberapa tempat yang
tuf, dan serpih. Formasi Butak disusun oleh breksi
menunjukkan keduanya berhubungan secara
polimik dengan selingan batupasir, batupasir
menjemari. Ketebalan Formasi Gamping diduga lebih
kerikilan, batulempung, dan batulanau/serpih. Bothe
120 m (Surono drr., 1992).

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 215


Geo-Sciences
(1929) menduga Formasi Kebo dan Formasi Butak belemnos. Sedangkan percontoh lain menunjukkan
berumur Miosen Awal (?) Miosen Tengah. Sumarso adanya Sphenolithus moriformis, S. heteromorphus,
dan Ismoyowati (1975) menganalisis foraminifera S. belemnos, Cyclicargolithus floridanus,
dalam Formasi Kebo dan Butak dan mendapatkan Calcidiscus macintyrei, Helicosphaera euphratis, H.
umur N2 N5 atau Oligosen Akhir Miosen Awal. ampliaperta, H. carteri, H. mediterranea,
Kemudian Rahardjo (2007) mengulangi melakukan Coccolithus miopelagicus, dan Discoaster
analisis foraminifera pada tiga percontoh dari deflandrei. Kumpulan nanofosil kedua percontoh
Gunung Pegat, Watugajah dan Pututputri, dan batuan tersebut masing-masing menunjukkan umur
menemukan Globigerina ciperoensis, Catapsydrax Miosen Awal bagian akhir atau Zona NN3. Surono
dissimilis dan Globigerinoides primordius, yang (2008a) juga melaporkan hasil penarikhan umur
menunjukkan umur P22-N4 (Oligosen Akhir mutlak Formasi Semilir dengan metode jejak belah
Miosen Awal). Surono drr. (2006) menganalisis (fission track) zirkon pada dua percontoh tuf, yang
kandungan fosil nanno dalam percontoh dari menghasilkan umur 17,0 + 1,1 dan 16,0 + 1,0 juta
Perbukitan Jiwo Timur, yang diduga merupakan tahun lalu atau akhir Miosen Awal. Berdasarkan
bagian dari Formasi Kebo atau Formasi Butak. Fosil uraian di atas, umur Formasi Semilir adalah 20 16
nanno tersebut terdiri atas Sphenolithus moriformis, juta tahun atau Miosen Awal (Burdigalian).
S. heteromorphus, S. conicus, S. belemnos, Umumnya Formasi Semilir bawah ini diendapkan
Coccolithus miopelagicus, Helicosphaera carteri pada laut yang kemudian berubah menjadi darat
dan H. euphratis. Himpunan spesies nanno tersebut pada pengendapan Formasi Semilir atas (Surono,
menunjukkan umur Miosen Awal (NN3). Penarikhan 2008a). Ketebalan seluruh Formasi Semilir bawah
umur mutlak Formasi Kebo telah dilakukan oleh dan atas diduga 460 m (Surono drr., 1992).
beberapa penulis, di antaranya Soeria-Atmadja drr.
Formasi Semilir ditindih selaras oleh satuan yang
(1994), Sutanto drr. (1994), Susilo (2003), Sutanto
didominasi oleh breksi gunung api dan aglomerat,
(2003), dan Smyth drr. (2005). Hasil penarikhan
yang dikenal dengan Formasi Nglanggeran. Formasi
menunjukkan bahwa Formasi Kebo dan Formasi
Nglanggeran terdiri atas breksi gunung api dan
Butak berumur 33,5 21,0 juta tahun lalu atau
aglomerat, dengan sisipan tuf dan lava andesit. Fosil
Oligosen Akhir Miosen Awal. Dengan demikian,
jarang ditemukan dalam formasi ini, Rahardjo
dapat disimpulkan bahwa umur Kelompok Kebo-
(2007) menentukan umurnya berdasarkan
Butak adalah Oligosen Akhir Miosen Awal.
penemuan foraminifera yakni N5-N6 atau Miosen
Kelompok ini diendapkan di laut yang dipengaruhi
Awal.
oleh kegiatan gunung api. Ketebalan Formasi Kebo
sekitar 550 m, sedangkan Formasi Butak sekitar 334 Bronto drr. (2008b) mengusulkan suatu nama
m (Surono, 2008a). Formasi Wonolelo untuk satuan batuan yang
tersingkap di Desa Wonolelo, Pleret, Bantul, terdiri
Kelompok Kebo-Butak ditindih selaras oleh Formasi
atas lava, breksi dan konglomerat. Penulis
Semilir, yang berupa batuan hasil erupsi letusan
mendapatkan satuan batuan ini juga tersingkap di
gunung api asam, yang didominasi oleh tuf lapili dan
Desa Candisari (di utara Piyungan) yang kedudukan
tuf, serta setempat terutama bagian bawah
stratigrafinya berada di bawah Formasi Semilir. Umur
bercampur sedimen klastika. Bagian bawah formasi
satuan ini belum diketahui dengan pasti, diduga
ini (Formasi Semilir bawah) didominasi oleh tuf lapili
seumur dengan Formasi Semilir bawah atau bagian
dengan sisipan tuf dan lempung tufan, batupasir
atas Kelompok Kebo-Butak, yakni Oligosen Akhir.
tufan dan breksi batuapung. Batuan pembentuk
Formasi ini diduga terbentuk di laut dan mempunyai
bagian atas (Formasi Semilir atas) didominasi oleh
ketebalan sekitar 60 m.
tuf dengan sisipan tuf lapili, batupasir tufan dan
batupasir kerikilan. Surono (2008a) melakukan Formasi Sindet didominasi oleh tuf pasiran berwarna
analisis nannofosil dari dua percontoh di bagian hitam, tersingkap luas di Desa Sindet, di utara Desa
bawah Formasi Semilir. Satu percontoh mengandung Wonolelo. Satuan yang mungkin berada di bawah
Discoaster deflandrei, D. druggii, D. variabilis, Formasi Wonolelo, terdiri atas tuf lapili dan tuf yang
Cyclicargolithus floridanus, Calcidiscus macintyrei, berwarna hitam, yang sebagian terbentuk di bawah
Helicosphaera ampliaperta, H. euphratis, H. laut. Umur satuan belum diketahui, mungkin sama
carteri, Sphenolithus conicus, Coccolithus dengan bagian bawah Formasi Semilir Bawah.
miopelagicus, Sphenolithus moriformis, dan S. Ketebalannya diduga kurang dari 75 m.

216 JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009


Geo-Sciences
Novian drr. (2007) mengusulkan satu anggota baru berdasarkan kandungan foraminifera adalah Awal
(Anggota Buyutan), pada Formasi Semilir, yang Pliosen (Rahardjo, 2007). Formasi terakhir ini
tersingkap di Dusun Boyo, Gunung Kidul. Anggota mempunyai ketebalan sekitar 200 m (Surono drr.,
Buyutan ini disusun oleh perselingan batulanau, 1992). Endapan Kuarter yang menumpang tidak
batupasir tufaan, dengan sisipan breksi lapili dan selaras di atas batuan Tersier tersebar luas di Dataran
batubara. Lepidocyclina sp. ditemukan pada Wonosari, Dataran Baturetno, dan Dataran Bantul.
anggota ini, sehingga mempunyai umur sama
dengan bagian atas Formasi Semilir, yakni akhir PEMBAHASAN
Miosen Awal. Anggota ini boleh jadi terendapkan di
daerah transisi dan mempunyai ketebalan satuan Batuan malihan Pratersier dan batuan sedimen
yang diduga 360 m. Eosen yang tersingkap di Perbukitan Jiwo merupakan
batuan alas batuan berumur lebih muda. Prasetyadi
drr. (2002) menduga batuan Pratersier di Perbukitan
Periode pasca-vulkanisme
Jiwo ini merupakan bagian dari suatu sistem
Surutnya kegiatan vulkanisme pada Miosen Tengah subduksi dan berasal dari benua. Wardana drr.
disusul oleh semakin meningkatnya pertumbuhan (2008) membagi batuan malihan menjadi fasies
organisme pembentuk batuan karbonat. Pada sekis hijau, fasies sekis biru, dan fasies amfibolit.
mulanya pengendapan masih dikuasai oleh batuan Fasies sekis hijau yang terbentuk pada pemalihan
sedimen klastika yang bersumber pada batuan asal regional dinamotermal boleh jadi terjadi pada suatu
gunung api. Sejalan dengan semakin berkurangnya kerak benua. Fasies sekis biru, yang dihasilkan oleh
pemalihan tekanan tinggi mungkin dihasilkan oleh
pasokan sedimen klastika, berkembanglah batuan
proses penunjaman Kapur, mungkin berhubungan
karbonat. Sekarang, sedimen karbonat ini
dengan sistem penunjaman Karangsambung. Fasies
membentuk perbukitan kecil dan dataran yang amfibolit merupakan hasil dari pemalihan kontak,
menempati bagian selatan daerah penelitian dan yang sangat mungkin berhubungan dengan
membentuk bentang alam karst Perbukitan Seribu. keberadaan batuan intrusi berumur Miosen Awal -
Satuan batuan yang didominasi sedimen klastika dan Miosen Tengah (17,22 - 13,85 jt) di daerah ini.
sisipan breksi gunung api di bagian bawah dinamai
Awal kegiatan vulkanisme di Pegunungan Selatan
Formasi Sambipitu oleh Bothe (1929). Umur
dimulai sebelum terbentuknya Kelompok Kebo-
Formasi Sambipitu ditunjukkan oleh foraminifera, di
Butak. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hasil
antaranya Praeorbulina transitoria, P. Glomerosa, pengukuran umur mutlak batuan vulkanik yang
Globorotalia praesitula dan G. archeomenardi, yang dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya.
menunjukkan umur Awal Miosen (N8). Ketebalan Surono drr. (2006) menunjukkan adanya dua periode
Formasi Sambipitu sekitar 235 m. Formasi Oyo dan pembekuan Intrusi Pendul, yaitu Eosen Tengah
Formasi Wonosari secara berturut-turut menindih Oligosen Awal (39,82 30,04 jt) dan dan Miosen
selaras Formasi Sambipitu. Awal - Miosen Tengah (17,22 - 13,85 jt). Periode
pertama menunjukkan bahwa awal kegiatan
Formasi Oyo didominasi oleh napal dan batupasir
vulkanisme di Pebukitan Jiwo sudah mulai pada
yang berumur akhir Miosen Awal Miosen Tengah
Eosen Tengah berupa terobosan diabas, sementara
(N8-N11), sedang Formasi Wonosari didominasi
Bronto drr. (2008c) melakukan penarikhan lava
oleh batugamping berlapis dan berumur Miosen
bantal di Watuadeg menghasilkan umur akhir
Tengah Miosen Akhir (N12-N17). Ke arah timur,
Paleosen Akhir (56 jt). dan Smyth drr. (2008)
seumur dengan Formasi Wonosari dijumpai
menunjukkan bahwa awal vulkanisme dimulai pada
batugamping terumbu yang dinamai Formasi Punung
Eosen Tengah (45 jt). Dengan uraian di atas jelas
oleh Sartono (1964). Formasi Oyo, Wonosari, dan
bahwa vulkanisme pada Pegunungan Selatan sudah
Punung mempunyai ketebalan, berturut-turut 140m,
dimulai sejak Paleosen Akhir dengan terbentuknya
750m, dan 800m.
lava bantal di Watuadeg. Besar kemungkinan lava
Di sekitar Dataran Wonosari, bagian atas Formasi bantal yang banyak tersingkap di lereng utara
Wonosari menjemari dengan Formasi Kepek yang Pegunungan Baturagung mempunyai umur yang
litologinya didominasi oleh napal dan sedikit sama. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
batugamping. Hasil penentuan umur Formasi Kepek kegiatan vulkanisme di Pegunungan Selatan berawal

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 217


Geo-Sciences
pada Paleosen Akhir berupa lava bantal yang N8), sedangkan Formasi Nglanggeran yang berada di
terbentuk di laut dalam. Kegiatan ini diikuti oleh bawahnya adalah Miosen Miosen Awal (N5-N6).
terobosan diabas di Perbukitan Jiwo pada Eosen Penampakan di sepanjang Sungai Ngalang,
Tengah Oligosen Awal. Hal ini diperkuat dengan Wonosari, menunjukkan bahwa perubahan dari
ditemukannya batuan gunung api berupa sisipan tuf Formasi Nglanggeran ke Formasi Sambipitu gradual
dan tuf lapili pada endapan Eosen (Formasi (Surono dan Permana, dalam persiapan). Hal ini
Nanggulan), di daerah Nanggulan, Kulon Progo menunjukkan bahwa adanya pengendapan yang
(Surono, 2005). menerus dari periode vulkanisme ke periode
Surono (2008b) menginterpretasi Kelompok Kebo- pascavulkanisme (karbonat).
Butak sebagian besar batuannya diendapkan dengan Pembentukan material karbonat di laut berkembang
sistem turbit di laut. Semula pada awal pengendapan sangat intensif setelah menurunnya pasokan klastika,
Formasi Butak, beberapa gunung api berkembang di ditandai oleh terbentuknya endapan karbonat yang
laut yang relatif dalam. Di dasar laut yang relatif tebal dan luas, Formasi Wonosari dan Punung.
dalam terbentuk aliran lava yang membentuk Seperti di uraikan di depan, Formasi Wonosari
struktur lava bantal. Pertumbuhan gunung api dibentuk oleh batugamping yang umumnya klastika
berkembang baik, sehingga rempah gunung api dan berlapis baik. Di pihak lain, Formasi Punung
membentuk lereng yang cukup terjal. Begitu terjalnya didominasi oleh batugamping terumbu. Sementara
lereng ini sehingga sebagian darinya meluncur ke Formasi Wonosari menyebar luas di bagian barat
bawah. Setempat luncuran rempah gunung api ini daerah penelitian, Formasi Punung berada di bagian
terendapkan bercampur dengan material klastika timur (Gambar 4). Hal ini menunjukkan bahwa
lainnya dari darat. Sebagian gunung api juga muncul kondisi pada waktu pengendapan kedua formasi,
di atas permukaan laut, sehingga berbagai bagian timur tempat Formasi Punung diendapkan,
tetumbuhan darat dapat berkembang baik. Pada saat sangat memungkinkan terumbu koral dapat tumbuh
erupsi, rempah gunung api ini meluncur ke laut dengan baik. Kondisi seperti ini tentu menggambar-
membawa arang dari tetumbuhan darat tersebut. kan adanya laut dangkal dengan cukup hangat,
Keadaan seperti ini berlangsung sampai cukup sinar matahari, mempunyai sirkulasi air laut
pengendapan Formasi Semilir berakhir. Kegiatan cukup baik, kadar garam yang sedang, dan banyak
vulkanisme secara intensif berlangsung terus sampai nutrisi, sedangkan bagian barat, tempat diendapkan
pada pengendapan Formasi Nglanggeran yang Formasi Wonosari dan mungkin juga Formasi
didominasi oleh endapan breksi gunung api. Sentolo, mempunyai kondisi yang berbeda. Di bagian
Uraian sebelumnya menunjukkan bahwa sebenarnya ini laut lebih mempunyai energi lebih tinggi, sehingga
awal kegiatan vulkanisme telah dimulai pada terendapkan lebih banyak material klastika karbonat.
Paleosen Akhir berupa lava bantal yang tersingkap di Kondisi seperti ini menyebabkan terumbu koral tidak
Watuadeg (Bronto drr., 2008c). Namun demikian, dapat berkembang baik.
hasil penarikhan K/Ar yang telah dilakukan sebagian
besar menunjukkan umur lava bantal di Pegunungan KESIMPULAN
Selatan menunjukkan umur Eosen Akhir (Surono drr.,
Litostratigrafi di Pegunungan Selatan dapat dibagi
2006). Akhir kegiatan vulkanisme di daerah ini
kedalam tiga periode: periode pravulkanisme,
ditunjukkan oleh Formasi Nglanggeran yang diduga
periode vulkanisme, dan periode pascavulkanisme
berumur N5-N7 atau akhir Miosen Awal (Gambar 5).
atau periode karbonat. Pada periode pravulkanisme
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
terbentuk batuan malihan yang ditindih tak selaras
kegiatan vulkanisme yang signifikan di Pegunungan
oleh Kelompok Gamping-Wungkal. Diduga runtunan
Selatan terjadi pada Eosen Akhir akhir Miosen
batuan malihan merupakan bagian dari batuan yang
Awal.
terbentuk dalam sistem subduksi pada Kapur.
Pada periode pascavulkanisme pengendapan dimulai
Pada periode vulkanisme, yang dimulai pada
oleh Formasi Sambipitu yang didominasi oleh batuan
Paleosen Akhir, yang semula batuan gunung api
klastika di bagian bawah dan berubah lebih
berupa leleran lava di dasar laut dalam, kemudian
karbonatan ke arah atas. Fragmen klastika
membentuk lava bantal. Aktivitas vulkanisme
didominasi oleh batuan hasil kegiatan gunung api.
semakin intensif membentuk tubuh gunung api di
Umur Formasi Sambipitu adalah Miosen Awal (N6-
laut yang kemudian sebagian muncul di atas

218 JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009


Geo-Sciences
permukaan laut. UCAPAN TERIMA KASIH
Seiring surutnya aktifitas vulkanisme pada akhir Penulis sangat berterima kasih kepada semua
Miosen Awal, organisme laut pembentuk material anggota Tim Pemetaan/Penelitian Geologi
karbonat berkembang dengan baik. Semula, awal Pegunungan Selatan, terutama U. Margono, R.
pertumbuhan karbonat ini masih dipengaruhi oleh Fakhruddin, A.K. Permana dan Kusnama, yang telah
material klastika dari hasil erosi batuan gunung api di banyak memberikan saran dan koreksi dalam
darat. Namun, pada akhir Miosen Tengah Miosen penyusunan makalah ini. Ucapan terima kasih
Akhir material karbonat tumbuh dan berkembang penulis juga ditujukan kepada W. Sujana atas
membentuk batuan karbonat yang luas. bantuan penggambar.

ACUAN
Bothe, A.Ch.D., 1929. Djiwo Hills and Southern Range. Fourth Pacific Science Conggress Excursion Guide,
14p.
Bronto, S., Hartono, G. dan Astuti, B., 2004. Hubungan antara batuan beku intrusi dan ekstrusi di Perbukitan
Jiwo, Kecamatan Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Majalah Geologi Indonesia, 19 (3) : 147-163.
Bronto, S., Hartono, G. Astuti, B.S, dan Mulyaningsih, S., 2008a. Formasi Wonolelo: usulan nama satuan
litostratigrafi baru untuk batuan gunung api Tersier di daerah Bantul, Yogyakarta. Prosiding
Seminar Nasional Ilmu Kebumian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 15 Februari 2008.
Bronto, S., Hartono, G., Astuti, B., dan Mulyaningsih, S., 2008b. Formasi Wonolelo: usulan nama satuan
litostratigrafi baru untuk batuan gunung api Tersier di daerah Bantul, Yogyakarta. Prosiding
Seminar Nasional Ilmu Kebumian Tantangan dan Strategi Pendidikan Geologi dalam
Pembangunan Nasional, Jurusan Teknik Geologi, FT UGM, Yogyakarta.
Bronto, S., Mulyaningsih, S., Hartono, G. dan Astuti, B., 2008c. Gunung api purba Watuadeg: Sumber erupsi
dan posisi stratigrafi. Jurnal Geologi Indonesia, 3 (3) : 117-128.
Bronto, S., Pambudi, S. and Hartono, G., 2002. The genesis of volcanic sandstones associated with basatic
pillow lava, Bayat areas: A case study at the Jiwo Hills, bayat area (Klaten, Central Java). Jurnal
Geologi dan Sumber daya Mineral, V.Xii, 131 : 2-16.
Fakhruddin, R., Surono, Permana, A., dan Bronto, S., 2009 (dalam persiapan). Peta geologi Lembar Bantul dan
Panggang, Yogyakarta. Skala 1:50.000. Pusat Survei Geologi.
Hartono, G., 2000. Studi gunung api Tersier: Sebaran pusat erupsi dan petrologi di Pegunungan Selatan,
Yogyakarta. Tesis Magister Teknik, Institut Teknologi Bandung, Bandung, 168p (tidak diterbitkan).
Ikatan Ahli Geologi Indonesia, 1996. Sandi Stratigrafi Indonesia
Kurniawan, R.E.J, Umiyatun, Ch., S., Pratistho, B., dan Surono, 2006. Studi nannofosil pada batulempung,
Formasi Gamping-Wungkal, Sekarbolo, Jiwo Barat, Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Proceedings PIT
IAGI, Riau.
Kusumayudha, S.B., 2000. Kuantifikasi sistem hidrogeologi dan potensi air tanah daerah Gunung Sewu,
Pegunungan Selatan, DIY (Didekati dengan analisis geometri fraktal). Desertasi, ITB, tidak
dipublikasikan.
Lokier, S.W., 2000. The Miocene Wonosari Formation, Java, Indonesia: Volcaniclastic influences on carbonate
platform development. PhD thesis, University of London, 648p.
Margono, U., Surono, dan Kusnama, 2009 (dalam persiapan). Peta Geologi Lembar Wonosari dan Semanu,
Yogyakarta; Skala 1:50.000. Pusat Survei Geologi.
Marks, P., 1957. Stratigraphic lexicon of Indonesia. Publikasi Keilmuan No. 31, Seri Geologi, Pusat Djawatan
Geologi, Bandung, 233p & Maps.

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 219


Geo-Sciences
Mulyanto, D., 2006. Genesis dan keragaman warna tanah di atas batuan karbonat jalur Baron-Wonosari.
Desertasi, Universitas Gadjah Mada, tidak dipublikasikan. 314p.
Novian, M.I., Setiawan, P.K.D., Salahuddin Husein, S. dan Rahardjo, W., 2007. Stratigrafi Formasi Semilir
bagian atas di Dusun Boyo, Desa Ngalang, Kecamatan Gedangsari, Kabupaten Gunung Kidul, DIY.
Makalah disampaikan pada Seminar dan Workshop Potensi Pegunungan Selatan dalam
Pengembangan Wilayah, Inna Garuda, 27-29 November 2007.
Nugrahini, R.A., 1999. Stratigrafi batuan asal gunung api di daerah Wonogiri, Jawa Tengah. Tesis Magister
Teknik, Institut Teknologi Bandung, Bandung, 70p (tidak diterbitkan).
Prasetyadi, C. & Maha, M., 2004. Jiwo Hills, Bayat-Klaten: A possible Eocene-origin paleohigh. Jurnal Ilmu
Kebumian Teknologi Mineral, V. 17, No. 2, pp. 61-64.
Prasetyadi, C., Harsolumakso, A.H., Sapiie, B., & Setiawan, J., 2002. Tectonic significance of pre-Tertiary rocks
of Jiwo Hill, Bayat and Lok Ulo, Karangsambung areas in Central Java: a comparative review.
Proceedings of the PIT IAGI 31, pp 680-700.
Rahardjo, W., 2007. Foraminiferal biostratigraphy of Southern Mountains Tertiary rocks, Yogyakarta Special
Province. Makalah disampaikan pada Seminar dan Workshop Potensi Pegunungan Selatan dalam
Pengembangan Wilayah, Inna Garuda, 27-29 November 2007.
Rahardjo, W., Sukandarrumidi dan Rosidi, H.M.D. 1995. Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa, skala 1 :
100.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.
Ratman, N. dan Samodra, H., 2004. Stratigrafi batuan Eosen di Perbukitan Jiwo, Jawa Tengah. Jurnal Sumber
Daya Geologi, 14 (3) : 148-159.
Samodra, H. dan Sutisna, K., 1997. Peta Geologi Lembar Klaten (Bayat), Jawa. Skala 1 : 50.000. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi. Bandung.
Sartono, S. 1964. Stratigraphy and sedimentation of the easternmost of Gunung Sewu (East Jawa). Publikasi
Teknik Seri Geologi Umum No. 1. Direktorat Geologi, Bandung, 95p.
Smyth, H., 2005. Eocene to Miocene basin history and volcanic activity in East Jjava, Indonesia. PhD thesis,
University of London, 470p.
Smyth, H.R., Hall, R. & Nichols, G.J., 2008. Cenozoic volcanic arc history of East Java, Indonesia: The
stratigraphic record of eruption on an active continental margin. The Geological Sociaty of America,
Special Paper 436, pp. 199-222.
Smyth, H.R., Hall, R., Hamilton, J., & Kinny, P., 2003. Volcanic origin of quarzt-rich sediments in East Java.
Proceedings Indonesian Petroleum Association, 29th Annual Convention, pp. 541-559.
Smyth, H.R., Hall, R., Hamilton, J., & Kinny, P., 2005. East Java: Cenozoic basins, volcanoes and ancient
basement. Proceedings Indonesian Petroleum Association, 30th Annual Convention &
Exhibation, pp. 251-266.
Smyth, H.R., Hall, R., Hamilton, J., & Kinny, P., 2007. The deep crust beneath island arcs: Inhereted zircons
reveal a Gondwana continental fragment beneath East Java, Indonesia. Earth and Planetary
Science Letters 258, pp.269-282.
Soeria-Atmadja, Maury, R.C., R., Bellon, H., Pringgopawiro, H., Polve, M. Dan Priadi, B., 1994. Tertiary
magmatic belts in Java. Journal of SE Asian Earth Sciences, 9, pp.13-27.
Soesilo, D., 2003. Batuan kristalin dalam pandangan Sandi Stratigrafi Indonesia 1996 (Baru): Penerapannya di
Bayat & Karangsambung, Jawa Tengah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung,
20-21 Oktober 2003.
Sudarno, Ign., 1997. Kendali tektonik terhadap pembentukan struktur pada batuan Paleogen dan Neogen di
Pegunungan Selatan, Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya. Tesis Magister pada Institut
Teknologi Bandung, 167p.

220 JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009


Geo-Sciences
Sumarso & Ismoyowati, T., 1975. A contribution to the stratigraphy of the Jiwo Hills and their southern
suroundings. Proceeding of 4th Annual Convention of Indonesia Petroleum Association, Jakarta.
Surono, 2005. Sedimentology of the Palaeogene Nanggulan Formation, West of Yogyakarta. Jurnal Sumber
Daya Geologi, 15 (1) : 75-74.
Surono, 2008a. Sedimentasi Formasi Semilir di Desa Sendang, Wuryantoro, Wonogiri, Jawa Tengah. Jurnal
Sumber Daya Geologi, 18 (1) : 29-41.
Surono, 2008b. Stratigrafi dan sedimentasi Formasi Kebo dan Formasi Butak, di Pegunungan Selatan, Jawa
Bagian Selatan. Jurnal Geologi Indonesia, 3 (4) : 183-193.
Surono, Hartono, U. dan Permanadewi, S., 2006. Posisi stratigrafi dan petrogenesa Intrusi Pendul, Perbukitan
Jiwo, Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Jurnal Sumber Daya Geologi, 16 (5) : 232-311.
Surono, Toha, B. & Sudarno, I, 1992. Peta Geologi Lembar Surakarta-Giritontro, Jawa, Skala 1 : 100.000.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Sutanto, 2003. Himpunan Batuan dan Keanekaragaman Proses pada Busur Vulkanik di Lingkungan Busur
Kepulauan dan Tepi Benua Aktif, Jurnal Ilmu kebumian Buletin Teknologi Mineral, UPN Veteran
Yogyakarta, pp.58-67
Sutanto, Soeria_Atmadja, R., Maury, and R.C., Bellon, H., 1994. Geochronology of Tertiary volcanism in Jawa.
Prosiding Geologi dan Geotektonik P. Jawa, sejak Mesozoik Kuarter, pp.73-76.
Suyoto, 1992a. Model fasies karbonat Gunung Sewu, Wonosari, Yogyakarta. Thesis S2 Geologi ITB, tidak
dipublikasikan.
Suyoto, 1992b. Klasifikasi Stratigrafi Pegunungan Selatan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, In :
Proceeding PIT IAGI XXIII, pp.472-485.
Suyoto, 2005. Stratigrafi sikuen cekungan depan busur Neogen Jawa Selatan. Berdasarkan data di daerah
Pegunungan Selatan, Yogyakarta. Desertasi ITB, tidak dipublikasikan.
Toha, B., Resiwati, P., Srijono, Rahardjo, W. & Pramumidjojo, S., 1994. Geologi daerah Pegunungan Selatan:
Suatu kontribusi. Prosiding Geologi dan Geotektonik Pulau Jawa. Jurusan Teknik Geologi FT UGM,
pp. 19-28.
Umiyatun, Ch., S., Pratistho, B., Kurniawan, R.E.J, dan Surono, 2006. Foraminifera besar pada satuan
batugamping, Formasi Gamping-Wungkal, Sekarbolo, Jiwo Barat, Bayat, Klaten, Jawa Tengah.
Proceedings PIT IAGI, Riau.
van Bemmelen, van, R.W., 1949. The geology of Indonesia. Govt. Printing Office, Nijhoff, The Hague, 732p.
Verbeek, R.D.M. & Fennema, R., 1896. Geologische beschrijving van Java en Madura. Amesterdam.
Wardana, I.W., Sudarno, I. Dan Wijonarko, D., 2008. Geologi dan fasies batuan metamorf daerah Jiwo Barat,
Bayat, Klaten, Jawa Tengah. Media Teknik, No. 2, Tahun XXX, FT-UGM, pp. 113-118.

JSDG Vol. 19 No. 3 J u n i 2009 221


PANDUAN
PENULISAN MAKALAH ILMIAH
JURNAL SUMBER DAYA GEOLOGI

UMUM
1. Naskah merupakan karya asli yang belum pernah diterbitkan di manapun sebelumnya.
2. Naskah dalam Bahasa Inggris ataupun Indonesia yang baik dan benar, dilengkapi dengan Sari
dalam Bahasa Indonesia dan Abstract dalam Bahasa Inggris.
3. Teks harus tercetak jelas; gambar dan foto harus asli dengan ukuran maksimum 19,5x15 cm.
4. Naskah harus ditelaah dan disunting paling tidak oleh dua orang dari Dewan Redaksi
dan/ataupun Editor Ilmiah (Scientific Editor) sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
5. Naskah yang masuk ke Dewan Redaksi, harus disertai Surat Pengantar dari Kelompok
Program/Pimpinan Unit (khusus dalam lingkungan DESDM).
6. Dewan Redaksi berhak menolak naskah/makalah yang kurang memenuhi syarat sebagai tulisan
ilmiah.
7. Soft copy yang berisi teks, gambar, dan potret yang telah diperbaiki sesuai dengan telaahan dan
suntingan, dan dinyatakan dapat diterbitkan oleh Dewan Redaksi, diserahkan kepada Ketua
Dewan Penerbit/Kepala Bidang Informasi.

NASKAH
1. Halaman pertama naskah berisi judul makalah, sari dan abstract, serta kata kunci dan keywords.
Nama penulis, nama instansi, alamat dan nomor telepon/hp dituliskan pada lembar tersendiri.
2. Naskah diketik dengan komputer dalam MS-Word dengan huruf Times New Roman, Font-12, dua
spasi.
3. Beri dua spasi antara heading dan teks di bawahnya, tiga spasi antaralinea tanpa menggunakan
indentasi.
4. Susunan isi :
a. Judul (Title)
b. Sari/Abstract; harus ringkas dan jelas mewakili isi makalah (concise summary), paling banyak 200
kata (words) diketik satu spasi (single space).
c. Kata kunci (keywords); 4 sampai 6 kata ditulis di bawah sari/abstract.
d. Pendahuluan (Introduction) : Latar belakang, Permasalahan, Tujuan Penelitian, Lokasi Daerah.
(Scientific Background, Scientific Problem, Aim(s), Studied Area).
e. Metodologi (Methods)
f. Analisis dan Hasil (Analyses and Results)
g. Diskusi (Discussion)
h. Kesimpulan dan Saran (Conclusions/Recommendations)
I. Ucapan Terima Kasih (Acknowledgment)
5. Acuan (References); harus diacu (cited/referred) dalam tulisan, mendukung isi tulisan dan ditulis
dalam daftar serta disusun menurut abjad. Hindari penulisan nama penulis/pengarang maupun
Call for paper:
editornya dengan huruf besar. Semua nama penulis harus ditulis, tidak boleh hanya nama penulis
pertama dengan tambahan drr.
Contoh :
Prosiding (Proceeding):
- Koning, T. and Darmono, F.X., 1984. The Geology of the Beruk Northeast Field, Central
th
Sumatra. Oil production from pre-Tertiary basement rocks. Proc. 13 Ann. Conv.
IPA, Jakarta, Indonesia.
Jurnal/Buletin:
- Wright, O.R., 1969. Summary of research on the selection interview since 1964. Personal
Psychology 22:391-413.
Peta:
- Simandjuntak, T.O., Surono, Gafoer, S., dan Amin, T.C., 1991. Geologi Lembar Muarabungo,
Sumatera, skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung
Laporan tidak diterbitkan:
- Siagian, H.P. dan Mubroto, B., 1995. Penelitian Magnet Purba di daerah Baturaja dan
Sekitarnya, Sumatera Selatan. Laporan intern Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi, Bandung (Tidak diterbitkan).
Tesis (Skripsi, Disertasi):
- Stone, I.G., 1963. A morphogenetic study of study stages in the life-cycle of some Vitorian
cryptograms. Ph.D. Thesis, Univ. of Melbourne.
Buku :
- George, S., 1967. Language and Silence. Faber and Faber, London: 96pp.
Dalam Buku :
- Carter, J.G., 1980. Environmental and biological controls of bivalve shell mineralogy and
microstructure. In: Rhoads, D.C. and Lutz, R.A. (Eds.), Skeletal growth of aquatic
organisms. Plenum Press, New York and London: 93-134.
Publikasi Khusus (Special Publication):
- Kay, E. Alison, 1979. Hawaiian Marine Shells.B.P. Bishop Museum Special Publication 64(4):
653pp. Major Treatment.
Informasi di internet:
- Lunt, P., 2003. Biogeography of some Eocene larger foraminifera, and their application in
distinguishing geological plates. Paleontologica Electronica 6(1):22pp, 1.3MB;
http://paleo-electronica.org/paleo/2003-2/geo/issue 2-03.htm
6. Dalam draft, gambar/peta/potret diletakkan pada halaman akhir makalah.
7. Keterangan gambar dan potret diketik satu spasi dan diletakkan di bawah gambar/potret;
diakhiri dengan titik. Huruf besar hanya pada awal kalimat dan nama diri.
8. Keterangan tabel juga diketik dalam satu spasi, diletakkan di atas tabel, tidak diakhiri dengan titik.
Setiap awal kata, ditulis dengan huruf besar, kecuali kata depan dan kata sambung.

CALL FOR PAPER :


Redaksi menerima makalah ilmiah dari pembaca untuk diterbitkan dalam jurnal ini dengan
mengacu kepada persyaratan tersebut di atas.

Anda mungkin juga menyukai