Anda di halaman 1dari 67

ANALISIS STABILITAS LERENG SERTA

PENANGANANNYA PADA BENDUNGAN, DAERAH


MATENGGENG DAN SEKITARNYA,
PROVINSI JAWA TENGAH
DUL

SKRIPSI
Disusun sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana
Program Studi Sarjana Teknik Geologi
Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti

Oleh
Renno Geovani
072001500094

PROGRAM STUDI SARJANA TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI
UNIVERSITAS TRISAKTI
2019

i
SLOPE ANALYSIS ALONG HANDLING DAM,
MATENGGENG AND IT’S SURROUNDING,
CENTRAL JAVA

FINAL ASSESMENT
Submitted as a requirement to obtain Undergraduate in study program of
Geological Engineering, Faculty of Earth Technology and Energy

By
Renno Geovani
072001500094

GEOLOGICAL ENGINEERING DEPARTEMENT


FACULTY OF EARTH TECHNOLOGY AND ENERGY
UNIVERSITAS TRISAKTI
2019

ii
ANALISIS STABILITAS LERENG SERTA
PENANGANANNYA PADA BENDUNGAN, DAERAH
MATENGGENG DAN SEKITARNYA,
PROVINSI JAWA TENGAH

SKRIPSI
Disusun sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana
Program Studi Sarjana Teknik Geologi
Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti

Oleh
Renno Geovani
072001500094

Foto
2x3

Menyetujui,
Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

(Nama Pembimbing Utama) (Nama Pembimbing Pendamping)


NIK NIK

Mengetahui,
Ketua Program Studi Sarjana................................

(Dr. Ir. Fajar Hendrasto, MT)


NIK : 2023/USAKTI

iii
LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi yang berjudul “Analisis Stabilitas Lereng Serta Penanganannya Pada


Bendungan, Daerah Matenggeng Dan Sekitarnya, Provinsi Jawa Tengah”,
telah dipertahankan di depan tim penguji pada hari …............. tanggal
…...................…...

TIM PENGUJI
1. (Nama Ketua Penguji) Ketua Penguji (............................)

2. (Nama dosen PA) Pembimbing Akademik (............................)

3. (Nama dosen Pembimbing 1) Pembimbing Utama (............................)

4. (Nama dosen Pembimbing 2) Pembimbing Pendamping (............................)

5. (Nama dosen Penguji 1) Anggota Penguji (............................)

6. (Nama dosen Penguji 2) Anggota Penguji (............................)

Mengetahui,
Ketua Program Studi Sarjana......

(Dr. Ir. Fajar Hendrasto, MT)


NIK : 2023/USAKTI

iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Renno Geovani


Nim : 072001500094
Program studi : Teknik Geologi
Fakultas : Fakultas Teknologi Kebumian Dan Energi
Jenis Karya : skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Trisakti Hak Bebas Royalti Non ekslusif (Non-exclusive-Royalty-Free-
Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
ANALISIS STABILITAS LERENG SERTA PENANGANANNYA PADA
BENDUNGAN, DAERAH MATENGGENG DAN SEKITARNYA,
PROVINSI JAWA TENGAH beserta perangkat yang ada (jika diperlukan).
Dengan Hak Bebas Royalti Non ekslusif ini Universitas Trisakti berhak
menyimpan, mengalih media/ formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data
(database), merawat, dan menyebarkan skripsi saya sesuai aturan, selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Tempat, (tanggal/bulan/thn)
Yang membuat pernyataan

Materai
Rp 6000-,

Renno Geovani

v
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya Mahasiswa Program Studi Sarjana Teknik Geologi, Fakultas Teknologi


Kebumian dan Energi, Usakti yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : RennoGeovani
Nim : 072001500094

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi dengan judul :


ANALISIS STABILITAS LERENG SERTA PENANGANANNYA PADA
BENDUNGAN, DAERAH MATENGGENG DAN SEKITARNYA,
PROVINSI JAWA TENGAH

Adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bebas dari peniruan
terhadap karya dari orang lain. Kutipan pendapat dan tulisan orang lain ditunjuk
sesuai dengan cara-cara penulisan karya ilmiah yang berlaku.
Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa dalam skripsi
ini terkandung ciri-ciri plagiat dan bentuk-bentuk peniruan lain yang dianggap
melanggar peraturan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Tempat, (tanggal/bulan/thn)
Yang membuat pernyataan

Materai
Rp 6000-,

(Renno Geovani)

vi
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur serta terima kasih kepada Tuhan Yang Maha esa
atas berkat dan karunia-Nya lah sehingga skripsi yang berjudul “Analisis Stabilitas
Lereng Serta Penanganannya Pada Bendungan, Daerah Matenggeng Dan
Sekitarnya, Provinsi Jawa Tengah” ini dapat selesai dengan baik dan tepat waktu.
Pada kesempatan ini, penulis berterima kasih kepada pihak-pihak yang
membantu dalam menyelesaikan skripsi ini, terutama kepada Ir. Abdul Hamid, MS.
sebagai pembimbing utama dan Ir. Joko Sulistyo, MS. sebagai pembimbing
pembantu atas segala saran, bimbingan dan nasehatnya selama penelitian
berlangsung dan selama penulisan skripsi ini.
Terima kasih disampaikan kepada PPPTMGB “Lemigas” yang
menyediakan data-data yang diperlukan dalam penelitian ini, Laboratorium Analisa
Batuan Inti, Fakultas Teknologi Kebumian Dan Energi, Universitas Trisakti yang
telah menyediakan peralatan yang diperlukan, PT. Schlumberger Indonesia dan PT.
Mikromine Indonesia Perdana yang menyediakan alat bantu perangkat lunak untuk
keperluan pengolahan dan analisis data serta Fakultas Teknologi Kebumian Dan
Energi, Universitas Trisakti atas bantuan Beasiswa Pendidikan yang diberikan
kepada penulis selama mengikuti pendidikan di program studi Teknik
Perminyakan.
....................................................................................................................................
....................................
(dan seterusnya)

vii
ABSTRAK

ANALISIS STABILITAS LERENG SERTA


PENANGANANNYA PADA BENDUNGAN, DAERAH
MATENGGENG DAN SEKITARNYA,
PROVINSI JAWA TENGAH

Nama Mahasiswa
Nim: Renno Geovani
Program Studi Sarjana Teknik Geologi, Fakultas Teknologi
Kebumian dan Energi,
Universitas Trisakti, Jakarta, Indonesia

Longsor dapat terjadi pada hampir setiap kasus lereng alami atau lereng
buatan secara pelan atau tiba-tiba dengan atau tanpa adanya tanda-tanda
sebelumnya. Penyebab utama terjadinya keruntuhan lereng adalah meningkatnya
tegangan geser, menurunnya kuat geser pada bidang longsor atau keduanya secara
simultan. Analisis kestabilan lereng dilakukan untuk menentukan faktor aman dari
bidang longsor yang potensial, yaitu dengan menghitung besarnya kekuatan geser
untuk mempertahankan kestabilan lereng dan menghitung kekuatan geser yang
menyebabkan kelongsoran kemudian keduanya dibandingkan. Dari perbandingan
yang ada didapat nilai Faktor Keamanan yang merupakan nilai kestabilan lereng
yang dinyatakan dalam angka. Dari analisis yang dilakukan di Matenggeng, Jawa
Tengah didapat nilai Faktor Keamanan yaitu 0,193 yang menunjukkan bahwa
keadaan lereng tersebut tidak stabil. Kemudian dilakukan perbaikan dengan
menggunakan soil nail. Soil nail adalah salah satu cara perbaikan lereng dengan
cara memperkecil gaya penggerak atau momen penyebab longsor. Sehingga dapat
diperoleh nilai Faktor Keamanan 1,926 yang menunjukkan kondisi lereng dalam
keadaan stabil.

Kata kunci: kestabilan, lereng, keruntuhan, faktor keamanan, kuat geser

viii
ABSTRACT
SLOPE ANALYSIS ALONG HANDLING DAM,
MATENGGENG AND IT’S SURROUNDING,
CENTRAL JAVA

Nama: Renno Geovani


Nim: 072001500094
Study Program of Geological Enginering, Faculty Of Earth
Technology and Energy, Universitas Trisakti, Jakarta, Indonesia

Landslides can occur in almost every case of natural slopes or artificial


slopes slowly or suddenly with or without any prior signs. The main causes of slope
collapse are increased shear stress, decreased shear strength in the landslide plane
or both simultaneously. Slope stability analysis is carried out to determine the
safety factor of the potential landslide field, namely by calculating the magnitude
of the shear strength to maintain the stability of the slope and calculate the shear
strength that causes landslides then the two are compared. From the comparison
obtained the Safety Factor value which is the stability value of the slope expressed
in numbers. From the analysis conducted in the Citraland Area of Manado, a Safety
Factor value of 0.193 was obtained which indicates that the slope is unstable. Then
do repairs using soil nail. Soil nail is one way to repair slopes by reducing the
driving force or moment causing landslides. So that the Safety Factor value of 1.926
can be obtained which shows the condition of the slope in a stable state.

Keywords: stability, slope, collapse, safety factor, shear strength

ix
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
TITLE PAGE .......................................................... Error! Bookmark not defined.
LEMBAR PENGESAHAN ................................... Error! Bookmark not defined.
LEMBAR PERSETUJUAN................................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ............................... v
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................................... vi
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vii
ABSTRAK ........................................................................................................... viii
ABSTRACT ............................................................................................................. ix
DAFTAR ISI ........................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ................................................................................................. xii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG........................................................ xv

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1


I.1 Latar belakang dan deskripsi permasalahan .................................. 1
I.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 1
I.3 Maksud Dan Tujuan Penelitian ..................................................... 2
I.4 Ruang Lingkup Penelitian Dan Batasan Masalah ......................... 2
I.5 Manfaat Penelitian ........................................................................ 2
I.6 Peneliti Terdahulu ......................................................................... 2

BAB II TINJAUAN UMUM............................................................................... 5


II.1 Fisiografi Regional Daerah Penelitian ....... Error! Bookmark not
defined.
II.2 Stratigrafi Regional Daerah Penelitian....... Error! Bookmark not
defined.
II.3 Subbab 3 ....................................... Error! Bookmark not defined.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........................................................... 26


III.1 Subbab 1 ....................................... Error! Bookmark not defined.
III.2 Subbab 2 ....................................... Error! Bookmark not defined.
III.3 Subbab 3 ....................................... Error! Bookmark not defined.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 29


IV.1 Subbab 1 ....................................... Error! Bookmark not defined.
IV.2 Subbab 2 ....................................... Error! Bookmark not defined.
IV.3 Subbab 3 ....................................... Error! Bookmark not defined.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 40

x
V.1 Kesimpulan ................................................................................. 40
V.2 Saran ............................................................................................ 41
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 41
LAMPIRAN .......................................................................................................... 45

xi
DAFTAR TABEL

Tabel IV.1 Ringkasan persamaan regresi hubungan Vpdry vs (k /)0,5 untuk


batupasir data set 1, 2, 3, dan 4. ........ Error! Bookmark not defined.

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar IV.1 Hubungan Vpsat dengan porositas untuk data set 1 (garis putus-
putus adalah kurva Vpsat yang dihitung dengan pendekatan Nur
menggunakan harga porositas kritis yang berbeda setiap rock
type). ............................................... Error! Bookmark not defined.
Gambar IV.2 Identifikasi korelasi penyebaran formasi pada sumur 1, 2, 3,
dan 4 lapangan FTKE Trisakti ....... Error! Bookmark not defined.

xiii
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Contoh sampul skripsi/tesis dan penjilidannya (warna sampul biru


gelap/dongker dengan tinta tulisan berwarna emas) ........................ 45
Lampiran B Contoh Halaman Pembatas Bab ...................................................... 47
Lampiran C Contoh gambar ................................................................................. 48
Lampiran D Contoh identifikasi gambar .............................................................. 49
Lampiran E Contoh Tabel.................................................................................... 50

xiv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

SINGKATAN Nama Pemakaian


pertama kali
pada halaman

FZI Flow Zone Indicator 1


PGS Pore Geometry Pore Structure 13
POA Perimeter Over Area 14
RQI Reservoir Quality Index 1
SCAL Special Core Analysis 13
SEM Scanning Electron Microscope 6
XRD X-Ray Diffraction 31

LAMBANG

A Luas area 33
B Bulk modulus 4
Bm Bulk modulus mineral 55
C Hydraulic Conductivity 14
c Konstanta Kozeny 134
E Young Modulus 33
Fs Shape factor 13
k Permeabilitas 8
Mdry Modulus pada kondisi dry 200
P Tekanan 33
Sgv Specific surface area per unit grain volume 13
Swi Irreducible water saturation 13
Vclay Volume clay 18
Vp Kecepatan gelombang P 6

xv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG (lanjutan)

LAMBANG Nama Pemakaian


pertama kali
pada halaman

Vsdry Kecepatan gelombang S dry 59


Zi Kompresibilitas komponen ke-i 154
µ Shear Modulus 4
µc Shear Modulus kritis 148
µdry Shear Modulus dry 122
µm Shear Modulus mineral 122

 Porositas 8

c Porositas kritis 57

z Rasio volume pori terhadap volume butiran 13

ρ Densitas batuan 36

ρf Densistas Fluida 58

ρm Densitas mineral 58

τ Tortuosity 13

σ Stress 33

ε Strain 33
Lame' coefficient 34
λ
Poisson ratio 33
υ

xvi
BAB I PENDAHULUAN

I.1 Latar belakang dan deskripsi permasalahan


Lereng merupakan suatu kondisi topografi yang banyak dijumpai pada
berbagai pekerjaan konstruksi. Permukaan tanah tidak selalu membentuk bidang
datar atau mempunyai perbedaan elevasi antara tempat yang satu dengan yang lain
sehingga membentuk suatu lereng (slope). Lereng dapat terjadi secara alami
maupun sengaja dibuat oleh manusia dengan tujuan tertentu. Longsoran merupakan
salah satu bencana alam yang sering terjadi pada lereng- lereng alami maupun
buatan. Kelongsoran lereng kebanyakan terjadi pada saat musim peng-hujan. Itu
terjadi akibat peningkatan tekanan air pori pada lereng. Hal ini berakibat pada
terjadinya penurunan kuat geser tanah (c) dan sudut geser dalam (υ) yang
selanjutnya menyebabkan kelongsoran.
Analisis stabilitas lereng mempunyai peran yang sangat penting pada
perencanaan konstruksi-konstruksi. Lereng yang tidak stabil sangatlah berbahaya
terhadap lingkungan sekitarnya, oleh sebab itu analisis stabilitas lereng sangat
diperlukan. Ukuran kestabilan lereng diketahui dengan meng-hitung besarnya
faktor keamanan.
Hal-hal tersebut menjadi pertimbangan dalam analisis terjadinya longsoroan
serta menentukan tipe longsoran. Dari hal tersebut dapat juga ditentukan penanganan
yang paling proposional serta efisien untuk mencegah serta meminimalisir bencana
yang mungkin terjadi. Seiring dengan pertumbuhan permintaan akan energi listrik yang
terus meningkat. PLN bermaksud membangun Bendungan Matenggeng, tepatnya,
Provinsi Jawa Tengah.

I.2 Rumusan Masalah


Kestabilan lereng pada daerah bendungan merupakan suatu hal yang sangat
penting untuk diperhatikan dikarenakan berpengaruh terhadap keberlanjutan dari
kinerja bendungan itu sendiri. Bila lereng pada daaerah bendungan tidak sesuai
bobot tingkat keamanan yang sesuai maka dapat memperhambat kinerja dari
bendungan itu sendiri. Maka dari itu perlu di lakukan penelitian lebih lanjut untuk
analisis kestabilan lereng pada daerah penelitian.

1
I.3 Maksud Dan Tujuan Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor – faktor stabilitas
lereng pada daerah penelitian yang berkaitan dengan tingkat kohesi, tegangan
normal, kondisi tanah, sudut lereng dan batuan pada daerah bendungan yang
terletak pada daerah Matenggeng. Analisi tersebut di olah melalui alat bantu berupa
software bernama ‘SLOPE/W’ untuk mengetahui nilai faktor keamanan.
Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui untuk
mengetahui potensi stabilitas lereng yang kemudian ditindaklanjuti dengan
penanganan perubahan geometri lereng yang sesuai pada daerah penelitian.

I.4 Ruang Lingkup Penelitian Dan Batasan Masalah


Ruang lingkup daerah penelitian penulis menjelaskan pada bagian geologi
teknik, yang berkaitan hanya dengan kondisi geologi yang terdapat pada daerah
penelitian antara lain seperti menentukan nilai faktor keselamatan agar proses
pembuatan bendungan Matenggeng, Provinsi Jawa Tengah berjalan lancer.
Penelitian difokuskan pada aspek geologi teknik saja dengan parameter kuat
geser tanah (c) dan sudut geser dalam (υ) yang selanjutnya menyebabkan
kelongsoran.

I.5 Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini adalah agar penelitian ini dapat dijadikan
sebagai bahan pertimbangan dalam perencanaan infrastruktur yang sesuai dengan
kondisi geologi pada daerah tersebut. Serta membantua penyelesaian permasalahan
dalam segi safety pada daerah penelitian.

I.6 Peneliti Terdahulu


Penelitian terdahulu ini menjadi salah satu acuan penulis dalam melakukan
penelitian sehingga penulis dapat memperkaya teori yang digunakan dalam
mengkaji penelitian yang dilakukan. Dari penelitian terdahulu, penulis tidak
menemukan penelitian dengan judul yang sama seperti judul penelitian penulis.
Namun penulis mengangkat beberapa penelitian sebagai referensi dalam
memperkaya bahan kajian pada penelitian penulis. (Tabel 2.1).

2
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu
Nama peneliti Judul penelitian Hasil penelitian
Violetta Gabriella ANALISIS Hasil dari penulis adalah
Margaretha Pangemanan KESTABILAN LERENG menghubungkan nilai
faktor keamanan dengan
A.E Turangan, O.B.A DENGAN METODE sudut lereng dengan
Sompie, 2014 FELLENIUS menggunakan grafik
komputer
(Studi Kasus: Kawasan
Citraland)
Perbedaan: Penelitian yang mereka lakukan adalah korelasi dari grafik dan
computer, sedangkan saya menggunakan aplikasi Slope/w.

Sumber: hasil kajian penulis, 2019.

Nama peneliti Judul penelitian Hasil penelitian


Haninda Putri Nurfitrianty, APLIKASI SOFTWARE Menentukan faktor
Runi Asmaranto, Anggara GEOSTUDIO SLOPE/W keamanan serta
menentukan jenis
Wiyono Wit Saputra, 2015 2007 UNTUK longsoran dengan,
ANALISIS PENYEBAB menggunakan metode
bishop. Sehingga
KELONGSORAN DI
mendapatkan hasil faktor
PERUMAHAN ROYAL keamanan yang baik.
SIGURA-GURA
MALANG
Perbedaan: Perbedaan penelitian ini dengan tugas akhir saya adalah mereka
menggunakan metode bishop.

Sumber: hasil kajian penulis, 2019.

3
Nama peneliti Judul penelitian Hasil penelitian

Tjokorda Gde Suwarsa ANALISIS STABILITAS Hasil penelitian tersebut


Putra, I Nyoman LERENG menggunakan metode
PADA BENDUNGAN fellenius dan bishop yang
Aribudiman, Gede Rico TITAB kemudian di bandingkan
Juliawan nilainya.

Perbedaan: Penelitian ini menggunakan metode yang kemudian di


bandingkan nilai dari faktor keamanan tersebut.

Sumber: hasil kajian penulis, 2019.

4
BAB II TINJAUAN UMUM

II.1 Geologi Regional


Secara fisiografis, daerah Jawa Tengah oleh van Bemmelen (1949) dibagi
menjadi 6 zona fisiografi, yaitu: Dataran Aluvial Jawa Utara, Gunungapi Kuarter,
Antiklinorium Bogor – Serayu Utara – Kendeng, Deperesi Jawa Tengah,
Pegunungan Serayu Selatan, dan Pegunungan Selatan Jawa (Gambar 2.1).

Gambar 2.1. Pembagian fisiografi Jawa Tengah dan Jawa Timur oleh Van
Bemmelan, 1949)

1. Dataran Aluvial Jawa Utara, mempunyai lebar maksimum 40 km kearah


selatan. Semakin ke arah timur, lebarnya menyempit hingga 20 km.
2. Gunungapi Kuarter di Jawa Tengah antara lain G. Slamet, G. Dieng, G.
Sundoro, G. Sumbing, G. Ungaran, G. Merapi, G. Merbabu, dan G. Muria.
3. Zona Serayu Utara memiliki lebar 30-50 km. Di selatan Tegal, zona ini
tertutupi oleh produk gunungapi kuarter dari G. Slamet. Di bagian tengah
ditutupi oleh produk volkanik kuarter G. Rogojembangan, G. Ungaran, dan
G. Dieng. Zona ini menerus ke Jawa Barat menjadi Zona Bogor dengan
batas antara keduanya terletak di sekitar Prupuk, Bumiayu hingga
Ajibarang, persis di sebelah barat G. Slamet, sedangkan ke arah timur
membentuk Zona Kendeng. Zona Antiklinorium Bogor terletak di selatan
Dataran Aluvial Jakarta berupa Antiklinorium dari lapisan Neogen yang

5
terlipat kuat dan terintrusi. Zona Kendeng meliputi daerah yang terbatas
antara Gunung Ungaran hingga daerah sekitar Purwodadi dengan singkapan
batuan tertua berumur Oligosen-Miosen bawah yang diwakili oleh Formasi
Pelang.
4. Zona Depresi Jawa Tengah menempati bagian tengah hingga selatan.
Sebagian merupakan dataran pantai dengan lebar 10-25 km. Morfologi
pantai ini cukup kontras dengan pantai selatan Jawa Barat dan Jawa Timur
yang relatif lebih terjal.
5. Pegunungan Selatan Jawa memanjang di sepanjang pantai selatan Jawa
membentuk morfologi pantai yang terjal. Namun di Jawa Tengah, zona ini
terputus oleh Depresi Jawa Tengah.
6. Pegunungan Serayu Selatan terletak di antara Zona Depresi Jawa Tengah
yang membentuk kubah dan punggungan. Di bagian barat dari Pegunungan
Serayu Selatan yang berarah barat-timur dicirikan oleh bentuk
antiklonorium yang berakhir di timur pada suatu singkapan batuan tertua
terbesar di Pulau Jawa, yaitu daerah Luk Ulo, Kebumen.

II.2 Stratigrafi Regional Daerah Penelitian


Daerah penelitian berada pada daerah Matenggeng dan sekitarnya, kecamatan
…….., Kabupaten……., Provinsi Jawa Tengah. Secara regional batuan yang
tersingkap pada daerah penelitian mempunyai kisaran umur mulai dari Miosen
sampai Pliosen yang terdiri dari beberapa formasi. (Gambar 2.2).

Gambar 2.2 Stratigrafi Regional Daerah Penelitian (Kastowo, 1975)

6
Stratigrafi batuan penyusun pada daerah penelitian lembar Majenang
(Gambar 2.2) dari yang paling muda sampai yang paling tua adalah sebagai
berikut:
1. Formasi Kumbang (Tmpk): Lava andesit dan basal, breksi, tuf, secara
setempat breksi batuapung dan tuf pasiran, serta sisipan napal. Lava sebagian besar
mengaca (bawahlaut). Napal mengandung Globigerina. Umur Miosen Tengah -
Pliosen Awal. Menjemari dengan Formasi Halang. Tebal maksimal lebih kurang
2000 m dan menipis ke arah timur.

2. Formasi Halang (Tmph): Batupasir tufan, konglomerat, napal, dan


batulempung;bagian bawah berupa breksit andesit. Runtunan batuan mengandung
fosil Globigerina dan foraminifera kecil lainnya. Umur Miosen Tengah - Pliosen
Awal. Breksi andesit, ketebalan bervariasi dari 200 m di selatan sampai 500 m di
sebelah utara. Bagian atas runtunan tak mengandung rombakan berbutir kasar.
Diendapkan sebagai sedimen turbidit pada zona batial atas. Ketebalan satuan
menipis ke arah timur, tebal maksimal 700 m.

II.3 Tektonik Regional


Pulau Jawa secara tektonik dipengaruhi oleh dua lempeng besar, yaitu
Lempeng Eurasia di bagian utara dan Lempeng Indo-Australia di bagian selatan.
Pergerakan dinamis dari lempeng-lempeng ini menghasilkan perubahan tatanan
tektonik Jawa dari waktu ke waktu. Secara berurutan, rejim tektonik Jawa
mengalami perubahan yang dimulai dengan kompresi, kemudian mengalami
regangan dan kembali mengalami kompresi.
Pulunggono dan Martodjojo (1994) menjelaskan bahwa tektonik kompresi
terjadi pada Kapur Akhir-Eosen (80-52 juta tahun yang lalu), yang diakibatkan oleh
penunjaman berarah timurlaut-baratdaya dari Lempeng Indo-Australia ke bawah
Lempeng Eurasia. Tektonik regangan terjadi pada kala Oligosen-Miosen Awal,
akibat terbentuknya jalur penunjaman baru di selatan Jawa. Selama zaman Tersier
di Pulau Jawa telah terjadi tiga periode tektonik yang telah membentuk lipatan dan
zona-zona sesar yang umumnya mencerminkan gaya kompresi regional berarah
utara-selatan (van Bemmelen, 1949). Ketiga periode tektonik tersebut adalah :

7
a. Periode Tektonik Miosen Atas (Mio-Pliosen)
Periode Tektonik Miosen Atas (Mio-Pliosen) dimulai dengan
pengangkatan dan perlipatan sampai tersesarkannya batuan sedimen
Paleogen dan Neogen. Perlipatan yang terjadi berarah relatif barattimur,
sedangkan yang berarah timurlaut-baratdaya dan baratlauttenggara hanya
sebagian. Sedangkan sesar yang terjadi adalah sesar naik, sesar sesar geser-
jurus, dan sesar normal. Sesar naik di temukan di daerah barat dan timur
daerah ini, dan berarah hampir barat-timur, dengan bagian selatan relatif
naik. Kedua-duanya terpotong oleh sesar geser. Sesar geser-jurus yang
terdapat di daerah ini berarah hampir baratlaut-tenggara, timurlaut-
baratdaya, dan utara-selatan. Jenis sesar ini ada yang menganan dan ada pula
yang mengiri. Sesar geser-jurus ini memotong struktur lipatan dan diduga
terjadi sesudah perlipatan. Sesar normal yang terjadi di daerah ini berarah
barat-timur dan hampir utara-selatan, dan terjadi setelah perlipatan. Di
daerah selatan Pegunungan Serayu terjadi suatu periode transgresi yang
diikuti oleh revolusi tektogenetik sekunder. Periode tektonik ini
berkembang hingga Pliosen, dan menyebabkan penurunan di beberapa
tempat yang disertai aktivitas vulkanik.

b. Periode Tektonik Pliosen Atas (Plio-Plistosen)


Periode Tektonik Pliosen Atas (Plio-Plistosen) merupakan kelanjutan
dari periode tektonik sebelumnya, yang juga disertai dengan aktivitas
vulkanik yang penyebaran endapan-endapannya cukup luas, dan umumnya
disebut Endapan Vulkanik Kuarter.

c. Periode Tektonik Holosen


Periode Tektonik Holosen disebut juga dengan Tektonik Gravitasi,
yang menghasilkan adanya gaya kompresi ke bawah akibat beban yang
sangat besar, yang dihasilkan oleh endapan vulkanik selama Kala Plio-
Plistosen. Hal tersebut menyebabkan berlangsungnya keseimbangan
isostasi secara lebih aktif terhadap blok sesar yang telah terbentuk
sebelumnya, bahkan sesar-sesar normal tipe horst dan graben ataupun sesar

8
bongkah atau sesar menangga dapat saja terjadi. Sesar-sesar menangga yang
terjadi pada periode inidapat dikenal sebagai gawir-gawir sesar yang
mempunyai ketinggian ratusan meter dan menoreh kawah atau kaldera
gunung api muda, seperti gawir sesar di Gunung Beser, dan gawir sesar pada
kaldera Gunung Watubela. Situmorang, dkk (1976), menafsirkan bahwa
struktur geologi di Pulau Jawa umumnya mempunyai arah baratlaut-
tenggara ,sesuai dengan konsep Wrench Fault Tectonics Moody and Hill
(1956) yang didasarkan pada model shear murni.

II.4 Teori Dasar


II.4.1 Klasifikasi Geomorfologi
Penentuan klasifikasi bentang alam (geomorfologi) di daerah penelitian
mengacu pada klasifikasi van Zuidam (1985), yang terdiri dari beberapa aspek,
diantaranya meliputi:

Tabel II.1 Aspek utama peta geomorfologi (van Zuidam, 1985)

9
a. Morfografi
Morfografi secara garis besar (tabel 4.2) memiliki arti gambaran bentuk
permukaan bumi atau arsitektur permukaan bumi. Secara garis besar morfografi
dapat dibedakan menjadi bentuklahan perbukitan/punggungan, pegunungan, atau
gunungapi, lembah dan dataran. Beberapa pendekatan lain untuk pemetaan
geomorfologi selain morfografi adalah pola punggungan, pola pengaliran dan
bentuk lereng.

Tabel 2.2 Hubungan ketinggian absolut dengan morfografi (van Zuidam, 1985).

b. Morfometri
Morfometri merupakan penilaian kuantitatif dari suatu bentuklahan dan
merupakan unsur geomorfologi pendukung yang sangat berarti terhadap morfografi
dan morfogenetik. Penilaian kuantitatif terhadap bentuklahan memberikan penajaman
tata nama bentuklahan dan akan sangat membantu terhadap analisis lahan untuk tujuan
tertentu, seperti tingkat erosi, kestabilan lereng dan menentukan nilai dari kemiringan
lereng tersebut.

10
Tabel 2.3 Hubungan kelas lereng dengan morfometri (van Zuidam,1985).

c Morfogenetik
Morfogenetik adalah proses atau asal - usul terbentuknya permukaan bumi,
seperti bentuklahan perbukitan / pegunungan, bentuklahan lembah atau
bentuklahan pedataran. Proses yang berkembang terhadap pembentukkan
permukaan bumi tersebut yaitu proses eksogen dan proses endogen.
Menurut Verstappen dan van Zuidam (1975) bahwa proses endogen dan
eksogen masa lalu dan sekarang merupakan faktor - faktor perkembangan yang
paling menonjol dari suatu bentanglahan, sehingga harus digambarkan dengan jelas
dan digunakan simbol warna. Warna - warna tertentu yang direkomendasikan untuk
dijadikan simbol satuan geomorfologi berdasarkan aspek genetik adalah sebagai
berikut

11
Tabel II.4 Klasifikasi Stadia Daerah (Zuidam, 1985)
Stadia Daerah
Parameter
Muda Dewasa Tua
Stadia Sungai Muda Muda – Dewasa Tua
Relief Sedikit – Maksimum Hampir
Bergelombang Datar
Bentuk
Penampang U–V V U – Datar
Lembah
Kenampakan Bentang alam Bentang alam Bentang
Lain umumnya datar sampai bergelombang sampai alamnya
bergelombang maksimum. datar.

Tabel 2.5 Klasifikasi bentukan asal berdasarkan genesa dan sistem pewarnaan
(van Zuidam, 1983).
No Genesa Pewarnaan

1 Denudasional (D) Coklat

2 Struktural (S) Ungu

3 Vulkanik (V) Merah

4 Fluvial (F) Biru muda

5 Marine (M) Biru tua

6 Karst (K) Orange

7 Glasial (G) Biru muda

8 eolian (E) Kuning

12
Tabel II.4 Klasifikasi Stadia Sungai (Zuidam, 1985)

Stadia Sungai
Parameter
Muda Dewasa Tua
Slope Gradient Besar Relatif Kecil Tidak Ada

Kecepatan Aliran Tinggi Sedang Rendah


Jenis Aliran Air Turbulent Turbulent – Laminar Laminer

Jenis Erosi Vertikal Vertikal – Horizontal


Horizontal
Proses yang Bekerja Erosi Erosi dan Deposisi Deposisi

Bentuk/Pola Sungai Lurus Lurus – Bermeander Bermeander –


Komplek

Bentuk Penampang V V–U U – Datar

Kerapatan/Anak Kecil/Jarang Sedang/Mulai Besar/Banyak


Sungai Banyak

II.4.2 Derajat Tingkat Pelapukan


Derajat tingkat pelapukan merupakan usaha untuk mengetahui adanya urutan
perubahan akibat adanya proses pelapukan fisik dan kimia yang berperan dalam
individu atau kombinasinya, beserta sifat – sifat keteknikan pada masing – masing
derajat pelapukanya (ISRM, 1978). Derajat tingkat pelapukan dapat menjadi acuan
pembagi kondisi geologi teknik suatu daerah berdasarkan derajat pelapukan material
pembentuk suatu daerah penelitian. Satuan geologi teknik daerah penelitian untuk
tingkat pelapukan mengacu pada klasifikasi International Society for Rock Mechanic
(ISRM). Menurut ISRM (1978), secara garis besar derajat tingkat pelapukan
dipisahkan sebagai berikut (Tabel 2.5).

13
Tabel 2.5 Klasifikasi derajat pelapukan ISRM (1978).

II.4.3 Pengertian Longsor dan Klasifikasi Longsor


Pengertian longsoran (landslide) dengan gerakan tanah (mass movement)
mempunyai kesamaan. Untuk memberikan definisi longsoran perlu penjelasan
keduanya. Gerakan tanah ialah perpindahan massa tanah/batu pada arah tegak,
mendatar atau miring dari kedudukan semula. Gerakan tanah mencakup gerak
rayapan dan aliran maupun longsoran. Menurut definisi ini longsoran adalah
bagian gerakan tanah (Purbohadiwidjojo, dalam Pangular, 1985). Jika menurut
definisi ini perpindahan massa tanah/batu pada arah tegak adalah termasuk gerakan
tanah, maka gerakan vertikal yang mengakibatkan bulging (lendutan) akibat
keruntuhan fondasi dapat dimasukkan pula dalam jenis gerakan tanah. Dengan
demikian pengertiannya menjadi sangat luas.
Menurut Varnes (1978, dalam Hansen, 1984) longsoran (landslide) dapat
diklasifikasikannya menjadi: jatuhan (fall), jungkiran (topple), luncuran (slide) dan
nendatan (slump), aliran (flow), gerak bentang lateral (lateral spread), dan gerakan
majemuk (complex movement). Berikut Klasifikasi Longsor Menurut Varnes 1978.

14
Tabel II.6 Klasifikasi longsor (Varnes, 1978)

a. Tipe Runtuhan (Fall)

Tipe Runtuhan merupakan gerakan tanah yang disebabkan keruntuhan tarik


yang diikuti dengan tipe gerakan jatuh bebas akibat gravitasi. Pada tipe runtuhan
ini massa tanah atau batuan lepas dari suatu lereng atau tebing curam dengan sedikit
atau tanpa terjadi pergeseran (tanpa bidang longsoran). Massa tersebut meluncur di
udara seperti gerakan jatuh bebas, meloncat atau menggelundung.
Longsoran atau Runtuhan tanah dapat terjadi karena kekuatan material yang
terletak di bagian bawah lebih lemah (antara lain karena tererosi dan penggalian)
dibandingkan lapisan di atasnya. Runtuhan batuan dapat terjadi antara lain karena
adanya perbedaan pelapukan, perbedaan tekanan hidrostatis karena masuknya air

15
ke dalam retakan, serta karena perlemahan akibat struktur geologi (antara lain
kekar, sesar, perlapisan)
b. Tipe Jungkiran (Toppling)

Tipe Jungkiran adalah jenis gerakan memutar ke depan dari satu atau beberapa
blok tanah/batuan terhadap titik pusat putaran di bawah massa batuan. Gaya utama
dari fenomena ini adalah gaya gravitasi, gaya dorong dari massa batuan di
belakangnya dan gaya yang ditimbulkan oleh tekanan air yang mengisi rekahan
batuan. Jungkiran ini biasanya terjadi pada tebing-tebing yang curam dan tidak
mempunyai bidang longsoran.

c. Tipe Longsoran (Sliding)


Tipe Longsoran adalah gerakan yang disebabkan oleh keruntuhan melalui satu
atau beberapa bidang yang dapat diamati ataupun diduga. Slides dibagi lagi menjadi
dua jenis. Disebut luncuran (slide) bila dipengaruhi gerak translasional dan susunan
materialnya yang banyak berubah. Bila longsoran gelinciran dengan susunan
materialnya tidak banyak berubah dan umumnya dipengaruhi gerak rotasional,
maka disebut nendatan (slump), Termasuk longsoran gelinciran adalah: luncuran
bongkah tanah maupun bahan rombakan, dan nendatan tanah.

d. Tipe Penyebaran Lateral (Lateral Spreading)


merupakan jenis longsoran yang dipengaruhi oleh pergerakan bentangan
material batuan secara horisontal. Biasanya berasosiasi dengan jungkiran, jatuhan
batuan, nendatan dan luncuran lumpur sehingga biasa dimasukkan dalam kategori
complex landslide - longsoran majemuk. Pada bentangan lateral tanah maupun
bahan rombakan, biasanya berasosiasi dengan nendatan, luncuran atau aliran yang
berkembang selama maupun setelah longsor terjadi. Material yang terlibat antara
lain lempung (jenis quick clay) atau pasir yang mengalami luncuran akibat gempa.

e. Tipe Aliran (Flow)


Tipe Aliran adalah gerakan yang dipengaruhi oleh jumlah kandungan atau kadar
airtanah, terjadi pada material tak terkonsolidasi. Bidang longsor antara material
yang bergerak umumnya tidak dapat dikenali. Termasuk dalam jenis gerakan aliran

16
kering adalah sandrun (larianpasir), aliran fragmen batu, aliran loess. Sedangkan
jenis gerakan aliran basah adalah aliran pasir-lanau, aliran tanah cepat, aliran tanah
lambat, aliran lumpur, dan aliran bahan rombakan.

f. Tipe Majemuk (Complex)


gabungan dari dua atau tiga jenis gerakan di atas. Pada umumnya longsoran
majemuk terjadi di alam, tetapi biasanya ada salah satu jenis gerakan yang menonjol
atau lebih dominan.

II.4.4 Penyebab Terjadinya Longsor


Jadi dalam menganalisis kemantapan lereng akan selalu berkaitan dengan

perhitungan untuk mengetahui angka faktor keamanan dari lereng tersebut. Ada

beberapa faktor yang mempengaruhi kemantapan lereng, antara lain :

1. Penyebaran Batuan

Penyebaran dan keragaman jenis batuan sangat berkaitan dengan


kemantapan lereng, ini karena kekuatan, sifat fisik dan teknis suatu
jenis batuan berbeda dengan batuan lainnya. Penyamarataan jenis batuan
akan mengakibatkan kesalahan hasil analisis. Misalnya : kemiringan lereng yang
terdiri dari pasir tentu akan berbeda dengan lereng yang terdiri dari lempung atau
campurannya.

2. Struktur Geologi
Struktur geologi yang mempengaruhi kemantapan lereng dan perlu
diperhatikan dalam analisis adalah struktur regional dan lokal. Struktur ini
mencakup sesar, kekar, bidang perlapisan, sinklin dan antiklin,
ketidakselarasan, liniasi, dll. Struktur ini sangat mempengaruhi kekuatan
batuan karena umumnya merupakan bidang lemah pada batuan tersebut, dan
merupakan tempat rembesan air yang mempercepat proses pelapukan.

17
3. Morfologi
Keadaan morfologi suatu daerah akan sangat mempengaruhi kemantapan
lereng didaerah tersebut. Morfologi yang terdiri dari keadaan fisik, karakteristik
dan bentuk permukaan bumi, sangat menentukan laju erosi dan pengendapan yang
terjadi, menent ukan arah aliran air permukaan maupun air tanah dan proses
pelapukan batuan.

4. Iklim
Iklim mempengaruhi temperatur dan jumlah hujan, sehingga berpengaruh
pula pada proses pelapukan. Daerah tropis yang panas, lembab dengan curah hujan
tinggi akan menyebabkan proses pelapukan batuan jauh lebih cepat daripada
daerah sub-tropis. Karena itu ketebalan tanah di daerah tropis lebih tebal dan
kekuatannya lebih rendah dari batuan segarnya.

5. Tingkat Pelapukan
Tingkat pelapukan mempengaruhi sifat-sifat asli dari batuan, misalnya
angka kohesi, besarnya sudut geser dalam, bobot isi, dll. Semakin tinggi tingkat
pelapukan, maka kekuatan batuan akan menurun.

II.4.5 Stabilitas Lereng


Lereng adalah permukaan bumi yang membentuk sudut kemiringan
tertentu dengan bidang horizontal. Lereng dapat terbentuk secara alamiah karena
proses geologi atau karena dibuat oleh manusia. Lereng yang terbentuk secara
alamiah misalnya lereng bukitdan tebing sungai, sedangkan lereng buatan manusia
antara lain yaitu galian dan timbunan untuk membuat jalan raya dan jalan kereta
api, bendungan, tanggul sungai dan kanal serta tambang terbuka. Suatu longsoran
adalah keruntuhan dari massa tanah yang terletak pada sebuah lereng sehingga
terjadi pergerakan massa tanah ke bawah dan ke luar.
Longsoran dapat terjadi dengan berbagai cara, secara perlahan-lahan atau
mendadak serta dengan ataupun tanpa tanda-tanda yang terlihat. Setelah gempa
bumi, longsoran merupakan bencana alam yang paling banyak mengakibatkan
kerugian materi maupun kematian. Kerugian dapat ditimbulkan oleh suatu

18
longsoran antara lain yaitu rusaknya lahan pertanian, rumah, bangunan, jalur
transportsi serta sarana komunikasi. Analisis kestabilan lereng harus berdasarkan
model yang akurat mengenai kondisi material bawah permukaan, kondisi air
tanah dan pembebanan yang mungkin bekerja pada lereng. Tanpa sebuah model
geologi yang memadai, analisis hanya dapat dilakukan dengan menggunakan
pendekatan yang kasar sehingga kegunaan dari hasil analisis dapat
dipertanyakan. Beberapa pendekatan yang dapat dilakukan adalah dengan
menggunakan metode-metode seperti : Metode Taylor, Metode janbu, Metode
Fenellius, Metode Bishop, dll. Dalam menentukan kestabilan atau kemantapan
lereng dikenal istilah faktor keamanan (safety factor) yang merupakan
perbandingan antara gaya-gaya yang menahan gerakan terhadap gaya-gaya yang
menggerakkan tanah tersebut dianggap stabil, bila dirumuskan sebagai berikut :
Faktor kemanan (F) = gaya penahan / gaya penggerak
Dimana untuk keadaan :
• F > 1,0 : lereng dalam keadaan mantap
• F = 1,0 : lereng dalam keadaan seimbnag, dan siap untuk longsor
• F < 1,0 : lereng tidak mantap

II.4.6 Klasifikasi Massa Batuan


Dalam melakukan analisis kemantapan lereng, metode klasifikasi massa
batuan (Rock Mass Classification) yang terdiri dari beberapa parameter sangat
cocok untuk mewakili karakteristik massa batuan, khususnya terhadap geometri
bidang diskontinu dan kondisi bidang diskontinu, serta indeks nilai kekuatan
batuan. Pada dasarnya pembuatan klasifikasi massa batuan bertujuan untuk :
a. Mengidentifikasi parameter-parameter penting yang mempengaruhi
perilaku massa batuan.
b. Membagi formasi massa batuan kedalam grup yang mempunyai perilaku
sama menjadi kelas massa batuan.
c. Memberikan dasar-dasar untuk pengertian karakteristik dari setiap kelas
massa batuan.

19
Beberapa klasifikasi massa batuan yang banyak dipakai atau dimodifikasi untuk
kepentingan kemantapan lereng antara lain :
a. Rock Mass Rating (RMR, Bieniawski, 1973 & 1989)
b. Slope Mass Rating (SMR, Romana, 1985 & 1991)

II.4.6.1 Rock Mass Rating (RMR)


Rock Mass Rating (RMR) disebut juga Geomechanics Classification dibuat
oleh Bieniawski (1973). RMR terdiri dari enam parameter dan pembobotan untuk
mengklasifikasi massa batuan, yaitu kuat tekan batuan utuh (Uniaxial Compressive
Strength dan Point Load Index), Rock Quality Designation (RQD), jarak/spasi
kekar, kondisi kekar, kondisi air tanah dan orientasi kekar.
a. Kuat Tekan Batuan Utuh (Strength of Intact Rock Material)
Kuat tekan batuan utuh adalah kemampuan dari material batuan untuk dapat
bertahan terhadap gaya yang bekerja padanya. Nilai kuat tekan batuan utuh
dapat diperoleh dari uji kuat tekan uniaksial (Uniaxial Compressive
Strength) dan uji Point Load Index (PLI). Pengujian kuat tekan uniaksial
(UCS) menggunakan mesin tekan (compression machine) untuk menekan
contoh batuan yang berbentuk silinder, balok atau prisma dari satu arah
(uniaxial) hingga contoh batuan mengalami keruntuhan. Dari hasil
pengujian UCS, didapatkan nilai kuat tekan uniaksial batuan, yaitu :
𝑃 𝜋 𝑋 𝐷²
Kuat tekan (σc) = ; A=
𝐴 4

Dimana σc = Kuat tekan (MPa)

P = Tekanan maksimum (Kg)

A = Luas penampang (cm2)

𝜋 = Konstanta (3,14)

D = Diameter contoh (mm)

20
b. Rock Quality Designation (RQD)
Rock Quality Designation dikemukakan oleh Deere dan kawan-kawan
(1960), didefinisikan sebagai persentase dari inti bor yang diperoleh dengan
panjang lebih dari 10 cm (lihat Gambar 3.7) dan jumlah inti bor tersebut
umumnya diukur pada inti bor sepanjang 2 meter.

RQD= (∑▒〖xi 〗)/L x 100 %

Keterangan :

∑▒〖xi 〗 = Total panjang inti bor > 10 cm

L = Panjang total inti bor (m)

Gambar 2.2 Pengukuran Rock Quality Designation (Deere, 1960)

Apabila inti bor tidak tersedia, RQD dapat dihitung secara tidak
langsung dengan menggunakan pengukuran orientasi dan jarak antar
diskontinuitas pada singkapan batuan. Priest dan Hudson (1976)
mengajukan sebuah persamaan untuk menentukan RQD dari data scan line
sebagai berikut :

RQD = 100 x e-0.1λ x (0.1λ + 1)

21
Dimana λ merupakan rasio antara jumlah kekar dengan panjang scan line
(kekar/meter).

c. Jarak Kekar (Spacing of discontinuities)


Jarak kekar adalah jarak tegak lurus antara dua bidang kekar yang
saling berurutan sepanjang garis bentangan. Pada perhitungan RMR,
parameter jarak kekar diberikan pembobotan berdasarkan nilai jarak antar
kekar-nya

d. Kondisi Kekar (Condition of discontinuities)


Untuk menentukan kondisi kekar pada massa batuan, terdapat lima
karakteristik kekar yang harus diidentifikasi, meliputi :
1. Persistensi atau kemenerusan (persistence/continuity)
Persistensi kekar dapat diukur secara langsung di lapangan dengan
mengamati panjang persistensi kekar pada massa batuan yang
tersingkap.
2. Kekasaran (roughness)
Kekasaran permukaan kekar akan mempengaruhi tergelincirnya
suatu blok massa batuan.
3. Pemisahan (separation/aperture)
Pemisahan adalah lebar celah antara dua permukaan kekar yang
terbuka.
4. Material Pengisi (filling/gouge)
Material pengisi berada pada celah yang terbuka antara dua dinding
kekar yang saling berdekatan. Material pengisi tersebut berupa hard
filling (kuarsa, kalsit, pasir, dll) dan soft filling (lempung, lanau,
mika, dll).
5. Pelapukan (weathering)
Penentuan tingkat pelapukan kekar dapat dilihat dari perbedaan
warna pada batuan dan terdekomposisinya batuan atau tidak.
Semakin besar tingkat perubahan warna dan terdekomposisi, maka
batuan akan semakin lapuk.

22
e. Kondisi Air Tanah (Groundwater conditions)
Air tanah merupakan faktor yang sangat penting dalam kemantapan
lereng, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, berat
air tanah dalam hal ini dinyatakan sebagai bobot isi air (gw) dapat
memberikan tambahan beban yang besar pada lereng.
Air tanah yang terdapat pada rongga-rongga/rekahan pada lereng juga
memberikan tekanan dinamik (lateral) yang berarti bagi kemantapan lereng.
Sedangkan secara tidak langsung, terdapatnya air tanah dalam jangka waktu
yang lama dapat mengubah kekuatan batuan karena mempercepat proses
pelapukan. Kondisi air tanah yang ditemukan pada pengukuran kekar
diinterpretasikan sebagai salah satu kondisi berikut : kering (completely
dry), lembab (damp), basah (wet), dan menetes (dripping), mengalir
(flowing).

f. Orientasi Kekar (Orientation of discontinuities)

Parameter ini merupakan penambahan serta koreksi terhadap kelima

parameter sebelumnya. Bobot yang diberikan pada orientasi kekar sangat

tergantung kepada hubungan antara orientasi kekar dengan metode

penggalian yang dilakukan (Lihat Tabel 3.13 dan Tabel 3.14). Oleh karena

itu dalam perhitungan RMR, bobot parameter ini dilakukan secara terpisah

dari lima parameter lainnya.

II.4.7 SLOPE MASS RATING (SMR)

Sistem RMR telah dimodifikasi oleh Romana (1985) untuk menentukan

kemantapan lereng dengan sistem klasifikasi Slope Mass Rating (SMR). Sistem

SMR menambahkan faktor penyesuaian seperti orientasi bidang diskontinu,

orientasi lereng, dan metode ekskavasi lereng. Faktor penyesuain untuk orientasi

bidang diskontinu lebih memberikan interpretasi yang lebih spesifik tentang

23
bagaimana mendeterminasi sifat menguntungkan atau tidaknya orientasi bidang

diskontinuitas terhadap orientasi lereng, aspek tersebut tidak dijelaskan secara

komprehensif pada sistem klasifikasi RMR yang dibuat oleh Bieniawski (1984).

Pendekatan ini sangat cocok untuk penilaian awal kemantapan lereng batuan,

termasuk batuan lunak ataupun massa batuan yang sangat terkekarkan (heavily

jointed rock mass).

Nilai SMR diperoleh berdasarkan bobot perhitungan yang digabungkan

dengan bobot perhitungan parameter RMR, yaitu :

SMR = RMR – (F1 x F2 x F3) + F4

Dimana :

F1 : Memperlihatkan kesejajaran antara jurus orientasi bidang kekar ( α j)

dengan

jurus dari permukaan lereng (αs).

F1 = [ 1 – sin (αs– αj) ]2

F2 : Menjelaskan sudut tangensial kemiringan kekar (βj).

F1 = tg2 x βj

F3 : Mencerminkan hubungan kemiringan kekar (βj) dengan kemiringan lereng

(βs)

F4 : Merupakan penyesuaian untuk metode ekskavasi/peledakan.

Pembobotan dari masing-masing parameter nilai F1, F2, F3, dan F4, dapat

dilihat (pada Tabel 2.7) :

24
Tabel 2.7 Bobot Pengaturan untuk Nilai F1, F2 dan F3 (Romana, 1980)
Kriteria
Sangat me- Menguntung- Tak mengun- Sangat tak
Kasus faktor Sedang
nguntungkan kan tungkan menguntungkan
koreksi

P |aj - as| > 30 30 – 20 20 - 10 10 – 5 <5

T |aj - as - 180|

P/T F1 0.15 0.40 0.70 0.85 1.00

P |bj| < 20 20 – 30 30 - 35 35 - 45 > 45

P F2 0.15 0.40 0.70 0.85 1.00

T F2 1 1 1 1 1

P bj – bs > 10 10 – 0 0 0 - (-10) < -10

T bj + bs < 100 110 – 120 > 120

P/T F3 0 -6 - 25 - 50 - 60

Tabel 2.8 Bobot metode ekskavasi/peledakan lereng (Romana, 1980)


Metode Lereng Presplitting Smooth Penggalian Peledakan
alami blasting mekanis massal
F4 + 15 + 10 +8 0 -8

Tabel 2.9 Deskripsi untuk setiap kelas SMR (Romana, 1985)

25
BAB III METODOLOGI PENELITIAN

Penulisan tugas akhir ini disusun melalui beberapa tahapan oleh penulis
sendiri. Tahapan tersebut disusun agar proses pengerjaan tugas akhir lebih terarah
serta mempermudah penulis dalam pengerjaan tugas akhir dari tahap penelitian
hingga hasil dan pembahasan. Berikut ini diagram alir (Gambar 3.1).

Mulai

Studi
Literatur

Pengumpulan
Data

Deskripsi Data FaceMapping Geologi Data


singkapan Kekar daerah Lower Regional Laboratorium
DAM

Muka air Analisis Sudut Geser Kohesi UCS


tanah Log Bor Dalam

Selesai

Gambar 3.1 Diagram Alir Metode Penelitian

26
III.1 Tahap Penelitian

Adapun dalam penulisan tugas akhir ini, terdapat empat tahapan untuk
melaksanakan tugas akhir ini:

III.1.1 Studi Literatur


Tahapan persiapan berupa studi pustaka dengan mencari referensi teori
yang relevan dengan kasus atau permasalahan yang ditemukan. Studi pustaka
didapat dari berbagai sumber seperti jurnal, internet, pustaka, dan dokumentasi.
Mempelajari daerah penelitian dengan mempelajari fisiografi regional, stratigrafi
regional, struktur geologi daerah penelitian yang merujuk pada pustaka dan hasil
penelitian terdahulu pada daerah penelitian.

III.1.2 Pengumpulan Data


Setelah mengetahui gambaran mengenai penelitian yang dilakukan, kita
akan mengetahui data-data apa saja yang dibutuhkan yang menunjang penelitian.
Dalam pengumpulan data ini digunakan data regional berupa geologi regional dan
fisiografi regional daerah penelitian, struktur regional, untuk pengolahan peta dan
penampang diperlukan peta topografi, data laboratorium, data kekar, nilai kekar,
RQD, nilai RMR, dan data core box yang didapatkan dari Perusahaan PT PLN
Enjiniring.

III.1.3 Analisis Data


Setelah tahap pengumpulan data yang diperlukan selesai, lalu dilakukan
tahap analisis yang di lakukan oleh penulis dan dosen pembimbing. Setelah
dilakukan tahap analisis maka penulis dapat mengolah nya dengan menggunakan
cara manual dan juga software khusus untuk mengolah data tersebut agar mendapat
hasil yang tepat.

III.1.4 Penyusunan Laporan


Merupakan tahap terakhir, penyusunan laporan disusun berdasarkan data-
data yang telah dikumpulkan dan yang telah dianalisis.

27
Laporan ini harus disusun dengan menggunakan metodologi penulisan laporan
yang baik dan benar, lalu berdasarkan arahan oleh dosen pembimbing yang dapat
memberikan panduan dengan baik. Selain itu juga dibuat dengan data yang apa
adanya.

28
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Geologi Daerah Penelitian


IV.1.1 Geomorfologi
Penentuan klasifikasi bentang alam pada daerah penelitian mengacu pada
klasifikasi van Zuidam (1985) yaitu berdasarkan morfografi, morfometri dan
morfogenetik. Secara umum geomorfologi daerah penelitian memperlihatkan 2
satuan yaitu Satuan Geomorfologi Perbukitan Miring Struktural dan Satuan
Geomorfologi Perbukitan Dataran Denudasional.

Tabel 4.1 Satuan Geomorfologi Daerah Penelitian

VI.1.1.1 Satuan Geomorfologi Perbukitan Miring Struktural


Satuan ini memiliki luasan 35% dari total daerah penelitian. Satuan
geomorfologi ini terletak pada bagian atas pojok kiri daerah penelitian sampai pojok
atas kanan daerah penelitian yaitu barat laut sampai timur laut dan mempunyai
ketinggian dari 250-280m dan memiliki persen kelerengan 7-15% (lereng miring).
Secara morfogenesa proses endogen pada satuan ini yaitu struktural kemudian
eksogen yang terjadi adalah erosional dan pola aliran air sub dendritik.

29
T B

Foto 4.1 Satuan Geomorfologi Perbukitan Miring Struktural

VI.1.1.2 Satuan Geomorfologi Perbukitan Sedikit Miring Denudasional


Satuan ini memliki luasan 65% dari total daerah penelitian. Satuan
geomorfologi ini terletak pada bagian tengah pada daerah penelitian yaitu barat dan
timur dan mempunyai ketinggian 200-280m dan memiliki persen kelerengan 2-7%
(sedikit miring). Secara morfogenesa proses endogen pada satuan ini yaitu
structural kemudian eksogen yang terjadi adalah erosional dan pola aliran air sub
dendritik.

T B

Foto 4.2 Satuan Geomorfologi Perbukitan Sedikit Miring Denudasional

30
VI.1.2 Pola Aliran Sungai Daerah Penelitian
Aliran sungai pada daerah penelitian secara umum memiliki arah aliran yang
dominan mengarah dari selatan ke barat. Berdasarkan analisa dan peta topografi,
pola aliran sungai pada daerah penelitian umumnya termasuk dalam pola aliran
sungai subdendritik (gambar 4.3).

Gambar 4.3 Peta pola aliran sungai regional dan daerah penelitian.

U S

Foto 4.3 Kenampakan penampang sungai berbentuk “V-U”

31
VI.1.2 Stratigrafi Daerah Penelitian
VI.1.2.1 Satuan Batupasir
a. Penyebaran
Satuan ini berada di atas dan bawah daerah penelitian, memiliki daerah
luasan sebesar 60 % yang membentang dari barat ke timur dan berada di sungai
citeuteul dan memiliki tebal satuan kurang lebih 100 meter.

c. Litologi
Batu pasir dengan warna abu-abu muda-abu-abu, sedikit agak lapuk, -butir
halus, berbentuk subrounded sampai subangular, batu keras sampai sedang,
komposisi non karbonat dan memiliki struktur laminasi dengan kedudukan strikeN
80° E sampai N 103° E dan dip 25-45°.

B T

Foto 4.4 Singkapan batupasir pada lp 12

c. Kesebandingan
Berdasarkan ciri litologi, komposisi batuan, dan penyebarannya di daerah
penelitian, maka satuan batulempung ini disebandingkan dengan regional yang
mengacu pada Kastowo, et.al., (1996). yang juga merupakan formasi halang yang
berumur Miosen Tengah hingga Pliosen Awal.

32
VI.1.2.2 Satuan Batulempung
a. Penyebaran
Satuan ini berada di tengah daerah penelitian, memiliki daerah luasan sebesar
40 % yang membentang dari barat ke timur dan berada di sungai citeuteul dan
memiliki tebal satuan kurang lebih 100 meter.

b. Litologi
Satuan ini merupakan batuan sedimen klastik dengan warna abu-abu - abu-
abu tua, sedikit lapuk, batuan lunak, berukuran butir lempung, komposisi batuan
karbonat dan memiliki struktur laminasi dengan kedudukan jurus dan kemiringan
N 103° E/30°.

T B

Foto 4.5 Singkapan batulempung pada lp 7

c. Kesebandingan
Berdasarkan ciri litologi, komposisi batuan, dan penyebarannya di daerah
penelitian, maka satuan batulempung ini disebandingkan dengan regional yang
mengacu pada Kastowo, et.al., (1996). yang juga merupakan formasi halang yang
berumur Miosen Tengah hingga Pliosen Awal.

33
VI.1.3 Struktur Geologi Daerah Penelitian
Struktur Geologi dapat di tentukan berdasarkan indikasi geologi maupun
indikasi topografi. Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian terdiri
dari:

VI.1.3.1 Struktur Kekar


Kekar adalah bidang pemisahan dimana tidak terjadi pergeseran berarti. Kedua
dinding bukaan yang dihasilkan biasanya tetap berada dalam kontak yang ketat.
Penentuan arah gaya utama pada daerah penelitian ini diambil dari beberapa data
kekar yang nantinya membutuhkan software berupa Dips agar dapat membantu
mendapatkan arah relative gaya utama. Berikut data data kekar yang di ambil (Tabel
VI.8).
Tabel 4.8 Data Kekar

Arah kekar rata-rata adalah N 210° E sampai N 329° E dan Kemiringan 65° - 78°.
Maka analisis arah utama kekar ini adalah N 329° E / 72°.

Gambar 4.4 Diagram menunjukkan arah gaya utama daerah pemetaan yang ditandai
garis berwarna merah yang menunjukan arah gaya dominan Barat Laut – Tenggara

34
Foto 4.6 Kekar pada singkapan batupasir lp 12

VI.1.3.2 Struktur Sesar Geser


VI.2 Analisis Kestabilan Lereng
Analisis kinematik yang telah dibahas dalam sub bab 4.3 merupakan langkah
awal dalam menganalisis kestabilan lereng, analisis kestabilan lereng yang digunakan
adalah sistem pengklasifikasian massa batuan.
Dalam penelitian ini, pengklasifikasian massa batuan didasarkan atas metode
Rock Mass Rating (RMR) dan Slope Mass Rating (SMR). Kedua system klasifikasi
tersebut paling banyak digunakan dalam penelitian geologi teknik dan sangat relevan
digunakan untuk lereng batuan (Sulistianto, 2001).

VI.2.1 Perhitungan Rock Mass Rating (RMR)


Berikut diuraikan hasil perhitungan Rock Mass Rating untuk tiap Bor
 Bore Lower 1 (BL1)
Nilai RMR yang didapatkan dari hasil perhitungan RMR untuk BL 1 pada Tabel
4.10 adalah 55. Dari nilai tersebut, maka massa batuan penyusun lereng BL1
masuk dalam kelas III (Fair Rock).

Tabel 4.10 Hasil perhitungan RMR pada BL1.


PARAMETER NILAI / KONDISI BOBOT
UCS 7.8 2
RQD 51.20% 13
SPASI DISKONTINUITAS 66 cm 15

35
KONDISI DISKONTINUITAS 15 15
KONDISI KEAIRAN Lembab 10
JUMLAH BOBOT 55
KELAS MASSA BATUAN III

 Bore Lower 2 (BL2)


Nilai RMR yang didapatkan dari hasil perhitungan RMR untuk BL 2 pada Tabel
4.11 adalah 54. Dari nilai tersebut, maka massa batuan penyusun lereng BL2
masuk dalam kelas III (Fair Rock).

Tabel 4.11 Hasil perhitungan RMR pada BL2.


PARAMETER NILAI / KONDISI BOBOT
UCS 9.609 2
RQD 62.50% 13
SPASI DISKONTINUITAS 38 cm 10
KONDISI
DISKONTINUITAS 19 19
KONDISI KEAIRAN Lembab 10
JUMLAH BOBOT 54
KELAS MASSA BATUAN III

 Bore Lower 3 (BL3)


Nilai RMR yang didapatkan dari hasil perhitungan RMR untuk BL 3 pada Tabel
4.12 adalah 57. Dari nilai tersebut, maka massa batuan penyusun lereng BL3
masuk dalam kelas III (Fair Rock).

Tabel 4.12 Hasil perhitungan RMR pada BL3.

PARAMETER NILAI / KONDISI BOBOT


UCS 3.776 2
RQD 80.10% 17
SPASI DISKONTINUITAS 23 cm 10

36
KONDISI
DISKONTINUITAS 19 19
KONDISI KEAIRAN Lembab 10
JUMLAH BOBOT 57
KELAS MASSA BATUAN III

 Bore Lower 4 (BL4)


Nilai RMR yang didapatkan dari hasil perhitungan RMR untuk BL 4 pada Tabel
4.13 adalah 52. Dari nilai tersebut, maka massa batuan penyusun lereng BL4
masuk dalam kelas III (Fair Rock).

Tabel 4.13 Hasil perhitungan RMR pada BL4.

PARAMETER NILAI / KONDISI BOBOT


UCS 9.125 2
RQD 66.40% 13
SPASI DISKONTINUITAS 27 cm 10
KONDISI
DISKONTINUITAS 17 17
KONDISI KEAIRAN Lembab 10
JUMLAH BOBOT 52
KELAS MASSA BATUAN III

 Bore Lower 5 (BL5)


Nilai RMR yang didapatkan dari hasil perhitungan RMR untuk BL 5 pada Tabel
4.14 adalah 49. Dari nilai tersebut, maka massa batuan penyusun lereng BL5
masuk dalam kelas III (Fair Rock).

Tabel 4.14 Hasil perhitungan RMR pada BL5

PARAMETER NILAI / KONDISI BOBOT


UCS 3.345 1

37
PARAMETER NILAI / KONDISI BOBOT
UCS 4.177 1
RQD 64% 13
SPASI DISKONTINUITAS 32 10
KONDISI
DISKONTINUITAS 17 17
KONDISI KEAIRAN Lembab 10
JUMLAH BOBOT 51
KELAS MASSA BATUAN III
RQD 24.50% 13
SPASI DISKONTINUITAS 24 cm 10
KONDISI
DISKONTINUITAS 15 15
KONDISI KEAIRAN Lembab 10
JUMLAH BOBOT 49
KELAS MASSA BATUAN III

 Bore Lower 6 (BL6)


Nilai RMR yang didapatkan dari hasil perhitungan RMR untuk BL 6 pada Tabel
4.15 adalah 51. Dari nilai tersebut, maka massa batuan penyusun lereng BL6
masuk dalam kelas III (Fair Rock).

Tabel 4.15 Hasil perhitungan RMR pada BL6

 Bore Lower 7 (BL7)

38
Nilai RMR yang didapatkan dari hasil perhitungan RMR untuk BL 7 pada Tabel
4.16 adalah 51. Dari nilai tersebut, maka massa batuan penyusun lereng BL7
masuk dalam kelas III (Fair Rock).

Tabel 4.16 Hasil perhitungan RMR pada BL7


PARAMETER NILAI / KONDISI BOBOT
UCS 8.447 2
RQD 40% 8
SPASI DISKONTINUITAS 34 10
KONDISI DISKONTINUITAS 21 21
KONDISI KEAIRAN Lembab 10
JUMLAH BOBOT 51
KELAS MASSA BATUAN III

Tabel 4.17 Hasil rekapitulasi perhitungan RMR seluruh logbor


BL 1 BL 2 BL 3 BL 4 BL 5 BL 6 BL 7
RQD 13 13 17 13 13 13 8
UCS 2 2 1 2 1 1 2
SD 15 10 10 10 10 10 10
PERSISTENSI 4 4 4 4 4 4 4
KEKASARAN 5 5 5 5 3 3 5
PEMISAHAN 1 1 1 1 1 1 1
PENGISI 2 6 4 2 2 4 6
PELAPUKAN 3 3 5 5 5 5 5
GWL 10 10 10 10 10 10 10
TOTAL 55 54 57 52 49 51 51
KELAS III III III III III III III

Berikut ini disajikan data total nilai RMR dan kelas massa batuan di seluruh
segmen Bore (Tabel 4.17). Berdasarkan kelas massa batuan yang didapat dari nilai
RMR, maka lereng BL1, BL2, BL3, BL4, BL5, BL6, BL7 memiliki lereng yang kurang
stabil.

VI.2.2 Perhitungan Slope Rock Mass Rating (SMR)

39
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan
Bab Kesimpulan adalah penutup dari bagian utama atau isi dari skripsi.
Kesimpulan mengemukakan secara singkat hal-hal yang telah dibahas dan hasil
yang diperoleh serta menginterpretasikannya sesuai dengan masalah dan tujuan
penelitian. Isi kesimpulan adalah jawaban dari rumusan masalah dan tujuan
penelitian yang disampaikan di bab pendahuluan. Kesimpulan juga harus dapat
menjawab judul skripsi.

40
Kesimpulan bukan merupakan rangkuman yang dimaksudkan untuk
membantu pembaca dapat secara cepat memahami ini skripsi akan tetapi harus
dapat mempertegas hasil penelitian dalam menyelesaikan dan menjawab
permasalahan-permasalahan yang diteliti.

V.2 Saran
Adapun saran merupakan ungkapan peneliti mengenai hal-hal yang belum
dilakukan dan diharapkan dapat dilengkapi pada penelitian selanjutnya terkait
dengan topik penelitian yang telah dilakukan. Saran sebaiknya dapat membuka
jalan bagi penelitian baru terkait topik penelitian yang sudah dilakukan di skripsi
tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Anugrahadi, A. (1995): Maximum principal stress of east cimandiri fault, Bandung


area, West Java, Indonesia, Proc. Indonesian Petroleum Association, 579.

Anugrahadi, A., Purwadhi, F.S.H., dan Haryani, N.S. (2017): Terapan


penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dalam geologi,
geomorfologi dan mitigasi bencana beraspek hidrometeorologi, hal. 35-50,
Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta.

Anugrahadi, A. (2018): The slope and incision length of affected local cross
abrasion and accretion using ASTER GDEM image analysis, The 4th
International Seminar on Sustainable Urban Development, IOP Conf. Series:
Earth and Environmental Science, 106, 1

41
Azizi, M.A, Kramadibrata, S., Wattimena, R.K., dan Sidi, I.D. (2013):
Probabilistic analysis of physical models slope failure, Procedia Earth and
Planetary Science, Elsevier, 6, 411-418.

Burhannudinnur M. dan Morley, C.K. (1997): Anatomy of growth fault zones in


poorly lithified sandstones and shales; implications for reservoir studies and
seismic interpretation; Part 1, outcrop study, Petroleum Geoscience,
Geological Society of London, 3, 3, 211-224.

Burhannudinnur, M., Noeradi, D., Sapiie, B., dan Abdassah, D. (2012): Karakter
Mud Volcano di Jawa Timur (Character of mud volcanoes in East Java),
Proceedings the 41st IAGI Annual Convention and Exhibition, 300-304.

Dalimunthe, Y.K., dan Hamid, A. (2018): Georadar and geoelectricity method to


identify the determine zone of sliding landslide, The 4th International
Seminar on Sustainable Urban Development, IOP Conf. Series: Earth and
Environmental Science, 106, 1.

Ditjen Migas KESDM (2012): Indonesia petroleum contract area map,


http://www.wkmigas.com/wp-content/uploads/2012/11/Indonesia-Contract-
Area-Map.pdf. Download (diturunkan/diunduh) pada Januari 2015.

Eko Widianto (2007): Oil and gas business opportunities in Indonesia, Society of
Exploration Geophysicists, The Leading Edge, 26, 2, 222-227.

Fathaddin, M.T., Buang, P.N., dan Elraies, K.A. (2010): Performance of surfactant
flooding in heterogeneous two-layered porous media, International Journal
of Engineering Research in Africa, Trans Tech. Publications, 1, 11-16.

Hendrasto, F. (2014): Daerah resapan lapangan panas bumi wayang windu


berdasarkan analisis rekahan dihubungkan dengan neraca air dan sistem
reservoir panas bumi, Disertasi Program Doktor, Institut Teknologi Bandung.

Hendrasto F., Agustan, Hutasoit L., dan Sapiie B. (2012): The Application of
Interferometry Radar Technique to Determine Recharge Area of Wayang
Windu Geothermal Field, Pangalengan, West Java, Proc. of 1st ITB
Geothermal Workshop, Institut Teknologi Bandung.

Jambak, M.A., Syafri, I., Isnaniawardhani, V., Benyamin, dan Rodriguez, H.


(2015): Facies and diagenetic level of the upper cibulakan and parigi
formation, in Randegan and Palimanan area, Indonesian Journal on
Geoscience, 2, 3, 157-166.

Mardiana, D.A, Husin, Z., Hamzah, M.Z., dan Kartoatmodjo, R.S.T. (2013):
Economy growth and oil import requirement in Indonesia, Journal of Energy
Technologies and Policy, 11.

42
Mavko, G., Mukerji, T., dan Dvorkin, J. (2009): The rock physics handbook, hal.
25-27, Cambridge University Press, New York.

Nugrahanti, A., Guntoro, A., Fathaddin, M.T., dan Djohor, D.S. (2014): The
impact of the production of neighbour wells on well productivity in shale
gas reservoir, IIUM Engineering Journal, 15, 1, 41-53.

Prima, A., dan Kasmungin, S. (2018): A correlation of non ionic surfactant


concentration, water salinity, and oil recovery in sandstone imbibitions,
Prosiding Seminar Nasional Pakar, 225-230.

Ridaliani, O., Ariadji, T., dan Handayani, G. (2003): Prediksi perubahan sifat fisik
batuan reservoir dengan studi laboratorium stimulasi vibrasi terhadap contoh
batuan lapangan pada berbagai tekanan overburden, Proc. IATMI Symposium.

Rizaldi, D. A. (2016): Analisis perbandingan optimasi sucker rod pump dan


electric submersible pump di sumur D-1, Skripsi Program Sarjana, Teknik
Perminyakan, Universitas Trisakti.

Scott, J.C. 2000. Senjatanya Orang-orang Yang Kalah. Terjemahan A.Rahman


Zainudin, Sayogya dan Mien Joehaar. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia

Setiati R., Prakoso S., Siregar, S., Marhaendrajana T., Wahyuningrum, D., dan
Fajriah, S. (2018): Improvement of bagasse become lignosulfonate
surfactant for oil industry, The 4th International Seminar on Sustainable
Urban Development, IOP Conference Series: Earth and Environmental
Science, 106, 1.

Sitaresmi, R, Abdassah, D., Marhaendrajana, T., dan Irawan, D. (2009):


Generating the dynamic characteristics and predicting techniques for coal bed
methane (CBM) production using field performance data, Proc. Indonesian
Petroleum Association.

Suliestyah, Hartami, P.N, dan Tuheteru, E.J. (2018): Pengaruh Ukuran Butir
Batubara dan Komposisi Batubara-ZnCl2 pada Daya Serap Karbon Aktif
Terhadap Logam Fe, Cu dan Zn dalam Limbah Cair, Teknologi Mineral dan
Batubara.

Sumotarto, U. (2018): Geothermal energy potential of arjuno and welirang


volcanoes area, east java, Indonesia, International Journal of Renewable
Energy research, 8, 1, 614–624.

Prakoso, S., Permadi, P., Winardhi, S., dan Marhaendrajana, T. (2017): Dependence
of critical porosity on pore geometry and pore structure and its use in
estimating porosity and permeability, Journal of Petroleum Exploration and
Production Technology, Springer, published online 18 December 2017.

43
Prakoso, S., Permadi, P., dan Winardhi S. (2016): Effects of pore geometry and
pore structure on dry P-wave velocity, Modern Applied Science, 10,
8, 117-133.

Zabidi, L. (1990): Evaluasi penambahan tepung silika terhadap semen sumur


minyak kelas G pada suhu tinggi, Tesis Program Magister, Universitas
Indonesia.

44
LAMPIRAN

Lampiran A Contoh sampul skripsi/tesis dan penjilidannya (warna sampul biru


gelap/dongker dengan tinta tulisan berwarna emas)

45
(Judul dalam Bahasa Indonesia, tidak boleh lebih dari 18 kata disarankan 12
kata)

46
Lampiran B Contoh Halaman Pembatas Bab

47
Lampiran C Contoh gambar

Gambar IV.1 Hubungan Vpsat dengan porositas untuk data set 1 (garis putus-putus
adalah kurva Vpsat yang dihitung dengan pendekatan Nur
menggunakan harga porositas kritis yang berbeda setiap rock type)

48
Lampiran D Contoh identifikasi gambar

Sebelum:

Sesudah :

Gambar II.2 Identifikasi korelasi penyebaran formasi pada sumur 1, 2, 3, dan 4


lapangan FTKE Trisakti

49
Lampiran E Contoh Tabel

Tabel II.1 Ringkasan persamaan regresi hubungan Vpdry vs (k /)0,5 untuk batupasir
data set 1, 2, 3, dan 4.

Data
RT Persamaan Vpdry R²
Set
4 Vpdry = 588,14((k/)0,5)0,188 0,879
5 Vpdry = 711,63((k/)0,5)0,2471 0,916
6 Vpdry = 896,73((k /)0,5)0,318 0,814
7 Vpdry = 1114,1((k /)0,5)0,3718 0,907
8 Vpdry = 1349,6((k /)0,5)0,4339 0,941
1 9 Vpdry = 1655,6((k /)0,5)0,4807 0,954
10 Vpdry = 2139,4((k /)0,5)0,5734 0,951
11 Vpdry = 3047,9((k /)0,5)0,6872 0,960
12 Vpdry = 3231,3((k /)0,5)0,7271 0,957
13 Vpdry = 3523,4((k /)0,5)0,7512 0,987
14 Vpdry = 4210,5((k /)0,5)0,7989 0,967
5 Vpdry = 714,03((k /)0,5)0,2178 0,918
6 Vpdry = 867,12((k /)0,5)0,2617 0,778
7 Vpdry = 985,71((k /)0,5)0,3064 0,849
8 Vpdry = 1090,3((k /)0,5)0,3583 0,898
2 9 Vpdry = 1290,3((k /)0,5)0,4186 0,952
10 Vpdry = 1550,4((k /)0,5)0,4771 0,939
11 Vpdry = 1809((k /)0,5)0,5239 0,973
12 Vpdry = 2319,1((k /)0,5)0,5938 0,944
13 Vpdry = 2591,8((k /)0,5)0,6538 0,932

50
Tabel II.1 Ringkasan persamaan regresi hubungan Vpdry vs (k/)0,5 untuk batupasir
data set 1, 2, 3, dan 4 (lanjutan).

Data
RT Persamaan Vpdry R²
Set
4 Vpdry = 648,05((k /)0,5)0,2097 0,9579
5 Vpdry = 734,39((k /)0,5)0,2537 0,9772
6 Vpdry = 838,02((k /)0,5)0,2787 0,9501
7 Vpdry = 1007,9((k /)0,5)0,3345 0,9499
3 8 Vpdry = 1167,8((k /)0,5)0,4063 0,9993
9 - -
10 Vpdry = 1644,6((k /)0,5)0,5008 0,981
11 - -
12 Vpdry = 2928,6((k /)0,5)0,7029 0,9997
5 Vpdry = 880,85((k /)0,5)0,3088 0,8563
6 Vpdry = 1005,2((k /)0,5)0,3426 0,9749
7 Vpdry = 1098,1((k /)0,5)0,3691 0,9504
8 Vpdry = 1240,3((k /)0,5)0,4093 0,9619
4
9 Vpdry = 1581,4((k /)0,5)0,489 0,9751
10 Vpdry = 2145,4((k /)0,5)0,5895 0,9338
11 Vpdry = 2679,7((k /)0,5)0,6523 0,9825
12 Vpdry = 3097((k /)0,5)0,711 0,9723

51

Anda mungkin juga menyukai