Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tahap eksplorasi merupakan tahap yang sangat penting dalam industri migas. Pada tahap

ini kita berusaha untuk meneliti kemungkinan kehadiran hidrokarbon dengan pendekatan

secara geologi atau geofisika. Geologi berperan dalam melakukan interpretasi secara

umum yang meliputi studi geologi regional, stratigrafi, analisa cekungan, kehadiran

source rock, reservoar, seal, jalur migrasi, dsb. Setelah semua data diperoleh, mulai dari

data seismik, sumur wild cat, interpretasi geologi, maka sampai pada tahap rencana

penempatan lokasi sumur eksplorasi berikutnya. Sumur ini diharapkan selain

menghasilkan data baru yang lebih akurat juga diharapkan mampu memproduksi

hidrokarbon. Geofisika berperan memberikan gambaran physical properties reservoir

dengan cakupan yang luas, sehingga lokasi sumur selanjutnya dapat ditentukan. Untuk

mendapatkan gambaran lokasi sumur yang baik atau secara geologi lokasi tersebut

mempunyai porositas dan permeabilitas yang tinggi, maka perlu dilakukan karakterisasi

reservoir. Karakterisasi reservoir adalah suatu proses untuk mendiskripsikan secara

kualitatif dan atau kuantitatif karakter reservoir dengan menggunakan data yang ada

(Sukmono, 2002). Dengan karakterisasi reservoir, maka kita akan mendapatkan model

reservoir secara lengkap, baik lithology, porositas, maupun fluida di dalamnya.

Karakterisasi reservoir dengan metoda seismic terus mengalami perkembangan yang

1
dikenal dengan analisa atau karakterisasi reservoir seismic yang didefinisikan sebagai

suatu proses untuk mendeskripsikan atau menjabarkan baik secara kualitatif dan atau

kuantitatif karakter reservoir menggunakan data seismik sebagai data utamanya.

(Sukmono, 2002). Salah satu metoda karakterisasi reservoir yang umum digunakan saat

ini adalah metoda inversi. Metoda ini memberikan gambaran bawah permukaan sesuai

informasi dalam lapisan batuan. Berbeda dengan seismic biasa yang hanya memberikan

informasi batas lapisan berupa RC. Dengan metoda ini kita bisa menurunkan nilai AI tiap

lapisan yang nantinya bisa memberikan informasi geologi berupa porositas,

permeabilitas, lithologi, dan juga fluida.

Maksud dan Tujuan Penelitian

Maksud dari penyusunan tugas akhir ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat untuk

menyelesaikan program sarjana strata satu (S-1) di Program Studi Teknik Geofisika,

Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral, Institut Teknologi Bandung. Sedangkan

tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Investigasi penggunaan metoda inversi AI untuk karakterisasi reservoar

2. Investigasi pentingnya komponen frekuensi rendah dalam metoda inversi

3. Menunjukkan informasi terbaru yang didapat dari hasil inversi berupa porositas

4. Melakukan validasi hasil inversi dengan data sumur dan juga seismik

5. Mencari lokasi zona yang memiliki porositas tinggi pada oil column untuk

penempatan sumur selanjutnya

2
Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan selama empat bulan yaitu Februari-Mei 2007 di lingkungan

eksplorasi ExxonMobil Oil Indonesia dengan daerah penelitian lapangan “J” di Jawa

Timur..

Perangkat Lunak

Pada penelitian ini, software yang digunakan adalah Jason Geoscience Workbench

dengan beberapa modul didalamnya seperti :

1. Well Log Editor : untuk melakukan well seismic tie

2. Wavelet : untuk melakukan estimasi wavelet baik secara statistik atau extract dari

data seismic.

3. EarthModel : untuk membuat model frekuensi rendah baik dari interpolasi well

atau dari kecepatan seismik, yang nantinya akan digabung dengan hasil inversi

yang bandlimited sehingga didapat hasil inverse yang frekuensinya lebar

(broadband).

4. InvertTrace-Plus : untuk melakukan proses inverse itu sendiri setelah semua data

yang diperlukan sudah tersedia.

5. Analysis : untuk melakukan cross-plot data seismik dan data well, menampilkan

penampang 2D/3D, dll.

Batasan Masalah

1. Penelitian dilakukan untuk membahas aplikasi dan penggunaan metoda inversi

sparse spike AI untuk karakterisasi reservoir.

3
2. Data sumur yang digunakan adalah sebuah sumur “J” sebagai sumur kontrol hasil

inversi dan sumur “C” yang terletak di luar area inversi untuk estimasi wavelet.

Estimasi wavelet tidak dilakukan di sumur “J” karena data seismic dan data log di

sumur tersebut tidak bagus akibat beberapa hal yang akan dijelaskan kemudian.

Data seismik yang digunakan adalah seismic 3D post-stack time migration dan

dilakukan amplitude balancing dengan global scalar dan long gate AGC (2 s).

Hal ini dilakukan karena pada data real amplitude, akibat adanya shallow gas,

amplitude menjadi tidak seimbang. Pada daerah yang dangkal amplitude sangat

kuat tetapi setelah melewati zona gas amplitude turun drastis. Ini karena adanya

proses absorbsi yang membuat hilangnya frekuensi tinggi dan lebih banyak energi

yang terpantul daripada yang tertransmisi melewati zona gas.

3. Data horizon yang telah tersedia hasil interpretasi geologist ExxonMobil.

4. Data seismic velocities yang telah tersedia hasil dari processing seismik

5. Data checkshot survey dari sumur J dan C untuk mengetahui hubungan waktu dan

kedalaman..

Sistematika Penulisan

Penulisan laporan tugas akhir ini dibagi menjadi beberapa bab, yaitu :

Bab I : Pendahuluan

Membahas secara umum penelitian yang dilakukan, mulai dari latar belakang pemilihan

topik, maksud dan tujuan penelitian, waktu, tempat, serta batasan masalah dalam

penelitian ini.

4
Bab II : Geologi Regional

Menceritakan tentang bagaimana kondisi geologi secara umum di daerah penelitian

mencakup tectonic setting, stratigrafi, dan petroleum system.

Bab III : Teori Dasar

Membahas tentang teori-teori dari metode yang digunakan pada penelitian ini. Seperti

teori inverse, sparse spike, dan juga pengaruh AI dengan porositas atau informasi geologi

lainnya.

Bab IV : Data dan Pengolahan Data

Membahas data-data yang digunakan beserta proses atau workflow yang dilakukan

selama penelitian, serta membahas alasan mengapa menggunakan data-data tersebut.

Bab V : Analisa dan Pembahasan

Memperlihatkan hasil inversi dan melakukan interpretasi berdasar korelasi dengan data

log untuk menunjukkan daerah mana yang mempunyai prospek bagus untuk eksplorasi

minyak dan penempatan sumur selanjutnya.

Bab V : Kesimpulan dan Saran

Berisi tentang kesimpulan dan saran-saran yang didapat setelah melakukan analisa.

5
BAB II

GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

Letak Geografis Lapangan “J”

Secara umum lapangan “J” terletak di sebelah barat daya (SW) dari cekungan Jawa

Timur (East Java Basin), propinsi Jawa Timur. (Figure 1)

Gbr 2.1 Peta lokasi lapangan “J” yang termasuk dalam propisi Jawa Timur, Indonesia

Tektonik Setting dan Stratigrafi

Lapangan “J” termasuk dalam cekungan Jawa Timur yaitu cekungan sedimen yang mulai

diendapkan pada umur Tertiary dan evolusi dari cekungan ini dikontrol oleh collision dan

subduction dari Lempeng Hindia/Australia (Hall,2003,opcite,White.,et.al,2007). Pada

saat pertengahan Eocene hingga awal Oligocene terjadi back-arc rifting dan extension

sehingga terbentuk struktur horst-graben pada daerah tersebut. Saat itulah source rock

diendapkan di lingkungan marine maupun non-marine pada bagian graben. Setelah

graben terisi dengan sedimen maka platform karbonat mulai terbentuk pada shallow

6
water zone. Setelah platform terbentuk pada Late Oligocene, pada daerah tinggian (horst)

mulai tumbuh carbonate buildup yang pertumbuhannya dipengaruhi oleh beberapa hal

salah satunya yaitu harus selalu berada di shallow water. Ada lima buildup utama di

daerah ini yaitu, dari Barat-Timur, “KT”, “C”, “BU”, “S”, dan “J” pada bagian selatan.

Pada daerah ini terjadi subsidence yang menyebabkan kemiringan basement ke arah barat

dan utara, tetapi kemudian pada awal Mid-Oligocene subsidence terjadi lebih cepat ke

arah selatan (White.,et al,2007). Selain subsidence, pada daerah ini terjadi kenaikan muka

air laut (transgresi) yang signifikan dari Late Oligocene hingga Early Miocene yang

menyebabkan buildup tumbuh mengecil dan lama-lama tenggelam karena tidak bisa lagi

mengejar kecepatan muka air laut dan akhirnya mati. Tenggelamnya buildup ini memiliki

waktu yang berbeda-beda dimulai dai barat karena basement miring ke barat akibat

subsidence. “KT” gagal mengejar kenaikan muka air laut saat terjadi mid-Oligocene

unconformity, “C” dan “J” masih mampu tumbuh setelah unconformity tapi tenggelam

setelah terjadi transgressi yang cukup cepat pada Late Oligocene/Early Miocene, “BU”

tenggelam akibat trangressi pada Late Early Miocene, terakhir “S” mati pada Middle

Miocene akibat transgressi dan adanya sedimen klastik yang mulai mengisi area tersebut

yang berasal dari Utara.. Karbonat yang berumur Oligo-Miocene ini merupakan reservoir

utama dalam eksplorasi cekungan Jawa Timur saat ini. Di atas karbonat tersebut terdapat

sedimen klastik yang cukup tebal dan terendapkan di lingkungan marine (deep water dan

shallow water shale). Pada puncak karbonat, ketebalan klastik 300 ft, tetapi pada area

diantara buildup, ketebalannya mencapai 10.000 ft.

7
Gbr 2.2 Penampang kolom stratigrafi East Java Basin (ExxonMobil), pada daerah ini yang menjadi
reservoir utama adalah formasi Kujung yang berupa karbonat platform dan buildup yang cukup tebal dan
berumur Oligo-Miocene.

Petroleum System

Batuan Induk (Source Rock)

Souce rock terbentuk saat Eocene atau Early Oligocene berupa coal dan shale. Source

rock ini termasuk dalam Formasi Ngimbang shale dalam stratigrafi cekungan Jawa

Timur dan termasuk dalam source rock type III (oil prone).

Reservoir

Target utama eksplorasi pada area ini adalah Formasi Kujung berupa karbonat

buildup yang telah terbukti sebagi reservoir yang baik dari pengeboran formasi ini di

tempat lain. Buildup ini mempunyai porositas yang cukup tinggi karena selama

pertumbuhannya terjadi perubahan ketinggian muka air laut. Apabila air laut turun

8
sehingga ada bagian buildup yang terekspos, maka terjadi proses karstifikasi ketika

hujan turun. Air hujan yang mengandung asam mampu membuat lubang-lubang di

buildup itu dan menjadikannya sebagai reservoir yang baik untuk hidrokarbon.

Seal

Sedimen yang mulai diendapkan pada Early Miocene dapat menjadi seal yang bagus

karena butirannya cukup halus ( lingkungan pengendapan marine) dan ketebalan yang

cukup. Klastik ini berasal dari arah utara dari isolated platform ini yang kemudian

tertransport dan mengisi cekungan tersebut. Seal ini sendiri berupa perselingan dari

sand-shale, pada beberapa bagian, lapisan sand tipis tersebut terisi oleh gas yang

berasal dari reservoir karbonat yang bocor. Sand ini yang dahulu menjadi target

eksplorasi sebelum Formasi Kujung ditemukan.

9
BAB III

TEORI DASAR

Umum

Pada bab ini akan membahas beberapa teori dasar yang digunakan sebagai acuan dalam

mengerjaskan tugas akhir ini. Sebagian besar teori yang digunakan berhubungan dengan

seismik refleksi dan seismik inversi itu sendiri. Ada beberapa teori lain yang turut

mendukung pengerjaan tugas ini seperti prinsip-prinsip well logging, stratigrafi sekuen

dari karbonat, prinsip stratigrafi, dan sebagainya yang tidak saya bahas dalam bab ini.

Seismik Refleksi

Seismik refleksi adalah salah satu metoda dalam geofisika yang bertujuan untuk

mengetahui apa yang terdapat di dalam bumi dengan menggunakan pantulan gelombang

akustik yang dihasilkan dari sumber energi (dinamit, petasan, air gun) dan direkam oleh

receiver (geophone atau hydrophone). Metoda ini masih merupakan metoda yang paling

ampuh untuk mengetahui informasi di dalam bumi hingga saat ini.

Secara sederhana, prinsip kerja seismic refleksi adalah sebagai berikut. Sumber yang

diledakkan di permukaan akan menghasilkan gelombang akustik yang menjalar ke segala

arah. Gelombang yang menjalar ke dalam bumi akan melewati batuan-batuan di

10
dalamnya dan kemudian terpantulkan lagi ke permukaan dan terekam oleh alat penerima

(receiver).

Gbr 3.1 Prinsip kerja seismic refleksi. Gelombang yang dihasilkan oleh sumber akan menjalar ke segala
arah, apabila terdapat reflektor gelombang tersebut sebagian akan terpantul ke permukaan dan terekam oleh
penerima sedangkan sebagian lain akan tertransmisikan. Gelombang yang terekam oleh receiver dapat
memberikan gambaran bawah permukaan.

Gelombang tersebut membawa semua informasi yang menggambarkan kondisi bawah

permukaan. Kemudian hasil rekaman tersebut akan diproses untuk mendapatkan hasil

sesuai yang diinginkan. Selama processing data, ada banyak tahap yang dilakukan seperti

stacking, deconvolution, migration, amplitude balancing, dll. Tiap-tiap langkah tersebut

mempunyai tujuan berbeda dan tentu saja hasil yang berbeda tergantung tujuan kita.

Untuk inversi, kita menginginkan data seismik yang amplitudenya sedekat mungkin

dengan kondisi sebenarnya. Karena dengan inversi kita melakukan pendekatan untuk

mendapatkan model geologi yang sebenarnya. Apabila input kita (data seismik) sudah

tidak asli (preserve) maka hasil yang didapat tentu saja juga tidak sesuai dengan keadaan

sebenarnya.

11
Karakterisasi Reservoir

Pengertian karakterisasi reservoir adalah suatu proses untuk menjelaskan secara kualitatif

maupun kuantitatif informasi yang terkandung dalam reservoir dengan menggunakan

semua data yang ada. (Sukmono, 2002). Data yang digunakan utamanya adalah data

seismik dan data well log (sonic dan density).

Proses karakterisasi reservoir sendiri ada tiga macam, yaitu deliniasi, deskripsi, dan

monitoring. (Sheriff, 1991, opcite, Sukmono, 2002). Deliniasi reservoir berarti

memberikan informasi geometri, struktur, atau facies dari reservoir. Deskripsi reservoir

berarti memberikan informasi berupa parameter fisis dari reservoir tersebut seperti

porositas, permeabilitas, dan sebagainya. Sedangkan monitoring berarti pengamatan

perubahan-perubahan yang terjadi di dalam reservoir selama proses produksi.

Tugas akhir ini berhubungan dengan proses deskripsi reservoir. Dengan menggunakan

metoda inversi, berusaha untuk memberikan informasi penyebaran porositas dari

reservoir daerah penelitian.

Koefisien Refleksi (KR) dan Impedansi Akustik(AI)

Nilai amplitude dari sebuah seismik data sebenarnya merupakan besarnya jumlah energi

yang terpantulkan lagi ke permukaan dan direkam dengan receiver atau geophone. Proses

pembentukan tras seimik sendiri dilakukan dengan konvolusi antara KR dengan wavelet

dan ditambahkan unsur noise, seperti persamaan berikut :

S(t) = W(t) * KR(t) + n(t).............................................................................................(3.1)

Dimana : S(t) : jejak seismik

W(t) : wavelet

12
KR(t) : koefisien refleksi

n(t) : noise

KR secara fisis merupakan nilai besaran yang menunjukkan kontras AI dalam bumi,

sehingga KR merupakan batas antara dua lapisan yang memiliki nilai AI yang berbeda.

Sedangkan AI sendiri adalah parameter batuan yang dipengaruhi oleh parameter lain

seperti densitas, porositas, kecepatan batuan, dan sebagainya. Oleh karena itu, apabila

kita telah mengetahui nilai AI maka kita dapat menggunakannya untuk mengetahui

informasi lain seperti porositas ataupun lithologi batuan. Rumus AI adalah :

AI = ρ × V p ……………………………………………………………………………(3.2)

Dimana : ρ : densitas

Vp : kecepatan gelombang P

Dari persamaan di atas kita dapat mengetahui bahwa nilai AI lebih banyak dipengaruhi

oleh nilai kecepatan batuan karena nilai densitas sangat kecil jika dibandingkan dengan

nilai kecepatan.

Sedangkan hubungan antara KR dan AI adalah :

AI i +1 − AI i
KRi = ……………………………………………………………………(3.3)
AI i +1 + AI i

Berikut ini adalah beberapa hubungan kecepatan gelombang seismik yang sangat

berpengaruh terhadap nilai impedansi akustik, terhadap parameter lain :

13
Gbr 3.2 Efek dari berbagai factor terhadap nilai kecepatan gelombang
(Hiltermann, 1977, opcite Sukmono, 2002)

Dengan gambar di atas, maka kita dapat menggunakan nilai impedansi akustik sebagai

acuan untuk menentukan porositas atau lithologi batuan. Tetapi tidak tepat untuk

mendeteksi saturasi gas karena perubahan nilai AI tidak dapat membedakan secara jelas

kandungan gas akibat grafiknya cenderung datar.

Seismik Inversi

Seismik inversi adalah suatu metoda untuk memberikan gambaran model geologi bawah

permukaan dengan data seismic sebagai data input utama dan data sumur sebagai control

(Sukmono, 2002). Hasil yang didapat menggunakan metoda inversi adalah informasi

yang terkandung di dalam lapisan batuan berupa impedansi (akustik atau elastik).

Informasi impedansi ini dapat diturunkan menjadi informasi porositas, densitas, atau

parameter fisis lainnya sehingga kita akan lebih mudah dalam melakukan interpretasi.

Oleh karena itu, kita dapat menggunakan metoda seismik inversi untuk melakukan

karakterisasi reservoir.

14
Kita akan sulit melakukan karakterisasi reservoir hanya dengan menggunakan data

seismik biasa, karena data seimik hanya menunjukkan reflektor (koefisien refleksi) atau

batas antara lapisan yang memiliki kontras impedansi akustik.

Gbr 3.3 Proses karakterisasi reservoir. Dengan data seismik biasa akan sulit untuk melakukan karakterisasi
reservoir, tetapi dengan informasi AI hasil seismik inversi, akan mempermudah melakukan karakterisasi
reservoir. (Fugro-Jason, 2005)

Ada beberapa metoda inversi yang biasa digunakan, tetapi semuanya memiliki konsep

yang sama, yaitu berusaha mendapatkan informasi koefisien refleksi dari data seismik

dengan cara dekonvolusi menggunakan wavelet yang telah diekstrak dari data seismik

tersebut. Setelah mendapatkan rangkaian koefisien refleksi, kita bisa menghitung nilai

impedansi lapisan. Hasil inversi yang diturunkan hanya dari data seismik saja memiliki

bandwith yang terbatas karena frekuensi dari seismik bandlimited. Hilangnya komponen

frekuensi tinggi dan rendah pada data seismik juga berarti hilangnya informasi

sebenarnya dari subsurface. Oleh karena itu, pada proses inversi digunakan low

frequency model yang didapat dari data sumur untuk mengembalikan lagi informasi yang

hilang.

15
Gbr 3.4 Perbandingan model yang memiliki bandwith sangat lebar (model geologi) dengan model yang
difilter 10-80Hz (hasil inverse). Terlihat model hasil inversi tidak dapat mendekati model geologi (atas).
Setelah hasil inversi ditambahkan komponen frekuensi tinggi tetap saja hasilnya kurang bagus (tengah).
Apabila ditambahkan komponen frekuensi rendah sehingga komponen frekuensinya 0-80Hz, didapat hasil
inversi bisa mendekati model geologi yang sebenarnya (bawah). (Fugro-Jason, 2005)

Metoda inversi dapat dibagi berdasarkan data pre-stack ataupun post-stack seismik.

Untuk data pre-stack, metoda inversi yang digunakan umumnya adalah AVO (amplitude

versus offset). Tujuannya untuk mendeteksi pengaruh kehadiran fluida yang dapat

memberikan perubahan nilai amplitude seismik terhadap offset. Sedangkan metoda

inversi yang menggunakan data post-stack sebagai input, dapat dibagi menjadi :

1. Metoda Rekursif

Metoda rekursif atau biasa juga disebut dengan bandlimited inversion method

merupakan metoda inversi yang paling sederhana. Wavelet diasumsikan berupa

16
fasa nol, sehingga akan mempengaruhi model geologi hasil inversi. Persamaan

dasar dari metoda ini adalah :

AI i +1 − AI i
KRi = ……………………………………………………………(3.4)
AI i +1 + AI i

Persamaan di atas kemudian dapat diturunkan menjadi :

n −1
⎡1 + KRi ⎤
AI n = AI i ∏ ⎢ ⎥ ……………………………………………………….(3.5)
i =1 ⎣1 − KR i ⎦

Dengan persamaan di atas maka kita dapat mengetahui nilai AI pada semua

lapisan apabila kita hanya mengetahui nilai AI pada lapisan pertama saja.

Ada beberapa kelemahan dari metode ini, yaitu :

• Tidak adanya kontrol geologi saat melakukan proses inversi.

• Sulit untuk mendapatkan komponen frekuensi rendah dan tinggi yang

hilang saat proses konvolusi seismik

• Mengabaikan wavelet dari seismik dan hanya menggunakan asumsi

wavelet berfasa nol.

• Bising (noise) pada data seismik akan dianggap sebagai signal (reflector)

dan dimasukkan dalam proses inversi

• Error akan diakumulasikan karena persamaan di atas digunakan dari atas

ke bawah..

2. Metoda Model Based

Metoda ini menggunakan initial model geologi sebagai input. Initial model ini

didapatkan dari hasil interpretasi horizon dan juga ekstrapolasi impedansi dari

well. Kemudian dilakukan ekstraksi wavelet dari data seismik. Setelah

mendapatkan wavelet, dilakukan konvolusi wavelet tersebut dengan rangkaian

17
nilai RC yang didapat dari model geologi awal, maka didapat sintetik seismik.

Sintetik tersebut dibandingkan dengan data seismik asli untuk mengetahui besar

error. Kemudian dilakukan revisi interpretasi baik horizon ataupun impedansi

untuk meminimalisasi error. Demikian seterusnya.

Persamaan matematik digunakan untuk menyeimbangkan informasi data seismik

dan data interpretasi. Persamaan tersebut adalah :

J = weight1× (T − W * RC ) + weight 2 × ( M − H * RC ) ………………………..(3.6)

Dimana : T : seismic trace, W : wavelet, RC : koefisien refleksi, M : estimasi

model AI awal, H : operator integrasi yang dikonvolusikan dengan RC untuk

mendapatkan impedansi.

Nilai dari weight1 dan weight2 harus berjumlah satu. Apabila menggunakan

persamaan seperti yang di atas maka disebut stochastic inversion, tetapi bila

hanya menggunakan weight2 (weight 1 = 0) maka disebut constrained model.

Umumnya, inversi menggunakan constraint lebih banyak digunakan daripada

stochastic karena perubahan parameter impedansi maksimum lebih penting

daripada perubahan parameter model constraint pada metoda sthochastic

(Sukmono, 2002).

Ada dua masalah utama pada metoda model based, yaitu : (Sukmono, 2002)

• Tidak menggunakan data seismic sebagai input data dalam proses inversi,

hanya digunakan untuk mengekstrak wavelet.

• Hasil yang didapat bisa berbeda-beda tergantung dari interpretasi kita.

18
3. Metoda Sparse Spike

Metoda inversi ini berusaha mencari rangkaian RC seminimal mungkin dan yang

bernilai besar. Karena reflector kuat menunjukkan adanya perubahan dalam

geologi yang signifikan. Seperti ketidakselarasan, batas lithologi, dan sebagainya.

Secara iteratif, metoda ini akan menambahkan beberapa reflector yang ukurannya

semakin kecil. Proses iteratif ini akan berhenti apabila model RC yang sudah

didapat sudah mewakili data seismik yang kita punya.

Metoda ini menggunakan proses dekonvolusi dalam mendapatkan rangkaian RC.

Data seismik didekonvolusi dengan wavelet yang didapat dari ekstraksi seismik.

Ada beberapa metoda dekonvolusi dalam proses sparse spike, yaitu :

• Metoda dekonvolusi dan inversi Maximum-Likelihood

• Dekonvolusi dan inversi Norm L1 Linear Programming

• Dekonvolusi minimum entropy

Berikut ini akan dibahas sedikit tentang metoda yang saya gunakan dalam tugas

akhir ini yaitu inverse sparse spike linear programming. Metoda ini merupakan

metoda rekursif bandlimited dengan asumsi sparse spike. Menggunakan

persamaan konvolusi :

S (t ) = W (t ) * RC (t ) ……………………………………………………………(3.7)

Apabila dilakukan dekonvolusi untuk mendapatkan nilai koefisien refleksi, maka

hasil yang didapat tidak full bandwidth karena pada proses konvolusi kita

kehilangan data frekuensi rendah dan tinggi. Dengan menambahkan komponen

frekuensi rendah berupa model bumi berlapis dari ekstrapolasi well maka kita bisa

19
mendapatkan full bandwidth. Frekuensi tinggi bisa dihiraukan karena identik

dengan noise.

Metode Norm L1 didefinisikan sebagai jejak absolut dari jejak seismik :

n
x1 = ∑ xi ...........................................................................................................(3.8)
i =1

Dimana x1 : norm L1 jejak seismik x

xi : jejak seismik.

Gbr 3.5 Teori dasar dari sparse spike inversion menggunakan L1 norm. Secara singkat prinsip sparse spike
adalah menghasilkan rangkaian koefisien refleksi dengan prisnip dekonvolusi setelah mendapatkan wavelet
yang bagus dari ekstraksi seismik. Metode ini hanya menggunakan spike yang besar karena minor spikes
dianggap hanya berupa multiple atau perbedaan ltiologi yang tidak begitu besar. (Fugro-Jason, 2005)

20
BAB IV

DATA DAN PENGOLAHAN DATA

Data

Seperti yang telah dijelaskan pada Bab I, data yang penulis gunakan pada tugas akhir ini

adalah :

Seismik

Data sesimik yang digunakan adalah 3D data post stack seluas 210 km2 yang

diakuisisi dan diproses pada tahun 2001-2002. Pada tahap pemrosesan dilakukan pre-

stack time-migration untuk memberikan gambaran yang lebih mendekati kenyataan.

Selain data 3D di lapangan “J”, juga terdapat data 2D berupa traverse seismik dari

sumur “C” ke sumur “J” yang berguna untuk melakukan spectrum analysis dari “C”

ke “J”.

Untuk inversi, input seismik seharusnya memiliki amplitude yang terjaga, yaitu rasio

dari reflektor satu dengan reflektor lain tetap sesuai dengan kondisi geologi

sebenarnya. Tetapi pada kasus ini, kita tidak bisa menggunakan real amplitude data

karena kehadiran shallow gas yang menyebabkan amplitude menjadi tidak seimbang

baik secara vertikal maupun lateral.

21
Gbr 4.1 Penampang traverse dari sumur “C” ke sumur “J” versi real amplitude processed (RAMP).
Terlihat amplitude seismic yang tidak seimbang baik secara vertikal maupun lateral pada data ini akibat
spherical divergence dan efek shallow gas.

Untuk mengatasi masalah tersebut, maka penulis melakukan proses tambahan untuk

menghasilkan amplitude yang lebih seimbang dengan cara sebagai berikut :

1. Real amplitude data kita gunakan sebagai input untuk menghitung absolute

amplitude dari tiap tras seismik, kemudian distack menjadi satu tras saja. Dari tras

1
ini kita bisa menghitung nilai kebalikan ( x → ) . Maka kita mendapatkan sebuah
x

pengali yang apabila kita kalikan ke seluruh tras, akan menghasilkan tras yang

lebih seimbang secara vertikal. Pada umumnya pengali yang digunakan untuk

mengatasi masalah atenuasi didekati dengan persamaan eksponensial, tetapi pada

kasus ini digunakan nilai kebalikan karena pada proyek inversi di lapangan lain

ExxonMobil menggunakan eksponensial derajat tinggi yang prosesnya lebih

memakan waktu tetapi hasilnya bisa didekati dengan nilai kebalikan yang

22
hasilnya tidak jauh berbeda tetapi proses pengerjaan jauh lebih singkat. Hasil dari

proses ini penulis definisikan sebagai global scalar data.

Gbr 4.2 Langkah-langkah menyeimbangkan amplitude seismic secara vertical dengan menggunakan global
scalar. Satu pengali diaplikasikan ke semua tras seismik yang digunakan dalam proses inverse

2. Setelah mendapatkan global scalar data yang menyeimbangkan amplitude secara

vertikal, penulis menggunakan data tersebut sebagai input untuk melakukan mild

AGC dengan window 2 s. Mild AGC tidak akan mengubah informasi amplitude

karena menggunakan window yang lebar untuk mendapatkan pengali. Dengan

mengaplikasikan ini, maka kita mendapatkan data yang memiliki amplitude yang

seimbang secara vertical dan lateral karena AGC mempunyai pengali yang

berbeda untuk tiap tras seismik. Untuk menyeimbangkan amplitude secara lateral

tetapi hasilnya tetap preserved amplitude biasanya digunakan long gate AGC

dengan window 1 s. Tetapi pada kasus ini penulis tidak menggunakan window 1 s

karena hasilnya tidak tepat secara geologi yang mana daerah “J” seharusnya

memiliki amplitude sama atau lebih kecil dari daerah “C” karena efek gas.

23
Dengan 1 s AGC didapat daerah “J” memiliki amplitude lebih besar dari “C”.

Oleh karena itu penulis menggunakan 2 s AGC yang hasilnya lebih mendekati

konsep di atas.

Gbr 4.3 Perbandingan spectrum antara daerah “J” dengan daerah “C” setelah dilakukan proses 1 s AGC.
Terlihat spectrum “J” memiliki amplitude lebih besar daripada “C” yang secara geologi tidak benar.
Seharusnya daerah “J” amplitudenya lebih kecil akibat shallow gas effect

Penulis memilih window 500-2500 ms pada proses 2 s AGC untuk menghindari

strong amplitude pada time kurang dari 500 ms akibat shallow gas effect. Apabila

1
zona tersebut pada dimasukkan dalam window AGC, maka nilai pengali berupa
rms

akan sangat kecil akibat nilai rms zona tersebut sangat besar. Apabila pengali ini

dikalikan tiap sampel pada tiap trace, didapat nilai amplitude yang sangat kecil dan

mempengaruhi hasil inversi.

24
Gbr 4.4 Data RAMP setelah diaplikasikan single scale factor keseluruh tras seismik (global scalar). Proses
ini hanya menyeimbangkan amplitude secara vertikal (kiri). Data RAMP setelah diaplikasikan global
scalar dan 2s AGC. Dengan proses ini maka amplitude sudah seimbang secara vertical dan lateral (kanan).

Data Sumur

Pada proses inversi digunakan data sumur sebagai masukkan dan kontrol untuk

mendapatkan nilai AI yang mendekati kondisi sebenarnya. Selain itu, data sumur

juga dibutuhkan dalam proses ekstraksi wavelet dari data seismik setelah dilakukan

well seismic tie. Pada kasus ini, penulis tidak bisa melakukan well tie dengan sumur

“J” di daerah inversi untuk mendapatkan wavelet karena alasan-alasan berikut :

1. Adanya shallow gas mengakibatkan amplitude loss dan menurunkan S/N ratio di

daerah yang akan dilakukan proses seismik inversi.

2. Proses pre-stack time-migration (Kirchoff) tidak begitu berhasil di dekat buildup

karena adanya kontras kecepatan secara lateral yang tinggi antara klastik dengan

karbonat, sehingga terjadi misposition.

3. Beberapa masalah dengan data sumur “J”, seperti bacaan log sonic dan density

yang tidak benar di beberapa kedalaman, log sonic tidak dikoreksi dengan

25
checkshot data pada zona sebelum 3000 ft, dan koreksi offset source pada sumur

ini (deviated well) tidak optimal.

Gbr 4.5 Proses well tie seismic dengan menggunakan sumur “J” yang tidak bisa dilakukan dengan baik
karena masalah-masalah yang telah disebutkan sebelumnya.

Untuk mengatasi hal tersebut maka penulis mengambil data sumur “C” yang

berlokasi terdekat dengan daerah inversi dan melakukan well tie dengan sumur

tersebut. Setelah didapat wavelet, maka penulis melakukan spectrum analysis untuk

membawa wavelet tersebut ke daerah inversi

Data log yang digunakan pada sumur “J” adalah : log sonic, log densitas, log total

porositas, log water saturation, dan log gamma ray. Sedangkan data log yang

digunakan pada sumur “C” adalah : log sonic dan log densitas.

26
Data Horison

Horison yang penulis gunakan pada tugas akhir ini adalah horizon-horison yang telah

di-pick pada studi sebelumnya oleh para interpreter di ExxonMobil.Di daerah

penelitian terdapat tujuh horizon yang digunakan termasuk top dan base dari reservoir

karbonat. . Tetapi untuk pembuatan low frequency model, penulis tidak menggunakan

salah satu horison karena sumur tidak melewati lapisan tersebut sehingga tidak

mempunyai informasi impedansi di daerah tersebut.

Data 3D Seismic Velocity Interval

Data ini didapat dari picking velocity yang dilakukan oleh salah satu geophysicst

ExxonMobil rata-rata tiap 200 ms. Informasi ini nantinya akan diubah menjadi

impedansi dan dijadikan ultra low frequency trend (maksimum 2.5 Hz).

Data Checkshot

Data checkshot yang digunakan adalah checkshot pada sumur “C” dan sumur “J”

untuk mengubah informasi kedalaman menjadi waktu atau sebaliknya. Selain itu, data

checkshot digunakan untuk mengoreksi data log sonic yang frekuensinya jauh lebih

tinggi dari data seismik, oleh karena itu harus dikoreksi supaya tidak terjadi proses

dispersi.

27
Pengolahan Data

Pengolahan data inversi ini menggunakan software Jason Geoscience Workbench 7.0.

Alur kerja proses inversi yang penulis gunakan pada tugas akhir ini adalah sebagai

berikut :

Gbr 4.6 Alur kerja inversi seismik ysng penulis kerjakan pada penelitian ini

Pengolahan data yang dilakukan selama proses inversi ini adalah :

Estimasi Wavelet

• Untuk mendapatkan wavelet yang nantinya akan digunakan sebagai input

dalam proses inversi, sebaiknya didapat dari sumur yang berada di lokasi area

inversi. Semakin baik wavelet, maka semakin baik pula hasil inversi kita.

Tetapi karena beberapa alasan yang telah disebutkan sebelumnya, maka

penulis mengambil sumur lain yang lokasinya berdekatan dengan area inversi

yaitu sumur “C”.

• Selanjutnya proses well seismic tie. Untuk dapat melakukan hal tersebut,

sebelumnya harus dilakukan koreksi checkshot untuk mengubah domain

28
kedalaman dari sumur menjadi domain waktu sesuai dengan seismic. Selain

itu juga perlu input initial wavelet (Ricker) untuk membuat synthetic seismic.

Dalam proses ini dilakukan stretch and squeeze pada sintetik untuk

mendapatkan korelasi yang baik antara sintetik dengan seismik. Semakin baik

korelasi maka semakin baik wavelet yang akan kita dapatkan pada proses

ekstraksi wavelet. Penulis mendapatkan angka korelasi 0.51.

Gbr 4.7 Proses well tie seismic pada sumur “C”. Proses ini diperlukan sebelum mengekstrak wavelet dari
seismic. Semakin baik proses well tie maka semakin baik pula wavelet yang didapat.

• Setelah dilakukan well seismic tie, maka wavelet bisa diekstrak dari data

seismik dengan menggunakan parameter-parameter berikut :

o Time Window : 1000-2000 ms

o Trace Gate : CMP 70, 71, 72, 73, 74

o Wavelet Start Time : -60 ms

o Wavelet Length : 120 ms

o Wavelet Max. Frequency : 40 Hz

o Taper : Papoulis (Strong)

29
Gbr 4.8 Wavelet yang diekstrak pada area “C” setelah dilakukan proses well tie. Wavelet ini cukup baik
karena mendekati zero phase dan komponen spektrumnya mampu mewakili spektrum seismik.

Parameter-parameter di atas diatur sedemikian rupa supaya wavelet yang

dihasilkan apabila digunakan dalam proses inversi akan menghasilkan nilai AI

yang dekat dengan AI dari well dan residual yang kecil antara sintetik dan

seismik.

Salah satu parameter yang harus penulis definisikan adalah lebar window

untuk ekstraksi wavelet. Pada proses ini penulis menggunakan window 1-2 s.

Dengan menggunakan window tersebut berarti penulis mengekstrak wavelet

dari zona reservoir dan non reservoir. Pada umumnya proses estimasi wavelet

digunakan window pada zona reservoir saja supaya wavelet yang didapat

benar-benar mewakili reservoir dan menghasilkan inversi yang baik. Pada

kasus ini penulis sudah mencoba menggunakan window top-base reservoir

tetapi wavelet yang didapat tidak bagus dan meghasilkan angka korelasi

antara sintetik dan seismic hanya 0.4. Hal ini diakibatkan data sumur yang

30
tidak mencapai base reservoir dan data seismic yang amplitudenya lemah pada

zona reservoir akibat kandungan gas didalamnya.

Gbr 4.9 Well seismic tie pada sumur ‘C” dengan menggunakan window top-base karbonat.
Didapat angka korelasi antara seismic dan sintetik sebesar 0.4.

Gbr 4.10 Hasil ekstraksi wavelet dengan menggunakan window top-base karbonat. Wavelet ini tidak bagus
untuk inversi karena bentuknya yang tidak mendekati zero-phase dan spektrumnya kurang bisa mewakili
spectrum seismik

31
• Setelah mendapatkan wavelet dari sumur “C”, penulis melakukan spectrum

analysis di beberapa lokasi untuk membawa wavelet tersebut ke area inversi.

Dengan spectra analysis kita bisa mengetahui apa saja yang berbeda dan

harus disamakan antara area “C” dan area inversi yaitu area “J”.

Gbr 4.11 Spektrum analysis antara area “C” dan area “J” yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan
spektrum komponen antara kedua area. Hasilnya diketahui bahwa kedua area tersebut hanya berbeda pada
amplitude saja sedangkan komponen frekuensi tidak banyak berbeda.

• Hasil proses spectra analysis menunjukkan bahwa spectrum di kedua area

tersebut tidak jauh berbeda dalam hal bandwith, tetapi amplitudenya

berkurang karena transmission loss dari shallow gas zone. Dari perbandingan

kedua spektrum tersebut penulis mendapatkan nilai pengali untuk

menyamakan amplitude area “C” dengan area inversi yaitu area “J”. Dari lima

lokasi tempat dilakukan spectra analysis penulis mendapatkan nilai pengali

rata-rata sebesar 0.96, yang berarti wavelet dari “C” nilai amplitudenya harus

dikalikan dengan 0.96 untuk dibawa ke area inversi “J”. Maka sekarang

penulis sudah mendapatkan wavelet yang dapat digunakan sebagai input

proses inversi.

32
Gbr 4.12 Perbandingan antara wavelet dari area “C” dan wavelet “J” yang merupakan wavelet “C” yang
telah disesuaikan amplitudenya berdasar proses spectrum analysis. Wavelet “J” akan digunakan sebagai
input pada proses inversi di daerah “J”

Pembuatan Low Frequency Model

Dalam membuat low frequency model, penulis menggabungkan dua buah model yaitu

dari seismic velocity dan ekstrapolasi impedansi sumur “J”. Hal ini disebabkan data

seismic velocity hanya mempunyai variasi secara lateral saja, sedangkan data sumur

mempunyai variasi secara vertikal saja. Oleh karena itu, apabila kedua data tersebut

digabung maka penulis akan mendapatkan data yang mempunyai variasi secara

vertikal maupun lateral. Berikut ini adalah prosesnya :

Pembuatan Ultra Low Frequency Model dari Seismic Velocity

• Untuk mendapatkan informasi ultra low frequency model, pertama penulis

mengekstrak informasi seismic velocity ke dalam sumur”J” sebagai pseudo

log dan diberi nama P-ULF.

33
• Kemudian penulis membuat crossplot antara log P-Impedance dan P-ULF

dari data log sumur “J” untuk mengetahui persamaan yang dapat

digunakan untuk mengubah seismic velocity (ft/sec) menjadi P-impedance.

Dalam pembuatan cross plot seharusnya dipisahkan antara data klastik

dengan data karbonat karena keduanya mempuanyi densitas yang sangat

jauh berbeda. Nilai densitas ini akan mempengaruhi besar kemiringan

(slope) dari persamaan hasil cross plot karena nilai impedansi dipengaruhi

oleh nilai densitas batuan.

Tetapi pada kasus ini perbedaan antara persamaan yang menggabungkan

data klastik dan karbonat dengan persamaan yang diambil dari karbonat

saja hanya berbeda 3 %. Oleh karena itu saya menggunakan persamaan

yang didapat dari cross plot gabungan kalstik dan karbonat dan

diaplikasikan ke semua litologi untuk menyederhanakan langkah

pengerjaan.

Gbr 4.13 Perbandingan cross plot antara data gabungan (kalstik dan karbonat) dengan data karbonat saja.
Apabila diaplikasikan untuk membuat impedance model, perbedaannya hanya 3%.

34
• Setelah mendapatkan persamaan tersebut dan mengaplikasikannya maka

sekarang sudah mempunyai informasi P-impedance model yang

frekuensinya sangat rendah (max 4 Hz). Untuk membuat tampilan lebih

smooth dan tanpa menghilangkan informasi maka penulis melakukan high

cut filter (4 Hz).

Gbr 4.14 Crossplot antara seismic velocity dengan P-impedance. Persamaan yang didapat digunakan untuk
mengubah seismic velocity menjadi P-impedance sebagai ultra low frequency trend dalam proses inversi
yang maksimum frekuensinya 2.5 Hz.

Gbr 4.15 Ultra Low Frequency model yang diturunkan dari seismic velocity (atas). Ultra low frequency
model yang telah dilakukan high cut filter 4 Hz (bawah). Dilakukan high cut filter untuk menghasilkan
model yang lebih smooth tanpa merusak frekuensi data karena maksimum frekuensi data sekitar 2.5 Hz.

35
• Karena informasi dari seismic velocity sangat terbatas, maka tidak cukup

dijadikan sebagai low frequency model. Oleh karena itu penulis membuat

low frequency model lain yang berasal dari ekstrapolasi data impedansi

sumur “J”.

Gbr 4.16 Spektrum hasil inversi dengan data yang dimiliki hingga proses ini yaitu seismik dan ultra low
frequency dari seismic velocity. Masih terdapat gap pada frekuensi rendah yang harus diisi dengan low
frequency model lain.

Pembuatan Low Frequency Model dari Ekstrapolasi Sumur “J”

• Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membuat microlayers antar

horizon yang nantinya akan diisi dengan nilai P-impedance dari data

sumur ”J”. Pembuatan microlayer ini harus disesuaikan dengan stratigrafi

secara geologi.

36
Gbr 4.17 Proses pembuatan microlayer yang nantinya tiap microlayer akan diisi dengan nilai impedansi
dari sumur “J”. Nilai impedansi dari sumur tersebut akan diekstrapolasi ke seluruh area sesuai dengan
penyebaran microlayer tersebut.

• Langkah selanjutnya adalah proses pengisian microlayer di atas dengan

nilai impedansi yang kemudian diekstrapolasi ke seluruh area inversi.

Nilai impedance akan konstan dalam satu microlayer yang sama, berarti

model geologi ini tidak mempunyai variasi nilai impedansi secara lateral.

Gbr 4.18 Low frequency model dari ekstrapolasi nilai impedansi sumur “J” ke seluruh area inversi. Karena
ada lapisan yang tidak ditembus sumur sehingga tidak diketahui nilai impedansinya. Software secara
otomatis mengisi impedansi lapisan tersebut dengan nilai terakhir sumur sebelum menembus karbonat
(warna kuning). Secara geologi seharusnya menunjukkan nilai impedansi yang semakin tinggi apabila
semakin dalam mengikuti compactional trend.

37
• Hasil dari ekstrapolasi data sumur ada lapisan shale yang tidak ditembus

oleh sumur “J”, sehingga software berusaha mengisi nilai impedansi

lapisan tersebut dari nilai terakhir shale sebelum sumur menembus

karbonat. Hasil tersebut tidak benar secara geologi karena seharusnya nilai

impedansi pada lithologi yang sama semakin besar apabila semakin dalam

karena compactional effect. Oleh karena itu penulis membuat crossplot

antara P-impedance dengan time untuk mendapatkan persamaan trend dari

shale tersebut yang kemudian diaplikasikan pada lapisan shale yang

nilainya konstan.

Gbr 4.19 Crossplot antara P-impedance terhadap time untuk mendapatkan compactional trend dari klastik
antara horizon layer 3 dan layer 4 (atas). Setelah persamaan di atas diaplikasikan maka didapat nilai P-
impedance untuk mengisi lapisan antara horizon layer 3 dan layer 4. (bawah).

38
Gbr 4.20 Perbandingan low frekuensi model hasil ekstrapolasi nilai impedansi sumur “J”. Nilai impedansi
lapisan antar horizon layer 3 dan layer 4 bernilai konstan (atas). Nilai impedansi pada lapisan tersebut
menunjukkan kenaikkan pada lokasi yang lebih dalam. Sesuai dengan prinsip compactional effect (bawah)

Penggabungan Model Impedansi

Seperti sudah dijelaskan sebelumnya bahwa untuk mendapatkan model geologi

yang lebih baik, penulis menggabungkan kedua model impedansi yang telah

didapatkan sebelumnya. Penggabungan ini menggunakan pembobotan pada

masing-masing data. Besar pembobotan sendiri berdasar dari interpretasi penulis

dan beberapa rekan interpreter ExxonMobil. Penulis menggunakan 70% seismic

velocity dan 30% data sumur karena data seismik lebih akurat pada area yang luas

sedangkan data sumur hanya akurat di daerah sekitar sumur saja. Oleh karena itu

pembobotan lebih besar pada seismic velocity. Dengan hasil penggabungan ini

maka low frequency model yang dimiliki sudah memiliki variasi secara lateral

dari seismic velocity dan variasi secara vertikal dari ekstrapolasi impedansi sumur

“J”.

39
Gbr 4.21 Perbandingan pembobotan seismic velocity dan impedans model dari sumur “J”. Penulis
menggunakan 70% seismic velocity dan 30% impedans sumur karena data seismic velocity mempunyai
tingkat kebenaran lebih tinggi terutama pada daerah yang jauh dari sumur “J”

Gbr 4.22 Low frekuensi model hasil penggabungan model dari seismic velocity dan ekstrapolasi impedansi
sumur “J”. Model ini mempunyai variasi nilai impedansi secara lateral dari seismic velocity dan variasi
secara vertikal dari ekstrapolasi sumur “J” serta komponen frekuensi yang lebar dan cukup dijadikan
sebagai low frequency model pada proses inversi.

40
Inversi Impedansi Akustik Menggunakan Metoda Sparse Spike

Setelah penulis mendapatkan semua input yaitu : data seismik, wavelet, dan low

frequency model, maka penulis menggunakan beberapa parameter berikut untuk

menjalankan inversi sparse spike :

• Soft Constraint

• Lambda : 10

• Seismic misfit power : 2

• Wavelet scale factor : 1

• Merge cutoff frequency : 5 Hz

Semua parameter di atas diatur sedemikian rupa berdasar quality control

menggunakan data sumur pada window 1000-2000 ms. Hasil inversi menunjukkan

nilai well log correlation 0.46 dan S/N ratio 15 dB.

Gbr 4.23 Hasil seismik inversi berupa informasi P-impedance. Dengan hasil ini maka dapat diketahui
kualitas tiap lapisan berdasarkan nilai imedansinya. Impedansi rendah menunjukkan porositas tinggi dan
sebaliknya.

41
Pembuatan Model Porositas

Penulis dapat menurunkan informasi porositas dari P-impedance yang sudah

didapatkan dengan cara membuat crossplot antara log porositas total dengan P-

impedance di sumur “C” dan sumur “J” untuk mendapatkan hubungan antara P-

impedance dengan porositas pada zona reservoir.

Gbr 4.24 Crossplot antara P-impedance dengan porositas dari data sumur “C” dan “J” untuk mengetahui
hubungan antara kedua parameter tersebut. Dengan persamaan di atas maka bisa diperoleh informasi
porositas untuk lapisan reservoir.

42
Gbr 4.25 Penampang porositas yang diturunkan dari p-impedance. Dengan informasi ini maka akan
mempermudah dalam pembuatan geologic model yang nantinya akan digunakan untuk proses reservoir
simulation oleh reservoir engineer. Selain itu juga mempermudah dalam interpretasi di mana sebaiknya
sumur selanjutnya ditempatkan.

Dengan hasil di atas maka penulis sudah mendapatkan hasil akhir dari pengolahan

data dan hasil ini akan digunakan untuk interpretasi dan analisa lokasi terbaik

untuk penempatan sumur selanjutnya.

43
BAB V

ANALISA

Hasil interpretasi geologi dengan menggunakan data sumur dan peta struktur diketahui

bahwa area “J” mempunyai kolom gas yang sangat tebal di bagian buildup, tetapi hanya

lapisan tipis minyak yang berada di bagian platform karbonat.

Hal ini diduga karena terjadinya gas flushing di area penelitian sehingga menyebabkan

lokasi “J” penuh terisi gas sedangkan minyak terdorong ke arah utara dan mengisi

buildup karbonat di bagian utara blok ini.

Dengan menggunakan hasil dari penelitian ini maka penulis bisa mengetahui kualitas

reservoir terutama di daerah platform bagian utara yang diperkirakan terdapat minyak

sebelum spill ke utara. Berikut ini adalah penampang Barat-Timur dan Selatan-Utara

serta peta sebaran porositas pada zona 10 ms di bawah top reservoir di daerah penelitian

ini yang menunjukkan lokasi yang memiliki porositas tinggi :

44
Gbr 5.1 Penampang porositas Barat-Timur sepanjang buildup “J”, menunjukkan pada bagian barat buildup
“J” terdapat high porosity zone yang cukup luas dengan rata-rata porositas 25%.

Gbr 5.2 Penampang porositas Selatan-Utara, menunjukkan pada bagian platform sebelah utara buildup “J”
terdapat high porosity zone dengan rata-rata porositas 23%. Zona ini juga berada sebelum spill point, jadi
kemungkinan zona ini terisi hidrokarbon yaitu minyak.

45
Gbr 5.3 Nilai attribute amplitude berupa RMS yang diturunkan dari infornasi porositas dengan vertical
window 20 ms dari top karbonat. Menunjukkan sebaran porositas yang luas terutama pada platform bagian
utara (Kiri). Peta top karbonat dalam domain waktu (Kanan).

Ketiga gambar di atas menunjukkan platform karbonat yang diduga sebagai reservoir

minyak ternyata mempunyai porositas yang cukup tinggi yaitu rata-rata 25%. Selain itu,

zona high porosity tersebut terletak sebelum spill point sehingga berkemungkinan zona

tersebut terisi oleh hidrokarbon.

Dengan contoh kedua penampang dan peta sebaran porositas di atas penulis menganalisa

bahwa lokasi yang cukup berprospek untuk pengembangan lapangan dan penempatan

sumur baru adalah karbonat platform sebelah utara “J” buildup dan buildup “J” sendiri

pada bagian barat.

46
BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Metoda seismik inversi dapat menghasilkan data yang lebih baik untuk

karakterisasi reservoir daripada mengunakan data seismik amplitude biasa.

2. Interpretasi dari hasil inversi mengidentifikasi adanya zona porositas tinggi di

dalam kolom hidrokarbon lapangan “J”. Lokasi terbaik untuk pengembangan

lapangan dan penempatan sumur delineasi adalah karbonat platform antara

buildup “J” dan “BU”.

3. Proses amplitude balancing dengan menggunakan global scalar dan mild AGC

merupakan proses yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah ketidak

seimbangan amplitude seismik akibat spherical divergence dan efek shallow gas.

4. Spectral analysis harus dilakukan untuk mengetahui perbedaan komponen

spektrum (amplitude dan frekuensi) di “C” dan “J” pada saat proses mengubah

wavelet dari sumur “C” untuk digunakan sebagai input inversi di area “J”

5. Untuk mendapatkan model geologi yang lebih baik sebagai low frequency model,

penggabungan model dari ekstrapolasi impedansi sumur dan seismic velocity

harus dilakukan sehingga akan mendapatkan variasi nilai impedansi baik secara

vertikal (time) maupun horisontal (CDP).

47
Saran

1. Untuk mendapatkan input seismik yang lebih bagus, sebaiknya dilakukan proses

pre-stack depth migration. Dengan proses ini diharapkan proses migrasi akan

berhasil sehingga dapat memberikan gambaran bawah permukaan sesuai dengan

kondisi sebenarnya.

2. Proses inversi sebaiknya dilakukan lagi apabila sudah didapat data dari sumur

terbaru. Semakin banyak data sumur maka semakin baik pula hasil inversi yang

akan dihasilkan.

48
DAFTAR PUSTAKA

Advance Geophysical Corporation., 1995, ProMAX Reference Manual, Vol 1-2, Version

6.0
Plus
Fugro-Jason.,2005, Exercises for Introduction to E , InverTracePlus, Earthmodel, and

Wavelets.

Russel, B.H., 1988, Introduction to Seismic Inversion Methods, Course Notes Series,

Volume 2, Hampson-Russel Software Services Ltd.

Sheriff, R.E.,1991, Encyclopedic Dictionary of Exploration Geophysics, third edition,

Society of Exploration Geophysicists

Sukmono, S., 2002, Seismik Inversion and AVO Analysis for Reservoir Characterization,

Department of Geophysical Engineering ITB, Bandung

Taib, M.I.T., 2000,Seismik Refraksi, Jurusan Teknik Geofisika, ITB,

White, J.V., Derewetzky, A.N., Geary, G.C., et al., 2007, Temporal controls and

resulting variations in Oligo-Miocene carbonates from the East java Basin,

Indonesia, ExxonMobil Exploration Company

49

Anda mungkin juga menyukai