Anda di halaman 1dari 33

ANALISIS PROFIL ENDAPAN NIKEL LATERIT

DAERAH TAPUNGGAYA KECAMATAN MOLAWE


KABUPATEN KONAWE UTARA PROVINSI SULAWESI
TENGGARA

PROPOSAL PENELITIAN

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN PERSYARATAN


MENCAPAI DERAJAT SARJANA (S1)

DIAJUKAN OLEH :

VIKRAM NOVRIAL
R1C1 15 095

JURUSAN TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2018
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pulau Sulawesi khususnya Sulawesi bagian Tenggara terkenal dengan

kandungan nikel yang melimpah. Salah satu daerah yang memiliki kandungan

nikel yang cukup melimpah yaitu Kabupaten Konawe Utara. Salah satu daerah

dengan kandungan nikel yang cukup melimpah berada pada Desa Tapunggaya,

Kecamatan Molawe, Kabupaten Konawe Utara. Kabupaten Konawe Utara

tersusun atas batuan ofiolit, yang terdiri dari batuan ultrabasa (ultramafik) seperti

Dunit, Harzburgit, Piroksenit, Lhiezorlit, Websterit, Wehrlit dan Serpentinit,

setempat batuan basa (mafik) termasuk gabro dan basalt. Batuan - batuan ini

mengalami proses pelapukan baik secara kimiawi yang menghasilkan endapan

nikel laterit.

Bijih nikel laterit merupakan salah satu sumber daya mineral yang melimpah

yang dihasilkan dari proses pelapukan batuan ultrabasa yang kaya akan mineral

olivine. Pada batuan ultrabasa memiliki kandungan nikel sebesar 0,2% - 0,4%

(Golightly, 1981 dalam Elias, 1998). Masalah dalam penelitian ini yaitu

bagaimana karakteristik tipe profil endapan nikel laterit daerah penelitian,

bagaimana protolith endapan nikel laterit daerah penelitian dan seberapa besar

kandungan nikel dan unsur lainnya terhadap profil endapan nikel laterit. Tidak

hanya unsur nikel (Ni) saja yang dianalisis, namun unsur - unsur yang lain pula

yang terdapat pada bahan galian tersebut. Unsur – unsur lain tersebut dapat berupa

silicon (Si), besi (Fe), magnesium (Mg), aluminium (Al), kobalt (Co) dan lain
sebagainya. Metode yang digunakan dalam mengetahui profil endapan nikel

laterit digunakan metode observasi berupa kenampakan profil laterit di

permukaan. Untuk menentukan protolith endapan nikel laterit digunakan metode

petrografi atau sayatan tipis. Dalam menentukan atau mengetahui kandungan

penyususn nikel, terdapat beberapa metode yang biasa digunakan antara lain

adalah metode gravimetri, metode Teknik Laser Induced Plasma (LIP), ekstraksi,

elektrokimia dan kromatografi, Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) serta

metode XRF (X-Ray Fluorescence). Dari beberapa metode yang telah disebutkan

sebelumnya, metode yang peneliti gunakan yaitu metode XRF (X-Ray

Fluorescence). XRF adalah alat yang menggunakan metode spektrometri untuk

menganalisis kandungan unsur bahan tertentu dalam hal ini yaitu nikel. Peneliti

menggunakan metode XRF karena alat tersebut tersedia, cukup mudah digunakan,

murah dan analisisnya lebih cepat dibanding analisis dengan alat yang lain. XRF

memanfaatkan sinar-X yang dipancarkan oleh bahan yang selanjutnya ditangkap

oleh detector untuk dianalisis kandungan unsurnya.

Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti melakukan penelitian

yang berjudul “Analisis Profil Endapan Nikel Laterit Daerah Tapunggaya

Kecamatan Molawe Kabupaten Konawe Utara Provinsi Sulawesi Tenggara”

untuk mengetahui bagaimana kandungan unsur nikel dan unsur lainnya di tiap

horizon endapan nikel laterit.


B. Rumusan Masalah

Dalam penelitian ini masalah yang dikemukakan yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimana tipe profil endapan nikel laterit daerah penelitian.

2. Bagaimana karakteristik protolith endapan nikel laterit daerah penelitian.

3. Berapa besar kandungan unsur nikel dan unsur lainnya pada profil endapan

nikel laterit daerah penelitian.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui tipe profil endapan nikel laterit.

2. Mengetahui protolith endapan nikel laterit.

3. Mengetahui kandungan unsur nikel dan unsur lainnya pada profil endapan

nikel laterit.

D. Manfaat Penelitian

Dengan adanya penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi

pihak-pihak berikut :

a) Bagi Peneliti

Sangat bermanfaat sebagai tambahan ilmu pengetahuan dan melatih

menerapkan ilmu yang telah dipelajari di bangku perkuliahan ke dalam

masalah sebenarnya (lapangan).


b) Bagi Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi bagi penelitian

yang lain terkhusus mengenai analisis horizon endapan nikel laterit.


II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Geologi Regional

Simandjuntak dalam Surono (2010), menjelaskan bahwa berdasarkan sifat

geologi regionalnya Pulau Sulawesi dan sekitarnya dapat dibagi menjadi beberapa

mandala geologi yakni salah satunya adalah mandala geologi Sulawesi Timur.

Mandala ini meliputi lengan Tenggara Sulawesi, bagian Timur Sulawesi Tengah

dan Lengan Timur Sulawesi. Lengan Timur dan Lengan Tenggara Sulawesi

tersusun atas batuan malihan, batuan sedimen penutupnya dan ofiolit yang terjadi

dari hasil proses pengangkatan (obduction) selama Miosen. Sulawesi dan

sekitarnya merupakan daerah yang kompleks karena merupakan tempat

pertemuan tiga lempeng besar yaitu lempeng Indo-Australia yang bergerak ke

arah utara, lempeng Pasifik yang bergerak ke arah barat dan lempeng Eurasia

yang bergerak ke arah Selatan-Tenggara serta lempeng yang lebih kecil yaitu

lempeng Filipina.

Geologi regional Kabupaten Konawe Utara berdasarkan himpunan batuan

dan pencirinya, geologi lembar Lasusua - Kendari dapat dibedakan dalam dua

lajur, yaitu lajur Tinodo dan lajur Hialu. Lajur Tinodo dicirikan oleh batuan

endapan paparan benua dan Lajur Hialu oleh endapan kerak samudra atau ofiolit

(Rusmana, dkk., 1985). Secara garis besar kedua mandala ini dibatasi oleh Sesar

Lasolo.
1. Geomorfologi regional

Van Bemmelen (1949) membagi lengan Tenggara Sulawesi menjadi tiga

bagian : ujung utara, bagian tengah, dan ujung selatan. Kabupaten Konawe

Utara memanjang dari Utara Barat dengan topografi yang sangat kontras

antara bagian barat dengan bagian Timur berdasarkan bentuk bentang

alamnya (morfologinya). Kabupaten Konawe Utara memiliki topografi

permukaan yang pada umumnya bergunung, bergelombang dan berbukit

yang mengelilingi dataran rendah.

2. Stratigrafi regional

Berdasarkan peta geologi lembar Lasusua-Kendari Sulawesi dengan skala

1:250.000 yang dikeluarkan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan

Geologi (P3G), maka secara umum stratigrafi Kabupaten Konawe Utara,

dapat dibagi dalam delapan formasi batuan sebagai berikut (Penjelasan dari

batuan yang tertua ke batuan yang termuda) :

a. Batuan Ofiolit (Ku). Batuan ofiolit merupakan batuan beku yang

tersusun oleh jenis batuan peridotit, harzburgit, dunit, gabro dan

serpentinit.

b. Batuan Malihan Paleozoikum (Pzm). Tersusun oleh jenis batuan sekis,

gneis, filit, kuarsit, batusabak dan sedikit pualam

c. Pualam Paleozoikum (Pzmm). Pualam Paleozoikum tersusun oleh

jenis batugamping dan pualam.

d. Formasi Tokala (TRjt). Tersusun oleh jenis batugamping, serpih,

kalsilutit, napal, batusabak dan batupasir.


e. Formasi Meluhu (TRjm). Jenis batuan penyusun formasi Meluhu

adalah terdiri dari batupasir, kuarsit, serpih hitam, serpih merah, filit,

batusabak, batugamping dan lanau.

f. Formasi Matano (Km) Tersusun oleh jenis batuserpih dan rijang.

g. Formasi Alangga tersusun oleh jenis batupasir, batulempung dan

konglomerat.

h. Endapan Aluvium (Qa). Endapan Aluvium merupakan endapan

sekunder hasil rombakan batuan di permukaan yang telah terbentuk

sebelumnya. Endapan terdiri dari material lepas batuan kerikil, kerakal,

pasir dan lempung.

3. Struktur geologi

Struktur yang terbentuk di Pulau Sulawesi mempunyai berbagai skala

(regional dan local) meliputi penunjaman dan zona tumbukan, sesar naik,

sesar dan lipatan. Struktur geologi berskala regional yang berkembang

diSulawesi dan kawasan sekitarnya adalah parit Sulawesi Utara ( North

Sulawesi Trench ). Sistem Sesar Palu-Koro, Sesar naik Batui, Sesar naik

Poso, Sesar Walanae dan pemekaran Samudra di Selat Makassar.

Struktur geologi yang berkembang di lengan Tenggara Sulawesi dominasi

oleh sesar berarah barat laut-tenggara, yang utama terdiri atas Sesar Matano,

kelompok Sesar Kolaka, kelompok Sesar Lawanopo dan kelompok Sesar

Lainea..Berdasarkan hasil penggambaran struktur regional Sulawesi dan

daerah sekitarnya (Surono, 2013).Daerah penelitian inimerupakan salah satu


kawasan daerah yang masih mendapat pengaruh oleh sesar diantaranya sesar

Lasolo.

Sesar dan kelurusan umumnya berarah barat laut-tenggara searah dengan

sesar geser lurus mengiri Lasolo meliputi daerah Kecamatan Asera,

Kecamatan Molawe, Kecamatan Lasolo, Kecamatan Lembo, sampai

Kecamatan Sawa dan memanjang sampai ke teluk Lasolo. Sesar Lasolo

bahkan masih aktif hingga saatini. Sesar tersebut diduga ada kaitannya

dengan Sesar Sorong yang aktif kembali pada kala Oligosen (Simandjuntak,

dkk., 1983). Sesar naik ditemukan di daerah Wawo sebelah barat Tampakura

dan di Tanjung Labuandala di selatan Lasolo, yaitu beranjaknya batuan

ofiolit ke atas batuan malihan Mekongga, Formasi Meluhu dan Formasi

Matano.

B. Nikel Laterit

Nikel laterit diartikan sebagai suatu endapan bijih nikel yang terbentuk dari

proses laterisasi pada batuan ultramafic (peridotite, dunit dan serpentinit) yang

mengandung Ni dengan kadar yang tinggi, yang pada umumnya terbentuk pada

daerah tropis dan sub tropis.

1. Proses terbentuknya

Endapan nikel yang ada di daerah penelitian adalah jenis nikel laterit,

yang merupakan hasil pelapukan dari batuan ultrabasa. Menurut Vinogradov,

batuan ultrabasa pada awalnya mempunyai kandungan nikel rata-rata sebesar

0.2%. Berikut adalah contoh table yang memberikan informasi mengenai

unsur-unsur yang terkandung dalam batuan beku (Boldt, 1967).


Tabel 1.Unsur-Unsur yang Terkandung Dalam Batuan Beku (Boldt, 1967).

Persentase Kadar (%)

Batuan Ni FeO+Mg Al+Si

Peridotit 0,2000 43,5 45,9

Gabro 0,0160 16,6 66,1

Diorit 0,0040 11,7 73,4

Granit 0,0020 4,4 78,7

Proses terbentuknya nikel laterit dimulai dari peridotit sebagai batuan

induk. Batuan induk ini akan berubah menjadi serpentin akibat pengaruh

larutan hidrotermal atau larutan residual pada waktu proses pembentukan

magma (proses serpentinisasi) dan akan merubah batuan peridotit menjadi

batuan Serpentinit atau batuan Serpentinit Peridotit

Selanjutnya terjadi proses pelapukan dan laterit yang menghasilkan

serpentin dan peridotit lapuk. Adanya proses kimia dan fisika dari udara, air,

serta pergantian panas dan dingin yang kontinu, akan menyebabkan

disintegrasi dan dekomposisi pada batuan induk. Batuan asal yang

mengandung unsur-unsur Ca, Mg, Si, Cr, Mn, Ni, dan Co akan mengalami

dekomposisi.

Air tanah yang mengandung CO2 dari udara meresap ke bawah sampai ke

permukaan air tanah sambil melindi mineral primer yang tidak stabil seperti

olivin, serpentin, dan piroksen. Air tanah meresap secara perlahan dari atas
ke bawah sampai ke batas antara zone limonit dan zone saprolit, kemudian

mengalir secara lateral dan selanjutnya lebih banyak didominasi oleh

transportasi larutan secara horizontal. Proses ini menghasilkan Ca dan Mg

yang larut disusul dengan Si yang cenderung membentuk koloid dari partikel-

partikel silika yang sangat halus sehingga memungkinkan terbentuknya

mineral baru melalui pengendapan kembali unsur-unsur tersebut. Semua hasil

pelarutan ini terbawa turun ke bagian bawah mengisi celah-celah dan pori-

pori batuan.

Ca dan Mg yang terlarut sebagai bikarbonat akan terbawa ke bawah

sampai batas pelapukan dan diendapkan sebagai Dolomit dan Magnesit yang

mengisi celah-celah atau rekahan-rekahan pada batuan induk. Di lapangan,

urat-urat ini dikenal sebagai batas petunjuk antara zona pelapukan dengan

zona batuan segar yang disebut dengan akar pelapukan (root of weathering).

Fluktuasi muka air tanah yang berlangsung secara kontinu akan

melarutkan unsur-unsur Mg dan Si yang terdapat pada bongkah-bongkah

batuan asal di zone saprolit, sehingga memungkinkan penetrasi air tanah yang

lebih dalam. Dalam hal ini, zone saprolit akan bertambah ke dalam, demikian

juga dengan ikatan yang mengandung oksida MgO sekitar 30 – 50%-berat

dan SiO2 antara 35 – 40%-berat. Oksida yang masih terkandung pada

bongkah-bongkah di zone saprolit ini akan terlindi dan ikut bersama-sama

dengan aliran air tanah, sehingga sedikit demi sedikit zone saprolit atas akan

berubah porositasnya dan akhirnya menjadi zone limonit. Sedangkan bahan-

bahan yang sukar atau tidak mudah larut akan tinggal pada tempatnya dan
sebagian turun ke bawah bersama larutan sebagai larutan koloid. Bahan-

bahan seperti Fe, Ni, dan Co akan membentuk konsentrasi residu dan

konsentrasi celah pada zona yang disebut dengan zona saprolit, berwarna

coklat kuning kemerahan. Batuan asal ultramafik pada zone ini selanjutnya

diimpregnasi oleh Ni melalui larutan yang mengandung Ni, sehingga kadar

Ni dapat naik hingga 7%-berat. Dalam hal ini, Ni dapat mensubstitusi Mg

dalam Serpentin atau juga mengendap pada rekahan bersama dengan larutan

yang mengandung Mg dan Si sebagai Garnierit dan Krisopras.

Sementara Fe di dalam larutan akan teroksidasi dan mengendap sebagai

Ferri-Hidroksida, membentuk mineral-mineral seperti Goethit, Limonit, dan

Hematit yang dekat permukaan. Bersama mineral-mineral ini selalu ikut serta

unsur Co dalam jumlah kecil. Semakin ke bawah, menuju bed rock maka Fe

dan Co akan mengalami penurunan kadar. Pada zona saprolit Ni akan

terakumulasi di dalam mineral Garnierit. Akumulasi Ni ini terjadi akibat sifat

Ni yang berupa larutan pada kondisi oksidasi dan berupa padatan pada

kondisi silika.

Endapan laterit biasanya terbentuk melalui proses pelapukan kimia yang

intensif, yaitu di daerah dengan iklim tropis-subtropis. Proses pelindian

batuan lapuk merupakan proses yang terjadi pada pembentukan endapan

laterit, dimana proses ini memiliki penyebaran unsur-unsur yang tidak merata

dan menghasilkan konsentrasi bijih yang sangat bergantung pada migrasi air

tanah.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya endapan

Proses dan kondisi yang mengendalikan proses lateritisasi batuan

ultramafik sangat beragam dengan ukuran yang berbeda sehingga

membentuk sifat profil yang beragam antara satu tempat ke tempat lain,

dalam komposisi kimia dan mineral, dan dalam perkembangan relatif tiap

zona profil. Faktor yang mempengaruhi efisiensi dan tingkat pelapukan kimia

yang pada akhirnya mempengaruhi pembentukan endapan adalah:

a. Iklim

Iklim yang sesuai untuk pembentukan endapan laterit adalah iklim

tropis dan sub tropis, di mana curah hujan dan sinar matahari memegang

peranan penting dalam proses pelapukan dan pelarutan unsur-unsur yang

terdapat pada batuan asal. Sinar matahari yang intensif dan curah hujan

yang tinggi menimbulkan perubahan besar yang menyebabkan batuan

akan terpecah-pecah, disebut pelapukan mekanis, terutama dialami oleh

batuan yang dekat permukaan bumi.

Secara spesifik, curah hujan akan mempengaruhi jumlah air yang

melewati tanah, yang mempengaruhi intensitas pelarutan dan perpindahan

komponen yang dapat dilarutkan. Sebagai tambahan, keefektifan curah

hujan juga penting. Suhu tanah (suhu permukaan udara) yang lebih tinggi

menambah energi kinetik proses pelapukan.


b. Topografi

Geometri relief dan lereng akan mempengaruhi proses pengaliran

dan sirkulasi air serta reagen-reagen lain. Secara teoritis, relief yang baik

untuk pengendapan bijih nikel adalah punggung-punggung bukit yang

landai dengan kemiringan antara 10 – 30°.Pada daerah yang curam, air

hujan yang jatuh ke permukaan lebih banyak yang mengalir (run-off) dari

pada yang meresap kedalam tanah, sehingga yang terjadi adalah

pelapukan yang kurang intensif.Pada daerah ini sedikit terjadi pelapukan

kimia sehingga menghasilkan endapan nikel yang tipis.Sedangkan pada

daerah yang landai, air hujan bergerak perlahan-lahan sehingga

mempunyai kesempatan untuk mengadakan penetrasi lebih dalam melalui

rekahan-rekahan atau pori-pori batuan dan mengakibatkan terjadinya

pelapukan kimiawi secara intensif.Akumulasi andapan umumnya terdapat

pada daerah-daerah yang landai sampai kemiringan sedang, hal ini

menerangkan bahwa ketebalan pelapukan mengikuti bentuk topografi.

c. Tipe batuan asal

Adanya batuan asal merupakan syarat utama untuk terbentuknya

endapan nikel laterit. Batuan asalnya adalah jenis batuan ultrabasa dengan

kadar Ni 0.2-0.3%, merupakan batuan dengan elemen Ni yang paling

banyak di antara batuan lainnya, mempunyai mineral-mineral yang paling

mudah lapuk atau tidak stabil (seperti Olivin dan Piroksen), mempunyai

komponen-komponen yang mudah larut, serta akan memberikan


lingkungan pengendapan yang baik untuk nikel. Mineralogi batuan asal

akan menentukan tingkat kerapuhan batuan terhadap pelapukan dan

elemen yang tersedia untuk penyusunan ulang mineral baru.

d. Struktur

Struktur geologi yang penting dalam pembentukan endapan laterit

adalah rekahan (joint) dan patahan (fault). Adanya rekahan dan patahan

ini akan mempermudah rembesan air ke dalam tanah dan mempercepat

proses pelapukan terhadap batuan induk. Selain itu rekahan dan patahan

akan dapat pula berfungsi sebagai tempat pengendapan larutan-larutan

yang mengandung Ni sebagai vein-vein. Seperti diketahui bahwa jenis

batuan beku mempunyai porositas dan permeabilitas yang kecil sekali

sehingga penetrasi air sangat sulit, maka dengan adanya rekahan-rekahan

tersebut lebih memudahkan masuknya air dan proses pelapukan yang

terjadi akan lebih intensif.

e. Reagen-reagen kimia dan vegetasi

Reagen-reagen kimia adalah unsur-unsur dan senyawa-senyawa yang

membantu mempercepat proses pelapukan. Air tanah yang mengandung

CO2 memegang peranan paling penting di dalam proses pelapukan secara

kimia. Asam-asam humus (asam organik) yang berasal dari pembusukan

sisa-sisa tumbuhan akan menyebabkan dekomposisi batuan, merubah pH

larutan, serta membantu proses pelarutan beberapa unsur dari batuan

induk. Asam-asam humus ini erat kaitannya dengan kondisi vegetasi


daerah. Dalam hal ini, vegetasi akan mengakibatkan penetrasi air lebih

dalam dan lebih mudah dengan mengikuti jalur akar pohon-pohonan,

meningkatkan akumulasi air hujan, serta menebalkan lapisan humus.

Keadaan ini merupakan suatu petunjuk, dimana kondisi hutan yang lebat

pada lingkungan yang baik akan membentuk endapan nikel yang lebih

tebal dengan kadar yang lebih tinggi. Selain itu, vegetasi juga dapat

berfungsi untuk menjaga hasil pelapukan terhadap erosi.

f. Waktu

Waktu merupakan faktor yang sangat penting dalam proses

pelapukan, transportasi, dan konsentrasi endapan pada suatu tempat.

Untuk terbentuknya endapan nikel laterit membutuhkan waktu yang lama,

mungkin ribuan atau jutaan tahun.Bila waktu pelapukan terlalu muda

maka terbentuk endapan yang tipis. Waktu yang cukup lama akan

mengakibatkan pelapukan yang cukup intensif karena akumulasi unsur

nikel cukup tinggi. Banyak dari faktor tersebut yang saling berhubungan

dan karakteristik profil di satu tempat dapat digambarkan sebagai efek

gabungan dari semua faktor terpisah yang terjadi melewati waktu,

ketimbang didominasi oleh satu faktor saja.

Ketebalan profil laterit ditentukan oleh keseimbangan kadar pelapukan

kimia di dasar profil dan pemindahan fisik ujung profil karena erosi. Tingkat

pelapukan kimia bervariasi antara 10 – 50 m per juta tahun, biasanya sesuai

dengan jumlah air yang melalui profil, dan 2 – 3 kali lebih cepat dalam
batuan ultrabasa daripada batuan asam. Disamping jenis batuan asal,

intensitas pelapukan, dan struktur batuan yang sangat mempengaruhi potensi

endapan nikel lateritik, maka informasi perilaku mobilitas unsur selama

pelapukan akan sangat membantu dalam menentukan zonasi bijih di lapangan

(Totok Darijanto, 1986).

3. Profil Endapan Nikel Laterit

Profil endapan nikel laterit yang terbentuk dari hasil pelapukan batuan

ultrabasa secara umum terdiri dari 4 (empat) lapisan, yaitu lapisan tanah

penutup atau top soil, lapisan limonit, lapisan saprolit, dan bedrock.

a. Lapisan tanah penutup

Lapisan tanah penutup biasa disebut iron capping. Material lapisan

berukuran lempung, berwarna coklat kemerahan, dan biasanya terdapat

juga sisa-sisa tumbuhan. Pengkayaan Fe terjadi pada zona ini karena

terdiri dari konkresi Fe-Oksida (mineral Hematite dan Goethite), dan

Chromiferous dengan kandungan nikel relatif rendah.Tebal lapisan

bervariasi antara 0 – 2 m. Tekstur batuan asal sudah tidak dapat dikenali

lagi.

b. Lapisan Limonit

Merupakan lapisan berwarna coklat muda, ukuran butir lempung

sampai pasir, tekstur batuan asal mulai dapat diamati walaupun masih

sangat sulit, dengan tebal lapisan berkisar antara 1 – 10 m. Lapisan ini


tipis pada daerah yang terjal, dan sempat hilang karena erosi. Pada zone

limonit hampir seluruh unsur yang mudah larut hilang terlindi, kadar

MgO hanya tinggal kurang dari 2% berat dan kadar SiO2 berkisar 2 – 5%

berat. Sebaliknya kadar Fe2O3 menjadi sekitar 60 – 80% berat dan kadar

Al2O3 maksimum 7% berat. Zone ini didominasi oleh mineral Goethit,

disamping juga terdapat Magnetit, Hematit, Kromit, serta Kuarsa

sekunder.Pada Goethit terikat Nikel, Chrom, Cobalt, Vanadium, dan

Aluminium.

c. Lapisan saprolit

Merupakan lapisan dari batuan dasar yang sudah lapuk, berupa

bongkah-bongkah lunak berwarna coklat kekuningan sampai kehijauan.

Struktur dan tekstur batuan asal masih terlihat. Perubahan geokimia zone

saprolit yang terletak di atas batuan asal ini tidak banyak, H2O dan Nikel

bertambah, dengan kadar Ni keseluruhan lapisan antara 2 – 4%,

sedangkan Magnesium dan Silikon hanya sedikit yang hilang terlindi.

Zona ini terdiri dari vein-vein Garnierite, Mangan, Serpentin, Kuarsa

sekunder bertekstur boxwork, Ni-Kalsedon, dan di beberapa tempat sudah

terbentuk limonit yang mengandung Fe-hidroksida.

d. Bedrock (batuan dasar)

Merupakan bagian terbawah dari profil nikel laterit, berwarna hitam

kehijauan, terdiri dari bongkah – bongkah batuan dasar dengan ukuran >

75 cm, dan secara umum sudah tidak mengandung mineral ekonomis.


Kadar mineral mendekati atau sama dengan batuan asal, yaitu dengan

kadar Fe ± 5% serta Ni dan Co antara 0.01 – 0.30%.

C. XRF (X-Ray Flourescence)

X-Ray Fluorescence adalah alat yang dapat dipakai untuk mendeteksi unsur

dan menentukan konsentrasinya. Fluoresensi (fluorescence) merupakan gejalan

dimana suatu benda dapat memancarkan cahaya beberapa selang waktu kemudian

setelah benda itu menerima cahaya dari luar atau menerima tembakan dari aliran

partikel.

Unsur atom yang tereksitasi pada sampel akibat penembakan sinar-X dari

sumber membangkitkan sinar-X dengan panjang gelombang tertentu. Prose ini

disebut fluoresensi sinar-X. Karena panjang gelombang fluoresensi adalah

karateristik dari unsur yang terksitasi, maka pengukuran panjang gelombang ini

dapat digunakan untuk mengidentifikasi unsur didalam sampel (Sasli, 2004).

Gambar 1. Skema analisis menggunakan XRF


Gambar diatas memperlihatkan skema analisis dengan menggunakan XRF.

Analisis menggunakan XRF dilakukan berdasarkan identifikasi dan pencacahan

sinar-X karateristik yang terjadi dari peristiwa efek fotolistrik saat electron dalam

atom target terkena sinar berenergi tinggi. Bila energi sinar tersebut lebih tinggi

dari pada energy ikat electron dalam orbit K, L atau M pada atom target, maka

electron atom target akan keluar dari orbitnya. Dengan demikian, atom target akan

mengalami kekosongan electron yang selanjutnya akan diisi eloh electron dari

orbital yang lebih luar diikuti energy berupa sinar-X.

Electron dapat menembus orbital atom secara absorbs dari gelombang

cahaya (foton) dengan energy yang cukup. Energy foton harus lebih besar dari

pada energy electron yang berada pada inti atom. Apabila electron terdalamnya

menumbuk atom, electron dari tingkat orbital yang mempunyai energy yang lebih

besar akan mentransferkan energinya ke tingkat orbital yang mempunyai energy

yang lebih rendah. Karena transisi tersebut, foton memungkinkan untuk dapat

teremisi dari atom. Sinar fluoresensi ini terjadi akibat beda energy antara dua

orbital yang terbentuk dari transisi electron. Karena beda energy antara dua kulit

orbital khusus pada elemen selalu sama foton yang teremisi pada saat perpindahan

antara dua tingkatan energy tersebut akan selalu mempunyai energy yang sama.

Sinar-X yang dihasilkan dari peristiwa di atas ditangkap oleh detector

kemudian diproses sehingga menghasilkan spectrum sinar-X berupa gambar dua

dimensi.Sumbu x (horizontal) berupa energy (keV) sedangkan sumbu y (vertical)

berupa cacahan/intensitas unsur.Hasil yang diperoleh dari gambar spectrum

memberikan informasi jenis unsur dalam sampel.Untuk memperoleh komposisi


jumlah unsur dalam sampel, maka dilakukan analisis kuantitatif yang dinyatakan

dalam prosentasi berat.

1. Prinsip kerja XRF

Apabila terjadi eksitasi sinar-X primer yang berasal dari tabung X ray

atau sumber radioaktif mengenai sampel, sinar-X dapat diabsorpsi atau

dihamburkan oleh material. Proses dimana sinar-X diabsorpsi oleh atom

dengan mentransfer energinya pada elektron yang terdapat pada kulit yang

lebih dalam disebut efek fotolistrik. Selama proses ini, bila sinar-X primer

memiliki cukup energi, elektron pindah dari kulit yang di dalam

menimbulkan kekosongan. Kekosongan ini menghasilkan keadaan atom

yang tidak stabil. Apabila atom kembali pada keadaan stabil, elektron dari

kulit luar pindah ke kulit yang lebih dalam dan proses ini menghasilkan

energi sinar-X yang tertentu dan berbeda antara dua energi ikatan pada kulit

tersebut. Emisi sinar-X dihasilkan dari proses yang disebut X Ray

Fluorescence (XRF). Proses deteksi dan analisa emisi sinar-X disebut

analisa XRF. Pada umumnya kulit K dan L terlibat pada deteksi

XRF.Sehingga sering terdapat istilah Kα dan Kβ serta Lα dan Lβ pada

XRF. Jenis spektrum X ray dari sampel yang diradiasi akan

menggambarkan puncak-puncak pada intensitas yang berbeda

(Viklund,2008).
Berikut gambar yang menjelaskan nomenclature yang terdapat pada

XRF (Stephenon,2009) :

Gambar 2. Menggambarkan prinsip pengukuran dengan menggunaan XRF

(Gosseau,2009.)
2. Jenis XRF

Jenis XRF yang pertama adalah WDXRF (Wavelength-dispersive X-

ray Fluorescence) dimana dispersi sinar-X didapat dari difraksi dengan

menggunakan analyzer yang berupa cristal yang berperan sebagai grid. Kisi

kristal yang spesifik memilih panjang gelombang yang sesuai dengan

hukum bragg (PANalytical, 2009).Dengan menggunakan WDXRF

spektrometer (PANalytical, 2009) :

a. Aplikasinya luas dan beragam.

b. Kondisi pengukuran yang optimal dari tiap – tiap elemen dapat

diprogram.

c. Analisa yang sangat bagus untuk elemen berat.

d. Sensitivitas yang sangat tinggi dan limit deteksi yang sangat rendah

Gambar 3. Menggambarkan prinsip kerja WDXRF(Gosseau,2009.)


Sampel yang terkena radiasi sinar-X akan mengemisikan radiasi ke

segala arah. Radiasi dengan dengan arah yang spesifik yang dapat

mencapai colimator. Sehingga refleksi sinar radiasi dari kristal kedetektor

akan memberikan sudut θ. Sudut ini akan terbentuk jika, panjang

gelombang yang diradiasikan sesuai dengan sudut θ dan sudut 2θ dari kisi

kristal. Maka hanya panjang gelombang yang sesuai akan terukur oleh

detektor. Karena sudut refleksi spesifik bergantung panjang gelombang,

maka untuk pengukuran elemen yang berbeda, perlu dilakukan pengaturan

posisi colimator, kristal serta detektor (Gosseau,2009).

Jenis XRF yang kedua adalah EDXRF. EDXRF (Energy-dispersive X-

ray Fluorescence) spektrometri bekerja tanpa menggunakan kristal, namun

menggunakan software yang mengatur seluruh radiasi dari sampel

kedetektor (PANalytical, 2009). Radiasi Emisi dari sample yang dikenai

sinar-X akan langsung ditangkap oleh detektor. Detektor menangkap foton

– foton tersebut dan dikonversikan menjadi impuls elektrik. Amplitudo

dari impuls elektrik tersebut bersesuaian dengan energi dari foton – foton

yang diterima detektor. Impuls kemudian menuju sebuah perangkat yang

dinamakan MCA (Multi-Channel Analyzer) yang akan memproses impuls

tersebut. Sehingga akan terbaca dalam memori komputer sebagai channel.

Channel tersebut yang akan memberikan nilai spesifik terhadap sampel

yang dianalisa. Pada XRF jenis ini, membutuhkan biaya yang relatif

rendah, namun keakuratan berkurang. (Gosseau,2009).


Gambar 4. Mengilustrasikan prinsip kerja EDXRF (Gosseau,2009)

3. Kelebihan dan kekurangan XRF

Setiap teknik analisa memiliki kelebihan serta kekurangan, beberapa

kelebihan dari XRF :

a. Cukup mudah, murah dan analisanya cepat

b. Jangkauan elemen Hasil analisa akurat

c. Membutuhan sedikit sampel pada tahap preparasinya(untuk Trace

elemen)

d. Dapat digunakan untuk analisa elemen mayor (Si, Ti, Al, Fe, Mn, Mg,

Ca, Na, K, P) maupun tace elemen (>1 ppm; Ba, Ce, Co, Cr, Cu, Ga,

La, Nb, Ni, Rb, Sc, Sr, Rh, U, V, Y, Zr, Zn)

Beberapa kekurangan dari XRF :

a. Tidak cocok untuk analisa element yang ringan seperti H dan He


b. Analisa sampel cair membutuhkan Volume gas helium yang cukup

besar

c. Preparasi sampel biasanya membutuhkan waktu yang cukup lama dan

memebutuhkan perlakuan yang banyak.


III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini direncanakan selama kurun waktu ± 2 bulan di Kabupaten

Konawe Utara, dimana lokasi penelitian ini dilakukan di daerah Tapungggaya,

Kecamatan Molawe, Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara.

B. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian survey deskriptif untuk mengetahui

bagaimana kondisi kandungan nikel di wilayah atau daerah Tapunggaya,

Kecamatan Molawe, Kabupaten Konawe Utara, Provinsi Sulawesi Tenggara.

C. Bahan atau Materi Penelitian

1. Data Primer

Data primer merupakan data yang peneliti peroleh langsung dari lapangan

berupa hasil dari data profil laterit (kandungan unsur di dalamnya).

2. Data Sekunder

Untuk data sekunder diperoleh dari jurnal, artikel dan sumber informasi

lainnnya yang mengarah pada nikel laterit dan metode yang digunakan.
D. Instrumen Penelitian

Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini ditunjukkan pada tabel

berikut.

Tabel. 2 Alat dan Bahan Beserta Fungsinya

No. Nama Fungsi Foto

Alat Tulis Sebagai alat


1.
Menulis tulis.

Sebagai
perangkat
2. Laptop untuk
mengolah
data.
Sebagai alat
untuk
3. Kamera mengambil
gambar atau
dokumentasi.

Peta Sebagai peta


4.
Topografi dasar.

Untuk
menentukan
5. GPS
titik
koordinat.
Untuk
Kompas
6. menentukan
Geologi
arah.

Untuk
7. Palu Geologi
menyampling.

Untuk
Kantung
8. menyimpan
sampel
sampel.

Untuk
mengukur
9. Roll Meter
dimensi suatu
profil laterit

Untuk
Spectrometer
10. menganalisis
/XRF
unsur.

Sebagai objek
11. Sampel
poengamatan

E. Prosedur Penelitian

1. Tahap pengambilan sampel

Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah sampel profil laterit

yang berasal dari daerah penelitian.Sampel profil laterit laterit ini meliputi
tanah penutup, limonit, saprolit, dan batuan induk atau bedrock yang diambil

dalam bentuk bongkahan dengan menggunakan palu geologi dan diukur

kedalamannya.

2. Tahap preparasi sampel

Adapun tahap preparasi sampel dilakukan dengan langkah-langkah

sebagai berikut :

a. Penggerusan sampel

Penggerusan dilakukan dengan menggunakan mortar.Tujuan dari

penggerusan ini adalah membuat sampel dalam bentuk serbuk yang

sangat halus karena sampel yang dipakai dalam analisis XRF harus

memiliki ukuran butiran yang sangat kecil.

b. Penyaringan

Sampel yang telah menjadi serbuk diayak dengan menggunakan

saringan ukuran 200 mesh. Pemilihan ukuran butiran tersebut sesuai

dengan ukuran standar sampel agar dapat dianalisis dengan spectrum

XRF yaitu ukuran 200 mesh.

c. Pembuatan Sampel dalam bentuk Press powder

Dalam membuat sampel press powder hal-hal yang dilakukan sebagai

berikut:

1) Menimbang sampel sebanyak 5 gram yang telah dimasukan

kedalam gelas kaca kemudian menimbang polivin sebanyak 0,75

gram dan boric sebanyak 2 gram.


2) Sampel dan polivin dimasukan kedalam mortar kemudian diaduk

dengan tujuan agar sampel tercampur rata dengan polivin.

3) Menempatkan ring press powder kedalam harsog kemudian

memasukan borig ke ring press powder tersebut.

4) Alat press powder (herzog) siap dioperasikan.

5) Dalam waktu kurang lebih sepuluh detik sampel telah terbentuk

press powder kemudian dimasukan kedalam oven selama 30 detik.

3. Tahap pengambilan dan analisis data

Pada tahap pengambilan data dengan alat spectrummeter sampel yang

telah berbentuk press powder diletakkan didalam holder. Setelah sampel siap

holder dimasukan kedalam specimen chander kemudian ditutup.Alat

spektrummeter siap untuk dioperasikan dengan terlebih dahulu

memperhatikan koneksi alat spectrometer dengan computer.

Pengukuran XRF untuk sampel dilakukan pada kondisi yang sama yaitu

dengan menggunakan spectrometer tipe Advant’ XP+. Keluaran spectrometer

akan terekam dalam CPU yang telah diset bersamaan dengan proses

pengambilan data. Data yang terekam berupa identitas (I) dan energy unsure

(E).Data ini langsung dikonversi oleh alat dalam bentuk angka sehingga

bentuk keluarannya berupa konsentrasi unsure.Hasil analisis XRF berupa

persentase kandungan unsure dalam profil laterit.Presentase nikel selanjutnya

diplot secara vertical untuk melihat profil lateritnya dan kandungan di

masing-masing zona.
F. Jadwal Penelitian

Bulan
No. Kegiatan
I II III IV I II III VI

Pengurusan
1.
Kelengkapan

2. Studi Literatur

3. Studi Lapangan

4. Pengumpulan Data

5. Pengolahan Data

Penyusunan
6.
Laporan

7. Persentase Hasil
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1985, Kajian Nikel, Buletin Khusus No.2-85, Pusat Pengembangan

Teknologi Mineral, Bandung.

E.H. Sujiono, M. Diantoro, Samnur. 2014. Karakteristik Sifat Fisis Batuan Nikel

di Sorowako Sulawesi Selatan.Universitas Negeri Semarang (UNNES),

Semarang.

Gosseau, D., Introduction to XRF Spectroscopy, (Online), http://users.skynet.be/,

diakses tanggal 26 Agustus 2018.

Rusmana, E., Sukido, Sukarna, D. Haryanto & Simandjuntak T. O., 1993, Peta

Geologi Lembar Lasusua – Kendari, Sulawesi, Skala 1:250.000, Pusat

Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.

Suryadi Rudy. 2012. Penentuan Stratigrafi Kandungan Nikel Pada Sedimen

Laterit (Online), http://rudhysuryadhy.blogspot.com/, diakses pada

tanggal 26 Agustus 2018.

Viklund, A., 2018, Teknik Pemeriksaan Material Menggunakan XRF, XRD dan

SEM-EDS (Online), http://labinfo.wordpress.com/, diakses tanggal 26

Agustus 2018.

Anda mungkin juga menyukai