Anda di halaman 1dari 9

GEOLOGI REGIONAL YOGYAKARTA

Yogyakarta terbentuk akibat pengangkatan Pegunungan Selatan dan


Pegunungan Kulon Progo pada Kala Plistosen awal (0,01-0,7 juta tahun). Proses
tektonisme diyakini sebagai batas umur Kwarter di wilayah. Setelah pengangkatan
Pegunungan Selatan, terjadi genangan air (danau) di sepanjang kaki pegunungan
hingga Gantiwarno dan Baturetno. Hal ini berkaitan dengan tertutupnya aliran air
permukaan di sepanjang kaki pegunungan sehingga terkumpul dalam cekungan
yang lebih rendah. Gunung Api Merapi muncul pada 42.000 tahun yang lalu,
namun data umur K/Ar lava andesit di Gunung Bibi, Berthomier (1990)
menentukan aktivitas Gunung Merapi telah berlangsung sejak 0,67 juta tahun lalu.
Hipotesisnya adalah tinggian di sebelah selatan, barat daya, barat dan utara
Yogyakarta, telah membentuk genangan sepanjang kaki gunung api yang
berbatasan dengan Pegunungan Selatan Kulon Progo. Pengangkatan Pegunungan
Selatan pada Kala Plistosen Awal, telah membentuk Cekungan Yogyakarta.
Di dalam cekungan tersebut selanjutnya berkembang aktivitas gunung api
(Gunung) Merapi. Didasarkan pada data umur penarikhan 14C pada endapan
sinder yang tersingkap di Cepogo, aktivitas Gunung Merapi telah berlangsung
sejak 42.000 tahun yang lalu; sedangkan data penarikhan K/Ar pada lava di
Gunung Bibi, aktivitas gunung api tersebut telah berlangsung sejak 0,67 jtl.
Tinggian di sebelah selatan dan kemunculan kubah Gunung Merapi di sebelah
utara, telah membentuk sebuah lembah datar. Bagian selatan lembah tersebut
berbatasan dengan Pegunungan Selatan, dan bagian baratnya berbatasan dengan
Pegunungan Kulon Progo. Kini, di lokasi-lokasi yang diduga pernah terbentuk
lembah datar tersebut, tersingkap endapan lempung hitam. Lempung hitam
tersebut adalah batas kontak antara batuan dasar dan endapan gunung api Gunung
Merapi. Didasarkan atas data penarikhan 14C pada endapan lempung hitam di
Sungai Progo (Kasihan), umur lembah adalah 16.590 hingga 470 tahun, dan di
Sungai Opak (Watuadeg) berumur 6.210 tahun. Endapan lempung hitam di
Sungai Opak berselingan dengan endapan Gunung Merapi. Jadi data tersebut
dapat juga diinterpretasikan sebagai awal pengaruh pengendapan material Gunung
Merapi terhadap wilayah ini. Di Sungai Winongo (Kalibayem) tersingkap juga
endapan lempung hitam yang berselingan dengan lahar berumur 310 tahun. Jadi,
aktivitas Gunung Merapi telah mempengaruhi kondisi geologi daerah ini pada
6210 hingga 310 tl.
Fisiografi Pulau Jawa
Secara umum, fisiografi Jawa Tengah bagian selatan-timur yang meliputi
kawasan Gunungapi Merapi, Yogyakarta, Surakarta dan Pegunungan Selatan
dapat dibagi menjadi dua zona, yaitu Zona Solo dan Zona Pegunungan Selatan
(Bemmelen, 1949). Zona Solo merupakan bagian dari Zona Depresi Tengah
(Central Depression Zone) Pulau Jawa. Zona ini ditempati oleh kerucut G. Merapi
( 2.968 m). Kaki selatan-timur gunungapi tersebut merupakan dataran
Yogyakarta-Surakarta ( 100 m sampai 150 m) yang tersusun oleh endapan
aluvium asal G. Merapi. Di sebelah barat Zona Pegunungan Selatan, dataran
Yogyakarta menerus hingga pantai selatan Pulau Jawa, yang melebar dari P.
Parangtritis hingga K. Progo. Aliran sungai utama di bagian barat adalah K. Progo
dan K. Opak, sedangkan di sebelah timur ialah K. Dengkeng yang merupakan
anak sungai Bengawan Solo (Bronto dan Hartono, 2001).
Satuan perbukitan terdapat di selatan Klaten, yaitu Perbukitan Jiwo. Perbukitan ini
mempunyai kelerengan antara 4
0
15
0
dan beda tinggi 125 264 m. Beberapa
puncak tertinggi di Perbukitan Jiwo adalah G. Jabalkat ( 264 m) di Perbukitan
Jiwo bagian barat dan G. Konang (lk. 257 m) di Perbukitan Jiwo bagian timur.
Kedua perbukitan tersebut dipisahkan oleh aliran K. Dengkeng. Perbukitan Jiwo
tersusun oleh batuan Pra-Tersier hingga Tersier (Surono dkk, 1992).
Zona Pegunungan Selatan dibatasi oleh Dataran Yogyakarta-Surakarta di
sebelah barat dan utara, sedangkan di sebelah timur oleh Waduk Gajahmungkur,
Wonogiri dan di sebelah selatan oleh Lautan India. Di sebelah barat, antara
Pegunungan Selatan dan Dataran Yogyakarta dibatasi oleh aliran K. Opak,
sedangkan di bagian utara berupa gawir Baturagung. Bentuk Pegunungan Selatan
ini hampir membujur barat-timur sepanjang lk. 50 km dan ke arah utara-selatan
mempunyai lebar lk. 40 km (Bronto dan Hartono, 2001).
Zona Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi tiga subzona, yaitu
Subzona Baturagung, Subzona Wonosari dan Subzona Gunung Sewu
(Harsolumekso dkk., 1997 dalam Bronto dan Hartono, 2001). Subzona
Baturagung terutama terletak di bagian utara, namun membentang dari barat
(tinggian G. Sudimoro, 507 m, antara Imogiri-Patuk), utara (G. Baturagung,
828 m), hingga ke sebelah timur (G. Gajahmungkur, 737 m). Di bagian timur
ini, Subzona Baturagung membentuk tinggian agak terpisah, yaitu G. Panggung (
706 m) dan G. Gajahmungkur ( 737 m). Subzona Baturagung ini membentuk
relief paling kasar dengan sudut lereng antara 10
0
30
0
dan beda tinggi 200-700
meter serta hampir seluruhnya tersusun oleh batuan asal gunungapi.
Subzona Wonosari merupakan dataran tinggi ( 190 m) yang terletak di bagian
tengah Zona Pegunungan Selatan, yaitu di daerah Wonosari dan sekitarnya.
Dataran ini dibatasi oleh Subzona Baturagung di sebelah barat dan utara,
sedangkan di sebelah selatan dan timur berbatasan dengan Subzona Gunung
Sewu. Aliran sungai utama di daerah ini adalah K. Oyo yang mengalir ke barat
dan menyatu dengan K. Opak (lihat Gambar 2.2). Sebagai endapan permukaan di
daerah ini adalah lempung hitam dan endapan danau purba, sedangkan batuan
dasarnya adalah batugamping.
Subzona Gunung Sewu merupakan perbukitan dengan bentang alam karts,
yaitu bentang alam dengan bukit-bukit batugamping membentuk banyak kerucut
dengan ketinggian beberapa puluh meter. Di antara bukit-bukit ini dijumpai
telaga, luweng (sink holes) dan di bawah permukaan terdapat gua batugamping
serta aliran sungai bawah tanah. Bentang alam karts ini membentang dari pantai
Parangtritis di bagian barat hingga Pacitan di sebelah timur.
Zona Pegunungan Selatan di Jawa Timur pada umumnya merupakan blok
yang terangkat dan miring ke arah selatan. Batas utaranya
ditandai escarpment yang cukup kompleks. Lebar maksimum Pegunungan Selatan
ini 55 km di sebelah selatan Surakarta, sedangkan sebelah selatan Blitar hanya 25
km. Diantara Parangtritis dan Pacitan merupakan tipe karts (kapur) yang disebut
Pegunungan Seribu atau Gunung Sewu, dengan luas kurang lebih 1400
km
2
(Lehmann. 1939). Sedangkan antara Pacitan dan Popoh selain tersusun oleh
batugamping (limestone) juga tersusun oleh batuan hasil aktifitas vulkanis
berkomposisi asam-basa antara lain granit, andesit dan dasit (Van
Bemmelen,1949).

Fisiografi dan Geomorfologi Regional
Menurut Van Bemmelen ( 1949, hal. 596), Pegunungan Kulon dilukiskan
sebagai dome besar dengan bagian puncak datar dan sayap-sayap curam, dikenal
sebagai Oblong Dome. Dome ini mempunyai arah utara timur laut selatan
barat daya, dan diameter pendek 15-20 Km, dengan arah barat laut-timur
tenggara.
Di bagian utara dan timur, komplek pegunungan ini dibatasi oleh lembah
Progo, dibagian selatan dan barat dibatasi oleh dataran pantai Jawa Tengah.
Sedangkan di bagian barat laut pegunungan ini berhubungan dengan deretan
Pegunungan Serayu.
Inti dari dome ini terdiri dari 3 gunung api Andesit tua yang sekarang telah
tererosi cukup dalam, sehingga dibeberapa bagian bekas dapur magmanya telah
tersingkap. Gunung Gajah yang terletak di bagian tengah dome tersebut,
merupakan gunung api tertua yang menghasilkan Andesit hiperstein augit basaltic.
Gunung api yang kemudian terbentuk yaitu gunung api Ijo yang terletak di bagian
selatan. Kegiatan gunung api Ijo ini menghasilkan Andesit piroksen basaltic,
kemudian Andesit augit hornblende, sedang pada tahapterakhir adalh intrusi Dasit
pada bagian inti. Setelah kegiatan gunung Gajah berhenti dan mengalami
denudasi, di bagian utara mulai terbentuk gunung Menoreh, yang merupakan
gunung terakhir pada komplek pegunungan Kulon Progo. Kegiatan gunung
Menoreh mula-mula menghasilkan Andesit augit hornblen, kemudian dihasilkan
Dasit dan yang terakhir yaitu Andesit.
Dome Kulon Progo ini mempunyai puncak yang datar. Bagian puncak
yang datar ini dikenal sebagai Jonggrangan Platoe yang tertutup oleh
batugamping koral dan napal dengan memberikan kenampakan topografi kars.
Topografi ini dijumpai di sekitar desa Jonggrangan, sehingga litologi di daerah
tersebut dikenal sebagai Formasi Jonggrangan.
Pannekoek (1939), vide (Van Bammelen, 1949, hal 601) mengatakan
bahwa sisi utara dari Pegunungan Kulon Progo tersebut telah terpotong oleh
gawir-gawir sehingga di bagian ini banyak yang hancur, yang akhirnya tertimbun
di bawah alluvial Magelang.
Stratigrafi Pegunungan Kulon Progo
Daerah penelitian yang merupakan bagian sebelah timur dari Pegunungan
Serayu Selatan, secara stratigrafis termasuk ke dalam stratigrafis Pegunungan
Kulon Progo. Unit stratigrafis yang paling tua di daerah Pegunungan Kulon Progo
dikenal dengan Formasi nanggula, kemudian secara tidak selaras diatasnya
diendapkan batuan-batuan dari Formasi Jonggaran dan Formasi Sentolo, yang
menurut Van Bemmmelen (1949, hal.598), kedua formasi terakhir ini mempunyai
umur yang sama, keduanya hanya berbeda faises.
Formasi Nanggulan
Formasi Nanggulan merupakan formasi yang paling tua di daerah
pegunungan Kulon Progo. Singkapan batuan batuan penyusun dari Formasi
Naggulan dijumpai di sekitar desa Nanggulan, yang merupakn kaki sebelah
timur dari Pegunungan Kulon Progo.
Penyusun batuan dari formasi ini menurut Wartono Raharjo dkk
(1977) terdiri dari Batupasir dengan sisipan Lignit, Napal pasiran,
Batulempung dengan konkresi Limonit, sisipan Napa dan Batugamping,
Batupasir dan Tuf serta kaya akan fosil foraminifera dan Moluska.
Diperkirakan ketebalan formasi ini adalah 30 meter.
Marks (1957) menyebutkan bahwa berdasarkan beberapa studi yang
dilakukan olh Martin (1915), Douville (1912), Oppernorth & Gerth (1928),
maka formasi Nanggulan ini dibagai menjadi 3 bagian secara strtigrafis dari
bawah ke atas adalah sebagai berikut:
a) Anggota ( Axinea Berds), marupakan bagian yang paling bawah dari
formasi Nanggulan. Ini terdiri dari Batupasir dengan interkalasi Lignit,
kemudian tertutup oleh batupasir yang banyak mengandung
fosil Pelcypoda, dengan Axinea dunkeri Boetgetter yang dominan.
Ketebalan anggota Axinea ini mencapai 40 m.
b) Anggota Djogjakartae (Djokjakarta). Batuan penyususn dari bagian ini
adalah Napal pasiran, Batuan dan Lempung dengan banyak konkresi yang
bersifat gampingan. Anggota Djokjakartae ini kaya akan Foraminifera
besar dan Gastropoda. Fosil yang khas adalah Nummulites djokjakartae
(MARTIN), bagian ini mempunyai ketenalan sekitar 60 m.
Anggota Discocyclina (Discocylina Beds), Batuan penyususn dari
bagian ini adalah Napal pasiran, Batupasir arkose sebagi sisipan yang semakin
ke atas sering dijumpai. Discocyciina omphalus, merupakan fosil penciri dari
bagian ini.Ketebalan dari anggota ini mencapai 200 meter
Berdasarkan pada studi fosil yang diketemukan, Formasi Nanggulan
mempunyai kisaran umur antara Eosen Tengah sampai Oligosen Atas
(Hartono, 1969, vide Wartono Raharjo dkk, 1977).
Formasi Andesit Tua
Batuan penyusun dari formasi ini terdiri atas Breksi andesit, Tuf, Tuf
Tapili, Aglomerat dan sisipan aliran lava andesit. Lava, terutama terdiri dari
Andesit hiperstein dan Andesit augit hornblende (Wartono Raharjo dkk,
1977).
Formasi Andesit Tua ini dengan ketebalan mencapai 500 meter
mempunyai kedudukan yang tidak selaras di atas formasi Nanggulan. Batuan
penyusun formasi ini berasal dari kegiatan vulaknisme di daerah tersebut,
yaitu dari beberapa gunung api tua di daerah Pegunungan Kulon Progo yang
oleh Van Bemmelen (1949) disebut sebagai Gunung Api Andesit Tua.
Gunung api yang dimaksud adalah Gunung Gajah, di bagian tengah
pegunungan, Gunung Ijo di bagian selatan, serta Gunung Menoreh di bagian
utara Pegunungan Kulon Progo.
Aktivitas dari Gunung Gajah di bagian tengah mengahsilkan aliran-
aliran lava dan breksi dari andesit piroksen basaltic. Aktivitas ini kemudian
diikuti Gunung Ijo di bagian selatan Pegunungan Kulon Progo, yang
menghasilkan Andesit piroksen basaltic, kemudian Andesit augit hornblende
dan kegiatan paling akhir adalah intrusi Dasit. Setelah denudasi yang kuat,
sedikit anggota dari Gunung Gajah telah tersingkap, di bagian utara, Gunung
Menoreh ini menghasilkan batuan breksi Andesit augithornblende, yang
disusul oleh intrusi Dasit dan Trakhiandesit.
Purnamaningsih (1974, vide warttono rahardjo, dkk, 1977)
menyebutkan telah menemukan kepingan Tuff napalan yang merupakan
fragmen Breksi. Kepingan Tuff napalan ini merupakan hasil dari rombakan
lapisan yang lebih tua, dijumpai di kaki gunun Mujil. Dari hasil penelitian,
kepingan Tuff itu merupakan fosil Foraminifera plantonik yang dikenal
sebagai Globigerina ciperoensis bolli, Globigerina geguaensis weinzrel; dan
applin serta Globigerina praebulloides blow. Fosil-fosil ini menunjukkan umur
Oligosen atas.
Formasi Andesit Tua secara stratrigrafis berada di bawah Formasi
Sentolo. Harsono Pringgoprawiro (1968, hal.8) dan Darwin Kadar (1975,
hal.2) menyimpulkan bahwa umur Formasi Sentolo berdasarkan penelitian
terhadap Foraminifera plantonik adalah berkisar antara Awal Meiosen sampai
Pliosen. Formasi Nanggulan, yang terletak di bawah Formasi Andesit Tua
mempunyai kisaran umur Eosen Tengah hingga Oligosen Atas (hartono, 1969,
vide Wartono Rahardjo, dkk, 1977). Jika kisaran umur itu dipakai, maka
Formasi Andesit Tua diperkirakan berumur Oligosen Atas sampai Meiosen
Bawah. Menurut Purbaningsih (1974, vide wartono Rahardjo, dkk, 1977)
umur Formasi Tua ini adalah Oligosen.
Formasi Jonggrangan
Litologi dari Formasi Jonggrangan ini tersingkap baik di sekitar desa
Jonggrangan, suatu desa yang ketinggiannya di atas 700 meter dari muka air
laut dan disebut sebagai Plato Jonggrangan.
Bagian bawah dari formasi ini terdiri dari Konglomerat yang
ditumpangi oleh Napal tufan dan Batupasir gampingan dengan sisipan Lignit.
Batuan ini semakin ke atas berubah menjadi Batugamping koral (Wartono
rahardjo, dkk, 1977)
Formasi Jonggrangan ini terletak secara tidak selaras di atas Formasi
Andesit Tua. Ketebalan dari Formasi Jonggrangan ini mencapai sekitar 250
meter (van Bemmelen, 1949, hal.598). koolhoven (vide van Bemmelen,
1949, hal.598) menyebutkan bahwa formasi Jonggrangan dan Formasi
SEntolo keduanya merupakan Formasi Kulon Progo (Westopo Beds) ini
diduga berumur Miosen Tengah.
Formasi Sentolo
Litologi penyusun Formasi Sentolo ini di bagian bawah, terdiri dari
Aglomerat dan Napal, semakin ke atas berubah menjadi Batugamping berlapis
dengan fasies neritik. Batugamping koral dijumpai secara lokal, menunjukkan
umur yang sama dengan formasi Jonggrangan, tetapi di beberapa tempat umur
Formasi Sentolo adalah lebih muda (Harsono Pringgoprawiro, 1968, hal.9).
Berdasarkan penelitian fosil Foraminifera yang dilakukan Darwin
kadar (1975) dijumpai beberapa spesies yang khas, seperti : Globigerina
insueta CUSHMAN & STAINFORTH, dijumpai pada bagian bawah dari
Formasi Sentolo. Fosil-fosil tersebut menurut Darwin Kadar (1975, vide
Wartono Rahardjo, dkk, 1977) mewakili zona N8 (Blow, 1969) atau berumur
Miosen bawah. Menurut Harsono Pringgoprawiro (1968) umur Formasi
Sentolo ini berdasarkan penelitian terhadap fosil Foraminifera Plantonik,
adalh berkisar antara Miosen Awal sampai Pliosen (zona N7 hingga
N21). Formasi Sentolo ini mempunyai ketebalan sekitar 950 meter ( wartono
rahardjo, dkk, 1977).
Dari uraian di atas terlihat stratigrafi daerah Pegunungan Kulon Progo,
baik itu perbedaan hubungan stratigrafis antara formasi, maupun perbedaan
umur dari masing-masing formasi. Ini disebabkan oleh adanya perbedaan data
fosil yang digunakan untuk penentuan umur, karena sebagian ahli
mempergunakan fosil Moluska dan Foraminifera besar sebagai dasar
penelitian, sedangkan ahli lain mempergunakan Foraminifera kecil plantonik
sebagai penelitian. Tidak lengkapnya data merupakan penyebab utama
adanya perbedaan tersebut. Untuk lebih jelasnya perbedaan tentang susunan
stratigrafi di daerah pegunungan Kulon Progo tersebut.

GEOMORFOLOGI REGIONAL
Dilihat dari satuan fisiografis dan geologis Daerah Istimewa Yogyakarta,
secara keseluruhan mempunyai kondisi geomorfologi yang beraneka ragam,
antara lain :
1. Satuan Gunung Merapi
Satuan Gunung Api Merapi yang terbentang mulai dari kerucut
gunung api hingga dataran fluvial gunung api yang meliputi daerah Kabupaten
Sleman, Kota Yogyakarta dan sebagian Kabupaten Bantul termasuk bentang
lahan vulkanik. Daerah kerucut dan lereng gunung api merupakan daerah
hutan lindung dan sebagai kawasan resapan air daerah bawahan.
2. Satuan Pegunungan Selatan
Satuan Pegunungan Selatan yang terletak di Kabupaten Gunungkidul,
atau dikenal sebagai Pegunungan Seribu merupakan wilayah perbukitan batu
gamping (limestone) yang kritis, tandus dan selalu kekurangan air dengan
bagian tengah terdapat dataran (Wonosari Basin).
Di sisi utaranya, perbukitan kerucut Gunung Sewu berbatasan dengan
dua buah ledok (basins), yaitu Ledok Wonosari di bagian barat dan Ledok
Baturetno di bagian timur. Batas utara dari punggungan tersebut berupa tebing
curam (steep escarpment), memanjang mulai daerah Parangtritis ke utara, di
selatan Prambanan berbelok ke arah timur hingga Wonogiri. Di sebelah
utaranya membentang dataran rendah, di mana lipatan batuan yang lebih tua
turun cukup dalam, tertutup oleh kipas-kipas fluvio-volkanik muda dari
beberapa gunung api
3. Satuan Pegunungan Kulon Progo
Satuan Pegunungan Kulon Progo, yang terletak di Kabupaten Kulon
Progo bagian utara merupakan bentang lahan struktural denudasional dengan
topografi berbukit yang mempunyai kendala lereng yang curam dan potensi
air tanahnya kecil.
Stratigrafis yang paling tua di daerah Pegunungan Kulon Progo
dikenal dengan Formasi nanggulan, kemudian secara tidak selaras diatasnya
diendapkan batuan-batuan dari Formasi Jonggaran dan Formasi Sentolo.
Penyusun batuan dari formasi Nanggulan menurut Wartono Raharjo (1977)
terdiri dari Batupasir dengan sisipan Lignit, Napal pasiran, Batulempung
dengan konkresi Limonit, sisipan Napal dan Batugamping, Batupasir dan Tuf
serta kaya akan fosil foraminifera dan Moluska. Litologi dari Formasi
Jonggrangan ini bagian bawah dari formasi ini terdiri dari Konglomerat yang
ditumpangi oleh Napal tufan dan Batupasir gampingan dengan sisipan Lignit.
Batuan ini semakin ke atas berubah menjadi Batugamping koral (Wartono
rahardjo, dkk, 1977). Litologi penyusun Formasi Sentolo ini di bagian bawah,
terdiri dari Aglomerat dan Napal, semakin ke atas berubah menjadi
Batugamping berlapis dengan fasies neritik.
4. Satuan Dataran Rendah
Satuan Dataran Rendah merupakan bentang lahan fluvial yang
didominasi oleh dataran aluvial, membentang di bagian selatan Daerah
Istimewa Yogyakarta mulai dari Kabupaten Kulon Progo sampai dengan
Kabupaten Bantul yang berbatasan dengan Pegunungan Seribu. Bentang
Lahan lainnya yang belum didayagunakan secara optimal adalah bentang
lahan marin dan eolin yang merupakan satuan wilayah pantai, yang terbentang
dari Kulon Progo sampai Bantul. Khusus di Parangtritis Bantul yang terkenal
dengan gumuk pasir menjadi laboratorium alam studi geografi.
Secara terperinci keadaan geomorfologi dan bentang lahan dari Daerah
Istimewa Yogyakarta Parangtritis antara lain:
a) Yogyakarta (Terban Bantul)
Dataran alluvial disebelah selatan Kota Yogyakarta berasal dari
kegiatan vulkanis muda (akhir plestosen/awal holosen) dari gunung api
merapi. Dari Yogyakarta hingga Parangtritis, struktur geologisnya
merupakan struktur terban (graben structure) yang berkaitan dengan
pengangkatan dan amblesan pada pleistosen tengah. Struktur terban ini
juga sering disebut Terban Bantul (Bantul Graben). Daerah ini mengalami
pengendapan bahan vulkanis dari gunung merapi melalui lahar atau
pengendapan sungai biasa (reworked and redeposited volcanic materials).
Bahan alluvial ini dengan jelas menutupi suatu topografi bekas, seolah
olah daerah ini terendam oleh sedimen alluivial.
b) Krinjing
Tanah desa krinjing terletak pada jalur Siluk Parangtritis.
Singkapan batuan akibat proses erosi dan aktivitas penduduk dalam
pembuatan teras teras penorehan oleh penduduk, batuan aliran lava
dengan isian fragmen batuan breksi andesitis, tanah latosol litosol.
Pada lokasi ini dapat dilihat batuan vulkanik yang berasal dari
suatu jalur gunung api dengan umur akhir Oligosen/ awal Miosen. Pada
daerah ini merupakan daerah dengan perwujudan dataran vulkanik yang
merupakan singkapan dari aliran lava yang sudah lapuk (chemically
weathered).
c) Putat (Tempuran Kali Opak dengan Kali Oyo)
Pada daerah ini memiliki satuan geomorfologis berupa bentukan
lahan asal fluvial. Daerah Putat berada disebelah selatan Sungai Opak dan
Sungai Oyo dan sebelah timur Sungai Opak hilir yang mempunyai
bentukan lahan seperti tanggul alam Sungai Opak, lereng fluvial serta
gosong pantai.
d) Parangtritis
a. Grogol
Di Grogol selatan terdapat aliran lava andesit dan pembentukan
gumuk pasir (sand dune). Disebelah utara Parangtritis, beberapa aliran
lava tersingkap di pinggir jalan. Lava ini belum diubah oleh pelapukan
dan dapat digolongkan sebagai andesit sampai basalt. Lava ini
termasuk dalam kegiatan vulkanik pertama di Jawa, yakni akhir
Oligosen / awal Miosen. Ciri khas batuan ekstrusif dibandingkan
dengan batuan yang intrusif adalah keseragaman ukuran kristalnya.
b. Pantai Parangtritis
Daerah Parangtritis, dekat muara Kali Opak, dapat dijumpai
banyak gumuk pasir (sand dunes), yang biasanya tidak terdapat pada
suatu iklim yang tropis dan humid. Gumuk gumuk pasir ini terjadi
dari pasir hitam yang terbawa ke laut oleh Kali Progo dan Kali Opak
dari material vulkanik hasil letusan Gunung Api Merapi.
Terbentuknya gumuk pasir di pantai selatan tersebut merupakan
hasil proses yang dipengaruhi oleh angin, Gunung Merapi, Graben
Bantul, serta Sungai Opak dan Progo. Pengaruh dari Gunung Merapi.
Material yang ada pada gumuk pasir di pantai selatan Jawa berasal dari
Gunung Api Merapi dan gunung gunung api aktif lain yang ada di
sekitarnya. Akibat proses erosi dan gerak massa bautan, material
kemudian terbawa oleh aliran sungai, misalnya pada Kali Krasak, Kali
Gendol, dan Kali Suci. Aliran sungai kemudian mengalirkan material
tersebut hingga ke pantai selatan. Kekuatan angin sangat berpengaruh
terhadap pembentukan gumuk pasir, karena kekuatan angin
menentukan kemampuannya untuk membawa material yang berupa
pasir baik melalui menggelinding (rolling), merayap, melompat,
maupun terbang. Karena adanya material pasir dalam jumlah banyak
serta kekuatan angin yang besar, maka pasir akan membentuk berbagai
tipe gumuk pasir, baik free dunes maupun impended dunes, biasanya
pada daerah Parangtritis ini memiliki tipe gumuk pasir Barchan (Sabit)
yaitu Gumuk pasir ini bentuknya menyerupai bulan sabit dan terbentuk
pada daerah yang tidak memiliki barrier. Ketinggian gumuk pasir
barchan umumnya antara 5 15 meter. Gumuk pasir ini merupakan
perkembangan, karena proses eolin tersebut terhalangi oleh adanya
beberapa tumbuhan, sehingga terbentuk gumuk pasir seperti ini dan
daerah yang menghadap angin lebih landai dibandingkan dengan
kemiringan lereng daerah yang membelakangi angin. Pada pantai
selatan jawa, angin bertiup dari arah tenggara, hal ini menyebabkan
sungai-sungai pada pantai selatan membelok ke arah kiri jika dilihat
dari Samudra Hindia. Selain itu, karena arah tiupan angin tersebut,
maka gumuk pasir yang terbentuk menghadap ke arah datangnya
angin.
c. Parangkusuma
Batuan lava yang diuraikan tersingkap juga didekat pantai
Parangkusuma. Batuan lava ini muncul dibelakang gumuk pasir resen.
Daerah yang relative datar ini kelihatan masih didasari oleh batuan
lava yang hamper mendekati pantai sekarang. Morfologi datar ini
berasal dari abrasi laut sebagai pelataran abrasi (marine abrasion
platform). Pelataran tersebut masih ada tetapi tetutup oleh gumuk
pasir alluvium.
5. Gunung Sewu Gunung Kidul (Topografi Karst)
Geomorfologi Daerah Gunung Sewu, berdasarkan morfogenetik dan
morfometriknya dapat dikelompokkan menjadi tiga satuan, yaitu Satuan
Geomorfologi Dataran Karst, Satuan Geomorfologi Perbukitan Kerucut Karst,
dan Satuan Geomorfologi Teras Pantai. Secara umum karstifikasi di daerah ini
sudah mencapai tahapan dewasa. Sebagai akibat proses pengangkatan,
kawasan batugamping yang berkembang di bagian paling selatan dari
Pegunungan Selatan, khususnya di wilayah Gunungkidul, Wonogiri, dan
Pacitan, berkembang menjadi topografi karst dengan sistem drainase bawah
tanahnya (subterranean drainage). Sementara itu, kenampakan platonya pun
pada akhirnya berubah menjadi bukit-bukit kecil berbentuk kerucut (conical
hillocks) yang dikenal dengan Gunung Sewu. Di sisi selatannya, hantaman
gelombang Samudera Hindia terus-menerus membentuk lereng-lereng terjal
(cliff).

Anda mungkin juga menyukai