Anda di halaman 1dari 21

ANALISIS KARAKTERISTIK ENDAPAN NIKEL LATERIT DI

DAERAH KABAENA SELATAN KABUPATEN BOMBANA


PROVINSI SULAWESI TENGGARA

PROPOSAL PENELITIAN

DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI SEBAGIAN PERSYARATAN MENCAPAI


DERAJAT SARJANA (S1)

DIAJUKAN OLEH :

ASTARI AKUI

R1C119004

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI

FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2022
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Nikel laterit merupakan salah satu mineral logam hasil dari proses
pelapukan kimia batuan ultramafic yang mengakibatkan pengkayaan unsur
Ni, Fe, Mn dan Co secara residual dan sekunder (Syafrizal et al.,
2011;Burger, 1996 dalam Lintjewas lediyantje dkk, 2019 ). Nikel laterit
dicirikan oleh adanya logam oksida yang berwarna coklat kemerahan
mengandung Ni dan Fe (Cahit et al., 2017 dalam Lintjewas lediyantje dkk,
2019). Salah satu factor yang mempengaruhi pembentukan endapan nikel
laterit adalah morfologi, batuan asal dan tingkat pelapukan (Kurniadi et
al., 2017 dalam Lintjewas lediyantje dkk, 2019).
Endapan nikel laterit memiliki banyak kegunaan diantaranya
sebagai bahan produksi stainless steel atau baja tahan karat yang
diaplikasihkan pada peralatan dapur (sendok dan peralatan masak),
ornament-ornamen rumah dan Gedung, serta komponen industri.
Keterdapatan endapan nikel laterit terbesar dibeberapa negara seperti
Brazil, Rusia, Australia, Cina, New Caledonia dan Indonesia. Di Indonesia
itu sendiri dapat dijumpai di daerah Halmahera, Morowali, Sorowako, dan
Sulawesi Tenggara.
Adapun penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Budy Santoso
dan Subagio (2018) mengenai pemodelan nikel laterit berdasarkan data
resistivitas di daerah Kabaena Selatan Kabupaten Bombana, Provinsi
Sulawesi Tenggara.
Sehubungan dengan uraian di atas maka saya selaku penulis
tertarik untuk melakukan penelitian tentang analisis karakteristik endapan
nikel laterit di daerah Kabaena Selatan Kabupaten Bombana Provinsi
Sulawesi Tenggara.
I.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah :
1) Bagaimana kondisi geologi regional daerah penelitian
2) Bagaimana proses pembentukan endapan nikel laterit daerah
penelitian
3) Bagaimana karakter petrografi batuan dasar endapan nikel laterit
daerah penelitian

I.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk :
1) Menegetahui Bagaimana kondisi geologi regional daerah penelitian
2) Mengetahui proses pembentukan endapan nikel laterit daerah
penelitian
3) Bagaimana karakter petrografi batuan dasar endapan nikel laterit
daerah penelitian

I.4 Manfaat
Manfaat dari penelitian ini yaitu untuk menentukan karakteristik endapan
nikel laterit. Hal ini bisa digunakan sebagai bahan referensi baik dalam
eksplorasi untuk kegitan industri pertambangan nikel
BAB II
TINJUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional


Sulawesi dan pulau-pulau kecil disekitarnya mempunyai kondisi
geologi yang kompleks. Hal ini disebabkan kawasan itu merupakan tempat
tumbukan aktif dari tiga lempeng (triple junction): Lempeng Hindia-Australia
yang bergerak relatif ke arah utara, Lempeng Samudra Pasifik bergerak relatif
ke barat, dan Lempeng Eurasia yang relatif diam. Tumbukan ketiganya
mengakibatkan (di antaranya) kawasan itu mempunyai struktur geologi dan
stratigrafi yang rumit, serta komposisi batuan yang beragam. Akan tetapi,
kerumitan itu justru menarik para ahli ilmu kebumian dari dalam dan luar
negeri untuk meneliti.
Pulau Sulawesi mempunyai bentuk seperti huruf “K” yang ujung kiri
atasnya memanjang dan berputar searah jarum jam sehingga hampir barat-
timur. Bagian itu dinamai Lengan Utara, sedangkan bagian di bawahnya yang
memanjang barat lauttenggara diberi nama Lengan Timur. Kaki kirinya
(belakang) disebut Lengan Selatan dan kaki kanan (depan) dinamai Lengan
Tenggara.Daerah pertemuan keempat lengan itu dinamai bagian Tengah
Sulawesi, sedangkan bagian yang melengkung, menghubungkan bagian
Tengah Sulawesi dengan Lengan Utara disebut Leher Sulawesi.

2.1.1 Gemorfologi Regional


Van Bamelan (1945), dalam Geologi Lengan Tenggara Sulawesi oleh
Surono, membagi lengan Tenggara Sulawesi menjadi tiga bagian: ujung utara,
bagian tengah, dan ujung selatan. Ujung utara dari Palopo sampai Teluk Tolo
dibentuk oleh batuan ofiolit. Bagian tengah, yang merupakan bagian paling
lebar sampai 162.5 km, di dominasi batuan malihan dan batuan sedimen
Mesozoikum. Ujung selatan Lengan Tenggara merupakan bagian yang relatif
lebih landai, batuan penyusunnya didominasi batuan sedimen Tersier. Lembar
Kolaka menempati bagian tengah dan ujung selatan dari lengan tenggara
Sulawesi. Ada 5 satuan morfologi pada bagian tengah dan ujung selatan
lengan tenggara Sulawesi, yaitu morfologi pegunungan, morfologi perbukitan
tinggi, morfologi perbukitan rendah, morfologi pedataran dan morfologi karst.

Gambar 2.1.1 Bagian Lengan Tenggara Sulawesi Dari Citra IFSAR ( Surono,
2013)

a. Morfologi pegunungan
Satuan morfologi pegunungan menempati bagian terluas di
kawasan ini, terdiri atas Pegunungan Mekongga, Pegunungan
Tangkelemboke, Pegunungan Mandoke dan Pegunungan Rumbia yang
terpisah di ujung Selatan Lengan Tenggara. Puncak tertinggi pada
rangkaian Pegunungan Mekongga adalah Pegunungan Mekongga yang
mempunyai ketinggian 1500 mdpl. Satuan morfologi ini mempunyai
mempunyai topografi yang kasar dengan kemiringan lereng tinggi.
Rangkaian pegunungan dalam saruan ini mempunyai pola yang hampir
sejajar berarah barat laut-tenggara.Arah ini sejajar dengan pola struktur
sesar regional di kawasan ini. Pola ini mengindikasikan bahwa
pembentukan morfologi pegunungan itu erat hubungannya dengan sesar
regional. Satuan pegunungan terutama dibentuk oleh batuan malihan dan
setempat oleh batuan ofiolit. Ada perbedaan yang khas diantara kedua
penyusun batuan itu. Pegunungan yang disusun oleh batuan ofiolit
mempunyai punggung gunung yang panjang dan lurus dengan lereng
relatif lebih rata, serta kemiringan yang tajam, sementara itu, pegunungan
yang dibentuk oleh batuan malihan, punggung gunung terputus pendek-
pendek dengan lereng yang tidak rata walaupun bersujud tajam.

b. Morfologi perbukitan tinggi


Morfologi perbukitan tinggi menempati bagian selatan Lengan
Tenggara Sulawesi, terutama di selatan Kendari. Satuan ini terdiri atas
bukit-bukit yang mencapai ketinggian 500 mdpl dengan morfologi kasar.
Batuan penyusun morfologi ini berupa batuan sedimen klastik
Mesozoikum dan Tersier.

c. Morfologi perbukitan rendah


Morfologi perbukitan rendah melampar luas di utara Kendari dan
ujung selatan Lengan Tenggara Sulawesi. Satuan ini terdiri atas bukit kecil
dan rendah dengan morfologi yang bergelombang. Batuan penyusun
satuan ini terutama batuan sedimen klastik Mesozoikum dan Tersier.

d. Morfologi pedataran
Morfologi dataran rendah dijumpai di bagian tengah ujung selatan
Lengan Tenggara Sulawesi. Tepi selatan dataran Wawotobi dan dataran
Sampara berbatasan langsung dengan morfologi pegunungan.Penyebaran
morfologi ini tampak sangat dipengaruhi oleh sesar geser mengiri (Sesar
Kolaka dan Sistem Sesar Konaweha). Kedua sistem ini diduga masih aktif,
yang ditunjukan oleh adanya torehan pada endapakn alluvial dalam kedua
dataran tersebut (Surono dkk, 1997). Sehingga sangat mungkin kedua
dataran itu terus mengalami penurunan. Akibat dari penurunan ini tentu
berdampak buruk pada dataran tersebut, diantaranya pemukiman dan
pertanian di kedua dataran itu akan mengalami banjir yang semakin parah
setiap tahunnya.
e. Morfologi karst
Morfologi Karst melampar di beberapa tempat secara terpisah.
Satuan ini dicirikan perbukitan kecil dengan sungai di bawah permukaan
tanah. Sebagian besar batuan penyusun satuan morfologi ini didominasi
oleh batugamping berumur paleogen dan selebihnya batugamping
mesozoikum. Batugamping ini merupakan bagian Formasi Emoiko,
Formasi Laonti, Formasi Buara dan bagian atas dari Formasi Meluhu.
Sebagian dari Batugamping penyusun satuan morfologi ini sudah terubah
menjadi M armer. Perubahan ini erat hubungannya dengan pensesar-
naikkan ofiolit keatas kepingan benua

2.1.2 Stratigrafi Regional


Menurut Simandjuntak dkk. (1993), stratigrafi regional daerah
penelitian mulai batuan termuda hingga tertua, terdiri atas :

a. Aluvium (Qa)
Satuan formasi ini terdiri atas lumpur, lempung, pasir kerikil dan
kerakal. Satuan ini merupakan endapan sungai, rawa dan endapan
pantai. Umur satuan ini adalah Holosen.
b. Formasi Langkowala (Tml)
Terdiri atas konglomerat, batupasir, serpih dan setempat kalkarenit.
Konglomerat mempunyai fragmen beragam yang umumnya berasal
dari kuarsa dan kuarsit, dan selebihnya berupa batu pasir malih, sekis
dan ultrabasa. Formasi ini banyak dibatasi oleh kontak struktur dengan
batuan lainnya dan bagian atas menjemari dengan bagian bawah
batuan sedimen formasi Boepinang (Tmpb). Hasil penanggalan umur
menunjukkan bahwa batuan ini terbentuk pada Miosen Tengah.
c. Komplek Pompangeo (Mtpm)
Satuan formasi ini berumur Kapur – Paleosen yang terdiri atas sekis
mika, sekis glokofan, sekis amfibolit, sekis klorit, rijang berlapis sekis
genesan, pualam,dan batugamping malih.
d. Formasi Matano (Km)
Satuan formasi ini berumur Kapur terdiri dari batugamping terhablur
ulang dan terdaunkan, rijang radiolaria, dan batusabak.
e. Komplek Ultramafik (Ku)
satuan formasi ini merupakan satuan formasi batuan tertua yang
berumur Kapur terdiri atas harsburgit, dunit, wherlit, serpentinit,
gabro, basal, dolerit, diorit, mafik malih, amfibiolit magnesit, dan
setempat rodingit.

Korelasi stratigrafi dengan formasi batuan penyusun peta geologi


regional lembar Kolaka (Gambar 2.1.2) diurutkan dari termuda yaitu
sebagai berikut :

Gambar 2.1.2 Korelasi stratigrafi dengan formasi batuan penyusun peta


geologi regional lembar Kolaka (Modifikasi stratigrafi lembar geologi Kolaka,
Surono,1993).

2.1.3 Struktur Geologi Regional


Surono (2013) menyatakan Struktur yang terbentuk di Pulau
Sulawesi mempunyai berbagai skala meliputi penunjaman dan zona
tumbukan, sesar naik, sesar, dan lipatan. Pada lengan tenggara Sulawesi,
struktur utama yang terbentuk setelah tumbukan adalah Sesar Geser
Mengiri yang terutama terdiri atas Sesar Lawanopo, sistem Sesar
Konaweha (Sesar Lainea), Sesar Kolaka, dan Sesar Matano serta Liniasi.

Struktur geologi yang terdapat di daerah penelitian berupa sesar


geser dan sesar naik dengan arah sesar yang tidak beraturan (Simandjuntak
dkk.,1993). Di daerah penelitian terdapat Sesar Sungkup yang berarah
hampir Barat-Timur mensesar sungkupkan Komplek Ultramafik ke atas
Komplek Pompangeo dan sedimen malih Kabaena, diduga terjadi pada
Mesozoikum (Moe'tamar, 2005).

Menurut Surono dkk 1997, dalam Surono 2010 terdapat 3 periode


tektonik yang terjadi di lengan Tenggara Sulawesi yaitu itu periode Pra
Tumbukan yang terekam dalam runtunan stratigrafi dan sedimentologi
Trias-Oligosen awal dari kepingan benua Sulawesi Tenggara, periode
tumbukan yang teridentifikasi kepingan benua dan ofiolit dari jalur ofiolit
Sulawesi Timur dan periode pasca tumbukan yang terekam dalam Molasa
Sulawesi.

Periode pra tumbukan merupakan periode yang terdapat 4 tahapan


tektonik utama yaitu tahapan pra pemisahan Perm sampai Trias, tahap
pemisahan Jura, rentangan apungan (rift-drift) Jura Akhir-Oligosen dan
subduksi kapur air. Lalu periode tumbukan merupakan periode yang
terjadi pada tumbukan antara kepingan benua dan ofiolit yang
menyebabkan terbentuknya sesar naik ,struktur imbrikasi dan lipatan.
Sedangkan periode pasca tumbukan merupakan periode yang
menghasilkan struktur utama berupa sesar geser mengiri yaitu sesar
Matarombeo, sistem sesar 15 Lawanopo yang berarah barat laut-tenggara
yang berasosiasi dengan batuan campur aduk Toreo. Sesar Konaweha
yang mengiri batuan sepanjang sungai Konaweha dan memanjang sekitar
50 Km. Sesar Kolaka memanjang sekitar 250 Km dari pantai barat Teluk
Bone sampai ujung Selatan lengan Tenggara Sulawesi. Diduga sesar
Kolaka dan sesar Wawotobi yang membentuk cekungan Sampara
(Surono,2010 dalam Zakaria,2015).
Struktur geologi yang berkembang di Lengan Tenggara Sulawesi
didominasi oleh sesar berarah barat laut-tenggara, yang utama terdiri atas
Sesar Matano, Kelompok Sesar Kolaka, Kelompok Sesar Lawanopo, dan
Kelompok Sesar Lainea.

2.2 Definisi Endapan Nikel Laterit


Pada umumnya endapan nikel terdapat dalam dua bentuk yang
berlainan, yaitu berupa nikel sulfida dan nikel laterit. Endapan nikel laterit
merupakan bijih yang dihasilkan dari proses pelapukan batuan ultrabasa
yang ada di atas permukaan bumi. Istilah Laterit sendiri diambil dari
bahasa Latin “later” yang berarti batubata merah, yang dikemukakann oleh
M. F. Buchanan (1807), yang digunakan sebagai bahan bangunan di
Mysore, Canara dan Malabr yang merupakan wilayah India bagian selatan.
Material tersebut sangat rapuh dan mudah dipotong, tetapi apabila terlalu
lama terekspos, maka akan cepat sekali mengeras dan sangat kuat
(resisten) Smith (1992) mengemukakan bahwa laterit merupakan regolith
atau tubuh batuan yang mempunyai kandungan Fe yang tinggi dan telah
mengalami pelapukan, termasuk di dalamnya profil endapan material hasil
transportasi yang masih tampak batuan asalnya. Sebagian besar endapan
laterit mempunyai kandungan logam yang tinggi dan dapat bernilai
ekonomis tinggi, sebagai contoh endapan besi, nikel, mangan dan bauksit.
Dari beberapa pengertian bahwa laterit dapat disimpulkan merupakan
suatu material dengan kandungan besi dan aluminium sekunder sebagai
hasil proses pelapukan yang terjadi pada iklim tropis dengan intensitas
pelapukan tinggi. Di dalam industri pertambangan nikel laterit atau proses
yang diakibatkan oleh adanya proses lateritisasi sering disebut sebagai
nikel sekunder

2.2.1 Faktor-Faktor yang mempengaruhi pembentukan Nikel Laterit


Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan bijih nikel laterit adalah :
1. Batuan asal
Adanya batuan asal merupakan syarat utama untuk terbentuknya
endapan nikel laterit, macam batuan asalnya adalah batuan ultra basa.
Dalam hal ini padabatuan ultra basa tersebut: - terdapat elemen Ni yang
paling banyak diantara batuan lainnya - mempunyai mineral-mineral yang
paling mudah lapuk atau tidak stabil, seperti olivin dan piroksin -
mempunyai komponen-komponen yang mudah larut dan memberikan
lingkungan pengendapan yang baik untuk nikel.
2. Iklim
Adanya pergantian musim kemarau dan musim penghujan dimana
terjadi kenaikan dan penurunan permukaan air tanah juga dapat
menyebabkan terjadinya proses pemisahan dan akumulasi unsur-unsur.
Perbedaan temperatur yang cukup besar akan membantu terjadinya
pelapukan mekanis, dimana akan terjadi rekahanrekahan dalam batuan
yang akan mempermudah proses atau reaksi kimia pada batuan.
3. Raegan-raegan kimia dan vegetasi
Yang dimaksud dengan reagen-reagen kimia adalah unsur-unsur dan
senyawasenyawa yang membantu mempercepat proses pelapukan. Air
tanah yang mengandung CO2 memegang peranan penting didalam proses
pelapukan kimia. Asam-asam humus menyebabkan dekomposisi batuan
dan dapat merubah pH larutan. Asam-asam humus ini erat kaitannya
dengan vegetasi daerah. Dalam hal ini, vegetasi akan mengakibatkan:
penetrasi air dapat lebih dalam dan lebih mudah dengan mengikuti jalur
akar pohon-pohonan , akumulasi air hujan akan lebih banyak , dan humus
akan lebih tebal. Keadaan ini merupakan suatu petunjuk, dimana hutannya
lebat pada lingkungan yang baik akan terdapat endapan nikel yang lebih
tebal dengan kadar yang lebih tinggi. Selain itu, vegetasi dapat berfungsi
untuk menjaga hasil pelapukan terhadap erosi mekanis.
4. Struktur
Struktur yang sangat dominan yang terdapat didaerah Polamaa ini
adalah struktur kekar (joint) dibandingkan terhadap struktur patahannya.
Seperti diketahui, batuan beku mempunyai porositas dan permeabilitas
yang kecil sekali sehingga penetrasi air sangat sulit, maka dengan adanya
rekahan-rekahan tersebut akan lebih memudahkan masuknya air dan
berarti proses pelapukan akan lebih intensif
5. Topografi
Keadaan topografi setempat akan sangat mempengaruhi sirkulasi
air beserta reagen-reagen lain. Untuk daerah yang landai, maka air akan
bergerak perlahan-lahan sehingga akan mempunyai kesempatan untuk
mengadakan penetrasi lebih dalam melalui rekahan-rekahan atau pori-pori
batuan. Akumulasi andapan umumnya terdapat pada daerah-daerah yang
landai sampai kemiringan sedang, hal ini menerangkan bahwa ketebalan
pelapukan mengikuti bentuk topografi. Pada daerah yang curam, secara
teoritis, jumlah air yang meluncur (run off) lebih banyak daripada air yang
meresap ini dapat menyebabkan pelapukan kurang intensif
6. Waktu
Waktu yang cukup lama akan mengakibatkan pelapukan yang
cukup intensif karena akumulasi unsur nikel cukup tinggi.

2.2.2 Proses Pembentukan Nikel Laterit


Batuan induk bijih nikel adalah batuan peridotit. Menurut
Vinogradov batuan ultra basa rata-rata mempunyai kandungan nikel
sebesar 0,2 %. Unsur nikel tersebut terdapat dalam kisi-kisi kristal mineral
olivin dan piroksin, sebgai hasil substitusi terhadap atom Fe dan Mg.
Proses terjadinya substitusi antara Ni, Fe dan Mg dapat diterangkan karena
radius ion dan muatan ion yang hampir bersamaan diantara unsurunsur
tersebut. Proses serpentinisasi yang terjadi pada batuan peridotit akibat
pengaruh larutan hydrothermal, akan merubah batuan peridotit menjadi
batuan serpentinit atau batuan serpentinit peroditit. Sedangkan proses
kimia dan fisika dari udara, air serta pergantian panas dingin yang bekerja
kontinu, menyebabkan disintegrasi dan dekomposisi pada batuan induk.
Pada pelapukan kimia khususnya air tanah yang kaya akan CO2
berasal dari udara dan pembusukan tumbuh-tumbuhan menguraikan
mineral-mineral yang tidak stabil (olivine dan piroksin) pada batuan uktra
basa, menghasilkan Mg, Fe, Ni yang larut, Si cenderung membentuk
koloid dari partikel-partikel silica yang sangat halus. Didalam larutan, Fe
teroksidasi dan mengendap sebagai ferri-hydrogsida, akhirnya membentuk
mineral-mineral seperti geothit, limonit, dan haematit dekat permukaan.
Bersama mineral-mineral ini selalu ikut serta unsur cobalt dalam jumlah
kecil. Larutan yang mengandung Mg, Ni, dan Si terus menerus kebawah
selama larutannya bersifat asam, hingga pada suatu kondisi dimana
suasana cukup netral akibat adanya kontak dengan tanah dan batuan, maka
ada kecenderungan untuk membentuk endapan hydrosilikat.

Nikel yang terkandung dalam rantai silikat atau hydrosilikat


dengan komposisi yang mungkin bervariasi tersebut akan mengendap pada
celah-celah atau rekahan-rekahan yang dikenal dengan urat-urat garnierit
dan krisopras. Sedangkan larutan residunya akan membentuk suatu
senyawa yang disebut saprolit yang berwarna coklat kuning kemerahan.
Unsur-unsur lainnya seperti Ca dan Mg yang terlarut sebagai bikarbonat
akan terbawa kebawah sampai batas pelapukan dan akan diendapkan
sebagai dolomit, magnesit yang biasa mengisi celah-celah atau rekahan-
rekahan pada batuan induk. Dilapangan urat-urat ini dikenal sebagai batas
petunjuk antara zona pelapukan dengan zona batuan segar yang disebut
dengan akar pelapukan (root of weathering).

Menurut Golithtly (1979) dalam Suratman (2000) zonasi profit


laterit dibagi menjadi 4, yaitu :

a) Zona Limonite Overburden (LO)


Zona ini terletak paling atas dari profil dan sangat dipengaruhi oleh
aktivitas permukaan yang kuat. Tersusun oleh humus dan limonit.
Mineral– mineral penyusunnya geothit, hematite, tremolit dan
mineral–mineral lainnya yang terbentuk pada kondisi asam dekat
permukaan dengan relief relative datar. Secara umum material-material
penyusun zona ini berukuran halus (lempung lanau), sering dijumpai
mineral stabil seperti spinel, magnetit, dan kromit.

b) Zona Medium Grade Limonite (MGL)


Zona ini mempunyai sifat fisik tidak jauh dari zona limonite.
Teksture sisa batuan induk mulai dapat dikenal dengan hadirnya
fragmen batuan induk, yaitu peridotit atau serpentinit. Rata – rata
berukuran antara 1-2 cm dalam jumlah sedikit. Ukuran material
penyusun berkisar antara lempung – pasir halus. Ketebalan zona ini
berkisar antara 0-6 meter. Umumnya singkapan zona ini terdapat pada
lereng bukit yang ralatif datar. Mineralisasi sama dengan zona limonit
dan zona saprolit, yang membedakan adalah hadirnya kuarsa,
lithiopirit, dan opal.

c) Zona Saprolit
Zona ini merupakan zona bijih, tersusun atas fragmen – fragmen
batuan induk yang teralterasi, sehingga penyusunan, tekstur dan
struktur batuan dapat dikenali. Zona ini dibagi lagi menjadi 3 bagian :

 Mineral –mineral supergen urat


Terdiri dari mineral – mineral garnierite, kuarsa, asbolit,
magnesit.
 Mineral – mineral primer terlapukan
Adalah serpentin mengandung nikel – besi sepertin, magnetit,
nickelliferous chlorite (schuscardite)
 Produk pelapukan tahap awal
Limonit nicklleferous + mineral residu batuan induk tidak
teralterasi.
d) Zona Bedrock
Berada paling bawah dari profil laterit. Batuan induk ini
merupakan batuan yang masih segar dengan pengaruh proses – proses
pelapukan sangat kecil. Batuan induk umumnya berupa peridotit,
serpentinit atau peridotit terserpentinisasi.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini akan dilaksakan sekitar tiga bulan melalui dari bulan
September 2023 hingga Desember 2023. Daerah Kabaena Selatan,
Bombana, Sulawesi Tenggara.

Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelian

3.2 Jenis Penelitian


Jenis penelitian yang digunakan adalah observasi dan kuantitatif.
Penelitian observasi yang dilakukan secara langsung dengan mengumpulkan
data-data primer. Penelitian kuantitatif yaitu dengan mengumpulkan data
sekunder untuk melengkapi data primer yang dimana data sekunder yaitu
data yang telah dikerjakan dan telah diteliti oleh peneliti sebelumnya atau
oleh instansi terkait. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terbagi 2
yaitu data primer dan data sekunder. Jenis penelitian yang digunakan adalah
observasi dan kuantitatif.

3.3 Instrumen Penelitian


Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada
tabel berikut :

Tabel 3.4.1 Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian

No Alat dan Bahan Kegunaan


1 Peta Topografi 1:25.000 Sebagai peta dasar daerah penelitian
2 Palu Geologi Menyampling singkapan
3 Kompas Geologi Untuk menetukan arah dan orientasi
lapangan
4 GPS (Global Positining System) Penentuan lokasi dengan titik
koordinat
5 Buku Lapangan Tempat untuk mencatat hasil
identifikasi lapangan
6 Kamera Untuk mengambil foto di lapangan
7 Alat Tulis Alat bantu dalam penulisan data
lapangan
8 Seperangkat Laptop Untuk mengolah data dan
menjalankan perangkat lunak ArcGis
10.3
9 Perangkat Lunak ArcGis 10.3 Untuk membuat peta
10 Printer Untuk memprin hasil
11 Loupe pembesaran 10x Untuk mengamati mineral penyusun
batuan di lapangan
12 Peta geologi lembar Kolaka skala Untuk melihat geologi regional
1:250.0000 daerah penelitian
13 Kantong sampel Tempat menyimpan sampel
14 Clipboard Alat bantu dalam menulis serta
pengukuran data di lapangan
15 Tas ransel Tempat untuk menyimpan semua
peralatan yang digunakan di
lapangan

3.4 Tahapan prosedur penelitian


Penelitian terdiri dari beberapa tahap, yaitu tahap studi pustaka, tahap
pengambilan data lapangan dan tahap analisis dan pengolahan data

3.4.1 Tahap studi pustaka

Tahap ini merupakan tahap awal dari suatu kegiatan penelitian


sebelum pengambilan data-data lapangan yaitu persiapan berupa studi
pustaka untuk mengetahui bagaimana kondisi daerah penelitian secara
umum, dilakukan pengumpulan informasi berupa literatur dan publikasi
dari peneliti terdahulu yang berkaitan dengan tugas akhir, serta dilakukan
diskusi dengan dosen pembimbing.

3.4.2 Tahap pengambilan data lapanagan


Pada tahap ini dilakukan pengamatan lapangan secara langsung
pada daerah penelitian. Penelitian geologi lapangan dilakukan untuk
mengambil data geomorfologi, data litogi, data pemboroan, dan
pengambilan sampel batuan untuk dianalisis di laboratorium yang
bertujuan untuk mengetahui ketebalan, penyebaran laterit dan
pengambilan sampel endapan nikel laterit dilakukan perlevel atau parametr
untuk menegtahui perubahan kadar nikel laterit.

3.4.3 Tahap analisis dan pengolahan data


Pada tahapan ini dilakukan analisis dan pengolahan data yang
dilakukan di laboratorium. Adapun analisis yang dilakukan pada tahapan
ini yaitu analisis petrogarfi dilakukan dengan menggunakan mikroskop
polarisasi dan analisis XRF dilakukan untuk mengetahui kadar nikel laterit
dan unsur lainnya pada zona saproli.
Pengolhan yang dihasilkan dari analisis ini yaitu diketahuinya
profil endapan nikel laterit beserta kadarnya serta karakteristik bijih nikel
pada zona saprolit dan karakteristik petrografi batuan dasar endapan nikel
laterit

3.4.4 Diagram alir penelitian

Mulai

1. Adminitrasi
2. Studi pustaka
3. Pembuatan proposal
Tahapan pendahuluan
4. Perlengkapan alat

Pengolahan Data Analisis Petrografi

Pembuatan peta lintasan


Pembuatan peta geologi
Profil endapan nikel laterit
Karakteristik bijih nikel pada
zona saprolit
Petrografi batuan dasar
endapan nikel laterit

Selesai
Gambar 3.4.4 Diagram Alir Penelitian
DAFTAR PUSTAKA

Bateman, A. M., 1956, “The Formation of Mineral Deposits” John Wiley & Sons
Inc, Third Edition.

Edwards, R., and Atkinson, K., 1986, “Ore Deposits Geology”, Chapman and
Hall Lmt, New York.

Lindgreen, W., 1933, Mineral Deposits, McGraw–Hill Book Company,NewYork.

Litjewas, L. dkk. (2019). Profil Endapan Nikel Laterit di Daerah Palangga,


Provinsi Sulawesi Tenggara. Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI Vol.
29,No. 1, 1-2.

Mottana, A., Crespi, R. And Liborto, G., 1995, “ Guide Rocks and Minerals”,
Published by Simon & Schuster Inc, New York

Raivel dan Firman. (2020). Karakteristik Endapan Nikel Laterit di Bawah Molasa
Sulawesi Daerah Tianggea, Sulawesi Tenggara. JURNAL GEOmining
Teknik Pertambangan Unkhair Vol 1. No.1, 25-26.

Surono. (2013). Geologi Lengan Tenggara Sulawesi. In N. Surwana (Ed.), Badan


Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Cetakan Ke
dua).

Surono, P. D. (Ed.). (2010). Geologi Sulawesi (1st ed.). LIPI Press, Anggota
Ikapi. T.O Simandjuntak, Surono, S. (1993). Peta Geologi Lembar
Kolaka, Sulawesi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi.

Anda mungkin juga menyukai