Anda di halaman 1dari 29

Hubungan Tektonik Lempeng, Magmatisme

Sebagian besar magmatisme, hidrotermal, vulkanisme terbentuk pada batas lempeng


tektonik. Batuan beku ultrabasa – basa terbentuk pada Midge Oceanic Ridge (MOR), serta
Transform Fault. Sedangkan batuan beku intermediet terbentuk pada bagian Magmatic Arc
yang terkait dengan zona subduksi. Sebagian besar bahan galian dikontrol oleh magmatisme-
hidrotermal. Oleh karena itu terdapat hubungan yang khas antara tipe batuan beku dengan jenis
bahan galian logam.

Batas-batas lempeng tektonik tersebut di atas, membentuk lingkungan tektonik yang


beragam, secara umum dikenal sebagai

1. Mid-oceanic ridge dan back arc rifting dan transform faults, yang membentuk batas
lempeng konstruktif
2. Subduction zone, yang merupakan batas lempeng destruktif, menghasilkan island
arcs dan active continental margins
3. Oceanic intra-plate, menghasilkan oceanic island (hot spots)
4. Continental intra-plate, yang menghasilkan continental flood basalt dan continental
rift zone
A. Mineralisasi pada Magmatic Arc

1. Endapan Mineral Epitermal


a. Proses Epithermal
Endapan epitermal didefinisikan sebagai salah satu endapan dari sistem hidrotermal
yang terbentuk pada kedalaman dangkal yang umumnya pada busur vulkanik yang dekat
dengan permukaan (Simmons et al, 2005 dalam Sibarani, 2008). Penggolongan tersebut
berdasarkan temperatur (T), tekanan (P) dan kondisi geologi yang dicirikan oleh kandungan
mineralnya. Secara lebih detailnya endapan epitermal terbentuk pada kedalaman dangkal
hingga 1000 meter dibawah permukaan dengan temperatur relatif rendah (50-200)0C dengan
tekanan tidak lebih dari 100 atm dari cairan meteorik dominan yang agak asin (Pirajno, 1992).
Tekstur penggantian (replacement) pada mineral tidak menjadi ciri khas karena jarang
terjadi. Tekstur yang banyak dijumpai adalah berlapis (banded) atau berupa fissure vein.
Sedangkan struktur khasnya adalah berupa struktur pembungkusan (cockade structure).
Asosiasi pada endapan ini berupa mineral emas (Au) dan perak (Ag) dengan mineral
penyertanya berupa mineral kalsit, mineral zeolit dan mineral kwarsa. Dua tipe utama dari
endapan ini adalah low sulphidation dan high sulphidation yang dibedakan terutama
berdasarkan pada sifat kimia fluidanya dan berdasarkan pada alterasi dan mineraloginya.
Endapan epithermal umumnya ditemukan sebagai sebuah pipe-seperti zona dimana
batuan mengalami breksiasi dan teralterasi atau terubah tingkat tinggi. Veins juga ditemukan,
khususnya sepanjang zona patahan., namun mineralisasi vein mempunyai tipe tidak menerus
(discontinuous).
Pada daerah volcanic, sistem epithermal sangat umum ditemui dan seringkali mencapai
permukaan, terutama ketika fluida hydrothermal muncul (erupt) sebagai geyser dan fumaroles.
Banyak endapan mineral epithermal tua menampilkan fossil ‘roots’ dari sistem fumaroles
kuno. Karena mineral-mineral tersebut berada dekat permukaan, proses erosi sering
mencabutnya secara cepat, hal inilah mengapa endapan mineral epithermal tua relatif tidak
umum secara global. Kebanyakan dari endapan mineral epithemal berumur Mesozoic atau
lebih muda.
Mineralisasi epitermal memiliki sejumlah fitur umum seperti hadirnya kalsedonik quartz,
kalsit, dan breksi hidrotermal. Selain itu, asosiasi elemen juga merupakan salah satu ciri dari
endapan epitermal, yaitu dengan elemen bijih seperti Au, Ag, As, Sb, Hg, Tl, Te, Pb, Zn, dan
Cu. Tekstur bijih yang dihasilkan oleh endapan epitermal termasuk tipe pengisian ruang
terbuka (karakteristik dari lingkungan yang bertekanan rendah), krustifikasi, colloform
banding dan struktur sisir. Endapan yang terbentuk dekat permukaan sekitar 1,5 km dibawah
permukaan ini juga memiliki tipe berupa tipe vein, stockwork dan diseminasi.
Dua tipe utama dari endapan ini adalah low sulphidation dan high sulphidation yang
dibedakan terutama berdasarkan pada sifat kimia fluidanya dan berdasarkan pada alterasi dan
mineraloginya (Hedenquist et al., 1996:2000 dalam Chandra,2009).
Dibawah ini digambarkan ciri-ciri umum endapan epitermal (Lingren, 1933 dalam
Sibarani,2008) :
- Suhu relatif rendah (50-250°C) dengan salinitas bervariasi antara 0-5 wt.%
- Terbentuk pada kedalaman dangkal (~1 km)
- Pembentukan endapan epitermal terjadi pada batuan sedimen atau batuan beku,
terutama yang berasosiasi dengan batuan intrusiv dekat permukaan atau ekstrusif,
biasanya disertai oleh sesar turun dan kekar.
- Zona bijih berupa urat-urat yang simpel, beberapa tidak beraturan dengan
pembentukan kantong-kantong bijih, seringkali terdapat pada pipa dan stockwork.
Jarang terbentuk sepanjang permukaan lapisan, dan sedikit
kenampakan replacement (penggantian).
- Logam mulia terdiri dari Pb, Zn, Au, Ag, Hg, Sb, Cu, Se, Bi, U
- Mineral bijih berupa Native Au, Ag, elektrum, Cu, Bi, Pirit, markasit, sfalerit, galena,
kalkopirit, Cinnabar, jamesonite, stibnite, realgar, orpiment, ruby silvers, argentite,
selenides, tellurides.
- Mineral penyerta adalah kuarsa, chert, kalsedon, ametis, serisit, klorit rendah-Fe,
epidot, karbonat, fluorit, barite, adularia, alunit, dickite, rhodochrosite, zeolit
- Ubahan batuan samping terdiri dari chertification (silisifikasi), kaolinisasi, piritisasi,
dolomitisasi, kloritisasi
- Tekstur dan struktur yang terbentuk adalah Crustification (banding) yang sangat
umum, sering sebagai fine banding, vugs, urat terbreksikan.

Karakteristik umum dari endapan epitermal (Simmons et al, 2005 dalam Sibarani, 2008)
adalah :
- Jenis air berupa air meteorik dengan sedikit air magmatik
- Endapan epitermal mengandung mineral bijih epigenetic yang pada umumnya
memiliki batuan induk berupa batuan vulkanik.
- Tubuh bijih memiliki bentuk yang bervariasi yang disebabkan oleh kontrol dan
litologi dimana biasanya merefleksikan kondisi paleo-permeability pada kedalaman
yang dangkal dari sistem hidrotermal.
- Sebagian besar tubuh bijih terdapat berupa sistem urat dengan dip yang terjal yang
terbentuk sepanjang zona regangan. Beberapa diantaranya terdapat bidang sesar
utama, tetapi biasanya pada sesar-sesar minor.
- Pada suatu jaringan sesar dan kekar akan terbentuk bijih pada urat.
- Mineral gangue yang utama adalah kuarsa sehingga menyebabkan bijih keras dan
realtif tahan terhadap pelapukan.
- Kandungan sulfida pada urat relatif sedikit (<1 s/d 20%).

b. Klasifikasi Endapan Epithermal


Pada lingkungan epitermal terdapat 2 (dua) kondisi sistem hidrotermal (Gambar 2.4)
yang dapat dibedakan berdasarkan reaksi yang terjadi dan keterdapatan mineral-mineral
alterasi dan mineral bijihnya yaitu epitermal low sulfidasi dan high sulfidasi (Hedenquist et al
.,1996; 2000 dalam Sibarani, 2008). Pengklasifikasian endapan epitermal masih merupakan
perdebatan hingga saat ini, akan tetapi sebagian besar mengacu kepada aspek mineralogi
dan gangue mineral, dimana aspek tersebut merefleksikan aspek kimia fluida maupun aspek
perbandingan karakteristik mineralogi, alterasi (ubahan) dan bentuk endapan pada lingkungan
epitermal. Aspek kimia dari fluida yang termineralisasi adalah salah satu faktor yang terpenting
dalam penentuan kapan mineralisasi tersebut terjadi dalam sistem hidrotermal.

- Karakteristik Endapan Epitermal Sulfida Rendah / Tipe Adularia-Serisit


(Epithermal Low Sulfidation )
 Tinjauan Umum
Endapan epitermal sulfidasi rendah dicirikan oleh larutan hidrotermal yang bersifat netral
dan mengisi celah-celah batuan. Tipe ini berasosiasi dengan alterasi kuarsa-adularia, karbonat,
serisit pada lingkungan sulfur rendah dan biasanya perbandingan perak dan emas relatif tinggi.
Mineral bijih dicirikan oleh terbentuknya elektrum, perak sulfida, garam sulfat, dan logam
dasar sulfida. Batuan induk pada deposit logam mulia sulfidasi rendah adalah andesit alkali,
dasit, riodasit atau riolit. Secara genesa sistem epitermal sulfidasi rendah berasosiasi dengan
vulkanisme riolitik. Tipe ini dikontrol oleh struktur-struktur pergeseran (dilatational jog).

 Genesa dan Karakteristik


Endapan ini terbentuk jauh dari tubuh intrusi dan terbentuk melalui larutan sisa magma
yang berpindah jauh dari sumbernya kemudian bercampur dengan air meteorik di dekat
permukaan dan membentuk jebakan tipe sulfidasi rendah, dipengaruhi oleh
sistem boiling sebagai mekanisme pengendapan mineral-mineral bijih. Proses boiling disertai
pelepasan unsur gas merupakan proses utama untuk pengendapan emas sebagai respon atas
turunnya tekanan. Perulangan proses boiling akan tercermin dari tekstur “crusstiform banding”
dari silika dalam urat kuarsa. Pembentukan jebakan urat kuarsa berkadar tinggi mensyaratkan
pelepasan tekanan secara tiba-tiba dari cairan hidrotermal untuk memungkinkan proses boiling.
Sistem ini terbentuk pada tektonik lempeng subduksi, kolisi dan pemekaran (Hedenquist dkk.,
1996 dalam Pirajno, 1992).
Kontrol utama terhadap pH cairan adalah konsentrasi CO2 dalam larutan dan salinitas.
Proses boiling dan terlepasnya CO2 ke fase uap mengakibatkan kenaikan pH, sehingga terjadi
perubahan stabilitas mineral contohnya dari illit ke adularia. Terlepasnya CO2 menyebabkan
terbentuknya kalsit, sehingga umumnya dijumpai adularia dan bladed calcite sebagai mineral
pengotor (gangue minerals) pada urat bijih sistem sulfidasi rendah
Endapan epitermal sulfidasi rendah akan berasosiasi dengan alterasi kuarsa–adularia,
karbonat dan serisit pada lingkungan sulfur rendah. Larutan bijih dari sistem sulfidasi rendah
variasinya bersifat alkali hingga netral (pH 7) dengan kadar garam rendah (0-6 wt)% NaCl,
mengandung CO2 dan CH4 yang bervariasi. Mineral-mineral sulfur biasanya dalam bentuk
H2S dan sulfida kompleks dengan temperatur sedang (150°-300° C) dan didominasi oleh air
permukaan
Batuan samping (wallrock) pada endapan epitermal sulfidasi rendah adalah andesit
alkali, riodasit, dasit, riolit ataupun batuan – batuan alkali. Riolit sering hadir pada sistem
sulfidasi rendah dengan variasi jenis silika rendah sampai tinggi. Bentuk endapan didominasi
oleh urat-urat kuarsa yang mengisi ruang terbuka (open space), tersebar (disseminated), dan
umumnya terdiri dari urat-urat breksi (Hedenquist dkk., 1996). Struktur yang berkembang pada
sistem sulfidasi rendah berupa urat, cavity filling, urat breksi, tekstur colloform, dan
sedikit vuggy (Corbett dan Leach, 1996), lihat Tabel 2.1

Tabel 2.1 Karakteristik endapan epitermal sulfidasi rendah (Corbett dan Leach, 1996).
Tipe endapan Sinter breccia, stockwork
Posisi tektonik Subduction, collision, dan rift
Tekstur Colloform atau crusstiform
Asosiasi mineral Stibnit, sinnabar, adularia, metal sulfida
Mineral bijih Pirit, elektrum, emas, sfalerit, arsenopirit
Contoh endapan Pongkor, Hishikari dan Golden Cross

 Interaksi Fluida
Epithermal Low Sulphidation terbentuk dalam suatu sistem geotermal yang didominasi
oleh air klorit dengan pH netral dan terdapat kontribusi dominan dari sirkulasi air meteorik
yang dalam dan mengandung CO2, NaCl, and H2S

 Model Konseptual Endapan Emas Epitermal Sulfidasi Rendah


Gambar Model endapan emas epitermal sulfidasi rendah (Hedenquist dkk., 1996 dalam Nagel,
2008).

Gambar diatas (Gambar.2.9) merupakan model konseptual dari endapan emas sulfidasi
rendah. Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa endapan ephitermal sulfidasi rendah
berasosiasi dengan lingkungan volkanik, tempat pembentukan yang relatif dekat permukaan
serta larutan yang berperan dalam proses pembentukannya berasal dari campuran air magmatik
dengan air meteorit

- Karakteristik Endapan Epitermal Sulfida Tinggi (Epithermal High Sulfidation)


atau Acid Sulfate
 Tinjauan Umum
Endapan epitermal high sulfidation dicirikan dengan host rock berupa batuan vulkanik
bersifat asam hingga intermediet dengan kontrol struktur berupa sesar secara regional atau
intrusi subvulkanik, kedalaman formasi batuan sekitar 500-2000 meter dan temperatur 1000C-
3200C. Endapan Epitermal High Sulfidation terbentuk oleh sistem dari fluida hidrotermal yang
berasal dari intrusi magmatik yang cukup dalam, fluida ini bergerak secara vertikal dan
horizontal menembus rekahan-rekahan pada batuan dengan suhu yang relatif tinggi (200-
3000C), fluida ini didominasi oleh fluida magmatik dengan kandungan acidic yang tinggi yaitu
berupa HCl, SO2, H2S (Pirajno, 1992).
Gambar Keberadaan sistem sulfidasi tinggi

Gambar Penampang Ideal Endapan Epitermal Menurut Buchanan (1981)

 Genesa dan Karakteristik


Endapan epitermal high sulfidation terbentuk dari reaksi batuan induk dengan fluida
magma asam yang panas, yang menghasilkan suatu karakteristik zona alterasi (ubahan) yang
akhirnya membentuk endapan Au+Cu+Ag. Sistem bijih menunjukkan kontrol permeabilitas
yang tergantung oleh faktor litologi, struktur, alterasi di batuan samping, mineralogi bijih dan
kedalaman formasi.High sulphidation berhubungan dengan pH asam, timbul dari
bercampurnya fluida yang mendekati pH asam dengan larutan sisa magma yang bersifat encer
sebagai hasil dari diferensiasi magma, di kedalaman yang dekat dengan tipe endapan porfiri
dan dicirikan oleh jenis sulfur yang dioksidasi menjadi SO.

 Interaksi Fluida
Epithermal High Sulphidation terbentuk dalam suatu sistem magmatic-hydrothermal
yang didominasi oleh fluida hidrothermal yang asam, dimana terdapat fluks larutan magmatik
dan vapor yang mengandung H2O, CO2, HCl, H2S, and SO2, dengan variabel input dari air
meteorik lokal.

- Potensi Dan Keberadaan Endapan Epithermal


Jenis endapan epitermal yang terletak 500 m bagian atas dari suatu sistem hidrotermal
ini merupakan zone yang menarik dan terpenting. Disini terjadi perubahan-perubahan suhu dan
tekanan yang maksimum serta mengalami fluktuasi-fluktuasi yang paling cepat. Fluktuasi-
fluktuasi tekanan ini menyebabkan perekahan hidraulik (hydraulic fracturing), pendidihan
(boiling), dan perubahan-perubahan hidrologi sistem yang mendadak. Proses-proses fisika ini
secara langsung berhubungan dengan proses-proses kimiawi yang menyebabkan mineralisasi.
Terdapat suatu kelompok unsur-unsur yang umumnya berasosiasi dengan mineralisasi
epitermal, meskipun tidak selalu ada atau bersifat eksklusif dalam sistem epitermal. Asosiasi
klasik unsur-unsur ini adalah: emas (Au), perak (Ag), arsen (As), antimon (Sb), mercury (Hg),
thallium (Tl), dan belerang (S).
Dalam endapan yang batuan penerimanya karbonat (carbonat-hosted deposits), arsen
dan belerang merupakan unsur utama yang berasosiasi dengan emas dan perak (Berger, 1983),
beserta dengan sejumlah kecil tungsten/wolfram (W), molybdenum (Mo), mercury (Hg),
thallium (Tl), antimon (Sb), dan tellurium (Te); serta juga fluor (F) dan barium (Ba) yang secara
setempat terkayakan. Dalam endapan yang batuan penerimanya volkanik (volcanic-hosted
deposits) akan terdapat pengayaan unsur-unsur arsen (As), antimon (Sb), mercury (Hg), dan
thallium (Tl); serta logam-logam mulia (precious metals) dalam daerah-daerah saluran fluida
utama, sebagaimana asosiasinya dengan zone-zone alterasi lempung. Menurut Buchanan
(1981), logam-logam dasar (base metals) karakteristiknya rendah dalam asosiasinya dengan
emas-perak, meskipun demikian dapat tinggi pada level di bawah logam-logam berharga
(precious metals) atau dalam asosiasi-nya dengan endapan-endapan yang kaya perak dimana
unsur mangan juga terjadi. Cadmium (Cd), selenium (Se) dapat berasosiasi dengan logam-
logam dasar; sedangkan fluor (F), bismuth (Bi), tellurium (Te), dan tungsten (W) dapat
bervariasi tinggi kandungannya dari satu endapan ke endapan yang lainnya; serta boron (B)
dan barium (Ba) terkadang terkayakan.
Mineral-mineral ekonomis yang dihasilkan dari epitermal antara lain Au, Ag, Pb, Zn,
Sb, Hg, arsenopirit, pirit, garnet, kalkopirit, wolframit, siderit, tembaga, spalerite, timbal,
stibnit, katmiun, galena, markasit, bornit, augit, dan topaz. Berikut ini adalah beberapa contoh
logam hasil dari endapan epitermal yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi, antara lain: Emas
(Au) dan Perak (Ag).
2. Endapan Greisen
Pengertian Greissen Greisen didefinisikan sebagai suatu agregat granoblastik kuarsa
dan muscovit (atau lepidolit) dengan mineral aksesoris antara lain topaz, tourmalin dan flourite
yang dibentuk oleh post-magmatik alterasi metasomatik dari granit (Best, 1982; Stemprok,
1987). Endapan greisen merupakan salah satu tipe endapan yang penting untuk Timah (Sn) dan
Tungsten (W).
a. Genesa Endapan Greisen
Terbentuk pada kontak bagian atas antara intrusi granit, kadang-kadang muncul berupa
stockwork. † Mineralisasi muncul secara irregular (tidak beraturan) yang terkonsentrasi pada
sekitar zona kontak. † Host rock menunjukkan komposisi granitik dan berkembang sampai
kedalaman 10-100 m sebelum bergradasi menuju zona alterasi feldspatik (albitization-
microclinization) dan batuan granit (fresh granite). † Fluida pegmatitik sering migrasi pada
bagian atas intrusi dan kadang-kadang mengisi sebagai intrusi-intrusi (stock) di sepanjang batas
tubuh greisen. † Endapan timah greisen kemungkinan terbentuk pada bagian atas suatu pluton
granit yang kontak dengan batuan yang impermeable sehingga terakumulasi mineral-mineral
sebagai produk dari kristalisasi awal.

Gambar Genesa dan Letak Endapan Greisen


Gambar Model genetik endapan greissen Sn-W

3. Endapan Skarn
Skarn adalah sebuah terminology pada dunia pertambangan untuk mengidentifikasikan
suatu lapisan seperti seam yang berwarna gelap (kehitaman) akibat dari adanya intrusi
(terobosan) oleh fluida pembawa bijih. † Endapan skarn juga dikenal dengan beberapa
terminology lain, yaitu : hydrothermal metamorphic, igneous metamorphic, dan contact
metamorphic. † Umumnya terbentuk (namun tidak selalu) pada kontak antara intrusi plutonik
dengan batuan induk (country rock) karbonat.
† Pada saat kontak dengan batuan karbonat, maka batuan samping tersebut terubah
(altered) menjadi marbel, calc-silicate hornfelses, dan/atau skarn akibat dari kontak metamorfik
ini. Temperatur pembentukan endapan skarn ini berkisar sekitar 650-440 °C. Beberapa mineral
bijih (oksida ataupun sulfide) dan fluorite biasanya muncul (terbentuk) pada lingkungan skarn
ini. † Umumnya dijumpai fluorite (CaF2) mendukung pendapat bahwa silika dan beberapa
logam bereaksi dengan batuan gamping.

a. Mineralisasi Endapan Skarn


Mineral-mineral penting yang terbentuk (terdapat) pada skarn antara lain: „ andradite
(Ca3Fe2Si3O12)-garnet, „ hedenbergite (CaFeSi2O6)-diopside (CaMgSi2O6), „ iron-rich
hornblende, dan „ actionalite (Ca2(Mg,Fe)5Si8O22(OH)2)-tremolite (Ca2Mg5Si8O22(OH)2).
† Pada umumnya mineral-mineral di atas merupakan mineral-mineral yang umum terbentuk
pada lingkungan metamorfik.
b. Mineralisasi Endapan Skarn
Sebagai contoh, berikut bagaimana andradite dan flourite terbentuk :

2FeF3 + 2SiO2 + 6CaCO3 → Ca3Fe2Si3O12 + 3CaF2 + 6CO2

Bijih-bijih oksida sangat umum dijumpai pada skarn. Contohnya adalah pembentukan hematite
:

2FeF3 + 3CaCO3 → Fe2O3 + 3CaF2 + 3CO2

c. Klasifikasi Endapan Skarn


Skarn dapat dikelompokkan sesuai dengan batuan yang digantikannya. Ada dua
terminologi pembagian utama, yaitu Eksoskarn dan Endoskarn.
- Exoskarn : digunakan jika replacement yang terjadi pada batuan karbonat metasedimen
(mumnya berupa marble).
- Endoskarn : digunakan jika replacement terhadap batuan intrusi. Beberapa ahli
mengembangkannya untuk jenis batuan lain, termasuk shales, vulkanik, dll.
Tetapi kebanyakan endapan-endapan skarn yang ada di dunia terdapat dalam “calcic
exoskarns”.

d. Genesa Endapan Skarn


- Initial isochemical metamorphism (stage 1)
 Tahapan ini mengakibatkan rekristalisasi dari batuan samping akibat adanya
intrusi. Batugamping → marbel; shale → hornfles; serta Batupasir→ kuarsit
 Reaksi-reaksi terbentuknya skarn dapat terjadi di sepanjang kontak batuan.
 Secara prinsip, proses-proses ini membentuk adanya isokimia metamorfisme
akibat dari difusi unsur-unsur akibat pergerakan fluida, dan merupakan bagian
dari pergerakan air metamorfik.
 Batuan akan menjadi lebih brittle dan menjadi media yang lebih baik untuk
infiltrasi fluida-fluida pada tahapan selanjutnya (stage 2).
Gambar Initial isochemical metamorphism (stage 1)

- Multiple stages of metasomatism (stage 2)


 Adanya infiltrasi antara fluida hidrothermal-metamorfik mengakibatkan
terubahnya yang sebelumnya sudah terbentuk pada tahapan pertama menjadi
skarn.
 Proses ini terjadi pada temperatur 800-400 °C, mineral bijih akan mulai
terendapkan pada saat pluton mulai mengalami pendinginan.
 Mineral-mineral yang terbentuk pada tahapan ini relatif bersifat anhydrous.
 Pengendapan mineral-mineral oksida (magnetite dan kasiterit) dan disusul oleh
sulfida-sulfida mulai terbentuk pada tahapan akhir di stage ini.

Gambar Multiple stages of metasomatism (stage 2)

- Retrograde alteration (stage 3)


 Tahapan ini merupakan retrograde (perusakan) yang diikuti oleh pendinginan
pluton dan menyebabkan terjadinya alterasi hydrous akibat infiltrasi air
meteorik.
 Kalsium akan terlindikan (leached) dan menghasilkan mineralmineral seperti
epidot (low-iron), klorit, aktinolit, dll.
 Penurunan temperatur akan menyebabkan terbentuknya mineral-mineral
sulfida.
 Kontak reaksi dengan marbel akan mengakibatnya netralisasi larutan
hidrothermal, sehingga mengakibatkan terbentuk bijih sulfida dengan kadar
yang tinggi.
 Proses retrograde yng akan menghasilkan alterasi ini akan lebih intensif
berlangsung pada kedalaman yang dangkal.

Gambar Retrograde alteration (stage 3)

4. Endapan Porfiri
Alterasi hidrotermal sangat luas baik untuk ukuran cebakan dan berada di sekitar urat-
urat dan rekahan. Pada beberapa cebakan porfiri, zona alterasi pada cebakan terdiri dari bagian
dalam zona potasik dicirikan oleh biotite dan / atau K-feldspar (± amphibole ± magnetit ±
anhydrite) dan zona luar alterasi propilitik yang terdiri dari kuarsa, klorit, epidote, kalsit, dan
lokal albite berasosiasi dengan pirit. Zona alterasi filik (kuarsa + sericite + pirit) dan alterasi
argillik (kuarsa + illite + kaolinit ± pirit ± smectite ± montmorillonite ± kalsit) bisa menjadi
zona antara zona potasik dan propilitik, bisa juga tak beraturan dan tabular, zona yang lebih
muda menindih alterasi dan kumpulan mineral yang lebih tua (misalnya, Ladolam; Moyle et
al., 1990).
Zona sulfida ekonomis sangat erat berkaitan dengan alterasi potasik, seperti ditunjukkan
oleh Carson dan Jambor (1974) pada sejumlah cebakan porfiri Cu dan Cu-Mo. Alterasi sodic
(utamanya albite sekunder) berasosiasi alterasi potasik pada beberapa cebakan porfiri Cu-Au
seperti pada Copper Mountain dan Ajax, British Columbia (Preto, 1972; Barr et al., 1976; Ross
et al., 1995).
Sebagian alterasi albitik tumpang tindih dengan alterasi potasik dan Cu di bagian utara
cebakan Ingerbelle di Copper Mountain; pada cebakan Ajax, Cu kadar tinggi terbentuk dekat,
tapi bukan di dalam, batuan alterasi albitik yang intens. Eaton dan Setterfield (1993)
menunjukkan bahwa cebakan porfiri Cu Nasivi 3 porphyry di tengah-tengah kaldera
shoshonitik Tavua bersebelahan dengan tambang epitermal Emperor Au di Fiji, berisi albitik,
inti Cu berada di sekitar tepian alterasi propilitik dan menempati alterasi filik yang lebih muda.
Alterasi sodic-calcic (oligoclase + kuarsa + sphene + apatit ± actinolite ± epidote) yang berada
di bagian bawah zona di bawah alterasi seperti potasik pada cebakan porfiri Cu Yerington dan
Ann-Mason, Nevada (Carten, 1986; Dilles dan Einaudi, 1992).
Alterasi mineralogi dikontrol oleh sebagian komposisi batuan induk. Pada batuan yang
mafic dengan besi dan magnesium yang signifikan, biotite, hornblende adalah mineral alterasi
yang dominan pada zona alterasi potasik, sedangkan K.feldsfar dominan di batuan yang lebih
felsic. Pada batuan yang karbonatan, mineral calc-silikat seperti garnet dan diopside berlimpah.
Alterasi mineralogi juga dikontrol oleh sistem komposisi mineralisasi. Pada lingkungan
yang lebih oksida, mineral seperti pirit, magnetit (± bijih besi) dan anhydrite sangat umum,
sedangkan pyrrhotite hadir dalam lingkungan yang kurang oksida. Sistem kaya-fluorine seperti
yang berhubungan dengan banyak cebakan porfiri Sn dan W Mo, beberapa cebakan porfiri Mo,
umumnya mengandung mineral-mineral pembawa fluorine sebagai bagian dari kumpulan
alterasi.
Pada Mount Pleasant, sebagai contoh, alterasi potasik jarang dan laterasi utama
berasosiasi dengan cebakan W-Mo yang terdiri dari kuarsa, topaz, fluorit dan sericite, dan di
sekitar alterasi propilitik terdiri dari klorit + sericite (Kooiman et al., 1986). Seperti halnya
alterasi pada cebakan Sn kadar rendah di Australia (misalnya, Ardlethan) nilai kadar keluar
dari zona tengah kuarsa + topaz ke zona klorit ± sericite dan karbonat (Scott, 1981). Siems
(1989) berpendapat bahwa alterasi lithium silicate (mis. mica kaya-lithium dan tourmaline)
yang menyertai Sn, W dan Mo pada beberapa granit yang terkait dengan cebakan, adalah
analogi perubahan potasik pada cebakan porfiri Cu dan Au.
Alterasi pilik tidak hadir pada semua cebakan porfiri. Pada banyak cebakan dimana
mereka hadir, bagaimanapun alterasi pilik berada di atas kumpulan alterasi potasik awal
(Carson dan Jambor, 1979). Pada Chuquicamata di Chili, misalnya, zona yang intens alterasi
pilik meluas sampai ke dalam inti cebakan dan menindih alterasi potasik awal dan sejumlah
kecil asosiasi sulfida Cu dengan kadar Cu rendah. Zona plik ini mengandung kadar lebih tinggi
daripada rata-rata kadar Cu dan berasosiasi dengan arsen-pembawa Cu dan Molybdenite.
Endapan porfiri adalah suatu endapan primer (hipogen) yang berukuran relatif besar
dengan kadar rendah sampai medium, Pada umumnya dikontrol oleh struktur geologi, Secara
spasial dan genetik berhubungan dengan intrusi porfiritik felsik sampai dengan intermediet.
1. Sub-tipe endapan porfiri
a) Endapan Porfiri Cu (± Au, Mo, Ag, Re, PGE)
b) Endapan Porfiri Cu-Mo (± Au, Ag)
c) Endapan Porfiri Cu-Mo-Au (± Ag)
d) Endapan Porfiri Cu-Au (± Ag, Mo)
e) Endapan Porfiri Mo (± W, Sn)
f) Endapan Porfiri Sn (± W, Mo, Ag, Bi, Cu, Zn, In)
2. Jenis mineral
a) Porfiri tembaga
b) Chalcopyrite, Pyrite, Chalcocite, Bornite, Molybdenite, Galena, Magnetite, Gold,
Copper
c) Porfiri timah Arsenopyrite, Frankeite, Pyrrhotite, Sphalerite, Chalcopyrite, Galena,
Stannite,FluoriteTetrahedrite-Tennantite, Sheelite
3. Tipe alterasi
a) Porfiri tembaga
- Propylitic
- Argillic
- Phyllic/Sericitization
- Potassic
b) Porfiri timah
- Propylitic
- Argillic
- Phyllic/Sericitization
- Tourmalinization
4. Zona Alterasi
 Sisi terdalam (inner zone)
Umumnya zona potassic yang dicirikan oleh kehadiran biotite and/or K-feldspar (±
amphibole ± magnetite ± anhydrite).
 Sisi terluar (outer zone)
Umumnya merupakan propylitic alteration yang mengandung quartz, chlorite, epidote,
calcite and, locally, albite berasosiasi dengan pyrite. Zona-zona phyllic alteration (quartz
+sericite + pyrite) dan argillic alteration (quartz + illite + pyrite ± kaolinite ±smectite ±
montmorillonite ± calcite) dapat terbentuk sebagai zona-zona yang erletak diantara zona
potassic and propyli.

Gambar Zona Alterasi Endapan Porfiri

TEKTONIK DAN VULKANISME


Vulkanisma di Indonesia sangat erat hubungannya dengan gejala tektonik, yaitu seperti apa
yang diperlihatkan oleh aktivitas magma yang menyertai gejala perkembangan tektonik dalam
waktu geologi tertentu.

Aktivita magma tersebut menghasilkan berbagai jenis batuan beku, yang dicirikan oleh
masing-masing kelompok batuan tersebut di dalam suatu Suite atau Provinsi batuan tertentu.

Konsep dan Pandangan Melalui Teori Undasi


Van Bemelen (1954), salah seorang geologiawan yang mengembangkan bidang geologi di
Indonesia terutama penerapan teori Undasi-nya dalam evolusi tektonik, telah melakukan
penelitian atas sistem pegunungan di Indonesia bagian barat. Penelitiannya menghasilkan suatu
penampang yang ditarik mulai dari pulau Christmas yang terletak di Samudera Indonesia,
melalui pulau Jawa ke arah utara sampai pulau Karimunjawa yang terletak di laut Jawa.

Tabel Skema Teoritis yang menunjukan hubungan antara Petrogenik dengan jenjang
evolusi orogenesa (Stille 1924, dalam Van Bemmelen 1949)

Stages Of Evolution Of The Orogenic


System
Zona Stages
Orogenic Of Orogenic Prefa- Embyo Early
Petrographic Provinces Zones Evolution tory arc Young Mature Mature

(I) Atlantic Suite Foreland Pre-Orogenic x x x x x

(II) Ophiolitic Suite Foredeep Geosynclinal x x x x


(III) Pasific Suite Geanticline Orogenic x x x

(IV) Mediterranean Suite Backdeep Late Orogenic x X

(V) Tholeiitic Plateau


Basalts Hinterland Post Orogenic X

Anggapan ahli tersebut diselaraskan dengan pandangan yang dikemukakan olehStille 1924
mengenai hubungan antara evolusi tektonik dengan gejala vulkanisma, yang kemudian
diturunkan kembali oleh Katili et al (1963), seperti apa yang terlihat di bawah ini (gambar 1):
1. Pulau Chirstmas, yang terletak di Samudera Indonesia yaitu disebelah selatan pulau
Jawa dimana merupakan daerah muka pegunungan, muncul sebagai suatu gunung api
yang telah padam. Gunung api tersebut diduga pernah aktif pada Tersier Tua, yang
menghasilkan lava yang bisa digolongkan dalam Suite Atlantik, dimana banyak
mengandung mineral-mineral yang kaya akan unsur Natrium. Batuan beku yang
dihasilkan tersebut umumnya terdapat di luar sistem pegunungan yang sebenarnya.

1. Daerah Cekungan Geosinklin, yang mana merupakan suatu palung laut dalam yang
terbagi dua oleh suatu punggung dalam laut yang sejajar dengan pulau jawa. Punggung
dalam laut tersebut merupakan suatu pegunungan yang sedang muncul di atas
permukaan air laut melalui suatu proses pengangkatan (geantiklin) dari suatu cekungan
(geosinklin), yang diduga merupakan kelanjutan punggung dalam laut yang telah
muncul dibeberapa tempat sebagai deretan pulau-pulau kecil seperti Nias, Siberut,
Mentawai dan lain sebagainya disebelah barat pulau Sumatera.
Gejala vulkanisme dalam dicirikan oleh aktivitas magma yang menghasilkan batuan beku
dalam bersusunan ultra basa – basa, yang digolongkan dalam Suite Ofiolit. Pembentukan
batuan beku jenis tersebut menunjukan permulaan suatu gejala vulkanisme yang berlangsung
dalam daerah cekungan geosinklin (“initiale vulkanismus”, Stille 1924).

1. Kemudian terjadi pengangkatan daerah cekungan sehingga terbentuk rantai


pegunungan melalui proses pembumbungan geosinklin. Pegunungan tersebut
merupakan sumbu pulau Sumatera, Jawa dan ke arah timur sampai kepulauan Sunda
kecil. Vulkanisme dalam yang menyertai proses pengangkatan tersebut
menurut Sitlle (1924) disebut “synorogenen Vulcanismus” dan akan membentuk
tubuh-tubuh batuan beku dalam seperti batolit, stock dan lain sebagainya, yang
bersusunan asam sampai menengah. Kemudian menjelang akhir pembentukan
pegunungan lipatan, pada pertengahan Miosen masih berlangsung gejala vulkanisme
yang dicirikan sebagai “Subsequence Vulkanismus” (Stille, 1924) yang menghasilkan
batuan lelehan dan rempah vulkanik lepas bersusunan asam sampai menengah (riolit,
dasit, andesit). Vulkanisme dalam yang menyertai aktivitas magma membentuk batuan
beku dalam yang erat hubungannya dengan batuan lelehan tersebut.
Gejala vulkanisme luar masih berlanjut sampai Resen, halmana diperlihatkan oleh gunung api-
gunung api Kuarter yang masih giat, yang menempati daerah-daerah pegunungan berantai
tersebut. Di daerah zona sirkum Pasifik, gunung api-gunung api tersebut dicirikan dengan
sifatnya yang sangat esplosif dimana banyak dihasilkan rempah vulkanik dengan kandungan
unsur-unsur kalsium alkali yang cukup tinggi, yang bisa digolongkan dalam Suite Pasifik.

1. Suatu kelompok gunung api muda Kuarter yang telah padam pada Resen ini yang
letaknya terpisah, menempati perbatasan kelompok gunung api aktif pada busur dalam
vulkanik. Aktivitas magma pada masa lampau, yang menerobos daerah cekungan
sedimen yang menempati daerah bagian utara pulau Jawa, yang terletak antara
geantiklin – Jawa Selatan dan Tanah Sunda, menghasilkan batuan beku yang
digolongkan dalam Suite Mediteran dan dicirikan dengan kandungan mineral-
mineralnya yang kaya akan kalium.
1. Tanah Sunda yang terletak di sebelah utara pulau Jawa, sebagian besar telah digenangi
laut kecuali beberapa pulau yang masih tersisa dan muncul di atas permukaan air laut
seperti misalnya pulau Karimunjawa. Daerah tersebut merupakan daerah “hinterland”
yang masih dipengaruhi oleh aktivitas magma, yang umumnya digolongkan dalam
basal datar tinggi.

Evolusi tektonik yang mempengaruhi pembentukan pegunungan, yang disertai dengan gejala
vulkanisme, dapat dilihat dalam evolusi pembentukan pegunungan lipatan Bukit Barisan di
Pulau Sumatera.

Melalui penampang yang ditarik melalui pulau tersebut, yaitu mulai Samudera Indonesia dan
Kepulauan Mentawai di sebelah barat kea rah timur laut melalui daerah Jambi – kepulauan
Lingga yang terletak di sebelah barat selat Karimata,Van Bemmelen (1954) memberikan
gambaran hubungan evolusi gejala-gejala di pulau Jawa, seperti yang terlihat pada penampang
yang ditarik dari pulau Christmas melalui daerah bagian timur Jawa Barat (daerah Bandung)
ke arah timurlaut sampai kepulauan Karimunjawa yang terletak di Laut Jawa.
Kepulauan Mentawai dalam penampang Sumatera, merupakan daerah busur luar bukan
vulkanik, yang dicirikan oleh anomali isostatik negatif, serta sebagian besar terbentuk dari
batuan serpentin dan terobosan batuan ultra basa, yaitu menempati daerah yang terletak antara
cekungan muka dan cekungan antara yang dipengaruhi oleh gejala pensesaran naik selama
pengangkatan pada kala pra-Miosen. Daerah yang memiliki isostatik negatif yang menempati
busur dalam bukan vulkanik di pulau Jawa, menurut Van Bemmelen (1954) merupakan
punggungan dalam yang terletak di bawah samudera Indonesia, dimana daerah tersebut sedang
mengalami proses pengangkatan, halmana dicirikan dengan pusat-pusat gempa bumi dalam
yang tersebar di daerah tersebut.

Van Bemmelen (1954), melalui skema tektonik yang mencirikan 9 pusat undasi, yang
menggambarkan struktur Neogen yang terbentuk di kepulauan Indonesia ini, dapat
memisahkan (Sukendar, 1976):
1) Daerah stabil yang tidak mengalami gejala transgresi pada kala Neogen
2) Daerah Semi Stabil dengan transgresi pada kala Neogen, tetapi tidak dipengaruhi oleh
Undasi

3) Daerah-daerah orogen beserta sumber atau pusat-pusat undasi

4) Daerah-daerah yang diduga dimana jentara undasi dimulai.

Suatu peta tektonik yang disusun berdasarkan usia perlipatan, fasa mineralisasi dan bentuk
struktur yang terdapat di berbagai pulau, telah diperkenalkan olehWester Veld (1952,
dalam Sukendar, 1976), dimana bisa dipisahkan 4 (empat) daerah orogen yaitu:
1) Orogen Malaya,
Yang mempunyai fasa perlipatan utama, dan aktifitas magma pada akhir Jura, merupakan suatu
sistem pegunungan yang membentang meliputi daerah Semenanjung Malaya, kepulauan Riau
– Lingga dan daerah Timah (Singkep, Bangka dan Belitung), sebagian Kalimantan Barat,
pulau-pulau di laut Cina Selatan dan kemungkinan sebagian daerah dataran rendah Sumatera
sebelah timur. Aktivitas magmanya menghasilkan pluton-pluton besar bersusunan granitis dan
tonalitis.

2) Orogen Sumatera,
Dicirikan dengan fasa perlipatannya yang berumur Kapur sampai Paleosen serta diikuti intrusi
batuan beku dalam. Daerah orogen ini meliputi pulau Sumatera melalui pegunungan Serayu
Selatan di pulau Jawa terus kea rah pegunungan Meratus di Kalimantan Tenggara. Aktifitas
magma yang menyertai orogen ini berupa batuan gabro sampai granitis.

3) Orogen Sunda,
Terbentuk pada Miosen Tengah, tetapi di beberapa daerah mungkin terjadi lebih dahulu,
menempati daerah yang terletak di bagian tengah antara daerah yang terkena orogen Sumatera
dan Orogen Maluku, serta merupakan daerah yang ditempati oleh gejala vulkanisme Miosen.
Daerah ini meliputi pesisir sebelah barat pulau Sumatera, pulau Jawa bagian Selatan,
Kepulauan Sunda kecil, pulau-pulau yang termasuk dalam Busur dalam Banda, Sulawesi
bagian barat, dan berakhir di daerah Mindanau (Filipina Selatan). Aktifitas magmanya
menghasilkan gang-gang andesitis dan dasitis serta pluton-pluton granit dan diorite.

4) Orogen Maluku,
Dicirikan oleh adanya perlipatan yang sangat kuat yang disertai dengan gejala pensesaran
lapisan batuan berumur paleozoik Akhir, Mesozoik dan Tersier Bawah. Selain itu juga
dicirikan dengan terbentuknya batuan Ultra basa yang sangat besar berumur Mesozoik Akhir
sampai permulaan Tersier, yaitu meliputi daerah-daerah kepulauan disebelah barat Sumatera,
Pulau Timor, daerah yang termasuk dalam Busur luar Banda dan akhirnya daerah Sulawesi
bagian timur.

Konsep dan Pandangan Melalui Teori Tektonik Lempeng


Melalui perkembangan bidang pengetahuan geodinamika yang semakin pesat sejak
pertengahan abad 20, maka suatu konsep tektonik global yang baru telah diperkenalkan dan
sekaligus dicoba penerapannya guna penyusunan peta tektonik yang menampilkan
hubungannya dengan daerah mineralisasi.

Prinsip teori tektonik lempeng ini berawal dari suatu pengertian bahwasanya bagian dari kulit
bumi atau lithosfera, termasuk juga di dalamnya bagian paling luar dari selimut bumi (“upper
mantle”) dianggap sebagai lempeng-lempeng yang kaku. Lempeng-lempeng ini saling
bergerak satu terhadap yang lain dengan kecepatan minimal 10 cm/tahun atau akan
memindahkan lempeng-lempeng tersebut sejauh 100 km/10 juta tahun dan menurut beberapa
ahli cenderung dipengaruhi oleh gaya-gaya konvektif yang terjadi pada daerah astenosfera
yang bersifat cair-kenyal.

Akibat pergerakan tersebut, kemungkinan besar akan terjadi tumbukan antar lempeng, yang
dibatasi oleh suatu palung laut yang dalam, dimana salah satu lempeng akan mengalami
penyusupan yang sangat dalam di bawah lapisan kulit bumi melalui suatu bidang miring yang
dikenal sebagai jalur Benioff.

Jalur tersebut memiliki kemiringan lereng yang berbeda-beda dan merupakan zona penyebaran
pusat-pusat gempa bumi.
Menurut Sukendar (1976, hal.89), daerah dimana terjadi tumbukan lempeng akan merupakan
suatu jalur dimana terjadi kegiatan orogen yang meliputi gejala-gejala seperti:
1. Konvergensi lempeng
2. Pertumbuhan benua
3. Pengkerutan Lapisan-lapisan
4. Penebalan kerak bumi dalam pembubungan isostasi yang disertai dengan kegiatan
magma dan gejala metamorfisma.
Ahli tersebut mencatat bahwa batas antara masing-masing lempeng merupakan daerah yang
mengandung pusat-pusat gempa disamping gejala orogenesa dan tektonik dimana batas-batas
tersebut akan berujud sebagai:

1. Pematang tengah samudera


2. Sesar mendatar (“transform faults”)
3. Palung-palung laut dalam
Gejala tektonik yang terjadi di daerah tumbukan antara lempeng samudera dengan lempeng
kontinen akan mencerminkan suatu bentuk sistem busur kepulauan yang mengandung unsur-
unsur seperti palung laut dalam dan busur magmatic.

Sementara secara keseluruhan disebut dengan sistem palung busur (“arc trench system”).
Daerah yang terletak diantara sistem-sistem palung busur tersebut berbentuk rumpang yang
memanjang, dengan lebar yang berkisar antara 150-250 km dan rumpang palung busur (“arc
trench gap”).

Sistem palung busur secara umum mengandung 4 (empat) unsur dimana setiap unsur memiliki
cirri, jenis batuan dan sifat struktur geologi yang berbeda.

Kenampakan sistem tersebut, yang dicoba penerapannya di Indonesia, dikemukakan


pertamakali oleh Katili (1971 dan 1974), kemudian W.Hamilton(1973) dan Sukendar (1976)
dimana pengamatan dimulai dari samudera Indonesia kea rah benua (Paparan Sunda) yaitu
dengan didapatkannya unsur-unsur:
1. 1. Palung laut dalam,
Yang terdiri dari sedimen berbutir halus yang terendapkan di atas lantai samudera, kemudian
lava yang berasal dari gejala vulkanisma luar di bawah laut yang bersifat basaltik dengan
struktur bantal serta kumpulan batuan vulkanik bersusunan basa sampai ultra basa (ofiolit)
yang diasosiasikan berasal dari selubung bumi, yang digolongkan dalam suite ofiolit. Endapan
sedimen dan batuan vulkanik tersebut tercampur secara tektonik akibat gejala pensesaran dan
perunjukan sehingga menghasilkan bentuk struktur yang sangat rumit.kumpulan batuan yang
demikian ini disebut “mélange” .

1. 2. Rumpang palung busur


Merupakan suatu bentuk geografi yang memanjang selebar 75-275 Km, dimana di dalamnya
diendapkan batuan sedimen. Kadang-kadang secara setempat terjadi peninggian yang
bentuknya memanjang, yang di kenal sebagai busur luar bukan vulkanik, yang muncul
sebagai deretan pulau-pulau seperti misalnya kepulauan Mentawai di sebelah barat Sumatera.
Daerah ini diduga ditempati oleh kumpulan batuan “mélange” yang mengalami desakan kea
rah bawah, yang berasal dari jalur penekukan yang berumur lebih tua.

1. 3. Busur Magmatik (“Magmatic Arc” atau “volcanic arc”)


Yang dicirikan oleh adanya jajaran gunung api dan tubuh-tubuh pluton yang mendapatkan
penyaluran magma yang menghasilkan batuan lelehan yang umumnya bersusunan andesit,
yang berkisar antara basal sampai dasit serta terobosan pluton-pluton granitis, granodiorit dan
diorite.

Kumpulan batuan vulkanik tersebut digolongkan dalam suite Pasifik dengan mineral-mineral
penyusunnya yang kaya akan ikatan kalsium alkali, dicirikan dengan terbentuknya batuan yang
beraal dari gejala magmatic yang menyertai orogenesa.

1. 4. Cekungan muka daratan (“foreland basin”)


Merupakan daerah yang terletak di bagian belakang busur magmatic, ditempati oleh endapan-
endapan sedimen yang secara petrologis mempunyai sifat serupa dengan batuan sedimen yang
menempati daerah di bagian rumpang palung busur.

Gejala vulkanisma yang bersumber dari magma yang letaknya sangat dalam, penyalurannya
kea rah permukaan menerobos lapisan batuan sedimen yang cukup tebal. Keadaan ini dicirikan
dengan dihasilkannya batuan vulkanik yang beragam yaitu antara basal sampai andesit,
meskipun pada umumnya adalah basal dengan kandungan mineral-mineralnya yang kaya akan
unsur Kalium.

Dickinson (1970) mengartikan busur magmatic sebagai orogen vulkanik-plutonik yang terdiri
dari lapisan vulkanik dan vulkanik klastik serta disertai pluton-pluton magma. Kelompok
batuan tersebut, yang dikenal sebagai batuan penyerta jalur Orogen meliputi:

1. Urut-urutan batuan vulkanik andesit dengan sebagian besar terdiri dari andesit, basal
dengan kadar aluminium yang tinggi (basal tholeiit), serta dasit dan lapisan endapan
klastik gunung api.

1. Monzonit kuarsa, granodiorit dan diorite kuarsa dengan sedikit granit dan diorite yang
membentuk jalur batholit. Magma yang bersusunan kalsium alkali ini adalah gejala
pelelehan sepihak (partial_melting) dari batuan lempungan asal samudera yang berada
di bawah tekanan tinggi dan tegasan geser (shear stress) akibat peristiwa penekukan
melalui jalur Benioff ke dalam lapisan selaput bumi. Magma ini akan mengalami
perubahan yang besar akibat proses asimilasi dengan selaput dan kerak bumi yang
dilaluinya pada saat magma naik dan melakukan diferensiasi. Peristiwa pelelehan ini
terjadi pada daerah yang terletak pada kedalaman 75-275 kilometer pada jalur Benioff
(Dickinson, 1971). Perbandingan antara unsur K terhadap Silikon yang terdapat di
dalam batuan beku dari kedua kelompok tersebut meningkat secara teratur kearah yang
sama dengan arah kemiringan jalur Benioff di bawahnya.
Katili (1971) melalui pendekatan yang didasarkan atas konsep tektonik lempeng, beranggapan
bahwa busur kepulauan Indonesia merupakan daerah yang terbentuk akibat dari pertemuan 3
lempeng yaitu:
- Lempeng Samudera India-Australia

- Lempeng Samudera Pasifik

- Lempeng benua Eurasia

Lempeng samudera India-Australia bergerak relative ke utara, lempeng benua Eurasia ke


selatan dan lempeng samudera Pasifik ke barat.

Adapun batas-batas lempeng di atas adalah:

- Palung dan sesar geser jurus di sebelah timur Filipina

- Palung dan sesar geser jurus di sebelah Barat Sumatera

- Palung di sebelah selatan Jawa

- Sesar geser jurus di sebelah utara Papua

Sesar besar Sumatera, sesar Palu-Koro di Sulawesi dan sesar Filipina memencar dari selatan
menuju ke utara yaitu dari lempeng samudera India-Australia. Sedangkan jalur sesar Sorong di
Papua dan palung Filipina berkumpul pada gerakan yang menuju kea rah barat dari lempeng
samudera Pasifik.

Agaknya selain dikontrol oleh jalur tumbukan 3 (tiga) lempeng seperti yang disebutkan di atas,
adanya pertemuan 2 (dua) sistem pegunungan yaitu sirkum Pasifik dan sirkum Mediterania
menyebabkan Wilayah Indonesia menjadi kawasan yang rumit dan labil, halmana keadaan
tersebut bisa dibuktikan dengan:

- Hampir 1/10 episenter gempa dunia ada di Indonesia

- Merupakan daerah yang paling vulkanis, dimana terdapat kurang lebih 400 buah gunung
api
- Masih berlangsungnya gejala pembentukan pegunungan, missal dengan didapatkannya
terumbu-terumbu koral yang mengalami pengangkatan, terutama di wilayah Indonesia bagian
timur yang berumur Kuarter sampai Resen

- Adanya kelainan gaya gravitasi yang sangat menyolok, dimana anomaly negative
mencapai 240 milligal

Hamilton (1973) beranggapan bahwa Busur Andaman-Sumatera-Jawa-Timor-Busur luar


Banda-Seram merupakan “Subduction System” yang menyatukan daerah Indonesia terhadap
lempeng Samudera Indonesia-Australia.
Zona Benioff yang dicirikan sebagai pusat-pusat gempa bumi menunjukan kemiringan yang
mula-mula landai dengan kedalaman yang dangkal kemudian berkembang menjadi semakin
curam dan sangat dalam. Di daerah bagian atas zona Benioff tersebut terletak busur magmatik
yang tersusun dari gunung api- gunung api yang mendapat penyaluran magmanya dari
kedalaman antara 100-200 kilometer.

Batuan vulkanik yang dihasilkan oleh gunung api – gunung api Holosen, yang terletak di
bagian atas zona Benioff sekarang, memperlihatkan perbandingan yang umum
antara K2O dengan SiO2 terhadap kedalaman jalur seismic
(Hatherton dan Dickinson dalam Hamilton, 1973).
Susunan batuan vulkanik tersebut sangat dipengaruhi oleh jenis dan susunan kerak bumi yang
diterobos magma yang berasal dari zona Benioff. Batuan vulkanik di Sumatera umumnya
bersifat lebih asam sampai menengah, halmana disebabkan magma menerobos kerak kontinen
yang tua. Sedangkan di Jawa, yang memiliki kerak kontinen lebih tipis, bersifat mafik dan
relatif lebih muda, gunung api nya menghasilkan batuan vulkanik yang menengah.

Sehingga berdasarkan komposisi batuan vulkanik, batuan dasar (“basement”) dan susunan
kerak bumi, bisa disimpulkan adanya perbedaan antara pulau Sumatera dengan pulau Jawa
yaitu sebagai berikut:

1. Komposisi batuan vulkanik hasil gunung api muda di Jawa relatif lebih basa
dibandingkan dengan batuan vulkanik gunung api di Sumatera
2. Gunung api Tersier Akhir di Jawa kebanyakan berdiri di atas endapan Marine-Neogen
dan bukannya di atas pra-Tersier. Sedangkan di Sumatera sebagai batuan dasar gunung
api nya adalah batuan pra-Tersier (bukan “mélange”).
3. Batuan dasar tempat bertumpunya gunung api di Jawa terdiri dari “Melange” yang
berumur Kapur – Tersier Awal.
4. Di Jawa tidak ada indikasi adanya kerak benua, didasarkan atas data geofisika yaitu
gaya berat dan seismik yang menunjukan bahwa di Jawa tidak ada batuan kristalin.
Konsep tektonik lempeng dalam hubungannya dengan proses mineralisasi akan banyak
berkaitan dengan proses aktifitas magma atau gunung api, dimana intrusi dari magma akan
mengubah batuan dan mineral disekitar daerah intrusi tersebut.

Daerah busur vulkanik merupakan tempat yang paling utama dalam pencarian mineral-mineral
logam yang dihasilkan oleh aktifitas magma, dimana dari kumpulan data yang ada bisa
disimpulkan bahwa “phorpyric copper” banyak ditemukan di daerah ini, selain “Volcanogenic
stratiform Copper deposit”.

Adapun mineral-mineral lainnya yang biasa dijumpai di daerah tektonik ini adalah:

- Emas

- Molybdenit yang berasosiasi dengan phorpyric copper

- Emas monzonit dan andesit

- Air raksa (seperti yang terdapat di daerah Purwakarta, “mercury Volcano”)

Pada daerah “acidic volcanic” dan daerah yang dulunya bermula pada “continental crust”
diharapkan bisa didapatkan timah dan tungsten (misalnya di Bangka). Umumnya di daerah
busur vulkanik ini mineral deposit letaknya sangat dalam sehingga tidak tersingkap di
permukaan. Begitu pula pada busur vulkanik yang masih muda, deposit tersebut sangat sukar
ditemukan.

Anda mungkin juga menyukai