Anda di halaman 1dari 57

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan suatu Benua Maritim yang memiliki wilayah laut

dan garis pantai yang paling bervariasi dengan panjang 81.000 km (Proceeding

Seminar Teknik Pantai, 1993). Wilayah laut dan pantai ini memiliki sumber daya

hayati dan non hayati yang sangat bervariasi.

Wilayah pantai dan laut sebagai bagian dari ekosistem pantai memiliki

sumber daya yang sangat besar. Dimana pantai dan laut ini dapat dimanfaatkan

untuk berbagai kegiatan seperti pelabuhan, budidaya perikanan, pemukiman,

konservasi dan kawasan industri. Sumberdaya di wilayah ini umumnya belum

dimamfaatkan secara optimal.

Pada hakekatnya pembentukan suatu wilayah laut dan pantai dipengaruhi

oleh beberapa aspek. Mengacu pada aspek fisik maka pada proses penyusunan

profil suatu pantai di Indonesia perlu ditinjau karakteristik fisik yang meliputi

morfologi dan dinamika perairan yang nantinya akan diperoleh tipe wilayah

pantai dan laut berdasarkan kedua hal tersebut. Dengan mengetahui tipe wilayah

pantai dan laut tersebut maka dapat diusahakan suatu pengembangan wilayah

pantai berdasarkan tipenya.

1
Laut sendiri menurut sejarahnya terbentuk 4,4 milyar tahun yang lalu,

dimana awalnya bersifat sangat asam dengan air yang mendidih (dengan suhu

sekitar 100C) karena panasnya bumi pada saat itu. Asamnya air laut terjadi karena

saat itu atmosfer bumi dipenuhi oleh karbon dioksida. Keasaman air inilah yang

menyebabkan tingginya pelapukan yang terjadi yang menghasilkan garam-

garaman yang menyebabkan air laut menjadi asin seperti sekarang ini. Pada saat

itu, gelombang tsunami sering terjadi karena seringnya asteroid menghantam

bumi. Pasang surut laut yang terjadi pada saat itu bertipe mamut alias 'ruar biasa'

tingginya karena jarak bulan yang begitu dekat dengan bumi.

Berdasarkan hal tersebut diatas maka kami melakukan penelitian di

wilayah Pulau Lumpue untuk mengetahui proses-proses yang bekerja yang

mempengaruhi pembentukan suatu tipe pantai dan laut sehingga dapat diketahui

perkembangan pulau tersebut dimasa mendatang.

I.2 Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dilaksanakannya Praktek Lapangan Geologi Laut ini

yaitu untuk mengetahui secara umum proses-proses yang bekerja di laut terutama

mengenai aspek hidrodinamika, kimia fisika, sedimentasi dan terumbu karang

pada daerah penelitian.

Sedangkan tujuan dilaksanakannya Praktek Lapangan Geologi Laut ini

antara lain yaitu:

 Untuk mengetahui tingkat salinitas pada suatu pantai.

2
 Mengetahui temperatur di bawah permukaan laut pada kedalaman

tertentu.

 Mengetahui tingkat keasaman (pH) air laut.

 Mengetahui tinggi pasang maksimum dan surut minimum.

 Mengetahui arah sedimentasi dan faktor - faktor yang mempengaruhinya

 Mengetahui jenis pantai daerah tersebut berdasarkan klasifikasi tertentu.

 Memprediksi bentuk morfologi pantai daerah penelitian pada masa yang

akan datang

I.3 Letak, Waktu dan Kesampaian Daerah

Praktek lapangan geologi laut dilakukan selama 2 hari yaitu mulai tanggal

3-4 Desember 2011. Lokasi penelitian berada di Pantai Lumpue Kotamadya Pare

– pare Propinsi Sulawesi Selatan. Daerah penelitian terletak sekitar 14 mil kearah

utara dari kota makassar, yang dapat ditempuh dengan berbagai jenis kendaraan

bermotor baik roda dua maupun roda empat dengan waktu tempuh sekitar + 2

jam.

I.4 Metode dan Tahapan Penelitian

Pada praktek lapangan Geologi Laut ini metode penelitian yang digunakan

yaitu dengan melakukan suatu pengambilan dan pencatatan data – data morfologi

dan dinamika perairan di Pulau Lumpue. Data morfologi ini meliputi bentuk garis

pantai, kemiringan pantai, bahan dasar laut dan habitat daratan. Data dinamika

3
perairan meliputi tinggi ombak, tipe pasang surut, pH, Salinitas, data tapping

kompas suhu dan kecepatan arus.

Metode penelitian ini dilakukan secara terinci dan sistematis. Adapun

tahapan penelitiannya berupa :

1. Tahap Persiapan

Tahapan ini dilakukan sebelum ke lapangan, meliputi :

 Studi pustaka

Pada tahap ini dilakukan untuk mengetahui kondisi geologi daerah

penelitian berupa morfologi dan hidrodinamika pantai yang telah dilaporkan oleh

peneliti terdahulu.

 Persiapan peralatan dan perlengkapan lapangan.

Pada tahap ini semua peralatan dan perlengkapan yang akan di pakai

dilapangan disiapkan dengan baik berupa peralatan pribadi, peralatan kelompok

dan peralatan tim.

 Persiapan administrasi

Pada tahap dilakukan pengurusan surat-surat izin mulai dari Tingkat I di

Bapedalda, Tingkat II di Kotamadya Makassar dan pemerintah setempat di

tingkat Desa Pulau Lumpue

4
2. Tahap Penelitian Lapangan

Pada tahap ini dilakukan pengambilan data - data laut berupa data taping

kompas, data pasang surut, data arus, data gelombang, data kimia fisika yang

meliputi pH, salinitas dan suhu, data trenching, data sedimen trap, data swash and

back swash, data grab sedimen dan data lainnya yang mendukung.

3. Tahap Analisa Laboratorium

Pada tahap ini dilakukan suatu pengayakan material sedimen, membuat

suatu analisa penyebaran material sedimen, struktur sedimen, erosi dan

sedimentasi pada peta dan melakukan pengolahan data-data laut lainnya seperti

data pasang surut, arus dan gelombang berdasarkan data-data yang telah didapat

dilapangan.

4. Tahap Penyusunan Laporan

Pada tahap ini dilakukan penyusunan Laporan Lapangan yang meliputi

analisa hidrodinamika, kimia fisika, sedimentasi. Penyusunannya ini didasarkan

pada aturan penulisan yang berlaku di Jurusan Teknik Geologi Universitas

Hasanuddin.

I.3. Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang dipergunakan dalam Praktek Lapangan

Geologi Laut ini, yaitu :

 Palu Geologi, untuk mengambil/menyampling sampel batuan

5
 Kompas Geologi, untuk memplot lokasi, mengukur kedudukan batuan,

slope dan arah.

 Peta topografi skala 1 : 25.000 sebagai peta dasar.

 Buku lapangan, untuk mencatat data-data yang dijumpai dilapangan

 Roll meter, untuk mengukur jarak dilapangan

 Pita meter, untuk mengukur tebal lapisan sedimen yang dapat diukur.

 Kantong sampel, sebagai tempat menyimpan sampel

 Larutan HCl, untuk menguji komposisi kimia suatu batuan

 Lup, untuk melihat jenis mineral yang berukuran kecil.

 Termometer, untuk mengukur suhu air laut

 Kertas Grafik

 Alat tulis menulis seperti kertas A4, polpen, pensil, pengggaris, hekter,

busur derajat, mistar, penghapus, kalkulator dan spidol permanen

 Senter

 Ember

 Bak Ukur

 Layang-Layang

 Grap Sampel

 pH meter

 Salinometer

 Kertas Lakmus

 Jam Digital

 Komparator

6
I.6 Peneliti Terdahulu

Adapun peneliti terdahulu yang pernah meneliti daerah ini yaitu:

1. Deneve, 1977

2. Klerk, 1983

3. Haruna Mappa, 1985

4. Ir.Kaharuddin MS

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Hidrodinamika Lautan

Air mempunyai sifat yang kompleks diantaranya adalah tidak pernah

diam. Air selalu bergerak sepanjang waktu akibat adanya gangguan atau faktor-

faktor yang mempengaruhinya, gerakan-gerakan tersebutlah yang kita sebut

dengan hidrodinamika yang termasuk didalamnya adalah gelombang, pasang

surut, arus dan sea-level changes.

II.1.1 Gelombang

Gelombang merupakan gerakan air secara oksidasi yang menyebabkan

permukaan air naik turun yang mempunyai panjang, tinggi periode, energi,

kecepatan dan lain-lain.

1 .Gelombang laut dangkal.

Suatu gelombang yang panjangnya jauh lebih besar darpada kedalaman

air, kecepatan merambatnya

2 . Gelombang laut dalam.

Gelombang alut dalam dengan panjang gelombangnya lebih kecil

disbanding dengan kedalaman perairan tersebut yang biasa disebut juga

gelombang pendek

8
Gelombang yang tiba dipantai akan pecah dan melepaskan energi yang

dapat mengikis batuan dasar pantai mengaduk material sedimen dan membawanya

atau menyebarkannya disepanjang pantai. Bagian – bagian gelombang yang tiba

dipantai yaitu :

a. Shoaling wave zone yaitu sona dangkal gelombang atau build up.

b. Breaker zone yaitu zona pecahnya gelombang sebelum tiba didarat.

c. Surf zone yaitu zona setelah gelombang pecah.

d. Swash yaitu gelombang tiba didarat.

e. Back swash yaitu hembapasan gelombang dari darat kembaki kelaut.

Offshore Nearshore Zone

Build-up or Brea Swash


shoaling Surf Zone
Zone
zone ker
zone Bore

Gambar.3 Bentuk Gelombang tibah dan pecah dipantai (Paul.


D.Komar,1976)

Gelombang yang bergerak lama kelamaan akan mengalkami perubahan

arah akibat gangguan angin pulau atau pantai arus, gelombang balik dan lain-lain.

Perubahan ara ini dapat berupa :

9
- Refleksi. Gelombang yang tiba relatif tegak lurus terhadap garis pantai atau

tiba pada pantai yang cekungmaka gelombang terpantul kembali yang disebut

dengan refleksi.

- Refraksi. Gelombang yang mendekat pantai akan mengalami pembelokan arah

terutama bila arah gelombang miring terhadap garis pantai atau gelombang

tiba relatif searah ujung memanjang pulau.

- Difraksi. Gelombang akan terpisah-pisah atau energinya menyebar akibat

terhalang oleh barrier atau pulau-pulau. Gerakan pemancaran arah da energi

ini disebut difaksi

II.1.2 Pasang Surut

Jenis dan sifat pasang surut yang terjadi sangat bervariasi yang disebabkan

oleh faktor topografi yang bervariasi terutama pada daerah kepulauan.

Laut atau selat-selat sempit dapat menimbulkan suatu resonansi pasang

surut, sehingga dapat mempengaruhi sifat dan jenis pasang utama. Jenis-jenis

pasang surut :

a. Diurnal tide yaitu pasang surut tunggal terjadi apabila dalam waktu 24 jam

terjadi dua kali air tinggi dan satu kali air rendah. Seperti pada gambar 2.2 (a)

b. Seni diurnal tide yaitu pasang surut ganda yang terjadi dua kali air tinggi dan

dua kali air rendah dalam waktu 24 jam. Seperti tampak pada gambar 2.2 (b).

c. Mixed tide yaitu pasang surut campuran yang terjadi apabila dalam waktu 24

jam terjadi kedudukan air tinggi dan rendah tidak teratur (gambar 2.2 (c)).

10
(a). Diurnal tide

t = 24 jam

(b). Semi durnal tide


t = 24 jam

h
t = 24 jam

(c) Mixed tide

Gambar.4 Jenis-jenis pasang surut.

II.1.3 A r u s

Merupakan pergerakan air laut yang pada umumnya dipengaruhi oleh

percepatan angin, tekanan air, topografi dasar laut, gaya koriolis dan arus ekman.

Berdasarkan hal tersebut maka arus dapat dikenal beberapa jenis yaitu :

a. Arus Elementer

Yaitu arus yang timbul akibat pengaruh laur seperti :

- Arus euler

- Arus gradien, arus yang timbul akibat ketidakseimbangan bidang isobar.

- Arus geostropik,

- Arus antitropik,

b. Arus Elmen

11
timbul akibat adanya gaya koriolis, arus permukaan membentuk sudut 450

terhadap arah angin. Arus akan mengecil kelapisan air bagian bawah dan arahnya

dibelokkan oleh gaya koriolis kekanan dibelahan bumi utara.

c. Arus Thermoholi

Arus yang timbul akibat gradien suhu oleh variasi iklim diperairan.

Perbedaan suhu bagian dalam air akan menimbulkan arus dingin dan arus panas.

d. Upwelling.

Pergerakan air secara vertical naik keatas, dapat juga disebut dengan

gerakan air divergen. Hal ini timbul biasanya pada daerah pantai yang relatif

terjal. Arus bawah permukaan bergerak kearah pantai kemudian dasar perairan

yang curam arus akan membelok naik keatas. Biasanya pada daerah ini terdapat

banyak ikan, karena banyaknya nutrisi ikan terangkat ke permukaan air.

e. Down-Welling (Sinking)

Air bergerak turun karena proses konvergen atau adanya gradien thermohalin

dan salinitas. Perbedaan densitas air laut. Dapat pula terbentuk bila arus

permukaan tertumbuk di pantai yang curam kemudian air bergerak kebawah.

f. Arus Pantai

Arus pantai timbul karena adanya pergerakan massa air disepanjang

perairan pantaiseperti gerakan gelombang, pasang surut, arus sungai dan pengaruh

arus laut atau arus musimyang keadaannya sudah terpecah-pecah.

12
II.2 Kimia Fisika Lautan

II.2.1 pH

Merupakan potensial atau sifat keasaman (alkalinitas) suatu larutan atau

air. pH penting kelarutan dalam air laut terutama terhadap pengendapan mineral-

mineral/unsure dan kehidupan organisme pada suatu kondisi tertentu.

Potensial hydrogen daripada air laut ada kecenderungan menurun dengan

bertambahnya kedalaman, hal ini telah dibuktikan oleh Bathurst (1971) yang

melakukan penelitian pada daerah Harrington.

Sedang hubungan kedalaman dengan konsentrasi karbonat dapat dilihat

pada tabel dan gambar berikut yang dibuat oleh Murray (1891) dalam ekspedisi

challenger didaerah tropik :

II.2.2 S u h u

Penyebaran temperatur secara horizontal menunjukkan bahwa daerah yang

terpanas terletak 70 Lintang Utara dan terdingin 300 Lintang Selatan. Sedangkan

secara vertical dapat diuraikan sebagai berikut :

a. Lapisan campuran, suhu sekitar 260 - 270C dengan kedalaman 0 - 90

meter.

b. Thermocline, suhu diantara 50 - 260C dengan kedalaman sekitar 90 - 910

meter, dapat terjadi perubahan-perubahan temperatur secara cepat.

c. Dingin (laut dangkal), temperatur sekitar 3,90 - 50C dengan kedalaman

lebih dari 910 meter

13
Suhu air laut dapat mempengaruhi naik turunnya slinitas dan densitas air

laut. Demikian pula halnya penyebaran hidap dari organisme laut ditentukan oleh

suhu perairan.

II.2.3 Salinitas

Salinitas adalah merupakan jumlah berat zat-zat organic yang larut dalam

1 kg air laut (satuannya dalam gram). Salinitas merupakan factor pengontrol

terhadap tekanan osmosis pada tubuh organisme laut. Tingkat salinitas air laut

sangat menentukan jenis biota yang hidup di suatu perairan. Perubahan-perubahan

salinitas sangat terasa terutama organisme yang bersifat bentos yang tidak bias

berpindah-pindah. Pada terumbu karang yang mengalami pendangkalan, lebih

banyak mati karena adanya perubahan salinitas dan pH secara drastis bila terjadi

turun hujan

II.3 Erosi dan Sedimentasi

Proses erosi merupakan suatu proses perubahan bentuk bentangalam

karena adanya pengaruh eksogen seperti pelapukan Erosi berhubungan erat

dengan proses sedimentasi dimana proses erosi menyebabkan material-material

sedimen hasil pelapukan tertransportasi kearah laut dan kemudian mengalami

proses sedimentasi pada daerah laut tersebut, baik pada laut dangkal maupun pada

daerah laut dalam.

Daerah sedimen laut dangkal meliputi :

a. Estuari,

b. Delta,

14
c. Pantai

d. Lagoon

e. Tidal Flats

II.4. Proses-Proses Pembentukan Kawasan Pantai

Kawasan pantai adalah kawasan transisi dari lahan daratan dan perairan laut.

Proses pembentukan kawasan pantai sangat dipengaruhi oleh gaya-gaya dinamis

yang berada di sekitarnya. Gaya-gaya dinamis utama dan dominan yang

mempengaruhi kawasan pantai adalah gaya gelombang. Menurut Bambang

Triatmodjo (1999), pantai selalu menyesuaikan bentuk profilnya sedemikian rupa

sehingga mampu menghancurkan energi gelombang yang datang. Penyesuaian

bentuk tersebut merupakan tanggapan dinamis alami pantai terhadap laut.

Gelombang dan arus di sekitar kawasan pantai

15
Seperti kita ketahui, gelombang laut yang sehari-hari mempengaruhi kawasan

pantai adalah gelombang yang diakibatkan oleh energi angin. Sesuai dengan

faktor pembangkit terjadinya gelombang tersebut, maka ada dua jenis gelombang

angin yaitu gelombang normal dan gelombang badai (storm wave).

Pembangkitan gelombang laut oleh angin atau badai

Karena itulah, ada dua tipe tanggapan pantai dinamis terhadap gelombang, yaitu

tanggapan terhadap kondisi gelombang normal dan gelombang badai. Bambang

Triatmodjo (1999) menjelaskan bahwa kondisi gelombang normal terjadi dalam

waktu yang lama dan energi gelombang mudah dipatahkan oleh mekanisme

pertahanan alami pantai. Sedangkan akibat gelombang badai yang mempunyai

energi lebih besar, sering mengakibatkan pertahanan alami pantai tak mampu

menahannya. Sehingga pantai dengan mudah dapat tererosi.

Adakalanya profil pantai lambat laun akan kembali ke bentuk semula, setelah

gelombang badai mereda. Namun ada kalanya pantai yang tererosi tersebut tak

16
kembali ke bentuk semula karena material pembentuk pantai telah terbawa arus ke

tempat lain dan tak kembali ke lokasi semula.

Dalam membahas proses pantai, prinsip-prinsip yang diurai biasanya berbicara di

seputar sub topic berikut:

 Pergerakan air laut di sekitar pantai (gelombang & arus)

 Pergerakan sediment (sediment transport) akibat gaya gelombang dan

arus.

 Proses erosi/abrasi dan perubahan lahan yang diakibatkannya.

 Proses pengendapan/akresi/sedimentasi dan perubahan lahan yang

diakibatkannya.

 Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kawasan pantai dan

klasifikasinya.

17
BAB III

GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

III.1 Geologi Regional

Uraian tentang kondisi geologi regional dan indikasi potensi sumberdaya

mineral di Kota Parepare dan sekitarnya ini, dirujuk dari hasil Pemetaan Geologi

Bersistem Skala 1 : 250.000 Terbitan Pusat Penelitian dan Pengembangan

Geologi (PPPG) Bandung, pada Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian

Barat, Sulawesi (Rab Sukamto, 1982) serta Lembar Majene dan Bagian Barat

Lembar Palopo (Djuri dan Sudjatmiko, 1974; Djuri, dkk., 1998).

Berdasarkan letak/posisi geografisnya, maka berdasarkan geologi

regionalnya, Kota Parepare terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian utara

termasuk ke dalam Peta Geologi Lembar Majene dan Bagian Barat Lembar

Palopo (Djuri dan Sudjatmiko, 1974; Djuri, dkk., 1998). Sedangkan bagian

selatan termasuk ke dalam Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat,

Sulawesi (Rab Sukamto, 1982) . Berikut uraian kedua lembar tersebut:

III.1.1 Geologi Lembar Majene dan Bagian Barat Lembar Palopo

III.1.1.1 Geomorfologi

Daerah penelitian terletak pada Busur Sulawesi Selatan bagian utara yang

dicirikan oleh aktivitas volkanik dan intrusi magma bersifat kalk-alkalin

berkomposisikan asam hingga intermedit yang terdiri atas pegunungan,

perbukitan, dan dataran rendah. Daerah pegunungan menempati bagian utara,

21 18
barat dan selatan sedangkan bagian tengah merupakan perbukitan bergelombang

dan bagian timur merupakan dataran rendah. Ketinggian pegunungan ini melebihi

2000 m dengan puncak tertinggi adalah Gunung Rantemario yang terletak pada

rangkaian Pegunungan Latimojong, Sulawesi Selatan (Sukamto, 1975).

Sebagian pegunungan ini terbentuk oleh batuan gunungapi dengan

ketinggian rata-rata 1500 m dari permukaan laut. Ke arah timur, rangkaian

pegunungan ini relatif menyempit dan lebih rendah dengan morfologi

bergelombang lemah sampai kuat. Bagian pesisir timur yang berbatasan dengan

Teluk Bone merupakan dataran rendah, secara umum disusun oleh alluvium.

III.1.1.2 Stratigrafi

Sukamto (1975) telah membagi Pulau Sulawesi dan pulau-pulau di

sekitarnya ke dalam tiga mandala geologi berdasarkan asosiasi litologi dan

struktur regional. Ketiga mandala tersebut adalah Mandala Geologi Sulawesi

Selatan, Mandala Geologi Sulawesi Timur, dan Mandala Geologi Banggai-Sula.

Berdasarkan pembagian tersebut, maka daerah penelitian termasuk ke dalam

Mandala Sulawesi Selatan.

Mandala Sulawesi Selatan dicirikan oleh kompleks batuan ultrabasa dan

metamorf berumur Pra-Kapur yang tertindih oleh batuan sedimen dan batuan

volkanik berumur Kapur Akhir hingga Plistosen (Sukamto, 1975).

Dalam Peta Geologi Lembar Majene dan Bagian Barat Lembar Palopo

(Djuri dan Sudjatmiko, 1974) yang memuat daerah penelitian, berdasarkan urutan

stratigrafinya batuan tertua yang dijumpai di daerah ini adalah Formasi

19
Latimojong (Tkl) yang berumur Kapur dengan ketebalan lebih kurang 1000

meter. Formasi ini telah termetamorfisme terdiri atas filit, serpih, rijang, marmer,

kuarsit, dan beberapa intrusi bersifat menengah hingga basa, baik berupa stock

maupun berupa retas-retas.

Kemudian di bagian atas Formasi Latimojong diendapkan secara tidak

selaras Formasi Toraja yang terdiri atas Tersier Eosen Toraja (Tet) dan Tersier

Eosen Toraja Limestone (Tetl) yang berumur Eosen terdiri atas serpih,

batugamping dan batupasir serta setempat batubara, di mana batuan ini telah

mengalami perlipatan kuat. Kisaran umur dari fosil-fosil yang dijumpai pada

umumnya berumur Eosen Tengah sampai Miosen Tengah (Djuri dan Sudjatmiko,

1974).

Pada bagian atas formasi ini dijumpai Batuan Volkanik Lamasi (Tolv)

yang berumur Oligosen, terdiri atas aliran lava bersusunan basaltik hingga

andesitik, breksi volkanik, batupasir dan batulanau, setempat-setempat

mengandung feldspatoid. Kebanyakan batuan terkersikkan dan terkloritisasi.

Satuan batuan berikutnya adalah satuan Tmb dan Tmpss yang terdiri atas napal

dan sisipan batugamping yang setempat-setempat mengandung batupasir

gampingan, konglomerat dan breksi yang berumur Miosen Bawah hingga Miosen

Tengah. Pada tempat lain diendapkan satuan batuan Tmc yang terdiri atas

konglomerat, meliputi sedikit batupasir glaukonit dan serpih. Ketebalan satuan

batuan ini antara (100-400) meter dan berumur Miosen Tengah hingga Pliosen.

Ketiga satuan batuan di atas mempunyai hubungan menjemari dengan satuan

batuan Tmpl yang terdiri atas lava yang bersusunan andesit sampai basal, pada

20
beberapa tempat terdapat breksi andesit, piroksin dan andesit trakit serta

feldspatoid. Kelompok satuan batuan ini berumur Miosen Awal hingga Pliosen

dan mempunyai ketebalan (500-1000) meter. Pada beberapa tempat dijumpai pula

satuan batuan Tmpa, yang merupakan Molasa Sulawesi yang terdiri atas

konglomerat, batupasir, batulempung dan napal dengan selingan batugamping dan

lignit. Foraminifera menandakan umur Miosen Akhir - Pliosen.

Selain satuan batuan di atas, dijumpai dua batuan terobosan granit yang

berbeda umurnya. Pertama berumur Miosen Akhir dan yang kedua berumur

Pliosen. Pada daerah Palopo, Granit berumur Miosen Akhir menerobos Formasi

Latimojong dan Formasi Toraja dan menghasilkan mineralisasi hidrotermal

(Simandjuntak, 1981).

Terdapat beberapa intrusi yang umumnya bersusunan asam sampai intermedit

seperti granit, granodiorit, diorit, sienit, monzonit kuarsa dan riolit. Setempat

dijumpai gabro di G. Pangi, singkapan terbesar di G. Paroreang menerus sampai

daerah G. Gandadewata di Lembar Mamuju (Djuri dan Sudjatmiko, 1974).

Umurnya diduga Pliosen karena menerobos Batuan Gunungapi Walimbong yang

berumur Mio-Pliosen, serta berdasarkan kesebandingan dengan granit di Lembar

Pasangkayu yang berumur 3,35 juta tahun / Pliosen Akhir (Sukamto, 1975).

Satuan batuan termuda berupa endapan aluvial dan pantai yang terdiri atas

lempung, lanau, pasir, kerikil dan setempat-setempat terdapat terumbu koral (Qal)

yang menempati daerah pesisir timur dan barat, daerah ini berbatasan langsung

dengan laut serta daerah di sekitar Danau Tempe yang berumur Holosen dan

proses pengendapannya berlangsung sampai sekarang.

21
III.1.1.3 Struktur Geologi

Secara regional struktur geologi yang terdapat di Pulau Sulawesi dan

sekitarnya memperlihatkan keadaan yang sangat kompleks. Hal ini disebabkan

karena Pulau Sulawesi merupakan suatu daerah yang banyak mendapat pengaruh

pertemuan berbagai lempeng benua dan samudera. Kerumitan tektonik Pulau

Sulawesi ini ditafsirkan sebagai hasil pemekaran kerak bumi yang disebabkan

oleh gerakan lempeng Australia dan Hindia ke utara dan lempeng Pasifik ke barat,

yang keduanya membentur Lempeng Eurasia.

Sejak Mezosoikum, Sulawesi merupakan bagian dari Lempeng Asia dan

selama Paleogen dan Neogen Awal, daerah ini merupakan suatu busur volkanik

kalk-alkali yang berkaitan dengan proses penunjaman dari Laut Tethys sebelah

timur ke tenggara. Lempeng Australia – Irian bergerak ke utara dan secara

bertahap mikro kontinen pada bagian daerah penelitian terpisah melalui

pergeseran mendatar.

Secara regional orogenesa pada Pulau Sulawesi mulai berlangsung sejak Zaman

Trias, terutama pada Mandala Banggai – Sula yang merupakan mandala tertua,

sedangkan pada Mandala Geologi Sulawesi Timur dimulai pada Kapur Akhir atau

Awal Tersier. Perlipatan yang kuat menyebabkan terjadinya sesar anjak yang

berlangsung pada Miosen Tengah pada Lengan Timur Sulawesi dan di bagian

tengah dari Mandala Geologi Sulawesi Selatan, di waktu yang bersamaan suatu

trangresi lokal berlangsung pada Lengan Tenggara Sulawesi dan suatu aktifitas

volkanik terjadi pada Lengan Utara dan Selatan (Sukamto, 1975).

22
Berdasarkan pembagian Mandala Sulawesi (Sukamto, 1975), maka

daerah penelitian terletak pada Mandala Geologi Sulawesi Selatan bagian tengah

dan sedikit kearah timur yang berbatasan dengan bagian barat dari Mandala

Sulawesi Timur. Mandala Sulawesi Selatan dicirikan oleh endapan palung

berumur Kapur hingga Paleogen yang kemudian berkembang menjadi jalur

gunungapi yang berlangsung dari Kala Miosen Akhir.

Fasa orogenesa Intra Miosen terlihat menonjol pada beberapa tempat,

terutama pada Mandala Sulawesi Selatan bagian tengah, sedangkan orogenesa

sebelum Intra Miosen mungkin terjadi dua kali, yaitu sebelum dan sesudah Eosen.

Orogenesa Larami terjadi pada Kapur Akhir hingga Miosen Awal, mengangkat

dan melipat endapan Mesozoikum dan sedimen tua lainnya, kemudian terhenti

oleh pengaruh gerakan horisontal dan menyebabkan terjadinya berbagai sesar

sungkup berarah utara-selatan atau tepatnya utara-baratlaut – selatan-menenggara.

Gaya horisontal terhenti dan disusul oleh terbentuknya sesar bongkah yang

menyebabkan terban maupun sembul. Perlipatan yang kuat diikuti oleh sesar

sungkup yang terjadi pada Miosen Tengah pada bagian tengah dari Mandala

Sulawesi Selatan, melipat batuan pada Formasi Latimojong dan Formasi Toraja

kemudian tersesarkan.

Pada Plio-Plistosen berbagai terban dan sembul dipengaruhi oleh adanya

sesar geser berarah baratlaut-tenggara yang searah dengan pergerakan sesar Palu-

Koro di Sulawesi Tengah (Simandjuntak, 1986). Sesar ini diperkirakan masih

aktif, arah gerak sesar Palu-Koro memperlihatkan kesamaan gerak dari jalur Sesar

Matano dan jalur Sesar Sorong dan pola sesar sungkupnya memperlihatkan arah

23
yang konsekuen terhadap Mandala Banggai-Sula. Kemudian akibat dari Lempeng

Asia yang bergerak dari arah baratlaut menyebabkan terbentuknya jalur

penunjaman Sulawesi Utara hingga pergerakan dari Sesar Palu-Koro masih aktif

(gambar 2).

Adapun kelanjutan dari Sesar Palu-Koro disebut Sesar Tempe,

disebabkan karena sesar tersebut melalui Danau Tempe. Bidang geser Plio-

Plistosen memotong bidang geser yang berarah utara-selatan, dengan perbedaan

bahwa dari kedua bidang geser di Sulawesi Tengah dianggap seumur, sedangkan

di Sulawesi Selatan dianggap memiliki umur yang berbeda, yakni masing-masing

Miosen Bawah dan Plio-Plistosen.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka pada Mandala Sulawesi Selatan

bagian tengah berkembang sesar-sesar mendatar yang berarah baratlaut – selatan-

tenggara dan sesar-sesar anjak yang berarah timurlaut-baratdaya. Sesar-sesar

mendatar yang dimaksud adalah Sesar Mendatar Malimbo di bagian utara daerah

penelitian, Sesar Walanae Barat di baratdaya daerah penelitian, dan sesar naik

yang paling dominan adalah Sesar Naik Makale di bagian baratdaya serta Sesar

Anjak Latimojong di sebelah baratdaya daerah penelitian (Djuri dan Sudjatmiko,

1974).

24
Gambar 3.1. Peta pola struktur geologi regional Pulau Sulawesi (Simandjuntak,

1986)

3.2.1 Geologi Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat

3.2.1.1 Geomorfologi

25
Berdasarkan keadaan bentangalam (morfologi) dapat dibagi atas 4 satuan

morfologi, yakni : daerah pegunungan, daerah perbukitan , daerah kras, dan

daerah pedataran.

Daerah pegunungan mempunyai sifat-sifat relief topografi yang tinggi,

tekstur topografi kasar, batuan penyusunnya adalah breksi gunungapi dan batuan

beku , menyebar di bagian Timur daerah penelitian dengan arah penyebaran

Utara-Selatan.

Daerah perbukitan mempunyai sifat-sifat relief topografi dan tekstur topografi

sedang, batuan penyusunnya adalah batuan sedimen, batuan ubahan, dan batuan

beku, menyebar di bagian Tengah daerah penelitian dengan arah penyebaran

Baratlaut-Tenggara dan Utara-Selatan.

Daerah kras (karst) mempunyai sifat-sifat relief topografi tajam dan ke

arah lateral berubah-ubah secara drastis, batuan penyusunnya adalah

batugamping, menyebar di bagian Tengah daerah penelitian dengan arah

penyebaran Baratlaut-Tenggara dan Utara-Selatan.

Daerah pedataran mempunyai sifat-sifat relief topografi sangat rendah,

tekstur topografi halus, batuan penyusunnya adalah endapan Aluvium.

Sungainya secara umum memotong penyebaran formasi batuan dan struktur

geologi, bersifat mengerosi batuan dasar dan berpola aliran perpaduan dendritik

dan rectangular. Pada bagian Timur erosi berjalan secara efektif, sedangkan di

bagian Tengah proses erosi dan sedimentasi berjalan hampir seimbang, dan di

bagian Barat proses sedimentasi berkembang membentuk dataran pantai

26
III.2.1.2 Stratigrafi

Batuan ultrabasa yang tersusun dari peridotit yang terserpentinkan,

terkersikkan, dan tergerus melalui sesar naik ke arah Baratdaya, pada bagian yang

pejal terlihat struktur berlapis, ketebalannya tidak kurang dari 2.500 meter,

umurnya tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan berumur Trias,

munculnya akibat tektonik pada akhir Kapur, penyebarannya di sekitar

pegunungan Lassitae dan Mareno.

Batuan malihan (metamorf) sebagian besar tersusun dari sekis dan sedikit

geneis, mineralnya yang terlihat adalah glaukofan, garnet, epidot, mika dan

klorit. Batuan malihan ini umumnya berfoliasi miring ke arah Timurlaut, sebagian

terbreksikan dan tersesarkan naik ke arah Baratdaya. Satuan ini tebalnya tidak

kurang dari 2.000 meter dan bersentuhan sesar dengan batuan sekitarnya,

umurnya tidak diketahui secara pasti, namun diperkirakan berumur Trias,

munculnya akibat tektonik akhir Kapur, penyebarannya di sekitar pegunungan

Lasitae.

Komplek Melange merupakan komplek batuan campur-aduk secara

tektonik, terdiri dari grewake, breksi, konglomerat, batu-pasir terkersikan, serpih

kelabu, serpih merah, rijang radiolaria merah, batusabak, sekis, ultramafik, basal,

diorit dan lempung. Himpunan batuan ini mendaun, umumnya miring ke arah

Timurlaut dan tersesarkan naik ke arah Baratdaya. Satuan ini tebalnya tidak

kurang dari 1.750 meter, dan mempunyai sentuhan sesar dengan satuan batuan

sekitarnya, sebarannya di sebelah Selatan B. Mareno. Umurnya diperkirakan Jura.

27
Formasi Balangbaru merupakan tipe sedimen flysch yang tersusun dari

batupasir berselingan batulanau dan batu-lempung serta serpih. Pada

umumnya .menunjukkan struktur turbidit, mengandung fosil Globatruncana yang

menunjukkan umur Kapur Akhir, formasi ini tebalnya sekitar 2.000 meter,

tertindih secara tidak selaras oleh formasi batuan yang lebih muda.

Formasi Mallawa tersusun dari batupasir, konglomerat, batu-lanau,

batulempung dengan sisipan batubara, mengandung fosil moluska dan

foraminifera yang menunjukkan umur Paleosen, diendapkan dalam lingkungan

paralaks sampai laut dangkal, ketebalan formasi ini tidak kurang 400 meter,

tertindih selaras oleh Formasi Tonasa dan menindih tak selaras Formasi

Balangbaru.

Formasi Tonasa tersusun dari batugamping koral pejal, sebagian

terhablurkan berwarna putih sampai abu-abu, batugamping kalsirudit,

batugamping bioklastika dan kalkarenit berwarna putih sampai kelabu muda,

sebagian berlapis baik dan berselingan dengan napal, setempat-setempat

bersisipan dengan breksi batugamping dan batugamping pasiran, mengandung

fosil Moluska dan Foraminifera yang menunjukkan umur Eosen Awal sampai

Miosen Tengah dengan lingkungan pengendapan neritik, tebal formasi ini tidak

kurang dari 3.000 meter, menindih selaras batuan Formasi Mallawa dan tertindih

tak selaras batuan Formasi Camba, diterobos oleh batuan beku (trakhit, diorit, dan

dasit).

Formasi Camba tersusun dari batuan sedimen laut, berselingan dengan

batuan gunungapi; batupasir tufaan berselingan dengan tufa, batupasir, batulanau,

28
dan batulempung, umumnya mengeras kuat dan sebagian kurang padat, tebal

perlapisan (4 - 100) cm, tufanya berbutir halus hingga lapilli, mengandung fosil

Foraminifera kecil yang menunjukkan umur Miosen Tengah sampai Miosen Atas

dan diendapkan dalam lingkungan neritik, formasi ini tebalnya sekitar 5.000

meter, menindih tak selaras Formasi Tonasa dan Formasi Mallawa, diterobos

oleh batuan basal dan andesit.

Batuan gunungapi Formasi Camba tersusun dari batuan gunungapi bersisipan

batuan sedimen laut; breksi gunungapi; lava; konglomerat gunungapi dan tufa

yang berbutir halus sampai lapilli; bersisipan batupasir tufaan, batugamping dan

napal. Batuan ini bersusunan andesit dan basal; umumnya sedikit terpropilitkan,

sebagian terkersikkan, amigdaloidal dan berlubang-lubang, diterobos oleh retas,

sill dan stock bersusunan basal dan andesit. Berdasarkan kandungan fosil dan

radiometri menunjukkan umur Miosen Tengah sampai Miosen Akhir. Batuannya

sebagian besar diendapkan dalam lingkungan laut neritik sebagai fasies gunungapi

Formasi Camba, menindih tak selaras Formasi Mallawa dan Tonasa, sebagian

terbentuk dalam lingkungan darat.

Batugamping Formasi Camba terdiri dari batugamping tufaan dan

batugamping pasiran, setempat dengan sisipan tufa, pejal dan sarang, berbutir

halus sampai kasar, sebagian m'engandung glaukonit. Fosilnya terutama

Foraminifera dan sedikit Moluska dan koral yang diperkirakan berumur Miosen

Tengah. Batuan Intrusi terdiri dari dasit, diorit, trakhit, basal, dan andesit berupa

stock, sil dan retas. Sebaran batuannya setempat-setempat membentuk topografi

29
perbukitan-pegunungan, umurnya diperkirakan Miosen Atas dan mengintrusi

batuan yang lebih tua.

Batugamping Formasi Walanae terdiri dari batugamping koral dengan

sisipan batugamping berlapis, napal, batulempung, dan tufa. Sebaran batuannya di

sebelah Selatan Palanro. Batuannya mengandung fosil Foraminifera dan Moluska

yang menunjukkan umur Miosen Tengah sampai Pliosen.

Endapan Aluvium pantai; tersusun dari endapan yang tidak terkonsolidasi,

berukuran lempung sampai bongkah, terbentuk dari hasil proses pelapukan

batuan yang lebih tua, serta diendapkan pada daerah dataran.

III.2.1.3 Struktur Geologi

Struktur geologi daerah penelitian terdiri atas: perlipatan, sesar dan kekar.

Perlipatan; secara umum berarah Utara-Selatan sampai Barat-laut-Tenggara,

berupa perlipatan antiklin maupun sinklin. Batuan yang terlipatkan : Formasi

Balangbaru, Formasi Mallawa, Formasi Tonasa, dan Formasi Camba. Perlipatan

yang terbentuk. karena adanya gaya mendatar yang berarah Barat-Timur,

diperkirakan berlangsung pada kala Miosen Tengah sampai Pliosen Atas.

Sesar; secara umum berarah Utara-Selatan sampai Baratlaut-Tenggara,

sesar sungkup yang terjadi pada batuan ultrabasa, melange dan metamorf terjadi

pada Kapur Atas. Sesar normal, dan sesar geser terjadi oleh karena adanya gaya

mendatar yang berarah Barat-Timur, pada kala Miosen Tengah sampai Pliosen

Atas.

Kekar; berarah umum Baratlaut-Tenggara sampai Timurlaut-Baratdaya.

Kekar terbuka yang saling memotong dengan intensitas tinggi dijumpai pada

30
batuan ultrabasa dan metamorf serta batuan Formasi Balangbaru, sedangkan yang

intensitas rendah sampai sedang dijumpai pada batuan yang berumur Tersier.

Van Leeuwen ( 1979 ), menerangkan bahwa pola struktur Lengan Selatan

Pulau Sulawesi, yaitu struktur sesar Walanae, searah dengan sesar geser Palu

Koro di Sulawesi Tengah. Sesar Walanae terbagi dua yaitu sesar Walanae Barat

dan sesar Walanae Timur yang terbentuk pada Kala Plio – Plistosen.

RAB SUKAMTO ( 1982 ), berpendapat bahwa kegiatan tektonik pada

Kala Miosen Awal menyebabkan terjadinya permulaan terban Walanae yang

memanjang dari utara ke selatan pada Lengan Sulawesi bagian barat. Struktur

sesar berpengaruh terhadap struktur geologi sekitarnya.

Tektonik ini menyebabkan terjadinya cekungan tempat terbentuknya

Formasi Walanae. Peristiwa ini kemungkinan besar berlangsung sejak awal

Miosen Tengah, dan menurun perlahan selama sedimentasi sampai Kala Pliosen.

Menurunnya Terban Walanae dibatasi dua sistem sesar normal, yaitu sesar

Walanae yang seluruhnya nampak hingga sekarang di sebelah timur, dan sesar

Soppeng yang hanya tersingkap tidak menerus di sebelah barat.Selama

terbentuknya Terban Walanae, di Timur kegiatan gunungapi terjadi hanya di

bagian selatan, sedangkan di barat terjadi kegiatan gunungapi yang merata dari

selatan ke utara, berlangsung dari Miosen Tengah sampai Pliosen. Bentuk kerucut

gunungapi masih dapat dia amati di daerah sebelah barat ini, suatu tebing

melingkar mengelilingi G. Benrong, di utara G. Tondongkarambu, mungkin

merupakan suatu sisa kaldera.

31
Sesar utama yang berarah Utara – Baratlaut terjadi sejak Miosen Tengah,

dan tumbuh sampai setelah Pliosen. Perlipatan yang berarah hampir sejajar

dengan sesar utama diperkirakan terbentuk sehubungan dengan adanya tekanan

mendatar berarah kira-kira Timur Barat pada waktu sebelum akhir Pliosen.

Tekanan ini mengakibatkan pula adanya sesar sungkup lokal yang mengsesarkan

batuan Pra-Kapur Akhir di daerah Bantimala ke atas batuan Tersier. Perlipatan

dan pensesaran yang relatif lebih kecil di bagian Timur Lembah Walanae dan di

bagian Barat pegunungan yang berarah Baratlaut – Tenggara, kemungkinan besar

terjadi akibat adanya gerakan mendatar tekanan sepanjang sesar besar.

III.2 Geologi Regional Daerah Penelitian

III.2.1 Geomorfologi

Proses geomorfologi adalah perubahan baik secara fisika maupun kimia

yang dialami permukaan bumi (Thornbury, 1954). Akibat proses geomorfologi

yang bekerja, bentuk bentangalam yang dihasilkan akan bervariasi, yang

kemudian dapat diklasifikasikan berdasarkan karakteristik hasil bentukan dari

proses geomorfologinya.

Adapun dasar penamaan satuan bentang alam daerah penelitian didasarkan

dua aspek pendekatan yaitu pendekatan morfologi (morfografi dan morfometri) .

Maka daerah penelitian di bagi atas satu satuan bentang alam yaitu :

1. Satuan bentang alam pedataran.

Penjelasan dari setiap satuan bentangalam tersebut akan dibahas dalam

uraian berikut ini.

32
III.2.1.1 Satuan Bentangalam Pedataran Pantai

Satuan bentangalam pedataran pantai ini menempati sekitar 10% dari

keseluruhan lokasi penelitian, dengan luas satuan ini sekitar 1145 m2. Penyebaran

satuan bentangalam ini berada pada bagian timur daerah penelitian yaitu di daerah

Pantai Lumpue.

Satuan bentangalam ini terletak di tepi dari kontinen atau

daratan dan sangat dikontrol oleh proses alamiah di laut yaitu angin (wind), arus

(Current) dan gelombang (Wave) yang terjadi secara terus menerus (van Zuidam

1985). Aksi alamiah antara angin, gelombang dan arus akan menimbulkan dua

pengaruh yaitu yang bersifat destruktif dan konstruktif. Destruktif yaitu yang

bersifat menghancurkan seperti abrasi oleh arus dan gelombang dan kostruktif

yaitu bersifat membangun yaitu berupa depositional atau pengendapan

(Thornburry, 1969).

Karakteristik morfometri satuan ini terdiri atas besar sudut

kelerengan berkisar antara 0o – 1o, dan persentase kemiringan lereng yaitu (0 –

3)% dan relatif sangat landai, beda tinggi antara (0 – 4) meter. Maka berdasarkan

parameter di atas maka relief daerah ini termasuk dalam topografi berupa

pedataran (gambar 3.1).

Analisa morfogenesa pada satuan ini dilakukan dengan menganalisa

karakteristik fisik yang mencirikan proses asal pembentukannya. Analisa proses

genetik berupa jenis erosi yang terjadi yaitu abrasi yang merupakan proses erosi

yang dikontrol oleh aksi alamiah angin, arus dan gelombang. Proses abrasi yang

dapat teramati di lapangan yaitu pada pesisir utara pantai Lumpue.

33
Proses sedimentasi yang terjadi berupa pengendapan material pasir

yang bersortasi baik dan endapan lumpur, Sedimentasi yang terjadi berasal dari

daratan dan diangkut oleh mekanisme transportasi oleh arus sungai menuju ke laut

dan kemudian mengalami proses pengerjaan kembali oleh aksi alamiah laut

berupa angin, arus dan gelombang hingga menghasilkan material pasiran dengan

sortasi yang baik dan endapan lumpur.

Foto 3.1 Kenampakan lapangan morfologi pedataran dan material


penyusun beukuran pasir hingga lempung pada daerah pantai
lumpue di foto relatif ke arah utara.

III.2.1.2 Sungai

Sungai didefinisikan sebagai tempat air mengalir secara alamiah

membentuk suatu pola dan jalur tertentu di permukaan (Thornbury, 1969).

34
Pembahasan mengenai sungai atau aliran permukaan pada daerah penelitian

meliputi uraian tentang klasifikasi jenis sungai.

Berdasarkan sifat alirannya maka jenis aliran sungai pada daerah

penelitian termasuk dalam aliran external, yaitu aliran air yang mengalir di

permukaan bumi membentuk sungai.

Berdasarkan kandungan air pada tubuh sungai maka jenis sungai pada

daerah penelitian berupa Sungai Normal ini merupakan sungai yang mempunyai

debit aliran tetap tidak dipengaruhi oleh musim kemarau atau penghujan. Jenis

sungai seperti ini berkembang pada daerah penelitian yaitu pada sungai yang

langsung bermuara di Pantai Lumpue.

Foto 3.2 Kenampakan lapangan sungai yang langsung bermuara ke pantai


lumpue (x arah aliran sungai) di foto relatif ke arah selatan.

III.2.2 Stratigrafi

35
Pengelompokan dan penamaan satuan batuan pada daerah penelitian

didasarkan pada litostratigrafi tidak resmi, yang bersendikan pada ciri fisik yang

dapat diamati di lapangan, meliputi jenis batuan, keseragaman gejala litologi, dan

urutan satuan batuan yang menerus, serta dapat terpetakan pada sekala 1 : 25.000

(Sandi stratigrafi Indonesia, 1996).

Secara umum litologi yang menyusun daerah penelitian merupakan

batuan – batuan hasil proses sedimentasi dan erupsi gunung api hal ini

berdasarkan pada kenampakan batuan yang di jumpai di lapangan.

Pembagian satuan batuan daerah penelitian yaitu didasarkan pada

lithostratigrafi tidak resmi, maka pembagian satuan daerah penelitian dari muda

ke tua terdiri atas :

a. Satuan alluvial

b. Satuan Trakit

Pembahasan dan uraian dari urutan satuan stratigrafi daerah penelitian dari

tua ke muda adalah sebagai berikut :

III.2.1.1 Satuan Trakit

Pembahasan tentang satuan batuan daerah penelitian meliputi uraian

mengenai dasar penamaan, penyebaran, ciri litologi meliputi karakteristik

megaskopis, umur, lingkungan pembentukan dan hubungan stratigrafi satuan.

1. Dasar penamaan

Dasar penamaan satuan batuan ini yaitu berdasarkan atas ciri

litologi dan batuan yang penyebarannya mendominasi pada satuan batuan ini

36
secara lateral dimana litologi yang paling dominan pada satuan ini yaitu lava trakit

. Berdasarkan hal tersebut maka penamaan satuan ini yaitu satuan basal.

Untuk penamaan litologi anggota satuan ini yaitu penamaan batuan

secara megaskopis. Penamaan secara megaskopis yaitu penamaan yang ditentukan

berdasarkan komposisi mineral yang bisa teramati secara langsung tansatmata

dalam hal ini menggunakan klasifikasi Fenton, 1950.

2. Penyebaran Satuan

Satuan lava trakitik ini menempati sekitar 10 % dari luas

keseluruhan daerah penelitian yang penyebarannya yaitu pada sebelah utara

daerah penelitian atau sekitar 145 m2. Satuan ini menempati daerah di sebelah

utara daerah penelitian . Singkapan satuan batuan ini dijumpai dalam kondisi

segar pada daerah pantai lumpue sampai ketinggian 50 meter. Secara umum

singkapan batuannya dijumpai pada daerah yang berbatasan dengan pantai.

3. Ciri litologi

Satuan batuan basal ini di daerah penelitian dijumpai dalam

keadaan segar berwarna putih keabu-abuan, dalam keadaan lapuk berwarna

kecoklatan, warna soil di sekitar singkapannya yaitu coklat sampai coklat

kehitaman.

Kenampakan singkapan pada tempat di lapangan menunjukan bahwa

batuannya menunjukan struktur aliran ditandai dengan bentuk yang berupa blok-

blok dan adanya skoria pada permukaan singkapannya.

37
Foto 3.3. Kenampakan lapangan singkapan trakit pada stasiun 1 yang menunjukkan
kenampakan aliran (layer) di daerah pantai lumpu difoto relatif kearah utara.

Berdasarkan karakteristik singkapan batuan beku inilah yang kemudian

mendasari bahwa satuan batuan daerah penelitian ini merupakan batuan beku

ekstrusif yang berupa aliran lava, sedangkan penentuan jenis batuannya

didasarkan atas pemerian secara megaskopis.

Kenampakan megaskopis batuan menunjukan kondisi segar

umumnya berwarna putih keabu-abuan, dalam kondisi lapuk berwarna coklat tua,

dengan tekstur secara umum hipokristalin, porfiroafanitik, anhedral,

inequigranular, struktur pada batuanmassive (Foto 3.3) , dengan komposisi

mineral berupa biotit dan mineral gelas yang tidak bisa dikenali secara

megaskopis. Berdasarkan kenampakan megaskopisnya maka nama batuannya

yaitu Trakit. (Fenton, 1950).

38
4. Umur dan Lingkungan Pembentukan

Umur satuan trakit ini ditentukan berdasarkan kesebandingan dengan

batuan pada formasi Parepare vulkanik yang didasarkan pada kesamaan litologi

dan penyebaran geografis batuan secara lateral. Menurut Sukamto (1982) batuan

penyusun Formasi Parepare vulkanik sebagian tersingkap di daerah pantai,

dicirikan dengan kondisi batuan yang umumnya tufa, konglomerat, breksi dan

lava dan menunjukan umur Pliosen.

Ciri – ciri litologi tersebut menujukan ciri yang sama dengan dengan

satuan batuan yang tersingkap pada daerah penelitian, demikian pula dengan

kondisi penyebaran litologinya sangat mendukung kesetaraan ciri litologinya.

Maka berdasarkan hal tersebut satuan basal daerah penelitian termasuk dalam

batuan Formasi Parepare vulkanik yang berumur Pliosen. (Sukamto,1982).

III.2.1.2 Satuan Aluvial

Pembahasan mengenai satuan alluvial menyangkut uraian tentang dasar

penamaan satuan, penyebaran satuan, ciri fisik material, umur dan lingkungan

pembentukan satuan alluvial.

1. Dasar Penamaan

Dasar penamaan satuan ini yaitu berdasarkan dominasi material

penyusunnya. Berdasarkan material yang yang menyusun satuan ini menunjukan

karakteristik endapan alluvial, dan melihat proses genetiknya dan lokasi

39
terbentuknya menunjukan bahwa material tersebut berasal dari proses erosi dan

sedimentasi di sungai. Maka berdasarkan hal tersebut penamaan satuan ini

menjadi satuan alluvial.

2. Penyebaran Satuan

Penyebaran satuan ini menempati sekitar 90 % dari luas

keseluruhan daerah penelitian dengan luas penyebaran sekitar 1000 m2.

Penyebaran satuan ini berada pada bagian selatan daerah penelitian dan

merupakan perbatasan antara daratan dan laut. Penyebaran material alluvial

terakumulasi dengan baik si sepanjang pantai timur daerah Lumpue.

3. Ciri Material alluvial

Material penyusun satuan ini berupa material pasir, batu, lempung

dan lumpur yang merupakan hasil interaksi antara darat dengan laut. Material

pasir pada daerah berasal dari proses erosi material di tempat lain kemudian

mengalami proses transportasi baik melalui mekanisme sungai ataupun

mekanisme laut lalu diendapkan pada daerah pantai ini. Endapan lumpur ini

umumnya berada pada daerah muara sungai ke laut dan merupakan campuran

antara material lempung dengan air. Material batu yang berukuran bolder hingga

kerikil terbentuk merupakan material hasil abrasi di sekitar pantai dan belum

mengalami mekanisme transportasi.

40
Foto 3.2. Kenampakan endapan alluvial akibat proses erosi dan
sedimentasi pada sepanjang garis pantai lumpue difoto relatif ke arah
utara.

4. Umur dan Lingkungan Pengendapan

Menurut Sukamto, 1982 material penyusun Endapan Alluvium, Danau

dan Pantai (Qac) terdiri atas material lempung, lanau, lumpur, pasir dan kerikil di

sepanjang sungai besar dan di sepanjang pantai.

Material penyusun satuan alluvial pantai daerah penelitian terdiri atas

material pasir, batu, lempung dan lumpur dan menyebar di sepanjang pantai.

Dengan menggunakan metode kesebandingan maka endapan alluvial pantai

daerah penelitian ini memiliki kesamaan dengan endapan alluvium danau dan

41
pantai (Qac). Berdasarkan kesamaan tersebut maka satuan alluvial pantai darah

penelitian dikorelasikan dengan Qac yang berumur Holosen dan terendapkan pada

daerah pantai.

5. Hubungan stratigrafi

Hubungan stratigrafi antara satuan alluvial dengan satuan batuan

yang ada di atasnya yaitu satuan lava trakit adalah kontak ketidakselarasan.

42
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hidrodinamika

Pengukuran hidrodinamika pada daerah penelitian meliputi pengukuran

gelombang dan pasang surut, dimana penjelasannya yaitu sebagai berikut :

a. Gelombang

Gelombang merupakan gerakan air secara osilasi dengan permukaan

naik turun, mempunyai panjang, tinggi periode, kecepatan, energi, dan lain-

lain. Gelombang timbul akibat pengaruh dari angin, gempa bumi, gunung api

bawah laut, longsoran, kapal, dan aktivitas manusia lainnya. Sifat gelombang

dengan memindahkan massa air, bergerak dari sumber atau pusat gelombang

ke arah yang lebih jauh, berbeda dengan getaran walaupun kelihatannya muka

air laut naik turun, akan tetapi getaran tidak terjadi pemindahan massa air,

seperti halnya gelombang. Gelombang bergerak ke suatu tempat dengan

banyak faktor yang mempengaruhi sehingga bantuknya akan lebih kompleks

43
dan rumit. Sifat gelombang itu sendiri sangat tergantung pada kecepatan angin

sebagai penyebab tenaga gelombang.

Semakin lama gelombang itu bergerak, semakin besar gelombang itu,

hingga batas maksimumnya begitu pula kecepatan angin yang tinggi serta

besarnya tenaga penggerak gelombang dan keterbukaan air laut akan

memungkinkan panjang gelombang yang besar.

Gambar 4.1 Gelombang Laut saat mendekati pantai akan berubah Panjang
Gelombangnya

Suatu medium disebut:

a. linear jika gelombang yang berbeda di semua titik tertentu di medium bisa

dijumlahkan,

b. terbatas jika terbatas, selain itu disebut tak terbatas

c. seragam jika ciri fisiknya tidak berubah pada titik yang berbeda

d. isotropik jika ciri fisiknya "sama" pada arah yang berbeda

pada daerah penelitian.

Pada daerah penelitian pantai lumpue terletak bagian barat daerah

penelitian memiliki topografi datar bergelombang dan memiliki muara sungai.

Pantai ini memanjang dari selatan ke utara, dan tidak memiliki pulau karang

44
(Barrier) yang menghalangi. Berlanjut kearah utara lerengnya mulai

bergelombang dan berombak (undulating) dengan kemiringan pantai yang terjal

yang disusun oleh batuan vulkanik berupa lava trakitik.

Foto 4.1 Kenampakan Lapangan Morfologi pantai Datar


Bergelombang pada daerah pantai Lumpue di foto relative
kearah selatan.

Kemudian jangkauan pasang surut yang panjang memberikan

kesempatan banyak energi gelombang laut yang kuat untuk mengikis pantai.

Energi gelombang pada daerah penelitian termasuk kuat hal ini dikarenakan

pengaruh waktu dan angin yang kuat oleh karena cuaca pada saat itu sementara

hujan dan tidak adanya penghalang pantai (keterbukaan muka laut) serta besarnya

tenaga penggerak. Hal ini juga diketahui oleh rata-rata nilai energi dan tenaga

45
yang didapat berdasarkan hasil perhitungan memiliki nilai 0,23 joule dan tenaga

0,56 watt dengan arah umum gelombang N 30o E.

b. Pasang Surut Air Laut

Menurut Pariwono (1989), fenomena pasang surut diartikan sebagai naik

turunnya muka laut secara berkala akibat adanya gaya tarik benda-benda angkasa

terutama matahari dan bulan terhadap massa air di bumi. Sedangkan menurut

Dronkers (1964) pasang surut laut merupakan suatu fenomena pergerakan naik

turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya

gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomi terutama oleh

matahari, bumi dan bulan. Pengaruh benda angkasa lainnya dapat diabaikan

karena jaraknya lebih jauh atau ukurannya lebih kecil.

Gelombang air laut merupakan disebabkan oleh adanya gelombang

angina yang memcahkan kawasan permukaan air laut, hembusan angina akan

mendorong untuk naik ataupun pasang air laut. Gaya grafitasi akan menarik

gelombang air laut menjadi menurun ataupun surut. Jadi semakin kuat atau

lamanya hembusan angina maka akan menimbulkan gelombang air laut yang

semakin besar.

Berdasarkan tabel pengukuran dan garfik pasang surut pada daerah Pantai

Lumpue, dimana terjadi pasang pada saat siang hari hinggat tengah malam pukul

12 malam dan surut sampai pagi harinya. Jenis pasang surut pada daerah

penelitian termasuk dalam pasang surut ganda (semi duarnal tide) dimana terjadi

dua kali pasang dan dua kali surut yang tinginya hampir sama dalam satu hari

46
(John I Pariwono, 1987). Hal ini dipengaruhi oleh gelombang dan arus yang

terjadi pada daerah penelitian yang cukup kuat dan posisi , serta perubahan iklim

oleh karena pemanasan global yang diakibatkan oleh kerusakan lingkungan.

Foto 4.2 Kenampakan Lapangan alat pengukuran Pasut pada daerah


penelitian di foto relative kea rah barat.

4.2 Karakteristik Material Sedimen

Karakteristik sedimen pada daerah pantai merupakan hasil bentukan

sedimentasi materi yang diendapkan sungai yang bermuara ke pantai dan

pengikisan laut. Dari arah selatan ke barat semakin mendekati garis pantai dari

kasar ke pasir halus. Karakteristik material sedimen mempunyai warna gelap

material penyusun pantai dominant disusun oleh material berukuran butiran-pasir

47
sekitar 70%, Lempung sekitar 25%, dan material berukuran Lanau sekitar 5%.

menunjukan asal sedimen yakni dari sedimentasi sungai yang bermuara

dipantainya hal ini menunjukan material sedimen didominasi dari darat. Pada

bagian utara dari pantai Lumpue dijumpai adanya singkapan batuan vulkanik yang

menyusun dinding pantai membentuk pantai yang terjal

Foto 4.3 Kenampakan Lapangan material sedimen hasil proses


trencing memperlihatkan perubahan ukuran butir semakin
ke atas semakin halus difoto relative kea rah utara.

Pasir kasar
10 m 2m
Pasir halus
Pasir sedang
Pasir kasar

Gambar 4.2 Profil material sediment pada daerah

penelitian
48
4.3 Uji Salinitas, pH, dan Suhu

Air laut merupakan larutan yang mengandung berbagai macam garam-

garaman. Unsur kimia yang tergabung dalam larutan air laut itu adalah kholor

(C1) 55%, Natrium (Na) 31%, kemudian magnesium (Mg), Kalsium (Ca),

Belerang (S) dan Kalium (K). Disamping itu dalam jumlah kecil terdapat juga

Bromium (Br), Karbon (C), Strontium (Sr), Barium (Ba), Silikon (Si) dan Flourin

(F). Air laut mengandung juga larutan – larutan berbagai gas seperti Oksigen (O2)

dan gas Asam garam (CO2) yang merupakan kebutuhan vital bagi kehidupan

vegetasi hewan laut.

Ciri paling khas pada air laut yang diketahui oleh semua orang adalah

rasanya yang asin. Ini disebabkan karena didalam air laut terlarut bermacam-

macam garam. Yang paling utama adalah garam Natrium (NaCl) yang sering pula

disebut garam dapur. Selsi garam-garam khlorida, didalam air laut juga terdapat

pula garam-garam magnesium, kalsium kalium dan sebagainya.

Suhu merupakan faktor yang banyak mendapat perhatian dalam

pengkajian-pengkajian kelautan. Data suhu air dapat dimanfaatkan bukan saja

untuk mempelajari gejala-gejala fisika. Didalam laut, tetapi juga dalam kaitannya

dapat dimanfaatkan untuk pengkajian meteorogi.

Suhu (oC) pH (Derajat Salinitas


keasaman)
27 8 20

Tabel 1. Tabel hasil Pengukuran Suhu, pH, dan Salinitas pada daerah
Pantai lumpue.

49
Berdasarkan tabel pengukuran, pada daerah pantai Lumpue memiliki pH 8

yang berarti daerah penelitian memiliki kandungan air yang bersifat basa.

Diperairan samudera, salinitasnya biasanya berkisar antara 34-35%.

Diperairan pantai, karena terjadi pengencaran, misalnya karena aliran sungai,

salinitas bisa turun rendah. Sebaliknya didaerah penguapan yang sangat kuat,

salinitas bisa meningkat tinggi, air payau adalah istilah umum yang digunakan

untuk menyatakan air yang salinitasnya antara air tawar dan air laut. Ada berbagai

cara dan istilah yang digunakan untuk memberi nama air berdasarkan salinitasnya.

Pada Pantai Lumpue penyebaran tingkat kadar garam atau salinitasnya dapat

diketahui dengan menggunakan salinometer dimana didapatkan data salinitas pada

setiap titik batimetrinya, data tersebut menunjukan memiliki kadar salinitas antara

24 – 28 %. Dimana semakin kearah darat kadar salinitasnya akan semakin kecil

dan semakin kearah laut tingkat salinitasnya akan semakin bertambah.

Pada Pantai Lumpue ini suhu air diukur dengan menggunakan termometer

dimana didapatkan suhu antara 270 – 32,50 . Dimana diketahui penyebaran suhu

atau temperatur pada daerah ini semakin ke arah darat akan semakin tinggi dan

semakin kearah laut akan semakin kecil.

4.4 Abrasi dan Sedimentasi

Proses pengikisan pantai atau abrasi pada umumnya dilakukan oleh

gelombang laut sepanjang pantai. faktor-faktor yang mendukung terjadinya erosi

(dalam hal ini gelombang, arus, iklim dan beberapa faktor lainnya) memiliki

energi yang relatif kecil. Sehingga proses abrasi secara kompleks dari pengikisan,

transportasi dan pengendapan kembali, berlangsung agak cepat.

50
Foto 4.4 Kenampakan Lapangan batuan penyusun pinggir pantai dan
posisi pantai yang langsung berhadapan dengan laut lepas
menunjukan proses abrasi yang cepat di foto relative kea rah
selatan.
Proses pengikisan ini juga merupakan suatu aktivitas geologi yang terjadi

pada Pantai – Pantai sekitarnya yang didukung oleh adanya arus yang bersifat

sinking yang membawa material ke dalam laut akibat pengaruh arus yang berputar

ke arah bawah permukaan air laut setelah menyentuh daerah pantai. Secara umum

proses abrasi yang terjadi pada daerah penelitian bersifat cepat hal ini dikarenakan

litologi penyusun pinggir pantai sudah lapuk atau kurang kompak dan bersifat

asam serta berpori. Kondisi morfologi pantai yang langsung berhadapan dengan

laut lepas tidak ada penghalang (barrier reef) sehingga gelombang denngan cepat

mengikis daerah pinggir pantai.

Didaerah pantai dapat terjadi sedimentasi mekanis, sedimentasi kimia dan

sedimentasi mekanis, namun yang paling dominan adalah sedimentasi mekanis.

a. Sedimentasi mekanis

Suplai sedimen umumnya dari daratan diangkut oleh sungai berupa

material-material halus dan kasar. Sedimen yang tiba dipantai akan diaduk atau

51
diretranportasi dan resedimentasi oleh arus dan gelombang dapat membentuk

beacherbar, barrier, spit, tombolo dan delta. Sedimen mekanis dapat pula

bersumber dari hasil aktivitas abrasi laut yang akan diendapkan disepanjang

pantai.

Sifat sedimen pantai umumnya memiliki tubuh sedimen memanjang relatif

sejajar garis pantai dengan sortasi sedang sampai baik, setempat-setempat

dapat ditemukan lensa-lensa dan gelembur gelombang serta silang siur. Pada

tempat-tempat tertentu seperti didaerah pantai curam dapat ditemukan sedimen

bercampur fragmen-fragmen besar.

b. Sedimentasi Kimiawi

Didaerah pantai merupakan zona yang peka terhadap perubahan-

perubahan fisik dan kimiawi air laut terutama perubahan salinitas, pH, temperatur

dan densitas. Akan tetapi pada kondisi normal perairan pantai bersifat basa, unsur-

unsur atau koloid-koloid yang bersifat basa yang asalnya dari daratan akan

terendapkan melalui reduksi kimia di daerah pantai akibat naiknya pH air laut.

Seperti pembentukan pasir besi, fosfat, kalium karbonat (kalsit) dan lain-lain.

c. Sedimentasi organik

Aktivitas organis didaerah pantai langsung atau tidak langsung dapat pula

membentuk akumulasi berupa sedimen organis seperti perkembangan terumbu

karang, cangkang moluska, sisa-sisa pepohonan dan organisme lainnya, dan

pembentukan lapisan peat (gambut) oleh proses biokimia.

52
Sedangkan proses erosi atau abrasi pada umumnya dilakukan oleh

gelombang laut disepanjang pantai. Eksistensi abrasi tergantung pada faktor-

faktor berikut ini :

a. Tingkat resistensi batuan sepanjang pantai

Tingkat pelapukan fisik dan kimiawi sangat menentukan kecepatan abrasi

di daerah pantai. Batuan yang sudah lapuk atau kurang kompak dan bersifat asam

akan lebih mempercepat terjadinya abrasi.

b. Kondisi struktur permukaan batuan.

Batuan yang sudah hancur atau retak-retak serta berpori sangat mudah

terjadinya abrasi.

c. Kedudukan lapisan batuan terhadap arah pukulan gelombang.

Batuan yang miring searah dengan pukulan gelombang akan mempercepat

terjadinya abrasi, karena sifat batuan berhadapan dan mematahkan gelombang

secara tiba-tiba. Sedang kedudukan batuan miring berlawanan dengan arah

pukulan gelombang, aktivitas abrasi relatif kecil karena gelombang akan direda,

ditekan secara perlahan-lahan. Dan juga pada tebing curam akan terjadi abrasi

yang besar seperti halnya pada lapisan batuan yang miring searah pukulan

gelombang.

d. Kedalaman dasar pantai.

Pantai yang dalam, abrasi kurang aktif tetapi biasanya pantai yang dalam

mempunyai pinggir pantai yang relatif curam.

e. Keterbukaan pantai terhadap pukulan arus dan gelombang.

53
Pantai yang terbuka mempunyai tingkat abrasi tinggi dibandingkan dengan

pantai yang tertutup.

f. Jenis material yang terbawa oleh arus dan gelombang.

Material sedimen yang ikut terangkut akan berfungsi mengikis pantai,

semakin kasar material sedimen maka semakin cepat pula terjadi abrasi. Proses-

proses lain yang juga dapat terjadi didasar pantai seperti aktivitas gunungapi,

tektonik, longsoran danmlain-lain. Proses-proses terjadi disepanjang pantai pada

prinsipnya akan merubah pantai dan keadaan lingkungan pantai.

Proses sedimentasi yang terjadi di Pantai Lumpue ini bekerja lebih banyak

dibandingkan dengan proses abrasi yang dilakukan oleh air laut. Hal ini dapat

dilihat dengan bentuk morfologi Pantai Lumpue yang relative datar. Proses

sedimentasi yang terjadi dapat dilihat pada sebelah Barat dari Pantai ini. Hal ini

dapat dilihat dari bentuk Pantai Lumpue yang memanjang kearah Utara dimana

terjadi penambahan material sedimen berupa batupasir disebelah timur.

Sedangkan proses erosi yang bekerja dapat dilihat disebelah utara Pantai Lumpue

dimana terjadi pengikisan dari tepi-tepi pantai dalam jumlah yang relatif kecil.

54
Foto 4.5 Kenampakan Lapangan material sedimen berwarna gelap
yang menunjukan sedimentasi dari sungai difoto relative kea
rah timur laut

4.5 Fisiografi

Pantai adalah daerah yang terletak dibagi dari kontinetal ( kontinetal),yang

sangat berpengaruh terhadap pembentukan model pantai adalah gelombang

(wave) dan arus ( current ),sedangkan gelombang pasang surut ( tides ) kecil

pengaruhnya.

Dari hasil pengamatan di lapangan maka pantai Lumpue berdasarkan

material penyusunnya merupakan pantai tipe Beach, yaitu pantai yang tersusun

oleh material lepas, daerah yang langsung mendapat pengaruh air laut dan selalu

dapat dicapai oleh pasang naik dan pasang surut .

Bila ditinjau dari sudut pandang proses yang bekerja membentuknya, maka

pantai Lumpue termasuk dalam Pantai hasil proses sedimentasi, yaitu pantai

yang terbentuk terutama kerena proses sedimentasi yang bekerja di pantai.

Termasuk kategori ini adalah beach pada daera selatan.

Kemudian, Bila dilihat dari sudut morfologinya, pantai pada daerah Lumpue

termasuk dalam Pantai bertebing (cliffed coast), yaitu pantai yang memiliki

tebing vertikal. Keberadaan tebing ini menunjukkan bahwa pantai dalam kondisi

erosional dimana penyusun tebing tersebut dari proses vulkanik. Tebing yang

55
terbentuk dapat berupa tebing pada batuan induk, maupun endapan pasir pada

daerah utara.

Foto 4.6 Kenampakan Lapangan singkapan batuan beku pada pinggir


pantai Lumpue menunjukan pantai akibat erosi difoto
relative ke utara.
Pada pantai lumpue juga terdapat adanya perbedaan litologi batuan yang

ada seperti pada bagian selatan litologi yang ada berupa material-material sedimen

yang berukuran pasir sangan halus sampai pasir sangat kasar sedangkan pada

bagian utara litologi yang ada berupa breksi vulkanik yang merupakan batuan

yang diakibatkan proses vulkanik gunung api bawah laut. Pada pantai lumpue

juga jarang kita jumpai adanya terumbu karang karena pada sebagaian daerah

pantai lumpue sudah mengalami pendangkalan kecuali pada pada bagian utara

56
organisme-organisme laut sangat banyak dijumpai umumnya menempel pada

pada batuan – batuan vulkanik yang ada.

4.6 Klasifikasi pantai

Dari hasil pengamatan di lapangan maka pantai Lumpue merupakan pantai

tipe sekunder yaitu pantai yang terbentuk akibat adanya pengaruh proses

pengendapan dari laut berupa arus dan gelombang air laut terhadap pantai

sehingga bedrock muncul dipermukaan ( pantai bagian utara ), menurut Shepard.

Sedangkan menurut Johson termasuk dalam jenis pantai emergence yaitu pantai

yang terbentuk akibat adanya pengangkatan dasar laut sehingga terjadi regresi,

yang menyebabkan terjadinya kemunduran garis pantai.

57

Anda mungkin juga menyukai