SKRIPSI
Oleh:
ALWIN DANIEL SIMANJUNTAK
072001500009
FINAL ASSESMENT
Submitted as a requirement to obtain Undergraduate in study
program of Geology, Faculty of Earth Technology and Energy
By
ALWIN DANIEL SIMANJUNTAK
072001500009
Oleh:
Alwin Daniel Simanjuntak
072001500009
Mengetahui,
Mengetahui,
Ketua Program Studi Sarjana Teknik Geologi
i
LEMBAR PERSETUJUAN
Skripsi yang berjudul “”, telah dipertahankan di depan tim penguji pada hari
…............. tanggal …...................…...
TIM PENGUJI
1. (Nama Ketua Penguji) Ketua Penguji (............................)
Mengetahui,
Ketua Program Studi Sarjana Teknik Geologi
NIK......................................
ii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non
ekslusif ini Universitas Trisakti berhak menyimpan, mengalih media/ formatkan,
mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan menyebarkan
skripsi saya sesuai aturan, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Tempat, (tanggal/bulan/thn)
Mater
ai
Rp
6000-,
Alwin Daniel Simanjutak
iii
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS
Nim : 072001500009
Adalah benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bebas dari peniruan
terhadap karya dari orang lain. Kutipan pendapat dan tulisan orang lain ditunjuk
sesuai dengan cara-cara penulisan karya ilmiah yang berlaku.
Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa dalam skripsi
ini terkandung ciri-ciri plagiat dan bentuk-bentuk peniruan lain yang dianggap
melanggar peraturan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Tempat, (tanggal/bulan/thn)
Mater
ai
Rp
6000-,
Alwin Daniel Simanjutak
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan yang maha Esa atas berkat karunia dan
rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan
judul "KARAKTERISTIK REKAHAN ALAMI PADA BATUAN DASAR
GRANITIK MENGGUNAKAN METODE SCANLINE DAN WINDOWS
SCAN, DAERAH SILOKEK, SUMATRA BARAT". Karya ini disusun untuk
memenuhi salah satu syarat penyusunan skripsi di jurusan teknik geologi,
universitas trisakti.
Penulis berterima kasih kepada semua pihak yang memberikan kontribusi
dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini. kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Fajar Hendrasto, Dip.Geoth.Tech., M.T. sebagai ketua program
studi Teknik Geologi yang telah mencurahkan segenap perhatian dan
pemikiran untuk kemajuan jurusan teknik geologi universitas trisakti.
2. Bapak Dr. Ir. M. Burhannudinnur, MSc sebagai Pembimbing Utama , yang
telah membantu penulis dalam proses penyusunan proposal skripsi ini.
3. Bapak Wildan, sebagai Pembimbing yang telah memberikan arahan kepada
penulis dalam penyusunan proposal ini.
4. seluruh dosen dan pengurus laboratorium yang telah memberikan ilmu dan
pendidikan yang berharga pada penulis.
5. Staf administrasi yang telah membantu dalam merampungkan proposal ini .
6. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada abang-abang dan kaka-
kaka himpunan mahasiswa teknik geologi universitas trisakti serta teman-
teman seperjuangan teknik geologi 2015 tercinta, atas susah-senang, canda-
tawa dan persaudaraan yang terjalin selama ini yang telah banyak membantu
penulis untuk memperoleh data dan proposal ilmiah ini.
7. Akhirnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua, papa
dan mama, beseerta keluarga besar simanjuntak dan batubara yang telah tidak
henti-hentinya memberikan semangat, doa kepada penulis dalam penulisan
karya tulis ini.
Dalam penyusunan laporan ini penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu. Terselesaikannya
laporan ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak kekurangan baik yang tidak
v
disadari oleh penulis, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk menjadi lebih baik. Semoga terselesaikannya laporan ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.
vi
ABSTRAK
vii
ABSTRACT
viii
DAFTAR ISI
ix
III.2. Pemilihan lokasi pengambilan data sampel ..............................................35
III.3. Orientasi ....................................................................................................36
III.4. Distribusi rekahan .....................................................................................36
III.5. Panjang rekahan ........................................................................................36
III.6. Bukaan ......................................................................................................37
III.7. Intensitas rekahan ......................................................................................38
III.8. Metode daerah penelitian ..........................................................................39
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................42
IV.1. Analisis data rekahan alami ......................................................................42
IV.1.1. Rekahan pada Batuan Dasar Granit ...................................................42
IV.1.2. Interpretasi Sesar dan analisis kinematik Sesar .................................52
IV.1.3. Distribusi Intensitas Rekahan Alami .................................................54
IV.1.4. Distribusi Densitas Rekahan Alami ...................................................57
IV.1.5. Analisis sifat fraktal rekahan .............................................................59
IV.2. Estimasi Porositas dan Permeabiltas.........................................................65
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................72
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................73
LAMPIRAN ...........................................................................................................77
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar I. 1 . Lokasi penelitian rekahan Alami (kotak hitam) pada singkapan batuan
dasar menggunakan data SRTM .........................................................2
xi
Gambar III. 6 pengamatan data bukaan di lapangan ............................................. 38
Gambar III. 7 Diagram alir penelitian ................................................................... 39
Gambar III. 8 Sketsa pencatatan dan observasi alam metode scanline. A-B adalah
garis scanline. T adalah tebal atau bukaan rekahan alami, h adalah
tinggi atau panjang pengamatann terhadap garis scanline (dibatasi
satu meter), l adalah panjang garis scanline dan L adalah panjang
rekahan alami (Sapiie, 1998) ......................................................... 41
Gambar III. 9 observasi rekahan alami metode scanline dan windows scan. ....... 41
xii
Gambar IV. 8 Lokasi singkapan 8 pengukuran scanline, foto singkapan windows
scan beserta diagram mawar dan stereonet dari orientasi rekahan alami.
................................................................................................................ 48
Gambar IV. 9 Lokasi pengukuran scanline dan windows scan pada granit dan
diagram bunga mawar dari orientasi rekahan alami pada setiap lokasi
pengukuran. ............................................................................................ 49
Gambar IV. 10 Diagram stereonet rekahan alami pada semua lokasi pengukuran.
................................................................................................................ 50
Gambar IV. 11 Distribusi semua jurus rekahan alami di granit. ........................... 50
Gambar IV. 12 Distribusi semua kemiringan rekahan alami di granit. ................ 50
Gambar IV. 13 Distribusi semua jurus dan kemiringan rekahan alami di granit. . 51
Gambar IV. 14 Distribusi tipe rekahan alami batuan dasar di granit. ................... 51
Gambar IV. 15 Diagram stereonet dan diagram mawar kekar pada semua lokasi
pengukuran scanline dan windows scan granit. ..................................... 52
Gambar IV. 16 Diagram stereonet dan diagram mawar rekahan gerus pada semua
lokasi pengukuran scanline dan windows scan granit. .......................... 52
Gambar IV. 17 Peta DOM yang diperoleh dari pengamatan drone. Terdapat
kelurusan berarah N 230o E (garis merah putus-putus)......................... 53
Gambar IV. 18 Analisis kinematik sesar pada daerah penelitian batuan dasar
granitik. Sesar pada daerah penelitian berorientasi N 230o E.Distribusi
Intensitas Rekahan Alami ...................................................................... 54
Gambar IV. 19 Hubungan spasi rata-rata rekahan alami terhadap intensitas rekahan
alami granit. .......................................................................................... 55
Gambar IV. 20 Distribusi intensitas rekahan alami batuan dasar di lokasi
pengukuran scanline di granit ................................................................ 55
Gambar IV. 21 Peta distribusi densitas rekahan alami pada batuan dasar granit. 58
Gambar IV. 22 Distribusi spasi semua rekahan alami pada setiap titik pengukuran
windows scan di batuan dasar granitik. Histogram menunjukkan skewness
positif akibat efek truncation pada data. ................................................ 60
Gambar IV. 23 Distribusi kumulatif spasi rekahan pada granit. ........................... 60
xiii
Gambar IV. 24 Distribusi bukaan semua rekahan alami pada batuan dasar granitk.
Histogram menunjukkan skewness positif akibat efek truncation pada
data. ........................................................................................................ 62
Gambar IV. 25 Distribusi kumulatif semua bukaan rekahan alami pada batuan dasar
granitik. .................................................................................................. 62
Gambar IV. 26 Histogram keseluruhan panjang rekahan alami dari semua titik
pengukuran pada batuan dasar granitik. Histogram menunjukkan sifat
skewness positif. .................................................................................... 64
Gambar IV. 27 Distribusi kumulatif semua panjang rekahan alami pada batuan
dasar granitik. ......................................................................................... 64
Gambar IV. 28 Estimasi nilai permeabilitas menggunakan metode Cubes pada
daerah penelitian batuan dasar granitik. ................................................. 68
Gambar IV. 29 Estimasi nilai permeabilitas menggunakan metode Match Sticks,
pada daerah penelitian batuan dasar granitik. ........................................ 69
Gambar IV. 30 Estimasi nilai porositas menggunakan metode Lucia pada daerah
penelitian batuan dasar granitik. ............................................................ 69
Gambar IV. 31 Hubungan nilai estimasi permeabilitas metode Cubes (1995)
dengan porositas metode Lucia (1983) pada batuan dasar granitik. ...... 70
Gambar IV. 32 Hubungan nilai estimasi permeabilitas metode Match Sticks (1995)
dengan porositas metode Lucia (1983) pada batuan dasar granitik. ...... 70
Gambar IV. 33 Model yang digunakan dalam metode Lucia (1983) yang dalam
perhitungan nilai permeabilitas dan porositas (Lucia, 1983). ................ 71
Gambar IV. 34 Hubungan nilai estimasi permeabilitas rekahan alami dengan
bukaan rekahan alami pada daerah penelitian batuan dasar granitik. (a)
Hubungan antara nilai permeabilitas metode Cubes dan bukaan rekahan,
(b) nilai permeabilitas metode Match Sticks dan bukaan ...................... 71
xiv
DAFTAR TABEL
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran A Grafik distribusi spasi rekahan alami pada batuan dasar granitik yang
terdistribusi secara power law.......................................................... 78
Lampiran B Grafik distribusi panjang rekahan alami pada batuan dasar granitik
yang terdistribusi secara power law. ................................................ 79
Lampiran C Grafik distribusi bukaan rekahan alami pada batuan dasar granitik
yang terdistribusi secara power law. ................................................ 80
Lampiran D Analisis sifat fraktal untuk panjang rekahan pada batuan dasar granitik
dilakukan dengan membuat kelas frekuensi. Distribusi frekuensi tiap
kelas kemudian diplot dalam grafik log-log dengan kelas sebagai
sumbu-x dan frekuensi sebagai sumbu-y. ........................................ 81
Lampiran E Analisis sifat fraktal untuk panjang rekahan pada batuan dasar granitik
dilakukan dengan membuat kelas frekuensi. Distribusi frekuensi tiap
kelas kemudian diplot dalam grafik log-log dengan kelas sebagai
sumbu-x dan frekuensi sebagai sumbu-y. ........................................ 82
Lampiran F Analisis sifat fraktal untuk bukaan rekahan pada batuan dasar granitik
dilakukan dengan membuat kelas frekuensi. Distribusi frekuensi tiap
kelas kemudian diplot dalam grafik log-log dengan kelas sebagai
sumbu-x dan frekuensi sebagai sumbu-y. ........................................ 83
xvi
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
cm Sentimeter 15
DOM Digital Outcrop Modeling 3
FDZ Fault Damage Zone 5
GPS Global Positioning System 41
m meter 13
mD milidarcy 66
mm Milimeter 44
SRTM Shuttle Radar Topography 2
Mission
LAMBANG
A Luas area 56
c Dimensi fraktal 29
I Intensitas 2D 56
k Konstanta 14
Kf Nilai permeabilitas 64
N Area windows scan 57
p Densitas rekahan alami 56
R2 Koefisien korelasi 59
W Bukaan rekahan 42
𝑥 karakteristik rekahan 42
𝑦 (𝑥) Distribusi rekahan 13
Z Spasi rekahan 64
% Persentase 14
𝜎 Sigma 31
𝜃 Koefisien sudut 21
xvii
0
Derajat 44
∑𝑙 Jumlah keseluruhan panjang 56
rekahan alami
Фf Persamaan porositas
64
xviii
BAB I PENDAHULUAN
1
Batuan pra-Tersier menjadi batuan dasar Cekungan Ombilin, dan tersingkap di
sekeliling sedimen Tersier. Struktur kompleks yang membentuk cekungan ombilin
mengakibatkan berkembangknya secara signifikan keragaman distribusi intensitas
rekahan alami batuan dasar tersebut, hal ini membuat peneliti melakukan penelitian
pada daerah tersebut.
2
3. Berapa besar nilai permeabilitas, intensitas, porositas dan porositas yang
dibentuk oleh rekahan alami.
3
I.5. Manfaat Penelitian
4
Sifat skala populasi rekahan
pada prinsipnya ditentukan
secara kuantitatif dengan
3 E. Bonnet ,O 2001 metode dikembangkan dalam
disiplin ilmu lain untuk
menggambarkan geometris
sifat-sifat sistem nonlinear.
Patahan Pseudotachylyte yang
dihasilkan oleh patahan yang
ditemukan dalam batuan induk
cataclastic dan mylonitic yang
4 Mark T. Swanson 1991 menunjukkan bahwa
perpindahan katastropik telah
terjadi pada berbagai
kedalaman di zona
paleoseismogenik.
Eksplorasi pada batuan dasar
memerlukan pemahaman
mengenai karakteristik rekahan
seperti orientasi, sifat fraktal
dari atribut rekahan, distribusi
intensitas, distribusi densitas
pada Fault Damage Zone
5 Abdulhaq kamil hadi 2017
(FDZ) dan faktor yang
mengontrolnya. Salah satu
metode yang dapat dipakai
untuk memahami karakteristik
rekahan ialah dengan metode
linear scanline dan windows
scanline
protokol karakterisasi rekahan
yang mengurangi sampel bias
yang cenderung menghasilkan
kualitas input yang lebih tinggi
6 M. B. Rohrbaugh Jr Jun-05
untuk keputusan eksplorasi dan
pengembangan ketika
berhadapan dengan reservoir
rekah alam.
Karakterisasi rekahan pada
singkapan untuk digunakan
sebagai analog dengan
reservoir yang retak dapat
7 Hannah Watkins 2014 menggunakan beberapa
metode.
Empat metode pengumpulan
data patah tulang yang penting
adalah pengambilan sampel
5
linear scanline, pengambilan
sampel areal, jendela
pengambilan sampel dan
pengambilan sampel pindaian
melingkar.
Singkapan memberikan
informasi yang berharga untuk
karakterisasi rekahan. Metode
Sampling seperti scanline
sampling, jendela sampling,
dan
melingkar scanline dan jendela
metode yang tersedia untuk
8 Conny Zeeb 2012
mengukur karakteristik patahan
pada singkapan dan dari core
dengan baik. Metode ini
bervariasi dalam aplikasi
mereka, parameter yang
mereka berikan dan, karena itu,
memiliki kelebihan dan
keterbatasan.
patahan basement dapat
mengganggu di permukaan,
9 C. W. Passchier 2005 dalam hal mekanisme
deformasi dan evolusi reologi
dari zona patahan detasemen.
Patahan basement dapat dilepas
di permukaan, dalam hal
Christopher A. J.
10 2005 mekanisme deformasi dan
Wibberley
evolusi reologi dari zona sesar
detasemen.
Metode scanline linear
merupakan metode cepat untuk
merekam berbagai atribut
rekahan. Metode ini melibatkan
peletakan alat bantu (tali/pita)
11 Stephen d. priest 1993
pada singkapan dan
pengukuran (termasuk
orientasi, panjang, bukaan,
intensitas, rekahan terisi dan
jarak)
6
Windows scanline
pengambilan sampel
mengurangi orientasi yang
menyimpang, dibandingkan
dengan pengambilan sampel
12 P.J. Pahl 1981
scanline linear, karena semua
patahan di daerah tersebut
diukur, dan memungkinkan
untuk estimasi sederhana
berarti jejak panjang
metode yang paling umum
untuk cepat menganalisis fitur
fraktur adalah teknik scanline,
13 Rafael F. V. C. Santos 2014
yang memberikan perkiraan
kepadatan
fraktur dan frekuensi.
7
BAB II TINJAUAN UMUM
8
Daerah penelitian berada pada Ckungan Ombilin Menurut Tobler (1922)
dalam van Bemmelen (1949). Secara fisiografis, cekungan Ombilin termasuk ke
dalam Zona Pegunungan Barisan. Morfologi cekungan Ombilin terdiri dari
perbukitan sedang dengan lembah sempit yang dibentuk oleh batuan sedimen
Tersier sedangkan batuan Pra-Tersier membentuk perbukitan terjal dengan bukit
yang curam dan lembah yang sempit. Perlapisan batuan mengontrol pada beberapa
tempat di daerah ini sehingga membentuk topografi kuesta dan batugamping Pra-
Tersier membentuk topografi karst.
Cekungan Ombilin merupakan cekungan antar pegunungan yang berumur
Tersier dan terletak pada kerak benua sepanjang Sistem Sesar Sumatra. Cekungan
Ombilin secara tektonik terletak pada bagian busur magmatik daerah Sumatra yang
terbentuk akibat tumbukan antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia.
9
Gambar II. 2 Stratigrafi Cekungan Ombilin berdasarkan kompilasi Koesomadinata
dan Matasak (1981), Koning (1985), Situmorang, dkk. (1991),
Yarmanto dan Fletcher (1993), Barber, dkk. (2005)
1. Formasi Brani
Terdiri dari konglomerat berwarna cokelat keunguan, berukuran kerikil
sampai kerakal, dengan aneka fragmen berupa andesit, batugamping, batusabak dan
argilit, granit, kuarsit, kadang-kadang “arkosic gritsand” yang berbutir kasar,
terpilah buruk, menyudut-membundar tanggung, padat, keras sampai dapat
diremas, umumnya tidak berlapis. Tebalnya mencapai lebih dari 646 meter.
10
Umur formasi ini diperkirakan sama dengan Formasi Sangkarewang dengan
hubungan antar formasi berupa hubungan menjemari, dengan umur yaitu Paleosen
hingga Eosen.
2. Formasi Sangkarewang
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Sangkarewang terdiri
dari serpih berlapis tipis berwarna kelabu gelap kecoklatan sampai hitam, plastis,
gampingan mengandung material karbon, mika, pirit, dan sisa tumbuhan. Formasi
ini memiliki sisipan berupa lapisan- lapisan batupasir dengan tebal yang umumnya
kurang dari 1 m, terdapat fragmen kuarsa dan feldspar, gampingan berwarna abu-
abu sampai hitam, matriks lempung terpilah buruk mengandung mika dan material
karbon dan terdapatnya struktur nendatan (slump). Sisipan batupasir ini
menunjukan pola menghalus ke atas. Berdasarkan analisa polen umur dari formasi
ini diperkirakan berumur Eosen atau pra-Eosen (JICA, 1979 dalam Koesomadinata
dan Matasak, 1981), berumur Eosen Awal (Koning, 1985), berumur Eosen Atas
(Himawan, 1991 dalam Situmorang, dkk.,1991), berumur Paleosen-Eosen
(Sirumorang, dkk., 1991), berumur Paleosen- Eosen Awal (Yarmanto dan Fletcher,
1993), berumur Eosen-Oligosen (Whateley dan Jordan, 1989, Howells, 1997 dalam
Barber, 2005). Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) berdasarkan
hubungannya dengan Formasi Sawahlunto yang berada di atasnya yang
berdasarkan analisa polen Formasi Sawahlunto menunjukkan umur Paleosen
sampai Eosen diperkirakan Formasi Sangkarewang ini berumur Paleosen. Formasi
Sangkarewang diperkirakan terendapkan pada lingkungan danau.
3. Formasi Sawahlunto
Formasi ini terdiri dari sekuen serpih berwarna abu kecoklatan, serpih
lanauan dan batulanau dengan sisipan batupasir kuarsa, coklat padat dan dicirikan
dengan hadirnya batubara. Serpih biasanya karbonan atau batubaraan. Batupasir
berciri sekuen menghalus ke atas, berlapis silang siur dan khususnya berlaminasi
dengan dasar erosi yang tegas menunjukkan suatu sekuen point bar. Batubara
kadang-kadang disisipi batulanau berwarna kelabu. Batupasirnya membentuk
11
lenticular, sedang batubara sering menyebar dan membaji . Di daerah Parambahan
dekat tinggian Tungkar, batubara dan batupasir lebih banyak jumlahnya.
Formasi Sawahlunto terletak selaras di atas Formasi Brani dan setempat-
setempat juga terletak selaras dengan Formasi Sangkarewang, namun seringkali
terinterupsi oleh lidah dari Formasi Brani, juga diperkirakan menjemari dengan
Formasi Sangkarewang. Formasi Sawahtambang menindih selaras di atas Formasi
Sawahlunto. Hubungan menjemari dengan Formasi Sawahtambang diperkirakan
mengarah ke timur dimana Formasi Sawahtambang secara langsung menindih
Formasi Brani dengan kontak selaras, dan lensa-lensa dari Formasi Sawahlunto
terjadi di antara kedua formasi tersebut. Tebal Formasi Sawahlunto kurang dari 500
meter. Formasi ini tidak mengandung fosil kecuali sisa tumbuhan dan spora.
4. Formasi Sawahtambang
Formasi ini dicirikan oleh sekuen masif yang tebal dari batupasir berstruktur
silang siur. Serpih dan batulanau berkembang setempat-setempat. Batupasir
berwarna abu-abu terang sampai coklat, berbutir halus sampai sangat kasar,
sebagian besar konglomeratan berupa fragmen kuarsa berukuran kerikil, terpilah
sangat buruk, menyudut tanggung, keras, masif. Setempat-setempat pada bagian
bawah, terdapat sisipan lapisan-lapisan batulempung atau serpih lanauan yang
membentuk unit tersendiri yaitu sebagai anggota Rasau. Pada bagian atas juga
dengan sisipan lapisan-lapisan batulempung dengan kandungan “coal stringer”
yang terjadi setempat-setempat, membentuk Anggota Poro.
Ciri sekuen Formasi Sawahtambang terdiri dari siklus-siklus dimana setiap
siklus dibatasi oleh bidang erosi pada bagian dasarnya dan diikuti oleh kerikil yang
berimbrikasi, bersilang siur dan laminasi paralel dengan sekuen yang menghalus ke
atas, dengan batupasir konglomeratan, serta lensa-lensa batupasir yang bersilang-
siur berskala besar yang membentuk mangkok.
Fosil tidak diketemukan, kecuali sisa-sisa tumbuhan. Analisis palinologi dari
perconto batuan teras inti menunjukkan kemungkinan umur Eosen sampai
Oligosen. Berdasarkan posisi stratigrafinya yang berada di bawah Formasi Ombilin
yang berumur Miosen Awal dan terletak di atas Formasi Sawahlunto, kemungkinan
Formasi ini diperkirakan berumur Oligosen.
12
5. Formasi Ombilin
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Ombilin terdiri dari
serpih atau napal berwarna kelabu gelap, karbonan dan karbonatan, bila lapuk
menjadi berwarna kelabu terang dan umumnya berlapis baik. Termasuk kedalam
sekuen ini adalah lapisan-lapisan batupasir yang mengandung glaukonit, berbutir
halus, berwarna kelabu kehijauan, secara umum terdapat sisa-sisa tumbuhan dan
fosil moluska. Pada bagian bawah dari formasi ini terdapat nodul-nodul
batugamping dan lensa batugamping foraminifera-koral, sedangkan dibagian atas
sisipan lapisan batupasir tufaan, diselingi oleh batulanau bersifat karbonan,
mengandung glaukonit dan fosil moluska. Menurut Koesomadinata dan Matasak
(1981) napal dari formasi ini mengandung Globigerina yang merupakan ciri
endapan laut. Umur dari formasi ini diperkirakan berumur Miosen Awal
(Koesomadinata dan Matasak, 1981, Humpreys, dkk., 1991 dalam Situmorang,
dkk., 1991).
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), berdasarkan kandungan fosil
bentonik serta kehadiran glaukonit, maka formasi ini diperkirakan diendapkan pada
lingkungan neritik luar sampai batial atas. Menurut Howell (1997) dalam Barber,
dkk. (2005) Formasi Ombilin terendapkan pada lingkungan laut, yang terdiri dari
batupasir halus, batulanau dan batulempung yang sering kali karbonatan dengan
batugamping secara setempat memiliki ketebalan 50 m sampai 100 m yang
termasuk ke dalam lentikuler koral dan batugamping alga. Batupasir halus dengan
fragmen dari batubara dan amber diperkirakan merepresentasikan pasir pantai.
Proses pengendapan Formasi Ombilin pada cekungan Ombilin ini terjadi akibat
adanya proses transgressi yang terjadi pada cekungan Ombilin yang berhubungan
dengan fase transgressi pada cekungan busur belakang Sumatra (Situmorang, dkk.,
1991., Hastuti, dkk., 2001, Barber, dkk., 2005).
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Ombilin terletak
selaras di atas Formasi Sawahlunto dan terletak secara tidak selaras di beberapa
tempat. Sedangkan, Formasi Ombilin terletak selaras di atas Formasi
Sawahtambang. Menurut Koning (1985) antara Formasi Ombilin dan Formasi
Sawahtambang memiliki hubungan tidak selaras berdasarkan reflektansi vitrinit
13
terhadap kedalaman pada sumur bor di subcekungan Sinamar yang
mengindikasikan terdapatnya bagian Sawahtambang yang telah tererosi.
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Ombilin memiliki
ketebalan antara 1442 meter, sedangkan menurut Koning (1985) berdasarkan data
seismik, tebal formasi ini 2740 meter.
6. Formasi Ranau
Pada beberapa lokasi di Cekungan Ombilin, didapatkan formasi berupa tufa
(Van Bemmelen, 1949) yang disebut sebagai Tuff Ranau. Berkedudukan mendatar,
menutupi formasi-formasi di bawahnya dengan kontak ketidakselarasan menyudut.
Tuff ini dianggap menjadi deposit volkanik berumur Pleistosen.
14
gr/cm³ dengan jangkauan antara 1,74 dan 2,80. Kata granit berasal dari bahasa Latin
granum.
Granit terbentuk di daerah kontinen atau benua sebagai batuan beku intrusif.
Ukuran butir kristal mineral penyusunnya yang berukuran kasar menunjukkan
granit terbentuk melalui proses pembekuan magma yang sangat lambat. Granit
terbentuk karena pembekuan magma yang terjadi jauh di dalam bumi sehingga
ganesa batuan ini adalah batuan beku intrusif dalam. Dijumpainya granit di
permukaan bumi sekarang menunjukkan bahwa kerak bumi telah mengalami erosi
sangat dalam.
Batuan granit di sekitar Sumatera memiliki usia dari Paleozoic (Silur) hingga
Tersier. Batuan granit tersebut merupakan produk dari sejarah geologi yang
kompleks dari pulau Sumatera. Granitoid Mesozoikum-Paleozoikum hadir sebagai
bukit terisolasi hingga pegunungan yang sebagian besar ditutupi oleh batuan yang
lebih muda yang mengakibatkan kesulitan untuk menentukan sabuk, disaat terdapat
sabuk. Sabuk granitoid Sumatera dianggap sebagai kelanjutan dari sabuk granit
Asia Tenggara.
15
Daerah
penelitian
Gambar II. 3 Pola struktur regional cekungan Ombilin, Sumatra Barat ( Situmorang,
dkk, 1991)
16
2. Sistem sesar dengan arah umum utara-Selatan dengan jelas terlihat pada
timurlaut dari cekungan. Ini membentuk ruang seperti sesar, dari utara ke
Selatan: Sesar Kolok, Sesar Tigotumpuk, dan Sesar Tanjungampalu.
Perkembangan dari sesar ini berhubungan dengan fase tensional selama
tahap awal dari formasi cekungan, dan terlihat memiliki peranan utama
dalam evolusi cekungan. Pola struktur keseluruhan dari cekungan
Ombilin menunjukkan sistem transtensional duplex atau pull-apart
duplex yang terbentuk di antara offset lepasan dari sesar Sitangkai dan
sesar Silungkang. Geometri penunjaman ke arah dalam dari sesar di
bawah pull-apart menunjukkan bahwa duplex dapat bertumbukan
menjadi zona shear tunggal pada kedalaman. Lebih jauh lagi, pada
penampang vertikal menunjukkan negative flower structure. Pada kasus
ini sistem sesar yang berarah utara-Selatan dapat berbaur dengan sistem
sesar Sitangkai yang berarah baratlaut-tenggara. Pada batas tenggara
terdapat sistem sesar transgressional yang disebut sistem sesar Takung
yang terletak pada lengkungan restraining dari sesar Tigojangko.
3. Jurus sesar dengan arah Timur-barat membentuk sesar anthitetic mengiri
dengan komponen dominan dip-slip. Pada area Kolok, sesar ini dideteksi
sebagai sesar anjak. Cekungan ini mengalami pergantian fasa extensional
pada satu sisi yang dibarengi oleh pemendekkan pada sisi yang lain.
17
Hastuti, dkk. (2001) mengemukakan bahwa terdapat 5 fase tektonik yang
bekerja pada Cekungan Ombilin yang mempengaruhi pola struktur pada
Cekungan Ombilin (Gambar 2.6 dan Gambar 2.7). Lima fase tektonik yang
terjadi pada cekungan Ombilin menurut Hastuti, dkk.(2001), yaitu:
Fase tektonik pertama (F3grnt) berlangsung awal Tersier berupa fase
tektonik ekstensif bersamaan dengan terbentuknya system Tarik pisah berarah
barat laut-tenggara yang merupakan awal terbentuknya cekungan Ombilin.
Bersamaan dengan membukanya cekungan, terbnetuk endapan kipas alluvium
Formasi Brani menempati lereng-lereng tinggian batuan dasar dan terbentuk
endapan rawa Formasi Sangkarewang di bagian tengah cekungan.
Fase tektonik ke dua (F4brn) berlangsung sejak Eosen berupa fase
kompresif dengan terbentuknya sesar-sesar berarah utara-selatan. Selain fase
kompresif dibeberapa tempat terdapat daerah ekstensif yang menyebabkan
penurunan dasar cekugan yang cepat dan diimbangi pula oleh pengendapan
sedimen yang seimbang, menyebabkan pelongsora-pelongsoran endapan
alluvium Formasi Brani pada tepi cekungan dan sebagian masuk ke dalam
endapan rawa Formasi Sangkarewang, sehingga kedua formasi berhubungan
menjari.
Fase tektonik ke tiga berupa fase kompresif (F5swl). Fase ini mengakibatkan
proses pengangkatan dengan terbentuknya endapan sungai berkelok Formasi
Sawahlunto. Di beberapa tempat fase kompresif diikuti oleh fase ekstensif dengan
terbentuknya endapan batubara di daerah limpah banjir. Selain itu, pada fase ini
terjadi pengaktifan kembali sesar- sesar yang sudah terbentuk dan sesar minor
berupa sesar naik yang terjadi bersamaan dengan pengendapan Formasi
Sawahlunto.
Fase tektonik yang ke empat berupa fase kompresif (F6swtk) berarah relatif
utara-selatan. Akibat fase kompresif ini sesar-sesar berarah utara-selatan dan
baratlaut-tenggara yang terbentuk awal mengalami reaktifasi menjadi sesar naik
dan sesar mendatar. Bersamaan dengan fase ini (F6swtk) terjadi pula fase ekstensif
(F6swte) berarah relatif baratlaut- tenggara yang mengakibatkan dibeberapa tempat
terjadi genangan rawa dan penumpukan sedimen yang membentuk endapan tipis
batubara.
18
Fase tektonik yang ke lima berupa fase ekstensif (F70mben) yang berarah
relatif utara- selatan berlangsung sejak Miosen awal. Fase ini mengakibatkan
terbentuknya sesar-sesar berarah barat-timur. Selain itu, fase ekstensif ini
mengakibatkan terjadinya Sesar Tanjung Ampalu berarah utara-selatan yang
kemudian diikuti dengan fase genanglaut. Pada Miosen Akhir terjadi fase kompresif
(F70mbek) berarah relatif barat-timur yang menghasilkan sesar- sesar berarah
timurlaut-baratdaya dan sesar-sesar yang terbentuk awal aktif kembali.
19
Gambar II. 5 Skema evolusi tektonik cekungan tarik pisah Ombilin, Sumatra Barat
menurut Hastuti, dkk (2001). (A) Kapur-Tersier Awal (B) Paleosen
(C) Miosen Awal (D) Plio-Pleistosen.
20
rekahan adalah bidang diskontinuitas pada batuan yang kehilangan kohesi akibat
deformasi atau diagenesa yang terbentuk secara alamiah. Peacock dan Mann (2005)
menyatakan bahwa distribusi suatu rekahan alami dikontrol oleh beberapa faktor,
seperti sifat litologi hingga tatanan tektonik.
Berdasarkan persamaan Coulomb (1776) yang dikembangkan berdasarkan
pada model mekanik, bahwa suatu rekahan akan terbentuk ketika tegasan utama
berhasil melampaui nilai kohesif dari batuan.
21
2. Rekahan terbuka (extension fracture) merupakan salah satu jenis rekahan
selain dari rekahan gerus yang terbentuk pada kondisi ketiga tegasan utama
bersifat kompresi. Rekahan terbuka memiliki pergeseran yang tegak lurus
terhadap bidang rekahan atau menjauhi bidang rekahan. Rekahan gerus
terbentuk paralel terhadap 𝜎1 dan 𝜎2 dan tegak lurus terhadap 𝜎3.
3. Rekahan tensil/tarik merupakan rekahan yang juga memiliki pergeseran tegak
lurus atau menjauhi bidang rekahan serta terbentuk sejajar dengan 𝜎1 dan 𝜎2.
Namun, untuk membentuk rekahan tarik, salah satu dari tegasan utama, yaitu
𝜎3 harus bernilai negatif.
Gambar II. 6 Kemungkinan bidang rekahan yang terbentuk pada percobaan tes
triaksial. (A) Rekahan terbuka dan (B dan C) rekahan gerus (Nelson,
2001).
Davis dkk. (2012) dalam membedakan antara rekahan terbuka (joint) dan
rekahan gerus (shear fracture) bahwa untuk menyatakan suatu rekahan sebagai
rekahan gerus maka diperlukan penciri dari rekahan gerus yaitu kehadiran dari
pergeseran atau bidang rekahan yang menunjukkan hasil rekristalisasi yang dikenal
sebagai bidang gores garis. Selain itu, rekahan gerus umumnya terbentuk dalam dua
set rekahan yang saling berpotongan membentuk sudut ~60o. Sehingga sebagai
22
konsekuensinya, rekahan yang diobservasi yang membentuk pasangan konjugasi
seperti itu maka dapat digolongkan sebagai rekahan gerus. Namun jika tidak
ditemukan pergeseran atau orientasi dari set rekahan yang terbentuk tidak cocok
dengan orientasi sesar yang diketahui, maka rekahan tersebut dapat dianggap sebut
sebagai rakahan atau joint.
Nelson (2001) juga membagi rekahan berdasarkan penyebab alamihnya
menjadi rekahan tektonik, rekahan regional, rekahan kontraksi dan rekahan yang
berhubungan dengan permukaan.
1. Rekahan tektonik merupakan rekahan yang orientasi, distribusi, dan
morfologinya berasosiasi dengan kejadian tektonik lokal. Menurut Nelson
(2001) bahwa rekahan pada singkapan yang proses pembentukan alamihnya
oleh tektonik umumnya berupa rekahan gerus. Namun pada kondisi daerah
yang terlipat, rekahan yang terbentuk berupa rekahan terbuka. Nelson (2001)
lebih lanjut menjelaskan mengenai rekahan yang terbentuk oleh tektonik dapat
dibagi menjadi rekahan yang berhubungan dengan sesar dan lipatan.
1.1 Rekahan berkaitan dengan sesar Bidang sesar merupakan bidang yang
memiliki pergeseran pada bidangnya. Rekahan yang umum terbentuk yang
berkaitan dengan sesar adalah rekahan gerus yang sejajar dengan orientasi
sesar yang terbentuk, rekahan gerus yang berkonjugasi dengan sesar, dan
rekahan terbuka yang memotong sudut lancip antara dua rekahan gerus
yang saling berkonjugasi. Tegasan yang membentuk rekahan juga
merupakan tegasan yang membentuk sesar
1.2 Rekahan berkaitan dengan perlipatan Sejarah tegasan dan strain selama
proses pertumbuhan lipatan pada batuan bersifat sangat kompleks.
Sehingga rekahan yang terbentuk pada lipatan juga sangat kompleks.
Orientasi dan jenis rekahan yang terbentuk pada suatu lipatan.
2. Rekahan regional (Nelson dan Stearns, 1977; dalam Nelson 2001) merupakan
rekahan yang berkembang dalam cakupan area yang sangat luas dengan tidak
ada perubahan orientasi, dan tidak menunjukkan adanya tanda pergeseran.
3. Rekahan kontraksi merupakan kumpulan rekahan terbuka yang
pembentukannya berasosiasi dengan pengurangan volume batuan yang dapat
23
terbentuk akibat proses pengeringan, sineresis, gradien termal dan perubahan
fasa mineral.
4. Rekahan yang berhubungan dengan proses permukaan ialah rekahan yang
terbentuk pada saat proses kehilangan beban, pelepasan tegasan yang
tersimpan dalam tubuh batuan.
Gambar II. 7 Diagram Bunga Mawar dari rekahan gerus yang berasosiasi dengan
sesar (Stearns, 1968b; dalam Nelson, 2001).
Gambar II. 8 Orientasi dan jenis rekahan yang berkembang pada lipatan (Price,
1967; dalam Nelson, 2001).
24
II.4.3. Batuan Dasar
Landes dkk. (1960) mendefinisikan batuan dasar kristalin terdiri dari berbagai
jenis batuan yang terbentuk di bawah kondisi geologi yang sangat berbeda, terdiri
dari batuan beku, baik plutonik dan vulkanik. Parker (1997) mendefinisikan batuan
dasar umumnya berupa batuan beku dan metamorf yang secara tidak selaras
terdapat batuan sedimen diatasnya. Parker (1997) menambahkan bahwa batuan
dasar merupakan batuan yang menjadi salah satu bagian dari kerak bumi yang
berada di bawah batuan sedimen dan berada di atas bidang Mohorovicic. P’an
(1982) dalam studinya tentang migas yang berada dalam batuan dasar, batuan dasar
dibagi menjadi dua, yang pertama ialah batuan beku dan metamorf (tanpa
memperhatikan umurnya) yang secara tidak selaras ditutupi oleh formasi yang lebih
muda yang menghasilkan minyak bumi dan yang kedua ialah batuan apapun yang
mendasari suatu formasi yang menghasilkan minyak bumi atau yang mengandung
minyak bumi disebut sebagai batuan dasar. Namun, Aguilera (1980) tidak
menganggap batupasir dan batugamping sebagai batuan dasar, meskipun batuan
tersebut mendasari formasi yang menghasilkan minyak bumi. Dalam studi ini,
definisi batuan dasar yang digunakan ialah yang dijelaskan oleh Landes dkk.
(1960).
Sircar (2004) mendefinisikan batuan dasar umumnya memiliki karakteristik
keras dan getas dengan nilai porositas yang sangat rendah, sehingga kualitas dari
batuan dasar yang menjadi reservoir sangat bergantung kepada perkembangan dari
porositas sekunder. Porositas sekunder menurut Sircar (2004) dibagi menjadi dua
berdasarkan proses terbentuknya, yaitu (1) porositas akibat tektonik, yaitu joint,
sesar, rekahan, dan lain sebagainya, dalam berbagai rentang skala yaitu rekahan
berskala kecil hingga skala seismik dan (2) porositas akibat pelarutan yaitu
porositas yang terbentuk akibat adanya pelarutan pada zona pelapukan, ataupun
juga dapat terjadi pada zona sesar yang berasosiasi dengan sirkulasi hidrotermal.
Aguilera (1980) menggolongkan reservoir terekahkan berdasarkan distribusi antara
porositas matriks dan sistem rekahan. Dalam reservoir batuan dasar, nilai porositas
matriks mendekati nol dan kapasitas penyimpanan dan permeabilitas sangat
bergantung kepada sistem rekahan.
25
II.4.4. Distribusi Rekahan Alami
26
g. Sudut antara bidang perlapisan dan rekahan. Rekahan umumnya terbentuk
tegak lurus terhadap bidang perlapisan dengan besaran kemiringan dari
rekahan dikontrol oleh kemiringan lapisan, dan
h. Rekahan terbentuk pada umumnya tidak seketika, melainkan mengalami
evolusi sepanjang waktu.
3. Faktor yang berlangsung pada saat ini, seperti:
a. Orientasi tegasan lokal dapat mengontrol karakteristik dari rekahan,
misalnya bukaan dari rekahan yang berorientasi tegak lurus terhadap
tegasan utama maksimum akan tertutup,
b. Hubungan relatif antara besaran tekanan fluida dan tegasan lokal dapat
mengontrol pembentukan rekahan dan mengontrol rekahan yang akan
terbuka,
c. Variasi tegasan lokal pada sesar atau lipatan dapat mengontrol orientasi
dan geometri rekahan, dan
d. Variasi tegasan dan tekanan fluida dikontrol oleh kedalaman, sehingga
kedalaman akan mengontrol geomteri dari rekahan terbuka.
II.4.5. Fraktal
27
Velde dkk. (1990) menjelaskan bahwa konsep dasar dari analisis fraktal ialah
suatu fenomena akan mengalami perulangan pada skala yang berbeda. Salah satu
fenomena geologi yang sering dijelaskan menggunakan konsep fraktal ialah
rekahan. Velde (1990) menyatakan bahwa terdapat tiga aspek utama dari rekahan
yang telah diteliti menggunakan konsep fraktal, yaitu (1) hubungan panjang
rekahan oleh Jacquin dan Adler (1987), (2) hubungan densitas rekahan pada suatu
area oleh La Pointe (1998), dan (3) hubungan densitas rekahan dalam suatu massa
batuan yang menghasilkan fragmentasi oleh Turcotte (1986). Ketiga penelitian
tersebut dilakukan secara satu dimensi, dua dimensi, dan tiga dimensi.
Bonnet dkk. (2001) menjelaskan bahwa terdapat beberapa metode statistik
yang digunakan untuk menggambarkan sifat fraktal pada rekahan, yaitu power law,
eksponensial, gama dan log normal.
Gambar II. 9 Empat plot yang mengilustrasikan fungsi yang berbeda (power-law,
lognormal, eksponensial, dan gamma law) yang paling sering
digunakan (Bonnet dkk., 2001).
28
berbagai properti rekahan (panjang, pergeseran, dan lainnya) sering mengikuti pola
power law. Rumusan umum untuk power law ditunjukkan oleh persamaan berikut
29
(Erstberg) terhadap jaringan urat mineralisasi yang komplek mengikuti distribusi
power law pada suatu garis lurus dengan kemiringan kurva. Merceron dan Velde
(1991) menyatakan bahwa kisaran nilai dimensi fraktal untuk rekahan pada analisis
satu dimensi ialah 0,5, 1,5 pada analisis dua dimensi, dan 2,5 pada tiga dimensi.
Turcotte (1997) menjelaskan bahwa nilai dimensi fraktal dari rekahan akan bersifat
tidak integer dan bergantung pada skala analisis yang dilakukan. Analisis dalam
skala 1D akan memberikan nilai diantara 0-1, analisis 2D akan bernilai 1-2 dan
analisis 3D akan bernilai 2-3. Nagahama dan Yoshii (1994) menyimpulkan bahwa
semakin besar nilai D, semakin meningkat pula nilai densitas energi perekahan per
unit massa.
Gambar II. 10 Efek truncation (lingkaran kecil) dan efek censoring (lingkaran
besar) (Santos dkk., 2005)
30
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
32
atau singkapan lebih besar. Foto-foto/citra satelit yang digunakan untuk
menghasilkan peta 2D rekahan jejak, biasanya pada permukaan datar atau di
penampang pandangan, untuk mengekstraksi rekahan jejak azimuth, kepadatan dan
intensitas data. Data distribusi spasial juga dapat diekstraksi dengan menghitung
koefisien yang bervariasi untuk memastikan apakah rekahan didistribusikan secara
merata atau bergerombol. Metode ini cepat untuk mengumpulkan data dalam
jumlah besar, namun hasilnya sangat tergantung pada resolusi sourceimage data,
yang menyebabkan data yang pemotongan, patahan yang lebih kecil kurang
terwakili, dan kontrol kualitas antara foto, dan singkapan diperlukan, yang dapat
memakan waktu.
33
pengambilan sampel scanline linear, karena semua rekahan di daerah tersebut
diukur, dan memungkinkan untuk estimasi sederhana ( Pahl, 1981 ). Metode ini
bisa sangat memakan waktu jika banyak atribut yang akan diukur untuk setiap
rekahan dalam wilayah jendela. Data juga dipengaruhi oleh pengamatan singkapan
karena ukuran singkapan, dan kualitas singkapan. Berarti estimasi panjang
melibatkan menganalisis data rekahan, tetapi jika singkapan memiliki tutupan
vegetasi metode tidak dapat dilakukan ( Priest, 1993 ).
34
tidak seperti scanline linear, areal sampling dan metode pengambilan sampel
jendela persegi panjang. Dengan menggunakan metode ini juga menghilangkan
kesalahan yang orientasi patahan lapisan-paralel dalam 2D (3D patahan miring ke
singkapan masih akan dianalisis, yang berlaku untuk semua empat strategi
sampling) arah dominan orientasi rekahan tidak diperhatikan dalam metode ini,
seperti dalam scanline linear metode.
35
di sudut masing-masing kotak persegi. Jika singkapan hadir pada referensi yang
sesuai, itu digunakan untuk pengumpulan data.
III.3. Orientasi
36
melingkar. Panjang rekahan diukur pada setiap rekahan hinggal rekahan tersebut
berhenti atau terputus oleh rekahan lainnya.
III.6. Bukaan
37
Gambar III. 6 pengamatan data bukaan rekahaan di lapangan
38
III.8. Metode daerah penelitian
Penelitian ini diawali dengan studi pustaka yang meliputi pengumpulan data-
data dari peneliti terdahulu tentang tektonik, struktur geologi daerah penelitian dan
sekitarnya. Pengumpulan data singkapan berupa deskripsi batuan, orientasi,
39
struktur geologi, dan pengukuran rekahan alami batuan dasar dengan metode
scanline dan windows scan dibatuan dasar. Metode scanline meliputi pengukuran
kordinat, orientasi, bukaan, spasi dan panjang rekahan alami batuan dasar. Metoda
windows scan meliputi pengukuran orientasi, bukaan, panjang, hubungan saling
potong-memotong, dan hubungan litologi dengan densitas rekahan alami batuan
dasar. Kemudian dilakukan pengambilan sampel batuan pada singkapan untuk
analisis sayatan tipis petrografi dan mikrostruktur. Peralatan yang digunakan dalam
pengukuran metoda scanline dan windows scan adalah Global Position System
(GPS), palu geologi, kompas geologi, tali, pita ukur dan jangka sorong. Data
lapangan diproses untuk mendapatkan model dan karakteristik rekahan alami dari
daerah penelitian. Seluruh data orientasi dari rekahan alami digabungkan dari setiap
singkapan sehingga dapat diidentifikasi kelompok rekahan alami dan
menginterpretasi gaya tektonik yang menghasilkan rekahan alami tersebut.
Interpretasi keberadaan sesar menggunakan interpretasi dari data Digital Outcrop
Modeling.
Analisis gaya tektonik yang diperoleh dari analisis rekahan digunakan untuk
analisis kinematik dari sesar. Estimasi lebar dari Fault Damage Zone dilakukan
dengan melakukan analisis statistik. Atribut rekahan alami yang diperoleh dari data
lapangan selanjutnya dianalisis menggunakan analisis fraktal. Nilai densitas rekahan
alami dan intensitas yang telah dianalisis dihubungkan dengan struktur geologi dan
petrologi dari daerah penelitian untuk melihat faktor yang mengontrol kehadiran
rekahan dan perhitungan estimasi nilai porositas dan permeabilitas dilakukan
dengan menggunakan model yang telah ada. Pengolahan data statistik
menggunakan perangkat lunak Stereonet v9.2.3 (Allmendinger, 2013), Ecxel
Microsoft Office 2013, dan Rockworks16
40
.
Gambar III. 8 Sketsa pencatatan dan observasi alam metode scanline. A-B adalah
garis scanline. T adalah tebal atau bukaan rekahan alami, h adalah
tinggi atau panjang pengamatann terhadap garis scanline (dibatasi
satu meter), l adalah panjang garis scanline dan L adalah panjang
rekahan alami (Sapiie, 1998)
Gambar III. 9 observasi rekahan alami metode scanline dan windows scan.
41
BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengambilan data rekahan alami pada singkapan telah dilakukan pada batuan
dasar Trias yang tersingkap pada daerah Silokek, Kabupaten Sijunjung. Batuan
dasar tersusun atas batuan beku yang merupakan batuan granit (Trias). Peta lokasi
scanline dan windows scan batuan dasar memperlihatkan masing-masing orientasi
rekahan alami yang berbeda (Gambar IV.1).
42
Pada lokasi SL 1 (00037' 01,59" LS dan 1010 00'59,41" BT) singkapan
berwarna abu-abu kemerahan memiliki bentuk butir euhedral - subhedral dengan
ukuran butir 5 – 10 mm, fanerik, terdiri atas mineral plagioklas (10%), kuarsa
(30%), alkali feldspar (40%), dan biotit (10%), yang memiliki total panjang 2370
cm dan 86 rekahan pada lokasi scanline dan windows scan batuan dasar granit
dengan luas 10000cm2 dengan total rekahan sebanyak 285. Total rekahan yang
diperoleh pada batuan dasar granit yang tersebar ialah 371 dan terdiri atas rekahan
gerus sebanyak 302 dam kekar sebanyak 69 . Data pengukuran rekahan pada SL1
batuan dasar granit menunjukkan arah baratdaya – timurlaut.
43
luas 10000cm2 dengan total rekahan sebanyak 363. Total rekahan yang diperoleh
pada batuan dasar granit yang tersebar ialah 502 dan terdiri atas rekahan gerus
sebanyak 489 dan kekar sebanyak 13 . Data pengukuran rekahan pada SL2 batuan
dasar granit menunjukkan arah utara - selatan.
44
Gambar IV. 4 Lokasi singkapan 4 pengukuran scanline, foto singkapan windows
scan beserta diagram mawar dan stereonet dari orientasi rekahan
alami.
45
rekahan pada lokasi scanline dan windows scan batuan dasar granit dengan luas
10000cm2 dengan total rekahan sebanyak 118. Total rekahan yang diperoleh pada
batuan dasar granit yang tersebar ialah 164 dan terdiri atas rekahan gerus sebanyak
124 dam kekar sebanyak 40 . Data pengukuran rekahan pada SL5 batuan dasar granit
menunjukkan arah baratdaya – timurlaut.
46
Gambar IV. 6 Lokasi singkapan 6 pengukuran scanline, foto singkapan windows
scan beserta diagram mawar dan stereonet dari orientasi rekahan
alami.
Pada lokasi SL 7 (0° 37' 06.1"S dan 101° 00' 56.0" E) singkapan warna abu-
abu kemerahan memiliki bentuk butir euhedral - subhedral dengan ukuran butir 5 –
20 mm, fanerik, terdiri atas mineral plagioklas (15%), kuarsa (50%), alkali feldspar
(30%), serta mineral biotit (5%) (Gambar IV, yang memiliki total panjang 1473
cm dan 100 rekahan pada lokasi scanline dan windows scan batuan dasar granit
dengan luas 10000cm2 dengan total rekahan sebanyak 427. Total rekahan yang
diperoleh pada batuan dasar granit yang tersebar ialah 527 dan terdiri atas rekahan
gerus sebanyak 419 dam kekar sebanyak 108 . Data pengukuran rekahan pada SL7
batuan dasar granit menunjukkan arah baratdaya – timur laut.
Pada lokasi SL 8 singkapan warna abu-abu kemerahan memiliki bentuk
butir euhedral - subhedral dengan ukuran butir 5 – 15 mm, fanerik, terdiri atas
mineral plagioklas (20%), kuarsa (45%), alkali feldspar (30%), serta mineral biotit
(5%) (Gambar IV.) ,yang memiliki total panjang 1166 cm dan 146 rekahan pada
lokasi scanline dan windows scan batuan dasar granit dengan luas 10000cm2
47
dengan total rekahan sebanyak 304. Total rekahan yang diperoleh pada batuan dasar
granit yang tersebar ialah 453 dan terdiri atas rekahan gerus sebanyak 302 dam
kekar sebanyak 20 . Data pengukuran rekahan pada SL8 batuan dasar granit
menunjukkan arah baratdaya – timur laut.
48
Data rekahan alami pada pengukuran 8 lokasi scanline pada batuan dasar
granit dengan total panjang 4000 cm dan 922 rekahan dan windows scan pada
batuan dasar granitik dengan luas 800000 cm2 dengan total rekahan 2900. Total
rekahan yang diperoleh pada batuan dasar granit yang tersebar ialah 3822 dan terdiri
atas rekahan gerus sebanyak 3054 dam kekar sebanyak 768. Keseluruhan data
pengukuran rekahan pada granit menunjukkan 3 arah dominan, yaitu barat laut-
tenggara, timurlaut-baratdaya, dan utara-selatan dengan kemiringan relatif tegak
antara 55-75 derajat (Gambar IV.3). Histogram semua arah jurus dan sudut
kemiringan rekahan pada batuan dasar granit ditampilkan pada Gambar IV.4,
Gambar IV.5, dan Gambar IV.6.
Gambar IV. 9 Lokasi pengukuran scanline dan windows scan pada granit dan
diagram bunga mawar dari orientasi rekahan alami pada setiap lokasi
pengukuran.
49
Gambar IV. 10 Diagram stereonet rekahan alami pada semua lokasi pengukuran.
400
200
jurus (N.....E)
400
200
0
0
4
8
More
12
16
20
24
28
32
36
40
44
48
52
56
60
64
68
72
76
80
84
88
kemiringan (°)
50
100
90
80
70
kemiringan
60
50
40
30
20
10
0
0 50 100 150 200 250 300 350 400
jurus
Gambar IV. 13 Distribusi semua jurus dan kemiringan rekahan alami di granit.
51
Gambar IV. 15 Diagram stereonet dan diagram mawar kekar pada semua lokasi
pengukuran scanline dan windows scan granit.
Gambar IV. 16 Diagram stereonet dan diagram mawar rekahan gerus pada semua
lokasi pengukuran scanline dan windows scan granit.
52
tegasan utama maksimum (σ1) pada arah N 220o E dan arah tegasan utama minimum
(σ3) ialah N 300o E. Arah tegasan utama maksimum dan minimum yang diperoleh
dari pengukuran rekahan gerus dan rekahan terisi digunakan untuk analisis
kinematik dari kelurusan yang diperoleh dari peta Digital Outcrop Model (DOM).
Peta DOM dari daerah penelitian batuan dasar granitik dapat dilihat pada
Gambar IV.20 Berdasarkan peta tersebut, diperoleh kelurusan berarah N 230o E.
Arah kelurusan yang diperoleh dari peta DOM menunjukkan arah yang parallel dari
salah satu orientasi rekahan gerus, yaitu timurlaut-baratdaya. Dengan menggunakan
arah kelurusan dan arah rekahan gerus yang berorientasi utara-selatan, serta
menggunakan arah tegasan utama maksimum dan minimum, diperoleh bahwa
kelurusan pada daerah penelitian merupakan sesar geser mengiri dengan blok
hangingwall relatif turun terhadap footwall.
Gambar IV. 17 Peta DOM yang diperoleh dari pengamatan drone. Terdapat
kelurusan berarah N 230o E (garis merah putus-putus).
53
Gambar IV. 18 Analisis kinematik sesar pada daerah penelitian batuan dasar
granitik. Sesar pada daerah penelitian berorientasi N 230oE.
54
35
30
Intensita (/m)
25
20
15
10
5
0
0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12
Rata-rata spasi (m)
Gambar IV. 19 Hubungan spasi rata-rata rekahan alami terhadap intensitas rekahan
alami granit.
Intensitas rekahan alami juga dapat dihitung secara dua dimensi, yaitu jumlah
panjang rekahan alami dibagi luas area pengukuran (Zebb dkk., 2013). Nilai
55
intensitas rekahan alami diperoleh dari lokasi penelitian dengan menerapkan
metode windows scan. Intensitas 2D (I) dengan mengukur jumlah keseluruhan
panjang rekahan alami (∑ 𝑙) dan membagi nilai tersebut dengan luas area
pengukuran (A). Persamaan sederhana yang digunakan dalam mengitung densitas
rekahan alami adalah:
𝐼 =∑ 𝑙 (VI.1)
𝐴
Rata-
Intensitas
Jumlah rata
Lokasi Panjang Scanline (m) Rekahan Litologi
Rekahan Spasi
(/m)
(m)
1 5 85 0.059 17 Granit
2 5 138 0.036 27.6 Granit
3 5 159 0.093 31.8 Granit
4 5 145 0.034 29 Granit
5 5 45 0.109 9 Granit
6 5 95 0.044 19 Granit
7 5 99 0.049 19.8 Granit
8 5 148 0.032 29.6 Granit
56
Tabel IV. 2 Hasil statistik dari pengukuran windows scan.
Densitas rekahan alami adalah jumlah kehadiran rekahan alami dibagi luas
area pengukuran (Zebb dkk., 2013). Nilai densitas rekahan alami yang diperoleh
dari lokasi penelitian dengan menerapkan metode windows scan. Densitas rekahan
alami (p) dengan mengukur semua rekahan yang berada dalam area windows scan
(N) dan membagi nilai tersebut dengan luas area pengukuran (A). Persamaan
sederhana yang digunakan dalam menghitung nilai densitas rekahan alami adalah:
𝑁 (VI.2)
𝑝=
𝐴
57
Gambar IV. 21 Peta distribusi densitas rekahan alami pada batuan dasar granit.
Tabel IV. 3 Perhitungan densitas rekahan alami untuk semua lokasi pengukuran
windows scan.
Luas
Jumlah Densitas
Lokasi Window
Rekahan (/cm2 )
s Scan
1 10000 85 0.0085
2 10000 138 0.0138
3 10000 159 0.0159
4 10000 145 0.0145
5 10000 45 0.0045
6 10000 95 0.0095
7 10000 99 0.0099
8 10000 148 0.0148
58
IV.1.5. Analisis sifat fraktal rekahan
Analisis sifat fraktal rekahan dapat diketahui dari analisis atribut rekahan
yang diukur pada singkapan (spasi, panjang, bukaan) menggunakan metode
windows scan, nilai spasi rekahan diukur dari jarak antar rekahan, bukaan rekahan
merupakan jarak bukaan disetiap rekahan, dan panjang rekahan diukur pada setiap
rekahan. Hasil statistik data tersebut diolah menggunakan Ecxel Microsoft Office
2013.
Kumpulan data spasi rekahan alami di daerah penelitian pada setiap lokasi
pengukuran windows scanline dijelaskan dengan distribusi kumulatif power law
yang mempunyai nilai rata-rata koefisien korelasi yang tinggi, yaitu R2 0,90 – 0,99
pada granit yang menunjukkan bahwa data memiliki hubungan koefisien korelasi
yang cukup kuat. Distribusi kumulatif spasi tiap titik pengukuran windows scanline
mengikuti distribusi power law. Spasi rekahan alami pada setiap lokasi
menunjukkan data terdistribusi sepanjang garis dengan nilai dimensi fraktal (D) 1 –
1,42 pada granit. Spasi rekahan alami pada setiap lokasi menunjukkan data
terdistribusi sepanjang garis (lihat Lampiran A untuk kurva distribusi kumulatif
setiap lokasi pengukuran).
Distribusi nilai spasi rekahan alami disimpulkan bersifat fraktal berdasarkan
pernyataan dari Turcotte dkk (1995) bahwa kejadian bersifat fraktal dalam analisis
2D akan memiliki nilai dimensi fraktal dalam rentang 1 – 2.
Nilai kemiringan garis kurva yang menunjukan bahwa semakin kecil nilai
dimensi fraktal maka semakin landai kemiringan garis kurva yang menunjukkan
rentang data rekahan alami yang lebar. Sedangkan pada kemiringan garis kurva
yang semakin curam menunjukkan rentang data rekahan alami yang sempit.
Histogram distribusi semua spasi rekahan alami dapat dilihat pada Gambar IV.20
dan Gambar IV.21. Histogram nilai spasi rekahan alami pada batuan dasar granitik
menunjukkan sifat skewness positif akibat efek truncation pada data, yaitu jumlah
spasi rekahan yang bernilai kecil populasinya sangat banyak.
59
Histogram
2000
1800 2
1600 5
1400 8
1200
frekuensi
11
1000
14
800
600 17
400 20
200 23
0 More
spasi (cm)
Gambar IV. 22 Distribusi spasi semua rekahan alami pada setiap titik pengukuran
windows scan di batuan dasar granitik. Histogram menunjukkan
skewness positif akibat efek truncation pada data.
Histogram
2000
y = 5609x-1.632
1500 R² = 0.9641
frekuensi
1000
Series1
0
0 5 10 15 20 25
spasi (cm)
60
Tabel IV. 4 Hasil statistik dari analisis distribusi kumulatif spasi rekahan secara
1D dan 2D pada batuan dasar granit.
D Rata-rata
Lokasi (Windows R2 spasi WS
Scan ) (cm)
1 1.8 0.94 6.68
2 1.7 0.91 4.73
3 1.9 0.9 2.48
4 1.6 9.6 6.1
5 1.8 0.89 12.3
6 1.9 0.95 6.4
7 1.3 0.85 8.3
8 1.9 0.85 2.14
Bukaan rekahan alami didefinisikan sebagai jarak tegak lurus diantara dua
permukaan. Nilai bukaan pada suatu rekahan biasanya memiliki nilai yang tidak
konstan akibat permukaan rekahan alami yang tidak halus. Beberapa peneliti
menggunakan istilah terbuka pada rekahan alami yang tidak terisi oleh mineral (Bai
dan Pollar, 2001). Berdasarkan data yang telah dikumpulkan pada batuan dasar
granitik, bukaan suatu rekahan alami dapat bernilai beberapa sentimeter. Pada
penelitian ini, nilai rata-rata bukaan rekahan alami pada granit ialah 0,04.
Berdasarkan grafik histogram pada Gambar IV.42, rekahan alami pada singkapan
granit memiliki nilai bukaan kecil yang lebih banyak dibandingkan yang besar.
Berdasarkan data dari pengukuran rekahan alami di singkapan, nilai bukaan
rekahan alami yang didominasi oleh nilai yang kecil. Meskipun nilai bukan rekahan
alami didominasi oleh nilai yang kecil, bukaan rekahan alami akan tetap mengikuti
pola distribusi power-law (Ortega dan Marrett, 2000).
Penelitian karakteristik rekahan alami pada batuan dasar di Pulau Sumatra
dilakukan secara windows scan. Berdasarkan pengukuran yang dilakukan di
singkapan, rata-rata nilai bukaan rekahan alami di setiap lokasi pengukuran
61
windows scan pada granit ialah 0,02 – 0,109 cm. Rata-rata bukaan rekahan alami
secara statistik untuk setiap lokasi pengukuran yang dilakukan di granit ditampilkan
dalam Tabel IV.5. Ukuran bukaan rekahan alami yang bervariasi dikuantitatifkan
dalam distribusi power-law untuk setiap lokasi pengukuran (lihat Lampiran A).
Nilai dimensi fraktal (D) untuk bukaan rekahan alami di granit ialah 1 – 1,7
Histogram
2000
0.02
1500 0.06
frekuensi
1000 0.1
0.14
500
0.18
0
bukaan (cm) 0.22
Gambar IV. 24 Distribusi bukaan semua rekahan alami pada batuan dasar granitk.
Histogram menunjukkan skewness positif akibat efek truncation
pada data.
Histogram y = 1952x-1.977
3000 R² = 0.8815
frekuensi
2000
1000 Frequency
Power (Frequency)
0
0 2 4 6 8 10 12
bukaan (cm)
Gambar IV. 25 Distribusi kumulatif semua bukaan rekahan alami pada batuan dasar
granitik.
62
rentang 1 – 2 (Turcotte dkk, 1995). Terdapat beberapa perbedaan nilai dimensi
fraktal antara titik pengukuran rekahan, hal ini disebabkan bahwa nilai dimensi
fraktal dari rekahan sangat bergantung pada distribusi spasial (Barton, 1995) dan
distribusi spasial sangat dikontrol oleh beberapa faktor (Peacock dan Mann, 2005)
dan dalam penelitian ini distribusi rekahan alami dikontrol oleh jarak terhadap
sesar.
Tabel IV. 5 Hasil statistik dari analisis distribusi kumulatif bukaan rekahan secara
1D dan 2D pada batuan dasar granit.
D
Rata-rata
(Windo
Lokasi R2 bukaan
ws
WS (cm)
Scan )
1 1.59 1 0.02
2 1.06 0.96 0.026
3 1.93 0.94 0.02
4 1.9 0.89 0.03
5 1.94 0.86 0.03
6 1.93 0.97 0.026
7 1.95 0.85 0.7
8 1.96 0.86 0.5
63
pengukurna pada granit dapat dilihat pada Table IV.6. Histogram data hasil
pengukuran panjang dari seluruh lokasi digabungkan dan menunjukkan bahwa data
terdistribusi secara skewness positif akibat efek truncation pada data (Gambar
IV.46 dan Gambar IV.47).
Chart Title
900
18
800
26
700
600 34
frekuensi
500 42
400 50
300 58
200
66
100
74
0
Panjang (cm) 82
Gambar IV. 26 Histogram keseluruhan panjang rekahan alami dari semua titik
pengukuran pada batuan dasar granitik. Histogram menunjukkan
sifat skewness positif.
Histogram y = 2081.7x-1.953
3000 R² = 0.8936
frekuensi
2000
1000 Frequency
0 Power (Frequency)
0 5 10 15
panjang (cm)
Gambar IV. 27 Distribusi kumulatif semua panjang rekahan alami pada batuan
dasar granitik.
64
Tabel IV. 6 Hasil statistik dari analisis distribusi kumulatif panjang rekahan secara
1D dan 2D pada batuan dasar granit.
D
Rata-rata
(Windo
Lokasi R2 panjang
ws
WS (cm)
Scan )
1 1.59 0.86 18.34
2 1.49 0.85 20.68
3 1.93 0.88 10.6
4 1.91 0.92 13.19
5 1.55 0.89 24.27
6 1.67 0.87 21.55
7 1.7 0.89 13.84
8 1.6 0.97 9.7
Permeabilitas pertama kali diteliti oleh Henry Darcy (1856) dalam Aguilera
(1980), kemudian mendefinisikannya sebagai nilai yang menunjukkan kemampuan
suatu batuan untuk mengalirkan fluida, yang lebih dikenal sebagai Hukum Darcy.
Laubach (2003) menjelaskan bahwa permeabilitas sebanding dengan pangkat tiga
dari bukaan rekahan. Permeabilitas rekahan juga tergantung pada panjang dan
saling berhubungan secara lateral terhadap porositas rekahan. Tegasan hari ini
dipandang secara luas sangat efektif sebagai pengontrol utama dalam bukaan
rekahan dan menutupnya rekahan (Barton dkk, 1995).
Rekahan alami pada batuan dasar dapat menjadi salah satu kontrol dalam
memberikan porositas dan permeabilitas pada batuan itu sendiri sebagai batuan
dasar reservoir. Permeabilitas dan porositas rekahan alami dalam penelitian ini
merupakan bukaan dari rekahan. Hubungan antara rekahan akan sangat
memberikan mempengaruhi nilai permeabilitas. Estimasi nilai permeabilitas dalam
penelitian ini menggunakan persamaan Lucia (1983) dan Aguilera (1980).
65
Perhitungan nilai porositas dilakukan dengan menggunakan persamaan Lucia
(1983).
Lucia (1983) melakukan analisis hubungan antara permeabilitas dengan
porositas dari rekahan pada batuan karbonat. Atribut rekahan alami yang digunakan
adalah bukaan rekahan (W) dalam satuan cm dan spasi rekahan (Z) dalam satuan
cm. Persamaan porositas (Фf) dalam satuan % adalah:
Dari persamaan (1) untuk estimasi nilai permeabilitas rekahan alami, jika dari
salah satu atribut rekahan alami, dengan bukaan rekahan alami 0,075 cm dan spasi
rekahan alami 4,6 cm, maka nilai estimasi permeabilitas rekahan alami dari
persamaan tersebut dapat dihitung menjadi:
66
Cubes, K2 = 2/3 (Kf x W2/D) (VI.4)
Dari persamaan (5), jika bukaan rekahan adalah 0,075 cm, nilai Kf dapat
dihitung menggunakan persamaan tersebut menjadi:
67
Tabel IV. 7 Estimasi nilai permeabilitas dan porositas untuk setiap lokasi
pengukuran di batuan dasar granitic.
Porositas
Permeabilitas Rekahan Alami
Rata- rata Rekahan
Rata- rata (darcy)
Lokasi Spasi alami kf (darcy)
Bukaan (inch)
(inch)
Cubes (md) Match Sticks (md) Lucia (%)
1 2.55906 0.012598432 35.43958365 26.57968774 0.49% 8570.906
2 1.73622 0.011023628 30.61932344 22.96449258 0.63% 6562.1
3 1.59449 0.008661422 12.70684565 9.530134237 0.54% 4051.092
4 2.16654 0.01181103 32.33609414 24.2520706 0.55% 7533.023
5 4.7126 0.01181103 14.86595873 11.14946905 0.25% 7533.023
6 2.36221 0.010236226 16.73185899 12.54889425 0.43% 5658.137
7 3.02362 0.030314977 1005.55015 754.1626125 1.00% 49625.88
8 0.98425 0.01968505 549.2145866 411.9109399 2.00% 20925.06
68
Gambar IV. 29 Estimasi nilai permeabilitas menggunakan metode Match Sticks,
pada daerah penelitian batuan dasar granitik.
Gambar IV. 30 Estimasi nilai porositas menggunakan metode Lucia pada daerah
penelitian batuan dasar granitik.
69
Chart Title y = 0.0018x0.3052
R² = 0.6998
2.50%
2.00%
1.50%
1.00%
0.50%
0.00%
0 200 400 600 800 1000 1200
y = 0.002x0.3052
Chart Title R² = 0.6998
2.50%
2.00%
1.50%
1.00%
0.50%
0.00%
0 100 200 300 400 500 600 700 800
Gambar IV. 32 Hubungan nilai estimasi permeabilitas metode Match Sticks (1995)
dengan porositas metode Lucia (1983) pada batuan dasar granitik.
70
Model yang digunakan dalam perhitungan nilai permeabilitas dan porositas
sangat sederhana. Hubungan antara rekahan dalam perhitungan ini diabaikan,
begitupun dengan kehadiran rekahan – rekahan yang berukuran kecil. Nilai
permebilitas dan porositas dari batuan dasar pada daerah penelitian dapat bernilai
lebih besar jika hubungan antara rekahan dan kehadiran rekahan – rekahan yang
berukuran kecil diperhitungkan.
Gambar IV. 33 Model yang digunakan dalam metode Lucia (1983) yang dalam
perhitungan nilai permeabilitas dan porositas (Lucia, 1983).
71
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
72
DAFTAR PUSTAKA
Bai, T., Pollard, D. D. 2001. Getting more for less: The Unusual Efficiency of Fluid
Flow in Fractures. Geophysical research letters, 28(1), 65-68.
Barber, A.J., M.J. Crow & J.S. Milsom. 2005, Sumatra: Geology, Resources and
Tectonic Evolution. Geol Soc., London, Mem. 31.
Bemmelen, R.W. van., 1949. The Geology of Indonesia, Vol. 1 A, Government
Printing Office, The Hauge.
Barton, C. A., Zoback, M. D., Moos, D. 1995. Fluid Flow Along Potentially Active
Faults in Crystalline Rock. Geology, 23(8), 683-686.
Bonnet, E., Bour, O., Odling, N. E., Davy, P., Main, I., Cowie, P., Berkowitz, B.
2001. Scaling of Fracture Systems in Geological Media. Reviews of
Geophysics, 39(3), 347-383.
Caine, J. S., Evans, J. P., Forster, C. B. 1996. Fault Zone Architecture and
Permeability Structure. Geology, 24(11), 1025-1028.
Davis, G. H., Reynolds, S. J., Kluth, C. F. 2012. Structural Geology of Rocks and
Regions. 3nd edition. Wiley.
Landes, K. K., Amoruso, J. J., Charlesworth Jr, L. J., Heany, F., Lesperance, P. J.
1960. Petroleum Resources in Basement Rocks. AAPG Bulletin, 44(10),
1682-1691.
Noeradi, D., Djuhaeni, Simanjutak, B. (2005). Rift Play in Ombilin Basin Outcrop,
West Sumatra.
74
P'an, C. H. 1982. Petroleum in Basement Rocks. AAPG Bulletin, 66(10), 1597-
1643.
75
Turcotte, D. L. 1997. Fractals and Chaos in Geology and Geophysics. Cambridge
University Press.
Velde, B., Dubois, J., Touchard, G., Badri, A. 1990. Fractal Analysis of Fractures
in Rocks: The Cantor's Dust Method. Tectonophysics, 179(3-4), 345-352.
Watkins, H., Bond, C.E., Butler, R.W.H., 2014. Identifying multiple detachment
horizons and an evolving thrust history through cross-section restoration
and appraisal in the Moine Thrust Belt, NW Scotland. J. Struct. Geol. 66,
1e10.
Wu, H., Pollard, D.D., 1995. An experimental study of the relationship between
joint spacing and layer thickness. J. Struct. Geol. 17, 887e905.
Yarmanto dan Fletcher, G. (1993). Field Trip Guide Book. Indonesian Petroleum
Association, Post Convention Field Trip, Ombilin Basin, West Sumatra.
Zeeb, C., Gomez-Rivas, E., Bons, P. D., Blum, P. 2013. Evaluation of Sampling
Methods for Fracture Network Characterization Using Outcrops. AAPG
bulletin, 97(9), 1545-1566.
76
LAMPIRAN
77
Lampiran A Grafik distribusi spasi rekahan alami pada batuan dasar
granitik yang terdistribusi secara power law.
78
Lampiran B Grafik distribusi panjang rekahan alami pada batuan dasar granitik
yang terdistribusi secara power law.
79
Lampiran C Grafik distribusi bukaan rekahan alami pada batuan dasar granitik
yang terdistribusi secara power law.
80
Lampiran D Analisis sifat fraktal untuk panjang rekahan pada batuan dasar granitik
dilakukan dengan membuat kelas frekuensi. Distribusi frekuensi tiap
kelas kemudian diplot dalam grafik log-log dengan kelas sebagai
sumbu-x dan frekuensi sebagai sumbu-y.
81
Lampiran E Analisis sifat fraktal untuk panjang rekahan pada batuan dasar granitik
dilakukan dengan membuat kelas frekuensi. Distribusi frekuensi tiap
kelas kemudian diplot dalam grafik log-log dengan kelas sebagai
sumbu-x dan frekuensi sebagai sumbu-y.
82
Lampiran F Analisis sifat fraktal untuk bukaan rekahan pada batuan dasar granitik
dilakukan dengan membuat kelas frekuensi. Distribusi frekuensi tiap
kelas kemudian diplot dalam grafik log-log dengan kelas sebagai
sumbu-x dan frekuensi sebagai sumbu-y.
83
84