Indonesia merupakan daerah pertemuan 3 lempeng tektonik besar, yaitu lempeng Indo-
Australia, Eurasia dan lempeng Pasific. Lempeng Indo-Australia bertabrakan dengan
lempeng Eurasia di lepas pantai Sumatra, Jawa dan Nusatenggara, sedangkan dengan
Pasific di utara Irian dan Maluku utara. Salah satu hasil pertemuan ketiga ini membentuk
pulau Sumatra.
A. Gambaran Umum
Indonesia merupakan daerah pertemuan 3 lempeng tektonik besar, yaitu lempeng Indo-
Australia, Eurasia dan lempeng Pasific. Lempeng Indo-Australia bertabrakan dengan
lempeng Eurasia di lepas pantai Sumatra, Jawa dan Nusatenggara, sedangkan dengan Pasific
di utara Irian dan Maluku utara. Di sekitar lokasi pertemuan lempeng ini akumulasi energi
tabrakan terkumpul sampai suatu titik dimana lapisan bumi tidak lagi sanggup menahan
tumpukan energi sehingga lepas berupa gempa bumi.
Pertemuan lempeng Indo-Australia dengan Eurasia di selatan Jawa hampir tegak lurus,
berbeda dengan pertemuan lempeng di wilayah Sumatera yang mempunyai subduksi miring
dengan kecepatan 5-6 cm/tahun (Bock, 2000).
Pulau Sumatera dicirikan oleh tiga sistem tektonik. Berurutan dari barat ke timur adalah
sebagai berikut: zona subduksi oblique dengan sudut penunjaman yang landai, sesar
Mentawai dan zona sesar besar Sumatera. Zona subduksi di Pulau Sumatera, yang sering
sekali menimbulkan gempa tektonik, memanjang membentang sampai ke Selat Sunda dan
berlanjut hingga selatan Pulau Jawa. Subsuksi ini mendesak lempeng Eurasia dari bawah
Samudera Hindia ke arah barat laut di Sumatera dan frontal ke utara terhadap Pulau Jawa,
dengan kecepatan pergerakan yang bervariasi. Puluhan hingga ratusan tahun, dua lempeng itu
saling menekan. Namun lempeng Indo-Australia dari selatan bergerak lebih aktif.
Pergerakannya yang hanya beberapa millimeter hingga beberapa sentimeter per tahun ini
memang tidak terasa oleh manusia. Karena dorongan lempeng Indo-Australia terhadap
bagian utara Sumatera kecepatannya hanya 5,2 cm per tahun, sedangkan yang di bagian
selatannya kecepatannya 6 cm per tahun. Pergerakan lempeng di daerah barat Sumatera yang
miring posisinya ini lebih cepat dibandingkan dengan penyusupan lempeng di selatan Jawa.
Pulau Sumatra terletak di baratdaya dari Kontinen Sundaland dan merupakan jalur
konvergensi antara Lempeng Hindia-Australia yang menyusup di sebelah barat Lempeng
Eurasia/Sundaland. Konvergensi lempeng menghasilkan subduksi sepanjang Palung Sunda
dan pergerakan lateral menganan dari Sistem Sesar Sumatra.
Gambar Pembentukan Cekungan Belakang Busur di Pulau Sumatra (Barber
dkk, 2005).
Subduksi dari Lempeng Hindia-Australia dengan batas Lempeng Asia pada masa Paleogen
diperkirakan telah menyebabkan rotasi Lempeng Asia termasuk Sumatra searah jarum jam.
Perubahan posisi Sumatra yang sebelumnya berarah E-W menjadi SE-NW dimulai pada
Eosen-Oligosen. Perubahan tersebut juga mengindikasikan meningkatnya pergerakan sesar
mendatar Sumatra seiring dengan rotasi. Subduksi oblique dan pengaruh sistem mendatar
Sumatra menjadikan kompleksitas regim stress dan pola strain pada Sumatra (Darman dan
Sidi, 2000). Karakteristik Awal Tersier Sumatra ditandai dengan pembentukkan cekungan-
cekungan belakang busur sepanjang Pulau Sumatra, yaitu Cekungan Sumatra Utara,
Cekungan Sumatra Tengah, dan Cekungan Sumatra Selatan (Gambar Diatas).
Pulau Sumatra diinterpretasikan dibentuk oleh kolisi dan suturing dari mikrokontinen di
Akhir Pra-Tersier (Pulunggono dan Cameron, 1984; dalam Barber dkk, 2005). Sekarang
Lempeng Samudera Hindia subduksi di bawah Lempeng Benua Eurasia pada arah N20E
dengan rata-rata pergerakannya 6 7 cm/tahun. Konfigurasi cekungan pada daerah Sumatra
berhubungan langsung dengan kehadiran dari subduksi yang menyebabkan non-volcanic
fore-arc dan volcano-plutonik back-arc. Sumatra dapat dibagi menjadi 5 bagian (Darman dan
Sidi, 2000):
1. Sunda outer-arc ridge, berada sepanjang batas cekungan fore-arc Sunda dan yang
memisahkan dari lereng trench.
2. Cekungan Fore-arc Sunda, terbentang antara akresi non-vulkanik punggungan outer-
arc dengan bagian di bawah permukaan dan volkanik back-arc Sumatra.
3. Cekungan Back-arc Sumatra, meliputi Cekungan Sumatra Utara, Tengah, dan Selatan.
Sistem ini berkembang sejalan dengan depresi yang berbeda pada bagian bawah Bukit
Barisan.
4. Bukit Barisan, terjadi pada bagian axial dari pulaunya dan terbentuk terutama pada
Perm-Karbon hingga batuan Mesozoik.
5. Intra-arc Sumatra, dipisahkan oleh uplift berikutnya dan erosi dari daerah
pengendapan terdahulu sehingga memiliki litologi yang mirip pada fore-arc dan back-
arc basin.
Menurut Salim dkk (1995) Cekungan Sumatra Selatan merupakan cekungan belakang busur
karena berada di belakang Pegunungan Barisan sebagai volcanic-arc-nya. Cekungan ini
berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara Paparan Sunda sebagai
bagian dari Lempeng Kontinen Asia dan Lempeng Samudera India. Daerah cekungan ini
meliputi daerah seluas 330 x 510 km2, bagian barat daya dibatasi oleh singkapan Pra-Tersier
Bukit Barisan, di sebelah timur oleh Paparan Sunda (Sundaland), sebelah barat dibatasi oleh
Pegunungan Tigapuluh dan ke arah tenggara dibatasi oleh Tinggian Lampung.
Menurut Suta dan Xiaoguang (2005; dalam Satya, 2010) perkembangan struktur maupun
evolusi cekungan sejak Tersier merupakan hasil interaksi dari ketiga arah struktur utama
yaitu, berarah timurlaut-baratdaya atau disebut Pola Jambi, berarah baratlaut-tenggara atau
disebut Pola Sumatra, dan berarah utara-selatan atau disebut Pola Sunda. Hal inilah yang
membuat struktur geologi di daerah Cekungan Sumatra Selatan lebih kompleks dibandingkan
cekungan lainnya di Pulau Sumatra. Struktur geologi berarah timurlaut-baratdaya atau Pola
Jambi sangat jelas teramati di Sub-Cekungan Jambi. Terbentuknya struktur berarah timurlaut-
baratdaya di daerah ini berasosiasi dengan terbentuknya sistem graben di Cekungan Sumatra
Selatan. Struktur lipatan yang berkembang pada Pola Jambi diakibatkan oleh pengaktifan
kembali sesar-sesar normal tersebut pada periode kompresif Plio-Plistosen yang berasosiasi
dengan sesar mendatar (wrench fault). Namun, intensitas perlipatan pada arah ini tidak begitu
kuat.
Gambar Elemen Struktur Utama pada Cekungan Sumatra Selatan. Orientasi Timurlaut-
baratdaya atau Utara-Selatan Menunjukkan Umur Eo-Oligosen dan Struktur Inversi
Menunjukkan Umur Plio-Pleistosen (Ginger dan Fielding, 2005).
Peristiwa Tektonik yang berperan dalam perkembangan Pulau Sumatra dan Cekungan
Sumatra Selatan menurut Pulonggono dkk (1992) adalah:
Fase kompresi yang berlangsung dari Jurasik awal sampai Kapur. Tektonik ini menghasilkan
sesar geser dekstral WNW ESE seperti Sesar Lematang, Kepayang, Saka, Pantai Selatan
Lampung, Musi Lineament dan N S trend. Terjadi wrench movement dan intrusi granit
berumur Jurasik Kapur.
Gambar Fase Kompresi Jurasik Awal Sampai Kapur dan Elipsoid Model (Pulonggono dkk,
1992).
Fase tensional pada Kapur Akhir sampai Tersier Awal yang menghasilkan sesar normal dan
sesar tumbuh berarah N S dan WNW ESE. Sedimentasi mengisi cekungan atau terban di
atas batuan dasar bersamaan dengan kegiatan gunung api. Terjadi pengisian awal dari
cekungan yaitu Formasi Lahat.
Gambar Fase Tensional Kapur Akhir Sampai Tersier Awal dan Elipsoid Model (Pulonggono
dkk, 1992).
Fase ketiga yaitu adanya aktivitas tektonik Miosen atau Intra Miosen menyebabkan
pengangkatan tepi-tepi cekungan dan diikuti pengendapan bahan-bahan klastika. Yaitu
terendapkannya Formasi Talang Akar, Formasi Baturaja, Formasi Gumai, Formasi Air
Benakat, dan Formasi Muara Enim.
Pada akhir Miosen, Pulau Sumatera mengalami rotasi searah jarum jam. Pada zaman
Pliopleistosen, arah struktur geologi berubah menjadi barat daya-timur laut, di mana aktivitas
tersebut terus berlanjut hingga kini. Hal ini disebabkan oleh pembentukan letak samudera di
Laut Andaman dan tumbukan antara Lempeng Mikro Sunda dan Lempeng India-Australia
terjadi pada sudut yang kurang tajam. Terjadilah kompresi tektonik global dan lahirnya
kompleks subduksi sepanjang tepi barat Pulau Sumatera dan pengangkatan Pegunungan
Bukit Barisan pada zaman Pleistosen.
Pada akhir Miosen Tengah sampai Miosen Akhir, terjadi kompresi pada Laut Andaman.
Sebagai akibatnya, terbentuk tegasan yang berarah NNW-SSE menghasilkan patahan berarah
utara-selatan. Sejak Pliosen sampai kini, akibat kompresi terbentuk tegasan yang berarah
NNE-SSW yang menghasilkan sesar berarah NE-SW, yang memotong sesar yang berarah
utara-selatan.
Di Sumatera, penunjaman tersebut juga menghasilkan rangkaian busur pulau depan (forearch
islands) yang non-vulkanik (seperti: P. Simeulue, P. Banyak, P. Nias, P. Batu, P. Siberut
hingga P. Enggano), rangkaian pegunungan Bukit Barisan dengan jalur vulkanik di
tengahnya, serta sesar aktif The Great Sumatera Fault yang membelah Pulau Sumatera
mulai dari Teluk Semangko hingga Banda Aceh. Sesar besar ini menerus sampai ke Laut
Andaman hingga Burma. Patahan aktif Semangko ini diperkirakan bergeser sekitar sebelas
sentimeter per tahun dan merupakan daerah rawan gempa bumi dan tanah longsor.
Penunjaman yang terjadi di sebelah barat Sumatra tidak benar-benar tegak lurus terhadap
arah pergerakan Lempeng India-Australia dan Lempeng Eurasia. Lempeng Eurasia bergerak
relatif ke arah tenggara, sedangkan Lempeng India-Australia bergerak relatif ke arah
timurlaut. Karena tidak tegak lurus inilah maka Pulau Sumatra dirobek sesar mendatar (garis
jingga) yang dikenal dengan nama Sesar Semangko.
Penunjaman Lempeng India Australia juga mempengaruhi geomorfologi Pulau Sumatera.
Adanya penunjaman menjadikan bagian barat Pulau Sumatera terangkat, sedangkan bagian
timur relatif turun. Hal ini menyebabkan bagian barat mempunyai dataran pantai yang sempit
dan kadang-kadang terjal. Pada umumnya, terumbu karang lebih berkembang dibandingkan
berbagai jenis bakau. Bagian timur yang turun akan menerima tanah hasil erosi dari bagian
barat (yang bergerak naik), sehingga bagian timur memiliki pantai yang datar lagi luas. Di
bagian timur, gambut dan bakau lebih berkembang dibandingkan terumbu karang.
Di pulau Sumatera, pergerakan lempeng India dan Australia yang mengakibatkan kedua
lempeng tersebut bertabrakan dan menghasilkan penunjaman menghasilkan rangkaian busur
pulau depan (forearch islands) yang non-vulkanik (seperti: P. Simeulue, P. Banyak, P. Nias, P.
Batu, P. Siberut hingga P. Enggano), rangkaian pegunungan Bukit Barisan dengan jalur
vulkanik di tengahnya, serta sesar aktif The Great Sumatera Fault yang membelah Pulau
Sumatera mulai dari Teluk Semangko hingga Banda Aceh. Sesar besar ini menerus sampai ke
Laut Andaman hingga Burma. Patahan aktif Semangko ini diperkirakan bergeser sekitar
sebelas sentimeter per tahun dan merupakan daerah rawan gempa bumi dan tanah longsor.
Di samping patahan utama tersebut, terdapat beberapa patahan lainnya, yaitu: Sesar Aneuk
Batee, Sesar Samalanga-Sipopok, Sesar Lhokseumawe, dan Sesar Blangkejeren. Khusus
untuk Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar dihimpit oleh dua patahan aktif, yaitu
Darul Imarah dan Darussalam. Patahan ini terbentuk sebagai akibat dari adanya pengaruh
tekanan tektonik secara global dan lahirnya kompleks subduksi sepanjang tepi barat Pulau
Sumatera serta pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan. Daerah-daerah yang berada di
sepanjang patahan tersebut merupakan wilayah yang rawan gempa bumi dan tanah longsor,
disebabkan oleh adanya aktivitas kegempaan dan kegunungapian yang tinggi. Banda Aceh
sendiri merupakan suatu dataran hasil amblesan sejak Pliosen, hingga terbentuk sebuah
graben. Dataran yang terbentuk tersusun oleh batuan sedimen, yang berpengaruh besar jika
terjadi gempa bumi di sekitarnya. Penunjaman Lempeng India Australia juga
mempengaruhi geomorfologi Pulau Sumatera. Adanya penunjaman menjadikan bagian barat
Pulau Sumatera terangkat, sedangkan bagian timur relatif turun. Hal ini menyebabkan bagian
barat mempunyai dataran pantai yang sempit dan kadang-kadang terjal. Pada umumnya,
terumbu karang lebih berkembang dibandingkan berbagai jenis bakau. Bagian timur yang
turun akan menerima tanah hasil erosi dari bagian barat (yang bergerak naik), sehingga
bagian timur memiliki pantai yang datar lagi luas. Di bagian timur, gambut dan bakau lebih
berkembang dibandingkan terumbu karang.
Cekungan Bengkulu adalah salah satu cekungan forearc di Indonesia. Cekungan forearc
artinya cekungan yang berposisi di depan jalur volkanik (fore arc ; arc = jalur volkanik).
Berdasarkan berbagai kajian geologi, disepakati bahwa Pegunungan Barisan( dalam hal ini
adalah volcanic arc -nya) mulai naik di sebelah barat Sumatra pada Miosen Tengah.
Pengaruhnya kepada Cekungan Bengkulu adalah bahwa sebelum Misoen Tengah berarti
tidakada forearc basin Bengkulu sebab pada saat itu arc -nya sendiri tidak ada.Sebelum
Miosen Tengah, atau Paleogen, Cekungan Bengkulu masih merupakan bagian paling barat
Cekungan Sumatera Selatan. Lalu pada periode setelah Miosen Tengah atau Neogen, setelah
Pegunungan Barisan naik, Cekungan Bengkulu dipisahkan dari Cekungan Sumatera Selatan.
Mulai saat itulah,Cekungan Bengkulu menjadi cekungan forearc dan CekunganSumatera
Selatan menjadi cekungan backarc (belakang busur).
Sejarah penyatuan dan pemisahan Cekungan Bengkulu dari Cekungan Sumatera Selatan
dapat dipelajari dari stratigrafi Paleogen dan Neogen kedua cekungan itu. Dapat diamati
bahwa pada Paleogen, stratigrafi kedua cekungan hampir sama. Keduanya mengembangkan
sistem graben di beberapa tempat. Di Cekungan Bengkulu ada Graben Pagarjati, Graben
Kedurang-Manna, Graben Ipuh (pada saat yang sama di Cekungan SumateraSelatan saat itu
ada graben-graben Jambi, Palembang, Lematang,dan Kepahiang). Tetapi setelah Neogen,
Cekungan Bengkulu masuk kepada cekungan yang lebih dalam daripada Cekungan Sumatera
Selatan, dibuktikan oleh berkembangnya terumbu terumbu karbonat yang masif pada
Miosen Atas yang hampir ekivalen secara umur dengan karbonat Parigi di Jawa Barat
(paraoperator yang pernah bekerja di Bengkulu menyebutnya sebagai karbonat Parigi juga).
Pada saat yang sama, di Cekungan Sumatera Selatan lebih banyak sedimen-sedimen regresif
(Formasi Air Benakat/Lower Palembang dan Muara Enim/Middle Palembang) karena
cekungan sedang mengalami pengangkatan dan inversi.Secara tektonik, mengapa terjadi
perbedaan stratigrafi pada Neogen di Cekungan Bengkulu yaitu disebabkan Cekungan
Bengkulu dalam fase penenggelaman sementara Cekungan Sumatera Selatan sedang
terangkat.
b. Cekungan Sumatera Tengah (central basin)
Pola struktur yang ada saat ini di Cekungan Sumatra Tengah merupakan hasil sekurang-
kurangnya 3 (tiga) fase tektonikutama yang terpisah, yaitu Orogenesa Mesozoikum
Tengah,Tektonik Kapur Akhir-Tersier Awal, dan Orogenesa Plio-Plistosen(De Coster,
1974).Heidrick dan Aulia (1993), membahas secara terperinci tentang perkembangan tektonik
di Cekungan Sumatra Tengah dengan membaginya menjadi 3 (tiga) episode tektonik, F1 (fase
1)berlangsung pada Eosen-Oligosen, F2 (fase 2) berlangsung padaMiosen Awal-Miosen
Tengah, dan F3 (fase 3) berlangsung pada Miosen Tengah-Resen. Fase sebelum F1 disebut
sebagai fase 0 (F0) yang berlangsung pada Pra Tersier.1. Episode F0 (Pre-Tertiary)Batuan
dasar Pra Tersier di Cekungan Sumatra Tengah terdiri dari lempeng-lempeng benua dan
samudera yang berbentuk mozaik. Orientasi struktur pada batuan dasar memberikan efek
pada lapisan sedimen Tersier yang menumpang di atasnya dan kemudian mengontrol arah
tarikan dan pengaktifan ulang yang terjadi kemudian. Pola struktur tersebut disebut sebagai
elemen struktur F0.
Ada 2 (dua) struktur utama pada batuan dasar. Pertama kelurusan utara -selatan yang
merupakan sesar geser (Transform/WrenchTectonic) berumur Karbon dan mengalami
reaktifisasi selama Permo-Trias, Jura, Kapur dan Tersier. Tinggian-tinggian yang terbentuk
pada fase ini adalah Tinggian Mutiara, Kampar, Napuh, Kubu, Pinang dan Ujung Pandang.
Tinggian tinggian tersebut menjadi batas yang penting pada pengendapan sedimen
selanjutnya.2. Episode F1 (26 50 Ma)
Episode F1 berlangsung pada kala Eosen-Oligosendisebut juga Rift Phase. Pada F1 terjadi
deformasi akibat Rifting dengan arah Strike timur laut, diikuti oleh reaktifisasi struktur-
struktur tua. Akibat tumbukan Lempeng Samudera Hindia terhadap Lempeng Benua Asia
pada 45 Ma terbentuklah suatu sistem rekahan Transtensional yang memanjang ke arah
selatan dari Cina bagian selatan ke Thailand dan ke Malaysia hingga Sumatra dan Kalimantan
Selatan (Heidrick & Aulia,1993). Perekahan ini membentuk serangkaian Horst dan Graben di
Cekungan Sumatra Tengah. Horst-Graben ini kemudian menjadi danau tempat
diendapkannya sedimen-sedimen Kelompok Pematang.
Pada akhir F1 terjadi peralihan dari perekahan menjadi penurunan cekungan ditandai oleh
pembalikan struktur yang lemah, denudasi dan pembentukan daratan Peneplain. Hasil dari
erosi tersebut berupa paleosol yang diendapkan di atas Formasi Upper Red Bed.3. Episode F2
(13 26 Ma) Episode F2 berlangsung pada kala Miosen Awal-Miosen Tengah. Pada kala
Miosen Awal terjadi fase amblesan (sagphase), diikuti oleh pembentukan Dextral Wrench
Fault secararegional dan pembentukan Transtensional Fracture Zone. Pada struktur tua yang
berarah utara-selatan terjadi Release,sehingga terbentuk Listric Fault, Normal Fault, Graben,
dan Half Graben. Struktur yang terbentuk berarah relatif barat laut-tenggara. Pada episode
F2, Cekungan Sumatra Tengah mengalami transgresi dan sedimen-sedimen dari Kelompok
Sihapas diendapkan.4.
Blake (1989) menyebutkan bahwa daerah Cekungan Sumatera Selatan merupakan cekungan
busur belakang berumur Tersier yang terbentuk sebagai akibat adanya interaksi antara
Paparan Sunda (sebagai bagian dari lempeng kontinen Asia) dan lempeng Samudera India.
Daerah cekungan ini meliputi daerah seluas 330 x 510 km2, dimana sebelah barat daya
dibatasi olehsingkapan Pra-Tersier Bukit Barisan, di sebelah timur oleh PaparanSunda (Sunda
Shield), sebelah barat dibatasi oleh Pegunungan Tiga puluh dan ke arah tenggara dibatasi oleh
Tinggian Lampung.Menurut De Coster, 1974 (dalam Salim, 1995), diperkirakantelah terjadi 3
episode orogenesa yang membentuk kerangka struktur daerah Cekungan Sumatera Selatan
yaitu orogenesa Mesozoik Tengah, tektonik Kapur Akhir Tersier Awal dan Orogenesa Plio
Plistosen. Episode pertama, endapan endapan Paleozoik danMesozoik termetamorfosa,
terlipat dan terpatahkan menjadi bongkah struktur dan diintrusi oleh batolit granit serta telah
membentuk pola dasar struktur cekungan.
Menurut Pulunggono,1992 (dalam Wisnu dan Nazirman ,1997), fase ini membentuk sesar
berarah barat laut-tenggara yang berupa sesar sesar geser.Episode kedua pada Kapur Akhir
berupa fase ekstensi menghasilkan gerak gerak tensional yang membentuk grabendan horst
dengan arah umum utara selatan. Dikombinasikan dengan hasil orogenesa Mesozoik dan
hasil pelapukan batuan -batuan Pra Tersier, gerak gerak tensional ini membentuk struktur
tua yang mengontrol pembentukan Formasi Pra Talang Akar. Episode ketiga berupa fase
kompresi pada Plio Plistosen yang menyebabkan pola pengendapan berubah menjadi regresi
dan berperan dalam pembentukan struktur perlipatan dan sesar sehingga membentuk
konfigurasi geologi sekarang. Pada periode tektonik ini juga terjadi pengangkatan
Pegunungan Bukit Barisan yang menghasilkan sesar mendatar Semangko yang berkembang
sepanjang Pegunungan Bukit Barisan. Pergerakan horisontal yang terjadi mulai Plistosen
Awal sampai sekarang mempengaruhi kondisi Cekungan Sumatera Selatan dan Tengah
sehingga sesar -sesar yang baru terbentuk di daerah ini mempunyai perkembangan hampir
sejajar dengan sesar Semangko. Akibat pergerakan horisontal ini, orogenesa yang terjadi pada
Plio-Plistosen menghasilkan lipatan yang berarah barat laut-tenggara tetapi sesar yang
terbentuk berarah timur laut-barat daya dan barat laut- tenggara. Jenis sesar yang terdapat
pada cekungan ini adalah sesar naik, sesar mendatar dan sesar normal. Kenampakan struktur
yang dominan adalah struktur yang berarah barat laut-tenggara sebagai hasil orogenesa Plio-
Plistosen. Dengan demikian pola struktur yang terjadi dapat dibedakan atas pola tua yang
berarah utara-selatan dan barat laut-tenggara serta pola muda yang berarah barat laut-
tenggara yang sejajar dengan Pulau Sumatera.
E. Kesimpulan
Pulau Sumatera secara garis besar terdiri dari 3 sistem Tektonik, yakni Sistem Subduksi
Sumatera; system sesar Mentawai (Mentawai Fault System); dan Sistem Sesar Sumatera
(Sumatera Fault System). Berdasarkan rekonstruksi geologi oleh Robert Hall (2000), awal
pembentukan wilayah Sumatera dimulai sekitar 50 juta tahun lalu (awal Eosen). Sedikitnya
terdapat 19 Segmen sesar dengan panjang tiap segmen 60-200 km; yang merupakan bagian
dari Sistem Sesar Sumatera (Sumatera Fault System) dengan panjang 1900 km. Danau Toba
yang berada di pulau Sumatera merupakan salah satu bukti nyata Super Volcano dan
merupakan sisa dari Letusan Kaldera mahadahsyat terbesar (skala 8 VEI).
MENGAPA SUMATERA BARAT RAWAN GEMPA..?
Sumatra Barat termasuk kawasan rawan gempa bumi disebabkan letaknya di pantai barat
Sumatra yang secara tektonik berada berdekatan dengan zona subduksi (subduction zone),
yaitu zona pertemuan/perbatasan antara 2 lempeng tektonik berupa penunjaman lempeng
India-Australia ke bawah lempeng Eurasia.
Pergerakan lempeng-lempeng ini akan menyebabkan gempa yang tak jarang berkekuatan
besar. Selain itu, Patahan Besar Sumatra (Sumatra great fault) yang masih aktif akan selalu
pula mengancam kawasan itu apabila terjadi pergeseran di zona patahan tersebut. Ditambah
pula, aktivitas gunung berapi yang masih aktif, misalnya Marapi, Tandikat, dan Talang dapat
menimbulkan getaran yang cukup kuat.
Antara zona subduksi, Sesar Sumatra, dan gunung-gunung berapi aktif ini saling berkaitan
dan mempengaruhi. Oleh karena itu, Sumbar bukan hanya rawan terhadap bencana gempa,
namun juga bencana lain yaitu letusan gunung berapi, tsunami, bahkan tanah longsor (akibat
getaran gempa).
Oleh sebab posisinya yang dikepung oleh sumber-sumber gempa , maka Sumbar menjadi
daerah yang sering terkena (rawan) bencana ini. Beberapa gempa di Sumbar tidak terjadi
sekali getaran saja, tapi dapat berulang-ulang seperti serangkaian gempa yang pernah
mengguncang Sumbar, gempa susulan akan mengguncang beberapa kali dalam waktu dekat.
Bahkan di Sumbar sering terjadi gempa besar yang getarannya dapat pula dirasakan hingga
ke propinsi tetangga seperti Riau, Kepulauan Riau (Kepri), dan Jambi, bahkan hingga ke
negara tetangga yaitu Singapura dan Malaysia (kawasan Semenanjung). Sementara daerah-
daerah yang termasuk ke dalam kawasan pantai timur Sumatra, seperti Riau dan Sumatra
Selatan, tidak berada di dekat pusat gempa sehingga relatif aman dari aktivitas gempa yang
kuat. Daerah-daerah yang berada di pantai timur Sumatra hanya menerima getaran dari
gelombang seismik yang berasal dari pusat gempa di pantai barat.
Gerakan lempeng ini adalah perlahan-lahan akibat gesekan di dalam bumi dan menyebabkan
penumpukkan energi di zona subduksi. Pada saat batas elastisitas lempeng terlampaui, maka
terjadilah pelepasan energi secara tiba-tiba dalam bentuk gelombang gempa. Model gempa di
zona subduksi kawasan Sumbar dapat dilihat pada gambar.
Zona subduksi dapat dibagi menjadi beberapa segmen berdasarkan perubahan kondisi geologi
dan sejarah gempa. Zona subduksi di sepanjang Sumatra terdiri dari beberapa segmen, seperti
segmen Aceh, segmen Simeulue-Nias, segmen Mentawai dan segmen Bengkulu.
Khusus untuk gempa di Sumbar, biasanya disebabkan oleh pergerakan lempeng di segmen
Mentawai yang terletak di lepas pantai sebelah barat Kepulauan Mentawai. Segmen ini
berpotensi untuk menghasilkan gempa besar dengan kekuatan hingga M9. Dikarenakan
sumber gempa ini berada di dasar laut, maka gempa oleh sebab ini memungkinkan terjadinya
gelombang tsunami.
Dari hasil penyelidikan tentang ancaman gempa di Palung Sunda, mengungkapkan bahwa
setelah gempa dan tsunami 2004 di segmen Aceh, ancaman gempa terbesar di zona Palung
Sunda adalah pada kawasan segmen Mentawai (posisi 0.7 5.5 0 S). Catatan sejarah gempa
yang terjadi di kawasan ini, mengungkapkan bahwa gelinciran (slip) pada saat terjadi gempa
di bahagian utara segmen ini dapat melebihi 10 meter (dengan kelajuan convergence rata-rata
5 cm/tahun). Sedangkan gelinciran di bagian selatan dapat mencapai maksimal 10 meter
Zona subduksi ini telah menyebabkan terbentuknya jajaran pegunungan Bukit Barisan di
sepanjang Sumatra, dari ujung utara di Aceh hingga ujung selatan di Lampung dengan
puncak tertinggi adalah G. Kerinci (3805 m di atas permukaan laut) yang terletak di
perbatasan Sumbar-Jambi . Bukit Barisan terbentuk oleh sebab naiknya magma akibat
pergeseran antara lempeng di zona subduksi.
Jajaran pegunungan ini telah menghasilkan pemandangan yang menarik. Apabila kita datang
dari Riau menuju Sumbar, maka kita akan memasuki jajaran pegunungan ini melalui Rantau
Berangin menuju Pangkalan dan bersedia untuk melintasi pegunungan yang lebih tinggi
sebelum menuruni lereng curam yang dibuat berkelok-kelok, disebut sebagai Kelok
Sembilan untuk menuju lembah Limapuluh kota. Jajaran pegunungan ini terbentuk oleh
pergeseran antar lempeng di zona subduksi, sehingga menyebabkan naiknya magma dan
membentuk jajaran pegunungan.
2. Patahan/sesar besar Sumatra atau disebut juga dengan Sesar Semangko, memanjang di
sepanjang Pulau Sumatra, mulai dari ujung Aceh hingga Selat Sunda, dengan bidang vertikal
dan pergerakan lateral mengkanan (dextral-strike slip). Sesar ini menyebabkan terjadinya
gempa di darat oleh sebab pelepasan energi di sesar/patahan Semangko apabila sesar tersebut
teraktifkan kembali (peristiwa reaktivasi sesar) dengan bergesernya lapisan batuan di sekitar
zona sesar tersebut.
Pergerakan sesar yang merupakan salah satu sesar teraktif di dunia ini diyakini disebabkan
oleh desakan lempeng India-Australia ke dalam lempeng Eurasia. Bagian barat sesar ini
bergerak ke utara dan bagian timur bergerak ke selatan. Jika lama tidak terjadi gempa besar,
artinya sedang terjadi pengumpulan energi di patahan tersebut. Di sepanjang Patahan
Sumatera ini terdapat pula ribuan patahan kecil yang juga dapat mengakibatkan rawan
gempa. Seperti halnya gempa asal laut, gempa darat di Sumatera biasanya juga cukup besar
dan menyebabkan kerusakan yang cukup parah. Model gempa di Patahan Sumatra kawasan
Sumbar dapat dilihat pada Gambar di atas.
Di Sumbar, Sesar Semangko ini dapat dilihat dengan wujudnya suatu bentang alam yang
indah dan langka terjadi di dunia, yaitu Ngarai Sianok . Lembah dengan dinding curam
berkedalaman sekitar 100 m, memanjang sekitar 15 km, dan lebar sekitar 200 m ini terletak
di Bukittinggi dan merupakan bagian dari Sesar Sumatra. Maka tak heran kenapa wilayah
Sumatera Barat kerap diguncang Gempa yang berasal dari Samudera maupun daratan.
PENDAHULUAN
Pulau Sumatera dicirikan oleh tiga sistem tektonik. Berurutan dari barat ke timur
adalah sebagai berikut: zona subduksi oblique dengan sudut penunjaman yang
landai, sesar Mentawai dan zona sesar besar Sumatera. Zona subduksi di Pulau
Sumatera, yang sering sekali menimbulkan gempa tektonik, memanjang
membentang sampai ke Selat Sunda dan berlanjut hingga selatan Pulau Jawa.
Subsuksi ini mendesak lempeng Eurasia dari bawah Samudera Hindia ke arah
barat laut di Sumatera dan frontal ke utara terhadap Pulau Jawa, dengan
kecepatan pergerakan yang bervariasi. Puluhan hingga ratusan tahun, dua
lempeng itu saling menekan. Namun lempeng Indo-Australia dari selatan
bergerak lebih aktif. Pergerakannya yang hanya beberapa milimeter
hingga beberapa sentimeter per tahun ini memang tidak terasa oleh manusia.
Karena dorongan lempeng Indo-Australia terhadap bagian utara Sumatera
kecepatannya hanya 5,2 cm per tahun, sedangkan yang di bagian selatannya
kecepatannya 6 cm per tahun. Pergerakan lempeng di daerah barat Sumatera
yang miring posisinya ini lebih cepat dibandingkan dengan penyusupan lempeng
di selatan Jawa.
Penunjaman yang terjadi di sebelah barat Sumatra tidak benar-benar tegak lurus
terhadap arah pergerakan Lempeng India-Australia dan Lempeng Eurasia.
Lempeng Eurasia bergerak relatif ke arah tenggara, sedangkan Lempeng India-
Australia bergerak relatif ke arah timurlaut. Karena tidak tegak lurus inilah maka
Pulau Sumatra dirobek sesar mendatar (garis jingga) yang dikenal dengan nama
Sesar Semangko.
Penunjaman Lempeng India Australia juga mempengaruhi geomorfologi Pulau
Sumatera. Adanya penunjaman menjadikan bagian barat Pulau Sumatera
terangkat, sedangkan bagian timur relatif turun. Hal ini menyebabkan bagian
barat mempunyai dataran pantai yang sempit dan kadang-kadang terjal. Pada
umumnya, terumbu karang lebih berkembang dibandingkan berbagai jenis
bakau. Bagian timur yang turun akan menerima tanah hasil erosi dari bagian
barat (yang bergerak naik), sehingga bagian timur memiliki pantai yang datar
lagi luas. Di bagian timur, gambut dan bakau lebih berkembang dibandingkan
terumbu karang.
II.2 Sistem Sesar Mentawai
Potensi sumber gempa di Daerah Padang terdapat pada 3 zona, yaitu pada zona
subduksi (baik inter dan intraplate), pada Zona Sesar Mentawai dan pada Zona
Sesar Sumatera. Proses penunjaman miring di sekitar Pulau Sumatera ini
mengakibatkan adanya pembagian / penyebaran vektor tegasan tektonik, yaitu
slip-vector yang hampir tegak lurus dengan arah zona penunjaman yang
diakomodasi oleh mekanisme sistem sesar anjak. Hal ini terutama berada di
prisma akresi dan slip-vector yang searah dengan zona penunjaman yang
diakomodasi oleh mekanisme sistem sesar besar Sumatera. Slip-vector sejajar
palung ini tidak cukup diakomodasi oleh sesar Sumatera tetapi juga oleh sistem
sesar geser lainnya di sepanjang Kepulauan Mentawai, sehingga disebut zona
sesar Mentawai (Diament, 1992)
Jauh di lepas pantai barat Sumatera, penunjaman lempeng membentuk
kepulauan Mentawai yang dipisahkan dari daratan Sumatera oleh patahan
Mentawai (MF) yang berada di dasar laut (Diament dkk., 1992, gambar 4.1) dan
cekungan busur muka (fore arc basin). Sistem sesar Mentawai adalah sesar
mendatar terbentuk mulai dari sekitar Lampung menerus hingga ke sekitar Nias
di utara. Kegiatan konvergensi lempeng masih aktif sampai sekarang
menimbulkan kegiatan kegunungapian dan kegempaan di sepanjang jalur
patahan dan penunjaman lempeng. Gambar 4.1 memperlihatkan jalur
penunjaman, patahan dan penyebaran gunung api di Pulau Sumatera,
sedangkan gambar 4.2 memperlihatkan penyebaran rekaman kegempaan
sampai dengan tahun 2004 menurut hasil pengukuran BMG.
II.3 Sistem Sesar Sumatra
Di pulau Sumatera, pergerakan lempeng India dan Australia yang
mengakibatkan kedua lempeng tersebut bertabrakan dan menghasilkan
penunjaman menghasilkan rangkaian busur pulau depan (forearch islands) yang
non-vulkanik (seperti: P. Simeulue, P. Banyak, P. Nias, P. Batu, P. Siberut hingga P.
Enggano), rangkaian pegunungan Bukit Barisan dengan jalur vulkanik di
tengahnya, serta sesar aktif The Great Sumatera Fault yang membelah Pulau
Sumatera mulai dari Teluk Semangko hingga Banda Aceh. Sesar besar ini
menerus sampai ke Laut Andaman hingga Burma. Patahan aktif Semangko ini
diperkirakan bergeser sekitar sebelas sentimeter per tahun dan merupakan
daerah rawan gempa bumi dan tanah longsor.
Di samping patahan utama tersebut, terdapat beberapa patahan lainnya, yaitu:
Sesar Aneuk Batee, Sesar Samalanga-Sipopok, Sesar Lhokseumawe, dan Sesar
Blangkejeren. Khusus untuk Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar
dihimpit oleh dua patahan aktif, yaitu Darul Imarah dan Darussalam. Patahan ini
terbentuk sebagai akibat dari adanya pengaruh tekanan tektonik secara global
dan lahirnya kompleks subduksi sepanjang tepi barat Pulau Sumatera serta
pengangkatan Pegunungan Bukit Barisan. Daerah-daerah yang berada di
sepanjang patahan tersebut merupakan wilayah yang rawan gempa bumi dan
tanah longsor, disebabkan oleh adanya aktivitas kegempaan dan kegunungapian
yang tinggi. Banda Aceh sendiri merupakan suatu dataran hasil amblesan sejak
Pliosen, hingga terbentuk sebuah graben. Dataran yang terbentuk tersusun oleh
batuan sedimen, yang berpengaruh besar jika terjadi gempa bumi di sekitarnya.
Penunjaman Lempeng India Australia juga mempengaruhi geomorfologi Pulau
Sumatera. Adanya penunjaman menjadikan bagian barat Pulau Sumatera
terangkat, sedangkan bagian timur relatif turun. Hal ini menyebabkan bagian
barat mempunyai dataran pantai yang sempit dan kadang-kadang terjal. Pada
umumnya, terumbu karang lebih berkembang dibandingkan berbagai jenis
bakau. Bagian timur yang turun akan menerima tanah hasil erosi dari bagian
barat (yang bergerak naik), sehingga bagian timur memiliki pantai yang datar
lagi luas. Di bagian timur, gambut dan bakau lebih berkembang dibandingkan
terumbu karang.
Sejarah tektonik Pulau Sumatera berhubungan erat dengan dimulainya peristiwa
pertumbukan antara lempeng India-Australia dan Asia Tenggara, sekitar 45,6 juta
tahun lalu, yang mengakibatkan rangkaian perubahan sistematis dari pergerakan
relatif lempeng-lempeng disertai dengan perubahan kecepatan relatif antar
lempengnya berikut kegiatan ekstrusi yang terjadi padanya. Gerak lempeng
India-Australia yang semula mempunyai kecepatan 86 milimeter / tahun
menurun secara drastis menjadi 40 milimeter/tahun karena terjadi proses
tumbukan tersebut. Penurunan kecepatan terus terjadi sehingga tinggal 30
milimeter/tahun pada awal proses konfigurasi tektonik yang baru (Char-shin Liu
et al, 1983 dalam Natawidjaja, 1994). Setelah itu kecepatan mengalami kenaikan
yang mencolok sampai sekitar 76 milimeter/tahun (Sieh, 1993 dalam
Natawidjaja, 1994). Proses tumbukan ini, menurut teori indentasi pada
akhirnya mengakibatkan terbentuknya banyak sistem sesar geser di bagian
sebelah timur India, untuk mengakomodasikan perpindahan massa secara
tektonik (Tapponier dkk, 1982).
Keadaan Pulau Sumatera menunjukkan bahwa kemiringan penunjaman,
punggungan busur muka dan cekungan busur muka telah terfragmentasi akibat
proses yang terjadi. Kenyataan menunjukkan bahwa adanya transtensi (trans-
tension) Paleosoikum tektonik Sumatera menjadikan tatanan tektonik Sumatera
menunjukkan adanya tiga bagian pola (Sieh, 2000). Bagian selatan terdiri dari
lempeng mikro Sumatera, yang terbentuk sejak 2 juta tahun lalu dengan bentuk,
geometri dan struktur sederhana, bagian tengah cenderung tidak beraturan dan
bagian utara yang tidak selaras dengan pola penunjaman.
Bagian selatan Pulau Sumatera memberikan kenampakan pola tektonik:
a. Sesar Sumatera menunjukkan sebuah pola geser kanan en echelon dan
terletak pada 100 ~ 135 kilometer di atas penunjaman,
b. lokasi gunungapi umumnya sebelah timur-laut atau di dekat sesar,
c. cekungan busur muka terbentuk sederhana, dengan kedalaman 1 ~ 2
kilometer dan dihancurkan oleh sesar utama,
d. punggungan busur muka relatif dekat, terdiri dari antiform tunggal dan
berbentuk sederhana,
e. sesar Mentawai dan homoklin, yang dipisahkan oleh punggungan busur muka
dan cekungan busur muka relatif utuh, dan
f. sudut kemiringan tunjaman relatif seragam.
Bagian utara Pulau Sumatera memberikan kenampakan pola tektonik:
a. sesar Sumatera berbentuk tidak beraturan, berada pada posisi 125 ~ 140
kilometer dari garis penunjaman,
b. busur vulkanik berada di sebelah utara sesar Sumatera,\
c. kedalaman cekungan busur muka 1 ~ 2 kilometer,
d. punggungan busur muka secara struktural dan kedalamannya sangat
beragam,
e. homoklin di belahan selatan sepanjang beberapa kilometer sama dengan
struktur Mentawai yang berada di sebelah selatannya, dan
f. sudut kemiringan penunjaman sangat tajam.
Bagian tengah Pulau Sumatera memberikan kenampakan tektonik:
a. sepanjang 350 kilometer potongan dari sesar Sumatera menunjukkan posisi
memotong arah penunjaman,
b. busur vulkanik memotong dengan sesar Sumatera,
c. topografi cekungan busur muka dangkal, sekitar 0.2 ~ 0.6 kilometer, dan
terbagi-bagi menjadi berapa blok oleh sesar turun miring ,
d. busur luar terpecah-pecah,
e. homoklin yang terletak antara punggungan busur muka dan cekungan busur
muka tercabik-cabik, dan
f. sudut kemiringan penunjaman beragam.
Selanjutnya sebagai respon tektonik akibat dari bentuk melengkung ke dalam
dari tepi lempeng Asia Tenggara terhadap Lempeng Indo-Australia, besarnya slip-
vector ini secara geometri akan mengalami kenaikan ke arah barat-laut sejalan
dengan semakin kecilnya sudut konvergensi antara dua lempeng tersebut.
Pertambahan slip-vector ini mengakibatkan terjadinya proses peregangan di
antara sesar Sumatera dan zona penunjaman yang disebut sebagai lempeng
mikro Sumatera (Suparka dkk, 1991). Oleh karena itu slip-vector komponen
sejajar palung harus semakin besar ke arah barat-laut.
Sebagai konsekuensi dari kenaikan slip-vector pada daerah busur-muka ini, maka
secara teoritis akan menaikkan slip-rate di sepanjang sesar Sumatera ke arah
barat-laut. Pengukuran offset sesar dan penentuan radiometrik dari unsur yang
terofsetkan di sepanjang sesar Sumatera membuktikan bahwa kenaikan slip-rate
memang benar-benar terjadi (Natawidjaja, Sieh, 1994). Pengukuran slip-rate di
daerah Danau Toba menunjukkan kecepatan gerak sebesar 27 milimeter / tahun,
di Bukit Tinggi sebesar 12 milimeter / tahun, di Kepahiang sebesar 11 milimeter /
tahun (Natawidjaja, 1994) demikian pula di selat Sunda sebesar 11 milimeter /
tahun (Zen dkk, 1991)
Sesar Sumatera sangat tersegmentasi. Segmen-segmen sesar sepanjang 1900
kilometer tersebut merupakan upaya mengadopsi tekanan miring antara
lempeng Eurasia dan IndiaAustralia dengan arah tumbukan 10N ~ 7S.
Sedikitnya terdapat 19 bagian dengan panjang masing-masing segmen 60 ~ 200
kilometer, yaitu segmen Sunda (6.75S ~ 5.9S), segmen Semangko (5.9S ~
5.25S), segmen Kumering (5.3S ~ 4.35S), segmen Manna (4.35S ~ 3.8S),
segmen Musi (3.65S ~ 3.25S), segmen Ketaun (3.35S ~ 2.75S), segmen Dikit
(2.75S ~ 2.3S), segmen Siulak (2.25S ~ 1.7S), segmen Sulii (1.75S ~ 1.0S),
segmen Sumani (1.0S ~ 0.5S), segmen Sianok (0.7S ~ 0.1N), segmen
Barumun (0.3N ~ 1.2N), segmen Angkola (0.3N ~ 1.8N), segmen Toru (1.2N
~ 2.0N), segmen Renun (2.0N ~ 3.55N), segmen Tripa (3.2N ~ 4.4N),
segmen Aceh (4.4N ~ 5.4N), segmen Seulimeum (5.0N ~ 5.9N)
1. Segmen Sunda (Selat Sunda-Lampung)
Panjang : 150 Km
Sliprate : 1 cm/thn
Slip Accumulation per 100 thn : 10 cm
Slip Accumulation per 200 thn : 20 cm
Periode pengulangan 100 thn : 7.2 Mw
Periode pengulangan 200 thn : 7.4 Mw
2. Segmen Semangko (Lampung)
Panjang : 65 Km
Sliprate : 1 cm/thn
Slip Accumulation per 100 thn : 10 cm
Slip Accumulation per 200 thn : 20
Periode pengulangan 100 thn : 7.2 Mw
Periode pengulangan 200 thn : 7.4 Mw
3. Segmen Kumering (Lampung)
Panjang : 150 Km
Sliprate : 1 cm/thn
Slip Accumulation per 100 thn : 10 cm
Slip Accumulation per 200 thn : 20
Periode pengulangan 100 thn : 7.2 Mw
Periode pengulangan 200 thn : 7.4 Mw
4. Segmen Manna (Bengkulu)
Panjang : 85 Km
Sliprate : 1 cm/thn
Slip Accumulation per 100 thn : 10 cm
Slip Accumulation per 200 thn : 20
Periode pengulangan 100 thn : 7.2 Mw
Periode pengulangan 200 thn : 7.4 Mw
5. Segmen Musi (Bengkulu)
Panjang : 70 Km
Sliprate : 1 cm/thn
Slip Accumulation per 100 thn : 10 cm men
Slip Accumulation per 200 thn : 20
Periode pengulangan 100 thn : 7.2 Mw
Periode pengulangan 200 thn : 7.4 Mw
6. Segmen Ketaun (Jambi)
Panjang : 85 Km
Sliprate : 1 cm/thn
Slip Accumulation per 100 thn : 10 cm
Slip Accumulation per 200 thn : 20
Periode pengulangan 100 thn : 7.2 Mw
Periode pengulangan 200 thn : 7.4 Mw
7. Segmen Dikit (Jambi)
Panjang : 60 Km
Sliprate : 1 cm/thn
Slip Accumulation per 100 thn : 10 cm
Slip Accumulation per 200 thn : 20
Periode pengulangan 100 thn : 7.2 Mw
Periode pengulangan 200 thn : 7.4 Mw
8. Segmen Siulak (Jambi )
Panjang : 70 Km
Sliprate : 1 cm/thn
Slip Accumulation per 100 thn : 10 cm
Slip Accumulation per 200 thn : 20
Periode pengulangan 100 thn : 7.2 Mw
Periode pengulangan 200 thn : 7.4 Mw
9. Segmen Suliti (Sumbar)
Panjang : 95 Km
Sliprate : 1 cm/thn
Slip Accumulation per 100 thn : 10 cm
Slip Accumulation per 200 thn : 20
Periode pengulangan 100 thn : 7.2 Mw
Periode pengulangan 200 thn : 7.4 Mw
10. Segmen Sumani (Sumbar)
Panjang : 60 Km
Sliprate : 1 cm/thn
Slip Accumulation per 100 thn : 10 cm
Slip Accumulation per 200 thn : 20
Periode pengulangan 100 thn : 7.2 Mw
Periode pengulangan 200 thn : 7.4 Mw
11. Segmen Sianok (Sumbar)
Panjang : 90 Km
Sliprate : 1 cm/thn
Slip Accumulation per 100 thn : 10 cm
Slip Accumulation per 200 thn : 20
Periode pengulangan 100 thn : 7.2 Mw
Periode pengulangan 200 thn : 7.4 Mw
12. Segmen Sumpur (Sumbar)
Panjang : 35 Km
Sliprate : 1 cm/thn
Slip Accumulation per 100 thn : 10 cm
Slip Accumulation per 200 thn : 20
Periode pengulangan 100 thn : 7.2 Mw
Periode pengulangan 200 thn : 7.4 Mw
13. Segmen Barumun (Sumut)
Panjang : 125 Km
Sliprate : 1 cm/thn
Slip Accumulation per 100 thn : 10 cm
Slip Accumulation per 200 thn : 20
Periode pengulangan 100 thn : 7.2 Mw
Periode pengulangan 200 thn : 7.4 Mw
14. Segmen Angkola (Sumut)
Panjang : 160 Km
Sliprate : 1 cm/thn
Slip Accumulation per 100 thn : 10 cm
Slip Accumulation per 200 thn : 20
Periode pengulangan 100 thn : 7.2 Mw
Periode pengulangan 200 thn : 7.4 Mw
15. Segmen Toru (Sumut)
Panjang : 95 Km
Sliprate : 2,7 cm/thn
Slip Accumulation per 100 thn : 27 cm
Slip Accumulation per 200 thn : 54 cm
Periode pengulangan 100 thn : 7.5 Mw
Periode pengulangan 200 thn : 7.7 Mw
16. Segmen Renun ( Sumut )
Panjang : 220 Km
Sliprate : 2,7 cm/thn
Slip Accumulation per 100 thn : 27 cm
Slip Accumulation per 200 thn : 54 cm
Periode pengulangan 100 thn : 7.5 Mw
Periode pengulangan 200 thn : 7.7 Mw
17. Segmen Tripa (NAD)
Panjang : 180 Km
Sliprate : 2,7 cm/thn
Slip Accumulation per 100 thn : 27 cm
Slip Accumulation per 200 thn : 54 cm
Periode pengulangan 100 thn : 7.5 Mw
Periode pengulangan 200 thn : 7.7 Mw
18. Segmen Aceh (NAD)
Panjang : 200 Km
Sliprate : 1 cm/thn
Slip Accumulation per 100 thn : 10 cm
Slip Accumulation per 200 thn : 20 cm
Periode pengulangan 100 thn : 7.2 Mw
Periode pengulangan 200 thn : 7.4 Mw
19. Segmen Seulimeum (NAD)
Panjang : 120 Km
Sliprate : 1 cm/thn
Slip Accumulation per 100 thn : 10 cm
Slip Accumulation per 200 thn : 20 cm
Periode pengulangan 100 thn : 7.2 Mw
Periode pengulangan 200 thn : 7.4 Mw
Pulau Sumatra tersusun atas dua bagian utama, sebelah barat didominasi oleh
keberadaan lempeng samudera, sedang sebelah timur didominasi oleh
keberadaan lempeng benua. Berdasarkan gaya gravitasi, magnetisme dan
seismik ketebalan sekitar 20 kilometer, dan ketebalan lempeng benua sekitar 40
kilometer (Hamilton, 1979).
Sejarah tektonik Pulau Sumatra berhubungan erat dengan dimulainya peristiwa
pertumbukan antara lempeng India-Australia dan Asia Tenggara, sekitar 45,6 juta
tahun yang lalu, yang mengakibatkan rangkaian perubahan sistematis dari
pergerakan relatif lempeng-lempeng disertai dengan perubahan kecepatan
relatif antar lempengnya berikut kegiatan ekstrusi yang terjadi padanya. Gerak
lempeng India-Australia yang semula mempunyai kecepatan 86 milimeter/tahun
menurun menjaedi 40 milimeter/tahun karena terjadi proses tumbukan tersebut.
(Char-shin Liu et al, 1983 dalam Natawidjaja, 1994). Setelah itu kecepatan
mengalami kenaikan sampai sekitar 76 milimeter/ tahun (Sieh, 1993 dalam
Natawidjaja, 1994). Proses tumbukan ini pada akhirnya mengakibatkan
terbentuknya banyak sistem sesar sebelah timur India.
Tatanan tektonik regional sangat mempengaruhi perkembangan busur Sunda. Di
bagian barat, pertemuan subduksi antara lempeng benua Eurasia dan lempeng
samudra Australia mengkontruksikan busur Sunda sebagai sistem busur tepi
kontinen (epi-continent arc) yang relatif stabil; sementara di sebelah timur
pertemuan subduksi antara lempeng samudra Australia dan lempeng-lempeng
mikro Tersier mengkontruksikan sistem busur Sunda sebagai busur kepulauan
(island arc) kepulauan yang lebih labil.
Perbedaan sudut penunjaman antara propinsi Jawa dan propinsi Sumatera
Selatan busur Sunda mendorong pada kesimpulan bahwa batas busur Sunda
yang mewakili sistem busur kepulauan dan busur tepi kontinen terletak di selat
Sunda. Penyimpulan tersebut akan menyisakan pertanyaan, karena pola
kenampakan anomali gaya berat menunjukkan bahwa pola struktur Jawa bagian
barat yang cenderung lebih sesuai dengan pola Sumatera dibanding dengan pola
struktur Jawa bagian Timur. Secara vertikal perkembangan struktur masih
menyisakan permasalahan namun jika dilakukan pembandingan dengan struktur
cekungan Sumatra Selatan, struktur-struktur di Pulau Sumatra secara vertikal
berkembang sebagai struktur bunga.
Berdasarkan teori undasi Seksi Andaman dan Nikobar yang pusat undasinya di
Margui menghasilkan penggelombangan emigrasi yang mengarah ke
Godwanland, sehingga hal tersebut mempegaruhi pegunungan di Sumatra Utara
(Atlas dan Gayao) dimana arah pegunungan timur barat seperti Pegunungan
Gayo Tengah berbeda dengan pegunungan pada umumnya di Sumatra yang
arahnya barat lauttenggara. Dengan demikian di Sumatra terjadi pertemuan
antar gelombang dengan pusat undasi Margui dan pusat undasi Anambas. Titik
pertemuannya adalah di Gunung Lembu, adapun busur dalam hasil
penggelombangan dari pusat undasi Margui adalah kepulauan Barren-
Narkondam dan busur luar AndamanNikobarGayo Tengah.
Sedangkan Seksi Sumatra dengan pusat undasinya di Anambas,
penggelombangan dari pusat undasi Anambas telah berkembang sejak
Palaezoikumakhir, Sehingga menghasilkan sisitem Orogene Malaya pada
Mesozoikum bawah (Trias, Jura), system Orogene Sumatra pada Mesozoikum atas
(Crataceus) dan system orogene Sunda pada priode tersier kuarter, yang
dimaksud dengan Orogene Malaya adalah busur pegunungan yang terbentuk
pada Mesozoikun bawah dengan busur Zone Karimata dan busur luar Daerah
Timah. Yang dimaksud dengan Orogene Sumatra adalah busur pengunungan
yang terbentuk pada Mesozoikun atas dengan busur dalam Sumatra Timur dan
busur luar Sumatra Barat. Yang dimaksud dengan Orogenesa Sunda adalah
busur pengununagn yang terbuntuk periode Tersier-Kuarter dengan busur dalam
Bukit Barisan dan busur luar pulau-pulau sebelah barat Sumatra. Bukit Barisan
pada Mesozoikum atas masih merupakan Foredeep, memasuki tersier baru
mengalami pengangkatan pada priode Tersier pulau-pulau di sebelah barat
Sumatra dari Nias sampai Enggano belum ada memasuki periode Kuarter baru
mengalami penggkatan membentuk pulau-pulau tadi, sampai sekarang masih
mengalami pengakatan secara pelan-pelan.
KESIMPULAN
III.1 KESIMPULAN :
1. Pulau Sumatera secara garis besar terdiri dari 3 sistem Tektonik, yakni Sistem
Subduksi Sumatera; system sesar Mentawai (Mentawai Fault System); dan
Sistem Sesar Sumatera (Sumatera Fault System).
2. Berdasarkan rekonstruksi geologi oleh Robert Hall (2000), awal pembentukan
wilayah Sumatera dimulai sekitar 50 juta tahun lalu (awal Eosen).
3. Sedikitnya terdapat 19 Segmen sesar dengan panjang tiap segmen 60-200
km; yang merupakan bagian dari Sistem Sesar Sumatera (Sumatera Fault
System) dengan panjang 1900 km
4. Danau Toba yang berada di pulau Sumatera merupakan salah satu bukti nyata
Super Volcano dan merupakan sisa dari Letusan Kaldera mahadahsyat terbesar
(skala 8 VEI)
III.2 KRITIK dan SARAN :
Sebagai insan yang manusiawi; yang takkan pernah bisa tuk sempurna, maka
tim penulis dengan tangan terbuka siap menerima berbagai kritik dan saran
guna melengkapi karya tulis yang belum sempurna ini. Tak ada gading yang tak
retak; tak ada mawar yang tak berduri; demikianpun tak ada ide / tulisan yang
sempurna. Namun demikian bukan berarti kita menerimanya begitu saja.
Dengan adanya suplemen pengetahuan tambahan dari para pembaca serta
masukkan yang konstruktif diyakini tim penulis dapat menjadikan tulisan ini lebih
pedagogis dan menambah wawasan siapapun yang membacanya. Berangkat
dari tujuan berdaya guna tesebutlah, maka penulis ingin berbagi apa yang telah
diketahuinya tentang Kondisi Tektonik Pulau Sumatera.
Besar harapan tim penulis, kiranya tulisan ini dapat bermanfaat dan untuk itulah,
tim penulis mempersilahkan pihak manapun untuk memberikan kritik dan saran
atas tulisan ini.