Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Daerah penelitian termasuk dalam wilayah yang berada di Zona Pegunungan

Selatan yang terletak di Desa Balong dan sekitarnya, Kecamatan Girisubo, Kabupaten

Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta Secara geografis daerah penelitian berada

pada koordinat 070 08” 30’ LS-1100 41” 30’ BT sampai 070 09” 30’ LS-1100 42”

30’BT yang merupakan bagian dari Lembar Jepitu peta nomor 1407-632 dengan

sekala peta 1:12.500. Secara regional daerah penelitian termasuk dalam Pegunungan

Selatan yang merupakan cekungan yang menunjang dengan arah relatif barat – timur

mulai dari Parangtritis di bagian barat sampai Ujung Purwo dibagian Jawa Timur.

Perkembangan tektoniknya tidak lepas dari interaksi konvergen antara Lempeng

Hindia - Australia dengan Lempeng Micro Sunda. Berdasarkan Evolusi Tektonik

Tersier Pulau Jawa (mengutip dari pernyataan C. Prasetyadi, 2007 dalam Karlina

Triana, 2013) dijelaskan bahwa Pulau Jawa merupakan salah satu pulau di Busur

Sunda yang mempunyai sejarah geodinamik aktif, yang jika dirunut

perkembangannya dapat dikelompokkan menjadi beberapa fase tektonik dimulai dari

Kapur Akhir hingga sekarang. Daerah penelitian merupakan daerah yang menarik,

hal ini dikarenakan daerah tersebut mempunyai suatu tatanan geologi yang kompleks,

litologi penyusun yang paling dominan adalah batugamping.

Semakin meningkatnya jumlah penduduk di Yogyakarta yang merupakan kota

pelajar dan kota wisata, maka akan menarik pengunjung untuk beramai-ramai datang

1
2

ke kota Yogyakarta. Pembangunan pada dasarnya merupakan suatu rangkaian upaya

yang dilakukan terus menerus untuk mencapai tingkat kehidupan masyarakat yang

sejahtera. Sejalan dengan semakin pesatnya pembangunan dan dimulainya era

perbaikan di segala bidang, baik industri, perdagangan maupun pariwisata, tentunya

akan disertai dengan pembangunan infrastruktur untuk menunjangnya.

Semakin bertambahnya pertumbuhan dan perkembangan kota, maka semakin

tinggi kebutuhan akan bahan baku bangunan yang memiliki kualitas dan kuantitas

yang mumpuni. Dalam hal ini bahan baku bangunan yang dibutuhkan berupa batuan

untuk bahan pengeras jalan, batu tersebut berupa batugamping. Batugamping yang

baik untuk bahan baku bangunan haruslah memiliki kualitas yang baik berdasarkan

parameter kualitas yang berupa kekuatan atau ketahanan dari batugamping.

Daerah ini telah banyak dilakukan penelitian baik dalam skala lokal maupun

regional. Penelitian regional telah banyak dilakukan dan menghasilkan berbagai versi,

baik itu hasil yang hampir sama maupun berbeda. Oleh karena itu, sebagai seorang

mahasiswa jurusan teknik geologi dituntut untuk dapat melaksanakan penelitian

geologi didaerah tersebut, untuk mengaplikasikan teori-teori geologi yang didapat di

bangku kuliah, sehingga dapat menyelesaikan permasalahan geologi di daerah

penelitian.

Adanya pembangunan jalan lintas dan pemanfaatan batugamping sebagai

pengeras jalan di Desa Balong inilah yang mendasari penyusun untuk melakukan

analisis sifat keteknikan batugamping Desa Balong yang mana batugamping ini

merupakan batuan penyusun di lokasi penelitian. Melalui analisis sifat keteknikan


3

batuan ini diharapkan dapat diketahui kalayakan dan kualitas batugamping sebagai

pengeras jalan sesuai dengan Standar Nasional Indonesia tentang batualam sebagai

bahan bangunan. Sehingga penelitian ini dapat dijadikan pedoman atas kelayakan

pemanfaatan batugamping sebagai batuan penyusun untuk bahan pengeras jalan.

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari penulisan ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat kurikulum di

Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral Institut Sains & Teknologi

AKPRIND Yogyakarta.

Tujuan dari penulisan ini untuk mengetahui sifat keteknikan batugamping sebagai

pendukung dibuatnya jalan khusus.

1.3 Batasan Masalah

Upaya memenuhi kebutuhan data geologi tentunya sangat diperlukan dalam

penelitian ini penyusun hanya membatasi pada kajian sifat keteknikan batugamping

di daerah Kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta seperti pada (Gambar 1.1) melalui pengamatan di lapangan dan dengan

Analisis uji Laboratorium di IST Akprind Yogyakarta. Analisis yang dilakukan

secara detail pada batuan yang masih segar, tidak termasuk lapukannya. Analisis

keteknikan batuan yang dilakukan adalah sifat fisik meliputi uji berat jenis (bulk

density) bobot isi, porositas, angka pori dan sifat mekanik (berupa uji kuat tekan).

Sifat keteknikan berupa uji kuat tekan yang dihasilkan dibandingkan dengan SNI 03-

0394-1989.
4

Gambar 1.1 Lokasi Penelitian (sumber : Surono, dkk., 1992, Peta RBI Lembar Surakarta-Giritontro,
Jawa, Skala 1 : 100.000)

1.4 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka yang digunkan dalam penelitian ini adalah hasil dari peneliti

terdahulu diantaranya geologi regional daerah penelitian, definisi tentang mekanika

batuan dan standar baku mutu bahan bangunan.

1.4.1 Kondisi Regional Daerah Penelitian

Secara fisiografi daerah penelitian termasuk dalam wilayah regional Pegunungan

Selatan (Van Bemmelan, 1949 dalam Albi Daniel, 2011) sekaligus termasuk dalam peta

lembar Yogyakarta 1408-2 & 1407-5. Berdasarkan peta geologi, terdapat beberapa
5

formasi, yaitu Formasi Kepek, Formasi Wonosari - Formasi Punung, Formasi Oyo,

Formasi Napal, Formasi Wuni, Formasi Sambipitu, Formasi Jaten, Formasi Nglanggeran,

Formasi Semilir, Formasi Kebo Butak, Formasi Besole dan Formasi Wungkal - Gamping

(Surono, dkk, 1992 dalam Albi Daniel, 2011). Dimana daerah penelitian masuk dalam

formasi Wonosari-punung, formasi ini tersingkap baik di daerah Wonosari dan

sekitarnya, membentuk morfologi karts, terdiri dari batugamping terumbu,

batugamping bioklastik berlapis dan napal. (Surono, 1989 dalam S. Maryanto 2015).

Menurut S. Maryanto dalam penelitiannya sedimentologi dan diagenesis

batugamping formasi wonosari pada tahun 2015 menyebutkan bahwa batugamping

formasi wonosari jenisnya adalah wackestone, packstone, dan floatstone.

1.4.2 Mekanika Batuan

Berbagai definisi batuan sebagai obyek dari mekanika batuan (Rai, dkk, 1988)

telah diberikan oleh ahli dari berbagai disiplin ilmu yang saling berhubungan, antara

lain:

1. Menurut para Geologist

a. Batuan adalah susunan mineral dan bahan organis yang bersatu membentuk

kulit bumi.

b. Batuan adalah semua mineral yang membentuk kulit bumi yang dibagi atas

batuan yang terkonsolidasi (Consolidated Rock) dan Batuan yang tidak

terkonsolidasi (Unconsolidated Rock)

2. Menurut para ahli Teknik Sipil khususnya para ahli Geologi

a. Istilah batuan hanya untuk formasi yang keras dan solid dari kulit bumi
6

b. Batuan adalah suatu bahan yang keras dan koheren atau yang telah

terkonsolidasi dan tidak dapat digali dengan cara biasa

3. Menurut ASTM, batuan adalah suatu bahan yang terdiri dari mineral padat (Solid)

berupa massa yang berukuran besar ataupun berupa fragmen-fragmen.

4. Secara umum batuan adalah campuran dari satu atau lebih mineral yang berbeda,

tidak mempunyai komposisi kimia tetap. Selain itu, batuan memiliki sifat alami,

diantaranya adalah

a. Heterogen

b. Diskontinu

c. Anisotrop

Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa batuan tidak sama dengan

tanah. Tanah dikenal sebagai material yang mobile, rapuh dan letaknya dekat dengan

permukaan bumi.

Definisi mekanika batuan (Rai, dkk, 1988) telah diberikan oleh beberapa ahli

atau komisi-komisi yang bergerak di bidang ilmu tersebut, antara lain :

1. Menurut Talobre, Mekanika batuan adalah sebuah teknik dan juga sains yang

tujuannya adalah mempelajari perilaku batuan di tempat asalnya untuk dapat

mengendalikan pekerjaan-pekerjaan yang dibuat pada batuan tersebut.

2. Menurut Coates, Mekanika batuan adalah ilmu yang mempelajari efek dari gaya

atau tekanan terhadap batuan.

3. Menurut US National Committee On Rock Mechanics (1984), Mekanika batuan

adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku batuan baik secara teoritis
7

maupun terapan, merupakan cabang ilmu mekanika yang berkenaan dengan sikap

batuan terhadap medan-medan gaya pada lingkungannya.

4. Menurut Hudson dan Harrison, mekanika batuan adalah ilmu yang mempelajari

reaksi batuan yang apabila padanya dikenai suatu gangguan. Dalam hal materi,

alam, ilmu ini berlaku untuk masalah deformasi suatu struktur geologi, seperti

bagaimana lipatan, patahan, dan rekahan berkembang begitu tegangan terjadi pada

batuan selama proses geologi.

Batuan mempunyai sifat-sifat tertentu yang perlu diketahui dalam mekanika

batuan dan dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu :

1. Sifat fisik batuan seperti bobot isi, berat jenis, porositas, absorpsi, dan void ratio

2. Sifat mekanik batuan seperti kuat tekan, kuat tarik, modulus elastisitas dan nisbah

poisson.

Sifat fisik batuan adalah sifat yang terdapat pada suatu batuan setelah dilakukan

pengujian tanpa melakukan pengerusakan. Setelah batuan selesai dipreparasi

kemudian setiap sampel yang diperoleh diukur diameter dan tingginya kemudian

dihitung luas permukaan dan volumenya. Adapun sifat fisik pada batuan yang akan

diuji meliputi :

1. Bobot Isi

Bobot isi adalah perbandingan antara berat batuan dengan volume batuan. Bobot

isi berdasarkan sifatnya dibagi menjadi 3, yaitu :

a. Bobot isi asli, yaitu perbandingan antara berat batuan asli dengan volume batuan.
8

𝑊𝑛
Bobot asli : 𝑊𝑤−𝑊𝑠

b. Bobot isi jenuh, yaitu perbandingan antara berat batuan jenuh dengan volume

batuan.
𝑊𝑤
Bobot isi jenuh : 𝑊𝑤−𝑊𝑠

c. Bobot isi kering, yaitu perbandingan antara berat batuan kering dengan volume

batuan.
𝑊𝑜
Bobot isi kering : 𝑊𝑤−𝑊𝑠

2. Spesific Gravity (Berat Jenis)

Spesific gravity adalah perbandingan antara bobot isi dengan bobot isi air. Spesific

gravity dapat dibagi menjadi dua, yaitu :

a. Apparent spesific gravity, yaitu perbandingan antara bobot isi kering batuan dengan

bobot isi air.


𝑊𝑜
Berat jenis semu : 𝑊𝑤−𝑊𝑠

b. True spesific gravity, yaitu perbandingan antara bobot isi basah batuan dengan

bobot isi air.


𝑊𝑜
Berat jenis asli : 𝑊𝑤−𝑊𝑠

3. Porositas

Porositas didefinisikan sebagai perbandingan volume pori-pori atau rongga batuan

terhadap volume total batuan yang dinyatakan dalam %.


𝑊𝑛−𝑊𝑜
Porositas : 100%
𝑊𝑤−𝑊𝑠
9

4. Angka Pori

Angka pori adalah perbandingan antara volume pori-pori dalam batuan dengan

volume batuan.
𝑛
Void ratio :
1−𝑛

5. Derajat Kejenuhan

Derajat kejenuhan adalah perbandingan antara kadar air asli dengan kadar air

jenuh yang dinyatakan dalam %.


𝑊𝑛−𝑊𝑜
Derajat kejenuhan : 100%
𝑊𝑤−𝑊𝑠

6. Kadar Air

Kadar air adalah perbandingan antara berat air yang ada di dalam batuan

a. Kadar air asli, yaitu perbandingan antara berat air asli yang ada dalam batuan

dengan berat butiran batuan itu sendiri dalam %.


𝑊𝑛−𝑊𝑜
Kadar air asli : 100%
𝑊𝑜

b. Kadar air jenuh, yaitu perbandingan antara berat air jenuh yang ada dalam batuan

dengan berat butiran batuan itu sendiri dalam %.


𝑊𝑤−𝑊𝑜
7. Kadar air jenuh (Saturated Water Content) : 100%
𝑊𝑜

Keterangan:

1) Berat asli (natural) : Wn

2) Berat kering (sesudah dimasukkan ke dalam oven selama 24 jam dengan

temperatur kurang lebih 100o C) : Wo


10

3) Berat jenuh (sesudah dijenuhkan dengan air selama 24 jam) : Ww

4) Berat jenuh + berat air + berat bejana : Wb

5) Berat jenuh di dalam air : Ws = (Wa – Wb)

6) Volume sampel tanpa pori-pori : Wo – Ws

7) Volume sampel total : Ww - Ws

Selain dari sifat fisik yang di atas, salah satu sifat teknik yang penting untuk

diuji adalah uji kuat tekan. Uji kuat tekan memiliki tujuan untuk mengetahui batas

hancur suatu batuan (material) terhadap pemberian suatu tekanan (beban) maksimum.

Menurut (Ahmad, 2009 dalam Nurmitha, 2016) data diperoleh melalui

pengujian tekan di laboratorium dengan menggunakan mesin uji tekan untuk semua

benda uji. Hasilnya berupa gaya (P) yang terjadi pada saat benda uji hancur.

Berdasarkan data gaya tekan dan luas penampang kubus, maka kuat tekan beton dapat

dihitung dengan menggunakan rumus :

𝑷
𝒇=𝑨 (1)

Keterangan :

f = Kuat tekan (kg/cm²) P = Gaya tekan (kg)

A = Luas penampang kubus (cm²)

Proses geologi yang terjadi selama dan setelah pembentukan batuan

mempengaruhi sifat massa batuan (rock mass properties), termasuk sifat

keteknikannya (engineering properties). Di alam, massa batuan cenderung tidak ideal


11

dalam beberapa hal (Goodman, 1989 dalam Saptono, 2009), faktor penyebab dari

pengujian kuat tekan contohnya adalah proses pelapukan. Pelapukan batuan adalah

proses yang menyebabkan alterasi batuan, disebabkan oleh air, karbon dioksida dan

oksigen (Giani, dalam Saptono, 2009) atau proses eksternal menyebabkan hilang dan

berubahnya sifat asal mula menjadi kondisi yang baru. Prosesnya melibatkan agen-

agen fisika, kimia, biologi (Bates, 1987 dalam Saptono, 2009), atau melalui proses

mekanika dan dipengaruhi oleh keadaan iklim (Giani, 1992 dalam Saptono, 2009)

pelapukan berbentuk desintegrasi dan dekomposisi.

Desintegrasi adalah hasil perubahan lingkungan, seperti kelembaban,

pembekuan dan pemanasan. Sedangkan dekomposisi menunjukkan perubahan batuan

oleh agen-agen kimia seperti proses oksidasi pada batuan mengandung besi, hidrasi

seperti perubahan feldspar menjadi kaolinit, dan karbonisasi seperti pelarutan

batugamping. Dampak pelapukan tidak hanya terbatas di permukaan saja tetapi lebih

dalam, umumnya pada kedalaman yang dangkal, tergantung kehadiran saluran yang

memungkinkan aliran air dan kontak dengan atmosfer. Berkurangnya kekuatan

batuan oleh pelapukan akan mengurangi kuat geser diskontinuitas. Sehingga

pelapukan juga akan mengurangi kuat geser massa batuan diakibatkan pengurangan

kekuatan batuan. Pelapukan menghasilkan pengurangan kompetensi batuan dari sudut

pandang engineering atau mekanika batuan (Giani, 1992 dalam Saptono, 2009).

Kekuatan batuan juga dipengaruhi oleh mineralogi batuan dimana komposisi

mineral pada batuan sangat berpengaruh terhadap resistensi ataupun dalam uji kuat

tekan batuan. Mineral-mineral dengan tingkat kekerasan yang tinggi akan memiliki
12

resistensi yang juga tinggi, ukuran butir juga dapat mempengaruhi kekuatan batuan

karena semakin kecil ukuran butir suatu batuan maka akan semakin tinggi nilai kuat

tekannya (Sutapa,2011 dalam Nurmitha, 2016). Selain itu keheterogen komposisi

mineral kuat tekan batuan juga dipengaruhi oleh adanya pola-pola rekatan atau kekar-

kekar pada sampel batuan tersebut. Dimana semakin banyak pola-pola kekar ada

sampel batuan maka nilai kuat tekannya akan semakin rendah. Hal ini berkaitan

dengan pengaruh skala batuan terhadap kuat tekan batuan (Saptono, 2009).

1.4.3 Sifat Keteknikan Batuan

Sifat Mekanik Batuan adalah sifat yang terdapat pada suatu batuan yang

merupakan pengujian merusak, sehingga percontohan hancur. Adapun sifat mekanik

batuan meliputi kuat tekan, kuat tekan merupakan harga tekan yang diterima pada

saat batuan pecah akibat ditekan oleh suatu gaya tertentu.

Untuk melakukan uji Sifat keteknikan batuan penelitian ini dengan

pertimbangan sifat-sifat batuan dalam mekanika batuan, yaitu pada sifat fisik yang

meliputi uji bobot isi, berat jenis (specific gravity) dan porositas. Sedangkan pada

sifat mekanik dengan uji kuat tekan. Uji sifat keteknikan ini dilakukan di lapangan

dan di laboratorium, yaitu :

1) Di Lapangan

Yaitu mengambil sampel batuan dengan ukuran 10 cm x 10 cm yang cukup untuk

di potong membentuk blok.

2) Di Laboratorium
13

Berupa sampel batuan yang telah di potong, kemudian dilakukan uji sifat fisiknya

yaitu meliputi uji bobot isi, berat jenis (specific gravity) dan porositas, kemudian

sifat mekaniknya yaitu meliputi uji kuat tekan. Pada Penelitian ini, sampel yang

digunakan di laboratorium yaitu sampel dari lapangan dan di potong blok untuk

pengukuran tinggi, diameter, luas dan volume.

1.4.4 Standar Baku Mutu Bahan Bangunan

Tabel 1.1 Baku Mutu Batualam Untuk Bangunan


(Sumber Anonim 1998, SNI 03-0394-1989 )

Batuan Alam Untuk

Pondasi Bangunan Batu


Tonggak
Sifat - Sifat Penutup Hias
Bera Dan Batu
Lantai/ Atau
Sedang Ringan Tepi
t Trotoar Batu
Jalan
Tempel
Kuat Tekan Rata-
Rata Minimum 1500 1000 800 500 600 200
(Kg/Cm²)
Ketahanan Geser
Loss Angeles
Bagian Tembus
27 40 50 - - -
1,7mm (
Maksimum %
)
Penyerapan Air
Maksimum % 5 5 8 5 5 5*, 12**

Kekekalan
Bentuk Dengan
Na Sulfat 12 12 12 12 12 12
Hancur,
Maksimum %

Standar baku mutu bahan bangunan yang digunakan dalam penggunaan

batualam sebagai bahan bangunan adalah Standar Nasional Indonesia yaitu mengacu
14

pada SNI 03-0394-1989. Tentang syarat nilai kuat tekan yang didapatkkan baku mutu

batualam untuk bahan bangunan dapat dilihat pada (Tabel 1.1) dimana setiap nilai

baku mutu batualam sudah ada kegunaanya dengan nilai kuat tekan yang berbeda-

beda, apabila dalam nilai kuat tekan yang tidak mencapai standar SNI baku mutu

batualam maka batualam tersebut tidak layak digunakan sesuai yang diinginkan dan

apabila nilai kuat tekan tersebut sesuai dengan standar baku mutu Standar Nasional

Indonesia maka batualam tersebut layak untuk digunakan sesuai yang diinginkan.

1.4.5 Kondisi Regional Daerah Penelitian

Proses pembentukan batugamping (Gambar 1.2) dapat terjadi secara insitu

berasal dari larutan yang mengalami proses kimia maupun biokimia di mana

organisme turut berperan, dapat terjadi dari butiran rombakan yang mengalami

transportasi secara mekanik dan diendapkan di tempat lain.

Gambar 1.2 Ilustrasi kondisi ideal pembentukan batugamping


(James & Bourque, 1992 dalam Aji, W. S., 2015)
15

Seluruh proses tersebut berlangsung pada lingkungan air laut, jadi praktis bebas

dan detritus asal darat. Dalam pengklasifikasian batugamping dapat dibagi menjadi 2,

yaitu klasifikasi deskriptif dan klasifikasi genetik. Klasifikasi deskriptif merupakan

klasifikasi yang didasarkan pada sifat-sifat batuan yang dapat diamati dan dapat

ditentukan secara langsung, seperti fisik, kimia, biologi, mineralogi atau tekstur.

Klasifikasi genetik merupakan klasifikasi yang lebih menekankan pada asal usul

batuan. Parameter sekunder yang digunakan antara lain porositas, sementasi, tingkat

abrasi atau kebundaran butiran, penambahan unsur nonklastik dan sebagainya.

Gambar 1.3 perbandingan skala Wentworth dan terminologi Grabau untuk penamaan batuan karbonat
(Colin J.R. Braithwaite, 2005 dalam Aji, W. S., 2015)

Berikut beberapa klasifikasi yang dikemukakan oleh tokoh ahli mengenai

batugamping, yaitu diantaranya klasifikasi menurut :

1. Klasifikasi Grabau (1904)

Menurut klasifikasi Grabau, batugamping dapat dibagi menjadi 5 macam

seperti pada (Gambar 1.3), yaitu:


16

a. Calcirudite, yaitu batugamping yang ukuran butirnya lebih besar dari pada pasir

(>2 mm).

b. Calcarenite, yaitu batugamping yang ukuran butirnya sama dengan pasir (1/16-2

mm).

c. Calcilutite, yaitu batugamping yang ukuran butirnya lebih kecil dari pasir (<1/16

mm).

d. Calcipuluerite, yaitu batugamping hasil presipitasi kimiawi, seperti batugamping

kristalin.

e. Batugamping organik, yaitu hasil pertumbuhan organisme secara insitu seperti

terumbu dan stromatolite.

2. Klasifikasi Dunham (1962)

Dunham membuat klasifikasi batugamping berdasarkan tekstur deposisi

batugamping, yaitu tekstur yang terbentuk pada waktu pengendapan batugamping,

meliputi ukuran butir dan susunan butir (sortasi). Ada beberapa hal yang perlu

diperhatikan sehubungan dengan pengklasifikasian batugamping berdasarkan tekstur

deposisinya, yaitu:

a. Derajat perubahan tekstur pengendapan

b. Komponen asli terikat atau tidak terikat selama proses deposisi

c. Tingkat kelimpahan antar butiran (grain) dan lumpur karbonat

Berdasarkan ketiga hal tersebut di atas, maka Dunham mengklasifikasikan

batugamping menjadi 5 macam, yaitu mudstone, wackestone, packestone, grainstone,

dan boundstone. Sedangkan batugamping yang tidak menunjukkan tekstur deposisi


17

disebut crystalline carbonate. Fabrik (supportation) grain-supported (butiran yang

satu dengan yang lain saling mendukung) dan mud-supported (butiran mengambang

di dalam matrik lumpur karbonat) digunakan untuk membedakan antara wackestone

dan packestone. Dunham tidak memperhatikan jenis butiran karbonatnya seperti

klasifikasi Folk. Batas ukuran butir yang digunakan oleh Dunham untuk

membedakan antara butiran dan lumpur karbonat adalah 20 mikron (lanau kasar).

Klasifikasi batugamping yang didasarkan pada tekstur deposisi dapat dihubungkan

dengan fasies terumbu dengan tingkat energi yang bekerja, sehingga dapat untuk

interpretasi lingkungan pengendapan. Klasifikasi ini memiliki kelebihan dan

kekurangan, sebagai berikut:

a. Kelebihan :

1) Sangat mudah digunakan, karena tidak perlu menentukan jenis butiran secara

detail. Jenis butiran tidak mempengaruhi penamaan batuan, (Gambar 1.4).

2) Dapat digunakan untuk menentukan tingkat diagenesa, karena klasifikasi ini

berdasarkan pada fabric sehingga sparit tidak perlu di deskripsi.

b. Kekurangan :

Pada sayatan tipis tidak mudah membedakan fabric batuan karena pada sayatan

tipis hanya memberikan gambaran 2 dimensi.

1) Mudstone – batuan karbonat, yang mengandung butiran kurang dari 10%,

sinonim dengan kalsilutit, hanya saja tidak menyebutkan secara spesifik

komposisi mineralogi.
18

2) Wackestone – batuan karbonat yang mud supported mengandung lebih dari 10%

butiran tetapi antar butirannya tidak saling bersinggungan, butiran kasar

mengambang dalam matriks.

3) Packstone - Batuan karbonat, grain supported, terdapat kandungan lumpur dan

antar butiran saling bersinggungan.

4) Grantstone - Batuan karbonat, tidak terdapat lumpur, grain supported, dan antar

butir saling bersinggungan.

5) Boundstone - Batuan karbonat, mengalami pengikatan material organik sewaktu

pengendapan yang mengindikasikan asal-usul komponen yang direkatkan

bersama selama proses deposisi.

6) Crystalline carbonates - Batuan karbonat, tidak menunjukkan tekstur deposisi,

dimasukkan dalam klasifikasi sendiri.

Gambar 1.4 Klasifikasi Dunham (Dunham, 1962 dalam Aji, W. S., 2015)
19

3. Klasifikasi Embry and Klovan (1971)

Klasifikasi ini didasarkan pada tekstur pengendapan dan merupakan

pengembangan dari klasifikasi Dunham (1962) yaitu dengan menambahkan kolom

khusus pada kolom boundstone, menghapus kolom crystalline carbonate, dan

membedakan % butiran yang berdiameter </= 2 mm dari butiran yang berdiameter >

2mm. Klasifikasi Embry and Klovan seluruhnya didasarkan pada tekstur

pengendapan dan lebih tegas di dalam ukuran butir yaitu ukuran grain =/>0,03–2 mm

dan ukuran lumpur karbonat <0,03 mm. Berdasarkan cara terjadinya, Embry &

Klovan membagi batugamping menjadi dua kelompok, yaitu batugamping

allochtonous dan batugamping autochtonous. Batugamping autochtonous adalah

batugamping yang komponen penyusunnya berasal dari organisme yang saling

mengikat selama pengendapannya. Batugamping ini dibagi menjadi 3 yaitu:

bafflestone (tersusun oleh biota berbentuk cabang), bindstone (tersusun oleh biota

berbentuk menegak atau lempengan) dan framestone (tersusun oleh biota berbentuk

kubah atau kobis). Batugamping allochtonous adalah batugamping yang

komponennya berasal dari sumbernya oleh fragmentasi mekanik, kemudian

mengalami transportasi dan diendapkan kembali sebagai partikel padat. Batugamping

ini dibagi menjadi 6 macam yaitu: mudstone, wackestone, packetone, grainstone,

floatstone dan rudstone. Klasifikasi Embry & Klovan sangat tepat untuk mempelajari

fasies terumbu dan tingkat energi pengendapan pada (Gambar, 1.5).

Tambahan pada klasifikasi ini yaitu dengan membagi lagi kelompok boundstone

menjadi 5 yaitu:
20

a. Floatstone, batugamping dengan komponen yang lebih besar dari 2 mm dengan

komposisi lebih besar dari 10%, matriks supported.

b. Rudstone, batugamping dengan komponen yang lebih besar dari 2 mm dengan

komposisi lebih besar dari 10%, komponen supported.

c. Bqfflestone, terbentuk akibat perilaku organisme seperti baffle , berdasarkan atas

komponen terumbu yang merupakan perangkap sedimen dan menghapus kolom

crystalline carbonates.

d. Bindstone, terbentuk akibat organisme yang terjebak dan terjepit selama proses

deposisi.

e. Framestone, terbentuk oleh aktivitas organisme yang membentuk kerangka yang

keras.

f.

Gambar 1.5 Klasifikasi batuan karbonat oleh Dunham yang dimodifikasi oleh Embry dan
Klovan (After Dunham, 1962 dan Embry & Klovan 1971 dalam Aji, W. S., 2015)
21

1.4.6 Definisi, Fungsi dan Peranan Jalan

1. Definisi

Menurut Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 tentang jalan, jalan adalah

prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan

pelengkap dan perlengkapannya yang di peruntukkan bagi lalu lintas, yang berada

pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau

air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel.

2. Fungsi dan Peranan Jalan

Dalam skala lebih luas fungsi dari jalan akan berbeda sesuai dengan perbedaan

karakteristik lalu lintasnya. Dikenal ada jalan arteri kolektor lokal dan lingkungan.

Jalan arteri atau jalan utama adalah jalan yang menampung lalu lintas dengan sifat

jauh dan cepat kolektor menampung lalu lintas sesaat dan kecepatan sangat rendah.

Sistem jaringan jalan terdiri atas sistem jaringan jalan primer dan sistem

jaringan jalan sekunder. Sistem jaringan jalan primer merupakan sistem jaringan jalan

dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk pengembangan semua

wilayah di tingkat nasional, dengan menghubungkan semua simpul jasa distribusi

yang berwujud pusat-pusat kegiatan, dan sistem jaringan jalan sekunder merupakan

sistem jaringan jalan dengan peranan pelayanan distribusi barang dan jasa untuk

masyarakat di dalam kawasan perkotaan. Yang mana pengelompokkan dan

peranannya adalah sebagai berikut :

1) Jalan arteri adalah merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan

utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan jumlah
22

jalan masuk dibatasi secara berdaya guna. Jalan arteri dibagi menjadi jalan arteri

primer dan arteri sekunder. Jalan ini menghubungkan kota jenjang kesatu terletak

berdampingan atau menghubungkan kota jenjang ke satu dengan kota jenjang

kedua.

2) Jalan kolektor adalah jalan umum yang berfungsi melayani angkutan pengumpul

atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata-rata sedang, dan

jumlah jalan masuk dibatasi. Jalan ini terdiri dari jalan kolektor primer dan jalan

kolektor sekunder. Jalan ini menghubungkan kota jenjang kedua dengan kota

jenjang kedua atau kota jenjang kedua dengan kota jenjang ketiga.

3) Jalan lokal adalah merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan

setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah, dan

jumlah jalan masuk tidak dibatasi. Jalan lokal menghubungkan kota jenjang kesatu

dengan persil atau kota jenjang kedua dengan persil, kota jenjang ketiga dengan

kota jenjang ketiga, kota jenjang ketiga dengan kota jenjang dibawahnya, kota

jenjang ketiga dengan persil atau kota dibawah dengan kota jenjang ketiga sampai

persil. Jalan lokal dapat dibagi menjadi jalan lokal primer dan jalan lokal sekunder.

4) Jalan lingkungan adalah merupakan jalan umum yang berfungsi melayani

angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan rata-rata

rendah. Jalan lingkungan meliputi jalan lingkungan primer dan jalan lingkungan

sekunder. Jalan lingkungan primer merupakan jalan lingkungan dalam skala

wilayah tingkat lingkungan seperti di kawasan perdesaan di wilayah kabupaten,

sedangkan jalan lingkungan sekunder merupakan jalan lingkungan dalam skala


23

perkotaan seperti di lingkungan perumahan, perdagangan, dan pariwisata di

kawasan perkotaan.

Pengaturan kelas jalan berdasarkan spesifikasi penyediaan prasarana jalan

dikelompokkan sebagai berikut :

1) Jalan bebas hambatan (freeway) adalah jalan umum untuk lalu lintas menerus

yang memberikan pelayanan menerus/tidak terputus dengan pengendalian jalan

masuk secara penuh, dan tanpa adanya persimpangan sebidang, serta dilengkapi

dengan pagar ruang milik jalan, paling sedikit 2 (dua) lajur setiap arah dan

dilengkapi dengan median;

2) Jalan raya (highway) adalah jalan umum untuk lalu lintas menerus dengan

pengendalian jalan masuk secara terbatas dan dilengkapi dengan median, paling

sedikit 2 (dua) lajur setiap arah;

3) Jalan sedang (road) adalah jalan umum dengan lalu lintas jarak sedang dengan

pengendalian jalan masuk tidak dibatasi, paling sedikit 2 (dua) lajur untuk 2 (dua)

arah dengan lebar paling sedikit 7 (tujuh) meter;

4) Jalan kecil (street) adalah jalan umum untuk melayani lalu lintas setempat, paling

sedikit 2 (dua) lajur untuk 2 (dua) arah dengan lebar paling sedikit 5,5 (lima

setengah) meter.

Anda mungkin juga menyukai