Anda di halaman 1dari 11

Analisis Peta Rawan Bencana Alam Gerakan Tanah di Kecamatan

Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat

1. Keterangan Lokasi
Kabupaten Bandung Barat merupakan salah satu wilayah di Jawa Barat
yang terdiri dari 15 Kecamatan, yaitu Padalarang, Cikalongwetan, Cililin,
Parongpong, Cipatat, Cisarua, Batujajar, Ngamprah, Gununghalu, Cipongkor,
Cipeundeuy, Lembang, Sindangkerta, Cihampelas dan Rongga.

Gambar 1.1 Peta wilayah Kabupaten Bandung Barat


Kabupaten Bandung Barat jika dilihat dari kondisi fisik geografis posisi
wilayah dinilai kurang menguntungkan, hal ini dikarenakan terdiri dari
banyak cekungan yang berbukit-bukit dan di daerah-daerah tertentu sangat
rawan dengan bencana alam. Maka, tidak heran jika bencana alam seperti
gerakan tanah kerap terjadi di wilayah tersebut. Dari 27 kabupaten dan kota di
Jawa Barat, beberapa daerah tercatat sebagai daerah rawan gerakan tanah.
Menurut survei PVMBG, daerah yang sangat rawan ialah Kabupaten
Bandung Barat, Kabupaten Garut, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten
Cianjur, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi.
Kepala Badan Geologi Ego Syahrial mengatakan, gerakan tanah mudah
terjadi karena morfologi tanah yang berkontur serta gembur sehingga sensitif
terhadap air. Kondisi tersebut diperparah dengan terus berkurangnya daerah
serapan air, khususnya di dataran-dataran tinggi.
Salah satu wilayah di Kabupaten Bandung Barat yang pernah
mengalami gerakan tanah adalah Kecamatan Ngamprah yang merupakan
ibukota dari Kabupaten tersebut.
Kecamatan Ngamprah berasal dari nama salah satu desa yang ada di
Kecamatan Ngamprah, yaitu Desa Ngamprah bahkan Kantor Kecamatan
Ngamprah yang dipakai sekarang adalah bekas kantor Desa Ngamprah. Nama
Ngamprah secara etimologis berasal dari Amprah yang berarti punya
keinginan kemudian diberi awalan “Ng”, menjadi Ngamprah yang berarti
punya keinginan untuk maju dan mensejajarkan diri bahkan ingin lebih maju
dari Kecamatan lain yang ada di Kabupaten Bandung Barat.
Kecamatan Ngamprah berdiri sejak tahun 1976 dan sekarang memiliki
kelurahan/desa sebanyak 11 wilayah, yaitu :
1. Bojongkoneng
2. Cilame
3. Cimanggu
4. Cimareme
5. Gadobangkong
6. Margajaya
7. Mekarsari
8. Ngamprah
9. Pakuhaji
10. Sukatani
11. Tanimulya
2. Gerakan Tanah
Gerakan tanah adalah suatu proses perpindahan massa, tanah/batuan
dengan arah tegak, mendatar atau miring dari kedudukan semula dikarenakan
pengaruh gravitasi, arus air dan beban luar. Gerakan tanah dapat juga disebut
sebagai longsoran. Gerakan tanah akan terjadi pada suatu lereng, jika ada
keadaan ketidakseimbangan yang menyebabkan terjadinya suatu proses
mekanis, mengakibatkan sebagian dari lereng tersebut bergerak mengikuti
gaya gravitasi, dan selanjutnya setelah terjadi longsor, lereng akan seimbang
atau stabil kembali.

Gambar 2.1 Contoh Bencana Alam Gerakan Tanah

Menurut Kantor Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi


(PVMBG), gerakan tanah ini merupakan bencana yang benar-benar paling
membunuh. Gerakan tanah ini terus terjadi dari 2005 sampai 2015, lebih dari
3011 orang meninggal dunia karena gerakan tanah di seluruh Indonesia, dan
40% korban di Jawa Barat.
3. Analisis Mengenai Gerakan Tanah

Tabel 3.1 Wilayah Potensi Gerakan Tanah di Kabupaten Bandung Barat

Berikut adalah penjelasan mengenai terjadinya gerakan tanah di


Kecamatan Ngamprah :
a) Morfologi
Morfologi daerah yang terdiri dari pegunungan dan perbukitan,
kemudian pertumbuhan penduduk yang tinggi, kepentingan lahan yang
tinggi pula, serta perubahan dalam tata guna lahan, merupakan beberapa
penyebab gerakan tanah. Saat memasuki musim hujan, banyak daerah di
Jawa Barat yang rentan mengalami fenomena pergerakan tanah. Terlebih
daerah pemukiman yang berada di daerah kemiringan lereng dan
perbukitan, salah satunya adalah Kecamatan Ngamprah.
b) Berdasarkan Peta Prakiraan Wilayah Potensi Terjadi Gerakan Tanah di
Provinsi Jawa Barat bulan April 2016 (Badan Geologi, Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi), Kecamatan Ngamprah
termasuk zona potensi terjadi gerakan tanah menengah-tinggi artinya
pada bulan april di Kecamatan Ngamprah berpotensi menengah sampai
tinggi untuk terjadi gerakan tanah. Sedangkan berdasarkan peta zona
kerentanan gerakan tanah Kabupaten Bandung Barat, lokasi Kecamatan
Ngamprah merupakan wilayah yang terletak pada zona kerentanan
gerakan tanah menengah artinya daerah tersebut dapat terjadi gerakan
tanah jika curah hujan di atas normal, terutama pada daerah yang
berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing jalan atau jika lereng
mengalami gangguan.

Salah satu contoh terjadinya bencana alam gerakan tanah di Kecamatan


Ngamprah ialah pada tanggal 10 April 2016 pada pukul 02.50 WIB. di Jalan
Tol Cipularang KM 118, Desa Sukatani, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten
Bandung Barat. Lokasi gerakan tanah terletak pada koordinat 107° 29' 37.11"
BT dan 6° 49' 57.57"LS. Jenis gerakan tanah berupa longsoran, panjang
mahkota longsoran 10 meter, tinggi tebing yang longsor 5 m, panjang
landasan mencapai 6 meter dengan arah longsoran utama N 230° E.
Gambar 3.1 Peta Lokasi Gerakan Tanah di Tol Cipularang KM 118
Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat

Hasil penelitian geologi dan geofísika tematik serta evaluasi terhadap


faktor eksternal memperlihatkan kondisi fisik batuan dan tanah merupakan
faktor penyebab terjadinya gerakan tanah tipe runtuhan atau terbanan di
lokasi ini.
1) Dampak yang ditimbulkan, yaitu :
a. Sebagian jalur tol Cipularang KM 118 arah Bandung tertimbun
material longsor.
b. Seluruh arus lalu lintas dari Jakarta menuju kota Bandung sempat
dialihkan melalui kilometer 84 Jatiluhur.
c. Jika bencana alam gerakan tanah ini terjadi di wilayah pemukiman
warga maka akan mengakibatkan rumah-rumah retak atau rusak
sehingga membuat warga harus mengungsi.

Gambar 3.2 Lokasi saat terjadi gerakan tanah di tol cipularang KM


118 yang menimbulkan longsor.
2) Kondisi daerah bencana :
a. Morfologi, secara umum topografi di sekitar lokasi gerakan tanah
berupa bukit dengan ketinggian lebih dari 768 meter diatas permukaan
laut. Tebing yang mengalami gerakan tanah sehingga membuat
longsor merupakan tebing jalan tol dengan kelerengan 28o.
b. Geologi dan Keairan, berdasarkan pengamatan lapangan daerah
bencana tersusun oleh batuan gunung api tua yang terdiri dari breksi,
dengan ketebalan tanah pelapukan mencapai 5 meter. Sedangkan
menurut Peta Geologi Lembar Cianjur (Sudjatmiko, 2003) daerah
bencana tersusun atas breksi, lahar, lava.
c. Tata Guna Lahan dan Keairan, Tata guna lahan daerah bencana
adalah pada bagian atas adalah persawahan lahan basah sedangkan
pada bagian bawah adalah Jalan Tol Cipularang. Kedalaman muka air
tanah berkisar 6 meter. Namun pada lokasi ini terdapat saluran
pengairan/irigasi untuk persawahan yang ada pada lokasi tersebut.

3) Faktor penyebab terjadinya gerakan tanah, yaitu :


a. Tata guna lahan pada bagian atas tebing jalan tol berupa persawahan
lahan basah.
b. Tanah pelapukan yang tebal sekitar 4 meter dan batuan penyusun yang
bersifat sarang dan mudah meloloskan air.
c. Curah hujan yang tinggi dan lama pada saat dan sebelum terjadi
bencana gerakan tanah.
d. Kemiringan lereng yang terjal, menyebabkan material mudah
bergerak.
e. Sistem drainase yang kurang baik.
f. Melimpahnya air dari saluran irigasi sehingga lahan menjadi jenuh air.

4) Mekanisme terjadinya bencana gerakan tanah di daerah ini, yaitu :


Curah hujan yang tinggi meresap pada area sawah disamping itu
melimpah air dari saluran irigasi ke area persawahan. Tanah
timbunan/pelapukan tersebut bersifat sarang sehingga air mudah masuk
dan tanah menjadi mudah jenuh air. Keadaan tersebut mengakibatkan
bobot masa tanah dan kejenuhan tanah meningkat. Tanah pelapukan yang
tebal terletak diatas breksi andesit, lava dan andesit menjadikannya
sebagai bidang gelincir. Dengan adanya bobot massa tanah yang tinggi,
kemiringan tebing yang terjal (28o) dan melimpahnya air sehingga
mendorong tiang penahan lereng dan terjadilah gerakan tanah.
4. Pengelolaan Bencana
Menurut UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,
Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang
meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya
bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
A. Tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi pasif antara lain
adalah:
1. Penyusunan peraturan perundang-undangan
2. Pembuatan peta rawan bencana dan pemetaan masalah
3. Pembuatan pedoman/standar/prosedur
4. Pembuatan brosur/leaflet/poster
5. Penelitian / pengkajian karakteristik bencana
6. Pengkajian / analisis risiko bencana
7. Internalisasi PB dalam muatan lokal pendidikan
8. Pembentukan organisasi atau satuan gugus tugas bencana
9. Perkuatan unit-unit sosial dalam masyarakat, seperti forum
10. Pengarus-utamaan PB dalam perencanaan pembangunan.
Sedangkan tindakan pencegahan yang tergolong dalam mitigasi aktif
antara lain:
1. Pembuatan dan penempatan tanda-tanda peringatan, bahaya, larangan
memasuki daerah rawan bencana dsb.
2. Pengawasan terhadap pelaksanaan berbagai peraturan tentang penataan
ruang, ijin mendirikan bangunan (IMB), dan peraturan lain yang berkaitan
dengan pencegahan bencana
3. Pelatihan dasar kebencanaan bagi aparat dan masyarakat
4. Pemindahan penduduk dari daerah yang rawan bencana ke daerah yang
lebih aman.
5. Penyuluhan dan peningkatan kewaspadaan masyarakat. Pedoman
Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana 17
6. Perencanaan daerah penampungan sementara dan jalur-jalur evakuasi
jika terjadi bencana.
7. Pembuatan bangunan struktur yang berfungsi untuk mencegah,
mengamankan dan mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh bencana,
seperti: tanggul, dam, penahan erosi pantai, bangunan tahan gempa dan
sejenisnya.
Adakalanya kegiatan mitigasi ini digolongkan menjadi mitigasi yang
bersifat non-struktural (berupa peraturan, penyuluhan, pendidikan) dan yang
bersifat struktural (berupa bangunan dan prasarana).

B. Kesiapsiagaan Kesiapsiagaan dilaksanakan untuk mengantisipasi


kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa,
kerugian harta benda dan berubahnya tata kehidupan masyarakat. Upaya
kesiapsiagaan dilakukan pada saat bencana mulai teridentifikasi akan terjadi,
kegiatan yang dilakukan antara lain:
1. Pengaktifan pos-pos siaga bencana dengan segenap unsur pendukungnya.
2. Pelatihan siaga / simulasi / gladi / teknis bagi setiap sektor Penanggulangan
bencana (SAR, sosial, kesehatan, prasarana dan pekerjaan umum).
3. Inventarisasi sumber daya pendukung kedaruratan
4. Penyiapan dukungan dan mobilisasi sumberdaya/logistik.
5. Penyiapan sistem informasi dan komunikasi yang cepat dan terpadu guna
mendukung tugas kebencanaan.
6. Penyiapan dan pemasangan instrumen sistem peringatan dini (early
warning)
7. Penyusunan rencana kontinjensi (contingency plan)
8. Mobilisasi sumber daya (personil dan prasarana/sarana peralatan)

C. Tanggap Darurat Tahap Tanggap Darurat merupakan tahap penindakan


atau pengerahan pertolongan untuk membantu masyarakat yang tertimpa
bencana, guna menghindari bertambahnya korban jiwa. Penyelenggaraan
penanggulangan bencana pada saat tanggap darurat meliputi:
1. pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi, kerusakan, kerugian, dan
sumber daya;
2. penentuan status keadaan darurat bencana; 18 Pedoman Penyusunan
Rencana Penanggulangan Bencana
3. penyelamatan dan evakuasi masyarakat terkena bencana;
4. pemenuhan kebutuhan dasar;
5. perlindungan terhadap kelompok rentan; dan 6. pemulihan dengan segera
prasarana dan sarana vital.

Anda mungkin juga menyukai