Anda di halaman 1dari 16

Pendahuluan

Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan belakang busur karena berada di


belakang Pegunungan Barisan sebagai volcanic-arc-nya. Cekungan ini berumur Tersier yang
terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda sebagai bagian dari Lempeng
Kontinen Asia dan Lempeng Samudera India. Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x
510 km2, bagian barat daya dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur
oleh Paparan Sunda (Sundaland), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh dan ke arah
tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung.
Perkembangan struktur maupun evolusi cekungan ini sejak Tersier merupakan hasil
interaksi dari ketiga arah struktur utama yaitu, berarah timurlaut-baratdaya atau disebut Pola
Jambi, berarah baratlaut-tenggara atau disebut Pola Sumatra, dan berarah utara-selatan atau
disebut Pola Sunda. Hal inilah yang membuat struktur geologi di daerah Cekungan Sumatra
Selatan lebih kompleks dibandingkan cekungan lainnya di Pulau Sumatra.
Pada cekungan ini terdapat beberapa formasi pada stratigrafi nya berupa akumulasi minyak
dan gas bumi yang dapat diproduksikan secara ekonomis. Sehingga, cekungan ini merupakan
salah satu cekungan yang bersifat petroleum prolific.

Metode Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian studi literatur dengan mencari referensi teori yang
relevan dengan kasus atau permasalahan yang ditemukan. Referensi tersebut berisikan tentang:
1. Cekungan Sumatra Selatan secara umum
2. Geologi regional cekungan Sumatra Selatan
3. Petroleum system cekungan Sumatra Selatan
Dimana jenis data yang diguanakan penulis dalam penelitian ini adalah data sekunder yaitu data
yang diperoleh dari berbagai sumber seperti: paper, jurnal, artikel, tugas akhir, dan buku literatur.

Geologi Regional
Cekungan Sumatera Selatan dibatasi oleh Paparan Sunda di sebelah timurlaut, daerah
ketinggian Lampung di sebelah Tenggara, Pegunungan Bukit Barisan di sebelah baratdaya serta
Pegunungan Dua Belas dan Pegunungan Tiga Puluh di sebelah baratlaut. Evolusi cekungan ini
diawali sejak Mesozoic dan merupakan cekungan busur belakang (back arc basin). Tektonik
cekungan Sumatera dipengaruhi oleh pergerakan konvergen antara Lempeng Hindia-Australia
dengan Lempeng Paparan Sunda

Sejarah pembentukan cekungan Sumatera Selatan memiliki beberapa kesamaan dengan


sejarah pembentukan cekungan Sumatera Tengah. Batas antara kedua cekungan tersebut
merupakan kawasan yang membujur dari timurlaut – baratdaya melalui bagian utara Pegunungan
Tigapuluh. Cekungan-cekungan tersebut mempunyai bentuk asimetrik dan di sebelah baratdaya
dibatasi oleh sesar-sesar dan singkapan-singkapan batuan Pra-Tersier yang terangkat sepanjang
kawasan kaki pegunungan Barisan. Di sebelah timur laut dibatasi oleh formasi-formasi sedimen
dari paparan Sunda. Pada bagian selatan dan timut, cekungan tersebut dibatasi oleh tinggian
Pegunungan Tigapuluh. Kedua daerah tinggian tersebut tertutup oleh laut dangkal saat Miosen
awal sampai Miosen tengah. Cekungan-cekungan tersier tersebut juga terhampar ke arah barat
dan kadang dihubungkan oleh jalur-jalur laut dengan Samudra Hindia. Berdasarkan unsur
tektonik, maka fisiografi regional cekungan Sumatera Selatan mempunyai daerah tinggian dan
depresi, yaitu:
1. Tinggian Meraksa, yang terdiri dati Kuang, Tinggian Palembang, Tinggian Tamiang, Tinggian
Palembang bagian utara dan Tinggian Sembilang.
2. Depresi Lematang (Muaraenim Dalam)
3. Antiklinorium Pendopo Limau dan Antiklinorium Palembang bagian utara.
Ketiga fisiografi di atas membagi cekungan Sumatera Selatan menjadi tiga bagian, yaitu
sub-cekungan Palembang bagian selatan, sub-cekungan Palembang bagian tengah dan sub-
cekungan Jambi.
Geologi Struktur
Pembentukan cekungan (basin) Sumatera Selatan pada suatu sistem reaksi gerak sesar
geser makro (strike slip fault) yang umumnya akan menghasilkan pola-pola sesar normal (fase
ekstensional), sesar naik dan sesar geser (fase uplift). Untuk faktor utama yang mempengaruhi
pembentukan cekungan adalah konfigurasi dari basement dan adanya perubahan pada daerah
subduksi baik spasial ataupun temporal. Cekungan Sumatera Selatan merupakan tipe
cekungantersier, sehingga perkembangan cekungannya dikendalikan oleh basement pra-tersier).
Basement pre-tersier pada Cekungan Sumatera Selatan terdiri dari beberapa micro-plate kontinen
dan samudra. Elemen-elemen struktur yang utama pada cekungan Sumatera Selatan
menunjukkan orientasi regangan berarah timutlaut-baratdaya pada eosen-oligosen yang
kemudian dipotong oleh inversi pliosen-pleistosen.
Menurut Ginger dan Fielding (2005) sejarah dari cekungan Sumatera Selatan dibagi
menjadi tiga megasekuen tektonik yaitu :
1. Syn-Rift Megasequence (c. 40 - c. 29 Ma)
Sebagai hasil dari subduksi di sepanjang Parit Sumatra Barat, kerak kontinental di
Sumatera Selatan menjadi sasaran dari kegiatan ektensional utama dari waktu Eocene ke awal
Oligocene. Ekstensi ini mengakibatkan membukanya sejumlah half-grabensdimana geometri dan
orientasi dipengaruhi oleh keheterogenan basement. Awalnya, ekstensi muncul berorientasi dari
timur-barat menghasilkan urutan horst dan graben dari utara-selatan. Sumatra Selatan telah
berputar sekitar 15 derajat searah jarum jam sejak Miocene menurut Hall (1995) dan
menghasilkan orientasi graben di utara-timur laut selatan-barat daya.
2. Post Rift Megasequence (c. 29 - c. 5 Ma)
Rifting berhenti sekitar 29 Ma lalu, bagaimanapun, thinned the continental crust di bawah
cekungan Sumatera Selatan terus turun sebagai keseimbangan lithospheric thermal. Dalam
bagian dari cekungan, seperti pusat Sub-cekungan Palembang, Megasequence ini mencapai
ketebalan melebihi 13.000 ft. Tingginya penurunan dan relatif permukaan laut menghasilkan
transgresi yg lama dari cekungan yang mencapai taraf maksimum sekitar 16 Ma yang lalu
dengan banjir yang hampir diseluruh cekungan. Perlambatan penurunan dan peningkatan
masukan endapan ke dalam cekungan dari 16 Ma sampai 5 Ma menghasilkan regresi.
3. Syn-Orogenic/Inversion Megasequence (c. 5 Ma - Sekarang)
Meluasnya orogenic, Barisan Orogeny, terjadi di Sumatera Selatan dari 5 Ma sampai
sekarang, walaupun terdapat beberapa bukti pengangkatan lokal selama awal 10 Ma (Chalik dkk,
2004). Perpanjangan barat laut-tenggara berorientasi pada lipatan transpresional yang besarnya
bervariasi yang dibentuk di seluruh cekungan dan melintasi banyak syn-rift. Sejumlah perangkap
struktural Hydrocarbone-bearing dipusat cekungan dibentuk saat ini, meskipun dalam beberapa
daerah yang terakumulasi minyak telah terlihat. Di balik perpanjanganlipatan transpressional,
penurunan cekungan berlanjut dan diisi oleh sediment dan disempurnakan oleh erosi baru
dibentuk Bukit Barisan di selatan dan barat.
Geologi Stratigrafi
Pada dasarnya stratigrafi cekungan Sumatera Selatan terdiri dari satu siklus besar
sedimentasi yang dimulai dari fase transgresi pada awal siklus dan fase regresi pada akhir
siklusnya. Awalnya siklus ini dimulai dengan siklus non-marine, yaitu proses diendapkannya
formasi Lahat pada oligosen awal dan setelah itu diikuti oleh formasi Talang Akar yang
diendapkan diatasnya secara tidak selaras. Fase transgresi ini terus berlangsung hingga miosen
awal, dan berkembang formasi Batu Raja yang terdiri dari batuan karbonat yang diendapkan
pada lingkungan back reef, fore reef dan intertidal. Sedangkan untuk fase transgresi maksimum
diendapkan formasi Gumai bagian bawah yang terdiri dari shale laut dalam secara selaras diatas
formasi Batu Raja. Fase regresi terjadi pada saat diendapkannya formasi Gumai bagian atas dan
diikuti oleh pengendapan formasi Air Benakat secara selaras yang didominasi oleh litologi
batupasir pada lingkungan pantai dan delta. Pada pliosen awal, laut menjadi semakin dangkal
karena terdapat dataran delta dan non-marine yang terdiri dari perselingan batupasir dan
claystone dengan sisipan berupa batubara. Pada saat pliosen awal ini menjadi waktu
pembentukan dari formasi Muara Enim yang berlangsung sampai pliosen akhir yang terdapat
pengendapan batuan konglomerat, batu apung dan lapisan batupasir tuffa.
1. Batuan Dasar (Basement)
Batuan dasar (pra tersier) terdiri dari batuan kompleks paleozoikum dan batuan
Mesozoikum, batuan metamorf, batuan beku, dan batuan karbonat. Batuan dasar yang paling tua,
terdeformasi paling lemah, dianggap bagian dari lempeng-mikro Malaka, mendasari bagian utara
dan timur cekungan. Lebih ke selatan lagi terdapat Lempeng-mikro Mergui yang terdeformasi
kuat, kemungkinan 10 merupakan fragmen kontinental yang lebih lemah. Lempeng-mikro
Malaka dan Mergui dipisahkan oleh fragmen terdeformasi dari material yang berasal dari selatan
dan bertumbukan. Bebatuan granit, vulkanik, dan metamorf yang terdeformasi kuat (berumur
Kapur Akhir) mendasari bagian lainnya dari cekungan Sumatera Selatan. Morfologi batuan dasar
ini dianggap mempengaruhi morfologi rift pada Eosen-Oligosen, lokasi dan luasnya gejala
inversi/pensesaran mendatar pada Plio-Pleistosen, karbon dioksida lokal yang tinggi yang
mengandung hidrokarbon gas, serta rekahan-rekahan yang terbentuk di batuan dasar (Ginger
&Fielding, 2005).
2. Formasi Lahat
Formasi Lahat diperkirakan berumur oligosen awal. Formasi ini merupakan batuan
sedimen pertama yang diendapkan pada cekungan Sumatera Selatan. Pembentukannya hanya
terdapat pada bagian terdalam dari cekungan dan diendapkan secara tidak selaras.
Pengendapannya terdapat dalam lingkungan darat/aluvial-fluvial sampai dengan lacustrine.
Fasies batupasir terdapat di bagian bawah, terdiri dari batupasir kasar, kerikilan, dan
konglomerat. Sedangkan fasies shale terletak di bagian atas (Benakat Shale) terdiri dari batu
serpih sisipan batupasir halus, lanau, dan tufa. Sehingga shale yang berasal dari lingkungan
lacustrine ini merupakan dapat menjadi batuan induk. Pada bagian tepi graben ketebalannya
sangat tipis dan bahkan tidak ada, sedangkan pada bagian tinggian intra-graben sub cekungan
selatan dan tengah Palembang ketebalannya mencapai 1000 m (Ginger & Fielding, 2005).
3. Formasi Talang Akar
Formasi Talang Akar diperkirakan berumur oligosen akhir sampai miosen awal. Formasi
ini terbentuk secara tidak selaras dan kemungkinan paraconformable di atas Formasi Lahat dan
selaras di bawah Formasi Gumai atau anggota Basal Telisa/formasi Batu Raja. Formasi Talang
Akar pada cekungan Sumatera Selatan terdiri dari batulanau, batupasir dan sisipan batubara
yangdiendapkan pada lingkungan laut dangkal hingga transisi. Bagian bawah formasi ini terdiri
dari batupasir kasar, serpih dan sisipan batubara. Sedangkan di bagian atasnya berupa
perselingan antara batupasir dan serpih. Ketebalan Formasi Talang Akar berkisar antara 460 –
610 m di dalam beberapa area cekungan. Variasi lingkungan pengendapan formasi ini
merupakan fluvial-deltaic yang berupa braidded stream dan point bar di sepanjang paparan
(shelf) berangsur berubah menjadi lingkungan pengendapan delta front, marginal marine, dan
prodelta yang mengindikasikan perubahan lingkungan pengendapan ke arah cekungan
(basinward). Sumber sedimen batupasir Talang Akar Bawah ini berasal dari dua tinggian pada
kala oligosen akhir, yaitu di sebelah timur (Wilayah Sunda) dan sebelah barat (deretan
Pegunungan Barisan dan daerah tinggian dekat Bukit Barisan).
4. Formasi Batu Raja
Formasi Batu Raja diendapkan secara selaras di atas formasi Talang Akar pada kala
miosen awal. Formasi ini tersebar luas terdiri dari karbonat platforms dengan ketebalan 20-75 m
dan tambahan berupa karbonat build-up dan reef dengan ketebalan 60-120 m. Didalam batuan
karbonatnya terdapat shale dan calcareous shale yang diendapkan pada laut dalam dan
berkembang di daerah platform dan tinggian (Bishop, 2001). Produksi karbonat berjalan dengan
baik pada masa sekarang dan menghasilkan pengendapan dari batugamping. Keduanya berada
pada platforms di pinggiran dari cekungan dan reef yang berada pada tinggian intra-basinal.
Karbonat dengan kualitas reservoir terbaik umumnya berada di selatan cekungan, akan tetapi
lebih jarang pada bagian utara sub-cekungan Jambi (Ginger dan Fielding, 2005). Beberapa
distribusi facies batugamping yang terdapat dalam formasi Batu Raja diantaranya adalah
mudstone, wackestone, dan packstone. Bagian bawah terdiri dari batugamping kristalin yang
didominasi oleh semen kalsit dan terdiri dari wackstone bioklastik, sedikit plentic foram, dan di
beberapa tempat terdapat vein.
5. Formasi Gumai
Formasi Gumai diendapkan secara selaras di atas formasi Batu Raja pada kala oligosen
sampai dengan tengah miosen. Formasi ini tersusun oleh fosilliferous marine shale dan lapisan
batugamping yang mengandung glauconitic (Bishop, 2001). Bagian bawah formasi ini terdiri
dari serpih yang mengandung calcareous shale dengan sisipan batugamping, napal dan
batulanau. Sedangkan di bagian atasnya berupa perselingan antara batupasir dan shale.
Ketebalan formasi Gumai ini diperkirakan 2700 m di tengah-tengah cekungan. Sedangkan pada
batas cekungan dan pada saat melewati tinggian ketebalannya cenderung tipis.
6. Formasi Air Benakat
Formasi Air Benakat diendapkan selama fase regresi dan akhir dari pengendapan formasi
Gumai pada kala tengah miosen (Bishop, 2001). Pengendapan pada fase regresi ini terjadi pada
lingkungan neritik hingga shallow marine, yang berubah menjadi lingkungan delta plain dan
coastal swamp pada akhir dari siklus regresi pertama. Formasi ini terdiri dari batulempung putih
kelabu dengan sisipan batupasir halus, batupasir abu-abu hitam kebiruan, glaukonitan setempat
mengandung lignit dan di bagian atas mengandung tufaan sedangkan bagian tengah kaya akan
fosil foraminifera. Ketebalan formasi ini diperkirakan antara 1000-1500 m.
7. Formasi Muara Enim
Formasi ini diendapkan pada kala akhir miosen sampai pliosen dan merupakan siklus
regresi kedua sebagai pengendapan laut dangkal sampai continental sands, delta dan batu
lempung. Siklus regresi kedua dapat dibedakan dari pengendapan siklus pertama (formasi Air
Benakat) dengan ketidakhadirannya batupasir glaukonit dan akumulasi lapisan batubara yang
tebal. Pengendapan awal terjadi di sepanjang lingkungan rawa-rawa dataran pantai, sebagian di
bagian selatan cekungan Sumatra Selatan, menghasilkan deposit batubara yang luas.
Pengendapan berlanjut pada lingkungan delta plain dengan perkembangan secara lokal sekuen
serpih dan batupasir yang tebal. Siklus regresi kedua terjadi selama kala Miosen akhir dan
diakhiri dengan tanda-tanda awal tektonik Plio-Pleistosen yang menghasilkan penutupan
cekungan dan onset pengendapan lingkungan non marine. Batupasir pada formasi ini dapat
mengandung glaukonit dan debris volkanik. Pada formasi ini terdapat oksida besi berupa
konkresi-konkresi dan silisified wood. Sedangkan batubara yang terdapat pada formasi ini
umumnya berupa lignit. Ketebalan formasi ini tipis pada bagian utara dan maksimum berada di
sebelah selatan dengan ketebalan 750 m (Bishop, 2001).
8. Formasi Kasai
Formasi ini diendapkan pada kala pliosen sampai dengan pleistosen. Pengendapannya
merupakan hasil dari erosi dari pengangkatan Bukit Barisan danpegunungan Tigapuluh, serta
akibat adanya pengangkatan pelipatan yang terjadi di cekungan. Pengendapan dimulai setelah
tanda-tanda awal dari pengangkatan terakhir Pegunungan Barisan yang dimulai pada miosen
akhir. Kontak formasi ini dengan formasi Muara Enim ditandai dengan kemunculan pertama dari
batupasir tufaan. Karakteristik utama dari endapan siklus regresi ketiga ini adalah adanya
kenampakan produk volkanik. Formasi Kasai tersusun oleh batupasir kontinental dan lempung
serta material piroklastik. Formasi ini mengakhiri siklus susut laut. Pada bagian bawah terdiri
atas tuffaceous sandstone dengan beberapa selingan lapisan-lapisan tuffaceous claystone dan
batupasir yang lepas, pada bagian teratas terdapat lapisan tuff, batu apung yang mengandung sisa
tumbuhan dan kayu berstruktur sedimen silang siur. Lignit terdapat sebagai lensa-lensa dalam
batupasir dan batulempung yang terdapat tuff.

Stratigrafi Cekungan Sumatera Selatan (De Coster, 1974)

Petroleum System

1. Batuan Induk
Berdasarkan analisa Shell Team, batuan induk yang potensial berasal dari batulempung
hitam Formasi Lahat (De Coster, 1974; menyebutnya sebagai serpih anggota Benakat), lignit,
batulempung Formasi Talang Akar dan batulempung Formasi Telisa). Source adalah batuan
sumber dimana minyak dan gas bumi terbentuk. Pada umumnya batuan sumber ini berupa
lapisan serpih/shale yang tebal dan mengandung material organik. Secara statistik di simpulkan
bahwa persentasi kandungan hidrokarbon tertinggi terdapat pada serpih yaitu 65%, batugamping
21%, napal 12% dan batubara 2%. Proses selanjutnya yang terjadi dalam batuan sumber ini
adalah pematangan. Dari beberapa hipotesa pematangan hidrokarbon (Koesoemadinata, 1980)
diketahui bahwa pematangan hidrokarbon dipandang dari perbandingan hidrogen dan karbon
yang akan meningkat sejalan dengan umur dan kedalaman batuan sumber itu sendiri.
Daerah source pre-dominan dari pembentukan hidrokarbon di Sumatera yaitu di graben-
graben dan half-graben yang terbentuk selama kala Kapur Bawah sampai Tersier Awal.
Kebanyakan hidrokarbon di Sumatera Selatan telah ditemukan pada daerah-daerah graben ini.
Source rock yang paling memungkinkan untuk cekungan ini adalah batuan-batuan fluvio-
deltaic, marginal marine, lakustrin yang lokal dan coaly facies berumur Eosen Akhir sampai
Oligosen Awal (syn-rift) dari Formasi Lahat/ Lemat dan Formasi Talang Akar. Unit-unit ini
menunjukkan suatu kedalaman yangsangat baik bagi proses kematangan (maturasi), yang
memungkinkannya untuk berubah menjadi reservoir hidrokarbon pada batupasir anggota
Formasi Lemat dan Talang Akar, dan hal ini analogi dengan cekungan-cekungan lain di seluruh
Indonesia, dimana source rock yang equivalen dalam suatu proses syn-depositional telah
dipetakan.
Waktu pembentukan minyak umumnya disebabkan oleh proses penimbunan dan ‘heat
flow’ yang berasosiasi dengan tektonik Miosen Akhir. Potensi source rock dari Formasi
Lemat/Lahat dan Talang Akar ada pada kedalaman 5000 - 7400 feet pada saat itu untuk
memungkinkannya mengalami proses menjadi hidrokarbon.
2. Migrasi
Sarjono dan Sardjito berpendapat bahwa migrasi pertama dari hidrokarbon yang berasal
dari Subcekungan Palembang dimulai pada akhir dari Miosen Tengah, dengan kemungkinan
awal dari terakumulasinya hidrokarbon yang telah mengalami distribusi ulang akibat proses
orogenik Plio-Pleistosen.
Baik migrasi lateral maupun vertikal terjadi pada masa ini. Migrasi vertikal kepada proses
shallow reservoir oleh adanya fault yang berpengaruh langsung dari source rock menjadi
reservoir. Migrasi lateral terjadi di sepanjang kemiringan slope, yang membawa hidrokarbon dari
source rock yang lebih dalam kepada batuan reservoir dari Formasi Lemat/ Lahat dan
Talangakar.
3. Batuan Reservoir
Batuan waduk atau reservoir merupakan batuan berpori atau retak-retak, yang dapat
menyimpan dan melewatkan fluida. Di alam batuan waduk umumnya berupa batupasir atau
batuan karbonat. Faktor-faktor yang menyangkut kemampuan reservoir ini adalah tingkat
porositas dan permeabilitas, yang sangat dipengaruhi oleh tekstur batuan sedimen yang secara
langsung dipengaruhi sejarah sedimentasi dan lingkungan pengendapannya.
Cekungan Sumatera Selatan merupakan salah satu dari cekungan penghasil hidrokarbon
yang terbesar. Sedikitnya 120 lapangan minyak (field) yang telah ditemukan sejak dibangunnya
sumur pemboran pertama oleh Belanda di akhir tahun 1800 an.
Minyak dan gas ditemukan pada hampir semua formasi yang ada, termasuk juga pada
basement kristalin dan metasedimen, Formasi Lahat, Formasi Talangakar, Formasi Baturaja,
Formasi Telisa/Gumai, Formasi Air Benakat dan Formasi Muara Enim. Reservoir Hidrokarbon
yang paling utama terdapat pada Formasi Talang Akar dan Baturaja.
a. Basement Pre-Tersier
Di beberapa tempat pada batuan ini di Cekungan Sumatra Selatan menunjukkan adanya
shows minyak dan gas. Litologi-litologi yang berasosiasi dengan basement ini antara lain batuan-
batuan granit, metasedimen, volkanik, limestone dan marble.
b. Batupasir dari Formasi Lahat dan Formasi Lemat
Sedimen-sedimen Lahat merupakan reservoir Tersier paling tua yang terdapat pada
Cekungan Sumatera Selatan. Cekungan ini terakumulasi sebagai endapan fluvial sampai
lakustrin yang mengisi struktur-struktur graben. Komponen dari batuan klastik kasar terutama
memiliki pemilahan yang buruk, membundar baik, konglomerat polimik, dan tersementasikan
dengan baik, serta pemilahan batupasir kuarsa yang buruk. Batuan ini mengalami oksidasi tinggi,
dengan semen berwarna coklat kemerahan dan adanya perlapisan batupasir tuffaan menjadi
karakteristik facies ini. Potensial reservoir rendah dengan porositas kurang dari 8%.
c. Batupasir Formasi Talang Akar
Formasi Talang Akar sebagian besar terdiri dari facies-facies daratan dan laut dangkal.
Batupasir dari Talang Akar Bawah merupakan endapan aluvial dan aluvial fan, dengan
pemilahan buruk dan mengandungkuarsa berbutir kasar. Bagian atas dari formasi ini merupakan
endapan deltaic, shallow marine dan endapan pantai. Secara tekstural batupasir ini memiliki
kematangan yang tinggi, hal ini menunjukkan adanya reduksi pada topografi tinggian graben.
Komposisi sedimen Formasi Talang Akar Atas ialah batupasir kuarsa berbutir halus sampai
sedang, yang memiliki pemilahan lebih baik, mengandung gamping, kadang-kadang
mengandung lempung.
Porositas Reservoir Talang Akar antara 14% - 29% dan permeabilitas besar antara kurang
dari 5 sampai hampir 3000 mD. Hubungan antar reservoir sangat baik dan bagus dengan lapisan
pasir yang tipis (1/ 2 meter) yang dapat memproduksi sekitar 500.000 bbls of oil.
d. Batugamping Formasi Batu Raja
Batugamping formasi ini merupakan reservoir paling bagus di Sumatera Selatan. Build-up
yang ada pada formasi ini berasosiasi dengan platform karbonat. Bersifat masif, koral dan
boundstone alga dengan greenstone foraminifera, wackestone, packstones dan marl. Fasiesnya
menunjukkan endapan-endapan open reef shoal, fore-reef dan back-reef. Karbonat dari Formasi
Baturaja tumbuh sebagai patchy banks dan build up-build up pada horst-horst basement yang
terisolasi dan berada di sepanjang sisi-sisi cekungan. Suatu reef dengan relief rendah dapat
tumbuh dengan komponen dominan terdiri dari coral, alga coralline, dan foraminifera bentik
yang besar-besar. Porositas tumbuh sejalan dengan terbentuknya subsekuen pada permukaan air
laut relatif, pada saat batugamping tererosi sebagian dan menjadi batuan karst. Konsentrasi klorit
yang rendah merecover airformasi pada sub areal tertentu dan merubahnya menjadi meteorik
fluida.
Kontinuitas lateral dari tipe reservoir ini sering kali sulit untuk diprediksi pada perubahan
faciesnya. Dimana facies reef tumbuh, porositasnya berkisar antara 16% dan 26%, dan
permeabilitasnya antara 33 dan 3800 mD.
e. Batupasir Formasi Gumai
Sedimen marine dari Formasi Gumai terutama terbentuk oleh basinal shales. Satu seri dari
interkalasi batupasir dan batugamping tumbuh pada bagian terendah dari sekuen ini, dan hal ini
yang membuktikan adanya reservoir di lapangan minyak pada Cekungan Jambi.
Batupasir ini berwarna abu-abu terang, berbutir halus, banyak mengandung gamping, dan
juga sedikit glaukonit. Porositas berkisar antara 19% dan 21%.
f. Batupasir Formasi Air Benakat
Formasi ini merupakan sekuen regresif, terdiri dari interkalasi marine shales dan batupasir.
Reservoir batupasir yang produktif berukuran butir halus sampai sedang, bentuk butir menyudut
tanggung sampai membundar, pemilahan sedang dan mengandung glaukonit. Hal ini banyak
terdapat pada daerah Jambi di Cekungan Sumatra Selatan.
Porositas dari batupasir Formasi Air Benakat berkisar dari 18% sampai 30%, tetapi
umumnya memiliki permeabilitas buruk sampai seperti permeabilitas lempung, yang berkisar
antara 10 dan 3200 mD.
g. Formasi Muara Enim
Formasi ini terdiri dari batupasir yang terinterkalasi dengan lempung karbonat dan
batubara. Batupasir umumnya berbutir sedang sampai kasar dan porositasnya sekitar 18% sampai
28%.
4. Perangkap
Perangkap dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Perangkap Struktur
Dikontrol topografi dari basement. Biasanya bentuk-bentuk umum dari sesar yang ada
diakibatkan oleh adanya sesar normal, seperti di Subcekungan Jambi (struktur-struktur Malapari
dan Sogo), di depresi Tebo (struktur Jambi) dan di Subcekungan Palembang (tinggian basement
Palembang).
 Hubungan antiklin dengan sesar-sesar synsedimentari. Kebanyakan penyebaran ketebalan
untuk sedimen (bagian dari Formasi Talangakar) terjadi di sisi tinggian.
 Antiklin kompresif, berhubungan dengan fase Plio-akhir Plistosen yang kompresion,
membungkus bagian-bagian pada tersier.
 Disharmonic folding. Kejadian antiklin ini terjadi pada bagian atas yang memanjang yaitu
lipatan dimana basement atau seri kompetent, tidak termasuk dalam deformasi. Struktur-
struktur terbentuk di Subcekungan Jambi, dimana Formasi Gumai menekan batulempung
Gumai yang homogen, tetapi tidak untuk lapisan-lapisan batugamping.
 Structures related to wrench tectonism. Wrench tectonism pergerakannya pada sisi lateral
suatu blok yang konsekuen sampai plate konvergen. Tipe dari struktur untuk deformasi ini
dideskripsikan oleh Eubank dan Maliki.
 Structures by dip slip inversion. Model deformasi ini diberikan oleh Harding dan Lowell.
Dasar dari tipe struktur ini adalah yang pertama episode tarikan (ekstensional) dan episode
yang lain adalah kompresif (tekanan). Gambaran sedimentary dari deform relatif memanjang
pada suatu basement.
b. Perangkap Stratigrafi
 Reefal build-up pada Formasi Baturaja sangat erat kaitannya dengan tinggian-tinggian
basement. Sangat banyak dijumpai di Subcekungan Palembang. Mengandung tuff dan lapisan
tipis batugamping.
 Sand bodies, hidrokarbon membawa endapan-endapan sungai, deltaic dan batupasir litoral.
Frekuensi terbesar adalah cebakan-cebakan efektif stratigrafi onlap wedges, up-dip pinchouts
di sisi atas dari daerah yang positif, dan seterusnya.
Dapat dikatakan bahwa perangkap minyak terutama merupakan struktur antiklin. Pada
formasi Air Benakat, trap berupa struktur dan stratigrafi. Ada tiga tipe antiklin yang dapat
diidentifikasi : yang pertama adalah wrench faulting subsequen sampai growth-faulting (Sunda
Fold). Tipe kedua terjadi pada tinggian-tinggian basement, dimana sedimen tipis lebih menipis.
Tipe yang ketiga berasosiasi dengan aliran dan pergerakan batulempung. Reservoir tertekan,
masing-masing terdapat di bagian bawah delta pada batupasir Formasi Air Benakat. Selain itu,
dalam Formasi Talang Akar minyak terjebak dalam perangkap stratigrafi seperti pembajian yang
naik dari lapisan pasir, terutama terhadap daerah – daerah tinggi.
5. Seal atau Lapisan Tudung
Seal atau lapisan tudung merupakan lapisan pelindung yang bersifat tak permeabel yang
dapat berupa lapisan lempung, shale yang tak retak, batugamping pejal atau lapisan tebal dari
batuan garam. Lapisan ini bersifat melindungi minyak dan gas bumi yang telah terperangkap
agar tidak keluar dari sarang perangkapnya.
Umumnya merupakan lapisan batulempung yang tebal dari Formasi Telisa, Formasi Lower
Palembang dan Formasi Middle Palembang. Batulempung-batulempung yang saling menjemari
membentuk suatu seal bagi semua akumulasi hidrokarbon di Cekungan Sumatra Selatan. Seal ini
muncul sebagai lapisan tudung yang konkordan, atau facies yang berubah secara lateral dari
batuan hidrokarbon yang porous kepada lapisan batugamping atau lempung yang padat. Contoh
facies lateral yang berubah menjadi seal muncul pada batugamping reef Baturaja dan pada
reservoir batupasir fluvial dari Formasi Talang Akar. Kebanyakan lapangan minyak memiliki
gas/oil dan oil/water contact yang relatif sama memotong rata-rata reservoir yang terjebak. Seal
ini dilengkapi dengan fault intraformasi dan pola depositional intricate dari batupasir,
terutamapada Formasi Talang Akar, dimana masing-masing channel membentuk intersection
bagi kontinuitas reservoir.
Prospek
Cekungan Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi yang mempunyai paling
banyak petroleum prolific di Indonesia. Produksi kumulatif diperkirakan sebanyak 1600 million
barrel minyak dengan pencapaian tertinggi pada tahun 1954 mencapai 54 million barrel. Tetapi
produksinya berkurang sampai 16 million bbl pada tahun-tahun sekarang. Produksi paling
banyak berasal dari batupasir Formasi Talang Akar di Subcekungan Palembang, di Subcekungan
Jambi produksinya berasal dari batupasir Formasi Air Benakat.
1. Batugamping Formasi Baturaja
Berisi minyak dan gas, keduanya terletak pada sisi sebelah selatan sinklinorium
Palembang.
 Di sisi sebelah utara : antiklinorium Pendopo-Limau (gas dan minyak).
 Di sisi sebelah selatan : Tinggian Meraksa-Kuang (minyak dan gas).
 Di sisi sebelah barat-daya : Musi (ladang minyak dan gas).
 Penambahan, gas baru dan ditemukannya kondensat.
2. Formasi Air Benakat
Merupakan produksi terbesar setelah Formasi Talang Akar. Tiga bentuk field di cekungan
ini, produksi kumulatif 217 million bbl minyak. Semua ini merupakan lapangan minor yang
produksinya berasal dari Formasi Air Benakat, di utara Palembang dan antiklinoria Mangunjaya
yang sekarang telah habis.
3.Formasi Muara Enim
Sekarang tidak ada produksi, lokasi pada antklinorium Muara Enim berisi kira-kira 80
million bbl minyak. Merupakan ladang terbesar dengan total minyak masing-masing 38 dan 17
million bbl minyak.
4. Formasi Baturaja
Diperoleh penemuan gas yang komersil dan produsi minyak minor. Secara kejadiannya
Formasi Baturaja mempunyai ketebalan 60-100m, tetapi build-up yang berkembang dapat
mencapai ketebalan 200 m.

Kesimpulan
1. Cekungan Sumatera Selatan dibatasi oleh Paparan Sunda di sebelah timurlaut, daerah
ketinggian Lampung di sebelah Tenggara, Pegunungan Bukit Barisan di sebelah baratdaya serta
Pegunungan Dua Belas dan Pegunungan Tiga Puluh di sebelah baratlaut.
2. Stratigrafi pada Cekungan Sumatera Selatan dimulai dari Batuan Dasar, Formasi Lahat,
Formasi Talang Akar, Formasi Batu Raja, Formasi Gumai, Formasi Air Benakat, Formasi Muara
Enim, dan Formasi Kasai.
3. Cekungan Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi yang mempunyai paling banyak
petroleum prolific di Indonesia. Produksi kumulatif diperkirakan sebanyak 1600 million barrel
minyak dengan pencapaian tertinggi pada tahun 1954 mencapai 54 million barrel.
4. Produksi paling banyak berasal dari batupasir Formasi Talang Akar di Subcekungan
Palembang, di Subcekungan Jambi produksinya berasal dari batupasir Formasi Air Benakat.

Daftar Pustaka
Rossa,Yunita.1993. Laporan Tugas Akhir ; Aplikasi Penggunaan Peta Bidang Patahan
Terhadap Daerah Prospek Pasemah Sumatera Selatan, Jurusan Geologi FMIPA,
Universitas Padjajaran.
Ariyanto, Yonas. 2011. Skripsi. Pemodelan Impedansi Akustik Untuk Karakterisasi Reservoar
Pada Daerah “X”, Sumatera Selatan, Jurusan Fisika FMIPA, Universitas Indonesia.
Koesoemadinata,R.P.1980. Geologi Minyak dan Gas Bumi, Bandung:ITB.
Ginger, David., 2005 The Petroleum System And Future Potensial Of The South Sumatera Basin,
Indonesian Petroluem Association.
Coster, G.L.de, 1974, The Geology Of The Central And South Sumatra Basins, Indonesian
Petroleum Association.
Pertamina BPPKA, Petroleum Geology Of Indonesia Basin, Pertamina, Volume X.
Bishop, Michael G. 2001. South Sumatra Basin Province, Indonesia: The Lahat/Talang Akar-
Cenozoic Total Petroleum System, Department Of The Interior U.S. United States:
Geological Survey.
Djamas, J. 1979. Stratigrafi Tersier Cekungan Sumatra Tengah, Cekungan Sumatra Selatan dan
Cekungan Bengkulu, Unpublished Report, Pertamina UEP - II,Plaju, Arsip Pertamina.
Argakoesoemah, R. M. I. and Kamal, A.,2005, Ancient Talang Akar Deepwater Sediments In
South Sumatra Basin: A New Exploration Play, Indonesian Petroleum Association.
Sardjito, Fadianto, Eddy, Djumlati, and Hansen, S., 1991, Hydrocarbon Prospect Of The Pre-
Tertiary Basement In Kuang Area, South Sumatra, Indonesian Petroleum Association.
Premonowati, 2011, Outcrops Conservation of Tanjung Baru or Lower Talang Akar Formation,
Baturaja City of Palembang Area – South Sumatra Basin: How important, Yogyakarta:
UPN.

Anda mungkin juga menyukai