Anda di halaman 1dari 38

3.

1 Keadaan Geologi
Geologi daerah penelitian didominasi oleh satuan Batuan Ofiolit/Ultramafik (Ku)
berumur kapur, terdiri dari : peridotit dan hazburgit. Struktur geologi yang
berkembang berupa sesar mendatar mengiri berarah barat laut-tenggara (Sesar
Lasolo). Struktur geologi yang dijumpai di daerah kegiatan adalah sesar, lipatan
dan kekar. Sesar dan kelurusan umumnya berarah baratlaut – tenggara searah
dengan Sesar geser jurus mengiri Lasolo. Sesar Lasolo aktif hingga kini. Sesar
tersebut diduga ada kaitannya dengan Sesar Sorong yang aktif kembali pada Kala
Oligosen (Simandjuntak, dkk., 1983).
Posisi sulawesi tenggara sendiri terbentuk akibat tumbukan (collition) dua buah
lempeng besar, yaitu : lempeng benua yang berasal dari Australia dan lempeng
samudra yang berasal dari Pasifik. Akibat tumbukan tersebut maka daerah Sulawesi
tenggara berdasarkan tektono stratigrafi (mengenai ilmu stratigrafi silahkan di
download disini) maka wilayah sulawesi tenggara terdiri dari 3 group utama batuan
penyusunnya, yaitu: Sulawesi tenggara merupakan bagian dari pulau Sulawesi.
Pulau Sulawesi sendiri berbentuk mirip huruf K, sehingga jika diibaratkan sebuah
gari dengan dua buah lengan maka letak Sulawesi tenggara berada pada lengan
tenggara dari Pulau Sulawesi.
Simandjuntak dalam Surono (2010), menjelaskan bahwa berdasarkan sifat geologi
regionalnya Pulau Sulawesi dan sekitarnya dapat dibagi menjadi beberapa mandala
geologi yakni salah satunya adalah mandala geologi Sulawesi Timur. Mandala ini
meliputi lengan Tenggara Sulawesi, Bagian Timur Sulawesi Tengah dan Lengan
Timur Sulawesi. Lengan Timur dan Lengan Tenggara Sulawesi tersusun atas
batuan malihan, batuan sedimen penutupnya dan ofiolit yang terjadi dari hasil
proses pengangkatan (obduction) selama Miosen. Sulawesi dan sekitarnya
merupakan daerah yang kompleks karena merupakan tempat pertemuan tiga
lempeng besar yaitu lempeng Indo-Australia yang bergerak ke arah utara, lempeng
Pasifik yang bergerak ke arah barat dan lempeng Eurasia yang bergerak ke arah
selatan-tenggara serta lempeng yang lebih kecil yaitu lempeng Filipina. Geologi
Regional Kabupaten Konawe Utara berdasarkan himpuanan batuan dan pencirinya,
geologi Lembar Lasusua-Kendari dapat dibedakan dalam dua lajur, yaitu Lajur
Tinodo dan Lajur Hialu. Lanjur Tinodo dicirikan oleh batuan endapan paparan
benua dan Lajur Hialu oleh endapan kerak samudra/ofiolit ( Rusmana,dkk.,1985).
Secara garis besar kedua mandala ini dibatasi oleh Sesar Lasolo.
Geologi daerah peneliatan didominasi oleh satuan batuan ofiolit/Ultramafik (Ku)
berumur Kapur, terdiri dari : peridolit dan hazburgit. Struktur geologi yang
berkembang berupa sesar mendatar mengiri berarah baratlaut-tenggara (Sesar
Lasolo). Sesar mendatar menganan Anggowala berarah baratlaut tenggara dan
Sesar naik Wawo mengakibatkan beranjaknya batuan ultramafik. Lipatan
ditemukan berupa lipatan tertutup, lipatan rebah, lipatan pisau dan lipatan terbalik,
pada batuan tersier, termasuk dalam peta geologi Lembar Lasusua-Kendari,
Sulawesi, skala 1 : 250.000, terlihat dalam gambar 3.1 (Rusmana, 1993). Menurut
Moetamar (2007) batuan ultramafik yang terdiri dari peridodit dan hazburgit
tersebut merupakan formasi pembawa logam nikel.

Sumber : bgl.esdm.co.id

Gambar 3.1
Peta Geologi Kabupaten Konawe dan Kabupaten Konawe Utara

1. Continental terraneero
Menurut Surono (1994) kepingan benua di lengan tenggara Sulawesi dinamai
Mintakat Benua Sulawesi Tenggara (Southeast Sulawesi Continental Terrane) dan
Mintakat Matarombeo. Ini didasari oleh keberadaan kedua kepingan ini yang cukup
besar di daerah Sulawesi Tenggara. Penamaan lain untuk mintakat ini adalah
Keping Benua Lajur Tinondo (Rusmana & Sukarna, 1985) dan Benua Renik
Sulawesi Tenggara ( Davidson, 1991).
Mintakat benua Sulawesi Tenggara tersusun oleh Batuan tertua berupa kompleks
batuan malihan (matamorfik complex) berumur paleozoikum. Kompleks batuan
malihan di Sulawesi Tenggara terdiri dari sekis, kuarsit, sabak dan marmer
(simanjuntak, 1993) yang melampar dari kolaka utara hingga ke selatan membentuk
pegunungan Tangkelemboke, Mendoke dan Pegunungan Rumbia. Selanjutnya
diterobos oleh aplit dan diabas (Surono, 1986) yang batuannya dapat dilihat di
Sungai Ranteanging.
Kemudian pada akhir Trias pada mintakat benua di Sulawesi Tenggara diendapkan
formasi Meluhu (Rusmana & Sukarna, 1985) yang terdiri dari batupasir kuarsa,
serpih merah, batulanau dan batulumpur pada bagian bawahnya, perselingan serpih
hitam, batupasir dan batugamping dibagian atasnya. Selanjutnya ditindih takselaras
(unconformity) diatasnya oleh formasi Tampakura yang berumur Eosen-Oligosen
(surono, 1994) yang terdiri dari oolit, mudstone, wackestone, packstone dan sisipan
batupasir, serpih, lanau dan napal dibagian bawahnya. Kedua formasi tersebut
merupakan batuan sedimen klastik dan batuan sedimen karbonatan. Sehingga
menunjukkan pada saat mesozoikum di daerah Sulawesi Tenggara terdapat
peristiwa perubahan lingkungan pendendapan dari darat menjadi laut atau terjadi
peristiwa transgresi.

2. Oceanic terrane
Oceanic terrane di Sulawesi Tenggara terdiri dari kompleks ofiolit dan sedimen
pelagic. Kompleks ofiolit Sulawesi Tenggara merupakan bagian dari lajur ofiolit
Sulawesi Timur dimana diatasnya di tutupi oleh sedimen pelagic (apa itu sedimen
pelagic silahkan kesini). Kompleks ofiolit Sulawesi Tenggara didominasi oleh
batuan ultramafik dan mafik yang terdiri dari harzburgit, dunit, werlit, lerzolit,
websterit, serpentinit, dan piroksinit ( kundig, 1956, simanjuntak dkk, 1993,
rusmana dkk, 1993 dalam Surono, 2010). Sedangkan untuk batuan mafik terdiri atas
gabro, basalt, dolerite, mikrogabro, dan amfibolit. Untuk batuan sedimen pelagic
tersusun oleh batugamping laut dalam dan sisipan rijang merah (rijang radiolarian)
(Hamilton, 1979, silver 1983, Simanjuntak 1986 dalam Surono, 2010).

3. Molasa Sulawesi
Molasa Sulawesi di Sulawesi Tenggara tersebar luas dan umumnya menempati
bagian selatan dari jasirah Sulawesi bagian tenggara. Molasa Sulawesi yang berada
di Sulawesi Tenggara terdiri atas sedimen klastik dan sedimen karbonatan. Sedimen
klastik dari molasa Sulawesi terdiri atas Formasi Langkowala dan Formasi
Boepinang. Sedangkan sedimen karbonat yang berasosiasi dengan batupasir adalah
formasi eomoiko.
Pembahasan lebih lanjut tentang ketiga group batuan penyusun lengan tenggara
Sulawesi dan tentang stratigrafi daerah Sulawesi Tenggara dapat di lihat dalam
buku Publikasi Khusus Geologi Lengan Tenggara Sulawesi karangan bapak Prof.
Dr. Surono terbitan Badan Geologi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral.
Berdasarkan struktur litotektonik, Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya dibagi
menjadi empat, yaitu; Mandala barat (West & North Sulawesi Volcano-Plutonic
Arc) sebagai jalur magmatik yang merupakan bagian ujung timur Paparan Sunda,
Mandala tengah (Central Sulawesi Metamorphic Belt) berupa batuan malihan yang
ditumpangi batuan bancuh sebagai bagian dari blok Australia,
Mandala timur (East Sulawesi Ophiolite Belt) berupa ofiolit yang
merupakan segmen dari kerak samudera berimbrikasi dan batuan
sedimen berumur Trias-Miosen dan yang keempat adalah Fragmen
Benua.Banggai-Sula-Tukang Besi, kepulauan paling timur dan tenggara
Sulawesi yang merupakan pecahan benua yang berpindah ke arah barat karena
strike-slip faults dari New Guinea.
Daerah konawe utara berdasarkan struktur litotektonik terletak pada mandala timur
(East Sulawesi Ophiolit Belt) berupa ofilit yang segmen kerak samudra
berimbrikasi dan batuan sedimen berumur trias-miosen. Batuan kompleks ofiolit
dan sedimen pelagis di Lengan Timur dan Tenggara Sulawesi dinamakan Sabuk
Ofiolit Sulawesi Timur. Sabuk ini terdiri atas batuan-batuan mafik dan ultramafik
disertai batuan sedimen pelagis dan melange di beberapa tempat. Batuan ultramafik
dominan di Lengan Tenggara, tetapi batuan mafiknya dominan lebih jauh ke utara,
terutama di sepanjang pantai utara Lengan Tenggara Sulawesi. Sekuens ofiolit
yang lengkap terdapat di Lengan Timur, meliputi batuan mafik dan ultramafik,
pillow lava dan batuan sedimen pelagis yang didominasi limestone laut dalam serta
interkalasi rijang berlapis. Berdasarkan data geokimia sabuk Ofiolit Sulawesi
Timur ini diperkirakan berasal dari mid-oceanic ridge (Surono, 1995).
Continental terrain Sulawesi Tenggara (The Southeast Sulawesi
continental terrain=SSCT) menempati area yang luas di Lengan
Tenggara Sulawesi, sedangkan sabuk ofiolit terbatas hanya pada bagian utara
lengan tenggara Sulawesi. SSCT berbatasan dengan Sesar Lawanopo di sebelah
timur laut dan Sesar Kolaka di sebelah barat daya. Dataran ini dipisahkan dari
Dataran Buton oleh sesar mendatar,
dimana pada ujung timur terdapat deretan ofiolit yang lebih tua. SSCT
memiliki batuan dasar metamorf tingkat rendah dengan sedikit campuran aplitic,
karbonat klastik berumur Mesozoikum dan
limestone berumur Paleogen. Deretan sedimen klastik tersebut mencakup
formasi Meluhu di akhir Triassic dan unit limestone yang
berumur Paleogen mencakup formasi Tamborasi dan formasi Tampakura.
Batuan dasar metamorf tingkat rendah membentuk komponen utama
lengan Tenggara Sulawesi. Batuan metamorf tua terkait dengan proses
penguburan, sedangkan batuan metamorf muda disebabkan oleh patahan dalam
skala besar ketika continental terrain Sulawesi
Tenggara bertabrakan dengan sabuk ofiolit, Batuan metamorf ini diterobos oleh
aplite dan ditindih oleh lava kuarsa-latite terutama di sepanjang pantai barat Teluk
Bone. Di daerah konawe utara, batuan dasar secara tidak selaras ditindih oleh
formasi Meluhu berumur Triassic, yang terdiri dari sandstone, shale dan mudstone.
Fragmen batuan metamorf di dalam
sandstone mengindikasikan bahwa area sumber formasi Meluhu
didominasi oleh batuan dasar metamorfik. Batuan metamorf itu
mungkin tertutup oleh sedimen tipis. Adanya sedikit fragmen vulkanik
dalam formasi Meluhu menunjukkan bahwa batuan vulkanik
juga membentuk lapisan tipis dengan cakupan lateral terbatas di daerah
sumber. Sedikit fragmen igneous rock mungkin berasal dari dyke yang menerobos
basement metamorf. Umur formasi Meluhu setara dengan umur formasi Tinala di
dataran
Matarombeo dan umur formasi Tokala di dataran Siombok, hal ini disebabkan
litologi ketiga formasi tersebut serupa, dimana terdapat deretan klastik yang
dominan di bagian yang lebih rendah dan karbonat yang dominan di bagian yang
lebih tinggi dari ketiga formasi tersebut. Adanya Halobia dan Daonella di ketiga
formasi tersebut menunjukkan umur akhir
Triassic, dimana kehadiran ammonoids dan polen dalam wilayah Tuetue dari
formasi Meluhu sangat mendukung penafsiran ini. Formasi Tokala di daratan
Konawe utara yang berada di lengan timur Sulawesi, terdiri dari limestone dan
napal dengan sisipan shale dan chert (rijang). Adapun Steptorhynchus, Productus
dan Oxytoma yang sekarang berada di formasi Tokala menunjukan usia Permo-
Carbonaferous. Namun, Misolia dan Rhynchonella ditemukan dalam lapisan
limestone mengindikasikan umur akhir Triassic. Karena kesamaan litologi
antara formasi ini dan bagian atas formasi Meluhu, usia akhir Triassic mungkin
yang paling tepat untuk usia formasi Tokala, sedangkan usia Permo -Carbonaferous
mungkin merupakan usia basementnya, dimana formasi Tokala ditindih oleh
batuan konglomerat pink granite
dari formasi Nanaka yang mungkin berasal dari basement granit Kepulauan
Banggai-Sula.
A. Perkembangan Tektonik Konawe Utara
Banyak model tektonik yang sudah diajukan untuk menjelaskan evolusi
tektonik dari Pulau Sulawesi. Ada dua peristiwa penting yang
terjadi di Sulawesi bagian barat pada masa kenozoikum, salah satunya yang
terjadi di daerah konawe utara adalah
peristiwa kompresional yang dimulai sejak miosen. Kompresi ini dipengaruhi
oleh tumbukan kontinen di arah barat dan ofiolit serta fragmen-fragmen
busur kepulauan di arah timur. Fragmen-fragmen ini termasuk mikro-kontinen
Buton, Tukang Besi dan Baggai Sula.
Kompresi ini menghasilkan Jalur Lipatan Sulawesi Barat (West Sulawesi Fold
Belt) yang berkembang pada Pliosen Awal. Meskipun ukuran fragmen-
fragmen ini relatif kecil, efek dari koalisinya dipercaya menjadi penyebab
terjadinya peristiwa-peristiwa tektonik di seluruh bagian Sulawesi (Calvert, 2003).

B. Jenis Sungai Konawe Utara


Sungai yang terdapat di daerah konawe utara merupakan sungai radial sentripetal
yaitu pola aliran yang mengumpul ke suatu tempat, biasanya di daerah basin.
Genetic sungai di daerah konawe utara yaitu genetic sungai anteseden yang
mempertahankan pola aliran airnya meskipun ada struktur geologi (batuan) yang
melintang. Hal ini terjadi karena kekuatan arusnya, sehingga mampu menenbus
batuan yang merintanginya.
Perkembangan sungai di konawe utara mulai memasuki tahapan dewasa karena
sungai tersebut dataranya semakin lama semakin besar. Arus sungainya sudah
mulai berbentuk pola aliran meander, penyisiran kea rah depan dan belakang
memotong suatu dataran banjir (flood flain) yang cukup luas sehingga secara
keseluruhan di tempati oleh aliran-aliran meander. Aliran arus sungai
memperlihatkan keseimbangan antara laju erosi vertical dan laju erosi lateral.

C. Bentang Alam Konawe Utara


1) Bentang alam denudasional
Denudasi berasal dari kata dasar nude yang berarti telanjang, sehingga
denudasi berarti proses penelanjangan permukaan bumi. Bentuk lahan asal
denudasional dapat didefinisikan sebagai suatu bentuk lahan yang terjadi
akibat proses-proses pelapukan, erosi, gerak masa batuan (mass wating)
dan proses pengendapan yang terjadi karena agradasi atau degradasi
(Herlambang, Sudarno. 2004:42). Proses degradasi cenderung
menyebabkan penurunan permukaan bumi, sedangkan agradasi
menyebabkan kenaikan permukaan bumi. Semua proses pada batuan baik
secara fisik maupun kimia dan biologi sehingga batuan menjadi
desintegrasi dan dekomposisi. Batuan yang lapuk menjadi soil yang
berupa fragmen, kemudian oleh aktifitas erosi soil dan abrasi, tersangkut
ke daerah yang lebih landai menuju lereng yang kemudian terendapkan.
Pada bentuk lahan asal denudasional, maka parameter utamanya adalah
erosi atau tingkat. Derajat erosi ditentukan oleh : jenis batuannya, vegetasi,
dan relief. Bentuk lahan denudasional yaitu pegunungan terkikis,
perbukitan terkikis, bukit sisa, perbukitan terisolir, dataran nyaris, kaki
lereng, kipas rombakan lereng, gawir, lahan rusak. Denudasi meliputi
proses pelapukan, erosi, gerak masa batuan (mass wating) dan proses
pengendapan/sedimentasi.

2) Pelapukan
Pelapukan (weathering) dari perkataan weather dalam bahasa Inggris yang
berarti cuaca, sehingga pelapukan batuan adalah proses yang berhubungan
dengan perubahan sifat (fisis dan kimia) batuan di permukaan bumi oleh
pengaruh cuaca. Secara umum, pelapukan diartikan sebagai proses
hancurnya massa batuan oleh tenaga Eksogen, menurut Olliver (1963)
pelapukan adalah proses penyesaian kimia, mineral dan sifat fisik batuan
terhadap kondisi lingkungan di sekitarnya. Akibat dari proses ini pada
batuan terjadi perubahan warna, misalnya kuning-coklat pada bagian luar
dari suatu bongkah batuan. Meskipun proses pelapukan ini berlangsung
lambat, karena telah berjalandalam jangka waktu yang sangat lama maka
di beberapa tempat telah terjadi pelapukan sangat tebal.

3) Gerakan massa batuan (mass wasting)


Gerakan massa batuan Yaitu perpindahan atau gerakan massa batuan atau
tanah yang adadi lereng oleh pengaruh gaya berat atau gravitasi atau
kejenuhan massa air. Ada yang menganggap Masswasting itu sebagai
bagian dari padaersi dan ada pula yang memisahkannya hal ini muda
difahami karena memang sukar untuk dipisahkan secara tegas, karena
dalam erosi juga gaya berat batuan itu turut bekerja.Pada batuan yang
mengandung air, geraka massa batuan itu lebih lancar dari pada batuan
yang kering.

4) Erosi
Erosi adalah peristiwa pengikisan padatan (sedimen, tanah, batuan, dan
partikel lainnya) akibat transportasi angin, air atau es, karakteristik hujan,
creed pada tanah dan material lain di bawah pengaruh gravitasi, atau oleh
makhluk hidup semisal hewan yang membuat liang, dalam hal ini disebut
bio-erosi. Menurut istilah ilmu geologi erosi merupakan suatu perubahan
bentuk batuan, tanah atau lumpur yang disebabkan oleh kekuatan air,
angin, es, pengaruh gaya berat dan organisme hidup.

5) pengendapan/Sedimentasi
Pettijohn (1975) mendefinisikan sedimentasi sebgai proses
pembentukan sedimen atau batuan sedimen yang diakibatkan oleh
pengendapan dari material pembentuk atau asalnya pada suatu tempat
yang disebut dengan lingkungan pengendapan berupa sungai, muara,
danau, delta,estuaria, laut dangkal sampai laut dalam.

Sesar naik ditemukan di daerah Wawo, sebelah barat Tampakura dan di Tanjung
Labuandala di selatan Lasolo; yaitu beranjaknya batuan ofiolit ke atas Batuan
Malihan Mekonga, Formasi Meluhu dan Formasi Matano. Sesar Anggowala juga
merupakan sesar utama, sesar mendatar menganan (dextral), mempunyai arah
baratlaut-tenggara. Sesar mendatar menganan Anggoala berarah baratlaut tenggara
dan Sesar naik Wawo mengakibatkan beranjaknya batuan ultramafik. Lipatan
ditemukan berupa lipatan tertutup, lipatan rebah, lipatan pisau dan lipatan terbalik,
pada batuan Tersier, termasuk dalam Peta Geologi Lembar Lasusua-Kendari,
Sulawesi, dengan skala 1 : 250.000. Menurut Moetamar (2007) batua ultramafik
yang terdiri dari peridotit hazburgit tersebut merupakan formasi pembawa logam
nikel.
Secara umum daerah ini termasuk Mandala Geologi Sulawesi Timur, yang dicirikan
oleh himpunan batuan malihan, serpentinit, gabro, basal, dan batuan sedimen
pelagos Mesozoikum (Sukamto, 1975). Batuan-batuan yang tersingkap di daerah
kegiatan inventarisasi berumur mulai dari Paleozoikum sampai Kuarter, menurut E.
Rusmana, dkk. (1993) pada Peta Geologi Lembar Lasusua – Kendari, Sulawesi,
sekala 1: 250.000. Berdasarkan himpunan batuan dan pencirinya, geologi Lembar
Lasusua – Kendari dapat dibedakan dalam dua lajur; yaitu Lajur Tinodo dan Lajur
Hialu. Lajur Tinodo dicirikan oleh batuan endapan paparan benua, dan Lajur Hialu
oleh endapan kerak samudra/ofiolit, (Rusmana, dkk., 1985).
Secara garis besar kedua mendala ini dibatasi oleh Sesar Lasolo. Batuan yang
terdapat di Lajur Tinodo yang merupakan batuan alas adalah batuan malihan
Paleozoikum (Pzm) dan diduga berumur Karbon. Pualam Paleozoikum (Pzmm)
menjemari dengan batuan malihan Paleozoikum terutama terdiri dari pualam dan
batugamping terdaunkan. Pada Permo -Trias di daerah ini diduga terjadi kegiatan
magma yang menghasilkan terobosan antara lain aplit PTr (ga), yang menerobos
batuan malihan Paleozoikum. Formasi Meluhu (TRJm) ,secara tak selaras menindih
Batuan Malihan Paleozoikum. Pada zaman yang sama terendapkan Formasi Tokala
(TRJt). Hubungan dengan Formasi Meluhu adalah menjemari. Pada kala Eosen
Kolokium Hasil Kegiatan Lapangan – DIM, 200514-3 hingga Miosen Tengah, pada
lajur inimterjadi pengendapan Formasi Salodik (Tems).
Batuan yang terdapat di Lajur Hialu adalah batuan ofiolit (Ku) yang terdiri dari
peridotit, harsburgit, dunit dan serpentintit. Batuan ofiolit ini tertindih tak selaras
oleh Formasi Matano (Km) yang berumur Kapur Akhir, dan terdiri dari
batugamping berlapis bersisipan rijang pada bagian bawahnya. Batuan sedimen tipe
molasa berumur Miosen Akhir – Pliosen Awal membentuk Formasi Pandua
(Tmpp). Formasi ini mendindih takselaras semua formasi yang lebih tua, baik di
Lajur Tinodo maupun di Lajur Hialu. Pada Kala Plistosen Akhir terbentuk
batugamping terumbu koral (Ql) dan Formasi Alangga (Opa) yang terdiri dari
batupasir dan konglomerat. Batuan termuda di lembar peta ini ialah Aluvium (Qa)
yang terdiri dari endapan sungai, rawa dan pantai.
Potensi bijih nikel Kabupaten Konawe Utara adalah sebesar 529,9 juta ton, dengan
nilai sumberdaya sebesar 460,57 juta ton, dan cadangan 69,3 juta ton, kadar Ni
berkisar 0,6-2%, terdapat di Kecamatan Routa, Kecamatan Puriala, Kecamatan
Pondidaha. Sedangkan di Kabupaten Konawe utara total potensi nikel adalah
sebesar 501,8 juta ton, kadar Ni dari 0,98-2,95%, tersebar di Kecamatan Lasolo,
Kecamatan Langikima, Kecamatan Molawe dan Kecamatan Wiwirano (Anonim,
2011b).
3.1.1 Keadaan Endapan
Endapan nikel laterit dapat dibagi menjadi dua jenis: nickel ferrous ferugineous dan
nickel silicate (nikel laterit silika). Nikel laterit pertama memiliki kandungan besi
40% Fe dan Ni ±1%. Dan Nikel laterit silica mempunyai kandungan besi < 35%
Fe, dan Ni mencapai 15%, terdapat pada nickel garnierite, terbentuk dibagian zona
saprolit (Chetetat, 1947, dalam Sutisna, 2006). Endapan nikel laterit silica
merupakan endapan yang terbentuk oleh proses residual sillika bijih nikel yang
berasosiasi dengan batuan ultramafik dunit, peridotit, serpentinit-harzburgit pada
lingkungan tropis-subtropis berumur Mesozoikum-Kuarter. Keterdapatan nikel di
Indonesia umumnya sebagai endapan nikel laterit silica hasil pelap[ukan residual
batuan dasar Komplek Ofiolit/Ultramafik, yang terakumulasi pada batuan peridotit
serpentinit dan harzburgit (Smirnov, 1976).
Proses pembentukan nikel laterit diawali dari proses pelapukan batuan ultrabasa,
dalam hal ini adalah batuan harzburgit. Batuan ini banyak mengandung olivin,
piroksen, magnesium silikat dan besi, mineral-mineral tersebut tidak stabil dan
mudah mengalami proses pelapukan.Faktor kedua sebagai media transportasi Ni
yang terpenting adalah air. Air tanah yang kaya akan CO2, unsur ini berasal dari
udara luar dan tumbuhan, akan mengurai mineral-mineral yang terkandung dalam
batuan harzburgit tersebut. Kandungan olivin, piroksen,magnesium silikat, besi,
nikel dan silika akan terurai dan membentuk suatu larutan, di dalam larutan yang
telah terbentuk tersebut, besi akan bersenyawa dengan oksida dan mengendap
sebagai ferri hidroksida.
Endapan ferri hidroksida ini akan menjadi reaktif terhadap air, sehingga kandungan
air pada endapan tersebut akan mengubah ferri hidroksida menjadi mineral-mineral
seperti goethite (FeO(OH)),hematit (Fe2O3) dan cobalt. Mineral-mineral tersebut
sering dikenal sebagai “besi karat”. Endapan ini akan terakumulasi dekat dengan
permukaan tanah, sedangkan magnesium, nikel dan silika akan tetap tertinggal di
dalam larutan dan bergerak turun selama suplai air yang masuk ke dalam tanah terus
berlangsung. Rangkaian proses ini merupakan proses pelapukan dan leaching.
Unsur Ni sendiri merupakan unsur tambahan di dalam batuan ultrabasa. Sebelum
proses pelindihan berlangsung, unsur Ni berada dalam ikatan serpentine group.
Rumus kimia dari kelompok serpentin adalah X2-3 SiO2O5(OH)4, dengan X
tersebut tergantikan unsur-unsur seperti Cr, Mg, Fe, Ni, Al, Zn atauMn atau dapat
juga merupakan kombinasinya.
Adanya suplai air dan saluran untuk turunnya air, dalam hal berupa kekar, maka Ni
yang terbawa oleh air turun ke bawah, lambat laun akan terkumpul di zona air sudah
tidak dapat turun lagi dan tidak dapat menembus bedrock (Harzburgit). Ikatan dari
Ni yang berasosiasi dengan Mg, SiO dan H akan membentuk mineral
garnieritdengan rumus kimia (Ni,Mg)Si4O5(OH)4. Apabila proses ini berlangsung
terus menerus, maka yang akan terjadi adalah proses pengkayaan supergen
(supergen enrichment). Zona pengkayaan supergen ini terbentuk di zona saprolit.
Dalam satu penampang vertikal profil laterit dapat juga terbentuk zona pengkayaan
yang lebih dari satu, hal tersebut dapat terjadi karena muka air tanah yang selalu
berubah-ubah, terutama dari perubahan musim. Dibawah zona pengkayaan
supergen terdapat zona mineralisasi primer yang tidak terpengaruh oleh proses
oksidasi maupun pelindihan, yang sering disebut sebagai zona Hipogen, terdapat
sebagai batuan induk yaitu batuan Harzburgit.
Selain itu, endapan nikel juga terkonsentrasi pada morfologi dengan karakteristik
ideal. Morfologi ideal ini berpengaruh terhadap efektifitas proses pelapukan, dan
tingkat erosi yang diakibatkan oleh dinamika iklim tropis. Morfologi ini umumnya
berbentuk dataran (plato) dengan kemiringan lereng rendah atau daerah
bergelombang dengan kemiringan lereng dibawah 30˚C (Swamidharma, 2011).
Pembagian pengayaan nikel laterit berdasarkan kemiringan lereng dapat dijelaskan
pada gambar 3.2 (Chetetat, 1947; Blanchard, 1994 dalam Gilbert dan Park, 1986).
Tipe endapan nikel laterit di Sulawesi, ditemukan terakumulasi pada lapisan
saprolit dan limonit. Endapan nikel akan terakumulasi dibagian bawah saprolit dan
kadarnya akan meningkat ± 30%, dengan kisaran kadar Ni 1,5 – 3%
(Swamidharma, 2011).
3.1.2 Genesa pembentukan endapan nikel laterit
3.1.2.1 Proses Terbentuknya Nikel Laterit
A. Pengertian Nikel Laterit
Istilah “laterite” atau laterit berasal dari bahasa Latin “later” yang berarti bata.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Buchanan Hamilton pada tahun 1807
untuk bongkahan-bongkahan tanah (earthy iron crust) yang telah dipotong menjadi
bata (bricks) untuk bangunan dari orang Malabar – South Central India. Masyarakat
Malabar mengenali material ini dalam bahasa mereka sebagai “brickstone” atau
batu bata (dikutip dari Waheed Ahmad, 2006).
Sekarang ini, istilah “laterite” digunakan untuk pengertian residu tanah yang kaya
akan senyawa oksida besi (sesquioxsides of iron) yang terbentuk dari akibat
pelapukan kimia dengan kondisi air tanah tertentu. Untuk residu tanah yang kaya
dengan oksida alumina (hydrated aluminium oxides) dinamakan “bauxite” atau
bauksit.Jadi secara umum dapat dipahami bahwa batuan-batuan mafik yang mana
mengandung lebih banyak Fe daripada Al cenderung akan membentuk laterit
sedangkan batuan-batuan granitik dan argillik sebaliknya cendrung akan
membentuk endapan bauksit karena kandungan Al lebih banyak dari Fe-nya.
Secara umum, nikel laterit diartikan sebagai suatu endapan bijih nikel yang
terbentuk dari proses laterisasi pada batuan ultramafik (peridotit, dunit dan
serpentinit) yang mengandung Ni dengan kadar yang tinggi, yang pada umumnya
terbentuk pada daerah tropis dan sub tropis. Kandungan Ni di batuan asalberkisar
0.28 % dapat mengalami kenaikan menjadi 1 % Ni sebagai konsentrasi sisa
(residual concentration) pada zona limonit (Waheed Ahmad, 2006). Proses laterit
ini selanjutnya dapat berkembang menjadi proses pengayaan nickel (supergene
enrichment) pada zona saprolit sehingga dapat meningkatkan kandungan nikel
menjadi lebih besar dari 2 %.
Sebetulnya, disamping endapan nikel laterit, terdapat juga type endapan lain seperti
yang dikenal dengan nama nikel sulfida yang mana terbentuk dari proses
hidrothermal sehingga membentuk suatu cebakan atau endapan nikel dalam bentuk
urat-urat (veins). Salah satu contoh dari type endapan ini bisa ditemukan di tambang
Sudbury-Kanada. Namun demikian, untuk tulisan ini kita hanya ingin mengenal
lebih jauh tentang nikel laterit itu sendiri, yang mana tersebar banyak di daerah
Sorowako, Bahodopi dan Pomalaa.
Proses pembentukan nikel laterit diawali dari proses pelapukan batuan ultrabasa,
dalam hal ini adalah batuan harzburgit. Batuan ini banyak mengandung olivin,
piroksen, magnesium silikat dan besi, mineral-mineral tersebut tidak stabil dan
mudah mengalami proses pelapukan.
Faktor kedua sebagai media transportasi Ni yang terpenting adalah air. Air tanah
yang kaya akan CO2, unsur ini berasal dari udara luar dan tumbuhan, akan
mengurai mineral-mineral yang terkandung dalam batuan harzburgit tersebut.
Kandungan olivin, piroksen,magnesium silikat, besi, nikel dan silika akan terurai
dan membentuk suatu larutan, di dalam larutan yang telah terbentuk tersebut, besi
akan bersenyawa dengan oksida dan mengendap sebagai ferri hidroksida.
Endapan ferri hidroksida ini akan menjadi reaktif terhadap air, sehingga kandungan
air pada endapan tersebut akan mengubah ferri hidroksida menjadi mineral-mineral
seperti goethite (FeO(OH)), hematit (Fe2O3) dan cobalt. Mineral-mineral tersebut
sering dikenal sebagai “besi karat”. Endapan ini akan terakumulasi dekat dengan
permukaan tanah, sedangkan magnesium, nikel dan silika akan tetap tertinggal di
dalam larutan dan bergerak turun selama suplai air yang masuk ke dalam tanah terus
berlangsung. Rangkaian proses ini merupakan proses pelapukan dan leaching.
Unsur Ni sendiri merupakan unsur tambahan di dalam batuan ultrabasa. Sebelum
proses pelindihan berlangsung, unsur Ni berada dalam ikatan serpentine group.
Rumus kimia dari kelompok serpentin adalah X2-3 SiO2O5(OH)4, dengan X
tersebut tergantikan unsur-unsur seperti Cr, Mg, Fe, Ni, Al, Zn atauMn atau dapat
juga merupakan kombinasinya.
Adanya suplai air dan saluran untuk turunnya air, dalam hal berupa kekar, maka Ni
yang terbawa oleh air turun ke bawah, lambat laun akan terkumpul di zona air sudah
tidak dapat turun lagi dan tidak dapat menembus bedrock (Harzburgit). Ikatan dari
Ni yang berasosiasi dengan Mg, SiO dan H akan membentuk mineral
garnieritdengan rumus kimia (Ni,Mg) Si4O5(OH)4. Apabila proses ini berlangsung
terus menerus, maka yang akan terjadi adalah proses pengkayaan supergen
(supergen enrichment). Zona pengkayaan supergen ini terbentuk di zona saprolit.
Dalam satu penampang vertikal profil laterit dapat juga terbentuk zona pengkayaan
yang lebih dari satu, hal tersebut dapat terjadi karena muka air tanah yang selalu
berubah-ubah, terutama dari perubahan musim. Dibawah zona pengkayaan
supergen terdapat zona mineralisasi primer yang tidak terpengaruh oleh proses
oksidasi maupun pelindihan, yang sering disebut sebagai zona Hipogen, terdapat
sebagai batuan induk yaitu batuan Harzburgit.
Batuan induk dari nikel adalah ultrabasa dengan rata-rata kandungan Ni 0,2 % yang
terdapat pada kisi-kisi kristal olivin dan piroksen (“vinogradov”). Pada awal yang
dialami batuan induk adalah proses ‘serpentinisasi’. Serpentinisasi akibat pengaruh
larutan hydrothermal pada akhir pembekuan magma telah mengubah batuan
ultrabasa menjadi serpentinnit atau peridotit terserpentinkan. Batuan ini sangat
mudah terpengaruh oleh pelapukan lateritik.
Air tanah yang banyak mengandung CO2 berasal dari udara dan tumbuh-tumbuhan
akan menghancurkan olivin. Penguraian olivin, magnesium, besi, nikel dan silika
ke dalam larutan cenderung untuk membentuk suspensi koloid dari partikel-partikel
silika yang sub-mikroskopik. Di dalam larutan, besi akan besenyawa dengan oksida
dan mengendap sebagai feri-hidroksida. Akhirnya endapan ini akan menghilangkan
air dengan membentuk mineral-mineral seperti karat, yaitu goetit (FeO9OH),
hematite (Fe2O3) dan kobalt dalam jumlah kecil. Jadi besi oksida mengendap dekat
dengan permukaan tanah, sedang magnesium, nikel, silika tertinggal di dalam
larutan selama larutan masih asam. Tetapi jika dinetralisasi karena adanya reaksi
dengan batuan dan tanah, maka zat-zat tersebut akan cenderung mengendap sebagai
hydrosilikat.
Beberapa proses reaksi kimia pada proses serpentinisasi terjadi sebagai berikut :
Larutan CO2 mengubah mineral olivin menjadi serpentin dan magnesit

2Mg2SiO4 + CO2 + 2H2O H4Mg3Si2O9 + MgCO3

Proses hidrasi yang mengubah olivin dan piroksen menjadi serpentin


Mg2SiO4 + MgSiO3 + 2H2O H4Mg3Si2O9
Unsur nikel tidak terdapat pada proses ini karena unsur nikel hanya sebagai
impurities yang tidak mengalami reaksi. Unsur nikel hanya mengalami pemisahan
dan pengumpulan akibat proses hydrothermal. Proses selanjutnya adalah laterisasi;
akumulasi oksida besi dan alumina, sedangkan silika dan komponen lain
mengalami leaching.
Pada pelapukan kimia, air merupakan pelarut supergen yang baik, akan
menguraikan mineral yang tidak stabil (olivin, piroksen) pada batuan ultrabasa
menghasilkan Fe, Mg, nikel yang larut dan silika.
Di dalam larutan, Fe teroksidasi dan mengendap sebagai ferrihidroksida
membentuk geotit, limonit, hematite dekat permukaan. Nikel tidak semuanya larut,
tetapi ada yang tertinggal sebagai residu.
Larutan yang mengandung Mg, Ni dan Si meresap ke bawah selama larutannya
bersifat asam, hingga pada kondisi cukup netral. Akibat adanya reaksi tanah dengan
batuan, maka ada kecenderungan untuk membentuk endapan hidrosilikat.
Nikel yang berkembang dalam rantai silikat/hidrosilikat dengan komposisi yang
mungkin bervariasi tersebut akan mengendap pada celah/rekahan yang dikenal
dengan urat garnierite dan chrysopras. Sedangkan larutan residunya akan
membentuk senyawa menjadi saprolite yang berwarna coklat-kuning-kemerahan.
Berdasarkan kekerasan, dibedakan menjadi :
1. Soft saprolite (lunak)
2. Hard saprolite (keras)
Nikel mempunyai sifat kurang kelarutannya dibandingkan magnesium.
Perbandingan antara nikel dengan magnesium di dalam endapan lebih besar
daripada larutan, karena sedikit magnesium yang terbawa oleh air tanah. Kadang-
kadang olivin di dalam tanah diubah menjadi serpentin sebelum tersingkap di
permukaan. Serpentin terurai ke dalam komponen-komponennya bersama-sama
bengan terurainya olivin.

Adanya erosi air tanah asam dan erosi di permukaan bumi akan mengubah mineral-
mineral yang telah diendapkan. Zat tersebut dibawa ke tempat yang lebih dalam.
Selanjutnya diendapkan, sehingga terjadi pengayaan pada bijih nikel. Kandungan
nikel pada zat terendapkan akan semakin bertambah banyak, dan selama itu
magnesium tersebar pada aliran tanah. Dalam hal ini proses pengayaan bersifat
komulatif.
Proses pengayaan dimulai dari suatu batuan yang mengandung 0,20 % nikel,
sehingga akan menghasilkan 1,05 % bijih nikel. Keadaan ini merupakan suatu kadar
nikel yang sudah marketable. Waktu yang diperlukan untuk proses pengayaan
tersebut beberapa juta tahun. Bijih nikel pada endapan laterit yang mempunyai
kadar paling tinggi terdapat pada dasar zona pelapukan dan diendapkan pada
retakan-retakan di bagian atas dari lapisan dasar (bedrock). Perlu ditambahkan
bahwa endapan nikel laterit terletak pada lapisan bumi yang kaya akan besi.
Pembagian sempurna dari besi dan nikel ke dalam zona-zona yang berbeda, tidak
pernah ada.
Pengayaan besi dan nikel terjadi melalui pemindahan magnesium dan silika. Besi
dalam material ini paling banyak berbentuk mineral ferrioksida yang pada
umumnya membentuk gumpalan (disebut limonit). Di mana endapan nikel tersebut
ditunjukkan dengan adanya jenis limonite tersebut atau sebagai “nickel ferrous iron
ore”.
Unsur-unsur Ca dan Mg yang terlarut sebagai karbonat terbawa ke bawah sampai
batas pelapukan dan diendapkan sebagai dolomitan, magnesit, kalsite (mengisi
celah/rekah pada batuan asal). Di lapangan dikenal sebagai petunjuk antar zona
pelapukan dan zona batuan fresh, disebut “akar pelapukan” (root of weathering).
Faktor yang mempengaruhi pembentukan endapan nikel adalah :
1. Batuan asal
2. Iklim
3. Reagen kimia dan vegetasi
4. Struktur
5. Topografi
6. Waktu
7. Penyebaran endapan
Faktor Biologi : Faktor Iklim :
1. Tipe Vegetasi 1. Temperatur
2. Pembusukan 2. Curah Hujan (Jumlah
(decaying) vegetasi dan Pola)
3. Aktivitas Mikroba 3. PH hujan
4. Aktivitas Manusia 4. Musim

SISTEM PELAPUKAN

Faktor Hidrologi : Kombinasi Faktor Litologi :


1. Ketersediaan seluruhan faktor: 1. Geomorfologi
air 1. Tingkat 2. Komposisi
2. Absorpsi air Keasaman (Ph) batuan induk
3. Pergerakan 2. Potensial 3. Ukuran butiran
vertical air redoks mineral
4. Prorositas dan 3. Kecepatan 4. Kestabilan
drainase pelarutan dari mineral
5. Posisi water material 5. Fracture and
table joint

Sumber : Skripsi Alam Primanda Universitas Indonesia

Gambar 3.2

Skema factor-faktor yang mempengaruhi system pelapukan ( ahmad,2006)

Faktor-faktor Utama Pembentukan Endapan Nikel Laterit:


1. Batuan asal merupakan syarat utama untuk terbentuknya endapan nikel
laterit, macam batuan asalnya adalah batuan ultrabasa. Dalam hal ini pada
batuan ultrabasa tersebut : terdapat elemen Ni yang paling banyak diantara
batuan lainnya, mempunyai mineral-mineral yang paling mudah lapuk atau
tidak stabil, seperti olivin dan piroksin, mempunyai komponen-komponen
yang mudah larut dan memberikan lingkungan pengendapan yang baik
untuk nikel.Batuan Induk adanya batuan induk merupakan syarat utama
untuk terbentuknya endapan nikel laterit, macam batuan induknya adalah
batuan ultrabasa. Dalam hal ini pada batuan ultra basa tersebut:

a. Terdapat elemen Ni yang paling banyak diantara batuan lainnya


b. Mempunyai mineral-mineral yang paling mudah lapuk atau tidak
stabil seperti olivine dan piroksine
c. Memiliki komponen-komponen yang mudah larut dan
memberikan lingkungan pengendapan yang baik untuk nikel

Tabel 3.1
Elemen Mayor Dan Minor Pada Batuan Beku
Ultrabasa Basa Intermediate Asam

Mayor (%) (%) (%) (%)


Si 19 24 26 32.3
Al 0.5 8.8 8.9 7.7
Fe 9.9 8.6 5.9 2.7
Mg 25.9 4.5 2.2 0.6
Ca 0.7 6.7 4.7 1.6
Minor (ppm) (ppm) (ppm) (ppm)
Cr 2000 200 50 25
Ni 2000 160 55 8
Co 200 45 10 5
Mn 1500 2000 1200 600
Ca 20 100 35 20
Pb 1 8 15 20

2. Iklim. Adanya pergantian musim kemarau dan musim penghujan dimana


terjadi kenaikan dan penurunan permukaan air tanah juga dapat
menyebabkan terjadinya proses pemisahan dan akumulasi unsur-unsur.
Perbedaan temperatur yang cukup besar akan membantu terjadinya
pelapukan mekanis, dimana akan terjadi rekahan-rekahan dalam batuan
yang akan mempermudah proses atau reaksi kimia pada batuan.
Pergantian Musim Kemarau dan musim penghujan dimana terjadi
kenaikan air dan berarti proses pelapukan menjadi lebih intensif. dan
penurunan permukaan air tanah juga dapat menyebabkan terjadinya proses
pemisahan dan akumulasi unsur-unsur. Perbedaan temperatur yang cukup
besar akan membantu terjadinya pelapukan mekanis, yaitu akan terjadi
rekahan-rekahan dalam batuan yang akan mempermudah proses atau
reaksi kimia pada batuan.
3. Reagen-reagen kimia dan vegetasi. Yang dimaksud dengan reagen-reagen
kimia adalah unsur-unsur dan senyawa-senyawa yang membantu
mempercepat proses pelapukan. Air tanah yang mengandung CO2
memegang peranan penting didalam proses pelapukan kimia. Asam-asam
humus menyebabkan dekomposisi batuan dan dapat merubah pH larutan
dan erat kaitannya dengan vegetasi daerah. Dalam hal ini, vegetasi akan
mengakibatkan : penetrasi air dapat lebih dalam dan lebih mudah dengan
mengikuti jalur akar pohon-pohonan, akumulasi air hujan akan lebih
banyak, humus akan lebih tebal Keadaan ini merupakan suatu petunjuk,
dimana hutannya lebat pada lingkungan yang baik akan terdapat endapan
nikel yang lebih tebal dengan kadar yang lebih tinggi. Selain itu, vegetasi
dapat berfungsi untuk menjaga hasil pelapukan terhadap erosi mekanis.
4. Struktur yang sangat dominan adalah struktur kekar (joint) dibandingkan
terhadap struktur patahannya. Seperti diketahui, batuan beku mempunyai
porositas dan permeabilitas yang kecil sekali sehingga penetrasi air sangat
sulit, maka dengan adanya rekahan-rekahan tersebut akan lebih
memudahkan masuknya air dan berarti proses pelapukan akan lebih intensif.
5. Topografi setempat akan sangat mempengaruhi sirkulasi air beserta reagen-
reagen lain. Untuk daerah yang landai, maka air akan bergerak perlahan-
lahan sehingga akan mempunyai kesempatan untuk mengadakan penetrasi
lebih dalam melalui rekahan-rekahan atau pori-pori batuan. Akumulasi
andapan umumnya terdapat pada daerah-daerah yang landai sampai
kemiringan sedang, hal ini menerangkan bahwa ketebalan pelapukan
mengikuti bentuk topografi. Pada daerah yang curam, secara teoritis, jumlah
air yang meluncur lebih banyak daripada air yang meresap ini dapat
menyebabkan pelapukan kurang intensif.

Sumber : Skripsi Alam Primanda Universitas Indonesia

Gambar 3.3
Hubungan antara topografi dengan proses laterisasi

6. Waktu yang cukup lama akan mengakibatkan pelapukan yang cukup intensif
karena akumulasi unsur nikel cukup tinggi.

Kesemua faktor ini berkaitan begitu kompleks dimana peranan secara individu dari
masing-masing faktor sangat susah dibedakan. Kesemuanya bisa mempengaruhi
bentuk profil pelapukan secara individual berbeda, bentuk topografi dari “ore body”
pada batuan peridotitnya dan bentuk secara umum dari residu nikel laterit tersebut.
Bentuk topografi atau morfologi yang tidak curam tingkat kelerengannya, dimana
endapan laterit masih mampu untuk ditopang oleh permukaaan topografi sehingga
nikel laterit tersebut tidak hilang oleh proses erosi maupun ketidakstabilan lereng.
Adanya tumbuhan penutup yang berfungsi untuk mengurangi tingkat intensitas
erosi endapan laterit menyebakan endapan laterit tersebut relatif tidak terganggu.
Meskipun komposisi batuan asal memegang peran penting untuk menghasilkan
endapan laterit, kondisi iklim yang ada dan sejarah geologi yang berkenaan dengan
proses pembentukan soil akhirnya memegang peranan penting dalam mengontrol
komposisi akhir dari soil residu tersebut. Pelapukan dari batuan mafik pada kondisi
iklim dingin cenderung akan membentuk endapan clay (lempung) sementara pada
pelapukan yang tinggi dengan kondisi iklim panas dan lembab akan menyebakan
laterit berkembang dengan baik.
Oleh karena itu, agar laterit tersebut dapat berkembang dengan baik, menurut
Waheed Ahmad (2006), maka dibutuhkan beberapa kondisi seperti:
1. Keberadaan batuan yang mengandung besi Relatively high temperature (to
aid in chemical attack)
2. Air tanah yang bersifat agak asam (slightly acidic) untuk membantu dalam
reaksi kimia
3. Curah hujan yang tinggi untuk membantu pelapukan kimia dan
menghilangkan unsure-unsur yang mudah larut (mobile elements)
4. Lingkungan oksidasi yang kuat (untuk mengubah Fe2+ (FeO) menjadi Fe3+
(Fe2O3)
5. Proses pengayaan (supergene enrichments) untuk menghasilkan konsentrasi
nikel dalam jumlah yang cukup tinggi.
6. Bentuk topografi yang sedang untuk melindungi laterit dari proses erosi
7. Waktu yang cukup untuk agar laterit terakumulasi untuk ketebalan yang
baik.

B. Profil Nikel Laterit

Profil secara keseluruhan dari nikel laterit terdiri dari 5 zona gradasi, yiatu sebagai
berikut :
1. Iron Capping
Iron capping merupakan bagian yang paling atas dari suatu penampang
laterit. Komposisinya adalah akar tumbuhan, humus, oksida besi dan sisa-
sisa organik lainnya. Warna khas adalah coklat tua kehitaman dan bersifat
gembur. Kadar nikelnya sangat rendah sehingga tidak diambil dalam
penambangan. Ketebalan lapisan tanah penutup rata-rata 0,3 s/d 6 m.
Berwarna merah tua, merupakan kumpulan massa goethite dan limonite.
Iron capping mempunyai kadar besi yang tepi kadar nikel yang rendah.
Terkadang terdapat mineral-mineral hematite, chromiferous.
2. Limonite Layer
Limonite layer merupakan hasil pelapukan lanjut dari batuan beku
ultrabasa. Komposisinya meliputi oksida besi yang dominan, geothit dan
magnetit. Ketebalam lapisan ini rata-rata 8-15 m. Dalam limonit dapat
dijumpai adanya akar tumbuhan, meskipun dalam presentase yang sangat
kecil. Kemunculan bongkah-bongkah batuan beku ultrabasa pada zona ini
tidak dominan atau hampir tidak ada, umumnya mineral-mineral di batuan
beku basa-ultrabasa telah berubah menjadi serpentin akibat hasil dari
pelapukan yang belum tuntas, fine grained merah coklat atau kuning,
lapisan kaya besi dari limonit soil menyelimuti seluruh area. Lapisan ini
tipis pada daerah yang terjal dan sempat hilang karena erosi. Sebaguan dari
nikel pada zona ini hadir di dalam mineral manganese oxide, lithiophorite.
Terkadang terdapat mineral talc, tremolite, chrominferous, quartz, gibsite,
maghemite.
3. Silika Boxwork
Putih-orange chert, quartz, mengisi sepanjang fractured dan sebagian
menggantikan zona terluar dari unserpentine fragmen peridotite, sebagian
mengawetkan struktur dan tekstur dari batuan asal. Terkadang terdapat
mineral opal, magnesite. Akumulasi dari garnierit-pimelite di dalam
boxwork mungkin berasal dari nikel ore yang kaya silika. Zona boxwork
jarang terdapat pada bedrock yang serpentinized.
4. Saprolite
Zona ini merupakan zona pengayaan unsur Ni. Komposisinya berupa
oksida besi, serpentim sekitar <0,4% kuarsa magnetit dan tekstur batuan
asal yang masih terlihat. Ketebalan lapisan ini berkisar 5-18 m.
Kemunculan bongkah-bongkah sangat sering dan pada rekahan-rekahan
batuan asal dijumpai magnesit, serpentin, krisopras dan garnierit. Bongkah
batuan asal yang muncul pada umumnya memiliki kadar SiO2 dan MgO
yang tinggi serta Ni dan Fe yang rendah. Campuran dari sisa-sisa batuan,
butiran halus limonite, saprolitic rims, vein dari endapan garnierite,
nickelferous quartz, mangan dan pada beberapa kasus terdapat silika
boxwork, bentukan dari suatu zona transisi dari limonite ke bedrock.
Terkadang terdapat mineral quartz yang mengisi rekahan, mineral-mineral
primer yang terlapukkan, chlorite. Granierite di lapangan biasanya
diidentifikasi sebagai kolloidal talc dengan lebih atau kurang nickeliferous
serpentin. Struktur dan tekstur batuan asal masih terlihat.
5. Bedrock
Bagian terbawah dari profil laterit tersusun atas bongkah yang lebih besar
dari 75 cm dan blok peridotit (batuan dasar) dan secara umum sudah tidak
mengandung mineral ekonomis (kadar logam sudah mendekati atau sama
dengan batuan dasar). Batuan dasar merupakan batuan asal dari nikel
laterit yang umumnya merupakan batuan beku ultrabasa yaitu harzburgit
dan dunit yang pada rekahannya telah terisi oleh mineral granierit dan
silika. Frakturisasi ini diperkirakan menjadi penyebab adanya root zone
yaitu zona high grade Ni, akan tetapi posisinya tersembunyi.

Sumber : geologinesia.com
Gambar 3.4
Bentuk sederhana dari penampang nikel laterit
Sumber : geologinsia.com
Gambar 3.5
Bentuk ragam dari penampang nikel laterit hubungannya dengan iklim dan
topografi
C. Proses Pembentukan Nikel
Pembentukan nikel laterit secara kimia terkait dengan proses serpentinisasi yang
terjadi pada batuan peridotite akibat pengaruh larutan hydrothermal yang akan
merubah batuan peridotite menjadi batuan serpentinite atau batuan serpentinite
peroditite. Sedangkan proses kimia dan fisika dari udara, air serta pergantian panas
dingin yang bekerja kontinu (berkelanjutan), menyebabkan disintegrasi dan
dekomposisi pada batuan induk.
Pada pelapukan kimia khususnya, air tanah kaya akan CO2 yang berasal dari udara
dan pembusukan tumbuh-tumbuhan akan menguraikan mineral-mineral yang tidak
stabil (olivine dan piroksin) pada batuan ultrabasa, kemudian menghasilkan Mg,
Fe, Ni yang larut dan Si yang cenderung membentuk koloid dari partikel-partikel
silika sangat halus. Di dalam larutan, Fe teroksidasi dan mengendap sebagai ferri-
hidroksida, akhirnya membentuk mineral-mineral seperti goethite, limonite, dan
hematite dekat permukaan. Bersama mineral-mineral ini
selalu ikut serta unsur cobalt dalam jumlah kecil.

Larutan yang mengandung Mg, Ni, dan Si terus menerus mengalir ke bawah
tanah selama larutannya bersifat asam, hingga pada suatu kondisi dimana suasana
cukup netral akibat adanya kontak dengan tanah dan batuan, maka ada
kecenderungan untuk membentuk endapan hidrosilikat. Nikel yang terkandung
dalam rantai silikat atau hidrosilikat dengan komposisi bervariasi tersebut akan
mengendap pada celah-celah atau rekahan-rekahan yang dikenal dengan urat-
urat garnierite dan krisopras. Sedangkan larutan residunya akan membentuk
suatu senyawa yang disebut saprolite yang berwarna coklat kuning kemerahan.
Unsur- unsur lainnya seperti Ca dan Mg yang terlarut sebagai bikarbonat akan
terbawa ke bawah sampai batas pelapukan dan akan diendapkan sebagai
dolomite, magnesite yang biasa mengisi celah-celah atau rekahan-rekahan pada
batuan induk. Di lapangan urat-urat ini dikenal sebagai batas petunjuk antara
zona pelapukan dengan zona batuan segar yang disebut dengan akar pelapukan
(root of weathering).

D. Sifat Fisik dan Sifat Kimia Nikel


Adapun sifat-sifat kimia dari nikel yaitu antara lain :

1. Pada suhu kamar nikel bereaksi lambat dengan udara.


2. Jika dibakar, reaksi berlangsung cepat membentuk oksida NiO.
3. Bereaksi dengan Cl2 membentuk Klorida (NiCl2).
4. Bereaksi dengan steam H2O membentuk Oksida NiO.
5. Bereaksi dengan HCl encer dan asam sulfat encer, yang reaksinya
berlangsung lambat.
6. Bereaksi dengan asam nitrat dan aquaregia, Ni segera larut
Ni + HNO3 → Ni(NO3)2+ NO + H2O

7. Tidak bereaksi dengan basa alkali.


8. Bereaksi dengan H2S menghasilkan endapan hitam.
Adapun sifat fisik dari nikel yaitu seperti tabel di bawah ini :

Tabel 3.2
Sifat fisik nikel
No. Karakteristik Keterangan
1 Nama Nikel
2 Lambang Ni
3 Nomor atom 28
4 Deret kimia Logam transisi
5 Golongan VIII B
6 Periode 4
7 Blok D
Putih keperak-
8 Warna
perakan
9 Struktur Masif
Kemilau,
10 Penampilan
metalik
58,6934(2)
11 Massa atom
g/mol
Konfigurasi
12 [Ar] 3d8 4s2
electron
Jumlah elektron
13 2 8 16 2
tiap kulit
14 Titik didih 2900ºC
15 Titik lebur 1420ºC

E. Karakteristik Umum Zona Laterite Nikel


Endapan laterit nikel pada umumnya sangat tidak teratur baik bentuk, penyebaran
horizontal atau vertkal maupun sifat-sifat fisis dan komposisi kimianya. Secara
umum lapisan dikenal sebagai :
1. Zona Tanah Penutup
Warna : coklat-coklat tua, kehitaman
Kekerasan: lunak – sedang
Diameter : halus - sedang
Diskripsi :
a. Pada bagian atas gembur dan mengandung humus/ lapisan
organik
b. Biasanya terdapat pada daerah yang tidak terganggu erosi
c. Sering dijumpai fragmen-fragmen lepas seperti pisolit Fe,
konkresi Fe, fragmen silika dan fragmen batuan asal
d. Tidak terlihat indikasi adanya mineral
e. Pada lapisan kadar nikelnya relatif rendah
f. Gradasi ke arah zona limonite ditunjukkan dengan hilangnya
material di atas, perubahan warna lebih cerah, coklat
kekuningan – coklat merah. Munculnya mineralisasi tertentu
(lemah) seperti MnOx, FeOx dan AlOx
2. Zona Limonite
Warna : coklat kemerahan, coklat kekuningan, merah
Kekerasan : lunak – sedang
Diameter : halus - sedang
Diskripsi :
a. Kadar nikel yang relatif lebih tinggi dari lapisan pertama (1 -
2 % Ni + Co)
b. Terlihat adanya mineralisasi yang kuat
c. Cenderung homogen
d. Sifat-sifat yang lebih poros dan plastis. Tingkat elastisitas
lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain
e. Sering dijumpai fragmen batuan asal, seperti silika
f. Kehadiran laterite dengan campuran fragmen tersebut di atas
dapat merupakan perselingan dengan yang cenderung
homogen
g. Mineral utama pada zona ini goetit (FeOH) dan mineral
lempung seperti kaolin
h. Mineral sedikit pada zona ini adalah mineral-mineral oksida
seperti MnOx, AlOx, magnetit dan cromit
i. Silika lebih sering dijumpai
j. Dikenal dengan “low grade ore” atas, yang kadang-kadang
dapat dianggap sebagai lapisan ekonomis (sebagai
campuran)
k. Gradasi ke arah zona saprolite dapat dilihat dari perubahan
warna menjadi coklat kekuningan, coklat kehijauan atau
hijau
3. Zona Saprolite
Warna : coklat kekuningan, coklat kehijauan, kuning kehijauan
Kekerasan : sedang - keras
Diameter : sedang - kasar
Diskripsi :
a. Kadar nikel rata-rata tinggi (2 – 3 % Ni + Co) dan biasanya
merupakan lapisan bijih yang banyak mengandung urat-urat
garnierite dan crysopras
b. Cenderung homogen
c. Sering dijumpai fragmen batuan asal, seperti silika
d. Perselingan antara laterite dengan batuan asal (biasanya berukuran
boulder) sering dijumpai di zona ini
e. Semakin ke arah bawah terlihat adanya gradasi ukuran butir menjadi
lebih kasar
f. Ke arah bawah kondisi fracturing semakin intensif yang biasanya
terisi oleh mineral-mineral silika, seperti gaenierit dan crysopras
g. Mineral tambahan pada zona ini adalah lempung dan mineral
oksidasi, seperti goetit, MnOx, Magnetit, cromit dan chrysotil
asbestos
h. Magnesit (MgCO3) kadang dijumpai dalam jumlah sedikit
i. Gradasi ke arah zona bedrock diindikasikan dengan kemunculan
fragmen-fragmen batuan asal berukuran couble-boulder dengan
pelapukan yang semakin berkurang ke arah bedrock
4. Zona Saprolite
Warna : coklat kekuningan, coklat kehijauan, kuning kehijauan
Kekerasan : sedang - keras
Diameter : sedang - kasar
Diskripsi :
a. Kadar nikel rata-rata tinggi (2 – 3 % Ni + Co) dan biasanya
merupakan lapisan bijih yang banyak mengandung urat-urat
garnierite dan crysopras
b. Cenderung homogen
c. Sering dijumpai fragmen batuan asal, seperti silika
d. Perselingan antara laterite dengan batuan asal (biasanya
berukuran boulder) sering dijumpai di zona ini
e. Semakin ke arah bawah terlihat adanya gradasi ukuran butir
menjadi lebih kasar
f. Ke arah bawah kondisi fracturing semakin intensif yang
biasanya terisi oleh mineral-mineral silika, seperti gaenierit
dan crysopras
g. Mineral tambahan pada zona ini adalah lempung dan mineral
oksidasi, seperti goetit, MnOx, Magnetit, cromit dan
chrysotil asbestos
h. Magnesit (MgCO3) kadang dijumpai dalam jumlah sedikit
i. Gradasi ke arah zona bedrock diindikasikan dengan
kemunculan fragmen-fragmen batuan asal berukuran couble-
boulder dengan pelapukan yang semakin berkurang ke arah
bedrock
5. Zona Bedrock
Warna : hitam keabuan, hitam kehijauan, hijau tergantung
komposisi batuan asal
Kekerasan : sedikit lapuk - keras
Diameter : kasar
Diskripsi :
a. Lapisan ini sudah tidak penting karena kadar nikel sudah mulai
rendah
b. Komposisi terdiri atas dunit, peridotit atau batuan ultrabasa
lainnya
c. Pada bagian atas sering dijumpai zona fracturing yang terisi
oleh mineral silikat seperti garnierite, serpentin, crysopras atau
mineral silikat lainnya
d. Kondisi bedrock yang fresh dan massif dijumpai pada bagian
bawah dengan zona fracturing tersebut di atas
e. Mineral utama adalah olivin an piroksen
f. Mineral sedikit adalah hornblende dan biotit
g. Mineral tambahan adalah cromit dan mineral sulfide
E. Manfaat Nikel
Nikel digunakan dalam berbagai aplikasi komersial dan industri, seperti : pelindung
baja (stainless steel), pelindung tembaga, industri baterai, elektronik, aplikasi
industri pesawat terbang, industri tekstil, turbin pembangkit listrik bertenaga gas,
pembuat magnet kuat,pembuatan alat-alat laboratorium (nikrom), kawat lampu
listrik, katalisator lemak, pupuk pertanian, dan berbagai fungsi lain (Gerberding
J.L., 2005)

3.1.3 Geomorfologi Regional


Pulau Sulawesi, yang mempunyai luas sekitar 172.000 km2 (van Bemmelen, 1949),
dikelilingi oleh laut yang cukup dalam.Sebagian besar daratannya dibentuk oleh
pegunungan yang ketinggiannya mecapai 3.440 m (gunung Latimojong). Seperti
telah diuraikan sebelumnya, Pulau Sulawesi berbentuk huruf “K” dengan empat
lengan: Lengan Timur memanjang timur laut – barat daya, Lengan Utara
memanjang barat – timur dengan ujung baratnya membelok kearah utara – selatan,
Lengan tenggrara memanjang barat laut – tenggara, dan Lengan Selatan mebujur
utara selatan. Keempat lengan tersebut bertemu pada bagian tengah Sulawesi.
Sebagian besar Lengan Utara bersambung dengan Lengan Selatan melalui bagian
tengah Sulwesi yang merupakan pegunungan dan dibentuk oleh batuan gunung api.
Di ujung timur Lengan Utara terdapat beberapa gunung api aktif, di antaranya
Gunung Lokon, Gunung Soputan, dan Gunung Sempu. Rangakaian gunung aktif
ini menerus sampai ke Sangihe.Lengan Timur merupakan rangkaian pegunungan
yang dibentuk oleh batuan ofiolit.Pertemuan antara Lengan Timur dan bagian
Tengah Sulawesi disusun oleh batuan malihan, sementara Lengan Tenggara
dibentuk oleh batuan malihan dan batuan ofiolit.
Seperti yang telah di uraikan sebelumnya,pulau Sulawesi dan daerah sekitarnya
merupakan pertemuan tiga lempeng yang aktif bertabrakan.Akibat tektonik aktif
ini,pulau Sulawesi dan daerah sekitarnya dipotong oleh sesar regional yang masih
aktif sampai sekarang.Kenampakan morfologi dikawasan ini merupakan cerminan
system sesar regional yang memotong pulau ini serta batuan penyusunya bagian
tenga Sulawesi,lengan tenggara,dan lengan selatan dipotong oleh sesar regional
yang umumnya berarah timur laut – barat daya. sesar yang masih aktif sampai
sekarang ini umumnya merupakan sesar geser mengiri.

3.1.4 Morfologi
Van bemmelen (1945) membagi lengan tenggara Sulawesi menjadi tiga bagian:
ujung utara, bagian tengah,dan ujung selatan (gambar 4.2), Ujung utara mulai dari
palopo sampai teluk tolo; dibentuk oleh batuan ofiolit, Bagian tengah ,yang
merupakan bagian paling lebar (sampai 162,5 km), didominasi oleh batuan malihan
dan batuan sedimen mesozoikum. Ujung selatan lengan tenggara merupakan bagian
yang relative lebih landai ; batuan penyusunya didominasi oleh batuan sedimen
tersier ,uraian dibawah ini merupakan perian morfologi dan morfogenesis lengan
tengah Sulawesi.

3.1.5 Ujung utara


Ujung utara lengan tenggara Sulawesi mempunyai cirri khas de3ngan munculnya
kompleks danau malili yang terdiri atas danau matano,danau towuti,dan tiga danau
kecil disekitarnya (danam mahalona,danau lantoa, dan danau masapi; (gambar 4.2).
Pembentuka kelima danau itu diduga akibat sistem system sesar matano,yang telah
diketahui sebagai sesar geser mengiri. Pembedaan ketinggian dari kelima danau itu
memungkinkan air dari suatu danau mengalir ke danau yang terletak lebih rendah.

3.1.6 Bagian Tengah


Morfologi bagian tengah Lengan Tenggara Sulawesi didominasi oleh pegunungan
yang umumnya memanjang hampir sejajar berarah barat laut - tenggara.
Pegunungan tersebut diantaranya adalah Pegunungan Mengkoka, Pegunungan
Tangkelamboke, dan Pegunungan Matarombeo. Morfologi bagian tengah ini sangat
kasar dengan kemiringan lereng yang tajam. Puncak tertinggi pada rangkaian
pegunungan Mengkoka adalah Gunung Mengkoka yang mempunyai ketinggian
2790 m dpl. Pegunungan Tangkelamboke mempunyai puncak Gunung
Tangkelamboke (1500 m dpl). Sedangkan Pegunungan Matarombeo berpuncak di
barat laut Desa Wawonlondae dengan ketinggian 1551 m dpl.
3.1.7 Satuan Morfologi
Setidaknya ada lima satuan morfologi yang dapat dibedakan dari citra IFSAR
bagian tengah dan ujung selatan Lengan Tenggara Sulawesi, yakni satuan
pegunungan, perbukitan tinggi, perbukitan rendah, dataran rendah, dan karst.
Uraian di bawah ini merupakan perian secara singkat dari kelima satuan morfologi
tersebut.
1. Satuan Pegunungan
a. Satuan morfologi pegunungan menempati bagian terluas di kawasan ini,
terdiri atas Pegunungan Mengkoka, Pegunungan Tangkelemboke,
Pegunungan Mendoke dan Pegunungan Rumbia yang terpisah di ujung
selatan Lengan Tenggara. Satuan morfologi ini mempunyai topografi yang
kasar dengan kemiringan lereng tinggi. Rangkaian pegunungan dalam
satuan ini mempunyai pola yang hampir sejajar berarah barat laut –
tenggara. Arah ini sejajar dengan pola struktur sesar regional di kawasan
ini. Pola ini mengindikasikan bahwa pembentukan morfologi pegunungan
itu erat hubungannya dengan sesar regional.
b. Satuan pegunungan terutama dibentuk oleh batuan malihan dan setempat
oleh batuan ofiolit. Ada perbedaan yang khas di antara kedua penyusun
batuan itu. Pegunungan yang disusun oleh batuan ofiolit mempunyai
punggung gunung yang panjang dan lurus dengan lereng relatif lebih rata,
serta kemiringan yang tajam. Sementara itu, pegunungan yang dibentuk
oleh batuan malihan, punggung gunungnya terputus pendek-pendek
dengan lereng yang tidak rata walaupun bersudut tajam.

2. Satuan Perbukitan Tinggi


Satuan morfologi perbukitan ti+nggi menempati bagian selatan Lengan
Tenggara, terutama di selatan Kendari. Satuan ini terdiri atas bukit-bukit yang
mencapai ketinggian 500 m dpl dengan morfologi kasar. Batuan penyusun
morfologi ini berupa batuan sediman klastika Mesozoikum dan Tersier.

3. Satuan Perbukitan Rendah


Satuan morfologi perbukitan rendah melampar luas di Utara Kendari dan ujung
selatan Lengan Tenggara Sulawesi. Satuan ini terdiri atas bukit kecil dan
rendah dengan morfologi yang bergelombang. Batuan penyusun satuan ini
terutama batuan sedimen klastika Mesozoikum dan Tersier

4. Satuan Dataran
Satuan morfologi dataran rendah dijumpai di bagian tengah ujung selatan
Lengan Tenggara Sulawesi. Tepi selatan Dataran Wawotobi dan Dataran
Sampara berbatasan langsung dengan satuan morfologi pegunungan.
Penyebaran satuan dataran rendah ini tampak sangat dipengaruhi oleh sesar
geser mengiri (Sesar Kolaka dan Sistem Sesar Konaweha). Kedua sistem ini
diduga masih aktif, yang ditunjukkan oleh adanya torehan pada endapan aluvial
dalam kedua dataran tersebut (Surono dkk, 1997). Sehingga sangat mungkin
kedua dataran itu terus mengalami penurunan. Akibat dari penurunan ini tentu
berdampak buruk pada dataran tersebut, di antaranya pemukiman dan pertanian
di kedua dataran itu akan mengalami banjir yang semakin parah setiap
tahunnya.
Dataran Langkowala yang melampar luas di ujung selatan Lengan Tenggara,
merupakan dataran rendah. Batuan penyusunnya terdiri atas batupasir kuarsa
dan konglomerat kuarsa Formasi Langkowala. Dalam dataran ini mengalir
sungai-sungai yang pada musim hujan berair melimpah sedang pada musim
kemarau kering. Hal ini mungkin disebabkan batupasir dan konglomerat
sebagai dasar sungai masih lepas, sehingga air dengan mudah merembes masuk
ke dalam tanah. Sungai tersebut di antaranya Sungai Langkowala dan Sungai
Tinanggea. Batas selatan antara Dataran Langkowala dan Pegunungan Rumbia
merupakan tebing terjal yang dibentuk oleh sesar berarah hampir barat-timur.
Pada Dataran Langkowala, terutama di dekat batas tersebut, ditemukan
endapan emas sekunder. Surono (2009) menduga emas tersebut berasal dari
batuan malihan di Pegunungan Rumbia dan sekitarnya.
5. Satuan Karst
Satuan morfologi karst melampar di beberapa tempat secara terpisah. Satuan
ini dicirikan perbukitan kecil dengan sungai di bawah permukaan tanah.
Sebagian besar batuan penyusun satuan morfologi ini didominasi oleh
batugamping berumur Paleogen dan selebihnya batugamping Mesozoikum.
Batugamping ini merupakan bagian Formasi Tampakura, Formasi Laonti,
Formasi Tamborasi dan bagian atas dari Formasi Meluhu. Sebagian dari
batugamping penyusun satuan morfologi ini sudah terubah menjadi marmer.
Perubahan ini erat hubungannya dengan pensesar-naikkan ofiolit ke atas
kepingan benua. Di sekitar Kendari batugamping terubah tersebut ditambang
untuk bahan bangunan.

3.1.8 Statigrafi Regional


Nama Formasi Meluhu diberikan oleh Rusmana & Sukarna (1985) kepada satuan
batuan yang terdiri batupasir kuarsa, serpih merah, batulanau, dan batulumpur di
bagian bawah; dan perselingan serpih hitam, batupasir, dan batugamping di bagian
atas. Formasi Meluhu menindih takselarasan batuan malihan dan ditindih takselaras
oleh satuan batugamping Formasi Tampakura.
Formasi Meluhu mempunyai penyebaran yang sangat luas di Lengan Tenggara
Sulawesi.Formasi ini telah dipublikasikan secara luas; di antaranya oleh Surono
dkk.(1992); Surono (1997b, 1999), serta Surono & Bachri (2002), Sebagian besar
bahasan selanjutnya merupakan terjemahan dan/atau kompilasi dari publikasi
tersebut. Surono (1997) membagi Formasi Meluhu menjadi tiga anggota (dari
bawah ke atas):
1. Anggota Toronipa yang didominasi oleh batupasir dan konglomerat,
2. Anggota Watutaluboto didominasi oleh batulumpur, batulanau, dan serpih,
3. Anggota tuetue dicirkan oleh hadirnya napal dan batu gamping.

Anggota toronipa formasi meluhu didominasi batupasir dan konglomerat dengan


sisipan serpih, batulanau dan batulempung. Sisipan tipis lignit ditemukan setempat
seperti di sungai kecil dekat Mesjid Nurul Huda, Kota kendari dan Tebing tepi jalan
di selatan tinobu. Lokasi tipe anggota toronipa berada di tanjung toronipa, sebelah
tenggara desa toronipa. Penampang tegak hasil pengukuran statigrafi terperinci di
tanjung toronipa. Dibeberapa tempat, batupasir pejal tersingkap baik dan diduga
merupakan hasil pengendapan grain flow. Secara setempat, batupasir kerikilan
sering dijumpai diatas permukaan bidang erosi. Ketebalan anggota toronipa pada
lokasi tipe tersebut adalah 800 m. Ketebalan maksimum anggota ini diduga kearah
timur.
Struktur sedimen yang terekam pada anggota toronipab erupa silang siur, tikas
seruling, gelembur gelombang, perlapisan bersusun, dan permukaan erosi. Batang,
ranting dan atau cetakan daun juga ditemukan pada endapan klastik halus. Setiap
runtunan batuan sedimen menunjukan penghalusan keatas, yang menunjukan
energi melemah kearah atas. Semua fakta dilapangan ini memberikan gambaran
bahwa anggota toronipa diendapkan pada lingkungan sungai kekelok. Arah arus
purba, yang sebagian diukur pada silang siur, menunjukan hasil kecendrungan
unimodal. Kondisi seperti ini umum ditemui pada arus sungai kekelok.

3.1.9 Struktur Regional


Lengan tenggara Sulawesi, struktur utama yang terbentuk setelah tumbukan adalah
sesar geser mengiri, termasuk sesar matarombeo, sistem sesar Lawanopo (yang
berasosiasi dengan batuan campur-aduk toreo), sistem sesar Konaweha, sesar
kolaka, dan banyak sesar lainnya serta liniasi. Sesar dan liniasi menunjukkan
sepasang arah utama tenggara-barat laut (3320), dan timur laut barat daya (420).
Arah tenggara barat laut merupakan arah umum dari sesar geser mengiri dilengan
tenggara sulawesi.
Sistem sesar Lawanopo termasuk sesar-sesar berarah utama barat laut-tenggara
yang memanjang sekitar 260 Km dari Utara Malili sampai tanjung Toronipa. Ujung
barat laut sesar ini menyambung dengan sesar Matano, sementara ujung
tenggaranya bersambung dengan sesar Hamilton, Yang memotong sesar naik Tolo.
Sistem sesar ini diberi nama sesar Lawanopo oleh Hamilton (1979) bedasarkan
dataran Lawanopo yang ditorehnya.
Kenampakan fisiografi sistem sesar Lawanopo tergambar jelas lebih dari pada 50
Km pada citra pengindraan jauh, termasuk citra langsat dan IFSAR. Citra tersebut
menggambarkan adanya lembar linear panjang, scap, offset, dan pembelokan aliran
sungai. Aliran sungai yang tergeser mengiri dapat diidentifikasi dibeberapa tempat
antara Tinobu, dan soropia, utara kendari; contohnya pergeseran mengiri 2 Km
sungai Andonohu (selatan Tinobu). Jarak pergeseran, yang membesar semakin
besar dengan sesar yang bersangkutan, merupakan tanda sesar geser (silvester,
1988). Pergeseran Mengiri sepanjang Formasi Meluhu yang berada ditengah lengan
tenggara Sulawesi.
Interprestasi citra foto udara disekitar Tinobu menunjukan penyebaran batuan
campur-aduk Toreo. Kepingan batuan yang berasal dari Formasi Meluhu, Formasi
Tampakura, dan ofiolit, dijumpai sebagai bodin dalam batuan campur-aduk itu.
Analisis stereografi orientasi bodin, yang diukur pada tiga lokasi, menunjukan
keberagaman azimuth rata-rata/plunge: 30o 44o, 356,3o/49o, dan 208,7o/21o.
Adanya mata air panas di Desa Toreo, sebelah tenggara Tinobu serta pergeseran
pada bangunan dinding rumah dan jalan sepanjang sesar ini menunjukan bahwa
sistem sesar Lawanopu masih aktif sampai sekarang.
Lengan Sulawesi tenggara juga merupakan kawasan pertemuan lempeng, yakni
lempeng benua yang berasal dari Australia dan lempeng samudra dari Pasifik.
Kepingan benua di Lengan Tenggara Sulawesi dinamai Mintakat Benua Sulawesi
Tenggara (South East Sulawesi Continental Terrane) dan Mintakat Matarambeo
oleh Surono (1944). Kedua lempeng dari jenis yang berbeda ini bertabrakan dan
kemudian ditindih oleh endapan Molasa Sulawesi. Bahasan selanjutnya akan
mengikuti pola sebelum tarbrakan dan setelah tabrakan tersebut yakni :

1. Kepingan Benua
2. Kompleks Ofiolit
3. Molasa Sulawesi

Sebagai akibat subduksi dan tumbukan lempeng pada Oligosen Akhir-Miosen


Awal, kompleks ofiolit tersesar–naikkan ke atas mintakat benua.
Molasa sulawesi, yang terdiri atas batuan sedimen klastik dan karbonat,
terendapkan selama akhir dan sesudah tumbukan, sehingga, molasa ini menindih
takselaras Mintakat Benua Sulawesi Tenggara dan Kompleks Ofiolit tersebut. Pada
akhir kenomikum lengan ini di koyak oleh Sesar Lawanopo dan beberapa
pasangannya, termasuk Sesar Kolaka.

3.1.10 Penyebaran Bahan Galian


Pulau Sulawesi dengan kondisi geografis, iklim, topografi, geologi dan tektonik
memiliki potensi sebaran nikel di berbagai daerah di Lengan Timur Sulawesi.
Proses pengkayaan nikel dari hingga menjadi suatu endapan yang bernilai
ekonomis sangat tergantung pada berbagai macam kombinasi faktor yang cukup
kompleks. Oleh karena itu, pendekatan dari konsep eksplorasi secara umum
endapan ini berasosiasi terhadap batuan-batuan ultramafik yang kaya akan mineral-
mineral ferromagnesian yang mengandung nikel.
Endapan nikel laterit banyak ditemukan di beerbagai daerah di Sulawesi seperti
Sorowako, Bahodopi, dan Pomalaa karena sangat didukung oleh kondisi geologi
dimana batuan penyusun daerah terdiri dari batuan ultramafik yang mengandung
nikel. Endapan nikel dari hasil pelapukan batuan tersebut banyak mengalami
pengkayaan karena dipengaruhi oleh berbagai faktor-faktor lain seperti cuaca,
topografi, dan kondisi fisik batuan yang terpengaruh oleh adanya struktur geologi
yang berkembang cukup intensif di daerah ini. Masing-masing faktor ini akan
memberikan kontribusi yang cukup signifikan dengan proporsi yang berbeda dan
kompleks sehingga akan menghasilkan penampang laterit sangat bervariasi untuk
suatu daerah maupun dengan daerah yang lain.

Anda mungkin juga menyukai