Anda di halaman 1dari 169

ISSN: 2355-7206

Jurnal

Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika
Edisi Wisuda STMKG

Volume 2, Nomor 3, Oktober 2015

Kajian Ilmu Meteorologi,


Meteorologi, Klimatologi,
Geofisika dan Instrumentasi

Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika


Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
JMKG Vol. 2 No. 3 Hal. 1-159 Oktober 2015 ISSN: 2355-7206
Jurnal
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
ISSN: 2355-7206 Volume 2, Nomor 3, Oktober 2015

Diterbitkan oleh:
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG)

Alamat:
Jl. Perhubungan I No. 5 Komplek Meteo DEPHUB, Bintaro, Pondok Betung,
Tangerang Selatan – 15221, Telp: 021-73691623 Fax: 021-73692676
E-mail: jurnalmkg@stmkg.ac.id

Penanggung Jawab
Dr. Suko Prayitno Adi

Pengarah
Hendro Nugroho, S.T., M.Si.
Dr. Supriyanto Rohadi

Ketua Redaksi
Dr. Sugeng Pribadi

Wakil Ketua Redaksi


Dr. Suaidi Ahadi

Anggota Redaksi
Dr. Agus Safril
Dr. Endarwin
Dr. Indra Gustari
Hapsoro Agung Nugroho, S.T.,M.T.
Hariyanto, S.T, M.T.
Suharni, S.Pd.,M.T.

Desain dan Layout


Dr. Iman Suardi
Dr. Deni Septiadi

Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Jurnal MKG) merupakan jurnal ilmiah sebagai
sarana komunikasi untuk melaporkan hasil penelitian bidang ilmu meteorologi, klimatologi, kualitas
udara, geofisika, lingkungan, kebencanaan, dan instrumentasi yang terkait. Jurnal ilmiah ini
diterbitkan setiap empat bulan sekali dalam setahun.
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, akhirnya STMKG dapat menerbitkan Jurnal Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika Edisi keempat sekaligus Edisi Khusus Wisuda Sarjana Terapan
alumni Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG) Tahun 2015.

Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika edisi khusus ini berisi ringkasan
skripsi 16 (enam belas) taruna terpilih Jenjang Sarjana Terapan dari Program Studi
dilingkungan Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG) sebagai
persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Terapan (S.Tr) dibidang Meteorologi,
Klimatologi, Geofisika, dan Instrumentasi-MKG.

Semoga jurnal ini bermanfaat untuk meningkatkan kwantitas dan kualitas jumlah
jurnal ilmiah dibidang ilmu meteorologi klimatologi dan geofisika (Technical Challenge)
secara kontinu dan manfaat lebih jauh diharapkan adanya perubahan sikap positif dari
civitas akademik untuk menerima perubahan kesadaran dan semangat menulis ilmiah dan
mengkomunikasikan secara ilmiah (Adaptive Leadership Challenge) dilingkungan Sekolah
Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG).

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Tangerang Selatan, 28 September 2015

KETUA SEKOLAH TINGGI METEOROLOGI


KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

Dr. SUKO PRAYITNO ADI, M.Si


NIP. 19630315 198503 1001

i
DAFTAR ISI

Kajian Meteorologi Halaman


KAJIAN SUMATERA SQUALL DENGAN WRF-ARW (STUDI KASUS DI 1
BATAM TANGGAL 12 JUNI 2014)
Nizam Mawardi, Endarwin

UJI SENSITIVITAS MODEL NUMERIK WRF-ARW PADA SIMULASI 10


HUJAN LEBAT DI PEKANBARU (STUDI KASUS TANGGAL 7 MARET
2015)
Tri Puryanti, R. M. Rahadi Prabowo

KAJIAN GANGGUAN CUACA PADA KEJADIANHUJAN LEBAT DI 20


BATAM (STUDI KASUS TANGGAL 19 DESEMBER 2014)
Adhitya Prakoso, Aries Kristianto

KAJIAN METEOROLOGI TERKAIT CUACA EKSTREM SAAT MUSIM 29


KEMARAU (Studi Kasus Hujan Sangat Lebat 17 - 26 Juni 2013 di Malaka -
NTT)
Lioba Seuk Soera, Paulus A. Winarso

KAJIAN AMBANG BATAS INDEKS STABILITAS UDARA SAAT 42


KEJADIAN HUJAN LEBAT DAN BADAI GUNTUR DI MAKASAR
La Ode Bangsawan, Bayong Tjasyono

IDENTIFIKASI PERISTIWA TURBULENSI DI ATAS LAUT CHINA 49


SELATAN MENGGUNAKAN MODEL WRF-ARW (STUDI KASUS
TURBULENSI TANGGAL 20 SEPTEMBER 2008 DAN 22 DESEMBER
2014)
Diana Hikmah, Suyatim

Kajian Klimatologi
PREDIKSI CURAH HUJAN DAN HARI HUJAN BULANAN DENGAN 56
PREDIKTOR SUHU MUKA LAUT DI WILAYAH PESISIR BARAT
DAYA SULAWESI
Eva Prameuthia, Erwin E.S. Makmur

ANALISIS HUBUNGAN HUJAN LEBAT PER TIGA JAM DENGAN 69


SIRKULASI ANGIN HARIAN TAHUN 2000-2012 DI STASIUN
METEOROLOGI POLONIAMEDAN
Qurrata A’yun Kartika, Soetamto

PREDIKSI CURAH HUJAN BULANAN STASIUN BMKG DI PROVINSI 81


BENGKULU MENGGUNAKAN TEKNIK DOWNSCALLING STATISTIK
Pungky Saiful Akbar, Dodo Gunawan
ii
Kajian Geofisika
STUDI PENDAHULUAN MIKROZONASI KOTA TANGERANG 94
SELATAN MELALUI ANALISIS NILAI VS-30 DAN PERIODE
DOMINAN
Bagus Adi Wibowo, Ariska Rudiyanto, Gunawan Ibrahim, Yusuf Haidar Ali,
Alexander Taufan Felix Perreira, Trismahargyono
PENERAPAN METODE POLARISASI RASIO UNTUK DETEKSI 106
NOMALI EMISI ULF SEBAGAI INDIKASI PREKURSOR GEMPA BUMI
LOMBOK, 22 JUNI 2013
Aldilla Damayanti Purnama Ratri, Suaidi Ahadi dan Fitri Nuraeni

PEMODELAN TSUNAMI AKIBAT SESAR MENDATAR GEMPABUMI 113


MALUKU 28 JANUARI 2004
Robby Wallansha, Sugeng Pribadi

ANALISIS GEMPABUMI PEMBANGKIT TSUNAMI BERDASARKAN 123


PROSES SUMBER PADA STUDI KASUS GEMPABUMI DI WILAYAH
BAGIAN BARAT SUMATRA
Indira, Iman Suardi, Muzli

Kajian Instrumentasi
PERANCANGAN DAN PEMBUATAN MAGNETOMETER DIGITAL 131
DENGAN SENSOR MAGNET HMC5883L BERBASIS WEB
Rizky Ananda Putra, Agus Tri Sutanto
PROTOTIPE SUHU TANAH DIGITAL BERBASIS MIKROKONTROLER 144
ATMEGA16 MENGGUNAKAN KOMUNIKASI SMS
Hendro Prasetyo, Kanton Lumban Toruan, Haryanto

SISTEM PENGAMATAN METEOROLOGI PENERBANGAN BERBASIS 152


WEB
Marthin Dendy Saputra Lumban Toruan, Ibnu Sofwan Lukito,
Hapsoro A. Nugroho

iii
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015

KAJIAN SUMATERA SQUALL DENGAN WRF-ARW


(STUDI KASUS DI BATAM TANGGAL 12 JUNI 2014)
Nizam Mawardi, Endarwin
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
Email :ichigosihebat@gmail

ABSTRAK
Squallline adalah barisan awan Cumulonimbus yang memanjang beberapa puluh kilometer
hingga ratusan kilometer yang dapat menyebabkan terjadinya hujan lebat dan angin kencang.
Dalam hal ini salah satu contoh squalllineyang terdapat di wilayah tropis adalah yang terjadi di
wilayah Sumatera atau Selat Malaka dan dikenal sebagai Sumatera Squall.Fenomena ini umumnya
terjadi antara bulan Maret hingga November pada malam hari setiap tahunnya dan bergerak ke arah
timur. Pada penelitian ini dilakukan kajian terhadap keberadaan fenomena tersebut melalui analisis
serta prediksi dariprofil vertikal atmosfer dengan menggunakan model WRF-ARW. Melalui
penelitian ini juga diharapkan dapat diketahui kemampuan dari model tersebut dalam melakukan
analisis serta prediksi terjadinya fenomena Sumatera Squall. Berdasarkan hasil analisis yang
dilakukan untuk kejadian tanggal 12 Juni 2014, dapat diketahui bahwa di wilayah sebelah barat
Batam terdapat konvergensi angin yang memanjang di paras bawah, kolam dingin yang bergerak
ke timur, nilai kelembaban yang tinggi di paras bawah, nilai CAPE yang besar sertashear vertikal
yang kuat. Hasil ini menunjukkan indikasi yang kuat bahwa saat tersebut terdapat squall
line.Demikian juga dengan hasil prediksi yang juga menunjukkan hal yang sama. Hasil-hasil ini
menunjukkan bahwa pada tanggal 12 Juni 2014 terdapat fenomena Sumatera Squalldi sekitar
Batam dan model WRF-ARW dapat melakukan analisis serta prediksi terhadap kejadian Squall
line di Sumatera dengan cukup baik.

Kata kunci :Squallline, Sumatera Squall, WRF-ARW

ABSTRACT
Squall line is the line of Cumulonimbus cloud that extends several tens of kilometers to
hundreds of kilometres that can cause heavy rain and strong winds. One example of this
phenomena in the tropics is Sumatera Squall that grow and moveeastward in Sumatera or Malacca
strait and occurred between March and November in the predawn each year. This reseach
conducted a study on the phenomenon through analysis and prediction of the vertical profile of the
atmospherebyWRF-ARW model. By this research is also expected to determine the ability of the
model to do the analysis and prediction.Finally, the analysis and prediction results on 12 June
2014showed that Sumatera Squall occurs due to wind convergence elongated shape at low-level,
an eastward-moving cold pool, high humidity values in the lower level, great value of CAPE and
strong vertical shear. These results showed that the model able to analyse and predict the
occurrence of Sumatera Squall in Batam quite well.

Keywords :Squall line, Sumatera Squall, WRF-ARW

1
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015

1. PENDAHULUAN digunakan dalam memprediksi dan


Benua maritim Indonesia memiliki menganalisa fenomena cuaca skala meso.
keunikan dan kompleksitas pembentukan WRF-ARW dapat digunakan dalam kegiatan
awan, cuaca dan iklim (Tjasyono dan penelitian maupun operasional. Model WRF-
Harijono, 2013). Salah satu di antaranya ARW banyak digunakan di Indonesia untuk
adalah adanya fenomena squallline. simulasi kondisi atmosfer yang terjadi. Model
Squallline didefinisikan sebagai WRF-ARW sangat baik digunakan karena
thunderstorms yang berbentuk memanjang mampu menggambarkan fenomena cuaca
seperti garis yang lebarnya puluhan kilometer mulai dari fenomena skala eddy hingga
dan panjangnya mencapai ratusan kilometer simulasi skala global oleh karena itu model
dengan durasi masa hidup jauh lebih lama WRF-ARW digunakan di banyak belahan
dibandingkan dengan sel thunderstorm dunia (Skamarock, et. al, 2008). Sumatera
tunggal (Air Weather Service, 1991). Akibat Squall yang melintasi Batam menjadi pokok
dari squallline yang melintasi di suatu bahasan dalam penelitian ini. Mengingat
wilayah adalah angin kencang diikuti hujan frekuensi kejadian squallline di wilayah
lebat (Cotton, et.al, 2011). Menurut Gamache Batam sering terjadi oleh karena itu perlu
dan Houze (1982), squallline mempunyai dilakukan analisis mengenai kondisi profil
karakteristik adanya konvergensi di lapisan vertikal squalllines untuk mengidentifikasi
boundary yang menyebabkan kuatnya keberadaan fenomena tersebut bila dilihat dari
konveksi ke atas. Jika dilihat dari sounding hasil simulasi WRF-ARW.
hasil pengamatan udara atas, pada saat Penulisan ini bertujuan untuk
kejadian squallline kelembaban udara yang mengetahui profil vertikal atmosfer saat
tinggi terdapat pada lapisan dekat permukaan kejadian Sumatera Squall, mendeteksi
(Zipser, 1977). Squallline juga keberadaan Sumatera Squall berdasarkan
mengindikasikan adanya CAPE (Convective analisis model WRF-ARW dan untuk
Available Potential Energy) pada area yang mengetahui kemampuan model WRF-ARW
luas dan vertical wind shear, semakin kuat dalam memprakirakan kejadian Sumatera
keduanya maka semakin kuat dan lama juga Squall.Mengingat akan frekuensi kejadian
sistem squallline yang terjadi (COMET, Sumatera Squall yang sering terjadi dan
1999). mengakibatkan cuaca ekstrim di Batam dan
Squallline sebagai salah satu bentuk sekitarnya, penggunaan model WRF-ARW
dari Mesoscale Convective Sytem (MCS) dalam penelitian ini diharapkan dapat
dapat terjadi di wilayah tropis dan lintang digunakan untuk menganalisis dan
menengah. Salah satu contoh squallline yang memprakirakan fenomena Sumatera Squall
terjadi di wilayah tropis ada yang diberi nama yang terjadi di wilayah Batam dan sekitarnya
Sumatera Squall. Sumatra Squall adalah agar dapat memberikan informasi peringatan
barisan badai guntur yang biasa terjadi di cuaca dini sebelum fenomena Sumatera
antara Maret dan November setiap tahunnya. Squall terjadi.
Sumatra Squall mulai tumbuh pada malam
hari di Pulau Sumatra atau perairan Selat 2. DATA DAN METODE
Malaka bergerak ke timur. Sumatra Squall Dalam penulisan ini data yang
biasanya melintasi Singapura, semenanjung digunakan adalah data pada tanggal 11 Juni
Malaysia dan termasuk Batam pada dini hari 2014pukul 00 UTC hingga 12 Juni 2014
hingga fajar. Jika Sumatra Squall melintasi pukul 00 UTC di antaranya yaitu, data FNL
suatu daerah sering ditandai dengan adanya (Final Analysis) yang merupakan data
angin kencang di permukaan dan hujan lebat reanalysis didapat dari National Centers for
yang terjadi 1 atau 2 jam lamanya (NEA, Environmental Prediction (NCEP), data GFS
2013). Menurut Meteorological Service (Global Forecast System) yang merupakan
Singapore melalui media online data prakiraan didapat dari National Oceanic
todayonline.com, telah terjadi Sumatra Squall and Atmospheric Administration (NOAA),
pada tanggal 12 Juni 2014 dini hari. data pengamatan sinoptik dari Stasiun
WRF-ARW (Weather Research and Meteorologi Batam dan data citra satelit
Forecasting – Advanced Research) MTSAT (Multi Functional Transport-
merupakan salah satu model NWP Satellite) yang diperoleh dari Sub-bidang
(Numerical Weather Prediction) yang

2
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015

pengelolaan citra satelit Badan Meteorologi kejadian cuaca ekstrim (BMKG, 2010). Hal
Klimataologi dan Geofisika. ini menandakan adanya suatu sistem awan
Data FNL yang digunakan untuk Cumulonimbus yang dapat menyebabkan
analisis dan data GFS yang digunakan untuk angin kencang.
prakiraan running model WRF-ARW dengan Berdasarkan hasil pengolahan data
konfigurasi seperti ditunjukkan pada tabel citra satelit MTSAT menggunakan SATAID
berikut : (Satellite Interactive and Animation
Diagnosis)menunjukkan bahwa citra awan
Tabel 1. Konfigurasi WRF dari satelit MTSAT kanal IR4 tanggal 11 Juni
Konfigurasi WRF yang digunakan 2014 awan dingin dengan suhu minimum -
Konfigurasi Domain 1 Domain 2 Domain 63,4 0C sudah terbentuk pada pukul 18 UTC
3 di pesisir timur Riau. Awan – awan dingin
Skema Kessler Kessler Kessler yang terindikasi sebagai awan konvektif
Mikrofisik tersebut bergerak ke timur, meluas dan suhu
Skema PBL YSU YSU YSU minimum puncak awan semakin turun
Skema Grell- Grell- Grell-
menjadi -71,10C. Pada pukul 20 UTC awan
Cumulus Devenyi Devenyi Devenyi
dingin tampak semakin tebal dan terus
bergerak ke timur sampai ke perairan sebelah
Setelah running model WRF-ARW
barat dekat Batam dengan ujung paling timur
mendapatkan file .ctl dan .dat, langkah
dari awan tersebut cenderung berbentuk
selanjutnya adalah menganalisis kejadian
memanjang.
Sumatera squall dengan data FNL hasil
running WRF-ARW menggunakan aplikasi
GrADS unsur – unsur konvergensi,
3.2 Analisa dan Prakiraan Model WRF-
kelembaban udara, CAPE dan wind shear
ARW
vertikal. Hal serupa juga dilakukan dengan
Dalam melakukan analisis terhadap
data GFS untuk menguji kemampuan model
kejadian Sumatera Squall tanggal 12 Juni
dalam memprakirakan Sumatera Squall.
2014 dini hari akan dikaji parameter –
Setelah melakukan analisis maka didapatkan
parameter luaran model WRF-ARW yang
kesimpulan.
menjadi karakteristik kejadian squallline yaitu
di antaranya adalah konvergensi, kolam
dingin, kelembaban udara relatif, nilai CAPE
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
dan wind shear. Berdasarkan analisis pola
3.1 Analisis Berdasarkan Observasi
angin dan divergensi hasil luaran WRF-ARW
Berdasarkan hasil observasi, hujan
menggunakan data FNL, terlihat pada gambar
lebat mulai turun pada pukul 19.43 UTC dan
1 adanya pola konvergensi yang berbentuk
terus berlangsung hingga pukul 21 UTC
memanjang di paras 900 mb yang melintasi
dengan curah hujan tercatat selama satu jam
wilayah Pulau Batam. Pada pukul 18 UTC
adalah 24,3 mm. Menurut BMKG (2010),
sudah terlihat adanya pola angin yang
hujan > 20 mm/jam merupakan kejadian
mengumpul di sebelah timur Riau. Nilai
cuaca ekstrim.Setelah pukul 21 UTC, hujan
divergensi yang menunjukkan nilai –3 X 10-4
turun dengan intensitas ringan dan terus
s-1 mengindikasikan adanya konvergensi di
menerus dan berhenti pada 12 Juni 2014
wilayah tersebut. Pada pukul 19 UTC, terlihat
pukul 01 UTC. Hujan lebat yang terjadi
pola konvergensi semakin meluas dan
merupakan hujan yang terjadi dari awan
bergerak ke arah timur dan mulai memasuki
Cumulonimbus dan hujan dengan intensitas
wilayah perairan Selat Malaka sebelah barat
ringan yang berlangsung lama terjadi dari
Pulau Batam. Pada saat mulai terjadi hujan
awan – awan stratiform.Jika dilihat dari
lebat pukul 20 UTC, terlihat pada gambar 4.4
parameter kecepatan angin, pada pukul 19.30
pola konvergensi memasuki wilayah Batam
angin bertiup dengan kecepatan 5 knots dari
dan semakin bergerak ke timur. Daerah –
selatan, kemudian secara tiba – tiba angin
daerah konvergensi merupakan daerah
kencang bertiup dari barat dengan kecepatan
terbentuknya awan – awan Cumulonimbus
rata – rata 18 knots dan gusty mencapai 30
yang menyebabkan hujan deras dan angin
knots mulai pada pukul 19.35 UTC. Angin
kencang. Pola konvergensi yang memanjang
dengan kecepatan > 25 knots merupakan

3
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015

dapat menggambarkan awan Cumulonimbus yang terbentuk.

Gambar 1.Analisis Streamline lapisan 900 mb data FNL pada tanggal 11 Juni 2014 (a) pukul 18
UTC (b) pukul 19 UTC (c) pukul 20 UTC (d) pukul 21 UTC

Gambar 2.Prakiraan Streamline lapisan 900 mb data GFS pada tanggal 11 Juni 2014 (a) pukul 18
UTC (b) pukul 19 UTC (c) pukul 20 UTC (d) pukul 21 UTC

Menurut Zipser (1977), pada kejadian Pada gambar 1terlihat bahwa hasil luaran
squallline pola angin di paras permukaan dan WRF-ARW menunjukkan adanya pola angin
paras campuran adalah pola divergensi divergensi bernilai maksimum 3 X 10-4 s-1 di
dengan nilai antara 1 X 10-4 s-1 sampai 5 X 10- belakang pola konvergensi yang berbentuk
4
s-1 yang berada di belakang sistem memanjang atau sistem dari Sumatera Squall.
squallline. Hal ini juga berlaku untuk kejadian Bila ditinjau dari hasil prakiraan
squallline di wilayah tropis (Houze, 1977). WRF-ARW menggunakan data GFS pada

4
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015

gambar 2 terlihat bahwa secara umum model sampai sistem squallline melemah. Menurut
menunjukkan adanya pola angin mengumpul Corfidi (2003), gerakan dan pertumbuhan sel
dan nilai divergensi negatif atau terjadi konvektif yang baru pada sistem konveksi
konvergensi. Pola konvergensi berbentuk skala meso terjadi di sekeliling kolam dingin
memanjang dengan nilai divergensi –3 X 10-4 yang terbentuk pada paras bawah. Hal ini
s-1 mulai terbentuk pukul 18 UTC di sebelah memperlihatkan bahwa kejadian Sumatera
timur Riau dan di perairan barat laut Batam. Squall yang termasuk pada sistem konvektif
Pola konvergensisemakin meluas pada pukul skala meso daerah tropis propagasinya
19 UTC dan sudah melintas Batam pada dipengaruhi oleh sistem kolam dingin. Jika
pukul 20 UTC. Terlihat padagambar 2 dibandingkan dengan hasil analisanya, secara
polakonvergensi di bagian depan sistem umum prakiraan hasil luaran model
squallline diikuti dengan divergensi di bagian menggambarkan adanya pola kolam dingin
belakang dari sistem. Hal ini menunjukkan yang bergerak ke arah timur saat kejadian
adanya kemiripan pola angin dan nilai Sumatera Squall pada 12 Juni 2014 dini hari.
divergensi antara analisa model menggunakan Jika dilihat dari profil vertikal
data FNL dengan prakiraan model kelembaban udara relatif,Pada gambar 4
menggunakan data GFS. Namun bila terlihat bahwa di tanggal 11 Juni 2014 analisis
diperhatikan lebih lanjut, terdapat perbedaan kelembaban udara paras bawah dekat dengan
pola prakiraan yang tidak memanjang permukaan memiliki nilai kelembaban antara
sempurna dan adanya beda waktu pada pola 80 – 90 % mulai dari pagi hari hingga
konvergensi yang melintas Batam. terjadinya Sumatera Squall. Mulai pada pukul
Pada kejadian squallline, di 15 UTC terlihat bahwa udara cukup basah
ketinggian 150 m di belakang bagian depan dengan nilai kelembaban 80 – 90 % dari paras
dari sistem squallline terdapat udara dingin permukaan sampai dengan paras 700 mb dan
dan basah di mana suhu udaranya lebih dingin nilai kelembaban 50 – 70 % terjadi pada paras
daripada di sekitarnya (Zipser, 1977). Profil 700 mb sampai dengan paras 500 mb.Saat
suhu udara di paras 150 m berdasarkan hasil mulai terjadi hujan lebat di Batam pukul 20
luaran model WRF-ARW tanggal 11 Juni UTC terlihat bahwa udara basah dari paras
2014 di lintang 107’ LU pada gambar 3 permukaan sampai dengan lapisan 500 mb
memperlihatkan bahwa sebelum Sumatera dengan nilai kelembaban udara antara 80 –
Squall melintasi wilayah Batam pada pukul 100 %. Kelembaban udara yang tinggi pada
18 UTC suhu udara masih cukup tinggi yaitu tanggal 11 Juni 2014 memperlihatkan bahwa
antara 28 – 290C. Di sekitar103024’ BT atmosfer dalam kondisi memiliki banyak uap
terdapat penjalaran kolam dingin dimulai air yang cukup banyak untuk mendukung
pukul 18 UTC dengan suhu antara 24 – 25 0C. proses pertumbuhan awan – awan konvektif
Kolam dingin mencapai nilai minimum pada yang menyebabkan terjadinya Sumatera
suhu kurang dari 23 0C dimulai pukul 20 UTC Squall pada 12 Juni 2014 dini hari di wilayah
saat hujan deras mulai turun dan terus Batam.
bergerak ke arah timur melewati wilayah
Batam dan terus bergerak ke arah timur

Gambar 3.Perbandingan suhu udara analisis data FNL (kiri) dengan pakiraan data GFS (kanan)

5
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015

Gambar 4.Perbandingan kelembaban udara analisis data FNL (kiri) dengan pakiraan data GFS
(kanan)

Gambar 5. Analisis nilai Convective Available Potential Energy data FNLpada tanggal 11 Juni
2014 (a) pukul 00 UTC(b) pukul 12 UTC (c) pukul 18 UTC (d) pukul 21 UTC

Gambar 6. Prakiraan 24 jam nilai Convective Available Potential Energy data GFS pada tanggal
11 Juni 2014 (a) pukul 00 UTC (b) pukul 12 UTC (c) pukul 18 UTC (d) pukul 21 UTC

6
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015

Bila dilihat dari parameter berada di perairan sebelah barat Batam. Pukul
kelembaban udara di stasiun pengamatan, 18 UTC, nilai CAPE > 3000 J/kg hampir
prakiraan luaran model WRF-ARW memiliki merata di wilayah Batam dan perairan
pola dan nilai yang hampir sama dengan hasil sekelilingnya, tetapi terdapat daerah kecil di
analisanya seperti terlihat pada Gambar 4. perairan sebelah barat laut Batam dengan nilai
Model WRF-ARW memprakirakan CAPE < 250 J/kg. Nilai CAPE pada pukul 21
kelembaban udara sangat basah antara 80 – UTC terdapat pola nilai CAPE < 250 J/kg
100 % terjadi di paras dekat permukaan dari yang luas di sekitar Batam dan terdapat pola
pagi hari sampai terjadinya Sumatera Squall. CAPE > 2500 J/kg di sebelah timur Batam.
Namun, terdapat kelembaban udara yang Pola ini terlihat hampir sama dengan pola
relatif kering di paras 800 – 700 mb dengan CAPE hasil analisa WRF-ARW yang
nilai antara 50 – 60 % pada pukul 5 hingga menggambarkan adanya sistem barisan awan
pukul 15 UTC Cumulonimbus yang melintas Batam.
Nilai CAPE di sekitar wilayah Batam Jika dilihat dari shear angin vertikal
pada tanggal 11 Juni 2014 pukul 00 UTC di paras bawah, saat Sumatera Squall belum
seperti yang terlihat pada gambar 5 sudah melintas Batam pada pukul 18 UTC pada
cukup besar yaitu antara 1500 – 2750 J/kg. gambar 7 sudah terlihat adanya shear vertikal
Namun, pada siang hingga sore hari tidak kecil hingga sedang. Namun, sudah terlihat
terjadi hujan di sekitar wilayah Batam. Pada adanya shear kuat > 10 m/s di sebelah timur
pukul 12 UTC, nilai CAPE semakin Riau. Pada pukul 19 UTC mulai terlihat pola
meningkat hingga nilai CAPE di perairan shear kuat yang berbentuk memanjang di
sebelah barat Pulau Batam mencapai > 3000 perairan sebelah barat Batam. Saat Sumatera
J/kg. Nilai CAPE > 3000 J/kg semakin meluas Squall mulai melintas pukul 20 UTC, pola
dari perairan sebelah barat Pulau Batam shear kuat semakin meluas di belakang sistem
sampai ke sebelah timur Pulau Batam terjadi dan di sekitar stasiun pengamatan terjadi
sebelum Sumatera Squall melintasi Batam shear sedang dengan nilai sebesar 4 – 8 m/s.
pada pukul 18 UTC. Nilai CAPE yang besar Pada pukul 21 UTC terlihat pola shear kuat
mengindikasikan adanya energi buoyancy bergerak ke timur dan semakin meluas di
yang dapat mengangkat parsel ke paras atas. utara stasiun pengamatan. Shear di stasiun
Nilai CAPE yang besar memungkinkan pengamatan saat itu juga semakin kuat, yaitu
adanya potensi pertumbuhan awan – awan antara 6 – 7 m/s dan pola shear kuat meluas
konvektif yang besar juga. Namun setelah berada di belakang sistem squallline.
Sumatera Squall melintasi Batam pada pukul Pukul 18 UTC, prakiraan shear
21 UTC, terlihat adanya pola batas berbentuk vertikal paras bawah luaran WRF-ARW pada
garis yang jelas antara nilai CAPE kecil yaitu gambar 8 menunjukkan di Batam hanya
< 250 J/kg di belakang atau di sebelah barat terdapat shear lemah. Setelah itu, tampak
dari nilai CAPE besar > 2500 J/kg. Batas bahwa terdapat shear yang kuat > 10 m/s di
kedua nilai CAPE yang jelas tersebut sekitar Batam. Secara umum, hasil prakiraan
mengindikasikan bahwa daerah di belakang model menunjukkan adanya shear vertikal
Sumatera Squall memiliki gaya apung yang paras bawah yang kuat pada saat, sebelum dan
kecil. sesudah squallline melintas Batam, walaupun
Gambar 6 memperlihatkan nilai hasil prakiraan dari WRF-ARW tidak
CAPE hasil prakiraan model WRF-ARW menggambarkan adanya pola tertentu dari
pada 11 Juni 2014. Pada pukul 00 UTC di shear paras bawah pada saat kejadian
wilayah sekitar Batam nilai CAPE mencapai Sumatera Squall 12 Juni 2014 dini hari.
2750 J/kg. Pukul 12 UTC besarnya nilai
CAPE bervariasi nilainya antara 1000 – 3000
J/kg dengan konsentrasi nilai CAPE 3000 J/kg

7
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015

Gambar 7.Analisis Wind shear vertikal paras bawah (paras 900 mb dan permukaan) dalam m/s
data FNL pada tanggal 11 Juni 2014(a) pukul 18 UTC (b) pukul 19 UTC (c) pukul 20 UTC(d)
pukul 21 UTC

Gambar 8.Prakiraan Wind shear vertikal paras bawah (paras 900 mb dan permukaan) dalam m/s
data GFS pada tanggal 11 Juni 2014(a) pukul 18 UTC (b) pukul 19 UTC (c) pukul 20 UTC(d)
pukul 21 UTC

8
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

4.KESIMPULAN Pelaksanaan Peringatan Dini,


Pelaporan dan Diseminasi Informasi
1. Berdasarkan hasil analisis luaran WRF- Cuaca Ekstrim. BMKG Jakarta.
ARW pada kejadian Sumatera Squall Comet Program. 1999. Meteorology
tanggal 12 Juni 2014 dini hari terdapat Education and Training (MetEd) : Mesoscale
karakteristik yang mendukung di Convective System : Squall Lines and
antaranya yaitu adanya konvergensi Bow Echoes, University Corporation
angin di paras bawah berbentuk for Atmospheric Research (UCAR),
memanjang, adanya kolam dingin yang Colorado.
bergerak ke timur, nilai kelembaban Corfidi, S. F. 2003. Cold Pools and MCS
tinggi di paras bawah dan kelembaban Propagation : Forecasting the Motion of
rendah di paras menengah, nilai CAPE Downwind-Developing MCSs.
yang cukup besar, dan besarnya nilai Weather and Forecasting. Vol. 18,
shear vertikal di paras bawah. 997 – 1017.
2. Untuk mendeteksi kejadian Sumatera Cotton, W. R., Bryan, G. H., Heever, S. C.
Squall dapat dilihat dari streamline dan 2011. Storm and Cloud Dynamics. Elsevier
konvergensi, kolam dingin, kelembaban Inc. New York.
udara, nilai CAPE serta shear vertikal di Gamache, J. F. and Houze, R. A. 1982.
paras bawah. Mesoscale Air Motion Associated with a
3. Hasil luaran WRF-ARW menggunakan Tropical SquallLine. Monthly Weather
data GFS mampu memprakirakan Review. Vol. 110, 118 – 135.
terjadinya Sumatera Squall di Batam Houze, R. A. 1977. Structure and
dengan baik, hal ini terlihat dari hasil Dynamicsof a Tropical SquallLine. Monthly
luarannya menunjukkan karakteristik Weather Review. Vol. 105, 1540 –
squallline dan kejadian angin kencang 1567.
sebagai akibat dari barisan awan National Environment Agency (NEA). 2013.
Cumulonimbus di paras bawah meskipun Sumateras (http://www.nea.gov.sg/training-
terdapat jeda waktu dengan knowledge-hub/weather-
kenyataannya. Hasil prakiraan model climate/sumateras, diakses tanggal 1
WRF-ARW dengan data GFS dapat Februari 2015).
dijadikan acuan sebagai dasar untuk Skamarock, William C., Klemp, Joseph B.,
membuat peringatan dini cuaca ekstrim Dudhia, Jimmy., Gill, David O., Barker, Dale
di Batam sebagai akibat dari kejadian M., Duda, Michael G., Huang, Xiang-
Sumatera Squall. Yu., Wei, Wang., Powers, Jordan G.
2008. A Description of the Advanced
Research WRF Version 3. NCAR/TN-
SARAN 475+STR, NCAR Technical note.
Tjasyono, B. dan Harijono, S. W. B. 2013.
Mengingat frekuensi kejadian Atmosfer Ekuatorial. Pusat Penelitian dan
Sumatera Squall yang sering menyebabkan Pengembangan, Badan Meteorologi
cuaca ekstrim hujan lebat dan angin kencang Klimatologi dan Geofisika, Jakarta.
di Batam, penggunaan WRF-ARW dalam Todayonline.com. 2014. Sumatera squall
mengenalisa dan memprakirakan kejadian brings rain and gusty winds to Singapore
tersebut diharapkan dapat membantu (http://www.todayonline.com/singapor
prakirawan dalam membuat peringatan dini e/sumatera-squall-brings-rain-and-
cuaca. gusty-winds-across-singapore, diakses
tanggal 1 Februari 2015).
Zipser, E. J. 1977. Mesoscale and
DAFTAR PUSTAKA Convective-scale Downdrafts as Distinct
Components of Squall-line
AWS/TR-240. 1991. Forecaster’s Guide to Circulation. Monthly Weather Review.
Tropical Meteorology. Air Weather Vol. 105, 1568 – 1589.
Service.
BMKG. 2010. KEP.009 Tahun 2010 Tentang
Prosedur Standar Operasional

9
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Pustaka dari Situs Internet: http://rda.ucar.edu/, diakses pada 6 Januari


http://nomads.ncdc.noaa.gov/, diakses pada 3 2015
Juli 2015

10
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015

UJI SENSITIVITAS MODEL NUMERIK WRF-ARW


PADA SIMULASI HUJAN LEBAT DI PEKANBARU
(STUDI KASUS TANGGAL 7 MARET 2015)
Tri Puryanti 1), R. M. Rahadi Prabowo 2)
1)
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
2)
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
Email: tripydkn@gmail.com

ABSTRAK
Kejadian hujan lebat yang terjadi di wilayah Kota Pekanbaru pada tanggal 7 Maret 2015
cukup menarik perhatian. Kejadian tersebut merupakan hujan lebat pertama setelah Kota
Pekanbaru dilanda cuaca panas dengan suhu yang cukup tinggi selama beberapa bulan terakhir.
Mengingat kondisi fisis atmosfer di daerah tropis sangat bervariasi, maka perlu dilakukan
simulasi kejadian hujan lebat dengan menggunakan model numerik Weather Research and
Forecasting – Advanced Research WRF (WRF-ARW) untuk mengetahui kondisi atmosfer yang
terjadi di daerah tersebut. Dalam penelitian ini dilakukan pengujian terhadap sembilan
konfigurasi skema parameterisasi mikrofisis dan kumulus model WRF-ARW yang berbeda. Dari
hasil verifikasi secara dikotomi, spasial, dan kuantitatif terhadap hasil keluaran sembilan
konfigurasi skema tersebut, dapat diketahui bahwa konfigurasi skema 9 yang terdiri dari skema
WSM3 untuk mikrofisis, YSU untuk PBL, dan Grell Devenyi untuk kumulus dianggap skema yang
paling baik dalam mensimulasikan kejadian hujan lebat di Pekanbaru tanggal 7 Maret 2015. Dari
analisis hasil keluaran skema terpilih tersebut diketahui bahwa kondisi atmosfer di atas wilayah
Pekanbaru cukup basah yang ditunjukkan dengan nilai kelembaban udara per lapisan yang tinggi,
didukung dengan nilai CAPE yang cukup tinggi serta adanya arus konvergensi, dimana kondisi
tersebut sangat mendukung proses pembentukkan awan-awan konvektif yang dapat menyebabkan
terjadinya hujan lebat.

Kata kunci : hujan lebat, skema parameterisasi, WRF-ARW, Pekanbaru.

ABSTRACT
The heavy rain was occured on 7th March 2015 in Pekanbaru as anomaly weather. It was
the first heavy rain in Pekanbaru since drought with high temperature in the previous months.
Regarding the various physics condition of the atmosphere in tropical areas, a simulation of heavy
rain using numerical model of Weather Research and Forecasting – Advanced Research WRF
(WRF-ARW) was conducted to know the atmosphere condition happening in this area. The
simulation was conducted by testing nine microphysics and cumulus parameterization scheme of
WRF-ARW model configurations. The model output of the nine schemes was verified in a
dichotomy way, spatially and quantitatively to get the result of the configuration output of those
nine schemes. The result shows that the configuration of the nine schemes which consist of WSM3
scheme for microphysics, YSU for PBL and Grell Devenyi for cumulus is concerned as the best
scheme that stimulates the heavy rain happened on 7th of March 2015 in Pekanbaru. In reference
to the output of the chosen scheme, it is known that the atmosphere condition above Pekanbaru
area is wet. It is shown by the height of the air moistness in each layer, the support of high CAPE
value and the existence of convergent current. Such conditions stimulate the formation of
convective cloud strongly which then creates heavy rain.

Keywords: heavy rain, parameterization scheme, WRF-ARW, Pekanbaru.

11
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015

1. PENDAHULUAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk


Pada tanggal 7 Maret 2015, Kota mengetahui konfigurasi skema
Pekanbaru diguyur hujan lebat dengan parameterisasi model WRF-ARW terbaik
disertai petir dan angin kencang. Hujan lebat yang dapat digunakan untuk mensimulasikan
ini merupakan kejadian pertama setelah kejadian hujan lebat di wilayah Kota
sebelumnya di Kota Pekanbaru mengalami Pekanbaru, sehingga dapat digunakan untuk
cuaca panas dengan suhu yang cukup tinggi mengetahui kondisi atmosfer yang terjadi
dalam tiga bulan terakhir. Kondisi cuaca pada saat kejadian hujan lebat di Pekanbaru
terakhir tercatat bahwa pada pagi harinya pada tanggal 7 Maret 2015.
Kota Pekanbaru masih diselimuti kabut asap
dengan kualitas udara yang tidak sehat. 2. DATA DAN METODE
Hujan deras tersebut membuat sejumlah Data yang digunakan dalam penelitian
kawasan pemukiman warga dan jalanan ini adalah data FNL (Final Analysis) tanggal
pusat kota tampak tergenang air dengan 6-9 Maret 2015 jam 00.00 UTC yang
ketinggian yang variatif digunakan sebagai data input model WRF-
(http://riaumandiri.co). ARW. Data FNL ini memiliki resolusi
Curah hujan yang terukur di Stasiun spasial 1°×1° dan resolusi temporal 6 jam.
Meteorologi Pekanbaru pada saat itu adalah Untuk verifikasi terhadap hasil
127.5 mm, dimana menurut peraturan Kepala keluaran di setiap skema model digunakan
BMKG Nomor 009 Tahun 2010 kejadian data observasi Stasiun Meteorologi
hujan lebat tersebut dapat dikategorikan Pekanbaru untuk verifikasi secara dikotomi
sebagai fenomena cuaca ekstrim. dan kuantitatif, sedangkan untuk verifikasi
Simulasi cuaca di sekitar wilayah secara spasial digunakan data curah hujan
Khatulistiwa sangat sulit dilakukan, karena harian dari Stasiun Meteorologi Pekanbaru
kondisi fisis atmosfer di daerah tropis sangat dan 12 pos hujan lain yang tersebar di
bervariasi. Oleh sebab itu dibutuhkan suatu seluruh kabupaten di Wilayah Riau. Data
metode simulasi cuaca skala meso yang yang digunakan yaitu tanggal 6-9 Maret
mampu menggambarkan kondisi atmosfer 2015jam 00.00 UTC.
sebenarnya (Rizkiana, 2011). Dalam Dalam penelitian ini dilakukan dua
penelitian ini digunakan model simulasi tahapan langkah pengerjaan, yaitu running
numerik Weather Research and Forecasting (menjalankan program) WRF-ARW dengan
– Advanced Research WRF (WRF-ARW). 9 (sembilan) konfigurasi skema terpilih dan
Dalam model WRF-ARW terdapat tahap berikutnya yaitu verifikasi hasil dan
skema parameterisasi yang digunakan untuk analisis. WRF-ARW dijalankan dengan
membuat simulasi yang dapat menggunakan tiga domain dengan resolusi
merepresentasikan kondisi atmosfer yang berbeda. Domain 1 (D01) terletak
sebenarnya. Parameterisasi yang terdapat antara 89.25 – 113.59 BT dan 8.59 LS – 7.69
dalam model WRF-ARW diantaranya adalah LU dengan resolusi 27 km, domain 2 (D02)
parameterisasi mikrofisis dan cumulus yang terletak antara 94.94 – 107.92 BT dan 4.33
menjelaskan tentang proses pembentukan LS – 5.23 LU dengan resolusi 9 km, dan
awan dan hujan di dalam model, sehingga domain 3 (D03) terletak antara 99.43 –
dapat digunakan untuk mengkaji fenomena 103.43 BT dan 0.98 LS – 1.88 LU. Titik
hujan lebat. pusat (centre point) domain dalam penelitian
Sampai saat ini belum ditemukan ini berada di Stasiun Meteorologi Pekanbaru
adanya penelitian dengan menggunakan yaitu di titik 0.45 LU dan 101.43 BT.
model WRF-ARW untuk wilayah Kota
Pekanbaru. Oleh karena itu, dalam penelitian
ini penulis ingin melakukan pengujian
terhadap beberapa konfigurasi skema
parameterisasi dalam model WRF-ARW
yang berbeda.

12
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015

ini merupakan skema default dari konfigurasi


opsi fisis di dalam model WRF-ARW, di
mana skema ini baik digunakan untuk
ukuran grid skala meso.
Untuk opsi fisis cumulus, juga
digunakan tiga skema terpilih yaitu Kain-
Fritcsh (KF), Betts Miller Janjic (BMJ), dan
Grell Devenyi (GD). Ketiga skema ini dipilih
berdasarkan beberapa penelitian yang telah
dilakukan sebelumnya, di mana diperoleh
hasil yang berbeda-beda di setiap daerah.
Penelitian yang telah dilakukan di Indonesia
Gambar 1. Domain Penelitian antara lain dilakukan oleh Santriyani dkk
(2009) yang menghasilkan bahwa skema
Opsi fisis yang digunakan untuk Grell-Devenyi sebagai skema terbaik dalam
pengaturan konfigurasi skema model WRF analisa hujan ekstrim di Jakarta, Dias
dalam penelitian ini ditunjukkan dalam tabel Rizkiana dkk (2011) dimana diperoleh
1 di bawah ini: bahwa skema BMJ merupakan skema terbaik
untuk analisis hujan lebat di Balikpapan, uji
Tabel 1. Konfigurasi Model WRF-ARW sensitivitas parameter cumulus oleh
Apritarum Fiandika (2014) diperoleh bahwa
skema BMJ dan KF paling baik untuk
digunakan di daerah Jawa Timur, uji
sensitivitas parameter cumulus dilakukan
oleh Rezky Yunita (2014) dimana diperoleh
skema BMJ merupakan skema terbaik untuk
prediksi hujan di Kalimantan Selatan.
Dari tiga skema parameterisasi
Mikrofisis dan Cumulus terpilih tersebut
akan dilakukan delapan kali eksperimen
Pengaturan opsi fisis standar yang
untuk memsimulasikan kondisi atmosfer
digunakan yaitu skema Rapid Radiative
pada saat kejadian hujan lebat di wilayah
Transfer Model (RRTM) untuk radiasi
Kota Pekanbaru. Eksperimen yang akan
gelombang panjang dan skema Dudhia untuk
dilakukan dalam penelitian ini menggunakan
radiasi gelombang pendek. Untuk opsi fisis
9 konfigurasi skema parameterisasi model
lapisan batas atmosfer menggunakan skema
WRF-ARW yang ditunjukan oleh Tabel 2.
Yonsei University Scheme (YSU), karena
Setelah semua eksperimen dijalankan, maka
skema ini merupakan penyempurnaan dari
dilakukan analisis untuk mengetahui
skema MRF, dimana diketahui bahwa skema
konfigurasi skema terbaik yang dapat
MRF baik digunakan di daerah tropis (Anzar
mensimulasikan kejadian hujan lebat di
dalam Fadianika, 2014).
Pekanbaru tanggal 7 Maret 2015. Hasil
Untuk pemilihan opsi fisis Mikrofisis
keluaran model masing-masing skema
digunakan tiga skema terpilih, yaitu Kessler,
diverifikasi secara dikotomi, spasial, dan
Purdue Lin, dan WRF Single-Moment 3-
kuantitatif.
Class (WSM3). Skema Kessler dipilih karena
Verifikasi secara dikotomi dilakukan
pada penelitian yang dilakukan oleh Kessler
dengan menggunakan tabel kontingensi yaitu
(1969), parameterisasi ini merupakan
suatu kejadian didefinisikan sebagai biner,
parameterisasi mikrofisik yang dianggap
yang berarti bahwa hanya ada dua hasil yang
sesuai dengan jenis dan kondisi awan yang
mungkin, suatu kejadian (Yes) atau non
terjadi di daerah tropis (Fadianika, 2014).
kejadian (No). Untuk penentuan hujan atau
Skema Purdue Lin dipilih karena skema ini
tidak hujan dalam penelitian akan digunakan
merupakan skema yang handal untuk
ambang batas dari setiap intensitas hujan
simulasi data real dengan resolusi tinggi
dengan kriteria ≥ 0.1 mm/jam, ≥ 0.5 mm/jam
(Gustari dkk, 2012). Sedangkan untuk
dan ≥ 1.0 mm/jam, ≥ 5.0 mm/jam, dan ≥
pemilihan skema WSM3 dikarenakan skema
10.0 mm/jam.

13
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015

model. Setelah didapatkan konfigurasi skema


Tabel 2. Tabel Eksperimen Model WRF- parameterisasi terbaik, kemudian dilakukan
ARW analisis terhadap kondisi atmosfer pada saat
Nama Skema Parameterisasi kejadian hujan ekstrim dengan menggunakan
Percobaa parameter kelembaban udara, CAPE, dan
Mikrofisi angin (streamline).
n PBL Kumulus
s
Kain- 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Skema 1
Yonsei Fritcsh 3.1 Verifikasi Model WRF-ARW secara
Universit Betts dikotomi
Skema 2 Kessler y Scheme Miller Verifikasi model WRF-ARW
(YSU Janjic dilakukan dengan cara membandingkan data
Scheme) Grell curah hujan hasil keluaran model dengan
Skema 3
Devenyi data observasi menggunakan tabel
Kain- kontingensi. Dari tabel kontingensi tersebut
Skema 4
Yonsei Fritcsh akan diketahui jumlah Hits, False Alarms,
Universit Betts Misses, dan Correct Negatives yang
Purdue
Skema 5 y Scheme Miller digunakan untuk menghitung nilai Threat
Lin
(YSU Janjic Score (TS), Proportion Correct (Akurasi),
Scheme) Grell dan frequence Bias Index (Bias) masing-
Skema 6
Devenyi masing skema.
Kain- Perhitungan ketiga nilai tersebut
Skema 7
WRF Yonsei Fritcsh menggunakan hasil keluaran model WRF-
Single- Universit Betts ARW tiap 3 jam pada domain ketiga dari
Skema 8 Moment y Scheme Miller masing-masing skema. Intensitas hujan yang
3-Class (YSU Janjic digunakan untuk penentuan hujan atau tidak
(WSM3) Scheme) Grell hujan dilakukan berdasarkan 5 threshold
Skema 9
Devenyi yang berbeda yaitu ≥ 0.1 mm, ≥ 0.5 mm, ≥
1.0 mm, ≥ 5.0 mm, ≥ 10.0 mm. Hasil
Tabel 3. Tabel Kontingensi perbandingan antara nilai Threat Score,
Data Observasi Akurasi, dan Bias dari 9 (sembilan)
Data
konfigurasi skema parameterisasi model
Model Ya Tidak Total WRF-ARW dapat dilihat pada Tabel 4 .
Fct Berdasarkan tabel 1 dan gambar 2 di
Ya Hits False Alarms
"Ya" atas dapat diketahui bahwa nilai Threat Score
Correct Fct (TS) tertinggi untuk curah hujan ≥ 0.1 mm
Tidak Misses
Negatives "Tidak" terdapat pada Skema 8 yaitu 0.44, curah
Obs Jumlah hujan ≥ 0.5 mm terdapat pada Skema 9 yaitu
Total Obs "Tidak 0.71, untuk curah hujan ≥ 1.0 mm dan ≥ 10
"Ya" Total
mm juga terdapat pada Skema 9 yaitu sama-
Dari data tersebut akan kemudian sama bernilai 0.50, sedangkan untuk curah
dilakukan perhitungan nilai Threat Score, hujan ≥ 5.0 mm terdapat pada skema 5 yaitu
Akurasi, dan Bias untuk mengetahui sebesar 0.67.
kemampuan model dalam menunjukkan Untuk melihat nilai akurasi (PC)
kejadian hujan atau tidak hujan yang terjadi. dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 3.
Verifikasi secara spasial dilakukan dengan Dari tabel dan gambar tersebut di atas dapat
membandingkan peta sebaran curah hujan dilihat bahwa nilai akurasi terbaik pada curah
yang terjadi di wilayah Riau pada tanggal 7 hujan ≥ 0.1 mm dihasilkan oleh skema 8
Maret 2015 antara data observasi dan dengan nilai 0.8, sedangkan untuk curah
keluaran model WRF-ARW , dimana data hujan ≥ 0.5 mm, ≥ 1.0 mm, dan ≥ 10 mm
tersebut telah dipetakan dengan software dihasilkan oleh skema 9 dimana masing-
Arcview GIS. Selain itu juga dilakukan masing menunjukkan nilai akurasi sebesar
verifikasi secara kuantitas dengan melihat 0.92, 0.88, dan 0.96. Sedangkan untuk curah
grafik perbandingan curah hujan antara curah hujan dengan intensitas ≥ 5 mm dihasilkan
hujan observasi dan curah hujan keluaran oleh skema 5 yaitu sebesar 0.96.

14
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015

Berdasarkan gambar Tabel 1 dan Dengan melihat nilai TS dan akurasi


tabel 4.1 dan Gambar 4 dapat dilihat bahwa kelima threshold yang digunakan dapat
untuk curah hujan ≥ 0.1 mm nilai bias diketahui bahwa skema 9 menunjukkan hasil
terbaik atau yang paling mendekati 1 yang paling baik dibandingkan dengan 8
ditunjukkan oleh skema 1 yaitu sebesar 1.40, skema yang lainnya dalam menunjukkan
untuk curah hujan ≥ 0.5 mm ditunjukkan kejadian hujan atau tidak hujan di Kota
oleh skema 7 yaitu 1.20, untuk curah hujan ≥ Pekanbaru, sedangkan dalam verifikasi nilai
1.0 mm ditunjukkan oleh skema 9 yaitu bias terlihat skema 1 lebih stabil dari pada
sebesar 0.80, untuk curah hujan ≥ 5.0 mm skema yang lainya dengan hasil yang
menunjukkan bahwa skema 2 mempunyai cenderung over estimate pada kelima
nilai bias sempurna atau sama dengan 1, threshold.
begitu pula untuk curah hujan ≥ 10 mm yang
ditunjukkan oleh skema 4 dengan nilai bias
sama dengan 1.
Tabel 4. Perbandingan Hasil Verifikasi Model WRF-ARW
Curah Hujan ≥ Curah Hujan Curah Hujan Curah Hujan ≥ Curah Hujan ≥
PERCOBAAN 0.1 mm ≥0. 5 mm ≥1.0 mm 5 mm 10 mm
TS FBI PC TS FBI PC TS FBI PC TS FBI PC TS FBI PC

SKEMA 1 0.33 1.40 0.76 0.33 1.40 0.76 0.33 1.40 0.76 0.40 1.33 0.88 0.25 1.50 0.88

SKEMA 2 0.25 2.00 0.64 0.20 1.40 0.68 0.22 1.75 0.72 0.50 1.00 0.92 0.00 0.00 0.91

SKEMA 3 0.18 1.60 0.64 0.29 0.80 0.80 0.14 0.60 0.76 0.00 0.33 0.84 0.00 0.50 0.88

SKEMA 4 0.40 1.80 0.76 0.40 1.80 0.76 0.30 1.60 0.72 0.25 0.67 0.88 0.33 1.00 0.92

SKEMA 5 0.31 2.40 0.64 0.30 1.60 0.72 0.33 1.40 0.76 0.67 0.67 0.96 0.00 0.00 0.92
SKEMA 6 0.27 2.80 0.56 0.33 1.40 0.76 0.22 1.20 0.72 0.33 1.67 0.84 0.00 1.50 0.80

SKEMA 7 0.40 1.80 0.76 0.38 1.20 0.80 0.38 1.20 0.80 0.25 1.50 0.88 0.25 1.50 0.88

SKEMA 8 0.44 1.60 0.80 0.50 1.40 0.84 0.50 1.40 0.84 0.33 0.33 0.92 0.00 0.00 0.92

SKEMA 9 0.33 3.00 0.60 0.71 1.40 0.92 0.50 0.80 0.88 0.33 0.33 0.92 0.50 0.50 0.96

3.2 Verifikasi model WRF-ARW secara


spasial Berdasarkan peta tersebut terlihat
Gambar 5 adalah peta sebaran curah adanya intensitas curah hujan tinggi yang
hujan di Riau pada tanggal 7 Maret 2015 terpusat di kota Pekanbaru dengan jumlah
berdasarkan hasil observasi langsung. Dari curah hujan di atas 125 mm/hari. Selain itu,
gambar dapat terlihat bahwa kejadian curah curah hujan dengan intensitas tinggi di atas
hujan dengan intensitas lebih dari 50 50 mm/hari juga terpusat di daerah Rokan
mm/hari tersebar dari Rokan Hulu yang Hulu dan Pelalawan. Peta sebaran curah
terletak di sebelah Barat Laut Pekanbaru hujan hasil keluaran model ditunjukkan oleh
sampai daerah Pelalawan yang terletak di gambar 6. Dari gambar terlihat bahwa pola
sebelah Tenggara Pekanbaru. sebaran hujan keluaran model masing-
masing skema berbeda dengan pola sebaran
hujan observasi.
.

15
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015

Gambar 5. Peta sebaran hujan observasi

Dari kesembilan peta sebaran hujan mm untuk skema 9, akan tetapi skema 9
keluaran model tersebut, dapat dilihat bahwa masih menunjukkan hasil yang lebih baik
peta sebaran curah hujan keluaran model dari pada skema yang lain, walaupun jumlah
WRF-ARW skema 6 dan skema 9 terlihat curah hujan yang dihasilkan cenderung under
lebih mendekati dengan peta sebaran hujan estimate dari observasinya.
observasi. Dari berbagai analisis hasil verifikasi
Skema 6 menunjukkan intensitas yang telah dilakukan, maka secara subyektif
hujan paling tinggi terjadi di wilayah Rokan dapat disimpulkan bahwa konfigurasi skema
Hulu mencapai 90 – 95 mm/hari. Selain itu, 9 yang terdiri dari skema WSM3–YSU–GD
intensitas curah hujan di atas 50 mm/hari dianggap sebagai skema terbaik yang dapat
juga terpusat di bagian utara Pelalawan dan merepresentasikan kejadian hujan lebat di
hujan tersebar hingga wilayah Indragiri Hilir. wilayah Pekanbaru pada tanggal 7 Maret
Sedangkan pada skema 9 intensitas curah 2015. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
hujan tertinggi terpusat di Pekanbaru, pernah dilakukan oleh Made Santriyani, dkk
Kampar dan Indragiri Hilir dengan jumlah pada tahun 2011 yang menunjukkan bahwa
curah hujan berkisar antara 45 – 55 mm/hari. konfigurasi skema WSM3-YSU-GD
merupakan konfigurasi skema terbaik yang
3.3 Verifikasi secara kuantitatif dapat digunakan untuk memprediksi kejadian
Dari Gambar 6terlihat bahwa skema hujan dan merepresentasikan kondisi
9 menunjukkan pola hujan yang paling mirip atmosfer seperti pergerakan awan dan
dengan observasinya, yaitu sama-sama indikasi hujan pada saat kejadian hujan
menunjukkan bahwa pada tanggal 7 Maret ekstrim di Jakarta tanggal 7 April 2009.
2015 terjadi hujan dengan intensitas yang Dalam penelitiannya, Santriyani
paling tinggi. Sedangkan pada tanggal 6 dan (2011) menyebutkan bahwa menurut Grell
8 Maret 2015 hasil keluaran model dari dan Devenyi (2002), skema Grell Devenyi
konfigurasi skema 9 masih menunjukkan merupakan skema yang mengikutsertakan
adanya kejadian hujan, akan tetapi dengan berbagai siklus tertutup, seperti
intensitas yang sangat kecil. Walaupun antara penghilangan CAPE atau mengontrol
hasil observasi dan hasil keluaran model keberadaan CAPE setiap waktu, quasi
menunjukkan kuantitas jumlah curah hujan equilibrium dan konvergensi kelembaban,
yang sangat jauh perbedaannya,yaitu 127.5 serta mengikutsertakan perubahan varian
mm untuk curah hujan observasi, dan 49.3 untuk memparameterkan entrainment, radius

16
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015

awan, cap maksimum dan hubungan efisiensi kemampuan yang lebih baik dari pada skema
atau gesekan tetes awan dan hujan di lainnya.
atmosfer . Karena banyaknya proses yang
diperhitungkan, maka skema ini memiliki

Gambar 6. Peta sebaran curah hujan hasil keluaran model WRF-ARW

17
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015

Gambar 7. Grafik perbandingan curah hujan pekanbaru

3.4 Analisis kondisi atmosfer


a) Kelembaban udara per lapisan
Dari Gambar 8 dapat terlihat bahwa
kondisi atmosfer secara umum pada saat
kejadian hujan lebat menunjukkan
kandungan uap air yang cukup tinggi sejak
pagi hingga malam hari. Pada pukul 00 – 09
UTC = Lapisan permukaan - 600 mb berkisar
antara 80 – 100 %. Lapisan 600 – 500 mb
berkisar antara 60 – 80 %. Pada pukul 09 –
16 UTC = Lapisan permukaan - ±400 mb
berkisar antara 80 – 100 %. Hal tersebut Gambar 9. CAPE per Lapisan
menunjukkan bahwa kondisi atmosfer (J/Kg)tanggal 7 Maret 2015
mendukung terjadinya proses pertumbuhan
awan-awan konvektif yang menyebabkan Berdasarkan nilai CAPE yang
terjadinya hujan lebat di Pekanbaru pada ditunjukkan oleh Gambar 9 diketahui bahwa
tanggal 7 Maret 2015. dari pukul 00 - 03 UTC nilai CAPE pada
lapisan permukaan sudah cukup tinggi yaitu
berkisar antara 1000 – 1200 J/Kg. Nilai
CAPE tersebut terus mengalami peningkatan
pada siang hingga sore hari dan menjelang
malam semakin berkurang. Nilai CAPE
tertinggi terjadi antara jam 07.00 UTC
hingga 09.00 UTC dengan kisaran 2100 –
2500 J/Kg. Nilai CAPE yang tinggi ini
menandakan adanya proses konvektif yang
cukup kuat di atas wilayah Pekanbaru yang
mengindikasikan adanya pembentukan awan-
awan konvektif yang menyebabkan
terjadinya hujan lebat di wilayah Pekanbaru
Gambar 8 Kelembaban Udara per Lapisan pada tanggal 7 Maret 2015.
(%) tanggal 7 Maret 2015
c) Pola angin (streamline)
b) CAPE per lapisan

18
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015

hingga malam hari cukup tinggi yang


menunjukkan tingkat konvektifitas yang
cukup kuat, dari pola arus angin
menunjukkan adanya pola arus
konvergensi yang menunjukkan terjadi
pengumpulan massa udara di atas
wilayah Pekanbaru. Hal tersebut sangat
mendukung pembentukan awan-awan
konvektif penyebab terjadinya hujan
lebat di wilayah Pekanbaru pada tanggal
7 Maret 2015

Gambar 10. Streamline tanggal 7 Maret SARAN


2015 jam 00 UTC Saran yang dapat diberikan untuk
penelitian selanjutnya sebagai upaya untuk
Gambar 10 di atas menunjukkan pola mendapatkan hasil penelitian yang lebih baik
arus angin (streamline) tanggal 7 Maret 2015 antara lain : Penelitian terkait uji sensitivitas
jam 00 UTC. Dari gambar tersebut dapat model numerik WRF-ARW sebaiknya
terlihat adanya pola arus konvergensi yang dilakukan dengan menggunakan lebih dari
mengindikasikan adanya pengumpulan satu kasus atau kejadian yang terjadi di
massa udara di atas wilayah Pekanbaru. beberapa titik pengamatan di suatu daerah
Kondisi ini sangat mendukung dalam tertentu.
pembentukan awan-awan konvektif yang
dapat menimbulkan terjadinya hujan lebat. DAFTAR PUSTAKA
Hal ini terbukti dengan adanya hujan lebat Ameka, I., 2005, Analisis Pertumbuhan
yang terjadi di wilayah Pekanbaru pada siang Awan Konvektif untuk Informasi
hingga malam hari. Penerbangan, Program Studi
Meteorologi ITB, Bandung
1. KESIMPULAN Anggrainy, D, 2014, Uji Sensitivitas
Berdasarkan penelitian, maka dapat Parameterisasi Kumulus Model WRF
diambil beberapa kesimpulan antara lain : – ARW (Studi Kasus Hujan Lebat
1. Dari hasil verifikasi keluaran sembilan Pontianak 6 – 7 April 2013), Skripsi,
konfigurasi skema parameterisasi model Sekolah Tinggi Meteorologi
WRF-ARW secara dikotomi dengan Klimatologi dan Geofisika, Jakarta.
menggunakan lima threshold curah Ardiyansah, 2014, Prakiraan Hujan Di
hujan yaitu pada threshold ≥ 0.1 mm, ≥ Kabupaten Tolitoli Menggunakan
0.5 mm, ≥ 1.0 mm, ≥ 5.0 mm, dan ≥ Model Numerik, Skripsi, Sekolah
10.0 mm, verifikasi secara spasial, dan Tinggi Meteorologi Klimatologi dan
verifikasi secara kuantitatif, maka secara Geofisika, Jakarta.
subjektif konfigurasi skema 9 yang BMKG. 2010. KEP.009 Tahun 2010 Tentang
terdiri dari WSM3-YSU-GD dianggap Prosedur Standar Operasional
skema terbaik yang dapat Pelaksanaan Peringatan Dini,
merepresentasikan kejadian hujan lebat Pelaporan dan Diseminasi Informasi
yang terjadi di Pekanbaru pada tanggal 7 Cuaca Ekstrim, BMKG, Jakarta.
Maret 2015, meskipun dari hasil Fauziah, A, 2014, Kajian Cuaca Ekstrim
keluaran model diketahui bahwa jumlah (Angin Kencang) Di Bandara
curah hujan yang dihasilkan cenderung Internasional Lombok Dengan Model
under estimate jika dibandingkan WRF Tannggal 15 Maret 2013,
dengan curah hujan observasi. Skripsi, Sekolah Tinggi Meteorologi
2. Berdasarkan hasil keluaran model WRF- Klimatologi dan Geofisika, Jakarta.
ARW skema 9, kondisi atmosfer di atas Fiandika, A, 2014, Uji Sensitivitas
wilayah Pekanbaru pada saat terjadinya Parameterisasi Cumulus Untuk
hujan lebat tanggal 7 Maret 2015 cukup Prediksi Hujan di Jawa Timur, Skripsi,
basah dari lapisan permukaan hingga ke Sekolah Tinggi Meteorologi
lapisan atas, nilai CAPE dari pagi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta.

19
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015

Gustari, I., Hadi, W T., Hadi, S., dan Santriyani, M., Octarina, D. P., Budaya, B.
renggono, F., 2012, Akurasi Prediksi J., Choir, U., dan Suradi, 2012,
Curah Hujan Harian Operasional Di Sensitivitas Parameterisasi Konveksi
Jabodetabek : Perbandingan Dengan Dalam Prediksi Cuaca Numerik
Model WRF, Jurnal Meteorologi Dan Menggunakan Model WRF-ARW
Geofisika Vol 13. No 2. Hal : 119 – (Studi Kasus Hujan Ekstrim Di
130. Jakarta Tanggal 7 April 2009),
Hadi, T.W., Junnaedhi, I D. Gd. A., Satrya, Bandung: Program Studi Meteorologi
L.I., Santriyani, M., Anugrah, M. P., ITB.
dan Octarina, D.T. 2011. Pelatihan Soepangkat, 1994, Pengantar Meteorologi,
Model WRF (Weather Research and Balai Pendidikan dan Latihan
Forecasting), Laboratorium Analisis Meteorologi dan Geofisika, Jakarta.
Meteorologi (Weather and Climate Sulung, G., Priyanka, M., Saraswati, N.,
Prediction Laboratory), Fakultas Ilmu 2011, Pengaruh Parameterisasi
dan Teknologi Kebumian ITB. Kumulus Terhadap Simulasi Angin
Bandung. Kencang Di Makasar Dengan
Mulya, A, 2014, Simulasi Analisis dan Menggunakan WRF, Institut
Forecast Fasil Model WRF-ARW Tekonologi Bandung, Bandung.
(Studi Kasus Hujan Lebat di Tjasyono, B., Harijono, S., 2007,
Putussibau Tanggal 3-4 April 2013), Meteorologi Indonesia 2 Awan Dan
Skripsi, Sekolah Tinggi Meteorologi Hujan Monsun, Badan Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika, Jakarta. dan Geofisika, Jakarta.
Listiaji, E, 2009, Simulasi Curah Hujan di Winarso, P.A., 2011, Modul Bahan Ajar
Atas Pulau Lombok ( Studi Kasus Akademi Meteorologi dan Geofisika:
Bulan Januari 2007), Institut Analisis Cuaca I. Akademi
Tekonologi Bandung, Bandung. Wirjohamidjojo, S. dan Swarinoto, Y. S.,
Puspitasari, F, 2014, Pemanfaatan Model 2007, Praktek Meteorologi Pertanian,
WRF Untuk Penentuan Nilai Ambang BMG, Jakarta.
Batas Parameter Cuaca Dalam Proses Yunita, R, 2014, Uji Skema Parameterisasi
Pertumbuhan Awan Cumulonimbus, Cumulus Dalam Prediksi Hujan Di
Skripsi, Sekolah Tinggi Meteorologi Kalimantan Selatan, Skripsi, Sekolah
Klimatologi dan Geofisika, Jakarta. Tinggi Meteorologi Klimatologi dan
Rizkiana, D., Josephine., Syahidah, M., Geofisika, Jakarta.
Amelda, P., Arida, V., 2011, Zakir, A., Sulistya, W., Khotimah, dan Mia,
Perbandingan Skema Parameterisasi K. 2010. Prespektif Operasional
Dalam Simulasi Cuaca Numerik Cuaca Tropis, Badan Meteorologi
Menggunakan Model WRF – ARW Klimatologi Dan Geofisika, Jakarta
(Studi Kasus Hujan Ekstrim Di
Balikpapan Tanggal 5 Juli 2008), Pustaka dari Situs Internet
Institut Teknologi Bandung, Bandung. http://rda.ucar.edu/datasets/ds083.2/index.ht
Rosanti, R, 2014, Kajian Cuaca Ekstrim ml (diakses tanggal 10 Maret 2015)
Menggunakan Output Model WRF http://riaumandiri.co/read/ (diakses tanggal
(Weather Research and 10 Maret 2015)
Forecasting)(Study Kasus Hujan Lebat
di Nanga Pinoh Tanggal 1 November
2012 dan 19 Januari 2013, Skripsi,
Sekolah Tinggi Meteorologi
Klimatologi dan Geofisika, Jakarta.
Saidu, Y.S., 2014, Uji Sensitifitas
Parameterisasi Kumulus Pada Model
WRF-ARW (Studi Kasus Hujan
Ekstrim Di Kendari Tanggal 14 - 15
Juli 2013), Skripsi, Sekolah Tinggi
Meteorologi Klimatologi dan
Geofisika, Jakarta.

20
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015

KAJIAN GANGGUAN CUACA


PADA KEJADIANHUJAN LEBAT DI BATAM
(STUDI KASUS TANGGAL 19 DESEMBER 2014)
Adhitya Prakoso, Aries Kristianto
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
Email :prakoso.adhitya@gmail.com

ABSTRAK
Memasuki bulan Desember curah hujan di Pulau Batam mengalami masa puncak.
Kejadian hujan lebat yang terjadi di Batam pada tanggal 19 Desember 2014 telah menyebabkan
banjir dan menimbulkan kerugian materi lainnya. Curah hujan yang melebihi 100 milimeter di
suatu wilayah, memberikan indikasi adanya faktor gangguan cuaca signifikan yang berperan dalam
pembentukan suatu sistem awan konvektif yang besar danluas. Analisis cuaca skala regional dan
lokal dilakukan untuk mengidentifikasigangguan cuaca yang berperan pada kejadian tersebut.
Berdasarkan hasil olahan data observasi curah hujan, data udara atas Changi Singapura, satelit MT-
SAT, dan data reanalisis Era Interim ECMWF, hujan lebat tanggal 19 Desember 2014 disebabkan
karena adanyagangguan pada pola angin di sekitar Kalimantan yang dikenal dengan sebutan
Borneo Vortex. Hujan lebat ini juga didukung oleh aktifnya aliran seruak dingin dari daratan Asia.

Kata kunci : hujan lebat, Borneo Vortex, monsun dingin Asia

ABSTRACT
At the beginning of December, rainfall on the island of Batam have a peak periods.
Torrential rain events that occurred in Batam on December 19th, 2014 has caused flooding and
other material losses. Rainfall exceeding 100 millimeters in an area, provide indications of
significant weather disturbance factors that play a role in the formation of a large convective
cloud system. Using regional and local weather scale analysis, identification of weather
disturbance is implemented to determine dominant factor on that event.Based on the processed
results of rain observation data, Singapore Changi’s upper air data , MT - SAT satellite, and
reanalysis Era Interim ECMWF data, torrential rain that occurred on December 19th, 2014 was
caused due to a disturbance in wind patterns around Borneo , known as Borneo Vortex . The
torrential rain also supported by an active cold surge flow of mainland Asia.

Keywords: torrential rain, Borneo Vortex, winter Asian monsoon

21
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015

1.PENDAHULUAN dkk. (1984) adalah salah satu yang pertama


Chang dkk., (2005) memaparkan ada kali mendeskripsikan Borneo Vortex secara
beberapa jenis gangguan cuaca yang singkat dari kejadian pada Desember 1978
berkontribusi terhadap proses pembentukan dengan menganalisis vortisitas relatif pada
cuaca di wilayah Laut Cina Selatan dan lapisan 850 mb, dimana terdapat siklon inti
Indonesia bagian Barat. Gangguan cuaca hangat dengan pusat dekat dengan selatan-
tersebut diantaranya adalah seruakan dingin barat dari pulau Kalimantan.
(Cold Surge), Borneo Vortex, dan Madden Chang dkk. (2005) menjelaskan
Julian Oscillation. Borneo Vortex teridentifikasi saat terjadi
Tangang dkk., (2008) menyimpulkan sirkulasi tertutup yang berlawanan dengan
penyebab banjir di semenanjung Malaysia arah jarum jam pada angin 925 mb di area
pada tahun akhir tahun 2006 hingga awal 2.5° LS - 7.5° LU, 107.5° BT - 117.5° BT.
tahun 2007 adalah karena terjadinya hujan Anip dan Lupo (2012) menjelaskan rata-rata
lebat dalam tiga episode. Hujan lebat ini suatu sistem vorteks memiliki masa hidup
disebabkan karena adanya Cold Surge yang 3.6 hari yang menunjukkan bahwa vorteks
berperan dalam pembentukan awan melalui tersebut adalah fenomena cuaca skala
adveksi udara dingin karena seruak dingin sinoptik. Selain itu dalam periode
melalui bagian hangat dari Laut Cina Selatan bulanannya, bulan Desember merupakan
bagian selatan. Selain itu kecepatan angin puncak kejadian Borneo Vortex berdasarkan
lapisan bawah Cold Surge yang terkena frekuensi kejadian dan masa hidupnya.
daratan juga dapat membentuk low-level Sebagai negara yang berada di
convergence sehingga terjadi pembentukan wilayah tropis, wilayah Indonesia berpotensi
awan. Kesimpulan tersebut didasarkan pada besar terjadi cuaca ekstrem yang dapat
analisisnya yang menggunakan data TRMM memberi dampak buruk dalam berbagai
pada saat kejadian, analisis angin pada level sektor kehidupan masyarakat. Salah satu
rendah, analisis outgoing long-wave kejadian cuaca ekstrem adalah terjadinya
radiation (OLR) serta analisis suhu muka curah hujan lebat yang dapat mengakibatkan
laut. terjadinya banjir. Pada umumnya banjir dapat
Menurut Zakir dkk. (2010), seruakan berdampak buruk bagi sektor pertanian,
dingin (Cold Surge) adalah aliran udara kesehatan, dan sosial ekonomi. Kejadian ini
dingin dari daratan Asia yang menjalar umumnya disebabkan adanya curah hujan
memasuki wilayah Indonesia bagian barat. yang turun dengan intensitas tinggi ditambah
Seruakan dingin biasa terjadi pada saat di dengan keadaan topografi suatu wilayah,
Asia memasuki musim dingin (winter luasan daerah serapan air, sistem drainase
season). Zakir dkk. (2010) menyebutkan dan kebiasaan masyarakat (Suyono dkk,
adanya seruakan dingin ini ditandai dengan: 2009).
 Perbedaan tekanan udara antara Batam yang terletak di propinsi
Gushi (30o LU, 115o BT) dengan Kepulauan Riau berada di daerah equatorial
Hongkong (22o LU, 114o BT) sebesar 10 dan dikelilingi lautan. Hal ini menjadikan
mb. cuaca di Batam yang sering terjadi sangat
 Selama 24 jam turunnya suhu udara unik. Iklim di wilayah Batam sepanjang
di Hongkong sekitar 5o C atau lebih. tahun panas dan lembap serta banyak curah
 Selama 24 jam ada peningkatan hujan. Dua musim monsun utama sangat
kecepatan angin di Hongkong mencapai dominan di wilayah ini, Monsun Timur Laut
10 knot atau lebih. terjadi pada bulan Desember sampai dengan
 Angin disekitar wilayah laut Cina Maret dan Monsun Barat Daya terjadi pada
Selatan dari utara atau Timur Laut bulan Juni sampai dengan September
dengan kecepatan di atas 10 knot. (Prawoto dkk., 2011). Pada saat monsun
Menurut Braesicke dkk. (2012) dingin Asia, di wilayah Batam sering kali
Borneo Vortex adalah sirkulasi angin tertutup terjadi kondisi cuaca yang lebih buruk seperti
yang tampak secara jelas diatas Laut Cina hujan dengan intensitas lebat. (Setiawan,
Selatan ekuator dan benua maritim Indonesia 2014). Hujan – hujan dari awan konvektif
bagian barat selama musim dingin di Belahan mendominasi kejadian cuaca di Batam
Bumi Utara (BBU) berlangsung. Dalam karena persediaan uap air yang melimpah
jurnalnya juga disebutkan bahwa Mower

22
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015

dari wilayah perairan yang mengelilingi  Melihat pola labilitas vertikal apakah
Pulau Batam (Prawoto dkk., 2011). mendukung kejadian hujan lebat.
Pada kasus banjir yang terjadi di  Melihat bentuk dan luasan awan serta
Batam 19 Desember 2014, banjir terjadi nilai suhu puncak awan untuk menaksir
setelah hujan lebat mengguyur wilayah jenis awan.
tersebut sepanjang hari. Hujan lebat tersebut  Melihat nilai kelembaban udara,
terjadi pada saat aktifnya monsun dingin divergensi dan vertical velocity sesaat
pada saat puncak curah hujan di Batam. sebelum dan saat kejadian hujan lebat.
Curah hujan selain dikarenakan oleh  Membuat kesimpulan berdasarkan hasil
pengaruh dari monsun dingin Asia, perlu analisis dan pembahasan.
dicurigai fenomena atau gangguan cuaca
lainnya yang ikut mendukung mekanisme 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
penyebab hujan sangat lebat tersebut. a. Analisis Isohyet
Gangguan skala regional yang kemungkinan Peta sebaran curah hujan yang dibuat
terjadi dan mempengaruhi cuaca di Batam dari data hujan akumulasi 24 jam di 9 titik
diantaranya adalah seruakan dingin dari AWS dan di Stasiun Meteorologi Hang
daratan Asia atau yang lazim disebut Cold Nadim Batam memberikan gambaran bahwa
Surge, adanya daerah vorteks siklonik di pada saat kejadian hujan lebat tanggal 19
sekitar Kalimantan (Borneo Vortex), serta Desember 2014, terlihat sebaran hujan cukup
gangguan pada pola angin seperti daerah merata di Pulau Batam berkisar antara 50 –
pumpunan angin (konvergensi) dan belokan 150 mm (Gambar 1). Akumulasi curah hujan
angin (shearline). > 100 mm terjadi di wilayah Batam Bagian
Timur, sedangkan daerah lain seperti Batam
2. DATA DAN METODE bagian Barat, Tengah dan Selatan curah
Dalam penelitian ini adapun bahan hujan terakumulasi secara merata < 100 mm
berupa data yang digunakan antara lain: pada tiap lokasi AWS. Akumulasi curah
a) Peta isohyet hasil olahan dari data hujan terbesar tertakar di Stamet Hang
pengamatan curah hujan harian Stasiun Nadim Batam sebesar 116.7 mm dan terkecil
Meteorologi Hang Nadim Batam dan 9 tertakar di AWS Sei Harapan.
titik Automatic Weather Station.
b) Data analisis surface pressure, angin
lapisan 925 mb dan moisture transport
jam 00 UTC hasil olahan data reanalysis
model ECMWF dengan resolusi spasial
0,125° x 0,125°.
c) Data udara atas dari stasiun meteorologi
Changi Singapura tanggal 18 – 19
Desember 2014.
d) Data satelit MT-SAT format netcdf (.nc)
tanggal 18 – 19 Desember 2014.
e) Data analisis kelembaban udara, nilai
divergensi dan vertical velocity di sekitar
area pulau Batam hasil olahan data
reanalysis model ECMWF dengan
resolusi spasial 0,125° x 0,125°.
Metode yang dilakukan dalam Gambar 1. Peta Spasial Sebaran Hujan
penelitian ini yaitu sebagai berikut: Tanggal 19 Desember 2014
 Menginterpretasikan peta isohyet untuk
mengetahui bagaimana apakah hujan b. Analisis Surface Pressure
yang terjadi merata atau tidak di Pulau Analisis skala sinoptik dimulai
Batam. dengan informasi tekanan pada permukaan
 Mengintepretasikan peta tekanan, angin laut (MSLP) di sekitar daratan Asia, Laut
dan moisture transport untuk Cina Selatan hingga Indonesia mulai tanggal
mendeteksi gangguan cuaca 17 hingga 20 Desember 2014 tiap 24 jam.

23
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015

Berdasarkan Gambar 2 pada tanggal 17 serta daerah bertekanan rendah di sepanjang


hingga 19 Desember 2014 membuktikan wilayah Indonesia. Tercatat selama 3 hari
adanya daerah bertekanan tinggi sebesar sejak tanggal 17 Desember 2014, tekanan di
1036 mb di sekitar daratan Asia. Terlihat wilayah Indonesia mencapai 1012 - 1010 mb.
juga pada saat yang sama garis Isobar yang Kondisi ini mengakibatkan pasokan massa
cukup rapat di dekat wilayah Cina. udara dari Asia semakin kencang menerobos
Dikarenakan pada bulan Desember wilayah Indonesia, sehingga akan memicu
merupakan puncak musim dingin di wilayah tumbuhnya banyak awan di Indonesia
BBU, hal ini mengindikasikan akan adanya termasuk Pulau Batam.
arus massa udara yang mengalir kuat dari
daerah tersebut menuju BBS. Hal ini juga
didukung oleh adanya daerah palung equator

Gambar 2 Peta Isobar dengan interval 2 mb tanggal 17 – 20 Desember 2014

c. Analisis Wind Streamline cuaca tersebut di antaranya daerah pertemuan


Identifikasi gangguan cuaca yang massa udara (konvergensi) di sekitar Laut
dilakukan pada tekanan pada permukaan laut Cina Selatan serta daerah belokan angin
(MSLP) diperjelas dengan informasi arah (shear) di wilayah Riau, Kalimantan Barat
dan kecepatan angin.Gambar 3merupakan hingga Selat Karimata, sedangkan pada
merupakan overlay antara arah dan tanggal 18 Desember 2014 terlihat pula
kecepatan angin pada lapisan 925 mb. adanya pusaran atau vortex yang terbentuk di
Dengan memilih lapisan 925 mb bagian Barat Pulau Kalimantan. Daerah
dimaksudkan mampu memberikan gambaran vortex berupa eddy yang terjadi di atas Pulau
tentang gangguan cuaca yang terjadi dalam Kalimantan tersebut diduga adalah fenomena
kurun waktu tanggal 17 hingga 20 Desember yang biasa disebut dengan Borneo Vortex.
2014 yang terkait dengan arah dan kecepatan Selain itu pada tanggal 19 Desember 2014
angin yang terjadi. Pada tanggal 17 atau pada saat kejadian hujan lebat terlihat
Desember 2014, ada beberapa indikasi juga adanya daerah konvergensi di sekitar
gangguan cuaca yang terjadi. Gangguan Laut Cina Selatan.

24
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015

Gambar 3 Peta Streamline lapisan 925 mb Gambar 4 Moisture Transport tanggal


tanggal 17 – 20 Desember 2014 17 – 20 Desember 2014

Kondisi ini berpotensi menyebabkan Massa udara dingin yang bersifat


pemampatan massa udara yang dapat kering dari daratan Asia dan didorong oleh
menggerakkan massa udara naik dan angin utara menjalar menyeruak ke arah
membentuk banyak awan-awan konvektif. selatan melewati Laut Cina Selatan yang
Selain gangguan yang telah memiliki kandungan uap air yang cukup
disebutkan, yang juga perlu dicermati adalah banyak. Adanya konvergensi di sekitar Pulau
tingginya kecepatan angin di Laut Cina Batam membuat angin melemah yang
Selatan. Arah angin Utara hingga Timur Laut akhirnya menyebabkan massa udara tersebut
dari Laut Cina Selatan tersebut mengarah ke mendesak udara yang lebih hangat di
perairan Kepulauan Riau hingga Selat equator. Kondisi ini merupakan indikasi
Karimata dengan kecepatan di atas 30 knot. adanya adveksi udara dingin atau dalam
Hal ini merupakan kondisi signifikan yang istilah lain disebut Cold Surge yang dapat
dapat menjadi indikasi adanya gangguan mengakibatkan proses kondensasi dan
cuaca skala sinoptik yang dikenal dengan membentuk awan-awan konvektif yang dapat
seruakan dingin (Cold Surge) dengan catatan menghasilkan hujan lebat terutama pada
kecepatan angin meredional di Hongkong malam dan dini hari.Namun, secara umum
lebih dari 10 knot. nilai transport kelembapan di sekitar Pulau
Batam sebelum, saat maupun sesudah
d. Analisis Moisture Transport kejadian hujan
Analisis Moisture Transport lebat kurang signifikan. Nilai moisture
dilakukan untuk mengetahui daerah dan asal transport berkisar antara 1000 – 600 Kg/ms-1
dari uap air yang merupakan unsur utama selama kurun waktu tanggal 17 hingga 20
pembentuk awan. Berdasarkan Gambar Desember 2014. Hal ini kurang mendukung
4pada saat kejadian hujan lebat di Batam dalam proses pertumbuhan awan-awan
yang terjadi pada tanggal 19 Desember 2014 konvektif.
terlihat bahwa uap air banyak berasal dari
Laut Cina Selatan yang mengarah menuju
wilayah Pulau Batam. Dengan ketersedian
uap air yang banyak, rata-rata lebih dari 1000 2. Analisis Udara Atas
Kg/ms-1 mendukung proses pembentukan Berdasarkan hasil pengolahan data
awan. udara atas 18 Desember 2014 jam 12.00
UTC hingga 19 Desember 2014 jam 12.00
UTC (19.00 WIB), diperoleh kurva sounding
seperti padaGambar 5.
Kurva sounding pada sesaat sebelum
kejadian hujan lebat atau pada tanggal 19

25
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015

Desember 2014 jam 00.00 UTC (07.00 WIB) Tabel 1.Indeks Stabilitas tanggal 18 dan 19
menunjukkan pada lapisan permukaan Desember 2014
hingga lapisan 600 mb jarak antara profil Tanggal/Jam SI LI KI CAPE
suhu dan profil titik embun sangat dekat. Hal
ini mengindikasikan bahwa udara pada 18 Desember -0.6 -4.1 37.8 2192 J/Kg
lapisan tersebut sangat lembab. Pada lapisan 2014/ 12
850 mb bahkan kedua garis tepat berhimpit UTC
yang menunjukkan kelembapan pada lapisan 19 Desember -0.3 -2.7 37.8 1733 J/Kg
tersebut mencapai 100 %. Kondisi ini 2014/ 00
merupakan syarat dimulainya proses UTC
kondensasi uap air menjadi tetes-tetes awan. 19 Desember 1.2 -3.3 33.1 940 J/Kg
Puncak awan yang terbentuk mencapai 2014/ 12
ketinggian sekitar 120 mb, yang UTC
mengindikasikan bahwa pada saat kejadian
hujan lebat tanggal 19 Desember 2014, awan Pada hasil pengolahan data udara
– awan yang terbentuk sangat tebal dan atas dari hasil pengamatan radio sonde
merupakan awan konvektif dengan puncak tanggal 18 – 19 Desember 2014 yang
yang tinggi seperti awan cumulonimbus. ditampilkan pada tabel 4.9 menunjukkan
Berdasarkan hasil pengolahan data udara atas nilai SI mengindikasikan saat kejadian
tanggal 18 Desember 2014 jam 12.00 UTC kondisi atmosfer labil lemah dan berpeluang
hingga 19 Desember 2014 jam 12.00 UTC membentuk kumpulan awan konvektif.
(19.00 WIB), maka diperoleh nilai indeks Keadaan ini juga didukung oleh nilai LI yang
stabilitas pada kejadian hujan lebat tanggal berada pada kisaran -4 hingga -2 yang
19 Desember 2014 seperti yang dijelaskan menggambarkan kemungkinan terjadi badai
dalam Tabel 1. guruh hebat. Sementara dari nilai KI,
terindikasi keadaan atmosfer di sekitar
Batam pada saat kejadian berpotensi
menyebabkan hujan lebat. Pada hasil
pengamatan juga menunjukkan nilai CAPE
sesaat sebelum kejadian hujan lebat tercatat
mencapai kisaran 1000 – 2500 J/Kg. Artinya,
pada waktu tersebut terjadi konveksi sedang
yang menyebabkan udara menjadi semakin
labil dan berpotensi menghasilkan cuaca
buruk seperti hujan lebat atau badai guruh.

26
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 2, Oktober 2015

3. Analisis Citra Satelit mengindikasikan hujan lebat sudah mulai


Dengan menggunakan identifikasi terjadi. Kondisi ini juga menggambarkan
suhu kecerahan (brightnesss temperature) bahwa awan-awan konvektif seperti
yang dikonversi ke suhu puncak awan, maka Cumulonimbus mulai menyelimuti langit
kondisi citra satelit pada sebelum dan saat Pulau Batam. Suhu puncak awan kemudian
kejadian hujan lebat dapat menjelaskan terus menurun selaras dengan puncak
kondisi awan yang tumbuh di atas Pulau kejadian hujan lebat hingga mencapai suhu
Batam. Terlihat pada Gambar 6, citra satelit terendah pada jam 04 UTC (11.00 WIB)
jam 00 UTC (07.00 WIB) memperlihatkan dengan nilai < -800C. Selanjutnya langit
liputan awan sudah mulai muncul di Batam masih terus diselimuti awan-awan
sekeliling Pulau Batam. Namun tepat di atas dingin hingga akhirnya berangsur-angsur
Pulau Batam masih terlihat berwarna hijau menyebar dan menghilang pada jam 15 UTC
yang jika dikonversi ke dalam suhu puncak (22.00 WIB). Hal ini dibuktikan dengan suhu
awan berkisar -200C. Selanjutnya pada jam puncak awan pada waktu tersebut sekitar -
02 UTC (09.00 WIB) liputan awan mulai 100C yang artinya bukan lagi merupakan
memasuki langit Pulau Batam dengan suhu awan cumulonimbus.
puncak awan mencapai -800C yang

27
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015

Gambar 6.Brightness Temperatur (C) dariCitra Satelit MT-SAT sebelum, saat dan
sesudahkejadian hujan lebat tanggal 19 Desember 2014.
dan setelah kejadian berkisar antara 0 hingga
4. Analisis Kelembapan Udara 40 x 10-6/s. Nilai yang semakin negatif pada
Berdasarkan hasil pengolahan data saat menjelang kejadian merupakan indikasi
kelembapan udara secara vertikal di area adanya konvergensi yang menyebabkan
Pulau Batam tanggal 17 – 20 Desember 2014 pengangkatan massa udara yang membentuk
pada lapisan 1000 hingga 200 mb (Gambar banyak awan. Sedangkan pada lapisan 500
7.a) didapatkan informasi mengenai – 200 mb, nilai divergensi di sekitar Pulau
kelembapan udara pada sebelum dan saat Batam sebelum, saat dan seusai kejadian
kejadian hujan. Terlihat pada lapisan hujan lebat bervariasi antara 0 hingga 40 ×
permukaan (1000 – 800 mb) sebelum dan 10-6/s. Nilai yang semakin positif
saat kejadian hujan kondisi udara di Pulau menunjukkan bahwa pada lapisan tersebut
Batam cukup jenuh dengan nilai 80 – 90%. terjadi penyebaran massa udara atau
Sedangkan pada lapisan menengah (700 – divergensi. Kondisi adanya konvergensi di
500 mb) dan lapisan atas (500 – 200 mb) lapisan bawah (low level convergence) dan
kelembapan juga masih sangat jenuh pada divergensi di lapisan atas merupakan suatu
kisaran 80 – 85%. Hal ini menunjukkan kondisi yang baik dalam mendukung arus
bahwa kondisi udara sangat lembab selama udara yang naik.Gerakan ke atas dari udara
periode terjadinya hujan lebat dan ini memicu pertumbuhan awan-awan yang
mendukung dalam proses kondensasi dalam menjulang tinggi yang dapat menghasilkan
pembentukan awan-awan konvektif. cuaca buruk.

6. Analisis Vertical Velocity


5. Analisis Divergensi Berdasarkan Gambar 7.c terlihat
Berdasarkan Gambar 7.bpada pada saat menjelang terjadinya hujan lebat
periode hujan lebat tanggal 19 Desember nilai vertical velocity pada lapisan 1000 –
2014 terlihat pada lapisan 1000 – 850 mb, 200 mb berkisar antara -0.05 hingga 0.05
nilai divergensi di atmosfer Pulau Batam Pa/s, pada saat kejadian berkisar antara -0.2
sebelum kejadian berkisar antara 0 hingga 20 hingga -0.05 Pa/s dan setelah kejadian di
x 10-6/s, saat menjelang kejadian hujan lebat lapisan 1000 – 700 mb, vertical velocity
berkisar -10 x 10-6/s hingga < -30 x 10-6/s, menunjukkan nilai antara 0 hingga 0.15 Pa/s.

28
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No.3, Oktober 2015

Nilai yang negatif sebelum dan saat kejadian Lupo, A.R. dan Anip, M.H.M., 2011,
menggambarkan adanya gerakan udara Climatological Study of Borneo
vertikal ke atas. Gerak udara vertikal yang Vortex during Northern Hemisphere
naik ini membawa massa udara yang lembab Winter Monsoon.Poster in Conference
ke lapisan atas sehingga berpotensi World Research Climate Programme
menghasilkan awan-awan konvektif yang (WRCP) 2011, Denver, Colorado-
menjulang tinggi. Sementara nilai yang USA.
positif di lapisan bawah pada setelah Prawoto, I., Azizah, N., dan Taufik, M.,
kejadian hujan lebat menggambarkan bahwa 2011, Tinjauan Kasus Banjir di
ada gerakan udara kebawah yang Kepulauan Riau Akhir Januari 2011,
mengindikasikan meluruhnya awan-awan Jurnal Megasains,Vol.2 No.2 - Juni
penyebab hujan lebat tersebut. 2011 Hal. 116 – 122.
Suyono, H., Satyaning, A., Boer, R., Agus,
4. KESIMPULAN P., Ribudiyanto, K., Supiatna, J.,
Berdasarkan analisis-analisis yang Subarna, Leni, Linarka, U.,
telah disebutkan dapat ditarik kesimpulan Satyaningsih, R., Noviati, S., dan
bahwa kejadian hujan lebat pada tanggal 19 Kumalawati, R, 2009, Kajian Cuaca
Desember 2014 merupakan akibat dari Ekstrim di Wilayah Indonesia,
gangguan cuaca yang terbentuk melalui Puslitbang BMKG, Jakarta.
peristiwa mekanis seperti konvergensi dan Tangang, F.T., Liew, J., Salimun, E.,
vortex dan didukung dengan proses thermis Vinayachandran, P.N., Seng, Y.K.,
seperti konveksi dan adveksi udara dingin Reason, C. J. C., Behera, S. K., dan
dari adanya Cold Surge. Yasunari, T, 2008, On the roles of the
northeast cold surge, the Borneo
DAFTAR PUSTAKA Vortex, the Madden-Julian Oscillation,
BMKG, 2010, Peraturan KBMKG Nomor: and the Indian Ocean Dipole during
Kep. 009 Tahun 2010 tentang the extreme 2006/2007 flood in
Prosedur Standar Operasional southern Peninsular Malaysia,
Pelaksanaan Peringatan Dini, Geophysical Research Letters,
Pelaporan, Dan Diseminasi Informasi Volume 35, Issue 14, July 2008,
Cuaca Ekstrim. American Geophysical Union.
Braesicke, P., Hai, O.S. dan Samah, A.A, Zakir, A., Sulistya, W., dan Khotimah, M.
2012, Properties of strong off-shore K., 2010, Perspektif Operasional
Borneo vortices: a composite analysis Cuaca Tropis, Badan Meteorologi
of flow pattern and composition as Klimatologi dan Geofisika, Jakarta.
captured by ERA-Interim. Journal of
The Royal Meteorological Society Pustaka dari Situs Internet
13:128-132. The European Centre for Medium-Range
Chang, C.P., Harr, P. A., dan Chen, H. J, Weather Forecasts, 2015, [daring],
2005, Synoptic Disturbances over the http://apps.ecmwf.int/datasets/data/int
Equatorial South China Sea and erim_full_daily/, diakses 10 Januari
Western Maritime Continent during 2015.
Boreal Winter, Monthly Weather
Review, Vol. 133. Hal 489-503.

29
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

KAJIAN METEOROLOGI TERKAIT CUACA EKSTREM


SAAT MUSIM KEMARAU
(Studi Kasus Hujan Sangat Lebat 17 - 26 Juni 2013 di Malaka - NTT)
Lioba Seuk Soera, Paulus A. Winarso
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
E-mail :liobasoeraseuk@yahoo.com

ABSTRAK
Pada tanggal 20 – 23 Juni 2013, beberapa pos hujan di Kabupaten Malaka Nusa Tenggara
Timur menakar hujan harian dengan intensitas sangat lebat diatas 100 milimeter. Cuaca ekstrem ini
menarik dikaji karena terjadi disaat musim kemarau. Kajian ini bertujuan untuk mengetahui
kondisi meteorologiyang mendukung kejadian hujan sangat lebat di Malaka. Dari hasil analisis
peta sinoptik dan data reanalisis modeltanggal 17 hingga 26 Juni 2013, menunjukkan bahwa
anomali SST yang positif di perairan sekitar Indonesia bagian selatan memicu tumbuhnya LPA di
perairan di selatan Jawa. Kondisi tersebut kemudian menyebabkan konvergensi diantaraangin
timuran, massa udara kontinen-tropis dan maritim-tropis sertashearline di atas wilayah Malaka.
Hal tersebut menjadi faktor utama yang menyebabkan terjadinya hujan sangat lebat di Malaka,
sedangkan kondisi udara yang basah hingga lapisan atas serta besarnya kekuatan gerak vertikal
udara keatas yang ditunjukkan oleh nilai vortisitas dan kecepatan gerak vertikal, merupakan faktor
lokal yang juga mendukung terjadinya hujan sangat lebat di Malaka.

Kata kunci :hujan sangat lebat, cuaca ekstrem, musim kemarau

ABSTRACT
On 20 to 23 June, 2013, daily rainfall intensity in some points in the district of Malaka-East
Nusa Tenggarawere extremely heavy with intensity above 100 millimeters per day. This extreme
weather event is interesting to study because it occurs in the dry season. This study aims to
determine the current meteorological conditions when heavy rain events occured in Malaka. From
the analysis of synoptic map and reanalysis model data, showed thatpositive anomaly of SST
around southern of Indonesia trigger the growth of a low pressure center in the south of Java. The
center of low pressure caused the easterlies wind of tropical-continental and maritime-tropical air
mass formed the convergence and shearline on the Malaka territory. While the parameter of local
weather that contribute are wet air humidity which reached until the upper layer and intensify of
upward vertical air motion that indicated by vortices and velocity of vertical motion.

Keywords : very heavy rain, extreme weather, dry season

30
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

1. PENDAHULUAN a. Peta anomali SST mingguan tanggal 16 –


Menurut Wirjohamidjojo dan Swarinoto 22 dengan resolusi 10x10 dari
(2010), secara klimatologis untuk periode http://www.emc.ncep.noaa.gov
tahun 2000 – 2008, variasi curah hujan yang b. Data indeks anomali SST Niño 3.4
rendah di Kupang terjadi pada bulan April – mingguan pada bulan Juni 2013dari
Oktober dan curah hujan yang tinggi terjadi http://www.emc.ncep.noaa.gov/
pada bulan Desember – Maret. Ketika c. Data indeks monsoon AUSMI tahun
monsun Australia sedang giat yaitu sekitar 2013 dari
bulan April - September, wilayah Indonesia http://bcc.cma.gov.cn/EAMAC/
umumnya berlangsung musim kemarau yang d. Diagram fase MJO pada bulan Juni 2013
ditandainya dengan angin timuran dan curah dari BoM Australia;
hujan yang kurang di berbagai tempat. Angin e. Peta angin gradien tanggal 17 - 26 Juni
timuran membawa massa udara yang bersifat 2013 dari BoM Australia;
kering-hangat dari benua Australia dan paling f. Peta MSLP pada tanggal 17 - 26 Juni
dirasakan oleh wilayah Indonesia bagian 2013 dari BoM Australia;
timur yang berdekatan dengan sumber massa g. Citra satelit OCAI tanggal 19 - 24 Juni
udara tersebut. Khusus wilayah NTT 2013;
mengalami musim monsun timur atau puncak h. Data reanalisis dari ECMWF tanggal 17
kemarau pada bulan Juni, Juli dan Agustus – 26 Juni 2013 dengan resolusi 0,1250 x
(Tjasyono dan Harijono, 2013). 0,1250 yang diolah menggunakan
Sedangkan pada bulan Juni 2013 terjadi aplikasi GrADS 2.0.1;
kondisi cuaca yang tidak biasa di salah satu i. Data curah hujan dari 5 (lima) pos hujan
wilayah di NTT, yaitu terjadi hujan sangat di Kabupaten Malaka yaitu Berhau,
lebat mencapai lebih dari 100 milimeter Besikama, Betun, Biuduk Foho dan
perhari di beberapa pos hujan di Malaka Kaputu
tanggal 20 – 23 Juni 2013. Tingginya curah
hujan selama 4 hari berturut-turut Metode yang digunakan dalam
menyebabkan meluapnya sungai Benanain pengolahan dan pembahasan data antara lain
dan mengakibatkan banjir yang merendam 27 metode literatur, grafis, dan dinamis. Kondisi
desa di wilayah kabupaten Malaka (Kompas, atmosfersaat kejadian hujan sangat lebat di
2013). Bahkan curah hujan bulanan untuk Malaka, dianalisisberdasarkan skala
bulan Juni 2013 di salah satu pos hujan meteorologi secara berurutan yaitu global,
Berhau mencapai 947 milimeter, jumlah ini regional dan lokal, dengan menerapkan ilmu
meningkat tiga kali lipat dari rata-rata meteorologi khususnya teori tentang analisis
bulanannya yaitu 287 milimeter. Kejadian cuaca untuk kawasan tropis.
hujan yang tergolong cuaca ekstrem ini Beberapa hal penting yang perlu
menarik untuk dikaji karena terjadi pada saat dipersiapkan dalam kegiatan analisis cuaca
wilayah NTT dan sekitarnya telah memasuki antara lain data klimatologi setempat; data
musim kemarau. unsur cuaca yang sudah terjadi;
Dalam penelitian ini akan dikaji kondisi memperhatikan skala atau pola cuaca yang
meteorologisaat terjadi hujan sangat lebat di sudah maupun yang sedang terjadi;
musim kemarau di Malaka, berdasarkan skala memperhatikan faktor dominan yang
meteorologi.Sehinggadapat diketahui faktor mempengaruhi cuaca setempat; serta
penyebab dan pendukung terjadinya cuaca mengidentifikasi pola gangguan tropis, seperti
ekstrem. Selain itu hasil penelitian ini adanya daerah konvergensi, divergensi, badai
diharapkan dapat menjadi referensi untuk tropis, dan sebagainya (Zakir dkk, 2010).
kegiatan analisis cuaca apabila terjadi hujan Penelitian dilakukan di daerah kabupaten
saat musim kemarau di NTT pada waktu yang Malaka yang secara astronomis terletak pada
akan datang. 9,56o LS dan 124,54o BT. Wilayah Malaka
merupakan bagian dari Pulau Timor di
2. DATA DAN METODE provinsi Nusa Tenggara Timur, dengan luas
Data yang digunakan dalam penelitian ini wilayah sekitar 1.160,63 km2 dan seluruhnya
antara lain : merupakan daratan.

31
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Kondisi klimatologis hujan di Malaka
Perhitungan rata-rata curah hujan
bulanan di Malaka yang ditunjukkan pada 3.2.1 Analisis anomali SST
gambar 1, diwakilkan oleh 4 pos hujan yaitu Pada tanggal 16 – 29 Juni 2013, anomali
pos hujan Besikama, Betun dan Biudukfoho SST di perairan Indonesia dan sekitarnya
untuk periode 2003 – 2012 serta pos hujan berkisar 0 – 2,5oC (gambar 2). Terutama SST
Kaputu untuk periode 2005 – 2009. di perairan sebelah selatan pulau Jawa bagian
Secara umum bulan basah di Malaka timur hingga Nusa Tenggara yang meningkat
berlangsug selama 9 bulan yaitu dari Oktober dengan nilai anomali 2,5 oC. Khusus perairan
– Juni sedangkan bulan kering berlangsung sekitar kabupaten Malaka yaitu Laut Timor
selama2 bulan yaitu Desember - Januari. dan Laut Sawu, anomali suhu permukaan laut
Rata-rata curah hujan bulanan pada bulan Juni berkisar 0,5 – 1,5 oC.
di Malaka antara 75–130 milimeter. Bila Nilai anomali SST yang positif ini
dibandingkan dengan rata-rata jumlah hujan menunjukan kondisi perairan yang lebih
bulan Juni 2013 dari ke 5 pos hujan yang hangat daripada kondisi rata-ratanya. Keadaan
mencapai 663,6 milimeter, maka curah hujan ini membawa implikasi naiknya curah hujan
pada bulan tersebut bersifat di atas normal. karena adanya peningkatan energi di laut
sehingga meningkatkan proses penguapan di
3.2 Kondisi cuaca skala gobal atmosfer dan menyuplai lebih banyak uap air
Kondisi atmosfer skala global yang sebagai bahan pembentukan awan hujan di
dianalisis pada saat kejadian hujan ekstrem di daerah tersebut (Aldrian, 2008).
Malaka tanggal 17 – 26 Juni 2013 antara lain
anomali suhu permukaan laut, serta aktifitas
fenomena El Niño dan La Niña.

Gambar 1.Grafik rata-rata curah hujan dan hujan bulanantahun 2013 di Malaka

(a) (b)
Gambar 2. Peta SST global tanggal 16 – 22 Juni 2013 (a) dan 23 – 29 Juni 2013 (b)
(EMC/NCEP/NOAA, 2013)

32
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

cuacanya sangat dipengaruhi oleh jenis


Tabel 1 Anomali SST Nino 3.4 mingguan monsun yang sedang aktif(Wirjohamidjojo
Juni 2013 (CPC/NCEP/NOAA, 2013) dan Swarinoto, 2010). Pada penelitian ini,
Tanggal SST Anomali ( C ) Australia Summer Monsoon Index (AUSMI)
05 Juni 2013 -0.2 digunakan untuk mengidentifikasi jenis
12 Juni 2013 -0.2 monsun yang aktifyaitu dengan menggunakan
19 Juni 2013 -0.3 nilai rata-rata angin zonal pada level
26 Juni 2013 -0.1 ketinggian 850 milibar dalam area 5o – 15oLS
dan 110o – 130o BT (Kajikawa dkk,
3.2.2 Analisis aktifitas El Niño dan La 2009).Semakin negatif nilai AUSMI,
Niña menunjukkan kuatnya angin timuran dan
Aktifitas fenomena El Niño dan La Niña indikasi sedang berlangsung monsun
diketahui dengan menganalisis indeks Australia yang kuat.
anomali SST pada wilayah Niño 3.4. Untuk Dari grafik pada gambar 3 dibawah,
episode El Niño, nilai ambang batas anomali AUSMI bulan Juni 2013 berkisar antara 0
SST pada wilayah Niño 3.4 adalah positif hingga -7, menunjukkan angin timuran yang
lebih besar atau sama dengan 0,5 °C (BoM, dominan dengan kecepatan mencapai 7 m/s
2015). Sedangkan untuk episode La Niña atau sekitar 14 knot pada ketinggian 850 mb
adalah negatif dari normalnya. Berdasarkan serta indikasi monsun dingin Australia sedang
Tabel1 diatas, indeks anomali SST mingguan giat. Kondisi ini berdampak pada giatnya
negatif pada bulan Juni 2013 menunjukkan perpindahan massa udara kontinen - tropis
adanya pendinginan SST di samudera Pasifik dari benua Australia ke wilayah NTT
tengah. Kondisi ini menggiatkan fenomena La khususnyaMalaka yang merupakan daerah
Niña, sehingga menguatkan angin pasat yang monsunal. Massa udara dingin biasanya
membawa massa udara hangat dan lembab kurang mengandung uap air, sehingga akan
dari samudera Pasifik bagian barat menuju memperparah musim kemarau yang sedang
wilayah Indonesia. berlangsung di wilayah NTT.
LaNiña menyebabkan meningkatnya Namun dengan SST saat kejadian hujan
curah hujan di Indonesia (Tjasyono dan Dupe, lebat di Malaka, maka adveksi udara dingin
1996). Sedangkan El Niño menyebabkan didukung dengan kondisi atmosfer bawah
musimhujan datang lebih lambat dan musim yang hangat di daerah Malaka dan sekitarnya.
kemarau lebih panjang serta Sehinggagradien suhu vertikal negatif akan
menurunkanjumlah curah hujan di Indonesia menggiatkan konvektifitas untuk
(Tjasyono dan Dupe, 1996). Namun pembentukan awan dan hujan di wilayah
berdasarkan klasifikasi yang digunakan BoM Malaka.
Australia, nilai indeks anomaliSST pada Juni
2013 yang lebih besar dari -0,5 merupakan 3.3.2 Analisis fenomena MJO
kategori yang netral, sehingga kondisi ini Madden - Julian Oscillation (MJO)
tidak memberi pengaruh signifikan pada merupakan penjalaran gelombang timuran
penambahan curah hujan secara khusus di berupa awan konvektif dan hujan di sekitar
wilayah Malaka. daerah ekuator yang akan berulang setiap 30 -
60 hari dan berdampak pada fluktuasi kondisi
3.3 Kondisi cuaca skala regional cuaca di daerah tropis dengan skala waktu
Kondisi atmosfer skala regional yang mingguan – bulanan (BoM, 2015). Fenomena
dianalisis pada kajian ini antara lain aktifitas ini terjadi akibat adanya anomali angin zonal
monsun, Madden-Julian Oscillation, siklon di daerah tropis Pasifik (Maddden dan Julian,
tropis, peta sebaran spasial tekanan udara 1971).Pergerakan variabilitas intraseasonal
(MSLP), angin gradien, dan citra satelit. ini memberi dampak hujan yang tinggi pada
daerah yang dilaluinya (Aldrian, 2008).
3.3.1 Analisis monsun
Pola hujan di wilayah NTT yang
bertipe monsunal, menunjukan bahwa kondisi

33
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Gambar 3. Grafik Australia Monsoon Index(EAMAC, 2014)

Identifikasi aktifitas fenomena MJO rentang waktu tersebut lebih rendah dari pada
pada penelitian ini dengan menggunakan kondisi rata-ratanya,sehingga
diagram fase MJO. Diagram ini mengindikasikan pertumbuhan awan
menggambarkan perkembangan fase MJO konvektif akibat MJO kurang giat di wilayah
dari hasil perhitungan Realtime Multivariate Malaka.
MJO (RMM) Index yang secara matematis
menggabungkan perhitungan jumlah awan 3.3.3 Analisis peta MSLP
dan angin zonal pada paras atas 250 hpa dan Dari peta reanalisis MSLP harian
paras bawah 850 hpa di daerah ekuator tanggal 17 – 26 Juni 2013 pada gambar 3,
(Wheeler dan Hendon, 2004). terlihat dataran Asia menjadi pusat low
Hasil perhitungankemudian dipetakan presure area (LPA) dan high pressure area
dalam bagian diagram sesuai dengan lokasi (HPA) di daratan Australia. Keadaan ini
penjalarannya di sepanjang garis ekuator. mengikuti posisi matahari pada bulan Juni
Ketika indeks berada dalam pusat yaitu berada di daerah subtropis BBU.
lingkaranMJO dianggap lemah; dianggap Terdapat beberapa pusat tekanan
menguat bila berada diluar lingkaran; dan jika rendah yang terbentuk di perairan sekitar
indeks berada pada diagram 4 dan 5 Indonesia. Perpindahan massa udara yang
menunjukkan penjalaran MJO berada di seharusnya mengikuti sistem tekanan udara
wilayah Indonesia. yaitu dari BBS ke BBU, akan terganggu
Dari diagram fase MJO pada gambar 4a, akibat adanya pusat - pusat tekanan rendah
menunjukkan adanya aktifitas MJO saat tersebut. Terutama pusat tekanan rendah yang
terjadi hujan lebat di Malaka. Pada tanggal 17 terbentuk di Samudera Hindia sebelah selatan
Juni 2013 MJO masih berada pada fase 5 pulau Sumatera – Jawa.
yaitu di wilayah Indonesia bagian timur dan Pada tanggal 17 - 19 Juni, wilayah NTT
bergerak memasuki fase 6 mulai tanggal 18 bertekanan udara rendah 1008 – 1010 hpa.
Juni. Selanjutnya MJO semakin bergerak Kemudian pada tanggal 20 dan seterusnya,
menjauh dan memasuki fase 8 yaitu kembali tekanan mencapai > 1010 hpa mengikuti
muncul di wilayah Afrika mulai tanggal 24 peningkatan tekanan udara di daratan
Juni. Walaupun MJO sedang aktif, namun Australia. Garis isobar dari tekanan tinggi di
hujan sangat lebat yang terjadi di Malaka Australia yang cukup rapat, menunjukan
bukanlah disebabkan oleh fenomena ini. perbedaan nilai tekanan yang cukup besar
Karena saat kejadian hujan sangat lebat yaitu dengan wilayah Indonesia. Selain itu dari peta
20 – 23 Juni 2013, MJO tidak berada pada tekanan permukaan, terlihat bahwa tidak
fase di atas wilayah Indonesia khususnya terdapat aktifitas siklon tropis di sekitar
Malaka. Sedangkan anomali OLR diMalaka wilayah NTT.
(124,90o BT) pada tanggal 15 – 22 Juni (lihat
gambar 4b) umumnya bernilai negatif. Nilai
tersebut menunjukkan perawanan pada

34
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

(a) (b)

Gambar 4. (a) Grafik Australia Monsoon Index (EAMAC, 2013) dan (b) Diagram fase MJO
April – Juni 2013 (BoM, 2013)

Pada tanggal 24 Juni, terbentuk pola shearline


3.3.4 Analisis peta angin gradien di atas wilayah NTT, karena adanya pusat
Pada peta reanalisis angin gradien tekanan baru di sebelah barat Australia.
tanggal 17 – 26 Juni 2013 pada gambar, Pola konvergensi dan shearline ini
secara umum terlihat bahwa arus angin dari mengakibatkan pemampatan massa udara
daratan Australia terbagi menuju tiga pusat pada suatu wilayah. Massa udara hangat
tekanan rendah yaitu di samudera Hindia kontinen-tropis dari Australia bersama dengan
selatan, di Laut Filipina, dan samudera Pasifik massa udara maritim-tropis dari samudera
bagian barat. Angin di wilayah Malaka Pasifik di sebelah barat Australia yang basah
bertiup dari arah timur laut – tenggara yaitu dan hangat, akan berkumpul dan
dari Pasifik sebelah timur benua Australia. termampatkan di atas wilayah Malaka dan
Pusat tekanan rendah di selatan Jawa sekitarnya. Pemampatan udara akan memaksa
bagian timur, menyebabkan udara dari dataran gerak udara ke atas dan memicu pertumbuhan
Australia maupun dari samudera di sekitarnya awan – awan konvektif yang menghasilkan
yang hendak menuju pusat tekanan rendah di hujan di tempat tersebut. Selain itu dari pola
sekitar daratan Asia membelok ke arah pusat angin permukaan tidak menunjukkan adanya
tekanan rendah tersebut. Akibatnya terbentuk pola angin siklonal yang mengindikasikan
pola konvergensi angin di sebelah barat daya aktifitas siklon tropis di sekitar wilayah NTT.
NTT yang terlihat pada tanggal 19 – 24 Juni.

35
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

(a) 17/06/2013 (b) 18/06/2013 (c) 19/06/2013 (d) 20/06/2013 (e) 21/06/2013

(f) 22/06/2013 (g) 23/06/2013 (h) 24/06/2013 (i) 25/06/2013 (j) 26/06/2013

Gambar 5. Peta reanalisis MSLP harian tanggal 17 – 26 Juni 2013 (BoM, 2013)

(a) 17/06/2013 (b) 18/06/2013 (c) 19/06/2013 (d) 20/06/2013 (e) 21/06/2013

(f) 22/06/2013 (g) 23/06/2013 (h) 24/06/2013 (i) 25/06/2013 (j) 26/06/2013
Gambar 6. Peta reanalisis MSLP harian tanggal 17 – 26 Juni 2013 (BoM, 2013)

36
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

(a) 20/06/2013 (b) 21/06/2013


(b)

(c) 22/06/2013 (d) 23/06/2013


Gambar 7. Citra satelit OCAI harian per 6 jam tanggal 20 – 23 Juni 2013

37
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Gambar 8. Grafik tren suhu permukaan tanggal 17 – 26 Juni 2013 di Malaka

3.3.5 Analisis citra satelit tanggal 21 Juni. Selama kejadian hujan sangat
Dengan menggunakan produk citra lebat di Malaka, suhu permukaan sangat
satelit OCAI per 6 jaman, dapat dianalisis rendah yaitu kurang dari 25,0 oC, sedangkan
jenis dan sebaran awan di atas wilayah pada hari-hari sebelumnya suhu permukaan
Malakapada tanggal 20 – 23 Juni 2013. Dari pada pagi hingga siang hari berkisar 26,0 oC –
citra satelit pada gambar 7, dapat dilihat 27,0 oC. Begitupula setelah kejadian hujan
bahwa saat kejadian hujan sangat lebat di sangat lebat, suhu permukaan kembali
Malaka, terdapat aktifitas pertumbuhan awan meningkat.
cumulonimbus di sekitar Malaka yang Suhu titik embun yang berimpit dengan
kemuadian meluas dan menutupi wilayah suhu permukaan dengan selisih kurang dari
Malaka. Tanggal 20 – 21 Juni, aktifitas awan 0,5 oC, menunjukkan kondisi udara
cumulonimbus giat pada malam hingga pagi permukaan di Malaka yang sangat basah saat
hari. Sedangkan pada tanggal 22 – 23 Juni, kejadian hujan. Pada ketinggian di atas
giat pada pagi hingga siang hari. Awan permukaan ( > 2 meter) suhu udara akan
cumulonimbus yang meluas hingga menutupi semakin dingin dan mencapai suhu titik
sebagian besar wilayah pulau Timor ini embun, sehingga memungkinkan terjadinya
merupakan awan penghasil hujan sangat lebat proses kondensasi pada ketinggian dekat
di Malaka pada tanggal 20 – 23 Juni 2013. permukaan.

3.4 Kondisi cuaca skala lokal 3.4.2 Analisis profil vertikal kelembapan
Kondisi atmosfer skala lokal yang udara relative (RH)
dianalisis saat kejadian hujan sangat lebat di Profil vertikal kelembapan udara relatif
Malaka tanggal 17 – 26 Juni 2013 antara lain (RH) pada gambar 8b, menunjukkan bahwa
tren suhu udara dan titik embun permukaan, kelembapan udara di Malaka cukup tinggi di
profil vertikal kelembapan relatif udara, serta atas 70% sejak tanggal 17 hingga 26 Juni
parameter gerak vertikal udara yaitu vortisitas 2013. RH lapisan permukaan (1000 – 900
relatif, dan kecepatan vertikal udara (omega). hpa) mencapai 100%, menunjukan kondisi
udara di permukaan yang mengandung
3.4.1 Analisis tren suhu udara dan titik banyak uap air sebagai bahan pembentuk
embun permukaan awan hujan.
Tren suhu udara dan titik embun Pada tanggal 20 Juni, kelembapan
permukaan pada ketinggian 2 meter di udara yang sangat basah dengan RH 90 -
koordinat Malaka selama rentang 10 hari 100% mencapai lapisan 750 hpa. Bahkan
ditunjukkan pada gambar 8a. Pada grafik kondisi udara kelewat jenuh atau
terlihat jelas bahwa saat hujan sangat lebat supersaturated terlihat pada ketinggian di
pada tanggal 20 – 23 Juni, terjadi penurunan sekitar lapisan 900 – 850 hpa yaitu dengan
suhu maksimum harian yang signifikan mulai RH mencapai lebih dari 100%. Hingga

38
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Gambar 9. Profil vertikal RH tanggal 17 – 26 Juni 2013 di Malaka

lapisan 450 hpa pun, kelembapan udara Kondisi ini juga masih mendukung
masih cukup yaitu 70 - 90%. Kondisi ini terbentuknya awan hujan di atas wilayah
mendukung terbentuknya awan hujan di atas Malaka. Lima pos hujan di Malaka pada
Malaka. Terbukti dari hujan harian yang tanggal 22 Juni, menakar hujan harian > 70
tertakar di pos hujan Berhau yang mencapai milimeter, dengan jumlah tertinggi di pos
300 milimeter. hujan Besikama yang mencapai 262
Pada tanggal 21 Juni, kelembapan milimeter.
udara sangat basah di permukaan dengan RH Pada tanggal 23 Juni, kelembapan
lebih dari 90% mencapai lapisan 800 hpa. udara di permukaan hingga 800 hpa masih
Bahkan kondisi udara kelewat jenuh atau sangat basah degan RH 90 – 100%. Kondisi
supersaturated terlihat pada ketinggian di udara supersaturated dengan RH lebih dari
sekitar lapisan 950 – 850 hpa yaitu >100%. 100% terdapat pada ketinggian di sekitar
Hingga lapisan 400 hpa pun, kelembapan lapisan 950 – 900 hpa. RH yang tinggi di atas
udara masih cukup yaitu 70 - 90%. Pada 70% hanya terdapat sampai lapisan 600 hpa
ketinggian 600 – 450 hpa, bahkan terdapat dengan. Kemudian pada ketinggian 600 – 450
kondisi udara dengan kelembapan 90 – 100%. hpa udara cenderung kering dengan RH <
Ketersediaan uap air berkurang pada lapisan 70%. Ketersediaan uap air ini masih cukup
450 – 200 hpa, yaitu dengan RH 20 – 70%. untuk mendukung terbentuknya awan hujan di
Namun pada lapisan 200 – 100 hpa, atas wilayah Malaka. Pos hujan di kabupaten
kelembapan udara kembali tinggi dengan RH Malaka masih menakar hujan harian yang
90 – 100%. Kondisi ini sangat mendukung mencapai 125 milimeter di pos hujan Berhau.
terbentuknya awan hujan di atas wilayah
Malaka, dimana lima pos hujan di Malaka 3.4.3 Analisis indeks CAPE
menakar hujan harian lebih dari 70 milimeter, Grafik nilai CAPE pada gambar 4.10 di
bahkan jumlah curah hujan di pos hujan bawah ini, menunjukkan bahwa saat kejadian
Berhau mencapai 220 milimeter. hujan lebat di Malaka pada 17 – 26 Juni 2013,
Pada tanggal 22 Juni, kelembapan hanya disertai energi konvektif lemah hingga
udara sangat basah terlihat di permukaan sedang. Energi konvektif sedang lebih dari
dengan RH lebih dari 90% dan mencapai 1000 J/kg hanya mendukung kejadian hujan
lapisan 850 hpa. Kondisi udara kelewat jenuh lebat tanggal 21 Juni, dimana curah hujan
atau supersaturated juga terlihat pada yang tertakar di pos hujan Berhau mencapai
ketinggian di sekitar lapisan 975 – 875 hpa 220 milimeter. Sedangkan curah hujan
yaitu dengan RH lebih dari 100%. tertinggi yang tertakar mencapai 300
Kelembapan udara yang tinggi juga terdapat milimeter di pos hujan Berhau pada tanggal
sampai lapisan atas. Bahkan pada ketinggian 20 Juni hanya didukung dengan energi
450 - 100 hpa, RH berkisar antara 90 – 100%. konvektif lemah yaitu < 1000 J/kg.

39
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Begitupula dengan kejadian hujan 21 – 24 Juni, nilai vortisitas permukaan


tanggal 22 – 25 yang hanya di dukung dengan hingga lapisan 900 hpasangat negatif
energi konvektif lemah. Dengan demikian mencapai -8 x 10-5 s-1, bahkan vortisitas
dapat dikatakan bahwa faktor konvektivitas negatif mencapai hingga lapisan 300 hpa. Hal
udara hanya mempengaruhi kondisi udara saat ini mengindikasikan gerak vertikal udara yang
hujan lebat tanggal 21 Juni. Sedangkan untuk giat dari permukaan hingga lapisan 300 hpa
kejadian hujan lebat tanggal 20, 22, 23, 24, pada rentang waktu tersebut. Nilai vortisitas
dan 25 Juni, faktor konvektifitas udara kurang negatif di permukaan ini menunjukan giatnya
berperan dalam proses pembentukkan awan gerak vertikal udara di wilayah Malaka yang
dan hujan di wilayah tersebut. merupakan faktor mekanis yang mendukung
pembentukan awan dan hujan. Keadaan
3.4.4 Analisis profil vertikal vortisitas relatif atosfer yang ditinjau dari nilai vortisitas ini
Profil vertikal pada gambar 11 di atas sesuai dengan yang terjadi di Malaka yaitu
menunjukkan nilai vortisitas relatif di Malaka adanya hujan lebat di atas 150 milimeter per
secara umum bernilai negatif sejak tanggal 17 hari pada tanggal 20 – 23 Juni.
hingga 26 Juni 2013. Terutama pada tanggal

Gambar 10. Profil vertikal RHtanggal 17 – 26 Juni 2013 di Malaka

Gambar 11. Profil vertikal vortisitas relatiftanggal 17 – 26 Juni 2013 di Malaka

40
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Gambar 11. Profil kecepatan vertikal udara (omega)tanggal 17 – 26 Juni 2013 di Malaka

3.4.5 Analisis profil kecepatan vertikal udara kontinen-tropis dan maritim-tropis


Profil vertikal pada gambar12, terlihat membentuk konvergensi sertashearline di atas
bahwa kecepatan vertikal udara di Malaka wilayah pulau Timor khususnya Malaka.
pada 17-26 Juni 2013 secara umum bernilai Adapun kondisi lokal yang mendukung
negatif di permukaan. Nilai omega negatif terjadinya cuaca ekstrim tersebut adalah
menunjukan gerak vertikal udara ke atas ke tingginya kelembaban udara hingga ke lapisan
paras tekanan yang lebih rendah. Pada 17–18 atas serta besarnya kekuatan gerak vertikal
Juni nilai omega negatif hanya mencapai level udara keatas yang ditunjukkan oleh nilai
900 hpa dan di lapisan atasnyacenderung vortisitas dan omega.
positif.
Sedangkan pada tanggal 19 Juni gerak DAFTAR PUSTAKA
vertikal udara keatas cenderung terjadi pada Aldrian, E. 2008. Meterologi Laut Indonesia,
pagi hingga malam hari. Gerak vertikal udara Puslitbang BMKG. Jakarta
yang sangat giat dengan nilai omega negatif BMKG. 2010. Peraturan KBMKG Nomor
terutama terjadi pada tanggal 20 - 23 Juni Kep. 009 Tahun 2010 tentang Prosedur
yaitu dari permukaan mencapai lapisan 100 Standar Operasional Pelaksanaan
hpa. Kemudian pada 24 – 26 Juni omega Peringatan Dini, Pelaporan, dan
positif lebih mendominasi hingga lapisan atas. Diseminasi Informasi Cuaca Ekstrem.
Gerak vertikal udara yang ditinjau dari Kajikawa, Y. Wang, B. dan Yang, J. 2009 A
profil kecepatan vertikal omega di atas, sesuai Multi-time Scale Australian Monsoon
dengan kondisi yang terjadi di Malaka yaitu Index, International Journal of
adanya hujan lebat di atas 150 milimeter per Climatology, RMS.
hari pada tanggal 20 – 23 Juni. Gerakan udara Madden, R.A dan Julian, P.R. 1971. Detection
secara vertikal yang naik ke lapisan atas akan Oscillation in the Zonal Wind in the
mengalihkan panas dan kelembapan dari Tropical Pacific,Journal of the
permukaan dalam kondisi atmosfer yang labil Atmospheric Science.
sehingga mendukung proses kondensasi dan Tjasyono, B.H.K. dan Dupe, Z.L. 1996.The
presipitasi di wilayah Malaka. Impact of El Niño on Season in
Indonesian Monsoon Region. Prociding
4. KESIMPULAN of the International Workshop on the
Berdasarkan kajian terhadap kondisi Climate System of Monsoon Asia,
cuaca saat terjadi hujan sangat lebat di Kyoto, Japan.
wilayah Malaka tanggal 17 – 26 Juni 2013, Tjasyono, B.H.K.dan Harijono, S.W. 2013,
maka dapat disimpulkan bahwacuaca ekstrem Atmosfer Ekuatorial, Puslitbang
tersebut disebabkan oleh kondisi SST di BMKG, Jakarta.
perairan sekitar Indonesia bagian selatan Wheeler, M. C. dan Hendon, H. H. 2004. An
dengan anomali yang positif sehingga All Season Real - Time Multivariate
memicu tumbuhnya low pressure area (LPA) MJO Index : Development of an Index
di perairan di selatan Jawa. LPA tersebut for Monitoring and Prediction. AMS
menyebabkan angin timuran, massa udara

41
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Journal Online. American CPC/NCEP/NOAA, 2015, SSTOI Weekly


Meteorological Society. Data Indices, [daring]
Wirdjohamidjojo, S. dan Swarinoto, Y. 2010, (http://www.cpc.ncep.noaa.gov/data/in
Iklim Kawasan Indonesia, Puslitbang dices/wksst8110.for, diakses tanggal 6
BMKG, Jakarta. Januari 2015).
Zakir, A. Sulistya, W. dan Khotimah, M.K. ECMWF. 2015. Data Reanalisis Relative
2010, Perspektif Operasional Cuaca Humidity, U Component of Wind, V
Tropis, Puslitbang BMKG, Jakarta. Component of Wind, Vertical Velocity,
Vorticity Relative Bulan Juni 2013,
Pustaka dari Situs Internet [daring]
BoM. 2015. MJO Phase Diagram for 1 Apr (http://apps.ecmwf.int/datasets/data/int
2013 to 30 Jun 2013 [daring] erim-full-daily/levtype=pl, diakses 25
(http://www.bom.gov.au/climate/mjo/#t Maret 2015).
abs=MJO-phase,diakses 24 Maret EAMAC. 2015. Australian Monsoon Index
2015). (Kajikawa Y. B. 2010), [daring]
BoM. 2015. MSLP Analysis 17 – 26 Juni (http://bcc.cma.gov.cn/EAMAC, diakses
2013, [daring] 23 Juli 2015).
http://www.bom.gov.au/australia/ Kompas, 2013, Banjir Rendam 27 Desa di
charts/archive/index.shtml, diakses 9 Malaka, [daring]
Januari 2015). (http://regional.kompas.com/read/2013/
EMC/NCEP/NOAA. 2015. Olv2 Sea Surface 06/23/1634367/Banjir.Rendam.27.Desa
Temperature Anomaly (oC) 16 Jun .di.Malaka, diakses 14 Januari 2015).
2013 to 22 Jun 2013 dan 23 Jun 2013 to NCDC/NOAA. 2015. Equatorial Pasific Sea
29 Jun 2013, Surface Temperature, [daring]
[daring](http://www.emc.ncep.noaa.gov (https://www.ncdc.noaa.gov/teleconnec
/research/cmb/sst_analysis/images/arch tions/enso/indicators/sst.php, diakses
ive/weekly_anomaly/, diakses 20 27 Mei 2015).
Februari 2015).

42
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

KAJIAN AMBANG BATAS INDEKS STABILITAS UDARA SAAT


KEJADIAN HUJAN LEBAT DAN BADAI GUNTUR DI MAKASAR
La Ode Bangsawan, Bayong Tjasyono
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
E-mail: odebangsawan@gmail.com

ABSTRAK
Badai guntur merupakan fenomena beresiko bagi penerbangan yang dihindari oleh semua
jenis pesawat demikian juga dengan hujan lebat yang dapat mengurangi jarak pandang. Penelitian
ini bertujuan menganalisis ambang batas indeks stabilitas udara berupa indeks Showalter dan
indeks K menggunakan metode Sturges untuk membuat interval ambang batas baru saat kejadian
hujan lebat dan badai guntur yang sesuai untuk wilayah Makasar. Kejadian badai guntur lebih
banyak terjadi di musim transisi dengan ambang batas baru indeks Showalter menunjukkan lebih
dari 80 % kejadian terjadi pada interval kelas -0,1-3,0 dan ambang batas baru indeks K
menunjukkan lebih dari 75 % terjadi pada interval kelas 31,1-39,0. Selanjutnya kejadian hujan
lebat lebih banyak terjadi di puncak musim hujan dengan ambang batas baru indeks Showalter dan
indeks K menunjukkan lebih dari 60 % kejadian terjadi pada interval kelas -1,0-1,0 dan 30,1-36,0.
Adapun kejadian hujan lebat disertai badai guntur lebih banyak terjadi di puncak musim hujan dan
musim transisi dengan ambang batas baru indeks Showalter menunjukkan lebih dari 47% kejadian
terjadi pada interval kelas -1,0-1,0 dan ambang batas baru indeks K menunjukkan lebih dari 60 %
terjadi pada interval kelas 32,1-38,0. Seluruh indeks stabilitas saat kejadian tersebut, baik badai
guntur, hujan lebat, dan hujan lebat disertai badai guntur menunjukkan bahwa kondisi atmosfer
tidak stabil.

Kata kunci: Hujan lebat, badai guntur, indeks Showalter, indeks K, metode Sturges

ABSTRACT
Thunderstorms is a weather phenomenon that causes many risks for the flight and must be
avoided by all types of aircraft, while heavy rains may reduce visibility. This study aim to analyze
the threshold of atmospheric stability indices of Showalter index and K index using Sturges method
to create a new threshold interval of Showalter index and K index for heavy rains and
thunderstorms events corresponding to the area of Makasar. Thunderstorm events are more
prevalent in the transition season with a new threshold of Showalter index shows more than 80%
incidence occur at -0,1-3,0 class interval and a new threshold of K index shows more than 75%
occur at 31,1- 39,0 class interval. More heavy rain events occur at the peak of the rainy season
with the new threshold of Showalter index and K index shows over 60% events occur at -1,0-1,0
and 30,1-36,0 class interval. The incidence of heavy rain with thunderstorms are more prevalent in
the peak of the rainy season and season of transition to the new threshold of Showalter index
shows more than 47% incidence occur at -1,0-1,0 class interval and a new threshold of K index
shows more than 60% incidence occur at 32,1-38,0 class interval. Thus, the incidence of
thunderstorms, heavy rain, and heavy rain with thunderstorms in Makasar occur when unstable
atmospheric conditions.

Keywords: Heavy rain, Thunderstorms, Showalter index, K index, Sturges method

43
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

1. PENDAHULUAN perangkat lunak RAOB sehingga


Indonesia merupakan daerah konvektif menghasilkan data indeks stabilitas yang
paling aktif diantara negara-negara ekuatorial diperlukan dalam penelitian ini. Data
lainnya. Awan-awan konvektif sering pengamatan permukaan dibutuhkan untuk
ditemui di Indonesia yang sangat erat menentukan ambang batas baru dari indeks
berkaitan dengan hujan lebat, kilat, dan stabilitas yang diteliti.
guntur (Tjasyono, 2008). Dalam bidang Data pengamatan permukaan yang
penerbangan, badai guntur yang berasal dari digunakan merupakan hasil pengamatan
awan konvektif merupakan fenomena cuaca cuaca permukaan selama lima tahun pada
yang menimbulkan banyak resiko bagi periode 2008, 2010, 2011, 2012, dan 2013
penerbangan dan harus dihindari oleh semua dalam bentuk sandi Sinop (AAXX). Selain
jenis pesawat sedangkan hujan lebat dapat itu, digunakan pula data pengamatan
mengurangi jarak pandang selama permukaan selama tahun 2014 untuk
penanjakan dan pendaratan. Analisis kondisi mengamati ambang batas baru yang telah
atmosfer pada saat kejadian hujan lebat dan ditentukan terhadap kondisi cuaca yang
badai guntur akan membantu prakirawan terjadi pada tahun tersebut. Data ini meliputi
cuaca dan ilmuwan dalam menentukan sandi sinop pada seksi 1 yaitu 7wwW1W2
kondisi atmosfer yang mendukung kejadian dan 8 . Untuk sandi 7wwW1W1,
tersebut. data present weather (ww) yang diamati
Di Indonesia, penelitian yang adalah sandi 13, 17, 25, 29, 60 sampai 65, 80
dilakukan oleh Budiarti dkk., (2012) tentang sampai 82, 91, 92, 95, dan 97 sedangkan
indeks stabilitas atmosfer dalam untuk past weather (W1W2) adalah sandi 6,
hubungannya dengan kondisi cuaca berupa 8, dan 9. Untuk sandi 8 yang
badai guntur telah berhasil menemukan diamati adalah bagian dengan sandi 3 dan
ambang batas indeks stabilitas untuk 9. Data pengamatan yang digunakan adalah
kejadian badai guntur di Wilayah data hasil pengamatan setiap jam yaitu pada
Cengkareng. Begitu pula penelitian yang pukul 00.00 UTC sampai 12 UTC. Data
dilakukan oleh Manurung (2012) telah hujan yang diamati yaitu data hujan
berhasil menemukan ambang batas untuk intensitas lebat dengan syarat jumlah curah
kejadian hujan dan guntur di Wilayah hujan per jam lebih dari 10 mm
Cengkareng. Hujan lebat dan badai guntur
yang disebabkan oleh ketidakstabilan 2.2 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
atmosfer dapat diukur oleh Showalter Index Penentuan ambang batas indeks
dan K Index.Pada penelitian ini akan stabilitas melalui pengelompokan ke dalam
ditentukan ambang batas dari indeks beberapa interval kelas menggunakan metode
stabilitas tersebut yang sesuai untuk Sturges. Penghitungan menurut metode ini
digunakan di Wilayah Makasar saat kejadian dapat dilakukan dengan bantuan perangkat
hujan lebat dan badai guntur. lunak Microsoft Excel. Tahapan yang
digunakan dalam metode Sturges (Sturges,
2. METODOLOGI PENELITIAN 1926) adalah dengan terlebih dahulu
2.1 Data dan Lokasi Penelitian menentukan jumlah kelas menurut
Penelitian ini menggunakan data persamaan:
radiosonde dan data pengamatan cuaca (1)
permukaan Stasiun Meteorologi Hasanudin
Keterangan:
Makasar. Lokasi stasiun berada pada posisi
K : jumlah kelas
05°03'71" lintang selatan dan 119°33'65"
n : jumlah data
bujur timur (aviation.bmkg.go.id). Data yang
dibutuhkan dalam penelitian ini berupa data
setelah itu, dilanjutkan dengan menentukan
indeks stabilitas berupa K Index dan
sebaran tiap kelas menurut persamaan:
Showalter Index yang merupakan hasil
pengolahan perangkat lunak RAOB. Sandi (2)
temp yang diperoleh dari pengamatan Keterangan:
radiosonde pada jam 00.00 UTC (08.00 R : jangkauan
WITA)dijadikan data masukan untuk : nilai pengamatan tertinggi

44
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

: nilai pengamatan terendah terjadi musim panas sehingga terdapat sel


tekanan rendah di Benua Australia.
Jadi, interval kelas dapat ditentukan dalam
persamaan:
(3)
Keterangan:
I : interval kelas
R : jangkauan
K : jumlah kelas

Dengan demikian, kita dapat menentukan


ambang batas kejadian hujan lebat dan badai
guntur dari indeks Showalter dan indeks K.
Secara keseluruhan diagram alir langkah
kerja untuk penelitian ini ditunjukkan pada
Gambar 1.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Frekuensi Hujan Lebat dan Badai
Guntur Lima Tahunan
Makasar dipengaruhi pola hujan
monsunal sehingga puncak musim hujan
terjadi sekitar Bulan Desember hingga
Februari dan puncak musim kemarau terjadi
sekitar Bulan Juni hingga Agustus. Frekuensi
badai guntur lebih banyak terjadi pada bulan-
bulan transisi yaitu Bulan Maret hingga Mei
dengan nilai frekuensi relatif 28,2% dan
Bulan September hingga November dengan
nilai frekuensi relatif 37,3% daripada bulan
puncak musim penghujan yaitu Bulan Gambar 1.Diagram Alir Kerangka Kerja
Desember hingga Februari yang nilai
frekuensi relatif kejadian badai guntur 25,6%
dan puncak musim kemarau yang nilai
frekuensi relatif kejadian badai guntur hanya
8,9% (Gambar 2). Seperti yang dinyatakan
oleh Tjasyono (2008) bahwa frekuensi tinggi
kejadian badai guntur terjadi selama periode
musim transisi.
Frekuensi hujan lebat terbanyak terjadi
pada puncak musim penghujan yaitu Bulan
Desember hingga Januari dengan nilai
frekuensi relatif 60,9%. Sementara itu,
frekuensi hujan lebat terendah terjadi pada
puncak musim kemarau yaitu Bulan Juni Gambar 2. Frekuensi badai gunturlima
hingga Agustus dengan nilai frekuensi relatif tahunan di Makasar
4,7% (Gambar 3). Curah hujan yang
dipengaruhi oleh monsun disebabkan oleh sel Dengan terjadinya perbedaan tekanan
tekanan tinggi dan sel tekanan rendah yang di kedua benua tersebut maka pada Bulan
muncul di Benua Asia dan Benua Australia. Desember hingga Februari bertiup angin dari
Pada Bulan Desember hingga Februari di tekanan tinggi di Asia menuju ke tekanan
belahan bumi utara terjadi musim dingin rendah di Australia. Angin ini disebut angin
sehingga terdapat sel tekanan tinggi di Benua monsun barat laut untuk wilayah Indonesia
Asia, sedangkan di belahan bumi selatan pada belahan bumi selatan yang membawa

45
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

arus udara yang memiliki kandungan uap air indeks Showalter dan frekuensi kejadian
yang besar sehingga berpengaruh terhadap hujan lebat dan badai guntur.Berikut ini
kejadian hujan lebat (Tjasyono, 2007). adalah grafik yang menunjukkan perbedaaan
Frekuensi hujan lebat yang terjadi ambang batas indeks Showalter tanpa metode
bersamaan dengan kejadian badai guntur Sturges dan dengan metode Sturges:
terbanyak yaitu pada Bulan Desember hingga
Februari dengan nilai frekuensi relatif 40,2%.
Bulan tersebut bertepatan dengan puncak
musim penghujan. Sementara itu, frekuensi
hujan lebat yang terjadi bersamaan dengan
kejadian badai guntur terendah terjadi pada
puncak musim kemarau yaitu Bulan Juni
hingga Agustus dengan nilai frekuensi relatif
6,8% (Gambar 4). Ketidakstabilan atmosfer
yang besar terjadi pada puncak musim
penghujan,sehingga memicu pertumbuhan
awan-awan konvektif yang menyebabkan (a)
kejadian hujan lebat dan badai guntur.

(b)
Gambar 5. Grafik frekuensi relatif badai
guntur berdasarkan ambang batas indeks
Gambar 3. Frekuensi hujan lebat lima Showalter, (a) tanpa metode Sturges, (b)
tahunan di Makasar dengan metode Sturges

Gambar 5(a) menunjukkan frekuensi


terbanyak kejadian badai guntur berada pada
interval indeks Showalter 0 hingga 3 dengan
nilai frekuensi relatif 59,2% sedangkan
frekuensi terendah kejadian badai guntur
berada pada interval indeks Showalter -3
hingga -6 dengan nilai frekuensi relatif 0,5%.
Hal ini berbeda dengan prakiraan kejadian
badai guntur yang diprakirakan oleh
indeksShowalter baru akan terjadi pada
Gambar 4. Frekuensi hujan lebat disertai interval indeks Showalter 0 hingga -3.
badai guntur lima tahunan di Makasar Sementara itu gambar 5 (b) menunjukkan
frekuensi badai guntur terbanyak terjadi pada
interval kelas -1,0 hingga 3,0 yang frekuensi
3.2 Ambang Batas Indeks Showalter relatifnya sebesar 80,6 %. Frekuensi badai
Terdapat perbedaan nilai ambang batas guntur yang paling sedikit terjadi pada
indeks Showalter untuk kejadian hujan lebat interval indeks >7 yang frekuensi relatifnya
dan badai guntur antara sebelum dan sesudah hanya sebesar 0,5 %.
metode Sturges dilakukan. Perbedaan
tersebut berkaitan dengan nilai interval

46
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

(
(a) a)

(b)
(b) Gambar 7. Grafik frekuensi relatif hujan
Gambar 6. Grafik frekuensi relatif hujan lebatdisertai badai guntur berdasarkan
lebat berdasarkan ambang batas indeks ambang batas indeks Showalter, (a) tanpa
Showalter, (a) tanpa metode Sturges, (b) metode Sturges, (b) dengan metode Sturges
dengan metode Sturges
Hal ini seseuai dengan prakiraan
Gambar 6(a) menunjukkan frekuensi kejadian hujan lebat yang diprakirakan oleh
terbanyak kejadian hujan lebat berada pada indeks Showalter akan terjadi pada interval
interval indeks Showalter 0 hingga 3 dengan indeks Showalter 0 hingga 3. Sementara itu
nilai frekuensi relatif 61,8% sedangkan gambar 7 (b) menunjukkan frekuensi hujan
frekuensi terendah kejadian hujan lebat lebat disertai badai guntur terbanyak terjadi
berada pada interval indeks Showalter lebih pada interval kelas -1,0 hingga 1,0 yang
dari 3 dengan nilai frekuensi relatif 5,5%. frekuensi relatifnya sebesar 47,5 %.
Hal ini sesuai dengan prakiraan kejadian Frekuensi hujan lebat disertai badai guntur
hujan lebat yang diprakirakan oleh indeks yang paling sedikit terjadi pada interval
Showalter akan terjadi pada interval 0 hingga indeks >3,0 yang frekuensi relatifnya hanya
3. Sementara itu gambar 6 (b) menunjukkan sebesar 9,9 %.
frekuensi hujan lebat terbanyak terjadi pada
interval kelas -1,0 hingga 1,0 yang frekuensi 3.3 Ambang Batas Indeks K
relatifnya sebesar 61,8 %. Frekuensi hujan Terdapat perbedaan nilai ambang batas
lebat yang paling sedikit terjadi pada interval indeks Showalter untuk kejadian hujan lebat
indeks >3,0 yang frekuensi relatifnya hanya dan badai guntur antara sebelum dan sesudah
sebesar 5,5 %. metode Sturges dilakukan.Berikut ini adalah
Gambar 7(a) menunjukkan frekuensi grafik yang menunjukkan perbedaaan
terbanyak kejadian hujan lebat disertai badai ambang batas indeks Showalter tanpa metode
guntur berada pada interval indeks Showalter Sturges dan dengan metode Sturges:
0 hingga 3 dengan nilai frekuensi relatif Gambar 8(a) menunjukkanfrekuensi
55,4% sedangkan frekuensi terendah terbanyak kejadian badai guntur berada pada
kejadian hujan lebat disertai badai guntur interval Indeks K 31 hingga 35 dengan nilai
berada pada interval indeks Showalter -3 frekuensi relatif 55,6% sedangkan frekuensi
hingga -6 dengan nilai frekuensi relatif 1%. terendah kejadian badai guntur berada pada

47
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

interval Indeks K kurang dari 15 dengan nilai interval Indeks K 15 hingga 20 dengan nilai
frekuensi relatif 0,3%. frekuensi relatif 1,8%.

(a) (a)

(b)
Gambar 8. Grafik frekuensi relatif badai (b)
gunturberdasarkan ambang batas indeks K, Gambar 9. Grafik frekuensi relatif hujan
(a) tanpa metode Sturges, (b) dengan metode lebat berdasarkan ambang batas indeks K, (a)
Sturges tanpa metode Sturges, (b) dengan metode
Sturges
Hal ini berbeda dengan prakiraan
kejadian badai guntur yang diprakirakan oleh Tidak terdapat kejadian hujan lebat
Indeks K semakin banyak seiring dengan dengan interval Indeks K yang terendah yaitu
interval indeks K yang semakin besar, namun <15 dan yang tertinggi yaitu >40. Sementara
pada kenyataannya hanya sedikit kejadian itu gambar 9 (b) menunjukkan frekuensi
badai guntur yang terjadi dengan nilai Indeks hujan lebat terbanyak pada interval kelas
K >40 yaitu hanya ada 3 frekuensi kejadian 30,1 hingga 36,0 yang frekuensi relatifnya
badai guntur. Sementara itu gambar 8 (b) sebesar 61,8%. Frekuensi hujan lebat yang
menunjukkan frekuensi badai guntur paling sedikit terjadi pada interval indeks
terbanyak terjadi pada interval kelas 31,1 24,1 hingga 30,0 yang frekuensi relatifnya
hingga 39,0 yang frekuensi relatifnya sebesar hanya 1,8 %.
75,5 %. Frekuensi badai guntur paling Gambar 10(a) menunjukkanfrekuensi
sedikit terjadi pada interval indeks >39,0 terbanyak kejadian hujan lebat disertai badai
yang frekuensi relatifnya hanya sebesar 3,4 guntur berada pada interval Indeks K 31
%. hingga 35 dengan nilai frekuensi relatif
Gambar 9(a) menunjukkan frekuensi 54,5% sedangkan frekuensi terendah
terbanyak kejadian hujan lebat berada pada kejadian badai guntur berada pada interval
interval Indeks K 31 hingga 35 dengan nilai Indeks K 15 hingga 20 dengan nilai frekuensi
frekuensi relatif 56,4% sedangkan frekuensi relatif 1,0% dan interval indeks K lebih dari
terendah kejadian hujan lebat berada pada 40 yang juga memiliki nilai frekuensi relatif
1,0%.

48
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

lebih dari 75 % terjadi pada interval kelas


31,1-39,0. Kejadian hujan lebat lebih banyak
terjadi di puncak musim hujan dengan
ambang batas baru indeks Showalter dan
indeks K menggunakan metode Sturges
menunjukkan lebih dari 60 % kejadian terjadi
pada interval kelas -1,0-1,0 dan 30,1-36,0.
Kejadian hujan lebat disertai badai
guntur lebih banyak terjadi di puncak musim
hujan dan musim transisi dengan ambang
batas baru indeks Showalter menggunakan
metode Sturges menunjukkan lebih dari 47%
(a) kejadian terjadi pada interval kelas -1,0-1,0
dan ambang batas baru indeks K
menggunakan metode Sturges menunjukkan
lebih dari 60 % terjadi pada interval kelas
32,1-38,0. Kejadian badai guntur, hujan
lebat, dan hujan lebat disertai badai guntur di
Wilayah Makasar terjadi saat kondisi
atmosfer tidak stabil.

DAFTAR PUSTAKA
Budiarti, M. Muslim, M. dan Y. Ilhamsyah.
2012.Studi Indeks Stabilitas Udara
(b) Terhadap Prediksi Kejadian Badai
Gambar 10. Grafik frekuensi relatif hujan Guntur di Wilayah Stamet Cengkareng
lebat disertai badai gunturberdasarkan Banten, Jurnal Meteorologi dan
ambang batas indeks K, (a) tanpa metode Geofisika Vol. 13 No. 2 Tahun 2012,
Sturges, (b) dengan metode Sturges Puslitbang BMKG, Jakarta.
Cotton, W.R. G.H. Bryan.dan S.C. Van den
Tidak terdapat kejadian hujan lebat Heever. 2011.Storm and Cloud
disertai badai guntur dengan interval Indeks Dynamics, Academic Press, London
K yang terendah yaitu <15. Sementara itu hal.315.
gambar 10 (b) menunjukkan frekuensi hujan Manurung, M.R. 2012.Prediktabilitas Cuaca
lebat disertai badai guntur terbanyak terjadi Jangka Pendek Ditinjau dari Indeks
pada interval kelas 32,1 hingga 38,0 yang Stabilitas di Jakarta, Jurnal Teknologi
frekuensi relatifnya sebesar 62 %. Frekuensi Mineral Vol. XIX No. 3/ 2012/, ITB,
hujan lebat disertai badai guntur yang paling Bandung.
sedikit terjadi pada interval indeks <26,1 Sturges, H.A. 1926.The Choice of A Class
yang frekuensi relatifnya hanya sebesar 6,9 Interval, Journal of The American
%. Statistical Association, Vol. 21 No.
153 Mar., 1926, The American
4. KESIMPULAN Statistical Association, Washington,
Kejadian badai guntur, hujan lebat, D. C.
dan hujan lebat disertai badai guntur di Tjasyono, H.K.B. 2008.Meteorologi
Makasar dipengaruhi oleh kondisi musim. Terapan, Penerbit ITB, Bandung.
Kejadian badai guntur lebih banyak terjadi di Tjasyono, H.K.B. 2007.Meteorologi
musim transisi dengan ambang batas baru Indonesia 1, BMG, Jakarta.
indeks Showalter menggunakan metode Tjasyono, H.K.B., dan S.W.B Harijono,
Sturges menunjukkan lebih dari 80 % 2007, Meteorologi Indonesia 2, BMG,
kejadian terjadi pada interval kelas -0,1-3,0 Jakarta.
dan ambang batas baru indeks K
menggunakan metode Sturges menunjukkan

49
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

IDENTIFIKASI PERISTIWA TURBULENSI DI ATAS LAUT CHINA


SELATAN MENGGUNAKAN MODEL WRF-ARW
(STUDI KASUS TURBULENSI TANGGAL 20 SEPTEMBER 2008
DAN 22 DESEMBER 2014)
Diana Hikmah, Suyatim
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
E-mail: dianacurl@gmail.com

ABSTRAK
Turbulensi merupakan gerakan massa udara yang tidak beraturan ke segala arah dan
ditandai dengan kecepatan angin yang bervariasi. Peristiwa turbulensi dapat terjadi di semua
lapisan atmosfer dan dapat membahayakan kegiatan penerbangan. Salah satu jenis turbulensi yang
sering dialami oleh para penerbang dan cukup sulit untuk dideteksi adalah Clear Air Turbulence
(CAT). CAT yang terjadi di lapisan troposfer atas umumnya dipengaruhi oleh arus konvektif dari
puncak awan Cb, jet stream, dan tercapainya kondisi ketidakstabilan Kelvin-Helmholtz (KHI).
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi 2 peristiwa CAT yang dialami oleh pesawat China
Airlines tanggal 20 September 2008 dan pesawat Singapore Airlines tanggal 22 Desember 2014 di
atas Laut China Selatan menggunakan model cuaca skala meso WRF-ARW. Turbulensi dapat
diidentifikasi melalui perhitungan indeks-indeks turbulensi, nilai vertical wind shear, dan
dukungan citra satelit. Hasil analisis dalam penelitian ini menunjukkan bahwa peristiwa turbulensi
dapat diidentifikasi menggunakan model WRF-ARW. Bilangan Richardson (Ri) dan indeks TI2
menunjukkan hasil yang memuaskan dalam mengidentifikasi peristiwa turbulensi yang dialami
oleh pesawat Singapore Airlines, namun sebaliknya hasil tidak memuaskan ditunjukkan pada kasus
turbulensi yang dialami oleh pesawat China Airlines.

Kata kunci: turbulensi, bilangan Richardson, Turbulence Index 1 (TI1), Turbulence Index 2 (TI2).

ABSTRACT
Turbulence is the movement of air masses that are unusual in all directions and
characterized by varying wind speed. Turbulence can occur in all layers of the atmosphere and
interfere flight activity. One type of turbulence that is frequently experienced by pilots is the Clear
Air Turbulence (CAT). This kind of turbulence is quite difficult to detect. CAT that is occur in the
upper troposphere are generally influenced by the convective flow from the top of Cumulonimbus
cloud, jet stream, and the occurrence of Kelvin-Helmholtz Instability (KHI) condition. This study
try to identify 2 CAT events that are experienced by China Airlines flight on September 20th, 2008
and Singapore Airlines flight on December 22nd, 2014 over The South China Sea using meso-scale
weather models WRF-ARW. Turbulence can be identified with the calculation of the indices of
turbulence, the value of vertical wind shear, and also from satellite images. Final analysis from
this study shows that the turbulence events can be identified using a WRF-ARW models.
Richardson number (Ri) and TI2 Index showed good results in identifying turbulence event
experienced by Singapore Airlines, but not in the case of turbulence event experienced by China
Airlines.

Keyword: turbulence, Richardson number, Turbulence Index 1 (TI1), Turbulence Index 2 (TI2).
________________________________________________________________________

50
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

1. PENDAHULUAN untuk mengidentifikasi 2 peristiwa turbulensi


Peristiwa turbulensi merupakan suatu serta mengetahui sejauh mana peforma
goncangan yang sering dirasakan dalam suatu model cuaca skala meso WRF-ARW dalam
kegiatan penerbangan akibat adanya golakan mengidentifikasi kasus-kasus tersebut.
massa udara yang bergerak tidak beraturan ke Penelitian ini diharapkan dapat
segala arah. Turbulensi umumnya merupakan bermanfaat dan dijadikan referensi untuk
hal yang wajar dirasakan, akan tetapi penelitian yang lebih mendalam lainnya
kejadian turbulensi yang hebat juga dapat mengenai identifikasi berbagai peristiwa
membahayakan dan merugikan suatu turbulensi di daerah lintang rendah, terutama
kegiatan penerbangan. Umumnya peristiwa di wilayah Indonesia. Dengan semakin
turbulensi terjadi secara tiba-tiba dan dapat banyaknya penelitian tentang kasus-kasus
terjadi pada semua fase kegiatan turbulensi seperti ini diharapkan dapat
penerbangan, seperti pada fase intial menghasilkan nilai threshold sendiri untuk
climbing, cruising, maupun pada fase dijadikan acuan dalam menganalisis kasus
descending. Sehingga dapat dikatakan bahwa turbulensi yang memanfaatkan model WRF-
turbulensi dapaat terjadi kapan saja dan ARW dan perhitungan indeks-indeks
dimana saja. Berdasarkan perhitungan turbulensi.
statistik yang dimiliki oleh Bapak Aminarno
Budi Pradana (seorang dosen salah satu 2. METODE DAN DATA
sekolah penerbangan di Indonesia), Mekanika fluida menjelaskan bahwa
turbulensi merupakan kejadian yang paling suatu fluida dapat bergerak secara laminar
sering dialami oleh para penerbang, yaitu atau turbulen. Aliran laminar bergerak tenang
angkanya mencapai 74.2% dari total dan lurus serta mudah diprediksi. Aliran
keseluruhan faktor meteorologis yang dapat turbulen merupakan sistem non-linear yang
mengakibatkan kecelakaan pesawat terbang. bergerak tidak teratur ke segala arah
Meski demikian, faktor meteorologis cukup (Tjasyono, 2008). Turbulensi dapat
kecil kontribusinya sebagai penyebab dibedakan menjadi 3 macam, yaitu turbulensi
kecelakaan pesawat udara, yaitu hanya konvektif, turbulensi mekanis, dan turbulensi
sebesar 29% (Koordinasi ATC-MET, 2009). cuaca cerah atau clear air turbulence (CAT).
Hal yang menarik adalah laporan Turbulensi konvektif terbentuk akibat adanya
mengenai peristiwa turbulensi yang dialami gerakan udara naik dan udara turun yang
oleh pesawat terbang belum banyak diteliti disebabkan oleh proses konvektif di dalam
dan dianalisis, terutama untuk daerah lintang awan, akan tetapi dapat pula terjadi di luar
rendah. Sehingga masih diperlukan banyak awan Cumulonimbus (Cb). Turbulensi jenis
penelitian mendalam untuk mengidentifikasi mekanis bergantung pada kondisi stabilitas
kasus-kasus turbulensi yang sering dialami udara, dan terdiri dari turbulensi pegunungan
oleh pesawat terbang. Oleh karena hal dan pusaran serta gelombang udara. Clear
tersebut, dalam penelitian ini penulis Air Turbulence (CAT) dideskripsikan
mencoba untuk mengidentifikasi kejadian sebagai kejadian turbulensi di level
turbulensi dengan menggunakan pemodelan menengah hingga level troposfer atas yang
WRF-ARW dan perhitungan indeks-indeks ditandai dengan kondisi perawanan yang
turbulensi. Terdapat 2 kasus turbulensi yang sedikit dan cukup sulit dideteksi secara
diangkat dalam penelitian ini, yaitu kasus visual. Terdapat 2 konsep dasar yang telah
severe turbulence yang dialami oleh pesawat diterima dalam hal mekanisme pembentukan
Singapore Airlines pada tanggal 22 CAT, yaitu CAT terjadi karena adanya
Desember 2014 pada ketinggian 39.000 kaki gelombang berdiri dari pegunungan pada sisi
di atas Laut China Selatan dalam bawah angin (mountain standing waves) dan
penerbangannya dari Osaka menuju CAT terjadi karena terbentuknya kondisi
Singapura; serta kasus kedua yaitu severe KHI (Kelvin-Helmholtz Instability) pada
turbulence yang dialami oleh China Airlines lapisan stabil dengan geser angin vertikal
pada tanggal 20 September 2008 pada yang cukup kuat.
ketinggian 37.000 kaki di atas Laut China
Selatan dalam penerbangannya dari Taipe-
Taiwan menuju bandara Ngurah Rai, Bali.
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah

51
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

UTC di sekitar Laut China Selatan, sekitar


Ellrod dan Knapp (1992) 200 nm (370.4 km) di sebelah Utara kota
memperkenalkan Turbulence Index 1 (TI1) Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam.
dan Turbulence Index 2 (TI2) yang berasal Turbulensi dirasakan pada ketinggian jelajah
dari hubungan angin termal dengan terbang 39.000 kaki.
persamaan Petterssen tentang frontogenesis Kasus turbulensi yang diamali oleh
sebagai perhitungan prediksi peristiwa pesawat China Airlines CI-687 terjadi di atas
tubulensi. Laut China Selatan dengan titik koordinat
11.32 LU dan 116.42 BT ( www.asc.gov.tw/).
Peristiwa turbulensi dilaporkan terjadi pada
tanggal 20 September 2008 pukul 04.27
UTC. Turbulensi dirasakan pada ketinggian
jelajah terbang 37.000 kaki.
Adapun data-data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:
(1) 1. Data FNL (Final Analysis)
dimana: Data FNL merupakan data reanalysis
TI1 = Indeks Turbulensi 1. yang dihasilkan oleh model prediksi
TI2 = Indeks Turbulensi 2. cuaca global dengan resolusi spasial
DEF = Deformasi horizontal dari akar sebesar 1˚ x 1˚ dan resolusi temporalnya
jumlah kuatdrat DST dan kuadrat 6 jam. Data FNL yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data tanggal 22
DSH. Desember 2014 untuk kasus turbulensi
CVG = Konvergensi. pesawat Singapore Airlines, dan data
VWS = (Vertical Wind Shear). tanggal 20 September 2008 untuk kasus
turbulensi pesawat China Airlines.
2. Data Satelit
Dalam meteorologi untuk Data citra satelit MTSAT kanal IR4 pada
menghitung kekuatan turbulensi dapat tanggal 22 Desember 2014 pukul 19.00
digunakan rumus bilangan Richardson (Ri) UTC, serta data satelit pada tanggal 20
yang di formulasikan sebagai berikut (Belson September 2008 pukul 04.00 UTC. Citra
dalam Sasmito, 2011): satelit ini diolah dengan menggunakan
aplikasi GMSLPW.
Ri = Metode awal yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah dengan melakukan
running model WRF-ARW menggunakan
Dimana:
data FNL, hal ini dimulai dari membuat
Ri = Bilangan Richardson.
domain penelitian, mengatur parameterisasi
g = Percepatan gravitasi bumi (ms-2).
yang akan digunakan, hingga menjalankan
θ = Suhu potensial (K).
proses numerik pada WRF yang meliputi
tahap real.exe dan wrf.exe, dan dilanjutkan
= Perubahan suhu potensial terhadap dengan tahapan post-processing yaitu
ARWpost.exe. Hasilnya kemudian diolah
elevasi (sekaligus menggambarkan stabilitas pada aplikasi GrADS dengan menggunakan
udara pada elevasi tersebut) (K/m). script rumus untuk setiap parameter indeks
turbulensi. Setelah itu dilakukan validasi
= Geser angin vertikal atau vertical wind terhadap hasil keluaran model tersebut
dengan menggunakan threshold yang telah
shear (s-1). ditentukan untuk masing-masing indeks.
Hasil analisis yang diperoleh kemudian
II. DATA DAN METODE diverifikasi lebih lanjut dengan data citra
Kasus turbulensi yang dialami oleh satelit (Lihat Gambar 1).
pesawat Singapore Airlines SIA-615 dialami Threshold nilai Ri yang digunakan
pada tanggal 22 Desember 2014 pukul 19.10 dalam penelitian ini berdasarkan teori yang

52
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

dikemukakan oleh Keller (1981) yaitu


ambang batas kritis terjadinya turbulensi III. HASIL DAN PEMBAHASAN
sedang pada nilai 0.25 < Ri < 1, dan untuk 3.1 Kasus Turbulensi
turbulensi hebat pada nilai Ri < 0.25. Singapore Airlines
Threshold nilai VWS (Vertical Wind Shear) Kejadian severe turbulence yang
yang digunakan untuk mengidentifikasi dialami oleh pesawat Singapore Airlines
peristiwa turbulensi (Meteorological Office SIA-615 pada ketinggian 39.000 kaki (200 –
College, 1997) yaitu jika nilai VWS ≥ 6 150 mb) dilaporkan terjadi pada tanggal 22
knot/1000 kaki (9.7 x 10-3 s-1) Desember 2014 pukul 19.10 UTC.
mengindikasikan adanya peristiwa CAT Berdasarkan hasil analisis nilai Ri ditemukan
dengan intensitas sedang, dan nilai VWS ≥ 9 bahwa nilai Ri pada 22 Desember 2014
knot/1000 kaki (15 x 10-3 s-1) mencapai 0 – 0.5 pada titik koordinat 9.76
mengindikasikan adanya peristiwa CAT LU dan 113.16 BT. Hal ini telah sesuai
dengan intensitas hebat. Sedangkan threshold dengan teori yang dikemukakan oleh Keller
yang digunakan untuk indeks TI1 dan TI2 (1981) yang menyatakan bahwa nilai ambang
mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh batas Ri kritis 0.25 – 1 mengindikasikan
Ellrod dan Knapp (1992) dikarenakan hingga terjadinya turbulensi sedang pada area
saat ini belum ada threshold indeks tersebut.
turbulensi hasil olahan model WRF-ARW Berdasarkan threshold dari NMC-AVN
yang dapat digunakan. hasil perhitungan indeks turbulensi pada
tanggal 22 Desember 2014 menunjukkan
Tabel 1. Threshold Indeks Turbulensi adanya turbulensi dengan intensitas sedang
hingga hebat. Sedangkan threshold dari
NMC-NGM menyatakan adanya potensi
turbulensi ringan hingga sedang. Threshold
AFGWC untuk indeks TI2 menunjukkan
bahwa telah terjadi turbulensi dengan
intensitas ringan pada tanggal 22 Desember
2014 dengan nilai TI2 sebesar 0 hingga 4 x
10-7 s-2. Hal ini mengindikasikan adanya
turbulensi ringan di sekitar area penelitian.
Namun demikian terlihat adanya nilai TI2
yang cukup besar berada di dekat area
penelitian yang menunjukkan nilai TI2
sekitar 20 x 10-7 s-2 hingga 24 x 10-7 s-2.
Berdasarkan perhitungan VWS pada
tanggal 22 Desember nilainya mencapai 2 x
10-3 s-1 hingga 4 x 10-3 s-1. Nilai tersebut
mengindikasikan kejadian turbulensi ringan.
Citra satelit MTSAT kanal IR-4 pada tanggal
22 Desember 2014 menunjukkan kondisi
perawanan yang cukup baik, hanya terdapat
beberapa spot awan yang berada di dekat
area penelitian. Dari hasil analisis
perhitungan indeks-indeks turbulensi dan
verifikasi dengan citra satelit didapat bahwa
peristiwa turbulensi yang terjadi merupakan
turbulensi jenis clear air turbulence (CAT).

Gambar 1. Diagram Alir Penelitian.

53
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Gambar 6. Citra Satelit MTSAT Tanggal


22 Desember 2014 Pukul 19.00 UTC.
Gambar 2. Profil Horizontal Ri Tanggal 22
Desember 2014 Pukul 19.00 UTC. 3.2 Kasus Turbulensi China Airlines
Kejadian severe turbulence yang
dialami oleh pesawat China Airlines CI-687
pada ketinggian jelajah terbang 37.000 kaki
(250 – 200 mb) dilaporkan terjadi pada
tanggal 20 September 2008 pukul 04.30
UTC. Berdasarkan hasil analisis nilai Ri pada
tanggal 20 September 2008 tidak dapat
menangkap adanya indikasi kejadian
turbulensi, nilai Ri ≥ 5.
Hal serupa terlihat pada hasil
perhitungan indeks TI1 pada tanggal
Gambar 3. Profil Horizontal TI1 Tanggal 22 kejadian. Berdasarkan threshold NMC-AVN
Desember 2014 Pukul 19.00 UTC. dan NMC-NGM, indeks tidak dapat
menangkap kejadian turbulensi di sekitar
area penelitian. Threshold AFGWC untuk
indeks TI2 menunjukkan nilai yang sangat
rendah pada tanggal kejadian. Apabila
kemudian terjadi perkembangan dari
mekanisme turbulensi, maka hal yang
mungkin terjadi yaitu turbulensi dengan
intensitas ringan.
Hasil perhitungan VWS menunjukkan
nilai yang tidak signifikan (VWS < 9.7 x 10-3
s-1) yang mengindikasikan kejadian
Gambar 4. Profil Horizontal TI2 Tanggal 22 turbulensi ringan. Sementara itu, citra satelit
Desember 2014 Pukul 19.00 UTC. MTSAT kanal IR-4 menunjukkan kondisi
perawanan pada tanggal 20 September 2008
cukup tebal. Kondisi perawanan pada tanggal
tersebut berhubungan dengan sistem
perawanan Siklon Tropis Hagupit yang
terbentuk di Filipina. Pesawat China Airlines
yang pada saat itu terbang ketinggian jelajah
37.000 kaki dapat mengalami turbulensi
cuaca cerah (CAT) yang dipengaruhi secara
langsung maupun tidak langsung oleh sistem
perawanan pembentukan Siklon Tropis
Hagupit.

Gambar 5. Perhitungan VWS Tanggal 22


Desember 2014 Pukul 19.00 UTC.

54
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Penelitian dengan kasus yang sama


sebelumnya pernah dilakukan oleh Achmad
Sasmito (2001) dengan menggunakan metode
penelitian yang berbeda. Penelitian mengenai
kasus turbulensi yang dialami oleh pesawat
China Airlines tersebut menggunakan data
udara atas, satelit cuaca, dan prakiraan cuaca
model JMA. Hasil yang diperoleh dari
penelitian tersebut menunjukkan bahwa
turbulensi terjadi pada ketinggian 300 – 100
mb dengan nilai Ri yang berkisar antara 200-
290. Akan tetapi nilai Ri yang didapat dalam Gambar 9. Profil Horizontal TI2 Tanggal
penelitian tersebut belum sesuai dengan 20 September 2008 Pukul 04.30 UTC.
syarat terjadinya turbulensi, dimana nilai Ri
harus mencapai nilai ambang batas Ri kritis
sebesar 0.25 – 1. Perbedaan hasil penelitian
tersebut dapat terjadi karena adanya
perbedaan model dan metode penelitian yang
digunakan untuk menganalisis kejadian
turbulensi tersebut.

Gambar 10. Perhitungan VWS Tanggal


20 September 2008 Pukul 04.30 UTC.

Gambar 7. Profil Horizontal Ri Tanggal 20


September 2008 Pukul 04.30 UTC.
X

Gambar 11. Citra Satelit MTSAT-IR4


Tanggal 20 September 2008 Pukul 04.00
UTC.

IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis dan
pembahasan berbagai parameter dan indeks
Gambar 8. Profil Horizontal TI1 Tanggal 20 turbulensi keluaran model WRF-ARW, serta
September 2008 Pukul 04.30 UTC. analisis citra satelit MTSAT maka dapat
disimpulkan bahwa:
1. Peristiwa turbulensi yang dialami oleh
pesawat Singapore Airlines SIA-615 di
laut China Selatan pada tanggal 22
Desember 2014 merupakan turbulensi

55
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

cuaca cerah (CAT) dengan intensitas Holton, J. R. 2004. An Introduction to


sedang hingga hebat. Dynamic Meteorology, Fourth Edition.
2. Peristiwa turbulensi yang dialami oleh Department of Atmospheric Sciences
pesawat China Airlines CI-687 di laut University of Washington. ELSEVIER
China Selatan pada tanggal 20 September Academic Press, USA.
2008 merupakan turbulensi cuaca cerah Keller, J. L. 1981. Prediction and Monitoring
(CAT) di lapisan troposfer atas yang of Clear Air Turbulence: An Evaluation
dipengaruhi oleh aktivitas Siklon Tropis of The Applicability of Rawinsonde
Hagupit. System. Journal of Applied
3. Model WRF-ARW cukup baik dalam Meteorology, Vol. 20, 682 – 692.
merepresentasikan kejadian turbulensi di Meteorological Office College. 1997.
atmosfer namun masih kurang akurat Forecaster'sReferenceBook,MET.O.102
dalam penentuan intensitas dan lokasi 3.The Met Office, Bracknell.Molarin,
terjadinya turbulensi, terutama untuk K. 2013. Case Study of CAT Over
kasus yang terjadi pada lapisan troposfer The North Atlantic Ocean. Stockholm
atas. Indeks TI2 dan Ri memiliki peforma University.
terbaik dalam mengidentifikasi peristiwa Overeem A. 2002. Verification of clear-air
turbulensi. turbulence forecasts. Technisch rapport.
KNMI
DAFTAR PUSTAKA Pradana, A. B. 2009. Koordinasi ATC -
BMKG. 2009. Modul Diklat Teknis MET. Seminar Koordinasi ATC-MET.
Meteorologi Penerbangan Edisi I. Pusat Sasmito, A. 2011. Peringatan Dini Dan
Pendidikan dan Pelatihan Badan Diagnosis Munculnya Turbulensi Cuaca
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Cerah Dan Dampaknya Pada Pesawat.
Jakarta. Jurnal Meteorologi dan Geofisika,
BOM. 1977. Manual Of Meteorology Part 2: Volume 12, No. 3, Desember 2011, 291
Aviation Meteorology. Australian - 302.
Government Publishing Service, Tjasyono, B. H. K. 2008. Sains Atmosfer.
Canberra. Puslitbang BMKG, Jakarta.
COMET Program. 2000. Meteorology WMO. 2007. AVIATION HAZARD,
Education and Training (MetEd): How Education And Training Programme
Model Produce Precipitation and ETR-20. Secretariat of the World
Clouds. University Corporation for Meteorological Organization, Geneva.
Atmospheric Research (UCAR), Zakir, A., Sulistya, W., dan Khotimah, M. K.
Colorado. 2010. Perspektif Operasional Cuaca
Dewi, R. 2014. Pemanfaatam Model WRF- Tropis. Badan Meteorologi Klimatologi
ARW Untuk Deteksi Clear Air dan Geofisika, Jakarta.
Turbulence Menggunakan Turbulence 14 injured on Osaka-Singapore flight due to
Index dan Richardson Number. Program sudden severe turbulence (diakses
Diploma 4 Meteorologi. Sekolah Tinggi tanggal 11 Januari 2015), http://www.st
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, raitstimes.com/news/singapore/transport
Tangerang Selatan. /story/14-injured-osaka-singapore-flight-
Ellrod, G. P. dan Knapp, D. I. 1992. An due-sudden-severe turbulence-201412
Objective Clear Air Turbulence
Forecasting Technique: Verification and Pustaka dari Situs Internet
Operational Use. Weather and Accident: China Airlines B744 near Bali on
Forecasting, Vol. 7, 150 - 156. Sep 20th 2008, turbulence injures 25
Hermawan, E. dan Abidin, Z. 2006. Estimasi (diakses tanggal 20 Juni 2015),
Parameter Turbulensi Untuk Jasa http://avherald.com/h?article=40d0aab6
Penerbangan Berbasis Hasil Analisis China Airlines Flight CI 687 Occurrence
Beberapa Data Radiosonde Di Kawasan Investigation Report (diakses tanggal 23
Barat Indonesia. Jurnal Dirgantara, Vol. Juli 2015), http://www.asc.gov.tw/uplo
3, No. 2, 155 - 165. ad/acd_att/

56
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

PREDIKSI CURAH HUJAN DAN HARI HUJAN BULANAN DENGAN


PREDIKTOR SUHU MUKA LAUT DI WILAYAH PESISIR BARAT
DAYA SULAWESI
Eva Prameuthia1,2, Erwin E.S. Makmur2
1
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
2
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta
E-mail : prameuthia0123@gmail.com

ABSTRAK
Informasi mengenai curah hujan dan hari hujan bulanan akan sangat membantu berbagai
sektor kehidupan manusia sehingga diperlukan metode yang tepat untuk menghasilkan prediksi
dengan keakuratan tinggi. Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara curah hujan
bulanan dan hari hujan bulanan dengan suhu muka laut (SML) wilayah Indonesia serta
pemanfaatannya dalam pembuatan prediksi di pesisir Barat Daya Sulawesi yang diwakili oleh data
Stasiun Paotere, Hasanuddin, dan Majene. Data SML yang terdiri atas beberapa grid saling
memiliki hubungan satu sama lain sehingga diperlukan metode untuk menghilangkan masalah
tersebut. Untuk itu digunakan Analisis Komponen Utama (AKU) dengan prediktor SML untuk
menghasilkan prediksi curah hujan dan hari hujan bulanan di wilayah Paotere, Hasanuddin, dan
Majene untuk tahun 2008 - 2012. Selain itu, hasil prediksi hari hujan juga digunakan untuk
membuat prediksi curah hujan bulanan dengan metode regresi linear sederhana. Persamaan regresi
dibentuk menggunakan data tahun 1983 – 2007 dengan waktu tunda 1 dan 2 bulan. Verifikasi hasil
prediksi pada wilayah tersebut menunjukkan bahwa prediksi dengan menggunakan waktu tunda 1
bulan menghasilkan nilai kesalahan yang lebih rendah dibandingkan dengan menggunakan waktu
tunda 2 bulan. Hasil prediksi curah hujan menggunakan prediktor hari hujan bulanan juga
menghasilkan nilai yang lebih baik dibanding dengan langsung menggunakan prediktor SML.
Kata kunci: Curah hujan, hari hujan, prediksi, komponen utama, SML

ABSTRACT
Monthly rainfall and rainy days information will greatly assist in various sectors of human
life that required the appropriate method to generate predictions with high accuracy. This study
was conducted to see how the relationship between monthly rainfall and monthly rainy days with
sea surface temperature (SST) of Indonesia and their utilized in the generate predictions in the
Southwest coast of Sulawesi represented by the data of Paotere Station, Hasanuddin, and Majene.
SST data consisting of several mutually grids that have relationships with one another so a
methods to eliminate these problems is needed. This study utilized Principal Component Analysis
(PCA) with SST predictor to generate predictions of monthly rainfall and rainy days in Paotere,
Hasanuddin, and Majene during 2008 - 2012. In addition, the results of rainy days prediction is
also utilized to make predictions of monthly rainfall with a simple linear regression method. The
regression equation established using data of 1983 - 2007 with 1 and 2 months timelag.
Verification of the prediction results show that the prediction using 1 month timelag has lower
error values compared to 2 months timelag. The results of rainfall prediction utilize monthly rainy
days as the predictor also produce better value than the prediction that directly utilize SST as
predictor.

Keywords: rainfall, rain days, predictions, principal components, SST

57
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

dibandingkan dengan prediksi pada skala


1. PENDAHULUAN harian.
Faktor cuaca sangat mempengaruhi Beberapa penelitian tentang prediksi
berbagai sektor kehidupan manusia, curah hujan menggunakan prediktor suhu
khususnya dalam sektor pertanian dan muka laut di berbagai wilayah dengan
perkebunan. Unsur cuaca yang sangat metode yang beragam. Ayuningtyas (2014)
berpengaruh dalam sektor pertanian dan menyatakan bahwa prediksi menggunakan
perkebunan adalah curah hujan. Informasi prediktor suhu muka laut cukup bagus
mengenai prediksi curah hujan bulanan akan digunakan sebagai alat untuk memprediksi
sangat membantu dalam penerapan kebijakan curah hujan bulanan dan hari hujan bulanan
pola tanam dan teknik pengairan. di wilayah ZOM 154 dan ZOM 166 wilayah
Badan atau Instansi yang berwenang Jawa Timur. Mamenun (2012) menggunakan
untuk melakukan dan mengeluarkan prediksi suhu muka laut wilayah Indonesia, perairan
cuaca dan iklim di Indonesia adalah Badan Sulawesi, dan perairan Nino 3.4 untuk
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika memprediksi curah hujan di wilayah
(BMKG). Beragam metode telah digunakan Makassar dan diperoleh bahwa prediktor
untuk menghasilkan prediksi curah hujan di suhu muka laut wilayah Indonesia
wilayah Indonesia, diantaranya metode menggunakan metode RKU menghasilkan
ARIMA, tranformasi wavelet, dan Adaptive prediksi dengan performa yang lebih baik
Neuro-Fuzzy Inference Systems atau ANFIS. dibandingkan prediktor lain. Kristantri
Berdasarkan hasil verifikasi prakiraan iklim (2014) juga menggunakan prediktor suhu
BMKG tahun 2013, diperoleh bahwa tingkat muka laut untuk memprediksi curah hujan
akurasi presiksi curah hujan bulanan adalah triwulan di wilayah Sulawesi Selatan bagian
80%. Barat.
Untuk membantu meningkatkan Dalam penelitian ini, penulis tertarik
ketepatan atau keakuratan prediksi untuk untuk mecoba memprediksi curah hujan
masa yang akan datang, perlu dilakukan bulanan dan hari hujan bulanan
penyempurnaan metode prediksi (Suciantini, menggunakan prediktor suhu muka laut
2004 dalam Larasati, 2012). Metode yang wilayah Indonesia di wilayah pesisir barat
sering digunakan untuk membuat prediksi daya Sulawesi yang umumnya memiliki pola
adalah metode statistik. Salah satu metode curah hujan monsunal. Prediksi curah hujan
yang banyak digunakan adalah metode dan hari hujan bulanan dilakukan dengan
regresi komponen utama (RKU). Metode ini metode regresi komponen utama (RKU)
telah digunakan oleh Mamenun (2012) untuk menggunakan prediktor suhu muka laut
memprediksi anomali curah hujan di wilayah untuk tahun 2007 -2012.
Makassar. Selain itu, Kristantri (2014) juga Dalam pembuatan model prediksi,
meggunakan metode RKU untuk prediksi digunakan waktu tunda (timelag) 1 dan 2
curah hujan triwulan wilayah Sulawesi bulan dengan periode data 1983-2007 (25
Selatan bagian Barat. tahun). Selain itu, dilakukan juga prediksi
Selain metode prakiraan, faktor yang curah hujan bulanan dengan metode regresi
juga menentukan tingkat keakuratan prediksi sederhana menggunakan prediktor hari hujan
adalah variabel bebas atau prediktor yang bulanan yang telah diprediksi sebelumnya.
digunakan. Indonesia sebagai negara Selanjutnya, hasil prediksi curah hujan
kepulauan tropis terbesar dimuka bumi bulanan dan hari hujan bulanan diverifikasi
dengan garis pantai terpanjang memiliki dengan menggunakan korelasi, RMSE,
wilayah teritorial dengan rasio wilayah laut MAPE, dan tabel kontingensi untuk melihat
dan darat adalah sekitar 62% dibanding 38%. tingkat keakuratannya.
Menurut Aldrian (2008) dengan Hasil dari penelitian ini diharapkan
perbandingan sebesar itu diyakini bahwa dapat menjadi bahan informasi dan
iklim Indonesia sangat dipengaruhi oleh pertimbangan dalam pembuatan prediksi
lautan di dalam kepulauan Indonesia dan di curah hujan bulanan dan hari hujan bulanan
sekitar wilayah geopolitisnya, yang serta menambah referensi yang berkaitan
ditunjukkan dengan kuatnya prediksi iklim dengan prediksi curah hujan dan hari hujan
pada waktu bulanan atau musiman bulanan, terutama di wilayah penelitian.

58
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

2. DATA DAN METODE Data Curah Hujan


Lokasi yang dijadikan objek dalam Data curah hujan yang diperoleh
penelitian ini adalah wilayah pesisir Barat berupa data curah hujan harian dari 3
Daya pulau Sulawesi yang diwakili oleh Kota titik/lokasi pengamatan di wilayah Pesisir
Makassar, Kabupaten Maros, dan Kabupaten Barat Daya Sulawesi. Data yang diperoleh
Majene. Lokasi tersebut dipilih berdasarkan adalah data sekunder berupa data curah hujan
ketersediaan data, letak geografis, dan pola harian dalan format F-Klim 71 yang diperoleh
hujan. Ketiga titik pengamatan tersebut dari Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan
terletak di wilayah pesisir dengan pola curah Geofisika Wilayah IV Makassar. Lokasi data
hujan monsunal. Adapun peta lokasi pengamatan yang digunakan yaitu Stasiun
penelitian adalah sebagai berikut. Maritim Paotere (koordinat 05°06'37.5” LS
119°25'11.5”BT dengan elevasi 2 meter),
Stasiun Meteorologi Hasanuddin (koordinat
05°03'71" LS dan 119°33'65" BT dengan
elevasi 14 meter), dan Stasiun Meteorologi
Majene (koordinat 03° 33’ 043” LS dan 118°
58’ 828” BT dengan elevasi 8 meter). Periode
data yang digunakan adalah tahun 1983-2012.
Data curah hujan harian selanjutnya diubah
menjadi data curah hujan bulanan serta data
hari hujan bulanan.
Data Suhu Muka Laut (SML)
Data suhu muka laut yang digunakan
adalah wilayah perairan Indonesia yang terdiri
atas 40 Grid koordinat 105° BT - 130° BT dan
2° LU - 8° LS dengan resolusi 2,5° × 2,5°.
Sumber data tersebut merupakan data
satelit/model dari Interactive Tool for
Analysis of The Climate System (ITACS) dari
institusi Japan Meteorogical Agency (JMA)
Gambar 1. Peta lokasi penelitian berupa suhu rata-rata bulanan yang diperoleh
dari http://extreme.kishou.go.jp/. Adapun
Data yang digunakan dalam lokasi grid yang digunakan adalah sebagai
penelitian ini berupa data pengamatan curah berikut.
hujan dan data suhu muka laut selama 30
tahun periode 1983-2012.

Gambar 2. Peta 40 grid SML wilayah Indonesia

59
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Data suhu muka laut digunakan Vektor pembobot adalah vektor


sebagai prediktor dengan timelag 1 dan 2 normal yang dipilih sehingga keragaman
bulan terhadap data curah hujan, serta dibagi komponen utamanya maksimum, serta
menjadi 2 periode. Periode pertama tahun orthogonal terhadap vektor pembobot antar
1983-2007 digunakan untuk membangun komponen utama lainnya. Setelah diperoleh
model persamaan prediksi dan periode kedua komponen utama, selanjutnya data hari hujan
tahun 2008 - 2012 untuk verifikasi hasil dan komponen utama suhu muka laut
prediksi. diregresikan sehingga membentuk persamaan
Dalam penelitian ini, metode yang regresi komponen utama. Adapun bentuk
digunakan terbagi menjadi dua bagian yaitu umum persamaan regresi komponen utama
metode untuk membangun model prediksi dan adalah sebagai berikut:
metode untuk verifikasi hasil prediksi. (3)
Metode yang digunakan dalam membangun Dengan adalah variabel yang
model prediksi adalah analisis komponen diprediksi, a adalah konstanta (harga untuk
utama untuk membentuk prediktor komponen
X1=0, X2=0, .... , X3=0), b adalah angka arah
utama suhu muka laut dan regresi komponen
(koefisien regresi) dari prediktor, dan KU
utama untuk membentuk model persamaan
adalah komponen utama (prediktor).
regresi, serta metode regresi linear sederhana
Regresi Linear Sederhana
untuk membentuk model persamaan curah
Regresi linear merupakan metode
hujan menggunakan prediktor hari hujan
statistik yang digunakan untuk membentuk
bulanan.
persamaan prediksi dengan melihat hubungan
antara variabel X (prediktor) dan variabel Y
Analisis Komponen Utama (prediktan). Adapun persamaan yang
Komponen utama dapat ditentukan
digunakan (Nazir, 2003 dalam Fadholi 2013)
melalui matriks kovarian atau ragam peragam
adalah sebagai berikut:
(Σ) dan matriks korelasi (ρ). Matriks kovarian
(4)
digunakan untuk membentuk komponen
utama apabila semua variabel yang diamati Dengan Y adalah variabel yang
mempunyai satuan pengukuran yang sama, diprediksi, a adalah konstanta, dan b adalah
sedangkan matriks korelasi digunakan apabila angka arah (koefisien regresi) dari prediktor
variabel yang diamati tidak mempunyai
satuan pengukuran yang sama. Variabel Nilai a dan b dapat dihitung dengan
dengan satuan yang berbeda perlu dibakukan rumus berikut:
terlebih dahulu, sehingga komponen utama (5)
berdasarkan matriks korelasi ditentukan dari dan
variabel baku. (6)
Dalam penelitian ini, komponen Dalam persamaan regresi terdapat 2
utama ditentukan oleh matriks ragam peragam macam koefisien, yaitu intercept (a) dan slope
(kovarian) karena variabel yang digunakan (b). Intercept (a) merupakan titik perpotongan
memiliki satuan pengukuran yang sama. garis terhadap sumbu Y saat nilai X=0.
Melalui matriks kovarian dapat diturunkan Dengan kata lain, jika variabel X tidak
akar ciri - akar cirinya yaitu 𝛌1 ≥ 𝛌2 ≥......≥ 𝛌p memberikan kontribusi, maka variavel Y akan
≥ 0 dan vektor ciri – vektor cirinya α1, α 2, bernilai sebesar intercept. Slope (b) adalah
......, αp. Komponen utama pertama dari vektor ukuran kemiringan garis yang menunjukkan
berukuran p × 1, adalah kombinasi linier linier besar kontribusi yang diberikan variabel
terbobot variabel asal yang dapat terhadap variabel Y.
menerangkan keragaman terbesar. Bentuk Metode Verifikasi
umum dari komponen utama dapat dituliskan Dalam penelitian ini digunakan
sebagai berikut (Silalahi, 2011). beberapa metode verifikasi kuantitatif, baik
dengan melihat tingkat kesalahan antara
(1) prediksi dan observasi maupun dengan
dengan : melihat hubungan antara keduanya. Adapun
metode yang digunakan adalah RMSE, MAE,
dan (2) MAPE, korelasi, dan Proportion of Correct.

60
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

MULAI

Data Observasi Hujan


Harian Periode 1983-2012

Data Observasi Curah Hujan Data Suhu Muka Laut


dan Hari Hujan Bulanan Analisis Korelasi Bulanan Indonesia 40 Grid
Periode 1983-2012 Periode 1983-2012

Analisis Korelasi

Analisis Komponen Utama

Curah Hujan Hari Hujan


Bulanan Bulanan SML Komponen
1983 - 2007 1983 - 2007 Utama 1983 - 2007

Persamaan Regresi Persamaan Regresi


Prediksi Hari Hujan Prediksi Curah
Bulanan Hujan Bulanan
SML Komponen
Persamaan Utama 2008 - 2012
Regresi Linear Prediksi Hari Prediksi Curah
Prediksi Curah
Hujan Bulanan Hujan Bulanan
Huja
2008 - 2012 2008 - 2012

Prediksi Curah
Hujan Bulanan
2008 - 2012
Curah Hujan dan
Hari Hujan
Bulanan 2008-
2012 Verifikasi Hasil Verifikasi Hasil Verifikasi Hasil
Prediksi Prediksi Prediksi

SELESAI

Gambar 3. Diagram alir penelitian

3. HASIL DAN PEMBAHASAN b. Komponen Utama Prediktor Suhu


a. Hubungan antara Suhu Muka Laut Muka Laut
dengan hari Hujan dan Curah hujan Prediksi dengan menggunakan
Bulanan banyak variabel umumnya memiliki masalah
Pengolahan data dimulai dengan multikolinearitas atau variabel yang saling
menghitung korelasi antara suhu muka laut berkorelasi sehingga menghasilkan hasil
dengan curah hujan dan hari hujan di ketiga prediksi yang kurang baik. Untuk mengetahui
lokasi penelitian. Perhitungan nilai korelasi ada tidaknya multikolinearitas, dilakukan
dilakukan untuk mengetahui hubungan antara perhitungan nilai korelasi antar 40 grid Suhu
suhu muka laut sebagai prediktor dengan Muka Laut.
curah hujan dan hari hujan sebagai prediktan. Hasil perhitungan menunjukkan
Hasil perhitungan korelasi suhu muka bahwa korelasi antar grid Suhu Muka Laut
laut dengan curah hujan dan hari hujan dari 40 grid yang digunakan umumnya
umumnya menunjukkan nilai korelasi positif. menghasilkan korelasi positif dengan nilai
Hal tersebut menunjukkan bahwa ketika suhu yang tinggi. Hasil korelasi yang tinggi
muka laut mengalami kenaikan maka curah tersebut menunjukkan adanya masalah
hujan dan hari hujan di ketiga lokasi multikolinearitas antar grid prediktor sehingga
penelitian juga akan mengalami kenaikan. perlu dilakukan analisis komponen utama
Curah hujan wilayah Paotere, Hasanuddin, untuk menghilangkan masalah
dan Majene berkorelasi kuat positif terhadap multikolinearitas tersebut. Analisis komponen
SML grid 30 (perairan Selatan pulau Seram), utama prediktor suhu muka laut dilakukan
serta berkorelasi kuat negatif terhadap SML untuk masing-masing bulan menggunakan
grid 1 (perairan sebelah Timur kepulauan data tahun 1983 – 2007 (25 tahun)
Riau). Hari hujan di ketiga wilayah tersebut menggunakan bantuan Software Minitab 16.
memiliki korelasi kuat positif dan negatif Dalam penelitian ini, jumlah
terhadap grid yang sama dengan korelasi komponen utama yang digunakan dipilih
curah hujan, kecuali untuk wilayah Majene dengan melihat nilai proporsi kumulatif
yang berkorelasi kuat positif terhadap SML (cumulative) yang lebih dari atau sama
grid 20 (perairan Utara pulau Seram). dengan 0.95 atau 95% dapat mewakili
keragaman data dari 40 grid SML. Setiap

61
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

komponen utama memiliki nilai koefisien Gambar 4 menunjukkan bahwa hasil


regresi untuk membentuk nilai baru yang prediksi curah hujan bulanan di wilayah
mewakili suhu muka laut 40 grid. Paotere memiliki pola yang sama dengan data
Komponen utama suhu muka laut observasinya. Hasil prediksi untuk bulan Mei
tahun 1983-2007 diregresikan dengan curah hingga Oktober umumnya mendekati nilai
hujan dan hari hujan dengan waktu tunda 1 observasinya, sedangkan untuk bulan lainnya
dan 2 bulan, sehingga menghasilkan 4 memiliki nilai yang lebih bervariasi.
persamaan regresi untuk tiap bulannnya.
Komponen utama suhu muka laut tahun 2008- Curah Hujan Prediksi dan Observasi
1200 di Stasiun Meteorologi Hasanuddin
2012 selanjutnya dimasukkan kedalam
2 1000
persamaan regresi yang telah diperoleh untuk

Curah Hujan (mm)


0 800
masing-masing bulan sehingga menghasilkan 0 600
prediksi curah hujan bulanan dan hari hujan 8
400
bulanan. 200

0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
c. Prediksi Curah Hujan Bulanan 1200

Hasil prediksi curah hujan bulanan 2 1000 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2

Curah Hujan (mm)


dibandingkan dengan data observasinya 0 800
0
dalam bentuk grafik sebagai berikut: 9
600

Curah Hujan Prediksi dan Observasi 400

1200
di Stasiun Meteorologi Paotere 200

2 1000 0
Curah Hujan (mm)

0 800
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
0 1200
600
8 1000
Curah Hujan (mm)

400
2 800 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
200
0 600
0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
1
400
1200 0
200
2 1000 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
Curah Hujan (mm)

0 800
0
0 JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
600 1200
9
400 1000
Curah Hujan (mm)

200 800 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2


0 2 600
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
1200 0
400
1
1000 200
1
Curah Hujan (mm)

2 800 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2 0


0
600 JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
1
1200
0 400

200 1000
Curah Hujan (mm)

0 800 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2


JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
1200 600
2
1000
0 400
Curah Hujan (mm)

2
800 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2 1 200
0
600 2
0
1 400
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
1 200 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES Gambar 5. Grafik prediksi curah hujan
1200

1000
bulanan lag 1 dan 2 bulan serta data observasi
stasiun meteorologi Hasanuddin tahun 2008-
Curah Hujan (mm)

800 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2

2 600 2012
0 400
1
2
200 Gambar 5 menunjukkan bahwa hasil prediksi
0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
curah hujan bulanan di wilayah Hasanuddin
Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2 memiliki pola yang sama dengan data
Gambar 4. Grafik prediksi curah hujan observasinya. Hasil prediksi untuk bulan Juni
bulanan lag 1 dan 2 bulan serta data observasi hingga September umumnya mendekati nilai
stasiun meteorologi Paotere tahun 2008-2012 observasinya, sedangkan untuk bulan lainnya
memiliki nilai yang lebih bervariasi.

62
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Curah Hujan Prediksi dan Observasi Hari Hujan Prediksi dan Observasi
700 di Stasiun Meteorologi Majene 30 di Stasiun Meteorologi Paotere

2
600 2 25
Curah Hujan (mm)

Hari Hujan (hari)


500 0
0 20
0
0 400 15
8
8 300 10
200
5
100
0
0 JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES 30
700
2 25 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2

Hari Hujan (hari)


600
2 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2 0 20
Curah Hujan (mm)

0
500 0
15
0 400 9
10
9 300
5
200
0
100
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
0 30
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
25
700

Hari Hujan (hari)


2 20 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
600
0
Curah Hujan (mm)

500 15
2 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2 1
10
0 400 0
1 300 5

0 200 0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
100
30
0
25
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES

Hari Hujan (hari)


700 20 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
600 2 15
0
Curah Hujan (mm)

500 10
Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2 1
400
2 1 5
300
0 0
200
1 JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
30
1 100
0 25
Hari Hujan (hari)

JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES 20 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
700
15
600 2
0 10
Curah Hujan (mm)

500 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2


1 5
400 2
2 300
0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
0 200 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
1
2
100 Gambar 7. Grafik prediksi hari hujan
0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
bulanan lag 1 dan 2 bulan serta data observasi
Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
stasiun meteorologi Paotere tahun 2008-2012
Gambar 6. Grafik prediksi curah hujan
bulanan lag 1 dan 2 bulan serta data observasi Berdasarkan gambar 7, terlihat bahwa
stasiun meteorologi Majene tahun 2008-2012 hasil prediksi hari hujan bulanan di wilayah
Paotere tahun 2008, 2009 dan 2012 memiliki
Gambar 6 menunjukkan bahwa hasil prediksi pola yang sama dengan data observasinya,
curah hujan bulanan di wilayah Majene sedangkan tahun 2010 dan 2011 memiliki
memiliki pola yang cenderung berbeda pola yang cenderung berbeda. Hasil prediksi
dengan data observasinya. Hasil prediksi yang pada tahun 2010 menghasilkan nilai yang
cukup baik ditunjukkan pada tahun 2009 lebih tinggi dibanding data observasinya pada
dimana pola hasil prediksinya mengikuti pola bula April hingga Oktober.
data observasinya.

d. Prediksi Hari Hujan Bulanan

63
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Hari Hujan Prediksi dan Observasi Hari Hujan Prediksi dan Observasi
30 di Stasiun Meteorologi Hasanuddin 30 di Stasiun Meteorologi Majene

2 25 2 25
Hari Hujan (hari)

Hari Hujan (hari)


0 20 0 20
0 15 0 15
8 8
10 10
5 5
0 0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
30 30

2 25 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2


2 25 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
Hari Hujan (hari)

Hari Hujan (hari)


0 20 0 20
0 15 0 15
9 9
10 10
5 5
0 0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
30 30

25 25
Hari Hujan (hari)

Hari Hujan (hari)


2 20 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2 2 20 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
0 15 0 15
1 1
10 10
0 0
5 5
0 0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
30 30
25 25
Hari Hujan (hari)

Hari Hujan (hari)


20 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2 20 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
2 15 2 15
0 0
10 10
1 1
1 5 5
1
0 0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
30 30

25 25
Hari Hujan (hari)

20 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2


Hari Hujan (hari)

20 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2

15
2 15
2
0 10
0 10
1 5 1
2 5
0 2
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES 0
JAN FEB MAR APR MEI JUN JUL AGS SEP OKT NOP DES
Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
Gambar 8. Grafik prediksi hari hujan Gambar 9. Grafik prediksi hari hujan
bulanan lag 1 dan 2 bulan serta data observasi bulanan lag 1 dan 2 bulan serta data observasi
stasiun meteorologi Hasanuddin tahun 2008- stasiun meteorologi Majene tahun 2008-2012
2012
Berdasarkan gambar 9, terlihat bahwa
Berdasarkan gambar 8, terlihat bahwa hasil prediksi hari hujan bulanan di wilayah
hasil prediksi hari hujan bulanan di wilayah Majene memiliki pola yang cenderung
Hasanuddin memiliki pola yang sama dengan berbeda dengan data observasinya, kecuali
data observasinya, kecuali tahun 2010yang tahun 2009 yang memiliki pola mendekati
memiliki pola cenderung berbeda. Hasil pola observasi. Hasil prediksi pada tahun
prediksi pada tahun 2010 menghasilkan nilai 2010 menghasilkan nilai yang lebih tinggi
yang lebih tinggi dibanding data observasinya dibanding data observasinya pada bula April
pada bula April hingga September. Hasil hingga September. Hasil prediksi yang baik
prediksi yang baik terlihat pada tahun 2012 terlihat pada tahun 2009.
dimana selisih nilainya tidak jauh berbeda.

64
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

e. Prediksi Curah Hujan Bulanan CH Prediksi dan Observasi Tahun 2008


1000
di Stasiun Meteorologi Hasanuddin
dengan Prediktor Hari Hujan Bulanan 900
800

Curah Hujan (mm)


700
Curah Hujan Prediksi dan Observasi
2 600
di Stasiun Meteorologi Paotere 500
1000
0
900 400
800 0 300
Curah Hujan (mm)

700 8 200
2 600 100
500
0 400
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
0 300
1000
8 200
900
100
800 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
0

Curah Hujan (mm)


Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des 700
1000
2 600
900 0 500
400
800 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
0
Curah Hujan (mm)

700 300
2 600 9 200
0 500 100
400
0 0
300 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
9 200
1000
100
900
0
800
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des

Curah Hujan (mm)


1000 700
900 600 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
800 2 500
Curah Hujan (mm)

700
600 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2 0 400
300
2 500 1 200
0 400
300 0 100
0
1 200
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
0 100
0
1000
900
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
800
Curah Hujan (mm)

1000
900
700
800 600 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
Curah Hujan (mm)

700 500
600
2 400
Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
500 0 300
2 400 1 200
0 300 100
1 200 1 0
100
1 0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
1000
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
1000 900
900 800
Curah Hujan (mm)

800 700 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2


2
Curah Hujan (mm)

700 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2


600
2 600 0 500
0 500 1 400
1 400
2 300
300
2 200
200
100
100
0
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2

Gambar 10. Grafik prediksi curah hujan Gambar 11. Grafik prediksi curah hujan
bulanan lag 1 dan 2 bulan serta data observasi bulanan lag 1 dan 2 bulan serta data observasi
stasiun meteorologi Paotere tahun 2008-2012 stasiun meteorologi Hasanuddin tahun 2008-
dengan prediktor hari hujan bulanan 2012 dengan prediktor hari hujan bulanan

Gambar 10 menunjukkan bahwa hasil Gambar 11 menunjukkan bahwa hasil


prediksi curah hujan bulanan di wilayah prediksi curah hujan bulanan di wilayah
Paotere memiliki pola yang sama dengan data Hasanuddin memiliki pola yang sama dengan
observasinya. Hasil prediksi untuk bulan Juni data observasinya. Hasil prediksi untuk bulan
hingga September umumnya mendekati nilai Juni hingga September umumnya mendekati
observasinya, sedangkan untuk bulan lainnya nilai observasinya, sedangkan untuk bulan
memiliki nilai yang lebih bervariasi. lainnya memiliki nilai yang lebih bervariasi.
Hasil prediksi yang cukup baik yaitu pada
tahun 2011yang memiliki selisih nilai yang
relatif kecil.

65
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

CH Prediksi dan Observasi Tahun 2008 Gambar 12. Grafik prediksi curah hujan
di Stasiun Meteorologi Majene
700
bulanan lag 1 dan 2 bulan serta data observasi
600
Curah Hujan (mm) 500
stasiun meteorologi Majene tahun 2008-2012
2 400 dengan prediktor hari hujan bulanan
0 300
0 200
8 Gambar 12 menunjukkan bahwa hasil
100
0
prediksi curah hujan bulanan di wilayah
700
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Majene memiliki pola yang cenderung
600
Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
berbeda dengan data observasinya. Hasil
Curah Hujan (mm)

2
500 prediksi yang cukup baik terlihat pada tahun
400
0
300
2009 dimana hasil prediksinya mendekati
0 pola observasi denga selisih yang relatif kecil,
200
9
100 sedangkan hasil yang kutang baik terlihat
0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
pada tahun 2010 dimana hasil prediksi
700 umumnya menghasilkan nilai yang lebih kecil
600
dibanding data observasinya dengan selisih
Curah Hujan (mm)

500
400
Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2 yang cukup besar.
2
300
0
200
1
100
0 0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
700
600
Curah Hujan (mm)

500
400 Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
2 300
0 200
1 100
1 0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
700

600
Curah Hujan (mm)

500
Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2
2 400
0
300
1
2 200

100

0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des
Observasi Prediksi Lag 1 Prediksi Lag 2

Tabel 1. Verifikasi hasil prediksi curah hujan bulanan menggunakan prediktor komponen utama
suhu muka laut
Metode PAOTERE HASANUDDIN MAJENE
Verifikasi LAG 1 LAG 2 LAG 1 LAG 2 LAG 1 LAG 2
Korelasi 0.86 0.84 0.82 0.85 0.52 0.35
RMSE 161.09 156.07 172.59 145.50 104.34 118.65
MAE 112.64 109.36 117.54 105.61 77.88 89.48
MAPE 107% 103% 296% 248% 236% 214%
Kesesuaian 13% 17% 17% 17% 18% 18%

Tabel 2. Verifikasi hasil prediksi hari hujan bulanan menggunakan prediktor komponen utama
suhu muka laut
Metode Paotere Hasanuddin Majene
Verifikasi Lag 1 Lag 2 Lag 1 Lag 2 Lag 1 Lag 2
Korelasi 0.85 0.84 0.84 0.82 0.52 0.51
RMSE 4.80 5.07 4.65 4.92 4.66 4.71

66
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

MAE 3.56 3.66 3.50 3.54 3.49 3.61


MAPE 38% 35% 48% 45% 44% 47%
Kesesuaian 38% 38% 52% 40% 50% 43%

Tabel 3. Verifikasi hasil prediksi curah hujan bulanan menggunakan prediktor hasil prediksi hari
hujan bulanan
Metode Paotere Hasanuddin Majene
Verifikasi Lag 1 Lag 2 Lag 1 Lag 2 Lag 1 Lag 2
Korelasi 0.88 0.87 0.83 0.83 0.52 0.43
RMSE 132.65 137.95 142.48 143.99 100.98 108.42
MAE 99.75 98.54 106.48 107.10 73.16 80.26
MAPE 104% 119% 250% 317% 156% 168%
Kesesuaian 22% 18% 23% 20% 18% 10%

a. Verifikasi hasil Prakiraan dibandingkan dengan menggunakan lag 1


Hasil prediksi curah hujan dan hari bulan. Berbeda dengan di wilayah Majene,
hujan bulanan selanjutnya diverifikasi dimana prediksi menggunakan lag 1 bulan
menggunakan beberapa metode untuk menghasilkan prediksi yang lebih baik
melihat tingkat keakuratan prediksi tersebut. dibandingkan dengan lag 2 bulan.
Adapun hasil verifikasinya terdapat pada Tabel 2 memperlihatkan bahwa hasil
Tabel 1 yang memperlihatkan bahwa hasil prediksi dan data observasi curah hujan
prediksi dan data observasi curah hujan bulanan memiliki hubungan yang erat dengan
bulanan memiliki hubungan yang erat dengan arah positif yang ditandai dengan nilai
arah positif yang ditandai dengan nilai korelasi lebih dari 0,8 untuk wilayah Paotere
korelasi lebih dari 0,8 untuk wilayah Paotere dan Hasanuddin, serta lebih dari 0,5 untuk
dan Hasanuddin, serta lebih dari 0,3 untuk wilayah Majene. Prediksi menggunakan lag 1
wilayah Majene. Prediksi menggunakan lag 1 bulan memiliki korelasi yang lebih tinggi
bulan memiliki korelasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan prediksi menggunakan
dibandingkan dengan prediksi menggunakan lag 2 bulan untuk wilayah ketiga wilayah
lag 2 bulan untuk wilayah Paotere dan tersebut.
Majene, sedangkan untuk wilayah Wilayah Paotere dan Hasanuddin
Hasanuddin korelasi tertinggi dihasilkan oleh walaupun nilai MAPE tinggi ditunjukkan
prediksi dengan lag 2 bulan. oleh prediksi dengan lag 2 bulan, namun
Wilayah Paotere walaupun korelasi hasil verifikasi lainnya menunjukkan bahwa
tinggi ditunjukkan oleh prediksi dengan lag 1 prediksi dengan lag 1 bulan menghasilkan
bulan, namun hasil verifikasi lainnya prediksi dengan tingkat kesalahan yang lebih
menunjukkan bahwa prediksi dengan lag 2 kecil. Prediksi curah hujan untuk wilayah
bulan menghasilkan prediksi dengan tingkat Majene menghasilkan nilai yang lebih baik
kesalahan yang lebih kecil. Semua metode dengan menggunakan lag 1 bulan.
verifikasi yang digunakan menunjukkan Berdasarkan nilai korelasi, RMSE,
bahwa untuk wilayah Hasanuddin hasil MAE, MAPE dan kesesuaian diperoleh
prediksi dengan lag 2 bulan menghasilkan bahwa prediksi menggunakan lag 1 bulan
nilai yang lebih baik dibandingkan dengan menghasilkan hasil yang lebih baik di ketiga
lag 1 bulan. Prediksi curah hujan untuk wilayah tersebut dibandingkan dengan
wilayah Majene menghasilkan nilai yang menggunakan lag 2 bulan. Tabel 3
lebih baik dengan menggunakan lag 1 bulan. memperlihatkan bahwa hasil prediksi dan
Berdasarkan nilai korelasi, RMSE, data observasi curah hujan bulanan memiliki
MAE, MAPE dan kesesuaian diperoleh hubungan yang erat dengan arah positif yang
bahwa prediksi menggunakan lag 2 bulan ditandai dengan nilai korelasi lebih dari 0,8
menghasilkan hasil yang lebih baik untuk untuk wilayah Paotere dan Hasanuddin, serta
wilayah Paotere dan Hasanuddin lebih dari 0,4 untuk wilayah Majene.

67
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Berdasarkan nilai korelasi, RMSE, MAE, rendah dibandingkan dengan data


MAPE dan kesesuaian diperoleh bahwa observasinya, dengan selisih nilai yang
prediksi menggunakan lag 1 bulan cukup besar. Hasil prediksi
menghasilkan hasil yang lebih baik untuk menggunakan lag 1 bulan menghasilkan
ketiga wilayah tersebut pola yang lebih mendekati pola
observasi dibandingkan dengan
4. KESIMPULAN menggunakan lag 2 bulan.
Berdasarkan analisis hasil dan c. Verifikasi hasil prediksi menunjukkan
pembahasan di atas maka diperoleh nilai korelasi yang cukup signifikan,
kesimpulan sebagai berikut: dimana wilayah Paotere dan Hasanuddin
a. Prediktor suhu muka laut umumnya memiliki nilai korelasi lebih dari 0,8
memiliki korelasi positif terhadap curah sedangkan wilayah Majene memiliki
hujan dan hari hujan bulanan, dimana nilai korelasi lebih dari 0,5. Hasil
jika suhu muka laut meningkat maka prediksi curah hujan bulanan untuk
curah hujan dan hari hujan bulanan juga wilayah Paotere lebih baik dibandingkan
ikut meningkat. Curah hujan dan hari wilayah lainnya dengan persentase nilai
hujan bulanan di wilayah Paotere, kesalahan rata-rata (MAPE) sebesar
Hasanuddin, dan Majene berkorelasi 104%. Prediksi curah hujan dengan
positif terhadap SML grid 30 (perairan menggunakan prediktor hari hujan
Selatan pulau Seram), serta berkorelasi bulanan menghasilkan prediksi yang
kuat negatif terhadap SML grid 1 lebih baik yang ditunjukkan oleh nilai
(perairan sebelah Timur kepulauan Riau, kesalahan (RMSE, MAE dan MAPE)
kecuali untuk wilayah Majene yang yang lebih kecil serta nilai kesesuaian
berkorelasi kuat positif terhadap SML yang lebih besar dibandingkan dengan
grid 20 (perairan Utara pulau Seram). hasil prediksi yang langsung
b. Hasil prediksi hari hujan dan curah menggunakan prediktor suhu muka laut.
hujan bulanan menggunakan prediktor Hasil prediksi hari hujan bulanan
komponen utama suhu suhu muka laut menghasilkan nilai yang cukup baik
di Stasiun Meteorologi Paotere dan untuk wilayah Paotere, Hasanuddin, dan
Stasiun Meteorologi Hasanuddin Majene dengan nilai kesalahan rata-rata
menghasilkan prediksi yang cukup baik sebesar 4 hari atau sekitar 40%. Hasil
karena memiliki pola yang mirip dengan prediksi menggunakan lag 1 bulan
pola curah hujan observasinya, menghasilkan prediksi yang lebih baik
sedangkan prediksi curah hujan Stasiun dibandingkan dengan menggunakan lag
Meteorologi Majene menghasilkan 2 bulan.
prediksi yang kurang baik karena
memiliki pola yang cenderung berbeda. SARAN
Hasil prediksi curah hujan bulanan Dalam penelitian selanjutnya luasan
menggunakan prediktor hari hujan yang wilayah grid Suhu Muka Laut diperluas
diprediksi sebelumya juga menghasilkan untuk melihat pengaruh SML secara regional
pola yang mengikuti pola curah hujan serta penambahan prediktor lain yang
observasi untuk wilayah Paotere dan mempengaruhi proses pembentukan hujan.
Hasanuddin, namun untuk wilayah Perlu dilakukan penelitian menggunakan
Majene menghasilkan pola yeng metode lain untuk dapat menghasilkan
cenderung berbeda dengan pola prediksi yang lebih baik. Untuk
observasinya kecuali untuk prediksi menghasilkan prediksi yang baik di wilayah
tahun 2009. Prediksi untuk bulan Mei tersebut sebaiknya dipisahkan bulan-bulan
hingga Oktober umumnya menghasilkan yang merupakan puncak musim hujan karena
nilai yang mendekati data observasinya, memiliki nilai error yang tinggi.
sedangkan untuk bulan Januari-April
dan November-Desember memiliki DAFTAR PUSTAKA
variasi nilai yang tinggi terhadap data Aldrian, E., 2008. Meteorologi Laut
observasinya. Prediksi hari hujan untuk Indonesia. BMKG : Jakarta
bulan April hingga Oktober di ketiga Ayuningtyas, S., 2014. Prakiraan Curah
wilayah menghasilkan nilai yang lebih Hujan dan Hari Hujan Menggunakan

68
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Prediktor SML dengan Metode Kualitatif, dan R&D. Alfabeta :


Conditional Probability di Sebagian Bandung
Wilayah Jawa Timur. Skripsi STMKG Wilks, D.S., 2006. Statistical Methods in The
: Tangerang Selatan Atmosfer Sciences. Elsevier Inc :
Fadholi, A., 2013. Persamaan Regresi Oxford, UK
Prediksi Curah Hujan Bulanan Willmott, C., dan Matsuura, K., 2005.
Menggunakan Data Suhu dan Advantage of Mean Absolute Error
Kelembaban udara di Ternate. Jurnal (MAE) Over The Root Mean Square
Statistika, Vol 13 No 1 Error (RMSE) in Assessing Average
Kristantri, E., 2014. Prediksi Curah Hujan Model Performance. Climate Research
Triwulanan di Wilayah Sulawesi Vol. 30 : Delaware, USA
Selatan bagian Barat dengan Metode BMKG. 2014. Laporan Akuntabilitas
Regresi Komponen Utama. Skripsi Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP).
STMKG : Tangerang Selatan BMKG : Jakarta
Kurniawan, D., 2008. Regresi Linear (Linear
Regression). R Development Core Pustaka dari Situs Internet
Team : Vienna, Austria CAWCR. Forecast Verification: Issues,
Mamenun. 2012. Prediksi Anomali Curah Methods and FAQ.
Hujan Bulanan di Wilayah Makassar http://www.cawcr.gov.au/projects/verif
Menggunakan Teknik Statistical ication/. Diakses tanggal 5 Mei 2015
Downscaling. BMKG : Jakarta NASA. Sea Surface Temperature.
Silalahi, L., 2011. Analisis Regresi http://podaac.jpl.nasa.gov/SeaSurface
Komponen Utama untuk Mengatasi Temperature. diakses tanggal 9 Maret
Masalah Multikolinearitas. Repository 2015
USU : Sumatera Utara
Sugiyono. 2009. Metodologi Penelitian
Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif,

69
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

ANALISIS HUBUNGAN HUJAN LEBAT PER TIGA JAM


DENGAN SIRKULASI ANGIN HARIAN TAHUN 2000-2012
DI STASIUN METEOROLOGI POLONIAMEDAN
Qurrata A’yun Kartika, Soetamto
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
E-mail: yuyuyunkartika@gmail.com

ABSTRAK
Hujan lebat seringkali menimbulkan dampak seperti tanah longsor, pohon tumbang, banjir,
gagal panen dan lain sebagainya. Hal ini tentunya sangat berdampak bagi aktivitas manusia seperti
mengganggu kelancaran transportasi, ekonomi, bahkan keselamatan jiwa manusia. Secara
geografis, Kota Medan berjarak 23 km dari pantai sehingga interaksi atmosfer di darat dan di laut
memiliki peranan penting terhadap kejadian hujan lebat di Kota Medan. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah akumulasi curah hujan menjadi per tiga jam dari data curah hujan jam-
jaman dan menghitung frekuensi hujan lebat dengan intensitas curah hujan lebih dari 20 mm dan
curah hujan lebih dari 50 mm. Data angin yang digunakan merupakan data yang diperoleh dari
sandi synop yang kemudian diklasifikasikan menjadi angin darat, angin laut dan angin transisi.
Klasifikasi dilakukan berdasarkan teori peneterasi bahwa angin laut dapat masuk hingga 100 km ke
wilayah daratan. Setelah itu, amati dan buat korelasi frekuensi angin dan hujan secara simultan dan
lag. Hujan lebat di Kota Medan sering terjadi pada jam 16.00-22.00 waktu setempat dan sirkulasi
angin laut paling sering terjadi pada pukul 16.00 waktu setempat. Berdasarkan analisis korelasi
secara simultan, hujan lebat berkorelasi kuat positif dengan angin laut yaitu 0,88 dan berkorelasi
kuat negatif dengan angin calm, yaitu -0,84. Dengan demikian, hujan lebat di Kota Medan
disebabkan oleh angin laut.

Kata Kunci:Hujan Lebat, Intensitas Hujan, Angin Laut, danAngin Darat

ABSTRACT
Heavy rains often lead to impacts such as landslides, fallen trees, floods, crop failure and
many others. This is certainly a major influence on human activities such as the disruption of
transportation, economics, and even interfere with human lives. Geographically, Medan is 23 km
from the coast, it conducts the interaction of the atmosphere on land and at sea has an important
role on the incidence of heavy rainfall in the city of Medan. The method used in this study is
accumulation of rainfall three hourly of rainfall data hourly and calculating the frequency of heavy
rain with rainfall intensity of more than 20 mm and rainfall is more than 50 mm. Wind data used
are data obtained from Synop codes and classified into into land breeze, sea breeze and wind
transition. Classification is based on the theory of penetration that the sea breeze can blow up to
100 km into the mainland region. After that, observes and makes correlation between wind and
rain frequency simultaneously and lag. Heavy rain in Medan often occur at 16.00 to 22.00 hours
local time and the sea breeze circulation occurs most frequently at 16.00 local time. Based on
correlation analysis simultaneously, torrential rains strongly correlated positively with the sea
breeze is 0.88 and negatively correlated strongly with the calmwind, namely -0.84. Thus, heavy
rain in Medan due to the sea breeze.

Keywords: Heavy Rain, Rain intensity, Sea Breeze, and land Breeze

70
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

PENDAHULUAN Gesekan dapat memperlambat objek


Hujan lebat adalah hujan dengan bergerak. Gesekan secara signifikan
intensitas >20mm/jam atau >50mm/hari mempengaruhi angin di dekat
(BMKG, 2014). Kerjadian hujan lebat permukaan bumi, akan tetapi efeknya
seringkali disebabkan oleh pemanasan dapat diabaikan di atas ketinggian
ataupun kondisi angin di daerah tersebut. beberapa kilometer di permukaan bumi.
Hujan lebat seringkali menimbulkan Angin diberi nama sesuai dengan dari
dampak seperti tanah longsor, pohon arah mana angin datang. 8 penjuru mata
tumbang, banjir, gagal panen dan lain angin tersebut diantaranya sebagai berikut:
sebagainya. Hal ini tentunya sangat Utara = 337,5º - 22,5 º
berdampak bagi aktivitas manusia seperti Timur Laut = 22,5º - 67,5º
mengganggu kelancaran transportasi, Timur = 67,5º - 112,5º
ekonomi, bahkan mengganggu keselamatan Tenggara = 112,5º - 157,5º
jiwa manusia. Selatan = 157,5º - 202,5º
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Barat Daya = 202,5º - 247,5º
Kota Medan merupakan ibukota propinsi Barat = 247,5º - 292,5º
Sumatera Utara dengan kepadatan penduduk Barat Laut = 292,5º - 337,5º
yang8.001 jiwa/ km² pada tahun 2009.
Dengan banyaknya jumlah penduduk ini, Menurut BMKG, intentitas curah
membuat kejadian cuaca yang ekstrim dapat hujan dibagi menjadi 4 kategori, yaitu
mengganggu aktivitas penduduk setempat. sebagai berikut:
Dengan demikian, diperlukan analisis
serta kajian tekait waktu hujan lebat dan Tabel 1.Kategori Intensitas
kondisi anginnya. Curah Hujan
Intensitas
Kategori
I. TINJAUAN PUSTAKA (mm/Jam)
Curah hujan adalah jumlah air yang 1–5 Hujan ringan
jatuh di permukaan tanah datar selama 5 – 10 Hujan sedang
periode tertentu yang diukur dengan satuan 10 – 20 Hujan lebat
tinggi (mm) di atas permukaan horizontal >20 Hujan sangat lebat
dengan asumsi hujan jatuh di permukaan
yang datar, tidak menguap, tidak meresap Selain itu, BMKG juga mendefinisikan
dan tidak mengalir. hujan lebat ialah hujan dengan intensitas >50
Angin adalah gerak udara yang sejajar mm/hari. Berdasarkan proses terjadinya,
dengan permukaan bumi (Aldrian, 2008). hujan dibedakan sebagai berikut:
Menurut Tjasyono (2008) angin a. Hujan Konveksi
mengakibatkan proses cuaca di permukaan Hujan Konvergen yaitu hujan yang
bumi baik perubahan jam-jaman, harian sering terjadi karena arus konveksi.
maupun bulanan. Hujan konveksi terjadi karena udara
Faktor yang mempengaruhi terjadinya yang mengandung uap air bergerak naik
angin ada 3 diantaranya: secara vertikal (konveksi) karena
a. Gaya Gradien Tekanan pemanasan.
Gaya gradien tekanan adalah gaya yang Perbedaan pemanasan yang berbeda
disebabkan perbedaan tekanan, pada permukaan bumi (daratan dan
sehingga terjadi aliran udara dari daerah lautan) juga merupakan penyebab utama
yang tekanan udaranya tinggi ke daerah pembentukan angin darat dan angin laut.
yang tekanan udaranya rendah. hal ini Pada siang hari darat agak cepat panas
disebabkan energi matahari yang jika ada radiasi matahari sedangkan
memanasi atmosfer secara tidak merata. permukaan air lebih dingin karena panas
b. Gaya Coriolis hilang pada lapisan air yang lebih tebal
Gaya coriolis adalah gaya yang oleh turbulensi dan gelombang dan oleh
disebabkan oleh rotasi bumi, sehingga penetrasi langsung dan absorpsi.
angin bergerak tidak memotong garis Akibatnya, terjadi sel tekanan rendah di
isobar secara langsung. darat dan sel tekanan tinggi di atas laut
c. Gaya Gesekan

71
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

sehingga angin dekat permukaan bumi b. Data Angin Synop di Stasiun


berhembus dari laut ke darat, disebut Meteorologi Polonia, Kota Medan pada
angin laut (thesea breeze). Pada malam tahun 2000-2012 yang diunduh di
hari darat lebih cepat dingin akibat www.ogimet.com.
kehilangan radiasi gelombang panjang,
sedangkan air karena inersia termalnya III.2 Metoder
menjadi tetap panas dengan temperatur a. Akumulasi Curah Hujan
hampir sama dengan ketika siang hari Data curah hujan Hellman (tiap jam)
sehingga pola tekanan harian berbalik diubah dengan pengakumulasian selama
dan terbentuk angin darat (the land 3 jam. Dengan ketentuan 07.00-10.00,
breeze) karena udara darat relatif dingin 10.00-13.00, 13.00-16.00, 16.00-19.00,
bergerak ke area tekanan lebih rendah di 19.00-22.00, 22.00-01.00, 01.00-04.00,
atas laut. Kemudian angin-angin ini dan 04.00-07.00 waktu setempat.
membentuk sirkulasi sebagai bentuk b. Frekuensi
keseimbangan. Frekuensi digunakan untuk menghitung
banyak suatu kejadian terjadi, dalam hal
b. Hujan Konvergen ini ialah kejadian hujan lebat dan angin.
Hujan konvergen yaitu hujan yang c. Penyaringan (filter)
terjadi akibat adanya pengumpulan Penyaringan digunakan kondisi hujan.
awan yang disebabkan oleh angin. d. Memisahkan data angin dari data synop
c. Hujan Orografis e. Windrose
Hujan orografis yaitu hujan yang terjadi f. Klasifikasi angin darat dan angin laut
di pegunungan. Di pegunungan terdapat Klasifikasi angin darat dan angin laut
peredaran angin lembah dan angin dengan asumsi teori peneterasi. Untuk
gunung (Wirjohamidjojo dan Swarinoto, angin laut diasumsikan berasal dari arah
2010) sejauh 100km dari pantai, angin
transisi didefinisikan 30º dari angin laut
II.1 Hipotesis dan sisanya sebagai angin darat.
a. Terdapat sirkulasi angin darat dan angin g. Mengamati waktu kejadian angin laut,
laut di Kota Medan. angin transisi, angin darat dan angin
b. Hujan lebat terjadi pada jam-jam calm terhadap hujan lebat.
tertentu di Kota Medan dan hujan lebat h. Membuat frekuensi angin laut, angin
tersebut berkaitan dengan sirkulasi darat, angin transisi dan angin calm, lalu
angin darat dan laut di Kota Medan. buat korelasinya secara simultan dan lag
Alur penelitian seperti pada Gambar 1

II. METODE PENELITIAN ,


III.1 Data
a. Curah Hujan Hellman tiap 3 jam di
Stasiun Meteorologi Polonia, Kota
Medan pada tahun 2000-2012.

72
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Gambar 1. Diagram Alir Penelitian

Gambar 2. Frekuensi Hujan

73
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Gambar 3. Windrose Tiap 3 Jam di Stasiun Meteorologi Polonia, Kota Medan Tahun 2000-2012

Gambar 4. Klasifikasi Angin di Stasiun Meteorologi Polonia, Kota Medan Tahun 2000-2012

III. HASIL PENELITIAN DAN Sirkulasi Angin Darat dan Laut di


PEMBAHASAN Kota Medan
IV.1 Waktu Hujan Lebat Berdasarkan Gambar 3. Diketahui
Berdasarkan Gambar2.diketahui bahwa secara keseluruhan angin di Kota
bahwa hujan lebat dengan Intensitas Medan didominasi oleh angin calm sebanyak
>20mm/3 jam paling sering terjadi pada 57,29% dan kemudian dari arah timur laut
pukul 16.00-19.00 waktu setempat dan hujan hampir mencapai 10%.
lebat dengan Intensitas 50 mm/3 jam paling Dengan menggunakan aplikasi Google
sering terjadi pada pukul 19.00-22.00 waktu Earth, kita dapat mengetahui radius 100km
setempat. dari Stasiun Meteorologi Polonia, Kota
Medan. Kemudian mengklasifikasikan arah
angin sesuai dengan teori peneterasi, dimana
angin laut dapat masuk ke daratan sejauh 100
km. Sehingga didapat klasifikasi angin
seperti pada gambar 4.

74
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Gambar 5. Profil Frekuensi Angin Laut Per Tiga Jam Bulanan di Stasiun Meteorologi Polonia,
Kota Medan Tahun 2000-2012

Berdasarkan Gambar 5. Diketahui penurunan angin laut yang drastis antara


bahwa hampir sepanjang tahun di Kota pukul 19.00-21.00 waktu setempat. Dari
Medan Angin laut pada jam 07.00 waktu ketiga grafik tersebut frekuensi angin paling
setempat sangat jarang terjadi dan kemudian sering terjadi pada bulan maret pukul 16.00
meningkat hingga pada pukul 16.00 waktu waktu setempat.
setempat kemudian berkurang, dan terjadi

75
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Gambar 6. Grafik Profil Frekuensi Angin Darat Pertiga Jam Bulanan di Stasiun Meteorologi
Polonia, Kota Medan Tahun 2000-2012
.
.

76
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Gambar 7. Grafik Frekuensi Angin Transisi 1 per Tiga Jam Bulanan di Stasiun Meteorologi
Polonia, Kota Medan Tahun 2000-2012.

Berdasarkan Gambar 7. diketahui 07.00 waktu setempat dan kemudian


profil angin transisi 1 menunjukkan pola meningkat secara tajam pada jam 10.00 atau
yang hampir sama sepanjang tahun. Angin pukul 13.00 waktu setempat, kemudian
transisi 1 sangat jarang terjadi pada jam berkurang pada waktu berikutnya.

77
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Gambar 8. Grafik Frekuensi Angin Transisi 2 per Tiga Jam Bulanan


di Stasiun Meteorologi Polonia, Kota Medan Tahun 2000-2012.

Berdasarkan gambar 8. diketahui profil setempat dan kemudian meningkat secara


angin transisi 2 bulan Oktober-Desember tajam pada jam 10.00 waktu setempat,
yang menunjukkan pola yang sama selama kemudian meningkat hingga pukul 13.00
tiga bulan secara umum. Angin transisi 2 waktu setempat dan berkurang pada waktu
sangat jarang terjadi pada jam 07.00 waktu selanjutnya

78
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Gambar 9. Grafik Profil Frekuensi Angin Calm Per Tiga Jam


di Stasiun Meteorologi Polonia, Kota Medan Tahun 2000-2012

Berdasarkan Gambar9. diketahui profil terjadi dan kemudian menurun hingga pada
angin calm bulanan yang menunjukkan pola pukul 16.00 waktu setempat lalu meningkat
yang hampir selama tiga bulan. Angin calm lagi hingga pukul 07.00 waktu setempat.
pada jam 07.00 waktu setempat sangat sering

IV.2 Analisa Hubungan Hujan Lebat dengan Angin darat dan Angin Laut

79
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Gambar 10. Frekuensi Angin Laut dan Hujan Lebat

Gambar 11. Frekuensi Curah Hujan dan Vektor Arah Angin Terbanyak

Berdasarkan gambar 10. Diketahui bahwa transisi dengan nilai korelasi 0,32 hingga
hujan lebat memiliki pola yang sama dengan 0,40, namun demikian terdapat pola yang
angin laut dan memiliki nilai korelasi 0,88 berkebalikan dengan angin calm yang
hingga 0,89, akan tetapi tidak demikian ditunjukkan oleh nilai korelasi negatif yaitu -
dengan angin darat dengan nilai korelasi 0,27 0,87 hingga -0,84. Berdasarkan gambar 11.
hingga 0,29, demikian juga dengan angin diketahui bahwa angin laut mulai dan sering

80
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

muncul pada pukul 13.00-21.00 waktu


setempat. Hal ini sejalan dengan frekuensi DAFTAR PUSTAKA
hujan lebat yang terus meningkat dari pukul DPR of Korea. 2012, Member Report.
07.0-10.00 waktu setempat hingga pukul Lutfi, A., 2014, Prediksi Sifat Hujan
16.00 waktu setempat (untuk curah hujan >20 Bulanan Menggunakan Metode Regresi
mm) dan 19.00 waktu setempat (untuk curah Logistik Multinomial di Propinsi Jawa
hujan >50 mm) dan kemudian berkurang Timur, STMKG, Tangerang Selatan.
hingga pukul 04.00-07.00 waktu setempat. Lutgens, Frederick K., dan Edward J. T.,
2010, The Atmosphere:Introduction to
IV. KESIMPULAN Meteorology, 1st Edition, Pearson
1. Hujan lebat dengan intensitas >20 mm Education, USA.
pertiga jam paling sering terjadi pada Pidwirny, M., 2006, “Local and Regional
pukul 16.00-18.00 waktu setempat dan Wind Systems”, Fundamental of
hujan lebat dengan intensitas >50 mm Physical Geography, 2nd Edition,
per tiga jam paling sering terjadi pada Physical Geography.
pukul 19.00-21.00 waktu setempat. Suyatim, 2011, Meteorologi Dinamis I,
2. Terdapat pola sirkulasi angin laut dan AMG, Jakarta.
darat sepanjang hari. Angin laut paling Tjasyono, B. H. K., 2008, Sains Atmosfer,
sering terjadi pada pukul 16.00 waktu BMKG, Jakarta
setempat sepanjang tahun. Angin Wirjohamidjojo, S., dan Swarinoto, Y. S.,
transisi paling sering terjadi pada pukul 2010, Iklim Kawasan Indonesia,
10.00-13.00 waktu setempat sepanjang BMKG, Jakarta.
tahun. Angin darat umumnya terjadi dua
kali sehari akan tetapi bervariasi pada Daftar Pustaka dari Internet:
tiap bulannya yaitu pada bulan januari, http://www.weblakes.com/products/ wrplot/
februari, april, juni, juli, agustus dan diakses pada 21 Januari 2015.
september paling sering terjadi pukul https://www.academia.edu/4276273/Pemanfa
10.00 waktu setempat dan pada bulan atan_Aplikasi_Geoweb_Untuk_Intelijen
maret, mei, september, oktober dan _Militer_word_2010 diakses pada 31
november paling sering terjadi pada Mei 2015.
pukul 22.00 waktu setempat. Sedangkan http://www.ux1.eiu.edu/~cfjps/1400/pressure
angin calm yang sering terjadi pada _wind.html diakses tanggal 4 Februari
pukul 04.00-07.00 waktu setempat 2015.
sepanjang tahun. http://www.pemkomedan.go.id/selayang_kep
3. Kondisi angin memiliki pengaruh yang endudukan.php diakses tanggal 31 Mei
cukup besar dengan kejadian hujan 2015
lebat. Hal ini ditandai dengan nilai http://www.geography.hunter.cuny.edu/~tbw
korelasi yang tinggi dan bertanda positif /wc.notes/diakses 2015
antara frekuensi hujan lebat dengan http://digilib.unila.ac.id/3733/14/BAB%20II.
angin laut yaitu sebesar 0,88 sampai pdf diakses tanggal 21 Januari 2015
dengan 0,89. Akan tetapi frekuensi http://www.bmkg.go.id/bmkg_pusat/Meteoro
hujan lebat berkebalikan dengan kondisi logi/Citra_Radar.bmkg diakses 2015
angin calm yang ditandai dengan nilai http://www.cuacajateng.com/
korelasi yang tinggi namun bertanda prosesterjadinyahujan.htm, diakses
negatif yaitu antara sebesar -0,87 sampai tanggal 15 Februari 2015
dengan -0,84.

81
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

PREDIKSI CURAH HUJAN BULANAN STASIUN BMKG DI


PROVINSI BENGKULU MENGGUNAKAN TEKNIK
DOWNSCALLING STATISTIK
Pungky Saiful Akbar1, Dodo Gunawan2
1
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
2
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Jakarta

ABSTRAK
Prediksi curah hujan merupakan informasi yang penting dan dibutuhkan di berbagai bidang. Untuk
itu perlu dilakukan peningkatan akurasi prediksi curah hujan dengan berbagai teknik. Salah
satunya dengan menggunakan data Climate Forecast System version 2 (CFSv2) untuk dijadikan
model prediksi curah hujan bulanan. Informasi CFSv2 merupakan informasi berskala global dan
memiliki resolusi yang masih rendah, maka diperlukan suatu teknik downscaling untuk
mendapatkan informasi kondisi lokal suatu daerah. Metode Partial Least Square Regression
(PLSR) digunakan dalam pemodelan Statistical Downscalling untuk mereduksi dimensi dan
mengatasi masalah multikolinieritas. Model optimal yang dibentuk dari input data CFSv2
Analaysis dan curah hujan bulanan observasi adalah model dengan menggunakan dua komponen
utama. Sedangkan variabel iklim yang paling berpengaruh pada kedua komponen tersebut adalah
variabel gradien angin zonal dan temperatur 850 mb. Berdasarkan nilai korelasi dan RMSE,
prediksi curah hujan bulanan paling bagus dilakukan di Stasiun Meteorologi dan Geofisika dengan
nilai korelasi di atas 0.9 dan nilai RMSE berturut-turut 67 dan 106, lebih baik daripada prediksi
curah hujan bulanan di Stasiun Klimatologi Bengkulu dengan nilai korelasi 0.65 dan RMSE 129.

Kata Kunci : Downscaling Statistik, Curah Hujan Bulanan, CFSv2, PLSR.

ABSTRACT
Rainfall prediction is very important and necessary information in many fields. For it is necessary
to improve the accuracy of rainfall prediction with various techniques. One of the way is to use
data from the Climate Forecast System version 2 (CFSv2) to be used as a predictive model of
monthly rainfall. CFSv2 information is information on a global scale and has a resolution that is
still low, we need a downscaling techniques to obtain information about local conditions of an
area. Methods of Partial Least Square Regression (PLSR) used in Downscalling Statistical
modeling to reduce the dimension and solve the multicollinearity problem. Optimal models created
from data input CFSv2 Analaysis and monthly rainfall observation was modeled using two main
components. While climate variables that most influential on these two components is variable
wind zonal gradient and temperatures of 850 mb. Based on the correlation and RMSE, the best
monthly rainfall predictions at Meteorological and Geophysics Station with correlation value
above 0.9 and the value of RMSE respectively 67 and 106, better than expected monthly rainfall in
Climatology Station Bengkulu correlation value 0.65 and RMSE 129.

Keywords : Statistical Downscaling, Monthly Rainfall, CFSv2, PLSR.

82
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

1. PENDAHULUAN digunakan dalam pemodelan SD untuk


Informasi prediksi curah hujan harian mereduksi dimensi atau mengatasi masalah
maupun bulanan merupakan informasi yang multikolinieritas. Metode ini telah digunakan
sangat penting dan dibutuhkan di berbagai oleh Bergant dan Kajfez-Bogataj (2005).
sektor. Informasi tersebut terkadang masih Penelitian ini membahas tentang
sulit untuk diprediksi secara akurat downscaling data CFSv2 menggunakan
dikarenakan sifat curah hujan yang dinamis metode PLSR untuk memprediksi curah
dan proses fisis kompleks yang terlibat di hujan bulanan Stasiun BMKG di Provinsi
dalamnya. Bengkulu serta verifikasinya dengan data
Perlu dilakukan peningkatan akurasi curah hujan bulanan observasinya.
prediksi curah hujan dengan berbagai teknik
untuk meningkatkan kualitas informasi 2. DATA DAN METODE
tersebut. Salah satu teknik yang digunakan Penelitian ini dilakukan tiga Stasiun
dalam peningkatan akurasi prediksi curah BMKG di Provinsi Bengkulu yaitu Stasiun
hujan adalah dengan menggunakan data-data Klimatologi Pulau Baai (03°51'37" LS dan
model iklim yang telah disediakan secara 102°18'44"BT), Stasiun Meteorologi
bebas dan gratis oleh National Centers for Fatmawati (3°51'25"LS dan 102°20'6"BT),
Environmental Prediction - National dan Stasiun Geofisika Kepahyang (3°38'17"
Oceanographic and Atmospheric LS dan 102°35'32"BT) seperti Gambar 1.
Administration (NCEP- NOAA).
Climate Forecast System (CFS)
merupakan suatu model global yang
berorientasi secara spasial dan temporal serta
merupakan alat atau sumber informasi untuk
melakukan perhitungan prediksi iklim. CFS
dapat kita gunakan untuk memprediksi iklim
dalam jangka waktu singkat maupun jangka
waktu panjang hingga beberapa tahun ke
depan. Informasi dari CFS merupakan
informasi yang berskala global atau besar
sehingga diperlukan teknik untuk
memperoleh informasi berskala lokal atau
kecil dari informasi tersebut. Resolusi CFS
masih rendah untuk merepresentasikan
kondisi iklim lokal yang dipengaruhi oleh
topografi dan tata guna lahan. Gambar 1. Lokasi Penelitian
Teknik downscaling digunakan untuk
memperoleh informasi skala lokal dari data Data yang digunakan dalam penelitian
CFS. Teknik downscaling adalah suatu ini adalah data curah hujan observasi periode
proses transformasi data unit skala besar tahun 2011-2015 Stasiun BMKG di Provinsi
menjadi unit skala yang lebih kecil. Adapula Bengkulu. Data pembangun model
yang mendefinisikan downscaling adalah menggunakan data luaran CFSv2 Analysis
suatu cara menginterpolasi variabel-variabel dari NCEP, dengan domain 1x1 (1 grid),
bebas berskala besar terhadap variabel yaitu 3° LS- 4° LS dan 102° BT – 103 BT.
berskala yang lebih kecil (Wilby dan Wigley, Lokasi grid yang diambil berada di Stasiun
1997). Selanjutnya, teknik downscaling BMKG Provinsi Bengkulu. Data untuk
sering dilakukan menggunakan dua cara, prediksi menggunakan data luaran CFSv2
yaitu secara dinamis dan secara statistik. Forecast dari NCEP dengan variabel dan
Kajian ini membahas penggunaan grid yang sama seperti data pembangun
dowscalling secara statistik yang disebut model. Berikut merupakan variabel bebas
Statictical Downscalling (SD). yang digunakan untuk membangun model
Beberapa metode telah digunakan (Tabel 1).
dalam SD (Wilby dan Wigley 1997). Partial
Least Square Regression (PLSR) dapat

83
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Tabel 1. Variabel Bebas X(t×g) = perubah skala global sebagai luaran


No Variabel Simbol Satuan dari CFSv2 (temperatur, angin 850
Geopotential mb, dan lain-lain);
height 850 t= waktu (bulanan, triwulanan,
1 mb (HGT850) [gpm] musiman).
Metode selanjutnya adalah
Temperature
menggunakan metode Partial Least Square
2 850 mb (TMP) [°C]
Regression (PLSR) yang mengkombinasikan
Relative
analisis komponen utama dan regresi ganda.
humidity 850
Tujuannya adalah untuk memprediksi suatu
3 mb (RH850) [%]
gugus perubah respon (Y) berdasarkan gugus
u wind 850
perubah prediktor (X). Prediksi ini diperoleh
4 mb (UGRD850) [m/s]
dengan mengekstraksi sejumlah komponen,
v wind 850 yang disebut perubah laten, dari perubah
5 mb (VGRD850) [m/s] prediktor.
Specific Bila suatu vektor Y dan suatu matriks
humidity 850 X berpangkat penuh, prediksi dapat
6 mb (SPFH850) [kg/kg] dilakukan dengan regresi kuadrat terkecil.
Pressure Tetapi bila jumlah prediktor lebih banyak
vertical daripada jumlah pengamatan dan X
velocity 850 berpangkat tidak penuh atau bersifat singular
7 mb (VVEL850) [Pa/s] maka pendekatan regresi kuadrat terkecil
Absolute tidak lagi tepat karena ada masalah
vorticity 850 multikolinearitas dalam X. PLSR akan
8 mb (ABSV850) [/s] mendapatkan komponen-komponen dari X
9 Cloud water (CLWMR850) [kg/kg] yang juga relevan dengan Y. Hal ini
Ozone dilakukan dengan cara dekomposisi X dan Y
10 mixing ratio (O3MR850) [kg/kg] secara simultan dengan batasan bahwa
komponen-komponen tersebut dapat
Metode yang digunakan pada tahap menjelaskan sebesar-besarnya peragam
awal ialah pemilihan prediktor yang (covariance) antara X dan Y. Proses
merupakan tahapan yang sangat menentukan dekomposisi ini diikuti dengan tahapan
kesuksesan metode PLSR. Dalam penelitian regresi di mana hasil dekomposisi X
ini digunakan pendekatan indirect analogue digunakan untuk memprediksi Y.
downscaling method, yang berarti Bila X berukuran N×K (N adalah
menggunakan variabel sirkulasi atmosfer jumlah pengamatan dan K adalah jumlah
lapisan atas sebagai prediktor untuk perubah prediktor), yang terdiri dari vektor
mendownscale variabel di lapisan 850 mb. xk, k = 1, ... , K, dan Y berukuran N×M (M
Selanjutnya dipilih prediktor terbaik dengan adalah jumlah perubah respon), yang terdiri
membandingkan pengaruhnya terhadap dari vektor ym, m = 1, ... , M. Metode PLSR
komponen-komponen pembangun model menghasilkan sejumlah komponen baru yang
prediksi curah hujan bulanan di ketiga daerah akan memodelkan X dan Y, sehingga
penelitian. Selanjutnya digunakan metode diperoleh hubungan antara X dan Y.
Statistical Downscalling (SD) untuk mencari Komponen-komponen baru ini disebut skor
informasi skala lokal yang diturunkan dari X, yang dicatat dengan ta, a=1, 2, ..., A.
skala global melalui hubungan fungsional Skor X merupakan kombinasi linier
antara kedua skala tersebut. Secara umum perubah-perubah asal xk dengan koefisien
bentuk model SD adalah seperti berikut : yang disebut pembobot, dicatat dengan
vektor wka (a = 1, 2, ...,A). Proses tersebut
(1) dapat diformulasikan sebagai berikut: (Wang
dkk. 2002).
Y(t) = perubah skala lokal (total hujan
bulanan, suhu udara rata-rata, dan (2)
lain-lain);

84
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

bervariasi antara -1 hingga +1 ( Riduwan,


Skor X digunakan prediktor untuk X dan 2005). Semakin tinggi nilai r yang didapat,
juga Y, sebagai berikut: maka semakin baik performa teknik prediksi
a. Skor X sebagai prediktor bagi X: yang digunakan. Dengan kata lain, semakin
(3) sama fase nilai prediksi dengan nilai
observasinya, maka semakin baik performa
b. Skor X sebagai prediktor bagi Y: teknik prediksi yang digunakan. Persamaan
yang digunakan untuk menghitung nilai r
(4)
dapat ditulis seperti berikut (Wilks, 2006):

(7)
Keterangan :
X = matriks variabel bebas
Y = matriks variable respon r = koefisien korelasi
dengan n observasi sebagai baris x = Curah hujan observasi
dan q-variabel sebagai kolom y = Curah hujan prediksi
T = matriks komponen latent dengan n N = jumlah sampel dalam area verifikasi
observasi sebagai baris dan c-
variabel sebagai kolom RMSE adalah suatu ukuran rata-rata
R’,P’ = matriks koefisien / loading matriks kesalahan, tertimbang menurut kuadrat
dengan c-variabel sebagai baris kesalahan. RMSE menjelaskan berapa
dan q-variabel sebagai kolom. besarnya kesalahan rata-rata dari prediksi
E,F = matriks error dengan n observasi namun tidak menunjukkan secara langsung
sebagai baris dan q-variabel sebagai dari kesalahan tersebut. Karena nilai tersebut
kolom berupa jumlah kuadrat, RMSE dipengaruhi
lebih kuat oleh kesalahan besar daripada
Residu Y yakni fim menyatakan kesalahan – kesalahan kecil. Nilai kisaran
deviasi antara respon pengamatan dengan RMSE mulai dari 0 hingga tak terbatas,
respon dugaan. Berdasarkan pada persamaan dengan 0 sebagai nilai sempurna (Wilks,
(3.2), maka persamaan (3.4) dapat ditulis 2006). Secara matematis RMSE dijelaskan
sebagai model regresi berganda sebagai dalam rumus :
berikut :
(8)
Dimana :
Fi = nilai prediksi ke-i
(3.5) Oi = nilai observasi ke-i
= XB + F N = jumlah sampel dalam area
verifikasi
Koefisien model PLSR, bmk (B) dapat
ditulis sebagai berikut: 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
(6) 3.1 Hasil
Pada bagian ini akan dijelaskan
mengenai hasil pengolahan data penelitian.
Hasil dari pengolahan data akan
Prediksi bagi data pengamatan yang menghasilkan model prediksi curah hujan
baru dapat diperoleh berdasarkan pada data bulanan yang akan diverifikasi. Tahap awal
X dan matriks koefisien B (Swarinoto dan pengolahan ialah proses downscaling dari
Wigena, 2011). Metode terakhir yang data CFSv2-Analysis. Model optimal yang
digunakan adalah metode verifikasi dihasilkan selanjutnya digunakan untuk
menggunakan korelasi Pearson dan Root memprediksi curah hujan bulanan Stasiun
Mean Square Error (RMSE). Untuk BMKG di Provinsi Bengkulu. Keluaran
mengetahui tingkat kesesuaian fase antara Session Window pada Minitab menunjukkan
nilai prediksi total hujan bulanan dengan jumlah komponen pembangun model
nilai data observasinya dapat digunakan nilai optimal, yang didefinisikan sebagai model
koefisien korelasi Pearson (r). Nilai r ini dengan prediksi tertinggi. R2 pada Minitab

85
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

memilih model dua komponen sebagai model termasuk model LS dengan sepuluh
yang optimal, dengan R2-prediksi 29% untuk komponen, yang memiliki R2-prediksi hanya
Stasiun Klimatologi, 44% untuk Stasiun 16 % untuk Stasiun Klimatologi, 27 % untuk
Meteorologi, dan 66% untuk Stasiun Stasiun Meteorologi, dan 58 % untuk Stasiun
Geofisika. Minitab menampilkan tabel Geofisika.
Analysis of Variance per respon berdasarkan
model yang optimal. P-value untuk Staklim PLS Model Selection Plot
(response is STAKLIM)
adalah 0,001, untuk Stamet 0,000 dan untuk optimal
0.6
Stageof 0,000 di mana ketiga-tiganya Variable
Fitted

memiliki nilai kurang dari 0,05. Hal ini 0.5


Crossval

memberikan bukti yang cukup bahwa model


0.4
tersebut signifikan untuk ketiga stasiun

R-Sq
tersebut. 0.3

Pada Stasiun Geofisika, model dengan


0.2
dua komponen, yang dipilih oleh cross-
validation, memiliki R2 75% dan R2-prediksi 0.1
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
66%. Dapat dilihat bahwa model dengan lima Components

komponen memiliki R2 yang lebih tinggi PLS Model Selection Plot


(76%), dan R2-prediksi yang sedikit lebih (response is stamet)
optimal
rendah (64%). Karena R2-prediksi lima 0.65 Variable
Fitted
komponen tidak terlalu jauh dengan R2- 0.60 Crossval

prediksi dua komponen, maka model dengan 0.55

0.50
lima komponen dapat digunakan sebagai
R-Sq

0.45
pengganti model dua komponen. Begitu juga
0.40
berlaku untuk lainnya berdasarkan model dua 0.35
komponen. Dengan membandingkan R2- 0.30
prediksi dari model Partial Least Square 0.25

(PLS) dua komponen dan R2-prediksi dari 1 2 3 4 5 6


Components
7 8 9 10

model Least Square (LS) sepuluh komponen,


PLS Model Selection Plot
dihasilkan bahwa model PLS memprediksi (response is stageof)

data yang jauh lebih akurat daripada yang optimal


0.80 Variable

diprediksi model LS. Fitted


Crossval

Pada Stasiun Klimatologi, R2-prediksi 0.75

untuk dua komponen sebesar 29% sedangkan 0.70


R-Sq

R2-prediksi untuk sepuluh komponen hanya


16%. Pada Stasiun Meteorologi, R2-prediksi 0.65

untuk dua komponen sebesar 44% sedangkan 0.60


R2-prediksi untuk sepuluh komponen hanya
27%. Pada Stasiun Geofisika, R2-prediksi 1 2 3 4 5 6
Components
7 8 9 10

untuk dua komponen sebesar 66% sedangkan


R2-prediksi untuk sepuluh komponen hanya Gambar 2. Grafik Plot PLS Model Selection
58%. X-variance menunjukkan jumlah varian Stasiun BMKG di Provinsi Bengkulu : dari
dalam prediktor yang dijelaskan oleh model. atas ke bawah (a) Stasiun Klimatologi; (b)
Dalam kasus ini, model dua komponen Stasiun Meteorologi dan (c) Stasiun
menjelaskan 34,1% varian dalam prediktor. Geofisika

3.1.1 Graph Window Output


Gambar 2 menunjukkan pemilihan
model yang optimal. PLS model selection
plot adalah tampilan grafik dari pemilihan
model dan tabel validasi. Garis vertikal
menunjukkan bahwa model optimal memiliki
dua komponen. Kemampuan prediksi dari
semua model dengan lebih dari tiga
komponen menurun secara signifikan,

86
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

PLS Response Plot PLS Std Coefficient Plot


(response is STAKLIM) (response is STAKLIM)
2 components 2 components
600 Variable 0.4
Fitted

500
Crossval 0.3

Standardized Coefficients
Calculated Response

0.2
400
0.1
300
0.0
200
-0.1

100 -0.2

0 -0.3
0 100 200 300 400 500 600 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Actual Response Predictors

PLS Response Plot PLS Std Coefficient Plot


(response is stamet) (response is stamet)
2 components 2 components

500 0.4
Variable
Fitted
Crossval 0.3

Standardized Coefficients
400
0.2
Calculated Response

300 0.1

0.0
200
-0.1

100 -0.2

-0.3
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0 100 200 300 400 500 Predictors
Actual Response

PLS Std Coefficient Plot


PLS Response Plot (response is stageof)
(response is stageof) 2 components
2 components
0.4
700 Variable
Fitted 0.3
600
Standardized Coefficients

Crossval
0.2
Calculated Response

500
0.1
400
0.0
300
-0.1
200 -0.2
100 -0.3

0 -0.4
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
0 100 200 300 400 500 600 700
Predictors
Actual Response

Gambar 3 Grafik Plot PLS Response Stasiun Gambar 4 Grafik Plot PLS Standard
BMKG di Provinsi Bengkulu berturut-turut Coefficient Stasiun BMKG di Provinsi
dari atas ke bawah: (a) Stasiun Klimatologi; Bengkulu berturut-turut dari atas ke bawah:
(b) Stasiun Meteorologi; dan (c) Stasiun (a) Stasiun Klimatologi; (b) Stasiun
Geofisika Meteorologi; dan (c) Stasiun Geofisika

Pola yang ditunjukkan titik pada PLS PLS standard coefficient plot pada
response plot pada Gambar 3 adalah pola Gambar 4 menampilkan koefisien standar
linear yaitu dari bawah sudut kiri ke pojok untuk prediktor. Pada ketiga stasiun tersebut,
kanan atas. PLS response plot menunjukkan prediktor pada ketinggian 850 mb yaitu
bahwa model memiliki kesesuaian dengan relative humidity (3), u wind (4), dan
data. Pada Stasiun Klimatologi dan pressure vertical velocity (7) memiliki nilai
Meteorologi titik fitted dan crosvalidated koefisien standar di atas 0,2 dan dampak
sedikit menunjukkan beberapa titik ekstrem terbesar terhadap komponen pembentuk
dari pola linearnya. Berbeda dengan Stasiun model curah hujan bulanan di masing-masing
Geofisika, meskipun ada perbedaan antara stasiun. Prediktor v wind (5), specific
titik fitted dan crossvalidated, tidak ada yang humidity (6), dan absolute vorticity (8)
cukup parah untuk menunjukkan titik memiliki koefisien standar di bawah 0,2 yang
maksimal ekstrim. cukup memberikan dampak terhadap
komponen pembentuk model curah hujan
bulanan di masing-masing stasiun.

87
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

PLS Loading Plot


VGRD

0.50 UGRD

A BSV
0.25

Component 2
0.00 O3MR
RH

HGT
VVEL
-0.25
SPFH C LW MR

TMP
-0.50

-0.4 -0.3 -0.2 -0.1 0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5
Component 1

Gambar 5. Grafik Plot PLS Loading Stasiun BMKG di Provinsi Bengkulu

Sedangkan prediktor geopotential Persamaan model yang dibangun


height (1) dan cloud water (9) tidak memiliki menggunakan metode PLSR pada masing-
dampak yang signifikan. Prediktor masing stasiun disubtitusikan dengan nilai
temperature (2), dan ozone mixing ratio (10) variabel bebas yang sama dengan variabel
memiliki koefisien standar di bawah 0,2 dan bebas pembangun model yang diperoleh dari
dampak negatif terbesar terhadap komponen data CFSv2-Analysis. Berikut di bawah ini
pembentuk model curah hujan bulanan di adalah grafik perbandingan jumlah curah
masing-masing stasiun. hujan bulanan hasil perhitungan persamaan
PLS loading plot pada Gambar 5 model dengan observasinya dari bulan April
membandingkan pengaruh variabel terhadap 2011 sampai Desember 2014.
komponen. Variabel potential height Gambar 6 menunjukkan bahwa pola
(HGT850) dan absolute vorticity (ABSV850) grafik curah hujan bulanan yang diperoleh
memiliki garis yang pendek, yang dari model analisis CFSv2 menunjukkan
menunjukkan bahwa mereka memiliki x- kesesuaian dengan observasi di Stasiun
loading rendah serta memiliki pengaruh yang Klimatologi, Stasiun Meteorologi, dan
kecil terhadap komponen 1 dan komponen 2. Stasiun Geofisika di Provinsi Bengkulu.
Variabel u wind (UGRD850) dan temperature Secara dominan pola curah hujan model
(TMP850) memiliki pengaruh yang besar mengikuti pola observasinya tetapi terdapat
terhadap komponen 1 dan komponen 2 di beberapa pola di beberapa bulan tertentu
mana u wind (UGRD850) memiliki pengaruh yang tidak mengikuti pola observasi atau
positif terhadap komponen 1 dan 2, memiliki eror yang cukup besar.
sedangkan temperature (TMP850) memiliki Gambar 7 menunjukkan bahwa pola
pengaruh negatif terhadap komponen 1 dan grafik rata-rata curah hujan bulanan yang
2. Variabel v wind (VGRD850) memiliki diperoleh dari Model CFSv2 Analysis
pengaruh positif terhadap komponen 2 menunjukkan kesesuaian dengan observasi di
namun memiliki pengaruh yang negatif Stasiun Klimatologi, Stasiun Meteorologi,
terhadap komponen 1. Variabel relative dan Stasiun Geofisika di Provinsi Bengkulu.
humidity (RH850), pressure vertical velocity Secara dominan, pola grafik rata-rata curah
(VVEL850), specific humidity (SPFH850), dan hujan bulanan yang diperoleh dari Model
cloud water (CLWMR850) memiliki pengaruh CFSv2 hampir mengikuti pola observasinya
positif terhadap komponen 1 namun memiliki pada setiap bulan. Namun ada beberapa titik
pengaruh yang negatif terhadap komponen 2. fase yang tidak sesuai dengan nilai
observasinya, contoh pada bulan Juni di
3.1.2 Curah Hujan Bulanan Model dan Stasiun Klimatologi ketika nilai curah hujan
Observasi model turun, nilai observasinya justru naik.

88
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Gambar 6. Grafik berturut-turut dari atas ke bawah perbandingan Curah Hujan Bulanan Model
CFSv2-Analysis dan Observasi Stasiun BMKG di Provinsi Bengkulu

89
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Gambar 7 Grafik berturut-turut dari atas ke bawah Perbandingan Rata-Rata Curah Hujan Bulanan
Model CFSv2-Analysis dan Observasi Stasiun BMKG di Provinsi Bengkulu.

90
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Gambar 8 Grafik Perbandingan Curah Hujan Prediksi dengan obervasi (Januari-Juli 2015) di
Stasiun BMKG di Provinsi Bengkulu

91
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

3.1.3 Verifikasi Curah Hujan Model dari Setelah mendapatkan nilai prediksi
CFSv2 Analysis curah hujan bulanan seperti Tabel 2,
Tabel 2 menunjukkan bahwa selanjutnya prediksi curah hujan bulanan
hubungan antara curah hujan bulanan hasil dengan input data CFSv2 Forecast
model CFSv2 Analysis terhadap curah hujan ditampilkan dalam bentuk grafik sebagai
bulanan observasi cukup kuat, signifikan, dan berikut :
searah sebesar 0.77 untuk Stasiun Gambar 8 menunjukkan bahwa pola
Klimatologi Bengkulu, 0.72 untuk Stasiun grafik curah hujan prediksi menggunakan
Meteorologi Bengkulu, dan 0.88 untuk model persamaan yang dibangun dari CFSv2
Stasiun Geofisika Bengkulu. analysis memiliki kesesuaian dengan
Nilai RMSE dari curah hujan bulanan observasinya khususnya di Stasiun
hasil model analisis CFSv2 terhadap Meteorologi dan Stasiun Geofisika
observasinya terbesar terdapat pada Stasiun Bengkulu.
Klimatologi Bengkulu sebesar 101.7245,
diikuti nilai RMSE Stasiun Meteorologi 3.1.5 Verifikasi Prediksi Curah hujan
Bengkulu sebesar 104.214, dan nilai RMSE Bulanan
terkecil terdapat pada Stasiun Geofisika Verifikasi dilakukan untuk
Bengkulu sebesar 75.04455. menunjukkan seberapa besar tingkat
keakuratan prediksi curah hujan
Tabel 2 Nilai RMSE dan Korelasi Curah menggunakan model berdasarkan nilai
Hujan Model terhadap Observasi korelasi dan RMSE antara data hasil prediksi
Nilai STAKLIM STAMET STAGEOF dengan data observasinya. Model prediksi
yang bagus akan ditunjukkan dengan nilai
RMSE 101.7245 104.214 75.04455 RMSE yang mendekati angka nol dan nilai
r 0.77 0.72 0.88 korelasi yang mendekati angka satu.
Berdasarkan hasil prediksi yang
3.1.4 Prediksi Curah Hujan Bulanan didapat dan dibandingkan dengan data
Tabel 3 merupakan hasil prediksi observasinya, berikut di bawah ini
curah hujan model dari Bulan Januari 2015 merupakan nilai korelasi dan RMSE bulan
sampai dengan Bulan Juni 2015 : Januari 2015 sampai dengan Juli 2015 :

Tabel 3 Prediksi Curah Hujan Januari – Juni Tabel 4 Nilai RMSE dan Korelasi Curah
2015 dan observasi Hujan Prediksi terhadap Observasi
Curah Curah Curah Nilai Staklim Stamet Stageof
Hujan Hujan Hujan
Staklim Stamet Stageof RMSE 129 67 106
(mm) (mm) (mm) R 0.65 0.94 0.94
BULA
PREDIKSI

PREDIKSI

PREDIKSI

N Nilai RMSE pada Tabel 4


OBS

OBS

OBS

menunjukkan besarnya error antara curah


hujan prediksi dengan observasinya. Nilai
55 RMSE yang terbesar ditunjukkan pada
JAN 304 579 524 587 756 Stasiun Klimatologi Bengkulu yaitu 129
7
23 diikuti nilai RMSE yang terkecil masing-
FEB 411 270 321 293 336 masing ditunjukkan pada Stasiun Geofifika
3
31 Bengkulu yatu 106 dan Stasiun Meteorologi
MAR 201 245 178 236 253
9 Bengkulu yaitu 67.
APR 338 351 385 342
33
404
Curah hujan prediksi dan observasinya
5 memiliki tingkat korelasi yang tinggi di atas
13 0.90 untuk Stasiun Meteorologi dan Stasiun
MAY 55 196 50 195 195
4 Geofisika Bengkulu. Sedangkan korelasi
JUN 164 181 163 177 61 169 Staklim merupakan nilai yang terendah dari
dua stasiun lainnya, yaitu 0.65.
JUL 40 61 25 44 46 -23
3.2 Pembahasan

92
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Model optimal yang didapatkan hujan bulanan paling bagus pada periode
dengan menggunakan metode PLSR, yang tersebut ada prediksi curah hujan di Stasiun
didefinisikan sebagai model dengan Meteorologi dengan pola yang sesuai,
kemungkinan prediksi tertinggi, adalah korelasi yang sangat tinggi, dan RMSE yang
model dengan menggunakan dua komponen paling kecil dengan observasinya dibanding
utama di mana model tersebut signifikan dua stasiun lainnya. Untuk prediksi curah
untuk digunakan di ketiga Stasiun BMKG di hujan bulanan di Stasiun Geofisika juga
Provinsi Bengkulu dilihat dari P-value yang bagus dilihat dari polanya yang sesuai dan
berada di bawah 0.05. Model yang dibangun nilai korelasi yang sama tinggi meskipun
memiliki kemampuan untuk memprediksi memiliki RMSE yang cukup tinggi dari
curah hujan bulanan. Model tersebut observasinya. Sedangkan prediksi curah
dimungkinkan paling bagus digunakan untuk hujan bulanan di Stasiun Klimatologi
melakukan prediksi di Stasiun Geofisika di menunjukkan korelasi yang paling rendah
mana R2-prediksi terbesar ditunjukkan oleh dengan observasinya dari dua stasiun lainnya
model pada stasiun tersebut. Model PLS dan RMSE yang masih besar.
dengan dua komponen memprediksi data
yang jauh lebih akurat daripada yang
diprediksi oleh model LS dengan sepuluh 4. KESIMPULAN
komponen utama, terbukti dari R2-prediksi Berdasarkan hasil dan pembahasan
model PLS yang jauh lebih besar sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa:
dibandingkan R2-prediksi pada model LS. 1. Model optimal yang dibentuk dari
Dari grafik keluaran Minitab 16 input data CFSv2 Analaysis sebagai
didapatkan analisa bahwa kemampuan variabel bebas dan curah hujan
prediksi terbaik menggunakan dua komponen bulanan observasi sebagai variabel
di mana kemampuan prediksi dari semua terikat adalah model dengan
model dengan lebih dari tiga komponen menggunakan dua komponen utama.
menurun secara signifikan, termasuk model 2. Variabel iklim yang paling
LS dengan sepuluh komponen. Model yang berpengaruh pada kedua komponen
dibangun menggunakan dua komponen pembangun model optimal adalah
tersebut memiliki kesesuaian dengan data variabel gradien angin zonal 850 mb
obervasinya khususnya ditunjukkan pada (UGRD850) yang berpengaruh
Stasiun Geofisika Bengkulu. positif dan temperatur 850 mb
Model menemukan bahwa variabel (TMP850) yang berpengaruh negatif.
pada ketinggian 850 mb yaitu gradien angin 3. Berdasarkan nilai korelasi dan
zonal memiliki pengaruh besar yang positif RMSE, model optimal paling bagus
terhadap komponen satu dan dua, sedangkan dilakukan di Stasiun Geofisika
variabel pada ketinggian 850 mb yaitu dengan nilai korelasi 0.88 dan nilai
temperature memiliki pengaaruh besar yang RMSE 75, lebih baik daripada
negatif terhadap komponen satu dan dua. Stasiun Klimatologi dengan nilai
Model yang dimungkinkan bagus korelasi 0.77 dan nilai RMSE 101
untuk prediksi curah hujan Stasiun Geofisika serta Stasiun Meteorologi dengan
ternyata memiliki korelasi yang cukup kuat nilai korelasi 0.72 dan RMSE 104.
dan RMSE yang paling sedikit dibandingkan 4. Berdasarkan nilai korelasi dan
dengan dua stasiun lainnya ketika diinputkan RMSE, prediksi curah hujan bulanan
data CFSv2 Analysis. Namun model tersebut paling bagus di Stasiun Meteorologi
juga cukup bagus digunakan di Stasiun dan Geofisika dengan nilai korelasi
Klimatologi dan Geofisika dengan korelasi di atas 0.9 dan nilai RMSE berturut-
yang cukup tinggi meskipun dengan RMSE turut 67 dan 106, lebih baik daripada
yang tinggi. prediksi curah hujan bulanan di
Hasil akhir dari penelitian ini yaitu Stasiun Klimatologi Bengkulu
mendapatkan prediksi curah hujan bulanan dengan nilai korelasi 0.65 dan RMSE
dari bulan Januari 2015 sampai dengan bulan 129.
Juni 2015 menggunakan model dengan input
data CFSv2 Forecast. Berdasarkan analisa
pola dan statistik sederhana, Prediksi curah

93
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

DAFTAR PUSTAKA dalam Statistical Downscaling.


Bergant, K. dan Kajfez-Bogataj, L. 2005. N- Prosiding Seminar Nasional Sains II.
PLS Regression as Empirical Bogor.
Downscaling Tool in Climate Change Wilby, R.L. dan Wigley, T.M.L. 1997.
Studies. Theor. App. Climatol, 81: 11- Downscaling General Circulation
23. Model Output: A Review of Methods
Paul, S. dkk. 2008. Development of A and Limitations. Progress in Physical
Statistical Downscaling Model for Geography, 21, 548
Projecting Monthly Rainfall Over East Wold S, dkk. 2001. PLS Regression : A
Asia from A General Circulation Basic Tool of Chemometrics.
Model Output. Journal of Geophysical Chemometrics and Intelligent
Research, Vol. 113, d15117, Laboratory Systems, 58: 109–130.
doi:10.1029/2007jd009472. Wilks, D.S. 2006. Statistical Method in the
Riduwan, 2005. Rumus dan Data Dalam Atmospheric Science. International
Analisis Statistika. Alfabeta, Bandung. Geophysics Series Second Edition,
Saha, S. dkk. 2012. The NCEP Climate Vol. 91
Forecast System Version 2. J. Climate,
27, 2185–2208. Pustaka dari Situs Internet
Swarinoto, Y.S. dan Wigena, A.H. 2011. NOAA. 2011. Climate Forecast System
Statistical Downscaling Suhu Muka Version 2 (cfsv2) [online].
Laut Global untuk Prediksi Total http://www.ncdc.noaa.gov/data-
Hujan Bulanan Menggunakan Teknik access/model-data/model-
PLS. Jurnal Meteorologi dan datasets/climate-forecast-system-
Geofisika vol. 12 no. 1: 9 - 19 version2-cfsv2, diakses tanggal 5 Juni
Tjasyono, B.H.K. 1999. Klimatologi umum. 2015.
ITB. Bandung. Wang, J. dkk. 2002. Facial Feature Point
Yuan, X. dkk. 2011. A First Look at Climate Extraction by Partial Least Square
Forecast System version 2 (CFSv2) for Regression [online].
Hydrological Seasonal Prediction. An http://citeseer.ist.psu.edu/wang02facia
Agu Journal. l.htm, diakses tanggal.15 Juni 2015.
Wigena, A.H. (2009, Oktober). Penggunaan
Regresi Kuadrat Terkecil Parsial

94
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

STUDI PENDAHULUAN MIKROZONASI KOTA TANGERANG


SELATAN MELALUI ANALISIS NILAI VS-30 DAN PERIODE
DOMINAN
Bagus Adi Wibowo1,a), Ariska Rudiyanto2, Gunawan Ibrahim1,
Yusuf Haidar Ali1, Alexander Taufan Felix Perreira1, Trismahargyono1
1
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
2
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Jakarta
E-mail: bagusadiwibowo1993@gmail.com

ABSTRAK
Telah dilakukan suatu studi awal mikrozonasi di daerah Kota Tangerang Selatan melalui analisis
nilai Vs-30 dan Periode dominan. Untuk pengambilan dan pengolahan data Vs-30 digunakan
metode MASW (Multi Analysis Surface Wave) menggunakan PASI Multichannel Seismograph
tipe 16S24U di 8 (delapan) titik penelitian yang tersebar di wilayah Kota Tangerang Selatan. Hasil
perekaman multichannel ini kemudian diolah menggunakan software Geopsy hingga menghasilkan
model kecepatan Shear Velocity 1-D pada tiap titik penelitian. Untuk pengambilan data periode
dominan sendiri menggunakan peralatan TDS (Taide Digital Seismograph) dengan digitizer tipe
TDL-303 dan seismometer tipe DS-4A Short Period Seismograph dengan durasi perekaman
selama 30-60 menit. Pengolahan data mikrotremor hingga memperoleh nilai Periode Dominan
pada tiap titik dengan Metode HVSR (Horizontal to Vertical Spectrum Ratio) melalui bantuan
software Geopsy. Dari hasil Vs-30 dan Periode Dominan yang didapatkan dapat ditentukan kelas
tanah (site class) tiap lokasi penelitian dan sebaran nilai Vs-30 dan Periode Dominan di Kota
Tangerang Selatan.Dari penelitian yang dilakukan diketahui lokasi Serpong Utara memiliki nilai
Vs-30 tertinggi jika dibandingkan dengan ketujuh titik yang lain (318.5390393 m/s) dan
berkategori tanah D sedang lokasi Lokasi Ciputat memiliki nilai Vs-30 terendah dari ketujuh titik
yang lain (124.7685506 m/s) dan berkategori E. Dari peta sebaran nilai Vs30 sendiri diketahui
bahwa rentang nilai kecepatan Vs-30 di Kota Tangerang Selatan berkisar antara 120-320 m/s.
Kemudian melalui Periode Dominan diketahui Lokasi Kantor Kecamatan Serpong memiliki
periode dominan tertinggi (0.3651 sekon) dibanding ketujuh titik lainnya. Sedang Lokasi Kantor
Kecamatan Serpong Utara memiliki periode dominan terendah (0.0862 sekon). Dari peta sebaran
periode dominan di Kota Tangerang Selatan, diketahui bahwa nilai periode dominan di Kota
Tangerang Selatan berkisar antara 0.08-0.36 sekon.

Kata Kunci: Mikrozonasi, Vs-30, MASW, PASI, Geopsy, Periode Dominan, TDS

ABSTRACT
A preliminary microzonation study was held in South Tangerang City region through the analysis
of Vs-30 and Dominant Period Values. Vs-30 values was acquired from MASW (Multi Analysis
Surface Method) Survey. The survey used PASI Multichannel Seismograph Type 16s24u in 8
(eight) different location around the South Tangerang City. After acquiring the data, the
multichannel recording data was processed using Geopsy software to produce the 1-D Model of
Shear Velocity in 30 meters depth. To get dominant period values for South Tangerang city, We
held microtremors surveys also in 8 (eight) different locations around South Tangerang City using
TDS (Taide Digital Seismograph) that consisted by TDL-303 Digitizer and DS-4A Short Period
Seismometer, with the duration of microtremor recording in each site are about 30-60 minutes.
The HVSR (Horizontal to Vertical Spectrum Ratio) was used to determine the Dominant Period
values for the sites. From the Vs-30 and Dominant Period values we are able to determine the
class of each site and the spatial distribution of Vs-30 and Dominant Period Values in South
Tangerang City.From the Vs-30’s results, The North Serpong Site had the highest Vs-30 values if
compared with the other sites (318.5390393 m/s), and categorized as the D Class site. Ciputat site
owned the lowest Vs-30 values (124.7685506 m/s) and categorized as the E Class Site. The range
of Vs-30 values in South Tangerang from the Vs-30 spatial distribution map are about 120-320

95
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

m/s. Then from the Dominant Period’s results, Serpong District Office site had high dominant
period (0.3651 seconds) if compared with the other sites. Contrary with Serpong District Office,
North Serpong District Office had the lowest dominant period (0.082 seconds) if also compared
with other sites. The range of dominant period values in South Tangerang from the Dominant
Period spatial distribution map are about 0.08-0.36 seconds.

Keyword: Microzonation, Vs-30, MASW, PASI, Geopsy, Dominat Period, TDS

memiliki kecepatan propagasi yang berbeda-


1. PENDAHULUAN beda memberikan panjang gelombang yang
Daerah sekitar kampus STMKG berbeda (λ) untuk setiap frekuensi yang
merupakan daerah pemukiman padat terpropagasikan. Sifat-sifat ini disebut
penduduk, dalam Kota Tangerang Selatan, sebagai dispersi. Untuk menghasilkan profil
Banten, berbatasan dengan Jakarta Selatan, Vs secara umum dibagi atas 3 tahap: akuisisi
DKI Jakarta.. Menurut peta kepadatan data waveform lapangan, pembuatan kurva
penduduk per provinsi Indonesia yang dirilis dispersi (plot kecepatan fase terhadap
oleh BNPB, untuk daerah DKI Jakarta dan frekuensi) dan inversi model kecepatan Vs
Banten saja kepadatan penduduknya >1.000 dari kurva dispersi yang dihitung (Gambar
jiwa/km2 (Gambar 1). Untuk Kota Tangerang 2).
Selatan sendiri, ditahun 2013 jumlah Kecepatan rata-rata gelombang S
penduduknya secara keseluruhan telah pada kedalaman 30 meter dituliskan sebagai
mencapai 1.443.403 jiwa yang terbagi dalam Vs30 dan dihitung dengan membagi 30 meter
7 kecamatan. Karena itu dipandang perlunya dengan waktu tempuh dari permukaan ke
pembuatan studi awal mikrozonasi Kota kedalaman 30 meter, seperti pada persamaan
Tangerang Selatan bertujuan untuk upaya (1):
mitigasi dan pengurangan dampak korban
jiwa dan materi dari gempabumi
menggunakan klasifikasi jenis tanah melalui
analisis sebaran nilai Vs-30 dan Periode hiadalah ketebalan lapisan dan vi
Dominan. kecepatan gelombang S pada layer N yang
Secara umum daerah Kota ada pada kedalaman 30 meter. N adalah
Tangerang Selatan tersusun atas batuan lapisan kesekian yang ada pada kedalaman
sedimen dari era pleistosen serta endapan 30 meter hasil dari pemodelan 1-D shear
sungai dan pantai (Rencana Tata Ruang velocity. Pengkarakteristikan tanah seperti
Wilayah Provinsi Banten, 2013). pada kode-kode seismik tersebut
Pengambilan nilai Vs-30 menggunakan dikembangkan sebagai akibat dari
metode Multi Analysis Surface Waves gempabumi kuat yang pernah terjadi di
(MASW), metode seismik yang digunakan Benua Amerika, Eropa, Jepang dan negara-
untuk mengidentifikasi karakter geoteknik negara lainnya. Secara umum parameter yang
material dekat permukaan. menggunakan ada pada seismic code mendeskripsikan
receiver dengan jumlah tertentu yang karakteristik tanah dan faktor amplifikasi
dibentangkan pada satu garis lurus dengan spektralnya (Satyam dkk,2008)
jarak tertentu antar tiap receiver, dan tiap The National Earthquake Reduction
receiver itu terhubung sebagai channel Program of the United States (NEHRP)
perekam tersendiri. Pada metode ini merekomendasikan klasifikasi tanah dan
digunakan sumber seismik vertikal dari suatu batuan pada suatu lokasi berdasarkan 3
sumber seismik (palu) untuk menghasilkan skema geoteknik yakni average shear
gelombang permukaan Rayleigh, yang strength (Cu), average standar blow
merupakan komponen dasar pada ground count(N) pada kedalaman 30 meter dan
roll. Diasumsikan dari variasi perubahan average shear velocity pada kedalaman 30
kecepatan secara vertikal, setiap komponen meter ( (Tabel 1).
frekuensi (f) pada gelombang permukaan

96
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Gambar 1. Peta kepadatan penduduk diIndonesia per provinsi (http://geospasial.bnpb.go.id)

Gambar 2. Contoh hasil perekaman multichannel pada satu dataset, kurva dispersi, dan hasil
inversi dari kurva dispersi yang dibuat sebelumnya (Park dkk, 2001)

Karena korelasinya terhadap Tabel 1. Identifikasi tanah dan deskripsi


karakteristik amplifikasi tanah, umum berdasarkan nilai
merupakan pendekatan yang paling kecepatan Vs30 (Motazedian dkk
multi fungsi. Klasifikasi karakteristik 2011)
amplifikasi tanah memungkinkan penafsiran
kualitatif pembaharuan kualitas bangunan Kelas Deskripsi Kecepatan
lama yang tahan gempabumi dan juga untuk Umum (m/s)
perencanaan bangunan baru dan juga A Batu Keras >1500
penaksiran untuk infrastruktur vital (jalur B Batu Keras 760-1500
pipa gas, pengairan, pembangkitan energi C Tanah Sangat 360-760
listrik) dan infrastruktur transportasi (jalur Padat dan
kereta api, jalan bebas hambatan, dan Batuan Lunak
sebagainya) (Motazedian dkk,2011). D Tanah Kaku 180-360
E Lempung <180
lembut
F Tanah spesifik
terinvestigasi
geoteknik

97
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Multichannel Seismograph Type 16s24U


Mikrotremor adalah getaran ambient dengan 24 buah geofon, sedangkan untuk
dari tanah yang terjadi karena penyebab Mikrotremor digunakan Taide Digital
alamiah atau gangguan buatan seperti angin, Seismograph (TDS) Triaxial Tipe DS-4A
gelombang laut, lalu lintas, dan mesin dengan digitizertipe TDL-303 (Gambar 5).
industri. Level amplitudo pada mikrotremor
kurang dari beberapa mikron. Seismometer Tabel 2. Rentang nilai periode dominan (s)
dengan sensitivitas tinggi digunakan pada terhadap kelas tanah menurut NEHRP (Zhao
pengukuran mikrotremor. Mikrotremor dkk 2004)
sendiri diaplikasikan untuk menentukan
karakteristik dinamis seperti periode Kelas Deskripsi Periode
dominan dan faktor amplifikasi dari suatu Dominan (s)
lapisan sedimen (Motamed dkk, 2004). A+B Batuan/batuan 0.2 s
Keadaan geologi pada permukaan dangkal kaku
sangat mempengaruhi respon tanah terhadap C Tanah Keras 0,2 Tg<0,4
aktivitas gempabumi yang terjadi. D Tanah medium 0,4 Tg<0,6
Analisis mikrotremor untuk E Tanah Lunak Tg>0,6
penelitian respon tanah dilakukan dengan
penerapan metode Horizontal To Vertical Koordinat geografis titik pengamatan
Spectrum Ratio (HVSR), salah satu metode mikrotremor dituliskan pada Tabel 3 dan
pengolahan data Mikrotremor untuk koordinat titik pengamatan MASW/Vs-30
menentukan karakteristik dinamis seperti pada Tabel 4. Lokasi titik penelitian kedua
periode dominan dan faktor amplifikasi dari metode tersebut berbeda, mengingat metode
suatu lapisan sedimen (Motamed dkk, 2004) MASW memerlukan lintasan yang cukup
dengan mengukur bising pada suatu tempat panjang yang tidak terdapat pada semua titik
pada 3 komponen arah sekaligus yakni penelitian, jarak antar geofon 2 meter dengan
Utara-Selatan, Timur-Barat dan Vertikal 2 titik pembangkitan sumber seismik berjarak
yang menghasilkan perbandingan frekuensi masing-masing 2 meter dari geofon paling
dominan pada ketiga komponen tersebut, depan dan paling belakang (Gambar
didasarkan pada asumsi komponen vertikal 4).Perekaman data mikrotremor dilakukan
tidak teramplifikasi pada frekuensi dengan durasi selama 30-60 menit untuk tiap
fundamental (fHO). Rasio H/V pada batuan lokasi.
sama dengan 1 pada fHO, dan β lebih kecil Untuk pengolahan data, baik data
dari satu pada fHO dan βAs(fHO) juga lebih mikrotremor dan MASW, digunakan
kecil dari HT(fHO). Nantinya nilai frekuensi perangkat lunak Geopsy. Pengolahan data
dominan ini di ubah menjadi nilai Periode MASW pertama-tama menggunakan tools F-
Dominan dengan menggunakan persamaan: K Linear Active untuk mengubah hasil
T=1/f0 (2) perekaman seismograph multichannel yang
masih dalam domain Jarak vs Waktu menjadi
dimana T adalah nilai periode yang dicari dan suatu Kurva Dispersi (Kecepatan Fase vs
f0adalah nilai frekuensi input hasil Frekuensi). Pada kurva dispersi tersebut lalu
pengolahan dengan metode HVSR dilakukan picking pada suatu pola mode
(Butarbutar, 2014). Rentang periode dominan gelombang Rayleigh. Hasil picking ini lalu
menurut NEHRP untuk penentukan digunakan sebagai data input proses
klasifikasi tanah dijelaskan pada Tabel 2 pemodelan Shear Velocity 1-D sedalam 30
(Zhao dkk, 2004) meter melalui tools dinver yang juga ada
dalam Geopsy.
2. DATA DAN METODE Untuk Pengolahan data mikrotremor
Lokasi penelitian (Gambar 3) berada digunakan toolsH/V pada Geopsy. Terlebih
di daerah Kota Tangerang Selatan, yang dahulu rekaman mikrotremor yang ada dalam
terbagi atas 8 titik penelitian, dimana 7 titik domain waktu dibagi dalam time windowing
pertama mewakili pembagian wilayah ini dengan durasi waktu tertentu, lalu diubah ke
dalam 7 kecamatan ditambah 1 titik di dalam domain frekuensi melalui transformasi
STMKG. Peralatan yang digunakan pada fourier.Kemudian dilakukan perbandingan
pengambilan data MASW adalah PASI

98
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

antara komponen Horizontal (H) dan 106,64-106,74 BT. Ukuran grid pada peta
Komponen Vertikal (V) terhadap frekuensi sebaran spasial ini adalah 100x98 dengan
untuk memperoleh nilai periode dominan total titik data hasil interpolasi sebanyak
pada lokasi tersebut. 9800 titik. Jarak spasi minimum antar titik
Setelah didapatkann nilai Vs-30 dan (secara mendatar dan horizontal) sebesar
Periode Dominan beserta klasifikasi tanah 0,001. Dari peta sebaran inilah dapat
masing-masing lokasi pengambilan data, diketahui rentang nilai kecepatan Vs-30 dan
dibuatlah suatu peta sebaran spasial dengan rentang nilai periode dominan di Kota
menginterpolasi data menggunakan Tangerang Selatan.
Surfer.Grid menggunakan metode Kridging,
pada suatu luasan wilayah yang dibatasi pada
koordinat geografis 6,36-6,24 LS dan

(a) (b)
Gambar 3. Lokasi pengambilan data menggunakan (a) data mikrotremor dan (b) data MASW.
Garis merah menunjukkan batas wilayah Kota Tangerang Selatan. Simbol warna
kuning menandakan lokasi penelitian (Google Earth, 2014)

Gambar 4. Konfigurasi lintasan pada survei MASW (gambar tidak menunjukkan skala
sebenarnya)

99
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Gambar 5. Alat PASI 16S24-U dan Perioide Dominan (TDS)

Tabel 3 . Titik pengambilan data periode dominan di Kota Tangerang Selatan


mikrotremor. (Gambar 7), diketahui bahwa nilai periode
Nama Titik Lintang (°) Bujur (°) dominan di Kota Tangerang Selatan berkisar
antara 0,08-0,36 sekon. Bagian utara Kota
Setu -6.328 106.672306 Tangerang Selatan menunjukkan sebaran
Serpong -6.314778 106.661474 nilai periode dominan yang cukup rendah,
Pamulang -6.344639 106.734722 0,08-0,2 sekon, Dibagian selatan sendiri
Ciputat -6.290528 106.729361 sebaran nilainya 0,21-0,36 sekon.
Ciputat Timur -6.288694 106.746167 Selanjutnya, dari model 1-D Shear
Pondok Aren -6.274611 106.692278 Velocity dari kedelapan titik penelitian yang
Serpong Utara -6.256250 106.662306
ada, diketahui bahwa lokasi Serpong Utara
STMKG -6.265345 106.748521
memiliki nilai Vs-30 tertinggi jika
dibandingkan dengan ketujuh titik yang lain
(318.5390393 m/s) dan berkategori tanah D.
Tabel 4 . Titik pengambilan data Vs30 Sebaliknya, Lokasi Ciputat memiliki nilai
Nama Lokasi Lintang (°) Bujur
Vs-30 terendah dari ketujuh titik yang lain
(°)
(124.7685506 m/s) dan berkategori E. Untuk
Ciputat -6.290528 106.729361
Ciputat (Pertamina) -6.285772 106.743206
klasifikasi kelas tanah masing-masing lokasi
Pamulang (Pac Kuda) -6.331752 106.739365 digunakan rentang nilai kecepatan shear
Pondok Aren -6.274611 106.692278 velocity pada kedalaman 30 meter pada
Serpong (Bappeda) -6.300286 106.661472 Tabel 1. Dari peta sebaran nilai Vs30 sendiri
Serpong Utara -6.25625 106.662306 (Gambar 6), diketahui bahwa rentang nilai
Setu (LIPI) -6.351639 106.673944 kecepatan Vs-30 di Kota Tangerang Selatan
STMKG -6.265345 106.748521 berkisar antara 120-320 m/s. Yang
membedakan peta sebaran Vs-30 dengan peta
3. HASIL DAN PEMBAHASAN sebaran periode dominan di Kota Tangerang
Hasil nilai Vs-30 dan Periode Selatan adalah wilayah sebaran nilainya.
Dominan serta klasifikasi site masing-masing Pada peta sebaran Vs-30, rentang
lokasi dituliskan pada Tabel 5 dan Tabel 6. nilai Vs-30 rendah terpusat dibagian tengah
Peta Sebaran Vs-30 dan Periode Dominan Kota Tangerang Selatan, berkisar antara 120-
digambarkan pada Gambar 6 dan Gambar 7. 180 m/s. Rentang nilai ini dideskripsikan
Untuk nilai periode dominan dari kedelapan pada Tabel 1 sebagai wilayah dengan
titik pengambilan data yang dilakukan, keadaan tanah dengan lempung yang lembut.
diketahui bahwa Lokasi Kantor Kecamatan Untuk rentang nilai agak tinggi terdapat pada
Serpong memiliki periode dominan tertinggi daerah Barat Laut Kota Tangerang Selatan,
(0.3651 sekon) dibanding ketujuh titik berkisar antara 250-320 m/s. Rentang nilai
lainnya dan Lokasi Kantor Kecamatan ini dideskripsikan sebagai wilayah dengan
Serpong Utara memiliki periode dominan keadaan tanah yang kaku. Rentang kecepatan
terendah (0.0862 sekon). Dari peta sebaran Shear Velocity yang digambarkan pada peta

100
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

sebaran diatas berkesesuaian dengan kondisi memilih rentang kemiringan yang


geologis daerah Kota Tangerang Selatan, memaksimalkan korelasi terhadap observasi
yakni terdiri dari endapan sungai dan pantai kecepatan shear velocity dangkal dapat
berupa top soil, soil, pasir, kerikil tak jenuh, dihasilkan peta site condition yang
alluvium dan clay. Kecocokan ini juga menunjukkan variasi spasial Vs-30. Awalnya
dikuatkan dengan hasil Vs-30 di beberapa peta spasial tersebut dikembangkan untuk
titik penelitian, dimana lokasi penelitan wilayah Amerika Serikat dan Italia, lalu
tersebut berkategori E. Kategori E sendiri dicoba diterapkan ke negara-negara lain.
dideskripsikan sebagai tanah dengan profil Melalui peta Vs-30 Indonesia, untuk daerah
lempung yang lembut. Adapun lokasi Jabodetabek (Kotak Oranye pada Gambar 8)
pengambilan data Vs-30 yang berkategori E rentang kecepatan Vs-30 nya berkisar antara
(pada Tabel 5) antara lain Ciputat, Pamulang 180-360 m/s, dimana kategori kelasnya, yang
(Lokasi Pacuan Kuda), dan Serpong (Kantor juga menggunakan kategori site class
Bappeda Kota Tangerang Selatan). NEHRP, berkisar antara kelas tanah E hingga
Sedangkan kelima lokasi lain yakni Serpong D. Pada Gambar 9 dapat dilihat Model
Utara, Ciputat Timur (Komplek Pertamina), Kecepatan 1-D Shear Velocity kedalaman 30
Pondok Aren, STMKG dan Setu (Komplek meter pada tiap lokasi penelitian
Pustek LIPI Setu) berkategori D.
Kemudian, jika memperhatikan
model kecepatan 1-d yang ada pada tiap Tabel 5. Hasil Pengolahan Data Vs30 pada
lokasi pengambilan data (Lampiran), lokasi penelitian
diketahui bahwa tidak ada model kecepatan Nama Lokasi Shear Kategori
yang sama. Hal ini terjadi karena respon Velocity
lokasi yang ditunjukkan pada kurva (m/s)
dispersinya pun tidak sama. Meski input Ciputat 124.7685506 E
pemodelan inversinya telah sama, namun Ciputat Tmur (Pertamina) 281.6325217 D
data input dari tiap lokasi, yang berupa nilai Pamulang (Pacuan Kuda) 168.22378 E
picking frekuensi vs kecepatan fase berbeda- Pondok Aren 233.0202427 D
Serpong (Bapeda Tangsel) 146.6296199 E
beda. Rentang nilai Vs-30 yang didapat dari
Serpong Utara 318.5390393 D
hasil pengukuran lapangan di Kota 235.3239054 D
Setu (Pustek LIPI Setu)
Tangerang Selatan ternyata berkaitan pula
dengan nilai Vs-30 yang dihasilkan oleh
USGS (United States Geological Survey), Tabel 6. Hasil Pengolahan Data Periode
yakni Wald dkk (2007). Dijelaskan oleh Dominan pada lokasi penelitian
Wald dkk (2007). Nama Lokasi Frekuensi Periode
Dominan Dominan
Pada Peta Vs-30 USGS ini (Gambar
(Hz) (s)
8), dihasilkan dari penurunan satu kali peta
Ciputat 5.54757 0.1803
kondisi lokasi dari data topografi dan Ciputat Tmur (Pertamina) 3.54007 0.2825
pengukuran Vs-30. Nilai Vs-30 ini lalu Pamulang (Pacuan Kuda) 2.92012 0.3425
dikorelasikan terhadap kemiringan topografi Pondok Aren 8.15313 0.1227
untuk menghasilkan 2 set parameter yang Serpong (Bapeda Tangsel) 2.73861 0.3651
berasal dari Vs-30, parameter pertama untuk Serpong Utara 11.6041 0.0862
daerah dengan keadaan tektonik aktif dimana Setu (Pustek LIPI Setu) 5.20275 0.1922
bentuk relief topografi tinggi dan parameter STMKG 5.54757 0.1803
kedua untuk daerah tektonik yang stabil
dimana topografinya relatif datar. Kemudian,
dengan menggunakan gradien topografi dan

101
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

(a)

(b)
Gambar 6. Peta sebaran nilai Vs30 di Kota Tangerang Selatan tanpa overlay (a) dan dengan
overlay (b) Peta Kota Tangerang Selatan

102
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

(a)

(b)
Gambar 7. Peta sebaran nilai periode dominan di Kota Tangerang Selatan, (a) tanpa overlay dan
dengan overlay (b) Peta Kota Tangerang Selatan

103
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Gambar 8. Peta sebaran nilai Vs-30 menurut USGS (http://earthquake.usgs.gov)

Tangerang Selatan, diketahui bahwa nilai


4. KESIMPULAN periode dominan di Kota Tangerang
1. Lokasi Serpong Utara memiliki nilai Vs- Selatan berkisar antara 0,08-0,36 sekon.
30 tertinggi dibandingkan dengan ketujuh
titik yang lain (318.5390393 m/s) dan 5. SARAN
berkategori tanah D. Lokasi Ciputat Mengingat penelitian ini adalah
memiliki nilai Vs-30 terendah dari suatu penelitian awal upaya mikrozonasi di
ketujuh titik yang lain (124.7685506 m/s) Kota Tangerang Selatan, maka bisa
dan berkategori E. Rentang nilai dikatakan 8 titik yang mewakili satu dari
kecepatan Vs-30 di Kota Tangerang tujuh kecamatan yang tersebar di seluruh
Selatan berkisar antara 120-320 m/s, wilayah Kota Tangerang Selatan ini masih
rentang kecepatan Shear Velocity yang belum cukup memberikan akurasi rentang
digambarkan pada peta sebaran Vs-30 nilai terbaik, baik rentang nilai periode
Kota Tangerang Selatan (Gambar 15) dominan maupun Vs-30. Kedepannya
menunjukkan kesesuaian dengan kondisi diharapkan dapat dilakukan penelitian
geologis daerah Kota Tangerang Selatan lanjutan dengan jumlah titik penelitian yang
yang tersusun atas tanah kaku dan profil lebih banyak serta jarak antar titik yang lebih
tanah yang lembut, yang terdiri dari dekat dan sama jaraknya
endapan sungai dan pantai berupa top
soil, soil, pasir, kerikil tak jenuh, alluvium UCAPAN TERIMAKASIH
dan clay. Ucapan terimakasih disampaikan kepada
2. Lokasi Kantor Kecamatan Serpong Bapak Kepala BMKG, Bapak Ketua
memiliki periode dominan tertinggi STMKG, dosen pembimbing, segenap dosen
(0.3651 sekon) dibanding ketujuh titik dan pengajar, serta rekan-rekan sesama
lainnya. Lokasi Kantor Kecamatan taruna yang telah membantu penyelesaian
Serpong Utara memiliki periode dominan penelitian ini
terendah (0.0862 sekon). Dari peta
sebaran periode dominan di Kota

104
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Gambar 9. Model Kecepatan 1-D Shear Velocity kedalaman 30 meter pada tiap lokasi penelitian

Badan Nasional Penanggulangan Bencana


DAFTAR PUSTAKA Nasional Republik Indonesia, 2009,
Anonim, 2011, Laporan Akhir Pendugaan Peta Kepadatan Penduduk di
Geolistrik Untuk Menunjang Indonesia
Penyelidikan Geologi Teknik, PT. Butarbutar, N. P., 2014, Pemetaan Nilai
Andritechnindo Nilamtunggal, Jakarta Periode Dominan di Area Kampus
STMKG Pondok Betung Menggunakan

105
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Microtremor, Sekolah Tinggi Wave Velocity (MASW) Testing,


Meteorologi Klimatologi dan EDGE, Vol.13, Bund. L, 168
Geofisika, Jakarta Wibowo, B. A., 2014, Analisis Struktur
General Directorate of Disaster Management Batuan Bawah Permukaan
Republic of Turket, 2004, Seismic Menggunakan Metode Seismik
Microzonation for Municipalities Refraksi: Studi Kasus Kampus
Manual STMKG, Sekolah Tinggi Meteorologi
Ilyas, T., 2006,Mitigasi Gempa dan Tsunami Klimatologi Geofisika, Jakarta
di daerah Perkotaan, Seminar Bidang Wald, D. J., Allen, T. I., 2007, Topografic
Kerekayasaan Fakultas Teknik- Slope as a Proxy for Seismic Site
Universitas Sam Ratulangi, Manado Conditions and Amplification, Bulletin
Kearey, P., Brooks, M., Hill, I., 1984, An of Seismological Society of America,
Introduction of Geophysical Volume 97, Nomor 5, Hal 1379-1395
Exploration, Blackwell Science Zhao, J. X., Irikura, K., Zhang, J.,
Limited: Iowa State University Press Fukushima, Y., Sommerville, P. G.,
Motazedian, D., Hunter, J.A., Pugin, A., Asano, A., Saiki, T., Okada, H.,
Crow, H., 2010, Development of a Takahashi, T., 2004, Site
Vs30(NEHRP) map for the city of Classification for Strong-Motion
Ottawa, Ontario, Canada, NRS Stations in Japan Using H/V Response
Research Press, Canada Spectral Ratio, The 13th World
Motamed, R., Ghalandarzadeh, A., 2004, Conference on Earthquake
Seismic Microzonation of Urmia City Engineering, Vancouver, Canada
by Means of Microtremor
Measurements, The 13th World Pustaka dari Situs Internet
Conference on Earthquake BPS Kota Tangerang Selatan, 2014, Jumlah
Engineering, Vancouver, Canada Penduduk Kota Tangerang
Milsom, J., Field Geophysics, 1989, John Selatan,http://tangselkota.bps.go.id/ind
Wiley & Sons Ltd, London, United ex.php?hal=tabel&id=131, Diakses
Kingdom pada Desember 2014
Park, C. B., Miller R. D.,Xia, J., Ivanov, J.,
2001, Seismic Characterization Sites
By Multichannel Analysis of Surface
Waves (MASW) Method, Kansas
Geological Survey, University of
Kansas, Lawrence, Kansas, USA
Park, C. B., Miller, R. D., Xia, J., 2001,
Offset and Resolution of Dispersion
Curve in Multichannel Analysis of
Surface Waves (MASW), Kansas
Geological Survey, Lawrence, USA
Pemerintah Provinsi Banten, 2010, Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi Banten
2010-2030: Peta Geologi, Banten.
Sunardi, B., Ngadmanto, D., Hardy, T.,
Susilanto, P., Nurdiyanto, B., Kajian
Kerawanan Gempabumi Berbasis SIG
dalam Upaya Mitigasi Bencana: Studi
Kasus Kabupaten dan Kota Sukabumi,
2012, Seminar Nasional PJ dan SIG
Tahun 2012 Universitas
Muhammadiyah, Surakarta
Satyam, D. N., Rao, K. S., 2008, Seismic Site
Characterization in Delhi Region using
Multi Channel Analysis of Shear

106
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

PENERAPAN METODE POLARISASI RASIO UNTUK DETEKSI


ANOMALI EMISI ULF SEBAGAI INDIKASI PREKURSOR
GEMPA BUMI LOMBOK, 22 JUNI 2013
Aldilla Damayanti Purnama Ratri1, Suaidi Ahadi1 dan Fitri Nuraeni2
1
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
2
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, LAPAN Bandung
Email: aldilla.damayanti.16@gmail.com
______________________________________________________________________________

ABSTRAK
Emisi Ultra Low Frequency (ULF) sebagai akibat dari aktivitas gempa bumi merupakan suatu
fenomena yang kini banyak dikembangkan dalam penelitian seismo-electromagnetic untuk
precursor gempa bumi.Umumnya, anomali emisi ULF akibat gempa bumi lebih lemah daripada
gangguan yang disebabkan oleh badai magnet dan anomali emisi ULF terkait gempa bumi hanya
terjadi secara lokal di daerah yang akan terjadi gempa bumi. Ini menunjukkan bahwa aktivitas
gempa bumi merupakan suatu hal yang unik sehingga banyak penelitian yang dilakukan untuk
memberikan peringatan dini sebelum terjadi gempa bumi. Seismo-Electromagnetic
menghubungkan keadaan di lithosfer dan atmosfer sebelum dan saat terjadi gempa bumi. Tulisan
ini memilih parameter ULF di lithosfer sebagai salah satu frekuensi terendah yang dipancarkan
oleh gelombang elektromagnetik sehingga mempunyai panjang gelombang paling panjang.
Akibatnya, ULF bisa terdeteksi hingga ke permukaan. Berdasarkan analisa data yang diperoleh
dari Negara (NEG), Bali dan Stasiun Kupang (KUP), Kupang menggunakan metoda polarisasi
rasio komponen vertikal terhadap horizontal,diperoleh adanya anomali emisi ULF pada frekuensi
0,012 Hz yang ditandai dengan peningkatan emisi ULF dengan lead time 12 hari dengan Lemi-
030 di Bali dan 5 hari dengan MAGDAS 9 di Kupang. Peningkatan emisi ULF tersebut tidak
berasosiasi dengan badai magnetik, sehingga diindikasikan sebagai prekursor gempa bumi. Hal
ini diperkuat dengan nilai DST Index yang tidak menunjukkan adanya gangguan magnetik.

Kata kunci : DST Index, emisi ULF, prekursor gempa bumi, seismo-electromagnetic

ABSTRACT
The Ultra-Low Frequency(ULF) emissions as an effect of earthquake activity is a phenomenon that
is now being studied in seismo-electromagnetic for earthquake precursor. Generally, anomaly of
ULF emissions caused by earthquake activity is weaker than geomagnetic storms, so anomalies
occur only locally in the area where the earthquake happen. It show that the earthquake activity is
unique and because of its uniqueness it has been much research done thus expected to give clues
as early warning before earthquake. Seismo-electromagnetic related the state in the lithosphere
and atmosphere ionosphere before and when earthquake occur. This paper choose ULF in the
lithosphere as a parameter that the lowest band frequency emitting electromagnetic wave with the
longest wave length. As a result, ULF can be detected up to the surface. Based on the analysis of
data obtained from the Negara, Bali (NEG) and Geophysics Station in Kupang (KUP) by ratio
polarization of Vertical to Horizontal component, obtained that there are some anomaly of ULF
emissions at 0,012 Hz in frequency is characterized by increasing of ULF emissions with lead time
12 days using Lemi-030 in Bali and 5 days using MAGDAS 9 in Kupang before the earthquake
occurred. Increasing of ULF emissions is not associated with magnetic storm that is indicated as
an earthquake precursor. This is supported by the Dst index showed no magnetic disturbance.

Keywords : DST Index,ULF emissions, earthquake precursor, seismo-electromagnetic


_______________________________________________________________________________

107
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

1. PENDAHULUAN 2. METODOLOGI
Gempa bumi merupakan suatu Data yang digunakan adalah data
fenomena alam berupa getaran yang bersifat geomagnet dari magnetometer Lemi-030 di
alamiah dari pergerakan lempeng yang Stasiun Klimatologi Negara (NEG) tahun
menyebabkan terjadinya pelepasan energi 2013 dan data geomagnet dari magnetometer
secara tiba-tiba dari batuan di kerak bumi MAGDAS 9 di Stasiun Geofisika Kupang
karena proses terjadinya gempa bumi terjadi (KUP) tahun 2013. Selain itu juga
secara tiba-tiba dan tidak dapat dicegah, digunakan data DST Index (Disturbance
maka salah satu usaha yang dapat dilakukan Storm Time Index) dari WDC-geomagnetic
adalah dengan melakukan pengamatan Kyoto Univ. untuk memvalidasi anomali
prekursor gempa bumi menggunakan data yang terjadi disebabkan oleh badai magnetik
magnetbumi (Saroso ,2008). Emisi ULF atau murni disebabkan oleh aktivitas gempa.
sebagai akibat dari aktivitas gempa bumi Penelitian ini mengambil studi kasus Gempa
yang terekam pada alat magnetometer dapat bumi Lombok pada tanggal 22 Juni 2013
digunakan untuk menganalisis anomali dengan Magnitudo Momen (Mw) 6,4 dan
magnetbumi untuk prekursor gempabumi kedalaman pusat gempa 33 Km (Gambar 1).
pada jangka pendek (Ahadi dkk., 2014). ULF Berikut langkah – langkah yang
merupakan salah satu frekuensi yang dilakukan dalam penelitian, sebagai berikut :
dipancarkan oleh gelombang 1. Konversi data dari raw data (stasiun)
Elektromagnetik dengan frekuensi yang menjadi data biner. Pada MAGDAS
sangat rendah sehingga mempunyai panjang 9 (dalam ekstensi mgd) kemudian
gelombang paling panjang. Akibatnya, ULF diubah menjadi data ASCII (dalam
bisa terdeteksi hingga ke permukaan. ekstensi gea). Hal ini digunakan
Permasalahan yang timbul adalah untuk memudahkan pembacaan data
adanya transmisi gelombang elektromagnetik dari sensor. Data yang digunakan
yang terdeteksi sensor bisa disebabkan oleh adalah data komponen horizontal (H)
gempa bumi dan faktor eksternal yaitu badai dan vertical (Z) per detik dan dipilih
magnetik. Oleh karena itu, diperlukan suatu untuk jam 15:00-20:00 UTC (malam
metode untuk meyakinkan anomali yang hari).
muncul disebabkan oleh gempa bumi atau 2. Untuk fase Pre-seismic, karena
badai magnet. Penelitian ini menggunakan sampling rate antara LEMI-30 dan
metode polarisasi rasio komponen vertikal MAGDAS 9 berbeda, dimana Lemi-
terhadap horizontal (Hayakawa dkk, 1996 30 memiliki sampling rate 64 Hz,
dan Yumoto dkk, 2006) untuk mengetahui sedangkan MAGDAS 9 memiliki
anomali yang muncul berasal dari internal sampling rate 1 Hz. Maka, terlebih
bumi yaitu gempa bumi atau berasal dari dahulu rata-ratakan data Lemi-30
eksternal bumi yaitu badai magnet. Hipotesis menjadi 1 detik=1 data. Hal ini
yang akan diujikan dalam penelitian ini dilakukan agar data dari kedua
adalah ketika anomali yang terjadi berasal sensor bisa dibandingkan.
dari internal bumi berupa aktivitas gempa, 3. Menghilangkan noise berupa spike
maka perbandingan antara komponen menggunakan differensiasi.
vertikal dan horizontal akan melewati batas 4. Lakukan proses filtering
atas standar deviasi. menggunakan bandpass filter dengan
Metode ini diharapkan dapat band frekuensi bervariasi, dipilih
digunakan untuk mengidentifikasi adanya band frekuensi yang dapat
anomali sebelum gempa bumi besar sehingga menampilkan hasil anomali ULF
dapat digunakan sebagai pendukung dalam dengan baik. Dalam hal ini dipilih
penelitian prekursor gempa bumi selanjutnya frekuensi 0,012 Hz
serta dapat dijadikan sebagai informasi 5. Setelah difilter, dicari Power
pendukung mitigasi bencana (Nuraeni dkk, Spectral Density (PSD) nya
2010; Ahadi dkk., 2013). menggunakan Fast Fourier
Transform (FFT) untuk mengubah
data dari domain waktu ke domain
frekuensi, kemudian dihitung nilai

108
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

rasio Power Spectral Density (PSD) 8. Buat standar deviasi untuk


dari komponen Z dan H (SZ/SH) dari mengetahui waktu awal (onset time)
stasiun Negara di Bali dan Stasiun terjadinya anomali.
Geofisika di Kupang untuk melihat 9. Buat trend standar deviasi semakin
ada dan tidaknya indikasi anomali halus dengan melakukan moving
sebelum gempa bumi (Prattes, 2011 average selama tiga hari.
dan Ahadi,2015). 10. Indikator anomali ditunjukkan
6. Setelah diperoleh data dalam domain dengan adanya peningkatan nilai
frekuensi, buat analisa spektogram rasio komponen vertikal dengan
dengan PWELCH (0,012 Hz) untuk horizontal (SZ/SH) yang melewati
fase pre-seismic. batas standar deviasinya.
7. Nilai rasio PSD tersebut diubah ke 11. Hasilnya kita dapat mengetahui ada
dalam domain waktu kemudian atau tidaknya anomali emisi ULF
bandingkan dengan DST Index untuk serta waktu terjadinya anomali
memvalidasi apakah anomali sebelum dan saat gempa bumi
tersebut disebabkan oleh badai terjadi.
magnet atau murni dari aktivitas
gempa bumi.

Gambar 1. Parameter gempa bumi Lombok 22 Juni 2013 Mw 6.4 (BMKG, 2013) yang
ditunjukkan pada simbol Bintang Merah dan Stasiun Magnetbumi Negara (NEG), Bali dan Stasiun
Magnetbumi Kupang ( KUP), Kupang yaitu simbol Segitiga Merah.

3. HASIL DAN ANALISA bertujuan untuk mengurangi dampak dari


3.1 Nilai Ultra Low Frequency (ULF) Pada angin matahari (solar wind) dan solar flare.
Gempa bumi Lombok, 22 Juni 2013 Waktu yang digunakan dalam pengolahan
Pengolahan data ULF dari data data adalah malam hari waktu setempat
magnet menggunakan polarisasi rasio Z/H (Night Time, pukul 23.00 – 04.00). Pemilihan
untuk frekuensi ULF (0,012 Hz) dilakukan waktu ini dilakukan untuk meningkatkan
selama 15 hari sebelum gempa bumi 22 Juni kualitas sinyal dalam menentukan onset time
2013 untuk sensor MAGDAS 9 di Stasiun (waktu awal), dimana pada waktu tersebut
Geofisika Kupang dan sensor Lemi-030 di gangguan magnet lingkungan sangat kecil.
Stasiun Klimatologi Negara,Bali. Pemilihan
frekuensi ULF pada 0,012 Hz (Hattori, 2004)

109
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

3.2 Hari Tenang Tanpa Gangguan Badai Hz) bebas dan tidak ada gangguan ketika
dan Gempa bumi tidak ada badai magnetik dan gempa bumi.
Hari tenang adalah hari dimana tidak Waktu yang digunakan dalam pengolahan
ada gangguan baik oleh badai magnetik, data untuk hari tenang adalah malam hari
gangguan lokal akibat perbuatan manusia waktu setempat (Night Time, pukul 23.00 –
hingga gangguan akibat gempa bumi yang 04.00). Pemilihan waktu ini dilakukan untuk
terdeteksi oleh sensor Lemi-030 dan meningkatkan kualitas sinyal, dimana pada
MAGDAS 9 (Gambar 2 dan Gambar 3). waktu tersebut gangguan magnet lingkungan
Data hari tenang digunakan untuk sangat kecil.
mengetahui frekuensi yang digunakan (0,012

Gambar 2. Polarisasi Rasio Z/H di hari tenang yang terdeteksi oleh Lemi-030 pada frekuensi
0,012 Hz, garis warna ungu adalah Indeks Dst (WDC-Geomagnetic,Kyoto Univ), garis warna biru
adalah polarisasi Z/H dan garis warna merah dan hijau masing masing adalah Standar deviasi atas
dan bawah dari polarisasi Z/H

Gambar 3. Polarisasi Rasio Z/H di hari tenang yang terdeteksi oleh MAGDAS 9 pada frekuensi
0,012 Hz. , garis warna ungu adalah Indeks Dst (WDC-Geomagnetic,Kyoto Univ), garis warna
biru adalah polarisasi Z/H dan garis warna merah dan hijau masing masing adalah Standar deviasi
atas dan bawah dari polarisasi Z/H

110
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Pada kedua gambar di atas, terlihat bahwa keluarnya nilai polarisasi rasio Z/H dari batas
pada hari tenang untuk frekuensi 0,012 Hz standar deviasi +. Berdasarkan teori dan
yang terdeteksi oleh sensor Lemi-030 dan pengolahan data yang sudah dilakukan,
MAGDAS 9 menunjukkan bahwa ketika diperoleh adanya peningkatan emisi ULF
tidak ada gangguan, baik itu dari badai yang cukup signifikan di kedua stasiun
magnetik, gangguan lokal akibat perbuatan dengan sensor yang berbeda pada polarisasi
manusia hingga gempa bumi, maka pola rasio Z/H dengan frekuensi 0,012 Hz
pada hari tersebut juga akan tenang, dimana (Gambar 4 - Gambar 5).
tidak ada nilai polarisasi rasio Z/H yang Untuk Stasiun Klimatologi Negara
melewati batas standar deviasi oleh karena yang berjarak 220,0001 km dari pusat gempa
itu, frekuensi 0,012 Hz bisa digunakan dengan sensor Lemi-030 pada frekuensi
sebagai indikasi prekursor “Pre-seismic”. 0,012 Hz (Gambar 3), diperoleh adanya
peningkatan emisi ULF dari nilai polarisasi
3.3 Gempa bumi 22 Juni 2013 rasio Z/H dengan lead time (durasi waktu)
3.3.1 Analisa Polarisasi Rasio Z/H sebagai lebih lama daripada Stasiun Geofisika
indikasi prekursor “Pre-seismic” Kupang (Gambar 4), yaitu 15 hari sebelum
Pada tanggal 22 Juni 2013 terjadi gempa bumi terjadi. Namun, anomali yang
gempa bumi dengan kekuatan 6,4 SR, terdeteksi oleh sensor Lemi-030 pada hari
kedalaman 33 km dan episenter gempa bumi ke-15 sebelum gempa bumi terjadi
terletak pada 8,39 LS – 116,63 BT pusat cenderung disebabkan oleh badai magnetik
gempa bumi di darat (BMKG, 2013). daripada gangguan akibat gempa bumi. Hal
Berdasarkan hasil pengolahan data magnet ini terlihat dari nilai Dst Indexnya yang
menggunakan polarisasi rasio Z/H dari menunjukkan nilai -71. Pada Dst Index
sensor Lemi-030 dengan sampling rate 64 Hz tersebut,menunjukkan bahwa telah terjadi
di Stasiun Klimatologi Negara, Bali dan badai magnetik dengan level sedang (Loewe
sensor MAGDAS 9 dengan sampling rate 1 dan Prolss, 1997), sehingga anomali yang
Hz di Stasiun Geofisika Kupang, diperoleh terdeteksi pada hari ke-15 sebelum gempa
tiga buah grafik, yaitu grafik ULF dari bumi tersebut tidak bisa diindikasikan
polarisasi rasio Z/H (warna biru), standar sebagai prekursor “Pre-seismic”. Anomali
deviasi + (warna merah) sebagai batas atas lain yang terekam sensor Lemi-030 pada
nilai polarisasi rasio Z/H, dan standar deviasi frekuensi 0,012 Hz terjadi pada hari ke-
– (warna hijau) sebagai batas bawah nilai 12,11,10,6,5,4,2 dan 1 hari sebelum gempa
polarisasi rasio Z/H serta nilai Dst Index bumi terjadi, yaitu tanggal
(warna ungu) yang berosilasi selama 15 hari 10,11,12,16,17,18, 20 dan 21 Juni 2013.
untuk Stasiun Geofisika Kupang dan Stasiun Anomali pada hari-hari tersebut
Klimatologi Negara. Dalam pengolahan data diindikasikan sebagai prekursor “Pre-
ini, dikatakan terjadi anomali jika grafik seismic” untuk Gempa bumi 22 Juni 2013.
polarisasi rasio Z/H melewati batas standar Hal ini diperkuat dengan nilai Dst Index
deviasi +. yang tidak menunjukkan adanya badai
Berdasarkan teori microfracturing magnetic, dimana kondisi geomagnet sudah
(Molchanov dan Hayakawa, 1995; kembali normal.
Molchanov dan Hayakawa, 1998a), Sedangkan di Stasiun Geofisika Kupang
gelombang dengan rentang frekuensi yang yang berjarak 787,37 km dari pusat gempa
sangat kecil yang bisa terdeteksi hingga ke dengan sensor MAGDAS 9 pada frekuensi
permukaan, karena frekuensi yang lebih 0,012 Hz,diperoleh adanya anomali berupa
besar akan mengalami atenuasi karena peningkatan polarisasi rasio Z/H yang
terserap oleh medium selama penjalaran melebihi batas standar deviasi + terdeteksi
gelombang.Selain itu juga gelombang pada tanggal 17 Juni 2013 yaitu 5 hari
dengan frekuensi yang sangat kecil akan sebelum gempa bumi terjadi. Anomali yang
mempunyai panjang gelombang yang lebih muncul pada tanggal 17 Juni 2013 tersebut
panjang, sehingga akan lebih cepat terdeteksi tidak berasosiasi dengan adanya badai
daripada yang memiliki frekuensi lebih magnet. Hal ini didukung dengan nilai Dst
besar. Mengacu pada teori tersebut, Index yang tidak menunjukkan indikasi badai
dikatakan terjadi anomali apabila terjadi magnetik, sehingga anomali pada tanggal 17
peningkatan polarisasi rasio Z/H, yaitu Juni 2013 yang terdeteksi di Stasiun

111
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Geofisika Kupang diindikasikan sebagai antara kedua sensor. Dimana, sensor Lemi-
prekursor “pre-seismic” untuk Gempa bumi 030 cenderung lebih peka terhadap adanya
22 Juni 2013. transmisi gelombang elektromagnetik yang
Adanya perbedaan waktu munculnya menimbulkan anomali daripada MAGDAS 9.
anomali ini dikarenakan jarak episenter Hal ini dikarenakan, sampling rate yang
gempa bumi terhadap Stasiun Klimatologi dimiliki oleh Lemi-030 lebih besar yaitu 64
Negara lebih dekat dibandingkan dengan Hz, daripada MAGDAS 9 yang mempunyai
Stasiun Geofisika Kupang, sehingga sampling rate sebesar 1 Hz. Hal inilah yang
transmisi gelombang elektromagnetik dari menyebabkan semakin banyaknya transmisi
pusat gempa terlebih dahulu terdeteksi di gelombang elektromagnetik yang terdeteksi
Stasiun Klimatologi Negara daripada di oleh Lemi-030 daripada oleh MAGDAS 9,
Stasiun Geofisika Kupang. Selain itu, juga dimana sampling rate merupakan banyaknya
terdapat perbedaan yang cukup signifikan count (titik-titik datum pembentuk sinyal)
pada banyaknya anomali yang terdeteksi tiap satuan waktu pengukuran.

Gambar 4. Polarisasi Rasio Z/H frekuensi 0,012 Hz untuk Gempa bumi 22 Juni 2013 dengan
sensor Lemi-030 di Stasiun Klimatologi Negara,Bali.

Gambar 5. Polarisasi Rasio Z/H frekuensi 0,012 Hz untuk Gempa bumi 22 Juni 2013 dengan
sensor MAGDAS 9 di Stasiun Geofisika,Kupang.

112
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

4. KESIMPULAN Nuraeni,F.,
Berdasarkan hasil pengolahan data Juangsih,M.,Wellyanita,V.,Haryanto,
dan analisa yang telah dilakukan dapat C,E.,dan Aris,M,A, 2010,Penentuan
diperoleh kesimpulan bahwa terjadi anomali Prekursor Gempa Bumi
emisi ULF ditandai dengan peningkatan nilai Menggunakan Data Geomagnet
polarisasi rasio Z/H pada frekuensi 0,012 Hz Near Real Time Dengan Metode
yang terdeteksi 12 hari sebelum gempa bumi Perbandingan Polarisasi 2
Lombok M 6,4 SR pada 22 Juni 2013 oleh Stasiun,Sains Dan Teknologi
sensor Lemi-030 di Bali dan 5 hari sebelum Dirgantara,No 1,Vol 5,hal 11
gempa bumi Lombok M 6,4 SR pada 22 Juni Prattes,G.,Schwingenschuh,K.,Eichelberger,
dengan sensor MAGDAS 9 di Kupang. U,H.,Magnes,W.,Boudjana,M.,Stach
Adanya anomali emisi ULF dengan el,M.,Vellante,M.,Villante,U.,Weszt
ditandai peningkatan nilai polarisasi rasio ergom,V., dan
Z/H beberapa hari menjelang terjadinya Nenovski,P.,2011,Ultra Low
gempa bumi tersebut tidak berasosiasi Frequency (ULF) European Multi
dengan gangguan badai magnetik. Station Magnetic Field Anlaysis
Peningkatan ini bisa diindikasikan sebagai before and during the 2009
prekursor “Pre-seismic” akibat dari proses Earthquake at L’Aquila regarding
fisis seismo-electromagnetic. Geotechnical
Information.Nat.Hazards Earth
DAFTAR PUSTAKA Syst.Sci.,11,1959-1968,
Ahadi,S., Puspito,N,T., Ibrahim,G., Saroso,S.,2008,Analisa Fraktal Emisi Sinyal
Saroso,S.,Yumoto,K., Yoshikawa,A., ULF Dan Kaitannya Dengan Gempa
dan Muzli, 2015, Anomalous ULF Bumi Di Indonesia,Jurnal Sains
Emissions and Their Possible Dirgantara.Vol.6.No.1.39-46
Association with the Strong Yumoto, K., 2006,Studies on Geomagnetic
Earthquake in Sumatra,Indonesia Field and the Relationship with The
during 2007-2013,J.Math.Fund Sun, Solar Physics Seminar 2006,
SCi.,47,pp84-103 Natl.Obs.Malaysia: National Space
doi:10.5614/j.math.fund.sci,2015.47. Agency
1.7
Hattori, K., 2004, ULF Geomagnetic
Changes Associated with Large
Earthquake. TAO, Vol
15,No.3,329-360.
Hayakawa, M., R. Kawate, O. A.
Molchanov, and K. Yumoto., 1996,
Results of ultra-low-frequency
magnetic field measurements during
the Guam earthquake of 8 August
1993.Geophys. Res. Lett., 23, 241-
244.
Loewe C. A dan Prolss G. W., 1997,
Classification and mean behaviour
of magnetic storms, J. Geophys. Res.
A 102 14209-14213.
Molchanov,O.A., dan Hayakawa,M., 1995,
Generation of ULF electromagnetic
emissions by microfracturing.
Geophys. Res.Lett.,22,3091-3094.
Molchanov,O.A., dan Hayakawa,M., 1998a,
On the generation mechanism of
ULF seismogenic emissions. Phys.
Earth Planet. Inter., 105,210-210.

113
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

PEMODELAN TSUNAMI AKIBAT SESAR MENDATAR


GEMPABUMI MALUKU 28 JANUARI 2004
Robby Wallansha, Sugeng Pribadi
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
E-mail: rwallansha@gmail.com

ABSTRAK
Kepulauan Maluku merupakan wilayah pertemuan tiga lempeng besar sehingga
menimbulkan seismisitas tinggi. Disamping itu sejak tahun 1674 s.d 2006 telah terjadi 25 kejadian
tsunami. Gempabumi Maluku tanggal 28 Januari 2004 dengan magnitudo 6.6, berdasarkan
pengamatan penduduk telah menghasilkan tsunami kecil di daerah Namlea. Penelitian ini bertujuan
untuk membuktikan adanya tsunami di Namlea menggunakan pemodelan TUNAMI-N2 dan data
batimetri GEBCO dengan resolusi 30 detik (1 km). Skenario peneltian tersusun atas real case
dengan jenis sesar mendatar berdasarkan mekanisme fokus dari Global CMT dan initial case untuk
menghasilkan peluang terburuk potensi tsunami akibat sesar naik dan mendatar dengan varasi
magnitudo 7,5, 8,0 dan 8,5. Hasil real case menunjukkan tsunami tertinggi 0.16 m dengan waktu
tiba (estimation time arrival, ETA) tercepat 8.2 menit. Skenario terburuk dengan magnitudo 8.5
untuk initial case sesar mendatar menghasilkan tsunami 1.42 m dengan ETA 9.1 menit, sedangkan
initial case sesar naik dengan perubahan posisi mendekati sistem subduksi menghasilkan tsunami
6.26 m dengan ETA 4.7 menit.

Kata kunci: tsunami, Maluku, sesar mendatar, real case, initial case

ABSTRACT
Maluku Islands is the three junction major plate giving rise to high seismicity. Besides that since
1674 - 2006 there has been 25 tsunamis around region. The Maluku earthquake that occurred on
January 28, 2004 with magnitude 6.6, based on eye observation has generated a small tsunami in
Namlea. This study aims to prove the existence of a tsunami in Namlea using TUNAMI-N2
modeling and GEBCO bathymetric data with a resolution of 30 sec (1 km). Tsunami scenario
consists of the real case of strike slip fault from focal mechanism of Global CMT and the initial
case to predict the worst possible tsunami potential due to the reverse and strike-slip fault with a
magnitude of 7.5, 8.0, and 8.5. The real case results the highest tsunami of 0.16 m with the fastest
arrival time estimation, ETA 8.2 minutes. The worst case scenario of strike-slip fault with a
magnitude of 8.5 generated tsunami of 1.42 m with ETA 9.1 minutes, while the initial case of
reverse fault in the area of subduction system caused a tsunami 6.26 m with ETA 4.7 minutes.

Keywords: tsunami, Molucca, strike-slip fault, real case, initial case

114
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

PENDAHULUAN
Kepulauan Maluku merupakan daerah
pertemuan tiga lempeng besar dunia yang
bergerak secara konvergen dan
mengakibatkan seismisitas tinggi dan
tsunami. Sejarah tsunami di Kepulauan
Maluku (Gambar 1), pada tahun 1335 s.d
2006 tercatat lebih dari 25 kejadian tsunami
(BMKG, 2010; Puspito, 2009). Tsunami
terbesar terjadi pada tahun 1674 dengan run
up tsunami mencapai 80 m dan tercatat 2970
orang meninggal dunia (Arkwright, 2009).
Berdasarkan sejarah tsunami, maka peluang
kejadian tsunami di Kepulauan Maluku di
masa akan datang cukup besar sehingga Gambar 1. Peta tsunami di Maluku sejak
diperlukan pemodelan tsunami untuk tahun 1335 s.d. 2006. Bintang
meminimalisir tingkat kerugian. merah menandakan lokasi
Katalog BMKG per Wilayah sumber tsunami. Garis hitam
Gempabumi Signifikan dan Merusak Tahun bergerigi adalah jalur subduksi.
1821 - 2009 (Setiyono dkk, 2010) telah
mencatat Gempabumi Maluku tanggal 28 Software Tunami N2 menggunakan
Januari 2004 jam 22:15:32 UTC pada perhitungan numerik dengan Prinsip Perairan
koordinat 127.44° BT, -3.01° LS, kedalaman Dangkal dan Hukum Green didalamnya.
33 km dan magnitudo 6.6 dengan TUNAMI-N2 berbasis UNIX/Linux dan
menghasilkan tsunami lokal yang script Generic Map Tools (GMT), penelitian
terobservasi di daerah Namlea (halaman ini menghasilkan tinggi run up tsunami dan
105). Tetapi tsunami kecil di Namlea tidak prakiraan Estimation Tsunami Arrival Time
memberikan bukti rekaman tide gauge. Oleh (ETA) (Pribadi, 2008).
karena itu diperlukan metode pendekatan
kejadian sebenarnya menggunakan I. DATA DAN METODE
pemodelan komputasi berdasarkan pada Gempabumi Maluku 28 Januari 2004
karakteristik sumber gempabumi pembangkit berdasarkan data mekanisme sumber dari
tsunami. Skenario tsunami di daerah Global Centroid Moment Tensor (Global
Kepulauan Maluku sebelumnya telah CMT) mempunyai jenis sesar mendatar
dilakukan oleh Wallansha (2014) dengan arah jurus strike/dip/rake 98°/46°/-9°,
menggunakan aplikasi pemodelan tsunami L- kedalaman 16.8 km dan koordinat episenter
2008 berbasis Windows yang menghasilkan 127.3° BT, -3.11° LS. Gempabumi ini
tinggi run up tsunami (Setiyonegoro, 2011). menimbulkan tsunami yang terobservasi di
Karakteristik sumber tsunami di wilayah Namlea. Selain data gempabumi dalam
Maluku mengikuti ketentuan Pribadi dkk penelitian ini juga menggunakan data
(2013). batimetri yang di unduh melalui situs
Penelitian ini bertujuan untuk General Bathymetric Chart of the Oceans
melakukan validasi apakah gempabumi (GEBCO) dengan ketelitian 30 detik (1 km).
dengan jenis sesar mendatar dapat Skenario tsunami tersusun atas kasus
menghasilkan tsunami signifikan yang gempa sebenarnya (real case) dengan jenis
membahayakan daerah Namlea berikutnya sesar mendatar dan kasus buatan (initial
berdasarkan skenario pemodelan Tohuku case) untuk memprediksi kemungkinan
University’s Numerical Analysis Modeling terburuk potensi tsunami akibat gempabumi
for Investigation of Near-field Tsunami berjenis sesar naik dan mendatar. Menurut
Number 2 (TUNAMI-N2) (Imamura dkk, Natawidjaya (2007) telah terjadi 10 kali
2006). gempabumi di perbatasan lempeng Laut
Maluku (Palung Seram) dengan kekuatan
lebih dari Mw 7,5. Dari pernyataan tersebut,

115
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

penulis melakukan perubahan magnitudo titik pengamatan di Namlea diperinci


gempabumi menjadi Mw 8,0 dan Mw 8,5. menggunakan data GEBCO 30 detik seperti
Penjalaran gelombang tsunami terdiri pada peta region 4 (Gambar 2). Batasan
atas sumber tsunami jarak dekat (near-field) wilayah masing-masing region sebagai
dan jarak jauh (far-field). Dalam software berikut:
tsunami sudah terintegrasi pemodelan - Region 1: 122° s.d. 132° BT, 0° s.d. 8°
sumber kedua jenis propagasi gelombang LS, 1110 x 880 km.
laut ini menggunakan persamaan perairan - Region 2: 124° s.d. 130° BT, 2° s.d. 6°
dangkal dimana percepatan vertikal air LS, 666 x 444 km.
diabaikan terhadap percepatan gravitasi. - Region 3: 126° s.d. 128° BT, 3° – 5° LS,
Penjalaran gelombang tsunami (Diposaptono 222 x 222 km.
dan Budiman, 2006) di samudera lepas, - Region 4: 127,0° – 127,5° BT, 3,0° –
berlaku persamaan kontinuitas sebagai 3,5° LS, 55,5 x 55,5 km.
berikut:
Dalam penelitian ini, digunakan
(1) Scalling law menggunakan persamaan Hanks
dan Kanamori (2007) yang mengatur
hubungan momen seismik dengan luas
patahan. Persamaan ini mengasumsikan
(2) bahwa luas patahan berbentuk persegi
panjang, sehingga didapatkan lebar dan
dimana D adalah kedalaman dari h+ , x dan panjang patahan serta panjang slip (m)
y sumbu horizontal, z sumbu vertical, sebagai input pemodelan TUNAMI-N2.
perpindahan vertikal permukaan air, t waktu Scalling law dinyatakan dalam persamaan
sebagai berikut:
dan g percepatan gravitasi serta h+
merupakan jumlah ketinggian dari puncak LogL=0,5 Mw – 1,9 (4)
gelombang hingga dasar laut.
Penelitian ini menggunakan Hukum W= (5)
Green sebagai perbandingan ketinggian Log U = 0,5 Mw – 1,4 (6)
gelombang tsunami di kedalaman laut yang
lebih dalam dengan yang lebih dangkal. Jika dimana L adalah panjang patahan, W
tinggi gelombang tsunami lebih kecil merupakan lebar patahan, U slip dalam meter
dibandingkan panjang gelombangnya, maka dan Mw adalah magnitudo momen.
tinggi gelombang akan berubah seiring
penjalaran gelombang tsunami menuju Parameter bidang sesar dipersiapkan
pantai. Hukum Green dinyatakan dalam sebagai input TUNAMI-N2 sehingga
persamaan sebagai berikut : dihasilkan output berupa deformasi sumber
gempa, tinggi maksimum seluruh volume
laut, ketinggian tsunami di titik observasi dan
(3) waktu propagasi mencapai daratan. Hasil
keluaran dianalisis untuk memperkirakan
resiko bencana tsunami di daerah
dimana adalah tinggi gelombang tsunami
penelitian.Coastal point pengamatan pantai
di perairan dangkal, tinggi gelombang ditetapkan kedalaman dangkal kurang dari 50
tsunami di perairan lebih dalam, adalah m untuk memperoleh hasil yang baik.
Namun dalam praktiknya penentuan titik-
perbandingan kedalaman air laut lebih dalam titik ini cukup sulit dilakukan dikarenakan
dengan air laut dangkal, adalah daerah penelitian yang kompleks sehingga
perbandingan lebar teluk di titik lebih dalam kedalaman batimetri terdangkal cukup sulit
dan lebar teluk di titik dangkal. didapatkan.
Metode penelitian ini dimulai dengan
menentukan empat daerah penelitian yang
berurutan mulai dari luas terbesar sampai
terkecil yaitu region 1, 2, 3 dan 4. Sembilan II. HASIL DAN PEMBAHASAN

116
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

2.1. Model Deformasi Bidang Sesar


Berdasarkan hasil Scalling law, luas
patahan sumber dan panjang pergeseran slip
akan semakin besar seiring kenaikan
magnitudo gempabumi (Tabel 1). Faktor
lainnya yang mempengaruhi intensitas
tsunami adalah mekanisme sesar, luas bidang
patahan, arah jurus sesar dan kedalaman
hiposenter. Jenis sesar dan posisi sesar
mendatar dengan skenario real case berada
dekat Pulau Buru dan sesar naik dengan
skenario initial case di lokasi Subduksi
Seram. Lihat Gambar 3.
Pemodelan tsunami menggunakan P. Buru
skenario sesar mendatar pernah dilakukan
oleh Legg dan Borrero (2001) untuk
mensimulasikan gempabumi bawah laut
California. Tsunami dipicu oleh aktifitas
sesar-sesar lepas pantai dan topografi lereng (b)
benua yang curam. Sesar mendatar yang Gambar 2. (a) Pembagian region 1, 2, 3 dan
menyebabkan longsoran dasar laut hingga 4 dengan batas kotak hitam
terjadi sedimentasi dan erosi dapat semakin mengecil. (b) Rincian
menimbulkan tsunami kurang dari 1 m titik pengamatan Namlea di
seperti terjadi pada Gempabumi Haiti 12 region 4.
Januari 2010 magnitudo Mw 7.0 (Hornbach
dkk, 2010). Sesar naik adalah gejala umum
mekanisme sumber dalam pembangkitan
potensi tsunami. Pada kasus subduksi,
diperlukan energi lebih besar untuk
mengangkat naik ke atas lempeng benua
sebagai hanging wall, sedangkan dan
lempeng samudera sebagai foot wall
bergerak turun ke bawah. Deformasi patahan
gempabumi dari Tunami N2 menggambarkan
luas patahan dan daerah dalam bidang warna
Reg 4 biru untuk daerah turun (subsidence) dan
warna merah untuk daerah naik (uplift).
Reg3
Tabel 1. Parameter sesar berdasarkan
Reg 2 Scalling law.
Slip
Mw Panjang (m) Lebar (m) (m)
6.6 25.118,9 12.559,4 0,8
7.5 70.794,6 35.397,3 2,2
8.0 125.892,5 62.946,3 4,0
(a) 8.5 223.872,1 111.936,1 7,1

117
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

2.2. Model Propagasi Tsunami


Subduksi Seram Hasil simulasi tsunami untuk skenario
real case sesar mendatar bahwa pada
Gempabumi Maluku 28 Januari 2004
berhasil memprediksi terjadinya tsunami
kecil di Namlea dengan tinggi run up
P. Seram
maksimum 0,16 m pada titik 8 di Namlea
P. Buru seperti terlihat pada Tabel 2.
Waktu tiba gelombang tsunami (Tabel
3) skenario real case berkisar antara 8 s.d 14
menit. ETA tercepat 8,2 menit pada titik
pengamatan no 7 di daerah Lala (utara
Gambar 3. Bentuk dan posisi mekanisme
Namlea) dikarenakan posisi episenter yang
sesar mendatar (real case) dekat
relatif dekat dengan daerah Namlea. Secara
Pulau Buru dan sesar naik
umum tingkat kerawanan tsunami daerah
(initial case) dekat Subduksi
Namlea akibat mekanisme sesar mendatar
Seram.
berskenario real case masih cukup aman
karena menghasilkan tsunami kurang dari 20
Hasil pemodelan deformasi TUNAMI-
cm dengan ETA tercepat lebih dari 8 menit.
N2 menunjukkan bahwa semakin sempit
Marigram buatan pemodelan TUNAMI-N2
sudut kemiringan sesar maka bidang uplift
untuk skenario real case pada titik
dan subsidence akan menjauh. Sebaliknya
pengamatan no 7 dan 8 dapat dilihat pada
semakin lebar sudut kemiringan kedua
Gambar 6.
bidang akan saling berhimpit dengan
Hasil simulasi untuk skenario initial
dominasi bidang uplift. Tetapi ketika
case sesar mendatar dengan Mw 8,0
kedalaman hiposenter bertambah maka kurva
mendapatkan tinggi run up besar yaitu 0,97
uplift akan melebar (Fujii, 2006). Pada
meter di titik 1 dan terendah yaitu 0,45 m di
Gambar 4 terlihat semakin besar magnitudo
titik 6, sedangkan waktu tiba gelombang
maka luas bidang sesar makin melebar
tsunami berkisar 10 s.d 16 menit Untuk
sepanjang jalur subduksi.
pemodelan Mw 8,5 tinggi run up tertinggi
Jenis sesar mendatar terlihat memliki
mencapai 1,42 m di titik 4 dan terendah di
posisi daerah yang mengalami uplift dan
titik 1 yaitu 0,95 m di daerah waimiting dan
subsidence yang saling bersilangan. Daerah
Jikumerasa sedangkan waktu tiba berkisar 9
yang mengalami uplift dan subsidence cukup
s.d 16 menit seperti pada Gambar 7.
sulit di analisa secara detail. Akan tetapi jika
Gempabumi Maluku 2004
dilihat dari komponen rake -9°, maka jenis
terindikasikan tsunami karena pengaruh
sesar mendatar ini memiliki sedikit
komponen naik oblique sehingga
komponen turun sehingga memungkinkan
mempengaruhi arah jurus sesar mendatar.
terjadinya tsunami. Hasil deformasi untuk
Keadaannya berbeda dengan sesar mendatar
jenis sesar mendatar dengan beberapa
pada Gempabumi Aceh tanggal 11 April
perubahan magnitudo dan lokasi dapat dilihat
2012 dengan kekuatan Mw 8,6, yang tidak
pada Gambar 5.
menimbulkan tsunami karena komponen
horisontalnya lebih dominan dibandingkan
vertikal serta kedalaman lebih dalam 45,6
km.

118
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

(a) (b) (c)


Gambar 4. Bidang deformasi TUNAMI-N2 (kotak kuning) untuk sesar naik pada jalur Subduksi
Seram (garis bergerigi) bertambah luas bidang seiring kenaikan magnitudo: (a) Mw 7,5,
(b) Mw 8,0 dan (c) Mw 8,5. Bidang warna biru menandakan daerah turun (subsidence)
dan warna merah untuk daerah naik (uplift). Bintang merah menunjukkan episenter dan
titik hijau di ujung kiri bidang sesar.

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 5. Hasil deformasi (kotak kuning) sesar mendatar pada lokasi Gempabumi Maluku 28
Januari 2004 dengan variasi magnitudo: (a) Mw 6,6, (b) Mw 7,5, (c) Mw 8,0 dan (d)
Mw 8,5. Bidang warna biru menandakan daerah turun (subsidence) dan warna merah
untuk daerah naik (uplift). Bintang merah menunjukkan episenter dan titik hijau di
ujung kiri bidang sesar.

119
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Tabel 2. Run-up tsunami hasil pemodelan


Runup Runup initial case Runup initial case
realcase sesar mendatar (m) sesar naik (m)
Coastal (m) Mw
point 6.6 Mw 7.5 Mw 8.0 Mw 8.5 Mw 7.5 Mw 8.0 Mw 8.5
1 0.08 0.41 0.97 0.95 0.87 2.67 5.08
2 0.06 0.48 0.77 1.17 0.92 2.46 4.59
3 0.08 0.49 0.73 1.21 1.03 2.92 5.08
4 0.12 0.62 0.93 1.42 1.03 2.89 5.14
5 0.15 0.65 0.71 1.24 1.02 3.49 6.26
6 0.15 0.29 0.45 1.06 0.98 2.27 4.21
7 0.12 0.33 0.53 1.14 1.13 2.46 4.45
8 0.16 0.24 0.61 1.38 1.21 2.65 4.3
9 0.12 0.31 0.53 1.18 1.07 2.44 4.01

Tabel 3. Waktu tiba (ETA) tsunami hasil pemodelan


ETA ETA initial case ETA initial case
realcase sesar mendatar (menit) sesar naik (menit)
Coastal (menit)
point Mw 6.6 Mw 7.5 Mw 8.0 Mw 8.5 Mw 7.5 Mw 8.0 Mw 8.5
1 11 7.8 10.6 9.3 9.7 7.8 4.7
2 9.4 11.5 12 9.1 9.5 7.9 4.8
3 10.2 7.4 12.3 10.4 10.6 8.9 5.8
4 11.2 14.6 15.4 12.9 13 11.2 8.2
5 14.2 16.3 16.4 16 16.3 14.1 11.7
6 8.4 12.2 10.4 14.9 17.3 10.9 8.4
7 8.2 11.9 12.3 11.5 12.3 10.9 8.5
8 8.6 12.1 10.3 11.7 12.5 11 8.5
9 9 25.3 11 12.1 12.9 11.5 9.1

Gambar 6. Marigram buatan untuk skenario


real case sesar mendatar
magnitudo Mw 6,6 di daerah
Namlea pada titik pengamatan
(Atas) no 7 dan (Bawah) no. 8

120
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Gempabumi Maluku 2004 tidak


termasuk kedalam syarat peringatan dini
tsunami NOAA/PTWC karena mempunyai
kekuatan magnitudo kurang dari 7,0 dan
jenis sesar mendatar. Walaupun demikian
dalam kategori ilmiah tetap termasuk potensi
tsunami jenis ini sehingga perlu diwaspadai
di masa yang akan datang di daerah
perulangan seismik seperti terlihat pada
Gambar 1. Berdasarkan sejarah gempabumi
di Kepulauan Maluku pernah terjadi
gempabumi dengan kekuatan lebih dari Mw
7,5. Dengan pertambahan magnitudo sesar
mendatar, tidak tertutup kemungkinan
bangkitnya tsunami dengan tinggi run up
signifikan. Kompleksitas struktur tektonik
Kepulauan Maluku diantara tiga lempeng
konvergen yaitu Eurasia, Pasifik dan
Filipina. Zona Maluku merupakan daerah
beraktifitas kegempaan tinggi berpusat di
bawah laut dan beberapa diantaranya
Gambar 7. Marigram buatan untuk skenario menimbulkan tsunami (Ibrahim dkk, 2010).
initial case sesar mendatar Selain itu, umur batuan geologi di daerah
magnitudo Mw 8,5 di daerah tersebut tergolong muda sehingga jika terjadi
waimiting dan Jikumerasa pada gempabumi besar akan berpeluang men-
titik pengamatan (Atas) no 1 dan trigger longsoran bawah laut dan amplifikasi
(Bawah) no. 8 gelombang tsunami.
Untuk memperkirakan resiko terburuk
dari perulangan gempabumi maka penulis
membuat skenario pemodelan jenis sesar
naik yang berlokasi dekat dengan jalur
Subduksi Seram. Hasil simulasi untuk
skenario initial case sesar naik dengan
kekuatan tertendah Mw 7,5 mendapatkan
tinggi run up besar yaitu 1,21 meter di titik 8
dan terendah yaitu 0,87 m di titik 1,
sedangkan waktu tiba gelombang tsunami
berkisar 9,5 s.d 17,3 menit. Simulasi initial
case sesar naik dengan kekuatan tertinggi
Mw 8,5 mendapatkan run up tertinggi yaitu
6,26 meter di titik 5 dan terendah yaitu 4,01
m di titik 8 yaitu di daerah Jikumerasa dan
Namlea (Gambar 8), sedangkan waktu tiba
gelombang tsunami berkisar 4,7 s.d 11,7
menit. Keseluruhan hasil pemodelan tsunami
untuk maksimum run-up dan waktu tiba
tercepat semua titik pengamatan dan variasi
kasus serta magnitudo dapat dilihat pada
grafik Gambar 9. Skenario terburuk ini
Gambar 8. Marigram buatan untuk skenario bermanfaat untuk mengantisipasi kekuatan
real case di daerah Namlea pada tsunami maksimum dalam pembangunan
titik pengamatan (Atas) no 5 dan fasilitas perlindungan tsunami yang lebih
(Bawah) no. 8 kokoh.

121
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

SARAN
Banyak faktor yang dapat
mempengaruhi tinggi run up tsunami. Selain
parameter gempabumi, kondisi batimetri,
tatanan tektonik, bentuk muka pantai dan
pasang surut air laut juga mempengaruhi
tinggi run up tsunami. Untuk penelitian
selanjutnya diharapkan pembuatan skenario
tsunami menggunakan banyak data
gempabumi real case serta penambahan titik
pengamatan. Ini diharapkan skenario tsunami
dapat tergambar untuk keseluruhan wilayah
Maluku. Selain itu penambahan data pasang
surut juga diperlukan untuk mengkoreksi
ketinggian run up yang dihasilkan oleh
software.

UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih saya ucapkan kepada
Allah SWT sebagai Rabb sekalian alam,
Dr.Suko Prayitno Adi, M.Si selaku Ketua
STMKG, Budiarta dan Priyobudi sebagai
pengarah komputasi pemodelan.

DAFTAR PUSTAKA
Arkwright, D., 2009, Potensi Kejadian
Tsunami di Perairan Timur Indonesia,
Jurnal UNIERA, no.32, Universitas
Halmahera, Maluku Utara.
Gambar 9. Grafik perbandingan (Atas)
Diposaptono, S., dan Budiman., 2006,
ketinggian tsunami dan (Bawah)
Tsunami, Penerbit Buku Ilmiah
waktu tiba tsunami (menit)
Populer., Jakarta, hal.250-253.
dengan pertambahan magnitudo.
Fujii, Y., 2006, Tsunami Simulation (adapted
Skenario real case RC, initial
from Kenji Satake), International
case sesar mendatar ICM dan
Institute of Earthquake Engineering
initial case sesar naik ICN.
(ISEE), BRI, Tsukuba, Japan.
Hanks, T.C., dan Kanamori, H., 2007,
KESIMPULAN Moment Magnitude Scale, Journal of
1. Skenario real case dengan jenis sesar
Geophysical Research, no.84 (B5), hal
mendatar terbukti menghasilkan
2348-2350
tsunami yang terobservasi di Namlea
Hornbach, M.J., Braudy, N., Briggs, R.W.,
sesuai dengan Katalog Gempabumi
Cormier, M.H., Davis, M.D., Diebold,
BMKG tahun 2009.
J.B., Dieudonne, N., Douilly, R.,
2. Gempabumi dengan mekanisme sesar
Frohlich, c., Gulick, S.P.S., Johnson,
mendatar menghasilkan tsunami yang
H.E., Mann, P., McHugh, C., Mishkin,
cukup signifikan jika kekuatan
K.R., Prentice, C.S., Seeber, L., Sorlien,
gempabumi lebih besar.
C.S., Steckler, M.S., Symithe, S.J.,
3. Skenario initial case dengan
Taylor, F.W., and Templeton, J., 2010,
mekanisme sesar naik menghasilkan
High tsunami frequency as a result of
run-up maksimum dan ETA lebih
combined strike-slip faulting and
cepat dibandingkan skenario sesar
coastal landslides, Nature Geoscience,
mendatar.
VOL 3,
www.nature.com/naturegeoscience, ©
2010 Macmillan Publishers Limited.

122
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Imamura, F., Yalciner, A.C., dan Ozyurt, G., Setiyono, U., Sembiring, A., Miranda.,
2006, Tsunami Modelling Manual, Yatimantoro, T., dan Fitria, Y., 2010,
JMA, Japan. Katalog per Wilayah Gempabumi
Ibrahim, G., Subardjo, Sendjaja, P., 2010, Signifikan dan Merusak 1821 – 2009,
Tektonik dan Mineral di Indonesia, Badan Meteorologi Klimatologi dan
Puslitbang, BMKG, Kemayoran, Geofisika, Kemayoran, Jakarta.
Jakarta. Setyonegoro, W., 2011, Tsunami Numerical
Legg, M.R., dan Borrero, J., 2001, Tsunami Simulation Applied to Tsunami Early
Potential of Major Restraining Bends Warning System Along Sumatra
Along Submarine Strike-slip Faults, ITS Region”, Jurnal Meteorologi dan
2001 Proceeding, Session 1, Number 1- Geofisika BMKG, vol.12, no.1, hal : 21
9. -32.
Natawidjaja, D.H., 2007, Tectonic Setting Wallansha, R., 2014, Skenario Tsunami
Indonesia dan Pemodelan Sumber Menggunakan Data Parameter
Gempa dan Tsunami, Pelatihan Gempabumi Berdasarkan Kondisi
Pemodelan Run-up Tsunami, Jakarta. Bathymetri (Studi Kasus : Gempabumi
Puspito, N.T.(2009) :Statistical Data of Maluku 28 Januari 2004), Tugas Akhir,
Tsunamigenic Earthquakes in the D3 Geofisika, STMKG, Tangerang
Indonesian Region, Proceeding of Selatan.
International Symposium on Earthquake
and Precursor, Research and Pustaka dari Situs Internet:
Depelopment Center, BMKG, General Bathymetric Chart of the Oceans
Indonesia, pp. 70-89. (GEBCO) 2015,
Pribadi, S., Afnimar., Puspito, N.T., dan http://www.gebco.net/data_and_product
Ibrahim, G., 2013, Characteristics of s/gridded_bathymetry_data, Download
Earthquake-Genereted Tsunamis in (diunduh) pada 25 Januari 2015.
Indonesia Based on Source Parameter Global Centroid Moment Tensor (Global
Analysis, J.Math. fund Sci, vol.45, CMT), 2014,
no.2. http://www.globalcmt.org/CMTsearch.h
Pribadi, S., 2008, Pemodelan Tsunami Untuk tml, Download (diunduh) pada 13
Peingatan Dini BMKG, Buletin Desember 2014.
Meteorologi dan Geofisika. Vol.4.
No.2.

123
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

ANALISIS GEMPABUMI PEMBANGKIT TSUNAMI


BERDASARKAN PROSES SUMBER PADA STUDI KASUS
GEMPABUMI DI WILAYAH BAGIAN BARAT SUMATRA
Indira1, Iman Suardi1, Muzli2
1
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
2
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Jakarta
E-mail : indira@bmkg.go.id

ABSTRAK
Wilayah bagian Barat Sumatra merupakan salah satu wilayah yang aktif terjadi gempabumi
di Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari frekuensi gempabumi yang mengakibatkan tsunami,
sehingga penelitian mengenai proses sumber dibutuhkan untuk memahami gempabumi yang
membangkitkan tsunami. Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakteristikkan gempabumi besar
dan membandingankan antara gempabumi pembangkit tsunami dan bukan pembangkit tsunami
berdasarkan proses sumber gempabumi di wilayah tersebut. Hasil dari penelitian ini diharapkan
dapat bermanfaat untuk kepentingan mitigasi bencana gempabumi dan tsunami. Penelitian ini
menggunakan data waveform teleseismik yang diperoleh dari Incorporated Research Institutions
for Seismology-Data Manager Center (IRIS-DMC) yang terdiri dari empat gempabumi antara lain:
Bengkulu 12 September 2007, Mentawai 25 Oktober 2010 yaitu gempabumi yang membangkitkan
tsunami dan Bengkulu 4 Juni 2000, Mentawai 12 September 2007 yang tidak membangkitkan
tsunami. Data diolah dengan menggunakan metode inversi waveform, sehingga didapatkan
karakteristik gempabumi besar yaitu besarnya nilai momen seismik 0,4756x1021 - 0,2795x1022 Nm
setara dengan magnitude momen (Mw) 7,7 – 8,2 serta perbandingan gempabumi pembangkit
tsunami dengan gempabumi bukan pembangkit tsunami berdasarkan durasi rupture dan kedalaman
gempabumi, yaitu gempabumi pembangkit tsunami memiliki durasi rupture > 90 detik dengan
kedalaman gempa sangat dangkal < 35 km dan gempabumi bukan pembangkit tsunami memiliki
durasi rupture < 50 detik dengan kedalaman gempa lebih dalam > 40 km.

Kata kunci : proses sumber, momen seismik, durasi rupture

ABSTRACT
The Western Sumatera region is one of the most active earthquake areas in Indonesia. It
has frequent earthquakes potentially to cause tsunami. Therefore a research on source rupture
process is needed to understand earthquake generating tsunami. This research analyzed the
characteristics of large earthquakes and compared the earthquakes generating tsunami with the
ones without tsunami. This research used teleseismic waveform data from Incorporated Research
Institutions for Seismology-Data Manager Center (IRIS-DMC) which includes four earthquakes of
September 12th , 2007 Bengkulu and Oktober 25th, 2010 Mentawai that generated tsunami, June 4th,
2000 Bengkulu and September 12th, 2007 Mentawai that did not generate tsunami. This research
used a waveform inversion method to analyze all the data. The earthquakes that have seismic
moment of 0,4756x1021 - 0,2795x1022 Nm, equal to moment magnitude (Mw) of 7.7 – 8.2, are
categorized as large earthquakes. Based on data analysis, it showed that earthquakes generated
tsunami had the rupture duration of about 90 seconds and 35 km depth. On the other hand,
earthquakes that had the rupture duration of about 50 seconds and 40 km depth did not generate
tsunami.

Keywords: source process, seismic moment, rupture duration

124
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

1. PENDAHULUAN 2. DATA DAN METODE


Analisis proses sumber gempabumi 2.1 Data Penelitian
merupakan hal penting untuk mempelajari Penelitian ini menggunakan data
sifat fisis gempabumi (Fatchurochman, waveform teleseismik pada gempabumi di
2011). Proses sumber dari suatu gempabumi wilayah bagian barat Sumatra yang
yaitu mekanisme fokus, durasi rupture, nilai mengakibatkan tsunami dan tidak
momen seismik dan distribusi slip. mengakibatkan tsunami yang diambil dari
Aktivitas kegempaan di Sumatra Incorporated Research Institutions for
menurut Naryanto (1997), dominan terjadi Seismology- Data Manager Center (IRIS-
pada zona penunjaman lempeng dan zona DMC) dengan magnitudo > 7.
sesar Sumatra. Gempabumi yang terjadi pada Untuk gempabumi Bengkulu 12
zona penunjaman lempeng mempunyai September 2007 menggunakan data 18
magnitudo 4-8,2 dan terletak di lepas pantai, stasiun, gempabumi Mentawai 25 Oktober
sedangkan gempabumi yang terjadi pada 2010 menggunakan data 36 stasiun,
sesar Sumatra mempunyai magnitudo 4-7,4. gempabumi Bengkulu 4 Juni 2000
Penelitian mengenai kegempaan di Sumatra menggunakan 27 stasiun dan gempabumi
juga dijelaskan oleh Zen (1987) dalam Mentawai 12 September 2007 menggunakan
Naryanto (1997). Dalam penelitiannnya, Zen 23 stasiun dengan rentang jarak 30⁰-90⁰ dari
mengelompokkan gempabumi di Sumatra episenter, lebar rentang waktu 1 menit
berdasarkan studi mekanisme dan distribusi sebelum dan 10 menit setelah gelombang
geografis yaitu: datang P dengan band pass filter antara
1. Gempabumi akibat penunjaman 0,001-1 Hz dan lebar waktu pencuplikan 0,25
lempeng Indo-Australia dan Eurasia, detik.
dimana gempa dangkal umumnya Data tersebut merupakan data
terjadi antara kepulauan sebelah barat gempabumi yang mengakibatkan tsunami
dan daratan Sumatra yaitu: Bengkulu 12 September 2007,
2. Gempabumi akibat pergerakan di zona Mentawai 25 Oktober 2010 dan gempabumi
sesar Sumatra yang tidak mengakibatkan tsunami yaitu:
3. Gempabumi akibat aktivitas Bengkulu 4 Juni 2000 dan Mentawai 12
magmatik, terumata di Sumatra September 2007. Data parameter sesar yaitu
Selatan strike, dip, slip diperoleh dari Global
Wilayah bagian Barat Sumatra Centroid Moment Tensor (Global CMT)
merupakan salah satu wilayah yang rawan yang digunakan sebagai input awal dalam
terjadinya tsunami di Indonesia. Hal ini program inversi.
dikarenakan pantai di wilayah tersebut
berhadapan langsung dengan pertemuan 2.2 Metode Penelitian
lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia Perangkat lunak yang digunakan
(BMKG, 2012). Tercatat sejak kurun waktu dalam pengolahan data yaitu program inversi
1992-2014 terdapat 5 kejadian gempabumi yang dikembangkan oleh Yagi (2004) untuk
besar yang mengakibatkan tsunami di mendapatkan proses sumber dari suatu
wilayah bagian Barat Sumatra. gempabumi. Adapun tahap yang dilakukan
Hal ini menjadi sangat menarik untuk yaitu:
diteliti berkaitan dengan karakteristik proses Tahap Pertama:
sumber gempabumi yang diakibatkan oleh Mendownload data wavefrom
gempabumi besar, hubungan antara proses teleseismik dari Incorporated Research
sumber gempabumi dengan potensi tsunami Institutions for Seismology (IRIS) pada Data
dan perbandingan gempabumi pembangkit Manager Center (DMC)
tsunami dan bukan pembangkit tsunami Tahap Kedua:
berdasarkan proses sumber gempabumi di Sebelum melakukan proses inversi,
wilayah tersebut. preparasi data merupakan hal yang penting.
Preparasi data dilakukan dengan memilih

125
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

waveform teleseismik yang ingin digunakan, 3.1.1 Bengkulu, 12 September 2007


lalu waveform diwindowing, converting, Proses rupture gempabumi Bengkulu
sampling dan filtering sehingga diperoleh 12 September 2007 dihasilkan oleh proses
waveform observasi, selanjutnya data inversi waveform teleseismik ditunjukkan
hiposenter dan lokasi stasiun dikombinasi pada gambar 3.1. Hasil dari proses inversi ini
dengan model kecepatan Jeffreys Bullen yaitu mekanisme fokus gempabumi, durasi
untuk diproses menggunakan fungsi green. rupture, dan distribusi slip saat terjadi
Adapun formula fungsi green dengan gempabumi.
menggunakan metode Kikuchi dan Kanamori
(1991) adalah sebagai berikut:
..... (2.1)
dimana merupakan Amplitudo yang
berhubungan dengan jarak stasiun dengan
hiposenter, adalah pola radiasi dan
adalah fungsi waktu sumber. Kemudian
parameter strike, dip, rake diproses sehingga
mendapatkan waveform sintetik.
Proses berikutnya adalah
menginversi waveform observasi dengan
waveform sintetik. Pada proses ini, dapat
diketahui nilai variansi dari hasil inversi yang
telah dilakukan. Menurut Yamanaka dan
Ishida (1996), Ito dkk. (2004) dalam Suardi
(2013), nilai variansi dapat dihitung dengan
formula sebagai berikut:
............ (2.2) Gambar 1 Proses rupture gempabumi
Bengkulu, 12 September 2007. (a)
dimana adalah komponen mekanisme fokus, (b) durasi rupture, (c)
vertikal dari waveform observasi pada stasiun distribusi slip saat terjadi gempabumi, tanda
bintang adalah lokasi hiposenter
j, adalah komponen vertikal dari
waveform sintetik/sintetik pada stasiun j. Mekanisme fokus dari gempabumi ini
Jika variansi memiliki nilai yang memiliki strike 328⁰, dip 9⁰, slip 108,8⁰
besar, maka proses inversi diulang/diiterasi (gambar 3.1(a)), durasi rupture gempabumi
kembali ke tahap pemilihan waveform. Jika adalah 98,7 detik dengan total momen
nilai variansinya kecil atau minimum, maka seismik sebesar 0,2795x1022 Nm (8,2 Mw)
proses inversi telah selesai sehingga didapat (gambar 3.1(b)) dan distribusi slip luas dan
parameter sumber, slip pada subsesar dan hampir merata (gambar 3.1(c)), pada gambar
distribusi slip. tersebut terlihat bidang sesar dengan luas 360
x 160 km dibagi kedalam beberapa grid
3. HASIL DAN PEMBAHASAN dengan luas tiap grid 20 x 20 km, slip
3.1 Gempabumi Pembangkit Tsunami maksimum yang dihasilkan adalah sebesar
Untuk gempabumi pembangkit 2,4 m (warna merah).
tsunami, dipilih sebanyak dua kejadian Pada gambar 3.1(c) juga
gempabumi yaitu gempabumi Bengkulu 12 menunjukkan asperity yang pecah saat
September 2007 dan gempabumi Mentawai terjadi gempabumi Bengkulu 12 September
25 Oktober 2010. Berdasarkan laporan tim 2007. Menurut Yamanaka dan Kikuchi
survey BMKG (2007) setelah gempabumi (2003), asperity merupakan daerah pada
Bengkulu 12 September 2007, gempabumi bidang sesar yang besar slipnya lebih besar
ini mengakibatkan gelombang tsunami dari setengah slip maksimum yang terjadi
setinggi 1-3 m dan gempabumi Mentawai 25 pada bidang sesar tersebut.
Oktober 2010 mengakibatkan gelombang
tsunami setinggi 5-7 m (BMKG, 2015).

126
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Gambar 3.2 Proses fitting (pencocokkan)


waveform observasi dan sintetik
Gambar 3.3 Proses rupture gempabumi
Proses inversi yang dilakukan Mentawai, 25 Oktober 2010. (a) mekanisme
menggunakan waveform teleseismik fokus, (b) durasi rupture, (c) distribusi slip
(observasi) dari 18 stasiun seismik dengan saat terjadi gempabumi, tanda bintang adalah
durasi sinyal 160 detik untuk masing-masing lokasi hiposenter
stasiun. Dalam proses inversi, dilakukan
fitting (pencocokkan) waveform antara
waveform observasi dengan waveform
sintetik. Hasil pencocokkan waveform seperti
yang ditunjukkan pada gambar 3.2. Terlihat
bahwa waveform observasi (warna hitam)
berhimpit dengan waveform sintetik (warna
merah) atau mendapatkan hasil pencocokkan
yang baik dengan nilai variansi yang kecil
yaitu 0,37119.

3.1.2 Mentawai, 25 Oktober 2010


Hasil inversi waveform teleseismik
dari 36 stasiun menghasilkan proses rupture
gempabumi Mentawai 25 Oktober 2010 yang
ditunjukkan pada gambar 3.3 yaitu
mekanisme fokus gempabumi, durasi
rupture, dan distribusi slip pada saat terjadi Gambar 3.4 Proses fitting (pencocokkan)
gempabumi. waveform observasi dan sintetik
Pada gambar 3.3(a) memperlihatkan
mekanisme fokus dari gempabumi ini yang Proses inversi yang dilakukan
memiliki parameter-parameter sesar yaitu menggunakan waveform teleseismik dari 36
strike 316⁰, dip 8⁰, slip 92,9⁰. Kemudian stasiun dengan durasi sinyal 160 detik untuk
gambar 3.3(b) memperlihatkan durasi masing-masing stasiun. Dalam proses
rupture 92,16 detik dengan total momen inversi, dilakukan fitting (pencocokkan)
seismik sebesar 0,5866 x 1021 Nm (7,8 Mw). waveform antara waveform observasi dengan
Sedangkan gambar 3.3(c) memperlihatkan waveform sintetik. Hasil pencocokkan
distribusi yang luas dan hampir merata. waveform seperti yang ditunjukkan pada
Bidang sesar memiliki luas 190 x 70 km gambar 3.4. Terlihat bahwa waveform
yang dibagi kedalam beberapa grid dengan observasi (warna hitam) berhimpit dengan
luas tiap grid 10 x 10 km, dimana slip waveform sintetik (warna merah) atau
maksimum yang dihasilkan adalah sebesar mendapatkan hasil pencocokkan yang baik
2,7 m (warna merah).

127
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

dengan nilai variansi yang kecil yaitu gempabumi ini adalah 170 x 70 km yang
0,39745. dibagi kedalam beberapa grid dengan luas
tiap grid 10 x 10 km. Gempabumi ini
3.2 Gempabumi Bukan Pembangkit menghasilkan slip maksimum (berwarna
Tsunami merah) sebesar 8,2 meter.
Untuk gempabumi bukan pembangkit
tsunami, dipilih sebanyak dua kejadian
gempabumi yaitu gempabumi Bengkulu 4
Juni 2000 dan gempabumi Mentawai 12
September 2007.
3.2.1 Bengkulu, 4 Juni 2000
Hasil inversi waveform teleseismik
dari 26 stasiun pada penelitian ini
menunjukkan proses rupture gempabumi
Bengkulu 4 Juni 2000. Hasil dari proses
inversi yang berupa parameter-parameter
sumber yaitu mekanisme sumber
gempabumi, durasi rupture dan distribusi slip
pada saat terjadi gempabumi ditunjukkan
pada gambar 3.5.

Gambar 3.6 Proses fitting (pencocokkan)


waveform observasi dan sintetik

Proses inversi yang dilakukan


menggunakan waveform teleseismik dari 26
stasiun dengan durasi sinyal 90 detik untuk
masing-masing stasiun. Dalam proses
inversi, dilakukan fitting (pencocokkan)
waveform antara waveform observasi dengan
waveform sintetik. Hasil pencocokkan
waveform seperti yang ditunjukkan pada
gambar 3.6. Terlihat bahwa waveform
observasi (warna hitam) berhimpit dengan
waveform sintetik (warna merah) atau
Gambar 3.5 Proses rupture gempabumi mendapatkan hasil pencocokkan yang baik
Bengkulu 4 Juni 2000. (a) mekanisme fokus, dengan nilai variansi yang sangat kecil yaitu
(b) durasi rupture, (c) distribusi slip saat 0,18171.
terjadi gempabumi, tanda bintang adalah
lokasi hiposenter 3.2.2 Mentawai, 12 September 2007
Hasil inversi waveform teleseismik
Mekanisme fokus dari gempabumi dari 23 stasiun pada penelitian ini
Bengkulu 4 Juni 2000 ditunjukkan pada menunjukkan proses rupture gempabumi
gambar 3.5(a) dengan parameter-parameter Mentawai 12 September 2007. Hasil dari
proses inversi yang berupa parameter-
sesar yaitu strike 199⁰, dip 67⁰, slip 34,9⁰,
parameter sumber yaitu mekanisme fokus
durasi rupture gempabumi ini adalah 46,1
gempabumi, durasi rupture dan distribusi slip
detik dengan total momen seismik sebesar
pada saat terjadi gempabumi ditunjukkan
0,1308x1022 Nm (8,0 Mw) (gambar 3.5(b)).
pada gambar 3.7.
Untuk distribusi slip saat terjadi gempabumi
ini ditunjukkan pada gambar 3.5(c), terlihat
bahwa distribusi slipnya tidak merata dan
lebih kecil luasannya. Luas bidang sesar pada

128
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Gambar 3.7 Proses rupture gempabumi Gambar 3.8 Proses fitting (pencocokkan)
Mentawai 12 September 2007. (a) waveform observasi dan sintetik
mekanisme fokus, (b) durasi rupture, (c)
distribusi slip saat terjadi gempabumi, tanda Proses inversi yang dilakukan
bintang adalah lokasi hiposenter menggunakan waveform teleseismik dari 23
stasiun dengan durasi sinyal 90 detik untuk
Mekanisme fokus dari gempabumi masing-masing stasiun. Dalam proses
Mentawai 12 September 2007 ditunjukkan inversi, dilakukan fitting (pencocokkan)
pada gambar 3.7(a) dengan parameter- waveform antara waveform observasi dengan
parameter sesar yaitu strike 317⁰, dip 19⁰, waveform sintetik. Hasil pencocokkan
slip 100,1⁰, durasi rupture gempabumi ini waveform seperti yang ditunjukkan pada
adalah 39,95 dengan total momen seismik gambar 3.8. Terlihat bahwa waveform
sebesar 0,4756x1021 Nm (7,7 Mw) observasi (warna hitam) berhimpit dengan
ditunjukkan pada gambar 3.7(b)). Untuk waveform sintetik (warna merah) atau
distribusi slip saat terjadi gempabumi ini mendapatkan hasil pencocokkan yang baik
ditunjukkan pada gambar 3.7(c), terlihat dengan nilai variansi yang kecil yaitu
bahwa distribusi slipnya lebih kecil 0,46130.
luasannya. Luas bidang sesar pada
gempabumi ini adalah 75 x 40 km yang 3.3 Kriteria Gempabumi Pembangkit
dibagi kedalam beberapa grid dengan luas Tsunami
tiap grid 5 x 5 km. Gempabumi ini Mekanisme sumber suatu gempabumi
menghasilkan slip maksimum (berwarna dapat memperlihatkan suatu gempa
merah) sebesar 10,2 meter. merupakan pembangkit tsunami atau bukan.
Adapun kriteria pembangkit tsunami
berdasarkan mekanisme sumber yaitu:
1. Dalam Pedoman Pelayanan Peringatan
Dini Tsunami InaTEWS, gempabumi
yang dapat membangkitkan tsunami
memiliki kriteria sebagai berikut:
 Gempabumi tektonik terjadi di
bawah laut
 Kedalaman hiposenter < 100 km
 Kekuatan 7 SR atau lebih
 Pergerakan Lempeng tektonik terjadi
secara vertikal

129
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

(2014) untuk gempabumi pembangkit


Tabel 4.1 Parameter Gempabumi tsunami > 5,1 x1019 Nm. Hasil momen
seismik (Mo) dari penelitian ini
Gempa Ked Mag sebagai berikut:
Sesar Hiposenter
bumi (Km) (Mw) a. Gempabumi Bengkulu 12 September
Bengkulu
2007 : 0,2795x1022 Nm
12 Bawah b. Gempabumi Mentawai 25 Oktober
35 8,2 Naik 2010 : 0,5866x1021 Nm
September laut
2007 c. Gempabumi Bengkulu 4 Juni 2000 :
Mentawai 0,1308x1022 Nm
Bawah
25 Oktober 20 7,8 Naik d. Gempabumi Mentawai 12 September
laut
2010 2007 : 0,4756x1021 Nm
Bengkulu Pada kriteria ini keempat gempabumi
Bawah
4 Juni 52.7 8,0 Naik memenuhi syarat dengan momen seismik
laut
2000 seperti di atas, terbukti bahwa gempabumi
Mentawai Bengkulu 12 September 2007 dan Mentawai
12 Bawah
40 7,7 Naik 25 Oktober 2010 membangkitkan tsunami,
September laut
2007 namun tidak semua gempabumi dengan nilai
momen seismik > 5,1 x1019 Nm dapat
Berdasarkan tabel 4.1 menunjukkan membangkitkan tsunami.
bahwa gempabumi yang memenuhi kriteria
ini belum tentu dapat membangkitkan 4. Kedalaman gempabumi dan distribusi
tsunami. slip
Gempabumi Bengkulu 12
2. Durasi rupture > 50 detik (Madlazim, September 2007 memiliki kedalaman
2011) gempa 35 km, gempabumi mentawai
Madlazim (2011) mengatakan 25 Oktober 2010 memiliki kedalaman
bahwa gempabumi yang 20 km. Kedua gempa ini memiliki
membangkitkan tsunami merupakan kedalaman gempa yang sangat
gempabumi yang menghasilkan durasi dangkal, asperity yang luas, distribusi
rupture lebih dari 50 detik. Pada slip lebih merata pada bidang sesar
penelitian ini, Gempabumi Bengkulu yaitu hampir memenuhi bidang sesar
12 September 2007 menghasilkan dengan luas 360 x 160 km untuk
durasi rupture 98,7 detik, Mentawai 25 gempabumi Bengkulu 12 September
Oktober 2010 92,16 detik, Bengkulu 4 2007 dan 190 x 70 km untuk
Juni 2000 46,1 detik dan Mentawai 12 gempabumi Mentawai 25 Oktober
September 2007 menghasilkan durasi 2010 dan distribusi slipnya lebih dekat
rupture 39,95 detik. Berdasarkan dengan permukaan.
kriteria ini, terbukti bahwa gempabumi Untuk gempabumi Bengkulu 4 Juni
Bengkulu 12 September 2007 dan 2000 memiliki kedalaman 52,7 km dan
Mentawai 2010 merupakan gempabumi Mentawai 12 September
gempabumi pembangkit tsunami. 2007 memiliki kedalaman 40 km,
kedalaman yang lebih dalam dari
3. Nilai momen seismik (Mo) kedua gempabumi sebelumnya dan
Menurut Pribadi (2014), tsunami menghasilkan asperity dengan luas
yang diakibatkan oleh gempabumi yang lebih kecil, distribusi slipnya
(tsunamigenic earthquake) memiliki tidak merata/terpisah-pisah dan lebih
rentang besar momen seismik 5,1 dalam letaknya di bawah permukaan.
x1019 Nm < Mo < 6,4 x1022 Nm,
dalam penelitian ini diasumsikan 4. KESIMPULAN
hanya gempabumi yang 1. Karakteristik untuk gempabumi besar
membangkitkan tsunami tanpa diindikasi dengan nilai momen seismik
mengklasifikasikannya, sehingga besar yang besar. Penelitian ini
momen seismik berdasarkan Pribadi menghasilkan nilai momen seismik
0,4756x1021 - 0,2795x1022 Nm setara

130
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

dengan magnitude momen (Mw) 7,7 – Teleseismic Body Wave and Near-
8,2. Source Strong Motion Data, Tesis,
2. Terdapat hubungan antara proses Program Pascasarjana Manajemen
sumber gempabumi dengan potensi Bencana, Building Research Institute,
tsunami. Durasi rupture merupakan Tokyo.
salah satu parameter proses sumber Madlazim, 2011, Toward Indonesian
yang mengkarakteristikkan Tsunami Early Warning System by
gempabumi berpotensi tsunami atau Using Rapid Rupture Duration
tidak. Durasi rupture yang lama Calculation, Journal of Tsunami
mengindikasikan gempabumi tersebut Society International, Vol.30, Nomer
berpotensi tsunami. 4.
Naryanto, H.S., 1997, Kegempaan di Daerah
3. Perbandingan gempabumi pembangkit Sumatra, Alami, Vol.2.
tsunami dan bukan berdasarkan proses Pribadi, S., 2014, Karakteristik Gempabumi
sumber yaitu Gempabumi pembangkit Pembangkit Tsunami di Indonesia
tsunami memiliki durasi rupture > 90 Berdasarkan Analisis Parameter
detik dengan kedalaman gempa sangat Sumber, Disertasi, Program Doktor,
dangkal < 35 km dan gempabumi Institut Teknologi Bandung, Bandung.
bukan pembangkit tsunami memiliki Suardi, I., 2013, Analysis of Source Rupture
durasi rupture < 50 detik dengan Process of the September 2, 2009
kedalaman gempa lebih dalam > 40 Tasikmalaya Earthquake by using The
km. Joint Inversion Method of Near Field
and Teleseismic Data, Disertasi,
UCAPAN TERIMA KASIH Program Doktor, Institut Teknologi
Ucapan terima kasih sebesar-sebarnya Bandung, Bandung.
kepada Bapak Dr. Iman Suardi, M.Sc selaku Tim Survey BMKG, 2007, Survey Tsunami
dosen pembimbing utama dan Bapak Pantai Barat Sumatra-Bengkulu,
Dr.Muzli, M.Sc selaku pembimbing kedua Laporan Survey Tsunami Pantai Barat
yang telah memberikan bimbingan, arahan Sumatra-Bengkulu, BMKG, Jakarta.
dan bantuan dalam menyelesaikan penelitian Yamanaka, Y., dan Kikuchi, M., 2003,
ini dan juga terima kasih kepada Bapak Iman Source Process of the recurrent
Fatchurochman, MDM yang telah Tokachi-Oki Earthquake on September
memberikan ilmu dan mengajarkan 26, 2003, Inferred of Teleseismic
penggunaan program secara mendalam demi Body Waves, Earth Planet Space, 55,
kelancaran penelitian ini. e21-e24.

DAFTAR PUSTAKA Pustaka dari Situs Internet


BMKG, 2012, Pedoman Pelayanan BMKG, 2015, Gempabumi dan Tsunami
Peringatan Dini Tsunami, Edisi Mentawai 25 Oktober 2010,
Kedua, Badan Meteorologi Http://inatews.bmkg.go.id/new/about_i
Klimatologi dan Geofisika, Jakarta. natews.php?urt=17, diakses tanggal 14
Fatchurochman, I., 2011, Source Rupture Juni 2015.
Process of the Mentawai, Indonesia
Earthquake of October 25th, 2010,
Determined by Joint Inversion of

131
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

PERANCANGAN DAN PEMBUATAN MAGNETOMETER DIGITAL


DENGAN SENSOR MAGNET HMC5883L BERBASIS WEB
Rizky Ananda Putra, Agus Tri Sutanto
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
E-mail : rizkybbmkg1@gmail.com

ABSTRAK
Pengamatan medan magnet di BMKG khususnya bidang geofisika bertujuan untuk
kepentingan survey magnet dan mengetahui peta perubahan variasi medan magnet bumi. Untuk itu
diperlukan alat pemantau medan magnet yang dapat bekerja secara otomatis merekam data
pembacaan medan magnet untuk mempermudah pengamatan dan pengukuran medan magnet bumi.
Pada penelitian ini, penulis merancang dan membuat sebuah magnetometer digital berbasis web.
Instrumen ini terdiri atas perangkat keras dan perangkat lunak. Perangkat keras terdiri atas modul
sensor HMC5883L, LM35, Real Time Clock (RTC) DS1307, GPS, minimum sistem, I/O level
converter, AVR ATmega16, Personal Computer (PC) dan LCD 20x4 untuk menampilkan data
hasil pengukuran. Perangkat lunak terdiri dari CodeVision AVR yang diprogram menggunakan
bahasa C dan LabVIEW. Alat magnetometer hasil rancangan ini telah dikomparasi dengan
magnetometer digital operasional yang telah dikalibrasi di Stasiun Geofisika Tangerang dengan
hasil dapat mengukur arah dan besar medan magnet berupa keluaran variasi dari komponen X, Y
dan Z dengan range -21.500 nT sampai 40.000 nT sesuai dengan kondisi kemagnetan di Stasiun
Geofisika Tangerang, dimana data hasil pembacaan dari alat akan ditampilkan dan disimpan pada
PC secara real time menggunakan aplikasi LabVIEW serta ditampilkan dalam bentuk web pada
jaringan lokal.

Kata kunci: Medan magnet, magnetometer, sensor HMC5883L, mikrokontroler ATmega16

ABSTRACT
BMKG magnetic field observations in the field of geophysics, especially aimed at the
interests of the magnetic survey and determine the variation in Earth's magnetic field changes
map. For accomplished this interest, automatically magnetic field monitoring instruments is
needed to record magnetic data to facilitate magnetic field observations and magnetic field
measurements. In this research, author designed and created a web-based digital magnetometer.
This instrument consists of hardware and software. The hardware consists of a sensor module
HMC5883L, LM35, DS1307 Real Time Clock, GPS, minimum system, I/O level converter, AVR
ATmega16, Personal Computer (PC) and 20X4 LCD to display the result of measurement data.
The software consists of CodeVision AVR programmed using C language and LabVIEW. This
designed magnetometer instrument has been compared by digital magnetometer that has been
calibrated in Geophysics Station of Tangerang. The result of this magnetometer can measure
magnetic field direction and output of components X, Y and Z in the range around -21 500 nT to
40,000 nT in accordance with the conditions of magnetism in Geophysics Station of Tangerang.
Result of data readings from the instrument will be displayed and stored on a PC in real time using
LabVIEW application and displayed in a web form on local network.

Keywords : magnetic fields, magnetometers, HMC5883L sensor, microcontroller ATmega16

132
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

1. PENDAHULUAN Salah satu jenis sensor untuk mengukur arah


Medan magnet adalah salah satu dan besar medan magnet adalah sensor
besaran fisis yang sangat penting dan magnet HMC5883L, dimana sensor memiliki
digunakan dalam berbagai bidang, misalnya rentang pengukuran dari -8000 sampai 8000
dalam bidang geofisika, geologi, serta dalam milliGauss yang sesuai untuk aplikasi
berbagai bidang lainnya. Badan pengukuran arah dan besar medan magnet
Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika suatu daerah tertentu (Putra dan sutanto,
(BMKG) khususnya bidang geofisika, 2014).
pengamatan medan magnet bumi dilakukan Pada penelitian ini, mikrokontroler
untuk mengetahui peta variasi magnet bumi yang digunakan adalah mikrokontroler AVR
dan memetakan perubahannya dalam kurun ATmega 16 produk Atmel yang dapat
waktu 5 tahun. Pemetaan medan magnet diprogram untuk melakukan pengambilan
merupakan hasil dari penggambaran medan dan pengendalian data menggunakan bahasa
magnet dalam ruang. C. Hasil pengukuran data ditampilkan secara
Pada saat ini BMKG melakukan real time menggunakan LCD 20x4 dan akan
pengamatan fenomena kemagnetan bumi di 5 diakuisisi menggunakan program LabVIEW
stasiun, yaitu di Stasiun Geofisika Tangerang pada PC serta dapat diakses melalui web
(1964), Stasiun Geofisika Tuntungan, Medan pada jaringan lokal.
(1980), dan Stasiun Geofisika Manado di
Tondano (1990). Sedangkan 2 stasiun 1.1. Pengukuran Medan Magnet
lainnya baru mulai operasi akhir tahun 2006, Sensor medan magnet dibagi menjadi
yaitu di Stasiun Geofisika Kupang dan dua berdasarkan kepekaan pengukuran
Stasiun Geofisika Bandung di Pelabuhan dimana magnetometer lebih peka untuk
Ratu. Selain melakukan pengamatan magnet mengukur medan rendah dan gausmeter lebih
bumi secara stasioner, BMKG juga peka untuk mengukur medan tinggi. Pada
melakukan pengamatan magnet bumi secara pengukuran medan magnet rendah
berkala di titik-titik tertentu yang disebut (magnetometer) terdapat dua tipe sensor
sebagai repeat stations, setiap 5 tahun sekali. yaitu tipe sensor berdasarkan komponen
Jumlah repeat station saat ini ada 53 titik. vektor dan sensor berdasarkan besaran
Peta medan magnet digunakan dalam skalar, seperti pada Gambar 1.
eksplorasi geologi karena variasi dalam besar
dan arah medan magnet bumi memberikan
gambaran dari permukaan bumi bagian
dalam. Peta medan magnet dibuat dengan
mengukur pola medan magnet di sekitar
permukaan bumi menggunakan sensor
medan magnetik.
Untuk berbagai keperluan pemantauan
dan penelitian yang berkaitan dengan medan
magnet. Maka dibutuhkan sebuah instrumen
pengukur medan magnet yang akurat dan Gambar 1. Klasifikasi sensor medan magnet
memiliki banyak kelebihan baik pada sisi Hubungan antara medan magnet dan
kepraktisan, efisiensi, dimensi, catu daya tiap-tiap komponennya pada Gambar 2. dan
yang rendah dan pencatatan nilai arah medan dapat dinyatakan melalui persamaan (Husni,
magnet secara real time. Dalam penelitian 2012) :
ini, instrumen pengukur medan magnet
tersebut akan diaplikasikan dalam
pengukuran arah dan besar medan magnet
dengan komponen X, Y dan Z. Instrumen
pengukur arah dan besar medan magnet
memerlukan sensor magnet sebagai bagian
terdepan untuk memperoleh data medan
magnet. Sensor terdiri dari berbagai jenis
dengan karakteristiknya masing-masing.

133
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Satuan lain suhu dan yang sering


dipakai adalah derajat celcius (˚C) simbol
yang dipakai adalah t. Hubungan antara T
dan t adalah:
t   - 273,15 C (8)

2. METODE PENELITIAN
Perancangan alat ini terdiri dari Blok
diagram alat. Komponen alat yang
digunakan, perancangan, flowcart, sistem
Gambar 2. Komponen vektor medan magnet kerja serta data yang ditampilkan
bumi
X = H cos D (1) 2.1. Perancangan Hardware
Y = H sin D = X tan D (2) Perancangan hardware menjelaskan
Z = F sin I = H tan I (3) mengenai blok diagram perancangan alat
D = arctan (Y/X) (4) secara keseluruhan serta system antar muka
I = arctan (Z/H) (5) hardware yang terdiri dari setiap komponen
F2 = X2 + Y2 + Z2 = H2 + Z2 (6) alat. Berdasarkan blok diagram pada Gambar
Dimana : 3, sensor magnet HMC5883L berfungsi
 Intensitas vertikal (Z), yaitu besar untuk mengukur arah dan besar medan
medan magnet pada bidang vertikal. magnet pada suatu daerah tertentu.
 Intensitas arah (X), yaitu besar Selanjutnya sensor akan dihubungkan
medan magnetik yang searah dengan dengan (Input/Output) I/O level converter
utara sebenarnya. agar tegangan 5 VDC dari mikrokontroler
 Intensitas arah (Y), yaitu besar diubah menjadi 3,3 VDC yang kemudian
medan magnetik yang searah dengan dihubungkan ke mikrokontroler ATmega16
timur sebenarnya. bersama RTC DS1307 agar data yang
 Deklinasi (D), yaitu sudut antara diperoleh merupakan data yang real time
utara sebenarnya (true north) dengan melalui interface I2C. Kemudian
utara magnetik. mikrokontroler akan mengolah dan
 Inklinasi (I), yaitu sudut antara menampilkan data hasil pengukuran arah dan
medan magnetik total dengan bidang besar medan magnet serta waktu pada LCD
horizontal yang dihitung dari bidang 20x4 dan PC dalam bentuk grafik
horizontal menuju bidang vertikal ke menggunakan program LabVIEW.
bawah.
 Intensitas horizontal (H), yaitu besar
medan magnetik pada bidang
horizontal.
 Medan magnetik total (F) , yaitu
besar dari vektor medan magnetik
total.

1.2. Pengukuran Suhu
Suhu juga disebut temperatur, Satuan
Internasional (SI) suhu adalah Kelvin (K)
menurut International Temperature Scale-
1990 (ITS-90) standar acuan fisikal suhu
Gambar 3. Blok diagram alat
adalah titik tiga fasa air (triple point of
water) dengan nilai TTPW= 273,16 K,
Sistem antarmuka yang digunakan
sehingga satuan Kelvin adalah:
pada alat ini adalah sebagai berikut:
1
1   T PW (7) a. Antarmuka sensor ke mikrokontroler
273,16 Sensor HMC5883L dan RTC
menggunakan antarmuka komunikasi

134
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

I2C, dimana Pin SCL sebagai sumber sehingga dapat dikalibrasi langsung dalam
clock dan Pin SDA sebagai jalur untuk celcius. Memiliki ketepatan atau akurasi
mengirim dan menerima. Sensor LM35 kalibrasi 0,5ºC pada suhu 25 ºC. Memiliki
menggunakan Analog to Digital jangkauan maksimal operasi suhu antara -55
Converter (ADC) yang ada pada PORT ºC sampai +150 ºC. Dioperasikan tegangan 4
A mikrokontroler dan GPS V – 30 V.
menggunakan USART serial sebagai
media antarmukanya.
b. Antarmuka mikrokontroler komputer
Alat ini menggunakan komunikasi
Uneversal Serial Bus (USB) to serial
yang telah terdapat pada minimum
sistem agar bisa berkomunikasi dengan
komputer dan menampilkan data pada Gambar 5. Bentuk fisik sensor suhu LM35
program LabVIEW. c. Input/Output level converter

Komponen-komponen hardware I/O Level Converter merupakan suatu


maupun software yang digunakan pada modul yang dapat digunakan untuk
penelitian ini sebagai berikut : mengubah level tegangan I/O 5V menjadi
a. Sensor magnet HMC5883L 3,3V. Modul ini dapat diaplikasikan untuk
Sensor HMC5883L didesain untuk antarmuka antara modul mikrokontroler
membaca besar medan magnet yang cocok bertegangan I/O 5V dengan modul sensor
untuk aplikasi yang memerlukan digital atau modul digital lain yang
pengukuran medan magnet. Spesifikasi dari bertegangan I/O 3,3V.
sensor ini memiliki tegangan kerja 3,3 VDC
dengan tegangan maksimum 3,6 VDC serta
konsumsi arus yang rendah (100 µA),
Memiliki sensor magnetoresistive 3 sumbu
yaitu X, Y, dan Z, memiliki jangkauan
pembacaan medan magnet dari -8 sampai 8
Gauss dengan resolusi 5 milliGauss, sensor Gambar 6. Bentuk fisik I/O level converter
ini menggunakan antarmuka I2C, memiliki
output rate maksimum sampai dengan 160 d. Mikrokontroler
Hz (Single Measurement Mode) dan output Pada perancangan alat ini minimum
rate 0,75 Hz s/d 75 Hz (Continuous sistem mikrokontroler yang digunakan
Measurement Mode) serta telah dilengkapi adalah DI-Super Smart AVR16 yang dipilih
ADC internal 12 bit sehingga keluaran dari berdasarkan kebutuhan sistem yang dibangun
sensor telah berbentuk sinyal digital. serta pertimbangan biaya yang minimal
(Winoto, 2010).

Gambar 4. Bentuk fisik sensor magnet


HMC5883L
Gambar 7. Minimum sistem ATmega16
b. Sensor suhu LM35 e. Real time clock
Sensor suhu LM35 memiliki
sensitivitas suhu dengan faktor skala linier
antara tegangan dan suhu 10 mVolt/ºC,

135
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Real time clock biasanya berupa


sebuah IC yang mempunyai clock sumber
sendiri dan internal batery untuk menyimpan
data waktu dan tanggal. Sehingga jika sistem
komputer atau mikrokontroler mati, waktu
dan tanggal didalam memori RTC tetap.

Gambar 10. LCD 20x4

h. CodeVision AVR
CodeVision AVR merupakan sebuah
Gambar 8. Bentuk fisik real time clock software untuk memprogram mikrokontroler.
Mikrokontroler dapat berfungsi jika telah
f. Neo Global Positioning System (GPS) diisi sebuah program, pengisian program ini
Spesifikasi dari Neo GPS Starter dapat dilakukan menggunakan compiler yang
Kit adalah sebagai berikut : selanjutnya diprogram ke dalam
 Berbasis SIM18, modul GPS Receiver mikrokontroler menggunakan fasilitas yang
48 channel dengan protokol keluaran sudah di sediakan oleh program tersebut.
SiRF OSP& NMEA. Salah satu compiler program yang umum
 Tersedia pilihan antarmuka: USB (virtual digunakan sekarang ini adalah CodeVision
COM port), UART TTL, atau I2C. AVR yang menggunakan bahasa
 Tegangan input catu daya 5 VDC, pemrograman C (Andrianto, 2013).
dilengkapi dengan regulator tegangan 1,8
VDC. i. LabVIEW
LabVIEW adalah suatu bahasa
pemrograman berbasis grafis yang
menggunakan icon sebagai ganti bentuk teks
untuk menciptakan aplikasi. Berlawanan
dengan bahasa pemrograman berbasis text, di
mana instruksi menentukan pelaksanaan
program, Labview menggunakan
pemrograman data flow, yang mana alur data
menentukan pelaksanaan (execution).
Tampilan pada Labview menirukan
Gambar 9. Bentuk fisik Neo GPS Starter Kit instrument secara virtual (Artanto, 2012).

g. LCD (Liquid Cristal Display) 2.2 PERANCANGAN SOFTWARE


LCD yang dipakai pada sistem ini Software atau perangkat lunak yang
adalah LCD 20x4 dengan jumlah karakter digunakan adalah pemrograman CodeVison
yang dapat ditampilkan adalah 80 karakter AVR dan LabVIEW. Dengan menggunakan
dalam 20 kolom x 4 baris. LCD ini dipilih program ini maka mikrokontroler dapat
karena harga yang cukup ekonomis dengan membaca dan menampilkan data hasil
jumlah karakter yang sangat sesuai dengan pengukuran arah dan besar medan magnet ke
keluaran hasil pengukuran. LCD ini dapat LCD 20x4 dan PC secara real time.
menampilkan keluaran data sensor magnet Perancangan software terdiri dari
HMC5883L, suhu dan waktu sekaligus perancangan program mikrokontroler AVR
dalam satu tampilan. ATMega 16 dan Perancangan aplikasi
LabVIEW.
Pada diagram alir dijelaskan mengenai
alur dari program mikrokontroler AVR
ATMega 16 yang digunakan untuk

136
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

perancangan alat ukur medan magnet. perti


yang ditunjukan pada Gambar 11. Penjelasan
diagram alir adalah sebagai berikut :
1. Awal dari suatu program.
2. Melakukan inisialisasi I2C, USART dan
LCD pada library pemrograman Code
Vision AVR.

Gambar 12. Diagram alir aplikasi


LabVIEW

Penjelasan Diagram alir diatas adalah


sebagai berikut :
1. Awal dari suatu program.
2. Melakukan inisialisasi komunikasi serial
UART yaitu pada baudrate 9600 bps.
Gambar 11. Diagram alir program Dan inisialisasi PORT sesuai nomor
mikrokontroler PORT yang terdeteksi pada PC.
3. Proses menekan tombol connect atau start
3. Baca data yang diperoleh dari sensor untuk memulai program dan pemilihan
Magnet dan GPS. lokasi penyimpanan data dalam file .txt.
4. Proses pengolahan data pada 4. Proses menerima output dari
mikrokontroler mikrokontroler.
5. Apakah nilai arah dan besar medan 5. Proses mensortir data yang didapat dari
magnet dalam sumbu (X, Y, Z), suhu mikrokontroler yang berupa data X, Y, Z
serta waktu yang dihasilkan dari program dan suhu.
mikrokontroler telah tersedia. 6. Data akan ditampilkan dalam bentuk
6. Apabila data yang dikeluarkan sudah grafik.
tersedia maka output pengukuran dari 7. Data akan disimpan di tempat yang telah
sensor HMC5883L, LM35 dan GPS akan dipilih dalambentuk file .txt
ditampilan pada LCD 20x4 dan PC 8. Akan ditampilkan pada web dengan
Melalui USB to serial yang akan di memasukkan URL pada browser.
tampilkan dalam grafik menggunakan 9. Selesai.
program LabVIEW dan Web dimana
program akan melakukan pengulangan Pada perancangan tampilan web,
atau looping secara terus menerus. penulis menggunakan tools yang telah
Kemudian program berakhir. tersedia pada software LabVIEW. Penulis
menggunakan “web published tool” yang

137
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

akan digunakan untuk memonitoring data


yang terdapat dalam program LabVIEW ke
dalam web dengan jaringan localhost.
Tampilan pada web akan muncul dengan cara
mengetikkan URL (Uniform Resource
Locator) yang telah diberikan oleh
LabVIEW pada browser yang dimiliki maka
web akan menampilkan data yang sama
dengan data yang tampil pada PC server.

2.3 HASIL RANCANGAN ALAT


Pada dasarnya prinsip kerja dari alat
ini adalah sebagai alat pengukur arah dan
besar medan magnet dengan keluaran variasi
nilai X, Y, dan Z yang didapatkan dari
perubahan resistansi AMR (Anisotropic
Magnetoresistance). Alat ini dapat
digunakan pada range pengukuran -8000 s/d
8000 milliGauss sesuai dengan spesifikasi Gambar 13. Bentuk fisik alat secara
sensor dalam datasheet, Sebelum masuk ke keseluruhan
mikrokontroler, sensor akan dihubungkan
dengan I/O level converter agar tegangan 2.4 TAMPILAN DATA
input yang didapat sensor hanya 3,3 VDC Data yang akan ditampilkan pada LCD
sesuai karakteristik sensor yang dapat 20x4 adalah data arah dan besar medan
bekerja pada tegangan maksimum 3,6 VDC magnet dimana:
kemudian output analog dari sensor magnet  Baris ke 1 menampilkan Sumbu X
HMC5883L dan RTC akan diolah oleh ADC yaitu besar medan magnetik yang
internal yang terdapat pada sensor. Data dari searah dengan utara sebenarnya
sensor HMC5883L dan RTC akan diambil dengan satuan nanoTesla.
melalui Port C (PC.0-PC.7) yang  Baris ke 2 menampilkan Sumbu Y
dihubungkan dengan sensor menggunakan
yaitu besar medan magnetik yang
sistem interface I2C dimana SDA (serial
searah dengan timur sebenarnya
data) dari sensor magnet HMC5883L akan
dengan satuan nanoTesla.
disampbungkan pada PC.5 dan SCL (serial
 Baris ke 3 menampilkan Sumbu Z
clock) akan disambungkan pada PC.4. Untuk
yaitu besar medan magnetik pada
data suhu dari LM35 akan disambungkan
bidang vertikal dengan satuan
pada (PA.0) dan GPS akan disambungkan
nanoTesla.
menggunakan USART serial ke PC.
Sedangkan data masukan untuk tampilan  Baris ke 4 menampilkan SUHU dan
LCD dikeluarkan melalui Port B (PB.0- Tanggal.
PB.7). Untuk komunikasi ke PC,
menggunakan sistem USB to serial yang
sudah terdapat pada minimum sistem yang
kemudian dihubungkan ke dalam PC dengan
software aplikasi yang telah dibuat
menggunakan program LabVIEW dan dapat
ditampilkan dalam bentuk web menggunakan
Gambar 14. Bentuk tampilan pada LCD
tools yang terdapat dalam LabVIEW.
20x4
Diharapkan data yang ditampilkan pada PC
dan disimpan pada memory PC merupakan
Tampilan pada web dengan jaringan
data hasil pengukuran arah besar medan
lokal yang dibuat merupakan tampilan
magnet dan suhu yang real time.
monitoring dari program akuisisi LabVIEW
pada PC. Pengguna dapat melakukan
monitoring dan mengakses data dari web

138
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

tersebut secara real time asalkan di PC 3.1. Pengujian Sensor Magnet Dan Suhu
tersebut juga terinstal LabVIEW dan Dalam proses komparasi untuk nilai
terhubung jaringan local dengan PC yang medan magnet dan suhu dibutuhkan
sebagai server. beberapa alat sebagai berikut:
1. Magnetometer operasional merk LEMI-
018.
2. Thermometer chamber dan alat kalirator
suhu standart merk fluke tipe 1502a.
3. Alat magnetometer digital hasil
rancangan.
4. PC sebagai tampilan grafik,
penyimpanan data dan tampilan web.
5. Catu daya untuk PC dan data logger.
Komparasi yang bertujuan untuk
mengetahui kedekatan nilai dari alat
magnetometer digital yang dirancang dengan
Gambar 15. Tampilan pada web alat magnetometer operasional yang telah
menggunakan internet explorer dikalibrasi ini dilakukan pada :
 Tanggal : 4-5Juni
Tampilan sistem akuisisi data pada PC 2015
menampilkan grafik dari sumbu X, Y dan Z  Waktu : 00:00 -
yang didapat dari output pegukuran arah dan 23.59 UTC.
besar medan magnet oleh sensor magnet  Tempat : Stasiun
HMC5883L dalam satuan nT beserta nilai Geofisika Tangerang
komponen lainnya yang berupa nilai dari Untuk proses kalibrasi nilai keluaran
komponen H, F, Inklinasi dan Deklinas yang dari sensor suhu dengan alat kalibrator suhu
didapat dari rumus yang dirancang dalam dilakukan pada :
program LabVIEW serta tampilan data suhu
 Hari/tanggal : Senin, 3
yang didapat dari sensor LM35.
Juli 2015
 Waktu : 15:00 s/d
18.00 UTC.
 Tempat : BBMKG Wilayah II
Ciputat.
Komparasi pada data medan magnet
dilakukan dengan cara meletakkan alat
magnetometer digital hasil rancangan
bersebelahan dengan alat operasional
magnetometer stasiun geofisika Tangerang
yang dipasang di dalam ruangan khusus dan
jauh dari aktivitas manusia. Setelah sejajar,
atur penanda utara yang ditunjukkan oleh
Gambar 16. Tampilan program LabVIEW
arah panah yang telah terpasang pada sensor
pada PC
magnetometer digital hasil rancangan searah
dengan penanda utara pada alat operasional
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
yang ditunjukkan dengan arah panah,
Setelah alat rancangan selesai
sambungkan logger dengan PC melalui USB
dirancang, maka selanjutnya alat rancangan
TTL serial yang terdapat pada minimum
dilakukan validasi dan pengujian. Pengujian
sistem agar dapat menampilkan data dalam
ini dibagi menjadi pengujian sensor dan
bentuk grafik maupun numerik dan
pengujian kinerja grafik interface beserta
menyimpan data dalam PC secara otomatis.
kinerja seluruh sistem yang dirancang.
Pada proses komparasi ini dilakukan
konversi satuan dari mG (milliGauss)
menjadi nT (nanoTesla) dengan mengalikan
hasil keluaran dari alat yang dirancang

139
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

dengan 99,99 agar data yang diperoleh dari lokal dan telah diinstal dengan program
alat yang dirancang dengan alat operasional LABView 2011, kemudian kedua PC
memiliki nilai satuan yang sama yaitu nT tersebut akan membuka URL yang sama dan
(nanoTesla) dan sama – sama memiliki nilai akan dilihat tampilan antara PC 1 dan PC 2
2 satuan dibelakang koma. apakah sama atau tidak.

Gambar 17. Proses komparasi Gambar 19. Proses uji coba website pada
magnetometer digital di Stasiun Geofisika jaringan lokal
Tangerang
3.2 HASIL PEMBACAAN
Kalibrasi pada data sensor suhu Hasil data yang diperoleh akan
dilakukan dengan cara mengkalibrasi nilai dianalisis menggunakan metode analisis
keluaran pada suhu LM35 yang dipakai standar deviasi. Analisis standar deviasi
dalam rancangan dengan kalibrator suhu seringkali digunakan dalam pengumpulan
yang terdapat pada kantor BBMKG II data untuk mengetahui seberapa besar tingkat
Ciputat. Sensor suhu LM35 dimasukkan di kesalahan atau error. Semakin kecil standar
dalam thermometer chamber dan akan deviasi maka data tersebut semakin bagus
dilakukan kalibrasi dengan menyeting daripada data yang memiliki standar deviasi
pointnya di nilai 10oC, 20oC, 30oC, 40oC. yang besar. Nilai dispersi juga dapat dilihat
dari standar deviasi. Jika nilai standar deviasi
kecil hal ini berarti nilai-nilai data berkisar
mendekati rata-rata, semakin besar nilai
standar deviasi maka nilai data tersebar
semakin jauh dari nilai rata-ratanya.
Rumus umum yang digunakan untuk menghitung
standar deviasi adalah sebagai berikut :
S=
(9)

dimana
Yi : data alat ke-n
Y : rata-rata data alat keseluruhan
Gambar 18. Proses kalibrasi sensor suhu di n : banyaknya data yang diambil
Lab. Kalibrasi BBMKG Wil 2 Ciputat

Website akan diuji coba dengan cara


menempatkan 2 buah PC yang terhubung
pada satu jaringan yang sama atau jaringan

140
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Tabel 1. Perbandingan nilai X, Y dan Z (nT) pada alat magnetometer hasil rancangan
dengan alat operasional LEMi - 18

Tabel 2. Komparasi nilai suhu (oC) pada alat magnetometer digital hasil rancangan dengan alat
suhu standart

141
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

3.3 Hasil Analisa


Data hasil komparasi dari alat
magnetometer digital hasil rancangan
menunjukkan bahwa nilai pada sumbu X, Y
dan Z sudah mendekati nilai yang
ditunjukkan oleh alat operasional merk
LEMI-18 yang telah terkalibrasi walaupun
perbedaan data masih diatas 100 nT namun
perubahannya cukup linear. Data yang
dikeluarkan masih tidak stabil dan sangat Gambar 21. Perbandingan nila rata-rata
mudah berubah-ubah yang disebabkan medan magnet pada sumbu X (nT)
karena data dari alat magnetometer digital
hasil rancangan hanya dapat melakukan 3. Analisis data sumbu Z
perubahan angka diatas bilangan ratusan. Hal Melalui hasil perhitungan standar
ini sesuai dengan spesifikasi yang dimiliki deviasi yang didapat pada Tabel 1. diperoleh
oleh sensor dimana resolusi sensor adalah 1 standar deviasi untuk data sumbu Y yang
mG dan range pengukuran hanya dalam terukur dari alat magnetometer digital hasil
rentang satuan mG (milliGauss) serta sistem rancangan adalah sebesar 122,752975. Nilai
akuisisi data yang diprogram untuk standar deviasi ini menunjukkan bahwa data
mengalikan nilai 100 pada setiap data yang tersebar cukup jauh dari nilai rata-ratanya.
dikeluarkan oleh sensor sehingga perubahan Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa hal
nilainya terlihat sangat besar. baik internal dari sensor maupun eksternal
1. Analisis data sumbu X seperti kondisi lingkungan dan gangguan dari
Melalui hasil perhitungan standar luar, penulis menduga hal ini dikarenakan
deviasi yang didapat pada Tabel 1, diperoleh memang sensor magnet yang dipakai pada
standar deviasi untuk data sumbu X yang alat magnetometer digital hasil rancangan
terukur dari alat magnetometer digital hasil memiliki spesifikasi yang masih jauh
rancangan adalah sebesar 98,06180008. Nilai dibawah dari alat operasional yang
standar deviasi ini menunjukkan bahwa data digunakan pada Stasiun Geofisika
terdistribusi di sekitar rata-rata. Tangerang.

Gambar 20. Perbandingan nila rata-rata Gambar 22. Perbandingan nila rata-rata
medan magnet pada sumbu X (nT) medan magnet pada sumbu X (nT)
2. Analisis data sumbu Y 4. Analisis data suhu
Melalui hasil perhitungan standar Dari data hasil kalibrasi yang
deviasi yang didapat pada Tabel 1. diperoleh ditunjukkan oleh Tabel 2, diperoleh nilai
standar deviasi untuk data sumbu Y yang koreksi, standar deviasi dan ketidakpastian
terukur dari alat magnetometer digital hasil dari sensor suhu LM35 yang digunakan pada
rancangan adalah sebesar 8,08916974. Nilai alat magnetometer digital yang dirancang.
standar deviasi ini menunjukkan bahwa data secara umum nilai yang didapatkan masih
terdistribusi di sekitar rata-rata. cukup liner dan hubungan data suhu pada
alat standar dan LM35 pada alat hasil
rancangan tidak terlalu jauh. Dikarenakan

142
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

parameter suhu bukanlah parameter utama dengan range pengukuran dalam satuan
yang menjadi pembahasan pokok pada nT dan tingkat resolusi yang lebih tinggi
penelitian ini, maka sensor suhu LM35 masih dari sensor yang dipakai pada penelitian
dikatakan cukup layak untuk digunakan ini agar mendapatkan data yang lebih
dalam alat yang dirancang. akurat.
5. Diperlukan kalibrasi awal terhadap modul
sensor agar mengetahui tingkat
keakuratan maupun tingkat kepercayaan
terhadap nilai yang dikeluarkan oleh
modul sensor tersebut.
6. Dalam proses komparasi data medan
magnet antara alat hasil rancangan dan
alat operasional perlu untuk
memperhatikan aspek noise yang dapat
Gambar 23. Grafik suhu antara alat standar mempengaruhi nilai yang diperoleh.
dengan alat hasil rancangan 7. Sistem tampilan web diharapkan dapat
ditampilkan dalam jaringan publik dengan
5. Tampilan website tampilan yang lebih inovatif dan menarik
Melalui proses uji coba diatas, website sehingga dapat dilihat oleh semua user
dapat berjalan dengan baik pada PC yang dimanapun yang memiliki akses internet.
terhubung jaringan intranet (jaringan lokal)
dengan PC server. Hal ini otomatis dapat DAFTAR PUSTAKA
diterapkan pada setiap PC di kantor yang Andrianto, H., 2013. Program
terhubung dengan PC server asalkan PC mikrokontroler AVR ATmega16
tersebut telah terpasang program LabVIEW menggunakan bahasa C edisi revisi,
dengan versi yang sama dengan program Informatika. Bandung.
LabVIEW yang digunakan pada PC server. Artanto, D., 2012. Interaksi Arduino dan
Tampilan website telah mencangkup seluruh LabVIEW, Elex Media Komputindo,
informasi tentang nilai medan magnet, Jakarta.
tampilan telah berubah otomatis mengikuti Djamal, M., 2006, Pengukuran Medan
perubahan data yang didapat dari sensor Magnet Lemah Menggunakan Sensor
secara real time, susunan grafik, teks, dan Magnetik Fluxgate dengan Satu Koil
pewarnaan sudah cukup baik dan tampilan Pick-Up, Institut Teknologi Bandung,
pada web cukup mudah untuk dibaca dan Bandung.
dipahami. Husni, M., 2012, Magnet bumi dan listrik
udara, Akademi Meteorologi,
4. KESIMPULAN Klimatologi dan Geofisika, Jakarta.
Berdasarkan penelitian dapat diambil Putra, R.A., dan Sutanto, A.T. 2014.
kesimpulan sebagai berikut : Prototipe magnetometer digital
1. Alat dapat digunakan untuk mengukur dengan sensor magnet HMC5883L
arah dan besar medan magnet pada sumbu berbasis mikrokontroler ATMega16.
X, Y danZ dengan range-22.500 nT Jurnal DINAMIKA, edisi VII-Vol.2
sampai 40.000 nTsesuai dengan kondisi (ISSN-14100487), Akademi
kemagnetan di Stasiun Geofisika Meteorologi dan Geofisika. Jakarta.
Tangerang. Winoto, A. 2010. Mikrokontroler AVR
2. Data yang dihasilkan dari alat ditampilkan ATmega8/32/16/8535 dan
pada LCD 20x4 dan monitor PC dalam Pemrogramannya dengan Bahasa C
bentuk grafik, serta dapat disimpan dalam pada WinAVR, Informatika, Bandung.
format ekstension .txt untuk Yusuf, E., 2012, Pengukuran &
mempermudah proses pengolahan data. instrumentasi pada sistem tenaga
3. Tampilan data pada program LabVIEW ep6071 pengukuran medan magnet,
dapat dilihat dan di monitoring Sekolah Teknik Elektro dan
menggunakan web pada jaringan lokal. Informatika, Institut Teknologi
4. Dibutuhkan sebuah sensor yang mampu Bandung.
mengukur arah dan besar medan magnet

143
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Pustaka dari Situs Internet:


Dallas-Maxim Semiconductor. (DS1307 64 x
8, Serial, I2C Real-Time Clock.
http://datasheets.maxim-
ic.com/en/ds/DS1307.pdf. Diakses
tanggal 7 Maret 2014).
Honeywell, 2013. (datasheet HMC5883L
http://www.adafruit.com/datasheets/H
MC5883L_3-
Axis_Digital_Compass_IC.pdf
Diakses pada tanggal 11 Maret 2013).
Tutorials, Embedded. 2010. (TutoriaI I2C
interface.
http://www.embeddedtutorials.com/tw
o-wire-interface/ . Diakses pada
tanggal 11 Maret 2015).

144
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

PROTOTIPE SUHU TANAH DIGITAL


BERBASIS MIKROKONTROLER ATMEGA16 MENGGUNAKAN
KOMUNIKASI SMS
Hendro Prasetyo, Kanton Lumban Toruan, Haryanto
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
E-mail :hendro.prsetyo89@gmail.com

ABSTRAK
Suhu tanah merupakan salah satu dari banyak parameter cuaca yang diamati oleh BMKG.Karena
suhu tanahadalahunsur yangdipantau dalam dunia pertanian untuk optimalisasi hasil produk
pertanian.Di dalam lingkungan BMKG, data suhu tanahsetelah diamati akan dikumpulkan lalu
kemudian diolah lagi. Namun saat ini, alat untuk mengamati suhu tanah yang telah ada berupa alat
pengukur yang masih konvensional dan pengamatan harus dilakukan langsung dengan melakukan
pembacaan pada termometer air raksa yang ada dilapangan sehingga memungkinkan terjadinya
kesalahan paralaks mata dalam pembacaan suhu.Dalam kaitan hal tersebut, pada penelitian iniakan
dirancang sebuah perangkat alternative digital berbasis mikrokontroler atmega16 sebagai
processing unitnyauntuk mengukur suhu tanah dan SMS sebagai sistem komunikasi kepada user-
nya.

Kata kunci : suhu tanah, mikrokontroler atmega16, SMS

ABSTRACT
Soil temperature are one of many weather parameters observed by BMKG. Because soil
temperature is monitored element in the world of agriculture for optimize agricultural products. In
BMKG, the data of soil temperature would be collected after observed and then the data would be
processed again. But at this time, an instruments to observe the soil temperaturewere already
available such as conventional gaugesand observations must be directly by the mercury
thermometer readings on existing field enabling the eye parallax errors in temperature readings.In
relation to this, in this research will be designed an alternative digital based on mikrokontroler
atmega16 as processing unit for measuring soil temperature and SMS as communications system
for user interface.

Keywords :soil temperature, microcontroller atmega16, SMS

145
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

I. PENDAHULUAN (triple point of water) dengan nilai TTPW =


1.1 Tanah 273,16 K, sehingga satuan Kelvin adalah:
Tanah menurut Saifuddin (1984)adalah suatu
benda alami yang terdapat dipermukaaan (1.1)
kulit bumi, yang tersusun dari bahan – bahan
mineral sebagai hasil pelapukan batuan dan
bahan organik sebagai hasil pelapukan sisa Keterangan :
tumbuhan dan hewan yang merupakan : Kelvin
medium pertumbuhan tanaman dengan sifat – : triple point of water (273,16 K)
sifat tertentu terjadi akibat gabungan dari
faktor iklim, bahan induk, bentuk wilayah Satuan lain suhu dan yang sering dipakai
dan lamanya waktu pembentukan.Didalam adalah derajat celcius (˚C) simbol yang
tanahterdapat air, udara, jasad hidup, bahan- dipakai adalah t. Hubungan antara T dan t
bahan mineral laindan berbagai faktor yang adalah:
membentuk perubahan ciri-ciri morfologi
khas yang berperan menjadi sistem tumbuh (1.2)
dan berkembang berbagai tanaman.
Tanah tersusun atas 5 komponen Keterangan :
utama yaitu: : suhu dalam
 Partikel mineral (anorganik), hasil : suhu dalam
perombakan bahan – bahan batuan yang
terdapat dipermukaan bumi. 1.3 Suhu Tanah
 Bahan organik yang berasal dari sisa – Suhu tanah menurut Suyono (1976)
sisa tanaman dan binatang dan berbagai merupakan sebagian radiasi matahari yang
hasil kotoran binatang. sebagian terbesarnya mencapai permukaan
 Air. bumi kemudian sebagian dari radiasi yang
 Udara tanah. mencapai permukaan tanah dipantulkan ke
 Kehidupan jasad renik. udara sehingga meningkatkan suhu udara dan
o Perbedaan perbandingan komponen – sisanya di absorpsi kedalam tanah sehingga
komponen diatas akan menyebabkan meningkatkan suhu yang ada di dalam
adanya perbedaan antara tanah yang satu tanah.Suhu tanah ditentukan oleh panas atau
dengan tanah yang lainnya. radiasi matahari yang menyinari bumi. Suhu
tanah juga dipengaruhi oleh kapasitas panas
1.2 Suhu tanah dan konduktivitas panas, yakni oleh
Suhu dalam pengertian sehari-hari disebut panas jenis tanah, kerapatan, kadar
juga ukuran panas atau dinginnya suatu kelembaban tanah dan sifat – sifat fisis tanah
sistem.Mudahnya, semakin tinggi suhu suatu lainnya.
benda semakin panas benda tersebut.Secara Jumlah panas yang mengakibatkan
mikroskopis suhu menunjukkan energi yang kenaikan suhu udara atau suhu tanah
dimiliki oleh suatu benda.Setiap atom dalam dinyatakan sebagai neraca jumlah panas
suatu benda masing-masing bergerak, baik dalam proses – proses berikut ini:
itu dalam bentuk perpindahan maupun 1. Jumlah panas yang bertambah atau
gerakan di tempat berupa getaran.Makin hilang akibat perbedaan suhu antara
tingginya energi atom-atom penyusun benda permukaan tanah dan lapisan udara
maka makin tinggi suhu benda dipermukaan tanah.
tersebut.Menurut WMO (1992), suhu 2. Jumlah panas yang bertambah dan
didefinisikan sebagai suatu energi yang hilang akibat penguapan dan
didapat dari pergerakan molekul - molekul presipitasi dipermukaan tanah.
dalam suatu benda. Suhu juga disebut 3. Jumlah panas yang disalurkan
temperatur, satuan internasional (SI) suhu didalam tanah melalui permukaan tanah.
adalah Kelvin (K) menurut International
Temperature Scale-1990 (ITS-90) standar Naik - turunnya suhu udara dipermukaan
acuan fisika suhu adalah titik tiga fasa air tanah atau naik turunnya suhu tanah

146
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

ditentukan oleh peningkatan dan prototipe ini yaitu RTD 3 kabel (3 wire)
pengurangan komponen – komponen tersebut memiliki spesifikasi yang paling umum biasa
diatas. Demikian pula radiasi panas yang digunakan pada aplikasi-aplikasi di industri.
diterima permukaan tanah akan berbeda –
beda antara tanah yang satu dengan tanah 1.5 Mikrokontroler AVR Atmega16
yang lainnya tergantung dari gradien, warna, AVR merupakan seri mikrokontroler CMOS
dan tumbuh – tumbuhan yang ada disekitar 8-bit produksi Atmel yang berbasis arsitektur
tanah tersebut. RISC (Reduced Instruction Set
Computer).Hampir semua instruksi
1.4 Sensor Suhu PT100 dieksekusi dalam satu siklus clock.Menurut
PT100 merupakan jenis sensor definisi Agfianto dan Dhani (2010)
RTD.RTDadalah singkatan dari Resistance mikrokontroler adalah versi mini dan untuk
Temperature Detector yaitu sensor suhu yang aplikasi khusus dari mikrokomputer atau
pengukurannya menggunakan prinsip komputer. Meskipun versi mini dari suatu
perubahan resistansi atau hambatan listrik komputer pribadi dan komputer mainframe,
logam pembuatnya yang dipengaruhi oleh mikrokontroler dibangun dari elemen -
perubahan suhu. RTD merupakan salah satu elemen dasar yang sama. Secara sederhana,
sensor suhu yang paling banyak digunakan komputer akan menghasilkan output spesifik
dalam otomatisasi dan proses kontrol karena berdasarkan input yang diterima dan program
terkenal akan keakurasiannya. Pada tipe yang dikerjakan. Seperti umumnya komputer,
standar RTD terbuat dari kawat yang tahan mikrokontroler adalah alat yang mengerjakan
korosi, yang dililitkan pada bahan keramik instruksi - instruksi yang diberikan
atau kaca, bahan kawat untuk pembuatan kepadanya.Artinya, bagian terpenting dan
RTD antara lain platinum, emas, perak, nikel utama dari suatu sistem terkomputerisasi
dan tembaga (biasa digunakan platinum) adalah program itu sendiri yang dibuat oleh
yang kemudian ditutup dengan selubung seorang programmer.Program ini
probe sebagai pelindung. Selubung probe ini menginstruksikan komputer untuk
biasanya terbuat dari logam inconel (logam melakukan jalinan yang panjang dari aksi -
dari paduan besi, chrom, dan nikel).RTD aksi sederhana untuk melakukan tugas yang
(PT100) digunakan pada kisaran suhu -200 lebih kompleks yang diinginkan oleh
°C sampai dengan 650 °C. Elemen RTD programmer.
biasanya ditentukan sesuai dengan resistansi
mereka dalam ohm pada nol derajat celcius 1.5 RTC
(0⁰C). Spesifikasi RTD yang paling umum RTC atau real time clock merupakan jam
adalah 100 Ω (RTD PT100), yang berarti elektronik berupa chip yang dapat
bahwa pada suhu 0⁰ C, elemen RTD harus menghitung waktu (mulai detik hingga
menunjukkan nilai resistansi 100 Ω. tahun) dengan akurat serta
Adapun karakteristik dan kelebihan menjaga/menyimpan data waktu tersebut
sensor RTD PT100 yaitu : secara real time. Karena jam tersebut
 Ketelitiannya lebih tinggi di banding bekerja real time, maka setelah proses
sensor suhu jenis lainnya. hitung waktu dilakukan output datanya
 Memiliki keakurasian yang baik. langsung disimpan atau dikirim ke device
 Tahan terhadap temperatur yang lain melalui sistem antarmuka. RTC
tinggi. dilengkapi dengan baterai sebagai pensuplai
 Stabil pada temperatur yang tinggi, daya pada chip, sehingga jam akan tetap up-
karena jenis logam platina lebih stabil to-date. RTC dinilai cukup akurat sebagai
dari pada jenis logam yang lainnya. pewaktu (timer) karena menggunakan
 Kemampuannya tidak akan terganggu [22]
osilator kristal .
pada kisaran suhu yang luas.
1.6 Modem GSM
RTD memiliki 3 macam kofigurasi koneksi Modem yang digunakan dalam prototipe ini
kabel yaitu 2 wire, 3 wire dan 4 wire. yaitu modem wavecom M1306B Serial
Konfigurasi koneksi yang digunakan pada karena modem Wavecom M1306B Serial ini

147
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

lebih stabil dibanding dengan modem usb port dan semua variable yang ada pada
wavecom karena dilengkapi adaptor modem sistem. Kemudian sensor melakukan
yang membuat power lebih stabil sehingga pengukuran parameter cuaca( suhu tanah)
cocok untuk digunakan sebagai peralatan yang kemudianakan diolah oleh
server pulsa dan sms gateway. mikrokontroler. Data yang telah diolah
kemudian ditampilkan di LCD 16x2 secara
Kelebihan modem GSM : real time dan juga dikirim menggunakan
 Modem komunikasi RS232 ke modem GSM dan data
GSM memiliki jangkauan jaringan y setiap 1 jam akan dikirim melalui sms ke HP
ang sangat luas observer atau user.
 Modem GSM mempunyai ukuran
yang relative kecil 2.1 Perancangan Perangkat Keras
 Harga modem GSM relatif murah. (Hardware)
Perancangan hardware ini membutuhkan
II. METODE PENELITIAN beberapa komponen agar sistem dapat
Bab ini akan dijelaskan perancangan sistem berjalan. Komponen – komponen tersebut
dari alat yang dirancang. Perancangan alat ini meliputi : minimum sistem mikrokontroler
terdiri dari 2 bagian, yaitu perancangan Atmega16, modul rangkaian sensor PT100,
hardware(perangkat keras) dan perancangan modulrangkaian RTC, modulLCD 16x2,
software(perangkat lunak). Perancangan alat modul komunikasi RS-232 dan modem
ini memliki cara kerja yang bisa digambarkan GSM.
dengan flowchart di bawah.
Minimum Sistem Mikrokontroler
ATmega16Prototipe ini menggunakan modul
DI-Super Smart AVR16.DI-Super
Smart AVR.16 adalah sebuah modul
elektronika yang berdasar pada rangkaian
minimum sistem mikrokontroler AVR
(minsis AVR) dimana minsis AVR
ATMEGA16 ini telah dilengkapi modul
downloader, yang juga dapat berfungsi
sebagai antarmuka komunikasinyadengan
komputer melalui PORT USB.

Gambar2. Modul DI-super smart AVR.16

Tampilan diatas adalah modul DI-Super


Smart AVR.16 yang ditanamkan AVR-
Atmega16 sebagai komponen utama. Dalam
Gambar 1.Flowchart Sistem mikrokontroler terdapat beberapa pin yang
dijadikan sebagai input dan output. Pin-pin
Ketika sistem aktif, pertama yang dilakukan yang digunakan dalam modul mikro
sistem adalah melakukan konfigurasi port – kontroler akan menjadi penghubung antara
sensor dan mikrokontroler.

148
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

LCD 16x2. LCD adalah suatu jenis media


Tabel 1. Pin – Pin Mikrokontroler yang tampilan yang menggunakan kristal cair
Digunakan sebagai penampil utama.
Nama Pin Jenis Pin Fungsi Rancanganinimengunakan modul DI-Smart
PA5 ADC PT100 LCD 16x2 Boardyang berfungsi
PC1 SDA menampilkan karakter –karakter variable
RTC data hasilpengukuran secarareal time.LCD
PC0 SCL
PD1 TX0 Upload diletakkan didalam box logger bersama
PD0 RX0 Program mikrokontroler yang bertujuan pengamat bisa
PD4 TX1 memantau langsung hasil data pengukuran
RS-232 sensor dari mikrokontroler.
PD5 RX1
PB2 I/O
PB3 I/O
PB4 I/O
LCD 16x2
PB5 I/O
PB6 I/O
PB7 I/O Gambar 4. LCD 16x2

Modul Rangkaian PT100. Sensor Rangkaian RTC. RTC digunakan sebagai


merupakan bagian penting dari perancangan tanda waktu pada sistem.Pada rangkaian
alat ini dikarenakan sensor berfungsi untuk mikrokontroler ATmega16 yang digunakan
mengukur parameter cuaca (suhu pada rancangan ini adalah modul DI-Smart
tanah).Sensor yang digunakan pada RTC.1307.modul ini memberikan informasi
perancangan ini adalah sensor PT100.Sensor sebagai penanda waktu untuk data yang di
suhu PT100 yang memiliki keluaran berupa keluarkan oleh sensor, tanda waktu
perubahan resistansi yang dikonversi dalammelakukanpengirimandatapengukurans
menjadi tegangan dalam ordo mili esuaidenganwaktuyang telah
volt.Karena keluaran dari sensor ini ditentukan.Rangkaian RTC ini menggunakan
merupakan perubahan resistansi maka sambungan I2C untuk berhubungan dengan
dibutuhkan suatu rangkaian untuk mikrokontroler. Pin yang digunakan untuk
mengubah besar resistansi PT100 ke dalam melakukan sambungan I2C yaitu pin SDA
suatu tegangan tertentu.semakin panas suhu dan SCL yang ada di mikrokontroler. Berikut
yang dideteksi oleh PT100 akan semakin adalah modul DI-Smart RTC.1307.
besar nilai resistansinya dan semakin besar
pula tegangan keluarannya. Rangkaian yang
dibutuhkan tersebut adalah rangkaian
jembatan wheatstone.

Gambar 5. Modul RTC

Komunikasi RS-232.Komunikasi serial yang


digunakan dalam sistem ini berupa RS-
232.RS-232 adalah standar komunikasi serial
yang didefinisikan sebagai antarmuka antara
perangkat terminal data dan perangkat
Gambar 3. Rangkaian Jembatan wheatstone komunikasi data menggunakan pertukaran
PT100 data biner secara serial.Dalam perancangan
ini, komunikasi serial digunakan untuk
meng-upload perintah ke mikrokontroler dan

149
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

untuk men-download data yang telah diolah ini meliputi pengujian sensor dan pengujian
oleh mikrokontroler. komunikasi SMS beserta kinerja seluruh
sistem yang telah dirancang.

Pengujian Sensor PT100. Pengujian sensor


PT100 ini bertujuan untuk mengetahui nilai
keluaran dari sensor.Pengujian pengukuran
suhu tanah di awali dengan validasi. Validasi
Gambar 6.Modul RS232 sensor PT100 ini dilakukan dengan cara
mengkomparasi alat yang dirancang dengan
Modem GSM alat standar yang ada di BMKG. Alat
Perancangan sistem ini menggunakan rancangan dan alat standar diletakkan secara
modem wavecom M1306B Serial sebagai berdampingan di dalam temperature chamber
komunikasi SMS karena modem Wavecom Theodor Friedrichsyang temperaturnya bisa
M1306B Serial lebih stabil.Wavecom diset. Sensor PT100 ditempatkan didalam
M1306B dihubungkan dengan chamber berdampingan denganalat ukur
mikrokontroler dengan antarmuka temperatur standar yangmenggunakan Fluke
(penghubung) komunikasi menggunakan Hart Scientific Thermometer
modul DI-serial RS232 to TTL. Modem ReadoutNo.B18881.Suhu udara di dalam
inilah yang akan mengirimkan informasi chamber diatur menjadi beberapa set point,
suhu tanah dan kelembaban tanah yang kemudian suhu yang terukur oleh alat standar
telah terbaca oleh sistem pada jam – jam dan alat rancangan di setiap set point dicatat.
tertentu.
Dari hasil validasi yang dilakukan sensor
2.2 Perancangan Perangkat Lunak belum bisa digunakan melakukan
(Software) pengukuran suhu tanah, karena didapatkan
Perancangan software untuk rancangan ini data seperti di bawah ini.
menggunakan bahasa basic dengan
compailer pemrograman softwareBascom Tabel 2. Perbandingan Suhu Udara Alat
AVRdengan menggunakansoftwareini, Rancangan dan Alat Standar BMKG
mikrokontroler dapat membaca, menyimpan
dan menampilkan data hasil pengukuran
sensor ke LCD secara terus-menerus. Serta Alat Alat
Koreksi
dapat melakukan pengiriman data dengan Rancangan Standar
SMS pada waktu yang ditentukan
˚C ˚C ˚C
7.815 9.680 1.865
15.870 19.919 4.036
26.848 30.107 3.259
38.030 40.255 2.225

Berdasarkan data di atas setiap set point


memiliki nilai koreksi yang berbeda - beda
dari. Hal tersebut bisa terjadi dikarenakan
sensor memang kurang bagus untuk
Gambar 7. Tampilan Program pada Bascom pengukuran di range pengukuran suhu
AVR rendah.
Berdasarkan Tabel 2, dibuat persamaan garis,
III. HASIL DAN PEMBAHASAN yang nantinya digunakan untuk mengkoreksi
Setelah alat selesai dirancang dengan nilai data melalui pemrograman. Tujuannya
beberapa komponen modul yang dibahas agar nilai yang dihasilkan saat mengukursuhu
sebelumnya, maka selanjutnya alat rancangan tanah nanti dapat sesuai dengan hasi validasi
dilakukan validasi dan pengujian.Pengujian yang telah dilakukan. Berikut ini grafik
persamaan nilai rata – rata yang dihasilkan

150
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

alat rancangan dengan alat standar pada


setiap set poin.

Gambar 9. Grafik Perbandingan Hasil


Pengukuran Suhu Tanah Alat Operasional
dan Alat Rancangan tanggal 15 Juni 2015
Gambar 8. Persamaan Garis PengukuranSuhu
linear
Hasil pengukuran alat operasional
dan alat rancangan mengalami perbedaan.
Persamaan garisnya menggunakan
Hal ini dikarenakan walau berada dilokasi
persamaan , dimana alat standar
yang sama, namun dengan posisi yang agak
berada pada posisi sedangkan alat berbeda dan juga jenis sensor berbeda. Alat
rancangan berada pada posisi . Persamaan operasional berada di dalam tanah gundul
yang dihasilkan dari grafik diatas adalah pada yang tanahnya telah padat sementara alat
set poin 10°C - 20°C rancangan masih baru diletakan pada tanah
yaitu , pada set poin yang baru digali.Alat operasional pun
20°C - 30°C yaitu , merupakan termometer air raksa bukan
pada set poin 30°C - 40°C yaitu sensor digital seperti alat rancangan sehingga
. memiliki karakteristik yang berbeda. Hasil
Setelah mendapat persamaan garis pengukuran yang dihasilkan oleh alat
seperti diatas kemudian masukan persamaan rancangan pada jam – jam awal pemasangan
garis tersebut kedalam program Bascom cenderung lebih tinggi namun setelah 2 – 3
AVR yang telah dibuat kemudian lakukan jam keadaan suhu alat rancangan mulai
pengujian ulang pada masing – masing set berdekatan dengan suhu alat operasional.
poin apakah koreksi antar set poin sudah
mendekati nilai alat standar. Bila sudah Pengujian Sistem Komunikasidan Sistem
mendekati maka persamaan garis tersebut Secara Keseluruhan
dapat digunakan untuk tahap selanjutnya. Pengujian ini bertujuan untuk
melihat kinerja dari system komunikasi yang
Setelah dilakukan proses validasi telah dirancang.Pengujian ini juga secara
dengan alat standar di laboratorium, sensor tidak langsung menguji semua sistem apakah
suhu selanjutnya dilakukan pengujian lapang dapat bekerja dengan optimal atau
dan pengambilan data dengan tidak.Perangkat yang digunakan untuk
membandingkan data yang dihasilkan pada melakukan pengujian sistem komunikasi ini
alat operasional yang digunakan ada pada adalah rangkaian sensor PT100, modem
Stasiun Klimatologi Pondok Betung wavecom, kartu perdana yang telah diisi
dilakukan pada 15 Juli 2015 mulai jam 07.30 pulsa dan minsis mikrokontroler Atmega16.
WIB – 19.30 WIB. Pengujian sistem komunikasi terlebih dahulu
dilakukan dengan menghubungkan sensor
PT100 dan sensor kelembaban tanah dengan
minsis mikrokontroler Atmega16 dan
kemudian minsis mikrokontroler Atmega16
dihubungkan ke modem wavecom M1306B
yang telah diisi kartu perdana. Setelah semua

151
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

terhubung modem wavecom perbedaan pada jam – jam awal sensor


akanmengirimkan SMS ke nomor telepon dipasang kedalam tanah. Hal ini dikarenakan
yang telah didaftarkan setiap 1 jam sekali beberapa faktor, diantaranya letak dari
untuk memberitahukan informasi keadaan penempatan alat standar dan alat operasional,
suhu tanah. Pengujian modem WAVECOM perbedaan jenis sensor yang digunakan di
dilakukan dengan tujuan memastikan bahwa alat rancangan dan alat
aliran data yang dihasilkan Modem operasional.Perbedaan tanah yang telah padat
WAVECOM sesuai dengan program yang yang menutupi alat operasional sedangkan
dibuat. alat rancangan dengan keadaan tanah galian
baru.Namun secara keseluruhan, dapat
disimpulkan bahwa pada penelitian ini alat
yang dirancang dapat berjalan dengan baik
fungsinya selama pengujian berlangsung.

DAFTAR PUSTAKA
World Meteorological Organization. (2008).
Guide to Meteorological Instruments
and Methods of Observation. WMO-
No. 8 Seventh Edition, Secretary
WMO, Geneva, Switzerland.
Badan Meteorologi dan Geofisika. (2006).
Tata Cara Tetap Pelaksanaan
Pengamatan Dan Pelaporan Data
Iklim Dan Agroklimat. Peraturan
Kepala Badan Meteorologi Dan
Geofisika, Nomor :
SK.32/TL.202/KB/BMG-2006, Kepala
BMG, Jakarta, Indonesia.
Gambar 10.Tampilan komunikasi SMS Sutedjo, M.M, Kartasapoetra, G.A. 2010,
yang diterima Pengantar Ilmu Tanah, Rineka Cipta,
Jakarta.
Gambar 10 diatas adalah tampilan Putra, E.A. dan Nugraha, D. (2010). Tutorial
komunikasi SMS yang dikirimkan oleh alat Pemrograman Mikrokontroler
rancangan berdasarkan hasil pengukuran AVRdengan WinAVR GCC
setiap 1 jam sekali.Dari data sms tersebut, (ATMega16/32/8535).Yogyakarta :
dapat dipastikan bahwa sistem secara UGM.
keseluruhan yang telah dirancang bisa Laugthon,M.A, Warne, D.F. 2010,Sixteenth
berjalan dengan baik. Edition, Electrical Engineers
Reference Book.
IV. KESIMPULAN
Alat rancangan ini telah mampu Pustaka dari Situs Internet
mengukur salah satu parameter cuaca yaitu Hasugian, Jonner.(2003). Media
suhu tanah dengan cukup baik, terbukti Penyimpanan Dokumen Elektronik,
dengan hasil komparasi terhadap alat standar USU Digital Library,
yang menunjukan kedekatan nilai hasil (http://repository.usu.ac.id/bitstream/1
pengukuran. Alat rancangan mampu 23456789/1769/1/perpus-jonner6.pdf),
melakukan komunikasi melalui RS-232 ke diakses 5 Januari 2015.
modem GSM untuk kemudian melakukan Sensor Suhu PT100. Datasheet[online],
pengiriman data via SMS dan menampilkan (http://www.ece.usu.edu/ece_store/spec/pt10
secara real time pada LCD. Sementara itu 0dt-3p.pdf, diakses pada tanggal 12
ketika alat rancangan dibandingkan dengan februari 2015).
alat operasional di Taman Alat Stasiun
Klimatologi Pondok Betung terjadi sedikit

152
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

SISTEM PENGAMATAN METEOROLOGI PENERBANGAN


BERBASIS WEB
Marthin Dendy Saputra Lumban Toruan1, Ibnu Sofwan Lukito 2,
Hapsoro A. Nugroho, 1,3
1
Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
2
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta
E-mail : marthinwebmaster@gmail.com

ABSTRAK
Pengamatan pada stasiun-stasiun meteorologi penerbangan di Indonesia memegang
peranan yang penting dalam memastikan keselamatan penerbangan. Oleh sebab itu, penelitian ini
merancang sebuah sistem yang dapat bekerja secara otomatis atau semi-otomatis, sehingga
kesalahan baik dari faktor manusia maupun alat dapat saling mengoreksi. Sistem ini dirancang
berbasiskan web untuk memudahkan akses data, sehingga memungkinkan komputer mana pun
yang terhubung dengan jaringan lokal pada sistem tersebut untuk mengakses data dan
mengobservasinya. Proses ini juga memudahkan dalam penyampaian informasi meteorologi seperti
METAR, SPECI, Met Report, dan Special Report kepada ATC karena semua informasi dapat
diakses dan ditampilkan langsung dilayar monitor serta dapat di-update secara
otomatis.Mikrokontroler ATmega16 dan sensor SHT11, HP03, WS31, WD31, Tipping Bucket
dimanfaatkan untuk membangun sebuah sistem pengamatan yang diintegrasikan dengan server
berbasis web untuk menjadi sistem pengamatan meteorologi penerbangan berbasis web atau
Aviation Meteorological Observation System (AMOS). Hasil yang didapat setelah uji coba pada
Stasiun Meteorologi Soekarno Hatta Cengkareng menunjukkan bahwa sistem ini dapat bekerja
dengan baik dan dibuktikan dengan nilai hasil komparasi dengan AWS juga cukup baik dan
menghasilkan sandi yang benar sesuai tatacara penyandian Synop dan Metar.

Kata kunci : observasi, METAR, SYNOP, otomatis, sensor, mikrokontroler, web

ABSTRACT

Observation at aviation meteorological stations in Indonesia hold an important role in


ensuring the safety of flight. Therefore this research designed a system that can work automatically
or semiautomatic. So that errors both from human factor or instrument factor can mutually correct
each other. In order to make it easier to access the data, this system designed based on web,
enabling computer that connected to this LAN to access the data from the device and observe it.
This system also ease the delivery of meteorological information such as METAR, SPECI, Met
Report, and Special Report to Air Traffic Controller,because all the information can be accessed
and displayed directly on the monitor, also able to update automatically. By using microcontroller
ATmega16 and sensor, SHT11, HP03, WS31,WD31 and tipping bucket forming a system that is
integrated with a web-based server that called Aviation Meteorological Observation System
(AMOS). The result obtained after experiment at Station Meteorological Soekarno Hatta
Cengkareng shows that this system can work properly, proved by a good value from comparison
with Automatic Weather Station (AWS). It also provide a correct encoding for SYNOP and Metar
Code.

Keywords : observation, METAR, SYNOP, automatic, sensor, microcontroller, web

153
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

1. PENDAHULUAN melakukan kendali mutu terhadap data yang


Informasi cuaca sangat penting masuk maupun keluar. Sistem terintegrasi ini
terkait dengan keselamatan penerbangan. juga membantu dalam penyandian seperti
Undang-undang nomor 31 Tahun 2009 sandi Synop dan METAR.
menyatakan bahwa BMKG (Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika) 2. PERANCANGAN SISTEM
menjadi satu-satunya penyedia informasi Perancangan sistem dimulai dari penentuan
cuaca yang resmi ditunjuk oleh pemerintah. basis sistem yang digunakan. Basis dari
Oleh sebab itu, BMKG wajib memberikan sistem ini terbagi menjadi dua bagian
informasi cuaca yang akurat, cepat, dan utama yaitu bagian akusisi data yang
terpercaya. Informasi-informasi cuaca yang merupakan sensor berbasiskan
diberikan berasal dari hasil pengamatan mikrokontroler sebagai pusat pengumpul
cuaca. Sampai saat ini stasiun pengamat data dan bagian kedua adalah server yang
BMKG masih banyak yang melakukan berbasiskan Hypertext Preprocessor (PHP)
pengamatan secara manual dengan sebagai pemrosesnya. Keluaran dari server
mengandalkan kemampuan manusia. Hal ini berupa data yang akan ditampilkan untuk
dikarenakan belum adanya teknologi yang pengguna, hal ini ditunjukkan dalam
dapat menggantikan kemampuan pengamatan Gambar 1. Bagian hardware terdiri dari
dan analisis manusia, dan belum adanya sensor dan data logger. Data logger yang
sistem yang terintegrasi sehingga dapat dirancang menggunakan mikrokontroler
menggabungkan pengamatan manual dengan ATMega16 dan sensor yang digunakan
otomatis. BMKG sangat memerlukan sistem adalah :
pengamatan ini, dengan tujuan memperkecil
dampak kesalahan yang diakibatkan oleh a. Sensor tekanan udara
kesalahan manusia maupun menutupi Sensor tekanan udara menggunakan
kekurangan dari alat yang digunakan. modul DT-Sense Barometric Pressure &
Berdasarkan hal tersebut, penulis melakukan Temperature Sensor yang menggunakan
penelitian membuat sebuah sistem HP03 sebagai sensor utamanya, yang
terintegrasi dimana parameter-parameter mempunyai spesifikasi sebagai berikut:
cuaca yang diamati oleh pengamat  Sensor tekanan : DT-Sense Barometric
meteorologi diambil langsung dari alat Pressure
digital sehingga menurunkan kesalahan yang
diakibatkan pembacaan oleh pengamat dan
parameter tersebut dimasukkan kedalam
sebuah server yang dapat mengolah dan

Gambar 1. Blok Diagram Hardware Sistem

154
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

 Catu daya : 4,5...5,5 Volt DC Sensor arah angin menggunakan


 Rentang ukur : 300...1100 mb WD31 buatan environdata, dengan
 Akurasi : ± 1,5 mb spesifikasi:
 Resolusi : 0,1 mb  Sensor : WD31 Environdata
b. Sensor Suhu dan Kelembapan Udara  Catu daya : 5,5...7 Volt DC
Sensor suhu dan kelembapan udara  Output : 1 pulse/°
menggunakan modul DI-Smart SHT11 yang  Rentang ukur : 0°...350°
menggunakan SHT11 sebagai sensor  Akurasi : ± 0,2 m/s
utamanya, dengan spesifikasi:  Resolusi : 1°
 Sensor : DI-SmartSHT11
 Catu daya : 2,5...5,5 Volt DC Jalur komunikasi yang digunakan
 Rentang ukur suhu : -40...123,8 °C untuk menghubungkan antara data logger
 Akurasi suhu : ± 0,4 °C dengan server menggunakan jalur RS232 dan
 Resolusi suhu : 0,01 °C RS485. Perancangan dua jalur ini dikarenakan
 Rentang ukur RH : 0...100 %RH untuk memudahkan dalam proses
 Akurasi suhuRH : ± 3,0 %RH maintenance dimana jalur data ke server tidak
 Resolusi suhu RH : 0,05 %RH akan terganggu bila terjadi pemeliharaan alat
c. Sensor Curah Hujan dilapangan.
Sensor temperatur menggunakan Server dibuat menggunakan dua buah
Tipping Bucket yang menggunakan reed program untuk mengakusisi data dari sensor
switch sebagai sensor utamanya, yang dan memasukkan data yang diterima kedalam
mempunyai spesifikasi sebagai berikut: database server. Kemudian data yang ada
 Sensor Curah Hujan : Tipping Bucket dalam server akan ditampilkan pada webpage
untuk menampilkan data secara realtime.
 Luas Penampang : 200 cm2
Selain itu, webpage yang dibuat juga terdapat
 Akurasi : ± 2,0% up to
suatu form khusus yang telah dirancang untuk
25mm/jam
membantu dalam melakukan pengamatan dan
 Resolusi : 0,2 mm/tip penyandian.
d. Sensor Kecepatan Angin Parameter-parameter seperti suhu,
Sensor kecepatan angin menggunakan kelembapan, tekanan udara, curah hujan,
WS31 buatan environdata, dengan spesifikasi: kecepatan dan arah angin pada form sudah
 Sensor : WS31 Environdata terisi secara otomatis dari alat. Pengamat
 Catu daya : 5,5...7 Volt DC hanya tinggal memasukan data hasil
 Output : 5000 pulse/km pengamatan awan dan jarak pandang. Setelah
 Rentang ukur : 0...75 m/s semua data terisi, maka sandi akan muncul.
 Akurasi : ± 0,2 m/s Tetapi jika ada kesalahan memasukan data,
 Resolusi : 0.2 pulse maka server akan memberikan peringatan
e. Sensor Arah Angin bahwa data yang dimasukan tidak valid.

155
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Secara garis besar alur dari data data .txt, kemudian program kedua akan
dimulai dari sensor kemudian menuju ke data memisahkan data dari raw data.txt dan
logger, proses ini ditunjukkan dalam diagram menyimpannya kedalam database server yaitu
alir pada Gambar 2. Data akan dikoreksi dan MySQL. Data yang telah tersimpan pada
di proses dalam data logger menjadi suatu database dapat ditampilkan kapan saja pada
rangkaian data kemudian dikirimkan melalui webpage. Data ditampilkan dalam bentuk
jalur komunikasi menuju ke server. Pada realtime maupun dalam bentuk form
server, data akan diterima oleh program pengisian sandi. Hasil dari pengamatan yang
pertama dan disimpan kedalam format raw berupa sandi akan ditampilkan pada beberapa
user terkait seperti ATC (Air Traffic Control),
Forecaster, Observer, Admin.
Perancangan diagram blok sistem
data logger ditunjukkan pada Gambar 3.
Sensor tekanan dan RTC (Real Time Clock)
menggunakan jalur I2C (Inter-Integrated
Circuit), sedangkan SHT11 menggunakan
TWI (Two Wire
Interface).

Gambar 3. Diagram Blok Sistem Data


Logger

Implementasi dari perancangan sistem


ini menghasilkan rancang bangun alat
sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 4.

Gambar 4. Rancang Bangun Data Logger


AMOS

Gambar 2. Diagram alir sistem

156
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Gambar 4 diatas menunjukkan dihasilkan alat dengan AWS (Automatic


rancang bangun data logger AMOS yang Weather Station) yang telah terkalibrasi dan
telah dihasilkan. Data logger tersebut akan membandingkan sandi yang dikeluarkan
mengakuisisi dari seluruh sensor yaitu sensor dengan Obstool yang digunakan oleh
tekanan, hujan, suhu, kelembapan, kecepatan pengamat pada Stasiun Meteorologi
angin, dan arah angin. Selanjutnya akan Cengkareng.
ditampilkan pada layar LCD (Liquid Crystal Pada saat pengujian alat, sensor suhu
Display) dan mengirimkan data ke server tiap diletakan berdekatan dengan data logger,
lima detik. yaitu didalam sangkar meteo, sedangkan
sensor tekanan udara berada didalam data
logger. Sensor curah hujan diletakan diluar
sangkar meteo dengan jarak sekitar 3 meter.
Peletakan sensor kecepatan angin dan arah
angin pada tiang anemometer dengan
ketinggian 10 meter dari atas permukaan
tanah. Hasil pengujiannya adalah :

3.1 Hasil Komparasi Sensor Suhu dan


Kelembaban AWS dan SHT11
Pengujian Sensor Suhu AMOS yang
menggunakan SHT11 diletakan pada sangkar
Gambar 5. Tampilan Web AMOS secara
meteo ditiang termometer air raksa.
Real Time
Sedangkan sensor suhu AWS HMP 155
Vaisala diletakkan didekat AWS logger yang
Hasil dari tampilan web AMOS yang
berjarak kurang lebih 6 meter dari sangkar
otomatis refresh tiap 5 detik akan terlihat
meteo. Berikut gambar peletakan sensor
seperti Gambar 5 diatas. Halaman web
SHT11:
tampilan Form Me48 yang disederhanakan
dapat dilihat pada Gambar 6 berikut:

Gambar 7. Peletakan Sensor SHT11 didalam


Sangkar Meteo

Hasil Uji coba pada tanggal 17


Gambar 6. Tampilan Web AMOS Form sampai 19 agustus 2015 adalah sebagaimana
Synop ditunjukkan dalam Gambar 8.
Gambar 6 menunjukkan bahwa lebih
sedikit kolom yang harus diisi ketimbang
harus mengisi form Me48 yang standar. Hal
ini akan memudahkan observer dalam
melakukan tugasnya.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil dari perancangan sistem ini diuji
lapang pada Stasiun Meteorologi Penerbangan
Soekarno Hatta Cengkareng. Metode Gambar 8. Grafik Komparasi Suhu SHT11
pengujian dengan membandingkan nilai yang dengan AWS

157
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Nilai simpangan perbandingan sensor


suhu yang didapat sebesar ±0.2°C, nilai ini 3.3 Hasil Pengujian Sensor Hujan Tipping
cukup bagus karena spesifikasi sensor SHT11 Bucket
mempunyai tingkat keakurasian sebesar Pengujian Sensor Hujan dilakukan
±0.4°C. pada taman alat Stasiun Meteorologi
Selain mengeluarkan output suhu, Soekarno Hatta Cengkareng. Pengujian
sensor SHT11 juga menghasilkan data menggunakan tipping bucket rm young
kelembapan (RH). Dengan posisi dan 0.1mm. Akan tetapi tidak terjadi hujan selama
perlakuan yang sama dengan sensor suhu bulan Juli sampai agustus pada Stasiun
maka pengukuran kelembapan juga dilakukan Meteorologi Soekarno Hatta Cengkareng.
dengan hal yang serupa. Hasil pembandingan Dikarenakan tidak mendapatkan data
sensor kelembapan mempunyai simpangan selama uji coba lapangan oleh sebab itu untuk
±1.2%, seperti pada Gambar 9. menguji validitas alat dan logger serta
kehandalannya maka dilakukan uji coba pada
Lab Kalibrasi BMKG Pusat. Pengujian pada
lab kalibrasi dilakukan pada tanggal 21
agustus 2015. Pengujian dilakukan dengan
memberikan tiga intensitas yang berbeda. Hal
ini dilakukan untuk melihat apakah data
logger dapat mengakusisi hujan dengan
intensitas yang cukup tinggi. Hasil
Gambar 9. Grafik Komparasi Sensor RH pengujiannya ditunjukkan dalam Tabel 1.
SHT11 dengan AWS

3.2 Hasil Komparasi Tekanan Sensor AWS


dan HP03S
Pengujian parameter tekanan
dilakukan dengan membandingkan hasil
keluaran dari sensor AWS yang menggunakan
RM Young 61302V dengan sensor AMOS
HP03S. Peletakan sensor juga sama dengan
sensor SHT11. Sensor tekanan AMOS terletak
didalam data logger AMOS yaitu didalam
sangkar meteo. Sedangkan sensor tekanan RM Gambar 10. Pengujian Tipping Bucket
Young 61302V terletak didalam data logger
AWS. Hasil yang didapatkan seperti pada Tabel 1. Pengujian sensor curah hujan
Gambar 10. AMOS
(tipping
Kalibrator
bucket
Intensita (Hanil Lab Selisi
0.2mm
s Tech)(mm/TI h
environdat
P)
a)
(mm/TIP)
150
9.2mm/46tip 9.2mm/46tip 0
mm/jam
200
Gambar 10. Grafik Komparasi Sensor 9.4mm/47tip 9.4mm/47tip 0
mm/jam
Tekanan AMOS dengan Sensor AWS
250
9.2mm/46tip 9.2mm/46tip 0
mm/jam
Hasil komparasi tekanan cukup baik,
karena terlihat pola yang sangat mirip pada
perubahan tekanan selama pengamatan. Hal
ini dibuktikan dengan selisih tekanan antara
kedua sensor ini sebesar ±0.1mb.

158
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Tabel 1 menunjukan bahwa data Sentry 03002. Hasil komparasi dari kedua
logger dapat menerima dan mengakusisi data sensor ditunjukkan dalam Gambar 13.
hujan dengan baik walaupun dengan intensitas
hujan yang cukup lebat.

3.4 Hasil Komparasi Sensor Kecepatan


Angin AWS dan WS31
Peletakan sensor kecepatan angin
dilakukan pada jarak yang berdekatan, yaitu
pada tiang anemometer yang sama dengan
ketinggian 10 meter. Hal ini ditunjukkan pada
Gambar 11 .

Gambar 13. Grafik Komparasi Arah Angin


WD31 dengan Wind Sentry 03002

Grafik pada Gambar 13 menunjukkan


pola yang hampir sama antara hasil rata-rata
WD31 dengan Wind Sentry03002.
Berdasarkan data yang diambil nilai
simpangan antara kedua sensor ini sebesar
17°, nilai ini masih masuk kategori yang besar
Gambar 11. Peletakan Sensor Arah dan penyimpangannya.
Kecepatan Angin AWS dan AMOS
4. KESIMPULAN
Hasil komparasinya seperti ditunjukkan Kesimpulan dari penelitian ini adalah
dalam grafik di Gambar 12, terlihat nilai sistem ini dapat mengakusisi data dengan baik
antara WS31 dengan Wind Sentry sudah dan dapat bekerja selama 24 jam secara terus
cukup baik ditunjukan dengan nilai menerus dan dapat menyimpan data dengan
simpangannya ± 0.9 Knots. baik.
Sistem dapat bekerja dengan baik
untuk mengakusisi sensor, ditunjukan dari
hasil komparasi dengan AWS yang telah
terkalibrasi dan mendapatkan nilai
penyimpangan : suhu (±2°C),
RH(±1.2%),Tekanan (±0.1mb), Kecepatan
Angin (±0.9Knots), Arah Angin (±17°), dan
Curah Hujan tidak ada penyimpangan.
Kekurangan dari sistem ini masih
Gambar 12. Grafik Komparasi Kecepatan terdapat pada algoritma penyandian yang
Angin belum sempurna masih memerlukan
Pengukuran arah angin menggunakan percobaan-percobaan agar menemukan bug
metode modus, yaitu arah terbanyak yang yang ada dalam program.
ditunjukkan oleh sensor. Sedangkan untuk Saran untuk pengembangan penelitian
perhitungan pada sensor AWS belum dapat ini agar dapat digunakan pada operasional
diketahui perhitungan rata-rata arah angin observasi, maka perlu dilakukan pengamatan
yang ditunjukan selama 10 menit. Sedangkan paralel selama minimal satu tahun dengan
untuk peletakan sensor agak berbeda, akan sistem yang sudah ada, dan melakukan
tetapi telah dilakukan pengaturan manual pada kalibrasi tiap sensor agar mendapat nilai offset
windvane agar menunjukan nilai yang hampir yang lebih tepat. Selain itu perlu ditambahkan
mirip dan sama pada arah yang sama juga sistem backup agar apabila terjadi kesalahan
dengan sensor arah angin AWS yaitu Wind atau kecelakaan maka data masih dapat
terselematkan.

159
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Edisi Wisuda STMKG), Vol. 2, No. 3, Oktober 2015

Ucapan terimakasih penulis in-One Desk Reference For Dummies,


sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa Wiley Publishing Inc, Indianapolis.
yang telah memberikan hikmat-Nya agar VanderVeer, Emily, 2005, JavaScript For
penelitian ini dapat terselesaikan. Kepada Dummies, 4th Edition, Wiley Publishing
pihak terkait di Stasiun Meteorologi Soekarno Inc, Indianapolis.
Hatta Cengkareng, dan rekan-rekan di
STMKG dan BMKG pusat. Pustaka dari Situs Internet
Atmel Corporation, Rev. 2466T–AVR–07/10,
DAFTAR PUSTAKA 8-bit Microcontroller with 16K Bytes
Holzner, Steve, 2006, Ajax For Dummies, In-System Programmable Flash,
Wiley Publishing Inc, Indianapolis. (http://www.atmel.com/Images/doc246
Lukito, I. S. 2010, Automatic Evaporation 6.pdf, diakses 13 Februari 2015)
Station (AES) Tesis, Program Magister Environdata,Wind Speed 31 and Wind
Fisika Fakultas MIPA UI, Depok. Direction 31 datasheet,
McFarland, David Sawyer, 2014, JavaScript (http://techrentals.com.au/uploads/ENV
& jQuery: The Missing Manual, 3th _DL20WSD.pdf, diakses 17 Juli 2015).
Edition, O’Reilly Media Inc, Innovative electronics, Manual DT-Sense
Sebastopol. Barometric Pressure & Temperature
Mueller, John Paul, 2013, HTML5 Sensor, (http://innovativeelectronics
Programming with JavaScript For .com/innovative_electronics/download_
Dummies, John Willey& Sons Inc, files/manual/Manual_DT-Sense
Hoboken. _Barometric_Pressure_&_Temperature
Republik Indonesia. 1992. Undang-undang _Sensor.pdf, diakses tanggal 15
nomor 31 tahun 2009 tentang februari 2015)
Meteorologi, Klimatologi, dan Sensirion company, Datasheet SHT1x,
Geofisika. Lembaran Negara Republik (http://www.sensirion.com/fileadmin/us
Indonesia Tahun 2009 Nomor 139. er_upload/customers/sensirion/Dokume
Toruan, K. L., 2009, Automatic Weather nte/Humidity/Sensirion_Humidity_SH
Station (AWS) Berbasis Mikrokontroler T1x_Datasheet_V5.pdf, diakses tanggal
Tesis, Program Pasca Sarjana Fakultas 15 april 2015).
MIPA UI, Depok.
Valade, J., Ballad, T., dan Ballad, B., 2008,
PHP & MySQL WEB Development All-

160
FORMAT PENULISAN JURNAL MKG

Redaksi Jurnal MKG membuka kesempatan bagi para mahasiswa, dosen, karyawan, dan peneliti
untuk mengirimkan karyatulis ilmiahnya, terutama yang berkaitan dengan bidang ilmu meteorologi,
klimatologi, kualitas udara, geofisika, lingkungan, kebencanaan, dan instrumentasi yang terkait,
dengan ketentuan format seperti di bawah ini.

JUDUL KARYATULIS ILMIAH

Nama Penulis Pertama1, Penulis Kedua1, Penulis Ketiga2


1
Afiliasi Penulis Pertama dan Penulis Kedua
2
Afiliasi Penulis Ketiga
(E-mail: penulis pertama)

Abstrak

Abstrak disusun dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, masing-masing 1 alinea, berisi 150
hingga 200 kata yang mencakup tujuan penelitian, metode yang digunakan, dan hasil penelitian
secara singkat, ditulis dengan font Times New Roman ukuran 11 point, cetak miring, spasi tunggal.

Kata kunci: 4 atau 5 kata kunci.

Abstract

Abstract in english

Keywords: 4-5 words.

I. FORMAT ISI KARYATULIS ILMIAH

1.1 Naskah Karyatulis Ilmiah


Isi naskah harus asli dan belum pernah dipublikasikan. Naskah dapat ditulis dengan
menggunakan Bahasa Indonesia atau Bahasa Inggris. Naskah diketik menggunakan aplikasi MS
Word, 2 kolom dengan ketentuan panjang naskah antara 8 hingga 15 halaman ukuran kertas A4; batas
kiri 3 cm, batas kanan 2,5 cm, batas atas 3 cm dan bawah 2,5 cm.

1.2 Judul dan Isi Karyatulis Ilmiah


Judul ditulis menggunakan huruf font Times New Roman ukuran 14 point, rata tengah, spasi
tunggal, huruf kapital, dan cetak tebal (bold). Sub judul ditulis menggunakan huruf font Times New
Roman ukuran 12 point. Isi karya tulis ilmiah ditulis menggunakan huruf font Times New Roman
ukuran 11 point, rata kiri-kanan, dan spasi tunggal. Keterangan Gambar dan Tabel ditulis
menggunakan huruf font Times New Roman ukuran 10 point. Redaksi berhak untuk mengubah isi
naskah karyatulis ilmiah, sepanjang tidak mengubah substansinya. Isi naskah adalah sepenuhnya
menjadi tanggung jawab penulis.

DAFTAR PUSTAKA

Naskah Karyatulis Ilmiah dilengkapi dengan referensi/daftar pustaka yang jelas dengan tata urutan
yang konsisten.

Sumber dari jurnal (nama jurnal ditulis miring):


Newcomb, K.R. and McCann, W.R. 1987. Seismic History and Seismotectonic of the Sunda Arc,
Journal of Geophysical Research, Vol. 92, no. B1 pp 421-439, American Geophysical
Union.
Sumber dari prosiding (nama prosiding ditulis miring):
Nakamura, Y., Sato, T., and Nishinaga, M. 2000. Local Site Effect of Kobe Based on Microtremor
Measurement, Proceeding of the Sixth International Conference on Seismic Zonation EERI,
Palm Springs California.

Sumber dari buku (judul buku ditulis miring):


Bemmelen, R.W. Van. 1949. The Geology of Indonesia, Gov. Printing Office, The Haque, p.732.

Sumber dari buku dengan editor (judul buku ditulis miring):


Simoen, S., Langgeng W.R. dan Pramono H. (eds). 2002. Pengenalan Bentanglahan Parangtritis-
Bali, Badan Penerbit Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Sumber dari internet (judul artikel ditulis miring):


Nakamura, Y. 2000. Seismic Vulnerebility Index Based on Microtremor Measurement,
(http://www.systemdatareport.org/agents2/ch3_1_2.htm, diakses tanggal 1Januari 2015).

Sumber dari perundang-undangan (ditulis biasa):


-----------,Undang-Undang Republik Indonesia tentang Penanggulangan Bencana,
Undang-Undang No. 24 tahun 2007.

Alamat Redaksi:
Jurnal Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (Jurnal MKG)
Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat STMKG
Jl. Perhuhungan I No. 5 Komplek Meteo DEPHUB, Bintaro, Pondok Betung,
Tangerang Selatan – 15221, Telp: 021-73691623 Fax: 021-73692676
E-mail: jurnalmkg@bmkg.go.id

Anda mungkin juga menyukai