Anda di halaman 1dari 64

ISSN 1829-5819

urnal
J ournal
Sumber Daya Geologi
of Geological Resources
Jurnal Sumber Daya Geologi / Journal of Geological Resources
Volume 19 / Nomor 4 / Agustus 2009

Jurnal Terakreditasi sebagai Majalah Ilmiah


Hlm. Bandung
Sumber Daya Geologi Vol. 19 No. 4 Agustus berdasarkan Keputusan Kepala LIPI
Journal 225 - 283 No.178/AU/P2MBI/08/2009
2009
of Geological Resources

PUSAT SURVEI GEOLOGI


RALAT

Daftar Isi Jurnal Sumber Daya Geologi, Vol. 19 No.3 Juni 2009

Tertulis :

153 - 165 Pengaruh Tektonik Pada Runtunan Endapan Aluvial Depresi Padangsidempuan, Sumatera Utara
U.M. Lumbanbatu, C. Basri dan D.A. Siregar

Seharusnya :
153 - 165 Pengaruh Tektonik Pada Runtunan Endapan Aluvial Depresi Padangsidempuan, Sumatera Utara
U.M. Lumbanbatu, C. Basri, S. Hidayat, dan D.A. Siregar

Diterbitkan berkala enam kali setahun oleh/Published periodically six times annually by:
Pusat Survei Geologi/Centre for Geological Survey

Gambar Sampul:
Alur pasang surut pada Lingkungan Transisi di Selatan Makam Syah Kuala
(Foto: H. Moechtar)
Vol. 19, No. 4, Agustus 2009 ISSN 1829-5819

urnal
J
Sumber Daya Geologi
ournal of Geological Resources

KATA PENGANTAR
Penasihat
Pembaca yang budiman, Kepala Badan Geologi

Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan YME, karena atas Penanggung Jawab
berkah-Nya Jurnal Sumber Daya Geologi dapat terbit menemui para pembaca.
Dalam terbitan ini, Jurnal Sumber Daya Geologi memuat lima makalah Kepala Pusat Survei Geologi
Geo-Sceince. Makalah pertama membahas dataran pantai Daerah Kendal,
Jawa Tengah. Makalah ini menjelaskan bahwa berdasarkan tataan startigrafi Dewan Redaksi
Holosen yang diperoleh dari data bor menunjukkan kondisi geologi daerah ini Ketua
dipengaruhi oleh proses genang laut, susut laut dan tektonik. Proses-proses Prof. (Ris.) Dr. Ir. Udi Hartono
tersebut mempengaruhi perkembangan pantai. (Geologi Ekonomi-Petrologi Batuan Beku)

Makalah kedua menekankan morfologi dan umur perpindahan alur Anggota


Sungai Opak di daerah Berbah, Sleman. Dalam uraiannya, makalah ini Dr. Hermes Panggabean, M.Sc. (Energi Fosil Konvensional)
menerangkan bahwa terdapat tiga lembah Sungai Opak Purba dan lembah Dr. Ir. Rachmat Heryanto, M.Sc. (Sedimentologi-Stratigrafi)
sungai sekarang, yang berdasarkan analisis C14 masing-masing menunjukkan Ir. Asdani Soehaimi, Dipl.Seis. (Seismotektonik)
umur 6950 th BP, 6800 th BP, 6430 th BP dan 6360 th BP. Hal tersebut Ir. Sidarto, M.Si. (Struktur Geologi)
menunjukkan bahwa Sungai Opak telah mengalami pergeseran tiga kali selama Ir. Subagio, M.Si. (Geofisika Terapan)
Holosen Atas, dan berarti bahwa kondisi geologi daerah ini sangat aktif.
Makalah ketiga mencoba menguraikan sedimentologi dan stratigrafi Penyunting Ilmiah Edisi Ini
aluvium bawah permukaan di Pesisir Cirebon dan sekitarnya. Dalam uraiannya
Dr. Ir. Rachmat Heryanto, M.Sc. (Sedimentologi-Stratigrafi)
dijelaskan bahwa data yang digunakan untuk analisis sedimentologi dan Ir. Engkon K. Kertapati (Seismotektonik)
stratigrafi adalah tujuh bor dangkal yang masing-masing kedalamannya 8 – 13 m. Dr. Ir. Surono (Sedimentologi)
Analisis tersebut menunjukkan endapan aluvium di daerah ini berumur Holosen, Dr. Ir. Herman Moechtar (Sedimentologi-Kuarter)
dan terdiri atas endapan laut lepas pantai, endapan laut dekat pantai, endapan
pasir pantai, endapan rawa, endapan alur sungai da,n endapan limpah banjir.
Mitra Bestari Edisi ini
Makalah keempat mengkaji proses sedimentasi dasar laut di Teluk
Kumai, Kalimantan Tengah dan hubungannya dengan cebakan emas dan perak, Prof. Dr. Ir. C. Danisworo (Geologi Kuarter)
bahasannya menerangkan bahwa hasil analisis kandungan emas dan perak di Dr. Ir. Edi Sunardi (Sedimentologi)
Prof. Dr. Bambang Pratistho (Geologi Kuarter)
daerah tertentu masing-masing menunjukkan 0,09 – 0,19 ppm, dan 1,6 – 3,75 Dida Kusnida, M.Sc. (Geofisika)
ppm. Berdasarkan analisis kurva antara besar butir dan persentase kumulatif
butiran yang mengandung emas menunjukkan proses pengendapannya
membentuk pola gabungan saltasi dan suspensi, yaitu ukuran butir 1,5 – 2 phi Penyunting Bahasa
saltasi, dan ukuran butir 2 – 4 phi suspensi. Kurva hubungan besar butir dan
Dra. Nenen Adriyani, M.A.
persentase butiran menunjukkan ukuran butir yang sangat berpengaruh dalam
pengendapan adalan 0,5 – 2,5 phi dengan jumlahnya berkisar 10 – 28 %. Dewan Penerbit
Sementars pola pengendapan dipengaruhi oleh gabungan arus laut dan arus
sungai yang membentuk endapan pasir pantai. Hasil analisis ini dapat digunakan Ketua
Ir. Ipranta, M.Sc.
untuk arahan pendulangan emas dan perak di daerah ini dengan hasil optimal. Anggota
Makalah kelima membahas geologi aluvium dan karakter endapan Ir. Kusdji Darwin Kusumah
pantai/pematang pantai di Lembah Krueng Aceh. Dalam uraiannya penelitian Dra. Nenen Adriyani, M.A.
dilakukan dengan pemetaan geologi permukaan, dan anlisis sedimentologi dan Drs. Donny Hermana
Isnu Hajar S., ST
stratigrafi 10 bor yang kedalamannya berkisar 2,30 m sampai 10 m. Litofasies Cipto Handoko
dan lingkungan pengendapan aluvium dibedakan menjadi lingkungan cekungan Hari Daya Satya, A.Md.
banjir, sistem sungai, transisi, dan klastika linier. Hubungan antar- lingkungan
pengendapan secara lateral dan horizontal menunjukkan adanya perubahan Alamat Redaksi
turun-naiknya permukaan laut pada lingkungan klastika linier yang dipengaruhi
Pusat Survei Geologi
oleh aktivitas Sesar naik Seulimeum. Sejarah pengisian cekungan pada Holosen Jl. Diponegoro 57,
Akhir hingga sekarang berkaitan dengan tektonik Kuarter, paling tidak telah Bandung, 40122
terjadi tiga kali tektonik pada Holosen Akhir yang diakibatkan oleh tektonik lokal. Telp. (022) 7203205
Fax. (022) 7202669
E-mail : publication@grdc.esdm.go.id
Akhirul kata, Redaksi mengucapkan selamat menyimak. redaksi@grdc.esdm.go.id
http://www.grdc.esdm.go.id
Dewan Redaksi
Vol. 19, No. 4, Agustus 2009 ISSN 1829-5819

urnal
J ournal
Sumber Daya Geologi
of Geological Resources
Daftar isi / Contents

Geo-Sciences
225 - 237 Perkembangan Dataran Pantai (Coastal Plain) Daerah Kendal Provinsi Jawa Tengah
U.M. Lumbanbatu

239 - 249 Morfologi dan Umur Perpindahan Alur Sungai Opak di Daerah Berbah Sleman
Santoso

251 - 260 Sedimentologi dan Stratigrafi Aluvium Bawah Permukaan di Pesisir Cirebon dan Sekitarnya
S. Hidayat, H. Mulyana, H. Moechtar dan Subiyanto

261 - 271 Proses Sedimentasi Dasar Laut di Teluk Kumai, Kalimantan Tengah, dan Hubungannya dengan Cebakan
Emas dan Perak
E. Usman dan Imelda R. Silalahi

272 - 283 Geologi Aluvium dan Karakter Endapan Pantai/Pematang Pantai di Lembah Krueng Aceh, Aceh Besar
(Prov. NAD)
H. Moechtar, Subiyanto, dan D. Sugianto
Geo-Sciences
PERKEMBANGAN DATARAN PANTAI (COASTAL PLAIN) DAERAH KENDAL PROVINSI
JAWA TENGAH

Ungkap M. Lumbanbatu
Pusat Survei Geologi
Jl. Diponegoro No. 57 Bandung - 40122

SARI

Wilayah dataran pantai (coastal plain) yang bersifat dinamis selalu mengalami perubahan. Pemahaman akan tataan
stratigrafi endapan Kuarter berperan penting untuk menjelaskan proses-proses geologi yang terjadi dalam pembentukan
dataran pantai. Berdasarkan analisis tataan stratigrafi Holosen, di daerah penelitian terlihat adanya proses geologi berupa
genang laut, susut laut dan aktivitas tektonik. Peristiwa geologi tersebut diperkirakan dapat mempengaruhi perubahan
arah perkembangan dataran pantai di daerah ini.
Kata kunci : tektonik, runtunan stratigrafi Kuarter, genang laut, susut laut

ABSTRACT

A coastal plain area having dynamic charakterisitc. Understanding of Quaternary stratigraphy plays an important role in
explaining the occurance of geological processes during the development of the coastal plain. Holocene stratigraphic
sequence analysis reveals that the studied area has been influenced by several geological processes such as sea level
rise and drop, and tectonic activities. These geological phenomenas are expected as the agents to change the directions
of coastal plain development.
Keywords: tectonics, quaternary stratigraphic sequences, sea level rise, sea level drop

PENDAHULUAN Perubahan pantai ini secara umum dapat terjadi


dalam kurun waktu yang pendek (short term
Dataran pantai adalah wilayah yang sangat dinamis changes), jangka menengah (medium term
dan rentan mengalami perubahan dari waktu ke changes), dan dalam jangka waktu yang panjang
waktu. Pantai adalah batas wilayah (interface) (long term changes).
antara darat (terrestrial) dan laut (marine). Oleh
karena itu proses terbentuknya pantai sangat Di Indonesia perubahan pantai yang terjadi pada
dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti gelombang, kurun waktu pendek dapat diakibatkan oleh kejadian
arus, turun naiknya permukaan laut dan pasokan gempa bumi, longsoran, tsunami, letusan gunung
sedimen (sediment supply). Pantai di Indonesia api, dan oleh akibat banjir yang besar dan
sangat dipengaruhi oleh perubahan permukaan air berkepanjangan. Contoh paling aktual ketika
laut, tektonik dan kondisi iklim tropis. Ketiga faktor terjadinya perubahan pantai dalam skala waktu
tersebut merupakan pengendali bertambahnya pendek yang diakibatkan oleh bencana alam gempa
daratan (progradation) dan penyusutan daratan bumi 26 Desember 2004, di daerah Aceh. Hampir
(retrogradation). sebagian besar pantai barat Aceh mengalami
penurunan, dan sebagian garis pantai di Kepulauan
Proses erosi dan proses pengendapan dapat terjadi Andaman mengalami pengangkatan. Walaupun
akibat perubahan turun naiknya permukaan laut, peristiwa tersebut terjadi dalam skala pendek, akan
berubahan iklim, dan tektonik, sementara faktor tetapi prosesnya merupakan suatu rangkaian siklus
yang mempengaruhi karakter pantai (coastal tektonik dalam kurun waktu panjang. Perubahan
characteristics) adalah komposisi jenis sedimennya. pantai tersebut mengakibatkan kerugian material
cukup besar seperti harta benda, rusaknya bangunan
lahan pertanian, tambak ikan, tambak garam, dan
Naskah diterima : 18 Juli 2008
Revisi terakhir : 14 Juli 2009 prasarana umum lainnya.

JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009 225


Geo-Sciences
Perubahan pantai akibat letusan gunung api dapat Penelitian ini dimaksudkan untuk melakukan kajian
terjadi, baik langsung maupun tidak langsung. terhadap terjadinya perkembangan garis pantai oleh
Secara langsung perubahan pantai dapat terjadi aktivitas tektonik Kuarter yang didasarkan pada
tataan stratigrafi. Daerah penelitian ini merupakan
karena produk gunung api dapat mencapai hingga
bagian dari kawasan pantai Laut Jawa yang secara
ke garis pantai seperti aliran lava, sedangkan
morfologi tersusun dari dataran pantai, dataran
perubahan pantai oleh letusan gunung api secara
sungai, rawa, dan dataran delta aktif. Berdasarkan
tidak langsung terkait dengan melimpahnya hasil kenampakan tersebut, daerah ini sangat dinamis,
aktivitas gunung api yang kemudian diangkut oleh dan dalam kurun waktu yang singkat dapat terjadi
sungai dan diendapkan di pantai. Sebagai perubahan garis pantai yang cukup signifikan. Oleh
konsekuensinya garis pantai akan mengalami karena itu, kajian perubahan pantai di daerah ini
perubahan. perlu dilakukan, sehingga efek yang akan
ditimbulkan oleh perubahan ini dapat diketahui, dan
Perubahan pantai dalam kurun waktu menengah
akhirnya metode penanggulangannya dapat dipilih
dapat diakibatkan oleh maju mundurnya garis pantai
supaya kerugian yang lebih besar dapat dihindari di
dalam beberapa dekade seperti yang terjadi di kemudian hari.
daerah delta. Perubahan ini akan berdampak pada
sumber daya alamnya (coastal resources). Daera penelitian secara kepamongprajaan termasuk
ke dalam Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah,
Perubahan pantai dalam kurun waktu panjang dapat dan secara geografis terletak antara koordinat
terjadi karena pengangkatan (uplift) dan penurunan 110°00' – 110°15' Bujur Timur dan 6°50' – 7°
(subsidence) dasar cekungan sebagai efek aktivitas Lintang Selatan (Gambar 1). Daerah penelitian dapat
tektonik. Perubahan pantai ini akan membawa dijangkau melalui jalan darat dengan kendaraan roda
dampak negatif terhadap kehidupan sosial ekonomi empat/ dua dengan kondisi jalan aspal baik, namun
penduduk yang bermukim di sekitar pantai tersebut. untuk menjangkau daerah-daerah tertentu harus
berjalan kaki.
6°50’ LS 6°50’ LS

110°15’ BT
110°00’ BT

0 1 2 Km

110°20’ BT
110°00’ BT

07°00’ LS 07°00’ LS

Gambar 1. Peta lokasi daerah penelitian dan penampang pemboran berarah timur - barat daerah Kendal dan sekitarnya, Jawa Tengah.

226 JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009


Geo-Sciences
METODOLOGI Perbedaan sistem pola aliran pada yang sama
Metodologi pendekatan untuk menerangkan dataran aluvium menunjukkan adanya perbedaan
perubahan perkembangan pantai di daerah kondisi geologi bawah permukaan. Berkembangnya
penelitian, dilakukan dengan cara menganalisis pola aliran subdenritik - denritik di bagian barat
runtunan stratigrafi dari penampang A-B, C-D, E-F sangat boleh jadi diakibatkan oleh pengaruh struktur
dan G-H (Gambar 1). Penampang tersebut berarah batuan dasarnya, dimana endapan aluvium yang
timur – barat dibuat dengan mengkorelasikan menutupinya sangat tipis. Sementara itu di bagian
stratigrafi titik titik pemboran. Berdasarkan timur berkembang pola aliran sub parelel - paralel.
penampang tersebut perubahan ataupun Hal ini mengidentifikasikan indikasi yang bahwa
perkembangan pantai dari selatan ke utara dapat kondisi geologi bawah permukaan tidak
dirunut. berpengaruh, yang berarti endapan aluvium di
bagian timur ini cukup tebal. Berdasarkan fakta
Penampang stratigrafi dibuat berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa bagian barat daerah
pemerian batuan hasil pemboran. Deskripsi batuan penelitian mengalami pengangkatan yang
adalah sifat fisik batuan, yang meliputi warna, mengakibatkan tidak berkembangnya proses
kandungan fosil, kandungan material organik, sedimentasi, sehingga endapan aluviumnya tipis.
kandungan lempung, kandungan mineral, besar Sebaliknya bagian timur daerah penelitian
butir, bentuk butir, struktur, kekompakan, dan sifat mengalami penurunan, dimana proses pengendapan
fisik lainnya. Hasil diskripsi tersebut digunakan berlangsung dengan baik sehingga endapan
untuk pengelompokan batuan yang didasarkan atas aluviumnya cukup tebal.
lingkungan pengendapannya. Masing-masing
penampang pemboran setiap kelompok batuan Menurut Thanden drr. (1996) tataan stratigrafi
dikorelasikan dengan pemboran yang lain. daerah penelitian diawali oleh kehadiran Formasi
Damar (Plio-Plistosen). Sebagian Formasi Damar
Berdasarkan runtunan lingkungan pengendapan, mengandung fosil vertebrata yang mengindikasikan
baik secara mendatar maupun secara tegak, dapat lingkungan pengendapan non marin. Formasi ini
menguraikan dinamika geologi Kuarter, seperti ada terdiri atas batupasir tufan, konglomerat, dan breksi
tidaknya pengaruh perubahan permukaan laut vulkanik. Batupasir mengandung mineral mafik,
selama proses pengendapan atau ada tidaknya felspar dan kuarsa. Selanjutnya, Formasi Damar
aktivitas tektonik. ditutupi oleh endapan aluvium secara tidak selaras.
Thanden drr. (1996) memisahkan endapan aluvium
GEOLOGI DAN TEKTONIK DAERAH PENELITIAN tersebut menjadi endapan dataran pantai, dataran
Berdasarkan kejadiannya, geomorfologi daerah sungai dan danau. Endapan aluvium ini tersebar
Kendal dapat dikelompokkan menjadi Bentukan Asal hampir menutupi seluruh daerah penelitian. Tebal
Laut, Sungai, Denudasi, Batuan Asal Struktur dan maksimum endapan aluvium kurang lebih 80 m.
Bentukan Asal Gunung Api (Poedjoprajitno, drr. Pembahasan struktur dan tektonik daerah penelitian
2008). telah dilakukan oleh Lumbanbatu dan Hidayat
Menurut Lumbanbatu dan Hidayat. (2007) terdapat (2007), yang pembahasannya didasarkan pada Peta
perbedaan kerapatan dan pola aliran di sebelah Geologi Lembar Magelang-Semarang, skala
timur dan sebelah barat daerah penelitian, 1:100.000 (Thanden drr., 1996). Para peneliti
khususnya yang terdapat di dataran aluvium. Di tersebut menyatakan adanya sesar Kuarter di daerah
bagian barat daerah penelitian berkembang sistem penelitian, yang diindikasikan oleh terpotongnya
pola aliran sub-denritik-denritik, sedangkan di batuan Formasi Damar (Plio- Plistosen). Thanden drr.
sebelah timur berkembang sistem pola aliran sub- (1996) dalam petanya menggambarkan sesar ini
paralel - paralel (Gambar 2). Tidak ada penjelasan tidak tegas. Di sekitar daerah Muteran, sesar tersebut
lebih lanjut mengenai penyebab terjadinya digambarkan sebagai sesar naik, di sekitar lereng
perbedaan tersebut. utara Gunung Gili Kelor digambarkan sebagai
kelurusan, dan di sekitar Sungai Damar digambarkan

JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009 227


Geo-Sciences
sebagai sesar yang diberi notasi U (up) dan D (down) yang mengalami penurunan, dan selanjutnya diisi
(Gambar 3). Namun penulis menafsirkan bahwa oleh endapan Kuarter berupa endapan fluviatil dan
sesar tersebut adalah sesar naik, yang didasarkan delta. Indikasi ini membuktikan bahwa sesar tersebut
atas asumsi bahwa gaya utama yang mendorong adalah aktif, yang aktivitasnya memberikan efek
batuan tersebut muncul ke permukaan berasal dari terhadap endapan Holosen.
selatan ke arah utara akibat aktivitas pergerakan
Poedjoprajitno drr. (2008) dalam pembahasan pola
Lempeng Indo-Australia, yang berarti berhubungan
struktur daerah Kendal mengenali adanya sesar sesar
dengan tektonik regional. Sesar tersebut kemudian
aktif bawah permukaan, yaitu Sesar Wonorejo, Sesar
dipotong oleh sesar sesar yang berarah tenggara –
J a m b e K i d u l , d a n S e s a r Ku t o. M e r e k a
barat laut. Berdasarkan fakta bahwa umur formasi
mengidentifikasi bahwa aktivitas Sesar Kuto
yang dipotong oleh sesar tersebut, yaitu Formasi
mengakibatkan batuan alasnya naik, dan bagian
Damar (Plio-Plistosen), sesar ini berumur lebih muda
yang turun membentuk cekungan yang diisi oleh
yang merupakan sesar Kuarter. Konsekuensi dari
endapan Holosen. Sesar Kuto berdasarkan analisis
pergerakan sesar tersebut terbentuk cekungan
pengukuran kekar dinyatakan sebagai sesar naik.
pengendapan di bagian utara (fluvio-deltaic basin)

6°50’ LS 6°50’ LS

110°20’ BT
110°00’ BT

Pola aliran subparalel

110°20’ BT
110°00’ BT

07°05’ LS 07°05’ LS

Morfologi dataran aluvium (Pola aliran sub denritik) Morfologi perbukitan bergelombang

Morfologi dataran aluvium (Pola aliran sub parallel)

Gambar 1. Peta geomorfologi daerah penelitian modifikasi dari Lumbanbatu dan Hidayat, 2007.

228 JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009


Geo-Sciences
6°50’ LS 6°50’ LS
110°00’ BT

110°20’ BT
110°20’ BT
110°00’ BT

07°05’ LS 07°05’ LS
Ketarangan
Qa Aluvium Formasi Damar Sesar Naik Sesar Geser

Formasi Kali Getas Formasi Kerak Sesar Nomral Sungai

Gambar 3. Peta geologi daerah Kendal dan sekitarnya Provinsi Jawa Tengah (Thanden, drr., 1996).

KARAKTERISTIK PA N TA I (COASTAL didominasi oleh material halus (Yinwang drr., 2003).


CHARACTERISTICS ) Semakin panjang sungai yang mengalir di daerah
Kondisi topografi pantai daerah penelitian sangat yang kemiringan lerengnya sangat landai, maka
landai - datar, sehingga dataran pantai (coastal semakin halus pula materi yang akan diendapkan di
plain) terbentuk secara dominan. Di beberapa pantai. Oleh karena itu, pengaruh aktivitas sungai
tempat terbentuk lingkungan rawa (swamps), hutan mengontrol perkembangan pertumbuhan pantai.
bakau (mangrove), dan pasir pantai (beach sand).
Kondisi pantai yang berlumpur, berpasir atau berbatu
Pantai di daerah penelitian disusun oleh endapan juga sangat tergantung pada kondisi geologi yang
lumpur, pasir, dan kerikilan. Di sekitar muara sungai dilalui oleh sungai yang mengangkut bahan bahan
biasanya endapannya lebih kasar. Faktor yang rombakan yang diendapkan di pantai. Sungai utama
mempengaruhi karakter pantai (coastal yang mengalir di daerah ini adalah Kali Bodri, Kali
characteristics) adalah komposisi jenis sedimennya. Kunto, Kali Blukar, Kali Cangkring, Kali Kenceng, dan
Secara umum, karakteristik pantai dipengaruhi oleh Kali Kendal yang hulunya bersumber dari perbukitan
jenis material yang diangkut oleh sungai, dan sebelah selatan dan bermuara di pantai utara Jawa.
kemudian diendapkan di pantai. Oleh karena itu, Hulu Kali Bodri terletak di Gunung Prahu, di selatan
karakteristik pantai sangat dipengaruhi oleh daerah penelitian yang mengaliri daerah tangkapan
panjangnya sungai dan daerah tangkapan hujan, hujan (catchmen area) seluas 640 km 2.
sehingga material yang diangkut oleh sungai tersebut

JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009 229


Geo-Sciences
Di daerah penelitian, material hasil erosi yang adanya perbedaaan menyangkut komposisi
ditranspor (diangkut) oleh sungai diendapkan di endapan Kuarter di daerah penelitian, baik melalui
pantai utara Jawa dan membentuk endapan delta penampang berarah utara - selatan maupun
aktif. Hal ini dapat terjadi karena pasokan material melalui penampang timur - barat.
yang diendapkan di pantai jauh lebih besar
Selanjutnya, untuk mengetahui proses peng-
dibandingkan dengan kecepatan gelombang laut dan
endapan di daerah penelitian, maka pembahasan
arus yang memindahkan material tersebut. Dengan
ini berusaha menjelaskan runtunan endapan
kata lain, pembentukan delta di daerah ini terjadi
Kuarter pada masing-masing penampang yang
karena kondisi energi gelombang dan arus yang
berarah timur - barat (Gambar 5).
lemah. Oleh karena itu, delta yang terbentuk di
daerah penelitian sangat terkait dengan kehadiran Runtunan batuan pada penampang A-B (Gambar
Kali Bodir, Kali Kunto, Kali Blukar, Kali Cangkring, 5a) diawali dari batuan dasar (basement rock)
Kali Kenceng dan Kali Kendal. Oleh karena itu, berupa lempung kelabu agak lengket, liat, dan
pembentukan delta di daerah penelitian dapat sangat padat mengandung bercak-bercak
diklasifikasikan sebagai delta yang sangat berwarna kuning, dan mengandung fragmen
dipengaruhi oleh sistem fluviatil (fluvial-dominated batuan vulkanik dengan diameter 0.5 - 1 cm.
deltas) (Reading H.G., 1986). Berdasarkan uraian Batuan dasar ini adalah hasil pelapukan dari
tersebut dapat disimpulkan bahwa karakteristik Formasi Damar. Batuan dasar tersebut kemudian
pantai di daerah Kendal lebih didominasi oleh ditutupi oleh endapan laut dekat pantai yang
pengharuh pasokan material yang diangkut oleh terdiri atas lanau berwarna kelabu hitam
sungai yang hulunya di sebelah selatan dan kehijauan, yang diselingi oleh lapisan pasir halus
kemudian diendapkan di sepanjang pantai Kendal. tipis dan banyak mengandung pecahan - pecahan
cangkang moluska. Bagian bawah terdiri atas
TATAAN GEOLOGI KUARTER lempung berwarna hijau, sedangkan di atas
endapan laut lepas pantai, endapan rawa yang
Penelitian terkait dengan sedimentologi dan cukup tebal (8 m). Umumnya endapan rawa
stratigrafi di daerah Kendal telah dilakukan oleh tersebut terdiri atas lempung lanauan, berwarna
Hidayat drr. (2008), yang penelitiannya didasarkan coklat kekuningan, mengandung sisa-sisa
atas penampang pemboran yang berarah utara - tumbuhan berupa akar akaran, dan daun-daunan.
selatan barat laut - tenggara dan timur laut - barat Lumban dan Hidyat (2007), menyatakan bahwa
daya sebanyak lima penampang. Mereka terbentuknya endapan rawa yang cukup tebal
membedakan endapan Kuarter di daerah ini menjadi tersebut mengindikasikan kondisi pengendapan
Formasi Damar, Endapan Laut Lepas Pantai (offshore yang cukup tenang.
deposits), Endapan Laut Dekat Pantai (nearshore
deposits), Endapan Alur Sungai (river channel Selain itu, disebutkan juga adanya pergeseran
deposits), Endapan Alur Estuary (estuary channel (shifting) alur sungai purba ke arah timur (Titik
deposits), Endapan Limpah/Dataran Banjir (flood Bor 28), namun tidak dijelaskan penyebab
plain deposits), Endapan Rawa (swamp deposits) pergeseran alur sungai purba tersebut. Penulis
dan tanah penutup (soil). Masing-masing fasies berpendapat bahwa pergeseran alur sungai purba
endapan Kuarter tersebut di atas telah diuraikan satu (Ch-1) menjadi alur sungai purba dua (Ch-2)
secara terperinci. ditafsirkan sebagai hasil aktivitas Tektonik
Holosen Fase Satu (TF-1) yaitu berupa
Lumbanbatu dan Hidayat (2007), membahas pengangkatan sesaat setelah kondisi tenang
geologi Kuarter berdasarkan pada runtunan stratigrafi berakhir. Alur sungai purba dua ini mengerosi
yang diperoleh dari penampang pemboran berarah endapan rawa yang menutupi endapan laut dekat
timur - barat, sebanyak empat lintasan. Hasil pantai. Hasil kegiatan alur sungai satu (Ch 1)
bahasan tersebut bahwa endapan Kuarter di daerah menghasilkan endapan cekungan banjir, yang
penelitian dibedakan menjadi 1). Endapan Rawa, 2). terdiri atas lempung lanauan, berwarna coklat
Endapan Alur Estuari, 3). Endapan Laut Dekat kekuningan, sifatnya lengket, dan mengandung
Pantai, 4). Endapan Laut Lepas Pantai, 5). Endapan sisa-sisa tumbuhan berupa akar-akaran daun-
Fluviatil dan 6). Sub-strata Para-Holosen. daunan dan sisa organik berwarna coklat
Berdasarkan data tersebut di atas, tidak terlihat kehitaman. Kehadiran endapan cekungan banjir

230 JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009


Geo-Sciences
menunjukkan kondisi tenang, sehingga alur yang Pada penampang E-F (Gambar 5c) terlihat;
memasok material berada pada posisi yang sama
1. dimensi alur sungai purba dua (Ch-2) mengecil.
(Reineck dan Singh, 1973). Ke arah timur titik bor
Gejala tersebut mungkin mengindikasikan alur
No. 21 terlihat adanya endapan alur estuari yang
sungai utama bercabang menjadi beberapa alur
mengindikasikan terjadinya susut permukaan laut
sungai kecil (distributary channel) yang
dalam skala kecil (lokal). Tektonik Holosen Fase Satu
umumnya terjadi di daerah dekat pantai.
(TF-1) dapat dikorelasikan dengan aktivitas Sesar
naik Kuto yang menyebabkan batuan alas 2. Adanya pergeseran sungai alur sungai purba dua
mengalami pengangkatan (Peodjoprajitno drr., (Ch 2) ke arah timur menjadi alur sungai purba
2008). tiga (Ch-3) yang dimensinya sedikit lebih besar.
Pergeseran alur sungai purba dua menjadi alur
Runtunan endapan Kuarter pada penampang C-D
sungai purba tiga ditafsirkan sebagai produk
(Gambar 5 b) diawali oleh endapan laut dekat pantai
aktivitas Tektonik Holosen Dua (THF-2). Alur
dengan endapan laut lepas pantai yang hubungannya
sungai purba tiga mengerosi endapan rawa dan
saling menjemari, dan terlihat pula adanya aktivitas
endapan laut lepas pantai.
alur estuari. Endapan alur estuari pada umumnya
terdiri atas perselang-selingan antara lapisan pasir, Sementara itu permukaan laut cenderung mengalami
pasir lempungan dan di beberapa tempat terlihat penurunan, yang dicirikan oleh terbetuknya endapan
lapisan pasir tipis berwarna hitam, berbutir kasar - rawa dan endapan cekungan banjir yang menindih
sedang dengan pemilahan menyudut tanggung - endapan laut dekat pantai dan endapan laut lepas
membulat tanggung, dan bersifat urai. Pasir pantai. Fenomena membesarnya dimensi alur sungai
lempungan berwarna hitam kehijauan berbutir halus purba tiga (Ch 3), yang dikarenakan oleh permukaan
- sedang, dengan pemilahan sedang dan bentuk butir laut, mengakibatkan aliran alur sungai berkembang
menyudut tanggung - membulat tanggung dan dengan baik di wilayah dataran rendah pantai.
mengandung sisa sisa cangkang moluska. Kondisi ini dikontrol oleh terjadinya aktivitas Tektonik
Holosen Fase Tiga (THF-3) yang berhubungan
Dimensi alur estuari semakin besar bila
dengan terangkatnya batuan dasar (uplift) di bagian
dibandingkan dengan alur estuari pada penampang
barat daya yang mengakibatkan penurunan ke arah
A-B. Hal ini dapat terjadi karena posisi alur estuari
pantai menyebabkan arah perkembangan pantai
lebih dekat ke garis pantai pada saat terjadi susut berubah menjadi ke arah timur laut. Menurut Hidayat
laut. Susut laut ini terjadi secara menerus yang drr. (2008), puncak proses penurunan diperkirakan
ditunjukkan oleh kehadiran endapan laut dekat berlangsung selama Holosen.
pantai yang menutupi endapan laut lepas pantai, dan
Penampang G-H (Gambar 5d) merupakan
kemudian ditindih oleh endapan rawa. Proses
penampang yang letaknya paling utara dan
terjadinya susut laut ini berhubungan dengan
mendekati garis pantai sekarang. Lubanbatu dan
peristiwa geologi yang terjadi secara global.
Hidayat (2007) mencermati kenampakan dimensi
Lumban Batu dan Hidayat (2007) mengamati alur sungai purba dan endapan estuari yang
perubahan dimensi alur sungai purba pada membesar. Membesarnya kedua endapan tersebut
penampang A - B ini berdasarkan perubahan merupakan kejadian normal yang terbentuk di
ketebalan sedimennya. Alur sungai purba dua (Ch-2) wilayah mendekati garis pantai. Kehadiran endapan
alur estuari yang ditutupi oleh endapan rawa cukup
lebih berkembang dibandingkan dengan alur sungai
tebal, diartikan sebagai indikasi terjadinya susut laut
purba satu (Ch-1). Fenomena menarik lainnya ialah
yang relatif lama dan secara perlahan lahan. Kondisi
meluasnya sebaran endapan cekungan banjir. Hal ini
tersebut ditafsirkan pengendapan dalam keadaan
disebabkan oleh sebaran endapan fluviatil semakin tenang yang dicirikan oleh endapan rawa yang cukup
meluas, karena tinggi volume air membesar, yang tebal.
sejalan dengan semakin besar tingkat kebasahan.
Berkembangnya endapan cekungan banjir di daerah
DINAMIKA GEOLOGI KUARTER
ini dimaknai sebagai kondisi kelembaban yang
semakin tinggi dan disebabkan oleh perubahan iklim Berdasarkan analisis runtunan stratigrafi penampang
(Hidayat drr., 2008). pemboran yang berarah timur - barat (Gambar 5)
dibuat satu penampang komposit (composite

JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009 231


Geo-Sciences
section) (Gambar 6). Berdasarkan penampang terjadinya susut laut yang berlangsung secara
komposit tersebut dapat diamati adanya peristiwa regional selama proses tersebut berlangsung proses
genang laut, susut laut dan aktivitas tektonik yang pengendapan laut dekat pantai dan endapan lepas
terjadi selama kurun Holosen, Hidayat drr. (2008) pantai yang menjemari menindih endapan laut dekat
mengamati hasil analisis runtunan stratigrafi yang pantai. Selain fenomena susut laut adanya aktivitas
dibuat berdasarkan penampang berarah utara - tektonik diindikasikan oleh adanya pergeseran alur
selatan, barat daya - timur laut, tenggara - barat laut sungai purba dua (Ch-2) menjadi alur sungai purba
(Gambar 7), menyebutkan bahwa indikasi tektonik tiga (Ch-3). Pergeseran ini mengindikasikan sebagai
dicerminkan oleh adanya perbedaan elevasi batuan maksimum tektonik THF-2. Susut laut terjadi secara
alas yang berubah secara tiba-tiba, tataan stratigrafi menerus hingga sekarang yang ditandai oleh
yang tidak beraturan, terdapatnya indikasi turun- terbentuknya endapan rawa dan endapan cekungan
naiknya permukaan laut dan terdapatnya banjir.
perpindahan alur sungai. Sementara itu Hidayat drr.
Dinamika proses geologi tersebut terekam juga pada
(2004) menyebutkan di daerah Semarang terdapat
pembentukan dan perubahan pantai di daerah
aktivitas tektonik Kuarter yang dicerminkan oleh
p e n e l i t i a n . Pe n g a m a t a n p e r k e m b a n g a n
rangkaian korelasi fasies endapannya.
pertumbuhan pantai di daerah Kendal telah
Di daerah penelitian aktivitas tektonik diawali oleh dilakukan sejak 1864 -1973 oleh Bird dan
Tektonik Holosen Fase Awal (HTF - 1) yaitu berupa O n g ko s o n g o ( 1 9 8 0 ) . B e r d a s a r k a n h a s i l
penurunan batuan dasar (subsidence) yang pengamatannya (Gambar 4) menunjukkan adanya
mengakibatkan terbentuknya cekungan perubahan pertumbuhan garis pantai yang pada
pengendapan sedimen fluvio-deltaic (fluvio-deltaic awalnya berkembang ke arah utara (1864 - 1910),
basin). Mekanisme pembentukan cekungan ini sama berubah menjadi ke arah timur laut (1946-1973).
dengan pembentukan Cekungan Jakarta yang Fakta tersebut memberikan informasi bahwa dalam
dipengaruhi oleh aktivitas tektonik jalur penunjaman kurun waktu yang relatif singkat (1946 -1973),
di selatan Jawa (Moechtar dan Poedjoprajitno, selama 28 tahun perkembangan pantai ke arah timur
2004). Aktivitas tektonik tersebut dapat laut jauh lebih pesat perkembangannya
menyebabkan terbentuknya sesar atau terjadinya dibandingkan dengan perkembangan pantai ke arah
reaktivasi sesar yang dapat menyebabkan utara selama kurun waktu 47 tahun. Kondisi ini
berubahnya lingkungan serta pengendapannya, menunjukkan bahwa volume pasokan material yang
bergesernya garis pantai dan alur sungai. diangkut oleh Kali Kenceng jauh lebih besar
dibandingkan dengan volume material yang diangkut
Di daerah penelitian penurunan batuan dasar
oleh Kali Bodri yang membentuk pantai ke arah
dikarenakan aktivitas sesar aktif (Kuarter) yang
utara. Hidayat drr. (2008) dalam Poedjoprajitno drr.
terdapat di bagian selatan yaitu sesar yang berarah
(2008) menyebutkan bahwa :
timur - barat memotong Formasi Damar (Plio-
Plistosen). Sebagai konsekuensi penurunan batuan 1. faktor pengendali proses pengisian cekungan
dasar mengakibatkan terjadi genang laut yang dapat disebabkan oleh faktor turun-naiknya
direpresentasikan oleh kehadiran endapan laut dekat permukaan laut, perubahan iklim dan kegiatan
pantai yang menindih endapan vulkanik Formasi tektonik.
Damar disertai aktivitas sungai yang menghasilkan
2. efek tektonik berpengaruh terhadap pasokan
endapan alur purba satu (Ch-1).
material yang mengisi cekungan kuarter.
Adanya pergeseran alur sungai purba satu (Ch-1)
Kondisi ini korelatif dengan aktivitas pengangkatan
menjadi alur sungai purba dua (Ch-2) mungkin
sebagai maksimum tektonik HTF-1. yang terjadi di bagian barat yang menyebabkan
batuan dasar terangkat, sehingga mempengaruhi
Pada saat terjadinya maksimum genang laut yang arah pola perkembangan pola aliran yang beralih ke
kemudian juga terjadi susut laut skala kecil (lokal) arah timur laut. Dengan demikian pasokan material
yang diawali oleh kehadiran endapan alur estruari.
yang diangkut oleh Kali Kenceng diendapakan di
Fenomena ini menjelaskan bahwa meskipun
daerah tersebut dan sebagai konsekuensinya
permukaan laut secara umum cenderung naik, akan
perkembangan arah pantai sesuai dengan arah
tetapi secara lokal terjadi fluktuasi turun naik
permukaan laut. Setelah genang laut maksimum, perkembangan pola aliran sungainya.

232 JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009


Geo-Sciences

LAUT JAWA

Gambar 4. Evolusi perkembangan garis pantai daerah Kendal, Jawa Tengah.

Gambar 5. Runtunan stratigrafi penampang A-B, C-D, E-F dan G-H (Lumbanbatu, drr., 2007).

JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009 233


Geo-Sciences

HTF 3
HTF 2
KOMPOSIT KOLOM STRATIGARFI HOLOSEN

SUSUT LAUT

HTF 1
GENANG LAUT
HOLOSEN
KUARTER

PLISTOSEN
PLIOSEN
TERSIER

Gambar 6. Tataan stratigrafi dan siklus tektonik daerah Kendal dan sekitarnya.

234 JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009


Geo-Sciences

Gambar 7. Korelasi rangkaian sedimen Kuarter daerah Kendal, dengan arah penampang utara-selatan, timur laut - barat daya, tenggara - barat laut
(Hidayat, drr., 2008).

JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009 235


Geo-Sciences
Perkembangan dan perubahan pantai tersebut n Rangkaian runtunan stratigrafi di daerah
merupakan produk aktivitas Tektonik Holosen Fase penelitian menunjukkan adanya peristiwa
Tiga (THF-3). Berdasarkan perkembangan tersebut geologi berupa genang laut, susut laut dan
dapat dinyatakan bahwa hingga saat ini di daerah aktivitas tektonik yang berpengaruh terhadap
penelitian masih terus mengalami proses tektonik arah perkembangan dataran pantai yang hingga
sekarang masih terus berlangsung
yang memberi efek terhadap perkembangan pantai
ke arah timur laut. n Gejala tektonik yang dapat diamati di daerah
penelitian adalah berupa pengangkatan (upflit)
Akibat THF-3 arah Kali Bodri sebagai pemasok
dan penurunan (subsidence). Bersamaan
bahan sedimen berubah menjadi ke arah timur laut, dengan terjadinya genang laut terjadi juga
dan sebagai konsekuensinya perkembangan pantai kegiatan tektonik berupa penurunan (HTF-1) .
ke arah timur laut jauh lebih luas dibandingkan Sebagai konsekuensinya terjadi pergeseran alur
dengan perkembangan pantai ke arah utara. sungai purba satu (Ch-1) menjadi alur sungai
Kenyataan ini tercermin juga pada penampakan purba dua (Ch-2). Pada saat terjadi susut laut
terjadi juga tektonik berupa (HTF-2) serta
morfologi yang diperlihatkan oleh perbedaaan sistem
pergeseran alur sungai purba dua (Ch-2)
pola aliran di daerah pedataran aluvium (Gambar 2).
menjadi alur sungai purba tiga (Ch-3). Efek yang
Di sebelah barat daerah penelitian berkembang pola ditimbulkan oleh Tektonik Holosen Fase Tiga
aliran subdenritik - denritik, sedangkan di sebelah (THF-3) terutama terlihat dari perubahan
timur penelitian berkembang pola subparalel-paralel. perkembangan pantai yang mengarah ke arah
Perbedaan sistem pola aliran yang terdapat pada timur laut.
kondisi geologi yang sama yaitu di pedataran aluvium
n Sesar naik yang aktif selama proses
yang patut dicurigai. Oleh karena itu, perbedaan
pengendapan, mengakibatkan bergesernya garis
tersebut merupakan salah satu unsur yang
pantai dan turun naiknya permukaan laut secara
digunakan untuk menafsirkan adanya pengangkatan lokal. Gejala ini membuktikan bahwa aktivitas
di daerah ini. Sistem pola aliran subdenritik - denritik sesar naik telah memberikan dampak terhadap
di sebelah barat penelitian terjadi akibat dari dasar cekungan yang mengalami penurunan
pengangkatan yang mengakibatkan endapan (subsidence).
aluviumnya relatif lebih tipis bila dibandingkan
dengan yang di sebelah timur, dimana sistem pola UCAPAN TERIMA KASIH
aliran yang berkembang adalah pola sub paralel-
paralel. Oleh karena itu perkembangan pola aliran Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr.
yang di sebelah barat penelitian dikontrol oleh Herman Moechtar atas koreksi, kritik dan saran
terutama masukannya, sehingga tulisan ini dapat
batuan dasar.
diselesaikan. Ucapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada rekan – rekan dan semua pihak
KESIMPULAN khususnya kepada Suyatman Hidayat M.Sc, Herman
n Berdasarkan posisi stratigrafinya endapan alur Mulyana M.Sc, dan Ir. Santoso yang ikut membantu,
sungai purba dapat dipisahkan menjadi alur hingga makalah ini menjadi lebih baik. Selanjutnya,
sungai purba satu (Ch-1), alur sungai purba dua penulis tak lupa mengucapkan terima kasih kepada
(Ch-2), dan alur sungai purba tiga (Ch-3), Kepala Pusat Survei Geologi atas izinnya untuk
masing - masing berurutan dari tua ke muda penerbitan makalah ini.

236 JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009


Geo-Sciences
ACUAN
Bird, E.C.F. and Ongkosongo, O.S.R., 1980. Environmental Changes on the Coast of Indonesia. United Nations
University, Tokyo, Japan
Hidayat, S., Moechtar H., Pratomo,I., 2008. Tektonik Sebagai Faktor Pengendali Evolusi Cekungan Kuarter di
Daerah Pesisir Kendal Jawa Tengah. Jurnal JTM XV (1) : 213-224.
Hidayat, S., Moechtar, H., Mulyono, Mulyana, H., 2004. Bencana Alam ditinjau dari aspek Geologi Kuarter
bawah permukaan di daerah Semarang dan sekitarnya, Jawa Tengah. Jurnal Sumber Daya
Geologi, I (1) : 192-205. Pusat Survei Geologi Bandung.
Lumbanbatu, U.M., dan Hidayat, S., 2007. Evaluasi Awal Kerentanan Pelulukan / Likuefaksi daerah Kendal dan
sekitarnya, Jawa Tengah. Jurnal Geologi Indonesia, II (3) : 159-176. Badan Geologi,
Moechtar, H., Poedjopradjitno,S., 2004. Runtunan Tataan Stratigrafi sebagai indikator Periode Proses
Penurunan (Subsidence). (Studi kasus geologi Kuarter Cekungan Jakarta). Publikasi Khusus:
Stratigrafi Pulau Jawa. Puslitbang Geologi, Bandung.
Poedjoprajitno, S., Hidayat, S., Waromi, P., Moechtar, H., 2008. Akumulasi Pengendapan Sedimen Kuarter
kaitannya dengan Gerak-gerak Struktur Sesar Aktif. (Studi Kasus Geologi Kuarter di wilayah
dataran rendah aluvium hingga pantai sepanjang Maron-Sikucingkrajan, Kec. Gemuruh,
Kab.Kendal (Jawa Tengah). Proses penerbitan, Jurnal Sumber Daya Geologi. Pusat Survei Geologi.
Reading, H.G., 1986. Sedimentary Environments and Facies. Blackwell Scientific Publications, Oxford London,
Eidenburgh, Boston, Palo Alto, Melbourne.
Reineck, H.E., Singh, I.B., 1973. Depositional Sedimentary Environment. Springer-Verlag Berlin Heidelberg
New York.
Thanden, R.E., Sumadirdja, H., Richards, P.W., Sutisna,K., dan Amin, T.C., 1996. Peta Geologi Lembar Malang
dan Semarang, Skala 1 : 100.000. Pusat Survei Geologi, Bandung.
Yinwang, Z., Hu, Shixiong, Wu,Yongsheng Shao, Xuejun., 2003. Delta processes and Management Strategies in
China. Intl. J. River Basin Management I (2) : 173-184.

JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009 237


Geo-Sciences
MORFOLOGI DAN UMUR PERPINDAHAN ALUR SUNGAI OPAK
DI DAERAH BERBAH SLEMAN

Santoso
Pusat Survei Geologi
Jl. Diponegoro 57, Bandung 40122

SARI

Kondisi morfologi lembah Opak di Dusun Dadapan, daerah Berbah, mengindikasikan bahwa Sungai Opak telah
mengalami tiga kali pergeseran. Berdasarkan hasil pengukuran terperinci dengan metode passing compas, dapat dikenali
adanya tiga lembah Sungai Opak purba yang masing-masing dipisahkan oleh morfologi teras. Berdasarkan hasil uji
laboratorium dengan metode C14 terhadap endapan lempung organik yang diambil di lembah Sungai Opak 1, 2,
3, dan sungai sekarang masing-masing menunjukkan umur 6950 th BP; 6800 th BP; 6430 th BP dan 6360 th
BP. Hal ini membuktikan bahwa tektonik di daerah ini sangat aktif karena dalam kurun waktu Holosen Atas
(‹10.000 th) Sungai Opak telah mengalami tiga kali pergeseran.
Kata kunci: alur sungai purba, pergeseran, tektonik

ABSTRACT

The morphologic condition of the Opak valley at Dadapan Village, Berbah area, indicates that the Opak River has three
times shifted. Based on the passing compass land detail measurement, three paleo river valleys, can be recognized
which are separated by terrace morphology. The result of carbon dating by using C14 method to the organic clay deposits
which was taken from Opak valley 1, 2, 3, and existing river, shows the ages are 6950 years BP, 6800 years BP, 6430
years BP, and 6360 years BP. It proves that the tectonic in this area is very active, because during Upper Holosen
(‹ 10,000 years) the Opak River has three times shifted.
Keywords: paleo river channel, shifting, tectonic

PENDAHULUAN Sungai Opak dapat ditemukan adanya tiga teras


sungai dengan ketinggian masing-masing 2, 1,5, dan
Sungai Opak di Yogyakarta menjadi sangat populer
3 meter (Santoso, 2007). Di samping teras sungai
dengan terjadinya gempa bumi tektonik 27 Mei
tersebut di atas, di Dusun Dadapan, Berbah, Sungai
2006 yang lalu. Di kalangan pakar kebumian Sungai
Opak telah mengalami perpindahan/ pergeseran
Opak sudah dikenali sebagai sesar mendatar dengan
sebanyak tiga kali dalam kurun waktu Holosen.
arah barat daya - timur laut yang terbentang dari
muara Opak hingga Prambanan. Dengan terjadinya Berdasarkan ulasan tersebut di atas, maka Pusat
gempa bumi yang lalu banyak pakar kebumian Survei Geologi, Badan Geologi, Departemen Energi
menyatakan pendapatnya bahwa penyebab gempa dan Sumber Daya Mineral, telah melakukan
bumi tersebut adalah akibat Sesar Opak dengan penelitian dengan pendekatan geomorfologi. Maksud
pusat gempa di muara Sungai Opak. Peta Geologi penelitian ini adalah untuk memperoleh data tentang
Lembar Yogyakarta yang dibuat oleh Rahardjo drr. seberapa jauh perpindahan Sungai Opak hingga
(1995) telah memuat Sesar Opak sebagai sesar sekarang akibat aktivitas tektonik selama kurun
mendatar mengiri. waktu Kuarter. Sementara tujuan penelitian ini
adalah :
Aktifnya tektonik di daerah ini dapat dibuktikan
dengan adanya penampakan morfotektonik di -- menentukan dimensi Sungai Opak purba
lapangan seperti teras sungai, lereng rombakan,
-- menentukan umur endapan rawa buri (back
kipas aluvium, dan sejumlah pematang pantai di
swamp) Sungai Opak purba yang berupa lempung
daerah pantai Samas. Sebagai contoh, di sepanjang
organik (karbonan), sehingga dapat diketahui
umur perpindahan Sungai Opak.
Naskah diterima : 24 Agusutus 2008
Revisi terakhir : 14 Juli 2009

JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009 239


Geo-Sciences
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tiga terumbu, kalkarenit, dan kalkarenit tufan). Selain itu,
metode, yaitu: dari Miosen Atas - Pliosen diendapkan pula Formasi
Sentolo yang terdiri atas batugamping dan batupasir
1. Pemboran inti/coring dengan alat hand auger napalan. Formasi ini terdapat di bagian barat daerah
untuk mengambil percontoh sedimen lempung penelitian. Hampir seluruh dataran Yogyakarta -
berkarbon sebanyak tiga buah yang diambil di tiga Bantul tertutup oleh batuan Kuarter produk Gunung
lokasi areal bekas rawa buri (back swamp) Merapi muda yang terdiri atas tuf, abu vulkanik,
Sungai Opak purba di Dusun Dadapan, Berbah, breksi, aglomerat, dan lava tak terpisahkan. Batuan
Sleman. paling muda adalah satuan aluvium (Qa) yang terdiri
2. Pengukuran terperinci lahan bekas alur Sungai atas kerakal, kerikil, pasir, lanau, dan lempung di
Opak purba berskala 1:1000 dengan metode sepanjang sungai besar dan pasir dari gumuk pantai
passing kompas. Hasil pengukuran di lapangan dan pematang pantai (Gambar 2).
kemudian dituangkan menjadi peta kontur yang
mencerminkan kondisi lahan masing-masing alur Paleomorfologi Sungai Opak daerah Berbah
Sungai Opak purba. Pada lazimnya proses perkembangan alur sungai
3. Uji laboratorium dengan metode Carbon Dating akan mengikuti waktu tanpa mengalami
(C14) untuk mengetahui umur endapan rawa buri perpindahan, dan sangat bergantung pada jumlah
(back swamp) Sungai Opak purba yang berupa volume air yang berhubungan dengan tingkat
lempung karbonan. kelembapan. Gejala yang dimaksud berkaitan
dengan sirkulasi iklim. Allen dan Allen (1990)
Daerah penelitian dan lokasi pemboran secara membedakan faktor kontrol dalam sedimentasi
administratif meliputi Dusun Dadapan dan Ngentak menjadi dua, yaitu allogenic dan autogenic
Mejing, Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman, processes.
Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara geografis
dibatasi oleh koordinat 110°27'06”- 110°27'55”BT Allogenic proces yaitu proses luar yang
dan 07°47'30” - 07°48'00”LS (Gambar 1). Dalam mempengaruhi suatu cekungan seperti efek iklim,
pelaksanaan kegiatan lapangan sesuai dengan tektonik, dan turun-naiknya permukaan laut.
tujuan penelitian, maka tim dibagi menjadi dua Pemikiran tersebut lebih dipopulerkan oleh Walker
kelompok kegiatan yakni pemboran inti dan dan James (1992), yang menyatakan bahwa aspek
pengukuran terperinci. sirkulasi perubahan iklim telah memberikan dampak
terhadap susunan endapan fluviatil yang selalu
GEOLOGI DAN MORFOLOGI mengalami perubahan. Atas dasar tersebut,
perubahan dalam suatu kompleks lingkungan
Geologi
pengendapan khususnya pada sistem lingkungan
Menurut Rahardjo drr. (1995), secara regional fluviatil, kriteria tersebut dapat diacu sebagai
batuan tertua daerah penelitian terdiri atas landasan korelasi endapan secara lateral dan
perselingan breksi-tuf, breksi batuapung, tuf dasit vertikal. Meluas atau menyempitnya suatu alur
dan tuf andesit, serta batulempung tufan yang
sungai mengikuti siklus perubahan iklim yang artinya
termasuk Formasi Semilir (Tmse). Secara selaras
komposisi endapan sedimen akan mengalami
formasi batuan ini ditindih oleh Formasi Nglanggran
perubahan seiring dengan perubahan iklim.
(Tmn) yang berumur Miosen Bawah. Formasi ini
terdiri atas breksi gunung api, breksi aliran, Sirkulasi iklim yang sifatnya universal tersebut akan
aglomerat, lava, dan tuf. Berikutnya Formasi berhubungan dengan siklus Milankovitch. Setiap
Nglanggran tertindih oleh Formasi Sambipitu (Tms) siklus dimulai dari kondisi kering (iklim minimum)
berumur Miosen Tengah yang terdiri atas tuf, serpih, menuju iklim maksimum (basah/lembab) yang pada
batulanau, batupasir, dan konglomerat. akhirnya kembali menuju ke iklim minimum (kering)
lagi. Jarak pergeseran suatu alur sungai identik
Di atas Formasi Sambipitu diendapkan Formasi
dengan kecepatan atau itensitas efek naik-turunnya
Kepek (Tmpk) yang berumur Pliosen. Formasi ini
terdiri atas napal dan batugamping berlapis base-level yang artinya semakin jauh bergesernya
menjemari dengan Formasi Wonosari (Tmwl), yang alur sungai berarti semakin besar perubahan bentuk
berumur Miosen Atas-Pliosen (batugamping lahan permukaan.

240 JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009


Geo-Sciences

Laboratorium Fakultas
Pertanian UGM
115
110

S. O
pak
S.
Op
ak

Gambar 1. Peta lokasi penelitian dan pemboran inti di daerah Berbah, Sleman D.I. Yogyakarta.

JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009 241


Geo-Sciences

Daerah Penelitian

Teon Formasi Nanggulan Tmps Formasi Sentolo Aluvium

Tmse Formasi Semilir Tmpk Formasi Kepek


Andesit
Tml Formasi Nglanggran Tms Formasi Sambipitu
Sesar
Tmwl Formasi Wonosari Qml Endapan Gunung Api Muda Merapi

Gambar 2. Peta geologi daerah Yogyakarta dan sekitarnya (Rahardjo, Sukandarrumidi dan Rosidi, 1995).

242 JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009


Geo-Sciences
Hasil pengukuran rinci dengan metode passing
kompas (Gambar 1) dan analisis citra Google Earth
(Gambar 4), dapat direkonstruksi kondisi morfologi
sungai Opak purba. Aktivitas tektonik Kuarter di
daerah ini mengakibatkan Sungai Opak mengalami
pergeseran sebanyak tiga kali, dan kemudian Sungai
Opak mengalami penyempitan seperti kondisi sungai
sekarang. Untuk memudahkan dalam membedakan
masing-masing Sungai Opak sesuai dengan urutan
dari tua ke muda, maka diberikan notasi Sungai Opak
I, Opak II, Opak III, dan Sungai Opak sekarang
(Gambar 3 dan Gambar 4). Secara morfologis posisi
Sungai Opak I terletak paling atas, kemudian Opak
II, Opak III, dan paling bawah Sungai Opak
sekarang. Antara Sungai Opak I, II, dan III masing- Foto 1. Bekas lembah Sungai Opak I yang dimanfaatkan untuk kolam
ikan, dengan latar belakang tebing sungai dengan ketinggian
masing dibatasi oleh morfologi yang berupa gawir, 10 m.
yakni gawir 1 berketinggian 10 m, gawir 2, dan gawir
3 masing-masing tingginya 3 m (Gambar 5,
Gambar 6).

Sungai Opak I
Secara umum, kondisi morfologi bekas alur Sungai
Opak purba I merupakan lembah memanjang yang
datar dengan elevasi 109 - 111 m. Namun seiring
dengan perkembangan penduduk yang sekaligus
memerlukan lahan untuk mendukung kebutuhan
ekonominya, maka lahan ini sekarang sudah menjadi
lahan pertanian. Hulu Sungai Opak I di bagian kanan
dibatasi oleh tebing curam dengan ketinggian 10 m
Foto 2. Bekas lembah Sungai Opak I yang terdiri atas bongkah, kerakal,
dan lebar berkisar antara 250-300 m. Batas alur kerikil, dan pasir kasar diambil oleh penduduk untuk bahan
sungai di sebelah kiri berupa gawir berketinggian bangunan. Di latar belakang tampak tebing yang cukup curam
membatasi areal bekas lembah sungai.
3 m. Gawir sungai bagian kanan ditutupi oleh aneka
tanaman keras, rumpun bambu, dan belukar.
Sementara gawir di bagian kiri ditutupi oleh semak
dan tanaman pisang budi daya penduduk. Alur
Sungai Opak I tersusun oleh endapan sungai yang
berupa bongkah, kerakal, kerikil, dan pasir kasar
yang sekarang dimanfaatkan oleh penduduk untuk
bahan bangunan. Sebagian besar lahan dijadikan
perkebunan tebu (Laboratorium Pertanian UGM),
persawahan dan sebagian lagi untuk kolam ikan.
Pada lahan bekas alur sungai di tikungan bagian
barat ditemukan adanya mata air dengan debit cukup
besar yang hingga sekarang dimanfaatkan oleh
penduduk untuk MCK, dan budi daya ikan dengan Foto 3. Bekas lembah Sungai Opak I dimanfaatkan untuk persawahan
kolam-kolam ikan. Kolam-kolam ikan dibuat dengan dengan latar belakang tebing sungai dengan ketinggian 10 m.
memanfaatkan lahan bekas galian dengan
kedalaman 1,5 – 2 m (Foto 1, 2, 3).

JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009 243


Geo-Sciences

Laboratorium Fakultas
Pertanian UGM
115
110

S. O
pak
S.
Op
ak

Gambar 3. Peta morfologi Sungai Opak purba di daerah Berbah, Kabupaten Sleman, D.I. Yogyakarta.

244 JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009


Geo-Sciences

S.
O
pa
k
S. Op
ak

Keterangan :

S. Opak I : 109 - 111 m S. Opak II : 105 - 108 m S. Opak III : 103 m Gawir sungai/teras

Teras I : 107 m Teras II : 105 m Teras III : 103 m

Gambar 4. Peta morfologi Sungai Opak purba di daerah Berbah, Sleman diambil dari Google Earth.

Gambar 5. Sketsa penampang melintang Sungai Opak lintasan A-B-C.

Gambar 6. Sketsa penampang melintang Sungai Opak D-E-F.

JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009 245


Geo-Sciences
Sungai Opak II
Alur Sungai Opak purba II berupa lahan yang datar
seperti halnya alur Sungai Opak purba I. Bekas alur
ini mempunyai lebar berkisar antara 175 - 200 m ,
dengan elevasi 105 - 108 m, Material tersusun oleh
endapan sungai yang berupa kerakal, kerikil dan pasir
kasar, pasir halus dan lumpur. Hulu di bagian kanan
dibatasi oleh gawir setinggi 3 m, dan bagian kiri
dibatasi oleh jurang sedalam 2 - 3 m. Di bagian
tengah bekas alur Opak purba II ditemukan bentuk
lahan yang berupa punggungan dengan ketinggian
40 - 50 cm, panjang ± 40 m yang ditutupi oleh Foto 4. Bekas lembah Sungai Opak II. Di latar belakang tampak undak
dengan ketinggian 3 m, ditengah foto tampak adanya endapan
semak dan tanaman keras. Bentuk lahan ini nusa/beting sungai. Lahan ini dimanfaatkan untuk persawahan
merupakan endapan gosong sungai/nusa pada waktu dan tegalan.
sungai masih pada posisinya. Di kanan-kiri lahan ini
terdapat areal tegalan dan pesawahan dengan
saluran irigasi yang berasal dari lahan di atasnya.
Sekarang sebagian lahan menjadi tempat
pengambilan material bahan bangunan, namun
penduduk melakukan penggalian di gawir sungai
yang membatasi Opak I dan Opak II (Foto 4, 5). Di
tikungan Sungai Opak II terdapat lahan berupa rawa
yang masih tergenang permanen, namun sudah
ditutupi oleh semak.
Bentuk lahan ini merupakan rawa belakang/back
swamp Sungai Opak II pada waktu sungai masih
pada posisinya hingga kondisi sekarang. Foto 5. Bekas lembah Sungai Opak II yang dimanfaatkan untuk tegalan
dan sebagian masih berupa semak.
Sungai Opak III
Bekas alur Sungai Opak purba III mempunyai lebar
antara 90 - 100 m dengan elevasi 103 m. Lahan ini
secara keseluruhan masih menunjukkan kondisi yang
datar. Hulu di bagian kanan dibatasi gawir setinggi 3
m, dan bagian kiri dibatasi oleh gawir setinggi 1 m
dan berbatasan langsung dengan Sungai Opak
sekarang. Alur sungai ini sekarang sebagian terdiri
atas kerakal kerikil, pasir kasar, pasir halus, dan
sebagian masih berupa lahan yang terdiri atas
lumpur, sehingga dimanfaatkan untuk lahan
persawahan, serta sebagian lagi masih berupa rawa
(Foto 6). Foto 6. Bekas lembah Sungai Opak III yang dimanfaatkan untuk
persawahan dan sebagian tampak masih berupa rawa.
Gempa 27 Mei 2006 yang lalu, mengakibatkan
sawah di areal ini mengalami rekah-rekah dengan
lebar bukaan 5 - 10 cm, panjang 30 - 45 m dengan tidak berair atau dalam kondisi lembap. Rekahan-
arah sesuai dengan arah umum sesar Opak. Hal ini rekahan yang ditemui sejumlah empat buah yang
bisa terjadi karena sawah pada saat gempa terjadi semuanya cenderung mempunyai arah yang sama.

246 JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009


Geo-Sciences
Teras Sungai Opak Masalah yang dihadapi dalam penentuan umur
dengan cara radiokarbon adalah adanya pengotoran
Di bagian selatan, dalam sungai terdapat tiga teras
percontoh oleh karbon tua atau karbon yang lebih
sungai dengan ketinggian teras I (7m), teras II (3 m),
muda yang berasal dari lingkungan percontoh dan
dan teras III (2,5 m). Santoso (2007) menyatakan
juga ketidakpastian mengenai nisbah masalah
bahwa hampir di sepanjang Sungai Opak terdapat
radiokarbon terhadap isotop C12 dan C12 dalam
endapan teras sungai yang pada umumnya
percontoh. Metode radiokarbon sesuai untuk
berjumlah tiga jenjang. Teras ini merupakan bagian
menentukan umur kayu, arang, gambut (peat),
dari keseluruhan teras Sungai Opak yang dapat
lumpur organik, kalsium karbonat dalam moluska,
dikategorikan sebagai teras tektonik. Teras I terletak
foraminifera, koral dan tulang; mengingat bahan-
pada elevasi 107 m, dan di bagian utara
bahan tersebut tersusun oleh unsur C, H, O, N dan P.
ketinggiannya 7 m dari dasar sungai, teras II
Hasil yang diperoleh dari metode ini banyak
tingginya hanya 2 m, dan di sebelah utara
membantu memecahkan berbagai masalah
berketinggian 5 m dari dasar sungai, sedangkan teras
penyelidikan Kuarter, seperti menentukan lapisan
III tingginya 3 m, yang terletak pada elevasi 103 m
mahluk purba, besarnya perubahan permukaan laut
dengan tinggi yang sudah bervariasi karena lahan ini
dan pantai, kejadian/keadaan evolusi tektonik
menjadi tempat pengambilan pasir. Dari bawah ke
selama Kuarter dan lamanya pengendapan gambut.
atas ketiga teras sudah dimanfaatkan oleh
masyarakat, yakni : teras III untuk pengambilan pasir, Pada umumnya organik hidup mengandung senyawa
teras II untuk kompleks perumahan BTN, dan teras I N dan P, di samping C, H, dan O. Pembuatan gas
untuk perumahan dan sawah tadah hujan. asetilen dimaksudkan untuk memisahkan unsur
karbon dari unsur-unsur lainnya agar pekerjaan
Umur Perpindahan Sungai Opak selanjutnya lebih mudah. Pemisahan dilakukan
dengan cara mengoksidasikan karbon organik
Uji penarikhan dilakukan di Laboratorium
menjadi karbon arang berfase padat, sedangkan
Radiokarbon, Pusat Survei Geologi. Penarikhan
unsur-unsur lainnya berubah menjadi gas.
radiokarbon ini merupakan salah satu metode
Pembentukan gas asetilen mengubah karbon arang
radiometri yang dapat dipakai untuk menentukan
menjadi karbon dalam keadaan oksidasi tertinggi.
umur mutlak suatu bahan sampai umur 50.000
tahun (Sibrava, 1978). Metode ini telah Peluruhan C14 berjalan melalui pemancaran partikel
dikembangkan dan dapat dipakai sampai umur β+ (positron) membentuk isotop N14 yang stabil
100.000 tahun. Metode ini hanya dapat digunakan
C614 ………… N714 + β + V + Q
pada bahan yang mengandung unsur karbon (C).
Unsur karbon yang dipakai adalah isotop C14 yang Energi Q adalah 1,56 mev.
terdapat dalam atmosfir yang terikat dalam senyawa
Peluruhan tersebut tidak memancarkan sinar dan
CO2. Senyawa organik isotop karbon ini dihasilkan
berbanding lurus dengan keadaan awal
oleh reaksi sinar kosmos dengan unsur nitrogen.
keradioaktifitan bahan karbon yang diekstrasi dari
Tumbuh-tumbuhan hijau melalui fotosintesis
tanaman atau jaringan hewan yang telah mati pada
menyerap udara yang mengandung campuran isotop
tahun yang lalu.
karbon, sedangkan pada organisme campuran isotop
karbon diserap melalui rangkaian makanannya. Untuk mencari t, persamaan dapat ditulis sebagai
berikut :
Nisbah radiokarbon terhadap isotop karbon yang
mantap dalam organisme hidup sama dengan Ln [ A/Ao] = -λ.t
nisbahnya dalam atmosfir. Kematian organisme T = 1/ λ . Ln [ A/Ao]
mengakhiri pertukaran CO2 antara organisme dengan
atmosfir. Dalam organisme mati, C14 berkurang λ. = 0,693/ 5730 = 1.209 X 10-4 T -1
melalui peluruhan radiasi. Dengan membandingkan t = 19,035 X 10 3 log [ A/Ao]
derajat keradioaktifan dalam organisme yang mati A
14
= Aktivitas isotop C yang diukur dalam satuan
dengan yang terdapat di dalam organisme hidup, desintegrasi per menit, per gram karbon
dapat ditentukan sudah berapa lama organisma itu Ao
14
= Aktivitas isotop C pada bahan yang sama saat
mati. Waktu paruh radiokarbon adalah 5730 ± 40 tanaman atau hewan tersebut hidup (Siregar,
tahun. Cara radiokarbon dapat menentukan umur 1992).
hingga kira-kira 50.000 tahun (Sibrava, 1978).

JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009 247


Geo-Sciences
Percontoh pertama di lokasi bor 1 diambil pada base-level oleh tektonik. Pada kejadian pertama,
kedalaman 3,00 - 3,40 m berupa lempung organik perpindahan alur sungai dapat terjadi di wilayah hilir
berwarna hitam, percontoh kedua diambil di lokasi dataran rendah (low-land) hingga dataran pantai
bor 2 pada kedalaman 4,40 - 4,70 m berupa (wilayah transisi). Bentang alam demikian umumnya
lempung organik berwarna hitam, dan percontoh merupakan bagian hilir dari suatu kompleks fluviatil,
ketiga diambil di lokasi bor 3 pada kedalaman tempat berkembang sistem alur sungai berkelok
3,70 - 4,00 m berupa lempung organik berwarna (meandering) dan kompleks sungai berkelok
hitam. Percontoh keempat diambil pada bekas rawa (anastomosing). Perkembangan sistem fluviatil
pada kedalaman 1,5 m di sebelah selatan sungai tersebut biasanya dicirikan oleh butiran halus mulai
Opak sekarang. Hasil uji laboratorium dengan dari pasir sedang sampai sangat halus, dan
metode C14 (Carbon Dating) terhadap keempat berasosiasi dengan butiran halus lainnya dari
percontoh tersebut, masing-masing berumur : 6950 endapan rawa dan dataran banjir hingga endapan
± 300 BP, 6800 ± 210BP, 6430 ± 150BP, dan laut. Di daerah penelitian bentang alamnya termasuk
6360±170 BP. Dengan data umur yang diperoleh, dataran vulkanik Gunung Merapi, sehingga alur
maka berarti proses pergeseran Sungai Opak I ke sungai berkelok belum berkembang. Hal ini terbukti
Opak II terjadi dalam rentang waktu ± 150 tahun, bahwa pada komposisi butir alur sungai di daerah
dan sungai Opak II ke Opak III terjadi dalam rentang penelitian tidak dijumpai endapan dari
waktu ± 370 tahun, sedangkan dari Sungai Opak III perkembangan beting sungai (lateral accretion)
ke Sungai Opak sekarang berlangsung hanya dalam sebagai penciri alur sistem meandering. Ciri litologi
rentang waktu ± 70 tahun. Pergeseran Sungai Opak I sistem tersebut adalah perulangan dari pasir halus -
hingga Opak sekarang terjadi hanya dalam kurun sangat halus dan lanau/lempung yang memiliki
zaman Holosen Atas (‹ 10.000 tahun), Hal ini perlapisan sempurna (even cross - stratificaion
membuktikan bahwa tektonik di daerah ini cukup hingga even - lamination). Oleh karena itu,
aktif, bahkan gempa bumi 27 Mei 2006 yang lalu perpindahan alur sungai di daerah penelitian lebih
merupakan bukti terakhir aktivitas tektonik yang diasumsikan sebagai suatu pergeseran alur sungai
berlangsung hingga sekarang. yang disebabkan oleh naik-turunnya base-level
akibat sesar mendatar.
DISKUSI
KESIMPULAN
Moechtar dan Mulyana (2007) telah melakukan
korelasi endapan Kuarter bawah permukaan yang Pergeseran Sungai Opak sebanyak tiga kali termasuk
didasari oleh perkembangan alur Sungai Opak purba. Sungai Opak sekarang yang terjadi selama masa
Susunan endapan Kuarter di daerah penelitian Holosen Atas (‹10.000 th) membuktikan bahwa
menunjukkan antar alur sungai saling berpotongan, tektonik di daerah ini sangat aktif. Pergeseran
dan mengalami pergeseran. Pergeseran tersebut tersebut diakibatkan oleh adanya perulangan gerak
diakibatkan oleh adanya perulangan gerak mendatar mendatar, turun dan naik yang identik dengan siklus
turun dan naik yang identik dengan siklus tektonik. tektonik. Oleh karena itu, analisis evolusi alur sungai
di daerah penelitian dapat dijadikan indikator
Meskipun siklus iklim sudah terganggu oleh efek
pemahaman tektonik.
tektonik, namun rekonstruksi iklim tersebut dapat
mengontrol terbentuknya siklus tektonik. Oleh
karena itu, analisis evolusi alur sungai di daerah UCAPAN TERIMA KASIH
penelitian dapat dijadikan indikator pemahaman Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima
tektonik. Pada kompleks fluviatil, bergeser atau kasih kepada Herman Mulyana M.Sc. yang telah
berpindahnya alur sungai dapat dibedakan menjadi banyak membantu dalam pelaksanaan pekerjaan
dua kategori, apakah kejadian tersebut disebabkan lapangan.
oleh kondisi bentang alam atau akibat naik-turunnya

248 JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009


Geo-Sciences
ACUAN
Allen. P.A. and Allen, J.R., 1990. Basin Analysis: Principle and Application, Black-Well Scientific Publication,
451p.
Moechtar, H. dan Mulyana, H., 2007. Tektonik dan implikasinya terhadap evolusi alur sungai purba (Studi kasus
Geologi Kuarter pada alur kali Opak purba di Kec. Berbah, Kab. Sleman D.I.Yogyakarta), Fakultas
Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral, Institut Teknologi Bandung. Journal JTM, 15 (1) : 33-50.
Rahardjo, W., Sukandarrumidi, Rosidi, H.M.D., 1995. Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa, skala
1:100.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Santoso, 2007. Deformasi Landform Pascagempa Tektonik Yogyakarta 27 Mei 2006. Jurnal Sumber Daya
Geologi, 17 (5) :322-335.
Siregar, D.A, 1992. Penarikhan Radiokarbon. Dengan Studi Kasus : Endapan Aluvium Holosen di Daerah
Labuan (Belawan), Sumatera Utara, Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral Vol. II. Oktober
1992.
Sibrava, V, 1978, Isotopic Method in Quaternary Geology, Contribution to the Geologic Time Scale, AAPG Bull,
pp 165 – 170.
Walker,R.G. and James,N.P., 1992. Facies Model Respons to Sea Level Change, Geological Association of
Canada.

JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009 249


Geo-Sciences
SEDIMENTOLOGI DAN STRATIGRAFI ALUVIUM BAWAH PERMUKAAN DI PESISIR
CIREBON DAN SEKITARNYA

S. Hidayat, H. Mulyana, H. Moechtar dan Subiyanto


Pusat Survei Geologi
Jl. Diponegoro 57, Bandung 40122.
E-mail: contact@grdc.esdm.go.id

SARI

Studi ini mencakup analisis sedimentologi dan stratigrafi terhadap tujuh hasil pemboran dangkal, yang dilakukan di
sepanjang garis pantai Cirebon dengan arah barat laut - tenggara. Kedalaman pemboran berkisar antara 8 hingga 13 m.
Endapan aluvium bawah permukaan berumur Holosen tersebut dapat dibedakan menjadi tujuh sistem pengendapan,
terdiri atas Formasi Gintung, endapan laut lepas pantai, laut dekat pantai, pasir pantai, rawa, alur sungai, dan limpah
banjir. Berdasarkan aspek stratigrafinya, susunan sedimen tersebut dapat dibedakan menjadi tiga interval pengendapan
(IP I-III). Setiap interval dicirikan oleh berubahnya lingkungan pengendapannya yang dikontrol oleh peristiwa perubahan
permukaan laut, seperti permukaan tinggi (IP I), permukaan laut turun (IP II), dan permukaan laut rendah (IP III).
Dinamika endapan kuarter yang berkaitan dengan perubahan lingkungan pengendapannya serta pengisian cekungan
dipengaruhi oleh sirlulasi iklim universal, tektonik regional, dan perubahan lokal.
Kata kunci: endapan aluvium, , tektonik, iklim

ABSTRACT

This study was based on sedimentological analyses of seven boreholes located along the NW to SE traverse,
approximately parallel to coastal line of Cirebon. The penetration of the bore head varies from 8 to 13 m. Holocene
subsurface of alluvial deposits can be divided into seven environment systems, consisting of Gintung Formation and
deposits of offshore, nearshore, beach sand, swamp, channel river, and floodplain. Based on stratigraphic aspects, the
succession of that sediments can be divided into three sedimentary intervals (IP I-III). Each interval is typically for
environment changes which is controlled by changes of sea level, such as high sea level (IP I), sea level falling (IP II), and
low sea level (IP III). The Quaternary dynamics related to environment changes and changes of basin fill were
influenced by universal of climatic circulation, regional tectonic, and local of sea level changes.
Keywords: Aluvium deposits, sea level, tectonic, climate

PENDAHULUAN hasil pemboran dangkal berskala 1:50.000


Silitonga drr. (1996) menyebutkan bahwa, geologi mengatakan bahwa Qac adalah termasuk fasies BM
permukaan di wilayah pesisir Cirebon dan sekitarnya (Beach on marine) yaitu endapan pematang pantai di
terdiri atas endapan aluvium (Qa). Fasies sedimen ini atas endapan dekat pantai/ laut dangkal. Disebutkan
semakin ke arah pantai ditutupi oleh endapan pantai pula bahwa Qa termasuk dalam fasies FM
(Qac). Endapan pantai terdiri atas lumpur hasil (Floodplain on marine) yaitu endapan dataran banjir
endapan rawa, lanau, serta lempung kelabu yang di atas endapan dekat pantai. Perulangan proses
mengandung cangkang moluska yang diendapkan di sedimentasi antara endapan klastika linier (laut dan
sekitar pantai dengan ketebalan mencapai beberapa pantai), fluviatil, dan rawa di daerah penelitian, telah
meter. Sementara endapan aluvium dapat dibedakan memberikan inspirasi bahwa endapan tersebut
menjadi kerikil, pasir, dan lempung berwarna kelabu, terkait pengisisan cekungan dan berubahnya
yang diendapkan di sepanjang dataran banjir sungai
lingkungan. Perkembangan alur sungai di daerah
dengan ketebalan kurang lebih 5 m.
penelitian sangat bervariasi, selain tempat
Sumanang drr. (1997) dalam peta geologi Kuarter terakumulasinya sedimen juga memperlihatkan
lembar Muara-Cirebon, Jawa Barat yang didasari perubahan bentang alam berupa perkembangan
tanjung yang bervariasi, sehingga menarik untuk
Naskah diterima : 05 Desember 2008 diteliti.
Revisi terakhir : 14 Agustus 2009

JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009 251


Geo-Sciences
Dilatarbelakangi pengisisan sedimen di wilayah kelurusan berarah hampir barat laut - tenggara
pesisir yang umumnya sangat erat terkait perubahan memotong Formasi Kalibiuk
iklim dan permukaan laut, dan dapat dijelaskan
berdasarkan aspek sedimentologi dan stratigrafi METODOLOGI
maka dilakukanlah studi ini. Studi ini dilaksanakan
guna mempelajari keterkaitan antara stratigrafi Pemboran dangkal dilakukan sebanyak tujuh titik
dengan pengisian cekungan di daerah pesisir, dengan pada endapan aluvium dengan kisaran kedalaman
antara 8 dan 13 m di ketinggian dari +0,80 sampai
jalan (a) mendeskripsi litologi hubungannya dengan
+3,50 m dari permukaan laut (Gambar 3).
lingkungan pengendapan, (b) mempelajari
Pemboran dilakukan dengan menggunakan bor
perubahan lingkungan serta faktor yang berpengaruh tangan (hand auger), lokasinya tersebar di daerah
terhadap pembentukannya, (c) mengkaji runtunan dataran banjir sepanjang pesisir tenggara Cirebon,
stratigrafi dan kaitannnya dengan genang dan susut yang menembus material yang berasal dari aktivitas
laut, dan (d) mendiskusikan tentang hubungan alur-alur sungai sekitarnya.
proses pembentukan endapan aluvium dengan
dinamika Kuarter.
ASPEK SEDIMENTOLOGI
Penelitian lapangan dilakukan pada bulan Juni
Analisis sedimentologis di daerah penelitian pada
2008 di wilayah pesisir dataran rendah pantai
endapan aluvium hasil pemboran dangkal terdiri atas
Cirebon yang termasuk kedalam kawasan Kabupaten
lempung tufan, lempung berhumus/ bergambut,
Cirebon, Provinsi Jawa Barat, yang berada dalam
pasir, lanau, dan lempung (Gambar 3 & Foto 1).
koordinat geografi 06˚40' - 06˚50' LS dan 108˚30'
Berdasarkan ciri litologinya dapat dibedakan ke
- 108˚45' BT (Gambar 1). Dataran pantai ini
dalam beberapa fasies lingkungan pengendapan,
ditutupi oleh material yang berasal dari alur sungai
yaitu berupa Formasi Gintung yang mengalasi
sekitarnya, seperti alur Kali Luyu, Kali Kanci, Kali
endapan-endapan laut lepas pantai (offshore), laut
Pangarengan, Kali Bangkaderes, dan sebagainya
dekat pantai (nearshore), pasir pantai (beach sand),
yang menghampar pada ketinggian kurang dari 5 m
rawa (swamp), alur sungai (river channel), dan
dari permukaan laut.
limpah banjir (floodplain) (Gambar 4). Lingkungan
Ke arah selatan berkembang perbukitan pengendapan tersebut di atas kondisinya hampir
bergelombang hingga dataran aluvium dengan sama dengan kondisi geografi sekarang.
elevasi maksimum pada ketinggian 150 m, yaitu
puncak Pasir Kapandayan (Gambar 1 & 2).
Formasi Gintung
Bentangalam perbukitan bergelombang tersebut
dibentuk oleh batuan berumur Pliosen dan Plistosen. Formasi Gintung ini terdiri atas lempung tufan
Daerah ini dialiri beberapa sungai yang bermuara ke berwarna coklat kekuningan semakin ke bawah
laut Jawa. memiliki kekerasan yang tinggi dan sulit di tembus
Formasi batuan tertua yang tersingkap di sini adalah bor, terletak pada kedalaman antara - 8,50 hingga -
Formasi Kalibiuk (Tpb) berumur Pliosen, yang terdiri 9,50 di bawah permukaan laut yang berada pada
atas batupasir tufan, halus, putih kekuningan, lokasi nomor bor (Nb.) 1 dan 3 (Gambar 3). Selain
berlapis tidak jelas, lapisan tipis konglomerat, keras, litologi ini juga memiliki kepadatan tinggi serta
batupasir kasar, gampingan mengandung fosil liat dan lengket, berbutir sedang hingga halus, dan
moluska dan koral, serta batulempung dengan mengandung fragmen batuan gunungapi dengan
kandungan foraminifera kecil dan moluska. Formasi bercak-bercak kuning kemerahan (Foto 2). Formasi
ini ditutupi secara tidak selaras oleh Formasi Gintung Gintung ini ditafsirkan sebagai batuan alas endapan
(Qpg) berumur Plistosen Tengah dan hasil gunung api aluvium. Silitonga drr. (1996) menyebutkan bahwa
muda Cireme (Qvr) berumur Holosen. Wilayah Formasi Gintung ini terdiri atas perselingan
penelitian ini ditutupi oleh endapan aluvium (Qa) batulempung tufan, batupasir tufan, konglomerat,
yang posisinya menjemari dengan endapan pantai dan breksi yang pada umumnya mempunyai derajat
(Qac). kepadatan dan penyemenan yang belum kuat.
Formasi ini berhubungan tidak selaras dengan
Struktur geologi daerah Cirebon dan sekitarnya tidak endapan laut lepas pantai. Hal ini terlihat dari
terlihat secara jelas, namun ke arah selatan perbedaan umur (Plistosen Tengah) dan perbedaan
berkembang sesar normal yang diperkirakan dan litologi yang sangat mencolok, seperti warna,
komposisi dan kekompakan.

252 JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009


Geo-Sciences

Gambar 1. Peta lokasi pemboran daerah Cirebon dan sekitarnya, Jawa Barat.

Formasi Gintung
Kelurusan Endapan Aluvium
Formasi Kalibiuk
Sesar normal yang diperkirakan Endapan Pantai
U, bagian yang naik, D, bagian yang turun Hasil Gunung Api Muda Cireme
Jalan Kereta Api

Gambar 2. Peta geologi daerah Cirebon dan sekitarnya, Jawa Barat (menurut Silitonga drr., 1996).

JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009 253


Geo-Sciences

Gambar 3. Litologi hasil pemboran dangkal berarah barat laut - tenggara daerah penelitian.

Gambar 4. Korelasi endapan aluvium di pantai Cirebon dan sekitarnya.

254 JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009


Geo-Sciences

Foto 1. Percontoh tanah hasil pemboran tangan di daerah penelitian. Foto 2. Percontoh endapan vulkanik yang terdiri atas lempung tufan
dengan bercak kemerahan dari Formasi Gintung.

Endapan Laut Lepas Pantai kadang sisa-sisa tumbuhan, lepas dan terpilah
sedang (Foto 4). Butirannya menyudut tanggung
Endapan laut lepas pantai ini berupa lempung
hingga membulat tanggung dengan kandungan
berwarna kelabu hingga kehijauan, mengandung
fragmen batuan, kuarsa dan mineral hitam yang
cangkang moluska yang sulit diamati karena
terletak pada kedalaman antara - 0,20 hingga - 2,10
kondisinya pecah-pecah dan jarang ditemukan serta
m dengan interval ketebalan kurang lebih 1,20 m
berfosil foraminifera, kadang-kadang
(Nb. 1,2,3,4, dan 5/ Gambar 3). Berdasarkan ciri-ciri
memperlihatkan perlapisan tipis dan halus serta
tersebut di atas batuan tersebut termasuk ke dalam
sisipan lanau setebal 1 hingga 2 cm. Warna batuan
endapan pasir pantai (Gambar 4), Sumanang drr.
memperlihatkan semakin ke arah atas semakin
(1997) menyebutnya satuan pematang pantai (BS).
terang yaitu berwarna kelabu, dan ditafsirkan
sebagai endapan laut yang kisaran pengendapannya
di laut lepas pantai. Ketebalan lapisan mencapai
lebih dari 5 m yang terletak pada kedalaman antara -
4,20 dan - 8,10 m (Nb. 1,2,3,4, dan 5/ Gambar 3
dan 4).

Endapan Laut Dekat Pantai


Endapan laut dekat pantai dibedakan dengan
Endapan laut lepas pantai, terutama dari butiran,
warna dan kandungan mineralnya. Batuan ini
dicirikan berupa perselingan antara lempung
berwarna abu-abu hingga kehijauan dengan sisipan Foto 3. Percontoh endapan laut dekat pantai yang terdiri atas
perselingan lempung dan pasir dengan kandungan pecahan
lanau dan pasir berketabalan 10 cm hingga 1,20 m, cangkang moluska.
mengandung moluska dan sisa tumbuhan (Foto 3).
Batuan ini bersifat lunak dan kadang-kadang
berpasir dan berlapis tipis serta halus, dengan tebal
keseluruhan mencapai antara 2,05 hingga lebih dari
4 m. Fasies ini ditemui pada kedalaman antara +
1,20 dan – 3,40 m, dan diduga termasuk ke dalam
endapan laut dekat pantai (Nb. 2,3,4,5, dan 6./
Gambar 3 dan 4).

Endapan Pasir Pantai


Endapan pasir pantai ini terdiri atas pasir berwarna
putih hingga abu-abu gelap, berukuran halus hingga Foto 4. Percontoh endapan pantai berupa pasir halus dengan
menengah, mengandung moluska dan kadang- kandungan pecahan cangkang moluska.

JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009 255


Geo-Sciences
Endapan Rawa Secara umum, ciri utama sebaran, keterdapatan,
dan hubungan antara fasies endapan aluvium
Fasies endapan rawa terdiri atas lempung berhumus/
tersebut di antaranya adalah (Gambar 4):
bergambut berwarna abu-abu hingga hitam,
mengandung unsur organik berlimpah dengan – Formasi Gintung yang mengalasi endapan
sisipan lempung dan lanau setebal 5 hingga 25 cm. aluvium ditutupi oleh endapan laut lepas pantai,
Ciri lainnya dari endapan ini adalah tak berlapis dan dan endapan tersebut tidak dijumpai lagi pada
lengket, dengan ketebalan mencapai lebih dari 2,50 interval yang terbentuk selanjutnya.
m yang terletak pada kedalaman antara -1,2 hingga -
– Endapan laut dekat pantai yang menutupi
6 m. Endapan ini berasosiasi dan terletak di bawah
endapan laut lepas pantai, selanjutnya diikuti oleh
endapan alur sungai (Nb. 1,3,5, dan 7/ Gambar 3
pembentukan fasies rawa dan alur sungai.
dan 4).
Endapan-endapan tersebut kemudian ditutupi
oleh endapan pasir pantai, dan secara setempat
Endapan Alur Sungai
berkembang pula sistem alur sungai dan
Endapan alur sungai terdiri atas pasir berwarna pelimpahannnya.
coklat hingga abu-abu kehitaman, menyudut
– Endapan alur sungai dan limpah banjir menutupi
tanggung hingga membulat terdiri atas pecahan
fasies pasir pantai, yang semakin menyusut ke
batuan; kuarsa; dan felspar, tidak berlapis,
arah atasnya. Terbukti dengan berkembangnya
mengandung unsur organik dan sisa-sisa tumbuhan
soil sebagai pelapukan endapan yang sudah
dan dedaunan (Foto 5). Susunan butir menghalus ke
terjadi sebelumnya.
arah atas mulai dari pasir berukuran kasar hingga
halus (finning upwards) dengan ketebalan 2 m. Jenis – Posisi alur sungai mengalami pergeseran,
litologi ini ditafsirkan sebagai endapan alur sungai, bersamaan dengan terbentuknya fasies pasir
dicirikan oleh kontak erosi di bagian bawahnya. pantai.
Sistem pengendapan ini terletak pada kedalaman -
2,05 m (Nb. 6/ Gambar 3 dan 4) dan kedalaman
antara + 2,10 s/d - 4 m dengan ketebalan antara
2,10 hingga 2,30 m (Nb. 1,3,4, dan 7/ Gambar 3
dan 4). Perbedaannya kedua sistem pengendapan
yang berbeda kedalaman itu terletak pada susunan
butir yang mengasar ke arah atas (coarsening
upwards) dan berwarna lebih terang, yaitu coklat
kelabu hingga kuning.

Endapan Limpah Banjir


Endapan ini terdiri atas lempung berwarna coklat Foto 5. Percontoh endapan limpah banjir berwarna coklat dan endapan
kekuningan hingga abu-abu kekuningan, tak berlapis alur sungai yang terdiri atas pasir.
akan tetapi kadang-kadang bersisipan pasir halus
setebal 3-5 cm, lunak hingga padat dan lengket (Foto STRATIGRAFI
5). Semakin ke arah atas mengandung sisa-sisa
Runtunan stratigrafi sebagai cerminan pembentukan
tumbuhan dan akar tanaman, ketebalan lapisan
fasies-fasies pengendapan aluvium, selanjutnya
antara 90 cm hingga hampir mencapai 3,80 m yang
dapat dibedakan menjadi tiga interval pengendapan
terletak pada kedalaman antara -2 s/d -0,5 m (Nb.
(Gambar 4). Interval pengendapan pertama (IP I)
1,2,3,4,5,6 dan 7/ Gambar 3 dan 4). Ciri litologi
proses pengendapan laut lepas pantai yang menutupi
demikian ditafsirkan sebagai endapan limpah banjir,
daerah penelitian secara lateral. Endapan laut lepas
hasil pelimpahan alur sungai.
pantai ini menutupi batuan alas Formasi Gintung.
Endapan tersebut di atas, selanjutnya ditutupi oleh Sumanang drr. (1997) menyatakan bahwa stratigrafi
soil sebagai endapan permukaan yang terdiri atas Holosen daerah penelitian terdiri atas FM (endapan
lempung dan lanau pasiran, berwarna coklat dataran banjir di atas endapan dekat pantai) dan BM
kekuningan hingga kuning; terpilah buruk, (endapan pematang pantai di atas endapan dekat
mengandung sisa-sisa tumbuhan. pantai/ laut). Apabila dikorelasikan dengan endapan

256 JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009


Geo-Sciences
dalam penelitian ini, susunan fasies tersebut lingkungan secara lateral. Lingkungan yang tadinya
merupakan bagian atas rangkaian stratigrafi, sebagai merupakan rawa selanjutnya ditutupi oleh fasies
interval pengendapan di saat permukaan laut pasir pantai yang terjadi pada bagian bawah interval
rendah (interval III dalam gambar 4). Karakter pengendapan III (Gambar 4). Gejala aktivitas
endapan aluvium tersebut diperkirakan memiliki pertumbuhan alur-alur sungai ketika itu, telah
sebaran lateral hingga ke arah selatan. Bagian atas memberi corak betapa dominannya proses dari
interval pengendapan ini dicirikan oleh warna yang sistem fluviatil di daerah tersebut, dan proses ini
semakin terang dengan kandungan moluska yang masih berlangsung hingga sekarang. Proses
semakin besar serta kadang-kadang bersifat lanau pertumbuhan alur sungai secara lateral dan vertikal
dan pasiran. Hal ini menunjukkan bahwa ke arah tersebut sebagai bukti telah bergeser atau
atas permukaan laut bergerak turun. Secara umum, berpindahnya alur dari posisi sebelumnya, seperti
selama proses terbentuknya interval pengendapan I alur sungai yang terbentuk sebelumnya pada interval
tersebut, kondisi cekungan berada pada situasi II berpindah posisi ke tempat lain. Pertumbuhan
permukaan laut tinggi (Gambar 4). lingkungan pada sistem fluviatil baik secara lateral
dan vertikal, seperti bergesernya alur sungai dan
Bagian bawah interval pengendapan II ( IP II)
terbentuknya lingkungan dataran banjir adalah
dicirikan oleh terbentuknya fasies endapan laut dekat
bersifat umum dan lumrah terjadi di daerah dataran
pantai, dan ini berarti bahwa susut laut telah
rendah rawa (Allen, 1965; Reineck dan Singh,
berlangsung. Proses pengendapan selanjutnya,
1980). Akan tetapi, berbeda dengan pergseran alur
ditandai oleh terbentuknya endapan rawa yang
sungai yang terjadi di daerah penelitian karena
berintegrasi dengan alur sungai (Gambar 4).
perpindahan tersebut terkait dengan susut laut dan
Perkembangan rawa ketika itu berlangsung di sekitar
bergesernya lingkungan tanjung. Kondisi tersebut
Kali Tanjung Jaga dan Kali Kanji kini, serta ke arah
berlangsung pada transisi atas batas terbentuknya
tenggara dan barat laut Kali Pasung sekarang
interval pengendapan II dan III (Gambar 4). Selain
(Gambar 4). Terbentuknya lingkungan rawa tersebut
dari gejala yang dimaksud tersebut, juga energi aliran
yang berbatasan dengan garis pantai ketika itu,
pada sistem fluviatil selama pembentukan interval III
menandakan bahwa di tempat tersebut
memperlihatkan penurunan. Ini terbukti dari susunan
kemungkinan berkembang tanjung-tanjung purba
butirnya yang mengasar ke arah atas, atau dengan
sebagai bagian dari tempat berkembangnya alur
kata lain bahwa kemampuan energi aliran ketika itu
sungai ketika itu. Gejala yang dimaksud seperti
menurun atau berkurang.
bentang alam daerah pesisir seperti yang terlihat
sekarang, terbukti tanjung sekarang sebagai tempat
beraktivitasnya alur sungai kini (Gambar 1 dan 2). PERUBAHAN LINGKUNGAN
Perbedaannya terletak pada pembentukan Tanjung Perubahan lingkungan yang terjadi di daerah
Oleweran yang berhubungan dengan aktivitas penelitian dikontrol oleh berkembang dan
sedimentasi dari Kali Bangkaderes dan Kali menyusutnya berbagai lingkungan seperti lingkungan
Pengarengan kini (Gambar 1 dan 2), sedangkan laut dan pantai, sungai dan rawa. Perubahan ini
selama proses pembentukan bagian atas interval dicirikan oleh terjadinya tiga peristiwa berupa
pengendapan II adalah sebagai lingkungan laut dekat Permukaan Laut Tinggi, Permukaan Laut Turun dan
pantai yang diapit ketika itu oleh tanjung (Gambar 4). Permukaan Laut Rendah.
Ini berarti bahwa, kemungkinan telah terjadi
pergeseran posisi atau kedudukan dari garis pantai
Permukaan Laut Tinggi
antara interval pengendapan II dengan bentuk
sekarang. Selain itu, aktivitas alur sungai IP I adalah refleksi awal terbentuknya cekungan, yang
memperlihatkan ke arah vertikal butiran menghalus, ditandai oleh naiknya permukaan laut secara tiba-tiba
menandakan bahwa energi aliran semakin kecil. di daerah tinggian, dicirikan oleh terbentuknya
Secara umum, sistem proses pengendapan ketika itu langsung endapan laut lepas pantai tanpa didahului
cenderung berlangsung di bawah kondisi turun. oleh kondisi terendapkannya fasies laut dekat pantai.
Kejadian tersebut tidak diikuti oleh terbentuknya
Interval pengendapan III diawali oleh permukaan laut
lingkungan yang lain seperti lingkungan rawa,
rendah, yang berhubungan dengan berlangsungnya
fluviatil, dan sebagainya. Dengan dijumpainya
proses susut laut. Akan tetapi, gejala dari permukaan
sisipan pasir dan lanau ke arah atas (Gambar 3) pada
laut naik kembali berulang. Terbukti dari perubahan

JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009 257


Geo-Sciences
IP I tersebut, dapat dijadikan pertanda bahwa yang selanjutnya ditutupi oleh lingkungan fluviatil.
permukaan laut mulai susut. Secara umum, dapat Proses terbentuknya lingkungan pantai tersebut
dikatakan bahwa selama pembentukan IP I, diperkirakan terjadi secara tiba-tiba karena apabila
lingkungan yang terbentuk di tempat tersebut di mengikuti permukaan laut turun secara berangsur
bawah kendali proses permukaan laut tinggi yang maka umumnya di daerah pesisir berkembang
secara berangsur turun. Diduga, permukaan laut lingkungan rawa. Proses naiknya permukaan laut
tersebut naik secara tiba-tiba. Satu faktor yang berlangsung secara tiba-tiba tersebut serta
penyebabnya adalah tektonik yang memberi imbas adanya indikasi bergesernya alur sungai, maka
kepada batuan alas untuk bergerak turun, sehingga ditafsirkan bahwa awal terbentuknya IP III adalah di
memberikan peluang kecepatan permukaan air laut bawah kendali tektonik dengan kondisi kelembapan
naik secara cepat. ketika itu berkurang menuju minimum.
Secara umum, perbedaan dalam setiap Interval
Permukaan Lautn Turun Pengendapan di atas ditandai oleh: (1) berawal dari
Lingkungan yang terbentuk selama IP II dicirikan oleh efek tektonik yang menyebabkan posisi permukaan
kombinasi lingkungan laut dekat pantai. Ditempat laut tinggi sebagai hasil terbentuknya IP I, (2)
tersebut terbentuk tanjung yang mengendapkan permukaan laut turun tanpa gejala efek tektonik di
fasies rawa dan tempat berkembangnya alur sungai. bawah pengaruh tingkat kelembapan relatif besar (IP
Komposisi endapan alur sungai yang dicirikan oleh II), dan (3) diawali oleh efek tektonik kembali di
butiran yang menghalus ke arah atas, menandakan bawah kendali tingkat kelembapan menurun menuju
bahwa energi aliran ketika itu relatif turun. Selain itu, minimum dengan posisi permukaan laut rendah
lingkungan rawa yang ditandai oleh dominannya hingga menuju ke posisi sekarang (IP III).
lempung berhumus/ bergambut yang memiliki warna
abu-abu kehitaman dengan kandungan organik yang DINAMIKA KUARTER
berlimpah, memberi kesan bahwa ketika itu
Sedimentasi dan Faktor Kendalinya
kandungan air yang berhubungan dengan tingkat
kelembapan relatif besar. Dengan demikian, Perkembangan proses sedimentasi secara tegak,
berubahnya lingkungan selama pembentukan IP II dapat menjelaskan posisi permukaan laut ketika
bawah pengaruh pada posisi turun dengan tingkat tinggi, turun, dan rendah. Posisi permukaan laut
kebasahan (humidity) relatif besar. tinggi yang ditandai oleh kecepatan permukaan laut
naik relatif berlangsung cepat, tanpa lingkungan
Permukaan Laut Rendah lainnya berkesempatan untuk berkembang. Proses
tersebut menghasilkan IP I yang ke arah atasnya
Posisi alur sungai yang terbentuk pada IP II di Nb. 6 ditandai oleh susut laut. Tingkat kelembapan relatif
diduga mengalami perpindahan ke Nb. 7 (Gambar besar yang berlangsung selama pembentukan IP II
4), dan alur sungai tersebut merupakan batas bawah ditandai oleh posisi permukaan laut turun. Proses
IP III yang menutupi lingkungan rawa yang terbentuk sedimentasi di bawah kendali tingkat kelembapan
sebelumnya. Kondisi lingkungan ketika itu ditafsirkan menuju minimum, adalah karakter terbentuknya IP
sebagai tempat dominan berkembangnya sistem III meski ketika itu posisi permukaan laut rendah,
fluviatil di bawah pengaruh permukaan laut rendah. namun awal pembentukan interval pengendapannya
Perubahan butir pada alur sungai yang mengasar ke dicirikan oleh permukaan laut kembali naik.
arah atas yang terjadi selama pembentukan interval
tersebut, memberi kesan bahwa tingkat kebasahan Berawal dari Newberry (1874) yang membahas
ketika itu menurun yang mengakibatkan energi aliran siklus turun-naiknya permukaan laut dan Williams
melemah. Faktor kendali berubahnya tingkat (1891) yang mempelajari siklus tektonik dalam
kelembapan ini masih terus berlangsung hingga suatu proses pengendapan, maka sejak itu studi yang
sekarang, yang dicirikan oleh semakin menyusutnya berhubungan dengan perubahan permukaan laut
sistem fluviatil yang mengakibatkan alur-alur sungai dan tektonik menjadi populer hingga sekarang.
tersebut semakin minim menghasilkan Perubahan relatif permukaan laut yang dikemukakan
pelimpahannya sehingga berkembanglah soil. Selain oleh Haq (1991) telah menjadi acuan utama,
itu, awal pembentukan IP III tersebut ditandai pula sebagai model genesis pengendapan yang
oleh terbentuknya lingkungan pantai (Gambar 4) berhubungan dengan kumpulan sedimen di

258 JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009


Geo-Sciences
sepanjang paparan kontinen (continental margin) tanah, danau dan sumber lainnya. Ditegaskan
dalam menanggapi berbagai fase-fase perubahan pula oleh Plint drr. (1992) bahwasanya
dari relatif. Ia berasumsi bahwa interaksi tektonik perubahan permukaan laut berhubungan dengan
regional (subsidence/uplift), eustasi, dan kecepatan siklus iklim mengikuti siklus Milankovitch.
pasokan sedimen akan menghasilkan berubahnya Perubahan-perubahan yang dimaksud terkait
permukaan laut secara relatif. Dari penelusuran dengan perubahan global permukaan laut dan
akumulasi terbentuknya sedimen di cekungan pesisir pergantian iklim secara universal. Seiring dengan
Cirebon, maka selanjutnya dapat disebutkan bahwa proses pembentukan IP II, maka kondisi
daerah tersebut merupakan bagian dari cekungan permukaan laut ketika itu pada hakekatnya
yang naik. Hal ini dibuktikan dari kumpulan lapisan- adalah tinggi, terbukti dengan tingkat
lapisannya. Turun-naiknya permukaan laut berkaitan kelembapan yang mencapai maksimum.
dengan naik-turunnya alas cekungan. Penurunan – Di saat permukaan laut rendah di bawah kendali
yang terjadi mungkin berhubungan dengan aktifnya kelembapan menuju minimum, maka sesar naik
sesar naik regional yang terletak di selatannya. regional tersebut kembali aktif. Gejala tersebut
Silitonga drr. (1996) dalam peta geologi lembar terekam sebagai batas bawah proses sedimentasi
Cirebon, Jawa, secara jelas menggambarkan sesar yang menghasilkan IP III, yang berakibat alas
naik berarah barat - laut - tenggara yang ditandai oleh cekungan kembali turun, sehingga permukaan
munculnya formasi batuan tua, yaitu Formasi Pemali laut naik yang menghasilkan endapan pasir
(Tmp) berumur Miosen Awal. Oleh karena itu, sesar pantai.
naik regional tersebut dapat diacu sebagai pemicu
terbentuknya zona tinggian (axial zone) dan zona Peristiwa genesis dan proses pengisian cekungan di
cekungan turun (subsidence). Keterkaitan faktor daerah penelitian terjadi dan menghasilkan
kendali tektonik dan turun-naiknya permukaan laut kumpulan lapisan endapan Holosen. Batuan yang
sehubungan dengan pola lapisan yang terbentuk, mengalasi endapan tersebut disebut sebagai subrata
dapat diterangkan sebagai berikut: pra-Holosen (pHs) (Sumanang drr., 1997). Siklus
pengendapan Holosen yang terbentuk tersebut
– Pada awalnya posisi permukaan laut adalah berhubungan dengan perubahan , sirkulasi iklim, dan
rendah yang diikuti oleh pengaktifan sesar naik. tektonik. Hubungan antara peristiwa tersebut dapat
Pasokan material rombakan yang seharusnya dikaitkan sebagai berikut:
terjadi di saat sesar naik aktif tidak dijumpai. Hal
ini karena di samping kemiringan cekungan yang – Turun-naiknya permukaan laut ditandai oleh
relatif tinggi, juga diduga material tersebut pembentukan siklus permukaan laut pertama
terendapkan di bagian selatan daerah penelitian yang membentuk IP I dan II, diikuti oleh tinggi
yang sebagian ditutupi oleh hasil gunung api yang diakhiri oleh permukaan laut kembali turun
muda Cireme. Apabila dugaan ini benar, maka (IP III) yang dapat disebut sebagai siklus
tektonik tersebut erat terkait dengan peristiwa permukaan laut ke dua. Kedua siklus permukaan
erupsi gunung api muda Cireme. Setelah proses laut tersebut, dapat disebut sebagai siklus
maksimum sesar naik tersebut berlangsung, perubahan permukaan laut yang berhubungan
selanjutnya diikuti oleh proses naiknya cekungan dengan tektonik. Kejadian tersebut didasari
yaitu efek gaya gravitasi yang tadinya naik kembali bahwa dalam suatu aktivitas gerak sesar naik
turun, yang berakibat permukaan laut naik tidak mungkin bergerak secara keseluruhan.
menghasilkan IP I. Sementara efek sesar yang bersifat lebih lokal
terhadap perubahan permukaan laut umumnya
– Pembentukan IP II ditandai oleh tingkat hanya dapat merubah rangkaian stratigrafi yang
kelembapan yang besar. Perlmutter dan Matthews sifatnya sangat lokal sekali. Jejak perubahan
(1989) menyatakan bahwa sirkulasi iklim masih dominan. Dengan demikian, siklus
mengikuti siklus Milankovitch diawali dari tingkat permukaan laut akibat gerak tektonik kecil tidak
kelembapan minimum menuju maksimum dan terekam. Seharusnya IP adalah sebagai bagian
kembali minimum. Revelle (1990) dalam Plint siklus permukaan laut rendah pertama, dan IP II
drr. (1992), menyebutkan bahwa mekanisme dapat disebut sebagai bagian siklus permukaan
perubahan permukaan laut yang identik dengan laut tinggi. Sedangkan IP III merupakan bagian
skala waktu siklus Milakovitch berhubungan dari siklus permukaan laut rendah kedua.
dengan air yang berasal dari daratan, seperti air

JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009 259


Geo-Sciences
-- IP II yang dicirikan oleh kondisi kelembapan yang n Secara stratigrafis, endapan Holosen tersebut
maksimum identik dengan kondisi tinggi. Oleh dapat dibedakan menjadi tiga interval
karena itu, IP I identik dengan kondisi permukaan pengendapan yang mencerminkan posisi-posisi
laut rendah pertama. Tetapi secara lokal di bawah permukaan laut tinggi (IP I), permukaan laut
pengaruh permukaan laut tinggi, diikuti oleh turun (IP II), dan permukaan laut rendah (IP III).
permukaan laut tinggi, namun secara lokal
n Perubahan lingkungan yang terjadi di daerah
berbeda, yaitu ditandai oleh permukaan laut
penelitian dicirikan oleh terjadinya tiga peristiwa
turun (IP II). permukaan laut kembali rendah
berupa permukaan laut tinggi, permukaan laut
kedua yang korelasinya rendah secara lokal (IP
turun dan permukaan laut rendah.
III). Gejala tersebut membuktikan bahwa efek
tektonik yang pertama memiliki intensitas yang n Terjadinya genang dan susut laut di daerah
besar, sedangkan tektonik kedua intensitasnya penelitian dipengaruhi oleh pasokan sedimen
relatif lebih kecil. yang diakibatkan oleh tektonik yang terjadi di
daerah itu.
KESIMPULAN n Proses pembentukan endapan aluvium terhadap
n Sedimentologi dan stratigrafi endapan aluvium dinamika Kuarter berhubungan dengan
bawah permukaan di wilayah pesisir tenggara perubahan garis pantai, iklim, dan tektonik yang
Cirebon dan sekitarnya berumur Holosen. Fasies terjadi di daerah ini.
endapan Holosen tersebut dapat dibedakan
menjadi endapan-endapan laut lepas pantai, UCAPAN TERIMA KASIH
laut dekat pantai, pasir pantai, rawa, alur
sungai, dan limpah banjir. Penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan
Robby Setianegara yang telah banyak membantu,
baik dalam penggambaran maupun saran dan
kritiknya, sehingga makalah ini dapat diwujudkan.

ACUAN
Allen, J.R.L., 1965. A riview of the origin and character of recent sediments. Sedimentology, 5 : 89-191.
Haq, B.U., 1991. Sequence stratigraphy, sea-level change, and significance for the deep sea. In: Macdonal, I.M.
(ed), Sedimentation, Tectonics and Eustacy, Sea-Level changes at active margins. Spec. Publs.
Int. Ass. Sediment. (1991) 12 : 3-39.
Newberry, J.S., 1874. Cycles of deposition in American sedimentary rocks. American Association for the
Advancement of Science Proceedings, 22 : 185-196.
Plint, A.G., Eyles, N., Eyles, C.H., dan Walker, R.G., 1992. Control of Sea Level Change. In: Walker, R.G. dan
James, N.P. (eds.), Facies Models response to sea level change. Geological Association Of Canada,
15-25
Perlmutter, M.A. dan Matthews, M.A. (1989) Global Cyclostratigraphy. In: T.A. Cross (eds.), Quantitative
Dynamic Stratigraphy. Prentice Englewood, New Jersey, 233-260.
Reineck, H.E. dan Singh, I.B., 1980. Depositional Sedimentary Environments. Springer – Verlag, Berlin, 549 p.
Silitonga, P.H., Masria, M. dan Suwarna, N., 1996. Peta Geologi Lembar Cirebon, Jawa, skala 1:100.000.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Sumanang, H., Mulyana, H., Hidayat, S. dan Basri, C., 1997. Peta Geologi Kuarter Lembar Muara – Cirebon,
Jawa Barat, skala 1:50.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Williams, J.R., 1891. On cycles of sedimentation. American Geologist, 8 : 315-349.

260 JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009


Geo-Sciences
PROSES SEDIMENTASI DASAR LAUT DI TELUK KUMAI, KALIMANTAN TENGAH,
DAN HUBUNGANNYA DENGAN CEBAKAN EMAS DAN PERAK

E. Usman dan Imelda R. Silalahi


Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan
Jl. Dr. Junjungan No. 236 Bandung 40174
Telp. 022.6017887, Email: ediaru.sman@gmail.com

SARI

Hasil analisis kandungan emas dan perak dalam sedimen dasar laut di Teluk Kumai menunjukkan kandungan tertinggi
terdapat pada lokasi TPL-43, TPL-44, TPL-54, TPL-74 dan TPL-75, yang berkisar antara 0,09 – 0,19 ppm emas dan 1,6
– 3,75 ppm perak. Kurva hubungan antara besar butir dan persentase kumulatif butiran sedimen mengandung emas dan
perak menunjukkan proses pengendapan sedimen membentuk pola gabungan antara saltasi dan suspensi. Pola saltasi
terjadi pada ukuran butir antara -1,5 phi hingga 2 phi dan pola suspensi pada ukuran butir antara 2 - 4 phi. Berdasarkan
kurva hubungan besar butir dan persentase frekuensi butiran menunjukkan adanya butiran tertentu yang mendominasi
proses pengendapan. Ukuran butir yang paling berpengaruh dalam proses pengendapan tersebut adalah antara 0,5 - 2,5
phi (medium sand – very fine sand) dengan jumlah berkisar antara 10 - 28%. Pola pengendapan sedimen di daerah
penelitian dipengaruhi oleh rezim arus teluk sebagai gabungan arus laut dan arus sungai yang membentuk endapan pasir
pantai. Hasil analisis di atas dapat menjadi arahan dalam kegiatan pendulangan emas dan perak di daerah penelitian,
sehingga diperoleh hasil yang optimal, yaitu pada sedimen berukuran sedang sampai halus di sekitar garis pantai.
Kata kunci: sedimen, emas dan perak, proses pengendapan, ukuran butir, Teluk Kumai

ABSTRACT

Results of analysis of gold and silver contents within the sea floor sediments in the Kumai Bay show that the highest
contents are at the location of TPL-43, TPL-44, TPL-54, TPL-74 and TPL-75 locations with ranging from 0,09 to 0,19
ppm for gold and 1,6 to 3,75 ppm for silver. A curve showing the relationship between grain size and percentage of grain
cumulative of gold and silver bearing sediments indicates that the deposition process is a combination pattern between
saltation and suspension. The saltation pattern happened at the grain size between -1,5 to 2 phi and suspension pattern
2 - 4 phi. Based on relation curve of the grain size and frequency percentage of the grains indicate the present of a
certain grain dominated the depositional process. The most influenced grain size on depositional process are between
0,5 - 2,5 phi that are a medium sand to very fine sand of about 10 - 28%. The depositional pattern of the sediment in
the survey area is influenced by the regime of bay current as a combination of the sea and river currents to form the
coastal sand sediments. Result of the analysis can become a guidence in gold and silver mining activities in the study
area in order to obtain optimal results, that is on sediments with size ranging from medium - very fine sand around the
coastline area.
Keywords: sediment, gold and silver, depositional process, grain size, Kumai Bay

Naskah diterima : 05 Maret 2009


Revisi terakhir : 14 Juli 2009

JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009 261


Geo-Sciences
PENDAHULUAN (Hermanto drr., 1994). Oleh sebab itu, Teluk Kumai
menjadi menarik untuk diteliti kandungan emas dan
Daerah penelitian, termasuk kedalam Lembar Peta
peraknya di dalam sedimen permukaan dasar laut.
1512 (LP-1512, Teluk Kumai) Provinsi Kalimantan
Diharapkan hasil penelitian ini akan bermanfaat bagi
Tengah. Secara geografis, daerah penelitian terletak
upaya inventarisasi mineral-mineral yang bernilai
pada koordinat antara 111°00' – 112°30' BT dan
ekonomis di wilayah laut, terutama di LP-1512.
03°00' – 04°00' LS (Gambar 1), dan secara
administratif, termasuk dalam perairan Kabupaten Emas dan perak primer umumnya terbentuk oleh
Kotawaringin Timur dengan ibukota Pangkalanbun, aktivitas hidrotermal yang membentuk tubuh bijih
Provinsi Kalimantan Tengah. Sebagian besar daerah dengan kandungan utama silika, dan jebakannya
penelitian merupakan wilayah laut dan sebagian berupa urat-urat yang tersebar dalam batuan induk.
adalah kawasan pantai. Bagian utara daerah Proses oksidasi dan pengaruh sirkulasi air yang
penelitian merupakan dua teluk, yaitu Teluk terjadi pada cebakan primer menyebabkan
Kotawaringin di bagian barat dan Teluk Kumai di terurainya penyusun bijih emas dan perak primer
bagian timur. Kedua teluk tersebut merupakan yang berakibat juga terlepas dan terdispersinya
daerah muara dari dua sungai besar yang mengalir batuan tersebut membentuk endapan letakan (Van
dari daratan Kalimantan Tengah yaitu Sungai Leeuwen, 1994). Emas dan perak letakan tersebut
Kotawaringin di bagian barat dan Sungai Kumai di dapat dijumpai pada tanah residu sebagai endapan
bagian timur. koluvium, kipas aluvium, dan juga endapan fluviatil.
Sebaran endapan letakan pada umumnya
Secara regional, kedua sungai tersebut mengalir
menempati lembah sungai yang membentuk
melalui batuan yang kaya akan mineral kuarsa dan
morfologi pedataran atau undak, endapan koluvium,
pirit, seperti Formasi Kuayan, Batuan Gunung Api
endapan pantai dan fluviatil hingga ke dasar sungai
Karabai, Formasi Dahor, endapan rawa dan aluvium
dan laut (Cronan, 1980).

Gambar 1. Peta lokasi penelitian dan percontohan sedimen dasar laut perairan Lembar Peta 1512, Teluk Kumai, Kalimantan Tengah.

262 JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009


Geo-Sciences
Dengan adanya kegiatan penambangan di sekitar Kalimantan Tengah bagian selatan. Sungai
aliran Sungai Kotawaringin dapat diperkirakan, Kotawaringin yang terletak di bagian barat pantai
bahwa emas dan perak sekunder tersebut Kotawaringin Timur lebih panjang dan mencakup
membentuk endapan letakan hingga ke perairan daerah aliran yang lebih luas dibandingkan dengan
Teluk Kumai. Proses transportasi dan sedimentasi di Sungai Kumai. Cabang-cabangnya mencapai daerah
sepanjang aliran sungai dan muara sungai tersebut Kalimantan Barat. Sungai Kotawaringin juga
dipengaruhi oleh pola gelombang, arus sungai, dan memotong lebih banyak formasi batuan, sedangkan,
pasang surut (Woodroffe, 1996). Interaksi ketiga Sungai Kumai, mengalir dari daratan Kalimantan
faktor tersebut akan membentuk karakteristik Tengah bagian utara dengan cabang-cabang yang
sedimentasi dan morfologi pantai yang berbeda- lebih pendek.
beda, bergantung pada faktor dominan ketiga pola
Berdasarkan kedudukan stratigrafi, batuan tertua di
oseanografi tersebut. Menurut Komar (1998), proses
bagian utara daerah penelitian adalah Formasi
pengendapan pasir di sekitar muara disebabkan oleh
Kuayan (TR vk) yang terdiri atas breksi gunung api,
dominasi pengaruh gelombang yang membentuk
lava, dasit, riolit, andesit dan tuf. Formasi Kuayan
endapan pasir mulai daerah pantai di sekitar muara
merupakan batuan tertua yang tersingkap di Lembar
hingga ke bagian tengah muara. Daerah penelitian
Pangkalanbun, yang berumur Trias (Hermanto drr.,
menunjukkan dominasi sedimen pasir, baik di dasar
1994). Penyebaran fomasi ini ke bagian utara, dan
teluk maupun di pantai, sehingga dapat ditentukan
telah mengalami pelapukan lanjut. Formasi Kuayan
proses dominan yang mempengaruhi proses
diintrusi oleh Granit Mandahan (Kgm) yang terdiri
sedimentasi adalah gelombang.
atas granit, granit biotit, dan diorit. Satuan batuan ini
Proses-proses sedimentasi bekerja di daerah muara menerobos batuan gunung api yang lebih tua dan
dan penyebaran sedimen secara lateral karena hasil diperkirakan terbentuk pada waktu terjadi
interaksi gelombang terhadap arus sungai dan pengangkatan Kapur Akhir.
pasang surut dengan dominasi gelombang, sehingga
Di atas Formasi Kuayan secara selaras diendapkan
penyebaran sedimen berbutir kasar terjadi hanya di
batuan Gunung Api Karabai (Kuk) dan Fomasi Dahor
sekitar garis pantai pada muara kedua sungai
(Tod). Batuan Gunung Api Karabai berumur Kapur
tersebut.
Atas - Paleosen, terdiri atas tuf sela, breksi tufan,
lava, batupasir kuarsa tufan, dan batulempung tufan.
GEOLOGI REGIONAL Setempat dijumpai lapisan tipis karbon dengan
Daerah penelitian termasuk ke dalam Peta Geologi struktur silang siur. Formasi Dahor berumur Miosen
Lembar Pangkalanbun, Kalimantan (Hermanto drr., Tengah sampai Plio-Plistosen terdiri atas
1994). Sedimen Tersier diendapkan di atas batuan konglomerat, batupasir, dan perselingan lempung
Pratersier yang terbentuk mulai Trias Atas hingga yang mengandung sisipan lignit dengan lingkungan
Kapur Atas. Di bagian utara daerah penelitian pengendapan peralihan, dengan tebal formasi sekitar
terdapat Lembar Pangkalanbun, dan secara geologis 500 m. Tidak dijumpai fosil sebagai penunjuk waktu,
seluruh batuannya dialasi oleh batuan Pratersier. tetapi umur didasarkan pada posisi stratigrafinya
Batuan Pratersier ini kemudian diterobos oleh batuan terhadap formasi yang lebih tua dan lebih muda.
intrusi bertipe asam dari Kelompok Granit Mendahan Selanjutnya, batuan yang lebih muda adalah
yang kaya kuarsa dan pirit (Gambar 2). Endapan Rawa (Qs) dan Aluvium (Qa). Endapan rawa
Di bagian utara daerah penelitian terdapat muara terdiri atas gambut, lempung kaolinit, lanau sisipan
sungai-sungai besar yang mengalir dari daratan pasir dan dan sisa tumbuhan. Diperkirakan endapan
Kalimantan Tengah, yaitu Sungai Kotawaringin yang rawa tersebut berumur Plistosen Akhir hingga
bermuara di Teluk Kotawaringin dan Sungai Kumai Holosen Awal. Aluvium terdiri atas lumpur, lempung,
yang bermuara di Teluk Kumai. Sungai-sungai pasir, kerikil, dan kerakal. Pada umumnya aluvium
tersebut mengalir melewati batuan yang kaya dijumpai sebagai endapan sungai dan pantai.
mineral kuarsa dan pirit yang terdapat di daratan

JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009 263


Geo-Sciences

TR vk
TR vk

TR vk

TR vk

Gambar 2. Geologi regional daerah penelitian berdasarkan Peta Geologi Lembar Pangkalanbun, Kalimantan (Hermanto drr., 1994).

METODE PENELITIAN terkandung dalam proses pengendapan sedimen


Pengambilan percontoh sedimen dasar laut pembawa emas dan perak.
dilakukan pada 77 lokasi pada LP-1512 yang Prosedur dan klasifikasi tekstur sedimen dasar laut
meliputi perairan bagian selatan Teluk Kumai. disusun berdasarkan Folk (1980) dengan
Sedimen dasar laut diperoleh dengan menggunakan memperhatikan parameter persentase dari
peralatan pemercontohan jatuh bebas (gravity kandungan butiran yang terdapat tiap 100 gr
corer). Panjang percontoh yang diperoleh berkisar sedimen. Data tersebut kemudian diolah pada
antara 50 – 180 cm. Analisis besar butir (Folk, komputer dengan mempergunakan Program Sel,
1980) dilakukan dengan memisahkan berat asal Kum dan Kummod untuk mendapatkan beberapa
parameter, antara lain: X (phi), sortasi, skewness,
100 gr (tanpa cangkang). Butiran yang dihitung
kurtosis, persentase lempung (lumpur), lanau, pasir,
mulai dari ukuran -2.0 phi hingga 4.0 phi,
dan kerikil. Dari pemisahan besaran lempung, lanau,
sedangkan untuk yang lebih halus dihitung mulai 4.0 pasir, dan kerikil akan diperoleh klasifikasi tekstur
phi hingga 8.0 phi, sehingga seluruh ukuran butiran sedimen dasar laut.
dapat dihitung, kecuali cangkang yang tidak
termasuk dalam klasifikasi ukuran besar butir. Selanjutnya, untuk mengetahui kandungan emas
Selanjutnya, berdasarkan hubungan ukuran butir (Au) dan perak (Ag), terlebih dahulu dilakukan
analisis sedimen yang mengandung butiran kuarsa
dan persentase frekuensi jumlah butiran (Friedman
dan pirit. Kedua mineral tersebut merupakan mineral
and Sanders, 1978: in Friedman and Johnson,
penciri batuan beku yang bertipe asam yang
1982), dapat diketahui ukuran butir yang berassosiasi dengan mineral sulfida mengandung

264 JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009


Geo-Sciences
emas (Au) dan perak (Ag). Sedimen yang dipilih butir membulat tanggung (subrounded). Warna
mengandung mineral kuarsa dan pirit berukuran sedimen secara umum adalah putih kekuningan,
pasir halus hingga kasar. Kadang-kadang pirit terutama di bagian tengah Teluk Kumai. Warna
menempel pada butiran kuarsa atau butiran butiran yang lebih halus umunya berwarna kuning
batuan beku. Percontoh sedimen tersebut
emas yang diidentifikasi sebagai pirit, dijumpai pada
dianalisis secara kimia di laboratorium dengan
semua percontoh berbutir halus - kasar terutama di
Metode Uji (Essay Method).
sekitar teluk.
Sementara untuk mengetahui proses
pengendapan digunakan pendekatan model Kandungan Emas dan Perak
Visher (1965). Metode ini dapat mengetahui
Sedimen yang dipilih untuk analisis kandungan emas
suatu rezim yang menggerakkan butiran sedimen
berdasarkan besar butir dan persentase frekuensi dan perak adalah sedimen dengan kandungan
kumulatif setiap besaran butir. Berdasarkan butiran kuarsa antara 45 – 60%, pecahan batuan
proses tersebut dapat diketahui rezim beku (lithics) lebih kecil dari kuarsa antara 20 –
pengendapan yang membentuk river sand (pasir 30%, dan pirit antara 10 – 20%. Berdasarkan
sungai) atau beach sand (pasir pantai). kondisi tersebut, pada penelitian ini dipilih tujuh
Selanjutnya berdasarkan pendekatan model percontoh untuk dilakukan analisis emas dan perak.
Visher (1969) dapat diketahui pola pergerakan Hasil analisis tersebut memperlihatkan kandungan
dan distribusi pengendapan butiran sedimen yang emas tertinggi (>0,10 ppm) terdapat di lokasi
dikelompokkan dalam suatu jenis populasi rolling percontoh TPL-44 sebesar 0,15 ppm, TPL-54
and sliding (gulungan dan dorongan), saltation sebesar 0,10 ppm, dan TPL-75 sebesar 0,10 pm.
(saltasi) dan suspension (melayang).
Kandungan perak tertinggi (>2 ppm) terdapat di
lokasi percontoh TPL-31 sebesar 2,50 ppm, TPL-43
HASIL PENELITIAN sebesar 3,75 ppm, dan TPL-54 sebesar 3,60 ppm
Sebaran Sedimen Dasar Laut (Tabel 2).

Dari hasil analisis Besar Butir (Folk, 1980) Hasil analisis tersebut memperlihatkan kandungan
diperoleh enam satuan faies sedimen dasar laut emas dan perak tertinggi terdapat pada fasies
yang terdiri atas: Lanau (Z), lanau pasiran (sZ), sedimen pasir sedikit kerikilan (g)S, ukuran butir
lumpur kerikilan (gM), pasir sedikit kerikilan (g)S, pasir halus sampai sedang dengan kandungan
lumpur pasiran sedikit kerikilan (g)sM, dan pasir butiran kuarsa mencapai 60% dan pirit 20%.
lumpuran sedikit kerikilan (g)mS (Tabel 1). Kenaikan kandungan emas dan perak tidak selalu
sama pada setiap percontoh yang dianalisis. Pada
Selanjutnya, berdasarkan klasifikasi Folk (1980)
percontoh TPL-44 mengandung emas tertinggi dari
tersebut, dapat dibuat peta sebaran fasies
seluruh percontoh yang dianalisis, tetapi kandungan
sedimen dasar laut (Gambar 3).
perak jauh lebih kecil, yaitu 1,20 ppm. Demikian
Berdasarkan data pengamatan megaskopik dan pula sebaliknya pada TPL-43, kandungan emas 0,07
analisis besar butir, kondisi fisik sedimen dasar ppm tetapi kandungan perak mencapai kandungan
laut di daerah penelitian memperlihatkan tertinggi dari seluruh percontoh yang dianalisis, yaitu
kecenderungan kesamaan bentuk fisik dan 3,75 ppm.
komposisi butiran. Perbedaannya pada ukuran
Secara umum, perbandingan kandungan emas dan
dan volume masing-masing butiran, walaupun di
perak pada dua teluk memperlihatkan kandungan
beberapa tempat terdapat sedimen berbutir halus
emas tertinggi terdapat di sekitar Teluk Kotawaringin,
dan lempung mengandung cangkang. Kesamaan
yaitu pada TPL-31, 44 dan 54 yang merupakan
kondisi fisik tersebut adalah kandungan butiran
muara Sungai Kotawaringin (Gambar 4). Kondisi ini
rata-rata kerikil 0,801%, pasir 29% dan lanau
diperkuat dengan kegiatan penambangan emas,
68,1% terdiri atas butiran kuarsa, pecahan
perak dan kuarsa di sekitar Sungai Arut yang
batuan beku (lithic), mineral hitam, dan pirit
merupakan cabang Sungai Kotawaringin.
dengan ukuran lanau sampai kerikil dan bentuk

JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009 265


Geo-Sciences
Tabel 1. Hasil Analisis Besar Butir Berdasarkan Segitiga (Folk, 1980) yang Diolah Dengan Program Sel-Kum-Kummod Untuk
Mendapatkan Jenis Fasies Sedimen Dasar Laut.

Nama Fasies Fasies

266 JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009


Geo-Sciences

Gambar 3. Peta sebaran fasies sedimen dasar laut perairan Lembar Peta 1512, Teluk Kumai, Kalimantan Tengah (Silalahi drr., 1998).

Fasies

Tabel 2. Hasil Analisis Kandungan Emas dan Perak Dalam Tujuh


Percontoh Sedimen Terpilih di LP 1512, Teluk Kumai,
Kalimantan Tengah (Silalahi, drr., 1998).

JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009 267


Geo-Sciences
4
75 (Tabel 3 dan 4) yang diambil di perairan
3,5
Teluk Kumai memperlihatkan pola dan
3
proses pengendapan sedimen (Visher, 1969)
Kadar (Ppm)

2,5
2 membentuk pola gabungan antara saltasi
1,5 dan suspensi (Gambar 5).
1
0,5
Berdasarkan model Visher (1969) tersebut,
0 pola saltasi terjadi pada ukuran butir antara -
TPL-31 TPL-43 TPL-44 TPL-54 TPL-72 TPL-74 TPL-75
Emas (Ppm) 0,08 0,07 0,15 0,1 0,08 0,09 0,1
1,5 phi hingga 2 phi, selanjutnya diikuti pola
Perak (Ppm) 2,5 3,75 1,2 3,6 1,5 2,3 1,6 suspensi pada ukuran butir antara 2 – 4 phi,
dan seterusnya untuk ukuran yang lebih
Gambar 4. Perbandingan kandungan emas dan perak pada tujuh percontoh terpilih. halus. Adanya proses gabungan pola saltasi
dan suspensi, dan pola saltasi yang dominan
tersebut disebabkan oleh kondisi perairan
Tabel 3. Persentase Ukuran Butir Terhadap Tujuh Percontoh Sedimen Dasar Laut Yang
Mewakili Sedimen Perairan Lembar Peta 1512, Kalimantan Tengah. teluk sebagai daerah pertemuan arus sungai
dan laut yang dinamis dan berarus kuat yang
mampu menggerakkan butiran sedimen.
Arus yang kuat tersebut menyebabkan
ukuran butir yang lebih besar bergerak
secara saltasi, dan ukuran lebih halus (> 2
phi) bergerak melayang, sebelum
diendapkan di dasar laut.
Tabel 4. Persentase kumulatif Ukuran Butir Terhadap Tujuh Percontoh Sedimen Dasar Berdasarkan hubungan antara besar butir
Laut di Perairan Lembar Peta 1512, Kalimantan Tengah.
(Phi) dan persentase kumulatif butiran
memperlihatkan adanya rezim arus tertentu
yang berperan dalam proses pengendapan
sedimen di perairan Teluk Kumai. Dari hasil
analisis tersebut sebagaimana Visher
(1965), diperoleh kecenderungan pola
pengendapan sedimen membentuk endapan
pasir pantai (beach sand) (Gambar 6).
Kehadiran PTL-31 yang membentuk pola
endapan sungai (river sand) menjadi
menarik untuk dipelajari lebih lanjut
mengingat posisinya saat ini berada di laut,
Proses Pengendapan Sedimen Mengandung Emas sehingga perlu dipelajari lebih lanjut hubungannya
dan Perak dengan sistem aliran sungai.

Pemahaman mengenai proses pengendapan Selanjutnya, hubungan antara besar butir dan
sedimen mengandung emas dan perak berdasarkan persentase frekuensi butiran menunjukkan adanya
analisis dan model (Visher, 1965; 1969). Model ini besar butir tertentu yang mendominasi proses
memberikan gambaran tentang pola pengendapan pengendapan (Friedman and Sanders, 1978; dalam
sedimen dan jenis sedimen. Keberadaan sedimen Friedman and Johnson, 1982). Dari hasil kurva
sekitar Teluk Kumai dan dua muara sungai perlu tersebut diperoleh ukuran butir yang paling
d i ke t a h u i l e b i h l a n j u t t e r u t a m a p r o s e s berpengaruh dalam proses pengendapan di daerah
pengendapannya dan hubungannya dengan penelitian, yaitu ukuran butir antara 0,5 – 2,5 phi
kandungan emas dan perak. (medium–very fine sand) pada PTL-31, PTL-44,
PTL-54, PTL-74 dan PTL-75 dengan jumlah berkisar
Hasil analisis hubungan antara besar butir (Phi) dan antara 10 – 28% (Gambar 7). Secara umum
persentase kumulatif butiran pada tujuh percontoh berdasarkan kedua kurva di atas, pola pengendapan
sedimen mengandung emas dan perak di lokasi TPL- sedimen di daerah penelitian dipengaruhi oleh rezim
31, TPL-43, TPL-44, TPL-54, TPL-72, TPL-74, TPL- arus teluk sebagai gabungan arus laut dan arus

268 JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009


Geo-Sciences

Gambar 5. Analisis pola pengendapan beberapa percontoh sedimen Gambar 6. Analisis jenis sedimen pada beberapa percontoh sedimen
mengandung emas dan perak di daerah penelitian di daerah penelitian berdasarkan pendekatan Visher
berdasarkan model Visher (1969). (1965).

30
sungai yang membentuk endapan pasir pantai dan
pasir sungai. 25

TPL-44
20
TPL-54
Frekwensi (%)

DISKUSI 15
TPL-74
TPL-75

Secara regional daerah penelitian merupakan daerah 10

yang termasuk kedalam busur magma Pratersier 5

sebagai batuan alas. Kandungan mineral kuarsa,


0
mineral hitam, mineral pirit, dan pecahan batuan -2 -1,5 -1 0,5 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4

beku (lithics) menunjukkan adanya hubungan antara -5


Ukuran Butir
sedimen di laut dengan batuan induk di darat. Di
daerah penelitian, mineral kuarsa dan pirit berasal Gambar 7. Hubungan ukuran butir dan frekuensi jumlah butiran yang
dari kelompok Granit Mandahan (Kgm) yang terdiri menunjukkan ukuran butir antara 1 – 2,5 phi mendominasi
proses pengendapan dengan kisaran 10 – 28 % (Friedman
atas granit, granit biotit, dan diorit yang kaya mineral and Sanders, 1978 dalam Friedman and Johnson, 1982).
kuarsa. Satuan batuan ini menerobos batuan
Pratersier yang menjadi batuan dasar di Lembar Peristiwa tersebut diduga berhubungan dengan
Pangkalanbun dan diperkirakan terbentuk pada proses erosional, pengangkutan dan pengendapan
waktu terjadi pengangkatan Kapur Atas (Hermanto sedimen sehubungan dengan naik turunnya
drr., 1994). Di samping itu, kondisi arus sungai yang permukaan air laut atau berhubungan dengan iklim,
kuat bergerak mengikuti alur Sungai Kotawaringin sehingga maju mundurnya garis pantai berhubungan
dan Sungai Kumai, terutama di daerah teluk, dengan proses-proses tersebut.
menyebabkan sedimen fraksi halus dan kasar
terbawa jauh oleh arus dari sumbernya di daratan Selanjutnya, berdasarkan pendekatan model Visher
Kalimantan. Proses tersebut berlangsung karena (1969) tentang pergerakan, sedimen membentuk
terkait dengan kondisi elevasi dan bentang alam yang pola saltasi dan suspensi. Pola pergerakan tersebut
tidak jauh berbeda dengan daerah berakhirnya menunjukkan variasi peran arus sungai (saltation)
proses pengangkutan sedimen. dan arus laut (suspension) dalam menggerakkan

JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009 269


Geo-Sciences
sedimen. Hasil analisis ini tidak menunjukkan pola Hubungan antara besar butir dan kandungan emas
pergerakan gulungan/berputar (rolling) dan tertinggi dapat diamati pada Gambar 4. Kandungan
meluncur/mendorong (sliding) yang menggambar- emas dan perak tertinggi terdapat pada percontoh
kan arus yang kuat. Pola ini umumnya di daerah yang TPL-44, TPL-54, TPL-74, dan TPL-75 yang berkisar
mempunyai arus sangat kuat dengan butiran antara 0,09 – 0,19 ppm, sedangkan perak tertinggi
terdapat pada percontoh TPL-43, TPL-54, TPL-74
berukuran besar (kerikil dan kerakal) yang bergerak
dan TPL-75 yang berkisar antara 1,6 – 3,75 ppm.
secara rolling, atau massa sedimen yang besar yang
Bila dikorelasikan dengan Gambar 7 diketahui bahwa
umumnya bergerak secara sliding (longsoran). Pola kandungan ukuran butir terbesar adalah ukuran
karakter arus demikian memperlihatkan bahwa antara 1 – 2,5 phi antara 10 – 28 % yang terdapat
daerah tersebut termasuk daerah tertutup, seperti pada lokasi yang sama dengan kandungan emas dan
halnya daerah teluk yang didominasi oleh arus perak tertinggi, yaitu pada lokasi TPL-44, TPL-54,
pasang surut. Ini berarti, bahwa paleogeografi daerah TPL-74, dan TPL-75.
teluk tidak mengalami perubahan kecuali dimensi
Hal ini menunjukkan bahwa di daerah penelitian
pergeseran garis pantai.
kandungan emas dan perak terdapat pada ukuran
Arus sungai yang berperan di daerah penelitian butir (1 - 2,5 phi) dengan persentase jumlah butiran
adalah arus Sungai Kotawaringin di bagian barat dan antara 10 – 28 %. Perbedaan kandungan emas dan
Sungai Kumai di bagian timur. Pada umumnya perak tersebut berhubungan dengan intensitas proses
sungai-sungai di daratan Kalimantan bergerak lebih pengendapan. Ini berarti bahwa sistem arus sangat
lambat, dan jenis endapan di sepanjang pantai yang berpengaruh dalam suatu proses pengendapan.
Gejala demikian berhubungan dengan karakter
didominasi oleh pasir kuarsa, pasir hitam, dan
R bentuk butiran dan sistem arus selaku kekuatan yang
pecahan batuan beku berukuran pasir sedang;
mengendapkan material yang bulat, pipih yang
menghubungkannya dengan kondisi geologi darat sifatnya melayang, berat, dan ringan.
yang didominasi oleh Formasi Kuayan (Tvk), Granit
Mandahan (Kgm) dan Gunung Api Karabai (Kuk).
KESIMPULAN
Formasi batuan tersebut dipotong oleh beberapa
cabang sungai yang mengalir ke laut. Oleh karena itu, Kandungan emas di daerah penelitian mempunyai
sistem fluviatil yang terbentuk di daerah penelitian ciri-ciri butiran secara megaskopis berwarna putih
umumnya sistem suspensi yang berindikasikan arus kekuningan, ukuran butiran lanau - kerikil, komposisi
sungai hampir tidak mengalir (sluggish) yang umum kuarsa 50 - 60%, litik 10 - 20%, pirit 10 - 20%, dan
dijumpai di daerah teluk. cangkang kondisi rusak 5 - 10%. Selanjutnya,
berdasarkan hubungan antara besar butir, kandungan
Peran dua sungai besar tersebut cukup berpengaruh
emas tertinggi (0,09 - 0,19 ppm) dan perak tertinggi
dalam mentranspor sedimen dari rombakan
(1,6 - 3,75 ppm) terdapat pada ukuran butir (1,5 –
batupasir mengandung kuarsa dan pirit ke arah Teluk
2,5 phi) dengan persentase antara 10 – 28 % yang
Kotawaringin dan Teluk Kumai. Selanjutnya peran
terdapat pada lokasi TPL-44, TPL-54, TPL-74 dan
arus sungai dan laut menggambarkan mekanisme
TPL-75. Pola ini karena daerah penelitian didominasi
pengendapan di muara. Proses-proses yang bekerja
oleh arus pasang surut dan gelombang sejajar garis
di daerah muara dan penyebaran sedimen secara
pantai yang berkerja secara terus menerus, sehingga
lateral sebagai hasil interaksi gelombang, sungai dan
menyebabkan sedimen berbutir halus – kerikil
pasang surut (Woodroffe, 1996) memperlihatkan
diendapkan oleh sistem fluviatil melalui proses
dominasi gelombang sehingga penyebaran sedimen
suspensi yang berpengaruh dalam penyebaran
berbutir kasar terjadi hanya di sekitar garis pantai
sedimen dan pergeseran garis pantai.
pada muara kedua sungai tersebut. Berdasarkan
kondisi tersebut untuk kegiatan penelitian lebih lanjut Proses pengendapan sedimen di daerah penelitian
agar dilakukan di sekitar muara kedua sungai membentuk pola gabungan antara saltasi dan
tersebut, dan bila akan dilakukan ke arah darat agar suspensi lebih dominan. Pola saltasi terjadi pada
dilakukan dengan menyusuri kedua sungai tersebut. ukuran butir antara -1,5 phi hingga 2 phi, dan pola
suspensi pada ukuran butir antara 2 - 4 phi. Ukuran

270 JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009


Geo-Sciences
butir yang paling berpengaruh dalam proses UCAPAN TERIMA KASIH
pengendapan sedimen mengandung emas dan perak Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala
adalah antara 0,5 - 2,5 phi (medium – very fine sand) Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
dengan jumlah berkisar antara 10 - 28%. Sementara Kelautan Ir. Subaktian Lubis, M.Sc atas izin dan
kurva hubungan antara besar butir dan persentase dorongannya untuk membuat tulisan ini. Terima
kumulatif butiran memperlihatkan adanya rezim arus kasih juga disampaikan kepada Mustafa Hanafi, Mira
teluk yang berperan dalam proses pengendapan Yossi, Mimin Karmini dan Reza Rahardiawan atas
sedimen di perairan Teluk Kumai yang membentuk diskusi dan masukannya. Juga terima kasih kepada
endapan pasir pantai (beach sand). rekan-rekan teknisi dan Anak Buah Kapal Geomarin
1 atas kerja samanya.

ACUAN
Cronan, D.S., 1980. Underwater Mineral. Academic press, London: 362 pp.
Folk, R.L., 1980. Petrology of Sedimentary Rocks. Hamphill Publishing Company Austin, Texas: 170 pp.
Friedman, G.M. and Sanders, J.E., 1978. Principles of Sedimentology (792 p). In: Friedman, G.M. and Johnson,
K.G., 1982. Exercises in Sedimentology. John Wiley & Sons Inc, New York: 208 pp.
Hermanto, B., Bachri, S. dan Atmawinata, S., 1994. Peta Geologi Lembar Pangkalanbun, Kalimantan. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Katili, J.A., 1980. Geotectonics of Indonesia, A Modern View. Directorate General of Mines, Jakarta: 271 pp.
Komar, P.D., 1998. Beach Processes and Sedimentation, Prentice Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey:
544pp.
Moore G.F., Curray, J.R., Moore, D.G. and Karig, D.E., 1980. Variations in Geologic Structure Along the Sunda
Arc, Northern Indian Ocean. In: Hayes D (eds)., 1980. The Tectonic and Geologic Evolution of
Southeast Asian Seas and Islands. Geophys. Monogr. Ser., Vol. 23, AGU Washington D.C.: 145 –
160.
Silalahi, I.R., Hanafi, M., Yosi, M., Karmini, M., Usman, E., Rahardiawan, R. dan Kastanja, M.M., 1998.
Penyelidikan Geologi dan Geofisika Kelautan Lembar Peta 1512 Teluk Kumai, Kalimantan
Tengah. Pusat Pengembangan Geologi Kelautan, Bandung (Laporan Intern): 60 hal.
Van Leeuwen, T.M., 1994. Twenty Five Years of Mineral Exploration and Discovery in Indonesia. Elsevier,
Amsterdam.
Visher, G.S., 1965. Fluvial Processes as Interpreted from Ancient and Recent Fluvial Deposits. In: Friedman,
G.M. and Johnson, K.G.(eds), 1982. Exercises in Sedimentology, John Wiley & Sons Inc, New
York: 208 pp.
Visher, G.S., 1969. Grain Size Distributions and Depositional Processes, Jour. Sedimentary Petrology. In:
Friedman, G.M. and Johnson, K.G.(eds), 1982. Exercises in Sedimentology, John Wiley & Sons
Inc, New York: 208 pp.
Woodroffe, C.D., 1996. Late Quaternary infill of Macrotidal Estuaries in Northern Australia. In: Nordstrom, K.F.
and Roman, C.T. (eds), 1996. Estuarine Shores: Evalution, Environments and Alterations. John
Wiley & Sons Ltd, New York: 89 - 114.

JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009 271


Geo-Sciences
GEOLOGI ALUVIUM DAN KARAKTER ENDAPAN PANTAI/PEMATANG PANTAI
DI LEMBAH KRUENG ACEH, ACEH BESAR (PROV. NAD)

H. Moechtar¹, Subiyanto¹ dan D. Sugianto²


¹Pusat Survei Geologi, Badan Geologi (DESDM), Jl. Diponegoro 57, Bandung 40122. E-mail: contact@grdc.esdm.go.id
²Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC), Syiah Kuala University, Banda Aceh.

SARI

Endapan aluvium di lembah Krueng Aceh, diduga diendapkan dalam lingkungan cekungan banjir, sistem sungai, transisi,
dan klastika linier. Lingkungan klastika linier terdiri atas fasies endapan laut lepas pantai (Fellp), laut dekat pantai (Feldp),
pantai/ pematang pantai (Fep/Fepp), dan rawa bakau (Ferb). Penelitian dilakukan dengan pemetaan geologi permukaan
dan analisis sedimentologi dan stratigrafi dari sepuluh hasil pemboran yang dilakukan di sepanjang lintasan berarah
barat - timur - barat daya dan barat-timur-selatan. Kedalaman pemboran berkisar antara 2,30 hingga 10 m pada
ketinggian + 0,90 hingga + 10 m dari permukaan laut.
Berdasarkan korelasi rangkaian perubahan lingkungan pengendapan di lingkungan klastika linier, siklus turun-naiknya
permukaan laut dapat dibedakan menjadi tiga. Setiap siklus dicirikan oleh berubahnya lingkungan pengendapan yang
dikontrol oleh aktivitas sesar Seulimeum.
Kata kunci: sedimentologi, stratigrafi, aluvium

ABSTRACT

The alluvium in the Krueng Aceh valley, suggests that it is deposited in floodbasin, fluvial system, transition, and linier
clastic environments. The linier clastic enviroments consists of offshore (Fellp), nearshore (Fedp), beach/ beach-ridge
(Fep/ Fepp), and marsh deposits. The research was carried out by surface geological mapping and analysed
sedimentology and stratigraphy of ten boreholes trending west-east to southwest and west-east to south. Depths of the
boreholes varies from 2.30 to 10 m at elevation of + 0.90 - + 10 m above sea level.
Based on correlation of sedimentary environment in the linier clatic environment,sea level changes can be divided into
three cycles that were controlled by active tectonic of the Seulimeum fault respectively.
Keywords: sedimentology, stratigraphy, alluvium

PENDAHLUAN bawah Lempeng Benua Eurasia. Lembah Kuarter


Aceh Besar yang diapit oleh sesar aktif Sumatra dan
Bennett drr. (1991) menyebut bahwa lembah
Seulimeum. Aktivitas tektonik ini dapat dijadikan alat
Kuarter di dataran Aceh Besar ditutupi oleh endapan
untuk mempelajari berbagai peristiwa yang terjadi
aluvium tak terbedakan yang terdiri atas kerakal,
terakhir dan terekam pada geologi aluvium yang tak
pasir, lumpur, dan lain-lainnya. Gempa bumi
terbedakan. Pemikiran ini beranggapan bahwa
berkekuatan 9,2 SR pada 26 Desember 2004 yang
tektonik dan perubahan lahan atau lingkungan pada
disertai gelombang tsunami dahsyat, telah merubah
dasarnya saling berhubungan, yang berarti daerah
geologi permukaan khususnya endapan aluvium. Hal
rawan tektonik sangat rawan terhadap berubahnya
tersebut bukan saja karena terjadinya abrasi,
lingkungan, seperti: berevolusinya bentang alam
pengikisan ataupun perusakan, melainkan
bentukan asal, terganggunya proses sedimentasi,
disebabkan oleh fenomena proses alam sangat cepat
dan terbentuknya lingkungan baru.
yang menelan ratusan ribu korban manusia,
hartabenda dan hilangnya sarana. Wilayah pesisir Berdasarkan aspek sedimentologi dan stratigrafi dari
Aceh, merupakan kawasan bertektonik aktif di pengamatan permukaan yang ditunjang data
bawah kendali zona penunjaman Samudra Hindia pemboran dangkal, studi ini dilakukan untuk
tempat Lempeng Hindia-Australia menunjam ke mempelajari geologi aluvium tak terbedakan dan
kaitannya terhadap perubahan lingkungan,
Naskah diterima : 10 Maret 2008 khususnya perkembangan pembentukan endapan
Revisi terakhir : 14 Juli 2009 pantai/pematang pantai. Studi dilakukan melalui:

JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009 272


Geo-Sciences
(1) deskripsi litofasies dan hubungannnya dengan tangan yang dipakai adalah perangkat sistem tipe
lingkungan pengendapan, (2) menginterpretasi legenda penampang (profile type legend systems)
lingkungan pengendapan dan hubungannnya dengan yang sangat cocok diterapkan di kawasan sedimen
berbagai lingkungan, baik secara vertikal ataupun lunak dan lepas.
lateral, (3) mengkaji fenomena berubahnya Berdasarkan ciri khas litologi dan karakter fasies
lingkungan pengendapan, dan (4) mendiskusikan sedimen, dilakukan korelasi ciri litologi yang
tentang sejarah pengisian cekungan pada Holosen menjadikan berlainan interval fasies pengendapann
akhir hingga sekarang. (IFP) yang ditandai oleh proses turun-naiknya
Lokasi studi termasuk kawasan administratif Kota permukaan laut. Dari susunan rangkaian
Banda Aceh dan sebagian Kabupaten Aceh Besar, pengendapan, maka perubahan lateral dan vertikal
Provinsi NAD yang dibatasi koordinat 5º30' 49,969'' setiap lingkungan pengendapan dapat dijabarkan.
dan 5º40' 51,428” Lintang Utara serta 95º15' Akhirnya, fenomena faktor kendali proses
25,218'' dan 95º25' 34,728'' Bujur Timur pembentukan sedimen, khususnya terhadap fasies
(Gambar 1). Banda Aceh dan sekitarnya di samping endapan pantai/ permatang pantai yang dipengaruhi
merupakan pusat pemerintahan, juga memiliki tata dari proses luar cekungan (external processes),
ruang terpadat, yaitu untuk areal pemukiman dan seperti berubahnya permukaan laut, iklim, dan
untuk berbagai sarana lainnya, seperti pelabuhan tektonik.
laut/udara, pusat pertahanan angkatan laut, tempat
peninggalan bersejarah, dan lain sebagainya. GEOLOGI ALUVIUM PERMUKAN
Geologi Umum
METODE
Fisiografi Aceh Besar dan sekitarnya, tertata sebagai
Penelitian ini dilakukan dengan menginterpretasi wilayah dataran aluvium bergelombang hingga
citra Landsat 547 + DEM (Digital Elevationn Model) dataran rendah pantai yang membentang dengan
untuk mencermati penampakan geomorfologi dan arah hampir barat laut - tenggara dan semakin ke
geologi permukaan, dan dilanjutkan dengan
selatan makin tinggi. Iwaco (1993) dalam Ploethner
melakukan pemboran dangkal. Pengamatan geologi
dan Siemon (2005) menyebut wilayah tersebut
permukaan dilakukan secara langsung di lapangan
dengan berpedoman pada peta geologi lembar sebagai Cekungan Krueng Aceh atau Lembah Krueng
Banda Aceh, Sumatra (Bennett drr., 1981) dan peta Aceh (Farr dan Djaeni, 1975 dalam Ploethner dan
unit litologi dari Culshaw drr. (1979) dalam Siemon, 2005). Di sebelah barat dibatasi oleh Sesar
Ploethner dan Siemon (2005). Untuk pengamatan Sumatra yang disebut sebagai Sesar Aceh (Barber
permukaan dilakukan pemetaan litologi yang dan Crow, 2005 dalam Ploethner dan Siemon,
pemisahannya berdasarkan ukuran butir dan 2005) atau termasuk Segmen Sesar Krueng Aceh
karakter fasies, serta batas sebarannya ditafsirkan (Tjia, 1977). Daerah ini berada di kaki pegunungan
dari citra. Analisis data bawah permukaan kompleks Bukit Barisan yang tersusun oleh batuan
difokuskan pada hasil pemboran dangkal sebanyak Tersier dan Praersier. Di bagian timur, cekungan
sepuluh titik yang berarah barat - timur yang Kuarter ini dibatasi oleh perbukitan yang tersusun
membelok ke arah barat daya; dan barat - timur yang oleh batuan Plio-Plistosen yang berasal dari Gunung
membelok ke selatan. Titik lokasi bor diplot secara
Api Seulawah (Iwaco, 1993 dalam Ploethner dan
teliti menggunakan GPS. Selanjutnya, data diamati
Simon, 2005). Di wilayah tersebut membentang
secara visual dan detial yang meliputi aspek
sedimentolog, khususnya lingkungan pengendapan. sesar Seulimeum (Barber dan Crow, 2005 dalam
Setiap perubahan fasies, baik secara berangsur Ploethner dan Simon, 2005) berarah hampir utara -
ataupun tegas yang termasuk kandungan komposisi, selatan, sesar ini memotong sesar Aceh di utara
ukuran butir dan warna diplot dan direkam dalam Tangse timur batholith Sikuleh.
penampang vertikal (log bor) berskala 1:100. Dataran rendah aluvium hingga dataran pantai yang
sepuluh log bor, yaitu lintasan TB.1 - TB.5, dan menjadi fokus penelitian terletak pada ketinggian
lintasan TB.6 - Tb.10 masing-masing terdiri atas kurang dari 18 m (dpl) dengan kemiringan lereng
lima log bor dikorelasikan (Gambar 2 dan 3). Kisaran antara 0º hingga 12º, dan sungai utamanya adalah
kedalaman log bor antara 2,30 dan 10,00 m pada + Krueng Aceh yang hulunya di pegunungan sebelah
0,90 hingga + 10 m dari pemukaan laut (dpl). Bor barat.

273 JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009


Geo-Sciences
5O40’51,428” 5O40’51,428”
95O15’25,218”

95O25’34’728”
Fo.2
U Perbukitan
KETERANGAN:
7 Fo.3
Sedimen rawa B T
6
Lempung lanauan dan lanau lempungan S
0 2 4 km
Lempung pasiran dan lanau pasiran
TB.7
Pasir lempungan dan pasir lanauan 5

Pasir
Fo.4
TB.8 4
TB.6 3
Kerakal pasiran TB.1 TB.2 TB.3
Perbukitan Fo.1
2
Lingkungan Transisi
TB.6 Lingkungan Klastika Linier
Lokasi bor 1
Fo.4 Lokasi foto lapangan TB.9
TB.4
1 - 7 Jalur pematang pantai TB.5
Garis pantai

TB.10

Lingkungan Cekungan Banjir


Lingkungan Fluvial

Perbukitan

Sabang Daerah Telitian

BANDA ACEH
Sigli

Takengon
95O15’25,218”

Meulaboh

95O25’34’728”
MEDAN
Tapaktuan

5O30’49,969” 5O30’49,969”

Gambar 1. Peta sebaran litologi endapan Kuarter permukaan di Cekungan Banda Aceh, lokasi penampang bor dangkal dan foto Lapangan.
(Modifikasi dari Culshaw dkk., 1979 dalam Ploethner dan Simon, 2005).

Litologi dan Penafsirannya yang berasal dari pelimpahan material alur sungai
Litologi aluvium yang tak terbedakan tersusun oleh yang bercampur dengan fasies rawa atau sebagai
kerakal pasiran, pasir, pasir lempungan dan pasir wadah pasokan material yang bersumberkan dari
lanauan, lempung pasiran dan lanau pasiran, paparan cekungan. Cohen drr. (2003) menyebut
lempung lanauan dan lanau lempungan, dan lingkungan cekungan banjir sebagai wilayah dataran
sedimen rawa. Berdasarkan interpretasi citra rendah. Disini pengaruh suplai material sungai relatif
Landsat 547 + DEM dapat diidentifikasi sebaran kecil. Terminologi lingkungan cekungan banjir telah
litologinya (Gambar 1). Sementara itu, karakter diuraikan secara rinci oleh Reineck dan Singh
bentang alam dan pola sebaran fasies pengendapan- (1973). Mereka menyatakan bahwa ”flood basins
nya, cekungan Kuarter di daerah dapat dibedakan are the lowest-lying part of a river flood plain”.
menjadi cekungan banjir (floodbasin), sistem sungai Lingkungan ini dicirikan oleh pola aliran yang jarang,
(fluvial systems), transisi, dan klastika linier (linier datar, tidak memiliki relief, pengaruhi oleh endapan
clastics).
suspensi, dan memiliki akumulasi panjang dengan
Lingkungan cekungan banjir adalah tempat kecepatan sedimentasi sangat rendah. Satuan ini
kumpulan atau terminal proses pengendapan, baik tersebar di bagian tenggara atau barat Krueng Aceh,

JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009 274


Geo-Sciences
yang berbentuk dataran rendah dengan sebaran permukaan dan tersebar di bagian barat alur sungai
tonjolan berbukit rendah hingga bergelombang, rawa utama kini. Bentang alam dataran rendah lainnya
dan langka sungai. Litologinya tersusun oleh fasies ditempati oleh lempung lanauan dan lanau
endapan rombakan dan rawa. Endapan rombakan lempungan yang berwarna coklat kekuningan hingga
terdiri atas lempung pasiran dan lanau pasiran. coklat abu-abu, pejal dan berhumus yang diduga
Kandungan pasir, lempung lanauan dan lempung sebagai material pelimpahan alur sungai atau
yang belum terkonsolidasi pada litologi ini tersebar endapan limpah/ dataran banjir.
pada massa dasar pasir, dan dialasi batuan vulkanik.
Bentang alam dataran rendah aluvium hingga
Pemisahan butir tak sempurna dengan pemilahan
dataran rendah pantai yang terletak di sebelah barat
buruk terkadang mengandung sisipan tipis pasir
laut hingga pantai termasuk lingkungan transisi,
halus dan lempung setebal 3 hingga 5 cm, berwarna
tersusun oleh endapan laut, endapan rawa bakau
abu-abu kecoklatan, menyudut hingga membulat
(mangrove), endapan fluvial, dan endapan pantai.
tanggung, agak keras, dan padat. Bercampurnya
Fenomena ini merupakan perpaduan antara
berbagai butiran klastika yang tersebar tidak
pertemuan proses fasies darat dan klastika linier,
sempurna berdasarkan komposisi tersebut
yang ditandai oleh turunnya secara drastis energi
ditafsirkan sebagai material rombakan. Endapan
Krueng Aceh yang hampir tidak mengalir (sluggish).
rawa tersusun oleh lempung lanauan dan lanau
Endapan laut terdiri atas lempung pasiran dan lanau
lempungan, sedikit sisa tumbuhan serta
pasiran, berwarna abu-abu kehijauan, mengandung
mengandung sisa-sisa akar tanaman dan dedaunan,
moluska dan sisa dedaunan, tak berlapis, lunak dan
berwarna coklat hingga abu-abu kehitaman,
kenyal yang ditafsirkan sebagai endapan laut dekat
berhumus dan lengket.
pantai. Pasir halus hingga menengah, kaya pecahan
Lingkungan fluviatil berkembang baik di barat daya moluska dan akar tananam, tak berlapis, terpilah
atau barat Krueng Aceh yang ditandai secara khas baik, membulat tanggung hingga menyudut
sebagai tempat berkembangnya alur sungai dan tanggung. Satuan ini termasuk endapan pantai/
pelimpahannya dibeberapa tempat berkembang pematang pantai. Selain itu dijumpai pasir
lingkungan rawa. Satuan ini membentuk bentang lempungan dan pasir lanauan, terpilah buruk dengan
alam dataran rendah bergelombang hingga datar warna kuning keabu-abuan, kadang-kadang terpilah
dengan tonjolan bukit rendah, litologinya tersusun baik dengan butiran yang beragam. Litologi ini diduga
oleh endapan alur sungai purba. Alur sungai utama merupakan hasil percampuran endapan alur sungai
Krueng Aceh yang melalui dataran rendah yang dipengaruhi gelombang dan arus pasang surut.
bergelombang mengendapkan bongkah hingga pasir Di permukaan bentang alamnya terbentuk oleh fasies
kasar yang menunjukkan energi aliran relatif tinggi. pasir pantai, dan lempung lanauan hingga lanau
Pada saat memasuki dataran rendah Banda Aceh lempungan sebagai endapan rawa bakau dan rawa;
energi alirannya turun secara drastis, salah satu dan lempung dan lumpur merupakan endapan laut
faktor penyebabnya karena hilangnya keseimbangan dekat pantai. Percampuran berbagai fasies endapan,
energi akibat material yang dibawa sungai cukup yang prosesnya berlangsung di dalam lingkungan
besar dan memiliki dasar alur relatif datar. Litologi rawa bakau terletak dalam lingkungan transisi yang
endapan alur sungai purba terdiri atas lempung dipengaruhi pasang-surut terlihat pada Foto 1.
pasiran dan lanau pasiran, kadang-kadang terjadi
Lingkungan klastika linier yang terletak di timur laut
perulangan pasir halus dan pasir kasar, setempat
hingga pantai dicirikan oleh bentang alam khas, yang
kerakal-kerikil berukuran 2 hingga 3 cm, menghalus
membentuk tujuh deretan endapan pantai/ pematang
ke arah atas (finning upwards), berwarna coklat
pantai dengan perbedaan ketinggian yang hampir
hingga abu-abu kehitaman, berstruktur silang-siur
sama. Fasies endapan ini tersebar secara linier
skala menengah (cross bedding) dan berangsur
dengan arah timur laut-barat daya dengan ketinggian
(grading), lepas dan belum terkonsolidasikan. Alur-
setiap satuan berkisar antara 0,90 hingga 3,75 m,
alur sungai purba tersebut telah mengalami
dan dilalui oleh sebuah alur sungai utama berkelok.
pergeseran ke arah timur, yang ditandai oleh
Jalur pematang pantai 1 dan 2 berbatasan dengan
perkembangan alur sungai purba yang tersingkap di

275 JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009


Geo-Sciences

Pematang pantai 2
Pematang pantai 1

Foto 1. Alur pasang surut pada Lingkungan Transisi di selatan Foto 2a. Jalur Pasir Pematang Pantai 1 dan 2.
Makam Syah Kuala.

lingkungan cekungan banjir (Foto 2a) yang disusun


oleh pasir (Foto 2b), berukuran halus sampai sangat
kasar, lepas, terpilah baik, terkadang berstruktur
laminasi (Foto 2b) dan ke arah atas masif (Foto 3a
dan 3b), berwarna putih kotor hingga abu-abu gelap,
menyudut tanggung hingga membulat tanggung,
terdiri atas fragmen batuan, kuarsa dan mineral
hitam. Dari hasil pengamatan pada sumur tes (test
pit) sedalam 60 cm, litologi dataran pantai yang
memisahkan punggungan pematang adalah
perselingan lempung berwarna abu-abu hingga abu-
abu kecoklatan dengan lapisan lanau dan pasir
berwarna abu-abu setebal 10 hingga 15 cm. Litologi
tersebut mengandung moluska dan sisa tumbuhan,
lunak dan berhumus yang ditafsirkan sebagai
endapan laut dekat pantai. Pada peristiwa tsunami
2004, gelombang pasang tsunami menerpa cukup
besar ke arah lingkungan ini, yang ditandai oleh
terdamparnya kapal ikan (Foto 4a), dan sisa-sisa
endapan pasir yang menindih tidak selaras endapan Foto 2b. Singkapan perselingan pasir berbutir halus dan
menengah yang membentuk struktur laminasi sejajar
pantai/ pematang pantai (Foto 4b). pada Jalur Pematang Pantai 1.

Proses Pengendapan dan Fenomenanya


Cekungan Kuarter Aceh Besar yang diapit oleh Sesar
Aceh dan Sesar Seulimeum mempunyai bentang
alam yang lingkungannya berbeda. Ini berarti bahwa
proses sedimentasi yang berlangsung dalam setiap
lingkungan berbeda pula. Jejak suatu perpindahan
proses sedimentasi bukan saja ditandai oleh
bergesernya alur sungai, tetapi dapat juga oleh
adanya proses terbentuknya pematang pantai.
Pematang pantai tertua terletak sekitar 6 km dari
garis pantai kini, dan garis pantai tersebut bergerak
ke arah laut sekitar 1,4 km. Garis pantai ketiga
berada kurang lebih 2,415 km dari permatang pantai Foto 3a. Jalur Pasir Pematang Pantai 3.

JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009 276


Geo-Sciences
pertama atau maju sekitar 1,015 km dari pematang
pantai kedua. Kemudian, pematang pantai maju
sekitar 676 m sebagai batas garis pantai ke-4, dan
kembali maju lagi menuju ke posisi 1,354 pada garis
pantai yang ke-5, yang pada akhirnya bergerak maju
lagi pada posisi garis pantai sekarang (garis pantai
ke-7) sejauh 1,555 km. Maju-mundurnya garis
pantai tersebut, tidaklah semata-mata dapat
diartikan sebagai suatu pertumbuhan daratan
(landward). Adanya pematang pantai tertua lebih
mengarah ke daratan kini. Posisi tersebut tidak dapat
dijadikan bukti bahwa permukaan laut maju
(seaward) akibat penurunan atau pengangkatan.
Untuk mengetahuinya perlu ditelusuri hirarki turun-
naiknya permukaan laut. Selain itu, gejala pasokan
material yang tersebar di lingkungan cekungan banjir
dapat dijadikan sebagai indikator bahwa di tempat
tersebut proses pengendapannya dinamis. Demikian
pula fenomena yang terjadi di lingkungan cekungan
banjir, lingkungan transisi, dan lingkungan sistem
Foto 3b. Singkapan pasir berbutir halus sampai menengah pada
fluviatil. Jalur Pasir Pematang Pantai 3.
Secara umum, aluvium permukaan dicirikan oleh
suatu kehomogenan sistem pengisian cekungan yang
sifatnya unik. Sistem penyebaran lingkungan yang
unik tersebut dibuktikan oleh setiap batas paparan
cekungan berkembang lingkungan yang berbeda,
sehingga memilki sejarah panjang yang perlu
dicurigai guna mengetahui:
(a) kaitan antara tektonik dan pasokan material
termasuk bergesernya alur sungai purba,
(b) hubungan tektonik dengan turun-naiknya
permukaan laut termasuk rangkaian siklus
pembentukannnya, dan Foto 4a. Kapal ikan yang terdampar pada Jalur Pematang Pantai
4 akibat Tsunami 26 Desember 2006.
(c) posisi fenomena perubahan lingkungan. Ketiga
runtunan kejadian itu, sangat terkait dengan
proses pengendapan dan fenomenanya.

GEOLOGI ALUVIUM BAWAH PERMUKAAN


Litologi dan Lingkungan Perngendapan
Liotlogi hasil pemboran terdiri atas lempung, lanau,
pasir, dan lempung berhumus, lempung lanauan,
lempung pasiran, pasir lempungan, dan pasir
lanauan. Kombinasi litologi tersebut diendapkan
sebagai endapan rawa bakau (Ferb), endapan pantai/
pematang pantai (Fep/ Fepp), endapan laut dekat Foto 4b. Sisa-sisa pasir sedimen Tsunami 26 Desember 2006
yang terdapat di dekat kapal ikan, terendapkan tidak
pantai Feldp), dan endapan laut lepas pantai (Fellp) selaras di atas pasir pamatang pantai.

277 JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009


Geo-Sciences
yang lebih lanjut diuraikan sebagai berikut (Gambar menunjukkan proses pengendapannya berlangsung
2 dan 3): pada saat permukaan laut turun 1 (IFP A). Bidang
erosional pada batas Interval Fasies Pengendapan B
Endapan rawa bakau terdiri atas lempung, berwarna
(BI. B) ditempati butiran yang menghalus berukuran
gelap abu-abu tua kehitaman yang semakin gelap ke
lempung pasiran dan pasir lempungan (Feldp).
arah atasnya, mengandung humus dan gambut, kaya
Penampakan ini membuktikan bahwa permukaan
akan sisa-sisa tumbuhan dan daun, dengan
laut kembali naik (IFP B) atau setara dengan
ketebalan antara 0,80 hingga lebih dari 2,70 m.
permukaan laut naik 2. Ke arah selatan (Ntp. TB.4
Endapan rawa ini terdiri atas beberapa perulangan
dan TB.5/ Gambar 2) endapan pantai tersebut dierosi
selang pengendapan yang berselingan dengan fasies
dan ditutupi oleh pasir halus Fep/ Fepp (IFP C) yang
endapan pantai/pematang pantai. Pada selang
tidak ditemukan ke arah utaranya. Runtunan
lapisan tertentu bersisipan lempung tipis kurang dari
stratigrafi IFP B dan IFP C merupakan suatu proses
1 cm, berwarna abu-abu kehijuan yang ditafsirkan
berkesinambungan dari bagian suatu siklus
sebagai fasies laut yang terbentuk pada waktu
permukaan laut yang menuju turun atau susut laut
pendek. Endapan pantai/ pematang pantai berwarna
(permukaan laut turun 2).
putih, abu-abu gelap hingga kuning kecoklatan
dengan ukuran butir seragam. Ukuran butir pasir Lempung dari Fellp yang tersebar di bagian tengah
bervariasi antara halus hingga menengah kadang- sayatan penampang (Gambar 2) menutupi dan
kadang berukuran kasar, mengandung moluska dan mengerosi lapisan IFP B dan IFP C. Fase naiknya
sisa-sisa tumbuhan, kisaran ketebalan antara 1,30 permukaan laut tersebut termasuk rangkaian siklus
hingga 2,40 m, lepas dan urai, terpilah sedang, turun-naiknya permukaan laut yang lebih muda,
menyudut tanggung hingga membulat tanggung, yaitu proses permukaan laut naik 3 (IFP D), yang
mengandung fragmen batuan, kuarsa dan mineral ditandai oleh turun-naiknya permukaan laut berskala
hitam. Fasies klastika linier lainnya tersusun oleh lebih kecil lagi yaitu dengan terbentuknya Fep/Fepp di
lempung lanauan, lanau pasiran, dan perselingan antara Feldp. Setelah itu, terbentuk endapan pasir
antara lempung dan lanau hingga pasir halus serta halus hingga menengah Fep/Fepp (IFP E). Berdasar-
bersisipan pasir setebal 2 hingga 5 cm, berwarna kan jejak erosi dan ukuran butiran yang terekam
abu-abu kehijauan hingga coklat kelabu, menunjukkan bahwa fasies pantai tersebut memiliki
mengandung moluska, bersisipan humus dan sisa- perbedaan yang mencolok dengan ciri lapisan yang
sisa tumbuhan, lunak dan kenyal. Jenis litologi ini sama pada Ntp. TB.1 (Gambar 2). IFP E ini
termasuk sebagai endapan laut yang diendapkan ditafsirkan sebagai fase permukaan laut turun 3 yang
dekat pantai dengan tebal 0,50 hingga 2,20 m. dicirikan oleh turun-naiknya permukaan laut berskala
Lempung berwarna gelap abu kehijauan hingga kecil yaitu terbentuknya fasies Fellp di antara
hijau, mengandung moluska dan foraminifera, Fep/Fepp. Secara keseluruhan, korelasi sedimen di
kadang-kadang berlapis tipis dan bersisipan lanau utara (Gambar 2) yang terbentuk pada ketinggian +
setebal 2 hingga 4 cm, ketebalan lapisan ± 2 m, dan 7 hingga + 2 m (dpl) dengan ketebalan kurang dari
diinterpretasikan sebagai endapan laut lepas pantai. 4,50 m, menunjukkan bahwa paling tidak telah
terjadi tiga kali siklus turun-naiknya permukaan laut.
Stratigrafi Siklus pengendapan yang didasari turun-naiknya
Berdasarkan korelasi, stratigrafi runtunan rangkaian permukaan laut tersebut adalah:
pengendapan dikelompokkan menjadi Interval Fasies (a) bagian atas siklus pertama (IFP A),
Pengendapan (IFP) yang secara spesifik
menunjukkan proses turun-naiknya permukaan laut, (b) siklus kedua (IFP B dan IFP C), dan
dan diuraikan sebagai berikut (Gambar 2 dan 3). (c) siklus ketiga (IFP D dan IFP E). Proses turun-
Bagian bawah rangkaian stratigrafi lintasan TB.1 - naiknya permukaan laut berlangsung secara cepat
TB.5 (Gambar 2) litologinya tersusun oleh pasir Fep/ dan singkat, yang ditunjukkan oleh perlapisan
Fepp berkuran halus hingga menengah, butirannya tidak tebal dengan sebaran yang tidak luas, dan
telah terjadi peristiwa fase turun-naiknya
mengasar ke arah atas secara berangsur, yang
permukaan laut sebanyak tiga kali.

JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009 278


Geo-Sciences
Rangkaian stratigrafi lintasan TB.6 - TB.10 dengan Dari rangkaian stratigrafi yang ditafsirkan di atas,
ketinggian + 4 hingga 10 m (dpl) berarah barat - maka bagian atas cekungan Kuarter di Lembah
timur melalui lingkungan transisi, yang menerus dan Krueng yang dikaitkan dengan faktor kendali
memotong lingkungan klastika linier hingga menerus pembentukan suatu rangkaian stratigrafi, maka telah
ke lingkungan cekungan banjir berarah utara-selatan terekonstruksi tiga siklus pengendapan berdasarkan
(Gambar 3). Di selatan, terbentuk lempung peristiwa turun-naiknya permukaan laut (Gambar 2),
bersisipan pasir, berwarna coklat kehitaman (Ferb), sedangkan IFP A dan IFP B (Gambar 3) adalah
ke arah atasnya ditutupi oleh pasir berukuran kasar seumur dan berhubungan dengan pembentukan
yang menghalus ke arah atas. Pasir membundar siklus kedua dan ketiga.
tanggung dan mengandung moluska sebagai Fep
berukuran kasar. Fasies endapan rawa bakau (Ferb) DINAMIKA PROSES PENGENDAPAN
dan endapan pantai (Fep) ini dapat diasumsikan
sebagai bagian dari siklus pengendapan permukaan Siklus atau daur proses pengendapan di Lembah
laut rendah pertama (mlr 1) menuju permukaan laut Krueng merupakan interaksi peristiwa turun-naiknya
tinggi (mlt) dan kembali turun (mlr 2). Turun-naiknya permukaan laut yang berlangsung relatif cepat,
permukaan laut tersebut dibuktikan dengan sehingga menjadi menarik untuk ditelusuri,
diendapkannya lempung berhumus setebal 30 cm di khususnya faktor kendali pembentukannya.
atas Fep (TB.10/Gambar 3). Rangkaian proses Mekanisme perubahan turun-naiknya permukaan
pengendapan ini selanjutnya dikelompokkan menjadi laut dapat disebabkan oleh deformasi kerak
IFP A. Di atas IFP A berkembang Ferb yaitu lapisan (tektonik), air yang berasal dari daratan, peristiwa
lempung hingga lempung pasiran, berwarna coklat
glasiasi, dan perubahan volume panas samudra
kehitaman yang tersebar di lingkungan cekungan
(thermohalite) (Revelle, 1990 dalam Plint drr.,
banjir (TB.10/ Gambar 3). Rangkaian stratigrafi
1992). Bertambah dan berkurangnya volume air di
tersebut menunjukkan bahwa posisi permukaan laut
ketika itu rendah (mlr 1), yang ke arah utaranya daratan, peristiwa glasiasi dan perubahan panas di
ditempati oleh Fep berupa pasir berukuran samudra terkait erat dengan berubahnya iklim. Plint
menengah. Proses tersebut sebagai pertanda bahwa drr. (1992) mengatakan bahwa perubahan
permukaan laut naik (mlt). Pasir tersebut dierosi oleh permukaan laut berskala kecil (ordo ke-4 dan ke-5)
Fep berukuran pasir kasar yang diasumsikan sebagai yang kurun waktunya puluhan ribu hingga ratusan
fase permukaan laut turun (mlr 2). Runtunan ribu tahun, mengikuti perubahan iklim yang identik
stratigrafi tersebut dapat dijadikan sebagai patokan dengan siklus Milankovitch. Walker dan James
suatu kesatuan siklus turun-naiknya (IFP B). Selain (1992) mempertegas bahwa kontrol dinamika
itu, pada beberapa tempat berkembang lingkungan pengendapan dapat terbentuk oleh akibat perubahan
rawa bakau sebagai bukti bahwa permukaan laut permukaan laut, tektonik, iklim, dan evolusi biotik.
semakin rendah, dan turun-naiknya permukaan laut
Kontrol perubahan iklim tidak dapat ditelususri dari
berskala kecil dengan terbentuknya beberapa fasies
rangkaian stratigrafi daerah penelitian. Sirkulasi
pantai/ pematang pantai (TB.8 – TB.9/ Gambar 3).
berubahnya iklim secara universal sangat terkait
Berdasarkan hubungan fase pembentukan fasies dengan proses fisika dan kimia yang terkait dengan
tersebut di atas karakter proses pengendapannya evolusi flora/ fauna terhadap fasies endapan yang
adalah : terbentuk di darat (Perlmutter dan Matthews, 1989),
(a) kecepatan turunnya permukaan laut pada mlr 2 sementara runtunan straigrafi di daerah penelitian
IFP A relatif cepat karena tidak memberi berasal dari ulah turun-naiknya permukaan laut,
kesempatan untuk berkembangnya lingkungan yang serta merta menyulitkan untuk memantau
rawa bakau, berubahnya iklim.
(b) kecepatan naiknya permukaan laut yang terjadi Secara sederhana, base level dalam sistem dinamika
pada IFP B diduga berlangsung pula secara cepat
cekungan diartikan sebagai batuan dasar yang
karena lingkungan rawa bakau juga tidak
berkembang, sementara mengalasi suatu proses sedimentasi yang sedang
dan masih berlangsung. Suatu intensitas tektonik
(c) kecepatan turunnya permukaan laut (mlr 2) IFP B
yang dipicu oleh bergeraknya sesar secara lateral
relatif lambat karena di beberapa tempat
lingkungan rawa bakau terbentuk. atau vertikal, dapat mengakibatkan naik dan

279 JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009


Geo-Sciences
turunnya batuan alas. Turun-naiknya batuan alas ketinggian mencolok itu ditandai oleh semakin
memberi efek bergeser atau berpindahnya menurunnya kecepatan proses genang laut pada IFP
lingkungan di permukaan. Reading (1980) A hingga IFP B (Gambar 2), dan menyebabkan tubuh
mengatakan bahwa gerak lateral identik dengan Fep/Fepp tua berada jauh masuk ke daratan.
gerak sesar mendatar yang membentuk bangun Berdasarkan mekanisme tersebut maka tubuh Fep/
elipsoidal, akan tetapi salah satu bidangnya Fepp yang terbentuk di Lembah Krueng Aceh tidak
menegak menjadi dip-slip sedangkan bidang yang dapat dikategorikan sebagai undak (terrace) pantai
satunya lagi turun. Cekungan fluvial umumnya peka yang mekanismenya melalui proses pengangkatan.
terhadap tektonik aktif yang dapat menyebabkan
Secara umum, ciri tubuh Fep/ Fepp yang terbentuk di
turun-naiknya dasar cekungan (Miall, 1978 a dan b; daerah penelitian, adalah:
Blakey dan Gubitosa, 1984; dan Flores, 1985).
Lingkungan yang spesifik akibat gerak lateral, seperti 1. Tubuh Fep/Fepp berukuran kasar menandakan
terbentuknya lingkungan yang naik (high-land) dan sebagai fase permukaan air laut naik (IFP A/
turun (stepping basin), begesernya alur sungai dan Gambar 3), sedangkan tubuh Fep/Fepp berukuran
melebar /mengecil tubuh alur sungai tidak dijumpai menengah, permukaan laut kembali naik, dan
di lingkungan klastika linier tempat berkembangnya selanjutnya turun kembali membentuk tubuh Fep/
endapan pantai/pematang pantai, laut, dan rawa Fepp yang lebih kasar dan lingkungan rawa bakau
bakau. (IFP B/ Gambar 3). Siklus tersebut membuktikan
bahwa telah terjadi suatu siklus turun-naiknya
Lingkungan cekungan banjir dan klastika linier permukaan laut.
Lembah Krueng dibatasi oleh Sesar Seulimeum, yang
ke arah timurnya berkembang tinggian yang 2. Kecepatan naiknya permukaan laut mengikuti
ditempati oleh batuan berumur Plio-Plistosen. siklus pengendapan dilustrasikan migrasi naiknya
Diendapkannya material rombakan di lingkungan permukaan laut ke arah daratan yang semakin
menurun (Gambar 2). Pada siklus pertama bagian
yang rendah dapat diasumsikan bahwa tempat
atas (IFP A) yang posisinya ketika itu sebagai
tersebut merupakan bagian zona turun gerak vertikal,
lingkungan laut lepas pantai, mengandung arti
sedangkan sumbernya berasal dari tinggian yang bahwa kedalaman laut adalah maksimum.
berbatasan dengan sesar. Zona tinggian yang terletak Selanjutnya, siklus kedua (IFP B dan C) puncak
di sebelah timur tersebut dapat diasumsikan sebagai permukaan laut tinggi berada pada lingkungan
bagian naik dari pergerakan sesar. laut dekat pantai (IFP B), selanjutnya ini berarti
bahwa garis pantai ketika itu mundur di banding
Endapan Pantai/ Pematang Pantai sebelumnya. Kemudian, siklus ketiga (IFP D dan
Jejak proses sedimentasi yang membentuk tubuh E) membuktikan bahwa garis pantai semakin
mundur. Migrasi garis pantai yang kecepatannya
Fep/Fepp dan mengalirnya sebuah alur sungai besar,
semakin menurun berkaitan terhadap besaran
dapat dijadikan sebagai alasan bahwa proses
intensitas tektonik dan turunnya permukaan laut
penurunan telah terjadi. Di blok turun perilaku sesar secara global pada akhir Holosen. Dengan kata
naik, umumnya mengalir sebuah alur sungai utama lain naik-turunnya permukaan laut yang
yang saling berpotongan (stacking) tanpa mengalami membentuk siklus pengendapan dikendalikan
pergeseran (shifting). Oleh karena itu Sesar oleh sesar lokal Seulimeum yang pada saat itu
Seulimeum kemungkinan termasuk sesak aktif naik. posisi permukaan laut global turun.
Panorama tubuh Fep/Fepp memperlihatkan bahwa
Hubungan terbentuknya tubuh Fep/Fepp dan
perbedaan elevasi ketinggian yang tidak jauh
aktivitas sesar Seulimeum, lebih jauh dapat
berbeda dan kecepatan pencapaian ke arah daratan dijelaskan sebagai berikut:
semakin berkurang seperti yang terlihat pada IFP B
hingga E (Gambar 2), seolah-olah tubuh Fep/Fepp 1. Ketika intensitas tektonik mencapai maksimum
tua semakin terletak ke arah daratan, sebaliknya terbentuk zona tinggian yang diakibatkan oleh
tubuh yang muda mendekati garis pantai. Selain itu, terangkatnya alas cekungan, posisi permukaan
laut turun, dan proses pengendapan hampir tidak
tubuh Fep/ Fepp yang tidak memiliki perbedaan
terjadi.

JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009 280


Geo-Sciences
2. Secara perlahan permukaan air laut kembali naik (2009) membahas fenomena tsunami dalam
secara luas, yang disertai dengan turunnya zona menganalisis bahaya dan resiko bencana yang
tinggian. Proses tersebut identik dengan ditimbulkan serta upaya dalam memitigasinya tanpa
mekanisme terbentuknya cekungan turun, mengulas fenomena tsunami purba. Sementara itu,
meskipun berskala kecil. Ningsih (2009) menyebut bahwa tsunami termasuk
3. Siklus stratigrafi yang terbentuk pada lingkungan gelombang ekstrim yang berpengaruh terhadap
klastika linier berskala pendek karena dipicu oleh lingkungan, dan harus memotivasi perkembangan
sesar lokal. Oleh karena itu siklus perubahan ilmu pengetahuan karena masih banyak dinamika
permukaan laut yang terbentuk bersifat lokal. oseanografi yang berkaitan dengan penjalaran
gelombang ekstrim yang belum terungkap di perairan
4. Kecepatan intensitas tektonik lebih kecil
Indonesia. Fenomena tsunami yang melanda daerah
dibanding kecepatan turunnya permukaan laut
pesisir Aceh, bukan saja disebabkan oleh tektonik
global, sehingga menyebabkan migrasi garis
global yang berhubungan dengan subduksi, akan
pantai semakin menjauhi daratan. Namun
tetapi dapat pula disebabkan oleh tektonik lokal yang
demikian, gelombang pasang atau naiknya
terjadi pada Holosen akhir yang setidak-tidaknya
permukaan laut akan tetap mengancam daerah
telah berlangsung tiga kali (Gambar 2 dan 3), dan
pesisir apabila siklus turun-naiknya permukaan
belum termasuk intensitas tektonik regional yang
laut dikaitkan dengan tektonik lokal kembali
terkait dengan sesar Aceh. Oleh karena itu,
berlangsung.
gelombang pasang tsunami yang terjadi tersebut
Gelombang pasang tsunami pada 2004 merupakan pada hakekatnya bukan saja sebagai dinamika
peristiwa tektonik yang dahsyat pada abad ini. oseanografi akan tetapi merupakan dinamika
Sifatnya global karena hampir di wilayah pesisir Asia lingkungan wilayah pesisir.
Tenggara dan Selatan merasakan dampaknya. Latief

TB.4 TB.5
M(dpl) M(dpl)
* BI. D
0
7 0.3 0
* BI. C 7

0.5

6 B 6
TB.3 BL.D
1.6

0 C
5 2.0 * BI. B 5
TB.2
* BI. E 2.85
TB.1 A
4 0 3.3 4
D 3.25
0.4
* BI. E 1.75 * BI. B
3 0 3
2.4
0.5 E 1.5

2 2
2.2
2.7
1.8 * BI. B
1 1
2.25

0 1 2 km

KETERANGAN:

Lempung pasiran Fasies endapan pantai/pematang pantai (Fep/Fepp) B. Interval Fasies Pengendapan muka laut naik 2

Pasir lempungan Fasies endapan laut dekat pantai (Feldp) C. Interval Fasies Pengendapan muka laut turun 2

D. Interval Fasies Pengendapan muka laut naik 3


Pasir halus Fasies endapan laut lepas pantai (Fellp)
E. Interval Fasies Pengendapan muka laut turun 3
Pasir kasar
A. Interval Fasies Pengendapan muka laut turun 1 A - E. Interval Fasies Pengendapan (IFP)

BI. B - E : Batas Interval Fasies Pengendapan B - E TB.1 Nomor titik pemboran (Ntp)
Batas Interval Fasies Pengendapan

Gambar 2. Korelasi fasies endapan Kuarter pada lintasan TB.1 - TB.5.

281 JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009


Geo-Sciences

TB.10
M (dpl) M (dpl)

10 TB.9 10

8 8
TB.7 B
TB.8
6 6

TB.6
4 4
A
2 2

0 0

KETERANGAN
Fasies endapan rawa bakau (Ferb)

Lempung
0 2 4 6 km Fasies endapan pantai berukuran menengah (Fep)

Lempung lanauan
Fasies endapan pantai berukuran kasar (Fep)

Lanau Fasies endapan laut lepas pantai (Fellp)

Pasir halus & cangkang Fasies endapan laut ldekat pantai (Feldp)

Pasir kasar
Batas Interval Fasies Pengendapan
TB.10 Nomor titik pemboran ( Ntp ) Interval Fasies Pengendapan (IFP)
A, B

Gambar 3. Korelasi fasies endapan Kuarter pada lintasan TB.6 - TB.10.

KESIMPULAN faktor kendali yang berdasarkan data pemboran


dalam yang merekam perisitiwa geologi yang
n Litofasies dan lingkungan pengendapan aluvium
lebih panjang lagi.
di Lembah Krueng Aceh dapat dibedakan
menjadi lingkungan cekungan banjir, sistem n Sejarah pengisian cekungan di daerah penelitian
sungai, transisi, dan klastika linier. Setiap pada Holosen Akhir hingga sekarang berkaitan
lingkungan merupakan sebuah ragam kumpulan dengan aktivitas tektonik Kuarter yang
fasies endapan, yang faktor kendali membentuk Lembah Krueng Aceh. Paling tidak
pembetukannya berbeda. Lingkungan klastika lembah tersebut telah terbentuk sejak Plio-
liner dicirikan oleh turun-naiknya permukaan Plistosen yang terkait dengan aktivitas tektonik
laut dan terdiri atas fasies endapan laut dan global, regional, dan lokal. Oleh karena itu
pantai/pematang pantai, dan di beberapa wilayah Pesisir Aceh Besar rawan terhadap
tempat berkembang lingkungan rawa bakau. gempa bumi dan tsunami. Sekuarang-kurangnya
telah terjadi tiga kali peristiwa tektonik pada
n Hubungan antarlingkungan pengendapan
akhir Holosen meskipun diakibatkan oleh
secara lateral ataupun vertikal menujukkan
tektonik lokal dan telah meninggalkan jejak-jejak
bahwa perubahan turun-naiknya permukaan
berubahnya lingkungan secara cepat.
laut pada lingkungan klastika linier berskala
kecil, karena faktor pengendalinya adalah sesar
lokal, yaitu sesar naik Seulimeum. UCAPAN TERIMA KASIH

n Fe n o m e n a b e r u b a h n y a l i n g k u n g a n Kegiatan lapangan yang dilakukan penulis pada April


hingga Mei 2008, berkaitan dengan program
pengendapan terekam dalam penelitian ini,
penelitian Dinamika Geologi Kuarter di Pusat Survei
walaupun dicirikan oleh Sesar naik Seulimeum,
Geologi (Badan Geologi). Untuk itu penulis
sedangkan faktor tektonik regional dan global
mengucapkan terima kasih kepada Kepala Pusat
perlu untuk diperhatikan, karena intensitasnya Survei Geologi atas izinnya untuk menggunakan
besar. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis sebagian data tersebut guna kepentingan penulisan
makalah ini.

JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009 282


Geo-Sciences
ACUAN
Bennett, J.D., Bridge, D.McC., Cameron, N.R., Djunuddin, A., Ghazali, S.A., Jeffery, D.H., Kartawa, W., Keats,
W., Rock, N.M.S., Thompson. S.J. dan Whandoyo, R., 1991. Peta Geologi Banda Aceh, Sumatra,
skala 1:250.000, Puslitbang Geologi, Bandung.
Blakey, R.C. dan Gubitosa, R., 1984. Controls of sandstone body geometry and architecture in the Chinle
formation (Upper Triassic), Colorado Plateau. Sedimentary Geology, 38 : 51-88.
Cohen, K.M., Gouw, M.J.P. dan Holten, J.P., 2003. Fluvio-Deltaic Floodbasin Deposits Recording Differential
Subsidence Within A Coastal Prism (Central Rhine-Meuse Delta, The Netherlands. In: Blum, M.D.,
Marriott, S.B. and Leclair, S.F. (eds.). Fluvial Sedimentology VII. Int. Assoc. Of Sedimentologist,
Blackwell Scientific, 40-68.
Flores, R.M., 1985. Introduction. In recognition of Fluvial Depositional Systems and Their Resource Potential.
SEPM, Short course, (19) : 101-126.
Latief, H.,2009. Fenomena tsunami, kajian bahaya, kerentanan dan resiko dan upaya dalam melakukan
mitigasi bencana tsunami. Abstrak Seminar “Mengelola Resiko Bencana di Negara Maritim
Indonesia, Majelis Guru Besar ITB, 24 Januari 2009.
Miall, A.D. (Ed), 1978a. Fluvial Sedimentology. Mem. Can. Soc. Petrol. Geol., Calcary, 5, 819 p.
Miall, A.D., 1978b. Tectonic setting and syndepositional setting of mollasse and other nonmarine-paralic
sedimentary basins. Can. Journal Earth Sci. 15 : 1-47.
Ningsih, N.S.,2009. Gelombang Ekstrim. Abstrak Seminar “Mengelola Resiko Bencana di Negara Maritim
Indonesia, Majelis Guru Besar ITB, 24 Januari 2009.
Perlmutter, M.A. dan Matthews, M.A., 1989. Global Cyclostratigraphy. In: Cross, T.A. (ed.), Quantitative
Dynamic Stratigraphy. Prentice Englewood, New Jersey, 233-260.
Plint, A.G, Eyles, N. E., Eyles, C.H. dan Walker, R.G., 1992. Control on Sea Level Change. In: Walker R.G. and
Jones, N.P (eds.), Facies models response to sea level change. Geological Association of Canada,
p. 15-25.
Ploethner, D. dan Siemon, B., 2005. Hydrogeological Reconnaissance Survey in the Province Nanggroe Aceh
Darussalam Northern Sumatera, Indonesia, Survey Area: Banda Aceh/ Aceh Besar. BGR Project
Help Aceh-Helicopter Project Aceh Report, Vol C.1, p. 184.
Reading, H.G., 1980. Characteristics and recognition of strike-slip fault systems. In: Balance, P.F. and Reading,
H.G (eds.). Sedimentation in oblique mobile zones. Spec. Publ. Int. Ass. Sediment. 4, 7-26.
Reineck, H.E. dan Singh, I.B., 1973. Depositional Sedimentary Environments. Springer - Verlag, Berlin, 439 P.
Tjia, H.D., 1977. Tectonic Depressions along the Transcurrent Sumatra Fault Zone. Geologi Indonesia, J 4 (1) :
13-27.
Walker, R.G. dan James, N.P, 1992. Preface. In: Walker R.G. and Jones, N.P (eds.), Facies models response to
sea level change. Geological Association of Canada.

283 JSDG Vol. 19 No. 4 Agustus 2009


PANDUAN
PENULISAN MAKALAH ILMIAH
JURNAL SUMBER DAYA GEOLOGI

UMUM
1. Naskah merupakan karya asli yang belum pernah diterbitkan di manapun sebelumnya.
2. Naskah dalam Bahasa Inggris ataupun Indonesia yang baik dan benar, dilengkapi dengan Sari
dalam Bahasa Indonesia dan Abstract dalam Bahasa Inggris.
3. Teks harus tercetak jelas; gambar dan foto harus asli dengan ukuran maksimum 19,5x15 cm.
4. Naskah harus ditelaah dan disunting paling tidak oleh dua orang dari Dewan Redaksi
dan/ataupun Editor Ilmiah (Scientific Editor) sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
5. Naskah yang masuk ke Dewan Redaksi, harus disertai Surat Pengantar dari Kelompok
Program/Pimpinan Unit (khusus dalam lingkungan DESDM).
6. Dewan Redaksi berhak menolak naskah/makalah yang kurang memenuhi syarat sebagai tulisan
ilmiah.
7. Soft copy yang berisi teks, gambar, dan potret yang telah diperbaiki sesuai dengan telaahan dan
suntingan, dan dinyatakan dapat diterbitkan oleh Dewan Redaksi, diserahkan kepada Ketua
Dewan Penerbit/Kepala Bidang Informasi.

NASKAH
1. Halaman pertama naskah berisi judul makalah, sari dan abstract, serta kata kunci dan keywords.
Nama penulis, nama instansi, alamat dan nomor telepon/hp dituliskan pada lembar tersendiri.
2. Naskah diketik dengan komputer dalam MS-Word dengan huruf Times New Roman, Font-12, dua
spasi.
3. Beri dua spasi antara heading dan teks di bawahnya, tiga spasi antaralinea tanpa menggunakan
indentasi.
4. Susunan isi :
a. Judul (Title)
b. Sari/Abstract; harus ringkas dan jelas mewakili isi makalah (concise summary), paling banyak 200
kata (words) diketik satu spasi (single space).
c. Kata kunci (keywords); 4 sampai 6 kata ditulis di bawah sari/abstract.
d. Pendahuluan (Introduction) : Latar belakang, Permasalahan, Tujuan Penelitian, Lokasi Daerah.
(Scientific Background, Scientific Problem, Aim(s), Studied Area).
e. Metodologi (Methods)
f. Analisis dan Hasil (Analyses and Results)
g. Diskusi (Discussion)
h. Kesimpulan dan Saran (Conclusions/Recommendations)
I. Ucapan Terima Kasih (Acknowledgment)
5. Acuan (References); harus diacu (cited/referred) dalam tulisan, mendukung isi tulisan dan ditulis
dalam daftar serta disusun menurut abjad. Hindari penulisan nama penulis/pengarang maupun
Call for paper:
editornya dengan huruf besar. Semua nama penulis harus ditulis, tidak boleh hanya nama penulis
pertama dengan tambahan drr.
Contoh :
Prosiding (Proceeding):
- Koning, T. and Darmono, F.X., 1984. The Geology of the Beruk Northeast Field, Central
th
Sumatra. Oil production from pre-Tertiary basement rocks. Proc. 13 Ann. Conv.
IPA, Jakarta, Indonesia.
Jurnal/Buletin:
- Wright, O.R., 1969. Summary of research on the selection interview since 1964. Personal
Psychology 22:391-413.
Peta:
- Simandjuntak, T.O., Surono, Gafoer, S., dan Amin, T.C., 1991. Geologi Lembar Muarabungo,
Sumatera, skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung
Laporan tidak diterbitkan:
- Siagian, H.P. dan Mubroto, B., 1995. Penelitian Magnet Purba di daerah Baturaja dan
Sekitarnya, Sumatera Selatan. Laporan intern Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi, Bandung (Tidak diterbitkan).
Tesis (Skripsi, Disertasi):
- Stone, I.G., 1963. A morphogenetic study of study stages in the life-cycle of some Vitorian
cryptograms. Ph.D. Thesis, Univ. of Melbourne.
Buku :
- George, S., 1967. Language and Silence. Faber and Faber, London: 96pp.
Dalam Buku :
- Carter, J.G., 1980. Environmental and biological controls of bivalve shell mineralogy and
microstructure. In: Rhoads, D.C. and Lutz, R.A. (Eds.), Skeletal growth of aquatic
organisms. Plenum Press, New York and London: 93-134.
Publikasi Khusus (Special Publication):
- Kay, E. Alison, 1979. Hawaiian Marine Shells.B.P. Bishop Museum Special Publication 64(4):
653pp. Major Treatment.
Informasi di internet:
- Lunt, P., 2003. Biogeography of some Eocene larger foraminifera, and their application in
distinguishing geological plates. Paleontologica Electronica 6(1):22pp, 1.3MB;
http://paleo-electronica.org/paleo/2003-2/geo/issue 2-03.htm
6. Dalam draft, gambar/peta/potret diletakkan pada halaman akhir makalah.
7. Keterangan gambar dan potret diketik satu spasi dan diletakkan di bawah gambar/potret;
diakhiri dengan titik. Huruf besar hanya pada awal kalimat dan nama diri.
8. Keterangan tabel juga diketik dalam satu spasi, diletakkan di atas tabel, tidak diakhiri dengan titik.
Setiap awal kata, ditulis dengan huruf besar, kecuali kata depan dan kata sambung.

CALL FOR PAPER :


Redaksi menerima makalah ilmiah dari pembaca untuk diterbitkan dalam jurnal ini dengan
mengacu kepada persyaratan tersebut di atas.

Anda mungkin juga menyukai