Anda di halaman 1dari 104

KARAKTERISTIK REKAHAN ALAMI PADA BATUAN

DASAR GRANITIK MENGGUNAKAN METODE


SCANLINE DAN WINDOWS SCAN, DAERAH
SILOKEK, SUMATRA BARAT

SKRIPSI

Usulan penelitian untuk Skripsi Program Studi Sarjana


Teknik Geologi Fakultas Teknologi Kebumian dan
Energi, Universitas Trisakti

Oleh:
ALWIN DANIEL SIMANJUNTAK
072001500009

PROGRAM STUDI SARJANA TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNOLOGI KEBUMIAN DAN ENERGI
UNIVERSITAS TRISAKTI
2019
FRACTURE CHARACTERISTICS IN GRANITIC BASEMENT
ROCK USING SCANLINE AND WINDOWS SCAN METHODS
AT SILOKEK, WEST SUMATRA

FINAL ASSESMENT
Submitted as a requirement to obtain Undergraduate in study
program of Geology, Faculty of Earth Technology and Energy

By
ALWIN DANIEL SIMANJUNTAK
072001500009

STUDY PROGRAM OF GEOLOGI ENGINERING


FACULTY OF EARTH TECHNOLOGY AND ENERGY
UNIVERSITAS TRISAKTI
2019
LEMBAR PENGESAHAN

KARAKTERISTIK REKAHAN ALAMI PADA BATUAN


DASAR GRANITIK MENGGUNAKAN METODE
SCANLINE DAN WINDOWS SCAN, DAERAH
SILOKEK, SUMATRA BARAT
SKRIPSI

Usulan Penelitian untuk Skripsi Program Studi Sarjana


Teknik Geologi Fakultas Teknologi Kebumian dan
Energi, Universitas Trisakti

Oleh:
Alwin Daniel Simanjuntak
072001500009

Pembimbing Utama Menyetujui, Pembimbing Pendamping

Dr. Ir. M. Burhannudinnur, MSc Wildan Tri Koesmawardani, ST


NIK: 1978/USAKTI NIK:

Mengetahui,
Mengetahui,
Ketua Program Studi Sarjana Teknik Geologi

Dr. Ir. Fajar Hendrasto, Dipl., Geoth., M.T.


NIK: 2023/USAKTI

i
LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi yang berjudul “”, telah dipertahankan di depan tim penguji pada hari
…............. tanggal …...................…...

TIM PENGUJI
1. (Nama Ketua Penguji) Ketua Penguji (............................)

2. (Nama dosen PA) Pembimbing Akademik (............................)

3. (Nama dosen Pembimbing 1) Pembimbing Utama (............................)

4. (Nama dosen Pembimbing 2) Pembimbing Pendamping (............................)

5. (Nama dosen Penguji 1) Anggota Penguji (............................)

6. (Nama dosen Penguji 2) Anggota Penguji (............................)

Mengetahui,
Ketua Program Studi Sarjana Teknik Geologi

(Nama Ketua Program Studi)

NIK......................................

ii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:


Nama : Alwin Daniel Simanjutak
Nim : 072001500009
Program studi : Teknik Geologi
Fakultas : Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi
Jenis Karya : skripsi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan


kepada Universitas Trisakti Hak Bebas Royalti Non ekslusif (Non-exclusive-
Royalty-Free-Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

KARAKTERISTIK REKAHAN ALAMI PADA BATUAN DASAR


GRANITIK MENGGUNAKAN METODE SCANLINE DAN WINDOWS
SCAN, DAERAH SILOKEK SUMATRA BARAT

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non
ekslusif ini Universitas Trisakti berhak menyimpan, mengalih media/ formatkan,
mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan menyebarkan
skripsi saya sesuai aturan, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Tempat, (tanggal/bulan/thn)

Yang membuat pernyataan

Mater
ai
Rp
6000-,
Alwin Daniel Simanjutak

iii
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS

Saya Mahasiswa Program Studi Sarjana Teknik Geologi, Fakultas Teknologi


Kebumian dan Energi, Usakti yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Alwin Daniel Simanjuntak

Nim : 072001500009

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi dengan judul :

KARAKTERISTIK REKAHAN ALAMI PADA BATUAN DASAR


GRANITIK MENGGUNAKAN METODE SCANLINE DAN WINDOWS
SCAN, DAERAH SILOKEK SUMATRA BARAT

Adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bebas dari peniruan
terhadap karya dari orang lain. Kutipan pendapat dan tulisan orang lain ditunjuk
sesuai dengan cara-cara penulisan karya ilmiah yang berlaku.

Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa dalam skripsi
ini terkandung ciri-ciri plagiat dan bentuk-bentuk peniruan lain yang dianggap
melanggar peraturan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Tempat, (tanggal/bulan/thn)

Yang membuat pernyataan

Mater
ai
Rp
6000-,
Alwin Daniel Simanjutak

iv
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan yang maha Esa atas berkat karunia dan
rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan
judul "KARAKTERISTIK REKAHAN ALAMI PADA BATUAN DASAR
GRANITIK MENGGUNAKAN METODE SCANLINE DAN WINDOWS
SCAN, DAERAH SILOKEK, SUMATRA BARAT". Karya ini disusun untuk
memenuhi salah satu syarat penyusunan skripsi di jurusan teknik geologi,
universitas trisakti.
Penulis berterima kasih kepada semua pihak yang memberikan kontribusi
dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini. kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Fajar Hendrasto, Dip.Geoth.Tech., M.T. sebagai ketua program
studi Teknik Geologi yang telah mencurahkan segenap perhatian dan
pemikiran untuk kemajuan jurusan teknik geologi universitas trisakti.
2. Bapak Dr. Ir. M. Burhannudinnur, MSc sebagai Pembimbing Utama , yang
telah membantu penulis dalam proses penyusunan proposal skripsi ini.
3. Bapak Wildan, sebagai Pembimbing yang telah memberikan arahan kepada
penulis dalam penyusunan proposal ini.
4. seluruh dosen dan pengurus laboratorium yang telah memberikan ilmu dan
pendidikan yang berharga pada penulis.
5. Staf administrasi yang telah membantu dalam merampungkan proposal ini .
6. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada abang-abang dan kaka-
kaka himpunan mahasiswa teknik geologi universitas trisakti serta teman-
teman seperjuangan teknik geologi 2015 tercinta, atas susah-senang, canda-
tawa dan persaudaraan yang terjalin selama ini yang telah banyak membantu
penulis untuk memperoleh data dan proposal ilmiah ini.
7. Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua, papa
dan mama, beseerta keluarga besar simanjuntak dan batubara yang telah tidak
henti-hentinya memberikan semangat, doa kepada penulis dalam penulisan
karya tulis ini.
Dalam penyusunan laporan ini penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Terselesaikannya
laporan ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan baik yang tidak

v
disadari oleh penulis, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk menjadi lebih baik. Semoga terselesaikannya laporan ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta Barat, Juli 2019

Alwin Daniel Simanjuntak

vi
ABSTRAK

KARAKTERISTIK REKAHAN ALAMI PADA BATUAN


DASAR GRANITIK MENGGUNAKAN METODE
SCANLINE DAN WINDOWS SCAN DAERAH
SILOKEK SUMATRA BARAT

Alwin Daniel Simanjuntak


072001500009

Program Studi Sarjana Teknik Geologi, Fakultas Teknologi


Kebumian dan Energi, Universitas Trisakti, Jakarta, Indonesia

Eksplorasi pada batuan dasar memerlukan pemahaman mengenai


karakteristik rekahan seperti orientasi, sifat fraktal dari atribut rekahan, distribusi
intensitas, distribusi densitas pada Fault Damage Zone (FDZ) dan faktor yang
mengontrolnya. Salah satu metode yang dapat dipakai untuk memahami
karakteristik rekahan ialah dengan metode linear scanline dan windows scanline.
Penelitian dilakukan pada singkapan batuan dasar granitik di Silokek yang berada
pada cekungan ombilin. Cekungan Ombilin memanjang dengan arah baratlaut-
tenggara searah dengan struktur besar Sesar Sumatera. Berada dalam busur
magmatik dan kompleks tinggian Sumatera maka cekungan ini merupakan
cekungan yang sempit yang dibatasi langsung oleh singkapan batuan dasar dan
kompleks volkanik yang tersingkap di permukaan. Di daerah Silokek ini tersingkap
batuan dasar (basement) dari Cekungan Ombilin. Basement ini merupakan granite
yang berumur Triassic-Jurrasic dengan deskripsi batuan abu-abu kemerahan, segar,
euhedral-subhedral, fanerik, mineral kuarsa, ortoklas, felsik, mika. Pola dari
rekahan di basement granite ini ada dua yaitu NW-SE dan NE-SW yang saling
berpasangan (konjugasi). Jenis rekahan disini didominasi oleh shear fracture dan
gash fracture.

Kata kunci: linear scanline, windows scanline, rekahan, intensitas, Silokek.

vii
ABSTRACT

FRACTURE CHARACTERISTICS IN GRANITIC BASEMENT


ROCK USING SCANLINE AND WINDOWS SCAN
METHODS AT SILOKEK, WEST SUMATRA

Alwin Daniel Simanjuntak


072001500009

Study Program of Geological Enginering, Faculty Of Earth


Technology and Energy, Trisakti University, Jakarta, Indonesia

Basement exploration requires fully understanding about characteristics of


fractures such as fractures orientation, nature of fractal for each fracture attribute,
distribution of intensity and density in Fault Damage Zone (FDZ) and controlling
factors of naturally fracture. Linear scanline and windows scanline are one of the
methods used to understand the characteristics of fracture. The field work was
performed in granitic outcrop at Silokek in the ombilin basin. The Ombilin basin
extends to the northwest-southeast direction in the direction of the large Sumatran
Fault structure. Located in a magmatic arc and a Sumatran high complex, this
basin is a narrow basin which is directly bounded by outcrops of bedrock and
volcanic complexes that are exposed on the surface. In the Silokek area, the
basement of the Ombilin Basin is exposed. This basement is a Triassic-Jurrasic
granite with a description of reddish-gray, fresh, euhedral-subhedral, faneric,
quartz minerals, orthoclasts, felsic, mica. There are two patterns of fractures in the
basement granite, namely NW-SE and NE-SW that are mutually conjugated. The
type of fracture here is dominated by shear fractur and gash fracture.

Keyword: linear scanline, windows scanline, fracture, intensity, Silokek.

viii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................................... i


LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS .............................................................. iii
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS .......................................................... iv
KATA PENGANTAR .............................................................................................v
ABSTRAK ............................................................................................................ vii
ABSTRACT ........................................................................................................... viii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xi
DAFTAR TABEL ..................................................................................................xv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xvi
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG ..................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
I.1. Latar Belakang Masalah ................................................................................1
I.2. Rumusan Masalah ..........................................................................................2
I.3. Maksud dan Tujuan Penelitian ......................................................................3
I.4. Batasan Masalah ............................................................................................3
I.5. Manfaat Penelitian .........................................................................................4
I.6. Peneliti Terdahulu ..........................................................................................4
BAB II TINJAUAN UMUM .................................................................................8
II.1. Fisigrafi Regional .........................................................................................8
II.2. Stratigrafi Regional ......................................................................................9
II.3. Tatanan Tektonik dan Struktur Geologi Regional .....................................15
II.4. Teori Dasar .................................................................................................20
II.4.1. Rekahan Alami ....................................................................................20
II.4.2. Klasifikasi Rekahan Alami ..................................................................21
II.4.3. Batuan Dasar .......................................................................................25
II.4.4. Distribusi Rekahan Alami ...................................................................26
II.4.5. Fraktal ..................................................................................................27
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ............................................................31
III.1. Metode pengambilan data rekahan ...........................................................31
III.1.1. Metode scanline linear .......................................................................31
III.1.2. Area scanline ......................................................................................32
III.1.3. Windows scan .....................................................................................33
III.1.4. Scanline melingkar .............................................................................34

ix
III.2. Pemilihan lokasi pengambilan data sampel ..............................................35
III.3. Orientasi ....................................................................................................36
III.4. Distribusi rekahan .....................................................................................36
III.5. Panjang rekahan ........................................................................................36
III.6. Bukaan ......................................................................................................37
III.7. Intensitas rekahan ......................................................................................38
III.8. Metode daerah penelitian ..........................................................................39
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................42
IV.1. Analisis data rekahan alami ......................................................................42
IV.1.1. Rekahan pada Batuan Dasar Granit ...................................................42
IV.1.2. Interpretasi Sesar dan analisis kinematik Sesar .................................52
IV.1.3. Distribusi Intensitas Rekahan Alami .................................................54
IV.1.4. Distribusi Densitas Rekahan Alami ...................................................57
IV.1.5. Analisis sifat fraktal rekahan .............................................................59
IV.2. Estimasi Porositas dan Permeabiltas.........................................................65
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................72
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................73
LAMPIRAN ...........................................................................................................77

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar I. 1 . Lokasi penelitian rekahan Alami (kotak hitam) pada singkapan batuan
dasar menggunakan data SRTM .........................................................2

Gambar II. 1 Fisiografi Sumatera Tengah (Van Bemmelen, 1949) ........................ 8


Gambar II. 2 Stratigrafi Cekungan Ombilin berdasarkan kompilasi Koesomadinata
dan Matasak (1981), Koning (1985), Situmorang, dkk. (1991),
Yarmanto dan Fletcher (1993), Barber, dkk. (2005) ....................... 10
Gambar II. 3 Pola struktur regional cekungan Ombilin, Sumatra Barat ( Situmorang,
dkk, 1991) ........................................................................................ 16
Gambar II. 4 Tektonostratigrafi Cekungan Ombilin (Hastuti, dkk, 2001)............ 19
Gambar II. 5 Skema evolusi tektonik cekungan tarik pisah Ombilin, Sumatra Barat
menurut Hastuti, dkk (2001). (A) Kapur-Tersier Awal (B) Paleosen
(C) Miosen Awal (D) Plio-Pleistosen. ............................................. 20
Gambar II. 6 Kemungkinan bidang rekahan yang terbentuk pada percobaan tes
triaksial. (A) Rekahan terbuka dan (B dan C) rekahan gerus (Nelson,
2001). ............................................................................................... 22
Gambar II. 7 Diagram Bunga Mawar dari rekahan gerus yang berasosiasi dengan
sesar (Stearns, 1968b; dalam Nelson, 2001). ................................... 24
Gambar II. 8 Orientasi dan jenis rekahan yang berkembang pada lipatan (Price,
1967; dalam Nelson, 2001). ............................................................. 24
Gambar II. 9 Empat plot yang mengilustrasikan fungsi yang berbeda (power-law,
lognormal, eksponensial, dan gamma law) yang paling sering
digunakan (Bonnet dkk., 2001)........................................................ 28
Gambar II. 10 Efek truncation (lingkaran kecil) dan efek censoring (lingkaran
besar) (Santos dkk., 2005) ............................................................... 30

Gambar III. 1 Metode scanline linear ( Mauldon , dkk., 2001 ). .......................... 32


Gambar III. 2 metode area scanline ( Mauldon , dkk., 2001 ). ............................. 33
Gambar III. 3 metode windows scanline ( Mauldon , dkk., 2001 ). ..................... 34
Gambar III. 4 metode scanline melingkar ( Mauldon , dkk., 2001 ). .................... 35
Gambar III. 5 pengamatan data panjang rekahan di lapangan. ............................. 37

xi
Gambar III. 6 pengamatan data bukaan di lapangan ............................................. 38
Gambar III. 7 Diagram alir penelitian ................................................................... 39
Gambar III. 8 Sketsa pencatatan dan observasi alam metode scanline. A-B adalah
garis scanline. T adalah tebal atau bukaan rekahan alami, h adalah
tinggi atau panjang pengamatann terhadap garis scanline (dibatasi
satu meter), l adalah panjang garis scanline dan L adalah panjang
rekahan alami (Sapiie, 1998) ......................................................... 41
Gambar III. 9 observasi rekahan alami metode scanline dan windows scan. ....... 41

Gambar IV. 1 Lokasi singkapan 1 pengukuran scanline, foto singkapan windows


scan beserta diagram mawar dan stereonet dari orientasi rekahan alami.
................................................................................................................ 42
Gambar IV. 2 Lokasi singkapan 2 pengukuran scanline, foto singkapan windows
scan beserta diagram mawar dan stereonet dari orientasi rekahan alami.
................................................................................................................ 43
Gambar IV. 3 Lokasi singkapan 3 pengukuran scanline, foto singkapan windows
scan beserta diagram mawar dan stereonet dari orientasi rekahan alami.
................................................................................................................ 44
Gambar IV. 4 Lokasi singkapan 4 pengukuran scanline, foto singkapan windows
scan beserta diagram mawar dan stereonet dari orientasi rekahan alami.
................................................................................................................ 45
Gambar IV. 5 Lokasi singkapan 5 pengukuran scanline, foto singkapan windows
scan beserta diagram mawar dan stereonet dari orientasi rekahan alami.
................................................................................................................ 46
Gambar IV. 6 Lokasi singkapan 6 pengukuran scanline, foto singkapan windows
scan beserta diagram mawar dan stereonet dari orientasi rekahan alami.
................................................................................................................ 47
Gambar IV. 7 Lokasi singkapan 7 pengukuran scanline, foto singkapan windows
scan beserta diagram mawar dan stereonet dari orientasi rekahan alami..
................................................................................................................ 48

xii
Gambar IV. 8 Lokasi singkapan 8 pengukuran scanline, foto singkapan windows
scan beserta diagram mawar dan stereonet dari orientasi rekahan alami.
................................................................................................................ 48
Gambar IV. 9 Lokasi pengukuran scanline dan windows scan pada granit dan
diagram bunga mawar dari orientasi rekahan alami pada setiap lokasi
pengukuran. ............................................................................................ 49
Gambar IV. 10 Diagram stereonet rekahan alami pada semua lokasi pengukuran.
................................................................................................................ 50
Gambar IV. 11 Distribusi semua jurus rekahan alami di granit. ........................... 50
Gambar IV. 12 Distribusi semua kemiringan rekahan alami di granit. ................ 50
Gambar IV. 13 Distribusi semua jurus dan kemiringan rekahan alami di granit. . 51
Gambar IV. 14 Distribusi tipe rekahan alami batuan dasar di granit. ................... 51
Gambar IV. 15 Diagram stereonet dan diagram mawar kekar pada semua lokasi
pengukuran scanline dan windows scan granit. ..................................... 52
Gambar IV. 16 Diagram stereonet dan diagram mawar rekahan gerus pada semua
lokasi pengukuran scanline dan windows scan granit. .......................... 52
Gambar IV. 17 Peta DOM yang diperoleh dari pengamatan drone. Terdapat
kelurusan berarah N 230o E (garis merah putus-putus)......................... 53
Gambar IV. 18 Analisis kinematik sesar pada daerah penelitian batuan dasar
granitik. Sesar pada daerah penelitian berorientasi N 230o E.Distribusi
Intensitas Rekahan Alami ...................................................................... 54
Gambar IV. 19 Hubungan spasi rata-rata rekahan alami terhadap intensitas rekahan
alami granit. .......................................................................................... 55
Gambar IV. 20 Distribusi intensitas rekahan alami batuan dasar di lokasi
pengukuran scanline di granit ................................................................ 55
Gambar IV. 21 Peta distribusi densitas rekahan alami pada batuan dasar granit. 58
Gambar IV. 22 Distribusi spasi semua rekahan alami pada setiap titik pengukuran
windows scan di batuan dasar granitik. Histogram menunjukkan skewness
positif akibat efek truncation pada data. ................................................ 60
Gambar IV. 23 Distribusi kumulatif spasi rekahan pada granit. ........................... 60

xiii
Gambar IV. 24 Distribusi bukaan semua rekahan alami pada batuan dasar granitk.
Histogram menunjukkan skewness positif akibat efek truncation pada
data. ........................................................................................................ 62
Gambar IV. 25 Distribusi kumulatif semua bukaan rekahan alami pada batuan dasar
granitik. .................................................................................................. 62
Gambar IV. 26 Histogram keseluruhan panjang rekahan alami dari semua titik
pengukuran pada batuan dasar granitik. Histogram menunjukkan sifat
skewness positif. .................................................................................... 64
Gambar IV. 27 Distribusi kumulatif semua panjang rekahan alami pada batuan
dasar granitik. ......................................................................................... 64
Gambar IV. 28 Estimasi nilai permeabilitas menggunakan metode Cubes pada
daerah penelitian batuan dasar granitik. ................................................. 68
Gambar IV. 29 Estimasi nilai permeabilitas menggunakan metode Match Sticks,
pada daerah penelitian batuan dasar granitik. ........................................ 69
Gambar IV. 30 Estimasi nilai porositas menggunakan metode Lucia pada daerah
penelitian batuan dasar granitik. ............................................................ 69
Gambar IV. 31 Hubungan nilai estimasi permeabilitas metode Cubes (1995)
dengan porositas metode Lucia (1983) pada batuan dasar granitik. ...... 70
Gambar IV. 32 Hubungan nilai estimasi permeabilitas metode Match Sticks (1995)
dengan porositas metode Lucia (1983) pada batuan dasar granitik. ...... 70
Gambar IV. 33 Model yang digunakan dalam metode Lucia (1983) yang dalam
perhitungan nilai permeabilitas dan porositas (Lucia, 1983). ................ 71
Gambar IV. 34 Hubungan nilai estimasi permeabilitas rekahan alami dengan
bukaan rekahan alami pada daerah penelitian batuan dasar granitik. (a)
Hubungan antara nilai permeabilitas metode Cubes dan bukaan rekahan,
(b) nilai permeabilitas metode Match Sticks dan bukaan ...................... 71

xiv
DAFTAR TABEL

Tabel I. 1 Peneliti terdahulu .....................................................................................4

Tabel IV. 1 Hasil statistik dari pengukuran scanline ............................................ 56


Tabel IV. 2 Hasil statistik dari pengukuran windows scan. .................................. 57
Tabel IV. 3 Perhitungan densitas rekahan alami untuk semua lokasi pengukuran
windows scan. ........................................................................................ 58
Tabel IV. 4 Hasil statistik dari analisis distribusi kumulatif spasi rekahan secara
1D dan 2D pada batuan dasar granit. ..................................................... 61
Tabel IV. 5 Hasil statistik dari analisis distribusi kumulatif bukaan rekahan secara
1D dan 2D pada batuan dasar granit. ..................................................... 63
Tabel IV. 6 Hasil statistik dari analisis distribusi kumulatif panjang rekahan secara
1D dan 2D pada batuan dasar granit. ..................................................... 65
Tabel IV. 7 Estimasi nilai permeabilitas dan porositas untuk setiap lokasi
pengukuran di batuan dasar granitic. ..................................................... 68

xv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Grafik distribusi spasi rekahan alami pada batuan dasar granitik yang
terdistribusi secara power law.......................................................... 78
Lampiran B Grafik distribusi panjang rekahan alami pada batuan dasar granitik
yang terdistribusi secara power law. ................................................ 79
Lampiran C Grafik distribusi bukaan rekahan alami pada batuan dasar granitik
yang terdistribusi secara power law. ................................................ 80
Lampiran D Analisis sifat fraktal untuk panjang rekahan pada batuan dasar granitik
dilakukan dengan membuat kelas frekuensi. Distribusi frekuensi tiap
kelas kemudian diplot dalam grafik log-log dengan kelas sebagai
sumbu-x dan frekuensi sebagai sumbu-y. ........................................ 81
Lampiran E Analisis sifat fraktal untuk panjang rekahan pada batuan dasar granitik
dilakukan dengan membuat kelas frekuensi. Distribusi frekuensi tiap
kelas kemudian diplot dalam grafik log-log dengan kelas sebagai
sumbu-x dan frekuensi sebagai sumbu-y. ........................................ 82
Lampiran F Analisis sifat fraktal untuk bukaan rekahan pada batuan dasar granitik
dilakukan dengan membuat kelas frekuensi. Distribusi frekuensi tiap
kelas kemudian diplot dalam grafik log-log dengan kelas sebagai
sumbu-x dan frekuensi sebagai sumbu-y. ........................................ 83

xvi
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG

SINGKATAN Nama Pemakaian


pertama kali
pada halaman

cm Sentimeter 15
DOM Digital Outcrop Modeling 3
FDZ Fault Damage Zone 5
GPS Global Positioning System 41
m meter 13
mD milidarcy 66
mm Milimeter 44
SRTM Shuttle Radar Topography 2
Mission

LAMBANG
A Luas area 56
c Dimensi fraktal 29
I Intensitas 2D 56
k Konstanta 14
Kf Nilai permeabilitas 64
N Area windows scan 57
p Densitas rekahan alami 56
R2 Koefisien korelasi 59
W Bukaan rekahan 42
𝑥 karakteristik rekahan 42
𝑦 (𝑥) Distribusi rekahan 13
Z Spasi rekahan 64
% Persentase 14
𝜎 Sigma 31
𝜃 Koefisien sudut 21

xvii
0
Derajat 44
∑𝑙 Jumlah keseluruhan panjang 56
rekahan alami
Фf Persamaan porositas
64

xviii
BAB I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Nelson (2001) menyebutkan bahwa kualitas batuan dasar bergantung pada


keberadaan rekahan alami yang saling terhubung. Model geologi seperti ini banyak
dijumpai pada daerah yang mengalami proses tektonik kompresional yang sangat
kuat, batuan akan terlipat dan terpatahkan. Terutama pada batuan yang bersifat
getas, seperti batuan dasar, yang menyebabkan banyak keragaman rekahan yang
sangat potensial.
Menurut Toreno (2015) Rekahan alami batuan dasar merupakan bagian
penting dari banyak prospek dalam ilmu geologi, tetapi sangat sulit untuk
mendapatkan gambaran karakteristik pada batuan dasar tersebut. Salah satu metode
terbaik yang dipakai sampai saat ini untuk memprediksi dan memberikan
pemahaman tentang karakteristik rekahan alami batuan dasar adalah pengukuran
dengan metode scanline dan windows scan dengan melakukan observasi pada
singkapan batuan dasar.
Eksplorasi pada batuan dasar memerlukan pemahaman mengenai
karakteristik rekahan seperti orientasi, sifat fraktal dari atribut rekahan, distribusi
intensitas, distribusi densitas pada Fault Damage Zone (FDZ) dan faktor yang
mengontrolnya. Salah satu metode yang dapat dipakai untuk memahami
karakteristik rekahan ialah dengan metode linear scanline dan windows scanline.
Metode scanline meliputi pengukuran kordinat, orientasi, bukaan, spasi dan
panjang rekahan alami batuan dasar. Metode windows scan meliputi pengukuran
orientasi, bukaan, panjang, hubungan saling potong-memotong, dan hubungan
litologi dengan densitas rekahan alami batuan dasar. Metode tersebut
memungkinkan kita mengetahui karakteristik rekahan alami (orientasi, spasi antar
rekahan, lebar bukaan rekahan, panjang rekahan, intensitas dan densitas rekahan),
nilai fraktal, intensitas, densitas, permeabilitas dan porositas.
Lokasi dan objek penelitian adalah rekahan alami pada batuan dasar granitik
di daearah Silokek kabupaten Sijunjung, yang berada pada Cekungan Omblin.

1
Batuan pra-Tersier menjadi batuan dasar Cekungan Ombilin, dan tersingkap di
sekeliling sedimen Tersier. Struktur kompleks yang membentuk cekungan ombilin
mengakibatkan berkembangknya secara signifikan keragaman distribusi intensitas
rekahan alami batuan dasar tersebut, hal ini membuat peneliti melakukan penelitian
pada daerah tersebut.

Gambar I. 1 . Lokasi penelitian rekahan Alami (kotak merah) pada singkapan


batuan dasar menggunakan data SRTM

I.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan paparan di atas, rumusan pertanyaan dalam penelitian ini sebagai


berikut:
1. Bagaimana karakteristik rekahan alami (orientasi, spasi antar rekahan, lebar
bukaan rekahan, panjang rekahan, intensitas dan densitas rekahan) pada batuan
dasar granitik yang tersingkap?
2. Bagaimana nilai dimensi fraktal pada batuan dasar granitik yang tersingkap
dari rekahan alami?

2
3. Berapa besar nilai permeabilitas, intensitas, porositas dan porositas yang
dibentuk oleh rekahan alami.

I.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

Adapun maksud dari penelitian ini untuk mengetahui karakteristik (orientasi,


spasi antar rekahan, lebar bukaan rekahan, panjang rekahan, intensitas dan densitas
rekahan) rekahan alami pada singkapan batuan dasar granitik.
Adapun tujuan dari penelitian ini antara lain:
1. Memahami karakterisitk rekahan alami (orientasi, spasi antar rekahan, lebar
bukaan, panjang rekahan, intensitas dan densitas rekahan) pada batuan dasar
granitik yang tersingkap.
2. Mengetahui nilai dimensi fraktal pada batuan dasar granitik yang tersingkap
dari data rekahan alami.
3. Mengetahui nilai intensitas dan densitas dari rekahan alami pada batuan dasar
granitik.
4. Menentukan nilai permeabilitas dan porositas yang dibentuk oleh rekahan alami
dan untuk mengetahui hubungan nilai bukaan rekahan dengan nilai porositas
dan permeabilitas.

I.4. Batasan Masalah

Batasan masalah dari penelitian ini adalah analisis karakteristik penyebaran


rekahan alami yang dilakukan pada batuan dasar granitik daerah Nagari Silokek,
Kecamatan Sijunjung, Kabupaten Sijunjung, Sumatra Barat, daerah pengambilan
data dilakukan pada singkapan yang sesuai dengan metode pengambilan data
scanline dan windows scan yang berada pada daerah cakupan digital outcrop
modeling (DOM). Tatanan stratigrafi tidak dibahas dalam penelitian ini.

3
I.5. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan analisis karakteristik


penyebaran rekahan alami batuan dasar granitik daerah penelitian dengan
menggunakan metode scanline dan windows scan sehingga dapat diidentifikasi
kelompok rekahan alami.

I.6. Peneliti Terdahulu

Tabel I. 1 Peneliti terdahulu

No Nama Tahun Isi


Salah satu metode terbaik yang
dipakai sampai saai ini untuk
meprediksi dan memberikan
pemahaman tentang
1 Eko Yoan Toreno 2015
karakteristik rekahan alami
dibawah permukaan dengan
metode scanline dan windows
scan.
Metode analisis fraktal telah
digunakan untuk
menggambarkan keteraturan
pola fraktur secara geologis
yang terlihat di permukaan dua
dimensi. Metode analisis linier
ini disesuaikan dengan baik
untuk penentuan fenomena dua
dimensi. Penentuan dimensi
2 Velde, B 1989
fraktal, D, menunjukkan bahwa
itu bervariasi secara teratur
sebagai fungsi dari orientasi
arah analisis. Ini diambil untuk
menunjukkan bahwa ada
hubungan, belum dijelaskan,
antara keteraturan dari pola
fraktur dan kekuatan yang
menghasilkannya.

4
Sifat skala populasi rekahan
pada prinsipnya ditentukan
secara kuantitatif dengan
3 E. Bonnet ,O 2001 metode dikembangkan dalam
disiplin ilmu lain untuk
menggambarkan geometris
sifat-sifat sistem nonlinear.
Patahan Pseudotachylyte yang
dihasilkan oleh patahan yang
ditemukan dalam batuan induk
cataclastic dan mylonitic yang
4 Mark T. Swanson 1991 menunjukkan bahwa
perpindahan katastropik telah
terjadi pada berbagai
kedalaman di zona
paleoseismogenik.
Eksplorasi pada batuan dasar
memerlukan pemahaman
mengenai karakteristik rekahan
seperti orientasi, sifat fraktal
dari atribut rekahan, distribusi
intensitas, distribusi densitas
pada Fault Damage Zone
5 Abdulhaq kamil hadi 2017
(FDZ) dan faktor yang
mengontrolnya. Salah satu
metode yang dapat dipakai
untuk memahami karakteristik
rekahan ialah dengan metode
linear scanline dan windows
scanline
protokol karakterisasi rekahan
yang mengurangi sampel bias
yang cenderung menghasilkan
kualitas input yang lebih tinggi
6 M. B. Rohrbaugh Jr Jun-05
untuk keputusan eksplorasi dan
pengembangan ketika
berhadapan dengan reservoir
rekah alam.
Karakterisasi rekahan pada
singkapan untuk digunakan
sebagai analog dengan
reservoir yang retak dapat
7 Hannah Watkins 2014 menggunakan beberapa
metode.
Empat metode pengumpulan
data patah tulang yang penting
adalah pengambilan sampel

5
linear scanline, pengambilan
sampel areal, jendela
pengambilan sampel dan
pengambilan sampel pindaian
melingkar.

Singkapan memberikan
informasi yang berharga untuk
karakterisasi rekahan. Metode
Sampling seperti scanline
sampling, jendela sampling,
dan
melingkar scanline dan jendela
metode yang tersedia untuk
8 Conny Zeeb 2012
mengukur karakteristik patahan
pada singkapan dan dari core
dengan baik. Metode ini
bervariasi dalam aplikasi
mereka, parameter yang
mereka berikan dan, karena itu,
memiliki kelebihan dan
keterbatasan.
patahan basement dapat
mengganggu di permukaan,
9 C. W. Passchier 2005 dalam hal mekanisme
deformasi dan evolusi reologi
dari zona patahan detasemen.
Patahan basement dapat dilepas
di permukaan, dalam hal
Christopher A. J.
10 2005 mekanisme deformasi dan
Wibberley
evolusi reologi dari zona sesar
detasemen.
Metode scanline linear
merupakan metode cepat untuk
merekam berbagai atribut
rekahan. Metode ini melibatkan
peletakan alat bantu (tali/pita)
11 Stephen d. priest 1993
pada singkapan dan
pengukuran (termasuk
orientasi, panjang, bukaan,
intensitas, rekahan terisi dan
jarak)

6
Windows scanline
pengambilan sampel
mengurangi orientasi yang
menyimpang, dibandingkan
dengan pengambilan sampel
12 P.J. Pahl 1981
scanline linear, karena semua
patahan di daerah tersebut
diukur, dan memungkinkan
untuk estimasi sederhana
berarti jejak panjang
metode yang paling umum
untuk cepat menganalisis fitur
fraktur adalah teknik scanline,
13 Rafael F. V. C. Santos 2014
yang memberikan perkiraan
kepadatan
fraktur dan frekuensi.

7
BAB II TINJAUAN UMUM

II.1. Fisigrafi Regional

Secara fisiografis Sumatra Tengah dipisahkan menjadi 7 zona, yaitu Dataran


Aluvial Pantai Timur, Cekungan Tersier Sumatera Tengah, Zona Depresi Tengah
dari Daerah Barisan, Pegunungan Barisan Depan, Sekis Barisan atau Daerah
Barisan Timur, Daerah Dataran Tinggi Barisan, Dataran Aluvial Pantai Barat
(Tobler, 1922 dalam van Bemmelen, 1949).
Perkembangan lebih lanjut dari pembagian Tobler (1922), van Bemmelen
(1949) membagi fisiografi daerah Sumatera Tengah, yaitu Zona Pegunungan Tiga
Puluh, Zona Sesar Semangko, Zona Pegunungan Bukit Barisan, Zona Dataran
Rendah dan Zona Dataran Bergelombang.

Gambar II. 1 Fisiografi Sumatera Tengah (Van Bemmelen, 1949)

8
Daerah penelitian berada pada Ckungan Ombilin Menurut Tobler (1922)
dalam van Bemmelen (1949). Secara fisiografis, cekungan Ombilin termasuk ke
dalam Zona Pegunungan Barisan. Morfologi cekungan Ombilin terdiri dari
perbukitan sedang dengan lembah sempit yang dibentuk oleh batuan sedimen
Tersier sedangkan batuan Pra-Tersier membentuk perbukitan terjal dengan bukit
yang curam dan lembah yang sempit. Perlapisan batuan mengontrol pada beberapa
tempat di daerah ini sehingga membentuk topografi kuesta dan batugamping Pra-
Tersier membentuk topografi karst.
Cekungan Ombilin merupakan cekungan antar pegunungan yang berumur
Tersier dan terletak pada kerak benua sepanjang Sistem Sesar Sumatra. Cekungan
Ombilin secara tektonik terletak pada bagian busur magmatik daerah Sumatra yang
terbentuk akibat tumbukan antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia.

II.2. Stratigrafi Regional

Cekungan Ombilin merupakan cekungan antar pegunungan yang terbentuk


karena terjadinya patahan-patahan blok batuan dasar yang sangat kompleks pada
akhir Pra-Tersier. Bentukan yang terbentuk dihasilkan oleh gerak aktif mendatar
dari sesar Silungkang berarah barat laut-tenggara, sejajar dengan sistem sesar
Sumatera. Gerak-gerak aktif mendatar itu kemudian menjadi tempat pengendapan
dari sedimen-sedimen Tersier berlingkungan darat.
Secara stratigrafi, berdasarkan dari resume para peneliti terdahulu
(Koesoemadinata dan Matasak, 1981, Koning, 1985, Situmorang, dkk., 1991,
Yarmanto dan Fletcher, 1993, Barber, dkk., 2005) cekungan Ombilin memiliki
batuan dengan umur Pra-Tersier (Perm dan Trias) hingga batuan berumur Kuarter
(Gambar 2.2)

9
Gambar II. 2 Stratigrafi Cekungan Ombilin berdasarkan kompilasi Koesomadinata
dan Matasak (1981), Koning (1985), Situmorang, dkk. (1991),
Yarmanto dan Fletcher (1993), Barber, dkk. (2005)

Untuk mempermudah penjelasan, penulis merujuk kepada satu tata nama


satuan litostratigrafi, yaitu yang dibuat oleh Koesomadinata dan Matasak (1981),
yang dijelaskan dari tua ke muda sebagai berikut.

1. Formasi Brani
Terdiri dari konglomerat berwarna cokelat keunguan, berukuran kerikil
sampai kerakal, dengan aneka fragmen berupa andesit, batugamping, batusabak dan
argilit, granit, kuarsit, kadang-kadang “arkosic gritsand” yang berbutir kasar,
terpilah buruk, menyudut-membundar tanggung, padat, keras sampai dapat
diremas, umumnya tidak berlapis. Tebalnya mencapai lebih dari 646 meter.

10
Umur formasi ini diperkirakan sama dengan Formasi Sangkarewang dengan
hubungan antar formasi berupa hubungan menjemari, dengan umur yaitu Paleosen
hingga Eosen.

2. Formasi Sangkarewang
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Sangkarewang terdiri
dari serpih berlapis tipis berwarna kelabu gelap kecoklatan sampai hitam, plastis,
gampingan mengandung material karbon, mika, pirit, dan sisa tumbuhan. Formasi
ini memiliki sisipan berupa lapisan- lapisan batupasir dengan tebal yang umumnya
kurang dari 1 m, terdapat fragmen kuarsa dan feldspar, gampingan berwarna abu-
abu sampai hitam, matriks lempung terpilah buruk mengandung mika dan material
karbon dan terdapatnya struktur nendatan (slump). Sisipan batupasir ini
menunjukan pola menghalus ke atas. Berdasarkan analisa polen umur dari formasi
ini diperkirakan berumur Eosen atau pra-Eosen (JICA, 1979 dalam Koesomadinata
dan Matasak, 1981), berumur Eosen Awal (Koning, 1985), berumur Eosen Atas
(Himawan, 1991 dalam Situmorang, dkk.,1991), berumur Paleosen-Eosen
(Sirumorang, dkk., 1991), berumur Paleosen- Eosen Awal (Yarmanto dan Fletcher,
1993), berumur Eosen-Oligosen (Whateley dan Jordan, 1989, Howells, 1997 dalam
Barber, 2005). Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) berdasarkan
hubungannya dengan Formasi Sawahlunto yang berada di atasnya yang
berdasarkan analisa polen Formasi Sawahlunto menunjukkan umur Paleosen
sampai Eosen diperkirakan Formasi Sangkarewang ini berumur Paleosen. Formasi
Sangkarewang diperkirakan terendapkan pada lingkungan danau.

3. Formasi Sawahlunto
Formasi ini terdiri dari sekuen serpih berwarna abu kecoklatan, serpih
lanauan dan batulanau dengan sisipan batupasir kuarsa, coklat padat dan dicirikan
dengan hadirnya batubara. Serpih biasanya karbonan atau batubaraan. Batupasir
berciri sekuen menghalus ke atas, berlapis silang siur dan khususnya berlaminasi
dengan dasar erosi yang tegas menunjukkan suatu sekuen point bar. Batubara
kadang-kadang disisipi batulanau berwarna kelabu. Batupasirnya membentuk

11
lenticular, sedang batubara sering menyebar dan membaji . Di daerah Parambahan
dekat tinggian Tungkar, batubara dan batupasir lebih banyak jumlahnya.
Formasi Sawahlunto terletak selaras di atas Formasi Brani dan setempat-
setempat juga terletak selaras dengan Formasi Sangkarewang, namun seringkali
terinterupsi oleh lidah dari Formasi Brani, juga diperkirakan menjemari dengan
Formasi Sangkarewang. Formasi Sawahtambang menindih selaras di atas Formasi
Sawahlunto. Hubungan menjemari dengan Formasi Sawahtambang diperkirakan
mengarah ke timur dimana Formasi Sawahtambang secara langsung menindih
Formasi Brani dengan kontak selaras, dan lensa-lensa dari Formasi Sawahlunto
terjadi di antara kedua formasi tersebut. Tebal Formasi Sawahlunto kurang dari 500
meter. Formasi ini tidak mengandung fosil kecuali sisa tumbuhan dan spora.

4. Formasi Sawahtambang
Formasi ini dicirikan oleh sekuen masif yang tebal dari batupasir berstruktur
silang siur. Serpih dan batulanau berkembang setempat-setempat. Batupasir
berwarna abu-abu terang sampai coklat, berbutir halus sampai sangat kasar,
sebagian besar konglomeratan berupa fragmen kuarsa berukuran kerikil, terpilah
sangat buruk, menyudut tanggung, keras, masif. Setempat-setempat pada bagian
bawah, terdapat sisipan lapisan-lapisan batulempung atau serpih lanauan yang
membentuk unit tersendiri yaitu sebagai anggota Rasau. Pada bagian atas juga
dengan sisipan lapisan-lapisan batulempung dengan kandungan “coal stringer”
yang terjadi setempat-setempat, membentuk Anggota Poro.
Ciri sekuen Formasi Sawahtambang terdiri dari siklus-siklus dimana setiap
siklus dibatasi oleh bidang erosi pada bagian dasarnya dan diikuti oleh kerikil yang
berimbrikasi, bersilang siur dan laminasi paralel dengan sekuen yang menghalus ke
atas, dengan batupasir konglomeratan, serta lensa-lensa batupasir yang bersilang-
siur berskala besar yang membentuk mangkok.
Fosil tidak diketemukan, kecuali sisa-sisa tumbuhan. Analisis palinologi dari
perconto batuan teras inti menunjukkan kemungkinan umur Eosen sampai
Oligosen. Berdasarkan posisi stratigrafinya yang berada di bawah Formasi Ombilin
yang berumur Miosen Awal dan terletak di atas Formasi Sawahlunto, kemungkinan
Formasi ini diperkirakan berumur Oligosen.

12
5. Formasi Ombilin
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Ombilin terdiri dari
serpih atau napal berwarna kelabu gelap, karbonan dan karbonatan, bila lapuk
menjadi berwarna kelabu terang dan umumnya berlapis baik. Termasuk kedalam
sekuen ini adalah lapisan-lapisan batupasir yang mengandung glaukonit, berbutir
halus, berwarna kelabu kehijauan, secara umum terdapat sisa-sisa tumbuhan dan
fosil moluska. Pada bagian bawah dari formasi ini terdapat nodul-nodul
batugamping dan lensa batugamping foraminifera-koral, sedangkan dibagian atas
sisipan lapisan batupasir tufaan, diselingi oleh batulanau bersifat karbonan,
mengandung glaukonit dan fosil moluska. Menurut Koesomadinata dan Matasak
(1981) napal dari formasi ini mengandung Globigerina yang merupakan ciri
endapan laut. Umur dari formasi ini diperkirakan berumur Miosen Awal
(Koesomadinata dan Matasak, 1981, Humpreys, dkk., 1991 dalam Situmorang,
dkk., 1991).
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), berdasarkan kandungan fosil
bentonik serta kehadiran glaukonit, maka formasi ini diperkirakan diendapkan pada
lingkungan neritik luar sampai batial atas. Menurut Howell (1997) dalam Barber,
dkk. (2005) Formasi Ombilin terendapkan pada lingkungan laut, yang terdiri dari
batupasir halus, batulanau dan batulempung yang sering kali karbonatan dengan
batugamping secara setempat memiliki ketebalan 50 m sampai 100 m yang
termasuk ke dalam lentikuler koral dan batugamping alga. Batupasir halus dengan
fragmen dari batubara dan amber diperkirakan merepresentasikan pasir pantai.
Proses pengendapan Formasi Ombilin pada cekungan Ombilin ini terjadi akibat
adanya proses transgressi yang terjadi pada cekungan Ombilin yang berhubungan
dengan fase transgressi pada cekungan busur belakang Sumatra (Situmorang, dkk.,
1991., Hastuti, dkk., 2001, Barber, dkk., 2005).
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Ombilin terletak
selaras di atas Formasi Sawahlunto dan terletak secara tidak selaras di beberapa
tempat. Sedangkan, Formasi Ombilin terletak selaras di atas Formasi
Sawahtambang. Menurut Koning (1985) antara Formasi Ombilin dan Formasi
Sawahtambang memiliki hubungan tidak selaras berdasarkan reflektansi vitrinit

13
terhadap kedalaman pada sumur bor di subcekungan Sinamar yang
mengindikasikan terdapatnya bagian Sawahtambang yang telah tererosi.
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Ombilin memiliki
ketebalan antara 1442 meter, sedangkan menurut Koning (1985) berdasarkan data
seismik, tebal formasi ini 2740 meter.

6. Formasi Ranau
Pada beberapa lokasi di Cekungan Ombilin, didapatkan formasi berupa tufa
(Van Bemmelen, 1949) yang disebut sebagai Tuff Ranau. Berkedudukan mendatar,
menutupi formasi-formasi di bawahnya dengan kontak ketidakselarasan menyudut.
Tuff ini dianggap menjadi deposit volkanik berumur Pleistosen.

7. Granit Perm – Trias


Granit merupakan batuan beku asam yang tergolong batuan plutonik dan
batuan gang dalam bentuk batolit atau stock. Granit dapat didefinisikan dari tiga
sudut pandang, yaitu definisi sederhana, definisi menurut ilmu petrologi, dan
definisi komersil atau dagang. Secara sederhana, granit didefinisikan sebagai
batuan beku berwarna cerah, berukuran butir kasar, berkomposisi mineral dominan
feldspar dan kuarsa, kompisisi mineral minor mika dan amfibol.
Definisi menurut ilmu petrologi, granit adalah batuan beku yang mengandung
kuarsa berkisar dari 10 – 50 % dari seluruh mineral felsik, dan mengandung alkali
feldspar 65 – 90 % dari kandungan total mineral feldspar. Untuk dapat menerapkan
definisi ini diperlukan kemampuan melakukan identifikasi mineral.
Menurut industri batuan komersil, granit adalah batuan yang butirannya dapat
dilihat dan memiliki kekerasan yang lebih keras dari pada marmer. Menurut definisi
ini maka gabro, basalt, pegmatit, skis, gneis, syienit, monzonit, anorthosit,
granodiorit, diabas, diorit disebut sebagai “granit”.
Granit mempunyai tekstur Faneritik artinya mempunyai butiran-butiran
Kristal yang ukurannya relatif seragam dan besar-besar, struktur batuannya masif
sehingga batuan ini tidak mempunyai retakan atau lubang-lubang gas (Vaskuler).
Granit kebanyakan berbentuk besar, keras dan kuat, oleh karena itu banyak
digunakan sebagai batuan untuk konstruksi. Kepadatan rata-rata granit adalah 2,75

14
gr/cm³ dengan jangkauan antara 1,74 dan 2,80. Kata granit berasal dari bahasa Latin
granum.
Granit terbentuk di daerah kontinen atau benua sebagai batuan beku intrusif.
Ukuran butir kristal mineral penyusunnya yang berukuran kasar menunjukkan
granit terbentuk melalui proses pembekuan magma yang sangat lambat. Granit
terbentuk karena pembekuan magma yang terjadi jauh di dalam bumi sehingga
ganesa batuan ini adalah batuan beku intrusif dalam. Dijumpainya granit di
permukaan bumi sekarang menunjukkan bahwa kerak bumi telah mengalami erosi
sangat dalam.
Batuan granit di sekitar Sumatera memiliki usia dari Paleozoic (Silur) hingga
Tersier. Batuan granit tersebut merupakan produk dari sejarah geologi yang
kompleks dari pulau Sumatera. Granitoid Mesozoikum-Paleozoikum hadir sebagai
bukit terisolasi hingga pegunungan yang sebagian besar ditutupi oleh batuan yang
lebih muda yang mengakibatkan kesulitan untuk menentukan sabuk, disaat terdapat
sabuk. Sabuk granitoid Sumatera dianggap sebagai kelanjutan dari sabuk granit
Asia Tenggara.

II.3. Tatanan Tektonik dan Struktur Geologi Regional

Perkembangan struktur pada cekungan Ombilin dikontrol oleh pergerakan


system mendatar Sumatra yang membuat sesar tua yang telah terbentuk ditimpa
oleh sesar yang lebih muda pleh system sesar yang sama (Situmorang, dkk., 1991)
Menurut Situmorang, dkk. (1991) keseluruhan geometri Cekungan Ombilin
memanjang dengan arah umum barat Laut-tenggara, dibatasi oleh sesar baratlaut-
tenggara Sitangkai di utara dan Sesar Silungkang di selatan yang keduanya kurang
lebih paralel terhadap Sistem Sesar Sumatra. Peta gravitasi terbaru menunjukkan
bahwa cekungan ombilin membentuk sinklin yang menunjam ke arah baratlaut,
dengan bagian terdalam adalah daerah dekat dengan Sesar Silungkang dan
Sitangkai.

15
Daerah
penelitian

Gambar II. 3 Pola struktur regional cekungan Ombilin, Sumatra Barat ( Situmorang,
dkk, 1991)

Secara umum, Cekungan Ombilin dibentuk oleh dua terban berumur


Paleogen dan Neogen, dibatasi oleh Sesar Tanjungampalu berarah utara-selatan.
Pada arah baratlaut terdapat subcekungan Payakumbuh yang terpisah dari
Cekungan Ombilin dengan batas jalur vulkanik berarah utara-selatan. Subcekungan
Payakumbuh diinterpretasikan sebagai bagian terban berumur Paleogen dari
Cekungan Ombilin.
Secara lokal menurut Sirumorang, dkk. (1991) ada tiga bagian struktur yang
bisa dikenal pada cekungan Ombilin, yaitu:
1. Sesar dengan jurus berarah baratlaut-tenggara yang membentuk bagian
dari sistem sesar Sumatera. Bagian utara dari cekungan dibatasi oleh sesar
Sitangkai dan sesar Tigojangko. Sesar Tigojangko memanjang ke arah
tenggara menjadi sesar Tangkung. Bagian Selatan dari cekungan dibatasi
oleh sesar Silungkang.

16
2. Sistem sesar dengan arah umum utara-Selatan dengan jelas terlihat pada
timurlaut dari cekungan. Ini membentuk ruang seperti sesar, dari utara ke
Selatan: Sesar Kolok, Sesar Tigotumpuk, dan Sesar Tanjungampalu.
Perkembangan dari sesar ini berhubungan dengan fase tensional selama
tahap awal dari formasi cekungan, dan terlihat memiliki peranan utama
dalam evolusi cekungan. Pola struktur keseluruhan dari cekungan
Ombilin menunjukkan sistem transtensional duplex atau pull-apart
duplex yang terbentuk di antara offset lepasan dari sesar Sitangkai dan
sesar Silungkang. Geometri penunjaman ke arah dalam dari sesar di
bawah pull-apart menunjukkan bahwa duplex dapat bertumbukan
menjadi zona shear tunggal pada kedalaman. Lebih jauh lagi, pada
penampang vertikal menunjukkan negative flower structure. Pada kasus
ini sistem sesar yang berarah utara-Selatan dapat berbaur dengan sistem
sesar Sitangkai yang berarah baratlaut-tenggara. Pada batas tenggara
terdapat sistem sesar transgressional yang disebut sistem sesar Takung
yang terletak pada lengkungan restraining dari sesar Tigojangko.
3. Jurus sesar dengan arah Timur-barat membentuk sesar anthitetic mengiri
dengan komponen dominan dip-slip. Pada area Kolok, sesar ini dideteksi
sebagai sesar anjak. Cekungan ini mengalami pergantian fasa extensional
pada satu sisi yang dibarengi oleh pemendekkan pada sisi yang lain.

Menurut Situmorang, dkk.(1991) pola struktur keseluruhan dari cekungan


Ombilin menunjuldan sistem transtensional atau pull-apart yang terbentuk di antara
offset lepasan dari Sesar Sitangkai dan Sesar Silungkang yang berarah baratlaut-
tenggara yang mana sistem sesar yang berarah utara-selatan dapat berbaur dengan
sistem sesar yang berarah baratlaut-tenggara.
Menurut Situmorang, dkk.(1991) adanya fase ekstensional dan kompresional
yang ditemukan pada jarak yang sangat dekat merupakan fenomena umum untuk
cekungan Ombilin yang merupakan cekungan strike-slip. Cekungan ini mengalami
pergantian fase ekstensional pada satu Sisi yang diikuti oleh pemendekkan pada
Sisi yang lain.

17
Hastuti, dkk. (2001) mengemukakan bahwa terdapat 5 fase tektonik yang
bekerja pada Cekungan Ombilin yang mempengaruhi pola struktur pada
Cekungan Ombilin (Gambar 2.6 dan Gambar 2.7). Lima fase tektonik yang
terjadi pada cekungan Ombilin menurut Hastuti, dkk.(2001), yaitu:
Fase tektonik pertama (F3grnt) berlangsung awal Tersier berupa fase
tektonik ekstensif bersamaan dengan terbentuknya system Tarik pisah berarah
barat laut-tenggara yang merupakan awal terbentuknya cekungan Ombilin.
Bersamaan dengan membukanya cekungan, terbnetuk endapan kipas alluvium
Formasi Brani menempati lereng-lereng tinggian batuan dasar dan terbentuk
endapan rawa Formasi Sangkarewang di bagian tengah cekungan.
Fase tektonik ke dua (F4brn) berlangsung sejak Eosen berupa fase
kompresif dengan terbentuknya sesar-sesar berarah utara-selatan. Selain fase
kompresif dibeberapa tempat terdapat daerah ekstensif yang menyebabkan
penurunan dasar cekugan yang cepat dan diimbangi pula oleh pengendapan
sedimen yang seimbang, menyebabkan pelongsora-pelongsoran endapan
alluvium Formasi Brani pada tepi cekungan dan sebagian masuk ke dalam
endapan rawa Formasi Sangkarewang, sehingga kedua formasi berhubungan
menjari.
Fase tektonik ke tiga berupa fase kompresif (F5swl). Fase ini mengakibatkan
proses pengangkatan dengan terbentuknya endapan sungai berkelok Formasi
Sawahlunto. Di beberapa tempat fase kompresif diikuti oleh fase ekstensif dengan
terbentuknya endapan batubara di daerah limpah banjir. Selain itu, pada fase ini
terjadi pengaktifan kembali sesar- sesar yang sudah terbentuk dan sesar minor
berupa sesar naik yang terjadi bersamaan dengan pengendapan Formasi
Sawahlunto.
Fase tektonik yang ke empat berupa fase kompresif (F6swtk) berarah relatif
utara-selatan. Akibat fase kompresif ini sesar-sesar berarah utara-selatan dan
baratlaut-tenggara yang terbentuk awal mengalami reaktifasi menjadi sesar naik
dan sesar mendatar. Bersamaan dengan fase ini (F6swtk) terjadi pula fase ekstensif
(F6swte) berarah relatif baratlaut- tenggara yang mengakibatkan dibeberapa tempat
terjadi genangan rawa dan penumpukan sedimen yang membentuk endapan tipis
batubara.

18
Fase tektonik yang ke lima berupa fase ekstensif (F70mben) yang berarah
relatif utara- selatan berlangsung sejak Miosen awal. Fase ini mengakibatkan
terbentuknya sesar-sesar berarah barat-timur. Selain itu, fase ekstensif ini
mengakibatkan terjadinya Sesar Tanjung Ampalu berarah utara-selatan yang
kemudian diikuti dengan fase genanglaut. Pada Miosen Akhir terjadi fase kompresif
(F70mbek) berarah relatif barat-timur yang menghasilkan sesar- sesar berarah
timurlaut-baratdaya dan sesar-sesar yang terbentuk awal aktif kembali.

Gambar II. 4 Tektonostratigrafi Cekungan Ombilin (Hastuti, dkk, 2001)

19
Gambar II. 5 Skema evolusi tektonik cekungan tarik pisah Ombilin, Sumatra Barat
menurut Hastuti, dkk (2001). (A) Kapur-Tersier Awal (B) Paleosen
(C) Miosen Awal (D) Plio-Pleistosen.

II.4. Teori Dasar

Eksplorasi pada batuan dasar memerlukan pemahaman mengenai


karakteristik rekahan seperti orientasi, sifat fraktal dari atribut rekahan, distribusi
intensitas, distribusi densitas dan faktor yang mengontrolnya. Salah satu metode
yang dapat dipakai untuk memahami karakteristik rekahan ialah dengan metode
linear scanline dan windows scanline. Hasil data yang didapat kemudian
menentukan karakteristik dan pola dari rekahan yang ada pada singkapan batuan
dasar granitik.

II.4.1. Rekahan Alami

Fossen (2016) menyatakan bahwa rekahan adalah suatu bidang diskontinuitas


yang terbentuk pada kondisi getas atau brittle. Nelson (2001) menjelaskan bahwa

20
rekahan adalah bidang diskontinuitas pada batuan yang kehilangan kohesi akibat
deformasi atau diagenesa yang terbentuk secara alamiah. Peacock dan Mann (2005)
menyatakan bahwa distribusi suatu rekahan alami dikontrol oleh beberapa faktor,
seperti sifat litologi hingga tatanan tektonik.
Berdasarkan persamaan Coulomb (1776) yang dikembangkan berdasarkan
pada model mekanik, bahwa suatu rekahan akan terbentuk ketika tegasan utama
berhasil melampaui nilai kohesif dari batuan.

𝜎𝑐 = 𝜎0 + tan𝜃 (𝜎𝑛) (III.1)

Dengan 𝜎𝑐 merupakan tegasan kritis yang dibutuhkan agar terjadinya sesar,


𝜎0 merupakan nilai kohesif batuan, tan𝜃 merupakan koefisien dari sudut geser
dalam dan 𝜎𝑛 merupakan nilai tegasan normal. Davis dkk. (2012) menjelaskan
bahwa rekahan akan terbentuk ketika tegasan yang bekerja pada suatu material telah
melampaui besaran kohesif dari material (𝜎0) dan sisa yang ada merupakan tegasan
yang dibutuhkan untuk melampaui ketahanan friksi untuk membentuk pergeseran
pada bidang rekahan.

II.4.2. Klasifikasi Rekahan Alami

Nelson (2001) mengklasifikasikan jenis rekahan berdasarkan hasil percobaan


dan memperoleh tiga jenis rekahan, yaitu rekahan gerus (shear ), rekahan terbuka
dan rekahan tensil/tarik. Ketiga rekahan tersebut berkembang pada orientasi yang
dapat ditebak terhadap arah tegasan utama (principal stress).

1. Rekahan gerus adalah rekahan yang menunjukkan adanya pergeseran yang


paralel dengan bidang rekahan. Rekahan gerus terbentuk pada sudut lancip
terhadap tegasan utama maksimum (𝜎1) dan sudut tumpul terhadap tegasan
utama minimum (𝜎3). Rekahan gerus terbentuk secara berpasangan dan pada
kondisi semua tegasan utama (principal stress) berupa kompresi. Sudut antara
dua rekahan gerus yang berkonjugasi bergantung pada sifat mekanik dari
material, nilai pasti dari 𝜎3 dan nilai dari 𝜎2 relatif terhadap 𝜎1 dan 𝜎3.

21
2. Rekahan terbuka (extension fracture) merupakan salah satu jenis rekahan
selain dari rekahan gerus yang terbentuk pada kondisi ketiga tegasan utama
bersifat kompresi. Rekahan terbuka memiliki pergeseran yang tegak lurus
terhadap bidang rekahan atau menjauhi bidang rekahan. Rekahan gerus
terbentuk paralel terhadap 𝜎1 dan 𝜎2 dan tegak lurus terhadap 𝜎3.
3. Rekahan tensil/tarik merupakan rekahan yang juga memiliki pergeseran tegak
lurus atau menjauhi bidang rekahan serta terbentuk sejajar dengan 𝜎1 dan 𝜎2.
Namun, untuk membentuk rekahan tarik, salah satu dari tegasan utama, yaitu
𝜎3 harus bernilai negatif.

Gambar II. 6 Kemungkinan bidang rekahan yang terbentuk pada percobaan tes
triaksial. (A) Rekahan terbuka dan (B dan C) rekahan gerus (Nelson,
2001).

Davis dkk. (2012) dalam membedakan antara rekahan terbuka (joint) dan
rekahan gerus (shear fracture) bahwa untuk menyatakan suatu rekahan sebagai
rekahan gerus maka diperlukan penciri dari rekahan gerus yaitu kehadiran dari
pergeseran atau bidang rekahan yang menunjukkan hasil rekristalisasi yang dikenal
sebagai bidang gores garis. Selain itu, rekahan gerus umumnya terbentuk dalam dua
set rekahan yang saling berpotongan membentuk sudut ~60o. Sehingga sebagai

22
konsekuensinya, rekahan yang diobservasi yang membentuk pasangan konjugasi
seperti itu maka dapat digolongkan sebagai rekahan gerus. Namun jika tidak
ditemukan pergeseran atau orientasi dari set rekahan yang terbentuk tidak cocok
dengan orientasi sesar yang diketahui, maka rekahan tersebut dapat dianggap sebut
sebagai rakahan atau joint.
Nelson (2001) juga membagi rekahan berdasarkan penyebab alamihnya
menjadi rekahan tektonik, rekahan regional, rekahan kontraksi dan rekahan yang
berhubungan dengan permukaan.
1. Rekahan tektonik merupakan rekahan yang orientasi, distribusi, dan
morfologinya berasosiasi dengan kejadian tektonik lokal. Menurut Nelson
(2001) bahwa rekahan pada singkapan yang proses pembentukan alamihnya
oleh tektonik umumnya berupa rekahan gerus. Namun pada kondisi daerah
yang terlipat, rekahan yang terbentuk berupa rekahan terbuka. Nelson (2001)
lebih lanjut menjelaskan mengenai rekahan yang terbentuk oleh tektonik dapat
dibagi menjadi rekahan yang berhubungan dengan sesar dan lipatan.
1.1 Rekahan berkaitan dengan sesar Bidang sesar merupakan bidang yang
memiliki pergeseran pada bidangnya. Rekahan yang umum terbentuk yang
berkaitan dengan sesar adalah rekahan gerus yang sejajar dengan orientasi
sesar yang terbentuk, rekahan gerus yang berkonjugasi dengan sesar, dan
rekahan terbuka yang memotong sudut lancip antara dua rekahan gerus
yang saling berkonjugasi. Tegasan yang membentuk rekahan juga
merupakan tegasan yang membentuk sesar
1.2 Rekahan berkaitan dengan perlipatan Sejarah tegasan dan strain selama
proses pertumbuhan lipatan pada batuan bersifat sangat kompleks.
Sehingga rekahan yang terbentuk pada lipatan juga sangat kompleks.
Orientasi dan jenis rekahan yang terbentuk pada suatu lipatan.
2. Rekahan regional (Nelson dan Stearns, 1977; dalam Nelson 2001) merupakan
rekahan yang berkembang dalam cakupan area yang sangat luas dengan tidak
ada perubahan orientasi, dan tidak menunjukkan adanya tanda pergeseran.
3. Rekahan kontraksi merupakan kumpulan rekahan terbuka yang
pembentukannya berasosiasi dengan pengurangan volume batuan yang dapat

23
terbentuk akibat proses pengeringan, sineresis, gradien termal dan perubahan
fasa mineral.
4. Rekahan yang berhubungan dengan proses permukaan ialah rekahan yang
terbentuk pada saat proses kehilangan beban, pelepasan tegasan yang
tersimpan dalam tubuh batuan.

Gambar II. 7 Diagram Bunga Mawar dari rekahan gerus yang berasosiasi dengan
sesar (Stearns, 1968b; dalam Nelson, 2001).

Gambar II. 8 Orientasi dan jenis rekahan yang berkembang pada lipatan (Price,
1967; dalam Nelson, 2001).

24
II.4.3. Batuan Dasar

Landes dkk. (1960) mendefinisikan batuan dasar kristalin terdiri dari berbagai
jenis batuan yang terbentuk di bawah kondisi geologi yang sangat berbeda, terdiri
dari batuan beku, baik plutonik dan vulkanik. Parker (1997) mendefinisikan batuan
dasar umumnya berupa batuan beku dan metamorf yang secara tidak selaras
terdapat batuan sedimen diatasnya. Parker (1997) menambahkan bahwa batuan
dasar merupakan batuan yang menjadi salah satu bagian dari kerak bumi yang
berada di bawah batuan sedimen dan berada di atas bidang Mohorovicic. P’an
(1982) dalam studinya tentang migas yang berada dalam batuan dasar, batuan dasar
dibagi menjadi dua, yang pertama ialah batuan beku dan metamorf (tanpa
memperhatikan umurnya) yang secara tidak selaras ditutupi oleh formasi yang lebih
muda yang menghasilkan minyak bumi dan yang kedua ialah batuan apapun yang
mendasari suatu formasi yang menghasilkan minyak bumi atau yang mengandung
minyak bumi disebut sebagai batuan dasar. Namun, Aguilera (1980) tidak
menganggap batupasir dan batugamping sebagai batuan dasar, meskipun batuan
tersebut mendasari formasi yang menghasilkan minyak bumi. Dalam studi ini,
definisi batuan dasar yang digunakan ialah yang dijelaskan oleh Landes dkk.
(1960).
Sircar (2004) mendefinisikan batuan dasar umumnya memiliki karakteristik
keras dan getas dengan nilai porositas yang sangat rendah, sehingga kualitas dari
batuan dasar yang menjadi reservoir sangat bergantung kepada perkembangan dari
porositas sekunder. Porositas sekunder menurut Sircar (2004) dibagi menjadi dua
berdasarkan proses terbentuknya, yaitu (1) porositas akibat tektonik, yaitu joint,
sesar, rekahan, dan lain sebagainya, dalam berbagai rentang skala yaitu rekahan
berskala kecil hingga skala seismik dan (2) porositas akibat pelarutan yaitu
porositas yang terbentuk akibat adanya pelarutan pada zona pelapukan, ataupun
juga dapat terjadi pada zona sesar yang berasosiasi dengan sirkulasi hidrotermal.
Aguilera (1980) menggolongkan reservoir terekahkan berdasarkan distribusi antara
porositas matriks dan sistem rekahan. Dalam reservoir batuan dasar, nilai porositas
matriks mendekati nol dan kapasitas penyimpanan dan permeabilitas sangat
bergantung kepada sistem rekahan.

25
II.4.4. Distribusi Rekahan Alami

Peacock dan Mann (2005) mengevaluasi faktor yang mengontrol geometri,


frekuensi, dan distribusi rekahan pada batuan. Faktor-faktor yang mengontrol ialah:
1. Karakteristik batuan dan diaganesa batuan, seperti:
a. Litologi, yaitu batuan yang memiliki sifat getas akan memiliki rekahan
yang lebih banyak.
b. Struktur sedimen, yaitu rekahan dapat bermula dari suatu anisotropi seperti
bidang perlapisan dan kehadiran fosil.
c. Ketebalan lapisan mengontrol distribusi dari spasi rekahan, yaitu rekahan
akan lebih banyak pada lapisan yang tipis dibandingkan pada lapisan yang
tebal,
d. Bidang perlapisan dapat mengontrol perkembangan dari rekahan, dan
e. Mekanika perlapisan batuan.
2. Struktur geologi, seperti:
a. Tatanan Tektonik yang dapat mengontrol mode dan geometri dari rekahan,
khususnya karena rezim tegasan mengontrol orientasi dari rekahan,
b. Paleostresses mengontrol sejarah urutan perkembangan dari rekahan dan
juga geometri dari rekahan,
c. Sejarah subsiden dan pengangkatan merupakan aspek penting dari
paleostress dan dapat mengontrol perkembangan dari rekahan. Misalnya
rekahan terbuka yang terbentuk dekat permukaan akibat hilangnya tegasan
selama proses pengangkatan,
d. Jarak terhadap sesar menjadi faktor yang sering diasumsikan bahwa
intensitas rekahan dan kompleksitas hubungan rekahan meningkat seiring
dengan jarak yang semakin dekat dengan sesar,
e. posisi dalam lipatan menjelaskan bahwa intensitas rekahan dan
kompleksitas rekahan berhubungan dengan besaran strain pada suatu
lipatan,
f. Waktu pembentukan struktur sangat mengontrol distribusi dari rekahan.
Mineralisasi dan diagenesa mempengaruhi rekahan,

26
g. Sudut antara bidang perlapisan dan rekahan. Rekahan umumnya terbentuk
tegak lurus terhadap bidang perlapisan dengan besaran kemiringan dari
rekahan dikontrol oleh kemiringan lapisan, dan
h. Rekahan terbentuk pada umumnya tidak seketika, melainkan mengalami
evolusi sepanjang waktu.
3. Faktor yang berlangsung pada saat ini, seperti:
a. Orientasi tegasan lokal dapat mengontrol karakteristik dari rekahan,
misalnya bukaan dari rekahan yang berorientasi tegak lurus terhadap
tegasan utama maksimum akan tertutup,
b. Hubungan relatif antara besaran tekanan fluida dan tegasan lokal dapat
mengontrol pembentukan rekahan dan mengontrol rekahan yang akan
terbuka,
c. Variasi tegasan lokal pada sesar atau lipatan dapat mengontrol orientasi
dan geometri rekahan, dan
d. Variasi tegasan dan tekanan fluida dikontrol oleh kedalaman, sehingga
kedalaman akan mengontrol geomteri dari rekahan terbuka.

II.4.5. Fraktal

Fraktal pertama kali diperkenalkan oleh Benoit Mandelbrot (1977) yang


diambil dari bahasa latin yang berarti “patah”. Mandelbrot (1977) menggunakan
fraktal untuk menjelaskan suatu objek yang sangat ireguler untuk dideskripsikan
sebagai geometri Euclidean. Mandelbrot (1983) mendefinisikan geometri fraktal
sebagai suatu bentuk geometri yang sama dengan bentuknya sendiri dan memiliki
ukuran dari skala perbesarannya dan mengukur sejauh mana penyimpangan itu
terjadi. Turcotte (1997) menjelaskan bahwa fraktal adalah geometri dan distribusi
yang sama dalam skala yang berbeda. Banyak fenomena geologi yang dapat
dinyatakan sebagai fraktal, seperti sesar dan kegempaan (Turcotte, 1997), bukaan
rekahan (Laubach dan Ward, 2006), intensitas rekahan (Ortega dkk. 2006) dan
distribusi ketebalan urat (Sapiie, 1998). Fenomena geologi tersebut dapat
dikuantitatifkan dengan distribusi fraktal pada garis kemiringan kurva atau dimensi
fraktal yang merupakan ukuran numerik tanpa ada batasan skala.

27
Velde dkk. (1990) menjelaskan bahwa konsep dasar dari analisis fraktal ialah
suatu fenomena akan mengalami perulangan pada skala yang berbeda. Salah satu
fenomena geologi yang sering dijelaskan menggunakan konsep fraktal ialah
rekahan. Velde (1990) menyatakan bahwa terdapat tiga aspek utama dari rekahan
yang telah diteliti menggunakan konsep fraktal, yaitu (1) hubungan panjang
rekahan oleh Jacquin dan Adler (1987), (2) hubungan densitas rekahan pada suatu
area oleh La Pointe (1998), dan (3) hubungan densitas rekahan dalam suatu massa
batuan yang menghasilkan fragmentasi oleh Turcotte (1986). Ketiga penelitian
tersebut dilakukan secara satu dimensi, dua dimensi, dan tiga dimensi.
Bonnet dkk. (2001) menjelaskan bahwa terdapat beberapa metode statistik
yang digunakan untuk menggambarkan sifat fraktal pada rekahan, yaitu power law,
eksponensial, gama dan log normal.

Gambar II. 9 Empat plot yang mengilustrasikan fungsi yang berbeda (power-law,
lognormal, eksponensial, dan gamma law) yang paling sering
digunakan (Bonnet dkk., 2001).

Distribusi power law lebih sering digunakan untuk menggambarkan distribusi


rekahan karena distribusi ini tidak memiliki batasan skala, sebagaimana dimiliki
oleh tiga distribusi lainnya (Bonnet dkk., 2001). Beberapa penelitian dari berbagai
skala dan tatanan tektonik yang berbeda menunjukkan bahwa distribusi dari

28
berbagai properti rekahan (panjang, pergeseran, dan lainnya) sering mengikuti pola
power law. Rumusan umum untuk power law ditunjukkan oleh persamaan berikut

𝑦 (𝑥) = 𝑘 𝑥−𝑐. (III.2)

Berdasarkan persamaan di atas, 𝑥 adalah karakteristik rekahan (bukaan, spasi,


atau panjang), 𝑦 (𝑥) sebagai distribusi rekahan, 𝑘 menunjukkan konstanta, dan 𝑐
merupakan dimensi fraktal. Beberapa tipe distribusi rekahan yang umum digunakan
adalah frekuensi, densitas, dan kumulatif (Bonnet dkk, 2001). Distribusi kumulatif
lebih banyak digunakan karena mudah dalam perhitungannya dan data tidak perlu
dikelompokkan (binned).
Meskipun mudah dalam perhitungannya, metode penggambaran distribusi
rekahan menggunakan power law sangat dipengaruhi oleh efek truncation dan
censoring yang dapat mengubah kenampakan distribusi rekahan (Santos dkk.,
2005). Efek truncation dapat terjadi, misalnya dalam pengukuran panjang rekahan
dimana rekahan pendek teramati cukup banyak sehingga menyebabkan penurunan
sudut dari kemiringan tren distribusi rekahan. Sedangkan rekahan panjang
cenderung tidak lengkap teramati karena melewati batas daerah pengamatan
(censoring) sehingga menyebabkan kenaikan sudut tren distribusi rekahan.
Dalam penggunaannya, nilai dimensi fraktal dari suatu properti rekahan
diperoleh dari distribusi kumulatif menggunakan persamaan power law. Validitas
dari nilai dimensi fraktal yang diperoleh dari persamaan power law menggunakan
nilai R2 (koefisien determinasi) pada plot log-log (Gambar II.8). Keakuratan
penentuan nilai dimensi fraktal dari power law sangat bergantung pada jumlah data
dan kesalahan pengukuran data. Seperti pada analisis statistik pada umumnya,
jumlah data sangat penting. Bonnet dkk. (2001) menyarankan jumlah minimum
untuk menentukan persamaan power law dari suatu sistem rekahan ialah dua ratus
(200) pengukuran rekahan.
Salah satu penelitian Barton dan Hsieh (1989) dalam Turcotte (1997) di
Nevada yang melakukan kuantitatif pola rekahan yang sangat kompleks pada
batuan dasar yang terdistribusi teratur dalam sebuah titik dan garis distribusi fraktal
dengan nilai D 1,7. Sapiie (1998) dalam salah satu penelitian di Gunung Bijih

29
(Erstberg) terhadap jaringan urat mineralisasi yang komplek mengikuti distribusi
power law pada suatu garis lurus dengan kemiringan kurva. Merceron dan Velde
(1991) menyatakan bahwa kisaran nilai dimensi fraktal untuk rekahan pada analisis
satu dimensi ialah 0,5, 1,5 pada analisis dua dimensi, dan 2,5 pada tiga dimensi.
Turcotte (1997) menjelaskan bahwa nilai dimensi fraktal dari rekahan akan bersifat
tidak integer dan bergantung pada skala analisis yang dilakukan. Analisis dalam
skala 1D akan memberikan nilai diantara 0-1, analisis 2D akan bernilai 1-2 dan
analisis 3D akan bernilai 2-3. Nagahama dan Yoshii (1994) menyimpulkan bahwa
semakin besar nilai D, semakin meningkat pula nilai densitas energi perekahan per
unit massa.

Gambar II. 10 Efek truncation (lingkaran kecil) dan efek censoring (lingkaran
besar) (Santos dkk., 2005)

30
BAB III METODOLOGI PENELITIAN

III.1. Metode pengambilan data rekahan

Empat metode pengambilan sampel untuk mengumpulkan data rekahan yang


banyak digunakan dan dilaporkan dalam literatur: metode scanline linear ( Priest
dan Hudson, 1981; Priest, 1993 ), Areal sampling ( Wu dan Pollard 1995 ), metode
persegi panjang ( Pahl, 1981; Priest, 1993 ) Dan metode melingkar ( Mauldon,
dkk., 2001; Rohrbaugh, dkk., 2002 ).

III.1.1. Metode scanline linear

Metode scanline linear merupakan metode cepat untuk merekam berbagai


atribut rekahan. Metode ini melibatkan peletakan alat bantu (tali/pita) pada
singkapan dan pengukuran (termasuk orientasi, panjang, bukaan, intensitas,
rekahan terisi dan jarak) dari setiap rekahan yang memotong pita ( Priest dan
Hudson, 1981; Priest, 1993 ). Orientasi scanline linear yang baik mewakili arah
rekahan yang ada. Biasanya, scanline diatur untuk memotong orientasi rekahan
yang dominan, hal ini digunakan untuk memastikan setiap orientasi rekahan
setidaknya memotong garis scanline ( Priest, 1993 ). Hal tersebut membuat metode
ini memungkinkan mengambil banyak data atribut rekahan yang akan dikumpulkan
dengan cepat, hal ini membuat orientasi dan panjang rekahan lebih banyak terekam,
di mana patahan besar yang kurang terwakili dalam data karena panjang patahan
lebih panjang dari singkapan, sehingga mereka dipotong dan hanya ukuran minimal
dicatat. Rekahan pada sudut yang rendah terhadap garis scanline akan kurang
terwakili untuk memberikan perkiraan yang baik untuk intensitas, dibandingkan
dengan rekahan yang tegak terhadap garis scanline, kecuali jika dikoreksi.
Scanline diatur tegak lurus terhadap orientasi dominan setiap rekahan yang
ditetapkan pada singkapan. Metode ini memberikan intensitas yang jauh lebih
akurat dan pengukuran jarak untuk semua set rekahan dari scanline tunggal namun
data masih diambil pada garis 1D sehingga variabilitas di rekahan atribut dalam 2D
31
atau 3D tidak ditangkap. Karena metode ini melibatkan pengaturan jalur individu
untuk setiap set rekahan, membutuhkan analisa dan pengamatan data rekahan
sebelum pengumpulan data, yang berarti pengumpulan data dapat memperoleh
kesalahan oleh pra-interpretasi data rekahan. Pengamatan data rekahan sebelum
pengumpulan data juga menambah waktu untuk proses, terutama jika banyak data
rekahan yang hadir.

Gambar III. 1 Metode scanline linear ( Mauldon , dkk., 2001 ).

III.1.2. Area scanline

Areal pengambilan sampel melibatkan pengumpulan data atribut rekahan di


2D, dan sangat efektif saat memetakan rekahan skala besar atau diskontinuitas.
Metode ini dapat dilakukan dari jarak jauh melalui analisis dari foto udara ( Wu dan
Pollard 1995 ) dimana diskontinuitas skala besar, disimpulkan menjadi koridor
rekahan, dipetakan selama beberapa ratus meter. Foto yang diambil di lapangan
juga digunakan untuk pemetaan areal di skala yang lebih kecil di mana jejak
rekahan dapat dipetakan ke permukaan. Areal pengambilan sampel adalah metode
umum yang digunakan untuk menilai variabilitas rekahan di struktur skala besar

32
atau singkapan lebih besar. Foto-foto/citra satelit yang digunakan untuk
menghasilkan peta 2D rekahan jejak, biasanya pada permukaan datar atau di
penampang pandangan, untuk mengekstraksi rekahan jejak azimuth, kepadatan dan
intensitas data. Data distribusi spasial juga dapat diekstraksi dengan menghitung
koefisien yang bervariasi untuk memastikan apakah rekahan didistribusikan secara
merata atau bergerombol. Metode ini cepat untuk mengumpulkan data dalam
jumlah besar, namun hasilnya sangat tergantung pada resolusi sourceimage data,
yang menyebabkan data yang pemotongan, patahan yang lebih kecil kurang
terwakili, dan kontrol kualitas antara foto, dan singkapan diperlukan, yang dapat
memakan waktu.

Gambar III. 2 metode area scanline ( Mauldon , dkk., 2001 ).

III.1.3. Windows scan

Windows scan merupakan pengambilan sampel menggunakan persegi


panjang, yang ditempatkan pada singkapan dan atribut rekahan yang dipilih diukur
dalam wilayah persegi panjang ( Priest, 1993 ). Windows scanline pengambilan
sampel mengurangi orientasi yang menyimpang, dibandingkan dengan

33
pengambilan sampel scanline linear, karena semua rekahan di daerah tersebut
diukur, dan memungkinkan untuk estimasi sederhana ( Pahl, 1981 ). Metode ini
bisa sangat memakan waktu jika banyak atribut yang akan diukur untuk setiap
rekahan dalam wilayah jendela. Data juga dipengaruhi oleh pengamatan singkapan
karena ukuran singkapan, dan kualitas singkapan. Berarti estimasi panjang
melibatkan menganalisis data rekahan, tetapi jika singkapan memiliki tutupan
vegetasi metode tidak dapat dilakukan ( Priest, 1993 ).

Gambar III. 3 metode windows scanline ( Mauldon , dkk., 2001 ).

III.1.4. Scanline melingkar

Sebuah strategi sampel rekahan keempat adalah metode scanline melingkar,


digariskan oleh Mauldon (1998), Mauldon , dkk. (2001) dan Rohrbaugh , dkk.
(2002). Bukan langsung mengukur atribut rekahan, metode melibatkan menghitung
jumlah persimpangan rekahan dengan tepi garis melingkar ditempatkan pada
singkapan, dan jumlah rekahan dalam lingkaran. Nilai-nilai ini digunakan sebagai
input menjadi serangkaian persamaan, perkiraan dari kepadatan rekahan, intensitas
dan berarti panjang dalam wilayah lingkaran dapat dihitung. Karena metode ini
dianggap persimpangan rekahan dengan metode scanline lingkaran, daripada
pengukuran langsung dari atribut rekahan, tidak terpengaruh oleh panjang sensor,

34
tidak seperti scanline linear, areal sampling dan metode pengambilan sampel
jendela persegi panjang. Dengan menggunakan metode ini juga menghilangkan
kesalahan yang orientasi patahan lapisan-paralel dalam 2D (3D patahan miring ke
singkapan masih akan dianalisis, yang berlaku untuk semua empat strategi
sampling) arah dominan orientasi rekahan tidak diperhatikan dalam metode ini,
seperti dalam scanline linear metode.

Gambar III. 4 metode scanline melingkar ( Mauldon , dkk., 2001 ).

III.2. Pemilihan lokasi pengambilan data sampel

Empat metode utama pengambilan sampel rekahan yang dijelaskan di atas


tidak cukup untuk karakteristik rekahan karena mereka semua tidak
menggambarkan semua atribut rekahan. Tahapan pertama dalam pekerjaan ini
adalah untuk memilih daerah lokasi pengambilan sampel, sebelum pengumpulan
data. Daerah lokasi pengambilan sampel pada awalnya dipilih dengan
menggunakan foto udara atau dengan observasi langsung pada singkapan untuk
mengidentifikasi daerah-daerah di mana singkapan yang terekam dengan baik.
Daerah ini grid dengan jarak tertentu, dan lokasi pengambilan sampel yang dipilih

35
di sudut masing-masing kotak persegi. Jika singkapan hadir pada referensi yang
sesuai, itu digunakan untuk pengumpulan data.

III.3. Orientasi

Pengambilan data rekahan dilakukan dengan memperhatikan orientasi


dominan rekahan, hal ini mempengaruhi arah azimuth metode pengambilan data.
Orientasi rekahan pada singkapan sangat mempengaruhi data rekahan yang ada
(Priest, 1993). Metode ini menghilangkan kesalahan pada orientasi rekahan yang
memiliki sudut yang kecil terhadap metode pengambilan data. Sementara
dianjurkan oleh Priest (1993) bahwa dua scanlines linier sejajar dan tegak lurus
harus mengurangi kesalahan orientasi ini.

III.4. Distribusi rekahan

Salah satu keuntungan menggunakan scanlines linear dari pada lingkaran


yaitu untuk mengkarakterisasi rekahan di daerah tertentu yaitu linear scanlines lebih
mungkin untuk menangkap variasi rekahan karena metode ini merekam setiap
rekahan yang memotong scanline. Meskipun penggunaan dua lingkaran akan
menunjukkan adanya heterogenitas rekahan, atribut dari perubahan intensitas
rekahan antara dua lingkaran tidak akan ditandai (Priest, 1993).
Penyebaran data rekahan pada singkapan penting untuk diperhatikan saat
menentukan lokasi metode pengambilan data. Perbedaan distribusi rekahan pada
singkapan sangat baik untuk penempatan lokasi metode penelitian.

III.5. Panjang rekahan

Ketika mengukur panjang rekahan, dapat ditemui untuk scanlines linear,


persegi panjang jendela sampling, areal sampling dan ditambah metode scanline

36
melingkar. Panjang rekahan diukur pada setiap rekahan hinggal rekahan tersebut
berhenti atau terputus oleh rekahan lainnya.

Gambar III. 5 pengamatan data panjang rekahan di lapangan.

III.6. Bukaan

Bukaan sangat sulit untuk secara akurat mengukur di singkapan sebagai


eksposur permukaan kemungkinan telah mengalami erosi, yang berarti rekahan
mungkin muncul lebih luas di permukaan daripada di kedalaman. Kesalahan ini
akan ditemui untuk semua strategi sampling. scanline linier, persegi panjang
jendela sampling dan ditambah metode scanline melingkar memungkinkan untuk
pengukuran langsung dari bukaan rekahan di singkapan. Karena metode scanline
melingkar Mauldon, dkk. (2001) tidak melibatkan mengumpulkan data yang
mencirikan bukaan, tidak dapat menjelaskan dan menganalisis bukaan dari populasi
rekahan. Metode pengambilan sampel areal juga dapat untuk memperkirakan
bukaan rekahan, tergantung pada apa yang skala rekahan yang menarik.
Pengukuran bukaan rekahan diukur untuk mengetahui dimensi fraktal dari
rekahan pada setiap rekahan pada lokasi pengukuran yang ada.

37
Gambar III. 6 pengamatan data bukaan rekahaan di lapangan

III.7. Intensitas rekahan

Estimasi intensitas rekahan menggunakan metode scanline melingkar yang


ditambah mengadopsi teknik scanline melingkar Mauldon ini ( Mauldon, 2001).
Data intensitas rekahan yang dikumpulkan menggunakan scanline melingkar lebih
baik dibandingkan dengan teknik sampling lain. Sedangkan Linear scanline
pengambilan sampel dapat dilakukan jika rekahan berorientasi miring ke scanlines,
yang dikoreksi untuk menggunakan teknik koreksi Terzaghi ( Terzaghi 1965 )
Untuk set rekahan individu.

38
III.8. Metode daerah penelitian

Gambar III. 7 Diagram alir penelitian

Penelitian ini diawali dengan studi pustaka yang meliputi pengumpulan data-
data dari peneliti terdahulu tentang tektonik, struktur geologi daerah penelitian dan
sekitarnya. Pengumpulan data singkapan berupa deskripsi batuan, orientasi,

39
struktur geologi, dan pengukuran rekahan alami batuan dasar dengan metode
scanline dan windows scan dibatuan dasar. Metode scanline meliputi pengukuran
kordinat, orientasi, bukaan, spasi dan panjang rekahan alami batuan dasar. Metoda
windows scan meliputi pengukuran orientasi, bukaan, panjang, hubungan saling
potong-memotong, dan hubungan litologi dengan densitas rekahan alami batuan
dasar. Kemudian dilakukan pengambilan sampel batuan pada singkapan untuk
analisis sayatan tipis petrografi dan mikrostruktur. Peralatan yang digunakan dalam
pengukuran metoda scanline dan windows scan adalah Global Position System
(GPS), palu geologi, kompas geologi, tali, pita ukur dan jangka sorong. Data
lapangan diproses untuk mendapatkan model dan karakteristik rekahan alami dari
daerah penelitian. Seluruh data orientasi dari rekahan alami digabungkan dari setiap
singkapan sehingga dapat diidentifikasi kelompok rekahan alami dan
menginterpretasi gaya tektonik yang menghasilkan rekahan alami tersebut.
Interpretasi keberadaan sesar menggunakan interpretasi dari data Digital Outcrop
Modeling.
Analisis gaya tektonik yang diperoleh dari analisis rekahan digunakan untuk
analisis kinematik dari sesar. Estimasi lebar dari Fault Damage Zone dilakukan
dengan melakukan analisis statistik. Atribut rekahan alami yang diperoleh dari data
lapangan selanjutnya dianalisis menggunakan analisis fraktal. Nilai densitas rekahan
alami dan intensitas yang telah dianalisis dihubungkan dengan struktur geologi dan
petrologi dari daerah penelitian untuk melihat faktor yang mengontrol kehadiran
rekahan dan perhitungan estimasi nilai porositas dan permeabilitas dilakukan
dengan menggunakan model yang telah ada. Pengolahan data statistik
menggunakan perangkat lunak Stereonet v9.2.3 (Allmendinger, 2013), Ecxel
Microsoft Office 2013, dan Rockworks16

40
.

Gambar III. 8 Sketsa pencatatan dan observasi alam metode scanline. A-B adalah
garis scanline. T adalah tebal atau bukaan rekahan alami, h adalah
tinggi atau panjang pengamatann terhadap garis scanline (dibatasi
satu meter), l adalah panjang garis scanline dan L adalah panjang
rekahan alami (Sapiie, 1998)

Gambar III. 9 observasi rekahan alami metode scanline dan windows scan.

41
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1. Analisis data rekahan alami

Pengambilan data rekahan alami pada singkapan telah dilakukan pada batuan
dasar Trias yang tersingkap pada daerah Silokek, Kabupaten Sijunjung. Batuan
dasar tersusun atas batuan beku yang merupakan batuan granit (Trias). Peta lokasi
scanline dan windows scan batuan dasar memperlihatkan masing-masing orientasi
rekahan alami yang berbeda (Gambar IV.1).

IV.1.1. Rekahan pada Batuan Dasar Granit

Gambar IV. 1 Lokasi singkapan 1 pengukuran scanline, foto singkapan windows


scan beserta diagram mawar dan stereonet dari orientasi rekahan
alami.

42
Pada lokasi SL 1 (00037' 01,59" LS dan 1010 00'59,41" BT) singkapan
berwarna abu-abu kemerahan memiliki bentuk butir euhedral - subhedral dengan
ukuran butir 5 – 10 mm, fanerik, terdiri atas mineral plagioklas (10%), kuarsa
(30%), alkali feldspar (40%), dan biotit (10%), yang memiliki total panjang 2370
cm dan 86 rekahan pada lokasi scanline dan windows scan batuan dasar granit
dengan luas 10000cm2 dengan total rekahan sebanyak 285. Total rekahan yang
diperoleh pada batuan dasar granit yang tersebar ialah 371 dan terdiri atas rekahan
gerus sebanyak 302 dam kekar sebanyak 69 . Data pengukuran rekahan pada SL1
batuan dasar granit menunjukkan arah baratdaya – timurlaut.

Gambar IV. 2 Lokasi singkapan 2 pengukuran scanline, foto singkapan windows


scan beserta diagram mawar dan stereonet dari orientasi rekahan
alami.

Pada lokasi SL 2 (00037' 01,50" LS dan 1010 00'58,86" BT) singkapan


berwarna abu-abu kemerahan memiliki bentuk butir euhedral - subhedral dengan
ukuran butir 5 – 10 mm, fanerik, terdiri atas mineral plagioklas (15%), kuarsa
(25%), alkali feldspar (55%). (Gambar IV.), yang memiliki total panjang 3335 cm
dan 139 rekahan pada lokasi scanline dan windows scan batuan dasar granit dengan

43
luas 10000cm2 dengan total rekahan sebanyak 363. Total rekahan yang diperoleh
pada batuan dasar granit yang tersebar ialah 502 dan terdiri atas rekahan gerus
sebanyak 489 dan kekar sebanyak 13 . Data pengukuran rekahan pada SL2 batuan
dasar granit menunjukkan arah utara - selatan.

Gambar IV. 3 Lokasi singkapan 3 pengukuran scanline, foto singkapan windows


scan beserta diagram mawar dan stereonet dari orientasi rekahan
alami.

Pada lokasi SL 3 (00037' 01,79" LS dan 1010 01'00,42" BT) singkapan


memiliki warna abu-abu kemerahan memiliki bentuk butir euhedral - subhedral
dengan ukuran butir 5 – 15 mm, fanerik, terdiri atas mineral plagioklas (15%),
kuarsa (30%), alkali feldspar (50%), serta mineral biotit (5%) (Gambar IV.).
memiliki penamaan mikroskopis syenogranit, yang memiliki total panjang 1809
cm dan 160 rekahan pada lokasi scanline dan windows scan batuan dasar granit
dengan luas 10000cm2 dengan total rekahan sebanyak 533. Total rekahan yang
diperoleh pada batuan dasar granit yang tersebar ialah 6393 dan terdiri atas rekahan
gerus sebanyak 432 dam kekar sebanyak 261 . Data pengukuran rekahan pada SL3
batuan dasar granit menunjukkan arah utara - Selatan.

44
Gambar IV. 4 Lokasi singkapan 4 pengukuran scanline, foto singkapan windows
scan beserta diagram mawar dan stereonet dari orientasi rekahan
alami.

Pada lokasi SL 4 (00037'00,67" S dan 101000'59,24 E) memiliki warna abu-


abu kemerahan memiliki bentuk butir euhedral - subhedral dengan ukuran butir 5 –
15 mm, fanerik, terdiri atas mineral plagioklas (10%), kuarsa (50%), alkali feldspar
(35%), serta mineral biotit (5%) (Gambar IV.)., yang memiliki total panjang 2199
cm dan 146 rekahan pada lokasi scanline dan windows scan batuan dasar granit
dengan luas 10000cm2 dengan total rekahan sebanyak 507. Total rekahan yang
diperoleh pada batuan dasar granit yang tersebar ialah 653 dan terdiri atas rekahan
gerus sebanyak 469 dam kekar sebanyak 184 . Data pengukuran rekahan pada SL4
batuan dasar granit menunjukkan arah baratdaya – timurlaut.
Pada lokasi SL 5 (00037'01,7" S dan 1010 01'00,2" E) singkapan memiliki
warna abu-abu kemerahan memiliki bentuk butir euhedral - subhedral dengan
ukuran butir 10 – 20 mm, fanerik, terdiri atas mineral plagioklas (15%), kuarsa
(30%), alkali feldspar (50%), serta mineral biotit (5%) (Gambar IV.). memiliki
penamaan mikroskopis syenogranit, yang memiliki total panjang 1649 cm dan 46

45
rekahan pada lokasi scanline dan windows scan batuan dasar granit dengan luas
10000cm2 dengan total rekahan sebanyak 118. Total rekahan yang diperoleh pada
batuan dasar granit yang tersebar ialah 164 dan terdiri atas rekahan gerus sebanyak
124 dam kekar sebanyak 40 . Data pengukuran rekahan pada SL5 batuan dasar granit
menunjukkan arah baratdaya – timurlaut.

Gambar IV. 5 Lokasi singkapan 5 pengukuran scanline, foto singkapan windows


scan beserta diagram mawar dan stereonet dari orientasi rekahan
alami.

Pada lokasi SL 6 (00037' 05,43" S dan 1010 00'56,63" E) singkapan


berwarna abu-abu kemerahan memiliki bentuk butir euhedral - subhedral dengan
ukuran butir 5 – 10 mm, fanerik, terdiri atas mineral plagioklas (10%), kuarsa
(40%), alkali feldspar (30%), dan biotit (10%). (Gambar IV.). yang memiliki total
panjang 1588 cm dan 96 rekahan pada lokasi scanline dan windows scan batuan
dasar granit dengan luas 10000cm2 dengan total rekahan sebanyak 363. Total
rekahan yang diperoleh pada batuan dasar granit yang tersebar ialah 459 dan terdiri
atas rekahan gerus sebanyak 289 dam kekar sebanyak 170 . Data pengukuran
rekahan pada SL6 batuan dasar granit menunjukkan arah utara - Selatan.

46
Gambar IV. 6 Lokasi singkapan 6 pengukuran scanline, foto singkapan windows
scan beserta diagram mawar dan stereonet dari orientasi rekahan
alami.

Pada lokasi SL 7 (0° 37' 06.1"S dan 101° 00' 56.0" E) singkapan warna abu-
abu kemerahan memiliki bentuk butir euhedral - subhedral dengan ukuran butir 5 –
20 mm, fanerik, terdiri atas mineral plagioklas (15%), kuarsa (50%), alkali feldspar
(30%), serta mineral biotit (5%) (Gambar IV, yang memiliki total panjang 1473
cm dan 100 rekahan pada lokasi scanline dan windows scan batuan dasar granit
dengan luas 10000cm2 dengan total rekahan sebanyak 427. Total rekahan yang
diperoleh pada batuan dasar granit yang tersebar ialah 527 dan terdiri atas rekahan
gerus sebanyak 419 dam kekar sebanyak 108 . Data pengukuran rekahan pada SL7
batuan dasar granit menunjukkan arah baratdaya – timur laut.
Pada lokasi SL 8 singkapan warna abu-abu kemerahan memiliki bentuk
butir euhedral - subhedral dengan ukuran butir 5 – 15 mm, fanerik, terdiri atas
mineral plagioklas (20%), kuarsa (45%), alkali feldspar (30%), serta mineral biotit
(5%) (Gambar IV.) ,yang memiliki total panjang 1166 cm dan 146 rekahan pada
lokasi scanline dan windows scan batuan dasar granit dengan luas 10000cm2

47
dengan total rekahan sebanyak 304. Total rekahan yang diperoleh pada batuan dasar
granit yang tersebar ialah 453 dan terdiri atas rekahan gerus sebanyak 302 dam
kekar sebanyak 20 . Data pengukuran rekahan pada SL8 batuan dasar granit
menunjukkan arah baratdaya – timur laut.

Gambar IV. 7 Lokasi singkapan 7 pengukuran scanline, foto singkapan windows


scan beserta diagram mawar dan stereonet dari orientasi rekahan
alami..

Gambar IV. 8 Lokasi singkapan 8 pengukuran scanline, foto singkapan windows


scan beserta diagram mawar dan stereonet dari orientasi rekahan
alami.

48
Data rekahan alami pada pengukuran 8 lokasi scanline pada batuan dasar
granit dengan total panjang 4000 cm dan 922 rekahan dan windows scan pada
batuan dasar granitik dengan luas 800000 cm2 dengan total rekahan 2900. Total
rekahan yang diperoleh pada batuan dasar granit yang tersebar ialah 3822 dan terdiri
atas rekahan gerus sebanyak 3054 dam kekar sebanyak 768. Keseluruhan data
pengukuran rekahan pada granit menunjukkan 3 arah dominan, yaitu barat laut-
tenggara, timurlaut-baratdaya, dan utara-selatan dengan kemiringan relatif tegak
antara 55-75 derajat (Gambar IV.3). Histogram semua arah jurus dan sudut
kemiringan rekahan pada batuan dasar granit ditampilkan pada Gambar IV.4,
Gambar IV.5, dan Gambar IV.6.

Gambar IV. 9 Lokasi pengukuran scanline dan windows scan pada granit dan
diagram bunga mawar dari orientasi rekahan alami pada setiap lokasi
pengukuran.

49
Gambar IV. 10 Diagram stereonet rekahan alami pada semua lokasi pengukuran.

Distribusi jurus rekahan alami


600
frekuensi

400

200

jurus (N.....E)

Gambar IV. 11 Distribusi semua jurus rekahan alami di granit.

Distribusi kemiringan rekahan alami


800
600
frekuensi

400
200
0
0
4
8

More
12
16
20
24
28
32
36
40
44
48
52
56
60
64
68
72
76
80
84
88

kemiringan (°)

Gambar IV. 12 Distribusi semua kemiringan rekahan alami di granit.

50
100
90
80
70
kemiringan

60
50
40
30
20
10
0
0 50 100 150 200 250 300 350 400
jurus

Gambar IV. 13 Distribusi semua jurus dan kemiringan rekahan alami di granit.

Pengelompokkan rekahan dilakukan untuk mengetahui orientasi setiap tipe


rekahan alami yang terdapat di lokasi penelitian (Nelson, 2001). Dari
pengelompokkan rekahan gerus menunjukkan bahwa rekahan yang terbentuk
berasosiasi yang menunjukkan dua orientasi rekahan gerus yaitu utara-selatan dan
timur timurlaut-barat baratdaya (Gambar IV.7) yang memiliki arah tegasan utara
timurlaut-selatan baratdaya. Dua orientasi kekar di lapangan membentuk sudut
yang saling tegak lurus satu dan lainnya (Gambar IV.8).
Morfologi rekahan alami yang diamati di daerah penelitian adalah rekahan
gerus dan kekar. Gambaran morfologi rekahan alami yang diamati dapat dilihat
pada Gambar IV.9.

Distribusi Rekahan Granit


4000
3054
3000
2000
768
1000
0
rekahan gerus kekar

Gambar IV. 14 Distribusi tipe rekahan alami batuan dasar di granit.

51
Gambar IV. 15 Diagram stereonet dan diagram mawar kekar pada semua lokasi
pengukuran scanline dan windows scan granit.

Gambar IV. 16 Diagram stereonet dan diagram mawar rekahan gerus pada semua
lokasi pengukuran scanline dan windows scan granit.

IV.1.2. Interpretasi Sesar dan analisis kinematik Sesar

Berdasarkan rekahan gerus yang diperoleh dari pengukuran di lapangan,


dapat ditentukan arah tegasan utama maksimum, yaitu berada di sudut lancip antara
dua rekahan gerus. Berdasarkan diagram roset rekahan gerus dan rekahan terisi
pada daerah penelitian batuan dasar granitik (Gambar IV.19), diperoleh arah

52
tegasan utama maksimum (σ1) pada arah N 220o E dan arah tegasan utama minimum
(σ3) ialah N 300o E. Arah tegasan utama maksimum dan minimum yang diperoleh
dari pengukuran rekahan gerus dan rekahan terisi digunakan untuk analisis
kinematik dari kelurusan yang diperoleh dari peta Digital Outcrop Model (DOM).
Peta DOM dari daerah penelitian batuan dasar granitik dapat dilihat pada
Gambar IV.20 Berdasarkan peta tersebut, diperoleh kelurusan berarah N 230o E.
Arah kelurusan yang diperoleh dari peta DOM menunjukkan arah yang parallel dari
salah satu orientasi rekahan gerus, yaitu timurlaut-baratdaya. Dengan menggunakan
arah kelurusan dan arah rekahan gerus yang berorientasi utara-selatan, serta
menggunakan arah tegasan utama maksimum dan minimum, diperoleh bahwa
kelurusan pada daerah penelitian merupakan sesar geser mengiri dengan blok
hangingwall relatif turun terhadap footwall.

Gambar IV. 17 Peta DOM yang diperoleh dari pengamatan drone. Terdapat
kelurusan berarah N 230o E (garis merah putus-putus).

53
Gambar IV. 18 Analisis kinematik sesar pada daerah penelitian batuan dasar
granitik. Sesar pada daerah penelitian berorientasi N 230oE.

IV.1.3. Distribusi Intensitas Rekahan Alami

Intensitas rekahan adalah jumlah rekahan di sepanjang garis scanline,


sedangkan spasi didefinisikan sebagai jarak antara rekahan yang diukur di
sepanjang garis scanline (Priest, 1993). Nilai intensitas rekahan alami dilokasi
penelitian pada batuan dasar granitik ialah 9 – 31,8 per meter sepanjang garis
scanline. Pengukuran spasi rekahan alami menunjukkan nilai rata-rata spasi
bervariasi dari 0.32 – 1.09 cm pada batuan granit. Berdasarkan Gambar IV.29 dapat
dilihat bahwa semakin rapat nilai spasi rekahan alami, maka nilai intensitas rekahan
alami meningkat.
Nelson (2001) menjelaskan bahwa rekahan dipermukaan dipengaruhi oleh
komposisi, litologi, ukuran butir, ketebalan, dan posisi struktur. Faktor-faktor
tersebut terkait dengan kekuatan batuan. Berdasarkan pengamatan di lapangan,
lokasi dengan intensitas rekahan alami yang tinggi memiliki jarak yang berada
dekat dengan sesar, dan berlaku sebaliknya.

54
35
30
Intensita (/m)
25
20
15
10
5
0
0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12
Rata-rata spasi (m)

Gambar IV. 19 Hubungan spasi rata-rata rekahan alami terhadap intensitas rekahan
alami granit.

Gambar IV. 20 Distribusi intensitas rekahan alami batuan dasar di lokasi


pengukuran scanline di granit

Intensitas rekahan alami juga dapat dihitung secara dua dimensi, yaitu jumlah
panjang rekahan alami dibagi luas area pengukuran (Zebb dkk., 2013). Nilai

55
intensitas rekahan alami diperoleh dari lokasi penelitian dengan menerapkan
metode windows scan. Intensitas 2D (I) dengan mengukur jumlah keseluruhan
panjang rekahan alami (∑ 𝑙) dan membagi nilai tersebut dengan luas area
pengukuran (A). Persamaan sederhana yang digunakan dalam mengitung densitas
rekahan alami adalah:

𝐼 =∑ 𝑙 (VI.1)
𝐴

Dari pengukuran windows scan di setiap lokasi, diperoleh rentang nilai


Intensitas 2D untuk granit ialah 0,11 – 0,46 cm/cm2. Keseluruhan hasil pengukuran
intensitas rekahan alami secara 2D dapat dilihat pada Tabel IV.1.

Tabel IV. 1 Hasil statistik dari pengukuran scanline

Rata-
Intensitas
Jumlah rata
Lokasi Panjang Scanline (m) Rekahan Litologi
Rekahan Spasi
(/m)
(m)
1 5 85 0.059 17 Granit
2 5 138 0.036 27.6 Granit
3 5 159 0.093 31.8 Granit
4 5 145 0.034 29 Granit
5 5 45 0.109 9 Granit
6 5 95 0.044 19 Granit
7 5 99 0.049 19.8 Granit
8 5 148 0.032 29.6 Granit

56
Tabel IV. 2 Hasil statistik dari pengukuran windows scan.

Luas Total Rata-


Jumlah
Lokasi Window Panjang Intensitas rata
Rekahan
Scanline Rekahan Panjang

1 10000 285 2559 0.2559 19.33


2 10000 363 7497 0.7497 20.55
3 10000 533 5654 0.5654 10.65
4 10000 507 6693 0.6693 12.81
5 10000 118 2864 0.2864 24.27
6 10000 363 7825 0.7825 21.65
7 10000 427 5912 0.5912 13.825
8 10000 304 2950 0.295 9.7

IV.1.4. Distribusi Densitas Rekahan Alami

Densitas rekahan alami adalah jumlah kehadiran rekahan alami dibagi luas
area pengukuran (Zebb dkk., 2013). Nilai densitas rekahan alami yang diperoleh
dari lokasi penelitian dengan menerapkan metode windows scan. Densitas rekahan
alami (p) dengan mengukur semua rekahan yang berada dalam area windows scan
(N) dan membagi nilai tersebut dengan luas area pengukuran (A). Persamaan
sederhana yang digunakan dalam menghitung nilai densitas rekahan alami adalah:

𝑁 (VI.2)
𝑝=
𝐴

Dari pengukuran windows scan di setiap titik pengukuran, diperoleh rentang


nilai densitas 0,008 – 0,014 cm-2 untuk granit. Hasil perhitungan densitas rekahan
alami untuk masing-masing lokasi pengukuran windows scan ditampilkan dalam
Tabel IV.3.

57
Gambar IV. 21 Peta distribusi densitas rekahan alami pada batuan dasar granit.

Tabel IV. 3 Perhitungan densitas rekahan alami untuk semua lokasi pengukuran
windows scan.

Luas
Jumlah Densitas
Lokasi Window
Rekahan (/cm2 )
s Scan
1 10000 85 0.0085
2 10000 138 0.0138
3 10000 159 0.0159
4 10000 145 0.0145
5 10000 45 0.0045
6 10000 95 0.0095
7 10000 99 0.0099
8 10000 148 0.0148

58
IV.1.5. Analisis sifat fraktal rekahan

Analisis sifat fraktal rekahan dapat diketahui dari analisis atribut rekahan
yang diukur pada singkapan (spasi, panjang, bukaan) menggunakan metode
windows scan, nilai spasi rekahan diukur dari jarak antar rekahan, bukaan rekahan
merupakan jarak bukaan disetiap rekahan, dan panjang rekahan diukur pada setiap
rekahan. Hasil statistik data tersebut diolah menggunakan Ecxel Microsoft Office
2013.

IV.1.5.1. Analisis Spasi Rekahan

Kumpulan data spasi rekahan alami di daerah penelitian pada setiap lokasi
pengukuran windows scanline dijelaskan dengan distribusi kumulatif power law
yang mempunyai nilai rata-rata koefisien korelasi yang tinggi, yaitu R2 0,90 – 0,99
pada granit yang menunjukkan bahwa data memiliki hubungan koefisien korelasi
yang cukup kuat. Distribusi kumulatif spasi tiap titik pengukuran windows scanline
mengikuti distribusi power law. Spasi rekahan alami pada setiap lokasi
menunjukkan data terdistribusi sepanjang garis dengan nilai dimensi fraktal (D) 1 –
1,42 pada granit. Spasi rekahan alami pada setiap lokasi menunjukkan data
terdistribusi sepanjang garis (lihat Lampiran A untuk kurva distribusi kumulatif
setiap lokasi pengukuran).
Distribusi nilai spasi rekahan alami disimpulkan bersifat fraktal berdasarkan
pernyataan dari Turcotte dkk (1995) bahwa kejadian bersifat fraktal dalam analisis
2D akan memiliki nilai dimensi fraktal dalam rentang 1 – 2.
Nilai kemiringan garis kurva yang menunjukan bahwa semakin kecil nilai
dimensi fraktal maka semakin landai kemiringan garis kurva yang menunjukkan
rentang data rekahan alami yang lebar. Sedangkan pada kemiringan garis kurva
yang semakin curam menunjukkan rentang data rekahan alami yang sempit.
Histogram distribusi semua spasi rekahan alami dapat dilihat pada Gambar IV.20
dan Gambar IV.21. Histogram nilai spasi rekahan alami pada batuan dasar granitik
menunjukkan sifat skewness positif akibat efek truncation pada data, yaitu jumlah
spasi rekahan yang bernilai kecil populasinya sangat banyak.

59
Histogram
2000
1800 2
1600 5
1400 8
1200
frekuensi

11
1000
14
800
600 17
400 20
200 23
0 More
spasi (cm)

Gambar IV. 22 Distribusi spasi semua rekahan alami pada setiap titik pengukuran
windows scan di batuan dasar granitik. Histogram menunjukkan
skewness positif akibat efek truncation pada data.

Histogram
2000
y = 5609x-1.632
1500 R² = 0.9641
frekuensi

1000
Series1

500 Power (Series1)

0
0 5 10 15 20 25
spasi (cm)

Gambar IV. 23 Distribusi kumulatif spasi rekahan pada granit.

60
Tabel IV. 4 Hasil statistik dari analisis distribusi kumulatif spasi rekahan secara
1D dan 2D pada batuan dasar granit.

D Rata-rata
Lokasi (Windows R2 spasi WS
Scan ) (cm)
1 1.8 0.94 6.68
2 1.7 0.91 4.73
3 1.9 0.9 2.48
4 1.6 9.6 6.1
5 1.8 0.89 12.3
6 1.9 0.95 6.4
7 1.3 0.85 8.3
8 1.9 0.85 2.14

IV.1.5.2. Analisis Bukaan Rekahan

Bukaan rekahan alami didefinisikan sebagai jarak tegak lurus diantara dua
permukaan. Nilai bukaan pada suatu rekahan biasanya memiliki nilai yang tidak
konstan akibat permukaan rekahan alami yang tidak halus. Beberapa peneliti
menggunakan istilah terbuka pada rekahan alami yang tidak terisi oleh mineral (Bai
dan Pollar, 2001). Berdasarkan data yang telah dikumpulkan pada batuan dasar
granitik, bukaan suatu rekahan alami dapat bernilai beberapa sentimeter. Pada
penelitian ini, nilai rata-rata bukaan rekahan alami pada granit ialah 0,04.
Berdasarkan grafik histogram pada Gambar IV.42, rekahan alami pada singkapan
granit memiliki nilai bukaan kecil yang lebih banyak dibandingkan yang besar.
Berdasarkan data dari pengukuran rekahan alami di singkapan, nilai bukaan
rekahan alami yang didominasi oleh nilai yang kecil. Meskipun nilai bukan rekahan
alami didominasi oleh nilai yang kecil, bukaan rekahan alami akan tetap mengikuti
pola distribusi power-law (Ortega dan Marrett, 2000).
Penelitian karakteristik rekahan alami pada batuan dasar di Pulau Sumatra
dilakukan secara windows scan. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan di
singkapan, rata-rata nilai bukaan rekahan alami di setiap lokasi pengukuran

61
windows scan pada granit ialah 0,02 – 0,109 cm. Rata-rata bukaan rekahan alami
secara statistik untuk setiap lokasi pengukuran yang dilakukan di granit ditampilkan
dalam Tabel IV.5. Ukuran bukaan rekahan alami yang bervariasi dikuantitatifkan
dalam distribusi power-law untuk setiap lokasi pengukuran (lihat Lampiran A).
Nilai dimensi fraktal (D) untuk bukaan rekahan alami di granit ialah 1 – 1,7

Histogram
2000
0.02
1500 0.06
frekuensi

1000 0.1
0.14
500
0.18
0
bukaan (cm) 0.22

Gambar IV. 24 Distribusi bukaan semua rekahan alami pada batuan dasar granitk.
Histogram menunjukkan skewness positif akibat efek truncation
pada data.

Histogram y = 1952x-1.977
3000 R² = 0.8815
frekuensi

2000

1000 Frequency
Power (Frequency)
0
0 2 4 6 8 10 12
bukaan (cm)

Gambar IV. 25 Distribusi kumulatif semua bukaan rekahan alami pada batuan dasar
granitik.

Berdasarkan analisis bukaan rekahan alami secara windows scan, nilai


dimensi fraktal (D) yang direpresentasikan oleh nilai kemiringan kurva
menunjukkan bahwa nilai bukaan rekahan alami bersifat fraktal, yaitu berada dalam

62
rentang 1 – 2 (Turcotte dkk, 1995). Terdapat beberapa perbedaan nilai dimensi
fraktal antara titik pengukuran rekahan, hal ini disebabkan bahwa nilai dimensi
fraktal dari rekahan sangat bergantung pada distribusi spasial (Barton, 1995) dan
distribusi spasial sangat dikontrol oleh beberapa faktor (Peacock dan Mann, 2005)
dan dalam penelitian ini distribusi rekahan alami dikontrol oleh jarak terhadap
sesar.

Tabel IV. 5 Hasil statistik dari analisis distribusi kumulatif bukaan rekahan secara
1D dan 2D pada batuan dasar granit.

D
Rata-rata
(Windo
Lokasi R2 bukaan
ws
WS (cm)
Scan )
1 1.59 1 0.02
2 1.06 0.96 0.026
3 1.93 0.94 0.02
4 1.9 0.89 0.03
5 1.94 0.86 0.03
6 1.93 0.97 0.026
7 1.95 0.85 0.7
8 1.96 0.86 0.5

IV.1.5.3. Analisis Panjang Rekahan

Panjang rekahan alami pada setiap lokasi pengukuran windows scan


menunjukkan data terdistribusi sepanjang garis dengan nilai dimensi fraktal (D)
11,4 untuk granit dengan nilai R2 0,92 – 0,96. Analisis distribusi power-law pada
setiap lokasi pengukuran memberikan gambaran bahwa setiap titik lokasi
pengukuran windows scan, data panjang rekahan alami mengikuti distribusi power-
law dengan koefisien korelasi yang tinggi (R2) (lihat Lampiran A). Berdasarkan
Turcotte dkk (1995), nilai panjang rekahan alami untuk setiap titik pengukuran
bersifat fraktal karena nilai dimensi fraktal masih berada dalam rentang 1 – 2.
Rangkuman hasil statistik untuk perhitungan panjang rekahan alami di setiap titik

63
pengukurna pada granit dapat dilihat pada Table IV.6. Histogram data hasil
pengukuran panjang dari seluruh lokasi digabungkan dan menunjukkan bahwa data
terdistribusi secara skewness positif akibat efek truncation pada data (Gambar
IV.46 dan Gambar IV.47).

Chart Title
900
18
800
26
700
600 34
frekuensi

500 42
400 50
300 58
200
66
100
74
0
Panjang (cm) 82

Gambar IV. 26 Histogram keseluruhan panjang rekahan alami dari semua titik
pengukuran pada batuan dasar granitik. Histogram menunjukkan
sifat skewness positif.

Histogram y = 2081.7x-1.953
3000 R² = 0.8936
frekuensi

2000

1000 Frequency

0 Power (Frequency)
0 5 10 15
panjang (cm)

Gambar IV. 27 Distribusi kumulatif semua panjang rekahan alami pada batuan
dasar granitik.

64
Tabel IV. 6 Hasil statistik dari analisis distribusi kumulatif panjang rekahan secara
1D dan 2D pada batuan dasar granit.

D
Rata-rata
(Windo
Lokasi R2 panjang
ws
WS (cm)
Scan )
1 1.59 0.86 18.34
2 1.49 0.85 20.68
3 1.93 0.88 10.6
4 1.91 0.92 13.19
5 1.55 0.89 24.27
6 1.67 0.87 21.55
7 1.7 0.89 13.84
8 1.6 0.97 9.7

IV.2. Estimasi Porositas dan Permeabiltas

Permeabilitas pertama kali diteliti oleh Henry Darcy (1856) dalam Aguilera
(1980), kemudian mendefinisikannya sebagai nilai yang menunjukkan kemampuan
suatu batuan untuk mengalirkan fluida, yang lebih dikenal sebagai Hukum Darcy.
Laubach (2003) menjelaskan bahwa permeabilitas sebanding dengan pangkat tiga
dari bukaan rekahan. Permeabilitas rekahan juga tergantung pada panjang dan
saling berhubungan secara lateral terhadap porositas rekahan. Tegasan hari ini
dipandang secara luas sangat efektif sebagai pengontrol utama dalam bukaan
rekahan dan menutupnya rekahan (Barton dkk, 1995).
Rekahan alami pada batuan dasar dapat menjadi salah satu kontrol dalam
memberikan porositas dan permeabilitas pada batuan itu sendiri sebagai batuan
dasar reservoir. Permeabilitas dan porositas rekahan alami dalam penelitian ini
merupakan bukaan dari rekahan. Hubungan antara rekahan akan sangat
memberikan mempengaruhi nilai permeabilitas. Estimasi nilai permeabilitas dalam
penelitian ini menggunakan persamaan Lucia (1983) dan Aguilera (1980).

65
Perhitungan nilai porositas dilakukan dengan menggunakan persamaan Lucia
(1983).
Lucia (1983) melakukan analisis hubungan antara permeabilitas dengan
porositas dari rekahan pada batuan karbonat. Atribut rekahan alami yang digunakan
adalah bukaan rekahan (W) dalam satuan cm dan spasi rekahan (Z) dalam satuan
cm. Persamaan porositas (Фf) dalam satuan % adalah:

Фf = W/Z x 100 (VI.3)

Dari persamaan (1) untuk estimasi nilai permeabilitas rekahan alami, jika dari
salah satu atribut rekahan alami, dengan bukaan rekahan alami 0,075 cm dan spasi
rekahan alami 4,6 cm, maka nilai estimasi permeabilitas rekahan alami dari
persamaan tersebut dapat dihitung menjadi:

Kf = 84,4 x 105 W3/Z

Kf = 84,4 x 105 (0,075)3/4,6 = 774,04 darcy

Hasil perhitungan dengan persamaan (1) menunjukkan nilai estimasi


permeabilitas rekahan alami di seluruh lokasi penelitian antara 48,06 – 775,04
darcy. Estimasi porositas rekahan alami dari persamaan (2), dari salah satu lokasi
pengukuran atribut rekahan alami diperoleh sebagai berikut:

Фf = W/Z x 100 = 0,075/4,6 x 100 = 1,63 %

Hasil perhitungan dengan persamaan (2) menunjukkan nilai estimasi


porositas rekahan alami di seluruh lokasi penelitian antara 0,52 – 1,63 %.
Aguilera (1995) mendefinisikan permeabilitas sebagai property dari media
berpori dan ukuran kapasitas media untuk mengirimkan cairan. Batuan reservoir
dapat memiliki permeabilitas primer dan sekunder. Permeabilitas primer juga
disebut sebagai permeabilitas matriks. Permeabilitas sekunder dapat berupa
rekahan terbuka dan rongga pada batuan. Untuk menghitung nilai permeabilitas
rekahan, digunakan metode Match Sticks dan Cubes dengan persamaan:

66
Cubes, K2 = 2/3 (Kf x W2/D) (VI.4)

Match Sticks, K2 = ½ x (Kf x W2/D) (VI.5)

Nilai estimasi total permeabilitas dari persamaan permeabilitas (K2) dengan D


merupakan spasi rekahan dan W adalah bukaan rekahan. Sedangkan nilai Kf
diperoleh dari perhitungan persamaan:

Kf = 8,35 x 106 W2 (VI.6)

Dari persamaan (5), jika bukaan rekahan adalah 0,075 cm, nilai Kf dapat
dihitung menggunakan persamaan tersebut menjadi:

Kf = 8,35 x 106 (0,075)2 = 46968,75 darcy.

Dari nilai hasil perhitungan persamaan (5) dapat dilakukan perhitungan


terhadap persamaan (3) dan (4). Jika spasi rekahan alami adalah 4,6 cm dan bukaan
rekahan alami 0,075 cm, maka nilai permeabilitas rekahan alami dalam salah satu
lokasi penelitian dapat diperhitungkan sebagai berikut:

Cubes, K2 = 2/3 (Kf x W2/D) = 2/3 (46968,75 x (0,075)2/4,6) = 810,21 darcy.

Match Sticks = ½ x (Kf x W2/D) = ½ x (46968,75 x (0,075)2/4,6) = 607,65 darcy.

Hasil perhitungan dengan persamaan (3) metode Cubes menunjukkan nilai


estimasi permeabilitas rekahan alami di seluruh lokasi penelitian antara 21,19 –
810,21 darcy. Persamaan (4) metode Match Sticks menunjukkan nilai estimasi
permeabilitas rekahan alami di seluruh lokasi penelitian antara 15,89 – 607,65
darcy.
Ringkasan hasil statistik perhitungan permeabilitas dan porositas rekahan
alami di seluruh lokasi penelitian di tunjukkan dalam Tabel IV.9. Sedangkan
distribusi permeabilitas dan porositas rekahan alami di tunjukkan dalam Gambar

67
Tabel IV. 7 Estimasi nilai permeabilitas dan porositas untuk setiap lokasi
pengukuran di batuan dasar granitic.
Porositas
Permeabilitas Rekahan Alami
Rata- rata Rekahan
Rata- rata (darcy)
Lokasi Spasi alami kf (darcy)
Bukaan (inch)
(inch)
Cubes (md) Match Sticks (md) Lucia (%)
1 2.55906 0.012598432 35.43958365 26.57968774 0.49% 8570.906
2 1.73622 0.011023628 30.61932344 22.96449258 0.63% 6562.1
3 1.59449 0.008661422 12.70684565 9.530134237 0.54% 4051.092
4 2.16654 0.01181103 32.33609414 24.2520706 0.55% 7533.023
5 4.7126 0.01181103 14.86595873 11.14946905 0.25% 7533.023
6 2.36221 0.010236226 16.73185899 12.54889425 0.43% 5658.137
7 3.02362 0.030314977 1005.55015 754.1626125 1.00% 49625.88
8 0.98425 0.01968505 549.2145866 411.9109399 2.00% 20925.06

Estimasi nilai permeabilitas dan porositas rekahan alami dari persamaan


tersebut dimasukkan dalam grafik silang linear yang menunjukkan nilai koefisien
korelasi R2 0,69 pada daerah penelitian batuan dasar granit.

Gambar IV. 28 Estimasi nilai permeabilitas menggunakan metode Cubes pada


daerah penelitian batuan dasar granitik.

68
Gambar IV. 29 Estimasi nilai permeabilitas menggunakan metode Match Sticks,
pada daerah penelitian batuan dasar granitik.

Gambar IV. 30 Estimasi nilai porositas menggunakan metode Lucia pada daerah
penelitian batuan dasar granitik.

69
Chart Title y = 0.0018x0.3052
R² = 0.6998
2.50%

2.00%

1.50%

1.00%

0.50%

0.00%
0 200 400 600 800 1000 1200

Gambar IV. 31 Hubungan nilai estimasi permeabilitas metode Cubes (1995)


dengan porositas metode Lucia (1983) pada batuan dasar granitik.

y = 0.002x0.3052
Chart Title R² = 0.6998
2.50%

2.00%

1.50%

1.00%

0.50%

0.00%
0 100 200 300 400 500 600 700 800

Gambar IV. 32 Hubungan nilai estimasi permeabilitas metode Match Sticks (1995)
dengan porositas metode Lucia (1983) pada batuan dasar granitik.

70
Model yang digunakan dalam perhitungan nilai permeabilitas dan porositas
sangat sederhana. Hubungan antara rekahan dalam perhitungan ini diabaikan,
begitupun dengan kehadiran rekahan – rekahan yang berukuran kecil. Nilai
permebilitas dan porositas dari batuan dasar pada daerah penelitian dapat bernilai
lebih besar jika hubungan antara rekahan dan kehadiran rekahan – rekahan yang
berukuran kecil diperhitungkan.

Gambar IV. 33 Model yang digunakan dalam metode Lucia (1983) yang dalam
perhitungan nilai permeabilitas dan porositas (Lucia, 1983).

Hubungan nilai estimasi permeabilitas dengan bukaan rekahan alami


menunjukkan hubungan eksponensial yang kuat dengan nilai koefisien korelasi R2
pada daerah penelitian batuan dasar granitik ialah 0,92. Hubungan permeabilitas
dengan bukaan rekahan alami ditampilkan dalam Gambar

(a) y = 2E+09x3.9877 (b) y = 1E+09x3.9877


R² = 0.9235 R² = 0.9235
1500 1200
1000
1000 800
600
500 400
200
0 0
0 0.01 0.02 0.03 0.04 0 0.01 0.02 0.03 0.04

Gambar IV. 34 Hubungan nilai estimasi permeabilitas rekahan alami dengan


bukaan rekahan alami pada daerah penelitian batuan dasar granitik.
(a) Hubungan antara nilai permeabilitas metode Cubes dan bukaan
rekahan, (b) nilai permeabilitas metode Match Sticks dan bukaan

71
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

72
DAFTAR PUSTAKA

Aguilera, R. 1980. Naturally Fractured Reservoirs. Tulsa, Okla.: Petroleum


Publishing Company.

Bai, T., Pollard, D. D. 2001. Getting more for less: The Unusual Efficiency of Fluid
Flow in Fractures. Geophysical research letters, 28(1), 65-68.
Barber, A.J., M.J. Crow & J.S. Milsom. 2005, Sumatra: Geology, Resources and
Tectonic Evolution. Geol Soc., London, Mem. 31.
Bemmelen, R.W. van., 1949. The Geology of Indonesia, Vol. 1 A, Government
Printing Office, The Hauge.

Barton, C. A., Zoback, M. D., Moos, D. 1995. Fluid Flow Along Potentially Active
Faults in Crystalline Rock. Geology, 23(8), 683-686.

Bonnet, E., Bour, O., Odling, N. E., Davy, P., Main, I., Cowie, P., Berkowitz, B.
2001. Scaling of Fracture Systems in Geological Media. Reviews of
Geophysics, 39(3), 347-383.

Caine, J. S., Evans, J. P., Forster, C. B. 1996. Fault Zone Architecture and
Permeability Structure. Geology, 24(11), 1025-1028.

Davis, G. H., Reynolds, S. J., Kluth, C. F. 2012. Structural Geology of Rocks and
Regions. 3nd edition. Wiley.

Fossen, H. 2016. Structural geology. Cambridge University Press.

Fossen, H., Johansen, T. E. S., Hesthammer, J., Rotevatn, A. 2005. Fault


Interaction in Porous Sandstone and Implications for Reservoir
Management; Examples from Southern Utah. AAPG bulletin, 89(12), 1593-
1606.
Hastuti, S., Sukandarrumidi, dan Pramumijoyo, S. (2001) Kendali Tektonik
terhadap Perkembangan Cekungan Ekonomi Tersier Ombilin, Sumatra
Barat. Teknosains, 14(1), 1-12.
Koesoemadinata, R.P., and Matasak, Th. (1981) Stratigraphy and Sedimentation
Ombilin Basin Central Sumatra (West Sumatra Province). Proceedings
Indonesian Petroleum Association 10th Annual Convention, 217-249.
73
Koning, T., October 1985. “Petroleum Geology of the Ombilin Intermontane
Basin, West Sumatra”.

Landes, K. K., Amoruso, J. J., Charlesworth Jr, L. J., Heany, F., Lesperance, P. J.
1960. Petroleum Resources in Basement Rocks. AAPG Bulletin, 44(10),
1682-1691.

Laubach, S. E. 2003. Practical Approaches to Identifying Sealed and Open


Fractures. AAPG bulletin, 87(4), 561-579.

Laubach, S. E., Ward, M. E. 2006. Diagenesis in Porosity Evolution of Opening-


Mode Fractures, Middle Triassic to Lower Jurassic La Boca formation, NE
Mexico. Tectonophysics, 419(1), 75-97.

Lucia, F. J. 1983. Petrophysical Parameters Estimated from Visual Descriptions of


Carbonate Rocks: A Field Classification of Carbonate Pore Space. Journal
of Petroleum Technology, 35(03), 629-637.
Mauldon, M., Dunne, W.M., Rohrbaugh, M.B., 2001. Circular scanlines and
circular windows: new tools for characterizing the geometry of fracture
traces. J. Struct.Geol. 23, 247e258.
Mandelbrot, B. B. 1977. Fractals. John Wiley & Sons, Inc..

Mandelbrot, B. B. 1983. The Fractal Geometry of Nature/Revised and Enlarged


Edition. New York, WH Freeman and Co., 1983, 495 p.

Nelson, R. 2001. Geologic Analysis of Naturally Fractured Reservoirs. Gulf


Professional Publishing.

Noeradi, D., Djuhaeni, Simanjutak, B. (2005). Rift Play in Ombilin Basin Outcrop,
West Sumatra.

Ortega, O. J., Marrett, R. A., Laubach, S. E. 2006. A Scale-Independent Approach


to Fracture Intensity and Average Spacing Measurement. AAPG
bulletin, 90(2), 193-208.

Ortega, O., Marrett, R. 2000. Prediction of Macrofracture Properties Using


Microfracture Information, Mesaverde Group sandstones, San Juan basin,
New Mexico. Journal of Structural Geology, 22(5), 571-588.

74
P'an, C. H. 1982. Petroleum in Basement Rocks. AAPG Bulletin, 66(10), 1597-
1643.

Parker, S. P. (Ed.). 1997. McGraw-Hill Dictionary of Geology and Mineralogy.


McGraw-Hill Companies.
Peacock, D. C. P., Mann, A. 2005. Evaluation of the Controls on Kekaring in
Reservoir Rocks. Journal of Petroleum Geology, 28(4), 385-396.

Petford, N., McCaffrey, K. 2003. Hydrocarbons in Crystalline Rocks: An


Introduction. Geological Society, London, Special Publications, 214(1), 1-5.
Pahl, P.J., 1981. Estimating the mean length of discontinuity traces. Int. J. Rock
Mech. Min. Sci. Geomech. Abstr. 18, 221e228.
Priest, S. D. 1993. Discontinuity Analysis for Rock EngineeringChapman and
Hall. New York, NY (473pp.).
Priest, S.D., Hudson, J.A., 1981. Estimation of discontinuity spacing and trace
length using scanline surveys. Int. J. Rock Mech. Min. Sci. Geomech. Abstr.
18, 183e197.
Rohrbaugh Jr. M B, W. M. Dunne, and M. Mauldon (2002) : Estimating fracture
trace intensity, density, and mean length using circular scan lines and
windows
Santos, R. F., Miranda, T. S., Barbosa, J. A., Gomes, I. F., Matos, G. C., Gale, J. F.,
Virginio, H. L. M., Neumann., Guimarães, L. J. 2015. Characterization of
Natural Fracture Systems: Analysis of Uncertainty Effects in Linear Scanline
Results. AAPG Bulletin, 99(12), 2203-2219.

Sapiie, B. 1998. Strike-slip Faulting, Breccia Formation and Porphyry Cu-Au


Mineralization in the Gunung Bijih (Ertsberg) Mining District. Irian Jaya,
Indonesia [Ph. D. thesis]: Austin, University of Texas, 4.

Sircar, A. 2004. Hydrocarbon Production from Fractured Basement Formations.


Current Science, 87(2), 147-151.
Situmorang, B., Yulihanto, B., Guntur, A., Himawan, R., Jacob, T.G. (1991)
Structural Development of the Ombilin Basin West Sumatra. Proceedings
of the 20th Annual Convention Indonesian Petroleum Association, 1-15.
Swanson, M.T., 1991. Fault structure, wear mechanisms and rupture processes in
pseudotachylyte generation.

75
Turcotte, D. L. 1997. Fractals and Chaos in Geology and Geophysics. Cambridge
University Press.

Velde, B., Dubois, J., Touchard, G., Badri, A. 1990. Fractal Analysis of Fractures
in Rocks: The Cantor's Dust Method. Tectonophysics, 179(3-4), 345-352.
Watkins, H., Bond, C.E., Butler, R.W.H., 2014. Identifying multiple detachment
horizons and an evolving thrust history through cross-section restoration
and appraisal in the Moine Thrust Belt, NW Scotland. J. Struct. Geol. 66,
1e10.

Wu, H., Pollard, D.D., 1995. An experimental study of the relationship between
joint spacing and layer thickness. J. Struct. Geol. 17, 887e905.

Yarmanto dan Fletcher, G. (1993). Field Trip Guide Book. Indonesian Petroleum
Association, Post Convention Field Trip, Ombilin Basin, West Sumatra.

Yeni, Y.F. (2011). Perkembangan Sedimentasi Formasi Brani, Formasi Sawahlunto


dan Formasi Ombilin ditinjau dari Provenance dan Komposisi Batupasir
Cekungan Ombilin. Proceeding JCM Makassar. The 36th HAGI and 40th
IAGI Annual Convention and Exhebition.

Zeeb, C., Gomez-Rivas, E., Bons, P. D., Blum, P. 2013. Evaluation of Sampling
Methods for Fracture Network Characterization Using Outcrops. AAPG
bulletin, 97(9), 1545-1566.

76
LAMPIRAN

77
Lampiran A Grafik distribusi spasi rekahan alami pada batuan dasar
granitik yang terdistribusi secara power law.

78
Lampiran B Grafik distribusi panjang rekahan alami pada batuan dasar granitik
yang terdistribusi secara power law.

79
Lampiran C Grafik distribusi bukaan rekahan alami pada batuan dasar granitik
yang terdistribusi secara power law.

80
Lampiran D Analisis sifat fraktal untuk panjang rekahan pada batuan dasar granitik
dilakukan dengan membuat kelas frekuensi. Distribusi frekuensi tiap
kelas kemudian diplot dalam grafik log-log dengan kelas sebagai
sumbu-x dan frekuensi sebagai sumbu-y.

Bin Frequency Bin Frequency Bin Frequency Bin Frequency


10 102 10 136 10 355 10 268
18 61 18 83 18 104 18 127
26 53 26 73 26 36 26 59
34 35 34 41 34 33 34 34
42 21 42 20 42 5 42
50 50 6 50 50 10
58 58 58 58
66 6 66 7 66 66 3
74 74 74 74
82 82 82 82
More 2 More 7 More 5 More 6
Bin Frequency Bin Frequency Bin Frequency Bin Frequency
10 58 10 158 10 180 10 188
18 26 18 71 18 149 18 112
26 16 26 65 26 52 26
34 14 34 58 34 21 34
42 42 42 8 42
50 2 50 50 50
58 58 58
66 66 4 66 66
74 74 74
82 82 82
More 2 More 4 More 5 More 4

81
Lampiran E Analisis sifat fraktal untuk panjang rekahan pada batuan dasar granitik
dilakukan dengan membuat kelas frekuensi. Distribusi frekuensi tiap
kelas kemudian diplot dalam grafik log-log dengan kelas sebagai
sumbu-x dan frekuensi sebagai sumbu-y.

Bin Frequency Bin Frequency Bin Frequency Bin Frequency


2 132 2 231 2 416 2 283
5 67 5 74 5 79 5 83
8 28 8 13 8 8 36
11 18 11 11 11 11 37
14 6 14 14 7 14
17 5 17 11 17 17 18
20 5 20 9 20 6 20 8
23 23 4 23 4 23
More More More 10 More
Bin Frequency Bin Frequency Bin Frequency Bin Frequency
2 62 2 270 2 169 2 278
5 16 5 39 5 103 5 8
8 12 8 22 8 41 8
11 12 11 9 11 30 11 6
14 2 14 14 20 14
17 2 17 8 17 14 17 4
20 2 20 6 20 30 20 2
23 23 23 6 23 2
More More More More 2

82
Lampiran F Analisis sifat fraktal untuk bukaan rekahan pada batuan dasar granitik
dilakukan dengan membuat kelas frekuensi. Distribusi frekuensi tiap
kelas kemudian diplot dalam grafik log-log dengan kelas sebagai
sumbu-x dan frekuensi sebagai sumbu-y.

Bin Frequency Bin Frequency


0.02 185 0.02 202
0.06 100 0.06 161 Bin Frequency Bin Frequency
0.1 0.1 0.02 520 0.02 241
0.14 0.14 0.06 50 0.06 266
0.18 0.18 0.1 0.1
0.22 0.22 0.14 0.14
0.26 0.26 0.18 0.18
0.3 0.3 0.22 0.22
0.34 0.34 0.26 0.26
0.38 0.38 0.3 0.3
More More 18 More 6 More 5
Bin Frequency Bin Frequency Bin Frequency Bin Frequency
0.02 50 0.02 240 0.02 0.02
0.06 68 0.06 123 0.06 365 0.06 290
0.1 0.1 0.1 50 0.1 40
0.14 0.14 0.14 0.14
0.18 0.18 0.18 0.18
0.22 0.22 0.22 0.22
0.26 0.26 0.26 0.26
0.3 0.3 0.3 0.3
More 1 More 4 More 14 More 11

83
84

Anda mungkin juga menyukai