Anda di halaman 1dari 108

STUDI GEOLOGI DAN POTENSI ENDAPAN KROMIT

DAERAH KABAENA UTARA DAN SEKITARNYA,


KABUPATEN BOMBANA, PROVINSI SULAWESI
TENGGARA

PROPOSAL PENELITIAN

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN PERSYARATAN


MENCAPAI DERAJAT SARJANA (S1)

DIAJUKAN OLEH:

RIKA YUSTIKA
R1C115069

JURUSAN TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019

1
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk oleh tiga lempeng

bumi, yang dua di antaranya aktif bergerak. Bagian barat merupakan tepi tenggara

Lempeng Benua Eurasia, juga dikenal sebagai Paparan Sunda yang relatif diam.

Bagian timur selatan dibentuk oleh Lempeng Benua Australia, yang bergerak ke

utara dengan kecepatan 7-8 cm/tahun, dan bagian timur utara ditempati oleh

Lempeng Samudra Pasifik atau Lempeng Samudra Filipina yang bergerak ke arah

barat dengan kecepatan rata-rata 8-10cm/tahun (Minsters dan Jordan, 1978;

Simandjuntak dan Barber, 1996 dalam Surono, 2013).

Pulau Sulawesi dan sekitarnya dapat dibagi menjadi beberapa mandala

geologi yakni salah satunya adalah mandala geologi Sulawesi Timur. Mandala ini

meliputi lengan Tenggara Sulawesi, Bagian Timur Sulawesi Tengah dan Lengan

Timur Sulawesi. Lengan Timur dan Lengan Tenggara Sulawesi tersusun atas

batuan malihan, batuan sedimen penutupnya dan ofiolit yang terjadi dari hasil

proses pengangkatan (obduction) selama Miosen, jalur batuan malihan dan

sedimen serta penutupnya tersebut sebagai mintakat benua, sedangkan batuan

ofiolitnya merupakan lajur ofiolit Sulawesi Timur (Surono, 2013).

Daerah Penelitian yaitu Kabaena Utara yang termasuk ke dalam Peta

Geologi lembar Kolaka skala 1:250.000, yang terdiri dari deretan morfologi

perbukitan tinggi sampai pegunungan, dipengaruhi oleh struktur berupa sesar

geser dan sesar naik dengan arah sesar yang tidak beraturan, serta terdapat sesar

sungkup yang berarah hampir Barat-Timur mensesar sungkupkan Kompleks

2
2

Ultramafik ke atas Kompleks Pompangeo dan sedimen malih Kabaena, diduga

terjadi pada Mesozoikum, berdasarkan hasil penelitian terdahulu di Pulau

Kabaena terdapat sebaran batu apungan (boulder) kromit dengan diameter

(10- 100) cm berwarna hitam pejal berbentuk menyudut, kadang-kadang dijumpai

fragmen boulder kromit yang terselimuti oleh kuarsa (Moe'tamar, 2005).

Budi Santoso dan Subagio (2016), telah melakukan penelitian mengenai

pendugaan mineral kromit menggunakan metode Induced Polarization (Ip) di

daerah Kabaena Utara, Bombana, Sulawesi Tenggara dengan hasil endapan

kromit primer dan endapan kromit sekunder. Endapan kromit primer terdapat

pada batuan peridotit dengan nilai chargeabilitas (221 - 320) msec dan nilai

resistivitas (900- 6000) Ohm.m, sedangkan endapan kromit sekunder terdapat

pada lapisan pasir yang mengandung fragmen bongkah dan fragmen batuan

peridotit dengan nilai chargeabilitas (203-270) msec dan nilai resistivitas (296-

400) Ohm.m. Kisaran nilai chargeabilitas kromit primer dengan kromit sekunder

tidak terlalu besar, sedangkan untuk nilai resistivitasnya terdapat perbedaan yang

besar, hal ini terj adi karena adanya perbedaan litologi yang melingkupi mineral

kromit tersebut, berdasarkan hal tersebut yang mendasari penulis melakukan

penelitian lanjutan tentang potensi kromit didaerah Penelitian.

Kromit merupakan satu-satunya mineral yang menjadi sumber logam

kromium. Mineral ini mempunyai komposisi kimia FeCr2O3, dengan sifat fisik

terpenting antara lain berwarna hitam dan bentuk kristal tidak beraturan. Mineral

kromit terdapat dalam batuan basa dan ultrabasa (peridotit dan serpentinit), terjadi

dengan cara segresi magma pada waktu batuan terbentuk. Kromit dapat terjadi
3

sebagai endapan primer, yaitu tipe cebakan stratiform dan podiform, atau sebagai

endapan sekunder berupa pasir hitam dan tanah laterit.

Informasi geologi yang dapat ditinjau masih dalam skala 1:250.000

sehingga penyebaran informasi geologi tentang daerah tersebut belum dapat

teridentifikasi dengan jelas, olehnya itu sangat diperlukan informasi yang rinci

atau detail. Berdasarkan uraian di atas maka dapat melatar belakangi sehingga

penulis mengambil judul “ Studi Geologi dan Potensi Endapan Kromit daerah

Kabaena Utara, Kabupaten Bombana, Propinsi Sulawesi Tenggara ” .

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada penelitian ini adalah:

1) Bagaimana kondisi geologi daerah penelitian ?

2) Bagaimana karakteristik dan tipe endapan kromit pada daerah penelitian ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui:

1) Mengetahui kondisi geologi, baik mengenai geomorfologi, stratigrafi, dan

struktur geologi yang berkembang pada daerah penelitian.

2) Menganalisis karakteristik dan menentukan tipe endapan kromit pada daerah


penelitian

D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian dalam bidang keilmuan yaitu dapat memberikan

gambaran mengenai kondisi geologi daerah penelitian dan dapat menjadi

referensi tambahan yang bersifat ilmiah, bagi pemerintah, dapat menjadi

informasi tambahan mengenai geologi serta dapat memanfaatkan potensi geologi

pada daerah penelitian.


4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Geologi Regional

Pulau Sulawesi dan sekitarnya dapat dibagi menjadi beberapa mandala

geologi yakni salah satunya adalah mandala geologi Sulawesi Timur. Mandala ini

meliputi lengan Tenggara Sulawesi, Bagian Timur Sulawesi Tengah dan Lengan

Timur Sulawesi. Lengan Timur dan Lengan Tenggara Sulawesi tersusun atas

batuan malihan, batuan sedimen penutupnya dan ofiolit yang terjadi dari hasil

proses pengangkatan (obduction) selama Miosen. Jalur batuan malihan dan

sedimen serta penutupnya tersebut sebagai mintakat benua, sedangkan batuan

ofiolitnya merupakan lajur ofiolit Sulawesi Timur. Bagian Timur Sulawesi ini

memanjang melalui ujung Timur Lengan Timur, sisi Timur bagian Tengah,

dan Lengan Tenggara Sulawesi (Surono, 2013). Lengan Timur dan Lengan

Tenggara Sulawesi tersusun atas batuan malihan, batuan sedimen penutupnya dan

ofiolit yang terjadi dari hasil proses pengangkatan (obduction) selama Miosen.

Sulawesi dan sekitarnya merupakan daerah yang kompleks karena merupakan

tempat pertemuan tiga lempeng besar yaitu lempeng Indo-Australia yang bergerak

ke arah utara, lempeng Pasifik yang bergerak ke arah barat dan lempeng Eurasia

yang bergerak ke arah selatan-tenggara serta lempeng yang lebih kecil yaitu

lempeng Filipina.

Van Bemmelen (1945) membagi lengan tenggara Sulawesi menjadi tiga

bagian: ujung utara, bagian tengah, dan ujung selatan. Lembar Kolaka menempati

bagian tengah dan ujung selatan dari lengan tenggara Sulawesi.


1. Geomorfologi Regional

Ada lima satuan morfologi yang dapat dibedakan dari citra IFSAR di bagian

tengah dan ujung selatan Lengan Tenggara Sulawesi, yakni satuan pegunungan,

pebukitan tinggi, pebukitan rendah, dataran rendah, dan karst (Gambar 1).

Gambar 1. Kondisi geomorfologi daerah Kabaena (modifikasi Ibrahim dkk., 2014)

a. Ujung utara

Ujung utara Lengan Tenggara Sulawesi mempunyai ciri khas dengan

munculnya Kompleks Danau Malili terdiri atas Danau Matano, Danau Towuti dan

tiga danau kecil di sekitarnya (Danau Mahalona, Danau Lantoa, dan Danau

Masapi). Pembentukan kelima danau itu diduga akibat sistem Sesar Matano, yang

diketahui sebagai sesar geser mengiri, (Ahmad, 1977 dalam Surono, 2013).

Perbedaan ketinggian kelima danau itu memungkinkan air dari suatu danau

mengalir ke danau yang lebih rendah. Danau Matano dihubungkan dengan danau
mahalona oleh sungai Petes yang kemudian dialirkan ke danau Towuti oleh sungai

Tominanga. Demikian juga Danau Lantoa dihubungkan dengan danau Towuti

oleh sungai kecil. Kemudian Danau Towuti dan Danau Masapi dialirkan ke Teluk

Bone oleh Sungai Larona. Kelima danau itu dikelilingi perbukitan dengan

ketinggian 500-700 m diatas permukaan laut (dpl). Luas, ketinggian, dan

kedalaman kelima danau itu bervariasi.

Kedalaman maksimum matano 590 m, padahal danau ini terletak

diketinggian 382 mdpl. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian dasar danau matano

berada dibawah permukaan laut. Ujung utara dipisahkan dengan bagian tengah

lengan tenggara oleh pegunungan Tangeroruwaki yang memanjang hampir barat

garis timur.

b. Bagian tengah

Morfologi bagian tengah Lengan Tenggara Sulawesi didominasi

pegunungan yang umumnya memanjang hampir sejajar berarah barat laut –

tenggara. Pegunungan tersebut diantaranya pegunungan Mengkoka, pegunungan

Tangkelamboke dan pegunungan Matarombeo. Morfologi bagian tengah ini

sangat kasar dengan kemiringan lereng tajam. Puncak tertinggi pada rangkaian

pegunungan Mengkoka adalah Gunung Mengkoka yang berketinggian 2790 mdpl.

Pegunungan Tangkelamboke mempunyai puncak gunung tangkelamboke (1500

mdpl). Sedangkan pegunungan Matarombeo berpuncak dibarat laut Desa

Wawonlondae dengan ketinggian 1551 mdpl.


c. Ujung selatan

Ujung Selatan Lengan Tenggara Sulawesi didominasi morfologi dataran dan

perbukitan. Pada beberapa bagian muncul pegunungan, seperti pegunungan

Rumbia dan Mendoke. Umumnya dataran ini merupakan dataran alluvium yang

luas dikanan kiri sungai, sedangkan morfologi perbukitan terdri atas perbukitan

rendah dan tinggi. Perbukitan rendah jauh lebih luas dibandingkan perbukitan

tinggi.

2. Stratigrafi Regional

Geologi regional lembar kolaka disusun oleh satuan batuan yang dapat

dikelompokan ke dalam batuan Paleozoikum, Mesozoikum dan Kenozoikum.

Stratigrafi regional daerah Kabaena merujuk pada peta geologi lembar

Kolaka oleh Simandjuntak, dkk., 1993, oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan

Geologi skala 1:250.000. Daerah Kabaena terdiri dari berbagai batuan Pra Tersier,

Tersier, dan Kuarter (Gambar 2). Stratigrafi secara regional dari batuan termuda

hingga batuan tertua sebagai berikut:

a. Aluvium (Qa)

Alluvium (Qa) terdiri atas lumpur, lempung, pasir kerikil dan kerakal.

Satuan ini merupakan endapan sungai, rawa dan endapan pantai. Umur satuan ini

adalah Holosen.

b. Formasi langkowala (Tml)

Formasi ini terdiri atas konglomerat, batupasir, serpih dan setempat

kalkarenit. Konglomerat mempunyai fragmen beragam yang umumnya berasal

dari kuarsa dan kuarsit, dan selebihnya berupa batupasir malih, sekis dan
ultrabasa. Ukuran fragmen berkisar 2 cm sampai 15 cm, setempat terutama

dibagian bawah sampai 25 cm. Bentuk fragmen membulat – membulat baik,

dengan sortasi menengah. Formasi ini banyak dibatasi oleh kontak struktur dengan

batuan lainnya dan bagian atas menjemari dengan bagian bawah batuan sedimen

Formasi Boepinang (Tmpb). Hasil penanggalan umur menunjukkan bahwa batuan

ini terbentuk pada Miosen Tengah.

c. Kompleks Pompangeo (mtpm)

Formasi ini terdiri atas sekis mika, sekis glaukofan, sekis amphibolit, sekis

klorit, rijang, pualam dan batugamping meta. Sekis berwarna putih, kuning

kecoklatan, kehijauan kelabu; kurang padat sampai sangat padat serta

memperlihatkan perdaunan. Setempat menunjukkan struktur chevron, lajur tekuk

dan augen serta di beberapa tempat perdaunan terlipat. Rijang berwarna kelabu

sampai coklat; agak padat sampai padat, setempat tampak struktur perlapisan

halus. Pualam berwarna kehijauan, kelabu sampai kelabu gelap, coklat sampai

merah coklat, dan hitam bergaris putih; sangat padat dengan persekisan, tekstur

umumnya nematoblas yang memperlihatkan pengarahan. Persekisan dalam batuan

ini didukung oleh adanya pengarahan kalsit hablur yaag tergabung dengan mineral

lempung dan mineral kedap (opak). Batuan terutama tersusun oleh kalsit, dolomit

dan piroksin; mineral lempung dan mineral bijih dalam bentuk garis. Wolastonit

dan apatit terdapat dalam jumlah sangat kecil. Plagioklas jenis albit mengalami

penghabluran ulang dengan piroksin. Satuan ini mempunyai kontak struktur geser

dengan satuan yang lebih tua di bagian utara yaitu Kompleks Mekongga (Pzm).
Berdasarkan penarikan umur oleh Kompleks Pompangeo mempunyai umur Kapur

Akhir – Paleosen bagian bawah.

d. Formasi Matano (Km)

Formasi ini terdiri atas batugamping hablur, rijang dan batusabak.

Batugamping berwarna putih kotor sampai kelabu; berupa endapan kalsilutit yang

telah menghablur ulang dan berbutir halus (lutit); perlapisán sangat baik dengan

ketebalan lapisan antara 10-15 cm; di beberapa tempat dolomitan; di tempat lain

mengandung lensa rijang setempat perdaunan. Rijang berwarna kelabu sampai

kebiruan dan coklat kemerahan; pejal dan padat. Berupa lensa atau sisipan dalam

batugamping dan napal; ketebalan sampai 10 cm. Batusabak berwarna coklat

kemerahan; padat dan setempat gampingan; berupa sisipan dalam serpih dan

napal, ketebalan sampai 10 cm. Berdasarkan kandungan fosil batugamping,

yaitu Globotruncana sp dan Heterohelix sp, serta Radiolaria dalam rijang,

Formasi Matano diduga berumur Kapur Atas dengan lingkungan pengendapan

pada laut dalam.

e. Kompleks Ultramafik (Ku)

Formasi ini terdiri atas harzburgit, dunit, wherlit, serpentinit, gabbro, basalt,

dolerit, diorit, mafik meta, amphibolit, magnesit dan setempat rodingit. Satuan ini

diperkirakan berumur Kapur.


Gambar 2. Peta Geologi dan stratigrafi daerah Kabaena (modifikasi Simandjuntak,
1993)

3. Struktur Regional

Struktur geologi yang berkembang di lengan Tenggara Sulawesi yang utama

terdiri atas Sesar Matano, kelompok Sesar Kolaka, kelompok Sesar Lawanopo

dan kelompok Sesar Lainea

Struktur utama yang terbentuk setelah tumbukan adalah sesar geser mengiri

yang terutama tediri atas sesar Lawanopo, sistem sesar Konaweha (Sesar Lainea),

Sesar Kolaka, dan Sesar Matano serta liniasi. Sesar dan liniasi menunjukkan

sepasang arah utama tenggara-barat laut (332º), dan timur laut barat daya (42º).

Arah tenggara barat laut merupakan arah umum dari sesar geser mengiri dilengan

tenggara sulawesi. 

Sesar Kolaka merupakan salah satu sesar utama yang berarah barat laut-

tenggara. Sesar Kolaka memanjang sekitar 250 km dari pantai barat teluk bone
sampai ujung selatan Lengan Tenggara Sulawesi. Sesar Kolaka relatif sejajar

dengan sesar Lawanopo dan Sistem Sesar Konaweeha (Sesar Lainea).

Sistem Sesar Lawanopo termasuk sesar-sesar berarah utama barat laut-

tenggara yang memanjang sekitar 260 Km dari Utara Malili sampai tanjung

Toronipa. Ujung barat laut sesar ini menyambung dengan Sesar Matano,

sementara ujung tenggaranya bersambung dengan sesar Hamilton yang memotong

sesar naik Tolo. (Hamilton, 1973)

Struktur geologi pada daerah penelitian berupa sesar geser dan sesar naik

dengan arah sesar yang tidak beraturan (Simandjuntak, 1993 dalam Surono,

2013). Menurut Moe’Tamar, 2005, didaerah penelitian terdapat sesar sungkup

yang berarah hampir Barat-Timur mensesar sungkupkan Komplek Ultramafik ke

atas Kompleks Pompangeo dan sedimen malih Kabaena, diduga terjadi pada

Mesozoikum,Error: Reference source not found.

Gambar 3. Peta struktur Geologi daerah Kabaena (modifikasi Simandjuntak, 1993)


B. Teori Dasar

Hakikat dari pemetaan geologi adalah menampilkan segala macam kondisi

geologi yang ada dilapangan (yang bersifat tiga dimensional) kedalam peta (yang

bersifat dua dimensional). Gejala geologi yang nampak pada lapangan

terutama adalah batuan, urutan batuan, struktur batuan serta bangun bentang

alam yang dibangun oleh batuan tersebut.

1. Geomorfologi

Worcester (1939) dalam Noor (2012), mendefinisikan geomorfologi sebagai

luas dari sekedar ilmu pengetahuan tentang bentangalam (the science of

landforms), sebab termasuk pembahasan tentang kejadian bumi secara umum,

seperti pembentukan cekungan lautan (ocean basin) dan paparan benua

(continental platform), serta bentuk-bentuk struktur yang lebih kecil dari yang

disebut diatas, seperti plain, plateau, mountain dan sebagainya.

Analisis geomorfologi dilakukan untuk dapat memahami kondisi geologi

pada daerah penelitian, Kondisi geologi ini mencakup dari litologi batuan hingga

struktur yang mengontrol terbentuknya bentang alam tersebut, hasil dari Analisis

ini akan menghasilkan data yang kemudian diolah untuk menentukan satuan

geomorfologi berdasarkan klasifikasi bentuk muka bumi menurut Brahmantyo

dan Bandono, (2006).

Klasifikasi BMB ini mempunyai prinsip-prinsip utama geologis tentang

pembentukan morfologi yang mengacu pada proses-proses geologis baik

endogen maupun eksogen. Interpretasi dan penamaannya berdasarkan kepada

deskriptif eksplanatoris (genetis) dan bukan secara empiris (terminologi


geografis umum) ataupun parametris misalnya dari kriteria persen lereng

(Brahmantyo dan Bandono, 2006).

Klasifikasi BMB pada prinsipnya adalah klasifikasi pada peta berskala

dasar 1:25.000 dan didasarkan kepada deskriptif gejala-gejala geologis, baik

diamati melalui peta topografi, foto udara, maupun citra satelit, ataupun dari

pengamatan morfologi langsung di lapangan (Tabel 1).

Tabel 1. Klasifikasi bentuk muka bumi untuk peta geomorfologi skala 1:25.000 (peta
dasar: peta topografi), (Brahmantyo dan Bandono, 2006)
I. BENTANG ALAM PEGUNUNGAN LIPATAN
Bentuk muka bumi:
1. Punggungan Sinklin
2. Punggungan Antiklin
3. Punggungan Kuesta (kemiringan
dipslope/bidang lapisan batuan 10o –15o)
4. Punggungan Homoklin (15 o – 45 o)
5. Punggungan Hogback (>= 45 o)
6. Lembah Sinklin
7. Lembah Antiklin
8. Lembah Homoklin
9. Kubah Antiklin
10. Kubah Intrusi Garam
11. Dataran Denudasional Struktur Sesar
II. BENTANG ALAM PEGUNUNGAN PLATEAU/LAPISAN DATAR
Bentuk muka bumi:
1. Bukit Mesa
2. Bukit Butte
3. Dataran Antar-perbukitan
4. Lembah plateau
III. BENTANG ALAM PEGUNUNGAN SESAR
Bentuk muka bumi:
1. Punggungan Blok Sesar (dengan gawir sesar, gawir
jalur sesar/fault line scarp, faset
segitiga, faset trapesoid)
2. Perbukitan/punggungan Horst
3. Perbukitan/Punggungan Zona Sesar
4. Perbukitan / Punggungan Bancuh (Melange)
5. Lembah Graben
6. Dataran Denudasional Struktur Patahan

IV. BENTANG ALAM PEGUNUNGAN GUNUNGAPI


Bentuk muka bumi:
1. Perbukitan/Punggungan Dinding Kaldera
2. Dataran Kaldera
3. Kerucut Gunungapi (termasuk Kerucut Gunungapi
Sekunder, Kerucut Gunungapi Parasiter)
4. Kubah Lava
5. Perbukitan/Bukit Intrusi (Boss, Stock, Lakolit,
Lopolit)
6. Bukit Jenjang Gunungapi (volcanic neck)
7. Perbukitan Sisa Gunungapi (volcanic skeleton)
8. Kawah Erupsi, Fumarol, Solfatar
9. Punggungan Korok
10. Punggungan Aliran Lava
11. Punggungan Aliran Lahar
12. Punggungan Aliran Piroklastik
13. Dataran/Kipas Aliran Lava
14. Dataran/Kipas Aliran Lahar
15. Dataran/Kipas Aliran Piroklastik
16. Dataran Kaki Gunungapi
17. Dataran Antar-gunungapi
V. BENTANG ALAM PEGUNUNGAN KARST
Bentuk muka bumi:
1. Perbukitan/Plateau Karst
2. Bukit/Perbukitan/Kubah/Kerucut Karst
(Konikal, Sinoid, Pepino)
3. Bukit/Perbukitan Menara Karst (Mogote)
4. Lembah Dolina
5. Lembah Uvala
6. Lembah Polje
7. Lembah Kering
8. Dataran Karst
VI. BENTANG ALAM DATARAN SUNGAI DAN DANAU
Bentuk muka bumi:
1. Dataran/Kipas Aluvial
2. Dataran/Kipas Koluvial
3. Dataran Banjir
4. Punggungan Tanggul Alam
5. Cekungan Rawa Belakang
6. Dataran Teras Sungai
7. Dataran Pantai Danau
8. Dataran Dasar Danau

VII. BENTANG ALAM DATARAN PANTAI, DELTA DAN LAUT


Bentuk muka bumi:
1. Dataran Pantai (beach)
2. Punggungan Pantai (beach ridge)
3. Cekungan Laguna
4. Punggungan Gosong Tombolo
5. Punggungan Gosong Spit
6. Bukit Menara Pantai (stack)
7. Dataran Teras Laut (marine terrace)
8. Paparan Terumbu Karang
9. Dataran Teras Terumbu (terangkat)
10. Punggungan Gumuk Pantai (sand
dunes, barchan dunes)
11. Dataran Pasang-surut (Estuari atau Delta)
VIII. BENTANG ALAM GURUN

Bentuk muka bumi:


1. Punggungan/Bukit Gumuk Pasir (sand
dunes, barchan dunes)
2. Dataran Gurun
IX. BENTANG ALAM GLASIAL

Bentuk muka bumi:


1. Perbukitan/Dataran Morena
2. Dataran Teras Glasial
3. Lembah Cirques
4. Lembah Aliran Glasial (termasuk
Lembah Gantung)
5. Punggungan Arete

Adapun aspek-aspek penunjang dalam pembagian satuan geomorfologi yaitu :

1) Morfografi yang meliputi sungai, dataran, perbukitan, dan pegunungan, dll.

2) Morfometri yang meliputi kemiringan dan bentuk lereng, ketinggian dan beda

tinggi, dll.

3) Morfogenetik yang meliputi jenis batuan, tanah, struktur-struktur geologi,

dan tingkat pelapukan/ erosi berhubungan dengan lingkungan/ kehidupan

di sekitarnya).

a. Morfografi

Morfografi adalah aspek geomorfologi yang deskriptif pada suatu area

dataran, perbukitan, dan pegunungan. Pencarian karakteristik morfografi ini

sangat berkaitan erat dengan orde-orde sungai, panjang sungai, keliling sungai dan

luas sungai. Berdasarkan orde-orde sungai, kita dapat mengetahui nilai indeks

percabangan. Dari data panjang segmen sungai dan luas sungai, kita dapat

mengetahui kerapatan aliran.

Dalam Djauhari Noor (2012), tahapan pada perkembangan sungai terbagi

dari beberapa proses yaitu :

1)Tahapan Awal (Initial Stage) , tahap awal suatu sungai seringkali dicirikan

oleh sungai yang belum memiliki orde dan belum teratur seperti lazimnya
suatu sungai. Air terjun, danau, arus yang cepat dan gradien sungai yang

bervariasi merupakan ciri-ciri sungai pada tahap awal. Bentangalam

aslinya, seringkali memperlihatkan ketidakteraturan, beberapa diantaranya

berbeda tingkatannya, arus alirannnya berasal dari air runoff ke arah suatu

area yang masih membentuk suatu depresi (cekungan) atau belum

membentuk lembah. Sungai pada tahapan awal umumnya berkembang di

daerah dataran pantai (coastal plain) yang mengalami pengangkatan atau

diatas permukaan lava yang masih baru / muda dan gunungapi, atau

diatas permukaan pediment dimana sungainya mengalami peremajaan

(rejuvenation).

2) Tahapan Muda yaitu sungai yang termasuk dalam tahapan muda adalah

sungai-sungai yang aktivitas aliran sungainya mengerosi kearah vertikal.

Aliran sungai yang menmpati seluruh lantai dasar suatu lembah.

Umumnya profil lembahnya membentuk seperti huruf ”V”. Air terjun dan

arus yang cepat mendominasi pada tahapan ini.

3) Tahapan Dewasa yaitu tahap awal dari sungai dewasa dicirikan oleh

mulai adanya pembentukan dataran banjir secara setempat setempat dan

semakin lama semakin lebar dan akhirnya terisi oleh aliran sungai yang

berbentuk meander, sedangkan pada sungai yang sudah masuk dalam tahapan

dewasa, arus sungai sudah membentuk aliran yang berbentuk meander,

penyisiran kearah depan dan belakang memotong suatu dataran banjir

(flood plain) yang cukup luas sehingga secara keseluruhan ditempati oleh

jalur-jalur meander. Pada tahapan ini aliran arus sungai sudah


memperlihatkan keseimbangan antara laju erosi vertikal dan erosi lateral

(Gambar 4)

Gambar 4. Klasifikasi bentuk muka bumi untuk peta geomorfologi skala


1:25.000 (peta dasar: peta topografi)

Pola perubahan bentuk alur sungai yang semula linear dan kemudian

menjadi meander. Proses perubahan sungai dari linear ke meander disebabkan

oleh sifat erosi vertikal berubah menjadi erosi lateral (Noor, 2012) .

1) Tahapan Tua yaitu pada tahapan ini dataran banjir diisi sepenuhnya oleh

meander dan lebar dari dataran banjir akan beberapa kali lipat dari luas

meander belt. Pada umumnya dicirikan oleh danau tapal kuda (oxbow lake)

dan rawa-rawa (swampy area). Erosi lateral lebih dominan dibandingkan

erosi vertikal.

2) Tahapan Peremajaaan Sungai (Rejuvenation) yaitu setiap saat dari

perkembangan suatu sungai dari satu tahap ke tahap lainnya, perubahan

mungkin terjadi dimana kembalinya dominasi erosi vertikal sehingga

sungai dapat diklasifikasi menjadi sungai dalam tahapan muda. Sungai

dewasa dapat mengalami pengikisan kembali ke arah vertikal untuk kedua

kalinya karena adanya pengangkatan dan proses ini disebut dengan perenajaan

sungai. Proses peremajaan sungai adalah proses terjadinya erosi ke arah


vertikal pada sungai berstadia dewasa akibat pengangkatan dan stadia

sungai kembali menjadi stadia muda (Gambar 5).

Gambar 5. Proses perkembangan sungai oleh aktivitas arus sungai, mulai stadia awal,
stadia muda, stadia dewasa, dan stadia tua, (Noor, 2012).

Dengan berjalannya waktu, suatu sistem jaringan sungai akan

membentuk pola pengaliran tertentu diantara saluran utama dengan cabang-

cabangnya dan pembentukan pola pengaliran ini sangat ditentukan oleh faktor

geologinya. Pola pengaliran sungai dapat diklasifikasikan atas dasar bentuk dan

teksturnya. Bentuk atau pola berkembang dalam merespon terhadap

topografi dan struktur geologi bawah permukaannya. Saluran-saluran sungai

berkembang ketika air permukaan (surface runoff) meningkat dan batuan

dasarnya kurang resisten terhadap erosi (Noor, 2012).


Setiap wilayah memiliki pola aliran sungai yang berbeda yang dipengaruhi

oleh struktur, kemiringan topografi , dan litologi batuannya, Adapun pola aliran

yaitu :

1) Pola Aliran Dendritik

Pola aliran dendritik adalah pola aliran yang cabang-cabang sungainya

menyerupai struktur pohon. Pada umumnya pola aliran sungai dendritik

dikontrol oleh litologi batuan yang homogen. Pola aliran dendritik dapat

memiliki tekstur/kerapatan sungai yang dikontrol oleh jenis batuannya.

Sebagai contoh sungai yang mengalir diatas batuan yang tidak/kurang resisten

terhadap erosi akan membentuk tekstur sungai yang halus (rapat) sedangkan

pada batuan yang resisten (seperti granit) akan membentuk tekstur kasar

(renggang).

2) Pola Aliran Radial

Pola aliran radial adalah pola aliran sungai yang arah alirannya

menyebar secara radial dari suatu titik ketinggian tertentu, seperti puncak

gunungapi atau bukir intrusi. Pola aliran radial juga dijumpai pada bentuk-

bentuk bentangalam kubah (domes) dan laccolith. Pada bentangalam ini pola

aliran sungainya kemungkinan akan merupakan kombinasi dari pola radial dan

annular.

3) Pola Aliran Rectangular

Pola rectangular umumnya berkembang pada batuan yang

resistensi terhadap erosinya mendekati seragam, namun dikontrol oleh kekar

yang mempunyai dua arah dengan sudut saling tegak lurus. Kekar pada umumnya

kurang resisten terhadap erosi sehingga memungkinkan air mengalir dan


berkembang melalui kekar-kekar membentuk suatu pola pengaliran dengan

saluran salurannya lurus-lurus mengikuti sistem kekar. Pola aliran rectangular

adalah pola aliran sungai yang dikendalikan oleh struktur geologi, seperti

struktur kekar (rekahan) dan sesar (patahan). Sungai rectangular dicirikan oleh

saluran-saluran air yang mengikuti pola dari struktur kekar dan patahan.

4) Pola Aliran Trellis

Geometri dari pola aliran trellis adalah pola aliran yang menyerupai

bentuk pagar yang umum dijumpai di perkebunan anggur. Pola aliran trellis

dicirikan oleh sungai yang mengalir lurus disepanjang lembah dengan cabang-

cabangnya berasal dari lereng yang curam dari kedua sisinya. Sungai utama

dengan cabang-cabangnya membentuk sudut tegak lurus sehingga menyerupai

bentuk pagar. Pola aliran trellis adalah pola aliran sungai yang berbentuk pagar

(trellis) dan dikontrol oleh struktur geologi berupa perlipatan sinklin dan antilin.

Sungai trellis dicirikan oleh saluran-saluran air yang berpola sejajar, mengalir

searah kemiringan lereng dan tegak lurus dengan saluran utamanya. Saluran

utama berarah se arah dengan sumbu lipatan (Gambar 6).

Gambar 6. Pola Aliran Sungai: Dendritik, Rectangular, Radial dan Trellis (Noor, 2012)
5) Pola Aliran Centripental

Pola aliran centripetal merupakan ola aliran yang berlawanan dengan pola

radial, dimana aliran sungainya mengalir kesatu tempat yang berupa cekungan

(depresi). Pola aliran centripetal merupakan pola aliran yang umum dijumpai di

bagian barat dan baratlaut Amerika, mengingat sungai-sungai yang ada

mengalir ke suatu cekungan, dimana pada musim basah cekungan menjadi

danau dan mengering ketika musin kering. Dataran garam terbentuk ketika air

danau mengering.

6) Pola Aliran Annular

Pola aliran annular adalah pola aliran sungai yang arah alirannya menyebar

secara radial dari suatu titik ketinggian tertentu dan ke arah downstream

aliran kembali bersatu. Pola aliran annular biasanya dijumpai pada morfologi

kubah atau intrusi loccolith.

7) Pola Aliran Paralel (Pola Aliran Sejajar)

Sistem pengaliran paralel adalah suatu sistem aliran yang terbentuk

oleh lereng yang curam/terjal. Dikarenakan morfologi lereng yang terjal

maka bentuk aliran-aliran sungainya akan berbentuk lurus-lurus mengikuti arah

lereng dengan cabang-cabang sungainya yang sangat sedikit. Pola aliran paralel

terbentuk pada morfologi lereng dengan kemiringan lereng yang seragam. Pola

aliran paralel kadangkala meng-indikasikan adanya suatu patahan besar yang

memotong daerah yang batuan dasarnya terlipat dan kemiringan yang curam.

Semua bentuk dari transisi dapat terjadi antara pola aliran trellis, dendritik, dan

paralel.
b. Morfometri

Morfometri merupakan penilaian kuantitatif terhadap bentuk lahan, sebagai

aspek pendukung morfografi dan morfogenetik (Tabel 2), sehingga klasifikasi

semakin tegas dengan angka-angka yang jelas (Zuidam, 1985).

Lereng merupakan bagian dari bentuklahan yang dapat

memberikan informasi kondisi-kondisi proses yang berpengaruh terhadap

bentuklahan, dengan memberikan penilaian terhadap lereng tersebut dapat ditarik

kesimpulan dengan tegas tata nama satuan geomorfologi secara rinci (Tabel 3).

Ukuran penilaian lereng dapat dilakukan terhadap kemiringan lereng dan panjang

lereng, sehingga tata nama satuan geomorfologi dapat lebih dirinci dan

tujuan-tujuan tertentu, seperti perhitungan tingkat erosi, kestabilan lereng dan

perencanaan wilayah dapat dikaji lebih lanjut (Tabel 4).

Dalam menentukan pembentukan kemiringan lereng dan bentuk lahan

secara kuantitatif, maka memalui perhitungan yang dikelompokkan berdasarkan

jumlah persen dan besar sudut lereng, perhitungan tersebut daoat dilihat seperti

berikut :

Rumus kemiringan lereng dari peta topografi dan foto udara:

( n−1 ) × IK
S= … … … ….. … … … …(1)
JH × SP

Keterangan: S : Kemiringan lereng


n : Jumlah kontur yang terpotong garis sayatan
IK : Interval kontur (m)
JH: Jarak horizontal peta (cm)
SP: Skala peta
Tabel 2. Kelas lereng, dengan sifat-sifat proses dan kondisi alamiah yang kemungkinan
terjadi dan usulan warna untuk peta relief secara umum (disadur dan
disederhanakan dari Van Zuidam, 1985)
Kelas Lereng Sifat-sifat proses dan kondisi alamiah Warna
o Datar hingga hampir datar ; tidak ada
0 – 2
proses denudasi yang berarti Hijau
(0-2 %)
o Agak miring ; Gerakan tanah kecepatan rendah,
2 – 4
erosi lembar dan erosi alur (sheet and rill Hijau Muda
(2-7 %)
erosion) rawan erosi.
0 Miring ; sama dengan di atas, tetapi dengan
4 – 8
besaran yang lebih tinggi. Sangat rawan erosi Kuning
(7 – 15 %)
tanah.
0 Agak curam ; Banyak terjadi gerakan tanah,
8 – 16
dan erosi, terutama longsoran yang bersifat Jingga
(15 -30 %)
nendatan.
0 Curam ; Proses denudasional intensif, erosi
16 – 35
dan gerakan tanah sering terjadi. Merah Muda
(30 – 70 %)
0 Sangat curam ; Batuan umumnya mulai
35 – 55
tersingkap, proses denudasional sangat Merah
(70 – 140 %)
intensif, sudah mulai menghasilkan endapan
0 rombakan
Curam sekali(koluvial)
batuan tersingkap; proses
>55
denudasional sangat kuat, rawan jatuhan batu, Ungu
(>140 %)
tanaman jarang tumbuh (terbatas).

Tabel 3. Klasifikasi relief menurut Van Zuidam (1985)

Satuan, relief 0 Beda Tinggi (m)


Sudut Lereng ( )
Datar - Hampir datar 0-2 <5
Bergelombang/ miring landai 3-7 5–50
Bergelombang/miring 8-13 50 –75
Berbukit bergelombang/miring 14-20 75–200
Berbukit tersayat tajam/terjal 21-55 200–500
Pegunungan tersayat tajam/sangat tajam 56-140 500-1.000
Pegunungan/sangat curam > 140 > 1.000

Tabel 4. Hubungan ketinggian absolut dengan morfografi (Zuidam,1985)

Ketinggian Absolut Unsur Morfografi


< 50 meter Dataran rendah
50 meter -100 meter Dataran rendah pedalaman
100 meter -200 meter Perbukitan rendah
200 meter - 500 meter Perbukitan
500 meter - 1.500 meter Perbukitan tinggi
1.500 meter - 3.000 meter Pegunungan
> 3.000 meter Pegunungan tinggi
c. Morfogenetik

Morfogenetik merupakan asal-usul pembentukan bentuk lahan dan

perkembanganya. Proses ini dapat dibedakan berdasarkan tenaga geomorfologi

pembentukan bentuk laban yaitu proses fluvial, proses marin, proses aeolin, proses

glasial, proses solusional, proses vulkanis dan proses tektonik. (Verstappen 1983

dalam Noor, 2012). Proses yang berkembang terhadap pembentukkan

permukaan bumi tersebut yaitu proses endogen dan proses eksogen.

Menurut Budi Brahmantyo dan Bandono (2006), bahwa genesa morfologis

merupakan pembentukan dari proses endogen /struktur geologi (pegunungan

lipatan, pegunungan plateau/lapisan datar, Pegunungan Sesar, dan gunungapi) dan

proses-proses eksogen (pegunungan karst, dataran sungai dan danau, dataran

pantai, delta, dan laut, gurun, dan glasial), yang kemudian dibagi ke dalam satuan

bentuk muka bumi lebih detil yang dipengaruhi oleh proses-proses eksogen.

1) Proses Endogen

Proses endogen adalah proses yang dipengaruhi oleh kekuatan/tenaga dari

dalam kerak bumi, sehingga merubah bentuk permukaan bumi. Proses dari dalam

kerak bumi tersebut antara lain kegiatan tektonik yang menghasilkan patahan

(sesar), pengangkatan (lipatan) dan kekar. Selain kegiatan tektonik, proses

kegiatan magma dan gunungapi (vulkanik) sangat berperan merubah bentuk

permukaan bumi, sehingga membentuk perbukitan intrusi dan gunung api.

2) Proses Eksogen

Proses eksogen adalah proses yang dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar

bumi, seperti iklim, biologi dan artifisial. Proses yang dipengaruhi oleh iklim

65
dikenal sebagai proses fisika dan proses kimia, sedangkan proses yang

dipengaruhi oleh biologi biasanya terjadi akibat dari lebatnya vegetasi,

seperti hutan atau semak belukar dan kegiatan binatang.

Dari beberpa proses yang mempengaruhi baik dari proses endogen dan

eksogen maka akan membentuk bentuk lahan berikut :

1) Plato Dataran tinggi (disebut juga plateau atau plato) adalah dataran yang

terletak pada ketinggian di atas 200 m . Dataran tinggi terbentuk sebagai hasil

erosi dan sedimentasi. Wilayah tinggi yang relative datar sebagi hasil proses

angkatan mendatar, dan paling tidak pada salah satu sisinya dibatasi oleh

lereng terjal kearah bawah atau gawir.

2) Mesa Bukit atau gunung terisolir berbentuk meja, merupakan sisa denudasi

dengan lapisan batuan datar yang keras sebagai penutupnya dan dengan

ukuran yang lebih kecil dan kurang teroreh dibandingkan dengan plateau.

Posisinya didepan plateau (bila plateaunya ada).

3) Bute Mesa yang tererosi lebih lanjut sehingga bagian punggung yang

mendatar tinggal sedikit (kecil), bagian lereng tererosi lebih dominan.

4) Hogback Bentuk landform karena proses angkatan atau lipatan dan patahan,

merupakan perbukitan dan atau pegunungan, terbentuk karena adanya

pemiringan (dipping) yang curam, umumnya lebih dari 35%, dan disertai

dengan terjadinya patahan sehingga terbentuk gawir pada lereng belakangnya.

5) Cuesta Pertemuan dua permukaan yang melereng dibentuk oleh dengan landai

memiringkan sedimen batu strata di homoclinal struktur. cuesta punya landaian

terjal, dimana lapisan batu diekspos di tepi mereka, memanggil tebing curam

65
atau, jika banyak terjal, tebing curam. biasanya erosion-resistant lapis batu juga

punya banyak landaian di sebelah lain pertemuan dua permukaan yang

melereng memanggil 'mencelupkan landaian'. antiklinal di dalam muka lereng

lebih curam dan bagian luar mengikis sinklinal.

2. Stratigrafi

Stratigrafi adalah studi mengenai sejarah, komposisi dan umur relatif serta

distribusi perlapisan batuan dan interpretasi lapisan-lapisan batuan untuk

menjelaskan sejarah bumi. Dari hasil perbandingan atau korelasi antar lapisan

yang berbeda dapat dikembangkan lebih lanjut studi mengenai litologi

(litostratigrafi), kandungan fosil (biostratigrafi) dan umur relatif maupun

absolutnya (kronostratigrafi) yang diperuntukkan untuk mengetahui luas

penyebaran lapisan batuan (Noor, 2012).

Penamaan satuan stratigrafi daerah penelitian mengacu pada Sandi

Stratigrafi Indonesia, Penamaan ini berdasarkan pada ciri ciri batuan yang diamati

dilapangan serta hasil analisis laboratorium. Pada hakekatnya ada hubungan

tertentu antara kejadian dan aturan batuan di alam, dalam kedudukan ruang dan

waktu geologi. Stratigrafi membahas aturan, hubungan, kejadian lapisan serta

tubuh batuan di alam. Sandi stratigrafi dimaksudkan untuk memberikan

pengarahan kepada para ahli geologi yang bekerja mempunyai persepsi yang

sama dalam cara penggolongan stratigrafi. Sandi stratigrafi memberikan

kemungkinan untuk tercapainya keseragaman dalam tatanama satuan-satuan

stratigrafi. Pada dasarnya, Sandi Stratigrafi mengakui adanya satuan

lithostratigrafi, satuan litodemik, satuan biostratigrafi, satuan sekuen

65
stratigrafi, satuan kronostratigrafi dan satuan geokronologi. Sandi ini dapat

dipakai untuk semua macam batuan (Komisi SSI, 1996).

1) Satuan Litostratigrafi

Pembagian Litostratigrafi dimaksud untuk menggolongkan batuan di bumi

secara bersistem menjadi satuan-satuan bernama yang bersendi pada ciri-ciri

litologi. Pada Satuan Litostratigrafi penentuan satuan didasarkan pada ciri-ciri

batuan yang dapat diamati di lapangan. Penentuan batas penyebaran tidak

tergantung kepada batas waktu (Komisi SSI, 1996).

Ciri-ciri litologi meliputi jenis batuan, kombinasi jenis batuan,

keseragaman gejala litologi batuan dan gejala-gejala lain tubuh batuan di

lapangan.

Satuan Litostratigrafi dapat terdiri dari batuan sedimen, metasedimen,

batuan asal gunungapi (pre-resen) dan batuan hasil proses tertentu serta kombinasi

daripadanya. Dalam hal pencampuran asal jenis batuan oleh suatu proses tertentu

yang sulit untuk dipisahkan maka pemakaian kata “Komplek” dapat dipakai

sebagai padanan dari tingkatan satuannya (misalnya Komplek Lukulo). Satuan

Litostratigrafi pada umumnya sesuai dengan Hukum Superposisi, dengan

demikian maka batuan beku, metamorfosa yang tidak menunjukkan sifat

perlapisan dikelompokan ke dalam Satuan Litodemik.

Sebagaimana halnya mineral, maka fosil dalam satuan batuan diperlakukan

sebagai komponen batuan.

Adapun beberapa tingkat satuan lithostratigrafi resmi yaitu :

65
a) Kelompok ialah suatu litostratigrafi resmi setingkat lebih tinggi daripada

Formasi dan karenanya terdiri dari dua Formasi atau lebih yang menunjukkan

keseragaan ciri-ciri litologi.

b) Formasi adalah satuan dasar dalam pembagian satuan litostartigrafi, formasi

harus memiliki keseragaman atau ciri-ciri litologi yang nyata, baik terdiri dari

satu macam jenis batuan, perulangan dari dua jenis batuan atau lebih.

c) Anggota ialah bagian dari suatu Formasi yang secara litologi berbeda dengan

ciri umum formasi yang bersangkutan, serta memiliki penyebaran lateral yang

berarti,. Anggota selalu merupakan bagian dari suatu Formasi, tetapi Formasi

tidak selalu perlu mempunyai anggota, kalau suatu formasi mempunyai satu

Anggota atau lebih, maka bagian yang lain dari formasi tersebut tidak perlu

dinyatakan sebagai Anggota. Batas penyebaran lateral (pelamparan) suatu

Anggota tidak boleh melampaui batas pelamparan Formasi.

2) Satuan Litodemik

Pembagian Satuan Litodemik dimaksudkan untuk menggolongkan batuan

beku, metamorf dan batuan lain yang terubah kuat menjadi satuan-satuan bernama

yang bersendi kepada ciri-ciri litologi.

Batuan penyusunan Satuan Litodemik tidak mengikuti kaidah Hukum

Superposisi dan kontaknya dengan satuan litostratigrafi dapat bersifat extrusif,

intrusif, metamorfosa atau tektonik.

Urutan tingkat Satuan Litodemik resmi, masing-masing dari besar ke kecil

yaitu :

65
a) Supersuite adalah satuan Litodemik setingkat lebih tinggi dari pada Suite, oleh

karenanya Supersuite terdiri dari dua Suite atau lebih. Nama yang populer

seperti zona pada zona mineralisasi adalah nama satuan tidak resmi.

b) Suite adalah satuan litodemik resmi yang setingkat lebih tinggi dari pada

Litodem, oleh karenanya terdiri dari dua atau lebih asosiasi litodem yang

serumpun. Pengelompokkan ke dalam Suite ditujukan untuk Satuan Litodemik

yang memperlihatkan hubungan secara alamiah dari asosiasi satuan litodemik

yang mempunyai kesamaan ciri litologinya yang sejenis dan kesamaan genesa,

misalnya Suite Metamorfosa Bayat terdiri dari Litodem Filit, Litodem Sekis

dan Litodem Genis.

c) Litodem adalah satuan dasar dalam pembagian Satuan Litodemik, satuan di

bawah litodem merupakan satuan tidak resmi. Litodem harus mempunyai

keseragaman ciri litologi yang dapat berupa batuan intrusi, extrusi atau

metamorf dan sedapat mungkin mempunyai keseragaman litologi. Satuan ini

dapat tersingkap di permukaan dan dapat berlanjut ke bawah permukaan serta

dapat dipetakan, satuan yang didefenisikan berdasarkan analisis kimia/sifat

kimiawi maupun geofisika merupakan satuan tidak resmi.

3) Satuan Biostratigrafi

Pembagian biostratigrafi dimaksud untuk mengolongkan lapisan-lapisan di

bumi secara bersistem menjadi satuan-satuan bernama berdasarkan kandungan

dan penyebaran fosil, satuan biostratigrafi ialah tubuh lapisan batuan yang

dipersatukan berdasar kandungan fosil atau ciri-ciripaleontologi sebagai sendi

pembeda terhadap tubuh batuan sekitarnya (Komisi SSI, 1996).

65
Berdasarkan ciri satuan paleontologi yang dijadikan sendi satuan

biostratigrafi, dibedakan : Zona Kumpulan, Zona Kisaran, Zona Puncak, Zona

Selang, Zona Rombakan dan Zona Padat

a) Zona Kumpulan

Zona Kumpulan ialah satu lapisan atau kesatuan sejumlah lapisan yang

terdiri oleh kumpulan alamiah fosil yang khas atau kumpulan sesuatu jenis fosil,

kegunaan zona kumpulan, selain sebagai penunjuk lingkungan kehidupan purba

dapat dipakai sebagai penciri waktu, Batas dan kelanjutan zona kumpulan

ditentukan oleh batas-batas terdapat kebersamaannya (kemasyarakatan) unsur-

unsur utama dalam kesinambungan yang wajar. Nama zona kumpulan harus

diambil dari satu unsur fosil atau lebih yang menjadi penciri utama

kumpulannya.

b) Zona Kisaran

Zona Kisaran ialah tubuh lapisan batuan yang mencakup kisaran

stratigrafi unsur terpilih dari kumpulan seluruh fosil yang ada, kegunaan zona

kisaran terutama ialah untuk korelasi tubuh-tubuh lapisan batuan dan sebagai

dasar untuk penempatan batuan-batuan dalam sekala waktu geologi, batas dan

kelanjutan zona kisaran ditentukan oleh penyebaran tegak dan mendatar takson

(takson-takson) yang mencirikannya. Nama zona kisaran diambil dari satu

jenis fosil atau lebih yang menjadi ciri utama zona.

c) Zona Puncak

Zona Puncak ialah tubuh lapisan batuan yang menunjukkan perkembangan

maksimum suatu takson tertentu.Kegunaan Zona Puncak dalam hal tertentu ialah

65
untuk menunjukkan kedudukan kronostratigrafi tubuh lapisan batuan dan dapat

dipakai sebagai petunjuk lingkungan pengendapan purba, iklim purba.Batas

vertikal dan lateral Zona Puncak sedapat mungkin bersifat objektif. Nama Zona

Puncak diambil dari nama takson yang berkembang secara maksimum dalam

Zona tersebut.

d) Zona Selang

Zona Selang ialah selang stratigrafi antara pemunculan awal/akhir dari dua

takson penciri. Kegunaan zona selang pada umumnya ialah untuk korelasi

tubuh-tubuh lapisan batuan, batas atas atau bawah suatu zona selang ditentukan

oleh pemunculan awal atau akhir dari takson-takson penciri. Nama zona selang

diambil dari nama-nama takson penciri yang merupakan batas atas dan bawah

zona tersebut.

e) Zona Rombakan

Zona Rombakan adalah tubuh lapisan batuan yang ditandai oleh banyaknya

fosil rombakan, berbeda jauh daripada tubuh lapisan batuan di atas dan di

bawahnya, zona rombakan umumnya khas berhubungan dengan penurunan muka

air laut relatif yang cukup besar dan sering bersifat lokal, regional sampai global.

zona rombakan ini merupakan satuan biostratigrafi tak resmi.

f) Zona Padat

Zona Padat ialah tubuh lapisan batuan yang ditandai oleh melimpahnya fosil

dengan kepadatan populasi jauh lebih banyak daripada tubuh batuan di atas dan di

bawahnya. Zona padat ini umumnya diakibatkan oleh sedikitnya pengendapan

material lain selain fosil.

65
4) Satuan Sikuenstratigrafi

Pembagian sikuenstratigrafi ialah penggolongan lapisan batuan secara

bersistem menjadi satuan bernama berdasarkan satuan genesa yang dibatasi, di

bagian bawah dan atasnya oleh bidang ketidakselarasan atau keselarasan

padanannya. Pembagian ini merupakan kerangka untuk menyusun urutan

peristiwa geologi. Satuan sikuenstratigrafi ialah suatu tubuh lapisan batuan yang

terbentuk dalam satuan waktu pada satu daur perubahan muka-laut relatif (Komisi

SSI, 1996).

Sikuen dapat ditentukan berdasarkan data singkapan, data seismik, data

pemboran atau gabungan dari padanya. Lamina, gabungan lamina, lapisan,

gabungan lapisan, parasikuen, gabungan parasikuen merupakan unsur-unsur

pembentuk sikuen tetapi bukan merupakan satuan sikuenstratigrafi tersendiri.

Urutan tingkat satuan mencerminkan tingkat besaran dan lamanya waktu selang

suatu daur perubahan muka-laut relatif setempat. Penyebaran satuan

sikuenstratigrafi didasarkan hanya oleh kelanjutan bidang batas satuan dan tidak

dibatasi oleh ketebalan, besaran interval waktu atau kesamaan fisik batuan.

5) Satuan Kronostratigrafi

Pembagian kronostratigrafi ialah penggolongan lapisan batuan secara

bersistem menjadi satuan bernama berdasarkan interval waktu goelogi. Interval

waktu geologi ini dapat ditentukan berdasarkan geokronologi atau metode lain

yang menunjukkan kesamaan waktu. Pembagian ini merupakan kerangka

untuk menyusun urutan peristiwa geologi secara lokal, regional dan global

(Komisi SSI, 1996).

65
Dalam praktek tidak selalu mungkin untuk mendapatkan suatu sayatan

menerus yang dapat dipergunakan sebagai stratotipe satuan. Karena itu suatu

stratotipe satuan umumnya merupakan penampang majemuk yang tersusun dari

beberapa sayatan di antara stratotipe batas.

Stratotipe batas dapat ditentukan dengan satu atau lebih metode penentuan

batas waktu. Keragaman metode yang dipakai akan lebih memastikan kebenaran

stratotipe batas, stratotipe batas harus dipilih dari suatu sayatan stratigrafi hasil

pengendapan yang menerus tanpa adanya rumpang, tubuh batuan yang terdapat

antara batas atas dan batas bawah suatu satuan kronostratigrafi dapat berbeda ciri

litologinya dari satu tempat ke tempat lain.

Untuk pengusulan satuan kronostratigrafi resmi diperlukan pernyataan

tentang maksud mendirikan suatu satuan,pemilihan nama satuan, defenisi batas

atas dan bawah satuan di lokasitipe, ciri pengenal dan dasar penentuan umur

(mutlak) satuan, korelasi dan penerbitan Ilmiah.

3. Kolom Stratigrafi

Kolom statigrafi adalah kolom yang menggambarkan hubungan antar batuan

yang dimulai dari termuda hingga tertua didasarkan pada umur geologi, yang

berhubungan dengan ketebalam lapisan batuan, serta genesa pembentuk batuan itu

sendiri, adapun pembuatan dalam kolaom stratigrafi yaitu tersusun atas kolom

kolom tambahan yang berisi informasi dari batuan tersebut dengan atribut lainnya.

a. Unsur Unsur Kolom Stratigrafi

Kolom startigrafi terdiri dari beberapa unsur yang umumnya meliputi kolom

sebagai berikut :

65
a) Kolom umur

Kolom umur adalah kolom yang digunakan untuk mengisi keterangan umur

batuan, kolom ini diisi berasarkan umur batuan yang dihasilkan dari fosil

menggunakan metode paleotologi, pengambilan data sebaiknya dilakukan dengan

tigal level satuan batuan.

b) Kolom satuan batuan

Kolom satuan batuan adalah kolom yang berisi informasi tentang satuan

batuan yang telah dilakukan penelitian baik dari hasil pemetaan geologi ataupun

dari geologi khusus.

c) Kolom ketebalan

Kolom ketebalan adalah kolom yang digunakan untuk mengisi informasi

tentang ketebalan suatu lapisan batuan yang didasarkan dari hasil dari rekontruksi

penampang geologi dan stratigrafi terukur.

d) Kolom litologi

Kolom litologi bersi informasi tentang litologi batuan yang telah ditemukan

dilapangan, dengan mengunakan simbol batuan yang telah baku, kebanyakan

geologist mengisi kolom litologi ini dengan memperhatikan :

1) Simbol litologi

2) Simbol batas ketidaselarasan

3) Simbol perubahan fasies seperti menjemari, melensa, melidah

4) Simbol kandungan mineral, kandungan fosil

5) Ekspresi ukuran butir dan ekspresi tingkat pelapukan batuan

65
6) Kontak intrusi; perlu ditekankan batuan beku intrusi dengan batuan beku yang

tergolong pyroklastic flow. Kadang-kadang sulit digambarkan.

e) Kolom deskripsi

Kolom deskripsi berisi tentang deskripsi satuan batuan yang diberikan

sesuai dengan kebutuhan secara detail pada masing masing batuan ataupun secara

umum mewakili satuan batuan disuatu wilayah.

f) Kolom kandungan fosil

Kolom ini berisi informasi tentang fosil yang repsentatif untuk menunjang

penentuan umur dan lingkungan pengandapan.

g) Kolom lingkungan pengandapan

Lingkungan pengendapan dapat ditentukan dari hasil analisis yang

berdasarkan fosil ataupun analisis stratigrafi, dipengaruhi oleh penekanan

pemetaan geologi (misalnya penekanan tektonik, basin, proses sedimenasi, fasies

dsb).

b. Pengukuran Startigrafi

Pengukuran stratigrafi dimaksudkan untuk memperoleh gambaran

terperinci urut-urutan perlapisan satuan stratigrafi, ketebalan setiap satuan

stratigrafi, hubungan stratigrafi, sejarah sedimentasi dalam arah vertikal, dan

lingkungan pengendapan. Mengukur suatu penampang stratigrafi dari singkapan

mempunyai arti penting dalam penelitian geologi. Pengukuran stratigrafi

biasanya dilakukan terhadap singkapan singkapan yang menerus, terutama

yang meliputi satu atau lebih satuan satuan stratigrafi yang resmi. Metoda

pengukuran penampang stratigrafi banyak sekali ragamnya. Namun demikian

65
metoda yang paling umum dan sering dilakukan di lapangan adalah dengan

menggunakan pita ukur dan kompas. Metoda ini diterapkan terhadap singkapan

yang menerus atau sejumlah singkapan-singkapan yang dapat disusun menjadi

suatu penampang stratigrafi (Noor, 2012).

Metoda pengukuran stratigrafi dilakukan dalam tahapan sebagai berikut

(Gambar 7):

1) Menyiapkan peralatan untuk pengukuran stratigrafi, antara lain: pita ukur

(± 25 meter), kompas, tripot (optional), kaca pembesar (loupe), buku

catatan lapangan, tongkat kayu sebagai alat bantu.

2) Menentukan jalur lintasan yang akan dilalui dalam pengukuran

stratigrafi, jalur lintasan ditandai dengan huruf B (Bottom) adalah mewakili

bagian Bawah sedangkan huruf T (Top) mewakili bagian atas.

3) Tentukan satuan-satuan litologi yang akan diukur. Berilah patok-patok atau

tanda lainnya pada batas-batas satuan litologinya.

Gambar 7. Sketsa pengukuran penampang stratigrafi (Noor, 2012).

4) Pengukuran stratigrafi di lapangan dapat dimulai dari bagian bawah atau

atas.Unsur-unsur yang diukur dalam pengukuran stratigrafi adalah: arah

lintasan (mulai dari sta.1 ke sta.2; sta.2 ke sta.3. dst.nya), sudut lereng

(apabila pengukuran di lintasan yang berbukit), jarak antar station

65
pengukuran, kedudukan lapisan batuan, dan pengukuran unsur-unsur geologi

lainnya.

5) Jika jurus dan kemiringan dari tiap satuan berubah rubah sepanjang

penampang, sebaiknya pengukuran jurus dan kemiringan dilakukan pada alas

dan atap dari satuan ini dan dalam perhitungan dipergunakan rata-ratanya.

6) Membuat catatan hasil pengamatan disepanjang lintasan pengkuran

stratigrafi yang meliputi semua jenis batuan yang dijumpai pada lintasan

tersebut, yaitu: jenis batuan, keadaan perlapisan, ketebalan setiap lapisan

batuan, struktur sedimen (bila ada), dan unsur-unsur geologi lainnya yang

dianggap perlu. Jika ada sisipan, tentukan jaraknya dari atas satuan.

7) Data hasil pengukuran stratigrafi kemudian disajikan diatas kertas setelah

melalui proses perhitungan dan koreksi-koreksi yang kemudian

digambarkan dengan skala tertentu dan data singkapan yang ada

disepanjang lintasan di-plot-kan dengan memakai simbol-simbol geologi

standar.

8) Untuk penggambaran dalam bentuk kolom stratigrafi, perlu dilakukan

terlebih dahulu koreksi-koreksi antara lain koreksi sudut antara arah lintasan

dengan jurus kemiringan lapisan, koreksi kemiringan lereng (apabila

pengukuran di lintasan yang berbukit), perhitungan ketebalan setiap lapisan

satuan batuan dsb.

4. Batuan Beku

Batuan beku terbentuk karena proses pendinginan magma yang dapat terdiri

atas berbagai jenis batuan tergantung pada komposisi mineralnya. Magma

65
merupakan cairan silikat pijar yang terbentuk secara alamiah, mempunyai

temperatur yang tinggi (900o-1600oC) dan berasal dari bagian dalam bumi

yang disebut selubung bumi (mantel) bagian atas (Susanto, 2008)

Komposisi mineral pada batuan beku sangat berhubungan dengan reaksi

bowen, seri reaksi bowen adalah skema yang menunjukan urutan kristalisasi

mineral pembentuk batuan beku (Gambar 8).

Gambar 8. Bowen Reaction Series

Pada bagian seri reaksi tidak menerus menunjukkan bahwa mineral olivin

pertama kali terbentuk ditemperatur sangat tinggi,namun jika magma tersebut

jenuh terhadap SiO2 maka mineral piroksenlah yang terbentuk dahulu hal ini

disebut dengan “inconguent melting”, setelah olivin terbentuk akan mengalami

reaksi terhadap sisa larutan hingga memebentuk piroksen, proses penurunan

temperatur terus berlangsung hingga membentuk mineral yang sesuai dengan

temperaturnya, adapun mineral biotit adalah mineral yang terakhir terbentuk

dalam temperatur.

65
Pada bagian seri menerus mineral yang pertama terbentuk adalah mineral

yang pertamakali terbentuk pada temperatur tang tinggi yaitu anortit, mineral ini

terbentuk pada batuan beku basa seperti gabro atau basalt, serta albit adalah

mineral yang terakhir terbentuk pada temperatur paling rendah, mineral ini banyak

tersebar pada batuan asam seperti granit dan diorit, dalam hal ini anortit adalah

plagioklas yang kaya akan Ca “Calcit Plagioclas” sedangkan albit adalah

plagioklas yang kaya akan Na (Sodic plagioklas alkali plagioklas).

a. Pembagian genetik batuan beku

Pembagian batuan beku ini merupakan pembagian awal sebelum dilakukan

penggolongan batuan lebih lanjut, pembagian genetik batuan beku adalah sebagai

berikut :

1) Batuan Ekstrusi

Kelompok batuan ekstrusi terdiri dari semua material yang dikeluarkan ke

permukaan bumi baik didaratan ataupun di bawah permukaan laut. Material ini

mendingin dengan cepat, ada yang berbentuk padat, debu atau suatu larutan yang

kental dan panas, cairan ini biasa disebut lava. Bentuk dan sususnan kimia dari

lava mempunyai ciri tersendiri.

Ada dua tipe magma intrusi, yang pertama memiliki kandungan silika yang

rendah dan vikositas relatif rendah. Sebagai contoh adalah lava basaltik yang

sampai ke permukaan melalui celah dan setelah dipermukaan mengalami

pendinginan yang sangat cepat. Biasanya lava basaltik memiliki sifat sangat cair,

sehingga bila sampai ke permukaan akan menyebar dengan daerah yang sangat

luas.

65
Tipe kedua dari lava ini adalah bersifat asam, yang memiliki kandungan

silika yang tinggi dan vikositas relatif tinggi. Akibat dari cikositas ini bila sampai

ke permukaan akan menjadi suatu aliran sepanjang lembah. Viskostias yang tinggi

dan terbentuknya urat-urat pusat, ini akibat letusan gunung api dan berhubungan

dengan lava.

2) Batuan Intrusi

Proses batuan beku sangat berbeda dengan kegiatan batuan vulkanik, karena

perbedaan dari tempat terbentuknya dari kedua jenis ini, Tiga prinsip dari tipe

bentuk intrusi batuan beku, bentuk dasar dari geometri adalah :

a) Bentuk tidak beraturan

b) Bentuk tabular

c) Bentuk pipa

Dimana kontak diantara batuan intrusi dengan batuan yang diintrusi atau

daerah batuan, bila sejajar dengan lapisan batuan maka tubuh intrusi ini disebut

konkordan. Bila bentuk kontaknya kontras disebut diskordan atau memotong dari

lapisan masa batuan (Graha, 1987).

b. Tekstur dan Struktur batuan beku

1) Tekstur batuan beku

Tekstur batuan beku dibagi menjadi tiga golongan besar yaitu holokristalin,

merokristalin dan holohialin. Apabila batuan beku yang seluruh komponennya

terdiri dari mineral dinamakan tekstur holokristalin. Batuan semacam ini pada

umumnya mengkristal dibagian dalam dari kulit bumi. Bila pengkristalan terjadi

dekat permukaan bumi, sebagian batuan akan dibangun oleh mineral dan

65
sebagian yang lain terdiri dari masa silikat yang tak diketahui jenisnya, batuan

demikian dikatakan mempunyai tekstur merokristalin batuan beku juga dapat

dibangun eloh seluruhnya mineral halus, batuan ini berasal dari proses

pembekuan magma yang sangat cepat sehingga mineral tak sempat tumbuh.

Batuan tersebut dikatakan mempunyai tekstur holohialin (Pendidikan dan Mak,

2015).

Tekstur batuan beku dapat pula dibagi atas paneritik, porpiritik, apanitik,

aplitik, maupun diabasik. Penjelasan dari tiap tekstur diberikan sebagai berikut :

a) Tekstur faneritik

Tekstur batuan beku yang hampir seluruhnya batuan dibangun oleh mineral

dengan ukuran kristal besar dan beragam (Gambar 9). Sebagai contoh pada batuan

granit, granodiorit, siyenit dll.

Gambar 9. Tekstur faneritik pada sayatan tipis

b) Tekstur Porpiritik

Tekstur pada batuan beku yang dibangun oleh mineral mineral yang tumbuh

sangat besar, diantara mineral yang mempunyai ukuran halus Sebagai contoh

pada batuan granit porpir, siyenit porpir, diorit porpir dll.

65
c) Tekstur Apanitik

Tekstur pada batuan beku yang ditandai oleh pertumbuhan mineral yang

umumnya halus, diantara massa silika yang tidak dikenali komposisinya. Sebagai

contoh yaitu batuan riolit, andesit, basalt, dll (Gambar 10).

a
b

Gambar 10. a. faneritik, b.Porpiritik, c.Afanitik

d) Tekstur Aplitik

Tekstur pada batuan beku yang ditandai oleh adanya pertumbuhan

mineral yang agak halus, tetapi masih sangat mudah dikenal secara

megaskospis dengan butiran seragam (Gambar 11.a).

e) Teskstur Diabasik

Merupakan tekstur pada batuan beku yang terjadi oleh pertumbuhan

bersama antara mineral piroksin dan plagioklas dimana mineral plagioklas

tumbuh radial didalam mineral piroksin (Gambar 11.b).

65
Gambar 11. a. Tekstur Aplitik, b. Tekstur Diabasik

2) Struktur batuan beku

Struktur batuan beku dapat digolongkan kedalam struktur makro dan mikro.

Struktur makro hanya dapat diamati apabila batuan beku dijumpai sebagai

singkapan pada saat kita survey dilapangan, sedangkan struktur mikro dapat

diamati pada batuan beku dalam bentuk contoh batuan dilaboratorium.

a) Struktur Makro

Struktur makro tidak berpengaruh dalam penamaan batuan beku. Struktur

ini perlu diketahui untuk mengetahui sejarah pembekuan batuan tersebut. Berikut

ini beberapa struktur makro yang terdapat pada batuan beku :

1) Struktur lava blok

Struktur ini sering dijumpai pada lava, dengan permukaan yang kasar

membentuk pola tidak teratur.

2) Struktur lava ropi

Struktur ini terdapat pada lava yang sangat basa, menyerupai garis garis

radial.

3) Struktur lava bantal

Struktur ini mempunyai silinder silinder bantal. Struktur terjadi karena

pertemuan aliran lava dengan genangan air laut. Pada saat aliran lava bertemu

65
air laut, lava mendadak membeku disusul oleh pembekuan aliran lava

berikutnya, sehingga menimbulkan tumpukan lava yang menyerupai bantal

(Gambar 12).

4) Struktur diaklas columnar

Struktur ini terjadi karena adanya pembentukan diaklas bersamaan dengan

pendinginan magma. Diaklas tersusun menyerupai tabung berbentuk

segienam. Struktur semacam ini dapat dijumpai pada batuan beku luar

ataupun batuan beku dalam.

Gambar 12. a. Struktur lava blok, b. Struktur lava ropi, c. Struktur lava bantal

b) Struktur Mikro

Struktur mikro dapat diamati pada contoh batuan dilaboratorium. Struktur

tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :

1) Struktur xenolit

Struktur ini terbentuk oleh adanya masa asing yang masuk kedalam batuan

beku, masa tersebut biasanya terdiri dari batuan yang bersumber dari tempat lain.

2) Struktur orbikular

65
Struktur ini terbentuk karena adanya orientasi mineral secara radial

menyerupai kipas, mengelilingi xenolit. Mineral radial umumnya terdiri dari

mineral bitownit, hornblende, atau piroksin.

3) Struktur seferulitik

Struktur ini mempunyai bentuk menyerupai kipas, yang berawal dari satu

titik. Komponen ini umumnya merupakan mineral plagioklas.

4) Struktur veskular

Strukur ini sering dijumpai pada batuan beku luar. Lava yang mengalir

dipermukaan tanah, mengeluarkan gas dan meninggalkan lobang bekas gas

tersebut. Lava yang berlobang lobang dikatakan mempunyai struktur veskular

(Gambar 13).

Gambar 13. a. Struktur xenolit, b. Struktur orbikular, c. Struktur seferulitik,


d. Struktur Veskular.

5) Struktur amigdoloidal

65
Struktur terjadi pada lava vescular (Gambar 14), bila lubang vescular telah

terisi oleh kristal kristal yang baru, maka dinamakan struktur amigdoloidal

(Pendidikan dan Mak, 2015).

Gambar 14. Struktur amigdoloidal

c) Struktur batuan beku yang berhubungan dengan pendinginan magma :

1) Masif yaitu apabila batuan secara keseluruhan terlihat pejal, monoton,

seragam, tanpa retakan atau lubang lubang bekas gas.

2) Vesikuler adalah lubang lubang bekas gas pada batuan beku (lava)

3) Amigdaloidal adalah lubang-lubang bekas gas pada batuan beku (lava), yang

telah terisi oleh mineral sekunder seperti zeolit, kalsit, kuarsa.

4) Kekar kolom (columnar joint) yaitu kekar berbentuk tiang dimana sumbunya

tegak lurus arah aliran

5) Kekar berlembar (sheeting joint) yaitu kekar berbentuk lembaran, biasanya

pada tepi atap intrusi besar akibat hilangnya beban (Susanto, 2008).

c. Klasifikasi batuan beku

Penamaan batuan beku ditentukan berdasarkan dari komposisi mineral-

mineral utama (ditentukan berdasarkan persentase volumenya) dan apabila

dalam penentuan komposisi mineralnya sulit ditentukan secara pasti,

65
maka analisis kimia dapat dilakukan untuk memastikan komposisinya (Noor,

2012).

1) Klasifikasi batuan beku secara megaskopis

Batuan beku berbeda-beda pada tekstur dan pada kedalaman saat

pembekuan, dari keterangan tersebut, batuan beku dapat dibagi menjadi kelompok

menurut tekstur dan tempat pembentukannya, maka klasifikasi batuan beku yang

digunakan yaitu Fenton (1940).

Fenton juga menjelaskan bahwa batuan beku akan berwarna cerah apabila

mengandung sedikit “iron-magnesian minerals”, dan akan berwarna gelap apabila

mengandung banyak “iron-magnesian minerals. Penggolongan batuan beku

menurut Fenton memiliki kelebihan, yaitu digunakannya plagioklas sebagai kunci

mineral sehingga lebih terperinci (Gambar 15).

Klasifikasi batuan beku menurut Fenton (1940) :

a) Kelompok batuan beku berbutir kasar didominasi oleh batuan-batuan yang

pembekuannya jauh di dalam tanah, pada kelompok ini kristal-kristalnya dapat

dilihat tanpa bantuan mikroskop. Contohnya adalah batu granit dan diorite.

b) Kelompok batuan  berbutir halus memadat di permukaan atau sangat dekat

dengan permukaan, pada kelompok ini kristal-kristal pada batuan tidak dapat

terlihat tanpa bantuan mikroskop. Contoh batuan berbutir halus adalah rhiolit

dan basal.

c) Kelompok batuan seperti kaca atau hampir tidak berbutir, pada umumnya

mengeras pada permukaan aliran lava. Batuan ini terjadi karena lava

mendingin dengan sangat cepat sehingga mineral-mineral tidak dapat

65
mengkristal. Hal ini mungkin terjadi saat magma atau lava bersentuhan

dengan material yang lebih dingin pada permukaan bumi. Contoh batuan yang

seperti kaca adalah obsidian dan batu apung.

d) Kelompok batuan fragmental, adalah batuan yang terlempar keluar oleh

letusan yang keras. Kebanyakan batuan ini mengandung pecahan-pecahan

seperti kaca. Batuan fragmental terdiri dari banyak butiran atau pecahan yang

telah disatukan oleh panas dari letusan gunung berapi. Contoh batuan

fragmental adalah tuff dan volcanic breccias.

ambar 15. Klasifikasi Fenton (1940)

a. Klasifikasi IUGS (1973)

International Union of Geological Survey (IUGS) pada tahun 1973

mempublikasikan klasifikasi batuan beku. Klasifikasi ini secara umum didasarkan

pada proporsi kuarsa atau foid, plagioklas, dan alkali feldspar oleh diagram

65
piramida segitiga. Di setiap ujung sudutnya menyatakan komposisi 100%. Nama

batuan ditentukan dari perpotongan 3 titik.

Golongan fanerik dapat dibagi atas beberapa jenis batuan, dasar

pembagiannya adalah kandungan mineral kuarsa (Q), atau mineral felspatoid (F),

felsfar alkali (A), serta kandungan mineral plagioklas (P). Cara menentukan nama

batuan dihitung dengan menganggap jumlah ketiga mineral utama (Q+A+P atau

F+A+P) adalah 100%, (Gambar 16).

Gambar 16. Diagram Klasifikasi Batuan Beku Fanerik (IUGS, 1973) (a) Klasifikasi
umum, (b) Batuan ultramafik, gabroik & anortosit, (c) Batuan ultramafik.
Ket.I. Granitoid; II. Syenitoid; III. Dioritoid; IV. Gabroid; V. Foid
Syenitoid; VI. Foid Dioritoid & Gabroid; VII. Foidolit; VIII. Anortosit; IX.
Peridotit; X. Piroksenit; XI. Hornblendit; II-IV. The Qualifier „Foid-
Bearing‟, digunakan bila feldspatoid hadir; IX-XI. Batuan Ultramafik.

65
Golongan Afanitik dapat memperkirakan komposisi mineralnya berdasarkan

atas warna batuan, karena warna batuan umumnya mencerminkan proporsi

mineral yang dikandung, dalam hal ini proporsi mineral felsik (berwarna terang)

dan mineral mafik (berwarna gelap). Semakin banyak mineral mafik, semakin

gelap warna batuannya.

Penentuan nama atau jenis batuan beku afanitik masih dapat dilakukan bagi

batuan yang bertekstur porfiritik atau vitrofirik, dimana fenokrisnya masih dapat

terlihat dan dapat dibedakan, sehingga dapat ditentukan jenis batuannya. Dengan

menghitung prosentase mineral yang hadir sebagai fenokris, serta didasarkan pada

warna batuan/mineral, maka dapat diperkirakan prosentase masing-masing

mineral Q/F,A P, maka nama batuan dapat ditentukan dengan cara yang sama.

Gambar 17. Diagram Klasifikasi Batuan Beku Afanitik,Q. Kuarsa; A. Alkali


Felspar (termasuk ortoklas, sanidin, pertit dan anortoklas);,P.
Plagioklas; F. Felspatoid; Mel. Melilit; Ol. Olivin; Px. Piroksen; M.
Mineral mafik.,I. Rhyolitoid; II. Dacitoid; III. Trachytoid; IV.
Andesitoid, Basaltoid;,V. Phonolitoid; VI. Tephritoid; VII.
Foiditoid; VIII. Ultramafik.

65
5. Batuan sedimen

Pada hakekatnya tekstur adalah hubungan antar butir / mineral

yang terdapat di dalam batuan. Tekstur yang terdapat dalam batuan

sedimen terdiri dari fragmen batuan / mineral dan matriks (masa dasar).

Adapun yang termasuk dalam tekstur pada batuan sedimen klastik terdiri dari :

Besar butir (grain size), Bentuk butir (grain shape), kemas (fabric),

pemilahan (sorting), sementasi, kesarangan (porosity) dan kelulusan

(permeability).

1) Besar Butir (Grain Size) adalah ukuran butir dari material penyusun

batuan sedimen diukur berdasarkan klasifikasi Wenworth.

2) Bentuk butir (Grain shape) pada sedimen klastik dibagi menjadi :

> Rounded (Membundar) > Sub-angular (Menyudut-tanggung)

> Angular (Menyudut) > Sub-rounded (Membundar-tanggung)

3) Kemas (Fabric) adalah hubungan antara masa dasar dengan fragmen

batuan/ mineralnya. Kemas pada batuan sedimen ada 2, yaitu : Kemas

Terbuka, yaitu hubungan antara masa dasar dan fragmen butiran yang kontras

sehingga terlihat fragmen butiran mengambang diatas masa dasar batuan.

Kemas tertutup, yaitu hubungan antar fragmen butiran yang relatif

seragam, sehingga menyebabkan masa dasar tidak terlihat).

4) Pemilahan (sorting) adalah keseragaman ukuran butir dari fragmen

penyusun batuan. Pemilahan adalah tingkat keseragaman ukuran butir.

65
5) Sementasi adalah bahan pengikat antar butir dari fragmen penyusun

batuan. Macam dari bahan semen pada batuan sedimen klastik adalah :

karbonat, silika dan oksida besi.

6) Kesarangan (Porocity) adalah ruang yang terdapat diantara fragmen butiran

yang ada pada batuan. Jenis porositas pada batuan sedimen adalah porositas

baik, porositas sedang dan porositas buruk.

Struktur yang terdapat pada batuan sedimen yaitu :

1) Ritme Layering (Ritme Perlapisan), perulangan perlapisan sejajar pada

dasarnya dikarenakan sifat yang berbeda. Kadang-kadang disebabkan

oleh perubahan musim dalam pengendapan.

2) Cross Bedding (Silang siur), Sekumpulan perlapisan yang saling miring

satu sama lainnya. Perlapisan cenderung miring kearah dimana angin

atau air mengalir pada saat pengendapan terjadi. Batas diantara sekelompok

perlapisan umumnya diwakili oleh bidang erosi. Sangat umum dijumpai

sebagai endapan pantai, sebagai sand dunes (gumuk pasir) dan endapan

sedimen sungai.

3) Ripple Marks, karakteristik dari endapan air dangkal. Penyebabnya

oleh gelombang atau angin.

Klasifikasi ukuran butir yang dipakai dalam pengelompokkan

batuan sedimen klastik menggunakan klasifikasi dari Wentworth seperti yang

diperlihatkan pada (Tabel 5).

Tabel 5. Skala Ukuran Butir (Wenworth, 1922)


Nama Partikel Diameter Partikel (mm)
Boulder (bongkah) >256
Kerikil Cobbles (kerakal) 64–256

65
(Gravel) Pebbles (kerikil) 4-64
Granules (butir) 2-4
Very coarse sand (sangat kasar) 1-2
Pasir Coarse Sand (kasar) 1/2-1
(Sand) Medium sand (sedang) 1/4-1/2
Fine sand (halus) 1/8-1/4
Very fine sand (sangat halus) 1/16-1/8
Lanau (silt) 1/256-1/16
Lempung (clay) <1/256

6. Struktur

Geologi struktur adalah bagian dari ilmu geologi yang mempelajari tentang

bentuk (arsitektur) batuan sebagai hasil dari proses deformasi. Adapun deformasi

batuan adalah perubahan bentuk dan ukuran pada batuan sebagai akibat dari gaya

yang bekerja di dalam bumi. Secara umum pengertian geologi struktur adalah

ilmu yang mempelajari tentang bentuk arsitektur batuan sebagai bagian dari kerak

bumi serta menjelaskan proses pembentukannya. Beberapa kalangan berpendapat

bahwa geologi struktur lebih ditekankan pada studi mengenai unsur-unsur struktur

geologi, seperti perlipatan (fold), rekahan (fracture), patahan (fault), dan

sebagainya yang merupakan bagian dari satuan tektonik (tectonic unit), sedangkan

tektonik dan geotektonik dianggap sebagai suatu studi dengan skala yang lebih

besar, yang mempelajari obyek-obyek geologi seperti cekungan sedimentasi,

rangkaian pegunungan, lantai samudera, dan sebagainya (Noor, 2012).

Struktur batuan adalah gambaran tentang kenampakan atau keadaan batuan

termasuk didalamnya bentuk dan kedudukannya. Berdasarkan pada proses

pembentukan struktur dapat dibedakan menjadi :

1) Kontak, yang termasuk struktur kontak ini adalah : kontak normal

pengendapan, kontak ketidak selarasan, kontak intrusi, kontak sesar dll.

65
2) Struktur primer, adalah struktur yang terbentuk selama proses pembentukan

batuan, misalnya struktur sedimen yang terbentuk sebelum menjadi batuan

seperti, Cross bedding, ripple mark, mud cracks atau batuan intrusi seperti

lubang gas atau ropy texture, pillows pada basat dll.

3) Struktur sekunder adalah struktur yang terbentuk setelah sedimenmtasi

maupun batuan bebu membatu, misalnya kekar, sesar, lipatan, foliasi dan

liniasi.

Prinsip geometri suatu bidang atau garis adalah unsur yang mempunyai

kedudukan atau orientasi yang pasti di dalam ruang dan hubungan antara

satu dan lainnya dapat di deskripsikan. Suatu bidang atau garis harus

mempunnyai komponen kedudukan (attitude), yang umumnya dinyatakan dalam

kordinat grafis, arah dan besaran kecondongan(inklinasi). Unsur struktur geologi

didasarkan geometri dibedakan : struktur bidang (planar) misalnya : bidang

perlapisan, bidang foliasi, bidang rekahan, bidang sesar, bidang

belahan(cleavage) dsb dan Struktur garis (linear) misalnya : lineasi, sumbu

lipatan, gores-garis dsb.

a. Struktur Bidang

1) Kedudukan (attitude) adalah batasan umum untuk orientasi dari bidang atau

garis didalam ruang umumnya dihubungkan dengan koordinat geografi dan

bidang horizontal , dan terdiri komponen arah dan kemiringan.

2) Arah (trend) adalah arah dari suatu bidang horizontal, umumnya

dinyatakan dengan azimuth atau besaran sudut horizontal dengan garis

tertentu (Bearing).

65
3) Kecondongan (inclination) adalah sudut vertikal yang diukur kearah bawah

dari bidang horizontal ke suatu bidang atau garis dan apabila diukur pada

bidang yang tidak tegak lurus strike disebut kemiringan semu(Apperent dip).

4) Jurus (Strike) adalah arah garis horizontal yang terletak pada bidang miring

5) Kemiringan (Dip) adalah sudut terbesar dari suatu bidang miring, yang diukur

tegak lurus jurus.

6) Jurus dan Kemiringan

Jurus dan Kemiringan adalah besaran untuk menyatakan kedudukan semua

struktur bidang, misalnya perlapisan, foliasi, kekar, sesar dsb.

7) Metoda Grafis dengan Proyeksi Ortografi

Metode grafis adalah untuk menggambarkan kedudukan dari tiga

demensi menjadi dua demensi, yaitu dengan cara proyeksi ortografi.

b. Struktur Garis

1) Garis adalah unsur geometri yang merupakan kumpulan dari titik-titik, dapat

berbentuk lurus maupun lengkung.

2) Arah penunjaman (Trend) adalah garis horizontal atau jurus dari bidang

vertikal yang melalui garis, yang menunjukkan arah kecondongan garis

tersebut.

3) Penunjaman (Plunge) adalah besaran sudut pada bidang vertikal , antara

garis dengan bidang horizontal

4) Pitch/Rake adalah besaran sudut lancip antara garis dengan horizontal yang

diukur pada bidang dimana garis tersebut terletak.

65
5) Arah, penunjaman dan Pitch/Rake, kedudukan struktur garis adalah

diketahuinya arah, plunge dan rake sebuah garis dari suatu bidang , dengan

metode grafis.

Dalam geologi dikenal 3 jenis struktur yang dijumpai pada batuan sebagai

produk dari gaya-gaya yang bekerja pada batuan, yaitu:

g) Kekar (Fraction)

Kekar adalah struktur rekahan terbentuk pada batuan akibat suatu gaya yang

bekerja pada batuan tersebut dan belum mengalami pergeseran (Noor, 2012).

Secara umum dicirikan oleh:

1) Pemotongan bidang perlapisan batuan;

2) Biasanya terisi mineral lain (mineralisasi) sepertikalsit, kuarsa dsb;

3) Kenampakan breksiasi.

Struktur kekar dapat dikelompokkan berdasarkan sifat dan karakter

retakan/rekahan serta arah gaya yang bekerja pada batuan tersebut. Kekar yang

umumnya dijumpai pada batuan adalah sebagai berikut:

a) Shear Joint (Kekar gerus) adalah retakan / rekahan yang membentuk pola

saling berpotongan membentuk sudut lancip dengan arah gaya utama. Kekar

jenis shear joint umumnya bersifat tertutup.

b) Tension Joint adalah retakan/rekahan yang berpola sejajar dengan arah gaya

utama, Umumnya bentuk rekahan bersifat terbuka.

c) Extension Joint (Release Joint) adalah retakan/rekahan yang berpola tegak

lurus dengan arah gaya utama dan bentuk rekahan umumnya terbuka.

8) Lipatan (folds)

65
Lipatan adalah deformasi lapisan batuan yang terjadi akibat dari gaya

tegasan sehingga batuan bergerak dari kedudukan semula membentuk lengkungan

(Noor, 2012). Berdasarkan bentuk lengkungannya lipatan dapat dibagi dua, yaitu

Lipatan Sinklin adalah bentuk lipatan yang cekung kearah atas, sedangkan lipatan

antiklin adalah lipatan yang cembung kearah atas.

Berdasarkan kedudukan garis sumbu dan bentuknya, lipatan dapat

dikelompokkan menjadi :

a) Lipatan Paralel adalah lipatan dengan ketebalan lapisan yang tetap.

b) Lipatan Similar adalah lipatan dengan jarak lapisan sejajar dengan sumbu

utama.

c) Lipatan harmonic atau disharmonic adalah lipatan berdasarkan menerus ataut

idaknya sumbu utama.

d) Lipatan Ptigmatik adalah lipatan terbalik terhadap sumbunya

e) Lipatan chevron adalah lipatan bersudut dengan bidang planar

f) Lipatan isoklin adalah lipatan dengan sayap sejajar

g) Lipatan Klin Bands adalah lipatan bersudut tajam yang dibatasi oleh

permukaan planar.

9) Sesar (faults)

Patahan / sesar adalah struktur rekahan yang telah mengalami pergeseran.

Umumnya disertai oleh struktur yang lain seperti lipatan, rekahan dsb (Noor,

2012). Adapun di lapangan indikasi suatu sesar / patahan dapat dikenal melalui :

a) Gawir sesar atau bidang sesar

b) Breksiasi, gouge, milonit

65
c) Deretan mata air

d) Sumber air panas

e) Penyimpangan / pergeseran kedudukan lapisan

f) Gejala-gejala struktur minor seperti: cermin sesar, gores garis, lipatan dsb.

Ada beberapa jenis jenis patahan atau sesar yang dapat dikategorikan

berdasarkan macam gerakannya, selengkapnya sebagai berikut :

a. Normal fault
Patahan dikatakan masuk ke dalam normal fault jika patahan tersebut

memungkinkan satu block misalnya bagian foot wall memiliki lapisan yang

bergerak searah namun relatof naik terhadap blok lainnya yaitu hanging wall. Ciri

yang sangat mudah ditemukan pada jenis normal fault adalah tingkat

kemiringannya yang hampir 90 derajat.

b. Reserve fault

Kebalikan dari normal fault, untuk jenis reserve fault ini merupakan patahan

yang terjadi dengan arah foot wall yang relatif turun dibandingkan dengan

hanging wall. Ciri yang mudah ditemukan pada jenis patahan ini adalah tingkat

kemiringannya yang relatif kecil yaitu sekitar 45 derajat saja atau setengah dari

kemiringan normal fault.

c. Strike fault

Untuk jenis strike fault ini merupakan patahan yang memiliki arah relatif

mendatar baik itu ke kiri maupun ke kanan. Arah patahan ini memang tidak

seluruhnya bergerak dengan arah mendatar namun juga bisa dengan arah vertikal.

65
Pada patahan jenis ini yang bergerak ke arah kiri disebut dengan dekstral

sedangkan untuk patahan yang bergerak ke kanan disebut dengan sinistral.

7. Kromit

Kromit merupakan satu-satunya mineral yang menjadi sumber logam

kromium. Mineral ini mempunyai komposisi kimia FeCr2O3. Kromit mempunyai

sifat antara lain berwarna hitam, berbentuk kristal massif hingga granular, sistem

kristal oktahedral, goresan berwana coklat, kekerasan 5,5 (skala mohs), dan berat

jenis 4,5 - 4,8. Secara umum bentuk dari mineral kromit adalah tipis, kecil dan

pada umumnya berbentuk padat dan tersusun dari butiran-butiran kecil.

Komposisi kimia kromit sangat bervariasi karena terdapat unsur-unsur lain yang

mempengaruhinya (Gambar 18).

Gambar 18. Singkapan Kromit, (Santoso dan Subagio, 2016).

65
Kromit terbentuk karena proses kristalisasi magma pada suhu 1200C.

Terdapat pada batuan beku basa dan ultra basa seperti peridotit, dan pada batuan

metamorf seperti serpentinit, dan pada sebagian permukaan bijih besu padat,

biasanya berasosiasi dengan olivin, talk, serpentin, uvavorite, piroksin, biotit,

magnetit dan anortit. Kegunaan sebagai bahan pembuat Kromium, industri besi,

stainless steel (Kurniawan dkk., 2015).

a. Endapan Kromit

Endapan bijih khromit yang mempunyai senyawa kimia Fe2Cr2O4 atau

FeO (Cr,Al)2O3 selalu berhubungan dengan terobosan magma.

Secara genetik endapan Khrom dibagi menjadi :

1) Endapan Stratiform

Endapan stratiform merupakan lapisan pengkayaan khrom, yang

ketebalannya berkisar dari beberapa centimeter sampai dengan beberapa

decimeter, dimana lapisannya saling berselingan secara teratur dengan urut-urutan

lapisan tipis olivin atau piroksen. Sebagai contoh adalah di Bushveld barat yang

mencapai ketebalan 1.10 m sampai dengan 1.30 m dan dapat ditelusuri sampai

beberapa kilometer tanpa ada perubahan yang berarti baik dalam komposisi

mineral maupun ketebalannya. Secara umum batas antara pengkayaan kromit dan

lapisan dibawahnya sangat tajam. Lapisan kromit makin keatas berubah menjadi

bintik-bintik kromit sebagai akibat bertambahnya silikat.

2) Endapan Pediform

Endapan podiform merupakan badan kromit yang berbentuk kantong

sampai bentuk tabung, biasanya berhubungan dengan arah magmatic

65
stratification, sebagai contoh bagian paling bawah bijih kromit masif, pada

lapisan atasnya, merupakan bentuk jalur jalur papan atau bijih berbintik - bintik.

Struktur dalam badan kromit bervariasi. Kristal kromit padat rapat di dalam

formasi bijih masif mengandung 75% sampai dengan 85 % persen volume

khromit. Bijih bulat atau berbintik bintik yang terdiri dari kristal bulat

khromit berdiameter 0.5-2 cm di dalam massa dasar silikat seperti olivin,

piroksen, serpentin, merupakan ciri khas dari endapan karung bijih khromit. Bijih

berbentuk pita berhubungan erat dengan bijih masif , tetapi lebih kaya silikat

dan kemudian membentuk mata rantai dengan bijih berbintik-bintik (belang).

Pada waktu serpentinisasi, kandungan silikat bijih kromit menghasilkan

formasi yang rapuh dan getas yang berada di sekelilingnya, tidak hanya dekat

permukaan, tetapi juga pada kedalaman beberapa ratus meter di bawah

permukaan tanah. Pada waktu serpentinisasi kandungan silikat di dalam bijih

kromit menghasilkan masa yang pecah-pecah dan hancur. Perubahan kromit

akibat kegiatan tektonik yang lebih muda pada bagian atas di bawah kondisi

pneumatolitis atau hidrotermal telah menghasilkan mineral-mineral Uvarovite,

Smaragdite, dan Kammererite (Downing, 1962 dalam Purawiardi, 2008), dengan

warna-warna yang khas, sebagai petunjuk untuk eksplorasi dan prospekting

endapan - endapan khromit (Purawiardi, 2014).

3) Endapan Sekunder

Endapan kromit sekunder terdapat dua jenis yaitu, pasir hitam dan tanah

laterit. Proses pelapukan batuan terhadap kromit menyebabkan terjadinya

akumulasi bentuk butir butir kromit yang berbentuk pasir berwarna hitam. Hal ini

65
dapat terjadi karena kromit memiliki berat jenis tinggi dan tahan terhadap

pelapukan. Pada daerah tropis, pelarutan mineral silikat yang terdapat dalam

batuan ultramafik dapat menghasilkan tanah laterit yang mengandung kromit

walaupun kecil (Santoso dkk., 2016).

65
Gambar 19. Kolom ideal ofiolit (Winter (2001) dalam Lintjewas, 2015).

Ofiolit merupakan susunan batuan ultramafik dan mafik yang terdiri dari

beberapa sekuen yang terbentuk akibat adanya rekahan tengah samudera yang

membentuk susunan batuan ultramafik dan terus melebar secara horizontal

sebagai akibat dorongan material baru yang keluar dari zona rekahan. Salah satu

asosiasi dari sekuen ofiolit yaitu endapan kromit dengan batuan induk berupa

batuan peridotit (Gambar 19).

Potensi kromit di Indonesia cukup besar, hal ini dikarenakan kromit

terbentuk pada batuan induknya yaitu ofiolit dan penyebaran ofiolit di Indonesia

65
diperkirakan lebih dari 80 ribu ton (Wianto & Haryanti , 2008, dalam Abdi dkk.,

2014).

Gambar 20. Fotomikrografi batuan peridotit jenis harzburgit (Strickensen 1978), yang
telah mengalami ubahan dari olivine (Ol) dan piroksin (Px) menjadi
sarpentin (Sp) (Lintjewas, 2015).

Endapan Kromit merupakan salah satu endapan yang sangat penting buat

kebutuhan akan bijih krom pada dunia industri seperti stainless steel, gray cast

iron, iron free high temperature alloys, dan chromium plating untuk melindungi

permukaan serta memiliki prospek yang sangat baik untuk memenuhi

kebutuhan akan bijih Chrom karena keterdapatan depositnya relatif dekat

dengan permukaan.

65
III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan lokasi penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2019-November 2019, yang

terletak di Kecamatan Kabaena Utara, Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi

Tenggara,Daerah penelitian dapat ditempuh dengan jarak ± 175 Km , selama

± 5 jam dengan menggunakan roda dua maupun roda empat serta kapal laut. Peta

lokasi penelitian dapat dilihat pada (Gambar 21).

Gambar 21. Peta Lokasi Penelitian

B. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian yang bersifat

observasional. melakukan penelitian dengan mendeskripsi kenampakan langsung

objek penelitian dilapangan. Pengamatan lapangan tersebut berupa

65
pengamatan morfologi, data struktur, dan litologi, serta pengambilan sampel yang

akan dianalisis dilaboratorium.

C. Bahan atau materi penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data

primer. Data sekunder berupa peta lembar geologi Kolaka skala 1:250.000, serta

literatur tentang geologi. Sedangkan data primer merupakan data yang diambil

pada saat pengamatan di lapangan berupa data geomorfologi, struktur, dan

litologi. Lingkup penelitian meliputi pengamatan dan analisis data lapangan,

analisis kandungan mineral batuan, serta analisis geokimia batuan untuk

mengetahui potensi kromit yang terdapat pada daerah penelitian.

D. Instrument penelitian

Peralatan dan bahan serta kegunaanya yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut (Tabel 6) :

Tabel 6. Alat dan Bahan Penelitian


Nama Alat dan
No Kegunaan
Bahan
1 GPS Sebagai petunjuk titik koordinat
2 Kompas Geologi Sebagai alat mengukur arah, kemiringan lereng,
kedudukan batuan
3 Palu Geologi Sebagai alat untuk mengambil sampel batuan
4 Buku Lapangan Untuk mencatat hasil data lapangan
5 Kantong Sampel Sebagai tempat penyimpanan sampel
6 Karung Untuk menyimpan kantong sampel yang telah
diisi sampel batuan
7 Spidol Permanen Untuk menandai kantong sampel batuan
8 Lup pembesaran 10X Untuk mengamati mineral pada batuan
9 Kamera Untuk mengambil gambar dilapangan
10 Peta Topografi Sebagai peta dasar
11 Meteran Sebagai alat Scanline
12 Papan Clipboard Sebagai alat bantu dalam mengukur kedudukan
kekar

65
2

Nama Alat dan


No Kegunaan
Bahan
13 Pita Meter Untuk mengukur jarak antar kekar, kemenerusan,
dan bukaan kekar
14 HCL 0,1 M Untuk mengetes ada tidaknya kandungan
karbonat dalam suatu batuan
15 Komparator Komparator lithologi, ukuran butir serta
klasifikasi penamaan batuan
16 Busur derajat untuk melakukan pengeplotan titik pengamatan
pada peta topografi dan untuk mengukur besar
sudut data struktur yang ada di lapangan
17 Tas Ransel Sebagai tempat untuk menyimpan semua
peralatan yang digunakan di lapangan

E. Tahap penelitian

Tahapan penelitian terdiri dari tahap pendahuluan, tahap pengumpulan data,

tahap analisis dan interpretasi serta tahap penyelesaian dan penyajian data.

Penjelasan lebih rinci setiap tahap, yaitu :

1) Tahap pendahuluan

Pada tahap ini di lakukan persiapan berupa kelengkapan administrasi,

pemilihan judul skripsi, studi pustaka dan diskusi dengan dosen pembimbing,

tahap ini dilakukan di kampus serta di lokasi penelitian.

a) Penyusunan proposal penelitian

Tahap ini di lakukan sebelum melakukan penelitian di lapangan,

berkoordinasi dengan dosen pembimbing mengenai te ma/ judul penelitian yang

akan di ambil sesuai dengan keinginan dan keadaan di lapangan.

b) Studi pustaka

Studi pustaka dilakukan guna menunjang kegiatan penelitian yang meliputi

studi geologi regional Sulawesi. Studi pustaka kemudian difokuskan pada daerah

Sulawesi Tenggara, dengan menggunakan teori yang pernah ditulis oleh peneliti-
3

peneliti terdahulu. Tahap ini juga dilakukan di lokasi penelitian dengan

mempelajari literatur yang ada dan juga berkonsultasi dengan pembimbing

lapangan.

2) Tahap pengumpulan data

Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data primer dan data

sekunder. Data primer terdiri dari data pengamatan langsung di lapangan, maupun

pengamatan megaskopis batuan (mineralogi dan petrologi), petrografi, struktur

geologi dan morfologi. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini berupa data

geokimia batuan.

a) Pengambilan data primer

Pengambilan data primer mencakup beberapa data pengamatan lapangan,

diantaranya adalah data morfologi, litologi dan struktur. Hal-hal ini termuat secara

rinci dalam buku pencatatan lapangan yang terekam dalam satu titik stasiun

pengamatan. Tahap-tahap yang dilakukan dalam pencatatan buku lapangan yaitu ;

a. Menentukan posisi atau lokasi stasiun pengamatan dalam peta dan mencatat

koordinat.

b. Deskripsi singkapan yang mencakup sketsa, dimensi, kondisi singkapan, jenis

batuan dan kenampakan lain secara umum.

c. Deskripsi litologi dengan mengambil sampel yang berukuran minimal seukuran

kepalan tangan, dan deskripsi batuannya baik secara fisik dan kandungan

mineral hingga menetukan nama batuan.

d. Deskripsi morfologi mencakup relief, tipe morfologi, pelapukan, sungai, soil,

tataguna lahan, stadia daerah.


4

e. Deskripsi kenampakan struktur, seperti lapisan pada batuan sedimen, foliasi

pada batuan metamorf, lipatan, kekar, sesar dll.

b) Pengambilan data sekunder

Pengambilan data sekunder berupa data geokimia. Sampel akan dilakukan

preparasi kemudian dilakukan analisis geokimia, metode ini di sebut X-Ray

Geokimia.

3. Tahap analisis dan interpretasi

Tahap analisis dan interpretasi melewati beberapa tahapan untuk dapat

mencapai tujuan penelitian. Tahapan tersebut, yaitu :

a) Analisis morfologi

Analisis morfologi didapatkan melalui pengamatan visual di lapangan

didukung dengan mengkaji peta topografi berdasarkan kelurusan punggungan,

penjajaran bukit sehingga dapat diinterpretasikan morfologi daerah telitian. Tahap

ini meliputi analisis dalam pembagian satuan bentang alam pada daerah

penelitian. Sumber data yang digunakan untuk analisis geomorfologi ini

yaitu data kelerengan, data pola aliran sungai, tipe genetik sungai, data litologi

serta data-data lain yang direkam dalam bentuk foto dan catatan lapangan.

b) Analisis struktur

Analisis struktur dilakukan dari data hasil pengukuran di lapangan sehingga

diketahui arah umum struktur kekar daerah penelitian dan zona yang

diinterpretasikan sebagai zona sesar. Analisis ini bertujuan untuk memahami

tektonik daerah penelitian. Hasil pengukuran kedududukan lapisan batuan dan

beberapa indikasi lapisan struktur, dapat dianalisis untuk diketahui adanya


5

struktur geologi, dari pengukuran dan analisis kemudian dilakukan interpretasi

untuk dihubungkan dengan struktur secara regional.

c) Analisis petrologi

Analisis petrologi didapatkan melalui pengamatan secara visual di lapangan,

didukung dengan pendeskripsian sampel batuan secara megaskopis, sebagai dasar

penamaan satuan batuan daerah penelitian.

d) Analisis petrografi

Analisis petrografi dimaksudkan untuk melihat secara rinci kenampakan

mikroskopis batuan pada sayatan tipis, meliputi ; jenis, tekstur, struktur

batuan, ukuran, komposisi dan presentase mineral penyusun batuan, sehingga

dapat menentukan penamaan batuan secara petrografis. Dalam penelitian ini

analisis petrografi bertujuan untuk mendukung intrepetasi megaskopis. Data dari

analisis petrografi ini akan dipadukan dengan pengamatan secara megaskopis

(petrologi) dan data analisis kimia batuan.

a) Analisis geokimia

Analisis geokimia yang dilakukan yaitu analisis XRF digunakan untuk

mendeterminasi oksida utama (major elements) dan unsur minor pada sampel

batuan (Hasria, 2018). Sampel yang digunakan biasanya berupa serbuk hasil

penggilingan atau pengepressan menjadi bentuk film.

4. Tahap penyelesaian dan penyajian data

Semua data yang diperoleh dari analisis dan interpretasi di atas, kemudian

dibandingkan dan dihubungkan. Setelah melalui evaluasi dan pembahasan, maka

akan didapatkan kesimpulan dari tujuan penelitian ini.


6

F. Diagram Alir Penelitian

Mulai
1. Studi Literatur
2.Persiapan Penelitian
Tahap pendahuluan 3. Peta lokasi
penelitian 1:250000

Pengambilan
Data

Data Primer Data Sekunder

Soil & Batuan


Data Morfometri, Data Struktur
morfogenesa, Geologi
morfografi

Data Stratigrafi (litologi (analisis


Petrologi dan Petrografi)

Pengolahan
Data

Peta Geomorfologi Analisis


Peta Litologi Geokimia
Peta Struktur geologi (XRF)

Analisis
Data

Peta Geologi Potensi Endapan


1 : 25.000 Kromit

Keterangan : HASIL

= Input

= Proses Selesai
= Output
7

IV. Hasil dan Pembahasan

Daerah Penelitian terletak di Kecamatan Kabena Utara, Desa Lampangi

Jaya, Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara. Luas lokasi penelitian 4

x 4 km atau 16 km2. Aspek yang dikaji dalam penelitian ini yaitu Geomorfologi,

Stratigrafi dan Strukur geologi. Berikut adalah penjelasan rinci berikut.

A. Geologi Daerah Penelitian

1. Geomorfologi Daerah Penelitian

Morfologi permukaan bumi merupakan hasil interaksi antara proses eksogen

dan proses endogen (Thornbury, 1989) dalam Van Zuidam 1985. Analisis

geomorfologi dilakukan dengan analisis pola kelurusan dari citra Shuttle Radar

Topography Mission (SRTM), peta topografi, serta mengamati keadaan langsung

dilapangan, analisis geomorfologi merupakan tahap awal dalam mengetahui

kondisi geologi suatu daerah.

Daerah penelitian terletak pada Desa Lampangi Jaya, Kecamatan Kabaena

Utara, Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi Tenggara, terletak pada ketinggian

antara 20-680 meter diatas permukaan laut (Mdpl). Pengamatan yang dilakukan

dilapangan diketahui elevasi tertinggi berada di bagian timur dengan ketinggian

680 mdpl yang berada digunung Lamolea dan elevasi terendah 20 mdpl terletak

dibagian barat laut. Morfologi yang teramati didaerah penelitian yaitu satuan

bentang alam pengunungan komplek Ultramafik Lampangi Jaya mencakup 20%,

satuan bentang alam perbukitan Kompleks Ultramafik Lampangi Jaya mencakup

45%, dan pedataran kalkarenit Lampangi Jaya mencakup wilayah sekitar 35%.
8

Gambar 22. Kenampakan pola kelurusan daerah penelitian

Gambar 23. Diagram bunga dari pola kelurusan pada peta pola kelurusan

Pola Kelurusan punggungan yang teramati pada peta (Gambar 22) didominasi

berarah barat daya- timur laut, serta pola kelurusan yang diamati pada peta
9

didominasi oleh arah dominan yaitu utara- selatan yang diintepretasikan sebagai

pola struktur berupa sesar dan kekar yang berkembang didaerah penelitian.

a. Pola Aliran Sungai

Berdasarkan hasil analisis dari peta topografi dan pengamatan langsung

dilapangan, didapatkan bahwa pola aliran yang berkembang didaerah penelitian

terdiri dari pola aliran sungai dendritik dan rektangular (Gambar 24). Pola Aliran

ini mencerminkan tingkat homogenitas litologi dan adanya indikasi kehadiran

struktur berupa sesar, dan rekahan. Pola aliran dendritik terdapat pada selatan

daerah penelitian, Pola aliran dendritik dapat memiliki kerapatan sungai yang

dikontrol oleh jenis batuannya, sungai yang mengalir diatas batuan yang tidak

atau kurang resisten terhadap erosi akan membentuk tekstur sungai yang halus

sedangkan pada batuan yang resisten akan membentuk tekstur kasar (Van

Zuidam, 1985).

Pola Aliran rektangular berada pada bagian barat laut daerah penelitian, pola

aliran rektangular ini dipengaruhi oleh kekar dan/ atau sesar yang berkembang

didaerah penelitian memiliki sudut kemiringan, tidak memiliki perulangan

lapisan batuan dan sering memperlihatkan pola pengaliran yang tidak menerus

(Van Zuidam, 1985).

Berdasarkan pengamatan dilapangan litologi penyusun daerah ini berupa

batuan ultramafik dan batugamping.


10

Gambar 24. Peta pola aliran sungai daetah penelitian


11

b. Satuan Geomofologi

Secara deskriptif daerah penelitian dapat dibagi atas 3 satuan geomorfologi

berlandaskan klasifikasi Brahmantyo dan Bandono (2006). Ketiga satuan tersebut

yaitu satuan bentang alam pengunungan struktural kompleks ultramafik Lampangi

Jaya, satuan bentang alam perbukitan kompleks ultramafik Lampangi Jaya, satuan

bentang alam pedataran denudasional Lampangi Jaya, berikut penjelasan

mengenai ketiga bentang alam yang terdapat didaerah penelitian.

1) Satuan bentang alam perbukitan tinggi struktural kompleks ulramafik

Lampangi Jaya

Satuan bentang alam ini memiliki luas sekitar 20 % dari wilayah daerah

penelitian dengan ketinggian antara 500- 680 mdpl, yang berada pada gunung

Lamolea. Satuan ini dicirikan dengan pola kontur yang rapat dan menutup serta

cenderung landai pada bagian elevasi tertinggi, pola kontur tersebut mencirikan

pengunungan batuan beku, satuan ini memiliki kemiringan lereng 35- 140 %,

dengan litologi penyusun yaitu batuan serpentinit-piroksen, satuan ini menempati

bagian paling kanan dari daerah penelitian ditandai dengan warna ungu tua pada

peta geomorfologi ( ).

Proses endogen yang terjadi pada daerah penelitian dicirikan dengan

morfologi pengunungan yang merupakan hasil dari konstruksi menjadi penciri

dari adanya proses endogen serta struktur sesar dan kekar yang mendukung proses

eksogen destruksional.
12

Gambar 25. Pengunungan Lamolea dibagian timur difoto ke arah barat laut dari daerah
Lampangi Jaya

Gambar 26. Pegunungan Lamoela difoto dari arah selatan dari daerah Lampangi Jaya

Morfologi ini memanjang dari arah utara hingga selatan dibagian timur

daerah penelitian. Pola aliran sungai pada daerah ini yaitu dendritik dan

rektangular. Proses eksogen yang mempengaruhi satuan ini berupa pelapukan dan

erosi vertikal.

2) Satuan bentang alam perbukitan kompleks ultramafik Lampangi Jaya

Satuan ini mengisi sekitar 45 % dari luas daerah penelitian yang dicirikan

dengan pola kontur rapat dan menutup serta relief yang realtif sedang, hal ini
13

menjadi ciri khas perbukitan batuan beku. Morfologi ini menempati bagian tengah

wilayah penelitian yang membentang dari Utara-selatan dengan ketinggian antara

100 – 480 mdpl dan kemiringan lereng 8 – 35 %.

Gambar 27. Satuan bentang alam perbukitan dibagian timur difoto dari arah barat laut
Lampangi Jaya

Gambar 28. Kenampakan satuan bentang alam perbukitan yang difoto dari arah timur
Lampangi Jaya
14

Gambar 29. Kenampakan sungai membentuk lembah sungai V ( N 289o E)

Morfologi ini disusun oleh litologi batuan beku yaitu serpentin-Dunit,

Serpetin-Piroksen, dan Serpentinit, daerah ini difungsikan sebagai lahan

pemukiman dan pertambangan, yang memiliki ketebalan soil ±50cm, pola aliran

pada satuan ini pola aliran dendritik dan rektangular, serta proses endogen yang

bekerja pada satuan ini yaitu erosi vertikal yang membentuk lembah sungai “V’

tumpul dengan proses pelapukan bekerja cukup aktif memiliki bentuk lembah

sungai curam dan sempit, pada tepian sungai telah mengalami erosi bertipe gully

erosion.

3) Satuan bentang alam pedataran denudasional Lampangi Jaya

Satuan ini mengisi sekitar 35 % dari daerah penelitian dengan ketinggian 20

– 40% yang memiliki pola kontur yang renggang serta relief halus, dengan

kemiringan lereng 0-8 %, Morfologi ini menempati bagian ujung barat yang

membentang dari utara – selatan, ditandai dengan warna coklat dipeta

geomorfologi ( ).
15

Gambar 30. Satuan bentang alam pedataran difoto dari arah Selatan menenggara
Lampangi Jaya

Gambar 31. Satuan bentang alam pedataran dibagian utara timur laut difoto dari arah
barat laut Lampangi Jaya

Gambar 32. Kenampakan sungai pada pedataran yang berbentuk U yang


memperlihatkan adanya Chanell bar
16

Gambar 33. Kenampakan erosi parit didaerah penelitian

Litologi batuan penyusun satuan ini batugamping dengan bolder berukuran

bongkah. Pola aliran sungai pada satuan ini adalah dendritik dan rektangular,

proses eksogen yang bekerja yaitu erosi lateral yang membentuk lembah sungai

berukuran U, dengan proses pelapukan yang sempurna. Proses erosi yang terjadi

pada tepian sungai telah mengalami erosi jenis erosi parit.

c. Tahapan Geomorfik

Tahapan geomorfik menjelaskan tentang proses bagaimana keberagaman

litologi, struktur serta proses yang bekerja didalamnya berlangsung dalam

mengubah bentang awal dari awal hingga saat ini. Keberagaman litologi dapat

menggambarkan ekspresi morfologi yang berbeda pula.

Pada umumnya litologi yang keras dan resisten akan menunjukkan

morfologi perbukitan dengan sungai yang berbentuk V. Berdasarkan pengamatan

dilapangan diketahui bahwa didaerah penelitian terdiri atas sebagian besar lembah

berbentuk V ( ) dan sebagian kecil lembah berbentuk U ( ). Lembah berbentuk

V menandakan bahwa proses erosi vertikal yang dominan terjadi, hal ini
17

ditunjukan dengan sungai yang berbentuk aliran lurus serta terdapat fragmen lepas

berbentuk bongkah yang tersebar disepanjang sungai dan dinding sungai yang

menandakan bahwa proses erosi lebih dominan dibanding proses sedimentasi, dan

termasuk kedalam erosi muda.

Gambar 34. Kenampakan sungai dengan adanya fragmen lepas berbentuk bongkah

Lembah berbentuk U menandakan bahwa proses erosi lateral yang dominan

terjadi dan proses sedimentasi berlangsung, lembah berbentuk U ini terdapat

dibagian timur daerah penelitian, terdapat longsoran batuan di dinding sungai dan

endapan aluvial yang menandakan proses pelapukan terjadi secara sempurna,

sehingga dapat dikategorikan kedalam erosi dewasa.

Gambar 35. Kenampakan longsoran batuan yang terdapat dibeberapa dinding sungai
18

Berdasarkan hasil analisis dari kenampakan morfologi serta tahapan erosi

dan sedimentasi didapatkan bahwa dibagian utara, tengah, timur, hingga selatan

daerah penelitian didominasi oleh proses erosi dibandingkan proses sedimentasi,

adapun dibagian barat penelitian didominasi oleh proses sedimentasi

dibandingkan proses erosi, dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa

tahapan geomorfik termasuk kedalam geomorfik muda-dewasa.

2. Stratigrafi Daerah Penelitian

Batuan yang tersingkap didaerah penelitian tersusun atas batuan ultramafik

dan batuan sedimen, satuan batuan yang terdapat didaerah penelitian tersusun

dalam kolom kesebandingan stratigrafi menjadi satuan tidak resmi. Penamaan ini

mengacu pada Sandi Stratigrafi Indonesia (Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia,

1996). Berdasarkan data yang termatai dilapangan dan hasil analisis laboratorium,

stratigrafi dapat dikelompokkan menjadi 3 satuan litodemik tidak resmi dan 2

satuan litostratigrafi tidak resmi, yang sataun batuan diurutkan mulai dari tua

hingga ke muda yaitu :

1. Serpentin-dunit

2. Serpentin- piroksenit

3. Serpentinit

4. Satuan Batugamping Kalkarenit

Hasil analisis digambarkan pada peta geologi dengan sekala 1 : 25.000 ( )

dan profil umum stratigrafi (tanpa skala) daerah penelitian ( ). Satuan batuan di

daerah penelitian kemudian disetarakan dengan formasi batuan berdasarkan ciri

litologi dan berdasarkan peneliti sebelumnya.


19

Gambar kolom stratigrafi.

a. Satuan Serpentinit

1) Persebaran dan kondisi batuan

Satuan Serpentinit menempati 5 % dari wilayah daerah penelitian, satuan ini

terdapat di perbukitan dan sungai yang singkapan agak lapuk hingga segar.

Terdapat di jalan poros antar Kabaena utara- Kabaena Tengah.Satuan ini terdapat

ditengah dari wilayah penelitian.

Satuan ini ditandai dengan warna ungu pada peta geologi ( ). Penamaan

batuan ini didasarkan oleh analisis petrografi, mineral yang hadir berupa Lizardit

80%, opak 20%. Berdasarkan klasifikasi yang digunakan, batuan ini diberi nama

Serpentinit, (Streckeisen, 1975).

2) Ciri litologi

Jenis batuan ultramafik, memiliki warna lapuk cokelat dan warna segar

hijau gelap, kristalinitas hipokristalin, granularitas faneritik, euhedral-subhedral

dan relasi equigranular. Berdasarkan pengamatan secara megaskopik dapat dilihat

mineral-mineral primer diantaranya olivin dan piroksen serta mineral tambahan

yaitu serpentin. Kekar-kekar yang intensif mengindikasikan bahwa satuan ini telah

mengalami deformasi dan memperlihatkan adanya efek pelapukan berupa mineral

oksida besi (mineral berwarna kuning kemerahan).


20

Gambar 36. Singkapan serpentinit pada (A) yang menunjukkan adanya pelapukan
berupa mineral oksida besi (st1), (B) yang berada disungai Lampangi jaya,
terdapat kekar pada singkapan (st 26)

Berdasarkan pengamatan secara mikroskopis, sampel serpentinit

memperlihatkan tekstur berupa kristalinitas holokristalin, bentuk kristal

faneroporfiritik, hubungan antar butir (fabrik) euhedral-subhedral serta relasi

inequigranular. Memiliki struktur massif dengan ukuran mineral penyusun

batuan yakni 0,5 mm hingga 1 mm, tersusun atas mineral Lizardit, opak ( ).

Foto :
A B C D E F G H I A B C D E F G H I

1 1 1

2 2 2
Liz
3 3 Liz 3

Granular
4 4 4

Opq Opq
5 5 5

6 6 6

7 7 7

// - Nikol 1 mm X – Nikol 1 mm

Keterangan gambar : Liz = Lizardit dan Opq = Opak


Gambar 37. Sayatan tipis Serpentinit yang menunjukkan tekstur dan struktur mineral
21

Berdasarkan analisa mikroskopis diketahui bahwa mineral penyusun dari

batuan serpentinit pada st26 yaitu lizardite 80% dan mineral opak 20%. Dari hasil

analisa ini dapat diketahui bahwa pada lokasi ini proses serpentinisasi berlangsung

cukup kompleks atau sempurna. Dicirikan dengan tidak ditemukannya mineral

lain atau mineral asal dari serpentin, seperti mineral olivin dan piroksen.

3) Hubungan dan kesetaraan stratigrafi

Berdasarkan ciri litologi dan analisis petrografi, satuan ini dapat disetarakan

dengan Kompleks Ultramafik (Ku) (Simanjundtak 1993). Karakteristik satuan ini

disusun oleh batuan beku ultramafik. Hubungan stratigrafi Satuan serpentinit

dengan satuan batuan di bawahnya yaitu keselarasan berangsur. Sedangkan

hubungan dengan satuan lebih muda berupa ketidakselarasan karena adanya time

gap skala waktu geologi dan perbedaan jenis batuan.

4) Umur dan lingkungan pembentukan

Penentuan umur dan lingkungan pengendapan merujuk pada peneliti

terdahulu (Simanjundtak, 1993), berumur kapur yaitu batuan ultramafik

mengalami pengangkatan kemudian terjadi proses pelapukan, laterisasi dan

serpentinisasi, lingkungan pembentukan pada kerak benua. Pada satuan

Serpentinit sangat banyak dijumpai kekar-kekar pada singkapan batuan serta

dijumpai urat-urat serpentin dalam jumlah besar dengan panjang urat ±5m dengan

bukaan ±5cm. Dari beberapa faktor diatas sangat mempengaruhi tingkat derajat

serpentinisasi sehingga pada batuan serpentinit kehadiran mineral serpentin pada

batuan ini berkisar antara 60-100% sehingga masuk kedalam tingkat derajat

serpentinisasi yang tinggi.


22

b. Satuan Serpentin- piroksenit

1) Persebaran dan kondisi batuan

Batuan Serpentinit-Piroksenit ini terdapat sangat melimpah pada daerah

penelitian 50% dimana terdapat pada bentang alam pedataran 1%, perbukitan

30%, dan perbukitan tinggi 20%. Pada kedua bentang alam ini proses pelapukan

terjadi tidak cukup intens diakibatkan permukaan lereng yang miring-curam

sehingga air meteorik yang jatuh kepermukaan batuan hanya sebagian kecil yang

dapat masuk kedalam rekahan batuan sehingga proses pelapukan tidak terjadi

secara sempurna.

Satuan ini terdapat di pinggir jalan tambang, gunung Lamolea dan sungai

Lampangi Jaya, keterdapatan singkapan satuan ini mulai dari segar hingga lapuk

yang kebanyakan dijumpai di bagian timur daerah penelitian.

2) Ciri litologi

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan secara megaskopis dengan skala

singkapan dijumpai jenis batuan ultramafik, memiliki warna lapuk cokelat dan

warna segar hijau gelap, kristalinitas hipokristalin, granularitas faneritik, euhedral-

subhedral dan relasi equigranular, dapat dilihat tersusun atas mineral-mineral

primer diantaranya olivin dan piroksen serta mineral tambahan yaitu serpentin.

Indikasi gejala struktur pada satuan ini dapat dilihat dengan cukup banyak

dijumpai kekar-kekar pada singkapan batuan yaitu kekar tarik dan kekar gerus

serta dijumpai urat-urat serpentin dalam jumlah kecil dengan panjang <1m dengan

bukaan <2cm.
23

Gambar 38. Singkapan Serpentin- piroksenit (A) dengan adanya kekar tarik dan gerus,
(B) kenampakan urat urat serpentin, (C) Sigkapan serpentin- piroksenit yang
berada dijalan tambang.

Berdasarkan pengamatan secara mikroskopis, sampel serpentin-proksenit

memiliki warna interferensi kuning kebiruan, warna absorbsi putih tekstur berupa

kristalinitas holokristalin, bentuk kristal faneroporfiritik, hubungan antar butir

(fabrik) euhedral-subhedral serta relasi inequigranular. Memiliki struktur massif

dengan ukuran mineral penyusun batuan yakni 0,5 mm hingga 1 mm, tersusun

atas mineral Olivin, clinopiroksen, lizardit, krisotil, opak.


24

Foto :
A B C D E F G H I A B C D E F G H I

1 1 1

2 2 2

3 3 3
Cpx
Cpx
4 4 4

Granular
5 Liz 5 5

6 6 Liz 6

7 7 7

A // - Nikol 1 mm X – Nikol 1 mm

Foto :
A B C D E F G H I A B C D E F G H I

1 1 1
Fibrous
2 Kri 2 2
Kri
3 Fractured 3 3
Cpx
Cpx
Replacement
4 4 4
Ol
Mesh
5 Liz 5 Ol 5
Opq

6 6 Opq 6

7 7 7
Liz

B // - Nikol 1 mm X – Nikol 1 mm

Keterangan gambar : Cpx = Clinopiroksen, Liz = Lizardit, Ol = Olivin, Opq = Opak, Kri
= Krisotil
Gambar 39. Sayatan tipis Serpentin- Piroksenit yang menunjukkan komposisi mineral
tekstur dan struktur (A), sayatan tipis yang menunjukkan adanya
replacement pada mineral (B).

Secara mikroskopis () batuan ini memiliki warna interferensi cokelat

kekuningan, warna absorbsi putih keabu-abuan tekstur berupa kristalinitas

holokristalin, bentuk kristal faneroporfiritik, hubungan antar butir (fabrik)


25

euhedral-subhedral serta relasi inequigranular. Memiliki struktur massif dengan

ukuran mineral penyusun batuan yakni 0,5mm hingga 1mm, tersusun atas

mineral olivin 10%, orthopiroksen 15%, clinopiroksen 20%, lizardit 33%,

antigorit 7%, krisotil 10%, dan opak 5%.

3) Hubungan dan kesetaraan stratigrafi

Berdasarkan ciri litologi dan analisis petrografi, satuan ini dapat disetarakan

dengan Kompleks Ultramafik (Ku) (Simanjundtak 1993). Hubungan stratigrafi

Satuan serpentin - piroksenit dengan satuan batuan di bawahnya yaitu keselarasan

berangsur. Sedangkan hubungan dengan satuan lebih muda berupa

ketidakselarasan karena adanya time gap skala waktu geologi dan perbedaan jenis

batuan.

4) Umur dan Lingkungan pembentukan

Penentuan umur dan lingkungan pengendapan merujuk pada peneliti

terdahulu (Simanjundtak, 1993), berumur kapur pada batuan Serpentinit-

Piroksenit cukup banyak dijumpai kekar-kekar pada singkapan batuan yaitu kekar

tarik dan kekar gerus serta dijumpai urat-urat serpentin dalam jumlah kecil dengan

panjang <1m dengan bukaan <2cm. Dari beberapa faktor diatas sangat

mempengaruhi tingkat derajat serpentinisasi sehingga pada batuan serpentinit-

piroksenit kehadiran mineral serpentin pada batuan ini berkisar antara 40-59%

sehingga masuk kedalam tingkat derajat serpentinisasi yang sedang.


26

c. Satuan Serpentin – dunit

1) Persebaran dan kondisi batuan

Satuan ini meliputi 20% dari luas daerah penelitian, Satuan ini banyak

dijumpai dibentang alam perbukitan, pedataran, dan jalan poros tambang serta

pemukiman dengan kondisi batuan segar hingga agak lapuk. Serpentinit dunit

mengalami proses serpentiniasi sedang hingga kuat yang ditemukan berupa

tumbuhan tinggi dengan jenis tanh literit, dengan kemangnetan sedang hingga

kuat.

Satuan ini ditandai dengan warna dipeta geologi. Penamaan batuan ini

didasarkan oleh analisis petrografi, ( ). Mineral yang hadir berupa olivin 30%,

ortopiroksen 5%, antigorit 10%, lizardit 45%, dan mineral opak 10%.

2) Ciri Litologi

Jenis batuan ultramafik, memiliki warna lapuk cokelat dan warna segar

hijau gelap, kristalinitas hipokristalin, granularitas faneritik, euhedral-subhedral

dan relasi equigranular. Berdasarkan pengamatan secara megaskopik dapat dilihat

mineral-mineral primer diantaranya olivin dan piroksen serta mineral tambahan

yaitu serpentin.

Pada batuan serpentinit-dunit cukup banyak dijumpai kekar-kekar pada

singkapan batuan yaitu kekar tarik dan kekar gerus serta dijumpai urat-urat

serpentin dalam jumlah kecil dengan panjang ±2m dengan bukaan ±2cm, dengan

memperlihatkan adanya efek pelapukan yang terjadi dengan adanya mineral

aksida besi (mineral berwarna kuning kemerahan).


27

Gambar 40. Singkapan Serpentin-dunit yang berada di sungai (A), Singkapan yang
menunjukan adanya proses pelapukan ditunjukkan dengan adanya mineral
oksida besi yang bewarna kuning kemerahan (B). Singkapan yang
menunjukkan kekar-kekar (C).

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan secara mikroskopik, pada sampel

serpentini- dunit st17 memiliki ciri warna interferensi abu-abu kebiruan, warna

absorbsi putih tekstur berupa kristalinitas holokristalin, bentuk kristal

faneroporfiritik, hubungan antar butir (fabrik) euhedral-subhedral serta relasi

inequigranular. Memiliki struktur massif dengan ukuran mineral penyusun

batuan yakni 0,5 mm hingga 1 mm, tersusun atas mineral olivin, orthopiroksen,

klinopiroksen, lizardit, krisotil, opak. Serpentin hadir denga pola mesh struktur,

yang membelah mineral olivin.


28

A B C D E F G H I A B C D E F G H I

A1 1 1
Fractured
Mesh
Liz Opx
2 2 2
Opx
Replacement
Liz
3 3 3
Opq Opq
Ol Ol
4 4 4

5 5 5

6 6 6

7 7 7

// - Nikol 1 mm X – Nikol 1 mm

A B C D E F G H I A B C D E F G H I

B1 Ol
Replacement
1
Ol Replacement
1

2 2 2

Opq
3 3 3

Opq
4 4 4
Kri
5 Fibrous 5 5
Kri
Fibrous
6 6 6

7 7 7

// - Nikol 1 mm X – Nikol 1 mm

Gambar 41. Sayatan tipis nikol silang dan nikol sejejar batuan serpentin- dunit (A),
sayatan tipis nikol silang dan nikol sejajar Serpentin- dunit dengan
kenampakan mineral olivin yang tergantikan oleh orhopiroksen (B).

Batuan serpentinit-dunit daerah penelitian dari hasil analisis secara

petrografi didapatkan informasi geologi dimana batuan ini pada awalnya

merupakan batuan yang memiliki kandungan mineral olivin yang melimpah

dimana dapat kita lihat pada (Error: Reference source not found ) mineral olivin

yang hadir secara perlahan tergantikan oleh mineral orthopiroksen


29

(terreplacement) dan pada sayatan nampak olivin telah mengalami alterasi oleh

urat-urat serpentin jenis lizardit dengan struktur fractured. Kemudian pada (Error:

Reference source not found ) hadir mineral krisotil dengan struktur fibrous

dimana mineral ini hadir sebagai mineral sekunder yang mereplacement mineral

olivin.

A B C D E F G H I A B C D E F G H I

1 1 1

2 2 2

3 3 3
Atg
Atg
4 4 4

5 5 5
Liz
Banded Liz Banded
6 6 6
Granular Granular
7 7 7

// - Nikol 1 mm X – Nikol 1 mm

Gambar 42. Sayatan tipis batuan serpentin- dunit nikol sejajar dan nikol silang
kenampakan mineral antigorit dengan struktur banded.

Mineral antigorit dengan struktur banded pada ( ) hadir ditengah-tengah

mineral lizardit dengan struktur granular. Kemunculan mineral lizardit dengan

struktur granular terbentuk akibat proses pelapukan, pada sayatan masih sangat

jelas tekstur dari kristal mineral olivin yang seluruhnya telah terubah menjadi

mineral serpentin.

3) Hubungan dan kesetaraan stratigrafi

Berdasarkan ciri litologi dan analisis petrografi, satuan ini dapat disetarakan

dengan Kompleks Ultramafik (Ku) (Simanjundtak 1993). Karakteristik satuan ini

disusun oleh batuan beku ultramafik. Hubungan stratigrafi Satuan serpentinit


30

dengan satuan batuan di bawahnya yaitu keselarasan berangsur. Sedangkan

hubungan dengan satuan lebih muda berupa ketidakselarasan karena adanya time

gap skala waktu geologi dan perbedaan jenis batuan.

4) Umur dan lingkungan pengendapan

Penentuan umur dan lingkungan pengendapan merujuk pada peneliti

terdahulu (Simanjundtak, 1993), berumur kapur,pada batuan serpentinit-dunit

cukup banyak dijumpai kekar-kekar pada singkapan batuan yaitu kekar tarik dan

kekar gerus serta dijumpai urat-urat serpentin dalam jumlah kecil dengan panjang

±2m dengan bukaan ±2cm. Dari beberapa faktor diatas sangat mempengaruhi

tingkat derajat serpentinisasi sehingga pada batuan Serpentinit-Dunit kehadiran

mineral serpentin pada batuan ini berkisar antara 40-59% sehingga masuk

kedalam tingkat derajat serpentinisasi yang sedang dan hanya sedikit yang

mengalami serpentinisasi tinggi.

d. Satuan Packstone

1) Persebaran dan kondisi batuan

Satuan ini meliputi 25 % dari wilayah penelitian, satuan ini banyak dijumpai

di bentang alam pedataran, dipinggir jalan poros Kabaena Utara- Kabaena

Tengah, dan disungai Lampangi Jaya, Satuan ini mendominasi dibagian barat

daerah penelitian.

2) Ciri litologi

Pengamatan yang dilakukan secara megaskopik diketahui ciri fisik bentuk

butir membundar tanggung, struktur tidak berlapis, ukuran butir 63µm-2mm,


31

pemilahan baik, kemas terbuka, bersifat karbonatan, memiliki komposisi mineral

berupa kalsit, cangkang.

Gambar 43. Singkapan Kalkarenit pada staisun 28 (A), singkapan Kalkarenit yang
terdapat disungai Lampangi Jaya (B), sampel handspecimen (C).

Berdasakan pengamatan yang dilakukan secara mikroskopik tekstur klastik,

bentuk subhedral-anhedral, struktur sekunder, ukuran butir mineral penyusun

batuan yakni 0,08 hingga 1mm, sortasi baik, porositas buruk dengan kemas yang

tertutup, tersusun atas grain berupa mineral kalsit dan foraminifera serta adanya

mikrit dan sparit.

Foto :
A B C D E F G H I A B C D E F G H I
A
1 Granular 1 1
Urat kalsit Sparit
2 2 2

Por
3 Foraminifera 3 3

4 4 Mikrit 4
Kalsit
5 5 Grain
5

6 6 6

7 7 7

// - Nikol 1 mm X – Nikol 1 mm
32

Foto :
A B C D E F G H I A B C D E F G H I

B
1 1
Drusy
1

2 Sparit 2 2

3 3 3
Aragonit
4 Por 4 4
Mikrit
5 5 5
Kalsit
6 Vuggy 6 6

7 7 7

// - Nikol 1 mm X – Nikol 1 mm

Gambar 44. Sayatan tipis Packstone yang menampakan foraminifera (A). Sayatan tipis
Packstone dengan bentukan morfologi semen karbonat drusy (B).

Batuan Packstone daerah penelitian setelah dilakukan analisis secara

petrografi didapatkan informasi geologi bahwa adanya kenampakan bentukan

morofologi semen karbonat berbentuk drusty dan granular, yang dimana semen

ini menjadi ciri dari batuan yang terbentuk pada zona meteoric vadose, metoric

phereatic, dan burial, dan kenampakan mineral kalsit yang mengalami proses

pergantian menjadi aragonit.

3) Hubungan dan kesetaraan stratigrafi

Berdasarkan ciri litologi dan analisis petrografi, satuan ini dapat disetarakan

dengan Formasi Langkowala (Tml) (Simanjundtak, 1993). Karakteristik satuan ini

disusun oleh batuan sedimen klastik, dan sedimen karbonat. Hubungan stratigrafi

satuan ini ditindih selaras dengan batuan dari Formasi Eemoiko.

4) Umur dan lingkungan pengendapan

Penentuan umur dan lingkungan pengendapan merujuk pada peneliti

terdahulu (Simanjundtak, 1993), berumur Miosen tengah.


33

3. Struktur Geologi Daerah Penelitian

Analisis struktur dilaukan dengan mengnalisisi citra DEM-NAS, peta

topografi serta melakukan pengamatan langsung dilapangan. Pada citra DEM-

NAS dilakukan analisis struktur berdasarkan kelurusan punggungan dan kelurusan

struktur. Pada pengamatan dilapangan dilakukan pengamatan dan pengukuran

kekar gerus (Shear Joint) atau kekar berpasangan.

Analisis kinematika dan dinamika dilakukan untuk mengetahui arah tegasan

serta pengaruhnya terhadap sifat pergerakan struktur geologi yang ada di daerah

penelitian. Kemudian untuk penamaan struktur geologi yang berkembang di

daerah penelitian berdasarkan pada klasifikasi ganda oleh Rickard (1972).

a. Analisis Kelurusan

Pengamatan pola kelurusan dilakukan untuk mengetahui gambaran umum

dari struktur geologi yang berkembang didaerah penelitian, pengamatan pola

kelurusan diamati melalui citra DEM-NAS yaitu kelurusan struktur dan

punggungan.

Pola kelurusan struktur umum yang teramati memiliki arah utara-selatan dan

barat laut-tenggara. Pada daerah penelitian terdapat pola struktur yang

berkembang berupa kekar. Hasil kelurusan ini secara umum searah dengan arah

umum dari sesar geser mengiri pada Lengan Tenggara Sulawesi.

b. Analisis Struktur Kekar

Struktur yang dijumpai didaerah penelitian yaitu kekar gerus (Shear joint).

Analisis dan pengolahan data kekar di lakukan untuk menentukan arah tegasan

utama pembentuk struktur geologi serta menentukan rezim atau pergerakan


34

tektonik di daerah penelitian. Dari hasil obserfasi lapangan di jumpai tiga shear

joint yang dilakukan pada tiga stasiun pengamatan yang berbeda.

Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dengan menggunakan stereografi

dari data kekar dijumpai arah tegasan utama yang membentuk struktur geologi

berarah Barat laut- Tenggara (N 137˚E/50), tegasan menegah berarah Utara barat

laut- selatan menenggara (N322˚E/37), serta tegasan terkecil berarah Barat daya-

timur laut (N232˚/00). Hasil proyeksi dihubungkan yang diperoleh dihubungkan

dengan klasifikasi Anderson (1951). Berdasarkan hasil proyeksi dan dihubungkan

dengan klasifikasi diketahui bahwa pergerakan tektonik daerah penelitian adalah

bergerak bergeser atau biasa disebut StrikeSlip (sesar geser).

Gambar 45. Hasil proyeksi stereografi data kekar gerus daerah penelitian
35

Catatan :
Sesar mendatar (strike-slip fault)
terbentuk apabila
SHmax merupakan principal
stressmaksimum (S1),
SV adalah principal
stress menengah (S2), dan
Shmin merupakan principal
stress minimum (S3).

Gambar 46. Klasifikasi Sesar dan Principal Stress Pembentuknya (Anderson,1951).

c. Analisis struktur sesar daerah penelitian

Pada daerah penelitian dijumpai 2 struktur sesar yang berkembang yaitu

Sesar Naik mengiri Lampangi Jaya yang berada pada bagian Selatan daerah

peneltian tepatnya dilakukan pengamatan pada ST8 dan ST31, Sesar Menganan

Lampangi Jaya yang berada pada bagian timur daerah penelitian tepatnya

dilakukan pengamatan pada ST32,. Penamaan dari sesar tersebut berdasarkan

klasifikasi Rickard 1972, dan mencantumkan nama daerah penelitian.

1) Sesar Naik Lampangi Jaya

Gambar 47. Struktur (kekar gerus dan tarik) pada ST8 dan ST31
36

Sesar ini terdapat pada bagian selatan daerah penelitian dengan arah Barat

laut- Tenggara. Sesar ini dibentuk dengan tegasan utama yang berarah

Baratbaratlaut-Timurtenggara. Sesar ini terbentuk dikaitkan dengan terjadinya

tumbukan (koalisi) antara dua kepingan yaitu Kepingan Benua Sulawesi Tenggara

dan Kepingan Buton (Gambar 47). Indikasi sesar ini dapat dikenali dari citra

SRTM, sesar ini menjadi menjadi batas antara morofologi perbukitan dan

pedataran didaerah peneltian (Gambar 48).

Gambar 48. Sesar Naik mengiri Lampangi Jaya pada kelurusan citra SRTM

Analisis data dari Sesar Naik Mengiri Lampangi Jaya dilakukan dengan data

kekar, gerus dan breaksiasi hasil pengukuran lapangan, berdasarkan hasil analisis

kinematik dari data struktur dilapangan didapatkan kedudukan bidang sesar

N222˚E/21˚. Berdasarkan klasifikasi Rickard (1972) sesar ini memiliki sifat

pergerakan naik mengiri.


37

2) Sesar Menganan Lampangi Jaya

Gambar 49. Struktur pada ST32

Gambar 50. Sesar Menganan Lampangi Jaya pada kelurusan citra SRTM

Sesar ini terdapat pada bagian Timur daerah penelitian dengan arah Utara-

Selatan. Sesar Menganan Lampangi Jaya dibentuk dengan arah tegasan utama
38

yang berarah Selatanbaratdaya- Utaratimurlaut. Sesar ini terbentuk diakibatkan

dengan proses pergerakan sesar regional berarah Baratlaut-Tenggara sehingga

membentuk 40º dari arah utama Lengan Tenggara Sulawesi, hal ini yang

mengakibatkan terbentuknya sesar minor pada daerah penelitian. Indikasi sesar ini

dapat dikenali dari citra SRTM, sesar ini nampak pada morfologi pengunungan

pada daerah penelitian (Gambar 50).

Gambar 51. Pergeseran pengunungan pada daerah penelitian

Analisis Sesar Menganan Lampangi Jaya dilakukan dengan data kekar gerus

dan tarik hasil pengukuran dilapangan, berdasarkan hasil analisis kinematik dari

data struktur dilapangan didapatkan bidang sesar N298ºE/08. Berdasarkan

klasifikasi Rickard (1972) sesar ini memiliki sifat pergerakan bergeser menganan.

4. Sejarah Geologi Daerah Penelitian

Sejarah geologi pada umumnya menjelaskan tentang suatu peristiwa geologi

yang terjadi dalam ruang dan waktu, hal ini mencakup waktu suatu batuan

terbentuk (umur batuan), dan lingkungan batuan tersebut terbentuk. Dalam

menrekonstruksi sejarah geologi membutuhkan data lapangan serta interpretasi

data penunjang lainnya, baik foto udara dan citra satelit. Penentuan sejarah
39

geologi daerah penelitian juga mengacu pada referensi penelitian terdahulu yang

telah dilakukan sebelumnya. Model sejarah geologi daerah penelitian dimulai dari

zaman kapur ketika batuan tertua yang terbentuk pertama kali tersingkap hingga

saat ini (resen).

Sejarah geologi daerah penelitian dimulai dengan terbentuknya batuan beku

ultrabasa jenis peridotit, yang terbentuk dari proses kristalisasi magma dari

deferensiasi, asimilasi maupun pencampuran magma. Proses ini ditandai dengan

komposisi mineral terdiri dari mineral olivin dan terdapat mineral piroksen yang

terbentuk pada suhu >1000˚C, dari dua mineral utama tersebut terjadi kristalisasi

magma yang kompleks. Batuan beku pada daerah penelitian menjadi penyusun

kerak samudra dan terbentuk karena adanya pemekaran lantai samudra atau

obduksi. Awal terbentuknya batuan ultrabasa pada zaman kapur terjadi obduksi

lalu terjadinya tumbukan yang menyebabkan patahan dan terangkatnya batuan

kerak samudra kepermukaan yang disebut Kompleks Ofiolit.

Setelah terjadinya proses pengangkatan, batuan beku pada daerah penelitian

terubah, dikarenakan batuan beku tidak resisten terhadap asam, maka batuan beku

mengalami proses laterisasi dan serpentinisasi, hal ini terjadi sejak proses obduksi

berlangsung sehingga mengubah batuan beku menjadi serpentin- dunit dan

serpentin- piroksenit. Sehingga batuan peridotit dan serpentinisasi pada daerah

penelitian terbentuk secara selaras. Kemudian Zaman setelah proses terbentuknya

Kompleks Ofiolit terjadi Time gap (hiatus) dengan tidak adanya proses

terbentuknya batuan.
40

Pada Zaman Neogen Kala Miosen terjadi pengendapan batugamping

dengan jenis kalkarenit dimana batuan ini berasal dari laut dangkal yang

kemudian terangkat kepermukaan dan mengalami kontak tidak selaras terhadap

satuan batuan ultramafik pada daerah penelitian.


41

Anda mungkin juga menyukai