Lereng adalah permukaan bumi yang membentuk sudut kemiringan tertentu dengan bidang horizontal. Lereng dapat terbentuk secara alami atau buatan misalnya lereng bukit dan tebing sungai sedangkan lereng buatan manusia antara lain galian dan timbunan untuk bendungan, tanggul ataupun dinding tambang. Lereng alami maupun buatan masih dibagi lagi dalam dua jenis (Soepandji, 1995), yaitu (a) Lereng dengan panjang tak hingga (infinite slopes), merupakan jenis lereng yang mempunyai panjang yang jauh lebih besar dibanding dengan kedalamannya (H). (b) Lereng dengan panjang hingga (finite slopes). Tanah akan longsor pada bidang permukaan lereng jika suatu tanah timbunan diletakkan pada tanah asli yang miring, di mana pada lapisan tanah asli masih terdapat lapisan lemah yang berada di dasar timbunannya. Keruntuhan pada lereng bisa terjadi akibat gaya dorong yang timbul karena beban pada tanah. Lereng secara alami memiliki kekuatan geser tanah dan akar tumbuhan yang digunakan sebagai gaya penahan. Apabila gaya penahan lebih kecil dibandingkan gaya pendorong maka akan timbul keruntuhan pada lereng. Analisis kestabilan lereng dilakukan untuk menentukan faktor aman dari bidang longsor yang potensial, yaitu dengan menghitung besarnya kekuatan geser untuk mempertahankan kestabilan lereng dan menghitung kekuatan geser yang menyebabkan kelongsoran kemudian keduanya dibandingkan. Dari perbandingan yang ada didapat nilai Faktor Keamanan yang merupakan nilai kestabilan lereng yang dinyatakan dalam angka.
1.2 Kestabilan lereng
Kemantapan (stabilitas) lereng merupakan suatu faktor yang sangat penting dalam pekerjaan yang berhubungan dengan penggalian dan penimbunan tanah, batuan dan bahan galian, karena menyangkut persoalan keselamatan manusia (pekerja), keamanan peralatan serta kelancaran produksi. Keadaan ini berhubungan dengan terdapat dalam bermacam-macam jenis pekerjaan, misalnya pada pembuatan jalan, bendungan, penggalian kanal, penggalian untuk konstruksi, penambangan dan lain-lain. Kestabilan lereng merupakan suatu kondisi atau keadaan stabil dari suatu lereng. Secara teoritis nilai dari kestabilan lereng dapat di ketahui dengan membandingkan gaya-gaya yang bekerja pada lereng yakni berupa gaya penggerak dan gaya penahan. Masalah kestabilan lereng dapat ditemukan pada bidang pertambangan ataupun konstruksi lainnya, misalnya pada penggalian tambang terbuka (open pit dan open cut), tempat penimbunan material buangan (Tailing disposal), penimbungan bijih (Stockyard), bendungan, infrasktruktur seperti jalan, fondasi jembatan, dan lereng disekitar perumahan (Suyartono, 2003). Masalah kestabilan lereng merupakan hal yang penting yang harus diperhatikan untuk mencegah terjadinya gangguan-gangguan dan bencana fatal yang akan berakibat pada keselamatan jiwa ataupun keselamatan peralatan dan infrastruktur lainnya. Dilihat dari jenis material penyusunnya, terdapat dua macam lereng, yaitu lereng tanah dan lereng batuan, walaupun kenyataan yang dijumpai pada suatu lereng selalu merupakan gabungan dari material tanah dan batuan. Dalam analisis dan penentuan jenis tindakan pengamanannya, lereng tanah tidak dapat disamakan dengan lereng batuan karena parameter material dan jenis penyebab longsor pada kedua material pembentuk lereng tersebut sangat jauh berbeda (Romana, 1993) Dalam keadaan alamiah tanah dan batuan umumnya berada dalam keadaan setimbang terhadap gaya-gaya yang bekerja padanya, baik gaya dari dalam maupun dari luar. Jika tanah dan batuan mengalami perubahan keseimbangan akibat pengangkatan, penurunan, penggalian, penimbunan, erosi, atau aktivitas lain, tanah dan batuan tersebut secara alami akan berusaha untuk mencapai keseimbangan yang baru. Proses ini biasanya berupa degradasi atau pengurangan beban terutama dalam bentuk perpindahan dengan besaran tertentu sampai kepada bentuk longsoran atau gerakan-gerakan lain sampai tercapai keseimbangan. Dalam menentukan kestabilan atau kemantapan lereng dikenal istilah faktor keamanan (safety factor) yang merupakan perbandingan antara gaya-gaya yang menahan gerakan terhadap gaya-gaya yang menggerakkan tanah tersebut dianggap stabil, bila dirumuskan sebagai berikut :
Dimana untuk keadaan: F > 1,5 : lereng dalam keadaan mantap F = 1,5 : lereng dalam keadaan seimbnag, dan siap untuk longsor F < 1,5 : lereng tidak mantap
2.3 Analisis Kestabilan Dengan Metode Analitik
Analisis Kestabilan Lereng dengan metode analitik dapat dilakukan dengan beberapa persamaan, diantaranya menggunakan persamaan Fellenius. Perhitungan faktor keamanan suatu lereng menggunakan nilai kohesi, panjang irisan sayatan, berat jenis dan sudut geser dalam serta derajat kelerengan lereng yang akan dicari faktor keamanannya. Rumus yang digunakan dalam perhiungan menggunakan metode Fellenius tanpa menyertakan pengaruh air pori di dalam tanah. Berikut adalah rumus perhitungan faktor keamanan menurut Fellenius: Keterangan : Fk : faktor keamanan c : kohesi (kN/m2) W : berat jenis tanah (kN/m3) α : sudut lereng (o) ϕ : sudut geser dalam (o) L : panjang irisan sayatan (m)
2.4 Analisis Kestabilan Dengan Menggunakan Metode Klasifikasi Massa
Batuan Analisis kestabilan lereng juga dapat dilakukan menggunakan Metode Klasifikasi Massa Batuan (Rock Mass Rating) yaitu dengan menafsirkan kestabilan lereng melalui pendekatan empiris. Metode klasifikasi massa batuan yang dikenal dengan Rock Mass Rating dikenalkan oleh Bieniawski. Nilai RMR dapat diperoleh dengan menggunakan Pers. (1): RMR = UCS + RQD + Jarak kekar + Kondisi kekar + Kondisi umum air tanah (1)
Tabel 1. Rock Mass Rating
Tabel 2. Hasil Analisis Rock Mass Rating
Tabel 3. Bobot Penyesuaian Orientasi Bidang Lemah Dengan Orientasi
Lereng
Tabel 4. Slope Mass Rating
Klasifikasi yang dikembangkan oleh Romana, 1985 yaitu SMR (Tabel 3)
[6]. Parameter yang dibutuhkanuntuk klasifikasi slope mass rating (SMR) antara lain, nilai RMR bieniawski 1979, arah (dip direction) dari permukaan lereng (αs), arah (dip direction) bidang diskontinuitas (αj), sudut kemiringan lereng (βs), dan sudut kemiringan bidang diskontinuitas(βj). Untuk faktor koreksi metode penggalian Romana juga memberikan klasifikasi sendiri. SlopeMass Rating(SMR)[7]digunakan untuk mengetahui kondisi lereng dalam kondisi stabil atau tidak stabil (Tabel 5). Nilai SMR dapat diperoleh dengan menggunakan Persamaan berikut : SMR = RMR + (F2x F1x F3) +F4 (2) 2.3 Analisis Kestabilan Lereng Dengan Menggunakan Metode Monitoring Survey Teknik pemetaan konvensional merupakan cara yang paling sederhana dan sering kali menjadi cara yang paling dapat diandalkan, baik untuk mengukur pergeseran; ereng maupun penurunan permukaan tanah diatas terowongan (Hedley, 1972; Davis dkk, 1981). Metode ini dapat mencakup area yang luas walaupun tingkat akurasinya biasanya terbatas hanya hingga 1 – 2 mm. Tingkat akurasi pada metode pemetaan konvensional ini sangat dipengaruhi oleh variasi temperatur dan tekanan pada area tersebut, terutama jika titik tempat alat berada di daerah yang diamati terpaut cukup jauh. Metode ini sering digunakan untuk mengukur pergeseran dengan cara memantau puncak lereng atau sekitar pertengahan dari muka lereng. Pengukuran pergeseran dalam arah horisontal umumnya kurang presisi dan membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan pengukuran pergeseran vertikal yang dilakukan dengan cara leveling. Pengukuran pergeseran horisontal dapat dilakukan menggunakan Theodolit. Alat ini menggunakan konsep triangulasi, dimana dibutuhkan beberapa titik referensi dan pengukuran yang dilakukan berulang. Selain teknik pemetaaan konvensial, kini berkembang juga teknik pengukuran dengan menggunakan alat jarak elektro – optik (Electro – Optic Distance Measuring (EDM) Instrument). Alat ini bekerja memancarkan sinar laser yang diproyeksikan pada prisma reflektor yang dipasang pada muka lereng. Sinar laser yang sampai pada prisma tersebut, kemudian akan dipantulkan kembali menuju alat. Jarak antara alat dan titik yang diamati dapat dihitung dari waktu yang dibutuhkan oleh sinar laser untuk menempuh perjalanan bolak – balik dari alat hingga titik target. Keunggulan metode ini ialah waktu yang dibutuhkan untuk observasi lebih singkat dibandingkan dengan metode pengukuran konvensional.