Anda di halaman 1dari 16

Celebes Molase Translate

Abstract

Selama satu abad terakhir, berbagai macam sedimen dengan umur yang kurang jelas yang
secara tidak selaras menindih batuan pra-Neogen di
Sulawesi telah ditetapkan sebagai Celebes Molasse dan ditafsirkan sebagai batuan pasca
orogenik yang diendapkan setelah tabrakan besar.
tabrakan besar. Data baru dari penelitian lapangan dan laboratorium, termasuk mineralogi,
palaentologi dan
analisis geokronologi zirkon, memberikan dasar bagi stratigrafi Neogene baru dan
menunjukkan bahwa sedimen
yang ditugaskan ke Celebes Molasse memiliki variasi yang signifikan dalam hal usia,
lingkungan pengendapan, komposisi dan
sejarah sedimentasi. Ketidaksesuaian yang teridentifikasi pada (1) Miosen Awal (c. 23 Ma),
(2) Miosen Tengah (c. 15
Miosen Tengah (c. 15 Ma), (3) Miosen Tengah (c. 6-5,3 Ma), dan (4 dan 5) Pleistosen (c. 1,8
dan 0,1 Ma) yang terpisah dari Miosen Bawah,
Miosen Tengah ke Atas, Pliosen, Pleistosen, dan Holosen. Mega-urutan ini dihasilkan
dari tabrakan Miosen Awal yang diikuti oleh ekstensi, didorong oleh rollback subduksi,
menyebabkan pengangkatan dan
tumbukan, berbeda dengan interpretasi sebelumnya tentang tumbukan ganda.

Translated with DeepL.com (free version)

Celebes molase
Istilah Celebes Molasse pertama kali diperkenalkan oleh naturalis Swiss, Sarasin dan Sarasin
(1901) untuk menggambarkan endapan Neogene yang tidak terkonsolidasi
di Sulawesi yang terdiri dari konglomerat, batupasir
napal, batulempung dan serpih. Mereka biasanya bertingkat-tingkat, sebagian besar klastik,
berwarna abu-abu kehijauan dan mengandung fosil tumbuhan dan kerang (Sarasin dan
Sarasin dan Sarasin, 1901). Pengamat lain dari endapan Molase Celebes telah
menggambarkannya sebagai konglomerat yang terkonsolidasi lemah hingga sedang, batupasir
kuarsa, batulempung, batulempung dengan perselingan breksi, napal, dan batugamping koral
(mis.
dan Sukarna, 1995; van Leeuwen dan Muhardjo, 2005). Endapan molase
secara luas diakui memiliki umur dan litologi yang sama di seluruh Sulawesi (Gbr. 3; e.g.
yang sama di seluruh Sulawesi (Gbr. 3; contohnya Wanner, 1910; van Bemmelen, 1949;
Milsom dkk., 1999). Pandangan ini telah ditentang oleh penulis lain seperti
seperti Hamilton (1979), Surono (1995), Calvert (2000), Hall dan Wilson
(2000) dan Pholbud dkk. (2012) yang menduga bahwa tanggal-tanggal
deposito yang kurang baik ini bersifat diakronis. Beberapa penulis (misalnya Hopper, 1941;
Kündig,
1956; Surono, 1995; Surono dan Sukarna, 1995) telah mencoba untuk
menginterpretasikan umur pengendapan maksimum dari endapan Celebes Molasse
berdasarkan hubungan stratigrafi. Hopper (1941) menyarankan bahwa
dasar dari Molase Sulawesi didasari oleh basal Miosen Atas di
Lengan Timur. Kündig (1956) menyarankan umur Miosen Akhir hingga Pliosen untuk
untuk Celebes Molasse di Lengan Timur. Surono (1995) mempertimbangkan
Celebes Molasse di Lengan Tenggara berumur Miosen Awal hingga Miosen Akhir. Penulis
lain
penulis lain (Ratman, 1976; Davies, 1990; Purnomo dkk., 1999; Calvert,
2000; van Leeuwen dan Muhardjo, 2005; Cottam dkk., 2011) menyarankan
berbagai umur yang lebih muda untuk sedimen-sedimen ini yang umumnya berkisar dari
Pliosen hingga Pleistosen.
Bagi banyak penulis, semua sedimen Neogen yang tidak dapat
menindih batuan pra-Neogene dianggap sebagai bagian dari Celebes
Molase (misalnya Sarasin dan Sarasin, 1901; Wanner, 1910; Kündig, 1956;
Milsom dkk., 1999). Sedimen-sedimen ini dipetakan sebagai Celebes
Molase pada peta geologi skala regional 1:1.000.000 (Sukamto, 1975;
Sukamto dkk., 1994). Peta geologi yang telah direvisi oleh GRDC (Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi
Geologi, sekarang menjadi Badan Geologi) memperkenalkan nama-nama formasi baru
Indonesia) memperkenalkan beberapa nama formasi baru untuk endapan Neogene
dan sedimen Kuarter yang sebelumnya dipetakan sebagai Celebes Molasse (Sukamto, 1973,
1982; Ratman, 1976; Sukamto dan
Supriatna, 1982; Simandjuntak dkk., 1991, 1993a, 1993b, 1997; Ratman dan Atmawinata,
1993; Sukido dkk., 1993; Rusmana dkk., 1993a,
b; Surono dkk., 1993; Sikumbang dan Sanyoto, 1995; Apandi dan
Bachri, 1997; Djuri dkk., 1998). Meskipun dibagi ke dalam beberapa kelompok yang berbeda
ormasi, tidak ada usia yang tepat, tidak ada sedimen yang komprehensif
yang komprehensif, tidak ada sejarah sedimentasi yang komprehensif dan tidak ada
penjelasan mengenai hubungan stratigrafinya.
Selain itu, ada beberapa peta yang masih menggambarkan formasi baru ini

baru ini sebagai bagian dari Celebes Molasse (misalnya Apandi dan Bachri, 1997;
Ratman, 1976; Surono, 1995; van Leeuwen dkk., 1994, 2007;
Simandjuntak dkk., 1997; Surono, 1995; van Leeuwen dan Muhardjo,
2005). Di sini kami mengusulkan revisi stratigrafi Neogene untuk Sulawesi,
berdasarkan pengamatan lapangan dan batasan umur yang baru (Gbr. 4)

Di Sulawesi Tenggara, suksesi Miosen meliputi Formasi Bungku dan


Formasi Pandua (istilah baru yang diperkenalkan dalam penelitian ini; Gbr. 14). Formasi
Bungku
Formasi Bungku secara tidak selaras menindih Formasi Salodik
(Simandjuntak dkk., 1993) dan secara tidak selaras ditindih oleh Formasi Pandua

Formasi Pandua. Karbonat dan silikat diendapkan di bagian


bagian utara Lengan SE selama Miosen Awal hingga awal Miosen Tengah
Miosen (18-15 Ma, Gbr. 16; van der Vlerk dan Dozy, 1934 dan
penelitian ini). Karbonat Miosen Bawah dan silikat yang kaya serpentinit
dalam penelitian ini ditempatkan pada bagian bawah dan atas Formasi Bungku (Gbr. 16).
Formasi Bungku (Gbr. 16). Batugamping Miosen Bawah dikumpulkan selama
Ekspedisi Celebes 1929 di bagian utara Lengan Tenggara (Gbr. 16; van der
Vlerk dan Dozy, 1934) dan dijadikan sampel dalam penelitian ini. Batuan tersebut terdiri dari
batugamping granular, batugamping konglomerat, batugamping kompak dan
napal abu-abu. Batuan ini juga mengandung butiran kuarsa, kuarsit, turmalin,
kerang echinoid, batugamping kompak, serpentin, rijang, batugamping kristal,
plagioklas,
olivin
dan
arkose
batu pasir
dengan
minor
glaukonit

dan
biotit.
Bagian
atas
klastik
unit
meliputi
kaya ultrabasa
konglomerat,

batupasir dan batulempung dengan interkalasi batugamping. Pengasaran


dan
penebalan
ke atas
urutan
merekam
perkembangan
dari
a
delta

ke dalam

lingkungan laut (Gbr. 7d). Ketebalan stratigrafi


diamati adalah 15 m, tetapi bagian atas dan dasar Formasi Bungku tidak
tidak terlihat dan ketebalan yang sebenarnya pasti jauh lebih besar.
Tidak ada catatan mengenai pengendapan Miosen Tengah dan oleh karena itu tidak ada
data biostratigrafi dari Sulawesi Tenggara. Jeda ini berarti bahwa Miosen Tengah
Miosen Tengah kemudian terkikis atau tidak pernah diendapkan. Bagian Atas
Formasi Pandua Miosen Atas terdiri dari konglomerat yang kaya akan serpentinit,
batupasir dan batulempung. Kehadiran Mancorus verbeeki (Plate 3;
Martin, 1895; Shuto, 1978) merupakan penanda untuk Miosen Akhir. Formasi Pandua
Formasi Pandua ditindih secara tidak selaras oleh Formasi Langkowala dan
Formasi Eemoiko dan terletak secara tidak selaras di atas Formasi Bungku yang mendasari
Formasi Bungku (Gbr. 14, 16). Formasi Pandua memiliki ketebalan minimum
minimum 2000 m. Indikator lingkungan laut marjinal
termasuk adanya permukaan reaktivasi di palung yang terlindung
batupasir berlapis silang, lapisan lumpur pada batupasir berlapis silang planar,
dominan
hutan bakau
palinomorf
dan
segar,
payau
dan

garam
air
spesies
dari
moluska
fosil.

18
Silikat dari Formasi Langkowala dan karbonat dari
Formasi Eemoiko diendapkan secara bersamaan selama
Pliosen di Sulawesi Tenggara (Gbr. 14, 16, 18f). Formasi Langkowala
pada awalnya diendapkan dalam pengaturan rak hingga lereng pada
Miosen (6-5,3 Ma, sampel ES13-184 dan ES13-191; Gbr. 16) dan terletak
tidak selaras dengan Formasi Pandua. Analisis foraminifera
(Gbr. 16; Plat 1) menunjukkan kisaran umur yang luas dari Miosen Akhir (8,6 Ma)
hingga Pleistosen Awal (1 Ma). Penentuan umur zirkon detrital termuda
dari
6.8
±
0.2
Ma
dari
sampel
ES13-55
memberikan
a
maksimum
pengendapan

usia. Umur terpadu dari metode penanggalan yang berbeda menunjukkan

rentang umur maksimum 6 hingga 1 Ma untuk Formasi Langkowala (sampel


ES13-55, Gbr. 16). Formasi ini terdiri dari konglomerat yang kaya kuarsa,
batupasir dan batulempung yang diendapkan dalam berbagai macam
lingkungan dari lingkungan darat hingga laut. Kerikil yang dominan
hingga batangan berpasir di saluran-saluran mewakili sistem fluvial yang dikepang. Marginal
sedimen laut secara luas terekspos ke arah garis pantai saat ini.
Zona ini sering kali kaya akan flora dan fauna yang toleran terhadap garam dan dicirikan
oleh
adanya
kehadiran
dari
hutan bakau
untuk
mangrove belakang
serbuk sari,
payau

ke

ichnofauna laut dangkal dan moluska payau. Surono dan


Sukarna (1995) memperkirakan ketebalan total sekitar 150 m berdasarkan
ekspresi topografinya. Sumur Abuki-1 menembus bagian dalam hingga tengah
sedimen transgresif neritik yang diendapkan selama Pliosen Awal hingga
Pleistosen Tengah di bagian timur Lengan Tenggara berdasarkan analisis foraminifera dan
nannofosil (Gbr. 17; Robertson Indonesia, 1992).
Karbonat dari Formasi Eemoiko secara tidak selaras menindih Formasi Pandua
Formasi Pandua dan berada di atas batuan ultrabasa dan metamorf
(Gbr. 18f). Karbonat ini termasuk karbonat berlapis tipis hingga masif yang ditafsirkan
diendapkan di atas sebuah rak terumbu. Interpretasi ini didukung
oleh analisis makro dan mikrofasies dalam penelitian ini yang menunjukkan adanya terumbu
terumbu belakang, platform bagian dalam, daerah terumbu (termasuk sisi terumbu), inti
terumbu
dan lingkungan dasar laut. Formasi Eemoiko memiliki ketebalan minimum
ketebalan stratigrafi yang diamati sekitar 20 m, sedangkan di lepas pantai
garis seismik lepas pantai menunjukkan ketebalan hingga 500 m (Camplin dan Hall,
2014). Formasi Eemoiko mencatat peristiwa transgresif yang
yang mungkin dimulai pada Pliosen Awal dan berlanjut setidaknya hingga
Pliosen Tengah. Hal ini ditandai dengan adanya fitur lekukan ke arah darat
fitur lekukan ke arah darat yang dibentuk oleh batugamping Pliosen Tengah di daerah
penelitian
daerah penelitian. Peristiwa transgresif ini juga tercatat di lepas pantai di Teluk Bone

kesimpulan
7.1. Tektonik, sedimentasi dan ketidaksesuaian
Pengamatan lapangan kami dan batasan umur yang baru mengharuskan revisi
dari stratigrafi Neogen Sulawesi. Di sini kami menghubungkan stratigrafi yang telah direvisi
yang telah direvisi dari
ini
penelitian ini
ke
yang
utama
ketidaksesuaian.
Mayor
Neogene

ketidaksesuaian
diamati
di seluruh
Sulawesi
(Gbr.
4)
adalah
(1)
Awal
Miosen

(c.

23 Ma), (2) Miosen Tengah (c. 15 Ma) dan (3) Miosen Akhir (c.
6-5,3 Ma). Ketidaksesuaian utama ini memisahkan Miosen Bawah,
Miosen Tengah hingga Miosen Atas, dan mega-urutan Pliosen. Pliosen tengah
ketidaksesuaian diamati di beberapa bagian Sulawesi bagian utara (misalnya
Timur, Sulawesi Tengah bagian barat dan Sulawesi Barat) dan memisahkan bagian bawah
dan
Urutan Pliosen Bawah dan Pliosen Atas. Terdapat (4) Pleistosen Awal dan (5) Pleistosen
Akhir
(c. 1,8 dan 0,1 Ma) (Gbr. 4) yang tercatat di beberapa tempat.
Ketidaksesuaian regional Miosen Awal terbentuk setelah tumbukan
(Gbr. 4 dan Tabel 2). Subduksi sebelum tumbukan diindikasikan oleh
bluescists di sepanjang sabuk metamorf Sulawesi Tengah dengan umur
Oligosen Akhir hingga Miosen Awal (c. 30-17 Ma; Wijbrans dkk., 1994;
Parkinson, 1996; Mawaleda dkk., 2018). Oligosen Akhir-Miosen Awal
deformasi dan peristiwa metamorfosis juga dikenali dari
Kompleks Metamorfik Malino Lengan Utara bagian barat di Sulawesi Barat
(
40
39
Ar/
23
Ar berumur c. 23 Ma, dan pertumbuhan zirkon metamorf dari
19,2 Ma dan 17,5 Ma; van Leeuwen dkk., 2007) dan di sepanjang Sesar Palu-Koro
Sesar Palu-Koro di Sulawesi Tengah bagian barat, di mana analisis Sm-Nd dari garnet
peridotit garnet mencatat puncak metamorfisme pada 27,6 ± 1,13 Ma dan
1,13 Ma dan
umur pendinginan 20,0 ± 0,26 Ma (Kadarus).
0,26 Ma (Kadarusman dkk., 2002, 2011).
Ketidakselarasan Miosen Awal teramati di daratan di seluruh Sulawesi
dan dicirikan oleh terputusnya sedimentasi dan erosi. Hal ini
Hal ini dikonfirmasi dari sumur-sumur lepas pantai di Cekungan Buton dan Banggai. Sumur
Bulu 1-S di Buton menembus ketidaksesuaian Miosen Awal dengan
konglomerat basal yang mengandung batugamping (Davidson, 1991).
Batupasir basal yang kaya kuarsa ditembus oleh sumur Tiaka-2 dan Tiaka-3
di atas ketidaksesuaian di Cekungan Banggai, lepas pantai selatan
Lengan Timur (Davies, 1990). Catatan tertua mengenai sedimen Neogene
di darat adalah Formasi Bungku Miosen Bawah yang mengandung
butiran ophiolit yang dikerjakan ulang paling awal (misalnya serpentin, olivin, dan rijang)
emplasemen ophiolit pasca tumbukan di Sulawesi Tenggara setelah tumbukan.
Megasequence Miosen Bawah meliputi laut dangkal hingga laut dalam
sedimen laut dangkal hingga dalam yang diendapkan di cekungan Neogene yang baru
terbentuk
yang baru terbentuk di seluruh Sulawesi.
Ketidaksesuaian Miosen Tengah ditafsirkan sebagai produk dari
peregangan litosfer yang terkait dengan penunjaman subduksi Banda yang menyebabkan
menyebabkan pengangkatan dan penurunan. Penggalian menghasilkan ketidaksesuaian dan
kesesuaian korelatif yang terlihat pada garis seismik di Gorontalo dan Bone
Cekungan di tepi cekungan dan deposisi masing-masing. Bukti dari
ekstensi litosfer tercatat di Kompleks Metamorfik Malino, NW
Sulawesi oleh K-Ar dan
Ar berumur 23-11 Ma pada mika putih dan
hornblende (van Leeuwen dkk., 2007). Penggalian dari batuan blueschist-
40
39
Ar/
yang terdapat di Kompleks Metamorf Pompangeo, Mekongga dan Rumbia
terjadi pada masa ini (misalnya Helmers dkk., 1989; Mawaleda dkk., 2018).
Kami menafsirkan Pluton Donggala Miosen Tengah (c. 14,95 Ma) di
Gorontalo, Lengan Utara bagian tengah (Rudyawan dkk., 2014) sebagai produk
dari magmatisme yang terkait dengan ekstensi. Magmatisme yang terkait dengan penipisan
kerak
penipisan kerak bumi di Sulawesi Tengah bagian barat menghasilkan shoshonitic (HK) yang
kaya akan K
antara Miosen Tengah dan Pliosen Awal (c. 14-13 Ma;
Priadi dkk., 1994; Polv´e dkk., 1997; Ellison dkk., 1997; Polv´e dkk., 1997).
e dkk., 1997; Elburg dkk., 2003; Hennig dkk., 2014, 2016),
2014, 2016).
Ketidaksesuaian Mio-Pliosen diakui di seluruh Sulawesi. Hal ini
tampaknya terkait dengan aktivitas magmatik yang signifikan pada c. 7-6 Ma
(puncaknya pada c. 6,4 Ma) berdasarkan usia zirkon U-Pb di seluruh Sulawesi Barat
sabuk magmatik (Hennig dkk., 2016; White dkk., 2017; Zhang dkk., 2020),
2020). Terdapat beberapa pulsa magmatisme; magmatisme tipe-I dan kaya silika
magmatisme CAK tipe I terjadi antara c. 8,5 dan 4 Ma dan diikuti
oleh
Tipe-S
magmatisme
antara
c.
5
dan
2.5
Ma
(Hennig
et
al,

2016).

Kompleks Metamorfik Palu digali pada Awal


Pliosen Awal di bagian utara (c. 5,3 Ma) dan Pliosen Tengah/Akhir di bagian selatan (c.
3,1-2,7 Ma) dan sezaman dengan magmatisme tipe-S (Hennig
et al., 2017). Di Sulawesi Tenggara, "Dasit Kolaka" memiliki zirkon dengan umur
antara c. 7 dan 4 Ma (White et al., 2014). Magmatisme mengakibatkan pengangkatan
dan pengendapan secara simultan dari vulkanik dan vulkaniklastik di atas
ketidaksesuaian Mio-Pliosen. Magmatisme dan penggalian batuan metamorf
batuan
adalah
bertepatan
dengan
pembukaan
pembukaan
dari
yang
Selatan
Banda
Cekungan

dari
c.
6.5
hingga
3.5
Ma
(Hinschberger
et
al,
2005)
selama
Banda
rollback

dan
Sulawesi Utara
Sulawesi
subduksi
rollback
di
c.
5
Ma
(Perak
et
al,
1983;

Surmont
et
al,
1994;
Djajadihardja
et
al,
2004;
Hall,
2018).

Pengangkatan

dan penurunan muka tanah antara Pleistosen dan masa kini


membentuk ketidaksesuaian intra-Pleistosen 4 dan 5 (Gbr. 4). Sedimentasi di daratan

mencatat penggalian dan pengangkatan yang cepat dari batuan metamorf dan
granitoid seperti Formasi Palu di Leher dan Formasi Lage di
Formasi Lage di Sulawesi Tengah. Di lepas pantai terdapat bukti adanya penurunan tanah
yang signifikan
penurunan tanah yang signifikan di cekungan antar-lengan seperti Gorontalo, Bone dan
Tomori
Cekungan di mana terumbu karang yang diduga berasal dari zaman Plio-Pleistosen
ditemukan
tenggelam di kedalaman air hingga 2000 m (Davies, 1990; Pholbud et al,
2012; Camplin dan Hall, 2014). Teras terumbu karang Kuarter yang terangkat
adalah
terpapar
di sepanjang
sepanjang
pantai
dari
Barat
Sulawesi,
Timur
Lengan,
TENGGARA
Sulawesi
Buton
dan
Tukang
Besi.
Secara
secara luas
kontemporer
alam
dari

cekungan
penurunan permukaan tanah
dan
pengangkatan
dan
erosi
dari
yang
sekitarnya
tanah
area

menyarankan
bahwa
ini
dua
proses
adalah
secara inheren
terkait.
Proses yang
sangat
cepat
tingkat
dan
besar
jumlah
dari
mengangkat
dan
penurunan permukaan tanah
dalam
wilayah
wilayah
bahwa

terus berlanjut
hari ini
telah
telah
ditafsirkan
sebagai
konsekuensi
konsekuensi
dari
rollback
dari

yang
Sulawesi Utara
Sulawesi Utara
dan
yang
Banda
subduksi
zona
(misalnya
Spakman
dan

Hall,
2010;
Pownall
et
al ..,
2013,
2014,
2016;
Hall,
2018).

Anda mungkin juga menyukai