Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Hidrografi merupakan suatu cabang ilmu yang berkepentingan dengan
pengukuran dan deskripsi sifat serta bentuk dasar perairan dan dinamika badan air
(Kelompok Keahlian Hidrografi, 2004). Adapun yang dimaksud dengan dasar
perairan meliputi topografi dasar laut, jenis material dasar laut dan morfologi
dasar laut, sedangkan yang dimaksud dengan dinamika badan air meliputi pasut
dan arus. Hidrografi menurut International Hydrography organization (IHO)
adalah ilmu tentang pengukuran dan penggambaran parameter-parameter yang
diperlukan untuk menjelaskan sifat-sifat konfigurasi dasar laut secara tepat,
hubungan geografisnya dengan daratan, serta karakteristik-karakteristik dan
dinamika-dinamika lautan. Data mengenai fenomena dasar perairan dan dinamika
badan air tersebut diperoleh melalui pengukuran yang kegiatannya disebut sebagai
survei hidrografi.
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan industry yang main oriented, survey
hidrografi mutlak dilakukan dalam tahapan explorasi maupun feasibility. Studi
kebutuhan teknologi survey dan pemetaan laut yang modern ini merupakan suatu
kebutuhan apalagi dengan berlakunya UNCLOS 1982 (United Nation Convention
on Law of The Sea), Indonesia diakui sebagai Negara kepulauan dan perairan
yuridiksi Indonesia bertambah luas serta perlu segera dipetakan. Sudah saatnya
juga negara kita juga ini untuk bangun dan bersaing mengelola sumber daya
kelautan yang berpotensi ini.
Survey hidrografi & topografi adalah kegiatan pemetaan laut, pengumpulan
data, kondisi dan sumber daya suatu wilayah laut yang kemudian diolah,
dievaluasi dan disajikan dalam bentuk buku, peta laut serta informasi mengenai
kelautan lainnya, yang selanjutnya digunakan untuk kepentingan pembangunan
dan pertahanan keamanan suatu negara.
Data mengenai fenomena dasar perairan dan dinamika badan air diperoleh
melalui pengukuran yang kegiatannya disebut sebagai survei hidrografi. Data
yang diperoleh dari survei hidrografi kemudian diolah dan disajikan sebagai
informasi geospasial atau informasi yang terkait dengan posisi di muka bumi.
Sehubungan dengan itu maka seluruh informasi yang disajikan harus memiliki
data posisi dalam ruang yang mengacu pada suatu sistem referensi tertentu.
Aktifitas utama survei hidrografi meliputi Penentuan posisi di laut kedalaman,
pasang surut,arus dll.
Data yang diperoleh dari aktifitas-aktifitas tersebut diatas dapat disajikan
sebagai informasi dalam bentuk peta dan non-peta. Untuk menunjang
pengetahuan hidrografi, & topografi maka perlu dilakukan praktikum survey
hidrografi & topografi. Laporan ini berisi tentang proses pembuatan peta

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 1


bathymetri Pelabuhan Awerange Kabupaten Barru Sulawesi Selatan, yang
merupakan tugas praktikum mata kuliah Hidrografi dan Topografi pada Program
Studi Teknik Kelautan Fakultas Teknik Universitas Haanuddin yang dilaksanakan
dengan maksud sebagai pengenalan pelaksaan perkerjaan Suervei Hidrografi.
Dalam praktikum ini dipraktekkan bagaiman pengamatan pasang surut,
pengukuran topografi (beda tinggi), pegukuran batimetri dan pengukuran arus laut
di Perairan Pelabuhan Awerange Kabupaten Barru.

1.2 Rumusan Masalah

Pada kegiatan praktikum survei hidrografi yang dilaksanakan di Pelabuhan


Awerange Barru, kami membatasi masalah dengan sebagai berikut,

1. Bagaimana proses pengolahan data pemetaan detail situasi Pelabuhan


Awerange di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan?
2. Bagaimana proses pengolahan data pengamatan pasang surut terhadap
MSL?
3. Bagaimana hasil pemetaan topografi yang diolah/dinyatakan dalam bentuk
garis kontur?
4. Bagaiman proses pengolahan data sounding kedalaman laut terhadap
MSL?
5. Bagaimana tampilan peta batimetri dari hasil pengolahan data praktikum
survei hidrografi dan topografi Pelabuhan Awerange di Kabupaten Barru
Sulawesi Selatan?
6. Bagaimana arah pergerakan dan kecepatan arus di perairan Pelabuhan
Awerange Kabupaten Barru?

1.3 Tujuan

Adapun tujuan diadakan praktikum survei hidrografi & topografi ini antara
lain sebagai berikut :

1. Mahasiswa dapat melakukan pengolahan data pengamatan pasang surut


terhadap MSL.
2. Mahasiswa dapat melakukan pengolahan data topografi yang dinyatakan
dalam bentuk garis kontur.
3. Mahasiswa mampu melakukan pengolahan data sounding kedalaman laut
terhadap MSL.
4. Mahasiswa dapat membuat tampilan peta batimetri dari hasil pengolahan
data praktikum survei hidrografi.
5. Mahasiswa dapat mengetahui arah pergerakan dan kecepatan arus di
perairan Pelabuhan Awerange Kabupaten Barru Sulawesi Selatan.
6. Mahasiswa dapat merencanakan dan melaksanakan manajemen pekerjaan
dibidang survei dengan baik dan sesuai rencana.

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 2


1.4 Manfaat

Pelaksanaan kegiatan praktikum survei hidrografi & topografi di Pelabuhan


Awerange Barru diharapkan dapat memberikan pengetahuan dan wawasan bagi
mahasiswa dalam melaksanakan suatu pekerjaan hidrografi. Selain itu praktikum
ini dapat menjadi ajang mengaplikasikan ilmu yang diperoleh di perkuliahan
untuk mengerjakan suatu pekerjaan sesungguhnya. Hasil akhir praktikum ini
adalah peta bathymetri yang didapat dari GPS map sounder. Selanjutnya peta
bathymetri ini dapat digunakan sebagai acuan untuk menentukan kedalaman laut
dan mendapatkan informasi mengenai bahaya-bahaya pelayaran bagi keperluan
navigasi pada daerah survei.

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 3


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi Hidrografi


Kata hidrografi merupakan serapan dari bahasa Inggris ‘hydrography’. Secara
etimologis, ‘hydrography’ berasal dari kata sifat dalam bahasa Prancis abad
pertengahan ‘hydrographique’ yaitu kata yang berhubungan dengan sifat dan
pengukuran badan air, misalnya kedalaman dan arus (Merriam-Webster Online,
2004). Sedangkan Batimetri berasal dari bahasa Yunani : βαθυς, berarti
"kedalaman", dan μετρον, berarti "ukuran". Batimetri adalah ilmu yang
mempelajari kedalaman di bawah air dan studi tentang tiga dimensi lantai
samudra atau danau. Sebuah peta batimetri umumnya menampilkan relief lantai
atau dataran dengan garis-garis kontor (contour lines) yang disebut kontur
kedalaman (depth contours atau isobath), dan dapat memiliki informasi tambahan
berupa informasi navigasi permukaan yang merupakan hasil akhir yang
diharapkan dalam penyusunan laporan Survei Hidrografi dan Topografi ini.
Hingga sekitar akhir 1980-an, kegiatan hidrografi utamanya didominasi oleh
survei dan pemetaan laut untuk pembuatan peta navigasi laut (nautical chart) dan
survei untuk eksplorasi minyak dan gas bumi (Ingham, 1975). Peta navigasi laut
memuat informasi penting yang diperlukan untuk menjamin keselamatan
pelayaran, seperti kedalaman perairan, rambu-rambu navigasi, garis pantai, alur
pelayaran, bahaya-bahaya pelayaran dan sebagainya. Selain itu, kegiatan
hidrografi juga didominasi oleh penentuan posisi dan kedalaman di laut lepas
yang mendukung eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi.
Definisi akademik untuk terminologi hidrografi, dikemukakan pertama kali
oleh International Hydrographic Organization (IHO) pada Special Publication
Number 32 (SP-32) tahun 1970 dan Group of Experts on Hydrographic Surveying
and Nautical Charting dalam laporannya pada Second United Nations Regional
Cartographic Conference for the Americas di Mexico City tahun 1979. IHO
mengemukakan bahwa hidrografi adalah ‘that branch of applied science which
deals with measurement and description of physical features of the navigable
portion of earth’s surface and adjoining coastal areas, with special reference to

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 4


their use for the purpose of navigation’. Group of Experts on Hydrographic
Surveying and Nautical Charting mengemukakan bahwa hidrografi adalah ‘the
science of measuring, describing, and depicting nature and configuration of the
seabed, geographical relationship to landmass, and characteristics and dynamics
of the sea’. Perkembangan hidrografi juga mengakibatkan perubahan definisi
hidrografi yang oleh IHO didefinisikan sebagai ‘that branch of applied sciences
which deals with the measurement and description of the features of the seas and
coastal areas for the primary purpose of navigation and all other marine
purposes and activitie including -inter alia- offshore activities, research,
protection of the environment and prediction services’ (Gorziglia, 2004).
Awalnya, batimetri mengacu kepada pengukuran kedalaman samudra.
Pengukuran kedalaman dasar laut dapat dilakukan dengan Conventional Depth
Echo Sounder dimana kedalaman dasar laut dapat dihitung dari perbedaan waktu
antara pengiriman dan penerimaan pulsa suara. Dengan pertimbangan sistim Side-
Scan Sonar pada saat ini, pengukuran kedalaman dasar laut (bathymetry) dapat
dilaksanakan bersama-sama dengan pemetaan dasar laut (Sea Bed Mapping) dan
pengidentifikasian jenis-jenis lapisan sedimen dibawah dasar laut (subbottom
profilers). Pada pengaplikasian Hidrografi untuk membuat peta batimetri
diperlukan survei lokasi pantai terlebih dahulu, sehingga didapatkan data
pengamatan pasang surut, posisi kapal (x,y) dan data kedalaman laut (z) serta
pemetaan detil di sekitar pantai. Survei adalah kegiatan terpenting dalam
menghasilkan informasi hidrografi. Adapun aktivitas utama survei hidrografi
meliputi :
 Penentuan posisi (1) dan penggunaan sistem referensi (7)
 Pengukuran kedalaman (pemeruman) (2)
 Pengukuran arus (3)
 Pengukuran (pengambilan contoh dan analisis) sedimen (4)
 Pengamatan pasut (5)
 Pengukuran detil situasi dan garis pantai (untuk pemetaan pesisir) (6)
Data yang diperoleh dari aktivitas-aktivitas tersebut di atas dapat disajikan
sebagai informasi dalam bentuk peta dan non-peta serta disusun dalam bentuk
basis data kelautan.

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 5


Gambar 1. Konfigurasi Survey Hidrografi

2.2 Teknik Sounding (Pemeruman)


Pemeruman adalah proses dan aktivitas yang ditujukan untuk memperoleh
gambaran (model) bentuk permukaan (topografi) dasar perairan (seabed surface).
Proses penggambaran dasar perairan tersebut (sejak pengukuran, pengolahan
hingga visualisasi) disebut dengan survei batimetri. Model batimetri (kontur
kedalaman) diperoleh dengan menginterpolasikan titi-titik pengukuran kedalaman
bergantung pada skala model yang hendak dibuat. Titik-titik pengukuran
kedalaman berada pada lajur-lajur pengukuran kedalaman yang disebut sebagai
lajur perum (sounding line). Jarak antar titik-titik fiks perum pada suatu lajur
pemeruman setidak-tidaknya sama dengan atau lebih rapat dari interval lajur
perum.
Pengukuran kedalaman dilakukan pada titik-titik yang dipilih untuk mewakili
keseluruhan daerah yang akan dipetakan. Pada titik-titik tersebut juga dilakukan
pengukuran untuk penentuan posisi. Titik-titik tempat dilakukannya pengukuran
untuk penentuan posisi dan kedalaman disebut sebagai titik fiks perum. Pada
setiap titik fiks perum harus juga dilakukan pencatatan waktu (saat) pengukuran
untuk reduksi hasil pengukuran karena pasut.
2.2.1 Lajur Pemeruman
Pemeruman dilakukan dengan membuat profil (potongan) pengukuran
kedalaman. Lajur perum dapat berbentuk garis-garis lurus, lingkaran-
lingkaran konsentrik, atau lainnya sesuai metode yang digunakan untuk

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 6


penentuan posisi titik-titik fiks perumnya. Lajur-lajur perum didesain
sedemikian rupa sehingga memungkinkan pendeteksian perubahan kedalaman
yang lebih ekstrem. Untuk itu, desain lajur-lajur perum harus memperhatikan
kecenderungan bentuk dan topografi pantai sekitar perairan yang akan
disurvei. Agar mampu mendeteksi perubahan kedalaman yang lebih ekstrem
lajur perum dipilih dengan arah yang tegak lurus terhadap kecenderungan arah
garis pantai.
Dari pengukuran kedalaman di titik-titik fiks perum pada lajur-lajur
perum yang telah didesain, akan didapatkan sebaran titik-titik fiks perum pada
daerah survei yang nilai-nilai pengukuran kedalamannya dapat dipakai untuk
menggambarkan batimetri yang diinginkan. Berdasarkan sebaran angka-angka
kedalaman pada titik-titik fiks perum itu, batimetri perairan yang disurvei
dapat diperoleh dengan menarik garis-garis kontur kedalaman. Penarikan garis
kontur kedalaman dilakukan dengan membangun grid dari sebaran data
kedalaman. Dari grid yang dibangun, dapat ditarik garis-garis yang
menunjukkan angka-angka kedalaman yang sama.

Gambar 2. Desain Lajur Pemeruman

2.2.2 Teknik Pengukuran Kedalaman


Terdapat dua cara untuk menentukan kedalaman laut, yaitu dengan
cara batu duga dan gema suara. Pada praktikum survei hidrografi &
topografi kali ini menggunakan metode gema suara.

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 7


Metode Gema Suara merupakan pengukuran dasar laut dengan
menggunakan Echosounder yang dapat menentukan kedalaman air
dengan cara menghitung interval waktu antara pemancaran gelombang
suara dengan penerima pantulan (gema) dari dasar air

Gambar 3. Penggunaan Single-Beam Echosounder

Pengukuran kedalaman merupakan bagian terpenting dari pemeruman


yang menurut prinsip dan karakter teknologi yang digunakan dapat dilakukan
dengan metode mekanik, optik, dan akustik. Berikut uraian metode mekanik,
optik dan akustik :

1. Metode Mekanik disebut juga dengan metode pengukuran kedalaman secara


langsung. Metode ini efektif digunakan untuk perairan yang sangat dangkal
atau rawa. Instrumen yang digunakan adalah tongkat ukur atau rantai ukur
yang dilakukan dengan bantuan wahana apung. Bentuk tongkat ukur mirip
dengan rambu ukur yang dipakai untuk pengukuran sipat datar. Sedangkan
rantai ukur, karena fleksibilitas bentuknya, biasanya dipakai untuk
pengukuran kedalaman yang rata-rata lebih dalam dibanding dengan tongkat
ukur. Pada ujung rantai ukur digantungkan pemberat untuk menghindari
sapuan arus perairan dan menjaga agar rantai senantiasa relatif tegak.
Pengukuran kedalaman dengan metode mekanik efektif digunakan untuk
pemetaan pada batas daerah survei yang relatif tidak luas dengan skala yang
cukup besar.

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 8


2. Metode Optik memanfaatkan transmisi sinar laser dari pesawat terbang dan
prinsip-prinsip optik untuk mengukur kedalaman perairan. Dikenal dengan
Laser Ariborne Bathymetry (LAB).
Kanada : LIDAR (Light Detecting and Ranging)
AS : AOL (Airborne Oceanographic LIDAR) dan HALS
(Hydrography Airborne Laser Sounder)
Australia : LADS (Laser Airborne Depth Sounder)
Prinsip kerja LADS adalah transmisi sinar laser dari pesawat terbang
dengan sudut tertentu terhadap sumbu vertikal ke permukaan air. Sebagian
gelombang sinar laser dipantulkan dan dibiaskan ke segala arah dan salah
satu berkasnya akan menembus ke dalam air. Berkas sinar laser yang
menembus ke dalam air adalah 98% dari energi awalnya dan akan dibiaskan
dengan arah mendekati garis normal akibat perubahan dari densitas medium
yang lebih renggang ke densitas medium yang lebih rapat. Berkas
gelombang sinar laser akan meneruskan perjalanan perambatannya di dalam
air hingga menyentuh dasar perairan dan dipantulkan ke segala arah dan
salah satu berkasnya dipantulkan kembali ke arah sudut datangnya. Berkas
sinar yang memantul ke arah sudut datangnya kemudian meneruskan
perjalanan perambatannya dan menembus batas air dan udara. Karena
perubahan densitas medium yang lebih rapat ke medium yang lebih
renggang, berkas sinar akan dibiaskan menjauhi garis normal dan merambat
pada garis lintasan yang searah dengan saat pertama kali ditransmisikan dan
diterima kembali di pesawat terbang oleh unit penerima gelombang.
Teknologi LADS dioperasikan menggunakan pesawat terbang sekelas
Fokker-27 Seri 500 dengan kecepatan terbang sekitar 145 knot pada
ketinggian sekitar 500 m di atas permukaan laut menggunakan sistem
penentuan posisi kinematic differential GPS. Gelombang yang digunakan
adalah sinar laser infra merah dengan panjang gelombang 532 nm dan
periode 5 ns dengan pembangkit daya sebesar 1 MW. Sistem ini hanya
untuk kedalaman 2 – 50 m dengan kondisi air jernih dan terbuka, cakupan
daerah survei yang luas dan untuk pemetaan skala kecil. Teknik pengukuran

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 9


kedalaman dengan metode optik efektif digunakan pada perairan dangkal
yang jernih dengan kedalaman sekitar 50 m.

3. Metode Akustik ini paling sering digunakan. Gelombang akustik dengan


frekuensi 5 kHz atau 100 Hz akan mempertahankan kehilangan
intensitasnya hingga kurang dari 10% pada kedalaman 10 km, sedangkan
gelombang akustik dengan frekuensi 500 kHz akan kehilangan intensitasnya
pada kedalaman kurang dari 100 m. Alat yang digunakan adalah
echosounder (perum gema) yang pertama kali dikembangkan di Jerman
tahun 1920. Prinsip metode ini adalah pengukuran jarak dengan
memanfaatkan gelombang akustik yang dipancarkan dari tranduser.
Tranduser adalah bagian dari alat perum gema yang mengubah energi listrik
menjadi mekanik (untuk membangkitkan gelombang suara) dan sebaliknya.
Gelombang akustik merambat pada medium air hingga menyentuh dasar
perairan dan dipantulkan kembali ke transduser.
d = ½ (vΔt) ................................... (1)

dimana:
d = kedalaman hasil ukuran
v = kecepatan gelombang akustik pada medium air
Δt = selang waktu sejak gelombang dipancarkan dan diterima
kembali

Teknik echosounder yang dipakai untuk mengukur kedalaman laut, bisa


dibuat alat pengukur jarak dengan ultra sonic. Pengukur jarak ini memakai
rangkaian yang sama dengan Jam Digital dalam artikel yang lalu, ditambah
dengan rangkaian pemancar dan penerima Ultra Sonic.

Gambar 4. Echosounder Dual Frekuensi

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 10


Prinsip kerja echosounder untuk pengukuran jarak menggunakan pulsa
ultrasonic dengan frekwensi lebih kurang 41 KHz sebanyak 12 periode
yang dikirimkan dari pemancar. Ketika pulsa mengenai benda penghalang,
pulsa ini dipantulkan, dan diterima kembali oleh penerima ultrasonic.
Dengan mengukur selang waktu antara saat pulsa dikirim dan pulsa pantul
diterima, jarak antara alat pengukur dan benda penghalang bisa dihitung.

Gambar 5. Prinsip Echosounder

2.2.3 Single-Beam Echosounder


Single-beam echosounder merupakan alat ukur kedalaman air yang
menggunakan pancaran tunggal sebagai pengirim dan penerima sinyal
gelombang suara. Sistem batimetri dengan menggunakan single beam secara
umum mempunyai susunan : transciever (tranducer/reciever) yang terpasang
pada lambung kapal atau sisi bantalan pada kapal. Sistem ini mengukur
kedalaman air secara langsung dari kapal penyelidikan. Transciever yang
terpasang pada lambung kapal mengirimkan pulsa akustik dengan frekuensi
tinggi yang terkandung dalam beam (gelombang suara) secara langsung
menyusuri bawah kolom air. Energi akustik memantulkan sampai dasar laut
dari kapal dan diterima kembali oleh tranciever. Transciever terdiri dari
sebuah transmitter yang mempunyai fungsi sebagai pengontrol panjang
gelombang pulsa yang dipancarkan dan menyediakan tenaga elektris untuk
besar frekuensi yang diberikan.
Transmitter ini menerima secara berulang-ulang dlam kecepatan yang
tinggi, sampai pada orde kecepatan milisekon. Perekaman kedalaman air

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 11


secara berkesinambungan dari bawah kapal menghasilkan ukuran kedalamn
beresolusi tinggi sepanjang lajur yang disurvei. Informasi tambahan seperti
heave (gerakan naik-turunnya kapal yang disebabkan oleh gaya pengaruh air
laut), pitch (gerakan kapal ke arah depan berpusat di titik tengah kapal), dan
roll (gerakan kapal ke arah sisi-sisinya (lambung kapal) atau pada sumbu
memanjang) dari sebuah kapal dapat diukur oleh sebuah alat dengan nama
Motion Reference Unit (MRU), yang juga digunakan untuk koreksi posisi
pengukuran kedalaman selam proses berlangsung.
Range frekuensi yang dipakai pada sistem ini menurut WHSC Sea-floor
Mapping Group mengoperasikan range frekuensi dari 3.5 kHz sampai 200
kHz. Single-beam echosounders relatif mudah untuk digunakan, tetapi alat ini
hanya menyediakan informasi kedalaman sepanjang garis trak yang dilalui
oleh kapal. Jadi, ada feature yang tidak terekam antara lajur per lajur sebagai
garis traking perekaman, yang mana ada ruang sekitar 10 sampai 100 meter
yang tidak terlihat oleh sistem ini.

Gambar 6. Jenis Single-Beam Echosounder


2.2.4 Multi-beam Echosounder
Multi-Beam Echosounder merupakan alat untuk menentukan kedalaman
air dengan cakupan area dasar laut yang luas. Prinsip operasi alat ini secara
umum adalah berdasar pada pancaran pulsa yang dipancarkan secara langsung
ke arah dasar laut dan setalah itu energi akustik dipantulkan kembali dari dasar
laut (seabed), bebrapa pancaran suara (beam) secara elektronis terbentuk

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 12


menggunakan teknik pemrosesan sinyal sehingga diketahui sudut beam. Dua
arah waktu penjalaran antara pengiriman dan penerimaan dihitung dengan
algoritma pendeteksian terhadap dasar laut tersebut. Dengan mengaplikasikan
penjejakan sinar, sistem ini dapat menentukan kedalaman dan jarak transveral
terhadap pusat area liputan.
Multi-Beam Echosounder dapat menghasilkan data batimetri dengan
resolusi tinggi (0,1 m akurasi vertikal dan kurang dari 1 m akurasi
horisontalnya).

Gambar 7. Jenis Multi-Beam Echosounder


2.2.5 Reduksi Kedalaman Laut
Hasil pengukuran pemeruman berupa kertas grafik kedalaman dasar laut
( koordinat Z ) , hasil ini harus dikoreksi dengan hasil pengamatan pasang
surut selama pengukuran, serta tinggi acuan yang di gunakan (lihat Gambar 6)

Gambar 8. Reduksi Elevasi Hasil Pemeruman

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 13


Elevasi titik fix dapat ditulis : Elevasi titik fix = h - r + p – d.
Dimana :
h = Elevasi titik BM terhadap referensi tinggi yang dipakai (m)
p = bacaan pasut (m)
r = beda tinggi antara BM dengan nol pasut hasil pengukuran
waterpas
d = kedalaman air laut saat penentuan posisi titik fix.

2.3 Kerangka Kontrol Vertikal


Kerangka kontrol vertikal (KKV) merupakan kumpulan titik-titik yang telah
diketahui atau ditentukan posisi vertikalnya terhadap sebuah datum ketinggian.
Datum ketinggian ini dapat berupa ketinggian muka air laut rata-rata (mean sea
level-MSL) atau ditentukan lokal. Tinggi adalah perbedaan jarak tegak dari suatu
bidang referensi yang telah ditentukan terhadap suatu titik sepanjang garis
vertikalnya. Untuk mendapatkan tingi suatu titik perlu dilakukan pengukuran beda
tinggi antara suatu titik terhadap titik yang telah diketahui tingginya dengan alat
sipat datar. Pengukuran KKV bertujuan untuk menentukan tinggi titik-titik yang
dicari (koordinat vertikal) terhadap bidang referensi.

Gambar 9. Pengukuran Beda Tinggi

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 14


2.3.1 Prinsip Pengukuran Beda Tinggi
Prinsip penentuan beda tinggi dengan sipat datar menggunakan garis
bidik sebagai garis datar (BT). Di titik 1 dan 2 didirikan rambu ukur secara
tegak. Jarak vertikal rambu di titik 1 BTb dan BTm dapat diukur. Pada titik 1
dan 2 angka rambu adalah nol. Maka beda tinggi titik 1 dan 2 (∆12) adalah :
(Basuki, 2006)

Gambar 10. Pengukuran Sipat Datar


Δ12 = BTb - BTm
Jika, Δ12 = 0 maka 1 dan 2 sama tinggi
Δ12 > 0 maka 1 lebih rendah dari 2
Δ12 < 0 maka 1 lebih tinggi dari 2

2.3.2 Macam-macam Penentuan Beda Tinggi


a. Cara I : Alat diletakkan pada salah satu titik yang akan diukur
beda tingginya dan titik yang lain didirikan rambu ukur. Cara ini
biasa dilakukan pada pengukuran sipat datar melintang karena jarak
antar titik terlalu pendek (Basuki, 2006)
b. Cara II : Alat diletakkan diantara dua buah rambu yang vertikal.
Cara ini digunakan pada pengukuran sipat datar memanjang dan
pada daerah yang relatif datar (Basuki, 2006)
c. Cara III : Hal ini dilakukan apabila kondisi medan tidak
memungkinan alat berada di tengah antara dua titik yang akan diukur
misalnya melalui selokan.

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 15

belakang
2.4 Penentuan Posisi Menggunakan GPS
GPS (Global Positioning System), atau nama formalnya NAVSTAR GPS
(Navigation Satellite Timing and Ranging Global Positioning System) adalah
sistem satelit navigasi dan penentuan posisi yang dimiliki dan dikelola oleh
Amerika Serikat. Sistem ini didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga
dimensi serta informasi mengenai waktu, secara kontinyu di seluruh dunia tanpa
tergantung waktu dan cuaca, kepada banyak orang secara simultan. Pada saat ini,
sistem GPS sudah banyak digunakan orang di seluruh dunia. Di Indonesia pun
GPS sudah banyak diaplikasikan, terutama terkait dengan aplikasi-aplikasi yang
menuntut informasi tentang posisi.
Prinsip dasar penentuan posisi dengan GPS adalah pengukuran jarak ke
beberapa satelit (yang koordinatnya telah diketahui) sekaligus, yang tidak lain
merupakan kombinasi dari beberapa permukaan posisi bola konsentrik dalam
ruang. Dibandingkan dengan sistem dan metode penentuan posisi lainnya, GPS
memiliki banyak kelebihan dan menawarkan lebih banyak keuntungan, baik
dalam segi operasional maupun kualitas posisi yang diberikan.

2.4.1 Karakteristik Sistem GPS


GPS adalah sistem radio navigasi dan penentuan posisi menggunakan
satelit. GPS terdiri dari tiga segmen utama, yaitu:
1. Segmen angkasa (space segment) yang terdiri dari satelit-satelit GPS
2. Segmen sistem kontrol (control system segment) yang terdiri dari stasiun-
stasiun pemonitor dan pengontrol satelit
3. Segmen pemakai (user segment) yaitu terdiri dari pemakai GPS termasuk
alat-alat penerima dan pengolah signal dan data GPS
Satelit GPS dapat dianalogikan sebagai stasiun radio di angkasa, yang
dilengkapi dengan antena-antena untuk mengirim dan menerima sinyal-sinyal
gelombang. Sinyal-sinyal ini selanjutnya diterima oleh receiver GPS di atau
dekat permukaan bumi dan digunakan untuk menentukan posisi, kecepatan
maupun waktu. Selain itu, satelit GPS dilengkapi dengan peralatan untuk
mengontrol tingkah laku satelit serta senso-sensor untuk mendeteksi peledakan
nuklir dan lokasinya.

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 16


Satelit GPS terdiri dari 24 satelit yang menempati enam bidang orbit
yang bentuknya mendekati lingkaran. Orbit satelit GPS berinklinasi 55°
terhadap bidang ekuator dengan ketinggian rata-rata dari permukaan bumi
sekitar 20200 km. Satelit GPS bergerak dalam orbitnya dengan kecepatan kira-
kira 3,87 km/s dan mempunyai periode 11 jam dan 58 menit (sekitar 12 jam).
Dengan adanya 24 satelit yang mengangkasa tersebut, 4 sampai 10 satelit GPS
akan selalu dapat diamati pada setiap waktu darimanapun di permukaan bumi.

2.4.2 Metode Penentuan Posisi dengan GPS


Metode penentuan posisi dengan menggunakan GPS pada dasarnya
tergantung pada mekanisme pengaplikasiannya, dan dapat dikelompokkan
menjadi beberapa metode, yaitu absolute, differential, static, rapid static,
pseudo-kinematic, dan stop-and-go. Berdasarkan aplikasinya, metode-metode
penentuan posisi dengan GPS dapat dibagi menjadi dua kriteria utama, yaitu
survey dan navigasi, seperti yang ada pada (gambar 11) berikut:

Gambar 11. Metode Penentuan Posisi dengan GPS

Konsep dasar penentuan posisi dengan GPS adalah reseksi (pengikatan


ke belakang) dengan jarak, yaitu dengan pengukuran jarak secara simultan ke
beberapa satelit GPS yang koordiatnya telah diketahui.

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 17


Gambar 12. Penentuan Posisi dengan GPS

Gambar 13. Proses Pengambilan Data dengan GPS Melalui Satelit

Titik P adalah titik dimana alat GPS diset, misal koordinat P (xp,yp,zp)
yang akan dicari harganya. S1, S2, S3 dan S4 adalah posisi sebagian satelit
yang sedang mengorbit di angkasa, dimana posisinya diketahui (dari sinyal
yang dipancarkan ke alat GPS). Jarak dari titik GPS ke masing-masing satelit
adalah d1,d2,d3 dan d4, dimana jarak-jarak tersebut akan diukur dan dihitung
oleh alat GPS di titik P. Persamaan jarak dari satelit ke alat GPS dapat ditulis
sebagai berikut :
1). Jarak S1-P = {(x1-xp)2 + (y1-yp)2 + (z1-zp)2 }0.5 + Δt
2). Jarak S2-P = {(x2-xp)2 + (y2-yp)2 + (z2-zp)2 }0.5 + Δt
dst sampai satelit ke-n
n). Jarak Sn-P = {(xn-xp)2 + (yn-yp)2 + (zn-zp)2 }0.5 + Δt

dimana : Δt = error waktu

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 18


Posisi dari alat GPS xp,yp dan zp akan diperoleh dari penyelesaian dari
n persamaan diatas. Pada operasionalisasinya, prinsip penentuan posisi dasar
dengan GPS tergantung pada mekanisme pengaplikasiannya.
Posisi yang diberikan oleh GPS adalah posisi tiga dimensi (X, Y, Z
ataupun α, λ, h) yang dinyatakan dengan datum WGS-1984. dengan GPS,
titik yang akan ditentukan posisinya dapat diam (static positioning) ataupun
bergerak (kinematic positioning). Posisi titik dapat ditentukan dengan
menggunakan satu receiver GPS terhadap pusat bumi dengan menggunakan
metode penentuan posisi absolut, ataupun terhadap titik lainnya yang telah
diketahui koordinatnya (stasiun referensi) dengan menggunakan metode
deferensial (relatif) yang minimal menggunakan dua receiver GPS. GPS
dapat pula memberikan posisi secara instan (realtime) ataupun sesudah
pengamatan setelah data pengamatannya diproses secara lebih ekstensif (post
processing) yang biasanya dilakukan untuk mendapatkan ketelitian yang
lebih baik.
Survai GPS dapat didefinisikan sebagai proses penentuan koordinat dari
sejumlah titik terhadap beberapa buah titik yang telah diketahui koordinatnya
dengan menggunakan metode penentuan posisi diferensial serta data
pengamatan fase dari sinyal GPS. Pada survai GPS pengolahan data umumnya
dilakukan setelah pengamatan selesai (post processing), meskipun dengan
berkembangnya sistem RTK (Real Time Kinematic), survai GPS secara real
time juga mulai dapat terealisasi.

2.4.3 Ketelitian Pengukuran GPS


Ketelitian posisi yang didapat dengan pengamatan GPS tergantung pada
beberapa faktor, menurut Well (1992) tingkat ketelitian GPS yang didapat
secara umum bergantung pada empat faktor yaitu :
1. Metode penentuan yang digunakan; metode penentuan yang digunakan
meliputi metode absolute dan diferensial, metode static, rapid static,
pseudo-kinematik, stop-and-go, kinematik dan kombinasinya;
2. Geometri dan distribusi satelit-satelit yang teramati; geometri satelit
meliputi jumlah satelit yang teramati, lokasi dan distribusi satelit serta
lama pengamatan;

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 19


3. Ketelitian data yang digunakan; ketelitian terdiri dari tipe data yang
digunakan dan perolehan data dari kualitas penerima GPS serta pengaruh
dari tingkat kesalahan bias;
4. Strategi dan pengolahan data yang diterapkan; strategi pengolahan atau
pemrosesan data meliputi data real-time atau post processing, strategi
eliminasi dan pengkoreksian kesalahan dan bias, metode eliminasi yang
digunakan.
Perencanaan metode penentuan posisi menyangkut lokasi dan batas-
batas daerah survei yang akan menentukan jenis peralatan yang harus
digunakan, baik dari segi kemampuan maupun ketelitian.

2.5 Pengamatan Pasang Surut


Menurut Pariwono (1989), fenomena pasang surut diartikan sebagai naik
turunnya muka laut secara berkala akibat adanya gaya tarik benda-benda angkasa
terutama matahari dan bulan terhadap massa air di bumi. Sedangkan menurut
Dronkers (1964) pasang surut laut merupakan suatu fenomena pergerakan naik
turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya
gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomi terutama oleh
matahari, bumi dan bulan. Pengaruh benda angkasa lainnya dapat diabaikan
karena jaraknya lebih jauh atau ukurannya lebih kecil.
Pasut laut (ocean tide) adalah fenomena naik dan turunnya permukaan air laut
secara periodik yang disebabkan oleh pengaruh gravitasi benda-benda langit
terutama bulan dan matahari. ‘Pasut laut’ dalam laporan ini selanjutnya
dinyatakan dengan ‘pasut’ yang merupakan gerak naik dan turun muka laut
dengan periode rata-rata sekitar 12.4 jam atau 24.8 jam. Pasang surut dan
perubahan elevasi air laut yang ditimbulkan dapat dihitung dan diprediksikan,
sehingga dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti :

1. Navigasi yang aman pada alur pelayaran yang sempit dan strategis, contoh
Selat Malaka dimana sekitar 75 ribu kapal berlalu lalang setiap tahunnya
2. Tata pelabuhan serta metode pengoperasiannya secara efisien
3. Pengembangan daerah tambak untuk budidaya berbagai komoditas
perikanan

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 20


4. Memperkirakan arus pasang surut yang erat kaitannya dengan pencemaran
laut terutama minyak (oil spills)
5. Penelitian tentang frekuensi dari variasi abnormal dari paras laut yang
berhubungan erat dengan pertahanan pantai (break water, groin, dll)
maupun pembuangan limbah industri
6. Menyediakan informasi penunjang untuk mengetahui fenomena
gelombang pasang yang disebabkan oleh badai maupun gempa yang
mengakibatkan tsunami.
7. Mempelajari perubahan iklim secara global seperti El Nino. Isu
internasional tentang pemanasan global berakibat pada mencairnya es
dikutub yang menambah tinggi permukaan laut, sangat mungkin dapat
dipantau dengan pengamatan pasut yang dilakukan secara baik, pada
tempat yang tetap, berkesinambungan dan dalam waktu lama.
8. Menentukan permukaan air laut rata-rata (MLR) dan ketinggian titk ikat
pasut (tidal datum plane) lainnya untuk keperluan survai dan rekayasa
dengan melakukan satu sistem pengikatan terhadap bidang referensi
tersebut.
9. Memberikan data yang tepat untuk studi muara sungai tertentu.

Alat yang paling sederhana yang digunakan untuk melakukan pengamatan


pasut adalah palem atau rambu pasut. Alat ini berupa papan/pipa paralon yang
telah diberi skala dalam meter atau centimeter. Biasanya digunakan pada
pengukuran pasang surut di lapangan. Tide Pole (Palem) merupakan alat
pengukur pasut paling sederhana yang umumnya digunakan untuk mengamati
ketinggian muka laut atau tinggi gelombang air laut. Bahan yang digunakan
biasanya terbuat dari kayu, alumunium atau bahan lain yang di cat anti karat.
Syarat pemasangan papan pasut adalah :

1. Saat pasang tertinggi tidak terendam air dan pada surut terendah masih
tergenang oleh air.
2. Jangan dipasang pada gelombang pecah karena akan bias atau pada daerah
aliran sungai (aliran debit air).

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 21


3. Jangan dipasang didaerah dekat kapal bersandar atau aktivitas yang
menyebabkan air bergerak secara tidak teratur.
4. Dipasang pada daerah yang terlindung dan pada tempat yang mudah untuk
diamati dan dipasang tegak lurus.
5. Cari tempat yang mudah untuk pemasangan agar papan mudah dikaitkan.
6. Dekat dengan bench mark atau titik referensi lain yang ada sehingga data
pasang surut mudah untuk diikatkan terhadap titik referensi.
7. Tanah dan dasar laut atau sungai tempat didirikannya papan harus stabil.
8. Tempat didirikannya papan harus dibuat pengaman dari arus dan sampah.

Pengamatan pasut dilakukan untuk mendapatkan model tinggi muka air laut di
suatu titik dengan mengambil contoh data tinggi muka air laut pada selang waktu
tertentu. Pada dasarnya pengamatan pasut dilakukan dengan cara mengukur tinggi
muka air laut terhadap suatu acuan tertentu, yaitu stasiun pengamat pasut. Oleh
karena itu harus dilakukan pengikatan palem dengan stasiun pengamat pasut.
Pengikatan pengamatan pasut ditujukan untuk menentukan posisi horisontal titik
pengamat pasut dan utamanya selisih tinggi palem terhadap titik ikat (BM).
Selisih tinggi palem terhadap BM nantinya akan digunakan untuk mendefinisikan
tinggi BM itu sendiri setelah bidang referensi kedalaman ditentukan dari
pengamatan pasut.

Gambar 14. Rambu Pasang Surut

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 22


2.5.1 Faktor Penyebab Terjadinya Pasang Surut
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya pasang surut berdasarkan
teori kesetimbangan adalah rotasi bumi pada sumbunya, revolusi bulan
terhadap matahari, revolusi bumi terhadap matahari. Sedangkan berdasarkan
teori dinamis adalah kedalaman dan luas perairan, pengaruh rotasi bumi (gaya
coriolis), dan gesekan dasar. Selain itu juga terdapat beberapa faktor lokal
yang dapat mempengaruhi pasut disuatu perairan seperti, topogafi dasar laut,
lebar selat, bentuk teluk, dan sebagainya, sehingga berbagai lokasi memiliki
ciri pasang surut yang berlainan (Wyrtki, 1961).
Pasang surut laut merupakan hasil dari gaya tarik gravitasi dan efek
sentrifugal. Efek sentrifugal adalah dorongan ke arah luar pusat rotasi.
Gravitasi bervariasi secara langsung dengan massa tetapi berbanding terbalik
terhadap jarak. Meskipun ukuran bulan lebih kecil dari matahari, gaya tarik
gravitasi bulan dua kali lebih besar daripada gaya tarik matahari dalam
membangkitkan pasang surut laut karena jarak bulan lebih dekat daripada
jarak matahari ke bumi. Gaya tarik gravitasi menarik air laut ke arah bulan dan
matahari dan menghasilkan dua tonjolan (bulge) pasang surut gravitasional di
laut. Lintang dari tonjolan pasang surut ditentukan oleh deklinasi, yaitu sudut
antara sumbu rotasi bumi dan bidang orbital bulan dan matahari
(Priyana,1994) Bulan dan matahari keduanya memberikan gaya gravitasi
tarikan terhadap bumi yang besarnya tergantung kepada besarnya masa benda
yang saling tarik menarik tersebut. Bulan memberikan gaya tarik (gravitasi)
yang lebih besar dibanding matahari. Hal ini disebabkan karena walaupun
masa bulan lebih kecil dari matahari, tetapi posisinya lebih dekat ke bumi.
Gaya-gaya ini mengakibatkan air laut, yang menyusun 71% permukaan
bumi, menggelembung pada sumbu yang menghadap ke bulan. Pasang surut
terbentuk karena rotasi bumi yang berada di bawah muka air yang
menggelembung ini, yang mengakibatkan kenaikan dan penurunan permukaan
laut di wilayah pesisir secara periodik. Gaya tarik gravitasi matahari juga
memiliki efek yang sama namun dengan derajat yang lebih kecil. Daerah-

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 23


daerah pesisir mengalami dua kali pasang dan dua kali surut selama periode
sedikit di atas 24 jam (Priyana,1994)
Fenomena pasut dijelaskan dengan ‘teori pasut setimbang’ yang
dikemukakan oleh Sir Isaac Newton pada abad ke-17, yaitu menganggap
bahwa bumi berbentuk bola sempurna dan dilingkupi air dengan distribusi
massa yang seragam. Pembangkitan pasut dijelaskan dengan ‘teori gravitasi
universal’, yang menyatakan bahwa : pada sistem dua benda dengan massa m1
dan m2 akan terjadi gaya tarik menarik sebesar F di antara keduanya yang
besarnya sebanding dengan perkalian massanya dan berbanding terbalik
dengan kuadrat jaraknya :
𝑚1𝑚2
𝐹=𝐺 ................................... (2)
𝑟²

Gaya sentrifugal bumi dan gravitasi bulan dan matahari pada bumi adalah
gaya-gaya utama yang berpengaruh pada pasang surut air laut. Dengan adanya
perputaran tersebut maka pada setiap titik di bumi bekerja gaya sentrifugal
(Fc) yang sama besar dan arahnya. Arah gaya tersebut adalah berlawanan
dengan posisi bulan. Selain itu karena pengaruh gravitasi bulan, setiap titik di
bumi mengalami gaya tarik (Fg) dengan arah menuju pusat massa bulan,
sedang besar gaya tergantung pada jarak antara titik yang ditinjau dan pusat
masa bulan. Seperti gambar di bawah ini.

Gambar 15. Gaya Grafitasi

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 24


Gambar 16. Gaya Sentrifugal

Gambar 17. Resultan Gaya Grafitasi dan Sentrifugal

2.5.2 Model Matematika Pasang Surut dan Konstanta Harmonik


Pasut dimodelkan dengan persamaan :
YB = AB cos (𝜔𝑡 + 𝜑) ............................... (3)

dengan YB = tinggi muka air saat t, AB = amplitudo pasut, 𝜔 = kecepatan


sudut = 2𝜋𝑓, t = waktu dan 𝜑 = keterlambatan fase. Pasut yang terjadi di
suatu titik di permukaan bumi merupakan bumi merupakan resultan dari jarak
dan kedudukan bulan dan matahari terhadap bumi yang selalu berubah secara
periodik. Fenomena ini dinyatakan dengan superposisi dari persamaan-
persamaan gelombang pasut karena bulan, matahari dan kedudukan-
kedudukan relatifnya.
Perbandingan amplitude dan fase akibat atraksi benda-benda langit
tertentu pada pola pasut dinyatakan dengan konstanta-konstanta pembanding
dengan simbol dan nilai tertentu untuk menjelaskan akibat atraksi gravitasi
bulan atau matahari dengan kedudukan tertentu terhadap tinggi muka air.
Konstanta-konstanta tersebut disebut sebagai komponen harmonik.

Tabel.1. Komponen Harmonik Pasang Surut


No Spesies Komponen Nama Komponen Simbol Periode

1 Tengah Harian Principal lunar M2 12,4

2 Tengah Harian Principal solar S2 12,0

3 Tengah Harian Larger lunar elliptic N2 12,7

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 25


4 Tengah Harian Luni solar semi diurnal K2 11,97

5 Harian Luni solar diurnal K1 23,9

6 Harian Principal lunar diurnal O1 25,8

7 Harian Principal solar diurnal P1 24,1

8 Harian Larger lunar elliptic Q1 26,9

9 Periode Panjang Lunar fornightly Mf 328

10 Periode Panjang Lunar monthly Mm 661

11 Periode Panjang Solar Semi Annual Ssa 2191

12 Perairan Dangkal M4 6,21

13 Perairan Dangkal MS4 6,20

2.5.3 Tipe Pasang Surut


Tipe atau bentuk pasang surut yang terjadi di setiap daerah berbeda-
beda, hal ini disebabkan dari letak geografisnya, pada umumnya pasang surut
di berbagai daerah dapat dibedakan dalam empat tipe, yaitu :

1. Pasang surut harian ganda (semi diurnal tide). Dalam satu hari terjadi
dua kali pasang dan dua kali surut dengan tinggi yang hampir sama dan
pasang surut terjadi secara berurutan secara teratur. Periode pasang surut
rata-rata adalah 12 jam 24 menit. Pasang surut jenis ini terjadi di Selat
Malaka sampai Laut Andaman.

Gambar 18. Kurva Pasang Surut Semi Diurnal

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 26


2. Pasang surut harian tunggal (diurnal tide). Dalam satu hari terjadi satu
kali air pasang dan satu kali air surut. Periode pasut adalah 24 jam 50
menit. Pasang surut tipe ini terjadi di perairan Selat Karimata.

Gambar 19. Kurva Pasang Surut Diurnal

3. Pasang surut campuran condong ke harian ganda (mixed tide prevailing


semi diurnal). Dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air
surut akan tetapi tinggi dan periodenya berbeda. Pasang surut ini terjadi
di perairan Indonesia Timur.

Gambar 20. Kurva Pasang Surut Campuran Ganda

4. Pasang surut campuran condong ke harian tunggal (mixed tide prevailing


diurnal). Dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air
surut, tetapi kadang-kadang untuk sementara waktu terjadi dua kali
pasang dan dua kali surut dengan tinggi dan periode yang sangat
berbeda. Pasang surut jenis ini terdapat di Selat Kalimantan dan Pantai
Utara Jawa Barat.

Gambar 21. Kurva Pasang Surut Campuran Tunggal

Secara kuantitaif, tipe pasut di suatu perairan dapat ditentukan oleh


perbandingan antara amplitudo (tinggi gelombang) unsur-unsur pasut tunggal
utama dengan amplitudo unsur-unsur pasut ganda utama. Perbandingan ini
dikenal sebagai bilangan Formzahl yang mempunyai formula sebagai berikut:

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 27


O1  K1
F ........................................ (4)
M 2  S2

dimana:
O1 = Amplitudo komponen pasut tunggal utama yang disebabkan oleh
gaya tarik bulan
K1 = Amplitudo komponen pasut tunggal utama yang disebabkan oleh
gaya tarik bulan dan matahari
M2 = Amplitudo komponen pasut ganda utama yang disebabkan oleh
gaya tarik bulan
S2 = Amplitudo komponen pasut ganda utama yang disebabkan oleh
gaya tarik matahari
F = bilangan Formahzl. Nilai F berada antara:
< 0,25 : Pasut bertipe ganda (semi diurnal)
0,25 – 1,25 : Pasut bertipe campuran condong ke ganda
1,25 – 3,00 : Pasut bertipe campuran condong ke tunggal
>3,00 : Pasut bertipe tunggal (diurnal)

2.6 Arus Laut


Arus laut merupakan gerakan massa air laut dari suatu tempat ke tempat yang
lain. Gerakan ini bisa mendatar atau horizontal yang berupa arus permukaan atau
arus dasar, juga dapat pula merupakan gerakan massa air secara vertikal dari
lapisan air bagian bawah ke lapisan atas atau sebaliknya. Ada beberapa faktor
yang dapat memicu atau menyebabkan terjadinya arus laut, yaitu:

1. Gerakan angin yang tetap arahnya sepanjang tahun. Misalnya angin pasat
yang berhembus di wilayah tropis.

2. Perbedaan tinggi permukaan air laut. Perbedaan tinggi permukaan air di


samudra ini mengakibatkan gerakan massa air laut untuk mengisi bagian
air laut yang lebih rendah. Arus yang muncul akibat perbedaan permukaan
tinggi permukaan air di samudra ini disebut arus kompensasi atau arus
pengisi.

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 28


3. Rintangan pulau atau benua. Adanya rintangan pulau atau benua ini dapat
menyebabkan arus laut berbelok menurut garis pantai benua atau menjadi
arus belahan. Contohnya: Arus Brazilia dan Arus Australia Timur.

4. Perbedaan suhu. Arus laut yang dingin memiliki massa jenis lebih besar
daripada air laut yang panas. Air laut di daerah kutub bersuhu dingin,
sehingga memiliki massa jenis lebih besar daripada air laut yang panas.

5. Perbedaan kadar garam atau salinitas. Air laut akan mengalir dari laut
yang berkadar garam tinggi menuju laut yang berkadar garam rendah.

Jenis arus laut dapat dibedakan menurut temperatur dan letaknya. Berdasarkan
temperaturnya, arus laut ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Arus panas, yang merupakan arus laut dengan temperatur airnya lebih
tinggi (panas) daripada temperatur air laut yang didatangi. Seperti contoh:
Arus Teluk dan Kuroshiwo. Arus ini datang dari daerah tropis menuju
daerah yang sedang.

2. Arus dingin, merupakan arus laut yang temperatur airnya lebih rendah
(dingin) daripada temperatur air laut yang didatangi. Contohnya: Arus
Labrador, Arus Benguela, Arus Peru dan Arus Oyashiwo.

Adapun jenis arus laut berdasarkan letaknya terbagi menjadi empat macam,
yaitu:

1. Arus atas (arus permukaan), merupakan arus laut yang bergerak sebagai
arus yang berada di permukaan laut. Contohnya: semua arus laut yang
disebabkan oleh angin.
2. Arus bawah, yakni air yangbergerak sebagai arus laut berada di dasar laut.
Jika arah gerakannya berubah kearah vertikal, arus ini akan menjadi up
welling dan sinkin pada beberapa daerah pantai.
3. Long Shore Current merupakan arah aliran arus yang sejajar dengan garis
pantai.

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 29


4. Rip Current ialah arus yang berada di pantai berpasir halus dan
bergelombang agak besar. Arah gerakannya tegak lurus dengan garis
pantai. Biasanya rip current ini mampu menyeret pasir dibawahnya beserta
orang yang berada di tempat itu menuju ke laut yang lebih dalam. Seperti
contoh di pantai Parangtritis yang memiliki kecepatan 80 km/jam.

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 30


BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM

3.1 Tempat dan Waktu Pelaksanaan


Adapun pelaksanaan dari praktikum dilaksanakan pada :

Hari/tanggal : Sabtu, 26 Oktober 2019

Waktu : 08.00 WITA - selesai

Lokasi : Pelabuhan Galesong, Kabupaten Takalar.

3.1.1 Tabel Pelaksanaan Pekerjaan Survei Hidrografi Topografi

Waktu Kegiatan Pelaksana


08.00-09.00 Sampai di lokasi Peserta & dosen
09.00-09.30 Persiapan Alat Peserta & dosen
Briefing & Pembagian
09.30-10.00 jadwal & wilayah Peserta & dosen
Praktikum
10.00-10.30 Pemasangan Pile Pasut Peserta

12.00-17.00 Pengamatan Pasut Peserta

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 31


 Jadwal Pengukuran Topografi

Waktu Kegiatan Pelaksana


Kelompok 1A &
10.00-12.00 Survey Topografi I
Kelompok 4A
12.00-13.00 Istirahat Peserta, Asisten, Dosen
Kelompok 2A
13.00-14.00 Survey Topografi II
Kelompok 3A
Kelompok 1B
14.00-16.00 Survey Topografi III
Kelompok 2B
Kelompok 3B
16.00-17.30 Survey Topografi IV
Kelompok 4B

 Jadwal Pengukuran Hidrografi (Bathimetri)

Waktu Kegiatan Pelaksana


10.00-10.15 Sounding bathimetri I Kelompok 1B
10.15-10.30 Sounding bathimetri II Kelompok 2B
10.30-11.45 Sounding bathimetri III Kelompok 3B
11.45-12.00 Sounding bathimetri IV Kelompok 4B
12.00-13.00 Istirahat Peserta, Asisten, Dosen
13.00.13.15 Sounding bathimetri V Kelompok 1A
13.15-13.30 Sounding bathimetri VI Kelompok 4A
13.30-14.45 Sounding bathimetri VII Kelompok 2A
15.00-15.15 Sounding bathimetri VIII Kelompok 3A

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Perangkat Keras

A
Pemeruman / Sounding bathimetri
1. Perahu Nelayan 1
2. Pelampung 10
3. GARMIN GPS map EchoSounder 1 set
4. GPS Handheld 1

B. Pengukuran Pasung
1. Rambu ukur 1

C. Pengukuran Topografi
1. GPS 2
2. HT 2
3. Total Station 2

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 32


4. Bak ukur 1
5. Payung 1
6. Bench Mark 1

D. Pengamatan Arus
1. Alat ukur arus 1
2. Perahu Nelayan 1
3. GPS Handheld 1

E. Peralatan masing-masing peserta


1. Alat Sholat -
2. Obat-obatan pribadi -

3.2.2 Perangkat Lunak


1. Sistem operasi berbasiskan Windows 10
2. Sistem aplikasi berupa Microsoft exel 2007
3. Sistem aplikasi beruba MapSource
4. Sistem aplikasi berbasiskan ArcGis
5. Sistem aplikasi berupa autocad 3D Civil

3.2.3 Bahan

1. Data Pengukuran Bathimetri


2. Data Pengukuran Pasang Surut
3. Data Pengukuran Topografi

3.3 Metode Pelaksanaan Survei

Secara garis besar pelaksanaan survei hidrografi ini dapat digambarkan


dalam flowchart sebagai berikut.

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 33


Survey Lokasi
Pengukuran

Pemasangan Pemasangan
rambu ukur Alat Optik dan
Penentuan
BM
Pengamatan
pasut dengan
rambu ukur Pengukuran
pasut Elevasi

Pengaturan
Echosounder

Sounding
Bathimetri

Pengolahan data

Penggambaran

Laporan Akhir

Gambar 6.Diagram Alur Pekerjaan


3.4 Jadwal Pekerjaan

Tempat pelaksanaan survei hidrografi yaitu di Pelabuhan Galesong Takalar,


Pelaksanaan survei hidrografi ini yaitu pada:

1. Tanggal : 26 Oktober 2019

Waktu : pukul 10.00 – 15.15

Tempat : Pelabuhan Galesong Takalar

Kelompok : 1 - 8

Tempat pelaksanaan survei Topografi yaitu di Pelabuhan Galesong


Takalar, Pelaksanaan survei Topografi ini yaitu pada:

2. Tanggal : 26 Oktober 2019

Waktu : pukul 10.00 – 17.30

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 34


Tempat : Pelabuhan Galesong Takalar

3.5 Pelaksana Pekerjaan

Kelompok 1A :

 Tina (D081181003)
 Dirham Brahmana Bachtiar (D081181011)
 Rini Juniana Ridwan (D081181017)
 Kartika Sulistyo (D081181301)
 Rahmatullah Muhtar (D081181311)
 Abd. Nasser (D081181323)
 Ni Wayan Elmy Diahutari (D081181327)

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 35


BAB IV
ANALISA DAN HASIL

4.1 Data Pengukuran topografi

Gambar 7 Proses Pengukuran Topografi

Gambar di atas merupakan proses pengambilan data topografi dengan


menggunakan total station dan bak ukur,dimana itu di koreksi lagi dengan MSL
pasang surut dan BM diasumsikan sama dengan tinggi dermaga = 3 m

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 36


Beberapa Data Hasil Analisis Topografi Tiap Kelompok

1. Data Topografi Kelopok 1A

Y X Z
9411015.984816 61173.613096 -0.450621
9411018.917499 61171.974082 -1.807235
9411064.170098 61207.188748 -2.988366
9411055.052678 61213.767124 -2.112718
9411051.378028 61216.749107 -0.420961
9410979.453803 61271.990371 -0.574802
9411046.604287 61274.562875 -0.386451
9411039.986091 61226.899831 -0.484405
9411062.000222 61229.696271 -0.730189
9411079.509381 61248.761533 -0.773032
9411082.876504 61244.429308 -2.304238
9411025.438040 61296.922105 -0.867057
9411105.086341 61279.503816 -0.900377
9411046.716630 61274.572367 -0.985279
9411111.720195 61273.302215 -3.361223
9411117.520417 61278.436949 -3.633313
9411108.846771 61280.680475 -1.017984
9411089.134099 61297.961931 -1.130962
9411090.240680 761302.100415 -2.638315

2. Data Topografi Kelompok 2A

Y X Z
9410910.561590 761039.787512 -0.205080
9410973.906390 760939.295126 -1.517694
9410948.694610 760956.902370 0.143022
9410845.980281 761033.237445 0.586722
9410870.168175 761014.131294 -0.329642

3. Data Topografi Kelompok 3A

Y X Z
9411013.958213 761171.092457 -0.080241
9411001.276913 761158.053625 -0.086594
9410999.506938 761148.075458 -1.090194
9410925.173658 761225.541183 -0.094944
9410988.129784 761271.086060 -0.115837
9410951.111957 761195.229422 -0.479041

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 37


3. Data Topografi Kelompok 3B

Y X Z
9411054.036892 761214.632601 0.497055
9411018.507567 761243.453336 0.278984
9411030.013773 761293.858826 0.559707
9410988.273778 761271.164351 0.906211
9411075.685366 761307.127674 1.103651
9411031.234339 761294.213434 1.256656
9411078.775396 761311.196045 1.346249
9411079.715936 761316.471666 2.946895
9411073.145667 761314.305321 2.930455

4.2 Data Pengukuran Pasut

Kedalaman Pasut (cm)


Jam
Tinggi Rendah Tengah Elevasi (cm)
10.30 98 85 91.5 91.50
11.00 96 75 85.5 85.50
11.30 90 75 82.5 82.50
12.00 85 70 77.5 77.50
12.30 80 65 72.5 72.50
13.00 70 65 67.5 67.50
13.30 72 58 65 65.00
14.00 70 62 66 66.00
14.30 70 58 64 64.00
15.00 68 56 62 62.00
15.30 70 62 66 66.00
16.00 72 64 68 68.00
16.30 69 62 65 65.33
17.00 75 68 71.5 71.50
17.30 85 70 77.5 77.50
18.00 90 75 82.5 82.50
Rata-rata 78.75 66.875 72.78125 72.80208

Hasil pengukuran ketinggian pasut dihitung dengan rata-rata pada saat


pengamatan per 30 menit dan juga sebagai Pengikat antara data Topografi dan
Bathimetri dan di asumsikan elevasi BM = Tinggi Dermaga = 30 m

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 38


Grafik Elevasi Pasang Surut
100.00
90.00
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00

4.3 Data Pengukuran Batimetri (sounding)

Data bathmetri ini harus diikat dengan elevasi pasang surut (dikoreksi) dengan
selisih permukaan pasut pada awal-akhir pengukuran,dan kenaikan/penurunan
rata-rata permukaan air laut, dan hasilnya di dapatkan data di bawah ini :

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 39


Dari Data bathimetri dan topografi kemudian di analisis,interpolasi, dan
membuat kontur kedalaman dengan menggunakan Arcgis, Global mapper.
1. Countour dengan Arcgis ke Autocad 3D civil

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 40


BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang didapat setelah melakukan praktikum survey hidrografi ini


adalah sebagai berikut :
1. Data pengukuran pasang surut sangat berpengaruh dalam menganalisa
topografi dan bathimetri
2. Elevasi BM = 2.04 dengan titik acuan berada pada permukaan air paling
rendah (LWL)
3. Data kedalaman Bathimetri yang diperoleh dari Echosounder harus juga di
koresksi dengan selisih permukaan air dan kenaikan air rata-rata.

5.2 Saran

Adapun saran untuk laporan sebagai berikut :

1. Sebaiknya selama pengukuran selalu di damping agar lebih mudah di


pahami
2. Sebaiknya di ajarkan dulu teori atau tata cara pengukuran sebelum praktek
lapangan tidak terlalu kaku
3. Perlu dilakukan perencanaan yang matang dan koordinasi pada tiap-tiap
kelompok yang akan melakukan praktikum.

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 41


DAFTAR PUSTAKA
-Abidin, Z.A. 2005. Penentuan Posisi Dengan Receiver GPS Satu-Frekuensi,
Status dan Permasalahannya. Departemen Teknik Geodesi ITB. Bandung.

- BAKOSURTANAL. 2002. Informasi Pasang Surut Bidang Medan Gaya Berat


dan Pasang Surut. Pusat Geodesi dan Geodinamika.

- Djaja, Rochman. 1989. Pasang Surut. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.


Jakarta.

- Ingham. 1984. Hydrography for The Surveyor and Engineering. Geodetic


Institute University Stuttgart. Jerman.

- Yuwono. 2005. Buku Ajar Hidrografi-1. Program Studi Teknik Geodesi ITS.
Surabaya.

LAPORAN SURVEY HIDROGRAFI DAN TOPOGRAFI 42

Anda mungkin juga menyukai