Dosen Pembimbing
Husnul Hidayat S.T., M.T
NIP 199008072015041001
Hepi Hapsari Handayani S.T., M.Sc., Ph.D
NIP 197812122005012001
Teknik Geomatika
Departemen Teknik Geomatika
Fakultas Teknik Sipil, Perencanaan dan Kebumian
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya
2022
TUGAS AKHIR – 184831
Dosen Pembimbing
Husnul Hidayat S.T., M.T
NIP 199008072015041001
Hepi Hapsari Handayani S.T., M.Sc., Ph.D
NIP 197812122005012001
Teknik Geomatika
Departemen Teknik Geomatika
Fakultas Teknik Sipil, Perencanaan, dan Kebumian
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya
2022
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
FINAL PROJECT – 184831
Advisor
Husnul Hidayat S.T., M.T
NIP 199008072015041001
Hepi Hapsari Handayani S.T., M.Sc., Ph.D
NIP 197812122005012001
Geomatics Engineering
Department of Geomatics Engineering
Faculty of Civil, Planning, and Geo Engineering
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya
2022
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
i
LEMBAR PENGESAHAN
TUGAS AKHIR
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Teknik pada
Program Studi S-1 Teknik Geomatika
Departemen Teknik Geomatika
Fakultas Teknik Sipil, Perencanaan, dan Kebumian
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
SURABAYA
JULI, 2022
i
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
APPROVAL SHEET
SURABAYA
JULI 2022
iii
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
PERNYATAAN ORISINALITAS
dengan ini menyatakan bahwa Tugas Akhir dengan judul “Analisis Daerah Rawan Longsor
Menggunakan Implementasi Algoritma Random Forest (Studi Kasus: Kota Batu, Jawa Timur)”
adalah hasil karya sendiri, bersifat orisinal, dan ditulis dengan mengikuti kaidah penulisan
ilmiah.
Bilamana di kemudian hari ditemukan ketidaksesuaian dengan pernyataan ini, maka saya
bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Institut Teknologi Sepuluh
Nopember.
Mahasiswa
hereby declare that the Final Project with the title of “Analysis Of Landslide Susceptibility
Using The Algorithm Implementation Of Random Forest (Case Study: Batu City, Jawa Timur)”
is the result of my own work, is original, and is written by following the rules of scientific
writing. If in the future there is a discrepancy with this statement, then I am willing to accept
sanctions in accordance with the provisions that apply at Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
Acknowledged
Advisor Co-Advisor
Student
Abstrak
Tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang paling merugikan karena
kejadiannya seringkali bersifat merusak struktur alami dan buatan di bumi serta menurunkan
kualitas lingkungan sekitar. Prediksi tingkat kerawanan longsor pada suatu wilayah dapat
digunakan untuk mengurangi kerugian yang ditimbulkan seperti material, korban jiwa serta
kerusakan lingkungan lainnya. BPBD Kota Batu menyebutkan bahwa tanah longsor merupakan
bencana yang paling sering terjadi di Kota Batu dengan paling sedikit dua puluh kejadian tiap
tahunnya. Pada tahun 2021, terjadi 152 bencana dengan catatan terbanyak merupakan tanah
longsor. Dengan penelitian ini diharapkan dapat mengetahui tingkat kerawanan longsor di Kota
Batu, Jawa Timur sehingga dapat meminimalisir kejadian-kejadian yang tidak diharapkan
tersebut. Random Forest (RF) merupakan suatu algoritma yang dapat digunakan untuk
memprediksi bencana tanah longsor. Penelitian ini menggunakan data kejadian bencana
sebanyak 374 record data yang terdiri dari 187 record data kelas longsor dan 187 record data
kelas tidak longsor. Data kejadian bencana tersebut kemudian dihubungkan dengan parameter
penyebab longsor seperti kemiringan lereng, curah hujan, jenis tanah, jenis batuan, penggunaan
lahan, dan zona kerentanan gerakan tanah. Dataset tersebut kemudian dibagi menjadi 70% data
training dan 30% data testing. Hal uji akurasi yang memperoleh nilai sebesar 0,8981 dan nilai
AUC sebesar 0,9327 menunjukkan bahwa algoritma RF dapat diterapkan untuk memprediksi
daerah rawan longsor di Kota Batu. Prediksi kerawanan longsor dihasilkan tiga tingkatan yaitu
rendah, sedang, tinggi dengan masing-masing luas secara berturut-turut sebesar 15448,32 Ha
(77,75%), 1347,05 Ha (6,78%) dan 3073,14 Ha (15,47%). Hasil dari penelitian ini diharapkan
dapat menjadi pembaruan peta mitigasi bencana longsor Kota Batu yang telah ada.
ix
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
ABSTRACT
Abstract
Landslides is one of the most detrimental natural disasters because their occurrences are
often destructive to natural and artificial structures on earth and reduce the quality of the
surrounding environment. Prediction of the level of vulnerability to landslides in an area can be
used to reduce losses caused such as material, loss of life and other environmental damage. The
BPBD of Batu City stated that landslides are the most frequent disasters in Batu City with at
least twenty events each year. This research is expected to determine the level of vulnerability
to landslides in Batu City, East Java with the intention that it can minimize these unexpected
occurances. Random Forest (RF) is an algorithm that can be used to predict landslide disasters.
This study uses 374 disaster data records consisting of 187 landslide class data records and 187
non-landslide class data records. The disaster occurance data is then linked to the parameters
that cause landslides such as slope, rainfall, soil type, lithology, land use, and soil movement
susceptibility zones. The dataset is then divided into 70% training data and 30% testing data.
The performance test results show that the RF algorithm can be applied to predict landslide-
prone areas in Batu City. This can be seen in the results of the accuracy test which obtained a
value of 0.8981 and an AUC value of 0.9327. The disaster occurance data is then linked to the
parameters that cause landslides such as slope, rainfall, soil type, lithology, land use, and soil
movement susceptibility zones. The dataset is then divided into 70% training data and 30%
testing data. The accuracy test that obtained a value of 0.8981 and an AUC of 0.9327 showed
that the RF algorithm can be applied to predict landslide-prone areas in Batu City. The
prediction of landslide susceptibility produced three levels, low, intermediate, high with each
area of 15448.32 Ha (77.75%), 1347.05 Ha (6.78%) and 3073.14 Ha (15 ,47)%. The results of
this study are expected to be an update of the existing Batu City landslide mitigation map.
xi
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
berkat dan kasih karunia-Nya sehingga tugas akhir dengan judul “Analisis Daerah Rawan
Longsor Menggunakan Implementasi Algoritma Random Forest (Studi Kasus: Kota Batu, Jawa
Timur)” dapat diselesaikan. Tugas akhir ini merupakan salah satu syarat kelulusan untuk
menyelesaikan pendidikan pada jenjang strata satu (S1) dan memperoleh gelar Sarjana Teknik
Dalam penyusunan laporan ini, penulis menyadari bahwa berkat bantuan, bimbingan,
dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung, segala
hambatan dan kesulitan dalam proses penyelesaian tugas akhir ini dapat teratasi dengan baik.
Oleh karena itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Orang tua penulis Bapak Aries Dwi Hendardono dan Ibu Nurtyastuti serta Berlin Fadin
Nafisa selaku saudara tercinta atas doa dan dukungan secara moril maupun materil kepada
penulis.
2. Bapak Danar Guruh Pratomo, ST, MT, Ph.D selaku Ketua Departemen Teknik Geomatika
yang sudah memberikan izin untuk melaksanakan tugas akhir ini.
3. Bapak Husnul Hidayat, ST, MT dan Ibu Hepi Hapsari Handayani, ST.M.Sc.,Ph.D, selaku
dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan hingga Tugas Akhir ini dapat
terselesaikan dengan baik.
4. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Batu, Badan Perencanaan Pembangunan,
Penelitian dan Pengembangan Daerah Kota Batu, Badan Informasi Geospasial, Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi yang telah membantu dalam proses
pengumpulan data selama pelaksanaan Tugas Akhir.
5. Seluruh dosen dan staf tata usaha Jurusan Teknik Geomatika yang telah membantu selama
menempuh pendidikan di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
6. Seluruh teman-teman Teknik Geomatika ITS angkatan 2018 terkhusus Avi, Bila, Izzah,
Zefanya, Sintya, Rissa, Iyan, Andy, Sendi, Muminah, Ghozy, Zainal, Hafizh, Bisma, Alya,
Elvira, dan Nureza selaku rekan bimbingan maupun rekan diskusi yang telah memberi
masukan, bantuan, dukungan dan saran kepada penulis.
7. Ajeng, Caca, Dhea selaku teman-teman dekat penulis yang telah memberikan dukungan
moral dan materil kepada penulis selama pengerjaan Tugas Akhir.
8. Serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih jauh dari kata sempurna,
oleh karena itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun. Akhir kata,
penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
xiii
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
DAFTAR ISI
xv
2.10 Evaluasi Kerja Model .................................................................................... 21
BAB 3 METODOLOGI ............................................................................................................25
3.1 Lokasi Penelitian ........................................................................................... 25
3.2 Data dan Peralatan Penelitian ........................................................................ 25
3.2.1 Data ......................................................................................................... 26
3.2.2 Peralatan .................................................................................................. 26
3.3 Metodologi Pelaksanaan Penelitian ............................................................... 26
3.3.1 Tahapan Pelaksanaan Kegiatan ................................................................ 26
3.3.2 Tahapan Pengolahan Data ........................................................................ 28
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................................33
4.1 Hasil Pengolahan Dataset Kejadian Tanah Longsor ....................................... 33
4.2 Hasil Pengolahan Parameter Terkait Longsor ................................................ 34
4.2.1 Pengolahan Parameter Penggunaan Lahan ............................................... 35
4.2.2 Pengolahan Parameter Zona Kerentanan Gerakan Tanah ......................... 36
4.2.3 Pengolahan Parameter Kemiringan Lereng .............................................. 37
4.2.4 Pengolahan Parameter Curah Hujan ......................................................... 40
4.2.5 Pengolahan Parameter Jenis Tanah .......................................................... 42
4.2.6 Pengolahan Parameter Jenis Batuan ......................................................... 43
4.3 Hasil Penentuan Importance Value Parameter Terkait Longsor..................... 45
4.4 Hasil Uji Akurasi Dengan Confusion Matrix ................................................. 47
4.5 Analisis Peta Prediksi Kerawanan Longsor .................................................... 49
4.6 Analisis Perbandingan Peta Prediksi Kerawanan Longsor Dengan Peta Rawan
Longsor BPBD Kota Batu ............................................................................. 53
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................................57
5.1 Kesimpulan ................................................................................................... 57
5.2 Saran ............................................................................................................. 57
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................59
LAMPIRAN ..............................................................................................................................65
BIODATA PENULIS ................................................................................................................89
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Bencana Longsor di Dusun Krajan, Desa Sumberbrantas, Kecamatan Bumiaji,
Kota Batu ........................................................................................................ 10
Gambar 2.2 Lereng Terjal .................................................................................................... 11
Gambar 2.3 Jenis Tata Lahan Pertanian ................................................................................ 12
Gambar 2.4 Retakan Tanah .................................................................................................. 12
Gambar 2.5 Tanah Longsor Akibat Beban Bangunan ........................................................... 13
Gambar 2.6 Longsor di Tempat Pembuangan Akhir ............................................................. 14
Gambar 2.7 Contoh Kurva ROC .......................................................................................... 23
Gambar 3.1 Peta Batas Administrasi Kota Batu.................................................................... 25
Gambar 3.2 Tahapan Pelaksanaan Kegiatan ......................................................................... 27
Gambar 3.3 Tahapan Pengolahan Data Parameter Terkait Longsor ...................................... 29
Gambar 3.4 Tahapan Prediksi .............................................................................................. 31
Gambar 4.1 Persebaran Data Training dan Testing ............................................................... 34
Gambar 4.2 Penggunaan Lahan ............................................................................................ 35
Gambar 4.3 Zona Kerentaran Gerakan Tanah ....................................................................... 37
Gambar 4.4 Data DEMNAS Kota Batu ................................................................................ 38
Gambar 4.5 Kemiringan Lereng ........................................................................................... 39
Gambar 4.6 Pengolahan Data CHIRPS................................................................................. 40
Gambar 4.7 Curah Hujan ..................................................................................................... 41
Gambar 4.8 Jenis Tanah ....................................................................................................... 42
Gambar 4.9 Jenis Batuan ...................................................................................................... 44
Gambar 4.10 Persentase Kepentingan Parameter Terkait Longsor ........................................ 46
Gambar 4.11 Hasil Uji Akurasi Pemodelan RF .................................................................... 47
Gambar 4.12 Hasil Uji Akurasi Menggunakan Data Testing ................................................ 48
Gambar 4.13 Hasil Kurva ROC ............................................................................................ 48
Gambar 4.14 Peta Kerawanan Longsor Kota Batu ................................................................ 49
Gambar 4.15 Overlay Kerawanan Longsor Dengan Kemiringan Lereng............................... 51
Gambar 4.16 Peta Kerawanan Longsor BPBD Kota Batu ..................................................... 54
xvii
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
DAFTAR TABEL
xix
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
BAB 1
PENDAHULUAN
1
komputasi secara signifikan dan dapat memecahkan masalah non-linier dengan baik, namun
diantaranya masih menunjukkan sejumlah kelemahan. Misalnya, SVM adalah fungsi
matematika kompleks yang cukup tidak dapat dipahami oleh pengguna manusia (Martens et
al., 2007). Diperlukan beberapa pra-proses yang cukup untuk dapat menggunakan DT (Kubal
et al., 2009) dan itu mudah jatuh ke dalam optimasi lokal (Liu et al., 2008). Sementara metode
ANN menunjukkan masalah over-learning dan kecepatan konvergensi yang lambat (Li dan
Yeh, 2002). Selain itu, algoritme intelijen ini tidak dapat memperkirakan kontribusi setiap
indeks terhadap total kerawanan. Meskipun beberapa solusi telah diterapkan untuk
memperbaiki kelemahan ini, metode yang efektif dan efisien masih sangat dibutuhkan.
Random forest (RF) merupakan suatu algoritma machine learning yang dapat digunakan
untuk menentukan prediksi kejadian tanah longsor pada suatu wilayah. Metode ini telah banyak
digunakan untuk identifikasi daerah rawan bencana seperti banjir, kekeringan dan tanah longsor
dikarenakan keakuratan dan kemampuan generalisasi yang tinggi. Algoritma ini mempunyai
beberapa kelebihan, seperti: mampu menghindari overfitting, memiliki bias dan varian yang
rendah, korelasi masing-masing pohon rendah karena keanekaragaman hutan yang dibangun
dengan menggunakan sejumlah variabel/faktor, perkiraan kesalahan yang kuat menggunakan
data Out-Of-Bag (OOB), dan kinerja prediksi yang lebih tinggi (Amiri, et al., 2019). RF telah
banyak diterapkan dalam berbagai bidang, seperti penelitian yang dilakukan Huiwen Li, et al.
(2015) dengan menghasilkan kesalahan generalisasi OOB kurang dari 0,08 ketika jumlah
sampelnya lebih besar dari 50 dan memperoleh nilai area di bawah kurva ROC sebesar 0,093
untuk menganalisis kerentanan longsor yang dipicu oleh gempa bumi di zona patahan di
Pegunungan Longmen, Barat Daya Cina. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Siregar
(2020), model RF dengan parameter tuning memperolah hasil kinerja terbaik dengan akurasi
sebesar 87,65%, presisi sebesar 89,66%, dan recall sebesar 60,47% untuk prediksi tanah longsor
dengan menggunakan parameter curah hujan harian, curah hujan kumulatif tiga hari, curah
hujan kumulatif satu bulan, jenis tanah, kemiringan lereng, ketinggian wilayah, dan penggunaan
lahan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sementara pada penelitian Prasindya (2020),
daerah potensi longsor di Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi dipetakan dengan
metode SIG dan Analytical Hierarchy Process (AHP) dan menggunakan parameter kemiringan
lereng, jenis tanah, jenis batuan, curah hujan, zona kerentanan gerakan tanah, kerapatan sungai
dan tutupan lahan yang kemudian hasilnya menunjukkan bahwa zona kerentanan gerakan tanah
memiliki pengaruh yang paling besar.
Berdasarkan hal tersebut, dipandang perlu untuk melakukan penelitian dengan menerapkan
pendekatan random forest untuk menghasilkan peta kerawanan longsor di kota Batu. Data yang
digunakan berupa data sekunder yang kemudian diolah menjadi parameter kemiringan lereng,
curah hujan, penggunaan lahan, jenis tanah, jenis batuan dan peta zona kerentanan gerakan
tanah. Curah hujan digunakan karena air hujan memicu tanah longsor melalui penambahan
beban lereng dan penurunan kuat geser tanah. Sedangkan penggunaan lahan digunakan karena
setiap fungsi lahan yang digunakan di atasnya akan mempengaruhi struktur tanah di bawahnya.,
jika suatu lahan banyak menopang beban bangunan maka semakin lemah pula struktur tanah
yang ada di bawahnya. Jenis tanah dan jenis batuan digunakan karena setiap tanah dan batuan
memiliki kriteria dan kekuatan dalam menahan beban yang berbeda-beda. Sementara zona
kerentanan gerakan tanah digunakan karena semakin rentan tanah untuk bergerak maka
semakin besar potensi untuk terjadi longsor.
Dikarenakan keterkaitan data satu sama lain belum relevan, maka perlu dilakukan
pengolahan dan pengkategorian agar nantinya dapat dikorelasikan antara faktor-faktor
pengkondisian kejadian bencana sesuai dengan kebutuhan sistem. Dengan penerapan algoritma
RF diharapkan mampu menghasilkan prediksi untuk membantu pemerintah mengatasi dan
menentukan langkah terbaik dalam menangani bencana tanah longsor.
2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, terdapat rumusan masalah yang diperoleh yaitu:
1. Bagaimana penerapan metode Random Forest dalam mengidentifikasi daerah rawan
bencana tanah longsor di Kota Batu?
2. Berapa jumlah daerah dan/atau luasan wilayah di Kota Batu yang masuk ke dalam
kriteria rawan bencana longsor?
3. Bagaimana analisis peta kerawanan longsor yang dihasilkan dari penelitian ini dengan
peta kerawanan longsor milik BPBD Kota Batu?
1.4 Tujuan
Berikut merupakan tujuan dari penelitian tugas akhir ini yaitu:
1. Mengetahui nilai kepentingan masing-masing parameter dan hasil akurasi pemodelan
RF di Kota Batu
2. Memetakan sebaran daerah rawan longsor berdasarkan pemodelan RF yang telah
dibangun
3. Menganalisa perbandingan peta kerawanan longsor yang dihasilkan dari pemodelan RF
dengan peta kerawanan longsor milik BPBD Kota Batu
1.5 Manfaat
Berikut merupakan manfaat dari tugas akhir ini yaitu:
1. Pengetahuan bagi pemerintah dan masyarakat Kota Batu bagaimana pentingnya
pencegahan dari pada pemulihan.
2. Memberi bahan masukan bagi pemerintah dan masyarakat Kota Batu terhadap
pengambilan keputusan pembangunan agar tidak membangun di daerah yang
berpotensi bencana tanah longsor.
3. Dapat digunakan sebagai rujukan untuk penelitian selanjutnya.
4. Memberi gambaran potensi terjadinya tanah longsor kepada warga masyarakat di Kota
Batu agar lebih waspada.
3
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
5
No Penulis Judul Penelitian Intisari
BAPPEDA Kabupaten
Banyuwangi. Sedangkan
untuk proses pengolahan,
penelitian ini menerapkan
metode Analytical Hierarchy
Process (AHP) untuk
pembobotan tiap parameter
dan menghasilkan tingkat
kerawanan rendah, sedang,
dan tinggi.
3 Rasyid Alkhoir Pemetaan Tingkat Fokus penelitian ini
Lubis, Muhammad Kerawanan Longsor merupakan pemodelan
Rusdi, Hairul Basri Berdasarkan Curah tingkat kerawanan longsor
Hujan dan Geologi berdasarkan data curah hujan
Menggunakan Metode dan geologi di Kecamatan
Fuzzy Logic Di Leupung Kabupaten Aceh
Kecamatan Leupung Besar. Penelitian ini
Kabupaten Aceh Besar menggunakan implementasi
SIG dengan metode Fuzzy
Logic. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tingkat
kerawanan longsor rendah
seluas 16.486,01 ha
(97,97%) dan tingkat
kerawanan longsor sedang
seluas 342,37 ha (2,03%).
Kedua faktor yaitu curah
hujan dan geologi saling
mempengaruhi sehingga
membedakan nilai
defuzzyfication serta kelas
kerawanan longsor.
Penerapan metode Frequency Ratio untuk pemetaan tingkat kerawanan longsor milik
Nugroho et al. (2020) menghasilkan nilai akurasi sebesar 79,7%. Dalam prosesnya, parameter
faktor terkait longsor ditumpang tindihkan menjadi peta raster (20 m) dan menghasilkan nilai
Frequency Ratio. Berdasarkan metode analisis ROC, nilai akurasi diatas 50% dapat dikatakan
baik dan dari hasil ini dapat dinyatakan bahwa metode Frequency Ratio dapat diterapkan di
Kabupaten Bandung Barat.
Sementara itu, Prasindya et al. (2020) dalam penelitiannya menerapkan pendekatan
Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk memetakan potensi tanah longsor di Kecamatan
Songgon, Kabupaten Banyuwangi. Penelitian ini menggunakan metode analisis Sistem
Informasi Geografis (SIG) dan pembobotan Analytical Hierarchy Process (AHP) dengan
parameter seperti kemiringan lereng, kondisi tanah, batuan penyusun lereng, kondisi
hidrologi, curah hujan, kerentanan gerakan tanah dan tutupan lahan. Kemudian dari
pengolahan yang telah dilakukan, dihasilkan tiga kelas potensi tanah longsor. Namun,
6
pencegahan subjektif dalam peringkat faktor yang mungkin berbeda dari satu ahli ke ahli
lainnya adalah kelemahan utama dari metode ini.
Lubis et al. (2018) menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan metode Fuzzy
Logic dalam penelitian guna menentukan tingkat kerawanan longsor di Kecamatan Leupung
Kabupaten Aceh Besar. Penelitian ini pada dasarnya dilakukan dengan prinsip metode
deskriptif yaitu membandingkan beberapa faktor dan mengetahui kondisi lapangan tertentu saat
ini. Dengan menggunakan satuan unit lahan sebagai satuan analisis, penelitian ini dapat menilai
dan menentukan tingkat kerawanan longsor pada suatu wilayah. Pendekatan Fuzzy Logic
memiliki toleransi terhadap data-data yang kurang lengkap, sangat fleksibel dan menghasilkan
akurasi dalam persebaran kerawanan longsor yang akurat.
Metode-metode tersebut sudah banyak mencapai hasil yang baik dalam bidang studi
tertentu, namun masih terdapat beberapa aspek yang perlu ditingkatkan, khususnya dalam
mengurangi aspek subjektif dalam penelitian. Untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan
dengan menerapkan pendekatan machine learning. Beberapa penelitian yang menggunakan
pendekatan machine learning dapat dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Penilitian Terdahulu Terkait Longsor Dengan Implementasi Machine Learning
No Penulis Judul Penelitian Intisari
1 Deuk-Hwan Lee, Shallow Landslide Penelitian ini bertujuan
Yun-Tae Kim, Susceptibility Models untuk memetakan
Seung-Rae Lee Based on Artificial kerentanan longsor di
Neural Networks Gunung Umyeon, Korea
Considering the Factor Selatan menggunakan
Selection Method and pendekatan ANN (Artificial
Various Non-Linear Neural Network) yang
Activation Functions melibatkan metode
pemilihan faktor dan
berbagai fungsi aktivasi non-
linier. Penelitian ini
menggunakan 151 kejadian
longsor dan 20 faktor
predisposisi yang terdiri dari
dataset morfologi, hidrologi,
geologi, dan tutupan lahan
berbasis Sistem Informasi
Geografis (SIG) dibangun
dengan resolusi 5 x 5 m.
Evaluasi kinerja dari model
kerentanan longsor ini
dilakukan dengan
menggunakan kurva
karakteristik operasi
penerima, indeks Kappa, dan
lima indeks statistik
(sensitivitas, spesifisitas,
akurasi, nilai ramal positif
(NRP), nilai ramal negatif
(NRN)) dengan dataset
pelatihan. Hasil validasi
7
No Penulis Judul Penelitian Intisari
model terbaik menunjukkan
sensitivitas 82,61%,
spesifisitas 78,26%, akurasi
80,43%, PPV 79,17%, NPV
81,82%, indeks Kappa
0,609, dan AUC 0,879.
2 Huiwen Li, Rui Random forests Solusi yang diberikan
Liu, Jingchun Xie, methodology to analyze penelitian ini dalam
Zili Lai landslide susceptibility: memprediksi kerawanan
An example in Lushan longsor adalah dengan
earthquake pendekatan random forest di
Pegunungan Longmen,
barat daya Cina. Faktor
yang digunakan adalah
kemiringan, aspek, patahan,
sungai, Normalized
Difference Vegetation
Index (NDVI), gelombang,
litologi, intensitas, dan
ketinggian seismik. Hasil
kesalahan generalisasi OOB
pada penelitian ini bernilai
kurang dari 0,08 ketika
jumlah data sampel lebih
dari 50. Sedangkan, hasil
area di bawah kurva ROC
menunjukkan nilai 0,938.
8
penelitian ini adalah menerapkan pendekatan algoritma Random Forest untuk memprediksi
daerah rawan longsor di Kota Batu, Jawa Timur.
9
Gambar 2.1 Bencana Longsor di Dusun Krajan, Desa Sumberbrantas, Kecamatan Bumiaji,
Kota Batu
(BPBD Kota Batu for Radar Malang, 2021)
Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Lereng yang terjal
terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan angin. Kebanyakan sudut
lereng yang menyebabkan longsor adalah 180° apabila ujung lerengnya terjal dan bidang
longsorannya mendatar.
3. Tanah yang Kurang Padat dan Tebal
Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah liat atau tanah lempung dengan ketebalan
lebih dari 2,5 m dari sudut lereng lebih dari 220. Jenis tanah ini memiliki potensi untuk
terjadi longsoran terutama pada saat musim penghujan. Selain itu, tanah ini sangat rentan
terhadap pergerakan tanah karena menjadi lembek saat terkena air dan pecah ketika hawa
terlalu panas.
4. Batuan yang Kurang Kuat
Bantuan endapan gunung api dan sedimen berukuran pasir dan campuran antara
kerikil, pasir, dan lempung umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi
tanah apabila mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap tanah longsor
bila terdapat pada lereng yang terjal.
5. Jenis Tata Lahan
11
Gambar 2.3 Jenis Tata Lahan Pertanian
(Tribun Jabar, 2021)
Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan, perladangan, dan
adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan persawahan, akar tanamannya
kurang kuat untuk mengikat butir tanah sehingga mudah terjadi longsor. Sedangkan untuk
area perladangan, penyebabnya adalah akar pohonnya tida dapat menembus bidang
longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama.
6. Getaran
Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempa bumi, ledakan, getaran mesin,
dan getaran lalu lintas kendaraan. Akibat yang ditimbulkannya adalah tanah, bidang jalan,
dinding rumah, dan lantai menjadi retak.
7. Susut Muka Air Danau atau Bendungan
Akibat susutnya muka air yang cepat di danau maka gaya penahan lereng menjadi
hilang. Dengan sudut kemiringan waduk 220, mudah di area tersebut untuk terjadi
longsoran dan penurunan tanah yang biasanya diikuti oleh retakan.
8. Adanya Beban Tambahan
12
Gambar 2.5 Tanah Longsor Akibat Beban Bangunan
(CNN Indonesia, 2020)
Adanya beban tambahan seperti beban bangunan pada lereng, dan kendaraan akan
memperbesar gaya pendorong terjadinya longsor, terutama di sekitar tikungan jalan pada
daerah lembah. Akibatnya adalah sering terjadi penurunan tanah dan retakan yang
arahnya kearah lembah.
9. Pengikisan/Erosi
Pengikisan banyak dilakukan oleh air sungai ke arah tebing. Selain itu, akibat
penggundulan hutan di sekitar sungai, tebing akan menjadi terjal.
10. Adanya Material Timbunan Pada Tebing
Untuk mengembangkan dan memperluas lahan permukiman umumnya dilakukan
pemotongan tebing dan penimbunan lembah. Tanah timbunan pada lembah tersebut
belum terdapatkan sempurna seperti tanah asli yang terdapat di bawahnya. Sehingga
apabila hujan akan terjadi penurunan tanah yang kemudian diikuti dengan retakan tanah.
11. Longsoran Lama
Longsoran lama umumnya terjadi selama dan setelah terjadi pengendapan material
gunung api pada lereng yang relatif terjal atau pada saat atau setelah terjadinya patahan
kulit bumi.
12. Adanya Bidang Diskontinuitas (Bidang Tidak Sinambung)
Bidang tidak sinambung memiliki ciri seperti bidang perlapisan batuan, bidang
kontak antara tanah penutup dan batuan dasar, bidang kontak antara batuan yang retak
dengan batuan yang kuat, bidang kontak antara batuan yang dapat melewatkan air dan
batuan yang tidak dapat melewatkan air, dan bidang kontak antara tanah yang lembek
dengan tanah yang padat. Bidang-bidang tersebut merupakan bidang-bidang lemah dan
dapat berfungsi sebagai bidang luncuran tanah longsor.
13. Penggundulan Hutan
Tanah longsor umumnya terjadi di daerah yang relatif gundul dimana pengikat air
tanah sangat kurang.
14. Daerah Pembuangan Sampah
13
Gambar 2.6 Longsor di Tempat Pembuangan Akhir
(Megapolitan - Okezone, 2020)
Penggunaan lapisan tanah yang rendah untuk pembuangan sampah dalam jumlah
yang banyak dapat menyebabkan tanah longsor terlebih lagi ditambah guyuran air hujan.
14
Tabel 2.3 Kategori Parameter Penggunaan Lahan
Kategori Keterangan
Hutan Tidak Peka
Perkebunan, Ruang Terbuka Hijau Kurang Peka
Sawah Peka
Permukiman, Industri & Fasilitas Sangat Peka
Umum
(Purwadhi, 2001)
15
air permukaan semakin besar, sehingga benda yang bisa diangkut akan semakin
banyak (Martono, 2004).
Pembagian kelas kemiringan lereng di Kota Batu terbagi menjadi lima
kategori yang dapat dilihat pada Tabel 2.5.
16
memerlukan perlakuan dalam pengelolaan yang berbeda pula (Hardjowigeno,
2010).
Tujuan klasifikasi tanah adalah untuk menentukan kesesuaian terhadap
pemakaian tanah tertentu, serta untuk menginformasikan tentang keadaan tanah
dari suatu daerah kepada daerah lainnya dalam bentuk berupa data dasar. Selain
itu klasifikasi tanah juga berguna untuk studi yang lebih terperinci mengenai
keadaan tanah tersebut serta kebutuhan akan pengujian untuk penentuan sifat
teknis tanah seperti karakteristik pemadatan, kekuatan tanah, berat isi, dan
sebagainya (Bowles, 1984).
Verhoef (1994) menyebutkan bahwa tanah dapat dibagi menjadi tiga
kelompok, yaitu:
1. Tanah berbutir kasar (pasir, kerikil)
2. Tanah berbutir halus (lanau, lempung)
3. Tanah campuran
Persebaran jenis tanah di Kota Batu diklasifikasikan menjadi tiga kategori
yang dapat dilihat pada Tabel 2.7.
17
Kategori Keterangan
Batuan Gunung Api Kawi-Butak (Qpkb) Kurang Peka
Batuan Gunung Api Kuarter bag. Bawah
Cukup Peka
(Qp)
Batuan Gunung Api Arjuna-Welirang
Peka
(Qvaw)
Pasir Gunung Api Tengger (Qvs) Sangat Peka
(Putra, 2006 dengan modifikasi)
… (2.1)
Q : nilai target pada lokasi tidak terukur
𝑞𝑖 : nilai variabel pada lokasi-lokasi terukur
𝑟𝑖 : jarak antara titik target dengan lokasi terukur
α : bobot pengaruh jarak
𝑛 : jumlah data atau titik lokasi yang diperhitungkan dalam interpolasi
18
dimana kumpulan data sepenuhnya diberikan label untuk mengklasifikasikan kelas yang tidak
dikenal. Sementara itu, teknik Unsupervised Learning tidak diperlukan pemberian label dalam
kumpulan data dan hasilnya tidak mengidentifikasi contoh di kelas yang telah ditentukan, maka
dari itu teknik ini sering disebut cluster (Thupae, Isong, Gasela, & Abu-Mahfouz, 2018).
Sedangkan Reinforcement Learning pada umumnya berada diantara Supervised Learning dan
Unsupervised Learning. Teknik ini bekerja pada lingkungan dinamis yang di mana konsepnya
harus menyelesaikan tujuan tanpa adanya pemberitahuan dari komputer secara eksplisit jika
tujuan tersebut telah tercapai (Das & Nene, 2017).
1. Tahap bootstrap; Data sampel D1 , D2 ,.., Dk dibuat dengan mengambil acak dari
dataset D dengan pengambilan (replacement), dimana umumnya 2/3 data dipilih.
2. Tahap random feature selection; pohon dibangun hingga mencapai ukuran
maksimum dengan menggunakan sampel bootstrap. Pada setiap simpul, pemilihan
pemilah dilakukan dengan melakukan variabel m secara acak, dimana m < p, lalu
pemilah terbaik dipilih berdasarkan m variabel.
3. Langkah 1 dan 2 diulangi sebanyak k kali, sehingga terbentuk sebuah hutan yang
terdiri atas k pohon keputusan.
4. Setiap pohon keputusan memberikan suara unit kelas paling muncul sebagai hasil
prediksi. Konsep pemilihan tersebut dinamakan majority vote.
Perpanjangan dari algoritma dikembangkan dengan ide bagging dan pemilihan fitur secara
acak untuk membangun kumpulan pohon keputusan dengan varians terkontrol (Breiman,
2001), dan algoritma ini digunakan untuk penelitian kerawanan longsor. Hasil dengan
sekelompok nilai prediktor dihasilkan untuk algoritma klasifikasi dan regresi. Ketika hasil akhir
memiliki nilai diskrit, itu disebut klasifikasi (Ellis dkk, 2014). Dalam studi ini, kerawanan
19
longsor diklasifikasikan berdasarkan nilai faktor yang diberikan. Secara umum, masalah
klasifikasi bertujuan untuk mendapatkan keputusan batas.
Algoritma ini berupa kombinasi dari beberapa tree predictors atau bisa disebut decision
trees dimana setiap pohon bergantung pada nilai random vector yang dijadikan sampel secara
bebas dan merata pada semua pohon dalam hutan tersebut. Hasil prediksi dari RF didapatkan
melalui hasil terbanyak dari setiap individual decision tree (voting untuk klasifikasi dan rata-
rata untuk regresi). Untuk RF yang terdiri dari N trees dirumuskan seperti pada Persamaan 2.2.
2.9 RStudio
RStudio merupakan program pengembangan terintegrasi untuk R, bahasa pemrograman
untuk komputasi statistik dan grafik. Perangkat in tersedia dalam dua format: RStudio Desktop
adalah aplikasi desktop biasa sementara RStudio Server berjalan pada server jarak jauh dan
memungkinkan mengakses RStudio menggunakan browser web (R Core Team, 2022). Pada
awalnya, R digunakan oleh para ilmuwan dalam riset mereka dan para akademisi. Namun
seiring perkembangan teknologi, cakupan kemampuan R sebagai bahasa pemrograman menjadi
jauh lebih luas.
Saat ini R merupakan salah satu software yang digunakan dalam analisis statistika dan data
science karena banyaknya package yang dapat mendukung seperti untuk kebutuhan penyiapan
data, perhitungan statistik dan machine learning (rata-rata, median, kuantil, histogram, boxplot,
uji hipotesis, clustering, pemodelan regresi dan klasifikasi, dan lain-lain). Beberapa package
yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
a) pROC
Alat untuk memvisualisasikan, menghaluskan, dan membandingkan karakteristik
pengoperasian receiver (kurva ROC). (Sebagian) area di bawah kurva (AUC) dapat
dibandingkan dengan uji statistik berdasarkan U-statistik atau bootstrap. Interval
kepercayaan dapat dihitung untuk kurva (p)AUC atau ROC.
b) rgdal
Merupakan fungsi untuk menyediakan binding untuk Perpustakaan Abstraksi Data
'Geospasial'.
c) raster
Digunakan untuk membaca, menulis, memanipulasi, menganalisis dan
memodelkan data spasial. Paket ini mengimplementasikan fungsi dasar dan tingkat
tinggi untuk data raster dan untuk operasi data vektor seperti persimpangan.
d) plyr
plyr adalah package R yang memudahkan untuk memisahkan data, memadatkan,
dan menyatukannya kembali. Bagian ini merupakan langkah manipulasi data yang
umum. Package plyr juga memudahkan untuk mengontrol format data input dan
output dari serangkaian fungsi yang konsisten secara sintaksis.
e) dplyr
Sama seperti plyr, dplyr juga merupakan salah satu tata bahasa manipulasi data yang
menyediakan serangkaian kata kerja konsisten yang dapat membantu memecahkan
20
tantangan manipulasi data yang paling umum seperti mutate(), select(), filter(),
summarise(), dan arrange().
f) RStoolBox
Merupakan toolbox yang digunakan untuk pemrosesan dan analisis citra
penginderaan jauh. Perangkat yang tersedia mencakup banyak aspek mulai dari
impor data, pra-pemrosesan, analisis data, klasifikasi gambar, dan tampilan grafis.
RStoolbox dibangun di atas paket raster, yang membuatnya cocok untuk
memproses kumpulan data besar bahkan pada workstation yang lebih kecil.
g) RColorBrewer
Merupakan package yang menyediakan skema warna untuk peta (dan grafik
lainnya) yang dirancang oleh Cynthia Brewer. Proses ini dengan membantu
pengguna memilih skema warna yang sesuai untuk kebutuhan pemetaan khusus
mereka dengan mempertimbangkan: jumlah kelas data; sifat datanya (disesuaikan
dengan skema sekuensial, divergen, dan kualitatif); dan lingkungan penggunaan
akhir untuk peta (misalnya, CRT, LCD, dicetak, diproyeksikan, difotokopi).
h) ggplot2
Merupakan package fungsi sistem untuk membuat grafik secara deklaratif,
berdasarkan “The Grammar of Graphics”. Pengguna memberikan data kemudian
ggplot2 akan memetakan variabel ke estetika, primitif grafis apa yang digunakan,
dan menangani detailnya.
i) sp
Merupakan fungsi package yang berguna dalam pengkelasan dan metode untuk data
spasial. Pada fungsi ini akan diketahui dokumen kelas di mana informasi lokasi
spasial berada baik untuk data 2D atau 3D. Fungsi utilitas yang disediakan misalnya
untuk memplot data sebagai peta, pemilihan spasial, serta metode untuk mengambil
koordinat, untuk subsetting, cetak, ringkasan, dll.
j) caret
Merupakan fungsi package yang pada machine learning berguna untuk melatih dan
merencanakan klasifikasi dan model regresi.
k) doParallel
Merupakan fungsi package untuk menyediakan fungsi untuk eksekusi paralel kode
R pada mesin dengan banyak inti atau prosesor atau banyak komputer.
21
prediksi dari data testing (Haristu, 2019). Proses pengukuran model ini menggunakan suatu
tabel dengan membandingkan data testing yang salah dan data testing yang benar. Terdapat
empat istilah sebagai representasi hasil proses klasifikasi menggunakan confusion matrix yang
mana dijelaskan pada Tabel 2.9.
Berdasarkan nilai yang dihasilkan dari confusion matrix, dapat diperoleh nilai akurasi,
presisi, error, recall, sensitivity, dan specificity. Namun untuk penelitian ini hanya akan
dilakukan perhitungan akurasi, sensitivity dan specificity. Nilai akurasi membandingkan antara
data yang terklasifikasi benar dengan keseluruhan data. Dengan kata lain, akurasi menunjukkan
seberapa akurat model dalam mengklasifikasikan data. Nilai akurasi dapat diperoleh dengan
Persamaan 2.3. Sedangkan untuk nilai sensitivity dan specificity diperoleh dengan Persamaan
2.4 dan 2.5 (Siregar, 2021).
𝑇𝑃 + 𝑇𝑁
𝐴𝑘𝑢𝑟𝑎𝑠𝑖 =
𝑇𝑃 + 𝑇𝑁 + 𝐹𝑃 + 𝐹𝑁
…. (2.3)
𝑇𝑃
𝑆𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑦 =
𝑇𝑃 + 𝐹𝑁
…. (2.4)
𝑇𝑁
𝑆𝑝𝑒𝑐𝑖𝑓𝑖𝑐𝑖𝑡𝑦 =
𝑇𝑁 + 𝐹𝑃
…(2.5)
Dimana:
TP (True Positive) : Jumlah observasi positif yang diklasifikasikan sebagai positif
FP (False Positive) : Jumlah observasi positif yang salah diklasifikasikan sebagai negatif
TN (True Negative) : Jumlah observasi negatif yang diklasifikasikan sebagai negatif
FN (False Positive) : Jumlah observasi negative yang salah diklasifikasikan sebagai
positif
Kurva ROC digunakan dalam pembelajaran mesin dan penelitian data mining untuk
menilai hasil prediksi. Kurva ROC dibagi dalam dua dimensi, dimana tingkat TP diplot pada
sumbu Y dan tingkat FP diplot pada sumbu X. Sedangkan untuk merepresentasikan grafis yang
menentukan klasifikasi mana yang lebih baik, digunakan metode yang menghitung luas daerah
dibawah kurva ROC yang disebut AUC (Area Under the ROC Curve). Kurva ROC merupakan
teknik untuk memvisualisasi dan menguji kinerja pengklasifikasian berdasarkan performanya
(Gorunescu, 2011). Model klasifikasi yang lebih baik adalah yang mempunyai kurva ROC lebih
besar (Vercellis, 2009). Dari nilai specificity dan sensitivity yang didapatkan sebelumnya, maka
dapat dihasilkan nilai AUC.
22
Gambar 2.7 Contoh Kurva ROC
(Farhadi & Najafzadeh,2017)
23
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
24
BAB 3
METODOLOGI
Kota Batu, secara geografis terletak pada 7°44’ hingga 8°26’ Lintang Selatan dan 122°17’
hingga 122°57’ Bujur Timur dengan luas wilayah 202,30 km2. Wilayah kota ini berada di
ketinggian 680 – 1.200 meter dari permukaan laut dan diapit oleh 3 buah gunung yang telah
dikenal yaitu Gunung Panderman (2010 meter), Gunung Arjuna (3339 meter), Gunung
Welirang (3156 meter). Kondisi topografi yang bergunung-gunung dan berbukit-bukit
menjadikan Kota Batu bersuhu udara rata-rata 15-19 derajat Celsius.
Adapun batas-batas wilayah Kota Batu adalah sebagai berikut:
Sebelah Utara : Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Pasuruan
Sebelah Barat : Kabupaten Malang
Sebelah Selatan : Kabupaten Malang
Sebelah Timur : Kabupaten Malang
25
3.2.1 Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Peta batas administrasi dari RTRW Kota Batu tahun 2010-2030 skala 1:80000
yang bersumber dari Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan
Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Kota Batu
2. Data DEMNAS 30 Meter dari Badan Informasi Geospasial
3. Data curah hujan harian yang dijumlah menjadi tahunan tahun 2012-2021 yang
diperoleh dari CHIRPS
4. Peta tata guna lahan Kota Batu tahun 2018 skala 1:80000 bersumber dari Badan
Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah
(Bappelitbangda) Kota Batu
5. Peta jenis tanah tahun 2018 skala 1:25000 yang didapatkan dari Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Batu
6. Peta jenis batuan tahun 2018 skala 1:25000 yang didapatkan dari dari Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Batu
7. Peta zona kerentanan gerakan tanah Kota Malang, Batu dan Kabupaten Malang
tahun 2022 skala 1:25000 yang bersumber dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi
8. Peta kerawanan longsor Kota Batu tahun 2019 skala 1:25000 dari Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Batu
9. Data kejadian bencana tanah longsor tahun 2012-2021 di Kota Batu yang
bersumber dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Batu
3.2.2 Peralatan
Peralatan yang digunakan untuk mengolah dan menganalisis secara spasial dalam
penelitian ini merupakan teknologi spasial berupa SIG (Sistem Informasi Geografis).
Adapun peralatan lebih jelasnya dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Hardware
1. Laptop
2. Mouse
3. Harddisk
b. Software
1. Microsoft Office
2. ArcGIS 10.8
3. QGIS
4. R-Studio
26
Gambar 3.2 Tahapan Pelaksanaan Kegiatan
Berikut merupakan penjelasan dari diagram alir yang digambarkan pada Gambar
3.2.
A. Tahap Pesiapan
a. Identifikasi Masalah
Tahap awal dari penelitian ini adalah identifikasi masalah. Permasalahan
yang akan diidentifikasikan yaitu tentang bagaimana dapat melakukan
pengidentifikasian terkait daerah rawan longsor di Kota Batu menggunakan
pendekatan RF.
b. Studi Literatur
27
Studi literature merupakan tahapan pencarian materi yang dapat menunjang
penelitian. Tahap ini dilakukan dengan cara meneliti dan memahami buku-buku,
dokumen atau sumber tertulis lainnya yang relevan dan mendukung penelitian
yang sedang dilakukan.
B. Tahap Pelaksanaan
a. Pengumpulan Data
Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data yang diperlukan dalam
penelitian berupa peta batas administrasi, peta kemiringan lereng, peta curah
hujan tahunan, peta tata guna lahan, peta jenis tanah, peta jenis batuan, dan data
kejadian bencana longsor pada wilayah studi yang diteliti.
b. Pengolahan Data
Pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan analisa
spasial berupa pemetaan di Kota Batu. Data diolah secara kuantitatif dan spasial
menggunakan perangkat lunak seperti ArcGIS 10.8 dan R-Studio.
C. Tahap Akhir
a. Analisis Data
Hasil yang telah diperoleh dari pengolahan data kemudian dianalisis
mengenai tingkat kerawanan bencana longsornya, sehingga dapat ditarik
kesimpulan mengenai seberapa besar tingkat kerawanan pada tempat
permasalahan yang diteliti.
b. Penyajian Data
Data akhir yang disajikan berupa peta kerawanan longsor Kota Batu.
c. Penyusunan Laporan Akhir
Dalam menyusun Laporan Akhir ini, yang perlu diperhatikan adalah syarat
dan ketentuan pada buku panduan yang telah diberikan.
3.3.2 Tahapan Pengolahan Data
Tahapan pengolahan data pada penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu tahap
pengolahan parameter terkait longsor dan tahap prediksi. Tahap pengolahan parameter
terkait longsor sebagaimana yang tercantum pada Gambar 3.3. Sedangkan, tahap prediksi
sebagaimana tercantum pada Gambar 3.4.
28
Gambar 3.3 Tahapan Pengolahan Data Parameter Terkait Longsor
29
b) Penjumlahan curah hujan per tahun
Data CHIRPS merupakan data curah hujan perhari sehingga untuk
mendapatkan data curah hujan tahunan harus dilakukan penjumlahan
menggunakan code di Google Earth Engine untuk setiap tahun dimulai
tahun 2012 hingga tahun 2021.
c) Rata-Rata Curah Hujan
Dari hasil penjumlahan curah hujan pertahun kemudian dilakukan rata-
rata sehingga menghasilkan data curah hujan rata-rata pertahun dari 2012
hingga 2021.
3. Pengolahan Parameter Kerentanan Gerakan Tanah, Penggunaan Lahan, Jenis
Tanah, dan Jenis Batuan
Peta yang didapatkan dari instansi terkait dilakukan digitasi dan klasifikasi
kedalam beberapa kelas untuk menjadikannya parameter kerentanan gerakan
tanah, parameter penggunaan lahan, parameter jenis tanah dan parameter jenis
batuan.
Seluruh data yang telah dikumpulkan masih belum memberikan informasi
yang dibutuhkan untuk prediksi tanah longsor, karena itu diperlukan proses data lebih
lanjut guna mendapatkan dataset yang sesuai dengan model machine learning.
Beberapa proses data dilakukan secara manual menggunakan aplikasi QGIS dan
Microsoft Excel. Tahap prediksi dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain
pembuatan dataset, pengategorian data dan pemodelan RF.
30
Gambar 3.4 Tahapan Prediksi
31
Pengkategorian data merupakan tahapan di mana nilai dalam setiap atribut
dikategorikan ke dalam beberapa kelas berdasarkan kategori parameter yang
digunakan. Pada atribut jenis bencana, data dikategorikan ke dalam dua kelas,
yaitu kelas ‘Ya’ untuk data jenis bencana tanah longsor dan kelas ‘Tidak’ untuk
data jenis bencana selain tanah longsor. Atribut ini kemudian yang selanjutnya
akan digunakan sebagai variabel respons dalam penelitian ini.
3. Pemodelan Random Forest
Setelah data dikategorikan, hasilnya kemudian diprediksi dengan model
Random Forest. Hasil klasifikasi setiap iterasi pohon kemudian disimpan dan
dijumlahkan. Label kelas dengan jumlah kemunculan paling banyak akan
menjadi hasil prediksi akhir dari algoritma tersebut.
4. Pembuatan Peta Prediksi Kerawanan Longsor
Peta prediksi kerawanan longsor dihasilkan melalui pengolahan code pada
perangkat lunak RStudio berdasarkan parameter terkait bencana longsor.
Parameter yang telah dilakukan proses pengategorian kemudian diinput untuk
dihasilkan Importance Value pada masing-masing label. Dari Importance Value
yang telah dihasilkan kemudian dapat dilakukan prediksi untuk menghasilkan
peta kerawanan longsor di Kota Batu.
32
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
33
Gambar 4.1 Persebaran Data Training dan Testing
Berdasarkan peta tersebut, dapat dilihat bahwa persebaran data titik kejadian longsor di
Kota Batu terbagi menjadi empat kelas, yaitu data training Longsor, data training Tidak
Longsor, data testing Longsor dan data testing Tidak Longsor. Untuk data training Longsor
berjumlah 116 titik, data training Tidak Longsor berjumlah 398 titik, data testing Longsor
berjumlah 49 titik, dan data testing Tidak Longsor berjumlah 171 titik.
34
4.2.1 Pengolahan Parameter Penggunaan Lahan
Parameter penggunaan lahan dihasilkan dari peta tata guna lahan yang didapat dari
instansi Bappelitbangda Kota Batu yang kemudian dilakukan digitasi dan pengkategorian
menjadi beberapa empat klasifikasi yaitu hutan, perekebunan dan ruang terbuka hijau,
permukiman dan perindustrian dan sawah. Persebaran penggunaan lahan dapat dilihat
pada Gambar 4.2 dibawah ini.
Menurut peta diatas, sawah atau kawasan pertanian menempati luasan terbesar yaitu
sekitar 11216,73 Ha yang tersebar di tiga kecamatan di Kota Batu yaitu kecamatan Batu,
Bumiaji dan Junrejo. Sedangkan kawasan perkebunan serta RTH menempati luasan
terkecil yaitu 102,45 Ha yang juga tersebar di seluruh kecamatan Kota Batu. Kawasan
permukiman pada umumnya menjadi daerah dengan tingkat resiko longsor paling tinggi
35
dikarenakan bangunan yang berada di atas tanah dapat mempengaruhi kestabilan lereng
di daerah tersebut. Kawasan permukiman di Kota Batu memiliki luasan sebesar 2055,23
Ha dan mendominasi di Kecamatan Batu yang umumnya merupakan wilayah pusat
pemerintahan Kota Batu. Sedangkan kawasan hutan merupakan kategori penggunaan
lahan yang memiliki tingkat resiko longsor terkecil karena kawasan ini memiliki
kemampuan menjaga kestabilan struktur tanah, disebabkan hutan memiliki perakaran
yang dalam sehingga kekompakan partikel dalam suatu tanah dapat terjaga. Kawasan
hutan di Kota Batu memiliki luasan sebesar 6542,25 Ha.
36
Gambar 4.3 Zona Kerentaran Gerakan Tanah
Berdasarkan peta di atas, klasifikasi zona kerentanan gerakan tanah di Kota Batu
dibagi kedalam dua kelas yaitu kerentanan menengah dan kerentanan tinggi. Kerentanan
menengah menempati luasan sebesar 10869,97 Ha dan kerentanan tinggi menempati
luasan sebesar 9046,87 Ha. Kedua kategori kerentanan menengah dan tinggi tersebar pada
tiga kecamatan di Kota Batu yaitu Kecamatan Batu, Bumiaji dan Junrejo.
37
mendapatkan kemiringan lereng yaitu Slope dan setelahnya tingkat kemiringan lereng
dikelompokkan menjadi lima kategori kemiringan.
38
Gambar 4.5 Kemiringan Lereng
39
4.2.4 Pengolahan Parameter Curah Hujan
Data curah hujan yang digunakan dalam analisis adalah data curah hujan tahunan
yang didapatkan dari CHIRPS dengan menggunakan code pada Google Earth Engine.
Dari hasil CHIRPS didapatkan data raster dengan masing-masing piksel memiliki nilai
rata-rata curah hujan pertahun di Kota Batu dari tahun 2012 hingga tahun 2021. Data
raster tersebut kemudian dilakukan interpolasi untuk menghasilkan data yang lebih
lengkap dengan menggunakan Inverse Distance Weighting (IDW). Dari interpolasi yang
telah dilakukan dihasilkan nilai Root Mean Square Error (RMSE) sebesar 1,0627.
Berdasarkan nilai RMSE yang terkecil diperoleh bahwa metode IDW dengan nilai power
1 adalah yang terbaik. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kesalahan yang dihasilkan dari
proses IDW dapat dikatakan cukup kecil.
Pada umumnya, air hujan yang masuk kedalam lapisan tanah akan mempengaruhi
beban pada tanah sehingga memicu terjadinya bencana longsor. Maka dari itu, area yang
memiliki curah hujan yang tinggi pada hakikatnya memiliki tingkat kerawanan terhadap
longsor yang tinggi, begitu pula sebaliknya. Persebaran klasifikasi rata-rata curah hujan
pertahun di Kota Batu dapat dilihat pada Gambar 4.5.
40
Gambar 4.7 Curah Hujan
Dari peta curah hujan tahunan yang dihasilkan, klasifikasi curah hujan pada Kota
Batu dibedakan ke dalam tiga tingkat, yaitu lembab dengan kisaran nilai 2000-2500,
basah dengan kisaran nilai 2500-3000 dan sangat basah dengan kisaran nilai 2500-3000.
Hal ini menunjukkan bahwa Kota Batu memiliki tingkat kerawanan bencana longsor yang
cukup tinggi jika dilihat dari faktor parameter curah hujan. Kategori lembab terdapat pada
Kecamatan Junrejo dengan luas 686,13 Ha dan tersebar di beberapa desa seperti
Torongrejo, Pendem, Mojorejo, dan Dadaprejo. Kategori basah memiliki luasan terbesar
dibandingkan kategori lainnya yaitu sekitar 15120,60 Ha dan tersebar di tiga kecamatan
di Kota Batu yaitu Batu, Bumiaji dan Junrejo. Sedangkan untuk kategori sangat basah
terdapat di bagian selatan dan utara Kota Batu dengan luas 4110,02 Ha dan tersebar di
41
Desa Oro-Oro Ombo Kecamatan Batu, Desa Tlekung Kecamatan Junrejo dan Desa
Tulungrejo, Sumbergondo, Bulukerto, Bumiaji dan Giripuro Kecamatan Bumiaji.
42
Menurut peta di atas menunjukkan jenis tanah di Kota Batu memiliki tiga macam
jenis tanah yaitu entisol, inceptisol dan andosol. Jenis tanah inceptisol memiliki luasan
yang paling luas dibandingkan dengan jenis tanah lain, yaitu 8752,18 Ha. Tanah
inceptisol terdapat di semua kecamatan di Kota Batu, yaitu Kecamatan Batu khususnya
desa Sidomulyo, Sumberejo, Songgokerto, Pesanggrahan, Sisir, Ngaglik, Temas dan Oro-
Oro Ombo, Kecamatan Junrejo khususnya desa Torongrejo, Beji, Pendem, Mojorejo,
Junrejo, Dadaprejo, Tlekung dan Kecamatan Bumiaji khususnya desa Tulungrejo,
Sumbergondo, Bulukerto, Bumiaji, Giripurno, Pandanrejo, Puten dan Gunungsari.
Sementara itu, untuk jenis tanah yang memiliki luasan paling sempit yaitu tanah entisol
dengan luas 2376,65 Ha. Tanah entisol mendominasi wilayah Kecamatan Bumiiaji yaitu
khususnya pada desa Tulungrejo, Sumbergondo, Bulukerto, Bumiaji, Punten dan
Gunungsari. Sedangkan untuk tanah jenis andosol yang merupakan tanah dengan
kepekaan longsor tertinggi memiliki luasan sebesar 8141,06 Ha dan tersebar di seluruh
kecamatan yang berada di Kota Batu yaitu Kecamatan Bumiaji, Batu dan Junrejo.
Jenis tanah yang memiliki tingkat resiko longsor tertinggi adalah tanah andosol
dikarenakan tanah ini merupakan jenis tanah vulkanik yang mana terbentuk dari aktivitas
vulkanisme gunungapi. Kadar organik dan kadar air yang dimiliki oleh jenis tanah ini
cukup tinggi sehingga menyebabkan konsistensi tanahnya plastis dan tidak lekat. Ciri lain
dari jenis tanah ini adalah berwarna kehitaman. Sedangkan tanah yang memiliki resiko
longsor terendah di Kota Batu merupakan tanah entisol. Tanah ini tergolong kedalam
tanah yang masih muda serta kadar nitrogen dan organik yang rendah menyebabkan tanah
ini tidak lebih peka dari jenis tanah lainnya.
43
Gambar 4.9 Jenis Batuan
Batuan pada Kota Batu memiliki enam jenis yang sebagian besar merupakan batuan
gunungapi. Jenis batuan Gunungapi Arjuna-Welirang (Qvaw) merupakan klasifikasi
yang memiliki area terluas yaitu sekitar 10361 Ha yang tersebar di ketiga kecamatan di
Kota Batu, dan jenis batuan gunungapi kuarter bag. Bawah (Qp) memiliki area terkecil
yaitu sekitar 92 Ha. Batuan Gunung Api Anjasmara Tua (Qpat) merupakan endapan
tertua yang diperkirakan terbentuk pada Pleistosen Awal hingga Tengah, umumnya sudah
pejal dan termampatkan, tersusun dari andesit hingga basal. Sementara itu, pasir
gunungapi Tengger (Qvs) merupakan jenis batuan termuda diantara enam lainnya yang
diperkirakan terbentuk pada kala Holosen dengan karakteristik yang terdiri atas pasir
gunungapi, bom gunungapi, dan batuapung. Pada umumnya, batuan yang terbentuk di
44
masa Holosen lebih rentan terhadap bencana longsor dibandingkan batuan yang terbentuk
pada masa Pleistosen hingga Miosen.
45
Parameter Kategori Importance Value
15-40% 9,66
>40% 10,215
2000-2500 9,479
Curah Hujan
2500-3000 0.00
Tahunan
>3000 15,179
Dari hasil Importance Value yang didapatkan, dapat dilihat bahwa nilai tertinggi berada
pada parameter kemiringan lereng dengan kategori 0-2%. Data dengan nilai 100,00 ini
menunjukkan bahwa sebagian besar bencana longsor terjadi pada kawasan kemiringan lereng
0-2%, yang mana hal ini tidak sesuai dengan kriteria kepekaan longsor yang seharusnya.
Namun, bencana longsor juga dapat dipicu dengan beberapa kategori lainnya seperti pada
parameter Penggunaan Lahan kategori Permukiman yang mendapat nilai 76,005, Jenis Tanah
kategori Inceptisol yang mendapat nilai 64,692 dan Zona Kerentanan Gerakan Tanah kategori
Potensi Tinggi yang mendapat nilai 53,439 yang sesuai dengan kriteria kepekaan longsor dari
penelitian-penelitian sebelumnya.
Untuk mengetahui hubungan parameter prediksi tanah longsor terhadap terjadinya
bencana tanah longsor, maka diperlukan nilai total Importance Value tiap parameter dari
kategori yang ada untuk mendapatkan persentase kepentingan yang ditunjukkan grafik pada
Gambar 4.8.
PERSENTASE NILAI
KEPENTINGAN PARAM ETER
TERKAIT LONGSOR
G u n a La h a n 20.59
ZKGT 15.89
K e m i r i n g a n Le r e n g 23.85
Dari grafik yang dihasilkan, dapat dilihat bahwa parameter yang paling mempengaruhi
kejadian bencana longsor adalah Kemiringan Lereng dengan persentase sebesar 23,85% dan
parameter yang paling tidak mempengaruhi terjadinya bencana longsor merupakan Curah
Hujan dengan persentase hanya sebesar 3,58%. Hal ini menunjukkan bahwa menurut model
tuning RF parameter curah hujan kurang mempengaruhi persebaran kejadian bencana longsor
di Kota Batu.
46
4.4 Hasil Uji Akurasi Dengan Confusion Matrix
Uji akurasi merupakan tahapan yang bertujuan untuk mengevaluasi algoritma Machine
Learning yang digunakan dalam penelitian. Pengujian juga diperlukan untuk mengecek apakah
sistem telah berjalan sesuai dengan tujuan awal penelitian atau tidak. Pada penelitian ini
didapatkan hasil performansi dengan menggunakan metode Confusion Matrix yang merupakan
parameter default yang telah diatur dalam library. Hasil pengujian model RF yang didapat
menggunakan data training dapat dilihat pada Gambar 4.9.
47
Gambar 4.12 Hasil Uji Akurasi Menggunakan Data Testing
Sedangkan, pada pengujian menggunakan data testing, nilai Kappa sebesar 0.6896 dari data
menunjukkan bahwa pemodelan RF untuk prediksi longsor memiliki peluang akurasi yang
baik. Akan tetapi, model tersebut mengalami penurunan nilai akurasi menjadi sebesar 89,81%
dimana mampu memprediksi benar kejadian ‘Longsor’ sebanyak 32 record data dan kejadian
‘Tidak Longsor’ sebanyak 153 record data.
Nilai Sensitivity sebesar 0,9623 menunjukkan bahwa total 96,23% kejadian bencana
longsor dideteksi dengan benar (True Positive) sedangkan nilai Specificity yang sebesar 0,6809
menunjukkan bahwa total 68,09% kejadian tidak longsor dideteksi dengan benar (True
Negative). Dari hasil nilai sensitivity dan specificity yang didapatkan selanjutnya diprediksi
48
menggunakan kurva ROC (Receiver Operating Characteristic) dan dihasilkan nilai AUC (Area
Under Curve) sebesar 0,932691.
49
Berdasarkan prediksi yang telah dilakukan dengan menghubungkan data kejadian bencana
longsor dengan parameter faktor penyebab longsor, didapatkan hasil peta kerawanan longsor di
Kota Batu yang terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Hasil dari
analisis menggambarkan bahwa persebaran di tingkat rendah memiliki luasan paling besar
dibandingkan tingkat lainnya. Besarnya luasan tiap tingkat rawan bencana longsor di Kota Batu
dapat dilihat pada Tabel 4.2.
Menurut tabel diatas, dapat dilihat bahwa tingkat kerawanan di Kota Batu didominasi
dengan tingkat rendah yang memiliki luas area sebesar 15448,31 Ha. Daerah dengan tingkat
kerawanan tinggi memiliki luas area sebesar 3073,14 Ha. Sedangkan daerah dengan tingkat
sedang memiliki luas area cukup kecil yaitu sekitar 1347,05 Ha. Luas dan distribusi tingkat
kerawanan longsor di Kota Batu dapat dilihat pada Tabel 4.3.
Tabel 4.3 Persebaran Luas Tiap Tingkatan Rawan Longsor di Kecamatan Kota Batu
Luas (Ha)
Kecamatan Luas (Ha)
Rendah Sedang Tinggi
Batu 4535,04 2719,07 475,89 1340,08
Bumiaji 12785,25 10870,39 662,56 1252,30
Junrejo 2547,83 1858,51 208,59 480,73
Total 19868 15447,97 1347,04 3073,11
Dari tabel diatas menunjukkan bahwa Kecamatan Bumiaji didominasi oleh tingkat rendah
dengan luas tingkatan tersebut sebesar 10870,39 Ha, dan area terkecil ditempati oleh tingkat
sedang yaitu sebesar 662,56 Ha. Sedangkan, Kecamatan Batu memiliki tingkat rendah sebagai
wilayah terluas yaitu sekitar 2719,07 Ha dengan wilayah terkecil yaitu sedang sebesar 475,89
Ha. Sementara itu, Kecamatan Junrejo juga didominasi oleh tingkat rendah sebagai area terluas
yaitu sebesar 1858,51 Ha dan tingkat sedang sebagai area terkecil yaitu seluas 208,59 Ha.
Sementara itu, dilakukan pula perbandingan kesesuaian antara parameter dengan nilai
kepentingan paling tinggi yaitu kemiringan lereng dan guna lahan dengan daerah rawan longsor
yang telah dihasilkan. Kemiringan lereng merupakan ukuran kemiringan lahan relatif terhadap
bidang datar yang secara umum dinyatakan dalam persen atau derajat. Lahan pertanian yang
mempunyai kemiringan lebih dari 15° umumnya dapat lebih mudah rusak. Kemiringan lereng
merupakan salah satu faktor yang berpengaruh karena semakin curam lereng yang terdapat
50
suatu wilayah, maka struktur tanah yang berada di lereng tersebut semakin lemah untuk
menahan beban yang ada. Untuk kesesuaian daerah rawan longsor dengan kemiringan lereng
dapat dilihat pada Gambar 4.15.
Peta tersebut dihasilkan dari proses overlay antara peta kerawanan longsor dengan peta
kemiringan lereng dengan transparansi masing-masing peta sebesar 50%. Hasil dari overlay
tersebut menunjukkan bahwa kurangnya kesesuaian antara tingkat kerawanan longsor dengan
tingkat kemiringan lereng. Sementara itu, untuk luas kemiringan lereng dengan tingkat rawan
longsor dapat dilihat pada Tabel 4.4 berikut.
51
Tabel 4.4 Luas Tingkat Kerawanan Longsor dengan Kemiringan Lereng
Kemiringan Lereng (%)
Tingkatan
0-2 2-5 5-15 15-40 >40
Rendah 1311,789 Ha 91,635 Ha 7889,355 Ha 99,676 Ha 6039,830 Ha
Sedang 247,232 Ha 45,362 Ha 463,584 Ha 2,402 Ha 587,240 Ha
Tinggi 942,317 Ha 418,702 Ha 161,120 Ha 0,031 Ha 1550,538 Ha
Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa area terluas untuk tingkatan rendah berada pada
kemiringan lereng 5-15% dan >40% yaitu secara berturut-turut sebesar 7889,355 Ha dan
6039,830 Ha. Sedangkan untuk tingkat tinggi area terluasnya berada di kemiringan lereng 0-
2% dan >40% yaitu secara berturut-turut sebesar 1550,538 Ha dan 942,317 Ha. Dari hal
tersebut terdapat ketidaksesuaian karena pada umumnya kemiringan lereng yang curam
merupakan salah satu faktor penyebab kejadian longsor yang paling mempengaruhi. Namun
dari data kejadian longsor yang didapatkan, titik terjadinya longsor sebagian besar berkumpul
di wilayah dengan kemiringan lereng yang datar, maka dari itu pemodelan RF
mengidentifikasikan wilayah ini sebagai wilayah dengan tingkatan yang rawan. Hal ini bisa
disebabkan karena sebagian besar kemiringan lereng yang datar merupakan wilayah
permukiman dan data kejadian longsor didapatkan dari laporan warga yang memiliki properti
yang terdampak longsor. Dari hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa record persebaran
kejadian longsor masih belum merata.
Sedangkan untuk perbandingan kemiringan lereng dengan penggunaan lahan dapat dilihat
pada Tabel 4.5 berikut.
Tingkatan Permukiman,
Perkebunan,
Hutan Sawah Industri, &
RTH
Fasum
Rendah 6370,548 Ha 29,210 Ha 8980,77 Ha 67,432 Ha
Sedang 145,740 Ha 42,155 Ha 695,786 Ha 463,358 Ha
Tinggi 6,911 Ha 31,087 Ha 1511,196 Ha 1523,912 Ha
Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa untuk tingkatan kerawanan rendah memiliki
wilayah terluas di penggunaan lahan hutan yaitu sebesar 6370,548 Ha dan untuk tingkatan
kerawanan tinggi memiliki wilayah terluas pada permukiman, industri & fasilitas umum yaitu
sebesar 1523,912 Ha. Hal ini menunjukkan kesesuaian area rawan longsor karena pada
umumnya hutan merupakan wilayah yang jarang terjadi longsor dikarenakan adanya penahan
pada struktur tanah di wilayah tersebut, sedangkan daerah yang dipenuhi bangunan seperti
permukiman, industri dan fasilitas umum merupakan daerah yang paling sering terjadi longsor
dikarenakan beban bangunan di atas tanah dapat mempengaruhi kestabilan lereng, sehingga
rentan untuk terjadi gerakan pada wilayah tersebut.
52
4.6 Analisis Perbandingan Peta Prediksi Kerawanan Longsor Dengan Peta Rawan
Longsor BPBD Kota Batu
Berbagai penelitian mengenai persebaran daerah rawan longsor di Kota Batu telah
dilakukan sebelumnya. Dengan menggunakan metode dan parameter terkait longsor yang
berbeda dengan penelitian ini, hasil peta kerawanan longsor milik BPBD Kota Batu ditampilkan
pada Gambar 4.16 berikut.
53
Gambar 4.16 Peta Kerawanan Longsor BPBD Kota Batu
Dari peta tersebut dapat dilihat bahwa hasil dari penelitian ini membagi kelas kerawanan
ke dalam tiga tingkatan yaitu rendah, sedang dan tinggi. Tingkatan rendah merupakan wilayah
yang memiliki potensi terjadinya bencana longsor paling kecil, wilayah tersebut ditandai
54
dengan warna hijau pada peta. Tingkatan sedang merupakan wilayah dengan potensi terjadi
bencana longsor sedang, wilayah ini ditandai dengan area berwarna kuning. Sedangkan tingkat
tinggi merupakan wilayah dengan potensi terjadinya bencana longsor paling tinggi, wilayah ini
ditandai dengan area berwarna merah.
Tabel 4.6 Luas Tiap Tingkatan Peta Rawan Longsor BPBD Tahun 2019
Tingkatan Luas (Ha) Persentase Luas (%)
Rendah 10332,941 52,008
Sedang 5174,045 26,042
Tinggi 4361,015 21,950
Total 19868 100
Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa tingkatan yang memiliki luasan terbesar
merupakan tingkatan rendah dengan luas sebesar 10332,941 Ha (52,008%) pada Kecamatan
Batu khususnya Desa Sumberejo, Ngaglik dan Oro-oro Ombo, Kecamatan Junrejo khususnya
Desa Torongrejo, Beji, Mojorejo, Junrejo, Dadaprejo, dan Tlekung serta Kecamatan Bumiaji
khususnya Desa Tulungrejo, Sumbergondo, Bulukerto, Bumiaji, Giripurno, Pandanrejo dan
Puten. Sedangkan tingkatan yang memiliki luasan terkecil merupakan tingkatan tinggi dengan
luas 4361,015 Ha (21,950%) dan tersebar di Kecamatan Batu khususnya Desa Sidomulyo,
Sumberejo, Songgokerto, Pesanggrahan, Sisir, dan Temas, dan Kecamatan Junrejo Desa
Pendem, serta Kecamatan Bumiaji khususnya Desa Tulungrejo, Punten, Gunungsari. Kedua
tingkatan rendah dan tinggi mendominasi pada wilayah utara Kota Batu yaitu Kecamatan
Bumiaji yang mana kecamatan tersebut merupakan kecamatan dengan luasan terbesar di Kota
Batu. Terdapat perbedaan hasil dalam luasan dan persebaran tingkat kerawanan dari peta
tersebut dengan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis. Perbedaan tersebut dijabarkan
dalam Tabel 4.7.
Tabel 4.7 Luas Tiap Tingkatan Kerawanan Longsor Peta Prediksi RF Terhadap Peta BPBD
Kota Batu
Peta Kerawanan Longsor BPBD Peta Kerawanan Longsor
Kota Batu Menggunakan Implementasi RF
Tingkatan
Persentase Luas Persentase Luas
Luas (Ha) Luas (Ha)
(%) (%)
Menurut tabel diatas, terdapat perbedaan luas yang cukup signifikan dari masing-masing
tingkatan. Untuk tingkat rendah memiliki perbedaan luas sebesar 5115,379 Ha dengan
55
persentase perbedaan sebesar 49,506% terhadap peta kerawanan longsor milik BPBD, untuk
tingkat sedang memiliki perbedaan luas sebesar 3826,995 Ha (73,965%), sedangkan untuk
tingkat tinggi memiliki perbedaan luas sebesar 1287,875 Ha (29,532%).
Berdasarkan peta kerawanan longsor oleh BPBD Kota Batu yang mengacu kepada
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 2 Tahun 2012, interval
indeks untuk kelas kerawanan rendah, sedang dan tinggi adalah 0,333 dengan nilai total 1. Hal
ini sesuai dengan peta prediksi yang dihasilkan menggunakan pemodelan RF. Dari skala 0
hingga 1, rentang nilai masing-masing tingkatan untuk rendah, sedang, dan tinggi secara
berturut-turut adalah 0 – 0,333; 0,333 – 0,667; dan 0,667 – 1.
Tabel 4.8 Skor Peta Kerawanan Longsor Kota Batu BPBD dan Implementasi RF
Skor
Dari analisis perhitungan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan luas dan persebaran yang cukup besar yaitu sekitar 51,491%. Hal ini dapat
disebabkan dari perbedaan tahun penelitian yang cukup signifikan, peta kerawanan longsor
milik BPBD Kota Batu dibuat pada tahun 2019 sedangkan penelitian penulis dilakukan pada
tahun 2022 dengan data-data yang telah diperbarui. Terdapat pula perbedaan metode dan
parameter yang digunakan, untuk peta kerawanan milik BPBD Kota Batu menggunakan
metode skoring dan parameter yang digunakan merupakan kemiringan lereng dan jenis tanah.
56
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1. Berdasarkan hubungan antara parameter dengan kejadian bencana tanah longsor
menggunakan pemodelan RF, didapatkan persentase nilai kepentingan untuk masing-
masing parameter faktor. Persentase kepentingan masing-masing parameter adalah
23,83% untuk Kemiringan Lereng, 17,27% untuk Jenis Tanah, 18,90% untuk Jenis
Batuan, 15,87% untuk Zona Kerentanan Gerakan Tanah, 20,57% untuk Penggunaan
Lahan dan 3,57% untuk Curah Hujan. Hal ini menunjukkan bahwa menurut model
tuning RF, faktor yang paling mempengaruhi terjadinya longsor di Kota Batu
merupakan Kemiringan Lereng dan faktor yang paling tidak mempengaruhi
merupakan Curah Hujan. Sementara untuk uji akurasi pemodelan yang dilakukan,
didapatkan hasil yang baik dengan persentase akurasi sebesar 89,81%, nilai Kappa
0,6896, dan nilai area dibawah ROC 0,93269.
2. Berdasarkan prediksi untuk peta kerawanan longsor yang telah dilakukan, didapatkan
tiga tingkatan untuk kerawanan longsor di Kota Batu dengan luas masing-masing
tingkatan untuk Rendah, Sedang dan Tinggi secara berturut-turut sebesar 15448,32 Ha
(77,75%), 1347,05 Ha (6,78%) dan 3073,14 Ha (15,47%). Tingkat Tinggi tersebar di
dua puluh tiga desa di Kota Batu yaitu pada Kecamatan Batu terdapat di Desa
Sidomulyo, Sumberejo, Songgokerto, Pesanggrahan, Sisir, Ngaglik, Temas, dan Oro-
Oro Ombo, pada Kecamatan Junrejo terdapat di Desa Torongrejo, Beji, Pendem,
Mojorejo, Junrejo, Dadaprejo, dan Tlekung, sementara pada Kecamatan Bumiaji
terdapat di Desa Tulungrejo, Sumbergondo, Bulukerto, Bumiaji, Giripurno,
Pandanrejo, Punten dan Gunungsari.
3. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dalam membandingkan terhadap peta
kerawanan longsor BPBD Kota Batu tahun 2019, didapatkan masing-masing luas dan
persentase perbandingan setiap tingkatan. Untuk tingkat Rendah memiliki perbedaan
luas sebesar 5115,379 Ha dengan persentase perbedaan sebesar 49,506%, untuk
tingkat sedang memiliki perbedaan luas sebesar 3826,995 Ha (73,965%), sedangkan
untuk tingkat tinggi memiliki perbedaan luas sebesar 1287,875 Ha (29,532%). Dari
kedua peta tersebut didapatkan total persentase perbedaan sebesar 51,491%.
5.2 Saran
Dari penelitian yang telah dilakukan, penelitian ini telah mencapai beberapa acuan.
Walaupun demikian, masih ada beberapa permasalahan yang belum mampu terselesaikan dan
dapat menjadi pengembangan di penelitian selanjutnya. Beberapa saran yang dapat disebutkan
dari penulis adalah sebagai berikut.
1. Hasil prediksi dapat disajikan ke dalam tampilan peta dengan menerapkan WEBGIS
pada pengembangan di penelitian selanjutnya.
2. Daerah rawan longsor banyak terjadi di daerah dengan kemiringan lereng datar, tidak
sesuai dengan kriteria longsor yang pernah ada pada penelitian sebelumnya. Maka
57
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor lain yang menyebabkan
terjadinya longsor di Kota Batu.
3. Perekaman data oleh BPBD mengenai kejadian bencana longsor sebagian besar dari
laporan warga yang tempat tinggalnya terdampak, sehingga data titik kejadian
memusat di permukiman. Maka perlu dilakukan pengembangan yang dapat mengatasi
suatu masalah tersebut agar persebaran data merata.
58
DAFTAR PUSTAKA
Abedini, M.J., dan Nasseri, M. (2009). Inverse Distance Weighting Revisited Analytical
Hydrology View Project Climate Change Policy for Iran View project. Fourth
Conference of Asia Pacific Association of Hydrology and Water Resources.
Agus, F., A. Adimiharja, dan S. Hardjowigeno. (2004). Tanah Sawah dan Teknologi
Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Andrian, Supriadi, dan Marpaung P., Juni. (2014). Pengaruh Ketinggian Tempat Dan
Kemiringan Lereng Terhadap Produksi Karet (Hevea brasiliensis) Di Kebun Hapesong
Ptpn Iii Tapanuli Selatan. Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian USU,
Medan.
Arifin, S., Carolila, I., Winarso, G. (2006). Implementasi Penginderaan Jauh dan SIG untuk
Inventarisasi Daerah Rawan Bencana Longsor (Propinsi Lampung). Jurnal
Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Digital, 3 (1), 77-86.
Arsyad, S. (1998). Konservasi Tanah dan Air. Bogor : IPB Press.
BNPB. (2012). Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) No. 02
Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB). Jakarta.
Bowles, J. E. (1984). Sifat-Sifat Fisis Dan Geoteknis. Tanah (Mekanika Tanah). Jakarta.
Breiman, L. (2001). Random Forests. Machine Learning 45, 5–32.
C, Kubal & Haase, Dagmar & V, Meyer & Scheuer, Sebastian. (2009). Integrated urban flood
risk assessment - Adapting a multicriteria approach to a city. Natural Hazards and Earth
System Sciences.
Das, S., & Nene, M. J. (2017). A survey on types of machine learning techniques in intrusion
prevention systems. 2017 International Conference on Wireless Communications,
Signal Processing and Networking (WiSPNET), 2296–2299.
https://doi.org/10.1109/WiSPNET.2017.8300169
Dou, J., Yunus, A. P., Tien Bui, D., Merghadi, A., Sahana, M., Zhu, Z., Chen, C.-W., Khosravi,
K., Yang, Y., & Pham, B. T. (2019). Assessment of Advanced Random Forest
and Decision Tree Algorithms for Modeling Rainfall-Induced Landslide Susceptibility
in The Izu-Oshima Volcanic Island, Japan. Elsevier, 662, 332–346.
Dwiasnati, Saruni & Yudo Devianto. (2021). Optimasi Prediksi Bencana Banjir menggunakan
Algoritma SVM untuk penentuan Daerah Rawan Bencana Banjir. Prosiding
SISFOTEK, 5(1), 202 - 207.
Ellis K, Kerr J, Godbole S, Lanckriet G, Wing D, Marshall S. (2014). A random forest classifier
for the prediction of energy expenditure and type of physical activity from wrist and hip
accelerometers. Physiol Meas.
Fiantis, Dian. (2017). Morfologi dan Klasifikasi Tanah. Universitas Andalas. Padang.
59
Hardiyatmo, H.C. (2006). Mekanika Tanah I, Edisi keempat. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Hasugian, Putri Ester. (2016). Studi Identifikasi Daerah Rawan Longsor Menggunakan Foto
Udara dengan Parameter Kemiringan Lereng dan Tutupan Lahan (Studi Kasus :
Kecamatan Anyar, Kabupaten Serang, Banten). Undergraduate thesis. Institut
Teknologi Sepuluh Nopember.
Huiwen Li, Rui Liu, Jingchun Xie, & Zili Lai. (2015). Random forests methodology to analyze
landslide susceptibility: An example in Lushan earthquake. 2015 23rd International
Conference on Geoinformatics, 1–6.
Insanilah, Satria Mulya. (2015). Implementasi Algoritma Support Vector Machine (SVM) Untuk
Penentuan Potensi Bencana Tsunami Akibat Gempa Bumi. Sarjana thesis, Universitas
Brawijaya.
Isneni, A. N., Putranto, T. T., & Trisnawati, D. (2020). Analisis Sebaran Daerah Rawan
Longsor Menggunakan Remote Sensing dan Analytical Hierarchy Process (AHP) di
Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Geosains dan Teknologi, 3(3), 149-
160.
Karnawati, D. (2001). Bencana Alam Gerakan Tanah Indonesia Tahun 2000 (Evaluasi dan
Rekomendasi). Yogyakarta: Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.
Khafid, Mohammad Abdul. (2019). Analisis Penentuan Zonasi Pemukiman Risiko Bencana
Tanah Longsor Berbasis Sistem Informasi Geografis: Studi Kasus Kecamatan
Gedangsari, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta.
Kim, Jeong-Cheol & Lee, Sunmin & Jung, Hyung-Sup & Lee, Saro. (2017). Landslide
Susceptibility Mapping using Random Forest and Boosted Tree Models in Pyeong-
Chang, Korea. Geocarto International. 33. 1-35. 10.1080/10106049.2017.1323964.
Kleinberg, Jon. (2000). Navigation in a small world. Nature 406, 845. Nature. 406. 845.
Lee, Deuk-Hwan, Yun-Tae Kim, and Seung-Rae Lee. (2020). Shallow Landslide Susceptibility
Models Based on Artificial Neural Networks Considering the Factor Selection Method
and Various Non-Linear Activation Functions. Remote Sensing 12, no. 7: 1194.
Li, X. and Yeh, A.G.O. (2002). Neural-Network-Based Cellular Automata for Simulating
Multiple Land Use Changes Using GIS. International Journal of Geographical
Information Science, 16, 323-243.
Liparas, Dimitris & HaCohen-Kerner, Yaakov & Moumtzidou, Anastasia & Vrochidis,
Stefanos & Kompatsiaris, Ioannis. (2014). News Articles Classification Using Random
Forests and Weighted Multimodal Features. LNCS.
Liu, CL., Lee, CH. (2008). Simplify Multi-valued Decision Trees. In: Kang, L., Cai, Z., Yan,
X., Liu, Y. (eds) Advances in Computation and Intelligence. ISICA 2008. Lecture Notes
in Computer Science, vol 5370. Springer, Berlin, Heidelberg.
60
Lubis, R.A., Rusdi, M., Basri, H. (2018). Pemetaan Tingkat Kerawanan Longsor Berdasarkan
Curah Hujan dan Geologi Menggunakan Metode Fuzzy Logic Di Kecamatan Leupung
Kabupaten Aceh Besar.
Malingreau, Jean Paul. (1977). Apropose Land Cover/Land Use Classification and its Use with
Reomte Sensing Data in Indonesia. The Indonesian Journal of Geography, No. 33,Vol
7. Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta.
Martono. (2004). Pengaruh Intensitas Hujan dan Kemiringan Lereng terhadap Laju
Kehilangan Tanah pada Tanah Regosol Kelabu. Universitas Diponegoro Semarang.
Semarang.
Muntohar, A.S. (2005). Geotechnical Properties of Rice Husk Ash Enhanced Lime-Stabilized
Expansive Clay. Jurnal Media Komunikasi Teknik Sipil, Volume 13, Nomor 3, pp. 36-
47
N, Rahula & Aryaguna, Prama. (2012). Prediksi Potensi Bencana Banjir dengan menggunakan
Metode Decision tree di DAS Segoro Anakan Cilacap. Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Nandi. (2007). Longsor. Jurusan Pendidikan Geografi. Bandung. FPIPS-UPI.
Nugroho, D.D., & Nugroho, H. (2020). Analisis Kerentanan Tanah Longsor Menggunakan
Metode Frequency Ratio di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.
Prasindya, P., Hariyanto, T., & Kurniawan, A. (2020). Analisis Potensi Tanah Longsor
Menggunakan Sistem Informasi Geografis dan Analytical Hierarchy Process (AHP)
(Studi Kasus: Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi).
Primartha, R. (2018). Belajar Machine Learnig Teori dan Praktik. Informatika Bandung.
Purnama, Aditya Yoga. (2016). Interpretasi Bawah Permukaan Zona Kerentanan Longsor di
Desa Gerbosari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo Menggunakan Metode
Geolistrik Konfigurasi Dipole-pole. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Rahmayanti, Reny. (2010). Analisis Pemilihan Supplier Menggunakan MetodeAnalytical
Hierarchy Process (AHP) Studi Kasus Pada PT. Cazikhal. Surakarta: Fakultas Ekonomi
Universitas Sebelas Maret.
Rayes, Luthfi M. (2007). Metode Investarisasi Sumber Daya Alam. Andi. Yogyakarta.
Rwabudandi, I & Nyiransabimana, M. (2019). Landslides hazards assessment using
geographic information system and remote sensing: Gakenke District. IOP Conference
Series: Earth and Environmental Science.
Saragih, Sylvia Hartati. (2013). Penerapan Metode Analitycal Hierarchy Process pada Sistem
Pendukung Keputusan Pemilihan Laptop. Vol IV. Pelita Informatika Budi Darma.
Medan. Hal 83.
Sasongko, Aji dkk. (2017). Pemilihan Karyawan Baru Dengan Metode AHP (Analytic
Hierarchy Process. Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi Universitas
Mulawarman.
61
Silvianugroho, S., Prasetyo, S., & Hartomo, K. (2019). Penentuan Wilayah Resiko Bencana
Kekeringan di Jawa Tengah Menggunakan Machine Learning dan Indeks Vegetasi
pada Citra Landsat 8 OLI. Indonesian Journal of Computing and Modeling, 2(2), 17-
24.
Siregar, Octavina Yenni. (2021). Implementasi Algoritma Random Forest Untuk Prediksi
Tanah Longsor Yang Dipicu Oleh Curah Hujan Di Wilayah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Fakultas Teknik Industri Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta.
Somvanshi, M., & Chavan, P. (2016). A review of machine learning techniques using decision
tree and support vector machine. 2016 International Conference on Computing
Communication Control and Automation (ICCUBEA), 1–7.
Sriyono, Agus. (2012). Identifikasi Kawasan Rawan Bencana Longsor Kecamatan Banyubiru,
Kabupaten Semarang. Universitas Negeri Semarang.
Sutikno. (2000). Penyuluhan Bencana Alam Gerakan Tanah. Direktorat Geologi Tata
Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Bandung.
Thornbury WD. (1969). Principles of Geomorphology Second Edition. New York: John Wiley
and Sons, Inc.
Thupae, R., Isong, B., Gasela, N., & Abu-Mahfouz, A. M. (2018). Machine learning techniques
for traffic identification and classification in SDWSN: A survey. IEEE.
Tien Bui, D., Pradhan, B., Lofman, O., & Revhaug, I. (2012). Landslide Susceptibility
Assessment in Vietnam Using Support Vector Machines, Decision Tree, and Naïve
Bayes Models. Mathematical Problems in Engineering, 2012, 1–26.
Tin Kam Ho. (1995). Random decision forests. Proceedings of 3rd International Conference on
Document Analysis and Recognition. pp. 278-282 vol.1.
Triatmodjo, Bambang. (2008). Hidrologi Terapan. Beta Offset, Yogyakarta.
UNDP. (2012). Making Aceh Safer Through Disaster Risk Reduction in Development (DRR-
A). Panduan: Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas. United Nations
Development Programme and Government ofIndonesia.
Utomo, Kresno Sastro Bangun. (2020). Integrasi model certainty factor dan ann untuk
pemetaan kerawanan tanah longsor (studi kasus: DAS Bendo, Kabupaten Banyuwangi).
Diploma thesis, Universitas Negeri Malang.
Varnes, D. J. (1958). Landslide Types and Processes. Landslides and Engineering Practice, 24,
20-47.
Vercellis, C. (2009). Business Intelligence: Data Mining and Optimization for Decision
Making. Wiley, New York, 1-420.
Verhoef, P.N.W. (1994). Geologi Untuk Teknik Sipil. PT. Erlangga. Jakarta.
62
Wanto, A., Defit, S., & Perdana Windarto, A. (2021). Algoritma Fungsi Perlatihan pada
Machine Learning berbasis ANN untuk Peramalan Fenomena Bencana. Jurnal RESTI
(Rekayasa Sistem Dan Teknologi Informasi), 5(2), 254 - 264.
Youssef, ِDr. Ahmed & Pourghasemi, Hamid. (2020). Landslide susceptibility mapping using
machine learning algorithms and comparison of their performance at Abha Basin, Asir
Region, Saudi Arabia. Geoscience Frontiers. 12. 10.1016/j.gsf.2020.05.010.
Zaruba Q and Vojtech M. (1982). Landslides And Their Control. Amsterdam: Elsevier
Scientific Publishing Company
63
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
64
LAMPIRAN
path=readClipboard()
setwd(path)
getwd() # for checking
.libPaths("C:/Users/Intanicha/Documents/Tugas/Semester 7/TA/Tanah Longsor/Data/Coba")
# Install packages
#install.packages("RStoolbox") # Image analysis & plotting spatial data
library(rgdal) # spatial data processing
library(raster) # raster processing
library(plyr) # data manipulation
library(dplyr) # data manipulation
library(RStoolbox) # Image analysis & plotting spatial data
library(RColorBrewer) # color
library(ggplot2) # plotting
library(sp) # spatial data
library(caret) # machine laerning
library(doParallel) # Parallel processing
library(e1071) # Naive Bayes
library(randomForest)
library(caTools)
65
# Remove the original ZKGT data
#data_train <- data_train[,-2]
66
class(curahhujan) # double check if not a factor
curahhujan <- factor(curahhujan)
# Dealing with Categorial data
flags4 = data.frame(Reduce(cbind,lapply(levels(curahhujan),function(x){(curahhujan ==
x)*1})
))
names(flags4) = levels(curahhujan)
# Slope setting
slope <-cut(data_train$Slope, seq(1,6,1), right=FALSE, labels=c("s1","s2","s3","s4","s5"))
table(slope)
class(slope) # double check if not a factor
slope <- factor(slope)
# Dealing with Categorial data
flags5 = data.frame(Reduce(cbind,lapply(levels(slope),function(x){(slope == x)*1})
))
names(flags5) = levels(slope)
# Count the number of 1 and 0 elements with the values of dependent vector
as.data.frame(table(data_train$Training))
data_train <- subset (data_train, select = -c(2:7))
# Normalization
maxs <- apply(data_train, 2, max)
mins <- apply(data_train, 2, min)
scaled_train <- as.data.frame(scale(data_train, center = mins, scale = maxs - mins))
scaled_t <-scaled_train
scaled_t$Training <- ifelse(scaled_t$Training == 1, "yes","no")
67
# 2-2 Testing Data --------------------------------------------------------
# Landcover setting
gunalahan <-cut(data_test$GunaLahan, seq(1,6,1), right=FALSE,
labels=c("l1","l2","l3","l4","l5"))
table(gunalahan)
class(gunalahan) # double check if not a factor
68
jenisbatu <-cut(data_test$JenisBatuan, seq(1,7,1), right=FALSE,
labels=c("b1","b2","b3","b4","b5","b6"))
table(jenisbatu)
class(jenisbatu) # double check if not a factor
# slope setting
slope <-cut(data_test$Slope, seq(1,6,1), right=FALSE, labels=c("s1","s2","s3","s4","s5"))
table(slope)
class(slope) # double check if not a factor
69
#COMBINE FLAGS KATEGORICAL DATA
data_test = cbind(data_test, flagse)
data_test = cbind(data_test, flagse1)
data_test = cbind(data_test, flagse2)
data_test = cbind(data_test, flagse3)
data_test = cbind(data_test, flagse4)
data_test = cbind(data_test, flagse5)
scaled_tst = cbind(scaled_tst, flagse)
scaled_tst = cbind(scaled_tst, flagse1)
scaled_tst = cbind(scaled_tst, flagse2)
scaled_tst = cbind(scaled_tst, flagse3)
scaled_tst = cbind(scaled_tst, flagse4)
scaled_tst = cbind(scaled_tst, flagse5)
scaled_test = cbind(scaled_test, flagse)
scaled_test = cbind(scaled_test, flagse1)
scaled_test = cbind(scaled_test, flagse2)
scaled_test = cbind(scaled_test, flagse3)
scaled_test = cbind(scaled_test, flagse4)
scaled_test = cbind(scaled_test, flagse5)
##### to predict which variable would be the best one for splitting the Decision Tree, plot a
graph that represents the split for each of the 9 variables, ####
70
#sum(t == 0)})
# Plot graph
#par(mar=c(10,2,2,2))
#barplot(number.perfect.splits,main="Number of perfect splits vs
feature",xlab="",ylab="Feature",las=3,col="wheat") # Slope and SPI are the best classifiers
data_train2=data_train
data_train2$Training <- ifelse(data_train2$Training == 1, "yes","no")
data_test2=data_test
data_test2$Testing <- ifelse(data_test2$Testing == 0, "no","yes")
######################
#### 2 Modeling ---------------------------------------------------------
######################
71
# Define the control
trControl <- trainControl(method='repeatedcv',
repeats=3,
number = 10,
search = "grid")
set.seed(1234)
# Run the model
rf_defaultN <- train(Training~.,
data=scaled_t,
method = "rf",
metric = "Accuracy",
trControl = trControl)
# Print the results
print(rf_defaultN)
plot(rf_defaultN)
rf_defaultN$finalModel # Results mtry=11 Number of trees: 500
rf_defaultN$results
set.seed(1234)
tuneGrid <- expand.grid(.mtry = c(2: 23))
rf_mtry <- train(Training~.,
data=scaled_t,
method = "rf",
metric = "Accuracy",
tuneGrid = tuneGrid,
trControl = trControl,
importance = TRUE,
nodesize = 14,
ntree = 500)
print(rf_mtry)
rf_mtry$bestTune$mtry
#You can store it and use it when you need to tune the other parameters.
max(rf_mtry$results$Accuracy)
best_mtry <- rf_mtry$bestTune$mtry
best_mtry
72
#method = "rf",
# metric = "Accuracy",
#tuneGrid = tuneGrid,
# trControl = trControl,
# importance = TRUE,
#nodesize = 14,
# maxnodes = maxnodes,
# ntree = 500)
# current_iteration <- toString(maxnodes)
#store_maxnode[[current_iteration]] <- rf_maxnode
#}
#results_mtry <- resamples(store_maxnode)
#summary(results_mtry)
#You have your final model. You can train the random forest with the following parameters:
fit_rf_final
print(fit_rf_final)
varImp(fit_rf_final)
plot(varImp(fit_rf_final), main="RF tuned model")
#Random search#####
#Caret can provide for you random parameter if you do not declare for them.
control <- trainControl(method='repeatedcv',
number=10,
repeats=3,
search = 'random')
73
set.seed(1)
rf_random <- train(Training~.,
data=scaled_t,
method = 'rf',
metric = 'Accuracy',
trControl = control,
importance = TRUE)
print(rf_random)
varImp(rf_random)
plot(varImp(rf_random))
plot(rf_random)
## Since you have probabilities, use them to get the most-likely class.
# predict class and then attach test class
predictions1$predict <- names(predictions1)[1:2][apply(predictions1[,1:2], 1, which.max)]
predictions1$observed <- as.factor(scaled_tst$Testing)
head(predictions1)
# Now, let's see how to plot the ROC curves. For each class, convert the multi-class problem
into a binary problem. Also,
# call the roc() function specifying 2 arguments: i) observed classes and ii) class probability
(instead of predicted class).
# 1 ROC curve, Moderate, Good, UHeal vs non Moderate non Good non UHeal
roc.yes <- roc(ifelse(predictions1$observed=="yes","no-yes","yes"),
as.numeric(predictions1$yes))
roc.no <- roc(ifelse(predictions1$observed=="no","no-no", "no"),
as.numeric(predictions1$no))
74
plot(roc.no, col = "green", main="RF best tune prediction ROC plot using testing data",
xlim=c(0.44,0.1))
lines(roc.yes, col = "red")
#Important note: In previous course (Prediction using ANN "regression") prediction rate = 0.80
using .
set.seed(849)
fit.rfAll<- train(Longsor~.,
data=All_incidents,
method = "rf",
metric = "Accuracy",
trControl = control,
importance = TRUE)
X.rfAll = varImp(fit.rfAll)
plot(X.rfAll)
# Plot graph
# 1. Open jpeg file
jpeg("varImportance All RF.jpg", width = 800, height = 500)
# 2. Create the plot
plot(X.rfAll,main="varImportanceAll RF" )
# 3. Close the file
#dev.off()
# Import Raster
install.packages("raster")
install.packages("rgdal")
library(raster)
library(rgdal)
75
# check attributes and projection and extent
extent(curahhujan)
extent(gunalahan)
extent(slope)
extent(jenisbatu)
extent(zkgt)
extent(jenistanah)
# if you have diffrent extent, then try to Resample them using the smallest area
curahhujan_r <- resample(curahhujan,slope, resample='bilinear')
gunalahan_r <- resample(gunalahan,slope, resample='bilinear')
jenisbatu_r <- resample(jenisbatu,slope, resample='bilinear')
zkgt_r <- resample(zkgt,slope, resample='bilinear')
jenistanah_r <- resample(jenistanah,slope, resample='bilinear')
# if you have diffrent extent, then try to Resample them using the smallest area
curahhujan_r <- resample(curahhujan_r,gunalahan_r, resample='bilinear')
slope_r <- resample(slope,gunalahan_r, resample='bilinear')
jenisbatu_r <- resample(jenisbatu_r,gunalahan_r, resample='bilinear')
zkgt_r <- resample(zkgt_r,gunalahan_r, resample='bilinear')
jenistanah_r <- resample(jenistanah_r,gunalahan_r, resample='bilinear')
extent(curahhujan_r)
extent(gunalahan_r)
extent(slope_r)
extent(jenisbatu_r)
extent(zkgt_r)
extent(jenistanah_r)
76
## stack multiple raster files
Stack_List= list.files(path = "resampled/",pattern = "tif$", full.names = TRUE)
Rasters=stack(Stack_List)
names(Rasters)
#rm(SPI)
#head(Rasters.df[,c(-9,-10)],1)
#head(nn.ce$covariate,1)
77
# Dealing with Categorial data (Converting numeric variable into groups in R)
zkgtras<-cut(Rasters.df_N$zkgt, seq(1,6,1), right=FALSE, labels=c("a","b","c","d","e"))
table(zkgtras)
# jenis batu
78
# Remove the original jenis batu data
Rasters.df_N<- Rasters.df_N[,-1]
str(Rasters.df_N)
# jenis tanah
# slope
79
summary(Rasters.df_N)
# Plot Maps
spplot(r_ave_yes, main="SLIDES AREA using RF")
writeRaster(r_ave_yes,filename="Prediction_RF Slides area.tif", format="GTiff",
overwrite=TRUE)
80
Lampiran 2. Peta Batas Administrasi Kota Batu
81
Lampiran 3. Peta Tata Guna Lahan Bappelitbangda Kota Batu
82
Lampiran 3. Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah
83
Lampiran 4. Peta Jenis Tanah
84
Lampiran 5. Peta Jenis Batuan
85
Lampiran 6. Peta Kerawanan Longsor BPBD Kota Batu
86
Lampiran 7. Peta Kerawanan Longsor Kota Batu Dengan Pemodelan RF
87
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
88
BIODATA PENULIS
89