Anda di halaman 1dari 53

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10

PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA


13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

REKONTRUSI STRUKTUR GEOLOGI DAERAH GUNUNG IJO DI


PEGUNUNGAN KULON PROGO-YOGYAKARTA BERDASARKAN SEBARAN
KEKAR, SESAR DAN URAT KUARSA

Asmoro Widagdo1*,
Subagyo Pramumijoyo1,
Agung Harijoko1
1
)Departemen Teknik Geologi-Universitas Gadjah Mada
*corresponding author: asmoro_widagdo@yahoo.com

ABSTRAK
Kulon Progo merupakan wilayah pegunungan yang tersusun atas beberapa tubuh gunung api
Tersier. Beberapa tempat pada tubuh batuan gunung api ini dijumpai mineralisasi yang menghasilkan
endapan mineral logam. Penelitian ini dilakukan guna mengkaji bagaimana peran struktur geologi
terhadap kehadiran rekahan pada batuan sebagai ruang mineralisasi dan altersi. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah melalui pengamatan citra, pengamatan langsung dan
pengukuran struktur sesar/kekar yang ada. Pengukuran kekar dan urat dilakukan dengan mengukur
strike dan dip. Pengukuran dan analisis kekar dibedakan dalam kekar gerus dan kekar ekstensi.
Pengukuran sesar meliputi strike, dip, pitch dan arah pergerakan. Pengukuran breksiasi sebagai strike
sesar dilakukan dengan mengukur kecenderungan arah penjajaran fragmen breksiasi. Pengukuran dan
analisis urat dibedakan dalam kelompok urat yang tebal dan uratan yang tipis. Dilakukan penentuan
terhadap jenis mineral yang terbentuk pada urat yang ada serta penentuan jenis alterasi yang terbentuk
di sekitar kekar atau sesar. Struktur geologi yang berkembang dihasilkan oleh fase kompresi dan
ekstensi. Fase kompresi menghasilkan sesar sinstral timurlaut-baratdaya dan zona sesar ekstensi utara-
selatan. Fase kompresi terbentuk oleh gaya utama terbesar horisontal berarah utara selatan (σ1:
03o/N166oE; 12o/N198oE; 20o/N353oE; 32o/N177oE) dan gaya terlemah horisontal berarah barat-timur
(σ3: 07o/N076oE; 03o/N127oE; 02o/N262oE; 01o/N268oE). Urat kuarsa dan zona alterasi berkembang
terutama dengan arah utara-selatan. Fase kedua adalah fase ekstensi oleh gaya utama terlemah
horisontal (σ1: 02o/N190oE; 02o/N343oE; 03o/N015oE) sehingga menghasilkan sesar normal barat-
timur (Sesar N265oE/32o; Net slip 32o/N017o E; Pitch 70oE; Sesar N261oE/70o; Net slip 62o/N301o E;
Pitch 70oNW dan Sesar N65oE/50o; Net slip 47o/N212o E; Pitch 73oW) dan urat berarah barat-timur.
Kata kunci : sesar, kekar, mineralisasi, kompresi, ekstensi.

1. Pendahuluan
Daerah penelitian terletak di daerah Sangon dan Plampang Kecamatan Kokap, Kulon
Progo-Yogyakarta. Di daerah ini terdapat fenomena mineralisasi yang telah diupayakan oleh
masyarakat dengan adanya penggalian urat dan pengolahan emas. Penelitian mengenai
struktur geologi, mineralisasi/alterasi dan geologi lainnya di daerah ini dilakukan oleh Suroso,
dkk. (1987), Widiasmoro (1994), Rahardjo, dkk. (1995 dan 2012), Setiabudi (2005), Bronto
(2006), Barianto, et al. (2010), Sudradjat, dkk. (2010), Harjanto (2011), Purnamawati dan
Tapilatu (2012), Ansori dan Hastria (2013) dan Ramadhan, dkk. (2016).
Setiabudi (2005), menyebutkan bahwa di daerah Sangon-Kulon Progo secara litologi
didominasi oleh batuan andesit porfiri, sebagian andesit mengalami breksiasi, silisifikasi dan
ubahan propilitik sampai filik. Sesar normal sangat umum dijumpai dan menunjukkan pola
radier di sekitar tubuh gunungapi Oligo-Miosen yang masih nampak cukup ideal (Suroso,
dkk., 1987). Hal ini dapat dilihat pula pada Peta Geologi Lembar Yogyakarta menurut
Rahardjo, dkk. (1995 dan 2012). Ramadhan, dkk. (2016), menyebutkan di Daerah Pripih,
Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon Progo, merupakan fasies sentral bawah-proksimal dari
Gunung Agung. Bronto (2006), menyebutkan morfologi lereng-kaki selatan Gunung Jeruk,

1072
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

diperkirakan sebagai fasies sentral-proksimal-medial gunung api Tersier Agung-Kukusan di


Pegunungan Kulon Progo, Yogyakarta.
Sudradjat, dkk. (2010), menyimpulkan bahwa ekspresi morfologi unik Pegunungan
Kulon Progo disebabkan oleh kecenderungan umum dari tektonik yang telah terjadi di Pulau
Jawa sejak Kala Eosen. Wiyono dan Haryoprasetyo (2011), menyebutkan bahwa struktur
geologi yang terdapat di Pegunungan Kulon Progo berupa sesar geser dengan arah
memanjang tenggara-baratlaut juga dijumpai sesar-sesar normal dengan arah barat-timur yang
ada di sekitar tubuh kubah terobosan andesit dan dasit seperti di daerah Gunung Kukusan.
Purnamawati dan Tapilatu (2012), menyebutkan bahwa mineralisasi emas di daerah Sangon
berada pada daerah ubahan propilitik dan masuk dalam sistem hidrotermal jenis mesotermal.
Ansori dan Hastria (2013), menyebutkan dijumpainya indikasi alterasi dan mineralisasi di
daerah Gunung Agung. Penelitian yang secara khusus mengungkapkan kondisi struktur
geologi dan kaitannya dengan kehadiran urat-urat mineral logam serta alterasi di daerah
kajian belum secara mendalam dilakukan. Untuk itulah maka penelitian ini dilakukan guna
menjelaskan karakteristik struktur geologi yang berupa sesar dan kekar di daerah penelitian.
2. Tektonik Regional
Pulau Jawa sebagai bagian dari Busur Sunda yang merupakan busur gunungapi
berumur Tersier hingga Kuarter. Busur Gunung api ini terbentuk sebagai akibat adanya
penunjaman di sebelah selatan Pulau Jawa. Soeria-atmadja dkk. (1994) menyebutkan
perubahan posisi tunjaman dari waktu ke waktu, berimplikasi pada perubahan pola struktur
dan tektonik di Pulau Jawa. Bachri (2014), mengemukakan bahwa sistem tunjaman moderen
di Jawa mulai terbentuk tidak lebih muda dari akhir Oligosen. Pulunggono dan Martodjojo
(1994), menyatakan bahwa Jawa adalah bagian dari Paparan Sunda yang berada di bagian
selatan dan berbatasan dengan lempeng Samudera Hindia. Karig et al. (1979) dalam
Martodjojo (1994) menyebutkan bahwa busur Pulau Jawa terbentuk sejak Oligosen-Miosen
(32 juta tahun yang lalu) bersamaan dengan terbentuknya jalur penunjaman yang baru di
selatan Jawa menerus ke sebelah barat Sumatra.
Purnomo dan Purwoko (1994), menyebutkan dengan sistem active margin, Jawa
Selatan merupakan Fore Arc Basin. Bolliger dan De Ruiter (1975), mengemukakan geologi
Jawa Tengah selatan pada masa Paleogen diakhiri oleh even tektonik regional pada Akhir
Oligosen. Di Kulon Progo pada masa ini dipengaruhi oleh blok tektonik, akibat gerakan sesar
dan aktivitas gunungapi. Formasi Andesit Tua (OAF/old Andesite Formation) hadir
disebabkan fase ini. Bellon et al. (1989), mengemukakan adanya dua even magmatik Tersier
yang telah terjadi di Jawa Tengah. Episode magmatik pertama terjadi selama Eosen-Miosen
Awal (40-19 Ma) dengan trend sumbu vulkanisme E-W terletak 50 km sumbu Sunda arc yang
aktif. Episode vulkanik ke dua sebagai bagian dari dasar vulkanisme Kuarter, terjadi dalam
interval umur 11-3 Ma (Akhir Miosen Tengah-Pliosen Akhir). Even kedua ini menunjukkan
kehadiran awal dari busur Sunda modern. Sutanto dkk. (1994), menyebutkan bahwa hasil dari
volkanisme di Kulon Progo berumur Oligosen Akhir-Miosen Awal (29,63 + 2,26 Juta tahun
hingga 22,64 + 1,13 Juta tahun).
3. Sratigrafi Gunung Ijo
Secara stratigrafi daerah Gunung Ijo di Pegunungan Kulon Progo termasuk dalam
mandala gunung api tua yang disusun oleh batuan sedimen Formasi Nanggulan sebagai dasar
batuan volkanik Formasi Kebobutak. Formasi Nanggulan dan Kebobutak diintrusi oleh batuan
intrusi dangkal yang berupa mikrodiorit, andesit dan dasit yang umumnya telah mengalami
ubahan. Berdasarkan hubungan dengan formasi yang diintrusi maka dapat disimpulkan
bahwa batuan intrusi di Kulonprrogo terjadi dalam dua periode, yaitu terjadi pada kala
Oligosen Akhir-Miosen Awal dan Miosen Akhir. Kelompok gunungapi ini ditutupi secara

1073
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

tidak selaras oleh endapan laut dangkal dari Formasi Jonggrangan dan Formasi Sentolo
(Harjanto, 2011).
Widiasmoro (1994), menggambarkan stratigrafi batuan vulkanik daerah Kulon Progo.
Beberapa intrusi telah terjadi di pegunungan Kulon Progo pada kisaran Oligosen hingga
Miosen Awal. Barianto, et al. (2010), mengemukakan bahwa Hasil kegiatan vulkanisme yang
pertama muncul di Kulon Progo membentuk Formasi Gajah yang berumur Oligosen. Batuan
gunung api ini kemudian diintrusi oleh Formasi Ijo pada Miosen Tengah. Selanjutnya pada
Miosen Akhir lahir vulkanisme Gunung Api Menoreh di bagian utara Pegunungan Kulon
Progo. Harjanto (2011), menyebutkan gunung tertua adalah Gunung Api Ijo, Gunung Api
Jongrangan (Gunung Gajah) dan termuda Gunung Api Sigabug (Gunung Menoreh). Rahardjo
dkk. (1995) dan Rahardjo, dkk. (2012), menggambarkan batuan andesit berada di tengah-
tengah tubuh Formasi Kebobutak dan dasit hadir di dalam batuan andesit.
4. Metode Penelitian
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa kekar, sesar dan urat serta
batuan yang dijumpai dalam singkapan-singkapan batuan di lapangan. Terhadap data kekar,
sesar dan urat serta batuan dilakukan pengukuran dan perekaman data langsung di lapangan.
Metode penelitian yang digunakan adalah melalui pengamatan citra/peta daerah penelitian,
pengamatan lapangan dan pengukuran unsur-unsur struktur sesar maupun kekar. Pengukuran
kekar dan urat kuarsa dilakukan dengan mengukur kedudukan strike dan dip/kemiringan.
Pengukuran, pencatatan data dan analisis kekar dibedakan dalam kekar gerus dan kekar
ekstensi. Pengukuran sesar meliputi strike, dip, pitch dan arah pergerakan. Pengukuran
breksiasi sebagai strike sesar dilakukan dengan mengukur arah penjajaran fragmen breksiasi.
Pengukuran dan analisis urat dibedakan dalam kelompok urat tebal (lebih dari 1 cm) dan
uratan tipis (kurang dari 1 cm).
Melalui pengamatan dan analisis citra, digambarkan jalur kelurusan yang
mempermudah pekerjaan pengambilan data struktur di lapangan. Terhadap data kekar gerus
dilakukan analisis diagram kipas, analisis stereografis diagram kontur dan titik kutub serta
nilai maksimanya, hingga diperoleh dua nilai puncak sebagai dua nilai kekar gerus rata-rata
yang berpasangan. Pada kekar tarik dilakukan analisis diagram kipas, analisis stereografis
diagram kontur dan titik kutub serta nilai maksimanya, hingga diperoleh nilai puncak kontur
sebagai nilai kekar tarik. Terhadap data breksiasi dilakukan analisis diagram kipas sehingga
didapatkan arah strike sesar. Menggunakan hasil analisis kekar gerus yang berpasangan dan
breksiasi, akan didapatkan arah σ1, σ2 dan σ3 serta nilai pitch, bidang sesar, arah pergerakan
dan akhirnya diketahui jenis sesar yang ada. Terhadap data kekar gerus yang berdasarkan
analisis stereografis tidak menjukkan berpasangan maka bersamanya dapat dilakukan analisis
dengan meggunakan bidang kekar tarik dan breksiasi untuk menghasilkan arah gaya utama
maksimum, menengah dan terlemah serta nilai pitch, bidang sesar, arah pergerakan dan
akhirnya diketahui jenis sesar yang ada. Terhadap data urat dan uratan dilakukan analisis
dengan menggunakan diagram bunga dan diagram kontur dari titik-titik kutubnya guna
mengetahui kecenderungan arah utamanya. Hubungan arah-arah urat dengan gaya
pembentuknya dapat dikaitkan dengan pola struktur pada lokasi tersebut. Terhadap hasil-hasil
analisis kekar gerus, kekar ekstensi, breksiasi, sesar, urat/uratan dan alterasi serta peta
geologi yang dihasilkan dapat diperoleh sintesa mengenai struktur geologi yang telah bekerja
di daerah kajian dalam menciptakan ruang bagi kehadiran mineralisasi logam dan alterasi
yang terbentuk.
5. Data dan Analisis
Kajian struktur geologi daerah penelitian dilakukan dengan terlebih dahulu membuat
garis-garis kelurusan pada citra (Gambar 2) dan peta topografi. Terhadap interpretasi awal

1074
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

kelurusan struktur ini kemudian ditentukan rencana jalur dan lokasi pengambilan data struktur
geologi. Terdapat 159 buah data kelurusan yang dapat digambarkan dari interpretasi
kelurusan citra seluruh Gunung Ijo (Gambar 2) dan kelurusan dalam luasan daerah kajian
sebanyak 40 buah. Dari interpretasi citra diperoleh kelurusan umum yang berarah baratlaut-
tenggara (NW-SE), utara-selatan (N-S) dan barat-timur (E-W) serta timurlaut-baratdaya (NE-
SW) (Gambar 2. Diagram mawar Kelurusan daerah kajian). Kelurusan tersebut dapat
dibandingkan dengan kelurusan secara lebih luas dalam tubuh Gunung Api Ijo yang berarah
umum baratlaut-tenggara (NW-SE), utara-selatan (N-S) dan barat-timur (E-W) (Gambar 2.
Diagram bunga seluruh kelurusan Gunung Api Ijo). Struktur geologi yang berkembang di
daerah kajian adalah berupa struktur kekar gerus, kekar tarik dan sesar. Struktur ini umumnya
dijumpai pada area dimana telah digambarkan kelurusan dari interpretasi citra sebelumnya.
Hal ini terjadi karena sifat batuan yang ada yakni batuan beku (Gambar 1 dan 3) memiliki
sifat yang getas dan memiliki nilai elastisitas yang rendah hingga cenderung terpatahkan.
Sesar Sinistral Timurlaut-Baratdaya (NE-SW)
Sesar sinistral NE-SW yang dijumpai di daerah penelitian diantaranya adalah Sesar
Plampang, Sesar Kukusan dan Sesar Gunung Telu. Hasil analisis kekar gerus pada Sesar
Plampang bagian barat (Gambar 4) menunjukkan arah-arah dominan NNE-SSW (Shear
fracture 1 : N190oE/82o) dan NW-SE (Shear fracture 2 : N142oE/82o). Kekar gerus pada
Sesar Plampang bagian tengah (Gambar 4) menunjukkan arah-arah dominan NNE-SSW
(Shear fracture 1 : N031oE/75o) dan NW-SE (Shear fracture 2 : N136oE/79o). Kekar-kekar
gerus ini terutama dijumpai pada batuan lava andesit-breksi andesit. Pada beberapa lokasi,
kekar gerus terisi mineral dengan ketebalan tipis (kurang dari 1 cm atau membentuk uratan).
Kekar gerus pada Sesar Kukusan (Gambar 4) menunjukkan arah dominan NE-SW
(N226oE/87o). Kekar tarik menunjukkan arah dominan NNE-SSW (N20oE/86o). Kekar gerus
dan kekar tarik ini terutama dijumpai pada batuan lava andesit-breksi andesit. Hasil analisis
diagram kipas breksiasi (Gambar 4) menunjukkan arah dominan NE-SW (N55oE). Arah ini
merupakan arah strike sesar Kukusan. Kekar gerus pada Sesar Gunung Telu (Gambar 4)
menunjukkan arah dominan NNW-SSE (N341oE/79o) dan N-S (N196oE/79o). Kekar gerus ini
terutama dijumpai pada batuan lava andesit. Hasil analisis diagram kipas breksiasi (Gambar 4)
menunjukkan arah dominan NE-SW (N35oE). Ini merupakan arah strike sesar Gunung Telu.
Bedasarkan analisis diagram bunga dan stereografis, kekar tarik pada Sesar Plampang
menunjukkan arah-arah dominan N-S. Berdasarkan analisis stereografis terhadap Sesar
Plampang barat dan tengah, struktur kekar tarik ini terbentuk oleh gaya utama terlemah
horisontal berarah barat-Timur (σ3: 07o/ N076oE; 02o/ N262oE). Bagian terbesar kekar tarik
ini telah terisi mineral (urat) karena sifatnya yang terbuka. Hasil analisis diagram kipas data
breksiasi Sesar Plampang (Gambar 4) menunjukkan arah dominan NE-SW (N45oE dan
N55oE). Arah ini merupakan arah strike sesar yang terbentuk di daerah kajian pada kelurusan
Sesar Plampang. Analisis terhadap Sesar Plampang bagian barat di daerah penelitian
menghasilkan kedudukan bidang sesar N235oE/87o, netslip 7o/N54oE dan rake/pitch 10o
membuka ke arah timurlaut dengan nama sesar Left slip fault (sesar mendatar kiri/sesar
sinistral) berdasarkan klasifikasi Richard, 1972 (Gambar 4). Struktur sesar ini terbentuk oleh
gaya utama horisontal berarah N-S (σ1: 03o/ N166oE) dan gaya utama terlemah yang juga
horisontal berarah E-W (σ3: 07o/ N076oE). Analisis Sesar Plampang bagian tengah
menghasilkan kedudukan bidang sesar N45oE/71o, netslip 8o/N48oE dan rake/pitch 10o
membuka ke arah timur dengan nama sesar Left slip fault (sesar mendatar kiri/sesar sinistral)
berdasarkan klasifikasi Richard, 1972 (Gambar 4). Struktur sesar ini terbentuk oleh gaya
utama horisontal berarah N-S (σ1: 20o/ N353oE) dan gaya utama terlemah yang juga
horisontal berarah E-W (σ3: 02o/ N262oE). Jalur kelurusan Sesar Plampang sebagai salah satu
anggota pola sesar NE-SW ini dapat dirunut dalam Peta Geologi daerah kajian pada Gambar 3.

1075
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Analisis sesar Kukusan menghasilkan kedudukan bidang sesar N235oE/84o, netslip


13o/N236oE dan rake/pitch 13o membuka ke arah baratdaya dengan nama sesar Normal left
slip fault (sesar mendatar kiri turun) berdasarkan klasifikasi Richard, 1972 (Gambar 4). Sesar
ini terbentuk oleh gaya utama terbesar σ1: 13o/ N217oE dan gaya utama terlemah σ3: 03o/
N127oE. Sesar ini merupakan struktur geologi pengontrol ubahan dan mineralisasi daerah
kajian. Seperti halnya Sesar Plampang, umur sesar ini juga lebih muda dari Miosen Akhir
karena memotong tubuh Gunung Api Ijo, Gajah dan Menoreh. Menurut Akmaludin dkk.
(2005), Gunung Menoreh terbentuk pada kala Miosen Akhir (12,4 ± 0,7 Juta tahun yang lalu
atau Miosen Atas). Jalur kelurusan sesar ini dapat dilihat pada Gambar 3.
Analisis Sesar Gunung Telu menghasilkan kedudukan bidang sesar N215oE/68o,
netslip 23o/N225oE dan rake/pitch 26o membuka ke arah baratdaya dengan nama sesar
Normal left slip fault (sesar mendatar kiri turun) berdasarkan klasifikasi Richard, 1972
(Gambar 4). Sesar ini terbentuk oleh gaya utama terbesar σ1: 32o/ N177oE dan gaya utama
terlemah σ3: 01o/ N268oE. Seperti halnya Sesar Plampang dan Kukusan, umur sesar ini juga
lebih muda dari Miosen Akhir karena memotong tubuh gunung api Ijo, Gajah dan Menoreh
yang terbentuk pada kala Miosen Akhir. Kelurusan sesar ini dapat dilihat pada Gambar 3.
5.1. Sesar Normal Utara-Selatan (N-S)
Sesar Normal N-S yang dijumpai diantaranya adalah Sesar Plampang Bawah, Sesar
Plampang Atas dan Sesar Sangon Baratlaut. Sesar Plampang bawah dikenali dengan adanya
zona sesar di Sungai Plampang. Pada zona sesar ini dijumpai data breksiasi, kekar gerus,
kekar tarik, urat kuarsa dan zona alterasi. Breksiasi dijumpai dengan arah trend N160oE.
Analisis pergerakan sesar dilakukan dengan menggunakan kekar gerus dan kekar tarik.
Analisis kekar gerus pada Sesar Plampang bawah (Gambar 5) menunjukkan arah dominan
N205oE/61o dan kekar tarik N007oE/82o. Kekar gerus dan kekar tarik ini terutama dijumpai
pada batuan lava andesit. Pada beberapa lokasi, kekar gerus terisi mineral dengan ketebalan
tipis (kurang dari 1 cm atau uratan), pada kekar tarik memiliki ketebalan lebih dari 1 cm.
Sesar Plampang Atas dikenali dengan adanya zona sesar di Sungai Plampang
memanjang ke arah utara mengikuti percabangan anak sungai. Breksiasi dijumpai dengan
arah trend N354oE. Analisis pergerakan sesar dilakukan dengan menggunakan kekar gerus
dan kekar tarik. Analisis kekar gerus Sesar Plampang Atas (Gambar 5) menunjukkan arah-
arah dominan N36oE/56o dan kekar tarik N170oE/69o. Kekar gerus dan tarik ini terutama
dijumpai pada batuan lava andesit. Pada beberapa lokasi, kekar gerus terisi mineral dengan
tebalan kurang dari 1 cm (uratan), sedangkan pada kekar tarik hingga lebih dari 10 cm.
Zona sesar Sangon Baratlaut ditunjukkan oleh adanya breksiasi, kekar gerus, kekar
tarik, urat kuarsa dan zona alterasi. Breksiasi dijumpai dengan arah trend N328oE. Analisis
kekar gerus pada Sesar Sangon Baratlaut (Gambar 5) menunjukkan arah-arah dominan
N351oE/78o dan N186oE/78o. Kekar gerus ini terutama dijumpai pada batuan lava andesit.
Kekar gerus ini umumnya tidak terisi mineral. Analisis Sesar Plampang Bawah di daerah
penelitian menghasilkan kedudukan bidang sesar N340oE/41o, netslip 33o/N116oE dan
rake/pitch 53o membuka ke arah tenggara dengan nama sesar Right normal slip fault (sesar
turun menganan) berdasarkan klasifikasi Richard, 1972 (Gambar 5). Struktur sesar ini
terbentuk oleh gaya utama terkuat vertikal (σ1: 63o/ N170oE) dan gaya utama terlemah
horisontal berarah E-W (σ3: 08o/ N275oE). Jalur kelurusan Plampang Bawah yang berarah N-
S dapat dirunut dalam Peta Geologi daerah kajian pada Gambar 3. Analisis Sesar Plampang
Atas menghasilkan kedudukan bidang sesar N160oE/58o, netslip 39o/N310oE dan rake/pitch
50o membuka ke arah baratlaut dengan nama sesar Right normal slip fault /sesar turun
menganan (Richard, 1972) (Gambar 5). Struktur sesar ini terbentuk oleh gaya utama terkuat
vertikal (σ1: 45o/N326oE) dan gaya utama terlemah horisontal berarah E-W (σ3: 19o/N080oE).

1076
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Jalur kelurusan Plampang yang berarah utara-selatan dapat dirunut dalam Peta Geologi daerah
kajian pada Gambar 3. Analisis sesar Sangon Baratlaut menghasilkan kedudukan bidang sesar
N328oE/47o, netslip 32o/N111oE dan rake/pitch 48o membuka ke arah tenggara dengan nama
sesar Right normal slip fault /sesar turun menganan berdasarkan klasifikasi Richard, 1972
(Gambar 5). Struktur sesar ini terbentuk oleh gaya utama terkuat vertikal (σ1: 60o/ N175oE)
dan gaya utama terlemah horisontal berarah E-W (σ3: 02o/ N268oE).
5.2. Sesar Normal Barat-Timur (E-W)
Keberadaan Sesar Sangon Selatan ditunjukkan oleh adanya breksiasi, kekar gerus,
kekar tarik, urat kuarsa dan zona alterasi. Analisis kekar gerus pada Sesar Sangon Selatan
(Gambar 5) menunjukkan arah-arah dominan N257oE/83o dan N69oE/75o. Kekar gerus ini
terutama dijumpai pada batuan lava andesit. Pada beberapa lokasi, kekar gerus terisi mineral
dengan ketebalan tipis hingga beberapa centimeter (kurang dari 1 cm atau uratan dan lebih
dari 1cm/urat). Kekar gerus pada Sesar Sangon Utara (Gambar 5 dan Gambar 9)
menunjukkan arah-arah dominan N294oE/66o dan N100oE/65o. Kekar gerus ini terutama
dijumpai pada batuan lava andesit (Gambar 9). Pada beberapa lokasi, kekar gerus terisi
mineral dengan ketebalan tipis (kurang dari 1 cm atau uratan) hingga urat dengan ketebalan
sampai 2 cm. Kehadiran zona sesar Sangon Barat ditunjukkan oleh adanya breksiasi, kekar
gerus, urat kuarsa dan zona alterasi. Breksiasi dijumpai dengan arah trend N85oE. Kekar gerus
pada Sesar Sangon Barat (Gambar 3 dan 5) menunjukkan arah-arah dominan N104oE/76o dan
N279oE/75o. Kekar gerus ini terutama dijumpai pada batuan lava andesit. Pada beberapa
lokasi, kekar gerus kurang memperlihatkan adanya pengisian mineral.
Analisis sesar Sangon Selatan menghasilkan kedudukan bidang sesar N261oE/70o,
netslip 62o/N301oE dan rake/pitch 70o membuka ke arah baratlaut dengan nama sesar Left
normal slip fault (sesar turun kiri) berdasarkan klasifikasi Richard, 1972 (Gambar 5). Struktur
sesar ini terbentuk oleh gaya utama terkuat vertikal (σ1: 70o/ N241oE) dan gaya utama
terlemah horisontal berarah E-W (σ3: 02o/ N343oE) (Gambar 3). Analisis sesar Sangon Utara
menghasilkan kedudukan bidang sesar N96oE/50o, netslip 47o/N212oE dan rake/pitch 73o
membuka ke arah barat dengan nama sesar Right normal slip fault (sesar turun kanan)
berdasarkan klasifikasi Richard, 1972 (Gambar 6). Struktur sesar ini terbentuk oleh gaya
utama terkuat vertikal (σ1: 74o/ N282oE) dan gaya utama terlemah horisontal berarah utara-
selatan (σ3: 03o/ N15oE). Analisis sesar Sangon Barat menghasilkan kedudukan bidang sesar
N265oE/32o, netslip 32o/N017oE dan rake/pitch 70o membuka ke arah timur dengan nama
sesar Right lag slip fault (sesar turun kanan landai) berdasarkan klasifikasi Richard, 1972
(Gambar 5). Struktur sesar ini terbentuk oleh gaya utama terkuat vertikal (σ1: 70o/N096oE)
dan gaya utama terlemah horisontal berarah N-S (σ3: 02o/ N190oE) (Gambar 3).
5.3. Urat dan Uratan
Bedasarkan analisis diagram bunga (Gambar 6), urat (tebal lebih dari 1 cm) di daerah
penelitian menunjukkan arah-arah dominan utara-selatan (N-S), barat-timur (E-W) dan utara
timurlaut-selatan baratdaya (NNE-SSW). Bedasarkan analisis stereografis urat-urat ini
memiliki kemiringan yang tinggi, umumnya lebih dari 70 derajad. Pada diagram kipas
unidireksional, dimana arah kemiringan urat dipertimbangkan, urat-urat terutama pada arah
N15oE, N75oE, N165oE, N255oE dan N345oE. Sedangkan pada diagram kipas bidireksional,
dimana hanya mempertimbangkan arah strike saja, urat-urat terutama pada arah N15oE,
N75oE dan N165oE. Urat-urat ini terutama dijumpai pada batuan lava andesit (Gambar 9).
Uratan/veinlet (tebal kurang dari 1 cm) di daerah penelitian menunjukkan arah-arah
dominan timurlaut-baratdaya (NE-SW). Bedasarkan analisis stereografis uratan-uratan ini
memiliki kemiringan yang tinggi, umumnya lebih dari 75 derajad. Dengan
mempertimbangkan arah kemiringan, seperti pada diagram kipas unidireksional, uratan

1077
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

terutama pada arah N25oE, N45oE, N275oE dan N235oE. Sedangkan pada diagram kipas
bidireksional, dimana hanya mempertimbangkan arah strike saja, urat-urat terutama pada arah
N45oE. Uratan-uratan ini terutama dijumpai pada batuan lava andesit-breksi andesit.
6. Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan sebaran batuan yang berupa intrusi andesit, lava andesit-breksi
piroklastik, intrusi dasit dan intrusi mikro diorit (Gambar 3) dan juga posisinya dalam peta
geologi regional (Gambar 1), maka daerah kajian dapat diinterpretasikan merupakan suatu
bagian pusat (central fasies) tubuh G. Ijo. Sebagai bagian pusat aktivitas vulkanisme dan
magmatisme ditunjang oleh kehadiran struktur geologi yang memungkinkan, maka
dimungkinkan hadirnya alterasi dan endapan mineral yang membentuk urat-urat logam di
daerah kajian. Hasil analisis kelurusan daerah kajian pada citra tampak sesuai bila
dibandingkan dengan pola kelurusan regional pada tubuh G. Ijo dan sekitarnya. Kelurusan
utama pada daerah kajian relatif sama dengan kelurusan regional G. Ijo, yakni dengan
dominasi pola arah NW-SE, N-S dan E-W (Gambar 2). Di daerah kajian hadir pola arah NE-
SW yang tidak nampak jelas pada pola kelurusan regional G. Ijo. Struktur geologi yang
terbentuk di daerah kajian terdiri atas kekar gerus, kekar ekstensi, sesar mendatar mengiri
berarah NE-SW, sesar normal N-S dan sesar normal E-W. Pola struktur sesar sinistral NE-SW
berasal dari tegasan utama yang berarah N-S. Gaya utama dari arah ini menghasilkan
pasangan kekar gerus berarah NE-SW dan NW-SE serta kekar ekstensi berarah N-S.
Deformasi tektonik di daerah kajian diduga terbentuk oleh deformasi paling sedikit
dua kali fase tektonik. Fase tektonik I berupa fase kompresi N-S yang menghasilkan sesar
mendatar mengiri Plampang-Kukusan-Gunung Telu berarah NE-SW. Fase I juga membentuk
kekar gerus dalam rentang arah NE-SW, kekar tarik berarah N-S dan E-W. Sesar sinistral
Fase I juga bertanggung jawah terhadap kehadiran sesar normal berarah N-S sesuai dengan
konsep Mc Clay (2007). Fase pertama ini membentuk zona sesar transtensional dengan sesar-
sesar normal N-S di dalamnya. Fase tektonik II berupa fase ekstensi yang menghasilkan sesar
normal berarah E-W. Hubungan saling potong antar struktur ini dapat diamati pada citra
penginderaan jauh. Fase tektonik I dihasilkan oleh gaya kompresi regional yang menghasilkan
sesar sinistral yang lebih dikenal dengan sebutan sesar Progo-Muria menurut Smyth et.al
(2005), Hall et al. (2007), Smyth et.al (2008), Husein dan Nukman (2015). Pada pengamatan
citra penginderaan jauh, sesar ini memotong seluruh Pegunungan Kulon Progo mulai dari
Gunung Ijo (Miosen), Gunung Gajah (Oligosen) hingga Gunung menoreh yang berumur
Miosen Akhir menurut Akmaludin dkk. (2005) atau 12,4 ± 0,7 Juta tahun yang lalu.
Kehadiran sesar utama yang terbentuk di daerah penelitian ini dapat dijelaskan dengan
konsep Reidel shear dalam Mc Clay (2007), (Gambar 7 A) dalam konsep elipsoida strain
regional yang berasosiasi dengan pembentukan sesar mendatar atau sesar geser. Sesar-sesar
Reidel shear terdiri atas sistem sesar sintetik (R1) dan sesar antitetik (R2). Pada beberapa
sistem terdapat kemungkinan pembentukan sesar sintetik (P) dan sesar antitetik (X) yang
lainnya. Lipatan dan sesar naik dapat terbentuk pada sudut 90o terhadap σ1. Sesar-sesar
ekstensi atau sesar normal terbentuk pada sudut 90o terhadap σ3. Hasil penelitian di daerah
kajian menunjukkan pembentukan sesar sintetik (R1) berupa Sesar Plampang, Sesar Kukusan
dan Sesar Gunung Telu (NE-SW). Sesar-sesar ini relatif saling sejajar. Lipatan tidak dijumpai
di daerah kajian sesuai dengan sifat batuan yang dominan berupa batuan beku yang bersifat
rapuh. Ketidak hadiran sesar naik dan berkembangnya sesar normal, menunjukkan bahwa
sistem yang terjadi di daerah kajian adalah berupa sistem transtensi. Pada daerah kajian,
sistem ini membentuk sesar-sesar normal berarah N-S dan zona ekstensi yang memungkinkan
bagi hadirnya intrusi, mineralisasi dan alterasi (Gambar 7 A dan C).

1078
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Mc Clay (2007) menjelaskan bahwa terjadinya sesar geser dimulai dengan


pembentukan Reidel shear (R1 dan R2 Gambar 7A) yang berorientasi sekitar 30o dari gaya
kompresi utama maksimum σ1. Pergerakan terkonsentrasi pada satu sistem Reidel R1 yang
bersifat sintetik (searah) terhadap arah shear stress maximum yang terjadi. Sistem antitetik R2
terbentuk sebaliknya, berlawanan arah dengan shear stress maximum yang terbentuk. Sesar
geser utama yang terbentuk akan berorientasi 45o dari gaya tekan maksimum (maximum
compressive stress) σ1 yang terjadi. Sesar geser sekunder (sintetik atau antitetik) terjadi
sepanjang arah Reidel shear dan ini mungkin membentuk pola-pola sesar sekundernya
kembali (Mc Clay, 2007). Konsep Reidel shear dalam Gambar 7 A menjelaskan bahwa
deformasi dalam zona sesar geser pada elipsoida deformasi dua dimensi menunjukkan tidak
hanya sesar sintetik dan antitetik namun juga zona kompresi dan ekstensi dalam sistem ini.
Zona kompresi dapat ditunjukkan dengan kehadiran lipatan dan sesar naik sedangkan zona
ekstensi ditunjukkan dengan kehadiran sesar-sesar ekstensi atau sesar normal. Kehadiran
sesar-sesar normal yang sesuai dengan konsep ini, menunjukkan bahwa daerah kajian
termasuk dalam zona ekstensi sehingga terbentuk sesar-sesar normal utara-selatan.
Berdasarkan pada teori Anderson, 1951, dalam Fossen (2007), (Gambar 7 B) apabila
gaya utama maksimum berarah horisontal dan gaya utama minimum juga berarah horisontal,
maka akan dihasilkan sesar mendatar. Arah tegasan gaya kompresi maksimum yang terjadi,
membentuk sudut lancip terhadap sesar mendatar. Hasil analisis unsur-unsur struktur di
daerah kajian menunjukkan arah gaya kompresif relatif utara-selatan. Gaya kompresif ini
akan membentuk kekar-kekar gerus berarah relatif ke NNE dan NNW. Seiring dengan terus
bekerjanya gaya ini maka satu atau kedua kekar gerus akan bergerak dan menghasilkan sesar.
Daerah kajian sebagian besar tersusun atas batuan beku yang bersifat getas, maka sesar
terbentuk tanpa terlebih dahulu membentuk perlipatan.
Kehadiran tubuh intrusi dibagian timur ini terletak diantara sesar mendatar mengiri.
Sehingga diinterpretasikan bahwa intrusi ini hadir pasca struktur sesar. Intrusi ini terbentuk
pada daerah ekstensi dari sesar mengiri yang membentuk pola Left-stepping sinistral
fault/sesar mendatar mengiri menangga kiri (dari sesar di atas ke sesar dibawahnya)
menghasilkan zona sesar ekstensional. (Mc Clay, 2007, Gambar 7C). Van Aswagen (2012)
mengemukakan hubungan genetik antara shear zone, kekar ekstensi dan Riedel shears.
Konsep ini bila dihubungkan dengan zona sesar yang ada yakni sesar mendatar sinistral NE-
SW, akan menghasilkan dua kemungkinan arah kekar ekstensi. Zona sesar transpresi akan
menghasilkan kekar-kekar ekstensi atau urat NW-SE. Sedangkan bila zona sesar merupakan
zona transtensi maka akan terbentuk kekar-kekar ekstensi atau urat berarah N-S. Dengan
demikian berdasar data arah urat daerah kajian merupakan zona transtensi (Gambar 8).
Adanya fakta bahwa tubuh gunung api Tersier di Pegunungan Kulon Progo berada pada satu
kelurusan yang searah dengan kelurusan sesar mendatar mengiri (sinistral) utama yang
berarah NE-SW, dapat dimungkinkan bahwa sesar ini menjadi pengontrol lahirnya gunung-
gunung berapi Tersier ini. Jadi sesar ini kemungkinan telah ada semenjak Kala Oligosen.
Sesar ini sekarang memotong seluruh Kulon Progo. Dari daerah kajian sesar ini menerus ke
arah NE (Gambar 2) hingga memotong tubuh gunung api Tersier Gajah dan Menoreh.
Terpotongnya seluruh tubuh gunung berapi Tersier di Kulon Progo menunjukkan bahwa sesar
ini adalah aktif dari pre, syn dan pos pembentukan batuan vulkanik di Kulon Progo.
Fase tektonik II merupakan ekstensi regional yang terjadi di Kulon Progo dan
sekitarnya. Fase II ini menghasilkan sesar-sesar normal berarah E-W di daerah penelitian.
Terjadinya sesar regional ini memungkinkan aktifnya kegiatan magmatisme atau vulkanisme
di daerah kajian. Hal ini ditunjukkan dengan hadirnya mineralisasi pada urat-urat E-W yang
terbentuk oleh sesar-sesar normal fase ini. Aktifnya struktur geologi dan vulkanisme di daerah
kajian dan sekitarnya, memungkinkan terjadinya mineralisasi berulang kali atau overprint

1079
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

pada zonasi alterasi. Terjadinya bukaan struktur baru disusul aktifitas magmatisme akan
memungkinkan tersedianya ruang bagi mineralisasi dan alterasi baru. Bahkan terjadinya
intrusi-intrusi berulang yang terjadi di daerah kajian (intrusi Gunung Ijo, G. Agung, G.
Kukusan, G. Telu dan lain-lain) memungkinkan terbentuknya sistem mineralisasi porfiri. Hal
ini perlu kajian lebih lanjut dan mendalam untuk diungkapkan.
Sumber panas di daerah kajian berupa aktivitas magmatisme dari semenjak Oligosen,
hingga Miosen Akhir, batuan dinding berupa batuan intrusi, lava dan batuan vulkanik lainnya.
Jalur lintasan bagi mineralisasi dan alterasi di daerah kajian berupa sesar normal N-S dari
Fase tektonik I, sesar sinistral NE-SW Fase tektonik I, kekar tensional Fase tektonik I, kekar
gerus Fase tektonik I yang bergerak akibat Fase tektonik II dan dan sesar normal Fase
tektonik II. Gaya utama maksimum vertikal dari Fase tektonik II menggerakkan kekar tarik
dan sesar normal N-S, sehingga terjadi mineralisasi berulang pada rekahan ini. Dengan
demikian urat-urat utama di daerah kajian berada pada arah ini.
7. Kesimpulan
1. Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian dihasilkan oleh Fase Tektonik
I-Kompresi dan Fase Tektonik II-Ekstensi.
2. Fase Tektonik I-Kompresi, berupa kompresi N-S yang menghasilkan sesar sinistral
NE-SW, sesar normal N-S, kekar gerus, kekar tarik dan zona transtensional yang
memungkinkan hadirnya intrusi, alterasi dan mineralisasi secara intensif.
3. Fase Tektonik II-Ekstensi, berupa ektensi N-S yang menghasilkan sesar normal E-W,
kekar gerus, kekar tensi E-W dan membuka kekar tarik N-S dari Fase Tektonik
sebelumnya.
4. Kedua fase tektonik menghasilkan urat mineral dengan arah yang berbeda.
5. Struktur sesar sinistral NE-SW merupakan bagian dari struktur besar yang memotong
Pegunungan Kulon Progo hingga Gunung Menoreh yang berumur Miosen Akhir.
Dengan demikian struktur ini berumur Miosen Akhir atau lebih muda. Struktur sesar
normal E-W lebih muda dari struktur sesar sinistral.
Acknowledgements
Makalah ini adalah bagian dari penelitian disertasi yang dibiayai oleh Departemen
Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Untuk itu
ungkapan terimakasih kami sampaikan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
yang telah memberikan pembiayaan bagi kelancaran studi. Terima kasih juga kami sampaikan
kepada teman-teman di Program Doktor, Jurusan Teknik Geologi-Universitas Gadjah Mada,
untuk diskusi yang telah dilakukan dalam mendukung terselesaikannya makalah ini.
Daftar Pustaka
Akmaluddin, Setijadji, D.L., Watanabe, K., and Itaya, T., (2005). New Interpretation on
Magmatic Belts Evolution During the Neogene-Quarternary Periods as Revealed from
Newly Collected K-Ar Ages from Central-East Java, Indonesia. Proceedings Joint
Convention Surabaya-HAGI-IAGI-PERHAPI, Surabaya.
Ansori, C dan Hastria, D., (2013). Studi Alterasi dan Mineralisasi di Sekitar Gunung Agung
Kabupaten Kulon Progo-Purworejo. Buletin Sumberdaya Geologi Volume 8 no 2.
Bachri, 2014. Pengaruh Tektonik Regional Terhadap Pola Struktur dan Tektonik Pulau Jawa.
JGSM Vol. 15 No. 4, November 2014, hal 215-221
Barianto, D.H., Kuncoro, P., Watanabe, K., (2010). The Use of Foraminifera Fossils for
Reconstructing the Yogyakarta Graben, Yogyakarta, Indonesia, Journal of South East
Asian Applied Geology, Vol 2(2), pp 138-143.

1080
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Bellon, H., Maury, C., Soeria-Atmadja, R., Polve, M., Pringgoprawiro, H. and Priadi, B.,
1989. Chronologie 40K- 40Ar Du Volcanisme Tertiaire De Java Central (Indonesie):
Mise En Evidence De Deux Episodes Distincts De Magmatisme D'Arc.
Bolliger, W. and De Ruiter, P.A.C, 1975. Geology of The South Central Java Offshore Area.
Proceedings Indonesian Petroleum Association, 4th Annual Convention.
Bronto, S., (2006). Fasies Gunungapi dan Aplikasinya, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 2.
Fossen, H., 2010. Structural Geology. Cambridge University Press, New York.
Hall, R., Clements, B., Smyth, H.R., Cottam, M. A., (2007). A New Interpretation Of Java’s
Structure. Proceedings, Indonesian Petroleum Association, May, 2007.
Harjanto, A., (2011). Vulkanostratigrafi di Daerah Kulon Progo dan Sekitarnya, Daerah
Istimewa Yogyakarta, Jurnal Ilmiah MTG, Vol. 4 No. 2, Yogyakarta.
Husein, S., dan Nukman, M., (2015). Rekonstruksi Tektonik Mikrokontinen Pegunungan
Selatan Jawa Timur: Sebuah Hipotesis berdasarkan Analisis Kemagnetan Purba.
Proseding Seminar Nasional Kebumian Ke-8, FT-UGM.
Martodjojo, S., 1994. Data Stratigrafi Pola Tektonik dan Perkembangan Cekungan pada Jalur
Anjakan-Lipatan di Pulau Jawa. Preceedings Geologi dan Geotektonik Pulau Jawa
Sejak Akhir Mesozoik Hingga Kuarter, Yogyakarta.
Mc Clay, K.R., (2007). The Mapping of Geological Structures. John Wiley and Sons, London.
Pulunggono, A., dan Martodjojo, S., 1994. Perubahan Tektonik Paleogen-Neogen Merupakan
Peristiwa Tektonik Terpenting di Jawa. Preceedings Geologi dan Geotektonik Pulau
Jawa Sejak Akhir Mesozoik Hingga Kuarter, Yogyakarta.
Purnamawati, D.I., dan Tapilatu, S.R., (2012). Genesa dan Kelimpahan Mineral Logam Emas
dan Asosiasinya Berdasarkan Analisis Petrografi dan Atomic Absorbsion
Spectophotometri di Daerah Sangon, Kulon Progo, Jurnal Teknologi Vol. 5 No.2
Purnomo, J. dan Purwoko, 1994. Kerangka Tektonik dan Stratigrafi Pulau Jawa Secara
Regional dan Kaitannya dengan Potensi Hidrokarbon. Preceedings Geologi dan
Geotektonik Pulau Jawa Sejak Akhir Mesozoik Hingga Kuarter, Yogyakarta.
Rahardjo, W., Sukandarrumidi, Rosidi, HMD., (1995). Peta Geologi Lembar Yogyakarta,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Rahardjo, W., Sukandarrumidi, Rosidi, HMD., (2012). Peta Geologi Lembar Yogyakarta,
Pusat Survey Geologi-Badan geologi-Kementrian Energi dan Sumberdaya Mineral.
Ramadhan, T., Sangaji, F. dan Sidik, N.L., (2016). Studi Fasies Gunung Api Purba
Berdasarkan Analisis Geomorfologi, Asosiasi Litologi dan Struktur Geologi Serta
Implikasinya (Studi Kasus: Daerah Pripih, Kecamatan Kokap, Kabupaten Kulon
Progo, DIY, Proceeding, Seminar Nasional Kebumian Ke-9.
Setiabudi, B.T., (2005). Penyebaran Merkuri Akibat Usaha Pertambangan Emas Di Daerah
Sangon, Kabupaten Kulon Progo, Propinsi D.I. Yogyakarta, Kolokium Hasil
Lapangan, Direktorat Inventarisasi Sumberdaya Mineral/DIM 2005
Smyth, H., Hall, R., Hamilton, J., Kinny, P., (2005). East Java: Cenozoic Basins, Volcanoes
And Ancient Basement. Proceedings Indonesian Petroleum Association, Thirtieth
Annual Convention and Exhibition.

1081
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Smyth, H.R., Hall R., and Nichols, G.J., (2008). Cenozoic volcanic arc history of East Java,
Indonesia: The stratigraphic record of eruptions on an active continental margin,
Geological Society of America Special Paper 436, p. 199–222.
Soeria-Atmadja,R., Maury, R.C., Bellon, H., Pringgopawir, H., Polves, M., and Priadi, B.,
1994. Tertiary Magmatic Belts In Java, Journal of Southeast Asian Earth Sciences.
Vol 9, No.1.
Sudradjat, A., Syafri, I., dan Budiadi, E., (2010). The Geotectonic configuration of Kulon
Progo Area, Yogyakarta, Proceeding PIT IAGI Lombok 2010, The 39th IAGI
Convention and Exhibition, Lombok.
Suroso, Rodhi, A., dan Sutanto, (1987). Usulan Penyesuaian Tata Nama Litostratigrafi Kulon
Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Tahunan
XV Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Volume 1, IAGI-Yogyakarta.
Sutanto, Soeria-Atmadja, R., Maury RC, Bellon, H., 1994. Geochronology of Tertiary
Volcanism in Java. Proceedings Geologi dan Geotektonik Pulau Jawa sejak Akhir
Mesozoik Hingga Kuarter, Yogyakarta.
Van Aswagen, G. and Stander, M. (2012). Origins of some fractures around tabular stopes in
deep South African mines, The Journal of The Southern African Institute of Mining
and Metallurgy, Vol 112.
Widiasmoro, (1994). Evolusi Magma pada Kala Oligosen di Daerah Prambanan-Patuk-
Imogiri-Parangtritis Daerah Istimewa Yogyakarta, Preceedings Geologi dan
Geotektonik Pulau Jawa Sejak Akhir Mesozoik Hingga Kuarter, Yogyakarta.
Wiyono dan Haryoprasetyo, (2011). Pengaruh Alterasi Hidrotermal dalam Pembentukan
tanah Untuk Pembuatan Zonasi Kerentanan Gerakan Tanah di Daerah Purwosari.

1082
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA
Gambar 1. Peta Geologi Regional daerah G. Ijo di Kulon Progo (Rahardjo, dkk., 1995). Daerah
penelitian berada dalam kotak putih merupakan area yang berada pada formasi batuan Intrusi Andesit
(a) yang mengintrusi Formasi Kebobutak (Tomk).

Gambar 2. Kelurusan struktur pada citra area kajian dan tubuh G. Ijo serta diagram mawarnya.
Diagram bunga kelurusan menunjukkan kesamaan pola kelurusan antara daerah penelitian dan daerah
G.Ijo secara keseluruhan. Kelurusan NE hanya tampak di diagram mawar daerah kajian. Kelurusan ini
memanjang hingga G. Gajah dan Menoreh di utara.

1083
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 3. Peta Geologi dan penampang geologi. Penampang melintang berarah NW-SE, memotong
tubuh Intrusi Andesit G.Agung, Satuan lava, dan Intrusi Dasit Kukusan, serta sebagian tubuh Intrusi
Mikrodiorit G.Telu. Daerah alterasi dan mineralisasi berkembang diatara tubuh intrusi andesit, dasit
dan mikrodiorit. Intrusi andesit, dasit dan mikrodiorit hadir pada zona transtensi sesar sinistral NE-SW.

1084
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 4. Analisis stereografis sesar mendatar mengiri (sinistral), Sesar Plampang, Sesar Kukusan
dan Sesar Gunung Telu. Secara umum, gaya utama maksimum berarah utara-selatan dan relatif
horisontal, gaya utama terlemah berarah barat-timur dan juga bersifat horisontal. Hal ini menghasilkan
pergerakan sesar secara mendatar.

1085
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 5. Analisis struktur sesar normal dari Fase Tektonik I-Kompresional dan Fase Tektonik II-
Ekstensional. Mineralisasi dijumpai rekahan yang terbentuk oleh kedua fase struktur. Pada saat fase
ke-2 terbentuk, rekahan tensional yang terbentuk sebelumnya mengalami bukaan kembali dan terisi
kembali oleh urat yang baru.

1086
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 6. Diagram mawar uni dan bi-direksional serta diagran kontur data uratan (tebal <1cm) dan
urat (tebal >1cm) di daerah penelitian. Urat yang tebal umumnya berarah utara-selatan dan barat-timur.

1087
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 7. Hubungan konsep geologi struktur dengan struktur geologi yang terbentuk pada Fase
Tektonik I, dengan arah kompresi relatif utara-selatan di daerah kajian A). Konsep Reidel Shear dalam
Mc Clay 2007; B). Konsep Stress dan rezim tektonik Anderson 1951 dalam Fossen 2007; C). Konsep
stepping fault dalam Mc Clay 2007.

1088
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 8. Konsep simple shear dan pembentukan urat dan kekar tarik pada zona transtensi di daerah
penelitian menurut Van Aswagen (2012).

1089
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10
PERAN PENELITIAN ILMU KEBUMIAN DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR DI INDONESIA
13 – 14 SEPTEMBER 2017; GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 9. Kenampakan struktur yang terbentuk pada Fase Tektonik I dan II. Fase Tektonik I
membentuk sesar mendatar kiri (sinistral) dan sesar normal serta urat berarah N-S. Fase Tektonik II
menghasilkan sesar normal dan urat berarah E-W.

1090
STUDI AWAL POLA STRUKTUR BUSUR MUKA ACEH, SUMATRA BAGIAN UTARA
(INDONESIA): Penafsiran dan Analisis Peta Batimetri

Oleh :

H. Permana,1,2 L. Handayani1 dan E.Z. Gaffar1

1 Puslit Geoteknologi LIPI, Jl. Sangkuriang – 40135, Bandung, Indonesia.


Telp: 62 22 250 36 54; Fax: 62 22 250 4593
2
Email : permhp@yahoo.com

Diterima : Diterima : 17-06-2010; Disetujui : 21-11-2010

SARI

Analisis morfostruktur daerah penelitian menunjukan tiga unit struktur geologi yang berbeda,
antara lain zona penunjaman, zona deformasi aktif dan busur muka termasuk didalamnya tinggian
busur muka dan cekungan busur muka. Struktur geologi zona penunjaman lempeng teramati
sepanjang Palung Sunda paralel dengan zona deformasi aktif. Struktur geologi pada Tinggian Busur
Muka membentuk sistim prisma akresi yang disusun oleh sesar anjak, sesar geser, perlipatan dan
perlipatan naik. Pola kelurusan struktur umumnya berarah berarah utara baratlaut-selatan tenggara
di sebelah utara lintang 5°U, arah baratlaut-tenggara pada posisi 3°-5°U, kelurusan kemudian
berbelok hampir barat-timur di sekitar 2°-3°U. Perubahan arah pola kelurusan struktur tersebut
ditafsirkan sebagai jawaban terhadap naiknya tingkat kemiringan penunjaman lempeng dari daerah
Simeulue ke arah Lintang 5°U -7°U atau secara umum dari selatan Sumatra ke arah utara Sumatra.
Di bagian tengah daerah telitian berkembang kelurusan patahan berarah utara-selatan yang
memotong kelurusan berarah baratlaut-tenggara. Kelurusan tersebut ditafsirkan sebagai patahan
geser dekstral dan kemungkinan masih aktif.
Kata Kunci: Analisis morfostruktur, zona penunjaman, zona deformasi aktif, busur muka, kelurusan,
sesar anjak, sesar geser, perlipatan, perlipatan naik, kemiringan penunjaman lempeng

ABSTRACT

Morphostructure analyses of study area demonstrate three different units of geological structures:
subduction zone, active deformation zone and fore-arc region, which include Fore Arc High and Fore Arc
Basin. The plate subduction zone observes along Sunda Trench parallel with active deformation zone.
Structure geology in Fore Arc High builds an accretionary prism system. It was composed by thrust fault,
strike slip fault, folding and thrust fold. General trend of structural pattern is NNE-SSE at the north of
5°N, NW-SE direction at around 3°-5°N and changed in direction relative to E-W at about 2°-3°N. This
direction variation of structural pattern trend was interpreted as a response to increase of obliquity degree
of subducted plate from Simeulue area to 5° -7°N, or in general, from southern of Sumatra to north of
Sumatra.
NS trend lineament has developed in the middle part of study area that also sliced the NW-SE main
structural direction. These structural lineaments interpreted as dextral strike slip fault and it is possibly
still active.
Keywords: morphostructure analyses, subduction zone, active deformation zone, fore-arc lineament, thrust
fault, strike slip, folding, thrust fold, plat, plate subduction obliquity

JURNAL GEOLOGI KELAUTAN


Volume 8, No.3, Desember 2010
105
PENDAHULUAN (DTM) dalam bentuk *.grd binary format. Untuk
mendapatkan DTM menggunakan Metode
Latar Belakang
krigging, dengan parameter: data filter, search
Berbagai survei geologi dan geofisika di
range dan spacing dengan nilai yang disesuaikan
lepas pantai barat Sumatra telah dilakukan sejak
dengan kebutuhan. Grid yang dihasilkan difilter
terjadinya gempa dan tsunami Aceh, 26
(Low pass filter Gaussian 3x3) & smoothing
Desember 2004. Lebih dari 15 ekspedisi
(spline smooth). Hasil DTM dalam bentuk *.grd
kelautan telah dilakukan sejak tahun 2005
atau *.nd dapat ditampilkan dengan
sampai 2010 dengan menggunakan wahana riset
menggunakan berbagai perangkat lunak. Semua
asing dan milik nasional melalui kerjasama riset
tampilan peta batimetri dalam tulisan ini diolah
kelautan. Kerjasama survei antara BPPT dengan
dengan menggunakan perangkat lunak GMT V.
BGR-Jerman, kemudian antara NOC-Inggris,
4.2.0. Gambar 1 memperlihatkan bagan alur
UTIG-Amerika, Jamstec-Jepang dengan BPPT-
pengolahan data XYZ sampai menjadi peta
LIPI, sedangkan LIPI bekerjasama dengan
batimetri, analisis morfotektonik sampai pada
IPGP-Perancis. Wahana yang dipergunakan
pemanfatan peta untuk berbagai kepentingan
antara lain RV Sonne (Jerman), N/O Marion
(geografi, geologi, rencana survei) akan tetapi
Dufresne (Perancis), Geco Searcher
tidak dapat digunakan untuk keperluan navigasi.
(Schlumberger), Tides (CGG Veritas), Roger
Data batimetri regional (*.grd atau *.nd)
Ravelle (Amerika) dan wahana riset nasional
dapat diunduh secara gratis dari General
seperti R/V Baruna Jaya VIII (LIPI) dan Baruna
Bathymetric Chart of the Oceans (GEBCO)
Jaya II dan III (BPPT).
Digital Atlas (GDA) dengan alamat http://
Salah satu hasil survei kelautan adalah data
www.ngdc.noaa.gov/mgg/gebco/. Peta batimetri
batimetri dihasilkan melalui ekspedisi kelautan
tersebut dapat dipergunakan untuk tampilan
Program HMS Scott, 2005 (Henstock et al.,
lokasi peta tetapi tidak bisa dipergunakan untuk
2006), Aftershock, 2005 (Sibuet et al, 2007) dan
kepentingan navigasi karena alasan ketelitian (1
Sumatra OBS, 2006 (Graindorge et al., 2008).
menit). Peta-peta tersebut umum dipakai untuk
Ekspedisi kelautan tersebut meliputi kawasan
perencanaan riset kelautan oleh kalangan
barat lepas pantai Sumatra bagian utara atau
peneliti dan perguruan tinggi di dunia. Dengan
kawasan Busur Muka Aceh dan Kawasan Palung
menggunakan perangkat lunak GMT V. 4.2.0,
Sunda. Untuk kepentingan ilmiah, data tersebut
dibuat peta batimetri regional dengan
dapat dimanfaatkan untuk penafsiran pola dan
memanfaatkan data dari Gebco tahun 2006 (file
jenis struktur serta pola tektonik yang
gridone.grd) dan data Gebco tahun 2008 yaitu
berkembang di kawasan kajian. Data batimetri
gebco_08.nc. Luaran peta dari perangkat lunak
regional yang dapat dimanfaatkan bersumber
dalam bentuk postskrip (ps file) yang dapat
dari Gebco (General Bathymetric Chart of the
diekspor atau dibuka dalam bentuk pdf file,
Oceans) yang bebas diunduh dari website.
selanjutnya dapat ditampilkan dalam piranti
Tersedianya peta pola struktur geologi bawah
lunak lainnya. Skrip pembuatan peta regional
laut lepas pantai barat Utara Sumatra diharapkan
Gebco tahun 2006 (gridone.grd) untuk perangkat
dapat meningkatkan pemahaman kegiatan
lunak GMT sebagai berikut:
tektonik di kawasan tersebut sehingga bisa
dimanfaatkan dalam upaya pengurangan resiko 1) [psbasemap -Ba1df1d/a1df1dWENS:."": -
bencana khususnya gempa dan tsunami. Jm0/0/1:2750000 -R92/98/2/6.5 -K -V >
dikti1.ps]
Metode Kerja
Dalam studi ini, data mentah hasil pemetaan 2) [grdimage gridone.grd -Cpurple2orange.cpt
batimetri berupa Dat. File baik berupa ASCI File -R -Jm -K -O -V -B >> dikti1.ps]
maupun text File diolah menjadi data XYZ. Data 3) [grdcontour gridone.grd -R92/98/2/6.5 -Jm0/
diproses dengan menggunakan perangkat lunak 0/1:2750000 -C500 -A1000 -K -O -V -B >>
baik GMT V. 4.2.0 (Wessel and Smith, 2007, dikti1.ps]
public software) atau dapat pula dengan
menggunakan maupun perangkat lunak lain 4) [pscoast -Df1.0 -W1.0p -Bg1d -R -Jm -K -O
untuk mendapatkan Digital Terrain Modeling >> dikti1.ps]

JURNAL GEOLOGI KELAUTAN


106 Volume 8, No.3, Desember 2010
5) [psscale -Cpurple2orange.cpt -D0.5/8/15/ 5) [psscale -Cpurple2orange.cpt -D0.5/8/15/
0.5 \ -B1000:Bathymetry:/:m: -K -O >> 0.5 \ -B1000:Bathymetry:/:m: -K -O >>
dikti1.ps] dikti1.ps]
Hasil pengolahan peta tersebut disajikan
Sedangkan skrip pembuatan peta dari data dalam Gambar 3 dan 4. Peta batimetri dengan
regional Gebco 2008 yaitu mengganti file resolusi lebih besar didapatkan dari ekspedisi
gridone.grd dengan gebco_08.nc yang skripnya kelautan 2005 dan 2006. Data gabungan tersebut
sebagai berikut: berupa file hms0506.grd, diolah dengan
GMTmap dengan ditambahkan unsur iluminasi
1) [psbasemap -Ba1df1d/a1df1dWENS:."": -
sebesar 45° untuk mendapatkan efek 3D. Hasil
Jm0/0/1:2750000 -R92/98/2/6.5 -K -V >
pengolahan peta tersebut ditampilkan dalam
dikti1.ps]
peta pada Gambar 5. Melalui peta Gambar 5
2) [grdimage gebco_08.nc - tersebut dilakukan berbagai penasiran pola
Cpurple2orange.cpt -R -Jm -K -O -V -B >> struktur geologi.
dikti1.ps] Skrip pengolahan peta batimetri seperti
3) [grdcontour gebco_08.nc -R92/98/2/6.5 - berikut:
Jm0/0/1:2750000 -C500 -A1000 -K -O -V -B 1) [psbasemap -Ba2.0df2.0d/a2.0df2.0d
>> dikti1.ps] WENS:."": -Jm1/0/1:3000000 -R92/96/1.5/
4) [pscoast -Df1.0 -W1.0p -Bg1d -R -Jm -K -O 7.5 -P -K -V > fra.ps]
>> dikti1.ps] 2) [makecpt -Crainbow -Z -T-5000/-200/500 -V
> fr.cpt] [echo N 255 255 255 >> fr.cpt]

Pengolahan Data Batimetri


XYZ Data 1 XYZ Data 2 XYZ Data n
XYZ Data Location

Griding : Krigging
DTM
Parameter : data filter,
search range & spacing.
Perangkat Lunak Grid Filtering & Smoothing

Perangkat Lunak Peta Batimetri


GMT V.4.2.0
Peta Geografi

Peta Morfotektonik
Analisis
Peta Batimetri
Peta …………

Gambar 1. Alur pengolahan data batimetri, analisis data dan luaran pemanfaatan peta batimetri.

JURNAL GEOLOGI KELAUTAN


Volume 8, No.3, Desember 2010
107
Gambar 2. Pola umum struktur regional kawasan barat lepas pantai Sumatra yang
terbentuk akibat subduksi miring antara Lempeng Indo-Australia dengan
Lempeng Eurasia dan Lempeng mikro Burma (Pubellier et al, 2005).

JURNAL GEOLOGI KELAUTAN


108 Volume 8, No.3, Desember 2010
Gambar 3. Peta batimetri berdasarkan data Gebco 2006 (file gridone.grd) dengan
ketelitian 1 menit pada sekala 1:2.750.000.

Gambar 4. Peta batimetri berdasarkan data Gebco 2008 (Gebco_08.nc) dengan


ketelitian 1 menit (sekala 1:2.750.000). Pada peta tersebut, morfologi
sepanjang palung (laut dalam) lebih jelas teramati karena sudah
disempurnakan dengan data batimetri hasil pengukuran HMS Scott
pada 2005.
JURNAL GEOLOGI KELAUTAN
Volume 8, No.3, Desember 2010
109
3) [grdgradient hms0506.grd -Gill45.grd -Nt - Metcalfe, 1993). Subduksi miring (Lempeng
A45] India) di bawah tepian barat Sumatra pada Akhir
Eosen - Awal Oligosen (38 - 35Ma)
4) [grdimage hms0506.grd -Jm9 -B0.5/
mengakibatkan pembentukan Busur Muka
0.5NWSE -Cfr.cpt -Iill45.grd -R92/96/1.5/
Sumatra (Sumatra Fore Arc) (Laughton, Sclater
7.5 -P -V -K > fra.ps]
and, McKenzie 1973, Malod and Kemal, 1996)
5) [psscale -D1.5/40/25/0.5 -Cfr.cpt -O -K diikuti oleh pembentukan Palung Sunda pada
>>fra.ps] Oligosen Atas (29Ma) (Laughton, Sclater and,
6) [pscoast -R -Dh -Jm -O -K -W4 >>fra.ps] McKenzie 1973; Hamilton, 1981). Pembentukan
busur muka tersebut diawali dengan pembukaan
Cekungan Busur Muka (Fore Arc Basin), paralel
TATAAN GEOLOGI DAN TEKTONIK
dengan Palung Sunda pada Oligosen sampai
Subduksi miring Lempeng Indo-Australia
Awal Miosen (Karig et al., 1979; Karig et al.,
yang bergerak ke utara di bawah Lempeng
1980; Malod and Kemal, 1996; Schlüter et al.,
Eurasia-Lempeng mikro Burma membentuk
2002; Susilohadi et al., 2005, Berglar et al,
Palung Sunda dan struktur regional berupa
2009).
komplek sesar-sesar geser dekstral dan zona
sesar anjak (Pubellier et al, 2005; Gambar 2)
mulai dari Burma, Andaman, Nicobar, pantai PETA BATIMETRI BARU
barat Sumatra sampai selatan Pulau Jawa. Peta batimetri seperti layaknya peta
Komplek struktur regional utama antara lain topografi di daratan dapat dipakai untuk
Patahan Sagaing (Myanmar), Patahan Besar kepentingan peta dasar penelitian, peta lokasi,
Sumatra atau dikenal sebagai the Great Sumatra peta geografi maupun dimanfaatkan untuk
Fault (Gambar 2), Patahan West Andaman dan penafsiran pola struktur geologi. Pola struktur
Patahan Mentawai. Patahan Besar Sumatra yang dihasilkan sangat bergantung kepada
adalah patahan geser menganan dengan panjang tingkat ketelitian/resolusi peta yang
mencapai 1900Km - sejajar dengan Pegunungan dipergunakan. Contoh seperti pada Gambar 3,
Bukit Barisan yang terbentuk pada Akhir berupa peta dasar dari Gebco 2006 dengan file
Miosen (Hamilton, 1979; Sieh dan Natawijaja, Gridone.grd yang dapat dibedakan dengan jelas
2000). terutama pada daerah palung dibandingkan
Patahan Sumatra memotong daratan dengan peta Gebco 2008 berupa data
Sumatra mulai dari baratlaut Sabang, Banda gebco_08.nc (Gambar 4), yang sudah meliputi
Aceh, Bukittinggi, Padang, Bengkulu sampai data pengukuran batimetri dari kapal HMS Scott
Teluk Semangko. Di Selat Sunda, patahan 2005 (Henstock, McNeill and Tappin, 2006).
tersebut berbelok ke arah selatan, memotong Dengan tingkat ketelitian 1 menit, tidak banyak
Busur Muka Sumatra. Ke arah lepas pantai unsur struktur geologi yang dapat dikenali
Sumatra, subduksi miring tersebut di atas kecuali zona penunjaman atau palung.
membentuk busur kepulauan non volkanik Dengan menggunakan peta yang diolah
seperti P. Enggano, Kepulauan Mentawai, Nias dengan menggunakan data survei batimetri
dan Simeulue serta patahan geser dekstral (Gambar 5) dilakukan analisis morfotektonik
Mentawai (Diament et al., 1992), yang yang tujuannya untuk menafsirkan struktur
membelah cekungan Busur Muka Mentawai geologi yang berkembang di kawasan Busur
mulai dari Cekungan Bengkulu, sampai Kelokan Muka Aceh. Dalam tulisan hasil awal penelitian
(arch) Pini. Penelitian terbaru (Singh and ini belum dilakukan validasi dengan data bawah
Permana, 2008; Permana et al., 2008; 2009; permukaan seperti seismik pantul maupun
Singh et al., 2009) membuktikan bahwa Patahan gayaberat sehingga struktur geologi yang ditarik
Mentawai tidak murni sebagai patahan geser baru dari aspek permukaan saja sedangkan
tetapi secara parsial menunjukan unsur sudut kemiringan patahan dan jenis patahan
pergeseran naik (thrust) atau back thrust. hanya diperkirakan saja atau menurut literatur.
Subduksi miring Lempeng India (Kerak 1. Gambaran Peta Batimetri
Samudra Hindia) dengan Eurasia sudah dimulai Daerah kajian meliputi kawasan 92º - 96ºT
pada 50-45 Juta tahun lalu/Jtl (Daly et al, 1989; dan 2º -7ºU, terletak di sebelah barat Aceh.

JURNAL GEOLOGI KELAUTAN


110 Volume 8, No.3, Desember 2010
Secara geografis, sisi barat kawasan telitian selatan memiliki kedalaman sampai 3000 m
dibatasi oleh Samudra Hindia, di sisi utara diapit oleh perbukitan di sisi barat dan paparan di
berbatasan dengan Pulau Nicobar (India) dan sisi timur. Cekungan tersebut merupakan
Pulau Sumatra, kemudian dengan Selat Malaka Cekungan Busur Muka (Fore arc Basin) dengan
di sisi timur sedangkan ke arah selatan dibatasi kedalaman 2000 m sampai 3000 m dinamakan
oleh Pulau Simeulue dan Samudra Hindia sebagai Cekungan Aceh (Aceh Basin). Di selatan
(Gambar 6). dari Cekungan Aceh dijumpai suatu punggungan
Bentang alam daerah kajian pada umumnya berarah barat-timur disebut sebagai
membentuk perbukitan dan lembah berarah Punggungan Tuba (Tuba Ridge) (Malod dan
baratlaut-tenggara sampai relatif berarah barat- Kemal., 1996) dengan kedalaman sekitar 700 m.
timur. Kawasan telitian merupakan suatu zona Ke arah utara dari Pulau Weh dijumpai morfologi
penunjaman dan kompleks busur muka atau Fore lembah berbentuk elips dengan kedalaman
Arc yang dinamakan sebagai “Kompleks Busur mencapai 3500 m dinamakan Cekungan Rondo.
Muka Aceh” (Gambar 6). Unsur struktur geologi Di dalam lembah muncul morfologi melingkar
tersebut, dari arah laut ke arah darat, tersusun diperkirakan sebagai tubuh gunungapi bawah
atas Palung Sunda (Sunda Trench)
dengan kedalaman bervariasi mulai
dari 4000 m di utara sampai
kedalaman 5500 m di selatan
Simeulue. Berikutnya adalah Zona
Deformasi, berada pada kedalaman
4000 m sampai 3000m,
membentuk punggungan bukit dan
lembah tidak teratur sejajar
dengan palung. Kemudian
Punggungan atau Tinggian Busur
Luar Aceh (Fore-arc High) berada
pada kedalaman sekitar 300 m
sampai 1000 m, yang secara
geologi merupakan suatu prisma
akresi, tersayat oleh Sistem sesar
anjak (thrust fault), atau terlipat
dalam Sistem zona perlipatan (Fold
belt) atau thrust fold. Bentuk
morfologi sepanjang Busur Muka
Aceh tersebut sangat kasar akibat
patahan wrench dan patahan anjak
(Karig et al., 1979).
Tinggian Busur Luar bagian
paling dangkal sekitar 300 m
dinamakan Tinggian Aceh (Aceh
High). Pada umumnya bentang
alam dicirikan oleh perbukitan dan
lembah memanjang dengan
kedalaman perbukitan bervariasi
antara 500 m sampai 2000 m
sedangkan lembah-lembah berada
pada kedalaman 2000-2500 m. Ke
arah timur dari sistem Busur Gambar 5. Gambaran morfologi bawah laut berdasarkan
muka, terbentuk suatu lembah Peta batimetri gabungan data hasil ekspedisi
yang terbuka melebar ke arah HMS Scott (2005), Aftershock (2005) dan
Sumatra OBS (2006), sekala 1:3.000.000.

JURNAL GEOLOGI KELAUTAN


Volume 8, No.3, Desember 2010
111
laut dengan puncak berada pada kedalaman 1500 punggungan (Gambar 8). Walaupun teramati
m. Gambar 6 memperlihatkan unsur-unsur cukup dominan dan tersebar merata di seluruh
Komplek Busur Muka Aceh. kawasan, kelurusan perbukitan umumnya
berukuran pendek, terputus maupun berbelok
2. Analisis Morfostruktur dengan ukuran 1 Km sampai dengan 50 Km
Penafsiran kelurusan struktur dari data panjang. Kelurusan punggungan di dominasi
batimetri atau morfologi permukaan dasar laut oleh kelurusan berarah Baratlaut-Tenggara (BL-
menerapkan kaidah-kaidah umum seperti pola- Tg) terutama pada lintang 5º-7ºN akan tetapi
pola kelurusan memanjangnya bukit atau terjadi perubahan arah dominan kelurusan pada
punggungan, lembah maupun gawir-gawir. Pola lintang 4º-5ºU yaitu kelurusan berarah barat
kelurusan ini dapat mewakili kelurusan patahan/ baratlaut – timur tenggara seperti halnya yang
sesar, bidang patahan atau perbukitan lipatan. teramati pada lintang 3º-4ºU. Ke arah selatan,
Sesuai dengan resolusi peta, maka penafsiran pada lintang 2º-3ºU, arah dominan kelurusan
kelurusan tidak sampai dapat menentukan posisi perbukitan berubah menjadi relatif barat-timur
bidang perlapisan batuan, bidang patahan (B-T). Arah dan panjang panah pada Gambar 8
maupun jenis batuan. Penafsiran jenis batuan menunjukan arah dominan dan frekuensi dari
hanya sampai pada tingkat kekerasan relatif kelurusan perbukitan.
berdasarkan tekstur morfologi, kasar atau halus.
Kaidah lainnya adalah hukum
potong memotong, dimana
kelurusan struktur yang
memotong merupakan kelurusan
yang terbentuk lebih akhir.
Analisis morfostruktur dalam
tulisan ini terbatas pada kawasan
Busur Muka Aceh dan zona
penunjaman, berdasarkan pada,
antara lain 1). kelurusan lembah
atau gawir perbukitan dan 2).
kelurusan perbukitan. Kelurusan
struktur jenis pertama umumnya
berukuran lebih dari 100 Km
sampai lebih dari 400 Km,
memanjang berarah hampir
baratlaut-tenggara terutama pada
posisi geografis 3,5º-7ºU. Ke arah
selatan dari 3,5ºU, kelurusan
struktur tersebut berubah arah
menjadi dominan berarah hampir
barat baratlaut-tenggara timur
(BBL- TgT) seperti ditampilkan
pada Gambar 7. Kelurusan
struktur jenis pertama ini
dipotong oleh kelurusan gawir
bukit atau lembah sempit yang
berarah hampir utara-selatan (U-
S) terutama di kawasan tengah
daerah penelitian (Gambar 7).
Kelurusan struktur jenis
kedua merupakan penafsiran
kelurusan perbukitan atau Gambar 6. Aspek geografis dan unsur struktur geologi
di daerah penelitian. Sekala peta 1:3.000.000.

JURNAL GEOLOGI KELAUTAN


112 Volume 8, No.3, Desember 2010
Berdasarkan rona dan tekstur morfologi, tenggara tersebut dipotong oleh kelurusan-
maka dapat dibedakan tiga macam tekstur utama kelurusan berarah U-S yang hadir lebih akhir,
yaitu morfologi bertekstur sangat halus seperti diperkirakan sebagai patahan geser atau patahan
teramati di kawasan laut dalam, palung dan normal. Kelurusan tersebut muncul pada
cekungan Aceh. Ditafsirkan batuan penutup kawasan ditempat mana terjadi transisi atau
daerah tersebut merupakan batuan lunak atau meningkatnya tegasan geser. Graindorge et al.
batuan yang belum mengalami kompaksi. (2008), menafsirkan kelurusan U-S di kawasan
Tekstur yang sama menempati daerah lembah- Punggungan Busur Luar sebagai akibat patahan
lembah walaupun sering tidak homogen, artinya geser dekstral yang dibuktikan oleh Berglar et
banyak tonjolan perbukitan kecil. Jenis tekstur al., 2009 melalui studi seismik.
lainnya adalah kasar, membentuk punggungan- Di sisi barat Cekungan Aceh, dijumpai
punggungan atau perbukitan yang cukup kelurusan struktur yang ditafsirkan sebagai
menonjol serta relatif dangkal yang ditafsirkan perpanjangan dari patahan geser West Andaman
sebagai batuan relatif kompak atau tua atau dan Sesar Anjak Aceh (Malod and Kemal, 1996;
batuan telah mengalami kompaksi selama Sibuet et al., 2007; Graindorge et al., 2008;
terjadinya akresi.

ANALISIS DAN PEMBAHASAN


Unsur struktur utama
berdasarkan analisis morfostruktur
adalah kelurusan-kelurusan lembah
maupun gawir. Di bagian sisi
baratdaya peta, kelurusan lembah
mewakili zona penunjaman
lempeng, membentuk Palung Sunda
(Gambar 9). Kelurusan struktur
yang teramati bersebelahan dengan
palung ditafsirkan sebagai sesar
anjak (thrust fault) pada zona
deformasi. Walaupun masih perlu
diperdebatkan, bagian paling bawah
dari patahan anjak dalam sistem
prisma akresi merupakan Sesar
Anjak Bawah (lower thrust).
Kelurusan Sesar Anjak Utama
(main thrust fault) berarah umum
baratlaut-tenggara merupakan
patahan yang memotong bagian
tengah kawasan Punggungan Busur
Luar Aceh sedangkan pada bagian
tepi timur ditempati Sesar Anjak
Atas (upper thrust fault).
Pengkelasan patahan anjak ini diulas
dalam Sibuet et al. (2007) meskipun
masih harus divalidasi oleh data
pengukuran dan penafsiran seismik.
Kelurusan perbukitan merupakan
komplek sabuk perlipatan, dapat
berupa punggungan sinklin atau Gambar 7. Hasil Analisis morfostruktur kawasan Busur
antiklin yang dalam hal ini belum Muka Aceh yang memperlihatkan pola
dapat dipisahkan. Kelurusan- kelurusan struktur paralel dengan kelurusan
kelurusan yang berarah baratlaut- lembah atau gawir.

JURNAL GEOLOGI KELAUTAN


Volume 8, No.3, Desember 2010
113
anjak dan sabuk perlipatan seperti
yang berkembang menjadi komplek
patahan anjak (Gambar 7). Pada
Miosen Tengah (15 Jtl), Sumatra
mengalami rotasi berlawanan jarum
jam akibat berlanjutnya pergerakan
India menabrak Eurasia (Hall, 1996),
sehingga Sumatra mempunyai posisi
berarah hampir baratlaut-tenggara.
Pada tahap ini, komponen
penunjaman miring mulai
berkembang dicirikan oleh terjadi
penurunan tegangan/gaya kompresi
diikuti naiknya tegangan/gaya geser
(shear/S) selama terjadinya rotasi
Sumatra (Hamilton, 1981; 1979;
Malod and Kemal, 1996; Hall, 1996).
Penunjaman miring dan tegasan
geser semakin meningkat sejak 15-
10 Jtl (Hall, 1996). Hal tersebut
mengakibatkan Sistem patahan anjak
maupun komplek perlipatan
mengalami tarikan sehingga
membentuk struktur relatif en
echelon akibat meningkatnya tegasan
geser Kelurusan-kelurusan struktur
sejajar palung mengalami tarikan
sehingga terpotong-potong oleh
kelurusan berarah utara-selatan
seperti diperlihatkan pada Gambar 8.
Meningkatnya tegasan geser
Gambar 8. Kelurusan punggungan yang berkembang di akibat penunjaman miring lempeng
kawasan Busur Muka Aceh berdasarkan terutama sejak Akhir Miosen sampai
Analisis morfostruktur. Arah panah di sisi Holosen (Hall, 1996) menyebabkan
kiri adalah frekuensi dan arah kelurusan terjadinya penguraian tegasan utama
punggungan. (slip partitioning) menjadi gaya
kompresi (frontal) dan gaya geser
Klingelhoefer, Dessa, dan Permana, H., 2006). selama subduksi berlangsung (Malod dan
Ke arah timurlaut, di daratan Sumatra bagian Kemal, 1996; Baroux et al., 1998). Derajat
utara, berkembang kelurusan struktur berarah penguraian tegasan utama berbeda dan lebih
baratlaut-tenggara yang merupakan bagian dari jelas di bawah prisma akresi dan busur muka.
patahan geser Sumatra (Sieh dan Natawidjaja, Selama tahap ini, tegasan geser menjadi
2000). dominan (Baroux et al, 1998) sehingga
Pola struktur yang berkembang dalam membentuk kelurusan-kelurusan struktur yang
Sistem busur muka Aceh dikontrol oleh memotong kelurusan sejajar palung atau
subduksi miring Lempeng India dibawah kelurusan berarah utara-selatan. Kelurusan
Lempeng Eurasia. Sebelum Awal Miosen (20 hampir berarah utara-selatan diperkirakan
Jtl), Sumatra mempunyai posisi berarah relatif sebagai patahan geser dekstral (Graindorge et
utara-selatan (Hall, 1996). Pada kondisi tersebut, al., 2008). Kajian sismik pantul membuktikan
diperkirakan tegasan utama lebih didominasi salah satu kelurusan utara-selatan merupakan
oleh tegangan kompresi membentuk kelurusan patahan geser dekstral (Berglar et al., 2009).
struktur sejajar dengan palung berupa patahan

JURNAL GEOLOGI KELAUTAN


114 Volume 8, No.3, Desember 2010
Zona penunjaman
lempeng sepanjang Palung
Sunda dapat dipetakan lebih
akurat melalui peta batimetri
terbaru
Kelurusan lembah dan
gawir di dalam komplek
Busur Muka Aceh
membentuk unsur patahan
utama yang ditafsirkan
sebagai sesar anjak berarah
utara baratlaut-selatan
tenggara di kawasan utara
lintang 5°U dan berbelok
hampir barat-timur di selatan
Pulau Simeulue (Gambar 7
dan 8). Komplek sesar anjak
di dekat palung (sesar anjak
bawah - Gambar 9) atau pada
zona deformasi lebih aktif
dibandingkan dengan
Komplek Sesar Anjak Utama
dan sesar anjak yang dekat
dengan Cekungan Busur
Muka Aceh (Komplek Sesar
Anjak Atas). Kelurusan
struktur berupa gawir dan
lembah sempit umumnya
berarah utara-selatan yang
memotong kelurusan berarah
baratlaut-tenggara (Gambar
7). Kelurusan tersebut
dianggap kelurusan paling
muda berupa patahan geser
dekstral yang kemungkinan
masih aktif.
Kelurusan perbukitan
Gambar 9. Unsur struktur yang berkembang di daerah Busur yang membentuk kelurusan
Muka Aceh hasil penafsiran data batimetri. Arah en echelon dengan arah
panah di sisi kiri adalah vector dan arah kelurusan bervariasi utara baratlaut-
punggungan. selatan tenggara dan baratlaut
– tenggara, dan kemudian
Hasil seluruh penafsiran unsur struktur pada berubah menjadi berarah
Busur Muka Aceh diperlihatkan pada Gambar 9. hampir barat-timur di sekitar Pulau Simeulue
(Gambar 8). Pola kelurusan perbukitan tersebut
KESIMPULAN ditafsirkan sebagai respon dari naiknya tingkat
Analisis morfostruktur pada peta batimetri kemiringan bidang penunjaman lempeng dari
di kawasan zona penunjaman dan Busur Muka daerah Simeulue ke arah Lintang 5°U -7°U atau
Aceh telah dapat digunakan untuk menafsiran secara umum dari selatan Sumatra ke arah utara
minimal tiga unit pola kelurusan yang berbeda Sumatra (Baroux et al., 1998)
yaitu: Unsur struktur geologi umumnya berarah
baratlaut-tenggara ditafsirkan sebagai patahan

JURNAL GEOLOGI KELAUTAN


Volume 8, No.3, Desember 2010
115
anjak (thrust fault) dengan bidang kemiringan PUSTAKA
(ditafsirkan) berarah timurlaut. Kemungkinan Baroux, E., Avouac, J-P., Bellier, O., and Sebrier,
sebagian dari patahan anjak tersebut M. 1998. Slip-partitioning and fore-arc
berkembang dari komplek lipatan atau thrust deformation at the Sunda Trench,
fold. Salah satu kelurusan di tepi cekungan Aceh Indonesia. Terra Nova, 10, 139-144. 1998.
dinamakan sebagai Patahan Aceh yang
Berglar, K., Gaedicke, C., Dieter Franke, D.,
diperkirakan sebagai patahan Back Thrust
Ladage, S., Frauke Klingelhoefer, F.,
(Chauhan et al., 2009) bersebelahan dengan
Djajadihardja, Y.S. 2009. Structural
Patahan geser West Andaman (WAF) merupakan
evolution and strike-slip tectonics off
penerusan patahan dari kawasan Andaman-
north-western Sumatra. Tectonophysics
Nicobar. Suatu morfologi punggungan dengan
PII: S0040-1951(09)00562-9; doi: 10.1016/
kedalaman sampai 300 m dinamakan
j.tecto.2009.10.003. Accepted date: 6
Punggungan Aceh yang bersebelahan dengan
October 2009
Cekungan Aceh.
Menggunakan kaidah hukum potong Chauhan, A.P.S, Singh, S.C, Nugroho D.
memotong dapat disebutkan bahwa kelurusan Hananto, N.D., Carton, H., Klingelhoefer,
berarah utara – selatan (U-S) merupakan unsur F., Dessa, J.-X., Permana, H., White, N. J. 6
struktur relatif paling muda dibandingkan Graindorge7 D. and SumatraOBS
dengan kelurusan lembah dan perbukitan yang Scientific Team. 2009. Seismic imaging of
berarah Baratlaut-Tenggara (Bl-Tg) atau forearc backthrusts at northern Sumatra
kelurusan barat-timur. subduction zone. Geophys. J. Int. (2009)
Daerah Busur Muka Aceh mengalami minimal doi: 10.1111/j.1365-246X.2009.04378.x
empat periode pembentukan struktur sejak Daly, M. C., Cooper M.A., Wilson I., Smith, D.G.
penunjaman lempeng terjadi. Antara lain and Hooper, B.G.D., 1989, Cenozoic plate
periode pembentukan palung (Palung Sunda) tectonics and basin evolution in
dan pembukaan cekungan busur muka Indonesia.: Marine end Petroleum Geology,
(Cekungan Aceh) disertai pengisian sedimen v. 8, February, p. 2 - 21.
dalam cekungan. Tahap berikutnya adalah Dessa, J-X., F. Klingelhoefer, D. Graindorge, C.
pembentukan zona prisma akresi dengan Sistem André, H. Permana, M.A. Gutscher, A.
sesar anjak dan terakhir terbentuk patahan geser
Chauhan, S. C. Singh, and the SUMATRAOBS
dekstral berarah utara-selatan akibat
scientific team. 2008. Megathrust
meningkatnya derajat kemiringan subduksi
Earthquakes Can Nucleate in the Fore-arc
lempeng.
Mantle: Evidence From the 2004 Sumatra
Event. Sciences.
UCAPAN TERIMA KASIH
Kegiatan pengolahan dan penulisan makalah Diament, M., Harjono, H., Karta, K., Deplus, C.,
ilmiah didanai melalui Kegiatan Program Dahrin, D., Zen, MT, Jr., Gerard, M.,
Insentif Peneliti dan Perekayasa LIPI dengan Lassal, O., Martinn, A., and Malod, J. 1992.
sumber dana dari kerjasama LIPI dan Mentawai fault zone off Sumatra : A new
Departemen Pendidikan Nasional Tahun key to the geodynamic of western
Anggaran 2009. Kami ucapkan terimakasih Indonesia, Geology, v.20.
kepada Prof. Singh (IPG-Paris, Prancis) General Bathymetric Chart of the Oceans
penanggung jawab program SAGER dan Dr. (GEBCO) Digital Atlas (GDA). http://
Klingelhoefer (IFREMER, Brest, Prancis) yang www.ngdc.noaa.gov/mgg/gebco/.
telah memberikan bantuan dalam penggunaan Graindorge, D., F. Klingelhoefer, J-C Sibuet, L.
data batimetri. Begitu pula ucapan terimakasih McNeill, T. J. Henstock, S. Dean, M-A
pada Dr. Henstock dan Dr. McNeill (NOC-UK)
atas dukungannya dalam pemanfaatan data Gutscher, J. X. Dessa, H. Permana, S. C. Singh,
batimetri hasil ekspedisi HMS Scott 2005. H. Leau, N. White, H. Carton, J. A. Malod,
Pengolahan data batimetri dikerjakan oleh rekan C. Rangin, K. G. Aryawan, A. K. Chaubey,
Praditya Avianto dari Puslit Oseanografi LIPI. A. Chauhan, D. R. Galih, C. J. Greenroyd,
A. Laesanpura, J. Prihantono, G. Royle, U.

JURNAL GEOLOGI KELAUTAN


116 Volume 8, No.3, Desember 2010
Shankar. 2008. Impact of lower plate displacement of the accretionary prism.
structure on upper plate deformation at From Hall, R. & Blundell, D. (eds). 1996.
the NW Sumatran convergent margin from Tectonic Evolution of Southeast Asia.
seafloor morphology. Earth and Planetary Geological Society Special Publication No.
Science Letters 275 (2008) 201–210 106, pp. 19-28.
Hall, R., 1996. Reconstructing Cenozoic SE Metcalfe, I. Southeast Asia terranes:
Asia. Geological Society Special Publication, Gondwanaland origins and evolution.
v. no. 106, p. p. 153 – 184. 1993. Gondwana Eight, Findlay, Unrug,
Hall, R., 2002. Cenozoic geological and plate Banks & Veevers (eds) @ 1993. Balkema,
tectonic evolution of SE Asia and the SW Rotterdam. ISBN 90 5410304 3.
Pacific: computer-based reconstructions, Morley, C.K., 2002. Tectonic Setting of
model and animations, Jour. Asian Earth Continental Extensional Provinces and
Sci., 20, 353–434, 2002. Their Impact on Sedimentation and
Hamilton, W. 1979. Tectonics of the Indonesian Hydrocarbon Prospectivity. Sedimentation
region, US Government Printing Office, in Continental Rifts. SEPM Special
Washington, DC. Publication No. 73, Copyright # 2002
SEPM (Society for Sedimentary Geology),
Hamilton, W. 1981. Subduction in the Indonesian ISBN 1-56576-082-4, p. 25-55.
region. Talwani, M., ed. Island arcs deep
sea trenchs and back arc basin. Walter C. Permana, H., Singh, S. C, Hananto, N.D.,
Pitman III. AGU. Maurice Ewing Series 1. Natawidjaja, D.H., Harjono, H., A.
Washington D.C., 2nd Printing. 1981. Chauhan and P. Avianto. 2009. On Land-
Offshore geological structure correlation:
Henstock, T.J., McNeill,L.C. and Tappin, D.R. a morpho-structures study of Mentawai
2006. Seafloor morphology of the Islands. Asia Oceania Geosciences Society,
Sumatran subduction zone: Surface Singapure, 11-15 Agustus 2009
rupture during megathrust (unpublish-oral presentation).
earthquakes?Geology, v34, pp485-488,
2006. Permana, H., S. C. Singh & Research Team (N.
Hananto, A. Chauhan, M. Denolle, A.
Karig, D.E., Lawrence, M.B., Moore, G.F., Hendriyana, Sumirah, A.W. Djaja, E.
Curray, J.R. 1980. Structural framework of Rohendi, C. Sudjana, J. Prihantono, D.D.
the fore-arc basin, NW Sumatra. Jour. Geol. Wardhana). 2008. Submarine landslide and
Soc. (London) 137, 77– 91. Localized Tsunami Potentiality of
Karig, D., S. Suparka, G. Moore, and P. mentawai Basin, Sumatra, Indonesia.
Hehanusa. 1979. Structure and Cainozoic ICTW Electronic publication., Nusa Dua,
evolution of the Sunda arc in the central Bali. Kementerian Riset dan Teknologi.
Sumatra region, AAPG Mem., 29. Pubellier, M., Rangin, C and Le Pichon, X. 2005.
Klingelhoefer, F. , Dessa, J-X. and Permana, H. Deep Offshore Tectonics of South East
2006. On board “Marion Du Fresne” from Asia (Dotsea). A synthesis of deep marine
Jakarta 07/07/2006 to Colombo 09/08/ data in Sotheast Asia. Memoires de la
2006. Ifremer – Centre de Brest – BP 70 – Societe Geologique de France, 2005, n.s.,
29280 Plouzané – France Phone: (33) 298 no. 176
22 42 21 (On board Report, unpublished) Schlüter, H.U., Gaedicke, C., Roeser, H.A.,
Laughton, A.S ; J.G Sclater, & D.P McKenzie. Schreckenberger, B., Meyer, H., and
1973. The Structure and Evolution of the Rreichert, C., Djajadihardja, Y., Prexl, A.
Indian Ocean, Implication of Continental Tectonic features of the southern
Drift to The Earth Sciences, Vol 1, Sumatra-western Java fore-arc of
Academic Press, London and New York. Indonesia. Tectonics, vol. 21, no. 5, 1047,
doi: 10.1029/2001TC901048. 2002.
Malod, J.A. & Kemal, B.M. 1996. The Sumatra
margin: oblique subduction and lateral

JURNAL GEOLOGI KELAUTAN


Volume 8, No.3, Desember 2010
117
Sibuet, J.-C., Rangin, C., Le Pichon, X., Singh, Singh, S.C., Hananto, N.D., Chauhan, A.P.S.,
S., Cattaneo, A., Graindorge, Permana, H., Denolle, M., Hendriyana, A.
D.,Klingelhoefer, F., Lin, J.-Y., Malod, J.A., and Natawidjaja, D.H. 2009. Evidence of
Maury, T., Schneider, J.-L., Sultan, N., active backthrusting at the NE Margin of
Umber, M., Yamagushi, H., the “Sumatra Mentawai Islands, SW Sumatra. Geophys.
aftershocks” team, 2007. 26th December Jour. Int. (2009) doi: 10.1111/j.1365-
2004 Great Sumatra–Andaman 246X.2009.04458.x
Earthquake: Seismogenic Zone and Active Susilohadi, S., Gaedicke, C., and Ehrhardt, A.
Splay Faults. Earth and Planet. Sci. Lett., 2005. Neogene structures and
263, pp. 88–103. doi:10.1016/ sedimentation history along the Sunda
j.epsl2007.09.005. forearc basin off southwest Sumatra and
Sieh, K. and Natawidjaja, D.H. 2000. southwest Java. Marine Geology , 219
Neotectonics of the Sumatran fault, (2005) 133-154.
Indonesia. J. Geophys. Res. 105:28295–326 Wessel, P. and Smith, W.H.F. 2007. The Generic
Singh, S., and Permana, H. 2008. PreTIGAp Mapping Tools GMT V. 4.2.0. A Map-
2008. Pre-Tsunami Investigation of making .
Seismic Gap. June 26, 2008. On Board
report. Unpublish.

JURNAL GEOLOGI KELAUTAN


118 Volume 8, No.3, Desember 2010

Anda mungkin juga menyukai