Anda di halaman 1dari 39

BAB II

GEOLOGI

2.1. Geologi Regional

2.1.1. Geomorfologi

Daerah eksplorasi terletak pada Busur Sulawesi Barat bagian utara

yang dicirikan oleh aktivitas volkanik dan intrusi magma bersifat

kalk-alkalin berkomposisikan asam hingga intermedit yang terdiri

dari pegunungan, perbukitan dan dataran rendah. Daerah pegunungan

menempati bagian Utara, Barat dan Selatan sedangkan bagian tengah

merupakan perbukitan bergelombang dan bagian timur merupakan

dataran rendah.Ketinggian pegunungan ini melebihi 2000 m dengan

puncak tertinggi adalah Gunung Rantemario yang terletak pada rangkaian

pegunungan Latimojong, Sulawesi Selatan (Sukamto, 1975).

(Sukamto, 1975) Sulawesi dapat dibagi menjadi tiga mandala

geologi yaitu Mandala Sulawesi Barat, Mandala Sulawesi Timur dan

Banggai-Sula. Masing-masing mandala geologi ini dicirikan oleh variasi

batuan, struktur dan sejarah geologi yang berbeda satu sama lain. Daerah

penelitian merupakan bagian dari Mandala Sulawesi Barat.

Menurut Sukamto (1982), sebagian pegunungan ini terbentuk oleh

batuan gunung api dengan ketinggian rata-rata 1500 meter dari

permukaan laut ke arah timur rangkaian pegunungan ini relatif menyempit

dan lebih rendah dengan morfologi bergelombang lemah sampai kuat.

PT.BASTEMINDONESIA
8
Di bagian pesisir timur yang berbatasan dengan Teluk Bone merupakan

dataran rendah, secara umum disusun oleh alluvium.

2.1.2. Litologi

Berdasarkan Peta Geologi Lembar Majene dan Palopo Bagian

Barat (Djuri dan Sudjatmiko, 1974) yang memuat daerah eksplorasi,

batuan tertua yang dijumpai di daerah ini adalah Formasi Latimojong (Tkl)

yang berumur Kapur dengan ketebalan kurang lebih 1000 meter. Formasi

ini telah termetamorfisme terdiri dari filit, serpih, rijang, marmer, kwarsit

dan beberapa intrusi bersifat menengah hingga basa, baik berupa stock

maupun berupa retas-retas.Di atasnya diendapkan secara tidak selaras

Formasi Toraja yang terdiri dari Tersier Eosen Toraja (Tet) dan Tersier

Eosen Toraja Limestone (Tetl) yang berumur Eosen terdiri dari serpih,

batugamping dan batupasir serta setempat batubara, batuan ini telah

mengalami perlipatan kuat. Kisaran umur dari fosil-fosil yang dijumpai

pada umumnya berumur Eosen Tengah sampai Miosen Tengah. (Djuri

dan Sudjatmiko, 1974). Di atas formasi ini dijumpai batuan vulkanik

Lamasi (Tolv) yang berumur Oligosen, terdiri dari aliran lava bersusunan

basaltik hingga andesitik, breksi vulkanik, batupasir dan batulanau,

setempat-setempat mengandung feldspatoid. Kebanyakan batuan

terkersikkan dan terkloritisasi.Satuan batuan berikutnya adalah satuan

Tmb dan Tmpss yang terdiri dari napal dan sisipan batugamping yang

setempat-setempat mengandung batupasir gampingan, konglomerat dan

breksi yang berumur Miosen Bawah hingga Miosen Tengah. Di tempat lain

PT.BASTEMINDONESIA
9
diendapkan satuan batuan Tmc yang terdiri dari konglomerat, meliputi

sedikit batupasir glaukonit dan serpih. Ketebalan satuan batuan ini antara

100 - 400 meter dan berumur Miosen Tengah hingga Pliosen.

Ketiga satuan batuan diatas mempunyai hubungan menjemari

dengan satuan batuan Tmpl yang terdiri dari lava yang bersusunan

andesit sampai basal, pada beberapa tempat terdapat breksi andesit,

piroksin dan andesit trakit serta felspatoid. Kelompok satuan batuan ini

berumur Miosen Awal hingga Pliosen dan mempunyai ketebalan 500 -

1000 meter.

Pada beberapa tempat dijumpai pula satuan batuan Tmpa, yang

merupakan Molasa Sulawesi yang terdiri dari konglomerat, batupasir,

batulempung dan napal dengan selingan batugamping dan lignit.

Foraminifera menandakan umur Miosen Akhir hingga Pliosen.

Selain beberapa satuan batuan di atas, dijumpai dua batuan

terobosan granit yang berbeda umurnya. Yang pertama berumur Miosen

Akhir dan yang kedua berumur Pliosen. Di daerah Palopo Granit berumur

Miosen Akhir menerobos Formasi Latimojong dan Formasi Toraja dan

menghasilkan mineralisasi hidrotermal (Simandjuntak, 1991).

Terdapat beberapa intrusi yang umumnya bersusunan asam

sampai intermedit seperti granit, granodiorit, diorit, sienit, monzonit kuarsa

dan riolit. Setempat dijumpai gabro di G. Pangi, singkapan terbesar di G.

Paroreang yang menerus sampai daerah G. Gandadewata di lembar

Mamuju (Djuri dan Sudjatmiko, 1974).Umurnya diduga Pliosen karena

PT.BASTEMINDONESIA
10
menerobos batuan gunungapi Walimbong yang berumur Mio-Pliosen,

serta berdasarkan kesebandingan dengan granit di Lembar Pasangkayu

yang berumur 3,35 juta tahun / Pliosen Akhir (Sukamto, 1975).

Satuan Batuan termuda berupa endapan aluvial dan pantai yang

terdiri dari lempung, lanau, pasir kerikil dan setempat-setempat terdapat

terdapat terumbu koral (Qal) menempati daerah pesisir timur dan barat,

daerah ini berbatasan langsung dengan laut serta daerah di sekitar Danau

Tempe yang berumur Holosen dan proses pengendapannya berlangsung

sampai sekarang.

2.1.3. Struktur

Secara regional struktur yang terdapat di Pulau Sulawesi dan

sekitarnya memperlihatkan keadaan yang sangat kompleks. Hal ini

disebabkan karena Pulau Sulawesi merupakan suatu daerah yang banyak

mendapat pengaruh pertemuan berbagai lempang benua dan samudera.

Kerumitan tektonik Pulau Sulawesi ini ditafsirkan sebagai hasil pemekaran

kerak bumi yang disebabkan oleh gerak lempeng Australia dan Hindia ke

utara dan lempeng Pasifik ke Barat, yang keduanya membentur lempeng

Eurasia. Sejak Mezosoikum, Sulawesi merupakan bagian dari lempeng

Asia dan Selama Paleogen dan Neogen Awal, daerah ini merupakan

suatu busur vulkanik kalk-alkali yang berkaitan dengan proses

penunjaman dari laut Tethys sebelah timur ke tenggara. Lempeng

Australia-Irian bergerak ke utara dan secara bertahap mikro kontinen pada

bagian daerah penelitian terpisah melalui pergeseran mendatar.

PT.BASTEMINDONESIA
11
Secara regional orogenesa pada Pulau Sulawesi mulai

berlangsung sejak Zaman Trias, terutama pada Mandala Banggai-Sula

yang merupakan Mandala Tertua, sedangkan pada Mandala Geologi

Sulawesi Timur dimulai pada Kapur Akhir atau Awal Tersier. Perlipatan

yang kuat menyebabkan terjadinya sesar anjak yang berlangsung pada

Miosen Tengah pada Lengan Timur Sulawesi dan dibagian tengah dari

Mandala Geologi Sulawesi Barat, di waktu yang bersamaan suatu

trangresi lokal berlangsung pada Lengan Tenggara Sulawesi dan suatu

aktifitas vulkanik terjadi pada Lengan Utara dan Selatan (Sukamto, 1975).

Berdasarkan pembagian Mandala Sulawesi (Sukamto, 1975), maka

daerah eksplorasi terletak pada Mandala Geologi Sulawesi Barat bagian

tengah dan sedikit kearah timur yang berbatasan dengan bagian barat dari

Mandala Sulawesi Timur. Mandala Sulawesi Barat dicirikan oleh endapan

palung yang berumur Kapur hingga Paleogen yang kemudian berkembang

menjadi jalur gunungapiyang berlangsung dari kala Miosen Akhir.

Fase orogenesa Intra Miosen terlihat menonjol pada beberapa

tempat, terutama pada Mandala Sulawesi Baratbagian tengah, sedangkan

orogenesa sebelum Intra Miosen mungkin terjadi dua kali, yaitu sebelum

dan sesudah Eosen. Orogenesa Larami terjadi pada Kapur Akhir hingga

Miosen Awal, mengangkat dan melipat endapan Mesozoikum dan

sediment tua lainnya, kemudian terhenti oleh pengaruh gerakan horizontal

dan menyebabkan terjadinya berbagai sesar sungkup berarah utara-

selatan atau tepatnya utara baratlaut-selatan menenggara.Gaya horizontal

PT.BASTEMINDONESIA
12
terhenti dan disusul oleh terbentuknya sesar bongkah yang menyebabkan

terban maupun sembul. Perlipatan yang kuat diikuti oleh sesar sungkup

yang terjadi pada Miosen Tengah pada bagian tengah dari Mandala

Sulawesi Barat, melipat batuan pada Formasi Latimojong dan Formasi

Toraja kemudian tersesarkan. Pada Plio-Plistosen berbagai terban dan

sembul dipengaruhi oleh adanya sesar geser berarah baratlaut-tenggara

yang searah dengan pergerakan sesar Palu Koro di Sulawesi Tengah.

Sesar ini diperkirakan masih aktif, arah gerak sesar Palu-Koro

memperlihatkan kesamaan gerak dari jalur Sesar Matano dan jalur

Sesar Sorong dan pola sesar sungkupnya memperlihatkan arah yang

konsekwen terhadap Mandala Banggai-Sula. Kemudian akibat dari

lempeng Asia yang bergerak dari arah baratlaut menyebabkan

terbentuknya jalur penunjaman Sulawesi Utara hingga pergerakan dari

Sesar Palu-Koro masih aktif (Simandjuntak, 1986). Adapun kelanjutan dari

Sesar Palu-Koro disebut Sesar Tempe, disebabkan karena sesar tersebut

melalui Danau Tempe. Bidang geser Plio-Plistosen memotong bidang

geser yang berarah Utara-Selatan, dengan perbedaan bahwa dari kedua

bidang geser di Sulawesi Tengah dianggap seumur, sedangkan di

Sulawesi Selatan dianggap memiliki umur yang berbeda, yakni masing-

masing Miosen Bawah dan Plio-Plistosen.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, Maka pada Mandala

Sulawesi Barat bagian tengah berkembang sesar-sesar mendatar yang

berarah baratlaut-selatan tenggara dan sesar-sesar anjak yang berarah

PT.BASTEMINDONESIA
13
timurlaut-baratdaya. Sesar-sesar mendatar yang dimaksud adalah Sesar

Mendatar Malimbo di bagian utara daerah penelitian, Sesar Walanae

Barat di baratdaya daerah penelitian. Sedangkan sesar naik yang paling

dominan adalah Sesar Naik Makale di bagian baratdaya dan Sesar Anjak

Latimojong disebelah baratdaya daerah penelitian (Djuri dan Sudjatmiko,

1974).

Gambar 2 . Peta Pola Struktur Geologi Regional Pulau Sulawesi


(Simandjuntak, 1986)

PT.BASTEMINDONESIA
14
2.1.4. Alterasi

Awak Mas merupakan salah satu endapan mineral emas yang

berada di batuan metamorphic rock di Kabuapten Luwu Sulawesi Selatan

dengan cadangan terukur dan terindikasi 45,1 Mt at 1,30 g/t Au dan

cadangan terunjuk 6,5 Mt at 1,13 g/t Au sehingga total cadangannya 2,13

Mio Oz (Querubin and Walters 2012). Alterasi batuan samping pada Awak

Mas terdiri atas 3 tipe yaitu kuarsa - serisit - pirit (serisitisasi), albit - serisit

+ karbonat + klorit (albitisasi), dan karbonat - kuarsa + klorit

(karbonatisasi). Inklusi fluida terbentuk dalam 2 fase, liquid + rich, L + V

dimana L > 50%, dengan temperatur urat kuarsa sekitar 194 derajat

celcius hingga 320 derajat celcius, salinitas yang rendah, kedalaman

pembentukan minimum 390 meter di bawah paleosurface, inklusi kaya

akan CO2. Tipe endapan emas berupa endapan orogenik (mesotermal)

yang terbentuk selama tahap akresi tektonik

2.1.5. Mineralisasi

Mineralisasi terjadi berupa emas primer tipe urat breksian dan

“stockwork” padasatuan batupasir, filit, batusabak dan serpih(Formasi

Latimojong) berumur Kapur Atas dan batuan granit (Djuri dan Sudjatmiko,

1974).

2.2. Penyelidik dan Hasil Penyelidikan Terdahulu

2.1. Nama Instansi/organisasi

Tim geologi yang telah melakukan kegiatan eksplorasi pada tahun

2012 di lokasi IUP PT.Bastem Indonesia yang diketuai oleh Muhammad

PT.BASTEMINDONESIA
15
Adam Marnas,ST dengan nomor keanggotaan IAGI : 3127 sekaligus

pengurus IAGI Pengda Sultan Batara, dengan anggota tim adalah

Asrijal,ST, Saktiawan, Andi Rifan dan Indah Marsyam serta Hasbi dan

Tabang sebagai helper.

2.2. Rekapitulasi Kegiatan Eksplorasi yang Dilakukan

Kegiatan eksplorasi yang dilakukan adalah pemetaan geologi dan

pengambilan sampel dengan cara mendulang di beberapa sungai yang

diindikasi mengandung Emas (Au) atau biasa dikenal dengan stream

sediment yaitu pengambilan material dari endapan sungai.

Pemetaan geologi dilakukan dengan cara eksplorasi yaitu

pengambilan data dan sampel batuan dari stasiun ke stasiun yang

selanjutnya. Pengambilan data geologi yaitu data singkapan batuan,

geomorforlogi terdiri satuan morfologi, sungai, klasifikasi sungai, jenis pola

aliran, tipe genetik sungai, stadia sungai dan daerah. Pengambilan data

litologi terdiri dari dasar penamaan, penyebaran dan ketebalan, ciri litologi,

lingkungan pengendapan dan umur serta hubungan stratigrafi.

Pengambilan data struktur terdiri arah dan jumlah kekar, jenis perlipatan

dan ciri-ciri sesar di lapangan dan pengambilan data bahan galian yang

bernilai ekonomis dari semua data geologi yang telah didapat di lapangan,

diolah dan dianalisi, maka akan dibuatkan sejarah geologi dari lokasi

penyelidikan.

Pendulangan emas dilakukan dengan cara dulang emas dimulai

dengan mengisi ayakan sebanyak seperempat bagian dengan material

PT.BASTEMINDONESIA
16
tanah dan kerikil. Kemudian, rendam ayakan berisi kerikil itu di dalam air.

Perhatikan batas air untuk merendam, pastikan tepat di bawah permukaan

sungai. Lakukan gerakan khas para pendulang emas yakni, gerakan

menggoyang ayakan secara teratur. Ternyata, arah gerakannya memiliki

maksud tersendiri. Gerakan maju mundur dua sisi bertujuan untuk

mengangkat konsentrat yang lebih ringan, seperti batu dan kerikil.

Pastikan gerakan Anda tidak terlalu kuat, sehingga isi ayakan tumpah ke

dalam sungai. Setelah bebatuan dan kerikil sudah dipisahkan, mulailah

mengatur gerakan lembut secara memutar. Proses ini bertujuan untuk

melarutkan material halus seperti debu maupun tanah liat. Pada proses

ini, akar-akaran juga mungkin akan naik ke permukaan ayakan. Pada fase

ini, pastikan semua kotoran, debu, dan tanah liat disingkirkan dari

ayakan.Itulah cara dulang emas yang terlihat sederhana namun butuh

ketelatenan dan keuletan tersendiri. Ulangi semua langkah tersebut,

sehingga kita mendapatkan lebih banyak emas.

2.2.3. Geomorfologi

Pembahasan geomorfologi daerah eksplorasi meliputi pembagian

satuan morfologi dan analisis sungai, yang terdiri dari klasifikasi sungai,

penentuan pola aliran sungai, tipe genetik dan stadia sungai, serta

penentuan stadia daerah.

Geomorfologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang

bentangalam. Bentangalam adalah kenampakan relief di permukaan bumi

PT.BASTEMINDONESIA
17
yang dibentuk oleh proses-proses alami yang memiliki karakteristik

tersendiri, baik itu karakteristik fisik maupun genetiknya.

Kenampakan bentangalam suatu daerah merupakan hasil dari

proses-proses geomorfologi yang terjadi. Bentangalam tersebut memiliki

bentuk yang bervariasi dan dapat diklasifikasikan berdasarkan faktor-

faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut meliputi proses,

stadia, jenis litologi serta pengaruh struktur geologi atau tektonik yang

bekerja (Thornburry, 1969).

Hidartan dan A. Handayana (1994), mengajukan salah satu bentuk

klasifikasi bentangalam menjadi satuan-satuan geomorfologi berdasarkan

beberapa faktor melalui tiga pendekatan yang terdiri dari pendekatan

parametrik, bentuk dan genetik.Pendekatan parametrik didasarkan pada

unsur-unsur geomorfologi yang besarannya dapat diukur secara kuantitatif

seperti tinggi, luas, panjang dan lebar serta kemiringan.

Pendekatan bentuk didasarkan atas bentuk yang tampak di lapangan,

sehingga dapat dibedakan antara pedataran, perbukitan dan pegunungan.

Pada pendekatan ini juga diperhatikan bentuk-bentuk lereng, tebing dan

lembah dari suatu perbukitan atau pegunungan. Sedangkan pendekatan

genetik didasarkan pada proses yang terjadi dalam pembentukan muka

bumi yang dipengaruhi oleh dua proses utama yakni proses endogen dan

eksogen.

Klasifikasi bentangalam berdasarkan pendekatan parametris yaitu

prosentase kemiringan lereng dan beda tinggi, dikemukakan oleh Van

PT.BASTEMINDONESIA
18
Zuidam (1983) dalam Hindartan dan Handayana (1994) yang dapat

dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Klasifikasi relief berdasarkan pada besar sudut lereng dan beda
tinggi Van Zuidam (1983) dalam Hindartan dan Handayana
(1994).

SUDUT
SATUAN RELIEF BEDA TINGGI
LERENG

Datar atau Hampir Datar 0%-2% <5m

Bergelombang/Miring Landai 3%-7% 5 m – 50 m

Bergelombang/Miring 8 % - 13 % 25 m – 75 m

Berbukit bergelombang / Miring 14 % - 20 % 50 m – 200 m

Berbukit tersayat tajam / Terjal 21 % - 55 % 200 m – 500 m

Pegunungan tersayat tajam / 56 % - 140 % 500 m – 1000 m


sangat terjal

Pegunungan / Sangat Curam > 140 % > 1000 m

Selanjutnya menurut menurut ITC (“International Terranes

Classification”) dalam Van Zuidam (1983), disebutkan bahwa klasifikasi

bentang alam didasarkan pada genetik pembentukannya adalah sebagai

berikut:

1. Bentangalam asal struktural

2. Bentangalam asal volkanik

3. Bentangalam asal fluvial

4. Bentangalam asal laut

5. Bentangalam asal kars

PT.BASTEMINDONESIA
19
6. Bentangalam asal eolian

7. Bentangalam asal glasial

8. Bentangalam asal denudasional

Berdasarkan uraian di atas, selain dapat terpetakan dalam skala 1

: 25.000, maka satuan morfologi daerah eksplorasi hanya terdiri dari

satuan morfologi, yaitu: Satuan Pegunungan Terjal Denudasional.

1. Satuan Pegunungan Terjal Denudasional


Penamaan satuan bentang alam ini didasarkan atas adanya dua

aspek yang berperan dalam pembentukan satuan tersebut, yaitu aspek

relief (pegunungan terjal) dan aspek genetik (pengikisan atau

denudasional).

Satuan ini menempati sekitar 100% dari luas keseluruhan daerah

eksplorasi atau sekitar 4166 Hektar yang menyebar di bagian Utara ke

Selatan daerah eksplorasi. Daerah yang termasuk dalam satuan ini adalah

Buntu Benteng Baru (637m),Buntu Poton (812 m), Buntu Solongan (698),

Buntu Malenyong (345), Buntu Malepong (548), Buntu Tameng (513),

Salu Tiba, Salu Bekak, Salur Sarean, Salu Lengkong Sawah, Bekak,

Kamasi, Totabaro, Topondan, Menjana dan Salu Bua. Bentuk

bentangalam satuan ini adalah pegunungan tersayat tajam atau

pegunungan sangat terjal sampai pegunungan sangat curam (Van

Zuidam, 1983 dalam Hindartan dan handayana, 1994), yang dicirikan oleh

relief dengan nilai kelerengan berkisar 56% sampai 140 % dengan beda

PT.BASTEMINDONESIA
20
tinggi berkisar antara (500 - 800) meter. Batuan yang menyusun satuan

morfologi ini adalah batuan beku basal.

Proses pelapukan merupakan kesatuan dari semua proses pada

batuan baik secara fisik, kimia dan biologi, sehingga batuan menjadi

disintegrasi dan dekomposisi (Hidartan dan Handayana, 1994). Parameter

dalam menentukan tingkat pelapukan ditentukan berdasarkan tebal

soilnya (Tabel 2.).

Tabel 2. Hubungan antara tebal soil dengan tingkat pelapukan


(van Zuidam, 1985).

Tingkat
Tebal Soil (cm)
Pelapukan

> 150 Tinggi

50 – 150 Sedang - Tinggi

< 50 Rendah

Tidak ada soil -

Tingkat pelapukan pada satuan pegunungan terjal denudasional

dicirikan dengan:

- Adanya kenampakan perubahan warna secara bertahap pada soil,

namun warna dan teksturnya masih mencerminkan batuan induknya,

kekerasan bervariasi, banyak butiran keras dari berbagai ukuran, tebal

soil kurang dari 50 cm, mencirikan daerah yang tingkat pelapukannya

rendah.

PT.BASTEMINDONESIA
21
- Adanya kenampakan tekstur batuan induk yang masih nampak, akan

tetapi kondisinya telah berubah, terjadi perubahan warna, kekerasan

rendah, bila diremas terasa sedikit butiran keras, tebal soil antara 50

sampai 150 cm, mencirikan daerah yang tingkat pelapukannya

sedang.

- Adanya kenampakan batuan yang sudah lapuk menjadi tanah, sifat

berubah keseluruhan, sifat fisik dan kimiawi hasil pelapukannya tidak

sama bahkan berbeda jauh dari batuan induknya, tebal soil lebih besar

dari 150 cm, mencirikan daerah yang tingkat pelapukannya

tinggi.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat pelapukan

pada satuan ini bervariasi dari tingkat pelapukan rendah sampai

tinggi. Erosi atau tingkat pengikisan ditentukan oleh jenis batuannya, iklim,

vegetasi dan relief.

Pendekatan untuk penentuan jenis dan tingkat erosi dapat dilihat

pada tabel 3 dan tabel 4. Proses erosi yang dominan bekerja pada satuan

ini berupa erosi lembar (sheet erosion) dan erosi alur (rill, gully dan

ravine). Satuan ini umumnya ditunjukkan oleh tingkat sheet erosion

sedang sampai kecil, walaupun pada beberapa tempat tidak menunjukkan

adanya sheet erosion. Erosi alur yang bekerja umumnya berupa rill, gully

dan ravine erosion, tingkat erosi sedang sampai tinggi.

PT.BASTEMINDONESIA
22
Tabel 3. Penentuan tingkat erosi berdasarkan horison tanah/ sheet
erosion (van Zuidam, 1985).

Tidak ada Tidak terlihat gejala erosi , horison A terbentuk baik

Horison A sebagian terkikis, bagian-bagian dari horison


Kecil
di atasnya dapat dijumpai pada horison dibawahnya

Horison A sangat tipis, horison-horison di bawahnya


Sedang
tersingkir pada beberapa bagian

Tidak ada horizon A, horizon-horison dibawahnya


Tinggi
tersingkir pada beberapa bagian

Tabel 4. Rill, gully dan ravine erosion (van Zuidam, 1985).

Jarak antara rill, gully dan ravine (m)


Kedalaman
rill, gully
atau ravine
(cm) <5 15-50 150-500 >
5-15 50-150
500

< 50 Besar Sedang Kecil - - -

50-150 Besar Besar Sedang Kecil - -

150-500 Besar Besar Besar Besar Kecil -

>500 Besar Besar Besar Sedang Sedang Kecil

PT.BASTEMINDONESIA
23
Foto 1. Kenampakan satuan pegunungan terjal denudasional

Foto 2. Kenampakan gerakan tanah berupa debris slide


di sungai Prapasuan

PT.BASTEMINDONESIA
24
Erosi alur kecil (riil erosion) dan erosi alur sedang (gully erosion)

umumnya dijumpai pada lereng sebelah barat Buntu Bekak dan lereng

sebelah selatan dari Buntu Benteng Baru. Jenis pengendapan secara

mekanis membentuk endapan lereng, sedangkan untuk gerakan tanah

yang terjadi berupa debris slide dan debris fall.

Dari pengamatan lapangan, terlihat bahwa lembah/alur-alur

membentuk beberapa gully yang umumnya berbentuk curam dan sempit

yang menyerupai huruf “V”, dapat disimpulkan bahwa erosi yang bekerja

didominasi oleh erosi vertikal dibandingkan erosi lateral. Proses

pengendapan yang terjadi berlangsung pada kaki gunung dimana

material yang diendapkan tersebut berupa endapan jenis teras berasal

dari massa batuan atau material hasil gerakan tanah yang berlangsung di

atasnya.

Foto 3. Pemanfaatan lahan sebagai kebun coklat di daerah Bekak


PT.BASTEMINDONESIA
25
. Jenis gerakan tanah yang dijumpai adalah debris slide, debris fall

dan rock fall. Ditinjau dari aspek pemanfaatan tata guna lahan, daerah

yang ditempati oleh satuan geomorfologi ini digunakan sebagai lahan

pemukiman,sawah, hutan dan pada umumnya merupakan perkebunan.

2. S u n g a i

Sungai adalah alur alam yang mempunyai bentuk memanjang di

mana air terkonsentrasi dan mengalir di atas permukaan serta dapat

mempunyai cabang yang membentang dari ketinggian hingga daerah

dataran yang berakhir pada suatu cekungan.

Sungai-sungai utama yang mengalir di daerah ini adalah Salu

Tarra, Salu Paraga, Salu Sarean, Salu Bua dan Salu Bekak. Pembahasan

mengenai sungai yang umum dilakukan adalah meliputi klasifikasi, pola

aliran, tipe genetik serta stadia atau tahapan perkembangan sungai.

A. Klasifikasi Sungai

Kondisi sungai berdasarkan kuantitas airnya dibagi menjadi 3 (tiga)

jenis sungai, yaitu:

1. Sungai episodik, merupakan sungai yang berair hanya pada saat

terjadi hujan yang deras dan beberapa hari setelah terjadi hujan.

2. Sungai periodik, merupakan sungai yang mengalir selama musim

penghujan.

3. Sungai permanen, merupakan sungai yang berair sepanjang tahun,

fluktuasi airnya tergantung pada musim yang sedang berlangsung.

PT.BASTEMINDONESIA
26
Berdasarkan klasifikasi tersebut, maka jenis sungai yang terdapat

pada daerah eksplorasi merupakan sungai periodik karena volume airnya

tergantung oleh keadaan musim, dimana pada musim hujan volume airnya

besar sedangkan pada musim kemarau volumenya kecil (THORNBURY,

1969).

B. Pola Aliran Sungai

Pola aliran sungai merupakan penggabungan beberapa individu

sungai yang saling berhubungan, membentuk suatu pola dalam kesatuan

ruang (Thornbury, 1969). Pola aliran pada suatu daerah dikontrol oleh

kemiringan lereng, perbedaan resistensi batuan,struktur geologi dan

proses geologi kuarter. Pola aliran sungai aliran ini sangat dikontrol

oleh pengaruh struktur geologi setempat, bentuk topografi dan resistensi

batuan.

Pola aliran subdenritik merupakan perkembangan atau ubahan pola

aliran dasar denritik yang berkembang pada daerah dengan resisitensi

batuan homogen dan telah dipengaruhi oleh struktur geologi pada suatu

daerah (Arthur Howard,1966;dalam Sastroprawiro,dkk.,1992).

Berdasarkan interpretasi peta topografi sekala 1 : 25.000, daerah

penelitian memperlihatkan orientasi penyebaran aliran sungai dan

kedudukan anak sungai terhadap induk sungai, maka dapat disimpulkan

bahwa pola aliran sungai yang berkembang pada daerah penelitian adalah

pola aliran subdendritik.

PT.BASTEMINDONESIA
27
Foto 4. Sungai Bekak yang memperlihatkan bentuk lembah “V”,
yang menunjukkan erosi vertikal yang dominan.

C. Tipe Genetik Sungai

Penentuan tipe genetik sungai didasarkan pada hubungan antara

kedudukan perlapisan batuan sedimen, dalam hal ini perlapisan batuan

normal dengan arah aliran sungai (Sampurno, 1984). Daerah eksplorasi

disusun oleh batuan beku, maka tipe genetik sungai yang ada di daerah

penelitian adalah insekuen. (Thornbury, 1969).

Sungai insekuen adalah sungai yang, tidak dikontrol oleh pola

kedudukan perlapisan batuan. Sungai-sungai ini mengalir pada daerah-

daerah yang disusun oleh litologi batuan basal. Sungai insekuen

merupakan sungai yang tidak dipengaruhi oleh kedudukan batuan.

PT.BASTEMINDONESIA
28
D. Stadia Sungai

Stadia atau tingkat perkembangan suatu sungai dapat diketahui

dengan melihat pola dan bentuk-bentuk lembah sebagai hasil kerja aliran

sungai. Dalam hal ini untuk penentuan stadia sungai, parameter yang

digunakan adalah rasio atau perbandingan antara derajat erosi sungai

secara vertikal dan secara lateral, derajat gradien sungai, dan bentang

alam hasil bentukan oleh sungai itu.

Sungai yang berstadia muda dicirikan oleh derajat erosi vertikal

lebih dominan dibandingkan dengan erosi lateralnya. Sungai berstadia

dewasa dicirikan oleh derajat erosi vertikal yang seimbang dengan derajat

erosi lateral, sedangkan sungai berstadia tua dicirikan oleh derajat erosi

lateral yang lebih dominan dibandingkan dengan erosi lateralnya.

Kenampakan profil melintang pada sungai-sungai yang mengalir di

daerah eksplorasi bentuknya menyerupai huruf “V” tumpul, yang

menunjukkan bahwa derajat erosi vertikal yang lebih dominan dari erosi

lateral.Ciri-ciri tersebut merupakan penciri sungai berstadia muda.

Sementara pada bagian hilir penampang sungai sudah mulai melebar

berbentuk “U” dan sudah mulai bermeander. Dengan demikian maka

dapat disimpulkan bahwa stadia sungai yang ada di daerah eksplorasi

termasuk dalam stadia muda menjelang dewasa.

PT.BASTEMINDONESIA
29
Foto 5. Kenampakan Sungai Sarean yang memperlihatkan
adanya point bar dan chanel bar, bentuk lembah “U”,
sebagai penciri stadia sungai dewasa.
3. Stadia Daerah

Menurut Thornbury (1969), stadia daerah eksplorasi ditentukan

berdasarkan pada siklus erosi dan pelapukan, yaitu berbagai proses

lanjutan yang dialami oleh daerah ini mulai dari saat terangkat hingga

terjadi perataan. Hal ini terlihat dari tingkat erosinya, yang ditentukan oleh

stadia sungai dan kenampakan morfologi permukaan.

Stadia muda dicirikan oleh daratan yang masih tinggi, dengan

lembah yang relatif curam, sungai-sungai yang relatif masih lurus, erosi

vertikal masih lebih dominan dibandingkan dengan erosi lateral. Stadia

dewasa dicirikan oleh bentuk-bentuk bukit, sisa-sisa erosi seperti messa

dan bute, sungai yang mengalami erosi lateral, bermeander dengan “point

PT.BASTEMINDONESIA
30
bar” dan sungai yang bercabang. Stadia tua dicirikan oleh permukaan

yang relatif datar, aliran sungai yang tidak berpola, sungai berkelok-kelok

dengan meander dan “point bar” yang luas, endapan aluvial disepanjang

tubuh sungai, danau tapal kuda (ox bow lake), dan litologi yang relatif

seragam dengan kondisi daerah hampir rata.

Adapun kenampakan morfologi daerah eksplorasi yang dapat

diamati di lapangan antara lain :

1. Berdasarkan pengamatan lapangan dimana daerah eksplorasi

merupakan daerah pegunungan dengan puncak yang runcing hingga

tumpul, dengan lereng yang relatif miring hingga agak terjal.

2. Penampang lembah sungai berbentuk “V” pada bagian hulu, di mana

erosi vertikal lebih dominan dari erosi lateral. Sementara pada bagian

hilir penampang sungai berbentuk “U”.

3. Tingkat pelapukan yang tinggi dan stadia sungai yaitu muda

menjelang dewasa.

Berdasarkan pada ciri-ciri yang telah dikemukakan di atas yang

dihubungkan dengan kondisi dan proses yang telah diuraikan, maka

daerah eksplorasi dapat dimasukkan dalam kategori daerah muda

menjelang dewasa.

2.2.4. Litologi dan Stratigrafi

Pengelompokan dan penamaan satuan batuan pada daerah

eksplorasi didasarkan pada pada litostratigrafi tak resmi yang bersendikan

pada ciri-ciri litologi dan dominasi batuan yang teramati di lapangan serta
PT.BASTEMINDONESIA
31
dapat terpetakan dalam sekala 1 : 25.000 (Sandi Stratigrafi Indonesia,

1996).

Berdasarkan hal tersebut di atas maka stratigrafi daerah eksplorasi

dapat dikelompokkan menjadi 1 (satu) satuan batuan adalah sebagai

berikut:

1. Satuan Basal

Pembahasan dari satuan basal ini meliputi dasar penamaan,

penyebaran dan bentuk tubuh, ciri litologi, umur dan lingkungan

pembentukan serta hubungan stratigrafi.

Penamaan satuan ini didasarkan pada kenampakan ciri fisik batuan

yang dijumpai di lapangan yaitu tekstur dan komposisi mineral.

Kenampakan lapangan memperlihatkan bahwa secara keseluruhan

batuan penyusun dari satuan ini adalah batuan beku basal.

Satuan ini memiliki luas sekitar 100 % dari keseluruhan daerah

eksplorasi atau sekitar 42,46 km2, penyebarannya terletak seluruh

daerah eksplorasi dan sebagian besar membentuk satuan morfologi

pegunungan terjal denudasional dan tersingkap dengan baik di Buntu

Bentengbatu, Buntu Sarean, Buntu Bulukuse, Salu Bekak, dan Salu

Lengkong Sawah dan Salu Tiba.

Kenampakan lapangan dari satuan ini dalam kondisi segar

berwarna abu-abu hingga hitam, bila lapuk berwarna hitam, abu-abu

kecoklatan, tekstur holohyalin, afanitik, equigranular, struktur masive,

PT.BASTEMINDONESIA
32
bentuk mineral anhedral, komposisi mineral terdiri dari mineral gelas,

nama lapangan Basal.

Foto 6. Kenampakan singkapan basal di Salu Prapasuan


membentuk struktur bantal sebagai penciri batuan ekstrusif.

Foto 7. Kenampakan singkapan basal di Salu Kira


PT.BASTEMINDONESIA
33
Kenampakan lapangan dari singkapan basal di sekitar Salu

Lengkong Sawah dalam keadaan segar berwarna hitam, bila lapuk

berwarna kecoklatan, tekstur holohialin, afanitik, equigranular, struktur

kompak, bentuk mineral eubhedral, komposisi mineral-mineral gelas,

nama lapangan Basal.

Foto 8. Kenampakan singkapan basal di Salu Lengkong Sawah

Kenampakan dari satuan basal yang afanitik dan bentuk dari

mineral plagioklas yang membentuk mikrolit-mikrolit yang tidak teratur

disebabkan oleh proses pembekuan magma yang cepat, serta struktur

bantal yang terdapat pada satuan batuan ini sebagai penciri batuan

ekstrusif.

PT.BASTEMINDONESIA
34
Penentuan umur dari satuan ini ditentukan berdasarkan data - data

yang diperoleh di lapangan, dan juga dengan kesebandingan terhadap

stratigrafi regional daerah eksplorasi hasil peneliti terdahulu dengan

berlandaskan pada kesamaan ciri fisik litologi yang dijumpai.

Dari pengamatan singkapan batuan secara langsung di

lapangan dan dari analisis petrografis diperoleh nama batuan Basal hal

ini menunjukkan bahwa batuan tersebut termasuk dalam jenis batuan

vulkanik Lamasi yang berumur Oligosen, terdiri dari aliran lava

bersusunan basaltik (Tol) yang dikemukakan Ratman dan Atmawinata,

1993, dalam Djuri dan Sudjatmiko, 1974.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka selanjutnya satuan basal ini

dapat disebandingkan dengan batuan vulkanik Lamasi (Tol) yang

bersusunan basaltik (Djuri dan Sudjatmiko, 1974), maka diketahui bahwa

satuan basal ini berumur Oligosen dan terbentuk di kerak kontinen.

Hubungan stratigrafi satuan basal terhadap satuan dibawahnya

yang berumur lebih tua, yakni satuan serpih adalah kontak lelehan,

sedangkan hubungannya dengan satuan diorit dan satuan andesit yang

berumur lebih muda adalah kontak intrusi.

3.2.5. Struktur

Penentuan jenis dan arah struktur geologi yang berkembang di

daerah eksplorasi pendahuluan didasarkan pada hasil analisa dan

rekonstruksi dari perpaduan data lapangan dan interpretasi peta topografi,

PT.BASTEMINDONESIA
35
yang selanjutnya mengacu pada konsep-konsep dasar mekanisme

pembentukan struktur geologi. Berdasarkan hal tersebut struktur geologi

yang berkembang di daerah eksplorasi pendahuluan terdiri atas struktur

kekar dan sesar.

1. Struktur Kekar

Kekar adalah rekahan sepanjang permukaan batuan, dimana tidak

mengalami pergeseran atau mengalami pergeseran yang sangat kecil

sepanjang rekahan tersebut (Davis, 1984).

Berdasarkan genesanya, kekar deformasi terbagi atas tiga (3), yaitu

: “shear joint”, “tension joint” dan “release joint” (Davis, 1984). Sedangkan

istilah yang digunakan oleh Mc Clay (1987), menyebutkan juga ada 3

(tiga) macam pembentukkan kekar yaitu “extension joint”, shear joint”,

dan “hybrid joint”.

Kenampakan lapangan dari kekar memperlihatkan adanya

keteraturan dari arah kekar dan saling berpasangan (sistematis),

permukaannya rata dan licin akibat gaya tekan (compression).

Pengambilan data kekar dilakukan di stasiun 2 (Tabel 4.1 dan 4.2), di

stasiun 10 pada basal di Salu Sarean (Tabel 4.3 dan 4.4) dan di stasiun

15 pada basal (Tabel 4.5 dan 4.6), kemudian dianalisa dengan

menggunakan diagram Roset. Penentuan arah gaya kekar diperoleh dari

hasil dominan yang berpasangan.

Salah satu metode dalam penentuan arah-arah gaya yang bekerja dan

mengontrol mekanisme pembentukan struktur geologi yang berkembang

PT.BASTEMINDONESIA
36
di daerah eksplorasi pendahuluan adalah dengan melakukan analisa data

pengukuran kekar dengan “rosset diagram”.

Foto 9. Kenampakan pola kekar pada litologi basal


di Salu Prapasuan (stasiun 2)

Foto 10. Kenampakan pola kekar pada litologi basal di Salu


Bekak (stasiun 10)
PT.BASTEMINDONESIA
37
Foto 11. Kenampakan pola kekar pada litologi basal di Salu
Lengkong Sawah (stasiun 15)

Hasil analisis kekar gerus pada lokasi pengukuran yaitu pada stasiun 2

sumbu tegasan utama maksimum yaitu berarah baratlaut-tenggara.

Sedangkan pada stasiun 10 dan stasiun 15 didapatkan sumbu tegasan

utama maksimum yaitu berarah utara timurlaut-selatan baratdaya.

2. Struktur Sesar

Penentuan jenis dan arah sesar di daerah penelitian berdasarkan

pada gejala struktur geologi yang dijumpai di lapangan, seperti cermin

sesar, penyebaran breksi sesar, zona hancuran, striasi, gawir sesar, serta

penjajaran tebing perbukitan yang relatif terjal dan memanjang. Data-data

tersebut didukung dengan hasil interpretasi peta topografi berupa

pelurusan topografi, pergeseran punggungan bukit dan pembelokan

PT.BASTEMINDONESIA
38
sungai secara tiba-tiba, selanjutnya dihubungkan dengan arah tegasan

utama yang bekerja di daerah penelitian. Penamaan sesar-sesar yang

berkembang pada daerah penelitian disesuaikan dengan jenis sesarnya

serta nama lokasi yang dilewati sesar tersbut.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka sesar yang berkembang

pada daerah penelitian terdiri dari sesar geser Totabaro, sesar geser

Bulukuse, dan sesar geser Bekak

1. Sesar Geser Totabaro

Sesar geser Bekak terletak pada bagian tengah daerah ekslorasi,

yang membentang dengan arah relatif Baratlaut-Tenggara. Jalur sesar ini

melewati daerah Bekak, Totabaro, Buntu Benteng Baru dan Salu Sarean

Indikasi sesar geser Bekak yang dijumpai di lapangan,antara lain :

a. Adanya striasi pada permukaan batuan yang dijumpai pada basal.

b. Adanya breksi sesar pada basal yang dijumpai pada aliran Salu

Prapasuan dan pada aliran Salu Sarean.

c. Hancuran pada batuan beku basal di Salu Prapasuan, Salu Bekak

d. Kehadiran air terjun di Salu Prapasuan

Berdasarkan pengamatan lapangan, interpretasi peta topografi dan

hasil pengukuran arah tegasan utama yang relatif berarah berarah

baratlaut-tenggara, maka diketahui bahwa pergerakan relatif sesar geser

Bekak bersifat mengakanan (desktral). Satuan batuan yang dilewati

adalah satuan batuan beku basal.

PT.BASTEMINDONESIA
39
Foto 12. Kenampakan breksi sesar pada satuan Basal
di Salu Prapasuan

2. Sesar Geser Topondan

Sesar geser Topondan terletak pada bagian Barat daerah

penelitian, membentang pada arah relatif utara timurlaut-selatan

baratdaya. Sesar geser ini melalui daerah Kamasi, Salu Sarean, Salu

Bekak, Topondan, Tara dan Menjana.

Indikasi sesar geser Topondan yang dijumpai di lapangan,

sebagai berikut:

a. Adanya breksi sesar satuan basal dijumpai pada daerah Salu Sarean

b. Cermin sesar pada batuan basal di Salu Bekak.

c. Adanya striasi pada basal yang dijumpai di Salu Bekak.

d. Hancuran pada batuan basal di bagian hulu Salu Bekak.

PT.BASTEMINDONESIA
40
Berdasarkan pengamatan lapangan, interpretasi peta topografi dan

hasil pengukuran arah tegasan utama yang relatif berarah utara timurlaut-

selatan baratdaya., maka diketahui bahwa pergerakan sesar geser

Topondan bersifat mengakanan (desktral). Satuan batuan yang dilewati

adalah satuan basal.

3. Sesar Geser Salu Tiba

Sesar geser Bekak terletak pada bagian Tengah daerah

penelitian, yang membentang dengan arah relatif Utara timurlaut-Selatan

baratdaya. Jalur sesar ini melewati aliran Salu Tiba. Indikasi sesar geser

Bekak yang dijumpai di lapangan,antara lain :

a. Adanya breksi sesar pada batuan beku basal yang dijumpai di Salu

Tiba.

b. Adanya striasi pada permukaan cermin sesar yang dijumpai pada

satuan basal

c. Hancuran pada batuan basal di Salu tiba

d. Kenampakan gawir sesar (“fault line scarf") yang memperlihatkan jejak

erosi triangular facet pada lereng pegunungan memanjang di

sepanjang Salu Tiba.

Berdasarkan pengamatan lapangan, interpretasi peta topografi dan

hasil pengukuran arah tegasan utama yang relatif berarah Utara timurlaut-

Selatan baratdaya, maka diketahui bahwa pergerakan sesar geser Salu

Tiba bersifat menganan (dekstral). Satuan batuan yang dilewati adalah

satuan basal.

PT.BASTEMINDONESIA
41
Penafsiran umur dari struktur geologi yang dijumpai di daerah

penelitian ditentukan secara relatif, yaitu berdasarkan satuan batuan

termuda yang dilewati struktur tersebut. Satuan batuan yang dilewati oleh

struktur geologi daerah penelitian antara lain satuan basal yang berumur

Oligosen yang merupakan satuan termuda yang dilewati struktur geologi.

Berdasarkan hal tersebut maka umur relatif struktur geologi daerah

penelitian adalah Post Oligosen.

Penafsiran mekanisme struktur geologi pada daerah penelitian

didasarkan atas gejala struktur geologi di lapangan seperti gejala primer

(breksi sesar, cermin sesar, zona hancuran, striasi, drag fault dan air

terjun) serta gejala sekunder (pembelokan sungai secara tiba-tiba,

pergeseran dan kelurusan punggungan bukit. Berdasarkan hal di atas,

maka urut-urutan pembentukan struktur geologi daerah penelitian dimulai

dari terbentuknya struktur kekar, baik kekar gerus maupun kekar tarik dan

lipatan akibat gaya kompresi yang bekerja relatif Utara Timurlaut -

Selatan Baratdaya, Selanjutnya gaya tersebut bekerja terus hingga

melampaui batas ketahanan batuan sehingga mengakibatkan

terbentuknya sesar geser Bekak dan sesar geser Salu Tiba.

3.2.6. Alterasi

Secara umum sangat sulit untuk menemukan zona alterasi yang

ideal di lokasi penyeldikan di karenakan tingkat pelapukan yang sangat

tinggi dan vegetasi yang lebat yang menutupi singkapan batuan. Tipe

alterasi yang paling sering di jumpai pada pada derah eksplorasi


PT.BASTEMINDONESIA
42
khususnya di daerah Bulu Kuse tipe alterasi propilik / kloritisasi. Tipe

alterasi ini dijumpai tersebar luas pada breksi vulkanik yang dicirikan

dengan penggantian mineral biotit menjadi klorit atau epidot. Type alterasi

argilik dan filik tidak di jumpai pada lokasi eksplorasi. Kemungkinan kedua

type alterasi ini penyebarannya tidak terlalu luasataupun sudah lapuk dan

tertutup oleh endapan recent. Adapun type Alterasi yang dijumpai di derah

eksplorasi sebagai berikut :

1. Propilik/kloritisasi

Zona laterasi ini meliputi daerah yang Bulu Kuse, pada WIPU PT

Babtem Indonesia terletak pada daerah bagian barat. Ciri dari zona

alterasi ini adalah kehadiran klorit dan epidot yang

menggatikanmineral utama seperti biotit. Ciri fisik yang dijumpai

dilapangan adalah perubahan warna pada batuan yang teralterasi.

Pasa satuan batuan breksi vulkanik umumnya fragmen dan matriks

berwarna hijau akibat pergantian biotit oleh klorit. Selain itu batuan

biasanya terpotong oleh sistem stocwork yang terisi oleh mineral

karbonat. Pengkayaan mineral pada zona ini tidak terlalu tinggi. Pirit

umum dijumpai dalam bentuk pirit halus yang tersebar pada rekahan

batuan ataupun bersifat dissemineted, namum keterdapatannya

dominan sebagai pengisi rekahan. Sulfida halus yang mengisi rekahan

membentuk banded tipis pada zona batuan yang mengalami alterasi

ini.

PT.BASTEMINDONESIA
43
Pada bataun breksi vulkanik, mineralisasi umumnya dijumpai pada

matriks yaitu pada rekahan yang terbentuk karena adanya kekar.

Kekar tersebut terisi oleh mineral alterasi yang kadang ikut membawa

mineral bijih seperti sulfida halus.

Pada lokasi pengamatan, dijumpai zona alterasi propilik yang

mengalami mineralisasi, namum mineralisasi tidak terlalu intensif dan

hanya dijumpai pyrite yang tersebar sebagai pengisi fracture.

Foto 13. Batuan yang mengalami alterasi propilik/kloritisasi.


Batuan terpotong oleh sistim veinlets yang mengalami
ubahan biotit menjadi klorit

PT.BASTEMINDONESIA
44
Foto 14. Batuan yang mengalami alterasi kloritisasi

3.2.7. Mineralisasi

Mineralisasi juga dijumpai dengan kehadian urat-urat silica dan

urat-urat sulfide massive yang secara umum menyebar dari arah

tenggara hingga timur laut. Ketebalan urat silica tersebt bervariasi abtara 1

cm-50 cm dan setempat membentuk jalur zona mineralisisi. Selain hadir

dalam bentuk urat-urat silika (quartz vein) bentuk mineralisasi juga

umumnya dijumpaii dalam breksiasi (hydroternal breksiasi) dan bentuk

hamburan (dessiminated). Pengamatan beberapa conto float sedimen

juga menunjukkan adanya urat-urat kuarsa berukuran halus yang

terbentuk struktur menjaring (stockwork).

PT.BASTEMINDONESIA
45
Foto 15. Kenampakan bentuk mineralisasi dalam bentuk vein kuarsa
di Salu Bekak

3.2.8. Sumber Daya

Berdasarkan hasil eksplorasi maka didapatkan bahwa mineralisasi

emas dan mineral-mineral pengikutnya di daerah eksplorasi merupakan

mineralisasi hidrotermal yang berkarakteristik epitermal. Hal ini didukung

oleh beberapa fakta, terutama tipe mineralisasinya, yang didominasi oleh

tipe urat (vein) dan tersebar (disseminated).

Host rock mineralisasi yang merupakan batuan vulkanik (lava

basaltik); karakteristik alterasi hidtrotermal yang berasosiasi dengan

mineralisasi, serta himpunan mineral bijih yang berasosiasi dengan emas,

seperti pirit, kalkopirit dan sfalerit, mengindikasikan bahwa mineralisasi

adalah mineralisasi tipe epitermal.

PT.BASTEMINDONESIA
46

Anda mungkin juga menyukai