Anda di halaman 1dari 9

CEKUNGAN DAN FORMASI DI KALIMANTAN TENGAH

Geologi Kalimantan Tengah tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kesatuan geologi Kalimantan secara umum. Kalimantan Tengah terbentuk dari endapan atau batuan yang terjadi dalam cekungan-cekungan sedimen dan daerah pegunungan yang terbentuk oleh kegiatan magma ataupun proses malihan (metamorfosa). Cekungan-cekungan yang ada di Kalimantan Tengah terdiri dari : 1. Cekungan Melawi (perbatasan dengan Kalimantan Barat) 2. Cekungan Barito (bagian Tengah Selatan - Timur Kalimantan Tengah) 3. Cekungan Kutai (bagian Utara - Timur Laut Kalimantan Tengah). Berdasarkan tatanan tektonik regional daerah penyelidikan merupakan perbatasan kerangka geologi Cekungan Kutai dengan Cekungan Barito yang terbentuk pada zaman Tersier. Batuan dasar Cekungan Barito adalah batuan Pra-Tersier terdiri dari batuan beku bersifat granitik dan andesitik serta batuan malihan terdiri dari perselingan batulanau dengan batupasir halus sampai kasar dengan sisipan konglomerat dan breksi. Diatas batuan Pra-Tersier ini diendapkan batuan sedimen Tersier yang terdiri dari tua ke muda yaitu: 1. Formasi Tanjung 2. Formasi Berai 3. Formasi Warukin

4. Formasi Dahor 5. Endapan Kuarter (Aluvium). Kontak antara batuan Pra-Tersier dan batuan sedimen Tersier ialah kontak ketidakselarasan umur, tetapi di beberapa tempat tertentu terdapat kontak ketidakselarasan tektonik. Umur dari batuan sedimen Tersier adalah Eosen sampai Pleistosen formasi yang terdapat pada cekungan barito, yaitu: 1. Formasi Tanjung yang terdiri atas batupasir kuarsa berselingan dengan batulempung dengan sisipan batubara. Formasi Tanjung berumur Eosen. 2. Formasi Berai yang terdiri atas batugamping, berlapis baik setempat kaya akan koral, foraminifera, dan ganggang, bersisipan napal, padat dan berlapis baik, serta batulempung. Formasi Berai berumur Miosen Awal. 3. Formasi Warukin disusun oleh batupasir kuarsa, batulempung, batulanau, dan konglomerat di bagian bawahnya serta sisipan batubara dan lensa batugamping. Formasi Warukin berumur Miosen Tengah sampai Miosen Akhir. 4. Formasi Dahor yang terdiri atas batupasir kuarsa dan konglomerat yang mengandung kepingan kuarsit dan basal, berselingan dengan batupasir berbutir sedang - sangat kasar, setempat berstruktur silang-siur, dengan sisipan batulempung setempat karbonan hingga gambut dan batulempung. Formasi Dahor berumur Plio sampai Plistosen. Formasi Tanjung merupakan formasi paling tua yang terdapat didalam Cekungan Barito, berumur Eosen yang terdiri dari (atas ke bawah) batulempung, batulanau, batupasir, batubara dan konglomerat sebagai komponen utama. Hubungannya tidak selaras dengan batu pra-tersier. Selanjutnya diikuti fase transgrasi yang menghasilkan Formasi Berai. Hasil erosi dari paparan Sunda dibarat dan Pegunungan Meratus di timur diendapkan dalam cekungan ini sebagai Formasi Warukin dan Formasi Dahor.

Stratigrafi Zona Rembang tersusun atas Formasi Ngimbang, F. Kujung, F. Prupuh, F. Tuban, F. Tawun, F. Ngrayong, F. Bulu, F. Wonocolo, F. Ledok, F. Mundu, F. Selorejo, dan F. Lidah.

Formasi Kujung

Tersusun oleh serpih dengan sisipan lempung dan secara setempat berupa batugamping baik klastik maupun terumbu. Diendapkan pada lingkungan laut dalam sampai dangkal pada kala Oligosen Akhir sampai Miosen Awal.

Formasi Tuban

Tersusun oleh lapisan batulempung dengan sisipan batugamping. Semakin ke selatan berubah menjadi fasies serpih dan batulempung (Soejono, 1981, dalam Panduan Fieldtrip GMB 2006). Diendapkan pada lingkungan neritik sedang-neritik dalam.

Formasi Tawun

Tersusun oleh serpih lanauan dengan sisipan batugamping. Pada bagian atas formasi ini didominasi oleh batupasir yang terkadang lempungan dan secara setempat terdapat batugamping. Satuan di bagian atas ini sering disebut sebagai Anggota Ngrayong. Diendapkan pada laut terbuka agak dalam sampai laut dangkal di bagian atas pada Miosen Tengah (N9-N13) (Rahardjo & Wiyono, 1993, dalam Panduan Fieldtrip GMB 2006).

Formasi Tawun dimasa lalu disebut sebagai Lower Orbitoiden-Kalk (Lower OK) dan dimasukkan dalam apa yang disebut Rembang beds (Van Bemmelen, 1949). Selanjutnya Koesoemadinata (1978) menamakannya sebagai Anggota Tawun dari Formasi Tuban. Pada tahun 1983, Harsono menaikkan status anggota ini menjadi Formasi (tabel III.1). Menurut Harsono Formasi Tawun ini tersusun oleh perselingan antara gypsiferous carbonaceous shale dengan struktur gelembur arus, serta batugamping yang kaya akan foraminifera besar golongan Orbitoidae seperi Lepidocyclina. Singkapan yang dijumpai merupakan bagian teratas dari Formasi ini, tersusun oleh batulempung abu-abu kehijauan dengan sisipan batugamping dan batupasir. Didaerah sekitar desa Ngampel terdapat singkapan dari Formasi ini setebal 30 m. Perlapisannya mengandung fosil foraminifera plangtonik yang menunjukkan umur N 8 (Akhir Miosen Awal) berupa kumpulan spesies : Globigerinoides diminutus, Pareorbulina transtoria dan Globigerinoides sicanus. Sedangkan kandungan foraminifera bentoniknya menunjukkan bahwa Formasi ini diendapkan pada kondisi laut sangat dangkal pada kondisi penguapan yang sangat tinggi. Ke arah atas litologi ini ditumpuki oleh batupasir merah hingga merah jambu, dengan gejala struktur silang siur yang menjadi ciri dari batupasir Ngrayong.

Formasi Ngrayong

Anggota ini juga disebut Upper Orbitoiden-Kalak oleh Trooster (1937), Van Bemmelen (1949) menamakan Upper Rembang beds. Nama batupasir anggota Ngrayong telah diperkenalkan Brouwer (1957), yang mengajukan tipe local pada desa Ngrayong, Jatirogo, dimana susunan utamanya batupasir dengan intercalation batubara dan sandy clay.

Harsono (1983), mendeskripsi Ngrayong sebagai anggota formasi Tawun, terdiri dari orbitoid limestone dan shale dalam bagian bawah dan batupasir dengan intercalation batugamping dan lignit di bagian atas. Umur dari unit ini Miosen Tengah, pada area N9-N12. Lingkungan pengendapan dari anggota ini fluvial atau submarine dalam singkapan di sebelah utara (Jatirogo, Tawun) dan menjadi lingkungan laut pada bagian selatan. Di dekat Ngampel sekuen pasir endapan laut yang mendangkal ke atas

dari shore face ke pantai akan terlihat anggota ini mungkin berhubungan dengan haitus di atas area mulut laut jawa. Anggota ini merupakan reservoar utama dari lapangan minyak Cepu, tetapi terlihat adanya shale yang hadir di bagian selatan dan timur dari lapangan ini. Ketebalan dari unit ini bervarian (lebih dari 300 m).

Formasi Bulu

Semula formasi ini disebut sebagai PlatenComplex oleh Trooster (1937). Tersusun oleh batugamping pasiran yang keras, berlapis baik, berwarna putih abu-abu, dengan sisipan napal pasiran. Pada batugampingnya dijumpai banyak foraminifera yang berukuran sangat besar dari spesies Cycloclypeus (Katacycloclypeus) annulatus berasosiasi dengan fragmen koral dan alga serta foramnifera kecil. Harsono (1983) menggunakan nama Formasi Bulu sebagai nama Resmi, dengan memasang lokasi tipe di Sungai Besek, dekat desa Bulu, Kabupaten Rembang. Posisi stratigrafi, umur dan litologinya dapat dilihat pada tabel III.1.

Pada peta geologi lembar Rembang (1 : 100.000), formasi ini melampar luas terutama di wilayah antiklonorium Rembang Utara. Satuan ini menebal ke arah barat, mencapai ketebalan hingga 360 m di sungai Larangan. Dibagian timur di sungai Besek dekat desa Bulu ketebalannya hanya 80 meter. Kondisi litologi dan kandungan fosilnya menunjukkan bahwa Formasi ini diendapkan pada laut dangkal, terbuka pada Kala Miosen Tengah Awal Miosen Akhir (N 13 N 15).

Formasi Wonocolo

Tersusun dari napal kuning-coklat, mengandung glaukonit, terdapat sisipan kalkarenit dan batulempung. Menurut Purwati (1987, dalam Panduan Fieldtrip GMB 2006) lingkungan pengendapan formasi ini adalah neritik dalam hingga bathyal tengah pada Miosen Tengah-Miosen Atas (N14-N16).

Formasi Wonocolo semula disebut sebagai anggota bawah dari Formasi Globigerina oleh Trooster (1937). Formasi ini menumpang secara selaras di atas formasi bulu dan ditumpangi oleh Formasi Ledok. Pada umumnya tersusun oleh napal dan napal lempungan yang tidak berlapis, kaya akan kandungan foraminifera plangtonik. Pada bagian bawahnya dijumpai sisipan batugamping pasiran dan batupasir gampingan dengan ketebalan bervariasi antara 520 cm. Urutan ini menunjukkan bahwa selama pengendapannya terjadi kondisi transgresif. Marks (1957) dan Harsono (1983) menyimpulkan bahwa umur dari formasi ini adalah Miosen Tengah Miosen Akhir kisaran umur N 14 N 16. (lihat tabel III.1).

Singkapan dari Formasi Wonocolo dijumpai mulai dari daerah Sukolilo, barat daya Pati. Ketebalan dari Formasi ini sangat bervariasi. Ke arah utara formasi ini berubah fasies menjadi batugamping dari Formasi Paciran. Melimpahnya fauna plangtonik pada batuan penyusun formasi ini menunjukkan bahwa pengendapannya berlangsung pada laut yang relatif dalam, wilayah ambang luar hingga batial atas.

Formasi Ledok

Secara selaras di atas Formasi Wonocolo terdapat Formasi Ledok. Trooster (1937) menganggap satuan ini sebagai anggota dari Formasi Globigerina, namun para peneliti sesudahnya menganggap berstatus formasi (Marks, 1957; Harsono, 1983). Formasi Ledok secara umum tersusun oleh batupasir glaukonitan dengan sisipan kalkarenit yang berlapis bagus serta batulempung yang berumur Miosen Akhir (N 16N 17). Posisi stratigrafi, umur dan litologinya dapat dilihat pada tabel III.1.

Ketebalan dari Formasi Ledok ini sangat bervariasi. Pada lokasi tipenya, yaitu daerah antiklin Ledok, ketebalannya mencapai 230 m. Di daerah sungai Panowan mencapai 160 m, sedangkan di sungai Cegrok tinggal 50 m. Batupasirnya kaya akan kandungan glaukonit dengan kenampakan struktur silang siur. Di beberapa tempat batupasir

tersebut terutama tersusun oleh hanya oleh test foraminifera plangtonik dengan sedikit mineral kuarsa. Secara keseluruhan bagian bawah dari formasi ini cenderung tersusun oleh batuan yang berbutir lebih halus dari bagian atas, menunjukkan kecendrungan kondisi pengendapan laut yang semakin mendangkal (shallowingupward sequence). Ke arah utara, seperti halnya Formasi Wonocolo, Formasi Ledok ini juga mengalami perubahan fasies menjadi batugamping dari formasi Paciran.

Formasi Mundu

Satuan stratigrafi ini semula disebut sebagai Mundu stage oleh Trosster (1937). Selanjutnya oleh Van Bemmelen (1949) disebut sebagai Globigerina Marls. Oleh Marks (1957) satuan ini diresmikan sebagai Formasi. Formasi ini tersusun oleh napal masif berwarna putih abu-abu, kaya akan fosil foraminifera plangtonik. Secara stratigrafis Formasi Mundu terletak tidak selaras di atas formasi ledok, penyebarannya luas, dengan ketebalan 200 m300 m di daerah antiklin Cepu area, ke arah selatan menebal menjadi sekitar 700 m. Formasi ini terbentuk antara Miosen Akhir hingga Pliosen (N 17N 21), pada lingkungan laut dalam (bathyial).

Formasi Selorejo

Unit ini pembentukannya disebut Selorejo Beds oleh Trooster, 1937, yang telah diklasifikasikan sebagai anggota dair Formasi Lidah oleh Udin Adinegoro (1972) dan Koesoemadinata (1978). Sejak Harsono (1983) tidak melakukan pengamatan ketidakselarasan antara Formasi Lidah dan Mundu. Dia memasukkan anggota Selorejo dalam Formasi Mundu. Tipe lokalnya dari Desa Selorejo dekat Cepu dan terdiri lebih keras dan lebih lunak antar lapisan, menyisakan kebanyakan glaukonit. Dari foraminifera dianggap lingkungan laut dalam.

Satuan batuan ini semula oleh Trooster (1937) disebut sebagai Selorejo beds. Selanjutnya Udin Adinegoro (1972) dan Koesoemadinata (1978) menyebutnya sebagai anggota dari Formasi Lidah. Harsono (1983) menyimpulkan bahwa Selorejo ini merupakan anggota dari Formasi Mundu. Lokasi tipenya terletak di desa Selorejo dekat kota Cepu. Anggota Selorejo ini tersusun oleh perselingan antara batugamping keras dan lunak, kaya akan foraminifera palngtonik serta mineral glaukonit.

Penyebaran dari Anggota Selorejo ini tidak terlalu luas, terutama meliputi daerah sekitar Blora, sebelah utara Cepu (desa Gadu) dan di selatan Pati. Ketebalannya berkisar antara 0 hingga 100 meter. Berdasarkan kandungan foraminifera palngtonik, umur dari Anggota Selorejo adalah Pliosen ( N 21).

Formasi Lidah

Formasi ini terdiri atas batulempung kebiruan, napal berlapis dengan sisipan batupasir dengan lensa-lensa coquina. Dahulu Trooster (1937) menyebutnya sebagai Mergetton, yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu Tambakromo dan TuriDomas. Harsono (1983) kemudian meresmikan satuan ini menjadi berstatus formasi, yaitu Formasi Lidah (tabel III.1).

Bagian terbawah dari formasi ini diduga merupakan endapan neritik tengah hingga neritik luar, yang tercirikan oleh banyaknya fauna plangtonik tetapi masih mengandung foraminifera bentonik yang mencirikan air relatif dangkal seperti pseudorotalia sp. dan Asterorotalia sp. Ke arah atas, terjadi urutan yang mendangkal ke atas (shallowing upward sequence), yang dicirikan oleh lapisan-lapisan yang kaya akan moluska.

I.1.7 Formasi Paciran

Satuan ini semula oleh Van Bemmelen (1949) disebut sebagai Karren Limestone. Secara umum penyusunnya terdiri atas batugamping pejal, dengan permukaan singkapan-singkapannya mengalami erosi membentuk apa yang disebut sebagai karren surface. Harsono (1983) secara resmi menggunakan nama Paciran dan menempatkannya pada status formasi, dengan lokasi tipenya berada di daerah bukit piramid di sekitar Paciran, kabupaten Tuban. Formasi ini dijumpai hanya dibagian utara dari Zona Rembang. Posisi stratigrafi, umur dan litologinya dapat dilihat pada tabel III.1. Umur dari Formasi ini masih memicu terjadinya perbedaan. Harsono (1983) menempatkannya pada Kala PliosenAwal Pleistosen, yang secara lateral setara dengan Formasi Mundu dan Lidah. Namun di beberapa tempat terdapat bukti umur yang menunjukkan bahwa Formasi Paciran telah berkembang pada saat pembentukan Formasi Ledok dan Wonocolo.

Anda mungkin juga menyukai