Anda di halaman 1dari 15

Dataran Yogyakarta terbentuk oleh adanya proses pengangkatan dua pegunungan,

yaitu pegunungan Selatan dan pegunungan Kulon Progo yang berlangsung pada Kala
Plistosen awal (0,01 0,7 jtl). Setelah pegunungan Selatan terangkat, terbentuk dataran
yang sedikit melengkung sehinggan aliran air permukaan di sepanjang kaki pegunungan
tertutup dan membentuk genangan air (danau) di sepanjang kaki pegunungan hingga
Gantiwarno dan Baturetno. Diketahui bahwa Gunung Merapi telah muncul pada 42.000
tahun yang lalu. Hal ini di kemukakan berdasarkan data umur penarikan 14C pada
endapan sinder yang tersingkap di Cepogo , namun berdasarkan data K/Ar lava andesit di
Gunung Bibi, Berthomier (1990) mnentukan aktivitas Gunung Merapi telah berlangsung
sejak 0,67 tahun yang lalu. Cekungan Yogyakarta terbentuk pada Kala Plistosen Awal
oleh pengangkatan Pegunungan Selatan. Tinggian yang berada di sebelah selatan dan
munculnya kubah Gunung Merapi disebelah utara, menghasilkan sebuah bentukan
lembah yang datar. Pada bagian selatan lembah tersebut berbatasan dengan Pegunungan
Selatan dan berbatasan dengan Pegunungan Kulon Progo di sebelah baratnya. Kini,
ditemukan endapan lempung hitam pada tempat-tempat yang diduga pernah terbentuk
lembah datar tersebut. Lempung hitam ini menjadi batas kontak antara batuan dasar dan
endapan gunung api Merapi. Atas dasar penarikan 14C yang telah dilakukan pada
endapan lempung hitam di Sungai Progo daerah Kasihan, umur lembah adalah 16.590
hingga 470 tahun, dan di Sungai Opak (Watuadeg) berumur 6.210 tahun. Dari data
tersebut diinterpretasikan sebagai awal pengaruh pengendapan material Merapi di
wilayah ini, karena Endapan lempung hitam di Sungai Opak berselingan dengan endapan
Gunung Merapi. Di Sungai Winongo (Kalibayem) tersingkap juga endapan lempung
hitam yang berselingan dengan lahar berumur 310 tahun. Dari data diatas dapat
disimpulkan, aktivitas Gunung Merapi telah mempengaruhi kondisi geologi daerah ini
pada 6210 hingga 310 tl.

GEOLOGI REGIONAL PEGUNUNGAN SELATAN (BAYAT)

A. Geomorfologi Regional
Secara fisiografis Perbukitan Bayat merupakan endapan yang terutama terdiri dari
endapan flufio-vulkanik dari Merapi. Elevasi tertinggi dari Puncak-puncak yang ada tidak
lebih dari 400 meter diatas muka laut, sehingga perbukitan tersebut dapat disebut
perbukitan rendah. Perbukitan itu tersebar menurut jalur yang arahnya berbeda. Di bagian
barat (Jiwo Barat), jalur puncak-puncak bukit berarah utara selatan, yang diwakili oleh
puncak-puncak Jabalkat, Kebo, Merak, Cakaran, Budo Sari, dan Tugu dengan di bagian
paling utara membelok ke arah barat, yaitu daerah perbukitan Kampak. Di sebelah timur
(Jiwo Timur) arah jalurnya adalah barat-timur, dengan puncak-puncak Konang, Pendul
dan Temas, dengan percabangan kearah utara, yang terwakili oleh puncak Jokotuo dan
Bawak. Di sebelah selatan (jiwo selatan) arah jalurnya adalah timur-selatan dengan
puncak-puncak Watutumpeng, Eyangkuto,Watugenuk,Watukucing,Joyo,Semilir.
Bentang alam daerah Bayat merupakan bentuk lanjut dari suatu Pegunungan
Lipatan, terdiri dari perbukitan homoklin, perbukitan lipatan, perbukitan intrusi dan
perbukitan lembah antiklin dengan sungai-sungai konsekuen, subsekuen dan obsekuen
mengalir yang secara membentuk pola aliran dendritik.
Daerah perbukitan yang tersusun oleh batugamping menunjukkan perbukitan
memanjang dengan pegunungan yang tumpul sehingga kenampakan puncak tidak begitu
nyata. Sebagai contoh adalah perbukitan Bawak-Temas di Jiwo Timur dan perbukitan
Tugu-Kapak di Jiwo Barat. Untuk daerah yang tersusun oleh batuan metamorf, ini terisi
oleh campuran endapan pasir Merapi, endapan lempung hitam dan endapan rombakan
dari Pegunungan Selatan. Endapan lepas yang berumur kuater ini diduga menutup
lembah sesar yang membatasi Pegunungan Selatan dengan perbukitan Jiwo. Jenis dan
arah gerak sesar saat ini belum ditemukan.
B. Stratigrafi Regional
Dari penyimpulan hasil peneliti terdahulu, secara garis besar stratigrafi daerah
Pegunungan dapat dinyatakan dalam dua macam urutan. Yang pertama adalah stratigrafi
bagian barat, yang pada dasarnya bersumber kepada hasil penelitian Bothe (1929).
Sedangkan bagian timur, yang terletak di sebelah selatan dan tenggara depresi WonogiriBaturetno urutan stratigrafinya disusun oleh Sartono (1958).
Pegunungan Selatan bagian barat secara umum tersusun oleh batuan sedimen

volkanik klastik dan batuan karbonat. Batuan volkanik klastiknya sebagian besar
terbentuk oleh pengendapan gaya berat (gravity depositional processes) yang
menghasilkan endapan kurang lebih setebal 4000 meter. Hampir seluruh batuan sedimen
tersebut mempunyai kemiringan ke selatan. Urutan stratigrafi penyusun pegunungan
Selatan bagian barat dari tua ke muda adalah :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Formasi Wungkal-Gamping
Formasi Kebo-Butak
Formasi Semilir
Formasi Nglanggran
Formasi Sambipitu
Formasi Oyo-Wonosari
Endapan Kuarter
a. Formasi Wungkal-Gamping
Formasi ini terletak di G. Wungkal dan G. Gamping, keduanya di Perbukitan Jiwo.

Satuan batuan Tersier tertua di daerah Pegunungan Selatan ini di bagian bawah terdiri
dari perselingan antara batupasir dan batulanau serta lensa batugamping. Pada bagian
atas, satuan batuan ini berupa napal pasiran dan lensa batugamping. Formasi ini tersebar
di Perbukitan Jiwo, antara lain di G. Wungkal, Desa Sekarbolo, Jiwo Barat, mempunyai
ketebalan sekitar 120 meter (Bronto dan Hartono, 2001).
Di bagian bawah, Formasi Wungkal-Gamping mengandung fosil foraminifera
besar, yaitu Assilina sp., Nummulites javanus VERBEEK, Nummulites bagelensis
VERBEEK dan Discocyclina javana VERBEEK. Kelompok fosil tersebut menunjukkan
umur Eosen Tengah bagian bawah sampai tengah. Sementara itu bagian atas formasi ini
mengandung asosiasi fosil foraminifera kecil yang menunjukkan umur Eosen Akhir. Jadi
umur Formasi Wungkal-Gamping ini adalah Eosen Tengah sampai dengan Eosen Akhir
(Sumarso dan Ismoyowati, 1975).
Sebagian dari satuan batuan ini semula merupakan endapan laut dangkal yang
kaya akan fosil. Karena pengaruh gaya berat di lereng bawah laut, formasi ini kemudian
meluncur ke bawah dan diendapkan kembali di laut dalam sehingga merupakan exotic
faunal assemblage (Rahardjo, 1980). Formasi ini tersebar luas di Perbukitan Jiwo dan K.
Oyo di utara G. Gede, menindih secara tidak selaras batuan metamorf serta diterobos oleh
Diorit Pendul dan di atasnya, secara tidak selaras, ditutupi oleh batuan sedimen klastika
gunungapi (volcaniclastic sediments) yang dikelompokkan ke dalam Formasi Kebo-

Butak, Formasi Semilir, Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu.


a. Formasi Kebo-Butak
Formasi ini secara umum terdiri dari konglomerat, batupasir dan batulempung
yang menunjukkan kenampakan pengendapan arus turbid maupun pengendapan gaya
berat yang lain. Di bagian bawah, yang oleh Bothe disebut sebagai Kebo beds tersusun
atas perselang selingan antara batupasir, batulanau dan batulempung yang khas
menunjukkan struktur turbidit, dengan perselingan batupasir konglomeratan yang
mengandung lempung. Bagian bawah ini diterobos oleh sill batuan beku. Bagian atas dari
Formasi ini, yang disebut sebagai Anggota Butak, tersusun oleh perulangan batupasir
konglomeratan yang bergradasi menjadi lempung atau lanau, ketebalan total dari Formasi
ini kurang lebih 800 m. Urutan batuan yang membentuk Formasi Kebo-Butak ini
ditafsirkan terbentuk pada lingkungan lower submarine fan dengan beberapa interupsi
pengendapan tipe mid fan (Rahardjo, 1983), yang terbentuk pada akhir Oligosen (N2-N3)
(Sumarso & Ismoyowati, 1975; van Gorsel et al., 1987).
b. Formasi Semilir
Secara umum Formasi ini tersusun oleh batupasir dan batulanau yang bersifat
tufan, ringan, kadang-kadang dijumpai selaan breksi vulkanik. Fragmen yang membentuk
breksi maupun batupasir pada umumnya berupa fragmen batuapung yang bersifat asam.
Di lapangan pada umumnya menunjukkan perlapisan yang baik, struktur-struktur yang
mencirikan turbidit banyak dijumpai. Langkanya kandungan fosil pada formasi ini
menunjukkan bahwa pengendapanyya berlangsung secara cepat atau pengendapan
tersebut terjadi pada lingkungan yang sangat dalam, berada di bawah ambang kompensasi
karbonat (CCD), sehingga fosil gampingan sudah mengalami korosi sebelum dapat
mencapai dasar pengendapan. Umur dari Formasi ini diduga adalah awal dari Miosen
(N4) berdasar atas terdapatnya Globigerinoides primordius pada bagian yang bersifat
lempungan dari formasi ini di dekat Piyungan (van Gorsel, 1987). Formasi Semilir ini
menumpang secara selaras di atas Anggota Butak dari Formasi Kebo-Butak. Tersingkap
secara baik di wilayah tipenya yaitu di tebing gawir baturagung di bawah puncak Semilir.
c. Formasi Nglanggran
Berbeda dengan formasi yang sebelumnya, formasi Nglanggran ini tercirikan oleh
penyusun utama berupa breksi dengan penyusun material vulkanik, tidak menunjukkan

perlapisan yang baik dengan ketebalan yang cukup besar. Bagian yang terkasar dari
breksinya hampir seluruhnya tersusun oleh bongkah-bongkah lava andesit dan juga bom
andesit. Diantara masa breksi tersebut ditemukan sisipan lava yang sebagian besar telah
mengalami breksiasi.
Formasi ini ditafsirkan sebagai hasil pengendapan aliran rombakan yang berasal dari
gunung api bawah laut, dalam lingkungan laut dan proses pengendapan berjalan cepat,
yaitu hanya selama awal Miosen (N4).
Singkapan utama dari Formasi ini ada di gunung Nglanggran pada perbukitan
Baturagung. Kontaknya dengan Formasi Semilir di bawahnya berupa kontak tajam. Hal
ini berakibat bahwa formasi Nglanggran sering dianggap tidak selaras di atas Semilir,
namun harus diperhatikan bahwa kontak tajam tersebut dapat terjadi akibat berubahnya
mekanisme pengendapan akibat gayaberat. Van Gorsel (1987) menganggap bahwa
pengandapan Nglanggran ini dapat diibaratkan sebagai proses runtunhnya gunungapi
semacam Krakatau yang berada di lingkungan laut. Ke arah atas yaitu ke arah Formasi
Sambipitu, Formasi Nglanggran berubah secara bergradasi, seperti yang terlihat di
singkapan di Sungai Putat. Lokasi yang diamati untuk EGR tahun 2002 berada pada sisi
lain sungai Putat, dimana kontak kedua formasi ini ditunjukkan oleh kontak struktural.
e. Formasi Sambipitu
Di atas Formasi Nglanggran terdapat formasi batuan yang menunjukkan ciri-ciri
turbidit, yaitu Formasi Sambipitu. Formasi ini tersusun terutama oleh batupasir yang
bergradasi menjadi batulanau atau batulempung. Di bagian bawah, batupasirnya masih
menunjukkan sifat vulkanik sedang ke atas sifat vulkanik ini berubah menjadi batupair
yang bersifat gampingan. Pada batupasir gampingan ini sering dijumpai fragmen dari
koral dan forminifera besar yang berasal dari lingkungan terumbu laut dangkal, yang
terseret masuk ke dalam lingkungan yang lebih dalam akibat pengaruh arus turbid. Ke
arah atas, Formasi Sambipitu berubah secara gradasional menjadi Formasi Wonosari
(Anggota Oyo) seperti yang terlihat pada singkapan pada sungai Widoro di dekat Bunder.
Formasi Sambipitu terbentuk selama jaman Miosen, yaitu antara N4-N8 (Kadar, 1986)
atau NN2-NN5 (Kadar, 1990).
f. Formasi Oyo-Wonosari
Selaras di atas formasi Sambipitu terdapat Formasi Oyo-Wonosari. Formasi ini

terdiri terutama dari batugamping dan napal. Penyebarannya meluas hampir setengah
bagian selatan dari Pegunungan Selatan memanjang ke arah timur, membelok ke arah
utara di sebelah timur perbukitan Panggung hingga mencapai bagian barat dari daearh
depresi Wonogiri-Baturetno.
Bagian terbawah dari Formasi Oyo-Wonosari terutama terdiri dari batugamping
berlapis yang menunjukkan gejala turbidit karbonat yang diendapkan pada kondisi laut
yang lebih dalam, seperti yang terlihat pada singkapan pada daerah dekat muara sungai
batugamping berlapis, menunjukkan gradasi butir dan pada bagian yang halus banyak
dijumpai fosil jejak tipe burrow yang terdapat pada bidang permukaan perlapisan ataupun
memotong sejajar dengan perlapisan. Batugamping kelompok ini disebut sebagai
Anggota Oyo dari Formasi Wonosari (Bothe, 1929) atau Formasi Oyo (Rahardjo dkk,
1977 dalam Toha dkk,1994).
Ke arah lebih muda, Anggota Oyo ini bergradasi menjadi dua Fasies yang
berbeda. Di daerah Wonosari, batugamping ini makin ke arah selatan semakin berubah
menjadi batugamping terumbu yang berupa rudstone, framestone, dan floatstone, bersifat
lebih keras dan dinamakan sebagai Anggota Wonosari dari Formasi Oyo-Wonosari
(Bothe, 1929) atau Formasi Wonosari (Rahardjo dkk, 1977 dalam Toha dkk, 1994).
Sedangkan di barat daya kota Wonosari, batugamping terumbu ini berubah fasies menjadi
batugamping berlapis yang bergradasi menjadi napal, dan disebut sebagai Anggota Kepek
dari Formasi Wonosari. Anggota Kepek ini juga tersingkap di bagian timur, yaitu di
daerah depresi Wonogiri-Baturetno, di bawah endapan Kuarter seperti yang terdapat di
daerah Erokomo. Secara keseluruhan, Formasi Wonosari ini terbentuk selama Miosen
Akhir (N9-N18).
g. Endapan Kuarter
Di atas seri batuan sedimen Tersier seperti tersebut di depan terdapat suatu
kelompok sedimen yang sudah agak mengeras sehingga masih lepas. Karena kelompok
sedimen ini berada di atas bidang erosi, serta proises pembentukannya masih berlanjut
hingga saat ini, maka secara keseluruhan sedimen ini disebut sebagai Endapan Kuarter.
Penyebarannya meluas mulai dari daerah timurlaut Wonosari hingga daerah depresi
Wonogiri-Baturetno. Singkapan yang baik dari endapan kuarter ini terdapat di daerah
Erokomo sekitar waduk Gadjah Mungkur, namun pada EGR ini tidak dilewati.

Secara stratigrafis endapan kuarter di daerah Eropkromo, Wonogriri terletak tidak


selaras di atas sedimen Tersier yang berupa batugamping berlapis dari Formasi Wonosari
atau breksi polimik dari formasi Nglanggran. Ketebalan tersingkap dari endapan Kuarter
tersebut berkisar dari 10 meter hingga 14 meter. Umur endapan Kuarter tersebut
diperkirakan Plistosen Bawah.
Stratigrafi endapan kuarter di daerah Erokomo, Wonogiri secara vertikal tersusun
dari perulangan antara tuf halus putih kekuningan dengan perulangan gradasi batuipasir
kasar ke batupasir sedang dengan lensa-lensa konglomerat. Batupasir tersebut berstruktur
silangsiur tipe palung, sedangkan lapisan tuf terdapat di bagian bawah tengah dan atas.
Pada saat lapisan tuf terbentuk, terjadi juga aktivitas sungai yang menghasilkan
konglomerat.
C. Struktur Geologi Regional
Di selatan Bayat, terdapat dataran rendah yang berarah memanjang barat-timur,
sejajar dengan kaki Pegunungan Selatan yang berada di selatannya. Dataran Bukit ini
terpotong oleh sesar dan singkapan batuan metamorf tergeser ke arah timur laut di daerah
Padasan, G. Semangu dan berbelok ke utara hingga daerah Jokotuo, dijumpai marmer
yang merupakan kantong diantara filit.Di bagian utara dari Jiwo Barat yaitu di G. Tugu,
G. Kampak dan daerah Ngembel serta bagian utara, timur dan tenggara dari Jiwo Timur,
msing-masing di G. Jeto, G. Bawak, G. Temas dan di G. Lanang, tersingkap batugamping
yang menumpang secara tidak selaras di atas batuan yang lebih tua. Di bagian tenggara
G. Kampak dan di G. Jeto, batugamping ini menumpang di atas batuan metamorf, sedang
di Temas menumpang di atas batuan beku. Batugamping ini terdiri dari dua fasies yang
berbeda. Fasies yang pertama terdiri dari batugamping algae, kenampakan perlapisan
tidak begitu jelas. Algae membentuk struktur onkoid dalam bentuk bola-bola berukuran 2
hingga 5 cm. Fasies seperti ini dijumpai di G.Kampak, bagian selatan G.Tugu, G. Jeto, G.
Bawak dan di bagian barat G.Temas. Fasies yang kedua berupa batugamping berlapis,
yang merupakan perselingan antara kalkarenit dengan kalsilutit. Fasies batugamping
berlapis ini dijumpai di Ngembel, utara G. Tugu, bagian timur G. Temas dan di G.
Lanang. Di beberapa tempat kalsilutitnya menebal kearah lateral dan berubah menjadi
napal, seperti yang terdapat di utara G. Tugu. Fasies ini tidak menunjukkan struktur alga
dan kaya akan kandungan foraminifera plangton, kemungkinan diendapkan di dangkalan

karbonat yang lebih dalam ditandai dengan adanya struktur nendatan (slump structures)
seperti yang terlihat di bagian timur Temas dan di G. Lanang.
Di selatan G. Temas dijumpai kontak antara batuan beku dengan batugamping.
Batuan bekunya sudah sangat lapuk, menunjukkan tanda-tanda retakan yang kebanyakan
telah terisi oleh oksida besi (limonit) dan sebagian terisi oleh kalsit. Retakan pada batuan
beku tersebut tidak menerus pada batugamping. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum
pengendapan batugamping, batuan bekunya telah mengalami retakan, terisi oleh hasil
pelapukannya sendiri yang berupa limonit. Setelah terjadi pengendapan batugamping,
sebagian dari karbonatnya mengisi celah akibat retakan tersebut membentuk urat kalsit.
Belakangan setelah batugamping terangkat dan tererosi, sebagian dari urat kalsit pada
batuan beku ini bersama batuan bekunya tersingkap dan mengalami pelapukan,
membentuk tanah. Urat kalsit yang ada mengalami pelarutan dan pengendapan kembali
dalam bentuk caliche, seperti yang banyak dijumpai di barat G. Temas dan lereng timur
dan selatan G.Pendul. Berdasarkan kandungan fosilnya, batugamping neogen di
Perbukitan Jiwo ini menunjukkan umur N12 atau Miosen Berdasarkan atas umur ini
maka batugamping tersebut dapat dikorelasikan dengan Formasi Wonosari untuk fasies
batugamping algae , sedangkan fasies batugamping berlapis adalah sepadan dengan
formasi Oya.
Setelah pengendapan batugamping, di Perbukitan Jiwo tidak diketemukan lagi
batuan lain yang berumur Tersier. Jaman Kuarter terwakili oleh breksi lahar, endapan
pasir fluvio-vulkanik Merapi serta endapan lempung hitam dari lingkungan rawa. Breksi
lahar dijumpai pada bagian utara dari perbukitan Ngembel, berupa breksi dengan fragmen
andesit yang berukuran aneka ragam, mulai dari kerikil hingga bongkah. Fragmen
tersebut tersebar umumnya mengapung pada matriks yang berukuran lanau sampai pasir
halus, bersifat tufan. Gejala perlapisan dan fosil tida ditemukan pada breksi ini. Breksi ini
diduga berasal dari aktifitas aliran lahar dari G. Merapi dari arah barat laut, yang berhenti
karena membentur bukit batugamping Ngembel, dan terjadi pada kala Pleistosen.

GEOLOGI REGIONAL KULONPROGO


A. Geomorfologi Regional Kulon Progo

Fisiografi dan Geomorfologi Regional


Sketsa Fisografi
Jawa (Van
Bemmmelen, 1949)
dan Citraan Landsat
(SRTM NASA,
2004).
Fisiografi dan geomorfologi regional dataran Yogyakarta termasuk dalam
Pegunungan Kulon. Di bagian utara dan timur dibatasi oleh lembah Progo, dan di bagian
selatan dan barat dibatasi oleh dataran pantai Jawa Tengah. Dan pada bagian barat-laut
pegunungan ini memiliki hubungan dengan Pegunungan Serayu. Menurut Van Bemmelen
( 1949, hal. 596), Pegunungan Kulon ditafsirkan sebagai dome (kubah) besar dengan
bagian puncak datar dan sayap-sayap curam, dikenal sebagai Oblong Dome. Dome ini
mempunyai arah utara timur laut selatan barat daya, dan diameter pendek 15-20 Km,
dengan arah barat laut-timur tenggara. Inti dome terdiri dari 3 gunung api Andesit tua
yang pada sekarang ini telah tererosi cukup dalam, dan mengakibatkan beberapa bagian
bekas dapur magmanya telah tersingkap. Bagian tengah dari dome ini adalah Gunung
Gajah yang merupakan gunung api tertua yang menghasilkan kandungan Andesit
hiperstein augit basaltic. Gunung api Ijo adalah gunung api yang terbentuk setelahnya
yang berada dibagian selatan. Dari hasil aktivitasnya Gunung Ijo menghasilkan Andesit
piroksen basaltic, kemudian Andesit augit hornblende, kemudian pada tahap akhir adalah
intrusi Dasit di bagian intinya. Setelah aktivitas gunung Gajah berhenti dan mengalami
denudasi, gunung Menoreh terbentuk dibagian utara. Gunung Menoreh merupakan
gunung terakhir yang terbentuk di komplek pegunungan Kulon Progo. Hasil dari aktivitas
gunung Menoreh awalnya menghasilkan Andesit augit hornblen, kemudian dihasilkan
Dasit dan yang terakhir yaitu Andesit. Dome Kulon Progo memiliki bagian puncak yang
datar yang dikenal dengan Jonggrangan Platoe. Bagian puncak dome tertutup oleh
batugamping koral dan napal dengan kenampakan topografi kars.

Menurut Van Bemmelan (1948), Jawa Tengah dibagi menjadi 3 zona antara lain :
1. Zona Jawa Tengah bagian utara, merupakan zona lipatan.
2. Zona Jawa Tengah bagian tengah, merupakan zona depresi.
3. Zona Jawa Tengah bagian selatan, merupakan zona plato.
Kulon Progo salah satu daerah yang termasuk kedalam zona jawa tengah bagian
selatan, yang merupakan zona plato sering disebut sebagai plato jonggrangan. Bagian
utara dibatasi dengan dataran pantai samudera indonesia, sedangkan bagian barat laut
berhubungan dengan pegunungan serayu selatan. Daerah ini merupakan daerah uplift
yang membentuk dome.
Berdasarkan relief dan genesanya, kabupaten kulon progo terbagi menjadi beberapa
satuan geomorfologi, antara lain :
A. Satuan pegunungan Kulon Progo
Pegunungan Kulon Progo ini mempunyai ketinngian antara 100meter - 1200
meter diatas permukaan laut, besar kelerangannya antara 15o - 60o. Persebarannya
dari selatan sampai utara serata menempati bagian barat DIY yang meliputi
kecamatan Kokap, Girimulyo, Samigaluh.
B. Satuan perbukitan Sentolo
Perbukitan sentolo ini mempunyai ketinggian antara 50 meter 150 meter
diatas permukaan laut, besar kelerangannya sendiri rata-rata 15o. Daerah yang
termasuk dalam satuan perbukitan sentolo ini antara lain Kecamatan Pengasih dan
Sentolo itu sendiri.
C. Satuan teras progo
Satuan teras progo terletak disebelah utara satuan perbukitan sentolo dan
disebelah timur pegunungan Kulon Progo. Satuan ini meliputi kecamatan
Nanggulan dan Kali Bawang.
D. Satuan dataran aluvial
Penyebaran satuan ini memanjang meliputi kacamatan Panjatan, Temon, Wates,
Galuh, serta sebagian derah Lendah. Satuan dataran aluvial ini relatif landai
sehingga banyak digunakan sebagai pemukiman dan areal persawahan.
E. Satuan dataran pantai
Subsatuan gumuk pasir
Subsatuan ini memiliki penyebaran di sepanjang pantai selatan Yogyakarta
yaitu Pantai Glagah dan Pantai Congot. Sungai yang bermuara dipantai selatan

membawa material-material berukuran pasir dari hulu ke muara, disebabkan


karena adanya pengaruh angin maka material-material tersebut terendapkan

disepanjang pantai yang kemudian membentuk gumuk-gumuk pasir.


Subsatuan dataran aluvial pantai
Subsatuan ini terletak disebelah utara subsatuan gumuk pasir. Pada
subsatuan datran aluvial tidak dijumpai gumuk-gumuk pasir.

B. Stratigrafi Regional
Secara stratigrafis, cekungan kulon progo memiliki susunan litologi bebeda dari
daerah sekitar. Susunan stratigrafi dari tua ke muda adalah
1. Formasi nanggulan
Formasi ini menempati daerah dengan morfologi perbukitan bergelombang rendah
hingga menegah. Penyebarannya di daerah nanggulan ( sebelah timur pegunungan
Kulon Progo). Formasi Sungai Progo dan Sungai Puru terbagi 3 yaitu :
a) Axinea beds
Formasi yang terletak paling bawah, memiliki ketebalan kira-kira 40 meter,
merupakan tipe endapan laut dangkal yang terdiri dari batupasir, batuserpih
dengan perselingan napal dan lignit yang keduanya berfasis litoral. Axinea
beds banyak mengandung fosil pelecypoda
b) Yogyakarta beds
Formasi yang terndapkan secara selaras diatas axibea beds, memiliki tebal
60 meter. Terdiri dari napal pasiran silang siur dengan batupasir dan
batulempung yang mengandung Nummulities Djogjakartae.
c) Discocylina beds
Formasi yang diendapkan selaras diatas yogyakarta beds, memiliki
ketebalan 200 meter. Formasi ini terdiri dari napal dan batugamping berseling
dengan batupasir dan batuserpih. Semakin keatas maka akan semakin banyak
kandungan foraminifera planktonik.
2. Formasi andesit tua
Formasi andesit tua ini diendapkan diatas formasi nanggulan secara tidak
selaras. Formasi ini tersusun dari breksiandesit, tuf, lapili, aglomerat, serta sisipan
aliran lava andesit. Formasi ini tersingkap baik di bagian tengah, utara ataupun
barat daya dari kulon progo. Ketebalan formasi ini kira-kira 600 meter. Umur dari
formasi ini berdasarkan temuan fosil foraminifera planktonik yang berada dalam

batunapal yaitu oligosen atas.


3. Formasi jonggrangan
Formasi jonggrangan diendapkan secara tidak selaras diatas formasi andesit
tua. Bagian bawah formasi ini terdiri dari konglomerat, napal tufan, batupasir
gampingan yang mengandung moluska, batulempung, dan sisipan lignit. Bagian
atas terdiri dari batugamping berlapis dan batugamping koral. Ketebalan formasi
ini 250 meter-400 meter. Sedangkan umur formasi ini sendiri adalah miosen
bawah-miosen tengah.
4. Formasi sentolo
Formasi sentolo diendapkan secara tidak selaras diatas formasi andesit tua sama
seperti formasi jonggrangan. Hubungan antara keduanya adalah saling menjari.
Bagian bawah dari formasi ini berupa batugamping, batupasir napalan, napal
pasiran, dan napal tufan. Sedangkan bagian atas terdiri dari batugamping yang
mengandung fosil foraminifera serta fragmen koral. Umur dari formasi ini sendiri
sekitar N18-N15 (miosen awal-pliosen). Penyebaran formasi ini meliputi bagian
tenggara pegunungan kulon progo.
5. Formasi Wates dan Formasi Yogyakarta
Diatas batuan-batuan tua, diendapakan formasi wates dan formasi
Yogyakarta dengan umur holosen. Formasi Wates ini terdiri dari mineral lepas
hasil transportasi dan sedimentasi sungai. Formasi ini tersebar di bagian selatan
dan barat daya pegunungan kulon progo hingga perbatasan dengan samudera
indonesia.
2.3 Struktur Geologi Regional
Pegunungan Kulon Progo merupakan tinggian yang ditandai dengan adanya
kompleks gunung api purba yang ada di batuan berumur paleogen yang kemudian ditutup
dengan batuan yang berumur neogen. Pegunungan Kulon Progo telah mengalami
beberapa kali tektonik. Pertama, terjadi setelah pembentukan formasi nanggulan. Saat itu
tebentuk gunung api Ijo, Gadjah, dan Menoreh kemudian terbentuk formasi andesit tua.
Pada awal plestocen, semua daerah Kulon Progo mengalami pengangkatan sehingga
terbentuk morfologi tinggian yang kemudian terbentuk lipatan.

Secara garis besar struktur geologi kabupaten kulon progo dibagi menjadi struktur
dome dan struktur unconformity
Struktur Dome
Proses geologi yang banyak terjadi yaitu orogenesis. Struktur ini membuat batuan
tersingkap memiliki kemiringan yang relatif landai karena adanya pengangkatan
batuan yang berada dibawahnya.

Struktur Unconformity
Ketidakselarasan disconformity ditemukan di perbatasan eosen atas formasi
nanggulan dengan oligosen pada formasi andesit tua.

GUNUNG GENDOL
Menurut Van Bemmelen (1949), menyebutkan bahwa bukit gendol terbentuk dari
hasil longsoran merapi. Hal itu disimpulkan dari adanya lapisan vulkanik yang terlipat
jelas membebtuk suatu antiklinorium yang melengkung konkaf kearah barat.
Pembentukan antiklinorium ini erat kaitannya dengan pensesaran yang terjadi pada
gunung merapi tua yang mengakibatkan blok barat dari gunung tersebut turun dan
meluncur membentuk kaki bagian utara pegunungan menoreh yang akhirnya membentuk
antiklinorium gendol. Lapisan tersebut terdiri atas perselingan breksi lahar dengan
endapan fluviatil tufan. Sedangkan fragmen vulkaniknya tersiri atas vitrofirik augithipersten-hornblende yang serupa dengan merapi tua.
Sedangkan menurut Newhall (2000) menyebutkan bahwa Gunung gendol
merupakan perbukitan sendiri yang pembentukannya tidak ada hubungannya denagn
merapi tua ataupun kulon progo, karena saat dilakukan dating gunung gendol memiliki
umur yang lebih tua dari merapi tua jadi tidak mungkin bila pembetukan gunung gendol
ini berasal dari gunung yang umurnya lebih muda.
Gunung api itu sendiri terbagi menjadi dua, yaitu Merapi tua dan merapi muda.
Merapi tua telah aktif sejak jaman pleistosen akhir, sedangkan merapi muda aktif sejak
tahun 1006. Litologi di merapi muda lebih bersifat intermediet, sedangkan merapi tua
memiliki litologi yang cenderung basa. Sedangkan jika dilihat dari morfologinya, merapi
muda menunjukkan gunungapi stadia muda yang berarti belum mengalami erosi lebih

lanjut. Sedangkan pada merapi tua menuunjukkan gunungapi dengan stadia dewasa
dengan banyaknya erosi yang terpotong oleh sesar.
berdasarkan kelerengannya, gunung merapi dibagi menjadi empat satuan geomorfologi,
yaitu :
1. Satuan morfologi daerah puncak merapi
a. Tinggi dengan puncak samapi sekitar 2000m dpl
b. Terjal
c. Pola pengaliran radial
2. Satuan morfologi daerah lereng atas
a. Ketinggian antara 2000m-1200m
b. Kemiringan melandai ke barat ddan selatan (curamsedang)
c. Pola pengaliran subparalel
3. Satuan morfologi daerah lereng tengah
a. Ketinggian 1200m-600m
b. Kemiringan sedang
c. Pola pengaliran paralel
4. Satuan morfologi daerah lereng bawah
a. Ketinggian 600m-400m
b. Kemiringan landai
c. Sungai berperan sebagai jalur material hasil letusan
STRATIGRAFI GUNUNG MERAPI
Stratigrafi gunung merapi terdiri dari 2 susunan litologi karena pembentuk litologi
daerah ini terdapat 2 gunung api yang berbeda umur dan memiliki magma induk yang
berbeda, sehingga dibedakan menjadi :
1. Volkanik merapi tua
Dengan umurnya pleistosen atas, merapi tua ini memiliki litologi penyusun
berupa breksi aglomerat dan lelehan lava yang termasuk andesit dan basalt
mengandung olivin volkanik merapi tua dengan umur antara 4400m-2930m
2. Volkanik merapi muda
Litologi pada merapi tua ini berupa material rombakan endapan merapi tua yang
berupa tufa, pasir, breksi dan breksi yang terkonsolidasi lemah. Dengan dating,
merapi muda ini diperkirakan berumur 1750-390 tahun yang lalu.
STRUKTUR GEOLOGI GUNUNG MERAPI
Gunung merapi terletak pada dua jalur sesar regional sesar yang memisahkan jawa
imur dengan jawa tengah dan sesar yang membentuk batasan antara bukit kendeng bagian

barat dan subzonan antara ngawi dan simo.


Struktur yang terjadi salah satunya adalah lipatan. Lipatan ini sendiri merupakan
hasil longsoran endapan merapi dan adanya dome yang timbul pada pegunungan kulon
progo bagian barat.
Sesar pada gunung merapi muda kemungkinan disebabkan oleh adanya pergerakan
tektonik sepanjang sesar geser besar yang terbentang pada barisan gunung UngaranMerapi sampai perbatasan lembah progo bagian barat daya yang mengalami penurunan
secara perlahan. Hal tersebut menyebabkan bagian barat gunung merapi turun kearah
daerah penurunan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai