Dasar Teori
Indonesia merupakan salah satu lokasi sebaran ofiolit yang besar di dunia, terutama
di bagian Indonesia Timur. Sebaran ofiolit tersebut dapat ditemukan di Kalimantan
Selatan (Pegunungan Meratus), Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Kep.
Maluku–Halmahera, dan Papua. Penyebaran yang luas ini menjadi daya tarik bagi
para peneliti untuk meneliti secara rinci daerah–daerah tersebut untuk kepentingan
ilmu pengetahuan dan terutama kaitannya dalam segi ekonomi.
Komoditi‒komoditi yang dihasilkan dari ofiolit memiliki arti ekonomis tersendiri bagi
Indonesia. Nikel laterit, yang dihasilkan dari pelapukan batuan ultramafik penyusun
ofiolit, adalah salah satu komoditi di Indonesia dan memiliki cadangan yang cukup
besar. Beberapa lokasi penambangan nikel laterit yaitu Soroako, Pomalaa, dan
Pulau Gebe. Di kompleks ofiolit, mineralisasi selain nikel laterit juga bisa ditemukan
seperti endapan bijih langka kromit, platina, dan unsur‒unsur jejak penting seperti
vanadium, iridium, dan osmium. Salah satu penambangan endapan kromit bisa
ditemukan di Bungku, Sulawesi Tengah.
1
Lokasi kuliah lapangan ini (Gambar 1) berada di bagian barat Lengan Tenggara
Sulawesi pada koordinat 121o37’33”–121o42’33” BT dan 4o08’25”–4o13’25” LS.
Secara administratif daerah penelitian berada di Kecamatan Baula, Kabupaten
Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara.
Istilah ofiolit pertama kali dicetuskan oleh geologiwan Prancis, Alexandre Brongniart
(1770–1847), berkaitan dengan batuan serpentinit di melange (Dilek dan Furnes,
2011). Ofiolit berasal dari kata ophi dalam bahasa Yunani yang berarti ular. Ofiolit
digunakan untuk penamaan batuan yang berwarna kehijauan berbintik hitam agak
mengkilat seperti ular; dalam hal ini yang dimaksud adalah batuan serpentinit
(Suparka, 1988).
Beberapa peneliti telah menjelaskan defenisi ofiolit secara rinci. Ofiolit dijelaskan
oleh Nicolas (1989) sebagai himpunan batuan kerak samudera yang tersusun oleh
batuan peridotit, harsburgit, lersolit, dunit, gabro mikro, retas piroksenit, diabas,
basal, dan endapan pelagis berupa rijang radiolaria, serpih, atau batugamping
merah. Ofiolit mewakili bagian mantel atas dan kerak samudra (Coleman, 1977;
Nicolas, 1989) yang berkaitan dengan lempeng benua selama tumbukan antara
lempeng benua dan busur kepulauan, proses subduksi–akresi, dan rekahan
punggungan samudra (Dilek dan Flower, 2003). Dilek dan Furnes (2011)
2
mendefenisikan ofiolit sebagai fosil allochthonous mantel atas dan kerak samudra
yang secara tektonik teralihtempatkan dari lokasi pembentukan awalnya akibat
adanya pergerakan lempeng‒lempeng. Urutan sekuen ofiolit lengkap, dari bawah ke
atas, yaitu kompleks ultramafik (harzburgit, lerzolit, dunit), kompleks gabro,
kompleks sheeted dike mafik, dan kompleks vulkanik mafik yang berkaitan secara
geokronologi dan petrogenetik (Dilek, 2003). Ofiolit bisa ditemukan secara lengkap,
tidak lengkap (incomplete ophiolite), terpisah‒pisah (dismembered ophiolite), atau
termetamorfkan (Coleman, 1977; Dilek, 2003). Salah satu contoh ofiolit lengkap
terdapat di Ofiolit Semail, Oman (Gambar 2).
Gambar 2. Stratigrafi Kompleks Ofiolit Semail, Oman (Dilek & Furnes, 2009).
3
Mekanisme Pengalihtempatan Ofiolit
Menurut Wakabayashi dan Dilek (2003) faktor penting pengontrol mekanisme
pengalihtempatan (emplacement) ofiolit adalah (1) umur, ketebalan dan kondisi suhu
litosfer samudera menjadi terpindahkan, (2) sifat dan geometri batas Lempeng yang
terlibat, dan (3) ukuran dan karakter dari interaksi Lempeng. Tektonik zona subduksi
adalah pengontrol penting litosfer samudera yang ada sebelumnya kedalam batas
kontinen. Condie (1997) menjelaskan bahwa mekanisme pengalihtempatan ofiolit
pada busur atau kolisi jalur orogen berlangsung dengan tiga cara, yaitu:
a. Obduksi atau teranjakkan (thrusting) kerak samudera ke atas batas Lempeng
benua selama tumbukan Lempeng (proses subduksi).
b. Pemisahan (splitting) bagian atas dari kerak samudera dan terobduksi secara
anjak ke busur yang telah ada.
c. Penambahan dari kerak samudera pada prisma akresi pada sistem busur.
4
klinopiroksen, dan Websterit, batuan piroksenit dengan komposisi ortopiroksen dan
klinopiroksen.
Streckeisen (1976) mengklasifikasikan batuan‒batuan ultramafik pada diagram
segitiga ultramafik (Gambar II.21). Diagram ini digunakan untuk menentukan jenis
batuan ultramafik berdasarkan presentase komposisi mineral‒mineral penyusunnya
berupa olivin (Ol), ortopiroksen (Op), dan klinopiroksen (Cp). Klasifikasi ini hanya
berlaku pada batuan dengan komposisi plagioklas kurang dari 10% (Gill, 2010).
Presentase mineral‒mineral penyusun dapat diestimasi secara visual melalui
analisis petrografi. Mineral‒mineral ini kemudian diplot ke dalam segitiga sesuai
presentase kehadiran masing‒masing mineral pada sampel/sayatan yang diamati.
5
Hal ini mengindikasikan rembesan air pada batuan ultramafik terjadi pada suhu
<300oC. Antigorit pada MOR biasanya sebagai penciri serpentinisasi di zona
detachment fault. Lingkungan MOR dengan kecepatan pemekaran yang lambat
akan membentuk kompleks serpentinit yang tebal (Oceanic Core Complexes). Pada
zona subduksi, mineral antigorit mendominasi dan biasanya menggantikan mineral
lizardit dan krisotil sehingga mineral lizardit dan krisotil hampir tidak ditemukan.
Antigorit lebih stabil pada tekanan dan suhu yang tinggi dibandingkan lizardit dan
krisotil dan merupakan penciri serpentinisasi derajat tinggi.
Skala
Daerah Penelitian
1. Kompleks Mekongga
Kompleks Mekongga adalah kompleks batuan metamorf yang menjadi batuan alas
di Lengan Tenggara Sulawesi (Surono, 2013). Kompleks ini memanjang 150 km dan
lebar 70 km membentuk Pegunungan Mekongga dan Pegunungan Keleboke.
Kompleks Mekongga dibatasi oleh Sesar Lawanopo di bagian timur dan terusan
Sesar Palu–Koro di bagian barat. Kompleks Mekongga berumur Karbon (Rusmana
dkk., 1993) dan tersusun oleh sekis, genes, filit, kuarsit, dan pualam. Batuan‒batuan
metamorf di kompleks ini masih memperlihatkan tekstur relik batuan beku yang
ditunjukkan dengan reaksi tepi augit dan plagioklas. Analisis kimia menunjukkan
bahwa batuan ini berasosiasi dengan toleitik dari suatu MORB (Surono, 2013).
7
3 Kompleks Mendoke
Kompleks Mendoke adalah kompleks batuan metamorf yang terletak di Pegunungan
Mendoke dengan luas 60 x 25 km2. Secara umum Kompleks Mendoke tersusun atas
sekis, genes, pualam, rijang, dan marmer (Simandjuntak dkk., 1993). Hubungan
formasi ini dengan ofiolit berupa kontak tektonik. Kompleks Mendoke disetarakan
dengan Kompleks Pompanggeo yang berumur Kapur–Paleosen (Parkinson, 1998).
Kemungkinan umur yang relatif muda tersebut bukan merupakan umur
pembentukan batuan metamorf tetapi sebagai hasil metamorfisme ulang selama
proses imbrikasi berlangsung (Surono, 2013).
4 Formasi Langkowala
Formasi Langkowala merupakan bagian dari Molasa Sulawesi yang tersusun oleh
sedimen klastik. Surono (2013) membagi Formasi Langkowala menjadi dua anggota
yaitu Anggota Konglomerat dan Anggota Batupasir. Formasi Langkowala
diendapkan mulai Misoen Awal–Miosen Tengah atau pada akhir dan/atau sesaat
setalah tumbukan antara kepingan benua dan ofiolit. Lingkungan pengendapannya
diduga mulai darat sampai laut dangkal.
5 Formasi Alangga
Formasi Alangga merupakan bagian dari Molasa Sulawesi yang didominsai oleh
batupasir dan konglomerat. Pada umumnya formasi ini belum terkompakkan secara
baik masih memiliki perlapisan yang relatif horizontal. Formasi ini diendapkan pada
Plistosen. Lingkungan pengendapan formasi ini diduga darat–pantai (Surono, 2013).
6 Endapan Aluvial
Endapan aluvial adalah endapan termuda atau endapan sedimen Resen yang
diendapkan secara tidak selaras di atas semua satuan batuan yang lain. Endapan ini
terdiri dari endapan sungai, rawa, dan pantai.
8
Prosedur Kerja di Lapangan
Observasi Singkapan
Langkah–langkah yang dilakukan adalah.
1. Amati singkapan di tiap stasiun dengan seksama melalui sketsa singkapan, foto,
dan deskripsi batuan.
2. Ukur dan catat seluruh unsur struktur geologi yang ada seperti kekar, urat, sesar
dan kemiringan lapisan di tiap stasiun.
3. Catatat proses mineralisasi yang ada.
4. Detailkan setiap tahap observasi agar tidak ada hal–hal yang dilupa setelah
berpindah ke stasiun berikutnya.
5. Buat laporan sementara hasil observasi yang Anda lakukan (perkelompok).
6. Hasil pengamatan/ observasi akan di laporkan dalam bentuk laporan individu
dan presentase kelompok.
9
DAFTAR PUSTAKA
Coleman, R. G. (1977): Ophiolites ancient oceanic lithospere? New York: Springer, 20–73.
Dilek, Y., dan Furnes, H. (2011): New ophiolite classification. Geological Society of
America,123, 387–411.
Dilek, Y. (2003): Ophiolite concept and its evolution. Geological Society of America Special
of Papers, 373, 1–16.
Dilek, Y., dan Flower, M. F. J. (2003): Arc-trench rollback and forearc accretion : 2A model
template for ophiolites in Albania , Cyprus , and Oman. The Geological Society of
London, 43–68.
Dilek, Y., dan Furnes, H. (2009): Structure and geochemistry of Tethyan ophiolites and their
petrogenesis in subduction rollback systems. LITHOS, 113, 1–20.
Dilek, Y., dan Furnes, H. (2011): Ophiolite genesis and global tectonics: Geochemical and
tectonic fingerprinting of ancient oceanic lithosphere. Bulletin of the Geological Society
of America, 123, 387–411.
Hirth, G., dan Guillot, S. (2013): Rheology and tectonic significance of serpentinite.
Elements, 9(2), 107–113.
Kadarusman, A., Miyashita, S., Maruyama, S., Parkinson, C. D., dan Ishikawa, A. (2004):
Petrology, geochemistry and paleogeographic reconstruction of the East Sulawesi
Ophiolite, Indonesia. Tectonophysics, 392(1–4), 55–83.
Simandjuntak, T.O. (1999): Neogene Dayak Orogeny in Kalimantan. The 28th Annual
Convention, IAGI, Jakarta.
Simandjuntak, T.O., Rusmana, E., Surono, dan Supandjono, J.B. (1991): Peta Geologi
Lembar Malili Sulawesi, skala 1:250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi,
Bandung.
Simandjuntak, T.O., Supandjono, J.B., dan Sukido (1993): Peta Geologi Lembar Bungku
Sulawesi, skala 1:250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung
10
Simandjuntak, T.O., Surono, dan Sukido. (1994): Peta Geologi Lembar Kolaka Sulawesi,
skala 1:250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.
Streckeisen, A. (1976): To each plutonic rock its proper name. Earth Science Reviews, 12, 1–
33.
Suparka, M.E. (1988): Studi petrologi dan pola kimia Kompleks Ofiolit Karangsambung
Utara Luh Ulo, Jawa Tengah. Disertasi Program Doktor, Institut Teknologi Bandung,
48, 129–137.
Surono. (2010): Geologi Lengan Tenggara Sulawesi , Badan Geologi, Indonesia, 93–100
Surono, dan Hartono, U. (2013): Geologi Sulawesi, LIPI Press, Indonesia, 213-234
11
LEMBAR DESKRIPSI SINGKAPAN
KELOMPOK ………….
1.
2.
3.
12
Deskripsi Batuan
13
PENGUKURAN UNSUR STRUKTUR
14
Sketsa Singkapan Stasiun 2
15
Sketsa Singkapan Stasiun 3
16