Anda di halaman 1dari 117

TUGAS AKHIR – 184831

ANALISIS DAERAH RAWAN LONGSOR


MENGGUNAKAN IMPLEMENTASI ALGORITMA
RANDOM FOREST (STUDI KASUS: KOTA BATU, JAWA
TIMUR)

INTANICHA MAHAR RIESTU


NRP 033118400000012

Dosen Pembimbing
Husnul Hidayat S.T., M.T
NIP 199008072015041001
Hepi Hapsari Handayani S.T., M.Sc., Ph.D
NIP 197812122005012001

Teknik Geomatika
Departemen Teknik Geomatika
Fakultas Teknik Sipil, Perencanaan dan Kebumian
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya
2022
TUGAS AKHIR – 184831

ANALISIS DAERAH RAWAN LONGSOR


MENGGUNAKAN IMPLEMENTASI ALGORITMA
RANDOM FOREST (STUDI KASUS: KOTA BATU, JAWA
TIMUR)

INTANICHA MAHAR RIESTU


NRP 03311840000012

Dosen Pembimbing
Husnul Hidayat S.T., M.T
NIP 199008072015041001
Hepi Hapsari Handayani S.T., M.Sc., Ph.D
NIP 197812122005012001

Teknik Geomatika
Departemen Teknik Geomatika
Fakultas Teknik Sipil, Perencanaan, dan Kebumian
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya
2022
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
FINAL PROJECT – 184831

ANALYSIS OF LANDSLIDE SUSCEPTIBILITY USING THE


ALGORITHM IMPLEMENTATION OF RANDOM FOREST
(CASE STUDY: BATU CITY, JAWA TIMUR)

INTANICHA MAHAR RIESTU


NRP 03311840000012

Advisor
Husnul Hidayat S.T., M.T
NIP 199008072015041001
Hepi Hapsari Handayani S.T., M.Sc., Ph.D
NIP 197812122005012001

Geomatics Engineering
Department of Geomatics Engineering
Faculty of Civil, Planning, and Geo Engineering
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
Surabaya
2022
“Halaman ini sengaja dikosongkan”

i
LEMBAR PENGESAHAN

ANALISIS DAERAH RAWAN LONGSOR MENGGUNAKAN IMPLEMENTASI


ALGORITMA RANDOM FOREST (STUDI KASUS: KOTA BATU, JAWA TIMUR)

TUGAS AKHIR
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar Sarjana Teknik pada
Program Studi S-1 Teknik Geomatika
Departemen Teknik Geomatika
Fakultas Teknik Sipil, Perencanaan, dan Kebumian
Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Oleh : INTANICHA MAHAR RIESTU


NRP. 03311840000012

Disetujui oleh Tim Penguji Tugas Akhir :

1. Husnul Hidayat, S.T., M.T Pembimbing

2. Hepi Hapsari Handayani, S.T.,M.Sc., Ph.D Ko-pembimbing

3. Nama dan gelar penguji Penguji

4. Nama dan gelar penguji Penguji

5. Nama dan gelar penguji Penguji

SURABAYA
JULI, 2022

i
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
APPROVAL SHEET

ANALYSIS OF LANDSLIDE SUSCEPTIBILITY USING THE ALGORITHM


IMPLEMENTATION OF RANDOM FOREST (CASE STUDY: BATU CITY, JAWA
TIMUR)

FINAL PROJECT REPORT

Submitted to fulfill one of the requirements


for obtaining a degree bachelor of engineering at
Undergraduate Study Program of Geomatics Engineering
Department of Geomatics Engineering
Faculty of Civil, Environment, and Geo-Science Engineering
Institut Teknologi Sepuluh Nopember

By : INTANICHA MAHAR RIESTU


NRP. 03311840000012

Approved by Final Project Examiner Team:

1. Husnul Hidayat, S.T., M.T Advisor

2. Hepi Hapsari Handayani, S.T.,M.Sc., Ph.D Co-Advisor

3. Name of Examiner and academic title Examiner

4. Name of Examiner and academic title Examiner

5. Name of Examiner and academic title Examiner

SURABAYA
JULI 2022
iii
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
PERNYATAAN ORISINALITAS

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama mahasiswa / NRP : Intanicha Mahar Riestu / 03311840000012


Program studi : Teknik Geomatika
Dosen Pembimbing / NIP : Husnul Hidayat, S.T., M.T / 199008072015041001
Hepi Hapsari Handayani, S.T.,M.Sc., Ph.D /
197812122005012001

dengan ini menyatakan bahwa Tugas Akhir dengan judul “Analisis Daerah Rawan Longsor
Menggunakan Implementasi Algoritma Random Forest (Studi Kasus: Kota Batu, Jawa Timur)”
adalah hasil karya sendiri, bersifat orisinal, dan ditulis dengan mengikuti kaidah penulisan
ilmiah.
Bilamana di kemudian hari ditemukan ketidaksesuaian dengan pernyataan ini, maka saya
bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Institut Teknologi Sepuluh
Nopember.

Surabaya, 10 Juli 2022


Mengetahui
Dosen Pembimbing 1 Dosen Pembimbing 2

(Husnul Hidayat, S.T., M.T) (Hepi Hapsari Handayani, S.T.,M.Sc., Ph.D)


NIP. 199008072015041001 NIP. 197812122005012001

Mahasiswa

(Intanicha Mahar Riestu)


NRP. 03311840000012
v
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
STATEMENT OF ORIGINALITY

The undersigned below:

Name of student / NRP : Intanicha Mahar Riestu / 03311840000012


Department : Geomatics Engineering
Advisor / NIP : Husnul Hidayat, S.T., M.T / 199008072015041001
Hepi Hapsari Handayani, S.T.,M.Sc., Ph.D /
197812122005012001

hereby declare that the Final Project with the title of “Analysis Of Landslide Susceptibility
Using The Algorithm Implementation Of Random Forest (Case Study: Batu City, Jawa Timur)”
is the result of my own work, is original, and is written by following the rules of scientific
writing. If in the future there is a discrepancy with this statement, then I am willing to accept
sanctions in accordance with the provisions that apply at Institut Teknologi Sepuluh Nopember.

Surabaya, 10 Juli 2022

Acknowledged
Advisor Co-Advisor

(Husnul Hidayat, S.T., M.T) (Hepi Hapsari Handayani, S.T.,M.Sc., Ph.D)


NIP. 199008072015041001 NIP. 197812122005012001

Student

(Intanicha Mahar Riestu)


NRP. 03311840000012
vii
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
ABSTRAK

ANALISIS DAERAH RAWAN LONGSOR MENGGUNAKAN IMPLEMENTASI


ALGORITMA RANDOM FOREST (STUDI KASUS: KOTA BATU, JAWA TIMUR)

Nama Mahasiswa / NRP : Intanicha Mahar Riestu / 03311840000012


Departemen : Teknik Geomatika FTSPK - ITS
Dosen Pembimbing : 1. Husnul Hidayat S.T., M.T
2. Hepi Hapsari Handayani S.T., M.Sc., Ph.D

Abstrak
Tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yang paling merugikan karena
kejadiannya seringkali bersifat merusak struktur alami dan buatan di bumi serta menurunkan
kualitas lingkungan sekitar. Prediksi tingkat kerawanan longsor pada suatu wilayah dapat
digunakan untuk mengurangi kerugian yang ditimbulkan seperti material, korban jiwa serta
kerusakan lingkungan lainnya. BPBD Kota Batu menyebutkan bahwa tanah longsor merupakan
bencana yang paling sering terjadi di Kota Batu dengan paling sedikit dua puluh kejadian tiap
tahunnya. Pada tahun 2021, terjadi 152 bencana dengan catatan terbanyak merupakan tanah
longsor. Dengan penelitian ini diharapkan dapat mengetahui tingkat kerawanan longsor di Kota
Batu, Jawa Timur sehingga dapat meminimalisir kejadian-kejadian yang tidak diharapkan
tersebut. Random Forest (RF) merupakan suatu algoritma yang dapat digunakan untuk
memprediksi bencana tanah longsor. Penelitian ini menggunakan data kejadian bencana
sebanyak 374 record data yang terdiri dari 187 record data kelas longsor dan 187 record data
kelas tidak longsor. Data kejadian bencana tersebut kemudian dihubungkan dengan parameter
penyebab longsor seperti kemiringan lereng, curah hujan, jenis tanah, jenis batuan, penggunaan
lahan, dan zona kerentanan gerakan tanah. Dataset tersebut kemudian dibagi menjadi 70% data
training dan 30% data testing. Hal uji akurasi yang memperoleh nilai sebesar 0,8981 dan nilai
AUC sebesar 0,9327 menunjukkan bahwa algoritma RF dapat diterapkan untuk memprediksi
daerah rawan longsor di Kota Batu. Prediksi kerawanan longsor dihasilkan tiga tingkatan yaitu
rendah, sedang, tinggi dengan masing-masing luas secara berturut-turut sebesar 15448,32 Ha
(77,75%), 1347,05 Ha (6,78%) dan 3073,14 Ha (15,47%). Hasil dari penelitian ini diharapkan
dapat menjadi pembaruan peta mitigasi bencana longsor Kota Batu yang telah ada.

Kata kunci: Prediksi Longsor, Random Forest

ix
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
ABSTRACT

ANALYSIS OF LANDSLIDE SUSCEPTIBILITY USING THE ALGORITHM


IMPLEMENTATION OF RANDOM FOREST (CASE STUDY: BATU CITY, JAWA
TIMUR)

Student Name / NRP : Intanicha Mahar Riestu / 03311840000012


Department : Geomatics Engineering
Advisor : 1. Husnul Hidayat S.T., M.T
2. Hepi Hapsari Handayani S.T., M.Sc., Ph.D

Abstract
Landslides is one of the most detrimental natural disasters because their occurrences are
often destructive to natural and artificial structures on earth and reduce the quality of the
surrounding environment. Prediction of the level of vulnerability to landslides in an area can be
used to reduce losses caused such as material, loss of life and other environmental damage. The
BPBD of Batu City stated that landslides are the most frequent disasters in Batu City with at
least twenty events each year. This research is expected to determine the level of vulnerability
to landslides in Batu City, East Java with the intention that it can minimize these unexpected
occurances. Random Forest (RF) is an algorithm that can be used to predict landslide disasters.
This study uses 374 disaster data records consisting of 187 landslide class data records and 187
non-landslide class data records. The disaster occurance data is then linked to the parameters
that cause landslides such as slope, rainfall, soil type, lithology, land use, and soil movement
susceptibility zones. The dataset is then divided into 70% training data and 30% testing data.
The performance test results show that the RF algorithm can be applied to predict landslide-
prone areas in Batu City. This can be seen in the results of the accuracy test which obtained a
value of 0.8981 and an AUC value of 0.9327. The disaster occurance data is then linked to the
parameters that cause landslides such as slope, rainfall, soil type, lithology, land use, and soil
movement susceptibility zones. The dataset is then divided into 70% training data and 30%
testing data. The accuracy test that obtained a value of 0.8981 and an AUC of 0.9327 showed
that the RF algorithm can be applied to predict landslide-prone areas in Batu City. The
prediction of landslide susceptibility produced three levels, low, intermediate, high with each
area of 15448.32 Ha (77.75%), 1347.05 Ha (6.78%) and 3073.14 Ha (15 ,47)%. The results of
this study are expected to be an update of the existing Batu City landslide mitigation map.

Keywords: Landslide Prediction, Random Forest

xi
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
berkat dan kasih karunia-Nya sehingga tugas akhir dengan judul “Analisis Daerah Rawan
Longsor Menggunakan Implementasi Algoritma Random Forest (Studi Kasus: Kota Batu, Jawa
Timur)” dapat diselesaikan. Tugas akhir ini merupakan salah satu syarat kelulusan untuk
menyelesaikan pendidikan pada jenjang strata satu (S1) dan memperoleh gelar Sarjana Teknik
Dalam penyusunan laporan ini, penulis menyadari bahwa berkat bantuan, bimbingan,
dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung, segala
hambatan dan kesulitan dalam proses penyelesaian tugas akhir ini dapat teratasi dengan baik.
Oleh karena itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Orang tua penulis Bapak Aries Dwi Hendardono dan Ibu Nurtyastuti serta Berlin Fadin
Nafisa selaku saudara tercinta atas doa dan dukungan secara moril maupun materil kepada
penulis.
2. Bapak Danar Guruh Pratomo, ST, MT, Ph.D selaku Ketua Departemen Teknik Geomatika
yang sudah memberikan izin untuk melaksanakan tugas akhir ini.
3. Bapak Husnul Hidayat, ST, MT dan Ibu Hepi Hapsari Handayani, ST.M.Sc.,Ph.D, selaku
dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan hingga Tugas Akhir ini dapat
terselesaikan dengan baik.
4. Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Batu, Badan Perencanaan Pembangunan,
Penelitian dan Pengembangan Daerah Kota Batu, Badan Informasi Geospasial, Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi yang telah membantu dalam proses
pengumpulan data selama pelaksanaan Tugas Akhir.
5. Seluruh dosen dan staf tata usaha Jurusan Teknik Geomatika yang telah membantu selama
menempuh pendidikan di Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya.
6. Seluruh teman-teman Teknik Geomatika ITS angkatan 2018 terkhusus Avi, Bila, Izzah,
Zefanya, Sintya, Rissa, Iyan, Andy, Sendi, Muminah, Ghozy, Zainal, Hafizh, Bisma, Alya,
Elvira, dan Nureza selaku rekan bimbingan maupun rekan diskusi yang telah memberi
masukan, bantuan, dukungan dan saran kepada penulis.
7. Ajeng, Caca, Dhea selaku teman-teman dekat penulis yang telah memberikan dukungan
moral dan materil kepada penulis selama pengerjaan Tugas Akhir.
8. Serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan ini masih jauh dari kata sempurna,
oleh karena itu penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun. Akhir kata,
penulis berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Surabaya, Juli 2022

Penulis

xiii
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................................................... i


APPROVAL SHEET ................................................................................................................. iii
PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................................................................. v
STATEMENT OF ORIGINALITY ........................................................................................... vii
ABSTRAK ................................................................................................................................ ix
ABSTRACT .............................................................................................................................. xi
KATA PENGANTAR ............................................................................................................. xiii
DAFTAR ISI .............................................................................................................................xv
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................................. xvii
DAFTAR TABEL.................................................................................................................... xix
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... 3
1.3 Batasan Masalah ............................................................................................. 3
1.4 Tujuan ............................................................................................................. 3
1.5 Manfaat ........................................................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................. 5
2.1 Hasil Penelitian Terdahulu .............................................................................. 5
2.2 Bencana Alam ................................................................................................. 9
2.3 Pengertian Tanah Longsor ............................................................................... 9
2.4 Faktor Penyebab Terjadinya Tanah Longsor .................................................. 10
2.5 Parameter Faktor Terkait Tanah Longsor ....................................................... 14
2.5.1 Penggunaan Lahan ................................................................................... 14
2.5.2 Zona Kerentanan Gerakan Tanah ............................................................. 15
2.5.3 Kemiringan Lereng .................................................................................. 15
2.5.4 Curah Hujan ............................................................................................ 16
2.5.5 Jenis Tanah .............................................................................................. 16
2.5.6 Jenis Batuan............................................................................................. 17
2.6 Inverse Distance Weighting (IDW) ................................................................ 18
2.7 Machine Learning ......................................................................................... 18
2.8 Random Forest .............................................................................................. 19
2.9 RStudio ......................................................................................................... 20

xv
2.10 Evaluasi Kerja Model .................................................................................... 21
BAB 3 METODOLOGI ............................................................................................................25
3.1 Lokasi Penelitian ........................................................................................... 25
3.2 Data dan Peralatan Penelitian ........................................................................ 25
3.2.1 Data ......................................................................................................... 26
3.2.2 Peralatan .................................................................................................. 26
3.3 Metodologi Pelaksanaan Penelitian ............................................................... 26
3.3.1 Tahapan Pelaksanaan Kegiatan ................................................................ 26
3.3.2 Tahapan Pengolahan Data ........................................................................ 28
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................................33
4.1 Hasil Pengolahan Dataset Kejadian Tanah Longsor ....................................... 33
4.2 Hasil Pengolahan Parameter Terkait Longsor ................................................ 34
4.2.1 Pengolahan Parameter Penggunaan Lahan ............................................... 35
4.2.2 Pengolahan Parameter Zona Kerentanan Gerakan Tanah ......................... 36
4.2.3 Pengolahan Parameter Kemiringan Lereng .............................................. 37
4.2.4 Pengolahan Parameter Curah Hujan ......................................................... 40
4.2.5 Pengolahan Parameter Jenis Tanah .......................................................... 42
4.2.6 Pengolahan Parameter Jenis Batuan ......................................................... 43
4.3 Hasil Penentuan Importance Value Parameter Terkait Longsor..................... 45
4.4 Hasil Uji Akurasi Dengan Confusion Matrix ................................................. 47
4.5 Analisis Peta Prediksi Kerawanan Longsor .................................................... 49
4.6 Analisis Perbandingan Peta Prediksi Kerawanan Longsor Dengan Peta Rawan
Longsor BPBD Kota Batu ............................................................................. 53
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................................57
5.1 Kesimpulan ................................................................................................... 57
5.2 Saran ............................................................................................................. 57
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................59
LAMPIRAN ..............................................................................................................................65
BIODATA PENULIS ................................................................................................................89
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bencana Longsor di Dusun Krajan, Desa Sumberbrantas, Kecamatan Bumiaji,
Kota Batu ........................................................................................................ 10
Gambar 2.2 Lereng Terjal .................................................................................................... 11
Gambar 2.3 Jenis Tata Lahan Pertanian ................................................................................ 12
Gambar 2.4 Retakan Tanah .................................................................................................. 12
Gambar 2.5 Tanah Longsor Akibat Beban Bangunan ........................................................... 13
Gambar 2.6 Longsor di Tempat Pembuangan Akhir ............................................................. 14
Gambar 2.7 Contoh Kurva ROC .......................................................................................... 23
Gambar 3.1 Peta Batas Administrasi Kota Batu.................................................................... 25
Gambar 3.2 Tahapan Pelaksanaan Kegiatan ......................................................................... 27
Gambar 3.3 Tahapan Pengolahan Data Parameter Terkait Longsor ...................................... 29
Gambar 3.4 Tahapan Prediksi .............................................................................................. 31
Gambar 4.1 Persebaran Data Training dan Testing ............................................................... 34
Gambar 4.2 Penggunaan Lahan ............................................................................................ 35
Gambar 4.3 Zona Kerentaran Gerakan Tanah ....................................................................... 37
Gambar 4.4 Data DEMNAS Kota Batu ................................................................................ 38
Gambar 4.5 Kemiringan Lereng ........................................................................................... 39
Gambar 4.6 Pengolahan Data CHIRPS................................................................................. 40
Gambar 4.7 Curah Hujan ..................................................................................................... 41
Gambar 4.8 Jenis Tanah ....................................................................................................... 42
Gambar 4.9 Jenis Batuan ...................................................................................................... 44
Gambar 4.10 Persentase Kepentingan Parameter Terkait Longsor ........................................ 46
Gambar 4.11 Hasil Uji Akurasi Pemodelan RF .................................................................... 47
Gambar 4.12 Hasil Uji Akurasi Menggunakan Data Testing ................................................ 48
Gambar 4.13 Hasil Kurva ROC ............................................................................................ 48
Gambar 4.14 Peta Kerawanan Longsor Kota Batu ................................................................ 49
Gambar 4.15 Overlay Kerawanan Longsor Dengan Kemiringan Lereng............................... 51
Gambar 4.16 Peta Kerawanan Longsor BPBD Kota Batu ..................................................... 54

xvii
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Terkait Longsor ..................................................................... 5


Tabel 2.2 Penilitian Terdahulu Terkait Longsor Dengan Implementasi Machine Learning ..... 7
Tabel 2.3 Kategori Parameter Penggunaan Lahan ................................................................ 15
Tabel 2.4 Kategori Parameter Kerentanan Gerakan Tanah .................................................... 15
Tabel 2.5 Kategori Parameter Kemiringan Lereng ................................................................ 16
Tabel 2.6 Kategori Parameter Curah Hujan .......................................................................... 16
Tabel 2.7 Kategori Parameter Jenis Tanah ............................................................................ 17
Tabel 2.8 Kategori Parameter Jenis Batuan .......................................................................... 17
Tabel 2.9 Confusion Matrix ................................................................................................. 22
Tabel 4.1 Importance Value Tiap Kategori ........................................................................... 45
Tabel 4.2 Luas Tiap Tingkatan Rawan Longsor ................................................................... 50
Tabel 4.3 Persebaran Luas Tiap Tingkatan Rawan Longsor di Kecamatan Kota Batu ........... 50
Tabel 4.4 Luas Tingkat Kerawanan Longsor dengan Kemiringan Lereng ............................. 52
Tabel 4.5 Luas Tingkat Kerawanan Longsor dengan Penggunaan Lahan .............................. 52
Tabel 4.6 Luas Tiap Tingkatan Peta Rawan Longsor BPBD Tahun 2019 ............................. 55
Tabel 4.7 Luas Tiap Tingkatan Kerawanan Longsor Peta Prediksi RF Terhadap Peta BPBD
Kota Batu............................................................................................................. 55
Tabel 4.8 Skor Peta Kerawanan Longsor Kota Batu BPBD dan Implementasi RF ................ 56

xix
“Halaman ini sengaja dikosongkan”
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi bencana alam terbesar, khususnya
bencana hidrometeorologi yang menjadi bencana paling sering terjadi dalam sepuluh tahun
terakhir. Bencana hidrometeorologi adalah bencana yang disebabkan oleh parameter
meteorologi seperti hujan, kelembaban, suhu dan angin (UGM, 2017). Bencana
hidrometeorologi yang sering terjadi di Indonesia adalah banjir, kekeringan, tanah longsor,
kebakaran hutan/lahan, angin topan, dan gelombang pasang. Dari bencana-bencana tersebut di
atas, tanah longsor masih menjadi salah satu bencana hidrometeorologi yang paling sering
terjadi di Indonesia, khususnya di Kota Batu.
Bencana yang khususnya disebabkan oleh faktor alam tidak dapat ditentukan secara pasti
kapan akan terjadi sehingga perlu upaya untuk melakukan suatu kegiatan yang mampu
mengurangi maupun meminimalkan kerugian yang ditimbulkan jika terjadi bencana. Salah satu
bencana yang umum terjadi pada saat musim penghujan tiba adalah tanah longsor. Tanah
longsor merupakan salah satu bencana alam yang sifatnya paling merusak karena dapat
menimbulkan perubahan signifikan dalam morfologi lingkungan serta kerusakan pada struktur
alami maupun buatan yang berada di bumi. Tingkat kerawanan longsor di Kota Batu secara
langsung dipengaruhi oleh kondisi bentang alamnya yang terdiri dari pegunungan dan
perbukitan. BPBD Kota Batu menyebutkan bahwa bencanalongsor terjadi paling sedikit dua
puluh kejadian tiap tahunnya dan menyebabkan kerugian materil seperti runtuhnya rumah
warga. Pada tahun 2021, terjadi 152 bencana dengan catatan terbanyak merupakan tanah
longsor. Secara lebih rinci, bencana alam tersebut terjadi di beberapa kecamatan di Kota Batu
antara lain Kecamatan Bumiaji sebanyak 74 bencana, Kecamatan Batu 53 bencana, dan
Kecamatan Junrejo 25 bencana. Bencana tanah longsor sering kali terjadi hingga menimbulkan
dampak selain terhambatnya aktivitas masyarakat, yaitu dapat memakan korban jiwa dan
kerugian material yang cukup besar seperti rusaknya rumah warga, pendangkalan,
terganggunya jalur lalu lintas, rusaknya lahan pertanian, permukiman, jembatan, saluran irigasi
dan prasarana fisik lainnya (Siregar, 2021). Melihat dampak yang ditimbulkan tersebut, maka
diperlukan usaha untuk meminimalkan kerugian yang ditimbulkan dengan memprediksi secara
dini daerah mana saja yang rawan akan tanda-tanda serta kemungkinan terjadinya longsor.
Tanah longsor merupakan suatu peristiwa geologi berupa perpindahan material pembentuk
lereng berupa batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran yang tipe pergerakannya
meluncur atau menggeser dan berputar dan pergerakannya disebabkan oleh gaya gravitasi
sehingga gerakannya dapat terjadi lebih cepat. Sejumlah penelitian telah mencoba untuk
menganalisis dan memahami pemicu tanah longsor dengan pengamatan penginderaan jauh
(Firdaus, 2015; Hasugian, 2016) dan Analytical Hierarchy Process (AHP) (Isneni, et al., 2020;
Prasindya, 2020). Penerapan metode AHP untuk memprediksi tingkat kerawanan tanah longsor
memiliki nilai akurasi hingga 80,95%. Metode ini memiliki proses pengolahan yang lebih
mudah dibandingkan metode lain, namun memiliki subjektivitas yang kuat dan dapat mudah
dipengaruhi oleh faktor manusia. Hal tersebut dikarenakan untuk dapat menggunakan metode
AHP, bobot indeks harus dihitung dengan intervensi manual (Wang et al., 2015).
Bersamaan dengan pengembangan teknologi artificial intelligence (AI), beberapa
penerapan algoritma kecerdasan untuk penilaian daerah potensi bencana telah banyak
diterapkan, misalnya penggunaan support vector machine (SVM) (Dwiasnati, 2021; Insanilah,
2015), decision tree (DT) (Aryaguna et al., 2012; Silvianugroho et al., 2019), dan artificial
neural networks (ANN) (Utomo, 2020; Wanto et al., 2021). Metode-metode ini meningkatkan

1
komputasi secara signifikan dan dapat memecahkan masalah non-linier dengan baik, namun
diantaranya masih menunjukkan sejumlah kelemahan. Misalnya, SVM adalah fungsi
matematika kompleks yang cukup tidak dapat dipahami oleh pengguna manusia (Martens et
al., 2007). Diperlukan beberapa pra-proses yang cukup untuk dapat menggunakan DT (Kubal
et al., 2009) dan itu mudah jatuh ke dalam optimasi lokal (Liu et al., 2008). Sementara metode
ANN menunjukkan masalah over-learning dan kecepatan konvergensi yang lambat (Li dan
Yeh, 2002). Selain itu, algoritme intelijen ini tidak dapat memperkirakan kontribusi setiap
indeks terhadap total kerawanan. Meskipun beberapa solusi telah diterapkan untuk
memperbaiki kelemahan ini, metode yang efektif dan efisien masih sangat dibutuhkan.
Random forest (RF) merupakan suatu algoritma machine learning yang dapat digunakan
untuk menentukan prediksi kejadian tanah longsor pada suatu wilayah. Metode ini telah banyak
digunakan untuk identifikasi daerah rawan bencana seperti banjir, kekeringan dan tanah longsor
dikarenakan keakuratan dan kemampuan generalisasi yang tinggi. Algoritma ini mempunyai
beberapa kelebihan, seperti: mampu menghindari overfitting, memiliki bias dan varian yang
rendah, korelasi masing-masing pohon rendah karena keanekaragaman hutan yang dibangun
dengan menggunakan sejumlah variabel/faktor, perkiraan kesalahan yang kuat menggunakan
data Out-Of-Bag (OOB), dan kinerja prediksi yang lebih tinggi (Amiri, et al., 2019). RF telah
banyak diterapkan dalam berbagai bidang, seperti penelitian yang dilakukan Huiwen Li, et al.
(2015) dengan menghasilkan kesalahan generalisasi OOB kurang dari 0,08 ketika jumlah
sampelnya lebih besar dari 50 dan memperoleh nilai area di bawah kurva ROC sebesar 0,093
untuk menganalisis kerentanan longsor yang dipicu oleh gempa bumi di zona patahan di
Pegunungan Longmen, Barat Daya Cina. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Siregar
(2020), model RF dengan parameter tuning memperolah hasil kinerja terbaik dengan akurasi
sebesar 87,65%, presisi sebesar 89,66%, dan recall sebesar 60,47% untuk prediksi tanah longsor
dengan menggunakan parameter curah hujan harian, curah hujan kumulatif tiga hari, curah
hujan kumulatif satu bulan, jenis tanah, kemiringan lereng, ketinggian wilayah, dan penggunaan
lahan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sementara pada penelitian Prasindya (2020),
daerah potensi longsor di Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi dipetakan dengan
metode SIG dan Analytical Hierarchy Process (AHP) dan menggunakan parameter kemiringan
lereng, jenis tanah, jenis batuan, curah hujan, zona kerentanan gerakan tanah, kerapatan sungai
dan tutupan lahan yang kemudian hasilnya menunjukkan bahwa zona kerentanan gerakan tanah
memiliki pengaruh yang paling besar.
Berdasarkan hal tersebut, dipandang perlu untuk melakukan penelitian dengan menerapkan
pendekatan random forest untuk menghasilkan peta kerawanan longsor di kota Batu. Data yang
digunakan berupa data sekunder yang kemudian diolah menjadi parameter kemiringan lereng,
curah hujan, penggunaan lahan, jenis tanah, jenis batuan dan peta zona kerentanan gerakan
tanah. Curah hujan digunakan karena air hujan memicu tanah longsor melalui penambahan
beban lereng dan penurunan kuat geser tanah. Sedangkan penggunaan lahan digunakan karena
setiap fungsi lahan yang digunakan di atasnya akan mempengaruhi struktur tanah di bawahnya.,
jika suatu lahan banyak menopang beban bangunan maka semakin lemah pula struktur tanah
yang ada di bawahnya. Jenis tanah dan jenis batuan digunakan karena setiap tanah dan batuan
memiliki kriteria dan kekuatan dalam menahan beban yang berbeda-beda. Sementara zona
kerentanan gerakan tanah digunakan karena semakin rentan tanah untuk bergerak maka
semakin besar potensi untuk terjadi longsor.
Dikarenakan keterkaitan data satu sama lain belum relevan, maka perlu dilakukan
pengolahan dan pengkategorian agar nantinya dapat dikorelasikan antara faktor-faktor
pengkondisian kejadian bencana sesuai dengan kebutuhan sistem. Dengan penerapan algoritma
RF diharapkan mampu menghasilkan prediksi untuk membantu pemerintah mengatasi dan
menentukan langkah terbaik dalam menangani bencana tanah longsor.

2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, terdapat rumusan masalah yang diperoleh yaitu:
1. Bagaimana penerapan metode Random Forest dalam mengidentifikasi daerah rawan
bencana tanah longsor di Kota Batu?
2. Berapa jumlah daerah dan/atau luasan wilayah di Kota Batu yang masuk ke dalam
kriteria rawan bencana longsor?
3. Bagaimana analisis peta kerawanan longsor yang dihasilkan dari penelitian ini dengan
peta kerawanan longsor milik BPBD Kota Batu?

1.3 Batasan Masalah


Batasan permasalahan dari penelitian tugas akhir ini yaitu:
1. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kejadian bencana longsor Kota
Batu tahun 2013 hingga 2021, batas administrasi Kota Batu, kemiringan lereng, curah
hujan, penggunaan lahan, jenis tanah, jenis batuan, dan zona kerawanan gerakan tanah.
2. Metode dalam penelitian ini adalah penggunaan model RF untuk aplikasi dan proses
validasi kerawanan tanah longsor di wilayah Kota Batu. Pemetaan kerawanan tanah
longsor dilakukan dengan tahapan berikut: (1) data dikumpulkan dan faktor-faktor
terkait diberi skor, (2) penilaian kerawanan banjir dilakukan dengan menggunakan
pendekatan model RF, serta nilai kepentingan prediktor dari masing-masing faktor
dihitung dalam proses ini, dan (3) validasi peta kerawanan dilakukan dengan
menggunakan peta kerawanan longsor Kota Batu milik BPBD setempat.
3. Lokasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini terletak di Kota Batu, Provinsi
Jawa Timur.

1.4 Tujuan
Berikut merupakan tujuan dari penelitian tugas akhir ini yaitu:
1. Mengetahui nilai kepentingan masing-masing parameter dan hasil akurasi pemodelan
RF di Kota Batu
2. Memetakan sebaran daerah rawan longsor berdasarkan pemodelan RF yang telah
dibangun
3. Menganalisa perbandingan peta kerawanan longsor yang dihasilkan dari pemodelan RF
dengan peta kerawanan longsor milik BPBD Kota Batu

1.5 Manfaat
Berikut merupakan manfaat dari tugas akhir ini yaitu:
1. Pengetahuan bagi pemerintah dan masyarakat Kota Batu bagaimana pentingnya
pencegahan dari pada pemulihan.
2. Memberi bahan masukan bagi pemerintah dan masyarakat Kota Batu terhadap
pengambilan keputusan pembangunan agar tidak membangun di daerah yang
berpotensi bencana tanah longsor.
3. Dapat digunakan sebagai rujukan untuk penelitian selanjutnya.
4. Memberi gambaran potensi terjadinya tanah longsor kepada warga masyarakat di Kota
Batu agar lebih waspada.

3
“Halaman ini sengaja dikosongkan”

4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hasil Penelitian Terdahulu


Penelitian terkait tanah longsor telah banyak dilakukan dengan berbagai metode dan teknik
untuk pemodelan prediksi kerentanan tanah longsor. Penelitian dilakukan dengan analisis baik
dari faktor pemicu terjadinya tanah longsor maupun analisis pola spasial tanah longsor.
Beberapa penelitian terkait prediksi tanah longsor dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Terkait Longsor
No Penulis Judul Penelitian Intisari
1 Danang Dwi Analisis Kerentanan Penelitian ini menerapkan
Nugroho, Hary Tanah Longsor perhitungan frequency ratio
Nugroho Menggunakan Metode yang menjadi dasar
Frequency Ratio di perhitungan prediction rate
Kabupaten Bandung untuk mengklasifikasikan
Barat, Jawa Barat tingkat kerawanan tanah
longsor di Kabupaten
Bandung Barat, Jawa Barat.
Faktor-faktor yang
digunakan adalah
kemiringan lereng, elevasi,
arah kemiringan lereng,
tutupan lahan, curah hujan,
batuan geologi, jarak sesar
dan jenis tanah. Untuk
mengukur kebenaran hasil
percobaan digunakan
metode analisis ROC
(Receiver Operating
Characteristics) yang
mengikutsertakan sejumlah
titik validasi. Keakuratan
frequency ratio dapat dilihat
dari AUC pada kurva yang
menunjukkan akurasi 0,797
atau 79,7%.
2 Permata Prasindya, Analisis Potensi Tanah Penilitian ini menggunakan
Teguh Hariyanto, Longsor Menggunakan data utama yaitu Citra
Akbar Kurniawan Sistem Informasi Sentinel-2A Tahun 2019,
Geografis dan Analytical data curah hujan tahun 2018
Hierarchy Process yang didapatkan dari
(AHP) (Studi Kasus: BMKG, DEM SRTM, data
Kecamatan Songgon, spasial sungai, Daerah
Kabupaten Banyuwangi) Aliran Sungai (DAS), jenis
tanah, geologi dan
kerentanan gerakan tanah
yang didapatkan dari

5
No Penulis Judul Penelitian Intisari
BAPPEDA Kabupaten
Banyuwangi. Sedangkan
untuk proses pengolahan,
penelitian ini menerapkan
metode Analytical Hierarchy
Process (AHP) untuk
pembobotan tiap parameter
dan menghasilkan tingkat
kerawanan rendah, sedang,
dan tinggi.
3 Rasyid Alkhoir Pemetaan Tingkat Fokus penelitian ini
Lubis, Muhammad Kerawanan Longsor merupakan pemodelan
Rusdi, Hairul Basri Berdasarkan Curah tingkat kerawanan longsor
Hujan dan Geologi berdasarkan data curah hujan
Menggunakan Metode dan geologi di Kecamatan
Fuzzy Logic Di Leupung Kabupaten Aceh
Kecamatan Leupung Besar. Penelitian ini
Kabupaten Aceh Besar menggunakan implementasi
SIG dengan metode Fuzzy
Logic. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tingkat
kerawanan longsor rendah
seluas 16.486,01 ha
(97,97%) dan tingkat
kerawanan longsor sedang
seluas 342,37 ha (2,03%).
Kedua faktor yaitu curah
hujan dan geologi saling
mempengaruhi sehingga
membedakan nilai
defuzzyfication serta kelas
kerawanan longsor.

Penerapan metode Frequency Ratio untuk pemetaan tingkat kerawanan longsor milik
Nugroho et al. (2020) menghasilkan nilai akurasi sebesar 79,7%. Dalam prosesnya, parameter
faktor terkait longsor ditumpang tindihkan menjadi peta raster (20 m) dan menghasilkan nilai
Frequency Ratio. Berdasarkan metode analisis ROC, nilai akurasi diatas 50% dapat dikatakan
baik dan dari hasil ini dapat dinyatakan bahwa metode Frequency Ratio dapat diterapkan di
Kabupaten Bandung Barat.
Sementara itu, Prasindya et al. (2020) dalam penelitiannya menerapkan pendekatan
Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk memetakan potensi tanah longsor di Kecamatan
Songgon, Kabupaten Banyuwangi. Penelitian ini menggunakan metode analisis Sistem
Informasi Geografis (SIG) dan pembobotan Analytical Hierarchy Process (AHP) dengan
parameter seperti kemiringan lereng, kondisi tanah, batuan penyusun lereng, kondisi
hidrologi, curah hujan, kerentanan gerakan tanah dan tutupan lahan. Kemudian dari
pengolahan yang telah dilakukan, dihasilkan tiga kelas potensi tanah longsor. Namun,

6
pencegahan subjektif dalam peringkat faktor yang mungkin berbeda dari satu ahli ke ahli
lainnya adalah kelemahan utama dari metode ini.
Lubis et al. (2018) menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan metode Fuzzy
Logic dalam penelitian guna menentukan tingkat kerawanan longsor di Kecamatan Leupung
Kabupaten Aceh Besar. Penelitian ini pada dasarnya dilakukan dengan prinsip metode
deskriptif yaitu membandingkan beberapa faktor dan mengetahui kondisi lapangan tertentu saat
ini. Dengan menggunakan satuan unit lahan sebagai satuan analisis, penelitian ini dapat menilai
dan menentukan tingkat kerawanan longsor pada suatu wilayah. Pendekatan Fuzzy Logic
memiliki toleransi terhadap data-data yang kurang lengkap, sangat fleksibel dan menghasilkan
akurasi dalam persebaran kerawanan longsor yang akurat.
Metode-metode tersebut sudah banyak mencapai hasil yang baik dalam bidang studi
tertentu, namun masih terdapat beberapa aspek yang perlu ditingkatkan, khususnya dalam
mengurangi aspek subjektif dalam penelitian. Untuk mengatasi hal tersebut dapat dilakukan
dengan menerapkan pendekatan machine learning. Beberapa penelitian yang menggunakan
pendekatan machine learning dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Penilitian Terdahulu Terkait Longsor Dengan Implementasi Machine Learning
No Penulis Judul Penelitian Intisari
1 Deuk-Hwan Lee, Shallow Landslide Penelitian ini bertujuan
Yun-Tae Kim, Susceptibility Models untuk memetakan
Seung-Rae Lee Based on Artificial kerentanan longsor di
Neural Networks Gunung Umyeon, Korea
Considering the Factor Selatan menggunakan
Selection Method and pendekatan ANN (Artificial
Various Non-Linear Neural Network) yang
Activation Functions melibatkan metode
pemilihan faktor dan
berbagai fungsi aktivasi non-
linier. Penelitian ini
menggunakan 151 kejadian
longsor dan 20 faktor
predisposisi yang terdiri dari
dataset morfologi, hidrologi,
geologi, dan tutupan lahan
berbasis Sistem Informasi
Geografis (SIG) dibangun
dengan resolusi 5 x 5 m.
Evaluasi kinerja dari model
kerentanan longsor ini
dilakukan dengan
menggunakan kurva
karakteristik operasi
penerima, indeks Kappa, dan
lima indeks statistik
(sensitivitas, spesifisitas,
akurasi, nilai ramal positif
(NRP), nilai ramal negatif
(NRN)) dengan dataset
pelatihan. Hasil validasi

7
No Penulis Judul Penelitian Intisari
model terbaik menunjukkan
sensitivitas 82,61%,
spesifisitas 78,26%, akurasi
80,43%, PPV 79,17%, NPV
81,82%, indeks Kappa
0,609, dan AUC 0,879.
2 Huiwen Li, Rui Random forests Solusi yang diberikan
Liu, Jingchun Xie, methodology to analyze penelitian ini dalam
Zili Lai landslide susceptibility: memprediksi kerawanan
An example in Lushan longsor adalah dengan
earthquake pendekatan random forest di
Pegunungan Longmen,
barat daya Cina. Faktor
yang digunakan adalah
kemiringan, aspek, patahan,
sungai, Normalized
Difference Vegetation
Index (NDVI), gelombang,
litologi, intensitas, dan
ketinggian seismik. Hasil
kesalahan generalisasi OOB
pada penelitian ini bernilai
kurang dari 0,08 ketika
jumlah data sampel lebih
dari 50. Sedangkan, hasil
area di bawah kurva ROC
menunjukkan nilai 0,938.

Pada penelitiannya, Lee (2020) menggunakan pendekatan Artificial Neural Network


(ANN) untuk memetakan kerawanan longsor di Gunung Umyeon, Korea Selatan. Nilai validasi
yang dihasilkan antara lain sensitivitas 82,61%, spesifisitas 78,26%, akurasi 80,43%, PPV
79,17%, NPV 81,82%, indeks Kappa 0,609, dan AUC 0,879. Hasil evaluasi kinerja model
menunjukkan bahwa penggunaan metode ANN dapat digunakan pada area penelitian tersebut.
Algoritma ANN mampu melakukan generalisasi dan ekstraksi dari suatu pola data tertentu dan
juga memiliki fault tolerance yang cukup tinggi. Namun pemodelan ANN memerlukan waktu
processing yang tinggi untuk mengolah data training.
Sementara pada penelitian Li (2015) dalam memetakan daerah rawan longsor yang dipicu
oleh gempa bumi di Pegunungan Longmen, barat daya Cina menggunakan pendekatan Random
Forest dan menghasilkan nilai AUC sebesar 0,938. Nilai yang dihasilkan tersebut tinggi karena
algoritma RF dapat meningkatkan akurasi model dengan menggabungkan beberapa model.
Algoritma ini juga memiliki ketahanan yang kuat ketika berhadapan dengan data yang besar
dan tidak memiliki fenomena overfitting. Namun dikarenakan akurasi yang cukup tinggi,
interpretasi yang dilakukan cukup sulit dan dibutuhkan tuning model yang tepat untuk data.
Berdasarkan kedua penelitian tersebut dapat dilihat bahwa nilai AUC yang dihasilkan untuk
pemodelan menggunakan RF lebih tinggi dibandingkan dengan menggunakan ANN. Walaupun
begitu, persebaran data yang digunakan tetap menjadi salah satu faktor yang menentukan
keakurasian model. Dari kelebihan dan kekurangan yang telah disebutkan maka solusi dari

8
penelitian ini adalah menerapkan pendekatan algoritma Random Forest untuk memprediksi
daerah rawan longsor di Kota Batu, Jawa Timur.

2.2 Bencana Alam


Bencana merupakan peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan masyarakat yang disebabkan oleh faktor alam dan faktor non alam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa, kerusakan lingkungan, kerugian harta
benda dan dampak psikologis (BNPB, 2012). Sedangkan menurut UNDP (2012), bencana
adalah fenomena yang terjadi dikarenakan adanya komponen-komponen pemicu (trigger),
ancaman (hazard), dan kerentanan (vulnerability) yang bekerja secara sistematis sehingga
menyebabkan terjadinya risiko (risk) pada komunitas.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana,
bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor
nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Bencana dapat
disebabkan oleh faktor alam, non alam, dan manusia. Bencana sendiri menurut Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2007 terbagi menjadi tiga macam, yaitu bencana alam, bencana nonalam dan
bencana sosial. Definisi lebih jelas dari ketiga macam bencana tersebut sebagai berikut:
a. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa
yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus,
banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
b. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian
peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi,
dan wabah penyakit.
c. Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian
peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau
antarkomunitas masyarakat, dan teror.

2.3 Pengertian Tanah Longsor


Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan (1981) mendefinisikan longsor lahan atau tanah
longsor sebagai suatu produk gangguan keseimbangan lereng yang menyebabkan bergeraknya
massa tanah dan batuan ke tempat yang lebih rendah. Sementara Hardiyatmo (2006) dan Vernes
(1958) menyebutkan bahwa longsoran (slides) merupakan gerakan material pembentuk lereng
yang disebabkan oleh terjadinya kegagalan geser, disepanjang satu atau lebih bidang longsor.
Massa tanah yang bergerak dapat menyatu dan bahkan terpecah-pecah. Gerakan ini dapat
terjadi pada tanah/batuan yang hambatannya lebih kecil dibandingkan dengan berat massa
tanah/batuan itu sendiri. Pada dasarnya, tanah longsor disebabkan oleh terjadinya gerakan pada
tanah. Gerakan tanah merupakan salah satu proses geologi yang terjadi akibat interaksi
beberapa kondisi seperti geomorfologi, struktur geologi, hidrogeologi, dan penggunaan lahan.
Kondisi tersebut saling mempengaruhi satu sama lain sehingga menciptakan kondisi lereng
yang cenderung bergerak. (Purnama, 2016)

9
Gambar 2.1 Bencana Longsor di Dusun Krajan, Desa Sumberbrantas, Kecamatan Bumiaji,
Kota Batu
(BPBD Kota Batu for Radar Malang, 2021)

Sejatinya, pergerakan massa merupakan bentuk perwujudan terhadap keseimbangan alam.


Pergerakan massa tidak hanya terjadi pada tanah, namun juga dapat terjadi pada batuan maupun
es. Longsoran massa yang sebenarnya bukanlah suatu bencana alam karena kejadiannya
merupakan proses alami dalam mencari keseimbangan alam, tetapi akibat yang ditimbulkan
dari longsoran massa tersebut akan menjadi sebuah bencana yang merugikan bagi manusia yang
terkena dampaknya. (Sriyono, 2012)
Tanah longsor terjadi apabila gaya pendorong pada lereng lebih besar dibandingkan dengan
gaya penahan, yang mana pada umumnya gaya penahan dipengaruhi oleh kekuatan batuan dan
kepadatan tanah. Sedangkan gaya pendorong sendiri dipengaruhi oleh besarnya sudut lereng,
beban serta berat jenis batuan. Bobot tanah yang bertambah disebabkan oleh air yang meresap
dapat menjadi suatu awalan proses terjadinya longsoran. Jika air tersebut dapat menembus
hingga tanah kedap air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah akan menjadi licin
dan tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng dan luar lereng. (Arif, 2015)
Tanda-tanda awal dari terjadinya longsoran adalah adanya retakan di bagian atas lereng
yang relatif tegak lurus arah gerakan. Jika retakan ini tidak segera di tutup maka pada saat
terjadi hujan selain berakibat melunakkan tanah, juga menambahkan gaya horizontal yang
mendorong terjadinya longsoran. Kadang-kadang, retak miring juga ditemui pada kedua bagian
pinggir longsoran, dan penggembungan tanah dapat ditemui pada bagian kaki lereng.
(Hardiyatmo, 2006)
Tanah longsor adalah gerakan miring ke bawah dari bahan seperti batu, puing-puing atau
tanah karena tarikan gravitasi. Tanah longsor merupakan salah satu bencana alam di dunia yang
menimbulkan korban jiwa, kerugian, dan kerusakan harta benda. Tanah longsor terjadi secara
alami di semua bagian dunia dan diistilahkan secara berbeda berdasarkan faktor-faktor seperti
struktur material dan kecepatan gerakan. (Benineza et al., 2019)

2.4 Faktor Penyebab Terjadinya Tanah Longsor


Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya bahwa longsor merupakan salah satu fenomena
alam dalam mencari keseimbangan, maka kejadian ini juga terjadi berdasarkan dimensi ruang
dan waktu. Longsor hanya akan terjadi pada suatu lereng, baik perbukitan, pegunungan,
bantaran sungai, tebing, dan struktur timbunan. Terjadinya tanah longsor sendiri dapat
dimungkinkan untuk dideteksi melalui identifikasi faktor-faktor penyebab (causes) dan pemicu
10
(trigger) terjadinya tanah longsor (Muntohar, 2012). Nandi (2007) menyebutkan bahwa gejala
umum tanah longsor biasanya ditandai dengan munculnya retakan-retakan di lereng yang
sejajar dengan arah tebing yang biasanya terjadi setelah hujan, munculnya mata air baru yang
disusul dengan tebing rapuh dan kerikil mulai berjatuhan. Beberapa faktor penyebab lainnya
antara lain:
1. Hujan
Musim kering yang panjang akan menyebabkan terjadinya penguapan air pada tanah
dalam jumlah besar. Setelah penguapan tersebut terjadi, maka terbentuk rongga atau pori-
pori pada tanah hingga tanah permukaan menjadi retak dan merekah. Sehingga ketika
terjadi hujan, air akan menyusup ke bagian rongga tersebut dan tanah dengan cepat
mengembang kembali. Intensitas hujan yang tinggi biasanya sering terjadi pada awak
musim penghujan, dan mengakibatkan kandungan air pada tanah menjadi jenuh dalam
waktu yang singkat. Hujan lebat pada awal musim dapat menimbulkan longsor karena air
masuk melalui tanah yang merekah dan terakumulasi di bagian dasar lereng, sehingga
menimbulkan gerakan lateral.
2. Lereng Terjal

Gambar 2.2 Lereng Terjal


(Plimbi, 2021)

Lereng atau tebing yang terjal akan memperbesar gaya pendorong. Lereng yang terjal
terbentuk karena pengikisan air sungai, mata air, air laut, dan angin. Kebanyakan sudut
lereng yang menyebabkan longsor adalah 180° apabila ujung lerengnya terjal dan bidang
longsorannya mendatar.
3. Tanah yang Kurang Padat dan Tebal
Jenis tanah yang kurang padat adalah tanah liat atau tanah lempung dengan ketebalan
lebih dari 2,5 m dari sudut lereng lebih dari 220. Jenis tanah ini memiliki potensi untuk
terjadi longsoran terutama pada saat musim penghujan. Selain itu, tanah ini sangat rentan
terhadap pergerakan tanah karena menjadi lembek saat terkena air dan pecah ketika hawa
terlalu panas.
4. Batuan yang Kurang Kuat
Bantuan endapan gunung api dan sedimen berukuran pasir dan campuran antara
kerikil, pasir, dan lempung umumnya kurang kuat. Batuan tersebut akan mudah menjadi
tanah apabila mengalami proses pelapukan dan umumnya rentan terhadap tanah longsor
bila terdapat pada lereng yang terjal.
5. Jenis Tata Lahan

11
Gambar 2.3 Jenis Tata Lahan Pertanian
(Tribun Jabar, 2021)

Tanah longsor banyak terjadi di daerah tata lahan persawahan, perladangan, dan
adanya genangan air di lereng yang terjal. Pada lahan persawahan, akar tanamannya
kurang kuat untuk mengikat butir tanah sehingga mudah terjadi longsor. Sedangkan untuk
area perladangan, penyebabnya adalah akar pohonnya tida dapat menembus bidang
longsoran yang dalam dan umumnya terjadi di daerah longsoran lama.
6. Getaran

Gambar 2.4 Retakan Tanah


(KBK, 2019)

Getaran yang terjadi biasanya diakibatkan oleh gempa bumi, ledakan, getaran mesin,
dan getaran lalu lintas kendaraan. Akibat yang ditimbulkannya adalah tanah, bidang jalan,
dinding rumah, dan lantai menjadi retak.
7. Susut Muka Air Danau atau Bendungan
Akibat susutnya muka air yang cepat di danau maka gaya penahan lereng menjadi
hilang. Dengan sudut kemiringan waduk 220, mudah di area tersebut untuk terjadi
longsoran dan penurunan tanah yang biasanya diikuti oleh retakan.
8. Adanya Beban Tambahan

12
Gambar 2.5 Tanah Longsor Akibat Beban Bangunan
(CNN Indonesia, 2020)

Adanya beban tambahan seperti beban bangunan pada lereng, dan kendaraan akan
memperbesar gaya pendorong terjadinya longsor, terutama di sekitar tikungan jalan pada
daerah lembah. Akibatnya adalah sering terjadi penurunan tanah dan retakan yang
arahnya kearah lembah.
9. Pengikisan/Erosi
Pengikisan banyak dilakukan oleh air sungai ke arah tebing. Selain itu, akibat
penggundulan hutan di sekitar sungai, tebing akan menjadi terjal.
10. Adanya Material Timbunan Pada Tebing
Untuk mengembangkan dan memperluas lahan permukiman umumnya dilakukan
pemotongan tebing dan penimbunan lembah. Tanah timbunan pada lembah tersebut
belum terdapatkan sempurna seperti tanah asli yang terdapat di bawahnya. Sehingga
apabila hujan akan terjadi penurunan tanah yang kemudian diikuti dengan retakan tanah.
11. Longsoran Lama
Longsoran lama umumnya terjadi selama dan setelah terjadi pengendapan material
gunung api pada lereng yang relatif terjal atau pada saat atau setelah terjadinya patahan
kulit bumi.
12. Adanya Bidang Diskontinuitas (Bidang Tidak Sinambung)
Bidang tidak sinambung memiliki ciri seperti bidang perlapisan batuan, bidang
kontak antara tanah penutup dan batuan dasar, bidang kontak antara batuan yang retak
dengan batuan yang kuat, bidang kontak antara batuan yang dapat melewatkan air dan
batuan yang tidak dapat melewatkan air, dan bidang kontak antara tanah yang lembek
dengan tanah yang padat. Bidang-bidang tersebut merupakan bidang-bidang lemah dan
dapat berfungsi sebagai bidang luncuran tanah longsor.
13. Penggundulan Hutan
Tanah longsor umumnya terjadi di daerah yang relatif gundul dimana pengikat air
tanah sangat kurang.
14. Daerah Pembuangan Sampah

13
Gambar 2.6 Longsor di Tempat Pembuangan Akhir
(Megapolitan - Okezone, 2020)

Penggunaan lapisan tanah yang rendah untuk pembuangan sampah dalam jumlah
yang banyak dapat menyebabkan tanah longsor terlebih lagi ditambah guyuran air hujan.

2.5 Parameter Faktor Terkait Tanah Longsor


2.5.1 Penggunaan Lahan
Berdasarkan pengertian Malingreau (1977) penggunaan lahan adalah segala
campur tangan manusia, baik secara permanen maupun secara siklus terhadap
suatu kelompok sumberdaya alam dan sumber daya buatan secara keseluruhan
disebut lahan, dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhannya baik
secara kebendaan maupun spiritual ataupun dua-duanya. Sedangkan menurut
Luthfi Rayes (2007), penggunaan lahan adalah penggolongan penggunaan lahan
secara umum seperti pertanian tadah hujan, pertanian beririgasi, padang rumput,
kehutanan atau daerah rekreasi.
Penggunaan lahan secara umum tergantung kepada lokasi dan kemampuan
lahan. Penggunaan lahan sendiri terjadi akibat dari suatu proses interaksi yang
tetap, adanya keseimbangan, serta keadaan dinamis antara aktivitas-aktivitas
penduduk di atas lahan dan keterbatasannya di dalam lingkungan tempat hidup.
Dari waktu ke waktu, lahan telah dimodifikasi manusia untuk berbagai jenis
penggunaannya, seperti lahan hutan yang diubah menjadi lahan pertanian.
Penggunaan lahan dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu
penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non-pertanian. Penggunaan
lahan pertanian antara lain tegalan, sawah, lading, kebun, padang rumput, hutan
produksi, hutan lindung, dan sebagainya. Penggunaan lahan non-pertanian antara
lain penggunaan lahan perkotaan atau pedesaan, industri, rekreasi, pertambangan,
dan sebagainya. (Arsyad, 1998)
Menurut Karnawati (2003), tata guna lahan sangat mempengaruhi tanah
longsor. Permukiman merupakan daerah yang memiliki resiko yang tinggi karena
bangunan dapat menambah beban tanah, sedangkan hutan alam memiliki resiko
yang paling rendah karena akar pohon dapat menahan gaya geser tanah.
Persebaran tata guna lahan di Kota Batu terbagi menjadi empat kelas yang
dapat dilihat dari Tabel 2.3.

14
Tabel 2.3 Kategori Parameter Penggunaan Lahan
Kategori Keterangan
Hutan Tidak Peka
Perkebunan, Ruang Terbuka Hijau Kurang Peka
Sawah Peka
Permukiman, Industri & Fasilitas Sangat Peka
Umum
(Purwadhi, 2001)

2.5.2 Zona Kerentanan Gerakan Tanah


Pada hakikatnya, definisi longsoran (landslide) dengan gerakan tanah (mass
movement) memiliki beberapa kesamaan. Gerakan tanah sendiri merupakan
perpindahan massa/batu pada arah tegak, mendatar, atau miring dari kedudukan
semula. Gerakan tanah mencakup gerak rayapan, aliran, maupun longsoran.
Menurut definisi ini, longsoran adalah bagian dari gerakan tanah
(Purbohadiwidjojo, 1985). Sedangkan menurut keputusan Menteri ESDM (2000),
gerakan tanah adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan,
bahan timbunan, tanah atau material campuran, bergerak kearah bawah dan keluar
lereng.
Persebaran zona kerentanan gerakan tanah di Kota Batu terbagi menjadi dua
kelas yang dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Kategori Parameter Kerentanan Gerakan Tanah


Kategori Keterangan
Potensi Gerakan Tanah Cukup Peka
Menengah
Potensi Gerakan Tanah Tinggi Peka
(Standar Nasional Indonesia, 2005 dengan modifikasi)

2.5.3 Kemiringan Lereng


Kemiringan lereng adalah perbedaan ketinggian tertentu pada relief yang ada
pada suatu bentuk lahan. Membuat hubungan antara titik-titik ketinggian lahan
merupakan salah satu penentuan kemiringan lereng yang biasanya dilakukan pada
suatu kelompok pemetaan. Menurut (Karnawati, 2001), kelerengan menjadi faktor
yang sangat penting dalam proses terjadinya tanah longsor. Pembagian zona
kerentanan sangat terkait dengan kondisi kemiringan lereng. Kondisi kemiringan
lereng lebih 15% perlu mendapat perhatian terhadap kemungkinan bencana tanah
longsor dan tentunya dengan mempertimbangkan faktor-faktor lain yang
mendukung.
Andrian, dkk. (2014) menyebutkan bahwa lereng merupakan faktor yang
perlu diperhatikan, sejak dari penyiapan lahan pertanian, usaha penanamannya,
pengambilan produk-produk serta pengawetan lahan. Lereng yang semakin curam
dan semakin panjang akan meningkatkan kecepatan aliran permukaan dan volume

15
air permukaan semakin besar, sehingga benda yang bisa diangkut akan semakin
banyak (Martono, 2004).
Pembagian kelas kemiringan lereng di Kota Batu terbagi menjadi lima
kategori yang dapat dilihat pada Tabel 2.5.

Tabel 2.5 Kategori Parameter Kemiringan Lereng


Kategori Keterangan
0-2% Datar
2-5% Landai
5-15% Agak Curam
15-40% Curam
>40% Sangat Curam
(Arifin, 2006)

2.5.4 Curah Hujan


Salah satu faktor penting yang dapat menyebabkan terjadinya longsor
adalah curah hujan. Curah hujan merupakan jumlah air yang jatuh di permukaan
tanah datar selama periode tertentu yang diukur dengan satuan tinggi milimeter
(mm) di atas permukaan horizontal. Dalam penjelasan lain curah hujan juga dapat
diartikan sebagai ketinggian air hujan yang terkumpul dalam tempat yang datar,
tidak menguap, tidak meresap, dan tidak mengalir. Curah hujan 1 (satu) milimeter,
artinya dalam luasan satu meter persegi pada tempat yang datar tertampung air
setinggi satu milimeter tempat yang datar tertampung air setinggi satu milimeter
atau tertampung air setinggi 1 liter (Triatmodjo, 2008).
Persebaran kelas curah hujan di Kota Batu terbagi menjadi tiga kategori yang
dapat dilihat pada Tabel 2.6.

Tabel 2.6 Kategori Parameter Curah Hujan


Kategori Keterangan
2000-2500 Lembab
2500-3000 Basah
>3000 Sangat Basah
(Pusat Penelitian Tanah, 2004 dengan modifikasi)

2.5.5 Jenis Tanah


Akibat interaksi antara kekuatan fisika, kimia serta biologi pada batu-batuan
dan bahan induk tanah, maka terbentuklah beragam jenis tanah yang mempunyai
sifat dan ciri yang berbeda (Fiantis, 2017). Klasifikasi tanah adalah usaha untuk
membeda-bedakan tanah berdasarkan atas sifat-sifat yang dimilikinya. Dengan
cara ini, maka tanah-tanah yang memiliki sifat yang sama akan dimasukkan ke
dalam kelas yang sama. Hal ini penting dikarenakan tanah yang berbeda

16
memerlukan perlakuan dalam pengelolaan yang berbeda pula (Hardjowigeno,
2010).
Tujuan klasifikasi tanah adalah untuk menentukan kesesuaian terhadap
pemakaian tanah tertentu, serta untuk menginformasikan tentang keadaan tanah
dari suatu daerah kepada daerah lainnya dalam bentuk berupa data dasar. Selain
itu klasifikasi tanah juga berguna untuk studi yang lebih terperinci mengenai
keadaan tanah tersebut serta kebutuhan akan pengujian untuk penentuan sifat
teknis tanah seperti karakteristik pemadatan, kekuatan tanah, berat isi, dan
sebagainya (Bowles, 1984).
Verhoef (1994) menyebutkan bahwa tanah dapat dibagi menjadi tiga
kelompok, yaitu:
1. Tanah berbutir kasar (pasir, kerikil)
2. Tanah berbutir halus (lanau, lempung)
3. Tanah campuran
Persebaran jenis tanah di Kota Batu diklasifikasikan menjadi tiga kategori
yang dapat dilihat pada Tabel 2.7.

Tabel 2.7 Kategori Parameter Jenis Tanah


Kategori Keterangan
Entisol Tidak Peka
Inceptisol Cukup Peka
Andosol Peka
(Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2017 dengan modifikasi)

2.5.6 Jenis Batuan


Jenis batuan merupakan komponen penting yang digunakan untuk
mengetahui persebaran batuan dan genesa batuan pada suatu wilayah tertentu
yang dapat mencirikan resistensi dan kestabilan batuan. Sifat fisik batuan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu struktur, tekstur, kekar, kandungan
mineral dan sementasinya. (Khafid, 2019)
Menurut Sutikno (2000), struktur geologi berpotensi mendorong terjadinya
longsor adalah kontak antar batuan dasar dengan pelapukan batuan, adanya
retakan, patahan, rekahan, sesar dan perlapisan yang terlampau miring. Sifat
batuan pada umumnya komposisi mineral dari pelapukan batuan vulkanis yang
berupa lempung akan mudah mengembang dan bergerak.
Persebaran jenis batuan di Kota Batu diklasifikasikan ke dalam enam kategori
yang dapat dilihat pada Tabel 2.8.

Tabel 2.8 Kategori Parameter Jenis Batuan


Kategori Keterangan
Batuan Gunung Api Anjasmara Tua
Sangat Tidak Peka
(Qpat)
Batuan Gunung Api Anjasmara Muda
Tidak Peka
(Qpva)

17
Kategori Keterangan
Batuan Gunung Api Kawi-Butak (Qpkb) Kurang Peka
Batuan Gunung Api Kuarter bag. Bawah
Cukup Peka
(Qp)
Batuan Gunung Api Arjuna-Welirang
Peka
(Qvaw)
Pasir Gunung Api Tengger (Qvs) Sangat Peka
(Putra, 2006 dengan modifikasi)

2.6 Inverse Distance Weighting (IDW)


Inverse Distance Weighted (IDW) merupakan salah satu metode interpolasi deterministik
yang pertama kali dicetuskan oleh Shepard (1968). Shepard menjelaskan bahwa IDW
memperhatikan beberapa parameter seperti peluruhan jarak, penyaringan efek, pemilihan
stasiun data terdekat, kontinuitas arah, dan skema yang dimaksud (Abedini & Nasseri, 2009).
Metode ini mengasumsikan bahwa nilai pada lokasi yang tidak diketahui dapat diasumsikan
sebagai nilai pemberatan rata-rata pada titik dalam peluruhan jarak tertentu dengan nilai yang
biasanya digunakan adalah nilai 10 sampai dengan 30. Pembobotan biasanya berbanding
terbalik dengan pangkat jarak dengan lokasi yang tidak diketahui nilainya (Ikechukwu dkk.,
2017). Tan dan Xu (2014) dalam Puteri (2019) menjelaskan bahwa secara matematik model
IDW dituliskan dengan persamaan sebagai berikut.
1
∑𝑛𝑖=1
1𝑟𝑖𝛼 𝑞𝑖
𝑄=
1
∑𝑛𝑖 = 𝛼
1𝑟𝑖

… (2.1)
Q : nilai target pada lokasi tidak terukur
𝑞𝑖 : nilai variabel pada lokasi-lokasi terukur
𝑟𝑖 : jarak antara titik target dengan lokasi terukur
α : bobot pengaruh jarak
𝑛 : jumlah data atau titik lokasi yang diperhitungkan dalam interpolasi

2.7 Machine Learning


Machine learning (ML) merupakan pemrograman komputer untuk mencapai
kriteria/performa tertentu dengan menggunakan sekumpulan data training atau pengalaman
masa lalu (past experience) (Primartha, 2018). ML mempelajari teori-teori seperti statistika
untuk membentuk model matematika agar komputer mampu beradaptasi dari data. Model yang
dihasilkan dapat berupa predictive (untuk memprediksi masa depan), descriptive (untuk
memperoleh pengetahuan dari data) atau gabungan dari keduanya.
Dalam beberapa tahun terakhir, metode ML telah banyak digunakan dalam berbagai
penelitian. Penelitian kini mengungkapkan bahwa machine learning terbagi menjadi tiga
kategori: Supervised Learning, Unsupervised Learning, Reinforcement Learning (Somvanshi
& Chavan, 2016). Teknik yang digunakan oleh Supervised Learning adalah metode klasifikasi

18
dimana kumpulan data sepenuhnya diberikan label untuk mengklasifikasikan kelas yang tidak
dikenal. Sementara itu, teknik Unsupervised Learning tidak diperlukan pemberian label dalam
kumpulan data dan hasilnya tidak mengidentifikasi contoh di kelas yang telah ditentukan, maka
dari itu teknik ini sering disebut cluster (Thupae, Isong, Gasela, & Abu-Mahfouz, 2018).
Sedangkan Reinforcement Learning pada umumnya berada diantara Supervised Learning dan
Unsupervised Learning. Teknik ini bekerja pada lingkungan dinamis yang di mana konsepnya
harus menyelesaikan tujuan tanpa adanya pemberitahuan dari komputer secara eksplisit jika
tujuan tersebut telah tercapai (Das & Nene, 2017).

2.8 Random Forest


Model random forest adalah teknik pembelajaran ansambel di mana banyak pohon
keputusan dibangun untuk menjelaskan hubungan spasial antara terjadinya banjir dan faktor
terkait untuk klasifikasi dan regresi. Model ini beroperasi dengan membangun banyak pohon
keputusan pada waktu training, dan mengeluarkan kelas yang merupakan mode kelas
(klasifikasi) atau prediksi rata-rata (regresi) dari masing-masing pohon. Algoritma random
forest adalah metode pembelajaran ansambel yang terdiri dari ansambel pohon prediktor
sederhana untuk klasifikasi dan regresi (Breiman, 2001). Algoritma pertama untuk random-
decision forest dibuat menggunakan metode subruang acak (Ho,1995). Dari formulasi Ho,
implementasi dicapai sesuai dengan pendekatan diskriminasi stokastik untuk klasifikasi
(Kleinberg, 2000). Pada dataset D dengan p variabel, prinsip operasi RF secara umum
digambarkan dalam tahapan pada Gambar 2.1 berikut.

Gambar 2.1 Tahapan Random Forest


(Sumber: Wang et al. (2015)

1. Tahap bootstrap; Data sampel D1 , D2 ,.., Dk dibuat dengan mengambil acak dari
dataset D dengan pengambilan (replacement), dimana umumnya 2/3 data dipilih.
2. Tahap random feature selection; pohon dibangun hingga mencapai ukuran
maksimum dengan menggunakan sampel bootstrap. Pada setiap simpul, pemilihan
pemilah dilakukan dengan melakukan variabel m secara acak, dimana m < p, lalu
pemilah terbaik dipilih berdasarkan m variabel.
3. Langkah 1 dan 2 diulangi sebanyak k kali, sehingga terbentuk sebuah hutan yang
terdiri atas k pohon keputusan.
4. Setiap pohon keputusan memberikan suara unit kelas paling muncul sebagai hasil
prediksi. Konsep pemilihan tersebut dinamakan majority vote.
Perpanjangan dari algoritma dikembangkan dengan ide bagging dan pemilihan fitur secara
acak untuk membangun kumpulan pohon keputusan dengan varians terkontrol (Breiman,
2001), dan algoritma ini digunakan untuk penelitian kerawanan longsor. Hasil dengan
sekelompok nilai prediktor dihasilkan untuk algoritma klasifikasi dan regresi. Ketika hasil akhir
memiliki nilai diskrit, itu disebut klasifikasi (Ellis dkk, 2014). Dalam studi ini, kerawanan

19
longsor diklasifikasikan berdasarkan nilai faktor yang diberikan. Secara umum, masalah
klasifikasi bertujuan untuk mendapatkan keputusan batas.
Algoritma ini berupa kombinasi dari beberapa tree predictors atau bisa disebut decision
trees dimana setiap pohon bergantung pada nilai random vector yang dijadikan sampel secara
bebas dan merata pada semua pohon dalam hutan tersebut. Hasil prediksi dari RF didapatkan
melalui hasil terbanyak dari setiap individual decision tree (voting untuk klasifikasi dan rata-
rata untuk regresi). Untuk RF yang terdiri dari N trees dirumuskan seperti pada Persamaan 2.2.

𝑙(𝑦) = 𝑎𝑟𝑔𝑚𝑎𝑥𝑐 (∑𝑁


𝑛=1 𝐼ℎ𝑛 (𝑦)=𝑐 )
…. (2.2)
Dimana 𝐼 adalah fungsi indikator dan ℎ𝑛 adalah pohon ke-n dari RF (Liparas et al., 2014)

2.9 RStudio
RStudio merupakan program pengembangan terintegrasi untuk R, bahasa pemrograman
untuk komputasi statistik dan grafik. Perangkat in tersedia dalam dua format: RStudio Desktop
adalah aplikasi desktop biasa sementara RStudio Server berjalan pada server jarak jauh dan
memungkinkan mengakses RStudio menggunakan browser web (R Core Team, 2022). Pada
awalnya, R digunakan oleh para ilmuwan dalam riset mereka dan para akademisi. Namun
seiring perkembangan teknologi, cakupan kemampuan R sebagai bahasa pemrograman menjadi
jauh lebih luas.
Saat ini R merupakan salah satu software yang digunakan dalam analisis statistika dan data
science karena banyaknya package yang dapat mendukung seperti untuk kebutuhan penyiapan
data, perhitungan statistik dan machine learning (rata-rata, median, kuantil, histogram, boxplot,
uji hipotesis, clustering, pemodelan regresi dan klasifikasi, dan lain-lain). Beberapa package
yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:
a) pROC
Alat untuk memvisualisasikan, menghaluskan, dan membandingkan karakteristik
pengoperasian receiver (kurva ROC). (Sebagian) area di bawah kurva (AUC) dapat
dibandingkan dengan uji statistik berdasarkan U-statistik atau bootstrap. Interval
kepercayaan dapat dihitung untuk kurva (p)AUC atau ROC.
b) rgdal
Merupakan fungsi untuk menyediakan binding untuk Perpustakaan Abstraksi Data
'Geospasial'.
c) raster
Digunakan untuk membaca, menulis, memanipulasi, menganalisis dan
memodelkan data spasial. Paket ini mengimplementasikan fungsi dasar dan tingkat
tinggi untuk data raster dan untuk operasi data vektor seperti persimpangan.
d) plyr
plyr adalah package R yang memudahkan untuk memisahkan data, memadatkan,
dan menyatukannya kembali. Bagian ini merupakan langkah manipulasi data yang
umum. Package plyr juga memudahkan untuk mengontrol format data input dan
output dari serangkaian fungsi yang konsisten secara sintaksis.
e) dplyr
Sama seperti plyr, dplyr juga merupakan salah satu tata bahasa manipulasi data yang
menyediakan serangkaian kata kerja konsisten yang dapat membantu memecahkan

20
tantangan manipulasi data yang paling umum seperti mutate(), select(), filter(),
summarise(), dan arrange().
f) RStoolBox
Merupakan toolbox yang digunakan untuk pemrosesan dan analisis citra
penginderaan jauh. Perangkat yang tersedia mencakup banyak aspek mulai dari
impor data, pra-pemrosesan, analisis data, klasifikasi gambar, dan tampilan grafis.
RStoolbox dibangun di atas paket raster, yang membuatnya cocok untuk
memproses kumpulan data besar bahkan pada workstation yang lebih kecil.
g) RColorBrewer
Merupakan package yang menyediakan skema warna untuk peta (dan grafik
lainnya) yang dirancang oleh Cynthia Brewer. Proses ini dengan membantu
pengguna memilih skema warna yang sesuai untuk kebutuhan pemetaan khusus
mereka dengan mempertimbangkan: jumlah kelas data; sifat datanya (disesuaikan
dengan skema sekuensial, divergen, dan kualitatif); dan lingkungan penggunaan
akhir untuk peta (misalnya, CRT, LCD, dicetak, diproyeksikan, difotokopi).
h) ggplot2
Merupakan package fungsi sistem untuk membuat grafik secara deklaratif,
berdasarkan “The Grammar of Graphics”. Pengguna memberikan data kemudian
ggplot2 akan memetakan variabel ke estetika, primitif grafis apa yang digunakan,
dan menangani detailnya.
i) sp
Merupakan fungsi package yang berguna dalam pengkelasan dan metode untuk data
spasial. Pada fungsi ini akan diketahui dokumen kelas di mana informasi lokasi
spasial berada baik untuk data 2D atau 3D. Fungsi utilitas yang disediakan misalnya
untuk memplot data sebagai peta, pemilihan spasial, serta metode untuk mengambil
koordinat, untuk subsetting, cetak, ringkasan, dll.
j) caret
Merupakan fungsi package yang pada machine learning berguna untuk melatih dan
merencanakan klasifikasi dan model regresi.
k) doParallel
Merupakan fungsi package untuk menyediakan fungsi untuk eksekusi paralel kode
R pada mesin dengan banyak inti atau prosesor atau banyak komputer.

2.10 Evaluasi Kerja Model


Berbagai kriteria kuantitatif maupun kualitatif digunakan untuk evaluasi kinerja machine
learning. Studi pada penelitian ini biasanya menggunakan indeks statistik (Dwi Lingga P. et al.,
2017; Hamze-Ziabari & Bakhshpoori, 2018; Marjanović et al., 2018a; Nugent et al., 2017; Tien
Bui et al., 2012a), kurva ROC – AUC (W. Chen et al., 2017b; Pandey et al., 2019; Tsangaratos
& Ilia, 2016), atau model keduanya (Dou et al., 2019; Kavzoglu et al., 2014; Khosravi et al.,
2018; Pham, Bui, et al., 2018; Pham et al., 2019; Pham, Prakash, et al., 2018) untuk
mengevaluasi kinerja.
Kinerja sistem klasifikasi menggambarkan seberapa akurat sistem dalam
mengklasifikasikan data untuk mendapatkan hasil prediksi, maka dari itu evaluasi kinerja
sangat dibutuhkan. Cara mengukur kinerja sistem pada umumnya menggunakan confusion
matrix (Prasetyo, 2014). Confusion matrix merupakan alat yang digunakan untuk mengukur
kinerja atau tingkat akurasi proses klasifikasi yang sudah dimodelkan untuk menghasilkan

21
prediksi dari data testing (Haristu, 2019). Proses pengukuran model ini menggunakan suatu
tabel dengan membandingkan data testing yang salah dan data testing yang benar. Terdapat
empat istilah sebagai representasi hasil proses klasifikasi menggunakan confusion matrix yang
mana dijelaskan pada Tabel 2.9.

Tabel 2.9 Confusion Matrix


Kelas Prediksi
Confusion Matrix
Negatif Positif
TN FP
Negatif
Kelas (True Negative) (False Positive)
Aktual FN TP
Positif
(False Negative) (True Positive)
(Siregar, 2021)

Berdasarkan nilai yang dihasilkan dari confusion matrix, dapat diperoleh nilai akurasi,
presisi, error, recall, sensitivity, dan specificity. Namun untuk penelitian ini hanya akan
dilakukan perhitungan akurasi, sensitivity dan specificity. Nilai akurasi membandingkan antara
data yang terklasifikasi benar dengan keseluruhan data. Dengan kata lain, akurasi menunjukkan
seberapa akurat model dalam mengklasifikasikan data. Nilai akurasi dapat diperoleh dengan
Persamaan 2.3. Sedangkan untuk nilai sensitivity dan specificity diperoleh dengan Persamaan
2.4 dan 2.5 (Siregar, 2021).

𝑇𝑃 + 𝑇𝑁
𝐴𝑘𝑢𝑟𝑎𝑠𝑖 =
𝑇𝑃 + 𝑇𝑁 + 𝐹𝑃 + 𝐹𝑁
…. (2.3)
𝑇𝑃
𝑆𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑖𝑣𝑖𝑡𝑦 =
𝑇𝑃 + 𝐹𝑁
…. (2.4)
𝑇𝑁
𝑆𝑝𝑒𝑐𝑖𝑓𝑖𝑐𝑖𝑡𝑦 =
𝑇𝑁 + 𝐹𝑃
…(2.5)

Dimana:
TP (True Positive) : Jumlah observasi positif yang diklasifikasikan sebagai positif
FP (False Positive) : Jumlah observasi positif yang salah diklasifikasikan sebagai negatif
TN (True Negative) : Jumlah observasi negatif yang diklasifikasikan sebagai negatif
FN (False Positive) : Jumlah observasi negative yang salah diklasifikasikan sebagai
positif

Kurva ROC digunakan dalam pembelajaran mesin dan penelitian data mining untuk
menilai hasil prediksi. Kurva ROC dibagi dalam dua dimensi, dimana tingkat TP diplot pada
sumbu Y dan tingkat FP diplot pada sumbu X. Sedangkan untuk merepresentasikan grafis yang
menentukan klasifikasi mana yang lebih baik, digunakan metode yang menghitung luas daerah
dibawah kurva ROC yang disebut AUC (Area Under the ROC Curve). Kurva ROC merupakan
teknik untuk memvisualisasi dan menguji kinerja pengklasifikasian berdasarkan performanya
(Gorunescu, 2011). Model klasifikasi yang lebih baik adalah yang mempunyai kurva ROC lebih
besar (Vercellis, 2009). Dari nilai specificity dan sensitivity yang didapatkan sebelumnya, maka
dapat dihasilkan nilai AUC.

22
Gambar 2.7 Contoh Kurva ROC
(Farhadi & Najafzadeh,2017)

23
“Halaman ini sengaja dikosongkan”

24
BAB 3
METODOLOGI

3.1 Lokasi Penelitian

Gambar 3.1 Peta Batas Administrasi Kota Batu

Kota Batu, secara geografis terletak pada 7°44’ hingga 8°26’ Lintang Selatan dan 122°17’
hingga 122°57’ Bujur Timur dengan luas wilayah 202,30 km2. Wilayah kota ini berada di
ketinggian 680 – 1.200 meter dari permukaan laut dan diapit oleh 3 buah gunung yang telah
dikenal yaitu Gunung Panderman (2010 meter), Gunung Arjuna (3339 meter), Gunung
Welirang (3156 meter). Kondisi topografi yang bergunung-gunung dan berbukit-bukit
menjadikan Kota Batu bersuhu udara rata-rata 15-19 derajat Celsius.
Adapun batas-batas wilayah Kota Batu adalah sebagai berikut:
 Sebelah Utara : Kabupaten Mojokerto dan Kabupaten Pasuruan
 Sebelah Barat : Kabupaten Malang
 Sebelah Selatan : Kabupaten Malang
 Sebelah Timur : Kabupaten Malang

3.2 Data dan Peralatan Penelitian


Pelaksanaan penelitian ini menggunakan bahan berupa data spasial. Data tersebut diolah
menggunakan alat berupa teknologi spasial sehingga mendapatkan hasil berupa peta. Data dan
peralatan yang digunakan meliputi:

25
3.2.1 Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Peta batas administrasi dari RTRW Kota Batu tahun 2010-2030 skala 1:80000
yang bersumber dari Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan
Pengembangan Daerah (Bappelitbangda) Kota Batu
2. Data DEMNAS 30 Meter dari Badan Informasi Geospasial
3. Data curah hujan harian yang dijumlah menjadi tahunan tahun 2012-2021 yang
diperoleh dari CHIRPS
4. Peta tata guna lahan Kota Batu tahun 2018 skala 1:80000 bersumber dari Badan
Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah
(Bappelitbangda) Kota Batu
5. Peta jenis tanah tahun 2018 skala 1:25000 yang didapatkan dari Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Batu
6. Peta jenis batuan tahun 2018 skala 1:25000 yang didapatkan dari dari Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Batu
7. Peta zona kerentanan gerakan tanah Kota Malang, Batu dan Kabupaten Malang
tahun 2022 skala 1:25000 yang bersumber dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi
Bencana Geologi
8. Peta kerawanan longsor Kota Batu tahun 2019 skala 1:25000 dari Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Batu
9. Data kejadian bencana tanah longsor tahun 2012-2021 di Kota Batu yang
bersumber dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Batu
3.2.2 Peralatan
Peralatan yang digunakan untuk mengolah dan menganalisis secara spasial dalam
penelitian ini merupakan teknologi spasial berupa SIG (Sistem Informasi Geografis).
Adapun peralatan lebih jelasnya dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Hardware
1. Laptop
2. Mouse
3. Harddisk
b. Software
1. Microsoft Office
2. ArcGIS 10.8
3. QGIS
4. R-Studio

3.3 Metodologi Pelaksanaan Penelitian


3.3.1 Tahapan Pelaksanaan Kegiatan
Tahapan pelaksanaan kegiatan ini dibagi menjadi tiga, yaitu tahap persiapan, tahap
pelaksanaan, dan tahap akhir. Berikut tahapan pelaksanaan penelitian digambarkan pada
Gambar 3.2.

26
Gambar 3.2 Tahapan Pelaksanaan Kegiatan

Berikut merupakan penjelasan dari diagram alir yang digambarkan pada Gambar
3.2.
A. Tahap Pesiapan
a. Identifikasi Masalah
Tahap awal dari penelitian ini adalah identifikasi masalah. Permasalahan
yang akan diidentifikasikan yaitu tentang bagaimana dapat melakukan
pengidentifikasian terkait daerah rawan longsor di Kota Batu menggunakan
pendekatan RF.
b. Studi Literatur

27
Studi literature merupakan tahapan pencarian materi yang dapat menunjang
penelitian. Tahap ini dilakukan dengan cara meneliti dan memahami buku-buku,
dokumen atau sumber tertulis lainnya yang relevan dan mendukung penelitian
yang sedang dilakukan.
B. Tahap Pelaksanaan
a. Pengumpulan Data
Pada tahap ini dilakukan pengumpulan data yang diperlukan dalam
penelitian berupa peta batas administrasi, peta kemiringan lereng, peta curah
hujan tahunan, peta tata guna lahan, peta jenis tanah, peta jenis batuan, dan data
kejadian bencana longsor pada wilayah studi yang diteliti.
b. Pengolahan Data
Pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan analisa
spasial berupa pemetaan di Kota Batu. Data diolah secara kuantitatif dan spasial
menggunakan perangkat lunak seperti ArcGIS 10.8 dan R-Studio.
C. Tahap Akhir
a. Analisis Data
Hasil yang telah diperoleh dari pengolahan data kemudian dianalisis
mengenai tingkat kerawanan bencana longsornya, sehingga dapat ditarik
kesimpulan mengenai seberapa besar tingkat kerawanan pada tempat
permasalahan yang diteliti.
b. Penyajian Data
Data akhir yang disajikan berupa peta kerawanan longsor Kota Batu.
c. Penyusunan Laporan Akhir
Dalam menyusun Laporan Akhir ini, yang perlu diperhatikan adalah syarat
dan ketentuan pada buku panduan yang telah diberikan.
3.3.2 Tahapan Pengolahan Data
Tahapan pengolahan data pada penelitian ini terbagi menjadi dua, yaitu tahap
pengolahan parameter terkait longsor dan tahap prediksi. Tahap pengolahan parameter
terkait longsor sebagaimana yang tercantum pada Gambar 3.3. Sedangkan, tahap prediksi
sebagaimana tercantum pada Gambar 3.4.

28
Gambar 3.3 Tahapan Pengolahan Data Parameter Terkait Longsor

Penjelasan mengenai tahapan pengolahan parameter prediksi adalah sebagai berikut.


1. Pengolahan Parameter Kemiringan Lereng
a) Mosaic
Data DEMNAS dengan resolusi 30 meter kemudian dilakukan mosaic
sehingga mencakup seluruh Kota Batu.
b) Cropping AOI
Data DEMNAS hasil mosaic dilakukan pemotong Area Of Interest
yakni menggunakan data shapefile batas administrasi Kota Batu.
c) Slope
Data DEMNAS yang sudah di crop diklasifikasi ulang menggunakan
tools Slope pada ArcGIS untuk mendapatkan data kemiringan lereng dengan
klasifikasi yang diinginkan sehingga dapat digunakan sebagai parameter
kemiringan lereng.
2. Pengolahan Parameter Curah Hujan
a) Cropping AOI
Data CHIRPS (Climate Hazards Center InfraRed Precipitation With
Station Data) dilakukan pemotong Area Of Interest dengan menggunakan
data shapefile Kota Batu di Google Earth Engine.

29
b) Penjumlahan curah hujan per tahun
Data CHIRPS merupakan data curah hujan perhari sehingga untuk
mendapatkan data curah hujan tahunan harus dilakukan penjumlahan
menggunakan code di Google Earth Engine untuk setiap tahun dimulai
tahun 2012 hingga tahun 2021.
c) Rata-Rata Curah Hujan
Dari hasil penjumlahan curah hujan pertahun kemudian dilakukan rata-
rata sehingga menghasilkan data curah hujan rata-rata pertahun dari 2012
hingga 2021.
3. Pengolahan Parameter Kerentanan Gerakan Tanah, Penggunaan Lahan, Jenis
Tanah, dan Jenis Batuan
Peta yang didapatkan dari instansi terkait dilakukan digitasi dan klasifikasi
kedalam beberapa kelas untuk menjadikannya parameter kerentanan gerakan
tanah, parameter penggunaan lahan, parameter jenis tanah dan parameter jenis
batuan.
Seluruh data yang telah dikumpulkan masih belum memberikan informasi
yang dibutuhkan untuk prediksi tanah longsor, karena itu diperlukan proses data lebih
lanjut guna mendapatkan dataset yang sesuai dengan model machine learning.
Beberapa proses data dilakukan secara manual menggunakan aplikasi QGIS dan
Microsoft Excel. Tahap prediksi dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain
pembuatan dataset, pengategorian data dan pemodelan RF.

30
Gambar 3.4 Tahapan Prediksi

Penjelasan mengenai tahapan prediksi adalah sebagai berikut.


1. Pembuatan Dataset
Proses pembersihan data dilakukan pada data kejadian bencana untuk
menghilangkan missing value dan data duplikat berdasarkan lokasi kejadian.
Selanjutnya, data kejadian direlasikan dengan data hasil analisis spasial peta
yang telah diperoleh sebelumnya berdasarkan lokasi kejadian dan
menghasilkan dataset tanah longsor dengan atribut baru, seperti jenis tanah,
jenis batuan, kemiringan lereng, curah hujan tahunan, zona kerentanan gerakan
tanah dan penggunaan lahan.
2. Pengkategorian Data

31
Pengkategorian data merupakan tahapan di mana nilai dalam setiap atribut
dikategorikan ke dalam beberapa kelas berdasarkan kategori parameter yang
digunakan. Pada atribut jenis bencana, data dikategorikan ke dalam dua kelas,
yaitu kelas ‘Ya’ untuk data jenis bencana tanah longsor dan kelas ‘Tidak’ untuk
data jenis bencana selain tanah longsor. Atribut ini kemudian yang selanjutnya
akan digunakan sebagai variabel respons dalam penelitian ini.
3. Pemodelan Random Forest
Setelah data dikategorikan, hasilnya kemudian diprediksi dengan model
Random Forest. Hasil klasifikasi setiap iterasi pohon kemudian disimpan dan
dijumlahkan. Label kelas dengan jumlah kemunculan paling banyak akan
menjadi hasil prediksi akhir dari algoritma tersebut.
4. Pembuatan Peta Prediksi Kerawanan Longsor
Peta prediksi kerawanan longsor dihasilkan melalui pengolahan code pada
perangkat lunak RStudio berdasarkan parameter terkait bencana longsor.
Parameter yang telah dilakukan proses pengategorian kemudian diinput untuk
dihasilkan Importance Value pada masing-masing label. Dari Importance Value
yang telah dihasilkan kemudian dapat dilakukan prediksi untuk menghasilkan
peta kerawanan longsor di Kota Batu.

32
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengolahan Dataset Kejadian Tanah Longsor


Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah data kejadian bencana longsor yang
didapatkan dari BPBDP Kota Batu dan terdiri dari 374 record data yang terdiri dari 187 titik
kejadian longsor dan 187 titik kejadian tidak longsor. Data kejadian bencana direlasikan
dengan faktor penyebab tanah longsor seperti tata guna lahan, jenis tanah, jenis batuan, zona
kerentanan gerakan tanah, curah hujan dan kemiringan lereng. Data kejadian tidak longsor
didapatkan dari hasil random point yang wilayahnya telah disesuaikan dengan data kejadian
longsor dan kemiringan lereng. Seluruh data yang telah dikumpulkan kemudian dilakukan
praproses data yang melalui beberapa tahapan, antara lain pencarian data tidak longsor,
pembersihan data, seleksi atribut data, dan pengkategorian. Dari data kejadian yang telah ada
dihasilkan dataset kejadian dengan 734 record (baris) dan 7 atribut (kolom) dengan 165 record
data kelas longsor dan 569 record data kelas tidak longsor. Dalam penelitian ini, dataset
tersebut dibagi menjadi data pelatihan atau training data yang berjumlah 734 data di mana 70%
data akan digunakan dalam pelatihan model pengklasifikasi Machine Learning, sedangkan
30% dari data tersebut dan data uji atau testing data dengan jumlah 220 data akan digunakan
dalam pengujian model tersebut. Persebaran data kejadian longsor di Kota Batu dapat dilihat
pada Gambar 4.1.

33
Gambar 4.1 Persebaran Data Training dan Testing

Berdasarkan peta tersebut, dapat dilihat bahwa persebaran data titik kejadian longsor di
Kota Batu terbagi menjadi empat kelas, yaitu data training Longsor, data training Tidak
Longsor, data testing Longsor dan data testing Tidak Longsor. Untuk data training Longsor
berjumlah 116 titik, data training Tidak Longsor berjumlah 398 titik, data testing Longsor
berjumlah 49 titik, dan data testing Tidak Longsor berjumlah 171 titik.

4.2 Hasil Pengolahan Parameter Terkait Longsor


Parameter terkait longsor yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan proses pengolahan
untuk menghasilkan beberapa kategori yang nantinya ditentukan Importance Value untuk
masing-masing kategori. Studi ini menggunakan 6 parameter dengan total 23 kategori terkait
tanah longsor.

34
4.2.1 Pengolahan Parameter Penggunaan Lahan
Parameter penggunaan lahan dihasilkan dari peta tata guna lahan yang didapat dari
instansi Bappelitbangda Kota Batu yang kemudian dilakukan digitasi dan pengkategorian
menjadi beberapa empat klasifikasi yaitu hutan, perekebunan dan ruang terbuka hijau,
permukiman dan perindustrian dan sawah. Persebaran penggunaan lahan dapat dilihat
pada Gambar 4.2 dibawah ini.

Gambar 4.2 Penggunaan Lahan

Menurut peta diatas, sawah atau kawasan pertanian menempati luasan terbesar yaitu
sekitar 11216,73 Ha yang tersebar di tiga kecamatan di Kota Batu yaitu kecamatan Batu,
Bumiaji dan Junrejo. Sedangkan kawasan perkebunan serta RTH menempati luasan
terkecil yaitu 102,45 Ha yang juga tersebar di seluruh kecamatan Kota Batu. Kawasan
permukiman pada umumnya menjadi daerah dengan tingkat resiko longsor paling tinggi

35
dikarenakan bangunan yang berada di atas tanah dapat mempengaruhi kestabilan lereng
di daerah tersebut. Kawasan permukiman di Kota Batu memiliki luasan sebesar 2055,23
Ha dan mendominasi di Kecamatan Batu yang umumnya merupakan wilayah pusat
pemerintahan Kota Batu. Sedangkan kawasan hutan merupakan kategori penggunaan
lahan yang memiliki tingkat resiko longsor terkecil karena kawasan ini memiliki
kemampuan menjaga kestabilan struktur tanah, disebabkan hutan memiliki perakaran
yang dalam sehingga kekompakan partikel dalam suatu tanah dapat terjaga. Kawasan
hutan di Kota Batu memiliki luasan sebesar 6542,25 Ha.

4.2.2 Pengolahan Parameter Zona Kerentanan Gerakan Tanah


Parameter zona kerentanan gerakan tanah didapatkan dari Peta Zona Kerentanan
Gerakan Tanah yang dipublikasikan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana
Geologi kemudian dilakukan digitasi untuk mendapatkan data SHP peta tersebut. Secara
umum, zona kerentanan Gerakan tanah dibagi menjadi empat kelas, namun untuk wilayah
Kota Batu sendiri hanya terdapat dua kelas yaitu kerentanan menengah dan tinggi.
Persebaran zona kerentanan gerakan tanah di Kota Batu dapat dilihat pada Gambar 4.3.

36
Gambar 4.3 Zona Kerentaran Gerakan Tanah

Berdasarkan peta di atas, klasifikasi zona kerentanan gerakan tanah di Kota Batu
dibagi kedalam dua kelas yaitu kerentanan menengah dan kerentanan tinggi. Kerentanan
menengah menempati luasan sebesar 10869,97 Ha dan kerentanan tinggi menempati
luasan sebesar 9046,87 Ha. Kedua kategori kerentanan menengah dan tinggi tersebar pada
tiga kecamatan di Kota Batu yaitu Kecamatan Batu, Bumiaji dan Junrejo.

4.2.3 Pengolahan Parameter Kemiringan Lereng


Parameter kemiringan lereng didapatkan dari pengolahan data DEMNAS Kota Batu
dengan perangkat lunak ArcMap 10.8. Dilakukan proses cropping AOI untuk data
DEMNAS sesuai dengan wilayah studi yang digunakan yaitu Kota Batu sebelum
dilakukan pengolahan untuk kemiringan lereng. Tools yang digunakan untuk

37
mendapatkan kemiringan lereng yaitu Slope dan setelahnya tingkat kemiringan lereng
dikelompokkan menjadi lima kategori kemiringan.

Gambar 4.4 Data DEMNAS Kota Batu


Kemiringan lereng pada Kota Batu memiliki semua klasifikasi dari kemiringan yang
datar hingga curam. Lahan dengan kemiringan datar dengan persentase 0-2% seluas
280,1 Ha, lahan dengan kemiringan cukup datar dengan persentase 2-5% seluas 633,4
Ha, lahan dengan kemiringan sedang dengan persentase 5-15% seluas 5765,5 Ha, lahan
dengan kemiringan curam dengan persentase 15-40% seluas 8084 Ha, dan lahan dengan
kemiringan sangat curam memiliki persentase lebih dari 40% seluas 5094,4 Ha. Pada
kemiringan lereng dengan persentase terbesar terdapat pada klasifikasi curam dan
persentase terkecil pada klasifikasi datar pada parameter kemiringan lereng. Peta
kemiringan lereng di Kota Batu dapat dilihat pada Gambar 4.4 sebagai berikut.

38
Gambar 4.5 Kemiringan Lereng

Berdasarkan peta tersebut dihasilkan data yang menunjukkan bahwa kemiringan


lereng lebih dari 40% merupakan kemiringan lereng yang sangat curam dan merupakan
potensi longsor yang paling tinggi. Kategori ke lima yang paling tinggi atau memiliki
tingkat kemiringan lereng yang sangat curam terdapat di desa Oro-Oro Ombo,
Tulungrejo, Sumbergondo, Bulukerto, Bumiaji dan Giripuro dengan luasan secara
berturut-turut yaitu 4.995 Ha, 771.670681 Ha, 229.050538 Ha, 72.914497 Ha, 44.903112
Ha dan, 23.277259 Ha. Kemiringan tercuram bernilai diatas 40% yang berada pada Desa
Oro-Oro Ombo Kecamatan Batu, Desa Tlekung Kecamatan Junrejo dan Desa Tulungrejo
Kecamatan Bumiaji. Sedangkan untuk kategori kemiringan lereng yang paling rendah
atau kategori datar dengan persentase kemiringan 0-2% tersebar di tiga kecamatan Kota
Batu dengan luasan terbesar berada pada Kecamatan Junrejo yaitu sekitar 200,29 Ha,
disusul Kecamatan Bumiaji dengan luas 198,85 Ha kemudian Kecamatan Batu dengan
luas 186,42 Ha.

39
4.2.4 Pengolahan Parameter Curah Hujan
Data curah hujan yang digunakan dalam analisis adalah data curah hujan tahunan
yang didapatkan dari CHIRPS dengan menggunakan code pada Google Earth Engine.
Dari hasil CHIRPS didapatkan data raster dengan masing-masing piksel memiliki nilai
rata-rata curah hujan pertahun di Kota Batu dari tahun 2012 hingga tahun 2021. Data
raster tersebut kemudian dilakukan interpolasi untuk menghasilkan data yang lebih
lengkap dengan menggunakan Inverse Distance Weighting (IDW). Dari interpolasi yang
telah dilakukan dihasilkan nilai Root Mean Square Error (RMSE) sebesar 1,0627.
Berdasarkan nilai RMSE yang terkecil diperoleh bahwa metode IDW dengan nilai power
1 adalah yang terbaik. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kesalahan yang dihasilkan dari
proses IDW dapat dikatakan cukup kecil.

Gambar 4.6 Pengolahan Data CHIRPS

Pada umumnya, air hujan yang masuk kedalam lapisan tanah akan mempengaruhi
beban pada tanah sehingga memicu terjadinya bencana longsor. Maka dari itu, area yang
memiliki curah hujan yang tinggi pada hakikatnya memiliki tingkat kerawanan terhadap
longsor yang tinggi, begitu pula sebaliknya. Persebaran klasifikasi rata-rata curah hujan
pertahun di Kota Batu dapat dilihat pada Gambar 4.5.

40
Gambar 4.7 Curah Hujan

Dari peta curah hujan tahunan yang dihasilkan, klasifikasi curah hujan pada Kota
Batu dibedakan ke dalam tiga tingkat, yaitu lembab dengan kisaran nilai 2000-2500,
basah dengan kisaran nilai 2500-3000 dan sangat basah dengan kisaran nilai 2500-3000.
Hal ini menunjukkan bahwa Kota Batu memiliki tingkat kerawanan bencana longsor yang
cukup tinggi jika dilihat dari faktor parameter curah hujan. Kategori lembab terdapat pada
Kecamatan Junrejo dengan luas 686,13 Ha dan tersebar di beberapa desa seperti
Torongrejo, Pendem, Mojorejo, dan Dadaprejo. Kategori basah memiliki luasan terbesar
dibandingkan kategori lainnya yaitu sekitar 15120,60 Ha dan tersebar di tiga kecamatan
di Kota Batu yaitu Batu, Bumiaji dan Junrejo. Sedangkan untuk kategori sangat basah
terdapat di bagian selatan dan utara Kota Batu dengan luas 4110,02 Ha dan tersebar di

41
Desa Oro-Oro Ombo Kecamatan Batu, Desa Tlekung Kecamatan Junrejo dan Desa
Tulungrejo, Sumbergondo, Bulukerto, Bumiaji dan Giripuro Kecamatan Bumiaji.

4.2.5 Pengolahan Parameter Jenis Tanah


Peta jenis tanah yang didapatkan dari BPBD Kota Batu dilakukan digitasi untuk
memperoleh data SHP yang nantinya dilakukan pengkategorian sesuai dengan jenis tanah
yang ada di Kota Batu. Persebaran jenis tanah di Kota Batu dapat dilihat pada Gambar
4.6 berikut.

Gambar 4.8 Jenis Tanah

42
Menurut peta di atas menunjukkan jenis tanah di Kota Batu memiliki tiga macam
jenis tanah yaitu entisol, inceptisol dan andosol. Jenis tanah inceptisol memiliki luasan
yang paling luas dibandingkan dengan jenis tanah lain, yaitu 8752,18 Ha. Tanah
inceptisol terdapat di semua kecamatan di Kota Batu, yaitu Kecamatan Batu khususnya
desa Sidomulyo, Sumberejo, Songgokerto, Pesanggrahan, Sisir, Ngaglik, Temas dan Oro-
Oro Ombo, Kecamatan Junrejo khususnya desa Torongrejo, Beji, Pendem, Mojorejo,
Junrejo, Dadaprejo, Tlekung dan Kecamatan Bumiaji khususnya desa Tulungrejo,
Sumbergondo, Bulukerto, Bumiaji, Giripurno, Pandanrejo, Puten dan Gunungsari.
Sementara itu, untuk jenis tanah yang memiliki luasan paling sempit yaitu tanah entisol
dengan luas 2376,65 Ha. Tanah entisol mendominasi wilayah Kecamatan Bumiiaji yaitu
khususnya pada desa Tulungrejo, Sumbergondo, Bulukerto, Bumiaji, Punten dan
Gunungsari. Sedangkan untuk tanah jenis andosol yang merupakan tanah dengan
kepekaan longsor tertinggi memiliki luasan sebesar 8141,06 Ha dan tersebar di seluruh
kecamatan yang berada di Kota Batu yaitu Kecamatan Bumiaji, Batu dan Junrejo.
Jenis tanah yang memiliki tingkat resiko longsor tertinggi adalah tanah andosol
dikarenakan tanah ini merupakan jenis tanah vulkanik yang mana terbentuk dari aktivitas
vulkanisme gunungapi. Kadar organik dan kadar air yang dimiliki oleh jenis tanah ini
cukup tinggi sehingga menyebabkan konsistensi tanahnya plastis dan tidak lekat. Ciri lain
dari jenis tanah ini adalah berwarna kehitaman. Sedangkan tanah yang memiliki resiko
longsor terendah di Kota Batu merupakan tanah entisol. Tanah ini tergolong kedalam
tanah yang masih muda serta kadar nitrogen dan organik yang rendah menyebabkan tanah
ini tidak lebih peka dari jenis tanah lainnya.

4.2.6 Pengolahan Parameter Jenis Batuan


Parameter jenis batuan dihasilkan dari peta jenis batuan yang didapat dari BPBD Kota
Batu kemudian dilakukan digitasi dan pengkategorian menjadi enam klasifikasi.
Persebaran jenis batuan di Kota Batu dapat dilihat pada Gambar 4.7 di bawah ini.

43
Gambar 4.9 Jenis Batuan

Batuan pada Kota Batu memiliki enam jenis yang sebagian besar merupakan batuan
gunungapi. Jenis batuan Gunungapi Arjuna-Welirang (Qvaw) merupakan klasifikasi
yang memiliki area terluas yaitu sekitar 10361 Ha yang tersebar di ketiga kecamatan di
Kota Batu, dan jenis batuan gunungapi kuarter bag. Bawah (Qp) memiliki area terkecil
yaitu sekitar 92 Ha. Batuan Gunung Api Anjasmara Tua (Qpat) merupakan endapan
tertua yang diperkirakan terbentuk pada Pleistosen Awal hingga Tengah, umumnya sudah
pejal dan termampatkan, tersusun dari andesit hingga basal. Sementara itu, pasir
gunungapi Tengger (Qvs) merupakan jenis batuan termuda diantara enam lainnya yang
diperkirakan terbentuk pada kala Holosen dengan karakteristik yang terdiri atas pasir
gunungapi, bom gunungapi, dan batuapung. Pada umumnya, batuan yang terbentuk di

44
masa Holosen lebih rentan terhadap bencana longsor dibandingkan batuan yang terbentuk
pada masa Pleistosen hingga Miosen.

4.3 Hasil Penentuan Importance Value Parameter Terkait Longsor


Pada penerapan Machine Learning dengan model Random Forest, proses tuning perlu
dilakukan agar sistem memperoleh model paling optimal yang selanjutnya digunakan untuk
memprediksi wilayah rawan longsor. Berdasarkan proses tuning yang telah dilakukan,
didapatkan Importance Value untuk masing-masing kategori pada setiap parameter yang dapat
dilihat pada Tabel 4.1 berikut.

Tabel 4.1 Importance Value Tiap Kategori


Parameter Kategori Importance Value
Entisol 15,917
Jenis Tanah Inceptisol 64,692
Andosol 38,595
Batuan Gunung Api Anjasmara
40,382
Tua (Qpat)
Batuan Gunung Api Anjasmara
17,996
Muda (Qpva)
Batuan Gunung Api Kawi-Butak
0,00
Jenis Batuan (Qpkb)
Batuan Gunung Api Kuarter bag.
14,405
Bawah (Qp)
Batuan Gunung Api Arjuna-
47,578
Welirang (Qvaw)
Pasir Gunung Api Tengger (Qvs) 9,272
Hutan 35,561
Perkebunan 0,00
Guna Lahan
Pertanian 30,364
Permukiman 76,005

Zona Kerentanan Potensi Menengah 56,102


Gerakan Tanah Potensi Tinggi 53,439
0-2% 100
Kemiringan
2-5% 28,226
Lereng
5-15% 16,282

45
Parameter Kategori Importance Value
15-40% 9,66
>40% 10,215
2000-2500 9,479
Curah Hujan
2500-3000 0.00
Tahunan
>3000 15,179

Dari hasil Importance Value yang didapatkan, dapat dilihat bahwa nilai tertinggi berada
pada parameter kemiringan lereng dengan kategori 0-2%. Data dengan nilai 100,00 ini
menunjukkan bahwa sebagian besar bencana longsor terjadi pada kawasan kemiringan lereng
0-2%, yang mana hal ini tidak sesuai dengan kriteria kepekaan longsor yang seharusnya.
Namun, bencana longsor juga dapat dipicu dengan beberapa kategori lainnya seperti pada
parameter Penggunaan Lahan kategori Permukiman yang mendapat nilai 76,005, Jenis Tanah
kategori Inceptisol yang mendapat nilai 64,692 dan Zona Kerentanan Gerakan Tanah kategori
Potensi Tinggi yang mendapat nilai 53,439 yang sesuai dengan kriteria kepekaan longsor dari
penelitian-penelitian sebelumnya.
Untuk mengetahui hubungan parameter prediksi tanah longsor terhadap terjadinya
bencana tanah longsor, maka diperlukan nilai total Importance Value tiap parameter dari
kategori yang ada untuk mendapatkan persentase kepentingan yang ditunjukkan grafik pada
Gambar 4.8.

PERSENTASE NILAI
KEPENTINGAN PARAM ETER
TERKAIT LONGSOR

Curah Hujan 3.58

G u n a La h a n 20.59

ZKGT 15.89

Jenis Batuan 18.92

Jenis Tanah 17.29

K e m i r i n g a n Le r e n g 23.85

Gambar 4.10 Persentase Kepentingan Parameter Terkait Longsor

Dari grafik yang dihasilkan, dapat dilihat bahwa parameter yang paling mempengaruhi
kejadian bencana longsor adalah Kemiringan Lereng dengan persentase sebesar 23,85% dan
parameter yang paling tidak mempengaruhi terjadinya bencana longsor merupakan Curah
Hujan dengan persentase hanya sebesar 3,58%. Hal ini menunjukkan bahwa menurut model
tuning RF parameter curah hujan kurang mempengaruhi persebaran kejadian bencana longsor
di Kota Batu.

46
4.4 Hasil Uji Akurasi Dengan Confusion Matrix
Uji akurasi merupakan tahapan yang bertujuan untuk mengevaluasi algoritma Machine
Learning yang digunakan dalam penelitian. Pengujian juga diperlukan untuk mengecek apakah
sistem telah berjalan sesuai dengan tujuan awal penelitian atau tidak. Pada penelitian ini
didapatkan hasil performansi dengan menggunakan metode Confusion Matrix yang merupakan
parameter default yang telah diatur dalam library. Hasil pengujian model RF yang didapat
menggunakan data training dapat dilihat pada Gambar 4.9.

Gambar 4.11 Hasil Uji Akurasi Pemodelan RF

Hasil pengujian menunjukkan bahwa model RF mampu memprediksi menggunakan 500


pohon kejadian ‘Longsor’ sebanyak 77 record data dan kejadian ‘Tidak Longsor’ sebanyak 389
record data dengan nilai akurasi paling besar 0,9111 atau 91,11% pada percobaan ke-23, dengan
nilai OOB atau Out-of-Bag diestimasikan sebesar 9,34%. Dikarenakan percobaan ke-23
merupakan nilai dengan akurasi tertinggi, maka secara otomatis sistem memilih percobaan
tersebut sebagai model RF yang digunakan.

47
Gambar 4.12 Hasil Uji Akurasi Menggunakan Data Testing

Sedangkan, pada pengujian menggunakan data testing, nilai Kappa sebesar 0.6896 dari data
menunjukkan bahwa pemodelan RF untuk prediksi longsor memiliki peluang akurasi yang
baik. Akan tetapi, model tersebut mengalami penurunan nilai akurasi menjadi sebesar 89,81%
dimana mampu memprediksi benar kejadian ‘Longsor’ sebanyak 32 record data dan kejadian
‘Tidak Longsor’ sebanyak 153 record data.

Gambar 4.13 Hasil Kurva ROC

Nilai Sensitivity sebesar 0,9623 menunjukkan bahwa total 96,23% kejadian bencana
longsor dideteksi dengan benar (True Positive) sedangkan nilai Specificity yang sebesar 0,6809
menunjukkan bahwa total 68,09% kejadian tidak longsor dideteksi dengan benar (True
Negative). Dari hasil nilai sensitivity dan specificity yang didapatkan selanjutnya diprediksi

48
menggunakan kurva ROC (Receiver Operating Characteristic) dan dihasilkan nilai AUC (Area
Under Curve) sebesar 0,932691.

4.5 Analisis Peta Prediksi Kerawanan Longsor

Gambar 4.14 Peta Kerawanan Longsor Kota Batu

49
Berdasarkan prediksi yang telah dilakukan dengan menghubungkan data kejadian bencana
longsor dengan parameter faktor penyebab longsor, didapatkan hasil peta kerawanan longsor di
Kota Batu yang terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Hasil dari
analisis menggambarkan bahwa persebaran di tingkat rendah memiliki luasan paling besar
dibandingkan tingkat lainnya. Besarnya luasan tiap tingkat rawan bencana longsor di Kota Batu
dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Luas Tiap Tingkatan Rawan Longsor


Tingkatan Luas (Ha) Persentase Luas (%)
Rendah 15448,32 77,75
Sedang 1347,05 6,78
Tinggi 3073,14 15,47
Total 19868 100

Menurut tabel diatas, dapat dilihat bahwa tingkat kerawanan di Kota Batu didominasi
dengan tingkat rendah yang memiliki luas area sebesar 15448,31 Ha. Daerah dengan tingkat
kerawanan tinggi memiliki luas area sebesar 3073,14 Ha. Sedangkan daerah dengan tingkat
sedang memiliki luas area cukup kecil yaitu sekitar 1347,05 Ha. Luas dan distribusi tingkat
kerawanan longsor di Kota Batu dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3 Persebaran Luas Tiap Tingkatan Rawan Longsor di Kecamatan Kota Batu
Luas (Ha)
Kecamatan Luas (Ha)
Rendah Sedang Tinggi
Batu 4535,04 2719,07 475,89 1340,08
Bumiaji 12785,25 10870,39 662,56 1252,30
Junrejo 2547,83 1858,51 208,59 480,73
Total 19868 15447,97 1347,04 3073,11

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa Kecamatan Bumiaji didominasi oleh tingkat rendah
dengan luas tingkatan tersebut sebesar 10870,39 Ha, dan area terkecil ditempati oleh tingkat
sedang yaitu sebesar 662,56 Ha. Sedangkan, Kecamatan Batu memiliki tingkat rendah sebagai
wilayah terluas yaitu sekitar 2719,07 Ha dengan wilayah terkecil yaitu sedang sebesar 475,89
Ha. Sementara itu, Kecamatan Junrejo juga didominasi oleh tingkat rendah sebagai area terluas
yaitu sebesar 1858,51 Ha dan tingkat sedang sebagai area terkecil yaitu seluas 208,59 Ha.
Sementara itu, dilakukan pula perbandingan kesesuaian antara parameter dengan nilai
kepentingan paling tinggi yaitu kemiringan lereng dan guna lahan dengan daerah rawan longsor
yang telah dihasilkan. Kemiringan lereng merupakan ukuran kemiringan lahan relatif terhadap
bidang datar yang secara umum dinyatakan dalam persen atau derajat. Lahan pertanian yang
mempunyai kemiringan lebih dari 15° umumnya dapat lebih mudah rusak. Kemiringan lereng
merupakan salah satu faktor yang berpengaruh karena semakin curam lereng yang terdapat

50
suatu wilayah, maka struktur tanah yang berada di lereng tersebut semakin lemah untuk
menahan beban yang ada. Untuk kesesuaian daerah rawan longsor dengan kemiringan lereng
dapat dilihat pada Gambar 4.15.

Gambar 4.15 Overlay Kerawanan Longsor Dengan Kemiringan Lereng

Peta tersebut dihasilkan dari proses overlay antara peta kerawanan longsor dengan peta
kemiringan lereng dengan transparansi masing-masing peta sebesar 50%. Hasil dari overlay
tersebut menunjukkan bahwa kurangnya kesesuaian antara tingkat kerawanan longsor dengan
tingkat kemiringan lereng. Sementara itu, untuk luas kemiringan lereng dengan tingkat rawan
longsor dapat dilihat pada Tabel 4.4 berikut.

51
Tabel 4.4 Luas Tingkat Kerawanan Longsor dengan Kemiringan Lereng
Kemiringan Lereng (%)
Tingkatan
0-2 2-5 5-15 15-40 >40
Rendah 1311,789 Ha 91,635 Ha 7889,355 Ha 99,676 Ha 6039,830 Ha
Sedang 247,232 Ha 45,362 Ha 463,584 Ha 2,402 Ha 587,240 Ha
Tinggi 942,317 Ha 418,702 Ha 161,120 Ha 0,031 Ha 1550,538 Ha

Dari tabel di atas, dapat dilihat bahwa area terluas untuk tingkatan rendah berada pada
kemiringan lereng 5-15% dan >40% yaitu secara berturut-turut sebesar 7889,355 Ha dan
6039,830 Ha. Sedangkan untuk tingkat tinggi area terluasnya berada di kemiringan lereng 0-
2% dan >40% yaitu secara berturut-turut sebesar 1550,538 Ha dan 942,317 Ha. Dari hal
tersebut terdapat ketidaksesuaian karena pada umumnya kemiringan lereng yang curam
merupakan salah satu faktor penyebab kejadian longsor yang paling mempengaruhi. Namun
dari data kejadian longsor yang didapatkan, titik terjadinya longsor sebagian besar berkumpul
di wilayah dengan kemiringan lereng yang datar, maka dari itu pemodelan RF
mengidentifikasikan wilayah ini sebagai wilayah dengan tingkatan yang rawan. Hal ini bisa
disebabkan karena sebagian besar kemiringan lereng yang datar merupakan wilayah
permukiman dan data kejadian longsor didapatkan dari laporan warga yang memiliki properti
yang terdampak longsor. Dari hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa record persebaran
kejadian longsor masih belum merata.
Sedangkan untuk perbandingan kemiringan lereng dengan penggunaan lahan dapat dilihat
pada Tabel 4.5 berikut.

Tabel 4.5 Luas Tingkat Kerawanan Longsor dengan Penggunaan Lahan


Penggunaan Lahan

Tingkatan Permukiman,
Perkebunan,
Hutan Sawah Industri, &
RTH
Fasum
Rendah 6370,548 Ha 29,210 Ha 8980,77 Ha 67,432 Ha
Sedang 145,740 Ha 42,155 Ha 695,786 Ha 463,358 Ha
Tinggi 6,911 Ha 31,087 Ha 1511,196 Ha 1523,912 Ha

Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa untuk tingkatan kerawanan rendah memiliki
wilayah terluas di penggunaan lahan hutan yaitu sebesar 6370,548 Ha dan untuk tingkatan
kerawanan tinggi memiliki wilayah terluas pada permukiman, industri & fasilitas umum yaitu
sebesar 1523,912 Ha. Hal ini menunjukkan kesesuaian area rawan longsor karena pada
umumnya hutan merupakan wilayah yang jarang terjadi longsor dikarenakan adanya penahan
pada struktur tanah di wilayah tersebut, sedangkan daerah yang dipenuhi bangunan seperti
permukiman, industri dan fasilitas umum merupakan daerah yang paling sering terjadi longsor
dikarenakan beban bangunan di atas tanah dapat mempengaruhi kestabilan lereng, sehingga
rentan untuk terjadi gerakan pada wilayah tersebut.

52
4.6 Analisis Perbandingan Peta Prediksi Kerawanan Longsor Dengan Peta Rawan
Longsor BPBD Kota Batu
Berbagai penelitian mengenai persebaran daerah rawan longsor di Kota Batu telah
dilakukan sebelumnya. Dengan menggunakan metode dan parameter terkait longsor yang
berbeda dengan penelitian ini, hasil peta kerawanan longsor milik BPBD Kota Batu ditampilkan
pada Gambar 4.16 berikut.

53
Gambar 4.16 Peta Kerawanan Longsor BPBD Kota Batu

Dari peta tersebut dapat dilihat bahwa hasil dari penelitian ini membagi kelas kerawanan
ke dalam tiga tingkatan yaitu rendah, sedang dan tinggi. Tingkatan rendah merupakan wilayah
yang memiliki potensi terjadinya bencana longsor paling kecil, wilayah tersebut ditandai

54
dengan warna hijau pada peta. Tingkatan sedang merupakan wilayah dengan potensi terjadi
bencana longsor sedang, wilayah ini ditandai dengan area berwarna kuning. Sedangkan tingkat
tinggi merupakan wilayah dengan potensi terjadinya bencana longsor paling tinggi, wilayah ini
ditandai dengan area berwarna merah.

Tabel 4.6 Luas Tiap Tingkatan Peta Rawan Longsor BPBD Tahun 2019
Tingkatan Luas (Ha) Persentase Luas (%)
Rendah 10332,941 52,008
Sedang 5174,045 26,042
Tinggi 4361,015 21,950
Total 19868 100

Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa tingkatan yang memiliki luasan terbesar
merupakan tingkatan rendah dengan luas sebesar 10332,941 Ha (52,008%) pada Kecamatan
Batu khususnya Desa Sumberejo, Ngaglik dan Oro-oro Ombo, Kecamatan Junrejo khususnya
Desa Torongrejo, Beji, Mojorejo, Junrejo, Dadaprejo, dan Tlekung serta Kecamatan Bumiaji
khususnya Desa Tulungrejo, Sumbergondo, Bulukerto, Bumiaji, Giripurno, Pandanrejo dan
Puten. Sedangkan tingkatan yang memiliki luasan terkecil merupakan tingkatan tinggi dengan
luas 4361,015 Ha (21,950%) dan tersebar di Kecamatan Batu khususnya Desa Sidomulyo,
Sumberejo, Songgokerto, Pesanggrahan, Sisir, dan Temas, dan Kecamatan Junrejo Desa
Pendem, serta Kecamatan Bumiaji khususnya Desa Tulungrejo, Punten, Gunungsari. Kedua
tingkatan rendah dan tinggi mendominasi pada wilayah utara Kota Batu yaitu Kecamatan
Bumiaji yang mana kecamatan tersebut merupakan kecamatan dengan luasan terbesar di Kota
Batu. Terdapat perbedaan hasil dalam luasan dan persebaran tingkat kerawanan dari peta
tersebut dengan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis. Perbedaan tersebut dijabarkan
dalam Tabel 4.7.

Tabel 4.7 Luas Tiap Tingkatan Kerawanan Longsor Peta Prediksi RF Terhadap Peta BPBD
Kota Batu
Peta Kerawanan Longsor BPBD Peta Kerawanan Longsor
Kota Batu Menggunakan Implementasi RF
Tingkatan
Persentase Luas Persentase Luas
Luas (Ha) Luas (Ha)
(%) (%)

Rendah 10332,941 52,008 15448,32 77,75


Sedang 5174,045 26,042 1347,05 6,78
Tinggi 4361,015 21,950 3073,14 15,47
Total 19868 100 19868 100

Menurut tabel diatas, terdapat perbedaan luas yang cukup signifikan dari masing-masing
tingkatan. Untuk tingkat rendah memiliki perbedaan luas sebesar 5115,379 Ha dengan

55
persentase perbedaan sebesar 49,506% terhadap peta kerawanan longsor milik BPBD, untuk
tingkat sedang memiliki perbedaan luas sebesar 3826,995 Ha (73,965%), sedangkan untuk
tingkat tinggi memiliki perbedaan luas sebesar 1287,875 Ha (29,532%).
Berdasarkan peta kerawanan longsor oleh BPBD Kota Batu yang mengacu kepada
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 2 Tahun 2012, interval
indeks untuk kelas kerawanan rendah, sedang dan tinggi adalah 0,333 dengan nilai total 1. Hal
ini sesuai dengan peta prediksi yang dihasilkan menggunakan pemodelan RF. Dari skala 0
hingga 1, rentang nilai masing-masing tingkatan untuk rendah, sedang, dan tinggi secara
berturut-turut adalah 0 – 0,333; 0,333 – 0,667; dan 0,667 – 1.
Tabel 4.8 Skor Peta Kerawanan Longsor Kota Batu BPBD dan Implementasi RF
Skor

Tingkatan Peta Kerawanan Longsor


Peta Kerawanan Longsor
Menggunakan Implementasi
BPBD Kota Batu
RF
Rendah 0 – 0,333 0 – 0,333
Sedang 0,333 – 0,667 0,333 – 0,667
Tinggi 0,667 – 1 0,667 – 1

Dari analisis perhitungan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan luas dan persebaran yang cukup besar yaitu sekitar 51,491%. Hal ini dapat
disebabkan dari perbedaan tahun penelitian yang cukup signifikan, peta kerawanan longsor
milik BPBD Kota Batu dibuat pada tahun 2019 sedangkan penelitian penulis dilakukan pada
tahun 2022 dengan data-data yang telah diperbarui. Terdapat pula perbedaan metode dan
parameter yang digunakan, untuk peta kerawanan milik BPBD Kota Batu menggunakan
metode skoring dan parameter yang digunakan merupakan kemiringan lereng dan jenis tanah.

56
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1. Berdasarkan hubungan antara parameter dengan kejadian bencana tanah longsor
menggunakan pemodelan RF, didapatkan persentase nilai kepentingan untuk masing-
masing parameter faktor. Persentase kepentingan masing-masing parameter adalah
23,83% untuk Kemiringan Lereng, 17,27% untuk Jenis Tanah, 18,90% untuk Jenis
Batuan, 15,87% untuk Zona Kerentanan Gerakan Tanah, 20,57% untuk Penggunaan
Lahan dan 3,57% untuk Curah Hujan. Hal ini menunjukkan bahwa menurut model
tuning RF, faktor yang paling mempengaruhi terjadinya longsor di Kota Batu
merupakan Kemiringan Lereng dan faktor yang paling tidak mempengaruhi
merupakan Curah Hujan. Sementara untuk uji akurasi pemodelan yang dilakukan,
didapatkan hasil yang baik dengan persentase akurasi sebesar 89,81%, nilai Kappa
0,6896, dan nilai area dibawah ROC 0,93269.
2. Berdasarkan prediksi untuk peta kerawanan longsor yang telah dilakukan, didapatkan
tiga tingkatan untuk kerawanan longsor di Kota Batu dengan luas masing-masing
tingkatan untuk Rendah, Sedang dan Tinggi secara berturut-turut sebesar 15448,32 Ha
(77,75%), 1347,05 Ha (6,78%) dan 3073,14 Ha (15,47%). Tingkat Tinggi tersebar di
dua puluh tiga desa di Kota Batu yaitu pada Kecamatan Batu terdapat di Desa
Sidomulyo, Sumberejo, Songgokerto, Pesanggrahan, Sisir, Ngaglik, Temas, dan Oro-
Oro Ombo, pada Kecamatan Junrejo terdapat di Desa Torongrejo, Beji, Pendem,
Mojorejo, Junrejo, Dadaprejo, dan Tlekung, sementara pada Kecamatan Bumiaji
terdapat di Desa Tulungrejo, Sumbergondo, Bulukerto, Bumiaji, Giripurno,
Pandanrejo, Punten dan Gunungsari.
3. Berdasarkan analisis yang telah dilakukan dalam membandingkan terhadap peta
kerawanan longsor BPBD Kota Batu tahun 2019, didapatkan masing-masing luas dan
persentase perbandingan setiap tingkatan. Untuk tingkat Rendah memiliki perbedaan
luas sebesar 5115,379 Ha dengan persentase perbedaan sebesar 49,506%, untuk
tingkat sedang memiliki perbedaan luas sebesar 3826,995 Ha (73,965%), sedangkan
untuk tingkat tinggi memiliki perbedaan luas sebesar 1287,875 Ha (29,532%). Dari
kedua peta tersebut didapatkan total persentase perbedaan sebesar 51,491%.

5.2 Saran
Dari penelitian yang telah dilakukan, penelitian ini telah mencapai beberapa acuan.
Walaupun demikian, masih ada beberapa permasalahan yang belum mampu terselesaikan dan
dapat menjadi pengembangan di penelitian selanjutnya. Beberapa saran yang dapat disebutkan
dari penulis adalah sebagai berikut.
1. Hasil prediksi dapat disajikan ke dalam tampilan peta dengan menerapkan WEBGIS
pada pengembangan di penelitian selanjutnya.
2. Daerah rawan longsor banyak terjadi di daerah dengan kemiringan lereng datar, tidak
sesuai dengan kriteria longsor yang pernah ada pada penelitian sebelumnya. Maka

57
perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor lain yang menyebabkan
terjadinya longsor di Kota Batu.
3. Perekaman data oleh BPBD mengenai kejadian bencana longsor sebagian besar dari
laporan warga yang tempat tinggalnya terdampak, sehingga data titik kejadian
memusat di permukiman. Maka perlu dilakukan pengembangan yang dapat mengatasi
suatu masalah tersebut agar persebaran data merata.

58
DAFTAR PUSTAKA

Abedini, M.J., dan Nasseri, M. (2009). Inverse Distance Weighting Revisited Analytical
Hydrology View Project Climate Change Policy for Iran View project. Fourth
Conference of Asia Pacific Association of Hydrology and Water Resources.
Agus, F., A. Adimiharja, dan S. Hardjowigeno. (2004). Tanah Sawah dan Teknologi
Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor.
Andrian, Supriadi, dan Marpaung P., Juni. (2014). Pengaruh Ketinggian Tempat Dan
Kemiringan Lereng Terhadap Produksi Karet (Hevea brasiliensis) Di Kebun Hapesong
Ptpn Iii Tapanuli Selatan. Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian USU,
Medan.
Arifin, S., Carolila, I., Winarso, G. (2006). Implementasi Penginderaan Jauh dan SIG untuk
Inventarisasi Daerah Rawan Bencana Longsor (Propinsi Lampung). Jurnal
Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Digital, 3 (1), 77-86.
Arsyad, S. (1998). Konservasi Tanah dan Air. Bogor : IPB Press.
BNPB. (2012). Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) No. 02
Tahun 2012 Tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB). Jakarta.
Bowles, J. E. (1984). Sifat-Sifat Fisis Dan Geoteknis. Tanah (Mekanika Tanah). Jakarta.
Breiman, L. (2001). Random Forests. Machine Learning 45, 5–32.
C, Kubal & Haase, Dagmar & V, Meyer & Scheuer, Sebastian. (2009). Integrated urban flood
risk assessment - Adapting a multicriteria approach to a city. Natural Hazards and Earth
System Sciences.
Das, S., & Nene, M. J. (2017). A survey on types of machine learning techniques in intrusion
prevention systems. 2017 International Conference on Wireless Communications,
Signal Processing and Networking (WiSPNET), 2296–2299.
https://doi.org/10.1109/WiSPNET.2017.8300169
Dou, J., Yunus, A. P., Tien Bui, D., Merghadi, A., Sahana, M., Zhu, Z., Chen, C.-W., Khosravi,
K., Yang, Y., & Pham, B. T. (2019). Assessment of Advanced Random Forest
and Decision Tree Algorithms for Modeling Rainfall-Induced Landslide Susceptibility
in The Izu-Oshima Volcanic Island, Japan. Elsevier, 662, 332–346.
Dwiasnati, Saruni & Yudo Devianto. (2021). Optimasi Prediksi Bencana Banjir menggunakan
Algoritma SVM untuk penentuan Daerah Rawan Bencana Banjir. Prosiding
SISFOTEK, 5(1), 202 - 207.
Ellis K, Kerr J, Godbole S, Lanckriet G, Wing D, Marshall S. (2014). A random forest classifier
for the prediction of energy expenditure and type of physical activity from wrist and hip
accelerometers. Physiol Meas.
Fiantis, Dian. (2017). Morfologi dan Klasifikasi Tanah. Universitas Andalas. Padang.

59
Hardiyatmo, H.C. (2006). Mekanika Tanah I, Edisi keempat. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.
Hasugian, Putri Ester. (2016). Studi Identifikasi Daerah Rawan Longsor Menggunakan Foto
Udara dengan Parameter Kemiringan Lereng dan Tutupan Lahan (Studi Kasus :
Kecamatan Anyar, Kabupaten Serang, Banten). Undergraduate thesis. Institut
Teknologi Sepuluh Nopember.
Huiwen Li, Rui Liu, Jingchun Xie, & Zili Lai. (2015). Random forests methodology to analyze
landslide susceptibility: An example in Lushan earthquake. 2015 23rd International
Conference on Geoinformatics, 1–6.
Insanilah, Satria Mulya. (2015). Implementasi Algoritma Support Vector Machine (SVM) Untuk
Penentuan Potensi Bencana Tsunami Akibat Gempa Bumi. Sarjana thesis, Universitas
Brawijaya.
Isneni, A. N., Putranto, T. T., & Trisnawati, D. (2020). Analisis Sebaran Daerah Rawan
Longsor Menggunakan Remote Sensing dan Analytical Hierarchy Process (AHP) di
Kabupaten Magelang Provinsi Jawa Tengah. Jurnal Geosains dan Teknologi, 3(3), 149-
160.
Karnawati, D. (2001). Bencana Alam Gerakan Tanah Indonesia Tahun 2000 (Evaluasi dan
Rekomendasi). Yogyakarta: Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada.
Khafid, Mohammad Abdul. (2019). Analisis Penentuan Zonasi Pemukiman Risiko Bencana
Tanah Longsor Berbasis Sistem Informasi Geografis: Studi Kasus Kecamatan
Gedangsari, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Universitas
Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta.
Kim, Jeong-Cheol & Lee, Sunmin & Jung, Hyung-Sup & Lee, Saro. (2017). Landslide
Susceptibility Mapping using Random Forest and Boosted Tree Models in Pyeong-
Chang, Korea. Geocarto International. 33. 1-35. 10.1080/10106049.2017.1323964.
Kleinberg, Jon. (2000). Navigation in a small world. Nature 406, 845. Nature. 406. 845.
Lee, Deuk-Hwan, Yun-Tae Kim, and Seung-Rae Lee. (2020). Shallow Landslide Susceptibility
Models Based on Artificial Neural Networks Considering the Factor Selection Method
and Various Non-Linear Activation Functions. Remote Sensing 12, no. 7: 1194.
Li, X. and Yeh, A.G.O. (2002). Neural-Network-Based Cellular Automata for Simulating
Multiple Land Use Changes Using GIS. International Journal of Geographical
Information Science, 16, 323-243.
Liparas, Dimitris & HaCohen-Kerner, Yaakov & Moumtzidou, Anastasia & Vrochidis,
Stefanos & Kompatsiaris, Ioannis. (2014). News Articles Classification Using Random
Forests and Weighted Multimodal Features. LNCS.
Liu, CL., Lee, CH. (2008). Simplify Multi-valued Decision Trees. In: Kang, L., Cai, Z., Yan,
X., Liu, Y. (eds) Advances in Computation and Intelligence. ISICA 2008. Lecture Notes
in Computer Science, vol 5370. Springer, Berlin, Heidelberg.

60
Lubis, R.A., Rusdi, M., Basri, H. (2018). Pemetaan Tingkat Kerawanan Longsor Berdasarkan
Curah Hujan dan Geologi Menggunakan Metode Fuzzy Logic Di Kecamatan Leupung
Kabupaten Aceh Besar.
Malingreau, Jean Paul. (1977). Apropose Land Cover/Land Use Classification and its Use with
Reomte Sensing Data in Indonesia. The Indonesian Journal of Geography, No. 33,Vol
7. Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta.
Martono. (2004). Pengaruh Intensitas Hujan dan Kemiringan Lereng terhadap Laju
Kehilangan Tanah pada Tanah Regosol Kelabu. Universitas Diponegoro Semarang.
Semarang.
Muntohar, A.S. (2005). Geotechnical Properties of Rice Husk Ash Enhanced Lime-Stabilized
Expansive Clay. Jurnal Media Komunikasi Teknik Sipil, Volume 13, Nomor 3, pp. 36-
47
N, Rahula & Aryaguna, Prama. (2012). Prediksi Potensi Bencana Banjir dengan menggunakan
Metode Decision tree di DAS Segoro Anakan Cilacap. Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Nandi. (2007). Longsor. Jurusan Pendidikan Geografi. Bandung. FPIPS-UPI.
Nugroho, D.D., & Nugroho, H. (2020). Analisis Kerentanan Tanah Longsor Menggunakan
Metode Frequency Ratio di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.
Prasindya, P., Hariyanto, T., & Kurniawan, A. (2020). Analisis Potensi Tanah Longsor
Menggunakan Sistem Informasi Geografis dan Analytical Hierarchy Process (AHP)
(Studi Kasus: Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi).
Primartha, R. (2018). Belajar Machine Learnig Teori dan Praktik. Informatika Bandung.
Purnama, Aditya Yoga. (2016). Interpretasi Bawah Permukaan Zona Kerentanan Longsor di
Desa Gerbosari, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulonprogo Menggunakan Metode
Geolistrik Konfigurasi Dipole-pole. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Rahmayanti, Reny. (2010). Analisis Pemilihan Supplier Menggunakan MetodeAnalytical
Hierarchy Process (AHP) Studi Kasus Pada PT. Cazikhal. Surakarta: Fakultas Ekonomi
Universitas Sebelas Maret.
Rayes, Luthfi M. (2007). Metode Investarisasi Sumber Daya Alam. Andi. Yogyakarta.
Rwabudandi, I & Nyiransabimana, M. (2019). Landslides hazards assessment using
geographic information system and remote sensing: Gakenke District. IOP Conference
Series: Earth and Environmental Science.
Saragih, Sylvia Hartati. (2013). Penerapan Metode Analitycal Hierarchy Process pada Sistem
Pendukung Keputusan Pemilihan Laptop. Vol IV. Pelita Informatika Budi Darma.
Medan. Hal 83.
Sasongko, Aji dkk. (2017). Pemilihan Karyawan Baru Dengan Metode AHP (Analytic
Hierarchy Process. Fakultas Ilmu Komputer dan Teknologi Informasi Universitas
Mulawarman.

61
Silvianugroho, S., Prasetyo, S., & Hartomo, K. (2019). Penentuan Wilayah Resiko Bencana
Kekeringan di Jawa Tengah Menggunakan Machine Learning dan Indeks Vegetasi
pada Citra Landsat 8 OLI. Indonesian Journal of Computing and Modeling, 2(2), 17-
24.
Siregar, Octavina Yenni. (2021). Implementasi Algoritma Random Forest Untuk Prediksi
Tanah Longsor Yang Dipicu Oleh Curah Hujan Di Wilayah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Fakultas Teknik Industri Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”
Yogyakarta.
Somvanshi, M., & Chavan, P. (2016). A review of machine learning techniques using decision
tree and support vector machine. 2016 International Conference on Computing
Communication Control and Automation (ICCUBEA), 1–7.
Sriyono, Agus. (2012). Identifikasi Kawasan Rawan Bencana Longsor Kecamatan Banyubiru,
Kabupaten Semarang. Universitas Negeri Semarang.
Sutikno. (2000). Penyuluhan Bencana Alam Gerakan Tanah. Direktorat Geologi Tata
Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Bandung.
Thornbury WD. (1969). Principles of Geomorphology Second Edition. New York: John Wiley
and Sons, Inc.
Thupae, R., Isong, B., Gasela, N., & Abu-Mahfouz, A. M. (2018). Machine learning techniques
for traffic identification and classification in SDWSN: A survey. IEEE.
Tien Bui, D., Pradhan, B., Lofman, O., & Revhaug, I. (2012). Landslide Susceptibility
Assessment in Vietnam Using Support Vector Machines, Decision Tree, and Naïve
Bayes Models. Mathematical Problems in Engineering, 2012, 1–26.
Tin Kam Ho. (1995). Random decision forests. Proceedings of 3rd International Conference on
Document Analysis and Recognition. pp. 278-282 vol.1.
Triatmodjo, Bambang. (2008). Hidrologi Terapan. Beta Offset, Yogyakarta.
UNDP. (2012). Making Aceh Safer Through Disaster Risk Reduction in Development (DRR-
A). Panduan: Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas. United Nations
Development Programme and Government ofIndonesia.
Utomo, Kresno Sastro Bangun. (2020). Integrasi model certainty factor dan ann untuk
pemetaan kerawanan tanah longsor (studi kasus: DAS Bendo, Kabupaten Banyuwangi).
Diploma thesis, Universitas Negeri Malang.
Varnes, D. J. (1958). Landslide Types and Processes. Landslides and Engineering Practice, 24,
20-47.
Vercellis, C. (2009). Business Intelligence: Data Mining and Optimization for Decision
Making. Wiley, New York, 1-420.
Verhoef, P.N.W. (1994). Geologi Untuk Teknik Sipil. PT. Erlangga. Jakarta.

62
Wanto, A., Defit, S., & Perdana Windarto, A. (2021). Algoritma Fungsi Perlatihan pada
Machine Learning berbasis ANN untuk Peramalan Fenomena Bencana. Jurnal RESTI
(Rekayasa Sistem Dan Teknologi Informasi), 5(2), 254 - 264.
Youssef, ِDr. Ahmed & Pourghasemi, Hamid. (2020). Landslide susceptibility mapping using
machine learning algorithms and comparison of their performance at Abha Basin, Asir
Region, Saudi Arabia. Geoscience Frontiers. 12. 10.1016/j.gsf.2020.05.010.
Zaruba Q and Vojtech M. (1982). Landslides And Their Control. Amsterdam: Elsevier
Scientific Publishing Company

63
“Halaman ini sengaja dikosongkan”

64
LAMPIRAN

Lampiran 1. Script Random Forest


####################
#### 1 Data prepration ---------------------------------------------------------
######################

path=readClipboard()
setwd(path)
getwd() # for checking
.libPaths("C:/Users/Intanicha/Documents/Tugas/Semester 7/TA/Tanah Longsor/Data/Coba")

# Install packages
#install.packages("RStoolbox") # Image analysis & plotting spatial data
library(rgdal) # spatial data processing
library(raster) # raster processing
library(plyr) # data manipulation
library(dplyr) # data manipulation
library(RStoolbox) # Image analysis & plotting spatial data
library(RColorBrewer) # color
library(ggplot2) # plotting
library(sp) # spatial data
library(caret) # machine laerning
library(doParallel) # Parallel processing
library(e1071) # Naive Bayes
library(randomForest)
library(caTools)

# Import training and testing data ----


list.files( pattern = "csv$", full.names = TRUE)
# 2-1 Training Data -------------------------------------------------

data_train <- read.csv("./training RF.csv", header = T)


data_train <-(na.omit(data_train))
data_train <-data.frame(data_train) # to remove the unwelcomed attributes

# Dealing with Categorial data (Converting numeric variable into groups in R)

zkgt <-cut(data_train$ZKGT, seq(1,6,1), right=FALSE, labels=c("a","b","c","d","e"))


table(zkgt)
class(zkgt) # double check if not a factor
zkgt <- factor(zkgt)

# Dealing with Categorial data


flags = data.frame(Reduce(cbind,lapply(levels(zkgt),function(x){(zkgt == x)*1})
))
names(flags) = levels(zkgt)

65
# Remove the original ZKGT data
#data_train <- data_train[,-2]

# Guna Lahan setting


gunalahan <-cut(data_train$GunaLahan, seq(1,6,1), right=FALSE,
labels=c("l1","l2","l3","l4","l5"))
table(gunalahan)
class(gunalahan) # double check if not a factor
gunalahan <- factor (gunalahan)

# Dealing with Categorial data


flags1 = data.frame(Reduce(cbind,lapply(levels(gunalahan),function(x){(gunalahan == x)*1})
))
names(flags1) = levels(gunalahan)

# Remove the original landcover and aspect data


#data_train <- data_train[,-5] # to remove landcover

# Jenis Tanah setting


jenistanah <-cut(data_train$JenisTanah, seq(1,6,1), right=FALSE,
labels=c("t1","t2","t3","t4","t5"))
table(jenistanah)
class(jenistanah) # double check if not a factor
jenistanah <- factor(jenistanah)
# Dealing with Categorial data
flags2 = data.frame(Reduce(cbind,lapply(levels(jenistanah),function(x){(jenistanah == x)*1})
))
names(flags2) = levels(jenistanah)

# Remove the original landcover and aspect data


#data_train <- data_train[,-4] # to remove landcover

# Jenis Batu setting


jenisbatu <-cut(data_train$JenisBatuan, seq(1,7,1), right=FALSE,
labels=c("b1","b2","b3","b4","b5","b6"))
table(jenisbatu)
class(jenisbatu) # double check if not a factor

# Dealing with Categorial data


flags3 = data.frame(Reduce(cbind,lapply(levels(jenisbatu),function(x){(jenisbatu == x)*1})
))
names(flags3) = levels(jenisbatu)

# Curah Hujan setting


curahhujan <-cut(data_train$CurahHujan, seq(1,6,1), right=FALSE,
labels=c("c1","c2","c3","c4","c5"))
table(curahhujan)

66
class(curahhujan) # double check if not a factor
curahhujan <- factor(curahhujan)
# Dealing with Categorial data
flags4 = data.frame(Reduce(cbind,lapply(levels(curahhujan),function(x){(curahhujan ==
x)*1})
))
names(flags4) = levels(curahhujan)

# Slope setting
slope <-cut(data_train$Slope, seq(1,6,1), right=FALSE, labels=c("s1","s2","s3","s4","s5"))
table(slope)
class(slope) # double check if not a factor
slope <- factor(slope)
# Dealing with Categorial data
flags5 = data.frame(Reduce(cbind,lapply(levels(slope),function(x){(slope == x)*1})
))
names(flags5) = levels(slope)

# Count the number of 1 and 0 elements with the values of dependent vector
as.data.frame(table(data_train$Training))
data_train <- subset (data_train, select = -c(2:7))

# Normalization
maxs <- apply(data_train, 2, max)
mins <- apply(data_train, 2, min)
scaled_train <- as.data.frame(scale(data_train, center = mins, scale = maxs - mins))
scaled_t <-scaled_train
scaled_t$Training <- ifelse(scaled_t$Training == 1, "yes","no")

#COMBINE FLAGS KATEGORICAL DATA


data_train = cbind(data_train, flags)
data_train = cbind(data_train, flags1)
data_train = cbind(data_train, flags2)
data_train = cbind(data_train, flags3)
data_train = cbind(data_train, flags4)
data_train = cbind(data_train, flags5)
scaled_t = cbind(scaled_t, flags)
scaled_t = cbind(scaled_t, flags1)
scaled_t = cbind(scaled_t, flags2)
scaled_t = cbind(scaled_t, flags3)
scaled_t = cbind(scaled_t, flags4)
scaled_t = cbind(scaled_t, flags5)
scaled_train = cbind(scaled_train, flags)
scaled_train = cbind(scaled_train, flags1)
scaled_train = cbind(scaled_train, flags2)
scaled_train = cbind(scaled_train, flags3)
scaled_train = cbind(scaled_train, flags4)
scaled_train = cbind(scaled_train, flags5)

67
# 2-2 Testing Data --------------------------------------------------------

data_test <- read.csv("./testing RF.csv", header = T)


data_test <-na.omit(data_test)
data_test <-data.frame(data_test)
str(data_test)
as.data.frame(table(data_test$Testing))

# Fix the categorial factor


zkgt<-cut(data_test$ZKGT, seq(1,6,1), right=FALSE, labels=c("a","b","c","d","e"))
table(zkgt)

# Dealing with Categorial data


zkgt <- factor(zkgt)
flagse = data.frame(Reduce(cbind,
lapply(levels(zkgt), function(x){(zkgt == x)*1})
))
names(flagse) = levels(zkgt)

# jenis tanah setting


jenistanah <-cut(data_test$JenisTanah, seq(1,6,1), right=FALSE,
labels=c("t1","t2","t3","t4","t5"))
table(jenistanah)
class(jenistanah) # double check if not a factor

# Dealing with Categorial data


jenistanah <- factor(jenistanah)
flagse2 = data.frame(Reduce(cbind,lapply(levels(jenistanah),function(x){(jenistanah ==
x)*1})
))
names(flagse2) = levels(jenistanah)

# Landcover setting
gunalahan <-cut(data_test$GunaLahan, seq(1,6,1), right=FALSE,
labels=c("l1","l2","l3","l4","l5"))
table(gunalahan)
class(gunalahan) # double check if not a factor

# Dealing with Categorial data


gunalahan <- factor(gunalahan)
flagse1 = data.frame(Reduce(cbind,lapply(levels(gunalahan),function(x){(gunalahan ==
x)*1})
))
names(flagse1) = levels(gunalahan)

# jenis batu setting

68
jenisbatu <-cut(data_test$JenisBatuan, seq(1,7,1), right=FALSE,
labels=c("b1","b2","b3","b4","b5","b6"))
table(jenisbatu)
class(jenisbatu) # double check if not a factor

# Dealing with Categorial data


jenisbatu <- factor(jenisbatu)
flagse3 = data.frame(Reduce(cbind,lapply(levels(jenisbatu),function(x){(jenisbatu == x)*1})
))
names(flagse3) = levels(jenisbatu)

# curah hujan setting


curahhujan <-cut(data_test$CurahHujan, seq(1,6,1), right=FALSE,
labels=c("c1","c2","c3","c4","c5"))
table(curahhujan)
class(curahhujan) # double check if not a factor

# Dealing with Categorial data


flagse4 = data.frame(Reduce(cbind,lapply(levels(curahhujan),function(x){(curahhujan ==
x)*1})
))
names(flagse4) = levels(curahhujan)
flagse4 <- subset(flagse4, select = -c(1:2))

# slope setting
slope <-cut(data_test$Slope, seq(1,6,1), right=FALSE, labels=c("s1","s2","s3","s4","s5"))
table(slope)
class(slope) # double check if not a factor

# Dealing with Categorial data


slope <- factor(slope)
flagse5 = data.frame(Reduce(cbind,lapply(levels(slope),function(x){(slope == x)*1})
))
names(flagse5) = levels(slope)

data_test <- subset (data_test, select = -c(2:7))

# Match the columns position for all the input data


#head(data_train,1)
#head(data_test,1)
#colnames(data_test)[3] <- "SlOPE" # Match the columns names

#data_test <- data_testN[,c(1,2,3,4,5,6,7,9,8)] Used to re-arrange the columns


# Scale the data
maxs <- apply(data_test, 2, max)
mins <- apply(data_test, 2, min)
scaled_test <- as.data.frame(scale(data_test, center = mins, scale = maxs - mins))
scaled_tst <-scaled_test
scaled_tst$Testing <- ifelse(scaled_tst$Testing == 1, "yes","no")

69
#COMBINE FLAGS KATEGORICAL DATA
data_test = cbind(data_test, flagse)
data_test = cbind(data_test, flagse1)
data_test = cbind(data_test, flagse2)
data_test = cbind(data_test, flagse3)
data_test = cbind(data_test, flagse4)
data_test = cbind(data_test, flagse5)
scaled_tst = cbind(scaled_tst, flagse)
scaled_tst = cbind(scaled_tst, flagse1)
scaled_tst = cbind(scaled_tst, flagse2)
scaled_tst = cbind(scaled_tst, flagse3)
scaled_tst = cbind(scaled_tst, flagse4)
scaled_tst = cbind(scaled_tst, flagse5)
scaled_test = cbind(scaled_test, flagse)
scaled_test = cbind(scaled_test, flagse1)
scaled_test = cbind(scaled_test, flagse2)
scaled_test = cbind(scaled_test, flagse3)
scaled_test = cbind(scaled_test, flagse4)
scaled_test = cbind(scaled_test, flagse5)

# Create one file contain all data


names(scaled_tst)
scaled_tst$Longsor=scaled_tst$Testing
names(scaled_t)
scaled_t$Longsor=scaled_t$Training

#Menghilangkan Missing Data (NA - Not Available)


scaled_tst <- na.omit(scaled_tst)
scaled_t <- na.omit(scaled_t)
summary(scaled_t)
summary(scaled_tst)

All_incidents <- merge(scaled_tst[,-1], scaled_t[,-1], all=TRUE)


All_incidents <- na.omit (All_incidents)
str(All_incidents)
All_incidents <- All_incidents[,c(24,1:23)] # re-order columns
#All_incidents <- All_incidents[-21]
scaled_tst$Longsor= NULL # remove banjir column
scaled_t$Longsor=NULL # remove banjir column

##### to predict which variable would be the best one for splitting the Decision Tree, plot a
graph that represents the split for each of the 9 variables, ####

#Creating seperate dataframe for '"LevelsAve" features which is our target.


#number.perfect.splits <- apply(X=All_incidents[,c(-1)], MARGIN = 2, FUN = function(col){
# t <- table(All_incidents$Longsor,col)

70
#sum(t == 0)})

# Descending order of perfect splits


#order <- order(number.perfect.splits,decreasing = TRUE)
#number.perfect.splits <- number.perfect.splits[order]

# Plot graph
#par(mar=c(10,2,2,2))
#barplot(number.perfect.splits,main="Number of perfect splits vs
feature",xlab="",ylab="Feature",las=3,col="wheat") # Slope and SPI are the best classifiers

#Step 2: Data Visualization

data_train2=data_train
data_train2$Training <- ifelse(data_train2$Training == 1, "yes","no")
data_test2=data_test
data_test2$Testing <- ifelse(data_test2$Testing == 0, "no","yes")

#data_train2 <- na.omit(data_train2)


#data_test2 <- na.omit(data_test2)
summary(data_train2)
summary(data_test2)

# Create one file contain all data


data_test2$Longsor=data_test2$Testing
data_train2$Longsor=data_train2$Training

All_incidents_orginal <- merge(data_train2[,-1,-25], data_test2[,-1,-25],all=TRUE) #Full outer


join: To keep all rows from both data frames, specify all=TRUE.
https://www.dummies.com/programming/r/how-to-use-the-merge-function-with-data-sets-in-
r/
#All_incidents_2orginal <- merge(data_train2[,-1,-35], data_test2[,-1,-35],all=FALSE)
#All_incidents_orginal <- merge(All_incidents_1orginal,All_incidents_2orginal,all=TRUE)
str(All_incidents_orginal)
All_incidents_orginal <- All_incidents_orginal [,c(24,1:23)] # re-order columns
#All_incidents_orginal <- All_incidents_orginal[-21]
#Menghilangkan Missing Data (NA - Not Available)
All_incidents_orginal <- na.omit(All_incidents_orginal)
summary(All_incidents_orginal)

######################
#### 2 Modeling ---------------------------------------------------------
######################

# Step 1) Default settings

71
# Define the control
trControl <- trainControl(method='repeatedcv',
repeats=3,
number = 10,
search = "grid")

set.seed(1234)
# Run the model
rf_defaultN <- train(Training~.,
data=scaled_t,
method = "rf",
metric = "Accuracy",
trControl = trControl)
# Print the results
print(rf_defaultN)
plot(rf_defaultN)
rf_defaultN$finalModel # Results mtry=11 Number of trees: 500
rf_defaultN$results

# Step 2) Search best mtry

set.seed(1234)
tuneGrid <- expand.grid(.mtry = c(2: 23))
rf_mtry <- train(Training~.,
data=scaled_t,
method = "rf",
metric = "Accuracy",
tuneGrid = tuneGrid,
trControl = trControl,
importance = TRUE,
nodesize = 14,
ntree = 500)
print(rf_mtry)
rf_mtry$bestTune$mtry
#You can store it and use it when you need to tune the other parameters.
max(rf_mtry$results$Accuracy)
best_mtry <- rf_mtry$bestTune$mtry
best_mtry

# Step 3) Search the best maxnodes SKIP

#store_maxnode <- list()


#tuneGrid <- expand.grid(.mtry = best_mtry)
#for (maxnodes in c(5: 30)) {
#set.seed(1234)
#rf_maxnode <- train(Training~.,
# data=scaled_t,

72
#method = "rf",
# metric = "Accuracy",
#tuneGrid = tuneGrid,
# trControl = trControl,
# importance = TRUE,
#nodesize = 14,
# maxnodes = maxnodes,
# ntree = 500)
# current_iteration <- toString(maxnodes)
#store_maxnode[[current_iteration]] <- rf_maxnode
#}
#results_mtry <- resamples(store_maxnode)
#summary(results_mtry)

#You have your final model. You can train the random forest with the following parameters:

# ntree =default (500) trees will be trained


# mtry=5: 5 features is chosen for each iteration

fit_rf_final <- train(Training~.,


data=scaled_t,
method = "rf",
metric = "Accuracy",
tuneGrid = tuneGrid,
trControl = trControl,
importance = TRUE
)

fit_rf_final
print(fit_rf_final)
varImp(fit_rf_final)
plot(varImp(fit_rf_final), main="RF tuned model")

# Step 5) Evaluate the model


p1_final<-predict(fit_rf_final, scaled_tst[,c(-1)], type = "raw")
confusionMatrix(p1_final, as.factor(scaled_tst$Testing)) # using more deep tree, the accuracy
linearly increases!

#Random search#####
#Caret can provide for you random parameter if you do not declare for them.
control <- trainControl(method='repeatedcv',
number=10,
repeats=3,
search = 'random')

#Random generate 15 mtry values with tuneLength = 15

73
set.seed(1)
rf_random <- train(Training~.,
data=scaled_t,
method = 'rf',
metric = 'Accuracy',
trControl = control,
importance = TRUE)
print(rf_random)
varImp(rf_random)
plot(varImp(rf_random))
plot(rf_random)

# Evaluate the model


p1_random<-predict(rf_random, scaled_tst[,c(-1)], type = "raw")
confusionMatrix(p1_random, as.factor(scaled_tst$Testing)) # using more deep tree, the
accuracy linearly increases!

# To save any plot


# 1. Open jpeg file
#jpeg("varImportance RF.jpg", width = 800, height = 500)
# 2. Create the plot
#plot(X.rf,main="varImportanceAll RF" )
# 3. Close the file
#dev.off()

# Step 3 Plot ROC curves


# https://stackoverflow.com/questions/46124424/how-can-i-draw-a-roc-curve-for-a-
randomforest-model-with-three-classes-in-r
library(pROC)
#install.packages("pROC")
# the model is used to predict the test data. However, you should ask for type="prob" here
predictions1 <- as.data.frame(predict(rf_random, scaled_test, type = "prob"))

## Since you have probabilities, use them to get the most-likely class.
# predict class and then attach test class
predictions1$predict <- names(predictions1)[1:2][apply(predictions1[,1:2], 1, which.max)]
predictions1$observed <- as.factor(scaled_tst$Testing)
head(predictions1)

# Now, let's see how to plot the ROC curves. For each class, convert the multi-class problem
into a binary problem. Also,
# call the roc() function specifying 2 arguments: i) observed classes and ii) class probability
(instead of predicted class).
# 1 ROC curve, Moderate, Good, UHeal vs non Moderate non Good non UHeal
roc.yes <- roc(ifelse(predictions1$observed=="yes","no-yes","yes"),
as.numeric(predictions1$yes))
roc.no <- roc(ifelse(predictions1$observed=="no","no-no", "no"),
as.numeric(predictions1$no))

74
plot(roc.no, col = "green", main="RF best tune prediction ROC plot using testing data",
xlim=c(0.44,0.1))
lines(roc.yes, col = "red")

# calculating the values of AUC for ROC curve


results= c("Yes AUC" = roc.yes$auc) #,"No AUC" = roc.no$auc)
print(results)
legend("topleft",c("AUC = 0.932691 "),fill=c("red"),inset = (0.42))

#Important note: In previous course (Prediction using ANN "regression") prediction rate = 0.80
using .

set.seed(849)
fit.rfAll<- train(Longsor~.,
data=All_incidents,
method = "rf",
metric = "Accuracy",
trControl = control,
importance = TRUE)

X.rfAll = varImp(fit.rfAll)
plot(X.rfAll)

# Plot graph
# 1. Open jpeg file
jpeg("varImportance All RF.jpg", width = 800, height = 500)
# 2. Create the plot
plot(X.rfAll,main="varImportanceAll RF" )
# 3. Close the file
#dev.off()

# 6 Produce prediction map using Raster data ---------------------------


# 6-1 Import and process thematic maps ------------------------------------

# Import Raster
install.packages("raster")
install.packages("rgdal")
library(raster)
library(rgdal)

# Load the Raster data


curahhujan=raster("./raster parameter/curahhujan11.tif")
gunalahan=raster("./raster parameter/gunalahan.tif")
slope= raster("./raster parameter/slope.tif")
jenisbatu= raster("./raster parameter/jenisbatu.tif")
zkgt=raster("./raster parameter/zkgt.tif")
jenistanah=raster("./raster parameter/jenistanah.tif")

75
# check attributes and projection and extent
extent(curahhujan)
extent(gunalahan)
extent(slope)
extent(jenisbatu)
extent(zkgt)
extent(jenistanah)

# if you have diffrent extent, then try to Resample them using the smallest area
curahhujan_r <- resample(curahhujan,slope, resample='bilinear')
gunalahan_r <- resample(gunalahan,slope, resample='bilinear')
jenisbatu_r <- resample(jenisbatu,slope, resample='bilinear')
zkgt_r <- resample(zkgt,slope, resample='bilinear')
jenistanah_r <- resample(jenistanah,slope, resample='bilinear')

# if you have diffrent extent, then try to Resample them using the smallest area
curahhujan_r <- resample(curahhujan_r,gunalahan_r, resample='bilinear')
slope_r <- resample(slope,gunalahan_r, resample='bilinear')
jenisbatu_r <- resample(jenisbatu_r,gunalahan_r, resample='bilinear')
zkgt_r <- resample(zkgt_r,gunalahan_r, resample='bilinear')
jenistanah_r <- resample(jenistanah_r,gunalahan_r, resample='bilinear')

extent(curahhujan_r)
extent(gunalahan_r)
extent(slope_r)
extent(jenisbatu_r)
extent(zkgt_r)
extent(jenistanah_r)

# write to a new geotiff file


# Create new folder in WD using manually or in R studio (lower right pan)
writeRaster(curahhujan_r,filename="resampled/curahhujan.tif", format="GTiff",
overwrite=TRUE)
writeRaster(gunalahan_r,filename="resampled/gunalahan.tif", format="GTiff",
overwrite=TRUE)
writeRaster(slope_r,filename="resampled/slope.tif", format="GTiff", overwrite=TRUE)
writeRaster(jenisbatu_r,filename="resampled/jenisbatu.tif", format="GTiff",
overwrite=TRUE)
writeRaster(zkgt_r,filename="resampled/zkgt.tif", format="GTiff", overwrite=TRUE)
writeRaster(jenistanah_r,filename="resampled/jenistanah.tif", format="GTiff",
overwrite=TRUE)

#Stack_List= stack(ASPECT_r,LS_r)#,pattern = "tif$", full.names = TRUE)


#names(Stack_List)
#Stack_List.df = as.data.frame(Stack_List, xy = TRUE, na.rm = TRUE)
#head(Stack_List.df,1)

76
## stack multiple raster files
Stack_List= list.files(path = "resampled/",pattern = "tif$", full.names = TRUE)
Rasters=stack(Stack_List)

names(Rasters)
#rm(SPI)

# 6-1-1 Convert rasters to dataframe with Long-Lat -----------------------


#Convert raster to dataframe with Long-Lat
Rasters.df = as.data.frame(Rasters, xy = TRUE, na.rm = TRUE)
head(Rasters.df,1)

# Now:Prediction using imported Rasters

# check the varaibles names to match with training data


#colnames(Rasters.df)[4] <- "ElEVATION" # change columns names
#colnames(Rasters.df)[6] <- "SlOPE" # change columns names

#head(Rasters.df[,c(-9,-10)],1)
#head(nn.ce$covariate,1)

Rasters.df_N <- Rasters.df # remove x, y


Rasters.df_N <- Rasters.df[,c(-7,-8)] # remove x, y
summary(Rasters.df_N)

# 6-1-2 Dealing with Categorial data --------------------------------------

# Dealing with Categorial data (Converting numeric variable into groups in R)


gunalahanras<-cut(Rasters.df_N$gunalahan, seq(1,6,1), right=FALSE,
labels=c("l1","l2","l3","l4","l5"))
table(gunalahanras)

# Dealing with Categorial data


gunalahanras <- factor(gunalahanras)
flagsras = data.frame(Reduce(cbind,
lapply(levels(gunalahanras), function(x){(gunalahanras == x)*1})
))
names(flagsras) = levels(gunalahanras)
Rasters.df_N = cbind(Rasters.df_N, flagsras) # combine the ASPECTS with original data

# Remove the original Guna Lahan data


Rasters.df_N<- Rasters.df_N[,-2]
Rasters.df_N<- Rasters.df_N[,-7]
str(Rasters.df_N)
Rasters.df_N <- na.omit(Rasters.df_N)

77
# Dealing with Categorial data (Converting numeric variable into groups in R)
zkgtras<-cut(Rasters.df_N$zkgt, seq(1,6,1), right=FALSE, labels=c("a","b","c","d","e"))
table(zkgtras)

# Dealing with Categorial data


zkgtras <- factor(zkgtras)
flagsras1 = data.frame(Reduce(cbind,
lapply(levels(zkgtras), function(x){(zkgtras == x)*1})
))
names(flagsras1) = levels(zkgtras)
Rasters.df_N = cbind(Rasters.df_N, flagsras1) # combine the ZKGT with original data

# Remove the original ZKGT data


Rasters.df_N<- Rasters.df_N[,-5]
str(Rasters.df_N)

# Dealing with Categorial data (Converting numeric variable into groups in R)


chras<-cut(Rasters.df_N$curahhujan, seq(1,6,1), right=FALSE,
labels=c("c1","c2","c3","c4","c5"))
table(chras)

# Dealing with Categorial data


chras <- factor(chras)
flagsras2 = data.frame(Reduce(cbind,
lapply(levels(chras), function(x){(chras == x)*1})
))
names(flagsras2) = levels(chras)
Rasters.df_N = cbind(Rasters.df_N, flagsras2) # combine the ZKGT with original data

# Remove the original Curah Hujan data


Rasters.df_N<- Rasters.df_N[,-1]
str(Rasters.df_N)

# jenis batu

# Dealing with Categorial data (Converting numeric variable into groups in R)


jbras<-cut(Rasters.df_N$jenisbatu, seq(1,7,1), right=FALSE,
labels=c("b1","b2","b3","b4","b5","b6"))
table(jbras)

# Dealing with Categorial data


jbras <- factor(jbras)
flagsras3 = data.frame(Reduce(cbind,
lapply(levels(jbras), function(x){(jbras == x)*1})
))
names(flagsras3) = levels(jbras)
Rasters.df_N = cbind(Rasters.df_N, flagsras3) # combine the ZKGT with original data

78
# Remove the original jenis batu data
Rasters.df_N<- Rasters.df_N[,-1]
str(Rasters.df_N)

# jenis tanah

# Dealing with Categorial data (Converting numeric variable into groups in R)


jtras<-cut(Rasters.df_N$jenistanah, seq(1,6,1), right=FALSE,
labels=c("t1","t2","t3","t4","t5"))
table(jtras)

# Dealing with Categorial data

jtras <- factor(jtras)


flagsras4 = data.frame(Reduce(cbind,
lapply(levels(jtras), function(x){(jtras == x)*1})
))
names(flagsras4) = levels(jtras)
Rasters.df_N = cbind(Rasters.df_N, flagsras4)

# Remove the original Jenis Tanah data


Rasters.df_N<- Rasters.df_N[,-1]
Rasters.df_N<- Rasters.df_N[,-18]
str(Rasters.df_N)

# slope

# Dealing with Categorial data (Converting numeric variable into groups in R)


sloperas<-cut(Rasters.df_N$slope, seq(1,6,1), right=FALSE,
labels=c("s1","s2","s3","s4","s5"))
table(sloperas)

# Dealing with Categorial data


sloperas <- factor(sloperas)
flagsras5 = data.frame(Reduce(cbind,
lapply(levels(sloperas), function(x){(sloperas == x)*1})
))
names(flagsras5) = levels(sloperas)
Rasters.df_N = cbind(Rasters.df_N, flagsras5) # combine the ZKGT with original data

# Remove the original slope data


Rasters.df_N<- Rasters.df_N[,-1]
str(Rasters.df_N)
Rasters.df_N <- na.omit(Rasters.df_N)

79
summary(Rasters.df_N)

# 6-1-3 Scale the numeric variables --------------------------------------

maxss <- apply(Rasters.df_N, 2, max)


minss <- apply(Rasters.df_N, 2, min)
Rasters.df_N_scaled <- as.data.frame(scale(Rasters.df_N, center = minss, scale = maxss -
minss))

# PRODUCE PROBABILITY MAP


p3<-as.data.frame(predict(fit.rfAll, Rasters.df_N_scaled, type = "prob"))
summary(p3)
Rasters.df$Levels_yes<-p3$yes
Rasters.df$Levels_no<-p3$no

x<-SpatialPointsDataFrame(as.data.frame(Rasters.df)[, c("x", "y")], data = Rasters.df)


r_ave_yes <- rasterFromXYZ(as.data.frame(x)[, c("x", "y", "Levels_yes")])
proj4string(r_ave_yes)=CRS(projection(slope))

r_ave_no <- rasterFromXYZ(as.data.frame(x)[, c("x", "y", "Levels_no")])


proj4string(r_ave_no)=CRS(projection(slope))

# Plot Maps
spplot(r_ave_yes, main="SLIDES AREA using RF")
writeRaster(r_ave_yes,filename="Prediction_RF Slides area.tif", format="GTiff",
overwrite=TRUE)

spplot(r_ave_no, main="Non SLIDES AREA using RF")


writeRaster(r_ave_no,filename="Prediction_RF non Slides.tif", format="GTiff",
overwrite=TRUE)

80
Lampiran 2. Peta Batas Administrasi Kota Batu

81
Lampiran 3. Peta Tata Guna Lahan Bappelitbangda Kota Batu

82
Lampiran 3. Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah

83
Lampiran 4. Peta Jenis Tanah

84
Lampiran 5. Peta Jenis Batuan

85
Lampiran 6. Peta Kerawanan Longsor BPBD Kota Batu

86
Lampiran 7. Peta Kerawanan Longsor Kota Batu Dengan Pemodelan RF

87
“Halaman ini sengaja dikosongkan”

88
BIODATA PENULIS

Penulis, Intanicha Mahar Riestu, dilahirkan di Karanganyar, 7


September 2000, merupakan anak pertama dari 2 bersaudara.
Penulis telah menempuh pendidikan formal yaitu di TK Al-Huda
Batam, SDS Cendana Batam, SMPN 12 Batam dan SMAN 3
Batam. Setelah lulus dari SMAN 3 Batam tahun 2018, Penulis
mengikuti SNMPTN dan diterima di Departemen Teknik
Geomatika FTSPK - ITS pada tahun 2018 dan terdaftar dengan
NRP 03311840000012.
Di Departemen Teknik Geomatika Penulis sempat aktif di
beberapa kegiatan Seminar yang diselenggarakan oleh
Departemen dan aktif sebagai Ketua Biro Jurnalistik Himpunan Mahasiswa Geomatika ITS
(HIMAGE-ITS). Sebagai salah satu bentuk ketertarikan terhadap SIG, penulis melaksanakan
kerja praktik di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dalam mengembangkan
WebGIS dari instansi tersebut. Kemudian penulis melakukan penelitian tugas akhir dengan
judul “Analisis Daerah Rawan Longsor Menggunakan Implementasi Random Forest (Studi
Kasus: Kota Batu, Jawa Timur)” sebagai salah satu syarat menyelesakan jenjang pendidikan S-
1 Teknik Geomatika.

89

Anda mungkin juga menyukai