Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN

PRAKTIKUM SEDIMENTOLOGI
ACARA I : SMEAR SLIDE

OLEH:
BINTANG MEYRISKA
D061221098

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN

GOWA
2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Formasi Mallawa merupakan formasi yang menarik untuk diselidiki, terdiri

dari batupasir kuarsa dan konglomerat kuarsa yang kemudian secara bertahap

menjadi lebih halus, dengan lapisan-lapisan batubara yang tersisip, diikuti oleh

batuan lempung dan napal yang menunjukkan endapan laut. Selain itu, terdapat juga

sisipan batugamping yang mengandung fosil-fosil moluska. Bagian atas formasi ini

kemudian ditutupi oleh Formasi Tonasa yang terdiri dari endapan batugamping

paparan.

Proses sedimentasi adalah hasil dari pelapukan suatu tubuh batuan yang

kemudian tererosi dan ditransportasikan oleh air, angin, atau kekuatan lainnya, dan

akhirnya terendapkan. Batuan sedimen terbentuk baik melalui proses mekanik,

kimia, maupun organik. Proses mekanik melibatkan akumulasi mineral dan

fragmen batuan. Faktor penting meliputi sumber material batuan sedimen serta sifat

dan komposisi batuan tersebut. Komposisi mineral dalam batuan sedimen dapat

mengungkap informasi mengenai jarak dan waktu transportasi.

Dengan tujuan agar mahasiswa dapat memahami pentingnya material dalam

batuan sedimen dan lingkungan pengendapannya, diusulkan untuk mengadakan

Fieldtrip Sedimentologi di daerah Mallawa, kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi

Selatan. Kegiatan ini diharapkan dapat melibatkan analisis granulometri, sphericity,

dan analisis smear slide sebagai aspek utama dalam pemahaman mahasiswa.
1.2 Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dari penelitian ini:

1. Bagaimana cara mengetahui analisis granulometri pada daerah penelitian

2. Bagaimana cara mengetahui analisis smear slide pada daerah penelitian

3. Bagaimana cara mengetahui analisis sphericity pada daerah penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini:

1. Mengetahui analisis granulometri pada daerah penelitian

2. Mengetahui analisis smearslide pada daerah penelitian

3. Mengetahui analisis sperecity pada daerah penelitian

4. Mengetahui lingkungan pengendapan daerah penelitian

1.3 Manfaat Penelitian

Melalui penelitian Formasi Mallawa di Daerah Tellumpanuae, Kecamatan

Mallawa, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan, dapat diperoleh manfaat

penting dalam pemahaman yang lebih mendalam terkait kompleksitas lingkungan

pengendapan. Melalui kegiatan fieldtrip, pengambilan sampel langsung dapat

memberikan analisis rinci melalui smear slide, yang memungkinkan peneliti untuk

memeriksa struktur mikroskopis sedimen dan mengidentifikasi mineral serta

organisme mikroskopis. Hal ini sangat penting dalam usaha rekonstruksi

lingkungan masa lalu. Selain itu, pengukuran sphericity akan memberikan wawasan

mendalam tentang bentuk dan stabilitas butiran sedimen. Informasi ini sangat

relevan dalam perencanaan konstruksi dan geoteknik, terutama dalam memilih

material yang sesuai untuk keperluan tersebut. Di sisi lain, analisis granulometri

akan memberikan informasi penting tentang sebaran ukuran butiran, yang pada
gilirannya akan meningkatkan pemahaman mengenai proses pengendapan serta

sifat mekanik sedimen.Melalui gabungan ketiga teknik ini, diharapkan akan

terbentuk gambaran holistik yang komprehensif mengenai lingkungan

pengendapan yang terkait dengan Formasi Mallawa di daerah tersebut.

1.4 Kesampaian Daerah

Wilayah penelitian secara administratif terletak di Desa Tellumpanuae,

Kecamatan Mallawa, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan. Secara

geografis, lokasi penelitian berada pada 04º 50' 43'' lintang selatan dan 119º 53' 4''

bujur timur. Wilayah penelitian memiliki luas sekitar 6 hektar, dengan batas-batas

titik koordinat yang dijelaskan dalam Gambar 1.1. Untuk mencapai lokasi

penelitian, dapat digunakan jalur darat dengan kendaraan roda dua maupun roda

empat. Perjalanan dari Makassar memakan waktu sekitar 2 jam 30 menit dengan

kendaraan roda empat.

Gambar 1.1 Peta Tunjuk Lokasi Penelitian


BAB II
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional Daerah Penelitian

Geologi Regional yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah Geologi

Regional Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat, Sulawesi Selatan.

Wilayah ini terletak antara koordinat 119°05' - 120°45' bujur timur dan 4° - 5°

lintang selatan.

Gambar 2.1 Geologi Regional Lembar Pangkajene dan Watampone


Bagian Barat, Sulawesi Selatan

2.1.1 Geomorfologi

Di wilayah Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat, terdapat dua

barisan pegunungan yang hampir sejajar mengarah ke utara-barat laut, dipisahkan

oleh Lembah Sungai Walanae. Bagian barat pegunungan ini mencakup sebagian

besar wilayah, dengan lebar sekitar 50 km di bagian selatan namun menyempit

menjadi 22 km di bagian utara. Puncak tertingginya mencapai 1694 m, dengan

ketinggian rata-rata sekitar 1500 m. Formasi utama pegunungan ini terdiri dari
batuan gunungapi, sementara di lereng barat dan beberapa bagian lereng timur

terdapat topografi kras dan formasi batugamping. Pegunungan ini dibatasi di bagian

barat daya oleh dataran Pangkajene-Maros yang meluas ke selatan. (Sukamto,

1982)

Di sisi lain, pegunungan di bagian timur relatif lebih sempit dan lebih rendah,

dengan puncak rata-rata berada pada ketinggian sekitar 700 m dan puncak

tertingginya mencapai 787 m. Bagian selatan pegunungan ini lebarnya sekitar 20

km, namun menyempit dan merendah ke arah utara, kemudian menurun hingga

bertemu dengan batas antara Lembah Walanae dan dataran Bone. Bagian utara

pegunungan ini memiliki topografi kras dengan permukaan yang sebagian

berbentuk kerucut. Di bagian timur laut, pegunungan ini berbatasan dengan dataran

Bone yang sangat luas, mencakup sekitar sepertiga wilayah bagian timur. Lembah

Walanae, yang terletak di antara kedua rangkaian pegunungan ini di bagian utara,

memiliki lebar sekitar 35 km di bagian tengah namun menyempit menjadi 10 km di

bagian selatan. Sungai Walanae mengalir di tengah lembah ini, mengarah ke utara.

Bagian selatan terdiri dari perbukitan rendah, sementara bagian utara dikelilingi

oleh dataran aluvial yang luas di sekitar Danau Tempe. (Sukamto, 1982)

2.1.2 Stratigrafi

Ada kelompok batuan tua yang usianya belum dapat ditentukan dengan

pasti, terdiri dari batuan ularabasa, batuan metamorf, dan batuan melange. Batuan

ini telah mengalami breksiasi dan pelapukan, serta terdapat kontak dengan formasi

di sekitarnya yang terbentuk melalui sesar atau ketidakselarasan. Penarikan data

radiometri pada sampel mengindikasikan usia sekitar 111 juta tahun, yang
kemungkinan menunjukkan peristiwa malihan terjadi pada zaman tektonik Kapur.

Batuan tua ini terdapat di bawah endapan flysch dari Formasi Balangbaru dan

Formasi Marada, yang memiliki ketebalan lebih dari 2000 m dan berumur Kapur

Akhir. Pada saat itu, aktivitas magma telah dimulai, yang ditandai oleh adanya

sisipan lava dalam lapisan flysch. (Sarasin, 1901)

Formasi Malawa sendiri terdiri dari batupasir, konglomerat, batulempung,

dan napal, dengan sisipan lapisan atau lensa batubara dan batulempung. Batupasir

umumnya terdiri dari kuarsa, dengan sedikit bagian yang terdiri dari arkosa,

grewake, dan tufaan, dengan warna umumnya berupa kelabu muda dan coklat

muda. Kekeliruan batupasir ini cenderung rapuh dan tidak padat. Sementara itu,

konglomeratnya sebagian besar tergolong padat. Batulempung, batugamping, dan

napal umumnya mengandung fosil moluska yang belum dianalisis, dengan warna

berkisar antara kelabu muda hingga kelabu tua. Batubara hadir dalam bentuk lensa

dengan ketebalan beberapa sentimeter hingga lapisan setebal 1,5 meter. (, 1901)

Sementara Formasi Balangbaru termasuk dalam jenis sedimen flysch, dengan

lapisan batupasir yang bergantian dengan batulanau, batulempung, dan serpih,

diselingi dengan konglomerat, batupasir konglomeratan, tufa, dan lava. Komposisi

batupasirnya terdiri dari grewake dan arkosa, serta sebagian mengandung tufaan

dan batugamping. Struktur turbidit umumnya terlihat, dan di beberapa lokasi

terdapat konglomerat dengan komposisi basal andesit, diorit, serpih, tufa

terkalsinasi, sekis, kuarsa, dan batupasir bersimen. Batupasir ini pada umumnya

lebih padat, dengan sebagian kecil serpih yang mengalami proses

terkalsinasi.(Sarasin, 1901)
Dalam pemeriksaan di bawah mikroskop, batupasir dan batulanau

menunjukkan adanya fragmen dari batuan beku, metasedimen, dan mikrofosil

radiolaria. Di sebelah baratlaut, batupasir menjadi lebih dominan, sementara di

bagian tenggara, batulempung dan serpih lebih melimpah. Beberapa penelitian

terbaru oleh Laboratorium Total CTF mengidentifikasi adanya mikrofosil

Globotruncana pada serpih-lanauan di sebelah timur Bantimala dan pada grewake

di jalan antara Padaelo Tanetteriaja, yang menunjukkan usia dari periode Kapur

Akhir (P.F Burollet, komunikasi pribadi, 1979). Formasi ini memiliki ketebalan

sekitar 2000 meter. (Sukamto, 1982)

2.1.3 Tekronika

Formasi Balangbaru dan Formasi Marada yang terdiri dari endapan flysch,

merupakan batuan tua yang masih mempertahankan informasi mengenai posisi

stratigrafi dan tektoniknya. Bagian bawah formasi ini menunjukkan

ketidaksela¬rasan yang menindih satuan yang lebih tua, sementara bagian atasnya

ditindih oleh batuan yang lebih muda. Proses pembentukan batuan yang lebih tua

melibatkan beberapa fenomena, termasuk sesar sungkup, breksiasi, pelapukan,

pencairan, dan sebagian di antaranya bercampur menjadi melange. Karena

fenomena tersebut, kompleks batuan ini dikenal sebagai Kompleks Tektonik

Bantimala (Sukamto, 1982).

Berdasarkan karakteristik batuannya, Formasi Balangbaru dan Formasi

Marada diduga merupakan endapan lereng di dalam sistem busur-palung pada

periode Kapur Akhir. Adanya gejala ini mengindikasikan bahwa pembentukan

melange di Daerah Bantimala terjadi sebelum periode Kapur Akhir. Aktivitas


gunungapi bawah laut mulai terjadi pada Kala Paleosen, yang terekam melalui bukti

erupsi di sebelah timur Bantimala dan di daerah Birru (lembar Ujungpandang,

Benteng & Sinjai). Pada awal Kala Eosen, daerah di bagian barat berubah menjadi

daratan, ditandai dengan pengendapan darat dan pembentukan lapisan batubara

dalam Formasi Malawa. (Sukamto, 1982).

Sementara itu, di bagian barat terjadi pengendapan batuan karbonat yang

sangat tebal dan luas mulai dari Eosen Akhir hingga awal Miosen. Kehadiran ini

menunjukkan adanya paparan laut dangkal yang luas, yang mengalami penurunan

secara bertahap seiring dengan proses pengendapan. Proses tektonik di bagian barat

ini berlangsung hingga awal Miosen, sementara di bagian timur, aktivitas

gunungapi kembali dimulai pada awal Miosen, yang ditandai dengan keberadaan

Batuan Gunungapi Kalamiseng dan Soppeng (Sukamto, 1982).

2.2 Analisis Glanulometri

Analisis granulometri adalah proses yang bertujuan untuk mengevaluasi

distribusi ukuran partikel dalam suatu bahan seperti tanah, pasir, atau kerikil.

Metode ini digunakan untuk menentukan proporsi partikel yang berbeda dalam

suatu sampel, dan memiliki peran penting dalam industri konstruksi, pertanian,

serta rekayasa sipil. Dengan bantuan analisis granulometri, sifat fisik dan mekanik

dari material dapat dipahami berdasarkan ukuran partikel yang terkandung di

dalamnya. Menurut Yasin et al. (2016) sebagaimana dikutip dalam Gemilang et al.

(2018), analisis granulometri merupakan analisis ukuran butir sedimen (Folk. 1957)

Analisis ini umumnya dilakukan untuk menentukan tingkat ketahanan

terhadap proses eksogenik dari butir sedimen, seperti pelapukan, erosi, dan abrasi,
mulai dari proses transportasi hingga deposisi sedimen. Penilaian dimensi partikel

sedimen menggunakan parameter seperti sortasi (pemilahan), skewness

(kemencengan), kurtosis (kebundaran), dan mean (rata-rata), yang berguna untuk

menjelaskan sebaran ukuran partikel dalam materi sedimen. (Folk. 1957)

2.2.1 Mean

Mean adalah nilai rata-rata yang diperoleh dari pembagian antara jumlah total

nilai dengan banyaknya data yang ada. Dalam konteks analisis granulometri, mean

mengacu pada nilai rata-rata dari seluruh ukuran butir yang terdapat dalam sampel.

Perkiraan mean aritmatika ini dapat ditentukan dengan mengambil nilai persentil

tertentu dari kurva kumulatif dan nilai rata-rata. (Folk. 1957)

Untuk menentukan mean dalam analisis granulometri, beberapa rumus yang

umumnya digunakan antara lain adalah rumus yang dikemukakan oleh Udden

(1898), Wenworth (1992), dan Friedman dan Sanders (1978). Rumus-rumus

tersebut memberikan metode untuk menghitung nilai mean berdasarkan distribusi

ukuran butir dalam sampel yang dianalisis. Dengan demikian, mean dapat

memberikan gambaran tentang ukuran butir yang mewakili secara umum dari

sampel yang diteliti. (Folk. 1957)

𝑝16 + 𝑝50 + 𝑝84


𝑀𝑧 =
3

2.2.2 Standar Deviasi atau Sortasi

Sortasi merupakan ukuran yang menggambarkan sejauh mana variasi

ukuran butir dalam suatu sampel terhadap ukuran butir rata-ratanya. Dalam konteks

analisis granulometri, sortasi mengindikasikan seberapa jauh partikel-partikel

dalam sampel tersebar dari nilai rata-rata ukuran butir.


Dalam perhitungannya, sortasi dapat dihitung menggunakan rumus yang

spesifik, yang memberikan gambaran yang jelas tentang variasi ukuran partikel dari

nilai rata-rata. Konsep sortasi ini telah dijelaskan oleh Folk (1974), yang

menunjukkan bahwa sortasi memberikan informasi penting tentang distribusi

ukuran butir dalam sampel, yang dapat memberikan wawasan tentang sifat fisik dan

mekanik dari material tersebut.

Dengan rumus :

𝑝80 − 𝑝16 𝑝95 + 𝑝5


𝑆𝑜𝑟𝑡𝑎𝑠𝑖 = +
4 6,6

2.2.3 Skewness

Simetri atau kecondongan (skewness) mencerminkan deviasi distribusi

ukuran butir terhadap distribusi normal, mengindikasikan sejauh mana distribusi

partikel cenderung menjadi condong ke satu sisi. Dari data yang telah diolah,

skewness dapat dihitung menggunakan rumus matematis yang menggambarkan

arah dan tingkat ketidaksimetrisan distribusi butir: skewness dapat ditentukan

dengan menggunakan rumus : (Muller, 1970)

𝑝84 + 𝑝16 − 2𝑝50 𝑝95 + 𝑝5 + 2𝑝50


𝑆𝑘 = +
2(𝑝84 − 𝑝16) 2

2.2.4 Kurtosis

Kurtosis merupakan parameter yang merepresentasikan bentuk morfologi

luar dari butir sedimen, yang menggambarkan seberapa tajam atau datar distribusi

butir sedimen dibandingkan dengan distribusi normal. Dalam konteks analisis


granulometri, kurtosis memberikan informasi tentang tingkat puncak atau lekukan

dari distribusi ukuran butir dalam sampel.

Dalam menghitung kurtosis, digunakan rumus matematis yang spesifik

yang memberikan informasi yang jelas mengenai karakteristik puncak atau lekukan

distribusi ukuran butir dalam sampel. Konsep kurtosis ini telah dijelaskan oleh

Muller (1970), yang memberikan pemahaman mendalam tentang bentuk distribusi

butir dalam sampel. Muller (1970),

𝑝95 − 𝑝5
𝐾=
2,44 (𝑝16 − 𝑝25)

2.3 Smear Slide

Smear slide merupakan metode yang digunakan dalam analisis sedimen di

bawah mikroskop, di mana material sedimen yang tidak terkonsolidasi ditempatkan

pada kaca slide untuk pengamatan petrografi mikroskopis. Metode ini

memungkinkan evaluasi cepat dan kuat terhadap kuantitas partikel sedimen yang

sangat halus, termasuk analisis mineralogi, provenance, bentuk, dan ukuran

partikel, yang merupakan dasar untuk mengklasifikasikan batuan sedimen. Selain

itu, metode ini juga berguna dalam memastikan keberadaan mikrofosil dalam

sampel sedimen.( Friedman. 1979)

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh sejumlah ahli, smear slide

mampu menyediakan data persentase yang akurat, yang berguna untuk memahami

sekuen dari batuan sedimen. Metode ini juga memungkinkan identifikasi tephra dan

abu vulkanik yang jatuh ke permukaan tanah (ash falls) dari pengamatan smear.

Dengan demikian, penggunaan smear slide dalam analisis sedimen memiliki peran
penting dalam memahami sifat dan karakteristik dari sampel sedimen secara lebih

mendalam, sehingga memberikan wawasan yang penting dalam penelitian geologi

dan lingkungan. ( Friedman. 1979)

2.4 Sphericity

Sphericity merupakan parameter penting dalam klasifikasi butiran sedimen

klasik. Konsep sphericity merujuk pada tingkat kebulatan yang diwarisi oleh suatu

butir. Ketika terjadi proses transportasi, butir yang semula berbentuk tidak bulat

cenderung membundar dan membentuk butiran dengan satu sumbu yang lebih

pendek dari sumbu yang lain (low sphericity). aspek morfologi butir meliputi

bentuk (form), derajat kebulatan (sphericity), dan derajat kebundaran (roundness).

( Friedman. 1979)

Secara umum, sphericity mengindikasikan seberapa dekat butiran tersebut

menyerupai bentuk bola. Ketika proses transportasi dan pengendapan berlangsung

normal, semakin jauh butiran tersebut tertransportasi, maka nilai sphericity-nya

akan semakin tinggi. Pengklasifikasian nilai sphericity umumnya mengacu pada

klasifikasi yang diajukan oleh Folk (1968).

Secara teoritis, sphericity (Ψ) dapat dijelaskan sebagai perbandingan antara

permukaan butiran (Ap) dengan permukaan bola (As) yang memiliki volume yang

setara. Rumus untuk menghitung sphericity adalah sebagai berikut:


Dalam prakteknya, permukaan partikel yang tidak beraturan hampir tidak

mungkin untuk dapat diukur. Oleh sebab itu cara yang lebih mudah untuk mengukur

volumenya adalah dengan cara menenggelamkan ke dalam air, kemudian

mendefinisikannya sebagai Sphericity (Ψ0) yaitu

Vp adalah volome partikel, Vcs adalah volume sphere terkecil yang paling

dekat pada partikel tersebut. Pengukuran spherecity harus mempertimbangkan

tingkah laku hidraulik dari partikel-partikel tersebut.(Rifardi,2020)

2.5 Hubungan struktur sedimen, lingkungan pengendapan dan ukuran

butir

Korelasi antara struktur sedimen, lingkungan pengendapan, dan ukuran

butir adalah aspek krusial dalam studi geologi dan geokimia. Struktur sedimen

merujuk pada pola dan bentuk yang terbentuk dalam lapisan batuan sebagai hasil

dari proses pengendapan dan perubahan geologis. Lingkungan pengendapan

mengacu pada lokasi dan kondisi di mana sedimen terbentuk, seperti sungai, danau,

laut, atau lingkungan daratan lainnya. Sementara itu, ukuran butir menggambarkan

ukuran partikel sedimen, yang dapat bervariasi dari sangat halus, seperti lempung,

hingga sangat kasar, seperti kerikil (Friedman, 1979).

Hubungan antara struktur sedimen, lingkungan pengendapan, dan ukuran

butir mencerminkan proses geologis dan lingkungan pada masa lalu. Misalnya,

sedimen yang terendap di lingkungan sungai cenderung memiliki butiran kasar


seperti kerikil dan pasir akibat proses transportasi air yang kuat. Di sisi lain,

sedimen yang terbentuk di lingkungan laut dalam atau danau umumnya memiliki

butiran halus seperti lumpur dan lempung karena partikel kecil ini bisa mengendap

secara perlahan dalam air tenang. Selain itu, struktur sedimen seperti laminasi

(lapisan tipis), cross-bedding (lapisan silang), dan ripple marks (jejak gelombang)

memberikan petunjuk tentang arah arus air atau angin pada saat sedimen terbentuk.

Laminasi, sebagai contoh, menunjukkan pengendapan yang teratur dan lambat di

lingkungan yang relatif stabil, sedangkan cross-bedding dan ripple marks

menandakan pengaruh arus air atau angin yang kuat (Friedman, 1979).

2.6 Macam-macam Sedimen dan Asalnya

Material sedimentasi umumnya berasal dari kontinen yang diangkut

melalui sungai atau media transportasi lain dalam bentuk sedimen trigen, yang

meliputi beragam ukuran mulai dari yang kasar hingga yang halus. (Boggs 1992)

Muatan dasar (Bed Load Transport) Muatan dasar (bed load) adalah

partikel yang bergerak pada dasar sungai dengan cara berguling meluncur dan

meloncat. Muatan dasar keadaannya selau bergerak, oleh sebab itu pada

sepanjang aliran dasar sungai selau terjadi proses degradasi.

1. Sedimen layang (Suspended Load) Partikel sedimen dikatakan melayang

bila mana partikel tersebut bergerak tanpa menyentuh dsar saluran.

Karena adanya pengaruh gaya berat, partikel-partikel tersebut cenderung

untuk mengendap. Kecenderungan untuk mengendap ini akan dilawan

oleh 7 gerakan partikel zatcair, yaitu komponen fluktuasi kecepatan dari

aliran turbulen. Angkutan sedimen melayang sering disertai dengan


angkutan sedimen dasar, dan transisiantara dua metode transport tersebut

dapat terjadi secara bertahap, sesuai dengan perubahan kondisi aliran.

Sedimentasi merupakan perpaduan antara proses pengakutan dan

pengendapan material tersuspensi atau material fragmental oleh air,

sehingga terjadi erosi dan member dampak terhadapbanyak perubahan-

perubahan.

2.4.2 Partikel Sedimen

Istilah "partikel" digunakan secara luas untuk merujuk pada semua

material sedimen, termasuk material yang ditransportasi secara fisik sebagai

material padat sebelum diendapkan. Ini mencakup berbagai proses transportasi

fisik, pertumbuhan biologis, dan proses kimia di dasar perairan hingga tempat

pengendapan akhir. Dalam penerapannya, istilah "partikel" digunakan untuk

merujuk pada pecahan padat dari endapan yang lebih tua dan partikel yang bukan

merupakan pecahan padat dari endapan yang lebih tua. Contohnya adalah partikel

yang berasal dari letusan gunung berapi atau yang terbentuk melalui proses

biologis dan kimia, kemudian ditransportasikan secara fisik sebagai material

padat (Friedman, 1978).

Komponen utama yang membentuk sedimen silisiklastik terdiri dari

mineral-mineral yang stabil secara mekanik maupun kimia, serta fragmen batuan

atau butiran pecahan dari batuan asal yang biasa disebut sebagai "lithic

fragment." Beberapa mineral yang termasuk dalam kategori stabil antara lain

kuarsa, zirkon, turmalin, mikroklin, dan ortoklas. Di sisi lain, mineral-mineral

yang cenderung tidak stabil meliputi plagioklas, hornblende, biotit, piroksen, dan
olivin. Butiran klastik detrital atau partikel yang menyusun batuan ini secara

umum dapat dibagi ke dalam 6 kategori yang berbeda yaitu :

1. Fragmen batuan (lithik)

Komponen ini merupakan pecahan dari batuan sumber yang belum

terpisah menjadi mineral-mineral tunggal. Lithik ini biasanya dominan pada

breksi maupun konglomerat.

2. Kwarsa

Mineral penyusun batupasir yang paling umum adalah kwarsa, karena

merupakan mineral yang paling stabil. Butiran kwarsa, umumnya berasal dari

batuan granitik, gneis, dan sekis (asam).

3. Feldspar

Kandungan feldspar dalam batupasir umumnya berkisar 10-15 % tapi

dalam batupasir arkose dapat mencapai 50 %. Resistensi feldspar lebih rendah

dari kwarsa karena feldspar lebih lunak dan mempunyai belahan yang kuat,

sehingga lebih mudah mengalami disintegrasi selama transportasi.

4. Mika dan lempung (clay)

Partikel jenis ini juga umum terdapat dalam matriks batupasir dan klatika

lainnya. Biotit, muskovit, dan klorit, biasanya hadir sebagai pecahanberukuran

cukup besar (sekitar 0,2 hingga 0,5 mm).

5. Mineral berat

Mineral berat merupakan mineral aksesoris yang konsentrasinya biasanya

kurang dari 1 % dari fraksi terrigeneous sedimen. Meskipun kecil jumlahnya,

mineral berat sangat berperan dalam studi provenans.Mineral berat umumnya


dikelompokkan menjadi 4 kelompok, yaitu

1) Mineral opak

Terdiri atas magnetit, ilmenit. pirit, hematit, limonit, dan leucoxene,

mineral mika

2) Kelompok ultra-stabil

Terdiri atas zircon, turmalin, rutil, mempunyai sifat fisik sangat keras

daninert serta bisa bertahan oleh beberapa kali reworking.

3) Kelompok meta-stabil

Terdiri atas olivin, apatit, hornblende, piroksen, oxyhornblende,

glaukopan, tremolit, piroksen, garnet, pegmatit, epidot, klinozoisit, zoisit, kyanit,

silimanit, andalusit, staurolit. (Boggs 1992)

2.6.1 Klasifikasi Batuan Sedimen

Tucker (1991) menyatakan batuan sedimen dapat dibagi menjadi empat

kelompok berdasarkan proses pembentukannya! yaitu :

1. Kelompok pertama adalah sedimen siliklastik disebut juga epiklastik

yaitu sedimen yang terdiri dari fragnmen-fragmen yang berasal dari bataun yang

telah ada sebelumnya kemudian tertransportasi dan terdeposisi

2. Kelompok kedua adalah hasil kegiatan biogenic, biokimia, dan organic.

Contoh batuannya adalah batubara, dan chert


3. Kelompok ketiga adalah sedimen hasil proses kimiawi, contohnya

deposit mineral evaporit seperti aklsit dan halit

4. sedimen volkanoklastik yaitu sedimen yang terbentuk oleh fragmen

batuan hasil dari aktifitas vulkanik. Contoh batuannya adal breksi vulkanik atau

material piroklastik. (Morina, 2014)


2.7 Mineral Berat

Mineral berat merujuk pada mineral-mineral yang memiliki berat jenis

lebih besar dari 2,58. Biasanya, mineral berat ini merupakan tambahan ke dalam

sedimen, dengan konsentrasi yang umumnya kurang dari 1%. Meskipun

jumlahnya kecil, peran mineral berat sangat signifikan dalam menunjukkan

sejarah transportasi dan proses pelapukan pada sedimen. Untuk memisahkan

mineral berat dari mineral-mineral ringan seperti kuarsa, feldspar, dan kalsit,

mineral berat dapat dikelompokkan ke dalam empat bagian utama, yaitu mineral

mika, mineral opak, kelompok ultra-stabil, dan kelompok meta-stabil (Morina,

2014
BAB III
METODOLOGI

3.1 Metode Penelitian

Fieldtrip sedimentologi ini dilaksanakan pada hari 28 - 30 September 2023,

bertempat di Daerah Tellumpanuae, Kecamatan Mallawa, Kabupaten Maros,

Provinsi Sulawesi Selatan. Adapun metode pengambilan data yang dilakukan di

lapangan yaitu pengambilan data perlapisan data litologi tiap stasiun serta data

geomorfologi

3.2 Tahapan Penelitian

Pada tahap ini, praktikan akan melakukan persiapan meliputi kegiatan

pendahuluan sebelum melakukan pengambilan data lapangan.

3.3 Tahapan Pengambilan Data

Pada tahap ini, praktikan akan melakukan pengambilan data. Dimana

praktikan mengambil sampel pada setiap lapisan yang ada pada lokasi penelitian.

3.4 Tahapan Olahdata

Pada tahap ini, akan dilakukan analisis data deskripsi yang telah diambil

saat fieldtrip. Untuk menunjang analisis data, akan diberi bimbingan oleh para

asisten.

3.5 Tahapan Penyusunan Laporan

Pada tahap ini, praktikan akan membuat laporan dari hasil analisis data tadi

sebagai hasil akhirnya dalam bentuk laporan serta dilakukan asistensi terhadap

laporan tersebut kepada asisten.


BAB IV
PEMABAHASAN

4.2 Smear Slide


4.2.1 Sampel 1
A. Deskripsi Umum

Gambar 4.1 Batu Pasir kuarsa


Pada lapangan dijumpai jenis batuan batupasir kuarsa, dengan warna segar

coklat muda dan warna lapuk coklat tua, permeabilitas baik, porositas baik, sortasi

baik dan kemas tertutup. Memiliki ukuran butir 1/8-1/4 mm dengan nama Batupasir

Kuarsa (Wenworth, 1922).

B. Analisis Smear Slide

CM PL

QZ

Pada sampel satu Batupasir kuarsa dijumpai jenis mineral kuarsa (KR)
Gambar 4.2 Sampel 1 Batupasir Kuarsa pada DMP 1 dan 2

Pada sampel satu Batupasir kuarsa dijumpai jenis mineral kuarsa (Qz) dengan

warna putih bening yang memiliki bentuk Sub-Angular, dengan derajat kejernihan

translucent. Dengan presentasi keterdapatannya yaitu 40% pada DMP 1 dan 50%
pada DMP 2, didapatkan juga mineral Plagioklas (Pl) yang berwarna putih dengan

bentuk Sub-angular, memiliki derajat kejernihan opaq dengan presentasi

kedapatannya yaitu 5% pada DMP 1 dan DMP 2, Adapun Orthoklas berbentuk sub-

angular dengan presentasi kedapatan 5% pada DMP 1 dan 2, sedangkan sisanya

merupakan contaminant mineral (cm) dengan presentasi keterdapatannya pada

sampel yang diamati yaitu 45% pada DMP 1 dan 40% pada DMP 2 yang memiliki

warna kuning . Dengan nama batuan pada lapisan ini yaitu Batupasir Kuarsa.

(Wenworth, 1922)

4.2.2 Sampel 2

A. Deskrispi Umum

Gambar 4.3 BatuLempung Pirit

Pada lapisan ini terdapat litologi dengan jenis batuan yaitu batuan sedimen

dengan warna segar putih keabu-abuan dan warna lapuk berwarna kuning

kecoklatan. Ukuran butir pada lapisan kelima yaitu 1/256 - 1/16 (lempung) dengan

bentuk angular dan memiliki sortasi baik dengan permeabilitas buruk, kemas

tertutup dan porositas baik serta memiliki struktur berlapis dan tekstur klastik.

Komposisi kimia pada lapisan ini yaitu silika, sehingga nama batuan pada lapisan

ini yaitu Batulempung Pirit (Wenworth, 1922)


B. Analisis Smear Slide

Gambar 4.4 Sampel 2 Batulempung Pirit pada DMP 1 dan 2

Pada sampel dua Batulempung dijumpai mineral Pirit (Pi) dengan warna

kuning yang memiliki bentuk Sub-angular, dengan derajat kejernihan Opaq.

Dengan presentasi keterdapatannya yaitu 40% pada DMP 1 dan DMP 2, didapatkan

juga mineral Plagioklas yang berwarna putih dengan bentuk Sub-angular, memiliki

derajat kejernihan opaq dengan presentasi keterdapatannya yaitu 10% pada DMP

2, didapatkan juga mineral kuarsa yang berwarna putih dengan bentuk angular,

presentasi kedapatannya 5% pada DMP 1

Sedangkan sisanya merupakan contaminant mineral (cm) dengan

presentasi keterdapatannya pada sampel yang diamati yaitu 55% pada DMP 1 dan

50% pada DMP 2 yang memiliki warna cokelat.Dengan nama batuan pada lapisan

ini yaitu Batulempung Pirit. (Wenworth, 1922)


4.2.3 Sampel 3

A. Deskripsi Umum

Gambar 4.6 BatuPasir

Pada lapangan dijumpai jenis batuan batupasir, dengan warna segar coklat muda

dan warna lapuk coklat abu-abu, permeabilitas baik, porositas baik, sortasi baik dan

kemas tertutup. Memiliki ukuran butir 1/8-1/4 mm dengan nama Batupasir

(Wenworth, 1922)

B. Analisis Smear Slide

CM
Or
Or

Gambar 4.6 Sampel 3 Batupasir pada DMP 1 dan 2

Analisis smear slide diamati menggunakan mikroskop,bahwa pada fasies 3

terdapat Mineral orthoklas (Or) dengan warna kuning berbentuk sub-rounded yang
menyebar hampir 20% diatas kertas pada DMP 1 dan 10% pada DMP 2. Pada fasies

ini juga terdapat contaminant mineral (cm) atau mineral pegotor sebanyak 80%

yang berwarna cokelat pada DMP 1 dan 90% pada DMP 2. Dengan nama batuan

pada lapisan ini yaitu Batupasir. (Wenworth, 1922)

4.2.4 Sampel 4

A. Deskripsi Umum

Gambar 4.9 BatuLempung

Pada lapisan ini terdapat litologi kedua yaitu dengan jenis batuan yaitu batuan

sedimen dengan warna segar abu-abu dan warna lapuk berwarna kuning kecoklatan.

Ukuran butir pada lapisan kelima yaitu > 1/256 (lempung) dengan bentuk angular

dan memiliki sortasi baik dengan permeabilitas buruk, kemas tertutup dan porositas

baik serta memiliki struktur berlapis dan tekstur klastik. Komposisi kimia pada

lapisan ini yaitu silika, sehingga nama batuan pada lapisan ini yaitu Batulempung.

(Wenworth, 1922)
B. Analisis Smear Slide

Gambar 4.8 Sampel 3 Batulempung pada DMP 1 dan 2

Analisis smear slide diamati menggunakan mikroskop,bahwa pada sampel

3 terdapat Material lempung dengan warna cokelat berbentuk sub-rounded yang

menyebar hampir 60% diatas kertas pada DMP 1 dan DMP 2. Pada fasies ini juga

terdapat contaminant mineral (cm) atau mineral pegotor sebanyak 40% yang

berwarna kuning pada DMP 1 dan DMP 2. Dengan nama batuan pada lapisan ini

yaitu Batulempung. (Wenworth, 1922)

4.2.5 Sampel 5

A. Deskripsi Umum

Gambar 4.12 BatuBara Pirit


Dijumpai litologi batuan sedimen non klastik, warna lapuk berwarna cokelat,

warna segar berwarna hitam tidak bereaksi dengan HCL dan tidak memiliki ukuran

butir nama batuan ini adalah Batubara pirit (Wenworth, 1922)

B. Analisis Smear Slide

C C

Gambar 4.8 Sampel 5 Batubara pirit pada DMP 1 dan 2

Analisis smear slide diamati menggunakan mikroskop, pada fasies atau

lapisan kelima yaitu BatuBara Pirit dengan Diameter Media Pandang 1 (DMP 1)

dan Diameter Media Pandang 2 (DMP2). Dijumpai mineral Pirit (Pi) dengan warna

kuning yang memiliki bentuk sub-Angular, dengan derajat kejernihan Opaq.

Dengan presentasi keterdapatannya yaitu 10% pada DMP 1 dan DMP 2,didapatkan

juga contaminant mineral (cm) yang berwarna cokelat, sisanya merupakan Material

Karbon (C) dengan warna hitam dan bentuk Angular yang keterdapatannya yaitu

50% pada DMP 1 dan DMP 2. Dengan nama batuan pada lapisan ini adalah

Batubara pirit
4.4 Lingkungan Pengendapan Daerah Penelitian
Jenis batuan sedimentasi yang didapatkan saat berada di daerah peneltian

seperti batupasir kuarsa, batupasir teroksidasi, batulanau, dan batulempung dapat

mengindikasikan lingkungan pengendapan yang berbeda. Berikut penjelasan

tentang lingkungan pengendapan dari masing-masing jenis batuan tersebut:

4.4.1 Batupasir Kuarsa

Batupasir kuarsa umumnya terbentuk di lingkungan pengendapan sungai,

pantai, atau bahkan gurun. Partikel kuarsa yang dominan dalam batuan ini dapat

berasal dari batuan yang tererosi dan diangkut oleh air atau angin. Lingkungan ini

sering menunjukkan adanya perubahan siklus transportasi dan deposisi yang terkait

dengan proses aliran air atau angin. Kandungan kuarsa yang tinggi menunjukkan

bahwa batuan ini terbentuk dari endapan pasir yang kaya akan mineral kuarsa. Pasir

ini mungkin diendapkan oleh aliran sungai yang membawa material dari

pegunungan atau oleh proses pengendapan di lingkungan pantai.

4.4.2 Batupasir Teroksidasi

Batupasir teroksidasi sering kali terbentuk di lingkungan pengendapan darat

yang mengandung kandungan besi tinggi, lingkungan pengendapan daratan yang

mengalami proses oksidasi atau perubahan kimia akibat paparan udara dan air.

Proses oksidasi besi memberikan warna merah atau oranye pada batupasir ini.

Lingkungan ini dapat mencakup dataran banjir atau daerah dengan genangan air

yang berubah-ubah. Teroksidasi juga dapat terjadi di lingkungan gurun atau daerah

dengan drainase yang buruk.


4.4.3 Batulanau

Batulanau umumnya terbentuk di lingkungan pengendapan laut dangkal atau

perairan payau.Proses deposisi dapat terjadi di delta sungai atau dataran banjir, di

mana material sedimen dari sungai dibawa dan terakumulasi. Batulanau dapat

mengandung campuran kerikil, pasir, dan lumpur, mencerminkan variasi kondisi

transportasi dan deposisi. Batulanau cenderung mengandung material organik, dan

warnanya mungkin beragam, tergantung pada jenis organisme laut dan kondisi

oksidasi-reduksi di lingkungan pengendapan. Batuan ini seringkali terkait dengan

endapan sedimen di dasar laut atau perairan dangkal.

4.4.4 Batulempung

Batulempung sering kali terbentuk di lingkungan pengendapan perairan

tenang, seperti danau atau laut dangkal. Batulempung memiliki tekstur halus dan

sering kali mengandung mineral lempung. Warna batulempung dapat bervariasi dari

abu-abu hingga coklat, tergantung pada kandungan mineral dan kondisi di

lingkungan pengendapan.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

5.1.1 Analisis Granulometri

5.1.1.1 Fasies 1

Di lapangan ditemukan jenis batuan batupasir kuarsa. Dihasilkan pada fasies

1, nilai mean 0,1967 untuk (fine sandstone), nilai sorting 0,2647 untuk (very well

Sorted), nilai skewnes 0,542 untuk (Strongly fine Skewed), dan nilai kurtosis

0,16139 untuk (Very Platykurtic).

5.1.1.2 Fasies 2

Di lapangan ditemukan jenis batuan dengan jenis batulanau dan

batulempung. Dihasilkan pada fasies 2 nilai mean 0,06067 (Coarse silt) , nilai

sorting 0,06838 (Very well Sorted) , nilai skewnes 0,01097 (Strongly fine skewed),

nilai kurtosis 0,0623 (Very Platykurtic)

5.1.1.3 Fasies 3

Di lapangan dijumpai jenis batuan batulempung, . Sehingga di peroleh pada

fasies 3 menghasilkan nilai mean 0,05833(Coarse silt) , nilai sorting 0,2278 (very

well Sorted) , nilai skewnes 0,00651(Strongly fine skewed), nilai kurtosis 0,05533

(Very Platykurtic)

5.1.1.4 Fasies 4

Di lapangan dijumpai jenis batuan batupasir kuarsa, Sehingga di peroleh

pada fasies 4 menghasilkan nilai mean 0,42333 (Medium sand) , nilai sorting
0,23621 (Very well Sorted) , nilai skewnes 0,542 (Srongly fine skewed), nilai

kurtosis 0,16393 (Very Platykurtic)

5.1.1.5 Fasies 5

Di lapangan dijumpai jenis batuan batulempung. . Sehingga di peroleh pada

fasies 5 menghasilkan nilai mean 0,06133(Coarse silt) , nilai sorting 0,06232 (Very

well Sorted) , nilai skewnes 0,00548 (Strongly fine skewed), nilai kurtosis 0,0601

(Very Platycurtic).

5.1.1.6 Fasies 6

Di lapangan dijumpai jenis batuan batupasir, Sehingga di peroleh pada

fasies 6 menghasilkan nilai mean 0,235 (Fine sand) , nilai sorting 0,3208 (Veryl

well Sorted) , nilai skewnes 0,0098 (Strongly fine skewed), nilai kurtosis 0,1443

(Very Platykurtic)

5.1.2 Smear Slide

1.) Lapisan 1

Pada sampel satu Batupasir kuarsa dijumpai jenis mineral kuarsa (KR)

dengan warna putih bening yang memiliki bentuk Sub-Angular, dengan derajat

kejernihan translucent. Dengan presentasi keterdapatannya yaitu 40% pada DMP 1

dan 50% pada DMP 2, didapatkan juga mineral Plagioklas (Pl) yang berwarna putih

dengan bentuk Sub-angular, memiliki derajat kejernihan opaq dengan presentasi

kedapatannya yaitu 5% pada DMP 1 dan DMP 2, Adapun Orthoklas berbentuk

sub-angular dengan presentasi kedapatan 5% pada DMP 1 dan 2, sedangkan sisanya

merupakan Material lain (cm) dengan presentasi keterdapatannya pada sampel

yang diamati yaitu 45% pada DMP 1 dan 40% pada DMP 2 yang memiliki warna
kuning . Dengan nama batuan pada lapisan ini yaitu Batupasir Kuarsa. (Wenworth,

1922)

2.) Lapisan 2

Pada sampel dua Batulempung dijumpai mineral Pirit (PR) dengan warna

kuning yang memiliki bentuk Sub-angular, dengan derajat kejernihan Opaq.

Dengan presentasi keterdapatannya yaitu 40% pada DMP 1 dan DMP 2, didapatkan

juga mineral orthoklas yang berwarna putih dengan bentuk Sub-angular, memiliki

derajat kejernihan opaq dengan presentasi keterdapatannya yaitu 10% pada DMP

2, didapatkan juga mineral kuarsa yang berwarna putih dengan bentuk angular,

presentasi kedapatannya 5% pada DMP , Sedangkan sisanya merupakan material

lain (cm) dengan presentasi keterdapatannya pada sampel yang diamati yaitu 55%

pada DMP 1 dan 50% pada DMP 2 yang memiliki warna cokelat.Dengan nama

batuan pada lapisan ini yaitu Batulempung Pirit. (Wenworth, 1922)3.)

3) Lapisan 3

Analisis smear slide diamati menggunakan mikroskop,bahwa pada fasies 3

terdapat Matrix dengan warna kuning berbentuk sub-rounded yang menyebar

hampir 95% diatas kertas pada DMP 1 dan 100% pada DMP 2. Pada fasies ini juga

terdapat Material lain (cm) atau mineral pegotor sebanyak 5% yang berwarna hitam

pada DMP 1. Dengan nama batuan pada lapisan ini yaitu Batupasir. (Wenworth,

1922)

4.) Lapisan 4

Analisis smear slide diamati menggunakan mikroskop,bahwa pada sampel

3 terdapat Matrix dengan warna cokelat berbentuk sub-rounded yang menyebar


hampir 60% diatas kertas pada DMP 1 dan DMP 2. Pada fasies ini juga terdapat

Material lain (cm) atau mineral pegotor sebanyak 40% yang berwarna kuning pada

DMP 1 dan DMP 2. Dengan nama batuan pada lapisan ini yaitu Batulempung.

(Wenworth, 1922)

5.) Lapisan 5

Analisis smear slide diamati menggunakan mikroskop, pada fasies atau

lapisan kelima yaitu BatuBara Pirit dengan Diameter Media Pandang 1 (DMP 1)

dan Diameter Media Pandang 2 (DMP2). Dijumpai mineral Pirit (Pi) dengan warna

kuning yang memiliki bentuk sub-Angular, dengan derajat kejernihan Opaq.

Dengan presentasi keterdapatannya yaitu 10% pada DMP 1 dan DMP 2,didapatkan

juga contaminant mineral (cm) yang berwarna cokelat, sisanya merupakan Material

Karbon (C) dengan warna hitam dan bentuk Angular yang keterdapatannya yaitu

50% pada DMP 1 dan DMP 2. Dengan nama batuan pada lapisan ini adalah

Batubara pirit

5.1.4 Lingkungan Pengendapan Daerah Penelitian

Jenis batuan sedimentasi yang didapatkan saat berada di daerah peneltian

seperti batupasir kuarsa, batupasir teroksidasi, batulanau, dan batulempung dapat

mengindikasikan lingkungan pengendapan yang berbeda. Berikut penjelasan

tentang lingkungan pengendapan dari masing-masing jenis batuan tersebut:

Batupasir kuarsa umumnya terbentuk di lingkungan pengendapan sungai,

pantai, atau bahkan gurun. Partikel kuarsa yang dominan dalam batuan ini dapat

berasal dari batuan yang tererosi dan diangkut oleh air atau angin. Lingkungan ini
sering menunjukkan adanya perubahan siklus transportasi dan deposisi yang terkait

dengan proses aliran air atau angin. Kandungan kuarsa yang tinggi menunjukkan

bahwa batuan ini terbentuk dari endapan pasir yang kaya akan mineral kuarsa. Pasir

ini mungkin diendapkan oleh aliran sungai yang membawa material dari

pegunungan atau oleh proses pengendapan di lingkungan pantai.

Batupasir teroksidasi sering kali terbentuk di lingkungan pengendapan darat

yang mengandung kandungan besi tinggi, lingkungan pengendapan daratan yang

mengalami proses oksidasi atau perubahan kimia akibat paparan udara dan air.

Proses oksidasi besi memberikan warna merah atau oranye pada batupasir ini.

Lingkungan ini dapat mencakup dataran banjir atau daerah dengan genangan air

yang berubah-ubah. Teroksidasi juga dapat terjadi di lingkungan gurun atau daerah

dengan drainase yang buruk.

Batulanau umumnya terbentuk di lingkungan pengendapan laut dangkal

atau perairan payau.Proses deposisi dapat terjadi di delta sungai atau dataran banjir,

di mana material sedimen dari sungai dibawa dan terakumulasi. Batulanau dapat

mengandung campuran kerikil, pasir, dan lumpur, mencerminkan variasi kondisi

transportasi dan deposisi. Batulanau cenderung mengandung material organik, dan

warnanya mungkin beragam, tergantung pada jenis organisme laut dan kondisi

oksidasi-reduksi di lingkungan pengendapan. Batuan ini seringkali terkait dengan

endapan sedimen di dasar laut atau perairan dangkal.

Batulempung sering kali terbentuk di lingkungan pengendapan perairan

tenang, seperti danau atau laut dangkal. Batulempung memiliki tekstur halus dan
sering kali mengandung mineral lempung. Warna batulempung dapat bervariasi dari

abu-abu hingga coklat, tergantung pada kandungan mineral dan kondisi di

lingkungan pengendapan.

5.2 Saran

Adapun saran yang diperoleh pada penelitian ini antara lain:

1. Sebaiknya melakukan pengambilan data yang jauh lebih spesifik seperti

pengambilan sampel yang lebih banyak pada singkapan sehingga

mendapatkan data litologi yang benar dan mewakili tiap lapisan litologi.

2. Sebaiknya pelakukan penggerusan singkapan terlebih dahulu sehingga bisa

mendapatkan data struktur sedimen yang lebih spesifik sehingga lingkungan

pengendapan dapat ditentukan secara spesifik.


DAFTAR PUSTAKA

Boggs, Sam.,2006, Principles of Sedimentary and Stratigraphy 4th Edition.Pearson


Prentice-Hall Education, Inc, New Jersey

Folk, R. L., Petrology of Sedimentary Rocks, Austin, Texas : Hemphill Publishing


Company, 1974.

Folk, R. L., dan W. C. Ward, “Brazos River bar, a study in the significance of
grainsize parameters. Journal of Sedimentary Petrology”, vol. 27, pp. 3-
26, Maret, 1957.

Friedman, G. and Sanders,1979, Principles of Sedimentology. John Wiley & Sons,


Inc. New York. 792p.

Morina, H., Syafri, I., & Jurnaliah, L. 2014. Lingkungan pengendapan Satuan
Batulempung sisipan Batupasir pada Formasi Kerek daerah Juwangi dan
sekitarnya, berdasarkan karakteristik litologi, analisis struktur sedimen,
dan kandungan fosil bentonik. Bulletin of Scientific Contribution:
GEOLOGY, 12(3).

Pettijohn, F.J.1975. Sedimentary Rocks. Harper and Row Limited: New York

Wentworth, C.K., 1922, A Scale of Grade and Class Terms for Clastic Sediments.
Journal of Geology, Vol. XXX, p. 377-392

Sarimai Andi, 2017. Analisis Kaakteistik Sedimentasi Sungai Bialo Dengan


Aplikasi Surface Wate Modeling System. Skripsi Jurusan Teknik Sipil
Universitas Hasanuddin Makassar.

Sarasin , 1901 Statigrafi malawa dan daerah sekitarnya. Geologi regional Sulawesi
selatan

Sukamto , 1982 geologi regional malawa,barru.Sulawesi selatan

Anda mungkin juga menyukai