Anda di halaman 1dari 78

Vol. 14 No.

1 Desember 2016 ISSN 1412- 808X


Nomor : 671/AU3/P2MI-LIPI/07/2015

Diterbitkan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)


Jakarta – Indonesia

J. Si. Dirgant VOL. 14 NO. 1 HAL. 1 - 70 JAKARTA, JUNI 2017 ISSN 1412-808X
JURNAL
SAINS DIRGANTARA
Journal of Aerospace Sciences
Vol. 14 No. 1 Desember 2016 ISSN 1412-808X
Nomor : 671/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
Jurnal Sains Dirgantara (JSD) berisi hasil penelitian, pengembangan, dan/atau pemikiran di bidang sains atmosfer
dan antariksa. Jurnal ini terbit sejak tahun 2004 dan dipublikasikan dua kali dalam setahun (Juni dan Desember)

SUSUNAN DEWAN PENYUNTING


JURNAL SAINS DIRGANTARA
 Ketua Editor
Drs. Sri Kaloka Prabotosari (Lingkungan Atmosfer dan Aplikasinya)/LAPAN

 Penyunting
Dr. Ina Juaeni (Meteorologi/Sains Kebumian)/LAPAN
Dr. Buldan Muslim (Fisika Magnetosfer dan Ionosfer)/LAPAN
Drs. Jiyo, M.Si (Fisika Magnetosfer dan Ionosfer)/LAPAN
Dr. Dadang Subarna (Klimatologi dan Atmosfer Maritim )/LAPAN

 Mitra Bestari
Prof. Dr. Thomas Djamaluddin (Astronomi dan Astrofisik)/LAPAN
Dr. Dhani Herdhiewidjaja (Cuaca Antariksa)/ITB
Dr. Nurjanna Joko Trilaksono (Meteorologi Skala Meso)/ITB

 Korektor Naskah
Dr. Wiwiek Setyawati (Lingkungan Atmosfer dan Aplikasinya)/LAPAN

SUSUNAN SEKRETARIAT REDAKSI JURNAL SAINS DIRGANTARA


Pemimpin Umum
Ir. Christianus Ratrias Dewanto, M.Eng

Pemimpin Redaksi Pelaksana


Ir. Jasyanto, MM

Redaksi Pelaksana
Mega Mardita, S.Sos.,M.Si
Yudho Dewanto, ST
Irianto, S.Kom
Dwi Haryanto, S.kom
Aulia Pradipta, S.S

Tata Letak
M. Luthfi

Berdasarkan SK Kepala LIPI Nomor: 818/E/2015 ditetapkan


Jurnal Sains Dirgantara sebagai Majalah Berkala Ilmiah Terakreditasi
Gambar cover, atas Lintasan gerhana matahari total pada 9 Maret 2016 di ketinggian 300 km serta lokasi pemancar dan penerima
yang digunakan dalam observasi; bawah Pola spasial Aerosol Radiative Forcing di puncak atmosfer (ARFTOA) dan permukaan (ARFSurf)
pada bulan Oktober, dalam satuan watt/m2 menunjukkan fraksi kemunculan untuk setiap rentang frekuensi (dinmalisasi terhadap
histogram foEs>2 MHz); Bawah Variasi
Alamat Penerbit
LAPAN Jl. Pemuda Persil No. 1, Rawamangun, Jakarta 13220
Telepon : (021) 4892802 Ext. 142/146 (Hunting), Fax. : (021) 47882726
Email : publikasi@lapan.go.id
Situs : http://www.lapan.go.id
http://jurnal.lapan.go.id
JURNAL
SAINS DIRGANTARA
Journal of Aerospace Sciences
Vol. 14 No. 1 Desember 2016 ISSN 1412-808X
Nomor : 671/AU3/P2MI-LIPI/07/2015

DAFTAR ISI
Halaman
PERBANDINGAN KARAKTERISTIK AKTIVITAS SINTILASI IONOSFER DI ATAS
MANADO, PONTIANAK DAN BANDUNG BERDASARKAN DATA GISTM
(CHARACTERISTICS COMPARISON OF IONOSPHERIC SCINTILLATION
ACTIVITIES OVER MANADO, PONTIANAK AND BANDUNG BASED ON GISTM
DATA)
Sri Ekawati, Sefria Anggarani, dan Dessi Marlia 1– 16

ESTIMASI BADAI GEOMAGNET BERDASARKAN KONDISI KOMPONEN ANGIN


SURYA DAN MEDAN MAGNET ANTARPLANET
(ESTIMATION OF GEOMAGNETIC STORM BASED ON SOLAR WIND
COMPONENT’S AND INTERPLANETARY MAGNETIC FIELD CONDITION)
Anwar Santoso, Mamat Ruhimat, Rasdewita Kesumaningrum, Siska Fillawati 17 - 26

PENGARUH AEROSOL TERHADAP FLUKS RADIASI NETO DAN RADIATIVE


FORCING DI PUNCAK ATMOSFER DAN DI PERMUKAAN BERDASAR DATA
SATELIT
(THE INFLUENCE OF AEROSOL ON THE NET RADIATION FLUX AND
RADIATIVE FORCING AT THE TOP OF ATMOSPHERE AND SURFACE BASED
ON SATELLITE DATA)
Rosida dan Indah Susanti 27 - 42

ANALISIS PROPAGASI GELOMBANG RADIO MODE ANGKASA SAAT


PERISTIWA GERHANA MATAHARI 9 MARET 2016
(SKYWAVE PROPAGATION ANALYSIS DURING SOLAR ECLIPSE ON 9 MARCH
2016)
Varuliantor Dear dan Rohmat Yulianto 43 - 56

PREDIKTIBILITAS CURAH HUJAN DIURNAL DI PULAU JAWA


MENGGUNAKAN MODEL WRF
(PREDICTIBILITY OF DIURNAL RAINFALL OVER JAVA ISLAND BY USING WRF
MODEL) 57 - 70
Suaydhi
JURNAL
SAINS DIRGANTARA
Journal of Aerospace Sciences
Vol. 14 No. 1 Desember 2016 ISSN 1412-808X
Nomor : 671/AU3/P2MI-LIPI/07/2015

Dari Redaksi

Sidang Pembaca yang kami hormati,


Puji syukur, kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14, No. 1, Desember 2016, hadir ke hadapan sidang pembaca
dengan mengetengahkan 5 (lima) artikel sebagai berikut:
“Perbandingan Karakteristik Aktivitas Sintilasi Ionosfer di atas Manado, Pontianak dan Bandung
Berdasarkan Data GISTM (Characteristics Comparison of Ionospheric Scintillation Activities over
Manado, Pontianak and Bandung based on GISTM Data)“ ditulis oleh: Sri Ekawati, Sefria
Anggarani, dan Dessi Marlia; “Estimasi Badai Geomagnet Berdasarkan Kondisi Komponen
Angin Surya dan Medan Magnet Antarplanet (Estimation of Geomagnetic Storm based on Solar
Wind Component’s and Interplanetary Magnetic Field Condition)“ ditulis oleh: Anwar Santoso,
Mamat Ruhimat, Rasdewita Kesumaningrum, dan Siska Fillawati; “Pengaruh Aerosol
Terhadap Fluks Radiasi Neto dan Radiative Forcing di Puncak Atmosfer dan di Permukaan
Berdasar Data Satelit (the Influence of Aerosol on the Net Radiation Flux and Radiative Forcing
at the Top of Atmosphere and Surface based on Satellite Data)“ ditulis oleh: Rosida dan Indah
Susanti; “Analisis Propagasi Gelombang Radio Mode Angkasa Saat Peristiwa Gerhana Matahari
9 Maret 2016 (Skywave Propagation Analysis During Solar Eclipse on 9 March 2016)“ ditulis
oleh: Varuliantor Dear dan Rohmat Yulianto; Artikel terakhir “Prediktibilitas Curah Hujan
Diurnal di Pulau Jawa Menggunakan Model WRF (Predictibility of Diurnal Rainfall over Java
Island by Using WRF Model)” ditulis oleh: Suaydhi.
.
Kami mengundang sidang pembaca yang budiman untuk berpartisipasi aktif dengan
mengirimkan karya tulis ilmiah yang sesuai dengan lingkup jurnal ini.
Demikian kami sampaikan, semoga sidang pembaca dapat mengambil manfaatnya.

Jakarta, Juni 2017


Perbandingan Karakteristik Aktivitas ....... (Sri Ekawati)

PERBANDINGAN KARAKTERISTIK AKTIVITAS SINTILASI IONOSFER


DI ATAS MANADO, PONTIANAK DAN BANDUNG BERDASARKAN
DATA GISTM
(CHARACTERISTICS COMPARISON OF IONOSPHERIC
SCINTILLATION ACTIVITIES OVER MANADO, PONTIANAK AND
BANDUNG BASED ON GISTM DATA)
Sri Ekawati1), Sefria Anggarani, dan Dessi Marlia
Pusat Sains Antariksa, LAPAN
1)e-mail : sri.ekawati@lapan.go.id

Diterima 9 Mei 2016; Disetujui 17 Januari 2017; Diterbitkan 30 Mei 2017

ABSTRACT

The characteristics of ionospheric scintillation activity in certain region need to be known


since its occurrence can degrade satellite signal quality of global satellite navigation system (GNSS)
and also satellite communication especially works at L-band frequency. The occurrence of ionospheric
scintillation varies with location. Therefore, this paper aims to determine comparative characteristics
of ionospheric scintillation activity over Manado, Pontianak and Bandung from amplitude scintillation
index S4 data derived from GPS receiver. The data were obtained from the GPS Ionospheric
Scintillation and TEC Monitor (GISTM) at Manado station (1.48 N; 124.85 E, geomagnetic latitude 7.7
S), at Pontianak station (0.03 S; 109.33 E, geomagnetic latitude 9.7 S) and at Bandung (-6.90 S; 107.6
E, geomagnetic latitude 16.54 S) on July 2014 to June 2015. The data were classified into three
categories: quiet, moderate and strong, based on s4 index. Then we calculated number of monthly
scintillation occurrence from each observation station and mapping of S4 index over Manado,
Pontianak and Bandung. The results showed that the percentage of strong scintillation (S4>0.5) above
Manado was always lower than the other stations. Strong scintillation detected at one stations might
not be detected at other stations. For very intense scintillation event, its occurrence could be detected
by all observation stations but vary in duration. Duration of strong scintillation over Bandung was the
longest (up to 4 hours) compared to Pontianak (less than 2 hours) and Manado (less than 1 hour).
Based on map of strong scintillation, it occurred more intensively over Java Sea.

Keywords: Ionospheric scintillation, S4 index, GNSS

1
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 : 1—16

ABSTRAK

Karakteristik aktivitas sintilasi ionosfer di atas suatu wilayah perlu diketahui karena
kemunculannya dapat menurunkan kualitas sinyal dari sistem navigasi global berbasis satelit (GNSS)
dan juga komunikasi satelit khususnya yang bekerja pada frekuensi Pita-L. Kemunculan sintilasi
ionosfer bervariasi terhadap lokasi. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui perbandingan
karakteristik aktivitas sintilasi ionosfer di atas Manado, Pontianak dan Bandung berdasarkan data
indeks amplitudo sintilasi S4. Data diperoleh dari pengamatan menggunakan GPS Ionospheric
Scintillation and TEC Monitor (GISTM) di Manado (1,48oLU;124,85oBT, lintang geomagnet 7,7o LS),
Pontianak (0,03oLS;109,33oBT, lintang geomagnet 9,7o LS) dan Bandung (-6,90o LS; 107,60o BT,
lintang geomagnet 16,54o LS). Pengamatan dilakukan dari bulan Juli 2014 hingga Juni 2015. Data
harian diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu kondisi tenang, menengah dan kuat. Kemudian
dihitung berapa persen kemunculan sintilasi kuat dari masing-masing stasiun pengamatan selama
periode tersebut dan dilakukan pemetaan indeks S4 di atas Manado, Pontianak dan Bandung.
Hasilnya menunjukkan jumlah kemunculan sintilasi kategori kuat (S4>0,5) bulanan di atas Manado
selalu lebih rendah dibandingkan dengan stasiun lainnya. Sintilasi kuat yang terdeteksi di suatu
stasiun belum tentu terdeteksi di stasiun lainnya. Untuk peristiwa sintilasi yang sangat intensif,
kemunculan sintilasi dapat terdeteksi oleh semua stasiun pengamatan tetapi durasinya berbeda-
beda. Durasi sintilasi kuat di atas Bandung merupakan yang paling lama (mencapai 4 jam)
dibandingkan dengan Pontianak (kurang dari 2 jam) dan Manado (kurang dari 1 jam). Berdasarkan
peta kemunculan sintilasi kuat, gangguan lebih intensif terjadi di daerah di atas laut Jawa.

Kata kunci: sintilasi ionosfer, indeks S4, GNSS

2
Perbandingan Karakteristik Aktivitas ....... (Sri Ekawati)

1 PENDAHULUAN ditunjukkan Tabel 1-1 (Hlubek


Sintilasi ionosfer merupakan dkk.,2014). Agar bisa menembus
fenomena alam yang dapat menjadi ionosfer, maka sinyal-sinyal GNSS
bencana (navigation/communication dimodulasikan ke gelombang pembawa
hazard) bagi sistem navigasi berbasis pada frekuensi L-Band. Tabel 1-1
satelit global (GNSS) dan komunikasi menunjukkan frekuensi gelombang
satelit khususnya yang bekerja pada pembawa yang digunakan oleh satelit
daerah frekuensi L-band (Banerjee dkk., GPS (Global Positioning System), satelit
1992). Gambar 1-1 menunjukkan GLONASS (Global’naya Navigatsionnaya
pengaruh aktivitas sintilasi ionosfer Sputnikovaya Sistema dalam bahasa
terhadap gelombang radio pada Rusia) dan satelit Galileo (Nama
beberapa pita frekuensi. Sumbu-x fisikawan dan ilmuwan terkemuka dari
adalah frekuensi dari L-band (1 – 2 Italia) yang merupakan bagian dari
GHz), S-band (2 – 4 GHz), C-band (4 – 8 GNSS (Global Navigation Satellite
GHz), dan seterusnya. Sumbu-y adalah System). Satelit GPS yg merupakan
dampak yang ditimbulkan oleh GNSS milik Amerika Serikat
fenomena sintilasi (severity). Sintilasi menggunakan sinyal L1, L2 dan L5 pada
ionosfer akan berdampak lebih besar rentang frekuensi L-band (1 – 2 GHz).
pada sistem trans-ionosphere yang Begitu juga dengan GLONASS dan
menggunakan frekuensi pada daerah L- Galileo menggunakan frekuensi di
band dibandingkan dengan C-band rentang L-band. Oleh karena itu GNSS
(Theerapatpaiboon dkk., 2004). dapat dipengaruhi oleh fenomena
Sistem navigasi berbasis satelit sintilasi ionosfer yang merupakan
(Global Navigation Satellite gangguan di medium plasma ionosfer
System/GNSS) pada umumnya bekerja (Beniguel dkk., 2009).
pada frekuensi L-band seperti yang

Gambar 1-1 : Pengaruh sintilasi ionosfer terhadap frekuensi (Theerapatpaiboon dkk., 2004)

Tabel 1-1: FREKUENSI YANG DIGUNAKAN GPS, GLONASS DAN GALILEO SEBAGAI BAGIAN DARI
GNSS (Hlubek dkk.,2014)

GNSS Negara Frekuensi (MHz)


GPS USA L1 : 1575,42 L2:1227,60 L5 (I + Q): 1176,45
GLONASS Rusia L1:1602 + FCN 0.5625 L2:1246+FCN 0.4375
Galileo Eropa E1 (B + C):1575,42 E5a(I +Q): 1176,45

3
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 : 1—16

Sintilasi ionosfer merupakan ketidakstabilan Rayleigh-Taylor.


gangguan sinyal satelit saat melalui Pergerakan arus ionosfer pada
medium plasma ionosfer berupa umumnya ke arah atas pada siang hari
turbulensi plasma atau dan ke arah bawah pada malam hari.
ketidakteraturan densitas elektron Setelah matahari terbenam, medan
sehingga mengakibatkan fluktuasi magnet horizontal ke arah utara, arus
amplitudo dan fasa yang sangat cepat ion-ion muatan (+) bergerak ke arah
atau fading amplitudo yang sangat cepat timur. Akibatnya, menghasilkan gaya ke
(Jacowski dkk., 2012). Adapun ilustrasi arah atas, sehingga terjadi peningkatan
sintilasi ionosfer ditunjukkan pada pre-reversal (PRE) yaitu perubahan
Gambar 1-2. Khusus di daerah ekuator ketinggian lapisan F ionosfer secara
dan lintang rendah geomagnet, cepat (Ossakow, 1981). Akibat terjadi
kemunculan sintilasi terjadi pada saat pemisahan muatan (+) dan (-), maka
transisi siang menuju malam atau menghasilkan gaya ke arah bawah.
beberapa saat setelah matahari Ketidakstabilan plasma tersebut akan
terbenam. Pada fase tersebut terjadi semakin berkembang sehingga
perubahan proses ionisasi pada siang menimbulkan gelembung dengan gerak
hari dan proses rekombinasi pada ke atas yang dinamakan plasma
malam hari seperti yang kami bubbles. Pergerakan plasma bubble
ilustrasikan pada Gambar 1-3. tersebut dapat mencapai ketinggian
Kemunculan sintilasi ionosfer ini lebih dari 1500 km di atas ekuator
erat kaitannya dengan kemunculan geomagnet kemudian bergerak ke arah
plasma bubble di lapisan F ionosfer lintang rendah geomagnet bagian utara
akibat terjadinya ketidakstabilan dan selatan dengan durasi
Rayleigh-Taylor (Ossakow, 1981; kemunculannya dari beberapa menit
Mendillo dan Baumgardner, 1982; sampai dengan beberapa jam. (Abdu
Ogawa dkk., 2005). Adapun mekanisme dkk.,1983).
terjadinya plasma bubble terkait dengan

Gambar 1-2: Ilustrasi sinyal satelit GPS yang terganggu oleh fenomena sintilasi ionosfer sehingga
terjadi fluktuasi amplitudo dan fasa yang cepat setelah melalui medium plasma ionosfer.
(sumber: Maruyama, NICT, Japan)

4
Perbandingan Karakteristik Aktivitas ....... (Sri Ekawati)

Gambar 1-3: Ilustrasi lapisan Ionosfer pada siang dan malam

Adapun daerah kemunculan sintilasi kemunculan sintilasi terjadi pada dua


ionosfer yang paling sering terjadi puncak selama setahun.
adalah di daerah sekitar ± 20o lintang Masalah yang dikaji pada makalah
geomagnet belahan bumi utara maupun ini: pertama, seberapa besar kemunculan
selatan (Kintner dkk., 2009) seperti yang sintilasi ionosfer kategori kuat (dengan
ditunjukkan peta kemunculan sintilasi indeks S4 lebih besar dari 0,5) di atas
ionosfer secara global (Gambar 1-4). Manado, Pontianak dan Bandung setiap
Semakin merah warnanya bulannya dan seberapa besar perbedaan
menunjukkan frekuensi kemunculan kemunculan sintilasi kategori kuat
nya semakin tinggi dan semakin biru tersebut di Manado, Pontianak dan
warnanya kemunculannya semakin Bandung? Kedua, apakah kemunculan
rendah. Gambar 1-4 juga menunjukkan sintilasi ionosfer kuat dapat terdeteksi
bahwa ionosfer di atas wilayah oleh semua stasiun pengamatan atau
Indonesia merupakan wilayah dengan hanya terdeteksi oleh suatu stasiun
frekuensi kemunculan sintilasi ionosfer pengamatan saja. Ketiga, dari segi
paling tinggi. waktu, bagaimana perbedaan kemunculan
Studi tentang sintilasi ionosfer di sintilasi kategori kuat dari ketiga stasiun
atas Indonesia secara klimatologi dan tersebut? Dan terakhir, dimanakah
arah pergerakannya telah dilakukan kemunculan gangguan sintilasi ionosfer
dari data indeks S4 stasiun Pontianak kuat paling sering terjadi diantara ketiga
dan Bandung tahun 2009 - 2011 (Abadi stasiun pengamatan tersebut?
dkk., 2014). Evolusi kemunculan sintilasi Sehingga tujuan penelitian ini
ionosfer di atas wilayah Indonesia adalah mengetahui perbandingan
secara spasial dan secara temporal pun karakteristik aktivitas sintilasi ionosfer
telah dilakukan dari data indeks S4 di atas Manado, Pontianak dan
Kototabang, Pontianak dan Manado Bandung dari data indeks amplitudo
tahun 2013 (Asnawi dkk., 2015). Kedua sintilasi S4 yang diperoleh dari
makalah tersebut melaporkan penerima GPS.

5
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 : 1—16

Gambar 1-4: Peta global kemunculan sintilasi ionosfer (Kintner dkk., 2009)

2 DATA DAN METODOLOGI diklasifikasikan menjadi tiga kategori


Data yang digunakan pada yaitu kondisi tenang, menengah, dan
penelitian ini adalah data indeks kuat. Untuk memudahkan dalam
sintilasi amplitudo (S4) yang diperoleh menganalisis, maka klasifikasi tersebut
dari GPS Ionospheric Scintillation and dilakukan dengan perbedaan warna.
TEC Monitor (GISTM) yang dioperasikan Aktivitas sintilasi tenang/quiet dengan
di Bandung, Pontianak dan Manado. indeks S4≤0,25 diidentifikasi dengan
Tabel 2-1 menunjukkan posisi stasiun warna hijau. Aktivitas sintilasi sedang/
berdasarkan koordinat geografis (lintang moderate dengan indeks 0,25<S4≤0,5
dan bujur) serta lintang geomagnet. dan durasinya lebih besar dari 10 menit
Data yang diolah adalah Indeks diidentifikasi dengan warna kuning.
S4 yang merupakan akar varian Aktivitas sintilasi kuat/strong dengan
normalisasi dari intensitas sinyal satelit. indeks 0,5<S4≤1 dan durasinya lebih
Indeks S4 tidak memiliki satuan dan dari 10 menit diidentifikasi dengan
memiliki nilai dari 0 sampai dengan 1. warna merah. Sedangkan warna biru
GISTM mengeluarkan data indeks S4 artinya tidak ada data tersedia atau data
total dan indeks S4 correction. Sehingga tidak lengkap. Kemudian dilakukan
untuk memperoleh indeks S4 yang pemilihan data sintilasi hanya kategori
terkoreksi digunakan perhitungan kuat/strong. Sehingga diperoleh jumlah
seperti pada Persamaan 2-1 (Dubey dkk, kemunculan sintilasi kategori kuat
2006): dalam satu bulan. Dari jumlah
kemunculan sintilasi kuat bulanan ini
dapat diketahui aktivitas dan
(2-1)
karakteristik sintilasi ionosfer di atas
setiap stasiun secara umum.
Berdasarkan GISM Chart (Global
Ionosphere Scintillation Model), aktivitas Karena data posisi titik lintasan
sintilasi yang diindikasikan oleh indeks sinyal satelit GPS di ionosfer (berupa
S4, mempunyai kategori sebagai berikut koordinat lintang dan bujur) tidak
(Butcher, 2005): tersedia, maka Ionospheric Pierce Point
(IPP) dari data sudut elevasi dan azimut
1) (S4 ≤ 0,25) : quiet/tenang,
dihitung di ketinggian 350 km di atas
2) (0,25 < S4 ≤ 0,5) : moderate/sedang,
permukaan bumi (Asnawi, 2015).
3) (0,5 < S4 ≤ 1) : strong/ kuat
Metode tersebut dilakukan untuk
Data indeks S4 selama satu mengetahui posisi sintilasi ionosfer dan
tahun yaitu dari bulan Juli 2014 sampai melakukan pemetaan sintilasi ionosfer
dengan Juni 2015 diidentifikasi dan di atas wilayah Indonesia.

6
Perbandingan Karakteristik Aktivitas ....... (Sri Ekawati)

Tabel 2-1: POSISI STASIUN PENERIMA GISTM

Nama Stasiun Lintang (o) Bujur (o) Lintang Geomagnet (o)


Bandung -6,90o LS 107,60o BT 16,54o LS
Pontianak 0,03o LS 109,33o BT 9,7o LS
Manado 1,48o LU 124,85o BT 7,7o LS

Tabel 2-2: KLASIFIKASI AKTIVITAS SINTILASI IONOSFER

Kategori Warna Indikasi Durasi


Tenang Hijau S4≤0,25
Menengah Kuning 0,25<S4≤0,5 > 10 menit
Kuat Merah 0,5<S4≤1 > 10 menit
Tidak ada data Biru Data tidak lengkap/tidak ada data

3 HASIL DAN PEMBAHASAN akan dipaparkan pembahasan


Tabel 3-1 menunjukkan hasil berdasarkan Tabel 3-1 dan Gambar 3-1.
identifikasi dan klasifikasi harian Pada bulan Juli 2014, jumlah
kemunculan sintilasi ionosfer di atas kemunculan sintilasi ionosfer kategori
Manado, Pontianak dan Bandung dari kuat baik di atas Manado, Pontianak
bulan Juli 2014 sampai dengan Juni maupun Bandung adalah 0. Selain itu,
2015. Klasifikasi dilakukan berdasarkan pada bulan Juli juga hanya terjadi
indikasi indeks S4 yang ditunjukkan kemunculan aktivitas sintilasi kategori
Tabel 2-2. menengah, yaitu tanggal 10 Juli 2014
dari data Manado dan Pontianak,
3.1 Perbandingan Berdasarkan Jumlah tanggal 16 Juli 2014 dari data
Kemunculan Sintilasi Kuat Pontianak namun data Manado kategori
Bulanan tenang, dan tanggal 28 Juli 2014 dari
Untuk mengetahui seberapa data Bandung namun data Pontianak
besar kemunculan sintilasi ionosfer kategori tenang.
kategori kuat di atas Manado, Pontianak Pada bulan Agustus 2014,
dan Bandung dan seberapa besar jumlah kemunculan sintilasi ionosfer
perbedaannya, maka perhitungan kategori kuat di atas Manado sebesar 4,
jumlah banyaknya hari kemunculan di atas Pontianak sebesar 1, dan di atas
sintilasi kategori kuat dalam satu bulan Bandung sebesar 6. Pada periode ini,
telah dilakukan. Hasil perhitungan kemunculan sintilasi ionosfer di atas
jumlah kemunculan sintilasi kategori Bandung lebih sering terjadi
kuat di atas Manado, Pontianak dan dibandingkan ionosfer di atas Pontianak
Bandung bulanan dari bulan Juli 2014 dan Manado. Dari data Manado, sintilasi
sampai dengan Juni 2015 ditunjukkan kuat terjadi pada tanggal 7, 10, 18 dan
pada Gambar 3-1. Warna biru 27 Agustus 2014. Dari data Pontinak,
menunjukkan data diperoleh dari stasiun sintilasi kuat terjadi pada tanggal 7
Manado, warna hijau menunjukkan Agustus 2014. Sedangkan dari data
data diperoleh dari Pontianak dan warna Bandung, sintilasi kuat terjadi pada
merah menunjukkan data diperoleh dari tanggal 2, 3, 6, 7, 9 dan 17 Agustus
stasiun Bandung. Sumbu-x menunjukkan 2014.
bulan dan sumbu-y menunjukkan Pada bulan September 2014,
jumlah kemunculan sintilasi kategori jumlah kemunculan sintilasi ionosfer
kuat selama satu bulan. Selanjutnya kategori kuat di atas Manado sebesar 3,

7
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 : 1—16

di atas Pontianak sebesar 12 dan di atas kuat terjadi pada tanggal 15, 16, 25, 26,
Bandung sebesar 12. Dari data Manado, 27, dan 28 Februari 2015.
sintilasi kuat terjadi pada tanggal 9, 17 Pada bulan Maret 2015, jumlah
dan 18 September 2014. Dari data kemunculan sintilasi ionosfer kategori
Pontinak, sintilasi kuat terjadi pada kuat di atas Manado sebesar 7, di atas
tanggal 3, 9, 10, 13, 15, 16, 18, 21, 22, Pontianak sebesar 11, dan di atas
23, 28, dan 29 September 2014. Bandung sebesar 10. Dari data Manado,
Sedangkan dari data Bandung, sintilasi sintilasi kuat terjadi pada tanggal 4, 5,
kuat terjadi pada tanggal 8, 9, 10, 13, 11, 14, 16, 25, dan 31 Maret 2015. Dari
15, 16, 17, 18, 22, 23, 27, dan 29 data Pontinak, sintilasi kuat terjadi
September 2014. pada tanggal 3, 4, 5, 6, 9, 11, 12, 13,
Pada bulan Oktober 2014, jumlah 14, 16 dan 24 Maret 2015. Sedangkan
kemunculan sintilasi ionosfer kategori dari data Bandung, sintilasi kuat terjadi
kuat di atas Manado sebesar 7, di atas pada tanggal 3, 5, 6, 9, 12, 13, 14, 24,
Pontianak sebesar 6, dan di atas 25, dan 26 Maret 2015.Pada bulan April
Bandung sebesar 6. Dari data Manado, 2015, jumlah kemunculan sintilasi
sintilasi kuat terjadi pada tanggal ionosfer kategori kuat di atas Manado
1,4,8,10,12,14, dan 17 Oktober 2014. sebesar 8, di atas Pontianak sebesar 14,
Dari data Pontinak, sintilasi kuat terjadi dan di atas Bandung sebesar 12. Dari
pada tanggal 1, 3, 6, 8, 12, 13, dan 14 data Manado, sintilasi kuat terjadi pada
Oktober 2014. Sedangkan dari data tanggal 1, 2, 3, 6, 7, 8, 14 dan 15 April
Bandung, sintilasi kuat terjadi pada 2015. Dari data Pontinak, sintilasi kuat
tanggal 8,12,14,17,21 dan 31 Oktober terjadi pada tanggal 1 – 9, 22, 25, 26, 27
2014. dan 29 April 2015. Sedangkan dari data
Pada bulan Nopember 2014, Bandung, sintilasi kuat terjadi pada
jumlah kemunculan sintilasi ionosfer tanggal 1 – 9, 22, 23, dan 25 April 2015.
kategori kuat di atas Manado sebesar 4, Pada bulan Mei 2015, jumlah
di atas Pontianak sebesar 5, dan di atas kemunculan sintilasi ionosfer kategori
Bandung sebesar 6. Dari data Manado, kuat di atas Manado sebesar 1, di atas
sintilasi kuat terjadi pada tanggal 10, Pontianak sebesar 3, dan di atas
17, 18, 20 Nopember 2014. Dari data Bandung sebesar 5. Dari data Manado,
Pontinak, sintilasi kuat terjadi pada sintilasi kuat terjadi pada tanggal 8
tanggal 10, 11, 17, dan 19 Nopember Mei 2015. Dari data Pontinak, sintilasi
2014. Sedangkan dari data Bandung, kuat terjadi pada tanggal 4, 7, dan 16
sintilasi kuat terjadi pada tanggal 1, 2, Mei 2015. Sedangkan dari data
6, 9, 10, dan 19 Nopember 2014. Bandung, sintilasi kuat terjadi pada
Sedangkan pada bulan Desember tanggal 2, 4, 5, 7 dan 16 Mei 2015.
2014 dan Januari 2015, jumlah Pada bulan Juni 2015, jumlah
kemunculan sintilasi ionosfer kategori kemunculan sintilasi ionosfer kategori
kuat baik di atas Manado, Pontianak kuat di atas Manado, Pontianak adalah
maupun Bandung adalah 0. 0, dan di atas Bandung sebesar 2 yang
Pada bulan Februari 2015, terjadi pada tanggal 2 dan 4 Juni 2015.
jumlah kemunculan sintilasi ionosfer Berdasarkan Tabel 3-1, secara
kategori kuat di atas Manado sebesar 1, umum sintilasi kuat yang terdeteksi di
di atas Pontianak sebesar 4, dan di atas Manado akan terdeteksi di Pontianak,
Bandung sebesar 6. Dari data Manado, dan di Bandung. Namun ada juga
sintilasi kuat terjadi pada tanggal 19 beberapa kasus sintilasi kuat terdeteksi
Februari 2015. Dari data Pontianak, di Manado namun tidak terdeteksi di
sintilasi kuat terjadi pada tanggal 15, Pontianak dan Bandung seperti pada
19, 25 dan 27 Februari 2015. tanggal 14 dan 15 April 2015.
Sedangkan dari data Bandung, sintilasi Sebaliknya banyak kejadian sintilasi
8
Perbandingan Karakteristik Aktivitas ....... (Sri Ekawati)

kuat terdeteksi di Bandung namun tidak selalu lebih rendah dibandingkan


terdeteksi baik di Pontianak dan dengan di Pontianak dan Bandung.
Manado seperti pada tanggal 17 Agustus Walaupun pada bulan Agustus jumlah
2014, 16 Februari, 23 April, 2 Mei, 2 kemunculan sintilasi kuat di Manado
Juni dan 4 Juni 2015. lebih tinggi dibandingkan dengan di
Berdasarkan Gambar 3-1, secara Pontianak, bukan berarti di Pontianak
umum sintilasi banyak muncul di bulan tidak ada sintilasi kuat. Tetapi, data di
Maret-April dan September-Oktober Pontianak lebih banyak tidak lengkap
yang ditunjukkan ketiga stasiun yaitu atau data error yang dapat dilihat lebih
saat matahari berada di sekitar terperinci di Tabel 3-1. Hasil lainnya
ekuinoks. Dan kemunculan sintilasi adalah selama periode Juni 2014 – Juli
kuat jarang muncul di bulan Juni-Juli 2015 kemunculan sintilasi tertinggi
dan Desember-Januari. Berdasarkan terjadi pada bulan September dan April
Gambar 3-1 juga, sintilasi kuat lebih yang ditunjukkan oleh stasiun
banyak dideteksi oleh alat di Bandung pengamatan di Pontianak dan Bandung.
dan Pontianak dibandingkan dengan Sedangkan berdasarkan stasiun Manado
alat yang ditempatkan di Manado. Hal kemunculan sintilasi tertinggi terjadi
tersebut ditunjukkan dengan jumlah pada bulan Oktober dan April.
kemunculan sintilasi kuat bulanan yang

Tabel 3-1: HASIL IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI KEMUNCULAN SINTILASI IONOSFER DARI TIGA
STASIUN PENGAMATAN YAITU DI MANADO, PONTIANAK DAN BANDUNG DARI BULAN
JULI 2014 – JUNI 2015

9
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 : 1—16

Gambar 3-1: Jumlah kemunculan sintilasi bulanan untuk sintilasi kategori kuat (indeks S4 ≥ 0,5) di
atas Manado, Pontianak dan Bandung

3.2 Perbandingan Berdasarkan Waktu mulai muncul di atas Manado pada


dan Durasi Gangguan Sintilasi pukul 11:42 UT (19:42 WITA di Manado)
Walaupun sintilasi kategori kuat dengan durasi total 30 menit. Sintilasi
terdeteksi di ketiga tempat pengamatan, kuat di atas Pontianak mulai muncul
tetap memiliki perbedaan dari waktu pukul 13:22UT (20:22 WIB di Pontianak)
kemunculannya dan juga durasinya. dengan durasi 1 jam 5 menit.
Dari Tabel 3-1, diambil contoh untuk Sedangkan sintilasi kuat di atas
sintilasi kategori kuat yang terdeteksi di Bandung mulai muncul pukul 12:02 UT
semua stasiun pengamatan yaitu (19:02 WIB di Bandung) dengan durasi
tanggal 5, 14 Maret dan 8 April 2015. total 4 jam 30 menit.
Gambar 3-2, 3-3, dan 3-4 berturut-turut Pada tanggal 8 April 2015,
adalah perubahan Indeks S4 terhadap sintilasi ionosfer kategori kuat (S4>0,5)
waktu (UT) dari stasiun Manado, mulai muncul di atas Manado pada
Pontianak dan Bandung pada tanggal 5, pukul 11:24 UT (19:24 WITA di Manado)
14 Maret, dan 8 April 2015. dengan durasi total 50 menit. Sintilasi
Pada tanggal 5 Maret 2015, kuat di atas Pontianak mulai muncul
sintilasi ionosfer kategori kuat (S4>0,5) pukul 12:10 UT (19:10 WIB di
mulai muncul di atas Manado pada Pontianak) dengan durasi 47 menit
pukul 13:06 UT (21:00 WITA di Manado) kemudian muncul kembali pada pukul
dengan durasi 10 menit. Sintilasi kuat 14:25 UT (21:25 WIB di Pontianak)
di atas Pontianak mulai muncul pukul dengan durasi 47 menit. Sedangkan
14:10 UT (21:10 WIB di Pontianak) sintilasi kuat di atas Bandung mulai
dengan durasi 26 menit. Sedangkan muncul pukul 12:07 UT (19:07 WIB di
sintilasi kuat di atas Bandung mulai Bandung) dengan durasi total 2 jam 52
muncul pukul 13:40 UT (20:40 WIB di menit dan muncul kembali pada pukul
Bandung) dengan durasi 4 jam. 15:28 UT (22:28 WIB di Bandung)
Pada tanggal 14 Maret 2015, dengan durasi 37 menit. Pada Gambar
sintilasi ionosfer kategori kuat (S4>0,5) 3-2, 3-3 dan 3-4, kemunculan sintilasi

10
Perbandingan Karakteristik Aktivitas ....... (Sri Ekawati)

lebih dahulu terdeteksi oleh alat di lebih lama dibandingkan dengan durasi
Manado, kemudian Pontianak selanjutnya gangguan di Pontianak ataupun
Bandung. Hal tersebut karena ionosfer Manado. Durasi gangguan di atas
di Manado lebih dahulu mengalami Bandung dapat mencapai 4 jam namun
pergantian siang ke malam dan di atas Manado hanya puluhan menit
gangguan ketidakstabilan ionosfer mulai saja. Hal tersebut karena gangguan
terjadi di Manado. Sedangkan kemunculan ketidakteraturan ionosfer atau
sintilasi di Pontianak dan Bandung turbulensi ionosfer lebih besar berada di
hampir sama karena memiliki waktu atas Bandung dibandingkan Pontianak
pergantian siang ke malam yang hampir dan Manado. Ini menunjukkan
sama. Hal tersebut menunjukkan waktu kemunculan sintilasi ionosfer memiliki
kemunculan sintilasi ionosfer di atas variasi lintang. Disebabkan gangguan
wilayah Indonesia adalah beberapa saat plasma bubbles yang mulai terbentuk di
setelah matahari terbenam. ekuator geomagnet bergerak dan
Selain itu, durasi gangguan tumbuh ke arah lintang rendah
kemunculan sintilasi di atas Bandung geomagnet (Ogawa dkk., 2005).

Gambar 3-2: Aktivitas sintilasi ionosfer di atas Manado, Pontianak dan Bandung pada tanggal 5 Maret
2015

11
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 : 1—16

Gambar 3-3: Aktivitas sintilasi ionosfer di atas Manado, Pontianak dan Bandung pada tanggal 14
Maret 2015.

Gambar 3-4: Aktivitas sintilasi ionosfer di atas Manado, Pontianak dan Bandung pada tanggal 8 April
2015

3.3 Perbandingan Berdasarkan Daerah tersebut dapat diperoleh informasi


Gangguan Sintilasi daerah gangguan sintilasi ionosfer.
Untuk mengetahui daerah Gambar 3-5 menunjukkan
gangguan sintilasi, maka dilakukan aktivitas sintilasi ionosfer pada tanggal
pemetaan indeks S4 di atas daerah 14 Maret 2015 yang diperoleh dari
Manado yang ditunjukkan Gambar 3-5, GISTM Manado. Panel bawah
daerah Pontianak yang ditunjukkan menunjukkan daerah cakupan
Gambar 3-6 dan daerah Bandung yang pengamatan ionosfer dan peta sintilasi
ditunjukkan Gambar 3-7. Dari peta ionosfer selama 24 jam. Dari peta

12
Perbandingan Karakteristik Aktivitas ....... (Sri Ekawati)

tersebut terlihat daerah gangguan ionosfer selama 24 jam. Dari peta


sintilasi yang berwarna merah yaitu di tersebut terlihat daerah gangguan
daerah selatan cakupan pengamatan sintilasi yang berwarna merah yaitu
Manado. Gambar 3-6 menunjukkan hampir melingkupi semua daerah
aktivitas sintilasi ionosfer pada tanggal cakupan pengamatan lebih intensif ke
14 Maret 2015 yang diperoleh dari arah Utara cakupan pengamatan di atas
GISTM Pontianak. Panel bawah Bandung.
menunjukkan daerah cakupan Bila peta sintilasi dari Manado,
pengamatan ionosfer dan peta sintilasi Pontianak dan Bandung digabungkan
ionosfer selama 24 jam. Dari peta maka diperoleh peta distribusi daerah
tersebut terlihat daerah gangguan aktivitas sintilasi ionosfer. Gambar 3-8
sintilasi yang berwarna merah yaitu di menunjukkan peta sintilasi ionosfer
daerah selatan cakupan pengamatan pada tanggal 14 Maret 2015 pada pukul
Pontianak. Sedangkan Gambar 3-7 10:00 – 18:00 UT. Sumbu-x
menunjukkan aktivitas sintilasi ionosfer menunjukkan koordinat bujur, sumbu-y
pada tanggal 14 Maret 2015 yang menunjukkan koordinat lintang dan
diperoleh dari GISTM Bandung. Panel warna menunjukkan indeks S4 dari 0
bawah menunjukkan daerah cakupan sampai dengan 1. Semakin berwarna
pengamatan ionosfer dan peta sintilasi merah, nilai indeks S4 semakin kuat.

Gambar 3-5: Aktivitas sintilasi ionosfer di atas Manado pada tanggal 14 Maret 2015 selama 24 jam.
Panel atas menunjukkan indeks S4 dan panel bawah menunjukkan daerah kemunculan
aktivitas sintilasi dengan warna hijau, kuning dan merah berturut-turut untuk kategori
tenang, menengah dan kuat

13
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 : 1—16

Gambar 3-6: Aktivitas sintilasi ionosfer di atas Pontianak pada tanggal 14 Maret 2015 selama 24 jam.
Panel atas menunjukkan indeks S4 dan panel bawah menunjukkan daerah kemunculan
aktivitas sintilasi dengan warna hijau, kuning dan merah berturut-turut untuk kategori
tenang, menengah dan kuat

Gambar 3-7: Aktivitas sintilasi ionosfer di atas Bandung pada tanggal 14 Maret 2015 selama 24 jam.
Panel atas menunjukkan indeks S4 dan panel bawah menunjukkan daerah kemunculan
aktivitas sintilasi dengan warna hijau, kuning dan merah berturut-turut untuk kategori
tenang, menengah dan kuat

14
Perbandingan Karakteristik Aktivitas ....... (Sri Ekawati)

Gambar 3-8: Peta aktivitas sintilasi ionosfer di atas wilayah Indonesia pada tanggal 14 Maret 2015
dengan resolusi 2ox2o dari data indeks S4 yang diperoleh dari tiga stasiun yaitu Manado,
Pontianak dan Bandung

Gambar 3-8 merupakan peta distribusi 4 KESIMPULAN


aktivitas sintilasi ionosfer yang Berdasarkan jumlah
diperoleh dari data indeks S4 yang kemunculan bulanan, kemunculan
mewakili daerah dengan kotak 2o x 2o. sintilasi ionosfer kategori kuat lebih
Artinya, setiap kotak mewakili darah 2o intensif terjadi di atas Bandung dan
bujur dan 2o lintang. Dari peta tersebut Pontianak dibandingkan dengan
terlihat distribusi gangguan sintilasi Manado. Umumnya, sintilasi kuat
ionosfer lebih intensif di atas daerah terdeteksi di atas Bandung, namun di
laut Jawa. Artinya sinyal satelit yang Pontianak dan Manado tidak terdeteksi
melalui ionosfer di daerah sekitar laut adanya sintilasi kuat. Sebaliknya ada
Jawa akan lebih mengalami gangguan beberapa kasus sintilasi kuat terdeteksi
dibandingkan ketika sinyal satelit di atas Manado, namun tidak
melalui daerah di atas Kalimantan ditunjukkan oleh alat di Pontianak dan
Timur atau di Utara Manado. Dengan Bandung.
diperoleh peta distribusi kemunculan Sintilasi kuat akan terdeteksi
sintilasi ionosfer, diperoleh juga lebih dahulu di atas Manado
informasi kemunculan sintilasi ionosfer dibandingkan dengan Pontianak dan
mempunyai variasi lintang dengan Bandung. Hal tersebut karena Manado
intensitas gangguan sintilasi kategori merupakan daerah yang lebih Timur
kuat berada di daerah sepanjang garis - sehingga lebih dahulu mengalami fase
4o LS (sekitar -15o LS, lintang perubahan siang ke malam.
geomagnet) hingga -7o LS (sekitar -17o Dari segi durasinya, sintilasi
LS lintang geomagnet). Daerah tersebut kuat di atas Bandung menunjukkan
merupakan daerah dengan konsentrasi gangguan lebih lama (mencapai 4 jam)
plasma yang tinggi (crest) of Equatorial dibandingkan dengan durasi
Ionization Anomaly (EIA). kemunculan sintilasi kuat di atas

15
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 : 1—16

Pontianak dan Manado. Bahkan pada Beniguel, Y., V., Romano, L., Alfonsi, M.,
beberapa kasus durasi kemunculan Aquino, A., Bourdillon, P.,Cannon, G.,
De Franceschi, S., Dubey, B., Forte, V.,
sintilasi di atas Manado beberapa puluh
Gherm, N., Jakowski, M., Materassi, T.,
menit sementara di Pontianak mencapai oackPozoga, M., Rogers, N., Spalla, P.,
lebih dari satu jam dan di Bandung Strangeways, H. J. E., Warrington., M.,
mencapai lebih dari 4 jam. Wernik, A., Wilken, V., and N,, Zernov,
Berdasarkan peta distribusi 2009. Ionospheric Scintillation Monitoring
indeks S4 di atas wilayah Indonesia, and Modelling. Annals of Geophysics,
vol. 52, N.3/4, June/August 2009.
kemunculan sintilasi ionosfer memiliki
Butcher, N., 2005. Daily Ionospheric Forecasting
variasi lintang dan akan intensif di Service (DIFS) III, Annales of
sekitar daerah sepanjang garis lintang - Geophysicae, 23:3591-3598. 2005.
15o LS hingga -17o LS lintang Dubey, S., R. Wahi, and A. K. Gwal, 2006.
geomagnet. Ionospheric Effects on GPS Positioning.
Adv. Space Res., 38(11), 2478–2484, doi:
UCAPAN TERIMA KASIH 10.1016/ j.asr.2005.07.030, 2006.
Hlubek, Nikolai, J., Berdermann, V., Wilken,
Penulis mengucapkan terima
N., Jakowski, M., Wassaie, and B.,
kasih kepada tim jaringan LAPAN, serta Damtie, 2014. Scintillations of GPS,
tim BPD Pontianak dan Manado atas GLONASS, and Galileo signals at
ketersedian data ionosfer. Penulis juga equatorial latitude. Journal of Space
mengucapkan terima kasih kepada Pak Weather Space Clim. 4 (2014) A22, DOI:
Asnawi Husin, sebagai Kepala Bidang 10.1051/swsc/2014020.
Jacowski, Norbert, Y., Béniguel, G., D.,
Ionosfer dan Telekomunikasi tahun
Franceschi, M., H., Pajares, K., S.,
2015, yang telah memberikan ide dan Jacobsen, I., Stanislawska, L., Tomasik,
akses memperoleh data, kepada Annis R., Wamant, and G., Wautelet, 2012.
S. Mardiani dan C.P. Gustiniawati atas Monitoring, Tracking and Forecasting
bantuannya mengolah data indeks S4, Ionospheric Pertubations Using GNSS
kepada Noersomadi atas bantuannya Techniques. Journal of Space Weather
Space Clim. 2 (2012) A22, DOI: 10.
dalam pembuatan program peta.
1051/swsc/2012022.
Kintner, P., M., JR., T., Humphreys, J., Hinks,
DAFTAR RUJUKAN 2009. GNSS and Ionospheric Scintillation:
Abadi, P., S., Saito, and W.,Srigutomo, 2014. How to Survive the Next Solar Maximum.
Low-latitude scintillation occurrences Inside GNSS July/August 2009.
around the equatorial anomaly crest over Mendillo, M., and J., Baumgardner, 1982. Airglow
Indonesia. Ann. Geophys, 32, 7–17,
characteristics of equatorial plasma
doi:10.5194/angeo-32-7-2014. depletions. J. Geophys. Res., 87, 7641–
Abdu, M. A., R. T., de Medeiros, J. H. 7652, 1982.
A.,Sobral, and J. A., Bittencourt, 1983. Ogawa, T., E., Sagawa, Y., Otsuka, K.,
Spread F plasma bubble vertical rise Shiokawa, T. I., Immel, S. B., Mende,
velocities determined from spaced and P., Wilkinson, 2005. Simultaneous
ionosonde observations. J. Geophys.
Ground- and Satellite-Based Airglow
Res., 88, 9197–9204,
Observations of Geomagnetic Conjugate
doi:10.1029/JA088iA11 p09197, 1983.
Plasma Bubbles in the Equatorial
Asnawi, P., Abadi, S., Ekawati, dan D., Marlia, Anomaly. Earth Planet Space, 57, 385–
2015. Analisis Spasial Kemunculan 392, 2005.
Sintilasi Ionosfer Kuat Bulan Ekuinoks Ossakow, S. L, 1981. Spread-F Theories: A
Periode 2013 di Indonesia. Jurnal Sains Review. J. Atmos. Terr. Phys.,43, 437–452,
Dirgantara Vol.12 No.2 Juni 2015:77-86. doi:10.1016/0021-9169(81)90107-0, 1981.
Banerjee, P. K., R. S., Dabas, and B. M. C., Theerapatpaiboon, P., S. Sukkaewthanom, N.,
Reddy, 1992. C and L Band Leelaruji and N. Hemmakorn, 2004. The
Transionospheric Scintillation Experiment: study of Scintillation on C-band Low
Some Results for Applications to Satellite Elevation Angle at Sri-Racha Satellite
Radio Systems, Radio Sci., 27, 955–969, Earth Station. ICCAS 2004.
doi: 10.1029/ 92RS01307, 1992.

16
Estimasi Badai Geomagnet ....... (Anwar Santoso et al)

ESTIMASI BADAI GEOMAGNET BERDASARKAN KONDISI


KOMPONEN ANGIN SURYA DAN MEDAN MAGNET ANTARPLANET
(ESTIMATION OF GEOMAGNETIC STORM BASED ON SOLAR WIND
COMPONENT’S AND INTERPLANETARY MAGNETIC FIELD
CONDITION)
Anwar Santoso, Mamat Ruhimat, Rasdewita Kesumaningrum, Siska Fillawati
Pusat Sains Antariksa
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
Jl. Dr. Djundjunan 133 Bandung 40173 Indonesia
e-mail: anwar.santoso@lapan.go.id
Diterima 8 Mei 2016; Direvisi 18 April 2017; Disetujui 19 Juli 2017

ABSTRACT

One of the space weather phenomena is geomagnetic storms. Geomagnetic storms were
caused by the entry of fast solar wind due to Coronal Mass Ejection in conjunction with the
Interplanetary Magnetic Field (IMF )Bz. that leads to the south. Conditions of solar wind component
along southward of IMF Bz before geomagnetic storms can determine the formation of geomagnetic
storms. In addition, through the solar wind conditions and Bz component of the IMF before the
geomagnetic storm intensity of geomagnetic storms can be estimated through the model of
geomagnetic storms as a function of the density of solar wind and geomagnetic storms models as a
combined function of the density and speed of the solar wind. This case study used geomagnetic storm
events data occurred in March 17, 2013; February 19, 2014; March 17, 2015; and June 23, 2015. The
results of the study showed that the estimates of the geomagnetic storms (Dst index) based on the
condition of the solar wind components before geomagnetic storms and geomagnetic storm models as
a combined function of the density and velocity components of the solar wind were still quite good.
However, the estimates of the geomagnetic storms using the model as a combined function of the
density and velocity components of the solar wind with the average deviation of 17,6 nT (12.8%) were
better than using the model of geomagnetic storms as a function of the solar wind density with the
average deviation of 37.3 nT (27.6%).

Keywords: solar wind parameters, Interplanetary Magnetic Field, geomagnetic storm

17
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 :17—26

ABSTRAK

Salah satu fenomena cuaca antariksa adalah badai geomagnet. Badai geomagnet terjadi
akibat masuknya angin surya cepat karena lontaran massa korona bersamaan dengan Bz Interplanetary
Magnetic Field (IMF) yang mengarah ke selatan. Kondisi komponen angin surya bersama arah selatan
Bz IMF sebelum badai geomagnet dapat menentukan pembentukan badai geomagnet. Selain itu,
melalui kondisi komponen angin surya dan Bz IMF sebelum badai geomagnet maka intensitas badai
geomagnet dapat diestimasi melalui model badai geomagnet sebagai fungsi kerapatan angin surya dan
model badai geomagnet sebagai fungsi gabungan kerapatan dan kecepatan angin surya. Untuk studi
kasus digunakan data kejadian badai geomagnet pada 17 Maret 2013, 19 Februari 2014, 17 Maret
2015 dan 23 Juni 2015. Hasil studi diperoleh bahwa estimasi badai geomagnet (indeks Dst)
berdasarkan kondisi komponen angin surya sebelum badai geomagnet dan model badai geomagnet
sebagai fungsi gabungan komponen kerapatan dan kecepatan angin surya masih cukup baik. Namun
demikian, estimasi badai geomagnet menggunakan model badai geomagnet sebagai fungsi gabungan
komponen kerapatan dan kecepatan angin surya dengan deviasi rata-rata 17,6 nT (12,8%) lebih baik
daripada model badai geomagnet sebagai fungsi kerapatan angin surya dengan deviasi rata-rata 37,3
nT (27,6%).

Kata kunci: parameter angin surya, medan magnet antarplanet, badai geomagnet

1 PENDAHULUAN nya dari energi yang dihasilkan tersebut


Riset cuaca antariksa merupakan akan menyebabkan pertumbuhan arus
kegiatan penting di Pusat Sains Antariksa cincin di sekitar Bumi. Pertumbuhan
LAPAN untuk mempelajari karakteristik arus cincin akibat masuknya energi medan
dan sumber pembangkitnya sehingga listrik akan memicu gangguan medan
dapat dimanfaatkan untuk mitigasi magnet Bumi dengan skala global
terhadap dampak yang ditimbulkannya (Gonzales dkk., 1994; Nagatsuma, 2002;
di lingkungan Bumi seperti diamanatkan Kivelson dan Russell, 1995; Gopalswamy,
dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2009; Russel, 2006; Khabarova, 2007;
2013. Matahari merupakan sumber Santoso, 2010). Peristiwa ini dinamakan
utama penggerak cuaca antariksa. Salah badai geomagnet (magnetic storm).
satu fenomena di Matahari yang menjadi Ketika rekoneksi berlangsung, injeksi
sumber penggerak cuaca antariksa adalah partikel-partikel yang berasal dari lontaran
Coronal Mass Ejection (CME) atau lontaran masa korona tersebut di atas akan
massa korona. Ketika terjadi lontaran semakin intens bersamaan dengan medan
massa korona, partikel-partikel dan magnet antarplanet mengarah ke selatan
medan magnet dilontarkan ke antariksa. (Interplanetary Magnetic Field arah Bz(-)).
Partikel-partikel tersebut terbawa serta Angin surya yang terlibat rekoneksi
oleh angin surya (Solar Wind, SW). Angin terproyeksi dalam komponen densitas
surya yang menuju Bumi akan ber- (Nsw dalam 1/cm3), kecepatan (Vsw
tumbukan dengan magnetosfer. Dalam dalam km/detik) dan tekanan (Psw
tumbukan ini akan terjadi injeksi energi dalam nPa). Perpaduan antara aktivitas
medan listrik melalui mekanisme di permukaan Matahari dan komponen-
rekoneksi (Burton dkk., 1975; O’Brien komponen angin surya dengan
dan McPherron, 2000; Ballatore dan Interplanetary Magnetic Field (IMF) atau
Gonzalez, 2003, Russell, 2006). Selanjut- medan magnet antarplanet arah selatan

18
Estimasi Badai Geomagnet ....... (Anwar Santoso et al)

(Bz dalam nT) menentukan kuat atau Dalam makalah ini persamaan (1-2)
lemahnya pertumbuhan arus cincin di disebut dengan model badai geomagnet
magnetosfer. Bahkan bisa menentukan sebagai fungsi komponen kerapatan
intensitas badai geomagnet yang angin surya. Dst sebenarnya merepre-
dibentuknya (Yermolaev dkk., 2005; sentasikan ukuran arus gabungan antara
Khabarova, 2007; Futaana dkk., 2007; arus cincin dan arus magnetopause.
Jadeja dkk., 2008; Gopalswamy, 2009). Oleh karenanya, Dst ini harus dikoreksi
Intensitas badai geomagnet di ekuator, dari pengaruh arus magnetopause. Dst
lintang rendah dan menengah dinyatakan yang terkoreksi arus magnetopause
dengan indeks Dst (dalam nT). Tingkatan dinotasikan dengan Dst*. Dst* dirumus-
kuat badai geomagnet (melalui indeks kan sebagai:
Dst) dapat dikelompokkan menjadi lemah
(Dst > -50nT); sedang (-50 nT > Dst > - (1-3)
100 nT); kuat (-100 nT > Dst > -200 nT);
sangat kuat (-200 nT > Dst > -300 nT) Dengan Dst* menyatakan indeks
dan super badai (Dst < -300 nT) (Loewe Dst yang dibangkitkan hanya oleh arus
dan Prolls, 1997). cincin, Konstanta b = 4,68 nT/ (nPa)1/2
Umumnya, pertumbuhan arus dan c = 7,26 nT/ (nPa)1/2 (Burton dkk.,
cincin yang menimbulkan badai 1975; O’Brien dan McPherron, 2000;
geomagnet dipengaruhi oleh tekanan Ballatore and Gonzalez, 2003).
dinamik angin surya. Vsw merupakan Oleh karena kenyataannya, banyak
salah satu komponen tekanan dinamik kejadian badai geomagnet dibangkitkan
tersebut. Namun, beberapa fenomena oleh komponen kecepatan (Vsw) angin
pertumbuhan arus cincin terjadi surya, maka dalam makalah ini penulis
bersamaan kuatnya komponen densitas memperkenalkan juga variabel P (fitting
dan tekanan angin surya tanpa factor) sebagai fungsi VSW dengan
kenaikan komponen kecepatan angin mengadopsi dan memodifikasi variabel P
surya. Berdasarkan kondisi tersebut, sebagai fungsi kerapatan (Nsw) angin surya
Khabarova (2007) memperkenalkan yang diperkenalkan oleh Khabarova (2007)
formulasi kaitan antara Bz dan Nsw seperti ditunjukkan pada persamaan (1-1)
yakni : sehingga diperoleh P sebagai fungsi Vsw
dengan formulasinya sebagai,
(1-1)
(1-4)
Dengan P adalah fungsi linier antara
Bzmin dengan densitas angin surya (N) Dengan dT adalah waktu antara Bz
dan dT adalah durasi waktu antara N minimum dan puncak Vsw.
mencapai maksimum dan Bz mencapai Banyak juga kejadian badai
minimum (jam). geomagnet dibangkitkan oleh perpaduan
Dari studi kasus terhadap 30 perilaku komponen Nsw dan Vsw
kejadian badai geomagnet sepanjang sehingga P yang mewakili kombinasi
1995-2001, Khabarova (2007) telah pengaruh komponen Vsw dan Nsw
memperoleh kaitan antara Dst dengan P (gabungan Persamaan (1-1) dan (1-4))
yakni: diformulasikan sebagai,

Ptot = P + PBz-Vsw
Dst = -4,5 + 6,5 P (1-2) (1-5)
Ptot = PBz-Nsw + PBz-Vsw

19
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 :17—26

Dengan P sebagai fungsi Nsw dari Tabel 2-1: DAFTAR KEJADIAN BADAI
GEOMAGNET KUAT (Dst, -100 nT)
Persamaan (1-1). PBz-Vsw adalah variabel TAHUN 2013-2015
P sebagai fungsi kecepatan angin surya
(Vsw) yang diadopsi dari Khabarova
(2007). No. Tanggal Kejadian DstMinimum
Dengan menggunakan 64 kejadian 1 17 Maret 2013 -132 nT
badai geomagnet sepanjang tahun 1996- 2 1 Juni 2013 -119 nT
2006 maka penulis telah memperoleh 3 19 Februari 2014 -116 nT
kaitan antara Ptot dengan Dst*minimum 4 17 Maret 2015 -132 nT
yakni, 5 23 Juni 2015 -204 nT
6 7 Oktober 2015 -124 nT
Dst* = 1,599(Ptotal) – 34,48 (1-6) 7 20 Desember 2015 -170 nT
8 31 Desember 2015 -109 nT
Persamaan (1-6) ini disebut dengan
model badai geomagnet sebagai fungsi Sebagai studi kasus dipilih
gabungan komponen kerapatan dan kejadian badai geomagnet tanggal 17
kecepatan angin surya. Maret 2013, 19 Februari 2014, 17 Maret
Dalam makalah ini dilakukan 2015 dan 23 Juni 2015. Berikutnya
estimasi badai geomagnet menggunakan dilakukan penentuan penentuan PBz-Nsw
model badai geomagnet sebagai fungsi dari Persamaan (1-1) dengan input Bz,
kerapatan angin surya dan model badai Nsw dan dT pada empat kejadian badai
geomagnet sebagai fungsi gabungan geomagnet kuat pada tanggal tersebut di
komponen kerapatan dan kecepatan atas. PBz-Nsw yang diperoleh selanjutnya
angin surya. Dengan membandingkan diinputkan ke model badai geomagnet
kedua hasil ini diharapkan kejadian sebagai fungsi kerapatan angin surya
badai geomagnet terutama yang ekstrim untuk mengestimasi Dst. Dengan input
dapat diperkirakan. Selanjutnya, Bz, Nsw dan dT pada kejadian badai
dimanfaatkan untuk mitigasi terhadap geomagnet tanggal 17 Maret 2013, 19
dampak yang merugikannya. Februari 2014, 17 Maret 2015 dan 23
Juni 2015 yang sama maka dilakukan
2 DATA DAN METODE penentuan PTot dari Persamaan (1-5)
Data yang digunakan adalah yang hasilnya diinputkan ke model badai
indeks Dst dari universitas Kyoto, geomagnet sebagai fungsi gabungan
Jepang (http://wdc.kugi.kyoto-u.ac.jp/ komponen kerapatan dan kecepatan
dst_final/index.html) tahun 2013-2015, angin surya untuk estimasi Dst*. Hasil
komponen angin surya (densitas, Nsw; keluaran model badai geomagnet sebagai
kecepatan, Vsw; tekanan, Psw) dan fungsi kerapatan angin surya dan model
komponen Bz IMF dari NASA/Goddard badai geomagnet sebagai fungsi gabungan
Space Flight Center, Amerika Serikat komponen kerapatan dan kecepatan
(http://omniweb.gsfc.nasa.gov/form/dx1. angin surya kemudian dianalisis dengan
html) tahun 2013-2015. membandingkan hasil keluaran antar
Dari identifikasi indeks Dst tahun keduanya dan juga dengan Dst data.
2013-2015 maka diperoleh 8 kejadian Dalam makalah ini penulis mengasumsi-
badai geomagnet kuat (Dst < -100 nT), kan bahwa baik model badai geomagnet
seperti ditunjukkan pada Tabel 2-1. sebagai fungsi kerapatan angin surya
maupun model badai geomagnet sebagai

20
Estimasi Badai Geomagnet ....... (Anwar Santoso et al)

fungsi gabungan komponen kerapatan badai geomagnet 4 Mei 1998. Dari


dan kecepatan angin surya akan Gambar 3-1 diketahui bahwa intensitas
memiliki efisiensi dan daya guna yang badai geomagnet maksimum terjadi
tinggi untuk kegiatan estimasi badai pukul 05.00 UT pada 4 Mei 1998 (Dst =
geomagnet apabila selisih waktu antara -205 nT). Bz IMF mencapai nilai
Bz mencapai minimum dan Dst minimum pukul 04.00 UT pada 4 Mei
mencapai minimum adalah minimal 3 1998. Demikian pula komponen Nsw
jam. Hal ini karena kedua model dan Vsw angin surya mencapai puncak
mempunyai masukan Bz minimum pada pukul 04.00 UT, 4 Mei 1998.
sebagai salah satu faktor penentunya Selisih waktu antara Bz IMF mencapai
yakni dalam formulasi PBz-Nsw dan Ptotal. minimum dengan Dst mencapai minimum
Sehingga apabila selisih waktu antara Bz hanya sebesar 1 jam. Dengan kondisi ini
mencapai minimum dan Dst mencapai maka penerapan model badai geomagnet
minimum adalah 0 atau hanya 1 jam sebagai fungsi kerapatan angin surya
maka ketika Bz mencapai minimum, Dst dan model badai geomagnet sebagai
juga sudah mencapai minimum. fungsi gabungan komponen kerapatan
Estimasi badai geomagnet menggunakan dan kecepatan angin surya untuk
kedua model tersebut dengan masukan estimasi Dst minimum kurang efisien.
Bz minimum menjadi tidak efisien dan
tidak berdaya guna.

3 HASIL PEMBAHASAN
Dengan model badai geomagnet
sebagai fungsi kerapatan angin surya
(Persamaan 1-1) dan model badai
geomagnet sebagai fungsi gabungan
komponen kerapatan dan kecepatan
angin surya (Persamaan 1-6) maka
estimasi kejadian badai geomagnet dan Gambar 3-1: Perilaku parameter angin surya,
sekaligus besar intensitasnya dapat Bz IMF dan indeks Dst pada saat
badai geomagnet tanggal 4 Mei
dilakukan. Sayangnya, rumus ini masih 1998
memiliki kelemahan atau kurang
bermanfaat jika dT yakni durasi waktu
antara Nsw atau Nsw mencapai Sementara itu, untuk kondisi
maksimum dengan Bz minimum terjadi lainnya yaitu jika maksimum Vsw atau
di sekitar Dst minimum atau puncak Nsw dan Bz minimum terjadi tidak di
intensitas badai geomagnet. Hal ini sekitar Dst minimum maka penerapan
dikarenakan parameter Ptotal mengandung rumus model badai geomagnet sebagai
variabel dT tersebut. Contohnya fenomena fungsi kerapatan angin surya dan model
ini dijumpai pada kegiatan pengolahan badai geomagnet sebagai fungsi gabungan
data sebelumnya yakni pada kejadian komponen kerapatan dan kecepatan
badai geomagnet yang ilustrasinya angin surya untuk estimasi Dst minimum
seperti ditunjukkan pada Gambar 3-1. akan berdayaguna tinggi. Contohnya
Gambar 3-1, menunjukkan fenomena ini dijumpai pada kegiatan
perilaku komponen angin surya (Nsw, pengolahan data sebelumnya yakni pada
Vsw, dan Psw) dan Bz IMF sebelum kejadian badai geomagnet yang

21
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 :17—26

ilustrasinya seperti ditunjukkan pada Dengan demikian untuk jeda


Gambar 3-2. waktu ketika Bz mencapai minimum
sampai Dst minimum berkisar antara 2-
Variasi komponen Angin surya, Bz IMF dan indeks Dst 3 jam, maka estimasi kejadian badai
(Dst = -422 nT) Tanggal 20-21 November 2003
30 0 geomagnet dan sekaligus besar
20 -50 intensitasnya masih logis untuk dapat
Amplitudo (Vsw, Dst, Psw, Bz)

10 -100 dilakukan menggunakan model badai

Amplitudo (Nsw)
0 -150 geomagnet sebagai fungsi komponen
-10
0 4 8 12 16 20 24 28 32 36 40 44 -200 kerapatan angin surya yakni Dst = 6,5
-20
Bz Nsw
-250 (PBz-Nsw) – 4,5 dan model badai geomagnet
-30 -300 sebagai fungsi gabungan komponen
-40 -350 kerapatan dan kecepatan angin surya
-50 -400 yakni Dst* = 1,599 (PTotal) – 34,48.
-60
Waktu (UT)
-450 Sebagai studi kasus, dalam
Gambar 3-2: Perilaku parameter angin surya, makalah ini dianalisis 4 kejadian badai
Bz IMF dan indeks Dst pada saat geomagnet dengan Dst < -100 nT
badai geomagnet 20 November sepanjang 2013-2015.
2003

Studi Kasus I: Estimasi Badai Geomagnet


Gambar 3-2, menunjukkan (Dst = -132 nT) tanggal 17 Maret 2013
perilaku komponen angin surya (Nsw, Badai geomagnet 17 Maret 2013
Vsw, dan Psw) dan Bz IMF sebelum diduga terjadi karena dipicu oleh
badai geomagnet tanggal 20 November kejadian flare yang diikuti oleh lontaran
2003. Dari Gambar 3-2, diketahui bahwa massa korona pada 15 Maret 2013
intensitas badai geomagnet maksimum pukul 17.20 UT (http://cdaw.gsfc.nasa.
terjadi pukul 20.00 UT pada 20 gov/CME_list/UNIVERSAL/). Akibat
November 2003 (Dst = -422 nT). Bz IMF lontaran massa korona ini maka
mencapai nilai minimum pukul 15.00 parameter angin surya mengalami
UT, 20 November 2003. Sedangkan kenaikan mendadak ketika rekoneksi.
komponen Nsw dan Vsw angin surya Bersamaan dengan itu, medan magnet
mencapai puncak pada pukul 09.00 UT, antar planet (IMF) sedang mengarah ke
20 November 2003. Selisih waktu antara selatan sehingga menyebabkan badai
Bz IMF mencapai minimum dengan Dst geomagnet yang ditandai dengan
mencapai minimum sebesar 5 jam. terdepresinya indeks Dst sampai nilai
Kondisi ini relatif masih cukup efisien -132 nT pada 17 Maret 2013 pukul
untuk menerapkan model badai geomagnet 20.00 UT, seperti ditunjukkan pada
sebagai fungsi kerapatan angin surya Gambar 3-3.
dan model badai geomagnet sebagai Identifikasi terhadap parameter
fungsi gabungan komponen kerapatan angin surya, IMF Bz dan indeks Dst
dan kecepatan angin surya untuk diperoleh Bz = -14,4; Nsw = 14.2; Vsw =
estimasi Dst minimum. Kondisi yang 721 km/s; dT (Bz-N) = 1; dT (Bz-V) = 1
paling ideal untuk menerapkan model dan Pa = 6,25.
badai geomagnet sebagai fungsi kerapatan Berdasakan data tersebut, kita
angin surya dan model badai geomagnet hitung PBz-Nsw menggunakan Persamaan
sebagai fungsi gabungan komponen (1-1), PBz-Vsw menggunakan Persamaan
kerapatan dan kecepatan angin surya (1-4) dan Ptotal menggunakan Persamaan
yaitu jika jeda waktu Bz mencapai (1-5), sehingga diperoleh PBz-Nsw = -18,22;
minimum dengan Dst mencapai minimum PBz-Vsw = -41,25 dan PTotal = -59,42.
lebih lama lagi dan jeda waktu Bz Kemudian, dilakukan estimasi Dst dan
mencapai minimum tidak terlalu besar Dst* minimum untuk kejadian badai
dengan puncak nilai Nsw dan Vsw. geomagnet tanggal 17 Maret 2013

22
Estimasi Badai Geomagnet ....... (Anwar Santoso et al)

menggunakan model badai geomagnet Peristiwa badai geomagnet pada


sebagai fungsi kerapatan angin surya kejadian ini diduga terjadi karena dipicu
dan model badai geomagnet sebagai oleh dua kejadian flare yang diikuti oleh
fungsi gabungan komponen kerapatan lontaran massa korona yaitu flare
dan kecepatan angin surya, maka tanggal 16 Februari 2014 pukul 10.00
diperoleh Dst = 6,5 (-18,22) – 4,5 = UT dan tanggal 18 Februari 2014 pukul
-122,93 dan Dst* = 1,599 (-59,4197) – 01.36 UT. Kedua lontaran massa korona
34,48 =-129,49 nT. ini mengakibatkan parameter angin
surya mengalami kenaikan mendadak
ketika rekoneksi. Bersamaan dengan itu,
medan magnet antar planet (IMF) sedang
mengarah ke selatan cukup kuat
sehingga indeks Dst mencapai nilai -112
nT pada tanggal 19 Februari 2014 pukul
08.00 UT, seperti ditunjukkan pada
Gambar 3-4.

Gambar 3-3: (atas) Variasi indeks Dst Bulan


Maret 2013 (http://wdc.kugi.kyoto-
u.ac.jp/dst_provisional/201303/in
dex.html), (bawah) Perilaku
parameter angin surya, Bz IMF
dan indeks Dst (http://omniweb.
gsfc.nasa.gov/form/dx1.html) pada
saat badai geomagnet 17 Maret
2013
Gambar 3-4: (atas) Variasi indeks Dst Bulan
Dibandingkan dengan raw data Februari 2014 (http://wdc.kugi.
Dst minimum (-132 nT), diperoleh kyoto-u.ac.jp/dst_realtime/ 2014
deviasi antara Dst minimum raw data 02/index.html), (bawah) Perilaku
parameter angin surya, Bz IMF
dengan hasil model badai geomagnet
dan indeks Dst (http://omniweb.
sebagai fungsi kerapatan angin surya gsfc.nasa.gov/form/dx1.html)
sebesar -9,07 nT (6,87%) dan terhadap pada saat badai geomagnet tanggal
Dst* sebesar -2,51 nT (1,90%). Yang 19 Februari 2014
menarik dalam kasus ini, jeda waktu
antara Bz mencapai minimum sampai Sesudah dilakukan identifikasi
Dst mencapai minimum adalah 11 jam. terhadap parameter angin surya diperoleh
Hal ini berarti sudah dapat diestimasi Bz = -12,6; Nsw = 10,5; Vsw = 474 km/s;
nilai Dst minimum 11 jam sebelum Dst dT (Bz-N) = 1; dT (Bz-V) = 1 dan Pa =
tersebut benar-benar mencapai titik 4,27.
minimumnya. Berdasakan perhitungan seperti
yang dilakukan pada kasus I diperoleh
Studi Kasus II:Estimasi Badai Geomagnet PBz-Nsw = -15,84; PBz-Vsw = -34,37 dan
(Dst = -112 nT) 19 Februari 2014 PTotal = -50,21.

23
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 :17—26

Hasil estimasi terhadap Dst dan Hasil identifikasi terhadap


Dst* minimum didapat Dst = -107,46 parameter angin surya, IMF Bz dan
dan Dst* = -114,77 nT. Deviasi antara indeks Dst diperoleh Bz = -16,3; Nsw =
Dst minimum raw data dengan Dst hasil 26,2; Vsw = 609 km/s; dT (Bz-N) = 7; dT
keluaran model badai geomagnet sebagai (Bz-V) = 8 dan Pa = 20,76. Berdasarkan
fungsi kerapatan angin surya sebesar Persamaan (1-1), (1-4) dan (1-5) diperoleh
4,54 nT (-4,05%). Sedangkan terhadap PBz-Nsw = -29,84; PBz-Vsw = -86,10 dan
Dst* hasil keluaran model badai PTotal = -115,94. Selanjutnya dilakukan
geomagnet sebagai fungsi gabungan estimasi terhadap Dst dan Dst* minimum
komponen kerapatan dan kecepatan untuk kejadian badai geomagnet 17
angin surya sebesar -2,77 nT (2,47%). Maret 2015 menggunakan model badai
Jeda waktu antara Bz mencapai minimum geomagnet sebagai fungsi kerapatan
sampai Dst mencapai minimum adalah angin surya dan model badai geomagnet
4 jam. sebagai fungsi gabungan komponen
kerapatan dan kecepatan angin surya,
Studi Kasus III: Estimasi Badai
maka diperoleh Dst = -198,48 dan Dst* =
Geomagnet (Dst = -223 nT) 17 Maret 2015
-219,87 nT.
Gambar 3-5 memperlihatkan Deviasi antara Dst minimum raw
parameter angin surya yang mengalami data dengan Dst hasil keluaran model
kenaikan mendadak ketika rekoneksi badai geomagnet sebagai fungsi
dikarenakan adanya flare yang diikuti kerapatan angin surya sebesar 24,52 nT
oleh lontaran massa korona pada 15 (-11%). Sedangkan deviasi antara Dst
Maret 2015. Bersamaan dengan itu, minimum raw data dengan Dst* hasil
medan magnet antar planet (IMF) sedang keluaran model badai geomagnet sebagai
mengarah ke selatan cukup kuat fungsi gabungan komponen kerapatan
sehingga menyebabkan badai geomagnet dan kecepatan angin surya sebesar 3,13
yang ditandai dengan terdepresinya nT (-1,40%). Adapun jeda waktu antara
indeks Dst sampai nilai -223 nT, 17 Bz mencapai minimum sampai Dst
Maret 2015 pukul 22.00 UT. mencapai minimum adalah 14 jam.

Studi Kasus IV:Estimasi Badai Geomagnet


(Dst = -204 nT) 23 Juni 2015

Kejadian badai geomagnet, 23


Juni 2015 diduga karena ditimbulkan
oleh dua kejadian flare yang diikuti oleh
lontaran massa korona. Akibatnya
parameter angin surya mengalami
kenaikan mendadak ketika rekoneksi.
Pada saat itu, medan magnet antar
planet (IMF) sedang mengarah ke selatan
cukup kuat sehingga menyebabkan
indeks Dst terdepresi mencapai nilai
-204 nT pada tanggal 23 Juni 2015
pukul 05.00 UT, seperti ditunjukkan
Gambar 3-5: (atas) Variasi indeks Dst, Maret pada Gambar 3-6.
2015 (http://wdc.kugi.kyoto-u.ac.
jp/dst_realtime/201503/index.ht
ml), (bawah) Kondisi komponen
angin surya, Bz IMF dan indeks
Dst (http://omniweb.gsfc.nasa.gov/
form/dx1.html) pada saat badai
geomagnet tanggal 17 Maret 2015

24
Estimasi Badai Geomagnet ....... (Anwar Santoso et al)

fungsi komponen kerapatan dan model


badai geomagnet sebagai fungsi gabungan
komponen kerapatan dan kecepatan
angin surya pada masing-masing studi
kasus diberikan pada Tabel 3-1.

Tabel 3-1: NILAI HASIL ESTIMASI DAN DEVIASI


DARI MODEL BADAI GEOMAGNET
SEBAGAI FUNGSI KERAPATAN
ANGIN SURYA DAN MODEL BADAI
GEOMAGNET SEBAGAI FUNGSI
GABUNGAN KOMPONEN KERAPATAN
DAN KECEPATAN ANGIN SURYA
Kasus Deviasi Deviasi
Badai Dst Dst*
(Dst raw) nT % nT %
17-03-2013 -9,1 6,9 -2,5 1,9
(-132 nT)
01-06-2013 70,6 -59,3 44,2 -37,2
(-119 nT)
19-02-2014 -8,5 7,4 -1,2 1,1
Gambar 3-6: (atas) Variasi indeks Dst Bulan
(-112 nT)
Juni 2015 (http://wdc.kugi.kyoto- 17-03-2015 -24,5 11 -3,1 1,4
u.ac.jp/dst_realtime/201506/inde (-223 nT)
x.html), (bawah) Kondisi komponen 23-06-2015 28,6 14 19,2 -9,4
angin surya, Bz IMF dan indeks (-204 nT)
Dst (http://omniweb.gsfc.nasa.gov/ 07-10-2015 51,2 -41,3 14,9 -12,0
(-124 nT)
form/dx1.html) pada saat badai 20-12-2015 48,2 -28,3 35,7 -20,9
geomagnet tanggal 23 Juni 2015 (-170 nT)
31-12-2015 57,3 -52,6 20,2 -18,5
(-109 nT)
Hasil identifikasi terhadap Rata-rata 37,3 27,6 17,6 12,8
parameter angin surya, IMF Bz dan Catatan: rata-rata diperoleh setelah menganulir
indeks Dst diperoleh Bz = -26,3; Nsw = tanda + dan – yang secara fisis hanya
menunjukkan bahwa bila bertanda – maka
49,9; Vsw = 714 km/s; dT (Bz-N) = 0; dT artinya nilai model kurang dari nilai data dan
(Bz-V) = 6 dan Pa = 47,03. sebaliknya.
Hasil perhitungan untuk PBz-Nsw,
PBz-Vsw, dan Ptotal secara berurutan adalah Berdasarkan hasil pada tabel
sebesar -26,3; = -91,75 dan -118,05. tersebut maka dapat dikatakan bahwa
Diperoleh estimasi Dst dan Dst* minimum estimasi badai geomagnet (indeks Dst)
untuk kejadian badai geomagnet tanggal berdasarkan kondisi komponen angin
23 Juni 2015 sebesar -175,45 nT dan surya sebelum badai geomagnet dan
-223,25 nT. model badai geomagnet sebagai fungsi
Deviasi antara Dst minimum raw gabungan komponen kerapatan dan
data dengan Dst hasil keluaran model kecepatan angin surya masih cukup
badai geomagnet sebagai fungsi baik. Namun demikian, estimasi badai
kerapatan angin surya sebesar 28,55 nT geomagnet menggunakan model badai
(-14%). Sedangkan deviasi antara Dst geomagnet sebagai fungsi gabungan
minimum raw data dengan Dst* hasil komponen kerapatan dan kecepatan
keluaran model badai geomagnet sebagai angin surya dengan deviasi rata-rata
fungsi gabungan komponen kerapatan 17,6 nT (12,8%) lebih baik daripada
dan kecepatan angin surya sebesar model badai geomagnet sebagai fungsi
-19,25 nT (9,43%). Jeda waktu yang kerapatan angin surya dengan deviasi
terjadi antara Bz mencapai minimum rata-rata 37,3 nT (27,6%).
sampai Dst mencapai minimum adalah
9 jam. 4 KESIMPULAN
Detail hasil estimasi dan deviasi Badai geomagnet terjadi akibat
dari model badai geomagnet sebagai masuknya partikel-partikel dari angin

25
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 :17—26

surya ke magnetosfer Bumi bersamaan Gonzales, W.D., J.A., Joselyn, Y., Kamide, H.W.,
dengan Bz IMF yang mengarah ke Kroehl, G., Rostoker, B.T., Tsurutani,
selatan. Perilaku komponen angin surya and V.M., Vasyliunas, 1994. What is a
bersama Bz IMF sebelum badai geomagnet Geomagnetic Storm?“, Journal of
dapat menentukan terbentuknya badai Geophysical Research, 99, 5771-5792.
geomagnet yang ditimbulkannya. Dari Gopalswamy N., 2009. Halo Coronal Mass
analisis dapat disimpulkan bahwa Ejections and Geomagnetic Storm, Earth
estimasi badai geomagnet (indeks Dst) Planet Space, 61, 1-3.
berdasarkan kondisi komponen angin Jadeja A. K., K.N., Iyer, Hari Om Vats and P. K.,
surya sebelum badai geomagnet dan Manoharan, 2008. Geo-effectiveness of
model badai geomagnet sebagai fungsi CMEs , J. Astrophys. Astr., 29, 287-291.
gabungan komponen kerapatan dan Khabarova O. V., 2007. Current Problems of
kecepatan angin surya masih cukup Magnetic Storm Prediction and Possible
baik. Namun demikian, estimasi badai ways of their solving, Sun and
geomagnet menggunakan model badai Geosphere, 32-37, 2(1).
geomagnet sebagai fungsi gabungan Kivelson M. G., and C. T., Russell 1995. Introduce
komponen kerapatan dan kecepatan of Plasma Physics, Prentice-Hall, 1.
angin surya dengan deviasi rata-rata Loewe, C. A., and G. W., Prolls, 1997.
17,6 nT (12,8%) lebih baik daripada Classification and Mean Behavior of
model badai geomagnet sebagai fungsi Magnetic Storms, J. Geophys. Res. Vol.
kerapatan angin surya dengan deviasi 102, 14209-14213.
rata-rata 37,3 nT (27,6%). Nagatsuma T., 2002. Geomagnetic Storm,
Journal of the communications
UCAPAN TERIMA KASIH research laboratory, 49, No. 3.
Terima kasih disampaikan kepada O’Brien, T. P., and R. L., McPherron, 2000. An
Universitas Kyoto, Jepang dan NASA- Empirical Phase Space Analysis of Ring
Goddard Space Flight Center, Amerika Current Dynamics: Solar Wind Control of
Serikat atas penggunaan data indeks Injection and Decay, J. Geophys. Res.,
Dst dan angin surya serta IMF. Terima 105, 7707-7720.
kasih juga disampaikan kepada Kepala Russell C.T., 2006. The Solar Wind Interaction
Pusat Sains Antariksa dan tim penelaah with the Earth’s Magnetosphere:
serta dewan penyunting JSD LAPAN atas Tutorial, Department of Earth and
saran dan masukannya untuk penyem- space sciences and Institute of
purnaan makalah ini. Geophysics and Space Physics of
University of California, Los Angeles.
DAFTAR RUJUKAN Santoso A., 2010. Identifikasi Kondisi Angin
Ballatore P., and W. D., Gonzalez, 2003. On the Surya (Solar Wind) Untuk Prediksi Badai
Estimates of Ring Current Injection and Geomagnet, Prosiding Pertemuan
Decay, Earth Planets Space, 55, 427- Ilmiah XXIV HFI Jateng & DIY,
435. Semarang, 275-283.
Burton, R., K., R. L., McPherron, and C. T., Yermolaev, Y. I., M. Y., Yermolaev, G. N.,
Russell, 1975. an Empirical Relationship Zastenker, L. M., Zelenyi, A. A.,
Between Interplanetary Conditions and Petrukovich, and J. A., Sauvaud, 2005.
Dst, J. Geophys. Res., 80, 4204–4214. Statistical Studies of Geomagnetic Storm
Futaana, Y., S., Barabash, M., Yamauchi, R., Dependencies on Solar and
Lundin, and S. McKenna-Lawlor, 2007. Interplanetary Events: A review, Planet
Geo-effective Solar Flare Events in Space Sci., 53, 189-196.
December 2006: Space Weather Effect
on Mars and Venus Oxygen Loss to
Space, EosTrans. AGU.88, Fall Meet.
Suppl., Abstract P23A-1087.

26
Pengaruh Aerosol Terhadap ....... (Rosida dan Indah Susanti)

PENGARUH AEROSOL TERHADAP FLUKS RADIASI NETO DAN


RADIATIVE FORCING DI PUNCAK ATMOSFER DAN DI PERMUKAAN
BERDASAR DATA SATELIT
(THE INFLUENCE OF AEROSOL ON THE NET RADIATION FLUX AND
RADIATIVE FORCING AT THE TOP OF ATMOSPHERE AND SURFACE
BASED ON SATELLITE DATA)
Rosida dan Indah Susanti
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
Jln. Dr. Djundjunan No. 133 Bandung 40173 Indonesia
e-mail: rosida2009@gmail.com
Diterima 12 Oktober 2016; Direvisi 8 Mei 2017; Disetujui 19 Juli 2017

ABSTRACT

The direct effects of aerosols on radiation budget in Indonesia have been analyzed based on
radiation flux data from the Clouds and the Earth's Radiant Energy System (CERES) instrument and
aerosol optical depth (AOD) from the Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) – Terra.
Radiation budget calculated included the short wave and long-wave radiation. Data from time period
of March 2000 until February 2010 were processed in order to analyze the influence of aerosols on the
net radiation and to obtain the value of aerosol radiative forcing. Net radiation in clear sky was
estimated by using the slope method. The analysis showed the high temporal variation of aerosols
density in the atmosphere with AODmax value >2.5, which generally caused the decreases of net
radiation flux, and led to a cooling effect. The influence of aerosols on the net radiation flux could be
very clearly seen during the forest fires. Forest fires that occurred in 2002, 2004 and 2006 had
increased the AOD values greater than three. These increases showed a strong link to the decline in
net radiation flux. The average decrease of net radiation flux at the event for Indonesia region ranged
from -11.7 watt/m2 to -13.6 watt/m2, with the largest decrease occurred in the surface. Average
aerosol radiative forcing (ARF) for the top of atmosphere (ARFTOA) was -0.5 watts/m2 and for the
surface (ARFsurf) was -17.7 watts/m2. The ARF represents the value that can be used as an indication
of the potential climatic conditions in Indonesia in the future.

Keyword: AOD, aerosol radiative forcing, net radiation, the top of atmosphere, CERES, MODIS

27
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 : 27—42

ABSTRAK

Efek langsung aerosol terhadap budget radiasi di Indonesia telah dianalisis berdasarkan data
fluks radiasi yang diperoleh dari instrumen the Clouds and the Earth’s Radiant Energy System
(CERES) dan data ketebalan optik aerosol (AOD) dari the Moderate Resolution Imaging
Spectroradiometer (MODIS) - Terra. Neraca radiasi yang diperhitungkan termasuk radiasi gelombang
pendek dan radiasi gelombang panjang. Data dengan periode waktu dari Maret 2000 sampai Februari
2010, diolah untuk dapat menganalisis pengaruh aerosol terhadap radiasi neto dan untuk
memperoleh nilai aerosol radiative forcing. Nilai radiasi neto pada saat atmosfer tanpa aerosol,
diestimasi dengan menggunakan metode slope. Hasil analisis menunjukkan adanya variasi temporal
densitas aerosol yang tinggi di atmosfer dengan nilai AODmaks>2,5, yang pada umumnya
menyebabkan penurunan fluks radiasi neto sehingga memberikan efek pendinginan. Pengaruh
aerosol terhadap fluks radiasi neto dapat sangat jelas terlihat pada kasus kebakaran hutan.
Kebakaran hutan yang terjadi pada 2002, 2004 dan 2006 telah meningkatkan nilai AOD lebih besar
dari tiga. Peningkatan tersebut menunjukkan keterkaitan yang kuat terhadap penurunan fluks
radiasi neto. Untuk rata-rata wilayah Indonesia penurunan fluks radiasi neto pada peristiwa tersebut
adalah pada rentang -11,7 watt/m2 sampai -13,6 watt/m2, dengan penurunan terbesar terjadi di
permukaan. Dari hasil perhitungan Aerosol Radiative Forcing (ARF) untuk rata-rata wilayah Indonesia
diperoleh nilai ARF untuk level puncak atmosfer sebesar -0,5 watt/m2 (ARFTOA) dan untuk level
permukaan sebesar -17,7 watt/m2 (ARFsurf). ARF tersebut merupakan nilai yang dapat dijadikan
sebagai indikasi dari potensi kondisi iklim di Indonesia pada masa mendatang.

Kata kunci: AOD, aerosol radiative forcing, radiasi neto, puncak atmosfer, CERES, MODIS,

1 PENDAHULUAN yang ditemukan adalah dalam rentang


Sumber utama energi untuk antara -2 watt/m-2 sampai -5 watt/m-2
kehidupan di bumi berasal dari untuk setiap dekadenya. Hal yang sama
matahari yang masuk ke dalam sistem juga ditemukan oleh Wild dkk (2005)
bumi yang didistribusikan ke semua dari data satelit yang menunjukkan
lapisan atmosfer hingga sampai ke penurunan budget radiasi matahari di
permukaan bumi (Kiehl dan Trenberth, permukaan selama periode tahun 1960-
1997). Energi yang sampai bumi ini 1990, yang kemudian meningkat setelah
kemudian diemisikan kembali ke periode tersebut. Kim dan Ramanathan
angkasa dengan panjang gelombang (2008) menduga perubahan tersebut
yang berbeda. Hasil dari proses tersebut disebabkan oleh perubahan jumlah
dikenal sebagai budget radiasi bumi aerosol dan/atau awan.
(Earth’s Radiation Budget), yang berperan Aerosol mempengaruhi budget
untuk mengatur dan mengendalikan radiasi matahari dan sistem iklim secara
kondisi keseimbangan iklim yang terjadi langsung dengan menghamburkan dan
di bumi (Ramanathan, 1987; NASA, menyerap radiasi matahari yang masuk
2011). ke dalam sistem atmosfer bumi, dan secara
Terkait dengan hal tersebut, tidak langsung aerosol mempengaruhi
Stanhill dan Cohen (2001) dan sistem iklim dengan memodifikasi
Ramanathan dkk (2005) melakukan distribusi ukuran tetes awan dan umur
penelitian terhadap radiasi matahari hidup awan (Penner, dkk, 2001),
dari beberapa stasiun, dan menemukan sehingga dapat menekan pemanasan
pengurangan budget radiasi matahari yang diakibatkan oleh emisi gas-gas
yang cukup besar terjadi di permukaan rumah kaca antropogenik (Boucher dan
dalam rentang waktu beberapa dekade. Haywood, 2001). Parameter AOD adalah
Pengurangan budget radiasi matahari parameter yang mengindikasikan

28
Pengaruh Aerosol Terhadap ....... (Rosida dan Indah Susanti)

peredaman (attenuation) seberkas cahaya Pentingnya pengaruh aerosol


radiasi pada saat berkas cahaya radiasi pada sistem iklim dan neraca radiasi,
tersebut melewati satu lapisan di menjadikan hal tersebut perlu dilakukan
atmosfer yang mengandung partikel pendalaman. Namun, penelitian mengenai
aerosol (NASA, 2014; Huang, 2009). hal tersebut masih jarang untuk wilayah
Peranan aerosol dalam sistem iklim dan Indonesia.
neraca radiasi telah banyak dibahas oleh Penelitian yang dilakukan penulis
para peneliti, diantaranya Crutzen dan kali ini merupakan kelanjutan dari
Andreae (1990), Ichoku dkk (2003), Keil penelitian-penelitian yang telah dilakukan
dan Haywood (2003), Kaufman, dkk sebelumnya. Pada 2011, penulis telah
(2002) dan Breon, dkk (2002). Mereka menganalisis secara spasial dampak
mengungkapkan bahwa selama periode aerosol terhadap radiasi gelombang pendek
pada saat muatan aerosol sangat tinggi, (SW) yang dikaitkan dengan kebakaran
maka keseimbangan budget radiasi hutan yang terjadi di Kalimantan dan
matahari akan terganggu. Kaufman, dkk Sumatera. Hasil analisisnya menunjukkan
(2002) menegaskan bahwa akumulasi bahwa kebakaran hutan yang terjadi
partikel aerosol yang terjadi di Samudera 2002 dan 2006 di Kalimantan dan
Hindia pada 1998-1999 berasal dari Sumatera, telah menyebabkan
transportasi partikulat polutan yang peningkatan nilai ketebalan optik
diemisikan dari sub-benua India. aerosol (AOD) yang mencapai lebih dari
Akumulasi partikel aerosol tersebut telah 300% dari nilai rata-ratanya, dan
menyebabkan terjadinya pengurangan menunjukkan keterkaitan yang kuat
jumlah radiasi matahari yang sampai ke terhadap perubahan fluks radiasi
permukaan sebesar 15%. gelombang pendek yang sampai di
Kondisi keseimbangan iklim permukaan (r > 0,8) (Rosida dan Susanti,
dapat terganggu dengan adanya bahan 2011). Penelitian berikutnya adalah
radiative forcing (radiative forcing agent), tentang analisis pengaruh musiman
yang berpotensi mengubah kondisi secara spasial untuk fluks radiasi neto,
iklim. Partikel atau gas yang turut fluks radiasi gelombang pendek (SW)
mempengaruhi perubahan iklim tersebut dan fluks radiasi gelombang panjang
adalah aerosol, gas rumah kaca dan gas (LW) di permukaan yang dikaitkan
telusur (IPCC, 2007). Menurut Penner, dengan perubahan secara spasial
dkk (2001), radiative forcing dari pengaruh sebaran polutan karbon monoksida (CO)
langsung aerosol jauh lebih kompleks dan partikel aerosol yang diemisikan
dibandingkan dengan radiative forcing dari kebakaran hutan (Rosida dkk.,
yang disebabkan oleh gas rumah kaca. 2014). Hasil analisisnya menunjukkan
Benas dkk. (2011) telah mengamati dan bahwa ada keterkaitan yang kuat antara
menghitung forcing untuk wilayah tingginya nilai AOD yang rata-rata terjadi
Mediterranian, dengan menggunakan pada musim peralihan September-
data klimatologi dari Moderate Resolution Oktober-November dengan pengurangan
Imaging Spectroradiometer (MODIS) dan jumlah fluks radiasi neto baik di
model transfer radiasi. Hasil yang permukaan maupun di puncak
diperolehnya menunjukkan rata-rata atmosfer. Namun, dalam penelitian
bulanan aerosol forcing dari sumber tersebut, digunakan perata-rataan nilai
antropogenik di permukaan mencapai AOD yang ‘meredam’ adanya nilai-nilai
nilai ARFSurf = -24 watt/m2, di atmosfer ekstrem sebagai implikasi dari adanya
ARFAtm = 19 watt/m2, dan di level kejadian-kejadian penting seperti
puncak atmosfer sebesar ARFTOA = -4 kebakaran hutan, sehingga hasilnya
watt/m2. kurang begitu dapat menunjukkan efek-

29
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 : 27—42

efek tertentu dari perubahan konsentrasi 2 METODOLOGI


aerosol pada perubahan fluks radiasinya. 2.1 Data
Pada tahun yang sama Rosida dan Data yang digunakan dalam
Susanti (2014) juga menganalisis tren penelitian ini adalah data ketebalan
fluks radiasi neto, fluks radiasi SW dan optik aerosol (AOD) dan data radiasi
fluks radiasi LW secara spasial di level matahari. Terbatasnya data in situ
puncak atmosfer pada kondisi cerah dan terkait parameter AOD dan radiasi
tidak cerah. Dari hasil analisisnya matahari tersebut menjadi alasan
menunjukkan bahwa faktor antropogenik penggunaan data satelit dalam
diperkirakan memberikan peranan yang penelitian ini. Data yang digunakan
cukup penting dalam mempengaruhi berasal dari Moderate Resolution Imaging
kesetimbangan budget radiasi. Spectroradiometer (MODIS) level 3 (MOD08)
Peningkatan fluks radiasi netto SW yang untuk parameter AOD yang dapat diunduh
terjadi di puncak atmosfer TOA, diikuti dari ftp://ladsftp. nascom.nasa.gov/
oleh penurunan fluks radiasi LW nya. allData/6/MOD08_M3/. Untuk parameter
Tujuan dari penelitian ini adalah radiasi matahari baik radiasi gelombang
untuk menganalisis pengaruh aerosol pendek maupun radiasi gelombang
terhadap fluks radiasi neto di Indonesia panjang diperoleh dari instrumen The
pada level permukaan bumi yaitu pada Clouds and the Earth's Radiant Energy
level troposphere bawah pada ketinggian System (CERES) yang dapat diunduh
kira-kira di bawah 1 km dan pada level dari https://ceres. larc.nasa.gov/
puncak atmosfer (top of atmosphere compare_products-ed2. php.
(TOA)) yaitu pada ketinggian sekitar 100 Penggunaan data MOD08 di
km dari atas permukaan Bumi (NASA, dalam penelitian ini didasarkan pada
2007; NOAA, 2016). Data fluks radiasi pertimbangan bahwa data AOD MOD08
neto yang digunakan dalam penelitian menunjukkan validitas yang cukup baik
ini adalah data anomalinya untuk apabila dibandingkan dengan data
memperoleh besarnya jumlah fluks observasi AERONET (Chu dkk., 2002).
radiasi akibat akumulasi partikel aerosol MOD08 diturunkan dari statistik level 2
di atmosfer. Selain itu penelitian ini juga dan disimpan dalam ukuran grid yang
bertujuan untuk menentukan aerosol sama. Ketidakpastian di atas daratan
radiative forcing untuk wilayah adalah = ±0,05±0,151*AOD (Remer
Indonesia. Seperti yang dijelaskan dalam dkk., 2008; Levy dkk., 2010 dalam de
laporan yang dirilis IPCC (2001) bahwa Meij dkk., 2010).
nilai positif radiative forcing digunakan Kedua data tersebut memiliki
untuk menyatakan kecenderungan yang resolusi spasial 1 derajat dan resolusi
menghangatkan permukaan Bumi dan temporal bulanan dari Maret 2000
nilai negatif digunakan untuk menun- sampai dengan Februari 2010. Lingkup
jukkan kecenderungan yang wilayah yang dianalisis dalam penelitian
mendinginkan permukaan Bumi. ini dibatasi pada 6⁰LU-11⁰LS; 95⁰BT-
Dengan diketahuinya besaran aerosol 141⁰BT.
(dalam nilai AOD) dan aerosol radiative Data fluks radiasi gelombang
forcing diharapkan dapat dijadikan panjang dan gelombang pendek
sebagai salah satu indikasi awal untuk digunakan untuk menghitung fluks
mengetahui potensi perubahan kondisi radiasi neto di permukaan dan di
iklim di wilayah Indonesia akibat emisi puncak atmosfer.
partikel aerosol yang terakumulasi dari
kebakaran hutan.

30
Pengaruh Aerosol Terhadap ....... (Rosida dan Indah Susanti)

2.2 Metode Penelitian puncak atmosfer dan di permukaan.


Dalam penelitian ini, dianalisis efek Untuk menghitung ARF dalam penelitian
radiatif aerosol dengan menggunakan 2 ini digunakan rumusan berdasarkan
teknik analisis, yaitu pertama dengan IPCC (2007), yang menyatakan bahwa
menggunakan teknik deret waktu antara ARF diperoleh berdasarkan perbedaan
nilai maksimum AOD dengan nilai antara fluks radiasi neto pada kondisi
anomali fluks radiasi neto di puncak bersih tanpa aerosol (Fclean) dengan fluks
atmosfer dan di permukaan. Nilai AOD radiasi neto pada kondisi terpolusi oleh
maksimum dipilih untuk mengidentifikasi aerosol (Faer), dengan rumusan sebagai
nilai ekstrem nyata (tanpa proses perata- berikut;
rataan karena menyebabkan nilai
ekstrem tidak terlihat) yang berpengaruh
pada perubahan fluks radiasi neto yang Untuk aerosol radiative forcing di puncak
juga tinggi. atmosfer (TOA):
Analisis efek aerosol terhadap
perubahan fluks radiasi dilakukan ARFTOA= Faer (TOA) – Fclean (TOA) (2-1)
untuk wilayah Indonesia (6⁰LU-11⁰LS;
95⁰BT-141⁰BT) guna melihat tren yang
terjadi secara keseluruhan di wilayah ARFSurf = Faer (Surf) – Fclean (Surf) (2-2)
Indonesia. Untuk menganalisis secara
lokal, dilakukan cropping data dan
dipilih zona Kalimantan (dalam batas Untuk aerosol radiative forcing di
2⁰LU–3⁰LS dan 110⁰-116⁰BT), dan zona permukaan:
Sumatera (dalam batas 0,5⁰ LU–6⁰ LS ARF adalah aerosol radiative forcing,
dan 100⁰-106⁰ BT), sebagai daerah yang subskrip “aer” dan “clean” masing-
sering menjadi sumber asap kebakaran masing menyatakan kondisi atmosfer
yang berkontribusi pada peningkatan yang terpolusi oleh adanya aerosol dan
nilai AOD. kondisi atmosfer yang tidak terpolusi
Korelasi yang digunakan dalam aerosol. Jadi Faer (TOA) dan Faer (Surf)
analisis untuk ketiga lokasi wilayah masing-masing adalah fluks radiasi neto
tersebut adalah korelasi spasial yang di puncak atmosfer dan di permukaan
menjelaskan bahwa lokasi yang memiliki pada kondisi terpolusi oleh aerosol.
nilai AOD tinggi, akan memiliki nilai Berdasarkan persamaan (1) dan (2)
fluks radiasi neto yang rendah. Korelasi diperlukan data fluks radiasi neto di
spasial dalam penelitian ini dihitung puncak atmosfer dan di permukaan
untuk setiap periode (tahunan dan pada kondisi clean yang diasumsikan
bulanan). Hal tersebut dilakukan sebagai kondisi bersih dari aerosol
dengan maksud memperoleh keterkaitan (Fclean). Namun data Fclean ini tidak
antara nilai AOD dan fluks radiasi neto tersedia pada sensor CERES, dan untuk
sebagai implikasi dari aerosol dalam menentukannya digunakan nilai
mempengaruhi fluks radiasi neto intercept yang ada dalam metode slope
terutama pada periode saat peristiwa seperti yang digunakan oleh Rajeev dan
terjadinya kebakaran hutan. Ramanathan (2001), Li dkk. (2004) dan
Kedua dengan menghitung nilai Zengzhou dkk. (2011) yang menggunakan
aerosol radiative forcing (ARF) di pendekatan metode slope untuk
permukaan dan di puncak atmosfer. memperoleh nilai intercept yang
Aerosol radiative forcing yang akan digunakan untuk mengetahui kondisi
dihitung adalah aerosol yang berpengaruh radiasi pada kondisi cerah tanpa
langsung pada fluks radiasi neto di aerosol.

31
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 : 27—42

3 HASIL PEMBAHASAN dari rata-rata spasial seluruh grid


3.1 Analisis Deret Waktu Aerosol wilayah Indonesia akan menyebabkan
Optical Depth dan Anomali Fluks nilai ekstrem tidak terlihat. Selain itu
Radiasi Neto nilai maksimum yang diperoleh dari
Berdasarkan hasil pengolahan perata-rataan seluruh grid wilayah
data diketahui bahwa nilai AOD sebagai Indonesia nilainya akan sangat kecil bila
indikasi konsentrasi aerosol di atmosfer, dibandingkan dengan nilai maksimum
menunjukkan adanya variasi yang cukup dari data riil tanpa proses perata-rataan.
tinggi, terutama untuk nilai maksimalnya. Selanjutnya penulis mencoba
Pada periode yang sama terdapat grid membandingkannya dalam lingkup yang
yang menunjukkan nilai AOD yang jauh lebih kecil. Perbedaan tersebut masih
lebih tinggi dibandingkan nilai AOD terlihat tetapi tidak sebesar seperti
rata-rata bulanannya, nilai tersebut perbedaan yang dihasilkan dari perata-
adalah nilai AOD maksimum bulanan rataan spasial untuk seluruh grid
(AODmaks). Pada Gambar 3-1 diperlihatkan wilayah Indonesia. Sebagai contoh
perbedaan antara nilai AOD rata-rata digunakan data tahun yang sama 2006,
bulanan dengan nilai AOD maksimum dan dilakukan cropping pada zona
bulanannya untuk seluruh grid Kalimantan (2⁰LU–3⁰LS dan 110⁰-
Indonesia. Sebagai contoh data tahun 116⁰BT). Hasilnya pada Gambar 3-2
2006, nilai maksimum AOD dari rata- menunjukkan nilai AOD maksimum
rata bulanan untuk seluruh grid wilayah bulanannya sebesar 3,22 yang nilainya 2
Indonesia menunjukkan nilai 0,37. kali lebih besar dari nilai AOD rata-rata
Sedangkan untuk AOD maksimum bulanannya sebesar 1,82. Adanya
bulanan dari data riil nilainya mencapai perbedaan tersebut, menunjukkan
3,77. bahwa nilai rata-rata bulanan baik
untuk rata-rata seluruh grid wilayah
Indonesia maupun untuk lingkup yang
lebih kecil, kurang dapat merefleksikan
nilai ekstrem yang riil. Untuk itu dalam
penelitian ini, penulis menggunakan
nilai AOD maksimum bulanan untuk
mendapatkan nilai AOD yang memberikan
keterkaitan tertinggi terhadap perubahan
fluks radiasi neto baik di permukaan
maupun di puncak atmosfer.
Gambar 3-1: AOD rata-rata bulanan dari
Pada Gambar 3-3, ditunjukkan
seluruh grid wilayah Indonesia
dalam batas (6˚LU-11˚LS; 95˚BT- korelasi antara aerosol dalam nilai
141˚BT) dan AODmaks bulanan AODmaks terhadap nilai anomali fluks
dari data riil untuk batas wilayah
radiasi neto di permukaan dan di
Indonesia yang sama (6˚LU-11˚LS;
95˚BT-141˚BT) dengan periode puncak atmosfer untuk rata-rata spasial
data dari Maret 2000 sampai seluruh grid wilayah Indonesia. Dari
Februari 2010
grafik tersebut digambarkan bagaimana
aerosol memberikan pengaruh pelemahan
Perbedaan nilai tersebut terlalu terhadap fluks radiasi neto di kedua
besar. Hal tersebut terjadi karena nilai tempat tersebut. Untuk nilai AODmaks
maksimum dari rata-rata spasial yang berfluktuasi pada rentang 0,3
seluruh grid wilayah Indonesia adalah sampai kira-kira 1,5, pada umumnya
nilai perata-rataan dari banyak titik, belum menunjukkan pengaruh yang
sehingga nilai-nilai yang tinggi akan signifikan terhadap perubahan fluks
tersebar atau terbagi kenilai-nilai yang radiasi neto. Rentang perubahan fluks
lainnya. Oleh sebab itu, nilai maksimum radiasi neto yang terjadi pada kondisi
32
Pengaruh Aerosol Terhadap ....... (Rosida dan Indah Susanti)

tersebut rata-rata berfluktuasi pada -5 permukaan. Peningkatan konsentrasi


watt/m2 sampai 5 watt/m2. aerosol pada peristiwa kebakaran hutan
Pengaruh aerosol terhadap fluks yang terjadi pada bulan Oktober tahun
radiasi neto yang cukup kuat terlihat 2006 telah meningkatkan nilai AODmaks
pada kasus kebakaran hutan yang sampai dengan 3,22. Tingginya nilai
terjadi pada tahun 2002. Konsentrasi AODmaks yang terjadi menunjukkan
aerosol meningkat secara drastis dan korelasi spasial yang sangat tinggi (r >
dan mencapai puncaknya pada bulan 0,88) terhadap penurunan fluks radiasi
September dengan nilai AODmaks yang netonya baik di level permukaan
mencapai nilai tertinggi sebesar 3,31, maupun di level puncak atmosfer.
nilai tersebut kemudian turun menjadi
2,99 pada Oktober. Kenaikan AODmaks
pada bulan September tersebut belum
menunjukkan pengaruh yang optimum
terhadap fluks radiasi neto, karena
penurunan fluks radiasi neto masih
terus berlangsung sampai bulan
Oktober. Penurunan fluks radiasi neto
terjadi saat itu sampai dengan -8,6
watt/m2 di permukaan dan di puncak
atmosfer sebesar -8,8 watt/m-2. Kasus Gambar 3-2: AOD rata-rata bulanan dari
yang terjadi pada peristiwa kebakaran seluruh grid wilayah Kalimantan
hutan bulan Oktober 2004, cukup dalam batas (20LU–30LS; 1100-
1160BT) dan AODmaks bulanan dari
mempengaruhi pada peningkatan data riil untuk batas wilayah
konsentrasi aerosol. Nilai AODmaks yang Kalimantan yang sama (20LU–
tercatat saat itu mencapai nilai 3,0 yang 30LS; 1100-1160BT) dengan
periode data dari Maret 2000
cukup menunjukkan keterkaitannya sampai Februari 2010
terhadap penurunan fluks radiasi neto
sebesar 9,11 watt/m2 di level

Gambar 3-3: Deret waktu nilai AODmaks dengan anomali radiasi neto di puncak atmosfer (TNC) dan di
permukaan (SNC) dalam watt/m2 pada kondisi clear dari Maret 2000 sampai dengan
Februari 2010 untuk wilayah Indonesia

33
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 : 27—42

Variasi temporal rata-rata bulanan


dari nilai AODmaks di kedua zonasi
tersebut (Kalimantan dan Sumatera)
juga menunjukkan variasi yang cukup
tinggi. Peningkatan AODmaks yang cukup
signifikan, diduga berasal dari emisi
kebakaran hutan yang terjadi di kedua
zonasi tersebut. Seperti hasil analisis
yang diperoleh dari seluruh grid rata-
Gambar 3-4: Deret waktu AODmaks dan anomali
rata wilayah Indonesia, maka nilai
radiasi neto di puncak atmosfer
(TNC) dan di permukaan (SNC) AODmaks yang berfluktuasi pada rentang
dalam watt/m2 dari Maret 2000 antara 0,3 sampai kira-kira 1,5 pada
sampai dengan Februari 2010 umumnya dalam kedua zonasi tersebut
untuk Kalimantan (2⁰LU–3⁰LS;
1100-1160BT) juga belum menunjukkan pengaruh
yang signifikan terhadap fluks radiasi
Besarnya penurunan fluks radiasi netonya. Akan tetapi rentang dari
yang terjadi di level permukaan adalah perubahan anomali fluks radiasi neto
sebesar -13,6 watt/m2 dan di level pada ke 2 level ketinggian permukaan
puncak atmosfer mencapai nilai -11,7 dan puncak atmosfer, rata-rata
watt/m2 (Gambar 3-3). fluktuasinya menunjukkan nilai yang
Sebagai perbandingan, penulis lebih besar dibandingkan dengan yang
juga melakukan analisis dalam lingkup terjadi untuk rata-rata wilayah
yang lebih kecil (zonasi) dalam area yang Indonesia yaitu terjadi pada rentang
diperkirakan sering menjadi pusat antara -15 watt/m2 dan 15 watt/m2.
terjadinya kebakaran hutan. Untuk Pada rentang tersebut rata-rata
Kalimantan analisis dilakukan pada penurunan fluks radiasi neto belum
batas area 2⁰LU–3⁰LS dan 110⁰-116⁰BT menunjukkan pengaruh yang kuat
dan untuk Sumatera ditentukan batas terhadap peningkatan konsentrasi
area pada 0,5⁰ LU–6⁰ LS dan 100⁰-106⁰ aerosolnya.
BT. Hasil menunjukkan hal yang hampir Korelasi yang cukup kuat
sama dengan yang diperoleh dari hasil ditemukan pada peristiwa kebakaran
analisis dalam skala Indonesia (Gambar yang terjadi pada tahun 2009 di
3-4 dan Gambar 3-5). Kalimantan. Peningkatan konsentrasi
aerosol bulan September 2009 dengan
nilai AODmaks 2,9, menunjukkan korelasi
spasial yang cukup tinggi (r = 0,74)
terhadap penurunan radiasi netonya
(Gambar 3-4). Di Sumatera hal yang
sama terjadi pada bulan September
2004, peningkatan konsentrasi aerosol
yang ditunjukkan oleh nilai AODmaksnya
sebesar 2,5 juga menunjukkan
keterkaitan yang cukup kuat terhadap
penurunan fluks radiasi netonya
(Gambar 3-5). Korelasi tertinggi yang
Gambar 3-5: Deret waktu AODmaks dan anomali
radiasi neto di puncak atmosfer merefleksikan kondisi optimum,
(TNC) dan di permukaan (SNC) ditemukan pada zona Kalimantan dan
dalam watt/m2 dari Maret 2000 Sumatera, yang pada umumnya terjadi
sampai dengan Februari 2010
untuk Sumatera (0,50LU–60LS; di level permukaan, serta diperkirakan
1000-1060BT) ada kaitannya dengan peristiwa

34
Pengaruh Aerosol Terhadap ....... (Rosida dan Indah Susanti)

kebakaran hutan yang sangat besar terhadap besaran AOD sangat tergantung
yang terjadi saat itu. pada komposisi kimia aerosol, jenis,
Peristiwa kebakaran hutan pada distribusi ukuran setiap partikel yang
bulan September 2002, telah menyebab- menyebabkan daya refleksi dan daya
kan tingginya akumulasi muatan aerosol absorbsi yang berbeda-beda. Menurut
di level permukaan pada zona Keil dan Haywood (2003) perbedaan-
Kalimantan yang diindikasikan oleh perbedaan tersebut sangat menentukan
tingginya nilai AODmaks yang mencapai sifat refraktif aerosol terhadap fluks radiasi
nilai 3,3 (Gambar 3-4). Peningkatan yang secara keseluruhan karakteristik
muatan aerosol tersebut secara spasial aerosol tersebut biasanya berkorelasi
berkorelasi sangat tinggi (r=0,86) sangat tinggi dengan sumbernya (Keil dan
terhadap pengurangan fluks radiasi neto Haywood, 2003). Selain itu perbedaan
sebesar -47,3 watt/m2. besaran nilai anomali di permukaan dan
Kondisi ekstrem ditemukan pada di puncak atmosfer, menurut Penner dkk.
Oktober 2006 yaitu pada peristiwa (2001) dimungkinkan karena pengaruh
kebakaran hutan yang lebih besar gas rumah kaca yang menjadi ‘amplifier’
dibandingkan dengan yang terjadi pada bagi gelombang panjang, dan karena
2002. Bahkan untuk zona Kalimantan, hanya sebagian kecil dari gelombang
pengaruh dari kebakaran hutan pada panjang yang berhasil mencapai puncak
Oktober 2006 tersebut, tidak hanya di atmosfer. Sebagai akibatnya, akumulasi
level permukaan tapi juga pengaruhnya radiasi di permukaan menjadi lebih
sampai pada level puncak atmosfer. tinggi dibandingkan dengan di puncak
Akumulasi muatan aerosol pada saat itu atmosfer (Penner dkk., 2001). Selain itu,
yang tercatat sebagai nilai AODmaks dalam rata-rata Indonesia karakter lautan
adalah sebesar 3,2, yang telah menyebab- cukup mendominasi, dan mempengaruhi
kan penurunan fluks radiasi neto di nilai rata-rata radiasi maupun AODnya.
permukaan sebesar 77,8 watt/m2, dan Sementara dalam zonasi Kalimantan dan
di puncak atmosfer sebesar 35,2 watt/m2. Sumatera lebih didominasi oleh daratan.
Korelasi dari pengaruh peningkatan Dengan adanya perbedaan karakteristik
muatan aerosol terhadap penurunan tersebut penulis menduga bahwa respon
fluks radiasi netonya tersebut, baik lautan dan daratan terhadap radiasi,
untuk level permukaan maupun untuk serta variasi sumber-sumber aerosol,
level puncak atmosfer, masing-masing antara rata-rata Indonesia dan rata-rata
menunjukkan korelasi yang sangat tinggi zonasi akan menunjukkan perbedaan
yaitu r = 0,99 untuk level permukaan yang cukup besar. Hal tersebut sangat
dan 0,98 untuk level puncak atmosfer. menarik yang perlu dilakukan penelitian
Kondisi ekstrem di zona Sumatera, pada lebih mendalam untuk dapat mem-
peristiwa kebakaran hutan Oktober 2006 buktikannya.
tersebut, hanya mempengaruhi pada Kebakaran hutan di Kalimantan
level permukaan. Akumulasi aerosol dan Sumatera hampir terjadi di setiap
yang terjadi saat itu meningkatkan nilai tahun. Menurut laporan pengendalian
AODmaks menjadi 2,9 dan berpengaruh kebakaran hutan dan lahan tercatat
terhadap penurunan fluks radiasi neto bahwa sejak 2000 sampai 2008 telah
sampai dengan -33,5 watt/m2 dengan terjadi kebakaran hutan yang banyak
nilai korelasi r = 0,85. menimbulkan dampak seperti asap yang
Berdasarkan penjelasan beberapa selain mencemari lingkungan juga
peneliti seperti Li dkk. (2007), Korhonen sangat mengganggu kesehatan (KLH,
dkk. (2008) dan Boucher dkk. (2013) 2006; BPDLD, 2009; Susanto, 2015).
bahwa respon radiasi yang berbeda-beda Terkait dengan hal tersebut, penulis

35
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 : 27—42

menduga bahwa akumulasi partikel aerosol (kondisi bersih). Dengan


aerosol adalah berasal dari emisi menggunakan persamaan (2-1) dan (2-
kebakaran hutan gambut di Sumatera 2), dihitung ARF nya untuk level puncak
dan Kalimantan. Rosida dan Susanti atmosfer dan permukaan. Data fluks
(2014) juga menemukan bahwa densitas radiasi neto pada kondisi terpolusi (Faer)
akumulasi aerosol dengan nilai AODmaks>3 diperoleh dari satelit Aqua-CERES, dan
mempengaruhi fluks radiasi neto sampai untuk nilai fluks radiasi neto pada
ke level puncak atmosfer. Dari analisis kondisi bersih (Fclean) diestimasi dari nilai
secara spasial pengurangan jumlah fluks intercept-nya dengan metode slope.
radiasi neto yang terjadi di permukaan Fluks radiasi neto pada kondisi terpolusi
mencapai nilai sampai dengan 100 (Faer) merupakan rata-rata dari total data
watt/m2. Di level puncak atmosfer di level puncak atmosfer, dan dari hasil
besarnya pengurangan fluks radiasi neto perhitungan nilainya sama dengan
adalah sebesar ~15watt/m2. Sangat 91,35. Untuk Faer di permukaan adalah
berbeda dengan hasil penelitian Benas juga dihitung dari rata-rata total data
dkk. (2011) di wilayah Mediterranian fluks radiasi neto di permukaan dan
yang kondisi lingkungannya sangat diperoleh nilai 207,89. Dari hasil
terpolusi. Akumulasi partikel aerosol yang perhitungan dengan persamaan regresi
menutupi wilayah Mediterranian ini linear, diasumsikan aerosol (yang dalam
adalah berasal dari polutan debu. hal ini adalah nilai AOD) adalah = nol,
Sementara dalam penelitian ini, partikel maka intercept yang diperoleh adalah
aerosol yang diamati adalah berasal dari fluks radiasi neto pada kondisi bersih
kebakaran hutan gambut di Kalimantan (Fclean). Nilai intercept Fclean yang
dan Sumatera. Benas dkk. (2011) diperoleh untuk level puncak atmosfer
menjelaskan bahwa akumulasi partikel adalah 91,83, dan Fclean untuk level
debu aerosol telah menyebabkan permukaan diperoleh nilai 225,6.
pendinginan di permukaan akibat
pengurangan radiasi yang mencapai nilai
215 watt/m2, dan pengurangan radiasi
yang terjadi di level atmosfer atas yang
mencapai 46 watt/m2. Perbedaan
tersebut memperkuat penjelasan Keil
dan Haywood (2003) dan Penner dkk.
(2001) bahwa dalam hal ini karakteristik
partikel aerosol sangat berperan. Kaufman
dkk. (2002) juga menjelaskan bahwa
massa aerosol, komposisi kimia aerosol
dan jumlah partikel aerosol yang sangat
bervariasi terhadap ruang dan waktu,
juga sangat berperan dalam
mempengaruhi fluks radiasi yang sampai
di puncak atmosfer maupun
dipermukaan.

3.2 Analisis direct radiative forcing


aerosol (ARF)
Determinasi forcing untuk
pengaruh langsung aerosol dihitung Gambar 3-6: Pola spasial Aerosol Radiative
berdasarkan perbedaan radiasi neto Forcing di puncak atmosfer
pada kondisi terpolusi oleh aerosol dan (ARFTOA) dan permukaan (ARFSurf)
pada bulan Oktober, dalam satuan
radiasi neto pada kondisi tanpa adanya watt/m2
36
Pengaruh Aerosol Terhadap ....... (Rosida dan Indah Susanti)

Gambar 3-7: Anomali ARF di level permukaan dan di TOA pada bulan Oktober 2002, 2004 dan 2006

Dengan menggunakan persamaan dengan kondisi yang sangat terpolusi


(2-1) dan (2-2) diperoleh ARF, untuk oleh partikel debu, menunjukkan ARF di
rata-rata di level puncak atmosfer level puncak atmosfer ARFTOA sebesar -4
ARFTOA adalah -0,5 watt/m2 dan untuk watt/m2 dan di level permukaan ARFSurf
level permukaan ARFSurf adalah -17,7 adalah sebesar -24 watt/m2. Abel, dkk.
watt/m2. Hasil ini sedikit berbeda (2005) menjelaskan bahwa selain
dengan hasil yang diperoleh Abel dkk. karakteristik partikel aerosol yang sangat
(2005) yang menghitung aerosol kompleks dan rumit, termasuk albedo
radiative forcing (ARF) dari partikel permukaan yang mempengaruhi efek
aerosol yang berasal dari emisi radiasi langsung aerosol, maka perbedaan
pembakaran biomassa di Afrika bagian karakteristik permukaan tanah juga
Selatan. Abel dkk. (2005) menggunakan merupakan hal yang sangat penting
model transfer radiasi untuk untuk dipertimbangkan.
menghitung ARFnya dan diperoleh Estimasi ARF dari hasil
hasilnya untuk level puncak atmosfer perhitungan memperlihatkan bahwa
dengan rentang ARFTOA pada -7,6 perubahan-perubahan yang terjadi baik
watt/m2 sampai -9,1 watt/m2, dan untuk di level puncak atmosfer maupun di
ARFSurf pada rentang -18,1 watt/m2 permukaan diduga banyak dipengaruhi
sampai -21,4 watt/m2. Selain itu dari oleh pergerakan semu sumber energi
perhitungan Benas dkk. (2011), ARF di radiasi matahari. Tapi untuk level
wilayah Mediterranian, suatu wilayah permukaan, selain pengaruh tersebut,

37
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 : 27—42

diperkirakan aktivitas manusia memberikan peranan yang sangat besar


menunjukkan peran yang lebih dalam mempengaruhi fluks radiasi neto.
mendominasi. Akumulasi partikel
aerosol dari emisi kebakaran hutan 4 KESIMPULAN
gambut di Sumatera dan Kalimantan Dari analisis variasi temporal
sama-sama menunjukkan ARF dengan untuk rata-rata wilayah Indonesia,
nilai negatif baik untuk permukaan pengaruh aerosol terhadap fluks radiasi
maupun untuk level puncak atmosfer. neto dapat sangat jelas terlihat pada
Pada kedua level terjadi pendinginan kasus kebakaran hutan. Pada umumnya
dengan perbedaan nilai yang cukup konsentrasi dari akumulasi muatan
signifikan. Di level puncak atmosfer aerosol yang tinggi di atmosfer yang
akumulasi yang terjadi menyebabkan diindikasikan oleh tingginya nilai
pendinginan dengan pengurangan fluks AODmaks > 2,5 memberikan efek
radiasi antara 5 watt/m2 sampai 20 pendinginan yang dipresentasikan oleh
watt/m2, seperti ditunjukkan pada penurunan fluks radiasi netonya.
Gambar 3-6 dengan perubahan luasan Pada peristiwa kebakaran hutan
spasial berwarna hijau sampai warna biru yang sangat besar pada 2006, konsentrasi
muda. Sementara di level permukaan dari akumulasi aerosol untuk rata-rata
pendinginan terjadi dengan wilayah Indonesia meningkat dan terjadi
berkurangnya fluks radiasi neto yang pada Oktober 2006. Peningkatan nilai
sangat signifikan yaitu >40 watt/m2, pada AODmaks saat itu mencapai 3,2 dan
gambar indikasi perubahannya berkorelasi tinggi (r ≥ 0,88) terhadap
diperlihatkan oleh perubahan luasan penurunan fluks radiasi neto di
warna biru tua sampai ungu tua. permukaan sebesar 13,6 watt/m2, dan
Dalam beberapa kasus pengaruh di puncak atmosfer sebesar 11,7 watt/m2.
antropogenik juga dapat mencapai level Kondisi ekstrem lebih terlihat
puncak atmosfer dan mempengaruhi jelas dalam lingkup skala yang lebih
level puncak atmosfer itu sendiri. Seperti kecil yaitu pada zona Kalimantan dan
peristiwa kebakaran hutan gambut yang Sumatera. Sebagai sumber kebakaran
terjadi pada 2002 dan 2006 (Gambar 3-7). hutan yang terbesar, akumulasi muatan
Dari hasil analisis musiman maka aerosol yang terjadi di zona Kalimantan
peristiwa kebakaran hutan yang terjadi 2006, telah menyebabkan penurunan
pada musim SON tahun 2002, 2004 dan fluks radiasi neto yang terbesar di zona
2006, maka kontribusi kebakaran hutan tersebut. Peningkatan AODmaks yang
yang terjadi pada periode SON tahun terjadi saat itu mencapai lebih besar dari
2006 merupakan peristiwa terbesar yang 3,2 dan menunjukkan korelasi yang
pernah terjadi. Dispersi partikel aerosolnya lebih tinggi dengan r ≥ 0,98 terhadap
sampai mencapai ketinggian level puncak penurunan fluks radiasi neto di level
atmosfer. Gambar 3-7 memperlihatkan permukaan sampai sebesar 77,8 watt/m2,
perbandingan ARF dalam nilai anomalinya dan di puncak atmosfer sebesar 35,2
yang terjadi di permukaan dan di level watt/m2. Akumulasi muatan aerosol
puncak atmosfer. Secara spasial tersebut di zona Sumatera hanya ber-
dipresentasikan bahwa pada umumnya pengaruh pada level permukaan dengan
pengaruh distribusi aerosol lebih penurunan fluks radiasi neto yang
mendominasi pada level permukaan. Hal mencapai sebesar 33,5 watt/m2.
ini menunjukkan bahwa aktifitas Dari penentuan forcing aerosol,
antropogenik yang terjadi dipermukaan efek langsung aerosol terhadap fluks

38
Pengaruh Aerosol Terhadap ....... (Rosida dan Indah Susanti)

radiasi neto menunjukkan perbedaan Boucher, O., D. Randall, P. Artaxo, C.


yang cukup signifikan antara aerosol Bretherton, G. Feingold, P. Forster, et
radiative forcing (ARF) di permukaan dan al., 2013. Clouds and Aerosols. In:
di puncak atmosfer. Dari perhitungan Stocker, T.F., D. Qin, G.-K. Plattner, M.
rata-rata total data yaitu dari Maret Tignor, S.K. Allen, J. Boschung, A.
2000 sampai Februari 2010, untuk rata- Nauelss, Y. Xia, V. Bex, P.M. Midgley
rata wilayah Indonesia, diperoleh aerosol (Eds.), Climate Change 2013: The
radiative forcing di permukaan (ARFSurf) Physical Science Basis Contribution of
adalah -17,7 watt/m2, dan di puncak Working Group I to the Fifth
atmosfer (ARFTOA) adalah -0,5 watt/m2. Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate
Change. Cambridge University Press.
UCAPAN TERIMAKASIH doi:10.1017/CBO9781107415324.016.
Penelitian ini merupakan bagian dari Boucher, O., and J., Haywood, 2001. On
kegiatan penelitian yang dilaksanakan Summing the Components of Radiative
dan didanai oleh Pusat Sains dan Forcing of Climate Change. Clim. Dyn.,
Teknologi Atmosfer LAPAN Bandung. 18, 297–302.
Untuk itu penulis mengucapkan BPDLD, 2009. Badan Pengendalian Dampak
terimakasih Kepada Pusat Sains dan Lingkungan Daerah-Kota Palangkaraya.
Teknologi Atmosfer LAPAN Bandung UPT Laboratorium Lingkungan, 2009.
yang telah memberikan dukungannya. Breon, F. M., D., Tanre, and S., Generoso, 2002.
Penulis mengucapkan terimakasih Aerosols Effect on the Cloud Droplet Size
kepada pihak NASA (National Monitored from Satellite. Science, 295,
Aeronautics and Space Administration), 834-838.
yang telah menyediakan data yang Chu, D.A.,Y.J.Kaufman, C., Ichoku, L.A. Remer,
sangat bermanfaat. Ucapan terimakasih D., Tanre, B.N. Holben, 2002. Validation
juga penulis sampaikan kepada rekan- of MODIS aerosol optical depth retrieval
rekan terutama kepada bapak Drs. Sri over land. Geophysical Research Letter,
Kaloka Prabotosari yang telah banyak Vol. 29, No.12, doi:10.1029/2001GL
sekali memberikan masukan-masukan 013205.
yang sangat berharga. Crutzen, P. J., and M.O., Andreae, 1990. Biomass
Burning in the Tropics: Impact on
DAFTAR RUJUKAN Atmospheric Chemistry and
Abel, S.J., E. J. Highwood, J. M. Haywood, and Biogeochemical Cycles. Science, 250,
M. A. Stringer, 2005. The Direct 1669–1678.
Radiative Effect of Biomass Burning de Meij, A., A., Pozzer, J., Lelieveld, 2010.
Aerosols Over Southern Africa. Atmos. Global and Regional Trends in Aerosol
Chem. Phys., 5, 1999–2018. Optical Depth Based on Remote Sensing
Benas, N., N. Hatzianastassiou, C. Matsoukas, Products and Pollutant Emission
A. Fotiadi, N. Mihalopoulos, and I. Estimates Between 2000 And 2009,
Vardavas, 2011. Aerosol Shortwave Atmos. Chem. Phys. Discuss., 10,
Direct Radiative Effect and Forcing 30731–30776, doi:10.5194/acpd-10-
Based on MODIS Level 2 Data in the 30731- 2010.
Eastern Mediterranean (Crete). Atmos. Huang, H., 2009. Aerosol Remote Sensing Using
Chem. Phys., 11, 12647–12662, doi: AATSR, Postdoctoral Dissertation,
10.5194/acp-11-12647- 2011. Atmospheric, Oceanic and Planetary

39
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 : 27—42

Physics, Department of Physics, KLH, 2006. Press Release Pengendalian Kebakaran


University of Oxford, 64. Hutan Dan Lahan, Kementerian
Ichoku, C., L.A. Remer, Y.J. Kaufman, R. Levy, Lingkungan Hidup, Republik Indonesia,
D.A. Chu, D. Tanr´e, and B.N. Holben, 1 September 2006, diunduh pada 30
2003. MODIS Observations of Aerosols November 2006 dari http://www.
and Estimation of Aerosol Radiative menlh.go.id/press-release-pengendalian-
Forcing Over Southern Africa During kebakar an hutan-dan-lahan
SAFARI 2000. J. Geophys. Res., 108, kementerian-lingkungan-hidup/.
8499, doi:10.1029/2002JD002366. Korhonen, H., K. S., Carslaw, D. V., Spracklen,
IPCC, 2007. Climate Change 2007: The Physical D. A., Ridley, and J., Ström, 2008. A
Science Basis. Contribution of Working Global Model Study of Processes
Group I to the Fourth Assessment Controlling Aerosol Size Distributions in
Report of the Intergovernmental Panel the Arctic Spring and Summer, J.
on Climate Change [Solomon, S., D. Geophys. Res., 113, D08211, doi:10.
Qin, M. Manning, Z. Chen, M. Marquis, 1029/ 2007JD009114.
K.B.M. Tignor and H.L. Miller (eds.)]. Levy, R. C., Remer, L. A., Kleidman, R. G.,
Cambridge University Press, Cambridge, Mattoo, S., Ichoku, C., Kahn, R., and
United Kingdom and New York, NY, Eck, T.F., 2010. Global Evaluation of
USA. the Collection 5 MODIS Dark-Target
IPCC, 2001. Climate Change 2001. The Scientific Aerosol Products Over Land, Atmos.
Basis. Contribution of Working Group I Chem. Phys., 10, 10399–10420, doi:
to the Third Assessment Report of the 10.5194/ acp-10-10399-2010.
Intergovernmental Panel on Climate Li, Z., X. Xia, M. Cribb, W. Mi, B. Holben, P.
Change [Houghton, J.T., Y. Ding, D.J. Wang, H. Chen, S.C. Tsay, T. F. Eck, F.
Griggs, M. Noguer, P.J. van der Linden, Zhao, E. G. Dutton, R. E. Dickerson,
X. Dai, K. Maskell, and C.A. Johnson 2007. Aerosol Optical Properties and
(eds.)]. Cambridge University Press, their Radiative Effects in Northern
Cambridge, United Kingdom and New China, J. Geophys. Res.112, D22S01,
York, NY, USA, 881. doi:10.1029/2006JD007382.
Kaufman, Y.J., D. Tanr´e and O. Boucher, Li, F., A. M., Vogelmann, V., Ramanathan,
2002. A Satellite View of Aerosols in the 2004. Saharan Dust Aerosol Radiative
Climate System. Nature, 419, 215–223. Forcing Measured from Space. Journal
Keil, A., and J.M. Haywood, 2003. Solar Of Climate, Vol. 17, 2558-2571.
Radiative Forcing by Biomass Burning NASA, 2014. Aerosol Optical Thickness, GES –
Aerosol Particles During SAFARI 2000: A DISC (Goddard Earth Sciences Data
Case Study Based on Measured Aerosol and Informations Services Center),
and Cloud Properties. J. Geophys. Res., Programme Informations Pages,
108, 8467, doi:10.1029/2002JD 002315. diunduh pada 12 September 2014 dari
Kiehl, J.T., and K.E., Trenberth, 1997. Earth http://disc.sci.gsfc. nasa.gov/data-
Annual Global Mean Energy Budget, holdings/PIP/aerosol_optical_thickness
Bulletin of the American Meteorological _ or_depth.shtml.
Association, 78, 197-208. NASA, 2011. What is the Earth's Radiation
Kim, D.Y., and V. Ramanathan, 2008: Solar Budget?. Science Education Resources,
Radiation Budget and Radiative Forcing diunduh pada tanggal 28 Juni 2011
Due to Aerosols and Clouds. Journal of dari https://science-edu.larc.nasa.
Geophysical Research-Atmospheres. gov/EDDOCS/whatis.html.
113.

40
Pengaruh Aerosol Terhadap ....... (Rosida dan Indah Susanti)

NASA, 2007. The Top of Atmosphere, Earth Satellite Sensors, J. Geophys. Res., 113,
Observatory, diunduh pada tanggal 3 doi:10.1029/2007JD009661, 2008.
Februari 2007 dari http:// earth Rosida, I., Susanti, dan W.E., Cahyono, 2014.
observatory.nasa.gov/IOTD/view.php?i Analisis Dampak Kebakaran Hutan
d=7373. Terhadap Kesetimbangan Radiasi di
NOAA, 2016. Layers of the Atmosphere, National Permukaan Menggunakan Data CERES,
Weather Service, diunduh pada tanggal Prosiding Seminar Sains Atmosfer
6 Mei 2016 dari http://www.srh. 2014, Pusat Sains dan Teknologi
noaa.gov/srh/jetstream/atmos/layers. Atmosfer, LAPAN, ISBN: 978-979-1458-
html. 84-9, 418-431.
Penner, J., M. Andreae, H. Annegarn, L. Barrie, Rosida, dan I., Susanti, 2014. Analisis Spasial
J. Feichter, D. Hegg, A. Jayaraman, R. Perubahan Radiasi di Top of Atmosphere
Leaitch, D. Murphy, J. Nganga, and G. (TOA), Kualitas Udara dan Komposisi
Pitari., 2001. Aerosols, their Direct and Atmosfer Indonesia, Buku2 – PSTA
Indirect Effects. In Climate Change 2014, Penerbit Adira, ISBN: 978-979-
2001. The Scientific Basis. Contributing 1458-82-5, 89-99.
of Working Group I to the Third Rosida dan I. Susanti, 2011. Spatial Analysis of
Assessment Report of the Atmospheric Aerosol Impact on
Intergovernmental Panel on Climate Shortwave Radiation over Indonesia,
Change [Houghton, J.T., et al. (eds.)]. International Symposium on the 10th
Cambridge University Press, Cambridge, Anniversary of the Equatorial
United Kingdom and New York, NY, Atmospheric Radar (EAR), ISBN: 978-
USA, 289-348. 979-1458-52-8, 231-239.
Rajeev, K., and V. Ramanathan, 2001. Direct Stanhill, G., and S. Cohen, 2001. Global
Observations of Clear-Sky Aerosol Dimming: a Review of the Evidence for a
Radiative Forcing from Space During the Widespread and Significant Reduction in
Indian Ocean Experiment. Journal Of Global Radiation with Discussion of its
Geophysical Research, Vol. 106 , NO. Probable Causes and Possible
D15, 17221–17235. Agricultural Consequences, Agric. For.
Ramanathan, V., C. Chung, D. Kim, T. Bettge, Meteorology, 107, 255– 278.
L., Buja, J. T., Kiehl, W. M., Susanto A., 2015. Apa yang Paling Banyak
Washington, Q., Fu, D. R., Sikka, and Menyebabkan Kebakaran Hutan di
M., Wild, 2005. Atmospheric Brown Indonesia?, diunduh pada tanggal 11
Clouds: Impacts on South Asian Climate Oktober 2015 dari http:// www.
and Hydrological Cycle, Proc. Natl. rappler.com/indonesia/104764-
Acad. Sci. U. S. A., 102, 5326–5333. kebakaran-hutan-indonesia-cifor.
Ramanathan, V., 1987. The Role of Earth Wild, M., H. Gilgen, A., Roesch, A., Ohmura, C.,
radiation Budget in Climate and General Long, E., Dutton, B., Forgan, A., Kallis,
Circulation Research, Journal Of V., Russak, and A., Tsvetkov, 2005.
Geophysical Research, Vol. 92, No. D4, From Dimming to Brightening: Decadal
4075-4095. Changes in Solar Radiation at the
Remer, L. A., Kleidman, R. G., Levy, R. C., Earth’s Surface, Science, 308, 847–
Kaufman, Y. J., Tanre, D., Mattoo, S., 850.
Martins, J.V., Ichoku, C., Koren, I., Yu, Zengzhou, H., P., Delu, and G., Fang, 2011.
H., and Holben, B. N., 2008. Global Aerosol Direct Radiative Forcing at the
Aerosol Climatology from the MODIS Top of Atmosphere Based on Satellite

41
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 : 27—42

Remote Sensing Over China Seas: A Conference on Remote Sensing,


Preliminary Study, Remote Sensing of Proceedings of SPIE Vol. 8203, doi:
the Environment: The 17th China 10.1117/12.910433.

42
Analisis Propagasi ....... (Varuliantor Dear dan Rohmat Yulianto)

ANALISIS PROPAGASI GELOMBANG RADIO MODE ANGKASA SAAT


PERISTIWA GERHANA MATAHARI 9 MARET 2016
(SKYWAVE PROPAGATION ANALYSIS DURING SOLAR ECLIPSE ON
9 MARCH 2016)
VaruliantorDear1*) dan Rohmat Yulianto**)
*) Pusat Sains Antariksa, LAPAN

Jl. Dr. Djunjunan 133 Bandung


**)Balai Penjejakan dan Kendali Wahana Antariksa

Jl. Angkasa Trikora, Biak Papua


1 e-mail : varuliantor.dear@lapan.go.id

Diterima 06 Desember 2016; Direvisi 6 April 2017; Disetujui 19 Juli 2017

ABSTRACT

This paper discusses the analysis of radio wave propagation using Skywave mode during solar
eclipse events on March 9, 2016. The analysis was based on the observation results using Automatic
Link Establishment (ALE) waveform. The carrier frequency is 10.1455 MHz with Biak (1.16 N;
136.047E) and Manado (1.52N; 124.856E) as radio communication circuits. The working frequency
was determined from the model of the ionosphere Biak-Manado circuit during a solar eclipse event
and based on the frequency allocation for ALE system in Indonesia. The results showed that the SN
index values were different between the day during solar eclipse event compared to the previous day
and after. The differences of the SN index value were included the time variations and its distribution,
which can be explained as the changes in the absorption levels of the ionosphere D layer. The change
of the absorption levels during the solar eclipse event caused the SN index values had a constant
tendency with the gradient value of linear equations was 0.0004/seconds. The constant changes of
the absorption levels were also shown in the distribution of the SN index with a mean value (μ) was
5.2384 and standard deviation (σ) was 0.74894. Differences with the previous day and the day after
the solar eclipse events, the SN index values had a descending trend with a gradient of the linear
equations was -0.002/seconds. The differences also shown in the distribution of the SN index with μ
values were 4.8316 and 4.6164 and σ were 0.92123 and 0.9096. These results indicated the change of
radio wave propagation in the ionosphere during solar eclipse event in March 9, 2016.

Keywords: skywave propagation, solar eclipse, absorption

43
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 : 43—56

ABSTRAK

Makalah ini membahas tentang analisis propagasi gelombang radio mode angkasa saat terjadi
peristiwa gerhana matahari pada 9 Maret 2016. Analisis dilakukan berdasarkan hasil pengamatan
menggunakan waveform sistem Automatic Link Establishment (ALE). Frekuensi yang digunakan
adalah 10,145 MHz dengan Biak dan Manado sebagai sirkuit radio komunikasi yang digunakan. Nilai
frekuensi kerja ditentukan dari hasil perhitungan model kondisi ionosfer untuk sirkuit komunikasi
Biak (01,16 ⁰LU; 136,047 ⁰BT) dan Manado (1,52 ⁰LU; 124,856 ⁰BT) pada saat gerhana matahari
berlangsung serta berdasarkan alokasi frekuensi sistem ALE di Indonesia. Hasil pengamatan yang
diperoleh menunjukkan terdapat perbedaan nilai indeks SN antara saat kejadian gerhana matahari
dengan hari sebelum dan sesudahnya di waktu yang sama. Perbedaan tersebut meliputi variasi nilai
indeks SN terhadap waktu dan distribusinya yang dapat dijelaskan sebagai akibat perubahan tingkat
absorpsi lapisan D ionosfer yang berbeda. Perubahan tingkat absorpsi pada lapisan D saat peristiwa
gerhana matahari cenderung konstan, sehingga menyebabkan nilai indeks SN memiliki tren yang juga
konstan dengan nilai gradien persamaan linear sebesar 0,0004/detik. Tingkat absorpsi yang konstan
tersebut juga terlihat dari distribusi nilai indeks SN yang memiliki nilai mean (μ) sebesar 5,2384
dengan standar deviasi (σ) 0,74894. Sedangkan pada hari sebelum dan sesudahnya, yakni tanggal 8
dan 10 Maret 2018, nilai indeks SN memiliki tren menurun dengan nilai gradien persamaan linear
sebesar -0,002/detik. Perbedaan tersebut juga terlihat dari distribusi indeks SN yang memiliki nilai μ
sebesar 4,8316 dan 4,6164 dengan σ sebesar 0,92123 dan 0,9096. Hasil ini menunjukkan bahwa
terjadi perubahan pada perambatan gelombang radio di lapisan ionosfer saat peristiwa gerhana
matahari total 9 Maret 2016.

Kata Kunci: propagasi angkasa, gerhana matahari, absorpsi

1 PENDAHULUAN perangkat penerima. Sinyal yang


Peristiwa gerhana matahari dapat diterima dapat mengalami perubahan
menyebabkan terjadinya perubahan pada besaran amplitudo maupun fasa
pada lapisan ionosfer (Evans, 1965; seiring dengan perubahan fisis yang
Salah dkk., 1986; Jakowski dkk., 2008, terjadi di lapisan ionosfer (Davies dkk.,
Le dkk., 2010, Kumar dkk., 2013). 1966). Kondisi serupa dapat juga terjadi
Perubahan yang terjadi meliputi besaran pada saat peristiwa gerhana matahari
densitas elektron serta ketinggian lapisan sebagai akibat dari terhalangnya proses
ionosfer akibat terhalangnya radiasi radiasi matahari di lapisan ionosfer oleh
matahari oleh bulan. Pada lapisan D bayangan bulan.
Ionosfer, terhalangnya radiasi matahari Penelitian mengenai dampak
dapat direspon secara seketika sehingga gerhana matahari terhadap perambatan
densitas elektron mengalami penurunan gelombang radio dengan mode propagasi
bersamaan dengan waktu terjadinya angkasa masih menjadi hal yang sangat
gerhana matahari (Singh dkk., 2011; menarik. Hal ini disebabkan oleh langka
Kumar dkk., 2012). dan uniknya peristiwa gerhana matahari
Perubahan yang terjadi pada serta masih digunakannya teknologi
lapisan ionosfer sangat mempengaruhi komunikasi yang memanfaatkan
perambatan gelombang radio yang perambatan gelombang radio mode
menggunakan mode propagasi angkasa propagasi angkasa hingga saat ini
(skywave) (McNamara, 1991a). Pengaruh (Bergada dkk., 2014). Penelitian tersebut
dari kondisi tersebut dapat terlihat dari dapat melengkapi pemahaman tentang
parameter penerimaan sinyal pada mekanisme yang terjadi pada lapisan

44
Analisis Propagasi ....... (Varuliantor Dear dan Rohmat Yulianto)

ionosfer yang mempengaruhi dengan perubahan yang terjadi pada


perambatan gelombang radio. Di media lintasan gelombang radio.
Indonesia penelitian ini belum pernah Faktor utama terjadinya proses
dilakukan sehingga penelitian tentang ionisasi pada lapisan ionosfer adalah
pengaruh gerhana matahari terhadap radiasi matahari. Radiasi matahari
perambatan gelombang radio masih menyebabkan terjadinya proses
menjadi topik yang perlu untuk pembentukan lapisan ionosfer dari atom
dilakukan. Pada penelitian ini dilakukan netral yang berada di atmosfer pada
analisis hasil observasi perambatan ketinggian yang berbeda-beda. Pada
gelombang radio moda angkasa pada lapisan D ionosfer, proses ionisasi terjadi
saat peristiwa gerhana matahari. secara instan sebagai reaksi dari radiasi
Observasi difokuskan pada kualitas matahari (Mukhtarov dkk., 1995).
penerimaan sinyal dengan menganalisis Kondisi tersebut menyebabkan lapisan D
perubahan yang terjadi pada saat dikenal hanya muncul pada siang hari
gerhana matahari. Perbandingan hasil dan juga sangat terpengaruh dengan
pengamatan saat terjadinya peristiwa fenomena X-Ray flare matahari. Pada
gerhana matahari dengan waktu yang malam hari lapisan D menghilang akibat
sama pada hari sebelum dan sesudahnya tidak adanya radiasi matahari yang
dilakukan untuk mendapatkan merupakan sumber utama terjadinya
penjelasan tentang perubahan yang proses ionisasi. Pada propagasi
terjadi. Tujuan dari penelitian ini adalah gelombang radio mode angkasa dengan
untuk mengetahui perubahan yang spektrum radio High Frequency (HF; 3 -
terjadi pada perambatan gelombang 30 MHz) lapisan D bersifat menyerap
radio di ionosfer akibat dari peristiwa energi gelombang radio (Brown, 1964).
gerhana matahari total pada 9 Maret Oleh karena itu kehadiran lapisan D
2016. dapat dianggap sebagai sebuah kerugian
bagi sistem komunikasi mode propagasi
angkasa yang menyebabkan besaran
2 PROPAGASI GELOMBANG RADIO nilai SNR mengalami penurunan.
MODE ANGKASA DAN PERISTIWA Peristiwa gerhana matahari
GERHANA MATAHARI merupakan peristiwa yang terjadi akibat
Perambatan gelombang radio posisi bulan yang berada sejajar
dengan mode angkasa merupakan mode diantara bumi dan matahari. Peristiwa
propagasi yang memanfaatkan lapisan gerhana matahari tersebut menyebabkan
ionosfer sebagai media perambatan. Sifat suatu daerah di bumi mengalami
dinamis dari lapisan ionosfer yang penghalangan sinar matahari yang
dipengaruhi oleh radiasi dari matahari tertutup bayangan bulan. Pada lapisan
dapat menyebabkan perubahan yang D ionosfer, kondisi tersebut dapat
terjadi pada gelombang radio yang menyebabkan proses ionisasi menjadi
merambat pada lapisan ionosfer. terhambat atau tertunda (Narcisi dkk.,
Goldsmith (2005) dan Wagner dkk. 1972). Terhambat atau tertundanya
(1989) mengemukakan bahwa perubahan proses ionisasi pada lapisan D ionosfer
yang terjadi terkait dengan aspek dapat mempengaruhi besaran absorpsi
kualitas penerimaan sinyal. Perubahan energi gelombang radio pada mode
tersebut dapat terlihat dari peningkatan propagasi angkasa. Sehingga untuk
atau penurunan perbandingan besaran mendapatkan informasi tentang dampak
sinyal terhadap noise yang dikenal peristiwa gerhana matahari yang
sebagai Signal to Noise Ratio (SNR). SNR mempengaruhi perambatan gelombang
dapat mengalami perubahan seiring radio tersebut, maka dapat dilakukan

45
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 : 43—56

pengamatan dengan menggunakan pengguna frekuensi lainnya.


metode yang mampu mengukur besaran Berdasarkan perhitungan menggunakan
penerimaan sinyal. Hasil penerimaan model ionosfer saat kondisi normal
sinyal yang diperoleh dapat menjadi beserta tabel alokasi frekuensi untuk
informasi yang dapat digunakan untuk radio amatir di wilayah Indonesia,
menganalisa perubahan yang terjadi diperoleh nilai frekuensi 10,1455 MHz
saat gerhana matahari. sebagai frekuensi tunggal yang dapat
digunakan sesuai metode pengamatan
3 METODE OBSERVASI yang dirancang (Gambar 3-2). Nilai
Metoda penentuan lokasi stasiun frekuensi 10,1455 MHz merupakan
pemancar dan penerima untuk alokasi frekuensi yang dapat digunakan
pengamatan propagasi gelombang radio dan sesuai dengan sistem yang
dipilih berdasarkan hasil kajian oleh dirancang serta memiliki peluang
Jiyo dkk. (2016) yang disajikan pada keberhasilan komunikasi yang tinggi
Gambar 3-1. Hasil perhitungan lintasan untuk moda satu kali pantul
gerhana matahari total pada ketinggian menggunakan lapisan F. Frekuensi
300 km menunjukkan bahwa stasiun 10,1455 MHz dapat digunakan antara
komunikasi radio yang berlokasi di Biak pukul 00:00 UT hingga 17:00 UT dan
(01,16 ⁰LU; 136,047 ⁰BT) dan Manado antara pukul 22:00 hingga 23:00 UT
(1,52 ⁰LU; 124,856 ⁰BT) dapat untuk sirkuit komunikasi Biak-Manado
digunakan. Wilayah yang terdampak pada bulan Maret 2016. Pemilihan
oleh gerhana matahari total berada frekuensi yang merujuk pada moda satu
diantara kedua lokasi tersebut pada kali pantul tersebut dimaksudkan agar
pukul 00:26 UT hingga 01:34 UT pada 9 analisis yang dilakukan hanya fokus
Maret 2016. pada propagasi gelombang radio di
Dikarenakan lapisan ionosfer memiliki lapisan ionosfer yang merupakan tujuan
variasi temporal dan spasial, metode dari penelitian ini. Redaman oleh
pemilihan frekuensi dilakukan permukaan bumi yang terjadi pada
berdasarkan nilai frekuensi kerja yang moda dua kali pantul dapat dihilangkan
memiliki peluang tertinggi untuk dapat dalam analisis tersebut. Selain itu,
dipantulkan oleh lapisan ionosfer pada peluang terjadinya perambatan
saat peristiwa gerhana matahari gelombang radio dengan moda dua kali
berlangsung. Nilai frekuensi kerja pantul bernilai lebih kecil dibandingkan
tersebut ditentukan berdasarkan dengan moda satu kali pantul
perhitungan dari model ionosfer saat berdasarkan besaran sudut elevasi
kondisi normal beserta aspek legalitas antena yang digunakan dalam penelitian
penggunaan frekuensi. Penentuan nilai ini.
frekuensi kerja dapat diperoleh dari Transmisi sinyal berbasis sistem
penggunaan software prediksi frekuensi Automatic Link Establishment (ALE)
ASAPS (Advanced Stand Alone Prediction digunakan sebagai sistem pengamatan
System) yang dikeluarkan oleh propagasi gelombang radio yang
Ionospheric Prediction service (IPS) dilakukan. Pengamatan dilakukan pada 8
Australia untuk periode waktu saat Maret 2016 hingga 10 Maret 2016 yang
terjadinya gerhana matahari. Sedangkan mencakup pengamatan pada satu hari
legalitas frekuensi yang dapat sebelum dan sesudah peristiwa gerhana
digunakan, harus merujuk pada matahari. Blok diagram perangkat
nomenklatur alokasi frekuensi untuk pemancar dan penerima disajikan pada
komunitas radio amatir di wilayah Gambar 3-3. Perangkat radio komunikasi
Indonesia agar tidak mengganggu ICOM tipe IC-718 beserta komputer yang

46
Analisis Propagasi ....... (Varuliantor Dear dan Rohmat Yulianto)

dilengkapi software MARS-ALE (Military sebagai transmisi satu arah dengan Biak
Auxiliary Radio System– Automatic Link sebagai lokasi stasiun pemancar. Daya
Establishment) digunakan pada stasiun pancar yang digunakan sebesar 40 Watt
pemancar maupun penerima. Untuk dengan gain antena pemancar 2,15 dBi.
memperoleh resolusi data observasi yang
tinggi, transmisi gelombang radio diatur

Gambar 3-1: Lintasan gerhana matahari total pada 9 Maret 2016 di ketinggian 300 km serta lokasi
pemancar dan penerima yang digunakan dalam observasi

Gambar 3-2: Hasil perhitungan kondisi ionosfer untuk moda satu kali pantul (First mode) dan dua
kali pantul (Second Mode) menggunakan ASAPS untuk sirkuit Biak-Manado pada saat
Gerhana Matahari 9 Maret 2016

47
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 : 43—56

Gambar 3-3: Blok diagram sistem ALE yang digunakan dalam proses pengamatan

Sinyal yang dipancarkan berupa sinyal Sedangkan indeks BER merepresentasi-


Single Side Band-Upper Side Band (SSB– kan keberhasilan proses penguraian
USB) dengan informasi sinyal baseband kode (decoding) dari sinyal waveform
berbentuk waveform ALE generasi ke ALE yang diterima. Dalam penelitian ini,
dua (2G) (Gambar 3-4). Waveform ALE hasil observasi ditinjau berdasarkan
2G dengan modulasi 8-CPFSK (Continue perubahan yang terjadi pada nilai indeks
Phase Frequency Shift Keying) tersebut SN dalam domain waktu sebagai
dipancarkan secara periodik dengan representasi kualitas dari propagasi
interval waktu sounding 1 menit setelah gelombang radio yang diterima akibat
waktu awal transmisi sebelumnya. terjadinya perubahan pada media
Durasi waktu untuk satu kali propagasi. Perubahan nilai indeks SN
pengiriman sinyal mencapai 27,4 detik dalam domain waktu tersebut dianalisis
dengan jumlah bit frame informasi yang dengan menggunakan proses fitting
diulang (redundancy) dalam satu kali berdasarkan persamaan linear yang
sounding sebanyak 5 kali. Pengaturan disajikan pada Persamaan (3-1).
tersebut menyebabkan resolusi transmisi
sounding sinyal menjadi 30 detik/
sounding.
Stasiun penerima memperoleh
data berupa Link Quality Analysis (LQA)
yang merupakan data keluaran sistem
ALE (Hess, 2000). Data tersebut berupa
indeks nilai SN dan indeks BER dari
setiap penerimaan sinyal yang berhasil
diterjemahkan. Indeks nilai SN merepre-
sentasikan nilai kualitatif perbandingan
Gambar 3-4: Waveform ALE-2G dalam domain
antara sinyal dengan derau (noise).
frekuensi

48
Analisis Propagasi ....... (Varuliantor Dear dan Rohmat Yulianto)

(3-1) hasil yang berbeda dengan data hasil


pengamatan indeks SN pada saat terjadi
dengan nilai y adalah besaran indeks gerhana matahari total, yakni pada 9
SN, x adalah waktu, m adalah gradien Maret 2016. Nilai gradien persamaan
atau tingkat kemiringan dan b adalah linear yang diperoleh bernilai positif,
konstanta nilai y yang memotong sumbu yakni 0,0004/detik dan memiliki tren
x. Nilai gradien yang diperoleh akan yang cenderung konstan. Perbedaan tren
menjelaskan kecenderungan tren dan nilai gradien hasil pengamatan
perubahan data secara kuantitatif. indeks SN mengindikasikan terjadinya
Selain dianalisis dalam domain perbedaan kondisi dari media perambatan
waktu, distribusi nilai indeks SN gelombang radio yang dilalui.
( saat peristiwa gerhana matahari Perbedaan tersebut dapat merujuk
juga dihitung dengan menggunakan pada perubahan tingkat absorpsi lapisan
Persamaan (3-2) D ionosfer sebagai dampak dari
(3-2) terjadinya gerhana matahari total. Pada
saat gerhana matahari total, proses
dengan
ionosisasi pada lapisan D ionosfer
(3-3) mengalami penundaan sementara
sehingga tingkat absorpsi tidak
mengalami peningkatan dan nilai indeks
Hasil perhitungan dari Persamaan (3-2) SN menjadi relatif konstan. Sedangkan
dan (3-3) digunakan kembali untuk pada saat tidak terjadi gerhana matahari
mendapatkan nilai kuantitatif parameter total, proses ionisasi pada lapisan D
distribusi nilai indeks SN yakni berupa ionosfer berjalan normal dan meningkat
nilai mean (μ) dan standar deviasi (σ). seiring perubahan sudut zenith posisi
matahari yang mempengaruhi proses
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ionisasi (Reid, 1964).
Pada Gambar 4-1 disajikan grafik Untuk dapat melihat secara rinci
variasi nilai indeks SN pada 8 hingga 10 perbedaan nilai indeks SN pada 8 hingga
Maret 2016 pada rentang waktu di saat 10 Maret 2016, pada Gambar 4-2
terjadinya gerhana matahari. Sumbu disajikan distribusi nilai indeks SN
vertikal merupakan nilai indeks SN yang dengan besaran nilai mean (μ) dan
berada pada rentang 0 hingga 10. standar deviasi (σ) disajikan pada Tabel 4-
Sedangkan sumbu horizontal merupakan 1. Diagram batang berwarna hijau
waktu. Garis biru merepresentasikan merupakan distribusi dari data nilai
data nilai indeks SN sedangkan garis indeks SN yang diperoleh pada periode
hitam merupakan plot persamaan linear waktu saat terjadi gerhana matahari.
untuk proses fitting yang menunjukkan Garis berwarna merah merupakan kurva
tren dari nilai indeks SN. fitting menggunakan perhitungan distribusi
Gambar 4-1 menunjukkan bahwa normal berdasarkan nilai μ dan σ dari
nilai indeks SN dari hasil pengamatan perhitungan distribusi data nilai indeks
pada tanggal 8 Maret 2016 memiliki tren SN. Perbandingan kurva distribusi
menurun dengan besaran nilai gradien normal dengan data yang diperoleh
-0,002/detik. Tren dan variabel gradien dimaksudkan untuk dapat melihat
persamaan linear nilai indeks SN yang perubahan nilai paramater statistik
bernilai negatif tersebut juga terjadi antara saat kejadian gerhana matahari
pada tanggal 10 Maret 2016 dan bernilai dengan saat tidak terjadinya gerhana
sama. Tren dan nilai gradien yang matahari pada hari sebelum dan
diperoleh pada 8 dan 10 Maret memiliki sesudahnya.

49
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 : 43—56

Gambar 4-1: Variasi dan distribusi nilai indeks SN pada 8 Maret 2016, 9 Maret 2016, dan 10 Maret
2016

Tabel 4-1: NILAI MEAN (μ) DAN STANDARD DEVIASI (σ) INDEKS SN

Tanggal Mean (μ) Standard deviasi (σ)

08 Maret 2016 4,8316 0,92123

09 Maret 2016 5,2384 0,74894

10 Maret 2016 4,6164 0,9096

50
Analisis Propagasi ....... (Varuliantor Dear dan Rohmat Yulianto)

5,2364 dengan σ bernilai 0,7489. Nilai


tersebut lebih besar dari nilai μ dan σ
yang diperoleh pada 8 dan 10 Maret
2016 saat tidak terjadi gerhana matahari
total di waktu yang sama. Nilai μ indeks
SN pada hari sebelum gerhana matahari
dan sesudah gerhana matahari sebesar
4,6164 dan 4,8316 dengan σ berada
pada rentang 0,909 hingga 0,921. Nilai μ
yang lebih besar dengan simpangan
yang lebih kecil menunjukkan bahwa
distribusi nilai indeks SN relatif konstan
pada saat terjadi peristiwa gerhana
matahari total. Sedangkan pada saat
kondisi normal di waktu yang sama,
distribusi nilai indeks SN mengalami
perubahan dan menurun sehingga nilai
μ yang teramati lebih kecil serta memiliki
simpangan yang lebih besar.
Analisis perbedaan tren dan
distribusi data pengamatan nilai indeks
SN saat peristiwa gerhana matahari total
dapat dikaitkan dengan perbedaan nilai
rugi-rugi (Loss) dari perambatan
gelombang radio yang terjadi. Hal ini
dapat ditinjau berdasarkan perhitungan
nilai indeks SN yang dinyatakan sebagai
sebuah perbandingan antara kuat sinyal
yang diinginkan (S) terhadap kuat sinyal
derau atau noise (N). Besaran nilai noise
dapat dinyatakan bernilai konstan (ITU,
2015) karena sesuai dengan durasi
peristiwa gerhana matahari yang
berlangsung singkat. Sedangkan untuk
nilai S dapat dihitung dengan mengguna-
Gambar 4-2: Distribusi nilai indeks SN saat kan Persamaan (4-1).
peristiwa gerhana matahari pada
tanggal 8 Maret 2016 hingga 10
Maret 2016 (4-1)

Pada Gambar 4-2 dan Tabel 4-1 Nilai S ekivalen dengan nilai Pr yang
terlihat perbedaan nilai parameter dari merupakan besaran daya yang diterima
distribusi nilai Indeks SN antara hari oleh antena penerima. Ptx merupakan
disaat peristiwa gerhana matahari total besaran daya pancar, dan Loss merupakan
dengan hari sebelum dan sesudahnya. rugi-rugi energi gelombang radio yang
Pada 9 Maret 2016 saat terjadi gerhana terjadi pada lintasan. Nilai Ptx bernilai
matahari total, nilai μ indeks SN mencapai konstan karena telah diatur dengan

51
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 : 43—56

sebuah nilai tetap pada peralatan yang gelombang radio merupakan kandidat
digunakan. Sedangkan nilai Loss dapat utama dari terjadinya perubahan nilai
bervariasi terhadap waktu yang Loss (Hargreaves dkk., 2010). Jika
bergantung pada kondisi lintasan tingkat absorpsi lapisan D ionosfer
gelombang radio yang dilalui. Dengan meningkat, maka nilai ΔLoss bernilai
metode observasi yang digunakan dalam positif sehingga nilai S mengalami
penelitian ini, maka terjadinya perubahan penurunan. Namun, jika absorpsi lapisan
pada nilai Loss dapat dinyatakan D ionosfer cenderung konstan, maka
sebagai dampak dari perubahan pada ΔLoss akan bernilai 0 sehingga nilai S
lapisan ionosfer yang merupakan media akan bernilai konstan. Perubahan pada
perambatan gelombang radio yang nilai S tersebut juga akan terlihat dari
dilalui. Hal ini juga merujuk pada hasil hasil pengukuran nilai indeks SN.
yang diperoleh oleh Ma dkk. (2013) yang Berdasarkan data yang diperoleh terlihat
menyatakan bahwa ionosfer merupakan bahwa pada 8 dan 10 Maret 2016 nilai
sebuah kanal time variant channel. indeks SN mengalami penurunan yang
Persamaan (4-1) menunjukkan menunjukkan bahwa terjadi peningkatan
bahwa perubahan yang terjadi pada nilai Loss. Sedangkan pada 9 Maret 2016,
Loss akan menyebabkan perubahan nilai indeks SN relatif konstan yang
pada nilai S. Perubahan besaran nilai menunjukkan bahwa Loss yang terjadi
Loss yang terjadi tersebut dapat dihitung juga bernilai konstan.
dengan Persamaan (4-2). Analisis nilai indeks SN yang
bernilai konstan akibat nilai Loss yang
(4-2) konstan disaat terjadinya peristiwa
gerhana matahari pada 9 Maret 2016
dengan ΔLoss sebagai besarnya perubahan memiliki kesesuaian dengan hasil
nilai Loss, Losso merupakan nilai Loss penelitian perubahan tingkat absorpsi
awal dan Losst merupakan nilai Loss yang telah dilakukan oleh Lerfald dkk.
pada waktu berikutnya. Besaran nilai (1965). Besaran tingkat absorpsi tersebut
ΔLoss akan menentukan perubahan berkorelasi dengan terjadinya Losses
yang terjadi pada nilai S. Apabila ΔLoss dari perambatan gelombang radio yang
bernilai positif maka nilai S akan menggunakan mode propagasi angkasa
mengalami penurunan dari nilai (skywave propagation). Besaran nilai
sebelumnya. Sedangkan apabila ΔLoss Loss untuk perambatan gelombang radio
bernilai negatif, maka nilai S akan moda angkasa dinyatakan dengan
mengalami peningkatan. Untuk ΔLoss Persamaan (4-3) (McNamara, 1991b).
yang bernilai 0, nilai S akan memiliki
besaran yang sama dengan nilai (4-3)
sebelumnya.
Dikarenakan perubahan nilai
Loss dominan sebagai representasi dari dengan merupakan absorption loss,
perubahan kondisi media perambatan merupakan free space loss, merupakan
gelombang radio yang dilalui, maka Multihop ground reflection loss, merupa-
perubahan nilai Loss sangat terkait kan Polarization coupling loss, dan
dengan perubahan yang terjadi pada merupakan Sporadic E Obscuration loss.
lapisan D ionosfer. Sifat lapisan D Besaran nilai direpresentasikan sebagai
ionosfer yang mampu menyerap energi besaran absorpsi pada lapisan D

52
Analisis Propagasi ....... (Varuliantor Dear dan Rohmat Yulianto)

ionosfer yang dapat dihitung dengan tidak dipengaruhi oleh fungsi F. Saat
Persamaan (4-4) (Lerfald dkk. ,1965). gerhana matahari total terjadi, nilai F
adalah 0. Sedangkan saat tidak terjadi
(4-4) gerhana matahari nilai F adalah 1.
Parameter ρo merupakan koefisien
dengan merupakan besaran photodetachment yang dipengaruhi oleh
absorpsi, merupakan tingkat F. Sedangkan κ adalah koefisien
absorpsi pada lapisan ionosfer sebagai tumbukan, dan n adalah kerapatan dari
fungsi ketinggian dan nilai angular molekul netral. Berdasarkan Persamaan
frekuensi . Sedangkan (4-6) dan (4-7) yang menentukan
merupakan besaran kerapatan elektron Persamaan (4-5) terlihat cukup jelas
sebagai fungsi ketinggian. bahwa kerapatan elektron saat peristiwa
Lerfald dkk. (1965) menyatakan gerhana matahari total akan cenderung
bahwa perubahan kerapatan elektron bernilai konstan karena proses laju
pada saat peristiwa gerhana matahari produksi ionisasi hanya bersumber dari
dipengaruhi oleh 3 proses, yakni (i) qc. Kendatipun parameter λ juga
produksi elektron, (ii) pembentukan ion dipengaruhi oleh F, namun menurut
negatif, dan (iii) proses rekombinasi. Nicolet dkk. (1960) nilai λ tersebut dapat
Ketiga proses tersebut dinyatakan dalam diabaikan karena memiliki nilai yang
Persamaan (4-5). sangat kecil. Pada lapisan D, nilai
kerapatan elektron yang cenderung
konstan tersebut akan menyebabkan
(4-5)
tingkat absorpsi juga cenderung konstan.
Absorpsi yang konstan akan menyebab-
dengan q merupakan laju produksi, α kan besaran pada Persamaan (4-3)
merupakan laju tingkat rekombinasi, N bernilai konstan, sehingga nilai S juga
adalah densitas elektron dan λ merupakan bernilai konstan. Hal ini sesuai dengan
perbandingan antara ion negatif dengan hasil pengamatan saat peristiwa gerhana
elektron. Komponen q dan λ dipengaruhi matahari total yang menunjukkan
oleh parameter ekspose matahari (F) bahwa trend nilai indeks SN cenderung
yang merepresentasikan kondisi sinar konstan dan dengan nilai μ yang lebih
matahari relatif terhadap ionosfer saat besar serta σ yang lebih kecil.
gerhana matahari terjadi. Pengaruh Sedangkan saat kondisi normal, yakni
ekspos matahari terhadap nilai q dan λ pada hari sebelum dan sesudahnya tren
dinyatakan dengan Persamaan (4-6) dan nilai indeks SN cenderung menurun
(4-7). dengan nilai μ yang lebih kecil dan
dengan nilai σ yang lebih besar.
(4-6)
5 KESIMPULAN
(4-7) Peristiwa gerhana matahari total
pada 9 Maret 2016 menyebabkan
terjadinya perubahan pada perambatan
dengan qo adalah komponen pembentukan gelombang radio di lapisan ionosfer.
elektron yang dipengaruhi oleh fungsi Analisis hasil pengamatan menunjukkan
ekspos matahari (F), dan qc adalah terjadinya perbedaan tren dan distribusi
komponen pembentukan elektron yang nilai indeks SN antara saat peristiwa

53
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 : 43—56

gerhana matahari pada 9 Maret 2016 DAFTAR RUJUKAN


dengan hari sebelum dan sesudahnya di Bergadà, P., R. M. Alsina‐Pagès, J. L. Pijoan,
waktu yang sama. Nilai indeks SN pada M. Salvador, J.R. Regue, D. Badia, S.
saat peristiwa gerhana matahari memiliki Graells, 2014. Digital Transmission
tren yang konstan dengan koefisien Techniques for a Long Haul HF link:
gradien persamaan linear bernilai DSSS versus OFDM. Radio Science,
0,0004/detik. Sedangkan pada hari 2014.
sebelum dan sesudahnya, nilai indeks Brown R. R., 1964. Day-night Ratio of Auroral
SN memiliki tren yang menurun dengan Absorption for Breakup Events, Journal
koefisien gradien persamaan linear bernilai of Geophysical Research, 69, 7, 1429,
-0,002/detik. Perbedaan tersebut juga DOI: 10.1029/JZ069i007p01429.
terlihat dari distribusi nilai indeks SN Kenneth, D., and D. M. Baker, 1966. On
pada saat peristiwa gerhana matahari Frequency Variations of Ionospherically
dengan nilai mean (μ) sebesar 5,2384 Propagated HF Radio Signals. Radio
dan standar deviasi (σ) 0,74894. Nilai μ Science, Vol. 1, No. 5, 545-556., DOI:
tersebut lebih besar dari hari sebelum 10.1002/rds196615545.
dan sesudahnya yang bernilai 4,8316 Evans, J. V., 1965. An F Region Eclipse. J.
dan 4,6164 dengan nilai σ 0,92123 dan Geophys. Res., 70, 131–142, DOI: 10.
0,9096. Perbedaan tren dan distribusi 1029/JZ070i001p00131.
tersebut dapat dijelaskan sebagai dampak Goldsmith A., 2005. Wireless Communications.
dari perubahan besaran absorpsi pada Chapter 3 : Statistical Multipath Channel
lapisan D ionosfer yang mempengaruhi Models. Cambridge University Press
perambatan gelombang radio saat 2005. 64-98, ISBN : 978-0-521-83716-3.
peristiwa gerhana matahari. Pada saat Hargreaves, J., K., M., J. Birch, , and D. Evans,
peristiwa gerhana matahari total, tingkat 2010. On the Fine Structure of Medium
absorpsi lapisan D cenderung konstan Energy Electron Fluxes in the Auroral
sehingga nilai indeks SN juga cenderung Zone and Related Effects in the
bernilai konstan. Sedangkan pada hari Ionospheric D-region. Ann. Geophys.,
sebelum dan sesudahnya, tingkat 28, 1107–1120, 2010, DOI:10.5194/
absorpsi lapisan D ionosfer meningkat angeo-28-1107-2010.
secara normal karena perubahan sudut Hess A.,M., 2000. Advanced use of LQA Data in
zenith matahari, sehingga nilai indeks Improving the Quality and the Speed of
SN mengalami penurunan. ALE Link Establishment While Reducing
Sounding Requirements in HF Networks.
UCAPAN TERIMA KASIH HF Radio Systems and Techniques,
Penulis mengucapkan terima Eighth International Conference on (IEE
kasih kepada Bapak Rezy Pradipta dari Conf. Publ. No. 474), Guildford, 91-94.
Institute for Scientific Research-Boston DOI: 10.1049/cp: 20000155.
College dan Bapak Asnawi yang ITU, 2015. RECOMMENDATION ITU-R P.372-8
memberikan arahan dan masukan “Radio noise”. diakses https://www.
dalam penulisan yang dilakukan. itu.int/dms_pubrec/itu-r-rec/p/R-REC-
Penulis juga mengucapkan terima kasih P.327-8-200304-S!!PDF-E.pdf (tanggal
kepada Kapussainsa yang memberikan mengakses website.ini).
dukungan dalam melaksanakan kegiatan Jakowski, N., S. M., Stankov, V., Wilken, C.,
penelitian ini. Borries, D., Atadill, J., Chum, D.,
Buresova, J., Boska, P., Sauli, F.,

54
Analisis Propagasi ....... (Varuliantor Dear dan Rohmat Yulianto)

Hruska, and L. R., Cander, 2008. Direction Finding, Chapter 4. HF Radio


Ionospheric Behaviour Over Europe Propagation. Krieger Publishing Company.
During the Solar Eclipse of 3 October hal. 39-50. ISBN 0-89464-040-2.
2005, J. Atmos. Solar-Terr. Phys., 70 McNamara, L.,F., 1991b. The Ionosphere:
(2008-04), 836–853. Communications, Surveillance, and
Jiyo, dan G., A., Admiranto, 2016. Penentuan Direction Finding, Chapter 6. Prediction
Zona Totalitas Gerhana Matahari Total 9 for HF Communications. Krieger
Maret 2016 pada Ketinggian Lapisan Publishing Company. hal. 75-92. ISBN
Ionosfer. Prosiding Workshop Cuaca 0-89464-040-2.
Antariksa dan Peluang Pemanfaatan- Mukhtarov P., D., Pancheva 1995. Model of the
nya-III” Pusat Sains Antariksa, ISSN: Electron Density Height Profile in the
2355-388X. Lowest D-Region (50 to 75 km). Advances
Kumar, S., and A. K., Singh, 2012. Changes in in Space Research, 15, 2, 179. ISSN
Total Electron Content (TEC) During the 0273-1177, DOI: 10.1016/50273-1177
Annular Solar Eclipse of 15 January (99) 80045-3.
2010, Adv. Space. Res., 49, 75–82. Narcisi, R.S., A.D., Bailey, L.E., Wlodyka, dan
Kumar, S, A.,K., Singh, dan R.,P., Singh 2013. C.R., Philbrick, 1972. Ion Composition
Ionospheric Response to Total Solar Measurements in the Lower Ionosphere
Eclipse of 22 July 2009 in Different During the November 1966 and March
Indian Regions. Ann. Geophys., 31, 1970 Solar Eclipses. Journal of
1549–1558, 2013. DOI:10.5194/angeo- Atmospheric and Terrestrial Physics
31-1549-2013. Volume 34, Issue 4, 647-658, DOI:
Le, H., L., Liu, F., Ding, Z., Ren, Y., Chen, W., 10.1016/0021-9169(72) 90152-3.
Wan, B., Ning, G., Xu, M., Wang, G., Li, Nicolet, M., dan A. C., Aikin, 1960. The Formation
B., Xiong, and L., Hu, 2010. Observations of the D Region of the Ionosphere, J.
and Modeling of the Ionospheric Geophys. Res. 65, 1469, DOI: 10.1029/
Behaviors Over the East Asia Zone JZ065005p01469.
During the 22 July 2009 Solar Eclipse. Reid, G. C., 1964. Physical Processes in the D
J. Geophys. Res., 115, A10313, DOI:10. Region of the Ionosphere, Rev.
1029/2010JA015609, 2010. Geophys., 2(2), 311–333, doi: 10.
Lerfald M. G., K. J., Hargreaves and M. J., 1029/RG002i002p00311.
Watts, 1965. D-Region a Absorption at Salah, J. E., W. L., Oliver, J. C., Foster, dan J.
10 and 15 Mc/s During Total Solar M., Holt, 1986. Observations of the May
Eclipse of July 20, 1963. Radio 30, 1984, Annular Solar Eclipse at
SCIENCE Journal of Research Millstone Hill, J. Geophys. Res., 91,
NBS/USNC-URSI, Vol. 69D,No. 7, 939- 1651–1660, DOI: 10.1029/JA091iA02
946. p01651.
Ma B., L., Guo dan H., Su, 2013. Statistical Singh, R., B. Veenadhari, A. K. Maurya, M. B.
Characteristics of the Multipath Time Cohen, S. Kumar, R. Selvakumaran, P.
Delay and Doppler Shift of a Radar Pant, A. K. Singh, and U. S. Inan 2011.
Wave Propagating Through the Ionosphere. D-region Ionosphere Response to the
Progress In Electromagnetics Research, Total Solar Eclipse of 22 July 2009
Vol. 138, 479–497, ISSN: 1070-4698, Deduced from ELF-VLF Tweek
E-ISSN: 1559-8985. Observations in the Indian Sector, J.
McNamara, L.,F., 1991a. The Ionosphere: Geophys. Res., 116, A10301, doi:10.
Communications, Surveillance, and 1029/2011JA016641.

55
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 : 43—56

Wagner, L. S., J. A., Goldstein, W. D., Meyers Communications Conference, MILCOM


dan P. A., Bello, 1989. The HF Skywave '89. Conference Record. Bridging the
Channel: Measured Scattering Functions Gap. Interoperability, Survivability,
for Midlatitude and Auroral Channels Security., 1989 IEEE, Boston, MA,
and Estimates for Short-term Wideband 1989, 830-839 vol. 3. DOI: 10.1109/
HF Rake Modem Performance. Military MILCOM.1989.104038.

56
Kemampuan Model WRF Dalam Memprediksi ....... (Suaydhi)

KEMAMPUAN MODEL WRF DALAM MEMPREDIKSI CURAH HUJAN


DIURNAL DI PULAU JAWA
(PREDICTABILITY OF DIURNAL RAINFALL OVER JAVA ISLAND
USING WRF)
Suaydhi
Pusat Sains dan Teknologi Atmosfer
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
Jln. Dr. Djundjunan No. 133 Bandung 40173 Indonesia
e-mail: suaydhi@lapan.go.id
Diterima 11 Juli 2016; Direvisi 12 Juni 2017; Disetujui 20 Juli 2017

ABSTRACT

Indonesian region often experiences hydrometeorological disasters such as floods and landslides. To
mitigate the losses from such disasters, an early warning system is needed. PSTA LAPAN is developing
an early warning system called SADEWA (Satellite-based Disaster Early Warning System). The
performance of this early warning system needs to be evaluated in order to increase the confidence
level. One way to evaluate the WRF performance in producing the prediction was carried out by
analyzing the diurnal cycles of rainfall over Java and its surroundings using the results of WRF
predictions implemented in SADEWA and GSMaP data for one year period (Maret 2014 – Februari
2015). Equitable Threat Score (ETS) and Bias Score were used to evaluate the results of WRF
prediction. The contrasting diurnal cycles between Java island and its surrounding seas could be well
simulated by the WRF model, both the amount and the frequency of the rainfall. However, the phase
of diurnal cycle from the WRF prediction was two hour ahead and the amplitude of the simulated
diurnal cycle was higher than the observation. The low ETS score indicated that the WRF prediction
was not satisfactory and the high bias score meant that the WRF results were often overpredicted. The
results also showed that the WRF predictions could not simulate the effects of MJO (Madden-Julian
Oscillation) on the diurnal cycles of rainfall over Java.

Keywords: rainfall, diurnal cycle, WRF, Java, MJO

57
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 :57—70

ABSTRAK

Wilayah Indonesia sering mengalami bencana hidrometeorologis seperti banjir dan tanah
longsor. Untuk mengurangi kerugian yang diakibatkan oleh kejadian bencana meteorologi diperlukan
suatu sistem peringatan dini. PSTA LAPAN sedang mengembangkan sebuah sistem peringatan dini
yang diberi nama Satellite-based Disaster Early Warning System (SADEWA). Kinerja sistem peringatan
dini seperti ini perlu dievaluasi agar tingkat kepercayaannya meningkat. Salah satu evaluasi kinerja
hasil prediksi ini dilakukan dengan menganalisis siklus diurnal curah hujan di pulau Jawa dan
sekitarnya pada data hasil prediksi WRF yang digunakan dalam SADEWA dan data GSMaP selama
satu tahun (Maret 2014 – Februari 2015). Equitable Threat Score (ETS) dan Bias Score digunakan
dalam evaluasi hasil prediksi WRF. Hasil analisis menunjukkan simulasi WRF untuk prediksi cuaca
ini mempunyai waktu spin-off sekitar 5 jam. Siklus diurnal curah hujan yang kontras antara pulau
Jawa dengan lautan sekitarnya mampu disimulasikan dengan baik oleh model WRF, baik dari jumlah
maupun frekuensi curah hujannya. Namun fase diurnal dari hasil prediksi WRF mendahului fase
data pengamatan sekitar dua jam dan mempunyai amplitudo lebih besar. Nilai ETS yang rendah
mengindikasikan hasil prediksi WRF masih kurang memuaskan dan nilai bias yang tinggi berarti
bahwa WRF sering overpredict. Hasil analisis juga menunjukkan hasil prediksi WRF belum mampu
menyimulasikan pengaruh MJO (Madden-Julian Oscillation) pada siklus diurnal curah hujan di Jawa.

Kata Kunci: curah hujan, siklus diurnal, WRF, Jawa, MJO

1 PENDAHULUAN tahun 2013. Namun sampai saat ini


Bencana hidrometeorologis seperti prediksi baru dilakukan untuk 24 jam
banjir dan longsor sering menimpa ke depan. Semakin panjang waktu
berbagai wilayah di Indonesia di musim peringatan dini yang diberikan,
hujan (Bappenas dan BNPB 2010). pengambilan keputusan dan persiapan
Kerugian yang diakibatkan oleh bencana yang dilakukan akan semakin baik.
tersebut tidak hanya berupa fisik dan Rencananya kemampuan SADEWA akan
materi, namun juga mengakibatkan ditingkatkan menuju sistem peringatan
kehilangan jiwa dan prospek kehidupan dini yang memberikan prediksi cuaca 72
yang lebih baik. Kerugian atau kehilangan jam kedepan. Pengembangan prediksi
semacam ini bisa diminimalkan jika ada yang lebih jauh ini bergantung pada
sistem prediksi cuaca dan sistem pengembangan elemen masing-masing
peringatan dini yang terbangun dengan sistem.
baik. Membangun sistem yang demikian Galat dalam prediksi cuaca
memerlukan waktu yang lama, tidak dinamis umumnya berasal dari kondisi
hanya infrastruktur namun juga awal ataupun ketidakpastian model
penelitian yang berkesinambungan. (Slingo dan Palmer, 2011). Kondisi awal
Sistem pemonitoran berbasis akan menghasilkan galat yang semakin
satelit di Pusat Sains dan Teknologi besar untuk jangka prediksi yang lama
Atmosfer (PSTA) yang diberi nama (72 jam atau lebih), sedangkan
SADEWA telah dikembangkan sejak ketidakpastian model mempunyai peran
2010. Perkembangan yang signifikan penting pada setiap skala waktu. Slingo
terjadi, pertama pada cakupan domain dan Palmer (2011) mengatakan bahwa
dari hanya Jawa Barat diperluas ketidakpastian model dapat berasal dari
menjadi seluruh wilayah Indonesia pada kurangnya pemahaman sistem iklim
tahun 2012, dan kedua pada secara menyeluruh (sebagai contoh
peningkatan resolusi dari resolusi pemahaman tentang siklus karbon)
horizontal 50 km menjadi 5 km pada maupun dari ketidakpastian yang

58
Kemampuan Model WRF Dalam Memprediksi ....... (Suaydhi)

berasal dari fenomena skala sub-grid. Evaluasi dan verifikasi hasil


Proses sub-grid sebenarnya telah cukup prediksi cuaca dalam sistem peringatan
dipahami dengan baik, namun belum dini seperti SADEWA sangat penting
dapat direpresentasikan dalam model dilakukan agar dapat mengetahui
numerik secara penuh. kinerja model yang digunakan dalam hal
Sistem peringatan dini tentunya ini adalah model Weather Research and
memerlukan tingkat keakuratan yang Forecasting (WRF) versi 3.4. Hasil verifikasi
baik dalam prediksi curah hujannya. ini dapat menunjukkan kelemahan-
Oleh karena itu verifikasi perlu dilakukan kelemahan model tersebut dalam
untuk memberikan gambaran seberapa menyimulasikan siklus diurnal curah
akurat hasil prediksi curah hujan dari hujan di Pulau Jawa, sehingga perbaikan
SADEWA. Verifikasi prediksi curah hujan dapat dilakukan untuk meningkatkan
merupakan masalah yang sangat akurasi hasil prediksi. Pengaruh MJO
menantang, karena curah hujan bersifat terhadap siklus diurnal curah hujan
tidak kontinu dalam ruang dan waktu, sangat penting, sehingga analisis juga
distribusinya tidak normal (Gaussian) dilakukan terhadap bagaimana model
dan banyak dipenuhi oleh nilai nol, peta WRF menyimulasikan pengaruh ini.
spasialnya sangat tak beraturan dan Analisis dilakukan pada hasil prediksi
sering berisi outlier bernilai besar (Casati pada pukul 00.00 Universal Time (UT).
dkk., 2004). Apalagi curah hujan di
Indonesia dipengaruhi oleh banyak 2 DATA DAN METODE
faktor, seperti monsoon, El Nino/ 2.1 Data
Southern Oscillation (ENSO), Indian Data prediksi curah hujan
Ocean Dipole (IOD), Madden-Julian diperoleh dari SADEWA yang
Oscillation (MJO), dan kondisi topografi merupakan hasil simulasi menggunakan
yang sangat kompleks (Lee, 2015; Chang model WRF. Model ini dijalankan
dkk., 2004; Hidayat dan Kizu, 2010; dengan domain wilayah Indonesia (90⁰ –
Rauniyar dan Walsh, 2011; Qian dan 140⁰ BT dan 10⁰ LS – 10⁰ LU), resolusi
Robertson, 2010). horizontal 5 km x 5 km, dan 27 level
lapisan atmosfer. Pemarameteran yang
Curah hujan di Indonesia digunakan dalam simulasi ini adalah
mempunyai siklus diurnal yang sangat skema konveksi Kain-Fritsch, skema
kuat (Ichikawa dan Yasunari, 2006, mikrofisika WRF single-moment 3-class
2008; Hidayat dan Kizu, 2010; Qian dan scheme, skema boundary layer dari
Robertson, 2010; Rauniyar dan Walsh, Yonsei University, parameterisasi radiasi
2011). Mekanisme siklus diurnal curah gelombang panjang RRTM (rapid radiative
hujan di Indonesia juga telah banyak transfer model), radiasi gelombang
dipelajari melalui simulasi berbagai pendek dengan Dudhia scheme, dan
model numerik (Saito dkk., 2001; Qian Noah land surface model. Data kondisi
dan Robertson, 2010; Teo dkk., 2011; awal untuk prediksi cuaca ini diperoleh
Bhatt dkk., 2016), termasuk pengaruh dari Global Forecasting System (GFS)
MJO pada siklus diurnal (Slingo dkk., dengan resolusi 1⁰ x 1⁰. Luaran prediksi
2003; Sakurai dkk., 2005; Tian dkk., WRF ini mempunyai resolusi waktu satu
2006; Rauniyar dan Walsh, 2011). jam. Rentang waktu hasil prediksi yang
Namun banyak Numerical Weather digunakan dalam penelitian ini adalah
Prediction (NWP) dan model-model iklim dari Maret 2014 sampai dengan
belum mampu menyimulasikan fase dan Februari 2015. Hanya data prediksi
amplitudo siklus diurnal curah hujan pada hari-hari yang menghasilkan
secara benar (Shin dkk., 2007) prediksi 24 jam penuh yang digunakan

59
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 :57—70

dalam penelitian ini. Jumlah hari yang pengamatan. Curah hujan total adalah
mempunyai hasil prediksi 24 jam penuh jumlah dari keduanya. Analisis
adalah 270 hari dari total 365 hari dilakukan untuk rata-rata waktu satu
dalam satu tahun. Prediksi cuaca yang tahun, musim kemarau (Juni – Agustus
digunakan dalam penelitian ini adalah 2014) dan musim hujan (Desember
yang dimulai pada pukul 00:00 2014 – Februari 2015). Data GSMaP
Universal Time (UT) atau pukul 07:00 yang diolah disesuaikan dengan jumlah
Local Standard Time (LST). hari hasil prediksi WRF yang
Data curah hujan Global Satellite mempunyai data 24 jam penuh. Untuk
Mapping of Precipitation (GSMaP) analisis frekuensi hujan, curah hujan
digunakan sebagai data verifikasi dalam dibagi menjadi hujan ringan (antara 1
penelitian ini (Ushio dkk., 2009), karena dan 10 mm/hari) dan hujan lebat (di
keterbatasan data pengamatan hujan di atas 10 mm/hari), seperti kriteria curah
permukaan yang kontinyu dan handal hujan yang digunakan oleh Sun dkk.
serta mempunyai resolusi tinggi dalam (2006).
skala ruang dan waktu. Data GSMaP Untuk perbandingan antara data
mempunyai resolusi waktu 1 jam dan hasil model (WRF) dan pengamatan
resolusi ruang 0,1 derajat. Meski data (GSMaP), maka kedua data tersebut
GSMaP masih memerlukan koreksi disamakan ukuran grid-nya melalui
(Ghaju dan Alfredsen, 2012), namun proses regridding menjadi resolusi 0,1⁰ x
data ini telah digunakan dalam asimilasi 0,1⁰. Ada beberapa macam indeks yang
data untuk meningkatkan akurasi bisa digunakan untuk mengevaluasi
prediksi cuaca di India (Kumar dkk., hasil prediksi numerik dari model iklim
2014) dan digunakan untuk verifikasi regional. Dalam penelitian ini, metode
hasil prediksi curah hujan di pulau Equitable Threat Score (ETS) dan Bias
Jawa (Sagita dkk., 2017). Score (Chou dan Justi da Silva, 1999;
Untuk mengidentifikasi MJO aktif Hogan, dkk. 2010) digunakan untuk
di wilayah Indonesia, indeks RMM fase 4 mengevaluasi hujan hasil prediksi WRF.
dan 5 (real-time multivariate MJO) yang Misalkan, F adalah jumlah grid hasil
dikembangkan oleh Wheeler dan Hendon prediksi dari total N grid yang
(2004) digunakan dalam penelitian ini. menghasilkan hujan dalam rentang
Hanya indeks RMM yang mempunyai intensitas tertentu, O adalah jumlah
amplitudo lebih besar dari 1 yang grid dari total N grid yang mempunyai
digunakan, karena batas tersebut hujan dengan rentang intensitas yang
mengindikasikan MJO kuat (Wheeler sama, dan H adalah jumlah grid yang
dan Hendon, 2004). Data angin di mempunyai hujan dari ke dua set data
ketinggian 850 mb dari European Centre tersebut (hit rate), maka ETS
for Medium-Range Weather Forecasts didefinisikan sebagai:
(ECMWF) Reanalysis (ERA) Interim (Dee
dkk., 2011) digunakan untuk (2-1)
membandingkan kondisi angin pada
saat ada MJO dan pada saat tidak ada
MJO. di mana

(2-2)
2.2 Metode
Curah hujan konvektif dan
non-konvektif diolah secara terpisah CH adalah jumlah grid dengan
untuk melihat komponen mana yang kesesuaian acak (random hits). Nilai
lebih menyerupai curah hujan rentang ETS antara -1/3 dan 1.

60
Kemampuan Model WRF Dalam Memprediksi ....... (Suaydhi)

Sedangkan Bias Score (BIAS) sekitar pantai pulau Jawa, puncak


didefinisikan sebagai: jumlah curah hujan terjadi sekitar
(2-3) tengah malam (pukul 10:00 malam -
pukul 02:00 pagi). Sedangkan di atas
lautan sekitar pulau Jawa, puncak
Jika jumlah grid hasil prediksi yang jumlah curah hujan umumnya terjadi
mempunyai hujan lebih banyak (sedikit) pada dini hari sampai pagi hari. Hasil
daripada jumlah grid hasil pengamatan prediksi WRF juga menunjukkan waktu
yang mempunyai hujan dalam rentang puncak jumlah hujan yang diterima
intensitas tertentu, maka nilai BIAS wilayah lautan lebih cepat daripada data
adalah di atas (di bawah) 1. Prediksi pengamatan (GSMaP). Fase diurnal
yang sempurna akan menghasilkan nilai puncak jumlah hujan konvektif dan
ETS = 1 dan BIAS = 1. non-konvektif (data prediksi WRF) yang
diterima suatu wilayah menunjukkan
3 HASIL PEMBAHASAN sedikit perbedaan. Fase diurnal puncak
Gambar 3-1 menunjukkan fase hujan total WRF memiliki pola yang
diurnal jumlah hujan di atas pulau Jawa lebih mirip dengan pola fase diurnal
dan sekitarnya untuk hasil prediksi dari hujan konvektif. Hal ini menunjukkan
model WRF dan pengamatan (GSMaP), jumlah curah hujan lebih didominasi
untuk rata-rata satu tahun (Maret 2014 - oleh hujan konvektif daripada hujan
Februari 2015), selama musim kemarau non-konvektif.
(Juni - Agustus 2014), dan selama musim Frekuensi terjadinya hujan
hujan (Desember 2014 - Februari 2015). diurnal di pulau Jawa dan sekitarnya
Hasil prediksi dibagi menjadi tiga: hujan ditunjukkan pada Gambar 3-2. Sama
konvektif, hujan non-konvektif, dan seperti jumlah curah hujan, frekuensi
hujan total. Fase diurnal jumlah curah curah hujan tertinggi di daratan juga
hujan menunjukkan pada pukul berapa terjadi pada sore hari untuk ketiga
suatu tempat mendapatkan curah hujan rentang waktu analisis (rata-rata satu
terbanyak. Secara umum, daratan tahun, musim kemarau dan musim
mengalami jumlah curah hujan hujan). Di sekitar pantai, data
terbanyak pada sore hari (antara pukul pengamatan GSMaP menunjukkan
13:00 dan 17:00 WIB). Puncak jumlah bahwa hujan paling sering terjadi
curah hujan di atas daratan dari data sebelum tengah malam (Gambar 3-2 j -
pengamatan GSMaP terjadi lebih lambat l). Sedangkan data hasil prediksi WRF
daripada data hasil prediksi WRF, baik hujan di sekitar pantai lebih sering
untuk rata-rata satu tahun (Gambar 3-1. terjadi setelah lewat tengah malam. Di
panel kiri), musim kemarau (panel atas lautan, hujan GSMaP paling sering
tengah), maupun musim hujan (panel terjadi pada pagi hari (sekitar pukul
kanan). Bahkan selama musim kemarau, 10:00 pagi) dan hujan prediksi WRF
data GSMaP menunjukkan bahwa paling sering terjadi pada awal pagi hari
puncak jumlah hujan bisa terjadi (sekitar pukul 06:00 pagi).
sekitar pukul 10:00 malam di sebagian
wilayah pulau Jawa (Gambar 3-1k). Di

61
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 :57—70

Gambar 3-1: Fase diurnal puncak jumlah hujan dari hasil simulasi model WRF, baris pertama untuk
hujan konvektif, baris kedua untuk hujan non-konvektif, dan baris ketiga untuk hujan
total hasil prediksi, sedangkan baris keempat untuk hujan pengamatan dari data
GSMaP. Kolom kiri menunjukkan rata-rata satu tahun (Maret 2014 - Februari 2015),
kolom tengah untuk musim kemarau (Juni - Agustus 2014) dan kolom kanan untuk
musim hujan (Desember 2014 - Februari 2015). Kontur warna menunjukkan waktu
lokal (Local Standard Time -LST)

Hujan konvektif hasil prediksi terlihat adanya model spin-up, yaitu


WRF di daratan umumnya paling sering waktu yang diperlukan oleh model
terjadi antara pukul 14:00 – 17:00 WIB untuk mendapatkan kesetimbangan
(Gambar 3-2 a-c). Hujan non-konvektif antara besaran-besaran masa dan
WRF di daratan paling sering terjadi kecepatan pada periode awal integrasi
antara pukul 15:00 – 22:00 WIB untuk (Yang dkk., 2011; Warner, 2011).
rata-rata satu tahun dan waktu musim Menurut Warner (2011) waktu spin-up
kemarau (Gambar 3-2 d dan e), yang diperlukan oleh model prediksi
sedangkan waktu musim hujan antara cuaca adalah 3 – 6 jam. Dalam hal ini
pukul 14:00 – 18:00 WIB (Gambar 3-2f).. model WRF diintegrasikan setiap hari
Hasil prediksi WRF, frekuensi hujan pada pukul 00:00 UT (07:00 WIB), maka
tertinggi lebih didominasi oleh hujan non- model perlu menyesuaikan diri dengan
konvektif untuk rata-rata satu tahun masukan (input) dari kondisi awal dari
dan waktu musim kemarau dan data GFS sampai sekitar pukul 06:00 UT
didominasi oleh hujan konvektif waktu (13:00 WIB). Pada Gambar 3-3f, proses
musim hujan. spin-up terlihat jelas berlangsung dari
Deret waktu siklus diurnal curah pukul 07:00 WIB sampai pukul 12:00
hujan rata-rata di atas daratan dan di WIB. Setelah pukul 12:00 WIB model
atas lautan ditunjukkan pada Gambar mampu menunjukkan siklus diurnal
3-3. Pada gambar deret waktu ini yang realistis dan mendekati siklus

62
Kemampuan Model WRF Dalam Memprediksi ....... (Suaydhi)

diurnal hasil pengamatan. Hal ini yang Hasil simulasi WRF menunjukkan
mendasari data pada pukul 07:00 WIB bahwa hujan konvektif selalu lebih tinggi
dari prediksi WRF sengaja dihilangkan daripada hujan non-konvektif. Siklus
untuk menghindari kurva yang tiba-tiba diurnal curah hujan di atas lautan
berubah drastis, terutama pada plot (Gambar 3-3 panel kanan) menunjukkan
siklus curah hujan di atas lautan. bahwa puncak hujan terjadi pada
Puncak curah hujan di atas malam sampai dini hari dan mengalami
daratan (Gambar 3-3 panel kiri) dari titik minimum pada sore hari sekitar
data GSMaP terjadi pada sekitar pukul pukul 18:00 WIB untuk data GSMaP.
16:00 WIB, sedangkan dari data WRF Sedangkan titik minimum pada data
terjadi lebih awal, yaitu sekitar pukul prediksi WRF di atas lautan terjadi
14:00 WIB. Rata-rata curah hujan total sekitar pukul 16:00 WIB.
dari prediksi WRF di atas daratan lebih
tinggi dari data pengamatan GSMaP.

Gambar 3-2: Fase diurnal frekuensi hujan tertinggi dari hasil simulasi model WRF, baris pertama
untuk hujan konvektif, baris kedua untuk hujan non-konvektif, dan baris ketiga untuk
hujan total hasil prediksi, sedangkan baris keempat untuk hujan pengamatan dari data
GSMaP. Kolom kiri menunjukkan rata-rata satu tahun (Maret 2014 - Februari 2015),
kolom tengah untuk musim kemarau (Juni - Agustus 2014) dan kolom kanan untuk
musim hujan (Desember 2014 - Februari 2015). Kontur warna menunjukkan waktu
lokal (Local Standard Time -LST)

63
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 :57—70

Deret waktu untuk siklus diurnal mencapai maksimum pada waktu


frekuensi hujan dibagi menjadi dua, tersebut. Jika hasil prediksi WRF
yaitu frekuensi hujan ringan (antara 1 mempunyai persentase hujan ringan
dan 10 mm/hari) dan hujan lebat (di lebih rendah daripada GSMaP, maka
atas 10 mm/hari). Deret waktu untuk hasil prediksi WRF mempunyai persentase
frekuensi hujan ringan di pulau Jawa hujan lebat lebih tinggi daripada GSMaP.
dan sekitarnya ditunjukkan pada Gambar 3-6 dan 3-7 menunjukkan
Gambar 3-4 dan untuk hujan lebat pada Equitable Threat Score (ETS) dan Bias
Gambar 3-5. Persentase (frekuensi) Score (BIAS) untuk kategori hujan
kejadian dihitung dari jumlah total ringan. ETS hujan total dan hujan
kejadian hujan (ringan dan lebat) konvektif untuk hujan ringan baik di
masing-masing untuk hujan di atas darat dan di laut untuk semua musim
daratan dan di atas laut. Di atas daratan terlihat mempunyai siklus yang sangat
(Gambar 3-4 kolom kiri) data pengamatan mirip, sedangkan siklus ETS hujan
GSMaP menunjukkan bahwa hujan non-konvektif berbeda dari ETS kedua
ringan terlihat lebih dominan daripada tipe hujan yang lain (Gambar 3-6). Hal
hujan lebat. (lebih dari 50 % frekuensi ini menunjukkan bahwa hujan konvektif
kejadiannya), kecuali pada sore sampai lebih dominan daripada hujan
malam hari waktu musim hujan non-konvektif. Pada umumnya ETS
(Gambar 3-4e). Demikian pula frekuensi untuk kategori hujan ringan ini
hujan ringan terlihat sangat dominan di mempunyai nilai di bawah 0,5, sehingga
atas laut, kecuali pada malam sampai dapat dikatakan hasil prediksi WRF
pagi hari di musim hujan (Gambar 3-4 belum memuaskan. Gambar 3-6
kolom kanan). Frekuensi hujan ringan menunjukkan bahwa antara pukul
hasil prediksi WRF lebih rendah 07:00 dan 12:00 WIB nilai ETS sangat
daripada GSMaP untuk tipe hujan rendah. Nilai ETS yang jauh lebih
konvektif dan hujan totalnya untuk rendah daripada waktu-waktu lainnya
deret waktu rata-rata satu tahun dan membuktikan bahwa 5 jam pertama dari
musim kemarau. Waktu musim hujan, hasil prediksi merupakan waktu spin-off
frekuensi hujan konvektif hasil prediksi model. Bias Score untuk kategori hujan
WRF menyerupai frekuensi hujan dari ringan pada umumnya mendekati nilai 1
data GSMaP. Secara umum hasil (Gambar 3-7.), yang berarti bahwa
prediksi WRF menunjukkan siklus jumlah grid dengan intensitas hujan
diurnal frekuensi hujan ringan yang ringan secara umum sesuai dengan hasil
mirip dengan hasil data dari GSMaP, pengamatan. Pada waktu spin-off model
kecuali titik frekuensi minimum untuk (antara pukul 07:00 dan 12:00 WIB),
hujan ringan dari prediksi WRF terjadi nilai biasnya 0 atau sangat kecil. Pada
lebih cepat sekitar dua jam daripada malam hari waktu musim hujan (DJF)
data GSMaP. Persentase kejadian hujan terjadi overpredict (Gambar 3-7e.) yang
lebat di wiayah Indonesia ditunjukkan ditunjukkan dengan nilai bias jauh lebih
pada Gambar 3-5. Siklus diurnal hujan besar dari 1. Ini berarti bahwa jumlah
lebat ini kebalikan dari siklus hujan grid hasil prediksi WRF dengan
ringan. Jika siklus hujan ringan intensitas hujan ringan lebih banyak
mempunyai titik minimum pada pukul daripada pengamatan.
16:00, maka siklus hujan lebat akan

64
Kemampuan Model WRF Dalam Memprediksi ....... (Suaydhi)

Gambar 3-4: Siklus diurnal persentase hujan


rata-rata di pulau Jawa dan
sekitarnya untuk hujan ringan
antara 1 dan 10 mm/hari, baik di
darat (lajur kiri) maupun di laut
(lajur kanan)

Gambar 3-3: Siklus diurnal curah hujan rata-


rata (dalam mm/hari) di pulau
Jawa dan sekitarnya, untuk
hujan di daratan (panel kiri) dan
hujan di lautan (panel kanan)
untuk rata rata satu tahun (panel
atas), waktu musim kemarau
(panel tengah) dan waktu musim
hujan (panel bawah). Warna
menunjukkan sumber datanya.
Data pada pukul 07:00 WIB dari
prediksi WRF sengaja dihilangkan
untuk menghindari kurva yang
tiba-tiba turun drastis (penjelasan
ada di teks)

Gambar 3-5: Siklus diurnal persentase hujan


rata-ratadi pulau Jawa dan
sekitarnya untuk hujan lebat
(intensitas > 10 mm/hari), baik di
darat (lajur kiri) maupun di laut
(lajur kanan)

65
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 :57—70

ETS untuk kategori hujan lebat (>


10 mm/hari) ditunjukkan pada Gambar
3-8. Di darat (Gambar 3-8 lajur kiri),
nilai ETS cukup tinggi pada sore hari
kecuali pada musim kemarau. Nilai ETS
yang sangat rendah waktu musim
kemarau mengindikasikan bahwa WRF
sering meleset dalam prediksi hujan,
baik meleset dalam prediksi waktunya
ataupun lokasinya. Nilai ETS untuk
hujan lebat di atas laut cukup rendah,
yaitu di bawah 0.4 (Gambar 3-8 lajur
kanan). Bias Score untuk kategori hujan
lebat umumnya mempunyai nilai yang
sangat tinggi.

Gambar 3-6: Nilai ETS untuk kategori hujan


ringan, baik di darat (lajur kiri)
maupun di laut (lajur kanan)

Gambar 3-8: Nilai ETS untuk kategori hujan


lebat, baik di darat (lajur kiri)
maupun di laut (lajur kanan)

Untuk mengetahui pengaruh


MJO pada siklus diurnal curah hujan di
pulau Jawa, siklus diurnal curah hujan
Gambar 3-7: Bias score untuk kategori hujan
pada saat ada MJO dibandingkan
ringan, baik di darat (lajur kiri)
maupun di laut (lajur kanan) dengan pada saat tidak ada MJO

66
Kemampuan Model WRF Dalam Memprediksi ....... (Suaydhi)

(Gambar 3-9 dan 3-10). Pada Gambar 3-3c Pengaruh MJO pada siklus diurnal
telah ditunjukkan bahwa sore hari curah hujan pada musim kemarau
merupakan puncak siklus diurnal curah sedikit berbeda dari musim hujan. Jika
hujan sebagai akibat dari proses konveksi. pada musim hujan kehadiran MJO
Curah hujan pada sore hari waktu menurunkan curah hujan di daratan,
musim hujan saat MJO dan saat tanpa namun meningkatkan curah hujan di
MJO di darat ditunjukkan pada Gambar lautan pulau Jawa dan data pengamatan
3-9a dan b. Gambar tersebut dari GSMaP menunjukkan bahwa
menunjukkan adanya penurunan curah kejadian MJO meningkatkan curah
hujan pada sore hari ketika terjadi MJO hujan pada musim kemarau baik di
dibandingkan ketika tidak ada MJO. darat maupun di laut (Gambar 3-10).
Penurunan ini disebabkan oleh proses Hasil prediksi WRF menunjukkan bahwa
konveksi yang tertekan (suppressed peningkatan curah hujan di darat pada
convection) oleh MJO. Hasil prediksi saat MJO terjadi pada sore hari yang
WRF mampu mereproduksi penurunan sangat berbeda dengan hasil
curah hujan di darat pada saat ada MJO pengamatan yang terjadi pada malam
seperti yang ditunjukkan oleh data sampai pagi hari (Gambar 3-10a). Siklus
GSMaP (Gambar 3-9a). Sebaliknya curah diurnal di darat pada musim kemarau
hujan di laut meningkat sewaktu ada saat tidak ada MJO mampu
MJO dibandingkan tanpa ada MJO disimulasikan oleh WRF (Gambar 3-
(Gambar 3-9c dan d). Tingginya curah 10b), dengan intensitas curah hujan
hujan pada pagi hari di laut waktu ada yang jauh lebih tinggi daripada hasil
MJO dapat disimulasikan oleh WRF pengamatan. Penurunan curah hujan di
dengan baik (Gambar 3-9c). Namun laut waktu musim kemarau juga mampu
waktu tidak ada MJO, hasil prediksi disimulasikan oleh WRF dengan
WRF lebih tinggi daripada pengamatan intensitas yang lebih tinggi (Gambar 3-
(Gambar 3-9d). 10c dan d).

Gambar 3-9: Siklus diurnal curah hujan rata- Gambar 3-10: Siklus diurnal curah hujan rata-
rata (mm/hari) di pulau Jawa dan rata (mm/hari) di pulau Jawa
sekitarnya, di darat (panel atas) dan sekitarnya, di darat (panel
dan di laut (panel bawah), waktu atas) dan di laut (panel bawah),
musim hujan ketika ada MJO waktu musim kemarau, ketika
(panel kiri) dan tidak ada MJO di ada MJO (panel kiri) dan tidak
Benua Maritim Indonesia (panel ada MJO di Benua Maritim
kanan) Indonesia (panel kanan)

67
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 :57—70

Gambar 3-11 menunjukkan pola banyak membawa uap air yang


angin horizontal pada ketinggian 850 mb menyebabkan peningkatan curah hujan
pada musim kemarau (panel atas) dan di malam dan dini hari di atas pulau
musim hujan (panel bawah), pada saat Jawa. Pada musim hujan, angin 850 mb
ada MJO (panel kiri) dan tidak ada MJO dari Lautan India juga menekan proses
(panel kanan). Pada musim kemarau konveksi pada saat ada MJO (Gambar
saat MJO berada di kawasan Indonesia 3-9a) yang berakibat pada berkurangnya
angin 850 mb dari Lautan India jumlah curah hujan pada sore hari. Oleh
mengarah ke wilayah Indonesia (Gambar karena itu curah hujan pada musim
3-11a), sehingga menekan proses hujan justru berkurang pada saat ada
konveksi dan puncak curah hujan pada MJO dibandingkan dengan pada waktu
sore hari tidak muncul (Gambar 3-10a). tidak ada MJO di Benua Maritim
Namun angin dari Lautan India ini Indonesia.

Gambar 3-11: Pola angin horizontal di ketinggian 850 mb, waktu musim kemarau (panel atas) dan
musim hujan (panel bawah), ketika ada MJO (panel kiri) dan ketika tidak ada MJO
(panel kanan)

68
Kemampuan Model WRF Dalam Memprediksi ....... (Suaydhi)

4 KESIMPULAN
Penelitian ini telah menunjukkan UCAPAN TERIMAKASIH
bahwa hasil prediksi model WRF belum Penulis mengucapkan terima kasih
mampu menyimulasikan siklus diurnal kepada Dr. Didi Satiadi yang telah
curah hujan di pulau Jawa dan memberikan masukan tentang bagaimana
sekitarnya. Puncak siklus diurnal curah model WRF dijalankan untuk menghasil-
hujan pada sore hari di darat hasil kan prediksi cuaca dan tentang pengem-
prediksi WRF terjadi sekitar dua jam bangan SADEWA dan Sdr. Ibnu Fathrio
lebih awal dibandingkan dengan hasil yang telah memberi penjelasan tentang
pengamatan. Hasil evaluasi dengan konfigurasi WRF.
teknik Equitable Threat Score (ETS) yang
dikombinasikan dengan Bias Score DAFTAR RUJUKAN
menunjukkan nilai ETS yang rendah Bappenas, dan BNPB, 2010. Rencana Aksi
(kurang dari 0,5) dan nilai bias yang Nasional Pengurangan Risiko Bencana
banyak di atas 1. Nilai ETS rendah 2010 - 2012. 363.
merupakan indikasi bahwa hasil Bhatt, B. C., S., Sobolowski, and H., Atsushi,
prediksi sering meleset (baik waktu atau 2016. Simulation of Diurnal Rainfall
lokasi) dan bias yang tinggi Variability over the Maritime Continent
mengindikasikan hasil prediksi yang with a High-Resolution Regional Climate
sering overpredicted. Model. J. Meteorol. Soc. Japan, 94A, 89–
Hasil prediksi WRF juga belum 103, doi:10.2151/jmsj.2015-052.
mampu menyimulasikan pengaruh MJO Casati, B., G., Ross, and D., B., Stephenson,
pada siklus diurnal curah hujan di 2004. A New Intensity-Scale Approach for
pulau Jawa dan sekitarnya, kecuali pada the Verification of Spatial Precipitation
musim hujan di darat. Kekurangan ini Forecasts. Meteorol. Appl., 11, 141–154,
perlu mendapat perhatian serius dalam doi:10.1017/S1350482704001239.
upaya mengantisipasi bencana Chang, C.-P., Z., Wang, J., Ju, and T., Li, 2004.
hidrometeorologis di musim kemarau, di On the Relationship between Western
mana WRF memprediksi puncak curah Maritime Continent Monsoon Rainfall and
hujan terjadi pada sore hari sedangkan ENSO during Northern Winter. J. Clim.,
hasil pengamatan terjadi pada malam 17, 665–672.
sampai dini hari. Chou, S. C., and M. G. A., Justi da Silva, 1999.
Model area terbatas yang meng- Objective Evaluation of Eta Model
gunakan masukan (input) dari kondisi Precipitation Forecasts. Climanalise, 14,
batas seperti hasil prediksi WRF yang 1–17.
digunakan dalam penelitian ini Dee, D., P., and Coauthors, 2011. The ERA-
memerlukan penyesuaian sebelum Interim Reanalysis : Configuration and
berjalan sesuai yang diharapkan. Hasil Performance of the Data Assimilation
penelitian ini menunjukkan model System. Q. J. R. Meteorol. Soc., 137,
memerlukan sekitar lima jam untuk 553–597, doi:10.1002/qj.828.
menyesuaikan diri. Keterbatasan ini Ghaju, S., and K., Alfredsen, 2012. Evaluation
dapat diatasi dengan membuat prediksi of Satellite Based Precipitations and their
lebih dari sekali dalam satu hari dengan Applicability for Rainfall Runoff Modelling
awal simulasi pada waktu yang berbeda. in Narayani Basin of Nepal. J. Hydrol.
Hal ini telah dilakukan oleh PSTA LAPAN Meteorol., 8, 22–31.
dengan melakukan awal prediksi pada Hidayat, R., and S., Kizu, 2010. Influence of the
dua waktu yang berbeda (00:00 dan Madden-Julian Oscillation on Indonesian
12:00 UT) dan bahkan sekarang awal Rainfall Variability in Austral Summer.
prediksi dilakukan pada empat waktu Int. J. Climatol., 30, 1816–1825.
berbeda (00:00, 06:00, 12:00, dan 18:00 Hogan, R. J., C. A. T. Ferro, I. T., Joliffe, and D.
UT). B., Stephenson, 2010. Equitability

69
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 14 No. 1 Desember 2016 :57—70

Revisited : Why the “‘ Equitable Threat 2005. Diurnal Cycle of Cloud System
Score ’”is Not Equitable. Weather Migration over Sumatera Island. J.
Forecast., 25, 710–726, doi:10.1175/ Meteorol. Soc. Japan, 83, 835–850.
2009WAF2222350.1. Shin, D., W., S., Cocke, and T., E., Larow,
Ichikawa, H., and T., Yasunari, 2006. Time – 2007. Diurnal Cycle of Precipitation in a
Space Characteristics of Diurnal Rainfall Climate Model. J. Geophys. Res., 112, 1–
over Borneo and Surrounding Oceans as 11, doi:10.1029/2006JD008333.
Observed by TRMM-PR. J. Clim., 19, Slingo, J., and T. Palmer, 2011. Uncertainty in
1238–1260. Weather and Climate Prediction. Philos.
Ichikawa, H., and T., Yasunari, 2008. Trans. A. Math. Phys. Eng. Sci., 369,
Intraseasonal Variability in Diurnal 4751–4767, doi:10.1098/rsta.2011.0161.
Rainfall over New Guinea and the ——, P., Inness, R., Neale, S., Woolnough, and
Surrounding Oceans during Austral G., Yang, 2003. Scale Interactions on
Summer. J. Clim., 21, 2852–2868, doi: Diurnal to Seasonal Timescales and their
10.1175/2007JCLI1784.1. Relevance to Model Systematic Errors.
Kumar, P., C. M., Kishtawal, and P., K., Pal, Annu. Geophys., 46, 139–155.
2014. Impact of Satellite Rainfall Sun, Y., S., Solomon, and A., Dai, 2006. How
Assimilation on Weather Research and Often Does It Rain ? J. Clim., 19, 916–
Forecasting Model Predictions Over the 934.
Indian Region. J. Geophys. Res. Atmos., Teo, C.-K., T.-Y., Koh, J. C.-F., Lo, and B., C.,
119, 2017–2031, doi:10.1002/2013 Bhatt, 2011. Principal Component
JD020005. Analysis of Observed and Modeled
Lee, H. S., 2015. General Rainfall Patterns in Diurnal Rainfall in the Maritime Continent.
Indonesia and the Potential Impacts of J. Clim., 24, 4662–4675, doi:10.1175/
Local Seas on Rainfall Intensity. Water, 7, 2011JCLI4047.1.
1751–1768, doi:10.3390/w7041751. Tian, B., D., E., Waliser, and E., J., Fetzer,
Qian, J.-H., and A. W., Robertson, 2010. 2006. Modulation of the Diurnal Cycle of
Interactions Among ENSO, the Monsoon, Tropical Deep Convective Clouds by the
and Diurnal Cycle in Rainfall Variability MJO. Geophys. Res. Lett., 33, 1–6, doi:
Over Java, Indonesia. J. Atmos. Sci., 67, 10.1029/2006GL027752.
3509–3524, doi:10.1175/ 2010JAS3348.1. Ushio, T., and Coauthors, 2009. A Kalman Filter
Rauniyar, S. P., and K. J. E. Walsh, 2011. Scale Approach to the Global Satellite Mapping
Interaction of the Diurnal Cycle of Rainfall of Precipitation ( GSMaP ) from Combined
over the Maritime Continent and Passive Microwave and Infrared
Australia : Influence of the MJO. J. Clim., Radiometric Data. J. Meteorol. Soc. Japan,
24, 325–348, doi:10.1175/2010JCLI 87A, 137–151, doi:10.2151/ jmsj.87A.137.
3673.1. Warner, T. T., 2011. Numerical Weather and
Sagita, N., R., Hidayati, R,. Hidayat, and I., Climate Prediction. Cambridge University
Gustari, 2017. Satellite Radiance Data Press, 550.
Assimilation for Rainfall Prediction in Java Wheeler, M. C., and H. H., Hendon, 2004. An
Region. IOP Conference Series: Earth and All-Season Real-Time Multivariate MJO
Environmental Science 54, IOP Index : Development of an Index for
Publishing, doi:10.1088/1755-1315/ 54/ Monitoring and Prediction. Mon. Weather
1/012037. Rev., 132, 1917–1932.
Saito, K., T., Keenan, G., Holland, and K., Puri, Yang, Y., M., Uddstrom, and M., Duncan, 2011.
2001. Numerical Simulation of the Diurnal Effects of Short Spin Up Periods on Soil
Evolution of Tropical Island Convection Moisture Simulation and the Causes Over
over the Maritime Continent. Mon. New Zealand. J. Geophys. Res., 116, 1–
Weather Rev., 129, 378–400. 12, doi:10.1029/2011JD016121.
Sakurai, N., F., Murata, and M. D., Yamanaka,

70
Pedoman Penulisan Jurnal Sains Dirgantara)
JUDUL MAKALAH DITULIS DENGAN HURUF KAPITAL TEBAL
SECARA SINGKAT DAN JELAS, (Studi Kasus : apabila ada)
(16 pt, Britannic Bold )
Judul dibuat dalam 2 bahasa (Indonesia dan Inggris), apabila
tulisan dalam bahasa Indonesia, maka judul dalam bahasa
Inggris ditulis dalam tanda kurung
(16 pt, Britannic Bold )
Penulis Pertama1, Penulis Kedua2, dstn (Nama Penulis Tanpa gelar)
(10,5 pt, Franklin Gothic Medium, bold)

1InstansiPenulis Pertama
2InstansiPenulis Kedua
dstn.....
(10,5 pt, Franklin Gothic Medium)

e-mail: e-mail penulis pertama (berwarna hitam)


(10,5 pt, Franklin Gothic Medium)

Diterima : ..... (tanggal bulan tahun); Disetujui : ..... (tanggal bulan tahun); Diterbitkan : ..... (tanggal bulan tahun)
(9 pt, Franklin Gothic Medium)

ABSTRACT
(10,5 pt, Bookman Old Style, bold)

Abstract is a summary of the most important elements of the paper, written in


one paragraph in the one column of a maximum of 200 words. Abstract made in two
languages written with the Bookman Old Style 9 pt. If the paper written in Indonesian,
the Indonesian abstract written first then followed by English abstract and vice versa.
The title "ABSTRAK" or "ABSTRACT" made with uppercase letters, and bold.

Keywords: guidence, author, journal (minimal 3 keywords)


(9pt, Bookman Old Style, italic)

ABSTRAK
(10,5 pt, Bookman Old Style, bold)

Abstrak merupakan ringkasan elemen-elemen terpenting dari naskah, ditulis


dalam satu paragraf dalam 1 kolom maksimal 200 kata. Abstrak dibuat dalam 2
bahasa ditulis dengan huruf 9 pt, Bookman Old Style. Apabila naskah dalam Bahasa
Indonesia, maka abstrak dengan Bahasa Indonesia ditulis terlebih dahulu dilanjutkan
abstrak Bahasa Inggris dan sebaliknya. Judul “ABSTRAK” atau “ABSTRACT” dibuat
dengan huruf besar, bold.

Kata kunci: panduan, penulis, jurnal (minimal 3 kata kunci)


(9pt, Bookman Old Style, italic)

1 PENDAHULUAN A4 dengan ukuran panjang (height) 29,7


(10,5pt, Bookman Old Style, bold) cm, lebar (width) 21 cm dengan dimensi
Top 3 cm, Bottom 2,5 cm, Inside 2,5
Naskah dapat ditulis dalam cm, Outside 2 cm, Gutter 1 cm, Header 1
Bahasa Indonesia maupun Bahasa cm dan Footer 1 cm. Jenis Huruf
Inggris. Naskah diketik dalam Microsoft Bookman Old Style 10,5 pt, dan spasi
Word dengan 1 kolom untuk abstrak (line spacing) 1. Panjang naskah tidak
dan 2 kolom untuk isi. Ukuran kertas
melebihi 10 halaman termasuk tabel pahami. Tabel diberi catatan secukup-
dan gambar. nya, termasuk sumbernya, sehingga
Kerangka Tulisan disusun dengan tabel mampu menjelaskan informasi
urutan : Judul, Identitas Penulis, yang disajikan secara mandiri. Setiap
Abstrak, Kata Kunci, Pendahuluan, tabel diberi nomor secara berurutan dan
Metode, Hasil Pembahasan, Kesimpulan, diulas di dalam naskah. Judul tabel
Ucapan Terimakasih, dan Daftar diketik dengan jenis huruf Bookman Old
Pustaka. Style 10,5 pt dan pada tulisan “Tabel 1:”
“Tabel 2:” dan seterusnya diketik tebal.
2 METODOLOGI Tabel yang ukurannya melebihi satu
(10,5pt, Bookman Old Style, bold) kolom, maka dapat menempati area dua
kolom. Tabel tidak boleh dalam bentuk
Menguraikan tentang metode yang “picture”, harus dalam bentuk tabel.
digunakan dalam penelitian termasuk Judul tabel dituliskan pada bagian atas
data, peralatan, teori, diagram alir, tabel, rata tengah dan diberi tanda titik
beserta lokasi penelitian. (.) pada akhir judul tabel.
Gambar, Grafik dan Foto harus tajam
2.1 Lokasi dan Data dan jelas agar cetakan berkualitas baik.
(10,5pt, Bookman Old Style, bold) Semua simbol di dalamnya harus
dijelaskan. Seperti halnya tabel,
2.2 Standarisasi data keterangan pada gambar, grafik atau
(10,5pt, Bookman Old Style, bold) foto harus mencukupi agar tersaji
secara mandiri. Gambar, grafik dan foto
2.3 Metode Penelitian harus diulas di dalam naskah. Seperti
(10,5pt, Bookman Old Style, bold) halnya tabel, gambar, grafik dan foto
yang ukurannya melebihi satu kolom,
Persamaan matematis atau formula maka dapat menempati area dua kolom.
diberi nomor secara berurutan yang Gambar, grafik dan foto memiliki
diletakkan di ujung kanan dalam tanda kedalaman minimal 300 dpi.
kurung. Apabila penulisan persamaan
lebih dari satu baris maka penulisan
nomor diletakkan pada baris terakhir.
Penggunaan huruf sebagai simbol
matematis dalam naskah ditulis dengan
huruf miring (Italic) seperti x. Penjelasan
persamaan diulas dalam naskah.
Penurunan persamaan matematis atau
formula tidak perlu dituliskan secara
detil, cukup diberikan bagian yang
terpenting, metode yang digunakan dan
hasilnya.

(1-1)

dengan D(t) tingkat gangguan


geomagnet, ∆H(t) variasi medan magnet
komponen horizontal, Sq(t,m) variasi
hari tenang pada waktu t dan bulan m.
Gambar 3-1: Domain model yang digunakan
dalam simulasi
(9pt, Bookman Old Style)
3 HASIL PEMBAHASAN
(10,5pt, Bookman Old Style, bold)

Tabel dibuat ringkas dan diberi judul


yang singkat tetapi jelas hanya menyaji-
kan data yang esensial dan mudah di-
Tabel 3-1: ANALISIS ENERGI GANGGUAN GEOMAGNET
(9pt, Bookman Old Style)

Bz v N L0 (x10 Em Dst* Q
Tanggal
(nT) (km/s) (/cm3) (RE) ɛ11J) (mV/m) (nT) (nT/jam)
1 -4,3 670 3,2 9,4 3,1 2,4 -37 14,8
2 -13,8 352 4,6 8,9 21,2 4,8 -73 21,4
3 -0,5 349 2,7 12,3 0,42 0,49 -2 2,9

4 KESIMPULAN Interplanetary Conditions and Dst, J.


Geophys. Res., 80(31), 4204-4214.
Hal-hal penting dalam naskah yang
merupakan kesimpulan dari hasil Buku
Ross, S. M., 2004. Introduction to Probability and
penelitian atau kajian.
Statistics for Engineers and Scientists,
Burlington,
UCAPAN TERIMAKASIH Elsevier.

Wajib dituliskan penulis, ditujukan Artikel bagian dari Buku


kepada pihak-pihak yang membantu Maris, G.; M.D. Popescu dan M. Mierla, 2004. Soft
penulis baik penyediaan data, pengerjaan X-Ray Solar Flarecycles, dalam A.V.
data, serta Tim Redaksi Jurnal Geomatika Stepanov; E.E.
Benevolenskaya dan A.G.Kosovichev
dan Mitra Bestari.
(editor), Proceedings IAU Symposium, no.
223, 73.
DAFTAR RUJUKAN
Skripsi/Tesis/Disertasi
Referensi hendaknya dari sumber yang Ameldam, P., 2012. Pengujian Data NCEP-FNL Dan
jelas dan terpercaya. Setiap referensi yang CCMP Untuk Potensi Energi Angin (Studi
tercantum dalam daftar pustaka harus Kasus Di Jawa Barat), Skripsi ITB.
dikutip (disitir) pada naskah dan
sebaliknya setiap kutipan harus tercantum Naskah Prosiding
dalam daftar pustaka. Penulisan acuan Avia, L. Q., A. Haryanto, N. Cholianawati dan B.
Siswanto, 2010. Identifikasi Awal Musim
dalam pembahsan sebaiknya
Kemarau dan Musim Hujan Berdasarkan
menggunakan “sistem penulis-tahun” yang Data Satelit TRMM, Prosiding Seminar
mengacu pada karya pada daftar pustaka. Penerbangan dan Antariksa 2010: Sub
Kutipan buku dalam bentuk saduran Seminar Sains Atmosfer dan Iklim.
untuk satu sampai dua penulis ditulis Serpong, 15 Nopember 2010.
nama akhir penulis dan tahun. Contoh:
Muhammad Nasir dituliskan (Nasir, 2009). Naskah Konferensi
Referensi primer lebih dari 80 % dan Pontes, M-T, Sempreviva, AM, Barthelmie, R.,
Giebel, G., Costa, P., 2007. Integrating
diterbitkan dalam 5-10 tahun terakhir.
Offshore Wind And Wave Resource
Referensi yang dicantumkan dalam naskah Assessment, Proc. 7th European Wave and
mengikuti pola baku dengan disusun Tidal Energy Conference, Porto, Portugal.
menurut abjad berdasarkan nama
(keluarga) penulis pertama dan tahun Naskah Laporan Hasil Penelitian
publikasi, dengan sistim sitasi American P3TKEBTKE-Kementerian ESDM, 2008. Laporan
Physiological Association 6th Edition. Penelitan Kajian PLT Angin di Indonesia
Contoh penulisan di dalam Daftar Pustaka Bagian Timur.
adalah sebagai berikut :
Naskah Online
Habby, J., 2011. Applying Tropospheric Moisture to
Artikel dalam Jurnal (Jurnal Primer)
Forecasting, Meteororology Education,
Burton R. K., R. I. McPherron, C. T. Russell, 1975.
diakses http:// weatherpredicition.com,
An Empirical Relationship Between
23 Desember 2014.
PEDOMAN BAGI PENULIS
JURNAL SAINS DIRGANTARA
(Journal of Aerospace Sciences)

Jurnal Sains Dirgantara (Journal of Aerospace Sciences) adalah jurnal ilmiah untuk publikasi penelitian dan
pengembangan di bidang sains atmosfer dan sains antariksa.
Penulis diundang untuk mengirimkan naskah atau karya asli hasil penelitian, pengembangan, dan atau pemikiran
yang belum dipublikasikan atau dikirimkan ke media publikasi manapun. Penulis boleh mengusulkan penelaah ahli di luar
Dewan Penyunting, yang dianggap memahami betul substansi naskah yang dikirim. Naskah yang dikirim akan dievaluasi
secara anonim oleh dua atau tiga penelaah ahli dan/atau Dewan Penyunting dari segi keaslian (orisionalitas), kesahihan
(validitas) ilmiah, dan kejelasan pemaparan. Penulis berhak menanggapi hasil evaluasi, sedangkan Dewan Penyunting
berhak menerima atau menolak serta menyempurnakan naskah tanpa mengurangi isi/maknanya. Naskah yang tidak dimuat,
dikembalikan kepada penulis dengan alasan penolakannya. Penulis yang naskahnya dimuat mendapat 3 (tiga) eksemplar
dari nomor yang diterbitkan, dan naskah yang ditulis kolektif, hanya diberikan 2 (dua) eksemplar untuk masing-masing
penulis. Ketentuan bagi penulis pada jurnal ini adalah sebagai berikut.
a. Pengiriman naskah
Naskah dikirim dan ditujukan ke Sekretariat Dewan Penyunting Jurnal dengan alamat, Bagian Publikasi dan Promosi
LAPAN Jalan Pemuda Persil No. 1, Rawamangun Jakarta 13220. Naskah diketik dengan MS Word dengan Bookman
Old Style font 10.5pt pada kertas A4 dengan spasi ganda. Khusus untuk judul naskah ditulis huruf besar dengan font 16
pt. Penulis yang naskahnya diterima untuk dipublikasikan, diminta menyerahkan file dalam cd, atau dikirim melalui e-
mail ke Sekretariat Dewan Penyunting (pukasi.lapan@gmail.com; publikasi.lapan@gmail.com)
b. Sistematika penulisan
Judul harus ringkas tanpa singkatan dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Informasi penulis terdiri dari nama
(para) penulis tanpa gelar, instansi/perguruan tinggi, dan e-mail penulis utama.Isi makalah terdiri dari: (a) abstrak
dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris maksimum 200 kata yang tersusun dalam satu alinea, (b) kata kunci, (c)
batang tubuh naskah terdiri dari Pendahuluan, Data/Metode/Teori, Hasil dan Pembahasan, Implementasi (jika ada), serta
Kesimpulan, (d) Ucapan terimakasih (bila perlu) yang lazim, dan (e) Daftar rujukan.
c. Gambar dan Tabel
Gambar atau foto harus dapat direproduksi dengan tajam dan jelas. Gambar atau foto warna hanya diterima dengan
pertimbangan khusus. Gambar dan tabel dapat dimasukkan ke dalam batang tubuh atau dalam lampiran tersendiri.
Untuk kejelasan penempatan dalam jurnal, gambar dan tabel harus diberi nomor sesuai nomor bab dan nomor urut pada
bab tersebut, misalnya Gambar 2-2 atau Tabel 2-1 yang disertai keterangan singkat gambar dan judul dari tabel yang
bersangkutan.
d. Persamaan, Satuan, dan Data Numerik
Persamaan diketik atau ditulis tangan (untuk simbol khusus) dan diberi nomor di sebelah kanannya sesuai nomor bab
dan nomor urutnya, misalnya persamaan (1-2). Satuan yang digunakan adalah satuan internasional (CGS atau MKS) atau
yang lazim pada cabang ilmunya. Karena terbit dengan dua bahasa, angka desimal data numerik pada tabel dan gambar
harus mengacu pada sistem internasional dengan menggunakan titik, sedangkan pada naskah tetap menggunakan
ketentuan menurut bahasanya.
e. Rujukan
PP No. 74, 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 Tentang: Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun. Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta.
Haryani, N. S., Hidayat, Sulma, S., dan Pasaribu, J. M., 2014. Deteksi Limbah Acid Sludge Menggunakan Metode Red
Edge Berbasis Data Penginderaan Jauh, Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan data Citra Digital, Vol 11
No.2 Desember 2014.
Center for International Forestry Research [CIFOR], 2012. Forests and Climate Change Mitigation : What
Policymakers Should Know, Fact Sheet. No. 5, November 2012, MITIGATION, Key of Research Findings.
CGIAR Research Programme.
The National Geophysical Data Center (NOAA)-NASA. Sumber data VNF, 2014. Sumber: http:// ngdc. noaa. gov/
eog/ viirs/download_2014_indonesia.html) atau (Sumber LAPAN: http://modis-catalog. lapan.go.id/
monitoring/ katalognpp#).
http://landsathandbook.gsfc.nasa.gov/data_prod/prog_sect11_3.html

Anda mungkin juga menyukai