Anda di halaman 1dari 22

Pengetahuan Kebencanaan

LONGSOR, TSUNAMI, GUNUNG API,CLIMATE CHANGE

(Migitasi Struktural dan non Struktural


Review Bencana di dalam negeri dan luar negeri)

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan


Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh
Gelar Magister Kebencanaan

Oleh

Rizcha Tasliya
2009200140011

JURUSAN ILMU KEBENCANAAN


FAKULTAS MAGISTER ILMU KEBENCANAAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2021
1.1 Tanah Longsor
1.1.1 Penyebab bencana longsor
Tanah longsor terjadi akibat adanya gerakan tanah mengakibatkan komposisi,
struktur, hidrologi dan vegetasi berubah secara mendadak ataupun bertahap ( E.yulaweti
2008). Gravitasi menjadi pemicu tanah longsor yang didukung dengan intesitas hujan,
ketabalan lapisan lempung, gempa bumi, kelerangan dan hilangnya vegetasi di lereng. Tanah
longsor ada 8 fase terjadinya longsor sebagai berikut ini (Sunarto,2006 dalam Triton PB,
2009:166):
a. Fase 1 proses pelapukan dan pembutukan tanah yang dipengaruhi banyak factor,
yaotu
 Iklim
 Batuan induk
 Topografi
 Organisme
 Waktu
 Manusia
b. Fase 2 proses dari lanjutan fase 1 dan masih memiliki batuan yang belum mengalami
pelapukan secara utuh
c. Fase 3 proses tanah menjadi lunak karena angka pori yang kecil sehingga membentuk
lapisan akifer
d. Fase 4 proses tanah mengalami pelapukan sempurna sehingga ketebalannya melebihi
akar vegetasi dan pemukiman mulai dibangun di pinggir lereng,
e. Fase 5 proses tanah tidak bisa menempel pada lapisan bawah sehingga timbulnya
retakan yang siap longsor.
f. Fase 6 proses tanah mulai longsor yang membawa material berasal dari lereng.
g. Fase 7 proses tanah longsor.
h. Fase 8 proses tanah longsor berhenti atau berjalan masuk ke lembah sungai menjadi
banjir bandang.
Prabencana
a) Mengurangi tingkat keterjalan lereng permukaan maupun air tanah. (Perhatikan fungsi
drainase adalah untuk menjauhkan air dari lereng, menghindari air meresap ke dalam
lereng atau menguras air ke dalam lereng ke luar lereng. Jadi drainase harus dijaga
agar jangan sampai tersumbat atau meresapkan air ke dalam tanah).
b) Penghijauan dengan tanaman yang sistem perakarannya dalam dan jarak tanam yang
tepat (khusus untuk lereng curam, dengan kemiringan lebih dari 40 derajat atau
sekitar 80% sebaiknya tanaman tidak terlalu rapat serta diseling-selingi dengan
tanaman yang lebih pendek dan ringan, di bagian dasar ditanam rumput).
c) erasering dengan sistem drainase yang tepat (drainase pada teras - teras dijaga jangan
sampai menjadi jalan meresapkan air ke dalam tanah).
d) Pembuatan bangunan penahan, jangkar (anchor) dan pilling. Mendirikan bangunan
dengan fondasi yang kuat.
e) Melakukan pemadatan tanah di sekitar perumahan.
f) Pengenalan daerah rawan longsor.
g) Pembuatan tanggul penahan untuk runtuhan batuan (rock fall).
h) Tidak mendirikan bangunan permanen di daerah tebing dan tanah yang tidak stabil
(tanah gerak).
i) Membuat selokan yang kuat untuk mengalirkan air hujan.
j) Waspada ketika curah hujan tinggi.
k) Jangan menggunduli hutan dan menebang pohon sembarangan.
Saat Bencana
a) Segera evakuasi untuk menjauhi suara gemuruh atau arah datangnya longsoran.
Hindari wilayah longsor karena kondisi tanah yang labil. Apabila hujan turun setelah
longsor terjadi, antisipasi longsor susulan.
b) Apabila mendengar suara sirine peringatan longsor, segera evakuasi ke arah zona
evakuasi yang telah ditentukan. (Beberapa wilayah di Indonesia telah terpasang
Sistem Peringatan Dini Longsor).
Pascabencana
a) Hindari wilayah longsor karena kondisi tanah yang labil.
b) Apabila hujan turun setelah longsor terjadi, antisipasi longsor susulan
1.1.2 Migitasi non struktural
Solusi non struktural mencakup solusi sosial, seperti kesiapsiagaan tanggap darurat,
peringatan dini sistem, dan pemetaan mitigasi bencana (Zakiah Hidayati and Mafazah
Noviana,2018)
a) Pemahaman tentang sistem peringatan dini alam. Sistem peringatan dini alam dapat
diidentifikasi sebagai berikut : Retakan tanah di lereng, tonjolan yang tidak biasa di
tanah / jalan, curah hujan tinggi (dikendalikan oleh hujan pengukuran), rembesan atau
tanah jenuh di daerah yang biasanya tidak basah, bentuk pohon terbentuk, permukaan
air menaikkan, dll.
b) Strategi Mitigasi Bencana. menggunakan pengetahuan, praktik atau kesepakatan
untuk mengurangi risiko dan dampak, khususnya melalui kebijakan dan hukum,
kesadaran publik, pelatihan dan pendidikan.

1.1.3 Bencana Longsor di Desa Sambungrejo Kecamatan Grabag Kabupaten Magelang


Salah satu yang terkena dampak terparah berada di Desa Sambungrejo, Kecamatan
Grabag, Kabupaten Magelang yang menelan 13 korban jiwa dan puluhan rumah rusak pada
29 April 2017. dengan kondisi geografis berupa dataran tinggi, persawahan, perkebunan dan
disertai dengan perbukitan. Longsor diawali dengan adanya retakan yang terbuka sekitar 40
cm dengan panjang retakan 20 m, bersamaan dengan intensitas hujan yang sangat lebat
mengakibatkan tanah longsor dipuncak bukit sehingga membendung debit air yang mengalir
pada Sungai Ndaru dibawahnya, tidak lama bendungan air yang rusak dan membawa material
di sekitar bukit tumbang lalu menerjang permukiman warga dibawahnya yaitu Desa
Sambungrejo dan Desa Citrosono yang merenggut 13 korban jiwa dan 50 rumah rata dengan
tanah.

Penanganan Bencana
Dalam penanganan bencana tanah longsor di Desa Sambungrejo, Kecamatan Grabag,
Kabupaten Magelang diawali dengan pemulihan tanah. Menurut BPBD Kabupaten Magelang
dan Dinas PUPR pemulihan tanah longsor dilakukan berdasarkan:
1. Penguatan tanah atau jalan dengan menggunakan talud (diding penahan tanah)
2. Reboisasi berdasarkan klasifikasi tanah yang cocok dengan vegetasi.
3. Metode penggantian tanah yang baik juga harus diperhatikan.
4. Rumah harus dibangun berdasarkan rekomendasi dari Dinas PUPR (Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat).
5. Prinsip Back Better and Safer merupakan prinsip dalam penanganan pasca
bencana contohnya ketika rumah warga terdampak longsor sehingga rusak, dan
tidak dapat ditinggali kembali maka secara regulasi harus dipindah, agar dapat
dilakukan relokasi serta dibangunkan oleh pemerintah rumah yang lebih baik dan
lebih aman. Rumah tersebut akan dipindahkan di tempat yang tidak berpotensi
longsor dan harus sesuai dengan tata ruang maupun kajian biologi serta dibangun
dengan kontruksi yang kuat.
6. Pemasangan terpal sepanjang 20 meter di daerah retakan tanah.

Bukit yang terkena longsor masih gundul sehingga Dinas Lingkungan Hidup dan
BPBD Kabupaten Magelang dan Kehutanan menyarankan yntuk menanam rumput vertiver.
Rumput vetiver memiliki karakteristik fisik dengan tinggi diantara 1,5-2,5 meter,
perakarannya dalam dan massif, hingga dapat menembus lapisan dalam tanah maksimal 15
cm. Apabila ditanam di lereng-lereng keras dan memiliki banyak bebatuan, pada ujungujung
akar rumput vetiver akan masuk menembus dan membentuk semacam jangkar yang kuat
(Susilawati, 2016).

1.1.4 Longsor India


Kecamatan Nilgiris terletak India bagian selatan di Ghats Barat rentan terhadap
bahaya Longsor. Korban dan kerusakan akibat longsor di Perbukitan Nilgiri sebanyak 1.150
kasus longsor / tanah longsor dilaporkan dalam waktu lima hari dari tanggal 10 sampai 15
November 2009, dan merenggut sekitar 80 nyawa manusia, dan melaporkan 3785 pondok
rusak, jalan serta jalur kereta api. Sebagian besar bagian batuan di Kecamatan Niglgiris
mengalami pelapukan dalam dan ketebalan tanah mencapai 40 m (GP Ganapathy dan CL
Hada,2012:1) .
Secara geomorfologis perbukitan Nilgiri memiliki ketinggian 137mdpl. Umumnya,
bulan Oktober hingga Desember adalah musim tanah longsor di Nilgiris. Sebagian besar
longsor ini dipicu oleh curah hujan yang tinggi di kabupaten tersebut. Pada bulan November
1891, hujan lebat menyebabkan banyak tanah longsor di Coonoor ghat, dan mengakibatkan
kerusakan parah pada jalan Kotagiri - Metuppalayam. Pada tahun 2009 sendiri dilaporkan
ada 1.150 longsor / longsor dilaporkan di Nilgiris dari kejadian longsor tersebut sekitar 98%
merupakan longsoran ringan. Pemerintah india mengatasi permasalahan lonngsor dengan
cara:
a. Membuat kerangka kerja yang tepat untuk pengelolaan bahaya longsor
b. Membuat Peta Zonasi Bahaya Longsor di India yang disajikan dalam Atlas Longsoran
2003 didasarkan pada studi literatur yang sistematis, informasi yang tersedia tentang
intensitas dan distribusi spasial tanah longsor, persiapan dan pengolahan peta tematik
dalam skala kecil 1: 6.000.000.
c. Survei Geologi India, bekerja sama dengan cabang Geologi Negara Bagian,
Pemerintah Tamil Nadu meluncurkan penyelidikan geologi rinci dari tanah longsor
pada Agustus 1979.
d. Para ahli geologi juga telah mampu untuk pertama kalinya di negara tersebut
membuat peta zonasi kerentanan longsor dalam skala regional.
e. mengidentifikasi parameter potensial longsor untuk pemantauan, mitigasi dan
peringatan dini.
f. Memerbaiki kualitas infastruktur.
g. Penggunaan Rekayasa Bio Tanah untuk Stabilisasi Lereng
Bioteknologi tanah adalah penggunaan bahan tanaman, hidup atau mati, untuk
mengatasi masalah lingkungan seperti tanah longsor yang dangkal dan mengikis
lereng dan tepi sungai. Efektivitas struktur vegetatif secara umum terbatas pada 0,5
hingga 1,0 meter. Untuk kegagalan yang mendalam, struktur bioteknologi
melindungi permukaan tanah. Bioteknologi tanah dapat memberikan cara yang efektif
untuk merawat situs di mana lereng curam dan ketidakstabilan tanah mengakibatkan
masalah reveget.
Enam fungsi utama rekayasa struktur bioteknologi adalah: Menangkap
(Menahan /menghentikan partikel tanah yang jatuh di atas permukaan), Armor
(melindungi permukaan lereng dari percikan hujan dan erosi), Mendukung (menopang
massa tanah dari bawah), Anchor (Anchoring partikel lepas ke tanah yang kokoh),
Perkuat (perkuat tanah dengan meningkatkan kekuatan gesernya) dan Tiriskan
(tingkatkan kapasitas drainase masyarakat miskin) mengeringkan tanah).
Sistem bioteknologi tanah pada awalnya kuat dan tumbuh lebih kuat saat
vegetasi sudah mapan. Bahkan jika tanaman mati, akar dan serasah organik
permukaan terus memainkan peran penting selama pertumbuhan kembali. Setelah
tanaman tumbuh subur, sistem akar memperkuat lapisan tanah dan menghilangkan
kelembapan berlebih dari profil tanah. Ini seringkali merupakan kunci stabilitas tanah
jangka panjang. Rekayasa hayati tanah memberikan nilai lanskap dan habitat yang
lebih baik. Sistem Rekayasa Bio Tanah bekerja dengan memenuhi fungsi teknik yang
diperlukan untuk perlindungan dan stabilisasi lereng.
Vegetasi yang sudah mapan dapat rentan terhadap kekeringan, kekurangan
nutrisi tanah dan sinar matahari, puing-puing sisi pemeliharaan jalan, penggembalaan,
atau terinjak-injak, dan mungkin memerlukan tindakan pengelolaan khusus untuk
memastikan keberhasilan proyek jangka panjang. Pengalaman yang sedang
berlangsung dalam mewujudkan bioteknologi tanah merupakan alat yang efektif
untuk menangani tanah longsor dan lereng yang tidak stabil.

Penyebab utama tanah longsor di india


Berbagai tempat diidentifikasi dan peran yang dimainkan oleh deforestasi yang
berlebihan, terhalangnya saluran drainase normal sebagian besar drainase tersumbat karena
manusia membangun rumah di atas saluran sungai dan mengalihkan aliran air secara tiba-
tiba, dan perubahan penggunaan lahan dipelajari oleh tim. Tidak ada sistem peringatan dini
yang jelas tersedia. Untuk pembangunan jalan lereng alami yang dipotong oleh instansi tanpa
ada studi teknik merupakan penyebab utama terjadinya longsor di daerah pinggir jalan. (GP
Ganapathy dan CL Hada ,2012).

1.2 Tsunami
Tsunami , (bahasa Jepang: “gelombang pelabuhan”) juga disebut gelombang laut
seismic biasanya disebabkan oleh gempa bumi bawah laut , tanah longsor di bawah air atau
pantai , atau letusan gunung berapi. Tsunami terjadi setelah terjadinya gempa bumi atau
impuls pembangkit lainnya terjadi, rangkaian gelombang dan progresif menyebar jauh di atas
permukaan laut dalam lingkaran yang terus melebar. Di perairan dalam, Tsunami dapat
bergerak dengan kecepatan 800 km (500 mil) per jam. Panjang gelombangnya sangat besar,
sekitar 100 hingga 200 km (60 hingga 120 mil), namun memiliki amplitudo
gelombang(ketinggian) sangat kecil, hanya sekitar 30 sampai 60 cm (1 sampai 2 kaki)
(Encyclopaedia Britannica, 2020).
Prabencana Tsunami
a) Ketahui tanda-tanda sebelum tsunami terjadi, terutama setelah gempa (intensitas
gempa lama dan terasa kuat, air laut surut, bunyi gemuruh dari tengah lautan, banyak
ikan menggelepar di pantai yang airnya surut, dan tanda-tanda alam lain).
b) Cepat berlari ke tempat yang tinggi dan berdiam diri di sana untuk sementara waktu
setelah satu gempa besar mengguncang.
c) Segera menjauhi pantai dan tidak perlu melihat datangnya tsunami atau menangkap
ikan yang terdampar di pantai karena air surut.
d) Mengetahui tingkat kerawanan tempat tinggal akan bahaya tsunami dan jalur evakuasi
tercepat ke dataran yang lebih tinggi.
Saat Bencana
a) Setelah gempa berdampak pada rumah Anda, jangan berupaya untuk merapikan
kondisi rumah. Waspada gempa susulan!
b) Jika Anda berada di rumah, usahakan untuk tetap tenang dan segera membimbing
keluarga untuk menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi dan aman. Tidak
semua gempa memicu tsunami.
c) Jika mendengar sirine tanda bahaya atau pengumuman dari pihak berwenang
mengenai bahaya tsunami, Anda perlu segera menyingkir dari daerah pantai.
Perhatikan peringatan dan arahan dari pihak berwenang dalam proses evakuasi.
d) Jika telah sampai di daerah tinggi, bertahanlah disana karena gelombang tsunami yang
kedua dan ketiga biasanya lebih besar dari gelombang pertama serta dengarkan
informasi dari pihak yang berwenang melalui radio atau alat komunikasi lainnya.
e) Tsunami tidak datang sekali, tetapi bisa sampai lima kali. Oleh karena itu, sebelum
ada pengumuman dari pihak berwenang bahwa kondisi telah aman, janganlah
meninggalkan tempat evakuasi karena seringkali gelombang yang datang kemudian
justru lebih tinggi dan berbahaya.
f) Apabila Anda berada di kapal atau perahu yang tengah berlayar, upayakan untuk tetap
berlayar dan menghindari wilayah pelabuhan.
g) Hindari jalan melewati jembatan. Anda dianjurkan untuk melakukan evakuasi dengan
berjalan kaki.
h) Jangan kembali sebelum keadaan dinyatakan aman oleh pihak berwenang.
i) Bagi Anda yang melakukan evakuasi menggunakan kendaraan dan terjadi kemacetan,
segera kunci dan tinggalkan kendaraan serta melanjutkan evakuasi dengan berjalan
kaki.
pascabencana
a) Tetap utamakan keselamatan dan bukan barang-barang Anda. Waspada dengan
instalasi listrik dan pipa gas.
b) Anda dapat kembali ke rumah setelah keadaan dinyatakan aman dari pihak
berwenang.
c) Jauhi area yang tergenang dan rusak sampai ada informasi aman dari pihak
berwenang.
d) Hindari air yang menggenang karena kemungkinan kontaminasi zat-zat berbahaya dan
ancaman tersengat aliran listrik.
e) Hindari air yang bergerak karena arusnya dapat membahayakan Anda.
f) Hindari area bekas genangan untuk menghindari terperosok atau terjebak dalam
kubang.
g) Jauhi reruntuhan di dalam genangan air karena sangat berpengaruh terhadap
keamanan perahu penyelamat dan orang-orang di sekitar.
h) Berpartisipasi dalam kaporisasi sumber-sumber air bersih, perbaikan jamban dan
saluran pembuangan air limbah.
i) Hati-hati saat memasuki gedung karena ancaman kerusakan yang tidak terlihat seperti
pada fondasi.
j) Perhatikan kesehatan dan keselamatan keluarga dengan mencuci tangan
menggunakan sabun dan air bersih jika Anda terkena air genangan tsunami.
k) Apabila Anda terluka, dapatkan perawatan kesehatan di pos kesehatan terdekat.
Dengarkan berita atau informasi mengenai kondisi air, serta di mana mendapatkan
bantuan tenda darurat, pakaian, dan makanan. Buanglah makanan yang terkontaminasi
air genangan.
l) Hindari lokasi yang masih terkena bencana, kecuali jika pihak berwenang
membutuhkan relawan.
m) Tetap di luar gedung yang masih dikelilingi genangan air. Bersihkan sarang nyamuk
dan serangga lainya.

1.2.1 Migitasi struktur


a) Seawall
Tanggul laut biasa digunakan di Jepang sebagai fasilitas mitigasi bencana
tsunami, gelombang badai dan gelombang tinggi. Untuk tembok laut yang
tinggi, juga terdapat gerbang darat yang diperlukan untuk mengakses pantai
dan pelabuhan.
b) Bangunan Tangguh Pesisir
Rumah dan bangunan yang kokoh juga efektif untuk mengurangi kerusakan
akibat tsunami. Mereka bisa bekerja seperti pemecah gelombang di darat.
Akan tetapi ada kasus di Sri Lanka bagian barat daya, tsunami tinggi 4,8 m di
belakang rumah-rumah yang benar-benar runtuh di sepanjang pantai. Jika
tsunami setinggi 3,2 m di belakang rumah dengan sedikit kerusakan. jika
bangunan tahan terhadap gempa dan tsunami di sekitar pantai lebih dari tiga
lantai maka dapat dijadikan escape building.
c) Menara dan Gedung Evakuasi
Bangunan ini ditempatkan di daerah yang sulit untuk dievakuasi sekitaran
keberadaan sungai. Penting juga untuk menggunakan bangunan tinggi dan
kuat yang ada tempat penampungan evakuasi.
d) Teras Evakuasi
Teras ini dibangun sebagai tempat penampungan tsunami. Teras tersebut
biasanya digunakan untuk kegiatan perikanan.

Teras evakuasi tsunami


e) Seawall tipe baru
Dinding laut ini memiliki zona penyangga untuk mencegah genangan pantai
karena luapan gelombang. Ombaknya menutupi muka depan tembok laut

dapat menembus zona penyangga dipasang di depan tembok laut.


perlindungan yang baru diperpanjang untuk mencegah banjir di pesisir karena
gelombang meluap. zona permeable untuk menyerap overtops air laut.
f) Sistem Pertahanan
Tindakan struktural dan non struktural ttidak dapat dilepaskan maka
diperlukan kombinasi untuk membuat pertahanan terintegrasi, hal yang perlu
diperhatikan yaitu:
 Memahami bahaya alam di area target dengan menganalisis catatan
sejarah, memantau keadaan laut dan melakukan simulasi numeric.
 Memahami kerentanan masyarakat dengan evaluasi kerusakan yang
disebabkan terhadap bahaya alam. (nda.ac.jpg)
1.2.2 Migitasi non-struktur
a) Perencanaan migitasi tsunami
b) Pemetaan evakuasi tsunami
c) Penyebaran informasi
Pemerintah Indonesia telah membentuk Pemerintah Indonesia telah dibentuk
kantor pusat peringatan bencana di Jakarta.
d) Kesadaran Publik
• Pelatihan Pelatihan
• drill
• Pameran (Wisyanto,dkk:2008)

1.2.3 Tsunami di Banten


Pada 22 Desember 2018, terjadi tsunami di kawasan Gunung Anak Krakatau yang
diakibatkan oleh kerusakan sisi vulkanik. Tsunami berdampak parah di pantai barat Banten
dan pantai selatan Lampung di Indonesia. Kerusakan bangunan akibat tsunami sebagian besar
disebabkan oleh gaya benturan dan gaya hambat. Kekuatan redaman tidak bisa dikaitkan
dengan kerusakan. Tsunami dibanten diakuibatkan oleh gempa bumi sehingga hasil dari
sendimentasi erupsi gunung Krakatau jatuh ke laut sehingga menimbulkan Tsunami. Sistem
peringatan tsunami di Indonesia harus diperluas untuk mengantisipasi tsunami non-seismik,
seperti longsor dan proses vulkanik yang didorong oleh tsunami. Tidak adanya peringatan
tsunami selama beberapa menit pertama setelah munculnya gelombang pertama
menyebabkan sejumlah besar korban jiwa di kedua daerah yang terkena dampak . (Luthfi,
M., Suppasri, A., & Comfort, L. K, 2020).
1.2.4 Tsunami Turki
Gempa besar pada 30 Oktober 2020 berkekuatan 7,0 di laut dekat Izmir (Turki) dan
Samos (Yunani) memicu tsunami dengan ketinggian genangan hingga 3m. penyebab
kerusakan fatal di tukri dikarenakan i) Daerah teluk İzmir adalah terletak di cekungan yang
memperkuat gelombang gempa. ii) tidak mematuhi dalam menjalankan Building Code dan
iii) sebagian besar bangunan dibangun pada tahun 1990-an, selama periode ketika inspeksi
bangunan tidak sepenuhnya dilakukan.
Teluk Izmir adalah cekungan depresi tektonik dan massa sedimen yang dibawa
olehsungai yang mengalir ke cekungan ini, struktur tanah yang tebal. Sebagai hasil dari studi
geofisika, seismik dan geoteknik yang dilakukan di wilayah tersebut, mereka menemukan
bahwa ketebalan tanah sedimen di utara Teluk Izmir berkisar antara 250-300 m dan 100-150
m di selatan teluk (Akgün et al., 2015). Para peneliti menyatakan bahwa nilai Vs30
(kecepatan Vs rata-rata pada 30 m) bervariasi antara 150-300 m/s.
Pehitungan beban gempa dinamis studi khusus lokasi harus dibuat perhitungan
spektrum respons tanah. Faktanya, situs dengan daya dukung tanah yang rendah,
kemungkinan likuifaksi tertinggi dan retakan tanah, serta kerusakan dan kerugian perkiraan
dilaporkan sesuai dengan konstruksi yang ada pada saat itu (Eyidoğan, H,2020).

1.3 Gunung Api


Batas antar pelat disebut garis patahan. Gunung berapi terjadi di salah satu dari dua
jenis garis patahan. Salah satunya adalah batas konvergen, di mana satu pelat bergeser di
bawah pelat lainnya. Saat satu lempeng meluncur di bawah, ia dipaksa turun ke mantel di
mana tekanan dan panasnya ekstrim. Dalam kondisi ini, kerak meleleh, membentuk magma,
yang dipaksa naik melalui kerak di atasnya, akhirnya mencapai permukaan dan membentuk
gunung berapi. Setelah mencapai permukaan, magma disebut lahar.
Gunung berapi juga bisa terbentuk di batas yang berbeda, di mana lempengan-
lempengan itu bergerak terpisah. Pelat meninggalkan celah di mana magma dari mantel bisa
lepas ke permukaan. Sesar-sesar ini biasanya berada di bawah samudra dan membentuk
pegunungan di tengah samudra. Gunung berapi tempat lain terbentuk di atas titik panas. Titik
panas adalah lokasi di dalam mantel yang suhunya sangat tinggi. Di tempat-tempat ini,
magma memaksa naik ke permukaan, membentuk gunung berapi. Titik panas yang terkenal
adalah salah satu yang membentuk rantai Kepulauan Hawaii. Magma dari titik panas
membentuk gunung laut (gunung bawah laut) yang menjadi pulau setelah lebih tinggi dari
permukaan laut. Saat lempeng tektonik bergerak di atas titik panas tetap, serangkaian pulau
terbentuk
Beberapa tanda bahwa gunung berapi akan segera meletus antara lain gempa bumi,
emisi gas, perubahan medan magnet, dan pembengkakan gunung berapi itu sendiri. Gempa
bumi mulai terjadi saat magma mendorong ke atas melalui gunung berapi. Insinyur
menggunakan perangkat yang disebut seismometer (mendeteksi getaran) untuk mendeteksi
gempa bumi ini. Saat ruang magma membesar, menandakan potensi letusan, batu di atas
ruang tersebut akan terdorong ke atas, mengubah bentuk gunung berapi.
Gunung berapai mengalami perubahan bentuk gunung berapi, maka dilakukan survei
gunung atau menggunakan alat yang disebut pengukur kemiringan (mendeteksi perubahan
kemiringan suatu struktur). Perangkat lain mengukur gas yang keluar dari gunung berapi
sebagai petunjuk lain untuk memprediksi letusan. Para insinyur merancang dan membangun
instrumen untuk mendeteksi perubahan yang sangat kecil di gunung berapi ini sehingga
orang-orang yang tinggal di dekat gunung tersebut dapat diperingatkan dan dievakuasi,
sehingga nyawa dapat diselamatkan.
1.3.1.1 Jenis Gunung Berapi
a) kaldera
kaldera adalah yang paling umum. Juga dikenal sebagai kerucut scoria, mereka
biasanya kecil dan terbuat dari fragmen gunung berapi dari letusan
sebelumnya, yang disebut cinder atau scoria. Mereka memiliki sisi yang curam
dan biasanya berupa kawah berbentuk mangkuk.

Gambar. Kaldera Pu'u ka Pele dekat Mauna Kea di pulau Hawaii.


b) gunung berapi perisai, yang hampir seluruhnya terbentuk dari lava cair. Lava
mengalir keluar dari lubang angin dan perlahan meluncur ke sisi gunung
berapi. Saat lava mendingin, ia membentuk kerucut basal yang luas. Lereng
gunung berapi perisai biasanya sangat landai.
Gunung berapi perisai Mauna Loa di Pulau Hawaii.
c) Gunung api tratovolcano memiliki bentuk kerucut tinggi yang paling sering
dikaitkan dengan gunung berapi. Mereka memiliki sisi yang sangat curam dan

sering terbentuk selama letusan dahsyat.


Stratovolcano Mt. St. Helens, WA, sebelum erupsi di Tahun 1980
1.3.1.2 Prediksi Letusan Gunung Berapi
para insinyur dan ilmuwan kreatif dalam merancang dan membangun perangkat untuk
mendeteksi indikator alam dari letusan gunung berapi. Tanda peringatan tersebut antara lain
gempa bumi, emisi gas, perubahan medan magnet, dan pembengkakan gunung berapi itu
sendiri. Untuk memantau gunung berapi aktif, seismometer mendeteksi getaran gempa bumi,
pengukur kemiringan mendeteksi perubahan kecil bahkan pada bentuk gunung, dan
perangkat lain memantau dan mengukur gas yang keluar (www.teachengineering.org, 2020).

Gambar. Pengukur kemiringan digunakan untuk memprediksi letusan gunung berapi.


Prabencana
a) Perhatikan arahan dari PVMBG dan perkembangan aktivitas gunungapi.
b)Siapkan masker dan kacamata pelindung untuk mengatasi debu vulkanik.
c) Mengetahui jalur evakuasi dan shelter yang telah disiapkan oleh pihak berwenang.
d)Menyiapkan skenario evakuasi lain jika dampak letusan meluas di luar prediksi ahli.
e) Siapkan dukungan logistik, antara lain makanan siap saji, lampu senter dan baterai
cadangan, uang tunai yang cukup serta obat-obatan khusus sesuai pemakai.
Saat bencana
a) Kenakan pakaian tertutup yang melindungi tubuh seperti, baju lengan panjang,
celana panjang, dan topi.
b) Tidak berada di lokasi yang direkomendasikan untuk dikosongkan.
c) Tidak berada di lembah atau daerah aliran sungai.
d) Gunakan masker atau kain basah untuk menutup mulut dan hidung.
e) Gunakan kacamata pelindung. Jangan memakai lensa kontak.
f) Hindari tempat terbuka. Lindungi diri dari abu letusan gunungapi.
PascaBencana
a) Kurangi terpapar dari abu vulkanik.
b) Hindari mengendarai mobil di daerah yang terkena hujan abu vulkanik sebab bisa
merusak mesin kendaraan.
c) Bersihkan atap dari timbunan debu vulkanik karena beratnya bisa merobohkan dan
merusak atap rumah atau bangunan.
d) Waspadai wilayah aliran sungai yang berpotensi terlanda bahaya lahar pada musim
hujan.
1.3.2 Mitigasi struktual
Pembangunan yang bersifat fisik seperti:
a) jalur evakuasi
b) rambu-rambu kebencanaan
c) pos titik aman sementara
d) bangunan untuk kepentingan evakuasi
e) membuat jalan akses ke tempat evakuasi
f) pembangunan rumah penduduk mengikuti peraturan pemerintah dan tahan terhadap
abu vulkanik
1.3.3 Mitigasi non-struktual
a) Sosialisasi bahaya letusan gunung api
b) Adanya radio khusus untuk menyiarkan status gunung api terkini
1.3.4 Gunung sinabung
Setelah letusan dimulai pada tanggal 15 September 2013. Letusan ini terus berlanjut
hingga saat ini. Letusan yang sedang berlangsung dibagi menjadi 5 fase utama:
1. fase freatomagmatik (Juli 2013-18 Desember 2013);
2. kubah pertama dan fase runtuh dengan arus kerapatan piroklastik (PDC; aliran blok
dan abu dan lonjakan terkait) ke selatan (18 Desember 2013-10 Januari 2014);
3. fase aliran lahar dan runtuhnya (10 Januari 2014 – pertengahan September 2014);
4. fase kubah lava dan runtuh kedua dengan PDC di selatan (pertengahan September
2014 – Juli 2015);
5. fase runtuhnya kubah lava dan ledakan abu dengan PDC ke tenggara dan timur
(Agustus 2015-sekarang).
Kubah lava pertama diamati dalam citra satelit pada 18 Desember di dekat tepi kawah
utama. Runtuhnya sebagian kubah menghasilkan PDC yang dimulai pada 30 Desember.
Pertumbuhan kubah lava pertama ini berlanjut hingga Januari dan disertai dengan keruntuhan
tambahan dan PDC. Sekitar 10 Januari, lava telah beralih dari morfologi kubah puncak
menjadi morfologi aliran lava. Aliran lava yang dihasilkan menuruni sisi tenggara gunung
berapi, menghasilkan aliran di depan dan runtuh marginal dengan PCD terkait. Salah satu
runtuhnya sisi aliran pada 2 Februari 2014 mengakibatkan PCD yang menewaskan 16 orang.
Fase aliran lava berlanjut hingga pertengahan September 2014, ketika kubah lava puncak
kedua mulai tumbuh dan runtuh, menghasilkan PDC yang awalnya ke selatan dan tenggara,
dan kemudian dimulai pada Juli 2015 ke timur dan tenggara.
Letusan Gunung Sinabung berdampak besar pada pariwisata dan daerah pertanian di
dekat gunung berapi dan di Kabupaten Ginting dan Karo Sumatera Utara. Penduduk setempat
yang tidak pernah mengalami letusan seumur hidupnya awalnya penasaran dan ingin
mendapatkan informasi apapun tentang letusan tersebut dari manapun sumbernya. Berbagai
lembaga memberikan informasi dengan sedikit koordinasi, sehingga menimbulkan
kebingungan. Seiring berjalannya waktu, komunikasi telah membaik dan masyarakat serta
pemerintah yang bertanggung jawab menjadi lebih siap dalam menghadapi letusan yang
terus-menerus. Pemerintah Indonesia telah menyediakan dana untuk membantu penduduk
desa yang tinggal dalam radius 5 km zona bahaya untuk tinggal di kamp relokasi karena
daerah relokasi permanen sedang diidentifikasi.
21 Mei 2016, 9 korban jiwa tambahan terjadi di desa Gamber, di dalam zona bahaya,
ketika kubah runtuh mengirimkan arus piroklastik ke daerah tersebut. Sepanjang letusan,
gunung berapi tersebut telah dipantau oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi
Indonesia (CVGHM) bekerja sama dengan Program Bantuan Bencana Gunung Api USGS-
USAID dan Lembaga Penelitian Pencegahan Bencana Universitas Kyoto. Teknik
pemantauan termasuk pengamatan seismik, geodetik, gas, satelit dan lapangan, serta
pengambilan sampel abu dan lava sesekali untuk analisis geokimia (Gunawan,H, dkk, 2019).
1.3.5 Gunung Hakone, Japan
Letusan gunung Hakone tahun 2015 merupakan letusan freatik yang sangat kecil,
dengan total abu letusan diperkirakan hanya 102 m3 dan balistik mencapai jarak kurang dari
30 m dari lubang angin. Pengamatan dilakukan 2 bulan sebelum letusan, hasil pengamatan
gempa bumi frekuensi rendah yang dalam pada awal April 2015; gempa bumi susulan
kemudian dimulai pada akhir April. Pada tanggal 3 Mei, sumur uap di Owakudani, daerah
fumarolik terbesar di gunung berapi, mulai meledak. Kegempaan mencapai maksimumnya
pada pertengahan Mei dan secara bertahap menurun; Namun, pada pukul 7:32 waktu
setempat pada tanggal 29 Juni, retakan terbuka dangkal terbentuk tepat di bawah Owakudani.
Perubahan kemiringan mendadak dan analisis InSAR. Pada hari yang sama, aliran
lumpur dan / atau aliran puing kemungkinan dimulai sebelum pukul 11:00 dan emisi abu
dimulai sekitar pukul 12:30. Kerusuhan vulkanik dan letusan tahun 2015 dapat diartikan
sebagai peningkatan tekanan pada sistem hidrotermal yang dipicu oleh pengisian magma ke
ruang magma yang dalam. Faktanya, pemantauan periode erupsi yang berulang
memungkinkan kewaspadaan sebelum letusan tahun 2015. Namun, karena formasi retakan
terbuka, prediksi letusan tetap tidak mungkin dilakukan dan evakuasi pada fase awal erupsi
vulkanik merupakan satu-satunya cara untuk mengurangi bahaya vulkanik (Mannen, K,dkk,
2018).
1.4 Climate Change
Perubahan iklim adalah perubahan pola cuaca, dan perubahan terkait di lautan,
permukaan tanah, dan lapisan es, yang terjadi selama beberapa dekade atau lebih. Cuaca
adalah keadaan atmosfer (suhu, kelembapan, angin, curah hujan, dan sebagainya) selama
berjam-jam hingga berminggu-minggu. Hal ini dipengaruhi oleh lautan, permukaan tanah dan
lapisan es, yang bersama-sama dengan atmosfer membentuk 'sistem iklim'. Iklim, dalam arti
luas, adalah deskripsi statistik dari keadaan sistem iklim. Perubahan iklim adalah perubahan
sifat statistik dari sistem iklim yang berlangsung selama beberapa dekade atau lebih, biasanya
setidaknya 30 tahun. parameter statistik ini mencakup rata-rata, variabilitas, dan ekstrem.
Perubahan iklim dapat disebabkan oleh proses alam, seperti perubahan radiasi matahari,
gunung berapi atau variabilitas internal sistem iklim, atau karena pengaruh manusia seperti
perubahan komposisi atmosfer atau penggunaan lahan.
Fluktuasi iklim jangka pendek, seperti kekeringan, dapat diprediksi dengan
keterampilan terbatas dari musim ke musim. Sebaliknya, perubahan dalam statistik jangka
panjang sistem iklim (perubahan iklim) dapat diprediksi jika disebabkan oleh pengaruh
jangka panjang yang diketahui atau dapat diprediksi. Energi dari Matahari adalah pendorong
utama iklim di Bumi. Energi matahari yang diterima bumi bergantung pada seberapa besar
pancaran matahari dan jarak antara bumi dan matahari. Sebagian dari sinar matahari ini
dipantulkan langsung kembali ke angkasa oleh atmosfer, awan, dan daratan, permukaan es
dan air. Aerosol (partikel kecil di atmosfer, sebagian berasal dari aktivitas manusia) dapat
meningkatkan pantulan sinar matahari. Akhirnya energi matahari yang diserap oleh bumi
dikembalikan ke luar angkasa sebagai radiasi infra merah (panas).
Aliran radiasi di atmosfer sangat penting dalam menentukan iklim. Gas utama yang
menyusun atmosfer, nitrogen dan oksigen, tidak berinteraksi dengan radiasi infra merah.
Namun, gas tertentu yang ada dalam jumlah yang lebih kecil menyerap radiasi infra merah
yang mengalir ke atas dari permukaan bumi dan memancarkannya kembali ke segala arah,
termasuk mundur ke bawah. Dengan melakukan ini, mereka menghalangi aliran keluar energi
infra merah dari Bumi ke luar angkasa. Ini disebut 'efek rumah kaca', dan gas yang
menyebabkannya dengan berinteraksi dengan radiasi inframerah disebut gas rumah kaca.
Yang terpenting adalah uap air, karbon dioksida (CO2) dan metana. Efek rumah kaca
teridentifikasi lebih dari seabad yang lalu; Permukaan bumi akan menjadi sekitar 33 °C lebih
dingin tanpanya, sehingga Bumi dapat dihuni (science.org.au).
1.4.1 Migitasi structural
a) Desain dan teknologi rumah pasif
Konsep rumah pasif, bangunan rendah karbon, bahkan tanpa emisi bangunan.
Rumah rendah karbon dan bangunan tanpa emisi mencapai tujuan bersama dengan
menerapkannya semua teknik, strategi dan teknologi desain hijau yang tersedia.
pembangkit listrik tenaga air, ladang angin, dll (Torcellini, 2006).
b) Membuat energy terbarukan seperti solar cell,air,angina, bio cell, dan lain.
c) Membangun isolasi termal selubung
Isolasi termal merupakan teknologi penting untuk mengurangi konsumsi energi dalam
gedung dengan cara mencegahnya keuntungan / kerugian panas melalui selubung
bangunan. Isolasi termal adalah bahan konstruksi dengan panas rendah konduktivitas,
seringkali kurang dari 0,1W / mK.
d) Teknologi pemanfaatan siang hari
Teknologi pemanfaatan siang hari diterapkan untuk menghadirkan cahaya siang hari
yang menyebar ke dalam interior bangunan.
e) Teknologi efisiensi air
Penggunaan air dalam gedung memiliki kontribusi tidak langsung namun besar
terhadap konsumsi energi dan sumber daya.
f) Produksi dan distribusi air untuk gedung merupakan kegiatan yang padat energi.
Energi digunakan untuk memurnikan
g) sumber air tawar ke tingkat yang aman untuk dikonsumsi di gedung-gedung dan
untuk menjalankan pompa untuk pembersihan dan energi tambahan diperlukan untuk
mengekstraksi air dari bawah tanah, untuk mengangkut air dari jarak jauh, atau untuk
mengoperasikan energi yang intensif hemat air, hemat energi. (Wynn Chi-Nguyen
Cam, 2012)
1.4.2 Migitasi non-structural
a) sosialisasi dan mengedukasi masyarakat untuk mengunakan sumber energy
terbarukan.
b) masyarakat menjalankan peraturan tertulis ataupun peraturan adat untuk menjaga
lingkungan.
c) Menjalankan kerjasama perdagangan karbon.
1.4.3 Climate Change di Kampung Naga Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya
Climate change mengakibatkan bencana di Kampung Naga adalah tanah longsor dan
banjir. Kemampuan mitigasi bencana masyarakat Kampung Naga terhadap perubahan iklim
dipengaruhi kearifan tradisional yang tercermin dari konservasi hutan, bangunan,
infrastruktur dan pola ruang kampung yang dapat mengurangi ancaman bencana tanah
longsor dan banjir. Mitigasi non-struktural menjalankan peraturan adat untuk selalu hidup
selaras dengan alam. Mitigasi struktural, untuk mencegah longsor dilakukan dengan membuat
lahan sawah dan kebun campuran berundak-undak mengikuti kontur.Tata letak bangunan.
Bangunan diletakan mengikuti kontur. Agar tidak mudah longsor, maka undakan tanah diberi
batu dicampur tanah liat (Dewi, I. K., & Istiadi, Y, 2016).

1.4.4 Climate Change di China


Seiring dengan meningkatnya upaya nasional untuk mengurangi emisi CO2, pembuat
kebijakan membutuhkan informasi subnasional yang semakin spesifik tentang sumber CO2
dan potensi pengurangan serta implikasi ekonomi dari berbagai kemungkinan kebijakan. Hal
ini terutama terjadi di China, negara besar dan beragam secara ekonomi yang telah
mengalami industrialisasi dan urbanisasi dengan cepat dan telah berjanji di bawah Perjanjian
Paris bahwa emisinya akan mencapai puncaknya pada tahun 2030. Kota-kota yang lebih
makmur secara sistematis menurunkan emisi per unit produk domestik bruto (PDB),
didukung oleh impor dari kota-kota industri yang kurang makmur yang terletak di dekatnya.
Pada gilirannya, kelompok kota industri didukung oleh pusat ekstraksi batu bara atau minyak
di dekatnya.
Sementara kebijakan yang secara langsung menargetkan manufaktur dan infrastruktur
tenaga listrik akan secara drastis merusak PDB kota-kota industri, kebijakan berbasis
konsumsi mungkin memungkinkan pengurangan emisi disubsidi oleh perusahaan yang
memiliki kemampuan lebih untuk membayar. Secara khusus, analisis berbasis sektor di setiap
kota menunjukkan bahwa peningkatan teknologi dapat menjadi cara yang praktis dan efektif
untuk mengurangi emisi sambil mempertahankan pertumbuhan dan struktur ekonomi serta
sistem energi saat ini (Shan, Y, dkk 2018)
DAFTAR PUSTAKA

(n.d.). Retrieved from http://www.nda.ac.jp/~fujima/maldives-pdf/contents/chapter5.pdf

teachengineering. (2020, 11 29). Retrieved 1 6, 2020, from Volcanic Panic!:


https://www.teachengineering.org/lessons/view/cub_natdis_lesson04

Britannica, T. E. (2020, October 29). Encyclopædia Britannica. Retrieved januari 05, 2021,
from Encyclopædia Britannica: https://www.britannica.com/science/tsunami

Cam, W. C.-N. (2012, August). Technologies forClimate Change Mitigation Building Sector.
Retrieved january 6, 2020, from https://www.uncclearn.org/wp-
content/uploads/library/unep223.pdf

GP Ganapathy dan CL Hada . (2012). Landslide Hazard Mitigation in the Nilgiris District,
India – Environmental and Societal Issues. International Journal of Environmental
Science and Development, 1-6.

Rahman, A. Z. (Oct. 2015). KAJIAN MITIGASI BENCANA TANAH LONGSOR DI


KABUPATEN BANJARNEGARA. Jurnal Manajemen dan Kebijakan
Publik,Universitas Diponegoro, 1-14.

what is climate change. (n.d.). Retrieved 1 6, 2020, from australia academy of science:
https://www.science.org.au/learning/general-audience/science-climate-change/1-
what-is-climate-change

Wisyanto, Weka Mahardi, Teuku Alvisyahrin, Juriono. (2008, 7 9). Retrieved 1 6, 2021, from
TSUNAMI COUNTERMEASURES: An Action Plan for Indonesia:
https://www.pwri.go.jp/icharm/training/ctdpcourse/pdf/action_indonesia.pdf

Zakiah Hidayati and Mafazah Noviana. (2018). Non-structural measures for landslide
(creeping type) in Selili Hill Samarinda. AIP Conference Proceedings 1977 (pp.
040006-1 s/d 040006-9). samarinda: AIP Publishing.

Gunawan, H., Budianto, A., Prambada, O., McCausland, W., Pallister, J., & Iguchi, M.
(2019). Overview of the eruptions of Sinabung Volcano, 2010 and 2013–present and
details of the 2013 phreatomagmatic phase. Journal of Volcanology and Geothermal
Research, 382, 103-119.

Luthfi, M., Suppasri, A., & Comfort, L. K. (2020). The 22 December 2018 Mount Anak
Krakatau volcanogenic tsunami on Sunda Strait coasts, Indonesia: tsunami and
damage characteristics. Natural Hazards & Earth System Sciences, 20(2).
Mannen, K., Yukutake, Y., Kikugawa, G., Harada, M., Itadera, K., & Takenaka, J. (2018).
Chronology of the 2015 eruption of Hakone volcano, Japan: geological background,
mechanism of volcanic unrest and disaster mitigation measures during the crisis.
Earth, Planets and Space, 70(1), 68.
Eyidoğan, H. Report on the seismological characteristics and effects of the 30 October 2020
Samos-Kuşadası Bay earthquake (Mw7. 0) in the western Aegean Sea.
Rahman, A. (2015). KAJIAN MITIGASI BENCANA TANAH LONGSOR DI
KABUPATEN BANJARNEGARA. GEMA PUBLICA : Jurnal Manajemen dan
Kebijakan Publik, 1(1), 1-14.
Shan, Y., Guan, D., Hubacek, K., Zheng, B., Davis, S. J., Jia, L., ... & Schellnhuber, H. J.
(2018). City-level climate change mitigation in China. Science advances, 4(6),
eaaq0390.
Dewi, I. K., & Istiadi, Y. (2016). Mitigasi bencana pada masyarakat tradisional dalam
menghadapi perubahan iklim di kampung naga kecamatan salawu kabupaten
tasikmalaya (disaster mitigation on traditional community against climate change in
kampong naga subdistrict salawu tasikmalaya). Jurnal Manusia dan Lingkungan,
23(1), 129-135.
Tictona, R. P., Marantika, S. B., Hendriawan, S. A., Daifullah, B., Krisnawan, G., &
Kurniasih, Y. (2020). MANAJEMEN BENCANA TANAH LONGSOR DI DESA
SAMBUNGREJO KECAMATAN GRABAG KABUPATEN MAGELANG. JMAN
jurnal mahasiswa Administrasi negara, 4(2), 16-25.

TANGGUH, T. T. BENCANA.

Anda mungkin juga menyukai