Anda di halaman 1dari 45

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional Cekungan Sumatera Tengah


Cekungan Sumatera Tengah merupakan salah satu rangkaian rift basin yang

berada pada cekungan belakang busur (back arc basin) dan memanjang sepanjang tepi

paparan Sunda di barat daya Asia Tenggara (Gambar 2.1). Cekungan Sumatera Tengah

terbentuk akibat aktivitas tektonik, yaitu penunjaman lempeng Samudera Hindia yang

bergerak relatif ke arah utara dan menyusup ke bawah lempeng Benua Eurasia.

Gambar 2.1 Peta Regional Cekungan Sumatera


Tengah Williams, H. dan R.T. Eubank, 1995
Cekungan Sumatra Tengah terbentuk pada kala Awal Tersier, yaitu Eosen-

Oligosen yang merupakan serangkaian dari struktur half graben dengan arah utara-

barat laut sub-paralel dan dipisahkan oleh blok horst (Williams dan Eubank, 1995).

Pada struktur half-graben diendapkan batuan klastik yang berasal dari darat, yaitu

sedimen danau (lacustrine) dari kelompok Pematang dengan mencapai ketabalan

>1829 m atau 600 ft (Eubank dan Makki 1981; Williams et al. 1985). Cekungan

Sumatera Tengah bagian barat daya dibatasi oleh pegunungan barisan yang tersusun

atas batuan pra-tersier, sedangkan bagian timur dibatasi oleh paparan Sunda. Bagian

tenggara dibatasi oleh tigapuluh mountain yang sekaligus memisahkan cekungan

Sumatera Tengah dengan cekungan Sumatera Selatan. Bagian barat laut adalah busur

Asahan yang memisahkan Sumatera Tengah dan Sumatera Utara.

Sebagian besar akumulasi hidrokarbon saat ini terletak tepat di atas atau

berdekatan dengan synrift graben, hasil dari pengendapan yang relatif dangkal dan

immaturity dari urutan postrift (Gambar 2.2). Terdapat lima graben produktif, yaitu

Bengkalis, Aman, Balam, Tanjung Medan dan Kiri/Rangau yang memiliki suksesi

stratigrafi yang sama dengan asosiasi fasies proksimal (Williams dan Eubank, 1995

dalam Dovist dan Noble, 2008). Graben ini terbentuk sepanjang struktur pra-Tersier

dengan arah utara-selatan dan barat-barat daya–timur-tenggara sebagai half-graben

dalam rezim tegangan oblique extension.


Gambar 2.2 Peta Cekungan Sumatra Tengah dan Struktur yang Menunjukkan
Cekungan Synrift sebagai Area Terakumulasinya Hidrokarbon (Doust and
Noble, 2008)
2.2 Tektonik dan Struktur Regional Cekungan Sumatera Tengah

Struktur cekungan Sumatera Tengah didominasi oleh arah utara selatan dan

barat laut tenggara (Heidrick dan Aulia, 1993). Evolusi struktur yang terjadi cekungan

sumatera tengah menurut Eubank dan Makki (1981) dibagi menjadi tiga, yaitu (1) fase

ekstensional pada kala Eosen-Oligosen yang membentuk graben dan half-graben yang

dikontrol oleh pengendapan dan distribusi fasies kelompok Pematang. Fase patahan,

lipatan terjadi pada akhir fase tektonik ini, (2) aktivitas tektonik utama yang kedua

terjadi pada Miosen awal-tengah, yaitu menghasilkan pengangkatan dan lipatan dan

diikuti oleh wrench faulting. Aktivitas tektonik ini yang membentuk struktur akumulasi

minyak utama di cekungan Sumatera Tengah, dan (3) akhir aktivitas tektonik adalah

dextral wrenching selama Plio-Pliostocene orogeny.

Episode tektonik cekungan Sumatera Tengah menurut Heidrick dan Aulia

(1993) terbagi menjadi empat (4), yaitu episode tektonik F0 (deformasi basement pra-

tersier), (2) Episode tektonik F1 (rifting pada kala eosen-akhir oligosen), (3) Episode

tektonik F1 (rifting pada kala eosen-akhir oligosen), dan (4) Episode tektonik F3

(deformasi pada kala miosen tengah-resen) (Gambar 2.3).

Pada fase episode tektonik F0 (deformasi basement pra-tersier) terbentuk

basement yang terdiri atas batuan metasedimen, yaitu greywacke, kuarsit, argilit,

batuan metasedimen yang terintrusi oleh granit (Koning dan Darmono, 1984 dalam

Wibowo, 1995). Patahan dan dan lipatan telah terbentuk pada trias akhir- jura awal

(Pulunggono dan Cameron, 1984).


Pada fase episode tektonik F1 (rifting pada kala eosen-akhir oligosen) terjadi

sistem rekahan ekstensional (rifting) pada batuan dasar yang merupakan siklus pertama

pada tektonik tersier dan sedimentasi synorogenic. Fase ekstensional ini membentuk

struktur graben, half graben, dan deformasi awal pada pembentukan isi sedimen

(Shaw, et al.,1997). Sedimen klastika darat kelompok Pematang berada pada

lingkungan aluvial, danau, dan fluvio-deltaic. Terjadi 4 fase periode synrift di mana

tiga fase pertama terjadi pada awal synrift dan fase empat terjadi pada akhir synrift,

yaitu (1) Eosen awal: N-S dan NW-SE dan pembentukan rifting dan half graben

dengan batas patahan utama di sisi barat, (2) eosen tengah: pembebanan yang terjadi

secara cepat, (3) oligosen: pembebanan berlanjut dan terjadi episode dextral

wrenching, dan (4) oligosen: akhir-Miosen awal berarti melemahnya pembebanan

disertai dengan pengangkatan.

Fase episode tektonik F2 berlangsung pada miosen awal-miosen tengah, yaitu

terjadinya crustal sagging dimana cekungan Sumatera Tengah mengalami penuruan

dan terjadinya transgresi. Kelompok Sihapas mulai terendapkan dan tersusun atas

klastika dengan lingkungan fluival-deltaic. Formasi Menggala dan Bekasap pada

lingkungan shallow marine, kemudian fasies argillaceous Formasi Bangko, Formasi

Duri, dan Formasi Telisa sebagai batuan penudung secara regional. Deformasi yang

terjadi pada fase F2 ini berasosiasi dengan sesar mendatar regional. Selama Miosen

awal-tengah terjadi pengangkatan dan lipatan disertai dengan sesar mendatar sepanjang

arah NW-SE (Bukit Barisan). Pada periode ini diikuti dengan awal post rifting. Pada
fase ini terjadi deformasi yang membentuk perangkap struktural (structural trap) untuk

akumulasi utama hidrokarbon.

Fase episode tektonik F3 (deformasi pada kala Miosen tengah-Resen) adalah

terjadinya kompresi yang menyebabkan struktur inversi. Deformasi F3 secara langsung

terkait dengan pengembangan margin transform Sumatera dimulai pada 13-15 Ma.

Pergerakan berlanjut hingga Plio-Pleistosen, yaitu sesar dengan arah barat laut-

tenggara sesuai dengan tahap akhir post rifting.

Gambar 2.3 Perkembangan Tektonik Tersier Cekungan Sumatera


Tengah (Heiidrick danTurlington, 1994)
2.3 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Tengah

Urutan stratigrafi di cekungan Sumatera Tengah dibagi menjadi syn rift

sequence, yaitu kelompok Pematang dan marine post rift sequence, yaitu kelompok

Sihapas. Menurut (Eubank dan Makki, 1981) tiga urutan stratigrafi utama di cekungan

Sumatera Tengah yang dipisahkan oleh batas ketidakselarasan, yaitu (1) Palogen

Kelompok Pematang, (2) Miosen Bawah Kelompok Sihapas, dan (3) Miosen

Tengah/Pliosen Formasi Petani (Gambar 2.4).

2.3.1 Kelompok Pematang

Sedimentasi tersier dimulai dengan pengendapan kelompok pematang yang

terendapkan pada awal fase rifting. Kelompok pematang terletak di atas basement di

cekungan Sumatera Tengah dan terdiri dari fasies sedimen darat, yaitu batulempung,

batupasir halus, perselingan dengan organic-rich lacustrine shale, konglomerat,

batupasir kasar, dan batulanau. Kelompok Pematang sering dipisahkan dari kelompok

Sihapas di atasnya oleh angular unconformity yang berbeda pada awal sedimentasi

Formasi Menggala pada 28-29 Ma (Eubank dan Makki, 1981). Kelompok Pematang

terendapkan pada lingkungan pengendapan darat karena tidak hadirnya foraminifera

yang menandakan bahwa sedimen terendapkan pada lingkungan non-marine. Endapan

fluvio-lacustrine terdiri dari tiga formasi, yaitu (1) unit fluvial /alluvial (lower red bed),

(2) unit lacustrine medial (brown shale), dan (3) unit fluvial /alluvial (upper red bed)

lower red bed formation.


Formasi lower red bed diendapkan pada sistem fluvial-alluvial didominasi oleh

batupasir, batulempung pasiran, dan konglomerat di bagian barat pada cekungan yang

berdekatan dengan batas patahan. Formasi ini disebut red bed karena batuan pada

formasi ini terekspos ke permukaan dan terjadi oksidasi sehingga karakter fisik batuan

berdasarkan warna adalah berwarna merah. Pembebanan terus berlangsung dan

terbentuk danau (lacustrine) yang menyebabkan terbentuknya formasi brown shale.

Formasi brown shale tersusun atas shale, batupasir halus, dan batulanau. Pada akhir

pengendapan brown shale, fase regresif terjadi dengan danau menjadi lebih dangkal

dan secara bertahap mengisi danau dari pengendapan upper red bed formation. Litologi

upper red bed tersusun atas batu pasir halus dan kasar, batu lanau, dan batu lempung.

Menurut Sitohang dan Sukanto (1997), sedimen pada upper red bed formation tersusun

oleh batu pasir sedang-kasar dan sortasi buruk. Sedimen ini terendapkan di atas fasies

yang berukuran halus dan diinterpretasikan bahwa upper red bed formation diendapkan

pada energi yang tinggi dan sedimentasi yang cepat.

2.3.2 Kelompok Sihapas

Pembebanan regional yang luas dan kondisi lingkungan semakin mengarah ke

laut sepanjang Miosen awal dengan pengendapan kelompok Sihapas. Urutan sedimen

klastik laut pada kelompok Sihapas pada kala Miosen menjelaskan siklus transgresi.

Reservoir batupasir dan batuan penudung di cekungan Sumatra Tengah sebagian besar

berasal dari perisai Malaysia di sebelah timur. Di atas kelompok Pematang terendapkan
marine post-rift sequence, yaitu kelompok Bekasap yang terdiri dari formasi Menggala

dengan ukuran butirkasar, batulempung Formasi Bangko, transgresi Formasi Bekasap,

Formasi Telisa, dan Formasi Duri. Berikut merupakan penjelasan formasi batuan pada

Kelompok Sihapas menurut (William dan Eubank, 1995):

a. Formasi Menggala

Formasi Menggala merupakan kombinasi lingkungan marine fluvial, braided

stream clastics, dan semakin didominasi oleh laut terbuka (open marine). Formasi

Menggala mencerminkan unit transgresif pada kelompok Sihapas yang tersusun oleh

batupasir konglomeratan dan batupasir halus-sedang. Ketebalan batuan hingga

mencapai maksimum 335 m (1110 ft). Kontak dengan kelompok Pematang di

bawahnya secara tidak selaras.

b. Formasi Bangko

Formasi Bangko mencerminkan transgresi laut, siklus regresi pada awal

miosen, tersusun oleh urutan grey calcareous shales yang diendapkan pada ligkungan

paparan laut terbuka. Formasi Bangko pinches out di atas Formasi Duri dan Tinggian

Minas dengan ketebalan di bagian barat mencapai maksimum 110 m (360 ft).

Batulempung ini menjadi batuan penudung (seal) untuk reservoir di bawah Formasi

Menggala.

c. Formasi Bekasap

Formasi Bekasap memiliki karakteristik prograding yang tersusun oleh

sedimen klastik kasar urutan dari fasies air payau sampai laut dangkal. Formasi
Bekasap juga terdiri atas batupasir masif halus-kasar dengan sedikit batulempung.

Maksimum ketebalannya mencapai 396 m (1300 ft).

d. Formasi Duri

Formasi Duri tersusun oleh perselingan batupasir halus-sedang dengan

batulempung. Batupasir terendapkan pada urutan regressive marine delta-front dan

berasosiasi dengan transgressi laut pada Akhir Miosen. Maksimum ketebalannya

mecapai 274 m (899 ft).

e. Formasi Telisa

Formasi Telisa mencerminkan maksimum transgresi pada awal Miosen,

tersusun oleh marine shale dan sedikit sisipan batulanau dan menjadi batuan penudung

pada formasi bekasap dan reservoir batupasir formasi Duri. Ketebalan maksimumnya

mencapai 457 m (1555 ft).

f. Formasi Petani

Sedimentasi pada Formasi Petani adalah fase regresi pada pengendapan tersier

cekungan Sumatera Tengah. Formasi Petani tersusun oleh grey non-calcareous shales

dan bagian atas menjadi batupasir dengan batubara dan konglomerat. Ketebalan

maksimumnya mencapai 1370 m (4495 ft).

g. Formasi Minas

Formasi Minas secara tidak selaras terendapkan di atas Formasi Petani, dimulai

pada Plio-Plistosen (2.8 Ma). Formasi Minas merupakan fase akhir pengendapan

sedimen di cekungan Sumatera Tengah.


Gambar 2.4 Stratigrafi Regional Cekungan Sumatera Tengah (Eubank
dan Makki, 1981)

2.4 Sistem Minyak Bumi Cekungan Sumatera Tengah

Sistem minyak bumi terdiri dari batuan induk (source rock), reservoir, trap, dan

batuan penudung (seal). Sistem kelompok Pematang dan Sihapas dimulai dari
pengendapakan pada lingkungan fluvial-lacustrine. Reservoir utama diendapkan pada

kala Miosen di lingkungan laut, yaitu kelompok Sihapas. Secara regional batuan

penudung muncul sebagai hasil dari pengendapan batulempung Formasi Telisa.

Batuan induk (source rock) adalah batuan yang memiliki material organik.

Batuan induk cekungan Sumatera Tengah adalah kelompok Pematang, yaitu lower red

bed, brown Shale, dan upper red bed. Secara umum fasies gas adalah berasoisasi

dengan danau, delta, dan fan delta system. Brown shale memiliki nilai API kurang dari

20°-47°. Konten minyak kurang dari 0.2 wt% sulfur. Batuan reservoir adalah batuan

yang memiliki porositas dan permeabilitas untuk akumulasi hidrokarbon dan

meloloskan fluida. Batuan reservoir pada cekungan Sumatera Tengah adalah kelompok

Menggala dan Sihapas dengan cakupan Formasi Menggala, Formasi Bangko, Formasi

Bekasap, Formasi Duri, dan Formasi Telisa. Trap atau geometri batuan sebagai

perangkap hidrokarbon sehingga tidak bergerak ke atas permukaan. Selama Miosen

awal-tengah pengangkatan, lipatan, dan patahan terjadi. deformasi tersebut membentuk

perangkap (traps) untuk akumulasi utama hidrokarbon. Tipe perangkap geometri di

cekungan Sumatera Tengah adakah perangkap struktural, yaitu antiklin. Formasi Telisa

secara regional menjadi super seal di cekungan Sumatera Tengah. Unit batulempung

dari Formasi Telisa menahan hidrokarbon untuk migrasi ke permukaan. Formasi Telisa

merupakan batuan penudung utama di beberapa lapangan. Secara sub-regional batuan

penudung (seal) di cekungan Sumatera Tengah adalah dari Bangko Shale dan
kelompok Pematang, khususnya formasi Brown Shale. Secara lokal batuan penudung

(seal) adalah marine shales dalam kelompok Sihapas.

2.5 Well Logging

Menurut (Cannon, 2015) Logging adalah metode pengukuran sifat fisik batuan

di bawah permukaan secara menerus dalam lubang bor per kedalaman dengan

menggunakan kabel yang diposisikan dekat rig floor (Gambar 2.5). Hasil logging ini

akan ditampilkan dalam log yang biasanya dikenal dengan well logs. Well logs

merupakan hasil dari pengukuran geofisika pada lubang bor yang mana menjadi

informasi kunci untuk indentifikasi zona produktif hidrokarbon dan menentukan

parameter petrofisika seperti zona litologi, porositas, permeabilitas, dan saturasi

hidrokarbon. Pengukuran logging dilakukan, baik pada open hole maupun cased hole

logging. Open hole logging merupakan lubang bor yang dibor dalam formasi segera

setelah pengeboran, umumnya untuk pengukuran petrofisika evaluasi formasi.

Sementara itu, cased hole logging merupakan lubang bor setelah dipasang besi casing

dan sudah disemen, umumnya untuk pengembangan reservoir dan produksi.


Gambar 2.5 Diagram Skematik untuk
Menjalankan Wireline Log (Cannon, 2015)

2.5.1 Log Gamma Ray (Log GR)

Log gamma ray adalah log untuk mengukur radioaktif alami batuan. Prinsip

kerja log Gamma Ray adalah merekam jumlah emisi gamma dari formasi batuan ke

lubang bor. Emisi gamma dihasilkan dari peluruhan radioaktif alami isotop, yaitu

potassium, uranium dan thorium yang terdapat dalam matriks formasi batuan (Asquith

dan Krygowski, 1992). Sifat radioaktif ini lebih banyak terkandung pada batuan yang

berukuran butir halus, yaitu shale yang dikarenakan kahadiran ion potassium pada

struktur lattice pada mineral lempung. Oleh karena itu, shale akan lebih radioaktif

dibandingkan dengan batupasir yang bersih dari material lempung (clean sand) dan

batugamping.
Kuarsa dan kalsium karbonat hampir tidak menghasilkan radiasi. Namun,

batupasir yang bersih dari material lempung (clean sand) dapat juga memberikan

respon yang tinggi terhadap nilai radioaktif jika batupasir tersebut mengandung

potassium feldspar, mika, glaukonit, dan air yang kaya uranium. Log GR memberikan

informasi mengenai formasi batuan yang memiliki sifat radioaktif yang rendah karena

berpotensi mengandung hidrokarbon yang dapat bergerak. Log gamma ray dapat

membantu geologist untuk membedakan lapisan batupasir dan batulempung dari

batuan reservoir, yaitu batupasir dan batugamping. Pengukuran sinar gamma alami

memiliki resolusi vertikal sekitar 1 ft atau 30 cm, tetapi resolusi vertical tergantung

pada kecepatan logging (Hughes, 2002).

Pengukuran pada formasi yang memiliki kandungan radioaktif alami memiliki

intensitas resolusi veritikal yang baik karena efisiensi detektor ditingkatkan pada

tingkat yang tinggi. Pengukuran sinar gamma alami memiliki resolusi vertikal sekitar

1 ft atau 30 cm, tetapi resolusi vertikal tergantung pada kecepatan logging. Pada lapian

yang tipis, resolusi alat pengukuran dapat meningkat hanya pada saat kecepatan

logging yang rendah. Keuntungan pada alat pengukuran gamma ray adalah dapat

diukur pada lubang bor yang sudah di casing atau sering dikenal dengan cased hole

logging. Walaupun besi pada lubang bor, dapat mengurangi tingkat radioaktif sekitar

30 %.

Dalam perhitungan petrofisika, log gamma ray digunakan untuk menghitung

volume volume lempung (Vsh) pada batuan. Volume lempung ini sangat penting untuk

perhitungan saturasi air. Tidak seperti log SP (Spontaneous), log gamma ray tidak
dipengaruhi oleh resistivitas air (Rw) karena log gamma ray merespon radioaktif alami

pada formasi batuan dibandingkan dengan sifat kelistrikan alami sehingga dapat diukur

dengan cased hole logging dan open hole logging yang mengandung lumpur non

konduktif. Log gamma ray ditampilkan pada track 1 pada standar log, yaitu biasanya

dengan log caliper dan Tracks 2 dan 3 yang biasanya menampilkan log resistivitas dan

log porositas.

2.5.2 Log Spontaneous Potential (Log SP)

Log spontaneous potential adalah untuk mengetahui lapisan permeabel,

resistivitas air formasi dan estimasi volume lempung pada lapisan permeabel (Gambar

2.6). Prinsip pengukurannya adalah menghitung perbedaan potensial listrik dari

elektroda yang bergerak di lubang bor dan potensial elektroda di permukaan (Dol,

1948). Unit pengukuran log SP adalah millivolts (mV). Respon alat dari pengukuran

log SP dibentuk oleh variasi elektrokima antara fluida lubang bor dan batuan reservoir

yang disebabkan oleh perbedaan salinitas lumpur filtrat dan air formasi dalam lapisan

permeabel. Respons dapat positif (ke kanan) atau negatif (ke kiri) terutama tergantung

pada salinitas dari lumpur dan air formasi (Cannon, 2015).


Gambar 2.6 Pengukuran Alat Log
Spontaneous Potential (SP) yang Biasanya
Menggunakan Lumpur Kondutif (Water
Base Mud) (Cannon, 2015)

Salinitas berbeda antara lumpur filtrat dan air formasi yang dibentuk sebagai ion

Na dan CL dengan perbedaan mobilitas melalui keadaan setimbang. Defleksi SP atas

interval reservoir adalah mengukur defleksi dari garis dasar serpih pada kedalaman

tersebut. Dalam pengukuran spontaneous potential terdapat tiga hal yang harus

diperhatikan, seperti jenis lumpur yang digunakan adalah lumpur yang konduktif

(water based mud), lapisan batuan yang berpori dan permeabel yang dikelilingi oleh

lapisan batuan impermeabel, dan perbedaan salinitas antara lumpur filtrat dan air

formasi. Sumber spontaneous potential adalah dari komponen yang berbeda, yaitu

elektrokimia (interaksi ion antara lumpur filtrat dan air formasi) dan elektrokinetik

(pergerakan ion bermuatan listrik dalam fluida terhadap batuan). Elektrokimia ini
terdiri atas dua efek, yaitu liquid-junction potential dan membrane potential atau yang

sering dikenal dengan shale potential.

Potensi ini ada di antara zona yang terinvasi dan yang tidak terinvasi dan

merupakan hasil langsung dari perbedaan salinitas antara lumpur filtrat dan air formasi

(Asquith dan Krygowski, 1992). Jika air formasi lebih saline dibandingkan dengan

lumpur filtrat, ion terlarut dalam sistem adalah Na+ dan Cl-, seperti NaCl. Ion klorida

memiliki mobilitas yang lebih tinggi daripada ion natrium. Ion dari lumpur filtrat

salinitas tinggi akan berdifusi ke dalam zona fresh water untuk menyeimbangkan

salinitas ke luar. Ion klorida lebih mobile dan banyak berdifusi ke dalam zona invasi

daripada natrium. Hasil akhirnya adalah aliran muatan negatif ke zona yang terinvasi,

yang mengatur ketidakseimbangan muatan (beda potensial) yang disebut potensi

difusi.

Potensi difusi menyebabkan arus mengalir (dari negatif ke positif) dari zona

invasi ke zona non-invasi. Garis dasar serpih tidak konstan di sepanjang lubang bor

yang biasanya terdapat pergeseran bertahap dengan kedalaman. Defleksi SP hanya

akan terjadi pada zona permeabel yang berlawanan. Properti ini membuat SP

digunakan untuk mengetahui ketebalan reservoir meskipun resolusinya buruk. Defleksi

log SP juga akan bereaksi terhadap variasi kandungan serpih di reservoir sehingga

dapat digunakan untuk mengenali karakteristik batuan dan korelasi dari sumur ke

sumur. Dua aplikasi tersebut sangat baik pada batupasir dan batulempung jika terdapat

perbedaan salinitas yang cukup antara filtrat lumpur dan air formasi. Zona permeabel

tidak perlu sepenuhnya mengandung air untuk menunjukkan defleksi SP.


Pada hidrokarbon masih ada jumlah air formasi yang cukup untuk

memungkinkan SP berkembang. Arah dan besarnya defleksi log SP di zona permeabel

bersih memberikan informasi tentang salinitas air formasi. Jika air formasi lebih salin

daripada filtrat lumpur, SP akan menunjukkan defleksi negatif. Jika air formasi lebih

bersih (fresh) daripada filtrat lumpur, defleksi SP akan positif. Jika kedua salinitas

serupa, tidak ada defleksi yang akan diamati. Variasi dalam salinitas air formasi dengan

kedalaman dapat dideteksi oleh perbedaan defleksi SP di zona bersih yang berlawanan.

Hal Ini adalah informasi penting karena ini mengindikasikan isolasi hidrolik antara

interval reservoir.

2.5.3 Log Resistivitas

Log resistivitas digunakan untuk determinasi zona hidrokarbon dengan zona

air, indentifikasi zona permeabel, dan determinasi porositas. Dijelaskan oleh Asquith

dan Krygowski, (1992) bahwa butiran pada batuan adalah non konduktif dan

hidrokarbon dalam pori-pori batuan juga non konduktif. Saat saturasi hidrokabron pada

pori-pori batuan meningkat (saturasi air rendah), resistivitas formasi meningkat. Saat

salinitas air pada pori-pori batuan meningkat (Rw meningkat), resistivitas batuan juga

menurun. Log resistivitas menghasilkan arus dalam formasi dan mengukur respons

formasi terhadap arus tersebut. Arus dapat dihasilkan dan diukur dengan metode

lateralog dan induksi.


Alat elektroda (laterolog) memiliki elektroda pada permukaan alat untuk

memancarkan arus dan mengukur resistivitas formasi. Alat induksi menggunakan

kumparan untuk menginduksi arus dan mengukur konduktivitas formasi (Cannon,

2015). Alat elektroda biasanya digunakan untuk mengukur resistivitas batuan pada

zona yang terinvasi oleh lumpur (mud), sedangkan alat induksi digunakan untuk

pengukuran pada zona yang tidak terinvasi. Invasi dapat memengaruhi laterolog.

Namun, karena resistivitas lumpur filtrate sama dengan resistivitas air formasi (Rmf ~

Rw) saat sebuah sumur dibor dengan lumpur air asin, invasi tidak sangat

mempengaruhi nilai Rt yang diperoleh dari laterolog. Namun, saat sumur dibor dengan

lumpur air tawar (di mana Rmf> 3 Rw), laterolog dapat sangat dipengaruhi oleh invasi

(Asquith dan Krygowski, 1992).

Dalam kondisi ini, laterolog tidak dapat digunakan. Ukuran lubang bor dan

ketebalan formasi memengaruhi laterolog, namun efeknya cukup kecil sehingga

resistivitas laterolog dapat diambil sebagai Rt. DLL (dual lateral log) merupakan salah

satu pengukuran resistivitas yang utama. DLL adalah perangkat elektroda terfokus

yang dirancang untuk meminimalkan pengaruh dari cairan lubang bor dan formasi yang

berdekatan. Pengukuran arus yang dipancarkan dari elektroda pusat mengalir secara

lateral ke dalam formasi dengan aksi fokus dari elektroda yang mengelilingi elektroda

pusat.

Proses ini memberikan dua pengukuran resistivitas bawah permukaan secara

bersamaan. Dua pengukuran memiliki kedalaman investigasi yang berbeda disebut

resistivitas dalam (LLD) dan resistivitas dangkal (LLS). DLL terdiri dari elektroda
pusat yang memancarkan arus dan diposisikan di antara elektroda pelindung. Elektroda

fokus untuk menjaga nol beda potensial antara elektroda penjaga dan elektroda pusat

sehingga arus difokuskan ke formasi. Dengan demikian, perbedaan potensial yang

dihasilkan setara dengan resistivitas formasi. Pengukuran resistivitas dilakukan pada

zona yang dekat dengan lubang bor (Rxo) atau disebut flushed zone, dan uninvended

zone (virgin zone) (Gambar 2.7).

Gambar 2.7 Formasi Batuan yang Terkena


dengan Invasi Lumpur (Flushed Zone),
Transition Zone, dan Virgin Zone (Asquith &
Gibson, 1982)

Log yang dihasilkan adalah kurva pembacaan pengukuran dangkal (RLLS) dan

kurva pembacaan pengukuran dalam (RLLD). Kurva pembacaan ini menunjukkan


seberapa besar lubang bor dipengaruhi oleh semen (mud). Pembacaan shallow

resistivity berarti investigasi pengukuran hanya pada jarak yang dangkal yang mana

menunjukkan resistivitas batuan yang telah terinvasi oleh semen (mud). Deep

resisitivty menunjukkan resistivitas batuan dari zona yang terinvasi oleh semen (mud)

dengan jarak yang lebih dalam. Kurva ini ditampilkan dalam track 2 dan 3 dan biasanya

dalam empat logaritmik 0.2 – 2000 ohm-m.

Pengukuran resistivitas ketiga adalah resistivitas secara microsphericall

(RMSFL) yang memiliki kedalaman pengukuran yang sangat dangkal dan mengukur

resistivitas formasi yang sangat dekat (dalam beberapa inci) dari lubang bor. Ketika

tiga kombinasi kurva-resistivitas ini, yaitu, dalam, dangkal, dan sangat dangkal

digunakan, kurva laterolog yang dalam (RLLD) dapat dikoreksi untuk efek invasi untuk

menghasilkan Rt (Suau et al., 1972). Deep resistivity menunjukkan resistivitas dari

zona yang tidak terinvasi oleh semen (mud) yang dianggap sebagai resistivitas yang

sebenarnya meskipun kurva bacaan yang paling dalam pun dapat dipengaruhi oleh

keberadaan lumpur filtrat. Dengan mengevaluasi pemisahan antara kurva ini, geologist

dapat memperkirakan diameter invasi oleh filtrat lumpur dan menentukan zona mana

yang lebih permeabel dari lapisan batuan yang lain. Kebalikan dari resistivitas adalah

konduktivitas.

Log induksi mengukur konduktivitas formasi batuan dibandingkan resistivitas.

Konduktivitas formasi batuan berhubungan dengan resistivitas formasi batuan melalui

persamaan berikut:
1000
𝐶=
𝑅
Keterangan:
C = Konduktivitas dalam millimho/m
R = Resistivitas dalam ohm-m

Alat induksi terdiri atas beberapa kumparan yang memancarkan arus dengan

frekuensi yang tinggi. Alat induksi bekerja dengan baik pada sumur yang mengandung

fluida non konduktif, yaitu oil base mud atau lumpur air tawar (Rmf> 3 Rw). Log

induksi bekerja lebih baik pada formasi yang resistivitas rendah hingga sedang.

Ketidakpastian dalam pengukuran meningkat pada formasi yang resistivitasnya tinggi,

yang membuat log induksi sedikit kurang digunakan dibandingkan dengan log

lateralog untuk formasi yang resistivitasnya tinggi (resistivitas lebih dari 100 ohm-m).

2.5.4 Log Neutron (Log NPHI)

Log neutron mengukur konsentrasi hidrogen pada formasi batuan, yaitu

hidrogen index (HI) (Gambar 2.8). Sumber hidrogen yang paling umum dalam formasi

adalah air atau hidrokarbon karena air dan hidrokarbon terkonsentrasi di pori-pori

batuan. Konsentrasi atom hidrogen dapat digunakan untuk menentukan porositas yang

diisi oleh fluida. Atom hidrogen memiliki nomer massa atom yang hampir sama dengan

neutron. Alat logging neutron diletakkan dekat dinding lubang bor (eccentered) dan

memancarkan neutron menggunakan sumber kimia, yaitu americium dan beryllium


yang mana terus mentransmisikan neutron ke formasi batuan (Cannon, 2015) (Gambar

2.8).

Ketika neutron ini bertumbukkan dengan atom-atom nukleus dalam suatu

formasi. Dengan setiap tumbukan elastis, neutron kehilangan energi dan akhirnya

neutron diserap oleh nukleus dan sinar gamma dipancarkan. Kehilangan energi

maksimum terjadi ketika neutron bertubrukan dengan atom hidrogen karena atom

hidrogen memiliki massa atom yang sama. Tingkat yang mana neutron mencapai

keadaan termal sebanding dengan konsentrasi atau indeks hidrogen (HI). Alat porositas

neutron mengukur indeks hidrogen (HI) yang kemudian dikonversi menjadi porositas

neutron. Oleh karena itu, respons alat dikontrol oleh kandungan hidrogen formasi yang

dapat langsung berhubungan dengan porositas batuan. Jika semakin rendah nilai

neutron yang ditangkap oleh detektor, semakin banyak atom hidrogen pada batuan.

Hidrogen terkonsentrasi dalam batuan yang berpori. Energi yang hilang berhubungan

dengan porositas formasi batuan. Saat pori-pori batuan terisi oleh gas dibandingkan

minyak atau air, porositas neutron lebih kecil dibandingkan dengan porositas formasi

yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena rendahnya hidrogen pada gas dibandingkan

dengan minyak dan air. Proses perekaman log neutron pada formasi batuan dapat

dilihat pada gambar berikut.


Gambar 2.8 Perekaman Log
Neutron pada Formasi Batuan
(Cannon, 2015)

Penurunan porositas neutron yang diakibatkan oleh gas disebut dengan efek gas

(gas effect), yaitu ada 'cross-over' dengan log densitas ketika porositas neutron kurang

dari bulk density di zona berpori dan permeabel. Saat material lempung adalah bagian

dari matriks formasi, porositas neutron akan lebih besar dibandingkan dengan porositas

formasi yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena hidrogen dalam struktur lempung dan

air yang terikat pada lempung. Meningkatkan nilai porositas neutron disebabkan

kehadiran lempung yang disebut dengan efek lempung (shale effect). Kombinasi antara

log neutron dan densitas adalah untuk identifikasi gas.

Gas dalam pori-pori batuan menyebabkan porositas densitas sangat tinggi (gas

memiliki densitas lebih rendah daripada minyak atau air) dan menyebabkan porositas
neutron terlalu rendah (konsentrasi atom hidrogen yang lebih rendah pada gas daripada

dalam minyak atau air).

2.5.5 Log Densitas (Log RHOB)

Log densitas mengukur bulk density pada batuan, oleh karena itu, densitas batuan

dan juga fluida yang terdapat di pori-pori batuan. Densitas batuan diukur dalam gram

per kubik cm g/cm3 (atau Kg/m3) dan disimbolkan dalam (rho). Log densitas biasanya

ditampilkan dalam track 2 atau 3 bersama dengan Log neutron dan log PEF dengan

skala biasanya adalah 1.95-2.95 cm g/cm3. Secara umum porositas berbanding terbalik

dengan densitas batuan. Untuk menghitung porositas batuan dari log densitas perlu

untuk mengetahui densitas matriks dan densitas fluida di pori-pori.

Pengukuran densitas batuan berasal dari kerapatan elektron suatu formasi.

Pengukuran densitas batuan dilakukan dengan perangkat logging yang memancarkan

sinar gamma ke dalam formasi seperti diperlihatkan pada (Gambar 2.9). Sinar gamma

bertumbukkan dengan elektron dalam formasi. Hasil dari tumbukkan ini menghasilkan

energi yang hilang dari partikel gamma yang dikenal sebagai compton scattering.

Partikel gamma yang kembali ke detektor diukur dalam dua rentang, yaitu energi yang

lebih tinggi dipengaruhi oleh hamburan Compton dan energi yang lebih rendah yang

diatur oleh efek fotolistrik (PEF). Jumlah partikel energi yang lebih tinggi yang

kembali ke detektor sebanding dengan densitas elektron formasi batuan (Tittman dan

Wahl, 1965).
Gambar 2.9 Perekaman Log Densitas
Dengan Detektor Dipasang Eccentred pada
Lubang Bor (Cannon, 2015)

Dalam formasi densitas rendah, lebih banyak sinar gamma yang tersebar

mencapai detektor dibandingkan dengan formasi dengan densitas lebih tinggi. Elektron

densitas adalah berhubungan dengan dua densitas yang diukur dalam log densitas, yaitu

bulk density (ρb atau RHOB) dan densitas matriks (ρma). Bulk density atau densitas

total dari seluruh batuan meliputi bagian padat dan fluida dalam batuan (Asquith dan

Krygowski, 1992). Bulk density atau ρb adalah fungsi dari matriks densitas, porositas,

dan densitas dari fluida pada pori-pori batuan (lumpur air asin, lumpur air tawar, dan

hidrokarbon). Matriks densitas batuan dapat dilihat pada Tabel (2.1).


Resolusi vertikal pada pengukuran bulk density adalah 1 ft atau 30 cm, tergantung

pada kecepatan logging. Alat yang digunakan dalam pengukuran densitas batuan terdiri

dari sumber sinar gamma dengan energi sedang, yaitu cobalt (60Co) dan cesium (137Ce).

Kurva koreksi, yaitu DRHO (dalam g/cm3 atau Kg/m3) menunjukkan tingkat koreksi

selama pemrosesan untuk memperhitungkan rugosity lubang bor yang ditampilkan

dalam track 2 dan 3. Kurva ini mengindentifikasi seberapa besar koreksi yang

dilakukan terhadap densitas batuan selama proses logging karena efek lubang bor

(terutama efek ketebalan lumpur) dan digunakan sebagai indikator kontrol kualitas.

Log densitas digunakan untuk identifikasi mineral evaporit, mendeteksi zona gas,

determinasi densitas hidrokarbon dan evaluasi reservoir shaly-sand dan litologi

(Shlumberger, 1972).

Gas pada batuan sering memberikan efek pada pengukuran bulk density pada

batuan (pada batuan yang porositas tinggi, permeabilitas tinggi yang mana invasinya

adalah rendah, tetapi alat densitas dan neutron dilakukan secara kombinasi. Dua

pengukuran ini melengkapi pengukuran satu sama lain yang mana densitas dan neutron

merespon terhadap efek gas dalam arah yang berbeda. Separasi antara log densitas dan

log neutron mengidentifikasikan zona gas. Densitas porositas menggunakan rumus,

yaitu:

ρma − ρb
ΦD =
𝑝𝑚𝑎 − 𝑝𝑓𝑙
Keterangan:
ΦD = densitas porositas
ρma = matriks densitas
ρb = bulk density
ρfl = Densitas fluida

Tabel 2.1 Densitas Matriks dan Nilai Efek Fotolistrik


(Pe) dari Litologi (Halliburton, 1991)

2.5.6 Log Sonik

Log sonik adalah log yang digunakan untuk mengukur lamanya waktu (Δt, delta

t, atau DT) dari gelombang suara yang melalui formasi batuan sepanjang lubang bor

(Asquith dan Krygowski, 1992). Gelombang suara ini dapat melewati benda padat,

cair, dan gas, namun media yang paling cepat gelombang lalui adalah benda padat.

Oleh karena itu, alat log sonik dapat merekam matriks porositas pada formasi batuan.

Perangkat log sonik terdiri dari satu atau lebih pemancar ultrasonik dan dua atau lebih

penerima yang diposisikan secara vertikal untuk meminimalkan dan mengimbangi efek

dari rugositas lubang bor (Gambar 2.10). Interval waktu transit (Δt) adalah kebalikan
dari kecepatan gelombang suara yang melewati formasi dan diukur dalam mikrodetik

per kaki atau meter (μs / ft atau μs / m).

Gambar 2.10 Perekaman Log Sonik pada Formasi


Batuan. Alat Sonik Dipasang Eccentred pada Lubang
Bor (Cannon, 2015)

Log sonik modern adalah perangkat yang dikompensasikan dengan borehole

(BHC). Perangkat ini dirancang untuk mengurangi efek yang tidak asli pada variasi

ukuran lubang bor (Kobesh dan Blizard, 1959) serta ketidakakuratan karena

kemiringan alat dengan sumbu lubang bor (Schlumberger, 1972) dengan rata-rata

sinyal dari pemancar-penerima yang berbeda. Waktu transit interval (Δt) dalam

mikrodetik per kaki, μsec / ft (atau mikrodetik per meter, μsec / m) adalah kebalikan

dari kecepatan gelombang suara dalam ft per detik (atau meter per detik). Interval

transit time (DT) biasanya ditampilkan dalam track 2 dan 3 log.


Waktu transit interval (Δt) tergantung pada litologi dan porositas. Waktu transit

interval (Δt) pada formasi batuan akan meningkat karena kahadiran hidrokarbon. Jika

efek hidrokarbon tidak tepat, nilai sonik log akan sangat tinggi. Berikut merupakan

persamaan untuk perhitungan waktu transit interval (Δt) menurut (Wyllie et al., 1958).

Δtlog − Δtma
ΦS =
Δtfl − Δtma
Keterangan:
ΦS = Porosity dari log sonik
Δtma = Interval waktu pada matriks
Δtlog = Interval waktu pada formasi
Δtfl = Interval waktu pada fluida dalam formasi (freshwater mud 189 μdetik/ft; lumpur air
asin =185 μdetik/ft)

2.5.7 Log Caliper

Log caliper adalah mengukur diameter dan bentuk lubang bor. Alat caliper

memiliki dua atau lebih lengan yang dapat bergerak masuk dan keluar saat alat ditarik

dari lubang bor dan gerakan diubah menjadi sinyal listrik oleh potensiometer. Kurva

Log caliper ditampilkan pada track 1 bersamaan dengan bit size. Lubang yang

memiliki ukuran diameter yang sama dengan bit yang mengebornya disebut dengan

gauge (Gambar 2.11). Lubang gauge adalah target untuk semua pengeboran dan pada

dasarnya menunjukkan teknik pengeboran yang baik.

Lubang dengan diameter yang jauh lebih besar dari ukuran bit disebut dengan

caved atau washed out. Artinya, selama pendalaman lubang, dinding lubang bor
memiliki bentuk seperti gerowong, menyebabkan diameter lubang bor membesar yang

diakibatkan oleh pipa bor atau terkikis oleh sirkulasi lumpur lubang bor. Kondisi ini

bisaa terjadi pada shale, khususnya secara kondisi geologi pada batuan yang muda dan

tidak terkonsolidasi (unconsolidated) sehingga caving atau gerowong ini dapat

memiliki makna litologi yang umum. Kaliper dapat menunjukkan diameter lubang

yang lebih kecil dari ukuran bit (bit size). Jika log memiliki profil yang halus,

diindikasikan mud cake atau kue lumpur. Kondisi ini merupakan indicator, yaitu hanya

lapisan permeabel yang memungkinkan mud cake terbentuk (Rider, 1995). Batas mud

cake atau kue lumpur menunjukkan dengan jelas batas reservoir potensial. Ketebalan

kue lumpur dapat diperkirakan dari caliper dengan membagi penurunan ukuran lubang

bor (caliper memberikan diameter lubang bor)


Gambar 2.11 Log Caliper Menunjukkan Beberapa Respons
Tipikal Diameter Lubang Bor (Rider, 1995)

2.6 Evaluasi Formasi

Evaluasi formasi atau yang dikenal dengan formation evaluation adalah studi

properties fisik batuan dan evaluasi untuk mengetahui potensi reservoir hidrokarbon.

Data evaluasi formasi didapatkan dari hasil logging atau LWD (logging-while-drilling)

yang diinterpretasikan pada kedalaman dan ditampilkan dalam grafik yang disebut log.

Evaluasi formasi yang dilakukan adalah dengan menganalisis sifat fisik batuan yang
disebut juga dengan analisis petrofisika. Analisisi petrofisika dilakukan dengan

menghitung properti batuan melalui hasil proses logging sumur (well logging). Analisis

petrofisika yang dilakukan melalui analisis kualitatif dan kuantitatif.

2.6.1 Analisis Kualitatif

Analisis kualitatif merupakan analisis untuk mengetahui litologi dari formasi

batuan. Penentuan litologi batuan dilakukan dengan menentukan baseline litologi, baik

sand baseline dan shale baseline. Analisis kualitatif juga dilakukan untuk mengetahui

fasies dan lingkungan pengendapan berdasarkan data batuan inti (core).

2.6.2 Analisis Kuantitiatif

Analisis kuantitatif adalah analisis properties batuan yang meliputi volume

lempung (Vsh) (Vsh), porositas, saturasi air, dan permeabilitas. Nilai properties batuan

tersebut didapatkan dari perhitungan data log, yaitu dengan bantuan perangkat lunak

(software) geologvolume shale


2.6.2.1 Volume of Shale

Untuk melakukan evaluasi formasi, parameter awal yang dihitung adalah

menghitung jumlah volume lempung (VSh) pada batuan. Volume lempung ini

memengaruhi kualitas suatu reservoir karena lempung menghambat suatu batuan untuk

mengalirkan fluida karena sifat dari shale yang impermeable (tidak dapat mengalirkan

fluida). Semakin banyak volume lempung pada batuan akan mudah menghambat fluida

untuk masuk ke dalam batuan karena shale memiliki sifat radioaktif dibandingkan

dengan batupasir dan batugamping. Oleh karena itu, log gamma ray digunakan untuk

perhitungan volume lempung pada reservoir. Volume lempung ini disimbolkan dengan

fraksi desimal atau persen (%) yang dikenal dengan Vshale. Perhitungan pada indeks

gamma ray untuk menentukan volume lempung dari log gamma ray, yaitu dengan

rumus berikut:

𝐺𝑅𝑙𝑜𝑔 − 𝐺𝑅𝑚𝑖𝑛
𝐼𝐺𝑅 =
𝐺𝑅𝑚𝑎𝑥 − 𝐺𝑅𝑚𝑖𝑛
Keterangan:
IGR = Indeks Gamma ray
GRlog = Pembacaan gamma ray pada log
GRmin = Minimun gamma ray (Batupasir atau batugamping)
GRmax = Maksimum gamma ray (shale).

Berbeda dengan log SP yang digunakan dalam hubungan linear antara respon

dan volume lempung, log gamma ray memiliki beberapa respons empiris nonlinear

serta respons linear (Gambar 2.12). Respons nonlinier didasarkan pada area geografis

atau umur formasi. Dibandingkan dengan respon linear, semua hubungan nonlinear
lebih optimis, yaitu menghasilkan nilai volume lempung yang lebih rendah

dibandingkan dengan persamaan linier. Untuk estimasi urutan pertama volume serpih,

respons linear, di mana Vshale = IGR harus digunakan. Perhitungan non liner yang

optimis dengan nilai volume lempung rendah adalah sebagai berikut:

a. Larionov (1969) untuk batuan tersier:


𝑉𝑠ℎ = 0.083(23.7.𝐼𝐺𝑅 − 1)

b. Steiber (1970)
𝐼𝐺𝑅
𝑉𝑠ℎ =
3 − 2 × 𝐼𝐺𝑅
c. Clavier (1971)
𝑉𝑠ℎ = 1.7 − [3.38 − (𝐼𝐺𝑅 − 0.7)2 ]1/2

d. Larionov (1969) untuk batuan yang tua

𝑉𝑠ℎ = 0.33 × (22.𝐼𝐺𝑅 − 1)


Gambar 2.12 Indeks Sinar Gamma (IGR)
dengan Volume Serpih (Vsh) (Western Atlas,
1995)

Berdasarkan bagan koreksi indeks sinar gamma (IGR) dengan volume

serpih (Vsh), perhitungan nilai volume lempung (Vsh) sama dengan nilai indeks

radioaktif (IGR) pada metode linear. Metode larionov (batuan yang lebih tua) memiliki

nilai volume lempung (Vsh) hampir mendekati dengan metode linear yamg kemudian

diikuti oleh metode clavier, Stieber, dan Larionov untuk batuan tersier.
2.6.2.2 Porositas

Porositas total merupakan volume pori-pori yang tidak terisi padatan, yaitu diisi

dengan cairan dibagi dengan volume total batu (Crain, 1986). Porositas ditunjukkan

dengan fraksi desimal atau persen (%) dan disimbolkan dengan phi (Φ). Porositas yang

dihitung adalah porositas total (PHIT) yang termasuk juga volume clay bound water

(CBW) pada shale dan porositas efektif (PHIE). Perhitungan porositas didapatkan

dengan bantuan log densitas dan log neutron. Porositas total (PHIT) adalah

perbandingan volume pori-pori dengan volume total. Berikut merupakan perhitungan

porositas total batuan:

Volume pori−pori batuan


Φ= =%
volume total batuan

Porositas efektif (PHIE) merupakan volume antarpori yang saling berhubungan

(interconnected porosity) yang memungkinkan batuan untuk meloloskan fluida. Nilai

dan kualitas porositas batuan dapat dilihat pada (Tabel 2.2. Porositas batuan

menunjukkan seberapa besar volume batuan untuk menyimpan fluida hidrokarbon.

Crossplot antara log neutron (NPHI) dan log densitas (RHOB) dilakukan untuk

menghitung porositas total dan porositas efektif. Dengan crossplot ini didapatkan tiga

parameter, yaitu MA (matriks, fluida, dan dry shale (DSH), yang nantinya dapat

mengetahui nilai free fluid, clay bound water, capillary bound water/ irreducible water.

Clay bound water (CBW) merupakan air yang terikat dengan lempung dan
digambarkan dengan air yang terkait dengan lapisan pori dan lempung sebagai

tambahan dari butiran lempung detrital.

Secara umum porositas cenderung lebih rendah pada batuan yang lebih dalam

dan lebih tua karena sementasi dan tekanan overburden pada batuan (Rider, 1996).

Porositas batuan juga dipengaruhi oleh tekstur batuan sedimen. Tekstur batuan yang

meliputi ukuran butir, bentuk butir, sortasi, dan kemas dipengaruhi oleh proses

sedimentasi yang terjadi sebelumnya. Hasil dari sedimentasi ini yang membentuk

tekstur batuan dan memberikan pengaruh terhadap properties batuan. Batuan dengan

ukuran butir halus dan terpilah buruk memiliki porositas yang kecil dibandingkan

dengan batuan yang memiliki ukuran butir kasar dan terpilah baik.

Tabel 2.2 Ukuran dan Kualitas Porositas (Koesoemadinata, 1978)


Nilai Porositas Kualitas
0-5% Dapat diabaikan
5-10% Buruk
10-15% Cukup
15-20% Baik
20-25% Sangat Baik
>25% Istimewa

2.6.2.3 Permeabilitas

Permeabiltas adalah kemampuan suatu batuan dalam meloloskan fluida dengan

satua mili darcy (md) dan disimbolkan dengan K. Permeabilitas dikontrol oleh ukuran
dari pori-pori atau kapiler. Kemampuan batuan untuk meloloskan fluida, saat

seluruhnya jenuh dengan fluida, disebut absolut permeabilitas. Permeabilitas efektif

merujuk kepada kemampuan batuan untuk meloloskan satu jenis fluida dalam

kehadirannya fluida lain saat dua fluida yang tidak dapat bercampur. Air formasi

(connate water) dipengaruhi oleh tekanan kapiler di pori-pori batuan yang

menghambar transmisi hidrokarbon.

Permeabilitas relatif adalah perbandingan antara permabilitas efektif pada fluida

setengah jenuh dengan permeabilitas 100% jenuh. Dalam perhitungan permeabilitas,

penulis menggunakan konsep multiple regression dengan melihat hubungan antara

permeabilitas dengan porositas efektif (PHIE) dan volume lempung (Vsh). Nilai dan

kualitas permeabilitas batuan dapat dilihat pada (Tabel 2.3).

Tabel 2.3 Klasifikasi Permeabilitas (Koesoemadinata, 1978)

Kualitas Nilai Permeabilitas


Sangat buruk <1 mD
Buruk 1 mD - 50 mD
Sedang 50 mD - 200 mD
Baik 200 mD - 500 mD
Sangat Baik >500 mD
2.6.2.4 Saturasi Air

Saturasi air adalah besarnya volume pori batuan yang terisi oleh air formasi yang

dinyatakan dalam fraksi. Saturasi air ditunjukkan dalam fraksi desimal atau persentasi

dengan simbol Sw. Pada perhitungan saturasi air, penulis menggunakan perhitungan

dengan metode Archie dan Simandoux. Nilai saturasi air menunjukkan derajat

kejenuhan air dalam batuan. Semakin kecil nilai saturasi air pada batuan

memungkinkan fluida hidrokarbon, baik minyak maupun gas lebih banyak. Nilai

saturasi ini mengindikasikan di mana zona hidrokarbon. Saturasi air yang tidak dapat

tergantikan atau Irreducible water saturation (Swirr) meggambarkan semua air

terserap pada butiran dalam batuan atau ditahan oleh tekanan kapiler. Pada irreducible

water saturation (Swirr), air tidak dapat bergerak dan permeabilitas relatif terhadap air

adalah nol.

Resistivitas air formasi (Rw) adalah parameter penting untuk analisis openhole

logging karena nilai resistivitas air dibutuhkan dalam perhitugan saturasi fluida atau

gas pada reservoir. Air formasi berasal dari air dalam batuan, air laut, air hujan, dan air

hasil dari diagenesis. Komposisi kimia dipengaruhi oleh filtrasi melalui partikel

lempung, pertukaran ion, presipitasi mineral, dan reaksi matriks batuan dengan fluida

lainnya. Terdapat dua cara untuk mendapatkan resistivitas air formasi (Rw), yaitu

dengan data uji analisa laboratorium dan picket plot. Berikut penjelasan mengenai

metode yang digunakan dalam perhitungan saturasi air (Sw):

a. Metode Archie (1942)


Model saturasi air yang mempertimbangkan porositas dan resistivitas pertama

kali diusulkan untuk formasi clean sand (Archie, 1942) dan dinamai formula Archie.

Metode archie pada awalnya menghubungkan antara index resistivitas atau yang

dikenal dengan (RI) dengan faktor formasi (F), yang dituliskan dalam persamaan

berikut (Archie, G.E., 1942):

Kemudiaan, persamaan kedua merupakan hubungan antara faktor formasi (F) dengan

porositas (Φ) yang dituliskan dalam persamaan berikut (Archie, G.E., 1942):

Kedua persamaan tersebut digabungkan sehingga terbentuknya persamaan yang

dikenal dengan persamaan perhitungan saturasi air metode Archie berikut ini (Archie,

G.E., 1942):

b. Metode Simandoux (1963)

Metode simandoux tepat digunakan untuk karakter litologi shaly sand, yaitu nilai

volume of shale diperhtiungkan dalam perhitungan saturasi air. Metode ini

menggunakan bantuan log densitas dan log neutron dalam menghitung nilai porositas.
Volume lempung (Vsh) ditentukan dari log Gamma ray dengan metode linear maupun

metode lainnya (Larionov). Berikut merupakan persamaan metode Simandoux

(Dewan, J. T., 1983):

2.7 Lingkungan Pengendapan

Lingkungan pengendapan merupakan tempat mengendapnya material sedimen

beserta kondisi fisik, kimia, dan biologi yang mencirikan mekanisme pengendapan

tertentu (Boggs, 2006). Menurut Walker dan James (1992), fasies merupakan suatu

tubuh batuan yang memiliki kombinasi karakteristik yang khas dilihat dari litologi,

struktur sedimen, dan struktur biologi memperlihatkan aspek fasies yang berbeda dari

tubuh batuan yang ada di bawah, atas, dan di sekelilingnya. Karakteristik dari fasies

mencirikan kondisi lingkungan pengendapan dimana material sedimen terendapkan.

Menurut (Dalrymple, 2006), definisi 'geologis' yang menyatakan bahwa Estuari

adalah lingkungan transgresif di bibir sungai, yang menerima sedimen baik dari fluvial

dan laut, dan terdiri dari fasies yang dipengaruhi oleh pasang surut, gelombang, dan

proses fluvial. Menurut Darymple, Zaitlin, dan Boyd (1992), estuari hanya dapat

terbentuk pada proses transgresi (sea level rise) (Gambar 2.13). Berdasarkan kekuatan

relatif dari proses gelombang dan pasang surut, estuarine dibagi menjadi dua jenis

utama, yaitu wave-dominated estuaries dan tide-dominated estuaries. Fasies model


estuari secara umum menunjukkan pola retogradasi fasies yang menunjukkan interaksi

marine dan fluvial processes.

Gambar 2.13 A. Skema dari Definisi Estuary Menurut Pritchard


(1967) dan Dalrymple, et al. (1992). B. Distribusi Skematis dari
Proses Fisik Di Estuary, dan Zonasi Fasies yang Dihasilkan

a. Tide Dominated Estuary

Proses pasang surut dapat mendominasi dalam rezim mesotidal dan macrotidal

yang mana energi arus pasang surut melebihi energi gelombang di mouth estuary.

Bentuk corong estuari cenderung meningkatkan kekuatan arus banjir, tetapi menurun

hingga nol pada batas pasang surut (tidal limit). Estuari yang didominasi oleh pasang

surut (tidal) kurang begitu diperhatian dibandingkan dengan estuari yang didominasi
oleh gelombang (wave) karena sistem pantai yang kurang umum (Dalrymple et al.

(1992).

b. Wave Dominated Estuary

Estuari dengan pengaruhuh pasang surut kecil dan energi gelombang yang

tinggi. Sedimentasi yang didominasi oleh gelombang terjadi di sepanjang bagian sayap

atau sisi muara pada bagian luarnya. Pantai terbuka yang berbatasan dengan tide-

dominated estuary didominasi oleh pengaruh gelombang (wave dominated) (Gambar

2.14). Daerah sepanjang batas bagian luar tide-dominated estuary cenderung

didominasi oleh gelombang karena gelombang dapat menembus ke estuary pada

pasang tinggi dengan kecepatan arus pasang surut minimal berada di zona upper

intertidal zone.

Gambar 2.14 Simplifikasi Map View Estuary (Dalrymple, et al., 2011)

Anda mungkin juga menyukai