Anda di halaman 1dari 5

Nama : Nur Miftachul Arifah

NIM : 4201419038

Rombel : Selasa pukul 13.00 WIB

Proses geologi yang berasal dari dalam bumi (endogen) maupun dari luar bumi
(eksogen) dapat menimbulkan bahaya bahkan bencana bagi manusia. Bencana-bencana
tersebut diantaranya merupakan tanah longsor. Tanah longsor merupakan satu peristiwa
dikarenakan adanya gerakan tanah. Dampak dari bencana-bencana tersebut dapat
menimbulkan berbagai kerugian dan dampak bagi aktivitas manusia di berbagai wilayah
muka bumi.

Di banyak negara-negara di dunia yang daerahnya bergunung-gunung atau berbukit


bukit seperti di Indonesia, Jepang, Norwegia, Swiss, Yugoslavia dan lain-lainnya, longsoran
sering terjadi dan merupakan problem yang serius yang harus ditangani. Di Indonesia,
semenjak tahun 2000 banyak tempat di daerah yang berbukit-bukit mengalami longsoran,
terutama pada musim hujan (Hardiyatmo, 2006: 1).

Gerakan massa (mass movement) tanah atau sering disebut tanah longsor (landslide)
merupakan salah satu bencana alam yang sering melanda daerah perbukitan di daerah tropis
basah. Gerakan massa, umumnya disebabkan oleh gaya-gaya gravitasi dan kadang-kadang
getaran atau gempa juga menyokong terjadinya tersebut. Gerakan massa yang berupa tanah
longsor terjadi akibat adanya reruntuhan geser disepanjang bidang longsor yang merupakan
batas bergeraknya massa tanah atau batuan (Hardiyatmo, 2006: 2).

Jenis-jenis Tanah Longsor :

Berbagai jenis longsoran (landslide) dalam beberapa klasifikasi di atas dapat dijelaskan
sebagai berikut (Zakaria, 2009) :

1. Jatuhan (Fall) adalah jatuhan atau massa batuan bergerak melalui udara, termasuk gerak
jatuh bebas, meloncat dan penggelindingan bongkah batu dan bahan rombakan tanpa
banyak bersinggungan satu dengan yang lain. Termasuk jenis gerakan ini adalah runtuhan
(urug, lawina, avalanche) batu, bahan rombakan maupun tanah.
2. Longsoran-longsoran gelinciran (slides) adalah gerakan yang disebabkan oleh keruntuhan
melalui satu atau beberapa bidang yang dapat diamati ataupun diduga. Slides dibagi lagi
menjadi dua jenis. Disebut luncuran (slide) bila dipengaruhi gerak translasional dan
susunan materialnya yang banyak berubah.. Bila longsoran gelinciran dengan susunan
materialnya tidak banyak berubah dan umumnya dipengaruhi gerak rotasional, maka
disebut nendatan (slump), Termasuk longsoran gelinciran adalah: luncuran bongkah
tanah maupun bahan rombakan, dan nendatan tanah.
3. Aliran (flow) adalah gerakan yang dipengaruhi oleh jumlah kandungan atau kadar air
tanah, terjadi pada material tak terkonsolidasi. Bidang longsor antara material yang
bergerak umumnya tidak dapat dikenali. Termasuk dalam jenis gerakan aliran kering
adalah sandrun (larian pasir), aliran fragmen batu, aliran loess. Sedangkan jenis gerakan
aliran basah adalah aliran pasir-lanau, aliran tanah cepat, aliran tanah lambat, aliran
lumpur, dan aliran bahan rombakan.
4. Longsoran majemuk (complex landslide) adalah gabungan dari dua atau tiga jenis
gerakan di atas. Pada umumnya longsoran majemuk terjadi di alam, tetapi biasanya ada
salah satu jenis gerakan yang menonjol atau lebih dominan. Menurut Pastuto & Soldati
(1997), longsoran majemuk diantaranya adalah bentangan lateral batuan, tanah maupun
bahan rombakan.
5. Rayapan (creep) adalah gerakan yang dapat dibedakan dalam hal kecepatan gerakannya
yang secara alami biasanya lambat (Zaruba & Mencl, 1969; Hansen, 1984). Rayapan
(creep) dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: rayapan musiman yang dipengaruhi iklim,
rayapan bersinambungan yang dipengaruhi kuat geser dari material, dan rayapan melaju
yang berhubungan dengan keruntuhan lereng atau perpindahan massa lainnya (Hansen,
1984).
6. Gerak horisontal / bentangan lateral (lateral spread), merupakan jenis longsoran yang
dipengaruhi oleh pergerakan bentangan material batuan secara horisontal. Biasanya
berasosiasi dengan jungkiran, jatuhan batuan, nendatan dan luncuran lumpur sehingga
biasa dimasukkan dalam kategori complex landslide - longsoran majemuk (Pastuto &
Soldati, 1997). Prosesnya berupa rayapan bongkah-bongkah di atas batuan lunak
(Radbruch-Hall, 1978, dalam Pastuto & Soldati, 1997). Pada bentangan lateral tanah
maupun bahan rombakan, biasanya berasosiasi dengan nendatan, luncuran atau aliran
yang berkembang selama maupun setelah longsor terjadi. Material yang terlibat antara
lain lempung (jenis quick clay) atau pasir yang mengalami luncuran akibat gempa (Buma
& Van Asch, 1997).
7. Pada longsoran tipe translasional maupun rotasional, ada batas antara massa yang
bergerak dan yang diam (disebut bidang gelincir), kedalaman batas tersebut dari
permukaan tanah sangat penting bagi deskripsi longsoran. Terdapat 4 (empat) kelas
kedalaman bidang gelincir (Fernandez & Marzuki,1987), yaitu:
a) Sangat dangkal (<1,5 meter);
b) Dangkal (1,5 s.d. 5 meter);
c) Dalam (antara 5 sampai 20 meter);
d) Sangat dalam (>20 meter).

Umur gerakan dan derajat aktivitas longsoran merupakan kondisi yang cukup penting
diketahui. Longsoran aktif selalu bergerak sepanjang waktu atau sepanjang musim,
sedangkan longsoran lama dapat kembali aktif sepanjang adanya faktor-faktor pemicu
longsoran. Zaruba & Mencl (1969) mempelajari longsoran-longsoran yang berumur
Plistosen dan menggunakan istilah fosil longsoran untuk longsoran yang sudah tidak aktif
lagi.

Didaerah Jepara, khususnya desa Sumanding merupakan daerah pegunungan, dahulu


desa tersebut desa yang sangat kaya akan pepohonan seiring perkembangan zaman, desa
tersebut mengalami perubahan geologi. Faktor yang mempengaruhi adalah semakin
banyaknya pemukiman warga yang bertambah. Sehingga Ketika terjadi musim hujan daerah
tersebut mengalami tanah longsor. Tanah longsor terjadi karena banyaknya pohon yang
ditebang untuk pemukiman. Akibatnya saat datang musim hujan daerah tersebut sering
terkena bencana alam tanah longsor karena tidak adanya pepohonan yang dapat menyerap
banyaknya air hujan yang mengalir. Sehingga tanah lama-kelamaan akan tergerus oleh
derasnya aliran air karena tidak ada yang dapat menyerap air. Longsoran yang sering terjadi
di desa tersebut adalah longsoran jatuhan (fall). Longsoran tersebut sering terjadi dan
mengakibatkan rumah yang ada di bawahnya rusak karena terkena longsoran tanah yang
banyak.

Factor lain yang mengakibatkan desa tersebut sering longsor adalah membangun jalan
raya di lereng yang telah beralih menjadi pemukiman warga. Sehingga dampak dari tanah
longsor akan semakin besar. Kurangnya literasi warga desa akan bahaya penebangan pohon
didaerah pegunungan menjadi alasan terbesar dari permasalahan tersebut.

Untuk dapat mengatasi permasalahan tanah longsor di desa tersebut ada beberapa cara
(Susanti, 2017), yaitu:

1. Strategi penanggulangan bencana longsor sebagai berikut:


a. Mengenali daerah yang rawan terjadinya tanah longsor. Terutama di sekitar lereng
yang curam.

b. Jangan Bangun Pemukiman atau fasilitas di daerah yang rawan bencana terutama
bencana tanah longsor

c. Menjaga Drainase Fungsi drainase adalah untuk menjauhkan air dari lereng,
menghidari air meresap ke dalam lereng atau menguras air ke dalam lereng ke luar
lereng. Jadi drainase harus dijaga agar jangan sampai tersumbat atau meresapkan
air ke dalam tanah

d. Membuat terasering dengan sistem drainase yang tepat. drainase pada teras - teras
dijaga jangan sampai menjadi jalan meresapkan air ke dalam tanah

e. Penghijauan dengan tanaman yang sistem perakarannya dalam dan jarak tanam
yang tepat. Hal ini untuk bisa menahan air sehingga bencana tanah longsor bisa di
minimalisir.

f. Jika ingin mendirikan bangunan, gunakan fondasi yang kuat. sehingga akan kokoh
saat terjadi bencana

g. Penutupan rekahan di atas lereng untuk mencegah air masuk secara cepat kedalam
tanah.

h. Pembuatan tanggul penahan untuk runtuhan batuan (rock fall).

2. Upaya yang dapat dilakukan dalm penanggulangan bahaya longsor (Nandi, 2007) adalah
sebagai berikut:

a. Jangan mencetak sawah dan membuat kolam pada lereng bagian atas di dekat
permukiman

b. Buatlah terasering

c. Segera menutup retakan dan dipadatkan agar air tidak masuk ke dalam tanah
memalui retakan.

d. Jangan melakukan penggalian di bawah lereng terjal.

e. Jangan menebang pohon di lereng.

f. Jangan membangun rumah di bawah tebing.


g. Jangan mendirikan permukiman di tepi lereng yang terjal.

h. Jangan memotong tebing jalan menjadi tegak.

i. Jangan mendirikan rumah di tepi sungai yang rawan erosi.

3. Tindakan-tindakan praktis dalam pengelolaan tanah yang baik dalam menunjang Usaha
Konservasi (A.G Kartasapoetra, 2005: 120-121)

a. Berdaya upaya agar permukaan tanah tetap tertutupi tanaman-tanaman


pelindungnya sehingga kandungan bahan organiknya dapat dipertahankan atau tidak
terangkut bersama aliran air permukaan (run off).

b. Segala tindakan atau perlakuan dalam melakukan pengelolaan tanah (seperti


membajak, menggaru, menyiapkan bedengan pembibitan, membuat larikan-larikan
bagi pertanaman) harus sejajar dengan garis kontur, searah dengan garis itu atau
menyilang lahan, jadi hendaknya jagan sampai mengikuti arah lereng dari atas ke
bawah.

c. Menanami lahan yang mempunyai kemiringan dengan cara/sistem kontur ganti


berganti dengan cara strip cropping, dengan cara demikian akan dapat
dipertahankan dengan baik.

d. Dalam menghadapi tanah yang mempunyai kemiringan, hendaknya tanah-tanah


yang demikian dibantu dengan pembuatan sengkedan-sengkedan (terassering)
karena pembuatan teras-teras sangat membantu mengurangi lajunya run off dan
aliran permukaan yang lamban sangat kurang daya kemampuannya untuk
memindahkan atau menghanyutkan lapisan top soil.

e. Mencegah timbulnya alur-alur pada permukaan tanah yaitu dengan pembuatan chek
dam, menanami permukaan tanah dengan tanaman-tanaman penutup yang dapat
tumbuh rapat dan tindakan-tindakannya seperti sheet erosion dan gully erosion.

Anda mungkin juga menyukai