Anda di halaman 1dari 18

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Geologi Regional


2.1.1. Fisiografi Pegunungan Selatan
Zona Pegunungan Selatan dibatasi oleh Dataran Yogyakarta-Surakarta di
sebelah barat dan utara, sedangkan di sebelah timur oleh Waduk Gajahmungkur,
Wonogiri dan di sebelah selatan oleh Lautan India. Di sebelah barat, antara
Pegunungan Selatan dan Dataran Yogyakarta dibatasi oleh aliran K. Opak,
sedangkan di bagian utara berupa gawir Baturagung. Bentuk Pegunungan Selatan
ini hampir membujur barat-timur sepanjang 50 km dan ke arah utara-selatan
mempunyai lebar 40 km (Bronto dan Hartono, 2001).
Zona Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu Subzona
Baturagung, Subzona Wonosari dan Subzona Gunung Sewu (Harsolumekso dkk.,
1997 dalam Bronto dan Hartono, 2001). Subzona Baturagung terutama terletak di
bagian utara, namun membentang dari barat (tinggian G. Sudimoro, ± 507 m,
antara Imogiri-Patuk), utara (G. Baturagung, ± 828 m), hingga ke sebelah timur
(G. Gajahmungkur, ± 737 m). Di bagian timur ini, Subzona Baturagung
membentuk tinggian agak terpisah, yaitu G. Panggung (± 706 m) dan G.
Gajahmungkur (± 737 m). Subzona Baturagung ini membentuk relief paling kasar
dengan sudut lereng antara 100 – 300 dan beda tinggi 200-700 meter serta hampir
seluruhnya tersusun oleh batuan asal gunungapi.
Subzona Wonosari merupakan dataran tinggi (± 190 m) yang terletak di
bagian tengah Zona Pegunungan Selatan, yaitu di daerah Wonosari dan
sekitarnya. Dataran ini dibatasi oleh Subzona Baturagung di sebelah barat dan
utara, sedangkan di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Subzona Gunung
Sewu. Aliran sungai utama di daerah ini adalah K. Oyo yang mengalir ke barat
dan menyatu dengan K. Opak. Sebagai endapan permukaan di daerah ini adalah
lempung hitam dan endapan danau purba, sedangkan batuan dasarnya adalah
batugamping.

5
6

Subzona Gunung Sewu merupakan perbukitan dengan bentang alam karts, yaitu
bentang alam dengan bukit-bukit batugamping membentuk banyak kerucut
dengan ketinggian beberapa puluh meter. Di antara bukit-bukit ini dijumpai
telaga, luweng (sink holes) dan di bawah permukaan terdapat gua batugamping
serta aliran sungai bawah tanah. Bentang alam karts ini membentang dari pantai
Parangtritis di bagian barat hingga Pacitan di sebelah timur.
Zona Pegunungan Selatan di Jawa Timur pada umumnya merupakan blok
yang terangkat dan miring ke arah selatan. Batas utaranya
ditandai escarpment yang cukup kompleks. Lebar maksimum Pegunungan Selatan
ini 55 km di sebelah selatan Surakarta, sedangkan sebelah selatan Blitar hanya 25
km. Diantara Parangtritis dan Pacitan merupakan tipe karts (kapur) yang disebut
Pegunungan Seribu atau Gunung Sewu, dengan luas kurang lebih 1400
km2 (Lehmann. 1939 dalam Bronto dan Hartono, 2001). Sedangkan antara Pacitan
dan Popoh selain tersusun oleh batugamping (limestone) juga tersusun oleh
batuan hasil aktifitas vulkanis berkomposisi asam-basa antara lain granit, andesit
dan dasit (Bemmelen,1949).

Gambar 2.1 Stratigrafi Jalur Pegunungan Selatan Menurut Beberapa Peneliti


(Sumber : Samodro, 1990 dalam Bronto dan Hartono 2011)
7

2.1.2. Stratigrafi Pegunungan Selatan Bagian Barat


a. Formasi Wungkal-Gamping
Formasi ini terletak di Gunung Wungkal dan Gunung Gamping, di
Perbukitan Jiwo. Satuan batuannya terdiri dari perselingan antara batupasir
dan batulanau serta lensa batugamping. Pada bagian atas, satuan batuan ini
berupa napal pasiran dan lensa batugamping. Formasi ini tersebar di
Perbukitan Jiwo, antara lain di G. Wungkal, Desa Sekarbolo, Jiwo Barat,
menpunyai ketebalan sekitar 120 meter (Bronto dan Hartono, 2001).
b. Formasi Kebo-Butak
Formasi ini disusun pada bagian bawah berupa batupasir berlapis baik,
batulanau, batulempung, serpih, tuf dan aglomerat, dengan ketebalan lebih
dari 650 meter.Bagian atasnya berupa perselingan batupasir dan
batulempung dengan sisipan tipis tuf asam. Setempat di bagian tengahnya
dijumpai retas lempeng andesit-basal dan di bagian atasnya dijumpai
breksi andesit.
c. Formasi Semilur
Formasi ini berlokasi tipe di Gunung Semilir, sebelah selatan Klaten.
Dengan ketebalan lebih dari 460 meter.Litologi penyusunnya terdiri dari
tuf, tuf lapili, lapili batuapung, breksi batuapung dan serpih. Komposisi tuf
dan batuapung tersebut bervariasi dari andesit hingga dasit. Di bagian
bawah satuan batuan ini, yaitu di S. Opak, Dusun Watuadeg, Desa
Jogotirto, Kec. Berbah, Kab. Sleman, terdapat andesit basal sebagai aliran
lava bantal (Bronto dan Hartono, 2001).
d. Formasi Nglanggeran
Pada formasi ini batuan penyusunnya terdiri dari breksi gunungapi,
aglomerat, tuf dan aliran lava andesit-basal dan lava andesit. Breksi
gunungapi dan aglomerat yang mendominasi formasi ini umumnya tidak
berlapis. Kepingannya terdiri dari andesit dan sedikit basal, berukuran 2 –
50 cm. Di bagian tengah formasi ini, yaitu pada breksi gunungapi,
ditemukan batugamping terumbu yang membentuk lensa atau berupa
kepingan. Secara setempat, formasi ini disisipi oleh batupasir.
8

e. Formasi Sambipitu
Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Sambipitu pada jalan raya
Yogyakarta-Patuk-Wonosari dengan ketebalan mencapai 230 meter.
Batuan penyusun formasi ini di bagian bawah terdiri dari batupasir kasar,
kemudian ke atas berangsur menjadi batupasir halus yang berselang-seling
dengan serpih, batulanau dan batulempung. Pada bagian bawah kelompok
batuan ini tidak mengandung bahan karbonat. Namun di bagian atasnya,
terutama batupasir, mengandung bahan karbonat.
f. Formasi Oyo
Lokasi tipe formasi ini berada di Sungai Oyo. Batuan penyusunnya
pada bagian bawah terdiri dari tuf dan napal tufan. Sedangkan ke atas
secara berangsur dikuasai oleh batugamping berlapis dengan sisipan
batulempung karbonatan. Batugamping berlapis tersebut umumnya
kalkarenit, namun kadang-kadang dijumpai kalsirudit yang mengandung
fragmen andesit membulat. Formasi Oyo tersebar luas di sepanjang K.
Oyo. Ketebalan formasi ini lebih dari 140 meter.
g. Formasi Wonosari
Formasi ini tersingkap baik di daerah Wonosari dan sekitarnya,
dengan ketebalan lebih dari 800 meter. Formasi ini didominasi oleh batuan
karbonat yang terdiri dari batugamping berlapis dan batugamping
terumbu. Sedangkan sebagai sisipan adalah napal. Sisipan tuf hanya
terdapat di bagian timur.
h. Formasi Kepek
Lokasi tipe dari formasi ini terletak di Desa Kepek, tersebar di hulu.
Rambatan sebelah barat Wonosari yang membentuk sinklin. Batuan
penyusunnya adalah napal dan batugamping berlapis. Tebal satuan ini
lebih kurang 200 meter.
i. Endapan Permukaan
Endapan permukaan pada daerah Sungai Opak merupakan rombakan
batuan yang lebih tua yang terbentuk pada Kala Plistosen hingga masa
kini. Terdiri dari bahan lepas sampai padu lemah, berbutir lempung hingga
9

kerakal. Surono dkk. (1992) membagi endapan ini menjadi Formasi


Baturetno (Qb), Aluvium Tua (Qt) dan Aluvium (Qa). Sumber bahan
rombakan berasal dari batuan Pra-Tersier Perbukitan Jiwo, batuan Tersier
Pegunungan Selatan dan batuan G. Merapi.

2.1.3. Struktur Geologi Pegunungan Selatan


Struktur daerah ini memiliki arah poros lipatan lebih kurang timurlaut –
baratdaya. Disamping perlipatan terdapat juga persesaran, berdasarkan data
geofisika terdapat sesar dengan arah timurlaut baratdaya melalui tepi timur
Terban–Bantul (Untung, dkk, 1977). Berdasarkan data di atas juga data di
lapangan dapat disimpulkan, bahwa lembar Yogyakarta terdapat dua sistem sesar.
Sistem patahan dengan arah kurang lebih tenggara baratlaut. Pada awal
Pleistocen, seluruh daerah terangkat lagi yang mengakibatkan pembentukan
morfologi daerah dataran tinggi, dan mengakibatkan terjadinya persesaran daerah
ini ( Rahardjo, dkk, 1995). Daerah Bayat, Kabupaten Klaten merupakan suatu
Pegunungan Lipatan yang terdiri dari perbukitan homoklin, perbukitan lipatan,
perbukitan intrusi dan perbukitan lembah antiklin dengan pola aliran sungai
dendritik. Struktur-struktur geologi yang bekembang di daerah ini berupa struktur
lipatan dan sesar. Dijumpai pula banyak struktur kekar di daerah ini. Struktur-
struktur geologi ini terbentuk diperkirakan akibat bekerjanya gaya kompresi
berarah hampir utara-selatan yang kemungkinan berlangasung dalam dua periode,
pada awal kala Miosen Tengah sebelum Formasi Oyo diendapkan dan pada kala
Pliosen setelah Formasi Oyo diendapkan. Pola struktur di P. Jawa dibagi menjadi
tiga pola kelurusan dominan yaitu pola meratus (timurlaut- baratdaya), pola sunda
(utara–selatan) dan pola jawa (barat–timur).

2.2. Penginderaan Jauh


Penginderaan jauh oleh Gardner & Jeffefis (1973) di artikan sebagai suatu
cara pengumpulan keterangan mengenai permukaan bumi dari jarak jauh, atau
pengamatan radiasi elektromagnetik dari suatu objek pada lokasi yang sangat
jauh.
10

Citra penginderaan jauh (Remote Sensing Image) adalah citra suatu benda
yang diperoleh dengan alat pencatat atau pengindera tanpa ada hubungan
langsung dengan benda tersebut.

2.2.1 UAV (Unmanned Aerial Vehicle)


yang lebih dikenal dengan drone merupakan alat yang efektif untuk
melakukan pemetaan foto udara. Saat ini, penggunaan UAV meningkat dari hari
ke hari karena keuntungan pada biaya yang relatif murah dengan penggunaan
untuk inspeksi, pengawasan, pengintaian, dan pemetaan. Teknologi komputer dan
teknologi pengolahan gambar digital telah dikembangkan dan pengembangan ini
dapat menyediakan hingga melakukan proses ekstraksi baik secara otomatis atau
semi-otomatis (Solikhin, 2016).
Sumber data yang dipergunakan dalam kajian ini adalah data primer dari
hasil pemotretan dengan menggunakan wahana UAV. UAV yang dipergunakan
adalah UAV tipe multirotor (quadcopter). Teknologi UAV yang digunakan dalam
penelitian ini ditunjukkan oleh Gambar 2.2, sedangkan spesifikasinya ditunjukkan
oleh Tabel 2.1, UAV yang digunakan dalam penelitian ini adalah UAV generasi
keempat yang telah dilengkapi dengan spesifikasi mumpuni dibandingkan tipe-
tipe sebelumnya. Salah satu spesifikasi yang terpasang pada UAV ini adalah
adanya sensor depan. Hal ini memungkinkan UAV dapat menghindar apabila ada
obstacle di hadapanya.
Teknologi UAV dapat dipergunakan secara mudah dan efisien dari segi
waktu. Data yang diperoleh juga memiliki resolusi spasial yang tinggi, sehingga
kesalahan dalam identifikasi objek atau pengukuran suatu objek di lapangan dapat
diminimalisir. Penggunaan teknologi UAV dapat memudahkan pengguna
mengidentifikasi objek yang sulit dijangkau.
Pemanfaatan UAV di bidang kebencanaan dapat dilakukan secara cepat
dan efisien, sehingga teknologi UAV sangat tepat untuk dipergunakan dalam
pemetaan cepat.
11

Tujuan dari kajian ini adalah untuk melakukan pemetaan cepat (Rapid
Mapping) dengan menggunakan teknologi UAV tipe rotor (quadcopter) pada
kawasan terdampak bencana.

Gambar 2.2 Teknologi UAV Tipe Rotor (Quadcopter)


(Sumber : Penyusun 2019)

Tabel 2.1 Spesifikasi UAV dan Kamera yang Digunakan Dalam Penelitian
(Sumber : Penyusun 2019)
Spesifikasi Uav Spesifikasi Kamera
Tipe Quadcopter Sensor 1/2. 3’ CMOS
Berat 300 gram (termasuk Lensa FOV 81.9’ 25mm
baling-baling dan
baterai)
Dimensi 143x143x55 mm Resolusi 12 MP
Kecepatan 9,8 M/S Resolusi Foto 1920 x 1080 pixel
Durasi Terbang 15 menit Format Foto JPEG, DNG (RAW)

Satelit/GPS GPS/GLONASS ISO Range 100 – 1600 (Foto)

Energi/Voltage 2970 mAh Ukuran Gambar 3968 x 2976

2.2.2 Fotogrametri
Fotogrametri adalah proses memperoleh informasi metrik tentang suatu
objek melalui pengukuran yang dilakukan pada foto objek tersebut, Fotogrametri
adalah ilmu membuat pengukuran dari foto, Fotogrametri berarti pengukuran fitur
pada foto.
Selain aspek interpretasi foto udara ini juga dapat terlibat atas teknologi
yang digunakan dalam pemetaan di mana pengumpulan fitur-fitur diperlukan,
12

informasi metrik dapat diperoleh melalui pembentukan hubungan geometris


antara gambar serta objek gambar seperti yang ada pada saat pencitraan atau
pengambilan foto udara dengan wahan baik berupa pesawat berawak, pesawat
tanpa awak atau dari satelit .
Prinsip dasar yang digunakan pada fotogrametri adalah trianggulasi,
Dengan mengambil gambar foto udara dari setidaknya dualokasi berbeda, apa
yang disebut line of sight dapat di kembangkan dari setiap kamera ke titik pada
objek. Garis-garis pandangan ini kadang di sebut rays karena sifat optiknya secara
sistematis berpotongan untuk menghasilkan kordinat 3 dimensi dari titik yang
diinginkan.

A. Areial Fotogrametri

Areial Fotogrametri melibatkan pesawat rc/UAV (Unamaned Areial


Vehicle) atau drone kamera dipasang di pesawat wahana dan biasanya
mengarah secara vertikal ke tanah. Fto udara di ambil dari udara dengan
kamera khusus yang di pasang di pesawat di atas area dengan sumbu kamera
hampir vertikal. Beberapa foto dapat tumpang tindih di ambil pada saat
pesawat mengudara di sepanjang jalur yang sudah ditentukan.

Gambar 2.3 Fotogrametri UAV Tipe Rotor (Quadcopter)


(Sumber : Penyusun 2019)
13

B. Fotogrametri ruang angkasa

Fotogrametri ruang angkasa mencakup semua aspek fotografi


extratrensials dan pengukuran selanjutnya di mana kamera dapat dipasang di
bumi, terkandung dalam satelit buatan, atau di posisikan di bulan atau planet.
Istilah interpretasi foto diterapkan pada cabang fotogrametri di mana foto
udara atau trestrial di gunakan untuk mengevaluasai, menganalisis,
mengklasifikasikan, dan menafsirkan gambar objek yang didapat di lihat pada
foto. Akibatnya, fotogrametri harus dianggap sebagai kombinasi pengukuran
dan interpretasi.

Gambar 2.4 Wahana satelit luar angkasa


(Sumber : Penyusun 2019)

2.3 Klasifikasi Massa Batuan


Massa batuan (rock mass) merupakan tubuh atau massa batuan yang
dipisahkan oleh diskontinuitas. Massa batuan ini terdiri dari material geologi
seperti tekstur, komposisi mineral dan diskontinuitas.
Sementara itu dalam kaitannya dengan rekayasa batuan, klasifikasi
massa batuan (rock mass classification) berarti mengumpulkan data dan
mengklasifikasikan singkapan batuan berdasarkan parameter-parameter yang
telah diyakini dapat mencerminkan perilaku massa batuan tersebut.
Kegunaan utama dari sistem klasifikasi massa batuan adalah untuk
14

menilai berbagai properti teknik dari atau yang berhubungan dengan massa
batuan (rock mass).
Metode klasifikasi massa batuan terus berkembang dari waktu
ke waktu. Klasifikasi massa batuan dapat dikelompokkan berdasarkan
bentuk dan tipe dari massa batuan tersebut. Metode klasifikasi yang umum
dipakai untuk mengevaluasi kestabilan lereng akan dibahas dalam sub-subbab
berikut ini.

2.3.1 Rock Mass Rating (RMR)


Dengan menggunakan metode ini yang sudah diakui dan sering
digunakan dalam kegiatan yang berkaitan dengan geologi teknik. Metode
RMR diperkenalkan oleh Bieniawski (1989). Dengan cara analisis
menggunakan metode RMR yang di guakan ini dapat memasukkan 5 kategori
parameter utama yang dapat dilihat pada (Tabel 2.1), yaitu :

A. Kekuatan batuan utuh (intact rock)

Kekuatan batuan utuh (intact rock) dalam RMR dinyatakan


dengan Uniaxial Compressive Strength (UCS). UCS merupakan kekuatan
dari batuan utuh yang diperoleh dari hasil uji kuat tekan uniaksial. Pengujian
ini dilakukan dengan menggunakan mesin tekan untuk menekan sampel
batuan pada permukaan sampel dari satu arah.

B. RQD (rock quality designation)

Deere dan Miller (1966) menganjurkan untuk menggunakan


kualitas batuan berdasarkan % inti bor pada pemboran dengan diameter
57,15 mm atau lebih. Dipilih diameter 57,15 mm (NX core) karena
ukuran ini merupakan ukuran standar dalam suatu pemboran. Bila
pemboran dalam kondisi standar (normal) maka inti yang didapat
tergantung pada kekuatan batuan serta frekuensi bidang diskontinu yang
terdapat pada batuan tersebut. Parameter RQD diperoleh melalui
pengamatan inti bor yang terambil, dengan mengabaikan inti bor yang
15

memiliki panjang kurang dari 10 cm dan menunjukkan sisanya


sebagai persentase terhadap panjang pemboran (Gambar 2.2).

Gambar 2.5 Cara Menghitung Nilai RQD


(Sumber : Deere, 1966)

Namun jika menggunakan sistem scanline, nilai RQD tidak dapat langsung
ditentukan dari rumus di atas. Terlebih dahulu harus ditentukan frekuensi
diskontinuitas. Frekunsi diskontinuitas merupakan perbandingan antara jumlah
diskontinuitas dalam satu scanline dengan panjang scanline.

Setelah diketahui nilai frekuensi diskontinuitas, nilai tersebut langsung


dapat diplot pada grafik di bawah ini (Gambar 2.3).
16

Gambar 2.6 Grafik hubungan antara RQD dengan Frekuensi


(Sumber : Hudson dan Harrison, 1997)

C. Spasi diskontinuitas (spacing of discontinuities)

Spasi diskontinuitas merupakan jarak antara dua diskontinuitas yang


berdekatan dalam satu scanline.

D. Kondisi diskontinuitas (condition of discontinuities)

Kondisi diskontinuitas ditentukan dari deskripsi tiap bidang


diskontinuitas, berupa tingkat pelapukan, kekasaran permukaan bidang
diskontinuitas, kemenerusan bidang diskontinuitas, lebar bukaan, dan
material pengisi bidang diskontinuitas.

E. Kondisi airtanah (groundwater condition)

Air biasanya mengisi rongga antara permukaan diskontinuitas. Keberadaan


air ini akan mengurangi kuat geser antara kedua permukaan diskontinuitas.
Bobot parameter airtanah dapat ditentukan dengan beberapa cara yaitu
pengamatan langsung di lapangan dan menentukan kondisi umum air,
melakukan pengukuran debit air atau mengukur tekanan air.
17

Tabel 2.2 Parameter Klasifikasi RMR dan Nilai Pembobotannya


(Sumber : Modifikasi Bieniawski, 1989)
Parameter Selang Pembobotan
Gunakan
PLI (MPa) >10 4 - 10 2-4 1-2
nilai UCS
Kuat
1
tekan 5
1 batua 100 – 50 – - <
UCS (MPa) >250 25 - 20 –
n utuh 250 100 2 1
5
5
Bobot 15 12 7 4 2 1 0
50 –
RQD (%) 90 – 100 75 – 90 25 -50 <25
2 75
Bobot 20 17 13 8 3
0,6-2 0,2 – 0,06-
Jarak Kekar (Spasi) >2 m <0,02 m
3 m 0,6 m 0,02 m
Bobot 20 15 10 8 5
Panjang
diskontinuita
3-10
s <1 m 1-3 m 10-20 m >20 m
m
(Persistence
/ continuity)
Bobot 6 4 2 1 0
Jarak Antar
permukaan 0,1-
<0,1
diskontinuita - 1,0 1-5 mm >5mm
mm
s (separature mm
/ aperture
Kondis Bobot 6 5 4 1 0
4
i Kekar Kekasaran Sediki
Sangat Slicken-
Diskontinuita Kasar t Halus
kasar side
s (roughness) Kasar
Bobot 6 5 3 1 0
Material
>5mm
Pengisi <5 mm <5mm >5mm
Tidak ada (Keras
(Infilling / (Keras) (lunak) (lunak
)
gouge)
Bobot 6 4 2 2 0
Kelapukan Tidak Sedikit Sangat
Lapuk Hancur
(weathering) lapuk lapuk lapuk
Bobot 6 5 3 1 0
Air Aliran per 10
5 Kosong <10 10-25 25-125 >125
Tanah m panjang
18

singkapan
(Lt/men)
Tekanan air /
0,1-
tegangan 0 <0,1 0,2-0,5 >0,5
0,2
utama major
Kering Lemba Netes
Kondisi Basah Mengalir
(completel b (dripping
umum (wet) (flowing)
y dry) (damp) )
Bobot 15 10 7 4 0

2.3.2 Slope Mass Rating (SMR)

Slope mass rating (SMR) yang merupakan sistem pada klasifikasi


massa batuan yang biasanya dirancang khusus untuk lereng. Dalam metode
yang digunakan ini dikemukakan oleh Romana (1985). Sistem ini
mendasarkan pada hasil RMR yang di dapati dengan memberikan beberapa
penyelarasan yang dapat dilihat dari (Tabel 2.2). Parameter yang dibutuhkan
untuk klasifikasi slope mass rating (SMR) :

• Arah kemiringan (dip direction) dari permukaan lereng (αs)

• Arah kemiringan (dip direction) diskontinuitas (αj),

• Sudut kemiringan diskontinuitas (βj).


SMR= RMRbasic - (F1× F2× F3) + F4

dengan:

F1 = (1-sin ( αs - αj ))2
F2 = tan βj
F3 adalah nilai rating antara 0 dan -60 berdasarkan hubungan antara
permukaan lereng yang di dapat dengan kemiringan diskontinuitas yang di
dapat dari pengolahan data.
F4 merupakan faktor penyelarasan yang berkaitan dengan metode
ekskavasi
19

Tabel 2.3 Nilai Pembobotan untuk Kekar


(Sumber : Romana, 1985, dalam Arif, 2016)
Sangat
Kriteria Sangat Tak
Ka Mengun tak
faktor Menguntu Sedang Mengunt
sus tungkan mengunt
koreksi ngkan ungkan
ungkan
P │αj - αs │ >300 300 - 200 200 - 100 - 50 <50
T │αj - αs – 100
1800│
P/ 0.15 0.40 0.85 1.0
T F2 0.70
P │βj │ <200 200 – 300 300 – 350 – 450 >450
350
P F2 0.15 0.40 0.85 1
T F2 1 1 0.70 1 1
1
P βj – βs >100 100 – 00 00 00 - (-100) <(-100)
T βj + βs <1100 1100 - >1200 - -
1200
P/T F3 0 -25 -50 -60
-6

P = keruntuhan bidang (plane failure) αj = joint dip direction βj


= joint dip
T = keruntuhan jungkiran (toppling failure) αs = slope dip direction βs
= slope dip

Tabel 2.4 Nilai Pembobotan untuk Metode Ekskavasi Lereng


(Sumber : Romana, 1985)
Smooth Blasting or Defficient
Method Natural Presplittin Blasting Mechanica Blasting
F4 15 g 10 8 l 0 -8

Setelah niai SMR diperoleh, maka nilai tersebut akan berada dalam salah
satu kelas dengan nilai bobot tertentu. Tabel 2.4 mendeskripsikan setiap kelas
pada sistem klasifikasi SMR.
20

Tabel 2.5 Deskripsi untuk Setiap Kelas SMR


(Sumber : Romana, 1985)
SMR 0 – 20 21 - 40 41 - 60 61 - 80 81 - 100

V I II II I
Class
V I

Description Very Bad Bad Normal Good Very Good


Completely Partially Completely
Stability Unstable Stable
Unstable Stable Stable
Planar or Some Joints
Big Planar
Failures Big or Many Some Blocks None
or Soil Like
Wedges Wedges
Important
Support Reexcavation Systematic Occasional None
Corrective

2.4. Peneliti Terdahulu


Berikut beberapa peneliti terdahulu yang telah melakukan penelitian
menggunakan metode Rock Mass Rating dan Slope Mass Rating pada daerah
pegunungan selatan atau yang terkait.
a. Angguning Diah Fahmi (2007), Melakukan penelitian tentang
analisis kestabilan lereng batugamping dengan menggunakan
metode kinematika dan klasifikasi massa batuan di Desa
Nongkosepet, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul,
Yogyakarta.
b. Aris Endartyanto (2007), Melakukan penelitian tentang analisis
kestabilan lereng batugamping dengan menggunakan metode
kinematika dan klasifikasi massa batuan di area penambangan
andesit, Desa Jelekong, Kecamatan Bale Endah, Kabupaten
Bandung, Jawa Barat.
c. Benandus Tunggul Chrisanto (2012), Melakukan penelitian tentang
geologi identifikasi kestabilan lereng menggunakan metode Rock
Mass Rating (RMR) dan Slope Mass Rating (SMR) untuk antisipasi
bencana longsor pada daerah Wonolelo dan sekitarnya, Kecamatan
Pleret, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
21

2.5. Sumber Pustaka


Adapun sumber pustaka yang akan digunakan dalam penyusunan seminar
ini diantaranya :

a. Arif, Irwandi. 2016, Geoteknik Tambang. Gramedia : Jakarta


b. Bemmelen R.W.V, 1949, The Geology of Indonesian, Vol IA.
Martinus Nijhoff: The Hague.
c. Jensen, J.R., 1996, Introductory digital Image Processing : A
Remote Sensing Perspective, 2nd ed. Prentice-Hall, Inc, New Jersey
d. Kristianti, Endah., 2004. Identifikasi Stuktur Geologi Menggunakan
Citra Landsat 7 ETM+ Studi di Daerah Kabupaten Sragen dan
Sekitarnya, Provinsi Jawa Tengah. Skripsi. Yogyakarta : Fakultas
Geografi UGM.
e. Lillesand T.M., Kiefer, R.W., 2007. Remote sensing And Image
Interpretation, 6th Edition, Jhon Wiley & Sons Inc, New york.
f. Bronto, S. dan Hartono, (2001), Panduan Ekskursi Geologi Kuliah
Lapangan 2. STTNAS: Yogyakarta
g. Sudrajat, 1990. Petunjuk dalam Penafsiran Geologi Potret Udara.
Diktat Kuliah. Pusat Pendidikan Interpretasi Udara, Pasca Sarjana
Angkatan II. Fakultas Geografi, UGM. Yogyakarta
h. Soetikno, 1977. Interpretasi Foto Udara “Geologi”. Diktat Kuliah
Pusat Pendidikan Interpretasi Foto Uara, Pasca Sarjana Angkatan
II. Fakultas Geografi, UGM. Yogyakarta.
i. Sutanto, 1986. Penginderaan Jauh Jilid I. Universitas Gdjah Mada
j. Soetoto, 2000. Interpretasi Citra Untuk Survey Geologi. Pelatihan
Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis Untuk
Sumberdaya. Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta
k. Raharjo W., Sukandarrumidi dan H.M.D. Rosidi, 1995, Peta
Geologi Lembar Yogyakarta skala 1 : 100.000, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Geologi, Bandung
22

l. Danoedoro, P., 1996. Pengolahan Citra Digital Teori dan


Aplikasinya Dalam Bidang Penginderaan Jauh. Fakultas Geografi
UGM. Yogyakarta
m. Untung, dkk, (1977), Geologi Regional Pegunungan Selatan:
Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai