Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional

Tatanan geologi pulau Sulawesi yang berada di batuan gunungapi Formasi

Baturappe-Cindako (Tpbv). Tengah tiga lempeng besar yaitu Lempeng Eurasia di

Hipotesis yang diajukan adalah Utara, Lempeng Pasifik di Timur dan Lempeng Hindia-

sebagai berikut Australia di Selata. Kawasan ini yang merupakan pusat, tektonik

Tersier-Kuarter menghasilkan pola kekar pertemuan tiga lempeng besar saling

mengalami direspon geomorfologi DAS Jenelata-Lengkese pertumbukan. Sejak Perang

Dunia II banyak pakar, tektonik berpengaruh terhadap tatanan geogeologi tertarik

untuk menelitinya. Berbagai konsep, morfologi DAS Jenelata-Lengkese ditandai dengan

saran, dan usulan pemecahan dikemukakan hingga respon azimut kelurusan

geomorfologi dan segmen kini, terutama disebabkan karena tidak hanya sulitnya

sungai pada DAS tersebut (Placeholder1) (Massinai, 2012).

Wilayah Sulawesi, menghimpun dan memaparkan hasil-hasil penelitian

bagaimanapun juga berbagai model geologi yang aktual berdasarkan aspek data

struktur geologi, diusulkan sedikit demi sedikit mendekatkan para pakar morfotektonik,

dan morfometri di DAS Jenelata geologi pada pemahaman tatanan tektonik kawasan

Lengkese. Hasil pengolahan data dari tiga parameter Indonesia Timur khususnya pulau

Sulawesi. Geologi Sulawesi Selatan menarik untuk tektonik dalam membentuk

geomorfologi DAS diteliti, karena wilayah ini dari segi tektonik merupakan Jenelata

Lengkese. Secara spesifik bagian kontinen Sunda yang adalah bergabung dengan

kawasan lain di Sulawesi yaitu untuk mengetahui hubungan antara faktor-faktor

tektonik merupakan pecahan dari Papua dan Australia, Geologi regional adalah studi

geologi dari suatu daerah dalam skala besar, biasanya penelitian itu mencakup
beberapa disipplin geologi seperti geomorfologi, stratigrafi, dan struktur geologi suatu

daerah. Geologi regional terdiri dari tiga pembahasaan, yaitu (Massinai, 2012):

2.1.1 Geomorfologi

Secara geologis, Sulawesi terletak pada pertemuan 3 Lempeng besar , yang

menyebabkan kondisi tektoniknya sangat kompleks. Ketiga lempeng besar tersebut

yaitu; lempeng Indo-Australia yang bergerak ke arah utara, lempeng Pasifik yang

bergerak ke arah barat dan lempeng Eurasia yang bergerak ke arah selatan-tenggara

serta lempeng yang lebih kecil yaitu lempeng Filipina. Proses tumbukan keempat

lempeng tersebut menyebabkan Pulau Sulawesi memiliki empat buah lengan dengan

proses tektonik yang berbeda-beda membentuk satu kesatuan mosaik geologi

(Sompotan, 2012).

Daerah Tana Toraja ini termasuk lengan selatan Sulawesi Selatan yang secara

fisiografi terbagi dua bagian yaitu lengan Selatan bagian Utara dan lengan Selatan

bagian Selatan. Lengan Selatan bagian Utara meliputi daerah poros Tenggara Barat

Laut yaitu Palopo sampai ke pantai Barat muara Sungai Karama dan Cekungan Tempe

pada sisi yang lain, kemudian dilanjutkan dengan proses Tenggara-Barat Laut dari

muara Sungai Cenrana melalui Danau Tempe sampai muara Sungai Sa’dan. Bagian

utara dari lengan selatan merupakan daerah pegunungan yang memanjang antara

Majene sebagai pegunungan Quarless. Puncak-puncak dari pegunungan ini adalah

Gunung Kalondo, Gunung Sesean, dan Gunung Karua. Daerah penelitian termasuk

dalam satuan pedataran tinggi yang terletak di bagian tengah mengarah ke timur,

tepatnya di Sangkaropi. Penyebarannya mengikuti dataran banjir sungai Sa’ dan, diapit

perbukitan dengan ketinggian 800-900 meter dari permmukaan laut. Kemiringan

lereng antara 0o-10o, lapisan penutup berupa soil hasil residual batuan sekitar dan hasil

longsoran (Bemmelen, 1949).


Pada umumnya daerah Tana Toraja adalah berupa perbukitan, pegunungan

dan hanya sebagian kecil yang merupakan pedataran dan lembah sempit. Daerah Tana

Toraja berada pada ketinggian sekitar 600–2600 meter dari permukaan laut. Letak

topografi daerah ini dikontrol oleh jenis batuan, struktur geologi dan proses geologi

muda seperti erosi dan pelapukan. Daerah perbukitan dan pegunungan dikontrol oleh

batuan yang kompak dan resisten dan topografi karst yang penyebarannya sempit

mengikuti kontak sesar. Pada perbukitan yang disusun batuan sedimen piroklastik,

tidak begitu terjal dan relatif tumpul akibat proses eksogen aktif berupa erosi yang

bekerja cukup tinggi (Bemmelen, 1949).

Secara regional Kabupaten Tana Toraja disusun oleh batuan-batuan berumur

Kapur sampai Kuarter, yang terbagi atas 15 unit batuan, baik metamorf, beku,

vulkanik, maupun sedimen. Struktur geologinya bervariasi, dengan arah umum utara-

selatan, timur laut-barat daya, dan barat laut-tenggara (Djuri dan Sudjatmiko, 1974).

2.1.2 Stratigrafi Regional

Kondisi geomorfologi daerah Kecamatan Sa’dan menjadi menarik dalam

kaitannya dengan akses dari keterdapatan mineral logam yang disusun oleh batuan

vulkanik. Tingkat pelapukan yang cukup tinggi, menyebabkan vegetasi menjadi rapat.

wilayah Kecamatan Sa’dan merupakan daerah perbukitan sedang sampai terjal 45% –

90%. Terdapat beberapa daerah pegunungan, perbukitan, lembah-lembah. Puncak

pegunungan tertinggi antara lain pada Buttu Sambaru berada di bagian utara daerah

sangkaropi.(Irfan.dkk, 2009).

Proses mineralisasi yang tampak di daerah Kecamatan Sa’dan khususnya di

daerah Sangkaropi, berhubungan dengan kegiatan gunungapi bawah laut.

Terendapkan pada batuan piroklastik yang terdiri dari tufa hijau, tufa lapilli, breksi dan

lava. Aktifitas mineralisasi dan ubahan hidrotermal membentuk tiga zona yaitu ; 1)
zona ubahan silisifikasi, membentuk himpunan mineral kuarsa-mineral bijih. 2)

seritisasi, membentuk himpunan mineral serisit-kuarsa- mineral bijih dan 3) argilik,

dicirikan oleh himpunan mineral kuarsa-mineral lempung-serisit (Tappi, 2013).

Endapan sulfida pada tubuh bijih di daerah sangkaropi terdiri dari tiga tipe yaitu

bijih masif, bijih fragmental, dan stokwork. Mineral bijih secara umum terbagi atas

mineral hipogen dan mineral supergen. Mineral hipogen terdiri dari pirit, pyrrhotit,

tetrahedral, kalkopirit, sfalerit, galena; sedikit bornit dan kalkosit, serta mineral oksida

yaitu magnetit. Mineralisasi hipogen diikuti dengan pengayaan supergen yang

membentuk mineral kovelit, malakit dan azurit. Hematit merupakan hasil oksida

terhadap magnetit yang terbentuk sebelumnya.(Irfan. dkk, 2005).

Beberapa penelitian terdahulu membagi daerah sekitar sangkaropi kedalam delapan

anggota diantaranya (Kaharuddin, 2002):

1. Batuan granitik; tersingkap hanya dibagian utara endapan sangkaropi. Berwarna

abu-abu tua sampai muda, masif dan faneritik, mengandung urat-urat kuarsa,

alterasi argilitisasi, sericitisasi, dan klorotisasi. Tidak ditemukan kontak metamorfis

dengan batuan sekitarnya.

2. Breksi tufa-andesitik; terutama terdiri dari tufa andesitik, breksi dan tufa lapilli yang

berinterkalasi dengan tufa pasiran, tufa halus, batulempung atau batulumpur, dan

batuan yang tersilisifikasi.

3. Batuan dasit; berwarna hijau, teralterasi, dan terdistribusi di bagian atas breksi tufa

asam yang merupakan anggota lapisan-lapisan lava.

4. Tufa asam; tersusun atas tufa asam, breksi tufa, breksi dan lempung, yang

berwarna abu-abu sampai hijau muda, feneritik. Breksinya tersusun oleh fragmen-

fragmen dasit, granit, andesit, dan pumis.


5. Piroklatika riolitik dan lava; masif dan terutama tersusun oleh tufa riolitik sampai

dasitik, breksi dan lava.

6. Batuan basal; basal segar berwarna hijau tua hingga hitam

7. Serpih karbonatan; tersusun oleh serpih dan batulempung, batulempung kecoklatan

berinterkalasi dengan serpih.

8. Lava andesitik dan piroklastika; terutama tersusun oleh lava andesitik dan

piroklastika. Lava andesitik berwarna hijau dan masif. Batuan piroklastika andesitik

tersusun oleh breksi volkanik dengan sejumlah kecil lempung dan batuan

tersilisifikasi.

Beberapa aliran sungai mengalir membentuk pola aliran denritik-subparalel.

Sungai-sungai yang ada berupa sungai besar maupun kecil. Di bagian barat sungai

terbesar adalah Sungai Saddang, sedangkan di bagian timur adalah Sungai Lamasi.

Keberadaan bentuk geomorfologi daerah Kecamatan Sa’dan dikontrol oleh beberapa

struktur. Struktur yang berkembang pada daerah ini berupa sesar normal dan pada

beberapa tempat tedapat kekar. Perkembangan struktur tersebut berperan dalam

proses mineralisasi, dan dapat mengindikasikan arah sumbernya (Tappi, 2013).

Daearah Sulawesi ini dapat dibagi mejadi tiga Mandala Geologi, yaitu Mandala

Sulawesi Barat, Mandala Sulawesi Timur serta Mandala Banggai Sula. Daerah Tanah

Toraja yang merupakan daerah di Sulawesi Selatan termasuk kedalam Mandala

Sulawesi Barat (R. Sukamto, 1981).

Secara umum stratigrafi daerah Tana Toraja tersusun oleh beberapa jenis

batuan seperti batuan sedimen, batuan gunung api, batuan terobosan dan batuan

metamorf yang berumur kuarter – tersier. Ketebalannya belum dapat diketahui sebab

adanya pengaruh metamorfisme yang kuat pada batuan sehingga terjadi perlipatan
yang rumit. Umur batuan tersebut berumur Kapur, serta termasuk dalam Formasi

Latimojong Tet (R. Sukamto, 1981).

Formasi Toraja, diendapkan secara tidak selaras diatas Formasi Latimojong,

dan tertindih tidak selaras oleh Batuan Gunungapi Lamasi (Toml) yang terdiri atas

batuan gunung api, sedimen gunung api dan Batugamping yang berumur

OligosenMiosen atau Oligosen Akhir-Miosen Awal. Batuan gunungapi ini mempunyai

Batugamping (Tomc), tertindih selaras oleh Formasi Riau (Tmr) yang terdiri atas

Batugamping dan napal. Formasi Riau berumur Miosen Awal-Miosen Tengah, tertindih

tidak selaras dengan Formasi Sekala (Tmps) dan Batuan Gunungapi Talaya (Tmtv).

Formasi Sekala terdiri dari Batupasir hijau, napal, dan Batugamping yang bersisipan

dengan Tufa dan lava Andesit–Basalt, berumur Miosen Tengah-Pliosen. Batuan

Gunungapi Talaya terdiri atas Breksi, lava, dan Tufa yang bersusunan Andesit-Basalt

dan mempunyai Tufa Beropa (Tmb). Batuan Gunungapi Talaya berhubungan dengan

Batuan Gunungapi Adang (Tma) (Sudjatmiko, 1914).

Daerah Sangkaropi yang didominasi oleh deretan perbukitan disusun oleh

berbagai jenis batuan berupa material sedimen, material vulkanik , dan batuan beku,

serta batuan yang termetamorfisme, dengan umur yang berbeda beda ,secara

stratigrafi pada daerah Sangkaropi dapat dibagi atas beberapa satuan litologi, yaitu

(Tappi, 2013):

1. Satuan aluvial, penyebarannya dijumpai sepanjang aliran sungai Satuan ini

terdiri dari bongkah, kerikil, dan pasir. Satuan ini berada pada daerah

lembah lembah dari daerah penelitian.

2. Satuan batuan Breksi Tufa, Satuan ini dicirikan oleh kenampakan fisik

batuannya dimana batuan ini tersingkap di permukaan dan mengalami

pelapukan yang disebabkan oleh cuaca (pelapukan fisika). Akibat dari

cuaca lembab dari daerah penelitian maka sering dijumpai longsoran-


longsoran dari batuan tersebut atau dari lanau yang mengalir dari puncak

gunung atau dataran tinggi.

3. Satuan batupasir, Penamaan satuan ini didasarkan atas kenampakan fisik

dari batuan tersebut, batuan ini tersingkap serta disisipi oleh batulanau dan

batulempung. Satuan ini hampir dijumpai disetiap tempat di daerah

penelitian.

4. Tufa andesit – Breccia, Batuan ini terdiri dari tufa andesit, breksi dan tufa

lapili yang berhubungan dengan tufa pasiran, tufa halus, batulempung atau

mudstone dan batuan silisiklastik.

5. Batuan Dasit, Berwarna hijau dan merupakan alterasi dan dihasilkan oleh

acidic tuff breccia berupa lapisan aliran.

6. Tuff, Terdiri dari acidic tuff, brkesi tufa, breksi dan lempung yang berwarna

abu-abu sampai hijau terang dengan tekstur phaneritik. Breksi disusun oleh

fragmen dasit, granit, andesit dan pumis.

7. Andesit piroklastik dan Lava, terdri dari lava andesit dan pyroklastik. Lava

andesit berwarna hijau dengan struktur massive. Sedangkan andesit

piroklastik merupakan breksi vulkanik dengan batuan siliklastik Piroklastik

Riolit dan Lava, Struktur massive dan terdiri dari tufa riolit sampai tufa

dasit, breksi dan lava.

8. Batuan Basalt, Merupakan bagian luardari endapan Sangkaropi yang

berwarna hijau keabu-abuan sampai hitam.

9. Serpih Karbonatan, terdiri dari serpih dan batulempung yang berwarna

kecoklatan.

2.1.3 Struktur Geologi Regional


Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa Van Bemelen membagi lengan

Selatan pulau Sulawesi secara struktur menjadi dua bagian, yaitu lengan Utara bagian

Selatan dan lengan Selatan bagian Selatan. Struktur di lembar Tana Toraja adalah

sesar normal dan sesar naik yang berarah utama timur – selatan barat daya, barat

timur dan barat laut – selatan menenggara. Pada kala Miosen Bagian Tengah – Miosen

akhir Bagian atas terjadi tektonik disertai kegiatan gunung api yang menghasilkan

batuan gunungapi Talaya, Tufa Barufu. Batuan gunung api Talaya tersusun oleh

andesit – basalt yang keatas susunannya berubah menjadi leucit basalt hingga

terbentuk batuan gunung api Adang. Pada kala Miosen Tengah Bagian akhir kegiatan

gunung api di sertai terobosan batholit granit Mamasa dan Granit Kambuno menerobos

batuan yang lebih tua dan membawa larutan hidrothermal yang kaya akan bijih sulfida

tembaga di Sangkaropi dan Bilolo, disertai pengangkatan dan pensesaran berupa sesar

turun dam sesar naik berarah timur laut – selatan barat daya. Sejak plistosen akhir

daerah ini diduga daratan sampai terjadi aktivitas gunung api yang menghasilkan tufa

(Bemmelen, 1942).

Adapun struktur geologi yang terdapat pada daerah sangkaropi adalah berupa

struktur sesar normal, dimana penciri dari sesar normal tersebut adalah ditemukannya

mata air berupa air terjun tepatnya pada daerah Buntu Pongpatora. Dan hal inilah

yang menyebabkan terjadinya proses mineralisasi pada daerah ini (Inze, 2013).

2.2 Mineral

Mineral dapat kita definisikan sebagai bahan padat anorganik yang terdapat

secara alamiah, yang terdiri dari unsur-unsur kimiawi dalam perbandingan tertentu,

dimana atom-atom didalamnya tersusun mengikuti suatu pola yang sistematis. Mineral

dapat kita jumpai dimana-mana disekitar kita, dapat berwujud sebagai batuan, tanah,

atau pasir yang diendapkan pada dasar sungai. Beberapa mineral tersebut dapat
mempunyai nilai ekonomis karena didapatkan dalam jumlah yang besar, sehingga

memungkinkan untuk ditambang seperti emas dan perak. Beberapa jenis mineral

memiliki sifat, bentuk tertentu dalam keadaan padatnya, sebagai perwujudan dari

susunan yang teratur di dalamnya. Apabila kondisinya memungkinkan, mereka akan

dibatasi oleh bidang-bidang rata, dan diasumsikan sebagai bentuk-bentuk yang teratur

yang dikenal sebagai kristal. (Noor, 2012).

2.2.1 Mineral Sulfida

Mineral sulfida merupakan mineral yang terbentuk akibat reaksi antara

mineral batuan dengan fluida hidrotermal yang mengandung berbagai macam unsur.

Unsur-unsur ini berasal dari uap magma yang berasosiasi dengan aktivitas magma

yang bergerak menuju rekahan-rekahan batuan akibat dari kontrol struktur geologi,

seperti aktivitas tektonik. Mineral sulfida memiliki banyak jenis tergantung dari

mineral induk (mineral batuan) yang dilalui oleh fluida hidrotermal. Jenis-jenis

mineral sulfida diantaranya: bismutinit, kovelit, kalkosit, kalkopirit, bornit, pirit,

pirhotit, sinnabar, molibdenit, galena, millerit, stanit, stibnit, sfalerit, cobaltit dan

arsenopirit (Rahmat, 2016).

Mineral sulfida berupa ikatan antara sulfurdan logam dijumpai tersebar di

alamdalam kadar dan dimensi kecil sampai besar. Pemanfaatan cebakan mineral

sulfida dengan mengekstrak bijih menjadi komponen bernilai ekonomi yang dapat

terdiri dari logam, bahan kimia dan bahan baku untuk industri lain (Suprapto, 2012).

Pirit terbentuk di sekitar wilayah gunung api yang memiliki kandungan sulfur

yang tinggi. Proses mineralisasi terjadi pada tempat - tempat keluarnya atau sumber

sulfur (Danisworo, 2010).

Mineral (bijih) sulfida sangat penting sebagai sumber bahan tambang. Mineral

logam utama yang banyak ditemukan adalah tembaga, nikel, timah, dan seng,

berasosiasi dengan kalkopirit, bornit, molibdenit, pirit, pirotit, galena, dan sfalerit
(Zulfitrah, et al., 2018).

2.2.2 Sifat Umum Mineral

Setiap jenis mineral terbentuk, terdapat dan dapat berasosasi dengan mineral

lain ditentukan dari susunan, rumus bangun dan komposisi kimianya. Telah diketahui

bahwa mineral dapat terbentuk dalam lima sistem/mekanisme kristalisasi; yaitu sistem

magmatik, sistem air permukaan dan bawah permukaan, sistem hidrotermal, sistem

pegmatik dan sistem metamorfik. Masing-masing sistem kristalisasi tersebut

menentukan sifat-sifatnya, meliputi sifat fisik, sifat kimia dan sifat optis mineral

(Mulyaningsih, 2018).

1. Sifat Fisik mineral

Sifat fisik mineral adalah kenampakan fisik mineral yang dapat diamati tanpa

menggunakan bantuan alat. Sifat fisik mineral meliputi warna, cerat, perawakan,

bentuk, kilap, kekerasan dan berat jenis. Sifat fisik mineral umumnya dapat dikenali

pada tubuh mineral yang berukuran makro, sedangkan untuk mineral yang berukuran

mikro akan lebih sulit dikenali, tanpa bantuan alat pembesar. Sifat fisik mineral

mencerminkan pertumbuhan mineral, sifat-sifatnya dipengaruhi oleh kondisi

lingkungan geologi di mana mineral tersebut terbentuk (pada kondisi oksidasi atau

reduksi), asosiasi mineral tersebut dengan mineral yang menyertainya, dan mekanisme

pembentukannya.

a. Warna Mineral

Warna mineral adalah warna yang ditunjukkan oleh mineral secara fisik,

bersifat tidak tetap, karena dipengaruhi oleh susunan pertumbuhannya, sifat

lingkungan geologi di mana mineral dibentuk, dan kemungkinan pengotoran

mineral yang mungkin terjadi selama mineral tersebut berada dalam

lingkungan geologi tersebut. Sebagai contoh adalah mineral kuarsa, apatit


dan fluorit. Mineral-mineral tersebut pada dasarnya memiliki warna dasar

putih. Namun, karena adanya pengotoran pada saat kristalisasi maupun

setelah kristalisasinya, oleh unsur yang lain, maka warnanya bervariasi. Jenis

unsur sebagai pengotor mineral, menentukan warna barunya. Apatit dicirikan

oleh tidak berwarna dan transparant. Ketika apatit tersebut mengalami

pengotoran oleh sulfur, maka warnanya menjadi kuning transparat,

sedangkan jika pengotornya Fe maka berwarna pink sampai kemerahan

transparant, dan jika terkotori oleh Cl menjadi berwarna kehijauan

transparant. Kuarsa juga tidak berwarna dan transparant. Saat kuarsa

mengalami pengotoran Fe, warnanya menjadi hitam translucent sampai opak,

saat terkotori oleh Cu warnanya menjadi biru.

Warna mineral juga dipengaruhi oleh lingkungan pembentukannya.

Kalsedon adalah mineral silikat dengan komposisi SiO2; merupakan salah satu

anggota dari kelompok kuarsa. Kalsedon dicirikan oleh warna coklat susu

sampai coklat, tersusun atas campuran kriptokristalin kuarsa dan moganit

kristal kuarsa yang sangat halus. Hal itu yang menyebabkan kalsedon ini

memiliki diafanitas translucent. Rhodokrosit (MnCO3) adalah salah satu

anggota mineral karbonat yang berwarna merah. Warna merah tersebut

dibentuk oleh kondisi lingkungan geologi selama proses kristalisasinya, yaitu

pada lingkungan hidrotermal temperatur rendah.

Mineral-mineral hasil dari kristalisasi sistem pegmatik biasanya

memiliki warna yang tidak sama dengan warna dasarnya. Ortoklas pegmatik

berwarna pink tidak tembus cahaya, sedangkan ortoklas dari sistem magmatik

berwarna putih dengan kilap kaca tembus cahaya. Proses pegmatitisasi

mineral adalah meleburnya sebagaian mineral atau sebagian unsur dalam

mineral karena adanya penambahan suhu dan tekanan. Hal itu biasanya
berhubungan dengan proses intrusi dan atau pelelehan batuan sebagaian.

Dengan demikian, mineral yang sebagaian tubuhnya meleleh tersebut, larutan

hasil lelehanya akan kontak dengan tubuh mineral atau massa batuan yang

lain, sehingga terjadi kontaminasi. Warna kontaminan tersebut yang

selanjutnya merubah warna dasar batuan.

b. Cerat

Cerat adalah warna sebenarnya dalam suatu mineral. Warna cerat

kadang-kadang berbeda dengan warna mineralnya. Contoh: grafit berwarna

coklat tetapi warna ceratnya hitam, sulfur berwarna kuning dengan warna cerat

putih, pirit berwarna keemasan dengan warna cerat hitam, dan galena

berwarna silver gelap dengan cerat coklat gelap.

Namun, tidak sedikit pula mineral yang menunjukkan warna

perawakannya dan warna ceratnya sama. Sebagai contoh adalah monasit:

warna perawakan dan ceratnya merahmerah bata, hematit: warna perawakan

dan ceratnya merah bata - merah kehitaman, kuarsa (white smoke) warna

perawakan dan ceratnya adalah putih, dan lain- lain. Warna cerat adalah

manifestasi dari perpaduan unsur kation dan anion yang menyusun mineral.

Sifat cerat ini diidentifikasi dengan cara menggoreskan mineral di atas benda

yang lebih keras; untuk mineral yang memiliki kekerasan kurang dari 7 dapat

digoreskan di atas permukaan kasar keramik; sedangkan yang memiliki

kekerasan lebih dari 7 dapat digoreskan di atas korundum.

Dalam penerapan lanjut, warna cerat digunakan untuk identifikasi

mineral pada kondisi lapuk dan identifikasi mineral pada pengamatan

mikroskopis. Sebagai contoh: kuarsa memiliki warna perawakan bermacam-

macam, ada yang putih susu (onyx), tak berwarna transparant, ungu
(amethis), coklat (kalsedon), biru (blue saphir), merah dan lain-lain; namun

semua jenis kuarsa tersebut memiliki warna cerat yang sama yaitu putih. Apa

pun warna kuarsa tersebut, ketika diamati di bawah mikroskop polarisasi

memberikan kenampakan relief rendah, indeks bias 1 dan transparant.

Beberapa mineral di alam juga sering memiliki sifat fisik yang hampir sama;

hematit mirip dengan magnesit, urat kalsit mirip dengan urat kuarsa, fluorit

mirip dengan apatit, pirit mirip dengan kalkopirit, ortoklas mirip dengan

plagioklas dan lain-lain.

c. Bentuk Kristal dan Bentuk Mineral

Bentuk kristal ditentukan dari susunan kimia unsur yang menyusun

internal kristal. Susunan internal kristal menentukan susunan eksternalnya;

atau susunan eksternal krisal mencerminkan susunan internalnya. Bentuk

kristal dapat berupa ikatan tunggal, ganda (dihedral), tetrahedral, adalah

prismatik, rhombis, piramidal, trapezoid, dan kubik. Bentuk mineral adalah

bentuk dasar dari susunan / bangun mineral. Bentuk mineral dapat sama

dengan bentuk kristal, jika pertumbuhannya sempurna maka akan memiliki

bentuk yang sama dengan bentuk kristalnya, namun jika pertumbuhan

mineral tidak sempurna maka tidak akan memiliki bentuk yang sama dengan

bentuk kristalnya. Secara umum, jika mineral tersebut memiliki pertumbuhan

yang sempurna, yaitu:

1. Dull / tanah / serbuk; yaitu mineral yang berbentuk serbuk atau tanah

lepas-lepas, contoh adalah talk dan mineral lempung yang lain, seperti

ilit, smektit, montmorilonit dan lain-lain.

2. Kubik; yaitu bentuk kristal yang memiliki enam (6) sisi dengan luasan

yang sama, sumbu a sama dengan sumbu b sama dengan sumbu c;

α=β=γ = 90o ; contoh mineralnya adalah pirit, galena, analsim dan


halit (garam).

3. Prismatik; yaitu bentuk mineral seperti prisma a≠b≠c dan α=β=γ =

90o ; memiliki 4, 6 atau 8 sisi dengan luasan masing-masing sisi tidak

sama, contoh mineralnya adalah piroksen, plagioklas dan anorthoklas.

4. Tabular (berlembar); yaitu bentuk mineral yang tersusun oleh kristal-

kristal secara tabular seperti buku, a≠b≠c dan α=β=γ = 90o ; contoh

mineralnya adalah sanidin, mikroklin, biotit, dan muskovit.

5. Menjarum; yaitu bentuk mineral yang bersusunan prismatik panjang

menyerupai jarum kompas atau jarum jam, a≠b≠c dan α=90 o ,

β=120o , γ=60 o , contoh mineralnya adalah horenblenda.

6. Hexagonal; yaitu bentuk prisma segi enam dengan empat sumbu,

yaitu a=a’≠b≠c; α= α’= 60 o , β=90o , γ=90o , contoh mineralnya

adalah nefelin.

7. Dendritik; yaitu bentuk mineral yang menyerupai pohon bercabang-

cabang. Mineral yang pertumbuhannya dendritik umumnya

dipengaruhi oleh sistem air permukaan dan bawah permukaan. Contoh

mineralnya adalah filamen klorit (inklusi Cl) dalam kuarsa dan filamen

jaspilit yang dibentuk oleh inklusi Fe dalam Jasper.

8. Geode; yaitu bentuk mineral yang tersusun atas beberapa lapisan

konsentris yang berwarna-warni yang melingkupi mineral prismatik

dan mineral prismatik piramidal yang tersusun secara radial, berpusat

pada bagian tengah yang kosong, contoh mineralnya adalah amethis.

Warna amethis dibentuk oleh iradiasi unsur besi trivalen (Fe3+ ) pada

jel silika dengan jari-jari ionik yang besar. Beberapa geode amethis

sering juga terisi oleh pertumbuhan mineral kuarsa kaya Fe,

membentuk perlapisan konsentris kuarsa bening dan kalsedon warna


merah kecoklatan.

d. Kilap

Kilap adalah refleksi mineral dalam menangkap sinar; ada dua jenis

kilap yaitu metalik dan non-metalik. Kilap metalik yaitu kilap yang

ditunjukkan oleh, sebagaimana logam (emas, perak, tembaga atau besi)

jika dikenai sinar. Kilap non metalik yaitu kilap kaca, kilap tanah (earthy),

kilap lilin, kilap mutiara, kilap sutra dan kilapnya mineral yang tidak

memantulkan sinar (dull).

e. Kekerasan

Sifat kekerasan mineral penting untuk diketahui terkait dengan

kegunaan, resistensi dan mekanisme kristalisasinya. Kekerasan mineral

diukur dengan menggunakan skala Mohs. Dalam skala Mohs kekerasan

terrendah adalah satu yang diwakili oleh talk, sedangkan kekerasan

tertinggi bernilai 10 yang diwakili oleh intan.

Kekerasan (Hardness) Mineral Rumus Kimia

1 Talc Mg3Si4O10(OH)2

2 Gypsum CaSO4·2H2O

3 Calcite CaCO3

4 Fluorite CaF2

5 Apatite Ca5(PO4)3(OH,Cl,F)

6 Orthoclase KAlSi3O8

7 Quartz SiO2

8 Topaz Al2SiO4(OH,F)2

9 Corundum Al2O3

10 Diamond C
f. Belahan Dan Pecahan

Belahan adalah pecahan mineral yang selalu mengikuti bentuk dan

susunan kristal, sedangkan pecahan tidak mengikuti bentuk kristal. Belahan

ada yang sempurna searah, dua arah dan tiga arah, kurang sempurna dan

tidak sempurna. Belahan sempurna seperti yang terlihat pada susunan batu

bata, papan kayu, dan lembaran buku.

g. Pecahan

Ketika tekanan (dalam bentuk pukulan, tarikan, puntiran atau

gesekan) diberikan terhadap suatu mineral, sedangkan ikatan antar atom di

sekitar area yang dikenai tekanan tersebut sama di semua arah dalam mineral

tersebut, maka akan terjadi kerusakan. Kerusakan atau pecahan dengan

permukaan tidak teratur disebut splintery atau fraktur tidak teratur; jika

permukaannya halus disebut smoothly; jika permukaannya melengkung

seperti potongan atau pecahan kaca yang tebal disebut conchoidal.

2. Sifat Kimia Mineral

Sifat kimia mineral ditujukan untuk mengetahui komposisi kimia mineral,

meliputi unsur-unsur utama, unsur jejak dan unsur jarang (REE), sebagaimana yang

juga menyusun bumi (dari inti bumi, mantel bumi dan kerak bumi). Komposisi kimia

bumi juga dipengaruhi oleh faktor eksternal bumi, seperti jatuhan meteorit, biokimia

dan hidrokimia permukaan bumi. Di samping faktor- faktor tersebut, komposisi kimia

mineral juga dipengaruhi oleh adanya perubahan volume, tekanan, energi, panas,

daya, entropi dan suhu. Energi adalah kapasitas dalam menghasilkan suatu

perubahan. Sedangkan panas, atau energi termal, hasil dari pergerakan secara acak

dari masing-masing molekul atau atom-atom dalam suatu sistem, disebut sebagai

energi kinetik. Daya dan panas adalah dua bentuk utama dari energi tersebut. Sifat

kimia mineral dipelajari melalui studi geokimia. Studi ini ditujukan untuk mengetahui
sifat-sifat kimia yaitu komposisi unsur mayor (utama), jejak (trace elements), unsur

jarang (rare earth elements/REE) selama proses kristalisasi, metamorfisme, ubahan

atau alterasi dan pelapukan. Unsur-unsur utama yang menyusun mineral tersebut,

dikenal sebagai oksida mayor. Oksida mayor penyusun mineral dalam batuan terdiri

atas SiO2, Al2O3, Fe2O3, Na2O, MgO, TiO2, MnO, and P2O5. Karena sifat titik leleh

basalt dan gabro (basa) tinggi (900-1200 oC), unsur-unsur mayor yang terdapat

dalam batuan beku tersebut bersifat relatif immobile (tidak bergerak) pada zona

ubahan; sedangkan dalam granit atau riolit karena memiliki titik leleh rendah

(<650oC), maka relatif mudah bergerak. Unsur jejak yang terdapat dalam basalt atau

gabro cenderung kurang variatif dibandingkan dalam granit dan riolit. Unsur REE

dalam basalt teralterasi cenderung lebih banyak variasinya sejalan dengan

meningkatnya derajad alterasi; sedangkan dalam riolit terjadi peningkatan pengayaan

REE dengan anomali positif terhadap emas (Au).

3. Sifat Optis Mineral

Sifat optis mineral ditujukan untuk mineral-mineral yang menyusun batuan

yang bertekstur halus, yaitu batuan sedimen klastika seperti batulanau, napal,

batupasir dan matriks dan fragmen breksi dan konglomerat; pada batuan metamorf

yang terfoliasi dan tak-terfoliasi; pada batuan beku bertekstur afanitik; dan batuan

vulkaniklastika (piroklastika dan fragmen breksi piroklastika) dan vulkanik koheren

(lava dan intrusi dangkal). Sifat optis mineral juga ditujukan untuk mengidentifikasi

mineral-mineral seperti piroksen ortho dan olivin pada basalt; andesin, piroksen klino

dan horenblenda pada andesit; dan feldspar, kuarsa dan muskovit pada riolit dan

dasit; dan lain-lain.

2.3 Volcanogenic Massive Sulphide


Endapan Volcanic-Hosted Massive Sulphide atau ada pula yang menyebutkan

Volcanic-Associated Massive Sulphide. Volcanogenic Massive Sulphide atau VMS

merupakan endapan sulfida logam dasar yang berhubungan dengan vulkanisme

terkait dengan proses hidrotermal di lingkungan bawah laut. Endapan ini terjadi

sebagai lensa polymetallic masif sulfida yang terbentuk pada atau mendekati dasar

laut di lingkungan vulkanik submarine. Sebagian besar endapan VMS berupa

akumulasi mineral sulfida berlapis yang mengendap dari cairan hidrotermal di bawah

dasar laut dalam berbagai setting geologi dari masa terbentuknya hingga sekarang.

Adapun beberapa hal yang khas dari endapan VMS adalah: Endapan bijih dengan

kadar sulfida sangat tinggi (mencapai 95%) Kandungan barit dan anhidrit yang

dominan. Kandungan logam dasar mempunyai nilai ekonomis yang lebih besar

daripada deposit emasnya.

Aggarwal & Nesbit (1984) menyebutkan bahwa endapan VMS terbentuk di

dasar laut yaitu di antara batas lempeng divergen di mana ophiolite berasosiasi

dengan endapan yang terbentuk akibat pemekaran lantai samudera (endapan Baie

VerteSiprus) dan pada batas lempeng konvergen (endapan Kuroko-Jepang) yang

berasosiasi dengan lempeng samudera. Herzig dan Hannington (1995) berpendapat

bahwa endapan VMS umumnya terbentuk pada tektonik ekstensional dasar laut yaitu

di lingkungan pemekaran samudera aktif (Mid Oceanic Ridge, MOR) dan di

lingkungan back arc basin pada tatanan busur vulkanik. Kedua pendapat tersebut

pada intinya sama. Terdapat pendapat lain juga yang mengatakan bahwa endapan

VMS berasosiasi dengan kaldera submarine.

Endapan VMS diduga bersasosiasi dengan beberapa mineral berbeda seperti

calc-alkaline. Pada beberapa kasus, calc-alkaline merupakan batuan induk. Dugaan

inilah yang membuat beberapa scientist untuk melakukan tes untuk memastikannya.

Dari hasil tes, tidak terlihat distribusi waktu pembentukan endapan yang berkisar
pada umur 3500 SM di Blok Pilbara-Australia. Hutcison mencatat bahwa umur

endapan VMS disesuaikan dengan periode ketebalan endapan, akumulasi

supracrustal, sehingga tidak termasuk dalam fenomena metalogenik serta dari area

singkapan endapan dapat diperkirakan umur endapan. Bagaimanapun tidak ada

keraguan bahwa aktifitas vulkanik dilaut dalam, berumur dan memilike tipe

petrokimia yang sama, ini sangat jelas terjadi distribusi sebagian pada endapan VMS.

Sebagai contoh, 83 endapan VMS ekonomis diketahui terjadi di tahun 2650-

2730 yang terjadi akibat sabuk vulkanik di Canadian Shield, tapi hanya 2 komposisi

sabuk vulkanik yang diketahui berumur sama dengan yang ada di Australia

(Franklin et al,1981).

Pada endapan yang termetamorfosa, biasanya bijih akan mengalami

peningkatan kekasaran dengan meningkatnya kadar metamorfosa. Tekstur dan

struktur pada kebanyakan pada lapisan sulfida massif yang telah termetamorfosa dan

terdeformasi lebih tepatnya dideskripsikan sebagai gneiss. Kemungkinan ciri-ciri yang

didasarkan pada endapan VMS telah terlihat pada zonasi dari kimia, mineralogi dan

tekstur bijih dan perubahan metasomatisme menjadi batuan induk dalam jalur

alterasi hidrotermal. Mineral logam lainnya, pirotit, magnetit dan bornit (jika ada)

cenderung untuk terkonsentrasi pada inti zona stockwork dan bagian tengah basalt

pada lapisan sulfida massif. Barit, umumnya terjadi dengan konsentrasi spalerit dan

galena yang paling tinggi pada zona paling luar dari lapisan sulfida massif. Pirit,

umumnya lebih dulu berada di sepanjang pola zonasi sulfida, cenderung untuk

mencapai bagian yang relatif maksimum dimana spalerit menjadi dominan daripada

kalkopirit. Tahapan-tahapan mineralisasi endapan VMS sebagai berikut :

a. Karena adanya tekanan hidrostatis, air laut meresap melalui

rekahanrekahan yang terbentuk di lantai samudera (recharge). Air laut ini

mempunyai karakter kimiawi tertentu


b. Fluida tersebut dipanaskan oleh batuan bagian dalam yang melebur pada

kerak samudera sampai ketinggian temperatur 400°C. Reaksi fluida

magmatis dengan air laut menyebabkan tingginya kadar sulfida dan sulfat

c. Fluida yang panas perlahan naik ke permukaan dikarenakan adanya

perbedaan suhu (discharge)

d. Lalu memancar ke permukaan dan terbentuklah black smoker. Black

smoker mempunyai suhu lebih dari 3600C, endapan mineral yang

dihasilkan, yaitu pirit (FeS2), kalkopirit (CuFeS2), anhidrit (CaSO4) dan

mineral yang dihasilkan yaitu mineral sulfida. Bahan bijih yang

diendapkan dalam fumarol atau black smoker ketika didorong k laut

dingin dan bercampur dengan air laut mengakibatkan pengendapan

mineral sulfida sebagai bijih sulfida stratiform.

2.4 Endapan Koroko

Kandungan mineral sulfida yang terdapat pada endapan bijih volcanogenic

massive sulfide tipe kuroko menimbulkan ketertarikan tersendiri untuk dikaji oleh

para ilmuwan, terutama di bidang mineralogi dan geologi. Mineral-mineral sulfida

tersebut antara lain pirit, kalkopirit, galena dan sfalerit. Selain itu, beberapa endapan

bijih tipe kuroko dapat memiliki kandungan mineral-mineral sulfida lainnya meskipun

dalam jumlah yang lebih sedikit seperti bornit, akantit, argentit, golongan tenantit-

tetrahedrit, kovelit dan lain sebagainya.

Kajian tentang endapan bijih tipe koroko ini pada awalnya berkembang di

Jepang. Penelitian kuroko sendiri banyak dilakukan secara masif di Jepang pada

dekade 1960-an dan 1970-an. Tercatat hingga tahun 1974 saja sudah lebih dari 800

publikasi ilmiah mengenai kajian geologi dan mineralogi dari endapan bijih tipe

kuroko yang dilakukan di Jepang. Pada dekade 1980- an, mulai ditemukan endapan-

endapan bijih sejenis yang memiliki karakteristik endapan bijih tipe kuroko di negara-
negara lain yang berada di luar Jepang seperti di Turki (Leitch, 1981), Indonesia

(Yoshida et al., 1982; Nishiyama et al., 1983; Maulana et al., 2019) dan Yunani

(Hauck, 1988). Di Indonesia sendiri, endapan bijih tipe kuroko ditemukan di daerah

Sangkaropi, Sulawesi, Indonesia (Yoshida et al., 1982; Nishiyama et al., 1983;

Maulana et al., 2019). Pada dekade 2000-an, ditemukan juga karakteristik endapan

bijih tipe kuroko di Virginia, Amerika Serikat (Seal et al., 2008). Pada penelitian tiga

tahun terakhir ini, ditemukan endapan bijih yang menyerupai karakteristik kuroko di

daerah timur laut Rusia (Volkov et al., 2017), timur laut Aljazair (Laouar et al., 2018)

2.5 Alterasi

Alterasi merupakan perubahan mineralogi dan komposisi batuan akibat adanya

kontak dengan larutan hidrotermal. Faktor penyebab terjadinya proses alterasi yaitu

temperatur, kimia fluida, Konsentrasi batuan induk ( host rock), reaksi kinetic, waktu

yang dibutuhkan untuk mencapai kesetimbangan, dan permeabilitas.Terdapat tiga

jenis pola alterasi yaitu (Malakita, 2021) :

1. Pervasive yaitu Semua mineral primer pembentuk batuan telah mengalami

alterasi, walaupun intensitasnya berbeda.

2. Selectively pervasive yaitu alterasi hanya terjadi pada mineral-mineral tertentu

pada batuan.

3. Non-pervasive yaitu hanya bagian tertentu dari keseluruhan batuan yang

mengalami alterasi hidrotemal.

Himpunan mineral alterasi terjadi akibat adanya perubahan temperatur dan

sifat kimiawi larutan hidrotermal pada fase tertentu pada interaksi larutan hidrotermal
dengan batuan samping. Corbeet and Leach (1997) membagi kelompok himpunan

mineral alterasi berdasarkan temperatur dan pH yaitu (Malakita, 2021):

1. Kelompok mineral Silikat merupakan mineral alterasi yang paling stabil,

terbentuk pada kondisi pH fluida yang sangat rendah secara umum < 2.

Kelompok mineral Alunit merupakan kelompok mineral ini terbentuk pada pH

fluida yang sedikit lebih tinggi dari dua.

3. Kelompok mineral Kaolin merupakan terbentuk pada pH rendah sekitar pH 4

(Reyes, 1990) dan berdampingan dengan alunit dibawah interval transisi pH 3-

4.

4. Kelompok mineral ilit merupakan terbentuk pada pH 4-6 dan berdampingan

dengan kelompok mineral kaolin pada pH 4-5 .

5. Kelompok mineral Klorit merupakan terbentuk pada pH asam menuju netral,

klorit dan karbonat akan mendominasi.

6. Kelompok mineral kalk-silikat merupakan terbentuk pada kondisi pH netral

sampai alkalin.

Salah satu wilayah di Indonesia yang terdapat adanya indikasi alterasi dan

mineralisasi emas akibat adanya proses hidrotermal berada di daerah Gunung Gupit.

Secara administratif, wilayah tersebut terletak di Desa Ngadiharjo, Kecamatan

Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Keberadaan struktur geologi

akibat pertemuan lempeng-lempeng di Indonesia akan mempengaruhi persebaran

prospek keterdapatan alterasi dan mineralisasi emas yang ada di daerah Gunung Gupit

(Larasati, 2012).

Interaksi antara larutan hidrotermal dengan batuan yang dilaluinya ( wall

rocks)akan menyebabkan terubahnya mineral primer menjadi mineral sekunder (yang

disebut alterasi mineral) dengan adanya perubahan temperatur, tekanan, dan reaksi
kimia. Proses hidrotermal pada kondisi tertentu akan menghasilkan kumpulan mineral

tertentu yang dikenal sebagai himpunan mineral. Sehingga terjadi adanya mineralisasi

terhadap tubuh batuan dengan proses pengendapan mineral bijih akibat adanya

alterasi hidrotermal. Berdasarkan penelitian Idrus tahun 2013, tipe endapan emas

hidrotermal di daerah penelitian berupa endapan epitermal tipe sulfidasi tinggi dengan

jenis alterasi yang berasosiasi dengan tipe endapan tersebut yaitu silisifikasi, argilik

lanjut (adv argilik), argilik, dan propilitik ditunjukkan pada Gambar 2.10. Stratigrafi

daerah penelitian tersusun oleh satuan lava andesit, satuan breksi autoklastik dan

satuan breksi andesit dengan struktur geologi berupa kekar dan tiga sesar geser

diperkirakan (Larasati, 2012).

Endapan sulfida masif volkanogenik (VMS) juga dikenal sebagai sulfida masif

yang diinangi vulkanik, sulfida masif terkait vulkanik, atau endapan sulfida masif dasar

laut, merupakan sumber penting tembaga, seng, timah, emas, dan perak (Cu, Zn, Pb,

Au, dan Ag). Endapan ini terbentuk di atau dekat dasar laut di mana fluida hidrotermal

yang bersirkulasi didorong oleh panas magmatik dipadamkan melalui pencampuran

dengan air dasar atau air pori di litologi dekat dasar laut. Lensa sulfida masif sangat

bervariasi dalam bentuk dan ukuran dan mungkin seperti polong atau seperti

lembaran. Mereka umumnya stratiform dan dapat terjadi sebagai beberapa lensa

(Shanks, dkk., 2012).

Deposito sulfida masif vulkanogenik dalam berbagai ukuran mulai dari polong

kecil kurang dari satu ton (yang umumnya tersebar melalui medan prospektif) hingga

akumulasi super raksasa. Endapan sulfida masif volkanogenik berkisar antara 3,55 Ga

(miliar tahun) hingga endapan berumur nol yang secara aktif terbentuk dalam
pengaturan ekstensional di dasar laut, terutama punggungan samudra tengah, busur

pulau, dan cekungan penyebaran busur belakang. Pengakuan luas deposit VMS dasar

laut modern dan cairan ventilasi hidrotermal terkait dan fauna ventilasi telah menjadi

salah satu penemuan paling menakjubkan dalam 50 tahun terakhir, dan eksplorasi

dasar laut dan studi ilmiah telah banyak berkontribusi pada pemahaman kita tentang

proses pembentukan bijih dan tektonik. Kerangka kerja untuk deposit VMS di

lingkungan laut (Shanks, dkk., 2012).

Bijih besar dalam deposit VMS terdiri dari >40 persen sulfida, biasanya Pirit,

Pirhotit, Kalkopirit, Sfalerit, dan Galena. Gangue non-sulfida biasanya terdiri dari

Kuarsa, Barit, Anhidrit, Besi (Fe) oksida, Klorit, Serisit, Bedak, dan padanan

metamorfosisnya. Komposisi bijih mungkin didominasi oleh Pb-Zn-, Cu-Zn-, atau Pb-

Cu-Zn, dan beberapa endapan dikategorikan secara vertikal dan lateral (Shanks, dkk.,

2012).

Banyak endapan memiliki zona pengumpan atau stringer di bawah zona masif

yang terdiri dari urat dan urat sulfida yang bersilangan dalam matriks batuan induk

dan gangue yang berubah secara pervasif. Perubahan zonasi pada batuan induk di

sekitar endapan biasanya berkembang dengan baik dan termasuk argilik lanjut

(Kaolinit, Alunit), Argilik (Ilit, Serisit), Serisit (Serisit, Kuarsa), Klorit (Klorit, Kuarsa),

dan Propilitik (Karbonat, Kuarsa, Epidot, Klorit). Fitur yang tidak biasa dari endapan

VMS adalah asosiasi umum dari endapan “ekshalatif” stratiform yang diendapkan dari

cairan hidrotermal yang berasal dari dasar perairan. Endapan ini dapat meluas jauh

melampaui batas sulfida masif dan biasanya terdiri dari silika, besi, dan oksida

mangan, karbonat, sulfat, sulfida, dan turmalin (Shanks, dkk., 2012).

Jenis endapan yang dijelaskan disebut sebagai sulfida masif vulkanogenik

(VMS). Terminologi ini telah digunakan selama lebih dari 35 tahun dan mencakup

asosiasi temporal dan spasial mineralisasi sulfida dengan proses vulkanik bawah laut.
Istilah serupa untuk endapan VMS yang tercatat dalam literatur termasuk sulfida

vulkanikgenik, sulfida masif vulkanik, sulfida masif ekshalatif, sulfida masif ekshalatif

vulkanik, sulfida masif ekshalatif bawah laut, sulfida masif yang diinangi vulkanik,

sulfida masif yang diinangi oleh sedimen vulkanik, sulfida masif yang terkait dengan

vulkanik sulfida masif, dan endapan sulfida masif vulkanofil. Dalam beberapa penelitian

sebelumnya, istilah Pirit cupreous dan endapan Pirit stratabound digunakan mengacu

pada badan bijih kaya Pirit yang ditampung oleh rangkaian vulkanik ofiolitik di Siprus

dan di tempat lain. Baru-baru ini, istilah deposit sulfida masif polimetalik telah

diterapkan oleh banyak penulis untuk mineralisasi VMS di dasar laut modern yang

mengandung sejumlah besar logam dasar Nama lain yang umum digunakan untuk

subtipe deposit VMS seperti tipe Siprus, tipe Besshi, tipe Kuroko, tipe Noranda, dan

jenis Ural berasal dari daerah kegiatan penambangan yang luas (Shanks, dkk., 2012).

Endapan sulfida masif volkanogenik adalah konsentrasi mineral sulfida

stratabound yang diendapkan dari cairan hidrotermal di lingkungan dasar laut

ekstensional. Istilah vulkanogenik menyiratkan hubungan genetik antara mineralisasi

dan aktivitas vulkanik, tetapi batuan silisiklastik mendominasi kumpulan stratigrafi

dalam beberapa pengaturan. Pengaturan tektonik utama untuk endapan VMS termasuk

punggungan tengah samudera, busur vulkanik ( intraoceanic dan tepi kontinen),

cekungan busur belakang, tepi kontinen rifted, dan cekungan pull-apart. Komposisi

batuan vulkanik yang menampung endapan sulfida individu berkisar dari felsik hingga

mafik, tetapi campuran bimodal tidak jarang. Lapisan vulkanik terdiri dari lava masif

dan lava bantal, aliran lembaran, hyaloclastites, breksi lava, endapan piroklastik, dan

sedimen vulkanikklastik. Umur endapan berkisar dari Archean Awal (3,55 Ga) hingga

Holosen deposit saat ini terbentuk di berbagai lokasi dalam pengaturan laut modern.

Endapan dicirikan oleh Fe sulfida yang melimpah (Pirit Atau Pirhotit) dan jumlah

Kalkopirit dan Sfalerit yang bervariasi tetapi lebih rendah Bornit, Tetrahedrit, Galena,
Barit, dan fase mineral lainnya terkonsentrasi di beberapa endapan. Badan sulfida

masif biasanya memiliki bentuk lensoidal atau seperti lembaran. Banyak, tetapi tidak

semua, endapan menutupi sistem urat pembawa sulfida yang tidak selaras (zona

Stringer stau Stockwork) yang mewakili saluran aliran fluida di bawah dasar laut. Zona

alterasi pervasif yang dicirikan oleh mineral Kuarsa sekunder dan phyllosilicate juga

mencerminkan sirkulasi hidrotermal melalui batuan vulkanik footwall. Sebuah zonasi

logam dalam tubuh sulfida masif dari Fe+Cu di dasar hingga Zn+Fe±Pb±Ba di bagian

atas dan margin mencirikan banyak endapan. Fitur lain yang terkait secara spasial

dengan endapan VMS adalah batuan sedimen ekshalatif (kimia), intrusi subvolkanik,

dan zona alterasi semi-konformabel (Shanks, dkk., 2012).

Asosiasi dengan jenis deposit mineral lain yang terbentuk di lingkungan bawah

laut masih bersifat tentatif. Ada kemungkinan beberapa kekerabatan genetik di antara

endapan VMS, formasi besi tipe Algoma, dan endapan mangan vulkanogenik. Endapan

ekshalatif-sedimen (SEDEX) memiliki fitur morfologi yang serupa secara luas konsisten

dengan formasi syngenetic di lingkungan bawah laut ekstensional, tetapi pengaturan

paleotektonik yang ditafsirkan (keretakan intrakratonik gagal dan tepian kontinen tipe

Atlantik yang terbelah), karakteristik cairan hidrotermal (air asin NaCl terkonsentrasi),

tidak adanya atau kekurangan batuan vulkanik, dan asosiasi dengan batuan serpih dan

karbonat membedakannya dari endapan VMS. Pengenalan mineralisasi sulfidasi tinggi

dan kumpulan alterasi argilik tingkat lanjut di zona pelepasan hidrotermal di

lingkungan busur samudera bawah laut modern dan kuno telah mengarah pada

hipotesis bahwa ada hubungan transisi antara VMS dan jenis endapan mineral

epitermal (Au-Ag) (Shanks, dkk., 2012).

Endapan sulfida masif dari sulfida logam dasar adalah salah satu endapan bijih

logam paling awal yang diketahui dan diekstraksi karena kadarnya yang tinggi, kontras

yang kuat dengan batuan pedesaan, pewarnaan besi dan gossan di permukaan, serta
penambangan dan ekstraksinya yang relatif sederhana. Namun, memahami waktu dan

cara penempatan endapan ini terbukti jauh lebih sulit, dan baru pada paruh kedua

abad kedua puluh beberapa bukti, tidak terkecuali penemuan aktivitas hidrotermal di

dasar laut modern, berkonspirasi untuk meyakinkan para peneliti dan penjelajah

bahwa endapan ini terbentuk secara sinergis pada atau sedikit di bawah dasar laut

melalui proses ekshalasi hidrotermal (Shanks, dkk., 2012).

Endapan sulfida masif volkanogenik (VMS) terbentuk dalam pengaturan

tektonik laut di mana terdapat hubungan spasial dan temporal yang kuat antara

magmatisme, seismisitas, dan ventilasi hidrotermal suhu tinggi. Pengaturan ini

termasuk punggungan penyebaran dasar laut samudera ekstensional, busur vulkanik

(margin samudera dan kontinental), dan lingkungan cekungan busur belakang terkait.

Selain itu, lingkungan ekstensi onal dapat terbentuk di pasca-akresi dan (atau)

pengaturan busur penerus (tepi kontinen rifted dan cekungan strike-slip). Endapan

sulfida masif volkanogenik dalam sekuens Proterozoikum dan Fanerozoikum umumnya

dapat ditetapkan untuk rezim tektonik lempeng tertentu, dengan semua kecuali tipe

silisiklastik-felsik yang diwakili oleh analog modern. Namun, penetapan deposit di

terran Archean kurang pasti, karena peran sistem tektonik lempeng konvensional

dalam sejarah bumi awal terus diperdebatkan. Jadi, meskipun endapan VMS Archean

dapat diklasifikasikan berdasarkan jumlah relatif batuan mafik, felsik, dan sedimen

yang terkait, klasifikasi tersebut tidak selalu sesuai dengan pengaturan tektonik

lempeng modern. Namun, karena proses lempeng tektonik tampaknya telah beroperasi

setidaknya sejak Paleoproterozoikum dan mungkin lebih awal, lingkungan geotektonik

dari endapan VMS dijelaskan di bawah ini dalam konteks rezim tektonik lempeng

modern (Shanks, dkk., 2012).


Di lautan modern, sebagian besar aktivitas hidrotermal yang diketahui terletak

di sepanjang pegunungan tengah laut (65 persen), dengan sisanya di cekungan busur

belakang (22 persen), di sepanjang busur vulkanik (12 persen), dan di gunung berapi

intraplate (1 persen), tetapi distribusi ini mungkin bias oleh eksplorasi ridge-centric

yang didorong oleh program seperti Ridge dan Interridge. Sebaliknya, sebagian besar

endapan VMS yang terawetkan dalam catatan geologi tampaknya telah terbentuk di

busur vulkanik samudera dan kontinental ekstensional dan pengaturan busur belakang

seperti sistem busur-belakang busur Jepang Miosen dan Palung Okinawa modern dan

Cekungan Lau dan Manus. Kekurangan umum dalam catatan geologi dari deposit VMS

yang terbentuk di pegunungan tengah laut kemungkinan mencerminkan subduksi dan

daur ulang kerak dasar laut setidaknya sejak Paleoproterozoikum, kerak dasar laut saat

ini tidak lebih dari 180 juta tahun (Shanks, dkk., 2012).

Meskipun endapan VMS yang terbentuk di pegunungan tengah samudra jarang

terawetkan dalam catatan geologis, studi tentang proses vulkanik, tektonik, dan

hidrotermal yang terjadi di puncak punggungan modern membentuk banyak dasar

untuk model sistem hidrotermal pembentuk VMS saat ini. Ventilasi asap hitam bersuhu

tinggi (350 °C), pertama kali ditemukan di East Pacific Rise pada tahun 1979, adalah

fitur yang paling dapat dikenali dari aktivitas hidrotermal dasar laut dan paling umum

di pegunungan tengah laut yang menyebar dengan cepat. Studi tentang perokok hitam

terus memberikan informasi penting tentang proses geodinamik dan kimia yang

mengarah pada pembentukan sistem hidrotermal dasar laut namun, karena tidak

dapat diaksesnya, pertanyaan penting tentang pembentukan dan evolusinya tetap ada,

termasuk struktur tiga dimensi sistem hidrotermal dasar laut dan sumber panas yang

mendorong sirkulasi fluida suhu tinggi. Aspek-aspek sistem pembentuk VMS ini, serta

arsitektur regional dari sekuens vulkanik yang menampung endapan, lebih mudah

diselidiki melalui studi skala regional dan terperinci dari lingkungan VMS kuno. Namun,
interpretasi dari pengaturan endapan VMS purba dapat menjadi sulit, terutama ketika

mereka hadir dalam sliver yang terdeformasi secara tektonik dalam orogen.

Pengaturan tektonik yang dijelaskan di bawah ini mewakili jenis anggota akhir banyak

pengaturan alam adalah transisi dalam beberapa hal antara pengaturan ini (misalnya,

busur vulkanik dan cekungan busur belakang terkait dapat berubah secara lateral dari

benua ke samudera) (Shanks, dkk., 2012).

2.3.1 Punggungan Laut Tengah dan Cekungan Busur Belakang Dewasa (Asosiasi

Litologi Mafik-Ultramafik)

Sistem punggungan tengah laut global saat ini membentuk pegunungan bawah laut

dengan panjang lebih dari 50.000 kilometer dan rata-rata sekitar 3.000 meter di atas

dasar laut abyssal. Berbagai jenis pegunungan dibedakan berdasarkan tingkat

penyebaran dan morfologi, yang bervariasi dalam menanggapi tekanan tektonik

regional dan tingkat pasokan magma. Faktor-faktor ini juga mempengaruhi ukuran dan

kekuatan sistem konveksi hidrotermal di pegunungan. Korelasi positif umum antara

peningkatan laju penyebaran dan insiden ventilasi hidrotermal (Shanks, dkk., 2012).

2.3.2 Punggungan Tertutup Sedimen dan Celah Terkait (Asosiasi Litologi Siliklastik-

Mafik)

Pusat penyebaran aktif yang menjadi proksimal tepi kontinen melalui subduksi

penjalaran kerak samudera dan pengembangan celah tepi kontinen, atau proses

tektonik lempeng yang lebih kompleks (Laut Merah) dapat mengalami tingkat

sedimentasi yang tinggi oleh sungai-sungai besar yang melibatkan lumpur hemipelagic

dan klastik sedimen yang berasal dari kerak benua yang berdekatan. Saat ini, sekitar

5% dari pusat penyebaran aktif dunia ditutupi oleh sedimen dari tepi kontinen

terdekat, termasuk bagian dari Juan de Fuca dan Gorda Ridges di Pasifik timur laut dan

East Pacific Rise utara di Teluk California. Tingginya tingkat sedimentasi di lokasi ini

(10–100 cm/1.000 tahun versus 1 cm/1.000 tahun di laut terbuka) menghasilkan


urutan sedimen tebal yang memberikan penghalang kepadatan efektif untuk letusan

basal yang relatif padat di dasar laut. Akibatnya, letusan gunung berapi jarang terjadi

di punggungan yang terendapkan, tetapi intrusi dasar laut yang membentuk kompleks

sedimen ambang sering terjadi. Ventilasi cairan hidrotermal suhu tinggi dapat terjadi di

sekitar tepi kusen yang terkubur, seperti di Lembah Tengah, Palung Escanaba, dan

Cekungan Guaymas saat ini. Meskipun kusen mungkin sebagian bertanggung jawab

untuk sirkulasi hidrotermal, cairan suhu tinggi tampaknya berasal dari ruang bawah

tanah vulkanik di mana mereka dicegat (Shanks, dkk., 2012).


27
11

Anda mungkin juga menyukai