Anda di halaman 1dari 19

BAB IV

GEOLOGI SULAWESI TENGGARA

4.1.Stratigrafi Sulawesi Tenggara


Tektonostratigrafi dari lengan tenggara Sulawesi terbagi menjadi 3 kelompok
utama : kompleks ofiolit, lapisan batas kerak benua dan molasa sulawesi.

4.1.1.Komplek Ofiolit
Komplek Ofiolit tersusun atas harsbugit, dunit, wherlit, lherzolit, websterit,
serpentinit, gabro, basal (Kundig, 1956, Rusmana,,dkk., 1988, Surono, 1993).
Batuan Mafik (gabro, basalt, dolerit, dan mikro gabro) hadir di beberapa tempat.
Komplek ini adalah bagian sabuk ofiolit Sulawesi Timur (Simanjuntak, 1986),
dimana pembentukkannya menyebar, sepanjang lengan timur hingga tenggara dan
sekitar pulau.
Asosiasi batuan sedimen pelagik dari Formasi Matano terdiri karbonat laut
dalam interkalasi dengnan lapisan rijang radolaria. Radiolaria menunjukkan formasi
inin berumur Kenomanian. (Silver, dkk.,1983, Simanjuntak , 1986). Sialnya, kontak
antara ofiolit dan penutup sedimen pelagik belum ditemukan di lengan tenggara.
Tidak ada dating radiometrik ofiolit dari lengan tenggara dilakukan , tapi 16 conto
batuan basal dan gabro dari lokasi yang terpisah pada lengan timur telah dilakukan
K/Ar dating, berumur Akhir Kenomanian- Awal Miosen (Simanjuntak 1986,
Mubroto, 1988). Umur ini lebih muda dari umur penutup sedimen pelagik
(Kenomian). Hal ini menunjukkan bahwa samudera yang membentuk bukaan ofiolit
pada Kenomian Awal Miosen atau memungkinkan umur dari radiometrik terhitung
ulang mengacu pada alterasi. Pada akhir oligosen, ofiolit naik diatas batas lapisan
kerak benua. Demikian umur Kenomian-Eosen memungkinkan untuk komplek
ofiolit.
Komplek ofiolit terpisah dari deretan batuan metamorf pada lengan tenggara
oleh sistem sesar Lawanopo dan dari sikuen karbonat batas kerak benua Paleogen
dengan sudut rendah, dip ke arah barat sesar naik Labengke (Silver, dkk., 1983).

44
Pada banyak tempat jauh dari struktur ini terbentuk sesar terisolasi dengan fragmen
ofiolit diatas basemen metamorf atau lapisan batas kerak benua. Sesar naik antara
ofiolit dan metamorf dibawah serta penutup batas kerak benua sedimen telah
terpotong oleh sistem sesar Lawanopo dengan dip curam.

4.1.2.Lapisan batas kerak benua


Basemen metamorf dan lapisan kerak benua di atasnya dinamakan teran
kerak benua sulawesi tenggara (Endharto dan Surono,1991). Batas lapisan
kontinental meliputi Formasi Meluhu dan Tampakura pada wilayah Kendari dan
Tinala, Formasi Tetambahu dan Lerea pada wilayah danau Towuti dan Formasi
Tamborasi sepanjang lembah barat dari lengan tenggara.
4.1.2.1. Basemen
Basemen metamorf meliputi sekis, kuarsit, slate dan marmer. Unit
metamorf secara lokal diintrusi oleh aplite, yang ditemukan sepanjang
lembah barat lengan tenggara (Surono,1986). Bongkahan granit merah muda
ditemukan di beberapa lokasi sebagai fragmen batuan didalam molasa
sulawesi (Azis,1986, Surono, 1993) menunjukkan bahwa granit juga hadir
sebagai batuan basemen.
Beberapa conto batuan metamorf dari daerah Lasolo, Madoko dan
Rumbia pada lengan tenggara telah diuji oleh Roever (1956). Dia meyakini
fasies epidot-amfibolit dan fasies sekis glaukofan muda. Peristiwa batuan
metamorf yang lebih tua terkait dengan penimbunan, dimana batuan
metamorf yang lebih muda terbentuk akibat sesar naik skala besar, mungkin
ketika terrane kerak benua Sulawesi tenggara dan Buton kolisi pada akhir
Oligosen. Waktu peristiwa metamorf tidak setepat dating radiometrik yang
belum pernah dilakukan. Basemen dari cekungan Mesozoik pada Pulau
Banggai Sula dimana mirip dengna tipe batuan fasies,, dan posisi
stratigrafi,metamorf yang lebih tua yang berumur Karbon-Perm. (Sukamto,
1978, Surono dan Sukarna, 1985).

45
4.1.2.2. Formasi Meluhu
Formasi Meluhu dinamakan oleh Rusmana dan Sukarna (1985)
tersusun atas batupasir, batulempung, batulanau, serpih dan batugamping.
Formasi ini secara dominan adalah fluvial dengan fasies marine menyebar
sampai pada bagian atas unit tersebut. (surono dkk., 1992, Surono, 1993).
Fasies fluvial meliputi endapan sungai meander dimana secara progresif
melewati ke atas endapan estuarin. Fasies Laut terdiri dari batugamping kaya
organik interkalasi dengan batulumpur dan lempung hitam mengandung
ammonite dan bellemnite.
Ammonite meliputi Preforianites sp. dan Tropites sp. Yang menduga
kemungkinan Carnian Norian (umur Trias awal-akhir) ( Grant-Macky, per.
Comm, 1992). Analisa pollen dari 3 conto dari formasi Meluhu menunjukkan
kehadiran Falycisporites spp. yang menunjukkan umur trias. Rusmana,
dkk,1988 mendapatkan Halobia sp. dan Daonella sp. yang meyakinkan umur
trias akhir (Selberling,1963). Berdasarkan seluruh kejadian di atas, Fomasi
Meluhu mendekati umur akhir trias.
Analisa Paleomagnetit dari batulanau dan batupasir berbutir baik dari
Formasi Meluhu meyakinkan bahawa endapan ini terbentuk pada latitude
20oS dan mengalami rotasi searah jarum jam 25o (Surono, 1993) Rotasi ini
mungkin terjadi selama perpindahan dan transportasi dari daerah
pengendapan hingga lokasi sekarang dan atau selama kolisi antara teran
Buton dan Sulawesi Tenggara.
Batupasir dari Formasi Meluhu mengandung phyllarenite secara
umum. Fragmennya sedimen kuarsa dan batuan metamorf dan sedikit
feldspar, rhiolit dan rombakan dasit vulkanik. Umumnya fragmen plagioklas
adalah albit dan oligoklas. Kuarsa ditemukan dalam beberapa conto dan
merupakan asal vulkanik. Sumber batupasir Formasi Meluhu menunjukkan
sisa pembentukan pegunungan (Surono 1992, 1993). Ini mirip dengan sumber
sikuen klastik dari lapisan Lemo pada lengan fast sulawesi yang diinterpretasi
sebagai bagian dari teran kerak benua Banggai-Sula (Simanjuntak, 1986).

46
4.1.2.3.Formasi Tinala dan Tetambahu
Formasi Tinala dan Tetambahu dinamakan atas konstitusi dari
kelompok Towuti oleh Surono, dkk. (1992), yang terjadi pada daerah danau
Towuti, Formasi Tinala terdiri atas sedimen klastik ,umumnnya quartz
arenite, dimana formasi tetambahu didominasi oleh batuan karbonat.
Rusmana dkk., 1988, melaporkan Halobia sp. dan Ammonites pada daerah
tersebut menunjukkan umur yang mirip dengna Formasi Meluhu Trias akhir.
Fosil radiolaria dalam Formasi Tetambahu meliputi Tirtraps sp. , Archaeodie-
tyomitra sp. dan Thanarla sp. menunjukkan tithonianphauterivian (umur Jura
akhir- Awal kapur) (S.Soeka, 1990)

4.1.2.4.Formasi Tampakura
Satuan batugamping mendominasi formasi Tampakura, yang
dinamakan oleh Rusmana dan Sukarna (1985), tersusun atas oolite,
batulumpur gampingan, wackestone, packstone, grainstone dan framestone di
beberapa tempat. Porsi basal pada formasi didominasi oleh sedimen
silisiklastik.
Pada Semenanjung Laonti, formasi Tampakwa dinamakan formasi
Laonti oleh Simanjuntak, dkk. (1984). Peneliti sebelumnya berpendapat
bahwa satuan ini memiliki hubungan menjari dan menutupi formasi Meluhu
(Simanjuntak , dkk., 1984, Endharto dan Surono, 1991, Surono, dkk., 1992).
Studi sekarang, bagaimanapun terdapat kemiripan dalam litologi, posisi
stratigrafi dan dugaan lingkungan pengendapan dengan formasi Tampakura
oleh Rusmana, dkk., 1988. Lebih lanjut, kehadiran foraminifera bentos besar
pada daerah ini konsisten berumur Tersier.
Formasi memiliki struktur birdeyes, mudcracks, bidirectional cross
bed dan oncoids smua karakteristik dari lingkungan peritidal. Pada
kebanyakan tempat, formasi ini diendapkan pada laut dangkal yang
ditunjukkan oleh sejumlah koral, alga merah dan foraminifera. S.Soeka
menemukan Operculina sp. , Chilogumbelina sp. dan Nummulites sp. pada
formasi yang menunjukkan umur Paleosen-Oligosen.

47
Dolomite terdapat dalam satuan. Ciri-ciri diagenesa menunjukkan
dolomitisasi terjadi pada zona intertidal-supertidal setelah pengendapan.
Satuan yang setara dengan Formasi Tampakura adalah Formasi Lerea dalam
daerah danau Towuti dan Formasi Tamborasi pada lembah barat lengan
sulawesi tenggara.

4.1.2.5.Melange
Melange dapat diidentifikasikan secara udah dari fotografi udara
sebagai topografi daar (dengan lembah kecil rendah) terikat dengan topografi
pegunungan tinggi dari satuan lain. Melange tersingkat kurang lebih 100 km2
sepanjang sistem sesar Lawanopo dari desa Molawe, sebelah barat laut desa
Tinobu hingga desa kokapi ,barat laut Kendari.
Ukuran dari wilayah blok eksotik dari beberapa desimeter hingga
beberapa ratus meter. Umumnya, blok ini menyudut dan mengelilingi oleh
matrik berskala dengan bidang shear dengan trend mengarah timur laut. Blok
ini tersusun dari ultramafik, basal dan mikrogabro dari seri ofiolit ;
batugamping, batupasir dan batulumpur dari terane Sulawesi Tenggara dan
batugamping rijangan , mungkin dari teran kerak benua Buton. Matriks ini,
memotong sangan tinggi, terdiri dari lempung karbonan, batugamping dan
lempung darat. Pembentukan Melange ketika ofiolit naek melewati batas dari
teran Buton dan Sulawesi tenggara. Bagian-bagian dari melange ini secara
subsekuen telah terpotong oleh sesar mengkiri.

4.1.3.Sulawesi Molassa
Sulawesi Molasa didominasi oleh satuan klastik dengan batugamping lokal.
Sikuen klastik tersusun atas konglomerat Formasi Langkowala dan Pandua, napal
pasiran hingga batulempung formasi Boepinang dan batupasir dengan batugamping
koral setempat dari Formasi Buara (Kartaadipoetra dan Sudiro,1973, Rusmana, dkk.
,1988). Sikuen molasa menyebar melewati lengan tenggara Sulawesi terutama bagian
selatan selesai ketika penutupan ofiolit dan teran kerak benua secara tidak selaras.
Fragmen pada formasi langkowala dan Pandua berasal dari ofiolit,metamorf formasi

48
Meluhu dan Tampakura, yang menunjukkan molasa terendapkan setelah ofiolit naik
ke lapisan batas kerak benua.
Foraminifera besar pada batugamping dari formasi Panuda yang
diidentifikasikan S.Soeka 1990 dan Chaproniere,1992 mengindikasikan umur
Miosen awal. Batuan karbonat dari Formasi Boepinang dan Eimoko muncul pada
lengan akhir bagian selatan. Berdasarkan kehadiran foraminiferanya, Formasi
Beopinang dan Eemoiko terendapkan pada Miosen Akhir-Pliosen (Simandjuntak
dkk.,1984, Purnamaningsih, 1985 dan Madeali ,1990).

Gambar 4.1. Stratigrafi Sulawesi Tenggara (Surono,1993)

49
4.2. Tektonik Sulawesi Tenggara
Tiga pembabakan tektonik yang terjadi pada lengan Sulawesi Tenggara, yaitu
1. Pre-kolisi dengan perkembangan terpisah dari sabuk ofiolit Sulawesi Timur
dan teran kerak benua allochthonous Sulawesi Tenggara.
2. Pembabakan Kolisi
3. Pembabakan setelah kolisi.
Sejarah pre-kolisi diindikasikan oleh ciri stratigrafi dan sedimentologi dari suksesi
sedimen Trias dan Paleogen pada teran kerak benua dan sejarah vulkanik dari suksesi
busur lengan utara dan selatan. Pembabakan kolisi terekam pada sabuk ofiolit dan
teran kerak benua.

4.2.1. Pre-kolisi
Pada Jura, teran kerak benua Indonesia Timur diduga terbentuk dari bagian
batas utara dari kerak benua Australia (Hamilton, 1979; Pigram dan Panggabean,
1984; Pigram dkk.,1985; Audley-Charles, 1988; Metcalfe, 1988,1990). Kerak
tersebut tersobek oleh pemisahan batas kerak benua dan transportasi arah barat laut
oleh pemekaran kerak samudera. Falvey dan Mutter(1981), Audley-Charles (1988),
Audley-Charles, dkk. (1988) dan Veevers, dkk. (1991) menggambarkan karakteristik
tahap sebelum terpisah, pada saat terpisah dan setelah terpisah dari batas utara kerak
benua Australia. Tahap sebelum terpisah dicirikan oleh penyurutan secara cepat pada
cekungan intracratonic yang berkembang sepanjang batas kerak benua. Cekungan
yang memiliki tingkat pengendapan tinggi dengan dominasi lapisan silisiklastik
terendapkan pada lingkungan non-marine dan marine. Tahap saat pemisahan
ditandai oleh sesar mayor, vulkanisme lokal dan pengangkatan yang diindikasikan
oleh penurunan muka air laut secara relatif dan erosi. Pada saat pemisahan, kerak
samudera mulai terbentuk selama divergen kerak benua. Tahap setelah pemisahan
dicirikan oleh penurunan cekungan dari batas kerak benua dengan perkembangan
pengendapan laut terbatas, yang diikuti oleh kondisi bukaan laut. Tingkat
sedimentasi klastik rendah menghasilkan pengurangan kuantitas lapisan silisiklastik.
Transgresi setelah pemisahan selama Jura akhir- Kapur dicirikan oleh pengendapan
lumpur dan batugamping.dengan kehadiran radiolaria dan rijang.

50
Empat tektonik utama terjadi sebelum kolisi pada Oligosen akhir; sebelum
pengangkatan Permian-Trias (sebelum pemisahan); Pemisahan umur Jura;
pemekaran dan pengapungan pada Akhir Jura-Oligosen; dan subduksi Kapur.
Penggambaran dan interpretasi dari setiap kejadian yang didiskusikan di bawah ini.

4.2.1.1. Sebelum pemisahan Perm-Trias


Batuan dasar metamorf awal Karbon tersebar pada teran kerak benua
Indonesia timur. Kompleks batuan dasar terintrisi oleh bautan granit dari
Banggai-Sula (Surono dan Sukarna,1985 ; Supandjono, dkk., 1986, Surono,
1989) dan pusat Papua New Guinea (Pigram dan Davies, 1987). Intrusi
serupa ditemukan pada lembah barat dari Teluk Bone pada Sulawesi
Tenggara (Surono, 1986). Kompleks batuan dasar tertutupi oleh suksesi tebal
dari lapisan sedimen klastik Perm-Trias pada Papua New Guinea barat
(Pigram dan Davies, 1987) dan pada Kemum, Papua (Pigram dan Davies,
1987) ,dan batuan vulkanik Perm-Trias pada Banggai-Sula (Sukamto,1975;
Surono dan Sukarna,1985; Supandjono, dkk., 1986; Surono ,1989).
Basal Formasi Meluhu berasal dari batuan dasar yang terdiri oleh
batuan metasedimen, metamorf, dan granit dan indikasi kehadiran
ketidakselarasan Paleozoikum hingga Trias awal. Ketidakselarasan ini
ditemukan pada kebanyakan teran kerak benua Indonesia Timur , termasuk
Banggai-Sula (Pigram, dkk., 1985; Surono dan Sukarna, 1985; Supandjono,
dkk.,1986; Surono,1989), Buton (Smith,1983; Soeka,1991), Buru dan Seram
(Tjokrosapoetro dan Budhitrisna,1982; Pigram dan Panggabean,1984)
,Kepala burung Irian Jaya (Pigram dan Panggabean, 1984; Pigram dan
Davies,1987) dan pusat Papua New Guinea (Pigram dan Davies,1987).
Suksesi sedimen marine dan non-marin yang tebal menutupi ketidakselarasan
pada semua teran ini.
Selama pengendapan Formasi Meluhu Trias akhir, tatanan cekungan
semakin mendalam, yang mengindikasikan progresi ke atas dari lapisan
fluvial Anggota Toronipa pada dasar hingga batuan penciri delta pada
tengah(Anggota Watutaluboto) dan lapisan marine anggota Tuetue pada atas
dari formasi (Surono,1994). Formasi ini didominasi oleh lapisan non-marine

51
dan non-vulkanik. Bukti ini konsisten dengan penurunan cekungan selama
tahap awal pemekaran dari batas utara kerak benua Australia, yang
digambarkan oleh falvey dan Mutter (1981). Sedimentologi dan karakteristik
sumber dari Formasi Meluhu menunjukkan tektonik divergen aktif yang
mungkin berhubungan dengan tahap awal dari pemisahan.

4.2.1.2. Tahap pemisahan Jura


Pemekaran kerak benua Australia pada daerah antara Sulawesi Timur
dan timor terjadi selama Trias akhir hingga Jura (Falvey dan Mutter,1981;
Pigram dan Panggabean,1984; Audley-Charles,1987). Lebih lanjut, refleksi
seismik merekam dari barat lait paparan Australia (Audley-Charles,1988) dan
Plato Exmouth dan anomali magnetik lantai samudera dari dekat cekungan
Wharton, menunjukkan pemekaran sedang berlangsung ada Jura akhir.
Demikian oxfordian merupakan waktu pemekaran utama dengan
menghasilkan fragmen kerak benua dari batas utara porsi Australia dari
Gondwana.
Hiatus pada Jura awal terekam di seluruh teran kerak benua Indonesia
Timur, yang berasal dari kerak benua Australia utara. Pada lengan tenggara,
hiatus Jura awal terjadi pada dasar Formasi Tetambahu. Hiatus Jura awal
bertepatan dengan penurunan muka air laut luas (Vail, dkk., 1977; Haq, dkk.,
1987,1988)
Dyke granit mengintrusi Formasi Bobong Jura awal pada lembah
barat daya dari Pulau Taliabu (Supandjono, dkk.,1986) selama Jura akhir atau
Kapur awal. Magmatisme ini mungkin berhubungan dengan kejadian
pemisahan.

4.2.1.3. Pemekaran-Pengapungan Jura akhir-Oligosen


Hiatus Kapur akhir pada lengan tenggara dicerminkan oleh
konglomerat basal dengan alas Batuasah (Formasi Tampakura), terdiri dari
fragmen Formasi Meluhu. Hiatus ini juga terjadi di Buton (Smith,1983;
Soeka,1991), Banggai-Sula (Surono, dkk., 1983; Surono dan Sukarna, 1985;
Surono, 1989) dan pusat Papua New Guinea (Pigram dan Davies,1987). Hal

52
ini menindikasikan pengangkatan teran kerak benua di atas muka air laut
selama pengapungan. Pigram dan Panggabean, 1984 menginterpretasikan
hiatus ini sebagai batas setelah pemisahan.
Batuan sedimen klastik menjadi sedikit dan tergantikan oleh
meningkatnya proporsi batuan karbonat , yang ditunjukkan oleh Formasi
Masiku dan menutupi Formasi Tetambahu. Lebih jauhnya, batugamping
rijangan dengan kemelimpahan radiolaria mengindikasikan umur Jura hingga
Kapur awal sebagai bagian atas formasi. Bukti ini menunjukkan pendalaman
cekungan yang terjadi selama pengendapan dari kedua formasi tersebut,
dimana mungkin refleksi sebuah transgresi mayor setelah pemisahan pada
Jura akhir-Kapur.

4.2.1.4. Subduksi Kapur akhir


Subduksi awal di Sulawesi ditandai oleh kompleks Melange
Bantimala (Sukamto, 1986; 1991) dekat Ujungpandang dan kompleks Sekis
Pompangeo pada Sulawesi Tengah (Parkinson,1990). Batuan ini mungkin
menjadi kelanjutan sabuk melange pada Kalimantan timur (Pegunungan
Meratus) dan Jawa Tengah (kompleks melange Luk Ulo).
Subduksi Kapur ditunjukkan oelh busur magmatik Kapur-Tersier
(Sabuk Vulkanik Sulawesi Barat) pada lengan Sulawesi Utara dan Selatan;
sabuk sekisbiru dari Sulawesi tengah hingga lembah barat dari lengan
tenggara; Melange Wasuponda antara Sulawesi timur dan tengah. Batuan
vulkanik umumnya berasosiasi dengan lapisan tipe flysch tebal, yang
terendapkan sepanjang batas timur Sundaland. Batuan vulkanik tersusun atas
batuan tholeitik Eosen akhir dan Miosen akhir, calc alkaline dan shoshonitik
(Yuwono dkk., 1986,1988, Kavalieris, dkk.,1992; Priadi, dkk., 1994) Batuan
vulkanik pada Lengan utara berhubungan dengan vulkanik Paleogen pada
Sulawesi tengah dan lengan selatan, dan semua merupakan hasil subduksi
Kapur berarah barat ( Kavalieris, dkk., 1992). Studi ini mendukung ide
subduksi berarah barat dibawah Sundaland timur selama Kapur akhir, yang
sebelumnya dikemukakan oleh Katili (1978), Hamilton (1979), Katili dan
Asikin (1985), Sikumbang (1986), dan Simandjuntak(1986). Pengangkatan

53
dan erosi terjadi di belakang sabuk vulkanik, memicu perkembangan
cekungan Makassar selama Kapur akhir-Tersier awal (Situmorang, 1987).
Menuju ke arah tenggara, Laut Proto-Banda berkembang sebagai
cekungan dalam yang tertutup oleh kerak samudera selama Kapur akhir
(Hartono,1990). Sikuen tebal dari karbonat laut dalam dan rijang berlapis
terendapkan pada cekungan. Kerak benua memiliki pola liniasi magnetik
yang sama dengan dataran Argo Abyssal yang mengindikasikan
kemungkinan memiliki kesamaan asal.

4.2.2. Struktur Kolisi


Molasa Sulawesi Miosen Awal pada Sulawesi Tenggara secara menengah
telah terlipat dan tersesarkan dimana batuan yang lebih tua sesar dan lipatannya lebih
intensif. Formasi Tampakura Eosen-Oligosen awal telah terdeformasi secara intensif
dan tersedia batas tipis waktu deformasi. Deformasi utama terjadi setelah Oligosen
akhir dan sebelum Miosen awal. Deformasi utama merupakan kelengkapan dari
kolisi antara teran benua dengan ofiolit. Kolisi ini juga ditandai oleh hiatus Oligosen.
Sabuk kolisi yang sama, walaupun sedikit berumur lebih muda terjadi di lengan
timur dan Sulawesi tengah.

4.2.3. Struktur Imbrikasi dan Sesar naik


Sesar naik adalah struktur yang banyak dihasilkan oleh kolisi , biasa
menandai batas antara ofiolit dan teran kerak benua Sulawesi tenggara. Sesar naik ini
membentuk zona imbrikasi antara dua teran berbeda dan sekarang terjadi sepanjang
lembah timur dan barat lengan tenggara.
Sesar naik Labengke, dinamakan oleh Silver dkk (1983) berlokasi dari
Tinobu hingga daerah danau Towuti. Pada bagian selatan dari sesar naik yang sangat
ekstrim, ofiolit menaik ke batas kerak benua suksesi sedimen Formasi Tampakura.
Studi gravitasi menunjukkan kemiringan sesar naik dewasa menuju barat (Silver,
dkk.,1983) dan ofiolit membentuk lembar tipis sesar naik dan potongan seperti
struktur. Hal ini konsisten terhadap observasi dari Molasa Sulawesi pada anggota
konglomerat Matarape.

54
Gambar 4.2. Peta Geologi Sulawesi Tenggara (Surono, 1997)

Sesar naik Sangisangi terjadi pada semenanjung Laonti dan luasnya 50km
dengna arah utara selatan. Orientasi boudin pada milonit, berkembang sepanjang
zona sesar naik pada lembah baratdaya semenanjung Laonti, menindikasikan
kemiringan sesar naik landai (11o) menuju barat laut (310o). Pengukuran bidan sesar
pada semenanjung Labuanbajo pada pinggir selatan sesar naik , meyakinkan bahwa
kemiringan landai (12-20o) menuju timur-tenggara. Pada kebanyakan
tempat,sepanjang lembah utara dari semenanjung, sesar naik sejajar dengan
perlapisan. Sesar naik ini merupakan bagian dari zona imbrikasi semenanjung
Laonti. Zona imbrikasi lain terjadi sepanjang lembah timur lengan tenggara,
khususnya daerah Bungku. Struktur ini juga terjadi pada foto udara dan landsat. Zona
imbrikasi menunjukkan kemelimpahan kemiringan cukup hingga curam bidang
cermin sesar.

55
Pada lembah timur semenanjung Laonti, zona imbrikasi mengandung sesar
Silver , Formasi Meluhu berumur Trias akhir, batugamping Paleogen anggota Laonti
(Formasi Tampakura) dan ofiolit. Setiap satuan stratigrafi dikelilingi sesar dengan
kemiringan sesar naik hingga 10-30o mengarah timur laut.

4.2.4. Lipatan
Kebanyakan satuan batuan sedimen awal Neogen (Formasi Tampakura dan
Meluhu) berlapis baik dengan perubahan kemiringan drastis pada jarak singkat.
Lebihnya, lipatan rapat isoklin dan recumbent ditemukan pada beberapa tempat dan
kebanyakan suksesi mungkin terlipat rapat. Tidak ada skala regional lipatan
diidentifikasikan. Asosiasi dari lipatan recumbent dan sistem sesar imbrikasi sudut
rendah umumnya dikenali sebagai zona kolisi.

4.2.5. Mekanisme kolisi dan perpindahan ofiolit


Beberapa model telah diajukan (contoh Katili, 1978, 1989; Smith, 1983,
Simandjuntak, 1986; Desmet, 1989; Parkinson, 1990; Smith dan Silver, 1991) untuk
evolusi tektonik Sulawesi, khususnya selama kolisi antara teran kerak benua
(termasuk Buton, Banggai-Sula, Sulawesi Tenggara dan Tukang Besi) dan sabuk
ofiolit Sulawesi timur. Bagaimanapun, mengacu pada kekurangan data dari lengan
tenggara Sulawesi, model daerah ini tidak terdapat hingga diidentifikasikan hingga
1985 (Rusmana dan Sukarna, 1985).
Penambahan umur , khususnya dari suksesi sedimen batas kerak benua dan
molasa Sulawesi telah menyediakan kontrol lebih pada wakti kolisi antara teran
kerak benua dan ofiolit Sulawesi timur. Model yang diajukan berdasarkan hipotesis
bahwa teran kerak benua telah bergerak ke arah baratlaut sepanjang sesar mendatar
kiri , mungkin Sesar Sorong, sejak Paleogen.

4.2.6. Oligosen awal-akhir


Kolisi teran kerak benua Banggai-Sula bagian barat dan Busur vulkanik
Sulawesi bagian barat mungkin terjadi pada Oligosen awal-akhir. Ofiolit telah naik
pada batas barat fragmen kerak benua yang diobservasikan sepanjang lembah timur
Teluk Bone dan Sesar Median pada Sulawesi Tengah. Rotasi berlawanan arah jarum

56
jam sekitar 45o-60o lengan selatan selama Paleosen- Miosen tengah. (Sasajima
dkk.,1981; Mubroto,1988) mungkin perkembangan kolisi. Pengawalan sesar
mendatar kiri, seperti Sesar Lawanopo-Hamilton, juga berkembang dari pergerakan
kolisi.

4.2.7. Miosen Awal-Tengah


Mengacu pada pergerakan baratlaut, teran kerak benua telah menjadi
fragmen-fragmen dari sesar mendatar yang aktif kembali. Fragmen kecil Banggai-
Sula bergerak ke arah barat laut sepanjang sesar Lawanopo dan Hamilton dan kolisi
dengan ofiolit Sulawesi timur. Mengacu pada kelanjutan pergerakan ke arah baratlaut
dari fragmen Banggai-Sula, kolisi menjadi muda menuju ke utara, dimana berumur
Miosen tengah pada lengan timur (Simandjuntak, 1986; Surono, 1989). Kolisi ini
membentuk sesar naik Batui, dengan kenaikan ofiolit sepanjang fragmen kerak benua
(Silver, dkk., 1978). Modeling gravitasi (Silver, dkk., 1983) dan kelengkapan
sedimen dari molasa Sulawesi mengindikasikan bahwa hanya lapisan tipis dari ofiolit
yang menaik ke fragmen kerak benua. Hal ini juga didukung oleh hubungan
lapangan pada Sulawesi Tenggara dimana ofiolit terbentuk sedikit terisolasi oleh
lembar sesar naik yang mengelilingi atai klippe seperti struktur di atas teran kerak
benua.
Pada saat yang bersamaan, kolisi ujung tenggara dari Sulawesi tenggara
terhadap Buton terjadi dan membentuk kompleks Wolio di Buton (Smith, 1983) dan
mungkin juga sesar naik Sangisangi dan struktur yang berhubungan pada
semenanjung Laonti. Sesar Lawanopo-Hamilton yang mungkin terbentuk pada awal
kolisi teran kerak benua Banggai-Sula, berlanjut berkembang menuju baratlaut
memotong busur vulkanik Sulawesi Barat untuk membentuk Sesar Palu-Koro.
Pada Miosen akhir, kolisi fragmen Banggai-Sula terhadap ofiolit juga
mengawali Sesar mengkiri di Sulawesi timur. Rotasi searah jarum jam (90o) lengan
utara (Otofuji, dkk.,1981) dan separasi antara lengan Selatan dan tenggara
membentuk Teluk Bone (Hamilton,1979) , yang merupakan dampak dari ini. Jauh ke
arah selatan, teran kerak benua Tukangbesi kolisi dengan Buton (Smith,1983)
Pengangkatan cepat pada bagian tengah dari lembah barat Sulawesi tenggara
terjadi selama Miosen awal-tengah (Helmes, dkk., 1989,1990). Pengangkatan karena

57
tanpa pembebanan yang mengacu pada tektonik ekstension yang berkembang setelah
hancuran dari kolisi teran Sulawesi tenggara dan Buton. Umur pengangkatan dari
batuan metamorf pada lengan tenggara adalah 16.5-20 juta tahun lalu (Miosen awal-
tengah ; Charlton,1991) dan mungkin berumur setelah kolisi dari kedua teran benua.
Separasi antara lengan tenggara dan selatan diakibatkan karena ekstensi pada Teluk
Bone.
Ektension selama Miosen awal pada lengan tenggara juga membentuk
cekungan fluvial yang terdiri atas anggota konglomerat Matarape formasi Pandua
dan anggota konglomerat dari Formasi Langkowala bawah. Proses yang sama pada
waktu yang berdekatan (Miosen akhir) terjadi pada lengan timur.

4.2.8. Miosen akhir-sekarang


Pergerakan baratlaut dari teran kerak benua berlanjut selama Pliosen dan
membentuk sesar Ampana, Toili dan Greyhound pada lengan timur dan Pulau
Banggai-Sula. Sesar mengkiri ini diawali oleh Sesar naik Tolo pada cekungan Banda.
Dominasi pergerakan ke arah barat dari Banggai-Sula menghadirkan Sesar
Kolonedale menjadi tidak aktif sebagai akibat pembentukan Sesar Matano. Sesar
Matano masih aktif. (Ahmad, 1977)

4.2.9. Struktur setelah kolisi.


Pada lengan tenggara Sulawesi, kebanyakan struktur utama terbentuk setelah
kolisi adalah sesar mendatar kiri termasuk sistem sesar Lawanopo ( yang berasosiasi
dengna komplek Melange Toreo), sesar Kolaka, sesar Konaweha dan liniasi yang
bervariasi. Sesar mengkiri ini adalah liniasi utama yang ditunjukkan pada foto udara
dan landsat. Sesar Lawanopo dan Matano dapat diklasifikasikan sebagai regangan
sesar Palu-Koro dimana hilang pada palung Sulawesi Utara dan Sesar naik Tolo pada
selatan.

4.2.10.Sistem Sesar Lawanopo


Sistem sesar Lawanopo termasuk beberapa sesar yang berarah baratluat-
tenggara dan meluas dari baratlaut Danau Matano sekitar 260 km hingga tenggara
Toronipa (timurlaut Kendari). Sistem sesar barat laut berakhir dibatasi oleh sesar

58
Matano dan tenggara berakhir dengan hubungan laut sesar Hamilton dan sesar naik
Tolo. Hamilton (1979) menamakan patahan setelah dataran Lawanopo terpotong
oleh sesar.

Gambar 4.3. Interpretasi perkembangan tektonik lempeng Sulawesi pada Oligosen awal-
sekarang (Smith dan Silver, 1991)

Kelengkapan sistem sesar terlihat baik sekitar 50 km dekat Tinobu pada foto
udara dan landsat, dan meliputi kelurusan lembah, bukit curam,dan offset dan
pantulan drainase. Kenampakan aliran mengkiri umum sepanjang sesar antara
Tinobu dan Soropia, utara Kendari. Magnitude dari kenampakan ini meningkatkan
pendekatan zona sesar. Karakteristik ini merupakan tipe sesar mendatar
(Sylvester,1988). Perpindahan sinistral sepanjang sesar diperkirakan sekurang-
kurangnya 25km berdasarkan pada kenampakan formasi Meluhu pada lengan
tenggara bagian tengah.
Mata air panas nampak pada desa Toreo, tenggara Tinobu. Sistem sesar
masih aktif yang diindikasikan oleh kenampakan kelengkapan budaya (contohnya
jalan dan tembok) dan sepanjang sistem sesar.

59
4.2.11. Sesar Kolaka
Sesar ini dinamakan oleh Simandjuntak, dkk. (1983) setelah kota Kolaka
dipotong oleh sesar ini. Sesar Kolaka memotong ujung lengan tenggara dan meluas
sekitar 250 km dari lembah timur Teluk Bone hingga selatan lengan tenggara. Sesar
ini terlihat sebagai liniasi dominan pada foto udara dan landsat dan hampir sejajar
sistem sesar Lawanopo.
Pinggir tenggara sesar memotong aluvial cekungan Wawotobi yang
menunjukkan sesar masih aktif. Aliran defleksi mengkiri terjadi sepanjang sesar,
khususnya sepanjang lembah timur Teluk Bone, menunjukkan sesar Kolaka juga
merupakan sesar datar mengkiri.

4.2.12. Sesar Konaweha


Sesar Konaweha terjadi sepanjang dan dinamakan setelah sungai Konaweha.
Sesar ini sekitar 50 km panjangnya dan dapat terlihat jelas pada foto udara dan
landsat. Sesar ini memotong aluvial dari cekungan Wawotobi yang mengindikasikan
masih aktif. Kenampakan mengkiri dari aluvial cekungan Wawotobi
mengindikasikan mungkin sesar datar mengkiri.

4.2.13. Liniasi
Kebanyakan liniasi terjadi pada ofiolit dan batuan awal Miosen pada teran
kerak benua Sulawesi Tenggara, dimana molasa Sulawesi dan sedimen Kuarternari
mengandung sedikit liniasi. Plot statistik dari liniasi terdapat 979 buah dari foto
landsat menunjukan dua arah umum, baratlaut (332o) dan timurlaut (042o). Liniasi
berarah baratlaut hampir sejajar dengan sesar mendatar umum ,seperti Sesar
Lawanopo dan Sesar Kolaka dan mungkin berhubungan dengan sesar tersebut.
Liniasi berarah timurlaut hampir sejajar dengan sesar naik Labengke, struktur
timurlaut di Buton dan sesar naik Tolo dan mungkin berhubungan dengna awal zona
kolisi antara WSVA dan ESOB terhadap teran kerak benua.

60
Gambar 4.4. Interpretasi fotografi Landsat Sulawesi Tenggara yang menunjukkan liniasi
dan sesar. Arah umum struktur utama adalah barat laut-tenggara.

4.2.14. Cekungan Wawotobi


Cekungan Wawotobi merupakan cekungan kuartenari terbesar pada tengah
lengan tenggara Sulawesi. Ini dinamakan dari kota kecil Wawotobi yang menutupi
tengah cekungan ini. Cekungan ini meluas dengan arah timurlaut- baratdaya dengna
panjang 75 km dan kedalaman 10 km. Enam lubang bor untuk kontruksi dam pada
Sungai Konaweha , berlokasi di selatan Wawotobi, menunjukkan ketebalan aluvial
berkisar 12,6 m hingga 17,5 m dan lantai cekungan merupakan batuan dasar
metamorf (Wawotobi Irrigation Project,1990)

61
Cekungan dikelilingi oleh sesar Meluhu pada timurlaut dan Sesar Kolaka
pada selatan, beberapa sesar meliput (Konaweha) memotong bagian tengah dari
cekungan ini. Hal ini memungkinkan cekungan Wawotbi berhubungan dengan sesar
mendatar sebagai cekungan pull-apart. Mengacu pada Deng, dkk. (1986 yang
dimodifikasi oleh Sylvester,1988) geometri cekungan pull-apart terdiri dari 4 tipe :
rhombic graben, narrow rectangular graben, terminal extension fracture dan sesar
hampir sejajar-cekungan coalesced. Berdasarkan klasifikasi cekungan Wawotobi
adalah sesar hampir sejajar-cekungan coalesced, dimana sesar yang hampir sejajar
(sesar Kolaka dan Konaweha dan sesar asosiasi lainnya) telah membentuk cekungan
ini.

62

Anda mungkin juga menyukai