Paparan
18 May 2016
Malaya, Sumatera, Jawa, Madura, Bali, dan pulau-pulau kecil di sekitarnya. Paparan Sahul,
bagian dari landas kontinen Benua Sahul (Australia-Papua), membentang dari utara Australia
meliputi Laut Timor menyambung ke timur di Laut Arafura hingga Pulau Papua.
Sepanjang sejarah geologinya, kata Ary, Sumba ada di bawah laut dan muncul ke permukaan
sekitar zaman Eosen atau Miosen. Saat itu, kemungkinan vegetasi dari Paparan Sahul masuk ke
Sumba lebih dulu, disusul dari Paparan Sunda, terutama saat Sumba bersatu dengan Sulawesi,
40.000-50.000
tahun
silam.
"Invasi vegetasi Sundaland mengalahkan vegetasi Sahulland," tutur Ary. Namun, meski
pengaruh elemen-elemen dari Paparan Sunda kuat terhadap flora di Sumba, flora khas Paparan
Sahul masih bertahan di bagian dataran tinggi, seperti di Wanggameti. Contohnya, satu jenis
pandan dari marga Pandanus dan masuk seksi Maysops yang banyak di Paparan Sahul, tetapi
tidak
ada
di
Paparan
Sunda.
Namun, keberadaan Podocarpus dan Cycas di Sumba memunculkan dugaan lain bahwa dulu
tak seluruh Sumba terendam laut. Itu lantaran kedua jenis tumbuhan itu dapat juga dianggap
bukti flora tua dari masa daratan-daratan di muka bumi masih menyatu dalam Pangaea.
Sementara itu, tim LIPI di Sulawesi mengeksplorasi keanekaragaman hayati dan potensi
pemanfaatannya di Gunung Gandangdewata, Mamasa, Sulawesi Barat. Tim meyakini
endemisitas (kekhasan) tumbuhan dan satwa di sana tinggi. Gunung itu termasuk pusat
Sulawesi. "Banyak kemungkinan jenis baru satwa dan tumbuhan liar," ujar Anang Setiawan
Achmadi, Koordinator Lapangan Sulawesi Barat Eksplorasi Bioresources LIPI.
Dari sisi satwa, ada dua jenis baru tikus dengan nama lokal lewa lewa dan kambola. Dari tujuh
jenis katak endemik Sulawesi, dua di antaranya mungkin jenis baru dan satu dari tiga jenis kadal
diduga jenis baru. (JOG)
http://lipi.go.id/lipimedia/Flora-Sumba-Pertemuan-Dua-Paparan/15602
PAPARAN SUNDA
December 16, 2010
Kelompok Lima HMG Unpad 09 Geomorfologi Bawean, Busur Sunda, Kepulauan
Karimata, Kepulauan Riau-Lingga, Kepulauan Seribu, Midai, Paparan Sunda, Pulau
Anambas,Pulau Bangka, Pulau Belitung, Pulau Berhala, Pulau Karimunjawa, Pulau
Natuna, Pulau-pulau di Paparan Sunda, Sesar Sumatera, Singkep Leave a comment
Paparan Sunda terbentuk dari hasil extension dari benua Asia Tenggara, yang mana berhubungan dengan
Malay Peninsula. Paparan Sunda dibatasi oleh Laut Cina Selatan di bagian Utara, bagian Selatan oleh
Pulau Jawa, Selat Makassar di bagian Timur, dan Pulau Sumatra di bagian Barat.
Zona Natuna
Zona Anambas
Zona Karimata
Zona Sabuk Timah (Malaysia barat, Singkep, Bangka, Belitung, sampai utar Laut Jawa)
Zona Karimunjawa
Pada zaman Kuarter, paparan Sunda tenggelam oleh kenaikan muka air laut yang disebabkan meleburnya
es di kutub (menurut Molengraaff dan Weber, 1919)
Bagian-bagian pembentuk Peneplain Sunda antara lain Malay Penisula, kepulauan Riau-Lingga, Bangka,
Belitung, pada satu bagian, dan Laut Jawa dan Selat Malaka pada bagian lain. Bagian ini pernah dipotong
oleh sungai dari tenggara Sumatra, yang menjadi anak sungai pada sistem sungai purba di Laut Cina
Selatan.
Selat Sunda tidak ditemukan pada sejarah paparan sunda sebelum tahun 1175. Pada awal Kuarter, batas
antara Sumatra dan Jawa ditutupi oleh endapan pumice vulkanik muda yang sangat tebal.Endapan ini
adalah produk vulkanik gunung api yang berada di tengah Selat Sunda, dan tersebar mulai dari Lampung
sampai Banten.
Pulau-pulau di Paparan Sunda
Pulau Natuna
Litologinya berupa batuan beku (gabro, diorite, diabas, norit, amphibolit, serpentin, tuff) yang berkorelasi
dengan Formasi Danau di Kalimantan. Endapan sediment berupa konglomerat dengan lempung dan
andesit. Lempung ungu dan lempung coklat kemerahan yang ditemukan mirip dengan lempung di
kepulauan Riouw dan Kalimantan yang berumur Trias atas.
Midai
Terletak 80km Barat Daya Natuna, berupa kubah basalt yang datar dengan cekungan dangkal
dipuncaknya.
Pulau Anambas
Litologinya berupa batuan beku (gabro, gabro-porfiri, diabas, andesit) yang berkorelasi dengan batuan
Pulu Melaju di utara Kalimantan Barat dan seri vulkanik Pahang di Malay Penisula.
Kepulauan Riau-Lingga
Kepulauan ini adalah hasil extension dari Malay Penisula, sehingga batuannya mirip dengan litologi di
Malaya. Adapun pulau-pulau yang tedapat di kepulauan ini antara lain Sugi, Tjombol, Tjitlim, Kundur,
Karimun, Batam, Bintan, Lingga.
Pulau Berhala
Terletak 30km ke Timur dari pelabuhan di Medan (Belawan Deli). 36 sampel batuan telah diteliti,
diantaranya mengandung pegmatite, topaz, granit, dan mika.
Singkep
Merupakan penghasil timah terbanyak setelah Bangka dan Belitung. Bijih bauksit ditemukan pada batolit
granit berdiameter 10-15km. Ditemukan juga dike diabas yang berumur lebih muda.
Pulau Bangka
Merupakan penghasil timah terbesar di Indonesia. Bijih ditemukan pada batolit granit berumur trias tengah.
Juga ditemukan sebagai endapan alluvial dari pelapukan granit.
Pulau Belitung
Merupakan penghasil timah kedua terbesar di Indonesia setelah bangka. Formasi tertua terdiri dari seri
pelitik dan sediment psammitic.
Kepulauan Karimata
Pulau Karimunjawa
Litologinya merupakan kuarsit (terkadang konglomerat) dan lempung yang berumur pra tersier. Pulau ini
merupakan puncak tertinggi di wilayah Paparan Sunda.
Bawean
Berada di timur Laut Jawa, dan merupakan satu-satunya pulau di Paparan Sunda yang tidak memiliki
batuan berumur pra tersier. Litologinya terdiri dari batuan hasil erupsi yang kaya potassium, dan beberapa
batuan sediment yang berumur Neogen atau Kuarter.
Kepulauan Seribu
Terletak pada cekungan jawa barat utara dan merupakan penghasil hidrokarbon yang sangat baik.
Busur Sunda: Produk Geodinamika Regional
Sistem penunjaman Sunda merupakan salah satu contoh yang baik untuk menunjukkan hubungan
geodinamika Indonesia dengan geodinamika regional. Sistem penunjaman Sunda berawal dari sebelah
barat Sumba, ke Bali, Jawa, dan Sumatera sepanjang 3.700 km, serta berlanjut ke Andaman-Nicobar dan
Burma. Busur ini menunjukkan morfologi berupa palung, punggungan muka busur, cekungan muka busur,
dan busur vulkanik. Arah penunjaman menunjukkan beberapa variasi, yaitu relatif menunjam tegak lurus di
Sumba dan Jawa serta menunjam miring di sepanjang Sumatera, kepulauan Andaman dan Burma.
Kemiringan ini terjadi karena adanya perbedaan arah gerak dengan arah tunjaman yang tidak 90o. Sistem
penunjaman Sunda ini merupakan tipe busur tepi kontinen sekaligus busur kepulauan, yang berlangsung
selama
Kenozoikum
Tengah
Akhir
(Katili,
1989;
Hamilton,
1989)
Menurut Hamilton (1989) Palung Sunda bukan menunjukkan batas litosfer samudera India, tetapi
merupakan salah satu jejak sistem penunjaman busur Sunda. Penunjaman mempunyai kemiringan sekitar
7o. Sedimen dalam palung terdiri dari sedimen klastik turbidit longitudinal, serta menunjukkan pembentuk
lantai samudera dan asal turbidit. Sedimen klastik tersebut terutama berasal dari Sungai Gangga dan
Brahmaputra di India, yang berjarak 3.000 km dari palung. Busur akresi terbentuk selebar 75 150 km dari
palung dengan ketebalan material terakresi mencapai 15 km. Dinamika akresi dapat ditunjukkan oleh
imbrikasi internal serta pertumbuhan vertikal dan horisontal material terakresi, yang merupakan hasil
penggilasan simultan yang disertai pemencaran oleh gravitasi. Punggungan muka busur mengalami
migrasi, relatif menuju ke arah kraton. Formasi bancuh di busur akresi dihasilkan oleh oleh penggerusan
yang berhubungan dengan subduksi, bukan oleh luncuran di lereng punggungan akresi. Cekungan muka
busur berada di antara punggungan muka busur dan garis pantai sistem penunjaman Sunda dengan lebar
150 200 km. Bagian dasar cekungan Jawa dan Sumatera mempunyai kecepatan tipikal litosfer
samudera, dengan kecepatan di sektor Sumatera lebih besar dari litosfer samudera. Busur vulkanik yang
sekarang aktif di atas zona Benioff berada pada kedalaman 100 130 km. Busur magmatik ini berubah
dari kecenderungan bersifat kontinen di Sumatera, transisional di Jawa ke busur kepulauan (oceanic island
arc) di Bali dan Lombok. Komposisi vulkanik muda bervariasi secara sistematis yang berkesesuaian antara
karakter
litosfer
dengan
magma
yang
dierupsikan.
Berdasarkan karakteristik morfologi, ketebalan endapan palung busur dan arah penunjaman, busur Sunda
dibagi menjadi beberapa propinsi. Dari timur ke barat terdiri dari propinsi Jawa, Sumatera Selatan dan
Tengah, Sumatera Utara Nicobar, Andaman dan Burma. Diantara Propinsi Jawa dan Sumatera Tengah
Selatan terdapat Selat Sunda yang merupakan batas tenggara lempeng Burma. Provinsi Jawa bermula
dari Sumba sampai Selat Sunda. Di propinsi ini palung Sunda mempunyai kedalaman lebih dari 6.000 m.
Saat ini konvergensi sepanjang propinsi Jawa mencapai 7,5 cm/tahun dengan sudut penunjaman antara
5o 8o. Sedimen memiliki ketebalan antara 200 900 m. Imbrikasi di bawah punggungan muka busur
mempunyai ketebalan lebih dari 10 km. Palung hanya berisi sedimen tipis dengan sedikit sedimen pelagis.
Kerangka tektonik utama antara Jawa dan Sumatera secara umum dipotong oleh selat Sunda yang
dianggap sebagai zona diskontinyuitas. Selat Sunda adalah unsur utama pemisah propinsi Jawa dan
Sumatera busur Sunda. Selat ini diasumsikan batas sebagai batas tenggara lempeng Burma. Namun
apabila dicermati dari data geofisika tang ada, batas Jawa dan Sumatera terletak di sekitar Banten dan
Jawa
Barat.
Provinsi Sumatera Selatan dan Tengah mempunyai kedalaman palung yang berangsur menurun dari 6.000
5.000 m. Sedimen dasar palung mempunyai ketebalan sekitar 2 km di utara dan 1 km di selatan.
Penunjaman miring dengan komponen penunjaman menurun ke utara antara 7,0 5,7 cm/tahun.
Komponen pergeseran lateral yang bekerja di lempeng ini diasumsikan sangat berperan dalam
membentuk
sistem
strike
slip
fault
di
Sumatera.
Pada Propinsi Sumatera Utara Nikobar, di sebelah barat Pulau Simalur sumbu palung menajam ke barat,
dan di barat-laut Pulau Simalur cenderung ke utara barat-laut. Palung mempunyai kedalaman berkisar
antara 3.500 5.000 m. Pertemuan di sepanjang propinsi ini sangat miring dan kecepatan penunjaman ke
arah
utara
mengalami
penurunan
5,6
4,1
cm/tahun.
Di Pulau Andaman palung cenderung berarah utara selatan dengan kedalaman sekitar 3.000 m. Di
propinsi ini pertemuan lempeng sangat miring, dengan kisaran kecepatan penunjaman berkisar antara 0,7
0,2 cm/tahun. Komponen lateral ini dipengaruhi oleh pemekaran di laut Andaman, dengan lempeng
Burma memisah ke arah barat daya dari lempeng Eurasia. Palung Burma mempunyai kedalaman kurang
dari 3.000 m. Di sini punggungan muka busur menjadi punggungan Indoburman dan cekungan muka busur
menjadi palung sebelah barat dari Lembah Burma. Sudut penunjaman yang sangat miring. Ketebalan
endapan di propinsi ini sekitar 8.000 10.000 m. Komponen gerak lateral ini mempengaruhi terbentuknya
sesar Sagaing di Burma
Sesar Sumatra: Produk Geodinamika Busur Sunda
Sesar besar Sumatra dan Pulau Sumatra merupakan contoh rinci yang menarik untuk menunjukkan akibat
tektonik regional pada pola tektonik lokal. Pulau Sumatera tersusun atas dua bagian utama, sebelah barat
didominasi oleh keberadaan lempeng samudera, sedang sebelah timur didominasi oleh keberadaan
lempeng benua. Berdasarkan gaya gravitasi, magnetisme dan seismik ketebalan lempeng samudera
sekitar
20
lempeng
benua
sekitar
40
Sejarah tektonik Pulau Sumatera berhubungan erat dengan dimulainya peristiwa pertumbukan antara
lempeng India-Australia dan Asia Tenggara, sekitar 45,6 juta tahun lalu, yang mengakibatkan rangkaian
perubahan sistematis dari pergerakan relatif lempeng-lempeng disertai dengan perubahan kecepatan
relatif antar lempengnya berikut kegiatan ekstrusi yang terjadi padanya. Gerak lempeng India-Australia
yang semula mempunyai kecepatan 86 milimeter / tahun menurun secara drastis menjadi 40
milimeter/tahun karena terjadi proses tumbukan tersebut. Penurunan kecepatan terus terjadi sehingga
tinggal 30 milimeter/tahun pada awal proses konfigurasi tektonik yang baru (Char-shin Liu et al, 1983
dalam Natawidjaja, 1994). Setelah itu kecepatan mengalami kenaikan yang mencolok sampai sekitar 76
milimeter/tahun (Sieh, 1993 dalam Natawidjaja, 1994). Proses tumbukan ini, menurut teori indentasi pada
akhirnya mengakibatkan terbentuknya banyak sistem sesar geser di bagian sebelah timur India, untuk
mengakomodasikan
perpindahan
massa
secara
tektonik
(Tapponier
dkk,
1982).
Keadaan Pulau Sumatera menunjukkan bahwa kemiringan penunjaman, punggungan busur muka dan
cekungan busur muka telah terfragmentasi akibat proses yang terjadi. Kenyataan menunjukkan bahwa
adanya transtensi (trans-tension) Paleosoikum tektonik Sumatera menjadikan tatanan tektonik Sumatera
menunjukkan adanya tiga bagian pola (Sieh, 2000). Bagian selatan terdiri dari lempeng mikro Sumatera,
yang terbentuk sejak 2 juta tahun lalu dengan bentuk, geometri dan struktur sederhana, bagian tengah
cenderung tidak beraturan dan bagian utara yang tidak selaras dengan pola penunjaman.
Bagian selatan Pulau Sumatera memberikan kenampakan pola tektonik: (1) Sesar Sumatera menunjukkan
sebuah pola geser kanan en echelon dan terletak pada 100 ~ 135 kilometer di atas penunjaman, (2) lokasi
gunungapi umumnya sebelah timur-laut atau di dekat sesar, (3) cekungan busur muka terbentuk
sederhana, dengan kedalaman 1 ~ 2 kilometer dan dihancurkan oleh sesar utama, (4) punggungan busur
muka relatif dekat, terdiri dari antiform tunggal dan berbentuk sederhana, (5) sesar Mentawai dan
homoklin, yang dipisahkan oleh punggungan busur muka dan cekungan busur muka relatif utuh, dan (6)
sudut
kemiringan
tunjaman
relatif
seragam.
Bagian utara Pulau Sumatera memberikan kenampakan pola tektonik: (1) sesar Sumatera berbentuk tidak
beraturan, berada pada posisi 125 ~ 140 kilometer dari garis penunjaman, (2) busur vulkanik berada di
sebelah utara sesar Sumatera, (3) kedalaman cekungan busur muka 1 ~ 2 kilometer, (4) punggungan
busur muka secara struktural dan kedalamannya sangat beragam, (5) homoklin di belahan selatan
sepanjang beberapa kilometer sama dengan struktur Mentawai yang berada di sebelah selatannya, dan (6)
sudut
kemiringan
penunjaman
sangat
tajam.
Bagian tengah Pulau Sumatera memberikan kenampakan tektonik: (1) sepanjang 350 kilometer potongan
dari sesar Sumatera menunjukkan posisi memotong arah penunjaman, (2) busur vulkanik memotong
dengan sesar Sumatera, (3) topografi cekungan busur muka dangkal, sekitar 0.2 ~ 0.6 kilometer, dan
terbagi-bagi menjadi berapa blok oleh sesar turun miring , (4) busur luar terpecah-pecah, (5) homoklin
yang terletak antara punggungan busur muka dan cekungan busur muka tercabik-cabik, dan (6) sudut
kemiringan penunjaman beragam. Proses penunjaman miring di sekitar Pulau Sumatera ini mengakibatkan
adanya pembagian / penyebaran vektor tegasan tektonik, yaitu slip-vector yang hampir tegak lurus dengan
arah zona penunjaman yang diakomodasi oleh mekanisme sistem sesar anjak. Hal ini terutama berada di
prisma akresi dan slip-vector yang searah dengan zona penunjaman yang diakomodasi oleh mekanisme
sistem sesar besar Sumatera. Slip-vector sejajar palung ini tidak cukup diakomodasi oleh sesar Sumatera
tetapi juga oleh sistem sesar geser lainnya di sepanjang Kepulauan Mentawai, sehingga disebut zona
sesar
Mentawai
(Diament,
1992).
Selanjutnya sebagai respon tektonik akibat dari bentuk melengkung ke dalam dari tepi lempeng Asia
Tenggara terhadap Lempeng Indo-Australia, besarnya slip-vector ini secara geometri akan mengalami
kenaikan ke arah barat-laut sejalan dengan semakin kecilnya sudut konvergensi antara dua lempeng
tersebut. Pertambahan slip-vector ini mengakibatkan terjadinya proses peregangan di antara sesar
Sumatera dan zona penunjaman yang disebut sebagai lempeng mikro Sumatera (Suparka dkk, 1991).
Oleh karena itu slip-vector komponen sejajar palung harus semakin besar ke arah barat-laut.
Sebagai konsekuensi dari kenaikan slip-vector pada daerah busur-muka ini, maka secara teoritis akan
menaikkan slip-rate di sepanjang sesar Sumatera ke arah barat-laut.
Pengukuran offset sesar dan penentuan radiometrik dari unsur yang terofsetkan di sepanjang sesar
Sumatera membuktikan bahwa kenaikan slip-rate memang benar-benar terjadi (Natawidjaja, Sieh, 1994).
Pengukuran slip-rate di daerah Danau Toba menunjukkan kecepatan gerak sebesar 27 milimeter / tahun, di
Bukit Tinggi sebesar 12 milimeter / tahun, di Kepahiang sebesar 11 milimeter / tahun (Natawidjaja, 1994)
demikian
pula
di
selat
Sunda
sebesar
11
milimeter
tahun
(Zen
dkk,
1991)
Sesar Sumatera sangat tersegmentasi. Segmen-segmen sesar sepanjang 1900 kilometer tersebut
merupakan upaya mengadopsi tekanan miring antara lempeng Eurasia dan IndiaAustralia dengan arah
tumbukan 10N ~ 7S. Sedikitnya terdapat 19 bagian dengan panjang masing-masing segmen 60 ~ 200
kilometer, yaitu segmen Sunda (6.75S ~ 5.9S), segmen Semangko (5.9S ~ 5.25S), segmen Kumering
(5.3S ~ 4.35S), segmen Manna (4.35S ~ 3.8S), segmen Musi (3.65S ~ 3.25S), segmen Ketaun
(3.35S ~ 2.75S), segmen Dikit (2.75S ~ 2.3S), segmen Siulak (2.25S ~ 1.7S), segmen Sulii (1.75S ~
1.0S), segmen Sumani (1.0S ~ 0.5S), segmen Sianok (0.7S ~ 0.1N), segmen Barumun (0.3N ~
1.2N), segmen Angkola (0.3N ~ 1.8N), segmen Toru (1.2N ~ 2.0N), segmen Renun (2.0N ~ 3.55N),
segmen Tripa (3.2N ~ 4.4N), segmen Aceh (4.4N ~ 5.4N), segmen Seulimeum (5.0N ~ 5.9N)
Tatanan tektonik regional sangat mempengaruhi perkembangan busur Sunda. Di bagian barat, pertemuan
subduksi antara lempeng benua Eurasia dan lempeng samudra Australia mengkontruksikan busur Sunda
sebagai sistem busur tepi kontinen (epi-continent arc) yang relatif stabil; sementara di sebelah timur
pertemuan
subduksi
antara
lempeng
samudra
Australia
dan
lempeng-lempeng
mikro
Tersier
mengkontruksikan sistem busur Sunda sebagai busur kepulauan (island arc) kepulauan yang lebih labil.
Perbedaan sudut penunjaman antara propinsi Jawa dan propinsi Sumatera Selatan busur Sunda
mendorong pada kesimpulan bahwa batas busur Sunda yang mewakili sistem busur kepulauan dan busur
tepi kontinen terletak di selat Sunda. Penyimpulan tersebut akan menyisakan pertanyaan, karena pola
kenampakan anomali gaya berat (gambar 2.6) menunjukkan bahwa pola struktur Jawa bagian barat yang
cenderung lebih sesuai dengan pola Sumatera dibanding dengan pola struktur Jawa bagian Timur. Secara
vertikal perkembangan struktur masih menyisakan permasalahan namun jika dilakukan pembangingan
dengan struktur cekungan Sumatra Selatan, struktur-struktur di Pulau Sumatra secara vertikal berkembang
sebagai struktur bunga.
https://kelompoklimahmg09.wordpress.com/2010/12/16/paparan-sunda/
sebelah
Richard Lydekker seorang geolog yang ahli dalam penelitian flora dan
fauna
kemudian
ikut
juga
memberi
garis
pemisah
biogeografi
antara Australialis di bagian barat dan Asialis yang berada di bagian timur
Indonesia.
Tak
lupa
juga
ia
menamai
garis
itu
sesuai
dengan
lebih
lanjut
dari
Sundaland
ini
akan
http://www.wacana.co/2014/02/sundaland/