Anda di halaman 1dari 78

urnal

J ournal
Sumber Daya Geologi
of Geological Resources

Jurnal Sumber Daya Geologi / Journal of Geological Resources


Volume 19 / Nomor 1 / Februari 2009
5 81 9 1 9
1829-5819

Jurnal Terakreditasi sebagai Majalah


Hlm. Bandung Ilmiah berdasarkan Keputusan
Sumber Daya Geologi ISSN
Vol. 19 No. 1 Februari
Journal 3 - 76 1829-5819 Kepala LIPI No.1417/D/2006
2009 Tanggal 1 November 2006
of Geological Resources
7 7 1 8 2 9
ISSN

PUSAT SURVEI GEOLOGI


9
Diterbitkan berkala enam kali setahun oleh/Published periodically six times annually by:
Pusat Survei Geologi/Geological Survey Institutes

Gambar Sampul:
Blok diagram tiga dimensi anomali sisa antara 6 - 26 mgal memperlihatkan
bentuk Gunung Api Muria, Genuk dan Gunung Api Lepas Pantai
(Foto: A. K. Permana)
Vol. 19, No. 1, Februari 2009 ISSN 1829-5819

urnal
J ournal
Sumber Daya Geologi
of Geological Resources

KATA PENGANTAR
Penasihat
Kepala Badan Geologi
Pembaca yang budiman,
Penanggung Jawab
Kepekaan para peneliti dalam menyajikan data dasar di bidang geo-
sciences, geo-environments dan geo-resources dapat ditampilkan pada Jurnal Kepala Pusat Survei Geologi
Sumber Daya Geologi terbitan kali ini.
Dewan Redaksi
Makalah geo-sciences pertama membahas dinamika perubahan
Ketua Prof. (Ris.) Dr. Ir. Udi Hartono
mineralogi dari waktu ke waktu berdasarkan hasil uji XRD pada batuan gunung
api Kuarter di daerah Lombok Timur. Makalah kedua mengungkapkan dinamika Anggota Dr. Hermes Panggabean, M.Sc.
airtanah dalam dengan menggunakan pentarikhan radioisotop 14C untuk Dr. Ir. Rachmat Heryanto, M.Sc.
Ir. Asdani Soehaimi, Dipl.Seis.
mengetahui pola gerak (migrasi) dan imbuhannya. Makalah ketiga Rimbaman, M.Sc.
mengetengahkan faktor kendali tektonik regional dan lokal dalam perubahan Ir. Sidarto, M.Si.
sistim lingkungan pengendapan di Teluk Klabat, Kabupaten Bangka Induk. Ir. Subagio, M.Si.

Pembahasan geo-environments kali ini memberikan peringatan akan


Penyunting Ilmiah Edisi Ini
pengaruh gempa bumi terhadap Kota Makasar berdasarkan analisis
Prof. (Ris.) Dr. Ir. Udi Hartono (PSG)
mikrozonasi mikrotremor yang menampilkan nilai perioda dominan batuan dan Dr. Ir. Rachmat Heryanto, M.Sc. (PSG)
tanah setempat sebagai parameter dasar kerentanan wilayah terhadap bahaya Dr. Hermes Panggabean, M.Sc. (PSG)
gempa bumi. Sedangkan makalah kedua dalam kelompok ini membahas Ir. Sidarto, M.Sc. (PSG)
Rimbaman, M.Sc. (PSG)
mengenai keberadaan struktur geologi bawah permukaan berdasarkan analisis Drs. Indra Budiman, M.Sc. (PSG)
gaya berat di daerah rencana tapak pembangkit listrik tenaga nuklir Gunung Api Ir. Subagio, M.Si. (PSG)
Genuk, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Dr. Ir. Engkon K. Kertapati (PSG)

Makalah terakhir bidang geo-resources dalam jurnal ini membahas


Mitra Bestari Edisi ini
kemungkinan keberadaan perangkap struktur dan stratigrafi hidrokarbon serta
potensinya berdasarkan analisis geologi dan geofisika gaya barat di daerah Dr. Ir. Hendarmawan, M.Sc. (UNPAD)
Dr. Ir. Edi Sunardi (UNPAD)
cekungan sedimentasi Bone Utara. Dr. Hendra Grandis (ITB)
Sebagai penutup, dewan redaksi mengucapkan selamat membaca
Penyunting Bahasa
jurnal ini yang berisikan data-data dasar, dengan harapan agar dapat dijadikan
acuan dalam pengembangan ilmu kebumian sesuai dengan bidang masing- Dra. Nenen Adriyani, M.A.
masing.
Dewan Penerbit
Ketua Ir. Ipranta, M.Sc.

Dewan Redaksi
Anggota Ir. Kusdji Darwin Kusumah
Dra. Nenen Adriyani, M.A.
Cipto Handoko
Hari Daya Satya, A.Md.
Alamat Redaksi
Pusat Survei Geologi
Jl. Diponegoro 57,
Bandung, 40122
Telp. (022) 7203205
Fax. (022) 7202669
E-mail : publication@grdc.esdm.go.id
redaksi@grdc.esdm.go.id
http://www.grdc.esdm.go.id
Vol. 19, No. 1, Februari 2009 ISSN 1829-5819

urnal
J ournal
Sumber Daya Geologi
of Geological Resources
Daftar isi / Contents

Geo-Sciences
3 - 15 Mineralogi Matriks Breksi Gunung Api Plistosen Akhir - Kuarter Berdasarkan Data XRD di Daerah Lombok Timur,
Nusa Tenggara Baratl
S. Maryanto, R. Hasan dan D.A. Siregar

17 - 22 Penentuan Pola Sebaran Air Tanah Dalam Daerah Bekasi Menggunakan Radioisotop 14C
D.A. Siregar dan Satrio

23 - 36 Interaksi Faktor Kendali Tektonik, Muka Laut, dan Perubahan Iklim di Daerah Teluk (Studi Kasus Geologi
Kuarter di Daerah Teluk Klabat, Kab. Bangka Induk, Bangka)
S. Hidayat dan H. Moechtar

Geo-Environment
3745 Mikrotremor dan Percepatan Tanah Maksimum Kota Makassar
A. Soehaimi

47 -61 Penelitian Geofisika Dengan Metode Gaya Berat Daerah Rencana Tapak Pembangkit Tenaga Nuklir
Gunung Api Genuk dan Sekitarnya Jepara, Jawa Tengah
S. Panjaitan dan Subagio

Geo-Resources
63 - 76 The Possibility of Hidrocarbon Potential In North Bone Basin, Based On Geological and Geophysical
Date Evaluation
H. P. Siagian and B.S. Widijono
Geo-Sciences
POLA DINAMIKA AIR TANAH DI DAERAH BEKASI BERDASARKAN ANALISIS
RADIOISOTOP 14C
D.A. Siregar1 dan Satrio
2

1
Pusat Survei Geologi
Jl. Diponegoro No. 57, Bandung 40122
2
Pusat Aplikasi teknologi Isotop dan Radiasi - BATAN

ABSTRAK
14
Penelitian pola dinamika air tanah dalam di daerah Bekasi dengan menggunakan radioisotop C telah dilakukan.
14
Beberapa perconto air tanah dalam diambil untuk dianalisis kandungan C-nya. Hasilnya diplot ke dalam peta lokasi
terkait untuk memperoleh pola konturnya. Pola kontur yang diperoleh memperlihatkan bahwa air tanah dalam di daerah
selatan Bekasi berumur lebih muda dibandingkan dengan yang berasal dari utara dan barat laut. Hal tersebut
menunjukkan bahwa air tanah dalam di daerah penelitian bergerak dari selatan ke utara dan barat laut. Sementara itu
Bekasi merupakan daerah imbuh air tanah.
Kata kunci: Bekasi,pola dinamika, air tanah dalam, analisis 14C

ABSTRACT
14
A study of deep groundwater dynamic pattern on the basis of radioisotope C analysis has been carried out in the Bekasi
14
area. Some samples of deep groundwater were collected for C analysis. The results were plotted on the locality map
concerned and a contour pattern was obtained. The pattern shows that the deep groundwater age of the area south of
Bekasi is younger than those of the north and northwest area. This suggests that deep groundwater in the study area
flows in the north and northwest directions. Meanwhile, Bekasi area is the recharge area.
Keywords: Bekasi dynamic pattern, deep groundwater, 14C analysis

PENDAHULUAN tanah pada prinsipnya menyangkut pergerakan air


permukaan ke sistem air lainnya, yang selanjutnya
Daerah Bekasi dan sekitarnya telah berkembang
dapat bergerak sesuai dengan arah aliran air tanah
dengan pesat yang ditunjukkan dengan tumbuhnya daerah tersebut.
sektor perindustrian. Industri tekstil, pengolahan
makanan dan minuman, serta industri-industri Penggunaan teknik isotop lingkungan 14C telah
rumah tangga telah memberikan kontribusi nyata banyak digunakan di negara-negara maju dan
terhadap perubahan kondisi air tanah dan air sungai berkembang untuk tujuan pemonitoran, analisis,
di daerah Bekasi. Hal ini menimbulkan problem pengurangan, dan pengendalian suatu sistem
sosial dan juga terjadinya degradasi lingkungan, baik sumber daya air suatu daerah. Data tersebut sangat
yang berasal dari aktivitas pembangunan itu sendiri bermanfaat untuk manajemen sumber daya air.
maupun sebagai dampak pertambahan penduduk. Kondisi gerakan air tanah daerah tersebut
Daerah Bekasi dan wilayah sekitarnya pada dipengaruhi oleh perkembangan daerah yang diteliti,
beberapa tahun terakhir ini terancam krisis air akibat seperti pengambilan air tanah untuk keperluan
pesatnya perubahan fungsi lahan konservasi menjadi rumah tangga, industri, sekolah, pertokoan,
kawasan pemukimam maupun industri yang perkantoran, dan tempat-tempat komersial yang ada
mengambil air tanah untuk kebutuhannya. di sekitarnya serta sistem geohidrologi setempat
(Verhagen dan Butter,1997 dan Mook, 2001).
Penentuan pola dinamika dan daerah imbuh dengan
penanggalan 14C di daerah ini dilakukan untuk Penelitian pola dinamika air tanah Bekasi bertujuan
mengklarifikasi daerah imbuh, yang pada akhirnya untuk memprediksi pergerakan air tanah daerah ini
dapat digunakan sebagai data penunjang bagi yang selanjutnya dapat digunakan untuk
pengambilan keputusan dalam merencanakan perencanaan pengelolaan air tanah daerah Bekasi
pengembangan daerah tersebut. Studi pergerakan air secara menyeluruh.

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2008 17


Geo-Sciences
HIDROGEOLOGI BEKASI LOKASI DAERAH PENELITIAN
Bekasi merupakan daerah yang mempunyai tingkat Secara geografis, daerah penelitian terletak pada
perkembangan yang sangat pesat seperti halnya koordinat 106°48’28” - 107°27’29” BT, dan 6°10’6”
daerah-daerah berdekatan seperti Kabupaten Bogor - 6°30’6”LS. Daerah penelitian ini mencakup
dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Batuan yang Kabupaten dan Kota Bekasi serta sebagian Jakarta
ada di daerah Bekasi secara hidrogeologis dibedakan Timur.
menjadi batuan lepas dan batuan padu yang
mempunyai kesarangan, kelulusan, dan sifat-sifat BAHAN DAN METODE
keairan lain yang berbeda pula (Ruchijat dan Hadi,
Radioisotop 14C dengan waktu paruh 5730 tahun
1997). Batuan lepas berukuran butir pasiran atau
telah banyak digunakan dalam berbagai penelitian,
lebih besar serta batuan padu yang memiliki celah
seperti penentuan umur sedimen, karang, kerang, air
atau rekahan dapat bertindak sebagai akuifer,
tanah, dan lain-lain. Metode penentuan umur ini
sedangkan batuan lepas berukuran berbutir
dikenal dengan nama metode penanggalan
lempungan serta batuan padu tak bercelah tidak
radiokarbon, yaitu suatu metode yang didasarkan
dapat bertindak sebagai akuifer. Hubungan satuan
pada perhitungan aktivitas 14 C yang masih
litostratigrafi dan satuan hidrostatigrafi diperlihat-
terkandung dalam suatu percontoh. Nilai ini
kan pada Tabel 1.
kemudian dikonversikan menjadi umur setelah
Kabupaten Bekasi mempunyai tiga lapisan akuifer. dibandingkan dengan standarnya (Gupta, drr., 1985
Akuifer yang mempunyai potensi untuk dieksploitasi dan Todd, 1980). Dalam penelitian ini akan
terletak di daerah selatan, mulai dari Bantar Gebang ditentukan umur percontoh berupa air tanah dalam
ke arah utara. Satuan batupasir tufan dan yang berasal dari daerah Bekasi dan sekitarnya.
konglomerat (Qav) yang merupakan
akuifer tak tertekan mempunyai potensi
Tabel 1. Hubungan Satuan Litostratigrafi dan Hidrostatigrafi Daerah Jonggol-Bekasi
air tanah. Berdasarkan peta topografi, (Sumber : Sjaiful Ruchijat drr ,1997)
daerah Bantar Gebang terletak pada
ketinggian 30 m sampai 50 m diatas
permukaan laut. Akuifer air tanah di
daerah ini terdiri atas empat lapisan
akuifer, yaitu lapisan akuifer bebas,
akuifer semitertekan, akuifer tertekan
dangkal, dan akuifer tertekan dalam.
Kondisi air tanah di daerah penelitian
(mulai dari Bantar Gebang sampai
Bekasi Selatan) adalah baik. Hal ini
dapat dilihat dari peta potensi air tanah
Bekasi (Ruchijat dan Hadi, 1997) yang
menunjukkan bahwa air tanah di daerah
ini mempunyai potensi sedang sampai
tinggi. Lapisan akuifer pertama (akuifer
bebas) terdapat pada kedalaman 0 - 24
m, semitertekan pada kedalaman 30
sampai 48 m, akuifer tertekan dangkal
mempunyai kedalaman 40 sampai 120
m, dan lapisan ke empat pada
kedalaman >120 m. sementara
pergerakan air tanah secara umum
bergerak dari arah selatan ke utara dan
daerah ini merupakan daerah imbuh
untuk daerah Bekasi (Ruchijat dan Hadi
(1997)).

18 JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2008


Geo-Sciences
14
Secara garis besar, proses analisis C untuk Analisis percontoh
percontoh air tanah adalah sebagai berikut:
Proses analisis dilakukan menggunakan alat sintesis
– Preparasi percontoh pada alat sintesis benzena benzena melalui beberapa tahapan reaksi sebagai
– Pencacahan percontoh berikut:
– Estimasi aktivitas 14C percontoh BaCO3 + 2HCl -------> BaCl2 + H2O + CO2
– Penentuan umur percontoh 2CO2 + 8Li -------> 2 C + 4Li2O
– Pelaporan umur percontoh 700°C
2C + 2Li -------> Li2C2
Bahan 700-900°C
Li2C2 + 2 H2O -------> C2H2 + 2LiOH
– Katalis khromium alumina untuk proses
3C2H2 -------> C6H6
trimerisasi dari C2H2 menjadi C6H6
Katalis
– Dry ice dicampur dengan ethanol untuk menjebak
air
– N2-cair untuk menjebak CO2 atau percontoh C2H2
– HCl 10 % sebanyak 450 ml untuk direaksikan
dengan percontoh BaCO3 atau CaCO3
– Litium batang 18 gr direaksikan dengan
percontoh Co2 melalui proses pembakaran pada
temperatur 700°C - 900°C.

Metode
Pemercontohan air tanah
Isotop 14C dalam percontoh air berada dalam bentuk
gas CO2 yang terlarut dalam air tanah dan diambil
dalam bentuk endapan BaCO3 melalui tahapan di
bawah ini (Technical Report Series No. 91, 1983).
Gambar 1. Pemercontohan air tanah dalam untuk analisis 14C
a. Percontoh air tanah sebanyak 60 lt. dimasukkan dengan teknik pengendapan BaCO3.
kedalam tangki pengendap dan ditambahkan 5 gr
Fe SO4 untuk menghilangkan pengaruh mineral
sulfida dan mineral lain.
b. Percontoh tersebut kemudian ditambahkan
larutan NaOH jenuh sebanyak 40 ml untuk
mengatur agar pH percontoh menjadi 9.
c. Ditambahkan larutan pengendap BaCl2 jenuh
sebanyak 500 mL kemudian aduk hingga
terbentuk endapan halus BaCO3
d. Untuk mempercepat endapan ditambahkan
praestol sebayak 30 ml dan diaduk perlahan
lahan.
E. Di lakukan proses settling hingga endapan turun
ke bagian bawah kemudian ditampung dalam
botol khusus kedap udara.
Gambar 2. Analisis percontoh untuk mengukur umur air tanah
dengan metode Radiokarbon

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2008 19


Geo-Sciences
Pencacahan dan penghitungan umur
14
Aktivitas C dalam senyawa benzena dicacah
menggunakan alat Liquid Scintillation Counter merk
Packard 1900TR selama 20 menit 50 putaran.
Konversi dari hasil cacahan menjadi umur ditentukan
menggunakan rumus:
t = (T1/2/ln) ln (A0/At)
Keterangan: Gambar 3. Alat pencacahan percontoh untuk isotop Radiokarbon
(C-14).
t = umur (tahun)
T1/2 = waktu paro dianggap sebagai air yang baru berinfiltrasi. Ketiga
A0 = Aktivitas awal lokasi sumur tersebut terletak di sekitar lokasi tempat
pembuangan akhir (TPA) sampah Bantar Gebang,
At = Aktivitas pada waktu t tahun Bekasi, sehingga pemilihan lokasi TPA di daerah
tersebut sangat tidak tepat. Air tanah Ciketing yang
HASIL DAN PEMBAHASAN terletak di selatan berumur lebih muda dari umur air
yang di Cikiwul. Hal ini mengindikasikan bahwa arah
Sejumlah percontoh air tanah diambil pada beberapa
gerakan air tanah berasal dari selatan menuju utara.
lokasi yang umumnya berasal dari sumur bor dalam
Berdasarkan pergerakan air tanah tersebut, daerah
milik beberapa perusahaan dengan kedalaman lebih
imbuh seharusnya dipindahkan ke arah selatan lagi.
40 m. Percontoh tersebut diambil langsung dari
Kajian secara lengkap tentang daerah imbuh ini
sumbernya untuk mengurangi kontak langsung
dapat dilakukan dengan pendekatan metode isotop
dengan udara luar. Melalui proses kimia percontoh
alam 18O, 2H dan 3H.
sebanyak 60 lt. diekstrak menjadi BaCO3. Hasil
analisis 14C air tanah daerah Bekasi dapat dilihat Pola sebaran umur air tanah yang bervariasi dari yang
pada Tabel 2 di bawah ini. berumur muda di selatan hingga berumur tua di utara
mengindikasikan arah gerakannya dari selatan
Berdasarkan data di atas terlihat bahwa air tanah
menuju utara. Pola ini akan lebih jelas bila diplotkan
yang berasal dari Ciketing (B5), Cikiwul, (AS-41) dan
ke dalam peta lokasi penelitian (Gambar 4), sehingga
PT. Kuk Dong (AS-28) memiliki umur antara 1300
diperoleh kontur iso-age yang dapat menggambarkan
hingga 1500 tahun. Umur air tanah kurang dari
arah gerakan air tanah akuifer dalam
1500 tahun masih dianggap modern, sehingga
tersebut.

Tabel2. Hasil Analisis 14C Tanah Daerah Bekasi dan Sekitarnya dengan Metode Kontur iso-age ini memperlihatkan bahwa
Radiokarbon pergerakan air tanah daerah Bekasi
bergerak dari arah selatan ke utara, dan
kemudian membelok menuju ke barat laut.
Keadaan ini diduga disebabkan
pengambilan air tanah yang cukup banyak
di daerah utara Jakarta (sekitar Pulogadung)
karena kawasan Pulogadung merupakan
kawasan industri dengan tingkat eksploitasi
air tanah sangat tinggi. Data tersebut
menunjukkan bahwa cadangan air tanah
daerah Jakarta dipengaruhi oleh air tanah di
daerah Bekasi dan sekitarnya. Kondisi ini
sesuai dengan hasil penelitian Ruchijat dan
Hadi (1997) yang telah melakukan
penelitian di daerah Jonggol-Bekasi yang
menjelaskan bahwa air tanah Bekasi
mengalir dari selatan ke utara dan daerah
imbuh di daerah selatan.

20 JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2008


Geo-Sciences

Gambar 4. Kontur umur air tanah Bekasi dan sekitarnya.

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2008 21


Geo-Sciences
KESIMPULAN UCAPAN TERIMA KASIH
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan Penulis mengucapkan terima kasih kepada staf
beberapa hal sebagai berikut: laboratorium Pusat Aplikasi Teknologi isotop dan
Air tanah di daerah Bekasi bergerak dari selatan
n
Radiasi - Batan (Jakarta) yang membantu
ke utara, dan membelok ke barat laut. menentukan umur air tanah dalam penelitian ini.
Penulis juga banyak mengucapkan terima kasih
Berdasarkan peta kontur umur air tanah,
n
diketahui bahwa terdapat interaksi antara air kepada Ir. Asdani S. dan Ir. Sidarto yang banyak
tanah daerah Jakarta dan daerah Bekasi. memberikan saran dan masukkan.

SARAN
Perlu manajemen sumber daya air tanah terpadu dan
kebijakan yang tepat dalam pengembangan suatu
daerah agar tidak terjadi penurunan sumber daya air
akibat pencemaran.

ACUAN
Gupta, Sushil, K. and Polach, H., (1985), Radiocarbon Dating Practice at Australian National University,
Handbook, Radiocarbon Laboratory, Research School of Pacific Studies, ANU, Canberra.
Mook, W. G., (2001), Environmental Isotopes in the Hydrological Cycle, International Hydrology Programe, No.
39, Vol. 5, IAEA-UNESCO, Paris.
Ruchijat, S., dan Hadi, S., (1997), Penyelidikan Potensi Air Tanah Daerah Jonggol-Bekasi, Jawa Barat,
Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung.
Australian International Atomic Energy Agency, 1983 Guidebook on Nuclear Techniques in Hydrology, Technical
Report Series No. 191
Todd, D.K., (1980), Groundwater Hydrology, Second edition, John Wiley & Sons, New York.
Verhagen, B. T. and Butler M.J., (1997), Environmental Isotope Studies of Urban and Waste Disposal Impact on
Groundwater Resources in South Africa, Isotope Techniques in the Study of Environmental
Change, Proc. Sym. IAEA, Vienna: 411-421.

Naskah diterima : 27 April 2008


Revisi terakhir : 15 Desember 2008

22 JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2008


Geo-Sciences
INTERAKSI FAKTOR KENDALI TEKTONIK, PERMUKAAN LAUT DAN PERUBAHAN IKLIM
DI DAERAH TELUK KLABAT, KABUPATEN BANGKA INDUK, BANGKA

S. Hidayat dan H. Moechtar


Pusat Survei Geologi
Jl. Diponegoro 57, Bandung 40122
E-mail: contact@grdc.esdm.go.id

SARI

Studi yang dilakukan pada endapan Kuarter di Teluk Klabat meliputi analisis sedimentologi dan stratigrafi terhadap
informasi lima belas hasil pemboran yang dilakukan di sepanjang lintasan berarah barat - timur. Kedalaman pemboran
berkisar antara 3,50 hingga 16,80 m dari elevasi + 21 m hingga - 4 m dari permukaan laut. Selanjutnya, sedimen
Kuarter tersebut dapat dibedakan menjadi tujuh lingkungan pengendapan, terdiri atas endapan-endapan kipas aluvium
(FKa), rawa (FRw), cekungan banjir (FCb), delta (FDt), pasir pantai (FPp), laut dekat pantai (FLdp), dan laut dekat pantai
hingga laut lepas pantai (FLdp hingga FLlp). Didasari korelasi perubahan lingkungan pengendapan secara mendatar dan
tegak, rangkaian stratigrafi Kuarter tersebut dapat dibedakan menjadi empat interval pengendapan (IP I-IV). Setiap
interval dicirikan oleh berubahnya topografi dan elevasi yang dikontrol oleh berubahnya sistem lingkungan pengendapan.
Faktor pengendali utama perkembangan sistem lingkungan pengendapan tersebut adalah tektonik regional dan lokal.
Perubahan pada rezim tektonik sangat penting pada proses pengendapan sedimentasi di teluk.
Kata kunci: fasies, lingkungan purba, tektonik

ABSTRACT

The study of the Quarternary deposits in Klabat gulf areas was based on the analyses of the sedimentology and
stratigraphy of fifteen borehole information obtained along west to east. The penetration of the bore head varied from
3.50 to 16.80 m from + 21 m to - 4 m of sea-level. Whereas, the Quarternary sediments in the studied area can be
divided into seven sedimentary environments, consisting of alluvial fan (FKa), swamp (FRw), floodbasin (FCb), deltaic
(FDt), sand beach (FPp), nearshore (FLdp), and nearshore to offshore (FLdp to FLlp) deposits. Based on the lateral and
vertical sedimentary environment correlations, the Quaternary stratigraphic succession can be divided into four
sedimentary intervals (IP I to IV). Each interval is typically for topography and elevation changes which is controlled by
changes of the sedimentary environment systems.
The controlling main factor of the sedimentary environment system changes was regional and local tectonics. Changes
in tectonic regime are important upon a tidal flat sedimentation.
Keywords: facies, paleoenvironment, tectonic

PENDAHULUAN sedangkan pola aliran sungainya bermuara ke


Tanjung Sangau dan Tanjung Melala di utaranya. Di
Daerah penelitian berada dalam kawasan Kabupaten
bagian timur, wilayah ini merupakan dataran rendah
Bangka Induk (Provinsi Bangka-Belitung), yang
pantai yang terletak +1 m di atas permukaan laut
dibatasi oleh koordinat 1°20’ dan 1°45’ Lintang
yang ditutupi aluvium, yang sungai-sungainya
Selatan serta 105°30’ dan 106°00’ Bujur Timur
mengalir ke utara menuju Tanjung Pusuk. Andi
(Gambar 1). Penelitian yang dilakukan, didasarkan
Mangga dan Djamal (1994) memetakan geologi
pada analisis endapan Kuarter bawah permukaan
daerah Bangka Utara berskala 1:250.000 (Gambar
yang lintasannya berarah barat - timur, mulai dari
1), menurut mereka Formasi batuan tertua yang
daratan hingga memotong Teluk Klabat (Gambar 1).
tersingkap di daerah ini berasal dari Kompleks
Secara umum, bentang alam di bagian barat
Pemali (CPp) berumur Perem, yaitu kompleks
merupakan daerah dataran rendah di kaki Bukit
malihan Pemali yang terdiri atas filit, sekis, dan
Klabat (+138 m) yang ditutupi oleh aluvium. Lahan
kuarsit. Batuan berumur Paleozoikum tersebut
di tempat tersebut umumnya tidak digunakan,
ditutupi oleh Formasi Tanjunggenting (TRt) berumur

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 23


Geo-Sciences
Trias, terdiri atas perselingan batupasir malih, membuat peta sistem cekungan Kuarter Atas Pulau
batupasir, batupasir lempungan dan batulempung Bangka, yang dikaitkan dengan gerak-gerak tektonik.
dengan lensa batugamping yang ditutupi oleh batuan Moechtar drr. (1997) mengklasifikasikan kombinasi
terobosan dari Granit Klabat (TRjkg) berumur Trias - kompleks fasies endapan aluvium-fluviatil.
Jura. Secara tidak selaras, formasi batuan tersebut sebaliknya Soehaimi dan Moechtar (1999)
ditutupi oleh Formasi Ranggam (TQr) berumur mengkorelasikan dan mempelajari hubungan antara
Pliosen dan aluvium (Qa) yang terdiri atas bongkah, tektonik, turun-naiknya permukaan laut, dan
kerakal, kerikil, pasir, lempung, dan gambut. Struktur sirkulasi iklim rangkaian stratigrafi Kuarter di lepas
geologi daerah Bangka menunjukkan bahwa daerah pantai Rebo dan Sampur (Pulau Bangka). Terakhir
ini telah tersesar dan terlipatkan (Gambar 1). Sumbu- Hidayat drr. (2008) membahas keterdapatan
s u m b u p e r l i p a t a n t e r j a d i p a d a Fo r m a s i endapan plaser timah dalam sistem lingkungan
Tanjunggenting, dengan arah sumbu sinklin barat pengendapan Kuarter di Sungai Selan-Celuak
laut - tenggara. Sesar normal di daerah ini memiliki (Bangka). Namun demikian, berbagai analisis
arah utama barat laut-tenggara, sedangkan sesar tersebut belum pernah dilakukan di wilayah Teluk,
geser berarah hampir utara-selatan. Nitiwisastro drr. sehingga menjadi menarik pula untuk diketahui di
(1995), memetakan cekungan Kuarter Bangka tempat tersebut.
berdasarkan pengaktifan kembali struktur yang arah
Dilatarbelakangi oleh perubahan iklim dan
umumnya hampir timur laut - barat daya. Mereka
permukaan laut serta tektonik yang sangat erat
menyimpulkan bahwa selama Plistosen akhir Pulau
terkait, serta dapat dijelaskan berdasarkan runtunan
Bangka peka terhadap kendali tektonik, terbukti dari
stratigrafi, studi ini dilakukan dengan tujuan untuk
pengaktifan sesar yang mereka nyatakan terkait
mempelajari keterkaitan antara stratigrafi Kuarter
dengan pembentukan endapan plaser pembawa bijih
dan perubahan iklim maupun permukaan laut serta
timah.
kegiatan tektonik di daerah Teluk Klabat, dengan
Osberger pada tahun 1965 menyatakan bahwa jalan (a) mendeskripsi litofasies hubungannya
mekanisme endapan Kuarter pembawa bijih timah di dengan lingkungan pengendapan, (b) menelaah
Kep. Timah adalah berhubungan dengan sirkulasi perubahan lingkungan serta faktor kendali yang
perubahan iklim. Tjia (1970, 1989) sebaliknya memengaruhi pembentukannya, (c) mengkaji
menyimpulkan bahwa pengaruh turun-naiknya berubahnya lingkungan yang terkait dengan sirkulasi
permukaan laut juga terkait dengan akumulasi bijih iklim dan fluktuasi permukaan laut serta efek
timah ekonomis. Aleva (1972) berasumsi bahwa tektonik, dan (d) mendiskusikan tentang keterkaitan
mekanisme pembentukan endapan plaser kasiterit runtunan sedimen Plistosen Akhir - Resen terhadap
bersumberkan dari berbagai aspek, di antaranya interaksi faktor kendali pembentukannya.
berasal dari sumber primer kasiterit, pelapukan kimia
sumber primer, hasil pencucian material, dan hasil METODE
mekanisme transportasi. Selain itu, Aleva drr. (1973)
mempelajari urut-urutan stratigrafi sepanjang Penelitian yang dilakukan mencakup analisis
lintasan pulau Singkep dan Bangka, serta Kepulauan sedimen klastika endapan Kuarter berumur Plistosen
Karimata dan membedakannya menjadi: batuan Akhir - Holosen hingga Resen, yang diperoleh dari
dasar (Trias - Kapur), permukaan erosi tua, sedimen beberapa lokasi pemboran, mulai dari paparan teluk
paling tua (Tersier), kompleks aluvium (Tersier Atas - di sebelah barat dan timurnya, hingga memotong
Plistosen), abrasi laut, dan sedimen muda (Holosen - Teluk Klabat (Gambar 1). Dalam peta geologi,
Resen). Harsono (1974) mencoba pula membahas sebagian lintasan pemboran tersebut dimasukkan
hubungan gerak-gerak tektonik Kuarter dan sebagai granit Klabat (TRJkg), akan tetapi di
kaitannya dengan pengangkatan, perlipatan, dan lapangan menunjukkan bahwa batuan tersebut
patahan pada lapisan-lapisan tertentu terhadap termasuk endapan aluvium (Qa). Hal ini karena peta
akumulasi endapan plaser di Pulau Bangka. geologi yang digunakan tersebut berskala kecil, yaitu
Sementara Katili dan Tjia (1969) menyimpulkan 1:250.000, sehingga aluvium tersebut tidak
bahwa kepulauan timah dipengaruhi oleh gerak- terpetakan. Sedimen Kuarter di daerah penelitian
gerak tektonik Kuarter. Puslitbang Geologi (1980) telah diamati secara seksama dengan melakukan
melakukan studi pendekatan analisis fasies model, pemboran di darat menggunakan bor Bangka,
dan membagi sistem alur sungai purba di Pulau sedangkan di laut dilakukan di atas ponton dengan
Bangka dan Pulau Singkep. Nitiwisatro drr. (1995) metode yang sama. Metode pemboran tersebut

24 JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009


JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009
Gambar 1. Peta geologi dan lokasi lintasan pemboran daerah penelitian (Andi Mangga dan Djamal., 1994).
Geo-Sciences

25
Geo-Sciences
menggunakan konsep Bor Bangka yang umum penelitian ini fasies tersebut lebih diartikan sebagai
digunakan di kepulauan Timah, yang sangat cocok endapan Kuarter yang memiliki ciri-ciri aspek fisika,
diterapkan khususnya di area sedimen lepas seperti kimia, dan biologi yang sama yang secara spesifik
halnya pada endapan plaser aluvium. diendapkan dalam lingkungan yang sama pula secara
Dalam mempelajari aspek sedimentologi serta lateral. Pemisahan butiran klastika kasar dan halus
pengembangan pembentukan fasies pengendapan- berupa pasir, pasir lempungan, lempung pasiran, dan
nya secara detail, maka dilakukan analisis data lempung dilakukan berdasarkan karakteristik
pemboran secara visual. Setiap perubahan fasies fasiesnya yang pada hakekatnya mencirikan
baik yang tegas ataupun berangsur termasuk warna, lingkungan pengendapannya (Gambar 2).
pelapukan, komposisi, butiran dan parameter terkait
lainnya; direkam secara seksama dan diplot dalam Endapan Kipas Aluvium (FKa)
penampang tegak (log bor) pada skala 1:250. Lima
Jenis klastika pasir ini berupa pasir, sangat kasar
belas penampang tegak, yaitu Penampang A-B
hingga halus yang bercampur dengan kerakal-kerikil,
berarah barat - timur dengan kedalaman antara
masif, berwarna abu-abu hingga coklat hitam
3,50-16,80 m yang terletak pada ketinggian +21 m
kemerahan, kompak, bercampur dengan lempung
hingga -4 m dari permukaan laut telah diamati
liat hitam, serta keras. Butiran mengasar ke arah atas
(Gambar 2). Penentuan lokasi titik bor dilakukan
(coarsening upwards), tersebar tidak merata, sangat
secara teliti dengan menggunakan GPS. Endapan
menyudut sampai membulat tanggung, mengandung
Kuarter tersebut, selanjutnya dipelajari secara detail,
sedikit potongan kayu berdiameter antara 2 hingga 3
khususnya menyangkut perkembangan
cm, minim kandungan sisa tumbuhan/tanaman di
pembentukan fasiesnya, baik secara lateral ataupun
bagian atasnya, kadang-kadang bersisipan lempung
vertikal, berdasarkan aspek sedimentologi dan
liat berwarna merah (limonitisasi) sebagai soil
stratigrafi. Sedimen Kuarter tersebut dialasi oleh
setebal 0,5-2,0 cm, ketebalan antara 1,75-2,40 m
batuan granit yang menurut Andi Mangga dan
dan terletak di atas batuan dasar granit (Nomor titik
Djamal (1994), termasuk dalam granit Klabat
bor/Ntb. 1,2, dan 5) (Gambar 2). Jenis litologi
(TRJkg).
demikian, cenderung termasuk endapan aliran
Hasil korelasi rangkaian sedimen tersebut di atas, rombakan yang berhubungan dengan gravitasi.
selanjutnya dikelompokkan menjadi empat interval Berbagai penulis menyatakan bahwa endapan aliran
selang waktu periode pengendapan (IP I - IV) yang rombakan dapat dibedakan menjadi berbutir kasar
memiliki karakter berbeda satu terhadap lainnya. (debris flow deposits) dan aliran rombakan berbutir
Dari rangkaian susunan Interval Pengendapan halus (mud flow deposits) termasuk dalam endapan
tersebut, faktor kendali proses pembentukan aliran massa (mass flow deposits). Perbedaannya
sedimen klastika tersebut dapat ditelusuri, yang adalah terletak pada dominannya ukuran butir saja.
ditandai oleh berubahnya lingkungan. Akhirnya, efek Dalam penelitian ini fasies tersebut ditafsirkan
sirkulasi iklim, turun naiknya permukaan laut dan sebagai endapan kipas aluvium (alluvial fan
tektonik dapat dijelaskan berdasarkan pola deposits) yang dibedakan berdasarkan karakter
rangkaian stratigrafinya. butirannya, yang ditandai oleh akumulasi butiran
pasir, lanau, dan lempung yang bercampur dengan
SEDIMENTOLOGI DAN STRATIGRAFI kerakal-kerikil yang memiliki kandungan air cukup
besar yang bertindak sebagai energi aliran yang
Fasies dan Lingkungan Pengendapan
tersebar dan berhenti bergerak pada batuan
Fasies dapat didefinisikan dari berbagai skala dasarnya. Mial (1978) menyebutnya sebagai
berbeda. Salah satunya dalam sedimentologi fasies endapan debris flow yang masif dengan kandungan
didefinisikan : ”Fasies is a body of rock characterized kerakal di atas massa dasar, dan grading (Gms). Miall
by a particular combination of lithology physical and (1992) selanjutnya mengatakan bahwa sedimen
biological structures that bestow an aspect aliran gravitasi (SG) terdiri atas Gms dan Gm yang
(”facies”) different from the bodies of rock above, umum terbentuk dalam kipas aluvium. Fasies Gm
below and laterally adjasent” (Walker, 1992). Dalam

26 JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009


Geo-Sciences
yang dimaksud ditandai oleh lapisan kerakal kasar (1980) yang menyebut bahwa ”floodbasins are the
dan masif. Gejala terbentuknya fasies Gm di daerah lowest-lying part of a river floodplain”. Terbentuknya
penelitian, ditandai oleh sulitnya pemboran untuk endapan ini di daerah penelitian kemungkinan
menembus lapisan tersebut yang umumnya hancur/ adalah sebagai akumulasi material sekitarnya. Di
pecah apabila dipaksakan karena didominasi oleh tempat tersebut lingkungan rawa dan fluviatil tidak
lapisan kerakal-kerikil. berkembang secara baik.

Endapan Rawa (FRw) Endapan Delta (FDt)


Pasir lempungan, lunak, coklat tua kehitaman, kaya Terdiri atas pasir, berukuran halus - menengah hingga
akan sisa tumbuhan dan kandungan kayu berwarna pasir lempungan, berwarna coklat, abu-abu hingga
coklat tua kehitaman, berhumus, berbau busuk, abu-abu kehijauan, terpilah sedang hingga baik,
bagian bawahnya memiliki kebasahan yang tinggi, menyudut tanggung hingga membulat tanggung,
ditafsirkan sebagai endapan rawa (swamp deposits) mengandung sisa tumbuhan dan tanaman, tebal
yang memiliki kedalaman antara 0,95-1,85 m antara 1,05-3,10 m (Gambar 2/ Ntb. 9,11, dan 12)
(Gambar 2/ Ntb. 5, 8, 12). Pada Ntb. 5 (Gambar 2)
yang bagian atasnya ditutupi oleh endapan rawa dan
jenis fasies ini menutupi endapan kipas aluvium,
laut. Pada bagian bawah ditandai oleh bidang
sedangkan pada Ntb. 8 lapisan tersebut terletak di
atas batuan granit. Endapan rawa ini dicirikan oleh erosional yang didominasi oleh pasir kasar kerikilan
lempung berlapis tipis humus dan bergambut antara setebal 10 cm, yang mungkin berhubungan dengan
1-2 cm dengan warna lebih gelap dibanding dengan arus traksi sistem fluviatil. Ciri lain pasir ini adalah
fasies yang sama pada Ntb. 12 (Gambar 2). perulangan pasir dan pasir lempungan berwarna
abu-abu kehijauan, setebal 3-5 cm, getas dan mudah
Endapan Cekungan Banjir (FCb) pecah, mengandung sisa tumbuhan, ditafsirkan
sebagai endapan fluviatil yang dipengaruhi oleh arus
Lempung, kadang-kadang sebagai perselingan pasir pasang-surut. Ke arah atas, pasir lempungan
sangat halus dan lempung dengan tebal antara 3,90- berwarna lebih gelap, yaitu abu-abu, mengalami
5,80 m (Gambar 2/ Ntb. 3 dan 4)), mengandung oksidasi, liat dan lengket, serta mengandung sisa
sisa-sisa tumbuhan dan berhumus, terletak di atas tumbuhan. Kemungkinan ciri fasies tersebut
batuan alas granit dan endapan kipas aluvium menunjukkan adanya interaksi antara fasies fluviatil
dengan batas yang tegas dan mencolok. Ciri jenis dan rawa. Secara umum, ciri litologi demikian
litologi lempung pasiran ini adalah memilki warna ditafsirkan sebagai endapan delta (deltaic deposits).
yang beragam, yaitu mulai dari coklat, kelabu, abu- Donaldson (1974) berasumsi bahwa, dataran delta
abu kecoklatan, konsistensi keras, pejal dan liat, bagian bawah (lower delta plain) adalah interaksi
masif, dan tak berlapis. Massa butir yang tak teratur antara sebaran alur-alur sungai (distributary
dengan kandungan sisa potongan kayu di dalamnya, channels) dan tanggul (levee), yaitu perulangan
selanjutnya fasies ini diinterpretasikan sebagai lapisan tipis pasir halus, dan lempung rawa. Delta
endapan cekungan banjir (floodbasin deposits). adalah suatu tonjolan yang memiliki ciri yang spesifik
Perubahan warna diduga akibat pengaruh atmosfir pada garis pantai, yang dibentuk di ujung sebuah
yang umum terjadi pada cekungan yang pasif. Bagian sungai memasuki laut atau suatu tubuh air yang luas,
atas interval ditandai oleh kandungan humus yang seperti yang didefinisikan oleh Bhattacharya dan
cukup tinggi dan kaya sisa tumbuhan. Lingkungan Walker (1992): “A delta is a discrete shoreline
cekungan banjir tersebut merupakan terminal atau protuberance formed at a point where a river enters
tempat terakumulasinya proses pengendapan, yang an ocean or other large body of water”. Tubuh air
berasal dari longsoran sekitarnya yang bercampur yang luas tersebut dapat berupa samudra atau
dengan fasies rawa. Cohen drr. (2003) menyebut sebagian ditutupi laut, danau atau laguna dengan
lingkungan cekungan banjir sebagai wilayah dataran kecepatan proses pengendapan di cekungan lebih
rendah. Pengaruh suplai material sungai relatif kecil. besar (Elliott, 1986).
Terminologi lingkungan cekungan banjir telah
diuraikan secara terperinci oleh Reineck dan Singh

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 27


(m.dpl)
A
25 (Barat)
1
20
3
+++
4
2
15
+++
+ + +++
10
B
5 (Timur)
5
15
13
0 6 14

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009


7
+++ +++
8 12
9 10 11
-5 +++
+++
++
+
-10
++
+ +++
++ +++
+++ +
-15
-20
+++
0 2,5 Km
-25
-30
Keterangan
Geo-Sciences

14 15
8 9 10 11 12
13
1 2 3 4 5 6 7
+ + + +
+ + +
1 - 15 Peta Indeks 1:250.000
Gambar 2. Susunan litologi data bor daerah Teluk Klabat, Bangka.

28
Geo-Sciences
Endapan Pasir Pantai (FPp) antara 2,05-2,10 m (Ntb. 9,10,11,,13,14, dan 15)
(Gambar 2). Bentuk butir kuarsa yang terkandung
Pasir berukuran menengah hingga halus, putih abu-
dalam fasies ini membulat sempurna, kemungkinan
abu yang tersebar tidak merata, dengan bentuk butir
menandakan bahwa derajat transportasinya
menyudut tanggung hingga membulat tanggung,
termasuk tinggi dan terbawa jauh, dan tidak dijumpai
terdiri atas butiran kuarsa/fragmen batuan
sisa-sisa tumbuhan/dedaunan. Selanjutnya, fasies ini
granitik/felspar/mineral hitam, cangkang kerang
diinterpretasikan sebagai endapan laut dekat pantai
(moluska), kadang-kadang mengandung akar
hingga lepas pantai (nearshore to offshore deposits).
tanaman, dengan ketebalan antara 1,85 hingga 7,25
m (Ntb. 5,6,7,8,10,11,12,13,14, dan 15) (Gambar
2). Bentuk butir yang relatif tidak seragam dengan Stratigrafi
derajat kebundaran sedang dan urai tersebut, Susunan stratigrafi Kuarter daerah penelitian, diawali
ditafsirkan sebagai fasies endapan pasir pantai dengan diendapkannya kipas aluvium (FKa) di
(beach sand deposits). Tidak seragamnya butiran
sebelah barat, yang diikuti oleh berkembangnya
dengan derajat kebundaran yang sedang memberi
endapan delta (FDt) dan endapan rawa (FRw) di
kesan bahwa material tersebut berasal dari daerah
sekitarnya yang tidak mengalami transportasi jauh, bagian tengah dan timurnya. Proses rombakan yang
dan bukan berasal dari hasil sirkulasi samudra. Tidak menghasilkan FKa berasal dari daerah tingian, yang
ditemukannya fragmen batuan asing serta tingginya kelihatannya terjadi secara setempat. Tubuh
kandungan kuarsa dan fragmen batuan asam yang sedimennya diperkirakan berarah barat - timur
mendominasi, menunjukkan bahwa endapan pantai menuju Teluk Klabat. Garis pantai Teluk Klabat kini
ini bukanlah berasal dari hasil kerja energi samudra (Ntb. 5) (Gambar 3) merupakan bagian tempat tubuh
(oceanic circulations) melainkan hasil proses sedimen tersebut diendapkan. Pada bagian tengah
gelombang yang membawa dan mengerosi batuan terjadi proses akumulasi sedimen FDt sebagai
sekitarnya. Endapan pantai ini sebagian ditutupi oleh terminal atau tempat berlangsungnya proses
fasies laut dan sebagian menutupi endapan laut sedimen yang dipengaruhi oleh sistem fluviatil,
tersebut. pasang-surut dan FRw. Semakin ke arah timur FRw
makin dominan, sehingga diperkirakan tempat
Endapan Laut Dekat Pantai (FLdp) tersebut merupakan dataran rendah aluvium rawa.
Lempung, lanauan kadang-kadang mengandung Sistem fluviatil seperti halnya alur sungai yang
pasir, bewarna putih, abu-abu hingga abu-abu tua, berkembang ketika itu bersumber atau berasal dari
lengket, berfosil (foraminifera), mengandung arah selatan atau tenggaranya. Rangkaian
moluska, terkadang bersisipan humus tipis dan pengendapan tersebut selanjutnya dikelompokkan
mengandung sisa tumbuhan/dedaunan setebal 3-5 menjadi IP I. Di bagian timur yang bentang alamnya
mm, tak berlapis, lengket, dengan tebal antara 2,95- memiliki elevasi yang relatif rendah, berkembang
4,05 m (Ntb. 9,11, dan 12/ Gambar 2). Bentuk butir endapan pasir pantai (FPp) yang menandakan
pasir yang terkadung di dalamnya menunjukkan bahwa permukaan laut beranjak naik sebagai penciri
bentuk menyudut tanggung hingga membulat terbentuknya IP II (Gambar 3). Kondisi permukaan
tanggung, yang menandakan bahwa derajat
air laut ketika itu belum mencapai bagian sayap barat
transportasinya termasuk sedang dan kemungkinan
Teluk Klabat, terbukti dengan tidak dijumpainya
berasal dari daerah sekitarnya. Dengan kandungan
sisa tumbuhan di dalamnya, maka fasies ini proses sedimentasi lainnya di tempat tersebut. Oleh
diinterpretasikan sebagai endapan laut dekat pantai karena itu, pasokan material yang mengisi cekungan
(nearshore deposits). ketika itu berasal dari proses pembentukan material
linier klastika saja. Dengan demikian, diperkirakan
Endapan Laut Dekat Pantai hingga Lepas Pantai bahwa sistem fluviatil yang berkembang sebelumnya
(FLdp-FLlp) memindahkan alirannya ke tempat lain. Proses
pengisisan cekungan selanjutnya ditandai oleh makin
Terdiri atas lempung pasiran, pasir halus, lengket, berkembangnya lingkungan laut yang menghasilkan
berwarna putih hingga kelabu, kadang-kadang FLdp hingga FLlp yang berjari-jemari dengan FRw di
berlapis tipis, liat, berfosil (foraminifera), kadang-
bagian barat yang berkembang secara setempat
kadang mengandung moluska dengan tebal lapisan

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 29


Geo-Sciences
(Gambar 3). Rangkaian proses pengendapan ini FAKTOR KENDALI PEMBENTUKAN FASIES
adalah cerminan pembentukan IP III yang ditandai SEDIMEN
oleh permukaan air laut semakin tinggi. Selanjutnya, Berdasarkan zonasi stratigrafi dan pengelompokan
pada bagian tengah cekungan, pembentukan FLdp susunan fasies, faktor pengendali proses
masih berlanjut dan diikuti oleh berlangsungnya pengendapannya lebih lanjut dapat dijelaskan
proses pengendapan FPp ke arah barat dan timur. sebagai berikut:
Kondisi tersebut memberi kesan bahwa permukaan
air laut kembali turun, akan tetapi garis pantai IP I
semakin meluas ke arah barat. Di pihak lain, sebelah Proses pengisisan cekungan pada IP I dipengaruhi
barat ditandai oleh berkembangnya edapan oleh faktor yang berasal dari proses pelapukan dan
cekungan banjir (FCb). Rangkaian endapan yang gaya gravitasi. Oleh karena itu, sistem tubuh
terjadi tersebut merupakan karakter pembentukan endapan yang terbentuk (FKa) adalah endapan kipas
IP IV. aluvium yang materialnya bersumber dari bahan
rombakan disekitarnya. Tubuh endapan tersebut
Stratigrafi rangkaian fasies tersebut di atas dan
diduga berasal dari proses perombakan yang
kaitannya dengan proses pembentukannya, secara
berhubungan dengan gerak struktur, yaitu dengan
spesifik berindikasikan (Gambar 3): terbentuknya kipas aluvium pada tempat-tempat
1. Sistem tubuh endapan kipas aluvium di bawah tertentu, yang tidak mengalami proses erosional
pengaruh gaya gravitasi, yang diikuti oleh yang ditandai oleh pembentukan soil di bagian atas
berkembangnya cekungan banjir terbentuk pada intervalnya (Ntb. 1-2 dan Ntb. 5). Di Teluk Klabat,
IP I dan IV. Ini berarti ada tenggang waktu proses berkembang pembentukan delta dan lingkungan
rawa di bawah pengaruh energi pasang surut air
pengendapan
laut. Lingkungan rawa ketika itu tidak berkembang
2. Tidak menerusnya proses sedimentasi di sebelah secara baik, demikian pula halnya dengan delta. Oleh
barat menandakan bahwa energi aliran ketika itu karena itu, pembentukan IP I cenderung berada di
adalah relatif kecil dengan elevasi yang relatif bawah pengaruh kondisi iklim kering (dry). Situasi
tinggi. Hal tersebut dibuktikan oleh tidak demikian sangat efektif bagi kelangsungan proses
berkembangnya IP II dan III di sebelah barat pelapukan. Material yang diendapkan pada
cekungan. cekungan delta dan rawa tersebut cenderung tidak
sempurna yang umumnya memperlihatkan endapan
3. Tidak teraturnya penyebaran fasies endapan yang masif dan tidak terkonsolidasikan secara baik.
mengikuti interval selang waktu pengendapan,
indikasi bahwa dasar cekungan bergerak IP II
4. Berkembangnya lingkungan rawa pada tempat-
Interval ini dicirikan antara lain oleh: (a) terbentuk
tempat tertentu menunjukkan bahwa meskipun dan dominannya FPp, (b) terhentinya pembentukan
pembentukannnya tidak luas akan tetapi lingkungan rawa dan delta, (c) permukaan air laut
berlangsung di daerah tinggian yang membentuk mulai naik (transgression), dan (d) tidak
wilayah kompleks dataran rendah (plateau) berkembangnya lingkungan lain di wilayah yang
5. Bergeser dan berpindahnya pola lingkungan laut tidak dipengaruhi pasang-surut. Terbentuknya
dan meluasnya sebaran pasir pantai lingkungan pantai yang menutupi lingkungan rawa
menandakan bahwa di tempat tersebut berelevasi
menandakan bahwa telah terjadi proses naik-
terendah. Sebaliknya, sebagian wilayah delta yang
turun permukaan laut dan bergeraknya dasar
terbentuk sebelumnya tidak berkembang. Gejala ini
cekungan cenderung berkaitan dengan adanya pengaruh
6. Tidak teraturnya perubahan fasies linier klastika tektonik. Sebagian wilayah delta yang terbentuk
secara vertikal menandakan bahwa turun- sebelumnya mengalami pengangkatan. Kendali
naiknya permukaan laut dipengaruhi oleh naiknya permukaan laut ketika itu berperan penting,
bergeraknya dasar cekungan. yang menghasilkan fasies endapan pantai. Sebalik-
nya, proses erosi, transportasi, dan pengendapan
yang dikendalikan oleh iklim tidak berlangsung.

30 JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009


Geo-Sciences
Hal ini terbukti dari tidak ditemukannya fasies sifatnya regional yang terbukti dari meluasnya garis
endapan lainnya. Secara umum, urut-urutan pantai, meski kondisi permukaan air laut ketika itu
stratigrafi yang dikaitkan dengan faktor kendali adalah turun. Kondisi permukaan laut menujukkan
terbentuknya IP II ini, berkaitan dengan adanya efek turun atau rendah, terbukti dari dominannya
tektonik. Aktifitas gelombang dengan kondisi iklim endapan-endapan FPp dan FLdp. Sementara kondisi
ketika itu berkisar antara kering hingga agak lembap
iklim ketika itu lebih mengarah pada situasi agak
(sub-humid).
lembap hingga kering. Hal ini ditandai oleh
terhentinya lingkungan rawa untuk berkembang,
IP III sedangkan terbentuknya FCb diinterpretasikan
Beberapa ciri proses sedimentasi selama sebagai material yang masuk ke cekungan yang
pembentukan IP III, di antaranya adalah: (a) berasal dari FKa yang telah mengalami proses
meluasnya pembentukan lingkungan laut dekat pelapukan panjang dalam suasana kelembapan
pantai hingga lepas pantai, (b) berkembangnya menuju minimum.
lingkungan rawa pada tempat-tempat tertentu (Ntb.
5 dan 8), permukaan air laut naik secara maksimum, Hubungan faktor kendali pembentukan fasies
dan (d) masih minimnya energi aliran yang sedimen Kuarter di daerah penelitian adalah
berhubungan dengan iklim untuk bekerja. Meluasnya sebagai berikut:
lingkungan laut terutama diakibatkan oleh naiknya 1. IP I dicirikan oleh tektonik lokal, yaitu
permukaan air laut secara maksimum, sehingga terbentuknya FKa yang mungkin berhubungan
memberi kesempatan lingkungan laut tersebut dengan aktifnya sesar-sesar normal yang banyak
semakin berkembang. Namun demikian, pengaruh berkembang di daerah ini yang berarah barat laut -
naiknya permukaan laut ketika itu masih belum tenggara dan hampir utara - selatan (Gambar 1).
mencapai posisi pantai sekarang yang kurang lebih Tidak berkembanganya lingkungan delta dan
berada pada Ntb. 5 (Gambar 2 dan 3). Terbentuknya rawa secara sempurna ketika itu disebabkan oleh
lingkungan rawa secara setempat, salah satu faktor energi aliran berada pada situasi kering dengan
penyebabnya adalah bahwa pada beberapa tempat posisi permukaan laut rendah.
terbentuk daerah genangan. Urut-urutan fasies 2. IP II ditandai oleh masih aktifnya tektonik lokal
selama pembentukan IP III tersebut terjadi di bawah (aktifnya sesar normal) yang dapat direka ulang
pengaruh kondisi agak lembap sampai lembap dari sebagian lingkungan delta yang terbentuk
(humid). Tidak diketemukannya sistem fluviatil yang sebelumnya mengalami pengangkatan ketika itu
berkembang secara baik ketika itu, mungkin di bawah pengaruh kondisi iklim menuju agak
dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti minimnya lembap yang diikuti oleh naiknya permukaan laut.
pasokan material dan kandungan volume air, serta 3. IP III dicirikan oleh tidak adanyan tanda-tanda
kondisi elevasi yang tidak memungkinkan. Selain itu, kendali tektonik yang berpengaruh terhadap
pembentukan IP III tidak memberi indikasi adanya kelangsungan proses pengendapan. Ketika itu,
pengaruh tektonik ketika itu. kondisi iklim menunjukkan suasana menuju
maksimum dengan kondisi permukaan laut tinggi.
IP IV 4. IP IV ditandai oleh efek tektonik yang sifatnya
Beberapa indikasi proses yang terjadi pada IP IV ini di regional, yaitu meluasnya garis pantai meski
antaranya adalah: (a) turunnya permukaan laut posisi permukaan laut ketika itu turun, sedangkan
(regression), akan tetapi garis pantai meluas, (b) kondisi iklim ketika itu menuju minimum. Di
daratan hal serupa juga terjadi, yaitu
berkembangnya FLdp sebagai petunjuk tempat
berkembangnya secara luas lingkungan cekungan
tersebut adalah pusat cekungan, (c) meluasnya
banjir. Tektonik yang dimaksud diperkirakan
pembentukan FCb di sebelah barat (Ntb. 1,2,3, dan bersifat regional, mungkin sehubungan dengan
4 / Gambar 3), dan (d) terhentinya lingkungan rawa proses terbentuknya Teluk Klabat yang
berkembang. Karakteristik pembentukan IP IV menyebabkan dasar cekungan menjadi turun dan
ditandai oleh gejala penurunan dasar cekungan yang membentuk teluk.

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 31


Geo-Sciences

(m dpl)
A
25 (Barat)
1
IV
20 I 3
FKa
2 4
15
FCb
10
B
5 (Timur)
IV 5
15

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009


1314
0
III 6
IV
7
I FPp
8 9 12
10 11 III
-5 FLdp FPp
FPp
FRw
FLdp
III
- 10 II
FD t FLdp-FLlp
I
- 15 FPp I
FRw
FDt
- 20
0 2,5 Km
- 25
- 30
KETERANGAN
FLdp-FLlp
Endapan laut dekat pantai hingga laut lepas pantai FCb Endapan cekungan banjir (flood basin deposits) Sesar
(nearshore - offshore deposits)
FLdp Endapan laut dekat pantai (nearshore deposits) FRw Endapan rawa (swamp deposits)
I – IV Interval selang waktu periode pengendapan (P)
FPp Endapan pasir pantai (beach sand deposits) FKa Endapan kipas aluviaum (alluvial fan deposits)
1 – 15 Nomor titik pemboran
FDp Endapan delta (delta deposits) + ++ Granit Klabat (TRJkg)
++ Batas interval pengendapan

32
Gambar 3. Korelasi susunan fasies lapisan endapan bawah permukaan daerah Teluk Klabat, Bangka.
Geo-Sciences
DISKUSI Yoshihiro (2003) menyatakan bahwa susunan fasies
endapan Kuarter di daerah Osaka yang berumur Plio-
Silveira drr. (2007) menyatakan bahwa di daerah
Plistosen ditandai oleh gerak tektonik dari generasi
pantai Brazil evolusi bentang alamnya sangat
perlipatan dan kubah yang dicirikan oleh
dipengaruhi oleh tiga kekuatan, yaitu: (a) atmosfir
terbentuknya fasies endapan-endapan kipas, delta,
yang berhubungan dengan angin dan rezim aliran di
dataran banjir, eustuari, laguna, bagian depan garis
bawah pengaruh perubahan iklim dan lokal aliran
pantai (foreshores), dan teluk (tidal flats). Susunan
sungai, (b) samudra sebagai hasil akhir dari sirkulasi
fasies tersebut sebetulnya dapat dikorelasikan
samudra dan keterkaitan atmosfir, dan (c) Sungai
dengan stratigrafi di daerah penelitian, akan tetapi
Amazon yang berhubungan dengan hasil akhir
masing-masing memiliki karakter tersendiri. Tidak
pasokan material Sungai Amazon di bawah pengaruh
tertutup kemungkinan bahwa terbentuknya Teluk
atmosfir dan samudra. Ketiga faktor pengendali
Klabat berkaitan dengan turunnya alas cekungan
tersebut kelihataannnya sangat berbeda dengan apa
akibat aktifnya perlipatan sinklin regional yang
yang terjadi sehubungan dengan proses sedimentasi
sumbunya melalui teluk Klabat berarah barat laut -
di daerah penelitian, karena faktor perubahan iklim
tenggara. Aktifnya sinklin tersebut diikuti oleh
dan sirkulasi samudra tidak menonjol. Pasokan
aktifnya sesar-sesar di sekitarnya. Nitiwisastro drr.
materialnya berasal dari daerah sekitarnya,
(1995) serta Soehaimi dan Moechtar (1997)
sedangkan efek tektonik sangat terasa sepanjang
menyatakan bahwa selama kurun waktu Plistosen
pembentukan endapan Kuar ter tersebut.
Akhir tektonik di Pulau Bangka sangatlah aktif,
Selanjutnya, Silva drr. (2007) mengatakan bahwa
terbukti dengan terbentuknya cekungan-cekungan
wilayah estuari Marapinim di dataran pantai Para
miring berskala besar (stepping basin) di pantai timur
(Brazil Utara) memiliki karakter perkembangan garis
Bangka berarah hampir barat laut - tenggara dan di
pantai sejak Neogen hingga Kuarter. Sistem tersebut
selatan pantai Mentok yang berarah timur laut - barat
sangat dipengaruhi oleh sistem rezim aliran pasang-
daya. Oleh karena itulah ketebalan akumulasi
surut secara luas (macrotidal) dan sebagian pasang-
endapan Kuarter di Pulau Bangka sangat bervariasi
surut di daerah tropis lembab. Paczeœna dan
karena faktor kendali tektonik sangat berpengaruh
Poprawa (2005) juga menyebutkan bahwa estasi
besar terhadap proses pembentukannya. Inman dan
v e r s u s t e k t o n i k a d a l a h s e b a g a i ko n t r o l
Nordstrom (1971) juga menyebutkan bahwa
perkembangan dari rangkaian pengendapan
susunan tektonik sebagai faktor kendali daripada
khususnya terhadap sekuen-stratigrafi.
ukuran, bentuk dan orientasi daripada alur cekungan
Kesinambungan demikian adalah lumrah terjadi di
yang dicirikan oleh pasokan material dan arah
daerah stabil tanpa dipengaruhi oleh tektonik,
transportasinya.
sehingga rangkaian turun-naiknya permukaan laut
secara global dapat direkonstruksi yang terkait Choi dan Kim (2006) dari hasil studi mereka
dengan karakter perubahan garis pantainya. Seperti terhadap fluktuasi permukaan laut akhir Kuarter,
yang dikemukakan oleh Inden drr. (2002) bahwa menyatakan bahwa lebih dari 32 m ketebalan
tektonik dan estuari sangat berpengaruh dalam endapan Kuarter tersebut berkembang di Teluk
sistem rangkaian pengendapan (system tracts) Kimpo yang terdiri atas enam unit lithofasies (Unit I-
Permiam. Tektonik adalah kontrol lokasi dan I V ) d e n g a n t i g a b a t a s ke t i d a k s e l a r a s a n
ketebalan susunan fasies (facies tracts), sedangkan (unconformity). Dari hasil studi siklus stratigrafi di
fluktuasi permukaan laut dan perubahan iklim dataran Sunda terhadap endapan Plistosen Akhir
sebagai faktor kendali tipe litofasies dan awal dinyatakan bahwa dapat direkonstruksi dua siklus
diagenesisnya. Sebaliknya rangkaian fasies di daerah pengendapan yang mengikuti siklus Milankovitch
penelitian, faktor kendali tektonik sangat menonjol, yang berumur ± 38.000 - 18.000 th. dan ± 18.000
sehingga baik perkembangan garis pantai ataupun th. (Moechtar, 2007) yang umumnya masing-masing
perubahan ketebalan sedimennya menjadi sulit dapat dibedakan menjadi tiga unit litofasies.
dikorelasikan. Secara umum, efek tektonik lokal dan Tentunya perkembangan dari jumlah unit fasies
regional berperan menonjol di daerah penelitian tersebut akan menjadi berbeda dan bervariasi, yang
sehingga perubahan global menjadi sulit untuk sangat tergantung pada hasil setiap evaluasi pada
dikorelasikan, khususnya faktor kendali estasi dan cekungan yang berbeda. Di daerah penelitian,
perubahan iklim yang sifatnya universal tersebut. kemungkinan rangkaian endapan Kuarternya
membentuk siklus stratigrafi Plistosen akhir bagian

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 33


Geo-Sciences
atas, yang terdiri atas empat unit litofasies (IP I-IV). Pasokan
n material yang mengisi cekungan
Artinya, komposisi fasies sedimen tersebut akan merupakan hasil rangkaian proses pengendapan
mengalami perubahan seiring dengan berubahanya yang dipengaruhi oleh meluas dan menyusutnya
permukaan laut. Selain itu, ketidakselarasan lingkungan. Turun-naiknya permukaan laut dan
rangkaian sedimen tersebut dapat ditafsirkan terjadi perubahan iklim bukanlah faktor kendali utama
pada: (a) batas bawah pembentukan FKa dan delta terbentuknya fasies pengendapan. Oleh karena
(IP I), (b) permukaan laut mulai naik (IP II), dan (c) itu, berbagain faktor lainnya menjadi acuan
batas bawah dari pembentukan FCb. Ketidak utama terjadinya proses pengendapan, di
selarasan tersebut ditafsirkan dari aktifitas terjadinya antaranya berubahnya bentuk topografi dan
perombakan, berlangsungnya genang laut, dan sumber pasokan material.
terbentuknya akumulasi sedimen yang tingi di
Berubahnya
n bentuk topografi dan sumber
tempat yang tadinya tidak terjadi proses
pasokan material dicirikan oleh terjadinya
pengendapan (non deposition). Dilandasi oleh
pergeseran lingkungan dari waktu ke waktu.
betapa pentingnya bidang erosional dalam setiap
Pergeseran yang dimaksud diakibatkan oleh
rangkaian pengendapan, khususnya pada studi
faktor kendali tektonik yang identik dengan naik-
stratigrafi detail lebih lanjut, maka dapat dinyatakan
turunnya alas cekungan. Aktifnya perlipatan
bahwa penelitian tersebut tidaklah mudah dilakukan
sinklin regional yang sumbunya berarah barat
karena menyangkut bidang erosional yang ber-
daya - tenggara melalui Teluk Klabat
hubungan dengan umur atau ordo pembentukannya?
kemungkinan berkaitan dengan terbentuknya
Oleh karena itu, bidang erosional yang terjadi di
lingkungan teluk tersebut. Selain itu, didasar
daerah penelitian mungkin saja berbeda dengan ordo
cekungan diikuti pula oleh aktifnya sesar-sesar
yang dinyatakan di tempat yang lain, meski pada
normal yang arahnya hampi utara-selatan dan
umur endapan yang sama karena memilki hirarki
barat laut-tenggara.
berbeda.

UCAPAN TERIMA KASIH


KESIMPULAN
Kegiatan pemboran ini dilakukan oleh PT Timah Tbk.
Susunan fasies endapan Kuarter di Teluk Klabat
n
ditandai oleh terbentuknya fasies endapan- ketika penulis diperbantukan pada Direktorat
endapan kipas aluvium (FKa), rawa (FRw), Eksplorasi Laut tahun 1999-2000 di bawah
cekungan banjir (FCb), delta (FDt), pasir pantai koordinasi Ir. Noor Cahyo. Atas izinnya untuk
(FPp), laut dekat pantai (FLdp), dan laut dekat menggunakan sebagian data tersebut guna
pantai hingga laut lepas pantai (FLdp hingga kepentingan penelitian, penulis mengucapkan terima
FLlp). Selanjutnya, berdasarkan rangkaian
kasih.
stratigrafinya dapat dibedakan menjadi 4
(empat) interval selang waktu periode
pengendapan (IP I-IV).

ACUAN
Aleva, G.J.J., 1972. Aspects of the historical and physical geology of the Sunda shelf essential to the exploration
of submarine tin placer. Geol. En Mijn 52 (2) : 79-91.
Aleva, G.J.J., Bon, E.H., Nossin, J.J. & Sluiter, W.J., 1973. A contribution to the Geology of Part of the
Indonesian Tinbelt: the Sea Areas Between Singkep and Bangka Islands and Around the Karimata
Islands. Geol. Soc. Malaysia, Bulletin 6, July 1973 : 257-271.
Andi Mangga, S. dan Djamal, B., 1994. Peta Geologi Lembar Bangka Utara, Sumatera. Skala 1:250.000.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Choi, K. dan Kim, Sung-Pil, 2006. Late Quaternary evolution of macrotidal Kimpo tidal flat, Kyongi Bay, west
coast of Korea. Abstract, Marine Geology, Vol. 232, Issues 1-2, 17-34.
Http://www.sciencedirect.com/science?_0b=ArticleURL&_udi=B6V6M-4KKWW4G-
2&_user=10&_rdoc=1&_fmt=&_orig=search &_so.

34 JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009


Geo-Sciences
Cohen, K.M., Gouw, M.J.P. and Holten, J.P., 2003. Fluvio-deltaic floodbasin deposits recording differential
subsidence within a coastal prism (central Rhine-Meuse Delta, The Netherlands. In: Blum, M.D.,
Marriott, S.B. and Leclair, S.F. (Eds.), Fluvial Sedimentology VII. Int. Assoc. of Sedimentologist,
Blackwell Scientific, 40-68.
Donaldson, A.C., 1974. Ancient deltaic depositional recognized in Pennsylvania rocks of northern Ohio River
valley. In: Dohanhue, J. and Rollins, H.B. (eds.), Conemaugh (Glenshaw) Marine Events, Field
Guidebook, Pittsburgh Geological Society : F-1 to F-11.
Elliott, T., 1986. Deltas. In: Reading, H.G. (ed), Sedimentary environments and facies. Oxford, Blackwell
Scientific Publications : 113-154.
Harsono, R., 1974. Pengaruh gerak-gerak Kuarter terhadap akumulasi sekunder bijih timah di pulau Bangka.
PN. Timah, Dinas Eksplorasi UPTB, PIT ke 3 IAGI, 12 h.
Hidayat, S., Pratomo., I dan Moechtar, H., 2008. Keterdapatan endapan plaser timah dalam sistem lingkungan
pengendapan Kuarter di sungai Selan-Celuak, Kab. Bangka Tengah. “Jurnal Puslitbang Teknologi
Mineral dan Batubara “TEKMIRA”. (Dalam proses penerbitan).
Inden, R.F., Coalson, E.B. dan Horne, J., 2002. Permian Tectonic, Eustacy, and Climates in Wyoming. AAPG
Hedberg Conference, “Late Paleozoic Tectonic and hydrocarbon Systems of Western North
America - The Greater Ancestral Rocky Mountains”, 2 p. Http://searchhanddiscovery.net/
documents/abstracts/heddenberg2002vail/inden.pdf.
Inman, D.L. dan Nordstrom, C.E., 1971. Tectonic Classification of Coasts. Abstract, 4 p.
Http://w3.salemstate.edu/~lhanson/gls214/gls214_tec_clas.htm
Katili, J.A. and Tjia, H.D., 1969. Outline of Quaternary tectonics of Indonesia. Bulletin NIGM . 2 ( 1) : 1-10.
Miall, A.D., 1978. Facies types and vertical profile models in braided river deposits: a summary. In: Mial, A.D.
(ed), Fluvial Sedimentology. Canadian Society of Petroleum Geologist, Memoar 5 : 1-47.
Miall, A.D., (1992). Alluvial Deposits. In: A.D. Miall and N.P. Jones (eds.), Facies models response to sea level
change. Geological Association of Canada, p. 119-142.
Moechtar, H., 2007. Runtunan stratigrafi sedimen Kuarter kaitannya terhadap perubahan global sirkulasi iklim
dan turun-naiknya permukaan laut di lepas pantai barat kepulauan Karimata (Kalbar). Bulletin of
Scientific Contribution, 5 (1) : 11-23.
Moechtar, H., Siswanto, R., Nitiwisastro, M., 1997. Karakter endapan plaser di P. Bangka kaitannya dengan
perencanaan eksplorasi. Majalah Pertambangan dan Energi Edisi Khusus 1997 : 64-70
Nitiwisastro, N., Wibowo, W., Moechtar, H., 1995. Geological data in relation to the present and future
exploration (Case study in Bangka and Belitung). Mining Indonesia Conference1995, Jakarta-
Indonesia : 24pp.
Osberger, R., 1965. Catatan tentang geologi P. Bangka. Tidak dipublikasikan, Arsip Dinas Eksplorasi UPTB
Paczeœna, J. dan Poprawa, P., 2005. Eustatic versus tectonic control on the development of Neoproterozoic and
Cambrian stratigraphic sequences of the Lublin-Podlasie Basin (SW margin of Baltica).
Geosciences Journal 9 (2) : 117-127.
Reineck, H.E. dan Singh, I.B., 1980. Depositional Sedimentary Environment. Springer - Verlag, Berlin : 549 pp.
Silveira, O., Santos, V.F. dan Takiyama, L.R., 2007. The Morphologic Evolution of the Amazone Coastal Plain,
Cabo Norte, Amapa, Brazil: The Need for Integrated Investigation on the internal Continental
shelf, in Ocean Science (OS): Sedimentation Associated With Wet-Tropical Rivers:
Interdisiplinary Linkages II: Posters, OS23D-01. http://www.agu.org/meetings/sm07/sm07-
sessions/sm07_OS23D.html.

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 35


Geo-Sciences
Silva, C.A., Souza Fhilo, P.M. Dan Gouvea Luiz, J., 2007. High-Resolution Subsurface Imaging and
Stratigraphy of Quaternary Deposits, Marapanim Eustuary, Northern Brazil, in Ocean Science
(OS): Sedimentation Associated With Wet-Tropical Rivers: Interdisiplinary Linkages II: Posters,
OS23D-03. http://www.agu.org/meetings/sm07/sm07-sessions/sm07_OS23D.html.
Soehaimi, A. and Moechtar, H., 1999. Tectonic, Sea Level or Climate Controls During Deposition of Quaternary
Deposits on Rebo and Sampur Nearshores, East Bangka-Indonesia. Proceedings of Indonesian
Association of Geologist, The 28th Annual Convention, 91-101.
Tjia, H.D., 1970. Quaternary shorelines of the Sunda Land, Southeast Asia. Geol. En Mijn, (49) : 135-144.
Tjia, H.D., 1989. Quaternary Sea Level changes and Related Geological Processes in relation to secondary tin
deposits. Workshop Seatrad, Pangkalpinang : 66 pp.
Yoshihiro, M., 2003. Sedimentary facies and tectonic movements within the horizon of the Pink Volcanic Ash
Layer of the Osaka Group in southern Osaka Prefecture, Japan. Abstract, Science Linkes Japan,
Japan Science and Technology Agency. Http://sciencelinks.jp/j-east/article/200402/
000020040203A0871105.php
Walker, R.G., 1992. Facies, Facies Models and Modern Stratigraphic Concepts. In: A.D. Miall and N.P. Jones
(eds.), Facies models response to sea level change. Geological Association of Canada :1-14.

Naskah diterima : 11 April 2008


Revisi terakhir : 22 September 2008

36 JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009


Geo-Sciences
MINERALOGI MATRIKS BREKSI GUNUNG API PLISTOSEN AKHIR - KUARTER
BERDASARKAN DATA XRD DI DAERAH LOMBOK TIMUR, NUSA TENGGARA BARAT

S. Maryanto, R. Hasan, dan D.A. Siregar


Pusat Survei Geologi
Jl. Diponegoro No. 57 Bandung 40122

SARI
Batuan gunung api Plistosen Akhir hingga Kuarter yang termasuk ke dalam Formasi Kalipalung, Formasi Kalibabak, dan
Formasi Lekopiko tersingkap dengan baik di daerah Lombok Timur dan pada umumnya berupa breksi gunung api.
Komponen breksi gunung api penyusun Formasi Kalipalung terdiri atas andesit, andesit porfiri, andesit basalan, basal,
dan batuan terubah. Frekuensi kehadiran antara andesit dan basal hampir seimbang. Komponen breksi gunung api
penyusun Formasi Kalibabak terdiri atas andesit, andesit porfiri, sangat jarang andesit basalan dan basal. Frekuensi
kehadiran andesit sangat menguasai batuan. Komponen breksi gunung api penyusun Formasi Lekopiko terdiri atas
batuapung dan sangat jarang andesit, selain berupa pasir dan pasir konglomeratan. Hasil pengujian XRD terhadap
percontoh matriks breksi yang dipilih menunjukkan bahwa jenis plagioklas berkembang dari labradorit dan andesin pada
Formasi Kalpialung dan Formasi Kalibabak menjadi andesin, oligoklas dan albit pada Formasi Lekopiko. Dari formasi tua
ke muda, piroksen klino berkembang menjadi piroksen orto dan akhirnya piroksen tidak hadir. Mineral lempung
monmorilonit terawetkan pada formasi yang berumur tua, semakin menghilang pada formasi berumur muda atau
digantikan oleh kaolinit. Berdasarkan hasil uji beda yang telah dilakukan tampak bahwa secara umum Formasi Kalipalung
dan Formasi Kalibabak mempunyai kesamaan dalam ciri-ciri mineralogi. Di pihak lain, perbedaan nyata terjadi antara
Formasi Kalipalung dengan Formasi Lekopiko, begitu pula Formasi Kalibabak dengan Formasi Lekopiko.
Kata kunci: Lombok Timur, matriks breksi, mineralogi

ABSTRACT
Late Pleistocene to Quarternary volcanic rock units of the Kalipalung, Kalibabak, and Lekopiko Formations are well
cropped out at East Lombok area, composed predominantly of volcanic breccias. The volcanic breccia of the Kalipalung
Formation composed of andesite, porphyry andesite, basaltic andesite, basalt, and altered igneous rocks fragments.
The frequence of the occurrence of the andesites and basalts is balanced. The volcanic breccia of the Kalibabak
Formation composed predominantly of andesite, porphyry andesite, and rarely basaltic andesite and basalt rock
fragments. The volcanic breccia of the Lekopiko Formation composed predominantly of pumice and less of andesite
rock fragments, as well as sand and conglomeratic sands. XRD analysis of selected volcanic breccias matrix shows that
the plagioclase change from labradorite and andesine on the Kalipalung and Kalibabak Formation to andesine,
oligoclase and albite on the Lekopiko Formation. From the old to young formations, the orthopyroxene and clinopyroxene
change to orthopyroxene, and finally these minerals was dissapeared. The clay minerals of montmorilonite commomly
preserved on the old formation, it dissapeared and replaced by kaolinite in the young formation. Based on the difference
test between two means it appears that the Kalipalung and Kalibabak Formations are similar on their mineralogical
characters. On the other hand, the Kalipalung Formatian has a real difference on the mineralogical character with the
Lekopiko Formation, as well as the Kalibabak Formation with the Lekopiko Formations.
Keywords: Earth Lombok, breccias matrix, mineralogy

PENDAHULUAN Di daerah Lombok Timur dijumpai beberapa satuan


Peralatan X-Ray Diffractometer (XRD) dapat batuan gunung api Plistosen Akhir hingga Kuarter
digunakan untuk identifikasi mineralogi material, yang tersusun oleh breksi gunung api, meliputi
termasuk batuan piroklastika secara cepat dan Formasi Kalipalung, Formasi Kalibabak, dan Formasi
akurat (Klug & Alexander, 1974; Jenkins & Snyder, Lekopiko (Andi Mangga drr., 1994). Penelitian
1996). Data semikuantitatif hasil uji XRD adalah komponen mineralogi pada matriks breksi gunung
jenis dan jumlah mineral pembentuk kristal yang api ketiga satuan batuan tersebut belum pernah
dijumpai di dalam suatu percontoh batuan. dilakukan, sehingga menjadi suatu topik yang

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 3


Geo-Sciences
menarik untuk diteliti. Data lapangan yang dipakai Metodologi
sebagai bahan pengujian merupakan data sekunder Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut, metode
(Hasan drr., 2007), sedangkan pengujian dan penelitian yang digunakan adalah pengambilan data
analisis mineralogi XRD merupakan pengembangan lapangan, diikuti dengan pengujian XRD di
dari penulis. Secara administratif, lokasi penelitian laboratorium. Kegiatan lapangan dilakukan dengan
lapangan yang dilaksanakan pada tahun 2007 pengumpulan data geologi di lokasi pengamatan
(Hasan drr., 2007), berada di wilayah Kabupaten terpilih, khususnya difokuskan pada breksi gunung
Lombok Timur dan sekitarnya, Provinsi Nusa api Formasi Kalipalung, Formasi Kalibabak, dan
Tenggara Barat (Gambar 1), yang dibatasi oleh Formasi Lekopiko. Pengambilan percontoh dilakukan
koordinat 116°20' - 116°40' Bujur Timur dan 08°30' secara acak pada ketiga satuan batuan yang telah
- 08°50' Lintang Selatan. ditentukan tersebut. Pekerjaan laboratorium
merupakan kunci utama penelitian ini, meliputi
Tujuan penyiapan peralatan laboratorium beserta
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis dan kelengkapannya, penyiapan dan preparasi percontoh
jumlah komponen mineralogi matriks breksi gunung untuk pengujian, pembuatan dan pengambilan data
api dalam Formasi Kalipalung, Formasi Kalibabak, uji laboratorium, analisis dan interpretasi data uji,
dan Formasi Lekopiko, berdasarkan data pengujian verifikasi data, serta pembahasan hasil pengujian
XRD di laboratorium. Lebih lanjut, penelitian ini dan aspek geologi.
dilakukan untuk mengetahui perbedaan dan
perkembangan jenis mineral yang terkandung di
dalam tiga satuan batuan gunung api tersebut.

Palawan
PALUNG
LAUT CHINA LAUT
LAUT
BENUA
SELATAN SULU FILIPINA
EURASIA

LAUT
SULAWESI

DANGKALAN HALMAHERA
SUNDA

SULA
KALIMANTAN
SU
M
AT
E

LAUT
RA

BANDA
UTARA BURU SERAM
SULAWESI
LAUT
BANDA
SELATAN
JAWA LOMBOK

TIMOR
LEMPENG
HINDIA

Lokasi Daerah Penelitian

Gambar 1. Lokasi daerah penelitian yang berada di Pulau Lombok dalam kerangka geologi regional Indonesia (Hall, 2001).

4 JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009


Geo-Sciences
Hipotesis urat kuarsa, berumur Oligosen Akhir - Miosen Awal.
Selanjutnya, satuan batuan tersebut di atas tertindih
Sesuai dengan umur satuan batuan yang berbeda,
tak selaras oleh Kelompok Batuan Gunung Api
tentunya telah terjadi proses pengendapan batuan
Lombok yang umurnya berkisar antara Pliosen Akhir
dengan kandungan jenis dan jumlah mineral yang
sampai Plistosen Awal. Kelompok ini terdiri atas
berbeda. Uji XRD akan membuktikan sejauh mana
Formasi Kalipalung (TQp) yang mempunyai Anggota
perbedaan dan hubungan dua atau lebih variabel
Selayar (TQs), Formasi Kalibabak (TQb), dan Formasi
yang bersifat multivariat (Arikunto, 1990), jumlah
Lekopiko (Qvl). Kelompok Batuan Gunung Api
dan jenis mineral berbentuk kristal yang terkandung
Lombok tertindih tak selaras oleh Batuan gunung api
di dalam Formasi Kalipalung, Formasi Kalibabak,
Tak Terpisahkan (Qhv) yang berurnur Kuarter dan
dan Formasi Lekopiko. Jumlah dan jenis mineral
diduga bersumber dari Gunung Pusuk (p), Gunung
berbentuk kristal yang terkandung di dalam batuan,
Nangi (n), dan Gunung Rinjani (r). Satuan batuan
selain akibat mekanisme pengendapan batuan, juga
termuda adalah aluvium, yang menempati pantai
terpengaruh oleh proses ubahan. Namun demikian,
timur Pulau Lombok.
aspek ini tidak dibahas di dalam penelitian ini.

DATA LAPANGAN
GEOLOGI UMUM
Kegiatan lapangan dilakukan dengan melakukan
Penyelidikan geologi pertama kali di Lombok
pengambilan percontoh batuan, khususnya terhadap
dilakukan oleh Heek (1909), dan Bemmelen
Formasi Kalipalung (TQp), Formasi Kalibabak (TQb),
(1949). Dalam rangka penyediaan air di Pulau
dan Formasi Lekopiko (Qvl). Pengamatan dan
Lombok, Dirjen Pengembangan Air, Departemen
pengambilan percontoh dilakukan secara acak
Pekerjaan Umum, bekerja sama dengan konsultan
(random sampling), di semua wilayah sebaran ketiga
Kanada (Blown, 1976) melakukan penelitian air.
satuan batuan tersebut (Hasan drr., 2007;
Penyelidikan geologi untuk data bahan galian telah
Gambar 2).
dilaksanakan oleh Kanwil DPE di Mataram (Suratno,
1985). Sejak tahun 1987 kegiatan eksplorasi emas
dan mineral ikutan lainnya dilakukan oleh PT. Formasi Kalipalung
Newmont. Hall (2001) dan Hall & Wilson (2000) Secara umum berdasarkan hasil pengamatan di
menyatakan bahwa Pulau Lombok merupakan lapangan, Formasi Kalipalung (TQp) terdiri atas
wilayah busur gunung api sejak Paleogen. Sundhoro perselingan breksi gampingan dan lava. Singkapan
drr. (2000) telah meneliti potensi geotermal di batuan kebanyakan dijumpai di sekitar sungai hingga
daerah Lombok, khususnya di wilayah Sembalun daerah pasang surut pantai tenggara Pulau Lombok,
Bumbung. Batuan penyusun Formasi Lekopiko juga serta di beberapa tempat di permukaan perbukitan
dibahas di dalam penelitian geotermal ini. bergelombang. Sebanyak tiga puluh percontoh
Widhiyatna drr. (2007) telah melakukan matriks breksi gunung api telah diambil dari formasi
penyelidikan geokimia regional di Pulau Lombok dan ini.
Sumbawa, akan tetapi pembahasannya terbatas
pada batuan gunung api Paleogen. Breksi gunung api penyusun Formasi Kalipalung
secara umum bertekstur piroklastika aliran atau
Kegiatan pemetaan geologi bersistem berskala merupakan endapan lahar. Beberapa kekar gerus dan
1:250.000 telah dilakukan oleh Pusat Penelitian dan kekar tarik hadir di dalam singkapan yang telah terisi
Pengembangan Geologi, Bandung (Andi Mangga drr., oleh kalsit. Batuan terpilah sangat buruk dengan
1994; Gambar 2). Tataan stratigrafi satuan batuan beberapa fragmen yang berukuran sangat besar
yang ada di daerah kegiatan dibuat dengan mengacu mengambang. Batuan berkemas tertutup dan
kepada peta geologi hasil pemetaan geologi terdukung fragmen yang berbentuk sangat meruncing
bersistem tersebut. Satuan batuan yang tersingkap di hingga meruncing tanggung. Ukuran fragmen sangat
Lembar Lombok terdiri atas batuan gunung api, beragam hingga mencapai lebih dari 2 m, sering
batuan sedimen dan batuan terobosan yang umurnya berukuran 5 - 50 cm. Komponen fragmen ini terdiri
berkisar dari Tersier sampai Kuarter. Satuan batuan atas andesit, andesit porfiri, andesit basalan, basal,
tertua yang teringkap adalah Formasi Pengulung dan batuan terubah. Persentase kehadiran antara
(Tomp) yang terdiri atas breksi, lava, dan tuf dengan andesit dan basal hampir seimbang.
lensa batugamping yang mengadung bijih sulfida dan

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 5


0
0
116 20” BT 0
116 40” BT 0
U
08 30” LS 08 30” LS
Qhv (r) Qhv (r) Qa
Qhv (r) Qhv Qhv
(p,n)(p,n)
Qhv (p,n) Qa
0 10 Km
Beririjarak
Ko
ko

Qvl Qvl 10
kG

Kentangge
re
ng

13
04
ge

24 03 Kembangkerang
KETERANGAN:
ng

Pringgabaya
an

Qvl
09 14 Pohgading Qa Aluvium
Kerakal, kerikil, pasir, lempung, gambut dan pecahan koral
Pringgesale Qa Qhv (r)
08 Batuan Gunung Api Tak Terpisahkan (G. Rinjani)
06 Qa Lava, breksi dan tuf
Kutareja 15
Surelage
TQb TQb 69 Aikdalem Qhv (p,n) Batuan Gunung Api Tak Terpisahkan (G. Pusuk, G. Nangi)
05
07 68 Lava, breksi dan tuf
Ko
20 k ok Tirpas
Te 11 Qvl Formasi Lekopiko
Mabagik mb Tuf berbatuapung, breksi lahar dan lava
ak

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009


Qvl
TQp TQb Formasi Kalibabak
Kopang 21 12 Breksi dan lava
22 Jantuk
TQp Formasi Kalipalung
Pancor Qvl
23
75
SELAT ALAS Perselingan breksi gampingan dan lava
TQb SELONG 67 TQs
16 Anggota Selayar Formasi Kalipalung
39 Kabar 17 66 Batupasir tufan, batulempung tufan dengan sisipan tipis karbon
38 18 Timbelindur
40 73 65 Tomp
74 27 Formasi Pengulung
19 Breksi, lava, tuf dengan lensa batugamping
Bakam 76 30 28 61
77 64
29 Lenting Batas Satuan batuan
41 78 72
79
71 Sakra 62
26 53 70 60 Ko 63 Labuhanhaji Sesar Geser (diperkirakan)
52 80
Suwangi 59 ko
25 k K TQb TQp
51 57 as 42
58 am Jalan
50 54
37 b
55 Tuntang i
TQp 43

Ko
31 Sungai
Rambang

ko
TQb TQp

k
49 56 44 15

pa
Ko

Bengkang Lokasi Pengamatan dan Pengambilan Percontoh

unl
36
ko

Lingkoklaki

g
kP

46 45
ara

Klekedirik Sepit
35 TQs
48
34
47
01 33 32 Senange
PETA INDEKS
Qa
Geo-Sciences

Marong Selubung
Kawo Jrowaru Lombok
TQp Bali
Tomp TQp Qa SAMUDERA HINDIA
0
08 50” LS 02 0
08 50” LS
0 0
116 20” BT 116 40” BT
Daerah Kegiatan
Gambar 2. Peta geologi daerah kegiatan yang berada di Lombok Timur (Andi Mangga drr., 1994) dan lokasi pengamatan/pengambilan percontoh batuan (Hasan drr., 2007).

6
Geo-Sciences
Matriks breksi gunung api pada umumnya berukuran tujuh belas percontoh matriks breksi gunung api dan
pasir sangat kasar dan bersifat agak keras hingga pasir telah diambil dari formasi ini.
rapuh dapat diremas. Namun demikian, material
berukuran lanau hingga lempung masih dijumpai di Breksi batuapung penyusun Formasi Lekopiko secara
dalam matriks breksi gunung api tersebut. Fraksi umum bertekstur piroklastika aliran hingga
lanau dan lempung semakin menjadi banyak apabila epiklastika. Endapan pada umumnya terpilah sangat
batuan telah terkena proses pelapukan dan ubahan. buruk, mempunyai kemas tertutup dan terdukung
Beberapa di antara matriks breksi gunung api ini fragmen yang berbentuk meruncing hingga
bersifat gampingan, dan diperkirakan berasal dari meruncing tanggung. Ukuran fragmen sangat
pengisian rongga dan atau kekar oleh mineral kalsit. beragam hingga mencapai lebih dari 60 cm, sering
berukuran 2 - 20 cm. Komponen fragmen ini sangat
dikuasai oleh batuapung dengan berbagai keadaan
Formasi Kalibabak dari lapuk berat hingga segar, serta sangat jarang
Secara umum Formasi Kalibabak (TQb) terdiri atas andesit. Pasir dan pasir konglomeratan secara umum
breksi dan lava. Morfologi perbukitan terjal hingga bertekstur epiklastika. Endapan pada umumnya
dataran pantai dibangun oleh satuan batuan ini. terpilah buruk hingga sangat buruk dan terdukung
Singkapan batuan kebanyakan dijumpai di sekitar matriks. Bentuk fragmen meruncing tanggung hingga
sungai hingga di beberapa tempat tampak tersingkap membundar tanggung. Ukuran fragmen beragam
di permukaan perbukitan terjal. Sebanyak tiga puluh hingga mencapai lebih dari 20, sering berukuran 2 -
empat percontoh matriks breksi gunung api telah 10 cm. Komponen fragmen ini sangat dikuasai oleh
diambil dari formasi ini. batuapung dengan berbagai keadaan dari lapuk berat
hingga segar, serta beberapa andesit, andesit porfiri,
Breksi gunung api penyusun Formasi Kalibabak andesit basalan, basal, dan batuan terubah.
secara umum bertekstur piroklastika aliran atau
merupakan endapan laharik. Batuan pada umumnya
terpilah sangat buruk dengan beberapa fragmen yang PENGUJIAN XRD
berukuran sangat besar. Batuan mempunyai kemas Pekerjaan laboratorium merupakan kunci utama
tertutup dan terdukung fragmen yang berbentuk kegiatan penelitian ini, meliputi penyiapan peralatan
sangat meruncing hingga meruncing tanggung. laboratorium beserta kelengkapannya, penyiapan
Ukuran fragmen sangat beragam hingga mencapai dan preparasi percontoh untuk pengujian,
lebih dari 2,5 meter, sering berukuran 5 - 50 cm. perekaman data dasar dan data uji, serta analisis dan
Komponen fragmen ini terdiri atas batuan beku interpretasi data uji.
andesit yang sangat mengasai batuan, serta sangat
jarang andesit basalan dan basal.
Peralatan
Matriks breksi gunung api pada umumnya berukuran
Peralatan utama yang digunakan di dalam penelitian
pasir sangat kasar dan bersifat agak keras hingga
ini adalah peralatan X-Ray Diffraction PANalytical
dapat diremas. Material berukuran lanau hingga
X'Pert PRO PW3040/x0 (Gambar 3). Peralatan
lempung masih dijumpai di dalam matriks breksi
lainnya adalah berbagai jenis sample holder, oven
gunung api tersebut. Secara umum matriks breksi
digital suhu tinggi, oven pengering percontoh,
gunung api penyusun Formasi Kalibabak lebih
lumpang dan penggerus percontoh agat, beker glass,
mudah diambil dan agak kurang keras apabila
kaca preparat, tisu gulung, spatula, tool set, pisau
dibandingkan dengan matriks breksi gunung api
atau silet, kuas halus, lem adesif, gunting, kaca
penyusun Formasi Kalipalung.
kapiler diameter 0,3-0,5 mm, spatula, senter, gelas
plastik, lap kain bersih dan kering, dan air mengalir.
Formasi Lekopiko
Secara umum Formasi Lekopiko (Qvl) terdiri atas tuf Penyiapan dan Preparasi
berbatuapung, breksi lahar, dan lava. Satuan batuan Sejumlah delapan puluh satu percontoh matriks
ini menempati sebagian wilayah utara daerah breksi gunung api telah diambil dari daerah kegiatan,
kegiatan hingga pantai timur Pulau Lombok. masing-masing tiga puluh percontoh dari Formasi
Morfologi perbukitan sangat terjal hingga dataran Kalipalung, tiga puluh empat percontoh dari Formasi
pantai dibangun oleh satuan batuan ini. Sebanyak Kalibabak, dan tujuh belas percontoh dari Formasi

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 7


Geo-Sciences
Interpretasi Data Uji
Proses interpretasi diawali dengan penghalusan
(smoothing) data spektrum XRD, dan dilanjutkan
dengan penghilangan (stripping) unsur k-alpha2.
Penentuan peak dilakukan dengan hati-hati, yaitu
dengan cara memilih dan merubah parameter-
parameter yang ditampilkan oleh software .
Penentuan nama mineral khususnya jenis plagioklas
menjadi prioritas utama, karena mineral ini cukup
dominan kehadirannya dan menjadi pembeda antara
percontoh yang satu dengan percontoh lainnya.
Gambar 3. Foto peralatan utama untuk Lingkup Pengujian Selanjutnya dilakukan penentuan jenis mineral lain,
Mineralogi XRD yang berada di Jl. Dr. Junjunan
(Terusan Pasteur), Bandung. seperti mineral mafik, mineral karbonat, zeolit, klorit,
dan mineral lempung. Selain menggunakan database
mineral yang telah tersedia, proses interpretasi juga
Lekopiko. Penyiapan percontoh diawali dengan didasarkan pada kelaziman asosiasi mineral yang
mengeringkan percontoh pada oven suhu rendah terbentuk di alam. Beberapa ahli yang telah
untuk menghilangkan air yang terkandung di dalam mengulas tentang asosiasi mineral, berkaitan dengan
batuan. Pekerjaan berikutnya adalah mengayak metode identifikasi XRD antara lain: Franzen (2002),
percontoh untuk mendapatkan fraksi paling halus, Jenkins & Snyder (1996), Klug & Alexander (1974),
yaitu lebih halus daripada 200 mesh atau <0,062 Menking drr. (2001), Moore & Reynolds Jr. (1989),
mm. Fraksi berukuran paling halus ini diperlukan dan Poppe drr. (2001).
dengan harapan dapat mewakili seluruh komponen
mineral yang terkandung di dalam matriks breksi Setelah proses interpretasi dianggap benar dan tidak
gunung api tersebut. ada perubahan lagi, maka data tersebut disimpan
dalam file microsoft word agar mudah dikopi ke
Guna mendapatkan data uji XRD, preparasi dalam laporan hasil uji. Penyimpanan ke dalam file
percontoh dilakukan dengan metode preparasi ini dilakukan dengan berbagai tampilan gambar
percontoh terputar, meskipun secara teknis proses spektrum dan peak XRD yang telah diinterpretasi
pengerjaannya sedikit lebih sulit. Dengan metode (Gambar 5). Parameter yang ditampilkan di dalam
preparasi ini diharapkan seluruh komponen mineral gambar spektrum hasil uji XRD adalah panjang
yang terkandung di dalam fraksi halus tersebut gelombang peak (angstrom), sudut peak (2-theta),
semuanya dapat terekam pada saat pengambilan dan nama mineral teridentifikasi. Interpretasi yang
data XRD. Proses pengerjaan preparasi pada tempat dilakukan adalah interpretasi yang bersifat kualitatif,
percontoh terputar ini dilakukan bersamaan secara karena prioritas kegiatan ini adalah untuk
bergantian dengan proses perekaman data XRD. mengidentifikasi seluruh mineral yang terkandung di
dalam matriks breksi gunung api.
Perekaman Data Uji
Proses perekaman data uji XRD dilakukan dengan
bahan uji fraksi teRDalus percontoh matriks breksi
gunung api yang telah dipisahkan dengan saringan.
Percontoh uji ini diletakkan di dalam sample holder
terputar (Gambar 4). Proses perekaman data
dilakukan segera sesudah dan secara bergantian
dengan proses preparasi percontoh. Parameter
pengukuran data spektrum XRD yang ditetapkan
untuk kegiatan ini meliputi: sudut awal 2-theta: 30,
sudut akhir 2-theta: 400, step pengukuran 2-theta:
0,0170, ukuran slit: 10, tegangan: 40kV, arus: 30
mA, dan diameter goniometer: 240 mm. Gambar 4. Posisi percontoh pada tempat percontoh (sample
holder) terputar pada dudukan percontoh (sample
stage) saat perekaman data uji.

8 JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009


Geo-Sciences
VERIFIKASI DATA
Pembahasan yang dilaporkan di dalam kegiatan ini
meliputi tabulasi dan pengujian statistik, serta
pembahasan mengenai proses pengujian
laboratorium secara menyeluruh, dan kaitannya
dengan keadaan percontoh batuan di lapangan.
Pengujian XRD yang telah dilakukan menghasilkan
beragam jenis mineral, seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabulasi Hasil Uji


Hasil uji XRD percontoh matriks breksi gunung api
tersebut disusun sesuai dengan mineral yang hadir,
ditabulasi untuk diverifikasi dengan metode statistik.
Berdasarkan kehadiran mineral yang ada, maka
dibuat variabel-variabel data pengujian, meliputi
kandungan mineral total, jenis plagioklas, jenis
piroksen, dan jenis mineral lempung. Mineral lainnya
yang hadir sebagai ikutan tidak ditabulasi pada
penelitian ini.
Setelah variabel pengujian ditentukan, maka
terhadap masing-masing percontoh yang telah
dikelompokkan berdasarkan formasi batuan: 1 untuk
Formasi Kalipalung; 2 untuk Formasi Kalibabak; dan
3 untuk Formasi Lekopiko, dibuat pengkodean
variabel pengujian (Tabel 2).
Pengkodean komponen mineral total meliputi: 1
apabila hadir plagioklas saja; 2 apabila hadir
plagioklas dan piroksen; 3 apabila hadir plagioklas,
piroksen, dan mineral lempung; 4 apabila hadir
plagioklas, piroksen, dan mineral karbonat; 5 apabila
hadir plagioklas, piroksen, dan klorit; 6 apabila hadir
plagioklas, piroksen, dan kuarsa; serta 7 apabila
hadir plagioklas dan mineral lain. Pengkodean jenis
plagioklas meliputi: 1 apabila plagioklasnya berjenis Gambar 5. Beberapa percontoh tampilan hasil uji XRD.
albit; 2 apabila plagioklasnya berjenis oligoklas; 3
apabila plagioklasnya berjenis andesin; 4 apabila
komponen mineral lainnya tidak dilakukan karena
plagioklasnya berjenis labradorit; 5 apabila
frekuensi dan intensitas peak mineral bersangkutan
plagioklasnya berjenis bytownit; serta 6 apabila
kurang berarti. Namun demikian, data kehadiran
plagioklasnya berjenis anortit. Pengkodean jenis
mineral tambahan hasil interpretasi tersebut tetap
piroksen meliputi: 1 apabila piroksen tidak hadir; 2
menjadi bahan pembahasan secara kualitatif.
apabila piroksen berjenis orto; 3 apabila piroksen
berjenis klino; serta 4 apabila piroksen berjenis orto Tabulasi tersebut dilakukan karena data yang
dan klino. Pengkodean jenis mineral lempung tersedia mempunyai skala ordinal. Dengan demikian
meliputi: 1 apabila mineral lempung tidak ada; 2 verifikasi melalui pengujian statistik nonparametrik
apabila mineral lempung diduga montmorilonit; 3 merupakan pekerjaan selanjutnya yang paling tepat.
apabila mineral lempung berjenis montmorilonit; 4 Dengan pengujian statistik nonparametrik ini
apabila mineral lempung berjenis ilit; serta 5 apabila diharapkan dapat ditentukan perbedaan dan tingkat
mineral lempung berjenis kaolinit. Tabulasi terrinci hubungan antarvariabel yang ada.

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 9


Geo-Sciences
Pengujian Statistik negatif (nilai gamma -0,5503). Hal ini menunjukkan
bahwa komponen piroksen berkembang dari tua ke
Verifikasi data hasil pengujian dilakukan terhadap muda, yaitu piroksen klino dan orto menjadi piroksen
komponen mineral total, jenis plagioklas, jenis orto hingga piroksen tidak hadir. Berdasarkan jenis
piroksen, dan jenis mineral lempung. Penampakan mineral lempung yang ada terlihat adanya hubungan
visual data statistik keseluruhan percontoh yang diuji sedang negatif (nilai gamma -0,3352). Hal ini
terlihat pada Gambar 5. Dari gambar tersebut menunjukkan bahwa montmorilonit dominan pada
tampak nilai variabel yang ada terdistribusi normal. umur tua, semakin hilang pada umur muda atau
Pengujian pertama adalah korelasi antara digantikan oleh kaolinit.
pengelompokan formasi batuan, dengan komponen Pengujian statistik kedua adalah uji beda antar-
mineral penyusun batuan pada masing-masing formasi batuan. Tiga metode pengujian sekaligus
formasi tersebut. Pengujian korelasi ini dilakukan dilakukan, meliputi metode-metode Wald-Wolfowitz,
sekaligus dengan metode-metode Spearman, Kolmogorov-Smirnov, dan Mann-Whitney U (Tabel 4,
Gamma, dan Kendall (Tabel 3). Hasil pengujian 5, dan 6). Pada hasil pengujian dengan
tersebut memperlihatkan bahwa berdasarkan menggunakan ketiga metode tersebut terhadap
kandungan total mineral, ketiga formasi batuan variabel mineral total, jenis plagioklas, jenis piroksen,
tersebut relatif sama. Namun demikian, berdasarkan dan jenis mineral lempung terlihat bahwa nilainya
jenis plagioklas yang dijumpai tampak adanya seimbang. Berdasarkan hasil pengujian yang telah
hubungan dengan tingkat keeratan hubungan sedang dilakukan tampak bahwa secara umum Formasi
negatif (nilai gamma -0,5192). Hal ini menunjukkan Kalipalung dan Formasi Kalibabak tidak
bahwa plagioklas yang dijumpai semakin asam dari memperlihatkan adanya perbedaan yang nyata. Di
tua ke muda, yaitu dari labradorit menjadi andesin pihak lain, perbedaan yang cukup nyata terjadi antara
hingga oligoklas dan albit. Berdasarkan jenis Formasi Kalipalung dengan Formasi Lekopiko, begitu
piroksen yang ada, terlihat adanya hubungan sedang pula Formasi Kalibabak dengan Formasi Lekopiko.

Tabel 1. Tabulasi Hasil Uji XRD Pada Matriks Breksi Gunung Api Formasi Kalipalung (1), Formasi Kalibabak (2), dan Formasi Lekopiko (3) dari Daerah Lombok
Timur dan sekitarnya, NTB.

10 JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009


Geo-Sciences
Tabel 2. Data Pengkodean Percontoh Menurut Karakter Mineral Total, Plagioklas, Piroksen, dan Mineral Lempung yang Teridentifikasi
Pada Pengujian XRD
Variabel Variabel
No Kode No Kode
Formasi Mineral Mineral Formasi Mineral Mineral
Urut percontoh Plagioklas Piroksen Urut percontoh Plagioklas Piroksen
Total Lempung Total Lempung

1. 07 RD 01 1 2 4 3 1 42. 07 RD 40 2 3 3 3 2
2. 07 RD 02 1 2 4 3 1 43. 07 RD 41 1 7 4 1 2
3. 07 RD 03 1 7 4 1 4 44. 07 RD 42 1 3 4 3 2
4. 07 RD 04 3 7 1 2 1 45. 07 RD 43 1 3 4 3 2
5. 07 RD 05 1 2 3 4 1 46. 07 RD 44 1 3 4 3 2
6. 07 RD 06 3 2 3 2 1 47. 07 RD 45 1 3 3 3 2
7. 07 RD 07a 3 3 3 2 1 48. 07 RD 46 1 2 4 3 1
8. 07 RD 07b 3 1 2 1 1 49. 07 RD 47 2 2 3 3 1
9. 07 RD 08 3 1 3 1 1 50. 07 RD 48 2 3 3 3 5
10. 07 RD 09 3 2 3 3 1 51. 07 RD 49 2 3 3 3 2
11. 07 RD 10 - 2 1 3 1 52. 07 RD 50 2 3 4 3 2
12. 07 RD 11 2 7 1 1 1 53. 07 RD 51 2 2 4 4 1
13. 07 RD 12 3 3 3 3 4 54. 07 RD 52 2 7 3 3 1
14. 07 RD 13 3 2 2 3 1 55. 07 RD 53 1 3 4 3 2
15. 07 RD 14 3 2 4 4 1 56. 07 RD 54 1 2 3 3 1
16. 07 RD 15 3 1 3 1 1 57. 07 RD 55 1 3 3 3 3
17. 07 RD 16 1 1 3 1 1 58. 07 RD 56 1 3 4 4 2
18. 07 RD 17 2 3 4 3 2 59. 07 RD 57 1 7 2 1 5
19. 07 RD 18 2 3 4 3 2 60. 07 RD 58 1 2 3 2 5
20. 07 RD 19 2 3 4 3 2 61. 07 RD 59 1 3 4 3 2
21. 07 RD 20 2 3 3 3 2 62. 07 RD 60 2 3 3 3 5
22. 07 RD 21 2 3 3 2 2 63. 07 RD 61 2 3 3 3 2
23. 07 RD 22 2 3 3 3 2 64. 07 RD 62 2 3 3 3 2
24. 07 RD 23 3 3 4 2 2 65. 07 RD 63 2 3 3 4 2
25. 07 RD 24 2 7 3 1 4 66. 07 RD 64 1 7 3 2 2
26. 07 RD 25 2 4 4 3 2 67. 07 RD 65 3 3 3 1 3
27. 07 RD 26 2 2 4 3 1 68. 07 RD 66 3 3 3 1 3
28. 07 RD 27 2 3 3 4 2 69. 07 RD 67 3 3 3 1 2
29. 07 RD 28 1 7 4 4 2 70. 07 RD 68 3 3 3 1 2
30. 07 RD 29 1 2 4 3 1 71. 07 RD 69 1 3 2 1 2
31. 07 RD 30 1 3 4 4 2 72. 07 RD 70 1 3 3 3 3
32. 07 RD 31 1 2 2 3 1 73. 07 RD 71 1 3 3 3 2
33. 07 RD 32 1 3 4 4 2 74. 07 RD 72 2 3 3 4 2
34. 07 RD 33 2 3 4 4 2 75. 07 RD 73 2 7 4 2 2
35. 07 RD 34 2 3 4 4 2 76. 07 RD 74 2 3 3 3 2
36. 07 RD 35 2 4 4 2 2 77. 07 RD 75 2 2 3 3 1
37. 07 RD 36A 3 3 3 2 5 78. 07 RD 76 2 3 3 3 2
38. 07 RD 36B 2 7 1 3 2 79. 07 RD 77 1 7 3 3 5
39. 07 RD 37 2 3 4 2 2 80. 07 RD 78 1 3 3 3 2
40. 07 RD 38 2 3 4 3 2 81. 07 RD 79 1 7 4 3 5
41. 07 RD 39 2 3 4 3 2 82. 07 RD 80 1 7 4 3 2

Keterangan:
Formasi: Mineral total: Piroksen:
1. Formasi Kalipalung 1. Plagioklas 1. Tidak ada
2. Formasi Kalibabak 2. Plagioklas, piroksen 5. Plagioklas, piroksen, klorit 2. Piroksen orto
3. Formasi Lekopiko 3. Plagioklas, piroksen, mineral lempung 6. Plagioklas, piroksen, kuarsa 3. Piroksen klino
4. Plagioklas, piroksen, mineral karbonat 7. Plagioklas, mineral lain 4. Piroksen klino dan orto

Plagioklas: Mineral Lempung:


1. Albit 3. Andesin 5. Bytownit 1. Tidak ada 3. Montmorilonit 5. Kaolinit
2. Oligoklas 4. Labradorit 6. Anortit 2. Diduga montmorilonit 4. Illit

Tabel 3. Hasil Uji Korelasi Tiga Formasi Batuan Dengan Metode Spearman, Gamma, dan
Kendall Berdasarkan Komponen Mineral Total, Plagioklas, Piroksen, dan Mineral
Lempung Pada Pengujian XRD

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 11


Geo-Sciences
Tabel 4. Hasil Perbandingan Dua Formasi Batuan Dengan Metode Wald-Wolfowitz Berdasarkan Komponen Mineral Total,
Plagioklas, Piroksen, dan Mineral Lempung Pada Pengujian XRD

Tabel 5. Hasil Perbandingan Dua Formasi Batuan Dengan Metode Kolmogorov-Smirnov Berdasarkan Komponen Mineral Total, Plagioklas,
Piroksen, dan Mineral Lempung Pada Pengujian XRD

Tabel 6. Hasil Perbandingan Dua Formasi Batuan Dengan Metode Mann-Whitney U Berdasarkan Komponen Mineral Total, Plagioklas, Piroksen,
dan Mineral Lempung Pada Pengujian XRD

12 JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009


Geo-Sciences
PEMBAHASAN memperlihatkan perbedaan cukup nyata (sedang
negatif). Kenyataan ini menunjukkan bahwa telah
Sesuai dengan topik penelitian, maka yang akan
terjadi perkembangan pada sumber breksi gunung
diungkap adalah hal-hal yang tidak atau belum
api di daerah kegiatan, dari andesit-basal pada fase
terlihat dengan nyata di lapangan dengan
pengendapan Formasi Kalipalung dan Formasi
menggunakan metode pengujian XRD di
Kalibabak berkembang menjadi dasit-andesit pada
laboratorium. Jenis komponen pada matriks breksi
fase pengendapan Formasi Lekopiko.
gunung api pada kenyataannya merupakan aspek
petrologi dan mineralogi yang tidak teridentifikasi di Dari pembahasan di atas dapat dikatakan bahwa
lapangan, sehubungan perbedaan jenis komponen peralatan XRD mampu untuk mengidentifikasi dan
matriks dari ketiga satuan batuan tersebut tidak membedakan formasi batuan secara tidak langsung,
begitu jelas terlihat di lapangan. Pengujian di dengan pengujian di laboratorium dan diikuti dengan
laboratorium dengan menggunakan peralatan XRD, verifikasi data. Hasil pengujian XRD terhadap
membuktikan tingkat perbedaan atau kesamaan percontoh matriks breksi yang dipilih berukuran
komponen matriks breksi gunung api ketiga satuan paling halus membuktikan hal ini. Di masa
batuan tersebut. mendatang perlu dicoba terus proses pengoperasian
peralatan pengujian terhadap percontoh yang sama
Berdasarkan data hasil pengujian XRD, setelah
akan dengan fraksi yang lebih kasar. Perlakuan
diverifikasi dengan statistik, tampak bahwa ada
percontoh terputar atau percontoh statis pada saat
korelasi yang cukup nyata (sedang negatif) di antara
perekaman data uji perlu dibandingkan, sejauh mana
ketiga formasi batuan yang ada. Korelasi dalam hal
perbedaan atau persamaan hasil ujinya. Parameter
ini adalah telah terjadinya perkembangan komponen
pengukuran yang berbeda-beda, seperti ukuran slit,
mineral penyusun matriks breksi gunung api.
kedudukan percontoh, ukuran arus dan tegangan,
Komponen plagioklas semakin asam seiring dengan
serta kecepatan mengukuran menjadi hal yang
berjalannya waktu, terutama pada saat Formasi
menantang untuk dicoba di masa mendatang.
Lekopiko terendapkan. Komponen plagioklas pada
Formasi Kalipalung dan Formasi Kalibabak yang
Box & Whisker Plot
semula berjenis andesin hingga labradorit, 5,5

berkembang menjadi albit hingga oligoklas pada 5,0

Formasi Lekopiko. Perkembangan lainnya adalah 4,5


perubahan piroksen klino dan orto, menjadi piroksen
4,0
orto dan akhirnya mineral ini tidak hadir. Selain itu,
3,5
montmorilonit yang semula cukup banyak, menjadi
sangat jarang dan atau digantikan oleh kaolinit. 3,0

Perubahan atau perkembangan seperti tersebut di 2,5

atas tampaknya sangat berkaitan dengan batuan 2,0

sumber breksi gunung api di daerah kegiatan. 1,5

Dengan asumsi bahwa iklim, kelerengan, lingkungan 1,0

pengendapan, tingkat pelapukan, dan tingkat ubahan 0,5


Mean
±SE
relatif sama antarwaktu, maka sumber batuan Mineral
Plagioklas
Piroksen
Lempung
±SD

menjadi faktor utama pembentuk perkembangan


tersebut.
Meskipun hasil uji korelasi statistik memperlihatkan
adanya perkembangan komponen yang cukup nyata,
akan tetapi hasil uji beda rata-rata komponen
menunjukkan persamaan dan perbedaan antar-
formasi batuan. Formasi Kalibabak dan Formasi
Kalipalung hingga saat ini dianggap merupakan dua
formasi batuan yang berbeda. Pembeda formasi ini
adalah lingkungan pengendapan laut dengan
komponen gampingan pada Formasi Kalipalung, dan
sebaliknya yang terjadi pada Formasi Kalibabak yang
diendapkan di darat tanpa unsur gampingan. Namun
demikian, hasil pengujian XRD tidak memperlihatkan
adanya perbedaan tersebut. Gambar 6. Perajahan kotak dan histogram komponen mineral total,
Hasil uji beda rata-rata antara Formasi Lekopiko plagioklas, piroksen, dan mineral lempung yang
teridentifikasi pada pengujian XRD.
dengan dua formasi batuan terdahulu

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 13


Geo-Sciences
KESIMPULAN memperlihatkan adanya perbedaan komponen
mineralogi yang nyata. Di lain fihak, perbedaan
n Hasil pengujian XRD pada fraksi terhalus
yang cukup nyata terjadi antara Formasi
matriks breksi gunung api ketiga formasi
Kalipalung dengan Formasi Lekopiko, begitu
tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan
pula Formasi Kalibabak dengan Formasi
dan perkembangan yang nyata. Komponen
Lekopiko. Perbedaan karakter ini merupakan
plagioklas semakin asam dari tua ke muda, yaitu
produk dari perkembangan sumber batuan yang
dari labradorit menjadi andesin hingga oligoklas
memang berbeda.
dan albit. Komponen piroksen berkembang dari
tua ke muda, yaitu piroksen klino dan orto
menjadi piroksen orto hingga piroksen tidak UCAPAN TERIMA KASIH
hadir. Mineral lempung montmorilonit dominan Pada kesempatan yang baik ini penulis mengucapkan
pada umur tua, semakin hilang pada umur muda terima kasih sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir.
atau digantikan oleh kaolinit.
H.R. Febri Hirnawan, atas masukan aspek metode
n Berdasarkan hasil uji beda yang telah dilakukan penelitian yang sangat baik, serta kepada Sdr. Herwin
tampak bahwa secara umum Formasi Syah dan Purwo Kawoco atas bantuan pendigitan
Kalipalung dan Formasi Kalibabak tidak peta dan pengambilan data uji.

ACUAN
Andi Mangga, S., Atmawinata, S., Hermanto, B., Setyogroho, B., dan Amin, T.C., 1994. Peta Geologi Lembar
Lombok, Nusa Tenggara Barat, Skala 1 : 250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi,
Bandung.
Arikunto, S., 1990. Manajemen Penelitian. Rineka Cipta, Jakarta, 645 p.
Bemmelen, R.W. van, 1949. The Geology of lndonesia vol. IA & IB Government Printing Office. The Hague,
Netherland.
Blown, I.G., 1976. Penelitian Sumber Air di Lombok. Direktorat Jenderal Pengembangan Air, Jakarta yang
bekerjasama dengan konsultan Kanada.
Franzen, M. 2002. Faster X-Ray Powder Diffraction Measurements. American Laboratory, February 2002, pp.
42-49.
Hasan, R., Subagio, S., Kawoco, P., Amar, dan Nawawi, O.W., 2007. Laporan Akhir Kegiatan Peningkatan
Laboratorium Uji: Metode X-Ray Diffraction (XRD) Untuk Studi Batuan Piroklastika Dari Daerah
Lombok Timur dan Sekitarnya, Nusa Tenggara Barat. Laporan Teknis Intern, Pusat Survei Geologi,
Bandung. Tidak terbit.
Hall, R. 2001. Cenozoic Reconstructions of SE Asia and the SW Pacific: Changing Patterns of Land and Sea. In
Metcalfe, I., Smith, J.M.B., Morwood, M., Davidson, I.D. eds. Faunal and Floral Migrations and
Evolutions in SE Asia - Australia. A.A. Balkema (Swets & Zeitlinger Publisher), Lisse, pp. 35-56.
Hall, R. dan Wilson, M.E.J., 2000. Neogene Sutures in Eastern Indonesia. Journal of Asian Earth Sciences 18
(2000), pp. 781-808.
Heek, J.G.B. van, 1909. Bijdragr tot de Geologische Kennis van bet Eiland Lombok. Jaarboek van Het
Mijnwezen 38, Wetenschappelijk Gedeelte, 30 p.
Jenkins, R. dan Snyder, R.L., 1996. Introduction to X-Ray Powder Diffractometry. John Wiley & Sons Inc., New
York.
Klug, H.P. dan Alexander, L.E., 1974. X-ray Diffractometry Procedures for Polycrystalline and Amorphous
Materials. John Wiley and Sons Inc., New York.

14 JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009


Geo-Sciences
Menking, K.M., Musler, H.M., Fitts, J.P., Bischoff, J.L., dan Anderson, R.S., 2001. Clay Mineralogical Analyses
of the Owens Lake Core. http://pubs.usgs.gov/of/ 1993/of93-683/3-sed-min/2-
clay/clay.html#abstract < 16/04/2007 >
Moore, D. M. dan R. C. Reynolds, Jr. (1989). X-ray Diffraction and the Identification and Analysis of Clay
Minerals. Oxford University Press, Oxford.
Poppe, L.J., Paskevich, V.F., Hathaway, J.C., dan Blackwood, D.S., 2001. A Laboratory Manual for X-Ray
Powder Diffraction. USGS Open-File Report 01-041. U.S. Department of the Interior, U.S.
Geological Survey
Sundhoro, H., Nasution, A., dan Simanjuntak, J., 2000. Sembalun Bumbung Geothermal Area, Lombok Island,
West Nusatenggara, Indonesia: An Integrated Exploration. Proceedings World Geothermal
Congress 2000. Kyusu-Tohoku, Japan, May 28 - June 10 2000.
Suratno, N., 1985. Laporan Penyelidikan Bahan Galian Kalsit Sebagai Bahan Pemutih (Whiting Material)
lndustri di Daerah Mencanggah, Sekotong Barat, Kabupaten Lombok Barat. Kanwil Depertamben,
Mataram.
Widhiyatna, D., Kamal, S., Soleh, A., dan Pohan, M.P., 2007. Penyelidikan Geokimia Regional Sistematik
Lembar Lombok, Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur dan Sumbawa,
Provinsi Nusa Tenggara Barat. Http://www.dim.esdm.go.id/index2.php?option=content&do
pdf=1&id=321 <27/02/2007>.

Naskah diterima : 10 Maret 2008


Revisi terakhir : 18 Januari 2009

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 15


Geo-Environment
MIKROTREMOR DAN PERCEPATAN TANAH MAKSIMUM KOTA MAKASSAR

A. Soehaimi
Pusat Survei Geologi
Jl. Diponegoro No. 57 Bandung 40122

SARI
Kota Makassar mempunyai jarak cukup jauh >50 km lajur sumber gempa bumi, namun susunan tanahnya lunak
sehingga dapat mengamplifikasikan getaran tanah akibat gempa bumi. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian
mikrozonasi kegempaan sebagai data dasar analisis risiko respons tanah setempat. Dalam penelitian ini peta mikrozonasi
kegempaan dibuat berdasarkan karakteristik dinamika tanah hasil penelitian mikrotremor. Tanah yang mempunyai
periode dominan panjang akan lebih berisiko dibandingkan dengan tanah periode dominan pendek. Periode dominan
tanah dihitung berdasarkan spektrum rasio horizontal terhadap vertikal (H/V) mikrotremor, sementara peta mikrozonasi
Kota Makassar dibuat berdasarkan variasi periode dominannya. Hasil penghitungan menunjukkan bahwa bagian barat
daya Kecamatan Tamalanrea mempunyai nilai periode dominan yang paling besar. Angka ini menurun secara bertahap ke
bagian timur Kota Makassar.
Kajian percepatan tanah maksimum (peak ground acceleration) memperlihatkan nilai percepatan tanah maksimum
tidak berbeda jauh antara satu kecamatan dengan kecamatan yang lain. Percepatan yang nilainya tinggi berada di bagian
timur Kota Makasar, yaitu Kecamatan Biringkanaya, Tamalanrea, dan Manggala dengan nilai percepatan sebesar 58,80,
56,84 dan 55,86 gal untuk selang waktu 500 tahun. Nilai percepatan tersebut semakin mengecil ke sebelah barat, yang
disebabkan oleh zona sumber gempa bumi terdekat dari Kota Makassar, yaitu sesar Walanae yang berada di sebelah timur
Kota Makassar.
Kata kunci: mikrozonasi, mikrotremor, sumber gempa bumi, respons tanah setempat, percepatan tanah

ABSTRACT
Makassar city has a relatively far distance > 50 km to the seismic source zone,but the soft soil condition in this area
produced significant amplification of earthquake ground shaking. Therefore, a microzonation study as a risk analysis of
local site response is basicaly needed. In this research, the earhquake microzonation map was made based on a soil
dinamic characterization of a microtremor investigation. The soil having a long predominant period is more risky
compared to that having short period of soil. The dominant period of soil at this investigation was calculated based on
horizontal towards vertical spectral ratios (H/V) of microtremors, meanwhile the microzonation map of Makassar City
was made based on the variation of a predominant period. The result of calculation shows that the south-western part of
Tamalanrea district has the longest predominant period. This predominant period gradually dereases to the eastern part
of Makasasar City.
Peak ground accelaration studies show the maximum ground accelaration is not defferent between one and the other
districts. The maximun ground accelaration belongs to Biringkanaya,Tamalanrea and Manggala districts (58,80 gal,
56,84 gal and 55,86 gal for 500 years) in the eastern part of Makassar City. This ground accelaration value becomes
less to the west, because the main seismic source zone of Walanae active fault is located at the eastern part of
Makassar City.
Keywords: microzonation, microtremor, earthquake source zone, site respons, peak ground acceleration

LATAR BELAKANG kota ini berperan penting dalam pembangunan


ekonomi dan kesejahteraan di kawasan timur
Pendahuluan Indonesia.
Kota Makassar sebagai ibu kota Provinsi Sulawesi Berdasarkan kondisi geologi dan kegempaannya,
Selatan merupakan pintu gerbang kawasan kota ini sebagian besar dibangun di atas endapan
Indonesia Timur dengan lima fungsi utama, yakni aluvium berumur Holosen dengan kondisi rentan
sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, industri, terhadap bahaya goncangan gempa bumi. Gempa
pariwisata, dan pelayanan. Hal tersebut menjadikan bumi dengan kekuatan > 6 SR pernah terjadi di

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 37


Geo-Environment
daerah Sulawesi bagian selatan (Kertapati, 1991), Lokasi
yakni gempa bumi Bulukumba (1828), gempa bumi
Daerah penelitian terletak di wilayah pemerintah
Tinambung (1967), gempa bumi Majene (1969),
Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan, yang
gempa bumi Mamuju (1972, 1974), serta gempa
terdiri atas empat belas kecamatan yang secara
bumi Pinrang (1997). Upaya memperkecil risiko
geografis terletak pada koordinat 119°22'00” BT -
bahaya gempa bumi di Kota Makassar ini, dilakukan
119°33'00” BT dan 05°03'00” LS - 05°15'00” LS
dengan studi parameter teknik kegempaan (respons
(Gambar 1).
tanah setempat) untuk penilaian besaran risiko
secara kuantitatif dari bahaya tersebut di atas.
METODE PENELITIAN
Maksud dan Tujuan Kajian ini disusun berdasarkan hasil analisis
mikrotremor. Adapun pengukuran mikrotremor
Maksud kajian ini adalah:
dilakukan di 63 titik ukur yang tersebar di wilayah
– Menkorelasikan kondisi geologi dan kegempaan Kota Makasar. Pengumpulan data dilakukan dengan
wilayah Seismometer Katsujima PMK 110 tiga komponen
yang direkam dengan data logger DataMark LS 8000
– Menentukan parameter dasar teknik kegempaan,
SH (Gambar 2), sedangkan penentuan titik ukur
dalam hal ini, respons spektral tanah setempat
dilakukan dengan GPS (Global Positioning System)
– Mengaplikasikan parameter dasar teknik Garmin 76 CS.
kegempaan untuk perhitungan percepatan gempa
Pengolahan data mikrotremor dilakukan dengan
bumi untuk desain Kota Makassar
perangkat lunak Seis 8,0 dan Origin 6,0. Nilai
Sedangkan tujuannya adalah: periode dominan terhitung untuk tiap-tiap titik ukur
dipetakan menjadi peta iso periode, yang dijadikan
– Mewaspadai kemungkinan risiko bahaya gempa dasar pembuatan peta mikrozonasi kerentanan
bumi. terhadap goncangan gempa bumi. Contoh rekaman
– Menerapkan nilai-nilai dasar teknik kegempaan mikrotremor dan spektrum hasil spektral analisis
dalam upaya memitigasi risiko bahaya gempa dapat dilihat pada Gambar 3 dan 4.
bumi.

Gambar 2. Peralatan mikrotremor.

Gambar 1. Peta lokasi penelitian.

38 JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009


Geo-Environment

Gambar 3. Contoh rekaman mikrotremor.

(a) (b)

Gambar 4. Spektrum hasil pemrosesan FFT pada


komponen EW (a), UD (b) dan NS (c) di titik
42.

(c)

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 39


Geo-Environment
Di samping data mikrotremor, dalam kajian ini juga bagian selatan, dapat ditelurusi geologi daerah
dilakukan analisis kebolehjadian percepatan tanah Makassar dan sekitarnya dikontrol oleh lima periode
untuk daerah penelitian. Kajian ini didasarkan pada tektonik, yakni Oligo-Miosen, Miosen Tengah, Mio-
sejarah kegempaan (historical seismicity) di sekitar Pliosen, Plio-Plistosen, dan Holosen.
daerah ini dengan menggunakan formula atenuasi
dari Fukusima dan Tanaka (1990) pada batuan dasar Tektonika Oligo-Miosen
dengan selang waktu 50, 100, 250 dan 500 tahun.
Indikasi tektonik Oligo-Miosen di daerah ini dapat
diamati di daerah antara Kota Takalar dan Jeneponto
TATAAN GEOLOGI serta tenggara Kota Maros, berupa struktur
Bentang alam perlipatan dan sesar dengan arah sumbu barat laut-
tenggara. Struktur geologi lipatan tersebut dijumpai
Bentang alam Kota Makassar berupa dataran pantai, pada batugamping Formasi Tonasa berumur Eosen
dataran sungai dan limbah banjir, serta tinggian sampai Miosen Awal. Batugamping Formasi Tonasa
berlereng landai. ini merupakan batuan tertua di daerah Makassar dan
sekitarnya.
Dataran Pantai
Dataran pantai dijumpai di sebelah barat dan utara Tektonika Miosen Tengah
poros jalan utama Makassar-Maros, dan berbatasan Pengaruh tektonik Miosen Tengah di Makassar dan
langsung dengan dataran sungai dan limbah banjir. sekitarnya menyebabkan terjadinya ketidak-
Dataran tersebut terdiri atas dataran gosong pantai, selarasan antara batugamping (Formasi Tonasa)
delta sungai, dan rawa bakau. Dataran pantai ini dengan batuan gunung api berselingan sedimen laut
menempati +40% kawasan Kota Makassar. Khusus (Formasi Camba). Selain ketidakselarasan tersebut
untuk rawa bakau, secara setempat terlihat sebagai pada perode ini terjadi pensesaran berupa sesar geser
lembah-lembah memanjang sejajar dengan garis mengiri dengan arah utara - selatan. Efek pensesaran
pantai. berupa munculnya lajur kekar-kekar tarik dengan
arah umum U 250° - 290°T.
Dataran sungai dan limbah banjir
Dataran sungai dan limbah banjir dijumpai di antara Tektonika Miosen-Pliosen
pedataran dua sungai besar yang membelah Kota Indikasi aktivitas tektonik Miosen-Pliosen di daerah
Makassar, yakni Sungai Jeneberang dan Salu Tallo. ini yakni terjadinya kegiatan magmatik berupa intrusi
Dataran lembah sungai terdiri atas beting dan teras berkomposisi basal dan dasit yang menerobos
sungai. Sementara dataran limbah banjir menempati batugamping Formasi Tonasa di sebelah tenggara
daerah sekitar sungai, terdiri atas kelokan (meander) Kota Maros. Sementara di tenggara dan barat Kota
sungai tua dan dataran endapan limbah banjir. Makassar terobosan tersebut berupa retas yang
Secara keseluruhan daerah ini menempati 30% menerobos batuan gunung api dan sedimen laut
wilayah Kota Makassar. (Formasi Camba), dengan pola retas mengikuti
retakan-retakan kekar tarik yang telah terbentuk
Tinggian Berlereng Landai pada periode tektonik Miosen Tengah. Pada periode
Daerah tinggian berlereng landai ini menempati tektonik ini muncul aktivitas gunung api dengan
daerah bagian utara, timur dan selatan Kota pusat erupsi yang dikelilingi oleh puncak-puncak
Makassar, meliputi daerah Biringkanaya, melingkar dari bukit Bonto Manae (881 m), Bonto
Akakukang, dan Sungguminasa. Secara keseluruhan Pasia (1340 m), Bonto Bulurea (1280 m) dan Bonto
daerah ini menempati +30% wilayah pusat Kota Taungi (1605 m) yang terletak di sebelah tenggara
Makassar dan pinggiran kota. Kota Maros. Selain itu, di sebelah tenggara Kota
Makassar juga terjadi aktivitas gunung api dengan
Tektonika dan Struktur Geologi pusat erupsi dikelilingi puncak melingkar dari Bonto
Saeru (875 m), Bonto Bulu Bune-bune (620 m),
Berdasarkan Peta Geologi Lembar Ujungpandang, Bonto Paowang (1144 m), serta Bonto Bulubu
Benteng dan Sinjai, Sulawesi Selatan (Sukamto dan (1034 m). Kedua gunung api tua tersebut
Supriatna, 1982) dan citra landsat daerah Sulawesi mengerupsikan lava dan breksi gunung api yang

40 JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009


Geo-Environment
tersebar di sekeliling pusat erupsinya. Pusat erupsi – Sumber gempa bumi patahan
gunung api tersebut dijumpai berupa kawah tua yang – Sumber gempa bumi penunjaman
memperlihatkan ciri struktur sesar turun yang – Sumber gempa bumi tersebar (diffuse)
berpola radial atau memancar.
Lajur Sesar Kerak Bumi Dangkal (Shallow Crustal
Tektonika Plio-Plistosen Fault Zone) daerah Sulawesi yang menimbulkan
kejadian gempa bumi yang terjadi dalam kerak bumi
Pada awal tektonik Plio-Plistosen, yakni pada akhir dangkal yaitu gempa-gempa bumi yang
kala Pliosen, daerah Makassar dan sekitarnya masih berhubungan dengan kegiatan sesar-sesar, seperti:
terjadi aktivitas terobosan basal yang kemudian sumber gempa bumi Walanae, Palu-Koro, Poso-
diikuti oleh erupsi gunung api Lompo Batang dan Wekuli, Matano-Tolo, Batui-Banggai-Sula, Balantak,
Bawakaraeng di sebelah tenggara Kota Makassar, Kolaka-Lawanopo, Wekuli, penunjaman Sulawesi,
dengan material erupsi berupa konglomerat, lava, diffuse, Buton dan sumber gempa bumi Mamuju.
breksi, lahar dan tufa. Pusat erupsi parasitnya
tersebar dengan arah utara-selatan mengikuti pola Berdasarkan data kegempaan yang dapat dihimpun
struktur utama kawasan gunung api Lompo Batang dari NEIC, USGS, dari tahun 1973 hingga 2005,
dan Bawakaraeng. pada kedalaman < 100 km dan kekuatan di atas 4,0
mb, Sulawesi Selatan dan sekitarnya terletak pada
Tektonik Holosen lajur gempa bumi dengan kedalaman sangat
Tektonik Holosen di daerah Makassar dan sekitarnya bervariasi dari dangkal hingga sedang (0 - 100 km).
dapat ditelusuri dari produk aktivitas tektonik Gempa bumi dangkal (0-33 km) umumnya terletak
tersebut yang berupa dinamika terbentuknya tiga seri pada lajur struktur sesar Walanae yang berarah barat
teras koral di lepas pantai Kota Maros. Selain itu, laut - tenggara, mulai dari barat daya Kota Mamuju,
dapat pula dijumpai tiga alur sungai tua yang Majene, Pinrang, Watansoppeng hingga Bulukumba
membentuk tiga delta pada muaranya. Berdasarkan dan menerus hingga pantai timur pulau Selayar.
indikasi tersebut di atas, diduga pada kala ini telah Selain gempa-bumi dangkal (0-33 km), pada lajur ini
terjadi tiga periode pengangkatan yang dimulai sejak juga berasosiasi gempa bumi-gempa bumi
+100 ribu tahun yang lalu. berkedalaman sedang (33 - 100 km). Hal ini
menunjukkan bahwa sesar Walanae ini merupakan
Sifat Fisik Batuan
sesar dengan penetrasi cukup dalam. Diduga sesar
Berdasarkan peta geologi tersebut di atas, batuan Walanae ini mempunyai kemiringan ke arah barat
penyusun di daerah Makassar dan sekitarnya terdiri dengan sudut > 60. Beberapa gempa bumi > 6.0
atas perselingan endapan hasil gunung api dan SR pernah terjadi pada lajur ini, yakni gempa bumi
sedimen laut (Formasi Camba), lava, breksi, tufa, Bulukumba (1828), Tinambung (1967), Majene
dan konglomerat hasil erupsi gunung api Baturape- (1969), Mamuju (1972, 1974), serta gempa bumi
Cindako. Kedua jenis batuan tersebut di atas Pinrang (1997). Mekanisme fokal gempa bumi
merupakan batuan dasar Kota Makassar dan
Pinrang dan Tinambung memperlihatkan sesar
sekitarnya. Berdasarkan ciri jenis batuannya, secara
mendatar, naik blok sebelah Barat cenderung
umum kedua macam batuan tersebut mempunyai
sifat fisik keras dan padu. Di atas kedua macam bergerak mengiri dan naik.
batuan tersebut dijumpai batuan endapan yang Kota Makassar terletak pada jarak yang relatif jauh
berumur lebih muda, yakni endapan pasir pantai, dari sumber seismik aktif. Walaupun demikian,
endapan rawa, endapan delta, endapan limbah endapan permukaan yang lunak di Kota Makassar
banjir, dan endapan alur sungai. Selain itu, dijumpai dapat memperbesar getaran tanah yang disebabkan
talus sebagai material sisa erosi permukaan. oleh gempa bumi jauh. Data kegempaan
menunjukkan walaupun kemungkinan terjadinya
KEGEMPAAN gempa bumi besar dekat Makassar rendah, potensi
kerusakan di kota tersebut yang disebabkan oleh
Berdasarkan data tektonik, geologi, dan kegempaan, gempa bumi jauh tidak dapat dikesampingkan.
maka di daerah Sulawesi dapat diindikasikan tiga
jenis sumber gempa bumi (Kertapati drr., 2004):

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 41


Geo-Environment
MIKROZONASI KOTA MAKASSAR Pengukuran mikrotremor di kota ini dilakukan di
kantor-kantor pemerintah, seperti kantor camat,
Pengukuran mikrotremor telah menjadi suatu
lurah, kompleks pertokoan, pinggir jalan raya, dan
metode populer untuk menentukan karakteristik jalan tol. Mengingat kondisi Kota Makassar yang
dinamik tanah. Pengamatan mikrotremor mudah cukup ramai, pengukuran dilakukan dalam grid yang
untuk dilaksanakan, murah, dan dapat dilakukan cukup rapat dengan jarak antar titik pengamatan
pada tempat dengan seismisitas rendah. Karenanya, sekitar 1,5 km X 1,5 km. Secara keseluruhan, Kota
pengukuran mikrotremor sangat cocok digunakan Makassar terukur sebanyak 63 lokasi pada kondisi
untuk mikrozonasi. tanah yang berbeda-beda.
Nakamura (1989) memodifikasi analisis Nilai periode dominan hasil perhitungan berdasarkan
mikrotremor dengan mengusulkan teknik baru, yang spektrum H/V rasio pada ke-63 titik ukur tersebut di
biasa dikenal sebagai metode H/V. Dalam teknik ini, atas disajikan dalam Tabel 1.
telah ditunjukkan bahwa efek sumber dapat Tabel 2 menyajikan hasil perhitungan percepatan
diperkecil dengan normalisasi amplitudo spektrum probabilistik tiap kecamatan di Kota Makassar.
horizontal dengan amplitudo spectrum vertikal. Percepatan desain ditentukan dari percepatan tanah
Metode ini mengangsumsikan: 1) Mikrotremor maksimum di permukaan tanah, yang dikoreksi
sebagian besar terdiri atas gelombang transversal berdasarkan jenis batuan dasar atau perlapisan
(shear); 2) Komponen vertikal gelombang tidak tanah setempat dan koefisien zona sumber gempa
diamplifikasi pada lapisan lunak dan hanya (Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengairan,
komponen horizontal yang diamplifikasi; 3) Tidak 1996) sebagai berikut :
ada amplitudo dalam arah spesifik berlaku batuan ad = ag x v
dasar, dengan kejadian tremor di segala arah; 4)
Keterangan :
Gelombang Rayleigh diasumsikan sebagai noise
microtremor. Dengan mengasumsikan bahwa ad = Percepatan desain (gal).
gelombang shear mendominasi mikrotremor, ag = Percepatan tanah dasar (gal).
Nakamura (1989) menunjukkan bahwa spektrum v = Faktor koreksi batuan dan tanah setempat.
rasio horizontal-to-vertical (H/V) mikrotremor sama
dengan fungsi transfer gelombang S antara Di Kota Makassar faktor koreksi pengaruh jenis tanah
permukaan tanah dan batuan dasar pada suatu setempat hanya terdiri atas dua faktor koreksi (v),
tempat. Hal tersebut berarti bahwa periode puncak yaitu untuk periode T = 0,25 detik adalah 0,9 dan
H/V sesuai dengan periode natural tanah setempat untuk 0,25 = T < 0,5 sebesar 1,0. Hasil perhitung-
dan nilai puncak itu sendiri adalah faktor an percepatan gempa desain di tiap kecamatan dapat
dilihat pada Tabel 3.
amplifikasinya.
Hasil perhitungan nilai periode dominan tanah
Sejumlah peneliti sudah melakukan studi stabilitas
daerah Kota Makasar berkisar antara 0,09 - 0,33
spektrum rasio H/V untuk rekaman gempa bumi
detik. Dari kisaran nilai tersebut selanjutnya
(Okuma et al., 2000). Studi yang dilakukan dilakukan pembagian zona dengan kisaran nilai
menunjukkan bahwa spektrum rasio H/V stabil untuk periode dominan tanah sebagai berikut :
rekaman gempa bumi, dan dapat digunakan untuk
memperkirakan karakteristik respons tanah Zona I periode dominan ( T ) < 0,15 detik
setempat. Zona II 0,15 < T 0,20 detik

Mikrozonasi berdasarkan analisis data mikrotremor Zona III 0,20 < T 0,25 detik
di Kota Makassar ini ditekankan pada perbedaan Zona IV T > 0,25 detik
respons dinamika tanah terhadap getaran alami,
Dari nilai-nilai periode dominan tersebut selanjutnya
yakni berupa perbedaan nilai periode alami tanah dilakukan plotting ke peta dasar menjadi Peta
setempat yang dapat menggambarkan sifat fisik Mikrozonasi Kerentanan Bahaya Gempa bumi
batuan dan tanah setempat. (Gambar 5).

42 JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009


Geo-Environment
Tabel 1. Hasil Pengolahan Data Mikrotremor dan Lokasi Titik Pengamatan
Zona I dengan periode dominan kurang dari
0,15 menempati Kecamatan Biringkanaya,
Tamalanrea, dan Manggala. Hasil ini sangat
cocok dengan pengamatan lapangan bahwa
daerah tersebut merupakan tanah berupa
batuan hasil gunung api dan sedimen laut
yang terdiri atas lava dan breksi, kerakal-
kerikil berpasir, dan merupakan batuan
dasar berumur Tersier.
Zona II dengan periode dominan antara
0,15 dan 0,2 detik menempati daerah
Ke c a m a t a n Ta m a l a t e , Ra p p o c i n i ,
Mamajang, Mariso, Makassar, Ujung
Pandang, Bontoala, Wajo, Ujung Tanah, dan
Talo. Hasil ini sesuai dengan tanah yang
terdiri atas pasir lempungan padat-keras,
endapan aluvium dari endapan torehan
sungai dan tanah yang terdiri atas lanau
lempungan dan endapan limbah banjir.
Zona III dengan periode dominan antara 0,2
dan 0,26 detik menempati Kecamatan
Rappocini bagian timur, Manggala bagian
barat, Panakkukang, dan Kecamatan
Tamalanrea bagian barat. Hasil ini sesuai
dengan keadaan fisik tanah yang terdiri atas
tanah aluvium, delta sungai, endapan rawa
lumpur dan sejenisnya, dan sebagian tanah
yang terdiri atas lanau lempungan dan
endapan limbah banjir.
Zona IV dengan periode dominan lebih besar
dari 0,26 detik menempati Kecamatan
Tamalate bagian barat daya. Daerah
tersebut menurut pengamatan di lapangan
terdiri atas tanah aluvium, delta sungai, endapan sumber gempa bumi terdekat dari Kota Makassar
rawa lumpur dan sejenisnya, serta sebagian tanah adalah sesar Walanae yang berada di sebelah timur
yang terdiri atas lanau lempungan dan, endapan Kota Makassar. Perhitungan percepatan tanah
limbah banjir. maksimum untuk Kota Makasar dapat dilihat pada
Tabel 2.
Dari kajian percepatan tanah maksimum (peak
ground acceleration - PGA), umumnya nilai Begitu juga nilai percepatan gempa desain nilai tinggi
percepatan tanah maksimumnya tidak berbeda jauh berada di bagian timur Kota Makassar di kecamatan
antara satu kecamatan dengan kecamatan yang lain. yang sama yaitu Kecamatan Biringkanaya,
Percepatan yang nilainya tinggi berada di bagian Tamalanrea, dan Manggala dengan masing-masing
timur Kota Makasar, yaitu Kecamatan Biringkanaya, nilai percepatan desain untuk 500 tahun sebesar
Tamalanrea, dan Manggala dengan nilai percepatan 52,92, 51,16 dan 50.27 gal. Perhitungan
sebesar 58,80, 56,84 dan 55,86 gal untuk selang percepatan gempa desain untuk Kota Makasar dapat
waktu 500 tahun. Nilainya semakin mengecil ke dilihat pada Tabel 3.
sebelah barat. Hal ini dapat dipahami karena zona

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 43


Geo-Environment
Tabel 2. Percepatan Tanah Maksimum ada Batuan Untuk Selang Tabel 3. Percepatan Gempa Desain Untuk Selang Waktu 50, 100, 250
Waktu 50, 100, 250 dan 500 tahun dan 500 tahun

B T

S
0 2,5 5 km

Gambar 5. Peta mikrozonasi Kota Makassar.

44 JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009


Geo-Environment
KESIMPULAN DAN SARAN Hasil perhitungan nilai percepatan probabilistik
n
menunjukkan bahwa tidak ada variasi yang
Berdasarkan penelitian dan kajian gempa bumi di
signifikan untuk wilayah Kota Makasar. Hal ini
Kota Makassar dapat diambil beberapa kesimpulan
disebabkan nilai percepatan tersebut adalah
sebagai berikut:
linear terhadap variasi jarak sumber gempa
Berdasarkan nilai periode dominan tanah,
n bumi.
wilayah Kota Makasar dapat dikategorikan
Integrasi
n antara nilai percepatan regional
menjadi empat zona kerentanan terhadap
maksimum terhitung dan nilai karakteristik
bahaya goncangan gempa bumi, yakni :
dinamika batuan dan tanah setempat,
Zona I
n periode dominan (T) < 0,15 detik merupakan data dasar utama dalam menghitung
(bagian timur Kota Makassar) kode bangunan tahan gempa bumi di wilayah
ini.
Zona II
n 0,15 < T < 0,20 detik (pusat Kota
Makassar) Perlu penelitian lebih detail mengenai kondisi
n
bawah permukaan untuk mengetahui
Zona III 0,20 < T < 0,25 detik
n
karakteristik endapan di bawah Kota Makassar.
Zona IV T > 0,25 detik (bagian barat daya Kota
n
Makassar). UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kepala
Pusat Survei Geologi atas diterbitkannya makalah ini.

ACUAN
Fukusima dan Tanaka, 1990. A new attenuation relation for feak horizontal acceleration of a strong earthquake
groundmotion in Japan., Seismologycal Society of America Bulletin, p 757-783.
Kertapati, E.K., Eka, T.P., 1991. Katalog gempa bumi merusak di Indonesia, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi (tidak dipublikasikan).
Kertapati, E.K., Soehaimi, A., dan J.H. Setiawan, 2004. Potensi sumber gempa bumi di Sulawesi, Majalah
Geologi Indonesia, Vol 19 No.2 IAGI.
Nakamura Y. A., 1989. A method for dynamic characteristics estimation of subsurface using microtremor on the
ground surface. Quaterly Report of Railway Technical research Institute.
Okuma, Y., Harada, T., Yamasaki, F., and Matsuoka, M., 2000. Site amplification characteristics in Miyasaki
Prefecture, Japan using microtremor and seismic records. Proceedings of the 6th International
Conference on Seismic Zonation : 551 - 556.
Puslibang Air., 1996 Pengembangan parameter percepatan daerah gempa kawasan barat Indonesia,
Departemen Pekerjaan Umum, Republik Indonesia.
Sukamto, R. dan Supriatna, S., 1982. Peta Geologi lembar Ujungpandang, Benteng dan Sinjai, Sulawesi.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.

Naskah diterima : 7 April 2008


Revisi terakhir : 4 Juli 2008

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 45


Geo-Environment
INDIKASI FENOMENA STRUKTUR GEOLOGI BAWAH PERMUKAAN DAERAH RENCANA
TAPAK PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA NUKLIR GUNUNG API GENUK DAN
SEKITARNYA, JEPARA, JAWA TENGAH
S. Panjaitan dan Subagio
Pusat Survei Geologi
Jl. Diponegoro No. 57 Bandung 40122

SARI
Umumnya anomali gayaberat di daerah penelitian terbagi atas dua kelompok yakni anomaly tinggi dengan kisaran nilai
dari 37 mgal hingga 43 mgal dan anomali rendah dengan variasi nilai dari 10 mgal hingga 37 mgal. Anomali tinggi
disebabkan oleh keberadaan batuan volkanik Kuarter dan anomali rendah meng-indikasikan keberadaan cekungan
sedimen. Analisis kuantitatif, anomali tinggi merefleksikan keberadaan batuan volkanik Kuarter dengan rapatmassa 2,8
gr/cm3 yang relatif lebih tinggi dibanding rapatmassa batuan di sekitarnya. Selain itu di daerah rencana tapak di Ujung
Lemahabang ini menunjukkan tidak dijumpai struktur patahan. Selanjutnya dalam radius 5 km dari daerah penelitian
diperkirakan tidak terdapat capable fault. Dalam area radius 25 km, terdapat dua patahan yang terletak di lepas pantai
dan tiga buah patahan lainnya terletak di sebelah barat daerah penelitian.
Kata kunci : Lemahabang, anomali gaya berat, cekungan sedimen dan patahan

ABSTRACT
Generally, gravity anomaly pattern in research area is devided into two groups, high anomaly with the value ranges from
37 mgal to 43 mgal, and low anomaly, varies from 10 mgal to 37 mgal. The high anomaly group might be caused by the
existing volcanic Quartenary rocks, and the low anomaly group indicates a sedimentary basin. Based on the result of
quantitative analysis, the high anomaly group reflects the existing volcanic Quartenary rocks with density 2.8 gr/cm3
relatively higher than surrounding. Analysis also shows in the site plan of Ujung Lemahabang the predicted faults are
not encountered. The area in radius 5 km from research area, predicted the capable fault not exist in radius 25 km,
found two faults ofshore and three faults in western part of investigation area.
Keywords : Lemahabang, gravity anomaly, sedimentary basin arc fault

PENDAHULUAN data dengan sebaran rinci. Sedangkan tujuannya


Penelitian Geofisika telah dilaksanakan Awal Mei adalah untuk melokalisir daerah intrusi, menentukan
dan bulan Nopember tahun 2007 selama 40 hari di kedalaman batuan dasar, ketebalan batuan kuarter
daerah Gunung api Genuk dan sekitarnya. Penelitian serta lapisan-lapisan batuan bawah permukaan yang
ini merupakan Studi Tapak PLTN (Pembangkit tertutup oleh vulkanik kuarter Gunung api Muria dan
Listrik Tenaga Nuklir) oleh BATAN (Badan Tenaga Gunung api Genuk. Kemudian hasil penelitian gaya
Atom Nasional) Jakarta. Untuk kegiatan tersebut berat diharapkan dapat memperkirakan daerah
telah dilakukan pengukuran gaya berat dalam rangka antiklin-sinklin maupun struktur patahan bawah
evaluasi dan analisis struktur geologi bawah permukaan yang terkait dengan permasalahan dan
permukaan di daerah ini. penyiapan tapak PLTN sesuai rekomendasi IAEA
1997-2005.

Maksud dan Tujuan Penelitian


Permasalahan
Maksud penelitian geofisika di daerah sekitar
Gunung api Genuk adalah untuk menambah dan Dari 62 butir permasalahan yang harus dilaksanakan
sesuai rekomendasi IAEA 1997-2005 maka
melengkapi data gaya berat yang telah terukur
penelitian gaya berat dapat berperan serta pada
sebelumnya (tahun 1997) sehingga dapat terkumpul
beberapa hal yaitu:

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 47


Geo-Environment
Butir 14. Interpretasi geofisika untuk vulkanologi, berat laut yang diambil dari basis data satelit yang
integrasi final data struktur menjadi ada di Pusat Survei Geologi Bandung. Penelitian ini
sebuah model yang reliable. diharapkan dapat menafsirkan struktur lokal dan
20. Integrasi data daratan dan lepas pantai regional serta hubungannya dengan struktur geologi
dengan korelasi stratigrafi dan struktur di lepas pantai.
dengan penggabungan data gaya berat
darat dengan laut. Metode Penelitian
21. Kompilasi data di daerah Tapak dan Metode geofisika yang digunakan dalam penelitian
sekitarnya menunjukkan ketidak adaan
ini adalah metode gaya berat yaitu berdasarkan
bahaya geologi seper ti patahan
permukaan dan lain lain. pengukuran adanya perbedaan kecil dari medan gaya
berat. Perbedaan ini disebabkan karena adanya
23. Sebagai pembanding dari laporan distribusi massa batuan yang tidak merata dikerak
NEWJEC dan NTT yang menyebutkan bumi, sehingga menyebabkan tidak meratanya
radius 5 km dari tapak tidak ada capable distribussi massa jenis batuan. Adanya perbedaan
fault. massa jenis dari satu tempat ke tempat lain akan
24. Analisis tentang kemungkinan tidak menimbulkan medan gaya berat yang tidak merata
terdeteksinya patahan pada radius 5 km pula dan perbedaan inilah yang terukur dipermukaan
dari tapak ke arah laut. bumi. Pengukuran yang dilakukan menggunakan 1
27. Koreksi minor table -2 NTT tentang (satu), perangkat Gravimeter La Coste & Romberg
patahan pada radius 25 km sebelum Type G 816 dengan nilai pembacaan 0 - 7000 mgal
dimasukkan ke dalam model dengan ketelitian 0.01 mgal dan apungan rata-rata
seismotektonik. kurang dari 1 mgal setiap bulannya, sehingga alat
tersebut layak untuk dipakai. Sebelum melakukan
28. Penambahan bahasan patahan laporan pengukuran di lapangan harus terlebih dahulu
final NTT mengenai patahan lepas pantai
dilakukan pembacaan di DGO Museum Geologi
pada radius 25 km.
Bandung. Kemudian dilakukan pengukuran di
30. Possible extension patahan U-S hingga stasiun rujukan (base station) lapangan yang
5 km ke lepas pantai semenanjung Muria. dianggap permanen sebagai titik pangkal utama dan
berfungsi sebagai acuan titik-titik lainnya.
Obyek Penelitian Pengolahan data lapangan dilakukan dengan
mereduksi data ukuran yaitu dengan mengubah dan
Daerah penelitian terletak di sekitar daerah Gunung memberikan berbagai koreksi seperti: koreksi pasang
Api Genuk (Gambar 1) yang mencakup rencana surut, koreksi apungan, koreksi medan, koreksi
lokasi bangunan reaktor nuklir di Desa Balongan lintang, koreksi udara bebas hingga memperoleh nilai
Ujung Lemahabang dan sekitarnya. Di sekitar daerah anomali Bouguer.
Tapak tersebut sebaran titik pengukuran gaya berat
(Gambar 2) dilakukan secara acak berjarak ± 500
hingga 700 meter, titik pengukuran berupa lintasan
berjarak ± 500 meter. Jarak pengamatan tergantung
kondisi di lapangan, jika nilai pengamatan konstan
dan hanya sedikit perobahan anomali, maka jarak
titik pengukuran akan diperpanjang sedangkan di
daerah-daerah tertentu yang memotong struktur,
jarak pengukuran diperrapat. Pengukuran semi rinci
sepanjang lintasan A - B dilakukan di utara Gunung
Api Genuk dengan arah barat-timur yang diduga
memotong struktur berarah utara-selatan hingga
semenanjung lepas pantai. Dua lintasan penampang
pemodelan gaya berat berjarak ± 15 km telah
dilakukan di sebelah utara (lintasan A-B), dan di
sebelah barat Gunung Api Genuk (lintasan C-D).
Gambar 1. Lokasi penelitian.
Penelitian ini telah dikorelasikan dengan data gaya

48 JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009


Geo-Environment
Geologi Daerah Penelitian dimana lava bersusunan basal dan andesit hasil
pentarikan K-Ar dari andesit-trakit menunjukkan
Daerah penelitian yang terletak disekitar Gunung Api
umur 0,75 - 0,11 juta tahun atau Plistosen Tengah-
Genuk (Gambar 3) termasuk kedalam lembar peta
Plistosen Akhir dan sebarannya terdapat di sekitar
gaya berat Kudus, di utara lembar ini dibatasi oleh
Gunung Api Genuk. Tuf Muria berwarna kuning
Laut Jawa, di barat oleh Lembar Semarang, di
berlapis kurang baik, tebal 5 m dan tuf pasiran
selatan oleh Lembar Salatiga dan di timur oleh
sampai lempungan ukuran lapili sampai halus sering
Lembar Rembang. Morfologi daerah ini termasuk
dijumpai lapisan bersusun sebagai sisipan dalam tuf
satuan kerucut gunung api dengan pola aliran sungai
dengan ketebalan antara 0,1 - 3,0 m. Umur satuan
radial, lembah sempit dengan tebing terjal ditempati
ini diperkirakan sama dengan Lava Gunung Api Muria
hasil kegiatan Gunung Api Muria dan Gunung Api
Plistosen-Holosen. Lava Muria terdiri atas lava
Genuk berupa lava, breksi, tuf dan batupasir.
basal, andesit, leusit-teprit, leusitit, trakit dan sienit.
Kelompok Gunung Api Genuk terletak di luar busur
Batuan ini secara umum memperlihatkan tekstur
gunung api Kuarter Jawa, tepatnya terletak di dalam
porfiritik dengan fenokris dari mineral piroksin,
cekungan busur belakang yang biasanya merupakan
plagioklas dan biotit dengan masa dasar dibentuk
tempat pengendapan batuan sedimen. Menurut
oleh mikrolit felspar dan kaca gunung api. Lava basal,
Edwards, drr. (1991) batuan kelompok Gunung Api
porfiritik, dengan fenokris terdiri atas augit, diopsit,
Muria, Gunung Api Genuk dan Gunung Api Rahtau
hipersten dan biotit dalam masadasar mikrolit
saat ini telah padam, merupakan hasil dari proses
felspar, piroksin dan kaca gunung api. Lava andesit
bersama antara proses supra tunjaman(supra-
berkomposisi mineral augit, hipersten, hornblende,
subduction processes) dan proses dalam lempeng
biotit, plagioklas, ortoklas dan bijih sedangkan
(within plate processes) yang aktif saat ini di selatan
batuan leusit-teprit dan leusitit komposisinya hampir
Pulau Jawa. Pemunculan gunung api ini diduga dan
sama. Leusitit mengandung plagioklas lebih sedikit
dikontrol oleh struktur geologi yang dalam.
sedangkan leusit-teprit terdapat fenokris plagioklas.
Kedalaman Benioff di busur gunung api Kuarter
Trakit bersusunan mineral plagioklas, sanidin,
Jawa berkisar 100-200 km, sedangkan di daerah
ortoklas, sedikit hornblenda atau biotit sienit
Gunung Api Muria kedalamannya kurang lebih 400
bersusunan plagioklas, ortoklas, augit dan biotit.
km (Hamilton, 1979).
Batuan beku ini dijumpai cukup banyak baik berupa
Satuan batuan yang paling tua di daerah ini, adalah lava maupun kepingan dalam breksi, sebarannya
Formasi Ngrayong terdiri atas perselingan napal terdapat di Gunung Api Pusan dan Gunung Api
berlapis kurang baik, batupasir dan batulempung Regas. Satuan batuan ini merupakan hasil kegiatan
dengan sisipan batugamping pasiran arah jurus barat Gunung Api Muria yang terjadi antara 0,64 - 0,03
daya - timur laut. Kemiringan perlapisan batuan juta tahun sampai 1,11 - 0,06 juta tahun atau
antara 10° - 15° berumur Miosen Tengah dengan Plistosen-Holosen. Batuan terobosan adalah retas
ketebalan berkisar 100 - 300 m tertindih selaras
basal dan andesit, retas leusit-teprit dan leusit, serta
oleh Formasi Bulu. Formasi Bulu terdiri atas
batugamping bersisipan batugamping pasiran dan retas sienit, batuan terobosan ini diduga berumur
batugamping lempungan. Batugamping berwarna Plistosen Tengah dan di beberapa tempat menerobos
putih abu-abu berlapis antara 4 - 15 cm, sedangkan lava Gunung Api Muria dan batuan Gunung Api
batulempung tebal perlapisan 5 - 10 cm dengan Genuk.
tebal seluruhnya diduga berkisar 100 - 300 meter Struktur geologi yang terdapat di daerah ini adalah
dan terdapat di sekitar Gunung Api Genuk berumur sesar dan kubah yaitu sesar normal dengan arah
Miosen Akhir. timur laut - barat daya yang menyesarkan
Formasi Patiayam terdiri atas perselingan batupasir batugamping Formasi Bulu. Kelurusan di jumpai di
tufaan dan konglomerat tufaan dengan sisipan Gunung Api Genuk utara, Gunung Api Muria. Di
batulempung, batugamping dan breksi vulkanik. Di Gunung Api Muria kelurusan menunjukkan berbagai
sekitar Gunung Api Genuk bagian utara dijumpai arah yang tidak teratur dari foto udara ditafsirkan
struktur kubah diapir di jumpai di daerah Patiayam.
lapisan bersusun dalam batupasir, konglomerat dan
Perkembangan Struktur dan tektonik maupun
batupasir yang tersebar di sekitar Patiayam sebelah sejarah geologi di daerah ini dimulai pada Kala
tenggara Gunung Api Muria berumur Pliosen. Miosen Tengah, pada saat itu daerah ini merupakan
Ketebalan lapisan lebih 100 m, dengan lingkungan cekungan laut dangkal dan terbentuk Formasi
pengendapan laut dangkal. Batuan Gunung Api Ngrayong. Cekungan ini menerus ke arah timur pada
Genuk terdiri atas lava, breksi gunung api dan tuf lembar Rembang dan ke selatan pada lembar

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 49


Geo-Environment
Salatiga, kemudian pada Kala Miosen Akhir di yang bersumber dari Gunung Api Genuk dan Gunung
endapkan Formasi Bulu. Cekungan tersebut Api Muria menghasilkan batuan gunung api serta
terangkat lemah oleh orogenesa pada Akhir Miosen diikuti dengan retas-retas batuan beku dan setempat
sampai Pliosen yang diikuti dengan pengendapan berasosiasi dengan batugamping. Pada Zaman
Formasi Patiayam. Di daerah ini terjadi Kuarter di Lajur Rembang pada lembar ini daerahnya
pengkubahan kecil dan Formasi Patiayam terangkat merupakan morfologi dataran rendah yang
hingga kepermukaan. Kegiatan gunung api Kuarter mengendapkan aluvium.

Gambar 2. Lokasi titik pengamatan yang rapat membentuk lintasan berselang antara 500 - 1000 m dan titik amat secara acak berselang
500 - 2000 m daerah Gunung Api Genuk Jepara, Jawa Tengah.

Gambar 3. Peta Geologi Lembar Kudus, Jawa Tengah. Sukardi, T dan Wikarno, R. 1992 daerah Gunung Api Genuk Jepara, Jawa

50 JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009


Geo-Environment
Anomali Bouguer bersumber dari anomali regional sedangkan sumber
magma kemungkinan besar berbentuk corong kecil
Pola anomali Bouguer (Gambar 4) mencerminkan
ke arah atas menghasilkan batuan vulkanik
kombinasi efek bawah permukaan lokal dan regional.
Anomali Bouguer di daerah penelitian mempunyai mengambang di atas permukaan, dimana fenomena
kisaran nilai dari 10 mgal hingga 42 mgal. Secara tersebut dapat dilihat pada penampang anomali
umum dapat dibedakan menjadi: sisa. (Gambar 8).

– Anomali gaya berat tinggi dengan nilai berkisar Anomali Sisa


antara 37 hingga 43 mgal ditafsirkan sebagai
cerminan keberadaan batuan vulkanik Kuarter Anomali sisa didapatkan dari pengurangan anomali
dan batuan Gunung Api Genuk. Bouguer terhadap anomali regional dan merupakan
efek anomali lokal saja. Anomali sisa ini diperlukan
– Anomali gaya berat 10 hingga 37 mgal sebagai
anomali rendah diduga disebabkan oleh tebalnya untuk menganalisis struktur lokal batuan di
batuan sedimen yang terendapkan dalam permukaan. Tampilan anomali sisa (Gambar 6)
cekungan di daerah tersebut. tampak sederhana, memberi kesan bahwa struktur
dan batuan yang terbentuk di daerah ini tidak begitu
Anomali tinggi tercermin pada peta anomali Bouguer komplek. Anomali di Gunung Api Genuk berbentuk
yang mencapai hingga 43 mgal terdapat di sekitar bulat hingga 12 mgal menerus ke arah pantai utara
Gunung Api Genuk (warna merah), membentuk (warna merah) bila dikorelasikan dengan peta geologi
klosur memanjang ke arah lepas pantai. Tingginya maka anomli di atas merupakan efek dari batuan
anomali tersebut diakibatkan timbunan material vulkanik Gunung Api Genuk. Anomali yang mengecil
batuan vulkanik Kuarter, yang membentuk di luar Gunung Api Genuk hingga 3 mgal (warna
perbukitan terjal. Anomali rendah di bawah 31 mgal kuning) merupakan sebaran batuan sediman dari
terdapat di sebelah barat di daerah Bondo dan di Formasi Patiayam yang sebarannya hingga pesisir
timur di daerah Grogolan. Bentuk anomali tersebut pantai. Anomali yang lebih kecil (warna biru-hijau)
memanjang ke arah utara (warna biru muda) hingga -2 mgal merupakan cerminan dari lapisan
membentuk sinklin. Secara umum kelurusan arah atas batuan vulkanik Gunung Api Muria dan
kontur anomali yang terbentuk di daerah ini adalah terbentuk di daerah sinklin memanjang ke arah utara.
arah barat daya - timur laut yang mencerminkan Menyikapi rekomendasi IAEA untuk mengetahui
struktur regional. korelasi stratigrafi di darat maupun struktur ke arah
lepas pantai, dapat dilihat dari peta anomali sisa ke
Anomali Regional arah lepas pantai (Gambar 7). Sebaran nilai anomali
Anomali regional didapatkan dari pengurangan sisa yang hampir sama berkisar 0-2 mgal terbentuk
anomali Bouguer terhadap anomali sisa (Gambar 5) di selatan dan di utara Gunung Api Genuk
yang membentuk kontur anomali membentang arah mencerminkan satuan batuan yang terbentuk tidak
timur-barat antara 28 mgal hingga 40 mgal (warna jauh berbeda dari susunan batuan di darat maupun di
merah). Anomali tersebut dibentuk oleh rapat massa laut, yaitu batuan vulkanik Gunung Api Muria atau
batuan yang besar di utara Gunung Api Genuk Gunung Api Genuk. Anomali sebelah timur
hingga ke lepas pantai. Anomali tinggi dijalur tersebut mempunyai nilai yang sama dengan anomali di
kemungkinan besar diakibatkan adanya jalur magma Gunung Api Genuk sebesar 11.5 mgal. Anomali
membeku di bawah permukaan arah barat-timur. tinggi di lepas pantai ditafsirkan sebagai akibat
Sedangkan ke arah selatan anomali regional semakin terbentuknya gunung api yang kemungkinan besar
mengecil (warna kuning). Adanya anomali membulat sudah padam menyerupai Gunung Api Genuk atau
tinggi pada anomali Bouguer maupun anomali sisa kemungkinan terdapat rapat massa batuan dari
yang terbentuk di sekitar Gunung Api Genuk adalah intrusi batuan beku. Tampilan dari ketiga anomali
diakibatkan oleh anomali lokal bukan diakibatkan tersebut dapat dilihat pada blok diagram (Gambar
anomali regional karena anomali regional justru 10) yang mengindikasikan perbedaan antara
terbentuk di utara lepas pantai dan tidak terbentuk di anomali tinggi dan rendah cukup mencolok bernilai
bawah Gunung Api genuk. Anomali lokal yang antara 11.5 hingga 12 mgal. Dari ciri khas
terbentuk di pipa kepundan diakibatkan oleh anomalinya daerah tersebut dipisahkan oleh struktur,
pembekuan magma di bawah permukaan. Diduga dimana anomali rendah pada sisi barat dan timur di
retas pipa kepundan miring ke arah selatan yang utara lepas pantai membentuk daerah subsinklin dan
graben.

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 51


Geo-Environment

Gambar 4. Peta anomali bouguer memperlihatkan tinggian anomali 47 mgal dibentuk Gunung Api Genuk. Anomali rendah di selatan dan timur
membentuk sinklin kelurusan anomali bouguer ke arah timur laut dan barat laut mencerminkan arah struktur regional ke arah tersebut di
daerah Gunung Api Genuk Jepara, Jawa Tengah.

Gambar 5. Peta anomali regional memperlihatkan tinggian anomali di utara lepas pantai (warna merah) sedangkan anomali bouguer 47 mgal tidak
tampak terbentuk di bawah Gunung Api Genuk. Melainkan justru terbentuk di utara. Anomali lebih rendah terdapat di utara lepas pantai hingga
26 mgal, sehingga tinggian anomali di Gunung Api Genuk terbentuk mengambang di atas permukaan dan diduga magma bersumber dari
utara lepas pantai di daerah Gunung Api Genuk, Jepara, Jawa Tengah.

52 JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009


Geo-Environment

Gambar 6. Peta anomali sisa memperlihatkan pola anomali hampir sama dengan anomali bouger. Tinggian anomali hingga 14 mgal dibentuk Gunung
Api Genuk dan rendahan anomali sebelah barat dan timur membentuk sinklon di daerah Gunung Api Jepara, Jawa Tengah.

Gambar 7. Peta image anomali sisa sekitar Gunung Api Genuk hingga lepas pantai memperlihatkan tinggian anomali 14 mgal mencerminkan kubah
Gunung Api Genuk dan gunung api di laut sebesar 10 mgal. Rendahan anomali sebelah timur dan barat membentuk sinklin di daerah Gunung
Api Genuk Jepara, Jawa Tengah.

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 53


Geo-Environment
Analisis Penampang A - B – Lapisan ke empat terdiri atas Formasi Ngaroyong
Panjang lintasan penampang berkisar 35 km arah berumur Miosen Tengah mempunyai rapat massa
barat-timur (Gambar 8) dimulai dari sinklin Bondo di 2,55 gr/cm³ terdiri atas perselingan napal,
barat kemudian ke lepas pantai di daerah batupasir dan batulempung dengan sisipan
Lemahabang terus berlanjut ke daerah Gunung Api batugamping pasiran dengan lipatan landai
Genuk dan berakhir di lepas pantai sebelah utara antara 10 - 15º.
Rembang (Gambar 7). Penentuan rapat massa – Lapisan ke lima mempunyai rapat massa 2,9
batuan sebagian diambil dari penelitian gaya berat gr/cm³ terdiri atas batuan metamorf terbentuk
tahun 1997 di daerah Gunung Api Muria dan antara kedalaman 2500-3000 m sebagai batuan
sebagian lagi diambil dari literatur dengan cara dasar. Kedalaman batuan dasar dapat
mengkorelasikan jenis batuan dari satu formasi dibandingkan dengan lintasan seismik di
dengan tabel nilai rapat massa batuan yang telah Cekungan Jawa Barat bagian Utara yang
ada. Secara berurutan dari atas ke bawah lapisan- umumnya terbentuk pada kedalaman yang
lapisan batuan dikelompokkan berdasarkan hampir sama di bawah batuan vulkanik
kesamaan rapat massa serta mengkorelasikannya Jatibarang. Batuan dasar tersebut menerus ke
dengan keadaan geologi setempat. timur, hingga ke Cekungan Jawa Timur dan ke
– Lapisan pertama mempunyai rapat massa batuan barat hingga ke cekungan minyak bumi di daerah
2,4 gr/cm³ terdiri atas batuan Gunung Api Muria Bekasi Jawa Barat. Batuan dasar tersebut
berumur Plistosen-Holosen disusun oleh lava, tuf, ditandai homogenitas gelombang seismik di
lahar dan tufa pasiran. Sebaran batuan ini sangat lapisan paling bawah, seperti yang dijumpai di
luas hingga ke lepas pantai dan menempati daerah Cepu, Rembang Zone dan Randublatung
sekitar 85 % dari seluruh daerah penelitian. Zone. Di bawah lapisan batuan metamorf
Singkapan batuan ini terbentuk di lapisan paling mungkin masih terdapat batuan beku berbentuk
atas, dengan ketebalan lapisan bervareasi antara batolit ataupun dengan bentuk lain.
200 - 400 m.
Analisis Penampang C - D
– Lapisan ke dua mempunyai rapat massa 2,5
gr/cm³ terdiri atas Formasi Patiayam berumur Panjang lintasan C - D berkisar 13 km arah barat
Pliosen, disusun oleh perselingan batupasir tufaan daya - timur laut (Gambar 9), pada umumnya
dan konglomerat tufaan dengan sisipan susunan batuan pada penampang ini tidak jauh
batulempung, batugamping dan breksi. Batuan berbeda dengan penampang A-B. Lapisan paling atas
ini tersingkap hanya di sekitar Gunung Api Genuk terbentuk di sebelah barat penampang yaitu dengan
dan ke arah selatan Gunung Api Muria menerus rapat massa batuan 2,4 gr/cm³ berumur Plistosen-
hingga ke lepas pantai dengan ketebalan sekitar Holosen terdiri atas tuf, lahar, tufa pasiran dengan
300 - 400 m pada kedalaman ± 1000 m. ketebalan antara 300-400 m. Rapat massa 2,8
gr/cm³ terdapat di lapisan bawahnya diduga
– Lapisan ke tiga mempunyai rapat massa 2,6 bersumber dari lava Gunung Api Muria. Batuan
gr/cm³ terdiri atas Formasi Bulu berumur Miosen vulkanik yang terdapat di sekitar Gunung Api Genuk,
Akhir, terdiri atas batugamping bersisipan susunan batuannya sama dengan penampang di
batugamping pasiran dan batugamping atas. Batuan dasar pada penampang tidak dapat
lempungan. Batuan ini hanya sedikit muncul di dianalisis dengan baik karena panjang lintasan
sebelah timur Gunung Api Genuk dan diduga sangat pendek sehingga pemodelan kedalaman
tersingkap karena tersesarkan. Singkapan yang maksimum antara anomali dihitung dan diamati
sangat luas terdapat di daerah tenggara lembar hanya berkisar 2 km.
peta, ketebalan lapisaan batuan ini mungkin
sekitar 400 - 600 m pada kedalaman ±1600 m.

54 JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009


Geo-Environment

Gambar 8. Penampang A - B daerah Gunung Api Genuk dan lepas pantai memperlihatkan beberapa pendugaan patahan yang tercermin dari
kelurusan anomali sisa dari 2-4 mgal (gambar6). Anomali tinggi di Gunung Api Genuk dan lepas pantai membentuk gunung api,
sedangkan anomali rendah membentuk subsinklin lokal yang terkait dengan pematahan bongkah pada batuan dasar hingga ke
permukaan daerah Gunung Api Genuk Jepara, Jawa Tengah.

Gambar 9. Penampang C-D memperlihatkan patahan dengan kelurusan anomali 4 mgal pada anomali sisa barat laut -
tenggara, patahan inipun tercermin pada citra landsat di Kali Gelis selatan Gunung Api Jepara, Jawa Tengah.

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 55


Geo-Environment
Blok Diagram Tiga Dimensi hingga ke gunung api di lepas pantai. Sedangkan di
Tampilan anomali sisa pada blok diagram sangat sebelah barat pantai, batuan dasar terbentuk pada
baik ditafsirkan oleh akhli vulkanologi untuk kedalaman 2000 hingga 2900 m (warna merah).
menjawab point 14. Gambar 10 memperlihatkan Kedalaman batuan dasar di daerah sinklin Bondo
sebaran pola anomali tinggi dan rendah. Anomali terbentuk lebih dalam, sedangkan di daerah
tertinggi muncul disekitar Gunung Api Muria subsinklin sebelah timur terbentuk pada kedalaman
mencapai nilai 26 mgal, sedangkan anomali rendah > 3500 m. Pada gambar tersebut patahan diduga
tersebar di daerah lepas pantai utara dan di daerah membentuk kelurusan-kelurusan ke beberapa arah
sebelah selatan Gunung Api Muria yang mencapai yang menunjukkan hampir sama dengan kelurusan
nilai - 14 mgal. Anomali di daerah Gunung Api Genuk anomali Bouguer. Beberapa sesar yang terbentuk
dan di lepas pantai membentuk pola memanjang dan pada penampang mungkin membentuk sesar
mengerucut seolah-olah membentuk Gunung Api mendatar menganan (Sidarto, drr. 1999) sesar
Maars yang pada bagian tengah tumbuh Gunung api
tersebut dicirikan oleh kelurusan anomali sisa.
Strato. Anomali rendah antara -2 hingga -14 mgal
Antara batuan dasar di sebelah barat dengan timur
membentuk sinklin yang besar terdapat di lepas
pantai, sedangkan sinklin di selatan Gunung Api dipisahkan oleh rendahan batuan yang lebih dalam,
Muria membentuk Sinklin Pati arah barat daya - kemungkinan membentuk subsinklin (warna biru).
timur laut. Dimensi sinklin lebarnya 10 km dan Pada kedalaman tersebut ada jalur pemisah berupa
panjang 35 km fenomena sinklin yang besar tersebut struktur patahan seperti yang tercermin pada
juga tampak pada peta geologi Lembar Rembang. penampang A-B. Kelurusan tiga dimensi identik
Sedangkan subcekungan yang terbentuk di sisi dengan anomali Bouguer membentuk beberapa
Gunung Api Genuk luasnya berkisar 7 km kali 13 km patahan menerus hingga ke batuan dasar.
sehingga sinklin yang terdapat di daerah ini jauh Pematahan bongkah pada batuan dasar
lebih kecil, kemungkinan terbentuk akibat runtuhan menyebabkan terjadinya subsinklin dan patahan.
dinding kaldera. Anomali rendah sebelah timur Anomali tinggi di daerah ini disebabkan oleh
Gunung Api Genuk kemungkinan membentuk timbunan batuan vulkanik dari lava, breksi dan tuf.
subsinklin arah utara-selatan berlawanan dengan
Atau akibat pembekuan magma membentuk corong
arah struktur regional yang terbentuk di daerah ini.
kecil dari pipa kepundan pada akar batuan vulkanik.
Penyebab arah subsinklin tersebut adalah adanya
dua fenomena perioda tektonik yang berbeda fase Batuan dasar terbentuk pada kedalaman antara
atau kemungkinan robohnya dinding kawah yang 2500 - 3000 m diduga terdiri atas batuan metamorf,
besar membentuk subsinklin. Tampilan anomali kemungkinan batuan dasar yang sebenarnya adalah
gaya berat yang terbentuk di daerah ini secara batuan beku dengan rapat massa lebih besar
regional sangat jauh berbeda dengan tampilan dibanding batuan metamorf. Struktur patahan dan
anomali di daerah sebelah timur Sinklin Pati yaitu sinklin diduga terbentuk dalam dua kelompok yaitu
daerah Zona Rembang. Arah Struktur antiklin dan arah barat daya - timur laut dan barat laut - tenggara
sinklin yang terbentuk di Zona Rembang adalah menerus hingga ke batuan dasar. Analisis batuan
timur-barat dengan sesar-sesar arah barat daya - dasar dapat dilihat pada lapisan ke lima yang
timur laut yang dikenal sebagai penghasil minyak mempunyai rapat massa 2,9 gr/cm³ ditafsirkan
bumi/gas alam. sebagai batuan metamorf, yang terbentuk antara
kedalaman 2500-3000 m. Kedalaman batuan dasar
Konfigurasi Batuan Dasar tersebut dapat dibandingkan dengan lintasan seismik
Bentuk tiga dimensi dari kedalaman batuan dasar di Cekungan Jawa Barat bagian utara di bawah
dapat dilihat pada (Gambar 11). Kontur kedalaman batuan vulkanik Jatibarang hingga ke Cekungan
batuan dasar dibuat berdasarkan kedalaman Minyak bumi di daerah Bekasi. Batuan dasar tersebut
penampang kemudian di grid kembali. Di sekitar diduga menerus hingga ke Cekungan Jawa Timur
Gunung Api Genuk batuan dasar menunjukkan nilai (daerah Cepu, Rembang Zone dan Randublatung
pada kedalaman 2200 hingga 2900 m dari per- Zone) di bawah Formasi Kujung ditandai oleh
mukaan. Pada kedalaman tersebut kontur menerus homogenitas gelombang seismik di lapisan paling
bawah.

56 JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009


Geo-Environment

Gambar 10. Blok diagram tiga dimensi anomali sisa antara 6 - 26 mgal memperlihatkan bentuk Gunung Api Muria, Genuk dan Gunung Api Lepas
Pantai. Tampilan anomali tersebut cenderung membentuk Maar atau Kaldera dan pada bagian tengah seolah-olah membentuk
Gunung Api Strato. Anomali rendah mencapai -2 - 14 mgal di utara dan selatan Gunung Api Muria membentuk sinklin Pati dan sinklin
di lepas pantai sedangkan anomali rendah sebelah barat dan timur Gunung Api Genuk membentuk subsinklin Jepara, Jawa Tengah.

Gambar 11. Bentuk tiga dimensi batuan dasar dan kontur kedalaman memperlihatkan batuan dasar ke dalam dangkal antara 1.5 - 3 km (warna merah) di
daerah Gunung Api Genuk dan lepas pantai. Batuan dasar terdalam >3 km terbentuk di daerah subcekungan Bondo dan Kembang. Gambar
bawah memperlihatkan morfologi batuan dasar mirip dengan anomali sisa yang mencerminkan patahan regional dan sinklin menerus hingga
ke batuan dasar daerah Gunung Api Genuk Jepara, Jawa Tengah.

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 57


Geo-Environment

Gambar 12. Peta struktur bayangan tiga dimensi dikorelasikan dengan peta batuan dasar (Gambar 11) memperlihatkan daerah kelurusan anomali
mencerminkan sesar regional dan sinklin mempunyai lokasi yang hampir sama sehingga struktur yang terbentuk diakibatkan pematahan
bongkah pada batuan dasar (Gambar 9) menerus hingga ke permukaan. Struktur patahan yang terbentuk di darat dan di laut sebanyak lima
buah, sinklin dua buah dan secara umum berarah Barat Laut - Tenggara, Barat Daya - Timur Laut Gunung Api Genuk Jepara, Jawa Tengah.

Peta Struktur Pada peta bayangan struktur (Gambar 12) terdapat


beberapa patahan regional diantaranya tiga buah
Perkembangan struktur dan tektonik maupun
sesar di lepas pantai, satu buah arah Baratlaut-
sejarah geologi di daerah ini dimulai pada Kala
Tengara dan dua buah arah barat daya - timur laut.
Miosen Tengah, pada saat itu merupakan cekungan
Sedangkan di darat sekitar Gunung Api Genuk
laut dangkal yang membentuk Formasi Ngrayong.
terdapat empat buah sesar, diantaranya tiga buah
Cekungan tersebut menerus ke arah timur pada
arah barat daya - timur laut dan satu buah arah barat
Lembar Rembang dan Salatiga (Kadar, D. dan
laut - tenggara. Sesar sejajar Kali Gelis sebelah barat
Sujiono. 1994). Cekungan terangkat lemah oleh
Gunung Api Genuk lokasi dan arahnya hampir sama
orogenesa pada Akhir Miosen sampai Pliosen yang
dengan lokasi patahan hasil analisis dari Citra landsat
diikuti dengan pengendapan batuan. Kemudian di
(Sidarto, drr.1999) sesar lokal juga diduga masih
daerah ini terjadi pengkubahan kecil dan Formasi
ada terbentuk di daerah ini. Perbedaan antara
Patiayam terangkat hingga kepermukaan. Kegiatan
anomali rendah dan tinggi serta kelurusan-kelurusan
Gunung api Kuarter bersumber pada Gunung Api
anomali oleh sesar, membentuk graben di utara lepas
Genuk dan Gunung Api Muria yang menghasilkan
pantai Gunung Api Genuk.Sebaran batuan sedimen
batuan vulkanik serta diikuti dengan retas-retas
dan vulkanik sangat luas hingga ke utara lepas pantai
batuan beku setempat. Pemunculan kelompok
(warna kuning) dibatasi oleh sesar pada kedua
Gunung Api Genuk dan gunung api di lepas pantai
sisinya. Daerah subsinklin dicirikan anomali rendah
tidak terletak dalam busur gunung api Kuarter Jawa,
memanjang bernilai -2 mgal, di daerah ini (tepatnya
tetapi terletak di dalam cekungan busur belakang.
di Balongan Ujung Lemahabang) direncanakan akan
Menurut Edwarts, drr. (1991) batuan kelompok
didirikan lokasi PLTN. Lokasi tersebut berada pada
Gunung Api Muria, Gunung Api Genuk, Gunung Api
jalur subsinklin yang lebih dangkal dengan nilai
Rahtau saat ini telah padam. Kedalaman Zona
anomali sisa 2 mgal dengan kedalaman 3400 m. Di
Benioff di busur Gunung api Kuarter Jawa berkisar
daerah Grogolan sebelah timur juga terdapat
100-200 km, sedangkan di daerah Gunug Api Muria
subsinklin memanjang ke arah utara yang
kedalamannya kurang lebih 400 km (Hamiltton,
memisahkan anomali tinggi Gunung Api Genuk
1979) sehingga pemunculan gunung api ini diduga
dengan anomali tinggi sebelah timur lepas pantai
dikontrol oleh struktur geologi yang dalam.
yang dipisahkan oleh sesar mendatar. Struktur sesar

58 JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009


Geo-Environment
yang terbentuk di darat pada umumnya tidak Api Genuk, melainkan anomali tinggi tersebut
menerus ke laut dan panjang sesar berkisar 5 km justru terbentuk memanjang arah Barat-Timur di
kecuali sesar di Kali Gelis sekitar 7 km. Pola struktur lepas pantai. Cerminan dari penampang anomali
yang terbentuk di daerah ini dikenal sebagai Tinggian tinggi adalah bersifat lokal dan bukan
Muria, secara umum Sinklin Pati dan sinklin di Lepas diakibatkan oleh pembekuan magma yang besar
pantai dibentuk oleh gaya-gaya perlipatan arah barat di bawah permukaan. Pembekuan magma pada
laut - tenggara yang membentuk sinklin barat daya - pipa kepundan relatif kecil dan mengambang di
timur laut. Tektonik di daerah ini sangat berbeda atas permukaan bersama-sama batuan
dengan tektonik sebelah timur lembar peta pada vulkanik.
Zona Rembang. Dimana bentuk antiklin dan sinklin
Batuan dasar terbentuk pada kedalaman antara
n
hampir berarah timur - barat. Demikian juga sesar-
2500 - 3000 m diduga terdiri atas batuan
sesar yang terbentuk umumnya berarah barat daya -
metamorf, kemungkinan batuan dasar yang
timur laut sesuai dengan arah tektonik regional Pulau
sebenarnya adalah batuan beku dengan rapat
Jawa akibat adanya subduksi di selatan Laut Jawa.
massa yang lebih besar di bawah batuan
Tektonik yang berkembang di daerah ini tidak begitu
metamorf. Struktur patahan dan sinklin
kuat, terbukti dari Formasi Ngaroyong berumur
terbentuk dalam dua kelompok yaitu arah barat
Miosen kemiringannya hanya sekitar 10º - 15º. Hal
daya - timur laut dan barat laut - tenggara
tersebut bisa dilihat pada penampang anomali sisa,
menerus hingga ke batuan dasar. Analisis batuan
bahwa kemiringan batuan sedimen relatif landai.
dasar dapat dilihat pada penampang (Gambar 8)
Adanya anomali tinggi yang terbentuk pada
lapisan ke lima yang mempunyai rapat massa
penampang diduga tidak diakibatkan oleh perlipatan
2,9 gr/cm³ diduga terdiri atas batuan metamorf,
batuan yang kuat, tetapi semata-mata disebabkan
terbentuk antara kedalaman 2500 - 3000 m.
oleh pengaruh batuan vulkanik dan lava yang
Kedalaman batuan dasar tersebut dapat
mengambang lalu membeku di atas permukaan
dibandingkan dengan lintasan seismik di
(lihat gambar 8-9).
Cekungan Jawa Barat bagian Uuara di bawah
batuan vulkanik Jatibarang hingga ke Cekungan
KESIMPULAN Minyak bumi di daerah Bekasi. Ciri khas batuan
Anomali Bouguer di daerah penelitian mempunyai dasar tersebut adalah sama hingga ke Cekungan
nilai dari 10 mgal hingga 42 mgal, dikorelasikan Jawa Timur daerah Cepu, Zona Rembang dan
dengan geologi setempat dapat di bedakan menjadi: Zona Randublatung di bawah Formasi Kujung.
Umumnya batuan dasar ditandai oleh
Anomali gaya berat tinggi dengan nilai sekitar 37
n homogenitas gelombang seismik di lapisan
mgal hingga 43 mgal ditafsirkan sebagai paling bawah.
tinggian batuan vulkanik Kuarter.
Dari pemodelan Kuantitatif dari penampang
Anomali gaya berat rendah 10 hingga 37 mgal
n diperoleh hasil sebagai berikut:
diperkirakan sebagai cerminan subsinklin dari
batuan sedimen. Lapisan pertama mempunyai rapat massa
n
batuan 2,4 gr/cm³ terdiri atas batuan Gunung
Anomali
n sisa hingga 14 mgal terbentuk Api Muria yang berumur Plistosen-Holosen
melingkar pada Gunung Api Genuk, sedangkan disusun oleh lava, tuf, lahar dan tufa pasiran.
anomali yang sama juga didapatkan di lepas
pantai sebelah barat dan timur. Anomali tinggi Lapisan ke dua mempunyai rapat massa batuan
n
tersebut diduga bagian dari gunung api sejenis 2,6 gr/cm³ terdiri atas Formasi Patiayam
dengan Gunung Api Genuk hanya saja tidak berumur Pliosen, disusun oleh perselingan
tampak di permukaan karena tergenang oleh air batupasir tufaan dan konglomerat tufaan,
laut. dengan sisipan batulempung, batugamping dan
breksi.
Dapur magma di Gunung Api Genuk di duga
n
miring ke selatan dan massa anomali tinggi Lapisan ke tiga mempunyai rapat massa
n 2,5
bersumber dari utara lepas pantai. gr/cm³ terdiri atas Formasi Bulu berumur Miosen
Kenampakan anomali regional (Gambar 4) Akhir, terdiri atas batugamping bersisipan
hingga 40 mgal tidak tampak di bawah Gunung batugamping pasiran dan batugamping
lempungan.

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 59


Geo-Environment
Lapisan ke empat terdiri atas Formasi Ngaroyong
n patahannya tidak mencapai daerah tapak,
berumur Miosen Tengah mempunyai rapat demikian juga patahan dari arah darat.
massa 2,55 gr/cm³ terdiri atas perselingan Pengukuran GPS perlu dilakukan di daerah
napal, batupasir dan batulempung, dengan subsinklin untuk memperkirakan apakah daerah
sisipan batugamping pasiran dengan kemiringan tersebut aktif (mengalami penurunan).
lapisan sekitar 10 - 15º.
– Butir 23. Peninjauan ulang NEWJEC dan NTT
Lapisan ke lima mempunyai rapat massa 2,9
n
yang menyebutkan radius 5 kilometer dari tapak
gr/cm³ diduga terdiri atas batuan metamorf yang tidak ada capable fault. Pada radius 5 km dari
terbentuk antara kedalaman 2500 - 3000 m. tapak memang tidak ditemukan patahan karena
Sesuai dengan butir-butir rekomendasi IAEA 1997 - patahan dari arah laut dan darat tidak menerus
2002, penyelidikan ini memberikan hasil sebagai ke daerah tapak.
berikut: – Butir 24. Analisa tentang kemungkinan tidak
– Butir 14. Interpretasi geofisika untuk vulkanologi terdeteksinya patahan pada radius 5 km ke arah
membentuk sebuah model yang reliable adalah: laut adalah: Patahan yang terbentuk hingga batas
Pola anomali sisa lepas pantai. Gunung Api Genuk 5 km ke arah laut dapat terlihat dengan jelas pada
membentuk anomali tinggi hingga 26 mgal, yang peta struktur. Patahan yang terbentuk berjumlah
diduga membentuk gunung api yang terrendam di tiga buah di lepas pantai dan tidak terindikasi
bawah muka air laut. Sumber anomali tinggi di menerus hingga ke tapak.
Gunung Api Genuk diduga berasal dari anomali di – Butir 27. Koreksi minor table-2 NTT tentang
utara lepas pantai, sehingga ditafsirkan sumber patahan radius 25 km sebelum dimasukkan ke
magma Gunung Api Genuk berasal dari anomali dalam model seismotektonik adalah: Patahan
tinggi di lepas pantai dengan retas miring ke pada radius 25 km dari tapak terdapat lima buah
selatan. Batuan vulkanik terbentuk mengambang yaitu dua buah patahan di lepas pantai, tiga buah
di atas permukaan menghasilkan anomali tinggi patahan di sebelah barat dan beberapa patahan di
membulat. sebelah timur jaraknya melebihi 25 km dari
– Butir 20. Integrasi data daratan dan lepas pantai tapak.
dengan korelasi stratigrafi dan struktur dengan – Butir 28. Penambahan bahasan patahan laporan
penggabungan data gaya berat darat dan laut final NTT mengenai patahan lepas pantai radius
adalah: Sebaran anomali sisa hingga ke lepas 25 km. Poin 28 hampir sama dengan jawapan
pantai berkisar antara 2 hingga -2 mgal (warna poin 27.
kuning, hijau) dibentuk oleh batuan sedimen laut
– Butir 30. Possible extension patahan U-S hingga
dan batuan vulkanik Gunung Api Muria di daerah
5 km ke lepas pantai semenanjung Muria. Satu
subsinklin. Anomali yang berharga antara 10
buah patahan sebelah barat G. Genuk arah barat
hingga 14 mgal di lepas pantai dan di daerah daya - timur laut menerus ke arah pantai berkisar
Gunung Api Genuk disebabkan oleh pembekuan tiga kilometer, jaraknya dengan tapak di atas lima
kubah lava dari gunung api. Struktur yang km.
terdapat di utara lepas pantai adalah dua buah
patahan arah barat daya - timur laut membentuk UCAPAN TERIMA KASIH
graben (warna kuning) dibatasi oleh patahan pada
sisi anomali tinggi sebelah barat dan timur. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya
kepada Pimpinan Pusat Survei Geologi, tim editor
– Butir 21. Kompilasi data tapak dan sekitarnya Drs Indra Budiman M.Sc PSG dan Dr. Hendra
serta ketidak-adaan bahaya geologi di tapak Grandis Teknik Geofisika ITB, dewan redaksi serta
seperti patahan permukaan dan lain-lain adalah: semua pihak yang telah membantu hingga karya tulis
Rencana tapak di Ujung Lemahabang desa ini dipublikasikan. Penulis menyadari atas
Balong adalah terbebas dari patahan yang kekurangannya, namun kedepan akan terus
memotong daerah tersebut, dua buah patahan berusaha untuk memperbaikinya.
dari arah laut bila ditarik garis lurus panjang

60 JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009


Geo-Environment
ACUAN
Edwards, C. Menzies, M. dan Thirlwall. 1991. Evidence from Muriah, Indonesia, for the interplate processes in
the genesis of potassic alkaline magmas, Journal of Petrology, 32 (1) : 555-592, Oxford
University Press.
Hamilton, W. 1979. Tectonic of Indonesian Region, Geo. Survey. Prof. Paper, U.S. Govt. Print. Office,
Washington D.C.
Kadar, D. dan Sujiono. 1994. Peta Geologi Lembar Rembang, Jawa , Skala 1 : 100.000, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi Bandung.
Sukardi, T. dan Wikarno, R. 1992. Peta Geologi Lembar Kudus, Jawa Tengah Skala 1 : 100.000. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Sukardi, T. dan Budhitrisna, T. 1984. Peta Geologi Lembar Salatiga, Jawa Tengah, Skala 1 : 100.000, Laporan
Terbuka. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi
Bandung.
Sidarto, Suriono, dan Sanyoto, P. 1999. Sistem Sesar Pengontrol Pemunculan Kelompok Gunung Api Muria
Hasil Penafsiran Citra Landsat. Jurnal Geologi dan Sumberdaya Mineral Bandung.

Naskah diterima : 19 Agustus 2008


Revisi terakhir : 13 Januari 2009

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 61


Geo-Resources
THE POSSIBILITY OF HYDROCARBON TRAP AND ITS POTENTIAL IN THE NORTH
BONE BASIN, BASED ON GEOLOGICAL AND GEOPHYSICAL DATA

H.P. Siagian dan B.S.Widijono


Pusat Survei Geologi
Jl. Diponegoro No. 57 Bandung 40122

ABSTRACT
Based on the analysis of geological and geophysical data, it can be informed that investigated area is the sedimentary Bone
basin formed since the beginning of the Tertiary age and developed through Paleogen to the Neogene. The basin is defined
as a fore-arc basin underlain unconformable by pre-Tertiary basement rocks comprising metamorphics, volcanics, meta-
sediments (the Laitimojong and Pompangeo Complexes). The hydrocarbon occurrence in Bone Basin showed by gas seeps
in the surface are located in Pongko and Malangke villages. Some hydrocarbon traps such as structures and stratigraphy
are shown in the seismic profiles. Abundant coarse clastic and limestone deposits such as the fluviodeltaic of Toraja and
Lamasi Formations may plays as good reservoir in the basin. claystone within the Lamasi Formation and shale within the
Toraja Formation predicted as petroleum source rocks in the area. The seals in the basin considered as the existence of
numerous claystone and siltstone horizons within the Bone Bone Formation that is also indicated by the drilling results.
Keywords : sedimentary basin, hydrocarbon potential, trap, Bone Basin

SARI
Berdasarkan analisis data geologi dan geofisika dapat diinformasikan bahwa daerah penelitian merupakan cekungan
sedimen Bone yang terbentuk sejak Kala Paleogen hingga Neogen. Cekungan tersebut merupakan cekungan busur
depan dan dialasi oleh batuan Pra-Tersier dari Formasi Latimojong dan Formasi Pompangeo yang terdiri dari batuan
gunung api, batuan ubahan dan batuan meta sediment. Keterdapatan Hidrokarbon di Cekungan Bone ditunjukkan oleh
rembesan gas di daerah Pongko dan Kampung Malangke. Analisis lintasan seismik menunjukkan bahwa bentuk
perangkap hidrokarbon di daerah tersebut adalah perangkap struktur dan perangkap stratigrafi yang ditunjukkan pada
penampang seismik. Batuan sedimen klastik dan batuan karbonat dari Formasi Toraja dan Formasi Lamasi dapat
berfungsi sebagai batuan reservoir hidrokarbon di cekungan tersebut. Batulempung pada Formasi Lamasi dan serpih di
dalam Formasi Toraja diduga merupakan batuan sumber minyak di daerah tersebut. Data bor menunjukkan bahwa di
cekungan tersebut didapatkan batuan klastik halus dari Formasi Bone Bone yang dapat berfungsi sebagai penutup dari
sistem perangkap hidrokarbon di daerah ini.
Kate kunci : cekungan sedimen, potensi hidrokarbon, perangkap, Cekungan Bone

INTRODUCTION AND METHODOLOGY The investigated area is shown in Figure 1, located at


coordinates of Longitude120°10'E to 120°54’E and
The Bone Basin is situated in South and Southeast
Latitude 02°35’S to 03°36’S. The onshore area
Sulawesi Provinces which covers the area of more
covers almost the whole of Masamba flat-plain
than 61,670 square kilometers (Widijono et al., offshore occupying some parts of the Northwestern
2004; Patra Nusa Data, 2004) and occupies almost area of Bone Gulf. The main data sources consists of
all areas of Bone Gulf. The Bone Basin is known to compilation the geological map of North Bone Gulf
have oil resources for speculative of original in place and its surrounding (Sudjatmiko et al., 1992,
is 682.40 MMBO, for speculative recovery is 170.60 Rusmana, et al., 1993, Ratman et al., 1993),
MMBO. The gas resources of original in place for Bouguer anomaly map of the North Bone Gulf amd
hypothetic is 3.210 Tcf, for speculative is 0.50 Tcf. Surrounding (Sobari. et al., 1996, Sobari. et al.,
The gas of recovery resources for hypothetic is 2.299 2006 ), nine (9) lines refraction seismic records of
Tcf, and for speculative is 0.40 Tcf (Patra Nusa Data, about 447.3 line kilometers with a single well
2004). offshore data of BBA-1X with the penetration depth of
10,521 feet (Pertamina, 1972).

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 63


Geo-Resources
This well is located at geographic coordinates of
120°36’04”E and 02°53’13”S with the water depth
of 155 feet. Based on a brief review and
interpretation on the gravity and seismic reflection
data, it believes that the well has not penetrated the
lower Tertiary successions. Factually, those data were
collected by Gulf Oil Company in 1971 that were old
enough for present evaluations.
The occurrence of some leads, such as gas seepages SU L A W E S I
in Pongko and Malangke Villages, gas discovery in
Sengkang Block, oil and gas discovery in Tomori
Block, the present of closures indicated that the the
Bone Basin may contain a significant potential of
hydrocarbon resources.

TECTONIC SETTING
The Indonesian Archipelago consists of an island arc
system, typical of the western Pasific. This island arc
system encloses shallow shelf sea areas, which show
large tectonic-physiographic features the well-known
Sunda Shelf and Sahul Shelf. The first belongs to the
continent of Asia, and the later to that of Australia,
while in between such as the Bone Basin is probably Figure 1. Locations of investigated area.
oceanic fore arc basin deeps.
emplacement of Eastern arm of Sulawesi by the end
Based on the geological point of view, the Bone Basin of the Miocene.
is situated in between south and southeast arms of
Sulawesi, interpreted as a composite basin, with its During Early Tertiary or older, a westward subduction
origin as a subduction complex and suture between complex was probably developed to the east of
Sundaland and Gondwana-derived micro-continents, Western Sulawesi and Bone Basin was in a fore arc
which subsequently evolved as a submerged intra- setting. Then in the Middle Miocene a collision event
mountain basin. The basin was a typically occurred between micro-continents and the Early
sedimentary basin that has been formed in the Early Tertiary accretionary complex. This collision resulted
Tertiary, and was developed through the Neogene in eastwards obduction of the accretionary complex
time. Geological history of the basin was in a fore-arc (Simandjuntak, 1992) on to the micro-continents
setting, as a result of westward subduction complex (Figure 3)
(Silver and Rangin, 1991) which was developed to
During Late Miocene micro-continents moved to the
the east of Western Sulawesi (Figure 2).
west, and collided against and was partly subducted
The basin is underlain unconformably by the pre- beneath the Western Sulawesi. It generated a
Te r t i a r y b a s e m e n t r o c k s c o m p r i s i n g o f compressional force that was propagated to a major
metamorphics, volcanics, meta-sediments back-thrust system westwards and fold belt as shown
(Latimojong and Pompangeo complexes). in Kalosi and Majene. From two colliding plates, then
Sedimentation process in the basin was commenced were locked up during the Pliocene and continued
by deposition of Toraja Formation in the west arm, plate convergence was accommodated by strike-slip
followed by Lamasi Formation and ended by movements along the Walanae, Palu-Koro and other
deposition of Bone-Bone Formation. faults.

Tectonic history of this Bone Basin has been In the southern part of Bone Basin, westerly
summarized firstly by Audley Charles et.al (1972), movement of the micro-continents did not reach the
and Hall et al. (2001) in conjunction with the plate collision stage with Western Sulawesi. Instead,
tectonic reconstructions of Eastern Indonesia and the Southeast Sulawesi was rotated eastwards resulting

64 JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009


Geo-Resources

Figure 2. Regional tektonic setting of Sulawesi ( Silver and Rangin, 1991 )

Area of the Bone Basin

Figure 3. Tectonic cross-section of Sulawesi Neogene orogeny (Simanjuntak, 1992).

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 65


Geo-Resources
in a major extensional fault cutting along the middle offshore exploration well located at 120°36’04”E and
of the Bone Basin. In other words, the sedimentary 02°53’13”S with the water depth of 155 feet which
basins can be divided into two parts, namely pre- reached the penetration depth of 10,521 feet. Based
emplacement and post-emplacement of the eastern on this well data the Gulf Oil Co (Cater et al., 1972).
arm. Both events have very important implication to has summarized the stratigraphy of the basin as
the lithology and structure of the basin in conjunction follows :
with the existing of hydrocarbon trap.
1. Zone N.22-N.23 at the depth of 240 ft - 480 ft
from the age of Pleistocene to Recent with the
Stratigraphy lithology consists of interbedded clays and sands.
The stratigraphy of the onshore Bone Basin can be 2. Zone upper N.19-N.22 at the depth from 480 ft to
divided into two geological groups, i.e. Western 2220 ft from Pleistocene to Lower Pliocene age
Province of Sulawesi and Eastern Province of with the lithology consists of interbedded clays
Sulawesi. The border of these provinces (Bachri, and sands with some traces of lignite.
2006) is very close to Masamba. Western Sulawesi
Province is to the west of Masamba, whilst to the east 3. Zone N.17 - Lowermost N.19 at the depth of
belong to the Eastern Sulawesi Province. 2220 ft - 5340 ft from Lowermost Pliocene to
Upper Miocene with the lithology consists of
Stratigraphy of the western Bone Basin consist of interbedded clays and sands with occasional
Midle - Late Eocene Latimojong Formation, Late lignite and probably some conglomerates (5255 ft
Eocene Toraja Formation, Late Oligocene - Early - 5289 ft).
Miocene Lamasi Formation, Mio - Pliocene Bone 4. Zone N.15-N.16 at the depth of 5340 ft - 5640 ft
Bone Formation and Quaternary Alluvium. from Middle - Upper Miocene with the lithology
The Latimojong Formation consist of phylite, shale, consists of clays and claystone are very dominant
chert and marble. The thickness of this formation is in this zone.
more than 1000 meters. The Latimojong Formation 5. Zone N.14 from the depth of 5640 ft - 6360 ft
probably unconformable overlain by the Toraja from Middle Miocene age with lithology consists of
Formation. The Toraja Formation, consists of shale, claystone with a little interbedded sandstone.
marly shale, limestone, coal, quartz sandstone and Some claystones are very silty.
conglomerate. The thickness of Toraja Formation is
more than 1000 meters. The Toraja Formation 6. Zone Upper N.13 at the depth of 6360 ft - 9060 ft
probably unconformable overlain by the Lamasi Middle Miocene age with the lithology consists of
Formation. The Lamasi Formation consist of basaltic claystone frequently silty or sandy interbedded
lava and volcanic breccia. All of these three with sandstone and some siltstone.
formations are unconformable overlain by Cellebes 7. Zone Lower N.13 at the depth of 9060 ft - 10,524
Molasse type sediments of the Mio-Pliocene Bone- ft from the Middle Miocene age with the lithology
Bone Formation. The Bone Bone Formation consist of consists of sandstone become and are
alternating of sandstone and claystone. The thickness interbedded with claystone ans occasionally
of this formation is 1000 meters. The Kambuno siltstone, some claystones are very sandy, some
Granite of Pliocene in age may had intruded all the sandstone below 10,000 ft are conglomeratic
older rock formations. Stratigraphy of the onshore containing pebbles of quartz.
eastern Bone Basin basically is more simples than to
However the correlation to the known formations on
the west. The basement of this area is composed of
shore is very difficult because of several factors. In
Mesozoic rocks comprising serpentinite, meta-
fact correlation of a single well data of BBA-1X, and
limestone and metamorphic rocks of Pompangeo
logging as well as paleontological results are very
Complex (schist, gneiss, phyllite, slate and quartzite).
difficult to be correlated with the specific reflector of
The basement is uncorformable overlain by the Mio-
seismic records. This is one of the reason that the
Pliocene of Bone-Bone Formation and the Quaternary
location of the BBA-1X of a single well is on the
alluvium. Stratigraphic and Tectonic frameworks
chaostic fracture zone. The stratigraphic succession
offshore the Bone Basin are still poorly understood
intersected by the well does not represent the true
due to limited publications data. Stratigraphy of the
stratigraphic succession of the Bone Basin, especially
basin is available mostly from the BBA-1X of a single

66 JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009


Geo-Resources
below unconformity surface at about 1.6 seconds available which is become a great handicap as we
(See interpreted line seismic 312). In addition could not reprocesses the data with the current
correlation of specific horizons among the lines is very processing technology, that probably could improve
difficult due to poor quality of some records. the quality of the records.
The Toraja Formation is one of the most important However, from those seismic reflection data records
formation in the area, because of its extensive indicate the existence of very large structural closures
distribution especially in the west, with thickness is and traps on the isopach map (Isochrone map) as
not less than 1000 meters and, the depositional shown in Figure 13.
environment from fluvio-deltaic to bathyal condition Result of interpretation on 5 (five) lines seismic
(Bahri, 2006). The presence of very thick shale has (Figure 7) show some subsurface geological
paid attention for the possibilities of the occurrence of informations. These informations are explained as
oil source rock. Furthermore this formation might has follow :
not developed to the east of Sulawesi. In Sengkang
Block and Tomori, the brown shale of Toraja Line 12
Formation plays as source rock hidrocarbon. The
The line 12 seismic section located at west onhore
chart of stratigraphic correlation for onshore and
Northern Bone Basin (Figure 8 ).The length one this
offshore of the northern Bone Basin can be seen in
seismic line about 34.8 km l the interpretation result
Figure 4.
of this seismic section explained as follow:

Geophysical Data – The depth of the top of the Lamasi Formation is


located in 1.8 TWT/sec or 800 meters.
The most recently additional data on the basin
– The depth of the Toraja Formation is located in
(onshore part) is gravity data collected by the
3.2 TWT/sec or 1600 meters.
Geological Research and Development Centre (now
Geological Survey Institute) which conducted the – The depth of the Latimojong Formation is located
systematic regional mapping in the Sulawesi areas of in from 3 TWT/sec to 3.4 TWT/sec or 1500 m to
scale 1:250,000. However, the data is very regional the 1700 m.
having the spacing of about 10 km and may Kambuno granit intruded the Latimojong, Toraja and
contribute of some informations to the basin the Lamasi Formations. This seismic section also
evaluation assessment. From this map can be seen shows that the Latimojong and the Toraja Formations
several structural lineament (Figure 5). have been faulted.
Mean while integrated gravity and surface geology
interpretations give the ideas of a new model tectonic Line G.
as can be seen as Figure 6. From this model, can be The line G seismic section located in the west onshore
predict that the basement of the West Bone Basin is Northern Bone Basin , which is in east north east -
Sundaland and the East Bone Basin is Pompangeo
west northwest direction (Figure 9 ). The long of this
complexes. From this model it can also been seen
section is about 59 km. This section shows some
that the sediment thickness of West Bone Basin
reached 4000 meters and in the East Bone Basin informations that are explained as follows :
reached 2500 meters. The basement is the Latimojong Formation whereas
The seismic reflection records consists of about 2000 the depth of the top of this formation is from 1.2 to 4
line kilometers with the record length between four twt/sec or 600 to 2000 m. This formation overlain by
(4) and five (5) seconds but all were in the form of the Toraja Formation. The top of Toraja Formation is
single volt unmigrated time section data. The data is in 3 twt/sec or 500 to 1500 m. Carbonate build up
available through the PT. Patra Nusa Data which is maybe develop in this formation. The Toraja
subsidiary of the PT. Pertamina. Formation overlained by the Lamasi Formation. The
Quality of the record could be considered poor or low depth of top of the Lamasi Formation is in 0.2 twt/sec
quality such as noise is very dominant in almost every to 1. 1 twt/sec or 100 m to 500 mter. This seismic
line, some multiples also still exist and disturbing line also give information that the basement has been
much records. The original digital data is not faulted.

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 67


Geo-Resources

Quarternary
Recent-Pleist.
Holocene

Alluvium
Quarternary
Alluvium

Pleistocene Sea Water

Upper
Pliocene

Midle

Bone Formation
Mio-Pliocene
Lower ........ ..............
Lower Pliocene-

.............................
Pleistocene

Upper Upper Miocene


Bone Formation

...

Lowermost Pliocene . . .. . .. .......... .


. . ....
Mio-Pliocene

. . . ... .... ... . ..


.. .. .. ..
..............
..............
Upper Miocene. -----------
..............
..............
Miocene

Midle Miocene
Midle ..............
..............
..............
..............
..............
..............
Lamasi Volcanics

..............
..............
Late Oligocene

Early ..............
Early Miocene

LEGEND : Claystone
Oligocene Sandstone
Lignit
Kambuno Granite
Toraja Formation
Late Eocene

Pliocene

Upper
Latimojong
Midle-Late

Formation
Eocene

Eocene

Midle

West Area (onshore)


Lower Gulf Bone Area (offshore)
Pompangeo
Mesozoic

Complex

Mesozoic

East Area (onshore)

Figure 4. Stratigraphic correlation western onshore, offshore and eastern onshore north Bone basin.

68 JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009


Geo-Resources

w U
E
Direction of gravity modelling

Figure 5. Bouguer anomaly images for structures interpretation.

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 69


Geo-Resources

Figure 6. Geological cross-section model based on gravity Data

120°E 120°30’E 121°E 121°30’E


2°00’S 2°00’S

0 40 km

P. S U L A W E S I

2°30’S 2°30’S
L-12

L-G
BBA-1X
312

308
3°00’S 3°00’S

310
302

BONE

Seismic Interpreted Lines


with Prospect Area
GULF

3°30’S 3°30’S

SULAWESI

INDEK
PETA

120°E 120°30’E 121°E 121°30’E

Figure 7. Line of Seismic Section in Northern Bone basin.

70 JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009


Geo-Resources
LINE G

0 5 10 15 20 25 30 34.8 km
0.0
distance (km)

1.0
TWT (Scond)

Top Lamasi ?
?
2.0

Granit Kambuno
mo jong ?
3.0 Top Lati
ja ?
Top Tora

4.0

Figure 8. Interpretation seismic section line 12.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 (Km)
0.0
Top distance (km)
lama
si ?
Top Toraja ?
1.0
Top Lamasi ?
TWT (Scond)

Top
Tora
2.0 ja ?
? ?
aja
or
pT
Top To
3.0 Latimojo
ng ?
?

?
4.0

Figure 9. Interpretation seismic section line 12 G.

Line 310 Line 308


The line 310 seismic section located in southern part The line 308 seismic section located in middle part
offshore Northern Bone Basin , which is in west - offshore North Bone Basin. , which is in west-east
east direction, reaches about 42 km in long (Figure direction, reaches about 70 km in long (Figure 11).
10). Based on interpretation this seismic section Based on interpretation this seismic section several
several informations can explained as follow : informations can explained as follow:
The basement is the Latimojong Formation whereas The basement is the Latimojong Formation whereas
the depth of the top of this formation is from 1.5 to this formation represented West Sulawesi geological
3.2 t wt/sec or 750 to 1600 m. The Latimojong terrain and ophiolite where represented the East
Formation overlain by the Toraja Formation. The top Sulawesi geological terrain. The depth of the top of
of the Toraja Formation lay in 0.5 to 2.5 twt/sec or the Latimojong Formation 2 from to 4 t wt/sec or
250 to 1250 m. The Toraja Formation overlained by 1000 to 2000 m. Latimojong Formation overlain by
the Lamasi Formation. The depth of the Lamasi the Toraja Formation. The top of Toraja Formation is in
Formation is 1twt/sec to 1.21 twt/sec or 500 m to 1 to 2 twt/sec or 500 to 1000 m. The Toraja
600 meter. This seismic line also give information Formation overlain by the Lamasi Formation. The
that the basement, the Toraja Formation and Lamasi depth of the Lamasi Formation is in 1.2 twt/sec to
Formation have faulted. 1.4 twt/sec or 600 m to 700 meter.

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 71


Geo-Resources
The depth of the top of the ophiolite complexes is Formation overlain by the Toraja Formation. The top
from 1.0 to 3.0 4 t wt/sec or 500 to 1500 m. The of the Toraja Formation is in 1.5 to 2.2 twt/sec or
ophiolite complexes overlained by the pre Tertiary 750 to 1100 m. The Toraja Formation overlain by
Pompangeo complexes which is the top of these the Lamasi Formation. The depth of the Lamasi
complexes is from 1.0 to 1.5 twt/sec or 500 m to Formation is 1.2twt/sec to 1.4 twt/sec or 600 m to
750 meter. The Pompangeo complexes overlain by 700 meter.
the Matano Formation. The top of the Matano
The depth of the top of Ophiolite complexes is from
Formation is in 1 to 1.3 twt/sec or 500 to 650 m. 3.0 to 3.14 t wt/sec or 1500 to 1550 m. The
This seismic line also give information that all of ophiolite complexes overlained by the pre Tertiery
these formations had folded and faulted. Pompangeo complexes which is the top of these
complexes from 0.75 to 2.0 twt/sec or 350 m to
Line 312 1000 meter. The Pompangeo complexes overlain by
the Matano Formation. The top of the Matano
The line 312 seismic section located in the northern Formation is in 1 twt/sec or 500 m.
part offshore of the Northern Bone Basin which is in
west -east direction, reaches about 80 km (Figure This seismic line also give information that all of these
12) in a long. Based on interpretation this seismic formations had been folded and faulted.
section several informations are explained as follows: This structural was interpreted as the basement uplift
The basement is the Latimojong Formation whereas that it was estimated and interpreted at about 5000
feet which leaded the Gulf Oil Co to drill the BBA-1X
this formation represented the West Sulawesi
to test the closure. The result was very different in
geological terrain and ophiolite where represenred
which the hole abandoned at about 10,500 feet in
the East Sulawesi geological terrain. The depth of the succession of sandstones and siltstones beds
the top of the Latimojong Formation from 3 to 3.8 t from the Middle Miocene age and no basement had
wt/sec or 1500 to 1900m. The Latimojong been penetrated so far.

0 5 10 15 20 25 30 35 40
0.0

Distance (km)
1.0
TWT (Scond)

Top Lamasi ?
2.0 Top Tora
ja ?

ong ?
a timoj
3.0 Top L

?
4.0

Figure 10. Seismic section interpretation Line 310.

Line 310

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 70
0.0
Distance (km)
1.0
TWT (Scond)

Top Matano ?
Top Lamasi ? Top Lamasi ?
2.0 Top Top Toraja ? Top Pomp
angeo ?
Lati Top Toraja ?
mo
jon at
3.0 g? p L imoj
To Top Ophiolite ?
on
g
?

4.0

Figure 11. Seismic section interpretation Line 308.

72 JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009


Geo-Resources
Bor BBA-1X

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 Km
0
p a n g eo ?
Distance (km) om
1.0 pP
To
TWT (Scond)

si ? Top Lamasi ?
ma Top Matano ?
2.0 Top La
Top
Toraja ?
3.0 Top La Ophiolite ?
timojo
Top Latimojon g ? Top
ng
?
4.0

Figure 12. Seismic section interpretation Line 312.

Figure 13. Closure map of the Northern Bone Basin.

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 73


Geo-Resources
Hydrocarbon Closure and Its Potential Formation as well as the Bone-Bone Formation.
For an accumulation of hydrocarbons to be The structural trappings occurred in the area that is
recoveriable, the underlying geology must be related to the high-angle thrust faults. Faults formed
favorable to form closure structures. This favorable or reactivated during post Plio-Pleistocene that have
geology depends on the presence of source and acted as migration pathways between older source
reservoir rock, the depth and the time of burial, and rocks and younger reservoirs, since the majority of
the presence of migration routes or geological traps or structural traps were formed during this period.
reservoirs. A hydrocarbon reservoir is permeable rock
The BBA-1X well indicated that many sandstones
that has been geologically sealed at the correct time
horizons in the basin have high to very high porosities
to form a “trap”. The presence of migration routes
some as high as 30 percent, with permeability
affects the depth and location of an oil or gas
(liquid) in the order of several hundred millidarcys.
reservoir. Coal bed is found in the Toraja Formation
Therefore, it can be concluded that the reservoir is not
which serve as both the source and reservoir for the
a problem within the Bone Basin. On the other hand
gas.
the drilling results also indicate that up to the depth of
There are no papers or documents yet that explain the more than 10,000 feet in which the well had not
hydrocarbon potential in the Bone Basin. Although encountered/intersected the rock horizons which
there are some indications of gas seeps in the surface could be considered as potential to be a source rock
which located in Pongko and Malangke villages layer.
(previously mention), it might be gas of biogenic
Stratigraphy of the BBA-1X well is not represented
origin or thermogenic origin, but here is no study yet
the stratigraphy of the Bone Basin in general, as we
to conclude their types. The reason of the Gulf Oil
stated above that the location of the BBA-1X is in the
Company to stop drilling of well BBA-1X with the
chaotic fracture zone of the Palu - Koro Fault, besides
depth of 10,500 feet eventhough there is no
that the well is still far to reach the basement. Thus, it
basement had been encountered.
is considered that the equivalent of the Toraja
Hydrocarbon generation, migration, and entrapment Formation exposed on land might served as potential
in the Bone Basin might have take place during and source rock as well as reservoir. Besides the
post the Plio-Pleistocene compression phase of post existences of the equivalent of Taraja Formation, the
collision event. A significant increase in heating rate source rocks could also be developed, locally as the
is believed to have occurred during this period sediment deposited farther away from the source, i.e
resulting in oil generation. Migration pathways as sedimentation moved to the deeper part of the
between older source rocks (the Toraja Formation) basin.
and reservoirs are faults and anticlines formed or
The seals in the basin could be provided by the
reactivated during the Pleistocene. The reservoir
rocks are expected to be the clastics and carbonate existence of numerous claystone and siltstone
rocks of the Toraja Formation and the volcanic horizons as indicated by the drilling results. Of course
clastics of the Lamasi Formation. This period is also not as high as productive basin in other part of
characterized by the formation of structural traps. Indonesia such as Central, South Sumatera, and
The majority of oils within the basin might be derived Kutai Basins. Therefore the Bone Basin is farvorable
from fluvio-deltaic and marine shale source rocks. potential to contain hydrocarbons. The petroleum
potentiality of the basin might be considered as a low
Oil field distribution is mainly fault-controlled
migration directions out of the generating oil source to moderate level.
rocks and suspected shale and claystone facies. The
migration directions are based on lateral up-dip CONCLUSIONS
occurring within the sandstone or carbonate rocks of
Preliminary evaluation of the Bone Basin is based on
the Toraja Formation and the volcanic clastics of the
the main data of 5(five) lines seismic and a single well
Lamasi Formation.
data interpretations. Subsidiary data supports are
The seals that are regarded as a regional seal for geology, gravity and other publication literatures. The
hydrocarbon which may be trapped in the fine- result of the hydrocarbon potentiality can be
grained rocks of the Toraja itself and the Lamasi concluded as follows :

74 JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009


Geo-Resources
The Bone Basin contains Tertiary sedimentary
n As the only anticlinal structural trap recognized on the
and volcanic clastic rocks underlain by various existing seismic records had been tested with the
pre-Tertiary rocks comprising metamorphic, BBA-1X well, the result was dry. So for the future the
meta-sediment, volcanic and igneous rocks. The plays will be stressed to exploit the possibility of
total thickness of the basin filled sediment stratigraphic traps. Such as Lowstand and
ranges from approximately 2000 meters to transgressive stratigraphic sequences as pinch-out or
about 5000 meters depth. Seismic data record basement onlap, some are recognized on the old
shows that the basin may have hydrocarbon records (e.i. line G). Some kinds of highstand system
potential ranging from medium to low level. tract such as erosional truncation (as recognized on
line 312 and line G) and probably channels deposits.
First drilling
n exploration for hydrocarbon
purposes have been done by the Gulf Oil Co. This Carefully evaluation on the existing seismic records
off-shore drilling a single well of the BBA-1X (very difficult) also reveal many (interpreted) fault
indicates the depth penetration of 10,521 feet, planes (line G and also line 312 ), which could act as
that the well had not encountered the structural traps . The possibility of this kind of traps
Latimojong Basement Formation. This well was would be evaluated as well.
situated exactly on the top of anticlinal structural
With the exploration plays is more directed for
closure, but the result was dry as noted by
stratigraphic traps, and in order to conduct seismic
company, and also no hydrocarbon indication.
stratigraphic analysis more precisely we require much
Some kinds of highstand system tract of
n better seismic records. In this relation our first activity
hydrocarbon plays are erosional trucation and in the future is to conduct about 2000 line km high
probably channel deposits, which can be resolution multi folds seismic reflection survey using
recognized on the lines G and 312. Hard more powerful seismic sources. The survey will cover
evaluation of the existing seismic record also offshore as well as onshore part of the Bone Basin.
reveal many fault planes interpretation also can
be obtained on the lines of 312, G, etc). ACKNOWLEDGMENTS
The future exploration plays within the Bone Basin The authors is gratefull to the Head of the Geological
area will be directed to the pre collision sediments Survey Intitute for permitting to publish this paper.
(middle Miocene) in the western part of the basin, i.e
west of the big active Palu - Koro Fault.

REFERENCES
Audley-Charles, M.G., Carter, D.J. and. Milsom, J.S., 1972. Tectonic Development of Eastern Indonesia in
Relation to Gondwanaland Dispersal, Nature Physical Science vol 23 , p. 36-39
Bachri, S., 2006. Stratigraphic correlation North Bone Basin. PSG, (unpublished)
Cater, M.C.,. Scrutton, M.E. and Tidey, G.L., 1972. The Micropaleontology and Stratigraphy of The Indonesia Gulf
Oil Company BBA-1X Well, Gulf of Bone Sulawesi. Perta,mina. (Unpublished)
Grainge, A.M. and Davies, K. G. , 1983. Reef Exploration in the East Sengkang Basin, Sulawesi. Proceedings
Indonesian Petroleum Association Twelth Annulal Convention.
Hall, R., 2001. Cenozoic Reconstructions of SE Asia and the SW Pasific Changing patterns of land and sea. SE
Asia Research Group Departmen of Geology , Royal Holloway University of London. Swets and
Zeilinger Publishers , 126, pp, 35-56
Mubroto,B., Briden,J.C., McClelland.E., Hall. R., 1994. Paleomagnetism of the Balantak ophiolite, Sulawesi.
Earth and planetary science letter 125 (1994) 193-209 p.
Patra Nusa Data, 2004, Oil Resources in Tertiary Sedimentary Basins of Indonesia( Unpublished)
Pertamina, 1972, BBA-1X Final Report Exploratory Well Off-shore, South Sulawesi. Production Sharing Contract. (
Unpublished)
Ratman, N. dan Atmawinata, S., 1993. Geological Map of The Mamuju Quadrangle, Sulawesi, scale 1:250.000.
Geological Research and Development Centre. Bandung.

JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009 75


Geo-Resources
Rusmana, E., Sukido,.Sukarna. D.,.Haryono,E. dan Simanjuntak, T.O., 1993, Geological Map of The Lasusua-
Kendari Quadrangles, Sulawesi Scale 1:250.000. Geological Research and Development Centre.
Bandung.
Simanjuntak, T.O., 1992. Tectonic Development of Indonesian Archipelago and Its Bearing on the Occurance of
Energy Resources. Bull. Gol. Res. Dev. Centre 2-23 p.
-------------------., 1986. Sedimentology and tectonics of the collision complex in the eastern arm of Sulawesi,
Indonesia. Unpubl, Phd.Thesis, RHBNC Univ. of London, 371 p.
------------------., Rusmana, E., Surono., Supandjono, J.B., 1991. Geological Map of Malili Quadrangle, Sulawesi.
scale 1:250.000. Geological Research and Development Centre, Bandung.
------------------.,. Rusmana, E., Surono, and Supanjono, B., 1992. Geological Map of The Malili Quadrangle, South
Sulawesi. scale 1:250.000. Geological Research and Development Centre. Bandung..
Sobari, I., Siagian, H., Mirnanda, E. and Subagio., 2006. Bouguer Anomali Map of the Malili Quadrangle,
Sulawesi. scale 1:250.000. Geological Survey Institut. (In-preparation).
-----------------., and Eddy Mirnanda, 1996. Bouguer Anomaly Map of the Majene and Western Part of Palopo
Quadrangles. Scale 1:250.000, Sulawesi.
Sudarmono, 1999. Tectonic and stratigraphic evolution of Bone basin, Abstract of Proceed. Of the geology of
Indonesia, book 50th anniversary memorial seminar outhored by RW. Van Bammelen.
Sudjatmiko, D., Bachri, S. dan Sukido, 1992. Geological Map of Majene and Western Part of Palopo Quadrangles,
Sulawesi. Scale 1:250.000, Geological Research and Development Centre. Bandung.
Sukamto,R., and Simanjuntak, T.O., 1983. Tectonic Relationship between Geologic Provinces of Western
Sulawesi, Eastern Sulawesi and Banggai-Sula in the light of Sedimentological aspects. Geol. Res. Dev.
Centre Bull, 1-12 p.
Widijono, B.S., Simanjuntak, T.O., Panggabean, H., Panjaitan, S., Hutubessy, S., Syarif, N. Simamora,W.H.,
Siagian, H.P., Hayat, D.Z., 2004. Peta cekungan sedimen Indonesia bagian timur. Berdasarkan
anomali gayaberat. Sekala 1:2000.000. Program Pemetaan & Penelitian Dasar, Kelompok Geofisika.

Naskah diterima : 21 April 2008


Revisi terakhir : 8 Januari 2009

76 JSDG Vol. 19 No. 1 Februari 2009


PANDUAN
PENULISAN MAKALAH ILMIAH
JURNAL SUMBER DAYA GEOLOGI

UMUM
1. Naskah merupakan karya asli yang belum pernah diterbitkan di manapun sebelumnya.
2. Naskah dalam Bahasa Inggris ataupun Indonesia yang baik dan benar, dilengkapi dengan Sari
dalam Bahasa Indonesia dan Abstract dalam Bahasa Inggris.
3. Teks harus tercetak jelas; gambar dan foto harus asli dengan ukuran maksimum 19,5x15 cm.
4. Naskah harus ditelaah dan disunting paling tidak oleh dua orang dari Dewan Redaksi
dan/ataupun Editor Ilmiah (Scientific Editor) sesuai dengan mekanisme yang berlaku.
5. Naskah yang masuk ke Dewan Redaksi, harus disertai Surat Pengantar dari Kelompok
Program/Pimpinan Unit (khusus dalam lingkungan DESDM).
6. Dewan Redaksi berhak menolak naskah/makalah yang kurang memenuhi syarat sebagai tulisan
ilmiah.
7. Soft copy yang berisi teks, gambar, dan potret yang telah diperbaiki sesuai dengan telaahan dan
suntingan, dan dinyatakan dapat diterbitkan oleh Dewan Redaksi, diserahkan kepada Ketua
Dewan Penerbit/Kepala Bidang Informasi.

NASKAH
1. Halaman pertama naskah berisi judul makalah, sari dan abstract, serta kata kunci dan keywords.
Nama penulis, nama instansi, alamat dan nomor telepon/hp dituliskan pada lembar tersendiri.
2. Naskah diketik dengan komputer dalam MS-Word dengan huruf Times New Roman, Font-12, dua
spasi.
3. Beri dua spasi antara heading dan teks di bawahnya, tiga spasi antaralinea tanpa menggunakan
indentasi.
4. Susunan isi :
a. Judul (Title)
b. Sari/Abstract; harus ringkas dan jelas mewakili isi makalah (concise summary), paling banyak 200
kata (words) diketik satu spasi (single space).
c. Kata kunci (keywords); 4 sampai 6 kata ditulis di bawah sari/abstract.
d. Pendahuluan (Introduction) : Latar belakang, Permasalahan, Tujuan Penelitian, Lokasi Daerah.
(Scientific Background, Scientific Problem, Aim(s), Studied Area).
e. Metodologi (Methods)
f. Analisis dan Hasil (Analyses and Results)
g. Diskusi (Discussion)
h. Kesimpulan dan Saran (Conclusions/Recommendations)
I. Ucapan Terima Kasih (Acknowledgment)
5. Acuan (References); harus diacu (cited/referred) dalam tulisan, mendukung isi tulisan dan ditulis
dalam daftar serta disusun menurut abjad. Hindari penulisan nama penulis/pengarang maupun
Call for paper:
editornya dengan huruf besar. Semua nama penulis harus ditulis, tidak boleh hanya nama penulis
pertama dengan tambahan drr.
Contoh :
Prosiding (Proceeding):
- Koning, T. and Darmono, F.X., 1984. The Geology of the Beruk Northeast Field, Central
th
Sumatra. Oil production from pre-Tertiary basement rocks. Proc. 13 Ann. Conv.
IPA, Jakarta, Indonesia.
Jurnal/Buletin:
- Wright, O.R., 1969. Summary of research on the selection interview since 1964. Personal
Psychology 22:391-413.
Peta:
- Simandjuntak, T.O., Surono, Gafoer, S., dan Amin, T.C., 1991. Geologi Lembar Muarabungo,
Sumatera, skala 1:250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung
Laporan tidak diterbitkan:
- Siagian, H.P. dan Mubroto, B., 1995. Penelitian Magnet Purba di daerah Baturaja dan
Sekitarnya, Sumatera Selatan. Laporan intern Pusat Penelitian dan Pengembangan
Geologi, Bandung (Tidak diterbitkan).
Tesis (Skripsi, Disertasi):
- Stone, I.G., 1963. A morphogenetic study of study stages in the life-cycle of some Vitorian
cryptograms. Ph.D. Thesis, Univ. of Melbourne.
Buku :
- George, S., 1967. Language and Silence. Faber and Faber, London: 96pp.
Dalam Buku :
- Carter, J.G., 1980. Environmental and biological controls of bivalve shell mineralogy and
microstructure. In: Rhoads, D.C. and Lutz, R.A. (Eds.), Skeletal growth of aquatic
organisms. Plenum Press, New York and London: 93-134.
Publikasi Khusus (Special Publication):
- Kay, E. Alison, 1979. Hawaiian Marine Shells.B.P. Bishop Museum Special Publication 64(4):
653pp. Major Treatment.
Informasi di internet:
- Lunt, P., 2003. Biogeography of some Eocene larger foraminifera, and their application in
distinguishing geological plates. Paleontologica Electronica 6(1):22pp, 1.3MB;
http://paleo-electronica.org/paleo/2003-2/geo/issue 2-03.htm
6. Dalam draft, gambar/peta/potret diletakkan pada halaman akhir makalah.
7. Keterangan gambar dan potret diketik satu spasi dan diletakkan di bawah gambar/potret;
diakhiri dengan titik. Huruf besar hanya pada awal kalimat dan nama diri.
8. Keterangan tabel juga diketik dalam satu spasi, diletakkan di atas tabel, tidak diakhiri dengan titik.
Setiap awal kata, ditulis dengan huruf besar, kecuali kata depan dan kata sambung.

CALL FOR PAPER :


Redaksi menerima makalah ilmiah dari pembaca untuk diterbitkan dalam jurnal ini dengan
mengacu kepada persyaratan tersebut di atas.

Anda mungkin juga menyukai