PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tahap eksplorasi merupakan tahap yang sangat penting dalam industri migas. Pada tahap
ini kita berusaha untuk meneliti kemungkinan kehadiran hidrokarbon dengan pendekatan
secara geologi atau geofisika. Geologi berperan dalam melakukan interpretasi secara
umum yang meliputi studi geologi regional, stratigrafi, analisa cekungan, kehadiran
source rock, reservoar, seal, jalur migrasi, dsb. Setelah semua data diperoleh, mulai dari
data seismik, sumur wild cat, interpretasi geologi, maka sampai pada tahap rencana
menghasilkan data baru yang lebih akurat juga diharapkan mampu memproduksi
dengan cakupan yang luas, sehingga lokasi sumur selanjutnya dapat ditentukan. Untuk
mendapatkan gambaran lokasi sumur yang baik atau secara geologi lokasi tersebut
mempunyai porositas dan permeabilitas yang tinggi, maka perlu dilakukan karakterisasi
kualitatif dan atau kuantitatif karakter reservoir dengan menggunakan data yang ada
(Sukmono, 2002). Dengan karakterisasi reservoir, maka kita akan mendapatkan model
1
dikenal dengan analisa atau karakterisasi reservoir seismic yang didefinisikan sebagai
suatu proses untuk mendeskripsikan atau menjabarkan baik secara kualitatif dan atau
(Sukmono, 2002). Salah satu metoda karakterisasi reservoir yang umum digunakan saat
ini adalah metoda inversi. Metoda ini memberikan gambaran bawah permukaan sesuai
informasi dalam lapisan batuan. Berbeda dengan seismic biasa yang hanya memberikan
informasi batas lapisan berupa RC. Dengan metoda ini kita bisa menurunkan nilai AI tiap
Maksud dari penyusunan tugas akhir ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat untuk
menyelesaikan program sarjana strata satu (S-1) di Program Studi Teknik Geofisika,
Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral, Institut Teknologi Bandung. Sedangkan
3. Menunjukkan informasi terbaru yang didapat dari hasil inversi berupa porositas
4. Melakukan validasi hasil inversi dengan data sumur dan juga seismik
5. Mencari lokasi zona yang memiliki porositas tinggi pada oil column untuk
2
Waktu dan Lokasi Penelitian
eksplorasi ExxonMobil Oil Indonesia dengan daerah penelitian lapangan “J” di Jawa
Timur..
Perangkat Lunak
Pada penelitian ini, software yang digunakan adalah Jason Geoscience Workbench
2. Wavelet : untuk melakukan estimasi wavelet baik secara statistik atau extract dari
data seismic.
3. EarthModel : untuk membuat model frekuensi rendah baik dari interpolasi well
atau dari kecepatan seismik, yang nantinya akan digabung dengan hasil inversi
(broadband).
4. InvertTrace-Plus : untuk melakukan proses inverse itu sendiri setelah semua data
5. Analysis : untuk melakukan cross-plot data seismik dan data well, menampilkan
Batasan Masalah
3
2. Data sumur yang digunakan adalah sebuah sumur “J” sebagai sumur kontrol hasil
inversi dan sumur “C” yang terletak di luar area inversi untuk estimasi wavelet.
Estimasi wavelet tidak dilakukan di sumur “J” karena data seismic dan data log di
sumur tersebut tidak bagus akibat beberapa hal yang akan dijelaskan kemudian.
Data seismik yang digunakan adalah seismic 3D post-stack time migration dan
dilakukan amplitude balancing dengan global scalar dan long gate AGC (2 s).
Hal ini dilakukan karena pada data real amplitude, akibat adanya shallow gas,
amplitude menjadi tidak seimbang. Pada daerah yang dangkal amplitude sangat
kuat tetapi setelah melewati zona gas amplitude turun drastis. Ini karena adanya
proses absorbsi yang membuat hilangnya frekuensi tinggi dan lebih banyak energi
4. Data seismic velocities yang telah tersedia hasil dari processing seismik
5. Data checkshot survey dari sumur J dan C untuk mengetahui hubungan waktu dan
kedalaman..
Sistematika Penulisan
Penulisan laporan tugas akhir ini dibagi menjadi beberapa bab, yaitu :
Bab I : Pendahuluan
Membahas secara umum penelitian yang dilakukan, mulai dari latar belakang pemilihan
topik, maksud dan tujuan penelitian, waktu, tempat, serta batasan masalah dalam
penelitian ini.
4
Bab II : Geologi Regional
Membahas tentang teori-teori dari metode yang digunakan pada penelitian ini. Seperti
teori inverse, sparse spike, dan juga pengaruh AI dengan porositas atau informasi geologi
lainnya.
Membahas data-data yang digunakan beserta proses atau workflow yang dilakukan
Memperlihatkan hasil inversi dan melakukan interpretasi berdasar korelasi dengan data
log untuk menunjukkan daerah mana yang mempunyai prospek bagus untuk eksplorasi
Berisi tentang kesimpulan dan saran-saran yang didapat setelah melakukan analisa.
5
BAB II
Secara umum lapangan “J” terletak di sebelah barat daya (SW) dari cekungan Jawa
Gbr 2.1 Peta lokasi lapangan “J” yang termasuk dalam propisi Jawa Timur, Indonesia
Lapangan “J” termasuk dalam cekungan Jawa Timur yaitu cekungan sedimen yang mulai
diendapkan pada umur Tertiary dan evolusi dari cekungan ini dikontrol oleh collision dan
saat pertengahan Eocene hingga awal Oligocene terjadi back-arc rifting dan extension
sehingga terbentuk struktur horst-graben pada daerah tersebut. Saat itulah source rock
graben terisi dengan sedimen maka platform karbonat mulai terbentuk pada shallow
6
water zone. Setelah platform terbentuk pada Late Oligocene, pada daerah tinggian (horst)
mulai tumbuh carbonate buildup yang pertumbuhannya dipengaruhi oleh beberapa hal
salah satunya yaitu harus selalu berada di shallow water. Ada lima buildup utama di
daerah ini yaitu, dari Barat-Timur, “KT”, “C”, “BU”, “S”, dan “J” pada bagian selatan.
Pada daerah ini terjadi subsidence yang menyebabkan kemiringan basement ke arah barat
dan utara, tetapi kemudian pada awal Mid-Oligocene subsidence terjadi lebih cepat ke
arah selatan (White.,et al,2007). Selain subsidence, pada daerah ini terjadi kenaikan muka
air laut (transgresi) yang signifikan dari Late Oligocene hingga Early Miocene yang
menyebabkan buildup tumbuh mengecil dan lama-lama tenggelam karena tidak bisa lagi
mengejar kecepatan muka air laut dan akhirnya mati. Tenggelamnya buildup ini memiliki
waktu yang berbeda-beda dimulai dai barat karena basement miring ke barat akibat
subsidence. “KT” gagal mengejar kenaikan muka air laut saat terjadi mid-Oligocene
unconformity, “C” dan “J” masih mampu tumbuh setelah unconformity tapi tenggelam
setelah terjadi transgressi yang cukup cepat pada Late Oligocene/Early Miocene, “BU”
tenggelam akibat trangressi pada Late Early Miocene, terakhir “S” mati pada Middle
Miocene akibat transgressi dan adanya sedimen klastik yang mulai mengisi area tersebut
yang berasal dari Utara.. Karbonat yang berumur Oligo-Miocene ini merupakan reservoir
utama dalam eksplorasi cekungan Jawa Timur saat ini. Di atas karbonat tersebut terdapat
sedimen klastik yang cukup tebal dan terendapkan di lingkungan marine (deep water dan
shallow water shale). Pada puncak karbonat, ketebalan klastik 300 ft, tetapi pada area
7
Gbr 2.2 Penampang kolom stratigrafi East Java Basin (ExxonMobil), pada daerah ini yang menjadi
reservoir utama adalah formasi Kujung yang berupa karbonat platform dan buildup yang cukup tebal dan
berumur Oligo-Miocene.
Petroleum System
Souce rock terbentuk saat Eocene atau Early Oligocene berupa coal dan shale. Source
rock ini termasuk dalam Formasi Ngimbang shale dalam stratigrafi cekungan Jawa
Timur dan termasuk dalam source rock type III (oil prone).
Reservoir
Target utama eksplorasi pada area ini adalah Formasi Kujung berupa karbonat
buildup yang telah terbukti sebagi reservoir yang baik dari pengeboran formasi ini di
tempat lain. Buildup ini mempunyai porositas yang cukup tinggi karena selama
pertumbuhannya terjadi perubahan ketinggian muka air laut. Apabila air laut turun
8
sehingga ada bagian buildup yang terekspos, maka terjadi proses karstifikasi ketika
hujan turun. Air hujan yang mengandung asam mampu membuat lubang-lubang di
buildup itu dan menjadikannya sebagai reservoir yang baik untuk hidrokarbon.
Seal
Sedimen yang mulai diendapkan pada Early Miocene dapat menjadi seal yang bagus
karena butirannya cukup halus ( lingkungan pengendapan marine) dan ketebalan yang
cukup. Klastik ini berasal dari arah utara dari isolated platform ini yang kemudian
tertransport dan mengisi cekungan tersebut. Seal ini sendiri berupa perselingan dari
sand-shale, pada beberapa bagian, lapisan sand tipis tersebut terisi oleh gas yang
berasal dari reservoir karbonat yang bocor. Sand ini yang dahulu menjadi target
9
BAB III
TEORI DASAR
Umum
Pada bab ini akan membahas beberapa teori dasar yang digunakan sebagai acuan dalam
mengerjaskan tugas akhir ini. Sebagian besar teori yang digunakan berhubungan dengan
seismik refleksi dan seismik inversi itu sendiri. Ada beberapa teori lain yang turut
mendukung pengerjaan tugas ini seperti prinsip-prinsip well logging, stratigrafi sekuen
dari karbonat, prinsip stratigrafi, dan sebagainya yang tidak saya bahas dalam bab ini.
Seismik Refleksi
Seismik refleksi adalah salah satu metoda dalam geofisika yang bertujuan untuk
mengetahui apa yang terdapat di dalam bumi dengan menggunakan pantulan gelombang
akustik yang dihasilkan dari sumber energi (dinamit, petasan, air gun) dan direkam oleh
receiver (geophone atau hydrophone). Metoda ini masih merupakan metoda yang paling
Secara sederhana, prinsip kerja seismic refleksi adalah sebagai berikut. Sumber yang
10
dalamnya dan kemudian terpantulkan lagi ke permukaan dan terekam oleh alat penerima
(receiver).
Gbr 3.1 Prinsip kerja seismic refleksi. Gelombang yang dihasilkan oleh sumber akan menjalar ke segala
arah, apabila terdapat reflektor gelombang tersebut sebagian akan terpantul ke permukaan dan terekam oleh
penerima sedangkan sebagian lain akan tertransmisikan. Gelombang yang terekam oleh receiver dapat
memberikan gambaran bawah permukaan.
permukaan. Kemudian hasil rekaman tersebut akan diproses untuk mendapatkan hasil
sesuai yang diinginkan. Selama processing data, ada banyak tahap yang dilakukan seperti
mempunyai tujuan berbeda dan tentu saja hasil yang berbeda tergantung tujuan kita.
Untuk inversi, kita menginginkan data seismik yang amplitudenya sedekat mungkin
dengan kondisi sebenarnya. Karena dengan inversi kita melakukan pendekatan untuk
mendapatkan model geologi yang sebenarnya. Apabila input kita (data seismik) sudah
tidak asli (preserve) maka hasil yang didapat tentu saja juga tidak sesuai dengan keadaan
sebenarnya.
11
Karakterisasi Reservoir
Pengertian karakterisasi reservoir adalah suatu proses untuk menjelaskan secara kualitatif
semua data yang ada. (Sukmono, 2002). Data yang digunakan utamanya adalah data
Proses karakterisasi reservoir sendiri ada tiga macam, yaitu deliniasi, deskripsi, dan
memberikan informasi geometri, struktur, atau facies dari reservoir. Deskripsi reservoir
berarti memberikan informasi berupa parameter fisis dari reservoir tersebut seperti
Tugas akhir ini berhubungan dengan proses deskripsi reservoir. Dengan menggunakan
Nilai amplitude dari sebuah seismik data sebenarnya merupakan besarnya jumlah energi
yang terpantulkan lagi ke permukaan dan direkam dengan receiver atau geophone. Proses
pembentukan tras seimik sendiri dilakukan dengan konvolusi antara KR dengan wavelet
W(t) : wavelet
12
KR(t) : koefisien refleksi
n(t) : noise
KR secara fisis merupakan nilai besaran yang menunjukkan kontras AI dalam bumi,
sehingga KR merupakan batas antara dua lapisan yang memiliki nilai AI yang berbeda.
Sedangkan AI sendiri adalah parameter batuan yang dipengaruhi oleh parameter lain
seperti densitas, porositas, kecepatan batuan, dan sebagainya. Oleh karena itu, apabila
kita telah mengetahui nilai AI maka kita dapat menggunakannya untuk mengetahui
AI = ρ × V p ……………………………………………………………………………(3.2)
Dimana : ρ : densitas
Vp : kecepatan gelombang P
Dari persamaan di atas kita dapat mengetahui bahwa nilai AI lebih banyak dipengaruhi
oleh nilai kecepatan batuan karena nilai densitas sangat kecil jika dibandingkan dengan
nilai kecepatan.
AI i +1 − AI i
KRi = ……………………………………………………………………(3.3)
AI i +1 + AI i
Berikut ini adalah beberapa hubungan kecepatan gelombang seismik yang sangat
13
Gbr 3.2 Efek dari berbagai factor terhadap nilai kecepatan gelombang
(Hiltermann, 1977, opcite Sukmono, 2002)
Dengan gambar di atas, maka kita dapat menggunakan nilai impedansi akustik sebagai
acuan untuk menentukan porositas atau lithologi batuan. Tetapi tidak tepat untuk
mendeteksi saturasi gas karena perubahan nilai AI tidak dapat membedakan secara jelas
Seismik Inversi
Seismik inversi adalah suatu metoda untuk memberikan gambaran model geologi bawah
permukaan dengan data seismic sebagai data input utama dan data sumur sebagai control
(Sukmono, 2002). Hasil yang didapat menggunakan metoda inversi adalah informasi
yang terkandung di dalam lapisan batuan berupa impedansi (akustik atau elastik).
Informasi impedansi ini dapat diturunkan menjadi informasi porositas, densitas, atau
parameter fisis lainnya sehingga kita akan lebih mudah dalam melakukan interpretasi.
Oleh karena itu, kita dapat menggunakan metoda seismik inversi untuk melakukan
karakterisasi reservoir.
14
Kita akan sulit melakukan karakterisasi reservoir hanya dengan menggunakan data
seismik biasa, karena data seimik hanya menunjukkan reflektor (koefisien refleksi) atau
Gbr 3.3 Proses karakterisasi reservoir. Dengan data seismik biasa akan sulit untuk melakukan karakterisasi
reservoir, tetapi dengan informasi AI hasil seismik inversi, akan mempermudah melakukan karakterisasi
reservoir. (Fugro-Jason, 2005)
Ada beberapa metoda inversi yang biasa digunakan, tetapi semuanya memiliki konsep
yang sama, yaitu berusaha mendapatkan informasi koefisien refleksi dari data seismik
dengan cara dekonvolusi menggunakan wavelet yang telah diekstrak dari data seismik
tersebut. Setelah mendapatkan rangkaian koefisien refleksi, kita bisa menghitung nilai
impedansi lapisan. Hasil inversi yang diturunkan hanya dari data seismik saja memiliki
bandwith yang terbatas karena frekuensi dari seismik bandlimited. Hilangnya komponen
frekuensi tinggi dan rendah pada data seismik juga berarti hilangnya informasi
sebenarnya dari subsurface. Oleh karena itu, pada proses inversi digunakan low
frequency model yang didapat dari data sumur untuk mengembalikan lagi informasi yang
hilang.
15
Gbr 3.4 Perbandingan model yang memiliki bandwith sangat lebar (model geologi) dengan model yang
difilter 10-80Hz (hasil inverse). Terlihat model hasil inversi tidak dapat mendekati model geologi (atas).
Setelah hasil inversi ditambahkan komponen frekuensi tinggi tetap saja hasilnya kurang bagus (tengah).
Apabila ditambahkan komponen frekuensi rendah sehingga komponen frekuensinya 0-80Hz, didapat hasil
inversi bisa mendekati model geologi yang sebenarnya (bawah). (Fugro-Jason, 2005)
Metoda inversi dapat dibagi berdasarkan data pre-stack ataupun post-stack seismik.
Untuk data pre-stack, metoda inversi yang digunakan umumnya adalah AVO (amplitude
versus offset). Tujuannya untuk mendeteksi pengaruh kehadiran fluida yang dapat
inversi yang menggunakan data post-stack sebagai input, dapat dibagi menjadi :
1. Metoda Rekursif
Metoda rekursif atau biasa juga disebut dengan bandlimited inversion method
16
fasa nol, sehingga akan mempengaruhi model geologi hasil inversi. Persamaan
AI i +1 − AI i
KRi = ……………………………………………………………(3.4)
AI i +1 + AI i
n −1
⎡1 + KRi ⎤
AI n = AI i ∏ ⎢ ⎥ ……………………………………………………….(3.5)
i =1 ⎣1 − KR i ⎦
Dengan persamaan di atas maka kita dapat mengetahui nilai AI pada semua
lapisan apabila kita hanya mengetahui nilai AI pada lapisan pertama saja.
• Bising (noise) pada data seismik akan dianggap sebagai signal (reflector)
ke bawah..
Metoda ini menggunakan initial model geologi sebagai input. Initial model ini
didapatkan dari hasil interpretasi horizon dan juga ekstrapolasi impedansi dari
17
nilai RC yang didapat dari model geologi awal, maka didapat sintetik seismik.
Sintetik tersebut dibandingkan dengan data seismik asli untuk mengetahui besar
mendapatkan impedansi.
Nilai dari weight1 dan weight2 harus berjumlah satu. Apabila menggunakan
persamaan seperti yang di atas maka disebut stochastic inversion, tetapi bila
(Sukmono, 2002).
Ada dua masalah utama pada metoda model based, yaitu : (Sukmono, 2002)
• Tidak menggunakan data seismic sebagai input data dalam proses inversi,
18
3. Metoda Sparse Spike
Metoda inversi ini berusaha mencari rangkaian RC seminimal mungkin dan yang
Secara iteratif, metoda ini akan menambahkan beberapa reflector yang ukurannya
semakin kecil. Proses iteratif ini akan berhenti apabila model RC yang sudah
Data seismik didekonvolusi dengan wavelet yang didapat dari ekstraksi seismik.
Berikut ini akan dibahas sedikit tentang metoda yang saya gunakan dalam tugas
akhir ini yaitu inverse sparse spike linear programming. Metoda ini merupakan
persamaan konvolusi :
S (t ) = W (t ) * RC (t ) ……………………………………………………………(3.7)
hasil yang didapat tidak full bandwidth karena pada proses konvolusi kita
frekuensi rendah berupa model bumi berlapis dari ekstrapolasi well maka kita bisa
19
mendapatkan full bandwidth. Frekuensi tinggi bisa dihiraukan karena identik
dengan noise.
n
x1 = ∑ xi ...........................................................................................................(3.8)
i =1
xi : jejak seismik.
Gbr 3.5 Teori dasar dari sparse spike inversion menggunakan L1 norm. Secara singkat prinsip sparse spike
adalah menghasilkan rangkaian koefisien refleksi dengan prisnip dekonvolusi setelah mendapatkan wavelet
yang bagus dari ekstraksi seismik. Metode ini hanya menggunakan spike yang besar karena minor spikes
dianggap hanya berupa multiple atau perbedaan ltiologi yang tidak begitu besar. (Fugro-Jason, 2005)
20
BAB IV
Data
Seperti yang telah dijelaskan pada Bab I, data yang penulis gunakan pada tugas akhir ini
adalah :
Seismik
Data sesimik yang digunakan adalah 3D data post stack seluas 210 km2 yang
diakuisisi dan diproses pada tahun 2001-2002. Pada tahap pemrosesan dilakukan pre-
Selain data 3D di lapangan “J”, juga terdapat data 2D berupa traverse seismik dari
sumur “C” ke sumur “J” yang berguna untuk melakukan spectrum analysis dari “C”
ke “J”.
Untuk inversi, input seismik seharusnya memiliki amplitude yang terjaga, yaitu rasio
dari reflektor satu dengan reflektor lain tetap sesuai dengan kondisi geologi
sebenarnya. Tetapi pada kasus ini, kita tidak bisa menggunakan real amplitude data
karena kehadiran shallow gas yang menyebabkan amplitude menjadi tidak seimbang
21
Gbr 4.1 Penampang traverse dari sumur “C” ke sumur “J” versi real amplitude processed (RAMP).
Terlihat amplitude seismic yang tidak seimbang baik secara vertikal maupun lateral pada data ini akibat
spherical divergence dan efek shallow gas.
Untuk mengatasi masalah tersebut, maka penulis melakukan proses tambahan untuk
1. Real amplitude data kita gunakan sebagai input untuk menghitung absolute
amplitude dari tiap tras seismik, kemudian distack menjadi satu tras saja. Dari tras
1
ini kita bisa menghitung nilai kebalikan ( x → ) . Maka kita mendapatkan sebuah
x
pengali yang apabila kita kalikan ke seluruh tras, akan menghasilkan tras yang
lebih seimbang secara vertikal. Pada umumnya pengali yang digunakan untuk
kasus ini digunakan nilai kebalikan karena pada proyek inversi di lapangan lain
memakan waktu tetapi hasilnya bisa didekati dengan nilai kebalikan yang
22
hasilnya tidak jauh berbeda tetapi proses pengerjaan jauh lebih singkat. Hasil dari
Gbr 4.2 Langkah-langkah menyeimbangkan amplitude seismic secara vertical dengan menggunakan global
scalar. Satu pengali diaplikasikan ke semua tras seismik yang digunakan dalam proses inverse
vertikal, penulis menggunakan data tersebut sebagai input untuk melakukan mild
AGC dengan window 2 s. Mild AGC tidak akan mengubah informasi amplitude
mengaplikasikan ini, maka kita mendapatkan data yang memiliki amplitude yang
seimbang secara vertical dan lateral karena AGC mempunyai pengali yang
berbeda untuk tiap tras seismik. Untuk menyeimbangkan amplitude secara lateral
tetapi hasilnya tetap preserved amplitude biasanya digunakan long gate AGC
dengan window 1 s. Tetapi pada kasus ini penulis tidak menggunakan window 1 s
karena hasilnya tidak tepat secara geologi yang mana daerah “J” seharusnya
memiliki amplitude sama atau lebih kecil dari daerah “C” karena efek gas.
23
Dengan 1 s AGC didapat daerah “J” memiliki amplitude lebih besar dari “C”.
Oleh karena itu penulis menggunakan 2 s AGC yang hasilnya lebih mendekati
konsep di atas.
Gbr 4.3 Perbandingan spectrum antara daerah “J” dengan daerah “C” setelah dilakukan proses 1 s AGC.
Terlihat spectrum “J” memiliki amplitude lebih besar daripada “C” yang secara geologi tidak benar.
Seharusnya daerah “J” amplitudenya lebih kecil akibat shallow gas effect
strong amplitude pada time kurang dari 500 ms akibat shallow gas effect. Apabila
1
zona tersebut pada dimasukkan dalam window AGC, maka nilai pengali berupa
rms
akan sangat kecil akibat nilai rms zona tersebut sangat besar. Apabila pengali ini
dikalikan tiap sampel pada tiap trace, didapat nilai amplitude yang sangat kecil dan
24
Gbr 4.4 Data RAMP setelah diaplikasikan single scale factor keseluruh tras seismik (global scalar). Proses
ini hanya menyeimbangkan amplitude secara vertikal (kiri). Data RAMP setelah diaplikasikan global
scalar dan 2s AGC. Dengan proses ini maka amplitude sudah seimbang secara vertical dan lateral (kanan).
Data Sumur
Pada proses inversi digunakan data sumur sebagai masukkan dan kontrol untuk
mendapatkan nilai AI yang mendekati kondisi sebenarnya. Selain itu, data sumur
juga dibutuhkan dalam proses ekstraksi wavelet dari data seismik setelah dilakukan
well seismic tie. Pada kasus ini, penulis tidak bisa melakukan well tie dengan sumur
1. Adanya shallow gas mengakibatkan amplitude loss dan menurunkan S/N ratio di
karena adanya kontras kecepatan secara lateral yang tinggi antara klastik dengan
3. Beberapa masalah dengan data sumur “J”, seperti bacaan log sonic dan density
yang tidak benar di beberapa kedalaman, log sonic tidak dikoreksi dengan
25
checkshot data pada zona sebelum 3000 ft, dan koreksi offset source pada sumur
Gbr 4.5 Proses well tie seismic dengan menggunakan sumur “J” yang tidak bisa dilakukan dengan baik
karena masalah-masalah yang telah disebutkan sebelumnya.
Untuk mengatasi hal tersebut maka penulis mengambil data sumur “C” yang
berlokasi terdekat dengan daerah inversi dan melakukan well tie dengan sumur
tersebut. Setelah didapat wavelet, maka penulis melakukan spectrum analysis untuk
Data log yang digunakan pada sumur “J” adalah : log sonic, log densitas, log total
porositas, log water saturation, dan log gamma ray. Sedangkan data log yang
digunakan pada sumur “C” adalah : log sonic dan log densitas.
26
Data Horison
Horison yang penulis gunakan pada tugas akhir ini adalah horizon-horison yang telah
penelitian terdapat tujuh horizon yang digunakan termasuk top dan base dari reservoir
karbonat. . Tetapi untuk pembuatan low frequency model, penulis tidak menggunakan
salah satu horison karena sumur tidak melewati lapisan tersebut sehingga tidak
Data ini didapat dari picking velocity yang dilakukan oleh salah satu geophysicst
ExxonMobil rata-rata tiap 200 ms. Informasi ini nantinya akan diubah menjadi
impedansi dan dijadikan ultra low frequency trend (maksimum 2.5 Hz).
Data Checkshot
Data checkshot yang digunakan adalah checkshot pada sumur “C” dan sumur “J”
untuk mengubah informasi kedalaman menjadi waktu atau sebaliknya. Selain itu, data
checkshot digunakan untuk mengoreksi data log sonic yang frekuensinya jauh lebih
tinggi dari data seismik, oleh karena itu harus dikoreksi supaya tidak terjadi proses
dispersi.
27
Pengolahan Data
Pengolahan data inversi ini menggunakan software Jason Geoscience Workbench 7.0.
Alur kerja proses inversi yang penulis gunakan pada tugas akhir ini adalah sebagai
berikut :
Gbr 4.6 Alur kerja inversi seismik ysng penulis kerjakan pada penelitian ini
Estimasi Wavelet
dalam proses inversi, sebaiknya didapat dari sumur yang berada di lokasi area
inversi. Semakin baik wavelet, maka semakin baik pula hasil inversi kita.
penulis mengambil sumur lain yang lokasinya berdekatan dengan area inversi
• Selanjutnya proses well seismic tie. Untuk dapat melakukan hal tersebut,
28
kedalaman dari sumur menjadi domain waktu sesuai dengan seismic. Selain
itu juga perlu input initial wavelet (Ricker) untuk membuat synthetic seismic.
Dalam proses ini dilakukan stretch and squeeze pada sintetik untuk
mendapatkan korelasi yang baik antara sintetik dengan seismik. Semakin baik
korelasi maka semakin baik wavelet yang akan kita dapatkan pada proses
Gbr 4.7 Proses well tie seismic pada sumur “C”. Proses ini diperlukan sebelum mengekstrak wavelet dari
seismic. Semakin baik proses well tie maka semakin baik pula wavelet yang didapat.
• Setelah dilakukan well seismic tie, maka wavelet bisa diekstrak dari data
29
Gbr 4.8 Wavelet yang diekstrak pada area “C” setelah dilakukan proses well tie. Wavelet ini cukup baik
karena mendekati zero phase dan komponen spektrumnya mampu mewakili spektrum seismik.
yang dekat dengan AI dari well dan residual yang kecil antara sintetik dan
seismik.
Salah satu parameter yang harus penulis definisikan adalah lebar window
untuk ekstraksi wavelet. Pada proses ini penulis menggunakan window 1-2 s.
dari zona reservoir dan non reservoir. Pada umumnya proses estimasi wavelet
digunakan window pada zona reservoir saja supaya wavelet yang didapat
tetapi wavelet yang didapat tidak bagus dan meghasilkan angka korelasi
antara sintetik dan seismic hanya 0.4. Hal ini diakibatkan data sumur yang
30
tidak mencapai base reservoir dan data seismic yang amplitudenya lemah pada
Gbr 4.9 Well seismic tie pada sumur ‘C” dengan menggunakan window top-base karbonat.
Didapat angka korelasi antara seismic dan sintetik sebesar 0.4.
Gbr 4.10 Hasil ekstraksi wavelet dengan menggunakan window top-base karbonat. Wavelet ini tidak bagus
untuk inversi karena bentuknya yang tidak mendekati zero-phase dan spektrumnya kurang bisa mewakili
spectrum seismik
31
• Setelah mendapatkan wavelet dari sumur “C”, penulis melakukan spectrum
Dengan spectra analysis kita bisa mengetahui apa saja yang berbeda dan
harus disamakan antara area “C” dan area inversi yaitu area “J”.
Gbr 4.11 Spektrum analysis antara area “C” dan area “J” yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan
spektrum komponen antara kedua area. Hasilnya diketahui bahwa kedua area tersebut hanya berbeda pada
amplitude saja sedangkan komponen frekuensi tidak banyak berbeda.
berkurang karena transmission loss dari shallow gas zone. Dari perbandingan
menyamakan amplitude area “C” dengan area inversi yaitu area “J”. Dari lima
rata-rata sebesar 0.96, yang berarti wavelet dari “C” nilai amplitudenya harus
dikalikan dengan 0.96 untuk dibawa ke area inversi “J”. Maka sekarang
proses inversi.
32
Gbr 4.12 Perbandingan antara wavelet dari area “C” dan wavelet “J” yang merupakan wavelet “C” yang
telah disesuaikan amplitudenya berdasar proses spectrum analysis. Wavelet “J” akan digunakan sebagai
input pada proses inversi di daerah “J”
Dalam membuat low frequency model, penulis menggabungkan dua buah model yaitu
dari seismic velocity dan ekstrapolasi impedansi sumur “J”. Hal ini disebabkan data
seismic velocity hanya mempunyai variasi secara lateral saja, sedangkan data sumur
mempunyai variasi secara vertikal saja. Oleh karena itu, apabila kedua data tersebut
digabung maka penulis akan mendapatkan data yang mempunyai variasi secara
33
• Kemudian penulis membuat crossplot antara log P-Impedance dan P-ULF
dari data log sumur “J” untuk mengetahui persamaan yang dapat
(slope) dari persamaan hasil cross plot karena nilai impedansi dipengaruhi
data klastik dan karbonat dengan persamaan yang diambil dari karbonat
yang didapat dari cross plot gabungan kalstik dan karbonat dan
pengerjaan.
Gbr 4.13 Perbandingan cross plot antara data gabungan (kalstik dan karbonat) dengan data karbonat saja.
Apabila diaplikasikan untuk membuat impedance model, perbedaannya hanya 3%.
34
• Setelah mendapatkan persamaan tersebut dan mengaplikasikannya maka
Gbr 4.14 Crossplot antara seismic velocity dengan P-impedance. Persamaan yang didapat digunakan untuk
mengubah seismic velocity menjadi P-impedance sebagai ultra low frequency trend dalam proses inversi
yang maksimum frekuensinya 2.5 Hz.
Gbr 4.15 Ultra Low Frequency model yang diturunkan dari seismic velocity (atas). Ultra low frequency
model yang telah dilakukan high cut filter 4 Hz (bawah). Dilakukan high cut filter untuk menghasilkan
model yang lebih smooth tanpa merusak frekuensi data karena maksimum frekuensi data sekitar 2.5 Hz.
35
• Karena informasi dari seismic velocity sangat terbatas, maka tidak cukup
dijadikan sebagai low frequency model. Oleh karena itu penulis membuat
low frequency model lain yang berasal dari ekstrapolasi data impedansi
sumur “J”.
Gbr 4.16 Spektrum hasil inversi dengan data yang dimiliki hingga proses ini yaitu seismik dan ultra low
frequency dari seismic velocity. Masih terdapat gap pada frekuensi rendah yang harus diisi dengan low
frequency model lain.
horizon yang nantinya akan diisi dengan nilai P-impedance dari data
secara geologi.
36
Gbr 4.17 Proses pembuatan microlayer yang nantinya tiap microlayer akan diisi dengan nilai impedansi
dari sumur “J”. Nilai impedansi dari sumur tersebut akan diekstrapolasi ke seluruh area sesuai dengan
penyebaran microlayer tersebut.
Nilai impedance akan konstan dalam satu microlayer yang sama, berarti
model geologi ini tidak mempunyai variasi nilai impedansi secara lateral.
Gbr 4.18 Low frequency model dari ekstrapolasi nilai impedansi sumur “J” ke seluruh area inversi. Karena
ada lapisan yang tidak ditembus sumur sehingga tidak diketahui nilai impedansinya. Software secara
otomatis mengisi impedansi lapisan tersebut dengan nilai terakhir sumur sebelum menembus karbonat
(warna kuning). Secara geologi seharusnya menunjukkan nilai impedansi yang semakin tinggi apabila
semakin dalam mengikuti compactional trend.
37
• Hasil dari ekstrapolasi data sumur ada lapisan shale yang tidak ditembus
karbonat. Hasil tersebut tidak benar secara geologi karena seharusnya nilai
impedansi pada lithologi yang sama semakin besar apabila semakin dalam
nilainya konstan.
Gbr 4.19 Crossplot antara P-impedance terhadap time untuk mendapatkan compactional trend dari klastik
antara horizon layer 3 dan layer 4 (atas). Setelah persamaan di atas diaplikasikan maka didapat nilai P-
impedance untuk mengisi lapisan antara horizon layer 3 dan layer 4. (bawah).
38
Gbr 4.20 Perbandingan low frekuensi model hasil ekstrapolasi nilai impedansi sumur “J”. Nilai impedansi
lapisan antar horizon layer 3 dan layer 4 bernilai konstan (atas). Nilai impedansi pada lapisan tersebut
menunjukkan kenaikkan pada lokasi yang lebih dalam. Sesuai dengan prinsip compactional effect (bawah)
yang lebih baik, penulis menggabungkan kedua model impedansi yang telah
velocity dan 30% data sumur karena data seismik lebih akurat pada area yang luas
sedangkan data sumur hanya akurat di daerah sekitar sumur saja. Oleh karena itu
pembobotan lebih besar pada seismic velocity. Dengan hasil penggabungan ini
maka low frequency model yang dimiliki sudah memiliki variasi secara lateral
dari seismic velocity dan variasi secara vertikal dari ekstrapolasi impedansi sumur
“J”.
39
Gbr 4.21 Perbandingan pembobotan seismic velocity dan impedans model dari sumur “J”. Penulis
menggunakan 70% seismic velocity dan 30% impedans sumur karena data seismic velocity mempunyai
tingkat kebenaran lebih tinggi terutama pada daerah yang jauh dari sumur “J”
Gbr 4.22 Low frekuensi model hasil penggabungan model dari seismic velocity dan ekstrapolasi impedansi
sumur “J”. Model ini mempunyai variasi nilai impedansi secara lateral dari seismic velocity dan variasi
secara vertikal dari ekstrapolasi sumur “J” serta komponen frekuensi yang lebar dan cukup dijadikan
sebagai low frequency model pada proses inversi.
40
Inversi Impedansi Akustik Menggunakan Metoda Sparse Spike
Setelah penulis mendapatkan semua input yaitu : data seismik, wavelet, dan low
• Soft Constraint
• Lambda : 10
menggunakan data sumur pada window 1000-2000 ms. Hasil inversi menunjukkan
Gbr 4.23 Hasil seismik inversi berupa informasi P-impedance. Dengan hasil ini maka dapat diketahui
kualitas tiap lapisan berdasarkan nilai imedansinya. Impedansi rendah menunjukkan porositas tinggi dan
sebaliknya.
41
Pembuatan Model Porositas
didapatkan dengan cara membuat crossplot antara log porositas total dengan P-
impedance di sumur “C” dan sumur “J” untuk mendapatkan hubungan antara P-
Gbr 4.24 Crossplot antara P-impedance dengan porositas dari data sumur “C” dan “J” untuk mengetahui
hubungan antara kedua parameter tersebut. Dengan persamaan di atas maka bisa diperoleh informasi
porositas untuk lapisan reservoir.
42
Gbr 4.25 Penampang porositas yang diturunkan dari p-impedance. Dengan informasi ini maka akan
mempermudah dalam pembuatan geologic model yang nantinya akan digunakan untuk proses reservoir
simulation oleh reservoir engineer. Selain itu juga mempermudah dalam interpretasi di mana sebaiknya
sumur selanjutnya ditempatkan.
Dengan hasil di atas maka penulis sudah mendapatkan hasil akhir dari pengolahan
data dan hasil ini akan digunakan untuk interpretasi dan analisa lokasi terbaik
43
BAB V
ANALISA
Hasil interpretasi geologi dengan menggunakan data sumur dan peta struktur diketahui
bahwa area “J” mempunyai kolom gas yang sangat tebal di bagian buildup, tetapi hanya
Hal ini diduga karena terjadinya gas flushing di area penelitian sehingga menyebabkan
lokasi “J” penuh terisi gas sedangkan minyak terdorong ke arah utara dan mengisi
Dengan menggunakan hasil dari penelitian ini maka penulis bisa mengetahui kualitas
reservoir terutama di daerah platform bagian utara yang diperkirakan terdapat minyak
sebelum spill ke utara. Berikut ini adalah penampang Barat-Timur dan Selatan-Utara
serta peta sebaran porositas pada zona 10 ms di bawah top reservoir di daerah penelitian
44
Gbr 5.1 Penampang porositas Barat-Timur sepanjang buildup “J”, menunjukkan pada bagian barat buildup
“J” terdapat high porosity zone yang cukup luas dengan rata-rata porositas 25%.
Gbr 5.2 Penampang porositas Selatan-Utara, menunjukkan pada bagian platform sebelah utara buildup “J”
terdapat high porosity zone dengan rata-rata porositas 23%. Zona ini juga berada sebelum spill point, jadi
kemungkinan zona ini terisi hidrokarbon yaitu minyak.
45
Gbr 5.3 Nilai attribute amplitude berupa RMS yang diturunkan dari infornasi porositas dengan vertical
window 20 ms dari top karbonat. Menunjukkan sebaran porositas yang luas terutama pada platform bagian
utara (Kiri). Peta top karbonat dalam domain waktu (Kanan).
Ketiga gambar di atas menunjukkan platform karbonat yang diduga sebagai reservoir
minyak ternyata mempunyai porositas yang cukup tinggi yaitu rata-rata 25%. Selain itu,
zona high porosity tersebut terletak sebelum spill point sehingga berkemungkinan zona
Dengan contoh kedua penampang dan peta sebaran porositas di atas penulis menganalisa
bahwa lokasi yang cukup berprospek untuk pengembangan lapangan dan penempatan
sumur baru adalah karbonat platform sebelah utara “J” buildup dan buildup “J” sendiri
46
BAB VI
Kesimpulan
1. Metoda seismik inversi dapat menghasilkan data yang lebih baik untuk
3. Proses amplitude balancing dengan menggunakan global scalar dan mild AGC
seimbangan amplitude seismik akibat spherical divergence dan efek shallow gas.
spektrum (amplitude dan frekuensi) di “C” dan “J” pada saat proses mengubah
wavelet dari sumur “C” untuk digunakan sebagai input inversi di area “J”
5. Untuk mendapatkan model geologi yang lebih baik sebagai low frequency model,
harus dilakukan sehingga akan mendapatkan variasi nilai impedansi baik secara
47
Saran
1. Untuk mendapatkan input seismik yang lebih bagus, sebaiknya dilakukan proses
pre-stack depth migration. Dengan proses ini diharapkan proses migrasi akan
kondisi sebenarnya.
2. Proses inversi sebaiknya dilakukan lagi apabila sudah didapat data dari sumur
terbaru. Semakin banyak data sumur maka semakin baik pula hasil inversi yang
akan dihasilkan.
48
DAFTAR PUSTAKA
Advance Geophysical Corporation., 1995, ProMAX Reference Manual, Vol 1-2, Version
6.0
Plus
Fugro-Jason.,2005, Exercises for Introduction to E , InverTracePlus, Earthmodel, and
Wavelets.
Russel, B.H., 1988, Introduction to Seismic Inversion Methods, Course Notes Series,
Sukmono, S., 2002, Seismik Inversion and AVO Analysis for Reservoir Characterization,
White, J.V., Derewetzky, A.N., Geary, G.C., et al., 2007, Temporal controls and
49