Jurnal
Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika
Edisi Wisuda STMKG
Diterbitkan oleh:
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG)
Alamat:
Jl. Perhubungan I No. 5 Komplek Meteo DEPHUB, Bintaro, Pondok Betung,
Tangerang Selatan – 15221, Telp: 021-73691623 Fax: 021-73692676
E-mail: jurnalmkg@stmkg.ac.id
Penanggung Jawab
Dr. Suko Prayitno Adi
Pengarah
Hendro Nugroho, S.T., M.Si.
Dr. Supriyanto Rohadi
Ketua Redaksi
Dr. Sugeng Pribadi
Anggota Redaksi
Dr. Agus Safril
Dr. Endarwin
Dr. Indra Gustari
Hapsoro Agung Nugroho, S.T.,M.T.
Hariyanto, S.T, M.T.
Suharni, S.Pd.,M.T.
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Jurnal MKG) merupakan jurnal ilmiah sebagai
sarana komunikasi untuk melaporkan hasil penelitian bidang ilmu meteorologi, klimatologi, kualitas
udara, geofisika, lingkungan, kebencanaan, dan instrumentasi yang terkait. Jurnal ilmiah ini
diterbitkan setiap empat bulan sekali dalam setahun.
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, akhirnya STMKG dapat menerbitkan Jurnal Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika Edisi keempat sekaligus Edisi Khusus Wisuda Sarjana Terapan
alumni Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG) Tahun 2015.
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika edisi khusus ini berisi ringkasan
skripsi 16 (enam belas) taruna terpilih Jenjang Sarjana Terapan dari Program Studi
dilingkungan Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG) sebagai
persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Terapan (S.Tr) dibidang Meteorologi,
Klimatologi, Geofisika, dan Instrumentasi-MKG.
Semoga jurnal ini bermanfaat untuk meningkatkan kwantitas dan kualitas jumlah
jurnal ilmiah dibidang ilmu meteorologi klimatologi dan geofisika (Technical Challenge)
secara kontinu dan manfaat lebih jauh diharapkan adanya perubahan sikap positif dari
civitas akademik untuk menerima perubahan kesadaran dan semangat menulis ilmiah dan
mengkomunikasikan secara ilmiah (Adaptive Leadership Challenge) dilingkungan Sekolah
Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG).
i
DAFTAR ISI
Kajian Klimatologi
PREDIKSI CURAH HUJAN DAN HARI HUJAN BULANAN DENGAN 56
PREDIKTOR SUHU MUKA LAUT DI WILAYAH PESISIR BARAT
DAYA SULAWESI
Eva Prameuthia, Erwin E.S. Makmur
Kajian Instrumentasi
PERANCANGAN DAN PEMBUATAN MAGNETOMETER DIGITAL 131
DENGAN SENSOR MAGNET HMC5883L BERBASIS WEB
Rizky Ananda Putra, Agus Tri Sutanto
PROTOTIPE SUHU TANAH DIGITAL BERBASIS MIKROKONTROLER 144
ATMEGA16 MENGGUNAKAN KOMUNIKASI SMS
Hendro Prasetyo, Kanton Lumban Toruan, Haryanto
iii
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015
ABSTRAK
Squallline adalah barisan awan Cumulonimbus yang memanjang beberapa puluh kilometer
hingga ratusan kilometer yang dapat menyebabkan terjadinya hujan lebat dan angin kencang.
Dalam hal ini salah satu contoh squalllineyang terdapat di wilayah tropis adalah yang terjadi di
wilayah Sumatera atau Selat Malaka dan dikenal sebagai Sumatera Squall.Fenomena ini umumnya
terjadi antara bulan Maret hingga November pada malam hari setiap tahunnya dan bergerak ke arah
timur. Pada penelitian ini dilakukan kajian terhadap keberadaan fenomena tersebut melalui analisis
serta prediksi dariprofil vertikal atmosfer dengan menggunakan model WRF-ARW. Melalui
penelitian ini juga diharapkan dapat diketahui kemampuan dari model tersebut dalam melakukan
analisis serta prediksi terjadinya fenomena Sumatera Squall. Berdasarkan hasil analisis yang
dilakukan untuk kejadian tanggal 12 Juni 2014, dapat diketahui bahwa di wilayah sebelah barat
Batam terdapat konvergensi angin yang memanjang di paras bawah, kolam dingin yang bergerak
ke timur, nilai kelembaban yang tinggi di paras bawah, nilai CAPE yang besar sertashear vertikal
yang kuat. Hasil ini menunjukkan indikasi yang kuat bahwa saat tersebut terdapat squall
line.Demikian juga dengan hasil prediksi yang juga menunjukkan hal yang sama. Hasil-hasil ini
menunjukkan bahwa pada tanggal 12 Juni 2014 terdapat fenomena Sumatera Squalldi sekitar
Batam dan model WRF-ARW dapat melakukan analisis serta prediksi terhadap kejadian Squall
line di Sumatera dengan cukup baik.
ABSTRACT
Squall line is the line of Cumulonimbus cloud that extends several tens of kilometers to
hundreds of kilometres that can cause heavy rain and strong winds. One example of this
phenomena in the tropics is Sumatera Squall that grow and moveeastward in Sumatera or Malacca
strait and occurred between March and November in the predawn each year. This reseach
conducted a study on the phenomenon through analysis and prediction of the vertical profile of the
atmospherebyWRF-ARW model. By this research is also expected to determine the ability of the
model to do the analysis and prediction.Finally, the analysis and prediction results on 12 June
2014showed that Sumatera Squall occurs due to wind convergence elongated shape at low-level,
an eastward-moving cold pool, high humidity values in the lower level, great value of CAPE and
strong vertical shear. These results showed that the model able to analyse and predict the
occurrence of Sumatera Squall in Batam quite well.
1
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015
2
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015
pengelolaan citra satelit Badan Meteorologi kejadian cuaca ekstrim (BMKG, 2010). Hal
Klimataologi dan Geofisika. ini menandakan adanya suatu sistem awan
Data FNL yang digunakan untuk Cumulonimbus yang dapat menyebabkan
analisis dan data GFS yang digunakan untuk angin kencang.
prakiraan running model WRF-ARW dengan Berdasarkan hasil pengolahan data
konfigurasi seperti ditunjukkan pada tabel citra satelit MTSAT menggunakan SATAID
berikut : (Satellite Interactive and Animation
Diagnosis)menunjukkan bahwa citra awan
Tabel 1. Konfigurasi WRF dari satelit MTSAT kanal IR4 tanggal 11 Juni
Konfigurasi WRF yang digunakan 2014 awan dingin dengan suhu minimum -
Konfigurasi Domain 1 Domain 2 Domain 63,4 0C sudah terbentuk pada pukul 18 UTC
3 di pesisir timur Riau. Awan – awan dingin
Skema Kessler Kessler Kessler yang terindikasi sebagai awan konvektif
Mikrofisik tersebut bergerak ke timur, meluas dan suhu
Skema PBL YSU YSU YSU minimum puncak awan semakin turun
Skema Grell- Grell- Grell-
menjadi -71,10C. Pada pukul 20 UTC awan
Cumulus Devenyi Devenyi Devenyi
dingin tampak semakin tebal dan terus
bergerak ke timur sampai ke perairan sebelah
Setelah running model WRF-ARW
barat dekat Batam dengan ujung paling timur
mendapatkan file .ctl dan .dat, langkah
dari awan tersebut cenderung berbentuk
selanjutnya adalah menganalisis kejadian
memanjang.
Sumatera squall dengan data FNL hasil
running WRF-ARW menggunakan aplikasi
GrADS unsur – unsur konvergensi,
3.2 Analisa dan Prakiraan Model WRF-
kelembaban udara, CAPE dan wind shear
ARW
vertikal. Hal serupa juga dilakukan dengan
Dalam melakukan analisis terhadap
data GFS untuk menguji kemampuan model
kejadian Sumatera Squall tanggal 12 Juni
dalam memprakirakan Sumatera Squall.
2014 dini hari akan dikaji parameter –
Setelah melakukan analisis maka didapatkan
parameter luaran model WRF-ARW yang
kesimpulan.
menjadi karakteristik kejadian squallline yaitu
di antaranya adalah konvergensi, kolam
dingin, kelembaban udara relatif, nilai CAPE
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
dan wind shear. Berdasarkan analisis pola
3.1 Analisis Berdasarkan Observasi
angin dan divergensi hasil luaran WRF-ARW
Berdasarkan hasil observasi, hujan
menggunakan data FNL, terlihat pada gambar
lebat mulai turun pada pukul 19.43 UTC dan
1 adanya pola konvergensi yang berbentuk
terus berlangsung hingga pukul 21 UTC
memanjang di paras 900 mb yang melintasi
dengan curah hujan tercatat selama satu jam
wilayah Pulau Batam. Pada pukul 18 UTC
adalah 24,3 mm. Menurut BMKG (2010),
sudah terlihat adanya pola angin yang
hujan > 20 mm/jam merupakan kejadian
mengumpul di sebelah timur Riau. Nilai
cuaca ekstrim.Setelah pukul 21 UTC, hujan
divergensi yang menunjukkan nilai –3 X 10-4
turun dengan intensitas ringan dan terus
s-1 mengindikasikan adanya konvergensi di
menerus dan berhenti pada 12 Juni 2014
wilayah tersebut. Pada pukul 19 UTC, terlihat
pukul 01 UTC. Hujan lebat yang terjadi
pola konvergensi semakin meluas dan
merupakan hujan yang terjadi dari awan
bergerak ke arah timur dan mulai memasuki
Cumulonimbus dan hujan dengan intensitas
wilayah perairan Selat Malaka sebelah barat
ringan yang berlangsung lama terjadi dari
Pulau Batam. Pada saat mulai terjadi hujan
awan – awan stratiform.Jika dilihat dari
lebat pukul 20 UTC, terlihat pada gambar 4.4
parameter kecepatan angin, pada pukul 19.30
pola konvergensi memasuki wilayah Batam
angin bertiup dengan kecepatan 5 knots dari
dan semakin bergerak ke timur. Daerah –
selatan, kemudian secara tiba – tiba angin
daerah konvergensi merupakan daerah
kencang bertiup dari barat dengan kecepatan
terbentuknya awan – awan Cumulonimbus
rata – rata 18 knots dan gusty mencapai 30
yang menyebabkan hujan deras dan angin
knots mulai pada pukul 19.35 UTC. Angin
kencang. Pola konvergensi yang memanjang
dengan kecepatan > 25 knots merupakan
3
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015
Gambar 1.Analisis Streamline lapisan 900 mb data FNL pada tanggal 11 Juni 2014 (a) pukul 18
UTC (b) pukul 19 UTC (c) pukul 20 UTC (d) pukul 21 UTC
Gambar 2.Prakiraan Streamline lapisan 900 mb data GFS pada tanggal 11 Juni 2014 (a) pukul 18
UTC (b) pukul 19 UTC (c) pukul 20 UTC (d) pukul 21 UTC
Menurut Zipser (1977), pada kejadian Pada gambar 1terlihat bahwa hasil luaran
squallline pola angin di paras permukaan dan WRF-ARW menunjukkan adanya pola angin
paras campuran adalah pola divergensi divergensi bernilai maksimum 3 X 10-4 s-1 di
dengan nilai antara 1 X 10-4 s-1 sampai 5 X 10- belakang pola konvergensi yang berbentuk
4
s-1 yang berada di belakang sistem memanjang atau sistem dari Sumatera Squall.
squallline. Hal ini juga berlaku untuk kejadian Bila ditinjau dari hasil prakiraan
squallline di wilayah tropis (Houze, 1977). WRF-ARW menggunakan data GFS pada
4
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015
gambar 2 terlihat bahwa secara umum model sampai sistem squallline melemah. Menurut
menunjukkan adanya pola angin mengumpul Corfidi (2003), gerakan dan pertumbuhan sel
dan nilai divergensi negatif atau terjadi konvektif yang baru pada sistem konveksi
konvergensi. Pola konvergensi berbentuk skala meso terjadi di sekeliling kolam dingin
memanjang dengan nilai divergensi –3 X 10-4 yang terbentuk pada paras bawah. Hal ini
s-1 mulai terbentuk pukul 18 UTC di sebelah memperlihatkan bahwa kejadian Sumatera
timur Riau dan di perairan barat laut Batam. Squall yang termasuk pada sistem konvektif
Pola konvergensisemakin meluas pada pukul skala meso daerah tropis propagasinya
19 UTC dan sudah melintas Batam pada dipengaruhi oleh sistem kolam dingin. Jika
pukul 20 UTC. Terlihat padagambar 2 dibandingkan dengan hasil analisanya, secara
polakonvergensi di bagian depan sistem umum prakiraan hasil luaran model
squallline diikuti dengan divergensi di bagian menggambarkan adanya pola kolam dingin
belakang dari sistem. Hal ini menunjukkan yang bergerak ke arah timur saat kejadian
adanya kemiripan pola angin dan nilai Sumatera Squall pada 12 Juni 2014 dini hari.
divergensi antara analisa model menggunakan Jika dilihat dari profil vertikal
data FNL dengan prakiraan model kelembaban udara relatif,Pada gambar 4
menggunakan data GFS. Namun bila terlihat bahwa di tanggal 11 Juni 2014 analisis
diperhatikan lebih lanjut, terdapat perbedaan kelembaban udara paras bawah dekat dengan
pola prakiraan yang tidak memanjang permukaan memiliki nilai kelembaban antara
sempurna dan adanya beda waktu pada pola 80 – 90 % mulai dari pagi hari hingga
konvergensi yang melintas Batam. terjadinya Sumatera Squall. Mulai pada pukul
Pada kejadian squallline, di 15 UTC terlihat bahwa udara cukup basah
ketinggian 150 m di belakang bagian depan dengan nilai kelembaban 80 – 90 % dari paras
dari sistem squallline terdapat udara dingin permukaan sampai dengan paras 700 mb dan
dan basah di mana suhu udaranya lebih dingin nilai kelembaban 50 – 70 % terjadi pada paras
daripada di sekitarnya (Zipser, 1977). Profil 700 mb sampai dengan paras 500 mb.Saat
suhu udara di paras 150 m berdasarkan hasil mulai terjadi hujan lebat di Batam pukul 20
luaran model WRF-ARW tanggal 11 Juni UTC terlihat bahwa udara basah dari paras
2014 di lintang 107’ LU pada gambar 3 permukaan sampai dengan lapisan 500 mb
memperlihatkan bahwa sebelum Sumatera dengan nilai kelembaban udara antara 80 –
Squall melintasi wilayah Batam pada pukul 100 %. Kelembaban udara yang tinggi pada
18 UTC suhu udara masih cukup tinggi yaitu tanggal 11 Juni 2014 memperlihatkan bahwa
antara 28 – 290C. Di sekitar103024’ BT atmosfer dalam kondisi memiliki banyak uap
terdapat penjalaran kolam dingin dimulai air yang cukup banyak untuk mendukung
pukul 18 UTC dengan suhu antara 24 – 25 0C. proses pertumbuhan awan – awan konvektif
Kolam dingin mencapai nilai minimum pada yang menyebabkan terjadinya Sumatera
suhu kurang dari 23 0C dimulai pukul 20 UTC Squall pada 12 Juni 2014 dini hari di wilayah
saat hujan deras mulai turun dan terus Batam.
bergerak ke arah timur melewati wilayah
Batam dan terus bergerak ke arah timur
Gambar 3.Perbandingan suhu udara analisis data FNL (kiri) dengan pakiraan data GFS (kanan)
5
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015
Gambar 4.Perbandingan kelembaban udara analisis data FNL (kiri) dengan pakiraan data GFS
(kanan)
Gambar 5. Analisis nilai Convective Available Potential Energy data FNLpada tanggal 11 Juni
2014 (a) pukul 00 UTC(b) pukul 12 UTC (c) pukul 18 UTC (d) pukul 21 UTC
Gambar 6. Prakiraan 24 jam nilai Convective Available Potential Energy data GFS pada tanggal
11 Juni 2014 (a) pukul 00 UTC (b) pukul 12 UTC (c) pukul 18 UTC (d) pukul 21 UTC
6
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015
Bila dilihat dari parameter berada di perairan sebelah barat Batam. Pukul
kelembaban udara di stasiun pengamatan, 18 UTC, nilai CAPE > 3000 J/kg hampir
prakiraan luaran model WRF-ARW memiliki merata di wilayah Batam dan perairan
pola dan nilai yang hampir sama dengan hasil sekelilingnya, tetapi terdapat daerah kecil di
analisanya seperti terlihat pada Gambar 4. perairan sebelah barat laut Batam dengan nilai
Model WRF-ARW memprakirakan CAPE < 250 J/kg. Nilai CAPE pada pukul 21
kelembaban udara sangat basah antara 80 – UTC terdapat pola nilai CAPE < 250 J/kg
100 % terjadi di paras dekat permukaan dari yang luas di sekitar Batam dan terdapat pola
pagi hari sampai terjadinya Sumatera Squall. CAPE > 2500 J/kg di sebelah timur Batam.
Namun, terdapat kelembaban udara yang Pola ini terlihat hampir sama dengan pola
relatif kering di paras 800 – 700 mb dengan CAPE hasil analisa WRF-ARW yang
nilai antara 50 – 60 % pada pukul 5 hingga menggambarkan adanya sistem barisan awan
pukul 15 UTC Cumulonimbus yang melintas Batam.
Nilai CAPE di sekitar wilayah Batam Jika dilihat dari shear angin vertikal
pada tanggal 11 Juni 2014 pukul 00 UTC di paras bawah, saat Sumatera Squall belum
seperti yang terlihat pada gambar 5 sudah melintas Batam pada pukul 18 UTC pada
cukup besar yaitu antara 1500 – 2750 J/kg. gambar 7 sudah terlihat adanya shear vertikal
Namun, pada siang hingga sore hari tidak kecil hingga sedang. Namun, sudah terlihat
terjadi hujan di sekitar wilayah Batam. Pada adanya shear kuat > 10 m/s di sebelah timur
pukul 12 UTC, nilai CAPE semakin Riau. Pada pukul 19 UTC mulai terlihat pola
meningkat hingga nilai CAPE di perairan shear kuat yang berbentuk memanjang di
sebelah barat Pulau Batam mencapai > 3000 perairan sebelah barat Batam. Saat Sumatera
J/kg. Nilai CAPE > 3000 J/kg semakin meluas Squall mulai melintas pukul 20 UTC, pola
dari perairan sebelah barat Pulau Batam shear kuat semakin meluas di belakang sistem
sampai ke sebelah timur Pulau Batam terjadi dan di sekitar stasiun pengamatan terjadi
sebelum Sumatera Squall melintasi Batam shear sedang dengan nilai sebesar 4 – 8 m/s.
pada pukul 18 UTC. Nilai CAPE yang besar Pada pukul 21 UTC terlihat pola shear kuat
mengindikasikan adanya energi buoyancy bergerak ke timur dan semakin meluas di
yang dapat mengangkat parsel ke paras atas. utara stasiun pengamatan. Shear di stasiun
Nilai CAPE yang besar memungkinkan pengamatan saat itu juga semakin kuat, yaitu
adanya potensi pertumbuhan awan – awan antara 6 – 7 m/s dan pola shear kuat meluas
konvektif yang besar juga. Namun setelah berada di belakang sistem squallline.
Sumatera Squall melintasi Batam pada pukul Pukul 18 UTC, prakiraan shear
21 UTC, terlihat adanya pola batas berbentuk vertikal paras bawah luaran WRF-ARW pada
garis yang jelas antara nilai CAPE kecil yaitu gambar 8 menunjukkan di Batam hanya
< 250 J/kg di belakang atau di sebelah barat terdapat shear lemah. Setelah itu, tampak
dari nilai CAPE besar > 2500 J/kg. Batas bahwa terdapat shear yang kuat > 10 m/s di
kedua nilai CAPE yang jelas tersebut sekitar Batam. Secara umum, hasil prakiraan
mengindikasikan bahwa daerah di belakang model menunjukkan adanya shear vertikal
Sumatera Squall memiliki gaya apung yang paras bawah yang kuat pada saat, sebelum dan
kecil. sesudah squallline melintas Batam, walaupun
Gambar 6 memperlihatkan nilai hasil prakiraan dari WRF-ARW tidak
CAPE hasil prakiraan model WRF-ARW menggambarkan adanya pola tertentu dari
pada 11 Juni 2014. Pada pukul 00 UTC di shear paras bawah pada saat kejadian
wilayah sekitar Batam nilai CAPE mencapai Sumatera Squall 12 Juni 2014 dini hari.
2750 J/kg. Pukul 12 UTC besarnya nilai
CAPE bervariasi nilainya antara 1000 – 3000
J/kg dengan konsentrasi nilai CAPE 3000 J/kg
7
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015
Gambar 7.Analisis Wind shear vertikal paras bawah (paras 900 mb dan permukaan) dalam m/s
data FNL pada tanggal 11 Juni 2014(a) pukul 18 UTC (b) pukul 19 UTC (c) pukul 20 UTC(d)
pukul 21 UTC
Gambar 8.Prakiraan Wind shear vertikal paras bawah (paras 900 mb dan permukaan) dalam m/s
data GFS pada tanggal 11 Juni 2014(a) pukul 18 UTC (b) pukul 19 UTC (c) pukul 20 UTC(d)
pukul 21 UTC
8
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
9
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
10
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015
ABSTRAK
Kejadian hujan lebat yang terjadi di wilayah Kota Pekanbaru pada tanggal 7 Maret 2015
cukup menarik perhatian. Kejadian tersebut merupakan hujan lebat pertama setelah Kota
Pekanbaru dilanda cuaca panas dengan suhu yang cukup tinggi selama beberapa bulan terakhir.
Mengingat kondisi fisis atmosfer di daerah tropis sangat bervariasi, maka perlu dilakukan
simulasi kejadian hujan lebat dengan menggunakan model numerik Weather Research and
Forecasting – Advanced Research WRF (WRF-ARW) untuk mengetahui kondisi atmosfer yang
terjadi di daerah tersebut. Dalam penelitian ini dilakukan pengujian terhadap sembilan
konfigurasi skema parameterisasi mikrofisis dan kumulus model WRF-ARW yang berbeda. Dari
hasil verifikasi secara dikotomi, spasial, dan kuantitatif terhadap hasil keluaran sembilan
konfigurasi skema tersebut, dapat diketahui bahwa konfigurasi skema 9 yang terdiri dari skema
WSM3 untuk mikrofisis, YSU untuk PBL, dan Grell Devenyi untuk kumulus dianggap skema yang
paling baik dalam mensimulasikan kejadian hujan lebat di Pekanbaru tanggal 7 Maret 2015. Dari
analisis hasil keluaran skema terpilih tersebut diketahui bahwa kondisi atmosfer di atas wilayah
Pekanbaru cukup basah yang ditunjukkan dengan nilai kelembaban udara per lapisan yang tinggi,
didukung dengan nilai CAPE yang cukup tinggi serta adanya arus konvergensi, dimana kondisi
tersebut sangat mendukung proses pembentukkan awan-awan konvektif yang dapat menyebabkan
terjadinya hujan lebat.
ABSTRACT
The heavy rain was occured on 7th March 2015 in Pekanbaru as anomaly weather. It was
the first heavy rain in Pekanbaru since drought with high temperature in the previous months.
Regarding the various physics condition of the atmosphere in tropical areas, a simulation of heavy
rain using numerical model of Weather Research and Forecasting – Advanced Research WRF
(WRF-ARW) was conducted to know the atmosphere condition happening in this area. The
simulation was conducted by testing nine microphysics and cumulus parameterization scheme of
WRF-ARW model configurations. The model output of the nine schemes was verified in a
dichotomy way, spatially and quantitatively to get the result of the configuration output of those
nine schemes. The result shows that the configuration of the nine schemes which consist of WSM3
scheme for microphysics, YSU for PBL and Grell Devenyi for cumulus is concerned as the best
scheme that stimulates the heavy rain happened on 7th of March 2015 in Pekanbaru. In reference
to the output of the chosen scheme, it is known that the atmosphere condition above Pekanbaru
area is wet. It is shown by the height of the air moistness in each layer, the support of high CAPE
value and the existence of convergent current. Such conditions stimulate the formation of
convective cloud strongly which then creates heavy rain.
11
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015
12
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015
13
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015
14
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015
SKEMA 1 0.33 1.40 0.76 0.33 1.40 0.76 0.33 1.40 0.76 0.40 1.33 0.88 0.25 1.50 0.88
SKEMA 2 0.25 2.00 0.64 0.20 1.40 0.68 0.22 1.75 0.72 0.50 1.00 0.92 0.00 0.00 0.91
SKEMA 3 0.18 1.60 0.64 0.29 0.80 0.80 0.14 0.60 0.76 0.00 0.33 0.84 0.00 0.50 0.88
SKEMA 4 0.40 1.80 0.76 0.40 1.80 0.76 0.30 1.60 0.72 0.25 0.67 0.88 0.33 1.00 0.92
SKEMA 5 0.31 2.40 0.64 0.30 1.60 0.72 0.33 1.40 0.76 0.67 0.67 0.96 0.00 0.00 0.92
SKEMA 6 0.27 2.80 0.56 0.33 1.40 0.76 0.22 1.20 0.72 0.33 1.67 0.84 0.00 1.50 0.80
SKEMA 7 0.40 1.80 0.76 0.38 1.20 0.80 0.38 1.20 0.80 0.25 1.50 0.88 0.25 1.50 0.88
SKEMA 8 0.44 1.60 0.80 0.50 1.40 0.84 0.50 1.40 0.84 0.33 0.33 0.92 0.00 0.00 0.92
SKEMA 9 0.33 3.00 0.60 0.71 1.40 0.92 0.50 0.80 0.88 0.33 0.33 0.92 0.50 0.50 0.96
15
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015
Dari kesembilan peta sebaran hujan mm untuk skema 9, akan tetapi skema 9
keluaran model tersebut, dapat dilihat bahwa masih menunjukkan hasil yang lebih baik
peta sebaran curah hujan keluaran model dari pada skema yang lain, walaupun jumlah
WRF-ARW skema 6 dan skema 9 terlihat curah hujan yang dihasilkan cenderung under
lebih mendekati dengan peta sebaran hujan estimate dari observasinya.
observasi. Dari berbagai analisis hasil verifikasi
Skema 6 menunjukkan intensitas yang telah dilakukan, maka secara subyektif
hujan paling tinggi terjadi di wilayah Rokan dapat disimpulkan bahwa konfigurasi skema
Hulu mencapai 90 – 95 mm/hari. Selain itu, 9 yang terdiri dari skema WSM3–YSU–GD
intensitas curah hujan di atas 50 mm/hari dianggap sebagai skema terbaik yang dapat
juga terpusat di bagian utara Pelalawan dan merepresentasikan kejadian hujan lebat di
hujan tersebar hingga wilayah Indragiri Hilir. wilayah Pekanbaru pada tanggal 7 Maret
Sedangkan pada skema 9 intensitas curah 2015. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
hujan tertinggi terpusat di Pekanbaru, pernah dilakukan oleh Made Santriyani, dkk
Kampar dan Indragiri Hilir dengan jumlah pada tahun 2011 yang menunjukkan bahwa
curah hujan berkisar antara 45 – 55 mm/hari. konfigurasi skema WSM3-YSU-GD
merupakan konfigurasi skema terbaik yang
3.3 Verifikasi secara kuantitatif dapat digunakan untuk memprediksi kejadian
Dari Gambar 6terlihat bahwa skema hujan dan merepresentasikan kondisi
9 menunjukkan pola hujan yang paling mirip atmosfer seperti pergerakan awan dan
dengan observasinya, yaitu sama-sama indikasi hujan pada saat kejadian hujan
menunjukkan bahwa pada tanggal 7 Maret ekstrim di Jakarta tanggal 7 April 2009.
2015 terjadi hujan dengan intensitas yang Dalam penelitiannya, Santriyani
paling tinggi. Sedangkan pada tanggal 6 dan (2011) menyebutkan bahwa menurut Grell
8 Maret 2015 hasil keluaran model dari dan Devenyi (2002), skema Grell Devenyi
konfigurasi skema 9 masih menunjukkan merupakan skema yang mengikutsertakan
adanya kejadian hujan, akan tetapi dengan berbagai siklus tertutup, seperti
intensitas yang sangat kecil. Walaupun antara penghilangan CAPE atau mengontrol
hasil observasi dan hasil keluaran model keberadaan CAPE setiap waktu, quasi
menunjukkan kuantitas jumlah curah hujan equilibrium dan konvergensi kelembaban,
yang sangat jauh perbedaannya,yaitu 127.5 serta mengikutsertakan perubahan varian
mm untuk curah hujan observasi, dan 49.3 untuk memparameterkan entrainment, radius
16
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015
awan, cap maksimum dan hubungan efisiensi kemampuan yang lebih baik dari pada skema
atau gesekan tetes awan dan hujan di lainnya.
atmosfer . Karena banyaknya proses yang
diperhitungkan, maka skema ini memiliki
17
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015
18
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015
19
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015
Gustari, I., Hadi, W T., Hadi, S., dan Santriyani, M., Octarina, D. P., Budaya, B.
renggono, F., 2012, Akurasi Prediksi J., Choir, U., dan Suradi, 2012,
Curah Hujan Harian Operasional Di Sensitivitas Parameterisasi Konveksi
Jabodetabek : Perbandingan Dengan Dalam Prediksi Cuaca Numerik
Model WRF, Jurnal Meteorologi Dan Menggunakan Model WRF-ARW
Geofisika Vol 13. No 2. Hal : 119 – (Studi Kasus Hujan Ekstrim Di
130. Jakarta Tanggal 7 April 2009),
Hadi, T.W., Junnaedhi, I D. Gd. A., Satrya, Bandung: Program Studi Meteorologi
L.I., Santriyani, M., Anugrah, M. P., ITB.
dan Octarina, D.T. 2011. Pelatihan Soepangkat, 1994, Pengantar Meteorologi,
Model WRF (Weather Research and Balai Pendidikan dan Latihan
Forecasting), Laboratorium Analisis Meteorologi dan Geofisika, Jakarta.
Meteorologi (Weather and Climate Sulung, G., Priyanka, M., Saraswati, N.,
Prediction Laboratory), Fakultas Ilmu 2011, Pengaruh Parameterisasi
dan Teknologi Kebumian ITB. Kumulus Terhadap Simulasi Angin
Bandung. Kencang Di Makasar Dengan
Mulya, A, 2014, Simulasi Analisis dan Menggunakan WRF, Institut
Forecast Fasil Model WRF-ARW Tekonologi Bandung, Bandung.
(Studi Kasus Hujan Lebat di Tjasyono, B., Harijono, S., 2007,
Putussibau Tanggal 3-4 April 2013), Meteorologi Indonesia 2 Awan Dan
Skripsi, Sekolah Tinggi Meteorologi Hujan Monsun, Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika, Jakarta. dan Geofisika, Jakarta.
Listiaji, E, 2009, Simulasi Curah Hujan di Winarso, P.A., 2011, Modul Bahan Ajar
Atas Pulau Lombok ( Studi Kasus Akademi Meteorologi dan Geofisika:
Bulan Januari 2007), Institut Analisis Cuaca I. Akademi
Tekonologi Bandung, Bandung. Wirjohamidjojo, S. dan Swarinoto, Y. S.,
Puspitasari, F, 2014, Pemanfaatan Model 2007, Praktek Meteorologi Pertanian,
WRF Untuk Penentuan Nilai Ambang BMG, Jakarta.
Batas Parameter Cuaca Dalam Proses Yunita, R, 2014, Uji Skema Parameterisasi
Pertumbuhan Awan Cumulonimbus, Cumulus Dalam Prediksi Hujan Di
Skripsi, Sekolah Tinggi Meteorologi Kalimantan Selatan, Skripsi, Sekolah
Klimatologi dan Geofisika, Jakarta. Tinggi Meteorologi Klimatologi dan
Rizkiana, D., Josephine., Syahidah, M., Geofisika, Jakarta.
Amelda, P., Arida, V., 2011, Zakir, A., Sulistya, W., Khotimah, dan Mia,
Perbandingan Skema Parameterisasi K. 2010. Prespektif Operasional
Dalam Simulasi Cuaca Numerik Cuaca Tropis, Badan Meteorologi
Menggunakan Model WRF – ARW Klimatologi Dan Geofisika, Jakarta
(Studi Kasus Hujan Ekstrim Di
Balikpapan Tanggal 5 Juli 2008), Pustaka dari Situs Internet
Institut Teknologi Bandung, Bandung. http://rda.ucar.edu/datasets/ds083.2/index.ht
Rosanti, R, 2014, Kajian Cuaca Ekstrim ml (diakses tanggal 10 Maret 2015)
Menggunakan Output Model WRF http://riaumandiri.co/read/ (diakses tanggal
(Weather Research and 10 Maret 2015)
Forecasting)(Study Kasus Hujan Lebat
di Nanga Pinoh Tanggal 1 November
2012 dan 19 Januari 2013, Skripsi,
Sekolah Tinggi Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika, Jakarta.
Saidu, Y.S., 2014, Uji Sensitifitas
Parameterisasi Kumulus Pada Model
WRF-ARW (Studi Kasus Hujan
Ekstrim Di Kendari Tanggal 14 - 15
Juli 2013), Skripsi, Sekolah Tinggi
Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika, Jakarta.
20
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015
ABSTRAK
Memasuki bulan Desember curah hujan di Pulau Batam mengalami masa puncak.
Kejadian hujan lebat yang terjadi di Batam pada tanggal 19 Desember 2014 telah menyebabkan
banjir dan menimbulkan kerugian materi lainnya. Curah hujan yang melebihi 100 milimeter di
suatu wilayah, memberikan indikasi adanya faktor gangguan cuaca signifikan yang berperan dalam
pembentukan suatu sistem awan konvektif yang besar danluas. Analisis cuaca skala regional dan
lokal dilakukan untuk mengidentifikasigangguan cuaca yang berperan pada kejadian tersebut.
Berdasarkan hasil olahan data observasi curah hujan, data udara atas Changi Singapura, satelit MT-
SAT, dan data reanalisis Era Interim ECMWF, hujan lebat tanggal 19 Desember 2014 disebabkan
karena adanyagangguan pada pola angin di sekitar Kalimantan yang dikenal dengan sebutan
Borneo Vortex. Hujan lebat ini juga didukung oleh aktifnya aliran seruak dingin dari daratan Asia.
ABSTRACT
At the beginning of December, rainfall on the island of Batam have a peak periods.
Torrential rain events that occurred in Batam on December 19th, 2014 has caused flooding and
other material losses. Rainfall exceeding 100 millimeters in an area, provide indications of
significant weather disturbance factors that play a role in the formation of a large convective
cloud system. Using regional and local weather scale analysis, identification of weather
disturbance is implemented to determine dominant factor on that event.Based on the processed
results of rain observation data, Singapore Changi’s upper air data , MT - SAT satellite, and
reanalysis Era Interim ECMWF data, torrential rain that occurred on December 19th, 2014 was
caused due to a disturbance in wind patterns around Borneo , known as Borneo Vortex . The
torrential rain also supported by an active cold surge flow of mainland Asia.
21
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015
22
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015
dari wilayah perairan yang mengelilingi Melihat pola labilitas vertikal apakah
Pulau Batam (Prawoto dkk., 2011). mendukung kejadian hujan lebat.
Pada kasus banjir yang terjadi di Melihat bentuk dan luasan awan serta
Batam 19 Desember 2014, banjir terjadi nilai suhu puncak awan untuk menaksir
setelah hujan lebat mengguyur wilayah jenis awan.
tersebut sepanjang hari. Hujan lebat tersebut Melihat nilai kelembaban udara,
terjadi pada saat aktifnya monsun dingin divergensi dan vertical velocity sesaat
pada saat puncak curah hujan di Batam. sebelum dan saat kejadian hujan lebat.
Curah hujan selain dikarenakan oleh Membuat kesimpulan berdasarkan hasil
pengaruh dari monsun dingin Asia, perlu analisis dan pembahasan.
dicurigai fenomena atau gangguan cuaca
lainnya yang ikut mendukung mekanisme 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
penyebab hujan sangat lebat tersebut. a. Analisis Isohyet
Gangguan skala regional yang kemungkinan Peta sebaran curah hujan yang dibuat
terjadi dan mempengaruhi cuaca di Batam dari data hujan akumulasi 24 jam di 9 titik
diantaranya adalah seruakan dingin dari AWS dan di Stasiun Meteorologi Hang
daratan Asia atau yang lazim disebut Cold Nadim Batam memberikan gambaran bahwa
Surge, adanya daerah vorteks siklonik di pada saat kejadian hujan lebat tanggal 19
sekitar Kalimantan (Borneo Vortex), serta Desember 2014, terlihat sebaran hujan cukup
gangguan pada pola angin seperti daerah merata di Pulau Batam berkisar antara 50 –
pumpunan angin (konvergensi) dan belokan 150 mm (Gambar 1). Akumulasi curah hujan
angin (shearline). > 100 mm terjadi di wilayah Batam Bagian
Timur, sedangkan daerah lain seperti Batam
2. DATA DAN METODE bagian Barat, Tengah dan Selatan curah
Dalam penelitian ini adapun bahan hujan terakumulasi secara merata < 100 mm
berupa data yang digunakan antara lain: pada tiap lokasi AWS. Akumulasi curah
a) Peta isohyet hasil olahan dari data hujan terbesar tertakar di Stamet Hang
pengamatan curah hujan harian Stasiun Nadim Batam sebesar 116.7 mm dan terkecil
Meteorologi Hang Nadim Batam dan 9 tertakar di AWS Sei Harapan.
titik Automatic Weather Station.
b) Data analisis surface pressure, angin
lapisan 925 mb dan moisture transport
jam 00 UTC hasil olahan data reanalysis
model ECMWF dengan resolusi spasial
0,125° x 0,125°.
c) Data udara atas dari stasiun meteorologi
Changi Singapura tanggal 18 – 19
Desember 2014.
d) Data satelit MT-SAT format netcdf (.nc)
tanggal 18 – 19 Desember 2014.
e) Data analisis kelembaban udara, nilai
divergensi dan vertical velocity di sekitar
area pulau Batam hasil olahan data
reanalysis model ECMWF dengan
resolusi spasial 0,125° x 0,125°.
Metode yang dilakukan dalam Gambar 1. Peta Spasial Sebaran Hujan
penelitian ini yaitu sebagai berikut: Tanggal 19 Desember 2014
Menginterpretasikan peta isohyet untuk
mengetahui bagaimana apakah hujan b. Analisis Surface Pressure
yang terjadi merata atau tidak di Pulau Analisis skala sinoptik dimulai
Batam. dengan informasi tekanan pada permukaan
Mengintepretasikan peta tekanan, angin laut (MSLP) di sekitar daratan Asia, Laut
dan moisture transport untuk Cina Selatan hingga Indonesia mulai tanggal
mendeteksi gangguan cuaca 17 hingga 20 Desember 2014 tiap 24 jam.
23
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015
24
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015
25
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015
Desember 2014 jam 00.00 UTC (07.00 WIB) Tabel 1.Indeks Stabilitas tanggal 18 dan 19
menunjukkan pada lapisan permukaan Desember 2014
hingga lapisan 600 mb jarak antara profil Tanggal/Jam SI LI KI CAPE
suhu dan profil titik embun sangat dekat. Hal
ini mengindikasikan bahwa udara pada 18 Desember -0.6 -4.1 37.8 2192 J/Kg
lapisan tersebut sangat lembab. Pada lapisan 2014/ 12
850 mb bahkan kedua garis tepat berhimpit UTC
yang menunjukkan kelembapan pada lapisan 19 Desember -0.3 -2.7 37.8 1733 J/Kg
tersebut mencapai 100 %. Kondisi ini 2014/ 00
merupakan syarat dimulainya proses UTC
kondensasi uap air menjadi tetes-tetes awan. 19 Desember 1.2 -3.3 33.1 940 J/Kg
Puncak awan yang terbentuk mencapai 2014/ 12
ketinggian sekitar 120 mb, yang UTC
mengindikasikan bahwa pada saat kejadian
hujan lebat tanggal 19 Desember 2014, awan Pada hasil pengolahan data udara
– awan yang terbentuk sangat tebal dan atas dari hasil pengamatan radio sonde
merupakan awan konvektif dengan puncak tanggal 18 – 19 Desember 2014 yang
yang tinggi seperti awan cumulonimbus. ditampilkan pada tabel 4.9 menunjukkan
Berdasarkan hasil pengolahan data udara atas nilai SI mengindikasikan saat kejadian
tanggal 18 Desember 2014 jam 12.00 UTC kondisi atmosfer labil lemah dan berpeluang
hingga 19 Desember 2014 jam 12.00 UTC membentuk kumpulan awan konvektif.
(19.00 WIB), maka diperoleh nilai indeks Keadaan ini juga didukung oleh nilai LI yang
stabilitas pada kejadian hujan lebat tanggal berada pada kisaran -4 hingga -2 yang
19 Desember 2014 seperti yang dijelaskan menggambarkan kemungkinan terjadi badai
dalam Tabel 1. guruh hebat. Sementara dari nilai KI,
terindikasi keadaan atmosfer di sekitar
Batam pada saat kejadian berpotensi
menyebabkan hujan lebat. Pada hasil
pengamatan juga menunjukkan nilai CAPE
sesaat sebelum kejadian hujan lebat tercatat
mencapai kisaran 1000 – 2500 J/Kg. Artinya,
pada waktu tersebut terjadi konveksi sedang
yang menyebabkan udara menjadi semakin
labil dan berpotensi menghasilkan cuaca
buruk seperti hujan lebat atau badai guruh.
26
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 2, Oktober 2015
27
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015
Gambar 6.Brightness Temperatur (C) dariCitra Satelit MT-SAT sebelum, saat dan
sesudahkejadian hujan lebat tanggal 19 Desember 2014.
dan setelah kejadian berkisar antara 0 hingga
4. Analisis Kelembapan Udara 40 x 10-6/s. Nilai yang semakin negatif pada
Berdasarkan hasil pengolahan data saat menjelang kejadian merupakan indikasi
kelembapan udara secara vertikal di area adanya konvergensi yang menyebabkan
Pulau Batam tanggal 17 – 20 Desember 2014 pengangkatan massa udara yang membentuk
pada lapisan 1000 hingga 200 mb (Gambar banyak awan. Sedangkan pada lapisan 500
7.a) didapatkan informasi mengenai – 200 mb, nilai divergensi di sekitar Pulau
kelembapan udara pada sebelum dan saat Batam sebelum, saat dan seusai kejadian
kejadian hujan. Terlihat pada lapisan hujan lebat bervariasi antara 0 hingga 40 ×
permukaan (1000 – 800 mb) sebelum dan 10-6/s. Nilai yang semakin positif
saat kejadian hujan kondisi udara di Pulau menunjukkan bahwa pada lapisan tersebut
Batam cukup jenuh dengan nilai 80 – 90%. terjadi penyebaran massa udara atau
Sedangkan pada lapisan menengah (700 – divergensi. Kondisi adanya konvergensi di
500 mb) dan lapisan atas (500 – 200 mb) lapisan bawah (low level convergence) dan
kelembapan juga masih sangat jenuh pada divergensi di lapisan atas merupakan suatu
kisaran 80 – 85%. Hal ini menunjukkan kondisi yang baik dalam mendukung arus
bahwa kondisi udara sangat lembab selama udara yang naik.Gerakan ke atas dari udara
periode terjadinya hujan lebat dan ini memicu pertumbuhan awan-awan yang
mendukung dalam proses kondensasi dalam menjulang tinggi yang dapat menghasilkan
pembentukan awan-awan konvektif. cuaca buruk.
28
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015
Nilai yang negatif sebelum dan saat kejadian Lupo, A.R. dan Anip, M.H.M., 2011,
menggambarkan adanya gerakan udara Climatological Study of Borneo
vertikal ke atas. Gerak udara vertikal yang Vortex during Northern Hemisphere
naik ini membawa massa udara yang lembab Winter Monsoon.Poster in Conference
ke lapisan atas sehingga berpotensi World Research Climate Programme
menghasilkan awan-awan konvektif yang (WRCP) 2011, Denver, Colorado-
menjulang tinggi. Sementara nilai yang USA.
positif di lapisan bawah pada setelah Prawoto, I., Azizah, N., dan Taufik, M.,
kejadian hujan lebat menggambarkan bahwa 2011, Tinjauan Kasus Banjir di
ada gerakan udara kebawah yang Kepulauan Riau Akhir Januari 2011,
mengindikasikan meluruhnya awan-awan Jurnal Megasains,Vol.2 No.2 - Juni
penyebab hujan lebat tersebut. 2011 Hal. 116 – 122.
Suyono, H., Satyaning, A., Boer, R., Agus,
4. KESIMPULAN P., Ribudiyanto, K., Supiatna, J.,
Berdasarkan analisis-analisis yang Subarna, Leni, Linarka, U.,
telah disebutkan dapat ditarik kesimpulan Satyaningsih, R., Noviati, S., dan
bahwa kejadian hujan lebat pada tanggal 19 Kumalawati, R, 2009, Kajian Cuaca
Desember 2014 merupakan akibat dari Ekstrim di Wilayah Indonesia,
gangguan cuaca yang terbentuk melalui Puslitbang BMKG, Jakarta.
peristiwa mekanis seperti konvergensi dan Tangang, F.T., Liew, J., Salimun, E.,
vortex dan didukung dengan proses thermis Vinayachandran, P.N., Seng, Y.K.,
seperti konveksi dan adveksi udara dingin Reason, C. J. C., Behera, S. K., dan
dari adanya Cold Surge. Yasunari, T, 2008, On the roles of the
northeast cold surge, the Borneo
DAFTAR PUSTAKA Vortex, the Madden-Julian Oscillation,
BMKG, 2010, Peraturan KBMKG Nomor: and the Indian Ocean Dipole during
Kep. 009 Tahun 2010 tentang the extreme 2006/2007 flood in
Prosedur Standar Operasional southern Peninsular Malaysia,
Pelaksanaan Peringatan Dini, Geophysical Research Letters,
Pelaporan, Dan Diseminasi Informasi Volume 35, Issue 14, July 2008,
Cuaca Ekstrim. American Geophysical Union.
Braesicke, P., Hai, O.S. dan Samah, A.A, Zakir, A., Sulistya, W., dan Khotimah, M.
2012, Properties of strong off-shore K., 2010, Perspektif Operasional
Borneo vortices: a composite analysis Cuaca Tropis, Badan Meteorologi
of flow pattern and composition as Klimatologi dan Geofisika, Jakarta.
captured by ERA-Interim. Journal of
The Royal Meteorological Society Pustaka dari Situs Internet
13:128-132. The European Centre for Medium-Range
Chang, C.P., Harr, P. A., dan Chen, H. J, Weather Forecasts, 2015, [daring],
2005, Synoptic Disturbances over the http://apps.ecmwf.int/datasets/data/int
Equatorial South China Sea and erim_full_daily/, diakses 10 Januari
Western Maritime Continent during 2015.
Boreal Winter, Monthly Weather
Review, Vol. 133. Hal 489-503.
29
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
ABSTRAK
Pada tanggal 20 – 23 Juni 2013, beberapa pos hujan di Kabupaten Malaka Nusa Tenggara
Timur menakar hujan harian dengan intensitas sangat lebat diatas 100 milimeter. Cuaca ekstrem ini
menarik dikaji karena terjadi disaat musim kemarau. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui
kondisi meteorologiyang mendukung kejadian hujan sangat lebat di Malaka. Dari hasil analisis
peta sinoptik dan data reanalisis modeltanggal 17 hingga 26 Juni 2013, menunjukkan bahwa
anomali SST yang positif di perairan sekitar Indonesia bagian selatan memicu tumbuhnya LPA di
perairan di selatan Jawa. Kondisi tersebut kemudian menyebabkan konvergensi diantaraangin
timuran, massa udara kontinen-tropis dan maritim-tropis sertashearline di atas wilayah Malaka.
Hal tersebut menjadi faktor utama yang menyebabkan terjadinya hujan sangat lebat di Malaka,
sedangkan kondisi udara yang basah hingga lapisan atas serta besarnya kekuatan gerak vertikal
udara keatas yang ditunjukkan oleh nilai vortisitas dan kecepatan gerak vertikal, merupakan faktor
lokal yang juga mendukung terjadinya hujan sangat lebat di Malaka.
ABSTRACT
On 20 to 23 June, 2013, daily rainfall intensity in some points in the district of Malaka-East
Nusa Tenggarawere extremely heavy with intensity above 100 millimeters per day. This extreme
weather event is interesting to study because it occurs in the dry season. This study aims to
determine the current meteorological conditions when heavy rain events occured in Malaka. From
the analysis of synoptic map and reanalysis model data, showed thatpositive anomaly of SST
around southern of Indonesia trigger the growth of a low pressure center in the south of Java. The
center of low pressure caused the easterlies wind of tropical-continental and maritime-tropical air
mass formed the convergence and shearline on the Malaka territory. While the parameter of local
weather that contribute are wet air humidity which reached until the upper layer and intensify of
upward vertical air motion that indicated by vortices and velocity of vertical motion.
30
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
31
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
Gambar 1.Grafik rata-rata curah hujan dan hujan bulanantahun 2013 di Malaka
(a) (b)
Gambar 2. Peta SST global tanggal 16 – 22 Juni 2013 (a) dan 23 – 29 Juni 2013 (b)
(EMC/NCEP/NOAA, 2013)
32
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
33
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
Identifikasi aktifitas fenomena MJO rentang waktu tersebut lebih rendah dari pada
pada penelitian ini dengan menggunakan kondisi rata-ratanya,sehingga
diagram fase MJO. Diagram ini mengindikasikan pertumbuhan awan
menggambarkan perkembangan fase MJO konvektif akibat MJO kurang giat di wilayah
dari hasil perhitungan Realtime Multivariate Malaka.
MJO (RMM) Index yang secara matematis
menggabungkan perhitungan jumlah awan 3.3.3 Analisis peta MSLP
dan angin zonal pada paras atas 250 hpa dan Dari peta reanalisis MSLP harian
paras bawah 850 hpa di daerah ekuator tanggal 17 – 26 Juni 2013 pada gambar 3,
(Wheeler dan Hendon, 2004). terlihat dataran Asia menjadi pusat low
Hasil perhitungankemudian dipetakan presure area (LPA) dan high pressure area
dalam bagian diagram sesuai dengan lokasi (HPA) di daratan Australia. Keadaan ini
penjalarannya di sepanjang garis ekuator. mengikuti posisi matahari pada bulan Juni
Ketika indeks berada dalam pusat yaitu berada di daerah subtropis BBU.
lingkaranMJO dianggap lemah; dianggap Terdapat beberapa pusat tekanan
menguat bila berada diluar lingkaran; dan jika rendah yang terbentuk di perairan sekitar
indeks berada pada diagram 4 dan 5 Indonesia. Perpindahan massa udara yang
menunjukkan penjalaran MJO berada di seharusnya mengikuti sistem tekanan udara
wilayah Indonesia. yaitu dari BBS ke BBU, akan terganggu
Dari diagram fase MJO pada gambar 4a, akibat adanya pusat - pusat tekanan rendah
menunjukkan adanya aktifitas MJO saat tersebut. Terutama pusat tekanan rendah yang
terjadi hujan lebat di Malaka. Pada tanggal 17 terbentuk di Samudera Hindia sebelah selatan
Juni 2013 MJO masih berada pada fase 5 pulau Sumatera – Jawa.
yaitu di wilayah Indonesia bagian timur dan Pada tanggal 17 - 19 Juni, wilayah NTT
bergerak memasuki fase 6 mulai tanggal 18 bertekanan udara rendah 1008 – 1010 hpa.
Juni. Selanjutnya MJO semakin bergerak Kemudian pada tanggal 20 dan seterusnya,
menjauh dan memasuki fase 8 yaitu kembali tekanan mencapai > 1010 hpa mengikuti
muncul di wilayah Afrika mulai tanggal 24 peningkatan tekanan udara di daratan
Juni. Walaupun MJO sedang aktif, namun Australia. Garis isobar dari tekanan tinggi di
hujan sangat lebat yang terjadi di Malaka Australia yang cukup rapat, menunjukan
bukanlah disebabkan oleh fenomena ini. perbedaan nilai tekanan yang cukup besar
Karena saat kejadian hujan sangat lebat yaitu dengan wilayah Indonesia. Selain itu dari peta
20 – 23 Juni 2013, MJO tidak berada pada tekanan permukaan, terlihat bahwa tidak
fase di atas wilayah Indonesia khususnya terdapat aktifitas siklon tropis di sekitar
Malaka. Sedangkan anomali OLR diMalaka wilayah NTT.
(124,90o BT) pada tanggal 15 – 22 Juni (lihat
gambar 4b) umumnya bernilai negatif. Nilai
tersebut menunjukkan perawanan pada
34
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
(a) (b)
Gambar 4. (a) Grafik Australia Monsoon Index (EAMAC, 2013) dan (b) Diagram fase MJO
April – Juni 2013 (BoM, 2013)
35
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
(a) 17/06/2013 (b) 18/06/2013 (c) 19/06/2013 (d) 20/06/2013 (e) 21/06/2013
(f) 22/06/2013 (g) 23/06/2013 (h) 24/06/2013 (i) 25/06/2013 (j) 26/06/2013
Gambar 5. Peta reanalisis MSLP harian tanggal 17 – 26 Juni 2013 (BoM, 2013)
(a) 17/06/2013 (b) 18/06/2013 (c) 19/06/2013 (d) 20/06/2013 (e) 21/06/2013
(f) 22/06/2013 (g) 23/06/2013 (h) 24/06/2013 (i) 25/06/2013 (j) 26/06/2013
Gambar 6. Peta reanalisis MSLP harian tanggal 17 – 26 Juni 2013 (BoM, 2013)
36
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
37
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
3.3.5 Analisis citra satelit tanggal 21 Juni. Selama kejadian hujan sangat
Dengan menggunakan produk citra lebat di Malaka, suhu permukaan sangat
satelit OCAI per 6 jaman, dapat dianalisis rendah yaitu kurang dari 25,0 oC, sedangkan
jenis dan sebaran awan di atas wilayah pada hari-hari sebelumnya suhu permukaan
Malakapada tanggal 20 – 23 Juni 2013. Dari pada pagi hingga siang hari berkisar 26,0 oC –
citra satelit pada gambar 7, dapat dilihat 27,0 oC. Begitupula setelah kejadian hujan
bahwa saat kejadian hujan sangat lebat di sangat lebat, suhu permukaan kembali
Malaka, terdapat aktifitas pertumbuhan awan meningkat.
cumulonimbus di sekitar Malaka yang Suhu titik embun yang berimpit dengan
kemuadian meluas dan menutupi wilayah suhu permukaan dengan selisih kurang dari
Malaka. Tanggal 20 – 21 Juni, aktifitas awan 0,5 oC, menunjukkan kondisi udara
cumulonimbus giat pada malam hingga pagi permukaan di Malaka yang sangat basah saat
hari. Sedangkan pada tanggal 22 – 23 Juni, kejadian hujan. Pada ketinggian di atas
giat pada pagi hingga siang hari. Awan permukaan ( > 2 meter) suhu udara akan
cumulonimbus yang meluas hingga menutupi semakin dingin dan mencapai suhu titik
sebagian besar wilayah pulau Timor ini embun, sehingga memungkinkan terjadinya
merupakan awan penghasil hujan sangat lebat proses kondensasi pada ketinggian dekat
di Malaka pada tanggal 20 – 23 Juni 2013. permukaan.
3.4 Kondisi cuaca skala lokal 3.4.2 Analisis profil vertikal kelembapan
Kondisi atmosfer skala lokal yang udara relative (RH)
dianalisis saat kejadian hujan sangat lebat di Profil vertikal kelembapan udara relatif
Malaka tanggal 17 – 26 Juni 2013 antara lain (RH) pada gambar 8b, menunjukkan bahwa
tren suhu udara dan titik embun permukaan, kelembapan udara di Malaka cukup tinggi di
profil vertikal kelembapan relatif udara, serta atas 70% sejak tanggal 17 hingga 26 Juni
parameter gerak vertikal udara yaitu vortisitas 2013. RH lapisan permukaan (1000 – 900
relatif, dan kecepatan vertikal udara (omega). hpa) mencapai 100%, menunjukan kondisi
udara di permukaan yang mengandung
3.4.1 Analisis tren suhu udara dan titik banyak uap air sebagai bahan pembentuk
embun permukaan awan hujan.
Tren suhu udara dan titik embun Pada tanggal 20 Juni, kelembapan
permukaan pada ketinggian 2 meter di udara yang sangat basah dengan RH 90 -
koordinat Malaka selama rentang 10 hari 100% mencapai lapisan 750 hpa. Bahkan
ditunjukkan pada gambar 8a. Pada grafik kondisi udara kelewat jenuh atau
terlihat jelas bahwa saat hujan sangat lebat supersaturated terlihat pada ketinggian di
pada tanggal 20 – 23 Juni, terjadi penurunan sekitar lapisan 900 – 850 hpa yaitu dengan
suhu maksimum harian yang signifikan mulai RH mencapai lebih dari 100%. Hingga
38
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
lapisan 450 hpa pun, kelembapan udara Kondisi ini juga masih mendukung
masih cukup yaitu 70 - 90%. Kondisi ini terbentuknya awan hujan di atas wilayah
mendukung terbentuknya awan hujan di atas Malaka. Lima pos hujan di Malaka pada
Malaka. Terbukti dari hujan harian yang tanggal 22 Juni, menakar hujan harian > 70
tertakar di pos hujan Berhau yang mencapai milimeter, dengan jumlah tertinggi di pos
300 milimeter. hujan Besikama yang mencapai 262
Pada tanggal 21 Juni, kelembapan milimeter.
udara sangat basah di permukaan dengan RH Pada tanggal 23 Juni, kelembapan
lebih dari 90% mencapai lapisan 800 hpa. udara di permukaan hingga 800 hpa masih
Bahkan kondisi udara kelewat jenuh atau sangat basah degan RH 90 – 100%. Kondisi
supersaturated terlihat pada ketinggian di udara supersaturated dengan RH lebih dari
sekitar lapisan 950 – 850 hpa yaitu >100%. 100% terdapat pada ketinggian di sekitar
Hingga lapisan 400 hpa pun, kelembapan lapisan 950 – 900 hpa. RH yang tinggi di atas
udara masih cukup yaitu 70 - 90%. Pada 70% hanya terdapat sampai lapisan 600 hpa
ketinggian 600 – 450 hpa, bahkan terdapat dengan. Kemudian pada ketinggian 600 – 450
kondisi udara dengan kelembapan 90 – 100%. hpa udara cenderung kering dengan RH <
Ketersediaan uap air berkurang pada lapisan 70%. Ketersediaan uap air ini masih cukup
450 – 200 hpa, yaitu dengan RH 20 – 70%. untuk mendukung terbentuknya awan hujan di
Namun pada lapisan 200 – 100 hpa, atas wilayah Malaka. Pos hujan di kabupaten
kelembapan udara kembali tinggi dengan RH Malaka masih menakar hujan harian yang
90 – 100%. Kondisi ini sangat mendukung mencapai 125 milimeter di pos hujan Berhau.
terbentuknya awan hujan di atas wilayah
Malaka, dimana lima pos hujan di Malaka 3.4.3 Analisis indeks CAPE
menakar hujan harian lebih dari 70 milimeter, Grafik nilai CAPE pada gambar 4.10 di
bahkan jumlah curah hujan di pos hujan bawah ini, menunjukkan bahwa saat kejadian
Berhau mencapai 220 milimeter. hujan lebat di Malaka pada 17 – 26 Juni 2013,
Pada tanggal 22 Juni, kelembapan hanya disertai energi konvektif lemah hingga
udara sangat basah terlihat di permukaan sedang. Energi konvektif sedang lebih dari
dengan RH lebih dari 90% dan mencapai 1000 J/kg hanya mendukung kejadian hujan
lapisan 850 hpa. Kondisi udara kelewat jenuh lebat tanggal 21 Juni, dimana curah hujan
atau supersaturated juga terlihat pada yang tertakar di pos hujan Berhau mencapai
ketinggian di sekitar lapisan 975 – 875 hpa 220 milimeter. Sedangkan curah hujan
yaitu dengan RH lebih dari 100%. tertinggi yang tertakar mencapai 300
Kelembapan udara yang tinggi juga terdapat milimeter di pos hujan Berhau pada tanggal
sampai lapisan atas. Bahkan pada ketinggian 20 Juni hanya didukung dengan energi
450 - 100 hpa, RH berkisar antara 90 – 100%. konvektif lemah yaitu < 1000 J/kg.
39
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
40
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
Gambar 11. Profil kecepatan vertikal udara (omega)tanggal 17 – 26 Juni 2013 di Malaka
41
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
42
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
ABSTRAK
Badai guntur merupakan fenomena beresiko bagi penerbangan yang dihindari oleh semua
jenis pesawat demikian juga dengan hujan lebat yang dapat mengurangi jarak pandang. Penelitian
ini bertujuan menganalisis ambang batas indeks stabilitas udara berupa indeks Showalter dan
indeks K menggunakan metode Sturges untuk membuat interval ambang batas baru saat kejadian
hujan lebat dan badai guntur yang sesuai untuk wilayah Makasar. Kejadian badai guntur lebih
banyak terjadi di musim transisi dengan ambang batas baru indeks Showalter menunjukkan lebih
dari 80 % kejadian terjadi pada interval kelas -0,1-3,0 dan ambang batas baru indeks K
menunjukkan lebih dari 75 % terjadi pada interval kelas 31,1-39,0. Selanjutnya kejadian hujan
lebat lebih banyak terjadi di puncak musim hujan dengan ambang batas baru indeks Showalter dan
indeks K menunjukkan lebih dari 60 % kejadian terjadi pada interval kelas -1,0-1,0 dan 30,1-36,0.
Adapun kejadian hujan lebat disertai badai guntur lebih banyak terjadi di puncak musim hujan dan
musim transisi dengan ambang batas baru indeks Showalter menunjukkan lebih dari 47% kejadian
terjadi pada interval kelas -1,0-1,0 dan ambang batas baru indeks K menunjukkan lebih dari 60 %
terjadi pada interval kelas 32,1-38,0. Seluruh indeks stabilitas saat kejadian tersebut, baik badai
guntur, hujan lebat, dan hujan lebat disertai badai guntur menunjukkan bahwa kondisi atmosfer
tidak stabil.
Kata kunci: Hujan lebat, badai guntur, indeks Showalter, indeks K, metode Sturges
ABSTRACT
Thunderstorms is a weather phenomenon that causes many risks for the flight and must be
avoided by all types of aircraft, while heavy rains may reduce visibility. This study aim to analyze
the threshold of atmospheric stability indices of Showalter index and K index using Sturges method
to create a new threshold interval of Showalter index and K index for heavy rains and
thunderstorms events corresponding to the area of Makasar. Thunderstorm events are more
prevalent in the transition season with a new threshold of Showalter index shows more than 80%
incidence occur at -0,1-3,0 class interval and a new threshold of K index shows more than 75%
occur at 31,1- 39,0 class interval. More heavy rain events occur at the peak of the rainy season
with the new threshold of Showalter index and K index shows over 60% events occur at -1,0-1,0
and 30,1-36,0 class interval. The incidence of heavy rain with thunderstorms are more prevalent in
the peak of the rainy season and season of transition to the new threshold of Showalter index
shows more than 47% incidence occur at -1,0-1,0 class interval and a new threshold of K index
shows more than 60% incidence occur at 32,1-38,0 class interval. Thus, the incidence of
thunderstorms, heavy rain, and heavy rain with thunderstorms in Makasar occur when unstable
atmospheric conditions.
43
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
44
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
45
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
arus udara yang memiliki kandungan uap air indeks Showalter dan frekuensi kejadian
yang besar sehingga berpengaruh terhadap hujan lebat dan badai guntur.Berikut ini
kejadian hujan lebat (Tjasyono, 2007). adalah grafik yang menunjukkan perbedaaan
Frekuensi hujan lebat yang terjadi ambang batas indeks Showalter tanpa metode
bersamaan dengan kejadian badai guntur Sturges dan dengan metode Sturges:
terbanyak yaitu pada Bulan Desember hingga
Februari dengan nilai frekuensi relatif 40,2%.
Bulan tersebut bertepatan dengan puncak
musim penghujan. Sementara itu, frekuensi
hujan lebat yang terjadi bersamaan dengan
kejadian badai guntur terendah terjadi pada
puncak musim kemarau yaitu Bulan Juni
hingga Agustus dengan nilai frekuensi relatif
6,8% (Gambar 4). Ketidakstabilan atmosfer
yang besar terjadi pada puncak musim
penghujan,sehingga memicu pertumbuhan
awan-awan konvektif yang menyebabkan (a)
kejadian hujan lebat dan badai guntur.
(b)
Gambar 5. Grafik frekuensi relatif badai
guntur berdasarkan ambang batas indeks
Gambar 3. Frekuensi hujan lebat lima Showalter, (a) tanpa metode Sturges, (b)
tahunan di Makasar dengan metode Sturges
46
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
(
(a) a)
(b)
(b) Gambar 7. Grafik frekuensi relatif hujan
Gambar 6. Grafik frekuensi relatif hujan lebatdisertai badai guntur berdasarkan
lebat berdasarkan ambang batas indeks ambang batas indeks Showalter, (a) tanpa
Showalter, (a) tanpa metode Sturges, (b) metode Sturges, (b) dengan metode Sturges
dengan metode Sturges
Hal ini seseuai dengan prakiraan
Gambar 6(a) menunjukkan frekuensi kejadian hujan lebat yang diprakirakan oleh
terbanyak kejadian hujan lebat berada pada indeks Showalter akan terjadi pada interval
interval indeks Showalter 0 hingga 3 dengan indeks Showalter 0 hingga 3. Sementara itu
nilai frekuensi relatif 61,8% sedangkan gambar 7 (b) menunjukkan frekuensi hujan
frekuensi terendah kejadian hujan lebat lebat disertai badai guntur terbanyak terjadi
berada pada interval indeks Showalter lebih pada interval kelas -1,0 hingga 1,0 yang
dari 3 dengan nilai frekuensi relatif 5,5%. frekuensi relatifnya sebesar 47,5 %.
Hal ini sesuai dengan prakiraan kejadian Frekuensi hujan lebat disertai badai guntur
hujan lebat yang diprakirakan oleh indeks yang paling sedikit terjadi pada interval
Showalter akan terjadi pada interval 0 hingga indeks >3,0 yang frekuensi relatifnya hanya
3. Sementara itu gambar 6 (b) menunjukkan sebesar 9,9 %.
frekuensi hujan lebat terbanyak terjadi pada
interval kelas -1,0 hingga 1,0 yang frekuensi 3.3 Ambang Batas Indeks K
relatifnya sebesar 61,8 %. Frekuensi hujan Terdapat perbedaan nilai ambang batas
lebat yang paling sedikit terjadi pada interval indeks Showalter untuk kejadian hujan lebat
indeks >3,0 yang frekuensi relatifnya hanya dan badai guntur antara sebelum dan sesudah
sebesar 5,5 %. metode Sturges dilakukan.Berikut ini adalah
Gambar 7(a) menunjukkan frekuensi grafik yang menunjukkan perbedaaan
terbanyak kejadian hujan lebat disertai badai ambang batas indeks Showalter tanpa metode
guntur berada pada interval indeks Showalter Sturges dan dengan metode Sturges:
0 hingga 3 dengan nilai frekuensi relatif Gambar 8(a) menunjukkanfrekuensi
55,4% sedangkan frekuensi terendah terbanyak kejadian badai guntur berada pada
kejadian hujan lebat disertai badai guntur interval Indeks K 31 hingga 35 dengan nilai
berada pada interval indeks Showalter -3 frekuensi relatif 55,6% sedangkan frekuensi
hingga -6 dengan nilai frekuensi relatif 1%. terendah kejadian badai guntur berada pada
47
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
interval Indeks K kurang dari 15 dengan nilai interval Indeks K 15 hingga 20 dengan nilai
frekuensi relatif 0,3%. frekuensi relatif 1,8%.
(a) (a)
(b)
Gambar 8. Grafik frekuensi relatif badai (b)
gunturberdasarkan ambang batas indeks K, Gambar 9. Grafik frekuensi relatif hujan
(a) tanpa metode Sturges, (b) dengan metode lebat berdasarkan ambang batas indeks K, (a)
Sturges tanpa metode Sturges, (b) dengan metode
Sturges
Hal ini berbeda dengan prakiraan
kejadian badai guntur yang diprakirakan oleh Tidak terdapat kejadian hujan lebat
Indeks K semakin banyak seiring dengan dengan interval Indeks K yang terendah yaitu
interval indeks K yang semakin besar, namun <15 dan yang tertinggi yaitu >40. Sementara
pada kenyataannya hanya sedikit kejadian itu gambar 9 (b) menunjukkan frekuensi
badai guntur yang terjadi dengan nilai Indeks hujan lebat terbanyak pada interval kelas
K >40 yaitu hanya ada 3 frekuensi kejadian 30,1 hingga 36,0 yang frekuensi relatifnya
badai guntur. Sementara itu gambar 8 (b) sebesar 61,8%. Frekuensi hujan lebat yang
menunjukkan frekuensi badai guntur paling sedikit terjadi pada interval indeks
terbanyak terjadi pada interval kelas 31,1 24,1 hingga 30,0 yang frekuensi relatifnya
hingga 39,0 yang frekuensi relatifnya sebesar hanya 1,8 %.
75,5 %. Frekuensi badai guntur paling Gambar 10(a) menunjukkanfrekuensi
sedikit terjadi pada interval indeks >39,0 terbanyak kejadian hujan lebat disertai badai
yang frekuensi relatifnya hanya sebesar 3,4 guntur berada pada interval Indeks K 31
%. hingga 35 dengan nilai frekuensi relatif
Gambar 9(a) menunjukkan frekuensi 54,5% sedangkan frekuensi terendah
terbanyak kejadian hujan lebat berada pada kejadian badai guntur berada pada interval
interval Indeks K 31 hingga 35 dengan nilai Indeks K 15 hingga 20 dengan nilai frekuensi
frekuensi relatif 56,4% sedangkan frekuensi relatif 1,0% dan interval indeks K lebih dari
terendah kejadian hujan lebat berada pada 40 yang juga memiliki nilai frekuensi relatif
1,0%.
48
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
DAFTAR PUSTAKA
Budiarti, M. Muslim, M. dan Y. Ilhamsyah.
2012.Studi Indeks Stabilitas Udara
(b) Terhadap Prediksi Kejadian Badai
Gambar 10. Grafik frekuensi relatif hujan Guntur di Wilayah Stamet Cengkareng
lebat disertai badai gunturberdasarkan Banten, Jurnal Meteorologi dan
ambang batas indeks K, (a) tanpa metode Geofisika Vol. 13 No. 2 Tahun 2012,
Sturges, (b) dengan metode Sturges Puslitbang BMKG, Jakarta.
Cotton, W.R. G.H. Bryan.dan S.C. Van den
Tidak terdapat kejadian hujan lebat Heever. 2011.Storm and Cloud
disertai badai guntur dengan interval Indeks Dynamics, Academic Press, London
K yang terendah yaitu <15. Sementara itu hal.315.
gambar 10 (b) menunjukkan frekuensi hujan Manurung, M.R. 2012.Prediktabilitas Cuaca
lebat disertai badai guntur terbanyak terjadi Jangka Pendek Ditinjau dari Indeks
pada interval kelas 32,1 hingga 38,0 yang Stabilitas di Jakarta, Jurnal Teknologi
frekuensi relatifnya sebesar 62 %. Frekuensi Mineral Vol. XIX No. 3/ 2012/, ITB,
hujan lebat disertai badai guntur yang paling Bandung.
sedikit terjadi pada interval indeks <26,1 Sturges, H.A. 1926.The Choice of A Class
yang frekuensi relatifnya hanya sebesar 6,9 Interval, Journal of The American
%. Statistical Association, Vol. 21 No.
153 Mar., 1926, The American
4. KESIMPULAN Statistical Association, Washington,
Kejadian badai guntur, hujan lebat, D. C.
dan hujan lebat disertai badai guntur di Tjasyono, H.K.B. 2008.Meteorologi
Makasar dipengaruhi oleh kondisi musim. Terapan, Penerbit ITB, Bandung.
Kejadian badai guntur lebih banyak terjadi di Tjasyono, H.K.B. 2007.Meteorologi
musim transisi dengan ambang batas baru Indonesia 1, BMG, Jakarta.
indeks Showalter menggunakan metode Tjasyono, H.K.B., dan S.W.B Harijono,
Sturges menunjukkan lebih dari 80 % 2007, Meteorologi Indonesia 2, BMG,
kejadian terjadi pada interval kelas -0,1-3,0 Jakarta.
dan ambang batas baru indeks K
menggunakan metode Sturges menunjukkan
49
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
ABSTRAK
Turbulensi merupakan gerakan massa udara yang tidak beraturan ke segala arah dan
ditandai dengan kecepatan angin yang bervariasi. Peristiwa turbulensi dapat terjadi di semua
lapisan atmosfer dan dapat membahayakan kegiatan penerbangan. Salah satu jenis turbulensi yang
sering dialami oleh para penerbang dan cukup sulit untuk dideteksi adalah Clear Air Turbulence
(CAT). CAT yang terjadi di lapisan troposfer atas umumnya dipengaruhi oleh arus konvektif dari
puncak awan Cb, jet stream, dan tercapainya kondisi ketidakstabilan Kelvin-Helmholtz (KHI).
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi 2 peristiwa CAT yang dialami oleh pesawat China
Airlines tanggal 20 September 2008 dan pesawat Singapore Airlines tanggal 22 Desember 2014 di
atas Laut China Selatan menggunakan model cuaca skala meso WRF-ARW. Turbulensi dapat
diidentifikasi melalui perhitungan indeks-indeks turbulensi, nilai vertical wind shear, dan
dukungan citra satelit. Hasil analisis dalam penelitian ini menunjukkan bahwa peristiwa turbulensi
dapat diidentifikasi menggunakan model WRF-ARW. Bilangan Richardson (Ri) dan indeks TI2
menunjukkan hasil yang memuaskan dalam mengidentifikasi peristiwa turbulensi yang dialami
oleh pesawat Singapore Airlines, namun sebaliknya hasil tidak memuaskan ditunjukkan pada kasus
turbulensi yang dialami oleh pesawat China Airlines.
Kata kunci: turbulensi, bilangan Richardson, Turbulence Index 1 (TI1), Turbulence Index 2 (TI2).
ABSTRACT
Turbulence is the movement of air masses that are unusual in all directions and
characterized by varying wind speed. Turbulence can occur in all layers of the atmosphere and
interfere flight activity. One type of turbulence that is frequently experienced by pilots is the Clear
Air Turbulence (CAT). This kind of turbulence is quite difficult to detect. CAT that is occur in the
upper troposphere are generally influenced by the convective flow from the top of Cumulonimbus
cloud, jet stream, and the occurrence of Kelvin-Helmholtz Instability (KHI) condition. This study
try to identify 2 CAT events that are experienced by China Airlines flight on September 20th, 2008
and Singapore Airlines flight on December 22nd, 2014 over The South China Sea using meso-scale
weather models WRF-ARW. Turbulence can be identified with the calculation of the indices of
turbulence, the value of vertical wind shear, and also from satellite images. Final analysis from
this study shows that the turbulence events can be identified using a WRF-ARW models.
Richardson number (Ri) and TI2 Index showed good results in identifying turbulence event
experienced by Singapore Airlines, but not in the case of turbulence event experienced by China
Airlines.
Keyword: turbulence, Richardson number, Turbulence Index 1 (TI1), Turbulence Index 2 (TI2).
________________________________________________________________________
50
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
51
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
52
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
53
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
54
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan
pembahasan berbagai parameter dan indeks
Gambar 8. Profil Horizontal TI1 Tanggal 20 turbulensi keluaran model WRF-ARW, serta
September 2008 Pukul 04.30 UTC. analisis citra satelit MTSAT maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Peristiwa turbulensi yang dialami oleh
pesawat Singapore Airlines SIA-615 di
laut China Selatan pada tanggal 22
Desember 2014 merupakan turbulensi
55
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
56
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
ABSTRAK
Informasi mengenai curah hujan dan hari hujan bulanan akan sangat membantu berbagai
sektor kehidupan manusia sehingga diperlukan metode yang tepat untuk menghasilkan prediksi
dengan keakuratan tinggi. Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara curah hujan
bulanan dan hari hujan bulanan dengan suhu muka laut (SML) wilayah Indonesia serta
pemanfaatannya dalam pembuatan prediksi di pesisir Barat Daya Sulawesi yang diwakili oleh data
Stasiun Paotere, Hasanuddin, dan Majene. Data SML yang terdiri atas beberapa grid saling
memiliki hubungan satu sama lain sehingga diperlukan metode untuk menghilangkan masalah
tersebut. Untuk itu digunakan Analisis Komponen Utama (AKU) dengan prediktor SML untuk
menghasilkan prediksi curah hujan dan hari hujan bulanan di wilayah Paotere, Hasanuddin, dan
Majene untuk tahun 2008 - 2012. Selain itu, hasil prediksi hari hujan juga digunakan untuk
membuat prediksi curah hujan bulanan dengan metode regresi linear sederhana. Persamaan regresi
dibentuk menggunakan data tahun 1983 – 2007 dengan waktu tunda 1 dan 2 bulan. Verifikasi hasil
prediksi pada wilayah tersebut menunjukkan bahwa prediksi dengan menggunakan waktu tunda 1
bulan menghasilkan nilai kesalahan yang lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan waktu
tunda 2 bulan. Hasil prediksi curah hujan menggunakan prediktor hari hujan bulanan juga
menghasilkan nilai yang lebih baik dibanding dengan langsung menggunakan prediktor SML.
Kata kunci: Curah hujan, hari hujan, prediksi, komponen utama, SML
ABSTRACT
Monthly rainfall and rainy days information will greatly assist in various sectors of human
life that required the appropriate method to generate predictions with high accuracy. This study
was conducted to see how the relationship between monthly rainfall and monthly rainy days with
sea surface temperature (SST) of Indonesia and their utilized in the generate predictions in the
Southwest coast of Sulawesi represented by the data of Paotere Station, Hasanuddin, and Majene.
SST data consisting of several mutually grids that have relationships with one another so a
methods to eliminate these problems is needed. This study utilized Principal Component Analysis
(PCA) with SST predictor to generate predictions of monthly rainfall and rainy days in Paotere,
Hasanuddin, and Majene during 2008 - 2012. In addition, the results of rainy days prediction is
also utilized to make predictions of monthly rainfall with a simple linear regression method. The
regression equation established using data of 1983 - 2007 with 1 and 2 months timelag.
Verification of the prediction results show that the prediction using 1 month timelag has lower
error values compared to 2 months timelag. The results of rainfall prediction utilize monthly rainy
days as the predictor also produce better value than the prediction that directly utilize SST as
predictor.
57
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
58
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
59
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
60
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
MULAI
Analisis Korelasi
Prediksi Curah
Hujan Bulanan
2008 - 2012
Curah Hujan dan
Hari Hujan
Bulanan 2008-
2012 Verifikasi Hasil Verifikasi Hasil Verifikasi Hasil
Prediksi Prediksi Prediksi
SELESAI
61
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
c. Prediksi Curah Hujan Bulanan 1200
Hasil prediksi curah hujan bulanan 2 1000 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
1200
di Stasiun Meteorologi Paotere 200
2 1000 0
Curah Hujan (mm)
0 800
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
0 1200
600
8 1000
Curah Hujan (mm)
400
2 800 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
200
0 600
0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
1
400
1200 0
200
2 1000 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
Curah Hujan (mm)
0 800
0
0 JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
600 1200
9
400 1000
Curah Hujan (mm)
200 1000
Curah Hujan (mm)
2
800 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2 1 200
0
600 2
0
1 400
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
1 200 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES Gambar 5. Grafik prediksi curah hujan
1200
1000
bulanan lag 1 dan 2 bulan serta data observasi
stasiun meteorologi Hasanuddin tahun 2008-
Curah Hujan (mm)
2 600 2012
0 400
1
2
200 Gambar 5 menunjukkan bahwa hasil prediksi
0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
curah hujan bulanan di wilayah Hasanuddin
Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2 memiliki pola yang sama dengan data
Gambar 4. Grafik prediksi curah hujan observasinya. Hasil prediksi untuk bulan Juni
bulanan lag 1 dan 2 bulan serta data observasi hingga September umumnya mendekati nilai
stasiun meteorologi Paotere tahun 2008-2012 observasinya, sedangkan untuk bulan lainnya
memiliki nilai yang lebih bervariasi.
62
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
Curah Hujan Prediksi dan Observasi Hari Hujan Prediksi dan Observasi
700 di Stasiun Meteorologi Majene 30 di Stasiun Meteorologi Paotere
2
600 2 25
Curah Hujan (mm)
0
500 0
15
0 400 9
10
9 300
5
200
0
100
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
0 30
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
25
700
500 15
2 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2 1
10
0 400 0
1 300 5
0 200 0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
100
30
0
25
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
500 10
Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2 1
400
2 1 5
300
0 0
200
1 JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
30
1 100
0 25
Hari Hujan (hari)
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES 20 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
700
15
600 2
0 10
Curah Hujan (mm)
63
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
Hari Hujan Prediksi dan Observasi Hari Hujan Prediksi dan Observasi
30 di Stasiun Meteorologi Hasanuddin 30 di Stasiun Meteorologi Majene
2 25 2 25
Hari Hujan (hari)
25 25
Hari Hujan (hari)
25 25
Hari Hujan (hari)
15
2 15
2
0 10
0 10
1 5 1
2 5
0 2
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES 0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
Gambar 8. Grafik prediksi hari hujan Gambar 9. Grafik prediksi hari hujan
bulanan lag 1 dan 2 bulan serta data observasi bulanan lag 1 dan 2 bulan serta data observasi
stasiun meteorologi Hasanuddin tahun 2008- stasiun meteorologi Majene tahun 2008-2012
2012
Berdasarkan gambar 9, terlihat bahwa
Berdasarkan gambar 8, terlihat bahwa hasil prediksi hari hujan bulanan di wilayah
hasil prediksi hari hujan bulanan di wilayah Majene memiliki pola yang cenderung
Hasanuddin memiliki pola yang sama dengan berbeda dengan data observasinya, kecuali
data observasinya, kecuali tahun 2010yang tahun 2009 yang memiliki pola mendekati
memiliki pola cenderung berbeda. Hasil pola observasi. Hasil prediksi pada tahun
prediksi pada tahun 2010 menghasilkan nilai 2010 menghasilkan nilai yang lebih tinggi
yang lebih tinggi dibanding data observasinya dibanding data observasinya pada bula April
pada bula April hingga September. Hasil hingga September. Hasil prediksi yang baik
prediksi yang baik terlihat pada tahun 2012 terlihat pada tahun 2009.
dimana selisih nilainya tidak jauh berbeda.
64
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
700 8 200
2 600 100
500
0 400
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
0 300
1000
8 200
900
100
800 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
0
700 300
2 600 9 200
0 500 100
400
0 0
300 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
9 200
1000
100
900
0
800
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
700
600 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2 0 400
300
2 500 1 200
0 400
300 0 100
0
1 200
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
0 100
0
1000
900
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
800
Curah Hujan (mm)
1000
900
700
800 600 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
Curah Hujan (mm)
700 500
600
2 400
Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
500 0 300
2 400 1 200
0 300 100
1 200 1 0
100
1 0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
1000
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
1000 900
900 800
Curah Hujan (mm)
Gambar 10. Grafik prediksi curah hujan Gambar 11. Grafik prediksi curah hujan
bulanan lag 1 dan 2 bulan serta data observasi bulanan lag 1 dan 2 bulan serta data observasi
stasiun meteorologi Paotere tahun 2008-2012 stasiun meteorologi Hasanuddin tahun 2008-
dengan prediktor hari hujan bulanan 2012 dengan prediktor hari hujan bulanan
65
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
CH Prediksi dan Observasi Tahun 2008 Gambar 12. Grafik prediksi curah hujan
di Stasiun Meteorologi Majene
700
bulanan lag 1 dan 2 bulan serta data observasi
600
Curah Hujan (mm) 500
stasiun meteorologi Majene tahun 2008-2012
2 400 dengan prediktor hari hujan bulanan
0 300
0 200
8 Gambar 12 menunjukkan bahwa hasil
100
0
prediksi curah hujan bulanan di wilayah
700
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Majene memiliki pola yang cenderung
600
Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
berbeda dengan data observasinya. Hasil
Curah Hujan (mm)
2
500 prediksi yang cukup baik terlihat pada tahun
400
0
300
2009 dimana hasil prediksinya mendekati
0 pola observasi denga selisih yang relatif kecil,
200
9
100 sedangkan hasil yang kutang baik terlihat
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
pada tahun 2010 dimana hasil prediksi
700 umumnya menghasilkan nilai yang lebih kecil
600
dibanding data observasinya dengan selisih
Curah Hujan (mm)
500
400
Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2 yang cukup besar.
2
300
0
200
1
100
0 0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
700
600
Curah Hujan (mm)
500
400 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
2 300
0 200
1 100
1 0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
700
600
Curah Hujan (mm)
500
Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
2 400
0
300
1
2 200
100
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
Tabel 1. Verifikasi hasil prediksi curah hujan bulanan menggunakan prediktor komponen utama
suhu muka laut
Metode PAOTERE HASANUDDIN MAJENE
Verifikasi LAG 1 LAG 2 LAG 1 LAG 2 LAG 1 LAG 2
Korelasi 0.86 0.84 0.82 0.85 0.52 0.35
RMSE 161.09 156.07 172.59 145.50 104.34 118.65
MAE 112.64 109.36 117.54 105.61 77.88 89.48
MAPE 107% 103% 296% 248% 236% 214%
Kesesuaian 13% 17% 17% 17% 18% 18%
Tabel 2. Verifikasi hasil prediksi hari hujan bulanan menggunakan prediktor komponen utama
suhu muka laut
Metode Paotere Hasanuddin Majene
Verifikasi Lag 1 Lag 2 Lag 1 Lag 2 Lag 1 Lag 2
Korelasi 0.85 0.84 0.84 0.82 0.52 0.51
RMSE 4.80 5.07 4.65 4.92 4.66 4.71
66
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
Tabel 3. Verifikasi hasil prediksi curah hujan bulanan menggunakan prediktor hasil prediksi hari
hujan bulanan
Metode Paotere Hasanuddin Majene
Verifikasi Lag 1 Lag 2 Lag 1 Lag 2 Lag 1 Lag 2
Korelasi 0.88 0.87 0.83 0.83 0.52 0.43
RMSE 132.65 137.95 142.48 143.99 100.98 108.42
MAE 99.75 98.54 106.48 107.10 73.16 80.26
MAPE 104% 119% 250% 317% 156% 168%
Kesesuaian 22% 18% 23% 20% 18% 10%
67
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
68
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
69
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
ABSTRAK
Hujan lebat seringkali menimbulkan dampak seperti tanah longsor, pohon tumbang, banjir,
gagal panen dan lain sebagainya. Hal ini tentunya sangat berdampak bagi aktivitas manusia seperti
mengganggu kelancaran transportasi, ekonomi, bahkan keselamatan jiwa manusia. Secara
geografis, Kota Medan berjarak 23 km dari pantai sehingga interaksi atmosfer di darat dan di laut
memiliki peranan penting terhadap kejadian hujan lebat di Kota Medan. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah akumulasi curah hujan menjadi per tiga jam dari data curah hujan jam-
jaman dan menghitung frekuensi hujan lebat dengan intensitas curah hujan lebih dari 20 mm dan
curah hujan lebih dari 50 mm. Data angin yang digunakan merupakan data yang diperoleh dari
sandi synop yang kemudian diklasifikasikan menjadi angin darat, angin laut dan angin transisi.
Klasifikasi dilakukan berdasarkan teori peneterasi bahwa angin laut dapat masuk hingga 100 km ke
wilayah daratan. Setelah itu, amati dan buat korelasi frekuensi angin dan hujan secara simultan dan
lag. Hujan lebat di Kota Medan sering terjadi pada jam 16.00-22.00 waktu setempat dan sirkulasi
angin laut paling sering terjadi pada pukul 16.00 waktu setempat. Berdasarkan analisis korelasi
secara simultan, hujan lebat berkorelasi kuat positif dengan angin laut yaitu 0,88 dan berkorelasi
kuat negatif dengan angin calm, yaitu -0,84. Dengan demikian, hujan lebat di Kota Medan
disebabkan oleh angin laut.
ABSTRACT
Heavy rains often lead to impacts such as landslides, fallen trees, floods, crop failure and
many others. This is certainly a major influence on human activities such as the disruption of
transportation, economics, and even interfere with human lives. Geographically, Medan is 23 km
from the coast, it conducts the interaction of the atmosphere on land and at sea has an important
role on the incidence of heavy rainfall in the city of Medan. The method used in this study is
accumulation of rainfall three hourly of rainfall data hourly and calculating the frequency of heavy
rain with rainfall intensity of more than 20 mm and rainfall is more than 50 mm. Wind data used
are data obtained from Synop codes and classified into into land breeze, sea breeze and wind
transition. Classification is based on the theory of penetration that the sea breeze can blow up to
100 km into the mainland region. After that, observes and makes correlation between wind and
rain frequency simultaneously and lag. Heavy rain in Medan often occur at 16.00 to 22.00 hours
local time and the sea breeze circulation occurs most frequently at 16.00 local time. Based on
correlation analysis simultaneously, torrential rains strongly correlated positively with the sea
breeze is 0.88 and negatively correlated strongly with the calmwind, namely -0.84. Thus, heavy
rain in Medan due to the sea breeze.
Keywords: Heavy Rain, Rain intensity, Sea Breeze, and land Breeze
70
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
71
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
72
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
73
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
Gambar 3. Windrose Tiap 3 Jam di Stasiun Meteorologi Polonia, Kota Medan Tahun 2000-2012
Gambar 4. Klasifikasi Angin di Stasiun Meteorologi Polonia, Kota Medan Tahun 2000-2012
74
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
Gambar 5. Profil Frekuensi Angin Laut Per Tiga Jam Bulanan di Stasiun Meteorologi Polonia,
Kota Medan Tahun 2000-2012
75
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
Gambar 6. Grafik Profil Frekuensi Angin Darat Pertiga Jam Bulanan di Stasiun Meteorologi
Polonia, Kota Medan Tahun 2000-2012
.
.
76
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
Gambar 7. Grafik Frekuensi Angin Transisi 1 per Tiga Jam Bulanan di Stasiun Meteorologi
Polonia, Kota Medan Tahun 2000-2012.
77
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
78
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
Berdasarkan Gambar9. diketahui profil terjadi dan kemudian menurun hingga pada
angin calm bulanan yang menunjukkan pola pukul 16.00 waktu setempat lalu meningkat
yang hampir selama tiga bulan. Angin calm lagi hingga pukul 07.00 waktu setempat.
pada jam 07.00 waktu setempat sangat sering
IV.2 Analisa Hubungan Hujan Lebat dengan Angin darat dan Angin Laut
79
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
Gambar 11. Frekuensi Curah Hujan dan Vektor Arah Angin Terbanyak
Berdasarkan gambar 10. Diketahui bahwa transisi dengan nilai korelasi 0,32 hingga
hujan lebat memiliki pola yang sama dengan 0,40, namun demikian terdapat pola yang
angin laut dan memiliki nilai korelasi 0,88 berkebalikan dengan angin calm yang
hingga 0,89, akan tetapi tidak demikian ditunjukkan oleh nilai korelasi negatif yaitu -
dengan angin darat dengan nilai korelasi 0,27 0,87 hingga -0,84. Berdasarkan gambar 11.
hingga 0,29, demikian juga dengan angin diketahui bahwa angin laut mulai dan sering
80
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
81
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
ABSTRAK
Prediksi curah hujan merupakan informasi yang penting dan dibutuhkan di berbagai bidang. Untuk
itu perlu dilakukan peningkatan akurasi prediksi curah hujan dengan berbagai teknik. Salah
satunya dengan menggunakan data Climate Forecast System version 2 (CFSv2) untuk dijadikan
model prediksi curah hujan bulanan. Informasi CFSv2 merupakan informasi berskala global dan
memiliki resolusi yang masih rendah, maka diperlukan suatu teknik downscaling untuk
mendapatkan informasi kondisi lokal suatu daerah. Metode Partial Least Square Regression
(PLSR) digunakan dalam pemodelan Statistical Downscalling untuk mereduksi dimensi dan
mengatasi masalah multikolinieritas. Model optimal yang dibentuk dari input data CFSv2
Analaysis dan curah hujan bulanan observasi adalah model dengan menggunakan dua komponen
utama. Sedangkan variabel iklim yang paling berpengaruh pada kedua komponen tersebut adalah
variabel gradien angin zonal dan temperatur 850 mb. Berdasarkan nilai korelasi dan RMSE,
prediksi curah hujan bulanan paling bagus dilakukan di Stasiun Meteorologi dan Geofisika dengan
nilai korelasi di atas 0.9 dan nilai RMSE berturut-turut 67 dan 106, lebih baik daripada prediksi
curah hujan bulanan di Stasiun Klimatologi Bengkulu dengan nilai korelasi 0.65 dan RMSE 129.
ABSTRACT
Rainfall prediction is very important and necessary information in many fields. For it is necessary
to improve the accuracy of rainfall prediction with various techniques. One of the way is to use
data from the Climate Forecast System version 2 (CFSv2) to be used as a predictive model of
monthly rainfall. CFSv2 information is information on a global scale and has a resolution that is
still low, we need a downscaling techniques to obtain information about local conditions of an
area. Methods of Partial Least Square Regression (PLSR) used in Downscalling Statistical
modeling to reduce the dimension and solve the multicollinearity problem. Optimal models created
from data input CFSv2 Analaysis and monthly rainfall observation was modeled using two main
components. While climate variables that most influential on these two components is variable
wind zonal gradient and temperatures of 850 mb. Based on the correlation and RMSE, the best
monthly rainfall predictions at Meteorological and Geophysics Station with correlation value
above 0.9 and the value of RMSE respectively 67 and 106, better than expected monthly rainfall in
Climatology Station Bengkulu correlation value 0.65 and RMSE 129.
82
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
83
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
84
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
(7)
Keterangan :
X = matriks variabel bebas
Y = matriks variable respon r = koefisien korelasi
dengan n observasi sebagai baris x = Curah hujan observasi
dan q-variabel sebagai kolom y = Curah hujan prediksi
T = matriks komponen latent dengan n N = jumlah sampel dalam area verifikasi
observasi sebagai baris dan c-
variabel sebagai kolom RMSE adalah suatu ukuran rata-rata
R’,P’ = matriks koefisien / loading matriks kesalahan, tertimbang menurut kuadrat
dengan c-variabel sebagai baris kesalahan. RMSE menjelaskan berapa
dan q-variabel sebagai kolom. besarnya kesalahan rata-rata dari prediksi
E,F = matriks error dengan n observasi namun tidak menunjukkan secara langsung
sebagai baris dan q-variabel sebagai dari kesalahan tersebut. Karena nilai tersebut
kolom berupa jumlah kuadrat, RMSE dipengaruhi
lebih kuat oleh kesalahan besar daripada
Residu Y yakni fim menyatakan kesalahan – kesalahan kecil. Nilai kisaran
deviasi antara respon pengamatan dengan RMSE mulai dari 0 hingga tak terbatas,
respon dugaan. Berdasarkan pada persamaan dengan 0 sebagai nilai sempurna (Wilks,
(3.2), maka persamaan (3.4) dapat ditulis 2006). Secara matematis RMSE dijelaskan
sebagai model regresi berganda sebagai dalam rumus :
berikut :
(8)
Dimana :
Fi = nilai prediksi ke-i
(3.5) Oi = nilai observasi ke-i
= XB + F N = jumlah sampel dalam area
verifikasi
Koefisien model PLSR, bmk (B) dapat
ditulis sebagai berikut: 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
(6) 3.1 Hasil
Pada bagian ini akan dijelaskan
mengenai hasil pengolahan data penelitian.
Hasil dari pengolahan data akan
Prediksi bagi data pengamatan yang menghasilkan model prediksi curah hujan
baru dapat diperoleh berdasarkan pada data bulanan yang akan diverifikasi. Tahap awal
X dan matriks koefisien B (Swarinoto dan pengolahan ialah proses downscaling dari
Wigena, 2011). Metode terakhir yang data CFSv2-Analysis. Model optimal yang
digunakan adalah metode verifikasi dihasilkan selanjutnya digunakan untuk
menggunakan korelasi Pearson dan Root memprediksi curah hujan bulanan Stasiun
Mean Square Error (RMSE). Untuk BMKG di Provinsi Bengkulu. Keluaran
mengetahui tingkat kesesuaian fase antara Session Window pada Minitab menunjukkan
nilai prediksi total hujan bulanan dengan jumlah komponen pembangun model
nilai data observasinya dapat digunakan nilai optimal, yang didefinisikan sebagai model
koefisien korelasi Pearson (r). Nilai r ini dengan prediksi tertinggi. R2 pada Minitab
85
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
memilih model dua komponen sebagai model termasuk model LS dengan sepuluh
yang optimal, dengan R2-prediksi 29% untuk komponen, yang memiliki R2-prediksi hanya
Stasiun Klimatologi, 44% untuk Stasiun 16 % untuk Stasiun Klimatologi, 27 % untuk
Meteorologi, dan 66% untuk Stasiun Stasiun Meteorologi, dan 58 % untuk Stasiun
Geofisika. Minitab menampilkan tabel Geofisika.
Analysis of Variance per respon berdasarkan
model yang optimal. P-value untuk Staklim PLS Model Selection Plot
(response is STAKLIM)
adalah 0,001, untuk Stamet 0,000 dan untuk optimal
0.6
Stageof 0,000 di mana ketiga-tiganya Variable
Fitted
R-Sq
tersebut. 0.3
0.50
lima komponen dapat digunakan sebagai
R-Sq
0.45
pengganti model dua komponen. Begitu juga
0.40
berlaku untuk lainnya berdasarkan model dua 0.35
komponen. Dengan membandingkan R2- 0.30
prediksi dari model Partial Least Square 0.25
86
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
500
Crossval 0.3
Standardized Coefficients
Calculated Response
0.2
400
0.1
300
0.0
200
-0.1
100 -0.2
0 -0.3
0 100 200 300 400 500 600 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Actual Response Predictors
500 0.4
Variable
Fitted
Crossval 0.3
Standardized Coefficients
400
0.2
Calculated Response
300 0.1
0.0
200
-0.1
100 -0.2
-0.3
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0 100 200 300 400 500 Predictors
Actual Response
Crossval
0.2
Calculated Response
500
0.1
400
0.0
300
-0.1
200 -0.2
100 -0.3
0 -0.4
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0 100 200 300 400 500 600 700
Predictors
Actual Response
Gambar 3 Grafik Plot PLS Response Stasiun Gambar 4 Grafik Plot PLS Standard
BMKG di Provinsi Bengkulu berturut-turut Coefficient Stasiun BMKG di Provinsi
dari atas ke bawah: (a) Stasiun Klimatologi; Bengkulu berturut-turut dari atas ke bawah:
(b) Stasiun Meteorologi; dan (c) Stasiun (a) Stasiun Klimatologi; (b) Stasiun
Geofisika Meteorologi; dan (c) Stasiun Geofisika
Pola yang ditunjukkan titik pada PLS PLS standard coefficient plot pada
response plot pada Gambar 3 adalah pola Gambar 4 menampilkan koefisien standar
linear yaitu dari bawah sudut kiri ke pojok untuk prediktor. Pada ketiga stasiun tersebut,
kanan atas. PLS response plot menunjukkan prediktor pada ketinggian 850 mb yaitu
bahwa model memiliki kesesuaian dengan relative humidity (3), u wind (4), dan
data. Pada Stasiun Klimatologi dan pressure vertical velocity (7) memiliki nilai
Meteorologi titik fitted dan crosvalidated koefisien standar di atas 0,2 dan dampak
sedikit menunjukkan beberapa titik ekstrem terbesar terhadap komponen pembentuk
dari pola linearnya. Berbeda dengan Stasiun model curah hujan bulanan di masing-masing
Geofisika, meskipun ada perbedaan antara stasiun. Prediktor v wind (5), specific
titik fitted dan crossvalidated, tidak ada yang humidity (6), dan absolute vorticity (8)
cukup parah untuk menunjukkan titik memiliki koefisien standar di bawah 0,2 yang
maksimal ekstrim. cukup memberikan dampak terhadap
komponen pembentuk model curah hujan
bulanan di masing-masing stasiun.
87
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
0.50 UGRD
A BSV
0.25
Component 2
0.00 O3MR
RH
HGT
VVEL
-0.25
SPFH C LW MR
TMP
-0.50
-0.4 -0.3 -0.2 -0.1 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5
Component 1
88
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
Gambar 6. Grafik berturut-turut dari atas ke bawah perbandingan Curah Hujan Bulanan Model
CFSv2-Analysis dan Observasi Stasiun BMKG di Provinsi Bengkulu
89
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
Gambar 7 Grafik berturut-turut dari atas ke bawah Perbandingan Rata-Rata Curah Hujan Bulanan
Model CFSv2-Analysis dan Observasi Stasiun BMKG di Provinsi Bengkulu.
90
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
Gambar 8 Grafik Perbandingan Curah Hujan Prediksi dengan obervasi (Januari-Juli 2015) di
Stasiun BMKG di Provinsi Bengkulu
91
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
3.1.3 Verifikasi Curah Hujan Model dari Setelah mendapatkan nilai prediksi
CFSv2 Analysis curah hujan bulanan seperti Tabel 2,
Tabel 2 menunjukkan bahwa selanjutnya prediksi curah hujan bulanan
hubungan antara curah hujan bulanan hasil dengan input data CFSv2 Forecast
model CFSv2 Analysis terhadap curah hujan ditampilkan dalam bentuk grafik sebagai
bulanan observasi cukup kuat, signifikan, dan berikut :
searah sebesar 0.77 untuk Stasiun Gambar 8 menunjukkan bahwa pola
Klimatologi Bengkulu, 0.72 untuk Stasiun grafik curah hujan prediksi menggunakan
Meteorologi Bengkulu, dan 0.88 untuk model persamaan yang dibangun dari CFSv2
Stasiun Geofisika Bengkulu. analysis memiliki kesesuaian dengan
Nilai RMSE dari curah hujan bulanan observasinya khususnya di Stasiun
hasil model analisis CFSv2 terhadap Meteorologi dan Stasiun Geofisika
observasinya terbesar terdapat pada Stasiun Bengkulu.
Klimatologi Bengkulu sebesar 101.7245,
diikuti nilai RMSE Stasiun Meteorologi 3.1.5 Verifikasi Prediksi Curah hujan
Bengkulu sebesar 104.214, dan nilai RMSE Bulanan
terkecil terdapat pada Stasiun Geofisika Verifikasi dilakukan untuk
Bengkulu sebesar 75.04455. menunjukkan seberapa besar tingkat
keakuratan prediksi curah hujan
Tabel 2 Nilai RMSE dan Korelasi Curah menggunakan model berdasarkan nilai
Hujan Model terhadap Observasi korelasi dan RMSE antara data hasil prediksi
Nilai STAKLIM STAMET STAGEOF dengan data observasinya. Model prediksi
yang bagus akan ditunjukkan dengan nilai
RMSE 101.7245 104.214 75.04455 RMSE yang mendekati angka nol dan nilai
r 0.77 0.72 0.88 korelasi yang mendekati angka satu.
Berdasarkan hasil prediksi yang
3.1.4 Prediksi Curah Hujan Bulanan didapat dan dibandingkan dengan data
Tabel 3 merupakan hasil prediksi observasinya, berikut di bawah ini
curah hujan model dari Bulan Januari 2015 merupakan nilai korelasi dan RMSE bulan
sampai dengan Bulan Juni 2015 : Januari 2015 sampai dengan Juli 2015 :
Tabel 3 Prediksi Curah Hujan Januari – Juni Tabel 4 Nilai RMSE dan Korelasi Curah
2015 dan observasi Hujan Prediksi terhadap Observasi
Curah Curah Curah Nilai Staklim Stamet Stageof
Hujan Hujan Hujan
Staklim Stamet Stageof RMSE 129 67 106
(mm) (mm) (mm) R 0.65 0.94 0.94
BULA
PREDIKSI
PREDIKSI
PREDIKSI
OBS
OBS
92
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
Model optimal yang didapatkan hujan bulanan paling bagus pada periode
dengan menggunakan metode PLSR, yang tersebut ada prediksi curah hujan di Stasiun
didefinisikan sebagai model dengan Meteorologi dengan pola yang sesuai,
kemungkinan prediksi tertinggi, adalah korelasi yang sangat tinggi, dan RMSE yang
model dengan menggunakan dua komponen paling kecil dengan observasinya dibanding
utama di mana model tersebut signifikan dua stasiun lainnya. Untuk prediksi curah
untuk digunakan di ketiga Stasiun BMKG di hujan bulanan di Stasiun Geofisika juga
Provinsi Bengkulu dilihat dari P-value yang bagus dilihat dari polanya yang sesuai dan
berada di bawah 0.05. Model yang dibangun nilai korelasi yang sama tinggi meskipun
memiliki kemampuan untuk memprediksi memiliki RMSE yang cukup tinggi dari
curah hujan bulanan. Model tersebut observasinya. Sedangkan prediksi curah
dimungkinkan paling bagus digunakan untuk hujan bulanan di Stasiun Klimatologi
melakukan prediksi di Stasiun Geofisika di menunjukkan korelasi yang paling rendah
mana R2-prediksi terbesar ditunjukkan oleh dengan observasinya dari dua stasiun lainnya
model pada stasiun tersebut. Model PLS dan RMSE yang masih besar.
dengan dua komponen memprediksi data
yang jauh lebih akurat daripada yang
diprediksi oleh model LS dengan sepuluh 4. KESIMPULAN
komponen utama, terbukti dari R2-prediksi Berdasarkan hasil dan pembahasan
model PLS yang jauh lebih besar sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa:
dibandingkan R2-prediksi pada model LS. 1. Model optimal yang dibentuk dari
Dari grafik keluaran Minitab 16 input data CFSv2 Analaysis sebagai
didapatkan analisa bahwa kemampuan variabel bebas dan curah hujan
prediksi terbaik menggunakan dua komponen bulanan observasi sebagai variabel
di mana kemampuan prediksi dari semua terikat adalah model dengan
model dengan lebih dari tiga komponen menggunakan dua komponen utama.
menurun secara signifikan, termasuk model 2. Variabel iklim yang paling
LS dengan sepuluh komponen. Model yang berpengaruh pada kedua komponen
dibangun menggunakan dua komponen pembangun model optimal adalah
tersebut memiliki kesesuaian dengan data variabel gradien angin zonal 850 mb
obervasinya khususnya ditunjukkan pada (UGRD850) yang berpengaruh
Stasiun Geofisika Bengkulu. positif dan temperatur 850 mb
Model menemukan bahwa variabel (TMP850) yang berpengaruh negatif.
pada ketinggian 850 mb yaitu gradien angin 3. Berdasarkan nilai korelasi dan
zonal memiliki pengaruh besar yang positif RMSE, model optimal paling bagus
terhadap komponen satu dan dua, sedangkan dilakukan di Stasiun Geofisika
variabel pada ketinggian 850 mb yaitu dengan nilai korelasi 0.88 dan nilai
temperature memiliki pengaaruh besar yang RMSE 75, lebih baik daripada
negatif terhadap komponen satu dan dua. Stasiun Klimatologi dengan nilai
Model yang dimungkinkan bagus korelasi 0.77 dan nilai RMSE 101
untuk prediksi curah hujan Stasiun Geofisika serta Stasiun Meteorologi dengan
ternyata memiliki korelasi yang cukup kuat nilai korelasi 0.72 dan RMSE 104.
dan RMSE yang paling sedikit dibandingkan 4. Berdasarkan nilai korelasi dan
dengan dua stasiun lainnya ketika diinputkan RMSE, prediksi curah hujan bulanan
data CFSv2 Analysis. Namun model tersebut paling bagus di Stasiun Meteorologi
juga cukup bagus digunakan di Stasiun dan Geofisika dengan nilai korelasi
Klimatologi dan Geofisika dengan korelasi di atas 0.9 dan nilai RMSE berturut-
yang cukup tinggi meskipun dengan RMSE turut 67 dan 106, lebih baik daripada
yang tinggi. prediksi curah hujan bulanan di
Hasil akhir dari penelitian ini yaitu Stasiun Klimatologi Bengkulu
mendapatkan prediksi curah hujan bulanan dengan nilai korelasi 0.65 dan RMSE
dari bulan Januari 2015 sampai dengan bulan 129.
Juni 2015 menggunakan model dengan input
data CFSv2 Forecast. Berdasarkan analisa
pola dan statistik sederhana, Prediksi curah
93
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
94
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
ABSTRAK
Telah dilakukan suatu studi awal mikrozonasi di daerah Kota Tangerang Selatan melalui analisis
nilai Vs-30 dan Periode dominan. Untuk pengambilan dan pengolahan data Vs-30 digunakan
metode MASW (Multi Analysis Surface Wave) menggunakan PASI Multichannel Seismograph
tipe 16S24U di 8 (delapan) titik penelitian yang tersebar di wilayah Kota Tangerang Selatan. Hasil
perekaman multichannel ini kemudian diolah menggunakan software Geopsy hingga menghasilkan
model kecepatan Shear Velocity 1-D pada tiap titik penelitian. Untuk pengambilan data periode
dominan sendiri menggunakan peralatan TDS (Taide Digital Seismograph) dengan digitizer tipe
TDL-303 dan seismometer tipe DS-4A Short Period Seismograph dengan durasi perekaman
selama 30-60 menit. Pengolahan data mikrotremor hingga memperoleh nilai Periode Dominan
pada tiap titik dengan Metode HVSR (Horizontal to Vertical Spectrum Ratio) melalui bantuan
software Geopsy. Dari hasil Vs-30 dan Periode Dominan yang didapatkan dapat ditentukan kelas
tanah (site class) tiap lokasi penelitian dan sebaran nilai Vs-30 dan Periode Dominan di Kota
Tangerang Selatan.Dari penelitian yang dilakukan diketahui lokasi Serpong Utara memiliki nilai
Vs-30 tertinggi jika dibandingkan dengan ketujuh titik yang lain (318.5390393 m/s) dan
berkategori tanah D sedang lokasi Lokasi Ciputat memiliki nilai Vs-30 terendah dari ketujuh titik
yang lain (124.7685506 m/s) dan berkategori E. Dari peta sebaran nilai Vs30 sendiri diketahui
bahwa rentang nilai kecepatan Vs-30 di Kota Tangerang Selatan berkisar antara 120-320 m/s.
Kemudian melalui Periode Dominan diketahui Lokasi Kantor Kecamatan Serpong memiliki
periode dominan tertinggi (0.3651 sekon) dibanding ketujuh titik lainnya. Sedang Lokasi Kantor
Kecamatan Serpong Utara memiliki periode dominan terendah (0.0862 sekon). Dari peta sebaran
periode dominan di Kota Tangerang Selatan, diketahui bahwa nilai periode dominan di Kota
Tangerang Selatan berkisar antara 0.08-0.36 sekon.
Kata Kunci: Mikrozonasi, Vs-30, MASW, PASI, Geopsy, Periode Dominan, TDS
ABSTRACT
A preliminary microzonation study was held in South Tangerang City region through the analysis
of Vs-30 and Dominant Period Values. Vs-30 values was acquired from MASW (Multi Analysis
Surface Method) Survey. The survey used PASI Multichannel Seismograph Type 16s24u in 8
(eight) different location around the South Tangerang City. After acquiring the data, the
multichannel recording data was processed using Geopsy software to produce the 1-D Model of
Shear Velocity in 30 meters depth. To get dominant period values for South Tangerang city, We
held microtremors surveys also in 8 (eight) different locations around South Tangerang City using
TDS (Taide Digital Seismograph) that consisted by TDL-303 Digitizer and DS-4A Short Period
Seismometer, with the duration of microtremor recording in each site are about 30-60 minutes.
The HVSR (Horizontal to Vertical Spectrum Ratio) was used to determine the Dominant Period
values for the sites. From the Vs-30 and Dominant Period values we are able to determine the
class of each site and the spatial distribution of Vs-30 and Dominant Period Values in South
Tangerang City.From the Vs-30’s results, The North Serpong Site had the highest Vs-30 values if
compared with the other sites (318.5390393 m/s), and categorized as the D Class site. Ciputat site
owned the lowest Vs-30 values (124.7685506 m/s) and categorized as the E Class Site. The range
of Vs-30 values in South Tangerang from the Vs-30 spatial distribution map are about 120-320
95
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
m/s. Then from the Dominant Period’s results, Serpong District Office site had high dominant
period (0.3651 seconds) if compared with the other sites. Contrary with Serpong District Office,
North Serpong District Office had the lowest dominant period (0.082 seconds) if also compared
with other sites. The range of dominant period values in South Tangerang from the Dominant
Period spatial distribution map are about 0.08-0.36 seconds.
96
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
Gambar 2. Contoh hasil perekaman multichannel pada satu dataset, kurva dispersi, dan hasil
inversi dari kurva dispersi yang dibuat sebelumnya (Park dkk, 2001)
97
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
98
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
antara komponen Horizontal (H) dan 106,64-106,74 BT. Ukuran grid pada peta
Komponen Vertikal (V) terhadap frekuensi sebaran spasial ini adalah 100x98 dengan
untuk memperoleh nilai periode dominan total titik data hasil interpolasi sebanyak
pada lokasi tersebut. 9800 titik. Jarak spasi minimum antar titik
Setelah didapatkann nilai Vs-30 dan (secara mendatar dan horizontal) sebesar
Periode Dominan beserta klasifikasi tanah 0,001. Dari peta sebaran inilah dapat
masing-masing lokasi pengambilan data, diketahui rentang nilai kecepatan Vs-30 dan
dibuatlah suatu peta sebaran spasial dengan rentang nilai periode dominan di Kota
menginterpolasi data menggunakan Tangerang Selatan.
Surfer.Grid menggunakan metode Kridging,
pada suatu luasan wilayah yang dibatasi pada
koordinat geografis 6,36-6,24 LS dan
(a) (b)
Gambar 3. Lokasi pengambilan data menggunakan (a) data mikrotremor dan (b) data MASW.
Garis merah menunjukkan batas wilayah Kota Tangerang Selatan. Simbol warna
kuning menandakan lokasi penelitian (Google Earth, 2014)
Gambar 4. Konfigurasi lintasan pada survei MASW (gambar tidak menunjukkan skala
sebenarnya)
99
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
100
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
101
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
(a)
(b)
Gambar 6. Peta sebaran nilai Vs30 di Kota Tangerang Selatan tanpa overlay (a) dan dengan
overlay (b) Peta Kota Tangerang Selatan
102
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
(a)
(b)
Gambar 7. Peta sebaran nilai periode dominan di Kota Tangerang Selatan, (a) tanpa overlay dan
dengan overlay (b) Peta Kota Tangerang Selatan
103
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
104
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
Gambar 9. Model Kecepatan 1-D Shear Velocity kedalaman 30 meter pada tiap lokasi penelitian
105
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
106
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
ABSTRAK
Emisi Ultra Low Frequency (ULF) sebagai akibat dari aktivitas gempa bumi merupakan suatu
fenomena yang kini banyak dikembangkan dalam penelitian seismo-electromagnetic untuk
precursor gempa bumi.Umumnya, anomali emisi ULF akibat gempa bumi lebih lemah daripada
gangguan yang disebabkan oleh badai magnet dan anomali emisi ULF terkait gempa bumi hanya
terjadi secara lokal di daerah yang akan terjadi gempa bumi. Ini menunjukkan bahwa aktivitas
gempa bumi merupakan suatu hal yang unik sehingga banyak penelitian yang dilakukan untuk
memberikan peringatan dini sebelum terjadi gempa bumi. Seismo-Electromagnetic
menghubungkan keadaan di lithosfer dan atmosfer sebelum dan saat terjadi gempa bumi. Tulisan
ini memilih parameter ULF di lithosfer sebagai salah satu frekuensi terendah yang dipancarkan
oleh gelombang elektromagnetik sehingga mempunyai panjang gelombang paling panjang.
Akibatnya, ULF bisa terdeteksi hingga ke permukaan. Berdasarkan analisa data yang diperoleh
dari Negara (NEG), Bali dan Stasiun Kupang (KUP), Kupang menggunakan metoda polarisasi
rasio komponen vertikal terhadap horizontal,diperoleh adanya anomali emisi ULF pada frekuensi
0,012 Hz yang ditandai dengan peningkatan emisi ULF dengan lead time 12 hari dengan Lemi-
030 di Bali dan 5 hari dengan MAGDAS 9 di Kupang. Peningkatan emisi ULF tersebut tidak
berasosiasi dengan badai magnetik, sehingga diindikasikan sebagai prekursor gempa bumi. Hal
ini diperkuat dengan nilai DST Index yang tidak menunjukkan adanya gangguan magnetik.
Kata kunci : DST Index, emisi ULF, prekursor gempa bumi, seismo-electromagnetic
ABSTRACT
The Ultra-Low Frequency(ULF) emissions as an effect of earthquake activity is a phenomenon that
is now being studied in seismo-electromagnetic for earthquake precursor. Generally, anomaly of
ULF emissions caused by earthquake activity is weaker than geomagnetic storms, so anomalies
occur only locally in the area where the earthquake happen. It show that the earthquake activity is
unique and because of its uniqueness it has been much research done thus expected to give clues
as early warning before earthquake. Seismo-electromagnetic related the state in the lithosphere
and atmosphere ionosphere before and when earthquake occur. This paper choose ULF in the
lithosphere as a parameter that the lowest band frequency emitting electromagnetic wave with the
longest wave length. As a result, ULF can be detected up to the surface. Based on the analysis of
data obtained from the Negara, Bali (NEG) and Geophysics Station in Kupang (KUP) by ratio
polarization of Vertical to Horizontal component, obtained that there are some anomaly of ULF
emissions at 0,012 Hz in frequency is characterized by increasing of ULF emissions with lead time
12 days using Lemi-030 in Bali and 5 days using MAGDAS 9 in Kupang before the earthquake
occurred. Increasing of ULF emissions is not associated with magnetic storm that is indicated as
an earthquake precursor. This is supported by the Dst index showed no magnetic disturbance.
107
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
1. PENDAHULUAN 2. METODOLOGI
Gempa bumi merupakan suatu Data yang digunakan adalah data
fenomena alam berupa getaran yang bersifat geomagnet dari magnetometer Lemi-030 di
alamiah dari pergerakan lempeng yang Stasiun Klimatologi Negara (NEG) tahun
menyebabkan terjadinya pelepasan energi 2013 dan data geomagnet dari magnetometer
secara tiba-tiba dari batuan di kerak bumi MAGDAS 9 di Stasiun Geofisika Kupang
karena proses terjadinya gempa bumi terjadi (KUP) tahun 2013. Selain itu juga
secara tiba-tiba dan tidak dapat dicegah, digunakan data DST Index (Disturbance
maka salah satu usaha yang dapat dilakukan Storm Time Index) dari WDC-geomagnetic
adalah dengan melakukan pengamatan Kyoto Univ. untuk memvalidasi anomali
prekursor gempa bumi menggunakan data yang terjadi disebabkan oleh badai magnetik
magnetbumi (Saroso ,2008). Emisi ULF atau murni disebabkan oleh aktivitas gempa.
sebagai akibat dari aktivitas gempa bumi Penelitian ini mengambil studi kasus Gempa
yang terekam pada alat magnetometer dapat bumi Lombok pada tanggal 22 Juni 2013
digunakan untuk menganalisis anomali dengan Magnitudo Momen (Mw) 6,4 dan
magnetbumi untuk prekursor gempabumi kedalaman pusat gempa 33 Km (Gambar 1).
pada jangka pendek (Ahadi dkk., 2014). ULF Berikut langkah – langkah yang
merupakan salah satu frekuensi yang dilakukan dalam penelitian, sebagai berikut :
dipancarkan oleh gelombang 1. Konversi data dari raw data (stasiun)
Elektromagnetik dengan frekuensi yang menjadi data biner. Pada MAGDAS
sangat rendah sehingga mempunyai panjang 9 (dalam ekstensi mgd) kemudian
gelombang paling panjang. Akibatnya, ULF diubah menjadi data ASCII (dalam
bisa terdeteksi hingga ke permukaan. ekstensi gea). Hal ini digunakan
Permasalahan yang timbul adalah untuk memudahkan pembacaan data
adanya transmisi gelombang elektromagnetik dari sensor. Data yang digunakan
yang terdeteksi sensor bisa disebabkan oleh adalah data komponen horizontal (H)
gempa bumi dan faktor eksternal yaitu badai dan vertical (Z) per detik dan dipilih
magnetik. Oleh karena itu, diperlukan suatu untuk jam 15:00-20:00 UTC (malam
metode untuk meyakinkan anomali yang hari).
muncul disebabkan oleh gempa bumi atau 2. Untuk fase Pre-seismic, karena
badai magnet. Penelitian ini menggunakan sampling rate antara LEMI-30 dan
metode polarisasi rasio komponen vertikal MAGDAS 9 berbeda, dimana Lemi-
terhadap horizontal (Hayakawa dkk, 1996 30 memiliki sampling rate 64 Hz,
dan Yumoto dkk, 2006) untuk mengetahui sedangkan MAGDAS 9 memiliki
anomali yang muncul berasal dari internal sampling rate 1 Hz. Maka, terlebih
bumi yaitu gempa bumi atau berasal dari dahulu rata-ratakan data Lemi-30
eksternal bumi yaitu badai magnet. Hipotesis menjadi 1 detik=1 data. Hal ini
yang akan diujikan dalam penelitian ini dilakukan agar data dari kedua
adalah ketika anomali yang terjadi berasal sensor bisa dibandingkan.
dari internal bumi berupa aktivitas gempa, 3. Menghilangkan noise berupa spike
maka perbandingan antara komponen menggunakan differensiasi.
vertikal dan horizontal akan melewati batas 4. Lakukan proses filtering
atas standar deviasi. menggunakan bandpass filter dengan
Metode ini diharapkan dapat band frekuensi bervariasi, dipilih
digunakan untuk mengidentifikasi adanya band frekuensi yang dapat
anomali sebelum gempa bumi besar sehingga menampilkan hasil anomali ULF
dapat digunakan sebagai pendukung dalam dengan baik. Dalam hal ini dipilih
penelitian prekursor gempa bumi selanjutnya frekuensi 0,012 Hz
serta dapat dijadikan sebagai informasi 5. Setelah difilter, dicari Power
pendukung mitigasi bencana (Nuraeni dkk, Spectral Density (PSD) nya
2010; Ahadi dkk., 2013). menggunakan Fast Fourier
Transform (FFT) untuk mengubah
data dari domain waktu ke domain
frekuensi, kemudian dihitung nilai
108
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
Gambar 1. Parameter gempa bumi Lombok 22 Juni 2013 Mw 6.4 (BMKG, 2013) yang
ditunjukkan pada simbol Bintang Merah dan Stasiun Magnetbumi Negara (NEG), Bali dan Stasiun
Magnetbumi Kupang ( KUP), Kupang yaitu simbol Segitiga Merah.
109
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
3.2 Hari Tenang Tanpa Gangguan Badai Hz) bebas dan tidak ada gangguan ketika
dan Gempa bumi tidak ada badai magnetik dan gempa bumi.
Hari tenang adalah hari dimana tidak Waktu yang digunakan dalam pengolahan
ada gangguan baik oleh badai magnetik, data untuk hari tenang adalah malam hari
gangguan lokal akibat perbuatan manusia waktu setempat (Night Time, pukul 23.00 –
hingga gangguan akibat gempa bumi yang 04.00). Pemilihan waktu ini dilakukan untuk
terdeteksi oleh sensor Lemi-030 dan meningkatkan kualitas sinyal, dimana pada
MAGDAS 9 (Gambar 2 dan Gambar 3). waktu tersebut gangguan magnet lingkungan
Data hari tenang digunakan untuk sangat kecil.
mengetahui frekuensi yang digunakan (0,012
Gambar 2. Polarisasi Rasio Z/H di hari tenang yang terdeteksi oleh Lemi-030 pada frekuensi
0,012 Hz, garis warna ungu adalah Indeks Dst (WDC-Geomagnetic,Kyoto Univ), garis warna biru
adalah polarisasi Z/H dan garis warna merah dan hijau masing masing adalah Standar deviasi atas
dan bawah dari polarisasi Z/H
Gambar 3. Polarisasi Rasio Z/H di hari tenang yang terdeteksi oleh MAGDAS 9 pada frekuensi
0,012 Hz. , garis warna ungu adalah Indeks Dst (WDC-Geomagnetic,Kyoto Univ), garis warna
biru adalah polarisasi Z/H dan garis warna merah dan hijau masing masing adalah Standar deviasi
atas dan bawah dari polarisasi Z/H
110
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
Pada kedua gambar di atas, terlihat bahwa keluarnya nilai polarisasi rasio Z/H dari batas
pada hari tenang untuk frekuensi 0,012 Hz standar deviasi +. Berdasarkan teori dan
yang terdeteksi oleh sensor Lemi-030 dan pengolahan data yang sudah dilakukan,
MAGDAS 9 menunjukkan bahwa ketika diperoleh adanya peningkatan emisi ULF
tidak ada gangguan, baik itu dari badai yang cukup signifikan di kedua stasiun
magnetik, gangguan lokal akibat perbuatan dengan sensor yang berbeda pada polarisasi
manusia hingga gempa bumi, maka pola rasio Z/H dengan frekuensi 0,012 Hz
pada hari tersebut juga akan tenang, dimana (Gambar 4 - Gambar 5).
tidak ada nilai polarisasi rasio Z/H yang Untuk Stasiun Klimatologi Negara
melewati batas standar deviasi oleh karena yang berjarak 220,0001 km dari pusat gempa
itu, frekuensi 0,012 Hz bisa digunakan dengan sensor Lemi-030 pada frekuensi
sebagai indikasi prekursor “Pre-seismic”. 0,012 Hz (Gambar 3), diperoleh adanya
peningkatan emisi ULF dari nilai polarisasi
3.3 Gempa bumi 22 Juni 2013 rasio Z/H dengan lead time (durasi waktu)
3.3.1 Analisa Polarisasi Rasio Z/H sebagai lebih lama daripada Stasiun Geofisika
indikasi prekursor “Pre-seismic” Kupang (Gambar 4), yaitu 15 hari sebelum
Pada tanggal 22 Juni 2013 terjadi gempa bumi terjadi. Namun, anomali yang
gempa bumi dengan kekuatan 6,4 SR, terdeteksi oleh sensor Lemi-030 pada hari
kedalaman 33 km dan episenter gempa bumi ke-15 sebelum gempa bumi terjadi
terletak pada 8,39 LS – 116,63 BT pusat cenderung disebabkan oleh badai magnetik
gempa bumi di darat (BMKG, 2013). daripada gangguan akibat gempa bumi. Hal
Berdasarkan hasil pengolahan data magnet ini terlihat dari nilai Dst Indexnya yang
menggunakan polarisasi rasio Z/H dari menunjukkan nilai -71. Pada Dst Index
sensor Lemi-030 dengan sampling rate 64 Hz tersebut,menunjukkan bahwa telah terjadi
di Stasiun Klimatologi Negara, Bali dan badai magnetik dengan level sedang (Loewe
sensor MAGDAS 9 dengan sampling rate 1 dan Prolss, 1997), sehingga anomali yang
Hz di Stasiun Geofisika Kupang, diperoleh terdeteksi pada hari ke-15 sebelum gempa
tiga buah grafik, yaitu grafik ULF dari bumi tersebut tidak bisa diindikasikan
polarisasi rasio Z/H (warna biru), standar sebagai prekursor “Pre-seismic”. Anomali
deviasi + (warna merah) sebagai batas atas lain yang terekam sensor Lemi-030 pada
nilai polarisasi rasio Z/H, dan standar deviasi frekuensi 0,012 Hz terjadi pada hari ke-
– (warna hijau) sebagai batas bawah nilai 12,11,10,6,5,4,2 dan 1 hari sebelum gempa
polarisasi rasio Z/H serta nilai Dst Index bumi terjadi, yaitu tanggal
(warna ungu) yang berosilasi selama 15 hari 10,11,12,16,17,18, 20 dan 21 Juni 2013.
untuk Stasiun Geofisika Kupang dan Stasiun Anomali pada hari-hari tersebut
Klimatologi Negara. Dalam pengolahan data diindikasikan sebagai prekursor “Pre-
ini, dikatakan terjadi anomali jika grafik seismic” untuk Gempa bumi 22 Juni 2013.
polarisasi rasio Z/H melewati batas standar Hal ini diperkuat dengan nilai Dst Index
deviasi +. yang tidak menunjukkan adanya badai
Berdasarkan teori microfracturing magnetic, dimana kondisi geomagnet sudah
(Molchanov dan Hayakawa, 1995; kembali normal.
Molchanov dan Hayakawa, 1998a), Sedangkan di Stasiun Geofisika Kupang
gelombang dengan rentang frekuensi yang yang berjarak 787,37 km dari pusat gempa
sangat kecil yang bisa terdeteksi hingga ke dengan sensor MAGDAS 9 pada frekuensi
permukaan, karena frekuensi yang lebih 0,012 Hz,diperoleh adanya anomali berupa
besar akan mengalami atenuasi karena peningkatan polarisasi rasio Z/H yang
terserap oleh medium selama penjalaran melebihi batas standar deviasi + terdeteksi
gelombang.Selain itu juga gelombang pada tanggal 17 Juni 2013 yaitu 5 hari
dengan frekuensi yang sangat kecil akan sebelum gempa bumi terjadi. Anomali yang
mempunyai panjang gelombang yang lebih muncul pada tanggal 17 Juni 2013 tersebut
panjang, sehingga akan lebih cepat terdeteksi tidak berasosiasi dengan adanya badai
daripada yang memiliki frekuensi lebih magnet. Hal ini didukung dengan nilai Dst
besar. Mengacu pada teori tersebut, Index yang tidak menunjukkan indikasi badai
dikatakan terjadi anomali apabila terjadi magnetik, sehingga anomali pada tanggal 17
peningkatan polarisasi rasio Z/H, yaitu Juni 2013 yang terdeteksi di Stasiun
111
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
Geofisika Kupang diindikasikan sebagai antara kedua sensor. Dimana, sensor Lemi-
prekursor “pre-seismic” untuk Gempa bumi 030 cenderung lebih peka terhadap adanya
22 Juni 2013. transmisi gelombang elektromagnetik yang
Adanya perbedaan waktu munculnya menimbulkan anomali daripada MAGDAS 9.
anomali ini dikarenakan jarak episenter Hal ini dikarenakan, sampling rate yang
gempa bumi terhadap Stasiun Klimatologi dimiliki oleh Lemi-030 lebih besar yaitu 64
Negara lebih dekat dibandingkan dengan Hz, daripada MAGDAS 9 yang mempunyai
Stasiun Geofisika Kupang, sehingga sampling rate sebesar 1 Hz. Hal inilah yang
transmisi gelombang elektromagnetik dari menyebabkan semakin banyaknya transmisi
pusat gempa terlebih dahulu terdeteksi di gelombang elektromagnetik yang terdeteksi
Stasiun Klimatologi Negara daripada di oleh Lemi-030 daripada oleh MAGDAS 9,
Stasiun Geofisika Kupang. Selain itu, juga dimana sampling rate merupakan banyaknya
terdapat perbedaan yang cukup signifikan count (titik-titik datum pembentuk sinyal)
pada banyaknya anomali yang terdeteksi tiap satuan waktu pengukuran.
Gambar 4. Polarisasi Rasio Z/H frekuensi 0,012 Hz untuk Gempa bumi 22 Juni 2013 dengan
sensor Lemi-030 di Stasiun Klimatologi Negara,Bali.
Gambar 5. Polarisasi Rasio Z/H frekuensi 0,012 Hz untuk Gempa bumi 22 Juni 2013 dengan
sensor MAGDAS 9 di Stasiun Geofisika,Kupang.
112
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
4. KESIMPULAN Nuraeni,F.,
Berdasarkan hasil pengolahan data Juangsih,M.,Wellyanita,V.,Haryanto,
dan analisa yang telah dilakukan dapat C,E.,dan Aris,M,A, 2010,Penentuan
diperoleh kesimpulan bahwa terjadi anomali Prekursor Gempa Bumi
emisi ULF ditandai dengan peningkatan nilai Menggunakan Data Geomagnet
polarisasi rasio Z/H pada frekuensi 0,012 Hz Near Real Time Dengan Metode
yang terdeteksi 12 hari sebelum gempa bumi Perbandingan Polarisasi 2
Lombok M 6,4 SR pada 22 Juni 2013 oleh Stasiun,Sains Dan Teknologi
sensor Lemi-030 di Bali dan 5 hari sebelum Dirgantara,No 1,Vol 5,hal 11
gempa bumi Lombok M 6,4 SR pada 22 Juni Prattes,G.,Schwingenschuh,K.,Eichelberger,
dengan sensor MAGDAS 9 di Kupang. U,H.,Magnes,W.,Boudjana,M.,Stach
Adanya anomali emisi ULF dengan el,M.,Vellante,M.,Villante,U.,Weszt
ditandai peningkatan nilai polarisasi rasio ergom,V., dan
Z/H beberapa hari menjelang terjadinya Nenovski,P.,2011,Ultra Low
gempa bumi tersebut tidak berasosiasi Frequency (ULF) European Multi
dengan gangguan badai magnetik. Station Magnetic Field Anlaysis
Peningkatan ini bisa diindikasikan sebagai before and during the 2009
prekursor “Pre-seismic” akibat dari proses Earthquake at L’Aquila regarding
fisis seismo-electromagnetic. Geotechnical
Information.Nat.Hazards Earth
DAFTAR PUSTAKA Syst.Sci.,11,1959-1968,
Ahadi,S., Puspito,N,T., Ibrahim,G., Saroso,S.,2008,Analisa Fraktal Emisi Sinyal
Saroso,S.,Yumoto,K., Yoshikawa,A., ULF Dan Kaitannya Dengan Gempa
dan Muzli, 2015, Anomalous ULF Bumi Di Indonesia,Jurnal Sains
Emissions and Their Possible Dirgantara.Vol.6.No.1.39-46
Association with the Strong Yumoto, K., 2006,Studies on Geomagnetic
Earthquake in Sumatra,Indonesia Field and the Relationship with The
during 2007-2013,J.Math.Fund Sun, Solar Physics Seminar 2006,
SCi.,47,pp84-103 Natl.Obs.Malaysia: National Space
doi:10.5614/j.math.fund.sci,2015.47. Agency
1.7
Hattori, K., 2004, ULF Geomagnetic
Changes Associated with Large
Earthquake. TAO, Vol
15,No.3,329-360.
Hayakawa, M., R. Kawate, O. A.
Molchanov, and K. Yumoto., 1996,
Results of ultra-low-frequency
magnetic field measurements during
the Guam earthquake of 8 August
1993.Geophys. Res. Lett., 23, 241-
244.
Loewe C. A dan Prolss G. W., 1997,
Classification and mean behaviour
of magnetic storms, J. Geophys. Res.
A 102 14209-14213.
Molchanov,O.A., dan Hayakawa,M., 1995,
Generation of ULF electromagnetic
emissions by microfracturing.
Geophys. Res.Lett.,22,3091-3094.
Molchanov,O.A., dan Hayakawa,M., 1998a,
On the generation mechanism of
ULF seismogenic emissions. Phys.
Earth Planet. Inter., 105,210-210.
113
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
ABSTRAK
Kepulauan Maluku merupakan wilayah pertemuan tiga lempeng besar sehingga
menimbulkan seismisitas tinggi. Disamping itu sejak tahun 1674 s.d 2006 telah terjadi 25 kejadian
tsunami. Gempabumi Maluku tanggal 28 Januari 2004 dengan magnitudo 6.6, berdasarkan
pengamatan penduduk telah menghasilkan tsunami kecil di daerah Namlea. Penelitian ini bertujuan
untuk membuktikan adanya tsunami di Namlea menggunakan pemodelan TUNAMI-N2 dan data
batimetri GEBCO dengan resolusi 30 detik (1 km). Skenario peneltian tersusun atas real case
dengan jenis sesar mendatar berdasarkan mekanisme fokus dari Global CMT dan initial case untuk
menghasilkan peluang terburuk potensi tsunami akibat sesar naik dan mendatar dengan varasi
magnitudo 7,5, 8,0 dan 8,5. Hasil real case menunjukkan tsunami tertinggi 0.16 m dengan waktu
tiba (estimation time arrival, ETA) tercepat 8.2 menit. Skenario terburuk dengan magnitudo 8.5
untuk initial case sesar mendatar menghasilkan tsunami 1.42 m dengan ETA 9.1 menit, sedangkan
initial case sesar naik dengan perubahan posisi mendekati sistem subduksi menghasilkan tsunami
6.26 m dengan ETA 4.7 menit.
Kata kunci: tsunami, Maluku, sesar mendatar, real case, initial case
ABSTRACT
Maluku Islands is the three junction major plate giving rise to high seismicity. Besides that since
1674 - 2006 there has been 25 tsunamis around region. The Maluku earthquake that occurred on
January 28, 2004 with magnitude 6.6, based on eye observation has generated a small tsunami in
Namlea. This study aims to prove the existence of a tsunami in Namlea using TUNAMI-N2
modeling and GEBCO bathymetric data with a resolution of 30 sec (1 km). Tsunami scenario
consists of the real case of strike slip fault from focal mechanism of Global CMT and the initial
case to predict the worst possible tsunami potential due to the reverse and strike-slip fault with a
magnitude of 7.5, 8.0, and 8.5. The real case results the highest tsunami of 0.16 m with the fastest
arrival time estimation, ETA 8.2 minutes. The worst case scenario of strike-slip fault with a
magnitude of 8.5 generated tsunami of 1.42 m with ETA 9.1 minutes, while the initial case of
reverse fault in the area of subduction system caused a tsunami 6.26 m with ETA 4.7 minutes.
114
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
PENDAHULUAN
Kepulauan Maluku merupakan daerah
pertemuan tiga lempeng besar dunia yang
bergerak secara konvergen dan
mengakibatkan seismisitas tinggi dan
tsunami. Sejarah tsunami di Kepulauan
Maluku (Gambar 1), pada tahun 1335 s.d
2006 tercatat lebih dari 25 kejadian tsunami
(BMKG, 2010; Puspito, 2009). Tsunami
terbesar terjadi pada tahun 1674 dengan run
up tsunami mencapai 80 m dan tercatat 2970
orang meninggal dunia (Arkwright, 2009).
Berdasarkan sejarah tsunami, maka peluang
kejadian tsunami di Kepulauan Maluku di
masa akan datang cukup besar sehingga Gambar 1. Peta tsunami di Maluku sejak
diperlukan pemodelan tsunami untuk tahun 1335 s.d. 2006. Bintang
meminimalisir tingkat kerugian. merah menandakan lokasi
Katalog BMKG per Wilayah sumber tsunami. Garis hitam
Gempabumi Signifikan dan Merusak Tahun bergerigi adalah jalur subduksi.
1821 - 2009 (Setiyono dkk, 2010) telah
mencatat Gempabumi Maluku tanggal 28 Software Tunami N2 menggunakan
Januari 2004 jam 22:15:32 UTC pada perhitungan numerik dengan Prinsip Perairan
koordinat 127.44° BT, -3.01° LS, kedalaman Dangkal dan Hukum Green didalamnya.
33 km dan magnitudo 6.6 dengan TUNAMI-N2 berbasis UNIX/Linux dan
menghasilkan tsunami lokal yang script Generic Map Tools (GMT), penelitian
terobservasi di daerah Namlea (halaman ini menghasilkan tinggi run up tsunami dan
105). Tetapi tsunami kecil di Namlea tidak prakiraan Estimation Tsunami Arrival Time
memberikan bukti rekaman tide gauge. Oleh (ETA) (Pribadi, 2008).
karena itu diperlukan metode pendekatan
kejadian sebenarnya menggunakan I. DATA DAN METODE
pemodelan komputasi berdasarkan pada Gempabumi Maluku 28 Januari 2004
karakteristik sumber gempabumi pembangkit berdasarkan data mekanisme sumber dari
tsunami. Skenario tsunami di daerah Global Centroid Moment Tensor (Global
Kepulauan Maluku sebelumnya telah CMT) mempunyai jenis sesar mendatar
dilakukan oleh Wallansha (2014) dengan arah jurus strike/dip/rake 98°/46°/-9°,
menggunakan aplikasi pemodelan tsunami L- kedalaman 16.8 km dan koordinat episenter
2008 berbasis Windows yang menghasilkan 127.3° BT, -3.11° LS. Gempabumi ini
tinggi run up tsunami (Setiyonegoro, 2011). menimbulkan tsunami yang terobservasi di
Karakteristik sumber tsunami di wilayah Namlea. Selain data gempabumi dalam
Maluku mengikuti ketentuan Pribadi dkk penelitian ini juga menggunakan data
(2013). batimetri yang di unduh melalui situs
Penelitian ini bertujuan untuk General Bathymetric Chart of the Oceans
melakukan validasi apakah gempabumi (GEBCO) dengan ketelitian 30 detik (1 km).
dengan jenis sesar mendatar dapat Skenario tsunami tersusun atas kasus
menghasilkan tsunami signifikan yang gempa sebenarnya (real case) dengan jenis
membahayakan daerah Namlea berikutnya sesar mendatar dan kasus buatan (initial
berdasarkan skenario pemodelan Tohuku case) untuk memprediksi kemungkinan
University’s Numerical Analysis Modeling terburuk potensi tsunami akibat gempabumi
for Investigation of Near-field Tsunami berjenis sesar naik dan mendatar. Menurut
Number 2 (TUNAMI-N2) (Imamura dkk, Natawidjaya (2007) telah terjadi 10 kali
2006). gempabumi di perbatasan lempeng Laut
Maluku (Palung Seram) dengan kekuatan
lebih dari Mw 7,5. Dari pernyataan tersebut,
115
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
116
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
117
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
118
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 5. Hasil deformasi (kotak kuning) sesar mendatar pada lokasi Gempabumi Maluku 28
Januari 2004 dengan variasi magnitudo: (a) Mw 6,6, (b) Mw 7,5, (c) Mw 8,0 dan (d)
Mw 8,5. Bidang warna biru menandakan daerah turun (subsidence) dan warna merah
untuk daerah naik (uplift). Bintang merah menunjukkan episenter dan titik hijau di
ujung kiri bidang sesar.
119
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
120
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
121
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
SARAN
Banyak faktor yang dapat
mempengaruhi tinggi run up tsunami. Selain
parameter gempabumi, kondisi batimetri,
tatanan tektonik, bentuk muka pantai dan
pasang surut air laut juga mempengaruhi
tinggi run up tsunami. Untuk penelitian
selanjutnya diharapkan pembuatan skenario
tsunami menggunakan banyak data
gempabumi real case serta penambahan titik
pengamatan. Ini diharapkan skenario tsunami
dapat tergambar untuk keseluruhan wilayah
Maluku. Selain itu penambahan data pasang
surut juga diperlukan untuk mengkoreksi
ketinggian run up yang dihasilkan oleh
software.
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih saya ucapkan kepada
Allah SWT sebagai Rabb sekalian alam,
Dr.Suko Prayitno Adi, M.Si selaku Ketua
STMKG, Budiarta dan Priyobudi sebagai
pengarah komputasi pemodelan.
DAFTAR PUSTAKA
Arkwright, D., 2009, Potensi Kejadian
Tsunami di Perairan Timur Indonesia,
Jurnal UNIERA, no.32, Universitas
Halmahera, Maluku Utara.
Gambar 9. Grafik perbandingan (Atas)
Diposaptono, S., dan Budiman., 2006,
ketinggian tsunami dan (Bawah)
Tsunami, Penerbit Buku Ilmiah
waktu tiba tsunami (menit)
Populer., Jakarta, hal.250-253.
dengan pertambahan magnitudo.
Fujii, Y., 2006, Tsunami Simulation (adapted
Skenario real case RC, initial
from Kenji Satake), International
case sesar mendatar ICM dan
Institute of Earthquake Engineering
initial case sesar naik ICN.
(ISEE), BRI, Tsukuba, Japan.
Hanks, T.C., dan Kanamori, H., 2007,
KESIMPULAN Moment Magnitude Scale, Journal of
1. Skenario real case dengan jenis sesar
Geophysical Research, no.84 (B5), hal
mendatar terbukti menghasilkan
2348-2350
tsunami yang terobservasi di Namlea
Hornbach, M.J., Braudy, N., Briggs, R.W.,
sesuai dengan Katalog Gempabumi
Cormier, M.H., Davis, M.D., Diebold,
BMKG tahun 2009.
J.B., Dieudonne, N., Douilly, R.,
2. Gempabumi dengan mekanisme sesar
Frohlich, c., Gulick, S.P.S., Johnson,
mendatar menghasilkan tsunami yang
H.E., Mann, P., McHugh, C., Mishkin,
cukup signifikan jika kekuatan
K.R., Prentice, C.S., Seeber, L., Sorlien,
gempabumi lebih besar.
C.S., Steckler, M.S., Symithe, S.J.,
3. Skenario initial case dengan
Taylor, F.W., and Templeton, J., 2010,
mekanisme sesar naik menghasilkan
High tsunami frequency as a result of
run-up maksimum dan ETA lebih
combined strike-slip faulting and
cepat dibandingkan skenario sesar
coastal landslides, Nature Geoscience,
mendatar.
VOL 3,
www.nature.com/naturegeoscience, ©
2010 Macmillan Publishers Limited.
122
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
Imamura, F., Yalciner, A.C., dan Ozyurt, G., Setiyono, U., Sembiring, A., Miranda.,
2006, Tsunami Modelling Manual, Yatimantoro, T., dan Fitria, Y., 2010,
JMA, Japan. Katalog per Wilayah Gempabumi
Ibrahim, G., Subardjo, Sendjaja, P., 2010, Signifikan dan Merusak 1821 – 2009,
Tektonik dan Mineral di Indonesia, Badan Meteorologi Klimatologi dan
Puslitbang, BMKG, Kemayoran, Geofisika, Kemayoran, Jakarta.
Jakarta. Setyonegoro, W., 2011, Tsunami Numerical
Legg, M.R., dan Borrero, J., 2001, Tsunami Simulation Applied to Tsunami Early
Potential of Major Restraining Bends Warning System Along Sumatra
Along Submarine Strike-slip Faults, ITS Region”, Jurnal Meteorologi dan
2001 Proceeding, Session 1, Number 1- Geofisika BMKG, vol.12, no.1, hal : 21
9. -32.
Natawidjaja, D.H., 2007, Tectonic Setting Wallansha, R., 2014, Skenario Tsunami
Indonesia dan Pemodelan Sumber Menggunakan Data Parameter
Gempa dan Tsunami, Pelatihan Gempabumi Berdasarkan Kondisi
Pemodelan Run-up Tsunami, Jakarta. Bathymetri (Studi Kasus : Gempabumi
Puspito, N.T.(2009) :Statistical Data of Maluku 28 Januari 2004), Tugas Akhir,
Tsunamigenic Earthquakes in the D3 Geofisika, STMKG, Tangerang
Indonesian Region, Proceeding of Selatan.
International Symposium on Earthquake
and Precursor, Research and Pustaka dari Situs Internet:
Depelopment Center, BMKG, General Bathymetric Chart of the Oceans
Indonesia, pp. 70-89. (GEBCO) 2015,
Pribadi, S., Afnimar., Puspito, N.T., dan http://www.gebco.net/data_and_product
Ibrahim, G., 2013, Characteristics of s/gridded_bathymetry_data, Download
Earthquake-Genereted Tsunamis in (diunduh) pada 25 Januari 2015.
Indonesia Based on Source Parameter Global Centroid Moment Tensor (Global
Analysis, J.Math. fund Sci, vol.45, CMT), 2014,
no.2. http://www.globalcmt.org/CMTsearch.h
Pribadi, S., 2008, Pemodelan Tsunami Untuk tml, Download (diunduh) pada 13
Peingatan Dini BMKG, Buletin Desember 2014.
Meteorologi dan Geofisika. Vol.4.
No.2.
123
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
ABSTRAK
Wilayah bagian Barat Sumatra merupakan salah satu wilayah yang aktif terjadi gempabumi
di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari frekuensi gempabumi yang mengakibatkan tsunami,
sehingga penelitian mengenai proses sumber dibutuhkan untuk memahami gempabumi yang
membangkitkan tsunami. Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakteristikkan gempabumi besar
dan membandingankan antara gempabumi pembangkit tsunami dan bukan pembangkit tsunami
berdasarkan proses sumber gempabumi di wilayah tersebut. Hasil dari penelitian ini diharapkan
dapat bermanfaat untuk kepentingan mitigasi bencana gempabumi dan tsunami. Penelitian ini
menggunakan data waveform teleseismik yang diperoleh dari Incorporated Research Institutions
for Seismology-Data Manager Center (IRIS-DMC) yang terdiri dari empat gempabumi antara lain:
Bengkulu 12 September 2007, Mentawai 25 Oktober 2010 yaitu gempabumi yang membangkitkan
tsunami dan Bengkulu 4 Juni 2000, Mentawai 12 September 2007 yang tidak membangkitkan
tsunami. Data diolah dengan menggunakan metode inversi waveform, sehingga didapatkan
karakteristik gempabumi besar yaitu besarnya nilai momen seismik 0,4756x1021 - 0,2795x1022 Nm
setara dengan magnitude momen (Mw) 7,7 – 8,2 serta perbandingan gempabumi pembangkit
tsunami dengan gempabumi bukan pembangkit tsunami berdasarkan durasi rupture dan kedalaman
gempabumi, yaitu gempabumi pembangkit tsunami memiliki durasi rupture > 90 detik dengan
kedalaman gempa sangat dangkal < 35 km dan gempabumi bukan pembangkit tsunami memiliki
durasi rupture < 50 detik dengan kedalaman gempa lebih dalam > 40 km.
ABSTRACT
The Western Sumatera region is one of the most active earthquake areas in Indonesia. It
has frequent earthquakes potentially to cause tsunami. Therefore a research on source rupture
process is needed to understand earthquake generating tsunami. This research analyzed the
characteristics of large earthquakes and compared the earthquakes generating tsunami with the
ones without tsunami. This research used teleseismic waveform data from Incorporated Research
Institutions for Seismology-Data Manager Center (IRIS-DMC) which includes four earthquakes of
September 12th , 2007 Bengkulu and Oktober 25th, 2010 Mentawai that generated tsunami, June 4th,
2000 Bengkulu and September 12th, 2007 Mentawai that did not generate tsunami. This research
used a waveform inversion method to analyze all the data. The earthquakes that have seismic
moment of 0,4756x1021 - 0,2795x1022 Nm, equal to moment magnitude (Mw) of 7.7 – 8.2, are
categorized as large earthquakes. Based on data analysis, it showed that earthquakes generated
tsunami had the rupture duration of about 90 seconds and 35 km depth. On the other hand,
earthquakes that had the rupture duration of about 50 seconds and 40 km depth did not generate
tsunami.
124
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
125
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
126
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
127
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
dengan nilai variansi yang kecil yaitu gempabumi ini adalah 170 x 70 km yang
0,39745. dibagi kedalam beberapa grid dengan luas
tiap grid 10 x 10 km. Gempabumi ini
3.2 Gempabumi Bukan Pembangkit menghasilkan slip maksimum (berwarna
Tsunami merah) sebesar 8,2 meter.
Untuk gempabumi bukan pembangkit
tsunami, dipilih sebanyak dua kejadian
gempabumi yaitu gempabumi Bengkulu 4
Juni 2000 dan gempabumi Mentawai 12
September 2007.
3.2.1 Bengkulu, 4 Juni 2000
Hasil inversi waveform teleseismik
dari 26 stasiun pada penelitian ini
menunjukkan proses rupture gempabumi
Bengkulu 4 Juni 2000. Hasil dari proses
inversi yang berupa parameter-parameter
sumber yaitu mekanisme sumber
gempabumi, durasi rupture dan distribusi slip
pada saat terjadi gempabumi ditunjukkan
pada gambar 3.5.
128
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
Gambar 3.7 Proses rupture gempabumi Gambar 3.8 Proses fitting (pencocokkan)
Mentawai 12 September 2007. (a) waveform observasi dan sintetik
mekanisme fokus, (b) durasi rupture, (c)
distribusi slip saat terjadi gempabumi, tanda Proses inversi yang dilakukan
bintang adalah lokasi hiposenter menggunakan waveform teleseismik dari 23
stasiun dengan durasi sinyal 90 detik untuk
Mekanisme fokus dari gempabumi masing-masing stasiun. Dalam proses
Mentawai 12 September 2007 ditunjukkan inversi, dilakukan fitting (pencocokkan)
pada gambar 3.7(a) dengan parameter- waveform antara waveform observasi dengan
parameter sesar yaitu strike 317⁰, dip 19⁰, waveform sintetik. Hasil pencocokkan
slip 100,1⁰, durasi rupture gempabumi ini waveform seperti yang ditunjukkan pada
adalah 39,95 dengan total momen seismik gambar 3.8. Terlihat bahwa waveform
sebesar 0,4756x1021 Nm (7,7 Mw) observasi (warna hitam) berhimpit dengan
ditunjukkan pada gambar 3.7(b)). Untuk waveform sintetik (warna merah) atau
distribusi slip saat terjadi gempabumi ini mendapatkan hasil pencocokkan yang baik
ditunjukkan pada gambar 3.7(c), terlihat dengan nilai variansi yang kecil yaitu
bahwa distribusi slipnya lebih kecil 0,46130.
luasannya. Luas bidang sesar pada
gempabumi ini adalah 75 x 40 km yang 3.3 Kriteria Gempabumi Pembangkit
dibagi kedalam beberapa grid dengan luas Tsunami
tiap grid 5 x 5 km. Gempabumi ini Mekanisme sumber suatu gempabumi
menghasilkan slip maksimum (berwarna dapat memperlihatkan suatu gempa
merah) sebesar 10,2 meter. merupakan pembangkit tsunami atau bukan.
Adapun kriteria pembangkit tsunami
berdasarkan mekanisme sumber yaitu:
1. Dalam Pedoman Pelayanan Peringatan
Dini Tsunami InaTEWS, gempabumi
yang dapat membangkitkan tsunami
memiliki kriteria sebagai berikut:
Gempabumi tektonik terjadi di
bawah laut
Kedalaman hiposenter < 100 km
Kekuatan 7 SR atau lebih
Pergerakan Lempeng tektonik terjadi
secara vertikal
129
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
130
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
dengan magnitude momen (Mw) 7,7 – Teleseismic Body Wave and Near-
8,2. Source Strong Motion Data, Tesis,
2. Terdapat hubungan antara proses Program Pascasarjana Manajemen
sumber gempabumi dengan potensi Bencana, Building Research Institute,
tsunami. Durasi rupture merupakan Tokyo.
salah satu parameter proses sumber Madlazim, 2011, Toward Indonesian
yang mengkarakteristikkan Tsunami Early Warning System by
gempabumi berpotensi tsunami atau Using Rapid Rupture Duration
tidak. Durasi rupture yang lama Calculation, Journal of Tsunami
mengindikasikan gempabumi tersebut Society International, Vol.30, Nomer
berpotensi tsunami. 4.
Naryanto, H.S., 1997, Kegempaan di Daerah
3. Perbandingan gempabumi pembangkit Sumatra, Alami, Vol.2.
tsunami dan bukan berdasarkan proses Pribadi, S., 2014, Karakteristik Gempabumi
sumber yaitu Gempabumi pembangkit Pembangkit Tsunami di Indonesia
tsunami memiliki durasi rupture > 90 Berdasarkan Analisis Parameter
detik dengan kedalaman gempa sangat Sumber, Disertasi, Program Doktor,
dangkal < 35 km dan gempabumi Institut Teknologi Bandung, Bandung.
bukan pembangkit tsunami memiliki Suardi, I., 2013, Analysis of Source Rupture
durasi rupture < 50 detik dengan Process of the September 2, 2009
kedalaman gempa lebih dalam > 40 Tasikmalaya Earthquake by using The
km. Joint Inversion Method of Near Field
and Teleseismic Data, Disertasi,
UCAPAN TERIMA KASIH Program Doktor, Institut Teknologi
Ucapan terima kasih sebesar-sebarnya Bandung, Bandung.
kepada Bapak Dr. Iman Suardi, M.Sc selaku Tim Survey BMKG, 2007, Survey Tsunami
dosen pembimbing utama dan Bapak Pantai Barat Sumatra-Bengkulu,
Dr.Muzli, M.Sc selaku pembimbing kedua Laporan Survey Tsunami Pantai Barat
yang telah memberikan bimbingan, arahan Sumatra-Bengkulu, BMKG, Jakarta.
dan bantuan dalam menyelesaikan penelitian Yamanaka, Y., dan Kikuchi, M., 2003,
ini dan juga terima kasih kepada Bapak Iman Source Process of the recurrent
Fatchurochman, MDM yang telah Tokachi-Oki Earthquake on September
memberikan ilmu dan mengajarkan 26, 2003, Inferred of Teleseismic
penggunaan program secara mendalam demi Body Waves, Earth Planet Space, 55,
kelancaran penelitian ini. e21-e24.
131
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
ABSTRAK
Pengamatan medan magnet di BMKG khususnya bidang geofisika bertujuan untuk
kepentingan survey magnet dan mengetahui peta perubahan variasi medan magnet bumi. Untuk itu
diperlukan alat pemantau medan magnet yang dapat bekerja secara otomatis merekam data
pembacaan medan magnet untuk mempermudah pengamatan dan pengukuran medan magnet bumi.
Pada penelitian ini, penulis merancang dan membuat sebuah magnetometer digital berbasis web.
Instrumen ini terdiri atas perangkat keras dan perangkat lunak. Perangkat keras terdiri atas modul
sensor HMC5883L, LM35, Real Time Clock (RTC) DS1307, GPS, minimum sistem, I/O level
converter, AVR ATmega16, Personal Computer (PC) dan LCD 20x4 untuk menampilkan data
hasil pengukuran. Perangkat lunak terdiri dari CodeVision AVR yang diprogram menggunakan
bahasa C dan LabVIEW. Alat magnetometer hasil rancangan ini telah dikomparasi dengan
magnetometer digital operasional yang telah dikalibrasi di Stasiun Geofisika Tangerang dengan
hasil dapat mengukur arah dan besar medan magnet berupa keluaran variasi dari komponen X, Y
dan Z dengan range -21.500 nT sampai 40.000 nT sesuai dengan kondisi kemagnetan di Stasiun
Geofisika Tangerang, dimana data hasil pembacaan dari alat akan ditampilkan dan disimpan pada
PC secara real time menggunakan aplikasi LabVIEW serta ditampilkan dalam bentuk web pada
jaringan lokal.
ABSTRACT
BMKG magnetic field observations in the field of geophysics, especially aimed at the
interests of the magnetic survey and determine the variation in Earth's magnetic field changes
map. For accomplished this interest, automatically magnetic field monitoring instruments is
needed to record magnetic data to facilitate magnetic field observations and magnetic field
measurements. In this research, author designed and created a web-based digital magnetometer.
This instrument consists of hardware and software. The hardware consists of a sensor module
HMC5883L, LM35, DS1307 Real Time Clock, GPS, minimum system, I/O level converter, AVR
ATmega16, Personal Computer (PC) and 20X4 LCD to display the result of measurement data.
The software consists of CodeVision AVR programmed using C language and LabVIEW. This
designed magnetometer instrument has been compared by digital magnetometer that has been
calibrated in Geophysics Station of Tangerang. The result of this magnetometer can measure
magnetic field direction and output of components X, Y and Z in the range around -21 500 nT to
40,000 nT in accordance with the conditions of magnetism in Geophysics Station of Tangerang.
Result of data readings from the instrument will be displayed and stored on a PC in real time using
LabVIEW application and displayed in a web form on local network.
132
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
133
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
2. METODE PENELITIAN
Perancangan alat ini terdiri dari Blok
diagram alat. Komponen alat yang
digunakan, perancangan, flowcart, sistem
Gambar 2. Komponen vektor medan magnet kerja serta data yang ditampilkan
bumi
X = H cos D (1) 2.1. Perancangan Hardware
Y = H sin D = X tan D (2) Perancangan hardware menjelaskan
Z = F sin I = H tan I (3) mengenai blok diagram perancangan alat
D = arctan (Y/X) (4) secara keseluruhan serta system antar muka
I = arctan (Z/H) (5) hardware yang terdiri dari setiap komponen
F2 = X2 + Y2 + Z2 = H2 + Z2 (6) alat. Berdasarkan blok diagram pada Gambar
Dimana : 3, sensor magnet HMC5883L berfungsi
Intensitas vertikal (Z), yaitu besar untuk mengukur arah dan besar medan
medan magnet pada bidang vertikal. magnet pada suatu daerah tertentu.
Intensitas arah (X), yaitu besar Selanjutnya sensor akan dihubungkan
medan magnetik yang searah dengan dengan (Input/Output) I/O level converter
utara sebenarnya. agar tegangan 5 VDC dari mikrokontroler
Intensitas arah (Y), yaitu besar diubah menjadi 3,3 VDC yang kemudian
medan magnetik yang searah dengan dihubungkan ke mikrokontroler ATmega16
timur sebenarnya. bersama RTC DS1307 agar data yang
Deklinasi (D), yaitu sudut antara diperoleh merupakan data yang real time
utara sebenarnya (true north) dengan melalui interface I2C. Kemudian
utara magnetik. mikrokontroler akan mengolah dan
Inklinasi (I), yaitu sudut antara menampilkan data hasil pengukuran arah dan
medan magnetik total dengan bidang besar medan magnet serta waktu pada LCD
horizontal yang dihitung dari bidang 20x4 dan PC dalam bentuk grafik
horizontal menuju bidang vertikal ke menggunakan program LabVIEW.
bawah.
Intensitas horizontal (H), yaitu besar
medan magnetik pada bidang
horizontal.
Medan magnetik total (F) , yaitu
besar dari vektor medan magnetik
total.
1.2. Pengukuran Suhu
Suhu juga disebut temperatur, Satuan
Internasional (SI) suhu adalah Kelvin (K)
menurut International Temperature Scale-
1990 (ITS-90) standar acuan fisikal suhu
Gambar 3. Blok diagram alat
adalah titik tiga fasa air (triple point of
water) dengan nilai TTPW= 273,16 K,
Sistem antarmuka yang digunakan
sehingga satuan Kelvin adalah:
pada alat ini adalah sebagai berikut:
1
1 T PW (7) a. Antarmuka sensor ke mikrokontroler
273,16 Sensor HMC5883L dan RTC
menggunakan antarmuka komunikasi
134
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
I2C, dimana Pin SCL sebagai sumber sehingga dapat dikalibrasi langsung dalam
clock dan Pin SDA sebagai jalur untuk celcius. Memiliki ketepatan atau akurasi
mengirim dan menerima. Sensor LM35 kalibrasi 0,5ºC pada suhu 25 ºC. Memiliki
menggunakan Analog to Digital jangkauan maksimal operasi suhu antara -55
Converter (ADC) yang ada pada PORT ºC sampai +150 ºC. Dioperasikan tegangan 4
A mikrokontroler dan GPS V – 30 V.
menggunakan USART serial sebagai
media antarmukanya.
b. Antarmuka mikrokontroler komputer
Alat ini menggunakan komunikasi
Uneversal Serial Bus (USB) to serial
yang telah terdapat pada minimum
sistem agar bisa berkomunikasi dengan
komputer dan menampilkan data pada Gambar 5. Bentuk fisik sensor suhu LM35
program LabVIEW. c. Input/Output level converter
135
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
h. CodeVision AVR
CodeVision AVR merupakan sebuah
Gambar 8. Bentuk fisik real time clock software untuk memprogram mikrokontroler.
Mikrokontroler dapat berfungsi jika telah
f. Neo Global Positioning System (GPS) diisi sebuah program, pengisian program ini
Spesifikasi dari Neo GPS Starter dapat dilakukan menggunakan compiler yang
Kit adalah sebagai berikut : selanjutnya diprogram ke dalam
Berbasis SIM18, modul GPS Receiver mikrokontroler menggunakan fasilitas yang
48 channel dengan protokol keluaran sudah di sediakan oleh program tersebut.
SiRF OSP& NMEA. Salah satu compiler program yang umum
Tersedia pilihan antarmuka: USB (virtual digunakan sekarang ini adalah CodeVision
COM port), UART TTL, atau I2C. AVR yang menggunakan bahasa
Tegangan input catu daya 5 VDC, pemrograman C (Andrianto, 2013).
dilengkapi dengan regulator tegangan 1,8
VDC. i. LabVIEW
LabVIEW adalah suatu bahasa
pemrograman berbasis grafis yang
menggunakan icon sebagai ganti bentuk teks
untuk menciptakan aplikasi. Berlawanan
dengan bahasa pemrograman berbasis text, di
mana instruksi menentukan pelaksanaan
program, Labview menggunakan
pemrograman data flow, yang mana alur data
menentukan pelaksanaan (execution).
Tampilan pada Labview menirukan
Gambar 9. Bentuk fisik Neo GPS Starter Kit instrument secara virtual (Artanto, 2012).
136
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
137
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
138
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
tersebut secara real time asalkan di PC 3.1. Pengujian Sensor Magnet Dan Suhu
tersebut juga terinstal LabVIEW dan Dalam proses komparasi untuk nilai
terhubung jaringan local dengan PC yang medan magnet dan suhu dibutuhkan
sebagai server. beberapa alat sebagai berikut:
1. Magnetometer operasional merk LEMI-
018.
2. Thermometer chamber dan alat kalirator
suhu standart merk fluke tipe 1502a.
3. Alat magnetometer digital hasil
rancangan.
4. PC sebagai tampilan grafik,
penyimpanan data dan tampilan web.
5. Catu daya untuk PC dan data logger.
Komparasi yang bertujuan untuk
mengetahui kedekatan nilai dari alat
magnetometer digital yang dirancang dengan
Gambar 15. Tampilan pada web alat magnetometer operasional yang telah
menggunakan internet explorer dikalibrasi ini dilakukan pada :
Tanggal : 4-5Juni
Tampilan sistem akuisisi data pada PC 2015
menampilkan grafik dari sumbu X, Y dan Z Waktu : 00:00 -
yang didapat dari output pegukuran arah dan 23.59 UTC.
besar medan magnet oleh sensor magnet Tempat : Stasiun
HMC5883L dalam satuan nT beserta nilai Geofisika Tangerang
komponen lainnya yang berupa nilai dari Untuk proses kalibrasi nilai keluaran
komponen H, F, Inklinasi dan Deklinas yang dari sensor suhu dengan alat kalibrator suhu
didapat dari rumus yang dirancang dalam dilakukan pada :
program LabVIEW serta tampilan data suhu
Hari/tanggal : Senin, 3
yang didapat dari sensor LM35.
Juli 2015
Waktu : 15:00 s/d
18.00 UTC.
Tempat : BBMKG Wilayah II
Ciputat.
Komparasi pada data medan magnet
dilakukan dengan cara meletakkan alat
magnetometer digital hasil rancangan
bersebelahan dengan alat operasional
magnetometer stasiun geofisika Tangerang
yang dipasang di dalam ruangan khusus dan
jauh dari aktivitas manusia. Setelah sejajar,
atur penanda utara yang ditunjukkan oleh
Gambar 16. Tampilan program LabVIEW
arah panah yang telah terpasang pada sensor
pada PC
magnetometer digital hasil rancangan searah
dengan penanda utara pada alat operasional
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
yang ditunjukkan dengan arah panah,
Setelah alat rancangan selesai
sambungkan logger dengan PC melalui USB
dirancang, maka selanjutnya alat rancangan
TTL serial yang terdapat pada minimum
dilakukan validasi dan pengujian. Pengujian
sistem agar dapat menampilkan data dalam
ini dibagi menjadi pengujian sensor dan
bentuk grafik maupun numerik dan
pengujian kinerja grafik interface beserta
menyimpan data dalam PC secara otomatis.
kinerja seluruh sistem yang dirancang.
Pada proses komparasi ini dilakukan
konversi satuan dari mG (milliGauss)
menjadi nT (nanoTesla) dengan mengalikan
hasil keluaran dari alat yang dirancang
139
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
dengan 99,99 agar data yang diperoleh dari lokal dan telah diinstal dengan program
alat yang dirancang dengan alat operasional LABView 2011, kemudian kedua PC
memiliki nilai satuan yang sama yaitu nT tersebut akan membuka URL yang sama dan
(nanoTesla) dan sama – sama memiliki nilai akan dilihat tampilan antara PC 1 dan PC 2
2 satuan dibelakang koma. apakah sama atau tidak.
Gambar 17. Proses komparasi Gambar 19. Proses uji coba website pada
magnetometer digital di Stasiun Geofisika jaringan lokal
Tangerang
3.2 HASIL PEMBACAAN
Kalibrasi pada data sensor suhu Hasil data yang diperoleh akan
dilakukan dengan cara mengkalibrasi nilai dianalisis menggunakan metode analisis
keluaran pada suhu LM35 yang dipakai standar deviasi. Analisis standar deviasi
dalam rancangan dengan kalibrator suhu seringkali digunakan dalam pengumpulan
yang terdapat pada kantor BBMKG II data untuk mengetahui seberapa besar tingkat
Ciputat. Sensor suhu LM35 dimasukkan di kesalahan atau error. Semakin kecil standar
dalam thermometer chamber dan akan deviasi maka data tersebut semakin bagus
dilakukan kalibrasi dengan menyeting daripada data yang memiliki standar deviasi
pointnya di nilai 10oC, 20oC, 30oC, 40oC. yang besar. Nilai dispersi juga dapat dilihat
dari standar deviasi. Jika nilai standar deviasi
kecil hal ini berarti nilai-nilai data berkisar
mendekati rata-rata, semakin besar nilai
standar deviasi maka nilai data tersebar
semakin jauh dari nilai rata-ratanya.
Rumus umum yang digunakan untuk menghitung
standar deviasi adalah sebagai berikut :
S=
(9)
dimana
Yi : data alat ke-n
Y : rata-rata data alat keseluruhan
Gambar 18. Proses kalibrasi sensor suhu di n : banyaknya data yang diambil
Lab. Kalibrasi BBMKG Wil 2 Ciputat
140
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
Tabel 1. Perbandingan nilai X, Y dan Z (nT) pada alat magnetometer hasil rancangan
dengan alat operasional LEMi - 18
Tabel 2. Komparasi nilai suhu (oC) pada alat magnetometer digital hasil rancangan dengan alat
suhu standart
141
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
Gambar 20. Perbandingan nila rata-rata Gambar 22. Perbandingan nila rata-rata
medan magnet pada sumbu X (nT) medan magnet pada sumbu X (nT)
2. Analisis data sumbu Y 4. Analisis data suhu
Melalui hasil perhitungan standar Dari data hasil kalibrasi yang
deviasi yang didapat pada Tabel 1. diperoleh ditunjukkan oleh Tabel 2, diperoleh nilai
standar deviasi untuk data sumbu Y yang koreksi, standar deviasi dan ketidakpastian
terukur dari alat magnetometer digital hasil dari sensor suhu LM35 yang digunakan pada
rancangan adalah sebesar 8,08916974. Nilai alat magnetometer digital yang dirancang.
standar deviasi ini menunjukkan bahwa data secara umum nilai yang didapatkan masih
terdistribusi di sekitar rata-rata. cukup liner dan hubungan data suhu pada
alat standar dan LM35 pada alat hasil
rancangan tidak terlalu jauh. Dikarenakan
142
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
parameter suhu bukanlah parameter utama dengan range pengukuran dalam satuan
yang menjadi pembahasan pokok pada nT dan tingkat resolusi yang lebih tinggi
penelitian ini, maka sensor suhu LM35 masih dari sensor yang dipakai pada penelitian
dikatakan cukup layak untuk digunakan ini agar mendapatkan data yang lebih
dalam alat yang dirancang. akurat.
5. Diperlukan kalibrasi awal terhadap modul
sensor agar mengetahui tingkat
keakuratan maupun tingkat kepercayaan
terhadap nilai yang dikeluarkan oleh
modul sensor tersebut.
6. Dalam proses komparasi data medan
magnet antara alat hasil rancangan dan
alat operasional perlu untuk
memperhatikan aspek noise yang dapat
Gambar 23. Grafik suhu antara alat standar mempengaruhi nilai yang diperoleh.
dengan alat hasil rancangan 7. Sistem tampilan web diharapkan dapat
ditampilkan dalam jaringan publik dengan
5. Tampilan website tampilan yang lebih inovatif dan menarik
Melalui proses uji coba diatas, website sehingga dapat dilihat oleh semua user
dapat berjalan dengan baik pada PC yang dimanapun yang memiliki akses internet.
terhubung jaringan intranet (jaringan lokal)
dengan PC server. Hal ini otomatis dapat DAFTAR PUSTAKA
diterapkan pada setiap PC di kantor yang Andrianto, H., 2013. Program
terhubung dengan PC server asalkan PC mikrokontroler AVR ATmega16
tersebut telah terpasang program LabVIEW menggunakan bahasa C edisi revisi,
dengan versi yang sama dengan program Informatika. Bandung.
LabVIEW yang digunakan pada PC server. Artanto, D., 2012. Interaksi Arduino dan
Tampilan website telah mencangkup seluruh LabVIEW, Elex Media Komputindo,
informasi tentang nilai medan magnet, Jakarta.
tampilan telah berubah otomatis mengikuti Djamal, M., 2006, Pengukuran Medan
perubahan data yang didapat dari sensor Magnet Lemah Menggunakan Sensor
secara real time, susunan grafik, teks, dan Magnetik Fluxgate dengan Satu Koil
pewarnaan sudah cukup baik dan tampilan Pick-Up, Institut Teknologi Bandung,
pada web cukup mudah untuk dibaca dan Bandung.
dipahami. Husni, M., 2012, Magnet bumi dan listrik
udara, Akademi Meteorologi,
4. KESIMPULAN Klimatologi dan Geofisika, Jakarta.
Berdasarkan penelitian dapat diambil Putra, R.A., dan Sutanto, A.T. 2014.
kesimpulan sebagai berikut : Prototipe magnetometer digital
1. Alat dapat digunakan untuk mengukur dengan sensor magnet HMC5883L
arah dan besar medan magnet pada sumbu berbasis mikrokontroler ATMega16.
X, Y danZ dengan range-22.500 nT Jurnal DINAMIKA, edisi VII-Vol.2
sampai 40.000 nTsesuai dengan kondisi (ISSN-14100487), Akademi
kemagnetan di Stasiun Geofisika Meteorologi dan Geofisika. Jakarta.
Tangerang. Winoto, A. 2010. Mikrokontroler AVR
2. Data yang dihasilkan dari alat ditampilkan ATmega8/32/16/8535 dan
pada LCD 20x4 dan monitor PC dalam Pemrogramannya dengan Bahasa C
bentuk grafik, serta dapat disimpan dalam pada WinAVR, Informatika, Bandung.
format ekstension .txt untuk Yusuf, E., 2012, Pengukuran &
mempermudah proses pengolahan data. instrumentasi pada sistem tenaga
3. Tampilan data pada program LabVIEW ep6071 pengukuran medan magnet,
dapat dilihat dan di monitoring Sekolah Teknik Elektro dan
menggunakan web pada jaringan lokal. Informatika, Institut Teknologi
4. Dibutuhkan sebuah sensor yang mampu Bandung.
mengukur arah dan besar medan magnet
143
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
144
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
ABSTRAK
Suhu tanah merupakan salah satu dari banyak parameter cuaca yang diamati oleh BMKG.Karena
suhu tanahadalahunsur yangdipantau dalam dunia pertanian untuk optimalisasi hasil produk
pertanian.Di dalam lingkungan BMKG, data suhu tanahsetelah diamati akan dikumpulkan lalu
kemudian diolah lagi. Namun saat ini, alat untuk mengamati suhu tanah yang telah ada berupa alat
pengukur yang masih konvensional dan pengamatan harus dilakukan langsung dengan melakukan
pembacaan pada termometer air raksa yang ada dilapangan sehingga memungkinkan terjadinya
kesalahan paralaks mata dalam pembacaan suhu.Dalam kaitan hal tersebut, pada penelitian iniakan
dirancang sebuah perangkat alternative digital berbasis mikrokontroler atmega16 sebagai
processing unitnyauntuk mengukur suhu tanah dan SMS sebagai sistem komunikasi kepada user-
nya.
ABSTRACT
Soil temperature are one of many weather parameters observed by BMKG. Because soil
temperature is monitored element in the world of agriculture for optimize agricultural products. In
BMKG, the data of soil temperature would be collected after observed and then the data would be
processed again. But at this time, an instruments to observe the soil temperaturewere already
available such as conventional gaugesand observations must be directly by the mercury
thermometer readings on existing field enabling the eye parallax errors in temperature readings.In
relation to this, in this research will be designed an alternative digital based on mikrokontroler
atmega16 as processing unit for measuring soil temperature and SMS as communications system
for user interface.
145
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
146
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
ditentukan oleh peningkatan dan prototipe ini yaitu RTD 3 kabel (3 wire)
pengurangan komponen – komponen tersebut memiliki spesifikasi yang paling umum biasa
diatas. Demikian pula radiasi panas yang digunakan pada aplikasi-aplikasi di industri.
diterima permukaan tanah akan berbeda –
beda antara tanah yang satu dengan tanah 1.5 Mikrokontroler AVR Atmega16
yang lainnya tergantung dari gradien, warna, AVR merupakan seri mikrokontroler CMOS
dan tumbuh – tumbuhan yang ada disekitar 8-bit produksi Atmel yang berbasis arsitektur
tanah tersebut. RISC (Reduced Instruction Set
Computer).Hampir semua instruksi
1.4 Sensor Suhu PT100 dieksekusi dalam satu siklus clock.Menurut
PT100 merupakan jenis sensor definisi Agfianto dan Dhani (2010)
RTD.RTDadalah singkatan dari Resistance mikrokontroler adalah versi mini dan untuk
Temperature Detector yaitu sensor suhu yang aplikasi khusus dari mikrokomputer atau
pengukurannya menggunakan prinsip komputer. Meskipun versi mini dari suatu
perubahan resistansi atau hambatan listrik komputer pribadi dan komputer mainframe,
logam pembuatnya yang dipengaruhi oleh mikrokontroler dibangun dari elemen -
perubahan suhu. RTD merupakan salah satu elemen dasar yang sama. Secara sederhana,
sensor suhu yang paling banyak digunakan komputer akan menghasilkan output spesifik
dalam otomatisasi dan proses kontrol karena berdasarkan input yang diterima dan program
terkenal akan keakurasiannya. Pada tipe yang dikerjakan. Seperti umumnya komputer,
standar RTD terbuat dari kawat yang tahan mikrokontroler adalah alat yang mengerjakan
korosi, yang dililitkan pada bahan keramik instruksi - instruksi yang diberikan
atau kaca, bahan kawat untuk pembuatan kepadanya.Artinya, bagian terpenting dan
RTD antara lain platinum, emas, perak, nikel utama dari suatu sistem terkomputerisasi
dan tembaga (biasa digunakan platinum) adalah program itu sendiri yang dibuat oleh
yang kemudian ditutup dengan selubung seorang programmer.Program ini
probe sebagai pelindung. Selubung probe ini menginstruksikan komputer untuk
biasanya terbuat dari logam inconel (logam melakukan jalinan yang panjang dari aksi -
dari paduan besi, chrom, dan nikel).RTD aksi sederhana untuk melakukan tugas yang
(PT100) digunakan pada kisaran suhu -200 lebih kompleks yang diinginkan oleh
°C sampai dengan 650 °C. Elemen RTD programmer.
biasanya ditentukan sesuai dengan resistansi
mereka dalam ohm pada nol derajat celcius 1.5 RTC
(0⁰C). Spesifikasi RTD yang paling umum RTC atau real time clock merupakan jam
adalah 100 Ω (RTD PT100), yang berarti elektronik berupa chip yang dapat
bahwa pada suhu 0⁰ C, elemen RTD harus menghitung waktu (mulai detik hingga
menunjukkan nilai resistansi 100 Ω. tahun) dengan akurat serta
Adapun karakteristik dan kelebihan menjaga/menyimpan data waktu tersebut
sensor RTD PT100 yaitu : secara real time. Karena jam tersebut
Ketelitiannya lebih tinggi di banding bekerja real time, maka setelah proses
sensor suhu jenis lainnya. hitung waktu dilakukan output datanya
Memiliki keakurasian yang baik. langsung disimpan atau dikirim ke device
Tahan terhadap temperatur yang lain melalui sistem antarmuka. RTC
tinggi. dilengkapi dengan baterai sebagai pensuplai
Stabil pada temperatur yang tinggi, daya pada chip, sehingga jam akan tetap up-
karena jenis logam platina lebih stabil to-date. RTC dinilai cukup akurat sebagai
dari pada jenis logam yang lainnya. pewaktu (timer) karena menggunakan
Kemampuannya tidak akan terganggu [22]
osilator kristal .
pada kisaran suhu yang luas.
1.6 Modem GSM
RTD memiliki 3 macam kofigurasi koneksi Modem yang digunakan dalam prototipe ini
kabel yaitu 2 wire, 3 wire dan 4 wire. yaitu modem wavecom M1306B Serial
Konfigurasi koneksi yang digunakan pada karena modem Wavecom M1306B Serial ini
147
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
lebih stabil dibanding dengan modem usb port dan semua variable yang ada pada
wavecom karena dilengkapi adaptor modem sistem. Kemudian sensor melakukan
yang membuat power lebih stabil sehingga pengukuran parameter cuaca( suhu tanah)
cocok untuk digunakan sebagai peralatan yang kemudianakan diolah oleh
server pulsa dan sms gateway. mikrokontroler. Data yang telah diolah
kemudian ditampilkan di LCD 16x2 secara
Kelebihan modem GSM : real time dan juga dikirim menggunakan
Modem komunikasi RS232 ke modem GSM dan data
GSM memiliki jangkauan jaringan y setiap 1 jam akan dikirim melalui sms ke HP
ang sangat luas observer atau user.
Modem GSM mempunyai ukuran
yang relative kecil 2.1 Perancangan Perangkat Keras
Harga modem GSM relatif murah. (Hardware)
Perancangan hardware ini membutuhkan
II. METODE PENELITIAN beberapa komponen agar sistem dapat
Bab ini akan dijelaskan perancangan sistem berjalan. Komponen – komponen tersebut
dari alat yang dirancang. Perancangan alat ini meliputi : minimum sistem mikrokontroler
terdiri dari 2 bagian, yaitu perancangan Atmega16, modul rangkaian sensor PT100,
hardware(perangkat keras) dan perancangan modulrangkaian RTC, modulLCD 16x2,
software(perangkat lunak). Perancangan alat modul komunikasi RS-232 dan modem
ini memliki cara kerja yang bisa digambarkan GSM.
dengan flowchart di bawah.
Minimum Sistem Mikrokontroler
ATmega16Prototipe ini menggunakan modul
DI-Super Smart AVR16.DI-Super
Smart AVR.16 adalah sebuah modul
elektronika yang berdasar pada rangkaian
minimum sistem mikrokontroler AVR
(minsis AVR) dimana minsis AVR
ATMEGA16 ini telah dilengkapi modul
downloader, yang juga dapat berfungsi
sebagai antarmuka komunikasinyadengan
komputer melalui PORT USB.
148
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
149
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
untuk men-download data yang telah diolah ini meliputi pengujian sensor dan pengujian
oleh mikrokontroler. komunikasi SMS beserta kinerja seluruh
sistem yang telah dirancang.
150
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
151
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
DAFTAR PUSTAKA
World Meteorological Organization. (2008).
Guide to Meteorological Instruments
and Methods of Observation. WMO-
No. 8 Seventh Edition, Secretary
WMO, Geneva, Switzerland.
Badan Meteorologi dan Geofisika. (2006).
Tata Cara Tetap Pelaksanaan
Pengamatan Dan Pelaporan Data
Iklim Dan Agroklimat. Peraturan
Kepala Badan Meteorologi Dan
Geofisika, Nomor :
SK.32/TL.202/KB/BMG-2006, Kepala
BMG, Jakarta, Indonesia.
Gambar 10.Tampilan komunikasi SMS Sutedjo, M.M, Kartasapoetra, G.A. 2010,
yang diterima Pengantar Ilmu Tanah, Rineka Cipta,
Jakarta.
Gambar 10 diatas adalah tampilan Putra, E.A. dan Nugraha, D. (2010). Tutorial
komunikasi SMS yang dikirimkan oleh alat Pemrograman Mikrokontroler
rancangan berdasarkan hasil pengukuran AVRdengan WinAVR GCC
setiap 1 jam sekali.Dari data sms tersebut, (ATMega16/32/8535).Yogyakarta :
dapat dipastikan bahwa sistem secara UGM.
keseluruhan yang telah dirancang bisa Laugthon,M.A, Warne, D.F. 2010,Sixteenth
berjalan dengan baik. Edition, Electrical Engineers
Reference Book.
IV. KESIMPULAN
Alat rancangan ini telah mampu Pustaka dari Situs Internet
mengukur salah satu parameter cuaca yaitu Hasugian, Jonner.(2003). Media
suhu tanah dengan cukup baik, terbukti Penyimpanan Dokumen Elektronik,
dengan hasil komparasi terhadap alat standar USU Digital Library,
yang menunjukan kedekatan nilai hasil (http://repository.usu.ac.id/bitstream/1
pengukuran. Alat rancangan mampu 23456789/1769/1/perpus-jonner6.pdf),
melakukan komunikasi melalui RS-232 ke diakses 5 Januari 2015.
modem GSM untuk kemudian melakukan Sensor Suhu PT100. Datasheet[online],
pengiriman data via SMS dan menampilkan (http://www.ece.usu.edu/ece_store/spec/pt10
secara real time pada LCD. Sementara itu 0dt-3p.pdf, diakses pada tanggal 12
ketika alat rancangan dibandingkan dengan februari 2015).
alat operasional di Taman Alat Stasiun
Klimatologi Pondok Betung terjadi sedikit
152
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
ABSTRAK
Pengamatan pada stasiun-stasiun meteorologi penerbangan di Indonesia memegang
peranan yang penting dalam memastikan keselamatan penerbangan. Oleh sebab itu, penelitian ini
merancang sebuah sistem yang dapat bekerja secara otomatis atau semi-otomatis, sehingga
kesalahan baik dari faktor manusia maupun alat dapat saling mengoreksi. Sistem ini dirancang
berbasiskan web untuk memudahkan akses data, sehingga memungkinkan komputer mana pun
yang terhubung dengan jaringan lokal pada sistem tersebut untuk mengakses data dan
mengobservasinya. Proses ini juga memudahkan dalam penyampaian informasi meteorologi seperti
METAR, SPECI, Met Report, dan Special Report kepada ATC karena semua informasi dapat
diakses dan ditampilkan langsung dilayar monitor serta dapat di-update secara
otomatis.Mikrokontroler ATmega16 dan sensor SHT11, HP03, WS31, WD31, Tipping Bucket
dimanfaatkan untuk membangun sebuah sistem pengamatan yang diintegrasikan dengan server
berbasis web untuk menjadi sistem pengamatan meteorologi penerbangan berbasis web atau
Aviation Meteorological Observation System (AMOS). Hasil yang didapat setelah uji coba pada
Stasiun Meteorologi Soekarno Hatta Cengkareng menunjukkan bahwa sistem ini dapat bekerja
dengan baik dan dibuktikan dengan nilai hasil komparasi dengan AWS juga cukup baik dan
menghasilkan sandi yang benar sesuai tatacara penyandian Synop dan Metar.
ABSTRACT
153
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
154
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
155
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
Secara garis besar alur dari data data .txt, kemudian program kedua akan
dimulai dari sensor kemudian menuju ke data memisahkan data dari raw data.txt dan
logger, proses ini ditunjukkan dalam diagram menyimpannya kedalam database server yaitu
alir pada Gambar 2. Data akan dikoreksi dan MySQL. Data yang telah tersimpan pada
di proses dalam data logger menjadi suatu database dapat ditampilkan kapan saja pada
rangkaian data kemudian dikirimkan melalui webpage. Data ditampilkan dalam bentuk
jalur komunikasi menuju ke server. Pada realtime maupun dalam bentuk form
server, data akan diterima oleh program pengisian sandi. Hasil dari pengamatan yang
pertama dan disimpan kedalam format raw berupa sandi akan ditampilkan pada beberapa
user terkait seperti ATC (Air Traffic Control),
Forecaster, Observer, Admin.
Perancangan diagram blok sistem
data logger ditunjukkan pada Gambar 3.
Sensor tekanan dan RTC (Real Time Clock)
menggunakan jalur I2C (Inter-Integrated
Circuit), sedangkan SHT11 menggunakan
TWI (Two Wire
Interface).
156
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
157
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
158
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
Tabel 1 menunjukan bahwa data Sentry 03002. Hasil komparasi dari kedua
logger dapat menerima dan mengakusisi data sensor ditunjukkan dalam Gambar 13.
hujan dengan baik walaupun dengan intensitas
hujan yang cukup lebat.
159
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015
160
FORMAT PENULISAN JURNAL MKG
Redaksi Jurnal MKG membuka kesempatan bagi para mahasiswa, dosen, karyawan, dan peneliti
untuk mengirimkan karyatulis ilmiahnya, terutama yang berkaitan dengan bidang ilmu meteorologi,
klimatologi, kualitas udara, geofisika, lingkungan, kebencanaan, dan instrumentasi yang terkait,
dengan ketentuan format seperti di bawah ini.
Abstrak
Abstrak disusun dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, masing-masing 1 alinea, berisi 150
hingga 200 kata yang mencakup tujuan penelitian, metode yang digunakan, dan hasil penelitian
secara singkat, ditulis dengan font Times New Roman ukuran 11 point, cetak miring, spasi tunggal.
Abstract
Abstract in english
DAFTAR PUSTAKA
Naskah Karyatulis Ilmiah dilengkapi dengan referensi/daftar pustaka yang jelas dengan tata urutan
yang konsisten.
Alamat Redaksi:
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Jurnal MKG)
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STMKG
Jl. Perhuhungan I No. 5 Komplek Meteo DEPHUB, Bintaro, Pondok Betung,
Tangerang Selatan – 15221, Telp: 021-73691623 Fax: 021-73692676
E-mail: jurnalmkg@bmkg.go.id