Anda di halaman 1dari 30

KEMENTERIAN PENDIDIKAN KEBUDAYAAN RISET DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS HASANUDDIN
FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI

GEOLOGI DASAR
FIELDTRIP

LAPORAN

OLEH :
MUH KURNIA AKRAM S
D061221023

GOWA
2022
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ilmu geologi adalah ilmu yang mempelajari tentang bumi yang meliputi

segala aspek yang berada di permukaan bumi maupun di dalam bumi serta bagaimana

proses pembentukannya.

Perkembangan dari ilmu geologi semakin pesat seiring dengan kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi.Bidang ilmu geologi saat ini telah memiliki peranan

penting di kehidupan masyarakat, khususnya informasi mengenai kondisi geologi

yang telah ada dan bekerja pada daerah tertentu. Dari perkembangan ilmu geologi

tersebut, mendorong para geologist untuk melakukan penelitian. Penelitian tersebut

dilakukan untuk mencari data geologi yang mencakup seperti kondisi geomorfologi,

stratigrafi, serta struktur geologi

Aspek stratigrafi yaitu membahas mengenai jenis batuan, urutan lapisan

batuan, umur dan lingkungan pengendapan serta hubungan stratigrafi. Aspek struktur

geologi yaitu membahas mengenai pengaruh struktur yang bekerja serta

hubungannnya dengan stratigrafi di daerah tersebut. Sedangkan potensi bahan galian

membahas mengenai indikasi penyebarannya yang dapat dimanfaatkan untuk

keperluan masyarakat. Selain


Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan lah fieldtrip untuk mencari data

mengenai keadaan geologi Daerah Daccipong Kecamatan Barru Kabupaten Barru

Provinsi Sulawesi Selatan.

1.2 Maksud dan Tujuan

Adapun maksud dari fieldtrip geologi dasar ini yaitu untuk mengetahui

prosedur pengambilan data lapangan

Adapun tujuan dari fieldtrip geologi dasar ini yaitu :

1. Mengetahui cara penentuan titik lokasi di lapangan

2. Mengetahui cara pengambilan dan pencatatan data geologi di lapangan

3. Mengetahui cara pembuatan sketsa geologi di lapangan

4. Mengetahui cara pengambilan sampel batuan di lapangan


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional

Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat terletak antara kordiniat

119° 05‘ - 120° 45‘ BT dan 4° – 5° LS; meliputi Daerah Tk. II Kabupaten Maros,

Pangkep, Barru Watansoppeng, Wajo, Watampone, Sinjai dan Kotamadya Parepare

Daerah ini mempunyai penduduk yang relatif lebih padat daripada bagian lain

Sulawesi Selatan bertempat tinggal di kota kabupaten dan kecamatan, penduduk

terdapat di desa dan kampung di sepanjang semua jalan utama yang menuju ke daerah

pedalaman. Sebagian besar penduduk bertani sawan sehingga membuat daerah ini

penghasil padi yang utama di Sulawesi. Penduduk di sepanjang pantai kebanyakan

nelayan yang di kota kebanyakan berniaga atau jadi karyawan. Kehidupan sosial di

daerah ini mencerminkan kehidupan asli Sulawesi Selatan. Seperti Bugis, Makassar,

dan Bajo. Penduduk kebanyakan beragama Islam, tetapi tetapi yang beragama

Katoilik dan Protestan serta yang beragama lain hanya sedikit. (Sukamto, 1982)

2.1.1 Geomorfologi Regional Daerah Penelitian

Pada hakekatnya geomorfologi dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang

roman muka bumi beserta aspek aspek yang mempengaruhinya termasuk deskripsi,
klasifikasi, genesa, perkembangan dan sejarah permukaan bumi. Kata Geomorfologi

(Geomorphology) berasal bahasa Yunani, yang terdiri dari tiga kata yaitu: Geos

(Earth/Bumi), morphos (shape/bentuk), logos (knowledge atau ilmu pengetahuan).

Berdasarkan dari kata-kata tersebut, maka pengertian geomorfologi merupakan

pengetahuan tentang bentuk-bentuk permukaan bumi. (Noor, Geomorfologi, 2014)

Di daerah Lembar Pangkajene dan Watampone Bagian Barat terdapat dua

baris pegunungan yang memanjang hampir sejajar pada arah utara-barat laut dan

terpisahkan oleh lembah Sungai Walanae. Pegunungan yang barat menempati hampir

setengah luas daerah, melebar di bagian selatan (50 km) dan menyempit di bagian

utara (22 km). Puncak tertingginya 1694 m, sedangkan ketinggian rata-ratanya 1500

m. Pembentuknya sebagian besar batuan gunungapi. Di lereng barat dan di beberapa

tempat di lereng timur terdapat topografi kras, penceminan adanya batugamping. Di

antara topografi kras di lereng barat terdapat daerah pebukitan yang dibentuk oleh

batuan Pra-Tersier. Pegunungan ini di baratdaya dibatasi oleh dataran Pangkaiene-

Maros yang luas sebagai lanjutan dari dataran di selatannya. (Sukamto, 1982)

Pegunungan yang di timur relatif lebih sempit dan lebih rerdah, dengan

puncaknya rata-rata setinggi 700 m, dan yang tertinggi 787 m. Juga pegunungan ini

sebagian besar berbatuan gunungapi. Bagian selatannya selebar 20 km dan lebih

tinggi, tetapi ke utara meyempit dan merendah, dan akhirnya menunjam ke bawah

batas antara Lembah Walanae dan dataran Bone. Bagian utara pegunungan ini

bertopografi kras yang permukaannya sebagian berkerucut. Batasnya di timurlaut


adalah dataran Bone yang sangat luas, yang menempati hampir sepertiga bagian

timur. (Sukamto, 1982)

Lembah Walanae yang memisahkan kedua pegunungan tersebut di bagian

utara selebar 35 Km. tetapi di bagian selatan hanya 10 km. Di tengah tendapat Sungai

Walanae yang mengalir ke utara Bagian selatan berupa perbukitan rendah dan di

bagian utara terdapat dataran aluvium yang sangat luas mengelilingi D. Tempe.

(Sukamto, 1982)

2.1.2 Stratigrafi Regional Daerah Penelitian

Kelompok batuan tua yang umurnya belum diketahui terdiri dari batuan

ularabasa, batuan malihan dan batuan melange. Batuannya terbreksikan dan tergerus

dan mendaun, dan sentuhannya dengan formasi dl sekitarnya berupa sesar atau

ketidselarasan. Penarikhan radiometri pada sekis yang menghasilkan 111 juta tanun

Kemungkinan menunjukkan peristiwa malihan akhir pada tektonik Zaman Kapur.

Batuan tua ini tertindih tak selaras oleh endapan flysch Formasi Balangbaru dan

Formasi Marada yang tebalnya lebih dari 2000 m dan berumur Kapur Akhir.

Kegiatan magma sudah mulai pada waktu itu dengan bukti adanya sisipan lava dalam

flysch. Batuan gunungapi berumur Paleosen (58,5- 63,0 it), dan diendapkan dalam

lingkungan laut, menindih tak selaras batuan flysch yang berumur Kapur Akhir.

(Sukamto, 1982)

Sebagian besar pegunungan, baik yang di barat maupun yang di timur,

berbatuan gunungapi. Di pegunungan yang timur, batuan itu diduga berumur Miosen
Awal bagian atas yang membentuk batuan Gunungapi Kalamiseng Di lereng timur

bagian utara pegunungan yang barat, terdapat batuan Gunungapi Soppeng yang

diduga juga berumur Miosen Awal. batuan sedimen berumur Miosen Tengah sampai

Pliosen Awal berselingan dengan batuan gunungapi yang berumur antara 8,93-9,29

juta tahun. Secara bersama batuan itu menyusun Formasi Camba yang tebalnya

sekitar 5000 m. Sebagian besar pegunungan yang barat terbentuk dari Formasi

Camba ini yang menindih tak selaras Formasi Tonasa. Selama Miosen akhir sampai

Pliosen, di daerah yang sekarang jadi Lembah Walanae di endapkan sedimen klastika

Formasi Walanae. Batuan itu tebalnya sekitar 4500 m, dengan bioherm batugamping

koral tumbuh di beberapa tempat (batugamping Anggota Taccipi). (Sukamto, 1982)

Setelah Pliosen Akhir, rupanya tidak terjadi pengendapan yang berarti di

daerah ini, dan juga tidak ada kegiatan gunungapi. Endapan undak di utara

Pangkajene dan di beberapa tempat di tepi Sungai Walanae, rupanya terjadi selama

Pliosen. Endapan Holosen yang luas berupa aluvium terdapat di sekitar D. Tempe, 3

4 di dataran Pangkajene-Maros dan di bagian utara dataran Bone.

1. Endapan alluvium, danau dan pantai. Lempung, lanau. lumpur pasir dan

kerikil di sepanjang sungai besar, di sekitar lekuk Danau Tempe, dan di

sepanjang pantai. Endapan pantai setempat mengandung sisa kerang dan

batugamping koral (Qc). Sisipan lempung laut yang mengandung moluska

(Arca,. Trocbus dan Cypraea) dan buncak besi terdapat di sekitar Danau

Tempe (t‘Hoen & Ziegler, 1915). Undak sungai yang berumur Plistosen (tak
terpetakan) di Kampung Sompoh, dekat Sungai Walanae, mengandung tulang

gajah purba yang dikenali sebagai Archidiscodon celebensis (Hooijer, 1949).

2. Endapan Undak. Kerikil, pasir dan lempung, membentuk dataran rendah

bergelombang di sebelah utara Pangkajene. Terutama berasal dari batua pra-

tersier di sebelah timur Pangkajene. Satuan ini dapat dibedakan secara

morfologi dari endapan aluvium yang lebih muda. Satuan ini barangkali dapat

dinasabahkan dengan endapan undak di dekat sungai Walanae yang

mengandung tulang gajah purba yang berumur Plistosen; tidak terpetakan.

Lempung, pasir dan kerikil yang tidak terpetakan di daerah tata-sungai

Walanae mungkin termasuk satuan ini (Sukamto, 1982)

3. Batuan Sedimen dan Bautan Gunungapi formasi Balangbaru sedimen tipe

flysch; batupasir berselingan dengan batulanau, batulempung dan serpih

bersispan konglomerat, batupasir konglomeratan. tufa dan Lava; batupasirnya

bersusunan grewake dan arkosa. sebagian tufaan dan gampingan: pada

umumnva menunjukkan struktur turbidit; di beberapa tempat di temukan

konglomerat dengan susunan basal, andesit, diorit. serpih, tufa terkersikkan,

sekis, kuarsa, dan bersemen batupasir; pada umumnya padat dan sebagian

serpih terkersikkan. Di bawah mikroskop, batupasir dan batulanau terlihat

mengandung pecahan batuan beku. metasedimen dan rijang radiolaria. Daerah

baratlaut mengandung banyak batupasir dan ke arah tenggara, lebih banyak

batulempung dan serpih


4. Formasi Malawa : batupasir, konglomerat, batulanau. batulempung. dan napal,

dengan sisipan lapisan atau lensa batubara dan batulempung; Batupasirnya

sebagian besar batupasir kuarsa, ada pula yang arkosa, grewake. dan tufaan,

umumnya berwarna kelabu muda dan coklat muda; pada umumnya bersifat

rapuh, kurang padat; konglomeratnya sebagian kompak; batulempung.

batugamping dan napal umumnya mengandung moluska yang belum

diperiksa, dan berwarna kelabu muda sampai kelabu tua; batubara berupa

lensa setebal beberapa sentimeter dan berupa lapisan sampai 1,5 m. Penelitian

palinologi terhadap sisipan batubara telah dilakukan oleh Asrar Khan (M.E -

Scrutton, Robertson Research, hubungan tertulis, 1974) dan oleh Robert H.

Tschudy (Don E. Wolcort, USGS, hubungan tertulis, 1973).

5. Formasi Tonasa : batugamping koral pejal sebagian terhablurkan. Berwarna

putih dan kelabu muda; batugamping bioklastika dan kalkarenit. Berwarna

putih coklat muda dan kelabu muda. sebagian berlapis baik, berselingan

dengan napal globigerina tufaan; bagian bawahnya mengandung batugamping

berbitumen, setempat bersisipan breksi batugamping dan batugamping

pasiran; di dekat, Malawa, daerah Camba terdapat batugamping yang

mengandung glaukonit, dan di beberapa tempat di daerah Ralla ditemukan

batugamping yang mengandung banyak sepaian sekis dan batuan ultramafik;

batugamping berlapis sebagian mengandung banyak foraminifera besar,

napalnya banyak mengandung foraminifera kecil dan beberapa lapisan napal

pasiran mengandung banyak kerang (pelecypoda) dan siput (gastropoda)


besar. Batugamping pejal pada umumnya terkekarkan kuat; di daerah

Tanetteriaja terdapat tiga jalur napal yang berselingan dengan jalur

barugamping berlapis.

6. Formasi Camba : batuan sedimen laut berselingan dengan batuan gunungapi;

batupasir tufaan berselingan dengan tufa, batupasir, batulanau dan

batulempung; bersisipan dengan napal, batugamping konglomerat dan breksi

gunungapi, dan setempat dengan batubara, berwarna beraneka, putih , coklat,

merah, kuning, kelabu muda sampai kehitaman: umumnya mengeras kuat dan

sebagian kurang padat; berlapisan dengan tebal antara 4 cm dan 100 cm.

Tufanya berbutir halus hingga lapili; tufa lempungan berwarna, merah

mengandung banyak mineral biotit; konglomerat dan breksinya terutama

berkomponen andesit dan basal dengan ukuran antan 2 cm dan 40 cm;

batugamping pasiran dan batupasir gampingan mengandung pecahan koral

dan moluska: batulempung gampingan kelabu tua dan napal mengandung

foram kecil dan moluska; sisipan batubara setebal 40 cm ditemukan di S.

Maros. Pada umumnya berlapis baik, terlipat lemah dengan kemiringan

sampai 30°.

7. Batuan gunungapi terpropilitkan : breksi, lava dan tufa. di bagian atas lebih

banyak tufa, sedangkan di bagian bawah lebih banyak lava: umumnya bersifat

andesit, sebagian trakit dan basal; bagian atas bersisipan serpih merah dan

batugamping; komponen breksi beraneka, dari beberapa cm sampai melebihi

50 cm, terekat tufa yang jumlahnya kurang dari 50%; lava dan breksi
berwarna kelabu tua sampai kelabu kehijauan, sangat terbreksikan dan

terpropilitkan, mengandung banyak karbonat dan silikat

8. Batuan gunungapi Kalamiseng : lava dan breksi, dengan sisipan tufa,

batupasir, batulempung dan napal; kebanyakan bersusunan basal dan sebagian

andesit; kelabu tua hingga kelabu kehitaman, umumnya tansatmata,

kebanyakan terubah, amidaloid dengan mineral sekunder karbonat dan silikat;

sebagian lavanya menunjukkan struktur bantal. Satuan batuan ini tersingkap

di sepanjang daerah pegunungan di timur lembah Walanae, terpisahkan oleh

lajur sesar dari batuan sedimen dan karbonat yang berumur Eosen di bagian

baratnya diterobos oleh retas dan stok basal, ansdesit dan diorit. Satuan batuan

ini berumur lebih muda dari batugamping Eosen dan lebih tua dari Formasi

Camba Miosen Tengah, mungkin Miosen Bawah; dan tebalnya tidak kurang

dari 4.250 m.

9. Batuan gunungapi Soppeng : breksi gunungapi dan lava, dengan sisipan tufa

berbutir pasir sampai lapili, dan batulempung; di bagian utara lebih banyak

tufa dan breksi, sedangkan di bagian selatan lebih banyak lavanya; sebagian

bersusunan basal piroksen dan sebagian basal leusit, kandungan leusitnya

makin banyak ke arah selatan: sebagian lavanya berstuktur bantal dan

sebagian terbreksikan; breksinya berkomponen antara 5 cm - 50 cm;

warnanya kebanyakan kelabu tua sampai kelabu kehijauan. (Sukamto, 1982)

2.1.3 Struktur Regional Daerah Penelitian


Batuan tua yang masih dapat diketahui kedudukan stratigrafi dan tektonikanya

adalah sedimen flych Formasi Balangbaru dan Formasi Marada; bagian bawah

takselaras menindih satuan yang lebih tua, dan bagian atasnya ditindih takselaras oleh

batuan yang lebih muda. Batuan yang lebih tua merupakan masa yang terimbrikasi

melalui sejumlah sesar sungkup, terbreksikan, tergerus, terdaunkan dan sebagian

tercampur menjadi melange. Oleh karena itu komplek batuan ini dinamakan Komplek

Tektonik Bantimala. Berdasarkan himpunan batuannya diduga Formasi Balangbaru

dan Formasi Marada itu merupakan endapan lereng di dalam sistem busur-palung

pada zaman Kapur Akhir. Gejala ini menunjukkan, bahwa melange di Daerah

Bantimala terjadi sebelum Kapur Akhir. (Sukamto, 1982)

Kegiatan gunungapi bawah laut dimulai pada Kala Paleosen, yang hasil

erupsinya terlihat di timur Bantimala dan di daerah Birru (lembar Ujungpandang,

Benteng & Sinjai). Pada Kala Eosen Awal, rupanya daerah di barat berupa tepi

daratan yang dicirikan oleh endapan darat serta batubara di dalam Formasi Malawa;

sedangkan di daerah timur, berupa cekungan laut dangkal tempat pengendapan batuan

klastika bersisipan karbonat Formasi Salo Kalupang. Pengendapan Formasi Malawa

kemungkinan hanya berlangsung selama awal Eosen, sedangkan Formasi Salo

Kalupang berlangsung sampai Oligosen Akhir. (Sukamto, 1982)

2.2 Batuan Beku

Batuan beku atau igneus rock berasal dari Bahasa Latin: (ignis yaitu

"api"). Batuan beku adalah jenis batuan yang terbentuk dari magma yang
mendingin dan mengeras, dengan atau tanpa proses kristalisasi, baik di bawah

permukaan bumi yang dikenal sebagai batuan intrusif (plutonik) maupun di atas

permukaan bumi yang dikenal sebagai batuan ekstrusif (vulkanik). (Zikri, 2018)

Batuan beku terbentuk akibat cairan magma yang membeku, baik itu

magma yang telah keluar dariperut bumi ataupun magma yang masih berada di

dalambumi. Umumnya magma terbentuk akibat dari lelehan sebagian

batuan/lapisan pada mantel bumi bagian atas. Pelelehan batuan dapat terjadi

karena perubahan 3 parameter dasar yaitu, tekanan, temperatur/suhu, dan

komposisi kimia. Magma akan keluar dari dalam bumi melalui pluton. Pluton sendiri

terbagi menjadi beberapa saluran tergantung dari ukuran dan posisinya seperti,

dike, sill, laccolith, dan lain-lain. Dari proses kristalisasi akan terbentuk jenis batuan

beku. Batuan beku juga terbagi lagi seperti batuan granit, batuan andesit dan batuan

basalt. (Zikri, 2018)

2.2.1 Jenis-Jenis Batuan Beku

Batuan beku terbagi menjadi beberapa jenis berdasarkan proses

pembentukannya. Berdasarkan proses pembentukannya batuan beku terbagi

menadi 2 macam, yaitu:

1. Batuan beku luar (Ekstrusif): proses pembekuan dari magma relatif cepat,

karakteristik tekstur kristal batuan sangat halus.


2. Batuan beku dalam (Intrusif): proses pembekuandari magma membutuhkan

waktu yang sangat lama, bisa mencapai jutaan tahun, karakteristik kristal

batuan berukuran besar. (Noor, 2008)

2.2.2 Struktur Batuan Beku

Berdasarkan tempat pembekuannya batuan beku dibedakan menjadi batuan

beku extrusive dan intrusive. Hal ini pada nantinya akan menyebabkan perbedaan

pada tekstur masing masing batuan tersebut. Kenampakan dari batuan beku yang

tersingkap merupakan hal pertama yang harus kita perhatikan. Kenampakan inilah

yang disebut sebagai struktur batuan beku (Noor, 2008)

Batuan beku ekstrusif adalah batuan beku yang proses pembekuannya

berlangsung dipermukaan bumi. Batuan beku ekstrusif ini yaitu lava yang memiliki

berbagia struktur yang memberi petunjuk mengenai proses yang terjadi pada saat

pembekuan lava tersebut. Struktur ini diantaranya:

1. Masif, yaitu struktur yang memperlihatkan suatu masa batuan yang terlihat

seragam.

2. Sheeting joint, yaitu struktur batuan beku yang terlihat sebagai lapisan

3. Columnar joint, yaitu struktur yang memperlihatkan batuan terpisah poligonal

seperti batang pensil.

4. Pillow lava, yaitu struktur yang menyerupai bantal yang bergumpal-gumpal.

Hal ini diakibatkan proses pembekuan terjadi pada lingkungan air.


5. Vesikular, yaitu struktur yang memperlihatkan lubang-lubang pada batuan

beku.Lubang ini terbentuk akibat pelepasan gas pada saat pembekuan.

6. Amigdaloidal, yaitu struktur vesikular yang kemudian terisi oleh mineral lain

seperti kalsit, kuarsa atau zeolite

Batuan beku ekstrusif adalah batuan beku yang proses pembekuannya

berlangsung dibawah permukaan bumi. berdasarkan kedudukannya terhadap

perlapisan batuan yang diterobosnya struktur tubuh batuan beku intrusif terbagi

menjadi dua yaitu konkordan dan diskordan. (Noor, 2008)

1. Konkordan

Tubuh batuan beku intrusif yang sejajar dengan perlapisan disekitarnya, jenis

jenis dari tubuh batuan ini yaitu :

1) Sill, tubuh batuan yang berupa lembaran dan sejajar dengan perlapisan

batuan disekitarnya.

2) Laccolith, tubuh batuan beku yang berbentuk kubah (dome), dimana

perlapisan batuan yang asalnya datar menjadi melengkung akibat

penerobosan tubuh batuan ini, sedangkan bagian dasarnya tetap datar.

Diameter laccolih berkisar dari 2 sampai 4 mil dengan kedalaman

ribuan meter.

3) Lopolith, bentuk tubuh batuan yang merupakan kebalikan dari

laccolith, yaitu bentuk tubuh batuan yang cembung ke bawah.

Lopolith memiliki diameter yang lebih besar dari laccolith, yaitu

puluhan sampai ratusan kilometer dengan kedalaman ribuan meter.


4) Paccolith, tubuh batuan beku yang menempati sinklin atau antiklin

yang telah terbentuk sebelumnya. Ketebalan paccolith berkisar antara

ratusan sampai ribuan kilometer

2. Diskordan

Tubuh batuan beku intrusif yang memotong perlapisan batuan disekitarnya.

Gambar 2.1 Bagan Struktur Batuan Beku Intrusif

1) Dike, yaitu tubuh batuan yang memotong perlapisan disekitarnya dan

memiliki bentuk tabular atau memanjang. Ketebalannya dari beberapa

sentimeter sampai puluhan kilometer dengan panjang ratusan meter.

2) Batolith, yaitu tubuh batuan yang memiliki ukuran yang sangat besar yaitu >

100 km2 dan membeku pada kedalaman yang besar.

3) Stock, yaitu tubuh batuan yang mirip dengan Batolith tetapi ukurannya lebih

kecil (Noor, 2008)

2.2.3 Tekstur Batuan Beku


Tekstur pada batuan beku umumnya ditentukan oleh tiga hal yang

penting, yaitu: kristalinitas, granularitas, bentuk kristal dan hubungan antar

kristal.

1. Kristalinitas adalah derajat kristalisasi dari suatu batuan beku pada waktu

terbentuknya batuan tersebut. Kristalinitas digunakan untuk menunjukkan

berapa banyak kristal yang berbentuk dan yang tidak berbentuk, selain itu juga

dapat mencerminkan kecepatan pembekuan magma. Apabila magma dalam

pembekuannya berlangsung lambat maka kristalnya kasar. Sedangkan jika

pembekuannya berlangsung cepat maka kristalnya akan halus, akan tetapi jika

pendinginannya berlangsung dengan cepat sekali maka kristalnya berbentuk

amorf.

2. Granularitas didefinisikan sebagai besar butir (ukuran) pada batuan beku.

Pada umumnya dikenal dua kelompok tekstur ukuran butir, yaitu: Fanerik

atau

fanerokristalin dan afanitik.

3. Hubungan antar kristal atau disebut juga relasi didefinisikan sebagai

hubungan antara kristal/mineral yang satu dengan yang lain dalam suatu

batuan.

Secara garis besar, relasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu: Ekuigranular dan

Inekuigranular.
4. Hubungan antar kristal atau disebut juga relasi didefinisikan sebagai

hubungan antara kristal/mineral yang satu dengan yang lain dalam suatu

batuan.

Secara garis besar, relasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu: Ekuigranular dan

Inekuigranular.

2.2.4 Ciri-Ciri dan Karakteristik

1. Warna Batuan Beku

Warna batuan beku bervariasi dari hitam, abu-abu dan putih cerah. Warna ini

sangat dipengaruhi oleh komposisi mineral penyusun batuan beku ini.

Pencampuran warna mineral merupakan faktor utama pewarnaan batuan beku.

Contohnya ketika terjadi pencampuran mineral hitam pekat dengan putih

maka biasanya akan terbentuk batuan beku hitam berbintik putih.

2. Tekstur Batuan Beku

Tekstur dari batuan juga terggantung kepada jenis mineralnya. Komposisi dari

mineral tersebut akan berhubungan dengan ukuran butir, tingkat kristalilasi,

dan

bentuk kristal.

3. Tingkat Keseragaman Butir

1) Equigranular, apabila kristal penyusunnya berukuran relatif seragam.

Butir-butir penyusun batu tersebut ukurannya hampir sama antara

yang satu dengan lainnya.


2) Inequigranular, jika ukuran butir kristal penyusunnya tidak sama.

(Zikri, 2018)

2.3 Batuan Sedimen

Batuan sedimen adalah batuan yang terbentuk sebagai hasil pemadatan

endapan

yang berupa bahan lepas. Menurut ( Pettijohn, 1975 ) batuan sedimen adalah batuan

yang terbentuk dari akumulasi material hasil perombakan batuan yang sudah ada

sebelumnya atau hasil aktivitas kimia maupun organisme, yang di endapkan lapis

demi

lapis pada permukaan bumi yang kemudian mengalami pembatuan. Menurut Tucker

(1991), 70 % batuan di permukaan bumi berupa batuan sedimen. Tetapi batuan itu

hanya 2 % dari volume seluruh kerak bumi. Ini berarti batuan sedimen tersebar sangat

luas di permukaan bumi, tetapi ketebalannya relatif tipis. (Zikri, 2018)

2.3.1 Proses Terbentuknya Batuan Sedimen

Proses terbentuknya batuan sedimen dimulai dari adanya pengikisan terhadap

batuan beku. Pengikisan ini dapat disebabkan karena pergerakan air, angin, es atau

aktivitas makhluk hidup. Partikel-partikel yang terkikis akan bergerak mengikuti

media

pengikutnya. Kemudian pada suatu titik akan berhenti dan terkumpul di suatu tempat.

Kemudian kumpulan partikel ini akan mengalami proses pengendapan (Sedimentasi).

Sedimentasi merupakan proses pengendapan material batuan secara gravitasi yang


dapat terjadi di daratan, garis pantai ataupun di dasar laut. Setelah mengendap,

selanjutnya partikel-partikel tersebut akan memadat membentuk batuan sedimen.

(Zikri, 2018)

2.3.2 Ukuran Butir Batuan Sedimen

Butir lanau dan lempung tidak dapat diamati dan diukur secara megaskopik.

Ukuran butir lanau dapat diketahui jika material itu diraba dengan tangan masih

terasa ada butir seperti pasir tetapi sangat halus. Ukuran butir lempung akan terasa

sangat halus dan lembut di tangan, tidak terasa ada gesekan butiran seperti pada

lanau, dan bila diberi air akan terasa sangat licin. Umumnya penilaian ukuran butir

batuan sedimen mengikuti Skala Wentworth.

Tabel 2.1 Skala Wenworth

2.3.3 Klasifikasi Batuan Sedimen

1. Berdasarkan Pembentukannya

a) Batuan Sedimen Klastis meruapakan jenis batuan yang terbentuk di

alam melalui suatu proses pengendapan dari material-material yang

bervariasi, mulai dari ukuran lempung sampai dengan bongkah batuan.

Batuan sedimen klastis ini terbentuk karena suatu pelapukan atau erosi
pada pecahan batuan atau mineral, sehingga batuan menjadi hancur

atau pecah dan lalu mengendap di tempat tertentu dan menjadi keras.

Susunan kimia dan warna batuan ini biasanya sama dengan batuan

asalnya.Contohnya : batuan sedimen klastis antara lain yaitu batu

konglomerat, batu breksi, dan batu pasir.

b) Batuan Sedimen Kimiawi Batuan sedimen kimiawi adalah batuan yang

terbentuk karena adanya pengendapan melalui suatu proses kimia pada

mineral-mineral tertentu. Misalnya, pada batu kapur yang larut oleh air

kemudian mengendap dan membentuk sebuah stalaktit dan stalagmit

di gua kapur.Contohnya : batuan sedimen kimiawi lainnya yaitu

batuan anhidrit dan batu garam.

c) Batuan Sedimen Organik Batuan sedimen organik atau batuan sedimen

biogenik merupakan batuan yang terbentuk karena adanya sisa-sisa

makhluk hidup yang mengalami pengendapan di tempat tertentu.

Contohnya : pada batu karang yang terbentuk dari terumbu karang

yang mati dan fosfat yang terbentuk dari kotoran kelelawar serta batu

gamping.

d) Batuan Volkanoklastik Batuan sedimen yang berasal dari hasil

aktivitas gunung api, seperti debu yang diendapkan

kembali.contohnya: Pasir tuff (tuff gunung api), Aglomerat.

2. Berdasarkan Jenisnya
Gambar 2.2 Batu Konglomerat (1), Batu Pasir (2), Batu Serpih (3)

a) Batu konglomerat merupakan batuan yang terbentuk dari material

kerikil-kerikil bulat, batu-batu dan pasir yang merekat satu sama

lainnya. Batu konglomerat terbentuk dari bahan-bahan yang lepas

karena gaya beratnya kemudian menjadi padat dan saling terikat. Batu

konglomerat berfungsi sebagai bahan pendukung bangunan (bukan

bahan utama).

b) Batu pasir merupakan batuan yang tersusun dari butiran-butiran pasir,

umumnya berwarna abu-abu, kuning, atau pun merah. Batu pasir

terbentuk dari bahan-bahan yang lepas karena gaya beratnya menjadi

terpadatkan dan menjadi saling terikat. Batu pasir dapat berfungsi

sebagai material penyusun gelas/kaca atau pun sebagai

kontruksi bangunan.

c) Batu serpih merupakan batu yang berbau seperti tanah liat, berbutir-

butir halus, berwarna hijau, hitam, kuning, merah, atau pun abu-abu.

Batu serpih terbentuk dari bahan-bahan yang lepas dan halus karena

gaya beratnya menjadi terpadatkan dan saling terikat. Batu ini dapat

digunakan sebagai bahan bangunan.

d) Batu konglomerat merupakan batuan yang terbentuk dari material

kerikil-kerikil bulat, batu-batu dan pasir yang merekat satu sama

lainnya. Batu konglomerat terbentuk dari bahan-bahan yang lepas


karena gaya beratnya kemudian menjadi padat dan saling terikat. Batu

konglomerat berfungsi sebagai bahan pendukung bangunan (bukan

bahan utama).

e) Batu pasir merupakan batuan yang tersusun dari butiran-butiran pasir,

umumnya berwarna abu-abu, kuning, atau pun merah. Batu pasir

terbentuk dari bahan-bahan yang lepas karena gaya beratnya menjadi

terpadatkan dan menjadi saling terikat. Batu pasir dapat berfungsi

sebagai material penyusun gelas/kaca atau pun sebagai kontruksi

bangunan.

f) Batu serpih merupakan batu yang berbau seperti tanah liat, berbutir-

butir halus, berwarna hijau, hitam, kuning, merah, atau pun abu-abu.

Batu serpih terbentuk dari bahan-bahan yang lepas dan halus karena

gaya beratnya menjadi terpadatkan dan saling terikat. Batu ini dapat

digunakan sebagai bahan bangunan.

2.3.4 Ciri-Ciri Batuan Sedimen

1. Warna Batuan Sedimen

Kebanyakan batuan sedimen yang dijumpai berwarna terang, seperti putih,

kuning, atau abu-abu terang. Tetapi ada juga yang dijumpai berwarna gelap

seperti hitam, merah dan coklat. Warna dari batuan sedimen sangat bervariasi

tergantung kepada komposisi mineral penyusunnya.


2. Kekompakan Batuan Sedimen

Proses pemadatan atau pengompakan dari batuan sedimen disebut diagenesa.

Proses ini dapat terjadi pada suhu dan tekanan normal hingga suhu 300 derajat

celcius dan tekanan 2 kilobar. Proses tersebut berlangsung mulai sedimen

mengalami penguburan hingga terangkat kembali ke permukaan. Berdasarkan

prosesnya terdapat

3 jenis diagenesa, yaitu

1) Diagenesa Eogenik, diagenesa awal pada sedimen di bawah

permukaan air.

2) Diagenesa Mesogenik, diagenesi pada waktu sedimen mengalami

penguburan yang lebih dalam.

3) Diagenesa Teogenik, yaitu diagenesa yang terjadi ketika batuan

sedimen tersingkap kembali ke permukaan

Dengan adanya berbagai macam diagenesa maka derajat kekompakan batuan

sedimen juga sangat bervariasi, yakni :

1. Bahan lepas (loose materials, masih berupa endapan atau sedimen)

2. Padu (indurated), pada tingkat ini konsolidasi material terjadi pada kondisi

kering, tetapi akan terurai bila dimasukkan ke dalam air.

3. Agak kompak (padat), pada tingkat ini masih ada butiran/fragmen yang dapat

dilepas dengan tangan atau kuku.

4. Kompak (keras), butiran tidak dapat dilepas dengan tangan/kuku.

5. Sangat kompak (sangat keras, biasanya sudah mengalami rekristalisasi).


2.3.5 Struktur Sedimen

1. Struktur di dalam batuan (features within strata) :

1) Struktur perlapisan (planar atau stratifikasi). Jika tebal perlapisan < 1

cm disebut struktur laminasi.

2) Struktur perlapisan silang-siur (cross bedding / cross lamination.

3) Struktur perlapisan pilihan (graded bedding)

4) Normal, jika butiran besar di bawah dan ke atas semakin halus.

5) Terbalik (inverse), jika butiran halus di bawah dan ke atas semakin

kasar. (Zikri, 2018)

2. Struktur permukaan (surface features)

1) Ripples (gelembur gelombang atau current ripple marks)

2) Cetakan kaki binatang (footprints of various walking animals.

3) Cetakan jejak binatang melata (tracks and trails of crowling animals)

4) Rekahan lumpur (mud cracks, polygonal cracks)

5) Gumuk pasir (dunes, antidunes) (Zikri, 2018)

3. Struktur erosi (erosional sedimentary structures)

1) Alur/galur (flute marks, groove marks,linear ridges)

2) Impact marks (bekas tertimpa butiran fragmen batuan atau fosil)

3) Saluran dan cekungan gerusan (channels and scours)

4) Cekungan gerusan dan pengisian (scours & fills) (Zikri, 2018)


2.5 Batuan Metamorf

Batuan metamorf terbentuk oleh proses rekristalisasi di kedalaman kerak bumi

pada kedalaman 3 hingga 20 km dari permukaan bumi, yang sebagian besar terjadi

dalam keadaan padat, yakni tanpa melalui fasa cair. Sehingga terbentuk struktur dan

mineralogi baru yang sesuai dengan lingkungan fisik baru pada tekanan (P) dan

temperatur (T) tertentu. Menurut H.G.F. Winkler, 1967, metamorfisme adalah proses-

proses yang mengubah mineral suatu batuan pada fase padat karena pengaruh atau

tanggapan terhadap kondisi fisik dan kimia di dalam kerak bumi, dimana kondisi fisik

dan kimia tersebut berbeda dengan kondisi sebelumnya. Proses-proses tersebut tidak

termasuk pelapukan dan diagenesis (Zuhdi, 2019).

2.5.1 Tekstur dan Struktur Batuan Metamorf

Tekstur adalah ukuran relatif, bentuk serta hubungan antar bentuk butiran

internal pada batu. Beberapa tekstur batuan metamorf diantaranya adalah:

A. Tekstur Umum

1) Ukuran kristal, - 10 mm sangat kasar - 1-5 mm sedang

2) Bentuk individu kristal,

a) Idioblastic : jika butiran kristal euhedral

b) Hypidioblastic : jika butiran kristal subhedral

c) Xenoblastic : jika butiran kristal anhedral

3) Tekstur berdasarkan ketahanan terhadap proses metamorfisme


a) Relict / sisa masih menunjukkan sisa tekstur batuan asalnya.

Awalan ‘blasto’ digunakan untuk penamaan tekstur batuan

metamorf ini. Contoh tekstur: blastoporfiritik, blasto-ofitik, dll.

Batuan yang mempunyai kondisi seperti ini sering disebut

batuan metabeku atau metasedimen.

b) Kristaloblastik terbentuk karena proses metamorfisme itu

sendiri. Batuan dengan tekstur ini sudah mengalami

rekristalisasi sehingga tekstur asalnya tidak tampak.

Penamaannya menggunakan akhiran -blastik. Contoh tekstur:

granuloblastik, porphyroblastik, dll.

4) Tekstur berdasarkan Bentuk Mineral:

a) Lepidoblastik, apabila mineralnya penyusunnya berbentuk

tabular.

b) Nematoblastik, apabila mineral penyusunnya berbentuk

prismatic.

c) Granoblastik, apabila mineral penyusunnya berbentuk

granular, equidimensional, batas mineralnya bersifat sutured

(tidak teratur) dan umumnya kristalnya berbentuk anhedral.

d) Granuloblastik, apabila mineral penyusunnya berbentuk

granular, equidimensional, batas mineralnya bersifat unsutured

(lebih teratur) dan umumnya kristalnya berbentuk anhedral.


B. Bentuk Khusus

Selain tekstur yang diatas terdapat beberapa tekstur khusus lainnya

diantaranya

adalah sebagai berikut:

1) Porfiroblastik, apabila terdapat mineral yang ukurannya lebih besar

tersebut sering disebut porphyroblasts.

2) Poikiloblastik/Sieve texture, tekstur porfiroblastik dengan

porphyroblasts tampak melingkupi beberapa kristal yang lebih kecil.

3) Mortar texture, apabila fragmen mineral yang lebih besar terdapat

pada massa dasar material yang barasal dari kristal yang sama yang

terkena pemecahan (crushing).

2.5.2 Struktur Batuan Metamorf

A. Foliasi, Foliasi adalah lapisan-lapisan pada batuan metamorf yang berbentuk

seperti belahan. Merupakan penjajaran dari komposisi mineralnya

1. Slaty cleavage. Struktur foliasi planar yang dijumpai pada bidang


belah batu sabak/slate, mineral mika mulai hadir, batuannya disebut
slate (batutulis).
2. Phylitic. Rekristalisasi lebih kasar daripada slaty cleavage, batuan
lebih mengkilap daripada batusabak (mulai banyak mineral mika),
mulai terjadi pemisahan mineral pipih dan mineral granular meskipun
belum begitu jelas/belum sempurna, batuannya disebut Phyllite (Filit).
3. Schistosic. Struktur perulangan dari mineral pipih dan mineral
granular, mineral pipih orientasinya menerus/tidak terputus, sering
disebut dengan close Sekisosity, batuannya disebut Sekis.
4. Gneissic. Struktur perulangan dari mineral pipih dan mineral granular,

mineral pipih orientasinya tidak menerus/terputus, sering disebut

dengan open Sekisosity, batuannya disebut Gneis.

B. Non-Foliasi, merupakan batuan metamorf yang tidak memiliki lapisan-lapisan

sehingga tidak terlihat penjajaran mineral-mineral penyusun batuan tersebut.

1. Granulose, struktur nonfoliasi yang terdiri dari mineral-mineral

granular.

2. Hornfelsik, struktur nonfoliasi yang dibentuk oleh mineral-mineral

equidimensional dan equigranular, tidak terorientasi, khusus akibat

metamorfosa termal, batuannya disebut Hornfels.

3. Cataclastic, struktur nonfoliasi yang dibentuk oleh pecahan/fragmen

batuan atau mineral berukuran kasar dan umumnya membentuk

kenampakan breksiasi, terjadi akibat metamorfosa kataklastik,

batuannya disebut Cataclasite (Kataklasit).

4. Mylonitic, struktur nonfoliasi yang dibentuk oleh adanya penggerusan

mekanik pada metamorfosa kataklastik, menunjukan goresan-goresan

akibat penggerusan yang kuat dan belum terjadi rekristalisasi mineral-

mineral primer, batuannya disebut Mylonite (Milonit).


5. Phyllonitic, gejala dan kenampakan sama dengan milonitik tetapi

butirannya halus, sudah terjadi rekristalisasi, menunjukan kilap silky,

batuannya disebut Phyllonite (Filonit). (Zikri.2018).

2.5.3 Mineral Penciri Batuan Metamorf

Mineral-mineral yang terdapat pada batuan metamorf dapat berupa mineral


yang berasal dari batuan asalnya maupun dari mineral baru yang terbentuk akibat
proses metamorfisme sehingga dapat digolongkan menjadi 3, yaitu:

1. Mineral yang umumnya terdapat pada batuan beku dan batuan metamorf
seperti c, biotit, hornblende, piroksen, olivin dan bijih besi.
2. Mineral yang umumnya terdapat pada batuan sedimen dan batuan metamorf
seperti kuarsa, muskovit, mineral-mineral lempung, kalsit dan dolomit.
3. Mineral indeks batuan metamorf seperti garnet, andalusit, kianit, silimanit,
stautolit, kordierit, epidot dan klorit. (Zuhdi,2019)

Anda mungkin juga menyukai