Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Geologi Regional
2.1.1 Fisiografi
Secara fisiografi, Pulau Sumatra dibagi menjadi 6 zona fisiografi Enam zona
tersebut antara lain: (1) Zona Jajaran Barisan; (2) Zona Semangko; (3) Zona
Pegunungan Tigapuluh; (4) Zona Kepulauan Busur Luar; (5) Zona Paparan
Sunda; dan Zona Dataran Rendah dan Berbukit. Berdasarkan pembagian zona
tersebut, daerah penelitian berada pada Zona Jajaran Barisan (van Bemmelen,
1949)
Berdasarkan klasifikasi Van Bemmelen (1949), Fisiografi Pulau Sumatera
dibagi menjadi 6 zona. Dapat dilihat pada (gambar 2.1).

Gambar 2.1: Pembagian Zona Fisiografis Pulau Sumatra mengacu dari Van Bemmelen
(1949).
Pulau Sumatra merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia dengan
orientasi berarah barat laut-tenggara di selatan Lempeng Eurasia dan di bagian
baratdaya Mikrokontinen Paparan Sunda. Mikrokontinen Paparan Sunda
merupakan jalur konvergensi antara Lempeng Hindia-Australia yang menghunjam
di sebelah barat Lempeng Eurasia. Pertemuan dua lempeng tersebut menghasilkan
subduksi sepanjang Palung Sunda dan pergerakan lateral menganan dari
pergerakan Sesar Sumatra (Darman dan Sidi, 2000).
2.1.2 Tatanan tektonik
Pulau Sumatra secara tektonik berada di sepanjang tepi baratdaya Paparan
Sunda, pada perpanjangan Lempeng Eurasia hingga daratan Asia Tenggara dan
merupakan bagian dari Busur Sunda. Berdasarkan interpretasi perekaman data-
data geofisika, seperti gaya gravitasi, seismik dan magnetisme, Pulau Sumatra
merupakan pulau yang tersusun dari 2 bagian, yaitu bagian barat dan bagian
timur. Pada bagian barat didominasi keberadaan lempeng samudra dengan tebal
sekitar 20 km, sedangkan pada bagian timur didominasi oleh lempeng benua
dengan tebal sekitar 40 km (Hamilton, 1979).
Pulau Sumatra terbagi menjadi tiga fase tektonik sebagai akibat dari
penunjaman lempeng antara lempeng Samudera Hindia (Hindia-Australia dengan
Lempeng Eurasia . Fase pertama merupakan fase kolisi antara blok Sibumasu dan
Indochina (Devon-Permian) yang menghasilkan pergerakan sesar naik. Fase
kedua merupakan trancrrent system antara blok Sumatra Barat dan Sibumasu
Trias-Jura yang menghasilkan pergerakan sesar mendatar. Fase ketiga kembali
mengalami proses pengangkatan antara Blok Sumatra Barat dengan Blok Woyla
(Kapur Akhir)yang membentuk sesar naik (Barber dkk 2005).
Menurut Pulunggono dkk. (1992) perkembangan tektonik di Cekungan
Sumatera Selatan dibagi menjadi tiga kali perubahan arah subduksi yang
menyebabkan terbentuknya tiga pola sesar utama yaitu sesar dengan arah
BaratlautTenggara pada Jura Akhir-Kapur Akhir, arah Utara-Selatan pada Kapur
AkhirTersier Awal, dan Arah Timur Laut- Baratdaya pada Miosen Tengah-Resen
(Gambar 2.2).
Gambar 2.2 Model Ellipsoid pada Pulau Sumatera dari Jura Akhir –
Resen Modifikasi (Pulunggono dkk,1992).
Fase tektonik yang berkembang di Cekungan Sumatra Selatan menurut
Pulunggono dkk (1992) terjadi melalui tiga fase :
1. Tahap kompresional (Jura Akhir – Kapur Awal) Tahap kompresional
pada masa Jura Akhir sampai Kapur Awal diakibatkan subduksi
lempeng Samudra Hindia ke bawah lempeng Benua Eurasia yang
mengakibatkan pola tegasan simple shear di Cekungan Sumatra Selatan
ini. Sistem pola tegasan ini kemudian berkembang menjadi sesar geser.
Pembentukan sesar geser ini menjadi zona lemah sehingga diintrusi
batuan granitoid. Batuan granitoid yang mengisi zona lemah ini
menjadi tinggian purba.
2. Tahap ekstensional (Kapur Akhir – Tersier Awal) Tahap ekstensional
yang terjadi di Cekungan Sumatra Selatan ini diakibatkan oleh
penurunan kecepatan subduksi. Tahap ini merupakan awal terbentuknya
tinggian (horst) dan rendahan (graben) akibat perubahan sistem tegasan
utama yang berarah vertikal. Sesar mendatar berubah menjadi sesar
normal karena tegasan utama vertikal dikontrol oleh gravitasi dan
pembebanan.
3. Tahap kompresional (Miosen Tengah – Resen) Kecepatan subduksi
pada tahap ini meningkat kembali dan menyebabkan peremejaan sesar -
sesar normal yang telah ada sebelumnya menjadi sesar naik. Selain itu
terbentuk juga sesar geser dan perlipatan dengan arah sumbu yang
masih mengikuti arah lama (pola Sumatra dan pola Sunda). Fase
kompresi ini mencapai puncaknya pada PlioPleistosen dengan
pembentukan pola struktur sesar dan perlipatan baru dengan arah
U3300 T yang dikenal dengan pola Barisan. Aktivitas tektonik pada
fase ini mempunyai peran yang sangat besar dalam pembentukan zona
rekahan baru atau meremajakan zona rekahan yang telah terjadi di
daerah tinggian purba.
Menurut Pulunggono dan Cameron (1984), kerangka tektonik pra-Tersier
dari Sumatra berupa mosaik dari mikroplate kontinen dan samudera yang terakrasi
pada Trias Akhir ketika mikroplate Mergui, Malaka dan Malaya Timur bersatu
membentuk Sundaland. Akrasi selanjutnya melibatkan pantai barat Terrain Woyla
pada Mesozoikum Akhir. Magmatisme dan pensesaran banyak terjadi di
Sundaland ini.
2.1.3 Struktur Geologi
Menurut Pulonggono (1984) Menjelaskan ada tiga fase dalam proses
pembentukan cekungan Sumatera Selatan dan secara umum berdasarkan sejarah
struktur geologi sama dengan pembentukan Sub-cekungan Jambi, antara lain:
1. Pembentukan graben karena adanya gaya ekstensi selama Paleosen akhir
hingga Miosen awal yang kemudian diisi endapan berumur Eosen sampai
Miosen awal.
2. Terjadi sesar normal selama Miosen awal hingga Pliosen awal dengan
pengendapan yang konstan.
3. Kompresi pada basemen, pembalikan cekungan, pembalikan dari sesar
normal yang terjadi pada Pliosen hingga Holosen yang merupakan
cekungan minyak utama yang terdapat pada cekungan Sumatera Selatan
sehingga membentuk antiklin. Untuk cekungan Jambi memiliki 2 struktur
utama, salah satu yang paling tua adalah berarah Timurlaut-Baratdaya
yang berkembang pada Formasi Lahat dan Formasi Talang Akar.
Simandjutak dkk, (1991) menjelaskan struktur geologi pesesaran pada lembar
Geologi Muaro Bungo pada pra-Tersier dan Tersier dapat dibagi menjadi empat
arah sesar dan kekar utama yaitu baratbaratlaut- timurtenggara, baratlaut-tenggara,
timurlaut-baratdaya, dan timurtitmurlaut-baratbaratdaya.
2.1.4 Statigrafi Regional

Keterbentukan stratigrafi cekungan Sumatera Selatan terdiri dari satu


siklus besar sedimentasi yang dimulai dari fase transgresi pada awal siklus dan
fase regresi pada akhir siklusnya. Kelompok fase transgresi disebut kelompok
Telisa yang terdiri dari Formasi Lahat, Talang Akar, Baturaja dan Formasi Gumai,
sedangkan kelompok fase regresi disebut kelompok Palembang yang terdiri dari
Formasi Air Benakat, Muara Enim dan Formasi Kasai.
Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu
kelompok batuan Pra-Tersier, kelompok batuan Tersier serta kelompok batuan
Kuarter.
1. Batuan Pra-Tersier Batuan Pra-Tersier Cekungan Sumatera Selatan merupakan
dasar cekungan (Basement) .Batuan ini diketemukan sebagai batuan beku,
batuan metamorf dan batuan sedimen.Batuan Pra-Tersier ini diperkirakan telah
mengalami perlipatan dan patahan yang intensif pada zaman Kapur Tengah
sampai zaman Kapur Akhir dan diintrusi oleh batuan beku sejak orogenesa
Mesozoikum Tengah.
2. Batuan Tersier Urutan sedimentasi Tersier di Cekungan Sumatera Selatan
dibagi menjadi dua tahap pengendapan, yaitu tahap genang laut dan tahap susut
laut. Sedimen-sedimen yang terbentuk pada tahap genang laut disebut
Kelompok Telisa, dari umur Eosen Awal hingga Miosen Tengah terdiri atas
Formasi Lahat (LAF), Formasi Talang Akar (TAF), Formasi Baturaja (BRF),
dan Formasi Gumai (GUF). Sedangkan yang terbentuk pada tahap susut laut
disebut Kelompok Palembang dari umur Miosen Tengah – Pliosen terdiri atas
Formasi Air Benakat (ABF), Formasi Muara Enim (MEF), dan Formsi Kasai
(KAF). (Gambar 2.5).
Gambar 2.5 Kolom Statigrafi Cekungan Sumatera Selatan
(Koesoemadinata,1980).
. Urut-urutan stratigrafi dari tua ke muda (Koesoemadinata, 1980).
a. Formasi Lahat (LAF) Formasi ini terletak secara tidak selaras diatas
batuan dasar, yang terdiri atas lapisan-lapisan tipis tuf andesitik yang
secara berangsur berubah keatas menjadi batu lempung tufaan.Selain itu
breksi andesit berselingan dengan lava andesit, yang terdapat dibagian
bawah.Formasi ini terdiri dari tuf, aglomerat, batulempung, batupasir
tufaan, konglomeratan dan breksi yang berumur Eosen Akhir hingga
Oligosen Awal.Ketebalan dan litologi sangat bervariasi dari satu tempat ke
tempat yang lainnya karena bentuk cekungan yang tidak teratur.
b. Formasi Talang Akar (TAF) Formasi Talang akar dibeberapa tempat
bersentuhan langsung secara tidak selaras dengan batuan Pra Tersier.
Formasi ini dibeberapa tempat menindih selaras Formasi Lahat, hubungan
itu disebut rumpang stratigrafi, ia juga menafsirkan hubungan stratigrafi
diantara kedua formasi tersebut selaras terutama dibagian tengahnya, ini
diperoleh dari data pemboran sumur Limau yang terletak disebelah Barat
Daya Kota Prabumulih (Pertamina, 2012), Formasi Talang Akar terdiri
atas batupasir, yang mengandung kuarsa dan ukuran butirnya pada bagian
bawah kasar dan 10 semakin atas semakin halus. Pada bagian teratas
batupasir ini berubah menjadi batupasir konglomeratan atau
breksian.Batupasir berwarna putih sampai coklat keabuan dan
mengandung mika, terkadang terdapat selang-seling batulempung coklat
dengan batubara, pada anggota ini terdapat sisa-sisa tumbuhan dan
batubara, ketebalannya antara 40 – 830 meter.Sedimen-sedimen ini
merupakan endapan fluviatil sampai delta.Formasi ini berumur Oligosen
Akhir hingga Miosen Awal. Ketebalan formasi ini pada bagian selatan
cekungan mencapai 460 – 610 meter, sedangkan pada bagian utara
cekungan mempunyai ketebalan kurang lebih 300 meter.
c. Formasi Baturaja (BRF) Formasi ini diendapkan secara selaras diatas
Formasi Talang Akar. Terdiri dari batugamping terumbu dan batupasir
gampingan.Di gunung Gumai tersingkap dari bawah keatas berturut-turut
napal tufaan, lapisan batugamping koral, batupasir napalan kelabu
putih.Ketebalannya antara 19 - 150 meter dan berumur Miosen
Awal.Lingkungan Pengendapannya adalah laut dangkal.
d. Formasi Gumai (GUF) Formasi Gumai ini terdiri atas napal tufaan
berwarna kelabu cerah sampai kelabu gelap.Kadang-kadang terdapat
lapisan-lapisan batupasir glaukonit yang keras, tuff, breksi tuff, lempung
serpih dan lapisan tipis batugamping.Umur dari formasi ini adalah Awal
Miosen Tengah.
e. Formasi Air Benakat (ABF) Formasi ini berumur dari Miosen Akhir
hingga Pliosen.Litologinya terdiri atas batupasir tufaan, sedikit atau
banyak lempung tufaan yang berselang-seling dengan batugamping
napalan atau batupasirnya semakin keatas semakin berkurang kandungan
glaukonitnya. Ketebalan formasi ini berkisar 250 – 1550 meter.
f. Formasi Muara Enim (MEF) Formasi ini terdiri atas batulempung dan
batupasir coklat sampai coklat kelabu, batupasir berukuran halus sampai
sedang. Didaerah Palembang terdapat juga lapisan batubara.Juga terdapat
batulempung pasiran dan batulempung tufaan yang berwarna biru hijau,
beberapa lapisan batubara berwarna merah-tua gelap, batupasir kasar halus
berwarna putih sampai kelabu terang. Ketebalan formasi ini sekitar 450 -
750 meter.
g. Formasi Kasai (KAF) Formasi ini diendapkan pada kala pliosen sampai
dengan pleistosen. Pengendapannya merupakan hasil dari erosi dari
pengangkatan Bukit Barisan dan pegunungan Tigapuluh, serta akibat
adanya pengangkatan pelipatan yang terjadi di cekungan. Formasi ini
mengakhiri siklus susut laut. Pada bagian bawah terdiri atas batupasir
tufan dengan beberapa selingan batulempung tufaan, kemudian terdapat
konglomerat selang-seling lapisan-lapisan batulempung tufaan dan
batupasir yang lepas, pada bagian teratas terdapat lapisan tuf batuapung
yang mengandung sisa tumbuhan dan kayu terkersikkan berstruktur
sediment silang siur, lignit terdapat sebagai lensa-lensa dalam batupasir
dan batulempung tufan.
Berdasarkan peta Geologi Lembar Muaro Bungo Simandjutak dkk, (1991)
lokasi penelitian berada dalam formasi Muara Enim ( Tmpm) dan Formasi Air
Benakat ( Tma). Fase regresi terjadi pada saat diendapkannya Formasi Gumai
bagian atas dan diikuti oleh pengendapan Formasi Air Benakat secara selaras yang
didominasi oleh litologi batupasir pada lingkungan pantai dan delta. Pada saat
pliosen awal menjadi waktu pembentukan dari formasi Muara Enim yang
berlangsung sampai pliosen akhir yang terdapat pengendapan batuan yang
banyak terendapkannya batulempung dan tempat terbentuknya lapisan batubara
yang melimpah. (Gambar 2.5).
Korelasi Statigrafi daerah Penelitian

Gambar 2.6. Peta Geologi dan Stratigrafi Daerah Peneli tian dipotong dari Peta
Lembar Sungaipenuh dan Ketaun dalam Skala 1:250.000
modifikasi, dari Simandjutak, dkk (1991).
2.2. Dasar Teori
2.2.1 Batubara
Definisi batubara harus ditinjau dari beberpa aspek, antara lain sifat fisik,
kejadian dan pemanfaatanya. Batubara adalah batuan sedimen yang mudah
terbakar, terbentuk dari sisa-sisa tumbuhan dalam variasi tingkat pengawetan,
diikuti oleh proses kompaksi yang diawali pada kedalaman yang tidak terlalu
dangkal. Cekungan ini pada garis besarnya dibagi atas cekungan limnik (intra
continental) dan cekungan paralis yang berhubungan dengan air laut. Segera
setelah lapisan-lapisan dasar turun terus menerus, sisa-sisa tanaman yang terkubur
tersebut dipengaruhi oleh proses normal metamorfosis terutama oleh temperatur
dan tekanan (Prayitno, 2008).
Batubara berasal dari tumbuhan yang disebabkan karena adanya proses-
proses geologi, Bahan tumbuhan mempunyai komposisi utama terdiri dari karbon,
hidrogen, dan kandungan mineral nitrogen. tidak adanya oksigen menyebabkan
hidrogen lepas dalam bentuk karbondioksida/karbonmonoksida. Vegetasi pada
lingkungan mati terbentuk Gambut (Peat) (Cook,1982).
Mengalami kompresi dan pengendapan diantara lapisan sedimen juga
mengalami kenaikan temperatur akibat geothermal gradient, akibat proses
tersebut maka akan terjadi pengurangan porositas dan Pengurangan Moisture
sehingga terlepasnya grup OH, COOH, OCH3, dan CO dalam wujud cair dan gas.
karena banyaknya unsur oksigen dan hidrogen yang terlepas maka unsur karbon
bertambah menjadi lignit (brown coal) (Cook,1982).
Adanya kompresi serta kenaikan temperatur terbentuk batubara
subbituminus dan bituminus dengan tingkat kalori yang lebih tinggi dibandingkan
dengan brown coal. kompresi berlangsung bertambahnya temperatur, unsur
karbon yang banyak merubah batubara sebelumnya ketingkat yang lebih tinggi
seperti antrasit (Cook,1982). Proses pembentukan batubara diperlihatkan pada
Gambar 2.3

Gambar 2.3: Proses pembentukan batubara (Cook,1982).

Dalam geologi batubara dikenal dua macam teori untuk menjelaskan tempat
terbentuknya batubara (Sukandarrumidi, 2018) yaitu :
Teori Insitu.
Teori ini mengatakan bahwa bahan pembentuk lapisan batubara,
terbentuknya ditempat tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Pada saat tumbuhan
tersebut mati sebelum mengalami proses transportasi segera tertutup oleh lapisan
sedimen dan mengalami proses pembatubaraan (coalification).
Teori Drift.
Teori ini menyebutkan bahwa bahan bahan pembentuk lapisan batubara
terjadinya ditempat yang berbeda dengan tempat tumbuhan semula hidup dan
berkembang, diangkut oleh media air dan terakumulasi disuatu tempat, tertutup
oleh batuan sedimen, mengalami proses pembatubaraan, beberapa faktor yang
mempengaruhi pembentukan batubara, seperti Posisi geotektonik, Topografi
purba, Posisi geografi, Iklim, Tumbuhan, Pembusukan, Penurunan dasar
cekungan, Waktu geologi, Sejarah setelah pengendapan, Metamorfosa organik.
2.2.2 Maseral Pada Batubara
Secara mikroskopis bahan-bahan organik pembentuk batubara disebut
maseral (maceral), analog dengan mineral dalam batuan (Dalam Ediyanto dan
Basuki Rahmad, 2008: Petrografi Bartubara). umumnya ditinjau dalam 2 aspek
yaitu jenis (coal type) dan peringkat batubara (coal rank). Coal type berhubungan
dengan jenis tumbuhan pembentuk batubara, dan perkembangannya dipenagaruhi
oleh proses biokimia selama penggambutan. Maseral dalam batubara dapat
dikelompokkan dalam 3 grup (kelompok) utama yaitu grup (kelompok) vitrinit,
liptinit dan inertinit. didasarkan pada bentuk morfologi, ukuran, relief, struktur
dalam, komposisi kimia, warna pantulan, intensitas refleksi dan tingkat
pembatubaraan (dalam “Coal Petrology”, oleh Stach, dkk. 1982). Dalam hal ini
pembagiannya mulai dari grup (kelompok) maseral, sub-grup maseral dan jenis
maseral yang mengacu pada Australian Standard: AS2856 (1986).
1. Grup Vitrinit
Pembentukan vitrinit memerlukan suatu proses yang relatif cepat dari
akumulasi sisa tanaman dipermukaan gambut melalui zona oksidasi dimana
bakteri anaerob mengubah sisa lignin dan selulosa ke dalam gel humit sebagian
dengan sifat yang homogen. Hal ini membuat vitrinit, khususnya telovitrinite
dapat mempertahankan beberapa struktur sel.
Tabel 2.2:Asal mula dan karakteristik grup vitrinit secara mikroskopik (Cook,
1982., dalam Ningrum, 2009).
Subgrup Maseral Asal dan Karakteristik Maseral
Telovitrinit Berasal dari jaringan kayu. Mempunyai reflektan yang
tinggi, dan tidak nampak pada cahaya fluorescence.
kandungan selulosanya tinggi.
Detrovitrinit Berasal dari patahan/pecahan humus, ukuran partikelnya
<10 micron. Mempunyai reflektan yang rendah.
Gelovitrinit Berasal dari bahan-bahan yang bersifat koloid, maseral ini
relatif jarang ditemukan.
Perubahan kandungan karbon, zat terbang dan peringkat pada batubara
berhubungan secara langsung dengan jumlah cahaya reflektan dari permukaan
vitrinit. Pengaruhnya adalah makin tinggi kadar karbon, makin tinggi pula
reflektan vitrinit. oleh karena itu peringkat batubara dapat langsung ditetapkan
dengan pengukuran reflektan vitrinit. Dalam batubara yang mengandung lebih
dari 80% vitrinit, peringkat batubara dapat juga ditetapkan berdasarkan
kandungan zat terbang dan karbon (Bustin et al.,1983).
2. Grup Liptinit
Liptinit dalam batubara menghasilkan lebih banyak zat terbang apabila
dipanaskan dibandingkan dengan grup lainnya. Disamping itu, liptinit
menghasilkan bitumen yang tinggi terutama dalam batubara sub-bituminus dan
bituminus. (Bustin et al., 1983), adapun asal dan karakteristik dari grup maseral
ini dapat di lihat dalam tabel dibawah ini.
Tabel 2.3 Asal mula dan karakteristik grup liptinit secara mikroskopik (Bustin,
1983 dan Cook, 1982)
Maseral Asal Karakteristik
Alginit Alga. Terlihat berkelompok atau terpisah,
mempunyai relief yang tinggi
Alginit Spora,tepung sari. Masing badan mempunyai dinding
sel yang berbeda, ber-relief tinggi.
Cutinit Kulit ari, daun, batang dan Berujung tajam, mempunyai relief
akar tinggi
Resinit Resin, lemak, lilin dan Selnya terisi.
minyak
Fluorinit Lipid, minyak Ber-fluorescence kuat, berwarna
hitam dalam cahaya refleksi
normal.
Eksuditinit Minyak/ bitumen yang Ber-fluorescence kuat,
keluar pada proses intensitasnya berwarna warni,
perbatubaraan. hitam dalam cahaya refleksi.
Bituminit Hasil pengrusakan algae, Tidak mempunyai bentuk yang
plankton dan bakteri lipid. tetap, berfluorescence lemah.
Liptodetrinit Degradasi eksinit; -
mekanik/ biokimia
Suberinit Jaringan kulit kayu Zat yang berdinding sel

3. Grup Inertinit
Grup maseral ini sangat sedikit berubah sifat-sifat fisika dan kimianya
dibandingkan dengan vitrinit atau liptinit pada batubara peringkat rendah. Pada
umumnya inertinit mempunyai kandungan oksigen tinggi dan hidrogen rendah,
akan tetapi kandungan oksigen akan menurun cepat seiring dengan naiknya
peringkat pada suatu batubara. Struktur inertinit (semifusinit dan fusinit) yang
berasal dari vegetasi kayu, terbentuk dalam kondisi yang relatif kering
menyebabkan jaringan teroksidasi. (Bustin et al., 1983).
Tabel 2.4 Asal mula dan karakteristik grup inertinit secara mikroskopik (Bustin et
al.,1983).
Maseral Asal Karakteristik
Fusinit Jaringan Kayu Mempunyai reflektan tinggi
berwarna putih sampai
kekuning-kuningan,
berdinding sel tipis, sel
lumina terbuka

Semi Fusinit Jaringan Kayu Mempunyai reflektan


diantara Vitrinit dan Fusinit,
sel lumina sering tertutup,
sering terlihat berawan,
anisotrop.

Inertodetrinit Potongan fusinit dan semi fusinit Biasanya berukuran <30


yang teroksidasi. mikron

Makrinit Makrinit Senyawaan humat yang Bentuknya tidak beraturan,


beroksidasi menjadi jeli tinggi reflektannya

Mikrinit Turunan maseral, terbentuk pada Berupa butiran halus, ber-


saat permulaan proses reflektan tingg
pembusukan

Sclerotinit fungi/jamur Berstruktur kayu, reflektan


sedang

2.2.3 Lingkungan Pengendapan


Batubara merupakan hasil akumulasi tumbuh-tumbuhan pada kondisi
lingkungan pengendapan tertentu, akumulasi tersebut telah terkena pengaruh-
pengaruh synsedimentary dan post-sedimentary. akibat pengaruh-pengaruh
tersebut dihasilkanlah batubara dengan tingkat dan kerumitan struktur bervariasi.
Lingkungan pengendapan batubara dapat mengontrol penyebaran lateral,
ketebalan, komposisi, dan kualitas batubara. kondisi demikian dapat terjadi
diantaranya lingkungan pantai (paralik) dan rawa-rawa (limnik). Menurut Horne
(1979) mengemukakan terdapat 5 lingkungan pengendapan utama pembentuk
batubara (Gambar 2.6) yaitu upper delta plain, transional, lower delta plain,
backbarrier dan barrier. Tiap lingkungan pengendapan mempunyai asosiasi dan
menghasilkan karakter batubara yang berbeda.
Gambar 2.6 Model lingkungan pengendapan batubara dilingkungan delta
(J.CHorne et. Al., 1979 ; modifikasi dari Ferm, 1976).
Lingkungan pengendapan batubara yang lebih spesifik (Diessel 2002), yakni
sebagai berikut :
Limnic, merupakan rawa air tawar yang sama sekali tidak mendapat
pengaruh langsung dari air laut. Jika pun trletak dekat dari laut, namun dipisahkan
oleh elevasi dan atau barrier yang bersifat impermeable. Vegetasi yang menyusun
tipe rawa ini umumnya adalah dari variasi tumbuhan rerumputan dan semak.
Telmatik, adalah lahan basah yang seperti secara terus menerus digenangi
air tawar atau air garam. Bersifat eutroph-mesotroph yang biasanya menghasilkan
tipe high moor dan verlandung moor. Tipe rawa ini seperti ini umumnya tersusun
oleh variasi tumbuhan rerumputan, dedaunan, dan semak.
Fen, rawa yang kaya oleh keberagaman tumbuhan permukaan yang terdiri
tumbuhan rerumputan. Dedaunan, herbal, semak, dan kelompok pohon, yang
biasanya menutupi kurang dari 25% dari total permukaan rawa.
2.2.4 Konsep Fasies
Fasies dapat dikombinasikan menjadi asosiasi fasies (facies associations)
suatu kombinasi dua atau lebih fasies membentuk tubuh batuan dalam berbagai
skala dan kombinasi secara genetik saling berhubungan pada suatu lingkungan
pengendapan.
Suksesi fasies (facies succession) suatu bagian vertikal dari fasies
dikarakteristikan karena perubahan meningkat pada ukuran butir maupun struktur
sedimen. Menurut Selly (1978), bentuk utama channel terbagi menjadi dua, yaitu
tipe braided dan tipe meander. Masing-masing tipe tersebut menunjukkan bentuk,
pola, karakter fisik dan diagenesa yang berbeda.
1. Alluvial Fan
Endapan aluvial adalah endapan berbentuk kerucut sedimen aliran kasar,
deposit selungkup, dan aliran debris yang membentuk arus sungai sempit yang
tiba-tiba menyebar kelembah datar. Endapan alluvial dikenal sebagai perekam
dari evolusi cekungan (Heward 1978; Nemec & Postma 1993; Blair & McPherson
1994; Lloyd et al 1998). Endapan alluvial merupakan fasies luas pada Cekungan
Pegunungan Barisan karena peningkatan lokal yang kuat dan penurunan
sepanjang lereng serta deformasi yang aktif. ada pasokan sedimen yang berlimpah
kelingkungan kipas darat. fan delta bisa disebut sebagai endapan yang terbentuk
pada kipas darat kaki pegunungan curam. dimana air kehilangan energi untuk
membawa sendimen ketika melintasi dataran. sehingga terjadi pengendapan
material yang cepat, berupa suatu onggokan material lepas, berbentuk seperti
kipas, biasanya terdapat pada suatu dataran didepan suatu gawir. Biasanya
material kasar diendapkan dekat kemiringan lereng, sementara yang halus
terendapkan lebih jauh pada pedataran, tetapi secara keseluruhan lingkungan ini
mengendapkan sendimen-sendimen yang berukuran besar seperti bongkahan
batuan.

Gambar 2.7: Lingkungan pengendapan dan sikuen sedimentasi pada Alluvial Fan
(Selly, 1978).
2. Sungai Teranyam
Sistem ini terbentuk oleh jalinan channel dengan intensitas kelokan yang
kecil. pengerosian terjadi dengan cepat, proses pengisian material sedimen juga
cepat. pada umumnya sistem ini kelebihan material sedimen. Sikuen sedimentasi
sistem teranyam, umumnya didominasi oleh material sedimen berbutir kasar
dengan sedikit material sedimen berbutir halus pada bagian atasnya (Gambar
2.8). Struktur sedimen yang terbentuk merefleksikan pengendapan pada energi
tinggi dengan aliran yang searah (undirectional flow), cross bedding juga
punggungan bar yang lurus memanjang.

Gambar 2.8: Lingkungan pengendapan dan sikuen sedimentasi pada braided


(Selly, 1978).
3. Sungai Berkelok-kelok
Sungai berkelok-kelok (Meandering) umum dari tipe ini didominasi oleh
material dengan butiran halus dan memperlihatkan distribusi menghalus kearah
atas (fining upward). Struktur sedimen yang berkembang merefleksikan
berkurangnya energi arus yang bekerja, yaitu trough cross bedding pada bagian
bawah dan parallel lamianasi pada bagian atas channel. Permukaan lateral akresi
yang terbentuk merefleksikan perpindahan point-bar secara tegak lurus terhadap
arah aliran sungai (Gambar 2.9).

Gambar 2.9:Lingkungan pengendapan dan sikuen sedimentasi pada meandering


(Selly, 1978).
Ketiga, Profil dari lingkungan sungai berkelok (meandering stream). bentukan
lahan yang diendapkan sedimen sebagai hasil dari mekanisme pola aliran pada
lingkungan sedimen point bar, tanggul alam (natural levee), crevasse splay
sediment, flood plaint dan oxbow lake.
Masing-masing bentukan lahan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
h. Point bar merupakan bentuk lahan pada lekukan sungai yang terbentuk
sebagai akibat proses resedimentasi material sedimen dikelokan sungai
bagian hulu yang mengalami erosi dan terendapkan kembali pada
lekukan sungai berikutnya. Material sedimen yang diendapkan
mempunyai ciri litologi mengkasar ke atas (coarsening upward/CU).
i. Oxbow lake Merupakan daerah bekas aliran sungai yang tergenangi air
sebagai akibat perpindahan jalur aliran sungai yang tertutupi oleh
sedimen point bar. termasuk kedalam subfasies abandoned channel
berupa endapan batupasir halus berbentuk tapal kuda terbentuk ketika
sungai meander memotong bagian lain dari permukaan disekitar sungai.
Endapan subfasies ini serupa dengan endapan pada subfasies floodplain,
tetapi dapat dibedakan dari geometrinya endapan menindih abrasi
channel lag konglomerat tidak terdapat selang dengan sikuen batupasir
point bar.

Anda mungkin juga menyukai