DISUSUN OLEH :
TINJAUAN PUSTAKA
Geologi Cekungan Sumatera Selatan adalah suatu hasil kegiatan tektonik yang
berkaitan erat dengan penunjaman Lempeng Indo-Australia, yang bergerak ke arah utara
hingga timurlaut terhadap Lempeng Eurasia yang relatif diam. Zona penunjaman lempeng
meliputi daerah sebelah barat Pulau Sumatera dan selatan Pulau Jawa. Beberapa lempeng
kecil (micro-plate) yang berada di antara zona interaksi tersebut turut bergerak dan
menghasilkan zona konvergensi dalam berbagai bentuk dan arah. Penunjaman lempeng
Indo-Australia tersebut dapat mempengaruhi keadaan batuan, morfologi, tektonik dan
struktur di Sumatera Selatan. Tumbukan tektonik lempeng di Pulau Sumatera menghasilkan
jalur busur depan, magmatik, dan busur belakang (Bishop, 2000).
Gambar 2. Tektonik Cekungan Sumatera Selatan (Sutriyono et al, 2016)
Cekungan Sumatra Selatan terbentuk sejak akhir Pra Tersier sampai awal Pra
Tersier. Orogenesa pada akhir Kapur-Eosen membagi Cekungan Sumatra Selatan menjadi
4 sub cekungan, yaitu sub-Cekungan Palembang Tengah dan Sub-Cekungan Palembang
Selatan (Pulonggono,1984). Pola Struktur di Cekungan Sumatra Selatan merupakan hasil
dari 4 periode Tektonik Utama yaitu:
Antiklinorium Pendopo-Limau, terdiri dari dua antiklin paralel, yang merupakan daerah
lapangan minyak terbesar di Sumatra Selatan. Pada sisi baratdaya antiklin kemiringan lebih
curam dan dibatasi oleh sesar, dan ada bagian yang tertutup oleh batas half-graben.
Formasi tertua yang tersingkap di puncak adalah Formasi Gumai.
Antiklinorium Gumai, terdiri dari enam atau lebih antiklin kecil yang saling berhubungan,
kebanyakan jurusnya berarah Timur-Barat, sangat tidak simetri dengan keemiringan curam,
sisi sebelah utara secara lokal mengalami pembalikan (overturned). Formasi tertua yang
ada di permukaan adalah Formasi Lower Palembang atau Air Benakat. Antiklin tersebut
sebagai hasil longsoran gravitasi dari antiklin Pegunungan Gumai. Pulonggono (1984)
menggambarkan antiklinorium Gumai sebagai lapangan minyak kecil yang saling
berhubungan, dihasilkan dari Formasi Air Benakat dan Formasi Muara Enim.
Antiklinorium Muara enim, merupakan antiklin yang besar dengan ekspresi permukaan kuat
dan dengan singkapan batuan dasar Pra-Tersier. Di dekat daerah Lahat menunjam ke arah
timur, sisi utara banyak lapisan batubara dengan kemiringan curam dan juga lebih banyak
yang tersesarkan daripada di sisi selatan. Kebalikannya di bagian barat pegunungan Gumai
dapat diamati kemiringan lebih curam di sisi selatan dan sisi utara dengan kemiringan relatif
landai.
Stratigrafi daerah cekungan Sumatra Selatan secara umum dapat dikenal satu
megacycle (daur besar) yang terdiri dari suatu transgresi dan diikuti regresi. Formasi yang
terbentuk selama fase transgresi dikelompokkan menjadi Kelompok Telisa (Formasi Talang
Akar, Formasi Baturaja, dan Formasi Gumai). Kelompok Palembang diendapkan selama
fase regresi (Formasi Air Benakat, Formasi Muara Enim, dan Formasi Kasai), sedangkan
Formasi Lemat dan older Lemat diendapkan sebelum fase transgresi utama. Stratigrafi
Cekungan Sumatra Selatan menurut (De Coster, 1974) adalah sebagai berikut :
Formasi ini merupakan batuan dasar (basement rock) dari Cekungan Sumatra Selatan.
Tersusun atas batuan beku Mesozoikum, batuan metamorf Paleozoikum, Mesozoikum, dan
batuan karbonat yang termetamorfosa. Hasil dating di beberapa tempat menunjukkan
bahwa beberapa batuan berumur Kapur Akhir sampai Eosen Awal. Batuan metamorf
Paleozoikum-Mesozoikum dan batuan sedimen mengalami perlipatan dan pensesaran
akibat intrusi batuan beku selama episode orogenesa Mesozoikum Tengah (Mid-
Mesozoikum).
2. Formasi Lahat
Batuan tertua yang ditemukan pada Cekungan Sumatera Selatan adalah batuan yang
berumur akhir Mesozoik. Batuan yang ada pada Formasi ini terdiri dari batupasir tuffan,
konglomerat, breksi, dan lempung. Batuan-batuan tersebut kemungkinan merupakan bagian
dari siklus sedimentasi yang berasal dari Continental, akibat aktivitas vulkanik, dan proses
erosi dan disertai aktivitas tektonik pada akhir kapur-awal Tersier di Cekungan Sumatera
Selatan.
Formasi Lemat tersusun atas klastika kasar berupa batupasir, batulempung, fragmen
batuan, breksi, Granit Wash, terdapat lapisan tipis batubara, dan tuf. Semuanya
diendapkan pada lingkungan kontinen. Sedangkan anggota Benakat dari Formasi Lemat
terbentuk pada bagian tengah cekungan dan tersusun atas serpih berwarna coklat abu-abu
yang berlapis dengan serpih tuffaan (tuffaceous shales), batulanau, batupasir, terdapat
lapisan tipis batubara dan batugamping (stringer), Glauconit, diendapkan pada lingkungan
fresh-brackish. Formasi Lemat secara normal dibatasi oleh bidang ketidakselarasan
(unconformity) pada bagian atas dan bawah formasi. Kontak antara Formasi Lemat dengan
Formasi Talang Akar yang diintepretasikan sebagai paraconformable. Formasi Lemat
berumur Paleosen-Oligosen, dan anggota Benakat berumur Eosen Akhir-Oligosen, yang
ditentukan dari spora dan pollen, juga dengan dating K-Ar. Ketebalan formasi ini bervariasi,
lebih dari 2500 kaki ( 760 m). Pada Cekungan Sumatra Selatan dan lebih dari 3500 kaki
(1070 m) pada zona depresi sesar di bagian tengah cekungan (didapat dari data seismik).
Formasi Talang Akar terdapat di Cekungan Sumatra Selatan, formasi ini terletak di atas
Formasi Lemat dan di bawah Formasi Telisa atau anggota Basal Batugamping Telisa.
Formasi Talang Akar terdiri dari batupasir yang berasal dari delta plain, serpih, lanau,
batupasir kuarsa, dengan sisipan batulempung karbonat, batubara dan di beberapa tempat
konglomerat. Kontak antara Formasi Talang Akar dengan Formasi Lemat tidak selaras pada
bagian tengah dan pada bagian pinggir dari cekungan kemungkinan paraconformable,
sedangkan kontak antara Formasi Talang Akar dengan Telisa dan anggota Basal
Batugamping Telisa adalah conformable. Kontak antara Talang Akar dan Telisa sulit di pick
dari sumur di daerah palung disebabkan litologi dari dua formasi ini secara umum sama.
Ketebalan dari Formasi Talang Akar bervariasi 1500-2000 feet (sekitar 460-610 m). Umur
dari Formasi Talang Akar ini adalah Oligosen Atas-Miosen Bawah dan kemungkinan
meliputi N3 (P22), N7 dan bagian N5 berdasarkan zona Foraminifera plangtonik yang ada
pada sumur yang dibor pada formasi ini berhubungan dengan delta plain dan daerah shelf.
5. Formasi Baturaja
Anggota ini dikenal dengan Formasi Baturaja. Diendapkan pada bagian intermediate-shelfal
dari Cekungan Sumatera Selatan, di atas dan di sekitar platform dan tinggian. Kontak pada
bagian bawah dengan Formasi Talang Akar atau dengan batuan Pra-Tersier. Komposisi dari
Formasi Baturaja ini terdiri dari Batugamping Bank (Bank Limestone) atau platform dan
reefal. Ketebalan bagian bawah dari formasi ini bervariasi, namun rata-rata 200-250 feet
(sekitar 60-75 m). Singkapan dari Formasi Baturaja di Pegunungan Garba tebalnya sekitar
1700 feet (sekitar 520 m). Formasi ini sangat fossiliferous dan dari analisis umur anggota ini
berumur Miosen. Fauna yang ada pada Formasi Baturaja umurnya N6-N7.
Formasi Gumai tersebar secara luas dan terjadi pada zaman Tersier, formasi ini
terendapkan selama fase transgresif laut maksimum, (maximum marine transgressive) ke
dalam 2 cekungan. Batuan yang ada di formasi ini terdiri dari napal yang mempunyai
karakteristik fossiliferous, banyak mengandung foram plankton. Sisipan batugamping
dijumpai pada bagian bawah. Formasi Gumai beda fasies dengan Formasi Talang Akar dan
sebagian berada di atas Formasi Baturaja. Ketebalan dari formasi ini bervariasi tergantung
pada posisi dari cekungan, namun variasi ketebalan untuk Formasi Gumai ini berkisar dari
60009000 feet (1800-2700 m). Penentuan umur Formasi Gumai dapat ditentukan dari
dating dengan menggunakan foraminifera planktonik. Pemeriksaan mikropaleontologi
terhadap contoh batuan dari beberapa sumur menunjukkan bahwa fosil foraminifera
planktonik yang dijumpai dapat digolongkan ke dalam zona Globigerinoides sicanus,
Globogerinotella insueta, dan bagian bawah zona Orbulina Satiralis Globorotalia
peripheroranda, umurnya disimpulkan Miosen Awal-Miosen Tengah. Lingkungan
pengendapan Laut Terbuka, Neritik.
Formasi Lower Palembang diendapkan selama awal fase siklus regresi. Komposisi dari
formasi ini terdiri dari batupasir glaukonitan, batulempung, batulanau, dan batupasir yang
mengandung unsur karbonatan. Pada bagian bawah dari Formasi Lower Palembang kontak
dengan Formasi Telisa. Ketebalan dari formasi ini bervariasi dari 3300 5000 kaki (sekitar
1000 1500 m). Fauna-fauna yang dijumpai pada Formasi Lower Palembang ini antara lain
Orbulina Universa dOrbigny, Orbulina Suturalis Bronimann, Globigerinoides Subquadratus
Bronimann, Globigerina Venezuelana Hedberg, Globorotalia Peripronda Blow & Banner,
Globorotalia Venezuelana Hedberg, Globorotalia Peripronda Blow & Banner, Globorotalia
mayeri Cushman & Ellisor, yang menunjukkan umur Miosen Tengah N12-N13. Formasi ini
diendapkan di lingkungan laut dangkal.
Batuan penyusun yang ada pada formasi ini berupa batupasir, batulempung, dan lapisan
batubara. Batas bawah dari Formasi Middle Palembnag di bagian selatan cekungan berupa
lapisan batubara yang biasanya digunakan sebagai marker. Jumlah serta ketebalan lapisan-
lapisan batubara menurun dari selatan ke utara pada cekungan ini. Ketebalan formasi
berkisar antara 15002500 kaki (sekitar 450-750 m). De Coster (1974) menafsirkan formasi
ini berumur Miosen Akhir sampai Pliosen, berdasarkan kedudukan stratigrafinya. Formasi ini
diendapkan pada lingkungan laut dangkal sampai brackist (pada bagian dasar), delta plain
dan lingkungan non marine.
Formasi ini merupakan formasi yang paling muda di Cekungan Sumatra Selatan. Formasi ini
diendapkan selama orogenesa pada Plio-Pleistosen dan dihasilkan dari proses erosi
Pegunungan Barisan dan Tiga puluh. Komposisi dari formasi ini terdiri dari batupasir tuffan,
lempung, dan kerakal dan lapisan tipis batubara. Umur dari formasi ini tidak dapat
dipastikan, tetapi diduga Plio-Pleistosen. Lingkungan pengendapannya darat.
Gambar 3. Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan (De Coster, 1974)
Menurut Heidrick & Aulia (1993) dalam Callista (2015) bahwa Pembentukan
Cekungan Sumatra Tengah ditinjau berdasarkan perkembangan tektonik, terjadi dalam 4
fase yang berlangsung selama tersier (Gambar 2), yaitu Episode Tektonik Pra Tersier
(F0), Episode Tektonik Eosen Oligosen (F1), Episode Tektonik Miosen Bawah Miosen
Tengah (F2), Episode Tektonik Miosen Atas Sekarang (F3).
Cekungan Sumatera Tengah dikontrol oleh struktur utama berupa sesar regional
yaitu Sesar Sumatra yang terbentuk pada zaman kapur. Subduksi lempeng yang miring dari
arah Barat daya pulau Sumatra mengakibatkan terjadinya strong dextral wrenching stress di
Cekungan Sumatra tengah (Wibowo, 1995). Hal ini dicerminkan oleh bidang sesar yang
curam yang berubah sepanjang jurus perlapisan batuan, struktur sesar naik dan adanya
flower structure yang terbentuk pada saat inversi tektonik dan pembalikan-pembalikan
struktur. Selain itu, terbentuknya sumbu perlipatan yang searah jurus sesar dengan
penebalan sedimen terjadi pada bagian yang naik (inverted) (Shaw et al., 1999).
Kelompok Pematang
Ke arah atas menuju fase late rifting, sedimentasi berubah sepenuhnya menjadi
lingkungan lakustrin dan diendapkan Formasi Pematang sebagai Lacustrine Fill
sediments.
e) Formasi Fanglomerate
Diendapkan disepanjang bagian turun dari sesar sebagai seri dari endapan aluvial.
Tersusun oleh batupasir, konglomerat, sedikit batulempung berwarna hijau sampai
merah.
Kelompok Sihapas
Kelompok Sihapas yang terbentuk pada awal episode transgresi terdiri dari Formasi
Menggala, Formasi Bangko, Formasi Bekasap dan Formasi Duri. Kelompok ini tersusun
oleh batuan klastika lingkungan fluvial-deltaic sampai laut dangkal. Pengendapan
kelompok ini berlangsung pada Miosen awal Miosen tengah.
a) Formasi Menggala
Tersusun oleh batupasir konglomeratan dengan ukuran butir kasar berkisar dari
gravel hingga ukuran butir sedang. Berdasarkan litologi penyusunnya diperkirakan
diendapkan pada fluvial-channel lingkungan braided stream.
b) Formasi Bangko
Formasi ini tersusun oleh serpih karbonan dengan perselingan batupasir halus-
sedang. Diendapkan pada lingkungan paparan laut terbuka. Dari fosil foraminifera
planktonik didapatkan umur N5 (Blow, 1963).
c) Formasi Bekasap
Formasi ini tersusun oleh batupasir masif berukuran sedang-kasar dengan sedikit
interkalasi serpih, batubara dan batugamping. Diendapkan pada lingkungan air payau dan
laut terbuka.
Formasi Duri
Di bagian atas pada beberapa tempat, formasi ini equivalen dengan formasi
Bekasap. Tersusun oleh batupasir halus-sedang dan serpih.
d) Formasi Telisa
Formasi Telisa yang mewakili episode sedimentasi pada puncak transgresi tersusun
oleh serpih dengan sedikit interkalasi batupasir halus pada bagian bawahnya.
Diinterpretasikan lingkungan pengendapan formasi ini berupa lingkungan Neritik Bathyal
atas.
Formasi Petani
Tersusun oleh serpih berwarna abu-abu yang kaya fosil, sedikit karbonatan dengan
beberapa lapisan batupasir dan batulanau. Secara vertikal, kandungan tuf dalam batuan
semakin meningkat. Selama pengendapan satuan ini, aktivitas tektonik kompresi dan
volkanisme kembali aktif (awal pengangkatan Bukit Barisan), sehingga dihasilkan material
volkanik yang melimpah. Kondisi air laut global (eustasi) berfluktuasi secara signifikan
dengan penurunan muka air laut sehingga terbentuk beberapa ketidakselarasan lokal di
beberapa tempat. Formasi ini diendapkan pada episode regresif secara selaras diatas
Formasi Telisa.
Formasi Minas
Formasi Minas merupakan formasi termuda di daerah ini yang diendapkan secara tidak
selaras di atas Formasi Petani. Litologinya terdiri dari lapisan-lapisan tipis konglomerat,
pasir kuarsa, pasir lepas, kerikil, dan lempung yang merupakan endapan fluvial-aluvial
dari zaman Pleistosen hingga saat ini.
Gambar 8. Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Tengah (Sumber: Barber et al. 2005)
Petroleum System
Howes and Tisnawijaya (1995) dalam Barber et al. (2005) mengatakan bahwa
Pematang Sihapas merupakan sistem Petroleum yang produktif. Hal ini dikarenakan
estimasi cadangannya 12,8 BBOE (Billion Barrels of Oil Equivalent). Petroleum System
terdiri dari Batupasir tebal dengan lingkungan Fluvial-Neritik Dangkal pada Formasi
Pematang. Serta batuan induknya Brown Shale yang terdapat pula di Formasi Lematang
Secara fisiografis cekungan ombilin berda di zona bukit barisan. Morfologi cekungan
ini terdiri dari perbukitan sedang dengan lembah sempit yang dibentuk oleh sedimen Tersier
serta perbukitan terjal dengan lembah sempit yang sibentuk oleh batuan Pra-Tersier.
Hastuti, dkk. (2001) mengemukakan bahwa terdapat 5 fase tektonik yang bekerja
pada Cekungan Ombilin yang mempengaruhi pola struktur pada Cekungan Ombilin
(gambar Lima fase tektonik yang terjadi pada cekungan Ombilin menurut Hastuti, dkk.
(2001), yaitu:
Fase tektonik pertama berlangsung awal tersier berupa fase tektonik ekstensif
bersamaan dengan terbentuknya system tarik pisah berarah baratlaut-tenggara yang
merupakan awal terbentuknya Cekungan Ombilin. Bersamaan dengan membukanya
cekunngan , terbentuk endapan kipas alluvium Formasi Brani menempati lereng-lereng
tinggian batuan dasar dan terbentuk endapan rawa Formasi sangkarewang dibagian
tengah cekungan
Fase tektonik kedua berlangsung sejak Eosen berupa fase kompresif dengan
terbentuknya sesar-sesar berarah utara-selatan. Selain fase kmpresif dibeberapa
tempat terdapat daerah ekstensif yang menyebabkan penurunan dasar cekungan yang
cepat dan diimbangi pula oleh pengendapan sedimen yang seimbang , menyebabkan
lonsornya endapan alluvium formasi Brani pada tepi cekungan dan sebagian masuk
kedalam endapan rawa Formasi Sangkarewang, sehingga formasi berhubungan
menjari.
Fase tektonik ketiga berupa fase kompresif . Fase ini mengakibatkan proses
pengangkatan dengan terbentuknya endapan sungai berkelok Formasi Sawahlunto.
Dibeberapa tempat fase kompresif diikuti oleh fase ekstensif dengan terbentuknya
endapan batubara didaerah limph banjir. Selain itu pada fase ini terjadi pengaktifan
kembali sesar-sesar yang sudah terbentuk dan sesar minor berupa sesar naik yang
terjadi bersamaan dengan pengendapan Formasi Sawahlunto.
Fase tektonik keempat berupa fase kompresif berarah relative utara-selatan. Akibat
fase kompresif ini sesar-sesar berarah utara-selatan dan baratlaut-tenggra yang
terbentuk awal mengalami reaktifasi menjadi sesar naik berarah relative baratlaut-
tenggara yang mengakibatkan dibeberapa tempat terjadi genangan rawa dan
penumpukan sedimen yang membentuk endapan tipis batubara.
Fase tektonik yang kelima berupa fase ekstensif yang berarah relatif utara-selatan
berlangsung sejak Miosen awal. Fase ini mengakibatkan terbentuknya sesar-sesar
berarah barat-timur. Selain itu, fase ekstensif ini mengakibatkan terjadinya Sesar
Tanjung Ampalu berarah utara-selatan yang kemudian diikuti dengan fase gengan laut.
Pada Miosen akhir terjadi fase kompresif berarah relative barat-timur yang
menghasilkan sesar-sesar berarah timur laut-barat daya dan sesar-sesar yang tebentuk
aktif kembali.
Gambar 9. Skema evolusi tektonik cekungan tarik pisah Ombilin, Sumatra Barat menurut
Hastuti, dkk (2001). (A)Kapur-Tersier Awal (B)Paleosen (C)Miosen Awal (D)Plio-Pleistosen.
Berdasarkan tulisan para peneliti terdahulu Koesumadinata dan Matasak, 1981, Koning,
1985, Situmorang dkk. 1991 dalam skripsi Aurio Erdin Ganda (2011) cekungan Ombilin
memiliki batuan dengan umur Pra-Tersier (Perm dan Trias) hingga batuan berumur Kuarter .
Gambar 11. Stratigrafi Cekungan Ombilin berdasarkan kompilasi Koesomadinata dan
Matasak (1981), Koning (1985), Situmorang, dkk. (1991), Yarmanto dan
Fletcher (1993), Barber, dkk. (2005).
1. Batuan Pra-Tersier
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), batuan Pra-Tersier merupakan
batuan yang mendasari cekungan Ombilin. Batuan ini tersingkap di bagian barat
dan timur dari cekungan.
Batuan Pra-Tersier yang tersingkap di bagian barat cekungan terdiri dari:
Formasi Silungkang, terdiri dari litologi batuan vulkanik batugamping
koral. Batuan vulkanik terdiri dari lava andesitik, basaltik serta tufa. Umur
formasi ini adalah Permo- Karbon berdasarkan kandungan fosil
Fusulinida pada batu gamping.
Formasi Tuhur, terdiri dari litologi batusabak, anggota serpih dan anggota
batugamping. Umur formasi ini adalah Trias. Seluruh batuan ini kemudian
diintrusi oleh Granit Lassi, yang berumur 200 juta tahun yang lalu
(Katili,1962 dalam Koesoemadinata dan Matasak, 1981). Batuan Pra-Tersier
yang tersingkap di bagian timur cekungan terdiri dari:
Formasi Kuantan terdiri dari litologi batugamping Oolit yang mengalami
rekristalisasi, marmer, batusabak, filit serta kuarsit yang berkembang
secara lokal.Umur dari formasi ini adalah Trias (Kastowo dan
Silitonga,1973 dalam Koesoemadinata dan Matasak, 1981) Formasi
Kuantan di intrusi oleh granit masif dari Formasi Sumpur (Musper, 1930
dalam Koesoemadinata dan Matasak, 1981) yang berumur 200 juta tahun
yang lalu (Obradovich,1973 dalam Koesoemadinata dan Matasak, 1981).
2. Batuan Tersier
Batuan Tersier cekungan Ombilin dapat dibagi menjadi enam formasi menurut
Koesomadinata dan Matasak (1981), sebagai berikut.
Formasi Brani
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Brani terdiri dari
konglomerat berwarna cokelat keunguan, berukuran kerikil sampai kerakal,
dengan beraneka ragam jenis fragmen berupa andesit, batugamping, batusabak
dan argilit, granit, kuarsit, arkosic gritsand yang berbutir kasar, massif dan
umumnya tidak berlapis. Umur formasi ini berdasarkan
hubungan yang menjemari dengan Formasi Sangkarewang diduga Paleosen hingga
Eosen. Formasi Brani diperkirakan diendapkan sebagai endapan kipas aluvial.
Formasi Sangkarewang
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Sangkarewang terdiri dari
serpih berlapis tipis berwarna kelabu gelap kecoklatan sampai hitam, plastis,
gampingan mengandung material karbon, mika, pirit, dan sisa tumbuhan. Formasi
ini memiliki sisipan berupa lapisan- lapisan batupasir dengan tebal yang umumnya
kurang dari 1 m, terdapat fragmen kuarsa dan feldspar, gampingan berwarna abu-
abu sampai hitam, matriks lempung terpilah buruk mengandung mika dan material
karbon dan terdapatnya struktur nendatan (slump). Sisipan batupasir ini
menunjukan pola menghalus ke atas. Berdasarkan analisa polen umur dari formasi
ini diperkirakan berumur Eosen atau pra-Eosen (JICA, 1979 dalam Koesomadinata
dan Matasak, 1981), berumur Eosen Awal (Koning, 1985), berumur Eosen Atas
(Himawan, 1991 dalam Situmorang, dkk.,1991), berumur Paleosen-Eosen
(Sirumorang, dkk., 1991), berumur Paleosen- Eosen Awal (Yarmanto dan Fletcher,
1993), berumur Eosen-Oligosen (Whateley dan Jordan, 1989, Howells, 1997
dalam Barber, 2005). Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) berdasarkan
hubungannya dengan Formasi Sawahlunto yang berada di atasnya yang
berdasarkan analisa polen Formasi Sawahlunto menunjukkan umur Paleosen
sampai Eosen diperkirakan Formasi Sangkarewang ini berumur Paleosen. Formasi
Sangkarewang diperkirakan terendapkan pada lingkungan danau.
Formasi Sawahlunto
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), formasi ini terdiri dari sekuen serpih
berwarna abu-kecoklatan, serpih lanauan dan batulanau dengan sisipan batupasir
kuarsa berwarna abu-kecoklatan dan dicirikan dengan hadirnya batubara. Serpih
umumnya karbonan. Batupasir memiliki ciri sekuen menghalus ke atas, memiliki
struktur sedimen berlapis silang- siur, ripple lamination dan dasar erosi tegas yang
menunjukkan suatu sekuen point bar. Batubara umumnya berselingan dengan
batulanau berwarna kelabu dan lempung karbonan.
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) Formasi Sawahlunto ini berumur
Eosen berdasarkan analisa polen yang menunjukkan umur Paleosen sampai
Eosen, sedangkan menurut Himawan (1991) dalam Situmorang, dkk. (1991) dan
Bartman dalam Yarmanto dan Fletcher (1993) berdasarkan analisa polen, umur
formasi ini diperkirakan Oligosen hingga Miosen Awal. Menurut Koesomadinata
dan Matasak (1981), hadirnya serpih karbonan, batubara, khususnya batupasir
yang bertipe point bar menunjukkan lingkungan pengendapan dari formasi ini
merupakan suatu dataran banjir dengan sungai yang berkelok dimana batubara
terdepositkan.
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Sawahlunto terletak selaras
di atas Formasi Brani dan secara setempat juga terletak selaras dengan Formasi
Sangkarewang dan juga diperkirakan menjemari dengan Formasi Sangkarewang
di beberapa tempat. Menurut Cameron, dkk (1981) dalam Koning (1985) proses
pengangkatan dan erosi yang berhubungan dengan tektonik sesar mendatar
terjadi pada saat pengendapan Formasi Sawahlunto. Proses hiatus ini menurut
Koning (1985) ditemukan tersingkap di beberapa tempat dan sebagai bukti adanya
ketidakselarasan bersudut pada beberapa hasil seismik pada pinggir cekungan.
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Sawahlunto memiliki
ketebalan 274 meter. Sedangkan, menurut Koning (1985) berdasarkan sumur bor,
tebal formasi ini 170 meter.
Formasi Ombilin
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Ombilin terdiri dari serpih
atau napal berwarna kelabu gelap, karbonan dan karbonatan, bila lapuk menjadi
berwarna kelabu terang dan umumnya berlapis baik. Termasuk kedalam sekuen
ini adalah lapisan-lapisan batupasir yang mengandung glaukonit, berbutir halus,
berwarna kelabu kehijauan, secara umum terdapat sisa-sisa tumbuhan dan fosil
moluska. Pada bagian bawah dari formasi ini terdapat nodul-nodul batugamping
dan lensa batugamping foraminifera-koral, sedangkan dibagian atas sisipan
lapisan batupasir tufaan, diselingi oleh batulanau bersifat karbonan, mengandung
glaukonit dan fosil moluska. Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981) napal
dari formasi ini mengandung Globigerina yang merupakan ciri endapan laut.
Umur dari formasi ini diperkirakan berumur Miosen Awal (Koesomadinata dan
Matasak, 1981, Humpreys, dkk., 1991 dalam Situmorang, dkk., 1991).
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), berdasarkan kandungan fosil
bentonik serta kehadiran glaukonit, maka formasi ini diperkirakan diendapkan pada
lingkungan neritik luar sampai batial atas. Menurut Howell (1997) dalam Barber,
dkk. (2005) Formasi Ombilin terendapkan pada lingkungan laut, yang terdiri dari
batupasir halus, batulanau dan batulempung yang sering kali karbonatan dengan
batugamping secara setempat memiliki ketebalan 50 meter sampai 100 meter
yang termasuk ke dalam lentikuler koral dan batugamping alga. Batupasir halus
dengan fragmen dari batubara dan amber diperkirakan merepresentasikan pasir
pantai. Proses pengendapan Formasi Ombilin pada cekungan Ombilin ini terjadi
akibat adanya proses transgressi yang terjadi pada cekungan Ombilin yang
berhubungan dengan fase transgressi pada cekungan busur belakang Sumatra
(Situmorang, dkk., 1991., Hastuti, dkk., 2001, Barber, dkk., 2005).
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Ombilin terletak selaras di
atas Formasi Sawahlunto dan terletak secara tidak selaras di beberapa tempat.
Sedangkan, Formasi Ombilin terletak selaras di atas Formasi Sawahtambang.
Menurut Koning (1985) antara Formasi Ombilin dan Formasi Sawahtambang
memiliki hubungan tidak selaras berdasarkan reflektansi vitrinit terhadap
kedalaman pada sumur bor di subcekungan Sinamar yang mengindikasikan
terdapatnya bagian Sawahtambang yang telah tererosi.
Menurut Koesomadinata dan Matasak (1981), Formasi Ombilin memiliki ketebalan
antara 1442 meter, sedangkan menurut Koning (1985) berdasarkan data seismik,
tebal formasi ini 2740 meter.
Formasi Ranau
Menurut van Bemmelen (1943) pada beberapa lokasi di Cekungan Ombilin,
didapatkan formasi berupa tufa yang disebut sebagai Tufa Ranau. Tufa ini
dianggap menjadi deposit volkanik berumur Pleistosen (Koesomadinata dan
Matasak, 1981), sedangkan menurut Bellon, dkk. (2004) dalam Barber, dkk. 2005
umur dari formasi ini diperkirakan antara 5,5 hingga 2,4 juta tahun yang lalu
(Pliosen). Adanya perbedaan urutan litostratigrafi terhadap umur dari tiap peneliti-
peneliti sebelumnya ,diakibatkan oleh sukarnya penentuan umur yang tepat dari
tiap formasi pada cekungan Ombilin bagian bawah yang berupa endapan darat.
Penentuan umur yang memiliki rentang umum dari endapan-endapan darat
tersebut, dibatasi oleh endapan berlingkungan laut Formasi Ombilin yang terdapat
foraminifera dari Miosen Awal, yang memberikan batas umur paling muda untuk
formasi-formasi yang lebih tua.
DAFTAR PUSTAKA
Barber, A. J., Crow, M. J., Milsom J. S., 2005. Sumatera : Geology, Resources, and
TectonicsI. Geological Memoir, No.31