1. Mid-oceanic ridge dan back arc rifting dan transform faults, yang membentuk batas
lempeng konstruktif
2. Subduction zone, yang merupakan batas lempeng destruktif, menghasilkan island
arcs dan active continental margins
3. Oceanic intra-plate, menghasilkan oceanic island (hot spots)
4. Continental intra-plate, yang menghasilkan continental flood basalt dan continental
rift zone
A. Mineralisasi pada Magmatic Arc
Karakteristik umum dari endapan epitermal (Simmons et al, 2005 dalam Sibarani, 2008)
adalah :
- Jenis air berupa air meteorik dengan sedikit air magmatik
- Endapan epitermal mengandung mineral bijih epigenetic yang pada umumnya
memiliki batuan induk berupa batuan vulkanik.
- Tubuh bijih memiliki bentuk yang bervariasi yang disebabkan oleh kontrol dan
litologi dimana biasanya merefleksikan kondisi paleo-permeability pada kedalaman
yang dangkal dari sistem hidrotermal.
- Sebagian besar tubuh bijih terdapat berupa sistem urat dengan dip yang terjal yang
terbentuk sepanjang zona regangan. Beberapa diantaranya terdapat bidang sesar
utama, tetapi biasanya pada sesar-sesar minor.
- Pada suatu jaringan sesar dan kekar akan terbentuk bijih pada urat.
- Mineral gangue yang utama adalah kuarsa sehingga menyebabkan bijih keras dan
realtif tahan terhadap pelapukan.
- Kandungan sulfida pada urat relatif sedikit (<1 s/d 20%).
Tabel 2.1 Karakteristik endapan epitermal sulfidasi rendah (Corbett dan Leach, 1996).
Tipe endapan Sinter breccia, stockwork
Posisi tektonik Subduction, collision, dan rift
Tekstur Colloform atau crusstiform
Asosiasi mineral Stibnit, sinnabar, adularia, metal sulfida
Mineral bijih Pirit, elektrum, emas, sfalerit, arsenopirit
Contoh endapan Pongkor, Hishikari dan Golden Cross
Interaksi Fluida
Epithermal Low Sulphidation terbentuk dalam suatu sistem geotermal yang didominasi
oleh air klorit dengan pH netral dan terdapat kontribusi dominan dari sirkulasi air meteorik
yang dalam dan mengandung CO2, NaCl, and H2S
Gambar diatas (Gambar.2.9) merupakan model konseptual dari endapan emas sulfidasi
rendah. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa endapan ephitermal sulfidasi rendah
berasosiasi dengan lingkungan volkanik, tempat pembentukan yang relatif dekat permukaan
serta larutan yang berperan dalam proses pembentukannya berasal dari campuran air magmatik
dengan air meteorit
Interaksi Fluida
Epithermal High Sulphidation terbentuk dalam suatu sistem magmatic-hydrothermal
yang didominasi oleh fluida hidrothermal yang asam, dimana terdapat fluks larutan magmatik
dan vapor yang mengandung H2O, CO2, HCl, H2S, and SO2, dengan variabel input dari air
meteorik lokal.
3. Endapan Skarn
Skarn adalah sebuah terminology pada dunia pertambangan untuk mengidentifikasikan
suatu lapisan seperti seam yang berwarna gelap (kehitaman) akibat dari adanya intrusi
(terobosan) oleh fluida pembawa bijih. † Endapan skarn juga dikenal dengan beberapa
terminology lain, yaitu : hydrothermal metamorphic, igneous metamorphic, dan contact
metamorphic. † Umumnya terbentuk (namun tidak selalu) pada kontak antara intrusi plutonik
dengan batuan induk (country rock) karbonat.
† Pada saat kontak dengan batuan karbonat, maka batuan samping tersebut terubah
(altered) menjadi marbel, calc-silicate hornfelses, dan/atau skarn akibat dari kontak metamorfik
ini. Temperatur pembentukan endapan skarn ini berkisar sekitar 650-440 °C. Beberapa mineral
bijih (oksida ataupun sulfide) dan fluorite biasanya muncul (terbentuk) pada lingkungan skarn
ini. † Umumnya dijumpai fluorite (CaF2) mendukung pendapat bahwa silika dan beberapa
logam bereaksi dengan batuan gamping.
Bijih-bijih oksida sangat umum dijumpai pada skarn. Contohnya adalah pembentukan hematite
:
4. Endapan Porfiri
Alterasi hidrotermal sangat luas baik untuk ukuran cebakan dan berada di sekitar urat-
urat dan rekahan. Pada beberapa cebakan porfiri, zona alterasi pada cebakan terdiri dari bagian
dalam zona potasik dicirikan oleh biotite dan / atau K-feldspar (± amphibole ± magnetit ±
anhydrite) dan zona luar alterasi propilitik yang terdiri dari kuarsa, klorit, epidote, kalsit, dan
lokal albite berasosiasi dengan pirit. Zona alterasi filik (kuarsa + sericite + pirit) dan alterasi
argillik (kuarsa + illite + kaolinit ± pirit ± smectite ± montmorillonite ± kalsit) bisa menjadi
zona antara zona potasik dan propilitik, bisa juga tak beraturan dan tabular, zona yang lebih
muda menindih alterasi dan kumpulan mineral yang lebih tua (misalnya, Ladolam; Moyle et
al., 1990).
Zona sulfida ekonomis sangat erat berkaitan dengan alterasi potasik, seperti ditunjukkan
oleh Carson dan Jambor (1974) pada sejumlah cebakan porfiri Cu dan Cu-Mo. Alterasi sodic
(utamanya albite sekunder) berasosiasi alterasi potasik pada beberapa cebakan porfiri Cu-Au
seperti pada Copper Mountain dan Ajax, British Columbia (Preto, 1972; Barr et al., 1976; Ross
et al., 1995).
Sebagian alterasi albitik tumpang tindih dengan alterasi potasik dan Cu di bagian utara
cebakan Ingerbelle di Copper Mountain; pada cebakan Ajax, Cu kadar tinggi terbentuk dekat,
tapi bukan di dalam, batuan alterasi albitik yang intens. Eaton dan Setterfield (1993)
menunjukkan bahwa cebakan porfiri Cu Nasivi 3 porphyry di tengah-tengah kaldera
shoshonitik Tavua bersebelahan dengan tambang epitermal Emperor Au di Fiji, berisi albitik,
inti Cu berada di sekitar tepian alterasi propilitik dan menempati alterasi filik yang lebih muda.
Alterasi sodic-calcic (oligoclase + kuarsa + sphene + apatit ± actinolite ± epidote) yang berada
di bagian bawah zona di bawah alterasi seperti potasik pada cebakan porfiri Cu Yerington dan
Ann-Mason, Nevada (Carten, 1986; Dilles dan Einaudi, 1992).
Alterasi mineralogi dikontrol oleh sebagian komposisi batuan induk. Pada batuan yang
mafic dengan besi dan magnesium yang signifikan, biotite, hornblende adalah mineral alterasi
yang dominan pada zona alterasi potasik, sedangkan K.feldsfar dominan di batuan yang lebih
felsic. Pada batuan yang karbonatan, mineral calc-silikat seperti garnet dan diopside berlimpah.
Alterasi mineralogi juga dikontrol oleh sistem komposisi mineralisasi. Pada lingkungan
yang lebih oksida, mineral seperti pirit, magnetit (± bijih besi) dan anhydrite sangat umum,
sedangkan pyrrhotite hadir dalam lingkungan yang kurang oksida. Sistem kaya-fluorine seperti
yang berhubungan dengan banyak cebakan porfiri Sn dan W Mo, beberapa cebakan porfiri Mo,
umumnya mengandung mineral-mineral pembawa fluorine sebagai bagian dari kumpulan
alterasi.
Pada Mount Pleasant, sebagai contoh, alterasi potasik jarang dan laterasi utama
berasosiasi dengan cebakan W-Mo yang terdiri dari kuarsa, topaz, fluorit dan sericite, dan di
sekitar alterasi propilitik terdiri dari klorit + sericite (Kooiman et al., 1986). Seperti halnya
alterasi pada cebakan Sn kadar rendah di Australia (misalnya, Ardlethan) nilai kadar keluar
dari zona tengah kuarsa + topaz ke zona klorit ± sericite dan karbonat (Scott, 1981). Siems
(1989) berpendapat bahwa alterasi lithium silicate (mis. mica kaya-lithium dan tourmaline)
yang menyertai Sn, W dan Mo pada beberapa granit yang terkait dengan cebakan, adalah
analogi perubahan potasik pada cebakan porfiri Cu dan Au.
Alterasi pilik tidak hadir pada semua cebakan porfiri. Pada banyak cebakan dimana
mereka hadir, bagaimanapun alterasi pilik berada di atas kumpulan alterasi potasik awal
(Carson dan Jambor, 1979). Pada Chuquicamata di Chili, misalnya, zona yang intens alterasi
pilik meluas sampai ke dalam inti cebakan dan menindih alterasi potasik awal dan sejumlah
kecil asosiasi sulfida Cu dengan kadar Cu rendah. Zona plik ini mengandung kadar lebih tinggi
daripada rata-rata kadar Cu dan berasosiasi dengan arsen-pembawa Cu dan Molybdenite.
Endapan porfiri adalah suatu endapan primer (hipogen) yang berukuran relatif besar
dengan kadar rendah sampai medium, Pada umumnya dikontrol oleh struktur geologi, Secara
spasial dan genetik berhubungan dengan intrusi porfiritik felsik sampai dengan intermediet.
1. Sub-tipe endapan porfiri
a) Endapan Porfiri Cu (± Au, Mo, Ag, Re, PGE)
b) Endapan Porfiri Cu-Mo (± Au, Ag)
c) Endapan Porfiri Cu-Mo-Au (± Ag)
d) Endapan Porfiri Cu-Au (± Ag, Mo)
e) Endapan Porfiri Mo (± W, Sn)
f) Endapan Porfiri Sn (± W, Mo, Ag, Bi, Cu, Zn, In)
2. Jenis mineral
a) Porfiri tembaga
b) Chalcopyrite, Pyrite, Chalcocite, Bornite, Molybdenite, Galena, Magnetite, Gold,
Copper
c) Porfiri timah Arsenopyrite, Frankeite, Pyrrhotite, Sphalerite, Chalcopyrite, Galena,
Stannite,FluoriteTetrahedrite-Tennantite, Sheelite
3. Tipe alterasi
a) Porfiri tembaga
- Propylitic
- Argillic
- Phyllic/Sericitization
- Potassic
b) Porfiri timah
- Propylitic
- Argillic
- Phyllic/Sericitization
- Tourmalinization
4. Zona Alterasi
Sisi terdalam (inner zone)
Umumnya zona potassic yang dicirikan oleh kehadiran biotite and/or K-feldspar (±
amphibole ± magnetite ± anhydrite).
Sisi terluar (outer zone)
Umumnya merupakan propylitic alteration yang mengandung quartz, chlorite, epidote,
calcite and, locally, albite berasosiasi dengan pyrite. Zona-zona phyllic alteration (quartz
+sericite + pyrite) dan argillic alteration (quartz + illite + pyrite ± kaolinite ±smectite ±
montmorillonite ± calcite) dapat terbentuk sebagai zona-zona yang erletak diantara zona
potassic and propyli.
Aktivita magma tersebut menghasilkan berbagai jenis batuan beku, yang dicirikan oleh
masing-masing kelompok batuan tersebut di dalam suatu Suite atau Provinsi batuan tertentu.
Tabel Skema Teoritis yang menunjukan hubungan antara Petrogenik dengan jenjang
evolusi orogenesa (Stille 1924, dalam Van Bemmelen 1949)
Anggapan ahli tersebut diselaraskan dengan pandangan yang dikemukakan olehStille 1924
mengenai hubungan antara evolusi tektonik dengan gejala vulkanisma, yang kemudian
diturunkan kembali oleh Katili et al (1963), seperti apa yang terlihat di bawah ini (gambar 1):
1. Pulau Chirstmas, yang terletak di Samudera Indonesia yaitu disebelah selatan pulau
Jawa dimana merupakan daerah muka pegunungan, muncul sebagai suatu gunung api
yang telah padam. Gunung api tersebut diduga pernah aktif pada Tersier Tua, yang
menghasilkan lava yang bisa digolongkan dalam Suite Atlantik, dimana banyak
mengandung mineral-mineral yang kaya akan unsur Natrium. Batuan beku yang
dihasilkan tersebut umumnya terdapat di luar sistem pegunungan yang sebenarnya.
1. Daerah Cekungan Geosinklin, yang mana merupakan suatu palung laut dalam yang
terbagi dua oleh suatu punggung dalam laut yang sejajar dengan pulau jawa. Punggung
dalam laut tersebut merupakan suatu pegunungan yang sedang muncul di atas
permukaan air laut melalui suatu proses pengangkatan (geantiklin) dari suatu cekungan
(geosinklin), yang diduga merupakan kelanjutan punggung dalam laut yang telah
muncul dibeberapa tempat sebagai deretan pulau-pulau kecil seperti Nias, Siberut,
Mentawai dan lain sebagainya disebelah barat pulau Sumatera.
Gejala vulkanisme dalam dicirikan oleh aktivitas magma yang menghasilkan batuan beku
dalam bersusunan ultra basa – basa, yang digolongkan dalam Suite Ofiolit. Pembentukan
batuan beku jenis tersebut menunjukan permulaan suatu gejala vulkanisme yang berlangsung
dalam daerah cekungan geosinklin (“initiale vulkanismus”, Stille 1924).
1. Suatu kelompok gunung api muda Kuarter yang telah padam pada Resen ini yang
letaknya terpisah, menempati perbatasan kelompok gunung api aktif pada busur dalam
vulkanik. Aktivitas magma pada masa lampau, yang menerobos daerah cekungan
sedimen yang menempati daerah bagian utara pulau Jawa, yang terletak antara
geantiklin – Jawa Selatan dan Tanah Sunda, menghasilkan batuan beku yang
digolongkan dalam Suite Mediteran dan dicirikan dengan kandungan mineral-
mineralnya yang kaya akan kalium.
1. Tanah Sunda yang terletak di sebelah utara pulau Jawa, sebagian besar telah digenangi
laut kecuali beberapa pulau yang masih tersisa dan muncul di atas permukaan air laut
seperti misalnya pulau Karimunjawa. Daerah tersebut merupakan daerah “hinterland”
yang masih dipengaruhi oleh aktivitas magma, yang umumnya digolongkan dalam
basal datar tinggi.
Evolusi tektonik yang mempengaruhi pembentukan pegunungan, yang disertai dengan gejala
vulkanisme, dapat dilihat dalam evolusi pembentukan pegunungan lipatan Bukit Barisan di
Pulau Sumatera.
Melalui penampang yang ditarik melalui pulau tersebut, yaitu mulai Samudera Indonesia dan
Kepulauan Mentawai di sebelah barat kea rah timur laut melalui daerah Jambi – kepulauan
Lingga yang terletak di sebelah barat selat Karimata,Van Bemmelen (1954) memberikan
gambaran hubungan evolusi gejala-gejala di pulau Jawa, seperti yang terlihat pada penampang
yang ditarik dari pulau Christmas melalui daerah bagian timur Jawa Barat (daerah Bandung)
ke arah timurlaut sampai kepulauan Karimunjawa yang terletak di Laut Jawa.
Kepulauan Mentawai dalam penampang Sumatera, merupakan daerah busur luar bukan
vulkanik, yang dicirikan oleh anomali isostatik negatif, serta sebagian besar terbentuk dari
batuan serpentin dan terobosan batuan ultra basa, yaitu menempati daerah yang terletak antara
cekungan muka dan cekungan antara yang dipengaruhi oleh gejala pensesaran naik selama
pengangkatan pada kala pra-Miosen. Daerah yang memiliki isostatik negatif yang menempati
busur dalam bukan vulkanik di pulau Jawa, menurut Van Bemmelen (1954) merupakan
punggungan dalam yang terletak di bawah samudera Indonesia, dimana daerah tersebut sedang
mengalami proses pengangkatan, halmana dicirikan dengan pusat-pusat gempa bumi dalam
yang tersebar di daerah tersebut.
Van Bemmelen (1954), melalui skema tektonik yang mencirikan 9 pusat undasi, yang
menggambarkan struktur Neogen yang terbentuk di kepulauan Indonesia ini, dapat
memisahkan (Sukendar, 1976):
1) Daerah stabil yang tidak mengalami gejala transgresi pada kala Neogen
2) Daerah Semi Stabil dengan transgresi pada kala Neogen, tetapi tidak dipengaruhi oleh
Undasi
Suatu peta tektonik yang disusun berdasarkan usia perlipatan, fasa mineralisasi dan bentuk
struktur yang terdapat di berbagai pulau, telah diperkenalkan olehWester Veld (1952,
dalam Sukendar, 1976), dimana bisa dipisahkan 4 (empat) daerah orogen yaitu:
1) Orogen Malaya,
Yang mempunyai fasa perlipatan utama, dan aktifitas magma pada akhir Jura, merupakan suatu
sistem pegunungan yang membentang meliputi daerah Semenanjung Malaya, kepulauan Riau
– Lingga dan daerah Timah (Singkep, Bangka dan Belitung), sebagian Kalimantan Barat,
pulau-pulau di laut Cina Selatan dan kemungkinan sebagian daerah dataran rendah Sumatera
sebelah timur. Aktivitas magmanya menghasilkan pluton-pluton besar bersusunan granitis dan
tonalitis.
2) Orogen Sumatera,
Dicirikan dengan fasa perlipatannya yang berumur Kapur sampai Paleosen serta diikuti intrusi
batuan beku dalam. Daerah orogen ini meliputi pulau Sumatera melalui pegunungan Serayu
Selatan di pulau Jawa terus kea rah pegunungan Meratus di Kalimantan Tenggara. Aktifitas
magma yang menyertai orogen ini berupa batuan gabro sampai granitis.
3) Orogen Sunda,
Terbentuk pada Miosen Tengah, tetapi di beberapa daerah mungkin terjadi lebih dahulu,
menempati daerah yang terletak di bagian tengah antara daerah yang terkena orogen Sumatera
dan Orogen Maluku, serta merupakan daerah yang ditempati oleh gejala vulkanisme Miosen.
Daerah ini meliputi pesisir sebelah barat pulau Sumatera, pulau Jawa bagian Selatan,
Kepulauan Sunda kecil, pulau-pulau yang termasuk dalam Busur dalam Banda, Sulawesi
bagian barat, dan berakhir di daerah Mindanau (Filipina Selatan). Aktifitas magmanya
menghasilkan gang-gang andesitis dan dasitis serta pluton-pluton granit dan diorite.
4) Orogen Maluku,
Dicirikan oleh adanya perlipatan yang sangat kuat yang disertai dengan gejala pensesaran
lapisan batuan berumur paleozoik Akhir, Mesozoik dan Tersier Bawah. Selain itu juga
dicirikan dengan terbentuknya batuan Ultra basa yang sangat besar berumur Mesozoik Akhir
sampai permulaan Tersier, yaitu meliputi daerah-daerah kepulauan disebelah barat Sumatera,
Pulau Timor, daerah yang termasuk dalam Busur luar Banda dan akhirnya daerah Sulawesi
bagian timur.
Prinsip teori tektonik lempeng ini berawal dari suatu pengertian bahwasanya bagian dari kulit
bumi atau lithosfera, termasuk juga di dalamnya bagian paling luar dari selimut bumi (“upper
mantle”) dianggap sebagai lempeng-lempeng yang kaku. Lempeng-lempeng ini saling
bergerak satu terhadap yang lain dengan kecepatan minimal 10 cm/tahun atau akan
memindahkan lempeng-lempeng tersebut sejauh 100 km/10 juta tahun dan menurut beberapa
ahli cenderung dipengaruhi oleh gaya-gaya konvektif yang terjadi pada daerah astenosfera
yang bersifat cair-kenyal.
Akibat pergerakan tersebut, kemungkinan besar akan terjadi tumbukan antar lempeng, yang
dibatasi oleh suatu palung laut yang dalam, dimana salah satu lempeng akan mengalami
penyusupan yang sangat dalam di bawah lapisan kulit bumi melalui suatu bidang miring yang
dikenal sebagai jalur Benioff.
Jalur tersebut memiliki kemiringan lereng yang berbeda-beda dan merupakan zona penyebaran
pusat-pusat gempa bumi.
Menurut Sukendar (1976, hal.89), daerah dimana terjadi tumbukan lempeng akan merupakan
suatu jalur dimana terjadi kegiatan orogen yang meliputi gejala-gejala seperti:
1. Konvergensi lempeng
2. Pertumbuhan benua
3. Pengkerutan Lapisan-lapisan
4. Penebalan kerak bumi dalam pembubungan isostasi yang disertai dengan kegiatan
magma dan gejala metamorfisma.
Ahli tersebut mencatat bahwa batas antara masing-masing lempeng merupakan daerah yang
mengandung pusat-pusat gempa disamping gejala orogenesa dan tektonik dimana batas-batas
tersebut akan berujud sebagai:
Sementara secara keseluruhan disebut dengan sistem palung busur (“arc trench system”).
Daerah yang terletak diantara sistem-sistem palung busur tersebut berbentuk rumpang yang
memanjang, dengan lebar yang berkisar antara 150-250 km dan rumpang palung busur (“arc
trench gap”).
Sistem palung busur secara umum mengandung 4 (empat) unsur dimana setiap unsur memiliki
cirri, jenis batuan dan sifat struktur geologi yang berbeda.
Kumpulan batuan vulkanik tersebut digolongkan dalam suite Pasifik dengan mineral-mineral
penyusunnya yang kaya akan ikatan kalsium alkali, dicirikan dengan terbentuknya batuan yang
beraal dari gejala magmatic yang menyertai orogenesa.
Gejala vulkanisma yang bersumber dari magma yang letaknya sangat dalam, penyalurannya
kea rah permukaan menerobos lapisan batuan sedimen yang cukup tebal. Keadaan ini dicirikan
dengan dihasilkannya batuan vulkanik yang beragam yaitu antara basal sampai andesit,
meskipun pada umumnya adalah basal dengan kandungan mineral-mineralnya yang kaya akan
unsur Kalium.
Dickinson (1970) mengartikan busur magmatic sebagai orogen vulkanik-plutonik yang terdiri
dari lapisan vulkanik dan vulkanik klastik serta disertai pluton-pluton magma. Kelompok
batuan tersebut, yang dikenal sebagai batuan penyerta jalur Orogen meliputi:
1. Urut-urutan batuan vulkanik andesit dengan sebagian besar terdiri dari andesit, basal
dengan kadar aluminium yang tinggi (basal tholeiit), serta dasit dan lapisan endapan
klastik gunung api.
1. Monzonit kuarsa, granodiorit dan diorite kuarsa dengan sedikit granit dan diorite yang
membentuk jalur batholit. Magma yang bersusunan kalsium alkali ini adalah gejala
pelelehan sepihak (partial_melting) dari batuan lempungan asal samudera yang berada
di bawah tekanan tinggi dan tegasan geser (shear stress) akibat peristiwa penekukan
melalui jalur Benioff ke dalam lapisan selaput bumi. Magma ini akan mengalami
perubahan yang besar akibat proses asimilasi dengan selaput dan kerak bumi yang
dilaluinya pada saat magma naik dan melakukan diferensiasi. Peristiwa pelelehan ini
terjadi pada daerah yang terletak pada kedalaman 75-275 kilometer pada jalur Benioff
(Dickinson, 1971). Perbandingan antara unsur K terhadap Silikon yang terdapat di
dalam batuan beku dari kedua kelompok tersebut meningkat secara teratur kearah yang
sama dengan arah kemiringan jalur Benioff di bawahnya.
Katili (1971) melalui pendekatan yang didasarkan atas konsep tektonik lempeng, beranggapan
bahwa busur kepulauan Indonesia merupakan daerah yang terbentuk akibat dari pertemuan 3
lempeng yaitu:
- Lempeng Samudera India-Australia
Sesar besar Sumatera, sesar Palu-Koro di Sulawesi dan sesar Filipina memencar dari selatan
menuju ke utara yaitu dari lempeng samudera India-Australia. Sedangkan jalur sesar Sorong di
Papua dan palung Filipina berkumpul pada gerakan yang menuju kea rah barat dari lempeng
samudera Pasifik.
Agaknya selain dikontrol oleh jalur tumbukan 3 (tiga) lempeng seperti yang disebutkan di atas,
adanya pertemuan 2 (dua) sistem pegunungan yaitu sirkum Pasifik dan sirkum Mediterania
menyebabkan Wilayah Indonesia menjadi kawasan yang rumit dan labil, halmana keadaan
tersebut bisa dibuktikan dengan:
- Merupakan daerah yang paling vulkanis, dimana terdapat kurang lebih 400 buah gunung
api
- Masih berlangsungnya gejala pembentukan pegunungan, missal dengan didapatkannya
terumbu-terumbu koral yang mengalami pengangkatan, terutama di wilayah Indonesia bagian
timur yang berumur Kuarter sampai Resen
- Adanya kelainan gaya gravitasi yang sangat menyolok, dimana anomaly negative
mencapai 240 milligal
Batuan vulkanik yang dihasilkan oleh gunung api – gunung api Holosen, yang terletak di
bagian atas zona Benioff sekarang, memperlihatkan perbandingan yang umum
antara K2O dengan SiO2 terhadap kedalaman jalur seismic
(Hatherton dan Dickinson dalam Hamilton, 1973).
Susunan batuan vulkanik tersebut sangat dipengaruhi oleh jenis dan susunan kerak bumi yang
diterobos magma yang berasal dari zona Benioff. Batuan vulkanik di Sumatera umumnya
bersifat lebih asam sampai menengah, halmana disebabkan magma menerobos kerak kontinen
yang tua. Sedangkan di Jawa, yang memiliki kerak kontinen lebih tipis, bersifat mafik dan
relatif lebih muda, gunung api nya menghasilkan batuan vulkanik yang menengah.
Sehingga berdasarkan komposisi batuan vulkanik, batuan dasar (“basement”) dan susunan
kerak bumi, bisa disimpulkan adanya perbedaan antara pulau Sumatera dengan pulau Jawa
yaitu sebagai berikut:
1. Komposisi batuan vulkanik hasil gunung api muda di Jawa relatif lebih basa
dibandingkan dengan batuan vulkanik gunung api di Sumatera
2. Gunung api Tersier Akhir di Jawa kebanyakan berdiri di atas endapan Marine-Neogen
dan bukannya di atas pra-Tersier. Sedangkan di Sumatera sebagai batuan dasar gunung
api nya adalah batuan pra-Tersier (bukan “mélange”).
3. Batuan dasar tempat bertumpunya gunung api di Jawa terdiri dari “Melange” yang
berumur Kapur – Tersier Awal.
4. Di Jawa tidak ada indikasi adanya kerak benua, didasarkan atas data geofisika yaitu
gaya berat dan seismik yang menunjukan bahwa di Jawa tidak ada batuan kristalin.
Konsep tektonik lempeng dalam hubungannya dengan proses mineralisasi akan banyak
berkaitan dengan proses aktifitas magma atau gunung api, dimana intrusi dari magma akan
mengubah batuan dan mineral disekitar daerah intrusi tersebut.
Daerah busur vulkanik merupakan tempat yang paling utama dalam pencarian mineral-mineral
logam yang dihasilkan oleh aktifitas magma, dimana dari kumpulan data yang ada bisa
disimpulkan bahwa “phorpyric copper” banyak ditemukan di daerah ini, selain “Volcanogenic
stratiform Copper deposit”.
Adapun mineral-mineral lainnya yang biasa dijumpai di daerah tektonik ini adalah:
- Emas
Pada daerah “acidic volcanic” dan daerah yang dulunya bermula pada “continental crust”
diharapkan bisa didapatkan timah dan tungsten (misalnya di Bangka). Umumnya di daerah
busur vulkanik ini mineral deposit letaknya sangat dalam sehingga tidak tersingkap di
permukaan. Begitu pula pada busur vulkanik yang masih muda, deposit tersebut sangat sukar
ditemukan.