Anda di halaman 1dari 11

GEOLOGI REGIONAL BENDUNGAN PELOSIKA

Desa Asinua Jaya, Kecamatan Asinua, Kabupaten Konawe


Provinsi Sulawesi Tenggara

Geologi Regional
1. Fisiografi dan Morfologi Regional
1.1 Fisiografi Regional
Bendungan Pelosika terdapat pada Pulau Sulawesi yaitu Provinsi Sulawesi Tenggara. Pendapat ahli
geologi seperti Sukamto (1975), Hamilton (1979), dan Smith (1983) menyebutkan bahwa Pulau
Sulawesi dibagi menjadi 3 bagian fisiografi yaitu:

1. Busur Vulkanik Neogen, merupakan jalur magmatik yang memanjang dari lengan utara
hingga lengan selatan Pulau Sulawesi. Secara umum, batuan penyusun Busur Vulkanik
Neogen terdiri dari kompleks basement pada masa Paleozoikum Akhir - Mesozoikum Awal,
batuan volkanik-plutonik berumur Paleogen - Kuarter, batuan sedimen yang berumur Kapur
Akhir - Eosen (Sukamto, 1975) dan batuan malihan. Busur Vulkanik Neogen sebagai busur
magmatik dapat dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu Sulawesi bagian barat dan Sulawesi
bagian Utara. Sulawesi bagian barat selama periode Pliosen hingga Kuarter Awal diendapkan
pada lingkungan submarine sampai terestrial dan memiliki aktivitas vulkanik yang kuat
dibandingkan dengan Sulawesi bagian utara yang tersusun atas litologi bersifat riodasitik
sampai andesitik pada umur Miosen hingga Resen.
2. Sekis dan Batuan Sedimen Terdeformasi (Central Schist Belt), tersusun atas fasies
metamorfik sekis hijau dan sekis biru. Bagian barat dari kelompok batuan ini merupakan
tempat terpisahnya antara sekis, genes, dan batuan granitik (Silver dkk, 1983).
3. Kompleks Ofiolit (Ophiolite), merupakan jalur ofiolit, sedimen terimbrikasi dan molase yang
tersebar di lengan timur dan tenggara Sulawesi. Bagian lengan tenggara Sulawesi didominasi
oleh batuan ultramafik, sedangkan pada lengan timur Sulawesi merupakan segmen ofiolit
lengkap berupa hazburgit, gabro, sekuen dike diabas dan basalt, yang merupakan hasil dari
tumbukan antara platform Sula dan Sulawesi pada saat Miosen Tengah sampai Miosen Akhir
(Hamilton, 1979 dan Smith, 1983).

Berdasarkan lokasi Bendungan Pelosika pada Desa Asinua Jaya, Kecamatan Asinua, Kabupaten
Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara fisiografi (Gambar 1) Bendungan Pelosika terdapat
pada Zona Sekis dan Batuan Sedimen Terdeformasi.
Gambar 1. Peta Fisiografi Sulawesi Tenggara (Smith, 1983)
Karakter topografi Pulau Sulawesi yang terdiri dari pegunungan dengan lereng yang terjal dan adanya
lembah serta dataran pantai, berpengaruh terhadap perkembangan iklim di pulau ini. Secara umum, Pulau
Sulawesi termasuk dalam iklim tropis yang teridiri dari dua musim yaitu musim kemarau dan musim
hujan.

1.2 Geomorfologi Regional

Gambar 2. Citra Satelit lokasi Bendungan Pelosika (Sumber: Google)

Pulau Sulawesi, yang mempunyai luas sekitar 172.000 km2 (van Bemmelen, 1949), dikelilingi oleh
laut yang cukup dalam.Sebagian besar daratannya dibentuk oleh pegunungan yang ketinggiannya
mecapai 3.440 m (gunung Latimojong).
Pulau Sulawesi berbentuk huruf “K” dengan empat lengan: Lengan Timur memanjang timur laut –
barat daya, Lengan Utara memanjang barat – timur dengan ujung baratnya membelok kearah utara –
selatan, Lengan tenggrara memanjang barat laut – tenggara, dan Lengan Selatan mebujur utara
selatan. Keempat lengan tersebut bertemu pada bagian tengah Sulawesi.
Sebagian besar Lengan Utara bersambung dengan Lengan Selatan melalui bagian tengah Sulwesi
yang merupakan pegunungan dan dibentuk oleh batuan gunung api. Di ujung timur Lengan Utara
terdapat beberapa gunung api aktif, di antaranya Gunung Lokon, Gunung Soputan, dan Gunung
Sempu. Rangakaian gunung aktif ini menerus sampai ke Sangihe.Lengan Timur merupakan
rangkaian pegunungan yang dibentuk oleh batuan ofiolit.Pertemuan antara Lengan Timur dan bagian
Tengah Sulawesi disusun oleh batuan malihan, sementara Lengan Tenggara dibentuk oleh batuan
malihan dan batuan ofiolit.
Pulau Sulawesi dan daerah sekitarnya merupakan pertemuan tiga lempeng yang aktif bertabrakan.
Akibat tektonik aktif ini,pulau Sulawesi dan daerah sekitarnya dipotong oleh sesar regional yang
masih aktif sampai sekarang.Kenampakan morfologi dikawasan ini merupakan cerminan system
sesar regional yang memotong pulau ini serta batuan penyusunya bagian tengah Sulawesi,lengan
tenggara,dan lengan selatan dipotong oleh sesar regional yang umumnya berarah timur laut – barat
daya. Sesar yang masih aktif sampai sekarang ini umumnya merupakan sesar geser mengiri.
Van bemmelen (1945) membagi lengan tenggara sulawesi menjadi tiga bagian:
1. Ujung Utara,
2. Bagian Tengah,
3. dan Ujung Selatan.
Ujung utara mulai dari palopo sampai teluk tolo; dibentuk oleh batuan ofiolit, Bagian tengah ,yang
merupakan bagian paling lebar (sampai 162,5 km), didominasi oleh batuan malihan dan batuan
sedimen mesozoikum. Ujung selatan lengan tenggara merupakan bagian yang relative lebih landai ;
batuan penyusunya didominasi oleh batuan sedimen tersier, uraian dibawah ini merupakan berian
morfologi dan morfogenesis lengan tengah Sulawesi.
Ujung utara lengan tenggara Sulawesi mempunyai ciri khas dengan munculnya kompleks danau
malili yang terdiri atas danau matano,danau towuti,dan tiga danau kecil disekitarnya (danau
mahalona,danau lantoa, dan danau masapi. Pembentukan kelima danau itu diduga akibat sistem
system sesar matano,yang telah diketahui sebagai sesar geser mengiri. Pembedaan ketinggian dari
kelima danau itu memungkinkan air dari suatu danau mengalir ke danau yang terletak lebih rendah.
Berdasarkan lokasi pekerjaan Bendungan Pelosika, Lokasi pekerjaan terdapat pada lengan tenggara
memanjang barat laut – tenggara, geomorfologi daerah Bendungan Pelosika terpengaruh kuat oleh
Struktur Geologi berupa sesar regional yang umumnya berarah timur laut – barat daya. Sesar yang
masih aktif sampai sekarang ini umumnya merupakan sesar geser mengiri.
Van bemmelen (1945).

2. Stratigrafi Regional
Pembahasan stratigrafi regional dimaksudkan untuk memberi gambaran untuk mengenai beberapa
formasi yang erat kaitannya dengan daerah pekerjaan. Peneliti terdahulu telah membahas stratigrafi
regional yang berkaitan dengan daerah penelitian pada Peta Geologi Lembar Lasusua-Kendari,
Sulawesi oleh E. Rusmana, Badan Geologi, (1993) (Gambar 3). Urut-urutan stratigrafi regional Peta
Geologi Lembar Lasusua-Kendari dari yang paling tua hingga yang paling muda menurut E.
Rusmana (1993) adalah sebagai berikut:

1. Batuan Terobosan (PR(g)): Aplit kuarsa, andesit, dan Latit kuarsa

2. Batuan Ofiolit (Ku): Peridotit, harzburgit, dunit, gabro, dan serpentinit

3. Batuan Malihan Paleozoikum (Pzm): Sekis, genes, filit, kuarsit, batusabak, dan sedikit pualam

4. Pualam Paleozoikum (Pzmm): Pualam dan batugamping terdaunkan

5. Formasi Tokala (TRJt): Kalsilutit, batugamping, batupasir, serpih, napal, dan batusabak

6. Formasi Meluhu (TRJm): Batupasir, kuarsit, serpih hitam, serpih merah, filit, batusabak,
batugamping dan batulanau

7. Formasi Matano (Km): Kalsilutit bersisipan serpih dan rijang

8. Formasi Salodik (Tems): Kalsilutit, batugamping oolit

9. Formasi Pandua (Tmpp): Konglomerat, batupasir, dan batulempung

10. Formasi Alangga (Qpa): Batupasir dan konglomerat

11. Terumbu Koral Kuarter (Ql): Batugamping terumbu

12. Aluvium (Qa): Kerikil, kerakal, pasir dan lempung


Gambar 3. Peta Geologi Lembar Lasusua-Kendari, Sulawesi (E. Rusmana, 1993)

Gambar 4. Korelasi satuan geologi Peta Geologi Lembar Lasusua-Kendari


Berdasarkan lokasi pekerjaan Bendungan Pelosika pada Peta Geologi Lembar Lasusua-Kendari,
Sulawesi oleh E. Rusmana, Badan Geologi, (1993) (Gambar 5). Menurut E. Rusmana (1993) urutan
umur batuan dari yang berumur tertua sampai berumur termuda pada daerah sekitar lokasi pekerjaan
adalah sebagai berikut:

1. Batuan Malihan Paleozoikum: Sekis, genes, filit, kuarsit, batusabak dan sedikit pualam.

2. Aluvium: Kerikil, kerakal, pasir dan lempung.


Lokasi Pekerjaan

Lokasi Pekerjaan

Gambar 5. Lokasi pekerjaan dan penampang geologi regional Bendungan Pelosika diperbesar
3. Tektonika dan Struktur Geologi Regional
3.1 Tektonik Regional
Sulawesi terletak pada pertemuan 3 lempeng besar yaitu Eurasia, Pasifik, dan Indo-Australia serta
microcontinent (Lempeng Filipina) yang menyebabkan kondisi tektoniknya kompleks. Kumpulan
dari busur kepulauan, batuan bancuh, ofiolit, dan bongkah mikrikontinen terbawa bersama proses
penunjaman, tubrukan, serta proses tektonik lainnya (Van Leeuwen, 1994).

Investigasi geologi Sulawesi dilakukan pada awalnya oleh para ilmuwan Belanda pada awal abad ke-
19. Sejak itu, banyak penyelidikan oleh para ilmuwan lokal dan internasional yang telah
mengumpulkan banyak data tentang geologi Sulawesi (mis. Van Bemmelen, 1949; Katili, 1973;
Sukamto, 1975; Hamilton, 1979). Setelah tahun 1970-an, banyak pekerja terus melakukan
serangkaian studi tentang lengan pulau ini. Sukamto (1982) dan Sukamto & Supriatna (1982)
menerbitkan peta geologi sistematis pertama di bagian selatan Sulawesi. Davies (1990), Kadarusman
et al. (2004) bekerja pada Lengan Timurnya sedangkan Priadi et al. (1994), Elburg et al. (1998) dan
van Leeuwen et al. (2007) bekerja di Lengan Utara pulau. Parkinson (1998) dan Villenueve et al.
(2002) bekerja di bagian tengah pulau sementara Wilson & Bosence (1996), Wakita et al. (1996),
Bergman et al. (1996), Coffield et al. (1993), Elburg et al. (1999a, 1999b, 2002) dan Maulana (2009)
bekerja di Lengan Barat pulau dan Smith et al. (1991) bekerja di Arm Tenggara dan Pulau Buton.
Model geologis keseluruhan Sulawesi tidak berubah secara signifikan meskipun ada berbagai data
lokal tambahan dan rekonstruksi oleh para pekerja tersebut. Orogeni Neogen di Sulawesi dibahas
oleh Simandjuntak dan Barber (1996), mereka menyimpulkan bahwa orogeni Neogen di pulau ini
diprakarsai oleh tabrakan bagian timur pulau dengan dua blok mikrokontinental yang berasal dari
Australia; Tukang Besi dan Banggai-Sula. Tabrakan ini diikuti oleh serangkaian peristiwa tektonik
regional termasuk penghancuran Ofiolit Sulawesi Timur, pembentukan Sabuk Dorong Sulawesi
Tengah dan pengembangan Sesar Transcurrent Sinistral Palu-Koro. Selain itu, tabrakan ini juga
bertanggung jawab atas distribusi besar batuan plutonik dari bagian barat ke bagian utara pulau (van
Leeuween, 1992; Elburg, 2002).

Lokasi Pekerjaan

Gambar 5. Litotektonik Pulau Sulawesi (Maulana, 2012)


Berdasarkan kerangka geologi keseluruhan yang telah muncul dari studi ini dan sebagian dari
tinjauan geologi regional Hall (2002), Kadarusman et al. (2004) dan Maulana (2009), Sulawesi dapat
dibagi menjadi empat (4) provinsi tektonik, yaitu (1) Arc Pluto-Gunung Berapi Sulawesi Barat dan
Utara, (2) Sabuk Metamorf Sulawesi Tengah, (3) Sulawesi Timur Sabuk Ophiolite dan (4) Fragmen
Banggai-Sula dan Tukang Besi Continental (Gambar 5.). Penjelasan terperinci adalah sebagai
berikut:
1. Busur Vulkanik Plutonik Sulawesi Barat dan Utara
Provinsi ini dapat dibagi menjadi dua segmen: (i) wilayah Barat, yang terdiri dari segmen margin
kontinental dengan batuan dasar metamorf pra-Tersier yang berasal dari Kepulauan Sunda yang
ditindih oleh sekuens sedimen sedimen vulkanik Kapur Atas dan Kenozoikum dan diterobos oleh
batuan plutonik. Komposisi batuan plutonik berkisar dari granit ke diorit (Sukamto, 1975; Priadi et
al., 1994; Bergman et al., 1996; van Leeuween et al., 2007) dan ditafsirkan sebagai hasil dari
tabrakan antara fragmen microcontinent yang berasal dari Australia dan Kepulauan Sunda (Bergman
et al., 1996; Elburg & Foden, 1999a). Wilayah ini, termasuk bagian dari Lengan Selatan, adalah
bagian dari Sundaland timur selama Mesozoikum (Elburg et al., 2002; Hamilton, 1979) sebelum
pembukaan Selat Makassar di Eosen (Guntoro, 1999; Hall, 2002) . Studi paleomagnetik
menunjukkan bahwa ia berputar melalui 35-50 º sebagai blok kaku dengan Malaya dan Kalimantan
Barat sejak Kapur (Haile, 1978). Setelah terpisah dari Kalimantan, bagian utara provinsi ini telah
mengalami rotasi searah jarum jam sekitar 20-25 ° sejak Miosen (Surmont et al., 1994); (ii) wilayah
Utara, yang terdiri dari busur vulkanik yang berkaitan dengan subduksi Miosen Akhir hingga
Terakhir (Elburg & Foden, 1998), dihasilkan dari subduksi barat lempeng Laut Maluku (Jezek et al.,
1981). Wilayah ini dibangun di atas substrat samudera di sebagian besar utara (Kavalieris et al.,
1992; van Leeuwen et al., 2007), dan blok mikrokontinental Paleozoikum, Kompleks Metamorf
Malino yang berasal dari New-Guinea-Australia margin Gondwanaland (van Leeuwen et al., 2007).
2. Sabuk Metamorf Sulawesi Tengah
Sabuk ini terbatas pada bagian tengah dan bagian Lengan Timur pulau, dan diasumsikan sebagai
hasil dari tabrakan antara fragmen-fragmen Gondwana dan margin aktif Asia dalam Oligosen Akhir
atau Miosen Awal (Villeneuve et al., 2002). Ini terdiri dari batuan metamorf yang dipotong termasuk
Kompleks Schange Pompangeo dan kompleks mélange (Parkinson et al., 1998), serta ofiolit Miosen
(Kompleks Lamasi) (Bergman et al., 1996). Wilayah ini telah diasumsikan sebagai kompleks akresi
yang terbentuk pada masa Kapur dan Paleogen (Hamilton, 1979), atau penjahitan antara bagian barat
dan timur Sulawesi (Villeneuve et al., 2002); keduanya tidak eksklusif. Struktur utama adalah lipatan
berarah timur-barat dan sabuk dorong dengan bagian depan dorong di Selat Makassar (Coffield et al.,
1993), dan sistem patahan Sulawesi-Fault Central Sulawesi Fault-slip, yang terdiri dari Patahan Palu-
Koro. NNW dan Matano Fault to SSE (Bellier et al., 1998). Penanggalan radiometrik menunjukkan
bahwa sabuk lipat ini dikembangkan sekitar 13 - 5 Ma (Bellier et al., 2006).
3. Sabuk Ofiolit Sulawesi Timur
Sabuk ini memanjang dari Palung Sulawesi Tengah melintasi Lengan Timur dan Tenggara, termasuk
Kepulauan Buton dan Muna. Ini terdiri dari ophiolite tektonik terpotong-potong dan sangat rusak
terkait dengan batuan metamorf Mesozoikum dan batuan sedimen. Ini membentuk basement di
wilayah ini, yang ditumpangi oleh sedimen Kenozoikum (Kadarusman et al., 2004; Mubroto et al.,
1994; Simandjuntak & Barber, 1996). Seri ophiolite terdiri dari residu mantle peridotite, mafic-
ultramafic cumulate dan gabbro, sheeted dolerites dan batuan vulkanik basaltik. Komponen dataran
tinggi samudera dari ophiolite telah ditafsirkan sebagai produk dari Pacific Pacific Superplume
(Kadarusman et al., 2004). Data gravitasi menunjukkan bahwa ophiolite menebal ke barat dan turun
di bawah sekis sepanjang kesalahan utama (Silver et al., 1978). Sabuk diinterpretasikan sebagai
kompleks akresi Neogen yang dibentuk oleh subduksi pencelupan ke barat dan oleh penguraian
sebagian platform Sula dan Tukang Besi.
4. Micro-continent Banggai-Sula dan Tukang Besi
Micro-continent ini masing-masing terletak di bagian timur dan tenggara Sulawesi. Micro-continent
Bangai-Sula diwakili di atas permukaan laut oleh sekelompok pulau, termasuk Kepulauan Peleng,
Banggai, Taliabu dan Mangole (Garrard et al., 1988) sedangkan micro-continent Tukang Besi terdiri
dari Buton, Muna, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Banggai-Sula memiliki ruang bawah tanah
metamorf yang diganggu oleh granitoid Paleozoikum Akhir dan ditindih oleh batuan felsic berumur
Triassic ke batu vulkanik menengah (Pigram & Panggabean, 1984). Wilayah ini ditafsirkan berasal
dari Papua pada akhir Kenozoikum (Pigram et al., 1985) dan telah diangkut dengan ekstensi pada
Sorong selama Sesar selama Neogen (Audley-Charles et al., 1972). Kepulauan Buton, yang terdiri
dari batuan metamorf yang berasosiasi dengan ofiolit, Mesozoikum - Paleogene, batu kapur air
dalam dengan batuan klastik terrigenous kecil (Smith & Silver, 1991), batuan ultramafik dan mafik
dan sedimen Neogene dan Kuarter, diangkut dari Australia-New Guinea Margin Gondwana selama
Mesozoikum dan bertabrakan dengan Sulawesi pada masa Tersier Pertengahan hingga Akhir
(Davidson, 1991; Hamilton, 1979). Sebagian besar Platform Tukang Besi terendam; bagian yang
terbuka dari platform ditempati oleh Neogene Atas dan batu kapur kuarter. Seperti mikrokontinensia
lainnya di kawasan ini, Buton dan platform Tukang Besi lainnya ditafsirkan sebagai fragmen benua
Australia (Hinschberger et al., 2005). Namun, Fortuin et al. (1990) menyatakan bahwa Pulau Buton
dan Kepulauan Tukang Besi mewakili fragmen benua yang berbeda yang sebelumnya terpisah satu
sama lain oleh kerak samudera.
Berdasarkan Peta Litotektonik pada Gambar 5 lokasi pekerjaan termasuk pada Sabuk Metamorf
Sulawesi Tengah, yang termasuk dalam Kompleks Pompangeo. Kompleks Pompangeo adalah
sebuah kompleks akrilik yang bervariasi dan bermetamorfosa, yang terbentang seluas
±5000 km2 di Sulawesi Tengah, dan sebagian besar terdiri dari batuan marmer filit berlapis, filit
berkapur, sekis grafit dan kuarsit; serta batuan terigen hingga batu dangkal dari lautan (Parkinson,
1998). Kompleks Sekis Pompangeo adalah bagian dari sabuk metamorf tengah-utara Sulawesi yang
terletak di sebelah timur sesar lembah Palu, bersebelahan dengan sabuk plutono-metamorfik
Sulawesi tengah dan barat (Watkinson, 1998).

3.2 Struktur Geologi Regional


Struktur geologi Lembar Lasusua-Kendari memperlihatkan ciri komplek tumbukan dari pinggiran
benua yang aktif. Berdasarkan struktur, himpunan batuan, biostratigrafi dan umur, daerah ini dapat
dibagi menjadi 2 domain yang sangat berbeda, yakni: 1) allochton : ofiolit dan malihan , dan 2)
autochton: batuan gunungapi dan pluton Tersier dan pinggiran benua Sundaland, serta kelompok
molasa Sulawesi. Lembar Lasusua, sebagaimana halnya daerah Sulawesi bagian timur,
memperlihatkan struktur yang sangat rumit. Hal ini disebabkan oleh pengaruh pergerakan tektonik
yang telah berulangkali terjadi di daerah ini.
Struktur geologi yang terdapat pada Peta Geologi Lasusua-Kendariadalah sesar, lipatan dan kekar.
Sesar dan kelurusan umumnya berarah baratlaut–tenggara searah dengan Sesar geser jurus mengiri
Lasolo. Sesar Lasolo aktif hingga kini, yang dibuktikan dengan adanya mata air panas di Desa Sonai,
Kecamatan Pondidaha pada batugamping terumbu yang berumur Holosen dan jalur sesar tersebut di
tenggara Tinobu. Sesar tersebut diduga ada kaitannya dengan Sesar Sorong yang aktif kembali pada
Kala Oligosen (Simandjuntak, dkk., 1983).

Sesar naik ditemukan di daerah Wawo, sebelah barat Tampakura dan di Tanjung Labuandala di
selatan Lasolo; yaitu beranjaknya batuan ofiolit ke atas Batuan Malihan Mekonga, Formasi Meluhu
dan Formasi Matano. Sesar Anggowala juga merupakan sesar utama, sesar mendatar menganan
(dextral), mempunyai arah baratlaut-tenggara. Kekar terdapat pada semua jenis batuan. Pada
batugamping kekar ini tampak teratur yang membentuk kelurusan (E. Rusmana dkk, 2010). Kekar
pada batuan beku umumnya menunjukkan arah tak beraturan.
Berdasarkan Peta Geologi Lembar Lasusua-Kendari dan pendapat peniliti sebelumnya. Lokasi
pekerjaan sangat dipengaruhi oleh struktur geologi regional dengan arah dominan baratlaut-tenggara
dan terpotong oleh struktur geologi regional dengan arah timurlaut-baratdaya.
4. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas, hal-hal yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut:
 Berdasarkan lokasi Bendungan Pelosika pada Desa Asinua Jaya, Kecamatan Asinua, Kabupaten
Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara. Secara fisiografi Bendungan Pelosika terdapat pada Zona
Sekis dan Batuan Sedimen Terdeformasi.
 Berdasarkan lokasi pekerjaan Bendungan Pelosika, Lokasi pekerjaan terdapat pada lengan
tenggara memanjang barat laut – tenggara, geomorfologi daerah Bendungan Pelosika
terpengaruh kuat oleh Struktur Geologi berupa sesar regional yang umumnya berarah timur laut –
barat daya. Sesar yang masih aktif sampai sekarang ini umumnya merupakan sesar geser mengiri.
 Berdasarkan Peta Geologi Lembar Lasusua-Kendari, stratigrafi pada Bendungan Pelosika dengan
urutan umur batuan dari yang berumur tertua sampai berumur termuda adalah sebagai berikut:
 Batuan Malihan Paleozoikum: Sekis, genes, filit, kuarsit, batusabak dan sedikit pualam.

 Aluvium: Kerikil, kerakal, pasir dan lempung.

 Berdasarkan Peta Litotektonik Pulau Sulawesi, lokasi pekerjaan termasuk pada Sabuk Metamorf
Sulawesi Tengah, yang termasuk dalam Kompleks Pompangeo
 Berdasarkan Peta Geologi Lembar Lasusua-Kendari dan pendapat peniliti sebelumnya. Lokasi
pekerjaan sangat dipengaruhi oleh struktur geologi regional dengan arah dominan baratlaut-
tenggara dan terpotong oleh struktur geologi regional dengan arah timurlaut-baratdaya.

Anda mungkin juga menyukai