Anda di halaman 1dari 19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional


Daerah penelitian secara stratigrafi masuk ke dalam Kawasan
Pegunungan Selatan. Pegunungan Selatan secara umum tersusun oleh
batuan sedimen volkaniklastik dan batuan karbonat. Zona Pegunungan
Selatan adalah daerah pegunungan yang berada pada bagian selatan Jawa
Tengah, daerahnya melampar dimulai dari bagian tenggara provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, memanjang ke arah timur sepanjang pantai
selatan Jawa Timur. Urutan stratigrafi penyusun Pegunungan Selatan
bagian barat dari tua ke muda adalah sebagai berikut:

Gambar 2.1 Stratigragfi Pegunungan Selatan (Mulyanto dan Surono, 2009)

Pegunungan Selatan memiliki litologi yang beragam, sehingga


areanya dikelompokkan lagi menjadi 9 zona formasi. Formasi – formasi
tersebut jika diurutkan dari yang paling tua hingga yang paling muda di
antaranya adalah (Bronto & Hartono, 2001):
1. Formasi Wungkal-Gamping
Formasi ini terletak di Gunung Wungkal dan Gunung Gamping, di
Perbukitan Jiwo. Satuan batuannya terdiri dari perselingan antara
batupasir dan batulanau serta lensa batugamping. Pada bagian atas,
satuan batuan ini berupa napal pasiran dan lensa batugamping.
Formasi ini tersebar di Perbukitan Jiwo, antara lain di G. Wungkal,
Desa Sekarbolo, Jiwo Barat, menpunyai ketebalan sekitar 120 meter.
2. Formasi Kebo-Buthak
Formasi ini disusun pada bagian bawah berupa batupasir berlapis
baik, batulanau, batulempung, serpih, tuf dan aglomerat, dengan
ketebalan lebih dari 650 meter.Bagian atasnya berupa perselingan
batupasir dan batulempung dengan sisipan tipis tuf asam. Setempat di
bagian tengahnya dijumpai retas lempeng andesit-basal dan di bagian
atasnya dijumpai breksi andesit.
3. Formasi Semilir
Formasi ini berlokasi tipe di Gunung Semilir, sebelah selatan Klaten.
Dengan ketebalan lebih dari 460 meter.Litologi penyusunnya terdiri
dari tuf, tuf lapili, lapili batuapung, breksi batuapung dan serpih.
Komposisi tuf dan batuapung tersebut bervariasi dari andesit hingga
dasit. Di bagian bawah satuan batuan ini, yaitu di S. Opak, Dusun
Watuadeg, Desa Jogotirto, Kec. Berbah, Kab. Sleman, terdapat andesit
basal sebagai aliran lava bantal.
4. Formasi Nglanggran
Pada formasi ini batuan penyusunnya terdiri dari breksi gunungapi,
aglomerat, tuf dan aliran lava andesit-basal dan lava andesit. Breksi
gunungapi dan aglomerat yang mendominasi formasi ini umumnya
tidak berlapis. Kepingannya terdiri dari andesit dan sedikit basal,
berukuran 2 – 50 cm. Di bagian tengah formasi ini, yaitu pada breksi
gunungapi, ditemukan batugamping terumbu yang membentuk lensa
atau berupa kepingan. Secara setempat, formasi ini disisipi oleh
batupasir.
5. Formasi Sambipitu
Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Sambipitu pada jalan raya
Yogyakarta-Patuk-Wonosari dengan ketebalan mencapai 230 meter.
Batuan penyusun formasi ini di bagian bawah terdiri dari batupasir
kasar, kemudian ke atas berangsur menjadi batupasir halus yang
berselang-seling dengan serpih, batulanau dan batulempung. Pada
bagian bawah kelompok batuan ini tidak mengandung bahan karbonat.
Namun di bagian atasnya, terutama batupasir, mengandung bahan
karbonat.
6. Formasi Oyo
Lokasi tipe formasi ini berada di Sungai Oyo. Batuan penyusunnya
pada bagian bawah terdiri dari tuf dan napal tufan. Sedangkan ke atas
secara berangsur dikuasai oleh batugamping berlapis dengan sisipan
batulempung karbonatan. Batugamping berlapis tersebut umumnya
kalkarenit, namun kadang-kadang dijumpai kalsirudit yang
mengandung fragmen andesit membulat. Formasi Oyo tersebar luas di
sepanjang K. Oyo. Ketebalan formasi ini lebih dari 140 meter.
7. Formasi Wonosari
Formasi ini tersingkap baik di daerah Wonosari dan sekitarnya,
dengan ketebalan lebih dari 800 meter. Formasi ini didominasi oleh
batuan karbonat yang terdiri dari batugamping berlapis dan
batugamping terumbu. Sedangkan sebagai sisipan adalah napal.
Sisipan tuf hanya terdapat di bagian timur.
8. Formasi Kepek
Lokasi tipe dari formasi ini terletak di Desa Kepek, tersebar di hulu.
Rambatan sebelah barat Wonosari yang membentuk sinklin. Batuan
penyusunnya adalah napal dan batugamping berlapis. Tebal satuan ini
lebih kurang 200 meter.
9. Endapan Permukaan
Endapan permukaan pada daerah Sungai Opak merupakan rombakan
batuan yang lebih tua yang terbentuk pada Kala Plistosen hingga masa
kini. Terdiri dari bahan lepas sampai padu lemah, berbutir lempung
hingga kerakal. Surono dkk. (1992) membagi endapan ini menjadi
Formasi Baturetno (Qb), Aluvium Tua (Qt) dan Aluvium (Qa).
Sumber bahan rombakan berasal dari batuan Pra-Tersier Perbukitan
Jiwo, batuan Tersier Pegunungan Selatan dan batuan G. Merapi.

Jika ditinjau dari sisi morfologi, area Pegunungan Selatan dapat dibagi
menjadi 6 macam zona, yaitu (Bronto & Hartono, 2001):
1. Morfologi Fluvial
Morfologi Fluvial merupakan morfologi yang mendominasi pada
daerah Pegunungan Selatan kenampakan yang dapat ditemui dapat
berupa bar, dataran banjir, dan lembah sungai dengan stadium erosi
pada sungai dewasa-tua, seperti Sungai Opak dan Sungai Oyo.
2. Morfologi Vulkanik
Morfologi Vulkanik yaitu morfologi yang mempengaruhi daerah
Sungai Opak-Parangtritis adalah berasal dari Gunung Merapi,
sehingga daerah kawasan Sungai Opak tertutup oleh endapan Gunung
Merapi.
3. Morfologi Struktural
Morfologi Struktural yang berada di sekitar Sungai Opak adalah
perbukitan bergelombang yang mendominasi di bagian Barat Bantul,
dengan kondisi telah mengalami perlipatan dan tersesarkan, struktur
yang paling mencolok dari kawasan ini adalah terdapatnya perlipatan,
dan sesar utama adalah sesar opak yang sejajar dan melalui Sungai
Opak.
4. Morfologi Denudasional/Aluvial Dataran
Morfologi Denudasional/Aluvial Dataran banyak mengandung pasir,
karena merupkan kelanjutan foot plain yang bersifat andesitis yang
berasal dari Gunung Merapi, sedangkan pada daerah selatan/muara
sungai Opak menuju Parangtritis lebih bersifat lempung, karena
terpengaruh material alluvial yang berasal dari pegunungan sebelah
timur yang diendapkan banjir, lembah sungai
5. Morfologi Karst
Morfologi Karst yang terdapat pada kawasan Sungai Opak adalah
Karst Gunung Sewu, Pegunungan Sewu merupakan hasil proses
pengikisan dan pengangkatan, ditandai dengan adanya diaklas-diaklas
pada lapisan batuan kapur, air hujan yang jatuh dipermukaan bumi
menghilang dalam lubang ponor ( penghujung sungai bawah tanah
menuju laut ), dan meresap melalui diaklas-diaklas yang kemudian
melarutkan dinding kapur. Wilayah Karst juga terdapat di tepian
Pantai Parangtritis ditandai dengan perbukitan batugamping yang
berjejer sepanjang pantai di arah timur.
6. Morfologi Eolian
Morfologi Eolian terbentuk karena dua faktor utama yaitu adanya
kekuatan tiupan angin dan adanya endapan material pasir yang
membentuk dune. Bukit pasir di parangtritis membujur kearah barat
pantai selatan Jawa Tengah sampai daerah Cilacap. Sifat materialnya
hampir homogen dengan bahan dasarnya dari batuan andesitis.
7. Morfologi Pantai
Morfologi Pantai daerah Pantai parangtritis sebenarnya tergolong
pantai emergence (pantai terangkat), kemudian tenggelam
sebagian,namun masih tergolong pantai emergence (khususnya bagian
timur) sedang bagian barat lebih mencirikan sub emergence yang telah
terendapi oleh hasil erosi berupa dataran alluvial serta gumuk-gumuk
pasir.

2.2 Geologi Lokal


Penelitian ini berlokasi di Kecamatan Prambanan, Kabupaten
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Apabila ditinjau dari Peta Geologi
Lembar Yogyakarta, area penelitian mesuk ke dalam Formasi Semilir dan
Kebo-Buthak. Hal ini berarti daerah penelitian tersusun atas susunan
litologi tuf, tuf lapili, lapili batuapung, breksi batuapung, batuserpih,
batupasir berlapis baik, batulanau, batulempung, serpih, tuf dan aglomerat.
Satuan litologi penyusun area penelitian ditunjukkan oleh Peta Geologi
Prambanan pada Gambar 2.2

Gambar 2.2 Peta Geologi Daerah Prambanan dan Sekitarnya (Indrawan, 2018)

Kondisi geologi di Kabupaten Sleman didominasi dari keberadaan


gunung Merapi. Formasi geologi dibedakan menjadi endapan vulkanik,
sedimen, dan batuan terobosan, dengan endapan vulkanik mewakili lebih
dari 90% luas wilayah. Material vulkanik gunung Merapi yang berfungsi
sebagai lapisan pembawa air tanah (akuifer) yang sudah terurai menjadi
material pasir vulkanik, yang sebagian besar merupakan bagian dari
endapan vulkanik Merapi muda. Material vulkanik Merapi muda ini
dibedakan menjadi 2 unit formasi geologi yaitu formasi Sleman (lebih di
dominasi oleh endapan piroklastik halus dan tufa) di bagian bawah dan
formasi Yogyakarta (lebih di dominasi oleh pasir vulkanik berbutir kasar
hingga pasir berkerikil) di bagian atas. Formasi Yogyakarta dan formasi
Sleman ini berfungsi sebagai lapisan pembawa air utama yang sangat
potensial dan membentuk satu sistem akifer yang di sebut Sistem Akifer
Merapi (SAM).
Keadaan morfologi daerah Kecamatan Prambanan tergambarkan
pada Gambar 2.3

Gambar 2.3 Peta Geomorfologi Daerah Prambanan dan Sekitarnya (Kristanto,


2018)

Satuan geomorfologi pada Daerah Kecamatan Prambanan dan sekitarnya


menurut klasifikasi van Zuidam (1985) dan Novianto dkk. (1997) dibagi
menjadi (Gambar 3) sebagai berikut :
1. Satuan structural berupa geomorfik gawir
2. Satuan denudasional berupa subsatuan geomorfik bukit sisa, dan
perbukitan terkikis
3. Satuan fluvial berupa subsatuan geomorfik dataran alluvial, dataran
banjir, dan tubuh sungai
2.3 Penelitian Terdahulu
Judul Jurnal : Pemodelan Zona Sesar Opak di Daerah Pleret Bantul
Yogyakarta dengan Metode Gravitasi
Vol/No : 10/1
ISSN : 1410 - 9662
Tahun : 2007
Penulis : M. Irhanm Nurwidyanto, Rina Dwi Indriana,
Zukhrufuddin Thaha Darwis

Penelitian ini dilatarbelakangi bencana gempa bumi yang terjadi


pada 27 Mei 2006 silam di Yogyakarta. Gempa berkekuatan 5,9 skala
Richter ini menjalar di daerah Bantul, Kulonprogo, Gunung kidul, Sleman,
Solo, Karanganyer, Klaten, dan Prambanan. Gempabumi ini bersifat
destruktif dan memakan korban hingga mencapai 5500 jiwa. Aktifitas
getaran dari gempa ini memicu pergeseran sesar di wilayah gempa. Salah
satu sear yang terpicu menjadi aktif ialah Sesar Opak.
Sesar Opak merupakan sear normal yang berkembang di sepanjang
40 km jalur Pantai Selatan Jawa ke arah Prambana Kabupaten Klaten.
Sesar ini memotong Yogya Low dan Wonosari High dengan batuan andesit
tua (OAF) sebagai penyusun struktur pemotongan sesar, sedangkan di
timur Opak masih terdapat Formasi Semilir dan Nglanggran yang juga
terlibat dalam sistem sesar.
Penelitian ini duilakukan dengan metode gravity menggunakan
instrumen gravity meter La Coste & Romberg G-1118 MVR untuk
akuisisi, GPS Garmin III Plus untuk penentuan koordinat, dan data dari
Bakosurtanal untuk menentukan elevasi titik pengukuran. Hasil dari
ppengukuran dituangkan ke dalam Peta ABL, Peta Upward Continuation
300m, Pemodelan 2,5D dan Penampang lapisan batuan harsil dari sayatan.
Dari Peta ABL ditemukan struktur pengkutuban di dua titik pada koordinat
UTM (453363, 9130579) dengan nilai 0.4 mgal dan (434175, 9128818)
sebesar 13 mgal, yang dapat digambarkan bahwa titik tersebut
memberikan respon sebagai anomali lokal. Struktur kelurusan, kerapatan,
dan pembelokan kontur dapat mengidentifikasi adanya formasi sesar di
bawah permukaan daerah penelitian. Struktur kelurusan sejajar dan rapat
berkisar antara nilai 7.5 mgal hingga 12.5 mgal. Sesar normal memberikan
respon nilai anomali gravitasi tinggi di bagian yang terangkat (hanging
wall) dan memberikan respon rendah di bagian yang turun (foot wall).
Sedangkan struktur pembelokan kontur menunjukkan batas blok batuan.
Dari hasil pemodelan didapatkan bahwa daerah penelitian kondisi
bawah permukaannya diestimasi tersususn oleh tiga kelompok batuan.
Batuan yang paling atas yang diasosiasikan sebagai batuan penutup
dengan densitas 2.7 g/cm3, batuan ini tersusun oleh batuan alluvial.
Batuan dibawah lapisan penutup diperkirakan tersusun oleh batuan breksi
dengan densitas 2.63 g/cm3. Batuan di bawah breksi adalah batu gamping
dengan densitas 2.7 g/cm3 diasosiasikan sebagai batuan dasar. Hasil dari
penelitian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa ada sesar normal dengan
selisih kedalaman pergeseran blok sesar antara hanging wall dan foot wall
rata-rata sejauh 20 meter.
BAB III
DASAR TEORI

3.1 Metode Gravity


Metode gravitasi merupakan metode penyelidikan dalam geofisika
yang didasarkan pada variasi medan gravitasi di permukaan bumi. Dalam
metode ini yang dipelajari adalah variasi gravitasi akibat variasi rapat
massa bawah batuan di bawah permukaan, sehingga dalam
pelaksanaannya yang diselidiki adalah perbedaan gravitasi dari satu titik
pengamatan terhadap pengamatan lainnya (Sulistianingsih, 2009).
Menurut Sunaryo (1997) dalam metode gravitasi, pengukuran dilakukan
terhadap nilai komponen vertikal dari percepatan gravitasi di suatu tempat.
Namun pada kenyataannya, bentuk bumi tidak bulat sehingga terdapat
variasi nilai percepatan gravitasi untuk masing-masing tempat. Hal-hal
yang dapat mempengaruhi nilai percepatan gravitasi adalah perbedaan
derajat garis lintang, perbedaan ketinggian (topografi), kedudukan bumi
dalam tata surya, variasi rapat massa batuan di bawah permukaan bumi,
perbedaan elevasi tempat pengukuran dan hal lain yang dapat memberikan
kontribusi nilai gravitasi, misalnya bangunan dan lain-lain (Taufiquddin,
2014).
3.2 Hukum Dasar Metode Gravity
Pada awalnya hukum gravitasi ini ditemukan oleh Sir Isaac
Newton yang secara tidak sengaja melihat apel jatuh dari pohon. Pada
dasarnya gravitasi adalah gaya tarik- menarik antara dua buah benda yang
memiliki rapat massa 17 (densitas) yang berbeda, gaya tarik-menarik ini
dipengaruhi juga oleh jarak kuadrat kedua buah dan massa kedua benda
uji. Pada keadaan secara riil seharusnya percepatan gravitasi di setiap
tempat selalu berbeda- beda karena bentuk bumi yang berbentuk ellipsoid,
yang dimana jari-jari pada kutub bumi lebih pendek dibandingkan jari-jari
di equator, maka dapat disimpulkan bahwa percepatan gravitasi di daerah
kutub lebih besar dibandingkan di daerah equator. Metode gravitasi
memiliki prinsip mengukur variasi medan gravitasi bumi yang disebabkan
perbedaan densitas batuan bawah permukaan bumi (Reynolds, 2011).
Metode gravitasi didasarkan pada hukum newton gravitasi yang
menyatakan bahwa gaya tarik menarik antara dua buah benda sebanding
dengan massa kedua benda dan berbanding terbalik dengan kuadrat jarak
antar pusat massa kedua benda tersebut (Jacobs et. al., 1974). Persamaan
hukum newton yang menyatakan hubungan gravitasi adalah sebagai
berikut:

𝐹(𝑟) = G 〖 m_1 m 〗 _(2 )/r^2


………………………………………………………………………………
…………….(3.1)

F(r) adalah gaya tarik menarik (N)


𝑚1 dan 𝑚2 adalah massa benda satu dan massa benda dua (kg)
𝑟 adalah jarak antara dua buah benda (m)
𝐺 adalah konstanta gravitasi universal (6,67 x 10-11 m3 kg-1s-2)
Hubungan antara gaya dengan percepatan didefinisikan Newton pada
persamaan hukum II Newton yang menyatakan gaya sebanding dengan
perkalian massa benda dengan percepatan yang dialami oleh benda sesuai
dengan persamaan berikut:

𝐹 = 𝑚. 𝑔………………………………………………………….
…………………………. (3.2)

Benda dengan massa M apabila mengalami gaya tarik oleh benda


bermassa m pada jarak sebesar r maka akan memiliki percepatan yang
dapat dinyatakan dengan persamaan berikut:
𝑔 = F/M…………………...…………………………………..…………..
(3.3)

sehingga percepatan gaya tarik bumi dapat dinyatakan sebagai berikut:


𝑔 = F/m= G(M.m)/(m×r^2 ) = GM/r^2 ………………………….
………………..………(3.4)

Keterangan:
g adalah percepatan gaya tarik bumi (m/s2)
M adalah massa bumi (kg)
m adalah massa benda (kg)
F adalah gaya berat (N)
r adalah jari – jari bumi (6,371×106 m) (Telford et al., 1990).
3.3 Faktor yang Mempengaruhi Gravitasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi besar kecilnya nilai gravitasi yaitu:
1. Elevasi (ketinggian titik pengamatan)
2. Keadaan topografi pada titik pengukuran
3. Posisi garis lintang
4. Variasi rapat massa di bawah permukaan
3.4 Konversi dan Koreksi Metode Gravity
3.4.1. Konversi Skala Pembacaan
Nilai pembacaan alat gravitymeter yang diperoleh dari suatu pengukuran
adalah dalam besaran skalar yang harus dikonversi ke dalam satuan
percepatan gravitasi (dalam satuan m Gal) (Sunaryo, 1997). Hal ini
dilakukan dengan menggunakan tabel konversi dari alat gravitymeter yang
digunakan dalam penelitian. Perumusan yang digunakan dalam melakukan
konversi skala pembacaan tersebut sebagai berikut (Wachidah, 2018) :

mGal=V ∈mGal +¿

dimana nilai CCF (Calibration Correction Factor) merupakan faktor


kalibrasi dari alat gravitymeter. Konversi pembacaann ini dilakukan untuk
seluruh dalam setiap titik pengukuran.
3.4.2. Koreksi Drift
Dikarenkan sering terjadi goncangan pada saat pengukuran
(transportasi), mengakibatkan bergesernya pembacaan titik nol pada alat
(pada alat gravitymeter tidak diklem sehingga pegas tetap bekerja).
Koreksi ini dilakukan dengan cara membuat lintasan tertutup pada titik-
titik pengukuran (loop tertutup), yaitu dengan cara melakukan pengukuran
ulang pada stasiun awal (titik ikat pada tiap loop). Besarnya koreksi drift
adalah (Wachidah, 2018) :
g 'n−g1
DC (a) = ×(t a−t 1) mgal………………………………….…..(3.6)
t n−t1

Dengan,
DC (a) : Koreksi drift di titik amat a
t1 : pembacaan dititik awal t 1
g’n : pembacaaan di titik awal saat t n
t1 : waktu pengamatan di titik awal
tn : waktu pengamatan saat menutup loop
ta : waktu pengamatan di titik a

3.4.2 Koreksi Udara Bebas


Koreksi Udara Bebas (Free Air Correction) dilakukan untuk
menghilangkan efek topografi atau efek ketinggian yang mempengaruhi
nilai pembacaan nilai Gayaberat tanpa memperhatikan efek dari massa
batuan. Dengan kata lain koreksi udara bebas merupakan perbedaan
Gayaberat yang diukur pada mean sea level (geoid) dengan Gayaberat
yang diukur pada ketinggian h meter dengan tidak ada batuan diantaranya.
Nilai Gayaberat pada mean sea level dengan menganggap bentuk bumi
yang ideal, spheroid, tidak berotasi, dan massa terkonsentrasi pada
pusatnya, yaitu:

M
g0 =G ………………………………………………. ……...….(3.7)
r2

Nilai Gayaberat pada stasiun pengukuran dengan elevasi h (meter) dari


mean sea level adalah:
M ∂ g0
gh=G =g 0 +h …………………...…………………….(3.8)
(R+ h)
2
∂R
Perbedaan nilai Gayaberat antara yang terletak pada mean sea level
dengan titik yang terletak pada elevasi h (meter) adalah koreksi udara
bebas (FAC) diberikan persamaan sebagai berikut (Karunianto dkk, 2017).
M
∂(G )
∂ g0
( )
2 g0
2
R −2 GM (3.9)
FAC=∂ g f = h= h= h=− h=−0,3085 h
∂R ∂R R
3
R
dengan:
g0 = 981785 mGal
R = 6371000 meter
M = 5.97x1027 kilogram
h = ketinggian (m)
Sehingga besarnya anomali pada posisi tersebut menjadi :
FAA = 𝑔𝑜𝑏𝑠 - 𝑔𝜑 + FAC……………………………………….…….(3.10)
dengan :
FAA = Free Air Anomaly (mGal)
gobs = Gayaberat observasi (mGal)
g𝜑 = Gayaberat teoritis pada lintang (mGal)
FAC = Free Air Correction (mGal)

Gambar 3.1 Koreksi Udara Bebas Terhadap Gayaberat (Kearey dan Brooks,1991)

3.4.3 Koreksi Bouger


Dalam koreksi udara bebas dan gravitasi normal massa di bawah titik
pengukuran harus diperhitungkan. Jadi koreksi bouguer tergantung pada
ketinggian titik amat dari bidang datum dan rapat massa batuan antara titik
amat dan bidang datum (Burger, 1992). Koreksi bouguer harganya
berlawanan dengan koreksi udara bebas, dikurangkan jika titik amat
berada di atas bidang datum dan ditambahkan bila titik amat berada di
bawah bidang datum (Islamiyah, 2015).
BC = 0.0429 x 𝜌 x h mGal…………………………….………....….. (3.11)

dengan:
ρ = rapat massa rata-rata daerah penelitian (gr/cm3)
h = ketinggian titik amat (m)
Anomali Gayaberat setelah diaplikasikan koreksi udara bebas dan koreksi
Bouguer yaitu:

SBA = FAA – BC …………………………………………………(3.12)

dengan:
SBA = Simple Bouguer Anomaly (mGal)
FAA = Free Air Anomaly (mGal)
BC = Bouguer Correction (mGal)

Gambar 3.2 Koreksi Bouger Terhadap Gayaberat (Kearey dan Brooks,1991)

3.4.3 Koreksi Medan


Koreksi medan mengakomodir ketidak teraturan pada topografi
sekitar titik pengukuran. Pada saat pengukuran, elevasi topografi di sekitar
titik pengukuran, biasanya dalam radius dalam dan luar, diukur elevasinya.
Sehingga koreksi ini dapat ditulis sebagai berikut :
2 πGρ
TC = ¿……………(3.13)
n
dengan:
rL dan rD = radius luar dan radius dalam kompartemen
z = perbedaan elevasi rata-rata kompartemen
n = jumlah segmen dalam zona tersebut
Karena komponen gaya horizontal (koreksi medan) bersifat
mengurangi nilai Gayaberat terukur, maka koreksi medan harus
ditambahkan pada Simple Bouguer Anomaly (SBA), sehingga anomali
menjadi Complete Bouguer Anomaly (CBA).
CBA = SBA + TC………………………………………………….(3.14)
dengan:
CBA = Complete Bouguer Anomaly (mGal)
SBA = Simple Bouguer Anomaly (mGal)
TC = Terrain Correction (mGal)

Gambar 3.3 Koreksi Medan Terhhadap Gayaberat (Kearey dan Brooks,1991)

3.5 Perhitungan Anomali Bougier


Harga bouger anomali adalah harga pengamatan gaya gravitasi yang
telah dikoreksi oleh koreksi- koreksi gravitasi. Data hasil observasi lapangan
atau disebut data mentah tidak dapat langsung digunakan untuk interpretasi
kondisi bawah permukaan suatu daerah. Dengan menerapkan koreksi-koreksi
gravitasi (gaya berat) yang telah disebutkan sebelumnya pada harga
pembacaan gaya berat observasi, maka diperoleh data jadi.
Hasil pengukuran atau pembacaan gaya berat di lapangan yang telah
direduksi terhadap efek pasang surut dan koreksi drift untuk pengamatan suatu
lintasan tertutup (kembali ke titik basis), menghasilkan harga yang terkorelasi
terhadap keadaan sekitar (struktur geologi) di bawah permukaan yang disebut
Anomali Gravitasi. Sebenarnya harga anomali ini merupakan penyimpangan
dari niliai teoritis, anomali yang di dapat di sebut Anomali Bouger.
Pada dasarnya Anomali Bouger adalah selisih antara harga gaya berat
pengamatan dengan harga gaya berat teoritis yang seharusnya terukur untuk
titik pengamatan tersebut. Yang dimaksud harga gaya berat teoritis adalah
harga gaya berat normal pada titik pengamatan yang telah dikoreksi dengan
koreksi udara bebas, koreksi bouger dan koreksi medan. Dengan demikian,
secara matematis rumus untuk mendapatkan nilai anomali bouguer di suatu
titik pengamatan, dapat dituliskan pada persamaan berikut :
BA = gobs – ( gФ – FAC + BC – TC )
= gobs – gФ + FAC - BC + TC………………………………………..(3.15)
Dimana
BA = Bouguer Anomali
gobs = Harga gaya berat pengamatan yang sudah dikoreksi dengan
koreksi pasang surut dan koreksi drift.
gФ = Harga gaya berat teoritis di tempat pengamatan
FAC = Free Air Correction ( Koreksi Udara Bebas )
BC = Bouger Correction ( Koreksi Bouger )
TC = Terrain Correction ( Koreksi Medan )

3.6 Metode Perhitungan Densitas


Kuantitas yang akan ditentukan pada eksplorasi gravitasi adalah
variasi densitas lokal secara lateral. Secara umum densitas tidak diukur
secara in situ, meskipun densitas dapat diukur dengan menganalisa batuan
dari sumur pemboran. Densitas juga dapat diperkirakan dari kecepatan
seismik. Seringkali pengukuran densitas dilakukan di laboratorium dengan
menggunakan sampel batuan dari pemboran (core). Namun hasil
laboratorium jarang memberikan nilai true bulk density karena sampel
batuan tersebut mungkin mengalami pelapukan,fragmentasi, dehidrasi,
atau alterasi dalam proses pengambilannya.
Dalam eksplorasi geofisika dengan metode gravitasi dimana
besaran
yang menjadi sasaran utama adalah rapat masa (kontras densitas) maka
perlu diketahui distribusi harga rapat massa batuan, baik untuk keperluan
pengolahan data maupun interpretasi.
Rapat massa batuan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya
adalah rapat massa butir atau matriks pembentuknya, kesarangan atau
porositas dan kandungan fluida yang terdapat dalam pori-porinya. Namun
demikian terdapat banyak faktor lain yang ikut mempengaruhi rapat massa
batuan diantaranya adalah proses pembentukan, pemadatan (kompaksi)
akibat tekanan dan kedalaman serta derajat pelapukan yang telah dialami
batuan tersebut.
Dengan demikian harga rapat massa batuan tidak dapat ditentukan
secara tunggal atau unik hanya berdasarkan jenis batuannya saja,
melainkan meliputi suatu distribusi harga tertentu. Dengan tambahan
informasi mengenai sifat-sifat fisik dan kondisi disekitarnya maka harga
rapat massa batuan dapat ditentukan secara lebih spesifik.
Untuk keperluan pengolahan data atau reduksi data gravitasi
terlebih
dahulu perlu ditentukan harga rapat massa batuan rata-rata yang mewakili
daerah penelitian. Rapat massa batuan rata-rata dapat ditentukan dengan
metode parasnis.
3.6.1 Metode Parasnis
Untuk menetukan rapat massa telah dikembangkan oleh
dikembangkan oleh parasnis. Dalam persamaan anomali bouguernya yaitu:

gobs – gN + 0.3086h = (0.04193h – TC)ρ + BA……………………..(3.16)

dengan asumsi bahwa harga anomali bouguer yang mempunyai nilai


random erornya sama dengan nol pada daerah survey. Data diplot (gobs – gN
+ 0.3086h) terhadap (0.04193h – TC) untuk memastikan garis regresi linier
yang tepat pada kemiringan ρ yang dianggap sebagai nilai densitas yang
benar.

3.7 Pemisahan Anomali


3.8 Penajaman Anomali

Anda mungkin juga menyukai