Anda di halaman 1dari 47

PROPOSAL TUGAS AKHIR

ANALISIS DIAGENESIS BATUGAMPING FORMASI


EEMOIKO DAERAH WATUMEREMBE KECAMATAN
PALANGGA, KABUPATEN KONAWE SELATAN, PROVINSI
SULAWESI TENGGARA

Disusun dan diajukan oleh:

AGUNG NUR IHSAN


D061191022

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN

GOWA
2023
PROPOSAL TUGAS AKHIR

ANALISIS DIAGENESIS BATUGAMPING FORMASI


EEMOIKO DAERAH WATUMEREMBE KECAMATAN
PALANGGA, KABUPATEN KONAWE SELATAN, PROVINSI
SULAWESI TENGGARA

Disusun dan diajukan oleh:

AGUNG NUR IHSAN


D061191022

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN

GOWA
2023

i
PROPOSAL TUGAS AKHIR

ANALISIS DIAGENESIS BATUGAMPING FORMASI


EEMOIKO DAERAH WATUMEREMBE KECAMATAN
PALANGGA, KABUPATEN KONAWE SELATAN, PROVINSI
SULAWESI TENGGARA

Disusun dan diajukan oleh:

AGUNG NUR IHSAN


D061191022

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana


Teknik Strata (S1) pada Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik
Universitas Hasanuddin

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN

GOWA
2023

ii
ANALISIS DIAGENESIS BATUGAMPING FORMASI
EEMOIKO DAERAH WATUMEREMBE KECAMATAN
PALANGGA, KABUPATEN KONAWE SELATAN, PROVINSI
SULAWESI TENGGARA

PROPOSAL TUGAS AKHIR

Makassar, November 2023

Disetujui oleh,
Dosen Pembimbing Penyusun

Dr. Ir. M. Fauzi Arifin, M. Si Agung Nur Ihsan


NIP. 19581203 198601 1 001 NIM. D061 19 1022

Ketua Departemen Teknik Geologi


Fakultas Teknik
Universitas Hasanuddin

Dr. Eng. Hendra Pachri, S.T., M.Eng


NIP. 19771214 200501 1 002

iii
GEOLOGI DAERAH WATUMEREMBE DAN SEKITARNYA
KECAMATAN PALANGGA KABUPATEN KONAWE
SELATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA

PROPOSAL PEMETAAN

Makassar, November 2023

Disetujui oleh,
Dosen Pembimbing Penyusun

Dr. Ir. M. Fauzi Arifin, M. Si Agung Nur Ihsan


NIP. 19581203 198601 1 001 NIM. D061 19 1022

Ketua Departemen Teknik Geologi


Fakultas Teknik
Universitas Hasanuddin

Dr. Eng. Hendra Pachri, S.T., M.Eng


NIP. 19771214 200501 1 002

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan amanat dan karunia-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan

Proposal Tugas Akhir yang berjudul “ANALISIS DIAGENESIS

BATUGAMPING FORMASI EEMOIKO DAERAH WATUMEREMBE

KECAMATAN PALANGGA, KABUPATEN KONAWE SELATAN,

PROVINSI SULAWESI TENGGARA” Pembuatan proposal ini merupakan

salah satu tahap dalam Tugas Akhir yang dimaksudkan untuk memenuhi salah

satu syarat kelulusan Matakuliah Tugas Akhir pada Departemen Teknik Geologi,

Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin.

Dalam penyusunan proposal ini, saya banyak mendapat bantuan dari

berbagai pihak yang berperan penting dalam proses penyusunan ini. Pada

kesempatan ini, tak lupa saya ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak,

di antaranya:

1. Bapak Dr. Eng. Hendra Pachri, S.T., M.Eng. selaku Ketua Departemen

Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Unversitas Hasanuddin.

2. Bapak Dr. Ir. Musri Mawaleda, M.T, selaku Dosen Penasihat Akademik.

3. Ibu Dr. Ir. Haerany Sirajuddin, M. T., selaku Dosen Pembimbing I.

4. Bapak dan Ibu Dosen Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik

Universitas Hasanuddin atas bimbingannya selama ini.

5. Bapak dan Ibu Staf Departemen Teknik Geologi Fakultas Teknik

Universitas Hasanuddin yang telah banyak membantu.

v
6. Kedua Orang Tua dan Keluarga tercinta yang telah memberikan dukungan

semangat, doa, hingga materil.

7. Seluruh warga Himpunan Mahasiswa Geologi FT-UH, Khususnya Teman

Angkatan Teknik Geologi 2019. Teman seperjuangan dalam segala cita dan

segala medan yang telah memberikan dukungan kepada penulis.

8. Pihak-pihak yang lain yang membantu dalam penyusunan Proposal ini.

Saya menyadari bahwa proposal ini masih terdapat berbagai macam

kekurangan, sehingga kritik maupun saran yang bersifat membangun sangat

diharapkan untuk menyempurnakan propsal ini. Akhir kata, saya mengucapkan

terima kasih dan semoga Proposal Tugas Akhir ini dapat bermanfaat bagi diri saya

dan orang lain yang membacanya.

Gowa, November 2023

Penulis

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.....................................................................................................

...................................i

HALAMAN TUJUAN...............................................................................................

HALAMAN PERMOHONAN.................................................................................

HALAMAN PENGESAHAN...................................................................................

KATA PENGANTAR...............................................................................................

DAFTAR ISI ............................................................................................................v

BAB I PENDAHULUAN...........................................................................................

1.1 Latar Belakang..................................................................................................

1.2 Maksud dan Tujuan...........................................................................................

1.3 Batasan Masalah...............................................................................................

1.4 Waktu dan Tempat Penelitian...........................................................................

1.5 Pembimbing......................................................................................................

BAB II TINJAUAN PUSTAKA…............................................................................

2.1. Geologi Regional..............................................................................................

2.1.1. Geomorfologi Regional...........................................................................

2.1.2. Stratigrafi Regional.................................................................................

2.1.3 Struktur Geologi Regional.......................................................................

2.2. Alterasi..............................................................................................................

2.2.1 Alterasi Hidrotermal...............................................................................

vii
2.3. Mineralisasi.....................................................................................................

2.4. Endapan Epitermal..........................................................................................

2.4.1 Endapan Sulfidasi Tinggi......................................................................

2.5. Endapan Porfiri...............................................................................................

2.6. Emas................................................................................................................

2.7. Klasifikasi Sumberdaya Mineral.....................................................................

BAB III METODE PENELITIAN..........................................................................

3.1. Metode Penelitian…… ...................................................................................

3.2. Tahapan Penelitian..........................................................................................

3.2.1 Tahapan Persiapan...............................................................................

3.2.2 Tahapan Penelitian Lapangan.............................................................

3.2.3 Tahapan Interpretasi dan Pengoloahan Data.......................................

3.2.4 Tahapan Penyusunan Laporan............................................................

3.3. Diagram Alir...................................................................................................

BAB IV PERENCANAAN WAKTU DAN BIAYA...............................................

4.1. Perencanaan Waktu.........................................................................................

4.2. Perencanaan Biaya..........................................................................................

BAB V PENUTUP ...................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................

LAMPIRAN

viii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahan baku mineral dan sumber daya energi telah memainkan peran penting

dalam dunia ekonomi (Milos K, 1986). Akibat permintaan bahan bijih tinggi,

kegiatan eksplorasi dan eksploitasi mineral bijih ini menjadi semakin meningkat.

Hal ini kemudian mendorong individu, perusahaan, dan yang paling penting Ahli

Geologi untuk mengambil risiko dan mendorong batas mereka di bidang

eksplorasi dan eksploitasi untuk pemaksimalan kedua kegiatan tersebut. Menurut

data United States Geological Survey (USGS), Indonesia menduduki peringkat

ketujuh sebagai negara yang memiliki cadangan mineral emas yaitu sekitar 2,3 %

dari cadangan mineral emas dunia (Umar, 2017).

Bahan galian emas merupakan salah satu dari bahan galian yang bersifat

vital bagi negara. Di pulau Jawa, terdapat beberapa daerah yang memiliki prospek

keberadaan emas dengan estimasi yang cukup besar salah satunya berlokasi di

Provinsi Jawa Timur yang kemudian dikelola oleh PT. Bumi Suksesindo. Faktor

yang mendukung keberadaan emas pada suatu area dipengaruhi oleh berbagai hal,

salah satunya ialah kondisi geologi. Keberadaan emas di alam banyak ditemukan

dalam bongkahan batuan dengan ciri berasosiasi dengan mineral seperti kalkopirit

(CuFeS2), kovelit (CuS), pirit (FeS2) dan kuarsa (SiO2). (Widyastuti, 2016).

ix
Estimasi sumber daya dan sebaran kadar mineralisasi bahan galian perlu

dilakukan pada setiap tahapan eksplorasi.

Tugas Akhir merupakan salah satu bentuk karya tulis ilmiah yang dibuat

oleh mahasiswa pada tahap akhir dari masa studinya. Tugas Akhir dibuat

berdasarkan hasil penelitian, kajian terhadap permasalahan yang diperoleh dari

pelaksanaan analisis lapangan dan pelaksanaan kerja praktik. Kegiatan tugas akhir

diharapkan dapat menjadi jembatan penghubung antara dunia pendidikan dengan

dunia industri sehingga dapat mewujudkan kerjasama yang menguntungkan kedua

belah pihak.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka hal tersebutlah yang melatar

belakangi penulis mengajukan permohonan Kerja Praktik dan Tugas Akhir di PT.

Bumi Suksesindo terkait identifikasi alterasi dan mineralisasi sumber daya

mineral pada area Tujuh Bukit.

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari penelitian tugas akhir ini adalah sebagai syarat kelulusan mata

kuliah Tugas Akhir dan syarat kelulusan Program Pendidikan Strata Satu (S1)

Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin melalui

aplikasi ilmu geologi secara langsung di lapangan serta mendapatkan pengalaman

kerja pada PT. Bumi Suksesindo yang berhubungan dengan Eksplorasi. Tujuan

secara khusus, sebagai berikut:

1. Mengetahui genesa dan karakteristik litologi pada daerah penelitian

2. Mengetahui karakteristik tipe dan penyebaran alterasi pada daerah

penelitian.

x
3. Mengetahui mineralisasi sulfida pada daerah penelitian

4. Mengetahui hubungan antar mineral sulfida dengan tipe alterasi pada

daerah penelitian

1.3 Batasan Masalah

Dalam penelitian ini cakupan permasalahan dibatasi pada analisis Litologi,

Alterasi, dan Mineralisasi Sulfida berdasarkan data pada PT. Bumi Suksesindo.

1.4 Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu yang digunakan dalam ini selama 3 bulan pada Bulan Mei (Minggu

ketiga) sampai bulan Agustus (Minggu ketiga) tahun 2023. Waktu kegiatan

diserahkan dan akan disesuaikan kembali dengan kebijakan perusahaan pada

waktu kegiatan yang diusulkan.

Penelitian Tugas Akhir ini dilakukan di PT. Bumi Suksesindo, Tujuh

Bukit, Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur.

1.5 Pembimbing
Pada pelaksanaan, kami akan dibimbing oleh 2 pembimbing, yaitu:

1. Pihak Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Hasanudin,

dalam hal ini Dosen.

2. Pihak perusahaan tempat pelaksanaan kegiatan dan Tugas Akhir yaitu PT.

Bumi Suksesindo.

xi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional

Geologi regional daerah tertuang dalam peta geologi lembar Blambangan,

Jawa Timur, dengan skala 1 : 100.000 (A. Achdan dan S. Bachri,1993).

Gambar 2.1 Geologi regional daerah penelitian

2.1.1 Geomorfologi Regional

xii
Secara fisiografi wilayah Bukit Tumpang Pitu dan sekitarnya merupakan

bagian dari Zona Pegunungan Selatan Jawa Timur, yang sebagian besar disusun

oleh batuan-batuan beku plutonik dan vulkanik, batuan klastik vulkanik, maupun

batugamping.

Geomorfologi bentuk asal yang terdapat pada daerah penelitian dibagi

berdasarkan beberapa aspek geomorfologi yang terdiri dari aspek morfografi,

aspek morfometri dan aspek morfogenesa yang didasarkan menurut klasifikasi

Van Zuidam (1983) dan Verstappen (1985) menjadi dua bentuk asal yaitu bentuk

asal struktural dan bentuk asal antropogenik. Bentuk asal struktural dibagi

menjadi satu satuan bentuk lahan, yaitu perbukitan struktural. Bentuk asal

antropogenik dibagi menjadi empat satuan bentuk lahan, yaitu satuan bentuk lahan

bukaan tambang, satuan bentuk lahan hauling road, satuan bentuk lahan pit dan

satuan bentuk lahan sump.

2.1.2 Stratigrafi Regional

Regional daerah penelitian termasuk ke dalam wilayah pertambangan PT.

Bumi Suksesindo, Tujuh Bukit, Banyuwangi. Daerah penelitian termasuk ke

dalam peta geologi regional lembar Blambangan, Jawa Timur (Achdan dan

Bachri, 1993). Berdasarkan peta geologi regional lembar Blambangan dilihat dari

susunan stratigrafinya memiliki urutan dari yang tua menuju ke muda adalah

sebagai berikut:

a. Formasi Batuampar

Formasi Batuampar merupakan formasi yang terdiri dari litologi yang

didominasi oleh batuan vulkanik seperti breksi vulkanik dan tuf. Kehadiran

xiii
material vulkanik yang tinggi menjadi bukti bahwa daerah tersebut merupakan

lingkungan gunungapi yang sudah mengalami proses erosional sangat tinggi

hingga sampai ke bagian dasarnya. Formasi ini juga dapat ditemukan litologi

batupasir, batugampng dan sisipan lava andesit. Litologi yang menyusun formasi

ini sebagian besar sudah mengalami proses alterasi kuat sebagai indikasi

terjadinya proses hidrotermal di daerah tersebut. Formasi ini juga dapat

ditemukan batuan yang berperan sebagai hostrock dalam terjadinya proses

mineralisasi. Formasi Batuampar berumur mulai dari Miosen Awal hingga akhir

Miosen Tengah.

b. Formasi Jaten

Formasi Jaten merupakan formasi yang terdiri dari litologi dominan

batupasir dengan variasi berupa batupasir konglomeratan, batupasir tufan,

batupasir gampingan. Litologi batugamping, tuf, batugamping tufan dan

batulempung juga hadir pada formasi ini. Formasi Jaten ini berumur awal Miosen

Tengah. Beberapa tempat menunjukan adanya hubungan kontak menjari antara

Formasi Jaten dengan dengan Formasi Batuampar

c. Formasi Wuni

Formasi Wuni merupakan satuan batuan yang terdiri dari litologi berupa

breksi, konglomerat, batupasir, tuf, napal dan batugamping. Formasi Wuni

memiliki umur Miosen Tengah. Hubungan berupa kontak menjari antara Formasi

Wuni dengan Formasi Batuampar dapat ditemukan di beberapa lokasi.

d. Batuan Intrusif

xiv
Umur Miosen Tengah dapat ditemukan batuan intrusif berupa andesit

porfiritik dan granodiorit. Hal ini sesuai dengan umur terjadinya proses

vulkanisme besar-besaran yang terjadi di sepanjang pantai Selatan pulau Jawa.

Intrusi batuan ini yang kemungkinan besar memicu terjadinya proses hidrotermal

sehingga dapat menghasilkan berbagai macam batuan alterasi dan terjadi proses

mineralisasi.

e. Formasi Punung

Formasi Punung merupakan satuan batuan yang terdiri dari litologi berupa

batugamping terumbu, batugamping berlapis dan napal. Keberadaan Formasi

Punung menjadi penanda berakhirnya proses vulkanisme yang ditandai dengan

kehadiran terumbu. Umur dari Formasi Punung adalah akhir Miosen Tengah dan

meunjukan hubungan kontak menjari dengan Formasi Batuampar di beberapa

tempat.

f. Formasi Kalibaru

Formasi Kalibaru merupakan satuan batuan yang terdiri dari litologi

berupa breksi, konglomerat, tuf dan batupasir tufan. Formasi Kalibaru ini

berumur Plistosen. Persebarannya cukup luas di sebelah timur dari daerah

penelitian di daerah Tujuh Bukit, Banyuwangi.

2.1.3 Struktur Geologi Regional

Daerah penelitian termasuk ke dalam wilayah Jawa Timur, oleh

Sribudiyani, dkk (2003) dijelaskan bahwa pola struktur utama yang berkembang

di wilayah Jawa Timur adalah pola sakala yang berarah barat-timur dan pola

meratus yang berarah Timur Laut-barat daya. Daerah tersebut banyak terbentuk

xv
struktur geologi berupa sesar, kekar dan lipatan yang berpengaruh terhadap

pembentukan sesar, kekar dan lipatan minor disekitarnya.

Gambar 2.2 Pola Struktur Regional Jawa Timur (Sribudiyani dkk, 2003)

`
Gambar 2.3 Peta Geologi Tujuh Bukit Project (Hellman, 2011)

xvi
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hellman (2011) didapatkan

beberapa pola struktur geologi berupa sesar utama dengan arah relatif Barat Laut –

Tenggara. Hal ini terlihat dari adanya pola kelurusan-kelurusan dari morfologi.

Kemungkinan besar pola struktur geologi berarah Barat Laut – Tenggara ini yang

menjadi pengontrol utama terjadinya sesar dan kekar minor yang berkembang di

daerah penelitian. Sesar utama tersebut kemungkinan besar juga menjadi faktor yang

berpengaruh terhadap terjadinya proses alterasi dan mineralisasi di daerah Tujuh

Bukit dan sekitarnya dengan tipe endapan porfiri dan epitermal.

2.2 Alterasi

Alterasi hidrothermal adalah perubahan komposisi mineral dari suatu

batuan akibat adanya interaksi antara larutan hidrotermal dengan batuan tersebut.

Proses alterasi akan menyebabkan terubahnya mineral primer menjadi mineral

sekunder yang kemudian disebut dengan mineral yang teralterasi. Alterasi

hidrotermal merupakan proses yang kompleks karena terjadi perubahan secara

mineralogi, kimia dan tekstur oleh akibat adanya interaksi larutan hidrotermal

dengan batuan samping yang dilaluinya pada kondisi fisika-kimia tertentu

(Pirajno, 1992). Proses alterasi hidrotermal akan menghasilkan kumpulan

mineral tertentu yang dikenal sebagai himpunan mineral (Guilbert & Park,

1986). Hal ini menyebabkan kehadiran himpunan mineral tertentu dalam suatu

ubahan batuan akan mencerminkan komposisi pH larutan dan suhu fluida tipe

alterasi tertentu.

2.2.1 Alterasi Hidrotermal

xvii
Alterasi hidrothermal adalah perubahan komposisi mineral dari suatu batuan

akibat adanya interaksi antara larutan hidrotermal dengan batuan tersebut. Proses

alterasi akan menyebabkan terubahnya mineral Endapan Mineral 17 primer

menjadi mineral sekunder yang kemudian disebut dengan mineral yang teralterasi

(alteration minerals). Alterasi hidrotermal merupakan suatu proses yang sangat

kompleks yang disebabkan oleh interaksi antara fluida panas dengan batuan yang

dilaluinya dalam kondisi evolusi fisio-kimia yang menyebabkan terjadinya

perubahan pada unsur kimiawi, tekstur dan mineraloginya. Proses alterasi

merupakan suatu bentuk metasomatisme, yaitu pertukaran komponen kimiawi

antara cairan-cairan dengan batuan dinding (Pirajno, 1992). Interaksi antara fluida

hidrotermal dengan batuan yang dilewatinya (batuan dinding) akan menyebabkan

terubahnya mineral-mineral primer menjadi mineral ubahan (mineral alterasi),

maupun fluida itu sendiri (Pirajno, 1992).

Beberapa faktor yang berpengaruh pada proses alterasi hidrotermal adalah

temperatur dan tekanan, kimia fluida (pH dan Eh), karakteristik batuan samping,

konsentrasi dan lamanya aktivitas hidrotermal (Browne, 1991 dalam Cobert dan

Leach, 1996). Namun, faktor kimia fluida (pH dan Eh) dan temperatur merupakan

faktor yang paling berpengaruh (Corbett dan Leach, 1996).

xviii
Gambar 2.4 Himpunan mineral alterasi berdasarkan suhu dan pH pembetukannya
(Cobert dan Leach, 1996)

a) Suhu merupakan hal yang paling penting dalam proses alterasi karena

hampir semua reaksi kimia yang terjadi diakibatkan oleh adanya kenaikan

suhu.

xix
b) Permeabilitas dari suatu batuan akan menentukan intensitas pengaruh

larutan hidrotermal terhadap batuan dan kecepatan presipitasi mineral-

mineral baru. Batuan yang memiliki permeabilitas kecil akan menyebabkan

tingkat pengaruh alterasi yang tidak signifikan.

c) Komposisi awal dari batuan yang terkena larutan hidrotermal akan

menentukan komponen-komponen yang akan terbentuk akibat proses

alterasi.

d) Komposisi fluida pH mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam

menentukan tingkat kecepatan dan jenis mineral-mineral hidrotermal yang

terbentuk.

Proses alterasi hidrotermal akan menghasilkan kumpulan mineral tertentu

yang dikenal sebagai himpunan mineral atau mineral assemblage (Guilbert &

Park, 1986). Hal ini menyebabkan kehadiran himpunan mineral tertentu dalam

suatu ubahan batuan akan mencerminkan komposisi pH larutan dan suhu fluida

tipe alterasi tertentu. Penyebaran suatu himpunan mineral alterasi yang sama di

suatu daerah disebut sebagai zona alterasi (Guilbert dan Park, 1986). Berdasarkan

pada kumpulan mineral, temperatur dan pH fluida hidrotermal, maka zona alterasi

dapat dibagi menjadi:

a) Zona Potasik, merupakan zona yang keberadaanya paling dekat dengan

intrusi. Zona alterasi ini suhu fluida hidrotermal yang dapat mencapai lebih

dari 300oC dengan tingkat salinitas yang tinggi. Mineral penciri dari zona

potasik adalah k-feldspar, biotit sekunder dan magnetit. Zona ini kehadiran

xx
aktinolit, epidot, klorit dan anhidrit rutil dan albit muncul dalam jumlah

sedikit.

b) Zona Propilitik, merupakan zona alterasi yang terbentuk pada suhu antara

200°C - 300°C dengan kondisi pH netral-alkali. Zona ini dicirikan dengan

kehadiran mineral klorit, kalsit dan epidot. Kehadiran mineral kuarsa,

adularia, albit, serisit dan anhidit juga terkadang dapat dijumpai pada zona

ini.

c) Zona Filik, merupakan zona alterasi yang terbentuk pada suhu 200°C –

400°C dengan kondisi pH netral hingga asam. Mineral penciri dari zona

filik adalah kehadiran mineral kuarsa, serisit dan pirit. Zona filik umumnya

terbentuk dekat dengan terbentuknya mineralisasi seperti pada vein.

d) Zona Argilik, merupakan zona alterasi yang terbentuk pada suhu <230°C

dengan kondisi fluida dengan pH asam-netral. Zona argilik dicirikan dengan

kehadiran mineral-mineral lempung seperti kaolinit, montmorilonit, smektit

dan illit.

e) Zona Argilik Lanjut, merupakan zona alterasi yang terbentuk pada suhu

250°C – 350°C untuk temperatur tinggi dengan penciri himpunan mineral

berupa pirofilit, diaspor, andalusit, turmalin dan kuarsa. Temperatur rendah

dari zona argilik lanjut berada pada suhu 180°C dengan mineral penciri

berupa mineral kaolinit, alunit, kalsedon, kuarsa dan pirit. Zona ini

terbentuk oleh pH fluida asam.

xxi
2.3 Mineralisasi

Mineralisasi adalah proses terkonsentrasinya mineral yang dapat terbentuk

akibat adanya proses alterasi. Mineral ini berasal dari fluida magma itu sendiri

yang memang membawa mineral-mineral berharga pada saat menerobos menuju

ke permukaan, berinteraksi dengan batuan samping yang diterobosnya. Pengayaan

juga dapat terjadi karena adanya interaksi antara air meteorik yang merembes ke

bawah permukaan dengan fluida panas magma yang membawa mineral berharga,

yang kemudian dapat menyebabkan mineralisasi tersebar merata (disseminations)

atau dapat pula terkonsentrasi mengisi patahan dan retakan-retakan yang biasanya

hadir sebagai urat (vein, veinlets, stringer, stockwork) dan lain sebagainya.

Mineralisasi merupakan suatu proses pengendapan mineral bijih melalui

media yang membawanya akibat adanya perubahan lingkungan kimia dan fisika

di sekitarnya. Mineral bijih merupakan mineral yang bernilai ekonomis yang

mengandung unsur logam yang dapat diekstrak. Mineral penyerta yang tidak

bernilai ekonomis umumnya juga hadir dan terdapat pada tubuh bijih.

Pembentukan endapan mineral bijih sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor yang

terdiri dari karakter fluida hidrotermal pembawa bijih, pergerakan fluida

hidrotermal pembawa bijih, komponen bijih dan cara pengendapan mineral bijih.

Berdasarkan bentuknya tubuh bijih hasil proses mineraliasi dapat dibagi menjadi

dua yaitu tubuh bijih diskordan untuk tubuh bijih yang memotong lapisan batuan

dan tubuh bijih konkordan untuk tubuh bijih yang berkembang sejajar dengan

lapisan batuan. Berdasarkan waktu pembentukannya, tubuh bijih juga dibagi

menjadi dua yaitu bijih yang relatif bersamaan dengan host rock dikenal dengan

xxii
istilah syngenetic dan pembentukan bijih yang terjadi setelah host rock terbentuk

disebut dengan epigenetic.

2.4 Endapan Epitermal

Berdasarkan karakteristik mineralisasi dan derajat sulfidasinya, endapan

epitermal dibagi menjadi 2 yaitu endapan epitermal sulfidasi rendah dan endapan

epitermal sulfidasi tinggi. Endapan epitermal sulfidasi rendah terbentuk pada

kondisi reduksi dengan pH air netral (Barton dan Skinner, 1979). Sedangkan

endapan epitermal sulfidasi tinggi terbentuk pada kondisi asam dan teroksidasi

dengan ciri adanya pelarutan pada batuan induk (Ransome, 1907 dalam

Hedenquist dkk, 2000).

Endapan epitermal terbentuk pada kedalaman dangkal hingga 1000m di

bawah permukaan dengan suhu yang relatif rendah (50°C – 200°C) dengan

tekanan yang rendah atau kurang dari 100 atm dan dominan berasal dari fluida

meteorik yang memiliki salinitas tinggi (Pirajno, 2009). Endapan epitermal

biasanya banyak ditemukan sebagai zona lemah yang mengalami proses breksiasi

dan alterasi dalam tingkat tinggi. Endapan ini banyak ditemukan vein yang tidak

menerus di sepanjang zona sesar. Terdapat dua tipe endapan epitermal yaitu

epitermal sulfidasi tinggi dan epitermal sulfidasi rendah yang didasarkan pada

sifat kimia fluida, alterasi dan mineraloginya (Hedenquist dkk, 1996).

xxiii
Gambar 2.5 Model endapan porfiri dan epitermal (Hedenquist dkk, 1996)

Endapan epitermal sulfidasi tinggi terbentuk oleh sistem fluida hidrotermal

dari intrusi magmatik dalam yang bergerak secara vertikal dan horisontal

melewati rekahan pada batuan dengan suhu relatif tinggi (200oC – 300oC) yang

didominasi oleh fluida magmatik dengan kandungan asam tinggi yang terdidri

dari HCL, SO2, H2S (Pirajno, 1992). Endapan ini memiliki ciri-ciri berupa host

rock yang umumnya merupakan batuan vulkanik dengan sifat asam hingga

intermediet. Endapan epitermal sulfidasi tinggi ini biasanya dikontrol oleh

struktur berupa sesar regional ataupun intrusi sub-vulkanik. Endapan epitermal

Sulfidasi rendah terbentuk dari fluida sisa magma yang bergerak jauh dari tubuh

intrusi dan bercampur dengan fluida meteorik di dekat permukaan. Endapan ini

didominasi oleh fluida meteorik dengan pH netral karena mengandung unsur

CO2, NaCl dan H2S. Batuan dinding yang terdapat pada endapan epitermal

xxiv
sulfidasi rendah umumnya merupakan andseit alkali, riodasit, riolit ataupun

batuan alkali. Struktur yang berkembang pada sistem epitermal sulfidasi rendah

adalah berupa urat, cavity filling, urat breksi, tekstur colloform dan sedikit vuggy

(Corbett dan Leach, 1997). Bentuk endapan yang ada didominasi oleh urat kuarsa

yang mengisi ruang terbuka (open space), tersebar (disseminated) dan umumnya

terdiri dari urat-urat breksi (Hedenquist dkk, 1996).

Gambar 2.6 Perbedaan kimiawi endapan epitermal sulfidasi rendah dan epitermal
sulfidasi tinggi (White dan Hedenquist,1995)

Tabel 2.1 Perbedaan Karakteristik Epitermal Sulfidasi Tinggi, Sulfidasi Menengah dan
Sulfidasi Rendah (Hedenquist dan Silitoe, 2003)

xxv
Tabel 2.2 Perbedaan tipe endapan epitermal sulfidasi rendah dan sulfidasi tinggi (White,
1991)

xxvi
Tabel 2.3 Mineralogi bijih pada endapan epitermal sulfidasi rendah dan sulfidasi tinggi
(modifikasi White dan Hedenquist, 1995)

Tabel 2.4 Mineral Gangue pada Endapan Epitermal Sulfidasi rendah dan Sulfidasi tinggi
(modifikasi White dan Hedenquist, 1995)

Perbedaan tingkat sulfidasi dari endapan epitermal sangat dikontrol oleh

fluida hidrotermal yang dominan dari sistem tersebut. Berdasarkan studi isotop,

lingkungan endapan epitermal sulfidasi rendah sangat didominasi oleh pengaruh

xxvii
air meteorik, walau beberapa sistem mengandung air dan gas yang reaktif (CO 2,

SO2, HCl) yang berasal dari pembentukan magma (Hedenquist dan Lowenstern,

1994 dalam White dan Hedenquist, 1995). Fluida magmatik yang berasal dari

tempat yang dalam beraksi dengan H2S yang terkondensasi dekat dengan

permukaan menyebabkan munculnya air asam sulfat yang bersifat asam dengan

pH berkisar antara 2-3 (Giggenbach, 1992 dalam White dan Hedenquist, 1995)

dengan batuan induk dalam waktu dan jarak yang cukup panjang, sehingga dapat

menetralkan pH dari fluida tersebut. Komponen utama dalam sistem ini adalah

CO2, H2S, dan NaCl yang bersifat netral. Fluida ini yang kemudian boiling di

kedalaman yang dangkal. Sedangkan gas H2S yang terkondensasi dekat dengan

permukaan menyebabkan munculnya air asam sulfat yang bersifat asam dengan

pH berkisar antara 2-3 (Giggenbach, 1992 dalam White dan Hedenquist, 1995).

2.4.1 Endapan Sulfidasi Tinggi

Endapan epitermal sulfidasi tinggi merupakan endapan mineral yang

terbentuk akibat fluida bersifat asam yang bereaksi dengan batuan dinding

sehingga menghasilkan suatu karakteristik zona alterasi yang dicirikan oleh

kemunculan tekstur vuggy silica. Sistem endapan epitermal sulfidasi tinggi ini

terjadi pada sistem magmatik-hidrotermal yang didominasi oleh fluida hasil sisa

pembekuan magma (juvenile).

xxviii
Gambar 2.7 Fase alterasi dan mineralisasi pada tipe endapan epitermal sulfidasi tinggi
(Corbett dan Leach, 1997)

Endapan epitermal sulfidasi tinggi terbentuk pada kondisi yang oksidasi di

kedalaman yang tidak jauh dari tipe endapan porfiri. Hal ini ditandai dengan

adannya oksidasi sulfur yang menghasilkan senyawa SO 2 yang tinggi. Reaksi

antara SO2 dan H2O akan menghasilkan fluida dengan kandungan H2SO4 (Asam

Sulfat) yang sangat tinggi yang mampu me-leaching mineral sehingga

menghasilkan tekstur vuggy. Fluida pada sistem epitermal sulfidasi tinggi juga

banyak mengandung H2O, CO2, HCL dan H2S dalam bentuk liquid dan vapor.

xxix
Gambar 2.8 Kontrol model endapan epitermal sulfidasi tinggi (Corbett dan Leach, 1997)

Pembentukan endapan epitermal sulfidasi tinggi dimulai dengan fase awal

berupa naiknya fluida bersifat asam dan panas yang kaya akan volatil melalui

rekahan ataupun zona lemah pada batuan. Interaksi fluida bersifat asam dengan

batuan samping menghasilkan zona alterasi yang dimulai dari bagian terdalam

yang dekat dengan jalur keluarnya fluida yaitu zona silisik, zona argilik lanjut,

zona argilik, dan bagian terluar merupakan zona propilitik (Corbet dan Leach,

1997). Fase berikutnya terjadi ketika adanya fluida asam dengan pH < 2 yang

melalui jalur yang sama mengakibatkan terjadinya leaching yang membentuk

tekstur vuggy pada masif silika. Proses mineralisasi terjadi dengan cara fluida

pembawa bijih mengisi vuggy ataupun me-replace mineral yang sudah ada

sebelumnya. Mineralisasi dari sistem epitermal sulfidasi tinggi ini adalah beruba

mineral pembawa unsur Au, Cu dan Ag. Pada umumnya proses alterasi dan

xxx
mineraliasi pada sistem endapan epitermal sulfidasi tinggi dikontrol oleh

permeabilitas pada litologi dan struktur geologi sebagai feeder utama tempat

keluarnya fluida magma.

Tabel 2.5 Karakteristik tipe endapan epitermal sulfidasi tinggi (White, 1991)

2.5 Endapan Pofriri

Endapan porfiri merupakan endapan mineral yang terbentuk akibat adanya

multiple intrusion dari batuan bersifat intermediet – asam yang mengalami

kontak dengan batuan dinding sehingga terjadi mineralisasi. Berdasarkan waktu

pembentukan mineral bijihnya, endapan porfiri dapat dikatakan sebagai endapan

epigenetic berupa bijih Cu-Au ataupun Cu-Mo. Endapan porfiri merupakan

endapan dengan tonase yang besar dengan kadar yang rendah hingga sedang

xxxi
dimana mineral bijih utamanya secara dominan dikontrol oleh struktur geologi

dan secara spesial pembentukannya berhubungan dengan seri intrusi porfiri

felsik hingga intermediet (Kirkham, 1972 dalam Sinclair, 2007). Struktur yang

mengontrol porfiri dapat terdiri dari urat, stockwork ataupun breksi. Endapan

porfiri pada umumnya berasosiasi dengan endapan hidrotermal lainnya seperti

endapan epitermal sulfidasi tinggi dan epitermal sulfidasi rendah.

Berdasarkan kumpulan mineralnya endapan porfiri dibagi menjadi zona

potasik, filik, argilik, argilik lanjut dan propilitik. Berdasarkan kandungan

mineral bijihnya, maka endapan porfiri dibagi menjadi beberapa zona yang

terdiri dari inner zone, ore zone, pyrite zone dan outer zone. Target utama dalam

kegiatan eksplorasi dan produksi pada enadapan porfiri adalah pada bagian ore

zone.

xxxii
Gambar 2.9 Model Alterasi dan Mineralisasi endapan porfiri (Lowell dan Guilbert,
1970)

Mineralisasi terbentuk pada lingkungan konduktif yaitu lingkungan

pengendapan logam kondisinya yang terbentuk sebagai hasil dari pendinginan

dan pencampuran dengan air meteorik, logam tersebut berasal dari larutan

magma yang lebih besar dan dalam. Pusat mineralisasi tembaga porfiri terjadi

pada zona paleopermeabilitas yang terbesar, yaitu sepanjang daerah yang

dikontrol oleh sesar dari intrusi batuan induk dan sebelum terbentuknya rekahan

stockwork veining. Nama porfiri digunakan untuk menjelaskan intrusi batuan

beku yang terjadi secara intensif dan bukan selalu untuk tekstur porfiritik.

Endapan tembaga porfiri merupakan endapan tembaga yang berukuran sangat

xxxiii
besar tetapi kadar tembaganya agak rendah. Mineral bijih tersebar secara merata

pada batuan dan berbentuk stockwork dengan sedikit komposisi emas,

molibdenum dan perak. Stockwork merupakan bentuk dalam skala besar yang

berupa percabangan yang tidak beraturan dari rekahan yang kemudian diisi oleh

material mineral.

Pada skala endapan bijih, struktur yang berhubungan dapat menghasilkan

variasi dari tipe mineralisasi, termasuk urat, set urat, stockwork, rekahan,

crackled zones, dan pipa breksi. Pada endapan porfiri yang besar dan ekonomis,

urat yang termineralisasi dan rekahan biasanya memiliki densitas yang sangat

tinggi. Pada endapan porfiri Cu-Au, mineralisasi akan terakomodasi bersama

stockwork urat kuarsa, akibat kondisi bawah permukaan dengan kondisi

temperatur dan tekanan tinggi yang hanya memungkinkan larutan hidrotermal

untuk bergerak melalui rekahan. Kontrol permeabilitas dalam kondisi tersebut

akan sangat kecil, sehingga kecenderungan larutan hidrotermal untuk melalui

rekahan dalam batuan akan rendah. Akibat hal ini, kelimpahan mineralisasi akan

lebih banyak terdapat dalam urat-urat halus daripada dalam bentuk sebaran

dalam tubuh batuan.

2.6 Emas

Emas termasuk dalam golongan logam mulia karena keberadaannya yang

langka dan memiliki sifat spesifik tertentu. Emas dapat ditemukan dalam bentuk

mineral dimana emas sebagai logam berharga yang dominan, misalnya logam

(native), electrum, calaverite, sylvanite dan mineral dimana emas sebagai unsur

minor, misalnya arsenopyrite, pyrite, chalcopyrite, dan lainnya. Endapan Emas

xxxiv
pada daerah penelitian yakni endapan Epithermal High Sulfidtion atau endapan

epitermal sulfidasi rtinggi.

Endapan ini terbentuk jauh dari tubuh intrusi dan terbentuk melalui larutan

sisa magma yang berpindah jauh dari sumbernya lalu bercampur dengan air

meteorik di dekat permukaan dan membentuk jebakan tipe sulfidasi rendah,

dipengaruhi oleh sistem boiling sebagai mekanisme pengendapan mineral-

mineral bijih. Proses boiling disertai pelepasan unsur gas merupakan proses

utama untuk pengendapan emas. Perulangan proses boiling akan tercermin dari

tekstur crusstiform banding dari silika dalam urat kuarsa. Pembentukan jebakan

urat kuarsa berkadar tinggi mensyaratkan pelepasan tekanan secara tiba-tiba dari

cairan hidrotermal untuk memungkinkan proses boiling. Sistem ini terbentuk

pada tektonik lempeng subduksi, kolisi dan pemekaran (Hedenquist dkk., 1996

dalam Pirajno, 1992).

Kontrol utama terhadap pH cairan adalah konsentrasi CO 2 dalam larutan

dan salinitas. Proses boiling dan terlepasnya CO2 ke fase uap mengakibatkan

kenaikan pH, sehingga terjadi perubahan stabilitas mineral contohnya dari illit

ke adularia. Terlepasnya CO2 menyebabkan terbentuknya kalsit, sehingga

umumnya dijumpai adularia dan bladed calcite sebagai gangue minerals pada

urat bijih sistem sulfidasi rendah Endapan epitermal sulfidasi rendah akan

berasosiasi dengan alterasi kuarsa–adularia, karbonat dan serisit pada lingkungan

sulfur rendah dan biasanya perbandingan perak dan emas relatif tinggi. Larutan

bijih dari sistem sulfidasi rendah variasinya bersifat alkali hingga netral (pH 7)

dengan kadar garam rendah, mengandung CO2 dan CH4 yang bervariasi.

xxxv
Mineral-mineral sulfur biasanya dalam bentuk H2S dan sulfida kompleks dengan

temperatur sedang (150°-300° C) dan didominasi oleh air permukaan.

Mineral bijih dicirikan oleh terbentuknya elektrum, perak sulfida, garam

sulfat, dan logam dasar sulfida. Batuan induk pada deposit logam mulia sulfidasi

rendah adalah andesit alkali, dasit, riodasit atau riolit. Secara genesa sistem

epitermal sulfidasi rendah berasosiasi dengan vulkanisme riolitik. Tipe ini

dikontrol oleh struktur-struktur pergeseran.

2.7 Klasifikasi Sumberdaya Mineral

Menurut Komite Cadangan Mineral Indonesia (KCMI) 2011, klasifikasi

sumberdaya mineral dilakukan berdasarkan hubungan antara hasil eksplorasi,

sumberdaya mineral dan cadangan bijih. Berdasarkan klasifikasi ini, sumberdaya

mineral terbagi menjadi 3 kategori yaitu sumberdaya mineral tereka, tertunjuk,

dan terukur. Klasifikasi sumberdaya mineral dan cadangan bijih dikelompokan

berdasarkan dua kriteria yang menjadi dasar klasifikasi yaitu keyakinan terhadap

kondisi geologi dan peningkatan tingkat pengetahuan (kelayakan tambang).

Sumberdaya mineral dengan tingkat keyakinan geologi yang paling tinggi masuk

dalam klasifikasi sumberdaya measured. Klasifikasi dengan tingkat keyakinan

geologi paling rendah masuk ke dalam klasifikasi sumberdaya inferred.

Klasifikasi sumberdaya mineral (inferred-indicated-measured) dapat ditingkatkan

menjadi cadangan bila memenuhi syarat faktor pengubah seperti penambangan,

pengolahan/ pemurnian, ekonomi, teknologi pertambangan, pemasaran,

lingkungan, sosial, dan yang digunakan sebagai bahan pertimbangan.

xxxvi
pengklasifikasian sumberdaya emas epitermal akan menggunakan nilai

jarak rata-rata antar sampel yang kemudian akan dianilisis menggunakan

histogram dan dikelompokkan menjadi tiga kategore, sumberdaya measured,

indicated, inferred.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Dalam pelaksanaan suatu penelitian ada banyak cara atau metode yang

dapat digunakan, tergantung dari tujuan yang ingin dicapai dari penelitian

tersebut. Maka Metodologi yang digunakan dalam penelitian tugas akhir ini

adalah metode deskriptif analitik yang dilakukan dengan cara melakukan

xxxvii
integrasi antara data yang diambil secara langsung di lapangan dengan data hasil

analisis laboratorium.

3.2 Tahapan Penelitian

Beberapa tahapan dan metodologi yang dilakukan untuk mencapai tujuan

dari penelitian tugas akhir ini meliputi:

3.2.1 Tahap Persiapan

Tahapan persiapan merupakan tahap awal yang dilakukan oleh penulis

dalam melakukan penelitian. Adapun hal-hal yang dilakukan antara lain studi

pustaka, perizinan dan penyusunan proposal penelitian, serta persiapan

perlengkapan dengan sarana pengolahan data.

3.2.2 Tahap Penelitian Lapangan

Dalam tahap ini dikumpulkan semua data yang akan digunakan dalam

penelitian, Data yang diambil meliputi data deskripsi batuan, deskripsi alterasi

dan mineralisasi, pengambilan sampel batuan, dokumentasi (foto bentang alam,

foto singkapan, dan foto parameter litologi) dan juga perekaman data-data

pendukung lainnya. Data pendukung tambahan dari PT. Bumi Suksesindo juga

digunakan untuk menunjang penelitian tugas akhir ini.

a. Observasi Penelitian Lapangan

Observasi merupakan kegiatan awal lapangan yang dilakukan dengan

cara melakukan pengamatan cepat pada keadaan morfologi, bentang alam,

singkapan batuan yang terdapat di lapangan, struktur geologi (kekar, sesar, vein).

Observasi dilakukan untuk mengetahui variasi litologi yang terdapat di daerah

xxxviii
penelitian dengan memotong jurus lapisan. Singkapan batuan yang diamati pada

kegiatan observasi umumnya mudah dijumpai di sekitas sungai atau pada

dinding lereng. Kegiatan observasi ini juga dilakukan penentuan titik-titik

terbaik untuk melakukan pengambilan data yang meliputi data deskripsi litologi,

struktur geologi dan sampel batuan.

b. Deskripsi Litologi

Deskripsi litologi dilakukan setelah melakukan observasi, sehingga sudah

diketahui titik-titik yang dibutuhkan untuk melakukan pengambilan data.

Tahapan deskripsi litologi dilakukan dengan cara melakukan deskripsi batuan

secara lengkap yang dimulai dari jenis batuan, struktur batuan, tekstur batuan,

komposisi mineral dan nama batuan di lapangan sebelum dilakukan penamaan

detail di laboratorium. Selain itu juga dilakukan deskripsi pada batuan yang

sudah mengalami proses alterasi yang meliputi struktur, tekstur, pola ubahan,

himpunan mineral dan tipe alterasi yang terbentuk pada batuan tersebut. Hasil

dari deskripsi litologi dan alterasi yang ditemukan kemudian digunakan sebagai

dasar acuan dalam penentuan tipe endapan yang berkembang di daerah

penelitian

c. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan tahap yang tidak boleh terlupakan dalam

kegiatan penelitian di lapangan. Karena tahap ini juga merupakan tahap

perekaman data sebagai bukti dan cadangan data ketika sudah tidak lagi berada

di lapangan. Kegiatan dokumentasi dilakukan dengan cara melakukan

pengambilan foto bentang alam, foto singkapan dan foto parameter batuan dan

xxxix
struktur geologi. Selain itu pengambilan foto juga dilengkapi dengan pencatatan

data azimuth foto, lokasi pengambilan foto, keterangan foto, kondisi cuaca,

parameter foto sebagai pembanding dan orang yang melakukan pengambilan

data foto. Hasil data dokumentasi ini kemudian dipisahkan sesuai dengan

kebutuhan untuk kemudian dicantumkan dalam laporan penelitian tugas akhir

sebagai bukti pendukung.

d. Pengambilan Sampel

Tahap pengambilan sampel merupakan tahapan yang penting untuk

dilakukan sebelum melakukan analisis data lebih lajut di laboratorium.

Pengambilan sampel dilakukan menggunakan metode grab sampling pada

feeder zone di sepanjang permukaan yang memperlihatkan jejak mineralisasi.

Data tambahan yang diambil ketika melakukan grab sampling adalah data

koordinat lokasi pengambilan sampel, penamaan dan pemberian kode sampel,

tanggal pengambilan sampel dan identitas sampel lainnya. Selain itu juga

dilakukan deskripsi sampel dan pengambilan informasi visual sampel serta data-

data lain yang dianggap perlu untuk menjelaskan kondisi sampel di lapangan.

Pengambilan sampel tidak hanya dilakukan pada zona prospek mineralisasi,

namun juga pada beberapa zona non-prospek untuk mengetahui secara jelas

batas zonanya setelah dianalisis lebih lanjut di dalam laboratorium.

3.2.3 Tahap Interpretasi dan Pengolahan Data

1. Analisis Laboratorium

Tahap analisis laboratorium merupakan tahap yang dilakukan dengan

melakukan analisis lanjutan pada data lapangan yang telah didapatkan sebelumnya.

xl
Tahap analisis laboratorium ini disesuaikan dengan kebutuhan penelitian yang

dilakukan sehingga akan didapatkan hasil analisis yang dapat menjadi bukti dan

menunjang hasil penelitian yang dilakukan. Berikut ini beberapa analisis

laboratorium yang dilakukan dalam penelitian

2. Analisis Petrografi

Analisis petrografi dilakukan dengan melakukan pengamatan sayatan tipis

dengan menggunakan mikroskop polarisasi yang terdapat pada Departemen Teknik

Geologi, Universitas Hasanuddin. Pada tahapan ini akan dilakukan preparasi sampel

berupa Sayatan Tipis menggunakan analisis XRF (X-Ray Fluoroscene) dan XRD

(X-Ray Diffraction) Sayatan tipis dibuat dari sampel batuan yang terdapat pada

daerah penelitian. Tujuan dari analisis petrografi adalah untuk mengetahui

komposisi mineral penyusun batuan secara detail pada dari daerah penelitian

dengan menggunakan sayatan tipis. Analisis ini digunakan untuk mengetahui jenis

dan nama batuan secara lebih spesifik. Analisis petrografi juga dapat digunakan

untuk mengetahui mineral-mineral sekunder hasil ubahan yang dapat digunakan

untuk mengetahui tipe alterasinya. Karakteristik dan stadia fluida hidrotermal juga

dapat diketahui dengan mempertimbangkan pH/eH, temperatur pembentukan dan

salinitas dari mineral-mineral yang terdapat dalam batuan yang dianalisis. Hasil

yang didapatkan dari analisis petrografi adalah berupa tabulasi data hasil deskripsi

batuan secara mikroskopis.

Tahap interpretasi data salah satunya adalah dengan melakukan korelasi

awal pada data hasil analisis laboratorium mengenai alterasi dan mineralisasi

Sulfida. Tahap pengolahan data merupakan tahap yang dilakukan dengan cara

mengolah data hasil lapangan dan analisis laboratorium ke dalam bentuk peta

xli
dan tabel-tabel. Peta-peta yang didapatkan dari hasil pengolahan data akan

meliputi peta lintasan dan lokasi pengamatan geologi, peta lintasan dan lokasi

pengamatan alterasi, peta geologi dan penampang geologi, peta geomorfologi

dan penampang geomorfologi, peta alterasi dan penampang alterasi, peta

struktur geologi, peta persebaran kadar Sulfida dan peta tampalan Sulfida.

Berdasarkan hasil data yang telah diolah kemudian dilakukan interpretasi untuk

menyimpulkan hasil dari penelitian yang dituangkan dalam bentuk laporan

penelitian tugas akhir. Tahap ini dalam pelaksanaannya harus dilakukan dengan

melakukan konsutasi pada pembimbing lapangan maupun dosen pembimbing.

3.2.4 Tahap Penyusunan Laporan

Tahap ini merupakan tahap akhir dari kegiatan penelitian yang memuat

semua data yang meliputi hasil pengumpulan data, hasil interpretasi, analisis dan

pengolahan data secara sistematik. Selama penyusunan laporan dilakukan

pengoreksian dan pengecekan ulang terhadap semua data dan hasil analisa yang

kemudian dituangkan menjadi suatu laporan ilmiah.

3.3 Diagram Alir

TAHAP PERSIAPAN
Studi Literatur, Administrasi, Perizinan, dan Penyusunan
Proposal Penelitian.

TAHAP PENGAMBILAN DATA


Data primer dan data analisa laboratorium), serta data
sekunder (Geologi regional)

TAHAP INTERPRETASI DAN


PENGOLAHAN DATA
Analisis Alterasi dan Mineralisasi Sulfida
Pemilihan Sampel

Analisis Alterasi dan Mineralisasi xlii Analisis Petrografi dan Mineragrafi


(Identifikasi Mineral Alterasi Mineral (Identifikasi Mineral Alterasi dan
Bijih, Nama Batuan, Tekstur Khusus) Mineralisasi menggunakan XRF dan
XRD)
BAB IV
PERENCANAAN WAKTU DAN BIAYA

4.1. Perencanaan Waktu

Kegiatan penelitian ini direncanakan membutuhkan waktu selama 4 (empat)

bulan, yang dimulai pada bulan November (Minggu kedua) 2023 dan berakhir

pada bulan Februari (Minggu keempat) tahun 2024. Kegiatan penelitian ini

meliputi beberapa tahapan. Tahapan dan waktu penelitian akan diuraikan pada

tabel berikut:

Tabel 4.1 Time Schedule


2023
Tahapan Penelitian November Desember Januari Februari
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Persiapan
Studi Literatur
Pengolahan Data
Analisis Data
Bimbingan
Penyusun Laporan

43
BAB V
PENUTUP

Demikian proposal ini disusun sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan

penelitian pada perusahaan PT. Bumi Suksesindo. Proposal ini diajukan sebagai

bahan pertimbangan dan semoga mendapat perhatian dan dukungan dari berbagai

pihak.

Kesempatan yang diberikan pada mahasiswa dalam melakukan Penelitian

Tugas Akhir ini akan dapat membuka wawasan mahasiswa pada bidang teknologi

geologi yang dimanfaatkan dalam dunia pertambangan. Kesempatan yang

diberikan oleh pihak perusahaan akan kami manfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Demikian usulan proposal Tugas Akhir ini kami ajukan. Atas perhatian

Bapak/Ibu, kami ucapkan terimakasih.

44
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1996. Sandi Stratigrafi Indonesia. Jakarta : Ikatan Ahli Geologi


Indonesia (IAGI).

Bronto, S. 2010. Geologi Gunungapi Purba. Bandung: Badan Geologi


Kementrian ESDM

Corbett dan Leach. 1997. Southwest Pacific ims Gold-Copper Systems:


Structures, Alteration and Mineralization. Australia: Corbett Geological
Services Pty. Ltd. 318 hal.

Corbett G.J. 2002. Epithermal Gold For Explorationists. AIG Journal-Applied


Geoscientific Practice and Research. Australia. Hal 1-26.

Guilbert J.M. dan Park C.F.Jr. 1986. The Geology of Ore Deposits. New York:
W.H. Freeman and Company. 151 hal.

Hedenquist, J.W.. 1995. Epithermal Gold Deposit: Style, Characteristic and


Exploration. SEG Newsletter, 23 hlm.

Hedenquist, dkk. 2000. Exploration for Epithermal Gold Deposit: Reviews in


Economic Geology. v.13, p.245-277. Society of Economic Geologist.

Hellman, Phillip L. 2011. Tujuh Bukit Project Report On Mineral Resources,


Located in East Java, indonesia. Australia: Reported for Intrepid Mines
Limited Level 1, 490 Upper Edward St. Spring Hill, Qld 4004. 154 hal.

Lowell, J.D. dan Guilbert, J.M. 1970. Lateral and Vertical Alteration-
Mineralization Zoning in Porphyry Ore Deposits. Economic Geology, vol
65. Hal 373-478.\

Journel. 1983. Non-Parametic Estimation of Spatial Distributions

Maulana Adi, 2017. Endapan Mineral. Yogyakarta: Penerbit Ombak 2017

Neal, L.C, dkk. 2018. Spectral Characteristics of Propylitic Alteration Minerals as


Vectoring Tool for Porfiphyry Copper Deposits. Journal of Geochemical
Exploration 184. Hal 179-198.

Pirajno F. 1992. Hydrothermal Mineral Deposits, Principles and Fundamental


Concepts for the Exploration Geologist. Berlin, Heidelberg, New York,
London, Paris: Springer Verlag. 709 hal.

45
Schmid, R. 1981. Descriptive Nomenclature and Classification of Pyroclastic
Deposits and Fragments: Recomendations of The International Union of
Geological Sciences Subcommision on The Systematics of Igneeous Rocks.
Geology. The Geoloogical Society of America. Boulder. Vol 9. Hal 41-43

Sillitoe, R. 2010. Porphyry Copper System. Society of Economic Geologist, Inc.


Economic Geology , v.105, pp 3-4

Sribudiyani, dkk. 2003. The Collision of The East Java Microplate and Its
Implication for Hydrocarbon Occurrences in the East Java Basin.
Indonesian Petroleum Association, Proceeding 29th Annual Converence,
Jakarta. Hal 1-12.

Van Zuidam, R. A. 1983. Guide to Geomorfhology Ariel Photographic


Interpretation and Mapping. Enschede: ITC. 324 hal.

White, N.C. 1991. High Sulfidation Epithermal Gold Deposits: Characteristics, and a
Model for Their Origin in Matsuhisa, Acid Hydrothermal systems, Geological
Survey of Japan Report 277. Hal 9-20.

46

Anda mungkin juga menyukai