Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Mikropaleontologi merupakan cabang dari ilmu paleontologi yang

mempelajari sisa-sisa organisme yang telah terawetkan di alam berupa fosil yang

berukuran mikro. Mikropaleontologi juga didefinisikan sebagai studi sitematik

yang membahas mikrofosil, klasifikasi, morfologi, ekologi, dan mengenai

kepentingannya terhadap stratigarfi atau ilmu yang mempelajari sisa organisme

yang terawetkan di alam dengan mengunakan alat mikroskop. Salah satu yang

dipelajari dari Mikropaleontologi yaitu biostratigrafi.

Biostratigrafi merupakan ilmu penentuan umur batuan dengan

menggunakan fosil yang terkandung didalamnya. Biasanya bertujuan untuk

korelasi, yaitu menunjukkan bahwa horizon tertentu dalam suatu bagian geologi

mewakili periode waktu yang sama dengan horizon lain pada beberapa bagian

lain. Fosil berguna karena sedimen yang berumur sama dapat terlihat sama sekali

berbeda dikarenakan variasi lokal lingkungan sedimentasi. Sebagai contoh, suatu

bagian dapat tersusun atas lempung dan napal sementara yang lainnya lebih

bersifat batu gamping kapuran, tetapi apabila kandungan spesies fosilnya serupa,

kedua sedimen tersebut kemungkinan telah diendapkan pada waktu yang sama.

Amonit, graptolit dan trilobit merupakan fosil indeks yang banyak

digunakan dalam biostratigrafi. Mikrofosil seperti acritarchs, chitinozoa,

conodonts, kista dinoflagelata, serbuk sari, sapura dan foraminifera juga sering

digunakan. Fosil berbeda dapat berfungsi dengan baik pada sedimen yang
berumur berbeda; misalnya trilobit, terutama berguna untuk sedimen yang

berumur Kambrium. Untuk dapat berfungsi dengan baik, fosil yang digunakan

harus tersebar luas secara geografis, sehingga dapat berada pada bebagai tempat

berbeda. Mereka juga harus berumur pendek sebagai spesies, sehingga periode

waktu dimana mereka dapat tergabung dalam sedimen relatif sempit, Semakin

lama waktu hidup spesies, semakin tidak akurat korelasinya, sehingga fosil yang

berevolusi dengan cepat, seperti amonit, lebih dipilih daripada bentuk yang

berevolusi jauh lebih lambat, seperti nautoloid. Oleh karena itu dalam praktikum

kali ini kita akan membahas tentang Biostratigrafi dan metode pengambilan

sampel dan preparasi.

1.2 Maksud dan Tujuan

Praktikum ini bermaksud untuk . Adapun tujuan dilaksanannya praktikum

ini adalah:
BAB II
TIJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian dan Satuan Biostratigrafi

Biostratigrafi merupakan ilmu penentuan umur batuan dengan menggunakan

fosil yang terkandung didalamnya. Biasanya bertujuan untuk korelasi, yaitu

menunjukkan bahwa horizon tertentu dalam suatu bagian geologi mewakili

periode waktu yang sama dengan horizon lain pada beberapa bagian lain. Fosil

berguna karena sedimen yang berumur sama dapat terlihat sama sekali berbeda

dikarenakan variasi lokal lingkungan sedimentasi. Sebagai contoh, suatu bagian

dapat tersusun atas lempung dan napal sementara yang lainnya lebih bersifat batu

gamping kapuran, tetapi apabila kandungan spesies fosilnya serupa, kedua

sedimen tersebut kemungkinan telah diendapkan pada waktu yang sama.

(Wikipedia, 2018)

Amonit, graptolit dan trilobit merupakan fosil indeks yang banyak digunakan

dalam biostratigrafi. Mikrofosil seperti acritarchs, chitinozoa, conodonts, kista

dinoflagelata, serbuk sari, sapura dan foraminifera juga sering digunakan. Fosil

berbeda dapat berfungsi dengan baik pada sedimen yang berumur berbeda;

misalnya trilobit, terutama berguna untuk sedimen yang berumur Kambrium.

Untuk dapat berfungsi dengan baik, fosil yang digunakan harus tersebar luas

secara geografis, sehingga dapat berada pada bebagai tempat berbeda. Mereka

juga harus berumur pendek sebagai spesies, sehingga periode waktu dimana

mereka dapat tergabung dalam sedimen relatif sempit, Semakin lama waktu hidup

spesies, semakin tidak akurat korelasinya, sehingga fosil yang berevolusi dengan
cepat, seperti amonit, lebih dipilih daripada bentuk yang berevolusi jauh lebih

lambat, seperti nautoloid

Biostratigrafi dikenal sebagai penerapan studi stratigrafi dengan didasarkan

pada aspek paleontologi, atau menggunakan metode paleontologi. Dalam studi

stratigrafi, batuan dikelompokkan secara bersistem menurut berbagai cara, untuk

mempermudah pemerian, aturan dan hubungan batuan yang satu terhadap lainnya.

Kelompok bersistem tersebut dikenal sebagai satuan stratigrafi. Penggolongan

lapisan – lapisan batuan secara bersistem menjadi satuan-satuan bernama berdasar

kandungan dan penyebaran fosil dikenal sebagai biostratigrafi.

Adapun satuan biostratigrafi didefinisikan sebagai tubuh lapisan batuan yang

dipersatukan berdasar kandungan fosil atau ciri – ciri paleontologi sebagai sendi

pembeda terhadap tubuh batuan sekitarnya.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa yang dimaksud kandungan fosil adalah fosil

yang terdapat dalam batuan yang seumur (kontemporer) dengan pengendapan

batuan. Fosil rombakan, apabila mempunyai makna yang penting dapat dipakai

dalam penentuan satuan biostratigrafi (tak resmi). Studi biostratigrafi mengkaji

suksesi organisma berturut-turut sepanjang waktu geologi. Setiap unit strata dapat

ditentukan umur dan ditandai/dicirikan oleh kandungan fosilnya. Selain urutan

waktu, studi biostratigrafi dapat memberikan gambaran ruang.

2.2 Prinsip dan Konsep Biostratigrafi

Perkembangan biostratigrafi tidak terlepas dari prinsip dasar biostratigrafi

yang dikemukakan oleh William Smith, pada akhir tahun 1700-an, yang dikenal

sebagai prinsip suksesi fauna (principle of faunal succession). Dalam tulisannya,


Smith mengemukakan “The same distinctive fossils assemblages characterized

each layer in stratigraphic succession wherever it was found throughout the

region”. Fosil merupakan alat untuk mencirikan, membagi, dan menghubungkan

strata dari suatu daerah ke daerah lain. Batuan yang terbentuk selama interval

waktu geologi tertentu dapat dikenali dan dibedakan berdasarkan kandungan

fosilnya dari batuan yang terbentuk pada interval waktu lain. Konsep ini

kemudian dikenal sebagai prinsip suksesi fauna.

Selanjutnya D'Orbigny mengemukakan kesamaan kumpulan fosil sebagai

salah satu kunci untuk mengkorelasikan unit batuan. Dikemukakan pula bahwa

strata yang dicirikan oleh kumpulan fosil khas mungkin mencakup banyak unit

litostratigrafi (formasi) di satu tempat, atau hanya satu formasi, atau bahkan

sebagian dari formasi di tempat lain. Stages groups of strata 11 containing the

same major fossil assemblages. D'Orbigny mendefinisikan batas stages ditandai

dengan pemunculan akhir (last appearance atau disappearance) suatu kumpulan

dan digantikan oleh kumpulan lainnya. Konsep yang dikemukakan D'Orbigny

dikenal sebagai concept of stage.

Pada tahun 1856 Oppel menyusun gagasan bahwa unit skala kecil

didefinisikan oleh rentang stratigrafi spesies fosil yang terdapat dalam lapisan

yang mengandung fosil (fossil-bearing beds), yang dikenal sebagai zona. Oppel

menemukan bahwa rentang vertikal beberapa spesies sangat pendek, serta

kumpulan fosil yang menandai strata memiliki rentang fosil yang tumpang tindih.

Zona didefinisikan mengikuti jarak vertikal masing-masing spesies yang

berlainan.
Setiap zona ditandai oleh kehadiran bersama spesies yang tidak ditemukan

bersama di atas atau di bawah zona ini. Dengan demikian, kisaran beberapa

spesies dimulai di dasar zona (pemunculan awal spesies/the first appearance of a

species), beberapa spesies punah di puncak dari sebuah zona (pemunculan terakhir

spesies/the last appearance of a species), sementara spesies yang lain berkisar

melalui zona atau bahkan lebih panjang. Oppel mencatat bahwa dengan

menggunakan rentang spesies, batas unit-unit batuan skala kecil dapat

digambarkan dan kisaran kumpulan fosil khas dapat dibedakan. Sebuah zona

mewakili waktu antara kehadiran atau punahnya suatu spesies yang dipilih

sebagai dasar zona (base of the zone) dan kehadiran atau punahnya spesies lain

yang dipilih sebagai batas zona berikutnya.

Pengenalan zona memungkinkan pembatasan unit waktu skala kecil yang

jelas. Masing-masing zona Oppel dinamai menurut spesies fosil tertentu, yang

disebut fosil indeks, atau spesies indeks, yaitu salah satu spesies dalam kumpulan

spesies yang menjadi ciri zona tersebut.

2.3 Penggolongan Satuan Biostratigrafi

Zona atau biozona adalah dasar satuan biostratigrafi. Zona tidak memiliki

ketebalan atau tingkat geografis tertentu. Zona dapat memiliki ketebalan

perlapisan tipis, beberapa meter sampai ribuan meter dan melampar secara

geografis dari unit lokal sampai dengan unit sangat luas yang terdistribusi di

seluruh dunia.

Secara sederhana, suatu satuan biostratigrafi dapat didasarkan pada:

a. Ada-tidaknya kandungan fosilnya.


b. Adanya kumpulan fosil (assemblage) atau adanya fosil-fosil dari jenis

tertentu.

c. Atas kumpulan takson yang mencirikan suatu selang stratigrafi tertentu.

d. Adanya ikatan alamiah fosil-fosil yang tertentu.

e. Kisaran hidup dari suatu takson fosil, atau banyak takson fosil.

f. Melimpahnya atau jumlah kelimpahan (abundance) fosil spesimen

tertentu.

g. Kenampakan morfologi suatu fosil atau fosil-fosil. h. Cara hidup atau

habitat suatu kelompok fosil.

h. Derajat perkembangan evolusi suatu fosil.

Penggunaan zona biostratigrafi di Indonesia diatur dalam Sandi Stratigrafi

Indonesia, adapun nomenklatur standar yang digunakan secara meluas mengikuti

International Subcommision on Stratigraphic Classification (Hedberg, 1976)

dalam International Stratigraphic Guide dan The North American Stratigraphic

Code (1993).

2.4 Sandi Stratigrafi Indonesia

Satuan Biostratigrafi

a. Azas Tujuan

1. Pembagian biostratigrafi dimaksud untuk menggolongkan lapisan-lapisan

batuan secara bersistem menjadi satuan-satuan bernama berdasar kandungan

dan penyebaran fosil.


2. Satuan biostratigrafi ialah tubuh lapisan batuan yang dipersatukan

berdasarkan kandungan fosil atau ciri-ciri paleontologi sebagai sendi

pembeda-pembeda terhadap tubuh batuan sekitarnya.

Penjelasan:

a) Kandungan fosil yang dimaksud disini ialah fosil yang terdapat dalam batuan

yang seumur (kontemporer) dengan pengendapan batuan.

b) Fosil rombakan, apabila mempunyai makna yang penting dapat dipakai dalam

penentuan satuan biostratigrafi (tak resmi).

b. Satuan Resmi Dan Tak Resmi

Satuan biostratigrafi resmi ialah satuan yang memenuhi persyaratan Sandi

sedangkan satuan biostratigrafi tak resmi adalah satuan yang tidak seluruhnya

memenuhi persyaratan Sandi.

c. Kelanjutan Satuan

Kelanjutan satuan biostratigrafi ditentukan oleh penyebaran kandungan fosil

yang mencirikannya.

d. Tingkat dan jenis satuan biostratigrafi

1. Zona ialah satuan dasar biostratigrafi.

2. Zona adalah suatu lapisan atau tubuh batuan yang dicirikan oleh satu takson

fosil atau lebih.

3. Urutan tingkat satuan biostratigrafi resmi, masing – masing dari besar sampai

kecil ialah: Super Zona, Zona, Sub Zona, dan Zonula


4. Berdasarkan ciri paleontologi yang dijadikan sendi satuan biostratigrafi,

dibedakan: Zona Kumpulan, Zona Kisaran, Zona Puncak, Zona Selang, Zona

Rombakan dan Zona Padat.

e. Zona kumpulan

1. Zona Kumpulan ialah satu lapisan atau kesatuan sejumlah lapisan yang terciri

oleh kumpulan alamiah fosil yang khas atau kumpulan sesuatu jenis fosil.

2. Kegunaan Zona Kumpulan, selain sebagai penunjuk lingkungan kehidupan

purba dapat juga dipakai sebagai penciri waktu.

3. Batas dan kelanjutan Zona Kumpulan ditentukan oleh batas – batas terdapat

kebersamaannya (kemasyarakatan) unsur – unsur utama dalam

kesinambungan yang wajar.

4. Nama Zona Kumpulan harus diambil dari satu unsur fosil atau lebih yang

menjadi penciri utama kumpulannya.

Penjelasan:

a) Kumpulan alamiah fosil yang dimaksud disini adalah fosil – fosil yang

mempunyai lingkungan hidup yang sama dan terdapat dalam lapisan – lapisan

batuan yang seumur dengan saat pengendapan lapisan batuan tersebut.

b) Seandainya suatu kumpulan terciri oleh takson A, B dan C maka nama

zonanya dinamakan Zona Kumpulan A, Zona Kumpulan B atau Zona

Kumpulan C atau gabungan dari takson – takson yang khas misalnya Zona

Kumpulan A – B.
f. Zona Kisaran

1. Zona Kisaran ialah tubuh lapisan batuan yang mencakup kisaran stratigrafi

unsur terpilih dari kumpulan seluruh fosil yang ada.

2. Kegunaan Zona Kisaran terutama ialah untuk korelasi tubuh – tubuh lapisan

batuan dan sebagai dasar untuk penempatan batuan – batuan dalam sekala

waktu geologi.

3. Batas dan kelanjutan Zona Kisaran ditentukan oleh penyebaran tegak dan

mendatar takson (takson –takson) yang mencirikannya.

4. Nama Zona Kisaran diambil dari satu jenis fosil atau lebih yang menjadi ciri

utama Zona.

Penjelasan:

a) Zona Kisaran dapat berupa kisaran satu unsur takson, kumpulan kisaran

takson, takson – takson bermasyarakat, silsilah takson atau ciri paleontologi

lain yang menunjukkan kisaran.

b) Fosil rombakan tidak dapat dipakai dalam penentuan Zona Kisaran.

c) Sebagai contoh Zona Kisaran Takson ialah Zona Kisaran Globorotalia

margaritae, sedangkan kisaran takson ganda ialah Zona Kisaran

Globigerinoides sicanus – Globigerinetella insueta.

g. Zona Puncak

1. Zona Puncak ialah tubuh lapisan batuan yang menunjukkan perkembangan

maksimum suatu takson tertentu.


2. Kegunaan Zona Puncak dalam hal tertentu ialah untuk menunjukkan

kedudukan kronostratigrafi tubuh lapisan batuan dan dapat dipakai sebagai

petunjuk lingkungan pengendapan purba, iklim purba.

3. Batas vertikal dan lateral Zona Puncak sedapat mungkin bersifat objektif.

4. Nama Zona Puncak diambil dari nama takson yang berkembang secara

maksimum dalam Zona tersebut.

Penjelasan:

a) Fosil – fosil rombakan tidak dapat dipergunakan untuk penentuan Zona

Puncak.

b) Pada umumnya yang dimaksud dengan perkembangan maksimum adalah

jumlah populasi suatu takson dan bukan seluruh kisarannya.

h. Zona Selang

1. Zona Selang ialah selang stratigrafi antara pemunculan awal /akhir dari dua

takson penciri

2. Kegunaan Zona Selang pada umumnya ialah untuk korelasi tubuh – tubuh

lapisan batuan.

3. Batas atas atau bawah suatu Zona Selang ditentukan oleh pemunculan awal

atau akhir dari takson – takson penciri.

4. Nama Zona Selang diambil dari nama – nama takson penciri yang merupakan

batas atas dan bawah Zona tersebut.

Penjelasan:

a) Pemunculan awal/akhir dari takson ialah awal/akhir dari munculnya takson –

takson penciri pada sayatan stratigrafi. Bidang dimana titik – titik tempat
pemunculan awal/akhir tersebut berada disebut sebagai biohorison dan sering

dikenal sebagai biodatum.

b) Dalam kegunaannya pada korelasi inter regional atau global sebaiknya umur

mutlak (pentarikhan radiometrik) disertakan. Sebagai contoh penamaan Zona

Selang dengan ciri pemunculan awal adalah Zona Selang Globigerinoides

sicanus/Orbulina suturalis, contoh dengan ciri pemunculan akhir adalah Zona

Selang Truncorotaloides rohri/Globigerinita howei.

i. Zona Rombakan

Zona Rombakan adalah tubuh lapisan batuan yang ditandai oleh banyaknya

fosil rombakan, berbeda jauh dari pada tubuh lapisan batuan di atas dan di

bawahnya.

Penjelasan:

a) Zona Rombakan umumnya khas berhubungan dengan penurunan muka air

laut relatif yang cukup besar dan sering bersifat lokal, regional sampai global.

b) Zona Rombakan ini merupakan satuan biostratigrafi tak resmi.

j. Zona Padat

Zona Padat ialah tubuh lapisan batuan yang ditandai oleh melimpahnya fosil

dengan kepadatan populasi jauh lebih banyak dari pada tubuh batuan di atas dan

di bawahnya.

Penjelasan: Zona Padat ini umumnya diakibatkan oleh sedikitnya pengendapan

material selain fosil.


k. Prosedur Penetapan Satuan Biostratigrafi

Pengusulan suatu satuan biostratigrafi resmi harus dinyatakan secara

terbuka dan tertulis. Pernyataan tersebut meliputi hal-hal sebagai berikut:

a) Pernyataan tentang maksud pengusulan suatu satuan resmi;

b) Nama tingkat satuan yang diusulkan;

c) Adanya stratotipe atau lokasitipe, pemerian ciri – ciri fosil atau litologi;

d) Hubungan antara satuan yang diusulkan dengan satuan lain dan keterangan

tentang batas satuan;

e) Pelamparan secara lateral dan penyebarannya kearah vertikal;

f) Hubungan dengan satuan stratigrafi lainnya misalnya dengan umur geologi

(Zaman atau yang lebih kecil); 20 g. Keterangan mengenai nama-nama yang

dipergunakan sebelumnya dan

g) Prosedur penerbitan harus resmi.

l. Satuan Resmi Bawah Permukaan

1. Satuan resmi biostratigrafi bawah permukaan ialah satuan yang diperoleh

berdasarkan data bawah permukaan.

2. Selain prosedur yang tercantum dalam Pasal 29, masih diperlukan tambahan

yang meliputi keterangan lengkap tentang:

a) sumur tipe atau tambang tipe,

b) penampang geologi bawah permukaan/penampang geologi sumur,

c) penampang geofisika (misalnya penampang seismik) atau yang lainnya,

bilamana diperlukan,
d) tempat penyimpangan conto batuan (tahibor), intibor dan contoh sejenisnya.

Penjelasan:

a) Keterangan lengkap mengenai lokasi geografi, nama perusahaan yang

bertanggung jawab atas data bawah permukaan, kedalaman lubang bor, letak

geografis dan nivo tambang tempat contoh batuannya.

b) Penampang geologi sumur memperlihatkan penyebaran vertikal dan

pelamparan lateral serta memperlihatkan hubungannya dengan satuan

stratigrafi lainnya.

c) Tempat penyimpanan contoh fosil dan contoh batuan harus terbuka untuk

studi (umum).

d) Sumurtipe dan tambangtipe mempunyai makna sama seperti lokasitipe.

2.5 AZAS-AZAS UMUM

a. STRATIGRAFI

Stratigrafi dalam arti luas adalah ilmu yang membahas aturan, hubungan dan

kejadian (genesa) macam-macam batuan di alam dalam ruang dan waktu

sedangkan dalam arti sempit ialah ilmu pemerian lapisan-lapisan batuan.

b. PENGGOLONGAN STRATIGRAFI

Penggolongan Stratigrafi ialah pengelompokkan bersistem batuan menurut

berbagai cara, untuk mempermudah pemerian, aturan dan hubungan batuan yang

satu terhadap lainnya. Kelompok bersistem tersebut di atas dikenal sebagai Satuan

Stratigrafi.

c. BATAS SATUAN STRATIGRAFI


Batas Satuan Stratigrafi ditentukan sesuai dengan batas penyebaran ciri

satuan tersebut sebagaimana didefinisikan. Batas Satuan Stratigrafi jenis tertentu

tidak harus berhimpit dengan batas Satuan Stratigrafi jenis lain, bahkan dapat

memotong satu sama lain.

d. TATANAMA STRATIGRAFI

Tatanama Stratigrafi ialah aturan penamaan satuan-satuan stratigrafi, baik

resmi maupun tak resmi, sehingga terdapat keseragaman dalam nama maupun

pengertian nama-nama tersebut seperti misalnya: Formasi/formasi, Zona/zona,

Sistem dan sebagainya.

e. TATANAMA SATUAN STRATIGRAFI RESMI DAN TAK RESMI

Dalam Sandi diakui nama resmi dan tak resmi. Aturan pemakaian satuan

resmi dan tak resmi masing-masing satuan stratigrafi, menganut batasan satuan

yang bersangkutan. Penamaan satuan tak resmi hendaknya jangan mengacaukan

yang resmi.

Penjelasan : Nama satuan resmi menggunakan huruf besar pada setiap tingkat

stuannya (misalnya Formasi Batutaja yang terdiri dari batugamping) sedangkan

untuk satuan tak resmi huruf kecil kecuali ditulis pada awal kalimat seperti

misalnya gamping Baturaja. Untuk keperluan tertentu yang sifatnya intern,

penamannya tetap menggunakan sistem binomial/dwinama, hal ini tergantung

pada cara yang dipakai (misalnya batupasir Ngrayong, seam/lapisan Sangata,

horizon kuning), bila menggunakan tambahan “angka/huruf” maka urutan

angka/huruf tersebut menunjukkan urutan kronologis (misalnya horison 16,


kedudukan stratigrafinya relatif di atas horizon 15, batugamping unit 1, unit 2 dan

lain-lain).

f. STRATOTIPE ATAU PELAPISAN JENIS

Stratotipe ialah tipe perwujudan alamiah satuan stratigrafi yang memberikan

gambaran ciri umum dan batas-batas atuan stratigrafi.

Tipe ini merupakan sayatan pangkal suatu satuan stratigrafi. Stratotipe

hendaknya memberikan kemungkinan penyelidikan lebih lanjut. Stratotipe

Gabungan ialah satuan startotipe yang dibentuk oleh kombinasi beberapa sayatan

komponen; Hipostratotipe ialah sayatan tambahan (stratotipe sekunder) untuk

memperluas keterangan pada stratotipe; Lokasitipe ialah letak geografi suatu

stratotipe atau tempat mula-mula ditentukannya satuan stratigrafi.

g. KORELASI

Korelasi ialah penghubungan titik-titik kesamaan waktu atau penghubngan

satuansatuan stratigrafi dengan mempertimbangkan kesamaan waktu.

i. HORISON

Horison adalah suatu bidang (dalam praktek, lapisan tipis di muka bumi atau

di bawah permukaan) yang menghubungkan titik-titik kesamaan waktu. Horison

dapat berupa : horison listrik, horison seismik, horison fosil dan sebagainya.

Istilah-istilah seperti : datum, marker, lapisan pandu sebagai padanannya dan

sering dipakai dalam keperluan korelasi.

j. FASIES

Fasies adalah aspek fisika, kimia atau biologi suatu endapan dalam kesamaan

waktu. Dua tubuh batuan yang diendapkan pada waktu yang sama dikatakan
berbeda fasies, kalau kedua batuan tersebut berbeda ciri fisik, kimia atau

biologinya.

k. PENGUSULAN SATUAN STRATIGRAFI RESMI DAN TAK RESMI

Satuan Stratigrafi dapat dianggap resmi bila : Memenuhi syarat Sandi;

Diterbitkan dalam suatu penerbitan ilmiah berkala, majalah geologi atau buku

yang terbuka untuk umum, cukup luas penyebarannya dan dapat dipetik tanpa

adanya pembatasan.

l. SATUAN RESMI BAWAH PERMUKAAN

Satuan Resmi Bawah Permukaan ialah satuan resmi yang didapatkan berdasar

keterangan dari data bawah permukaan. Jika sekiranya suatu satuan stratigrafi

tersebut tersingkap di permukaan maka hendaknya dihindari pemakaian satuan

stratigrafi bawah permukaan. Pengusulan satuan resmi bawah permukaan,

mengikuti aturan masingmasing satuan stratigrafi yang bersangkutan.

m. PROSEDUR AMANDEMEN

Usulan penambahan, pengurangan atau perubahan dalam segala bentuk dari

pada wujud Sandi Stratigrafi ini dapat disampaikan secara tertulis kepada Komisi

Sandi Stratigrafi Indonesia, Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI). Pembahasan

tentang usulan perubahan diselenggarakan sekali setahun, bertepatan dengan

Pertemuan Tahunan IAGI.

2.5 Foraminifera Bentik Besar

Foraminifera besar memiliki cangkang yang besar dan kompleks (umumnya

berdiameter 2-5 mm; varian raksasa Cycloclypeus, Eulepidina dan Nummulites

lebih dari 5 cm). Foraminifera (biasanya berukuran besar) yang tersemenkan


(batugamping, batupasir keras) perlu dipelajari dalam sayatan tipis. Fitur eksternal

foraminifera besar atau sayatan tipis random umumnya memungkinkan

identifikasi pada tingkat spesies, namun sayatan tipis yang berorientasi memotong

tahap embrio biasanya diperlukan untuk penentuan spesies atau tingkat

perkembangan dalam rangkaian evolusioner. Kelompok ini hidup di perairan laut

yang dangkal, bening, tropis atau subtropis, dan seringkali dikaitkan dengan

terumbu karang. Beberapa merayap di bawah, yang lainnya hidup menempel pada

rumput laut. Sebagian besar, atau semua, memiliki hubungan simbiosis dengan

alga atau diatom dan dibatasi pada zona fotik (photic zone).

2.6 Interpretasi Lingkungan Pengendapan Berdasarkan Foramnifera

Planktik

Walaupun foraminifera planktik bukan petunjuk yang paling baik dalam

penentuan lingkungan pengendapan, namun analisa kuantitatif didasarkan pada

persentase kelimpahan foraminifera planktik banyak dipergunakan untuk

interpretasi batimetri. Peningkatan persentase spesies planktik dalam kumpulan

foraminifera terekam sebanding dengan kedalaman.

2.7 Intepretasi Lingkungan Pengendapan Berdasarkan Foraminifera Bentik

Besar

Secara khusus, distribusi kumpulan dan dominasi foraminifera besar menjadi

penanda lingkungan pada kompleks batugamping, dengan kekhasan sebagai

berikut:
a. Di paparan tertutup (restricted) seringkali dijumpai Peneroplida dan Soritida

(Marginopora).

b. Di tepi paparan seringkali dijumpai Baculogypsina, Calcarina, Amphistegina

dan Nummulites bercangkang tebal.

c. Daerah terumbu belakang atau laguna didominasi Miliolid seperti

Austrotrillina, Alveolinids (Borelis, Flosculinella), serta Orbitolites.

d. Di dataran terumbu dan laguna dangkal dijumpai Calcarina dan Miliolid besar

(Marginopora dan Peneroplis)

e. Di paparan dalam (inner shelf) atau zona neritik dalam (inner neritic) pada

kondisi yang menguntungkan, foraminifera besar seperti Operculina,

Heterostegina, Calcarina, Marginopora dan Baculogypsina dapat ditemukan.

f. Di paparan tengah, Operculina dan Amphistegina, khususnya A. quoyi,

umum ditemukan melimpah.

g. Foreslope yang dangkal didominasi oleh Miogypsinida, ke arah dalam

didominasi oleh Lepidocyclina, Spiroclypeus, Nummulites dan Discocyclina,

dekat dengan zona photic didominasi oleh Cycloclypeus.

h. Foreslope yang dalam dan paparan terbuka dalam zona euphotic seringkali

ditandai oleh kehadiran Amphistegina lessonii dan Alveolinida.

2.8 Intepretasi Lingkungan Pengendapan Berdasarkan Foraminifera Bentik

Kecil

Dalam interpretasi lingkungan pengendapan laut, foraminifera memegang

peranan penting, Perubahan lingkungan payau (brackish) menuju sublittoral dan


upper bathyal ditandai dengan peningkatan jumlah dan keanekaragaman

(diversitas) foraminifera, serta peningkatan presentase foraminifera planktik.

Salinitas, suhu, substrat, cahaya, nutrisi dan kandungan oksigen mengontrol

kelimpahan dan keanekaragaman, serta berhubungan dengan kedalaman

air/batimetri.

Interpretasi lingkungan pengendapan purba dengan terutama didasarkan

kumpulan foraminifera bentik kecil modern di daerah tropis atau fosil adalah

sebagai berikut:

1. Air tawar / supratidal - intertidal fresh water, Tidak ditemukan foraminifera,

biasanya dijumpai ostracoda air tawar.

2. Marginal marine (intertidal zone and areas of mixing of fresh and marine

waters), upper estuarine:

 Foraminifera umumnya tidak ada atau kurang berkembang.

 Jika ada, kumpulan dicirikan oleh kelimpahan rendah dan keragaman

rendah dengan ditandai oleh kehadiran bentuk arenaceous seperti

Haplophragmoides, Trochammina dan Miliammina.

3. Marginal marine (intertidal zone and areas of mixing of fresh and marine

waters), lower estuarine, transitional environment, brackish water:

 Seringkali tidak ditemukan foraminifera pada lower estuarine.

 Pada upper estuarine, bentuk arenaceous seperti Haplophragmoides,

Trochammina, Miliammina dan Ammobaculites berasosiasi dengan

spesimen kecil Elphidium tanpa keel dan Ammonia (taksa bentik

gampingan / calcareous).
4. Marginal marine (intertidal zone), litoral

a. Di pantai berpasir, energi tinggi, salinitas normal:

 Keanekaragaman rendah.

 Foraminifera kadang-kadang absen.

 Foraminifera planktik, foraminifera besar dan bentik calcareous tidak ada.

 Quinqueloculina, Milliolinella, Ammonia beccarii, Operculina dan

Ephidium adalah spesies yang khas.

 Spesimen tidak terawetkan dengan baik, banyak spesimen kecil atau

bercangkang tipis hancur.

 Banyak ditemukan bentuk alochonous.

b. Dekat pantai, substrat lumpuran, salinitas normal:

 Keanekaragaman rendah, dengan 2 atau 3 spesies menyusun lebih dari

90% kumpulan.

 Pseudorotalia, Ammonia dan Nonion mendominasi.

c. Dekat pantai, substrat pasir-lanauan, salinitas normal, Baculogypsina umum

dijumpai.

d. Rawa pasang surut / tidal marshes and mangrove swamps dapat terbagi

menjadi tiga kelompok menurut salinitas: hyposaline marshes, normal saline

marshes dan hypersaline marshes. Interpretasi lingkungan rawa sulit

dilakukan, karena cangkang mudah hancur, dan keanekaragaman rendah yang

terdiri dari spesies arenaceous kecil seperti Trochammina,

Haplophragmoides, dan Ammobaculifes cenderung menunjukkan rawa.

Lempung dan lempung abu-abu tua kaya organik, banyak mengandung akar
dan sisa tanaman sering mengindikasikan deposit ini. Pirit biasa terjadi,

karena kondisi reduksi.

1) Rawa hyposaline:

 Kelimpahan foraminifera paling tinggi, meski keragamannya rendah.

 Didominasi spesies arenaceous (Miliammina, Ammonium dan

Trochhammina inflata) dan rotaloid (Elphidium), tidak ada miliolid.

2) Rawa normal saline, Spesies arenaceous dominan dengan miliolid kecil

(Quinqueloculina) dan rotalid (Elphidium, Ammonia beccarii).

3) Rawa hypersaline marshes:

 Persentase spesies arenaceous, miliolid dan rotalid hampir sama.

 Jenis kosmopolitan yang khas adalah: Ammotium salsum, Areno

parrella mexicana, Miliammina fusca, Trochammina macrescens dan T.

polystoma.

5. Mangrove swamp dan marshes: - Jenis yang khas adalah Haplophragmoides

salsun, Haplophragmoides wilberfi, Miliammina pariaensis, Arenoparella

mexicana dan Trochammina laevigata.

6. Dataran pasangsurut (tidal flats): - Ammonia beccarii, Elphidium dan

Quinqueloculina adalah spesies yang khas. - Rotaloid mendominasi, miliolid

jarang, dan arenaceous tidak umum.

7. Estuaries (muara sungai, pertemuan pasang surut dan arus sungai) bersifat

hyposaline, dibedakan menjadi: bagian atas (air tawar dominan) dijumpai

Miliammina dan Ammobaculites, dan bagian bawah (terhubung dengan laut)

dijumpai Miliammina, Ammobaculites, Ammonia beccarii dan Elphidium.


8. Laguna: dangkal, yang terhubung dengan laut atau sungai; laguna

pantai/pesisir sejajar dengan garis pantai memiliki saluran yang terhubung

dengan laut, dibatasi oleh bar pasir atau pulau penghalang, dibedakan

menjadi:

1) Laguna hyposaline/freshwater seawater: dicirikan oleh Ammotium,

Millammina fusca, Ammonia beccarii, Elphidium, dan Protelphidium).

2) Laguna normal marine: Quinqueloculina, Triloculina, Miliolinella,

Peneropis, Glabratella, Ammonia beccarii, Elphidium, dan 77

Protelphidium.

3) Laguna hypersaline (tidak ada pencampuran air tawar): Quinqueloculina,

Triloculina, Miliolinella, Peneropis, Glabratella, Ammonia beccarii dan

Elphidium. i. Delta, dicirikan oleh Sigmoilopsis schlwebergeri dan

Martinotiella occidentalis untuk daerah dangkal (< 5 m); Pullenia

quinqueloba, Melonis barleeanus, Hoglundina elegans dan Bulimina

aculeata untuk daerah yang lebih dalam (batas luar prodelta 60-70 m).

2.9 Cara pengambilan Sampel

a. Pemetaan Geologi

Pemetaan geologi merupakan suatu kegiatan pendataan informasi-informasi

geologi permukaan dan menghasilkan suatu bentuk laporan berupa peta geologi

yang dapat memberikan gambaran mengenai penyebaran dan susunan batuan

(lapisan batuan), serta memuat informasi gejala-gejala struktur geologi yang

mungkin mempengaruhi pola penyebaran batuan pada daerah tersebut.


b. Pengambilan Sampel

Sampling atau pengambilan contoh/sampel adalah dasar daripada suatu

pekerjaan Geologi. Yang disebut Sampling yaitu suatu proses untuk mendapatkan

sebagian hasil dari suatu massa yang besar dan cukup representatif untuk

mewakili massa asli.

c. Lintasan (traverse)

Dalam melakukan pemetaan geologi yang sistematis, dibutuhkan lintasan-

lintasan pengamatan yang dapat mencakup seluruh daerah pemetaan. Perencanaan

lintasan tersebut sebaiknya dilakukan setelah gambaran umum seperti kondisi

geologi regional dan geomorfologi daerah diketahui, agar lintasan yang

direncanakan tersebut efektif dan representatif.

Pada prinsipnya, lintasan-lintasan yang dibuat pada aliran-aliran sungai atau

jalur-jalur kikisan yang memotong arah umum perlapisan, dengan tujuan dapat

memperoleh variasi litologi (batuan). Kadang-kadang juga diperlukan lintasan-

lintasan yang searah dengan jurus umum perlapisan dengan tujuan dapat

mengetahui kemenerusan lapisan. Secara umum lintasan (traverse) pemetaan ada

2 (dua), yaitu lintasan terbuka dan lintasan tertutup. Lintasan terbuka mempunyai

titik awal dan titik akhir yang tidak sama, sedangkan lintasan tertutup bersifat

loop (titik awal dan titik akhir sama).

Namun yang perlu (penting) diperhatikan, informasi-informasi yang

diperoleh dari lintasan-lintasan yang dibuat dapat digunakan sebagai dasar dalam

melakukan korelasi (interpretasi) batas satuan-satuan litologi.


Selain itu, ada juga metode pemetaan yang dikenal sebagai lintasan kompas

dan pengukuran penampang stratigrafi. Lintasan kompas (measured section atau

tali kompas) dilakukan dengan tujuan membuat penampang (topografi dan

litologi) di sepanjang lintasan. Sedangkan pengukuran penampang stratigrafi

dilakukan untuk mengetahui ketebalan, struktur perlapisan, variasi satuan litologi,

atau mineralisasi dengan detail (rinci). Umumnya pengukuran penampang

stratigrafi dilakukan pada salah satu lintasan kompas yang dianggap paling

lengkap memuat informasi litologi keseluruhan wilayah.

d. Measuring section

 Mendapatkan dan mempelajari secara detail dan mendalam hubungan

stratigrafi antar satuan batuan apakah hubunganya selaras tau tidak selaras

serta urut-urutan sedimentasi dalam arah vertical secara detail untuk

menginterpretasikan lingkungan pengendapan. 

 Mendapatkan ketebalan yang detail dari tiap-tiap satuan stratigrafi.

 Untuk mendapatkan data batuan atau lithologi secara detail dan utuh dari

urutan-urutan perlapisan dari lapisan yang paling muda ke lapisan yang

lebih tua dari suatu satuan stratigrafi 

e. Membuat perencanaan dari lintasan yang akan diukur

Sebelum membuat pengukuran secara detail, diperlukan perencaan lintasan

pengukuran dan ada beberapa hal pendahuluan yang harus dilihat, diantaranya : 

 Kedudukan dari bidang lapisan (strike & dip), apakah lapisanya curam,

landai, vertical atau horizontal (dip <5derajat)


 Hal selanjutnya yg perlu  diketahui adalah : jurus dan kemiringan dari

lapisan itu konstan menerus atau berubah.

 Tentukan urut-urutan tua ke muda dari lapisan 

 Mencari kemungkinan adanya lapisan penunjuk  "marker" yang dapat

dijadikan guide oleh sebagian ataupun seluruh daerah telitian.

f. Teknis Pengukuran

Untuk metode yang digunakan untuk mengukur penampang stratigrafi banyak

caranya. Tetapi, salah satu cara yang paling umum dan mudah digunakan di

lapangan adalah measurement dengan memakai pita ukur (meteran) dan kompas.

Sebisa mungkin untuk pengukuran tebal agar arah pengukuran tegak lurus pada

jurus perlapisan, Sehingga koreksi-koreksi yang rumit dapat dihindari

g. Teknis Pengkuran Tebal Lapisan

Untuk pengkuran tebal lapisan, jarak paling pendek diantara bidang alas/

bawah (bottom) dan bidang atap (top) adalah tebal lapisan sebenarnya.

Seharusnya perhitungan tebalnya yang sangat tepat harus dilakukan dalam bidang

yang benar-benar tegak lurus jurus lapisan tersebut. Bilamana pengukuran tidak

tegak lurus maka jarak terukur tersebut yang diperoleh harus dikoreksi terlebih

dahulu terhadap ketebalan lapisan sebenarnya, nah daripada ribet mengkoreksi

lebih baik kita mengukur dengan benar.


BAB III
METODELOGI

3.1 METODE

Para praktikum ini digunakan metode dalam pelaksanaannya. Adapun metode

praktikum yaitu dimulai dari praktikum, kemudian analisis data, dan pembuatan

laporan.

3.2 TAHAPAN PENELITIAN

Adapun tahapan praktikum yang dilakukan :

1. Tahapan Pendahuluan

Pada tahapan ini kami melakukan asistensi acara dimana kami diberikan

materi singkat mengenai acara yang akan dipraktikumkan serta cara

pendeskripsian fosil. Selain itu kami juga melalukan pembuatan tugas

pendahuluan berdasarkan studi pustaka atau literature.

2. Tahapan Praktikum

Tahapan ini kami melakukan responsi sebelum memulai praktikum, pada

responsi kami diberikan soal terkait acara yang akan dipraktikumkan, setelah

responsi kami memulai praktikum dimana kami diberikan sampel peraga kayu

fosil mikro, kemudian sampel tersebut kami deskripsi pada lembar kerja

praktikum.

3. Analisis Data

Pada tahapan ini kami melakukan analisis data yang telah kami ambil pada

saat praktikum, kemudian data tersebut diasistensikan.


4. Pembuatan laporan

Pada tahapan ini kami membuat kaporan berdasarkan dari analisis data yang

telah kami asistensikan sehingga menghasilkan laporan praktikum. Bab-bab

yang menjadi tugas pendahuluan akan di perbaiki dan dilengkapi, kemudian

disusun menjadi laporan.

PENDAHULUAN

PRAKTIKUM

ANALISI DATA

LAPORAN

Gambar 3.1 Diagram Alir Prosedur Praktikum


BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 PREPARASI SAMPEL


BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

5.2 Saran

Agar lebih mematuhi lagi potokol kesehatan karena kita sedang dalam masa

pandemi.

Anda mungkin juga menyukai