1 Keadaan Geologi
Geologi daerah penelitian didominasi oleh satuan Batuan Ofiolit/Ultramafik (Ku)
berumur kapur, terdiri dari : peridotit dan hazburgit. Struktur geologi yang
berkembang berupa sesar mendatar mengiri berarah barat laut-tenggara (Sesar
Lasolo). Struktur geologi yang dijumpai di daerah kegiatan adalah sesar, lipatan
dan kekar. Sesar dan kelurusan umumnya berarah baratlaut – tenggara searah
dengan Sesar geser jurus mengiri Lasolo. Sesar Lasolo aktif hingga kini. Sesar
tersebut diduga ada kaitannya dengan Sesar Sorong yang aktif kembali pada Kala
Oligosen (Simandjuntak, dkk., 1983).
Posisi sulawesi tenggara sendiri terbentuk akibat tumbukan (collition) dua buah
lempeng besar, yaitu : lempeng benua yang berasal dari Australia dan lempeng
samudra yang berasal dari Pasifik. Akibat tumbukan tersebut maka daerah Sulawesi
tenggara berdasarkan tektono stratigrafi (mengenai ilmu stratigrafi silahkan di
download disini) maka wilayah sulawesi tenggara terdiri dari 3 group utama batuan
penyusunnya, yaitu: Sulawesi tenggara merupakan bagian dari pulau Sulawesi.
Pulau Sulawesi sendiri berbentuk mirip huruf K, sehingga jika diibaratkan sebuah
gari dengan dua buah lengan maka letak Sulawesi tenggara berada pada lengan
tenggara dari Pulau Sulawesi.
Simandjuntak dalam Surono (2010), menjelaskan bahwa berdasarkan sifat geologi
regionalnya Pulau Sulawesi dan sekitarnya dapat dibagi menjadi beberapa mandala
geologi yakni salah satunya adalah mandala geologi Sulawesi Timur. Mandala ini
meliputi lengan Tenggara Sulawesi, Bagian Timur Sulawesi Tengah dan Lengan
Timur Sulawesi. Lengan Timur dan Lengan Tenggara Sulawesi tersusun atas
batuan malihan, batuan sedimen penutupnya dan ofiolit yang terjadi dari hasil
proses pengangkatan (obduction) selama Miosen. Sulawesi dan sekitarnya
merupakan daerah yang kompleks karena merupakan tempat pertemuan tiga
lempeng besar yaitu lempeng Indo-Australia yang bergerak ke arah utara, lempeng
Pasifik yang bergerak ke arah barat dan lempeng Eurasia yang bergerak ke arah
selatan-tenggara serta lempeng yang lebih kecil yaitu lempeng Filipina. Geologi
Regional Kabupaten Konawe Utara berdasarkan himpuanan batuan dan pencirinya,
geologi Lembar Lasusua-Kendari dapat dibedakan dalam dua lajur, yaitu Lajur
Tinodo dan Lajur Hialu. Lanjur Tinodo dicirikan oleh batuan endapan paparan
benua dan Lajur Hialu oleh endapan kerak samudra/ofiolit ( Rusmana,dkk.,1985).
Secara garis besar kedua mandala ini dibatasi oleh Sesar Lasolo.
Geologi daerah peneliatan didominasi oleh satuan batuan ofiolit/Ultramafik (Ku)
berumur Kapur, terdiri dari : peridolit dan hazburgit. Struktur geologi yang
berkembang berupa sesar mendatar mengiri berarah baratlaut-tenggara (Sesar
Lasolo). Sesar mendatar menganan Anggowala berarah baratlaut tenggara dan
Sesar naik Wawo mengakibatkan beranjaknya batuan ultramafik. Lipatan
ditemukan berupa lipatan tertutup, lipatan rebah, lipatan pisau dan lipatan terbalik,
pada batuan tersier, termasuk dalam peta geologi Lembar Lasusua-Kendari,
Sulawesi, skala 1 : 250.000, terlihat dalam gambar 3.1 (Rusmana, 1993). Menurut
Moetamar (2007) batuan ultramafik yang terdiri dari peridodit dan hazburgit
tersebut merupakan formasi pembawa logam nikel.
Sumber : bgl.esdm.co.id
Gambar 3.1
Peta Geologi Kabupaten Konawe dan Kabupaten Konawe Utara
1. Continental terraneero
Menurut Surono (1994) kepingan benua di lengan tenggara Sulawesi dinamai
Mintakat Benua Sulawesi Tenggara (Southeast Sulawesi Continental Terrane) dan
Mintakat Matarombeo. Ini didasari oleh keberadaan kedua kepingan ini yang cukup
besar di daerah Sulawesi Tenggara. Penamaan lain untuk mintakat ini adalah
Keping Benua Lajur Tinondo (Rusmana & Sukarna, 1985) dan Benua Renik
Sulawesi Tenggara ( Davidson, 1991).
Mintakat benua Sulawesi Tenggara tersusun oleh Batuan tertua berupa kompleks
batuan malihan (matamorfik complex) berumur paleozoikum. Kompleks batuan
malihan di Sulawesi Tenggara terdiri dari sekis, kuarsit, sabak dan marmer
(simanjuntak, 1993) yang melampar dari kolaka utara hingga ke selatan membentuk
pegunungan Tangkelemboke, Mendoke dan Pegunungan Rumbia. Selanjutnya
diterobos oleh aplit dan diabas (Surono, 1986) yang batuannya dapat dilihat di
Sungai Ranteanging.
Kemudian pada akhir Trias pada mintakat benua di Sulawesi Tenggara diendapkan
formasi Meluhu (Rusmana & Sukarna, 1985) yang terdiri dari batupasir kuarsa,
serpih merah, batulanau dan batulumpur pada bagian bawahnya, perselingan serpih
hitam, batupasir dan batugamping dibagian atasnya. Selanjutnya ditindih takselaras
(unconformity) diatasnya oleh formasi Tampakura yang berumur Eosen-Oligosen
(surono, 1994) yang terdiri dari oolit, mudstone, wackestone, packstone dan sisipan
batupasir, serpih, lanau dan napal dibagian bawahnya. Kedua formasi tersebut
merupakan batuan sedimen klastik dan batuan sedimen karbonatan. Sehingga
menunjukkan pada saat mesozoikum di daerah Sulawesi Tenggara terdapat
peristiwa perubahan lingkungan pendendapan dari darat menjadi laut atau terjadi
peristiwa transgresi.
2. Oceanic terrane
Oceanic terrane di Sulawesi Tenggara terdiri dari kompleks ofiolit dan sedimen
pelagic. Kompleks ofiolit Sulawesi Tenggara merupakan bagian dari lajur ofiolit
Sulawesi Timur dimana diatasnya di tutupi oleh sedimen pelagic (apa itu sedimen
pelagic silahkan kesini). Kompleks ofiolit Sulawesi Tenggara didominasi oleh
batuan ultramafik dan mafik yang terdiri dari harzburgit, dunit, werlit, lerzolit,
websterit, serpentinit, dan piroksinit ( kundig, 1956, simanjuntak dkk, 1993,
rusmana dkk, 1993 dalam Surono, 2010). Sedangkan untuk batuan mafik terdiri atas
gabro, basalt, dolerite, mikrogabro, dan amfibolit. Untuk batuan sedimen pelagic
tersusun oleh batugamping laut dalam dan sisipan rijang merah (rijang radiolarian)
(Hamilton, 1979, silver 1983, Simanjuntak 1986 dalam Surono, 2010).
3. Molasa Sulawesi
Molasa Sulawesi di Sulawesi Tenggara tersebar luas dan umumnya menempati
bagian selatan dari jasirah Sulawesi bagian tenggara. Molasa Sulawesi yang berada
di Sulawesi Tenggara terdiri atas sedimen klastik dan sedimen karbonatan. Sedimen
klastik dari molasa Sulawesi terdiri atas Formasi Langkowala dan Formasi
Boepinang. Sedangkan sedimen karbonat yang berasosiasi dengan batupasir adalah
formasi eomoiko.
Pembahasan lebih lanjut tentang ketiga group batuan penyusun lengan tenggara
Sulawesi dan tentang stratigrafi daerah Sulawesi Tenggara dapat di lihat dalam
buku Publikasi Khusus Geologi Lengan Tenggara Sulawesi karangan bapak Prof.
Dr. Surono terbitan Badan Geologi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral.
Berdasarkan struktur litotektonik, Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya dibagi
menjadi empat, yaitu; Mandala barat (West & North Sulawesi Volcano-Plutonic
Arc) sebagai jalur magmatik yang merupakan bagian ujung timur Paparan Sunda,
Mandala tengah (Central Sulawesi Metamorphic Belt) berupa batuan malihan yang
ditumpangi batuan bancuh sebagai bagian dari blok Australia,
Mandala timur (East Sulawesi Ophiolite Belt) berupa ofiolit yang
merupakan segmen dari kerak samudera berimbrikasi dan batuan
sedimen berumur Trias-Miosen dan yang keempat adalah Fragmen
Benua.Banggai-Sula-Tukang Besi, kepulauan paling timur dan tenggara
Sulawesi yang merupakan pecahan benua yang berpindah ke arah barat karena
strike-slip faults dari New Guinea.
Daerah konawe utara berdasarkan struktur litotektonik terletak pada mandala timur
(East Sulawesi Ophiolit Belt) berupa ofilit yang segmen kerak samudra
berimbrikasi dan batuan sedimen berumur trias-miosen. Batuan kompleks ofiolit
dan sedimen pelagis di Lengan Timur dan Tenggara Sulawesi dinamakan Sabuk
Ofiolit Sulawesi Timur. Sabuk ini terdiri atas batuan-batuan mafik dan ultramafik
disertai batuan sedimen pelagis dan melange di beberapa tempat. Batuan ultramafik
dominan di Lengan Tenggara, tetapi batuan mafiknya dominan lebih jauh ke utara,
terutama di sepanjang pantai utara Lengan Tenggara Sulawesi. Sekuens ofiolit
yang lengkap terdapat di Lengan Timur, meliputi batuan mafik dan ultramafik,
pillow lava dan batuan sedimen pelagis yang didominasi limestone laut dalam serta
interkalasi rijang berlapis. Berdasarkan data geokimia sabuk Ofiolit Sulawesi
Timur ini diperkirakan berasal dari mid-oceanic ridge (Surono, 1995).
Continental terrain Sulawesi Tenggara (The Southeast Sulawesi
continental terrain=SSCT) menempati area yang luas di Lengan
Tenggara Sulawesi, sedangkan sabuk ofiolit terbatas hanya pada bagian utara
lengan tenggara Sulawesi. SSCT berbatasan dengan Sesar Lawanopo di sebelah
timur laut dan Sesar Kolaka di sebelah barat daya. Dataran ini dipisahkan dari
Dataran Buton oleh sesar mendatar,
dimana pada ujung timur terdapat deretan ofiolit yang lebih tua. SSCT
memiliki batuan dasar metamorf tingkat rendah dengan sedikit campuran aplitic,
karbonat klastik berumur Mesozoikum dan
limestone berumur Paleogen. Deretan sedimen klastik tersebut mencakup
formasi Meluhu di akhir Triassic dan unit limestone yang
berumur Paleogen mencakup formasi Tamborasi dan formasi Tampakura.
Batuan dasar metamorf tingkat rendah membentuk komponen utama
lengan Tenggara Sulawesi. Batuan metamorf tua terkait dengan proses
penguburan, sedangkan batuan metamorf muda disebabkan oleh patahan dalam
skala besar ketika continental terrain Sulawesi
Tenggara bertabrakan dengan sabuk ofiolit, Batuan metamorf ini diterobos oleh
aplite dan ditindih oleh lava kuarsa-latite terutama di sepanjang pantai barat Teluk
Bone. Di daerah konawe utara, batuan dasar secara tidak selaras ditindih oleh
formasi Meluhu berumur Triassic, yang terdiri dari sandstone, shale dan mudstone.
Fragmen batuan metamorf di dalam
sandstone mengindikasikan bahwa area sumber formasi Meluhu
didominasi oleh batuan dasar metamorfik. Batuan metamorf itu
mungkin tertutup oleh sedimen tipis. Adanya sedikit fragmen vulkanik
dalam formasi Meluhu menunjukkan bahwa batuan vulkanik
juga membentuk lapisan tipis dengan cakupan lateral terbatas di daerah
sumber. Sedikit fragmen igneous rock mungkin berasal dari dyke yang menerobos
basement metamorf. Umur formasi Meluhu setara dengan umur formasi Tinala di
dataran
Matarombeo dan umur formasi Tokala di dataran Siombok, hal ini disebabkan
litologi ketiga formasi tersebut serupa, dimana terdapat deretan klastik yang
dominan di bagian yang lebih rendah dan karbonat yang dominan di bagian yang
lebih tinggi dari ketiga formasi tersebut. Adanya Halobia dan Daonella di ketiga
formasi tersebut menunjukkan umur akhir
Triassic, dimana kehadiran ammonoids dan polen dalam wilayah Tuetue dari
formasi Meluhu sangat mendukung penafsiran ini. Formasi Tokala di daratan
Konawe utara yang berada di lengan timur Sulawesi, terdiri dari limestone dan
napal dengan sisipan shale dan chert (rijang). Adapun Steptorhynchus, Productus
dan Oxytoma yang sekarang berada di formasi Tokala menunjukan usia Permo-
Carbonaferous. Namun, Misolia dan Rhynchonella ditemukan dalam lapisan
limestone mengindikasikan umur akhir Triassic. Karena kesamaan litologi
antara formasi ini dan bagian atas formasi Meluhu, usia akhir Triassic mungkin
yang paling tepat untuk usia formasi Tokala, sedangkan usia Permo -Carbonaferous
mungkin merupakan usia basementnya, dimana formasi Tokala ditindih oleh
batuan konglomerat pink granite
dari formasi Nanaka yang mungkin berasal dari basement granit Kepulauan
Banggai-Sula.
A. Perkembangan Tektonik Konawe Utara
Banyak model tektonik yang sudah diajukan untuk menjelaskan evolusi
tektonik dari Pulau Sulawesi. Ada dua peristiwa penting yang
terjadi di Sulawesi bagian barat pada masa kenozoikum, salah satunya yang
terjadi di daerah konawe utara adalah
peristiwa kompresional yang dimulai sejak miosen. Kompresi ini dipengaruhi
oleh tumbukan kontinen di arah barat dan ofiolit serta fragmen-fragmen
busur kepulauan di arah timur. Fragmen-fragmen ini termasuk mikro-kontinen
Buton, Tukang Besi dan Baggai Sula.
Kompresi ini menghasilkan Jalur Lipatan Sulawesi Barat (West Sulawesi Fold
Belt) yang berkembang pada Pliosen Awal. Meskipun ukuran fragmen-
fragmen ini relatif kecil, efek dari koalisinya dipercaya menjadi penyebab
terjadinya peristiwa-peristiwa tektonik di seluruh bagian Sulawesi (Calvert, 2003).
2) Pelapukan
Pelapukan (weathering) dari perkataan weather dalam bahasa Inggris yang
berarti cuaca, sehingga pelapukan batuan adalah proses yang berhubungan
dengan perubahan sifat (fisis dan kimia) batuan di permukaan bumi oleh
pengaruh cuaca. Secara umum, pelapukan diartikan sebagai proses
hancurnya massa batuan oleh tenaga Eksogen, menurut Olliver (1963)
pelapukan adalah proses penyesaian kimia, mineral dan sifat fisik batuan
terhadap kondisi lingkungan di sekitarnya. Akibat dari proses ini pada
batuan terjadi perubahan warna, misalnya kuning-coklat pada bagian luar
dari suatu bongkah batuan. Meskipun proses pelapukan ini berlangsung
lambat, karena telah berjalandalam jangka waktu yang sangat lama maka
di beberapa tempat telah terjadi pelapukan sangat tebal.
4) Erosi
Erosi adalah peristiwa pengikisan padatan (sedimen, tanah, batuan, dan
partikel lainnya) akibat transportasi angin, air atau es, karakteristik hujan,
creed pada tanah dan material lain di bawah pengaruh gravitasi, atau oleh
makhluk hidup semisal hewan yang membuat liang, dalam hal ini disebut
bio-erosi. Menurut istilah ilmu geologi erosi merupakan suatu perubahan
bentuk batuan, tanah atau lumpur yang disebabkan oleh kekuatan air,
angin, es, pengaruh gaya berat dan organisme hidup.
5) pengendapan/Sedimentasi
Pettijohn (1975) mendefinisikan sedimentasi sebgai proses
pembentukan sedimen atau batuan sedimen yang diakibatkan oleh
pengendapan dari material pembentuk atau asalnya pada suatu tempat
yang disebut dengan lingkungan pengendapan berupa sungai, muara,
danau, delta,estuaria, laut dangkal sampai laut dalam.
Sesar naik ditemukan di daerah Wawo, sebelah barat Tampakura dan di Tanjung
Labuandala di selatan Lasolo; yaitu beranjaknya batuan ofiolit ke atas Batuan
Malihan Mekonga, Formasi Meluhu dan Formasi Matano. Sesar Anggowala juga
merupakan sesar utama, sesar mendatar menganan (dextral), mempunyai arah
baratlaut-tenggara. Sesar mendatar menganan Anggoala berarah baratlaut tenggara
dan Sesar naik Wawo mengakibatkan beranjaknya batuan ultramafik. Lipatan
ditemukan berupa lipatan tertutup, lipatan rebah, lipatan pisau dan lipatan terbalik,
pada batuan Tersier, termasuk dalam Peta Geologi Lembar Lasusua-Kendari,
Sulawesi, dengan skala 1 : 250.000. Menurut Moetamar (2007) batua ultramafik
yang terdiri dari peridotit hazburgit tersebut merupakan formasi pembawa logam
nikel.
Secara umum daerah ini termasuk Mandala Geologi Sulawesi Timur, yang dicirikan
oleh himpunan batuan malihan, serpentinit, gabro, basal, dan batuan sedimen
pelagos Mesozoikum (Sukamto, 1975). Batuan-batuan yang tersingkap di daerah
kegiatan inventarisasi berumur mulai dari Paleozoikum sampai Kuarter, menurut E.
Rusmana, dkk. (1993) pada Peta Geologi Lembar Lasusua – Kendari, Sulawesi,
sekala 1: 250.000. Berdasarkan himpunan batuan dan pencirinya, geologi Lembar
Lasusua – Kendari dapat dibedakan dalam dua lajur; yaitu Lajur Tinodo dan Lajur
Hialu. Lajur Tinodo dicirikan oleh batuan endapan paparan benua, dan Lajur Hialu
oleh endapan kerak samudra/ofiolit, (Rusmana, dkk., 1985).
Secara garis besar kedua mendala ini dibatasi oleh Sesar Lasolo. Batuan yang
terdapat di Lajur Tinodo yang merupakan batuan alas adalah batuan malihan
Paleozoikum (Pzm) dan diduga berumur Karbon. Pualam Paleozoikum (Pzmm)
menjemari dengan batuan malihan Paleozoikum terutama terdiri dari pualam dan
batugamping terdaunkan. Pada Permo -Trias di daerah ini diduga terjadi kegiatan
magma yang menghasilkan terobosan antara lain aplit PTr (ga), yang menerobos
batuan malihan Paleozoikum. Formasi Meluhu (TRJm) ,secara tak selaras menindih
Batuan Malihan Paleozoikum. Pada zaman yang sama terendapkan Formasi Tokala
(TRJt). Hubungan dengan Formasi Meluhu adalah menjemari. Pada kala Eosen
Kolokium Hasil Kegiatan Lapangan – DIM, 200514-3 hingga Miosen Tengah, pada
lajur inimterjadi pengendapan Formasi Salodik (Tems).
Batuan yang terdapat di Lajur Hialu adalah batuan ofiolit (Ku) yang terdiri dari
peridotit, harsburgit, dunit dan serpentintit. Batuan ofiolit ini tertindih tak selaras
oleh Formasi Matano (Km) yang berumur Kapur Akhir, dan terdiri dari
batugamping berlapis bersisipan rijang pada bagian bawahnya. Batuan sedimen tipe
molasa berumur Miosen Akhir – Pliosen Awal membentuk Formasi Pandua
(Tmpp). Formasi ini mendindih takselaras semua formasi yang lebih tua, baik di
Lajur Tinodo maupun di Lajur Hialu. Pada Kala Plistosen Akhir terbentuk
batugamping terumbu koral (Ql) dan Formasi Alangga (Opa) yang terdiri dari
batupasir dan konglomerat. Batuan termuda di lembar peta ini ialah Aluvium (Qa)
yang terdiri dari endapan sungai, rawa dan pantai.
Potensi bijih nikel Kabupaten Konawe Utara adalah sebesar 529,9 juta ton, dengan
nilai sumberdaya sebesar 460,57 juta ton, dan cadangan 69,3 juta ton, kadar Ni
berkisar 0,6-2%, terdapat di Kecamatan Routa, Kecamatan Puriala, Kecamatan
Pondidaha. Sedangkan di Kabupaten Konawe utara total potensi nikel adalah
sebesar 501,8 juta ton, kadar Ni dari 0,98-2,95%, tersebar di Kecamatan Lasolo,
Kecamatan Langikima, Kecamatan Molawe dan Kecamatan Wiwirano (Anonim,
2011b).
3.1.1 Keadaan Endapan
Endapan nikel laterit dapat dibagi menjadi dua jenis: nickel ferrous ferugineous dan
nickel silicate (nikel laterit silika). Nikel laterit pertama memiliki kandungan besi
40% Fe dan Ni ±1%. Dan Nikel laterit silica mempunyai kandungan besi < 35%
Fe, dan Ni mencapai 15%, terdapat pada nickel garnierite, terbentuk dibagian zona
saprolit (Chetetat, 1947, dalam Sutisna, 2006). Endapan nikel laterit silica
merupakan endapan yang terbentuk oleh proses residual sillika bijih nikel yang
berasosiasi dengan batuan ultramafik dunit, peridotit, serpentinit-harzburgit pada
lingkungan tropis-subtropis berumur Mesozoikum-Kuarter. Keterdapatan nikel di
Indonesia umumnya sebagai endapan nikel laterit silica hasil pelap[ukan residual
batuan dasar Komplek Ofiolit/Ultramafik, yang terakumulasi pada batuan peridotit
serpentinit dan harzburgit (Smirnov, 1976).
Proses pembentukan nikel laterit diawali dari proses pelapukan batuan ultrabasa,
dalam hal ini adalah batuan harzburgit. Batuan ini banyak mengandung olivin,
piroksen, magnesium silikat dan besi, mineral-mineral tersebut tidak stabil dan
mudah mengalami proses pelapukan.Faktor kedua sebagai media transportasi Ni
yang terpenting adalah air. Air tanah yang kaya akan CO2, unsur ini berasal dari
udara luar dan tumbuhan, akan mengurai mineral-mineral yang terkandung dalam
batuan harzburgit tersebut. Kandungan olivin, piroksen,magnesium silikat, besi,
nikel dan silika akan terurai dan membentuk suatu larutan, di dalam larutan yang
telah terbentuk tersebut, besi akan bersenyawa dengan oksida dan mengendap
sebagai ferri hidroksida.
Endapan ferri hidroksida ini akan menjadi reaktif terhadap air, sehingga kandungan
air pada endapan tersebut akan mengubah ferri hidroksida menjadi mineral-mineral
seperti goethite (FeO(OH)),hematit (Fe2O3) dan cobalt. Mineral-mineral tersebut
sering dikenal sebagai “besi karat”. Endapan ini akan terakumulasi dekat dengan
permukaan tanah, sedangkan magnesium, nikel dan silika akan tetap tertinggal di
dalam larutan dan bergerak turun selama suplai air yang masuk ke dalam tanah terus
berlangsung. Rangkaian proses ini merupakan proses pelapukan dan leaching.
Unsur Ni sendiri merupakan unsur tambahan di dalam batuan ultrabasa. Sebelum
proses pelindihan berlangsung, unsur Ni berada dalam ikatan serpentine group.
Rumus kimia dari kelompok serpentin adalah X2-3 SiO2O5(OH)4, dengan X
tersebut tergantikan unsur-unsur seperti Cr, Mg, Fe, Ni, Al, Zn atauMn atau dapat
juga merupakan kombinasinya.
Adanya suplai air dan saluran untuk turunnya air, dalam hal berupa kekar, maka Ni
yang terbawa oleh air turun ke bawah, lambat laun akan terkumpul di zona air sudah
tidak dapat turun lagi dan tidak dapat menembus bedrock (Harzburgit). Ikatan dari
Ni yang berasosiasi dengan Mg, SiO dan H akan membentuk mineral
garnieritdengan rumus kimia (Ni,Mg)Si4O5(OH)4. Apabila proses ini berlangsung
terus menerus, maka yang akan terjadi adalah proses pengkayaan supergen
(supergen enrichment). Zona pengkayaan supergen ini terbentuk di zona saprolit.
Dalam satu penampang vertikal profil laterit dapat juga terbentuk zona pengkayaan
yang lebih dari satu, hal tersebut dapat terjadi karena muka air tanah yang selalu
berubah-ubah, terutama dari perubahan musim. Dibawah zona pengkayaan
supergen terdapat zona mineralisasi primer yang tidak terpengaruh oleh proses
oksidasi maupun pelindihan, yang sering disebut sebagai zona Hipogen, terdapat
sebagai batuan induk yaitu batuan Harzburgit.
Selain itu, endapan nikel juga terkonsentrasi pada morfologi dengan karakteristik
ideal. Morfologi ideal ini berpengaruh terhadap efektifitas proses pelapukan, dan
tingkat erosi yang diakibatkan oleh dinamika iklim tropis. Morfologi ini umumnya
berbentuk dataran (plato) dengan kemiringan lereng rendah atau daerah
bergelombang dengan kemiringan lereng dibawah 30˚C (Swamidharma, 2011).
Pembagian pengayaan nikel laterit berdasarkan kemiringan lereng dapat dijelaskan
pada gambar 3.2 (Chetetat, 1947; Blanchard, 1994 dalam Gilbert dan Park, 1986).
Tipe endapan nikel laterit di Sulawesi, ditemukan terakumulasi pada lapisan
saprolit dan limonit. Endapan nikel akan terakumulasi dibagian bawah saprolit dan
kadarnya akan meningkat ± 30%, dengan kisaran kadar Ni 1,5 – 3%
(Swamidharma, 2011).
3.1.2 Genesa pembentukan endapan nikel laterit
3.1.2.1 Proses Terbentuknya Nikel Laterit
A. Pengertian Nikel Laterit
Istilah “laterite” atau laterit berasal dari bahasa Latin “later” yang berarti bata.
Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Buchanan Hamilton pada tahun 1807
untuk bongkahan-bongkahan tanah (earthy iron crust) yang telah dipotong menjadi
bata (bricks) untuk bangunan dari orang Malabar – South Central India. Masyarakat
Malabar mengenali material ini dalam bahasa mereka sebagai “brickstone” atau
batu bata (dikutip dari Waheed Ahmad, 2006).
Sekarang ini, istilah “laterite” digunakan untuk pengertian residu tanah yang kaya
akan senyawa oksida besi (sesquioxsides of iron) yang terbentuk dari akibat
pelapukan kimia dengan kondisi air tanah tertentu. Untuk residu tanah yang kaya
dengan oksida alumina (hydrated aluminium oxides) dinamakan “bauxite” atau
bauksit.Jadi secara umum dapat dipahami bahwa batuan-batuan mafik yang mana
mengandung lebih banyak Fe daripada Al cenderung akan membentuk laterit
sedangkan batuan-batuan granitik dan argillik sebaliknya cendrung akan
membentuk endapan bauksit karena kandungan Al lebih banyak dari Fe-nya.
Secara umum, nikel laterit diartikan sebagai suatu endapan bijih nikel yang
terbentuk dari proses laterisasi pada batuan ultramafik (peridotit, dunit dan
serpentinit) yang mengandung Ni dengan kadar yang tinggi, yang pada umumnya
terbentuk pada daerah tropis dan sub tropis. Kandungan Ni di batuan asalberkisar
0.28 % dapat mengalami kenaikan menjadi 1 % Ni sebagai konsentrasi sisa
(residual concentration) pada zona limonit (Waheed Ahmad, 2006). Proses laterit
ini selanjutnya dapat berkembang menjadi proses pengayaan nickel (supergene
enrichment) pada zona saprolit sehingga dapat meningkatkan kandungan nikel
menjadi lebih besar dari 2 %.
Sebetulnya, disamping endapan nikel laterit, terdapat juga type endapan lain seperti
yang dikenal dengan nama nikel sulfida yang mana terbentuk dari proses
hidrothermal sehingga membentuk suatu cebakan atau endapan nikel dalam bentuk
urat-urat (veins). Salah satu contoh dari type endapan ini bisa ditemukan di tambang
Sudbury-Kanada. Namun demikian, untuk tulisan ini kita hanya ingin mengenal
lebih jauh tentang nikel laterit itu sendiri, yang mana tersebar banyak di daerah
Sorowako, Bahodopi dan Pomalaa.
Proses pembentukan nikel laterit diawali dari proses pelapukan batuan ultrabasa,
dalam hal ini adalah batuan harzburgit. Batuan ini banyak mengandung olivin,
piroksen, magnesium silikat dan besi, mineral-mineral tersebut tidak stabil dan
mudah mengalami proses pelapukan.
Faktor kedua sebagai media transportasi Ni yang terpenting adalah air. Air tanah
yang kaya akan CO2, unsur ini berasal dari udara luar dan tumbuhan, akan
mengurai mineral-mineral yang terkandung dalam batuan harzburgit tersebut.
Kandungan olivin, piroksen,magnesium silikat, besi, nikel dan silika akan terurai
dan membentuk suatu larutan, di dalam larutan yang telah terbentuk tersebut, besi
akan bersenyawa dengan oksida dan mengendap sebagai ferri hidroksida.
Endapan ferri hidroksida ini akan menjadi reaktif terhadap air, sehingga kandungan
air pada endapan tersebut akan mengubah ferri hidroksida menjadi mineral-mineral
seperti goethite (FeO(OH)), hematit (Fe2O3) dan cobalt. Mineral-mineral tersebut
sering dikenal sebagai “besi karat”. Endapan ini akan terakumulasi dekat dengan
permukaan tanah, sedangkan magnesium, nikel dan silika akan tetap tertinggal di
dalam larutan dan bergerak turun selama suplai air yang masuk ke dalam tanah terus
berlangsung. Rangkaian proses ini merupakan proses pelapukan dan leaching.
Unsur Ni sendiri merupakan unsur tambahan di dalam batuan ultrabasa. Sebelum
proses pelindihan berlangsung, unsur Ni berada dalam ikatan serpentine group.
Rumus kimia dari kelompok serpentin adalah X2-3 SiO2O5(OH)4, dengan X
tersebut tergantikan unsur-unsur seperti Cr, Mg, Fe, Ni, Al, Zn atauMn atau dapat
juga merupakan kombinasinya.
Adanya suplai air dan saluran untuk turunnya air, dalam hal berupa kekar, maka Ni
yang terbawa oleh air turun ke bawah, lambat laun akan terkumpul di zona air sudah
tidak dapat turun lagi dan tidak dapat menembus bedrock (Harzburgit). Ikatan dari
Ni yang berasosiasi dengan Mg, SiO dan H akan membentuk mineral
garnieritdengan rumus kimia (Ni,Mg) Si4O5(OH)4. Apabila proses ini berlangsung
terus menerus, maka yang akan terjadi adalah proses pengkayaan supergen
(supergen enrichment). Zona pengkayaan supergen ini terbentuk di zona saprolit.
Dalam satu penampang vertikal profil laterit dapat juga terbentuk zona pengkayaan
yang lebih dari satu, hal tersebut dapat terjadi karena muka air tanah yang selalu
berubah-ubah, terutama dari perubahan musim. Dibawah zona pengkayaan
supergen terdapat zona mineralisasi primer yang tidak terpengaruh oleh proses
oksidasi maupun pelindihan, yang sering disebut sebagai zona Hipogen, terdapat
sebagai batuan induk yaitu batuan Harzburgit.
Batuan induk dari nikel adalah ultrabasa dengan rata-rata kandungan Ni 0,2 % yang
terdapat pada kisi-kisi kristal olivin dan piroksen (“vinogradov”). Pada awal yang
dialami batuan induk adalah proses ‘serpentinisasi’. Serpentinisasi akibat pengaruh
larutan hydrothermal pada akhir pembekuan magma telah mengubah batuan
ultrabasa menjadi serpentinnit atau peridotit terserpentinkan. Batuan ini sangat
mudah terpengaruh oleh pelapukan lateritik.
Air tanah yang banyak mengandung CO2 berasal dari udara dan tumbuh-tumbuhan
akan menghancurkan olivin. Penguraian olivin, magnesium, besi, nikel dan silika
ke dalam larutan cenderung untuk membentuk suspensi koloid dari partikel-partikel
silika yang sub-mikroskopik. Di dalam larutan, besi akan besenyawa dengan oksida
dan mengendap sebagai feri-hidroksida. Akhirnya endapan ini akan menghilangkan
air dengan membentuk mineral-mineral seperti karat, yaitu goetit (FeO9OH),
hematite (Fe2O3) dan kobalt dalam jumlah kecil. Jadi besi oksida mengendap dekat
dengan permukaan tanah, sedang magnesium, nikel, silika tertinggal di dalam
larutan selama larutan masih asam. Tetapi jika dinetralisasi karena adanya reaksi
dengan batuan dan tanah, maka zat-zat tersebut akan cenderung mengendap sebagai
hydrosilikat.
Beberapa proses reaksi kimia pada proses serpentinisasi terjadi sebagai berikut :
Larutan CO2 mengubah mineral olivin menjadi serpentin dan magnesit
Adanya erosi air tanah asam dan erosi di permukaan bumi akan mengubah mineral-
mineral yang telah diendapkan. Zat tersebut dibawa ke tempat yang lebih dalam.
Selanjutnya diendapkan, sehingga terjadi pengayaan pada bijih nikel. Kandungan
nikel pada zat terendapkan akan semakin bertambah banyak, dan selama itu
magnesium tersebar pada aliran tanah. Dalam hal ini proses pengayaan bersifat
komulatif.
Proses pengayaan dimulai dari suatu batuan yang mengandung 0,20 % nikel,
sehingga akan menghasilkan 1,05 % bijih nikel. Keadaan ini merupakan suatu kadar
nikel yang sudah marketable. Waktu yang diperlukan untuk proses pengayaan
tersebut beberapa juta tahun. Bijih nikel pada endapan laterit yang mempunyai
kadar paling tinggi terdapat pada dasar zona pelapukan dan diendapkan pada
retakan-retakan di bagian atas dari lapisan dasar (bedrock). Perlu ditambahkan
bahwa endapan nikel laterit terletak pada lapisan bumi yang kaya akan besi.
Pembagian sempurna dari besi dan nikel ke dalam zona-zona yang berbeda, tidak
pernah ada.
Pengayaan besi dan nikel terjadi melalui pemindahan magnesium dan silika. Besi
dalam material ini paling banyak berbentuk mineral ferrioksida yang pada
umumnya membentuk gumpalan (disebut limonit). Di mana endapan nikel tersebut
ditunjukkan dengan adanya jenis limonite tersebut atau sebagai “nickel ferrous iron
ore”.
Unsur-unsur Ca dan Mg yang terlarut sebagai karbonat terbawa ke bawah sampai
batas pelapukan dan diendapkan sebagai dolomitan, magnesit, kalsite (mengisi
celah/rekah pada batuan asal). Di lapangan dikenal sebagai petunjuk antar zona
pelapukan dan zona batuan fresh, disebut “akar pelapukan” (root of weathering).
Faktor yang mempengaruhi pembentukan endapan nikel adalah :
1. Batuan asal
2. Iklim
3. Reagen kimia dan vegetasi
4. Struktur
5. Topografi
6. Waktu
7. Penyebaran endapan
Faktor Biologi : Faktor Iklim :
1. Tipe Vegetasi 1. Temperatur
2. Pembusukan 2. Curah Hujan (Jumlah
(decaying) vegetasi dan Pola)
3. Aktivitas Mikroba 3. PH hujan
4. Aktivitas Manusia 4. Musim
SISTEM PELAPUKAN
Gambar 3.2
Tabel 3.1
Elemen Mayor Dan Minor Pada Batuan Beku
Ultrabasa Basa Intermediate Asam
Gambar 3.3
Hubungan antara topografi dengan proses laterisasi
6. Waktu yang cukup lama akan mengakibatkan pelapukan yang cukup intensif
karena akumulasi unsur nikel cukup tinggi.
Kesemua faktor ini berkaitan begitu kompleks dimana peranan secara individu dari
masing-masing faktor sangat susah dibedakan. Kesemuanya bisa mempengaruhi
bentuk profil pelapukan secara individual berbeda, bentuk topografi dari “ore body”
pada batuan peridotitnya dan bentuk secara umum dari residu nikel laterit tersebut.
Bentuk topografi atau morfologi yang tidak curam tingkat kelerengannya, dimana
endapan laterit masih mampu untuk ditopang oleh permukaaan topografi sehingga
nikel laterit tersebut tidak hilang oleh proses erosi maupun ketidakstabilan lereng.
Adanya tumbuhan penutup yang berfungsi untuk mengurangi tingkat intensitas
erosi endapan laterit menyebakan endapan laterit tersebut relatif tidak terganggu.
Meskipun komposisi batuan asal memegang peran penting untuk menghasilkan
endapan laterit, kondisi iklim yang ada dan sejarah geologi yang berkenaan dengan
proses pembentukan soil akhirnya memegang peranan penting dalam mengontrol
komposisi akhir dari soil residu tersebut. Pelapukan dari batuan mafik pada kondisi
iklim dingin cenderung akan membentuk endapan clay (lempung) sementara pada
pelapukan yang tinggi dengan kondisi iklim panas dan lembab akan menyebakan
laterit berkembang dengan baik.
Oleh karena itu, agar laterit tersebut dapat berkembang dengan baik, menurut
Waheed Ahmad (2006), maka dibutuhkan beberapa kondisi seperti:
1. Keberadaan batuan yang mengandung besi Relatively high temperature (to
aid in chemical attack)
2. Air tanah yang bersifat agak asam (slightly acidic) untuk membantu dalam
reaksi kimia
3. Curah hujan yang tinggi untuk membantu pelapukan kimia dan
menghilangkan unsure-unsur yang mudah larut (mobile elements)
4. Lingkungan oksidasi yang kuat (untuk mengubah Fe2+ (FeO) menjadi Fe3+
(Fe2O3)
5. Proses pengayaan (supergene enrichments) untuk menghasilkan konsentrasi
nikel dalam jumlah yang cukup tinggi.
6. Bentuk topografi yang sedang untuk melindungi laterit dari proses erosi
7. Waktu yang cukup untuk agar laterit terakumulasi untuk ketebalan yang
baik.
Profil secara keseluruhan dari nikel laterit terdiri dari 5 zona gradasi, yiatu sebagai
berikut :
1. Iron Capping
Iron capping merupakan bagian yang paling atas dari suatu penampang
laterit. Komposisinya adalah akar tumbuhan, humus, oksida besi dan sisa-
sisa organik lainnya. Warna khas adalah coklat tua kehitaman dan bersifat
gembur. Kadar nikelnya sangat rendah sehingga tidak diambil dalam
penambangan. Ketebalan lapisan tanah penutup rata-rata 0,3 s/d 6 m.
Berwarna merah tua, merupakan kumpulan massa goethite dan limonite.
Iron capping mempunyai kadar besi yang tepi kadar nikel yang rendah.
Terkadang terdapat mineral-mineral hematite, chromiferous.
2. Limonite Layer
Limonite layer merupakan hasil pelapukan lanjut dari batuan beku
ultrabasa. Komposisinya meliputi oksida besi yang dominan, geothit dan
magnetit. Ketebalam lapisan ini rata-rata 8-15 m. Dalam limonit dapat
dijumpai adanya akar tumbuhan, meskipun dalam presentase yang sangat
kecil. Kemunculan bongkah-bongkah batuan beku ultrabasa pada zona ini
tidak dominan atau hampir tidak ada, umumnya mineral-mineral di batuan
beku basa-ultrabasa telah berubah menjadi serpentin akibat hasil dari
pelapukan yang belum tuntas, fine grained merah coklat atau kuning,
lapisan kaya besi dari limonit soil menyelimuti seluruh area. Lapisan ini
tipis pada daerah yang terjal dan sempat hilang karena erosi. Sebaguan dari
nikel pada zona ini hadir di dalam mineral manganese oxide, lithiophorite.
Terkadang terdapat mineral talc, tremolite, chrominferous, quartz, gibsite,
maghemite.
3. Silika Boxwork
Putih-orange chert, quartz, mengisi sepanjang fractured dan sebagian
menggantikan zona terluar dari unserpentine fragmen peridotite, sebagian
mengawetkan struktur dan tekstur dari batuan asal. Terkadang terdapat
mineral opal, magnesite. Akumulasi dari garnierit-pimelite di dalam
boxwork mungkin berasal dari nikel ore yang kaya silika. Zona boxwork
jarang terdapat pada bedrock yang serpentinized.
4. Saprolite
Zona ini merupakan zona pengayaan unsur Ni. Komposisinya berupa
oksida besi, serpentim sekitar <0,4% kuarsa magnetit dan tekstur batuan
asal yang masih terlihat. Ketebalan lapisan ini berkisar 5-18 m.
Kemunculan bongkah-bongkah sangat sering dan pada rekahan-rekahan
batuan asal dijumpai magnesit, serpentin, krisopras dan garnierit. Bongkah
batuan asal yang muncul pada umumnya memiliki kadar SiO2 dan MgO
yang tinggi serta Ni dan Fe yang rendah. Campuran dari sisa-sisa batuan,
butiran halus limonite, saprolitic rims, vein dari endapan garnierite,
nickelferous quartz, mangan dan pada beberapa kasus terdapat silika
boxwork, bentukan dari suatu zona transisi dari limonite ke bedrock.
Terkadang terdapat mineral quartz yang mengisi rekahan, mineral-mineral
primer yang terlapukkan, chlorite. Granierite di lapangan biasanya
diidentifikasi sebagai kolloidal talc dengan lebih atau kurang nickeliferous
serpentin. Struktur dan tekstur batuan asal masih terlihat.
5. Bedrock
Bagian terbawah dari profil laterit tersusun atas bongkah yang lebih besar
dari 75 cm dan blok peridotit (batuan dasar) dan secara umum sudah tidak
mengandung mineral ekonomis (kadar logam sudah mendekati atau sama
dengan batuan dasar). Batuan dasar merupakan batuan asal dari nikel
laterit yang umumnya merupakan batuan beku ultrabasa yaitu harzburgit
dan dunit yang pada rekahannya telah terisi oleh mineral granierit dan
silika. Frakturisasi ini diperkirakan menjadi penyebab adanya root zone
yaitu zona high grade Ni, akan tetapi posisinya tersembunyi.
Sumber : geologinesia.com
Gambar 3.4
Bentuk sederhana dari penampang nikel laterit
Sumber : geologinsia.com
Gambar 3.5
Bentuk ragam dari penampang nikel laterit hubungannya dengan iklim dan
topografi
C. Proses Pembentukan Nikel
Pembentukan nikel laterit secara kimia terkait dengan proses serpentinisasi yang
terjadi pada batuan peridotite akibat pengaruh larutan hydrothermal yang akan
merubah batuan peridotite menjadi batuan serpentinite atau batuan serpentinite
peroditite. Sedangkan proses kimia dan fisika dari udara, air serta pergantian panas
dingin yang bekerja kontinu (berkelanjutan), menyebabkan disintegrasi dan
dekomposisi pada batuan induk.
Pada pelapukan kimia khususnya, air tanah kaya akan CO2 yang berasal dari udara
dan pembusukan tumbuh-tumbuhan akan menguraikan mineral-mineral yang tidak
stabil (olivine dan piroksin) pada batuan ultrabasa, kemudian menghasilkan Mg,
Fe, Ni yang larut dan Si yang cenderung membentuk koloid dari partikel-partikel
silika sangat halus. Di dalam larutan, Fe teroksidasi dan mengendap sebagai ferri-
hidroksida, akhirnya membentuk mineral-mineral seperti goethite, limonite, dan
hematite dekat permukaan. Bersama mineral-mineral ini
selalu ikut serta unsur cobalt dalam jumlah kecil.
Larutan yang mengandung Mg, Ni, dan Si terus menerus mengalir ke bawah
tanah selama larutannya bersifat asam, hingga pada suatu kondisi dimana suasana
cukup netral akibat adanya kontak dengan tanah dan batuan, maka ada
kecenderungan untuk membentuk endapan hidrosilikat. Nikel yang terkandung
dalam rantai silikat atau hidrosilikat dengan komposisi bervariasi tersebut akan
mengendap pada celah-celah atau rekahan-rekahan yang dikenal dengan urat-
urat garnierite dan krisopras. Sedangkan larutan residunya akan membentuk
suatu senyawa yang disebut saprolite yang berwarna coklat kuning kemerahan.
Unsur- unsur lainnya seperti Ca dan Mg yang terlarut sebagai bikarbonat akan
terbawa ke bawah sampai batas pelapukan dan akan diendapkan sebagai
dolomite, magnesite yang biasa mengisi celah-celah atau rekahan-rekahan pada
batuan induk. Di lapangan urat-urat ini dikenal sebagai batas petunjuk antara
zona pelapukan dengan zona batuan segar yang disebut dengan akar pelapukan
(root of weathering).
Tabel 3.2
Sifat fisik nikel
No. Karakteristik Keterangan
1 Nama Nikel
2 Lambang Ni
3 Nomor atom 28
4 Deret kimia Logam transisi
5 Golongan VIII B
6 Periode 4
7 Blok D
Putih keperak-
8 Warna
perakan
9 Struktur Masif
Kemilau,
10 Penampilan
metalik
58,6934(2)
11 Massa atom
g/mol
Konfigurasi
12 [Ar] 3d8 4s2
electron
Jumlah elektron
13 2 8 16 2
tiap kulit
14 Titik didih 2900ºC
15 Titik lebur 1420ºC
3.1.4 Morfologi
Van bemmelen (1945) membagi lengan tenggara Sulawesi menjadi tiga bagian:
ujung utara, bagian tengah,dan ujung selatan (gambar 4.2), Ujung utara mulai dari
palopo sampai teluk tolo; dibentuk oleh batuan ofiolit, Bagian tengah ,yang
merupakan bagian paling lebar (sampai 162,5 km), didominasi oleh batuan malihan
dan batuan sedimen mesozoikum. Ujung selatan lengan tenggara merupakan bagian
yang relative lebih landai ; batuan penyusunya didominasi oleh batuan sedimen
tersier ,uraian dibawah ini merupakan perian morfologi dan morfogenesis lengan
tengah Sulawesi.
4. Satuan Dataran
Satuan morfologi dataran rendah dijumpai di bagian tengah ujung selatan
Lengan Tenggara Sulawesi. Tepi selatan Dataran Wawotobi dan Dataran
Sampara berbatasan langsung dengan satuan morfologi pegunungan.
Penyebaran satuan dataran rendah ini tampak sangat dipengaruhi oleh sesar
geser mengiri (Sesar Kolaka dan Sistem Sesar Konaweha). Kedua sistem ini
diduga masih aktif, yang ditunjukkan oleh adanya torehan pada endapan aluvial
dalam kedua dataran tersebut (Surono dkk, 1997). Sehingga sangat mungkin
kedua dataran itu terus mengalami penurunan. Akibat dari penurunan ini tentu
berdampak buruk pada dataran tersebut, di antaranya pemukiman dan pertanian
di kedua dataran itu akan mengalami banjir yang semakin parah setiap
tahunnya.
Dataran Langkowala yang melampar luas di ujung selatan Lengan Tenggara,
merupakan dataran rendah. Batuan penyusunnya terdiri atas batupasir kuarsa
dan konglomerat kuarsa Formasi Langkowala. Dalam dataran ini mengalir
sungai-sungai yang pada musim hujan berair melimpah sedang pada musim
kemarau kering. Hal ini mungkin disebabkan batupasir dan konglomerat
sebagai dasar sungai masih lepas, sehingga air dengan mudah merembes masuk
ke dalam tanah. Sungai tersebut di antaranya Sungai Langkowala dan Sungai
Tinanggea. Batas selatan antara Dataran Langkowala dan Pegunungan Rumbia
merupakan tebing terjal yang dibentuk oleh sesar berarah hampir barat-timur.
Pada Dataran Langkowala, terutama di dekat batas tersebut, ditemukan
endapan emas sekunder. Surono (2009) menduga emas tersebut berasal dari
batuan malihan di Pegunungan Rumbia dan sekitarnya.
5. Satuan Karst
Satuan morfologi karst melampar di beberapa tempat secara terpisah. Satuan
ini dicirikan perbukitan kecil dengan sungai di bawah permukaan tanah.
Sebagian besar batuan penyusun satuan morfologi ini didominasi oleh
batugamping berumur Paleogen dan selebihnya batugamping Mesozoikum.
Batugamping ini merupakan bagian Formasi Tampakura, Formasi Laonti,
Formasi Tamborasi dan bagian atas dari Formasi Meluhu. Sebagian dari
batugamping penyusun satuan morfologi ini sudah terubah menjadi marmer.
Perubahan ini erat hubungannya dengan pensesar-naikkan ofiolit ke atas
kepingan benua. Di sekitar Kendari batugamping terubah tersebut ditambang
untuk bahan bangunan.
1. Kepingan Benua
2. Kompleks Ofiolit
3. Molasa Sulawesi