Anda di halaman 1dari 94

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Metode seismik merupakan salah satu metode geofisika yang dapat digunakan
untuk mengetahui struktur bawah permukaan bumi. Sama seperti metode-metode
geofisika yang lainnya, metode seismik ini pun memiliki tiga tahapan utama
dalam penerapannya, diantaranya proses akuisisi data, proses pengolahan data dan
proses interpretasi data. Pengolahan data seismik bertujuan untuk menghasilkan
penampang seismik dengan S/N (signal to noise ratio) yang baik tanpa mengubah
bentuk kenampakan-kenampakan refleksi sehingga dihasilkan penampang seismik
yang mewakili daerah bawah permukaan yang siap untuk diinterpretasikan.

Dalam melakukan pengolahan data seismik ada beberapa tahapan yang harus
dilakukan diantaranya adalah Pre-Prosesing/Editing (Conditioning Data), Main-
Prosesing dan Post-Prosesing. Pada tahap pre-prosesing dilakukan proses
Reformatting – Field Geometry – Amplitude Recovery – Editing – Filtering –
Static Correction – Deconvolution – FK Filter. Selanjutnya pada main-prosesing
dilakukan Velocity analysis – NMO – Residual Static – DMO – Migrasi –
Stacking. Tahap terakhir berupa post-prosesing untuk memperjelas atau
memperhalus sinyal pada penampang sesimik yang telah didapatkan melalui tahap
prosesing sebelumnya. Setiap tahapan pengolahan data seismik akan menentukan
penampang akhir yang akan dihasilkan. Oleh sebab itu diperlukan analisa yang
baik dan memperhatikan langkah-langkah yang dilakukan saat prosesing data
seismik.

I.2 Tujuan
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan kerja praktek ini adalah:
1. Memiliki kemampuan untuk melakukan pengolahan data seismik 2D land
menggunakan software geotomo (Geothrust).
2. Dapat menganalisa tahapan-tahapan penting dalam pengolahan data seismik
seperti: input geometri, koreksi statik, filtering, dan migrasi menggunakan
migrasi menggunakan metode Kirchhoff untuk mendapatkan penampang

1
PSTM/PSDM.
3. Menerapkan metode Travel time tomography dalam koreksi statik untuk
membuat near surface velocity.
4. Menerapkan migrasi kirchhoff untuk menghasilkan Gambaran bawah
Permukaan bumi yang baik dan tepat.

I.3 Batasan Masalah


Adapun batasan masalah dari studi kerja praktek ini adalah untuk melakukan
prosesing data seismik 2D Land menggunakan metode travel time tomography
dan metode kirchhoff migration sampai dihasilkan penampang seismik hasil
migrasi PSTM dan PSDM.

1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam pelaksanaan kerja praktek ini adalah:
1. Bagi Perguruan Tinggi
Sebagai sarana untuk menjalin relasi yang baik antara universitas dengan
perusahaan serta sebagai tambahan referensi bagi universitas mengenai
perkembangan dunia eksplorasi saat ini, sehingga universitas dapat
menentukan langkah yang tepat untuk mempersiapkan mahasiswanya terjun
ke dalam dunia kerja.
2. Bagi Perusahaan
Sebagai sarana bagi perusahaan untuk turut serta berkontribusi dalam
pengembangan kualitas pendidikan di Indonesia. Hasil analisa yang dilakukan
selama kerja praktek dapat menjadi referensi bagi perkembangan perusahaan
ke depannya.
3. Bagi Mahasiswa
Mahasiswa dapat menerapkan secara langsung teori yang didapatkan di
kampus ke dalam dunia kerja yang sebenarnya dalam hal ini adalah
pengolahan data seismik di PT. Jaya Energy Buana. Selain itu mahasiswa
juga dapat lebih mengetahui cara pengolahan data seismik menggunakan
software Geotomo. Pengalaman yang diperoleh di perusahaan dapat menjadi
referensi ke depannya.

2
BAB II
DASAR TEORI
II.1 Konsep Seismik Refleksi
Metode seismik memanfaatkan penjalaran gelombang seismik ke dalam bumi.
Metode seismik refleksi merupakan metode seismik mengenai penjalaran
gelombang elastik yang dimulai dari suatu sumber, dan pada titik tertentu akan
direfleksikan kembali ke permukaan, sehingga dapat mengGambarkan lapisan
bawah permukaan secara vertikal. Gelombang elastik terdiri dari dua macam
gelombang, yaitu gelombang body, yang meliputi gelombang-P dan gelombang-S,
dan gelombang permukaan, gelombang Love dan gelombang Rayleigh.
Gelombang badan (body wave) merupakan gelombang yang energinya ditransfer
melalui medium bumi. Gelombang badan (body wave) dibagi menjadi dua
macam, yaitu (Abdullah, 2007):
1. Gelombang kompresi/Gelombang P adalah gelombang longitudinal
dimana arah pergerakan partikel akan searah dengan arah rambat
gelombang.
2. Gelombang shear/Gelombang S adalah gelombang transversal dimana
arah pergerakan partikel akan tegak lurus dengan arah rambat gelombang.
Pada metode seismik refleksi, jenis gelombang yang digunakan, yaitu gelombang
body terutama pada gelombang-P (kompresi). Di bawah ini adalah Gambar dua
macam gelombang yang telah disebutkan di atas

Gambar 2.1 Model rambat gelombang seismik a). Gelombang P dan


b). gelombang S (Abdullah, 2007)

3
Gelombang kompresi ini atau disebut dengan gelombang suara, yaitu gelombang
yang arah gerak partikelnya searah dengan arah rambatnya dan kecepatannya
lebih besar dari gelombang S yang arah gerak partikelnya tegak lurus dengan arah
rambatnya.
II.2 Noise Dalam Data Seismik
Noise adalah sinyal yang dianggap menggangu dan tidak diinginkan, oleh karena
itu dalam proses pengolahan data seismik dilakukan usaha pengurangan noise
hingga persentase noise pada data menjadi seminimal mungkin. Secara umum,
noise terbagi atas 2 jenis, yaitu noise yang bersifat acak (random/ambient noise),
dan noise yang bersifat koheren, noise tersebut biasanya ditimbulkan oleh sumber
ledakan. (Kearey, 1999).
II.2.1 Random Noise (Ambient noise)
Ambient noise adalah noise yang disebabkan oleh segala sesuatu yang tidak
disebabkan oleh sumber (source). Noise acak ini dapat ditimbulkan oleh adanya
angin, hujan, aliran air, aktifitas manusia, hewan, aktifitas mesin industri, dan
faktor lingkungan lainnya. Ciri-ciri dari tipe noise ini antara lain: bersifat acak
(random), memiliki spektrum yang lebar, memiliki energi yang relatif rendah
(berasosiasi dengan amplitudo kecil).
II.2.2 Noise Koheren (Shot generated noise)
Noise koheren adalah noise yang timbul akibat peledakan yang dilakukan pada
sumber saat pengambilan data. Beberapa jenis noise yang termasuk dalam
kategori ini antara lain;
a. Ground roll
Adalah noise yang menjalar melalui permukaan yang radial (gelombang
permukaan) menuju receiver. Ciri-ciri dari ground roll antara lain: memiliki
energi besar (amplitudo tinggi), memiliki frekuensi yang relatif rendah,
mempunyai kecepatan yang lebih rendah dari sinyal utama, tetapi lebih besar dari
air blast (air wave).
b. Air blast (air wave)
Adalah noise yang diakibatkan oleh penjalaran gelombang langsung melalui
udara. Karakter dari noise ini hampir sama dengan ground roll, hanya saja
kecepatan air blast lebih rendah.

4
c. Multiple
Adalah sinyal refleksi yang dapat berupa short- path multiple (SPM) maupun long
– path multiple (LPM). SPM pada data rekaman seismik akan tiba setelah sinyal
utama, sehingga akan mempengaruhi tampilan sinyal utama. Sedangkan LPM,
akan terlihat pada penampang seismik sebagai sebuah “event” lain yang berulang.
Multiple dapat dianggap sebagai noise, karena tidak mengGambarkan event
reflektor sebenarnya.

Gambar 2.2 Beberapa macam Multiple: (a) Free-Surface Multiple, (b) peg-leg
Multiple dan (c) intra bed Multiple. (Uren,1995)

Multiple merupakan suatu fenomena gelombang seismik yang memantul lebih


dari sekali sebelum kembali ke permukaan dan terekam kembali oleh perekam.
Multiple terjadi apabila gelombang seismik melewati suatu batas lapisan yang
memiliki kontras impedansi antar lapisan yang sangat besar (misalnya dari kolom
air laut menuju lantai dasar laut yang keras, lapisan karbonat, dll). Saat ini metode
akuisisi yang biasa digunakan adalah metode dengan menggunakan multi-
coverage data acquisition, hal ini merupakan salah satu usaha dari beberapa
perusahaan penyedia jasa untuk meningkatkan kualitas image di bawah
permukaan. Penggunaan metode ini pada akuisisi seismik refleksi biasanya
dilakukan secara berulang, sehingga satu titik refleksi dapat diiluminasi oleh
beberapa pasangan source dan reciver. Hasilnya, akan didapatkan beberapa

5
pasangan source dan reciver untuk satu titik CMP dalam data 2D. Data multi-
coverage ini dimanfaatkan oleh semua metode imaging, untuk dikumpulkan
menjadi kumpulan data dari common cause. Kemudian dipetakan ke posisi
sebenarnya, menjadi satu kumpulan data Zero Offset (simulasi ZO) yang lebih
mudah untuk diinterpretasikan. (Herrmann, 2000).

Gambar 2.3 Contoh noise yang terdapat pada data seismik (Bancroft, 2004).
Dalam seismik refleksi, dasar metodenya adalah perambatan gelombang bunyi
dari sumber getar ke dalam bumi atau formasi batuan, kemudian gelombang
tersebut dipantulkan ke permukaan oleh bidang pantul yang merupakan bidang
batas suatu lapisan yang mempunyai kontras Impedansi Akustik (IA). Di
permukaan bumi gelombang itu ditangkap oleh serangkaian instrumen penerima
(geophone/hydrophone) yang disusun membentuk garis lurus terhadap sumber
ledakan atau profil line.
II.3 Geometry
Geometry merupakan tahapan yang dilakukan untuk mendefinisikan geometri
penembakan berdasarkan pada hasil akuisisi data di lapangan. Pada umumnya,
parameter akuisisi ini berisi informasi mengenai koordinat source dan receiver,
kedalaman source, offset dan lain-lain. Tujuannya untuk mendefinisikan keadaan
lapangan saat pengambilan ke dalam format yang dapat dibaca komputer.

6
II.3.1 Geometry Penembakan (Spread Type)
Geometry penembakan adalah konfigurasi titik tembak dan channel di lintasan
survei. Konfigurasi ini dirancang untuk menyesuaikan dengan struktur geologi
bawah permukaan daerah target. Ada beberapa tipe konfigurasi yaitu:
a. Split spread, yaitu titik tembak berada diantara bentangan receiver.
b. Off end spread dan End on spread, yaitu titik tembak berada pada
salah satu ujung, off end di ujung kiri dan end on di ujung kanan dari
bentangan.
c. Cross spread, jika bentangan kabel receiver membentuk silang, silang
.tegak lurus dengan shot point berada dipersimpangan atau
perpotongan bentangan kabel receiver tersebut.

Gambar 2.4 Pola konfigurasi titik tembak dan chanel saat geometry
II.3.2 Geometry Lintasan Sinar Gelombang (Raypath)
Berdasarkan lintasan sinar gelombang (raypath) geometri penembakan dapat
dibagi menjadi empat jenis, yaitu :
1. Common Shot Point
Common Shot Point adalah istilah pengambilan data seismik untuk konfigurasi
source-receiver untuk suatu penembakan.

(a) (b)
Gambar 2.5 (a) Prinsip CSP (b) Respon CSP

7
2. Common Depth Point
Common Depth Point adalah istilah pengambilan data seismik untuk konfigurasi
source-receiver dimana terdapat satu titik tetap dibawah permukaan bumi. Untuk
reflektor bidang datar, CDP dikenal juga dengan CMP (Common Mid Point).

(a) (b)
Gambar 2.6 (a) Prinsip CDP / CMP (b) Respon CDP / CMP

Gambar 2.7 konfigurasi CMP (atas) , konfigurasi CDP (bawah)


Common Receiver Point (CRP)
3. Common Receiver
Common Receiver adalah istilah pengambilan data seismik dengan konfigurasi
satu receiver dari banyak shot point.

(a) (b)
Gambar 2.8 (a) Prinsip CRP (b) Respon CRP

8
4. Common Offset (CO)
Common offset adalah istilah pengambilan data seismik dimana konfigurasi
receiver yang memiliki jarak (offset) yang sama

(a) (b)
Gambar 2.9 (a) Prinsip CO (b) Respon CO (Mifta Ratu, 2014)

II.4 First Break


First break merupakan gelombang yang terekam pertama kali. Gelombang ini
merupakan gelombang yang tercepat sampai ke penerima. Di dalam studi seismik
refleksi, first break digunakan untuk mencari informasi kondisi lapisan lapuk juga
digunakan untuk koreksi statik. Di dalam studi seismik tomografi, first break
digunakan sebagai input waktu tempuh gelombang untuk mencitrakan anomali
kecepatan gelombang seismik di bawah permukaan.

Gambar 2.10 Picking first break pada software Geotomo (PT. Jaya Energi
Buana)

9
II.5 Travel Time Tomography
Travel time tomography merupakan cara untuk merekontruksi model kecepatan
bumi yang didapat dari picking travel time. Travel time (waktu tempuh) didapat
dari data seismik dengan konfigurasi source-receiver dan digunakan untuk
mengekstrak model kecepatan bervaiasi dengan resolusi spasial (Schuster, 1998).
Analisa data travel time dilakukan dengan menandai travel time dari setiap
shootpoint yang ditempatkan secara bersama-sama. Dengan mengkombinasikan
data yang telah ditandai mulai dari shootpoint pertama sampai shootpoint terakhir
maka akan didapatkan kurva travel time yang kemudian dilakukan pemodelan
inversi bawah permukaan (metode tomografi). Tujuan utamanya adalah untuk
menemukan waktu tempuh minimum antara sumber dan penerima untuk setiap
pasangan sumber-penerima. Hal ini dicapai dengan pemecahan untuk 1 (raypath)
dan S (kecepatan invers atau slowness) (Ramadhana, 2015).
Metode travel time tomography meliputi dua bagian yaitu pemodelan kedepan
(forward modeling) dan pemodelan ke belakang (inverse modeling). Pemodelan
kedepan digunakan untuk menghitung waktu tempuh dan jalan rambat gelombang
atau sinar pada sebuah model sintetik. Sedangkan pada pemodelan ke belakang
dilakukan proses pengambilan data waktu menjadi model kecepatan. Kedua
proses ini saling berkaitan satu sama lain, dan pemilihan setiap metode akan
sangat mempengaruhi hasil dan waktu komputasi.

Gambar 2.11 Travel time tomography pada software Geotomo

10
II.6 Koreksi Statik
Tujuan dari koreksi statik adalah menghilangkan pengaruh topografi terhadap
sinyal – sinyal seismik yang berasal dari lapisan pemantul. Topografi permukaan
tanah yang umumnya tidak rata akan mengakibatkan bergesernya waktu datang
sinyal – sinyal refleksi dari waktu yang diharapkan. Topografi permukaan tanah
ini mempengaruhi ketinggian titik tembak (shot point) maupun geophone
(receiver) bila dihitung terhadap bidang referensi atau datum yang datar. Koreksi
statik juga bertujaun untuk menghilangkan pengaruh lapisan lapuk yang
umumnya mempunyai kecepatan sangat rendah bila dibandingkan dengan lapisan-
lapisan batuan yang ada dibawahnya. Setelah koreksi statik maka shot dan
geophone seolah-olah diletakkan pada bidang datum.
Faktor-faktor yang mempengaruhi antara lain sebagai berikut :
1. Perbedaan elevasi antara sumber dan penerima (geophone)
2. Adanya lapisan berkecepatan rendah (biasanya lapisan hasil perlapisan
batuan) baik pada posisi sumber dan/atau geophone.
3. Koreksi level datum pada posisi sumber dengan geophone.

Gambar 2.12 Pergeseran statik (static shift)


Hal-hal yang dipengaruhi oleh koreksi static adalah :

11
1. Geometri struktur
2. Resolusi
3. Kemenerusan reflektor
4. Ketepatan analisa kecepatan
Untuk struktur geologi yang kecil, akurasi koreksi statik sangat mempengaruhi
pada saat pemetaannya. Koreksi statik juga bertujuan untuk menghilangkan
pengaruh apisan lapuk (weathering zone atau w-z) yang pada umumnya
mempunyai kecepatan yang sangat rendah bila dibandingkan dengan lapisan-
lapisan yang ada di bawahnya, setelah koreksi statik maka shot dan geophone
diletakan dibidang datum.Untuk shot point yang diletakkan di bawah lapisan w-z
perhatikanlah Gambar berikut ini :

Gambar 2.13 Prinsip dasar geometri koreksi statik


DS = kedalaman shot point dihitung dari permukaan
ES = elevasi shot point dihitung dari datum
ED = elevasi datum
V1 = cepat rambat gelombang seismik di dalam w-z
V2 = cepat rambat gelombang seismik di dalam lapisan dibawah w-z

(a) (b)
Gambar 2.14 (a) data sebelum koreksi statik dan (b) setelah koreksi statik

12
II.6.1 Koreksi Statik Lapangan
Dilakukan untuk menempatkan posisi shot dan geophone pada datum yang sama,
sehingga pengaruh elevasi antara shot dan geophone dapat dihilangkan. Datum
tersebut dapat didefinisikan pada MSL (Mean Sea Level ) ataupun lainnya. Tahap-
tahap perhitungan koreksi stastik elevasi dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu :
yang disebut sebagai koreksi statik dilapangan (field static) adalah
Es – Ds – Ed
Δts + Δtg = t 𝑢ℎ
V2

Dapat dilihat dari persamaan diatas bahwa perlu diketahui nilai V2. Untuk
mendapatkan nilai V2 tersebut beberapa cara dapat dilakukan, seperti dengan
memanfaatkan metode refraksi.
a. Shot point berada di atas LVL.
- Koreksi shot ke datum
Δts = -(Es – Ds – Ed)/V2
-Koreksi geophone ke datum
Δtg = Δts + tuh
b. Shot point berada di bawah LVL
- Koreksi shot ke datum
Δts = -(Es – Ds – Ed)/V2) +Add .Correct
-Koreksi geophone ke datum
Δtg = Δts + tuh+Add .Correct
II.6.2 Koreksi Residual Statik
Koreksi statik telah dilakukan sebelum analisa kecepatan, tetapi koreksi tersebut
tidaklah sempurna karena nilai kecepatan yang digunakan pada koreksi statik
utama bukan nilai kecepatan seharusnya (hasil analisis kecepatan) sehingga masih
tersisa deviasi statik pada data seismik. Terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan adanya deviasi tersebut, diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Kesalahan pengukuran elevasi
b. Ketidak telitian membaca uphole time
c. Ketidak tepatan mengukur kecepatan replacement
d. Adanya problem surface unconsistent static
Hal tersebut diatas mengakibatkan S/N ratio dalam CDP stack belum maksimal.
Koreksi statik residual dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :

13
1. Koreksi statik berdasarkan permukaan (surface consistent), dimana
koreksi dihitung untuk masing-masing posisi source dan receiver.
2. Koreksi statik berdasarkan CDP (sub-surface consistent), dimana koreksi
dihitung hanya berdasarkan data dalam satu kelompok CDP saja, tanpa
memperhatikan konsistensi terhadap posisi source dan receiver.
II.7 Filter
Identifikasi dan penghilangan noise dari data seismik adalah salah satu tahapan
dari pemrosesan data seismik.Noise seismik mempunyaiberbagai bentuk. Secara
garis besar noise dapat dikategorikan menjadi dua koheren dan tak-koheren. Noise
tak-koheren terdiri dari noise-noise yang tidak mempunyai pola yang teratur
sementara noise koheren mempunyai pola keteraturan dari trace. Contoh dari
noise koheren antara lain adalah multiple dan ground-roll.
II.7.1 Filter Channel Tunggal
a. Filter Shaping
Filter ini digunakan untuk merubah bentuk dari suatu kelompok trace seismik ke
kelompok lain. Filter shaping dihitung dengan cara perataan filter yang didapat
dari beberapa selang spasial dan temporal yang memenuhi suatu kriteria panjang
filter efektif tertentu. Filter dengan panjang filter efektif yang terlalu besar
tidak akan dipakai. Filter-filter yang bisa diterima artinya memenuhi kriteria
panjang filter yang efektif kemudian dirata-ratakan untuk menghasilkan filter
shaping akhir yang akan dikonolusikan dengan data. proses ini dapat
diulang sampai beberapa kali untuk mendapatkan hasil yang memuaskan.
b. Filter Lolos Pita (Band-pass Filter)
Filter lolos pita adalah metoda yang murah dan mudah untuk menekan noise yang
ada di luar spektrum frekuensi dari sinyal yang diinginkan. Noise frekuensi rendah
antara lain adalah ground roll, noise frekuensi tinggi biasanya disebabkan oleh
angina, air blast statik atau petir.Salah satu cara untuk memilih filter lolos pita
adalah dengan cara menerapkan sekumpulan filter dengan selang frekuensi yang
sempit pada satu data seismik untuk melihat bagiandari spektrum yang
mengandung sinyal dan bagian yang didominasi oleh noise. Filter dapat berupa
koefisien diskrit dalam domain waktu atau dapat berupa wavelet fasa-nol (zero
phase) atau fasa-minimum (minimum phase) dalam domain kedalaman.

14
c. Filter Monokromatik
Filter ini berfungsi untuk menghilangkan noise dengan frekuensi tunggal atau
selang frekuensi yang sempit tanpa mendistorsi sinyal seismik. Filter ini
tidak hanya lebih murah tetapi juga mempunyai kemampuan yang sama
dibandingkan dengan filter notch dan juga tidak terlalu mempengaruhi fasa dari
sinyal seismik tidak seperti filter notch.
d. Filter Time Variant
Dibanyak tempat frekuensi dominan dari sinyal seismik bervariasi terhadap
waktu. Filter yang benar-benar berubah terhadap waktu susah untuk diterapkan
dan mebutuhkan waktu komputasi yang lama. Salah satu caranya adalah dengan
membagi trace seismik menjadi beberapa segmen dan memperlakukan tiap
segmen sebagai sinyal yang terpisah. Filter didesain dan diterapkan untuk tiap
segmen kemudian hasilnya disatukan kembali. Perhatikan bahwa sinyal harus
tidak berada pada ujung-ujung segmen.
II.7.2 Filter Multichannel

a. Filter F-K
Noise koheren linier pada persamaan gelombang dengan domain ruang-waktu (t-
z), harus ditransformasikan ke dalam domain frekuensi-bilangan gelombang
akibat kehadiran lintasan miring (dip). Dalam faktanya, noise koheren berupa
ground-roll, gelombang langsung dan gelombang bias yang secara umum
merupakan refleksi pertama dalam data seismik. Noise pada jenis ini dapat
ditangani dari energi refleksi dalam domain f – k. Salah satu proses implementasi
dari domain F-K adalah F-K dip filtering. Zona yang dihilangkan oleh F-K pada
data seismik yang terganggu oleh noise, dapat juga dilakukan pada kasus untuk
mengatenuasi multiple noise (Philip and Hill, 2002).

Kelebihan metode ini adalah waktu komputasi yang cepat dan dapat meresolusi
struktur dengan kemiringan yang curam, dan dapat dilakukan pada data dengan
rasio signal to noise yang rendah (data buruk). Dan diharapkan dapat merubah
rasio singnal to noise menjadi tinggi (data baik)

15
Gambar 2.15 Filtering data seismik dengan menggunakan F-K (Yilmaz, 2001)
b. Transformasi Radon
Secara umum untuk Transformasi Radon, persamaan untuk menunjukkan arti p
adalah:
t= τ + px
Sinyal-sinyal refleksi dalam kumpulan data seismik yang saling bertumpuk, dapat
dibedakan oleh perbedaan moveout. Radon mentransformasikan data tersebut dari
domain t-x ke domain τ – p dengan penjumlahan trace. Dalam domain τ – p
energi dari sinyal-sinyal refleksi yang bertumpuk akan terpisah, karena energi
diatur menurut moveout. Sinyal refleksi yang tidak diinginkan kemudian
dihilangkan dalam domain τ – p dengan pemotongan kecepatan. Terakhir,
dilakukan transformasi balik kembali ke domain jarak dan waktu.
Transformasi Radon efektif digunakan untuk penghilangan noise multiple perioda
panjang. Proses penghilangan noise multiple dengan Transformasi Radon
dilakukan berdasarkan perbedaan normal moveout antara noise multiple dan
refleksi primer. Multiple dapat dihilangkan dengan cara meloloskan refleksi
primer melalui transformasi tersebut dan meloloskan multiple dan mengurangkan
pada data asli (Deni, 2006).
Cara menghilangkan multiple dengan pengurangan (substraction) data asli
mempunyai keuntungan dan kekurangan. Keuntungannya adalah dapat
mempertahankan karakter data asli lebih banyak. Ini juga mencegah masalah yang
mungkin disebabkan oleh range kecepatan yang sempit, dimana range–p adalah

16
tetap pada bagian dangkal. Kekurangannya adalah sinyal refleksi multiple dangkal
tidak dapat dimodelkan dengan baik. Karena itu proses pengurangan tidak
sempurna. Metode pengurangan cenderung sukses karena data primer dangkal
diperlukan dan sinyal refleksi multiple cenderung lebih dalam pada penampang
tersebut.
II.8 Dekonvolusi
Dekonvolusi dilakukan sepanjang sumbu waktu (time axis) yang bertujuan untuk
meningkatkan resolusi temporal dengan mengkompresi wavelet seismik asal
sampai mendekati bentuk spike dan meminimalkan reverberasi gelombang. Untuk
itulah, maka pada awal pengerjaan dekonvolusi diperlukan suatu time gate dimana
di dalam gate tersebut diusahakan tercakup nilai-nalai sinyal to noise rasio yang
cukup baik agar dihasilkan operator dekonvolusi yang tepat. Biasanya nilai signal
to noise rasio yang masih cukup baik terdapat antara first break time sampai
beberapa milisecond di bawahnya, dimana amplitudo sinyal masih dapat terlihat
cukup kuat. Adapun jenis dekonvolusi yang dipakai pada pengolahan data kali ini
adalah tipe spike/predictive dekonvolusi, dimana konsep dari metode ini yaitu
dengan menggunakan teori filter Wiener yang merupakan sebuah operasi
matematik yang menganut azas kuadrat terkecil dalam menjalankan operasinya.

II.8.1 Spiking Dekonvolusi


Dekonvolusi jenis ini pada prinsipnya ditujukan untuk membentuk sinyal. Dalam
keadaan khusus bila sinyal yang diinginkan berupa paku (spike), maka
dekonvolusinya disebut spiking dekonvolusi. Konsep untuk menyelesaikan hal ini
ada di dalam teori yang disebut filter Wiener.

Gambar 2.16 Prinsip filter Wiener yang mengubah sinal menjadi paku

17
II.8.2 Dekonvolusi Prediktif
Filter prediktif adalah suatu filter digital yang beropersi atas dasar informasi yang
didapat di bagian awal suatu gelombang untuk menghilangkan hal-hal yang tidak
diinginkan di bagian belakang dari gelombang tersebut. Filter prediktif digunakan
untuk menekan noise-noise yang koheren misalnya seperti multiple. Dikatakan
sebagai Preditive Deconvolution karena efeknya menekan gangguan-gangguan
yang diramalkan setelah terjadi sesuatu peristiwa refleksi yang belum dapat
dipastikan seperti multiple atau reverbrasi.
II.8.3 Dekonvolusi Zero-Phase

Dekonvolusi ini dilakukan dengan cara mengestimasi spektrum


amplitudo wavelet terbaik dan menggunakan inverse dari spektrum amplitudo
tersebut untuk melakukan proses whitening pada data tanpa mempengaruhi
fasenya. Dekonvolusi zero-phase dapat dilakukan pada domain waktu maupun
frekuensi.

II.9 Koresksi NMO


Koreksi Normal Move Out (NMO) merupakan tahapan yang diterapkan guna
mengkoreksi adanya efek yang disebabkan oleh jarak offset antara sumber
gelombang seismik dengan geophone pada suatu traceyang berasal dari satu CMP
(Common Mid Point) atau CDP (Common Depth Point). Oleh karena efek
tersebut, maka untuk satu titik CMP atau CDP akan terekam oleh sejumlah
penerima sebagai garis lengkung (hiperbola). Dengan menerapkan koreksi NMO
ini maka gelombang pantul yang terekam akan seolah-olah datang dalam arah
vertikal (normal incident), sehingga dalam tahap stacking berikutnya akan
diperoleh hasil yang maksimal.

Gambar 2.17 Konsep koreksi NMO pada CMP gather

18
Didalam melakukan koreksi NMO, pemilihan model kecepatan (Vrms maupun
Vstack) merupakan hal yang sangat penting.

Gambar 2.18 Efek pemilihan model kecepatan: (a) sebelum koreksi NMO (b)
model kecepatan yang tepat (c) kecepatan terlalu rendah (d) kecepatan terlalu
tinggi.

Koreksi NMO akan menghasilkan efek 'stretching' yaitu penurunan frekuensi


gelombang seismik. Oleh karena itu langkah 'muting' dilakukan untuk
menghilangkan efek ini.

Gambar 2.19 Proses penghilangan efek strectching (Yilmaz, 1989)

Untuk model perlapisan horizontal, Koreksi NMO dirumuskan sbb:

19
Gambar 2.20 Rumus koreksi NMO untuk model perlapisan horizontal
II.10 Analisa Kecepatan
Kecepatan dinyatakan dengan jarak yang ditempuh per satuan waktu. Didalam
applied physics, misalnya seismik processing, harga kecepatan digunakan sebagai
masukan/input proses pencitraan penampang bawah permukaan bumi. Harga yang
diambil saat melakukan picking haruslah tepat, agar penampangnya
representative, jangan overcorrected atau undercorrected.

Gambar 2.21 Offset dan Velocity. Sumber :


https://asyafe.wordpress.com/2009/06/16/analisis-kecepatan-seismic-processing-
velocity-analysis/

Analisis kecepatan (velocity analysis) merupakan proses pemilihan kecepatan


gelombang seismik yang sesuai. Terdapat beberapa definisi kecepatan yang sering
digunakan dalam analisis kecepatan antara lain:

20
II.10.1 Kecepatan Rata-rata ( 𝑉̅ )

Kecepatan rata-rata adalah perbandingan antara jarak tempu terhadap waktu yang
dibutuhkan gelombang seismik untuk menjalar sepanjang lintasan
Dirumuskan :
𝑉(𝑡)𝑑𝑡
𝑑𝑡
Jika terdapat n lapisan dengan kecepatan interval Vi dan ketebalan dZ maka
kecepatan rata-rata dapat dituliskan seagai berikut.

∑𝑛
𝑖=𝜑(𝑉𝑖 𝑡𝑖 ) ∑ 𝑍𝑖
𝑉̅ = ∑𝑛
̅=
atau 𝑉
∑ 𝑡𝑖
𝑖=𝜑 𝑡𝑖

dimana:
̅𝑉
̅̅̅: kecepatan rata-rata
Vi : kecepatan interval
Ti : waktu tempu pada lapisan ke-i
Z i: ketebalan lapisan ke-i
II.10.2 Kecepatan Root Mean Square (Vrms)
Jika ada penampang seismic yang terdiri dari n-lapisan horizontal dengan waktu
tempuh vertikal masing-masing t1, t2, t3, … , tn dan kecepatan lapisan masing-
masing V1,V2,V3,…,Vn, maka Vrms dapat dituliskan sebagai:
1⁄
∑𝑛𝑖=1 𝑉𝑖 2 . 𝑡𝑖 2
𝑉𝑅𝑀𝑆 =[ 𝑛 ]
∑𝑖=1 𝑡𝑖 .
dari persamaan waktu tempu gelombang seismic refleksi:
2 (𝑋) 2 (0)
𝑋2
𝑇 =𝑇 + 2
𝑉𝑅𝑀𝑆
Pada kasus lapisan horizontal dapat ditunjukan bahwa VNMO yang diperoleh dari
slope kurva T2 – X2 pada X = 0 adlah sama dengan Vrms. Dari hubungan
matematis diatas, berarti bahwa Vrms dapat juga ditentukan dan dapat diperoleh
secara grafis melalui kecepatan grafik T2–X2 diamana slope kurvanya merupakan
1 / Vrms.

21
II.10.3 Kecepatan Normal Move Out (VNMO)
Kecepatan normal move out (VNMO ) yaitu kecepatan yang digunakan dalam
normal move out. Jika Δt didefinisikan sebagai koreksi NMO dan untuk lapisan
horizontal koreksi NMO dinyatakan sebagai:
𝑋2
∆𝑡 = 2
2𝑉𝑁𝑀𝑂 𝑡0

Maka kecepatan NMO didefinisikan sebagai akar kuadrat dari slope-1 pada kurva
t2 –x2 dititik x=0 dengan x adalah jarak antara sumber dengan geophone, ditulis:

−1
𝑑 (𝑡 2 )
𝑉𝑁𝑀𝑂 =[ ]
𝑑 (𝑋 2 )
Pada x=0, dalam hal ini kecepatan interval dalam suatu lapisan adalah konstan.
II.10.4 Kecepatan Stacking (Vs)
Kecepatan stacking adalah kecepatan NMO rata-rata yang memberikan
penumpukan (Stack) yang optimum. Kecepatan ini sering kali disebut juga
kecepatan NMO saja, dimana kecepatan stacking ini diperoleh dari analisa
kecepatan yang digunakan untuk memperoleh kecepatan optimum. Untuk jarak
offset (X) yang kecil, kecepatan stacking sama dengan kecepatan rms. Kecepatan
ini diperoleh dari persamaan:

2 (𝑋) 2 (0)
𝑋2
𝑇 =𝑇 + 2
𝑉 𝑠
Dimana:
T(X) : waktu tempuh gelombang dari SP ke geophone
T(0) : waktu tempuh pada normal incidence
X : offset
Vs : kecepatan stacking.
Dalam pengolahan data seismik, kecepatan stacking dapat diperoleh dari hasil
analisa kecepatan dengan melihat amplitudo stacking yang paling optimum.
Kecepatan interval adalah kecepatan rata-rata ditas beberapa lintasan penjalaran.
Kecepatan ini sering dihitung dari kecepatan stacking untuk interval antara
reflektor-reflektor yang horizontal. Jika waktu tempuh vertikal adalah ti dan

22
kedalaman lapisan adalah Zi maka kecepatan interval pada lapisan ke-i dinyatakan
oleh persamaan:
𝑍𝑖+1 − 𝑧𝑖
∆𝑡 =
𝑡𝑖+1 𝑡𝑖
Untuk model lapisan horizontal kecepatan interval dapat dihitung dari data
VRMS yaitu dengan menggunakan rumus DIX:
2 (𝑛)𝑡 (0) 2
𝑉𝑅𝑀𝑆 𝑛 − 𝑉𝑅𝑀𝑆(𝑛−1) 𝑡𝑛−1 (0)
𝑉𝑖𝑛𝑡 =
𝑡𝑛 − 𝑡𝑛−1

Dimana:
Vint : kecepatan interval
VRMS : kecepatan rms lapisan ke-n
Vrms(n-1) : kecepatan rms lapisan ke-(n-1)
tn dan tn-1 : waktu tempuh lapisan ke-n dan ke-(n-1)
II.10.5 Prinsip Umum Analisa Kecepatan
Analisa kecepatan pada seismic refleksi dilakukan bersamaan dengan proses
stacking velocity. Salah satu tujuan dari analisa kecepatan adalah untuk
mendapatkan fungsi kecepatan yang dibutuhkan untuk memperoleh stacking
terbaik. Pada beberapa trace yang berasal dari satu titik pantul, sinyal yang
dihasilkan akan mengikuti bentuk hiperbola sesuai dengan persamaan:

2 (𝑋) 2 (0)
𝑋2
𝑇 =𝑇 + 2
𝑉 𝑠
Prinsip dari analisa kecepatan dari proses stacking velocity adalah mencari
persamaan hiperbola yang sesuai dengan sinyal yang dihasilkan dan memberikan
stack yang maksimum. Terdapat beberapa metoda dalam analisis kecepatan yaitu
metode grafik, metode constant velocity stack dan metode semblance. Dalam
seismik data processing, metoda yang paling sering digunakan ialah metode
semblance atau metoda mengukur-kesamaan.
Metoda semblance dilakukan dengan cara korelasi silang gather atau penjumlahan
total dari seluruh data pada waktu refleksi zero-offset tertentu (seolah-olah antara
source dengan receiver berada pada titik yang sama) dan kemudian nilai energi
yang dihasilkan digunakan sebagai indikasi kecepatan stack yang sesuai. Nilai
dari semblance atau stack power kemudian diplot sebagai fungsi dari kecepatan

23
dan waktu refleksi. Metode ini menampilkan spektrum kecepatan dan CDP secara
bersamaan. Ada dua cara menampilkan spektrum kecepatan, yaitu power plot dan
plot kontur.

Gambar 2.22 plot spektrum kecepatan [a) CDP gather, (b) power plot dari gather
dan (c) bentuk plot kontur.

Gambar 2.23 Respon semblance terhadap hiperbola refleksi yang muncul

24
II.11 Migrasi
Migrasi umumnya diterapkan pada data yang sudah maupun belum distack
(ditumpuk), tujuannya untuk meningkatkan resolusi lateral dengan menghilangkan
efek difraksi dan memindahkan ‘events’ lapisan miring pada posisi yang
sebenarnya. Proses migrasi yang menghasilkan penampang migrasi dalam
kawasan waktu disebut migrasi waktu. Migrasi ini umumnya berlaku selama
variasi kecepatan secara lateral kecil hingga sedang.
Jika variasi kecepatan lateral besar, migrasi waktu tidak dapat menghasilkan
Gambar bawah permukaan dengan baik dan benar. Dalam hal ini perlu digunakan
teknik migrasi kedalaman, dimana hasil migrasi kedalaman akan ditampilkan
dalam penampang kedalaman. Dengan demikian, sebetulnya ada dua konsep
migrasi yang utama dan dapat dibedakan dari proses migrasinya sendiri serta hasil
akhirnya, yaitu migrasi waktu dan migrasi kedalaman.
Dengan kata lain, migrasi data seismik adalah suatu proses untuk memetakan
suatu penampang menjadi penampang yang lain dimana event seismik
dikembalikan posisinya pada tempat dan waktu yang tepat. Migrasi dapat
diklasifikasikan dalam 2 cara yaitu: berdasarkan kawasan migrasi bekerja dan
berdasarkan algoritma migrasi.
Berdasarkan kawasan migrasi bekerja, migrasi dibedakan menjadi:
1. Time Migration dan Depth Migration
Time Migration merupakan suatu metode migrasi yang lebih sederhana dari pada
Depth Migration. Depth Migration merupakan metode migrasi yang lebih akurat
daripada Time Migration pada daerah yang memiliki variasi kecepatan.
2. Post Stack Migration dan Prestack Migration
Post Stack Migration adalah metode yang melakukan proses migrasi setelah
proses stack. Prestack Migration merupakan metode yang melakukan proses
migrasi sebelum proses stack.

25
Gambar 2.24 (a) Sebelum dilakukan migrasi (b) setelah dilakukan migrasi
(Yilmaz, 2001)

II.11.1 Metode Migrasi Kirchhoff


Migrasi Kirchoff merupakan salah satu metode migrasi dalam pengolahan data
seismik. Migrasi Kirchoff adalah suatu prosedur berdasarkan penjumlahan kurva
difraksi yang pada prinsipnya sama dengan migrasi penjumlahan difraksi. Namun
pada migrasi Kirchoff ada faktor-faktor lain yang dilibatkan seperti faktor
kemiringan, spherical divergence gelombang amplitudo dan wavelet shaping
factor. Metode migrasi ini berdasarkan pada penjumlahan amplitudo sepanjang
lengkungan hiperbola akibat difraksi. Gelombang seismik yang terdifraksi akan
mengakibatkan reflektor semu pada penampang seismik bawah permukaan yang
dikenal dengan efek bowtie (Yilmaz, 2001).

.
Gambar 2.25 Efek bowtie pada penampang seismik (Abdullah, 2007)
Fungsi kecepatan yang digunakan untuk menghitung travel time pada lengkungan
ini adalah kecepatan rms (Vrms) di puncak hiperbola pada waktu τ. Secara

26
matematis, migrasi Kirchoff merupakan solusi integral dari persamaan gelombang
skalar (Yilmaz, 1987) sebagai berikut:

∆𝑥 cos 𝜃
𝑃𝑜𝑢𝑡 = | ∑[ 𝜌(𝑡) ∗ 𝑃𝑖𝑛 ]
2𝜋 √𝑉𝑟𝑚𝑠 𝑟
𝑥
dimana

𝑟 = √(𝑥 − 𝑥0 )2 + 𝑍 2
dengan Pout adalah keluaran medan gelombang di bawah permukaan (xo, z) hasil

perhitungan medan gelombang zero-offset yang dihitung di permukaan (z=0), Pin

merupakan masukan medan gelombang yang dihitung di permukaan (z=0), Vrms

adalah kecepatan root mean square pada merupakan sudut antara sumbu z dengan
arah perambatan gelombang, nilai keluaran (xo, z) dan r yang merupakan jarak

antara masukan (x,z=0) dengan keluaran (x0,z), θ merupakan sudut antara sumbu z

dengan arah perambatan gelombang, nilai 1/√𝑉𝑟𝑚𝑠 𝑟 merupakan faktor spreading


spherical untuk arah perambatan gelombang 2D, ρ(t) berhubungan dengan
turunan waktu perhitungan muka gelombang, tanda (*) menunjukkan proses
konvolusi.
Parameter penting dalam migrasi Kirchoff adalah nilai migration aperture. Bagian
migrasi lengkap diperoleh dengan melakukan penjumlahan pada persamaan di
atas dan pengaturan t=0 untuk setiap lokasi keluaran. Jarak (kisaran) penjumlahan
tersebut disebut dengan migration aperture. Untuk keberhasilan proses pencitraan
ini harus cukup lebar untuk mencakup garis sinar refleksi dari setiap lokasi.
Secara teori, kurva hiperbola difraksi meluas untuk waktu dan jarak yang tidak
terhingga. Namun dalam prakteknya, penjumlahan difraksi dibatasi oleh
summation path (penjumlahan garis edar). Lebar spasial yang menunjukkan
summation path yang aktual disebut dengan migration aperture. Lebar aperture
erat kaitannya dengan perpindahan horizontal yang terdapat dalam migrasi
(Yilmaz, 2001).
Yilmaz (2001) menyatakan bahwa lebar aperture yang kecil kurang bisa
mereduksi efek dari difraksi pada bidang yang memiliki kemiringan. Dalam kasus
ini, lebar aperture yang digunakan sama dengan jumlah trace pada data input

27
dapat memberikan hasil yang terbaik. Pada Gambar 2 menunjukkan bahwa
peningkatan lebar aperture memungkinkan migrasi yang tepat pada bagian dip.
Penggunaan lebar aperture yang terlalu kecil menyebabkan penyaringan dip
selama migrasi, karena aperture yang kecil tidak melibatkan penjumlahan dari
sisi-sisi yang curam dari hiperbola difraksi.

Gambar 2.26 Tes lebar aperture pada migrasi Kirchoff, (a) penampang zero
offset yang memiliki hiperbola difraksi dengan kecepatan 3500 m/s, (b) migrasi
yang diinginkan, migrasi Kirchoff dengan lebar aperture (c) 35 trace, (d) 70
trace, (e) 150 trace dan (f) 256 trace (Yilmaz, 2001).
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan lebar aperture
diantaranya adalah (Yilmaz,2001):
1. Pemilihan lebar aperture yang terlalu kecil menyebabkan kerusakan pada
event kemiringan dan perubahan amplitudo yang bervariasi
2. Pemilihan lebar aperture yang terlalu kecil dapat menghasilkan random
noise terutama pada bagian yang lebih dalam sebagai peristiwa yang
dominan.
3. Pemilihan lebar aperture yang terlalu besar akan memakan waktu yang
lebih lama untuk pengolahan data, dan menurunkan kualitas migrasi
dengan keadaan rasio S/N yang rendah.
4. Penggunaan aperture besar akan menyebabkan random noise pada data
dangkal yang sudah baik.
5. Terkadang lebih baik untuk menggunakan lebar aperture yang lebih kecil
dari lebar aperture secara teoritis yang diperlukan untuk menghindari efek
buruk dari noise pada event migrasi.

28
6. Disarankan untuk interpretasi data menggunakan lebar aperture yang
konstan untuk semua lintasan agar terdapat keseragaman karakteristik
secara keseluruhan pada saat migrasi.
Proses migrasi merubah tiga komponen utama reflektor geologi yang terGambar
pada penampang seismik yaitu sudut kemiringan reflektor, panjang reflektor, dan
posisi reflektor yang bergeser ke arah atas (up dip) setelah migrasi.
II.12 Stacking
Stacking adalah proses menjumlahkan trace seismik dalam satu CDP setelah
koreksi NMO (Normal Move Out). Proses stacking memberikan keuntungan
untuk mengingkatkan rasio signal terhadap noise (S/N ratio).

Gambar 2.27 Stacking pada hiperbola refleksi dan koreksi NMO


Gambar diatas menunjukkan prinsip koreksi NMO, hiperbola refleksi di-adjust
dengan menggunakan model kecepatan (kecepatan rms atau kecepatan stacking)
sehingga berbentuk lapisan horizontal, selajutnya tras-tras NMO dijumlahkan
(stacking).

Gambar 2.28 Konsep staking pada CMP gather.

29
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Tinjauan Umum


Di dalam metodologi ini akan dijelaskan mengenai waktu pelaksaann kerja
praktek, jenis data dan pengkat yang digunakan, prosedur kerja yang dilakukan
serta semua hal yang berkaitan dengan pelaksanaan kerja praktek ini. Pengolahan
data seismik 2D land yang dilakukan selama kerja praktek bertujuan untuk
menghasilkan penampang seismik yang siap untuk diinterpretasikan. Pada
pengolahan data seismik ini menekankan pada koreksi statik menggunakan
metode travel time tomography untuk mendapatkan near surface velocity dan first
arrival time. Kemudian dilakukan beberapa proses filtering untuk memperkuat
sinyal data seismik dan amplitudo gelombang seismik serta menghilangkan noise
pada data sehingga dapat dibawa ke proses selanjutnya dan dapat diolah dengan
baik. Pengolahan data seismik ini juga menekankan pada metode kirchhoff
migration yang bertujuan untuk menghasilkan penampang seismik yang baik
dalam hal ini mendekati kondisi bawah permukaan yang sebenarnya.

III.2 Waktu dan Lokasi


Kegiatan kerja praktek ini dilaksanakan pada tanggal 21 Mei – 8 Juni 2018 di PT.
Jaya Energy Buana selaku representasi dari Geotomo di Indonesia yang bertempat
di Gedung Multika Buinding, Kav 71-73, Jl. Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.
Adapun tabel jadwal pelaksanaan kerja pratek ini adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1 Jadwal pelaksanaan kerja praktik

Minggu Ke-
No. Bentuk kegiatan
1 2 3
Pengenalan PT. JAYA ENERGY
1
BUANA dan Sudi Literatur
2 Pembimbingan
VIEWM
GEOM PSTM
STATS
PICKER DEMIG
3 Pengolahan Data PREP
TTIME VELMOD
VTCUBE
TOMO PSDM
RMSVEL
Penyusunan Laporan Kerja
4
Pratek

30
III.3 Data dan Peralatan
III.3.1 Data
Data yang digunakan berupa data seismik 2D Land yang diperoleh dari PT. Jaya
Energy Buana sehingga tidak dilakukan pengambilan data di lapangan.
Adapun parameter data yang digunakan adalah:
Area : Lapangan A
Velocity : 1900 m/s
Number of Traces : 87340
Number of Shot : 243
Number of Receiver : 610
Number of Offsets : 403
Shot Interval : 39.6
Offset Interval : 20.0
Shot X Coordinat Range : 524825.5 to 529519.0
Shot Y Coordinat Range : 4580541.0 to 4589098.0
Shot Elevation Range : 124.0 to 64.0
Shot Depth Range : 15.0 to 18.0
Receiver X Coordinat Range : 524254 to 530095.0
Receiver Y Coordinat Range : 4579497 to 4590185.0
Receiver Elevation Range : 127.0 to 51.0

Gambar 3.1 Raw Data seismik 2D land (Sumber: PT Jaya Energy Buana)

31
III.3.2 Peralatan
Peralatan yang digunakan dalam kerja praktek ini adalah satu set computer
workstation dan software Geotomo. Software Geotomo memiliki beberapa
aplikasi di dalamnya yaitu: Geothrust, Tomoplus, dan Vecon. Namun dalam kerja
praktek ini hanya digunakan aplikasi Geothurst untuk pengolahan data seismik. Di
dalam Geothust sendiri terdiri dari beberapa modul yang di dalamnya mewakili
tahapan pengolahan data seismik. Adapun tahapan-tahapan tersebut akan
dijelaskan pada diagram alir (Gambar 3.3)

Gambar3.2 (kiri: modul pada software GeoThurst, kanan: Tampilan awal


software Geotomo)
III.4 Prosedur Pengolahan Data
Pengolahan data dilakukan menggunakan software Geotomo yaitu GeoThrust.
Adapun langkah-langkah yang diharus dilakukan dalam pengolahan data meliputi,
pre-prosesing, main-prosesing, dan post-prosesing. Pada pre-prosesing dilakukan
proses demultiplex, geometry, dan editing trace kemudian ke tahap prosesing
dilakukan proses filtering frekuensi dan noise, dekonvolusi, analisa amplitudo,
koreksi NMO, analisa kecepatan, sampai pada tahap stack. Tahap terakhir yaitu
post-prosesing untuk memperjelas dan memperhalus sinyal yang didapatkan pada

32
penampang seismik hasil prosesing. Langkah-langkah tersebut untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada diagram alir berikut:

Gambar 3.3 Diagram alir pengolahan data seismik 2D land

33
III.5 Pembuatan Laporan
Pada tahapan ini dilakukan penulisan laporan kerja praktik berdasarkan tahapan-
tahapan yang telah dilakukan selama pengolahan data seismik serta hal-hal yang
menjadi ruang lingkup dari pelaksanaan kerja praktek.

34
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Pre-Prosesing

Pengolahan data seismik 2D raw dibagi menjadi tiga tahapan utama dalam
pengerjaannya, diantaranya adalah pre-prosesing, main-prosesing, dan post-
prosesing. Pre-prosesing merupakan tahapan pendahuluan yang dilakukan dalam
pengolahan data seismik, tahapan ini terdiri atas edit geometry, picking first break,
travel time tomography, perhitungan parameter koreksi statik, dan tahap filtering
data seismik.

IV.1.1 Geometry

Pengolahan data pada kerja praktek ini tidak dilakukan proses editing geometri
karena data seismik yang diberikan telah memiliki informasi geometri. Adapun
informasi geometri dari data seismik yang akan dilakukan prosesing dapat dilihat
pada Gambar 4.1 di bawah ini.

Gambar 4.1 Informasi geometri dari data seismik 2D land

35
Sebelum dilakukan prosesing data seismik pada tahapan berikutnya terlebih
dahulu dilakukan line traverse. Line traverse merupakan proses proyeksi
koordinat dari koordinat geografis atau UTM menjadi koordinat satuan. Tujuan
dilakukannya line traverse ini adalah untuk meluruskan koordinat-koordinat
sehingga memudahkan proses komputasi tomografi pada modul TOMO. Pada
Gambar 4.2 memperlihatkan window modul GEOM pada software Geothurst,
dari kiri ke kananberturut-turut adalah window header, kemudian line seismik dan
shot gather sebelum dilakukan line traverse. Pada line seismik di bawah ini,
warna merah merupakan shot, warna kuning merupakan receiver, dan warna biru
merupakan current receiver. Pada Gambar 4.3 memperlihatkan line seismik
setelah dilakukan line traverse.

Gambar 4.2 tampilan window modul GEOM pada software Geothust

36
Gambar 4.3 tampilan window modul GEOM pada software GeoThust setelah
dilakukan line traverse

Setelah dilakukan line traverse maka koordinat x dan y pada line seismik berubah
dari arah vertikal atau diagonal menjadi horizontal. Hal ini dapat dilihat dari
Gambar 4.2 dan Gambar 4.3.

Setelah dilakukan line traverse kemudian dilakukan export geometry baru ke


dalam header seismik dengan cara melakukan build project index pada modul
GEOM. Hal ini juga dilakukan untuk mendefinisikan data seismik yag diolah
apakah termasuk land atau marine.

Gambar 4.4 Tampilan build project index pada software GeoThurst

37
IV.1.2 Picking First Break and Build Near Surface Velocity Model

Pada modul PICKER hal pertama yang dilakukan adalah picking first break yang
bertujuan untuk membuat initial velocity serta mencari gelombang first break.
Data yang diinputkan berupa data SEGY dari shot gather pada geometri di trace
header. Picking dapat dilakukan secara otomatis pada modul PREP dan secara
manual melalui modul PICKER. Pada kerja praktek ini dilakukan picking secara
otomatis terlebih dahulu lalu kemudian dilakukan picking secara manual untuk
memperbaiki proses picking otomatis yang masih kurang tepat. Kedua metode ini
digunakan agar diperoleh kualitas picking yang lebih baik.

Metode picking secara otomatis dapat dilakukan menggunakan modul PREP


dengan menggunakan flow berikut:

Gambar 4.5 Tampilan flow saat melakukan picking

Adapun FBDYN merupakan tools pada modul PREP yang berguna untuk
memprediksi first break pada suatu shot gather, ada beberapa parameter yang

38
perlu diatur sebagai input komputasi menu FBDYN, yaitu energy windows length,
minimum energy ratio, dan maximum tracking step. FBPLOT sebagai tool untuk
memplotkan titik-titik first break pada setiap trace seismik. Resampling berfungsi
untuk memperbaiki hasil picking selama picking diproses.

Gambar 4.6 Tampilan modul PREP pada software Geothurst

Setelah dilakukan picking secara otomatis pada modul PREP, selanjutnya kembali
ke modul PICKER untuk melakukan picking secara manual. Dengan
dilakukannya picking secara manual maka hasil picking manual pada modul PREP
dapat diperbaiki posisinya. Ada beberapa metode picking pada modul PICKER
yaitu point, tracker, dan line. Umumnya dalam kerja praktik ini menggunakan
line dan point untuk melakukan picking gelombang first break.

Line merupakan metode picking dengan membuat garis picking pada first arrival
time secara otomatis akan mengikuti bentuk picking yang dibuat pada setiap trace
gather. Metode point adalah metode picking dengan memilih gelombang first
break secara manual, dalam pengoperasiannya akan muncul setiap titik di setiap
trace pada shot gather saat dilakukan picking gelombang first break. Kemudian
metode tracker adalah dengan memprediksi first arrival break dengan menekan

39
tombol klik dua titik pada shot gather lalu secara otomatis komputer memprediksi
gelombang first break pada shot gather.

Gambar 4.7 Tampilan modul PICKER pada software Geothurst

Setelah dilakukan picking first break, hasil picking kemudian diexport dalam
bentuk 2D Pick. Tahapan selanjutnya adalah melakukan quality control hasil
picking pada modul TTIME pada software Geothrust. QC dilakukan dengan cara
mengecek reciprocal error dari masing-masing shot. Reciprocal error adalah
perbandingan picking first break antara masing-masing shot gather. Nilai
reciprocal error dapat disebabkan oleh kesalahan atau ketidaktepatan saat
melakukan picking first break pada shot gather, kesalahan input geometri, dan
kedalaman source. Nilai reciprocal error sebaiknya kurang dari 20 ms dengan
nilai reciprocal error rata-rata adalah 10 ms. Untuk melakukan cek dan perbaikan
pada shot yang memiliki reciprocal error yang cukup tinggi dapat dilakukan
dengan mengklik point pada titik yang memiliki reciprocal error yang tinggi
tersebut maka shot akan terbuka secara otomatis pada modul PICKER apabila
kedua modul terbuka secara bersamaan. QC ini sangat penting untuk dilakukan
karena akan mempengaruhi initial near surface velocity model sebagai input pada
proses tomography. Setelah dilakukan QC, hasil picking kemudian diexport

40
kembali dengan nama yang sama pada modul PICKER. Selain bertujuan untuk
melakukan koreksi hasil picking, proses ini juga bertujuan untuk membuat inisial
model kecepatan permukaan. Pada Gambar 4.8 merupakan Gambar pada modul
TTIME dibagi menjadi tiga bagian, pertama tampilan horizon distance dengan
travel time yang merupakan representasi hasil gather yang dibalik dari hasil
picking pada picker, kemudian tampilan shot dan receiver pada kedalaman
ditampilkan berupa grafik antara x koordinat (m) dengan kedalaman, bagian
terakhir ditampilkan reciprocal error pada bagian ini dilakukan koreksi reciprocal
error.

Gambar 4.8 tampilan modul TTIME

Setelah dilakukan QC, maka tahapan selanjutnya adalah melakukan build initial
model pada modul TTIME. Beberapa tampilan representasi shot pada data seismik
dapat ditampilkan pada modul ini, diantaranya Gambar 4.9 yang merupakan
Gambar yang menampilkan kurva travel time di semua shot dan Gambar 4.10
yang menampilkan kurva travel time pada satu shot. Tools ini terdapat pada
modul TTIME

41
Gambar 4.9 Kurva travel time di semua shot

Gambar 4.10 Kurva travel time pada satu shot

Kemudian dengan menggunakan hasil picking first break dilakukan tahap build
initial model sehingga akan muncul tampilan antara shot-receiver distance (m)
dengan travel time (m) seperti pada Gambar 4.11 pada modul TTIME yang
dilanjutkan dengan picking pada layer build initial model menurut kemiringan
atau gradien untuk mengGambarkan parameter initial near surface velocity model.

42
Picking dilakukan dengan membuat garis dengan memilih beberapa titik yang
berada dalam kurva shot-receiver dengan travel time. Gradien garis menunjukkan
kecepatan yang besar nilainya tertentu dan offset menunjukkan kedalaman lapisan
dengan kecepatan tertentu. Pada kerja praktek ini dilakukan picking dengan
mengklik daerah pada gradient garis yang kemungkinan memiliki kecepatan yang
nilainya sama. Daerah atau titik yang dipilih sebanyak tiga bagian sehingga
dihasilkan 3 batas perlapisan.

Gambar 4.11 Tampilan picking build initial near surface velocity

IV.1.3 Travel Time Tomography

Setelah dilakukan build initial near surface velocity pada modul TTIME,
selanjutnya adalah melakukan serangkaian prosesing pada modul TOMO yaitu
proses tomography menggunakan metode travel time tomography. Pada proses ini
diperlukan input dari initial near surface velocity yang telah dibuat ada modul
TTIME dan data hasil picking first break akhir yang telah didapatkan pada modul
PICKER. Berikut adalah tampilan model bawah permukaan hasil build velocity
pada modul sebelumnya.

43
Gambar 4.12 Initial near surface velocity

Metode travel time tomography yang dilakukan ini akan menampilkan RMS Misfit
All Shot dimana RMS Misfits ini digunakan sebagai parameter proses TOMO.
Tujuannya adalah untuk mendapatkan final velocity model near surface
dan menghitung first arrival time antara picking first break dan first break
sintetik hasil tomografi. Adapun input parameter pada proses pembuatan near
surface velocity model tomography dapat dilihat pada Gambar 4.13 di bawah ini.
adapun parameter yang harus diperhatikan pada proses input parameter ini adalah
number of iteration, inversion grid factor X, Z, dan smoothing control. Setiap
input parameter yang diberikan tersebut akan sangat mempengaruhi model
velocity yang didapatkan, hal ini perlu diperhatikan bahkan perlu dilakukan
beberapa kali input parameter berbeda untuk membandingkan model velocity
yang paling optimal.
Jumlah iterasi merupakan banyaknya proses perhitungan yang dilakukan, pada
kerja praktik ini menggunakan 10 kali iterasi saja. Inversion grid factor
merupakan jumlah grid yang di gunakan pada komponen X dan Z, input ini
berpengaruh pada elemen hasil VIEWM, dimana jika angka yang diinputkan
besar maka akan menghasilkan tampilan anomali regional pada VIEWM

44
sedangkan jika angka yang dimasukkan kecil akan menghasilkan anomali lokal.
Pada kerja praktek ini dimasukkan nilai Inversion grid factor yaitu 2. Smoothing
control digunakan untuk mengatur resolusi dari model kecepatan hasil tomografi,
resolusi dari model velocity juga mempengaruhi RMS misfit. Jika nilai yang
dimasukkan pada smoothing control besar maka RMS misfit juga akan meningkat
dan resolusi model kecepatan akan semakin halus dari sebelumnya sebaliknya jika
nilai yang dimasukkan kecil pada smoothing control RMS misfit yang dihasilkan
juga semakin kecil namun resolusi model kecepatan yang dihasilkan akan lebih
kasar. Pada kerja praktek ini dimasukkan nilai Smoothing control yaitu 0.1.
setelah dilakukan proses running, diperoleh nilai rms misfit sebesar 14.4385,
meskipun nilai rms misfit terhitung tinggi akan tetapi model velocity yang
diperoleh sudah baik sehingga tidak dilakukan lagi proses running atau input
parameter lain. Selain itu juga digunakan parameter tambahan pada advanced
option agar hasil tomography lebih optimal.

Gambar 4.13 Tampilan Window pada modul TOMO pada software Geothurst

45
Gambar 4.14 Log proses tomografi yang menunjukkan nilai RMS misfit pada
proses perhitungan travel time tomography

Selain dengan RMS misfit pengecekan near surface velocity model yang telah
dibuat juga dapat dilakukan pada dengan melihat ray density ( Gambar 4.15) dan
hasil overlay picking first break pada modul PREP dengan hasil picking first
break hasil tomography ( Gambar 4.16). Quality control dapat dilakukan pada
tahapan ini dengan melihat hasil picking first break serta memanfaatkan ray
tracing hasil tomography yang dilakukan dengan mempicking ulang beberapa
shot yang dianggap masih kurang tepat. Setalah itu dilakukan proses build initial
near surface velocity model kembali dan masuk ke proses tomography. Proses ini
dapat terus diulang hingga mendapatkan hasil tomography yang optimal. Overlay
dan ray density dapat dipilih pada tools yang ada pada tampilan window modul
VIEWM.

46
Gambar 4.15 Tampilan ray density hasil tomography

Gambar 4.16 Hasil overlay picking travel time calculation (biru) dan travel time
hasil picking (merah) pada shot 143

47
IV.1.4 Perhitungan Koreksi Statik

Perhitungan koreksi statik dilakukan pada modul STATS, dimana tujuan


dilakukannya perhitungan ini adalah untuk mendapatkan batas lapisan lapuk lapuk
dekat permukaan (floating datum) dan bawah permukaan (intermediate datum)
dari velocity model near surface yang telah dibuat pada modul TOMO

Gambar 4.17 Hasil picking floating dan intermediate datum pada modul TOMO

Koreksi lapisan lapuk dilakukan untuk mengurangi waktu tempuh gelombang


yang melewati lapisan lapuk dan membatasi kemungkinan dalam lapisan lapuk.
Dilakukan picking pada floating datum dan intermediate datum dengan build
layer dari perubahan kecepatan antara floating datum dan intermediate datum.
Picking ini dapat juga dilakukan secara manual dengan mengGambar sendiri batas
perlapisannya. Perubahan kecepatan dapat dilihat dari perubahan warna garis
floating datum dan intermediate datum. Replacement velocity yang digunakan
adalah 1900 m/s.

Untuk masuk ke tahapan statik, lapisan lapuk yang telah dibuat disimpan dalam
format lay. Lalu dibuka di modul STATS. Dalam tahapan ini dilakukan penentuan
long wavelength statics dan short wavelength residual static. Long wavelength
statics berfungsi sebagai koreksi shot dan receiver yang dilakukan pada menu
tomostatic dengan input intermediate dan floating datum yang telah dipicking

48
pada modul VIEWM serta dengan cara mengganti kecepatan dan mengedit
velocity model near surface yang selanjutnya digunakan untuk tahap STATS.
Replacement velocity juga didapatkan pada modul VIEWM, sedangkan near
surface velocity model tomography didapatkan dari modul TOMO. Hasil dari
tomostatic adalah time static yang selanjutnya menjadi input pada perhitungan
pada short wavelength residual static bersama dengan travel time. Short
wavelength residual static berguna untuk menghitung sisa koreksi statik hasil
tomostatic dengan shot dan receiver berada posisi yang sama. Pada tahapan
residual statik dilakukann dua kali input parameter yaitu data-based residual dan
model-based residual, dimana pada data-based residual dilakukan input
parameter sesuai dengan geometry dari data seismik serta sesuai dengan hasil
analisa. Sedangkan pada model-based residual parameter diinput secara otomatis
dari program. Tahapan komputasi pada modul stats terbagi menjadi dua pertama
shot dan receiver dipindahkan ke bawah dari topografi ke intermediate datum
menggunakan model kecepatan near surface, kemudian dipindahkan ke atas
melalui floating datum dengan replacement velocity. Hasil dari STATS yang
dianggap paling optimal di antara data-based residual dan model-based residual
akan digunakan pada modul PREP yang merupakan tahap persiapan data seismik.

Gambar 4.18 tampilan tomostastic pada modul STATS

49
Gambar 4.19 Tampilan Residual long wavelength (model-based)

Gambar 4.20 Tampilan Residual long wavelength (data-based)

IV.1.5 Filtering
Adapun tahapan filtering yang dilakukan pada pengolahan data seismik ini adalah:

50
Gambar 2.21 Bagan alir filtering data seismik pada software Geothrust

Filtering merupakan tahapan yang sangat penting dalam pengolahan data seismik
karena pada proses ini dilakukan penguatan sinyal dan peredaman noise yang
akan mempengaruhi penampang akhir dari data seismik. Pada software Geothurst
tahapan filtering dilakukan pada modul PREP, modul ini menyediakan bermacam-
macam tool yang dapat dugunakan untuk filtering dan koreksi data seismik. Hasil
dari filtering inilah yang akan dibawa ke proses selanjutnya yaitu main
processing. Untuk melakukan filtering maka terlebih dahulu diinputkan data hasil
STATS yang dipilih lalu mengatur tahapan filtering pada menu PS (processing
sequence). Untuk mengatur parameter tiap tools filtering dapat dilakukan dengan
mengklik dua kali pada tools yang diinginkan. Berikut adalah data sesimik yang
akan dilakukan filtering pada modul PREP, pada Gambar menunjukkan data yang
ditampilkan adalah pada shot ID ke-38.

51
Original merupakan tampilan shot gather sebelum dilakukan filtering dan proses
statik digunakan pada awal proses filtering yang diperoleh dari perhitungan
tomostatik dan dan tomoresidual pada modul STATS. Filtering ini dapat
dilakukan pada tools PS pada jendela modul PREP. Pada modul PREP terbagi
atas tiga bagian. Sisi sebelah kiri merupakan bagian untuk menampilkan shot
gather yang dipilih, sisi sebelah kanan atas adalah average amplitudo antara
amplitudo dan frekuensi, kemudian bagian dibawahnya terdapat autocolegram.
Adapun urutan proses filtering dapat dilihat pada tools di bawah ini.

Gambar 4.22 Tampilan modul PREP pada software Geotomo

SHOT EDIT merupakan tahapan pertama yang dilakukan pada proses filtering,
dimana shot yang dianggap buruk dan dapat mempengaruhi kualitas hasil stack
maupun PSTM/PSDM data seismik. Adapun shot yang dihilangkan pada proses
filtering ini adalah shot nomor 19,34,41, dan 183. Untuk menghilangkan shot
tersebut cukup dengan memasukkan nomor shot yang ingin dihilangkan ke dalam
parameter input pada shotedit.

52
(a)

(b)

Gambar 4.23 Tampilan Shot ID 19 sebelum dilakukan shot edit (a), setelah shot
edit (b)

STATIC (Elevasi dan Residual) merupakan tahapan filtering dengan


memasukkan input perhitungan koreksi statik pada modul STATS. Pada tools ini
dibutuhkan input parameter berupa intermediet datum dan velocity replacement
sebesar 1900 ms. Velocity replacement adalah kecepatan pengganti untuk lapisan
lapuk yang dibatasi oleh intermediate datum. Adapun tampilan statik adalah
sebagai berikut.

53
Gambar 4.24 Perubahan penampang seismik setelah dikoreksi statik (shot ID 38)

TXSCALE (time-offset scaling) digunakan untuk memperbaiki atau


memunculkan kembali amplitudo yang lemah atau hilang karena saat proses
akuisisi data. TXSCALE sering juga disebut scaling data sesimik dalam domain
waktu dan offset tertentu. Adapun input parameter yang digunakan sebesar 1.4
untuk power of time dan 0 untuk power of offset.

54
Gambar 4.25 Tampilan data seismik setelah TXSCALE pada shot ID 38

RADIALFTL (Radial Filter) proses ini dilakukan untuk membuang noise dan
meningkatkan atau memunculkan kembali sinyal frekuensi yang lemah atau
hilang. Parameter yang diinputkan berupa minium velocity dan intercept time
sebesar 100 dan 1000 ms, maximum velocity dan intercept time 500 dan 0.0 ms,

55
operator length of median filter 31. Radialflt dilakukan sebanyak dua kali filtering
untuk memperoleh hasil yang optimal.

Gambar 4.26 Perbandingan tampilan data seismik setelah RADIALFLT 1 dan


RADIALFLT 2 pada shot ID 38

56
HANA (High Amplitude Noise Attenuation) digunakan untuk menghilangkan
noise dengan amplitude tinggi.

Gambar 4.27 Perbandingan tampilan data seismik setelah dilakukan HANA pada
shot ID 38

TAPER (Trace Tapering) digunakan untuk memotong data dari bagian top,
bottom, dan both. Pada proses PREP tampilan TAPER dimunculkan dua kali,
TAPER kedua berfungsi untuk menghilangkan atau memotong data yang
mengalami peningkatan amplitudo akibat TVSW. Taper 1 dilakukan pada bagian

57
both dengan taper length 1000 ms, sedangkan Taper 2 dilakukan pada bagian
bottom dengan taper length 1000 ms. Hal ini dilakukan dengan melakukan
perbandingan antara bagian dari taper lainnya yaitu top, bottom, dan both yang
paling sesuai untuk digunakan.

Gambar 4.28 Perbandingan tampilan data seismik setelah dilakukan TAPER 1


pada shot ID 38

58
TVSW (Time Variant Spectra Whitening) digunakan untuk meningkatkan
amplitude dari penampang seismik dan memberikan efek flat pada time variant
diagram. Parameter yang digunakan adalah frekuensi antara 8.0 Hz - 72 Hz.

Gambar 4.29 Perbandingan tampilan data seismik setelah dilakukan TVSW pada
shot ID 38

59
TAPER 2

Gambar 4.30 Perbandingan tampilan data seismik setelah dilakukan TAPER 2


pada shot ID 38

DECON (Deconcolusi) digunakan untuk memunculkan event yang lebih menerus


akibat operator prediktif dari dekonvolusi. Digunakan tipe predictif untuk

60
meningkatkan reflector dengan parameter input 24.0 ms operator length 360 ms,
untuk prewhethening 0.1%.

Gambar 4.31 Perbandingan tampilan data seismik setelah dilakukan DECON


pada shot ID 38

BANDPASS digunakan untuk membuang data yang melebihi batas frekuensi


yang telah ditentukan. Parameter frekuensi yang diinputkan untuk bandpass filter
8-12-58-72 Hz dengan bandpass phase type zero.

61
Gambar 4.32 Perbandingan tampilan data seismik setelah dilakukan BANDPASS
pada shot ID 38

62
FBHDR (First Break Header) digunakan untuk menginput data hasil first break
ke dalam header. Parameter yang diinputkan berupa informasi pada header index
of first break 221, header byte 4 dan scalar 1.0.

Gambar 4.33 Perbandingan tampilan data seismik setelah dilakukan FBHDR


pada shot ID 38

63
PLOTHDR (Plotting Trace Header), digunakan untuk plotting hasil picking
first break pada shot gather yang nantinya membantu kita dalam muting trace
seismik yang perlu dihilangkan.

Gambar 4.34 Perbandingan tampilan data seismik setelah dilakukan PLOTHDR


pada shot ID 38

64
FBMUTE (First break Mute) digunakan untuk menghilangkan data seismik
yang dirasa kurang rapi dan sebelumnya telah dibatasi pada PLOTHDR.

Gambar 4.35 Perbandingan tampilan data seismik setelah dilakukan FBMUTE


pada shot ID 38

65
Gambar 4.36 Tampilan data seismik setelah dilakukan proses filtering

Setelah semua proses filtering dilakukan maka diperoleh tampilan data seismik
(shot ID 38) seperti Gambar di atas. Noise serta amplitudo yang tinggi dan tidak
diinginkan sudah berhasil diredam, serta tampilan data seismiknya juga sudah
semakin halus dan jelas. Hal ini juga dapat dianalisa dari average amplitudo
spectrum dan time-variant spectrum (Gambar sebelah kanan) yang
memperlihatkan warna yang mewakili nilai amplitude yang sudah cukup baik,
dimana spectrum warna yang mewakili nilai amplitudo dan time variant telah
teratur.

IV.2 Main Processing

Main prosessing merupakan inti dari pengolahan data seismik yang sama
pentingnya dengan tahapan-tahapan pada pre-prosesing sebelumnya. Pada proses
ini akan dilakukan Velocity analysis – NMO – Residual Static- Migrasi –
Stacking. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut.

IV.2.1 Velocity Analysis

Velocity analysis dilakukan pada modul VTCUBE pada proses ini dimana secara
otomatis NMO dan stacking shot gather dari floating datum menggunakan
kecepatan yang konstan. Pada proses ini akan dilakukan scanning velocity secara

66
otomatis, dimana velocity scanning adalah proses migrasi otomatis dengan
memasukkan sebuah nilai velocity sehingga dihasilkan penampang seismik untuk
setiap parameter yang dimasukkan. Pada analisa kecepatan digunakan tipe migrasi
kirchhoff.

Gambar 4.37 tampilan jendela kerja pada VTCUBE

Terdapat beberapa parameter yang digunakan pada VTCUBE antara lain final
datum elevation sesuai dengan data yaitu 127 m dengan mengganti kecepatan
sebesar 1900 m/s hal ini mengikuti kecepatan picking lapisan lapuk pada koreksi
statik. migration freq adalah untuk memberikan batasan frekuensi data yang akan
dilakukan migrasi sebesar 8 – 72 hz. Velocity range merupakan batasan kecepatan
yang diberikan pada 1500 hingga 6000 m/s, migration shot range merupakan shot
yang akan dimigrasi antara shot 1 hingga shot ke 0. Maximum migration offset

67
untuk membatasi offset dari migrasi yang akan dilakukan yaitu sebesar 4030.6,
maximum input data length untuk menentukan panjang data yang akan dilakukan
migrasi yaitu sebesar 4000 ms, maximum migration output time untuk
memberikan batas dari hasil migrasi pada penmapang seismik dalam berdasarkan
waktu yaitu 4000 ms. Migration apparture yang dimasukkan sebesar 4000,
dengan strecht limit untuk memberikan efek yang lebih lurus pada reflector data
seismik yaitu 50.0, receiver spacing 20, dan mute angle untuk memberikan efek
swing dari penanmpang seismik hasil migrasi yaitu 89. DT untuk menentukan
kedalaman interval migrasi yaitu 4 ms.

Setelah dilakukan scanning velocity secara otomatis pada VTCUBE, tahap


selanjutnya adalah dilakukan picking kecepatan pada modul RMSVEL untuk
mendapatakn RMS velocity model yang akan digunakan sebagai input pada
tahapan migrasi. Pada kerja praktek ini picking dilakukan metode picking secara
semblance tujuannya adalah untuk membandingkan hasil yang terbaik untuk
menjadi input pada proses migrasi. Picking semblance dilakukan dengan memilih
menu semblance terlebih dahulu pada jendela sebelah kanan bawah. Interval
untuk picking semblance ini adalah 25, picking dilakukan secara vertical ke bawah
mengikuti nilai kecepatan tertinggi dan spectrum maksimum.hasil picking dapat
dilihat dengan menggerakan anak panah ke atas dan bawah untuk horizon dan ke
kiri atau ke kanan untuk semblance.

Gambar 4.38 tampilan picking velocity horizon dan semlance pada RMSVEL

68
Setelah proses selesai untuk menampilkan hasil picking kecepatan dengan
memilih build velocity field from sembalnce. Sehingga diasilkan penampang RMS
velocity model konstan yang kemudian dilakukan proses smoothing untuk
meratakan persebaran velocity pada RMS velocity model. Hasil picking disimpan
dengan nama yang berbeda. Tampilan velocity hasil migrasi juga dapat ditampilka
dalam bentuk 3d model pada menu RMSVEL. Setelah proses build selesai proses
selanjutnya adalah melakukan proses migrasi pada modul PSTM.

Gambar 4.39 Constant Velocity Migration 3d Model

Gambar 4.40 velocity RMS model hasil picking semblance

69
IV.2.2 PSTM
PSTM (Pre-Stack Time Migration) dilakukan setelah mendapatkan RMS velocity
model yang dianggap cukup baik disbanding RMS velocity model lainnya yang
dibuat sebelumnya. Dalam PSTM, data seismik yang diinput adalah data seismik
yang telah melalui tahapan prep yaitu Land_Unhas_prep_01.sgy dan RMS
velocity model yang telah dibuat pada modul RMSVEL yaitu
Land_Unhas_rmsvel_VT_01.mdl. Pada tahap ini, metode yang digunakan adalah
kirchoff migration, dimana parameter yang dimasukkan pada modul PSTM sama
dengan parameter yang dimasukkan pada modul VTCUBE.

Gambar 4.41 Parameter input PSTM

Pada tahapan ini, meskipun telah didapatkan hasil penampang menggunakan


parameter yang sama dengan VTCUBE, dilakukan lagi percobaan dengan
mengubah parameter berupa migration aperture, stretch limit, dan mute angel
yang bertujuan untuk memperlihatkan pengaruh input tersebut pada hasil PSTM
serta untuk mendapatkan parameter yang tepat untuk migrasi sehingga didapatkan
penampang seismik yang benar. Proses ini dilakukan dengan mengubah salah satu
parameter meter saja dan parameter yang lainnya tetap sama. Sehingga perbedaan
penampang hasil PSTM hanya dipengaruhi oleh parameter yang diubah saja.

70
1. Pergantian nilai pada parameter migration aperture dengan nilai 2000,
3000, dan 4000

(a)

(b)

(c)
Gambar 4.42 Hasil penampang dengan mengubah parameter migration aparture
dengan nilai (a) 2000 (b) 3000 (c) 4000

71
2. Pergantian nilai pada parameter stretch limit dengan nilai 30%,50% dan
70%

(a)

(b)

(c)
Gambar 4.43 Hasil penampang dengan mengubah parameter strecth limit dengan
nilai (a) 30% (b) 50% (c) 70%

72
3. Pergantian nilai pada parameter mute angel dengan nilai 60, 70 dan 80

(a)

(b)

(c)
Gambar 4.44 Hasil penampang dengan mengubah mute angel dengan nilai (a) 60
(b) 70 (c) 80

73
Berdasarkan variasi parameter, penampang yang baik terdapat pada nilai
migration aperture 4000, stretch limith 50%, dan mute angel 60. Hal ini karena
nilai migration aperture dengan nilai yang tinggi dapat memperlihatkan event
yang lebih jelas. Kemudian pada stretch limith 50% menunjukan event yang dekat
dengan permukaan serta pada mute angel dengan nilai yang kecil yaitu 60 tidak
terlalu menunjukan swing yang besar. Berdasarkan hal ini, sehingga parameter ini
yang digunakan untuk hasil penampang PSTM.

Gambar 4.45 Hasil penampang PSTM.

Gambar 4.46 CIP gather hasil PSTM

74
IV.2.3 Demigration
Demigration bertujuan untuk menghilangkan migrasi yang dihasilkan pada proses
pre stack time migration (PSTM) dengan menggunakan RMS Velocity yang
digunakan pada PSTM. Tahap ini menggunakan modul Demig . penampang
demigrasi merupakan penampang zero offset wavefield yang dapat digunakan
pada tahap post stack depth migration (PSDM).

Gambar 4.47 Input parameter demig


Berdasarkan Gambar 4.42, untuk input SEG File digunakan data hasil PSTM dan
input RMS Velocity field file digunakan RMS Velocity model. Nilai parameter
migration Freq. Range (Hz) disesuaikan dengan nilai low dan high pada bandpass
filter.

Gambar 4.48 Hasil demigration

75
IV.2.4 Interval Velocity Analysis
Pada tahapan ini modul yang digunakan adalah VELMOD yang berfungsi untuk
mendapatkan model interval velocity untuk migrasi dalam domain depth. Dalam
pemodelan bawah permukaan dapat menggunakan dix conversion dan constant
half-space velocity analysis using VDcube. Namun yang digunakan dalam kerja
praktik ini adalah dix conversion menggunakan metode samples. Hal ini dilakukan
agar dapat masuk ke tahap PostDM. Dix conversion sendiri digunakan untuk
mengkonversikan rms velocity menjadi interval velocity dengan rumus dix
formula.

Gambar 4.49 Parameter input dix conversion


Minimum dan maximum velocity yang dimasukkan adalah melalui perkiraan
kecepatan minimum lapisan teratas yaitu sebesar 1900 m/s, dan untuk kecepatan
maksimum diperkirakan pada kecepatan lapisan bagian paling bawah sebesar
6000 m/s. Grid size yang digunakan adalah nilai standard berukuran 5 dan
elevation of top model top dari header data seismik. Berdasarkan parameter ini
diperoleh model invterval velocity.

76
Gambar 4.50 Interval velocity model hasil samples dix conversion
Selanjutnya dilakukan picking pada velocity model pada POSTDM yang
kemudian dibuatkan create phantom dengan nilai Interpolate between top-bottom
layers adalah 5 untuk lapisan yang dianggap kecil dan lapisan yang besar dengan
nilai 10. Sedangkan untuk constant velocity pada bagian teratas dekat permukaan
diisi dengan nilai 1900 m/s dan bagian paling bawah dengan nilai 6000 m/s.

Gambar 4.51 Parameter input layer phantom

77
Gambar 4.52 Velocity model pada layer phantom

Gambar 4.53 Interval velocity model pada create phantom


IV.2.5 PSDM
Pre stack depth migration (PSDM) merupakan metode migrasi yang lebih akurat
daripada Pre stack time migration (PSTM) pada daerah yang memiliki variasi
kecepatan. PSDM berfungsi untuk menghasilkan penampang seismik dalam
domain depth sebelum dilakukan stack.

78
Gambar 4.54 PSDM input parameter menggunakan velocity model dari dix.

Gambar 4.55 Hasil penampang PSDM menggunakan input velocity model dix
conversion
Selanjutnya melakukan input parameter PSDM menggunakan input velocity dari
layer phantom.

Gambar 4.56 PSDM input parameter menggunakan velocity model dari layer
phantom.

79
Gambar 4.57 Hasil penampang PSDM menggunakan input velocity model dari
layer phantom.
Dalam praktik kerja ini hasil penampang PSDM yang digunakan adalah yang
menggunakan velocity model dari layer phantom karena memiliki event yang
lebih jelas dibandingkan dengan yang menggunakan velocity model dari dix
conversion.
IV. 3 Post Stack
IV.3.1 Post Stack Time Migration (PostTM)
Tahapan selanjutnya adalah post stack time migration (PostTM) dan post stack
depth migration (PostDM) yaitu proses yang dilakukan setelah melakukan stack.
Post stack pertama yang dilakukan adalah PostTM dengan data shot gathers
diubah menjadi CMP index agar dapat dilakukan koreksi normal move out (NMO)
dan stack. Proses ini dilakukan pada modul PREP dengan memilih option-
Geometry map/Gather index files lalu input parameter untuk di ubah ke CMP
kemudian pilih Creat-Apply. Setelah itu pilih Build index files dan centang pada
Common mid-point lalu Apply.

Gambar 4.58 Proses shot gathers menjadi CMP

80
Gambar 4.59 Persebaran fold pada area pengukuran
Berdasarkan Gambar diatas, memperlihatkan banyaknya trace (fold) yang
dipantulkan pada titik CMP. Pada area yang berwarna abu-bau menunjukkan
bahwa tidak ada fold di area tersebut. Kurangnya nilai fold ditunjukkan pada area
yang berwarna biru. Sedangan nilai fold yang tinggi ditunjukkan pada area yang
berwarna orange sampai ungu. Fold mimiliki perang yang penting pada proses
stack karena semakin tinggi nilai fold maka akan memberikan data stack yang
lebih baik yaitu signal to noise ratio yang tinggi. Sehingga area yang memiliki
fold dengan nilai yang tinggi akan termigrasi dengan baik.
Sebelum masuk kedalam tahap Post-Stack Time Migration, maka perlu dilakukan
koreksi NMO dan Stack yang dibuat melalui modul PREP. Namun sebelum
melakukan koreksi NMO dan Stack terlebih dahu dilakukan READCMP yang
nanti akan menjadi data input saat melakukan koreksi NMO dan Stack.
READCMP bertujuan untuk mengubah penampang dari shot gather menjadi
CMP gather. Hasil dari proses READCMP ini adalah
Land_Unhas_Prep_01_ReadCMP.

81
Gambar 4.60 Tampilan window setelah dilakukan READCMP
Selanjutnya masuk pada tahap koreksi NMO dan Stack, dimana data input yang
digunakan adalah hasil dari file CMP yang telah dibuat agar dapat diperoleh
output berupa penampang stack. Koreksi NMO dilakukan untuk menghilangkan
efek time delay akibat jarak offset.

Gambar 4.61 Parameter input pada NMOF

(a) (b) (c)

Gambar 4.62 Proses melakukan koreksi NMO dan stack (a) data original
sebelum di koreksi NMO (b) setelah koreksi NMO (c) setelah di stack

82
Kemudian hasil stack dan RMS velocity model yang diperoleh dimasukkan ke
parameter input pada PostTM, untuk mendapatkan penampang seismic PostTM.
Tahapan ini dilakukan pada modul POSTP.

Gambar 4.63 Parameter input PostTM

Gambar 4.64 Penampang hasil PostTM


IV.3.2 Post Stack Depth Migration (PostDM)
Pada proses PostDM, yang menjadi inputnya adalah hasil dari demigrasi dan
interval velocity model hasil dari create phantom.

83
Gambar 4.65 Parameter input PostDM

Gambar 4.66 Penampang hasil PostDM


IV.4 Post-Processing

Selanjutnya tahap post-processing, hal ini dilakukan untuk menghilangkan noise


yang masih ada setelah dilakukan processing. Proses ini dilakukan pada modul
PREP, dengan jenis filter yang diguanakan sebagai berikut:

Parameter pada FXCADZOW yaitu signal frequency range (Hz)=8,16,64 dan 72.
Number of eigen images=2, local zone radius(distance)=300, local zone azimuth

84
range (degress)=360, local time window (ms)=300, dan order of input data=shot.
Pada BANDPASS untuk signal frequency range (Hz)=8,16,64 dan 72. Pada AGC
(Automatic gain control) berupa window length (ms)=400 dan MUTEOUTSIDE
yaitu taper length (ms)=50.
FXCADZOW bertujuan untuk menghilangkan random noise. BANDPASS untuk
membuang data yang melebihi batas frekuensi yang telah ditentukan. AGC
(Automatic gain control) untuk meningkatkan amplitudo pada penampang
seismik. MUTEOUTSID untuk memotong bagian penampang yang tidak
diinginkan.
1. Post-Processing pada PSTM dan PostTM

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 4.67 Proses post-processing pada PSTM (a) sebelum di filter/original (b)
Fxcadzow (c) Bandpass (d) Agc

85
(a) (b)

(c) (d)

(e)
Gambar 4.68 Proses post-processing pada PostTM (a) sebelum di filter/original
(b) Fxcadzow (c) Bandpass (d) Agc (e) Muteoutside

Berikut adalah hasil penampang PSTM dan PostTM setelah Post-processing.

86
Gambar 4.69 Penampang PSTM setelah post-processing.

Gambar 4.70 Penampang PostTM setelah post-processing.

87
2. Post-processing pada PSDM dan PostDM

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 4.71 Proses post-processing pada PSDM (a) sebelum di filter/original
(b) Fxcadzow (c) Bandpass (d) Agc

(a) (b)

88
(c) (d)

(e)
Gambar 4.72 Proses post-processing pada PostDM (a) sebelum di filter/original
(b) Fxcadzow (c) Bandpass (d) Agc

89
Gambar 4.73 Penampang PSDM setelah post-processing.

Gambar 4.74 Penampang PostDM setelah post-processing.

90
IV. 5 Restore Line Traverse
Line traverse bertujuan untuk menggeser posisi shot dan receiver dari posisi
sebenarnya yang berbentuk diagonal menjadi garis horizontal untuk
mempermudah proses pengolahan data seismik. Sehingga posisi yang yang telah
digeser akan dikembalikan pada posisi awal sesuai dengan koordinat
geografisnya.
Tahapan ini dialakukan pada modul DELIV dengan memasukkan data seismik
hasil pengolahan seperti pada Gambar berikut menggunakan hasil pengolahan
pada PSTM dan mengisi parameter yang seusai dengan parameter pada proses
migrasi.

Gambar 4.75 Input parameter restore line traverse


Selanjutnya membukanya di Display SEGY untuk melihat koordinat X dan Y
kembali ke posisi awal.

Gambar 4.76 Data seismik sebelum dilakukan restore line traverse

91
Gambar 4.77 Data seismik setelah dilakukan restore line traverse

92
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan

1. Travel time tomography memiliki peran yang sangat penting untuk


memudahkan dalam perhitungan dan penentuan koreksi statik serta untuk
membuat near surface velocity.
2. Migrasi Kirchhoff bertujuan untuk memindahkan reflektor penmapang
seismic ke posisi yang sebenarnya berdasarkan pada penjumlahan
amplitudo sepanjang lengkungan hiperbola akibat difraksi.
3. Hasil pengolahan data 2D dengan menggunakan metode migrasi Kirchhoff
menunjukkan bahwa penampang hasil pre- stack TM memiliki resolusi
dan event yang jelas dibandingkan dengan hasil penampang Post-stack
TM.
4. Hasil penampang Pre-Stack DM yang lebih baik dibanding dengan hasil
penampang pada Post-stack DM.
5. Sedangkan untuk PSTM dan PSDM, penampang yang dihasilkan oleh
PSDM lebih baik karena memiliki resolusi dan event yang jelas dibanding
pada hasil penampang PSTM.

V.2 Saran

1. Pemahaman mengenai teori dasar dalam prosesing data seismik sangat


penting untuk mendapatkan penampang seismik hasil prosesing yang
merepresentasikan gambaran bawah permukaan bumi yang sebenarnya.
2. Perlunya memperhatikan input parameter yang dilakukan pada setiap
tahapan karena parameter-parameter ini juga sangat menentukan prosesing
data seismic pada tahapan berikutnya.
3. Quality control sebaiknya dilakukan dengan sebaik mungkin agar data
sebisa mungkn dengan nilai error yang rendah tetapi dengan tanpa
merubah kenampakan reflector dari penampang seismik.

93
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, A., 2007, Ensiklopedia Seismik Online, Blog Online, diakses: 1 Juni
2018.
Bancroft, J. and Cao, Z., 2004, Multiple attenuation using the space‐time Radon
transform and equivalent offset gathers. SEG Technical Program
Expanded Abstracts 2004: pp. 1313-1316.
Herrmann,P.,Mojesky,T.,Magesan,M.,Hugonnet,P., 2000, De-aliased, High
resolution Radon transforms: 69th Ann.Intl.Mtg.,Soc.Expl. Geophys.
Expanded Abstracts.
Kearey and brooks, 1999, An Introduction to Geophysical Exploration, BlackWell
Publishing . USA .
Philip, K., Brooks, M. and Hill, Ian. (2002). An Introduction to geophysical
Exploration (third ed). Oxford: Blackwell Science
Saputra, Deni. (2006). “Atenuasi Multipel pada Data Seismik Laut dengan
Menggunakan Metoda Predictive Deconvolution dan Radon Velocity
Filter. Skripsi Sarjana pada program Studi Teknik Geofisika Fakultas Ilmu
Kebumian dan Teknologi Mineral Institut Teknologi Bandung”; tidak
diterbitkan.
Schuster, G. T., 2008, Seismic Interferometri, USA, Cambridge University Press,
ISBN 9780521871242.
Sultan Ramadhana , 2015.“Aplikasi Metode Seismik Refraksi Untuk Menentukan
Ketebalan Lapisan Penutup (Overburden) Lapangan Panasbumi Panggo
Kabupaten Sinjai”. Jurnal.Unhas.Makassar. tidak diterbitkan.
Uren, Norman., 1995, Analisis Introduction to Multiples amd Its Atenuation
Methods, Canbridge University Press.
Yilmaz, Ozdogan, 1989, Seismic Data Processing, Investigation in Geophysics
no.1, Society of Exploration Geophysics, Tusla, Oklahoma

Yilmaz, Ӧz. (2001). Seismik Data Analysis (vol. 2). Houston: Society of
exploration Geophysicists
https://asyafe.wordpress.com/2009/06/16/analisis-kecepatan-seismic-processing-
velocity-analysis/ diakses: 2 Juni 2018.

94

Anda mungkin juga menyukai