Anda di halaman 1dari 238

PALEOSEISMOLOGI TROPIS INDONESIA

(DENGAN STUDI KASUS DI SESAR SUMATRA, SESAR

PALUKORO-MATANO, DAN SESAR LEMBANG)

DISERTASI

Karya tulis sebagai salah satu syarat


Untuk memperoleh gelar Doktor dari
Institut Teknologi Bandung

Oleh

MUDRIK RAHMAWAN DARYONO


NIM : 32411002
(Program Studi Doktor Sain Kebumian)

INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG


Mei 2016
ii
ABSTRAK

PALEOSEISMOLOGI TROPIS INDONESIA


(DENGAN STUDI KASUS DI SESAR SUMATRA, SESAR
PALUKORO-MATANO, DAN SESAR LEMBANG)
Oleh
Mudrik Rahmawan Daryono
NIM: 32411002
(Program Studi Doktor Sain Kebumian)

Indonesia berada di jalur pertemuan tiga lempeng yaitu Lempeng Indo-Australia


yang bergerak 70 mm/th menunjam ke Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik
bergerak menunjam dan bergeser dengan kecepatan 120 mm/th dengan Lempeng
Eurasia juga. Pertemuan tiga lempeng ini menghasilkan sesar-sesar aktif
memberikan konsekuensi banyaknya kejadian gempa bumi. Salah satu usaha
untuk mengurangi bencana ini adalah dengan mempelajari karakteristik sumber
gempa bumi. Metoda paleoseismologi adalah metoda geologi yang tepat untuk
mempelajari karakteristik sumber gempa bumi. Metoda ini relatif baru,
berkembang pesat, dan berhasil mempelajari karakteristik sesar aktif di wilayah
kering dan subtropis. Mewakili wilayah tropis Indonesia, metoda ini dicoba
digunakan pada tiga lokasi sesar aktif di tiga pulau besar di Indonesia dengan
tingkat pemahaman sesar aktif yang berbeda. Ujicoba di tiga lokasi ini
memberikan manfaat pemahaman geologi gempa bumi, manfaat praktis parameter
sesar aktif untuk rekayasa kegempaan dan manfaat pemantapan metodologi
penelitian paleoseismologi di wilayah tropis Indonesia.

Lokasi studi pertama adalah Segmen Sianok-Sumani-Suliti bagian dari Sesar


Sumatra. Gempa bumi ganda Mw 6 tahun 2007 memberikan kesempatan untuk
mengetahui bentuk dan sebaran retakan permukaan. Studi ini telah dapat
memetakan jalur pasti lokasi retakan permukaan itu dan besar pergeserannya.
Gempa bumi ini meretakkan hanya sebagian dari seluruh panjang segment.
Segment Sianok 22,5 km dari total panjang 90 km dan Segment Suliti 22,5 km
dari total 60 km. Catatan kejadian gempa bumi menunjukkan bahwa semua
kejadian gempa bumi di lokasi ini selalu ganda dengan besar magnitudo relatif
sama, dimulai dari bagian selatan dan kemudian bagian utara, dan dengan jeda
waktu beberapa jam. Indikasi periode ulang 81 tahun pada Segmen Sianok dan
Segmen Sumani.

Lokasi studi kedua adalah Sesar Palukoro-Matano di Sulawesi. Di lokasi ini


berhasil mendeskripsikan 20 sesar wilayah Sulawesi bagian tengah, lima segmen
Sesar Palukoro dan tujuh segmen Sesar Matano. Hasil studi menunjukkan
pergerakan sesar geser di Sesar Matano kemudian menjadi sesar naik diujung
pembelokan kearah Sesar Palukoro. Kemudian pergerakan ini di akomodari oleh
Sesar geser Palukoro dengan arah sesar yang berbeda. Di Segmen Saluki (bagian

iii
dari Sesar Palukoro) terdapat pergeseran sungai yang jelas yang menunjukkan
gerak sinistral dengan kecepatan geser sesar ini adalah kurang dari 58 mm/th. Di
lokasi ini pernah terjadi gempa bumi tahun 2012 yang mirip dengan kejadian
gempa bumi tahun 1907 yang mempunyai arah jalur sesar tegak lurus dengan
sesar utama Palukoro. Hasil uji paritan memperlihatkan jejak retakan gempa bumi
tahun 1909, tahun 1468 dan tahun 1338. Data ini mengindikasikan perulangan
gempa bumi pada Segmen Saluki adalah 130 tahun.

Lokasi studi ketiga adalah Sesar Lembang di Jawa Barat. Hasil studi
menunjukkan bahwa Sesar Lembang mempunyai gerakan geser sinistral. Sesar ini
terbagi menjadi enam seksi. Hasil analisis pergeseran sungai dan stratigrafinya
menunjukkan bahwa sesar lembang bergerak dengan kecepatan 3-5.5 mm/th
(panjang keseluruhan 29 km). Sesar ini mampu menghasilkan gempa bumi
dengan kekuatan magnitudo 6.5-7. Hasil uji paritan menunjukkan bukti kejadian
gempa bumi pada abad 15 (tahun 1450-1460).

Metode paleoseismologi telah berhasil mengisi kekosongan informasi parameter-


parameter karakteristik sesar aktif di tiga lokasi tersebut. Hasil perbandingan
proses penerapan metode di tiga lokasi memberikan pemahaman dan
penyempurnaan metode ini di daerah tropis khususnya untuk kondisi Indonesia.
Retakan permukaan setelah kejadian gempa bumi yang merupakan representasi
jalur sesar aktif adalah cara tercepat dan tepat dalam memetakannya. Survei GPR
dan geolistrik terbukti dapat membantu menentukan lokasi jalur sesar aktif tetapi
harus dibuktikan dengan uji paritan.

Kata kunci: Paleoseismologi, Gempa bumi, Sesar Aktif, Sesar Palukoro, Sesar
Matano, Sesar Lembang, Segmen Sumani, Segmen Sianok, Segment Suliti, Sesar
Sumatra, Tropis.

iv
ABSTRACT

PALEOSEISMOLOGY OF TROPICAL INDONESIA


(CASES STUDY IN SUMATRAN FAULT, PALUKORO-
MATANO FAULT, AND LEMBANG FAULT)
By
Mudrik Rahmawan Daryono
NIM: 32411002
(Program Studi Doktor Sain Kebumian)

Indonesia is located at the junction of triple plates, the Indo-Australian Plate


subducting 70 mm / yr into the Eurasian Plate and the Pacific Plate subducting
and transforming 120 mm / yr into the Eurasian Plate as well. These triple
junctions produce active faults which create earthquakes as the consequences. An
attempt to mitigate this disaster is by studying the geological characteristics of the
earthquake source. Paleoseismology is an appropriate geological method to study
the characteristics of the earthquake source. This method is relatively new, rapidly
growing, and able to distinguish the characteristics of active faults in the dry and
subtropical regions. Representing the tropical region of Indonesia, this method
had been applied in three active faults locations in three major islands in
Indonesia. Trials in these locations have benefit towards the understanding of
earthquake geology, providing practical parameters of active faults for
engineering and filling the gap of paleoseismology research in the tropical region,
particularly in Indonesia.

The first study location is the Sianok-Sumani-Suliti segment, part of the Sumatran
Fault. The Mw 6 doublets earthquake in 2007 provided an opportunity to identify
the morphology and distribution of surface ruptures. Post-earthquake fieldwork
study has been able to map the location of the surface ruptures and the offsets.
The 2007 doublets earthquake only ruptured part of the entire length of the
segment. The ruptured part of the Segment Sianok is 22.5 km length from the total
length of 90 km and 22.5 km Suliti segment ruptured from the total of 60 km
length. Historical earthquake events showed that all events were always a doublet
with similar large earthquake magnitude starting from the south and then the
north, and with a time lag of several hours. Indication of earthquake cycle in these
segments is around 81 years.

The second study site is the Palukoro-Matano Fault in Sulawesi. We describe 20


faults of central Sulawesi area, five segments of Palukoro Fault, and seven
segments of Matano Faults. The study shows the movement of the transform fault
in Matano Fault became reverse fault at the edge with the Palukoro Fault
deflection. This movement is accommodated by Palukoro transform fault in a
different direction. In Saluki Segment (part of Palukoro Fault) there is an obvious
river offset which indicates this fault is sinistral with slip rate less than 58 mm /

v
yr. The 2012 earthquake event is similar with to the 1907 earthquake event which
releases energy in perpendicular direction to the Palukoro main fault.
Paleoseismology trenching showed three earthquake events: 1909, 1468 and 1338.
These indicate that the earthquake cycle is around 130 years.

The third site is the Lembang Fault in West Java. This study shows that the fault
has sinistral movement. The Fault is divided into six sections. The river offset and
the fault activity analyses show that the fault has slip rate of 3-5.5 mm/yr and total
length of 29 km. Paleoseismolgy trenching shows the evidence of an earthquake
event occurring in 15th century (1450-1460).

The results of paleoseismology method have successfully filled the information


gap of the active faults parameters in the three locations. The results from the
three locations have been able to provide paleoseismology informations work in
the tropics (especially in Indonesia). Mapping the surface ruptures after an
earthquake event is the fastest and most precise method to identify the active fault
lines. Ground Penetrating Radar (GPR) and geoelectric survey could help
determine the active fault line sites but verification by trenching test is still
required.

Keywords: Paleoseismology, Earthquake, Acitve Fault, Palukoro Fault, Matano


Fault, Lembang Fault, Sumani Segment, Sianok Segment, Suliti Segment,
Sumatran Fault, Tropical Area.

vi
PALEOSEISMOLOGI TROPIS INDONESIA
(DENGAN STUDI KASUS DI SESAR SUMATRA, SESAR
PALUKORO-MATANO, DAN SESAR LEMBANG)

Oleh

MUDRIK RAHMAWAN DARYONO

NIM : 32411004

Program Studi Doktor Sain Kebumian

Institut Teknologi Bandung

Menyetujui,

Tim Pembimbing

Bandung, 16 Mei 2016

Ketua

Benyamin Sapiie, Ph.D


NIP. 196110161989031001

Anggota

Danny Hilman Natawidjaja, Ph.D


NIP. 196112111987031005

vii
viii
Didedikasikan untuk Guru Semesta Alam (Rabbil 'Alamin)
yang memiliki Nurwiyanti,
Raisa Madania Daryono (Pemimpin Madani),
Mutia Saladina Daryono (Jendral Muslim(ah)),
Azazia Rahman Daryono (Hak Dasar (pemberian) Tuhan(Sifat Pengasih)),
diri saya dan hidup ini......................

ix
x
PEDOMAN PENGGUNAAN DISERTASI

Desertasi Doktor yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di Perpustakaan

Institut Teknologi Bandung, dan terbuka untuk umum dengan ketentuan bahwa

hak cipta ada pada penulis dengan mengikuti aturan HaKI yang berlaku di Institut

Teknologi Bandung. Referensi kepustakaan diperkenankan dicatat, tetapi

pengutipan atau peringkasan hanya dapat dilakukan seizin penulis dengan

kebiasaan ilmiah untuk menyebutkan sumbernya.

Sitasi hasil penelitian Disertasi ini dapat di tulis dalam bahasa Indonesia sebagai

berikut :

Daryono, M.R. (2016): Paleoseismologi Tropis Indonesia (Dengan Studi Kasus di

Sesar Sumatra, Sesar Palukoro-Matano, dan Sesar

Lembang), Disertasi Program Doktor, Institut Teknologi

Bandung, Tidak dipublikasikan.

Dan dalam bahasa Inggris sebagai berikut :

Daryono, M.R. (2016): Paleoseismology of Tropical Indonesia (Cases study in

Sumatran Fault, Palukoro-Matano Fault, and Lembang

Fault) (Paleoseismologi Tropis Indonesia (Dengan Studi

Kasus di Sesar Sumatra, Sesar Palukoro-Matano, dan

Sesar Lembang)), Dessertation Doctoral Program,

Institut Teknologi Bandung, Unpublished.

Memperbanyak atau menerbitkan sebagian atau seluruh disertasi haruslah seizin

Dekan Sekolah Pascasarjana, Institut Teknologi Bandung.

xi
xii
UCAPAN TERIMAKASIH

Segala puji syukur kepada Allah yang telah memberikan kesempatan, bantuan,

dukungan, bimbingan, dan kemudahan sehingga desertasi ini dapat selesai dengan

baik. Terimakasih untuk Danny Hilman Natawidjaja, Ph.D dan Benyamin Sapiie,

Ph.D atas bimbingan, arahan, koreksi, diskusi, dan philosofi akademis selama

program S3 ini. Terimakasih untuk Prof. Kerry Edward Sieh (Direktur Earth

Observatory of Singapore) atas bimbingan, kesempatan, dan bantuan dalam hal

sesar aktif di Sumatra Barat hingga terbit dalam jurnal internasional.

Ucapan terimakasih saya ucapkan untuk Australia-Indonesia Facility for Disaster

Reduction (AIFDR) yang telah memberikan beasiswa penuh baik SPP, biaya

hidup, dan biaya riset selama lima tahun untuk program S3 ini. Terimakasih untuk

Prof. Phil Cummins, Dr. Jonnathan Griffin, dan Dr. Nick Horspool. Kepada Puslit

Geoteknologi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang telah

mengizinkan saya mengikuti dan menyelesaikan program S3 ini selama bekerja di

instansi ini: DR. Haryadi Permana, Prof. Hery Harjono, Dr. Eko Yulianto,

Bambang Widoyoko Surwargadhi, MSc., Almarhum Nur Aziz, ST., Nandang

Supriatna, Agusmen, ST., Sukoco, Purna S Putra, MT., Dudi Paryudi, Dwi Sarah,

MSc. Kepada Prof. Ramon Arrowsmith dan Gayatri (Arizona State University)

atas kursus ilmu paleoseismologi di LIPI selama 14 hari. Kepada Kyle Bradley,

Ph.D (Earth Observatory of Singapore) atas diskusi dan saran tentang tatanan

tektonik di Sulawesi. Terimakasih kepada PT. Vale atas kepercayaannya untuk

menggunakan data sehingga penelitian ini dapat sempurna. Terimakasih untuk

Gde Hanjoyo Tutuko, ST. dan Setyo Wibowo, ST. Kepada Badan Geologi data

xiii
spasial atas kesempatan dan kepercayaan untuk dapat mengakses data Sulawesi.

Kepada Ipranta, MSc., Asdani Suhaemi, MT. dan Sonny Mawardi. Kepada

BMKG Palu dan museum Palu. Kepada Sofyan dan Ikhsan. Kepada Pusat

Volkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) atas bantuan uji paritan di

Sesar Lembang. Kepada Dr. Sri Hidayati, Dr. Supartoyo, dan Dr. Ahmad Solikin.

Kepada Yasuo Awata (Advance Industrial Science and Technology - Japan) dan

JICA (Japan Indonesia Consultancy Association) atas uji paritan di Solok. Kepada

Taman Nasional Lore Lindu, yaitu Megi, Samsi, dan Hani. Kepada Balai

Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah 16 Palu, yaitu Ir. Heryadi ,MM dan Adhi.

Kepada Prof. Robert Yeats atas koleksi profesional di perpustakaan Geoteknologi

LIPI. Kepada masyarakat Desa Omu di Sulawesi Tengah, Desa Sumani di

Sumatra Barat, dan Desa Batu Lonceng di Lembang. Kepada kolega Sain

Kebumian ITB dan GREAT-ITB, yaitu Dr. Irwan Meilano, Dr. Dina Sarsito, Dr.

Afnimar, Dr. Ivonne Milichristi Radjawane, Astyka Pamumpuni, Dr. Zulfakriza,

Jessica Chandra, Didik Angga Widjaja, Peya, Iktri, Bayu Pranata, Riantini

Vitriana, Ajeng, Dr. Estu Kriswati, dll.

Dan untuk kedua orangtuaku Drs. Muhammad Daryono & Harsini, kedua

saudaraku Annas Masruri Daryono, ST., dan Lutfian Rusdi Daryono, ST., spesial

untuk istriku dan tiga orang putriku: Nurwiyanti, Raisa Madania Daryono, Mutia

Saladina Daryono, dan Azazia Rahman Daryono. Serta kawan kolega penting

lainnya yang tidak tersebut diatas. Terimakasih atas bantuan ikhlas nya, moga

kerjasama baik ini bisa menjadi alasan kita untuk dapat masuk ke dalam surga

yang telah dijanjikanNya......

xiv
DAFTAR ISI

ABSTRAK ............................................................................................................. iii


ABSTRACT ...............................................................................................................v
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. vii
PEDOMAN PENGGUNAAN DISERTASI .......................................................... xi
UCAPAN TERIMAKASIH ................................................................................. xiii
DAFTAR ISI ..........................................................................................................xv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xxi
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xxvii
DAFTAR ISTILAH ........................................................................................... xxix
Bab I PENDAHULUAN .....................................................................................1
I.1 Latar belakang ..................................................................................1
I.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................4
I.3 Hipotesa ..................................................................................6
I.4 Asumsi ..................................................................................7
I.5 Kebaharuan / Novelti ...........................................................................8
I.6 Pelaksanaan Penelitian .........................................................................9
I.7 Sistematika Disertasi ..........................................................................11
Bab II DATA DAN METODOLOGI PALEOSEISMOLOGI ...........................13
II.1 Retakan Permukaan (Surface Rupture) Gempa Bumi .........................16
II.2 Kompilasi Data Seismisitas .................................................................16
II.3 Pemetaan Sesar Aktif...........................................................................17
II.3.1 Identifikasi Morfologi Gempa Bumi .........................................20
II.3.2 Penggunaan Data-Data Digital Topografi dan Sistem Informasi
Geografis (GIS) .........................................................................23
II.3.3 Analisis Data Digital .................................................................24
II.3.3.1 Garis Kontur ..................................................................25
II.3.3.2 Pewarnaan Elevasi (Coloring Code) .............................25
II.3.3.3 Efek Bayangan (Hill shade) ..........................................25
II.3.3.4 Penampang Profil Ketinggian .......................................26
II.3.3.5 Tumpangsusun (Overlay Layers) ..................................26
II.3.4 Pemetaan Rinci Morfologi Gempa Bumi (Active Fault Stip
Map) ................................................................................27
II.3.5 Analisis Aliran Sungai ...............................................................27

xv
II.3.6 Sebaran Pergeseran Horisontal dan Vertikal di Jalur Sesar ...... 27
II.3.7 Menghitung Besar Pergeseran dan Laju Pergeseran ................. 28
II.3.8 Segmentasi dan Seksi Sesar ...................................................... 28
II.4 Survei Geofisika Bawah Permukaan Dangkal .................................... 29
II.4.1 Survei Ground Penetrating Radar (GPR) ................................ 30
II.4.2 Survei Geolistrik ....................................................................... 31
II.5 Studi Stratigrafi Gempa bumi ............................................................. 31
II.5.1 Metoda Pemboran Tangan ........................................................ 32
II.5.2 Metoda Paritan .......................................................................... 32
II.5.3 Deskripsi Lapisan ...................................................................... 33
II.5.4 Deskripsi Pergeseran Setiap Kejadian Gempa Bumi ................ 34
II.5.5 Pemilihan Sampel dan Pentarikhkan Umur .............................. 37
BAB III STUDI KASUS I: SEGMENT SIANOK, SUMANI DAN SULITI,
SESAR SUMATRA .............................................................................................. 39
III.1 Latar Belakang ................................................................................ 39
III.2 Tujuan Penelitian ............................................................................... 41
III.3 Pemetaan Retakan Permukaan (Surface rupture) .............................. 41
III.3.1 Segmen Sianok ...................................................................... 44
III.3.2 Segmen Sumani ..................................................................... 58
III.4 Survei GPR untuk Retakan Permukaan Gempa bumi 2007 .............. 68
III.5 Metoda Paritan di Retakan Permukaan Gempa bumi 2007 ............... 75
III.6 Ringkasan dan Diskusi ...................................................................... 77
III.6.1 Retakan Permukaan Gempa Bumi 2007 ............................... 77
III.6.2 Karakteristik gempa bumi di Segmen Sianok, Sumani dan
Suliti, Sesar Sumatra ........................................................................ 79
III.6.3 Survei Geolistrik dan GPR di Retakan Permukaan Segmen
Sianok dan Sumani, Sesar Sumatra .................................................. 81
Bab IV STUDI KASUS II: SESAR PALUKORO-MATANO, SULAWESI
BAGIAN TENGAH .............................................................................................. 83
IV. 1. Tatanan Tektonik Sulawesi ............................................................ 83
IV. 2. Permasalah dan Tujuan Studi .......................................................... 84
IV.2.1 Perbedaan Laju Pergeseran Sesar Matano dan Sesar Palukoro85
IV.2.2 Model Geodesi Tidak Mempertimbangkan Struktur Sesar di
Sekitarnya (Sulawesi bagian tengah) ............................................... 86
IV.2.3 Tidak diketahui Karakteristik Sesar Palukoro dan Sesar
Matano .............................................................................................. 88
IV. 3. Metode dan Sumber Data ................................................................ 88

xvi
IV. 4. Kegempaan/Seismologi ...................................................................89
IV. 5. Hasil Pemetaan Sesar Aktif - Geometri dan Segmentasi Sesar .......94
IV.5.1. Sesar Palintuma (119.644oE,0.988oS - 119.877oE,1.352oS)94
IV.5.2. Sesar Parigi (120.106oE,0.77oS - 120.474oE,1.067oS)........95
IV.5.3. Sesar Tokararu (120.396oE,0.966oS - 120.552oE,1.576oS) 95
IV.5.4. Sesar Sausu (119.88oE,1.026oS - 120.553oE,1.277oS)........96
IV.5.5. Graben Palolo (119.926oE,1.043oS - 120.391oE,1.455oS) ..97
IV.5.6. Sesar Naik Malei (120.427oE,1.237oS -
120.409oE,2.473oS) ..........................................................98
IV.5.7. Sesar Poso (120.89oE,1.414oS - 120.772oE,2.177oS) .........99
IV.5.8. Sesar Weluki (121.143oE,1.41oS - 121.083oE,2.36oS) .......99
IV.5.9. Zona Sesar Lore Lindu .....................................................100
IV.5.10. Sesar Poso Barat (120.542oE,1.586oS -
120.819oE,2.317oS) ........................................................100
IV.5.11. Zona Sesar Salo ..............................................................101
IV.5.12. Sesar Loa (120.676oE,1.645oS - 121.244oE,2.423oS) .....101
IV.5.13. Zona Sesar Budong-budong............................................102
IV.5.14. Sesar Salulore (119.801oE,2.288oS - 120.178oE,2.09oS) 102
IV.5.15. Sesar Bungadidi (120.431oE,2.493oS - 120.721oE,2.528oS)103
IV.5.16. Zona Sesar Towuti Matano Lontoa ................................103
IV.5.17. Sesar Lawanopo (121.094oE,2.547oS - 121.201oE,2.765oS)104
IV.5.18. Sesar Towuti (120.989oE,2.433oS - 121.769oE,2.864oS)105
IV.5.19. Sesar Palukoro ................................................................105
IV.5.19.1. Segmen Palu (119.742oE,0.644oS - 119.899oE,
1.229oS) ..............................................................107
IV.5.19.2. Segmen Gumbassa (119.932oE,1.071oS -
119.958oE, 1.23oS) .............................................108
IV.5.19.3. Segmen Saluki (119.938oE,1.224oS -
120.043oE,1.614oS) ............................................108
IV.5.19.4. Segmen Moa (120.05oE,1.664oS -
120.192oE,2.04oS) ..............................................109
IV.5.19.5. Segmen Graben Meloi (120.211oE,2.049oS -
120.35oE,2.158oS) ..............................................110
IV.5.20. Sesar Matano...................................................................110
IV.5.20.1. Segmen Kuleana (120.394oE,2.163oS -
120.597oE,2.209oS) ............................................112
IV.5.20.2. Segmen Pewusai (120.62oE,2.214oS -
121.017oE,2.432oS) ............................................112

xvii
IV.5.20.3. Segmen Matano (121.034oE,2.439oS -
121.349oE,2.498oS) ......................................... 114
IV.5.20.4. Segmen Pamsoa (121.278oE,2.441oS -
121.6oE,2.575oS) ............................................. 114
IV.5.20.5. Segmen Lontoa (121.744oE,2.634oS -
121.674oE,2.742oS) ......................................... 116
IV.5.20.6. Segmen Ballawai (121.654oE,2.596oS -
121.872oE,2.681oS) ......................................... 116
IV.5.20.7. Segmen Geresa (121.897oE,2.687oS -
122.017oE,2.672oS) ......................................... 116
IV. 6. Analisis Kinematika Tektonik Sulawesi bagian tengah ................ 117
IV. 7. Sejarah kejadian gempa bumi ........................................................ 118
IV.7.1 Laporan Abendanon(1917) kejadian gempa bumi tahun 1905,
1907 dan 1909. ................................................................... 119
IV.7.2 Gempa bumi 1905 .............................................................. 120
IV.7.3 Gempa bumi 1907 ............................................................. 120
IV.7.4 Gempa bumi 1909 .............................................................. 120
IV.7.5. Gempa bumi Lindu 2012 dan Kesaksian kejadian gempa
bumi 1937 ........................................................................ 121
IV.7.5.1 Instensitas Gempa bumi ....................................... 123
IV.7.5.2 Rumah Panggung Loncat ..................................... 124
IV.7.6 Gempa bumi Tahun 1937 - Kesaksian Papa Sinco ............. 126
IV.8 Studi Paleoseismologi di Segmen Saluki ....................................... 126
IV.8.1 Pemetaan topografi rinci ..................................................... 127
IV.8.2 Uji Paritan ........................................................................... 128
IV.8.2.1 Paritan 1 ................................................................ 129
IV.8.2.2 Paritan 2 ............................................................... 129
IV.8.3 Umur Teras.......................................................................... 134
IV.9 Rangkuman, Diskusi dan Kesimpulan............................................. 137
Bab V STUDI KASUS III: SESAR LEMBANG, JAWA BARAT ................. 141
V.1. Latar Belakang .............................................................................. 141
V.2. Sesar Lembang .............................................................................. 142
V.3. Geologi Sesar Lembang................................................................... 145
V.4. Tujuan Studi .............................................................................. 147
V.5. Data yang Digunakan ...................................................................... 148
V.6. Geometri dan Penampang Geolistrik Sesar Aktif Lembang ........... 148
V.6.1 Seksi Cimeta ......................................................................... 149

xviii
V.6.2 Seksi Cipogor ........................................................................151
V.6.3 Seksi Cihideung ....................................................................154
V.6.4 Seksi Gunung Batu ...............................................................156
V.6.5 Seksi Cikapundung ...............................................................158
V.6.6 Seksi Batu Lonceng ..............................................................159
V.7. Analisis Pergeseran Sungai oleh Sesar Lembang ............................161
V.7. 1. Morfologi Awal Sebelum Gempa bumi (Pre-Earthquake) 162
V.7. 2. Pengukuran Pergeseran Sungai ...........................................164
V.7. 3. Statistik Pergeseran Sungai .................................................169
V.8. Laju pergeseran geologi Sesar Lembang ........................................172
V.9. Uji Paritan ..............................................................................173
V.10. Ringkasan dan Pembahasan/Diskusi ..............................................176
V.10.1. Kinematika dan Karakteristik Sesar Lembang...................177
V.10.2. Catatan Kejadian Gempa bumi ..........................................178
V.10.3. Umur Sesar Lembang dan Gempa bumi Berikutnya .........180
V.10.4. Mitigasi Gempa bumi Sesar Lembang ...............................182
V.10.5. Pekerjaan Berikutnya .........................................................182
Bab VI PALEOSEISMOLOGI DI WILAYAH TROPIS INDONESIA............185
VI.1. Penerapan Metode ..........................................................................185
VI.2. Permasalahan Penerapan Metoda ...................................................188
VI.2.1 Tahapan Pemetaan Sesar Aktif dan Penentuan Lokasi Paritan188
VI.2.2 Tahapan Penggalian Parit ....................................................190
VI.2.3 Tahapan Deskripsi Uji Paritan .............................................191
VI.2.4 Tahapan Pemilihan dan Pengambilan Sampel Pentarikhan
Umur ...............................................................................................192
VI.2.5 Tahapan Informasi Catatan Kejadian Gempa Bumi ............193
VI.2.6 Diagram Alir ........................................................................193
Bab VII KESIMPULAN ......................................................................................197
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................201

xix
xx
DAFTAR GAMBAR

Gambar ‎I-1. Lokasi penelitian .................................................................................4


Gambar ‎I-2. Diagram alir kegiatan pelaksanaan penelitian metoda
paleoseismologi. .............................................................................10
Gambar ‎II-1. Diagram dimensi retakan permukaan ...............................................14
Gambar ‎II-2. Diagram alir penelitian paleoseismologi (McCalpin, 1996). ...........15
Gambar ‎II-3. Model kartun dan contoh retakan permukaan.. ................................17
Gambar ‎II-4. Bentuk morfologi yang berhubungan dengan sesar aktif. Bentuk-
bentuk tersebut diberi simbol berdasarkan morfologi yang muncul
(McCalpin, 1996b). ........................................................................21
Gambar ‎II-5. Perbandingan hasil pemetaan sesar aktif Segmen Cholame – Sesar
San Andreas. ...................................................................................22
Gambar ‎II-6. Perbandingan resolusi data digital di lokasi yang sama yaitu Muril -
Lembang SRTM 90m (a), ASTER 30m (b), IFSAR 5m (c), dan
LiDAR 0,9m (d). ............................................................................24
Gambar ‎II-7. Penampang GPR di jalur retakan permukaan gempa bumi Izmit-
Turkey Mw7.4 1999 (Ferry dkk., 2004). ........................................30
Gambar ‎II-8. Hasil uji paritan Sesar Anatolian, Turkey. Analisis stratigrafi
menunjukkan adanya retakan akibat gempa bumi tahun 1912 dan
1766 (Rockwell dkk., 2009). ..........................................................33
Gambar ‎II-9. Diagram yang menunjukkan kriteria yang digunakan dalam
mendeskripsi gempa bumi lampau di singkapan dekat permukaan.36
Gambar ‎II-10. Sketsa paritan Sesar San Andreas. .................................................37
Gambar ‎III-1. Sebaran pusat gempa bumi berdasarkan katalog relokasi Engdahl
(2009) di sekitar daratan dan lepas pantai Sumatra Barat. .............40
Gambar ‎III-2. Lokasi sumber gempa bumi ganda 6 Maret 2007 Mw 6 di Sumatra
Barat. ..............................................................................................43
Gambar ‎III-3 Peta Nagari Koto Gadang dan sebaran lokasi retakan permukaan
KG1-KG6. ......................................................................................44
Gambar ‎III-4 Lokasi pergeseran di KG5 yang memotong pematang sawah .........45
Gambar ‎III-5. Lokasi retakan permukaan di KG6 memotong bangunan rumah. ..45

xxi
Gambar ‎III-6. Lokasi KG4, terdapat retakan permukaan di jalan beton. ............. 46
Gambar ‎III-7. Retakan permukaan di lantai rumah yang menyebabkan pergeseran
menganan 18 dan 21 cm , di KG3.................................................. 46
Gambar ‎III-8. Foto lokasi KG1 di bangunan sekolah (a), dan di masjid (b). ........ 47
Gambar ‎III-9 Survei total station lokasi KG2. ...................................................... 48
Gambar ‎III-10. Komponen vertikal KG2 line 1(a) dan line 2(b). ......................... 49
Gambar ‎III-11. Lokasi KG1. terdapat 13 pergeseran di deretan pematang tanaman
yang bergeser berarah N330oE menganan 25 - 95 cm. .................. 50
Gambar ‎III-12. Penampang ketinggian line1 sampai dengan line13 lokasi KG-1B
yang menunjukkan penurunan 5 - 15 cm (sisi barat turun) ........... 53
Gambar ‎III-13. Retakan permukaan di Pandai Sikek (PS). ................................... 54
Gambar ‎III-14. Hasil survei total station (a) dan foto retakan permukaan di
konblok halaman depan toko suvenir Sayuthi Melik (b). .............. 55
Gambar ‎III-15. Diagram komponen vertikal retakan permukaan lokasi PS1. ...... 56
Gambar ‎III-16. Survei total station di tangga beton PS2. ...................................... 57
Gambar ‎III-17. Lokasi retakan permukaan di BA3. .............................................. 57
Gambar ‎III-18. Lokasi retakan permukaan di BA2. .............................................. 58
Gambar ‎III-19. Lokasi retakan permukaan di BA1. .............................................. 58
Gambar ‎III-20. Hasil survei total station di lokasi SR. ......................................... 59
Gambar ‎III-21. Komponen vertikal retakan permukaan di lokasi SR. .................. 59
Gambar ‎III-22. Retakan memotong dinding pasangan batu kali di SU................. 60
Gambar ‎III-23. Retakan memotong jalan aspal di SU........................................... 60
Gambar ‎III-24. Retakan permukaan di lokasi KA. (a) Retakan permukaan
memotong jalan aspal dan (b) retakan pemukaan memotong batas
kolam.............................................................................................. 61
Gambar ‎III-25. Survei total station retakan permukaan di lokasi KA. .................. 62
Gambar ‎III-26. Komponen vertikal retakan permukaan di KA............................. 62
Gambar ‎III-27. Lokasi retakan permukaan di BT. ................................................ 64
Gambar ‎III-28. Hasil survei total station di BT. Lokasi ini merekam pergeseran
gempa bumi tahun 2007, 1943 dan 1926. ...................................... 65
Gambar ‎III-29. Pergeseran vertikal retakan permukaan 16cm (sisi barat turun) di
BT. ................................................................................................. 66

xxii
Gambar ‎III-30. Hasil survei total station di TB. ....................................................66
Gambar ‎III-31. Hasil survei total station di LU. ....................................................67
Gambar ‎III-32. Foto retakan permukaan di PA. ....................................................67
Gambar ‎III-33. Hasil survei total station di PA. ....................................................68
Gambar ‎III-34. Modifikasi menggunakan alas pipa PVC untuk mengurangi
gangguan akibat perubahan ketinggian jalan kaki. .........................69
Gambar ‎III-35(a, b) Survei GPR di Baringin Tanam (BT) dilakukan disepanjang
jalan aspal sepanjang 560 m dengan arah dari Timur ke Barat. .....71
Gambar ‎III-36 (a,b) Survei GPR di Sumani (SU). Survei ini dilakukan sepanjang
280 m dengan arah Timur ke Barat. Retakan permukaan gempa
bumi 2007 terlihat jelas pada gambar GPR dan (c) geolistrik........72
Gambar ‎III-37 Survei GPR di loaski PS. ...............................................................73
Gambar ‎III-38 Survei GPR dan geolistrik di lokasi KG. .......................................74
Gambar ‎III-39. Uji paritan di Segmen Sumani di Desa Sumani. ...........................75
Gambar ‎III-40. Peta situasi lokasi penggalian uji paritan dan retakan permukaan
akibat gempa bumi ganda tahun 2007. ...........................................76
Gambar ‎III-41. Penampang perlapisan uji paritan di Sumani. ...............................76
Gambar ‎III-42. Distribusi pergeseran lateral dan vertikal gempa bumi kembar
M6+ Solok 2007. ............................................................................79
Gambar ‎III-43. Karakteristik gempa bumi dan retakan permukaan Segmen Sianok,
Sumani dan Suliti. ..........................................................................80
Gambar ‎IV-1. Struktur geologi regional di Pulau Sulawesi dan lokasi studi
penelitian. .......................................................................................85
Gambar ‎IV-2. Segmentasi Sesar Palu - Koro (Bellier dkk., 2001). .......................87
Gambar ‎IV-3. Data-data yang digunakan, indeks lokasi gambar-gambar
selanjutnya dan morfologi menggunakan Data SRTM 30 m(USGS,
2015). ..............................................................................................90
Gambar ‎IV-4. Sebaran sumber gempa bumi dan sumber sesar penghasil gempa
bumi tersebut. .................................................................................91
Gambar ‎IV-5. Nama, nomor dan lokasi sesar di Sulawesi bagian tengah. ............92
Gambar ‎IV-6. Jalur sesar dan sebaran mataair panas. ...........................................93
Gambar ‎IV-7. Sesar Bungadidi dicirikan pergeseran sungai mengiri 675±80 m.104

xxiii
Gambar ‎IV-8. Sesar Palukoro yang terdiri atas Segmen Palu, Segmen Gumbassa,
Segmen Saluki, Segmen Moa dan Segmen Graben Meloi.. ........ 106
Gambar ‎IV-9. Pergeseran Sungai Saluki. ............................................................ 109
Gambar ‎IV-10. Segmentasi Sesar Matano. ......................................................... 111
Gambar ‎IV-11. Segmen Pewusai dan proses rekonstruksi analisis aliran sungai
yang menunjukkan pergeseran pemendekan/shortening 584±50 m.113
Gambar ‎IV-12. Citra LiDAR (berwarna) dan citra IFSAR (abu-abu di sisi kanan)
Segmen Pamsoa dan pergeseran sinistral sungai Pamsoa 475±70 m.115
Gambar ‎IV-13. Kinematik Sulawesi bagian tengah meliputi informasi area blok,
sesar-sesar, pergeseran sungai, dan gerak GPS.. ......................... 119
Gambar ‎IV-14. Foto gempa bumi 1909 di Kulawi dari laporan Abendanon. ..... 121
Gambar ‎IV-15. Getaran susulan (after shocks) kejadian gempa bumi 2012 di
Kulawi (data dari BMKG Palu). .................................................. 123
Gambar ‎IV-16. Kompilasi data survey MMI, rumah loncat, longsor dan arah
gerak gelombang kejadian gempa bumi 2012 di Kulawi............. 125
Gambar ‎IV-17. Foto contoh rumah panggung yang meloncat serta rincian data
yang diukur. ................................................................................. 126
Gambar ‎IV-18. Lokasi situasi survey paleoseismologi di Omu. ......................... 127
Gambar ‎IV-19. Hasil survei topografi rinci lokasi sesar di Omu. ....................... 128
Gambar ‎IV-20. Foto lokasi uji trenching 1. ........................................................ 129
Gambar ‎IV-21. Lokasi uji trenching 2 di Omu. .................................................. 131
Gambar ‎IV-22. Dinding uji trenching 2. ............................................................. 133
Gambar ‎IV-23. Hasil uji pentarikhan umur karbon pada tiga sampel terpilih di
Face3. ........................................................................................... 134
Gambar ‎IV-24. a) Uji bor auger, b) Uji handbor. ................................................ 136
Gambar ‎IV-25. Profile stratigrafi uji handbore (a) dan bor auger (b). ................ 136
Gambar ‎IV-26. Hasil uji pentarikhan umur karbon C14. .................................... 137
Gambar ‎V-1. Sesar Lembang di Jawa Barat. ...................................................... 142
Gambar ‎V-2. Seismisitas dan sebaran MMI gempa bumi Ujung Berung Mw 3
tanggal 22 Juli 2011 dan gempa bumi Muril Mw 3 tanggal 28
Agustus 2011. .............................................................................. 144

xxiv
Gambar ‎V-3. (a) Letusan gunung api menutupi area barat Sesar Lembang pada
waktu 50.000-35.000 tyl dan (b) Aktivitas Sesar Lembang Barat.146
Gambar ‎V-4. Peta sebaran endapan Kuarter Piroklastik Tangkuban Perahu. ......146
Gambar ‎V-5. Lokasi penelitian dan kotak rincian analisis Box1 hingga Box5. ..147
Gambar ‎V-6. Jenis data IFSAR5m dan LiDAR0.9m serta area cakupannya dalam
penelitian Sesar Lembang ini. ......................................................148
Gambar ‎V-7. Morfologi rinci di Box1 yang meliputi Km 0 hingga Km 5.5 . .....150
Gambar ‎V-8. Penampang bawah permukaan geolistrik lokasi Km 0,7. ..............150
Gambar ‎V-9. Penampang bawah permukaan geolistrik Km 5,5. Garis merah
diduga adalah jalur Sesar Lembang. .............................................151
Gambar ‎V-10. Morfologi rinci Box2 yang meliputi Km 5 hingga Km 11 Sesar
Lembang. Garis hijau adalah lokasi uji geolistrik. .......................153
Gambar ‎V-11. Morfologi antiklin memanjang garis 11 dengan morfologi Wind
Gap-WG) di Km 9. ......................................................................154
Gambar ‎V-12. Penampang permukaan geolistrik Km 9,7. Garis merah diduga
adalah jalur Sesar Lembang..........................................................154
Gambar ‎V-13. Morfologi rinci Box3 yang meliputi Km 11 hingga Km 16 Sesar
Lembang. ......................................................................................155
Gambar ‎V-14. Penampang permukaan geolistrik Km 11,4. ................................156
Gambar ‎V-15. Morfologi rinci Box4 yang meliputi Km 16 hingga Km 21 Sesar
Lembang. ......................................................................................157
Gambar ‎V-16. Penampang permukaan geolistrik Km 16,3. ................................158
Gambar ‎V-17. Penampang permukaan geolistrik Km 17,7. ................................158
Gambar ‎V-18. Morfologi rinci Box5 yang meliputi Km 21 hingga Km 25 Sesar
Lembang. ......................................................................................159
Gambar ‎V-19. Morfologi rinci Box6 yang meliputi Km 24.5 hingga Km 29 Sesar
Lembang. ......................................................................................160
Gambar ‎V-20. Penampang permukaan geolistrik Km 26,2. ................................161
Gambar ‎V-21. Pencocokan marker pergeseran sungai besar Sesar Lembang. ....166
Gambar ‎V-22. Skema pergeseran sungai. ............................................................164
Gambar ‎V-23. Pencocokan marker pergeseran kecil Sesar Lembang di Km 21
hingga Km 29. ..............................................................................168

xxv
Gambar ‎V-24. Grafik sebaran pergeseran sungai dan lokasinya di Sesar Lembang.171
Gambar ‎V-25. Sebaran data pergeseran sungai terkecil dengan orde pergeseran
dibawah 15 m. .............................................................................. 172
Gambar ‎V-26. Pergeseran Sungai Cimeta di Km 5. ............................................ 172
Gambar ‎V-27. Lokasi uji paritan di Km 26. ........................................................ 174
Gambar ‎V-28. Foto lokasi uji Paritan 1 (a; kiri) dan Paritan 2 (b; kanan). ......... 174
Gambar ‎V-29. Penampang uji paritan. (a) Paritan 1 sisi timur, (b) Paritan 2 sisi
timur, dan (c) Paritan 1 sisi barat. ................................................ 175
Gambar ‎V-30. Hasil uji pentarikhan umur karbon menunjukkan sampel P1-2. . 176
Gambar ‎V-31. Kinematika Sesar Lembang dan pembagiannya.......................... 178
Gambar ‎V-32. Nama lokasi dalam legenda Sangkuriang, vector data GPS, dan
Sesar Lembang. ........................................................................... 181
Gambar ‎VI-1. Diagram alir metode Paleoseismologi Tropis Indonesia. ............ 195

xxvi
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Sumber, nama dan ketersediaan‎data‎digital.‎………………………. 23


Tabel 2. Retakan permukaan gempa bumi tahun 2007………………………... 78
Tabel 3. Sebaran pergeseran (offset) sungai di Sesar Lembang.…………….. 169
Tabel 4. Kompilasi hasil penelitian.…………………………………………. 187

xxvii
xxviii
DAFTAR ISTILAH
Bukit sesar : shutter ridge Sesar: fault

Coseismik : coseismic Postseismik : post seismic

Even paleoseismik: paleoseismic event Pemboran tangan: hand boring

Ekstensional : extentional Paritan: trenching

Gawir sesar: fault scarp Pentarikhkan umur: dating

Gempa bumi: earthquake Periode ulang gempa bumi:

Gempa bumi lampau: paleoearthquake earthquake recurrent interval

Kolisi: collision Pergeseran: offset

Kolam sesar: sag pond Pertemuan tiga lempeng: triple

Laju pergeseran: sliprate junction

Kinematika gempa bumi: earthquake Pergeseran sungai : river offset

kinematic Retakan permukaan: surface rupture

Ketidakselarasan: unconfirmity Seismisitas: seismicity

Kompresional : compressional Sejarah gempa bumi: historical

Mataair pasir: sand blows earthquake

Morfologi gempa bumi: morphotectonic Segmen: segment

earthquake Seksi: section

Magnitudo: magnitude Siklus gempa bumi : earthquakes

Mw: moment magnitude cycle

Ms: surface magnitude Sungai terpancung : beheaded river

Preseismik : pre seismic Oblik : Oblique

Marker : marker Tumpangsusun: overlay

xxix
xxx
Bab I PENDAHULUAN

I.1 Latar belakang

Data sesar aktif di Indonesia masih sangat langka (Irsyam dkk., 2010). Penelitian

detil berdasarkan peta topografi bakosurtanal skala 1:50.000 dan dipublikasikan

secara luas baru Sesar Sumatra (Sieh dan Natawidjaja, 2000). Hal ini ironi

mengingat lokasi Indonesia yang berada di jalur pertemuan lempeng yang

merupakan lokasi dengan intensitas gempa tinggi. Sehingga studi sesar aktif

sangat penting baik untuk membuat peta-peta bahaya gempa dan juga memahami

tektonik aktif Indonesia.

Mitigasi bencana gempa bumi adalah hal yang mutlak di wilayah Indonesia.

Mitigasi gempa bumi ini meliputi bahaya getarannya, deformasi tanah karena

pergerakan sesar di permukaan (surface rupture), dan bahaya ikutan seperti

likuifaksi, longsor, dan tsunami. Seluruh bencana gempa bumi tersebut bersumber

dari pergerakan sesar aktif. Konsekuensi inilah menjadi alasan penting untuk

mengetahui data detil dari lokasi dan karakteristik gempa bumi yang

dihasilkannya.

Data detil dan karakteristik gempa bumi adalah manifestasi pergerakan tektonik

saat ini. Data tektonik aktif ini memberikan informasi banyak tentang sistem

kinematika tektonik regional dan data ini bersifat pasti. Hal lainnya data ini relatif

lebih mudah didapat dengan bantuan teknologi yang berkembang saat ini seperti

seismograf dan Geographic Positioning System (GPS) kontinyu. Pemahaman

1
tektonik yang sekarang masih terjadi ini adalah salah satu kunci untuk lebih

memahami tatanan tektonik di masa lalu. Rekonstruksi tektonik di masa lalu akan

lebih baik karena menggunakan acuan kuantitatif berdasarkan laju pergeseran

(slip rate) masa kini.

Studi sesar aktif atau tektonik aktif adalah studi multidisiplin meliputi bidang:

seismologi, geodesi, geofisika dan geologi. Disertasi ini menggunakan metoda

geologi atau biasa disebut paleoseismologi sebagai metoda utama. Metoda

paleoseismologi meliputi dua hal, yaitu : (1) pemetaan rinci jalur sesar aktif

termasuk indikasi pergeseran (offset) dengan menganalisis morfotektonik

bentukan geologi dipermukaan akibat pergerakan sesar aktif, dan (2) uji paritan.

Uji paritan ini adalah untuk mempelajari rekaman kejadian gempa bumi masalalu

yang terekam di dalam perlapisan tanah.

Uji paritan paleoseismologi ini adalah metoda yang relatif baru dalam penelitian

gempa bumi dan saat ini berkembang cepat. Metoda ini mulai populer setelah

suksesnya studi paleoseismologi di Pallet Creek, California (Sieh, 1979). Setelah

itu uji paritan berkembang pesat di USA, kemudian diikuti oleh Jepang dan Eropa.

Lokasi tempat uji paritan yang berhasil baik adalah di daerah gurun dan daerah

sub-tropis yang memiliki curah hujan yang rendah (McCalpin, 1996b).

Studi paleoseismologi sangat penting untuk memahami karakteristik gempa

karena siklus gempa besar umumnya ratusan bahkan mencapai ribuan tahun

padahal ketersediaan alat dan sejarah gempa sangat terbatas atau pendek. Sejarah

2
gempa di Indonesia umumnya sampai 100 tahun kebelakang saja. Data gempa

yang tercatat oleh peralatan seismik juga hanya sampai tahun 1900-an, namun

yang sudah cukup baik kualitas datanya (sudah mulai digital) baru sejak tahun

1960-an. Data geodesi GPS umumnya baru ada (terpasang jaringannya) sejak 10-

20 tahunan terakhir saja.

Di Indonesia penelitian paleoseismologi ini masih sangat langka. Studi paritan

paleoseismologi yang telah dilakukan adalah di Sumatra Selatan - Sesar Sumatra

oleh Bellier (1997b) dan di Sesar Palukoro (Bellier dkk., 1997a; Bellier dkk.,

2001). Namun studi paleoseismologi ini tidak sukses karena pembuatan paritan di

lokasi yang kurang tepat. Kegagalan penelitian ini disebabkan oleh kegagalan

penentuan lokasi retakan permukaan gempa bumi yang benar mengingat besaran

deformasi permukaan dalam ukuran kurang dari 2 m (Mw 7 dalam rumus empiris

gempa bumi (Wells dan Coppersmith, 1994)). Kegagalan penentuan lokasi ini

dapat terjadi karena (1) jenis data citra yang digunakan adalah beresolusi rendah

sehingga masih kasar/tidak jelas, atau (2) lokasi tersebut tidak merekam kejadian

gempa bumi karena kecepatan erosi lebih besar dari laju pergeseran sesar, atau (3)

lokasi yang memiliki lapisan koluvium yang terlalu tebal dan homogennya, atau

(4) kondisi alam Indonesia yang bersifat tropis basah sehingga mengerosi semua

rekaman geologi.

Penelitian ini mencoba untuk menerapkan metoda paleoseismologi di tiga lokasi

sesar aktif di tiga pulau besar di Indonesia yang dimaksudkan mewakili wilayah

topis Indonesia, yaitu Pulau Sumatra, Sulawesi dan Jawa (Gambar I-1). Tiga sesar

3
aktif tersebut adalah Segmen Sianok-Sumani-Suliti di Sesar Sumatra, Sesar

Palukoro-Matano di Sulawesi Tengah, dan Sesar Lembang di Jawa Barat.

Disamping itu tiga lokasi tersebut memiliki laju pergeseran, kondisi geologi dan

karakter sesar yang berbeda.

Gambar I‎ -1. Lokasi penelitian Sesar Palukoro-Matano, Segmen Sianok-Sumani-


Suliti di Sesar Sumatra, dan Sesar Lembang di Jawa Barat. Titik
berwarna merupakan lokasi sumber gempa bumi berdasarkan
katalog relokasi Engdahl (2009) berdasarkan kedalaman, yaitu
merah 0-10Km, oranye 10-30Km, hijau 30-60Km, dan biru lebih
dalam dari 60Km.

I.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini mengembangkan berbagai macam konsep dan metoda

paleoseismologi yang diaplikasikan untuk wilayah tropis, daerah Indonesia

utamanya. Metoda paleoseismologi yang diterapkan adalah survey setelah

kejadian gempa bumi, geofisika dangkal, survey topografi rinci, dan analisis

pergeseran sungai. Tujuan metoda ini adalah untuk mempelajari (1) geometri dan

(2) kinematika sesar aktif dan (3) menganalisis karakteristik potensi bahaya

gempa buminya. Disamping itu, penelitian ini juga memberikan manfaat praktis

4
bagi sains dan rekayasa kegempaan di Indonesia yang akan dihasilkan pada tiap

lokasi studi.

Tiga lokasi studi sesar aktif yang terpilih mempunyai karakteristik dan

permasalahan yang berbeda. Berdasarkan hal tersebut, studi pada masing-masing

lokasi mempunyai tujuan khusus untuk dapat memecahkan permasalahan

informasi parameter kegempaan di masing-masing lokasi. (1) Sesar Sumatra

memiliki pemahaman sesar aktif yang baik dengan adanya publikasi yang telah

membahasnya (Bellier dan Sebrier, 1994; Bellier dkk., 1997b; Genrich dkk.,

2000; Katili dan Hehuwat, 1967; McCaffrey, 1991; McCarthy, 1997; Natawidjaja,

2003; Natawidjaja dan Triyoso, 2007; Prawirodirdjo dkk., 2000; Sieh dan

Natawidjaja, 2000; Untung dkk., 1985). Penelitian di Segmen Sianok-Sumani-

Suliti Sesar Sumatra ini adalah untuk mempelajari fenomena kejadian gempa

bumi ganda Mw 6 tahun 2007. Tujuannya adalah mengetahui jalur retakan

permukaan sesar aktif (pemetaan surface rupture post-earthquake) di wilayah

tropis, karakteristik gempa bumi meliputi besar magnitudo, periode ulang dengan

mengetahui kejadian-kejadian gempa bumi yang lebih tua, dan mencoba

menerapkan uji survey geofisika dangkal. (2) Sesar Palukoro-Matano. Lokasi ini

memiliki laju pergeseran geodetik sekitar 40 mm/th (Bellier dkk., 2001) adalah

paling cepat dibandingkan Sesar Sumatra sekitar 20 mm/th (Sieh dan Natawidjaja,

2000) dan Sesar Lembang sekitar 5 mm/th (Abidin dkk., 2008; Abidin dkk.,

2009). Meski memiliki laju pergeseran cepat, penjelasan kinematika gerak sesar

aktif di Sesar Palukoro hingga Sesar Matano (dan sekitarnya) secara utuh tidak

ada (Bellier dkk., 2001; Sarsito, 2010; Socquet dkk., 2006; Vigny dkk., 2002;

5
Walpersdorf dkk., 1998). Penelitian di lokasi ini bertujuan untuk dapat

mengetahui jalur rinci segmentasi sesar, evaluasi kinematika tektonik, sejarah

gempa bumi, laju pergeseran dan karakteristik gempa bumi yang dihasilkannya.

(3) Sesar Lembang. Lokasi ini memiliki laju pergeseran sesar kecil yang

memberikan jumlah kejadian gempa bumi yang lebih sedikit dibandingkan Sesar

Sumatra dan Sesar Palukoro-Matano. Maksud penerapan di lokasi ini adalah

untuk dapat membandingkan penerapan metoda paleoseismologi di daerah tropis

dengan laju pergeseran yang bervariasi. Tujuan khusus penelitian dilokasi ini

adalah untuk dapat menjawab lokasi jalur rinci, geometri, kinematika sesar aktif

ini, kejadian gempa bumi terakhir, dan karakteristik gempa bumi yang dihasilkan.

I.3 Hipotesa

Penelitian sesar aktif adalah mempelajari pergerakan tektonik yang menghasilkan

gempa bumi, akan terjadi dalam di masa mendatang, dan membahayakan

masyarakat (McCalpin, 1996b; Wallace, 1986; Yeats dkk., 1997a). Berdasarkan

batasan waktu, sesar aktif adalah sesar yang terbukti bergerak dan menghasilkan

gempa bumi dalam kurun waktu holosen atau sekitar 11.500 tyl (California,

1990). Bukti-bukti kejadian-kejadian gempa bumi terekam juga didalam proses

geologi. Rekaman geologi (di tiga lokasi studi) ini dapat memberikan informasi

karakteristik gempa bumi yang terjadi, yaitu besar magnitudo, waktu kejadian,

kinematika gerak, kecepatan geser, dan periode ulang gempa bumi. Tiga lokasi

studi ini dapat mewakili metoda penelitian paleoseismologi di wilayah tropis

(khususnya Indonesia).

6
I.4 Asumsi

1) Bahwa gempa bumi adalah hasil siklus deformasi elastik pada sesar aktif

yang terbagi atas perioda akumulasi strain (interseismik), pelepasan

strain/stress (coseismik dan pergerakan aseismik), dan post-seismic, yaitu

aftershocks.

2) Bahwa bentukan tektonik (sesar dan lipatan) yang terlihat adalah hasil

akumulasi net-deformasi dari sisa siklus deformasi elastik yang berupa

deformasi plastic atau brittle (permanen)

3) Bahwa bentukan morfotektonik: gawir sesar, bukit sesar (shutter-ridge) dan

lainnya yang umumnya dapat terlihat apabila laju deformasi lebih besar dari

laju erosi dan sedimentasi. Kasus lain, bentukan morfotektonik dapat juga

terlihat pada batuan yang keras sehingga walaupun laju deformasi tidak

besar tapi erosinya tetap lebih kecil (karena batuannya keras).

4) Bahwa laju pergeseran dapat diukur dari pergeseran unsur morfologi,

khususnya sungai-sungai, apabila dapat melakukan pentarikhan umur dari

sampel pada lapisan yang diperkirakan mempunyai umur yang sama dengan

proses mulai pembentukan sungai-sungai yang tergeserkan tersebut.

5) Bahwa umumnya laju pergeseran short-term dari pengukuran GPS (interval

waktu tahunan) dianggap sama dengan laju pergeseran long-term dari

pengukuran pergeseran geologi/geomorfologi (interval waktu ribuan –

jutaan tahun).

7
I.5 Kebaharuan / Novelti

1) Penelitian ini pertama berhasil menerapkan, merinci, dan menyempurnakan

metoda paleoseismologi yang telah ada yang sesuai untuk daerah tropis

wilayah Indonesia. Penerapan metoda ini juga sesuai dengan kondisi

sumberdaya alat survey geofisika, alat survey geodetik, dan ketersediaan

data citra yang tersedia dan umum dilakukan di Indonesia.

2) Penelitian ini juga menghasilkan manfaat praktis parameter gempa bumi

yang berguna untuk rekayasa kegempaan di Indonesia dan gap pemahaman

geologi di tiap lokasi penelitian. Manfaat praktis ini berbeda-beda

berdasarkan lokasi studi sesar aktif, yaitu :

a) Penelitian ini berhasil menemukan dan membuktikan kejadian gempa

bumi terakhir di Sesar Lembang.

b) Penelitian ini menghasilkan jalur Sesar Aktif Lembang paling rinci

berdasarkan notasi kilometer yang memuat informasi bukti morfologi,

bangunan, jalan dan jalur sesar. Ini merupakan pertama kali di

Indonesia.

c) Penelitian ini berhasil menghitung kecepatan geser geologi (geological

sliprate) di Sesar Lembang. Hasil ini merupakan kecepatan geser

geologi pertama di pulau Jawa.

d) Penelitian ini berhasil menjelaskan hubungan kinematika antara Sesar

Palu-Koro dan Sesar Matano.

e) Penelitian ini yang pertama meneliti struktur geologi secara lengkap

daerah Sulawesi Tengah. Penelitian ini berhasil membuat tatanama dan

mendeskripsikan setiap sesar di wilayah Sulawesi Tengah.

8
f) Penelitian ini yang pertama membagi blok area tektonik berdasarkan

batas-batas struktur geologi yang ada di Sulawesi Tengah.

g) Penelitian ini berhasil mendeskripsikan segmentasi secara lengkap di

Sesar Palu-Koro dan Sesar Matano.

h) Penelitian ini yang pertama berhasil menemukan lokasi retakan gempa

bumi besar tahun 1909 di Palu.

i) Penelitian ini berhasil memperkirakan waktu periode ulang gempa bumi

di Segmen Saluki.

j) Penelitian ini yang pertama kali memetakan jalur retakan permukaan

gempa bumi ganda magnitude 6 tahun 2007 di Solok, Sumatra Barat.

Ini merupakan pertama di Sesar Sumatra dan pertama di Indonesia.

k) Penelitian ini menghasilkan pemahaman karakteristik gempa bumi

ganda yang dihasilkan oleh Segmen Saluki – Segmen Sumani –

Segmen Sianok.

I.6 Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian ini tiga lokasi studi dikerjakan secara bersamaan dengan

tahapan menyesuaikan dengan tingkat pemahaman penelitian sebelumnya

(Gambar I-2). Lokasi studi Sesar Sumatra diawali dengan menyusun data yang

telah dikumpulkan. Data tersebut kemudian dianalisis besar pergeseran pada tiap

lokasi rinci. Lokasi retakan permukaan gempa bumi 2007 di Sesar Sumatra ini

adalah lokasi ideal untuk menerapkan uji survey geofisika dangkal Ground

Penetrating Radar (GPR) dan Geolistrik. Lokasi studi Sesar Palukoro-Matano di

Sulawesi dan Sesar Lembang di Jawa belum diketahui jelas geometri sesar-

9
sesarnya. Tahap awal yang harus dilakukan di dua lokasi ini adalah memetakan

jalur sesar aktifnya. Tahap selanjutnya adalah mencari lokasi jalur sesar aktif

menggunakan data citra resolusi tinggi, catatan sejarah, dan survey geofisika

dangkal. Tujuan akhirnya adalah untuk memahami karakteristik gempa bumi di

tiga lokasi tersebut. Hasil akhir ini juga untuk dapat memperbaiki dan menemukan

metoda terbaik/paling sesuai untuk daerah tropis (khususnya Indonesia).

Lokasi Penelitian Sesar Aktif

Segmen Sumani
Sesar Sumatra Sesar PaluKoro-
(Studi retakan Sesar Lembang
Matano
permukan
gempabumi
kembar 2007) Jalur dan Jalur dan
Segmentasi Sesar Segmentasi Sesar
Aktif Aktif
Analisis pergeseran
dan distribusi
retakan permukaan Sebaran Pergeseran
ge Sebaran Pergeseran
Sesar Aktif (Offset Sesar Aktif (Offset
Distribution) Distribution)
Survei GPR dan
Geolistrik

Survei GPR Survei Geolistrik

Uji Paritan
Uji Bor Tangan Uji Paritan
dan Paritan

Analisis Analisis
Analisis Paleoseismologi Paleoseismologi
Paleoseismologi

Laju pergeseran Laju pergeseran


Sesar Sesar

Hasil dan perbandingan


metoda paleoseismologi
pada tiap lokasi studi

Gambar ‎I-2. Diagram alir kegiatan pelaksanaan penelitian metoda paleoseismologi.

10
I.7 Sistematika Disertasi

Dalan penulisan disertasi ini dibagi dalam beberapa bab yang akan membahas tiap

pokok permasalahan.

Bab I merupakan pendahuluan yang berisis latar belakang, tujuan, manfaat,

hipotesa, asumsi, kebaharuan/novelty, pelaksanaan penelitian dan

sistematika penulisan.

Bab II merupakan data dan metodologi penelitian paleoseismologi.

Bab III merupakan kegiatan penelitian dilokasi studi kasus Segmen Sianok,

Sumani dan Suliti, Sesar Sumatra. Bab ini berisi tentang pemetaan

retakan permukaan gempa bumi ganda tahun 2007. Lokasi ini menjadi

uji coba survey geofisika GPR, geolistrik, dan uji paritan. Kemudian

diakhir bab ini adalah diskusi dan kesimpulan karakteristik gempa

bumi yang dihasilkan.

Bab IV merupakan kegiatan penelitian dilokasi studi kasus Sesar Palukoro –

Matano, Sulawesi bagian tengah. Lokasi ini pertama adalah berisi

tentang pemetaan sesar aktif di Sulawesi bagian tengah. Secara khusus

membahas pemetaan rinci untuk memahami segmentasi Sesar

Palukoro – Matano. Bab ini berisi tentang uji paritan, sejarah gempa

bumi, kejadian gempa bumi tahun 2012, dan periode ulang Segmen

Saluki (bagian Sesar Palukoro). Pada bagian akhir membahas tentang

pembagian blok tektonik di Sulawesi bagian tengah dan karakteristik

gempa bumi yang dihasilkannya.

Bab V merupakan kegiatan penelitian dilokasi studi kasus Sesar Lembang,

Jawa Barat. Bab ini membahas geometri secara rinci dengan notasi

11
kilometer, analisis pergeseran sungai, dan kinematika gerak. Bab ini

juga menyajikan hasil uji paritan yang menunjukkan waktu kejadian

gempa bumi terakhir di Sesar Lembang.

Bab VI merupakan diskusi keseluruhan kegiatan di tiga lokasi penelitian.

Bab ini menjelaskan permasalah dan keberhasilan penerapan metoda

paleoseismologi. Bab ini juga menyimpulkan perbaikan/penambahan

diagram alir penelitian paleoseismologi yang sesuai untuk daerah

tropis (khususnya Indonesia).

Bab VII merupakan kesimpulan penelitian ini.

12
Bab II DATA DAN METODOLOGI
PALEOSEISMOLOGI

Paleoseismologi adalah bagian dari ilmu geologi gempa bumi yang mempelajari

sejarah gempa bumi terutama mengenai lokasi, waktu kejadian dan ukurannya

(Wallace, 1981). Kalau seismologi mempelajari gempa bumi berdasarkan data

gempa bumi yang terekam oleh peralatan, paleoseismologi mempelajari gempa

bumi berdasarkan bukti-bukti geologi dari proses dan kejadian gempa bumi yang

terekam di alam (McCalpin, 1996a).

Konsep ilmu paleoseismologi adalah mempelajari gempa bumi yang

menghasilkan deformasi di permukaan. Deformasi permukaan ini muncul dan

membentuk morfologi permukaan serta menghasilkan lapisan stratigrafi yang

merekam kronologi besaran dan waktu kejadian gempa bumi. Secara umum.

bukti-bukti yang digunakan diklasifikasikan menjadi dua, yaitu bukti

paleoseismologi primer dan bukti paleoseismologi sekunder (McCalpin, 1996b).

Bukti paleoseismologi primer adalah bukti langsung yang berhubungan dengan

pergerakan sesar – sebagai contoh gawir sesar, pergeseran sungai, bukit sesar

(shutter ridge), kolam sesar (sag pond), lipatan yang berada di sepanjang sesar,

dan di bawah permukaan tanah terdapat informasi rekaman stratigrafi geologi

yang dapat dibuka melalui uji paritan. Bukti paleoseismologi sekunder adalah

fenomena-fenomena yang disebabkan oleh getaran gempa bumi. Bukti-bukti

tersebut antara lain mataair pasir (sand blows), longsoran, perubahan muka air

tanah, endapan tsunami, dan pohon tumbang.

13
Bukti-bukti paleoseismologi primer merupakan fokus utama penelitian desertasi

ini. Bukti ini biasanya tidak muncul karena beberapa hal (Gambar II-1), yaitu (1)

Kekuatan gempa bumi yang terlalu lemah, yang disebabkan karena gempa bumi

dangkal dengan momen magnitudo kurang dari 5 atau gempa bumi dalam, (2)

kondisi lapangan yang membingungkan sehingga bercampur dengan bukti lain

seperti longsor, (3) Bukti yang ada dengan cepat tererosi dan rusak oleh proses-

proses permukaan. Karena bukti paleoseismologi primer merupakan bukti

langsung akibat pergerakan sesar, sebaran bukti ini berkaitan langsung dengan

besar magnitudo gempa bumi. Panjang retakan permukaan gempa bumi

merupakan besaran yang umum digunakan untuk membandingkan dengan besar

magnitudo gempa bumi (Wells dan Coppersmith, 1994). Bukti primer lain yang

umum dipergunakan juga adalah besar pergeseran/offset sesar.

Gambar I‎ I-1. Diagram yang memperlihatkan dimensi retakan permukaan pada


berbagai tingkatan magnitudo gempa bumi. Nilai pada gambar
setengah oval tersebut adalah panjang retakan dan besar maksimum
pergeseran. Sebelah kanan adalah diagram yang memperlihatkan
sebaran luas longsoran akibat gempa bumi sebagai bukti
paleoseismologi sekunder (McCalpin, 1996b).

14
Tahapan penelitian metoda paleoseismologi dijelaskan pada Gambar II-2

(McCalpin, 1996). Tahap pertama adalah mengenali indikasi struktur sesar di

batuan Kuarter. Kemudian memastikan struktur sesar tersebut dibentuk oleh

aktifitas gempa bumi (seismogenic), bukan karena aktifitas buatan manusia atau

non tektonik lainnya, misalnya longsor, subsiden, erosi, teras sungai, dan lainnya.

Tahap selanjutnya adalah penentuan lokasi uji paritan. Tahap ini dibantu dengan

menggunakan survey geofisika. Jika sudah dipilih, kemudian dilakukan

penggalian, diskripsi dinding paritan dan interpretasi kejadian gempa bumi.

Informasi geologi yang menunjukkan aktifitas di satuan batuan Kuarter; atau informasi
catatan kejadian gempa bumi; atau informasi studi GPS; atau analysis deformasi bumi dari
citra satelit

Gawir sesar yang memotong satuan batuan Kuarter atau bentang alam Kuarter.

Membedakan asal mula gawir sesar

Memastikan penyebab terbentuknya gawir sesar

Aktivitas manusia Non tektonik. Non seismogenic Seismogenic


Yaitu: Longsor, erosi, teras sungai,
teras danau, subsiden, dll.

Penentuan lokasi studi dan paritan

Identifikasi lokasi terbaik uji paritan

Geofisika

Deskripsi uji paritan rinci

PENGGALIAN DAN DESKRIPSI PARITAN

Interpretasi hasil

Gambar ‎II-2. Diagram alir penelitian paleoseismologi (McCalpin, 1996).

15
II.1 Retakan Permukaan (Surface Rupture) Gempa Bumi

Retakan permukaan (surface rupture) atau fault rupture adalah retakan di

permukaan bumi akibat retakan besar dibawah permukaan bumi oleh pergerakan

sesar aktif ketika menghasilkan gempa bumi (Ziony, 1985)seperti dijelaskan pada

Gambar II-3. Retakan permukaan ini menyebabkan perubahan permanen

morfologi permukaan, sebagai contoh terjadi pergeseran morfologi setelah gempa

bumi Kobe di Jepang (Ota dkk., 1997) (Gambar II-3b ) dan pengangkatan dataran

setinggi 4-6 meter setelah gempa bumi Chi-chi di Taiwan (Chen dkk.,

2001)(Gambar II-3c). Pemetaan retakan permukaan adalah mengukur posisi

kelurusan yang mengalami deformasi. Kelurusan-kelurusan tersebut adalah

kelurusan struktur bangunan, seperti tembok, rumah, lantai, pematang, dan

lainnya. Kelurusan itu kemudian diukur pergeserannya yang merupakan

pergeseran akibat sesar aktif.. Metoda ini telah digunakan di Sesar Sumatra

(Daryono dkk., 2012; Daryono dan Tohari, 2016; Natawidjaja, 2009).

II.2 Kompilasi Data Seismisitas

Kompilasi data seismisitas ini adalah mengumpulkan data-data seismisitas

wilayah Sulawesi dari katalog gempa bumi yang tersedia. Katalog-katalog

tersebut adalah USGS, Engdahl, NEIC, focal mechanism CMT dan BMKG. Data-

data tersebut dimasukkan lokasinya secara spasial 2D. Data-data gempa bumi

tersebut juga disaring berdasarkan besar magnitudo dan kedalamannya. Khusus

untuk data BMKG dapat disaring lebih teliti karena BMKG memiliki empat

stasiun gempa bumi di sekitar Palu yang juga merekam gempa bumi magnitudo

16
kecil (Mw<5). Sebaran data-data gempa bumi ini diperlukan untuk mengarahkan

analisis selanjutnya ke sumber gempa bumi dengan tepat.

(a)

(b (c)
)
Gambar I‎ I-3. (a) Model kartun retakan permukaan terhadap bidang sesar dan
retakan/robekan sesar akibat pergerakan gempa bumi (Ziony, 1985).
(b) Retakan permukaan sesar geser gempa bumi Kobe tahun 1995 di
Jepang (panah putih)(Ota dkk, 1997). Lokasi ini sekarang dijadikan
museum gempa bumi Kobe. (c) Retakan permukaan sesar naik
gempa bumi Chi chi di Taiwan (panah putih)(Chen dkk, 2001).
Retakan ini terjadi di lapangan atletik yang menyebabkan kenaikan
tanah hingga 4 meter.

II.3 Pemetaan Sesar Aktif

Pemetaan sesar aktif adalah bagian yang penting dalam penelitian metoda

paleoseismologi. Keberhasilan pemetaan sesar aktif sangat berpengaruh terhadap

tahap selanjutnya yaitu uji paritan. Permasalahan pemetaan di wilayah tropis

adalah proses erosi yang intensif dan juga tutupan vegetasi yang dominan. Jenis

17
data menjadi penentu keberhasilan pemetaan ini. Jenis data yang mampu

menghilangkan tutupan vegetasi akan sangat membantu menelusuri jalur sesar

aktif.

Pemetaan sesar aktif ini mengikuti di beberapa publikasi di dunia yaitu Sesar

Sumatra – Indonesia (Sieh dan Natawidjaja, 2000), Turkey (Saroglu dkk., 1992),

Taiwan (Shyu dkk., 2005) and Myanmar (Wang dkk., 2014). Prinsipnya pemetaan

ini adalah memetakan jalur sesar berdasarkan bentukan morfologi yang berkaitan

dengan geometri dan pergerakan pada sesar dan interaksinya dengan proses erosi

dan sedimentasi di sekitarnya. Makin tinggi laju deformasi atau laju

pergeserannya maka akan semakin jelas jejaknya di permukaan karena laju

pembentukan morfologi gempa bumi (konstruktif) akan semakin lebih tinggi dari

kecepatan erosi dan sedimentasinya. Sebaliknya apabila laju deformasinya rendah

atau kecepatan erosi dan sedimentasinya lebih tinggi maka jejak dari geometri dan

pergerakan sesar tersebut bisa tidak tampak dipermukaan karena semua

bentukannya musnah oleh erosi atau tertutup oleh sedimentasi. Jadi metoda

pemetaan sesar aktif dari bentukan morfologi gempa bumi di permukaan

mempunyai keterbatasan. Salah satu upaya yang dilakukan dalam penelitian ini

untuk mencari jejak sesar dimana jejak morfologi gempa buminya tidak terlihat

dipermukaan adalah dengan mempergunakan metoda survey geofisika bawah

permukaan, antara lain GPR dan geolistrik.

Melakukan pengukuran laju pergeseran geologi pada sesar artinya harus mencari

pergeseran lapisan geologi atau unsur morfologi seperti sungai-sungai, lembah

18
atau punggungan di sepanjang jalur sesarnya. Tidak semua pergeseran yang

terlihat adalah karena pergerakan sesar tapi bisa juga karena faktor lain seperti

pembelokan sungai karena faktor litologi, erosi sungai, atau longsoran. Oleh

karena itu pemilihan pergeseran untuk pengukuran laju pergeserannya harus

dilakukan dengan hati-hati, mempertimbangkan berbagai faktor geologi dan

geomorfologi disekitarnya. Selain itu, walaupun kita dapat menemukan

pergeseran yang dimaksud hal lain yang diperlukan adalah kita harus dapat

menentukan umur dari unsur yang tergeserkan. Hal inipun seringkali tidak mudah.

Misalnya apabila yang tergeserkan adalah sebuah aliran sungai, maka kita harus

dapat menemukan lapisan sedimen yang umurnya kira-kira sama dengan umur

sungai tersebut. Apabila sungai tersebut mengalir di atas sedimen endapan hasil

letusan gunung api yang homogen, misalnya seperti sungai-sungai yang mengikis

endapan tebal tufa letusan Toba di Sumatra Utara, maka menentukan umur sungai

tersebut bisa dilakukan dengan mudah yaitu dengan melakukan pentarikhkan

umur endapan tufa tersebut, dengan asumsi bahwa sungai tersebut mulai mengikis

tufa tidak lama setelah tufa tersebut diendapkan. Lain halnya dengan aliran

sungai yang mengikis lapisan-lapisan geologi yang heterogen atau berbeda-beda

umur. Maka penentuan umurnya akan jauh lebih sulit.

Geometri dan pergeseran yang besarnya puluhan-ratusan meter sampai lebih dari

satu kilometer terbentuk oleh banyak kejadian gempa bumi dalam kurun waktu

yang sangat lama. Dengan kata lain, satu kejadian sesar gempa bumi bisa

dianalogikan sebagai sebuah bata dari bangunan tektoniknya. Studi

paleoseismologi dalam analogi ini adalah meneliti bata-bata tersebut. Kesuksesan

19
studi paleoseismologi sangat ditentukan oleh berhasil tidaknya menemukan lokasi

yang tepat dan cocok. Syaratnya, (1) Harus di lokasi yang dilalui oleh struktur

sesar utama yang menjadi targetnya, (2) Lokasi tersebut harus mempunyai

stratigrafi yang berumur sesuai target interval waktunya dan mempunyai lapisan-

lapisan sedimen yang bisa diuji pentarikhkan umurnya. Dengan dipenuhi dua

syarat itu maka diharapkan kita bisa menemukan bukti-bukti geologi dari

kejadian-kejadian gempa bumi di masa lalu, yaitu dengan melihat struktur sesar

yang memotong lapisan geologi yang berumur tertentu. Besarnya gempa bumi

yang terjadi setara dengan besar pergeserannya. Dari satu singkapan/paritan kita

dapat melihat lebih dari satu kali kejadian gempa bumi yaitu dengan menerapkan

prinsip superposisi dalam proses geologi.

II.3.1 Identifikasi Morfologi Gempa Bumi

Hal pertama yang harus dilakukan dalam penelitian geologi gempa bumi adalah

melakukan pemetaan secara teliti bentukan morfologi gempa bumi dan endapan

Kuarter di zona deformasi. Berdasarkan perkiraan umur endapan yang terpatahkan

dan mengukur besar pergeserannya, parameter gempa bumi dapat dihitung yaitu :

(1) Kecepatan pergeseran sesar, (2) Pergeseran atau ungkit setiap kejadian gempa

bumi, (3) Umur setiap kejadian gempa bumi. Pemetaan ini mengindikasikan

dimana sesar terjadi dalam satu kejadian gempa bumi atau merupakan gabungan

beberapa kejadian gempa bumi berdasarkan ukuran dan umur gempa bumi.

Tentunya umur tersebut tergantung dengan ketidakpastian metode pentarikhkan

umur yang digunakan.

20
Urutan ideal investigasi morfologi gempa bumi harus dimulai skala regional, ke

skala lokal (pemetaan morfologi gempa bumi), ke skala teknik (strip map, uji

paritan, geofisika) (McCalpin, 1996b). Umumnya target morfologi bentukan

deformasi paleoseismik berukuran sangat kecil sekitar <1 m hingga 5 m, sehingga

ideal pemetaan morfologi ini dilakukan dengan menggunakan peta topografi

dengan interval kontur 3 sampai dengan 5 m dan menggunakan resolusi lebih

besar dari 5 m. Bentukan morfologi yang dicari antara lain: gawir sesar, bukit

sesar (shutter ridge), bukit tertekan (pressure ridge), kolam sesar (sag pond),

lembah dipresi (Gambar II-4).

Gambar I‎ I-4. Bentuk morfologi yang berhubungan dengan sesar aktif. Bentuk-
bentuk tersebut diberi simbol berdasarkan morfologi yang muncul
(McCalpin, 1996b).

Tujuan utama analisis morfologi ini adalah untuk menghitung pergeseran setiap

individu kejadian gempa bumi. Nilai inilah yang digunakan untuk mengestimasi

besar magnitudo gempa bumi. Pergeseran pada sesar geser umumnya dapat

diketahui dengan adanya pergeseran teras, sungai dan endapan kipas alluvial

(alluvial fan).

21
Jenis data yang dipergunakan dan kecermatan sangat menentukan hasil pemetaan

bentukan morfologi gempa bumi. Sebagai contoh Gambar II-5 adalah

perbandingan pemetaan bentukan morfologi sesar aktif di Segmen Cholame –

Sesar San Andreas. Vedder dan Wallace (1970) melakukan pemetaan

menggunakan foto udara dengan skala 1:24000; Stone dan Arrowsmith (1998)

menggunakan foto udara skala 1:10000; dan Arrowsmith dan Zielke (2009)

memetakan seluruhnya berlandaskan GIS menggunakan citra survei Digital

Elevation Modul (DEM) Lidar dengan ketelitian 0.5 hingga 1 meter. Hasil

pemetaan tersebut menunjukkan hasil pemetaan peta lama cenderung lebih

komplek sedangkan pemetaan terbaru menggunakan data lebih rinci cenderung

lebih sederhana tarikan garisnya.

Gambar I‎ I-5. Perbandingan hasil pemetaan sesar aktif Segmen Cholame – Sesar
San Andreas. (Atas) Vedder dan Wallace (1970) melakukan
pemetaan menggunakan foto udara dengan skala 1:24000. (Tengah)
Stone dan Arrowsmith (1998) menggunakan foto udara skala
1:10000. (Bawah) Arrowsmith dan Zielke (2009) memetakan
seluruhnya berlandaskan GIS menggunakan citra survey DEM Lidar
dengan ketelitian 0.5 hingga 1 meter.

22
II.3.2 Penggunaan Data-Data Digital Topografi dan Sistem

Informasi Geografis (GIS)

Data-data yang dipergunakan pada penelitian ini merupakan kompilasi data yang

telah ada di Indonesia, data public domain, dan beberapa data pembelian baru.

Proses analisis ini akan menggunakan perangkat lunak ArcGIS versi 10 dan akan

diolah semuanya secara digital. Data-data yang dipergunakan tersebut terinci pada

Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Sumber, nama dan ketersediaan data digital.

No Nama Data Sumber


1 ASTER30M v1 http://www.jspacesystems.or.jp/ersdac/GDEM/E/4.html
2 SRTM90M http://www2.jpl.nasa.gov/srtm/cbanddataproducts.html
3 RBI Stasiun BMKG Palu
4 IFSAR sebagian teluk Menggunakan data penelitian grup tsunami GREAT
Palu
5 LIDAR sebagian teluk Menggunakan data penelitian grup tsunami GREAT
Palu
6 LANDSAT Puslit Geoteknologi LIPI
7 Quick Bird Pusat Pemantapan Kawasan Hutan Palu – Departemen
Kehutanan
8 SPOT5 Pusat Pemantapan Kawasan Hutan Palu – Departemen
Kehutanan
9 IFSAR lima lokasi Pembelian GREAT
terpilih
10 IFSAR seluruh Badan Geologi – ESDM
Sulawesi Tengah
11 LIDAR Matano PT. Vale Indonesia
12 Katalog gempa bumi http://earthquake.usgs.gov/research/data/centennial.php
Engdahl (2005)
13 Katalog gempa bumi BMKG Stasiun Palu
M<5 BMKG Palu
2009-2011
14 Katalog gempa bumi http://earthquake.usgs.gov/earthquakes/eqarchives/epic/ep
USGS ic_rect.php
15 Focal Mechanism http://earthquake.usgs.gov/earthquakes/eqarchives/sopar/
NEIC
16 Katalog sejarah gempa http://iisee.kenken.go.jp/utsu/index_eng.html
bumi Utsu (2002)
17 LiDAR Lembang Pembelian GREAT

23
II.3.3 Analisis Data Digital

Analisis data digital ini secara prinsip adalah memunculkan dan menguatkan

gambar bentuk morfologi gempa bumi (Arrowsmith, 2010). Keakuratan analisis

ini sangat bergantung pada resolusi data digital yang dipergunakan. Sebagai

perbandingan data digital DEM LiDAR memiliki resolusi 0,9 m menunjukkan

gambar morfologi jauh lebih rinci dibandingkan dengan data digital IFSAR 5m,

ASTER 30m, ataupun SRTM 90m (Gambar II-6). Di dalam penelitian ini objek

target morfologi gempa bumi memiliki dimensi beberapa meter hingga ratusan

meter. Hal ini menyebabkan resolusi DEM kasar tidak dapat memperlihatkan

morfologi gempa bumi yang hanya beberapa meter tersebut tetapi dapat

mengenali bentuk dimensi berukuran ratusan meter. Jadi besar resolusi data yang

digunakan adalah sangat penting dan menentukan keberhasilan pemetaan sesar

aktif.

(a) 500 m
(b)

(c) (d)
Gambar I‎ I-6. Perbandingan resolusi data digital di lokasi yang sama yaitu Muril -
Lembang SRTM 90m (a), ASTER 30m (b), IFSAR 5m (c), dan
LiDAR 0,9m (d).

24
II.3.3.1 Garis Kontur

Garis kontur adalah cara yang umum untuk menganalisis morfologi gempa bumi.

Pembuatan garis kontur ini akan dilakukan menggunakan ArcTools- spatial

analyst. Ketelitian garis kontur ini sangat bergantung terhadap resolusi data DEM

yang digunakan. LiDAR dengan ketelitian 90cm menghasilkan ketelitian garis

kontur 30cm. IFSAR dengan ketelitian 4m menghasilkan ketelitan garis kontur 2

m. Sedangkan ASTER dan SRTM dengan ketelitan lebih kecil dari 30m

menghasilkan garis kontur 25m.

II.3.3.2 Pewarnaan Elevasi (Coloring Code)

Cara pewarnaan elevasi ini akan mempergunakan kode simbol ketinggian di

perangkat lunak ArcMap. Didalam perangkat lunak tersebut dapat ditentukan

batas ketinggian yang diinginkan. Batas ketinggian ini dapat diubah-ubah untuk

menguatkan gambar morfologi gempa bumi. Cara ini efektif untuk mengetahui

batas-batas perubahan ketinggian yang kontras di mana biasanya morfologi gempa

bumi tersebut muncul.

II.3.3.3 Efek Bayangan (Hill shade)

Cara ini adalah membuat efek bayangan matahari. Efek bayangan ini dapat diatur

lokasi mataharinya sehingga diperoleh gambar bentang alam yang jelas.

Pengaturan lokasi matahari ini disesuaikan dengan lokasi dan tinggi perbukitan

yang berada mengelilingi objek morfologi gempa bumi yang dikehendaki.

Penelitian ini menggunakan ekspresi geomorfologi menggunakan perangkat lunak

tambahan multi-shade-relief digital elevation imagery (ESRI-Mapping-Center-

25
Team, 2010). Perangkat lunak ini mampu membuat efek bayangan dengan

pembobotan tertentu. Sudut 30 derajat diberi bobot transparan 80 persen, sudut 45

derajat 60 persen, sudut 50 derajat 40 persen dan seterusnya sehingga diperoleh

banyangan gradasi bayangan yang lengkap. Kelebihan penggunaan perangkat

lunak ini adalah mampu menggambarkan citra secara lengkap di wilayah lembah

(perangkat lunak umumnya tertutup bayangan hitam).

II.3.3.4 Penampang Profil Ketinggian

Pembuatan penampang profil ketinggian ini memberi gambaran tiga dimensi

morfologi gempa bumi. Profil ini membantu untuk menemukan titik deformasi

sesar aktif seperti tekuk lereng, bentuk antiklin, dan lainnya. Ketelitian

penampang ini bergantung pada resolusi data DEM sama halnya seperti garis

kontur. Jenis dan resolusi data mempengaruhi keakuratan garis penampang

elevasi.

II.3.3.5 Tumpangsusun (Overlay Layers)

Tumpangsusun merupakan cara memperlihatkan gambar bentuk morfologi gempa

bumi secara bersamaan. Cara ini juga dapat membandingkannya berbagai data

digital sehingga gambar morfologi gempa terlihat jelas. Cara ini adalah

menggabungkan beberapa data digital dengan mentranparankan lapisan bagian

atas sehingga gambar morfologi gempa bumi terlihat jelas. Cara ini dapat

dikombinasikan dengan citra visual satelit dan hasil olahan DEM.

26
II.3.4 Pemetaan Rinci Morfologi Gempa Bumi (Active Fault Stip

Map)

Pemetaan rinci morfologi gempa bumi adalah memetakan rinci bentukan

morfologi dan bentuk-bentuk pergeseran gempa bumi skala teknis. Pembuatan

peta rinci ini adalah untuk mendapatkan situasi rinci morfologi gempa bumi.

Gambaran ini diperlukan untuk mendapatkan besar pergeseran vertikal dan

horisontal. Pemetaan ini menuntut ketelitan berkisar ~30mm sehingga diperlukan

alat ukur total station atau theodolit.

Pemetaan ini mengukur kelurusan-kelurusan bangunan sipil yang tergeser dan

bentukan retakan yang dihasilkan akibat gempa bumi. Obyek kelurusan-kelurusan

tersebut kemudian dihitung besar pergeserannya dengan trend arah sesar

menggunakan program Computerized Automatic Design (CAD).

II.3.5 Analisis Aliran Sungai

Analisis aliran sungai ini adalah mencocokan bentuk morfologi dengan

menggeserkannya ke posisi sebelum tergeser akibat gempa bumi. Setelah tahap

interpretasi morfologi gempa bumi selesai tahap selanjutnya adalah

merekonstruksi pergerakan sesar aktif tersebut. Kesesuaian kelurusan sungai,

bukit, dan lembah menunjukkan ketepatan kondisi awal sebelum tergeserkan.

II.3.6 Sebaran Pergeseran Horisontal dan Vertikal di Jalur Sesar

Setelah diketahui jenis kinematika pergerakan sebuah sesar aktif, maka dapat

diukur besaran pergeseran-pergeseran dari bentuk-bentuk morfologi asalnya,

seperti aliran sungai, kelurusan lereng, dan kelurusan punggungan bukit. Data

27
pergeseran ini kemudian dibuat dalam grafik berdasarkan lokasinya di jalur sesar

tersebut (berdasarkan notasi kilometer dari awal jalur sesar atau posisi koordinat).

Grafik ini memperlihatkan pola retakan yang dihasilkan oleh retakan sesar aktif

tertentu tersebut.

II.3.7 Menghitung Besar Pergeseran dan Laju Pergeseran

Untuk menghitung laju pergeseran, ahli geologi gempa bumi harus mampu

menemukan bentuk kelurusan dan kemenerusan morfologi alami maupun buatan

manusia yang selanjutnya disebut marker. Marker ini antara lain adalah kelurusan

sungai, lembah, bukit, pagar, dinding, pematang sawah, jalan, irigasi, dan

sebagainya. Marker ini mengalami terpotong dan tergeserkan oleh sesar aktif.

Pergeseran marker ini kemudian diukur panjangnya dengan memasukkan nilai

ketidakpastiannya. Besar pergeseran marker ini merupakan total pergeseran dari

akumulasi pergeseran akibat beberapa kejadian gempa bumi ataupun dapat juga

merupakan pergeseran akibat satu kejadian gempa bumi yang baru terjadi.

Jika diketahui pergeseran marker, D, yang memotong sesar selama kurun waktu

tertentu, T, dengan menggunakan persamaan berikut dapat diketahui laju

pergeseran sesar, V.

II.3.8 Segmentasi dan Seksi Sesar

Segmentasi sesar adalah batas sesar yang membagi sesar menjadi beberapa bagian

yang merupakan batas retakan permukaan oleh kejadian gempa bumi (Slemmons,

28
1995). Batas segmentasi adalah batas berakhirnya dan awalan sebuah retakan

permukaan sesar yang berkorelasi dengan besar magnitudo gempa buminya.

Segmentasi sesar dikenali berdasarkan batas diskontinyu/ketidakmenerusan

struktur sesar. Batas segmen ini dikenali oleh tiga hal, yaitu (1) perubahan arah

strike, (2) hilang/berhentinya morfologi sesar, (3) berhentinya retakan permukaan

dari uji paritan paleoseismologi (Allen, 1968), dan (4) hasil analisis deformasi

preseismik dan postseismik oleh citra radar satelit. Segmentasi dapat terjadi akibat

perpindahan (step-over) sesar. Umumnya jarak segmentasi ini harus lebih lebar

dari 4 km (Wesnousky, 2006). Jika kurang dari 4 km, retakan permukaan

umumnya menyatu menjadi satu kesatuan retakan permukaan yang dihasilkan

oleh satu kejadian gempa bumi. Pada sesar geser, panjang segmen minimum

adalah sekitar 25 km dan panjang keseluruhannya adalah kelipatan dari 25 km

(Klinger, 2010).

Seksi adalah bagian dari segmentasi yang terbagi oleh perubahan arah strike

dan/atau perubahan kinematik gerak sesar. Pembagian seksi dicirikan oleh bentuk

morfologi sesar. Seksi bukan merupakan batas retakan yang bisa menghasilkan

gempa bumi. Terminologi seksi ini dibedakan mengingat dalam istilah geologi

gempa bumi segmentasi merupakan batasan gempa bumi, sedangkan seksi

merupakan batasan interpretasi pola morfologi gempa bumi.

II.4 Survei Geofisika Bawah Permukaan Dangkal

Survei geofisika bawah permukaan dangkal di dalam desertasi ini adalah

menggunakan alat survei Ground Penetrating Radar (GPR) dan survey geolistrik.

29
Kedua alat ini tersedia di beberapa laboratorium geofisika di Indonesia, antara lain

di Jurusan Geofisika - Institut Teknologi Bandung, Pusat Survei Geologi –

Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral, Laboratorium Earth – Pusat

Penelitian Geoteknologi – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan lainnya.

II.4.1 Survei Ground Penetrating Radar (GPR)

Survei GPR akan menghasilkan gambaran bawah permukaan lapisan. GPR untuk

mempelajari paleoseismologi umumnya menggunakan alat yang ada di pasaran

dengan spesifikasi impuls radar 80-300 MHz yang dapat menembus dengan

kedalaman efektif 10m. Ferry et al. (2004) telah berhasil mempelajari jalur sesar

aktif menggunakan GPR di Sesar Anatolian (Gambar II-7). Penelitian ini akan

menggunakan GPR produksi GSSI dan produksi Zond dengan tipe antena

Multiple Low Fequency (MLF) dengan penetrasi 10 sampai dengan 25 meter.

Gambar I‎ I-7. Penampang GPR di jalur retakan permukaan gempa bumi Izmit-
Turkey Mw7.4 1999 (Ferry dkk., 2004). Dari hasil uji paritan
diketahui adanya dua kejadian gempa bumi lampau yang belum
diketahui waktu kejadiannya.

30
II.4.2 Survei Geolistrik

Survei geolistrik merupakan bagian dari uji geofisika untuk mengetahui sebaran

lateral dan vertikal batuan berdasarkan sifat fisik konduktivitas listriknya. Survei

ini efektif untuk lokasi dengan jenis batuan yang memiliki nilai konduktifitas

listrik yang kontras, seperti perlapisan batupasir dan lempung. Penggunaan alat ini

untuk menemukan ketidak selarasan lapisan yang menunjukkan lokasi sesar

sangat baik. Penelitian ini akan menggunakan alat geolistrik Supersting Multy

Channel IP8 dengan 112 elektroda. Pengolahan data akan menggunakan software

EarthImager2D. Resolusi dan kedalaman penetrasi data bergantung dengan jarak

spasi elektroda yang digunakan. Umumnya resolusi data adalah setengah dari

spasi elektroda dan kedalaman penetrasi adalah 10 – 15 kali spasi elektroda

(tergantung juga dengan kondisi geologi). Pada penelitian ini menggunakan spasi

2,5 m atau 5 m yang berarti resolusi data yang dihasilkan adalah 1,25 m atau 2,5

m dan kedalaman penetrasi antara 25 – 50 m.

II.5 Studi Stratigrafi Gempa bumi

Ekspresi stratigrafi gempa bumi dihasilkan oleh aktifitas gempa bumi yang

terlihat pada pergeseran lapisan sedimen. Pergeseran sesar ini akan memotong

lapisan sedimen dan membentuk ketidakselarasan yang akan tertutupi oleh lapisan

yang lebih muda. Karena studi gempa bumi ini meneliti gerakan saat ini,

umumnya tipe batuan sedimennya adalah tipe batuan muda yang tak

terkonsolidasi. Cara mempelajari akan dijelaskan pada bab berikut.

31
II.5.1 Metoda Pemboran Tangan

Pemboran tangan umumnya adalah pemboran tanah dangkal yang dilakukan

secara manual. Tujuan utama pemboran adalah membuat korelasi lapisan

sedimen. Pemboran ini memiliki kelebihan yaitu murah, ringkas, dan hasilnya

berupa inti bor yang menerus. Disamping itu sifat alat yang ringkas memudahkan

mobilitas penelitian. Kekurangan pemboran adalah batas kedalaman yang hanya

berkisar 3 sampai 4 meter dan tidak dapat menembus lapisan sedimen yang keras.

Kekurangan lainnya adalah hasil pemboran tangan ini hanya memberikan sebaran

lapisan secara lateral dengan baik, tidak menggambarkan struktur sesarnya.

Ketelitian beda tinggi dan kedalaman pemboran merupakan kunci pengujian ini

karena objek penelitian yang berdimensi beberapa centimeter.

II.5.2 Metoda Paritan

Paritan merupakan tahapan utama investigasi paleoseismologi. Pengujian ini dapat

menyingkap stratigrafi gempa bumi secara lengkap baik stratigrafi dan struktur

sesarnya. Uji paritan ini telah berhasil digunakan untuk mengetahui gempa bumi

lampau meliputi sesar, lipatan, dan retakan yang menyebabkan pergeseran

sedimentasi. Tujuan utama paritan ini adalah untuk mendapatkan gambaran 3D

setiap kejadian gempa bumi.

Teknik paritan adalah dengan melakukan penggalian berlapis dengan arah paritan

memotong tegak lurus sesar. Arah ini untuk mendapatkan data pergeseran utama

dan kejadian-kejadian gempa bumi lampau berdasarkan hukum potong-memotong

sesar. Umumnya seorang ahli geologi akan mudah mengenali struktur sesar di

32
batuan, tetapi akan sulit mengenali struktur sesar di sesar aktif (McCalpin, 1996b).

Hal ini terjadi karena sebagian besar sesar aktif terlihat di batuan yang masih

muda dan belum terkonsolidasi. Contoh hasil stratigrafi ini adalah pekerjaan

penelitian di hasil uji paritan Sesar Anatolian, Turkey (Gambar II-8). Analisis

stratigrafi menunjukkan adanya retakan akibat gempa bumi tahun 1912 dan 1766

(Rockwell dkk., 2009).

Teknik ini juga menghancurkan rekaman sedimen bagian yang digali. Sehingga

teknik ini harus selalu mempertimbangkan untuk penelitian yang akan datang.

Gambar I‎ I-8. Hasil uji paritan Sesar Anatolian, Turkey. Analisis stratigrafi
menunjukkan adanya retakan akibat gempa bumi tahun 1912 dan
1766 (Rockwell dkk., 2009). Nama lapisan adalah berdasarkan
urutan dengan notasi angka puluhan, yaitu lapisan 10, lapisan 20,
dst.

II.5.3 Deskripsi Lapisan

Aturan umum yang digunakan dalam investigasi paleoseismik yaitu

mendeskripsikan satuan lapisan berdasarkan litologi dan karakter lapukannya.

Diskripsi ini umum digunakan dalam pekerjaan geologi lapangan. Deskripsi ini

penting untuk mengenali kejadian pergeseran dan pengisian endapan sedimen

33
yang akan digunakan untuk mengetahui kronologi terjadinya gempa bumi.

Terdapat 15 parameter yang harus di teliti di lapangan secara cermat. 15

parameter tersebut adalah :

1. Warna 9. Ketebalan lapisan


2. Ukuran butir 10. Struktur sedimen
3. Persentase susunan 11. Lapisan tanah
4. Diameter butir 12. Fosil
5. Bentuk butir 13. Kontak lapisan
6. Pemilahan 14. Struktur yang terdeformasi
7. Ukuran matrik 15. Interpretasi awal
8. Kekerasan matriks

II.5.4 Deskripsi Pergeseran Setiap Kejadian Gempa Bumi

Besar pergeseran pada sebuah kejadian gempa bumi dapat digunakan untuk

menghitung besar magnitudo gempa bumi dan interval waktu sebelum antar

kejadian gempa bumi. Sebaran pergeseran merupakan batas segmentasi sesar dan

daerah karakteristik pergeseran.

Untuk mengukur pergeseran tiap kejadian gempa bumi adalah dengan mengenali

jumlah kejadian gempa bumi dan kemudian menemukan bentuk kelurusan yang

sama yang telah tergeser dan kemudian mengukurnya. Pengukuran ini harus

dilakukan melalui ekskavasi paritan secara tiga-dimensi melalui beberapa paritan.

Hasil akhir pengamatan lapisan adalah untuk mengenali dan menghitung jumlah

retakan permukaan yang dihasilkan oleh kejadian gempa bumi. Retakan

permukaan ini juga menunjukkan terpotongnya lapisan sedimen yang dapat

dianalisa dan diuji pentarikhkan umurnya seakurat mungkin. Bukti retakan

permukaan ini biasanya disebut kejadian gempa bumi lampau (paleoseismic

event). Kriteria untuk mengidentifikasi retakan permukaan adalah adanya bukti

34
perlapisan yang ditunjukkan oleh Gambar II-9 notasi 1 hingga 10 sebagai berikut

(Lettis dan Kelson, 2000) : (1) Batuan atau lapisan sedimen yang tersesarkan, (2)

Upward fault termination (UFT) pada ketidakselarasan, (3) Ketidakselarasan

akibat deformasi batuan atau sedimen, (4) Pergeseran batuan, (5) Perbedaan

ketebalan lapisan, (6) Baji koluvial (colluvium wedge), (7) Material yang

terpindahkan, (8) Penebalan lapisan pada bagian yang turun, (9) Material yang

menerobos, (10) Bidang sesar yang muncul kepermukaan

Kronologi retakan permukaan hasil deskripsi paleoseismologi adalah berisi

beberapa kejadian retakan permukaan yang merepresentasikan kejadian gempa

bumi. Retakan permukaan tersebut dideskripsikan sebagai kejadian gempa bumi

yang diberi notasi alfabet. Sebagai contoh adalah deskripsi Sesar San Andreas

yang kejadian gempa buminya diberi notasi kejadian A hingga F (Gambar II-10)

(Grant dan Sieh, 1994). Kejadian gempa bumi A merupakan UFT yang terjadi

sebelum umur lapisan 30 dan lapisan 40. Gempa bumi B pada saat umur lapisan

50. Gempa bumi D terjadi pada umur lapisan 100. Gempa bumi E tidak diketahui

dengan jelas posisi UFTnya. Gempa bumi F terjadi pada umur lapisan 200 dan

200a.

35
Gambar I‎ I-9. Diagram yang menunjukkan kriteria yang digunakan dalam
mendeskripsi gempa bumi lampau di singkapan dekat permukaan
(Lettis dan Kelson, 2000). (1) Batuan atau lapisan sedimen yang
tersesarkan, (2) Upward fault termination (UFT) pada
ketidakselarasan, (3) Ketidakselarasan akibat deformasi batuan
atau sedimen, (4) Pergeseran batuan, (5) Perbedaan ketebalan
lapisan, (6) Baji koluvial (colluvium wedge), (7) Material yang
terpindahkan, (8) Penebalan lapisan pada bagian yang turun, (9)
Material yang menerobos, (10) Bidang sesar yang muncul
kepermukaan.

36
Gambar I‎ I-10. Sketsa paritan Sesar San Andreas. Huruf abjad (A,B,C,D,E,F)
menunjukkan bukti kejadian gempa bumi (Grant dan Sieh, 1994).

II.5.5 Pemilihan Sampel dan Pentarikhkan Umur

Hasil deskripsi stratigrafi gempa bumi memberikan informasi kronologi

sedimentasi yang tergeser akibat aktifitas gempa bumi. Pemahaman data deskripsi

lapangan ini memberikan arahan menentukan lapisan kunci untuk diketahui

umurnya. Tanpa umur, kita tidak bisa menghitung laju pergeseran sesar dan umur

kejadian.

Pemilihan sampel uji karbon menentukan hasil rekonstruksi kronologi gempa

bumi. Sampel terbaik adalah sampel vegetasi yang mati tertimbun saat terjadi

gempa bumi. Ciri khas sampel ini adalah posisi vegetasi yang mati pada posisi

tumbuhnya. Tetapi tidak setiap lokasi dijumpai sampel ini. Umumnya sampel

37
fragmen arang yang sering ditemui. Jenis sampel arang ini mengindikasikan umur

maksimal suatu lapisan. Bagaimanapun pemilihan sampel ini sangat tergantung

kondisi singkapan paritan.

Pentarikhkan umur lapisan yang akan digunakan adalah uji karbon. Berdasarkan

peluruhan C14 yang dikandung didalam material organik sebelum dan sesudah

matinya akan dapat diketahui umur material organic tersebut. Uji karbon umum

digunakan untuk menentukan umur lapisan karena uji ini efektif untuk lapisan

memiliki umur kurang dari 50 ribu tahun (Stuiver dkk., 1979). Uji ini juga dapat

menghasilkan batas kesalahan hingga 10 tahun (Yeats dkk., 1997b). Penelitian ini

seluruh analisis pentarikhan umur adalah menggunakan uji Accelerator Mass

Spectometry Radiocarbon Dating (AMS) di Laboratorium Beta Analytic, Florida,

Amerika. Proses AMS ini menghitung rasio C12 dan C14 dengan teliti dan hanya

memerlukan sampel karbon murni kurang dari satu gram. Hal ini sesuai dengan

kondisi paritan yang umumnya sampel karbon berukuran butiran pasir yaitu

sekitar 2 -5 mm.

38
BAB III STUDI KASUS I: SEGMENT SIANOK,
SUMANI DAN SULITI, SESAR SUMATRA

III.1 Latar Belakang

Pulau Sumatra berada di batas lempeng yang bergerak miring terhadap batas

lempeng Asia dan Lempeng Indo-Australia. Sistem tumbukan ini menghasilkan

zona penunjaman dan sistem sesar geser di Pulau Sumatra (Fitch, 1972;

McCaffrey, 1992)(Gambar III-1). Laju pergeseran Lempeng Indo-Australia adalah

57 mm/th dengan arah miring (Prawirodirdjo dkk., 1997). Laju pergerseran ini

diserap oleh proses penunjaman dengan kecepatan 47 mm/th dan proses

pergeseran menganan dengan perkiraan kecepatan 23 mm/th oleh Sesar Sumatra

(Genrich dkk., 2000; Sieh dkk., 1994).

Struktur Sesar Sumatra telah banyak diteliti (Bellier dkk., 1997b; Katili dan

Hehuwat, 1967; Natawidjaja dan Kumoro, 1995; Untung dkk., 1985), termasuk

dipetakan secara rinci oleh Sieh dan Natawidjaja (Sieh dan Natawidjaja, 2000).

Sistem Sesar Sumatra ini memiliki panjang 1500 km yang membentang dari Selat

Sunda hingga Aceh dan terbagi atas 20 segmen aktif (Bellier dkk., 1997b) atau 21

segmen aktif (Sieh dan Natawidjaja, 2000). Penelitian pengukuran laju

pergeseran geodesi juga sudah dilakukan (Genrich dkk., 2000; Prawirodirdjo dkk.,

2000).

Sesar Sumatra aktif menghasilkan gempa bumi. Sejak tahun 1890 tercatat telah

ada 21 gempa bumi besar yang terjadi (Natawidjaja dkk., 2007). Meskipun

39
produktif menghasilkan gempa bumi, hingga saat ini belum ada penelitian retakan

permukaan gempa bumi di Sesar Sumatra ini.

Pada tanggal 6 Maret 2007 terjadi dua gempa bumi dengan magnitudo yang sama

Mw 6 di Sumatra Barat. Dua gempa bumi yang terjadi dari sumber retakan sesar

yang berbeda, besar magnitudo yang hampir sama, berada dilokasi yang

berdekatan, dan dengan jeda waktu yang singkat didefinisikan sebagai gempa

bumi ganda (doublet) (Kagan dan Jackson, 1999). Gempa bumi doublet ini

memiliki focal mechanism sesar geser berdasarkan katalog USGS dan BMKG.

Bab III ini telah dipublikasikan di dalam jurnal internasional Bulletin of the

Seismology Society of America (BSSA) dengan judul Twin-Surface Ruptures of

the March 2007 M>6 Earthquake Doublet on the Sumatran Fault (Daryono dkk.,

2012).

Gambar ‎III-1. Sebaran pusat gempa bumi berdasarkan katalog relokasi Engdahl (2009)
di sekitar daratan dan lepas pantai Sumatra Barat. Lempeng Indo-
Australia menunjam ke Lempeng Asia dengan kecepatan 57 mm/th
dengan arah miring yang menyebabkan munculnya Sesar Sumatra dengan
kecepatan sinistral 23 mm/th di wilayah Sumatra Barat ini. Kotak hitam
adalah lokasi gempa bumi 6 Maret 2007 yang akan diperjelas pada
gambar berikutnya.
40
III.2 Tujuan Penelitian

Gempa bumi ganda (doublet) Mw 6,2 dan 6,4 tanggal 6 Maret 2007 memberi

peluang untuk meneliti sebaran, bentuk, dimensi dan pergeseran retakan

permukaan. Penelitian ini bertujuan mendokumentasi, menganalisis retakan

permukaan, serta mencoba menerapkan uji paritan, geolistrik dan GPR. Hasilnya

adalah metoda terbaik yang dapat diterapkan di lokasi sesar aktif lainnya

(khususnya uji GPR dan geolistrik). Tujuan lainnya adalah untuk dapat

memahami karakteristik gempa bumi yang dihasilkan dan akan dihasilkan dimasa

depan oleh segmen sesar aktif Sianok, Sumani dan Suliti ini.

III.3 Pemetaan Retakan Permukaan (Surface rupture)

6 Maret 2007 terjadi dua gempa bumi Mw 6 di Sumatra Barat. Gempa bumi

pertama terjadi pada pukul 10:50 pagi, dan kedua terjadi pukul 12:45 siang

(Natawidjaja dkk., 2007). Gempa bumi ini menghasilkan retakan permukaan yang

telah dipublikasikan oleh Daryono dkk (2012) dan akan dijelaskan pada bab

berikutnya. Lokasi retakan permukaan ini tiga lokasi berada di Segmen Sianok

(Koto Gadang, KG; Pandai Sikek, PS; dan Batipuh, BA) dan tujuh lokasi di

Segmen Sumani (Sumpur, SR; Sumani, SU; Kasiak, KA; Baringin Tanam, BT;

Tanjung Bingkung, TB; Lukuak, LU; dan Padung, PA) (Gambar III-2). Penjelasan

rinci tiap lokasi akan disajikan pada bab berikut secara sistematis dari baratlaut ke

tenggara.

Penelitian ini adalah mendokumentasikan retakan permukaan gempa bumi ganda

tahun 2007 dengan mengukur pergeseran kelurusan-kelurusan bangunan seperti

41
tepi jalan, dinding tembok, pondasi, batas pertanian, jembatan, batas sawah,

saluran air, dan lainnya. Survei rinci ini adalah melakukan pengukuran di lokasi

pergeseran retakan permukaan yang jelas dan terjangkau jalur transportasi.

Pengukuran pergeseran retakan permukaan menggunakan alat ukur total station

dan pengukuran manual menggunakan pita ukur. Survei ini dilakukan pada tahun

2007 dan 2008.

42
Padang

Gambar ‎III-2. Lokasi sumber gempa bumi ganda 6 Maret 2007 Mw 6 di Sumatra Barat. Lokasi ini berada di Sumatra Barat (dijelaskan pada
kotak hitam gambar sebelumnya). Bintang 1 dan 2 adalah kejadian gempa bumi yang pertama dan kedua berdasarkan USGS
(hijau) dan BMKG (kuning). Garis merah adalah Segmen Sianok dan Segmen Sumani (bagian dari Sesar Sumatra). Titik lokasi
retakan permukaan (surface rupture) ditunjukkan dengan titik oranye dilokasi Koto Gadang (KG), Pandai Sikek (PS), Batipuah
(BA), Sumpur (SR), Sumani (SU), Baringin Tanam (BT), Tanjung Bingkung (TB), Lukuak (LU), dan Padung (PA).

43
III.3.1 Segmen Sianok

Lokasi paling atas (baratlaut) adalah KG. Di daerah lebih atas setelah lokasi KG

tidak ditemukan adanya retakan permukaan. Di lokasi KG terdapat enam lokasi

rinci yaitu KG1 – KG6 yang membentuk kelurusan gawir, retakan dan pergeseran

dengan arah N326oE. Bangunan-bangunan disepanjang jalur ini mengalami

kerusakan berat akibat besarnya goncangan dan adanya pergeseran. Lokasi KG1-

KG6 ini di jelaskan (Gambar III-3) di dalam peta rinci yang menggunakan

koordinat lokal yang diperoleh dari Kepala Nagari Koto Gadang.

Utara

Gambar I‎ II-3 Peta Nagari Koto Gadang dan sebaran lokasi retakan permukaan KG1-
KG6. Bangunan-bangunan disepanjang jalur ini mengalami kerusakan
berat akibat besarnya goncangan dan adanya pergeseran. Enam lokasi
rinci ini membentuk garis lurus berarah N326oE (Daryono dkk., 2012).
44
Di KG5, retakan memotong tanggul pembatas sawah (Gambar III-4a). Hasil

pengukuran menggunakan total station menunjukkan pergeseran menganan

sebesar 35 cm (Gambar III-4b).

b)
a)

Gambar I‎ II-4 Lokasi pergeseran di KG5 yang (a) memotong pematang sawah dan
(b) hasil pengukuran pergeseran menggunakan total station.

Di KG6, retakan permukaan memotong bangunan rumah. Di dalam bangunan

terlihat pergeseran menganan 19 dan 20 cm yang jelas di struktur lantai (Gambar

III-5).

19 cm

20 cm

a) b)

Gambar I‎ II-5. (a) Lokasi retakan permukaan di KG6 memotong bangunan rumah.
(b) Di dalam bangunan terlihat pergeseran menganan 19 dan 20 cm
yang jelas di struktur lantai

45
Di KG4, terdapat retakan permukaan di jalan beton. Retakan permukaan ini

menyebabkan jalan beton bergeser menganan 40 cm dan 9 cm. Perbedaan

pergeseran ini kemungkinan disebabkan kekuatan beton dan perpotongan jalan

beton dan jalur sesar yang miring (Gambar III-6).

Gambar I‎ II-6. Lokasi KG4, terdapat retakan permukaan di jalan beton. Retakan
permukaan ini menyebabkan jalan beton bergeser menganan 40 cm
dan 9 cm.

Lokasi KG3, retakan permukaan memotong bangunan rumah. Retakan ini terlihat

pada lantai rumah dengan besar pergeseran menganan 18 dan 21 cm (Gambar III-

7). Retakan ini menerus memotong di lokasi KG2.

Gambar I‎ II-7. Retakan permukaan di lantai rumah yang menyebabkan


pergeseran menganan 18 dan 21 cm , di KG3.

46
Lokasi KG2, retakan permukaan memotong bangunan sekolah, mesjid, kolam

pancuran dan jalan aspal (Gambar III-8). Pergeseran di lantai sekolah adalah

menganan 28 dan 29 cm dengan komponen turun sisi barat 8 dan 12 cm (Gambar

III-9 dan III-10). Retakan permukaan ini menerus ke bangunan masjid dengan

menggeser bangunan menganan 45 cm. Retakan permukaan terus menerus

membentuk garis lurus hingga di lokasi KG1.

a) b)

Gambar ‎III-8. Foto lokasi KG1 (a) di bangunan sekolah, dan (b) di masjid.

47
Gambar I‎ II-9 Survei total station lokasi KG2. Retakan permukaan ini menerus ke
bangunan masjid dengan menggeser bangunan menganan 45 cm.
Retakan permukaan terus menerus membentuk garis lurus hingga di
lokasi KG1.

48
0.85
West Koto Gadang, KG-2B,
0.8
line-1 East
11.8 0.75
Cm 0.7
0.65
0.6
(m)
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
(m)

0.55
(m) West Koto Gadang, KG-2B, line-2 East
0.5
0.45 7.8 Cm
0.4
0.35
0.3
0 2 4 6 (m) 8 10 12 14 16

Gambar ‎III-10. Penampang ketinggian komponen vertikal KG2 line 1(a) dan line 2(b).

Di lokasi KG1 retakan permukaan memotong ladang sayuran. Di lokasi ini

terdapat 13 pergeseran di deretan pematang tanaman yang bergeser berarah

N330oE menganan 25 - 95 cm dan penurunan 5 - 15 cm (sisi barat turun)(Gambar

III-11 dan III-12).

49
Gambar I‎ II-11. Lokasi KG1. terdapat 13 pergeseran di deretan pematang tanaman yang
bergeser berarah N330oE menganan 25 - 95 cm.

50
(m)1
0.98 West Koto Gadang, KG-1B, line-2 East
0.96
0.94
0.92 9.27 Cm
0.9
0.88
0.86
0.84
0 2 4 6 8 10 12
(m)
1
West Koto Gadang, KG-1B, line-3
East 0.95

9.01 Cm 0.9
0.85
0.8
(m)
0.75
0.7
14 12 10 8 (m) 6 4 2 0

1
(m)
0.95 West Koto Gadang, KG-1B, line-4 East
0.9
9.39 Cm
0.85

0.8
0 2 4 6 (m) 8 10 12 14

1
Koto Gadang, KG-1B, line-5 0.98
West 0.96
East 0.94
5.25 Cm
0.92
0.9
0.88
0.86
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0 (m)
(m)

1.05

West Koto Gadang, KG-1B, line-6 East 0.95


(m)
14.18 0.9
Cm
0.85
18 17 16 15 14 13 (m) 12 11 10 9 8

Gambar III-12. Bersambung..


51
1.05
West Koto Gadang, KG-1B, line-7
East (m)1
14.8 Cm
0.95

0.9

0.85
6 5 4 3 2 1 0
(m)

1.05
West East
Koto Gadang, KG-1B, line-8
(m)
1
6.15 Cm
0.95

0.9

0.85
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
(m)

0.6
West Koto Gadang, KG-1B, line-9 East
(m)0.55

0.5
8.94 Cm
0.45

0.4
10 9 8 7 6 (m) 5 4 3 2 1 0

0.5
Koto Gadang, KG-1B, line-10
0.45
West
13.6 Cm East (m)0.4
0.35

0.3
10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
(m)
0.5
Koto Gadang, KG-1B, line-11 East
West
0.45

9.6 Cm (m)0.4

0.35

0.3
12 10 8 6 (m) 4 2 0

52 Gambar III-12. Bersambung..


0.45
West Koto Gadang, KG-1B, line-12 East

8.86 Cm (m)0.4

0.35

0.3
12 10 8 6 (m) 4 2 0

0.5
West Koto Gadang, KG-1B, line-13 East
(m)
0.45
12.87 Cm
0.4

0.35
12 10 8 (m) 6 4 2 0

1.5
(m) West Koto Gadang, KG-1B, line-1 East
1.4
1.3 6.53 Cm
1.2
1.1
1
0 2 4 (m) 6 8 10 12

Gambar I‎ II-12. Penampang ketinggian line1 sampai dengan line13 lokasi KG-1B
yang menunjukkan penurunan 5 - 15 cm (sisi barat turun)

Sembilan kilometer kearah tenggara dari lokasi KG, terdapat retakan permukaan

di Pandai Sikek (PS). Retakan permukaan di lokasi PS berada di halaman depan

toko suvenir Sayuthi Melik. Retakan permukaan ini memanjang dan memotong

jalan raya utama Padang – Bukit Tinggi dengan arah sejajar. Retakan permukaan

di jalan raya utama ini tidak terlihat jelas, tetapi di dekatnya terdapat jalan cabang

53
yang terdapat retakan permukaan yang jelas dimana arah jalan tegak lurus dengan

arah sesar (Gambar III-13). Pergeseran di lokasi PS terdiri atas dua lokasi rinci

yaitu PS1 dan PS2. Pergeseran PS1 adalah menganan dengan besar 10, 13 dan 18

cm dan komponen vertikal 8 dan 17 cm (sisi timur turun)(Gambar III-14 dan III-

15). Retakan ini menerus memotong tangga beton di PS2. Tangga beton

mengalami pergeseran menganan 11 cm (Gambar III-16).

(a)

Main road

(b)

Main road

Branch road

Gambar I‎ II-13. Retakan permukaan di Pandai Sikek (PS). (a) Retakan permukaan ini
memanjang dan memotong jalan raya utama Padang – Bukit Tinggi
dengan arah sejajar (main road) dan (b) jalan cabang (branch road) yang
terdapat retakan permukaan yang jelas (arah jalan tegak lurus dengan arah
sesar).
54
(a)

(b)
Gambar I‎ II-14. (a) Hasil survei total station dan (b) foto retakan permukaan di
konblok halaman depan toko suvenir Sayuthi Melik.

55
1.2
West Pandai Sikek, PS-1, line-1
(m)
1 East
0.8
0.6
15.07 Cm
0.4
0.2
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5
(m)

0.7
0.6
Pandai Sikek, PS-1, line-2
0.5
(m)
West East
0.4
11.96 Cm
0.3
0.2
0.1
0
0 1 2 3 4 5 6
(m)

0.5
West Pandai Sikek, PS-1, line-3 East
(m)
0.4

0.3
8.48 Cm
0.2

0.1

0
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4
(m)

0.4
0.35 West Pandai Sikek, PS-1, line-4 East
(m)
0.3
0.25
0.2 16.8 Cm
0.15
0.1
0.05
0
0 0.5 1 1.5 (m) 2 2.5 3 3.5 4

1
(m) West Pandai Sikek, PS-1, line-6 East
0.8
0.6
0.4 17.01 Cm
0.2
0
0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 4.5 5

(m)
Gambar I‎ II-15. Penampang ketinggian komponen vertikal retakan permukaan
lokasi PS1.

56
Gambar ‎III-16. Survei total station di tangga beton PS2.

Duabelas kilometer arah tenggara dari lokasi PS, terdapat retakan permukaan di

Batipuah (BA). Di lokasi sini retakan permukaan yang memotong di tiga lokasi

jalan aspal. Retakan permukaan di BA3 menggeser jalan aspal menganan 29 dan

31 cm (Gambar III-17). Selanjutnya adalah lokasi BA2. Di lokasi BA2, retakan

permukaan menggeser jalan menganan 20 cm (Gambar III-18). Lokasi berikutnya

adalah BA1 (Gambar III-19). Hasil pengukuran menunjukkan jalan aspal bergeser

menganan 40 cm dan tidak ada perbedaan tinggi.

Gambar ‎III-17. Lokasi retakan permukaan di BA3.

57
Gambar ‎III-18. Lokasi retakan permukaan di BA2.

Gambar ‎III-19. Lokasi retakan permukaan di BA1.

III.3.2 Segmen Sumani

Terdapat tujuh lokasi retakan permukaan di Segmen Sumani. Dari arah paling

baratlaut ke tenggara adalah SR, SU, KA, BT, TB, LU dan PA (Gambar III-20).

Di SR, retakan permukaan memotong bangunan rumah menjadi dua bagian dan

menyebabkan bangunan tersebut roboh. Hasil survei rinci total station

58
memperlihatkan pergeseran menganan 25 dan 12 cm dengan komponen vertikal

27 dan 19 cm dengan sisi timur turun (Gambar III-20 dan III-21).

Gambar ‎III-20. Hasil survei total station di lokasi SR.

1.2 West
(m) Sumpur, SU-1, line-1
East
1.1
27.16
1 Cm
0.9

0.8
0 2 4 6 8(m) 10 12 14

1.2
Sumpur, SU-1, line-2
(m) West East
1.1

1
19.3 Cm

0.9

0.8
0 2 4 6 8 10 12
(m)

Gambar ‎III-21. Penampang ketinggian komponen vertikal retakan permukaan di


lokasi SR.

59
Duabelas kilometer kearah tenggara dari lokasi SR terdapat retakan permukaan di

lokasi Sumani (SU). Di lokasi ini retakan permukaan memotong dan menggeser

jalan aspal dan dinding pasangan batu kali menganan 31 cm, 36 cm dan 56 cm.

Retakan permukaan di lokasi ini membentuk kelurusan dengan arah N33oW

(Gambar III-22 dan III-23).

Gambar ‎III-22. Retakan memotong dinding pasangan batu kali di SU.

Gambar ‎III-23. Retakan memotong jalan aspal di SU.

60
Di lokasi KA terdapat retakan permukaan yang jelas dengan arah retakan

permukaan N9oW. Setiap bangunan yang terpotong retakan permukaan

mengalami rusak berat (Gambar III-24). Delapan pengukuran rinci total station

menunjukkan pergeseran menganan antara 6 hingga 84 cm, rata-rata 39 cm, dan

pergeseran vertikal di line 3 dan 4 adalah 18 dan 23 cm dengan sisi timur naik

(Gambar III-25 dan III-26).

(a)

(b)

Gambar I‎ II-24. Retakan permukaan di lokasi KA. (a) Retakan permukaan


memotong jalan aspal dan (b) retakan pemukaan memotong batas
kolam.

61
Gambar ‎III-25. Survei total station retakan permukaan dilokasi KA.
West Kasiak-Sumani, KA-1, line-3 1.1
East 1
22.5 Cm
0.9
0.8
(m) 0.7
0.6
12 10 8 6 4 2 0 (m)

1.1
Kasiak-Sumani, KA-1, line-4 East
West 1
17.8 Cm 0.9
0.8
0.7
0.6
14 12 10 8 6 4 2 0(m)
(m)

Gambar ‎III-26. Penampang ketinggian komponen vertikal retakan permukaan di KA.

62
Lokasi BT adalah lokasi paling menarik karena dilokasi ini merekam pergeseran

gempa bumi 2007 dan kejadian gempa bumi sebelumnya. Di lokasi ini terdapat

retakan permukaan di saluran irigasi beton yang hanya menunjukkan gerakan

gempa bumi 2007 dan jalan aspal tua dan pematang sawah yang menunjukkan

komulasi kejadian gempa bumi 2007 dan kejadian-kejadian gempa bumi

sebelumnya (Gambar III-27). Survei total station memperlihatkan pergeseran

menganan 23, 42 dan 26 cm, dengan komponen vertikal 16cm sisi barat turun

(Gambar III-28 dan III-29). Jalan aspal di BT ini sudah ada sejak tahun 1899

(berdasarkan peta Belanda). Pergeseran jalan aspal dilokasi ini adalah menganan

1.7 m (line1) dan 1.5 m (line2). Di pematang sawah (80 meter dari jalan aspal)

terdapat retakan permukaan menggeser menganan 0.8 dan 1.3 m (line 7-9).

Pergeseran vertikal berdasarkan kelurusan lereng jalan aspal adalah 18 cm.

Berdasarkan informasi Bapak Hasan yang lahir tahun 1919 dan tinggal di daerah

Baringin Tanam ini menjelaskan bahwa retakan permukaan juga terlihat dilokasi

yang sama pada gempa bumi tahun 1926 dan 1943.

63
(a)

(b)

Gambar I‎ II-27. Lokasi retakan permukaan di BT. (a) Foto mengarah ke barat dengan
lingkaran merah adalah kelurusan retakan permukaan gempa bumi tahun 2007
dan (b) mengarah ke timur yang memperlihatkan pergeseran jalan sejak tahun
1899 yang berarti merupakan komulasi pergeseran gempa bumi tahun 1926
dan 1943.

64
Gambar I‎ II-28. Hasil survei total station di BT. memperlihatkan pergeseran
menganan 23, 42 dan 26 cm, dengan komponen vertikal 16cm sisi barat
turun, pergeseran menganan 1.7 m (line1) dan 1.5 m (line2), dan di
pematang sawah (80 meter dari jalan aspal) menggeser menganan 0.8
dan 1.3 m (line 7-9). Lokasi ini merekam pergeseran gempa bumi tahun
2007, 1943 dan 1926.
65
3.5
West Baringin Tanam, BT-1A, East
3
2.5
line-1
16.25 Cm
2
1.5
1 (m)
0.5
0
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

3.5
West Baringin Tanam, BT-1A, East 3 (m)
line-2
15.97 Cm 2.5
2
1.5
(m) 1
0.5
0
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0

Gambar ‎III-29. Penampang ketinggian pergeseran vertikal retakan permukaan 16cm


(sisi barat turun) di BT.

Satu koma dua kilo meter ke arah tenggara dari lokasi BT, terdapat retakan

permukaan di lokasi Tanjung Bingkung (TB). Di lokasi TB terdapat pergeseran

jalan aspal menganan dengan panjang 8, 35 dan 29 cm, komponen vertikal nol

(Gambar III-30).

Gambar ‎III-30. Hasil survei total station di TB.

66
Ke arah tenggara terdapat retakan permukaan di lokasi Lukuak (LU). Dilokasi ini

terdapat retakan permukaan yang menggeser 8 cm menganan jalan aspal (Gambar

III-31). Danaruslan (tetua adat dan kepala desa) memberitahu bahwa retakan yang

sama terjadi ketika kejadian gempa bumi tahun 1926 dan 1943.

Gambar ‎III-31. Hasil survei total station di LU.

Lokasi paling tenggara adalah PA. Lokasi ini retakan permukaan memotong jalan

aspal dengan pergeseran menganan 13 dan 7 cm (Gambar III-32 dan III-33).

Survei ke arah lebih tenggara tidak ditemukan lagi retakan permukaan.

Gambar ‎III-32. Foto retakan permukaan di PA.

67
Gambar ‎III-33. Hasil survei total station di PA.

III.4 Survei GPR untuk Retakan Permukaan Gempa bumi 2007

Dokumentasi retakan permukaan gempa bumi Mw 6 tahun 2007 memberikan

kesempatan mengetahui lokasi pasti sumber gempa bumi. GPR dan geolistrik

perlu dilakukan uji coba di lokasi retakan permukaan gempa ini.

Alat GPR yang digunakan adalah Zond GPR dengan kombinasi antenna 150

MHz. Modifikasi standar pekerjaan kita lakukan untuk mengurangi gangguan

akibat cara berjalan dengan membuat landasan pipa PVC seperti pada Gambar III-

34. Pengolahan data mentah adalah menggunakan perangkat lunak Prism2.59.

Pengolahan yang diterapkan adalah penentuan titik nol, panjang survei, dan

menyaring frekuensi (frequency filter).

68
Gambar I‎ II-34. Modifikasi menggunakan alas pipa PVC untuk mengurangi
gangguan akibat perubahan ketinggian jalan kaki.

Dilokasi BT, survei GPR dilakukan disepanjang jalan aspal sepanjang 560m

dengan arah dari Timur ke Barat. Muka air tanah di interpretasikan di kedalaman

2,6 m (Gambar III-35). Retakan permukaan gempa bumi 2007 jelas terlihat hingga

kedalaman 7,5 m. Disamping itu terlihat pula bentuk retakan lainnya yang berada

didekat retakan permukaan gempa bumi 2007. Hasil ini juga konsisten dengan

hasil geolistrik. Retakan permukaan gempa bumi 2007 juga terlihat dengan

ketidak selarasan lapisan penutup.

Lokasi SU, survei dilakukan sepanjang 280 m dengan arah Timur ke Barat. Muka

air tanah terlihat dikedalaman 3 m (Gambar III-36). Retakan permukaan gempa

bumi 2007 terlihat jelas pada gambar GPR dan geolistrik.

Lokasi PS, survei dilakukan di dua lokasi. Lokasi pertama (PS1) adalah sejajar

jalan raya Padang-Bukit Tinggi (Gambar III-37). Retakan permukaan gempa bumi

2007 tidak terlihat dilokasi ini tetapi hasil GPR menunjukkan bawah permukaan

jalan ini jelas terlihat adanya retakan. Retakan ini teridentifikasi hingga

kedalaman 12,5 m. Lokasi kedua – PS2 adalah tegak lurus jalan raya tempat

69
ditemukan retakan permukaan gempa bumi 2007. Lokasi ini terlihat jelas retakan

hingga kedalaman 5 m. Di lokasi ini tidak memungkinkan uji geolistrik karena

harus memotong jalan raya yang lebar dan padat.

Lokasi KG, survei dilakukan dari arah Timur ke Barat. Panjang survei adalah 300

m. Retakan permukaan gempa bumi 2007 terlihat pada gambar hasil uji GPR dan

geolistrik (Gambar III-38).

70
0
(m) a.
5

10

0 jarak (m) 100 200 300 400

0
(m)
5 b.

10

0 jarak (m) 100 200 300 400

c.

Gambar ‎III-35(a, b) Survei GPR di Baringin Tanam (BT) dilakukan disepanjang jalan aspal sepanjang 560m dengan arah dari Timur
ke Barat. Retakan permukaan gempa bumi 2007 jelas terlihat hingga kedalaman 7,5 m. (c) Hasil ini juga konsisten
dengan hasil geolistrik. Retakan permukaan gempa bumi 2007 juga terlihat dengan ketidak selarasan lapisan penutup.

71
0
a.
5

10
(m)
0 jarak (m) 50 100 150 200

0
b.
5

10
(m)
0 jarak (m) 50 100 150 200

c.

Gambar I‎ II-36 (a,b) Survei GPR di Sumani (SU). Survei ini dilakukan sepanjang 280 m dengan arah Timur ke Barat. Retakan
permukaan gempa bumi 2007 terlihat jelas pada gambar GPR dan (c) geolistrik.

72
0
(m) (b)
5

10

0 jarak (m) 10 20 30 40 50 60

(c) 400

(a)

(d)
(e)
traces traces
Gambar I‎ II-37 (a) Lokasi PS, survei dilakukan di dua lokasi. (b,c) Lokasi pertama (PS1) adalah sejajar jalan raya Padang-Bukit
Tinggi. Retakan permukaan gempa bumi 2007 tidak terlihat dilokasi ini tetapi hasil GPR menunjukkan bawah
permukaan jalan ini jelas terlihat adanya retakan. Retakan ini teridentifikasi hingga kedalaman 12,5 m. (d,e) Lokasi
kedua – PS2 adalah tegak lurus jalan raya tempat ditemukan retakan permukaan gempa bumi 2007.

73
0
(m)
(a)
a.
5

10

0 jarak (m) 50 100 150 200

(b)

(c)

Gambar ‎III-38 Lokasi KG, survei dilakukan dari arah Timur ke Barat. Panjang survei adalah 300 m. Retakan permukaan gempa bumi
2007 terlihat pada gambar hasil uji GPR (a,b) dan geolistrik (c).

74
III.5 Uji Paritan di Retakan Permukaan Gempa bumi 2007

Lokasi paritan dilakukan di Desa Sumani, Kabupaten Solok. Lokasi paritan ini

berada di area persawahan produktif di lokasi retakan permukaan gempa bumi

ganda tahun 2007.(Gambar III-39 dan Gambar III-40). Dimensi parit adalah

panjang 4 m, lebar 1.5 m dan dalam 1 m. Hasil uji paritan menunjukkan empat

lapisan (Gambar III-41) yaitu lapisan tanah padi (atau lapisan 10), lapisan tanah

padi (atau lapisan 20), lapisan lanau (atau lapisan 30), dan lapisan lanau pasiran

(lapisan 40). Garis retakan permukaan terlihat jelas memotong lapisan tanah

sebagai ketidakselaran akibat pergeseran gempa bumi tahun 2007. Hasil uji

pentarikhan umur karbon menunjukkan umur lapisan 30 adalah tahun 1300-1440

(AD). Umur lapisan ini jauh lebih tua dari perkiraan yaitu kejadian gempa bumi

tahun 1936 dan/atau 1943. Kemungkinan rekaman kejadian gempa bumi 1936

dan/atau 1943 terekam pada lapisan 20. Pada lokasi paritan ini lapisan 20 ini tipis

dan dangkal. Besar kemungkinan lapisan 20 ini terombak oleh kegiatan pertanian

sawah.

(a)

(b)
Gambar I‎ II-39. (a) Lokasi uji paritan di lokasi Segmen Sumani di Desa Sumani.
(b) Tahap penggalian.

75
Gambar I‎ II-40. Peta situasi lokasi penggalian uji paritan dan retakan permukaan
akibat gempa bumi ganda tahun 2007.

Gambar I‎ II-41. Penampang perlapisan uji paritan. menunjukkan empat lapisan


yaitu lapisan tanah padi (atau lapisan 10), lapisan tanah padi (atau
lapisan 20), lapisan lanau (atau lapisan 30), dan lapisan lanau
pasiran (lapisan 40). Garis retakan permukaan terlihat jelas
memotong lapisan tanah sebagai ketidakselaran akibat pergeseran
gempa bumi tahun 2007. Sayangnya hasil uji pentarikhan umur
karbon menunjukkan umur lapisan tahun 1300-1440 (AD). Umur
lapisan ini jauh lebih tua dari perkiraan yaitu kejadian gempa bumi
tahun 1936 dan/atau 1943.

76
III.6 Ringkasan dan Diskusi

Ringkasan dan diskusi hasil penelitian di Sesar Sumatra ini disajikan dalam tiga

subbab selanjutnya. Tiga subbab ini berisi tentang hasil survey retakan permukaan

gempa bumi tahun 2007, karakteristik gempa bumi di Segmen Sianok-Sumani-

Suliti, dan hasil survey geofisika dangkal di jalur sesar aktif.

III.6.1 Retakan Permukaan Gempa Bumi 2007

Penelitian ini telah berhasil mendokumentasikan bukti lapangan retakan

permukaan gempa bumi kembar Mw 6 2007 dengan panjang 22.5 km (bagian

selatan dari 90km Segmen Sianok) dan 22 km (bagian utara dari 60km Segment

Sumani). Kompilasi data pergeseran retakan permukaan disarikan pada Tabel 2.

Secara keseluruhan pergeseran adalah menganan dengan rata-rata 51 cm untuk

retakan permukaan di Segmen Sianok dan 36 cm untuk retakan permukaan di

Segmen Sumani. Nilai rata-rata ini dihitung berdasarkan luas area pada Gambar

III-42 di bagi dengan panjang retakan permukaan. Pergeseran vertikalnya adalah

23 cm di retakan permukaan Segmen Sianok dan 17 cm di retakan permukaan

Segmen Sumani. Dokumentasi ini merupakan dokumentasi pertama yang

dilakukan di Sesar Sumatra dan juga di Indonesia.

77
Tabel 2. Retakan permukaan gempa bumi tahun 2007.
Dextral Offset Vertical Offset
Site Name ID Lines Offset Average Average Description
Strike Up Side Offset (cm)
(cm) (cm) (cm)

Sianok Segment *36 *17


o
Koto Gadang (KG) KG-5 N27 W 35 ± 4 nil boundary of paddy field
100.3582o E ; 0.31900o S KG-6 1 N27o W 19 ± 2 19.5 ± 2 nil lines 1-2 are floor of a house patio
o
2 N27 W 20 ± 2 nil
KG-4 1 N27o W 40 ± 2 24 ± 2 nil north side of concrete road
2 N27o W 9 ± 2 nil south side of concrete road
o
KG-3 1 N27 W 18 ± 2 19 ± 2 nil lines 1-2 are floor tiles of a house
2 N27o W 21 ± 2 nil
KG-2 1 N27o W 28 ± 2 32 ± 2 E 12 ± 1 10 ± 1 lines 1-2 are foundation of a school
2 N27o W 29 ± 2 E 8 ± 1
3 N27o W 45 ± 2 lines 3 is foundation of a mosque
KG-1 1 N14o W 38 ± 4 46 ± 4 E 7 ± 3 10 ± 3 lines 1-13 are berms
2 N14o W 95 ± 4 E 9 ± 3 of eggplants field
3 N14o W 68 ± 4 E 9 ± 3
o
4 N14 W 65 ± 4 E 9 ± 3
5 N22o W 25 ± 4 E 5 ± 3
6 N22o W 48 ± 4 E 14 ± 3
7 N22o W 54 ± 4 E 15 ± 3
8 N27o W 39 ± 4 E 6 ± 3
o
9 N27 W 41 ± 4 E 9 ± 3
10 N27o W 31 ± 4 E 17 ± 3
11 N27o W 31 ± 4 E 10 ± 3
12 N27o W 30 ± 4 E 9 ± 3
13 N27o W 27 ± 4 E 13 ± 3
Pandai Sikek (PS) PS-1 6 N43o W 10 ± 2 46 ± 4 W 17 ± 1 14 ± 1 line 6 is in an aspalt road
o o o
100.3987 E ; 0.38504 S 5 N43 W 13 ± 4 lines 1-5 are pavement of hexagonal blocks
o
4 N43 W W 17 ± 1
3 N43o W W 8 ± 1
o
2 N43 W W 12 ± 1
1 N43o W 18 ± 2 W 15 ± 1
PS-2 N43o W 11 ± 2 a concrete stairway
o
Batipuh (BA) BA-3 1 N15 W 29 ± 3 46 ± 4 nil all lines of BA are in asphalt road
100.4646o E ; 0.48723o S 2 N15o W 31 ± 3 nil
BA-2 N06o W 20 ± 3 nil
BA-1 1 N06o W 40 ± 3 nil
2 N06o W 40 ± 3 nil

Sumani Segment *51 *23

o
Sumpur (SR) SR 1 S26 W 25 ± 2 18 ± 2 W 27 ± 1 23 ± 1 all are in a concrete house

100.5118o E ; 0.62598o S 2 S26o W 12 ± 2 W 19 ± 1


o
Sumani (SU) SU 1 N33 W 56 ± 2 41 ± 3 low stone wall
100.5851o E ; 0.70988o S 2 N33o W 31 ± 3 north side of asphalt road
3 N33o W 36 ± 3 south side of asphalt road
o
Kasiak (KA) KA 1 N09 W 19 ± 2 39 ± 2 20 ± 1 concrete drains
100.5887o E ; 0.71926o S 2 N09o W 21 ± 3 NW side of asphalt road
3 N09o W E 23 ± 1 lines 3-4 are in the aspalt road
4 N09o W E 18 ± 1
5 N09o W 67 ± 3 SE of asphalt road
6 N09o W 36 ± 2 lines 6-8 are floor
7 N09o W 6 ± 2 of a concrete house
8 N09o W 84 ± 2
Baringin Tanam (BT) BT 1 N31o W 173 ± 3 W 16 ± 1 16 ± 1 NW side of old road
100.6067o E ; 0.74656o S 2 N31o W 148 ± 3 W 16 ± 1 SE of old road
3 N31o W 23 ± 2 lines 3,4 are concrete drains
4 N31o W 42 ± 2 lines 5-9 are boundary
5 N31o W 26 ± 4 of paddy field
6 N31o W 146 ± 4 lines 1,2,6-9 are
7 N31o W 78 ± 4 cummulative offset
8 N31o W 134 ± 4
9 N31o W 86 ± 4
o
Tanjung Bingkung (TB) TB 1 N33 W 35 ± 3 32 ± 3 east side of asphalt road

100.6136o E ; 0.75592o S 2 N33o W 29 ± 3 west side of asphalt road


Lukuak (LU) LU 1 N33o W 8 ± 3 8±3 W 1 ± 1 2±1 south side of asphalt road
o o
100.6194 E ; 0.76470 S 2 N33o W W 3 ± 1 in the asphalt road
Padung (PA) PA 1 N33o W 17 ± 2 12 ± 3 nil concrete drain
100.6363o E ; 0.77595o S 2 N33o W 13 ± 3 nil north side of asphalt road
3 N33o W 7 ± 3 nil south side of asphalt road
Those coordinates above use WGS 1984 data.
* Average values calculated by measuring the area under the curves in Fig6 dividing by the rupture lengths.

78
Gambar I‎ II-42. Distribusi pergeseran lateral dan vertikal gempa bumi kembar M6+
Solok 2007. Retakan permukaan gempa bumi kembar M6+ 2007
memiliki panjang 22.5 km (bagian selatan dari 90km Segmen Sianok),
22 km (bagian utara dari 60km Segment Sumani), pergeseran
menganan dengan rata-rata 51 cm di Segmen Sianok, dan 36 cm di
Segmen Sumani.

III.6.2 Karakteristik gempa bumi di Segmen Sianok, Sumani dan

Suliti, Sesar Sumatra

Dalam rekamanan sejarah kejadian gempa bumi di daerah ini, tercatat telah terjadi

empat kali gempa bumi yaitu tahun 1822, 1926, 1943 dan 2007. Kecuali gempa

bumi tahun 1822, catatan gempa bumi tersebut menunjukkan bahwa gempa bumi

terjadi dua kali dengan jeda waktu yang berbeda-beda yaitu 3 jam, 7 jam dan

kejadian terakhir 2 jam. Gempa bumi pertama selalu terjadi di bagian selatan dan

kemudian disusul dengan gempa bumi yang terjadi disebelah utaranya.

79
Kompilasi lokasi kerusakan, sebaran MMI dan lokasi retakan permukaan di

tunjukkan pada Gambar III-43 (Natawidjaja dan Kumoro, 1995; Untung dkk.,

1985). Gempa bumi tahun 2007 kelihatannya mirip dan berada di retakan

permukaan yang dengan gempa bumi tahun 1926 tetapi jelas berbeda dengan

gempa bumi tahun 1943. Magnitudo gempa bumi 1996 diperkirakan hampir atau

sama dengan gempa bumi tahun 2007, tetapi gempa bumi tahun 1943 jelas jauh

lebih besar. Gempa tahun 1822 masih belum diketahui karena tidak ada catatan

yang lebih rinci membahasnya.

Padang

Gambar I‎ II-43. Karakteristik gempa bumi dan retakan permukaan Segmen


Sianok, Sumani dan Suliti. Gempa bumi yang terjadi selalu dua kali
(ganda/doublet) dengan besar magnitudo sama dan dengan jeda
waktu tertentu (3 jam, 7 jam dan kejadian terakhir 2 jam). Gempa
bumi pertama selalu terjadi di bagian selatan dan kemudian disusul
dengan gempa bumi yang terjadi disebelah utaranya.

80
III.6.3 Survei Geolistrik dan GPR di Retakan Permukaan Segmen

Sianok dan Sumani, Sesar Sumatra

Hasil ujicoba survey di lokasi retakan permukaan yang sudah diketahui (retakan

permukaan gempa bumi tahun 2007) menunjukkan perlapisan yang terpotong oleh

lapisan lebih muda dan merupakan garis ketidakselarasan lapisan. Garis

ketidakselarasan lapisan ini sesuai dengan posisi lokasi retakan permukaan yang

telah diketahui. GPR kuat menggambarkan garis ketidakselarasan retakan

permukaan gempa bumi, sedangkan geolistrik menggambarkan perlapisan bawah

permukaan dengan baik. Perlapisan ini menunjukkan juga ketidakselarasan yang

berkorelasi juga dengan retakan permukaan gempa bumi tahun 2007. Hal ini dapat

disimpulkan bahwa penggunaan alat geofisika dangkal geolistrik dan GPR dapat

digunakan untuk mencari/menemukan lokasi retakan permukaan yang belum

diketahui.

81
82
Bab IV STUDI KASUS II: SESAR PALUKORO-
MATANO, SULAWESI BAGIAN TENGAH

IV. 1. Tatanan Tektonik Sulawesi

Pulau Sulawesi tersusun oleh tatanan tektonik yang rumit dan tidak mudah

dijelaskan (Hall dkk., 2011). Hingga saat ini masih aktif bergerak dan rutin

menghasilkan gempa bumi. Pulau Sulawesi ini tersusun atas tatanan struktur

geologi yang aktif bergerak dengan kecepatan pergeseran yang berbeda-beda yang

ditunjukkan pada Gambar IV-1. Disebelah utara Pulau Sulawesi terdapat North

Sulawesi Subduction dengan kecepatan pergeseran geodetic 42-50 mm/th

(Socquet dkk., 2006). Di darat terdapat pergeseran dengan kecepatan pergeseran

11 mm/yr di Sesar Gorontalo (Rangin dkk., 1999). Dari arah timur bergerak

mendekat kemenerusah Sesar Sorong dengan besar pergeseran 32 mm/th (Rangin

dkk., 1999). Di bagian tengah Pulau Sulawesi adalah Sesar Palukoro yang aktif

bergerak (Bellier dkk., 2001; Katili, 1970; Rangin dkk., 1999; Socquet dkk.,

2006) dengan besar pergeseran geodetic 41-45 mm/th (Socquet dkk., 2006), 34

mm/yr (Sarsito, 2010) dan pergeseran geologi 29 mm/th (Bellier dkk., 2001).

Bellier (2001) mengelompokkan Sesar Palukoro sebagai sesar dengan besar

pergeseran tinggi dengan kegempaan yang rendah. Kemenerusan kearah timur

adalah Sesar Matano dengan besar pergeseran sekitar 2 cm/th (Socquet dkk.,

2006). Sebaran sumber gempa bumi mengelompok di bagian Subduksi Utara

Sulawesi yang terlihat dengan pengelompokan kedalaman katalog relokasi

Engdahl (2007). Di bagian tengah pulau Sulawesi, sebaran gempa bumi dangkal

bersifat acak.

83
Kinematika pergeseran Sesar Palukoro ini seharusnya meneruskan pergeserannya

ke Sesar Matano sehingga besar pergeseran harusnya hampir sama atau lebih kecil

dari besar pergeseran Sesar Matano. Hal lainnya adalah produksi gempa bumi di

Sulawesi ini yang jarang jika dibandingkan dengan kecepatan pergeseran yang

masuk klasifikasi bergerak cepat (Bellier dkk., 2001).

Permasalahan struktur sesar ini juga diperparah dengan belum adanya tatanama

yang lengkap. Bahkan terdapat penamaan ganda untuk satu garis sesar.

Permasalah lain adalah batas sesar juga batas segmentasi sesar yang tidak jelas.

Sesar Palukoro dan Sesar Matano yang hingga saat ini masih belum diketahui

batas dan ketersambungannya. Tahapan pertama dalam penelitian ini adalah

menyusun dan memetakan neotektonik di Sulawesi bagian tengah (ditunjukkan

pada kotak hitam)(Gambar IV-1) menggunakan data Digital Elevation Modul

(DEM). Kemudian tahap selanjutnya adalah menganalisis rinci segmentasi Sesar

Matano hingga Sesar Palukoro.

IV. 2. Permasalah dan Tujuan Studi

Permasalahan dan tujuan studi terbagi dijelaskan pada tiga subbab selanjutnya.

Tiga subbab ini menjelaskan tentang permasalahan laju pergeseran, model geodesi

dan karakteristik gempa bumi di Sulawesi bagian tengah.

84
Gambar I‎ V-1. Struktur geologi regional di Pulau Sulawesi dan lokasi studi
penelitian yang ditunjukkan oleh kotak hitam. Kompilasi hasil
penelitian geodesi deformasi di Sulawesi. Sumber peta adalah
gambar SRTM 90m dan ETOPO1.

IV.2.1 Perbedaan Laju Pergeseran Sesar Matano dan Sesar Palukoro

Hasil pengukuran laju pergeseran survei geodesi yang menyimpulkan bahwa laju

pergeseran di Sesar Matano adalah sekitar 2 cm/tahun (Sarsito, 2010) dan di Sesar

Palukoro mencapai 4 cm/tahun (Socquet dkk., 2006) masih sukar diterangkan oleh

kinematika tektoniknya. Sesar Palukoro fungsinya adalah meneruskan pergerakan

dari Sesar Matano maka laju pergeserannya seharusnya sama atau lebih kecil dari

Sesar Matano. Apabila diasumsikan bahwa hasil pengukuran laju pergeseran ini

sudah akurat maka kemungkinan besar desakan kolisi mikrokontinen tersebut

tidak hanya diakomodasi oleh pergerakan lateral yang rigid tapi juga deformasi

internal dari kerak buminya. Dalam hal ini, kemungkinan defisit 2cm/tahun di

85
Sesar Matano diakomodasi oleh shortening atau zona sesar naik di utara Sesar

Matano. Oleh karena itu untuk mengetahui hal ini penelitian laju pergeseran yang

didapat dari pengukuran geodesi perlu diuji kembali oleh pengukuran independen

dari long-term geological slip rates dari kedua sistem Sesar Palukoro dan Sesar

Matano tersebut.

IV.2.2 Model Geodesi Tidak Mempertimbangkan Struktur Sesar di

Sekitarnya (Sulawesi bagian tengah)

Model geodesi yang digunakan belum mempertimbangkan struktur di antara Sesar

Palukoro dan Sesar Matano karena belum ada peta detil yang membahasnya.

Struktur di antara Sesar Palukoro dan Sesar Matano ini diperlukan juga untuk

memahami struktur sutura kolisi dan sesar naik keterkaitannya dengan struktur

dan kinematika tektonik di Sulawesi.

Publikasi pemetaan rinci hanya ada di Sesar Palukoro saja dan itupun ditampilkan

dalam peta dengan resolusi yang rendah. Publikasi tersebut membagi Sesar

Palukoro menjadi 7 segmen sesar aktif (Bellier dkk., 2001)(Gambar IV-2). Studi

ini menggunakan citra satelit SPOT-5 resolusi 5 m tahun 1988. Pemetaan ini

memperlihatkan terdapat tujuh segmentasi sesar dengan panjang 15 hingga 59 km

yang diperlihatkan dengan simbor S0 hingga S6. Panjang segmen Sesar Palukoro

adalah S0:15km, S1:59km, S2:43km, S3:29km, S4:40km, S5:20km, dan

S6:~12km (di darat). Segmen bagian utara mempunyai karakter panjang lebih

pendek dari bagian selatan. Bagian selatan dibatasi oleh pembelokan Leboni.

Segmen bagian selatan, S1 dan S2, mempunyai ciri segmen berupa garis lurus dan

86
panjang. Sedangkan segmen bagian utara mempunyai ciri bentuk en-echelon. Ini

menunjukkan bahwa segmentasi yang panjang di bagian selatan berubah ke utara

menjadi lebih komplek dengan cabang-cabang segmen sesar aktif (Bellier dkk.,

2001). Sayangnya publikasi ini tidak menjelaskan rinci segmentasi Sesar Palukoro

ini meliputi lokasi dan alasan penentuannya. Beberapa segmen bertentangan

dengan publikasi terbaru. Segmen S2 over estimate dan under estimate pada S6,

S5 dan S4 dengan pemahaman

publikasi bahwa batas step-over

segmentasi 4 km (Wesnousky, 2006).

Disamping itu penamaan berdasarkan

abjad menyulitkan dibandingkan

dengan penamaan identitas

morfologinya seperti yang digunakan

pada segment di Sesar Sumatra. Hal

inilah yang melatarbelakangi untuk

dilakukan kembali pemetaaan sesar

aktif lebih rinci, dengan konsep

segmentasi terkini dan menggunakan

data terbaru juga.

Gambar I‎ V-2. Segmentasi Sesar Palu - Koro. Terdapat tujuh segmen (S0 hingga
S6) (Bellier dkk., 2001).

87
IV.2.3 Tidak diketahui Karakteristik Sesar Palukoro dan Sesar

Matano

Ketiadaan peta rinci struktur sesar dan ketidak jelasan lokasi parameter gempa

bumi menyebabkan tidak diketahuinya karakteristik Sesar Palukoro dan Sesar

Matano dalam menghasilkan gempa bumi. Parameter gempa bumi yang

diperlukan adalah sejarah kejadian, segmentasi, lokasi tepat, laju pergeseran, besar

pergeseran tiap kejadian gempa, periode ulang, dan karakter perulangan gempa

bumi. Parameter tersebut akan dicari melalui studi paleoseismologi yang belum

pernah dilakukan di Sesar Palukoro dan Sesar Matano. Parameter tersebut juga

digunakan untuk keperluan seismic hazard analysis.

IV. 3. Metode dan Sumber Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini terbagi dalam beberapa wilayah

yang ditunjukkan pada Gambar IV-3. Data dasar menggunakan data Shuttle Radar

Topography Mission (SRTM) 30 m (USGS, 2015). Kemudian data IFSAR 5

meter (wilayah dengan kotak kecil) dan Lidar 0.9 meter melingkupi wilayah

pinggir pantai Teluk Palu yang diperoleh dari Australia-Indonesia Facility for

Disaster Reduction (AIFDR). Data Light Detection and Ranging (LiDAR) terfilter

2.5 meter sekitar Danau Matano – Towuti – Lontoa dari PT. Vale. Data citra

IFSAR 5 m hampir seluruh Sulawesi bagian tengah dari Badan Geologi – ESDM.

Pada tahap awal adalah mengumpulkan hasil penelitian dan publikasi peta geologi

di daerah Sulawesi ini (Ratman dan Atmawinata, 1993; Rusmana dkk., 1993;

Sidarto dan Bachri, 2013; Simandjuntak dkk., 1993; Simandjuntak dkk., 1991;

Simandjuntak dkk., 1997; Sukamto dkk., 1973; Sukido dkk., 1993; Surono, 2013).

88
Informasi geografis tatanama sungai menggunakan data Peta Departemen

Pekerjaan Umum (Public-Work-Team, 1999). Data-data tersebut kemudian

dikompilasi, digitasi dan analisis didalam perangkat lunak Geographic

information System – ArcGIS. Penguatan gambaran geomorfologi dilakukan

menggunakan model Swiss Hillshade and the MDOW (multi-directional oblique

weighting) didalam aplikasi hillshade tools (ESRI-Mapping-Center-Team, 2010).

IV. 4. Kegempaan/Seismologi

Di dalam penelitian ini digunakan data seismisitas gempa bumi berdasarkan

katalog relokasi Engdahl yang merekam kejadian gempa bumi tahun 1964 – 2009

(Engdahl dkk., 2007). Katalog gempa bumi Engdahl memiliki lokasi sumber yang

akurasi tetapi tidak memiliki data focal mechanism-nya. Sumber data seismisitas

lainnya adalah katalog Global Centroid Moment Tensor (CMT) yang memiliki

data focal mechanism tetapi kesalahan sumber lokasi lebih besar dibandingkan

dengan katalog relokasi Engdahl (Ekstrom dkk., 2012). Penelitian ini

mengkombinasikan kedua katalog tersebut yaitu menggunakan data focal

mechanism katalog CMT dengan sumber lokasi berdasarkan katalog relokasi

Engdahl.

Hasil kombinasi katalog ini digunakan untuk membantu interpretasi morfologi

sesar aktif menunjukkan korelasi sumber sesar, jenis sesar dan fokal mekasnism

yang bersesuaian (Gambar IV-4). Rincian penjelasannya akan disatukan dengan

penjabaran setiap sesar pada bab selanjutnya

89
119°30’0"E 120°0’0"E 120°30’0"E 121°0’0"E 121°30’0"E 122°0’0"E

Kilometers
0 15 30 60 1°30’0"S

Palu

LiDAR0.6M

G
1°0’0"S Poso

am

Ga
ba

mb
rI
2°0’0"S

V- G

ar I
18 am

V-1
Morowali

5
ba
rI M30
M
V- SRT
9

Ga
mb
ar
1°30’0"S )
R 5M I FD R

I
A

V-
M (
IFSA R5

8
IFSA 2°30’0"S

Gambar IV-11 Gambar IV-12

M
M30
Soroako
SRT Gambar IV-10 Filtered
Budong budong 122°0’0"E
2°0’0"S LiDAR2.5M
119°0’0"E
3°0’0"S
119°0’0"E 119°30’0"E 120°0’0"E 2°30’0"S
7 120°30’0"E 121°0’0"E 121°30’0"E
IV-
Gambar I‎ V-3. Data-data yang digunakan, indeks lokasi gambar-gambarr selanjutnya dan morfologi menggunakan Data SRTM 30
ba
m(USGS, 2015). Data dasar menggunakan data Shuttle am Radar Topography Mission (SRTM) 30 m (USGS, 2015).
Kemudian data IFSAR 5 meter (wilayah dengan kotakG kecil) dan Lidar 0.9 meter melingkupi wilayah pinggir pantai
yang diperoleh dari Australia-Indonesia for Disaster Reduction (AIFDR). Data Light Detection and Ranging (LiDAR)
terfilter 2.5 meter sekitar Danau Matano – Towuti – Lontoa dari PT. Vale. Data citra IFSAR 5 m hampir seluruh
Sulawesi bagian tengah dari Badan Geologi – ESDM.

90
119° 30'0"E 120° 0'0"E 120° 30'0"E 121° 0'0"E 121° 30'0"E 122° 0'0"E

±
Kilometers
0 15 30 60 1° 30'0"S

1995
Magnitude
3.5 - 5
2014 5 - 6.5
2005
6.5 - 8
1977&2005

2 00
20

5
1° 0'0"S 8-9
01 2009

20
1907& Depth
05 2° 0'0"S
2012
0 - 30Km
30 - 60Km
2002
19 61 - 100Km
09 2009
100 - 300Km

19 7 7
>300Km
2002
1° 30'0"S
1905
19
68

1979 2° 30'0"S

1968 1995
19 19
77 82
&1 1984&2011
99
85

8
19

2000 1980

122° 0'0"E
1985

2° 0'0"S 85
19
119° 0'0"E 85
19
3° 0'0"S
119° 0'0"E 119° 30'0"E 120° 0'0"E 2° 30'0"S 120° 30'0"E 121° 0'0"E 121° 30'0"E

Gambar I‎ V-4. Sebaran sumber gempa bumi dan sumber sesar penghasil gempa bumi tersebut. Peta ini menyajikan data focal
mechanism katalog CMT dengan titik lokasi berdasarkan katalog relokasi Engdahl (2007).

91
119° 30'0"E 120° 0'0"E 120° 30'0"E 121° 0'0"E 121° 30'0"E 122° 0'0"E

±
Parigi Basin Kilometers
0 15 30 60 1° 30'0"S
2 3
Palu Basin
a Sausu Basin
Samalera Basin
4
1 Mapane Basin 8
Palolo Basin

1° 0'0"S 7

Sopu Basin Sumara Basin


Bau Basin
Lindu Basin
b 2° 0'0"S
Kulawi Basin Napu Basin
Morowali Basin
6
Pasangkayu Basin Toro Basin

Timbowa Basin
19
Banggaiba Basin
Tiu Basin

c Poso Basin
1° 30'0"S Lingkobu Basin
Gimpu Basin
Tomuikarya Basin Menaowe Basin
Besoa Basin Manea 10 2° 30'0"S
Basin
e
Salo Fractures Zon
12
Bada Basin d
a 11 Matano Basin

13
c d f g
b Mahalona Basin
Meloi Kangkelo Basin
Basin Pansu Basin 16 e
14 Toletole Basin Towuti-Matano-Lontoa Fractures Zone
Towuti Basin Lontoa Basin 122° 0'0"E
Geresa Basin
2° 0'0"S Bone Basin Leduledu Basin 18
Eno Basin
119° 0'0"E Budong budong Basin Liasa Basin
15 17
3° 0'0"S
119° 0'0"E 119° 30'0"E 120° 0'0"E 2° 30'0"S 120° 30'0"E 121° 0'0"E 121° 30'0"E

Gambar I‎ V-5. Nama, nomor dan lokasi sesar. Penelitian ini mendiskripsikan 20 sesar secara sistimatis dari atas kiri berurutan ke
kanan dan secara rinci 4 segment di Sesar Palukoro dan 6 segment di Sesar Matano.

92
119°30’0"E 120°0’0"E 120°30’0"E 121°0’0"E 121°30’0"E 122°0’0"E

Kilometers
0 15 30 60 Active Fault 1°30’0"S

Inactive Fault
Fractures
Hot Spring

1°0’0"S

2°0’0"S

1°30’0"S

2°30’0"S

122°0’0"E
2°0’0"S
119°0’0"E
3°0’0"S
119°0’0"E 119°30’0"E 120°0’0"E 2°30’0"S 120°30’0"E 121°0’0"E 121°30’0"E

Gambar ‎IV-6. Jalur sesar dan sebaran mataair panas. Garis hitam adalah sesar tidak aktif. Garis merah adalah sesar aktif.

93
IV. 5. Hasil Pemetaan Sesar Aktif - Geometri dan Segmentasi

Sesar

Pulau Sulawesi memiliki tatanan sesar yang rumit yang terdiri atas sesar yang

masih aktif bergerak dan yang tidak lagi bergerak. Penelitian ini mendiskripsikan

20 sesar secara sistimatis dari atas kiri berurutan ke kanan. Diskripsi jalur sesar

akan diperjelas juga dengan pemberian titik koordinat awal dan titik koordinat

akhir. Pada lokasi tertentu adalah merupakan kumpulan retakan (fractures) yang

membentuk zona.

Pada bagian akhir akan dijelaskan secara rinci 4 segment di Sesar Palukoro dan 6

segment di Sesar Matano. Penjabaran ini dijelaskan pada Gambar IV-5 yang berisi

nama dan lokasi sesar serta Gambar IV-6 yang berisi jalur sesar dan sebaran

mataair panas.

IV.5.1. Sesar Palintuma (119.644oE,0.988oS - 119.877oE,1.352oS)

Jalur Sesar Palintuma ini ditunjukkan nomor 1 pada Gambar IV-5. Jalur sesar ini

dicirikan dengan lembah sungai sempit, beda pola morfologi, perubahan

ketinggian, dan tekuk lereng yang memanjang. Jalur sesar ini memiliki panjang 48

km dan berorientasi N325oE (Gambar IV-3).

Dua kejadian gempa bumi sesar normal pernah terekam berasal dari lokasi ini

yaitu pada tahun 2001 Mw 5.2 kedalaman 47 km dan tahun 2005 Mw 6.3

kedalaman 12 km (Gambar IV-4). Jalur sesar ini telah dikenali dan dipetakan oleh

Sidarto and Bachri (2013) dan Sukido (1993) tetapi masih tak bernama. Penelitian

94
ini memberikan nama Sesar Palintuma berdasarkan nama sungai Palintuma yang

terpotong jalur sesar. Sesar Palintuma ini masuk dalam klasifikasi sesar aktif.

IV.5.2. Sesar Parigi (120.106oE,0.77oS - 120.474oE,1.067oS)

Jalur Sesar ini ditunjukkan oleh nomor 2 pada Gambar IV-5. Jalur sesar ini

ditandai dengan gawir sesar dan triangular facet yang memanjang dan membentuk

lengkung sempurna kurang lebih 57 km dengan arah orientasi N315oE (Gambar

IV-3 dan Gambar IV-6). Morfologi sesar ini sudah mengalami erosi lanjut dan

tidak terlihat ekspresi sesar aktif yang memotong sediment kuarter. Hal tersebut

menunjukkan bahwa sesar ini tidak aktif. Batas utara jalur sesar ini berbatasan

dengan laut, sedangkan sebelah selatan bertemu dan terpotong oleh Sesar

Tokararu. Sesar ini bernama Sesar Parigi (Sidarto dan Bachri, 2013).

Gempa bumi normal tahun 1995 yang terjadi di ujung timur dekat perpotongan

dengan Sesa Tokararu. Sumber gempa bumi ini kemungkinan kuat dihasilkan oleh

Sesar Sausu yang berada 7 km didekatnya. Sesar Sausu dijabarkan pada salah satu

bab selanjutnya.

IV.5.3. Sesar Tokararu (120.396oE,0.966oS - 120.552oE,1.576oS)

Jalur sesar ini ditunjukkan oleh nomor 3 pada Gambar 4. Garis sesar ini

membentuk garis 74 km dengan arah lengkung relative N330oE yang dicirikan

oleh lembah sungai sempit, mataair panas, gawir dengan beda tinggi yang jelas

dan triangular facet (Gambar IV-5 dan Gambar IV-8). Ujung utara jalur sesar ini

menerus kearah laut dicirikan oleh antiklin dan tekuk lereng yang jelas. Batas

95
sebelah selatan adalah 8 km step over kanan dengan Sesar Boncea. Gawir sesar ini

terlihat jelas lembah sungai Kuala Wungingkay, Kuala Malahena, Kuala Puna,

Kuala Takararu dan Kuala Sausu.

Sesar ini berdasarkan ekspresi morfologi dibedakan menjadi dua, yaitu bagian

utara yang telah mengalami erosi lanjut dan tidak memotong sedimen muda;

sedangkan bagian selatan memiliki ekspresi morfologi yang segar dan memotong

sedimen muda.

Sukamto (1975) telah mengenali sesar ini tapi masih tak bernama. Sidarto (2013)

menyebutnya dengan dua nama yaitu Sesar Normal Poso Barat dan Sesar Sausu.

Didalam publikasi ini diberikan nama Sesar Tokararu berdasarkan lokasi sungai

Kuala Tokararu yang memiliki ekspresi sesar paling jelas. Alasan pemberian

nama baru ini karena jalur sesar ini berada jauh dari Danau Poso dan juga kota

Poso; disamping itu ada jalur sesar lainnya yang lebih tepat menggunakan nama

Sesar Poso.

Gempa bumi pernah terjadi di jalur ini pada 1996 Mw 4.3 kedalaman 49.7 km dan

tahun 2009 Mw 5.1 kedalaman 35 km (Gambar IV-4). Sesar ini masuk klasifikasi

sesar aktif.

IV.5.4. Sesar Sausu (119.88oE,1.026oS - 120.553oE,1.277oS)

Jalur sesar ini ditunjukkan oleh nomor 4 pada Gambar IV-5. Jalur sesar ini

dicirikan dengan lembah sungai sempit, mataair panas dan triangular facet yang

96
memanjang hingga 81 km dengan orientasi N295oE (Gambar IV-3 dan Gambar

IV-6).

Ekspresi gawir sesar terlihat jelas di lembah sungai Kuala Sausu. Seismisitas

pernah terekam adanya dua kejadian gempa bumi normal yaitu Mw 4.5

kedalaman 55.4 km 1983 dan Mw 4.8 kedalaman 42.9 km 2005 (Gambar IV-4).

Jalur sesar ini telah dipetakan dalam publikasi Simandjuntak (1997) tetapi masih

tak bernama. Penelitian ini menamakan jalur sesar ini sebagai Sesar Sausu sesuai

dengan nama sungai tempat ekpresi morfologi yang kentara. Sesar ini masuk

dalam klasifikasi sesar aktif.

IV.5.5. Graben Palolo (119.926oE,1.043oS - 120.391oE,1.455oS)

Graben Palolo ditunjukkan oleh nomor 5 di Gambar IV-5. Sesar ini dicirikan

adanya triangular facet, mataair panas dan gawir sesar yang memanjang 70 km

dengan arah N315oE (Gambar IV-3 dan Gambar IV-6). Sesar ini membentuk

lembah Palolo dan lembah Sopu dibagian tengahnya. Batas kiri/baratlaut adalah

berpotongan dengan Sesar Palukoro, sedangkan batas kanan/tenggara adalah

menghilang di Lembah Napu.

Dua kejadian terekam di sesar ini yaitu pada tahun 1977 Mw 5.1 kedalaman 50

km dan gempa bumi sesar normal tahun 2005 Mw 5.3 kedalaman 35 km (Gambar

IV-4). Simandjuntak (1997) telah mengenali struktur ini. Sesar ini masuk

klasifikasi sesar aktif.

97
IV.5.6. Sesar Naik Malei (120.427oE,1.237oS - 120.409oE,2.473oS)

Sesar ini ditunjukkan oleh nomor 6 pada Gambar IV-5. Sesar ini terlihat degan

adanya ekpresi morfologi lembah sungai sempit dan gawir sesar dengan panjang

137 km dan orientasi relatif N10oE (Gambar IV-3 dan Gambar IV-6). Jalur sesar

ini membentuk lekuk sinusoidal dengan 3 buah panjang gelombang. Jejak sesar ke

utara dibatasi dengan hilangnya bentuk gawir didekat pertemuan dengan Sesar

Sausu. Jejak sebelah selatan hilang dan berdekatan dengan Sesar Bungadidi. Di

Lembah Napu, terdapat ekspresi sesar yang memotong sedimen quarter yang

menunjukkan aktifitas sesar.

Sesar ini disebut sebagai Sesar Poso oleh Simandjuntak (1997) dan sudah dikenali

didalam peta geologi yang dipublikasikan oleh Sukamto (1975). Nama lain sesar

ini adalah Sesar Naik Poso (Sidarto dan Bachri, 2013). Penelitan ini menggunakan

nama Sesar Naik Malei karena jalur sesar ini terlihat jelas morfologi sesarnya di

Sungai Owei Malei. Alasan pemberian nama baru ini karena jalur sesar ini berada

jauh dari Danau Poso dan juga kota Poso; disamping itu ada jalur sesar lainnya

yang lebih tepat menggunakan nama Sesar Poso.

Dua kali seismisitas tercatat di tahun 2001 yaitu Mw 4.8 kedalaman 7.9 km dan

Mw 4.9 kedalaman 22.6 km yang terjadi didekat Lembah Napu (Gambar IV-4).

Sesar ini masuk dalam klasifikasi sesar aktif.

98
IV.5.7. Sesar Poso (120.89oE,1.414oS - 120.772oE,2.177oS)

Sesar ini ditunjukkan oleh nomor 7 pada Gambar IV-5. Sesar ini telah dipetakan

dan dipublikasi oleh Simandjuntak (1997) dan Sukamto (Sukamto, 1975). Jalur

sesar ini dicirikan dengan gawir sesar, tekuk lereng, lembah Poso dan triangular

facet yang memanjang 94 km (Gambar IV-3 dan Gambar IV-6). Bagian utara

memiliki dua lajur sesar dengan arah N34oE yang kemudian membelok

membentuk garis kurva dengan arah N10oE. Jalur sesar ini memiliki ekspresi

morfologi yang jelas tetapi tidak ada yang memperlihatkan aktifitas yang

memotong sedimen muda. Jalur ini disebut sebagai Sesar Normal Poso Timur

(Sidarto dan Bachri, 2013). Disamping itu tidak ada rekaman seismologi dan juga

catatan sejarah kejadian gempa bumi di jalur ini. Jalur sesar ini masuk

klasifikasikan sesar yang tidak aktif.

IV.5.8. Sesar Weluki (121.143oE,1.41oS - 121.083oE,2.36oS)

Sesar ini ditunjukkan oleh nomor 8 pada Gambar IV-5. Jalur sesar ini ditunjukkan

oleh gawir sesar, tekuk lereng, lembah dan beda tinggi yang memanjang hingga

109 km (Gambar IV-3 dan Gambar IV-6). Bentuk morfologi berkelok-kelok dan

melingkar yang merupakan khas sesar naik. Sepanjang jalur ini juga terdapat

Lembah Tiu dan Lembah Bau yang dibatasi jalur sesar ini. Sisi utara jalur sesar ini

terdiri atas satu jalur menerus ke dasar laut. Kemenerusannya kearah selatan

menjadi bercabang menjadi beberapa jalur sesar dan melebar yang kemudian jejak

jalur sesar ini menghilang. Sesar ini di sebut Sesar Naik Weluki (Sidarto dan

Bachri, 2013; Simandjuntak dkk., 1997). Ekpresi jalur sesar ini tidak ada yang

99
memotong satuan sedimen muda dan juga tidak ada rekaman seismisitas dan

catatan kejadian gempa bumi. Sesar ini masuk klasifikasi sesar tidak aktif.

IV.5.9. Zona Sesar Lore Lindu

Zona sesar ini terletak diantara Sesar Malei, Graben Palolo dan Sesar Palukoro

(Gambar IV-5). Di zona ini terdapat banyak garis-garis sesar dengan arah yang

tidak ada keseragaman. Sesar-sesar ini ditunjukkan oleh lembah sungai yang

memanjang. Didalam zona ini terdapat Lembah Napu, Lembah Bada, Lembah

Lindu dan Lembah Besoa (Gambar IV-3 dan Gambar IV-6).

Beberapa jalur sesar ini menunjukkan keaktifannya seperti di dekat Lembah Lindu

yang menghasilkan gempa bumi 2012, Lembah Napu dengan gempa bumi tahun

1995, dan di bagian tengah gampa tahun 2002 (Gambar IV-4).

IV.5.10. Sesar Poso Barat (120.542oE,1.586oS - 120.819oE,2.317oS)

Sesar ini ditunjukkan oleh nomor 10 pada Gambar IV-5. Jalur ini dicirikan oleh

tekuk lereng, beda tinggi kontras, dan lembah Poso yang memanjang 90 km

dengan orientasi N320oE (Gambar IV-3 dan Gambar IV-6). Batas utara jalur sesar

ini adalah right step over 8 km dengan Sesar Takararu. Batas selatan sesar ini

bertemu dengan Sesar Matano di segment Kuleana.

Sesar ini di sebut Sesar Normal Poso Barat (Sidarto dan Bachri, 2013). Jalur sesar

ini tidak memperlihatkan pergeseran yang memotong sediment Lembah Poso

sehingga di klasifikasikan dalam sesar yang tidak aktif.

100
IV.5.11. Zona Sesar Salo

Sesar ini ditunjukkan oleh nomor 20 pada Gambar IV-5. Sesar-sesar di zona ini

ditunjukkan oleh ekspresi lembah sungai sempit yang memanjang dengan

orientasi yang berbeda-beda (Gambar IV-3 dan Gambar IV-6). Sesar-sesar ini

berada di zona yang dibatasi oleh Sesar Loa, Sesar Matano, dan Sesar Poso.

Sukamto (1975) sudah mencantumkan sesar-sesar ini tetapi masih tak bernama.

Penelitian ini memberi nama Sesar Salo sesuai dengan nama sungai Salo dimana

jalur sesar ini berada. Data seismisitas pernah merekam gempa bumi tahun 1982

Mw 5.7 kedalaman 50 km dan tahun 1998 Mw 4.6 kedalaman 3.7 km (Gambar

IV-4). Zona sesar ini masuk dalam klasifikasi sesar aktif.

IV.5.12. Sesar Loa (120.676oE,1.645oS - 121.244oE,2.423oS)

Sesar ini ditunjukkan oleh nomor 12 pada Gambar IV-5. Sesar ini ditunjukkan

oleh tekuk lereng dan lembah sungai yang memanjang 107 km dengan arah

N320oE (Gambar IV-3 dan Gambar IV-6). Batas utara sesar ini berpotongan

dengan Sesar Poso, sedangkan batas selatan adalah berpotongan dengan Sesar

Matano di Danau Matano. Sesar ini telah dipetakan oleh Sukamto (1975) tetapi

masih belum bernama. Penelitian ini menggunakan nama Sesar Loa sesuai dengan

nama sungai Koro Loa yang dilewati jalur sesar ini. Rekaman seismisitas adanya

gempa bumi tahun 1995 Mw 5.3 kedalaman 52.7 km di dekat Danau Matano

(Gambar IV-4). Sesar ini bagian ujung selatan masuk dalam sesar aktif sedangkan

bagian ke arah utara masuk kategori sesar tidak aktif karena expresi morfologinya

yang menunjukkan tidak ada yang memotong satuan sedimen muda/kuarter.

101
IV.5.13. Zona Sesar Budong-budong

Sesar ini ditunjukkan oleh nomor 13 pada Gambar IV-5. Ciri morfologi yang

kentara adalah gawir sesar, lembah sungai sempit dan tekuk lereng yang

memanjang (Gambar IV-3 dan Gambar IV-6). Terdapat beberapa jalur sesar

dengan arah bervariasi yaitu Timurlaut/NE dan Barat-Timur/EW. Sesar ini

produktif menghasilkan gempa bumi dengan hasil rekaman seismologi yang

merekam banyak kejadian (Gambar IV-4). Tahun 1985 terjadi gempa bumi lima

kali dengan mekanisme focal sesar geser. Zona sesar ini masuk dalam klasifikasi

sesar aktif. Sesar ini telah dipetakan dalam peta geologi (Sukamto, 1975) dan

(Ratman dan Atmawinata, 1993) tetapi dengan rinci jalur yang berbeda dan belum

mempunyai nama. Nama Zona Sesar Budong-budong digunakan berdasarkan

kedekatan zona ini dengan Lembah Budong budong.

IV.5.14. Sesar Salulore (119.801oE,2.288oS - 120.178oE,2.09oS)

Sesar ini ditunjukkan oleh nomor 14 pada Gambar IV-5. Sesar ini memiliki

ekpresi morfologi lembah sungai sempit yang memanjang 48 km berarah N60oE

di Sungai Salulore (asal nama sesar ini) dan Sungai Uwa Toboru (Gambar IV-3

dan Gambar IV-6). Jalur sesar ini juga memotong sedimen muda di Lembah Eno.

Batas barat sesar ini menghilang, sedangkan batas timur adalah lokasi pertemuan

Sesar Matano, Sesar Palukoro dan Sesar Salulore ini. Seismisitas menunjukkan

kejadian gempa bumi sesar normal pada tahun 1997 Mw 4.5 kedalaman 15 km

dan tahun 1994 Mw 5.4 (Gambar IV-4). Sesar ini masuk dalam klasifikasi sesar

aktif.

102
IV.5.15. Sesar Bungadidi (120.431oE,2.493oS - 120.721oE,2.528oS)

Sesar ini ditunjukkan oleh nomor 15 pada Gambar IV-5. Jalur sesar ini dicirikan

dengan triangular facet, gawir sesar, tekuk lereng dan antiklin yang memanjang 37

km dan membentuk seperempat lingkaran (Gambar IV-3 dan Gambar IV-6). Batas

barat adalah perpotongan dengan Sesar Malei dan batas timur adalah pertemuan

dengan Sesar Matano – Segment Kuleana. Data seismisitas tidak memiliki sumber

gempa bumi dilokasi ini. Terdapat pergeseran mengiri 675±80 m sungai yang

jelas kentara di Sungai Bungadidi (Gambar IV-7). Di bagian barat sesar ini

terdapat struktur antiklin dan bagian timur terdapat struktur sesar normal yang

memotong sedimen muda. Sesar ini masuk dalam klasifikasi sesar aktif.

IV.5.16. Zona Sesar Towuti Matano Lontoa

Zona sesar ini ditunjukkan oleh nomor 16 pada Gambar IV-5. Zona sesar ini

dicirikan oleh tekuk lereng, gawir sungai, beda tinggi kontras dan lembah sungai

sempit yang memanjang dan membentuk huruf‎‘S’‎(Gambar‎IV-3 dan Gambar IV-

6). Zona ini dibatasi oleh Sesar Matano dan Sesar Towuti. Zona ini masih aktif

bergerak dengan bukti adanya retakan permukaan gempa bumi yang terlihat di

citra LiDAR 2.5 m yang diperoleh dari PT. Vale. Zona sesar ini masuk klasifikasi

sesar aktif.

103
a
.

Palu
Poso

Sorowako

Gambar I‎ V-7. a) Jalur Sesar Bungadidi dicirikan dengan triangular facet, gawir
sesar, tekuk lereng dan antiklin yang memanjang 37 km dan
membentuk seperempat lingkaran, dan b) Analisis pergeseran
mengiri 675±80 m sungai yang jelas kentara di Sungai Bungadidi
(lingkaran garis biru putus-putus).

IV.5.17. Sesar Lawanopo (121.094oE,2.547oS - 121.201oE,2.765oS)

Sesar ini ditunjukkan oleh nomor 17 di Gambar IV-5. Sesar ini dicirikan oleh

bentuk triangular facet, lembah sungai sempit dan gawir sesar yang memanjang

paling tidak 27 km (karena menerus hingga diluar batas lokasi penelitian) dan

104
berarah N335oE (Gambar IV-3 dan Gambar IV-6). Sesar ini terlihat sudah

mengalami tingkat erosi tua dan tidak ada ciri pernah bergerak.

Sesar ini teridentifikasi juga pada peta geologi (Sidarto dan Bachri, 2013;

Sukamto, 1975) dan diberi nama sebagai Sesar Lasolo oleh Rusmana (1993).

Sesar ini masuk klasifikasi sesar tidak aktif (Natawidjaja dan Daryono, 2015).

IV.5.18. Sesar Towuti (120.989oE,2.433oS - 121.769oE,2.864oS)

Sesar ini ditunjukkan oleh nomor 18 pada Gambar IV-5. Sesar ini memiliki ciri

morfologi lembah sungai sempit yang memanjang melewati Danau Towuti hingga

97 km dan berarah N290oE (Gambar IV-3 dan Gambar IV-6). Batas timur sesar

ini adalah berhenti di Lembah Liasa dan batas barat terpotong oleh Sesar

Matano.Seismisitas gempa bumi terekan pada tahun 1983 Mw 4.9 kedalaman 49

km (Gambar IV-4). Sesar ini masuk klasifikasi sebagai sesar aktif.

IV.5.19. Sesar Palukoro

Sesar Palukoro ini telah banyak dipublikasikan (Bellier dkk., 2001; Hamilton,

1978; Katili, 1970; Sidarto dan Bachri, 2013; Sukamto, 1975; Sukamto dkk.,

1973). Sesar ini ditunjukkan oleh nomor 19 pada Gambar IV-5. Sesar ini memiliki

beberapa Segmen yang berubah arah dari utara N350oE, N345oE dan N337oE

yang akan dijabarkan rinci mulai dari sisi utara ke selatan secara berurut pada bab

dibawah berdasarkan Gambar IV-8.

105
Palu
Poso

Sorowako

Gambar ‎IV-8. Sesar Palukoro yang terdiri atas Segmen Palu, Segmen Gumbassa, Segmen Saluki, Segmen Moa dan Segmen Graben Meloi.

106
IV.5.19.1. Segmen Palu (119.742oE,0.644oS - 119.899oE,1.229oS)

Segmen ini diperlihatkan pada nomor 19-a pada Gambar IV-5 dan rincinya pada

Gambar IV-8. Segmen ini dicirikan morfologi triangular facet, tekuk lereng,

mataair panas dan gawir sesar yang memanjang lebih dari 66 km dengan arah

N350oE (Gambar IV-8). Secara rinci jejak sesar aktif terlihat di lembah Palu dan

memotong sedimen muda yang ditunjukkan oleh garis merah. Di tekuk lereng

terdapat gawir sesar yang tampak menerus tetapi tidak ada aktifitas terlihat dengan

tidak adanya jejak retakan pada endapan muda yang menutupinya. Hal ini yang

memasukkan dalam klasifikasi tidak aktif yang ditandai oleh garis warna hitam.

Bagian kiri/utara Gambar IV-8, Bellier (2001) mendefinikan sebagai “S4” dan

“S5”. Citra IFSAR 5m memperlihatkan bahwa “S4” dan “S5” tidak memotong di

sedimen kuarter – sedimen Lembah Palu sebagai sesar tidak aktif. Expresi

morfologi segar terlihat menerus di tengah teluk Palu. Kemudian jalur sesar ini

kearah kiri/selatan menyatu dengan ekpresi sesar normal yang jelas memotong

sedimen muda Lembah Palu yang kemudian ekpresi itu menghilang/tidak jelas.

Hal lainnya adalah ekpresi sesar normal di teluk Palu sebelah atas/timur. Ekpresi

sesar normal ini memotong sedimen Lembah Palu dengan jelas. Ujung Segmen

kanan/selatan ini adalah Segmen Saluki 4.7 km left step over dan ujung kiri/utara

segmen ini tertutup dibawah permukaan laut. Rekaman seismisitas pernah terjadi

gempa bumi sesar normal pada tahun 2009 Mw 5.9 kedalaman 10 km berarah

utara-selatan (trend arah Graben Palolo).

107
IV.5.19.2. Segmen Gumbassa (119.932oE,1.071oS - 119.958oE,1.23oS)

Segmen ini dijelaskan oleh garis nomor 19-b pada Gambar IV-5 dan rinci pada

Gambar IV-8. Segmen ini dicirikan oleh mataair panas dan ekpresi morfologi

triangular facet yang memanjang 20 km dan berarah N350oE. Oleh Bellier (2001),

jalur sesar ini disebut sebagai “S3”. Ekpresi Segmen ini memperlihatkan tidak

memotong sedimen Lembah Palu serta ujung kanan/selatannya membelok dan

berhenti. Pembelokan ini yang menjadi pembatas antara Segmen ini dengan

Segmen selanjutnya. Segmen ini diberi nama Segmen Gumbasa sesuai dengan

sungai yang memotong Segmen ini yaitu Sungai Gumbasa. Kejadian gempa bumi

sesar normal pernah terjadi dekat dengan Segmen Gumbasa ini yaitu pada tahun

2005 Mw 5.9 kedalaman 20 km dengan arah NS-arah tren Graben Palolo. Gempa

bumi lebih sesuai berasal dari Segmen Palu. Segmen Gumbassa diklasifikasikan

sesar tidak aktif.

IV.5.19.3. Segmen Saluki (119.938oE,1.224oS - 120.043oE,1.614oS)

Segmen ini ditunjukkan oleh nomor 19-c pada Gambar IV-5 dan rinci pada

Gambar IV-9. Segmen sesar ini dicirikan oleh morfologi gawir sesar, tekuk

lereng, lembah sungai sempit, struktur antiklin dan pergeseran sungai yang

memanjang 40 km dengan arah N345oE. Jelas terlihat pergeseran Sungai Saluki

mengiri 510±20 m. Ujung sebelah kiri/utara adalah Segmen Gumbasa yang

memiliki mekasnisme sesar normal dan ujung sebelah kanan/selatan adalah

Segmen Moa yang membelok 8 derajat ke timur.

108
Bellier (2001) menamakan segmen ini dengan notasi “S2”. Pada penelitian ini

segmen ini bernama Segmen Saluki sesuai dengan morfologi terjelas sepanjang

segmen ini. Tidak ada data seismisitas disegmen ini, tetapi ada catatan sejarah

pernah terjadi gempa bumi besar pada tahun 1909 yang akan dibahas rinci pada

bab selanjutnya. Segmen Saluki ini masuk klasifikasi sesar aktif.

Palu
Poso

Sorowako

Gambar I‎ V-9. a) Pergeseran Sungai Saluki dan b) analisis pergeseran sungai


mengiri 510±20 m.

IV.5.19.4. Segmen Moa (120.05oE,1.664oS - 120.192oE,2.04oS)

Segmen sesar ini ditunjukkan oleh nomor 19-d pada Gambar IV-5 dan rincinya

pada Gambar IV-8. Segmen sesar ini dicirikan oleh mataair panas dan lembah

sungai sempit yang menerus dengan panjang 47 km dan berarah N337oE. Bagian

kiri/utara dibatasi oleh Segmen Saluki yang berubah orientasi 8 derajat dan ujung

bagian kanan/selatan dibatasi oleh Segmen Meloi yang berubah orientasi 27

109
derajat anticlockwise/ke atas/barat.Bellier menotasi Segmen ini sebagai “S1”

(Bellier dkk., 2001). Penelitian ini memberi nama segmen ini Segmen Moa

dimana Sungai Uwai Moa adalah sungai yang menjadi bukti keberadaan sesar ini.

Seismisitas pernah mencatat kejadian gempa bumi pada tahun 1968 Mw 5.9

kedalam 46 km yang berjarak 7 km dari Segmen Moa ini.

IV.5.19.5. Segmen Graben Meloi (120.211oE,2.049oS - 120.35oE,2.158oS)

Segmen ini ditunjukkan oleh nomor 19-e pada Gambar IV-5 dan rincinya pada

Gambar IV-8. Segmen ini ditunjukkan oleh tekuk lereng, lembah, dan triangular

facet yang memanjang 19 km dengan arah N 310oE. Segmen ini berada di

Lembah Meloi yang dibatasi oleh bentuk morfologi dua sesar normal. Ujung

kiri/utara adalah Segmen Moa dan ujung kanan/selatan dibatasi oleh Sesar Malei.

Seismisitas pernah merekam kejadian gempa bumi tahun 1977 Mw 5 kedalaman

45 km. Graben Meloi masuk klasifikasi sesar aktif.

IV.5.20. Sesar Matano

Sesar ini ditunjukkan oleh nomor 20 pada Gambar IV-5. Sesar Matano terbagi

atas 7 Segmen yang diberi notasi a hingga g. Segmetasi sesar ini membentuk garis

dengan bentuk gelombang sinusoidal dengan bentuk tiga gelombang lengkap.

Garis sesar ini membentuk seperti struktur en-echelon. Secara sistematis akan

dijabarkan mulai dari arah kiri/barat kearah kanan/timur dengan arah umum

N295oE. Sesar ini telah dimuat dalam berbagai penelitian tetapi dengan rinci jalur

sesar yang berbeda (Simandjuntak dkk., 1993; Sukamto, 1975).

110
Palu
Poso

Gambar I‎ V-10. Sesar Matano. Segmentasi sesar ini membentuk bentuk geolombang sinusoidal dengan bentuk tiga gelombang
lengkap seperti struktur en-echelon. Sesar Matano terdiri atas Segmen Kuleana, Segmen Pewusai, Segmen Matano,
Segmen Pamsoa, Segmen Lontoa, Segmen Ballawai dan Segmen Geresa.

111
IV.5.20.1. Segmen Kuleana (120.394oE,2.163oS - 120.597oE,2.209oS)

Segmen ini ditunjukkan oleh garis nomor 20-a pada Gambar IV-5 dan rincinya

pada Gambar IV-10. Segmen ini dicirikan oleh lembah sungai sempit, triangular

facet dan gawir sesar yang memanjang hingga 24 km dan berarah umumnya N280
o
E. Segmen ini membentuk garis lengkung dan terputus-putus. Ekpresi sesar di

Segmen ini terlihat berbeda diantara jalur sesar sisi barat – Segmen Meloi dan sisi

timur – Segmen Pewusai.

Ekpresi morfologi menunjukkan kemiripan Segmen ini sebagai retakan/fracture

dimana tidak menunjukkan pergeseran dan deformasi tektonik yang jelas. Ujung

kiri/barat dibatasi oleh Sesar Malei. Jalur ini tidak memotong Sesar Malei. Ujung

kanan/timur dibatasi oleh Segmen Pewusai. Segmen ini tidak memiliki rekaman

kejadian gempa sejarah maupun seismisitasnya. Segmen ini mendapat nama

berdasarkan nama jalur sungai yaitu Sungai Kangkelo dan Sungai Kuleana.

IV.5.20.2. Segmen Pewusai (120.62oE,2.214oS - 121.017oE,2.432oS)

Segmen ini ditunjukkan oleh nomor 20-b Gambar IV-5 dan pada rincinya di

Gambar IV-10. Segmen ini dicirikan oleh gawir sesar, lembah sungai sempit dan

kontras beda tinggi yang memanjang 51 km dan membentuk lengkung dengan

arah umum N300oE. Jalur sesar ini menunjukkan khas bentuk sesar naik. Ujung

kiri/barat dibatasi oleh oleh Segmen Kangkelo dengan jeda jarak 6 km dan ujung

kanan/timur dibatasi oleh Segmen Matano dengan arah dan pola sesar yang

berbeda.

112
Terdapat pergeseran sungai pemendekan/shortening di anak Sungai Kuleana.

Proses pemendekan ini terlihat oleh dua sungai bercabang yang terpotong oleh

jalur Segmen ini. Dua sungai yang bercabang ini dapat direkonstruksi asal mula

aliran sungai dan dapat diketahui besar pemendekannya adalah 584±50 m

(Gambar IV-11). Seismisitas gempa bumi pernah tercatat pada tahun 1977 Mw

5.1 kedalaman 25.1 km (Gambar IV-4).

Palu
Poso

Gambar I‎ V-11. Segmen Pewusai dan proses rekonstruksi analisis aliran sungai
yang menunjukkan pergeseran pemendekan/shortening anak Sungai
Kuleana. Proses pemendekan ini terlihat oleh dua sungai bercabang
yang terpotong oleh jalur Segmen ini. Dua sungai yang bercabang
ini dapat direkonstruksi asal mula aliran sungai dan dapat diketahui
besar pemendekannya adalah 584±50 m.

113
IV.5.20.3. Segmen Matano (121.034oE,2.439oS - 121.349oE,2.498oS)

Segmen ini ditunjukkan oleh nomer 20-c Gambar IV-5 dan rinciannya pada

Gambar IV-10. Segmen ini berada di Lembah Pansu hingga ke Danau Matano

yang dicirikan oleh gawir sesar, tekuk lereng, beda tinggi dan lembah sungai

sempit yang memanjang 35 km dengan arah umum N274oE. Morfologi Segmen

ini memotong sedimen Lembah Pansu dan dengan ekspresi sesar geser. Ujung

kiri/barat segmen ini adalah Segmen Pewusai dan ujung kanan/timur adalah

Segmeng Pamsoa yang berubah arah sesar 21 derajat. Segmen ini tidak informasi

kejadian gempa bumi dari katalog seismisitas maupun catatan sejarah.

IV.5.20.4. Segmen Pamsoa (121.278oE,2.441oS - 121.6oE,2.575oS)

Segmen ini ditujukkan oleh nomor 20-d Gambar IV-5 dan rinci di Gambar IV-10.

Segmen ini dicirikan dengan adanya antiklin, pergeseran sungai, lembah sungai

sempit dan gawir sesar yang memanjang 38 km dengan arah umum N295oE.

Analisis data LiDAR pada Gambar IV-12 terlihat jelas pergeseran sinistral sungai

Pamsoa 475±70 m. Jalur ini juga terlihat jelas memotong sedimen Lembah

Mahalona yang menunjukkan segmen ini aktif bergerak.

Seismisitas menunjukkan pernah terjadi gempa bumi sesar geser dengan arah

nodal utama searah dengan arah Segmen ini pada tahun 1984 Mw 4.8 kedalaman

11.4 km dan 2011 M6.1 kedalaman 13 km.

114
Palu
Poso

Sorowako

Gambar I‎ V-12. Citra LiDAR (berwarna) dan citra IFSAR (abu-abu di sisi kanan) Segmen Pamsoa. Segmen ini dicirikan dengan adanya
antiklin, pergeseran sungai, lembah sungai sempit dan gawir sesar yang memanjang 38 km dengan arah umum N295oE. Analisis
data LiDAR pada terlihat jelas pergeseran sinistral sungai Pamsoa 475±70 m.

115
IV.5.20.5. Segmen Lontoa (121.744oE,2.634oS - 121.674oE,2.742oS)

Segmen ini ditujukkan oleh nomor 20-e pada Gambar IV-5 dan rincinya pada

Gambar IV-10. Beruntung penelitian ini mendapatkan citra LiDAR terfilter 2.5 m.

Morfologi sesar ini terlihat jelas sebagai tekuk lereng, kontras ketinggian, gawir

sesar yang memanjang 97 km dan membentuk lengkung khas sesar naik dengan

arah umum N290oE. Segmen ini unik dengan membentuk sesar naik dan

membentuk‎ lembah‎ berbentuk‎ ‘V’‎ yang‎ terisi‎ Danau‎ lontoa.‎ Jalur‎ Segmen ini

terlihat memotong sedimen Lembah Lontoa yang menunjukkan bahwa sesar ini

aktif bergerak.

IV.5.20.6. Segmen Ballawai (121.654oE,2.596oS - 121.872oE,2.681oS)

Segmen ini ditunjukkan oleh nomor 20-e pada Gambar IV-5 dan rinci pada

Gambar IV-10. Segmen ini dicirikan oleh gawir sesar, tekuk lereng dan lembah

sungai sempit memanjang 25 km dengan arah N298oE. Seismisitas mencatat

pernah oblik terjadi gempa bumi pada tahun 2000 Mw 5.2 kedalaman 38 km

(Gambar IV-4).

IV.5.20.7. Segmen Geresa (121.897oE,2.687oS - 122.017oE,2.672oS)

Segmen ini ditunjukkan oleh nomor 20-g pada Gambar IV-5 dan rincinya pada

Gambar IV-10. Segmen ini dicirikan oleh bentuk triangular facet, beda tinggi, dan

gawir sesar yang memanjang lebih dari 12 km (menerus ke dalam laut).

Seismisitas mencatat pernah terjadi gempa bumi oblik pada tahun 1980 Mw 6.1

kedalaman 15 km (Gambar IV-4). Nama Geresa adalah nama desa yang terdekat

yang terpotong oleh jalur Segmen ini.

116
IV. 6. Analisis Kinematika Tektonik Sulawesi bagian tengah

Gambar IV-13 menjelaskan kinematika di Sulawesi bagian tengah dan data gerak

GPS dengan acuan blok Sunda (Socquet dkk., 2006). Dari informasi sebaran

sesar-sesar, seismisitas, arah vector dapat disimpulkan terdapat empat blok. Blok

hijau yang dibatasi oleh Sesar Palukoro, Sesar Bungadidi, sebagian Sesar Malei

dan Sesar Matano . Blok hijau ini bergerak berotasi berlawanan arah jarum jam.

Blok abu-abu yang dibatasi oleh Sesar Matano dan Sesar Poso. Blok abu-abu ini

bergerak kearah barat. Blok ungu yang dibatasi Sesar Palukoro dan Sesar Malei.

Blok ungu ini bergerak berotasi searah jarum jam. Dan terakhir Blok orange yaitu

blok yang ditengah yang dibatasi oleh Sesar Malei, Sesar Poso dan Sesar

Bungadidi. Blok ini terjepit dan bergerak dengan tiga arah vector.

Jika dibandingkan dengan studi pemodelan GPS, maka dapat diketahui bahwa

Blok Hijau adalah Blok Makasar, Blok Ungu adalah blok North Sula (Socquet

dkk., 2006) atau Blok Toli-toli (Sarsito, 2010), blok abu-abu adalah Blok East

Sula (Socquet dkk., 2006)atau Blok Batui (Sarsito, 2010), dan blok oranye adalah

blok baru yang didalam penelitian ini disebut sebagai Blok Poso. Hal baru dari

analisis kinematika adalah adanya blok oranye yang disebut sebagai Blok Poso.

Sesar Palukoro bergerak sinistral dengan arah N345oE dengan offset 510±20 m di

potong oleh Sesar Naik Malei dengan relative utara-selatan yang membentuk

lengkung sinusoidal. Kemudian jalur ini diteruskan dengan mekanisme sinistral

oleh Sesar Bungadidi dengan bentuk struktur unik, sesar dengan pola seperempat

lingkaran sempurna dengan pergeseran 675±80 m. Kemudian menerus oleh Sesar

117
Matano di Segmen Pewusai mekanisme sesar naik dengan offset

shortening/pemampatan sebesar 584±50 m. Jalur Sesar Matano berarah N295oE

dan menjadi gerak sinistral dengan offset 475±70 m.

Jika dianggap besar offset yang diketahui adalah memiliki umur yang sama dan

besar pergeseran sebagai besaran vector, dan arah vector adalah berdasarkan

kenampakan sesar (sesar geser=arah vector sejajar, sesar naik=arah vector tegak

lurus). Maka dapat dihitung gerak vector relative. Dilokasi utara Sesar Matano,

vector kompresi warna biru dan vector sinistral warna abu-abu dapat diketahui

arah relative blok atas tersebut berarah baratdaya dengan besaran yang hampir

sama (ditunjukkan garis putus-putus). Vektor ini yang sama juga terjadi di blok

bagian selatan Sesar Matano. Kondisi di Sesar Palukoro dengan mekanisme

sinistral dan juga adanya Palolo graben dengan mekanisme extensi tetapi tidak

diketahui besarannnya. Kemudian ditengah terdapat Sesar Malei yang

mengakomodir gerak kompresi dari arah vector sinistral sesar matano.

IV. 7. Sejarah kejadian gempa bumi

Catatan kejadian gempa bumi di Sulawesi Tengah termasuk jarang/sangat sedikit.

Publikasi-publikasi kejadian gempa bumi (Bellier dkk., 2001; Hamilton, 1978;

Katili, 1970) adalah bersumber utama dari catatan Abendanon (1917). Rincian

kejadian laporan gempa bumi ini penting karena memberikan informasi rinci

tentang kejadian gempa bumi dan persamaannya dengan kejadian gempa bumi

2012 akan dijelaskan pada bab berikut ini.

118
Gambar I‎ V-13. Kinematik Sulawesi bagian tengah meliputi informasi area blok,
sesar-sesar, pergeseran sungai, dan gerak GPS dengan acuan blok
Sunda Land (Socquet dkk., 2006). Berdasarkan sebaran sesar-sesar,
seismisitas, arah vector dapat disimpulkan terdapat empat blok. Blok
hijau yang dibatasi oleh Sesar Palukoro, Sesar Bungadidi, sebagian
Sesar Malei dan Sesar Matano . Blok hijau ini bergerak berotasi
berlawanan arah jarum jam. Blok abu-abu yang dibatasi oleh Sesar
Matano dan Sesar Poso. Blok abu-abu ini bergerak kearah barat.
Blok ungu yang dibatasi Sesar Palukoro dan Sesar Malei. Blok ungu
ini bergerak berotasi searah jarum jam. Dan terakhir Blok orange
yaitu blok yang ditengah yang dibatasi oleh Sesar Malei, Sesar Poso
dan Sesar Bungadidi. Blok ini terjepit dan bergerak dengan tiga arah
vector.

IV.7.1 Laporan Abendanon(1917) kejadian gempa bumi tahun 1905, 1907


dan 1909.
Laporan Abendanon (1917) ini mendiskripsikan kejadian gempa bumi tahun

1905, 1907 dan 1909. Secara rinci informasi ini akan dijelaskan pada subbab

berikut ini.

119
IV.7.2 Gempa bumi 1905
Tidak banyak informasi tentang kejadian gempa bumi tahun 1905. Didalam

laporan ini hanya tertulis bahwa kejadian gempa bumi 1905 terjadi di Lembah

Bada.

IV.7.3 Gempa bumi 1907


Gempa bumi ini terjadi pada tanggal 30 Juli 1907 pukul 04:00 am. Sumber gempa

bumi adalah berasal dari antara Kulawi dan Lindu. 164 rumah dan 49 gudang padi

roboh di Kulawi Goncangan berarah NE-SW. Bangunan-bangunan roboh kearah

Barat Laut (terjemah asli dari cote de l'ouest) Lama goncangan 1.5 detik. Hingga

tanggal 20 September 1907 goncangan masih terasa tapi dengan jeda waktu yang

lebih lama.

IV.7.4 Gempa bumi 1909


Goncangan-goncangan terasa dari bulan Februari hingga akhir Juli 1909.

Goncangan paling kuat terjadi pada bulan Februari 1909. Goncangan di bulan Juli

terasa hingga di Donggala 18 Maret 1909 pukul 6 ½ am (tulisan asli) terjadi

gempa bumi kuat antara Kulawi hingga Gimpu. Gempa bumi 1909 terasa lebih

lama dari gempa bumi 1907.

Gempa bumi 1909 menghancurkan rumah-rumah yang selamat ketika gempa

bumi 1907. Setiap orang yang berdiri terjatuh ketika gempa bumi besar terjadi.

Buah kelapa muda dan daun-daunnya jatuh ke tanah. Gempa bumi ini

memunculkan banyak mataair panas baru dan menghilangkan mataair panah yang

telah ada sebelumnya diantara Kulawi hingga Gimpu.

120
Terdapat banyak retakan ditanah dan satu paling jelas dan besar adalah berarah

konsisten Utara – Selatan dari Pabotoe ke Namo dengan panjang kira-kira 7 km

yang juga menyebabkan permukaan tanah naik hingga 1 meter. Empat orang

meninggal. Desa Lemo hingga Bolapapoe hamper seluruh rumah roboh ketanah

kearah barat. Kerusakan-kerusakan di desa-desa tersebut sangat parah hingga tak

berharga lagi dan menyebabkan desa-desa itu ditinggalkan (Gambar IV-14).

Desa-desa yang ditinggalkan itu mati dan hilang perlahan-lahan tertutupi oleh

tanaman hingga tak berbekas. Berdasarkan komunikasi pribadi, Ikhsan (Ahli

arkeologi Museum Palu) mengatakan bahwa desa-desa tua itu berada diantara

Desa Omu dan Tufa. Kesaksian Iksan ini juga didukung dengan informasi

masyarakat yang menyatakan adanya banyak puing-puing bekas bangunan di

ladang-ladang mereka.

Gambar ‎IV-14. Foto gempa bumi 1909 di Kulawi dari laporan Abendanon.

IV.7.5. Gempa bumi Lindu 2012 dan Kesaksian kejadian gempa bumi 1937
Gempa bumi ini terjadi pada tanggal 18 Agustus 2012 M6.2 di antara Kulawi dan

Danau Lindu. Gempa bumi ini menyebabkan 5 korban meninggal dan 694 luka-

luka (BNPB, 2014). Sumber lokasi gempa bumi terdapat dua versi, yaitu versi

sumber USGS dan BMKG awal yang kemudian muncul perbaikannya.

121
Berdasarkan data focal mechanism terdapat dua bidang yaitu bidang N338oE yang

searah dengan Sesar Palukoro dan bidang N72oE yang tegak lurus dengan arah

Sesar Palukoro. Data sebaran goncangan susulan (after shocks) BMKG Palu

menyebar sekitar Danau Lindu dan berarah Barat-Timur seperti terlihat pada

Gambar IV-15.

Satu bulan setelah kejadian gempa bumi ini, tim GREAT-ITB (penulis, Astyka

Pamumpuni, dan Didik Anggawidjaja) datang kelokasi untuk mengumpulkan

informasi data lapangan selama 11 hari. Salah satu tujuan penting adalah

memetakan retakan permukaan gempa bumi. Banyak temuan retakan permukaan

tetapi tidak ada yang meyakinkan sebagai retakan permukaan, retakan tersebut

adalah retakan gerakan tanah permukaan akibat gravitasi. Tidak adanya retakan

permukaan ini disebabkan oleh : magnitudo gempa bumi yang kecil, jenis batuan

koluvium yang sangat tebal, dan/atau ketinggaian elevasi lokasi yang diatas 1000

mdpl.

Data lain yang berhasil dikumpulkan adalah data intensitas gempa bumi

berdasarkan wawancara saksimata, arah gelombang datang, arah rumah loncat dan

informasi gempa bumi sebelumnya. Data informasi tersebut dijelaskan pada bab

berikut ini.

122
Palu
Poso

Sorowako

Gambar I‎ V-15. Getaran susulan (after shocks) kejadian gempa bumi 2012 di
Kulawi (data dari BMKG Palu). Sebaran ini menunjukkan arah
relatif NE yang menunjukkan bahwa bidang sesar yang bergerak
adalah bidang dengan arah tegak lurus dengan Sesar Palukoro.

IV.7.5.1 Instensitas Gempa bumi


Pengumpulan data intensitas gempa bumi adalah menggunakan standard USGS

Modified Mercalli Intensity (MMI) (USGS, 2012). Gambar IV-16 adalah hasil

kompilasi survey MMI ini. Data ini dikumpulkan mengelilingi daerah Danau

Lindu. MMI VIII adalah terkuat yang dicatat di Desa Salutui (Warna merah). Di

desa ini bangunan rumah adalah rumah kayu panggung dan seluruhnya roboh ke

tanah dengan arah yang acak/tidak berpola. Berungtungnya ketika kejadian gempa

123
bumi berlangsung, tidak ada seorangpun tinggal di desa tersebut karena pada hari

itu masyarakatnya sedang merayakan hari raya lebaran di Kulawi.

Desa Anca, Tomado, Lumbo dan Langko yang berada di sebelah baratdaya Danau

Lindu memiliki MMI skala 7. Banyak rumah panggung yang roboh. Orang yang

berdiri ketika kejadian gempa bumi jatuh ke tanah dan perabot rumah roboh. MMI

VI terjadi di tenggara Danau Lindu. Ibu Hadidi, saksi mata yang tinggal di Desa

Kabutia, bercerita bahwa ketika gempa bumi terjadi dia masih bisa berdiri. Rumah

panggung juga masih berdiri. Perabot didalam rumah juga masih berdiri

ditempatnya. Disepanjang lembah Sesar Palukoro adalah skala MMI V sampai

MMI VI. Desa Rahmat, disebelah utara Danau Lindu, menunjukkan skala MMI

V.

IV.7.5.2 Rumah Panggung Loncat


Umumnya jenis bangunan rumah di sekitar Danau Lindu ini adalah rumah

panggung kayu dengan tinggi berkisar 1.5 meter. Jenis bangunan ini memiliki

pondasi tapak yang menumpang diatas batu. Rata-rata ukuran bangunan rumah

seragam berbentuk persegi dengan panjang sekitar 6-8 meter. Ketika kejadian

gempa bumi bangunan rumah ini terangkat dan terlepas dari pondasi batu.

Beberapa rumah panggung hanya terlepas, beberapa rumah panggung ada yang

terlempar kuat sehingga kaki panggung rumah patah dan roboh. Kami mengukur

arah loncatan rumah dan panjang jarak antara tapak pondasi batu ke lokasi

loncatnya seperti yang terlihat pada Gambar IV-17.

124
Hasilnya dikompilasi pada Gambar IV-16 yang memperlihatkan bahwa umumnya

arah loncat adalah kearah NE. Informasi ini menguatkan bahwa bidang sesar yang

bergerak adalah bidang dengan arah tegak lurus dengan Sesar Palukoro.

Palu
Poso

Sorowako

Gambar I‎ V-16. Kompilasi data survey MMI, rumah loncat, longsor dan arah
gerak gelombang kejadian gempa bumi 2012 di Kulawi. Arah umum
rumah loncat adalah timurlaut. Informasi ini menguatkan bahwa
bidang sesar yang bergerak adalah bidang dengan arah tegak lurus
dengan Sesar Palukoro.

125
a
b

Gambar I‎ V-17. (a) Foto contoh rumah panggung yang meloncat dan (b) rincian
data yang diukur.

IV.7.6 Gempa bumi Tahun 1937 - Kesaksian Papa Sinco


Di Desa Tamado yang terletak di pinggir Danau Lindu, kami bertemu Papa Sinco

yang lahir pada tahun 1926 dan menetap didesa ini. Dia menceritakan kejadian

gempa bumi besar tahun 1937. Gempa bumi ini terasa goncangan kuatnya selama

tujuh hari tujuh malam. Hewan ternak kuda tidak mau makan. Petak sawah retak-

retak. Tapi tidak satupun rumah panggung yang roboh. Dia beranggapan gempa

1937 lebih kecil dari gempa bumi 2012.

IV.8 Studi Paleoseismologi di Segmen Saluki

Pada bulan Oktober 2013 tim paleoseismologi melakukan survey selama 15 hari

di Desa Omu – Segmen Saluki yang terdiri dari peneliti DR. Danny Hilman

Natawidjaja, Mudrik R Daryono, dan Jessica Chandra; teknisi Sukoco dan

Nandang Supriatna. Penentuan lokasi di Omu – Segmen Saluki ini setelah

dilakukan studi awal menggunakan GPR di beberapa lokasi yang menunjukkan

bahwa lokasi Omu ini memiliki lapisan, kontras batuan, dan jejak retakan

permukaan yang jelas.

126
Selama di lapangan kegiatan ini dibantu oleh masyarakat setempat yaitu Bapak

Agus, Bapak Anshar (Kepala Dusun II), Bapak Kardi dan lainnya. Kegiatan ini

meliputi pemetaan topografi rinci, uji trenching dan penentuan umur teras seperti

terlihat pada Gambar IV-18.


Palu
Poso

Sorowako

Gambar ‎IV-18. Lokasi situasi survey paleoseismologi di Omu. Bagian kiri adalah
lokasi uji paritan dan area survei topografi rinci menggunakan alat
total station. TR1 dan TR2 adalah lokasi bor auger. HB1 adalah
lokasi handbore untuk mendapatkan umur teras yang tergeser oleh
Segmen Saluki.

IV.8.1 Pemetaan topografi rinci

Pemetaan topografi rinci ini dilakukan menggunakan alat survey Total Station.

Pemetaan ini dikhususkan di lokasi uji paritan yang telah diketahui sebelumnya

dari survey GPR. Pada Gambar IV-19 kontur rinci tersebut terlihat gawir sesar

yang membentuk lembah memanjang dan memotong teras sungai dengan jelas.

Hasil pemetaan rinci ini pula yang mengarahkan tim untuk melakukan uji paritan

di lokasi yang terpotong ini. Hasil analisis pergeseran sungai adalah 5.5±1.5 m

sinistral.

127
Gambar I‎ V-19. Hasil survei topografi rinci lokasi sesar di Omu. Interval kontur
adalah 50 cm. a) kondisi asli dan b) setelah rekonstruksi pergeseran
sungai menunjukkan pergeseran sinistral 5.5±1.5 m.

IV.8.2 Uji Paritan

Uji paritan dalam survey kali ini membuat di dua lokasi. Pembuatan paritan

menggunakan tenaga manusia dengan rincian dua hari proses penggalian dan satu

hari pembersihan parit. Mengikuti prosedur uji paritan yang telah dijelaskan pada

bagian metoda uji paritan di dalam bab sebelumnya.

128
IV.8.2.1 Paritan 1
Paritan 1 terdiri atas satu lubang galian (Gambar IV-20a). Kedalaman lubang 1

meter. Terdapat dua lapisan yang kentara, yaitu lapisan pasir kasar berfragment

dan lapisan boulder. Di singkapan ini terlihat ada indikasi sesar (garis putus-putus

merah) yang ditunjukkan dengan warna yang ternyata perbedaan ini disebabkan

tingkat kadar air yang berbeda (Gambar IV-20b).

(a)
(b)

Gambar ‎IV-20. (a) Foto lokasi uji trenching 1 dan (b) foto dindingnya.

IV.8.2.2 Paritan 2
Paritan 2 terdiri atas dua lubang gali yang memperlihatkan empat dinding dengan

jelas. Kondisi permukaan trenching 2 terdiri atas dua lubang dengan panjang 5

meter, lebar 1 meter dan kedalaman tak seragam berkisar 2 meter. Lubang

trenching ini tegak lurus memotong sesar dengan arah barat-timur seperti terlihat

pada permukaan Gambar IV-21a dan mesh model 3D pada Gambar IV-21b.

129
Dinding yang diteliti diberi nama Face1 hingga 4 berurutan kearah utara.

Keseluruhan face memperlihatkan lapisan tanah permukaan yang berwarna abu-

abu (warna gambar diskripsi abu-abu), kemudian pasir kasar coklat (warna

gambar diskripsi kuning), gravel paling bawah (warna gambar diskripsi oranye),

gravel (warna gambar diskripsi oranye) dan gravel paling atas (warna gambar

diskripsi jingga). Di lubang trenching terlihat banyak lubang-lubang bekas

aktifitas serangga rayap. Garis sesar terlihat jelas dan diberi notasi A hingga G.

Pada Face1 garis sesar A terlihat jelas dengan terpotongnya lapisan gravel dengan

pasir kasar, sesar B terlihat dengan terpotongnya lapisan gravel dengan pasir kasar

dimana lapisan pasir kasar menerus hingga ke dasar, sesar C dicirikan dengan

isiang lapisan gravel diantara lapisan pasir kasar, sesar D dicirikan dengan isian

gravel diantara lapisan pasir, sesar G dicirikan dengan terpotongnya lapisan

sisipan pasir di lapisan gravel, dan sesar E dan F tidak terlihat (Gambar IV-

22a&b). Pada Face2 sesar A,B,C dan G terlihat jelas; sesar D tidak terlihat; sesar

E terlihat jelas dengan ciri bidang sesar miring kearah barat; dan sesar F terlihat

dengan terpotongnya lapisan gravel oleh lapisan pasir kasar (Gambar IV-22c&d).

Face 3 sesar yang terlihat adalah sesar D,E dan G. Pada Face ini terlihat jelas

batas lapisan permukaan berwarna abu-abu dengan lapisan pasir kasar coklat dan

juga banyak sekali lubang-lubang bekas rayap (Gambar IV-22e&f). Face 4 sesar

yang terlihat adalah sesar D, E dan G (Gambar IV-22g&h).

130
Hasil uji pentarikhan umur karbon pada tiga sampel terpilih di Face3 (Gambar IV-

23) menunjukkan bahwa: Umur lapisan abu-abu (sampel ST13) adalah berumur

102pMC (satuan umur karbon yang tekontaminasi oleh ledakan nuklir, satuan ini

berkisar 102 tyl yang mengindikasikan akibat gempa bumi 1909). Lapisan kuning

(sampel ST23) adalah berumur tahun 1415-1460. Lapisan oranye (sampel ST17)

adalah berumur tahun 1285-1390. Hal ini menjelaskan garis sesar D, E, dan A

adalah garis retakan permukaan akibat gempa bumi tahun 1909. Garis sesar B, C,

dan F merupakan garis retakan permukaan akibat gempa bumi berumur 1415-

1460 (nilai tengah tahun 1468 / Abad ke15). Garis G menunjukkan kejadian

gempa bumi pada tahun 1285-1390 (nilai tengah tahun 1338 / Abad14).

(a) (b Face4
Face3
Face2

Face1

Gambar ‎IV-21. (a) Lokasi uji trenching 2 di Omu, dan (b) model 3Dnya.

131
(a)

FACE1
ST-7
S T-2 4
T2-5
TOP ST-26 CARBON
L2-4
ST-26
T2-6

ST-33
50CM ST-30

ST-29
ST-28

ST-31 ST-25
T2 -1 8
ST-32

ST-8
G

F
EAST
A C B D E
(b)

FACE2
T2-7

ST-44

T2-3

ST-45

T2-2 ST-3 T2-20

ST-4
ST-42
ST-46
ST-34
ST-10
ST-43

FACE1
ST-1
ST-35
50CM
ST-41

ST-36
ST-9
ST-40 T2-1 ST-39
ST-7
ST-5 ST-37
S T -2 4
T2-5
TOP ST-26 CARBON
L2-4
ST-26
T2-6

EAST
50CM ST-30
ST-38 ST-33

ST-6
ST-29
ST-28

ST-31 T2-19 ST-25


T 2 -1 8

G G
ST-32

ST-8
F
A B C
E F
EAST D
(c) A C B D E

FACE2
T2-7

ST-44

T2-3

ST-45

T2-2 ST-3 T2-20

ST-4
ST-42
ST-46
ST-34
ST-10
ST-43
ST-1
ST-35
50CM
ST-41

ST-36
ST-9
ST-40 T2-1 ST-39
ST-5 ST-37

EAST ST-38

ST-6

T2-19

F G
A B C

(d) D
E

Gambar IV-22.‎Bersambung…‎

132
(e)

ST-11

FACE3 102pMC (1909?) ST-11 CARBON

ST-15
T2-16
ST-17
AD1285-1390
ST-12

T2-17
ST-13
50CM ST-20
ST-23

T2-14
ST-14
T2-15

T2-13

ST-21 UP
ST-18
ST-21 DOWN

EAST ST-19
ST-22 UP
G
ST-22 DOWN
ST-16

F AD1415-1460
A C
(f) B D E

FACE4
ST-11

FACE3 102pMC (1909?) ST-11 CARBON

ST-15

AD1285-1390
T2-12
T2-10 T2-11 T2-16
ST-17

ST-12

T2-17
ST-13
50CM ST-20
ST-23

50CM ST-14
T2-9 T2-14
T2-15 CARBON ST-24
T2-8
T2-13

ST-21 UP
ST-18
ST-21 DOWN

EAST ST-19
ST-22 UP
G
ST-22 DOWN

EAST ST-16

A
A C
F F G AD1415-1460
E
(g) B D D
E
B C

FACE4
T2-12
T2-10 T2-11

50CM T2-9
CARBON ST-24
T2-8

EAST
A F G
E
(h) D

B C
Gambar I‎ V-22. Dinding uji trenching 2. (a&b) Singkapan dan diskripsi Face1,
(c&d) Face2, (e&f) Face3, dan (g&h) Face4. Garis sesar D, E, dan A
adalah garis retakan permukaan akibat gempa bumi tahun 1909.
Garis sesar B, C, dan F merupakan garis retakan permukaan akibat
gempa bumi berumur 1415-1460 (nilai tengah tahun 1468 / Abad
ke15). Garis G menunjukkan kejadian gempa bumi pada tahun
1285-1390 (nilai tengah tahun 1338 / Abad14).

133
Gambar I‎ V-23. Hasil uji pentarikhan umur karbon pada tiga sampel terpilih di
Face3. Sampel ST13 adalah berumur 102pMC (satuan umur karbon
yang tekontaminasi oleh ledakan nuklir, satuan ini berkisar 102 tyl
yang mengindikasikan akibat gempa bumi 1909). Sampel ST23
adalah berumur tahun 1415-1460. Sampel ST17 adalah berumur
tahun 1285-1390.

IV.8.3 Umur Teras

Analisis pergeseran Sesar Palukoro di Sungai Saluki menunjukkan besaran

510±20 m sinistral. Kecepatan pergeseran yang terjadi dapat diukur dengan

membagi total pergeseran ini dengan umur teras.

Usaha untuk mengetahui umur teras dilakukan uji pemboran auger di dua lokasi

yaitu TR1 dan TR2 (Gambar IV-24). Di TR1, lapisan tanah permukaan ditemui

hingga kedalaman 35 cm (Gambar IV-25). Uji auger ini mengumpulkan sampel

tiap 15 cm. Kemudian didapatkan lapisan pasir kasar berwarna coklat hingga

134
kedalaman 100 cm. Kemudian kedalaman 105, bor auger tidak dapat menembus

lapisan dengan ukuran fragmen besar.

Di TR2, lapisan tanah permukaan ditemui hingga kedalam 40 cm. Kemudian

lapisan pasir kasar coklat hingga kedalaman 130 cm yang kemudian alat bor auger

tidak dapat menembus lapisan boulder.

Lokasi ini terdapat rawa-rawa diatas bukit. Rawa-rawa ini terbentuk oleh proses

pengangakatan struktur antiklin (Gambar IV-18). Uji handbore dapat menembus

hingga kedalaman 263 cm. Lapisan gambut ditemui di permukaan hingga

kedalaman 13cm. Kemudian lapisan pasir kasar hingga kedalaman 30 cm. Lapisan

berikutnya adalah gambut hingga kedalaman 54 cm dan dilakukan pengambilan

sampel HB1-1a, HB1-1b dan HB1-1c (Gambar IV-25b). Lapisan berikutnya

adalah lapisan pasir kasar dan lanau abu-abu hingga kedalaman 192 cm. Lebih

dalam ditemukan lagi lapisan gambut didalaman 243cm (Gambar IV-25). Pada

lapisan gambut diambil sampel (HB1-2 hingga HB1-6). Lebih dalam lagi

ditemukan lapisan pasir kasar dan berfragmen gravel. Di lapisan ini berhenti

karena tidak dapat ditembus oleh alat bor.

Hasil uji pentarikhan umur karbon C14 (Gambar IV-26) menunjukkan sampel

HB1-4 tahun 7780 – 7770 (BC) atau 8730±30 (BP). Sampel HB1-6 menunjukkan

umur sampel tahun 7790 – 7605 (BC) atau 8790±30 (BP).

135
a

Gambar ‎IV-24. a) Uji bor auger, b) Uji handbor.

(a)

(b)

Gambar ‎IV-25. (a) Profile stratigrafi uji handbore dan (b) bor auger.

136
Gambar I‎ V-26. Hasil uji pentarikhan umur karbon C14 menunjukkan sampel
HB1-4 tahun 7780 – 7770 (BC) atau 8730±30 (BP). Sampel HB1-6
menunjukkan umur sampel tahun 7790 – 7605 (BC) atau 8790±30
(BP).

IV.9 Rangkuman, Diskusi dan Kesimpulan

Kinematika Sulawesi bagian tengah ini tersusun atas empat blok. Jika

dibandingkan dengan studi pemodelan GPS, maka dapat diketahui bahwa Blok

Hijau adalah Blok Makasar, Blok Ungu adalah blok North Sula (Socquet dkk.,

2006) atau Blok Toli-toli (Sarsito, 2010), blok abu-abu adalah Blok East Sula

(Socquet dkk., 2006) atau Blok Batui (Sarsito, 2010), dan blok oranye adalah blok

baru yang didalam penelitian ini disebut sebagai Blok Poso. Hal baru dari analisis

kinematika adalah adanya blok oranye yang disebut sebagai Blok Poso. Blok-blok

ini dipisahkan oleh Sesar Palukoro, Sesar Malei, Sesar Bungadidi, Sesar Poso, dan

Sesar Matano. Palukoro bergerak sinistral di potong oleh Sesar Naik Malei

dengan arah relatif utara-selatan yang membentuk lengkung sinusoidal. Kemudian

jalur ini diteruskan dengan mekanisme sinistral Sesar Bungadidi yang berbentuk

137
seperempat lingkaran sempurna dengan pergeseran 675±80 m. Kemudian menerus

oleh Sesar Matano di Segmen Pewusai mekanisme sesar naik dengan offset

shortening/pemampatan sebesar 584±50 m. Jalur Sesar Matano berarah N295oE

dan menjadi gerak sinistral 475±70 m. Proses pembelokan yang menghasilkan

struktur lingkaran juga terdapat di Souther Alaska Microplate (Plafker dkk., 1994)

dan dikuatkan dengan hasil studi GPS (Freymueller dkk., 2008).

Berdasarkan studi rinci di Omu – Segmen Saluki – Sesar Palukoro diketahui

bahwa sesar Palukoro ini aktif. Hasil penelusuran kejadian gempa bumi pernah

terjadi gempa bumi tahun 1907, 1909, 1937 dan 2012. Gempa bumi 1907

berdasarkan diskripsi laporan Abendanon (1917) mirip dengan kejadian gempa

bumi 1907. Yang menarik dalam laporan Abendanon pada tahun 1909, dua tahun

setelah 1907, terjadi gempa bumi lebih besar yang menyebabkan rumah-rumah

yang selamat pada gempa bumi 1907 roboh. Laporan Abendanon juga

menyebutkan adanya retakan yang besar dan memanjang 7 km yang mempunyai

loncatan setinggi 1 m. Uji paritan di segmen ini ( di Desa Omu) menunjukkan

adanya pergeseran sinistral 1.5 m dan perubahan vertical setinggi 1.5 m. Hasil uji

paritan juga menyakinkan bahwa sesar ini memotong lapisan muda yang

ditunjukkan dengan adanya ketidak selarasan struktur sesar di dinding paritan.

Jika dihitung dengan asumsi kasar kecepatan pergeseran Sesar Palukoro adalah 4

cm/th dan kejadian gempa bumi terakhir adalah pada tahun 1909, sehingga saat ini

adalah 103 tahun jeda yang berarti sesar ini telah menyimpan akumulasi

pergeseran sebesar 412 cm atau ~4 m. Besaran ini berarti sama dengan besaran

138
offset dari hasil total station minimal yaitu 4 m yang sebanding menghasilkan

gempa bumi Mw 7 (Wells dan Coppersmith, 1994). Hasil analisis uji paritan

menunjukkan dua kejadian gempa bumi yang berhasil diketahui yaitu tahun 1468

dan 1338. Kedua gempa bumi tua ini saling berdekatan dan memiliki jeda waktu

130 tahun. Besar waktu 130 tahun ini mengindikasikan jarak siklus gempa bumi

terjadi. Meskipun angka ini masih kasar mengingat hanya dua kejadian gempa

bumi dan masih belum ditemukan bukti kejadian gempa bumi antara tahun 1468

hingga 1909 (ini memerlukan uji pentarikhan umur karbon lebih banyak). Dengan

kata lain bahwa saat ini adalah waktu dimasa-masa mendekati akan terjadinya

pelepasan energy siklus gempa bumi tahun 1909.

Untuk lebih meyakinkan perhitungan ini perlu dilakukan perhitungan kecepatan

pergeseran di Segmen Saluki ini cara menghitung umur teras yang terpotong.

Penelitian ini telah berhasil mengumpulkan sampel lapisan yang menyimpan

informasi umur teras dari uji bor auger dan hand bore. Hasil uji umur sampel

HB1-4 menunjukkan umur lapisan 7780 – 7770 (BC) atau 8730±30 (BP). Sampel

HB1-6 menunjukkan umur sampel tahun 7790 – 7605 (BC) atau 8790±30 (BP).

Umur lapisan teras ini adalah umur setelah proses pembentukan antiform antiklin

atau dengan kata lain adalah batas umur minimum pergeseran sebenarnya. Jika

dihitung, maka dapat diketahui besaran slip rate adalah 58 mm/th. Nilai ini adalah

menunjukkan batas atas kecepatan slip rate Sesar Palukoro adalah dibawah 58

mm/th. Hal ini juga menunjukkan bahwa besar laju pergeseran Sesar Palukoro

kemungkinan sama dengan hasil penelitian GPS yaitu 40 mm/th (Bellier dkk.,

2001).

139
140
Bab V STUDI KASUS III: SESAR LEMBANG,
JAWA BARAT

V.1. Latar Belakang

Sesar Lembang di Jawa Barat terletak di tengah pulau Jawa dan bersambungan

dengan Sesar Cimandiri di sisi bagian barat dan Sesar Baribis di sisi timur.

Berdasarkan catatan sejarah (Visser, 1922; Wichmann, 1918), pernah terjadi

gempa bumi tahun 1699, 1834 dan 1900 di utara Sesar Cimandiri; dan gempa

bumi tahun 1842, 1847 dan 1875 di sekitar Sesar Baribis. Sebaran pusat gempa

bumi dengan kedalaman 0 – 60 Km (bulatan warna merah dan oranye) di daratan

Jawa bagian barat bersifat acak/tidak ada pola (Engdahl dkk., 2007). Studi

geodesi memperlihatkan laju pergeseran sinistral Sesar Lembang adalah 3-14

mm/th (Abidin dkk., 2008; Abidin dkk., 2009) dan 6 mm/th (Meilano dkk., 2012).

Secara regional dataran tinggi di Jawa bagian barat ini mengalami pengangkatan

sebesar 1 mm/th (Hanifa dkk., 2014). Meski sudah jelas keaktifan struktur di Jawa

bagian barat ini, parameter sesar aktif hingga saat ini masih merupakan

pendekatan dan asumsi para ahli (Irsyam dkk., 2010). Untuk mempelajari tatanan

sesar aktif di Jawa bagian barat ini paling mudah adalah dimulai dari sesar yang

memiliki ekpresi yang paling jelas. Sesar tersebut adalah Sesar Lembang yang

ditunjukkan oleh kotak polygon hitam pada Gambar V-1.

141
Gambar V
‎ -1. Sesar Lembang di Jawa Barat. Sesar ini terletak di tengah pulau
Jawa dan bersambungan dengan Sesar Cimandiri di sisi bagian barat
dan Sesar Baribis di sisi timur. Berdasarkan catatan sejarah (Visser,
1922; Wichmann, 1918), pernah terjadi gempa bumi tahun 1699,
1834 dan 1900 di utara Sesar Cimandiri; dan gempa bumi tahun
1842, 1847 dan 1875 di sekitar Sesar Baribis. Sebaran pusat gempa
bumi dengan kedalaman 0 – 60 Km (bulatan warna merah dan
oranye) di daratan Jawa bagian barat bersifat acak/tidak ada pola
(Engdahl dkk., 2007). Studi geodesi memperlihatkan laju
pergeseran sinistral 3-14 mm/th di Sesar Lembang.

V.2. Sesar Lembang

Sesar ini terlihat jelas dengan bentuk morfologi yang memanjang barat-timur

(Marjiyono dkk., 2008; Silitonga, 1973; Tjia, 1968; Van Bemmelen, 1949).

Meskipun jelas bentuk bentang alam sesar-nya tetapi sesar ini belum diteliti detil.

Publikasi yang cukup luas baru oleh Van Bemmelen (1949) dan Tjia HD (1968).

Dam (1994) menyingggung sedikit masalah Sesar Lembang tapi tidak mendalam

karena fokus penelitiannya adalah stratigrafi dan sedimentologi Danau Bandung.

142
Kinematika dan tipe Sesar Lembang masih diperdebatkan (Hidayat dkk., 2008;

Tjia, 1968; Van Bemmelen, 1949), apakah sesar geser (sinistral atau dekstral?),

sesar normal, atau sesar naik? Di Sesar Lembang juga belum ada publikasi detil

Sesar Lembang.

Meski dengan ketelitian rendah, pengukuran laju pergeseran GPS sudah ada

(Abidin dkk., 2008). Hal ini berbeda dengan pengukuran laju pergeseran geologi

yang belum ada. Usaha mencari laju pergeseran geologi dengan melakukan studi

paleosesimologi hasilnya masih bias. Kurang berhasilnya studi paleoseismologi

ini karena belum menemukan lokasi baik dimana terdapat perlapisan geologi yang

tersesarkan pada waktu terjadi gempa di masa silam. Paritan paleoseismologi yang

sudah dibuka hanya memperlihatkan adanya indikasi subsidence yang

memberikan‎ ruang‎ untuk‎ terjadi‎ pengendapan‎ pada‎ “sagpond” (Hidayat dkk.,

2008). Dalam hal ini subsidence yang terjadi diinterpretasikan karena adanya

aktifitas sesar aktif.

Berdasarkan plotting kejadian rekaman kejadian gempa bumi katalog relokasi

Engdahl (2007) dan USGS, tidak ada rekaman seismograf kejadian gempa bumi

dilokasi Sesar Lembang. Rekaman seismologi yang ada adalah katalog BMKG

dan Badan Geologi yang merekam kejadian gempa bumi magnitudo kecil, yaitu

pada tanggal 22 Juli 2011 dan 28 Agustus 2011. Gempa bumi 22 Juli 2011 pukul

05.46 memiliki besar magnitudo 3.4 skala richter dengan kedalaman 6 km

(Sulaeman dan Hidayati, 2011). Gempa bumi ini memiliki sebaran intensitas

gempa bumi MMI III (ditunjukkan garis putus-putus) dan MMI I (ditunjukkan

143
garis titik-titik). Hasil rekaman gempa bumi 28 Agustus 2011 adalah memiliki

Mw 3.4 dengan kedalaman 1.45 km (Badan Geologi ESDM) dan Mw 3.3

kedalaman 10 km (BMKG). Kejadian gempa bumi ini menyebabkan kerusakan

bangunan. Hasil survey intensitas gempa bumi MMI menunjukkan kerusakan

berpusat di Desa Muril dan Desa Jambudipa, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten

Bandung Barat (Sulaeman, 2011)(Gambar V-2). Pusat kerusakan ini sesuai

dengan hasil relokasi seismisitas gempa bumi mikro yang ditunjukkan oleh dua

bintang merah yang berada di Sesar Lembang (Madrinovella dkk., 2012). Analisis

gempa bumi mikro ini menunjukkan bahwa mekanisme fokal sesar geser sinistal

(Afnimar dkk., 2015; Madrinovella dkk., 2013).

Gambar V
‎ -2. Seismisitas dan sebaran MMI gempa bumi Ujung Berung Mw 3
tanggal 22 Juli 2011 dan gempa bumi Muril Mw 3 tanggal 28
Agustus 2011.

Permasalah lain adalah sejarah gempa tidak ada. Hingga saat ini catatan sejarah

maupun rekaman geologi paleoseismologi juga tidak ada. Sangat sedikitnya

informasi karakteristik sesar dan gempa Sesar Lembang akan sangat berbahaya

144
mengingat sesar ini berada di wilayah dengan populasi dan infrastruktur padat

Kota Lembang dan Kota Bandung. Sesar Lembang ini berada di tengah Jawa

Barat yang berada 10 km dari pusat Kota Bandung yang dihuni oleh 8,6 juta jiwa

(Barat, 2011). Hingga saat ini parameter sesar aktif Lembang belum diketahui.

Parameter tersebut adalah : keaktifan, geometri, kinematika, kecepatan geser

geologi, dan kejadian gempa bumi terakhir.

V.3. Geologi Sesar Lembang

Sesar Lembang ini berdasarkan kronologis waktu dibedakan yaitu Sesar Lembang

Timur berumur 125.000 tyl dan Sesar Lembang Barat berumur 50.000-35.000 tyl

(Dam dkk., 1996). Setelah letusan besar Gunung Tangkuban Perahu menutupi

sebagian Sesar Lembang Timur pada 50.000-35.000 tyl (Gambar V-3a), Sesar

Lembang Barat mulai aktif bergerak pada kurun umur 35.000-20.000 tyl (Gambar

V-3b) (Dam dkk., 1996). Material batuan yang terpotong oleh Sesar Lembang

adalah satuan batuan Piroklastik Kuarter Tangkuban Parahu (Quarternary

Tangkuban Parahu Pyroclastic) (Silitonga, 1973; Sutoyo dan Hadisantono, 1992).

Satuan ini menyusun, menutupi, dan terpotong hampir diseluruh bagian Sesar

Lembang seperti yang terlihat pada Gambar V-4. Satuan ini tersusun atas material

piroklastik yaitu tefra, scoria, pumis, pasir, bersifat lepas-lepas, dan berwarna

coklat kuning. Studi rinci stratigrafi tefra lapisan ini dikelompokkan menjadi

kelompok Tangkuban Parahu Tua (Old Tangkuban Parahu) berumur 40.000-

22.000 tyl dan kelompok Tangkuban Parahu Muda (Young Tangkuban Parahu)

berumur 9.990-9.450 tyl (Kartadinata dkk., 2002; Nasution dkk., 2004).

145
Gambar V
‎ -3. (a) Letusan gunung api menutupi area barat Sesar Lembang pada waktu 50.000-35.000 tyl dan (b) Aktivitas Sesar
Lembang Barat (nomor 7) berumur 35.000-20.000 tyl (Dam dkk., 1996).

Gambar ‎V-4. Peta sebaran endapan Kuarter Piroklastik Tangkuban Perahu.

146
V.4. Tujuan Studi

Penelitian ini menjawab pertanyaan tersebut dengan melakukan pemetaan sesar

aktif menggunakan data resolusi tinggi. Lokasi penelitian ini fokus di sepanjang

Sesar Lembang yang ditunjukkan pada Gambar V-5. Secara rinci penjelasan ini

dibagi berdasarkan kotak Box1 hingga Box6. Selanjutnya menganalisa pergeseran

sungai untuk mengetahui kinemetika gerak dan laju kecepatan pergeseran Sesar

Lembang. Tahap terakhir adalah melakukan uji paritan untuk mengetahui kejadian

gempa bumi terdahulu.

Gambar ‎V-5. Lokasi penelitian dan kotak rincian analisis Box1 hingga Box5.

Penelitian ini melakukan pemetaan sesar aktif berdasarkan ekspresi geomorfologi

menggunakan analisis multi-shade-relief digital elevation imagery (ESRI-

Mapping-Center-Team, 2010). Penelitian ini juga menggunakan metode geofisika

147
geolistrik untuk mengetahui kondisi bawah permukaan. Metoda tersebut telah

dijelaskan pada Bab II.

V.5. Data yang Digunakan

Penelitian ini menggunakan data citra Light Detection and Ranging (LiDAR)

dengan resolusi 0.9 m dan Interoferometric Synthetic Aperture Radar (IFSAR)

resolusi 4 m yang ditunjukkan pada Gambar V-6. Kedua citra tersebut dalam

bentuk Digital Terrain Models (DTM) dan Digital Surface Models (DSM). IFSAR

Intermap dan LiDAR ini adalah hasil dari survey pesawat udara yang dipesan oleh

Australia-Indonesia For Disaster Reduction (AIFDR) (Horspool dkk., 2011).

Gambar ‎V-6. Jenis data IFSAR5m dan LiDAR0.9m serta area cakupannya dalam
penelitian Sesar Lembang ini.

V.6. Geometri dan Penampang Geolistrik Sesar Aktif Lembang

Sesar Lembang ini terlihat jelas dengan bukti adanya lereng memanjang (Linear

Valley-LV), gawir sesar (FS-Fault Scarp), bukit shutter ridge (SR), pergeseran

sungai (River Offset-RO), wind gap (WG), dan sungai terpancung (beheaded

river-BR) yang memanjang 29 km. Batas kedua ujung sesar ini ditandai oleh

berhenti/hilangnya ekspresi topografi sesar. Secara keseluruhan Sesar Lembang

terbagi menjadi lima seksi, yaitu Seksi Cimeta, Seksi Cipogor, Seksi Cihideung,

Seksi Gunung Batu, dan Seksi Cikapundung. Lima seksi tersebut dijabarkan

148
secara rinci lokasi jalur sesar berdasarkan notasi kilometer lokasi yang terbagi

dalam enam kotak Box. Lebih lengkapnya adalah sebagai berikut :

V.6.1 Seksi Cimeta


Seksi ini dijelaskan oleh Box1 yang berisi jalur sesar Lembang Km 0 hingga Km

5.5 . Lokasi ini adalah batas/ujung barat Sesar Lembang yang berada di dekat

Padalarang. Jejak ekspresi Sesar Lembang ini berhenti dilokasi ini.

Secara umum terdapat ekpresi sesar yang lurus dan menerus dari Km 0 hingga

Km 6 yang ditunjukkan oleh garis 1 (Gambar V-7). Selanjutnya, jalur sesar di Km

0.9 terdapat tekuk lereng memanjang (LV), gawir sesar (FS), bukit shutter ridge

(SR) yang terlihat jelas melewati jembatan jalan tol Sungai Cimeta menerus ke

lembah sungai, melewati rel kereta api, melewati lembah sungai memanjang, dan

memotong sungai Cimenteng dan lembah selatan Sungai Cileungsing di Km 3.

Selanjutnya, di Km 3 hingga Km 5.5 terlihat gawir sesar memanjang yang

melewati sungai, lembah memanjang, dan morfologi pergeseran sungai. Lebih

jelas bentuk morfologi gawir sesar (FS), sungai terpancung (BR) dan pergeseran

sungai (RO) di Km 4 – Km 6. Jalur sesar ini terlihat jelas pada citra LiDAR 0.9 m.

Di sebelah bawah/selatan Km 4 sampai dengan Km 5 terdapat bentuk bukit

simetris memanjang yang ditunjukkan oleh garis 2. Bukit simetris memanjang ini

adalah bentuk struktur antiklin bersumbu N80oE dan memotong jalan Pasirhalang.

Jalur sesar Km 1 hingga Km 5.5 ini masuk dalam wilayah Desa Pasirlangu, Desa

Bojongkoneng, Desa Cimanggu dan Desa Sukatani, Kecamatan Ngamprah.

149
Hasil uji geolistrik di Km 0,7 menunjukkan garis sesar menerus ke kedalaman

hingga kedalaman 120 m (Gambar V-8). Ini ditunjukkan dengan beda sifat

resistivitas yang kontras yaitu warna biru (resistansi sekitar 10 ohm) dan hijau

(resistansi sekitar 100 ohm). Gambaran permukaan menunjukkan juga adanya dua

garis sesar. Hasil uji di Km 5,5 menunjukkan garis sesar yang sama dengan

ekpresi permukaan (Gambar V-9 a dan b). Dua garis sesar yang terlihat

dipermukaan konsisten dengan gambaran bawah permukaan geolistrik. Bahkan

Gambar V-9 b dimana ekpresi sesar tidak terlihat jelas, hasil geolistrik ini

menunjukkan bahwa garis sesar menerus hingga di penampang ini.

b a

Gambar ‎V-7. Morfologi rinci di Box1 yang meliputi Km 0 hingga Km 5.5 . Garis
hijau adalah garis uji geolistrik.

Gambar ‎V-8. Penampang bawah permukaan geolistrik lokasi Km 0,7.

150
Gambar V
‎ -9. Penampang bawah permukaan geolistrik Km 5,5. Garis merah
diduga adalah jalur Sesar Lembang.

V.6.2 Seksi Cipogor


Seksi ini dijelaskan pada Box2 Km 6 hingga Km 11. Di lokasi ini terdapat

struktur geologi yang kompleks yang merupakan lokasi tempat pembelokan jalur

Sesar Lembang yang ditunjukkan pada Gambar V-10.

Jalur sesar garis 1 dalam Box1 menerus hingga Km 6. Jalur sesar ini terlihat jelas

pergeseran sungai (RO) di sungai Sungai Cimeta dan anak sungainya. Ekspresi

sesar garis 1 ini menghilang kemudian muncul gawir sesar sesar normal dan

graben yang berarah NW dengan panjang 1,2 km di Km 6.2 hingga Km 7 (garis

3). Ujung atas garis 3 ini terdapat pergeseran sungai di Sungai Cimeta. Kelompok

bentuk jalur sesar ini ditunjukkan oleh garis 3 dan terdapat di Desa Tugumukti.

Km 6.7 sampai dengan Km 9 terdapat gawir sesar (FS) dengan beda ketinggian

kontras yang memanjang dan melengkung melewati Sungai Cipogor (garis 4).

151
Gawir sesar dilereng ini menerus hingga memotong Sungai Cimahi di Km 10.5 di

wilayah Desa Jambudipa. Sejajar sesar garis 4 terdapat ekspresi bukit simetris

memanjang yang merupakan ekspresi struktur antiklin. Sumbu antiklin ini

berlokasi di Paratag dan kemudian berhenti/hilang di perpotongan dengan Sungai

Cimahi. Lokasi Km 9.8 dan Km 10 terdapat sungai terpancung (BR). Jalur garis 4

ini menerus hingga ke Box3.

Di bagian paling bawah/selatan terdapat gawir sesar di lereng dengan kontras

ketinggian yang memanjang hingga ke Sungai Cireungas di Km 8.5 (garis 5).

Sejajar dengan garis 5 terdapat tinggian bukit simetris memanjang yang

merupakan ekspresi struktur antiklin. Sumbu antiklinnya berarah barat-timur.

Kemudian kearah timur terdapat ekpresi gawir sesar normal memanjang

berpindah ke atas/utara/kiri 225 m yang ditunjukkan oleh garis 6. Sesar normal

garis 6 ini memiliki sisi bawah/selatan relatif turun. Jalur sesar garis 5 dan 6 ini

keseluruhan memiliki panjang seluruhnya 3 km yang memotong sungai Cirengas,

Cipanas, dan Cibongkok; dan juga memotong Jalan Pakuhaji dan Jalan

Cileuweung-Mekarwangi.

Lokasi Km 6 sampai dengan Km 7 terdapat gawir sesar turun yang membentuk

lengkung memanjang (garis 7). Kearah timur terdapat morfologi simetris

memanjang yang merupakan struktur antiklin (garis 8). Lokasi ini berada di

wilayah Desa Pasirhalang dan Desa Paku Haji yang memotong Jalan Pasir Halang

dan Jalan Pakuhaji.

152
Lokasi Km 6.8 sampai dengan Km 8.2 terdapat bukit simetris memanjang yang

muncul kepermukaan (garis 10). Bukit memanjang ini adalah struktur antriklin. Di

utara sumbu antiklin terdapat gawir sesar di tekuk lereng yang memanjang dan

sejajar dengan garis 10. Tekuk lereng ini diperkirakan sebagai sesar naik.

Kemudian 350 m kearah timur garis 10 terdapat bukit simetris memanjang dari

Km 8.5 hingga Km 10.2 (garis 11). Bukit memanjang garis 11 ini adalah struktur

antiklin. Di Km 9 garis 11 terdapat ekspresi wind gap (WG) di Km 9 berarah

utara-selatan tegak lurus sumbu antiklin (Gambar V-11).

Gambar V
‎ -10. Morfologi rinci Box2 yang meliputi Km 5 hingga Km 11 Sesar
Lembang. Garis hijau adalah lokasi uji geolistrik.

Hasil uji geolistrik di Km 9,7 menunjukkan perlapisan yang kontras yang

ditunjukkan oleh beda nilai resistivitas antara hijau ( resistansi sekitar 63 ohm)

dan biru (resistansi sekitar 30 ohm) (Gambar V-12). Bentuk sebaran perlapisan ini

menunjukkan bentuk struktur antiklin yang merupakan komponen traspression

sesar geser. Pada bagian sesar utama (garis 4) terlihat struktur graben.

153
Gambar V
‎ -11. Morfologi antiklin memanjang garis 11 dengan morfologi Wind
Gap-WG) di Km 9.

Gambar V
‎ -12. Penampang permukaan geolistrik Km 9,7. Garis merah diduga
adalah jalur Sesar Lembang.

V.6.3 Seksi Cihideung


Seksi Cihideung ini dijelaskan oleh Box3 Km 10.5 hingga Km 16 yang

ditunjukkan pada Gambar V-13. Terdapat ekpresi gawir sesar memanjang yang

merupakan kemenerusan garis 4 dari Km 6.7 (Box2,Gambar V-10) hingga Km 16.

Jalur sesar garis 4 ini berarah N100oE dengan sisi bagian atas/utara lebih turun

dibandingkan sisi bawah/selatan yang membentuk lima morfologi cekungan.

Beberapa masih menjadi danau. Kelima cekungan ini adalah Cekungan Danau

Kering (Km 9.5 di Box2), Cekungan Ciwaruga (Km 12), Cekungan Cibeureum

154
(Km 13), Cekungan Cihideung (Km 13.5), dan Cekungan Situ Umar (Km 16). Di

sisi selatan/bawah sesar terdapat empat sungai terpancung (BR) yaitu di Km 10.8,

Km 11, Km 13.5 dan Km 15. Di sisi selatan ini juga terdapat pergeseran sungai

(RO) yaitu di Km 12.5, Km 13.1 (Sungai Cibeureum), Km 13.7, Km 14.5 (Sungai

Cihideung) dan Km 16.3 (Sungai Situ Umar). Pada lokasi Km 16 ekspresi sesar

garis 4 berhenti/menghilang di lembah Danau Situ Umar.

Lokasi Km 11 hingga Km 12.2 terdapat bukit simetris yang sejajar dengan jalur

sesar garis 4. Bukit ini adalah bukit antiklin yang terputus oleh tiga wind gap

(WG). Sumbu antiklin berarah barat-timur memotong jalan Cihanjuang di Pasir

Panjang.

Gambar V
‎ -13. Morfologi rinci Box3 yang meliputi Km 11 hingga Km 16 Sesar
Lembang.

155
Hasil uji geolistrik di Km 11,4 menunjukkan perlapisan batuan yang ditunjukkan

dengan lapisan berwarna hijau (resistansi sekitar 79 ohm) dan biru (resistansi

sekitar 30 ohm)(Gambar V-14). Gambaran bawah permukaan ini menunjukkan

struktur antiklin akibat kompresional sesar geser sinistral. Pada garis 4

menunjukkan struktur graben.

Gambar V
‎ -14. Penampang permukaan geolistrik Km 11,4. Garis merah diduga
adalah jalur Sesar Lembang.

V.6.4 Seksi Gunung Batu


Seksi ini dijelaskan pada Box 4 pada lokasi Km 16 hingga Km 21 (Gambar V-15).

Ekspresi gawir sesar garis 4 menghilang/berhenti di Km 16 di lembah Situ Umar.

Kemudian dilokasi ini muncul bukit asimetris memiliki lebar 500 m dan

kemiringan lereng ke utara. Bukit asimetris ini di sisi selatan/bawah dibatasi oleh

gawir sesar (garis 12) dan di sisi utara/atasnya tekuk lereng gawir sesar naik yang

melengkung panjang khas (garis 13). Morfologi ini adalah bentuk struktur

monoklin. Struktur monoklin ini masuk Desa Pagerwangi dan Desa Kayu

Ambon. Lokasi Km 18 hingga Km 21.5 terdapat tekuk lereng gawir sesar

memanjang dan pergeseran sungai (RO) di pertemuan sungai Cikawari, Cigulung

dan Cikapundung (Kawasan wisata Maribaya)(garis 14).

156
Terdapat dua lintasan geolistrik yaitu di Km 16,3 dan Km 17,7. Hasil Km 16,3

konsisten dengan ekpresi permukaannya yaitu terdapat tiga garis sesar (Gambar

V-16). Bahkan gambaran permukaan ini juga memperlihatkan adanya struktur

antiklin diantara sesar. Hasil Km 17,7 memperlihatkan strutur perlipatan (sinklin

dan antiklin) dan sesar naik (Gambar V-17). Struktur perlipatan ini lebih rinci

terlihat dibandingkan dengan bentuk morfologi permukaan yaitu struktur

monoklin. Penampang geolistrik Km 17,7 ini juga memperlihatkan bahwa gunung

batu adalah singkapan batuan beku leleran lava atau intrusi sill (bukan sebagai

intrusi dyke) yang ditunjukkan oleh warna merah kemenerusan singkapan gunung

batu yang menunjukkan perlapisan mendatar.

Gambar V
‎ -15. Morfologi rinci Box4 yang meliputi Km 16 hingga Km 21 Sesar
Lembang.

157
Gambar V
‎ -16. Penampang permukaan geolistrik Km 16,3. Garis merah diduga
adalah jalur Sesar Lembang.

Gambar V
‎ -17. Penampang permukaan geolistrik Km 17,7. Garis merah diduga
adalah jalur Sesar Lembang.

V.6.5 Seksi Cikapundung


Seksi ini diperlihatkan pada Box5 jalur sesar di Km 20.5 hingga Km 25 (Gambar

V-18). Ekspresi morfologi sesar didalam box ini berada di lereng curam dan

memiliki banyak sungai-sungai kecil. Meskipun terlihat kabur karena rimbunnya

tanaman, jalur sungai dan jalur sesar masih dapat ditelusuri.

Dilokasi ini terdapat kemenerusan jalur sesar garis 14 (Box4) berupa pergeseran

sungai dan tekuk lereng memanjang. Jalur sesar garis 14 ini berhenti di Km 21.5

dan berbelok arah N100oE menjadi N90oE. Selanjutnya dilokasi Km 21.5 hingga

Km 23.4 terdapat kelurusan tekuk lereng dan bukit shutter ridge yang tidak begitu

jelas. Jalur ini diperkirakan merupakan kemenerusan jalur sesar (garis merah

putus-putus). Dilokasi berikutnya, di Km 23.4 sampai dengan Km 25, terdapat

158
bukit shutter ridge (SR), sungai terpancung (BR), dan pergeseran sungai (RO)

yang jelas terlihat (garis 15). Jalur ini berada di lembah bagian selatan Sungai

Cikapundung. Lokasi Km 24 hingga Km 25 terdapat indikasi gawir sesar

memanjang (fault scarp-FS) (garis 16). Lokasi ini berada di lembah Sungai

Cikapundung.

Gambar V
‎ -18. Morfologi rinci Box5 yang meliputi Km 21 hingga Km 25 Sesar
Lembang.

V.6.6 Seksi Batu Lonceng


Box6 menjelaskan jalur sesar Km 24.5 hingga Km 29 pada Gambar V-19.

Ekspresi sesar merupakan sambungan dari Box5 (garis 15) yang ditunjukkan oleh

pergeseran sungai (RO) dan sungai terpancung (BR). Jalur garis 15 ini berbelok di

Km 25.3 dari N90oE menjadi N120oE (garis 17). Kemudian Km 25.3 hingga Km

26 diperkirakan kemenerusan jalur sesar garis 17. Kemudian di lokasi Km 26

hingga Km 26.7 terdapat bukit shutter ridge (SR) dan sungai terpancung (BR)

159
yang jelas. Selanjutnya dilokasi Km 26.7 hingga Km 28 terdapat percabangan

sungai yang merupakan gangguan aliran sungai akibat terpotong sesar. Lokasi ini

diperkirakan jalur kelurusan sesar (garis merah putus-putus). Kemudian lokasi

Km 28 hingga Km 29 terdapat tekuk lereng gawir sesar (FS) memanjang. Lebih

jauh ke timur setelah Km 29 ekspresi sesar berhenti/menghilang. Jalur sesar garis

17 ini berada di lembah antara Sungai Cisarua dan Gunung Palasari.

Terdapat dua uji geolistrik yang berada berdekatan di Km 24,5. Gambar V-20a

adalah uji geolistrik dengan jarak elektroda 2,5 m. Gambar V-20b adalah uji

geolistrik dengan jarak elektroda 5 m. Kedua gambaran bawah permukaan

menunjukkan adanya struktur antiklin dan graben pada garis 17. Struktur antiklin

ini terdapat juga sesar naik dengan arah dip ke selatan.

a b

Gambar ‎V-19. Morfologi rinci Box6 yang meliputi Km 24.5 hingga Km 29 Sesar
Lembang.

160
Gambar V
‎ -20. Penampang permukaan geolistrik Km 26,2. (a) sebelah barat
dengan elektroda spasi 2,5m. (b) sebelah timur dengan elektroda
spasi 5 m. Garis merah diduga adalah jalur Sesar Lembang.

V.7. Analisis Pergeseran Sungai oleh Sesar Lembang

Analisis pergeseran sungai adalah upaya analisis sistematis pergeseran marker

morfologi disepanjang jalur sesar akibat aktifitas gempa bumi satu kejadian dan

akumulasi beberapa kejadian, yang umum disebut sejarah retakan permukaan

gempa bumi (Brown dan Wallace, 1968). Analisis ini dimulai dengan menemukan

morfologi awal sebelum terjadinya pergeseran sesar atau morfologi awal ketika

sebelum terjadi gempa bumi (pre-earthquake). Setelah diketahui kinematika sesar

yang bekerja, tahap selanjutnya adalah pengukuran jarak rinci pergeseran tiap

marker morfologi. Hasil analisis Sesar Lembang dijelaskan pada bab berikut ini.

161
V.7. 1. Morfologi Awal Sebelum Gempa bumi (Pre-Earthquake)
Marker bentang alam (landform), tren kelurusan, dan perubahan satuan batuan

yang menyambung menyebrangi sesar sebelum kejadian gempa bumi dan dengan

marker itu juga geometri awal sebelum-masa-gempa bumi dapat diperkirakan

(Burbank dan Anderson, 2001; McCalpin dan Nelson, 2009). Menemukan dan

mencocokkan marker dilakukan melalui usaha memotong gambar Sesar Lembang

di jalur sesarnya dan menggeserkannya untuk mendapatkan kondisi awal yang

paling sesuai (Gambar V-21a). Usaha ini adalah utamanya adalah mencocokkan

marker sungai aktif (masih teraliri air) dengan sungai aktif dan/atau sungai

terpancung.

Usaha pertama dengan menggeser gambar ke kiri sebagai kondisi awal gerak sesar

kanan/dextral. Usaha ini menunjukkan hanya satu marker sungai yang sesuai yaitu

Sungai Cimahi (Gambar V-21b). Aliran sungai yang lainnya berpasangan dengan

bukit yang menunjukkan ketidaksesuaian.

Usaha kedua adalah dengan menggeser ke kanan sebagai sesar kiri/sinistral.

Terdapat dua kali pergeseran yang saling bersesuaian yaitu 10 marker pasangan

sungai pada pergeseran balik 120 m (Gambar V-21c) dan 11 marker pasangan

sungai pada pergeseran balik 460 m (Gambar V-21d). Kunci pencocokan ini

terletak di empat sungai besar. (1) Sungai Cimeta. Pada pergeseran balik 120 m

marker 1,2 dan 3 (Gambar V-21c) cocok menyambung antara sungai atas/utara

dengan lembah sungai di bawah/selatan. Pada pergeseran balik 460 m marker 1,2

dan 3 (Gambar V-21d) cocok saling menyambung. Terutama marker 3 terdapat

tiga sungai yang berjarak sama saling menyambung. (2) Sungai Cimahi. Terdapat

162
dua lembah sungai yang berdekatan di Sungai Cimahi ini. Pada pergeseran balik

120 m marker 4 dan 5 (Gambar V-21c) sungai ini cocok menyambung. Sungai

Cimahi bagian atas/utara cocok menyambung dengan lembah sungai terpancung.

Lembah sungai Cimahi bawah/selatan cocok menyambung dengan lembah sungai

kering di bagian atas/utara. Pada pergeseran balik 460 m marker 4 dan 5 (Gambar

V-21d) cocok menyambung. Sungai Cimahi dan lembah sungai didekatnya cocok

menyambung dengan dua lembah sungai terpancung di sisi bawah/selatannya.

Dua pergeseran balik ini memperlihatkan bahwa awalnya terdapat dua sungai

yang kemudian tergeserkan 120 m menyebabkan pergeseran sungai dan kemudian

tergeserkan hingga 460 m menyebabkan pergeseran sungai dan pembajakan

sungai yang menyebabkan aliran dua sungai Cimahi dan sampingnya menjadi

sungai Cimahi sisi bawah/selatan saat ini (Gambar V-21a). (3) Sungai Cihideung.

Sungai ini memiliki lembah yang lebar. Dinding lembah sisi atas/utara yang

sempit cocok menyambung dengan lembah sempit sisi bawah/selatannya (marker

7 Gambar V-21c). Pada pergeseran balik 460 m lembah sungai ini cocok

menyambung dengan lembah sungai terpancung di sisi bawah/selatannya (marker

8 Gambar V-21d). (4) Sungai Cikapundung. Pergeseran balik 120 m marker 9

(Gambar V-21c) cocok menyambung sungai Cikawari dengan percabangan sungai

Cikapundung. Marker 10 (Gambar V-21c) cocok menyambung lembah sungai

Cikapundung bagian atas/utara dan bagian bawah/selatan. Pergeseran 460 m

cocok menyambung sungai Cikawari dengan sungai Cikapundung dan sungai

Cigulung dengan lembah cabang sungai Cikapundung di sisi bawah/selatannya.

Pergeseran balik 120 m dan 460 m ini diperkuat dengan marker lembah sungai

lebih kecil lainnya yang yang ditunjukkan pada Gambar V-21 c dan d.

163
Pergeseran balik pasangan sungai 460 m (Gambar V-21d) adalah pencocokan

marker terjauh yang paling sesuai di Sesar Lembang. Pergeseran balik 460 m ini

adalah kondisi morfologi awal-masa-gempa bumi di Sesar Lembang.

V.7. 1. Pengukuran Pergeseran Sungai


Pengukuran pergeseran sungai ini mengikuti kaidah arah sungai dan pergeseran

sungai (Arrowsmith dan Zielke, 2009; Lienkaemper, 2001). Arah sungai

membentuk lembah sungai (garis biru dengan tanda panah) dan mengalami

pergeseran oleh aktifitas sesar (garis merah) pada Gambar V-22. Bagian atas garis

sesar disebut bagian kepala (head) dan bagian bawah disebut ekor (tail). Proyeksi

kelurusan sungai pada garis sesar pada bagian kepala dan ekor adalah besar

pergeseran sungai (Gambar V-22a). Pada Gambar V-22b terdapat sungai

terpancung‎ B’‎(beheaded river) dengan dua besaran pergeseran sungai yaitu AB

dan‎ AB’.‎ Besar‎ nilai‎ ketidakpastian ditunjukkan oleh lebar lembah sungai yang

ditunjukkan oleh bidang warna biru. Panjang sungai terpancung bagian kepala

(head) diukur panjangnya dan juga dimensi sungai (kedalaman dan lebar lembah).

Gambar V
‎ -21. Skema pergeseran sungai. Arah sungai ditunjukkan oleh panah
aliran air, A adalah bagian kepala (head), B adalah bagian ekor
(tail), garis merah adalah sesar geser, garis hitam tipis adalah
proyeksi kelurusan sungai dengan garis sesar, besar pergeseran
adalah‎ panjang‎ proyeksi‎ kelurusan‎ sungai‎ kepala‎ dan‎ ekor,‎ B’‎
adalah sungai terpancung (beheaded river), dan pergeseran sungai
adalah‎AB‎dan‎AB’‎(Arrowsmith dan Zielke, 2009).

164
(a)

(b)

Gambar V-21. Bersambung….

165
(c)

(d)

Gambar V
‎ -22. Pencocokan marker pergeseran sungai besar Sesar Lembang. (a) kondisi saat ini, (b) Geser kanan/dextral, (c) Geser
kiri/sinistral bergeser 120 m dan (d) Geser kiri/sinistral bergeser 460 m.

166
Dasar pengukuran pergeseran sungai pada paragraph diatas digunakan untuk

mengukur besar pergeseran sungai disepanjang Sesar Lembang. Terdapat dua

kelompok data, yaitu data pergeseran sungai besar dan data pergeseran sungai

kecil. Hal ini terjadi karena morfologi disepanjang Sesar Lembang dapat

dikelompokkan kedalam dua bagian. Bagian pertama adalah bagian dengan

pergeseran besar yaitu pada sungai-sungai besar yang memiliki panjang sungai

lebih dari 3 Km dengan arah sungai utara ke selatan. Pergeseran besar ini

dijelaskan pada Gambar V-23. Pada gambar tersebut memperlihatkan dua kali

kecocokan sungai kepala dan ekor yang ditunjukkan oleh marker panah hitam.

Orde besaran pergeseran sungai adalah ratusan meter.

Kelompok kedua adalah kelompok pergeseran kecil. Kelompok ini berada pada

Km 21 hingga Km 29 yang ditunjukkan oleh Gambar V-23. Pada lokasi ini arah

sungai selatan ke utara dengan panjang sungai berkisar 0.4 km. Panjang sungai

jauh lebih pendek dibandingkan kelompok pergeseran besar tetapi kemiringan

lereng di kelompok ini sangat curam. Kelompok ini memperlihatkan pergeseran

sungai orde beberapa meter hingga ratusan meter yang diperlihatkan dengan

kecocokkan sungai dan lembah sungai pergeseran 1 hingga 6 pada Gambar V-23.

Marker kecocokan ini ditunjukkan oleh tanda panah hitam.

Hasil pergeseran sungai kelompok pergeseran besar dan kecil digabungkan dan

disajikan pada Tabel 3. Terdapat 61 satu data pergeseran sungai. Pergeseran

terkecil adalah 6±3 m di Km 28.35 dan terbesar adalah 643±50 m di Km 2.5 .

167
Gambar V
‎ -23. Pencocokan marker pergeseran kecil Sesar Lembang di Km 21
hingga Km 29.

168
Tabel 3. Sebaran pergeseran (offset) sungai di Sesar Lembang.
Panjang Panjang Panjang Vertical
Sinistral Offset Sinistral Offset Sinistral Offset Down
Km hulu (head ) Km hulu (head ) Km hulu (head ) Km Movement
(m) (m) (m) Component
sungai (Km) sungai (Km) sungai (Km) (meter)
2.3 174 ± 30 6.8 22.6 27 ± 4 0.3 26.5 71 ± 6 0.3 5 0.8 ± 3 South side
2.5 643 ± 50 6.8 23.4 111 ± 16 0.3 26.6 61 ± 10 0.3 6 7.4 ± 3 South side
3.5 533 ± 50 4 24.24 20 ± 5 0.2 26.8 59 ± 10 0.2 7 66.4 ± 3 North side
5.1 136 ± 20 1 24.5 107 ± 10 0.2 27 57 ± 10 0.2 8 91.4 ± 3 North side
5.5 526 ± 40 1.3 24.5 101 ± 15 0.2 27.2 71 ± 12 0.2 9 48.5 ± 3 North side
5.8 135 ± 14 8 24.55 67 ± 10 0.2 27.2 56 ± 10 0.2 10 69 ± 3 North side
10.3 128 ± 10 1 24.55 26 ± 6 0.2 27.2 9± 3 0.2 11 61.7 ± 3 North side
10.5 483 ± 60 10 24.8 67 ± 15 0.2 27.27 21 ± 4 0.2 12 87.6 ± 3 North side
10.8 128 ± 10 10 24.8 23 ± 5 0.2 27.35 56 ± 8 0.2 13 52.3 ± 3 North side
12.5 467 ± 50 1.3 24.9 65 ± 7 0.2 27.4 119 ± 20 0.2 14 66.9 ± 3 North side
13 430 ± 30 5 25 120 ± 20 0.2 27.5 70 ± 20 0.2 15 22.8 ± 3 North side
14.5 126 ± 13 7 25.15 22 ± 3 0.2 27.7 70 ± 10 0.2 16 22.6 ± 5 North side
15 423 ± 25 7 25.2 88 ± 7 0.3 27.7 46 ± 10 0.2 17 9.8 ± 4 North side
16.4 124 ± 17 0.8 25.25 64 ± 10 0.3 27.8 114 ± 10 0.2 19 28.3 ± 2 North side
16.5 370 ± 20 0.8 25.26 22 ± 4 0.3 27.8 7± 2 0.2 26 13.9 ± 0.2 South side
20 122 ± 20 10.5 25.38 13 ± 3 0.3 28 70 ± 8 0.3 27 13.1 ± 0.2 South side
20.5 204 ± 20 7.5 25.4 86 ± 11 0.3 28 33 ± 4 0.3 28 7.4 ± 0.2 South side
20.5 121 ± 20 19 25.4 83 ± 10 0.3 28 7± 2 0.3
21.35 68 ± 10 0.1 26.2 10 ± 2 0.3 28.35 32 ± 7 0.5
22.4 111 ± 10 0.3 26.3 78 ± 7 0.3 28.35 6± 3 0.5
28.36 20 ± 4 0.5

V.7. 2. Statistik Pergeseran Sungai


Hasil pengukuran pergeseran sungai pada bab sebelumnya di satukan dalam grafik

pada Gambar V-24. Gambar V-24a adalah grafik besaran pergeseran sungai

berurut besar ke kecil. Grafik tersebut memperlihatkan enam kelompok kesamaan

besar pergeseran sungai. Kelompok 1 memiliki rentang pergeseran sungai 6±3 m

hingga 13±3 m dan rata-rata 9 m (Gambar V-24e). Kelompok 2 memiliki rentang

pergeseran sungai 20±5 m hingga 46±10 dan rata-rata 24 m. Kelompok 3

memiliki rentang 56±8 m hingga 71±6 m dan rata-rata 65 m. Kelompok 4

memiliki rentang 78±7 m hingga 88±7 m dan rata-rata 84 m. Kelompok 5

memiliki rentang 101±15 m hingga 136±20 m dan rata-rata 120 m (Gambar V-

24d). Kelompok 6 memiliki rentang 370±20 m hingga 533±50 m dan rata-rata 461

m (Gambar V-24e).

169
Sebaran kelompok 1 hingga 4 berada di Km 21 hingga Km 29. Hal ini disebabkan

oleh kondisi morfologi yaitu lembah curam dengan sungai-sungai pendek dengan

panjang kurang dari 500 m. Proses erosi permukaan di lokasi ini dominan dan

cenderung merekam kejadian gempa bumi yang muda. Kelompok 5 menyebar di

sepanjang sesar dari Km 0 hingga Km 29. Pergeseran sungai 120 m ini terekam

disepanjang sesar. Berbeda dengan kelompok 6 yang hanya tersebar di Km 0

hingga Km 21. Kelompok ini merekam pergeseran sungai berorde 460 m. Enam

kelompok ini memperlihatkan umur sungai yang terpotong dan tergeserkan oleh

Sesar Lembang.

Persentase pergeseran sinistral dibandingkan dengan pergeseran vertical

menunjukkan 100% di Km 0 hingga Km 7. Kemudian di Km 7 hingga Km 15

persentase ini menurun menjadi 80% (20% komponen gerak vertikal). Di Km 15

hingga Km 29 selanjutnya persentase ini naik menjadi 95% (5% komponen gerak

vertikal).

Hal penting lain adalah pergeseran sungai terkecil di Kelompok 1. Pergeseran

kelompok ini menunjukkan aktivitas gempa bumi terakhir. Terdapat enam data

pergeseran sungai lebih kecil dari 15 m yang tersebar di Km 25 hingga Km 29

(Gambar V-25). Berdasarkan irisan besaran nilai ketidakpastian data dapat

diperoleh besaran pergeseran sungainya adalah 7±2 m.

170
Gambar ‎V-24. Grafik sebaran pergeseran sungai dan lokasinya di Sesar Lembang.
(a) Grafik besaran pergeseran sungai berurut besar ke kecil. (b)
Sesar Lembang. (c) Sebaran pergeseran sungai seluruh data. (d)
Sebaran pergeseran sungai di interval pergeseran 70 hingga 210 m.
(e) Sebaran pergeseran sungai di interval 1 hingga 100 m dan pada
lokasi Km 21 hingga Km 29. (f) Sebaran pergeseran vertikal.

171
Gambar V
‎ -25. Sebaran data pergeseran sungai terkecil dengan orde pergeseran
dibawah 15 m.

V.8. Laju pergeseran geologi Sesar Lembang

Sesar Lembang memotong Satuan Batuan Tangkuban Parahu Tua yang berumur

40.000-22.000 tyl. Satuan ini menyebar dan menutupi hampir disepanjang Sesar

Lembang dan menyebabkan pergeseran sinistral sungai merata dari Km 0 hingga

Km 29 yaitu 120 m (Gambar v-26). Berdasarkan dua nilai umur dan jarak

pergeseran dapat dihitung kecepatan pergeseran adalah 3 – 5.5 mm/th. Hasil ini

hampir sama dengan hasil pengukuran geodesi yaitu 3 – 14 mm/th (Abidin dkk.,

2008; Abidin dkk., 2009) dan 6 mm/th (Meilano dkk., 2012).

(a)

(b)

Gambar V
‎ -26. Pergeseran Sungai Cimeta di Km 5 dengan panjang 120 m (a)
Kondisi saat ini (b) setelah digeser balik.

172
V.9. Uji Paritan

Uji paritan di Sesar Lembang dilakukan di Km 26,3 , Desa Batu Lonceng, di dua

lokasi paritan yang berdekatan (Gambar V-27). Paritan 1 berada di lembah

sedangkan Paritan 2 berada 60 m sebelah timur yaitu di punggungan lembah.

Paritan 1 terdapat lima lapisan (Gambar V-28a dan Gambar V-29a), yaitu lapisan

100 (top soil, lanau pasiran), lapisan 200 (pasir kasar ber fragmen gravel), lapisan

300 (lanau pasiran), lapisan 400 (pasir lanauan dengan fragmen batuan beku) dan

lapisan 500 (lanau pasiran). Paritan 2 (Gambar V-28b dan Gambar V-29b,c)

terdapat lima lapisan yaitu lapisan 100 (top soil, abu-abu, lanau pasiran), lapisan

200 (coklat, lanau pasiran), lapisan 300 (coklat, lanau pasiran, bagian atasnya

berwarna hitam), lapisan 400 (pasir kasar dengan fragmen gravel) dan lapisan 500

(coklat, lanau pasiran). Kedua uji paritan tersebut menunjukkan adanya bukti

retakan permukaan gempa bumi tiga kejadian yang ditunjukkan berdasarkan

notasi gempa bumi A, B dan C. Gempa bumi A terlihat pada Paritan 1. Gempa

bumi B terlihat di Paritan 1 dan 2. Gempa bumi C hanya terlihat pada Paritan 2

dinding sisi barat.

Hasil uji pentarikhan umur karbon (Gambar V-30) menunjukkan lapisan 300

paritan 1 bagian dasar (sampel P1-2) menunjukkan pada tahun 1450-1510.

Lapisan 300 ini merupakan kunci waktu umur endapan yang mengisi retakan

gempa bumi A. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian gempa bumi A adalah pada

tahun 1450-1460. Umur batas atas lapisan 300 paritan 1 adalah tahun 1415-1460

(sampel P1-3). Lapisan 300 paritan 2 menunjukkan umur BC5705-5620 (sampel

TR2-5) dan BP19620-19140 (sampel TR2-9). Lapisan 500 paritan 2 (sampel TR2-

173
12) adalah BP20525-20290. Paritan 2 menghasilkan umur yang sangat tua di

sebabkan karena berada pada lokasi tinggian punggungan. Hal ini menunjukkan

bagian tinggian tersebut terjadi erosi dan tidak merekam kejadian gempa bumi.

Gambar V
‎ -27. Lokasi uji paritan di Km 26. Garis merah adalah jalur sesar, garis
biru adalah jalur uji geolistrik, dan dua kotak hitam adalah lokasi
paritan 1 dan paritan 2.

Gambar ‎V-28. Foto lokasi uji Paritan 1 (a; kiri) dan Paritan 2 (b; kanan).

174
AD1415-1560
AD1415-1560
AD1450-1510

300 100
200
a Utara

500
Gempa A

400 Gempa B

200 100 Utara

300

1m
400 Gempa B
1m
500
Utara
100
200

BC5705-5620
300
c
400 BP19620-19140

Gempa B
500
Gempa C BP20525-20290

Gambar ‎V-29. Penampang uji paritan. (a) Paritan 1 sisi timur, (b) Paritan 2 sisi timur, dan (c) Paritan 1 sisi barat.

175
Gambar V
‎ -30. Hasil uji pentarikhan umur karbon menunjukkan sampel P1-2
menunjukkan umur tahun 1450-1510. Sampel P1-3 adalah berumur
tahun 1415-1460. sampel TR2-5 berumur BC5705-5620. Sampel
TR2-9 berumur BP19620-19140. Sampel TR2-12 adalah berumur
BP20525-20290.

V.10. Ringkasan dan Pembahasan/Diskusi

Ringkasan dan pembahasan tentang hasil penelitian Sesar Lembang dijelaskan

pada lima subbab berikut ini. Lima subbab ini berisi tentang kinematika, catatan

kejadian gempa bumi, umur, mitigasi dan pekerjaan berikutnya di Sesar Lembang.

176
V.10.1 Kinematika dan Karakteristik Sesar Lembang
Jalur sesar Lembang ini terlihat jelas dengan bukti adanya tekuk lereng

memanjang (Linear Valley-LV), gawir sesar (FS-Fault Scarp), bukit shutter ridge

(SR), bentuk pergeseran sungai (river offset-RO) dan sungai terpancung

(beheaded river-BR) yang memanjang 29 km. Sesar ini mampu menghasilkan

gempa bumi Mw 7 (Wells dan Coppersmith, 1994). Penelitian ini menjabarkan

rinci lokasi jalur sesar ini berdasarkan notasi kilometer lokasi yang terbagi dalam

enam kotak.

Analisis pergeseran balik menunjukkan morfologi awal-masa-gempa bumi (pre-

earthquake) di Sesar Lembang yang bergerak sebagai sesar geser sinistral dengan

persentase gerak sinistral 100%-80% dan gerak naik 0%-20%. Kecepatan

pergeseran sesar ini adalah 3 – 5.5 mm/th. Sesar Lembang ini terdiri atas beberapa

seksi sesar (Gambar V-30), yaitu : (1) Seksi Cimeta. Seksi ini adalah seksi sesar

geser yang berada pada Km 0 hingga Km 6 yang berarah N80oE, (2) Seksi

Cipogor. Di seksi ini terjadi pembelokan garis sesar dari N80oE menjadi N100oE.

Seksi ini berada di Km 6 hingga Km 10 yang memiliki sesar naik di bagian

atas/utara (kompresional) dan sesar turun di bagian bawah/selatan (extensional).

(3) Seksi Cihideung. Seksi sesar oblique ini berada di Km 10 hingga Km 16.5

dengan arah N100oE. (4) Seksi Gunung Batu. Seksi kompresi ini berada di Km

16.5 hingga Km 21.5 yang memiliki struktur monoklin. (5) Seksi Cikapundung.

Seksi sesar gerser ini terjadi pembelokan dari Km 21.5 sampai dengan Km 25

dengan arah N90oE menjadi arah N120oE di Km 25 sampai dengan Km 29.

Pembagian seksi ini saling menerus dan menyambung dengan jeda kurang dari 4

177
km yang mengindikasikan mampu menghasilkan gempa bumi secara bersamaan

(Wesnousky, 2006).

Kinematika Sesar Lembang ini memberikan konsekuensi 20%-5% gerak naik di

Km 7 hingga Km 20. Sisi bagian atas/utara lebih turun dibandingkan sisi

bawah/selatan dan terdapat lima morfologi cekungan danau. Cekungan tersebut

adalah Cekungan Danau Kering, Jambudwipa (Km 9.8), Cekungan Ciwaruga (Km

12), Cekungan Cibeureum (Km 13), Cekungan Cihideung (Km 13.5), dan

Cekungan Situ Umar (Km 16). Penelitian sedimen danau di Cekungan Cihideung

(Km 13.5) menunjukkan adanya perulangan endapan sedimen yang konsisten

(Hidayat dkk., 2008). Perulangan ini bisa jadi adalah perulangan kejadian gempa

bumi.

Gambar ‎V-31. Kinematika Sesar Lembang dan pembagiannya.

V.10.2 Catatan Kejadian Gempa bumi


Rekaman dua kejadian gempa bumi Mw 3, pergeseran sungai, morfologi sesar

aktif dan bukti retakan permukaan gempa bumi di Paritan 1 dan Paritan 2

menujukkan bahwa Sesar Lembang adalah sesar aktif yang mampu menghasilkan

gempa bumi. Tetapi tidak ada rekaman/catatan kejadian gempa bumi di sepanjang

Sesar Lembang ini. Terdapat legenda terkenal yang menceritakan rinci asal nama-

nama lokasi disekitar daerah ini, yaitu Legenda Sangkuriang. Legenda-legenda

178
adalah informasi yang tidak bisa diabaikan khususnya untuk masa sebelum abad

16 (Wichmann, 1918). Bahkan legenda ini juga dimuat dalam buku The Geology

of Indonesia (Van Bemmelen, 1949).

Di dalam Legenda Sangkuriang (Bachtiar, 2014; Purbohadiwidjojo, 1955;

Yudhistira, 2010) terdapat fakta-fakta yang berkaitan dengan fenomena retakan

permukaan gempa bumi, (1) Sangkuriang menebang pohon raksasa yang roboh

kearah barat dengan suara keras. Cerita ini boleh jadi merupakan jalur sesar aktif

dan kejadian gempa bumi yang mirip dengan kejadian pohon tumbang.

Pernyataan raksasa dan suara keras menunjukkan bahwa kejadian getarannya

besar lebih besar dari pohon tumbang pada umumnya. (2) Kemudian arah roboh

ke barat, menunjukkan seakan-akan pohon raksasa khayalan tersebut berada

melintang kearah barat-timur. (3) Posisi rebahnya pohon raksasa khayalan ini juga

diceritakan rinci pada cerita kedua dan ketiga bahwa bagian tunggul/batang utama

bawah berada di Bukit Tunggul dan bagian atasnya daun-ranting berada di

Gunung Burangrang. Lokasi pohon yang roboh ini sesuai dengan hasil pemetaan

jalur sesar aktif yang melintang barat-timur, bagian timur berupa jalur sesar

tunggal dan bagian barat adalah cabang-cabang sesar akibat pembelokan jalur

Sesar Lembang (Gambar V-31). (4) Terbentuknya danau dalam satu malam, boleh

jadi terkait dengan mekanisme kinematika Sesar Lembang bahwa terbentuknya

danau-danau akibat pergerakan sesar yang menyebabkan juga pergeseran vertical.

Pergeseran vertical ini yang menyebabkan terbendungnya sungai sehingga

membentuk lima danau yang menyebar di sepanjang sisi atas/utara Sesar

Lembang. Terbendungnya sungai-sungai sehingga menjadi beberapa danau dalam

179
waktu satu malam sangat besar terjadi akibat retakan permukaan akibat gempa

bumi.

Catatan tertua yang merekam legenda Sangkuriang ini adalah catatan perjalan

Bujangga Manik. Catatan ini yang diperkirakan ditulis pada abad 15 dan tidak

lebih muda dari tahun 1511 yang tersimpan di Bodleian Library, Oxford sejak

tahun 1627 (Noorduyn, 1982; Noorduyn dan Teeuw, 2009).

Hasil paritan paleoseismologi menunjukkan umur kejadian gempa bumi terakhir

adalah pada tahun 1450-1460. Jadi hingga saat ini minimal sudah 561 tahun Sesar

Lembang tidak mengeluarkan gempa bumi. Besar jeda waktu ini sesuai dengan

catatan gempa bumi bahwa dari tahun 1600 hingga tahun 1857 tidak ada kejadian

gempa bumi di sini (Wichmann, 1918). Jeda waktu ini sebanding dengan 1.6 – 3

m akumulasi pergerseran (stress acumulation) untuk gempa bumi yang akan

datang.

V.10.3 Umur Sesar Lembang dan Gempa bumi Berikutnya


Hasil pengukuran pergeseran sungai di sepanjang Sesar Lembang dapat

dikelompokkan dalam enam kelompok data dengan besaran data yang hampir

sama. Kelompok 1 memiliki rentang pergeseran sungai 6±3 m hingga 13±3 m dan

rata-rata 9 m. Kelompok 2 memiliki rentang pergeseran sungai 20±5 m hingga

46±10 dan rata-rata 24 m. Kelompok 3 memiliki rentang 56±8 m hingga 71±6 m

dan rata-rata 65 m. Kelompok 4 memiliki rentang 78±7 m hingga 88±7 m dan

rata-rata 84 m. Kelompok 5 memiliki rentang 101±15 m hingga 136±20 m dan

rata-rata 120 m. Kelompok 6 memiliki rentang 370±20 m hingga 533±50 m dan

180
rata-rata 461 m. Keenam kelompok ini menunjukkan umur sungai yang merekam

kejadian gempa bumi.

Gambar V
‎ -32. Nama lokasi dalam legenda Sangkuriang, vector data GPS
(terhadap Sunda blok), Sesar Lembang dan kemungkinan sesar
kemenerusan Sesar Lembang.

Irisan pergeseran sungai terkecil adalah 7±2 m. Angka ini berarti besar pergeseran

terkecil adalah antara 5 m hingga 9 m. Pergeseran sungai ini mungkin merupakan

hasil komulatif gempa bumi atau satu kejadian gempa bumi.

Jika dihasilkan oleh beberapa kejadian gempa bumi, hal ini sesuai panjang sesar

29 km yang mampu menghasilkan gempa bumi Mw 6.5 - 7 (Wells dan

Coppersmith, 1994). Besar pergeseran yang dihasilkan adalah sekitar 1 - 3 m.

Besaran ini masuk ke kisaran besaran minimum akumulasi stress geologi yaitu 1.6

- 3 m. Dengan katalain, hal ini menunjukkan bahwa Sesar Lembang telah berada

masa akhir siklus gempa buminya. Dua kejadian gempa bumi mikro dangkal di

181
dua ujung Sesar Lembang mengindikasikan bahwa mulai terjadi pelepasan stress

yang tersimpan.

Pergeseran sungai terbesar yang juga menunjukkan pergeseran sungai tertua

adalah 461 m. Jika diukur mundur maka akan dapat diketahui umur Sesar

Lembang adalah 154.000-92.000 tyl. Hal ini menunjukkan pula bahwa Sesar

Lembang satu bagian utuh, bukan terdiri atas bagian barat dan timur seperti hasil

interpretasi Dam (1996).

V.10.4 Mitigasi Gempa bumi Sesar Lembang


Hasil pemetaan jalur sesar aktif ini diperlukan untuk tujuan mitigasi bencana

gempa bumi. Di Amerika jarak 15 m dari jalur sesar aktif yang berarti 30 m lebar

tidak boleh dibangun (California, 1990), sedangkan di New Zealand adalah 20 m

dari jalur sesar aktif yang berarti 40 m lebar tidak boleh dibangun (McClymont,

2001). Peta jalur sesar aktif Sesar Lembang ini merupakan peta jalur sesar aktif

pertama kali di lakukan di Indonesia.

V.10.5 Pekerjaan Berikutnya


Citra LiDAR resolusi 0.9 m ini memiliki keterbatasan mengenali pergeseran

morfotektoni yang kurang dari 5 m. Sedangkan pergeseran gempa bumi Mw 6.5 -

7 akan menghasilkan retakan permukaan gempa bumi berukuran sekitar 1 - 3 m

(Wells dan Coppersmith, 1994). Hal ini menjadi penting untuk mendapatkan citra

morfologi yang lebih rinci dengan ketelitian hingga 20 cm. Citra ini diperlukan

untuk lokasi Km 21 hingga Km 29 untuk mendapatkan rekaman pergeseran

kejadian gempa bumi terakhir.

182
Hal lainnya adalah pembuatan uji parit. Uji ini perlu untuk mengetahui lokasi

pasti dan kejadian gempa bumi lampau. Lokasi terbaik uji ini adalah di sepanjang

Km 21 hingga Km 29 dan Km 5.

Fakta lainnya adalah kemungkinan kemenerusan oleh sesar lain. Hal ini terlihat

dari seksi pembelokan terdapat struktur lipatan sebagai konsekuensi stress

konvergen. Struktur ini dimungkinkan adanya berpindah ke kanan Sesar Lembang

oleh sesar lain seperti indikasi sesar pada Gambar V-32.

183
184
Bab VI PALEOSEISMOLOGI DI WILAYAH TROPIS
INDONESIA

VI.1. Penerapan Metode

Kegagalan penerapan metoda ini oleh penelitian sebelumnya (dijelaskan pada Bab

I Pendahuluan) dapat dihindari/dihilangkan dengan penerapan alur penelitian

secara lengkap. Terutama adalah penggunaan citra berresolusi tinggi yang

menentukan jalur sesar aktif dan survey geofisika dangkal yang mengetahui

perlapisan bawah permukaan sebelum dilakukan uji penggalian. Hasilnya telah di

rangkum didalam Tabel 4.

Lokasi studi pertama adalah Segmen Sianok-Sumani-Suliti bagian Sesar Sumatra.

Kejadian gempa bumi ganda Mw 6 tahun 2007 memberikan kesempatan untuk

mengetahui lokasi dan bentuk retakan permukaan. Penelitian ini berhasil

memetakan jalur pasti lokasi retakan permukaan itu, bentuk deformasi retakan

permukaan dan besar pergeserannya. Hasilnya menunjukkan gempa bumi ini

meretakkan hanya sebagian dari seluruh panjang segmen. Segmen Sianok 22,5 km

dari total panjang 90 km dan Segmen Suliti 22,5 km dari total 60 km. Kompilasi

kejadian gempa bumi menunjukkan karakteristik gempa bumi yang dihasilkan

adalah: (1) semua kejadian gempa bumi selalu ganda dengan besar magnitudo

relatif sama, (2) dimulai dari bagian selatan dan kemudian bagian utara, dengan

(3) jeda waktu beberapa jam, (4) periode ulang gempa bumi adalah 81 tahun

(Segmen Sumani dan Segmen Sianok). Uji paritan menunjukkan retakan gempa

bumi yang tegas. Lapisan ini memotong dua lapisan yang mengindikasikan

185
kejadian gempa bumi yang lebih tua. Tetapi, hasil pertarikhan umur karbon

menunjukkan umur tahun 1300-1440 (AD). Umur lapisan ini jauh lebih tua dari

perkiraan yaitu kejadian gempa bumi tahun 1936 dan/atau 1943. Hal ini

disebabkan karena lokasi uji paritan di area persawahan produktif yang

menyebabkan percampuran lapisan yang lebih tua.

Lokasi studi kedua adalah Sesar Palukoro-Matano di Sulawesi. Studi ini

menganalisis citra wilayah Sulawesi bagian tengah. Hasil studi menunjukkan

Sesar Matano sisi timur adalah sesar geser dan kemudian menjadi sesar naik di

ujung barat pembelokan dengan Sesar Palukoro. Kemudian pergerakan ini di

akomodasi oleh Sesar geser Palukoro dengan arah berbeda. Pada tahap ini juga

dideskripsikan 20 sesar, 6 segmen di Sesar Palukoro dan 7 segmen di Sesar

Matano. Sesar-sesar di Sulawesi bagian tengah ini menunjukkan adanya empat

blok tektonik, yaitu Blok North Sula, Blok Toli-toli, Blok East Sula, dan Blok

Poso. Di Segmen Saluki (bagian dari Sesar Palukoro) terdapat pergeseran sungai

yang jelas yang menunjukkan kecepatan geser sesar ini adalah kurang dari 58

mm/th. Dilokasi ini juga terjadi gempa bumi tahun 2012 yang mirip dengan

kejadian gempa bumi tahun 1907 yang melepaskan energy bagian sesar yang

tegak lurus dengan sesar utama Palukoro. Uji paritan mengindikasikan periode

ulang gempa bumi pada Segmen Saluki ini adalah 130 tahun.

Lokasi studi ketiga adalah Sesar Lembang di Jawa Barat, menunjukkan gerakan

geser sinistral. Sesar ini terbagi menjadi enam seksi. Hasil studi perpotongan

aliran sungai dan aktivitas sesar menunjukkan bahwa sesar lembang bergerak

186
dengan kecepatan 3-5.5 mm/th dengan panjang keseluruhan 29 km. Hasil

kompilasi pergeseran sungai menunjukkan komponen sesar geser sinistral adalah

100%-80% dan komponen sesar naik adalah 5%-20%. Komponen sesar naik ini

menyebabkan adanya pembendungan alami pada sisi bagian utara Sesar Lembang.

Hasil uji paritan menunjukkan adanya kejadian gempa bumi pada tahun 1450-

1460 (Abad 15).

Tabel 4. Kompilasi hasil penelitian.

Segment Sianok-Sumani-
Keterangan Sesar Palukoro-Matano Sesar Lembang
Suliti, Sesar Sumatra
Pulau Sumatra Sulawesi Jawa
23 (Sieh dan Natawidjaja, Kurang dari 58; 40 (Bellier,
Sliprate (mm/th) 3-5.5
2000) 2001)
Jenis sesar Dextral Sinistral Sinistral dan Oblik
20 Sesar; Sesar Palukoro 6
3 Segment (Sieh dan
Segmentasi segment; Sesar Matano 5 6 Section
Natawidjaja, 2000)
segment
Citra SRTM30m; Citra IFSAR 5
Kejadian gempabumi ganda
Jenis data m; dan Sebagian LiDAR 2,5m IFSAR 5m; dan LiDAR 0,9m.
tahun 2007
(Sekitar Danau Matano).
Besar Terkecil 0,8 475 dan 5.5 (Segmen Saluki) 7
pergeseran
(m) Terbesar 1,7 675 461
Lokasi Rinci Segmen Sumani Segmen Saluki Section Batu Lonceng
Metode Retakan Permukaan Interpretasi Citra IFSAR 5 m;
Interpretasi Citra LiDAR 0,9m;
Penentuan Gempabumi Ganda Magnitud Survei Total Station rinci; dan
Geolistrik dan Georadar.
Lokasi 6 tahun 2007 Georadar.
Perlapisan
terlihat terlihat terlihat
tanah
Uji Paritan Deskripsi Lempung dan lempung Pasir kasar dan paris kasar Pasir berfragmen gravel dan
umum pasiran berwarna abu-abu berfragmen gravel lanau pasiran
Ketidak
selarasan 1 5 2
menyudut

Interpretasi Dua kejadian gempabumi Tiga kejadian gempabumi Satu Kejadian gempabumi
1907, 1909 (Abendanon, 1917),
Gempabumi terakhir 2007 1450-1510
2012
Periode ulang (tahun) 81 130 -
gempabumi sebelumnya
adalah sisi tegak lurus sesar
gempabumi doublet, sisi
Palukoro yang lebih kecil, gempabumi menyebabkan
Karakteristik selatan kemudian sisi utara,
kemudian beberapa tahun terbentuknya danau-danau.
ada jeda waktu beberapa jam.
kemudian gempabumi di
sesar utama Palukoro.

187
VI.2. Permasalahan Penerapan Metoda

Hasil penelitian di tiga lokasi menunjukkan keberhasilan penerapan metoda

paleoseismologi di daerah tropis dan khususnya di wilayah Indonesia. Tiga lokasi

studi memiliki latar belakang kondisi geologi gempa bumi yang berbeda

memberikan perbedaan pula pada tiap tahapan penerapan metoda paleoseismologi

ini. Proses penerapan metoda paleoseismologi ini memberikan informasi baru

yang disesuaikan dengan kondisi alam tropis wilayah Indonesia, sumberdaya

peralatan, dan cara kerja lapangan geologi. Informasi proses pada tiap tahapan

penerapan metoda paleoseismologi ini memberikan masukan perbaikan untuk

memodifikasi metoda paleoseismology McCalpin (1996b) yang telah ada (telah

dijelaskan pada Bab II).

VI.2.1 Tahapan Pemetaan Sesar Aktif dan Penentuan Lokasi Paritan

Tahapan pemetaan sesar aktif dan penentuan lokasi uji paritan untuk lokasi studi

Sesar Palukoro-Matano adalah paling lama dan memerlukan usaha lebih

dibandingkan dua lokasi lainnya. Hal ini disebabkan karena studi Sesar Palukoro -

Matano yang memiliki wilayah luas, struktur sesar yang komplek, dan jenis data

IFSAR dengan resolusi 5 m yang tidak mampu menembus tutupan vegetasi. Sesar

Lembang lebih mudah karena jenis data LiDAR 0,9 m yang mampu menembus

tutupan vegetasi dan memberikan gambaran morfologi sesar aktif yang jelas. Citra

LiDAR ini lebih pasti memberikan arahan lokasi jalur sesar. Sesar Sumatra adalah

paling mudah karena lokasi, bentuk, dan pergeseran retakan permukaan gempa

buminya jelas terlihat. Permasalahan yang ditemui di Sesar Sumatra adalah proses

188
mendeskripsikan dan membedakan antara deformasi oleh sesar aktif dengan

deformasi longsoran atau likuifaksi.

Identifikasi jalur sesar aktif selanjutnya digunakan untuk penentuan lokasi uji

paritan. Proses penentuan lokasi pasti di lapangan adalah menggunakan citra

terbaik yang ada dan dengan penggunaan alat survey geofisika dangkal.

Penggunaan survey geofisika dangkal (GPR dan Geolistrik) membantu dalam

mempersempit lokasi paritan. Dalam hal ini objek yang dicari sudah diidentifikasi

terlebih dahulu berdasarkan dari pemetaan sesar aktif. Penerapan survey ini di

lokasi Sesar Sumatra dan Sesar Lembang sangat membantu memperjelas lokasi

uji paritan dan berhasil. Tetapi di lokasi Sesar Palukoro penentuan lokasi uji

paritan berdasarkan uji GPR dan citra IFSAR tidak tepat berhasil. Penentuan uji

paritan berhasil setelah menggunakan pemetaan morfologi sesar hasil pemetaan

topografi menggunakan Total Station. Hal inilah yang melatarabelakangi di dalam

diagram alir paleoseismologi analisis pemetaan jalur sesar aktif harus dibuktikan

menggunakan uji paritan.

Penentuan lokasi uji paritan dipengaruhi oleh beberapa hal non teknis penelitian,

yaitu : (1) Muka air tanah. Pengalaman uji paritan di Segmen Sumani

membuktikan bahwa uji paritan lebih sulit karena harus selalu memompa air

keluar. Disamping itu dinding paritan yang akan dipelajari selalu mengalami

longsor dan berubah lapuk (meski hanya dalam jeda satu malam). (2) Perijinan

lokasi. Lokasi rencana uji paritan di daerah produktif pertanian, seperti daerah

Lembang, memerlukan biaya sewa yang mahal. Rencana uji paritan Sesar

189
Lembang idealnya adalah di Km 5 harus dibatalkan karena melebihi anggaran

biaya yang tersedia. Lokasi uji paritan Sesar Lembang di Km 26 tidak

memerlukan biaya sewa karena milik BUMN PT. Perhutani.

VI.2.2 Tahapan Penggalian Parit

Tahapan penggalian parit ini dilakukan pada tiga lokasi studi dengan ukuran

bervariasi. Ukuran parit di lokasi Sesar Palukoro adalah panjang 5 m, lebar 1 m

dan dalam 2 m. Ukuran parit di lokasi Sesar Sumatra adalah panjang 4 m, lebar

1.5 m dan dalam 1 m. Ukuran parit Sesar Lembang adalah panjang 16 m, lebar 1

m dan dalam 3.5 m. Tiga paritan ini berarah tegak lurus dengan jalur sesar aktif

dengan titik tengah sebagai sumbu parit. Ketiga lokasi ini digali menggunakan

tenaga manusia. Jumlah rata-rata tenaga adalah 8-10 orang yang terbagi dalam

dua tim yang memerlukan waktu 1-3 hari penggalian. Cara penggalian manual ini

dipilih karena: (1) Murah, karena tidak memerlukan biaya sewa alat maupun

pembebasan jalur mobilisasi. Lokasi paritan Sesar Lembang berada di atas bukit

yang berada 2 km dari dari jalan besar. Pencapaian lokasi ini jika menggunakan

alat berat perlu biaya pembebasan lahan untuk proses mobilisasi alat. (2) Efektif,

karena adanya hubungan emosi dimana pekerja adalah masyarakat sekitar yang

berpotensi mengalami bencana gempa bumi. (3) Sesuai dana dan waktu kerja

lapangan. Jumlah waktu ini sesuai dengan ketersediaan dana yang berkisar antara

14 – 21 hari kerja lapangan. (4) Ketersediaan alat berat ekskavator. Ketersediaan

alat berat didaerah terpencil lebih terbatas. Lokasi paritan di Sesar Palukoro

berada jauh dari tempat persewaan alat berat dan jenis jalan yang relatif sempit

untuk bisa dilewati truk alat berat.

190
VI.2.3 Tahapan Deskripsi Uji Paritan

Tahapan deskripsi uji paritan dikerjakan setelah tahap penggalian parit selesai.

Pada tahap ini dinding parit diratakan dan dibersihkan menggunakan kuas, sapu,

cangkul dan lainnya. Setelah dinding parit diberi tali membentuk kotak-kotak

bujur sangkar dengan panjang 50 cm, kemudian dinding parit siap dideskripsi.

Tahap deskripsi paritan Sesar Sumatra adalah paling sulit. Hal ini disebabkan

karena jenis lapisan stratigrafi yang mirip, lokasi di area sawah dan muka air

tanah yang dangkal. Lokasi Sesar Lembang lebih mudah karena stratigrafi

perlapisan yang konstras. Tetapi permasalahan di lokasi Sesar Lembang ini adalah

bioturbasi oleh organisme serangga rayap dan akar pohon besar. Lokasi Sesar

Palukoro-Matano adalah paling mudah, meski penentuan lokasi adalah paling

sulit. Di lokasi Sesar Palukoro-Matano ini jenis lapisan batuan yang kontras

berbeda dan ketidakselarasan yang juga jelas terlihat. Lokasi studi ini juga

memiliki permasalahan dengan bioturbasi aktifitas organisme serangga rayap. Jika

dibandingkan hasil paritan pada tiga lokasi studi, deskripsi paritan Sesar Palukoro

adalah yang paling jelas. Hal ini mengindikasikan di lokasi Sesar Palukoro ini

lebih produktif menghasilkan gempa bumi. Di dalam tahapan ini selanjutnya

adalah dokumentasi dinding parit. Lebar parit yang hanya 1 m menyebabkan

kesulitan proses pemotretan. Hal ini dapat disiasati dengan menggunakan model

3D AGISoft yang dapat menggambarkan dinding parit secara menyeluruh.

191
VI.2.4 Tahapan Pemilihan dan Pengambilan Sampel Pentarikhan

Umur

Tahap pemilihan dan pengambilan sampel ini sangat menentukan proses

rekonstruksi kejadian gempa bumi. Karena keterbatasan jumlah dana pentarikhan

umur karbon, sampel yang dipilih adalah sampel yang mewakili kejadian gempa

bumi. Sampel yang dipilih adalah sampel yang berada tepat diatas yang

memotong garis sesar atau yang disebut Upward Fault Termination (UFT) dan

sampel yang mengisi rekahan retakan permukaan gempa bumi. Proses ini

bergantung terhadap kondisi geologi setempat yang berbeda-beda. Lokasi paritan

studi Sesar Sumatra ditemukan fragmen arang berukuran 10-20 mm yang terdapat

pada tiap lapisan. Kondisi geologi ini sangat memudahkan dalam pemilihan

sampel. Berbeda dengan hasil paritan Sesar Palukoro, kondisi geologi di lokasi ini

sangat jarang fragmen arang. Disamping itu fragmen arang yang ditemukan

berukuran sangat kecil yaitu 1-3 mm. Hasil pengiriman sampel ke Laboratorium

Beta Analytic menunjukkan sampel tidak dapat diuji karena kurang dari 10 mg

arang murni. Beruntungnya, sampel tanah lapisan di paritan ini mengandung

organik yang cukup sehingga pentarikhan umur tetap dapat dilakukan. Berbeda

pula dengan kondisi geologi di paritan Sesar Lembang. Di lokasi ini terdapat

beberapa sampel arang yang cukup besar tetapi hanya mewakili beberapa lapisan

saja. Lapisan yang lain tidak ditemukan sampel arang. Hasil pengiriman sampel

tanah untuk di uji juga menunjukkan bahwa lapisan tanah tersebut tidak

mengandung material organik sehingga tidak dapat di uji. Beruntungnya sampel

lapisan tanah bukti retakan kejadian gempa bumi terakhir mengandung organik

sehingga waktu kejadian gempa bumi terakhir tetap dapat diketahui umurnya.

192
VI.2.5 Tahapan Informasi Catatan Kejadian Gempa Bumi

Sesar Lembang adalah paling sulit karena tidak ada catatan kejadian kecuali cerita

legenda. Sesar Palukoro-Matano sangat terbantu oleh catatan penelitian

Abendanon (1917) yang menceritakan kejadian gempa bumi 1907 dan 1909. Sesar

Sumatra lebih mudah karena telah ada publikasi yang membahas yaitu

Natawidjaja, dkk (1995) dan Sieh dan Natawidjaja (2000).

VI.2.6 Diagram Alir

Secara keseluruhan metoda paleoseismologi ini efektif dan bisa digunakan untuk

mencari parameter-parameter sesar aktif berlokasi di daerah tropis wilayah

Indonesia. Tentunya perlu penyesuaian metoda yang telah ada berdasarkan hasil

penerapan di tiga lokasi studi sesar aktif.

Di dalam diagram alir metoda paleoseismologi tahapan penting adalah tahapan

pemetaan sesar aktif. Keberhasilan tahapan ini sangat berpengaruh pada tahapan

selanjutnya. Keberhasilan tahapan ini sangat bergantung pada jenis data yang

digunakan didalam mempelajari bentuk morfologi sesar aktif. Jenis data yang

ideal adalah data yang mampu memperlihatkan bentuk permukaan bumi yang

dapat menembus tutupan vegetasi.

Meskipun ditunjang dengan survey geofisika dangkal (GPR dan geolistrik)

kebenaran pemetaan sesar aktif ini harus dibuktikan dengan uji paritan. Sehingga

diagram alir metoda paleoseismologi McCalpin (1996b) yang harus dimodifikasi.

Diagram alir paleoseismologi pada bagian uji paritan bukan merupakan tahapan

193
satu arah, tetapi merupakan alur dua arah yang harus saling menguatkan. Bukti

rekaman geologi kejadian gempa bumi didalam dinding paritan harus sesuai

dengan pemetaan jalur lokasi sesar aktif. Pada Gambar VI-1 merupakan diagram

alir paleoseismologi yang telah di modifikasi dari metoda paleoseismologi

McCalpin (1996).

Kejadian gempa bumi merupakan moment terbaik untuk meneliti dan memetakan

jalur sesar aktif berdasarkan bukti retakan permukaan. Hal ini sangat membantu

dan penting penelitian di wilayah tropis dimana proses erosi terjadi dengan cepat.

Retakan permukaan gempa bumi ganda tahun 2007 di Sumatra Barat

menunjukkan bahwa dalam kurun 3 bulan bukti retakan permukaan di tanah

(ladang, sawah, lapangan kosong) masih terlihat jelas. Satu tahun setelah kejadian

banyak bukti retakan permukaan yang hilang/tererosi kecuali pada struktur

bangunan (tembok, lantai, jalan dll). Kotak dengan garis putus-putus di bagian

atas pada Gambar VI-1 merupakan bagian baru ditambahkan. Bagian tersebut

adalah bahwa survey retakan permukaan gempa bumi setelah kejadian gempa

bumi merupakan hal yang sangat terang menunjukkan jalur sesar aktif.

Perhitungan besar laju pergeseran setelah diperoleh besar pergeseran sesar (hasil

analisis pergesan sungai) dan umur marker yang tergeskan tersebut. Kasus di

Sesar Lembang adalah umur lapisan endapan volkanik dan di Segmen Saluki

adalah umur teras sungai Saluki.

194
 Informasi geologi yang menunjukkan aktifitas sesar aktif
di satuan batuan Kuarter; atau Kejadian gempa bumi
 Informasi catatan kejadian gempa bumi; atau yang baru terjadi
 Informasi studi GPS; atau
 Analisis deformasi bumi dari citra satelit

Gawir sesar yang memotong satuan batuan Kuarter atau


bentang alam Kuarter.
Pemetaan jalur retakan
permukaan (surface rupture)
Pemetaan sesar aktif berdasarkan data topografi
menggunakan DEM SRTM 30m, ASTER 30m, Topografi
skala 1:50.000 dan/atau IFSAR 5m.

Memastikan penyebab terbentuknya gawir sesar

Aktivitas manusia Non tektonik. Non seismogenic Seismogenic


Yaitu: Longsor, erosi, teras
sungai, teras danau, subsiden,
dll.

Tektonik/sesar aktif

Segmentasi Sesar

Survei topografi Total Station Geofisika Dangkal


Analisis rinci skala lebih besar dari GPR, Geolistrik dan/atau Survei Seismik
pergeseran sungai 1:500; dan/atau DEM LiDAR.

Kinematika sesar
Jalur sesar aktif rinci

Lokasi penelitian dan uji paritan


Pentarikhan umur marker
lapisan/teras/morfologi
atau lainnya
PENGGALIAN DAN DESKRIPSI PARITAN

Laju pergeseran geologi


(Geological sliprate) Interpretasi hasil

Karakteristik Sesar Aktif.


Kejadian gempa bumi lampau, periode
ulang, kecepatan pergeseran, slip-rate, pola
gempa bumi, kinematika sesar.

Gambar V
‎ I-1. Diagram penelitian metoda paleoseismologi di wilyah tropis
Indonesia. Modifikasi dari McCalpin (1996).

195
196
Bab VII KESIMPULAN

Indonesia berada di jalur sesar aktif memberikan konsekuensi banyaknya kejadian

gempa bumi. Salah satu usaha untuk mengurangi bencana ini adalah dengan

mempelajari karakteristik sumber gempa bumi. Metoda paleoseismologi adalah

metoda geologi yang tepat untuk mempelajari sumber gempa bumi ini. Mewakili

wilayah tropis Indonesia, metoda ini dicoba digunakan pada tiga lokasi sesar aktif

di tiga pulau besar di Indonesia dengan tingkat pemahaman geologi gempa bumi

yang berbeda. Ujicoba di tiga lokasi ini memberikan manfaat pemahaman geologi

gempa bumi, manfaat praktis parameter sesar aktif untuk rekayasa kegempaan dan

manfaat metodologi penelitian paleoseismologi yang sesuai untuk wilayah tropis

khususnya wilayah Indonesia.

Segmen Sianok-Sumani-Suliti bagian Sesar Sumatra gempa bumi ganda Mw 6

tahun 2007 memberi kesempatan mengetahui keberadaan bentuk dan sebaran

retakan permukaan. Studi ini telah dapat memetakan jalur pasti lokasi retakan

permukaan itu dan besar pergeserannya. Gempa bumi ini meretakkan hanya

sebagian dari seluruh panjang Segmen. Segmen Sianok 22,5 km dari total panjang

90 km dan Segmen Suliti 22,5 km dari total 60 km. Catatan kejadian gempa bumi

menunjukkan bahwa semua kejadian gempa bumi dilokasi ini selalu ganda dengan

besar magnitudo relatif sama, dimulai dari bagian selatan dan kemudian bagian

utara, dan dengan jeda waktu beberapa jam. Indikasi periode ulang 81 tahun pada

Segmen Sianok dan Segmen Sumani.

197
Hasil studi Sesar Palukoro-Matano di Sulawesi menunjukkan pergerakan sesar

geser di Sesar Matano kemudian menjadi sesar naik di ujung pembelokan kearah

Sesar Palukoro. Kemudian pergerakan ini di akomodasi oleh Sesar geser Palukoro

dengan arah berbeda. Di Segmen Saluki (bagian dari Sesar Palukoro) terdapat

pergeseran sungai yang jelas yang menunjukkan gerak sinistral dengan kecepatan

geser sesar ini adalah kurang dari 58 mm/th. Pada lokasi ini terjadi gempa bumi

tahun 2012 yang mirip dengan kejadian gempa bumi tahun 1907 yang mempunyai

arah jalur sesar tegak lurus dengan sesar utama Palukoro. Hasil uji paritan

memperlihatkan jejak retakan gempa bumi tahun 1909, tahun 1468 dan tahun

1338. Data ini mengindikasikan perulangan gempa bumi pada segmen ini adalah

130 tahun.

Hasil studi Sesar Lembang di Jawa Barat menunjukkan bahwa Sesar Lembang

mempunyai gerakan geser sinistral. Sesar ini terbagi menjadi enam bagian. Hasil

analisis pergeseran sungai dan stratigrafinya menunjukkan bahwa sesar lembang

bergerak dengan kecepatan 3-5.5 mm/th (panjang keseluruhan 29 km). Hasil uji

paritan menunjukkan bukti kejadian gempa bumi pada abad 15 (tahun 1450-

1510).

Metode paleoseismologi telah berhasil mengisi kekosongan informasi parameter-

parameter karakteristik sesar aktif di tiga lokasi tersebut. Hasil perbandingan tiga

lokasi tersebut telah dapat memperbaiki, menambahkan dan memodifikasi

diagram alir metode ini untuk meneliti sesar aktif di daerah tropis (khususnya

untuk Indonesia). Penentuan jalur sesar aktif adalah paling penting dan signifikan

198
dalam mencapai keberhasilan studi ini. Retakan permukaan setelah kejadian

gempa bumi yang merupakan representasi jalur sesar aktif adalah cara tercepat

dan tepat dalam memetakannya. Sehingga metode pemetaan retakan permukaan

ini menjadi tambahan alur kerja di dalam diagram alir metoda paleoseismologi.

Survei GPR dan geolistrik terbukti dapat membantu menentukan lokasi jalur sesar

aktif tetapi uji geofisika dangkal ini harus dibuktikan dengan uji paritan. Sehingga

di dalam diagram alir metoda paleoseismologi alur ini bukan merupakan tahapan

satu arah, tetapi merupakan alur dua arah yang harus saling menguatkan. Kunci

utama metoda ini adalah bentuk morfologi sesar aktif. Hal ini dapat dihasilkan

oleh citra yang mampu menembus tutupan vegetasi dan/atau survey topografi

rinci.

Saran untuk penelitian selanjutnya adalah : (1) Segmen Sianok-Sumani-Suliti,

Sesar Sumatra. Jalur sesar aktif perlu dipetakan menggunakan citra resolusi tinggi

(misalnya LiDAR). Identifikasi jalur sesar aktif ini digunakan juga untuk

penentuan lokasi uji paritan. Uji paritan diharapkan untuk mendapatkan rekaman

kejadian gempa bumi yang lebih baik. (2) Sesar Palukoro – Matano, Sulawesi.

Perlu dilakukan penelitian paleoseismologi di Sesar Matano, Sesar Malei dan

Sesar Bungadidi. Tujuan studi di lokasi tersebut adalah mendapatkan laju

pergeseran, kejadian dan siklus gempa buminya. (3) Sesar Lembang, Jawa Barat.

Di sesar ini adalah mencari tahu kejadian perulangan gempa bumi. Pekerjaan ini

memerlukan uji paritan yang berukuran besar dan dalam yang tentunya

memerlukan penggunaan peralatan berat. Kemenerusan Sesar Lembang juga perlu

diteliti lebih lanjut menggunakan citra berresolusi tinggi.

199
200
DAFTAR PUSTAKA

Abendanon, E.C., (1917): Expedition de la celebes centrale - Voyages


geologiques et geographiques a travers la celebes centrale (1909-1910).
Librairie et Imprimerie ci-devant E. J. Brill, Leyde.
Abidin, H.Z., Andreas, H., Gamal, M., Gumilar, I., Sidiq, T.P., Abdullah, C.I.,
Kato, T., Harjono, H., dan Subarya, C., (2008): Studi Pergerakan Sesar
Lembang dengan Menggunakan Metode Survei GPS. Geoaplika, 3(3):
105-117
Abidin, H.Z., Andreas, H., Kato, T., Ito, T., Meilano, I., Kimata, F., Natawidjaja,
D.H., dan Harjono, H., (2009): Crustal Deformation Studies in Java
(Indonesia) using GPS. Jurnal of Earthquake and Tsunami, 3(2): 77-88
Afnimar, Yulianto, E., dan Rasmid, (2015): Geological and tectonic implication
obtained from first seismic activity investigation around Lembang fault.
Geoscience Letters, 2(4).10.1186/s40562-015-0020-5
Allen, C., (1968): The tectonic environments of seismically active and inactive
areas along the San Andreas fault system. In: Dickinson, W.R., Grantz, A.
(Eds.), Proceedings of Conference on Geological Problems of the San
Andreas Fault System. Stanford Univ. Publ. Geol. Sci., pp. 70-82.
Arrowsmith, J.R., (2010): Exploration of LiDAR high resolution topography
analyses for investigation on neotectonics and landscape evolution
(Unpublished paper).
Arrowsmith, J.R., dan Zielke, O., (2009): Tectonic geomorphology of the San
Adreas Fault zone from high resolution topography: An example from the
Cholame segment. Geomorphology.10.1016/j.geomorph.2009.01.002
Bachtiar, T., (2014): Danau Bandung bukan karena Tangkuban Perahu !,
November 2014,
http://permalink.gmane.org/gmane.culture.region.indonesia.sunda/6509.
Barat, S.I.A.K.P.J., (2011): Profil Kependudukan Jawa Barat Tahun 2011,
Februari 2014, http://jabarprov.go.id/index.php/pages/id/75.
Bellier, O., Beaudouin, T., Sebrier, M., Villeneuve, M., Bahar, I., Putranto, E.,
Pratomo, I., Massault, M., dan Seward, D., (1997a): Active Faulting in
Central Sulawesi (Eastern Indonesia) a geological approach,
GEODYSSEA Final Report.
Bellier, O., dan Sebrier, M., (1994): Relationship between tectonism and
volcanism along the Great Sumatran Fault Zone deduced by SPOT image
analyses. Tectonophysics, 233: 215-231
Bellier, O., Sebrier, M., Beaudouin, T., Villeneuve, M., Braucher, R., Bourles, D.,
Siame, L., Putranto, E., dan Pratomo, I., (2001): High slip rate for a low
seismicity along the Palu-Koro active fault in central Sulawesi (Indonesia).
Terr. Nova, 13: 463-470
Bellier, O., Sebrier, M., Pramumidjojo, S., Beaudouin, T., Harjono, H., Bahar, I.,
dan Forni, O., (1997b): Paleoseismicity and seismic hazard along the
Great Sumatran fault (Indonesia). J.Geodynamics, 24(Nos 1-4): 169-183
BNPB, (2014): Data dan Informasi Bencana Indonesia. Indonesian National
Board for Disaster Management

201
Brown, R.D., dan Wallace, R.E., (1968): Current and historic fault movement
along the San Andreas fault between Paicines and Camp Dix, California.
In: Dickinson, W.R., Grantz, A. (Editors), Conference on Geologic
Problems of San Andreas Fault System, Proceedings. Stanford University
Publications in the Geological Sciences, Stanford, California, pp. 22-41
Burbank, D., dan Anderson, R., (2001): Tectonic Geomorphology. Blackwell
Science, Inc., 274 p pp.
California, G., (1990): Alquist-Priolo Earthquake Fault Zoning Act - Seismic
Hazards Mapping Act,
http://www.conservation.ca.gov/cgs/rghm/ap/Pages/main.aspx.
Chen, Y.-G., Chen, W.-S., Lee, J.-C., Lee, Y.-S., Lee, C.-T., Chang, H.-C., dan
Lo, C.-H., (2001): Surface Rupture of 1999 Chi-Chi Earthquake Yields
Insights on Active Tectonics of Central Taiwan. Bull. Seism. Soc. Am.,
91(5): 1-
Dam, M.A.C., (1994): The late Quaternary Evolution of The Bandung Basin,
West Java, Indonesia Vrije Universitet, Amsterdam.
Dam, M.A.C., Suparan, P., Nossin, J.J., Voskuil, R.P.G.A., dan Group, G.,
(1996): A chronology for geomorphological developments in the greater
Bandung area, West-Java, Indonesia. Journal of Southeast Asia Earth
Sciences, 12(1/2): 101-115
Daryono, M.R., Natawidjaja, D.H., dan Sieh, K., (2012): Twin Surface Ruptures
of the March 2007 M 6+ Earthquake Doublet on the Sumatran Fault.
BSSA, 102: 2356-2367.10.1785/0120110220
Daryono, M.R., dan Tohari, A., (2016): Surface Rupture and Geotechnical
Features of the July, 2 2013 Tanoh Gayo Earthquake. IJOG (inreview)
Ekstrom, G., Nettles, M., dan Dziewonski, A.M., (2012): The global CMT project
2004-2010: Centroid-moment tensors for 13,017 earthquakes. Phys. Earth
Planet. Inter., 201-202: 1-9.10.1016/j.pepi.2012.04.002
Engdahl, E.R., Villasenor, A., DeShon, H.R., dan Thurber, C.H., (2007):
Teleseismic relocation and assessment of seismicity (1918-2005) in the
region of the 2004 Mw 9.0 Sumatra-Andaman and the 2005 Mw 8.6 Nias
Island Great earthquakes. Bull. Seismol. Soc. Am., 97: S1-S19
ESRI-Mapping-Center-Team, (2010): Hillshade Tools, the Swiss Hillshade Model
and the MDOW (multi-directional oblique weighting) model.
http://mappingcenter.esri.com/index.cfm?fa=arcgisResources.gateway.
Ferry, M., Meghraoui, M., Girard, J.-F., Rockwell, T.K., Kozaci, O., Akyuz, S.,
dan Barka, A., (2004): Ground-penetrating radar investigations along the
North Anatolian fault near Izmit, Turkey: Constraints on the right-lateral
movement and slip history. Geological Society of America, 32(1): 85-
88.10.1130/G19949.1
Fitch, T., (1972): Plate convergence, transcurrent faults, and internal deformation
adjacent to southeast Asia and the western Pacific. J. Geophys. Res. ,
77((23)): 4432-4462
Freymueller, J.T., Woodard, H., Cohen, S.C., dan Etal, (2008): Active
deformation processds in Alaska, based on 15 years of GPS
measurements. . American Geophysical Union Geophysical Monograph,
179: 1-42

202
Genrich, J.F., Bock, Y., McCaffrey, R., Prawirodirdjo, L., Stevens, C.W.,
Puntodewo, S.S.O., Subarya, C., dan Wdowinski, S., (2000): Distribution
of slip at the northern Sumatran fault system. J. Geophys. Res.,
105.10.1029/2000jb900158
Grant, L., dan Sieh, K., (1994): Paleoseismic evidence of clustered earthquakes on
the San Andreas fault in the Carrizo Plain, California. J.Geophys.Res.,
99(B4): 6819-6841
Hall, R., Cottam, M.A., dan Wilson, E.J., (2011): The SE Asia Gateway: History
and Tectonics of the Australia-Asia Collision. London Geological Society,
355(Special Publication): 75-109.10.1144/SP355.5
Hamilton, W., (1978): Tectonic map of the Indonesian region. U. S. Geological
Survey/Geol. Survey Indonesia.
Hanifa, N.R., Sagiya, T., Kimata, F., Efendi, J., Abidin, H.Z., dan Meilano, I.,
(2014): Interplate coupling model off the southwestern coast of Java,
Indonesia based on GPS data in 2008-2010. Earth Planet. Sci. Lett., 401:
159-171.http://dx.doi.org/10.1016/j.epsl.2014.06.010
Hidayat, E., Brahmantyo, B., dan Yulianto, E., (2008): Analisis Endapan Sagpond
pada Sesar Lembang. Geoaplika, 3(3): 151-161
Horspool, N., Natawidjaja, D.H., Yulianto, E., Lawrie, S., dan Cummins, P.,
(2011): An Assessment on the use of High Resolution Digital Elevation
Models for Mapping Active Faults in Indonesia, Natural Hazards Impact
Project Risk and Impact Analysis Group Geoscience Australia.
Irsyam, M., Sengara, I.W., Aldiamar, F., Widiyantoro, S., Triyoso, W., Kertapati,
E., Natawidjaja, D.H., Meilano, I., Soehardjono, Asrurifak, dan Ridwan,
M., (2010): Peta Zonasi Gempa Indonesia, Kementrian Pekerjaan Umum.
Kagan, Y.Y., dan Jackson, D.D., (1999): Worldwide doublets of large shallow
earthquakes. Bulletin of the Seismological Society of America, 89: 1147-
1155
Kartadinata, M.N., Okuno, M., Nakamura, T., dan Kobayashi, T., (2002):
Eruptive History of Tangkuban Perahu Volcano, West Java, Indonesia: A
Preliminary Report. Jurnal of Geography, 111: 404-409
Katili, J.A., (1970): Large transcurrent fault in Southeast Asia with special
reference of Indonesia. Geol. Rdsch., 59(581-600)
Katili, J.A., dan Hehuwat, F., (1967): On the occurence of large transcurrent faults
in Sumatra, Indonesia. Journal of Geoscience, Osaka City University, 10:
5-17
Klinger, Y., (2010): Relation between continental strike-slip earthquake
segmentation and thickness of the crust. Journal of Geophysical Research,
115.10.1029/2009JB006550
Lettis, W.R., dan Kelson, K.I., (2000): Applying geochronology in
paleoseismology. Quarternary Geochronology: Methodes and
Applications: 479-495
Lienkaemper, J.J., (2001): 1857 Slip on the San Andreas fault southeat of
Cholame, California. Bulletin of Seismological Society of America, 91(6):
1659-1672
Madrinovella, I., Widiyantoro, S., Nugraha, A.D., dan Triastuty, H., (2012): Studi
Penentuan dan Relokasi Hiposenter Gempa Mikro Sekitar Cekungan
Bandung. Jurnal Geofisika, 2

203
Madrinovella, I., Widiyantoro, S., Nugraha, A.D., dan Triastuty, H., (2013): Studi
Mekanisme Fokus Gempa Mikro Sekitar Cekungan Bandung. Jurnal
Geofisika, 14(1)
Marjiyono, Soehaimi, A., dan Kamawan, (2008): Identifikasi Sesar Aktif Daerah
Cekungan Bandung dengan Citra Landsat dan Kegempaan. JSDG,
XVIII(2): 81-88
McCaffrey, R., (1991): Slip vectors and stretching of the Sumatran fore arc.
Geology, 19: 881-884
McCaffrey, R., (1992): Oblique plate convergence, slip vectors, and forearc
deformation. J.Geophys.Res., 97(B6): 8905-8915
McCalpin, J. (Ed.), (1996a): Paleoseismologi. Academic Press, London.
McCalpin, J. (Ed.), (1996b): Paleoseismology. International Geophysics Series.
Academic Press, San Diego.
McCalpin, J.P., dan Nelson, A.R., (2009): Introduction to Paleoseismology. In:
McCalpin, J.P. (Ed.), Paleoseismology - International Geophysics
Elsevier.
McCarthy, A., (1997): The Evolution of The Sumatran Fault System. Ph.D
Thesis, University of London
McClymont, B., (2001): Building on the edge - The Use and Development of
Land On or Close to Fault Lines. Parliamentary Commissioner for The
Environment, Wellington.
Meilano, I., Abidin, H.Z., Andreas, H., Gumilar, I., Sarsito, D., Hanifa, R., Rino,
Harjono, H., Kato, T., Kimata, F., dan Fukuda, Y., (2012): Slip Rate
Estimation of the Lembang Fault West Java from Geodetic Observation.
Journal of Disaster Research, 7(1)
Nasution, A., Kartadinata, M.N., Kobayashi, T., Siregar, D., Sutaningsih, E.,
Hadisantono, R., dan Kadarstia, E., (2004): Geology, Age Dating,
Geochemistry of the Tangkuban Perahu Geothermal Area, West Java,
Indonesia. j. Geotherm. Res. Soc. Japan, 26(3): 285-303
Natawidjaja, D., (2003): Neotectonics of the Sumatran Fault and paleogeodesy of
the Sumatran subduction zone. Ph.D Thesis, California Institute of
Technology, Pasadena, 371 pp.
Natawidjaja, D., dan Kumoro, Y., (1995): Gempa bumi tektonik di daerah Bukit
tinggi - Muaralabuh: hubungan segmentasi sesar aktif dengan gempa bumi
tahun 1926 & 1943, Annual convention of Geoteknologi-LIPI. LIPI
Natawidjaja, D.H., (2009): [1 OCT 09] BENGKULU QUAKE - FIELD
REPORT. http://www.earthobservatory.sg/media/regional-earthquake-
updates/bengkulu-quake.html
Natawidjaja, D.H., dan Daryono, M.R., (2015): The Lawanopo Fault, Central
Sulawesi, East Indonesia. 4th International Symposium on Earthquake and
Disaster Mitigation 2014 (ISEDM 2014) AIP Conf.
Proc.10.1063/1.4915009
Natawidjaja, D.H., Tohari, A., Subowo, E., dan Daryono, M.R., (2007): Western
Sumatra Earthquakes of March 6, 2007. EERI Special Earthquake Report
— May 2007
Natawidjaja, D.H., dan Triyoso, W., (2007): The Sumatran Fault Zone - From
Source to Hazard. Journal of Earthquake and Tsunami, 1(No.1): 21-47

204
Noorduyn, J., (1982): Bujangga Manik's Journeys through Java: Topographycal
Data from an Old Sundanese Source. Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde, Deel 138, 4de Afl.: 413-442
Noorduyn, J., dan Teeuw, A., (2009): Tiga Pesona Sunda Kuna (Three Old
Sundanese Poems). PT. Dunia Pustaka Jaya, Bogor.
Ota, Y., Azuma, T., dan Kobayashi, M., (1997): Monitoring degradation of the
1995 Nojima earthquake fault scarps at Awaji Island, southwestern Japan.
J.Geodynamics, 24(1-4): 185-205
Plafker, G., Gilpin, L.M., dan Lahr, J.C., (1994): Neotonic Map of Alaska. In:
Plafker, G.a.B., H. C. (Ed.), The Geology of Alaska. Geological Society of
America, Boudler, CO, pp. pl. 12.
Prawirodirdjo, L., Bock, Y., Genrich, J.F., Puntodewo, S.S.O., Rais, J., Subarya,
C., dan Sutisna, S., (2000): One century of tectonic deformation along the
Sumatran fault from triangulation and Global Positioning System surveys.
J. Geophys. Res., 105.10.1029/2000jb900150
Prawirodirdjo, L., Bock, Y., McCaffrey, R., Genrich, J., Calais, E., Stevens, C.,
Puntodewo, S., Subarya, C., Rais, J., Zwick, P., dan Fauzi, (1997):
Geodetic observations of interseismic strain segmentation at the Sumatra
subduction zone. Geophys. Res. Letts. , 24((21)): 2601-2604
Public-Work-Team, (1999): Peta orientasi ruang geografis Propinsi Sulawesi
Tengah., Proyek peningkatan pembinaan dan pengembangan informasi
literal dan spasial tahun anggaran 1998/1999. Indonesian Public Work,
Indonesia.
Purbohadiwidjojo, M., (1955): Disekitar Nama Gunung Tangkubanperahu,
Bahasa & Budaya
Rangin, C., Pichon, X.L., Mazzotti, S., Pubellier, M., Chamot-Rooke, N., Aurelio,
M., Walpersdorf, A., dan Quebral, R., (1999): Plate convergence measured
by GPS across the Sundaland/Philippine Sea Plate deformed boundary: the
Philippines and eastern Indonesia. Geophys. J. Int., 139: 296-316
Ratman, N., dan Atmawinata, S., (1993): Geological Map of The Mamuju
Quadrangle, Sulawesi. Geological Research and Development Centre,
Bandung - Indonesia.
Rockwell, T., Ragona, D., Seitz, G., Langridge, R., Aksoy, M.E., Ucarkur, G.,
Ferry, M., Meltzner, A.J., Klinger, Y., Meghraoui, M., Satir, D., Barka, A.,
dan Akbalik, B., (2009): Paleoseismology of the North Anatolian Fault
near the Marmara Sea: implications for fault segmentation and seismic
hazard. The Geological Society of London, 316(Special Publications ): 31-
54.10.1144/SP316.3
Rusmana, E., Sukido, Haryono, E., dan Simandjuntak, T.O., (1993): Geological
Map of The Lasusua-Kendari Quadrangles, Sulawesi. Geological Research
and Development Centre, Bandung - Indonesia.
Saroglu, F., Emre, O., dan Kuscu, I., (1992): Active Fault Map of Turkey. General
Directorate of Mineral Research and Exploration, Ankara.
Sarsito, D.A., (2010): Pemodelan Geometrik dan Kinematik Kawasan Sulawesi -
Kalimantan Timur berdasarkan data GNSS-GPS dan gaya berat global,
Institut Teknologi Bandung.

205
Shyu, B., Sieh, K., Chen, Y.-G., dan Liu, C.-S., (2005): Neotectonic architecture
of Taiwan and its implications for future large earthquakes. Journal of
Geophysical Research, 110
Sidarto, dan Bachri, S., (2013): Struktur Geologi dan Tektonik. In: Surono,
Hartono, U. (Eds.), Geologi Sulawesi. LIPI Press, Jakarta, pp. 277-302.
Sieh, K., (1979): Prehistoric large earthquakes produced by slip on the San
Andreas fault at Pallett Creek, California. In: Abbott, P.L. (Ed.),
Geological Excursions in the Southern California Area. Dept. of
Geological Sciences, San Diego State University, San Diego, California,
pp. 59-66.
Sieh, K., Bock, Y., Edwards, L., Taylor, F., Gans, P., dan Zachariasen, J., (1994):
Active tectonics of Sumatra. Geological Society of America, 26(GSA
abstracts with programs): A-382
Sieh, K., dan Natawidjaja, D., (2000): Neotectonics of the Sumatran fault,
Indonesia. J. Geophys. Res., 105((B12)): 28295-28326
Silitonga, P.H., (1973): Geologic Map of the Bandung Quadrangle, Java.
Geological Survey of Indonesia, Ministry of Mines, Bandung.
Simandjuntak, T.O., Rusmana, E., Supandjono, J.B., dan Koswara, A., (1993):
Geological Map of Bungku Quadrangle, Sulawesi. Geological Research
and Development Centre, Bandung - Indonesia.
Simandjuntak, T.O., Rusmana, E., Surono, dan Supandjono, J.B., (1991):
Geological Map of Malili Quadrangle, Sulawesi. Geological Reseach and
Development Centre, Bandung - Indonesia.
Simandjuntak, T.O., Surono, dan Supandjono, J.B., (1997): Geological Map of
Poso Quandrangle, Sulawesi. Geological Research and Development
Centre, Bandung - Indonesia.
Slemmons, D.B., (1995): Complications in making paleoseismic evaluations in
the Basin and Range Province, Western United States. In: Serva, L. (Ed.),
Perspectives in Paleoseismology. Peanut Butter Publishing, Seattle,
Washington, Seattle, pp. 19-34.
Socquet, A., Simons, W., Vigny, C., McCaffrey, R., Subarya, C., Sarsito, D.,
Ambrosius, B., dan Spakman, W., (2006): Microblock rotations and fault
coupling in SE Asia triple junction (Sulawesi, Indonesia) from GPS and
earthquake slip vector data. Journal of Geophysical Research,
111(B08409).10.1029/2005JB003963
Stone, E.M., Arrowsmith, J.R., Rhodes, D.D., dan Grant, L.B., (1998): Fault zone
geometry and historic displacement along the Cholame segment of the San
Andreas Fault, southern California. EOS Trans. AGU, 79(45 612)
Stuiver, M., Robinson, S.W., dan Yang, I.C., (1979): 14 C dating to 60,000 years
B.P. with proportional counters. In: Berger, R., Suess, H.E. (Eds.),
Radiocarbon Dating, Proceedings of the Ninth International Conference,
Los Angeles and La Jolla, 1976. University of California Press, Berkeley,
pp. 202-215.
Sukamto, R., (1975): Geologic Map of Indonesia, Ujung Pandang Sheet.
Geological Survey of Indonesia, Bandung - Indonesia.
Sukamto, R., Sumadirdja, H., Suptandar, T., Hardjoprawiro, S., dan Sudana, D.,
(1973): Reconnaissance Geological Map of The Palu Quadrangle,
Sulawesi. Geological Research and Development Centre.

206
Sukido, Sukarna, D., dan Sutisna, K., (1993): Geological Map of The Pasangkayu
Quadrangle, Sulawesi. Geological Reseach and Development Centre,
Bandung-Indonesia.
Sulaeman, C., (2011): Laporan Tanggap Darurat Gempabumi Muril M3 Tanggal
28 Agustus 2011, PVMBG - ESDM, Bandung.
Sulaeman, C., dan Hidayati, S., (2011): Gempa Bumi Bandung 22 Juli 2011.
Jurnal Lingkungan dan Bencana Geologi, 2(3): 185-190
Surono, (2013): Geologi Lengan Tenggara Sulawesi. Badan Geologi - Kementrian
Energi dan Sumberdaya Mineral.
Sutoyo, dan Hadisantono, R., (1992): Geological map of Tangkuban Parahu
volcano, West Java, Bandung, Indonesia.
Tjia, H.D., (1968): The Lembang Fault, West Java. Geologie En Mijnbouw, 47
(2): 126-130
Untung, M., Buyung, N., Kertapati, E., Undang, dan Allen, C.R., (1985): Rupture
Along the Great Sumatran Fault, Indonesia, During the Earthquakes of
1926 and 1943. Bull. Seismol. Soc. Am., 75(1): 313-317
USGS, (2012): Magnitude/Intensity Comparison, 2012,
http://earthquake.usgs.gov/learn/topics/mag_vs_int.php.
USGS, (2015): Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) 1 Arc-Second Global,
February 2015, https://lta.cr.usgs.gov/SRTM.
Van Bemmelen, R., (1949): The Geology of Indonesia. Government Printing
Office, The Hague, Netherlands, 732 pp.
Vedder, J., dan Wallace, R., (1970): Map showing recently active breaks along the
San Andreas and related faults between Cholame Valley and Tejon Pass,
California. U. S. Geological Survey, Washington, D.C.
Vigny, C., Perfettini, H., Walpersdorf, A., Lemoine, A., Simons, W., Loon, D.,
Ambrosius, B., Stevens, C., McCaffrey, R., Morgan, P., Bock, Y.,
Subarya, C., Manurung, P., Kahar, J., Abidin, H.Z., dan Abu, S.H., (2002):
Migration of seismicity and earthquake interactions monitored by GPS in
SE Asia triple junction: Sulawesi, Indonesia. Journal of Geophysical
Research - Solid Earth, 107
Visser, S.W., (1922): Inland and Submarine epicentra of Sumatra and Java
earthquakes. Koninklijk Magnetisch en Meteorologisch Observatorium te
Batavia, Verhandelingen no.9: 1-14
Wallace, R.E., (1981): Active faults, paleoseismology, and earthquake hazards in
the western United States. In: Simpson, D.W., Richards, P.G. (Eds.),
Earthquake Prediction--An International Review. Maurice Ewing Series.
AGU, Washington, D.C., pp. 209-216.
Wallace, R.E., (1986): Studies in Geophysics - Active tectonics. National
Academic Press, Washington D.C.
Walpersdorf, A., Vigny, C., Subarya, C., dan Manurung, P., (1998): Monitoring
of the Palu-Koro Fault (Sulawesi) by GPS. Geophys. Res. Lett., 25: 2313-
2316
Wang, Y., Sieh, K., Tun, S.T., Lai, K.-Y., dan Myint, T., (2014): Active tectonics
and earthquake potential of the Myanmar region. Journal of Geophysical
Research: Solid Earth, 119: 3767-3822.10.1002/2013JB010762
Wells, D.L., dan Coppersmith, K.J., (1994): New Empirical Relationships Among
Magnitude, Rupture Length, Rupture Width, Rupture Area, and Surface

207
Displacement. Bulletin of the Seismological Society of America, 84(4):
974-1002
Wesnousky, S.G., (2006): Predicting the endpoints of earthquake ruptures.
Nature, 444(7117): 358-360
Wichmann, A., (1918): Die Edbeben des Indischen Archipels bis zum Jahre 1857.
Verhandlingen der Koninklijke Akademie van Wetenschappen te
Amsterdam (Tweede Sectie). Deel XX. No. 4. Johannes Müller,
Amsterdam. [In German.].
Yeats, R.S., Sieh, K., dan Allen, C.R., (1997a): The Geology of Earthquakes.
Oxford University Press, New York.
Yeats, R.S., Sieh, K.E., dan Allen, C.R., (1997b): The geology of earthquakes.
Oxford Univ. Press, New York.
Yudhistira, E., (2010): Legenda Sangkuriang Sakti. In: Ikranegara, T. (Ed.), Cerita
Rakyat Jawa Barat. Sandro Jaya, Jakarta.
Ziony, J.I., (1985): Evaluation earthquake hazard in the Los Angeles region; an
earth-sciece perspective, USGS.

208

Anda mungkin juga menyukai