Anda di halaman 1dari 25

BAB III

GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

III.1 Geologi Regional

Uraian tentang kondisi geologi regional dan indikasi potensi sumberdaya

mineral di Kota Parepare dan sekitarnya ini, dirujuk dari hasil Pemetaan Geologi

Bersistem Skala 1 : 250.000 Terbitan Pusat Penelitian dan Pengembangan

Geologi (PPPG) Bandung, pada Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian

Barat, Sulawesi (Rab Sukamto, 1982) serta Lembar Majene dan Bagian Barat

Lembar Palopo (Djuri dan Sudjatmiko, 1974; Djuri, dkk., 1998).

Berdasarkan letak/posisi geografisnya, maka berdasarkan geologi

regionalnya, Kota Parepare terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian utara

termasuk ke dalam Peta Geologi Lembar Majene dan Bagian Barat Lembar

Palopo (Djuri dan Sudjatmiko, 1974; Djuri, dkk., 1998). Sedangkan bagian

selatan termasuk ke dalam Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat,

Sulawesi (Rab Sukamto, 1982) . Berikut uraian kedua lembar tersebut:

III.1.1 Geologi Lembar Majene dan Bagian Barat Lembar Palopo

III.1.1.1 Geomorfologi

Daerah penelitian terletak pada Busur Sulawesi Selatan bagian utara yang

dicirikan oleh aktivitas volkanik dan intrusi magma bersifat kalk-alkalin

berkomposisikan asam hingga intermedit yang terdiri atas pegunungan,

perbukitan, dan dataran rendah. Daerah pegunungan menempati bagian utara,

21 18
barat dan selatan sedangkan bagian tengah merupakan perbukitan bergelombang

dan bagian timur merupakan dataran rendah. Ketinggian pegunungan ini melebihi

2000 m dengan puncak tertinggi adalah Gunung Rantemario yang terletak pada

rangkaian Pegunungan Latimojong, Sulawesi Selatan (Sukamto, 1975).

Sebagian pegunungan ini terbentuk oleh batuan gunungapi dengan

ketinggian rata-rata 1500 m dari permukaan laut. Ke arah timur, rangkaian

pegunungan ini relatif menyempit dan lebih rendah dengan morfologi

bergelombang lemah sampai kuat. Bagian pesisir timur yang berbatasan dengan

Teluk Bone merupakan dataran rendah, secara umum disusun oleh alluvium.

III.1.1.2 Stratigrafi

Sukamto (1975) telah membagi Pulau Sulawesi dan pulau-pulau di

sekitarnya ke dalam tiga mandala geologi berdasarkan asosiasi litologi dan

struktur regional. Ketiga mandala tersebut adalah Mandala Geologi Sulawesi

Selatan, Mandala Geologi Sulawesi Timur, dan Mandala Geologi Banggai-Sula.

Berdasarkan pembagian tersebut, maka daerah penelitian termasuk ke dalam

Mandala Sulawesi Selatan.

Mandala Sulawesi Selatan dicirikan oleh kompleks batuan ultrabasa dan

metamorf berumur Pra-Kapur yang tertindih oleh batuan sedimen dan batuan

volkanik berumur Kapur Akhir hingga Plistosen (Sukamto, 1975).

Dalam Peta Geologi Lembar Majene dan Bagian Barat Lembar Palopo

(Djuri dan Sudjatmiko, 1974) yang memuat daerah penelitian, berdasarkan urutan

stratigrafinya batuan tertua yang dijumpai di daerah ini adalah Formasi

19
Latimojong (Tkl) yang berumur Kapur dengan ketebalan lebih kurang 1000

meter. Formasi ini telah termetamorfisme terdiri atas filit, serpih, rijang, marmer,

kuarsit, dan beberapa intrusi bersifat menengah hingga basa, baik berupa stock

maupun berupa retas-retas.

Kemudian di bagian atas Formasi Latimojong diendapkan secara tidak

selaras Formasi Toraja yang terdiri atas Tersier Eosen Toraja (Tet) dan Tersier

Eosen Toraja Limestone (Tetl) yang berumur Eosen terdiri atas serpih,

batugamping dan batupasir serta setempat batubara, di mana batuan ini telah

mengalami perlipatan kuat. Kisaran umur dari fosil-fosil yang dijumpai pada

umumnya berumur Eosen Tengah sampai Miosen Tengah (Djuri dan Sudjatmiko,

1974).

Pada bagian atas formasi ini dijumpai Batuan Volkanik Lamasi (Tolv)

yang berumur Oligosen, terdiri atas aliran lava bersusunan basaltik hingga

andesitik, breksi volkanik, batupasir dan batulanau, setempat-setempat

mengandung feldspatoid. Kebanyakan batuan terkersikkan dan terkloritisasi.

Satuan batuan berikutnya adalah satuan Tmb dan Tmpss yang terdiri atas napal

dan sisipan batugamping yang setempat-setempat mengandung batupasir

gampingan, konglomerat dan breksi yang berumur Miosen Bawah hingga Miosen

Tengah. Pada tempat lain diendapkan satuan batuan Tmc yang terdiri atas

konglomerat, meliputi sedikit batupasir glaukonit dan serpih. Ketebalan satuan

batuan ini antara (100-400) meter dan berumur Miosen Tengah hingga Pliosen.

Ketiga satuan batuan di atas mempunyai hubungan menjemari dengan satuan

batuan Tmpl yang terdiri atas lava yang bersusunan andesit sampai basal, pada

20
beberapa tempat terdapat breksi andesit, piroksin dan andesit trakit serta

feldspatoid. Kelompok satuan batuan ini berumur Miosen Awal hingga Pliosen

dan mempunyai ketebalan (500-1000) meter. Pada beberapa tempat dijumpai pula

satuan batuan Tmpa, yang merupakan Molasa Sulawesi yang terdiri atas

konglomerat, batupasir, batulempung dan napal dengan selingan batugamping dan

lignit. Foraminifera menandakan umur Miosen Akhir - Pliosen.

Selain satuan batuan di atas, dijumpai dua batuan terobosan granit yang

berbeda umurnya. Pertama berumur Miosen Akhir dan yang kedua berumur

Pliosen. Pada daerah Palopo, Granit berumur Miosen Akhir menerobos Formasi

Latimojong dan Formasi Toraja dan menghasilkan mineralisasi hidrotermal

(Simandjuntak, 1981).

Terdapat beberapa intrusi yang umumnya bersusunan asam sampai intermedit

seperti granit, granodiorit, diorit, sienit, monzonit kuarsa dan riolit. Setempat

dijumpai gabro di G. Pangi, singkapan terbesar di G. Paroreang menerus sampai

daerah G. Gandadewata di Lembar Mamuju (Djuri dan Sudjatmiko, 1974).

Umurnya diduga Pliosen karena menerobos Batuan Gunungapi Walimbong yang

berumur Mio-Pliosen, serta berdasarkan kesebandingan dengan granit di Lembar

Pasangkayu yang berumur 3,35 juta tahun / Pliosen Akhir (Sukamto, 1975).

Satuan batuan termuda berupa endapan aluvial dan pantai yang terdiri atas

lempung, lanau, pasir, kerikil dan setempat-setempat terdapat terumbu koral (Qal)

yang menempati daerah pesisir timur dan barat, daerah ini berbatasan langsung

dengan laut serta daerah di sekitar Danau Tempe yang berumur Holosen dan

proses pengendapannya berlangsung sampai sekarang.

21
III.1.1.3 Struktur Geologi

Secara regional struktur geologi yang terdapat di Pulau Sulawesi dan

sekitarnya memperlihatkan keadaan yang sangat kompleks. Hal ini disebabkan

karena Pulau Sulawesi merupakan suatu daerah yang banyak mendapat pengaruh

pertemuan berbagai lempeng benua dan samudera. Kerumitan tektonik Pulau

Sulawesi ini ditafsirkan sebagai hasil pemekaran kerak bumi yang disebabkan

oleh gerakan lempeng Australia dan Hindia ke utara dan lempeng Pasifik ke barat,

yang keduanya membentur Lempeng Eurasia.

Sejak Mezosoikum, Sulawesi merupakan bagian dari Lempeng Asia dan

selama Paleogen dan Neogen Awal, daerah ini merupakan suatu busur volkanik

kalk-alkali yang berkaitan dengan proses penunjaman dari Laut Tethys sebelah

timur ke tenggara. Lempeng Australia – Irian bergerak ke utara dan secara

bertahap mikro kontinen pada bagian daerah penelitian terpisah melalui

pergeseran mendatar.

Secara regional orogenesa pada Pulau Sulawesi mulai berlangsung sejak Zaman

Trias, terutama pada Mandala Banggai – Sula yang merupakan mandala tertua,

sedangkan pada Mandala Geologi Sulawesi Timur dimulai pada Kapur Akhir atau

Awal Tersier. Perlipatan yang kuat menyebabkan terjadinya sesar anjak yang

berlangsung pada Miosen Tengah pada Lengan Timur Sulawesi dan di bagian

tengah dari Mandala Geologi Sulawesi Selatan, di waktu yang bersamaan suatu

trangresi lokal berlangsung pada Lengan Tenggara Sulawesi dan suatu aktifitas

volkanik terjadi pada Lengan Utara dan Selatan (Sukamto, 1975).

22
Berdasarkan pembagian Mandala Sulawesi (Sukamto, 1975), maka

daerah penelitian terletak pada Mandala Geologi Sulawesi Selatan bagian tengah

dan sedikit kearah timur yang berbatasan dengan bagian barat dari Mandala

Sulawesi Timur. Mandala Sulawesi Selatan dicirikan oleh endapan palung

berumur Kapur hingga Paleogen yang kemudian berkembang menjadi jalur

gunungapi yang berlangsung dari Kala Miosen Akhir.

Fasa orogenesa Intra Miosen terlihat menonjol pada beberapa tempat,

terutama pada Mandala Sulawesi Selatan bagian tengah, sedangkan orogenesa

sebelum Intra Miosen mungkin terjadi dua kali, yaitu sebelum dan sesudah Eosen.

Orogenesa Larami terjadi pada Kapur Akhir hingga Miosen Awal, mengangkat

dan melipat endapan Mesozoikum dan sedimen tua lainnya, kemudian terhenti

oleh pengaruh gerakan horisontal dan menyebabkan terjadinya berbagai sesar

sungkup berarah utara-selatan atau tepatnya utara-baratlaut – selatan-menenggara.

Gaya horisontal terhenti dan disusul oleh terbentuknya sesar bongkah yang

menyebabkan terban maupun sembul. Perlipatan yang kuat diikuti oleh sesar

sungkup yang terjadi pada Miosen Tengah pada bagian tengah dari Mandala

Sulawesi Selatan, melipat batuan pada Formasi Latimojong dan Formasi Toraja

kemudian tersesarkan.

Pada Plio-Plistosen berbagai terban dan sembul dipengaruhi oleh adanya

sesar geser berarah baratlaut-tenggara yang searah dengan pergerakan sesar Palu-

Koro di Sulawesi Tengah (Simandjuntak, 1986). Sesar ini diperkirakan masih

aktif, arah gerak sesar Palu-Koro memperlihatkan kesamaan gerak dari jalur Sesar

Matano dan jalur Sesar Sorong dan pola sesar sungkupnya memperlihatkan arah

23
yang konsekuen terhadap Mandala Banggai-Sula. Kemudian akibat dari Lempeng

Asia yang bergerak dari arah baratlaut menyebabkan terbentuknya jalur

penunjaman Sulawesi Utara hingga pergerakan dari Sesar Palu-Koro masih aktif

(gambar 2).

Adapun kelanjutan dari Sesar Palu-Koro disebut Sesar Tempe,

disebabkan karena sesar tersebut melalui Danau Tempe. Bidang geser Plio-

Plistosen memotong bidang geser yang berarah utara-selatan, dengan perbedaan

bahwa dari kedua bidang geser di Sulawesi Tengah dianggap seumur, sedangkan

di Sulawesi Selatan dianggap memiliki umur yang berbeda, yakni masing-masing

Miosen Bawah dan Plio-Plistosen.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka pada Mandala Sulawesi Selatan

bagian tengah berkembang sesar-sesar mendatar yang berarah baratlaut – selatan-

tenggara dan sesar-sesar anjak yang berarah timurlaut-baratdaya. Sesar-sesar

mendatar yang dimaksud adalah Sesar Mendatar Malimbo di bagian utara daerah

penelitian, Sesar Walanae Barat di baratdaya daerah penelitian, dan sesar naik

yang paling dominan adalah Sesar Naik Makale di bagian baratdaya serta Sesar

Anjak Latimojong di sebelah baratdaya daerah penelitian (Djuri dan Sudjatmiko,

1974).

24
Gambar 3.1. Peta pola struktur geologi regional Pulau Sulawesi (Simandjuntak,

1986)

3.2.1 Geologi Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat

3.2.1.1 Geomorfologi

25
Berdasarkan keadaan bentangalam (morfologi) dapat dibagi atas 4 satuan

morfologi, yakni : daerah pegunungan, daerah perbukitan , daerah kras, dan

daerah pedataran.

Daerah pegunungan mempunyai sifat-sifat relief topografi yang tinggi,

tekstur topografi kasar, batuan penyusunnya adalah breksi gunungapi dan batuan

beku , menyebar di bagian Timur daerah penelitian dengan arah penyebaran

Utara-Selatan.

Daerah perbukitan mempunyai sifat-sifat relief topografi dan tekstur topografi

sedang, batuan penyusunnya adalah batuan sedimen, batuan ubahan, dan batuan

beku, menyebar di bagian Tengah daerah penelitian dengan arah penyebaran

Baratlaut-Tenggara dan Utara-Selatan.

Daerah kras (karst) mempunyai sifat-sifat relief topografi tajam dan ke

arah lateral berubah-ubah secara drastis, batuan penyusunnya adalah

batugamping, menyebar di bagian Tengah daerah penelitian dengan arah

penyebaran Baratlaut-Tenggara dan Utara-Selatan.

Daerah pedataran mempunyai sifat-sifat relief topografi sangat rendah,

tekstur topografi halus, batuan penyusunnya adalah endapan Aluvium.

Sungainya secara umum memotong penyebaran formasi batuan dan struktur

geologi, bersifat mengerosi batuan dasar dan berpola aliran perpaduan dendritik

dan rectangular. Pada bagian Timur erosi berjalan secara efektif, sedangkan di

bagian Tengah proses erosi dan sedimentasi berjalan hampir seimbang, dan di

bagian Barat proses sedimentasi berkembang membentuk dataran pantai

26
III.2.1.2 Stratigrafi

Batuan ultrabasa yang tersusun dari peridotit yang terserpentinkan,

terkersikkan, dan tergerus melalui sesar naik ke arah Baratdaya, pada bagian yang

pejal terlihat struktur berlapis, ketebalannya tidak kurang dari 2.500 meter,

umurnya tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan berumur Trias,

munculnya akibat tektonik pada akhir Kapur, penyebarannya di sekitar

pegunungan Lassitae dan Mareno.

Batuan malihan (metamorf) sebagian besar tersusun dari sekis dan sedikit

geneis, mineralnya yang terlihat adalah glaukofan, garnet, epidot, mika dan

klorit. Batuan malihan ini umumnya berfoliasi miring ke arah Timurlaut, sebagian

terbreksikan dan tersesarkan naik ke arah Baratdaya. Satuan ini tebalnya tidak

kurang dari 2.000 meter dan bersentuhan sesar dengan batuan sekitarnya,

umurnya tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan berumur Trias,

munculnya akibat tektonik akhir Kapur, penyebarannya di sekitar pegunungan

Lasitae.

Komplek Melange merupakan komplek batuan campur-aduk secara

tektonik, terdiri dari grewake, breksi, konglomerat, batu-pasir terkersikan, serpih

kelabu, serpih merah, rijang radiolaria merah, batusabak, sekis, ultramafik, basal,

diorit dan lempung. Himpunan batuan ini mendaun, umumnya miring ke arah

Timurlaut dan tersesarkan naik ke arah Baratdaya. Satuan ini tebalnya tidak

kurang dari 1.750 meter, dan mempunyai sentuhan sesar dengan satuan batuan

sekitarnya, sebarannya di sebelah Selatan B. Mareno. Umurnya diperkirakan Jura.

27
Formasi Balangbaru merupakan tipe sedimen flysch yang tersusun dari

batupasir berselingan batulanau dan batu-lempung serta serpih. Pada

umumnya .menunjukkan struktur turbidit, mengandung fosil Globatruncana yang

menunjukkan umur Kapur Akhir, formasi ini tebalnya sekitar 2.000 meter,

tertindih secara tidak selaras oleh formasi batuan yang lebih muda.

Formasi Mallawa tersusun dari batupasir, konglomerat, batu-lanau,

batulempung dengan sisipan batubara, mengandung fosil moluska dan

foraminifera yang menunjukkan umur Paleosen, diendapkan dalam lingkungan

paralaks sampai laut dangkal, ketebalan formasi ini tidak kurang 400 meter,

tertindih selaras oleh Formasi Tonasa dan menindih tak selaras Formasi

Balangbaru.

Formasi Tonasa tersusun dari batugamping koral pejal, sebagian

terhablurkan berwarna putih sampai abu-abu, batugamping kalsirudit,

batugamping bioklastika dan kalkarenit berwarna putih sampai kelabu muda,

sebagian berlapis baik dan berselingan dengan napal, setempat-setempat

bersisipan dengan breksi batugamping dan batugamping pasiran, mengandung

fosil Moluska dan Foraminifera yang menunjukkan umur Eosen Awal sampai

Miosen Tengah dengan lingkungan pengendapan neritik, tebal formasi ini tidak

kurang dari 3.000 meter, menindih selaras batuan Formasi Mallawa dan tertindih

tak selaras batuan Formasi Camba, diterobos oleh batuan beku (trakhit, diorit, dan

dasit).

Formasi Camba tersusun dari batuan sedimen laut, berselingan dengan

batuan gunungapi; batupasir tufaan berselingan dengan tufa, batupasir, batulanau,

28
dan batulempung, umumnya mengeras kuat dan sebagian kurang padat, tebal

perlapisan (4 - 100) cm, tufanya berbutir halus hingga lapilli, mengandung fosil

Foraminifera kecil yang menunjukkan umur Miosen Tengah sampai Miosen Atas

dan diendapkan dalam lingkungan neritik, formasi ini tebalnya sekitar 5.000

meter, menindih tak selaras Formasi Tonasa dan Formasi Mallawa, diterobos

oleh batuan basal dan andesit.

Batuan gunungapi Formasi Camba tersusun dari batuan gunungapi bersisipan

batuan sedimen laut; breksi gunungapi; lava; konglomerat gunungapi dan tufa

yang berbutir halus sampai lapilli; bersisipan batupasir tufaan, batugamping dan

napal. Batuan ini bersusunan andesit dan basal; umumnya sedikit terpropilitkan,

sebagian terkersikkan, amigdaloidal dan berlubang-lubang, diterobos oleh retas,

sill dan stock bersusunan basal dan andesit. Berdasarkan kandungan fosil dan

radiometri menunjukkan umur Miosen Tengah sampai Miosen Akhir. Batuannya

sebagian besar diendapkan dalam lingkungan laut neritik sebagai fasies gunungapi

Formasi Camba, menindih tak selaras Formasi Mallawa dan Tonasa, sebagian

terbentuk dalam lingkungan darat.

Batugamping Formasi Camba terdiri dari batugamping tufaan dan

batugamping pasiran, setempat dengan sisipan tufa, pejal dan sarang, berbutir

halus sampai kasar, sebagian m'engandung glaukonit. Fosilnya terutama

Foraminifera dan sedikit Moluska dan koral yang diperkirakan berumur Miosen

Tengah. Batuan Intrusi terdiri dari dasit, diorit, trakhit, basal, dan andesit berupa

stock, sil dan retas. Sebaran batuannya setempat-setempat membentuk topografi

29
perbukitan-pegunungan, umurnya diperkirakan Miosen Atas dan mengintrusi

batuan yang lebih tua.

Batugamping Formasi Walanae terdiri dari batugamping koral dengan

sisipan batugamping berlapis, napal, batulempung, dan tufa. Sebaran batuannya di

sebelah Selatan Palanro. Batuannya mengandung fosil Foraminifera dan Moluska

yang menunjukkan umur Miosen Tengah sampai Pliosen.

Endapan Aluvium pantai; tersusun dari endapan yang tidak terkonsolidasi,

berukuran lempung sampai bongkah, terbentuk dari hasil proses pelapukan

batuan yang lebih tua, serta diendapkan pada daerah dataran.

III.2.1.3 Struktur Geologi

Struktur geologi daerah penelitian terdiri atas: perlipatan, sesar dan kekar.

Perlipatan; secara umum berarah Utara-Selatan sampai Barat-laut-Tenggara,

berupa perlipatan antiklin maupun sinklin. Batuan yang terlipatkan : Formasi

Balangbaru, Formasi Mallawa, Formasi Tonasa, dan Formasi Camba. Perlipatan

yang terbentuk. karena adanya gaya mendatar yang berarah Barat-Timur,

diperkirakan berlangsung pada kala Miosen Tengah sampai Pliosen Atas.

Sesar; secara umum berarah Utara-Selatan sampai Baratlaut-Tenggara,

sesar sungkup yang terjadi pada batuan ultrabasa, melange dan metamorf terjadi

pada Kapur Atas. Sesar normal, dan sesar geser terjadi oleh karena adanya gaya

mendatar yang berarah Barat-Timur, pada kala Miosen Tengah sampai Pliosen

Atas.

Kekar; berarah umum Baratlaut-Tenggara sampai Timurlaut-Baratdaya.

Kekar terbuka yang saling memotong dengan intensitas tinggi dijumpai pada

30
batuan ultrabasa dan metamorf serta batuan Formasi Balangbaru, sedangkan yang

intensitas rendah sampai sedang dijumpai pada batuan yang berumur Tersier.

Van Leeuwen ( 1979 ), menerangkan bahwa pola struktur Lengan Selatan

Pulau Sulawesi, yaitu struktur sesar Walanae, searah dengan sesar geser Palu

Koro di Sulawesi Tengah. Sesar Walanae terbagi dua yaitu sesar Walanae Barat

dan sesar Walanae Timur yang terbentuk pada Kala Plio – Plistosen.

RAB SUKAMTO ( 1982 ), berpendapat bahwa kegiatan tektonik pada

Kala Miosen Awal menyebabkan terjadinya permulaan terban Walanae yang

memanjang dari utara ke selatan pada Lengan Sulawesi bagian barat. Struktur

sesar berpengaruh terhadap struktur geologi sekitarnya.

Tektonik ini menyebabkan terjadinya cekungan tempat terbentuknya

Formasi Walanae. Peristiwa ini kemungkinan besar berlangsung sejak awal

Miosen Tengah, dan menurun perlahan selama sedimentasi sampai Kala Pliosen.

Menurunnya Terban Walanae dibatasi dua sistem sesar normal, yaitu sesar

Walanae yang seluruhnya nampak hingga sekarang di sebelah timur, dan sesar

Soppeng yang hanya tersingkap tidak menerus di sebelah barat.Selama

terbentuknya Terban Walanae, di Timur kegiatan gunungapi terjadi hanya di

bagian selatan, sedangkan di barat terjadi kegiatan gunungapi yang merata dari

selatan ke utara, berlangsung dari Miosen Tengah sampai Pliosen. Bentuk kerucut

gunungapi masih dapat dia amati di daerah sebelah barat ini, suatu tebing

melingkar mengelilingi G. Benrong, di utara G. Tondongkarambu, mungkin

merupakan suatu sisa kaldera.

31
Sesar utama yang berarah Utara – Baratlaut terjadi sejak Miosen Tengah,

dan tumbuh sampai setelah Pliosen. Perlipatan yang berarah hampir sejajar

dengan sesar utama diperkirakan terbentuk sehubungan dengan adanya tekanan

mendatar berarah kira-kira Timur Barat pada waktu sebelum akhir Pliosen.

Tekanan ini mengakibatkan pula adanya sesar sungkup lokal yang mengsesarkan

batuan Pra-Kapur Akhir di daerah Bantimala ke atas batuan Tersier. Perlipatan

dan pensesaran yang relatif lebih kecil di bagian Timur Lembah Walanae dan di

bagian Barat pegunungan yang berarah Baratlaut – Tenggara, kemungkinan besar

terjadi akibat adanya gerakan mendatar tekanan sepanjang sesar besar.

III.2 Geologi Regional Daerah Penelitian

III.2.1 Geomorfologi

Proses geomorfologi adalah perubahan baik secara fisika maupun kimia

yang dialami permukaan bumi (Thornbury, 1954). Akibat proses geomorfologi

yang bekerja, bentuk bentangalam yang dihasilkan akan bervariasi, yang

kemudian dapat diklasifikasikan berdasarkan karakteristik hasil bentukan dari

proses geomorfologinya.

Adapun dasar penamaan satuan bentang alam daerah penelitian didasarkan

dua aspek pendekatan yaitu pendekatan morfologi (morfografi dan morfometri) .

Maka daerah penelitian di bagi atas satu satuan bentang alam yaitu :

1. Satuan bentang alam pedataran.

Penjelasan dari setiap satuan bentangalam tersebut akan dibahas dalam

uraian berikut ini.

32
III.2.1.1 Satuan Bentangalam Pedataran Pantai

Satuan bentangalam pedataran pantai ini menempati sekitar 10% dari

keseluruhan lokasi penelitian, dengan luas satuan ini sekitar 1145 m2. Penyebaran

satuan bentangalam ini berada pada bagian timur daerah penelitian yaitu di daerah

Pantai Lumpue.

Satuan bentangalam ini terletak di tepi dari kontinen atau

daratan dan sangat dikontrol oleh proses alamiah di laut yaitu angin (wind), arus

(Current) dan gelombang (Wave) yang terjadi secara terus menerus (van Zuidam

1985). Aksi alamiah antara angin, gelombang dan arus akan menimbulkan dua

pengaruh yaitu yang bersifat destruktif dan konstruktif. Destruktif yaitu yang

bersifat menghancurkan seperti abrasi oleh arus dan gelombang dan kostruktif

yaitu bersifat membangun yaitu berupa depositional atau pengendapan

(Thornburry, 1969).

Karakteristik morfometri satuan ini terdiri atas besar sudut

kelerengan berkisar antara 0o – 1o, dan persentase kemiringan lereng yaitu (0 –

3)% dan relatif sangat landai, beda tinggi antara (0 – 4) meter. Maka berdasarkan

parameter di atas maka relief daerah ini termasuk dalam topografi berupa

pedataran (gambar 3.1).

Analisa morfogenesa pada satuan ini dilakukan dengan menganalisa

karakteristik fisik yang mencirikan proses asal pembentukannya. Analisa proses

genetik berupa jenis erosi yang terjadi yaitu abrasi yang merupakan proses erosi

yang dikontrol oleh aksi alamiah angin, arus dan gelombang. Proses abrasi yang

dapat teramati di lapangan yaitu pada pesisir utara pantai Lumpue.

33
Proses sedimentasi yang terjadi berupa pengendapan material pasir

yang bersortasi baik dan endapan lumpur, Sedimentasi yang terjadi berasal dari

daratan dan diangkut oleh mekanisme transportasi oleh arus sungai menuju ke laut

dan kemudian mengalami proses pengerjaan kembali oleh aksi alamiah laut

berupa angin, arus dan gelombang hingga menghasilkan material pasiran dengan

sortasi yang baik dan endapan lumpur.

Foto 3.2. Morfologi pedataran dan material penyusun beukuran pasir


hingga lempung pada daerah pantai lumpue di foto relatif ke
arah utara.

III.2.1.2 Sungai

Sungai didefinisikan sebagai tempat air mengalir secara alamiah

membentuk suatu pola dan jalur tertentu di permukaan (Thornbury, 1969).

34
Pembahasan mengenai sungai atau aliran permukaan pada daerah penelitian

meliputi uraian tentang klasifikasi jenis sungai.

Berdasarkan sifat alirannya maka jenis aliran sungai pada daerah

penelitian termasuk dalam aliran external, yaitu aliran air yang mengalir di

permukaan bumi membentuk sungai.

Berdasarkan kandungan air pada tubuh sungai maka jenis sungai pada

daerah penelitian berupa Sungai Normal ini merupakan sungai yang mempunyai

debit aliran tetap tidak dipengaruhi oleh musim kemarau atau penghujan. Jenis

sungai seperti ini berkembang pada daerah penelitian yaitu pada sungai yang

langsung bermuara di Pantai Lumpue.

Foto 3.3. Sungai yang langsung bermuara ke pantai lumpue (x arah aliran
sungai) di foto relatif ke arah selatan.

III.2.2 Stratigrafi

35
Pengelompokan dan penamaan satuan batuan pada daerah penelitian

didasarkan pada litostratigrafi tidak resmi, yang bersendikan pada ciri fisik yang

dapat diamati di lapangan, meliputi jenis batuan, keseragaman gejala litologi, dan

urutan satuan batuan yang menerus, serta dapat terpetakan pada sekala 1 : 25.000

(Sandi stratigrafi Indonesia, 1996).

Secara umum litologi yang menyusun daerah penelitian merupakan

batuan – batuan hasil proses sedimentasi dan erupsi gunung api hal ini

berdasarkan pada kenampakan batuan yang di jumpai di lapangan.

Pembagian satuan batuan daerah penelitian yaitu didasarkan pada

lithostratigrafi tidak resmi, maka pembagian satuan daerah penelitian dari muda

ke tua terdiri atas :

a. Satuan alluvial

b. Satuan Trakit

Pembahasan dan uraian dari urutan satuan stratigrafi daerah penelitian dari

tua ke muda adalah sebagai berikut :

III.2.1.1 Satuan Trakit

Pembahasan tentang satuan batuan daerah penelitian meliputi uraian

mengenai dasar penamaan, penyebaran, ciri litologi meliputi karakteristik

megaskopis, umur, lingkungan pembentukan dan hubungan stratigrafi satuan.

1. Dasar penamaan

Dasar penamaan satuan batuan ini yaitu berdasarkan atas ciri

litologi dan batuan yang penyebarannya mendominasi pada satuan batuan ini

36
secara lateral dimana litologi yang paling dominan pada satuan ini yaitu lava trakit

. Berdasarkan hal tersebut maka penamaan satuan ini yaitu satuan basal.

Untuk penamaan litologi anggota satuan ini yaitu penamaan batuan

secara megaskopis. Penamaan secara megaskopis yaitu penamaan yang ditentukan

berdasarkan komposisi mineral yang bisa teramati secara langsung tansatmata

dalam hal ini menggunakan klasifikasi Fenton, 1950.

2. Penyebaran Satuan

Satuan lava trakitik ini menempati sekitar 10 % dari luas

keseluruhan daerah penelitian yang penyebarannya yaitu pada sebelah utara

daerah penelitian atau sekitar 145 m2. Satuan ini menempati daerah di sebelah

utara daerah penelitian . Singkapan satuan batuan ini dijumpai dalam kondisi

segar pada daerah pantai lumpue sampai ketinggian 50 meter. Secara umum

singkapan batuannya dijumpai pada daerah yang berbatasan dengan pantai.

3. Ciri litologi

Satuan batuan basal ini di daerah penelitian dijumpai dalam

keadaan segar berwarna putih keabu-abuan, dalam keadaan lapuk berwarna

kecoklatan, warna soil di sekitar singkapannya yaitu coklat sampai coklat

kehitaman.

Kenampakan singkapan pada tempat di lapangan menunjukan bahwa

batuannya menunjukan struktur aliran ditandai dengan bentuk yang berupa blok-

blok dan adanya skoria pada permukaan singkapannya.

37
Foto 3.4. singkapan trakit pada stasiun 1 yang menunjukkan kenampakan aliran (layer)
di daerah pantai lumpu difoto relatif kearah utara.

Berdasarkan karakteristik singkapan batuan beku inilah yang kemudian

mendasari bahwa satuan batuan daerah penelitian ini merupakan batuan beku

ekstrusif yang berupa aliran lava, sedangkan penentuan jenis batuannya

didasarkan atas pemerian secara megaskopis.

Kenampakan megaskopis batuan menunjukan kondisi segar

umumnya berwarna putih keabu-abuan, dalam kondisi lapuk berwarna coklat tua,

dengan tekstur secara umum hipokristalin, porfiroafanitik, anhedral,

inequigranular, struktur pada batuanmassive (Foto 3.3) , dengan komposisi

mineral berupa biotit dan mineral gelas yang tidak bisa dikenali secara

megaskopis. Berdasarkan kenampakan megaskopisnya maka nama batuannya

yaitu Trakit. (Fenton, 1950).

38
4. Umur dan Lingkungan Pembentukan

Umur satuan trakit ini ditentukan berdasarkan kesebandingan dengan

batuan pada formasi Parepare vulkanik yang didasarkan pada kesamaan litologi

dan penyebaran geografis batuan secara lateral. Menurut Sukamto (1982) batuan

penyusun Formasi Parepare vulkanik sebagian tersingkap di daerah pantai,

dicirikan dengan kondisi batuan yang umumnya tufa, konglomerat, breksi dan

lava dan menunjukan umur Pliosen.

Ciri – ciri litologi tersebut menujukan ciri yang sama dengan dengan

satuan batuan yang tersingkap pada daerah penelitian, demikian pula dengan

kondisi penyebaran litologinya sangat mendukung kesetaraan ciri litologinya.

Maka berdasarkan hal tersebut satuan basal daerah penelitian termasuk dalam

batuan Formasi Parepare vulkanik yang berumur Pliosen. (Sukamto,1982).

III.2.1.2 Satuan Aluvial

Pembahasan mengenai satuan alluvial menyangkut uraian tentang dasar

penamaan satuan, penyebaran satuan, ciri fisik material, umur dan lingkungan

pembentukan satuan alluvial.

1. Dasar Penamaan

Dasar penamaan satuan ini yaitu berdasarkan dominasi material

penyusunnya. Berdasarkan material yang yang menyusun satuan ini menunjukan

karakteristik endapan alluvial, dan melihat proses genetiknya dan lokasi

39
terbentuknya menunjukan bahwa material tersebut berasal dari proses erosi dan

sedimentasi di sungai. Maka berdasarkan hal tersebut penamaan satuan ini

menjadi satuan alluvial.

2. Penyebaran Satuan

Penyebaran satuan ini menempati sekitar 90 % dari luas

keseluruhan daerah penelitian dengan luas penyebaran sekitar 1000 m2.

Penyebaran satuan ini berada pada bagian selatan daerah penelitian dan

merupakan perbatasan antara daratan dan laut. Penyebaran material alluvial

terakumulasi dengan baik si sepanjang pantai timur daerah Lumpue.

3. Ciri Material alluvial

Material penyusun satuan ini berupa material pasir, batu, lempung

dan lumpur yang merupakan hasil interaksi antara darat dengan laut. Material

pasir pada daerah berasal dari proses erosi material di tempat lain kemudian

mengalami proses transportasi baik melalui mekanisme sungai ataupun

mekanisme laut lalu diendapkan pada daerah pantai ini. Endapan lumpur ini

umumnya berada pada daerah muara sungai ke laut dan merupakan campuran

antara material lempung dengan air. Material batu yang berukuran bolder hingga

kerikil terbentuk merupakan material hasil abrasi di sekitar pantai dan belum

mengalami mekanisme transportasi.

40
Foto 3.5. Endapan alluvial akibat proses erosi dan sedimentasi pada
sepanjang garis pantai lumpue difoto relatif ke arah utara.

4. Umur dan Lingkungan Pengendapan

Menurut Sukamto, 1982 material penyusun Endapan Alluvium, Danau

dan Pantai (Qac) terdiri atas material lempung, lanau, lumpur, pasir dan kerikil di

sepanjang sungai besar dan di sepanjang pantai.

Material penyusun satuan alluvial pantai daerah penelitian terdiri atas

material pasir, batu, lempung dan lumpur dan menyebar di sepanjang pantai.

Dengan menggunakan metode kesebandingan maka endapan alluvial pantai

daerah penelitian ini memiliki kesamaan dengan endapan alluvium danau dan

41
pantai (Qac). Berdasarkan kesamaan tersebut maka satuan alluvial pantai darah

penelitian dikorelasikan dengan Qac yang berumur Holosen dan terendapkan pada

daerah pantai.

5. Hubungan stratigrafi

Hubungan stratigrafi antara satuan alluvial dengan satuan batuan


yang ada di atasnya yaitu satuan lava trakit adalah kontak ketidakselarasan

42

Anda mungkin juga menyukai