Anda di halaman 1dari 20

Ladang-ladang minyak yang telah dieksplorasi di Indonesia tersebar di seluruh

nusantara, mulai dari Sabang sampai Marauke mempunyai andil dalam kebutuhan energi yang
tak terbarukan ini. Pulau Sumatra terdiri dari Aceh yaitu Rantau, Lepas pantai Langsa,
kemudian Riau yaitu Duri, Dumai, Minas, Kotabatak, Bekasap, Zamrud, Petani, Ampuh,
Petapahan, Pedada, Balam, Bangko, di Sumatra selatan yaitu Ramba serta Suban, Tg Jabung
di Jambi, dll. Jawa dan Bali terdiri dari Lepas pantai sebelah utara Jawa Barat, Tambun,Bekasi,
Cilamaya, Karawang, Subang, Jatibarang, Lepas pantai Laut Jawa, Lepas pantai Kepulauan
Seribu, Cepu, Jawa Tengah. Sedangkan Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua terdiri dari
Badak, Kalimantan Timur, Delta Mahakam, Lepas pantai Selat Makasar, Sulawesi Tengah
(Banggai, Donggi, Tiaka) dan Salawati di Papua.Ladang tersebut ditambah dengan 25 sumur
yang telah di setujui pemertintah untuk di eksplor.

Ladang sumur dan cadangan minyak di Indonesia paling banyak terdapat di dasar laut atau
biasa disebut offshore, sehingga diperlukan teknologi yang tinggi untuk memproduksi
minyak tersebut. Hal ini belum lagi pengeboran laut dalam yang enggan dilakukan
pemerintah mengingat teknologi offshore relatif muda yaitu pada tahun 2001 pertama kali
diterapkan di Indonesia.

Dari 60 cekungan sedimen yang berpotensi mengandung hidrokarbon, 22 cekungan sedimen


sama sekali belum pernah dilakukan kegiatan pengeboran eksplorasi. Ditinjau dari rasio
penemuan cadangan, Indonesia termasuk wilayah yang cukup menjanjikan dibanding negara-
negara di Asia Tenggara, yaitu mencapai rata-rata sekitar 30%. Faktor keberhasilan (Success
Ratio) dari kegiatan eksplorasi, termasuk deliniasi rata-rata mencapai 38%, sedangkan
keberhasilan untuk sumur taruhan (wild cat) rata-rata lebih tinggi dari 10%.

Sebagian besar lokasi cekungan yang menarik untuk pengembangan blok baru tersebut terletak
di kawasan Timur Indonesia dan berlokasi di offshore. Diantara lokasi cekungan sedimen
tersebut adalah di sekitar pulau Sulawesi Offshore, Nusa Tenggara Offshore, Halmahera dan
Maluku, serta Papua Offshore. Disamping rasio penemuan yang kompetitif, biaya penemuan
(Finding ) Cost untuk cekungan di kawasan yang sebagian besar berlokasi di offshore, juga
relatif lebih rendah dibandingkan dengan wilayah lain di Asia Tenggara.

Dengan rata-rata biaya penemuan migas yang rendah, berdampak pada resiko investasi
terutama untuk modal awal yang besar pada lokasi offshore. Dengan kondisi-kondisi diatas,
Indonesia bisa dibilang sebagai wilayah yang sangat menjanjikan bagi investasi migas. Sampai
dengan akhir tahun 2010 status Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) berjumlah 246
KKKS.

Berdasarkan data terakhir yang dikumpulkan dari berbagai sumber, telah diketahui bahwa ada
sekitar 60 basin yang diprediksi mengandung cebakan migas yang cukup potensial.
Diantaranya basin Sumatera Utara, Sibolga, Sumatera Tengah, Bengkulu, Jawa Barat Utara,
Natuna Barat, Natuna Timur, Tarakan, Sawu, Asem-Asem, Banda, dll.
1. Cekungan Sumatera selatan

Gambar-1 Lokasi Cekungan South Sumatera

Pola geologi dan tatanan stratigrafi regional cekungan Sumatra Utara secara umum
telah banyak diketahui berkat hasil aktivitas eksplorasi minyak dan gas alam serta pemetaan
bersistem pulau Sumatra dalam skala 1:250.000. Keith (1981) dalam cekungan sumatera
membuat pembagian stratigraf Tersier Cekungan Sumatra Utara menjadi tiga kelompok yaitu
Kelompok I sebagai fase tektonik, pengangkatan dan pengerosian, berumur Eosen hingga
Oligosen Awal. Kelompok II merupakan fase genang laut yang dimulai dengan pembentukan
formasi-formasi dari tua ke muda yaitu Formasi Butar, Rampong, Bruksah, Bampo, Peutu dan
Formasi Baong. Kelompok III adalah perioda regresif dengan pembentukan kelompok
Lhoksukon.
Jika dilihat dari proses sedimentasi di cekungan sumatera utara. Kecepatan sedimentasi
dan penurunan dasar sedimen ataupun cekungan pada awal pembentukan cekungan relatif
lambat kemudian dilanjutkan dengan kecepatan sedimentasi lambat tetapi kecepatan
penurunan dasar sedimen ataupun cekungan sangat cepat antara 15.5-12.4 juta tahun lalu.
Penurunan cepat dasar cekungan tersebut merupakan akibat mulainya rifting di laut
Andaman dan pada saat inilah terbentuk serpih laut dalam Formasi Baong yang kaya material
organik dan menjadi salah satu batuan induk potensial di daerah Aru. Periode antara 12.4-10.2
juta tahun lalu ditandai dengan kecepatan sedimentasi cukup besar tetapi penurunan dasar
sedimen atau cekungan lebih lambat sebagai awal pengangkatan Bukit Barisan atau dikenal
sebagai tektonik Miosen Tengah. Batupasir Baong Tengah terbentuk pada periode ini dan
merupakan salah satu batuan waduk (reservoir) daerah Aru. Pada 9.3-8.3 juta tahun lalu
kecepatan sedimentasi sangat besar tetapi diikuti pula penurunan dasar sedimen atau cekungan
yang sangat besar sehingga penurunan sangat dipengaruhi. oleh pembebanan sedimen
disamping akibat penurunan tektonik. Pada waktu tersebut terbentuk endapan klastik kasar
Keutapang Bawah, diendapkan dalam lingkungan delta atau laut dangkal dan merupakan juga
batuan waduk (reservoir)penting di daerah Aru.

Model penurunan tektonik daerah Aru pada awalnya menunjukkan penurunan lambat
dilanjutkan penurunan sangat cepat antara 12.4-10.2 juta tahun lalu akibat rifting di Laut
Andaman. Pada Miosen Tengah atau antara 12.4-9.3 juta tahun lalu pola penurunan relatif
lambat, stabil atau terjadi pengangkatan akibat tektonik Miosen Tengah. Penurunan kembali
cepat antara 9.3-8.3 juta tahun lalu dan menjadi sangat lambat antara 5.3-4.4 juta tahun lalu
sebelum terjadi pangangkatan Pilo Pleistosen.

2. Cekungan Sumatra Tengah

Lokasi cekungan Sumatra Tengah dan batas batasnya

Cekungan Sumatra tengah merupakan cekungan sedimentasi tersier penghasil


hidrokarbon terbesar di Indonesia. Ditinjau dari posisi tektoniknya, Cekungan Sumatra tengah
merupakan cekungan belakang busur. Faktor pengontrol utama struktur geologi regional di
cekungan Sumatra tengah adalah adanya Sesar Sumatra yang terbentuk pada zaman kapur.
Struktur geologi daerah cekungan Sumatra tengah memiliki pola yang hampir sama dengan
cekungan Sumatra Selatan, dimana pola struktur utama yang berkembang berupa struktur Barat
laut-Tenggara dan Utara-Selatan (Eubank et al., 1981 dalam Wibowo, 1995 dalam
www.google.co.id/cekungan sumatera). Walaupun demikian, struktur berarah Utara-Selatan
jauh lebih dominan dibandingkan struktur Barat laut–Tenggara. Sejarah tektonik cekungan
Sumatra tengah secara umum dapat disimpulkan menjadi beberapa tahap, yaitu :

Konsolidasi Basement pada zaman Yura, terdiri dari sutur yang berarah Barat laut-Tenggara.
Basement terkena aktivitas magmatisme dan erosi selama zaman Yura akhir dan zaman Kapur.
Tektonik ekstensional selama Tersier awal dan Tersier tengah (Paleogen) menghasilkan sistem
graben berarah Utara-Selatan dan Barat laut-Tenggara. Kaitan aktivitas tektonik ini terhadap
paleogeomorfologi di Cekungan Sumatra tengah adalah terjadinya perubahan lingkungan
pengendapan dari longkungan darat, rawa hingga lingkungan lakustrin, dan ditutup oleh
kondisi lingkungan fluvial-delta pada akhir fase rifting.

Selama deposisi berlangsung di Oligosen akhir sampai awal Miosen awal yang
mengendapkan batuan reservoar utama dari kelompok Sihapas, tektonik Sumatra relatif tenang.
Sedimen klastik diendapkan, terutama bersumber dari daratan Sunda dan dari arah Timur laut
meliputi Semenanjung Malaya. Proses akumulasi sedimen dari arah timur laut Pulau Sumatra
menuju cekungan, diakomodir oleh adanya struktur-struktur berarah Utara-Selatan. Kondisi
sedimentasi pada pertengahan Tersier ini lebih dipengaruhi oleh fluktuasi muka air laut global
(eustasi) yang menghasilkan episode sedimentasi transgresif dari kelompok Sihapas dan
Formasi Telisa, ditutup oleh episode sedimentasi regresif yang menghasilkan Formasi Petani.

Akhir Miosen akhir volkanisme meningkat dan tektonisme kembali intensif dengan
rejim kompresi mengangkat pegunungan Barisan di arah Barat daya cekungan. Pegunungan
Barisan ini menjadi sumber sedimen pengisi cekungan selanjutnya (later basin fill). Arah
sedimentasi pada Miosen akhir di Cekungan Sumatra tengah berjalan dari arah selatan menuju
utara dengan kontrol struktur-struktur berarah utara selatan.
Tektonisme Plio-Pleistosen yang bersifat kompresif mengakibatkan terjadinya inversi-inversi
struktur Basement membentuk sesar-sesar naik dan lipatan yang berarah Barat laut-Tenggara.
Tektonisme Plio-Pleistosen ini juga menghasilkan ketidakselarasan regional antara formasi
Minas dan endapan alluvial kuarter terhadap formasi-formasi di bawahnya.

Cekungan Sumatra Selatan

Geologi Cekungan Sumatera Selatan adalah suatu hasil kegiatan tektonik yang
berkaitan erat dengan penunjaman Lempeng Indi-Australia, yang bergerak ke arah utara hingga
timurlaut terhadap Lempeng Eurasia yang relatif diam. Zone penunjaman lempeng meliputi
daerah sebelah barat Pulau Sumatera dan selatan Pulau Jawa. Beberapa lempeng kecil (micro-
plate) yang berada di antara zone interaksi tersebut turut bergerak dan menghasilkan zone
konvergensi dalam berbagai bentuk dan arah. Penunjaman lempeng Indi-Australia tersebut
dapat mempengaruhi keadaan batuan, morfologi, tektonik dan struktur di Sumatera Selatan.
Tumbukan tektonik lempeng di Pulau Sumatera menghasilkan jalur busur depan, magmatik,
dan busur belakang.

Secara fisiografis Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan Tersier berarah


barat laut - tenggara, yang dibatasi Sesar Semangko dan Bukit Barisan di sebelah barat daya,
Paparan Sunda di sebelah timur laut, Tinggian Lampung di sebelah tenggara yang memisahkan
cekungan tersebut dengan Cekungan Sunda, serta Pegunungan Dua Belas dan Pegunungan
Tiga Puluh di sebelah barat laut yang memisahkan Cekungan Sumatra Selatan dengan
Cekungan Sumatera Tengah. Blake (1989) menyebutkan bahwa daerah Cekungan Sumatera
Selatan merupakan cekungan busur belakang berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat
adanya interaksi antara Paparan Sunda (sebagai bagian dari lempeng kontinen Asia) dan
lempeng Samudera India. Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km2, dimana
sebelah barat daya dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur oleh
Paparan Sunda (Sunda Shield), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan Tigapuluh
Menurut Salim et al. (1995) Cekungan Sumatera Selatan terbentuk selama Awal Tersier
(Eosen – Oligosen) ketika rangkaian (seri) graben berkembang sebagai reaksi sistem
penunjaman menyudut antara lempeng Samudra India di bawah lempeng Benua Asia. Menurut
De Coster, 1974 (dalam Salim, 1995), diperkirakan telah terjadi 3 episode orogenesa yang
membentuk kerangka struktur daerah Cekungan Sumatera Selatan yaitu orogenesa Mesozoik
Tengah, tektonik Kapur Akhir – Tersier Awal dan Orogenesa Plio – Plistosen.
Episode pertama, endapan – endapan Paleozoik dan Mesozoik termetamorfosa, terlipat
dan terpatahkan menjadi bongkah struktur dan diintrusi oleh batolit granit serta telah
membentuk pola dasar struktur cekungan. Menurut Pulunggono, 1992 (dalam Wisnu dan
Nazirman ,1997), fase ini membentuk sesar berarah barat laut – tenggara yang berupa sesar –
sesar geser.

Episode kedua pada Kapur Akhir berupa fase ekstensi menghasilkan gerak – gerak
tensional yang membentuk graben dan horst dengan arah umum utara – selatan.
Dikombinasikan dengan hasil orogenesa Mesozoik dan hasil pelapukan batuan – batuan Pra –
Tersier, gerak gerak tensional ini membentuk struktur tua yang mengontrol pembentukan
Formasi Pra – Talang Akar.

Episode ketiga berupa fase kompresi pada Plio – Plistosen yang menyebabkan pola
pengendapan berubah menjadi regresi dan berperan dalam pembentukan struktur perlipatan
dan sesar sehingga membentuk konfigurasi geologi sekarang. Pada periode tektonik ini juga
terjadi pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan yang menghasilkan sesar mendatar Semangko
yang berkembang sepanjang Pegunungan Bukit Barisan. Pergerakan horisontal yang terjadi
mulai Plistosen Awal sampai sekarang mempengaruhi kondisi Cekungan Sumatera Selatan dan
Tengah sehingga sesar – sesar yang baru terbentuk di daerah ini mempunyai perkembangan
hampir sejajar dengan sesar Semangko. Akibat pergerakan horisontal ini, orogenesa yang
terjadi pada Plio – Plistosen menghasilkan lipatan yang berarah barat laut – tenggara tetapi
sesar yang terbentuk berarah timur laut – barat daya dan barat laut – tenggara. Jenis sesar yang
terdapat pada cekungan ini adalah sesar naik, sesar mendatar dan sesar normal.

Kenampakan struktur yang dominan adalah struktur yang berarah barat laut – tenggara
sebagai hasil orogenesa Plio – Plistosen. Dengan demikian pola struktur yang terjadi dapat
dibedakan atas pola tua yang berarah utara – selatan dan barat laut – tenggara serta pola muda
yang berarah barat laut – tenggara yang sejajar dengan Pulau Sumatera .
Batuan sedimen tersebut telah mengalami gangguan tektonik sehingga terangkat
membentuk lipatan dan pensesaran. Proses erosi menyebabkan batuan terkikis kemudian
membentuk morfologi yang tampak sekarang. Cekungan Sumatera Selatan dan Cekungan
Sumatera Tengah merupakan satu cekungan besar yang dipisahkan oleh Pegunungan
Tigapuluh. Cekungan ini terbentuk akibat adanya pergerakan ulang sesar bongkah pada batuan
pra tersier serta diikuti oleh kegiatan vulkanik.
Daerah cekungan Sumatera Selatan dibagi menjadi depresi Jambi di utara, Sub
Cekungan Palembang Tengah dan Sub Cekungan Pelembang Selatan atau Depresi Lematang,
masing-masing dipisahkan oleh tinggian batuan dasar (“basement”).Di daerah Sumatera
Selatan terdapat 3 (tiga)antiklinurium utama, dari selatan ke utara: Antiklinorium Muara Enim,
Antiklinorium Pendopo Benakat dan Antiklinorium Palembang. Pensesaaran batuan dasar
mengontrol sedimen selama paleogen. Stratigrafi normal memperlihatkan bahwa pembentukan
batubara utara-selatan dimana pada bagian barat daerah penyelidikan sungai-sungai mengalir
kearah sungai Semanggus, sedangkan pada bagian timur daerah penyelidikan sungai sungai
mengalir ke arah timur dengan Sungai Baung dan Sungai Benakat sebagai sungai Utama.

CEKUNGAN KALIMANTAN TIMUR UTARA (CEKUNGAN TARAKAN)

Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga dengan Cekungan Tarakan (IBS,
2006) merupakan salah satu cekungan penghasil hidrokarbon di Kalimantan Timur bagian
utara. Cekungan Tarakan dapat dibagi menjadi 4 sub-cekungan yaitu: Sub-cekungan Tidung,
Sub-cekungan Berau, Sub-cekungan Tarakan, dan Sub-cekungan Muara (Biantoro dkk., 1996;
IBS, 2006). Batas-batas dari empat sub-cekungan tersebut adalah zona-zona sesar dan tinggian.
Bagian utara dari Cekungan Kalimantan Timur Utara dibatasi oleh Tinggian Samporna yang
terletak sedikit ke utara dari perbatasan wilayah Indonesia dan Malaysia. Bagian barat ke arah
Kalimantan dibatasi oleh Punggungan Sekatak-Berau. Sedangkan di bagian selatan, terdapat
Punggungan Mangkalihat yang memisahkan Cekungan Tarakan dengan Cekungan Kutai.
Batas timur dan tenggara dari cekungan ini berupa laut lepas Selat Makasar.
Gambar 1. Peta lokasi Sub-Cekungan Tarakan (Biantoro dkk., 1996).
Tektonik Regional Cekungan Tarakan

Perkembangan struktur-struktur di Sub-cekungan Tarakan, Cekungan Tarakan


berlangsung dalam beberapa tahapan yang mempengaruhi pengendapan sedimen pada area
tersebut. Konfigurasi secara struktural sudah dimulai oleh rifting sejak Eosen Awal. Pemekaran
(rifting) pada sub-cekungan ini disebabkan oleh pembentukan sesar-sesar normal. Pergerakan
dari sesar-sesar tersebut menghasilkan daerah-daerah rendahan yang kemudian terisi oleh
sedimen-sedimen tertua pada sub-cekungan ini, seperti Formasi Sembakung (akhir Miosen
Awal-Miosen Tengah). Sedimen-sedimen pra-Tersier tidak terpenetrasi pada banyak sumur
yang dibor pada sub-cekungan ini, namun keberadaannya terdeteksi pada data seismik
(Biantoro dkk., 1996).

Proses Rifting berjalan dengan terus menerus disertai dengan adanya pengangkatan
secara lokal di bagian barat dari sub-cekungan mengontrol siklus-siklus pengendapan sedimen
pada sub-cekungan ini. Pengendapan pada sub-cekungan ini dapat dibagi menjadi 4 siklus
berhubungan dengan beberapa kejadian tektonik pada regional. Pengendapan sedimen-
sedimen siklus yang pertama (Siklus 1) terjadi pada saat terjadinya pengangkatan pada Eosen
Tengah yang menyebabkan erosi di Tinggian/Punggungan Sekatang.

Pengendapan siklus yang kedua (Siklus 2) dimulai sejak pengangkatan Oligosen Awal
pada fasa transgresif, dengan sedimen yang diendapkan secara tidakselarasan terhadap Siklus

.Fasa ini berubah menjadi regresif ketika proses rifting berakhir dan pengangkatan mencapai
puncaknya pada akhir dair Miosen Akhir. Pengangkatan yang kedua ini berbeda dengan proses
pengangkatan pertama karena berkembang ke arah timur dan menghasilkan Punggungan
Dasin-Fanny. Proses rifting yang kedua ini menghasilkan sesar-sesar normal yang memiliki
arah timurlaut-baratdaya.
Gambar 2. Tektonik Sub-Cekungan Tarakan (Modifikasi dari Biantoro dkk., 1996).

Proses-proses rifting, pengangkatan, dan reaktivasi sesar-sesar tua mempengaruhi


perkembangan struktur dan siklus pengendapan di Sub-Cekungan Tarakan. Pengendapan
Siklus 3 yang regresif berlangsung pada lingkungan transisional-deltaik. Sedimen-sedimen
yang diendapkan dalam jumlah yang besar menyebabkan rekativasi dari sesar-sesar tua yang
terbentuk selama Oligosen sampai Miosen Awal yang berkembang menjadi growth fault.
Petumbuhan dari sesar-sesar tersebut berhenti untuk sementara waktu pada awal pengendapan
dari Formasi Santul dikarenakan oleh terjadinya fasa trangresif yang pendek. Pensesaran
tersebut berlangsung selama Pliosen ketika siklus pengedapan keempat (Siklus 4), yaitu
Formasi Tarakan diendapkan.

Aktivitas Tektonik pada Pliosen Akhir-Pleistosen bersifat kompresif dan menghasilkan


sesar-sesar strike-slip. Di beberapa tempat, kompresi ini menginversikan sesar-sesar normal
menjadi sesar-sesar naik (Biantoro dkk., 1996). Kegiatan tekonik yang menyebabkan
pengangkatan, perlipatan, dan pensesaran keseluruhan Cekungan Tarakan pada Pliosen Akhir
kemudian menyebabkan munculnya ketidakselarasan di beberapa daerah secara lokal. Pada
Siklus 5 yang merupakan siklus pengendapan terakhir pada sub-cekungan ini, diendapakan
Formasi Bunyu.
Stratigrafi Regional Cekungan Tarakan

Batuan dasar pada cekungan Kalimantan Timur Utara terdiri dari sedimen-sedimen berumur
tua, meliputi Formasi Danau (Heriyanto dkk., 1991) atau disebut juga Formasi Damiu (IBS,
2006), Formasi Sembakung, dan Batulempung Malio. Sedimen-sedimen tersebut telah
terkompaksi, terlipatkan, dan tersesarkan.

Gambar 3. Kolom Stratigrafi Cekungan Kalimantan Timur Utara (kiri: dimodifikasi dari Heriyanto
dkk., 1991; kanan: IBS, 2006)

CEKUNGAN KUTAI
Cekungan Kutai merupakan cekungan dengan luas 165.000 km2 dan memiliki
ketebalan sedimen antara 12.000-14.000 meter. Hal ini menyebabkan Cekungan Kutai
dikatakan sebagai cekungan terluas dan terdalam di Indonesia yang terletak di pantai timur
Kalimantan dan daerah paparan sebelumnya. Cekungan Kutai merupakan cekungan
hidrokarbon yang berumur Tersier dimana
minyak dan gas bumi terperangkap pada batupasir berumur Miosen dan Pleistosen. Cekungan
ini terbentuk pada batupasir berumur Miosen dan Plestosen. Cekungan ini terbentuk dan
berkembang akibat proses-proses pemisahan diri akibat tegangan di dalam lempeng Mikro
Sunda yang menyertai interaksi antara lempeng Sunda dan lempeng Pasifik disebelah timur.
Lempeng Hindia-Australia
di selatan, dan lempeng Laut Cina selatan di utara (Satyana, et. Al., 1999).

Secara tektonik, pada bagian utara Cekungan Kutai terdapat Cekungan Tarakan
yang dipisahkan oleh punggungan Mangkalihat yang merupakan suatu daerah tinggian
batuan dasar yang terjadi pada Oligoser. Di sebelah selatan, cekungan ini dijumpai
Cekungan Barito yang dibatasiSesar Adang, yang terjadi pada Zaman Miosen Tengah.
Pada bagian tenggara cekungan ini, terdapat paparan Paternoster dan gugusan
penggunungan Meratus, sedangkan batas barat dari cekungan adalah daerah tinggi
Kuching (pegunungan Kalimantan Tengah) yang berumur Pra-Tersier dan merupakan
bagian dari inti benua. Tinggian ini menghasilkan sedimen tebal yang berumur Neogen.
Pada bagian timur daricekungan ini terdapat delta Mahakam yang terbuka ke Selat

Gambar 3.1 Fisiografi Cekungan Kutai (Peterson dkk., 1997 dalam Mora dkk.,2001)

a. Batuan Induk

Batuan induk utama pada Cekungan Kutai adalah batuan berumur Miosen yaitu mudstone,
serpih, lempung, dan batubara. Batuan induk ini terbentuk pada lingkungan pengendapanparalic,
delta, sampai laut dangkal. Analisa geokimia pada serpih, lempung, dan batubara Miosen
menunjukkan bahwa batuan induk ini dapat menghasilkan waxy oil dan gas dari percampuran kerogen
dengan tipe yang berbeda. Nilai TOC berkisar antara 0.14 ± 15.37% dan rata ± rata berkisar antara 0.5
± 1.0%. Endapan serpih organic dari delta plain bawah sampai lingkungan delta front diketahui sebagai
batuan induk pada barat laut Kalimantan dan Cekungan Kutai. Serpih memuat 2 ± 3% produksi karbon
organic dari kategori tipe III (Anshary, 2008).

b. Batuan Reservoar

Akumulasi minyak dan gas bumi yang terdapat di daerah Mahakam, umumnya ditemukan
pada reservoir yang berumur Miosen Tengah sampai Miosen Akhir pada Formasi Balikpapan.
Reservoar karbonat tidak terlalu banyak mengandung akumulasi hidrokarbon bernilai ekonomis.
Akumulasi hidrokarbon justru ditemukan dalam endapan turbidit. Pada lapangan minyak yang berada
di darat (onshore), reservoar pada umumnya terdiri dari sedimen ± sedimen fluvial dan distributary
channel, dimana jarak antara tubuh batupasir dan jumlah akomdasi sedimen sangat mengontrol
konektivitas dari reservoar ± reservoar tersebut (Anshary, 2008). Reservoar yang terdapat pada bagian
dalam lepas pantai (inner offshore) terdiri dari sedimen ±sedimen lower delta plain dan sedimen
±sedimen delta front. Sedimen ± sedimen distributary channel juga hadir dengan dimensi yang sama
denngan reservoar darat namun lebih jarang muncul. Reservoar pada delta front terdiri dari sedimen
± sedimen mouthbar (Anshary, 2008).

c. Perangkap (Trap), Sekat (Seal), dan Lapisan Penutup

Lapangan ± lapangan minyak dan gas yang berada di Delta Mahakam memiliki perangkap
struktur dan stratigrafi. Reservoar ± reservoar yang berupa endapan fluvial, distributary channel, dan
mouth bar biasanyaterdapat di bagian sayap dari antikllin dan dapat juga muncul sebagai perangkap
campuran antara struktur dan stratigrafi. Komponen± komponen stratigrafi di bagian utara dan selatan
Sungai Mahakam Modern, dimana paleo-channel-nya miring terhadap sumbu struktur. Perangkap
struktur terbentuk pada Miosen Akhir karena adanya pergerakan tektonik yang mendesak batuan dasar
dan batuan sedimen di atasnya, pergerakan tersebut berarah ke barat menghasilkan pengangkatan dan
erosi 1.000 kaki sedimen berumur Oligosen dan Miosen (Anshary, 2008). Lapisan penutup yang berada
di Delta Mahakam umumnya berupa batulempung-serpih sedangkan di bagian laut didominasi oleh
sejumlah besar mudstone

d. Migrasi
Paleogen Play
Migrasi primer hidrokarbon terjadi pada batuan induk Eosen Tengah ± Eosen

jalur migrasi vertical dari Paleogen Kitchen terjadi sesar ±sesar berarah NNE ± SSW menuju
reservoar lowstand berumur Miosen Tengah ± Miosen Akhir. Migrasi lateral dari daerah mature
kitchen juga difasilitasi melalui reservoar lowstand yang miring ke timur menuju perangkap stratigrafi
atau struktur yang ada pada daerah tersebut.
Neogen Play
Migrasi hidrokarbon dari batuan induk berumur Miosen Awal± Miosen Tengah terjadi setelah Miosen
Tengah. Jalur migrasi pada umumnya vertical dan mungkin memiliki migrasi lateral yang berasal dari
pusat cekungan. Pembentukan perangkap terjadi sejak Miosen Tengah sampai sekarang (Anshary,
2008).

CEKUNGAN JAWA BARAT UTARA

Cekungan Jawa Barat Utara (North West Java Basin) merupakan cekungan sedimen Tersier yang
terletak tepat di bagian barat laut Pulau Jawa (Gambar 1) yang sudah terbukti dapat menghasilkan
hidrokarbon. Cekungan ini memiliki penyebaran dari wilayah daratan dan lepas pantai Serang di
sebelah barat membentang ke arah timur sampai Cirebon dan terdiri dari beberapa sub
Gambar 1. Cekungan Jawa Barat Utara (Noble dkk., 1997).

Tektonik Regional
Cekungan Jawa Barat Utara secara geodinamik saat ini berada pada posisi belakang busur dari
jalur vulkanik Jawa yang merupakan hasil dari subduksi lempeng India-Australia di selatan
terhadap lempeng Eurasia (Paparan Sunda) di utara. Beberapa peristiwa tektonik yang terjadi
sejak Tersier mempengaruhi pembentukan struktur dan pola sedimentasi pada cekungan ini.

Gambar 2. Jalur subduksi Meratus (Kapur Akhir-Tersier Awal) dan jalur subduksi Tersier Akhir
(Hutchison, 1982). Panah hijau menunjukan arah tegasan utama (kompresif) pada masing-masing
periode subduksi.

Selama periode Kapur Akhir sampai Eosen Awal*1, berlangsung subduksi yang dikenal dengan
subduksi Meratus pada batas selatan Paparan Sunda dengan jalur gunung apinya melewati
Cekungan Jawa Barat Utara (Gambar 2). Menurut Gresko dkk. (1995), keberadaan subduksi
Meratus tersebut mempengaruhi keadaan geologi cekungan. Terjadinya metamorfisme regional
pada Kapur Akhir, deformasi pada Paleosen, serta vulkanisme sampai Oligosen Awal diperkirakan
berhubungan dengan kegiatan subduksi Meratus. Metamorfisme dan magmatisme yang
berlangsung menghasilkan batuan metamorf dan intrusi batuan beku yang kemudian menyusun
batuan dasar pada Cekungan Jawa Barat Utara, sedangkan deformasi yang terjadi menyebabkan
pengangkatan dan erosi pada Kala Paleosen.

Gambar 3. Peta struktur dan tektonik Oligosen Awal Cekungan Jawa Barat Utara (Gresko dkk.,
1995).

Jalur subduksi Meratus yang berarah relatif baratdaya-timurlaut memberikan tegasan utama
kompresif yang berarah baratlaut-tenggara, menghasilkan struktur sesar-sesar normal (turun)
berarah baratlaut-tenggara di daerah penelitian. Pemekaran (rifting) yang diakibatkan
pergerakan dari sesar-sesar turun tersebut menyebabkan terbentuknya daerah-daerah rendahan
(Gambar 3) yang kemudian diisi oleh endapan-endapan yang dihasilkan oleh kegiatan vulkanisme
yang sedang berlangsung (Formasi Jatibarang).
Gambar 4. Pergerakan fragmen benua dari selatan dari Kapur sampai Eosen Awal(kanan) yang
kemudian menumbuk batas selatan Paparan Sunda (Sribudiyani dkk., 2003).

Pemekaran pada Cekungan Jawa Barat Utara kemudian berhenti pada Oligosen Awal*. Menurut
Sribudiyani dkk. (2003), sebuah fragmen benua yang berasal dari selatan bergerak menuju ke
jalur subduksi Meratus dan mulai menumbuk jalur subduksi tersebut pada Eosen Awal.
Tumbukan tersebut mengakibatkan berhentinya aktivitas magmatisme sebelumnya (periode
Subduksi Meratus) dan terjadinya pengangkatan kompleks subduksi membentuk Pegunungan
Meratus di Kalimantan dan Kompleks Melange Luk Ulo di Jawa Tengah (Gambar 4), serta
menyebabkan berhentinya pemekaran di Cekungan Jawa Barat Utara.
Setelah berlangsungnya tumbukan fragmen benua dengan tepi tenggara paparan Sunda, jalur
subduksi baru yang dikenal dengan jalur subduksi Jawa yang berarah barat-timur kemudian
muncul. Jalur subduksi Jawa ini berada di selatan jalur subduksi Meratus dan menghasilkan jalur
gunung api yang berada di selatan terhadap jalur gunung api akibat subduksi Meratus, sehingga
Cekungan Jawa Barat Utara berada di belakang busur sejak Oligosen (Gambar 2).

Gambar 5. Cekungan-cekungan pull apart yang terbentuk pada Eosen Tengah danOligosen Akhir
(Daly dkk., 1987). Biru: pull apart basin yang terbentuk pada masing-masing periode

Daly dkk. (1987) menyatakan bahwa konvergensi India dengan Asia sejak Eosen Akhir
menyebabkan ekstrusi Asia Tenggara melalui beberapa sesar geser utama. Sesar geser Bangka
(Bangka Shear) dan zona sesar Sumatra (SFZ) merupakan dua sesar geser utama yang dianggap
berperan dalam menimbulkan fase transtensional yang berperan dalam membentuk cekungan-
cekungan di regional Sumatra dan Jawa (Sribudiyani dkk., 2003). Rendahan-rendahan yang
diakibatkan pergerakan sesar-sesar normal utama berarah relatif utara-selatan muncul di
Sumatera pada Eosen Tengah*3/40jtl dan di Jawa Barat Utara pada Oligosen/30jtl (Gambar 5).
Cekungan Jawa Barat Utara berkembang menjadi pull apart basin yang terdapat di belakang busur
sejak Oligosen.
Gambar 6. Penampang barat-timur Cekungan Jawa Barat Utara (Patmosukismo dan Yahya, 1974)

Pembentukan struktur sesar-sesar normal utama (Oligosen Akhir*4) tersebut menyebabkan


terjadinya pemekaran yang diikuti oleh penurunan dari dasar cekungan. Beberapa tinggian dan
rendahan yang terbentuk mengontrol penyebaran dari sedimen serta membagi Cekungan Jawa
Barat Utara menjadi beberapa sub-cekungan, seperti: Sub-cekungan Ciputat, Sub-cekungan
Pasirputih, dan Sub-cekungan Jatibarang (Gambar 6). Namun pengisian cekungan yang berjalan
dengan cepat yang disertai dengan adanya pengangkatan bagian selatan cekungan menjadi
daratan pada Plio-Plistosen mengakibatkan terjadinya peristiwa penutupan cekungan untuk
Cekungan JawaBarat Utara.
CEKUNGAN BOGOR

Secara tektonis, Cekungan Bogor merupakan Cekungan Busur-Belakang (Back-Arc Basin)


terhadap busur vulkanik Oligo-Miosen yang berada di selatannya. Aktivitas tektonik yang
terjadi di Jawa telah menyebabkan terbentuknya unsur - unsur tektonik berupa zona akresi,
cekungan, dan busur magmatik. Evolusi tektonik Jawa Barat menyebabkan posisi cekungan
yang telah terbentuk dapat erubah kedudukannya terhadap busur magmatik. Cekungan Bogor
pada kala Eosen-Oligosen merupakan cekungan busur muka magmatik, namun pada kala
Oligo-Miosen posisi cekungan berubah menjadi cekungan busur-belakang. Kegiatan tektonik
Plio-Plistosen Cekungan Bogor ditempati oleh jalur magmatik hingga kini (Satyana &
Armandita, 2004).
Daerah paparan (Northwest Java Basin) yang berada di utara Cekungan Bogor - Kendeng pada
awalnya (Eosen - Oligosen) juga merupakan daerah cekungan busur muka dalam bentuk terban
yang diisi oleh endapan Paleogen nonmarin vulkanosklatika dan endapan lakustrin Formasi
Jatibarang serta endapan fluviatil, kipas aluvial, fluvio deltaik, dan material lakustrin Formasi
Talang Akar (Sudarmono drr., 1997, op. cit. Ryacudu drr., 1999). Dalam perkembangannya,
pascatektonik Oligo-Miosen, daerah ini menjadi paparan hingga lingkungan laut dangkal
sebagai tempat diendapkannya sedimen Miosen Formasi Baturaja (karbonat), Formasi
Cibulakan, dan Formasi Parigi (karbonat) yang berpotensi sebagai reservoir.

Anda mungkin juga menyukai