Anda di halaman 1dari 132

GEOLOGI DAN POTENSI SUMBERDAYA NIKEL PADA

BATUAN ULTRABASA, DAERAH HUKURILA DAN


SEKITARNYA, KECAMATAN LEITIMUR SELATAN,
PROVINSI MALUKU.

SKRIPSI

Oleh :
YOLANDA M.TITAWAEL
111.070.051

JURUSAN TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN”
YOGYAKARTA
2011
HALAMAN PENGESAHAN

GEOLOGI DAN POTENSI SUMBERDAYA NIKEL PADA BATUAN


ULTRABASA, DAERAH HUKURILA DAN SEKITARNYA,
KECAMATAN LEITIMUR SELATAN, PROVINSI MALUKU.

Oleh:
Yolanda M. Titawael
111 070 051

Yogyakarta, 22 Agustus 2011

Pembimbing 1, Pembimbing 2,

Prof.Dr. Ir. C. Danisworo, M,Sc Ir. H. Achmad Rodhi,M.T.


NIP: 03013445743 NIP: 19540511 198303 1 001

Mengetahui,
Ketua Jurusan Teknik Geologi
UPN “Veteran” Yogyakarta,

Ir. H. Sugeng Raharjo, M.T.


NIP: 19581208 1992031 001
UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Adapun judul skripsi ini adalah “Geologi Dan Potensi Sumberdaya Nikel Pada
Batuan Ultrabasa, Daerah Hukurila Dan Sekitarnya, Kecamatan Leitimur
Selatan, Provinsi Maluku “.
Penulis sangat berterima kasih pada dosen pembimbing 1,
Prof.Dr.Ir.C.Danisworo, M.Sc dan pembimbing 2 Ir.H. Achmad Rodhi,M.T, yang telah
memberikan waktu,ilmu, motivasi dan bimbingan serta petunjuk yang penulis perlukan
dalam penulisan laporan tugas akhir ini.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Ir.H. Sugeng
Raharjo,M.T, selaku Ketua Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral,
Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Yogyakarta, yang telah memberikan izin
kepada penulis untuk melakukan pemetaan dalam bentuk skripsi di Pulau Ambon.
Ucapan terima kasih juga, penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta
atas motivasi, biaya, semangat yang telah diberikan dalam menyelesaikan skripsi ini.
Terima kasih atas bantuan bapak Kepala Dinas ESDM, Provinsi Maluku, Ir Abraham
Tomasoa, penulis dapat melaksanakan pemetaan di Ambon.
Kepada seluruh staf geologist Dinas ESDM, Provinsi Maluku, tak lupa penulis
mengucapkan banyak terima kasih atas bimbingan, bantuan, dan dukungannya selama
pelaksanaan pemetaan di Ambon. Kedua adik penulis, Jennet Flowrensa Titawael,
Grace Vebiola Titawael dan keluarga besar Titawael, yang sangat banyak membantu
penulis dalam menyelesaikan penulisan ini, terima kasih banyak atas semua dukungan
dan motivasi.
Terima kasih kepada Bang Memet, Mas Rion, dan Kak Steanly, atas semua
masukan, dukungan, bantuan, waktu, dan ilmunya yang sudah diberikan kepada penulis
dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Pak Heri, Lia Rande,
Fransisca Vinda Dinata, Hilda Nindiyah, Freedy Prima Iriano, Jaqualine Olivia Tanati,
Tiolina Hutagalung, Novithalia Wijayanti, Dian Candra Dewi, Agnes Mei Sita, Yenni
Eva Oktri, Dyah Ayu Anitasari, Niko, Wisnu, Pulung, Nono, Pangea 2007, dan semua
pihak yang tak dapat penulis sampaikan satu-satu, terima kasih atas semua dukungan,
motivasi, bantuan, dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan ini.
Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Yogyakarta ,22 Agustus 2011

Yolanda M. Titawael
ABSTRACT

Administratively, the location of the survey is included in the Village area Hukurila,
South Leitimur District, the city of Ambon. Geographically located between 127 ° 28 '51.2"
East Longitude - 128 ° 46' 11.2" east longitude and 2 ° 49 '51.5 "south latitude - 3 ° 33' 39.8"
South latitude. The research area is divided into five geomorphic units are: the plains, karst
topography, hills, mountains, and volcanic systems.

The research area is composed by several rock units from old to young is: the
ultramafic rock units, granite, sandstone Kanikeh, volcanic breccia rock, units of coral
limestone, and alluvial deposits. Geological structures that develop in the region is robust and
fault. Fault structures that develop are : Right Slip Normal Fault.

To determine levels of Ni in this area, the authors took samples from drill results by
using a hand auger at limonit zone and tested using by AAS method. Ni content of the test
results with AAS method, obtained the following results: LP 38A 0.50% Ni, LP 38B levels
of 0.32% Ni, LP 38C content of 0.31% Ni, LP 37 Ni 0.081%, LP 36 Ni content of 0.70%, LP
35 levels of Ni 0.34%, LP 34 levels of Ni 0.63%, LP 31 levels of Ni 0.18%, LP 22 levels of
Ni 0.23%, LP 20 levels of Ni 0.32 %. And it can be concluded that the levels of Ni in the
region telitian greatly influenced by the thickness of the zone limonitnya. The thicker
limonitnya zone, the greater its Ni content.
Sari
Secara administratif lokasi survei termasuk dalam wilayah Desa Hukurila,
Kecamatan Leitimur Selatan, Kota Ambon. Secara geografis terletak diantara 127° 28’
51,2” Bujur Timur - 128° 46’ 11,2” Bujur Timur dan 2° 49’ 51,5” Lintang Selatan - 3°
33’ 39,8” Lintang Selatan. Daerah telitian dibagi dalam lima satuan geomorfik ialah :
dataran, karst topografi, perbukitan, pegunungan, dan sistem vulkanik.
Daerah telitian tersusun oleh beberapa satuan batuan dari tua ke muda adalah:
yaitu satuan batuan ultrabasa, satuan batuan granit, satuan batupasir Kanikeh, satuan
batuan breksi vulkanik, satuan batugamping terumbu, dan endapan alluvial. Struktur
geologi yang berkembang pada daerah telitian adalah kekar dan sesar turun. Struktur
sesar yang berkembang adalah: Right Normal Slip Fault.
Untuk mengetahui kadar Ni dari daerah telitian, penulis mengambil conto dari
hasil bor dengan menggunakan hand auger pada zona limonitnya dan diuji dengan
menggunakan metode AAS. Dari hasil pengujian kadar Ni dengan metode AAS,
didapatkan hasil sebagai berikut : LP 38A kadar Ni 0,50%, LP 38B kadar Ni 0,32%, LP
38C kadar Ni 0,31%, LP 37 kadar Ni 0,081%, LP 36 kadar Ni 0,70%, LP 35 kadar Ni
0,34%, LP 34 kadar Ni 0,63%, LP 31 kadar Ni 0,18%, LP 22 kadar Ni 0,23%, LP 20
kadar Ni 0,32%. Dan dapat disimpulkan bahwa kadar Ni pada daerah telitian sangat
dipengaruhi oleh ketebalan dari zona limonitnya. Semakin tebal zona limonitnya,
semakin besar juga kadar Ni-nya.
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
UCAPAN TERIMA KASIH i
SARI iii
DAFTAR ISI iv
DAFTAR FOTO vi
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR TABEL ix
BAB I. PENDAHULUAN 1
I.1. Latar Belakang 1
I.2. Rumusan Masalah 1
I.3. Maksud dan Tujuan 2
I.4. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian 3
I.5. Hasil Penelitian 4
I.6. Manfaat Penelitian 4
BAB II. METODOLOGI PENELITIAN DAN DASAR TEORI 5
II.1. Metode Penelitian 5
II.2. Pengumpulan Data 9
II.3. Bahan dan Alat 10
II.4. Peneliti Terdahulu 11
II.5. Dasar Teori 13
BAB III. TINJAUAN UMUM 19
III.1. Geologi Regional Kepulauan Maluku 19
III.2. Batuan Vulkanik 27
III.3. Komposisi Mineral Penyusun Batuan Beku 29
III.4. Seri Batuan Beku 32
III.5. Magmatisme Busur Kepulauan 33

BAB IV. GEOLOGI DAERAH TELITIAN 35


IV.1. Geomorfologi 35
IV.2. Stratigrafi 45
IV.3. Struktur Geologi 64
IV.4. Sejarah Geologi 67
BAB V. POTENSI BATUAN ULTRABASA 69
V.1 Petrografis Batuan Ultrabasa 71
V.2 Serpentinisasi Mineral 76
V.3. Pembentukan Nikel 80
V.4. Potensi dan Penyebaran Nikel Laterit 85
BAB VI. KESIMPULAN 98
DAFTAR PUSTAKA 99

LAMPIRAN 102
DAFTAR FOTO

Foto 4.1. Kenampakan dataran pantai , Lokasi Hutumuri, Pantai Lawena. 38


Foto 4.2. Kenampakan singkapan batugamping terumbu, LP 15. 39
Foto 4.3. Satuan geomorfik karst topografi, subsatuan lapies. 39
Foto 4.4. Satuan geomorfik Perbukitan. 40
Foto 4.5. Satuan geomorfik Perbukitan, subsatuan kaki bukit. 41
Foto 4.6. Kenampakan air terjun, Lokasi W.Hosu LP 60. 42
Foto 4.7. Satuan geomorfik pegunungan, subsatuan dataran tinggi. 43
Foto 4.8. Satuan geomorfik sistem vulkanik, punggungan vulkanik. 44
Foto 4. 9. (a),(b), dan (c) Kenampakan batuan peridotit. 47
Foto 4.10. Kenampakan bidang penggerusan dan rekahan-rekahan. 47
Foto 4. 11. (a), (b), dan (c) 48
Foto 4.12. Kenampakan rekahan yang terisi oleh kuasra pada batuan granit. 50
Foto 4.13. Kenampakan batuan granit di desa Soya LP 84. 50
Foto 4.14. Foto conto batuan granit dan kenampakannya pada sayatan tipis. 51
Foto 4.15. Kenampakan kekar pada batuan granit. 51
Foto 4.16. Kenampakan batupasir dan sayatan tipisnya. 53
Foto 4.17. Kenampakan singkapan batupasir di daerah W.Yuri. 54
Foto 4.18. Kenampakan singkapan marmer,Lokasi Desa Rutong, LP 3. 55
Foto 4. 19. Kenampakan breksi di daerah W.Yuri di LP. 100. 57
Foto 4.20. Kenampakan breksi vulkanik di daerah W.Yuri di LP 103 57
Foto 4.21. Singkapan breksi vulkanik dalam kondisi lapuk pada LP 98 58
Foto 4.22 Kenampakan head coral pada batugamping terumbu. 59
Foto 4.23. Kenampakan undukan coral pada batugamping terumbu 60
Foto 4.24. Singkapan batugamping terumbu, Lokasi Desa Leahari . 60
Foto 4.25. Kekar pada batuan granit,Lokasi W.Hosu, LP 57. 64
Foto 4.26. Kekar pada batuan granit, Lokasi Hukurila, LP 49. 65
Foto 4.27. Kekar pada marmer, Lokasi Rutong, LP 3. 65
Foto 4.28. Kenampakan shear dan gash batuan granit, LP 56. 66
Foto 4.29. Kenampakan zona hancur (breksiasi) pada batuan granit,LP 57. 66
Foto 5.1. Singkapan Nikel Laterit , LP 37. Lokasi G.Tersili Desa Hukurila. 86
Foto 5.2. Singkapan profil nikel laterit LP 37. 88
Foto 5.3. Singkapan profil nikel laterit LP 36. 89
Foto 5.4. Singkapan profil nikel laterit LP 35. 90
Foto 5.5. Singkapan profil nikel laterit LP 34. 91
Foto 5.6. Singkapan profil nikel laterit LP 31. 92
Foto 5.7. Singkapan profil nikel laterit LP 22. 93
Foto 5.8. Pengambilan conto laterit nikel di LP 20. 94
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Lokasi Penelitian 3


Gambar 2.1. Bagan Alir Penelitian. 8
Gambar 3.1. Kesebandingan stratigrafi Pulau Ambon. 23
Gambar 3.2. Setting tektonik Pulau Seram dan Pulau Ambon. 26
Gambar 3.3. Skema seri reaksi Bowen. 29
Gambar 4.1. Penunjaman kerak benua dan samudera. 35
Gambar 4.2. Kolom stratigrafi daerah telitian. 63
Gambar 5.1. Kenampakan sayatan tipis batuan ultrabasa, LP 22. 71
Gambar 5.2. Kenampakan sayatan tipis batuan ultrabasa LP 32. 73
Gambar 5.3. Klasifikasi untuk peridotit. 75
Gambar 5.4. Sketsa proses pengayaan nikel. 79
Gambar 5.5. Profil nikel laterit pada LP 38A . 87
Gambar 5.6. Profil nikel laterit pada LP 38B. 87
Gambar 5.7. Profil nikel laterit pada LP 38C. 87
Gambar 5.8. Profil nikel laterit pada LP 37. 88
Gambar 5.9. Profil nikel laterit pada LP 36. 89
Gambar 5.10. Profil nikel laterit pada LP 35. 90
Gambar 5.11. Profil nikel laterit pada LP 34. 91
Gambar 5.12. Profil nikel laterit pada LP 31. 92
Gambar 5.13. Profil nikel laterit pada LP 22. 93
Gambar 5.14. Profil nikel laterit pada LP 20. 94
Gambar 5.15. Peta kontur penyebaran kadar Ni pada daerah telitian. 95
Gambar 5.15. Korelasi zona limonit dari nikel laterit pada daerah telitian. 96
DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Pembagian satuan geomorfologi 37

Tabel 5.1. Hasil Analisa tekMIRA terhadap kadar Ni. 84


BAB I

PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG PENELITIAN

Busur luar Banda didominasi oleh batuan non-volkanik, dengan Timor di


sebelah selatan Wetar menunjukkan sisa-sisa prisma akresi dan kompleks tumbukan,
dimana terjadi akresi kedalam lempeng kontinen Australia. Keberadaan batuan volkanik
di Pulau Ambon merupakan bukti adanya suatu aktivitas vulkanisme yang pernah
terjadi. Batuan volkanik di Pulau Ambon terdiri dari batuan granit, batuan ultrabasa, dan
breksi vulkanik, hal ini menjadi suatu tanda tanya yang menarik untuk diteliti.

Dari segi geologi regional, hal tersebut akan memberikan implikasi terhadap
hipotesa tektonik Pulau Ambon yang merupakan bagian dari busur Kepulauan Banda (
Banda arc ) yang membentang dari wilayah Nusa Tenggara sampai ke Maluku,
terutama busur kegununganapian ( Volcanic arc ).

I.2. RUMUSAN MASALAH

Secara umum permasalahan geologi yang akan dibahas adalah kondisi geologi
daerah telitian dengan cara memetakan daerah telitian secara detil dan lebih terperinci,
karena selama ini informasi yang digunakan adalah informasi yang sifatnya regional.

Secara khusus permasalahan geologi yang akan dibahas adalah mengenai


Geologi dan Potensi Sumber Daya Pada Batuan Ultrabasa, di daerah telitian.

Berdasarkan hasil penelitian dari beberapa peneliti terdahulu, ada beberapa


permasalahan yang diinginkan penulis untuk dibahas :

 Apa itu batuan ultrabasa dan proses terbentuknya?


 Bagaimana kondisi geologi daerah telitian?
1. Bagaimana bentuklahan daerah telitian?
2. Bagaimana stratigrafi daerah telitian?
3. Struktur geologi apa saja yang berkembang pada daerah telitian?
 Bagaimana sistem pembentukan satuan batuan pada daerah telitian?
 Bagaimana hubungan proses geologi terhadap pembentukan satuan
batuan pada daerah telitian?
 Bagaimana pembentukan nikel laterit pada daerah telitian?
I.3. MAKSUD DAN TUJUAN

Maksud dari penelitian ini adalah:


1. Mengetahui kondisi geomorfologi, stratigrafi dan struktur geologi daerah
penelitian.

2. Menghimpun data satuan batuan pada daerah telitian, dengan mengambil sample
batuan serta data struktur pada daerah telitian.

Berdasarkan perolehan data di atas, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini
adalah:

1. Mengetahui pengaruh struktur geologi terhadap satuan batuan yang terdapat


pada daerah telitian, serta mampu menghubung–hubungkan data lapangan
dengan geologi regional setempat untuk interpretasi kondisi geologi saat batuan
terbentuk.

2. Mengetahui aktivitas vulkanisme terhadap pembentukan batuan ultrabasa.

3. Mengetahui hubungan antara iklim, topografi, dan potensi terbentuknya nikel


laterit.

I.4. Lokasi Penelitian dan Kesampaian Daerah Telitian

Secara administratif lokasi survei termasuk dalam wilayah Desa Hukurila,


Kecamatan Leitimur Selatan, Kota Ambon. Dan secara geografis terletak diantara 127°
28’ 51,2” Bujur Timur - 128° 46’ 11,2” Bujur Timur dan 2° 49’ 51,5” Lintang Selatan
- 3° 33’ 39,8” Lintang Selatan.(Gambar 1.1)

Pencapaian lokasi daerah telitian dari Yogyakarta adalah sebagai berikut:

1. Bandara Adisutjipto Yogyakarta-Bandara Juanda Surabaya menggunakan pesawat


dengan waktu tempuh ± 1jam.
2. Bandara Juanda Surabaya – Bandara Hasanudin Makasar menggunakan pesawat
dengan waktu tempuh ± 1,5 jam.

3. Bandara Hasanudin Makasar – Bandara Pattimura Ambon menggunakan pesawat


dengan waktu tempuh ± 1,5 jam.

4. Bandara Pattimura Ambon – Basecamp, dengan waktu tempuh ± 1jam.

5. Basecamp – Daerah telitian, dengan waktu tempuh ± 20 menit.

Sumber : Atlas Maluku,1998

Gambar 1.1. Lokasi Penelitian


I.5 Hasil Penelitian

Hasil penelitian berupa :

1.5.1 Peta Lokasi Pengamatan

a. Mengetahui lokasi singkapan litologi yang ada di permukaan.

b. Mengetahui lokasi struktur geologi yang ada di permukaan.

1.5.2 Peta Geomorfologi

a. Mengetahui satuan geomorfik dan subsatuan geomorfik daerah telitian.

b. Mengetahui hubungan satuan geomorfik dan satuan batuan di daerah telitian.

c. Mengetahui hubungan satuan geomorfik dan struktur geologi di permukaan


daerah telitian.

1.5.3 Peta Geologi

a. Mengetahui litologi dan penyebaran dari setiap satuan batuan.

b.Mengetahui hubungan stratigrafi dari setiap satuan batuan.

I.6 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui kondisi geologi yang
meliputi geomorfologi, stratigrafi, dan struktur geologi di daerah telitian. Secara khusus
adalah untuk mengetahui hubungan geologi, baik itu struktur geologi yang berkembang
dan aktivitas vulkanisme pada daerah telitian, sehingga dapat memahami potensi
sumberdaya nikel, terhadap batuan ultrabasa.
BAB II
METODOLOGI DAN DASAR TEORI

II.1. Metode Penelitian


Pemetaan geologi yang dilakukan bersifat pemetaan permukaan melalui observasi
lapangan yang menggunakan jalur lintasan tertentu. Observasi yang dilakukan di
lapangan meliputi orientasi medan, pengamatan morfologi, pengamatan singkapan dan
batuan, pengukuran, dan pengambilan sampel batuan.
Sebelum melakukan observasi ke lapangan, terlebih dahulu melakukan analisis data
sekunder yang didapatkan dari pustaka dan sumber yang lain yang dapat digunakan
sebagai bahan pertimbangan sebelum melakukan observasi lapangan secara detil.
Setelah mendapatkan data dari hasil observasi lapangan, langkah selanjutnya adalah
melakukan analisis data tersebut yang kemudian disusun sebagai laporan.(Bagan 2.1)
Adapun beberapa metodologi yang dipergunakan dalam penelitian dan pembuatan
laporan geologi ini adalah sebagai berikut :

a. Studi Pustaka
Studi pustaka mempelajari geologi daerah Maluku dan daerah penelitian
berdasarkan publikasi–publikasi dan literatur–literatur yang telah dibuat oleh
peneliti terdahulu. Hal ini sangat penting untuk mengetahui geologi dan aspek–
aspek teoritis dalam ilmu geologi yang berguna sebagai dasar pemikiran dalam
penyelesaian masalah geologi yang dihadapi di lapangan.
Tahapan ini dilakukan sebelum penelitian lapangan dilaksanakan.
b. Pemetaan Awal
Pemetaan awal ini sangat berguna untuk mengetahui geomorfologi daerah
telitian, keadaan geologi pada daerah telitian, meliputi struktur geologi yang
berkembang, serta litologi yang tersebar pada daerah telitian.
Kegiatan semacam ini sangat berguna untuk menentukan jalur dan kegiatan
penelitian.
c. Pemetaan Detail
Pemetaan detail ini meliputi : pengamatan jenis batuan, hubungan antar jenis
batuan, struktur geologi, struktur sedimen, maupun gejala–gejala geologi
lainnya.
Apabila mendapatkan kesulitan–kesulitan dalam tahapan–tahapan ini, maka
diadakan diskusi bersama teman satu team dan pembimbing lapangan dalam
mencari penyelesaian masalahnya. Kemudian dievaluasi dengan penyebaran
lateral geologi dengan daerah yang bertampalan dan bila dianggap perlu
diadakan penelitian lapangan bersama-sama.
d. Tahapan Pemeriksaan Ulang
Tahapan ini dilakukan bersama-sama dengan dosen pembimbing yang bertujuan
untuk memecahkan masalah-masalah dan kesulitan-kesulitan geologi yang
penulis hadapi selama melakukan penelitian di lapangan.
e. Analisa
Tahapan analisa ini meliputi berbagai macam kegiatan laboratorium. diantaranya
adalah :
- Tahap analisis geomorfologi
Meliputi analisis data lapangan, pengelompokan dan pemerian satuan
geomorfologi, analisis sungai, analisis stadia daerah dan morfogenesis.
- Tahap deskripsi petrografi
Melakukan pengamatan sayatan tipis batuan yang meliputi pengamatan
struktur, tekstur dan komposisi mineralogi/materi penyusun batuan dengan
bantuan mikroskop polarisasi dengan tujuan mengklasifikasikan batuan dan
membantu interpretasi petrogenesa batuan.
- Tahap analisis struktur geologi
Melakukan analisis data struktur geologi dengan bantuan metode-metode yang
ada (diagram roset, stereonet) dan merekonstruksi struktur geologi dengan
mengacu pada teori dan model yang sudah ada.
f. Sintesa
Tahapan ini adalah kelanjutan dari tahapan analisa yang selanjutnya penulis
mencoba untuk menerapkan konsep atau model serta teori-teori geologi yang
ada dalam memecahkan fenomena-fenomena geologi yang ada pada daerah
penelitian.
g. Pembuatan Laporan
Pembuatan laporan merupakan kegiatan paling akhir setelah tahapan-tahapan
tersebut di atas dilakukan dan selanjutnya nanti dipresentasikan.
Bagan Alir Penelitian

Kajian Pustaka

Pengambilan Data

Data Primer Data Sekunder

 Peta Topografi 1:25000


 Peta Geologi Regional
 Pengamatan lapangan/data  Foto Udara
 Diskripsi litologi  Data AAS
 Pengukuran lintasan semi-detil
 Pengamatan morfologi
 Data pengukuran struktur
geologi  Analisis data pengukuran
 Pengambilan conto batuan semi detil
 Analisis Struktur Geologi
 Analisis Sayatan Petrografis
 Analisis data AAS

 Peta lokasi Pengamatan


 Peta geologi
 Peta geomorfologi

Analisis dan interpetasi


data

Potensi Sumber Daya Nikel (Ni) Pada Batuan Ultrabasa

Laporan Skripsi

Gambar 2.1. Bagan Alir Penelitian


II.2. Pengumpulan Data
II.2.1 Sumber Data

Sumber data diperoleh dari hasil survai lapangan (data primer) dan data yang
diperoleh melalui survai instansional (data sekunder), yaitu:

1. Data primer adalah data yang langsung diambil dari lapangan, yaitu:

a. Data bentuklahan (morfografi, morfometri dan morfogenesa) dan


hubungannya dengan sebaran daerah telitian.

b. Data geologi (litologi, stratigrafi dan struktur geologi) di lokasi penelitian

c. Data pengukuran-pengukuran kedudukan batuan dan kedudukan struktur


geologi di lapangan.

2. Data sekunder adalah data yang diambil secara tidak langsung, yaitu:

a. Data peta geologi berikut laporan yang diperoleh dari instansi terkait seperti
Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral Provinsi Maluku.

b. Data hasil analisa laboratorium dari sampel yang sudah diambil di lokasi
penelitian untuk mengetahui besarnya kadar dan kualitas mineral yang
terkandung.

II.2.2 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data diperoleh dengan dua cara, yaitu:

1. Pengumpulan data sekunder, diperoleh dari:

a. Peta rupabumi dari Bakosurtanal di outlet Bakosurtanal

b. Peta Geologi regional dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, Kota
Ambon, Provinsi Maluku.
c. Hasil analisa laboratorium yang berasal dari laboratorium terkait.
2. Pengumpulan data primer diperoleh dari:
a. Pemetaan geologi terkait dengan potensi sumber daya pada batuan ultrabasa,
melalui pemetaan semi detail pada skala 1:25.000 yang dilakukan langsung
di lapangan
b. Pengamatan langsung di lapangan, meliputi aspek geologi (batuan,
geomorfologi, dan struktur geologi)
II.3. Bahan dan Alat
Beberapa peralatan dan bahan yang dipergunakan untuk kelancaran penelitian geologi
ini adalah sebagai berikut :

a) Peta Topografi berskala 1 : 25.000 yang merupakan hasil pembesaran dari peta
rupa bumi sekala 1 : 50.000 terbitan Bakosurtanal.
b) Peta geologi permulaan lembar Ambon berskala 1 : 250.000, oleh Dinas Energi
dan Sumber Daya Mineral, Provinsi Maluku
c) Palu geologi.
Digunakan untuk mengambil conto batuan yang ada di titik pengamatan.
d) Lup.
Digunakan untuk mengamati sampel batuan yang diambil serta untuk
mengamati komposisi penyusun batuan tersebut.
e) Kompartor – komparator lithologi, ukuran butir serta klasifikasi penamaan
batuan
f) Kantong sampel
Digunakan sebagai tempat conto untuk digunakan pada saat analisa laboratorium
g) Kompas geologi.
Digunakan untuk melakukan orientasi medan/pengeplotan titik pengamatan,
mengukur kelerengan morfologi dan untuk mengukur data struktur baik struktur
primer maupun sekunder.
h) Buku catatan lapangan.
Digunakan untuk mencatat data yang ada pada saat melakukan observasi
lapangan.
i) Clipboard.
Digunakan untuk tempat alas peta topografi dan sebagai alat bantu dalam
melakukan pengukuran data di lapangan.
j) Alat tulis.
Digunakan sebagai alat untuk tulis-menulis di lapangan.
k) Penggaris dalam berbagai bentuk.
Digunakan sebagai alat bantu untuk melakukan pengeplotan titik pengamatan.
l) Busur derajat.
Digunakan untuk melakukan pengeplotan titik pengamatan pada peta topografi
dan untuk mengukur besar sudut data struktur yang ada di lapangan.
m) Kamera.
Digunakan untuk mengambil data berupa gambar yang ada di lapangan.
n) HCl 0,1 M.
Digunakan untuk mengetes ada tidaknya kandungan karbonat dalam suatu
batuan
o) Tas/ransel/backpack.
Digunakan sebagai tempat untuk menyimpan semua peralatan yang digunakan
di lapangan.

II.4. Peneliti Terdahulu

Sebelum peneliti melakukan penelitian di Ambon, telah diteliti sebelumnya oleh


para peneliti terdahulu. Dimulai dari Tjokrosapoetro, dkk (1982), membahas mengenai
tektonik Banda dan pembentukan Pulau Timor. Tjokrosapoetro juga membahas
mengenai ofiolit di Pulau Seram dan Pulau Ambon.
Setelah Tjokrosapoetro dkk, pada tahun 1984 Nurlela,dkk beserta Suparka,dkk
melakukan penelitian di Pulau Ambon, dengan topik telitian yang berbeda. Nurlela,dkk
meneliti mengenai tata airtanah di Pulau Ambon yang sifatnya labil, dan memberi
kesimpulan terhadap penelitiannya bahwa adanya indikasi tentang air airtos pada
kedalama 90m, dengan muka pizometri positif. Sedangkan Suparka, dkk meneliti
mengenai batuan kegunungapian yang terdapat di Pulau Ambon, dan menyimpulkan
bahwa batuan yang banyak dijumpai di daerah Lei Timor Ambon adalah terdiri dari
kumpulan batuan kegunungapian yang mengandung kordierit (kumpulan batuan
Ambonit).
Selang waktu 3 tahun dari penelitian sebelumnya, pada tahun 1987 Sutarna
melakukan penelitian di teluk Ambon, dan membahas ekologi perairan Indonesia, yang
memiliki keanekaragaman jenis karang batu, serta jenis-jenis karang batu yang terdapat
di perairan Teluk Ambon.
Tahun 1988 Dwiyanto,dkk melakukan penelitian di Pulau Ambon, dan secara
khusus, meneliti penyebaran dan kelimpahan foraminifera berdasarkan karakteristik
sedimen permukaan di perairan Teluk Ambon. Tahun 1991, Damayanti,dkk melakukan
penelitian di Pulau Ambon, yang membahas mengenai struktur yang berkembang pada
Daerah Passo dan sekitarnya. Dan disimpulkan bahwa struktur yang berkembang pada
daerah telitian adalah struktur sesar naik, sesar turun, dan sesar mendatar. Selanjutnya,
Kemp,dkk pada tahun 1995 membahas mengenai pembentukan forearc Banda yang
merupakan hasil tektonik pada Masa Mezosoik, dan merupakan potensi hidrokarbon di
P.Seram.
II.5. Dasar Teori

Mineral merupakan sumberdaya alam yang proses pembentukannya


memerlukan waktu jutaan tahun dan sifatnya adalah tidak terbaharukan (unrenewable).
Pemanfaatan mineral dapat sebagai bahan baku dalam industri atau produksi. Bahan
galian atau sering disebut bahan tambang adalah suatu mineral, atau kumpulan mineral
,atau batuan yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan umat manusia. Bahan galian
dapat terdapat di dalam bumi maupun di permukaan bumi.

Mengingat pentingnya arti pemanfaatan mineral, maka pemerintah Republik


Indonesia melalui Peraturan Pemerintah No. 23 tahun 2010 ditujukan pada pelaksanaan
usaha penambangan mineral dan/batubara untuk melaksanakan kebijakan dalam
mengutamakan penggunaan mineral dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri,
maka dibagi dalam 5 ( lima ) komoditas tambang, yaitu :

 Mineral radioaktif meliputi radium, thorium, uranium, monasit, dan bahan


galian radioaktif lainnya;
 Mineral logam meliputi litium, berilium, magnesium, kalium, kalsium, emas,
tembaga, perak, timbal, seng, timah, nikel, mangaan, platina, bismuth,
molibdenum, bauksit, air raksa, wolfram, titanium, barit, vanadium, kromit,
antimoni, kobalt, tantalum, cadmium, galium, indium, yitrium, magnetit, besi,
galena, alumina, niobium, zirkonium, ilmenit, khrom, erbium, ytterbium,
dysprosium, thorium, cesium, lanthanum, niobium, neodymium, hafnium,
scandium, aluminium, palladium, rhodium, osmium, ruthenium, iridium,
selenium, tellurid, stronium, germanium, dan zenotin;
 Mineral bukan logam meliputi intan, korundum, grafit, arsen, pasir kuarsa,
fluorspar, kriolit, yodium, brom, klor, belerang, fosfat, halit, asbes, talk, mika,
magnesit, yarosit, oker, fluorit, ball clay, fire clay, zeolit, kaolin, feldspar,
bentonit, gipsum, dolomit, kalsit, rijang, pirofilit, kuarsit, zirkon, wolastonit,
tawas, batu kuarsa, perlit, garam batu, lempung, dan batu gamping untuk semen;
 Batuan meliputi pumice, tras, toseki, obsidian, marmer, perlit, tanah diatome,
tanah serap (fullers earth), slate, granit, granodiorit, andesit, gabro, peridotit,
basalt, trakhit, leusit, tanah liat, tanah urug, batu apung, opal, kalsedon, chert,
kristal kuarsa, jasper, krisoprase, kayu terkersikan, gamet, giok, agat, diorit,
topas, batu gunung quarry besar, kerikil galian dari bukit, kerikil sungai, batu
kali, kerikil sungai ayak tanpa pasir, pasir urug, pasir pasang, kerikil berpasir
alami (sirtu), bahan timbunan pilihan (tanah), urukan tanah setempat, tanah
merah (laterit), batugamping, onik, pasir laut, dan pasir yang tidak mengandung
unsur mineral logam atau unsur mineral bukan logam dalam jumlah yang berarti
ditinjau dari segi ekonomi pertambangan; dan
 Batubara meliputi bitumen padat, batuan aspal, batubara, dan gambut.

Nikel merupakan salah satu unsur penting dalam industri pertambangan, dapat
berupa nikel sulfida atau nikel primer dan nikel laterit atau nikel sekunder. Nikel laterit
dihasilkan oleh proses pelindihan (leaching) dari batuan ultra basa yang sering dikenal
dengan istilah pengkayaan supergen (supergen enrichmen). Setelah mengalami proses
pelindihan (leaching) nikel akan terakumulasi dan berasosiasi dengan mineral Garnierit.
Hingga saat ini eksplorasi endapan bijih laterit khususnya nikel laterit masih
belum banyak dikenal. Cara terbentuknya sangat tergantung dari musim yang akan
berpengaruh pada tinggi atau rendahnya permukaan air tanah, sehingga geometri dari
bentuk endapan tidak beraturan.

II.5.1. Defenisi Laterisasi Nikel


Pada umumnya endapan nikel terdapat dalam dua bentuk yang berlainan, yaitu
berupa nikel sulfida dan nikel laterit. Endapan nikel laterit merupakan bijih yang
dihasilkan dari proses pelapukan batuan ultrabasa yang ada di atas permukaan bumi.
Istilah Laterit sendiri diambil dari bahasa Latin “later” yang berarti batubata merah,
yang dikemukakann oleh Buchanan (1807), yang digunakan sebagai bahan bangunan di
Mysore, Canara dan Malabr yang merupakan wilayah India bagian selatan. Material
tersebut sangat rapuh dan mudah dipotong, tetapi apabila terlalu lama kontak degan
atmosfer, maka akan cepat sekali mengeras dan sangat kuat (resisten).
Smith (1992) mengemukakan bahwa laterit merupakan regolith atau tubuh batuan yang
mempunyai kandungan Fe yang tinggi dan telah mengalami pelapukan, termasuk di
dalamnya profil endapan material hasil transportasi yang masih tampak batuan asalnya.
Sebagian besar endapan laterit mempunyai kandungan logam yang tinggi dan dapat
bernilai ekonomis tinggi, sebagai contoh endapan besi, nikel, mangan dan bauksit.
Dari beberapa pengertian bahwa laterit merupakan suatu material dengan
kandungan besi dan aluminium sekunder sebagai hasil proses pelapukan yang terjadi
pada iklim tropis dengan intensitas pelapukan tinggi.
Di dalam industri pertambangan nikel laterit atau proses yang diakibatkan oleh
adanya proses lateritisasi sering disebut sebagai nikel sekunder.

II.5.2. Syarat Pembentukan Laterit

Di permukaan bumi banyak tempat dengan intensitas pelapukan tinggi, tetapi tidak
semua tempat tersebut dapat terbentuk nikel laterit, karena intensitas pelapukan yang
tinggi bukan satu-satunya syarat terbentuknya nikel laterit.
Syarat-syarat pembentukan nikel laterit :
o Terdapatnya batuan ultrabasa yang telah tersingkap di permukaan,
mengandung banyak mineral olivin/piroksen, magnesium dan besi dan
pada umumnya mengandung nikel 0,30%.
o Iklim tropis, dengan adanya iklim tersebut maka pelapukan akan
berlangsung intensif.
o Curah hujan tinggi, hal ini berhubungan dengan kondisi iklim tropis,
sebagian besar daerah dengan iklim tropis akan mempunyai curah hujan
yang tinggi. Curah hujan tinggi akan menghasilkan air yang besar
sebagai sarana proses pelindihan/leaching bijih nikel yang terkandung
dalam batuan.

Ketiga syarat tersebut di atas akan didukung dengan faktor tatanan geologi
tentang keberadaan batuan ultrabasa.
II.5.3. Zona Profil Laterit

Profil Nikel laterit pada umumnya adalah terdiri dari 4 zona gradasi sebagai
berikut :

1. Tanah Penutup atau Top soil (biasanya disebut “Iron Capping”)


Tanah residu berwarna merah tua yang merupakan hasil oksidasi yang terdiri
dari masa hematit, geothit serta limonit. Kadar besi yang terkandung sangat
tinggi dengan kelimpahan unsur Ni yang sangat rendah.

2. Zona Limonit
Berwarna merah coklat atau kuning, berukuran butir halus hingga lempungan,
lapisan kaya besi dari limonit soil yang menyelimuti seluruh area.

3. Zona lapisan antara atau “Silica Boxwork”


Zona ini jarang terdapat pada batuan dasar (bedrock) yang serpentinisasi.
Berwarna putih – orange chert, quartz, mengisi sepanjang rekahan dan
sebagian menggantikan zona terluar dari unserpentine fragmen peridotit,
sebagian mengawetkan struktur dan tekstur dari batuan asal. Terkadang
terdapat mineral opal, magnesit. Akumulasi dari garnierit-pimelit di dalam
boxwork mungkin berasal dari nikel ore yang kaya akan silika.

4. Zona Saprolit
Merupakan campuran dari sisa – sisa batuan, bersifat pasiran, saprolitic rims,
vein dari garnierite, nickeliferous quartz, mangan dan pada beberapa kasus
terdapat silika bozwork, bentukan dari suatu zona transisi dari limonit ke
bedrock. Terkadang terdapat mineral quartz yang mengisi rekahan, mineral -
mineral primer yang terlapukan, chlorit. Garnierite dilapangan biasanya
diidentifikasi sebagai “colloidal talk” dengan lebih atau kurang nickeliferous
serpentine. Struktur dan tekstur batuan asal masih terlihat.

5. Batuan dasar (Bedrock)


Tersusun atas bongkahan atau blok dari batuan induk yang secara umum
sudah tidak mengandung mineral ekonomis (kadarnya sudah mendekati atau
sama dengan batuan dasar). Bagian ini merupakan bagian terbawah dari profil
laterit.
II.5.4. Proses Pembentukan Laterit

Proses pembentukan nikel laterit diawali dari proses pelapukan batuan ultrabasa,
dalam hal ini peridotit dan serpentinit. Batuan ini banyak mengandung olivin, piroksen,
magnesium silikat dan besi, mineral-mineral tersebut tidak stabil dan mudah mengalami
proses pelapukan.
Menurut Bateman (1981), endapan jenis konsentrasi sisa dapat terbentuk jika
batuan induk yang mengandung bijih mengalami proses pelapukan, maka mineral yang
mudah larut akan terusir oleh proses erosi, sedangkan mineral bijih biasanya stabil dan
mempunyai berat jenis besar akan tertinggal dan terkumpul menjadi endapan
konsentrasi sisa. Air permukaan yang mengandung CO2 dari atmosfer dan terkayakan
kembali oleh material – material organik di permukaan meresap ke bawah permukaan
tanah sampai pada zona pelindihan, dimana fluktuasi air tanah berlangsung. Akibat
fluktuasi ini air tanah yang kaya akan CO2 akan kontak dengan zona saprolit yang
masih mengandung batuan asal dan melarutkan mineral – mineral yang tidak stabil
seperti olivin / serpentin dan piroksen.
Selanjutnya terjadi proses pelapukan dan lateritisasi yang menghasilkan limonit
dan saprolit. Batuan asal yang mengandung unsure-unsur Ca, Mg, Si, Cr, Mn, Ni dan
Co akan mengalami dekomposisi. Air tanah yang kaya CO2 dari udara dan hasil
pembusukan tumbuh-tumbuhan merupakan pelarut yang baik.
Dari unsur-unsur tersebut di atas, yang pertama-tama terlarut adalah unsur Ca
dan Mg Alkalin yang disusul dengan penghancuran senyawa-senyawa silika sebagai
koloid. Semua hasil penghancuran ini terbawa oleh larutan yang turun ke bagian bawah
mengisi celah-celah dan pori-pori batuan.
Proses laterisasi adalah proses pencucian pada mineral yang mudah larut dan
silika pada profil laterit pada lingkungan yang bersifat asam dan lembab serta
membentuk konsentrasi endapan hasil pengkayaan proses laterisasi pada unsur Fe, Cr,
Al, Ni dan Co.
BAB III

TINJAUAN UMUM

III.1. Geologi Regional Kepulauan Maluku

III.1. 1. Geomorfologi

Secara fisiografi wilayah Kepulauan Maluku ditandai oleh rangkaian pulau –


pulau besar maupun keil yang terpisah satu sama lain oleh lekukan ( basin ), parit laut,
dan pegunungan bwah laut ( ridges ).

Wilayah Maluku di bagi menjadi dua yaitu Maluku Utara yang mencakup
Sistem Sangihe, Sistem Ternate dan Halmahera, Sedangkan Maluku meliputi Pulau
Ambon dan sekitarnya. Maluku bagian selatan lazim disebut sebagai busur banda,
wilayah kepulauan ini terdiri dua rangkaian pulau – pulau besar dan kecil yang agak
sejajar, dan mengitari lekukan pada Laut Banda sebagai sistem orogenesa (sistem
pembentukan pegunungan).

Pulau Ambon yang termasuk dalam Busur Banda Dalam yang bergunungapi,
terlentang hampir sejajar dengan Busur Banda Luar, mulai dari P. Ambalau melalui , P.
Banda, Gunungapi Serua, P. Wetar sampai P. Flores. Busur Banda Luar yang tidak
bergunungapi terbentang mengelilingi Laut Banda mulai dari P. Buru, Melalui P.
Seram, Kepulauan Tanimbar, P. Timor sampai P. Sumba.

Pulau Ambon diapit oleh 2 (dua) lautan yang cukup dalam, yaitu pada bagian
selatan dipisahkan oleh Laut Banda dengan kedalaman mencapai 7000 meter dan bagian
utara dipisahkan oleh Laut Seram dengan kedalaman mencapai lebih 3000 meter.

Morfologi lembar Ambon dapat dibagi menjadi enam satuan yaitu : pegunungan
bertonjolan kasar, pegunungan bertonjolan halus, topografi karst, perbukitan
bergelombang, perbukitan kasar dan dataran rendah.

Pegunungan bertonjolan kasar, umumnya dibentuk oleh batuan malihan yaitu


sekis, genesis, amfibolit dan pualam(marmer). Dilapangan morfologi ini sangat mudah
dibedakan dengan yang lainnya. Satuan ini berketinggian lebih dari 1000m, dengan
puncak tertinggi Gunung Taunusa (1331m), umumnya berpuncak runcing, berlereng
terjal dengan lembah sempit, banyak air terjun.
Pegunungan bertonjolan halus umumnya tidak begitu terjal dan litologi
penyusun terdiri dari filit, batusabak, serpih dan batupasir, yang umumnya telah
mengalami pelapukan yang cukup kuat, dengan pola pengaliran dendritik.

Topografi Karst terdapat di bagian utara Seram Barat, hal ini disebabkan oleh
adanya sungai bawah tanah, dolena dan banyaknya gua gamping.

Perbukitan bergelombang, biasanya menempati daerah pinggiran (kaki)


pegunungan berketinggian antara 100-700m di atas permukaan laut. Morfologi ini pada
umumnya membentuk perbukitan bergelombang landai. Litologi penyusun adalah
batuan klastika seperti batupasir, batulempung, konglomerat.

Perbukitan kasar terdapat di Pulau Ambon dan di bagian barat Pulau Haruku.
Ketinggian 100 – 900 m di atas permukaan air laut. Morfologi ini dibentuk oleh batuan
gunungapi muda yaitu lava, breksi gunungapi, dan batuan terobosan. Dataran rendah
terdapat di bagian barat laut Seram Barat, daerah Kairatu setelah selatan piru dan bagian
timur daerah Pulau Boano. Morfologi ini disusun oleh endapan alluvial yang sebagian
berupa rawa, batugamping terumbu dan konglomerat berumur Kuarternari.

III.1.2. STARATIGRAFI PULAU AMBON

 Van Bemmelen ( 1949 )


Sejarah geologi ambon menurut Van Bemmelen (1949) dimulai dengan
pengendapan batupasir greywacke, serpih, batugamping dan radiolaria pada
Zaman Trias Atas, satuan ini terlipat kuat. Kemudian proses geologi berikutnya
didomonasi oleh kegiatan plutonik dan vulkanik di mana tidak selaras di atas
satuan batuan tertua (intrusi peridotit) yang diikuti oleh naiknya magma granitik
pada fase pengangkatan geantiklin. Granit diduga berumur Neogen sedangkan
batuan volkanik yang mengandung kordierit (Ambonite), diekstrusikan pada
akhir Tersier. Kegiatan paling akhir yang dihasilkan adalah Satuan Batuan “
Melafir “ yaitu bagian dari Ambonit yang terekstrusikan di bawah laut
menghasilkan lava basalt berstruktur bantal (Pillow Lava). Berikutnya terjadi
penurunan pulau tetapi kegiatan kegunungapian masih berlangsung,
diperlihatkan dengan adanya selang-seling batu apung dan napal. Pada Zaman
Kuarter terjadi pengangkatan berkala, yang mengakibatkan terbentuknya
batugamping terumbu tidak selaras di atas lapisan lebih tua disertai dengan
pengendapan hasil rombakan (Suprapto, Geologi Tinjau Lei Timor, LGPN –
LIPI, 1984). (Gambar 3.1)

 Berdasarkan telitian dari Tjokrosapoetra ( 1989 )


Satuan tertua adalah Satuan Ultrabasa, berdasarkan ditemukannya
kepingan peridotit didalam greywacke, Umur satuan ini belum dapat dipastikan
secara pasti namun diperkirakan berkisar antara Perm sampai Karbon. Tidak
selaras diatasnya adalah Formasi Knikeh ( TRjk ), yang terlipat kuat dan terdiri
dari selingan batupasir, serpih, lanau, dan batugamping, nama formasi ini
diajukan oleh Tjokosapoetra, dkk ( 1989 ) dengan lokasi tipe di sungai Kanikeh
di seram tengah.
Audley Charles ( 1976 ), berdasarkan fosil Halobia sp, Lovcenopura
vinassai GIATT,Monilivaltha sp,WANNER yang dijumpai di Seram Barat
menunjukkan formasi ini dari Trias Akhir – Jura, selain kontak ketidakselarasan
dengan satuan tertua sering pada dijumpai sebagai kontak sesar. Tidak selaras di
atasnya adalah satuan batuan Gunungapi Ambon ( Tpav ) yang terdiri dari lava
dasit, lava andesit, lava basalt, breksi gunung api, breksi tuf dan tuf. Dasar
penamaan diambil dari nama Pulau Ambon dimana tersingkap dengan baik dan
penyebaran yang luas. Satuan ini diekstrusikan pada Kala Pliosen bersamaan
dengan terjadinya penerobosan granit ( Tpag ) ke dalam batuan Paleozoikum
Atas dan Mezosoikum. Pada Kala Plistosen, terjadi pengendapan batugamping
terumbu ( Qcl ) secara selaras, selanjutnya endapan aluvial ( Qaal ) terbentuk
sejak Holosen hingga sekarang. (Gambar 3.1)

 Direktorat Geologi Tata Lingkungan ( 1989 ), juga pernah melakukan


penelitian di daerah Lei Timor.

Satuan peridotit dan serpentinit (Prdt) merupakan batuan tertua sebagai batuan
dasar dengan umur Pra – Perm ( dimungkinkan Devon ), tidak selaras di atasnya
Satuan Batupasir ( Mbps ) yang terdiri dari batupasir, sisipan serpih lanau,
konglomerat dan batugamping terumbu. Umur satuan ini diperkirakan Perm.
Bersamaan dengan diintrusikannya granit ( Pgmt ) pada kala Perm atas.
Kemudian tidak selaras di atasnya adalah Satuan batuan melafir ( Tmta ), yang
terdiri dari lava basalt yang telah mengalami ubahan. Umur satuan batuan ini
adalah Miosen. Selanjutnya tidak selaras diatasnya adalah Satuan Andesit (
Tamd ) yang berumur Miosen Atas. Pada kala Pliosen , Satuan Tuf ( Tvol ) yang
terdiri dari tuf, breksi volkanik dan lava andesit diendapkan selaras di atas
satuan Andesit. Pengendapan batugamping terumbu terjadi pada Kala Plestosen
secara selaras, yang diikuti dengan pembentukan Aluvial ( Qal ). (Gambar 3.1)
Gambar
3.1.
Keseban
dingan
stratigr
afi
Pulau
Ambon
(Van
Bemmel
en,1949;
Tjokosa
poetro,
dkk
1989 ;
Direkto
rat
Geologi
Tata
Lingkun
gan,
1989 )
III.1.3. Struktur Geologi Regional

Sesar yang dijumpai di daerah ini adalah sesar turun, sesar geser dan sesar naik.
Sesar turun umumnya berarah barat laut – tenggara dan timur laut – barat daya, terdapat
di Desa Larike – Desa Wakasihu dan Desa Soya – Desa Latuhalat serta Desa Mamala –
Desa Poka.. Sesar geser umumnya berarah timur laut – barat daya dan barat laut –
tenggara terdapat di Desa Hatu – Desa Durian Patah serta Desa Galala – Desa Hukurila.
Mulai Miosen Tengah sampai Pliosen terjadi proses tektonik yang sangat kuat di
daerah ini sebagai akibat pembenturan kerak samudera Laut Seram dengan Pulau
Seram. Tektonik ini menyebabkan terjadinya batuan gunungapi pada jalur magma
Uliaser (Ambon, Haruku, Saparua dan Nusalaut) di atas jalur benioff, serta timbulnya
batuan basa – ultrabasa. Batuan Gunungapi Kelang diduga keluar melalui jalur rekahan
dalam karena letaknya terpisah dari jalur magma Uliaser. Unsur-unsur struktur yang
terbentuk akibat proses tektonik tersebut adalah sesar naik, sesar mendatar dan sesar
turun. Beberapa cekungan kecil muncul akibat ketidakseragam gerak yaitu Cekungan
Buano, Cekungan Piru dan Kairatu.
Pada Kala Pliosen Atas kegiatan tektonik akibat penunjam tersebut berkurang
secara mencolok sehingga kegiatan magma juga terhenti, hal ini mungkin karena adanya
pengaruh Sesar Tarera – Aiduna yang memanjang dari Irian Jaya sampai selatan Pulau
Seram dan mulainya pembentukan antara Pulau Seram dengan kerak benua Australia –
Irian Jaya yang menyebabkan jalur Benioff kurang dari 100 Km, sehingga kegiatan
magma terhenti. (Gambar 3.2)
Proses tektonik yang terjadi pada Kuater tidak sekuat pada Miosen Tengah-
Pliosen. Proses ini menyebabkan batugamping Plistosen terangkat lebih 350 m seperti
terdapat di Desa Siwang. Terban Teluk Ambon diduga terbentuk pada Zaman Kuarter
dan masih aktif hingga kini. Gaya kompresi dari tektonik ini cukup kuat sehingga granit
ambon tersesarkan ke atas batuan ultrabasa.

III.1.4. Tektonik Busur Banda

Pulau Ambon merupakan hasil interaksi konvergen tiga lempeng, sehingga


menghasilkan tatanan geologi yang komplek. Busur punggungan non volkanik bagian
utara Busur Banda terdiri dari komplek melange berumur Tersier, dapat dijumpai di
Pulau Seram dan Pulau Buru, sedangkan Pulau Ambon sebagai busur vulkaniknya (
Hamilton, 1979 ).

Secara Regional Pulau Ambon baik stratigrafi maupun struktur masih banyak
dikaitkan dengan pulau-pulau besar yang berdekatan dalam hal ini dengan Pulau Seram
yang berada di sebelah utaranya, dan kesamaan dalam proses pembentukan dengan
Pulau Timor.

Katili (1975), menggambarkan perkembangan evolusi Busur banda termasuk


Timor, mempunyai dua tahap yang berbeda, pada tahap awal lempeng samudra Hindia –
Australia menunjam di bawah lempeng oceanic Banda, pada tahap berikutnya adalah
menunjamnya kerak kontinen Australia ke dalam zona penunjaman Banda yang telah
terbentuk sebelumnya, sebagai gerak kontinen Australia ke arah utara, mengakibatkan
menurunnya aktivitas zona subduksi yang telah terbentuk sebelumnya, dibuktikan
dengan sedikitnya gunungapi aktif di Busur Banda dalam.

Pergerakan lempeng samudra pasifik ke arah barat menyebabkan sesar geser


trunscurent mengakhiri membuat Busur Banda lebih jauh bergeser ke arah barat.

Busur Banda memiliki sistem penunjaman aktif yang terdiri dari palung,
punggungan dan cekungan busur laut serta busur magmatik yang posisinya konsentris
dan hampir mengelilingi Laut Banda. Busur punggungan non volkanik, Busur Banda
bagian utara umumnya terdiri dari kompleks Melange berumur Tersier terdapat di Pulau
Seram dan Pulau Buru.

Dengan demikian lingkungan pembentukan batuan juga akan menunjukkan ciri


yang berbeda. Hal ini terutama akan terlihat pada bagian sedimen-sedimen berumur
Tersier, sedangkan lain tempat dan kumpulan batuan yang ada akan dikontrol oleh
proses tektonik yang mengikutinya seperti sesar naik, sesar mendatar, dan sesar turun.
(Gambar 3.2)
Sumber : Nilandaroe, dkk, dalam Proceding Indonesian Petroleum Assosiation, 2006 – 28th
Annual Convetion and Exhibition.

Gambar 3.2. Setting tektonik Pulau Seram dan Pulau Ambon


III.2. Batuan Vulkanik

Batuan vulkanik menurut Schieferdecker (1959) dalam Sutikno Brunto (2006)


adalah batuan yang terbentuk sebagai hasil aktivitas gunung api baik langsung maupun
tidak langsung. Aktivitas gunungapi diartikan sebagi proses erupsi atau keluarnya
magma dari dalam bumi ke permukaan melalui kaldera / kawah dalam berbagi bentuk
dan kegiataannya. Pengertian langsung di sini bahwa bahan erupsi gunungapi setelah
mendingin / mengendap kemudian membantu di tempat itu juga (in situ). Sedangkan
pengertian tidak langsung menunjukkan bahwa endapan batuan tersebut tealh
mengalami perombakan atau deformasi baik oleh aktivitas vulkanisme yang lebih baru,
proses sedimentasi kembali maupun aktifitas tektonika.

Beberapa peneliti terdahulu ( Inockolds dan Allen 1953,1956; dan Tilley, 1962 )
telah memisahkan batuan vulkanik menjadi dua seri utama yaitu seri alkali dan non
alkali, di mana seri alkali dibedakan anatara seri toleit dan seri kalk alkali.

Untuk membedakan seri alkali dan non alkali menggunakan hubungan antara
seri SiO2 dan kandungan alkali total ( Na2O dan K2O ), perbandingan K2O vs Na2O dan
Na2O terhadap SiO2.

Sedangkan untuk membedakan seri toleit dan kalk alkali menggunakan variasi
hubungan antara MgO, FeO ( FeO total ) dan alkali ( Na2O + K2O ) dan hubungannya
antara SiO2 terhadap FeO/MgO.

Berdasarkan aktivitas gunungapi dapat dipahami bahwa:

- Pada perjalannya kepermukaan bumi magma dapat benar – benar keluar atau
sebagian keluar atau sebagian membeku di dekat permukaan atau seluruhnya
membeku di dekat permukaan.
- Pada perjalanannya ke permukaan, magma membeku sangat cepat sehingga
sebagian bahkan seluruhnya membentuk gelas gunungapi ( volcanic glass )
pembekuaan sangat cepat itu terjadi karena magma yang bertemperatur antara
9000- 1200 C secara cepat keluar ke permukaan bumi yang mempunyai
temperatur di bawah 300 C. Bahkan di bawah dasar laut dalam atau daerah
temperatur di bawah 00 C. Gelas gunungapi ini sebenarnya adalah mineral yang
tidak berbentuk kristal ( amorf ), berasal dari magma dan merupakan bahan
silika atau oksida SiO2. Di dalam bahan silikat masih ada unsur atau oksida lain,
seperti aluminium ( Al2O3 ), Magnesium ( MgO ), ( FeO dan Fe2O3 ), Calcium (
CaO), Titanium ( TiO2 ), Mangan ( MnO), Natrium ( Na2O), Kalium ( K2O ).
- Mineral yang mengkristal pada umumnya mempunyai waktu pendinginan sangat
cepat karen pertumbuhannya sangat terganggu oleh proses pendinginan. Hal ini
dicirikan antara lain dengan struktur zoning, fibrous structure, skeletal crystal,
embayment corrison, banded microcrystalline, rekahan pada kristal dan yang di
dalamnya mengandung inklusi gunungapi.
- Di bagian luar tubuh gungunapi biasanya terdapat lubang bekas keluarnya gas
gunungapi ( vesikular structure) dan perekahan yang terjadi selama proses
pergerakan ke permukaan ( high llevel intrusive ) atau sudah keluar ke
permukaan secara meleleh ( effusive eruptions ) membentuk lava koheren yang
pada akhirnya menjadi batuan beku masif. Sedangkan magma yang keluar ke
permukaan secara meletus ( eksplosive eruptions ) menghasilkan batuan beku
terfragmentasi yang disebut pyroclast, berasal dari kata pyro artinya api, clast
berarti butiran, fragmen, kepingan. Jadi pyroclast adalah butiran batuan pijar
yang dilontarkan keluar atau ( ejected material ) dari lubang kawah pada saat
letusan gunungapi. Pyroclast atau istilah lain ejected ini mempunyai berbagai
ukuran, mulai dari butiran halus ( abu / debu gunungapi Ø ≤ mm ), berbutir
sedang ( lapili Ø ± 2 – 64 mm ) sampai dengan berbutir kasar ( block / bom
gunungapi, Ø > 64 mm ). Batuan ini secra khusus disebut batuan piroklastik dan
secara umum membetuk batuan gunungapi bertekstur ( volcaniclastika rocks ).

Dengan demikian secara deskripsi batuan gunungapi mempunayi ciri – ciri khas di
dalam tekstur dan komposisi, sebagai berikut:

1. Tekstur hipokristalin porfiritik, gelas, baik didalam lava koheren maupun


sebagai komponen bahan klastika.
2. Komposisi selalu mengandung gelas gunungapi; kristal yang terbentuk pada
umumnya menunjukkan tekstur dan struktur pendinginan magma sangat cepat;
komponen fragmen batuan kebanyakan terdiri dari fragmen batuan beku ( luar ).
Seperti basalt, andesit, dasit atau riolit. Namun demikian tidak menutup
kemungkinan terdapat fragmen batuan samping dan batuan dasar ikut terlontar
keluar sebagi bahan aksesoris dan accidental material.
Warna batuan gunungapi sangat beragam berpengaruh oleh komposisi kimia dan
mineral penyusunnya, mulai dari warna gelap umumnya untuk batuan berkomposisi
basa, abu – abu untuk batuan berkomposisi menegah dan warna terang batuan
berkomposisi asam.

III.3 Komposisi Mineral Penyusun Batuan Beku

Membahas tentang komposisi mineral pada batuan beku akan sangat


berhubungan dengan reaksi Bowen. Seri reaksi Bowen merupakan suatu skema yang
menunjukkan urutan kristalisai dari mineral – mineral pembentuk batuan beku. (Gambar
3.3)

Gambar 3.3. Skema seri reaksi Bowen

Dalam proses pendinginan magma dimana itu tidak langsung semuanya


membeku, tetapi mengalami penurunan temperatur secara perlahan bahkan mungkin
cepat. Penurunan ini disertai mulainya pembentukan dan pengendapan mineral-mineral
tertentu yang sesuai dengan temperaturnya. Pembentukan mineral dalam magma karena
penurunan temperatur telah disusun oleh Bowen dalam suatu skema yang disebut
dengan Bowen’s reaction series.
Sebelah kiri dari Bowen’s reaction series mewakili mineral-mineral mafik. Yang
pertama kali terbentuk dalam temperatur sangat tinggi adalah olivin akan tetapi jika
magma tersebut jenuh oleh SiO2 maka piroksenlah yang akan terbentuk pertama kali.
Olivin dan piroksen merupakan pasangan “ incongruent melting “ , setelah
pembentukan olivin akan beraksi dengan larutan sisa membentuk piroksen. Temperatur
menurun terus dan pembentukan mineral – mineral berjalan sesuai dengan
temperaturnya. Mineral yang terakhir terbentuk adalah biotit yang dibentuk dalam
temperatur.

Sebelah kanan Bowen’s reaction series diwakili oleh mineral kelompok


plagioklas, karena mineral ini paling banyak terdapat dan tersebar luas. Anorthit adalah
mineral yang pertama kali terbentuk pada suhu yang tinggi dan banyak terdapat pada
batuan beku basa seperti gabro atau basalt. Andesin terbentuk pada suhu menengah dan
terdapat pada batuan beku diorit atau andesit, sedangkan mineral yang terbentuk pada
suhu rendah adalah albit, mineral ini banyak tersebar pada batuan asam seperti granit
atau riolit. Reaksinya berubahnya komposisi plagioklas ini erupakan deret “ Solid
Solution “ yang merupakan reaksi continue, artinya kristalisasi plagioklas Ca-plagioklas
Na, jika reaksi seimbang akan berjalan menerus. Dalam hal ini anorthit adalah jenis
plagioklas yang kaya Ca, sering disebut juga “Calcic Plagioclas“ sedangkan albit
adalah plagioklas kaya Na (Sodic Plagioklas Alkali Plagioklas).

Pada dasarnya komposisi mineral pada suatu batuan dikelompokkan menjadi


tiga kelompok mineral yaitu :

1. Mineral utama
Mineral – mineral ini terbentuk langsung dari kristalisasi magma dan
kehadirannya sangat menentukan dalam penamaan batuan. Berdasarkan dan
densitasnya dikelompokkan menjadi dua yaitu:

a. Mineral felsik ( mineral berwarna terang dengan densitas rata – rata 2,5
– 2,7), yaitu :
- Kwarsa ( SiO2)
- Kelompok feldspar, terdiri dari seri feldspar alkali ( K2Na ) AlSi2O3.
Seri feldspar alkali terdiri dari sanidin, ortoklas, anortoklas, adularia
dan mikroklin. Seri plagioklas terdiri dari albit, oligoklas, andesin,
labradorit, dan anortit.
- Kelompok feldspatoid terdiri dari nafelin, sodalit, leusit.
b. Mineral mafik ( mineral – mineral feromagnesia dengan warna gelap
dan densitas rata – rata 3,0 – 3,5 ), yaitu :
- Kelompok olivin terdiri fayalit dan forsterit
- Kelompok piroksen terdiri dari hipersten, augit, diopsid
- Kelompok mika terdiri dari biotit, muskovit
- Kelompok amphibole terdiri hornblende, tremolit, aktinolit.

2. Mineral sekunder
Merupakan mineral-mineral ubahan dari mineral utama, dapat dari
hasil pelapukan reaksi hidrothermal maupun hasil metamorfisme terhadap
mineral-mineral utama. Dengan demikian mineral – mineral ini tak ada
hubungannyadengan pembekuan magma ( non pirogenik ).
Mineral – mineral ini terdiri dari :
1. Kelompok kalsit ( kalsit, dolomit, magnesit, siderit ) dapat terbentuk dari
hasil ubahan mineral plagioklas.
2. Kelompok serpentin ( antigorit dan krisotil ), umumnya terbentuk dari
ubahan mineral mafik ( terutama kelompok olivin dan piroksen ).
3. Kelompok klorit ( proktor, penin, talk ) umumnya terbentuk dari hasil
ubahan mineral kelompok plagioklas
4. Kelompok serisit sebagai ubahan dari plagioklas.
3. Mineral tambahan
Merupakan mineral – mineral yang terbentuk pada kristalisasi
magma, magma umumnya dalam jumlah sedikit. Apabila hadir dalam
jumlah cukup banyak tetap tidak mempengaruhi penamaan batuan, tetapi hal
ini bisa mempunyai nilai ekonomis. Termasuk dalam golongan ini antara
lain: hematit, spene, muskovit, rutile, magnetit, zeolit, apatit, dan lain – lain.
III.4. Seri Batuan Beku

Berdasarkan kandungan senyawa kimianya batuan beku dapat dibagi


menjadi seri toleit, kalk alkali, kalk alkali kaya kalium, dan alkali atau sosonitik.
Dalam sayatan tipis batuan dalam seri ini dapat diamati dengan baik apalagi
didukung dengan data lapangan. Dengan memperhatikan kemelimpahan batuan
tersebut di lapangan, tekstur, dan komposisi mineralnya.
Adapun ciri – ciri batuannya adalah sebagi berikut :
- Seri kalk alkali :
- Andesit hadir secara melimpah
- Bertekstur porfiritik kuat, fenokrisnya melimpah
- Fenokris plagioklas sangat umum
- Fenokris hipersten, augit, hornblende, dengan sesekali biotit, olivine, dan
sanidin adalah umum.
- Plagioklas dan kuarsa biasanya ditemukan sebagai fenokris pada anggota
batuab beku asam.
- Olivin membentuk reaction rim dan hipersten.
- Zonasi komposisi normal, terbalik, maupun oskilatori umum didapati.
- Hipersten muncul pada semua anggota riolit.
- Masa dasar anggota basa berupa kristalin.
- Kehadiran magnetit pada anggota basa melimpah berikutnya semakin
sedikit pada anggota intermediate dan asam.
- Seri andesit
- Basalt dan basaltik andesite hadir secara melimpah.
- Bertekstur porfiritik lemah hingga afirik.
- Olivin piroksen adalah mineral mafik yang utama
- Hornblende dan biotit hadir sanagt sedikit dan bahkan sering tidak ada.
- Dibandingkan pada anggota basa dan asamnya kehadiran magnetik dan
ilemnit pada anggota intermediate lebih melimpah.
- Seri alkali
- Hadir hematit dan fonolit
- Pada anggota basa, plagioklas merupakan fenokris utama berupa bitownit
dan labradorit. Pada anggota asamnya berupa oligoklas. Umumnya hadir
ada feldspar alkali ( ortoklas dan sanidin ) sebagai fenokris utamanya.
- Pada anggota basa olivin hadir berupa forsterit dan berupa fayalit pada
trakit.
- Pada anggota basa piroksen klino kaya Ca hadir, sedangkan pada trakit
hadir berupa henasenbergit.
- Amfibol dan biotit hadir pada anggota basanit dan fonolit, sedangkan pada
trakit hadir sebagai masa dasar.
- Nefelin mengkristal pada anggota basanit hingga fonolit, ada kemungkinan
bergabung deangan sodalit.
- Iienit hadir pada anggota basanit hingga fonolit dan alkali basalt hingga
trakit. Sebagi mineral asesori dapat hadir sebagi fenokris ataupun masa
dasar.

III.5. Magmatisme Busur Kepulauan

Gunungapi yang muncul dibatas lempeng konvergen atau di daerah


sebduksi menghasilkan batuan volkaniik orogenik. Salah satu cirinya adalah
hampir selalu jenuh atau sangat jenuh silika, kecuali pada beberapa gunungapi
yang muncul pada posisi belakang busur. Klasifikasi lava orogenik berdasrkan
kandungan SiO2 dan K2O dapat mengindentifikasikan empat seri lava (
Peccerillo & Taylor, 1976; Maury, 1984 ): seri toleitik busur kepulauan, seri
kalkalkali potassik dan seri shosonitik.
Batuan volkanik orogenik pada umumnya sangat porfiritik dengan
volume fenokris 20 – 50 % plagioklas klasik umumnya menunjukkan zonasi
optik maupun kimiawi dan mengkristaol sejak awal bersama olivin pada batuan
basltik dan bersama – sama dengan piroksen pada batuan andesit. Piroksen hadir
pada batuan basltik hingga dasitik, augit, dan pigeonit pada seri toleotik busur
kepulauan, dan hipersten dalam seri yang lain. Karena berevolusi dalam keadaan
fugaeiti oxygene tinggi dan tekanan air kuat, maka seri alkali, kalk alkali
potassik, shosonitik sering mengandung fenokris titanomagnetit, amphibol, dan
mika ( Maury, 1984 ).
Secara geokimia lava orogenik pada umumnya kaya kan Al2O3 ( > 16 %
) dan miskin titan ( TiO2 < 1,2 % ), ( Pearce, 1982; Mauri, 1984 ). Batuan
basaltik lebih miskin nikel ( 14 – 50 ppm ) dan chrome ( 100 – 160 ppm )
dibanding basalt tholeite dan basalt alkali intra – plate ( Pearce, 1982 ).
Pada gambar di atas magma toleitik dapat dijumpai di : sub oceanic ridge
oceanic island, arc trench, magmtic arc, dan back arc. Magma kalk alkali
dikemukan “active continental margin” atau pada daerah yang berhubungan
dengan subduksi.
Pada busur magmatis yang belum dewasa (immature) maka komponen
batuannya adalah toleit, karena kerak masih tipis sehingga partial melting
(pelelehan sebagian) lebih banyak terpengaruh oleh samudera sehingga
dihasilkan tholeit. Apabila busur kepulauan semakin tebal (lempeng semakin
tebal) maka terbentuk kalk alkali dan alkali.
Pada back arc terjadi spreading yang kecil ( minor spread center ) dan
terjadi aktivitas vulkanisme.
BAB IV

GEOLOGI DAERAH TELITIAN

IV.1. Geomorfologi

Secara fisiografis kepulauan Maluku ditandai oleh rangkaian pulau – pulau besar
maupun kecil yang terpisah satu sama lain oleh lekukan (basin), parit laut (through),
dan punggungan bawah laut (ridge). Wilayah Maluku dibagi menjadi dua bagian, yaitu
Maluku Utara yang mencakup Sistem Sangihe, Sistem Ternate, dan Halmahera.
Sedangkan Maluku Selatan meliputi Pulau Ambon dan sekitarnya. Maluku bagian
selatan lazim disebut busur banda, wilayah kepulauan ini terdiri dari rangkaian pulau-
pulau besar dan kecil yang agak sejajar, dan mengitari lekukan dalam Laut Banda
sebagai suatu sistim orogenesa (sistim pembentukan pegunungan).

Banda Basin Central atau Lekukan Banda mempunyai kedalaman lebih kurang
5000 meter dan dikelilingi oleh dua busur kepulauan yang sejajar satu sama lain, yaitu :

Gambar 4.1. Penunjaman Kerak Benua dan Samudera

 Busur Banda Luar , merupakan Busur banda non vulkanis, termasuk di


antaranya adalah Pulau Boano, Pulau Kelang, Pulau Manipa, dan Pulau Seram
bagian barat.
 Busur Banda Dalam, merupakan busur vulkanis dan termasuk dalam orogen
Maluku (Westerveld, 1952). Termasuk di antaranya adalah Pulau Ambon dan
Pulau Haruku.
Morfologi Lembar Ambon dibagi dalam 6 (enam) satuan yaitu :
 Pegunungan Bertonjolan Kasar ( rugged mountains ), umumnya dibentuk oleh
batuan malihan yaitu : sekis, geneis, amfibolit, dan pualam. Baik dari foto udara
maupun di lapangan, morfologi ini sangat mudah dibedakan dengan yang
lainnya. Satuan ini berketinggian lebih dari 1000 meter, dengan pucak tertinggi
adalah Gunung Taunusa ( 1331 m ), umumnya berpuncak runcing, berlereng
terjal dengan lembah sempit, banyak air terjun.
 Pegunungan Bertonjolan Halus, menempati bagian terbesar di bagian tengah
Seram Barat, ketinggian antara 1000 – 1240 meter. Dicirikan oleh puncak halus,
berlereng tidak begitu terjal. Litologi penyusun terdiri dari filit, batusabak,
serpih, dan batupasir pada umumnya telah mengalami pelapukan cukup kuat.
Pola aliran sungai Dendritik.
 Topografi Karst, terdapat di bagian utara Seram Barat dan bagian barat Pulau
Boano. Morfologi ini dicirikan dengan adanya sungai bawah tanah, dolena , dan
banyaknya gua gamping.
 Perbukitan bergelombang, biasanya menempati darah pinggiran ( kaki )
pegunungan berketinggian antara 100 – 700 meter diatas permukaan air laut.
Morfologi ini umumnya membentuk perbukitan bergelombang dan berlereng
landai. Litologi penyusun adalah sedimen klastika seperti batupasir,
batulempung, konglomerat.
 Perbukitan kasar, terdapat di Pulau Ambon dan bagian barat Pulau Haruku.
Ketinggian antara 100 – 900 meter di atas permukaan air laut. Morfologi ini
dibentuk oleh batuan gunungapi muda yaitu : lava, breksi gunungapi dan batuan
terobosan. Umumnya membentuk perbukitan terjal dengan lembah yang sempit
( bentuk “V” ).
 Dataran rendah terdapat di bagian barat laut Seram Barat, di daerah Kairatu,
sebelah selatan Piru dan di bagian timur Pulau Boano. Morfologi ini disusun
oleh endapan alluvial yang sebagian berupa rawa, batugamping terumbu, dan
konglomerat berumur Kuarter. Ketinggian dari beberapa meter sampai puluhan
meter di atas permukaan air laut. Sungai – sungai yang mengalir di daerah ini
umumnya berlembah lembah dan berkelok – kelok (Meandering).
IV.1.1. Geomorfologi Daerah Telitian

Secara Umum daerah telitian merupakan daerah berbukit – bukit hingga datar,
dengan kemiringan lereng 2 – 17% , dengan ketinggian dari permukaan air laut antara 0
– 556 meter.

Daerah tertinggi berada pada puncak Gunung Tersii, daerah terendah dijumpai
di sepanjang pantai saerah telitian. Penelitian di lapangan menunjukkan sebagian besar
daerah telitian terdiri atas litologi batuan ultrabasa dan sebagian tersusun oleh batuan
beku yang berupa intrusi granit serta batuan vulkanik, yang masing-masing
menunjukkan morfologi yang khas dan banyak dipengaruhi oleh resistensi batuan, serta
dipengaruhi oleh struktur yang bekerja pada daerah telitian.

Dalam pembagian satuan geomorfik pada daerah penelitian, penulis mengacu


pada klasifikasi yang dibuat oleh Desaunettes ( 1972 ), pembagiannya berdasarkan :
besarnya lereng atau slope, sifat – sifat bentang alam. Daerah penelitian dapat dibagi
menjadi lima satuan geomorfik dan tujuh subsatuan geomorfik, berikut adalah tabel
pembagian satuan geomorfik daerah telitian.

Tabel 4.1 Pembagian satuan geomorfologi Daerah Hukurila dan sekitarnya berdasarkan
klasifikasi Dessaunettes (1972)

Satuan Geomorfik Subsatuan Geomorfik


Dataran Dataran Pantai
Lapies
Karst Topografi
Punggungan Karst
Perbukitan
Perbukitan
Kaki Bukit
Pegunungan Dataran Tinggi
Sistem Vulkanik Pumggungan Vulkanik
IV.1.1.1. Satuan Geomorfik Dataran

IV.1.1.1a. Dataran Pantai

Subsatuan ini menempati daerah dengan morfologi yang relatif datar, yang
membentang pada bagian tenggara dari daerah telitian, meliputi Desa Rutong dan Desa
Leahari. Ekspresi litologi, memperlihatkan bentuk topografi hampir datar, dengan
kelerengan < 2%, dan ketinggiannya 0 – 12,5m dari permukaan air laut.

Endapan yang menyusun satuan ini terdiri dari material – material lepas
(transported) dari batuan asal yang berukuran pasir sampai kerikil dan juga tersingkap
batugamping terumbu di sepanjang bibir pantai. (Foto 4.1)

Satuan morfologi dataran ini juga sebagai salah satu wisata pantai yang ada di
daerah telitian.

Foto 4.1. Kenampakan dataran pantai , Lokasi Hutumuri, Pantai Lawena.


IV.1.1.2. Satuan Geomorfik Karst Topografi

IV.1.1.2a. Sub Satuan Geomorfik Lapies

Daerah ini membentuk pola khusus yaitu pola daerah karst dan berbentuk lapies.
Sub Satuan ini membentuk kurang lebih 18 % dari luas daerah penelitian. Kemiringan
lerengnya 3 – 16% dari permukaan air laut dengan ketinggian 12,5 - 150 meter. (Foto
4.3)

Tersusun oleh batugamping terumbu, dan marmer di mana penyebaran sub


satuan ini menyebar secara luas di bagian tenggara dari dearah telitian meliputi Desa
Rutong, sampai dengan tanjung leahari. (Foto 4.2)

Foto 4.2. Kenampakan singkapan batugamping terumbu, Lokasi Desa Leahari, Pantai Leahari,
LP 15.

Foto 4.3. Satuan geomorfik karst topografi, subsatuan lapies yang memperlihatkan morfologi yang
khas, Lokasi Desa Hutumuri.
IV.1.1.3. Satuan Geomorfik Perbukitan

IV.1.1.3a. Sub Satuan Geomorfik Perbukitan

Sub Satuan ini menempati daerah yang cukup luas yaitu kurang lebih 22% dari
luas daerah penelitian. Merupakan bentang alam yang berbukit – bukit dengan alur
lembah yang cukup dalam. Daerah ini banyak terdapat pemukiman penduduk berupa
perkampungan setempat – setempat di mana antara kampung dihubungkan hanya
dengan jalan setapak yang melalui bukit–bukit yang bergelombang. Perkampungan
tersebut adalah Kilang, Naku, Hatalai , dan Soya. ( Foto 4.4)

Litologi penyusun sub satuan geomorfik ini sebagian besar adalah tubuh intrusi
granit. Mempunyai lereng yang terjal – bergelombang ( 20 – 55% ).

Foto 4.4. Satuan geomorfik perbukitan, subsatuan perbukitan yang memperlihatkan morfologi
yang khas , Lokasi Soya dengan arah foto N65°E.
IV.1.1.3b. Sub Satuan Geomorfik Kaki Bukit

Sub satuan ini menempati daerah yang paling luas yaitu 18% dari luas
keseluruhan daerah penelitian. Merupakan bentang alam yang bergelombang sampai
landai dan merupakan bagian kaki ( bawah ) dari suatu sistem perbukitan. (Foto 4.5)

Mempunyai kemiringan lereng 5 – 25% dengan ketinggian 100 – 200 meter.


Yang termasuk wilayah ini adalah Daerah Soya Bawah, dan W. Rohu. Sub Satuan
Geomorfik ini didominasi oleh batuan ultrabasa dan granit.

Foto 4.5. Satuan geomorfik perbukitan, subsatuan kaki bukit yang memperlihatkan morfologi
yang khas , Lokasi Kayu Putih ,dengan arah foto N056ºE.

Pola Pengaliran Yang Berkembang Pada Satuan Geomorfik Perbukitan

Pada Satuan Geomorfik perbukitan ini, berdasarkan pola pengaliran yang bekerja pada
daerah telitian. Penulis menyimpulkan bahwa pola pengalirannya adalah subparalel (
Howard,1966 ) . Pola pengaliran subparalel ini adalah modifikasi dari pola pengaliran
paralel. Bentuk sungai mulanya lurus dan sejajar telah mulai membelok dan bercabang
yang dikontrol oleh perbedaan resistensi batuan dan struktur yang bekerja di daerah
telitian.

Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya sesar normal yang terdapat pada daerah
telitian, serta disusun oleh batuan ultrabasa dan granit. Struktur yang bekerja di daerah
telitian sangat terlihat dengan adanya pembelokan sungai secara tiba-tiba dan banyak
ditemukannya air terjun. ( Foto 4.6 )

Foto 4.6. Kenampakan air terjun, Lokasi W.Hosu LP 60


IV.1.1.4. Satuan Geomorfik Pegunungan

IV.1.1.4a. Sub Satuan Geomorfik Pegunungan

Sub satuan ini merupakan daerah yang tertinggi di daerah penelitian dengan
ketinggian mencapai 100 - 556 meter dari permukaan air laut , dengan kelerengan 30 –
100%.

Berdasarkan data geologi tersusun oleh batuan beku ultrabasa yang cukup
resisten yang merupakan bagian dari Satuan Serpentinit. Menempati kurang lebih 9%
dari luas penelitian.

Foto 4.7. Satuan geomorfik pegunungan, subsatuan Pegunungan yang memperlihatkan morfologi
yang khas , Lokasi Hukurila ,dengan arah foto N235°E.

Pola Pengaliran Yang Berkembang Pada Satuan Geomorfik Pegunungan

Pada Satuan Geomorfik pegunungan ini, berdasarkan pola pengaliran yang bekerja pada
daerah telitian. Penulis menyimpulkan bahwa pola pengalirannya adalah paralel (
Howard, 1966 ) . Pola aliran ini relatif sejajar satu sama yang lain, dan mengontrol
daerah yang berlereng sedang sampai dengan terjal, merupakan transisi dari pola
pengaliran dendritik dan trellis.
IV.1.1.5. Satuan Geomorfik Sistem Vulkanik

IV.1.1.5a. Sub Satuan Geomorfik Punggungan Vulkanik

Sub satuan ini menempati daerah dengan kemiringan lereng lebih besar dari 16% ,
membentuk topografi hilly ( Miring Sedang ). Ketinggian terendah 150 meter, tertinggi
300 m dari permukaan laut. Alur – alur dan lembah sungai berkembang baik, berbentuk
huruf “ V “ , tersusun atas litologi batuan breksi vulkanik dan batupasir kuarsa,
menempati 15% dari daerah penelitian , meliputi daerah W.Yuri dan W.Wakauli. ( Foto
4.8 )

Foto 4.8. Satuan geomorfik sistem vulkanik, punggungan vulkanik , Lokasi W.Yuri, arah foto N
045°E.
IV.2. Stratigrafi

Van Bemmelen ( 1949 ), menyimpulkan urutan staratigrafi P. Ambon


berdasarkan berbagai tulisan dan laporan peneliti terdahulu adalah sebagai berikut :

Sejarah geologi ambon dimulai dengan pengendapan batupasir greywacke,


serpih, batugamping dan radiolaria pada Zaman Trias Atas, satuan ini terlipat kuat.
Kemudian proses geologi berikutnya didomonasi oleh kegiatan plutonik dan vulkanik di
mana tidak selaras di atas satuan batuan tertua ( intrusi peridotit ) yang diikuti oleh
naiknya magma granitik pada fase pengangkatan geantiklin. Granit diduga berumur
Neogen sedangkan batuan volkanik yang mengandung kordierit ( Ambonite ),
diekstrusikan pada akhir Tersier. Kegiatan paling akhir yang dihasilkan adalah Satuan
Batuan “ Melafir “ yaitu bagian dari Ambonit yang terekstrusikan di bawah laut
menghasilkan lava basalt berstruktur bantal ( Pillow Lava ). Berikutnya terjadi
penurunan pulau teteapi kegiatan kegunungapian masih berlangsung, diperlihatkan
dengan adanya selang – seling batu apung dan napal. Pada Zaman Kuarter terjadi
pengangkatan berkala, yang mengakibatkan terbentuknya batugamping terumbu tidak
selaras di atas lapisan lebih tua disertai dengan pengendapan hasil rombakan ( Suprapto,
Geologi Tinjau Lei Timor, LGPN – LIPI, 1984 ).

Berdasarkan Uraian Uraian dari Tjokrosapoetra ( 1989 ), urutan stratigrafi


dari tua ke muda adalah sebagai berikut :

Satuan tertua adalah Satuan Ultrabasa, berdasarkan ditemukannya kepingan


peridotit di dalam greywacke, Umur satuan ini belum dapat dipastikan secara pasti
namun diperkirakan berkisar antara Karbon sampai Perm. Tidak selaras di atasnya
adalah Formasi Knikeh ( TRjk ), yang terlipat kuat dan terdiri dari selingan batupasir,
serpih, lanau, dan batugamping, nama formasi ini diajukan oleh S. Tjokosapoetro, dkk (
1989 ) dengan lokasi tipe di sungai Kanikeh di Seram Tengah. Audley Charles ( 1976 ),
berdasarkan fosil Monilivaltha sp,WANNER yang dijumpai di Seram Barat
menunjukkan formasi ini dari Trias Akhir – Jura, selain kontak ketidakselarasan dengan
satuan tertua sering pada dijumpai sebagai kontak sesar. Tidak selaras di atasnya adalah
satuan batuan Gunungapi Ambon ( Tpav ) yang terdiri dari lava dasit, lava andesit, lava
basalt, breksi gunung api, breksi tuf dan tuf. Dasar penamaan diambil dari nama Pulau
Ambon dimana tersingkap dengan baik dan penyebaran yang luas. Satuan ini
diekstrusikan pada Kala Pliosen bersamaan dengan terjadinya penerobosan granit (
Tpag ) ke dalam batuan Paleozoikum dan Mezosoikum. Pada Kala Plestosen, terjadi
pengendapan batugamping terumbu (Qcl) secara selaras, selanjutnya endapan aluvial (
QAl ) terbentuk sejak Holosen hingga sekarang.

IV.2.1. Stratigrafi Daerah Telitian

Secara umum litologi yang tersingkap di daerah penelitian terdiri atas tujuh satuan
batuan ultrabasa, Satuan batuan granit, satuan batupasir, satuan marmer, satuan batuan
breksi vulkanik, satuan batugamping terumbu, dan endapan alluvial.

IV.2.1. Satuan Ultrabasa

A. Dasar Penamaan.

Satuan ini diusulkan pertama kali oleh Verbeek (1905) sebagai satuan peridotit.
Kemudian digunakan pula oleh Valk ( 1945 ). Suparka dan kawan – kawan (1984)
menamakan satuan ini sebagai satuan ultrabasa (Ub) begitu juga dengan Tjokrosaputro
dan kawan – kawan (1989). Daniel Napitupulu (1989) menamakan Satuan peridotit dan
serpentinit (Prdt) untuk satuan ini. Adapun dasar penamaan satuan ini ditinjau dari
penyebaran batuan ini yang luas dan baik di wilayah Seram Barat sampai ke Ambon.

B. Pemerian Litologi Satuan Ultrabasa.

Satuan ultrabasa ini terdiri dari batuan peridotit dan serpentinit. Secara umum sangat
sulit membedakan keduanya, karena kenampakan fisiknya di lapangan hamper serupa,
yaitu mempunyai warna abu-abu kehijauan, massif, holokristalin, fanerik kasar,
euhedral, equigranular panidiomorfik, komposisi mineral : piroksen, hornblende.(Foto
4.9)
(a)

(c)

(b)

Foto 4. 9 (a) Kenampakan batuan serpentinit. (b) Kenampakan batuan serpentinit yang
terkekarkan dan terisi oleh mineral serpentin, yang berwarna putih kehijau-hijauan hasil ubahan
mineral mafik. (c) Kenampakan secara umum singkapan batuan peridotit di lapangan, yang telah
mengalami pelapukan dan berpotensi sebagai longsoran.

Foto 4.10. Kenampakan bidang penggerusan serta rekahan – rekahan yang terisi oleh mineral
serpentin.

Secara umum kenampakan batuan ultrabasa di lapangan banyak dijumpai bidang


penggerusan yang menunjukkan bahwa adanya deformasi yang sangat kuat terjadi pada
daerah telitian, sehingga sangat berpotensi menghasilkan ubahan – ubahan dari mineral
mafik menjadi mineral serpentin dan kadang menjadi serpentin yang mengisi rekahan-
rekahan pada batuan peridotit.

(a)

(b)

(c)

Foto 4. 11. ( a ) Kenampakan rekahan-rekahan yang terbentuk pada batuan serpentinit akibat
deformasi yang berkembang pada daerah telitian. ( b ) Singkapan batuan serpentinit serta conto
batuan serpentinit, dalam kondisi lapuk. ( c ) Kenampakan singkapan dari batuan serpentinit yang
terisi oleh mineral serpentin di lapangan.
Umumnya batuan peridotit banyak mengandung unsur besi sehingga banyak dijumpai
dalam keadaan yang sangat lapuk, karena mudah teroksidasi.

C. Penyebaran Satuan Batuan

Satuan ini menempati sebagian besar daerah telitian dengan luas penyebaran pada
peta kurang lebih 35%. Sebagian besar berada di bagian tenggara sampai dengan bagian
barat daya daerah telitian. Tersingkap dengan baik di Gunung tersili serta bukit – bukit
sekitarnya.

D. Umur Satuan Batuan Ultrabasa

Umur satuan ini secara pasti belum diketahui, karena belum adanya dating yang
dilakukan oleh peneliti terdahulu untuk dipakai sebagai kesebandingan.

Verbeek ( 1898 ) menentukan batuan ini berumur Pra – Perm, dimungkinkan


Devon. Sedangkan Tjokrosapoetro dan kawan – kawan ( 1989 ) mengatakan bahwa
umur satuan ini diperkirakan Perm, dengan ditemukannya kepingan peridotit di dalam
greywacke, pada Formasi Kanikeh di Seram Barat, sedangkan umur Formasi Kanikeh
berdasarkan fosil Halobia sp, Montlivaltia molukkana WANNER adalah Trias Akhir
sampai Yura. Berdasarkan acuan posisi stratigrafi peneliti terdahulu bahwa satuan di
atasnya Satuan Ultrabasa adalah Formasi Kanikeh, maka dapat di perkirakan bahwa
Satuan Ultrabasa ini lebih tua dari umur Formasi Kanikeh. Diperkirakan Karbon sampai
Perm.

E. Hubungan Stratigrafi

Satuan Batuan Ultrabasa ini merupakan batuan tertua di daerah penelitian.


Hubungan satuan ini dengan batuan di atasnya yaitu Formasi Kanikeh adalah hubungan
ketidak selarasan dengan jenis Nonconformity yang merupakan hubungan
ketidakselaran antara batuan beku dan batuan sedimen.

Hal ini didukung karena didapatkan adanya kontak tektonik yang berupa sesar turun
dengan batuan lainnya, sehingga satuan tertua ini muncul di permukaan. (Gambar 4.2)
IV.2.2. Satuan Granit

A. Dasar Penamaan Granit

Suparka ( 1984 ) menyebut satuan ini sebagai Satuan Batuan Granit, Tjokosapoetro
menyebutnya sebagai satuan Granit Ambon ( Tpag ), Direktorat Geologi Tata
Lingkungan ( 1989 ) menyebut sebagai Satuan Granit ( Pgrnt ).

Penamaan Satuan Granit didasarkan pada kenampakan lapangan di mana granit


besifat intrusif, memiliki penyebaran yang cukup luas di daerah telitian.

B. Pemerian Litologi Granit

Granit yang dijumpai pada satuan ini secara megaskopis berwarna putih keabu –
abuan bersifat keras dan kompak, umunya dijumpai urat kuarsa.

Foto 4.12. Kenampakan rekahan yang terisi oleh kuasra pada batuan granit di daerah
Hukurila LP 49.

Foto 4.13. Kenampakan batuan granit di desa Soya LP 84.


Batuan granit yang dijumpai bertekstur kasar sampai sedang, dengan ciri sebagai
berikut : Putih keabu – abuan , masif, kompak, holokristalin, equigranular hipidiomorfik
granular, fanerik sedang, subhedral, komposisi mineral : K- Feldspar, kuarsa, biotit,
plagioklas.

Biotit

Biotit

Plagioklas Kuarsa

Foto 4.14. Foto conto batuan granit dan kenampakannya pada sayatan tipis.

(a) (b)

Foto 4.15. Kenampakan kekar pada batuan granit (a) Desa kilang – Ema LP 56 ( b ) Desa
Hukurila , LP 49.

Pada foto di atas dapat disimpulkan bahwa kekar sangat berkembang baik di daerah
telitian.
C. Penyebaran Satuan Batuan

Intrusi granit ini memiliki penyebaran yang cukup luas di daerah penelitian,
menempati kurang lebih dari 24% dari seluruh daerah telitian menyebar di bagian
barat daya sampai barat daerah telitian, meliputi daerah Soya, Hukurila, Ema, Naku,
dan Kilang.

D. Lingkungan Pengendapan Intrusi Granit

Seperti telah diketahui bahwa batuan granitik merupakan batuan yang berasal
dari kerak benua, merupakan tubuh intrusi discordan berbentuk stock, dengan
penyebaran yang cukup luas di permukaan bumi.
IV.2.3. Satuan Batupasir Kanikeh

A. Dasar Penamaan Batupasir Kanikeh

Dasar penamaan satuan batupasir Kanikeh ini, didasarkan pada peneliti


terdahulu, serta penyebaran batuan penyusun satuan ini di daerah telitian. Penyusun
dari satuan batuan ini adalah perselingan batupasir dengan tuf.

Formasi Kanikeh diajukan pertama kali oleh Tjokrosapoetro dan kawan – kawan
(1989) dan Wakuku Beds merupakan sebutan lain untuk formasi ini oleh Audley
Charles (1976). Keduanya mempunyai lokasi tipe, yang sama yaitu di Sungai
Kanikeh Seram Tengah, dimana batuan ini tersingkap cukup baik dan luas.

B. Litologi Penyusun Satuan Batuan

Batuan penyusun satuan batuan ini tersususn oleh batupasir dengan perselingan
tuf. (Foto 4.16)

Batupasir

Tuf

Foto 4.16. Kenampakan batupasir dan sayatan tipisnya di daerah W.Wakauli, LP 105.

Kenampakan batupasir di daerah telitian dengan ciri – ciri : abu – abu , laminasi,
pasir sedang ( 0,25 – 0,5mm ), subangular, terpilah baik, kemas tertutup, Komposisi :
Fragmen : Kuarsa ; Matrik : Hornblende ; Semen : Silika.
C. Penyebaran Satuan Batuan

Satuan batupasir Kanikeh ini menempati kurang lebih 6% pada daerah telitian.
Pada daerah telitian, singkapan batupasir yang ditemukan memiliki dimensi panjang
±1,5 m dengan lebar singkapan ± 0,4m. Pada daerah telitian satuan batupasir
menyebar di daerah W.Yuri.

Di daerah W.Yuri, dilakukan pengukuran kedudukan batupasir, dan hanya


mengambil satu pengukuran ( N 358º E / 68º ), dikarenakan singkapan batupasir
yang ditemui berdimensi kecil dan tidak menyebar di daerah lain.

Foto 4.17. Kenampakan singkapan batupasir di daerah W.Yuri, LP 105 dengan arah aliran
sungai searah strike.

D. Umur Satuan Batuan

Secara umum, peneliti melakukan hubungan kesebandingan serta mengacu pada


peneliti terdahulu dalam menentukan umur satuan batupasir Kanikeh, dalam
stratigrafi regional Tjokrosapoetro(1989), satuan batupasir Kanikeh secara tidak
selaras menindih satuan ultrabasa. Ini disebabkan karena peneliti tidak menemukan
indikasi adanya fosil, baik itu fosil foraminifera palankton maupun foraminifera
besar.

Oleh sebab itu dengan mengacu kepada geologi regional dan peneliti terdahulu
bahwa satuan batupasir ini berumur Trias Akhir sampai Yura Awal. Umur satuan ini
di perkemukakan pertama kali oleh Audley Charles ( 1976 ), berdasarkan fosil
Halobia sp, Lovcenopura vinassai GIATT, Montlivaltia sp WANNER, yang
dijumpai di Seram Barat.
E. Hubungan Stratigrafi

Satuan batupasir Kanikeh ini memiliki hubungan tidak selaras (Disconformity),


dengan gap time yang sangat jauh. Dari Zaman Yura ke Kala Pliosen, dengan
hubungan ketidak selarasan di atasnya diendapkan marmer. (Gambar 4.2)

IV.2.4. Satuan Marmer

A. Dasar Penamaan Satuan

Dasar penamaan satuan batugamping ini didasarkan atas dominasi marmer yang
ditemukan pada daerah telitian.

B. Litologi Penyusun Satuan Batuan

Secara umum satuan ini didominasi oleh marmer. Deskripsi marmer : warna
putih , nonfoliasi_granulusa, kristaloblastik_granuloblastik, kalsit.

Foto 4.18. Kenampakan singkapan marmer,Lokasi Desa Rutong, LP 3. Pengambilan conto


batuan, dengan hasil sayatan tipis dengan perbesaran 30x.

C. Penyebaran Satuan Batuan

Satuan marmer ini menempati kurang lebih 9% pada daerah telitian


menyebar pada timur dari daerah telitian , meliputi Desa Rutong.

D. Umur Satuan Batuan

Dalam menentukan umur penulis mengacu pada stratigrafi regional ,


yang menyatakan umur satuan ini adalah Pliosen akhir, dengan indikasi bahwa
batuan asalnya adalah batugamping terumbu yang kemudian terkena intrusi
akibat aktivitas vulkanisme yang terjadi pada kala tersebut. Pada satuan ini
sudah sangat sulit untuk menemukan foram plankton dalam memastikan
kebenaran umurnya, karena batuan ini telah mengalami metamorfosa batuan.

E. Hubungan Stratigrafi
Hubungan satuan marmer sangat jelas memiliki hubungan tidak selaras
dengan satuan batupasir, karena memiliki gape time yang sangat jauh.
Sedangkan terhadap batugamping terumbu dan breksi volkanik adalah selaras.
(Gambar 4.2)

IV.2.5. Satuan Breksi Vulkanik

A. Dasar Penamaan Satuan Batuan

Satuan ini oleh Verbeek ( 1905 ) disebut sebagai “ Ambonit “, Van Bemmelen
(1945) menyebutnya sebagai Satuan Batuan Vulkanik Ambonit, dan Tjokosapoetro
(1989) menyebutnya sebagai Satuan Batuan Gunungapi Vulkanik.

Berdasarkan dasar penamaan oleh para peneliti terdahulu serta keterdapatan


batuan pada daerah telitian, maka penulis menyebut satuan ini adalah breksi
vulkanik. Batuan penyusun satuan batuan ini adalah sebagian besar terdiri dari
breksi vulkanik, dengan fragmen dari breksi yang beragam ( Polimik ), yang
merupakan produk vulkanisme.(Foto 4.20)

B. Litologi Penyusun Satuan Batuan

Secara umum satuan ini didominasi oleh breksi vulkanik. Fragmen breksi
vulkanik terdiri atas basalt. Deskripsi Fragmen basalt : warna abu-abu gelap,
hipokristalin, fanerik halus, subhedral, inequigranular vitroferik, plagioklas,
piroksin, masa gelas. (Foto 4.19)
Fragmen

Foto 4. 19. Kenampakan breksi di daerah W.Yuri di LP. 100

Foto 4.20. Kenampakan breksi vulkanik di daerah W.Yuri di LP 103

Foto 4.21. Singkapan breksi vulkanik dalam kondisi lapuk pada LP 98


C. Penyebaran Satuan Batuan

Satuan breksi vulkanik ini menempati kurang lebih 18% pada daerah telitian
menyebar dari barat laut sampai ke timur laut, meliputi daerah W. Yuri sampai ke
W. Wakauli. (Foto 4.20 dan Foto 4.21)

D. Umur dan Lingkungan Pembentukan

Dalam menentukan umur penulis mengacu pada stratigrafi regional yang dibuat
oleh Direktorat Geologi Tata Lingkungan ( 1989 ), yang menyatakan umur satuan
ini adalah Plistosen. Pada satuan batuan breksi vulkanik ini tidak dijumpai adanya
fosil plankton.

E. Hubungan Stratigrafi

Hubungan satuan breksi vulkanik memiliki hubungan selaras dengan kontak


batugamping terumbu. (Gambar 4.2)
IV.2.6. Satuan Batugamping terumbu

A. Dasar Penamaan

Dasar Penamaan satuan batugamping terumbu didasarkan atas dominasi batuan


penyususn satuan tersebut yang sebagian besar adalah batugamping terumbu (Foto
4.23). Batugamping terumbu ini memiliki penyebaran yang setempat-setempat.

B. Litologi Penyusun Satuan Batuan

Batuan penyusun satuan ini tersusun oleh batugamping terumbu, sehingga sulit
dalam melakukan pengukuran. Batugamping terumbu dengan ciri – ciri : putih,
amorf, dan monomineralik karbonat ( CaCO3 ). (Foto 4.22)

Foto 4.22. Kenampakan head coral pada batugamping terumbu, Lokasi Desa Hutumuri.
Foto 4.23. Kenampakan undukan coral pada batugamping terumbu, Lokasi Desa
Hutumuri, Pantai Lawena

Foto 4.24. Singkapan batugamping terumbu, Lokasi Desa Leahari, Pantai Leahari, LP
15.
C. Penyebaran Satuan Batuan

Satuan batugamping terumbu tersingkap sangat baik pada daerah telitian, dan
menempati luas kurang lebih 8% di daerah telitian. Tersebar secara merata di bagian
timur sampai tenggara dari daerah telitian, meliputi daerah Hutumuri dan Leahari.
(Foto 4.24)

D. Umur dan Lingkungan Pengendapan

Dalam menentukan umur dan lingkungan pengendapan penulis mengacu kepada


peneliti terdahulu yaitu Tjokosapoetro, dkk ( 1984 ) di mana umur satuan batuan ini
adalah Plistosen dan Lingungan pengendapannya adalah laut terbuka, hal ini
dibuktikan dengan fosil foraminifera bentos yang didominasi oleh golongan
Legenidae.

E. Hubungan Stratigrafi

Satuan batugamping terumbu ini secara selaras menindih satuan batuan


volkanik. Hal ini dibuktikan dengan kenampakan yaitu selaras dengan batugamping
dan juga tidak adanya selang waktu pengendapan antara kedua satuan ini. Dan
memiliki hubungan ketidakselaran dengan satuan batuan yang lebih tua, meliputi
Satuan Batuan Ultrabasa, Satuan Batupasir Kanikeh, dan Satuan Granit. Sedangkan
dengan endapan alluvial adalah hubungan tidak selaras. (Gambar 4.2)
IV.2.7. Endapan Alluvial

A. Dasar Penamaan

Dasar penamaan endapan alluvial ini didasarkan atas dominasi material –


material lepas ( transported ) dari batuan asal yang berukuran pasir sampai kerikil,
dengan ketinggiannya dari permukaan air laut 0 – 2 m, dan relatif datar.

B. Penyebaran Satuan Batuan

Endapan alluvial ini menempati 2% pada daerah telitian, dengan penyebarannya


meliputi daerah pesisir pantai.

C. Umur dan Lingkungan Pembentukannya

Endapan alluvial ini berumur resen dan sampai sekarang masih berlangsung
proses endapannya, serta terbentuk pada lingkungan darat.

D. Hubungan Stratigrafi

Hubungan endapan alluvial dengan satuan di bawahnya adalah hubungan tidak


selaras. (Gambar 4.2)
Gambar 4.2. Kolom stratigrafi daerah telitian
IV.3. Struktur Geologi

IV.3.1. Struktur Geologi Pada Daerah Penelitian

Penentuan struktur geologi pada pengamatan , pegukuran di lapangan dan analisis pola
kontur serta korelasinya pada peta geologi regional. Struktur geologi yang ada di daerah
telitian adalah struktur kekar, dan struktur sesar,

IV.3.1.1. Kekar

Kekar adalah sebutan untuk struktur rekahan dalam batuan yang belum atau
tidak mengalami pergeseran. Kekar dapat terbentuk baik secara primer ( bersamaan
dengan pembentukan batuan, misalnya kekar kolom dan kekar melembar pada batuan
beku ) maupun secara sekunder ( setelah proses pembentukan batuan, umumnya
merupakan kekar tektonik ).

Berdasarkan pengamatan lapangan, struktur kekar ini terdapat pada batuan


granit. Kekar pada daerah telitian mempunyai kedudukan yang tegak atau hampir tegak.
(Foto 4.25 dan Foto 4.26)

Foto 4.25. Kekar pada batuan granit,Lokasi


W.Hosu, LP 57, dengan arah umum N245ºE.
Foto 4. 26. Kekar pada batuan granit, Lokasi
Hukurila, LP 49, dengan arah umum N255ºE.

Foto 4.27. Kekar pada marmer, Lokasi Rutong, LP


3, dengan arah umum N215ºE.
IV.3.1.2. Sesar

Sesar yang ditemukan oleh penulis di daerah W. Hosu, memanjang dari arah barat –
timur. Dan memiliki arah umum N 245º E.(Foto 4.29)

Foto 4.28. Kenampakan shear


dan gash batuan granit,Lokasi
W. Hosu,LP 56.

Foto 4.29. Kenampakan zona hancur


(breksiasi) pada batuan granit,Lokasi
W. Hosu, LP 57, dengan arah umum
N245ºE

Dari hasil analisa penelitian


terhadap struktur yang berkembang dan analisa data lapangan, maka didapatkan hasil
sebagai berikut :

 Kedudukan bidang sesar : N 245º E / 48º


 Net Slip : 58º, N 47º E
 Rake : 31º
 Gash fracture : N 268º E / 61º
 Shear fracture : N 144º E / 63º

Berdasarkan analisa struktur secara stereografis dapat disimpulkan sesar yang


berkembang pada daerah telitian adalah Right Normal Slip Fault. (Rickard, 1972).

IV.4. Sejarah Geologi

Satuan batuan ultrabasa dan granit adalah satuan yang paling tertua pada daerah
telitian. Umur satuan ini belum dapat diketahui secara pasti, namun dapat diperkirakan
Karbon – Perm, terdiri dari peridotit yang telah terubah menjadi serpentinit.

Secara tidak selaras diatasnya diendapakan satuan batupasir Kanikeh, dengan


gape time yang sangat jauh. Formasi Kanikeh ini merupakan formasi yang tertranspot
ke P.Ambon, dan berasal dari Australia. Ini diakibatkan karena pergerakan Benua
Hindia dan Australia relatif kearah utara yang terdorong ke barat oleh pola sesar
sorong.

Perkembangan tektonik ini mengakibatkan terbentuknya sesar turun yang


melibatkan batuan dasar dan batuan sedimen Formasi Kanikeh, sehingga tersingkap di
permukaan. Sesar turun yang membatasi teluk Ambon ini mempunyai arah umum
Timur Laut – Barat Daya yang merupakan jalur terban yang cukup besar.

Selama mengalami pergerakan antara Benua Hindia dan Australia, batugamping


terumbu telah tumbuh pada P.Ambon. Pada kala Miosen Tengah sampai dengan
Pliosen, terjadi proses tektonik yang sangat kuat, akibat dari tumbukan lempeng benua
Australia dengan lempeng benua Eurasia, kemudian terbentuk subduksi, dengan arah
subduksinya ke tenggara dan kemudian mengakibatkan terjadi vulkanisme.
Aktivitas vulkanisme ini berlanjut dan menghasilkan satuan marmer dan satuan
breksi vulkanik pada Pliosen Akhir, dengan kedudukan pada penampang stratigrafi
menindih batupasir kanikeh secara tidak selaras. Pada saat terbentuknya Pulau Ambon,
batugamping terumbu telah terbentuk, sehingga ketika terbentuknya subduksi
batugamping terumbu yang telah terbentuk tesebut, terintrusi dan menghasilkan
marmer. Peneliti mengasumsikan bahwa, marmer yang terbentuk ini akibat adanya
aktivitas vilkanisme pada Pliosen Akhir. Namun di daerah telitian, peneliti tidak
menemukan indikasi adanya intrusi.

Kemudian pada Kala Plistosen ini, satuan batugamping terumbu kembali lagi
tumbuh dan berkembang sampai sekarang.

Setelah itu terjadi proses tektonik berupa pengangkatan dan tersingkap di


permukaan.Erosi dan denudasi terus berlanjut dan membentuk kenampakan morfologi
seperti sekarang ini.
BAB V

POTENSI SUMBERDAYA NIKEL

Proses terbentuknya nikel adalah dimulai dari batuan ultramafik dengan


komposisi penyusunnya adalah mineral-mineral mafik (Ferromagnesia). Mineral mafik
adalah mineral yang mengandung gugusan senyawa besi (Fe) dan magnesia (Mg),
dimana mineral-mineral yang termasuk didalamnya adalah olivin, piroksen, hornblenda.
Akumulasi endapan nikel pada batuan dasar terjadi proses serpentinisasi dan pelapukan.

Sebagian besar batuan ultramafik adalah batuan ultrabasa, tetapi tidak semua
batuan ultrabasa adalah batuan ultramafik. Menurut Hughes (1982) batuan beku
ultrabasa adalah batuan yang kurang akan kandungan SiO2.

Batuan ultrabasa adalah batuan beku yang kandungan silikanya rendah (< 45 %),
kandungan MgO > 18 %, tinggi akan kandungan FeO, rendah akan kandungan kalium
dan umumnya kandungan mineral mafiknya lebih dari 90 %. Batuan ultrabasa
umumnya terdapat sebagai opiolit.

KLASIFIKASI BATUAN ULTRAMAFIK

A. Dunit
Menurut Achmad (2002), dunit merupakan batuan ultramafik monomineral yang
hampir semuanya mengandung olivin (umumnya magnesia). Kandungan olivine
dalam batuan ini adalah 90%. Mineral-mineral penyerta dalam batuan dunit
seperti kromit, magnetit, ilmonit, dan spinel. Sedangkan dalam William (1954) ,
bahwa dunit merupakan batuan yang yang hampir murni olivin 90-100%,
umumnya hadir dalam forsterit atau krisolit.
B. Piroksenit
Merupakan batuan ultramafik monomineral yang seluruhnya mengandung
piroksen (>90%). Selanjutnya batuan piroksenit diklasifikasikan menjadi
orthorombik piroksen, yang disebut sebagai orthipiroksenit dan monoklin
piroksen yang disebut sebagai klinopiroksenit
 Orthopiroksenit : bronzitit
 Klinopiroksenit : diopsidit
C. Hornblendit
Merupakan batuan ultamafik monomineral yang seluruhnya mengandung
mineral hornblenda (>90% hornblenda).
D. Serpentinit
Merupakan batuan ultramafik monomineral yang seluruhnya mengandung
mineral serpentin, yang kaya akan mineral mafik. Tetapi batuan ini dapat
terbentuk dari batuan dunit yang terserpentinisasi, atau dari hornblendit atau
peridotit (Ahmad,2002). Serpentinit merupakan batuan hasil alterasi hidrotermal
dari batuan ultramafic, dimana mineral-mineral olivin dan piroksen jika
teralterasi akan membentuk mineral serpentin.
E. Peridotit
Merupakan batuan ultramafik yang mengandung lebih banyak mineral olivin
tetapi juga mengandung mineral-mineral mafik lainnya dalam jumlah yang
signifikan. Berdasakan kandungan mineral-mineral mafik, batuan peridotit dapat
diklasifikasikan menjadi :
 Piroksenperidotit
 Hornblenda peridotit
 Mika peridotit
Klasifikasi Batuan Peridotit.

Salah satu batuan peridotit yang dikelompokkan berdasarkan mineral mafik,


yaitu piroksen peridotit. Berdasarkan dari tipe piroksen, maka piroksen peridotit
dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:

 Harzburgite : olivin + orthopiroksen


 Wehrlite : olivine + klinopiroksen (diopsid)
 Lherzolite : olivin + orthopiroksen + klinopiroksin.
Kelompok batuan peridotit tidak umum tersingkap dipermukaan dan sangat tidak stabil.
Umumnya batuan peridotit yang tersingkap telah terubah menjadi serpentinit, dimana
mineral pyroksen dan olivin terubah menjadi mineral serpentin dan amfibol, proses
perubahan ini (hydrasi) diikuti dengan perubahan volume yang mengakibatkan
terjadinya perubahan (deformasi) dari tekstur awalnya.
V.1. Petrografis Batuan Ultrabasa

Batuan beku ultrabasa yang tersingkap pada daerah telitian adalah batuan
peridotit. Umumnya di lapangan sangat sulit dibedakan antara peridotit maupun
serpentinit. Kedua batuan ini secara megaskopis sangat sulit dibedakan karena memiliki
warna yang sama yaitu warna hijau tua kehitaman. Namun setelah dilakukan analisa
petrografis, didapatkan bahwa hasil sayatan tipis batuan ultrabasa pada daerah telitian
adalah serpentinit.

Seperti telah dijelaskan di atas, umumnya batuan peridotit yang tersingkap telah
terubah menjadi serpentinit. Ini disebabkan karena kelompok batuan peridotit tidak
umum tersingkap di permukaan dan sangat tidak stabil.

A. Hasil Petrografis Batuan Ultrabasa LP 22


Nomor sayatan : 12
Perbesaran : 30 x

Serpentin

Nikol Silang
Kromit

Nikol Paralel

Gambar 5.1. Kenampakan sayatan tipis batuan ultrabasa, Lokasi Hukurila LP 22

PEMERIAN PETROGRAFIS :
Sayatan batuan serpentin, batuan hasil ubahan dari batuan ultra basa Peridotite, warna
abu-abu kekuningan-kehijauan, komposisi mineral didominasi oleh serpentin hasil
ubahan dari mineral Olivin dan piroksen, menampakkan “mash texture” (struktur
jaring), dengan ukuran mineral 0,1-0,5mm, bentuk subhedral-anhedral.

KOMPOSISI MINERAL
Serpentine (99%), tidak berwarna-hijau pucat, relief rendah, n>nKb, bias rangkap
lemah, hadir sebagain mineral ubahan dari mineral olivine dan piroksen
Kromit (1%), hitam-coklat, submetalik, relief tinggi, berukuran 0,1– 1,2mm

Penamaan Petrografis: Serpentinit


B. Hasil Petrografis Batuan Ultrabasa LP 32
Nomor sayatan :1
Perbesaran : 40 x

Serpentin

Nikol Silang

Nikol Paralel

Gambar 5.2. Kenampakan sayatan tipis batuan ultrabasa, yang menunjukan adanya
ubahan dari mineral olivin dan piroksin. Lokasi Hukurila LP 32
PEMERIAN PETROGRAFIS :

Sayatan batuan serpentin, batuan hasil ubahan dari batuan ultra basa Peridotite, warna
abu-abu kekuningan-kehijauan, komposisi mineral didominasi oleh serpentin hasil
ubahan dari mineral Olivin dan piroksen, menampakkan “mash texture” (struktur
jaring), dengan ukuran mineral 0,1-0,5mm, bentuk subhedral-anhedral.

KOMPOSISI MINERAL

Serpentine (90%), tidak berwarna-hijau pucat, relief rendah, n>nKb, bias rangkap
lemah, hadir sebagain mineral ubahan dari mineral olivine dan piroksen

Kromit (10%), hitam-coklat, submetalik, relief tinggi, berukuran 0,1– 1,3mm

Penamaan Petrografis: Serpentinit


V.2. Serpentinisasi Mineral

Pada daerah telitian, berdasarkan analisa petrografis, penulis menyimpulkan


bahwa batuan ultrabasa yang dijumpai adalah serpentinit. Serpentinit ini merupakan
hasil ubahan dari batuan asal yang telah mengalami serpentinisasi.

Proses serpentinisasi ini merupakan salah satu jenis dari alterasi. Serpentinisasi :
Umumnya sebagai akibat proses magmatik akhir yang mengubah mineral “
nonaluminous feromagnesian “ menjadi agregat mineral serpentin. Talk dapat juga
terbentuk.

Pada daerah telitian, batuan induknya telah terubah menjadi serpentinit. Dari
hasil analisa petrografis yang dilakukan oleh penulis, mineral yang dominan telah
mengalami perubahan adalah mineral olivin dan piroksen. ( Gambar 5.1 dan 5.2 )

Secara umum dominan olivin dibandingkan dengan piroksen. Oleh sebab itu
penulis menyimpulkan batuan induk dari daerah telitian adalah peridotit, berdasarkan
diagram klasifikasi batuan beku, yang mana dijelaskan bahwa presentasi mineral
olivinnya adalah kurang dari 90%. ( Gambar 5.4 )

Gambar 5.3. Klasifikasi untuk peridotit yang diusulkan oleh Streickeisen (1979 dalam Best, 1982)
V.2.1. Mineral Olivin

A. Pembentukan Olivin

 Olivin merupakan kelompok yang merupakan mineral penting pada batuan. Dan
banyak terbentuk pada batuan beku basa maupun batuan beku ultrabasa.
 Batuan basa maupun ultrabasa umumnya mengandung olivin yang kaya akan
magnesian. Sedangkan olivin yang kaya akan besi umumnya ditemukan pada
batuan sedimen yang telah mengalami metamorfosis.
 Olivin merupakan mineral mafik, yang pertama kali mengkristal dari magma
basa.
 Magma memiliki kandungan silika yang tinggi dan yang pertama kali terbentuk
adalah olivin, kemudian selanjutnya akan terbentuk piroksen.
B. Nikel Dalam Olivin

 Kandungan olivin dapat mencapai 0,41% dalam NiO. Kebanyakan dari nikel
yang terkandung adalah pengganti atom magnesian dengan atom nikel yang
memiliki ukuran yang sama. Umumnya rasio Mg : Ni sama dengan magma yang
bersifat basa.
 Masuknya nikel ke dalam struktur olivin. Ni : Mg , kedua rasio ini , nikel
mengalami pergantian beberapa unsur besi dalam olivin. ( Besi dalam olivin ini
mengalami penurunan akibat stabilitas suhunya ).
 Nikel dalam nickelferous magnetite juga awalnya berasal dari nickelferous
olivin.
C. Alterasi dan Pelapukan olivin

 Mineral – mineral dalam kelompok olivine (Forsterit , Fayalit, Krisolit), sangat


rentan terhadap alterasi baik itu akibat proses hidrotermal maupun akibat proses
pelapukan.
 Alterasi dalam hal ini melibatkan hidrasi, silifikasi, oksidasi, dan karbonasi.
 Umumnya olivine mengalami proses alterasi membentuk mineral serpentin,
klorit, amphibole, karbonat, mineral oksidasi, dan talc.
 Mineral forsterit dapat terubah secara langsung menjadi serpentin dengan
temperatur 200ºC - 500ºC. Temperaturnya tidak kurang dari 200ºC dan tidak
lebih dari 500ºC, karena mineral serpentin tidak stabil dan tidak dapat dibentuk.
 Pada temperatur 500ºC - 625ºC, forsterit mengalami perubahan menjadi talc.
 Pada temperature 625ºC - 800ºC, forsterit berubah menjadi enstatit sampai talc.
 Temperature yang lebih dari 800ºC, forsterit ini akan langsung terubah menjadi
enstatit dan tidak mungkin ada mineral hidrous yang terbentuk.
V.2.2. Serpentinisasi Dari Olivin

Serpentin merupakan mineral dengan komposisi H4Mg3Si2O9, yang merupakan


hasil dari alterasi hidrotermal mineral ferromagnesian seperti olivin, piroksin, dan
amphibol. Serpentin magnesian murni mengandung 12,9% air kristalisasi yang
dikeluarkan pada temperature yang tinggi dan mencapai lebih dari 800ºC.

Serpentinit adalah hasil ubahan dari batuan peridotit yang terbentuk akibat
serpentinisasi oleh proses hidrotermal. Umumnya ada beberapa faktor dalam alterasi
hidrotermal yang menyebabkan perubahan olivin menjadi serpentin.

Ada 3 asal pembentukan serpentin , yaitu :

 Dalam kondisi yang stabil terbentuk krisotil dengan struktur berserabut.


 Dalam kondisi dibawah tekanan, terbentuk antigorite dengan struktur
berlapis.
Berdasarkan hasil analisa petrografis tekMIRA, terdapat ubahan dari
serpentin yaitu antigorite. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa
terbentuknya karena adanya tekanan. ( Gambar 5.3 ).
 Dalam kondisi tertentu, terbentuk serpophit dengan structureless.

Proses serpentinisasi olivin membutuhkan:

 Sejumlah air
 Leaching dari magnesia (atau sejumlah silika)
 Pelepasan besi (Mg,Fe) dalam olivin
 Perubahan dari pengurangan besi dari ferrous menjadi ferri membentuk
magnetit berbutir halus. Pada umumnya batuan yang terserpentinisasi
membentuk magnetit.
Pada dasaranya serpentinisasi olivine ini melibatkan penambahan air ,
penambahan silica, dan pemindahan magnesia.

Genetik pembentukan serpentin, dapat disebabkan oleh kondisi dan lingkungan yang
berkerja di lapangan :

 Proses hidrotermal metamorfosis dari kerak samudera.


ini mungkin mekanisme yang paling umum untuk menghasilkan serpentinit
dalam jumlah yang besar. Karena berasosiasi dengan subduksi melange dan jalur
orogenik.
 Tektonik yang meliputi sesar dan zona kekar
Sesar dan zona kekar menjadi salah satu akses yang mudah untuk terjadinya
hidrotermal.
 Serpentin sekunder dalam profil laterit
Meskipun jelas serpentin adalah hasil pembentukan dari proses hidrotermal,
dengan temperatur lebih dari 200ºC, serpentin ini juga besifat sekunder yang
mana mineral tersebut berkembang pada lingkungan laterit.
V.3. Pembentukan Nikel

V.3.1. Genesa Mineral Nikel

Inti bumi diperkirakan terdiri atas besi dengan kandungan nikel sekitar 7%.
Zona diantara kerak bumi dan inti bumi, yaitu yang disebut mantel ( mantle ),
diperkirakan tebalnya 2.898 km dan mengandung 0,1%-0,3% nikel. Deposit nikel pada
umumnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu nickel-copper sulfide, nickel
silicate dan nickel laterites and serpentines. Dalam uraian selanjutnya, pembahasan
hanya dibatasi pada laterit. Bijih nikel laterit merupakan hasil proses pelapukan (
weathering ) batuan ultrabasa peridotit yang terdapat diatas permukaan bumi. Proses
pelapukan terjadi karena pergantian musim panas dan dingin silih berganti, sehingga
batuan menjadi pecah-pecah dan mengalami pelapukan.

Gambar 5.4. Sketsa proses pengayaan nikel (sumber: buletin khusus No.2-85- Pusat
Pengembangan Teknologi Mineral, dalam thesis Rumpuin 2007, UGM)

Pembentukan endapan nikel laterit dikontrol oleh beberapa faktor yang saling terkait,
dan diketahui ada 3 faktor yang berperan penting dalam pembentuk endapan nikel
laterit, yaitu:
 Batuan Induk
Proses terbentuknya nikel dimulai dari batuan yang mengandung mineral-
mineral mafik (ferromagnesian), dengan gugusan senyawa Fe dan Mg, dimana
mineral yang termasuk didalamnya adalah olivine, piroksen, dan hornblenda.
Akumulasi endapan nikel pada batuan dasar terjadi karena serpentinisasi dan
pelapukan.
 Proses Serpentinisasi
Serpentinisasi adalah suatu proses ubahan yang terjadi pada batuan ultramafic
karena adanya deformasi. Mineral-mineral ferromagnesian seperti olivin dan
piroksen merupakan mineral yang mengalami serpentinisasi menjadi mineral
serpentin.
 Proses Pelapukan
Pelapukan adalah proses disintegrasi fisik dan dekomposisi fraksi batuan yang
ada di permukaan atau dekat permukaan bumi. Proses pelapukan dan sirkulasi
air tanah terutama yang relatif bersifat asam pada batuan ultrabasa akan,
menyebabkan terjadinya penguraian magnesian, nikel, besi, dan silika pada
mineral olivin, piroksen, maupun serpentin dan akan membentuk larutan yang
kaya akan unsur-unsur tersebut.
V.3.2. Laterisasi Nikel

A. Definisi

Pada umumnya endapan nikel terdapat dalam dua bentuk yang berlainan, yaitu
berupa nikel sulfida dan nikel laterit. Endapan nikel laterit merupakan bijih yang
dihasilkan dari proses pelapukan batuan ultrabasa yang ada di atas permukaan bumi.
Istilah Laterit sendiri diambil dari bahasa Latin “later” yang berarti batubata merah,
yang dikemukakann oleh Buchanan (1807), yang digunakan sebagai bahan bangunan di
Mysore, Canara dan Malabr yang merupakan wilayah India bagian selatan. Material
tersebut sangat rapuh dan mudah dipotong, tetapi apabila terlalu lama terekspos, maka
akan cepat sekali mengeras dan sangat kuat (resisten)

Smith (1992) mengemukakan bahwa laterit merupakan regolith atau tubuh


batuan yang mempunyai kandungan Fe yang tinggi dan telah mengalami pelapukan,
termasuk di dalamnya profil endapan material hasil transportasi yang masih tampak
batuan asalnya.

Sebagian besar endapan laterit mempunyai kandungan logam yang tinggi dan
dapat bernilai ekonomis tinggi, sebagai contoh endapan besi, nikel, mangan dan bauksit.

Dari beberapa pengertian bahwa laterit dapat disimpulkan merupakan suatu


material dengan kandungan besi dan aluminium sekunder sebagai hasil proses
pelapukan yang terjadi pada iklim tropis dengan intensitas pelapukan tinggi.

B. Syarat Pembentukan Laterit

Di permukaan bumi banyak tempat dengan intensitas pelapukan tinggi, tetapi tidak
semua tempat tersebut dapat terbentuk nikel laterit, karena intensitas pelapukan yang
tinggi bukan satu-satunya syarat terbentuknya nikel laterit.
Syarat-syarat pembentukan nikel laterit :
 Terdapatnya batuan ultrabasa yang telah tersingkap di permukaan, mengandung
banyak mineral olivin/piroksen, magnesium dan besi dan pada
umumnya mengandung nikel 0,30%.
 Iklim tropis, dengan adanya iklim tersebut maka pelapukan akan berlangsung
intensif.
 Curah hujan tinggi, hal ini berhubungan dengan kondisi iklim tropis, sebagian
besar daerah dengan iklim tropis akan mempunyai curah hujan yang tinggi.
Curah hujan tinggi akan menghasilkan air yang besar sebagai sarana proses
pelindihan/leaching bijih nikel yang terkandung dalam batuan.
Ketiga syarat tersebut di atas akan didukung dengan faktor tatanan geologi tentang
keberadaan batuan ultrabasa.
Menurut Golightly (1979) dan Haldeman et al (1979) , bahwa variasi ketebalan
lateritik ini dipengaruhi oleh struktur batuan, sifat kelarutan mineral dan distribusi
unsur. Sedangkan distribusi unsur dikontrol oleh penetrasi air tanah, perpindahan massa
tanah yang merupakan kesatuan faktor dari iklim, topografi dan sejarah geomorfik.
Totok. D (1999) menghubungkan distribusi unsur dan ketebalan diakibatkan proses
pelindian batuan peridotit-serpentinit dimana konsentrasi bijih sangat tergantung dari
migrasi air tanah.
C. Profil Endapan Laterit
Profil nikel laterit menurut Ahmad (2002), menjadi 4 zona (dari atas ke bawah)
sebagai berikut :
a) Zona limonit (zona oksidasi)
Lapisan bagian atas kaya akan mineral geothit, iron capping (ferricrete)
yang terbentuk akibat mobilitas limonit yang terbentuk pada kondisi
asam dekat permukaan dengan morfologi relative datar. Sering dijumpai
mineral-mineral stabil seperti: spinel, magnetit, dan talk primer. Pada
bagian dasar limonit terjadi pengkayaan manganis kobalt dan nikel pada
pembentukan asbolit atau manganese wad. Zona limonit mewakili zona
yang hancur karena beratnya sendiri. Secara umum material-material
penyusun zona ini berukuran halus.
b) Zona transisi
Zona ini adalah zona intermediet antara zona limonit bawah dan zona
saprolit atas. Zona ini terdiri dari smectit soft dan kriatal kuarsa yang
keras.
c) Zona saprolit ( serpentine ore )
Zona ini merupakan alterasi dari bedrock dimana proses-proses
pelapukan kimia lebih aktif. Proses kimia dan pelapukan merupakan
proses-proses yang terjadi sepanjang kekar dan rekahan-rekahan yang
terdapat dalam batuan maupun kekar-kekar kecil dan belahan-belahan
dalam kristal. Bongkah-bongkah yang terdapat pada zona saprolit
membawa kadar nikel yang tinggi. Struktur dan tekstur batuan induk
dapat terlihat.

d) Zona batuan induk


Tersusun atas bongkahan atau blok dari batuan induk yang secara umum
sudah tidak mengandung mineral ekonomis ( kadarnya sudah mendekati
atau sama dengan batuan dasar ). Bagian ini merupakan bagian terbawah
dari profil laterit.
V.3.3.Proses Pembentukan Nikel Laterit
Proses pembentukan nikel laterit sangat memiliki hubungan erat dengan proses
serpentisasi yang terjadi pada batuan peridotit akibat pengaruh larutan hidrotermal yang
merubah batuan peridotit menjadi batuan serpentinit. Kemudian dilanjutkan dengan
proses fisika dan kimia menyebabkan adanya dekomposisi pada batuan ultrabsa dalam
hal ini batuan serpentinit , dan mengalami pelapukan . Batuan ini banyak mengandung
olivin, piroksen, magnesium besi dan silikat, mineral-mineral tersebut tidak stabil dan
mudah mengalami proses pelapukan.
Faktor kedua sebagai media transportasi Ni yang terpenting adalah air. Air
tanah yang kaya akan CO2, unsur ini berasal dari udara luar dan tumbuhan, akan
mengurai mineral-mineral yang terkandung dalam batuan Serpentinit tersebut.
Kandungan olivin, piroksen, magnesium silikat, besi, nikel dan silika akan terurai dan
membentuk suatu larutan, di dalam larutan yang telah terbentuk tersebut, besi akan
bersenyawa dengan oksida dan mengendap sebagai ferri hidroksida. Endapan ferri
hidroksida ini akan menjadi reaktif terhadap air, sehingga kandungan air pada endapan
tersebut akan mengubah ferri hidroksida menjadi mineral-mineral seperti
goethite/FeO(OH), hematit/Fe2O3 dan cobalt. Mineral-mineral tersebut sering dikenal
sebagai “besi karat”.
Endapan ini akan terakumulasi dekat dengan permukaan tanah, sedangkan
magnesium, nikel dan silika akan tetap tertinggal di dalam larutan dan bergerak turun
selama suplai air yang masuk ke dalam tanah terus berlangsung. Rangkaian proses ini
merupakan proses pelapukan dan pelindihan/leaching.
Unsur Ni sendiri merupakan unsur asesoris/tambahan di dalam batuan ultrabasa.
Sebelum proses pelindihan berlangsung, unsur Ni berada dalam ikatan serpentine
group/kelompok serpentin. Rumus kimia dari kelompok serpentin adalah X2-3
SiO2O5(OH)4, dengan X tersebut tergantikan unsur-unsur seperti Cr, Mg, Fe, Ni, Al,
Zn atau Mn atau dapat juga merupakan kombinasinya.
Adanya suplai air dan saluran untuk turunnya air, dalam hal berupa kekar, maka
Ni yang terbawa oleh air turun ke bawah, lambat laun akan terkumpul di zona air sudah
tidak dapat turun lagi dan tidak dapat menembus bedrock. Ikatan dari Ni yang
berasosiasi dengan Mg, SiO dan H akan membentuk mineral garnierit dengan rumus
kimia (Ni, Mg) Si4O5(OH)4. Apabila proses ini berlangsung terus menerus, maka yang
akan terjadi adalah proses pengkayaan supergen.(Gambar 5.5)

V.4. Potensi dan Penyebaran Nikel Laterit


V.4.1. Potensi Nikel Laterit Daerah Telitian

Berdasarkan data analisa tekMIRA terhadap kandungan nikel laterit yang


penulis dapatkan dari Dinas ESDM, Provinsi Maluku. Penulis dapat menyimpulkan
bahwa relatif kandungan Fe lebih besar dibandingkan dengan kandungan Ni.(Tabel 5.1)
Tabel 5.1. Hasil Analisa tekMIRA terhadap kadar Ni, Lokasi Hukurila.

LOKASI PENGAMATAN Fe ( % ) Ni ( % ) Zn ( % ) Pb ( ppm ) Metode

LP 38 A 22,4 0,50 0,027 tt AAS

LP 38 B 9,09 0,32 0,033 28 AAS

LP 38 C 8,22 0,31 0,028 29 AAS

LP 37 12,24 0,081 0,15 4,2 AAS

LP 36 11,68 0,70 0,027 27 AAS

LP 35 12,59 0,34 0,021 12,3 AAS

LP 34 9,90 0,63 0,015 12,4 AAS

LP 31 5,31 0,18 0,011 22 AAS

LP 22 6,60 0,23 0,017 16,7 AAS

LP 20 16,42 0,32 0,019 20 AAS

Terlihat jelas bahwa kadar Ni di daerah telitian rata-rata mengandung unsur Ni


murni 0,081% - 0,70%. Hasil analisa ini menunjukkan batuan dasar daerah telitian
adalah batuan ultrabasa peridotit yang telah mengalami proses serpentinisasi. Karena
dari pembahasan diatas telah dijelaskan bahwa pada dasarnya peridotit mengandung
nikel murni adalah 0,2%. Sangat jelas bahwa batuan peridotit ini mengalami
serpentinisasi, karena terbukti pada analisa petrografis ditemukan mineral antigorit,
yang merupakan hasil serpentinisasi dari olivine akibat adanya tekanan. Tekanan dalam
hal ini dapat dipengaruhi oleh tektonik yang bekerja pada daerah telitian.
Berdasarkan hasil analisa AAS dan petrografi batuan diatas, peneliti dapat
menyimpulkan bahwa jenis batuan yang berpotensi menjadi nikel laterit pada daerah
telitian adalah serpentinit. Yang mana batuan ini mengalami serpentinisasi dari batuan
asal peridotit, karena terlihat jelas pada (Gambar 5.1, 5.2 & 5.3), mineral olivin
mengalami perubahan menjadi mineral serpentin. Mineral olivin yang terubah, dapat
dikelompokkan oleh peneliti dalam kelompok fayalit (Fe-olivin).Terlihat pada hasil
analisa AAS, berdasarkan conto yang diambil oleh peneliti, daerah telitian mengandung
kadar Fe relatif sangat besar dibandingkan dengan lainnya. (Tabel 5.1)

Unsur Fe, umumnya hadir sebagai besi primer dalam magnetit, kromit, kristosil
olivin, orthopiroksen, klinopiroksen, serta sebagai besi sekunder dalam magnetit setelah
serpentinisasi olivin dan piroksen. Ion-ion besi tersebut akan terakumulasi pada
permukaan endapan laterit, membentuk lapisan yang sangat keras atau sebagai geothit
dan limonit.

Unsur Ni, umumnya hadir pada batuan ultrabasa sebagai pengganti ion Mg dan
Fe mineral olivin, piroksen dan serpentin. Konsentrasi nikel paling tinggi terdapat pada
olivin, kemudian orthopiroksen serta klinopiroksen. Pada serpentin, nikel berasal dari
mineral asalnya (olivin dan piroksen). Nikel memiliki sifat kelarutan diantara Si dan Mg
yang relatif cepat dalam proses perpindahannya dan Fe yang tidak mudah berpindah
tempat. Pada sirkulasi air tanah yang bersifat asam nikel akan larut namun ketika air
tanah masuk pada zona saprolit unsur magnesia yang lebih mudah larut akan masuk dan
menyebabkan terakumulasinya nikel pada zona tersebut

Nikel juga terakumulasi pada zona limonit, yaitu pada geothit. Namun pada
pelapukan laterit tingkat lanjut dengan sirkulasi ait tanah yang terus-menerus
menyebabkan nikel terlarut kembali dan terakumulasi pada zona saprolit. Kadar nikel
pada geothit akan menjadi tinggi pada keadaan proses pembentukan endapan laterit
yang belum dewasa (masih muda).
V.4.2. Penyebaran Nikel Laterit

Penyebaran Nikel Laterit secara luas tersebar pada daerah telitian. Hampir
sebagian besar Desa Hukurila, Gunung Tersili tersingkap nikel laterit. Kembali lagi
pada stratigrafi daerah telitian, Gunung Tersili didominasi oleh batuan ultrabasa, dan
hampir sebagian besar dari singkapan yang dijumpai telah mengalami serpentinisasi dan
proses pelapukan. (Foto 5.1)

Foto 5.1. Singkapan Nikel Laterit , LP 37. Lokasi G.Tersili Desa Hukurila.
A. Profil Laterit Pada Daerah Telitian
 Lokasi Pengamatan 38

Conto diambil pada lateritnya dengan menggunakan Hand


Auger, dan berdasarkan hasil analisa AAS didapatkan hasil
sbb :

Fe : 22,4%, Ni : 0,50%, Zn : 0,027%

Gambar 5.5. Profil nikel laterit pada LP 38A .

conto diambil pada lateritnya dengan menggunakan Hand


Auger, dan berdasarkan hasil analisa AAS didapatkan
hasil sbb :

Fe : 9,09%, Ni : 0,32%, Zn : 0,033%, Pb : 28 ppm

Gambar 5.6. Profil nikel laterit pada LP 38B.

conto diambil pada lateritnya dengan menggunakan


Hand Auger, dan berdasarkan hasil analisa AAS
didapatkan hasil sbb :

Fe : 8,22%, Ni : 0,31%, Zn : 0,028%, Pb : 29 ppm

Gambar 5.7. Profil nikel laterit pada LP 38C.


 Lokasi Pengamatan 37

Gambar 5.8. Profil nikel laterit pada LP 37.


Conto diambil pada zona limonitnya , dan berdasarkan hasil analisa AAS didapatkan
hasil sbb :

 Fe :
12,24%
 Ni :
0,081%
 Zn :
0,15%
 Pb : 4,2
ppm

Foto 5.2. Singkapan profil nikel laterit LP 37.

Profil nikel laterit pada LP 37 ini, dibuat oleh peneliti berdasarkan singkapan yang
ditemukan pada daerah telitian.
 Lokasi Pengamatan 36

Gambar 5.9. Profil nikel laterit pada LP 36.

Conto diambil pada zona limonitnya , dan berdasarkan hasil analisa AAS didapatkan
hasil sbb :

 Fe : 11,68%

 Ni : 0,70%

 Zn : 0,027%

 Pb : 27 ppm

Foto 5.3. Singkapan profil nikel laterit LP 36.

Profil nikel laterit pada LP 36 ini, dibuat oleh peneliti berdasarkan singkapan yang
ditemui pada daerah telitian.
 Lokasi Pengamatan 35

Gambar 5.10. Profil nikel laterit pada LP 35.

Conto diambil pada zona limonitnya , dan berdasarkan hasil analisa AAS didapatkan
hasil sbb :

 Fe : 12,59%

 Ni : 0,34%

 Zn : 0,021%

 Pb : 12,3 ppm

Foto 5.4. Singkapan profil nikel laterit LP 35.

Profil nikel laterit pada LP 35 ini, dibuat oleh peneliti berdasarkan singkapan yang
ditemui pada daerah telitian.
 Lokasi Pengamatan 34

Gambar 5.11. Profil nikel laterit pada LP 34.

Conto diambil pada zona limonitnya , dan berdasarkan hasil analisa AAS didapatkan
hasil sbb :

 Fe : 9,90%

 Ni : 0,63%

 Zn : 0,015%

 Pb : 12,4 ppm

Foto 5.5. Singkapan profil nikel laterit LP 34.

Profil nikel laterit pada LP 34 ini, dibuat oleh peneliti berdasarkan singkapan yang
ditemui pada daerah telitian.
 Lokasi Pengamatan 31

Gambar 5.12. Profil nikel laterit pada LP 31.

Conto diambil pada zona limonitnya , dan berdasarkan hasil analisa AAS didapatkan
hasil sbb :

 Fe : 5,31%

 Ni : 0,18%

 Zn : 0,011%

 Pb : 22 ppm

Foto 5.6. Singkapan profil nikel laterit LP 31.

Profil nikel laterit pada LP 31 ini, dibuat oleh peneliti berdasarkan singkapan yang
ditemui pada daerah telitian.
 Lokasi Pengamatan 22

Gambar 5.13. Profil nikel laterit pada LP 22


Conto diambil pada zona limonitnya , dan berdasarkan hasil analisa AAS didapatkan
hasil sbb :

 Fe : 6,60%

 Ni : 0,23%

 Zn : 0,017%

 Pb : 16,7 ppm

Foto 5.7. Singkapan profil nikel laterit LP 22.

Profil nikel laterit pada LP 22 ini, dibuat oleh peneliti berdasarkan singkapan yang
ditemui pada daerah telitian.
 Lokasi Pengamatan 20

Conto diambil pada lateritnya dengan menggunakan Hand


Auger, dan berdasarkan hasil analisa AAS didapatkan hasil
sbb :

Fe : 16,42%, Ni : 0,32%, Zn : 0,019%, Pb : 20 ppm.

Gambar 5.14. Profil nikel laterit pada LP 20.

Conto yang diambil


dengan menggunakan
Hand Auger.

Foto 5.8. Pengambilan conto laterit nikel di LP 20.


B. Penyebaran dan Profil Nikel Laterit
Pada (Gambar 5.16), peneliti mencoba membuat peta kontur berdasarkan besarnya
kandungan Ni dari 8 lokasi pengamatan pada daerah telitian. Peneliti juga membuat
korelasi (Gambar 5.17), yang memperlihatkan variasi ketebalan dari zona limonitnya.

Berdasarkan peta kontur dan korelasi yang dibuat oleh peneliti, maka peneliti
mencoba menggabungkan kedua data tersebut untuk dapat memberikan gambaran
mengenai besarnya kadar Ni, dengan ketebalan dari zona limonit.

Dari hasil kedua data diatas, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa penyebaran
kadar Ni pada daerah telitian sangat dipengaruhi oleh ketebalan dari zona limonitnya.
Sangat terlihat jelas pada (Gambar 5.16), kadar Ni yang besar menunjukan ketebalan
dari zona limonitnya (Gambar 5.17).

Secara umum pada daerah telitian belum dilakukan eksplorasi, dan masih dalam
tahap penelitian dan pengujian, guna mengetahui kualitas dari nikel laterit yang
tersingkap pada daerah telitian.

V.4.3. Kegunaan Nikel Laterit

Secara garis besar penggunaan logam nikel ada 2 (dua) macam yaitu : penggunaan
langsung dan penggunaan tak langsung.

 Penggunaan langsung adalah dalam bentuk nikel murni , untuk pembuatan


peralatan laboratorium kimia dan fisika, anoda pada baterai penyimpan listrik,
dan lampu radio.
 Penggunaan tak langsung yaitu untuk pembuatan paduan logam, paduan besi
dan bukan besi dan berbagai pembuatn senyawa nikel bergantung pada kadar
nikelnya.
BAB VI

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian lapangan serta pembahasan pada bab-bab


sebelumnya, maka pada daerah telitian dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Daerah telitian dibagi dalam lima satuan geomorfik antara lain: dataran, karst
topografi, perbukitan, pegunungan, dan sistem vulkanik.
2. Daerah telitian tersusun oleh beberapa satuan batuan dari tua ke muda adalah:
yaitu satuan batuan ultrabasa, satuan batuan granit, satuan batupasir Kanikeh,
satuan batugamping, satuan batuan breksi vulkanik, satuan batugamping
terumbu, dan endapan alluvial.
3. Struktur geologi yang berkembang pada daerah telitian adalah kekar dan sesar
turun. Struktur sesar yang berkembang adalah: Right Normal Slip Fault.
(Rickard, 1972).
4. Profil laterit umumnya dibagi menjadi 4 zona (dari atas ke bawah) yaitu: zona
limonit, zona transisi, zona saprolit, dan zona batuan dasar.
5. Jenis batuan dasar daerah telitian adalah serpentinit. Yang mana batuan ini
mengalami serpentinisasi dari batuan asal peridotit.
6. Kadar Ni pada daerah telitian sangat dipengaruhi oleh ketebalan dari zona
limonitnya. Semakin tebal zona limonitnya, semakin besar juga kadar Ni-nya.
DAFTAR PUSTAKA

Achmad,W., 2002, Chemistry Mineralogy and Formation of Nickel Laterite, PT Inco


Indonesia.

Audley Charles, M.G., D.J. Carter., A.J. Barber, M.S. Norvick and S.
Tjokrosapoetro,1981, Reinterpretation of the Geology of Seram, Implication for
the Banda Arcs and Northern Australia, in the Geology of Eastern Indonesia,
Barber, A.J., and S. Wiryosuyono, GRDC, Special publication. No. 2, hal.138-
217.

Bateman,A.M. 1981, “Deposit Mineral” 3rd edition, John Wiley and Sons , New York .

Brunto,S., 1996, Fasies Gunungapi dan Aplikasinya, Jurnal Geologi Indonesia, vol 1,
No.2 hal. 59-71.

Buchanan, F. 1807, A journey from Madras through the Countries of Mysore, Kanara
and Malabar. 3 vol, London, pp. 436-437, 89, 251, and 258 in vol 3.

Damayanti,Y.T., 1991. Geologi dan Studi Struktur Geologi Daerah Passo, dan
sekitarnya, Kec. Baguala, Kodya Ambon, Provinsi Maluku. Skripsi S-1, Fakultas
Teknik Geologi, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta,
165h.

Daniel Napitupulu, Gutarto, Suyanto., 1989, Laporan Penyelidikan Geologi Lingkungan


Perkotaan daerah Kotamadya Ambon, Propinsi Maluku, Departemen
Pertambangan dan Energi, Ditjen Geologi dan Sumber Daya Mineral, Direktorat
GTL Bandung.

Desaunettes.J.R., 1972, “Catalouge of Landsform For Indonesia”(Itern Paper),Soil


Research Institute Ministry of Argiculture For Research And Development.

Dwiyanto,B., Soeprapto dan Hanafi,1988. Laporan Penyelidikan Geologi dan Geofisika


Kelautan di Perairan Teluk Ambon, Maluku, Pusat Pengembangan Geologi
Kelautan, Bandung.
Golightly,J. P., 1979, Nickeliferous Laterites : A General Description, International
Laterite Symposium, New Orleans, Lousiana. D. J. I. Evans et al editors. Pp 3-
23.

Haldeman,E. G., Buchan,R., Blowes, J.H., Chandles,T., 1979, Geology of Lateritic


Nickel Deposits, Dominican Republic, International Laterite Symposium, New
Orleans, Lousiana. D.J.I. Evans et al editors. Pp 57-84.

Hamilton, W., 1979, Tectonics of the Indonesian region. United States Geological
Survey Profesional Paper 1078, U.S. Geological Survey, Reston, Va.

Katili,J.A., 1973, Geotectonic of Indonesia, A Modern View, Direktorat Pertambangan


Umum Republik Indonesia, Jakarta.

Maury, R.C., 1984, Les Consequences Volcaniques de la Subduction Bull, Soc Geol.
France, t. XXVI, n°3 : 489-500.

Nilandaroe., Mogg., Barraclough., 2001, Characteristic of the fractured carbonate


reservoir of the Oseil Field, Seram Island, Indonesia. Proc. 28th Ann. Conv.
Idon. Petrol. Assoc., P. 439-456.

Peccerillo,A., Taylor,S.R., 1976, Geochemistry of Eocene Calc Alkali Volcanic Rocks


From Kastamanu Area Northen Turkey, Centrib Mineral Petrol.

Rumpuin, 2007, Laterisasi Nikel di Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku., Thesis S-2
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.

Scheiferdecker,A.A.G (Ed.), 1959, Geological Nomenclature. Royal Geol. And


Minings Soc of the Netherlands, J. Noorduijn en Zoon N.V., Gorinchem,523h.

Smith,R.E., Anand,R.R., Churcward,H.M., Robertson, I.D.M., Grunsky,E.C., Gray,D.J.,


Wildan,J.E. & Pedrix,J.L. 1992. Laterite geochemistry for detecting concealed
mineral deposits, Yilgran Craton, Western Australia – Final Report. CSIRO
Division of Exploration Geoscience, Restricted Report 236R (Reissued as Open
File Report 50, CRC LEMME, Perth, 1998).
Suparka, Jan Sopaheluwakan, S. Siregar., 1984, Geologi Tinjau Daerah Lei Timor,
Ambon, Lembaga Geologi dan Pertambangan Nasional, LIPI.

Tjokrosapoetro,S., E. Rusmana, Suharsono., 1989, Laporan Geologi Lembar Ambon,


Maluku, skala 1:250000, Proyek Pemetaan Geologi dan Interpretasi Foto Udara
Bidang Pemetaan Geologi, Puslitbang Geologi.

Totok,D., Friedrich,G., 1988. Chormit Potential of the Nickel Laterite Deposits of Gebe,
Mollucas (Indonesia). Erzmetali 41 (1988) Nr. 11, pp 564-569.

Van Bemmelen, R.W, 1949, The Geology of Indonesia, vol IA, The Haque Martinus
Nijhoff.

Williams, H., Turner, F.J., Gilbert C. M., 1954, Petrography An In Introduction to the
Study of Rocks in the Thin Section, University of California, Berkeley, W.H.
Freeman and co, San Fransisco.
LAMPIRAN
Nama/NIM : Yolanda Titawael / 111 070 051
Sayatan no. :7
Perbesaran : 30 x

Paralel Nikol Cross Nikol

Keterangan :

1. 4C : Ka Feldspar

2. 6E : Kuarsa

3. 5F : Biotit

4. 1D : Plagioklas
DISKRIPSI PETROGRAFI :

Sayatan tipis batuan metamorf ; wana coklat ; struktur : nonfoliasi ; tekstur : - ; disusun
oeh : Ka feldspar, kuarsa, biotit, dan plagioklas.

Pemerian Komposisi :

1. Ka feldspar (65%): Berwarna coklat, bentuk butiran subhedral, hadir merata


dalam sayatan.

2. Kuarsa (20%) : Bewarna coklat, bentuk butiran anhedral, hadir merata


dalam sayatan.

4. Biotit (10%) : Bewarna coklat, bentuk butiran anhedral, hadir merata


dalam sayatan

6. Plagioklas (5%) : Bewarna coklat, bentuk butiran anhedral, hadir merata dalam
sayatan.

NAMA BATUAN : Metagranit


Nama/NIM : Yolanda Titawael / 111 070 051
Sayatan no. :8
Perbesaran : 30 x

Paralel Nikol Cross Nikol

Keterangan :

1. 1A : Mud

2. 4B : Kuarsa

3. 3F : Opak

4. 7E : Ka Feldspar

5. 1F : Hornblende

6. 1D : Piroksen
DISKRIPSI PETROGRAFI :

Sayatan batuan sedimen klastik ; wana coklat; bertekstur klastik; butiran didukung oleh
mudsupported, ukuran butir 0,01 – 0,2 mm, bentuk butiran subrounded – rounded,
terpilah baik, kemas tertutup, disusun oleh : Mud, kuarsa, opak, K-Feldspar,
Hornblende, Piroksen.

Pemerian Komposisi :

1. Mud (45%) : Berwarna coklat, hadir menyebar dalam sayatan sebagai


matriks.

2. Kuarsa (35%) : Berwarna putih bening, ukuran butir 0,05 – 0,06 mm, bentuk
butiran subrounded – rounded, hadir merata dalam sayatan
sebagai semen dan fragmen.

3. Opak (10%) : Berwarna hitam, hadir merata.

4. K.Feldspar (5%) : Berwarna putih gelap, ukuran butir 0,01 – 0,02 mm, bentuk
butiran subangular – subrounded, hadir merata dalam sayatan
sebagai matriks.

5. Hornblende (5%) : Berwarna coklat, ukuran butir 0,01 – 0,02 mm, bentuk
butiran subrounded, hadir merata dalam sayatan sebagai
matriks.

6. Piroksen (3%) : Berwarna coklat, ukuran butir 0,01mm, bentuk butiran


subrounded, hadir menyebar dalam sayatan sebagai matriks.

NAMA BATUAN : Lithic Wacke (Menurut Klasifikasi Gilbert, 1954)


Nama/NIM : Yolanda Titawael / 111 070 051
Sayatan no. :4
Perbesaran : 30x

Paralel Nikol Cross Nikol

Keterangan :

1. 8B : Clay

2. 5B : Piroksen

3. 2B : Kuarsa

4. 8C : Kalsit

5. 6E : Opal

6. 3E : Fosil
DISKRIPSI PETROGRAFI :

Sayatan batuan sedimen klastik ; wana coklat; bertekstur klastik; butiran didukung oleh
mud supported, ukuran butir 0,01 – 0,2 mm, bentuk butiran subrounded – rounded,
terpilah baik, kemas tertutup, disusun oleh : Clay, piroksen, kuarsa, fosil, opak, kalsit.

Pemerian Komposisi :

1. Clay (60%) : Berwarna coklat, hadir menyebar dalam sayatan sebagai


matriks.

2. Piroksen (35%) : Berwarna coklat, ukuran butir 0,02 – 0,06 mm, bentuk butiran
subangular – subrounded, hadir merata dalam sayatan sebagai
semen dan fragmen.

3. Kuarsa (10%) : Berwarna putih bening, ukuran butir 0,03 – 0,04 mm, bentuk
butiran subrounded, hadir merata dalam sayatan sebagai
matriks.

4. Kalsit (10%) : Berwarna coklat, ukuran butir 0,01 – 0,02 mm, bentuk
butiran surounded – rounded, hadir merata dalam sayatan
sebagai semen.

5. Opak (6%) : Berwarna hitam, hadir merata.

6. Fosil (3%) : Berwarna coklat, ukuran butir 0,02-0,03 mm, bentuk butiran
subrounded, hadir setempat dalam sayatan.

NAMA BATUAN : Sandy Claystone (Menurut Klasifikasi Gilbert, 1975)


Nama/NIM : Yolanda Titawael / 111 070 051
Sayatan no. : 10
Perbesaran : 30 x

Paralel Nikol Cross Nikol

DISKRIPSI PETROGRAFI :

Sayatan tipis batuan metamorf ; wana coklat ; struktur : nonfoliasi ; tekstur : - ; disusun
oeh : Kalsit.

Pemerian Komposisi :

1. Kalsit (100%): Berwarna coklat, bentuk butiran subrounded-rounded, hadir


merata dalam sayatan.

NAMA BATUAN : Marmer


Nama/NIM : Yolanda Titawael / 111 070 051
Sayatan no. :5
Perbesaran : 30 x

Paralel Nikol Cross Nikol

Keterangan :

1. 4F : Gelas

2. 7E : Plagioklas

3. 3D : Kuarsa

4. 8D : Biotit
DISKRIPSI PETROGRAFI :
Sayatan tipis batuan piroklastik ; wana coklat ; struktur : klastiki ; ukuran butir : 0,2-
0,4mm ; bentuk butir : Subrounded-rounded; disusun oleh gelas, plagioklas, kuarsa,
dan biotit.

Pemerian Komposisi :
1.Gelas (55%) : Berwarna coklat, bentuk butiran subrounded, hadir merata
dalam sayatan hadir sebagai gelas.
2. Plagioklas (20%) : Berwarna coklat, bentuk butiran subrounded, hadir merata
dalam sayatan hadir sebagai kristal.

3. Kuarsa (20%) : Berwarna coklat, bentuk butiran subrounded, hadir merata


dalam sayatan hadir sebagai kristal.
4. Biotit (5%) : Berwarna coklat, bentuk butiran subrounded, hadir merata
dalam sayatan hadir sebagai lithik.

NAMA BATUAN : Vitric tuff (Menurut Klasifikasi William,1954)


Nomor sayatan : 12
Perbesaran : 30 x
Lokasi : Hukurila

Nikol Silang Nikol Paralel

Keterangan :

5. 4D : Serpentin

6. 6A : Kromit

PEMERIAN PETROGRAFIS :
Sayatan batuan serpentin, batuan hasil ubahan dari batuan ultra basa Peridotite, warna
abu-abu kekuningan-kehijauan, komposisi mineral didominasi oleh serpentin hasil
ubahan dari mineral Olivin dan piroksen, menampakkan “mash texture” (struktur
jaring), dengan ukuran mineral 0,1-0,5mm, bentuk subhedral-anhedral.
KOMPOSISI MINERAL
Serpentine (99%), tidak berwarna-hijau pucat, relief rendah, n>nKb, bias rangkap
lemah, hadir sebagain mineral ubahan dari mineral olivine dan piroksen
Kromit (1%), hitam-coklat, submetalik, relief tinggi, berukuran 0,1– 1,2mm

Penamaan Petrografis: Serpentinit


No Sayatan :1
Perbesaran : 40 x
Lokasi : Hukurila

Nikol Silang Nikol Paralel

Keterangan :

1. 2E : Serpentin

2. 10F : Kromit

PEMERIAN PETROGRAFIS :

Sayatan batuan serpentin, batuan hasil ubahan dari batuan ultra basa Peridotite, warna
abu-abu kekuningan-kehijauan, komposisi mineral didominasi oleh serpentin hasil
ubahan dari mineral Olivin dan piroksen, menampakkan “mash texture” (struktur
jaring), dengan ukuran mineral 0,1-0,5mm, bentuk subhedral-anhedral.

KOMPOSISI MINERAL

Serpentine (90%), tidak berwarna-hijau pucat, relief rendah, n>nKb, bias rangkap
lemah, hadir sebagai mineral ubahan dari mineral olivin dan piroksen

Kromit (10%), hitam-coklat, submetalik, relief tinggi, berukuran 0,1– 1,2mm.

Penamaan Petrografis: Serpentinit


Tabel 1: Data struktur kekar

Daerah W.Hosu Daerah S. Hukurila Daerah Rutong

N245°E/65° N245°E/43° N220°E/41°


N264°E/64° N235°E/56° N211°E/39°
N253°E/63° N240°E/65° N223°E/33°
N267°E/62° N237°E/52° N216°E/38°
N255°E/60° N233°E/54° N220°E/39°
N250°E/62° N247°E/60° N219°E/35°
N248°E/66° N250°E/49° N218°E/38°
N257°E/65° N246°E/55° N215°E/35°
N259°E/67° N249°E/62° N221°E/42°
N249°E/61° N252°E/54° N213°E/40°
N145°E/45° N147°E/49° N158°E/52°
N136°E/65° N143°E/52° N171°E/45°
N160°E/45° N150°E/51° N151°E/50°
N144°E/54° N142°E/54° N146°E/49°

Tabel 2: Data struktur breksiasi daerah W.Hosu

Shear Gash

N250°E/60° N144°E/65°
N269°E/67° N149°E/63°
N259°E/67° N155°E/75°
N263°E/58° N140°E/62°
N270°E/60° N154°E/73°
N268°E/57° N145°E/64°
N269°E/66° N150°E/69°
N257°E/65° N153°E/71°
N259°E/67° N147°E/65°
Analisa arah umum kekar daerah Rutong.
Analisa arah umum kekar daerah W.Hosu.
Analisa arah umum kekar daerah Hukurila.
Analisa sesar daerah W.Huso.

Anda mungkin juga menyukai